MUTIARA HITAM
Cipt: Kho Ping Ho
Serial
Bu Kek Sian Su (4)
Jalankecil itu menuju ke kota Tai-goan. Jalan
yang buruk dan becek, apalagi karena waktu itu musim hujan telah mulai. Udara
selalu diliputi awan mendung, kadang-kadang turun hujan rintik-rintik, sambung
menyambung menciptakan hawa dingin. Seperti biasa, segala keadaan di dunia ini
selalu mendatangkan untung dan rugi, dipandang dari sudut kepentingan
masing-masing. Para petani menyambut hari-hari hujan dengan penuh kegembiraan
dan harapan, karena banyak air berarti berkah bagi mereka. Akan tetapi di lain
fihak, para pedagang dan pelancong mengomel dan mengeluh karena pekerjaan atau
perjalanan mereka terganggu oleh jatuhnya hujan rintik-rintik yang tak kunjung
henti.
Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu
sunyi. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang yang melakukan perjalanan
melalui jalan kecil itu lebih suka menunda perjalanan, beristirahat di
warung-warung sambil minum arak hangat, di kuil-kuil atau setidaknya di bawah
pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan. Kalaupun ada
yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan rintik-rintik
menambah dingin hawa udara pagi itu, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat tiba
di tempat tujuan. Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, jupa serombongan kereta
lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan
suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diseling suara pengendara yang
menyumpah jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seekor kuda
kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk,
berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di
atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu
basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor. Penunggangnya sama dengan
kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali.
Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain
berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu
mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya
sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar, terbuat dari
anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan
amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat. Biarpun
keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak
menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling
seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang,
laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya
ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang
gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi
lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Beberapa
orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu. Laki-laki
itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia
menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi, seenaknya.
Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga
berhenti. Di timur, sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin.
Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata,
lalu mulutnya bernyanyi!
"Syarat memimpin negara dan dunia
adalah
sembilan kebenaran
memperbaiki
diri sendiri
menghargai
orang bijak dan pandai
mencinta
sanak keluarga
menghormat
pembesar tinggi
mengasihi
pembesar rendah
mencinta
rakyat seperti anak
mengundang
ahli-ahli bangunan
menghibur
pengunjung dari jauh
mengikat
persahabatan dengan negara lain!”
Sambil bernyanyi, laki-laki itu melakukan
gerakan-gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan
gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata itu,
menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini mengakibatkan
suara angin melengking yang berbeda-beda! Andaikata pada waktu itu terdapat
seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan
terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga
akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi,
kalau gerakan-gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia
akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat, tak seorang
pun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar
besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal
dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para
tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sehagaiSULING EMAS . Telah
belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu
ke mana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)
sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya
terbuat daripada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas
menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan
tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan maupun lawan. Mulia
seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi
penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah tua yang
menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut disebut
jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya
Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi
ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa. Hanya
seorang ahli kalau melihat gerakan-gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan
mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian
Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat. Gerakan-gerakannya tadi sama
sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat
Hong-in-bun-hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan
gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah
ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu
hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan
gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan maupun dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari
pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah
keindahan suasana. Lalu lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan
tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh, Suling Emas tidak bernyanyi lagi,
tidak pula meniup sulingnya. Bahkan sulingnya, kini tersembunyi di balik
bajunya yang penuh tambalan. Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang
lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri,
perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya
terganggu oleh batuk. Apabila serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya
membayangkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Dan rangkaian batuk yang
menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri.
Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi
daripada dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi daripada pikiran dan
hatinya sendiri! Kemanapun juga ia pergi, ke puncak-puncak gunung yang sunyi,
ke dalam guha-guha yang sepi di mana tidak nampak bayangan manusia lain,
pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah wanita-wanita
yang pernah merampas hatinya, selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan
kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri.
Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup
menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam
kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang
menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan
keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya. Mereka
itu, orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang
telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib
buruk dalam cinta kasih. Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai
sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula
pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula.
Kasihan gurunya Kim-mo-Taisu, pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas kembali menarik napas panjang,
tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di sebelah kanannya
mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari
sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya melenggut ngantuk di atas
punggung kudanya. Betapapun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban
asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu masih
mendingan! Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis yang
terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang
bertunangan! Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya
pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya
terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin
Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di
utara!
“Ahh, bodoh!” Suling Emas menyendal kendali
kudanya merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. “Engkau
sudah tua bangka berpikir yang bukan-bukan!” Di dalam hatinya ia menyumpahi
diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang
selalu mengejar dan menggodanya, kemanapun juga ia pergi, sehingga akhirnya
timbul batuk yang menggeroti dadanya.
Kalau sudah terganggu oleh kenang-kenangan
seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih, semangatnya
melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya
keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi! Sebuah
kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia
melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, di mana ia dapat mengaso
dan tidur memenuhi keinginan hatinya. Dibelokkannya kuda kurus itu ke kiri
memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput, seperti juga kuilnya sendiri
yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itupun kotor penuh rumput.
Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap
rumput hijau di depan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang
memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan kiri tanpa
mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan depan, ia
terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju membersihkan lantai di
sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut tidur! Hanya
dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas
sampai menjadi begini? Padahal, kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung
akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak
dikenal, bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi
izin istimewa kepada Suling Emas, untuk memasuki istana setiap saat sesuka
hatinya! Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang
paling berpengaruh di samping Kaisar Nan-cao, juga akan menerimanya dengan
tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu keponakan dari ketua
Beng-kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan memilih penghidupan
miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita“SULING EMAS” dan
cerita“CINTA BERNODA DARAH” tentu masih ingat betapa parah cinta kasih
yang gagal merobek hati Suling Emas.
Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi
menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina, amatlah
erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela
mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun, Suling Emas terpaksa
menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar di
dunia kang-ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apalagi karena mendiang ibunya
sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia
persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan
permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik
angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi
bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku
bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali
suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu,
rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua puluh tahun ia menyembunyikan diri
semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan
mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya
puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang!
Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan
orang? Mudah-mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut.
Mudah-mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik!
Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel
setengah tua? Gurunya dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel
yang gila! Berpikir sampai di sini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia
membuka sedikit matanya. Kebetulan sekali ia melihat dua orang pengemis tua
yang tadi duduk melenggut di sudut luar, kini keduanya saling berbisik dan
menoleh kepadanya. Kemudian, aneh sekali, dua orang pengemis tua itu
menghampirinya dan keduanya membuat gerakan aneh, yaitu tangan kiri menekan
dada kiri arah tempat jantung, dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk
lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.
Apa artinya itu? Mengapa mereka memberi salam
seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa mereka, juga yakin bahwa tidak
mungkin mereka mengenalnya. Akan tetapi mereka itu sudah menyalamnya, biarpun
salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu memberi salam karena mengira dia
pun seorang pengemis, jadi segolongan. Dan agaknya para pengemis di daerah
ini sudah lajim menyalam seorang “rekan” secara itu. Untuk menjaga jangan
sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu meniru gerakan mereka,
membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia meramkan mata dan
melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang wajahnya sejenak
berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya.
Agaknya seorang di antara dua pengemis tua itu
hendak bicara dan Suling Emas diam-diam merasa geli hatinya, akan tetapi
mendadak mereka berdua itu sudah meloncat dan di lain saat sudah mendengkur
lagi sambil duduk bersandar tembok. Gerakan mereka begitu cepat sehingga
diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua orang pengemis itu bukanlah
pengemis sembarangan, melainkan pengemis kang-ouw yang berilmu tinggi! Selagi
ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan bersikap seaneh itu, tiba-tiba
di luar terdengar suara langkah kaki orang disusul suara dalam bahasa Khitan
yang dimengerti pula oleh Suling Emas.
“Tidak salah lagi. Dia tentu berada di dalam
kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda kurus ini!” Demikian suara itu
dan diam-diam Suling Emas terkejut. Ia teringat bahwa kemarin ia melihat tiga
orang laki-laki bangsa Khitan yang berpakaian seperti perwira, menunggang kuda
dengan membalap. Mereka itu ketika bersimpang jalan, memandang penuh
perhatian kepadanya. Melihat perwira-perwira Khitan ini, Suling Emas teringat
kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada masa itu Kerajaan Sung
bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang Khitan di wilayah
Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak menaruh perhatian
lagi. Siapa kira, tiga orang itu agaknya menyusul dan mencarinya sampai di
sini!
Sedikit pun Suling Emas tak dapat menduga
mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan mulai timbul dugaan bahwa
tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain, maka ia tetap saja duduk
dengan sikap tenang. Tiga orang Khitan itu segera muncul di ruangan dalam kuil
itu. Seorang diantara mereka, yang menjadi pemimpin, bertubuh gemuk dengan
kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah yang sekarang berdiri dan menjura
kepadanya, memandang tajam, penuh selidik ke arah wajah di bawah topi sambil
berkata,
“Taihiap (Pendekar Besar), kami menjalankan
perintah Ratu kami yang minta dengan hormat agar Taihiap suka pergi berkunjung
sekarang juga bersama kami ke Khitan.”
Jantung Suling Emas berdebar keras. Baru
sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami ketegangan batin. Ratu Khitan
Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh Lin Lin? Mengapa ingin bertemu?
Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka di hatinya menjadi makin parah
saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil keputusan untuk menolak undangan
ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain orang mengetahui bahwa dia Suling
Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat mengenalnya?
“Apa.... apa yang kaumaksudkan? Aku tidak
mengerti omonganmu!” Ia menjawab lirih, pura-pura tidak mengerti kata-kata tadi
yang diucapkan dalam bahasa Khitan. Si Kumis Tebal itu saling lirik dengan dua
orang temannya, pada wajahnya terbayang keheranan dan keraguan. Ia segera
berkata dalam bahasa Han.
“Kami diutus junjungan kami untuk mengundang
Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga bersama kami.”
Tentu saja Suling Emas maklum bahwa Lin Lin
atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu.
Diam-diam ia kagum dan heran sekali akan kecerdikan orang-orang Khitan sehingga
berhasil mengenal dan mendapatkannya. “Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali
bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal siapa itu junjunganmu di Khitan.”
Kembali wajah gemuk itu dibayangi keraguan.
“Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi. Junjungan kami adalah Sang Ratu yang
mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya terima, tidak salah lagi Taihiap
orangnya. Kuda kurus itu.... dan bentuk tubuh Taihiap. Perintah junjungan kami
merupakan perintah besar yang harus dilaksanakan sampai berhasil, dan kami
sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari Taihiap!”
Diam-diam Suling Emas merasa terharu. Kembali
terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah
puteri angkat ayahnya yang ternyata kemudian sebagai Puteri Mahkota Khitan.
Mereka saling mencinta, namun tak mungkin menjadi suami isteri. Ia telah
memenuhi hasrat hatinya, memenuhi permohonan Lin Lin sebelum berpisah sampai
kini dari wanita yang tercinta itu. Ia telah secara diam-diam dan rahasia
berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam sampai satu bulan di dalam kamar
Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh cinta kasih, penuh kemesraan
selama sebulan, suami isteri di luar pernikahan yang tak mungkin dilakukan! Mereka
berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu. Namun hal itu tak dapat
dipertahankan terus. Demi menjaga nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk
menjaga nama baik keluarga. Terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan
meninggalkan dengan keputusan hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi
dengan wanita yang dikasihinya, hanya dengan hiburan bahwa wanita yang
dicintanya itu juga mencintanya sepenuh jiwa raga. Mereka bersumpah takkan
menikah dengan orang lain.
Belasan tahun hal itu terjadi dan telah lalu.
Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba-tiba Sang Ratu Yalina mengutus
perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai dapat, untuk mengundangnya ke
Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu sudah musnah habis?
“Aku yakin bahwa kalian tentu salah kira dan
menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku ini siapakah?” Suling Emas masih
berusaha mempertebal keraguan orang.
“Siapa lagi Taihiap ini kalau bukan
Kim-siauw-eng?”
“Aiiihhh....!“ Teriakan tertahan ini terdengar
dari sudut ruangan di mana dua orang kakek pengemis tadi duduk bersandar.
Berdebar keras jantung Suling Emas. Celaka,
benar-benar orang-orang Khitan ini bermata tajam. “Ah, apa-apaan ini?”
teriaknya. “Kalian benar-benar salah melihat orang! Aku bukan Taihiap, bukan
pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja jangan menggangguku.”
“Taihiap, salah atau tidak, kami harus
melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami terima kemarin dari atasan
kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis, bertopi lebar butut, menunggang
kuda kurus. Tidak salah lagi, Harap Taihiap tidak membikin repot kami dan suka,
kami antar ke Khitan sekarang juga.”
“Hemmm.... kalau aku tidak mau?”
“Kami mendapat perintah untuk mengawal Taihiap
ke Khitan, mau atau tidak, karena kami sudah mendapat wewenang, kalau perlu
kami akan memaksa Taihiap.” Sambil berkata demikian, Si Kumis Tebal itu
mengepal tinju dan melangkah dekat. Akan tetapi jelas bahwa ia gelisah
sehingga dahinya penuh keringat.
“Waahh....,
jangan menghina kaum
jembel....!”
Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah
berdiri menghadang di depan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi
Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.
Perwira Khitan yang gemuk itu memandang dengan
mata melotot, lalu mem bentak.
“Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa
mencampuri urusan kami?”
Kakek pengemis yang punggungnya bongkok
tersenyum lebar, lalu berkata.
“Melihat sekaum dihina orang, bagaimana kami
dapat tinggal diam? Apalagi kalau yang kalian hina adalah saudara tua kami yang
terhormat.” Kemudian kakek bongkok itu menoleh ke arah Suling Emas lalu
menjura. “Tianglo yang mulia silakan beristirahat yang enak, biarlah kami
berdua mewakili Tianglo memberi hajaran kepada anjing-anjing Khitan ini!” Setelah
berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata
mengejek, “Saudara tua kami tidak suka menerima undangan Ratu Khitan, mengapa
memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!”
“Keparat, berani menghina....?” Perwira gemuk
itu segera menghantam ke arah dada pengemis bongkok. Hantaman yang amat kuat
sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang menyambar keras. Si Pengemis Bongkok
maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat mengelak. Dua orang perwira lain yang
memegang toya juga segera menyerbu dan terjadilah perkelahian seru di dalam
kuil tua ini.
Ketika Suling Emas menyaksikan sikap kedua
orang pengemis tua itu terhadapnya, menjadi makin terheran-heran. Kalau para
perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal atau setidaknya menyangkanya
Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia orang lain dan menyebutnya
Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis yang mereka hormati. Tidak
beres kalau begini, pikirnya. Namun, masih mending dianggap seorang tokoh
pengemis daripada dikenal sebagai Suling Emas! Ia merasa kesal melihat dirinya
dijadikan sebab perkelahian, maka melihat lima orang itu bertanding seru, ia
lalu menggunakan kepandaiannya, sekali berkelebat ia sudah lenyap dari tempat
itu, meloncat keluar kuil dan di lain saat ia sudah menunggang kudanya yang
kurus. Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu memperlihatkan keasliannya
ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang perutnya, karena kuda kurus
itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan kakinya jelas bahwa kuda kurus
itu adalah seekor kuda pilihan!
Biarpun para perwira Khitan itu tiga orang
mengeroyok dua orang pengemis tua yang tubuhnya kurus kering malah seorang
diantaranya bongkok, namun mereka itu segera mendapat kenyataan bahwa dua orang
jembel tua itu benar-benar amat lihai! Untung bagi orang-orang Khitan itu
bahwa dua orang jembel tua itu agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka.
Seperti telah disebutkan tadi, pada masa itu, diantara Kerajaan Sung dan
Kerajaan Khitan terdapat persahabatan. Orang-orang Khitan tentu saja masih
dianggap bangsa yang “liar” akan tetapi karena orang-orang Khitan itu selalu
membuktikan disiplin yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan di wilayah
Sung, maka rakyat pun tidak membenci mereka. Hal ini terjadi setelah suku
bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina yang mengeluarkan peraturan-peraturan
keras untuk rakyatnya. Karena inilah, agaknya dua orang pengemis yang terang
bukan orang-orang sembarangan itu juga enggan untuk mencelakai tiga orang
perwira Khitan itu, melainkan hanya ingin mencegah mereka memaksa pengemis aneh
yang mereka sangka seorang “saudara tua” tadi.
“Eh, ke mana perginya Tianglo....?” Tiba-tiba
Si Bongkok berseru kaget dan keduanya segera menghentikan pertempuran, bahkan
tanpa berkata sesuatu dua orang pengemis itu sudah meloncat keluar dan sebentar
saja lenyap dari situ. Perwira gemuk itu mengejar bersama dua orang temannya,
namun setiba mereka di luar kuil, keadaan sepi saja. Tak nampak seorang pun
manusia. Juga kuda kurus tidak berada pula di depan kuil. Perwira gemuk
berkumis tebal itu mengerutkan keningnya, meraba-raba dagu lalu berkata,
“Sungguh meragukan apakah benar dia tadi
Suling Emas. Terang dia menolak, dan dua orang jembel tua bangka tadi sungguh
menjemukan, membikin sukar pelaksanaan tugas kita yang tidak mudah. Kalian
lekas beri laporan kepada pusat markas penyelidik di Tai-goan, katakan betapa
lihainya dua orang pengemis tua bangka tadi. Kalau dia tadi betul Suling Emas
dan sampai lolos, tentu kita semua akan menerima hukuman berat! Lekas
berangkat, aku akan mencoba mengikuti jejaknya....“
Dua orang perwira bawahan itu cepat pergi
menunggang kuda mereka menuju ke Tai-goan, sedangkan Si Perwira Gemuk juga
membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah timur setelah meneliti jejak
kaki kuda yang ditunggangi Suling Emas. Betapa heran hatinya ketika melihat
jejak kaki kuda itu tak pernah berhenti biarpun ia mengikutinya sampai matahari
condong ke barat. Mungkinkah kuda kurus kering mau mati itu dapat melakukan
perjalanan sebegitu jauhnya dan melihat jejaknya selalu berlari cepat?
Diam-diam Si Perwira Gemuk mengeluh dan mengomel. Sudah lebih dari lima tahun
ia ditugaskan mencari seorang yang bernama Suling Emas! Membawa pasukan, bahkan
kemudian akhir-akhir ini pencaharian dan penyelidikan diperhebat dengan
datangnya para pengawal jagoan dari Khitan yang berpusat di Tai-goan. Namun
selama ini, penyelidikannya selalu sia-sia belaka. Suling Emas yang
dimaksudkan ratunya itu seakan-akan lenyap ditelan bumi, atau memang orang itu
tidak pernah ada!
Kemarin, dia menerima berita dari seorang di
antara penyelidik yang disebar di mana-mana, bahwa seorang penunggang kuda
kurus yang perawakannya sama dengan orang yang selama ini dicari-cari. Dengan
penuh semangat dia bersama dua orang pembantunya melakukan penyelidikan dan
akhirnya bertemu dengan Suling Emas di dalam kuil itu. Aneh sekali caranya
orang itu melenyapkan diri, pikir Si Perwira Gemuk sambil mengepal tinju.
Mengapa tidak seorang pun di antara mereka ada yang tahu? Padahal, dua orang
pengemis tua itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Namun mereka pun
tidak melihat perginya orang yang disangka Suling Emas itu. Hal ini hanya
berarti bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian hebat. Cocok dengan gambaran
tentang diri Suling Emas yang oleh para pengawal istana disohorkan memiliki
kepandaian seperti dewa! Sekali ini harus berhasil, pikirnya. Harus berakhir
pengejaran dan penyelidikan yang bertahun-tahun ini!
Suling Emas membalapkan kudanya dan baru ia
membiarkan kudanya mengaso dan berjalan perlahan setelah lewat tengah hari. Ia
tidak jadi pergi ke Tai-goan. Ia harus melarikan diri, tak peduli ke mana, asal
jangan sampai bertemu dengan orang-orang Khitan itu. Kembali jatuh hujan
rintik-rintik, akan tetapi ia tidak peduli. Mengapa, Lin Lin berusaha keras
untuk mengundangnya ke Khitan? Apakah selama ini Lin Lin juga hidup menderita
batin seperti dia? Kasihan Lin Lin! Ia tahu betapa mendalam cinta kasih Lin
Lin kepadanya dan betapa perpisahan itu akan membuat Lin Lin hidup sebagai
Ratu Yalina, terkurung dalam istana, yang keras dan sunyi!
“Oughhh....!” Kembali serangkaian batuk
menyerang Suling Fmas. Selalu ia terserang batuk kalau pikirannya mengenang
masa lalu yang menimbulkan duka. Agaknya serangan batuk kali ini hebat sehingga
ia terbatuk-batuk dan tubuhnya berguncang-guncang di atas kuda, wajahnya
menjadi pucat, napasnya terengah-engah. Sudah lama ia terserang penyakit,
bertahun-tahun sudah, akan tetapi ia tidak pernah mempedulikannya, tidak mau
mencari obat. Biarlah demikian pikirnya setiap kali timbul keinginan mengobati
penyakitnya, kalau penyakit ini mengakibatkan kematian alangkah baiknya. Bebas
daripada duka nestapa dan derita batin!
Betapa besar kekuasaan asmara! Kuasa
menciptakan sorga maupun neraka dalam penghidupan manusia! Suling Emas yang
dahulu terkenal gagah perkasa, tahu akan segala filsafat hidup, menguasai
berbagai ilmu yang tinggi dan pelik-pelik, namun sekali tercengkeram asmara,
menjadi lemah seperti seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa, menjadi
begitu lemah sehingga tidak mampu menguasai dirinya sendiri!
Betapa ingin hatinya bertemu kembali dengan
Ratu Yalina! Betapa ingin hatinya dapat memandang wajah wanita yang
dikasihinya itu, dapat memegang tangannya. Ah, akan tetapi bagaimana mungkin?
Dia sudah tua, juga Lin Lin bukanlah orang muda lagi. Dahulupun di waktu
mereka masih muda, hal ini tak mungkin dilakukan tanpa mengakibatkan noda nama.
Apalagi sekarang, Lin Lin adalah seorang ratu yang disembah rakyatnya,
sedangkan dia.... dia seorang sebatang kara dan miskin. Betapa mungkin ia
menjerat Lin Lin ke dalam kehinaan?
“Tidak!” Suara hati terucapkan bibirnya. “Aku
harus bertahan! Dia tidak boleh merendahkan diri, tidak boleh bertemu
denganku!” Keputusan ini membuat Suling Emas seketika mengeluarkan sebuah
saputangan lebar dan ditutupnyalah sebagian mukanya dengan saputangan. Jangan
sampai orang-orang Khitan itu mengenalku!
Akan tetapi, keputusan yang amat berlawanan
dengan hasrat hati ini makin memayahkan keadaannya. Serasa ditusuk-tusuk
jantungnya sehingga tubuhnya makin lemah. Ia terbatuk-batuk lagi dan akhirnya
ia terguling roboh dari atas punggung kudanya, jatuh dan rebah di atas tanah
tak sadarkan diri! Kudanya mengeluarkan suara meringkik perlahan, berhenti dan
membalikkan tubuh. Dengan hidungnya kuda kurus itu mendengus-dengus menciumi
kepala Suling Emas. Biasanya kalau ia melakukan hal ini, majikannya lalu
mengelus-elus kepala dan lehernya. Akan tetapi sekarang, majikannya diam saja
tak bergerak. Hal ini menyusahkan hati si Kuda, yang kembali meringkik dan
menjauhkan diri, berlindung di bawah pohon dari serangan hujan yang makin
menderas sambil makan ujung-ujung rumput hijau.
Suling Emas tidak tahu berapa lama ia rebah
pingsan di tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, topi dan saputangannya masih
menutupi mukanya. Ketika ia siuman kembali, ia mendengar suara orang-orang
bergerak di dekatnya. Cepat Suling Emas membuka mata sambil menahan batuk yang
mulai menyerangnya lagi. Kiranya dua orang kakek pengemis yang tadi bertempur
melawan orang-orang Khitan di dalam kuil telah berada di dekatnya! Mereka itu
berlutut di kanan kirinya dengan sikap hormat sekali, dan kakek yang bongkok
berkata,
“Tianglo, maafkan kami yang baru sekarang
dapat bertemu dengan Tianglo, sehingga Tianglo mengalami keadaan begini
sengsara....”
“Hemmm...., kaukira aku ini....?” Suling Emas
bertanya perlahan akan tetapi tidak melanjutkan kata-katanya karena kembali ia
terbatuk-batuk.
“Ahh...., Tianglo, kali ini kami tidak akan
salah lihat! Engkau Yu Kang Tianglo yang mengenal baik tanda rahasia dengan
tangan dari perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang! Tianglo .... “
“Aku bukan Yu Kang Tianglo....!” Suling Emas
memotong dengan suara keras. Ia sudah mengenal siapa Yu Kang Tianglo. Dahulu
pernah ia bekerja sama, dengan Yu Kang, tiga puluh tahun yang lalu. Ketika itu
Yu Kang adalah seorang tokoh dari Khong-sim Kai-pang berusia tiga puluh tahun,
yang berusaha membalas dendam kematian ayahnya di tangan seorang di antara
Enam Iblis Dunia bernama It-gan Kai-ong. Karena ketika itu It-gan Kai-ong
merupakan seorang tokoh jahat, Suling Emas lalu turun tangan, membantu Yu Kang
merobohkan It-gan Kai-ong sehingga Yu Kang dapat membalas dendam (baca ceritaSULING
EMAS ).
Aneh sekali, pikirnya. Biarpun Yu Kang dan dia
memang memiliki bentuk tubuh yang hampir sama, akan tetapi seingatnya, Yu Kang
dahulu lebih tua dari padanya. Sedikitnya lebih tua lima tahun! Agaknya, Yu
Kang juga seperti dia, mengasingkan diri sehingga para pengemis ini tidak
dapat membedakan antara dia dan Yu Kang.
“Harap Tianglo mengingat akan perkumpulan kita
dan menaruh kasihan kepada kami! Semenjak merobobkan It-gan Kai-ong tiga puluh
tahun yang lalu, Tianglo menghilang. Kami mengira bahwa Tianglo khawatir akan
pembalasan It-gan Kai-ong maka sengaja mengasingkan diri. Akan tetapi setelah
belasan tahun yang lalu It-gan Kai-ong tewas mengapa Tianglo masih juga
mengasingkan diri?
Apakah Tianglo tidak kasihan kepada
saudara-saudara kita yang sudah terlalu lama kehilangan pemimpin yang
bijaksana?”
Selagi pengemis bongkok itu bicara dengan
penuh permohonan, diam-diam Suling Emas berpikir. Hemm, mengapa tidak? Biarlah
Yu Kang menyembunyikan diri dan dia yang menggantikannya! Pertama, karena ia
tahu bahwa perkumpulan Khong-sim Kai-pang adalah perkumpulan baik-baik sehingga
sudah sepatutnya kalau ia bela. Kedua, dengan menyamar menjadi Yu Kang, Ia
dapat menyembunyikan diri daripada pengejaran Lin Lin.
Pada saat itu, hujan turun lagi dengan
derasnya dan pengemis tua yang memegang tongkat berseru, “Ah, dasar bandel
monyet gendut itu! Dia berani muncul lagi!”
Suling Emas kaget dan segera bangun berdiri.
“Saudara-saudara, biarkanlah aku sendiri menghadapinya.” Ia berkata ketika
melihat dua orang pengemis tua itu degan marah hendak menerjang maju.
Mendengar ini., dua kakek itu menjadi girang dan menanti di kanan kiri.
Perwira Khitan yang gemuk itu melangkah lebar
menghampiri tempat itu, menempuh hujan. Ketika melihat orang yang dicarinya
berdiri di depannya dengan muka sebagian tertutup saputangan sedangkan dua
orang pengemis tua yang lihai tadi berdiri di kanan kirinya. Ia terkejut. Akan
tetapi segera ia menyeringai dan berkata. “Terpaksa saya harus mengikuti
Taihiap sampai di manapun juga. Saya mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini!”
Suling Emas bertanya. “Tugasmu adalah mencari
orang yang berjuluk Kim-siauw-eng, bukan?”
“Betul, Taihiap.”
“Dan engkau mengira bahwa akulah orang yang
kaucari itu?”
“Tidak bisa salah lagi, beginilah menurut
petunjuk.”
“Apakah engkau pernah bertemu dengan Suling
Emas?”
“Waah.... belum pernah. Akan tetapi,
petunjuknya cocok, dan akan ada seorang atasanku yang pernah bertemu dan akan
mengenal Taihiap.”
“Kalau begitu, jangan membandel. Katakan
kepada atasanmu bahwa yang kausangka Suling Emas itu sebetulnya adalah Yu Kang
Tianglo, ketua dari Khong-sim Kai-pang! Sudah, jangan engkau mengganggu kami
lagi!” Ia menoleh kepada dua orang pengemis tua sambil berkata, suaranya
memerintah, “Mari kita pergi!”
Si Perwira Khitan yang gendut itu terkejut dan
meragu. Ia melangkah maju.... tetapi....,”
Baru sampai sekian ucapannya, Suling Emas
mengulurkan tangannya dan perwira itu tiba-tiba berdiri kaku tak bergerak. Ia
telah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali! Melihat ini, dua orang
pengemis tua yang sudah kegirangan itu menjadi kagum sekali lalu mereka berdua
menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas sambil berkata, “Pangcu
(Ketua)....!”
Di balik saputangan, Suling Emas tersenyum
masam, lalu mengibaskan tangan baju dan berkata karena,.”Bangunlah dan mari
kita pergi.”
Dengan muka gembira dan taat sekali, dua orang
pengemis tua itu bangkit dan pergilah mereka bertiga menempuh hujan
meninggalkan perwira Khitan yang masih berdiri seperti patung. Ketika hujan
mulai berhenti, mereka sudah berteduh di dalam sebuah gubuk petani di
tengah ladang. Kuda kurus tunggangan Suling Emas tadi berjalan mengikuti
majikannya yang memanggilnya Siauw-ma, dan kini makan rumput di pinggir jalan
ketika majikannya duduk di dalam gubuk bersama dua orang kakek pengemis.
“Dan sekarang, ceritakanlah siapa kalian, dan
apa sebabnya kalian memaksa aku yang sudah puluhan tahun mengasingkan diri dan
tidak mau mencampuri urusan kai-pang (perkumpulan pengemis) atau mengapa
kalian mengganggu ketenanganku hidupku?”
Ketika dua orang kakek pengemis itu secara
bergantian mulai bercerita, Suling Emas mendengarkan penuturan yang amat
menarik hatinya sehingga ia menaruh perhatian. Tak disangkanya bahwa selama ia
mengasingkan diri telah terjadi banyak hal hebat di dunia. kang-ouw.
Selama puluhan tahun, ketika dunia kang-ouw
dikuasai oleh Enam Iblis Bumi Langit, dunia pengemis juga terlanda malapetaka
karena seorang di antara Enam Iblis, yaitu It-gan Kai-ong, merajai dunia
pengemis. Setelah akhirnya It-gan Kai-ong tewas, dunia pengemis yang sudah
terbebas dari kekuasaan jahat itu menjadi kacau, kehilangan pimpinan dan
terpecah-pecah karena terjadi perebutan kekuasaan antara golongan pengemis yang
baik dan golongan pengemis yang jahat. Golongan lain di dunia kang-ouw telah mendapatkan
pimpinan-pimpinan baru dan fihak yang jahat dapat dibersihkan. Akan tetapi
hanya golongan pengemis saja yang belum mempunyai pemimpin yang kuat sehingga
fihak yang jahat selalu menimbulkan kekacauan dan terjadilah
pertentangan-pertentangan hebat di antara mereka sendiri. Melihat kelemahan
dunia pengemis ini maka orang-orang jahat yang terusir dan tidak mendapatkan
tempat di dalam golongan lain, lalu menyelundup masuk ke dalam dunia pengemis
untuk mencari kedudukan.
Khong-sim Kai-pang adalah sebuah perkumpulan
pengemis yang besar dan berpengaruh, berpusat di kota Kang-hu. Sejak puluhan
tahun yang lalu Khong-sim Kai-pang termasuk golongan partai bersih yang
mengutamakan kebenaran dan selalu memusuhi kejahatan. Akan tetapi karena sudah
puluhan tahun tidak mempunyai ketua yang pandai Khong-sim Kai-pang kehilangan
pengaruhnya sebagai perkumpulan besar sehingga tidak dapat menjadi peranan
penting dalam dunia pengemis. Namun karena dahulu pernah dipimpin oleh
orang-orang bijaksana seperti Yu Kang Tianglo, mendiang ayah Yu Kang, para
anggautanya masih setia dan mereka inilah yang merasa prihatin melihat keadaan
dunia pengemis yang mulai dicengkeram oleh golongan hitam.
Beberapa kali para tokoh Khong-sim Kai-pang
berusaha untuk membersihkan dunia pengemis daripada pengaruh oknum-oknum
jahat, akan tetapi setiap kali usaha mereka gagal, bahkan banyak di antara
mereka yang tewas dalam bentrokan itu. Akhirnya, dari banyak tokoh Khong-sim
Kai-pang hanya tinggal dua orang tokoh yang termasuk orang-orang tingkat tinggi
di perkumpulan itu. Mereka ini adalah Gak-lokai si kakek jembel bongkok dan
Ciam-lokai si kakek jembel bertongkat. Dua orang kakek ini maklum bahwa kalau
Khong-sim Kaipang tidak segera mendapat pimpinan yang tepat dan bijaksana, akan
rusaklah keadaannya, tidak hanya keadaan perkumpulan mereka, juga dunia
pengemis akan terjatuh ke tangan orang jahat. Mereka teringat akan Yu Kang yang
puluhan tahun lamanya tak pernah muncul. Hanya putera mendiang Yu Jin Tianglo
itulah kiranya yang akan dapat membangun kembali Khong-sim Kai-pang. Maka
mulailah mereka berdua merantau dan mencari Yu Kang Tianglo sampai mereka
berjumpa dengan Suling Emas dan mengira bahwa pendekar ini adalah orang yang
mereka cari-cari.
“Demikianlah Pangcu. Tanpa mengenal lelah kami
berdua mencarimu sampai belasan tahun. Kami mendengar bahwa Tianglo merantau ke
dunia barat. Kami telah menyusulmu ke sana, hampir celaka di negeri asing itu.
Akan tetapi di sana kami mendengar bahwa Tianglo telah kembali ke timur
sehingga kami kembali menyusul ke sini, untung dapat bertemu dengan Tianglo di
kuil rusak. Agaknya Tuhan memang telah memanggil kembali Tianglo untuk memimpin
dunia pengemis, karena kalau Tianglo tidak menaruh kasihan, tentu dunia
pengemis akan terjatuh ke tangan iblis-iblis baru dan terseret ke dalam
golongan hitam!” Demikian mereka berdua menutup penuturan mereka.
Suling Emas termenung sejenak. Ia
mempertimbangkan keadaannya, kemudian menarik napas panjang dan berkata,
“Apakah kalian hendak menarik aku menduduki kursi ketua Khong-sim Kai-pang?
Aku yang sudah biasa merantau bebas seperti burung di udara, bagaimana bisa
terikat dan terkurung? Sungguh tak mungkin dapat kulakukan!” Ia
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Tidak usah sampai begitu, Pangcu!” kata kakek
bongkok yang bernama Gaklokai cepat-cepat. “Cukup asal pangcu memperkenalkan
diri sebagai ketua Khong-sim Kai-pang dan menghadiri pertemuan besar para
ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis yang akan diadakan di permulaan musim
semi. Pertama untuk membangun kembali semangat para anggauta Khong-sim
Kai-pang, kedua untuk mencegah dunia pengemis terjatuh ke tangan kaum sesat.
Mohon kiranya pangcu tidak akan tega membiarkan kehancuran Khong-sim Kai-pang
dan dunia pengemis umumnya.” Setelah berkata demikian kedua orang kakek itu
kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas.
Diam-diam Suling Emas terkenang kepada Yu In
Tianglo, seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang bijaksana dan putera ketua ini,
Yu Kang, seorang pengemis yang gagah perkasa. Ayah dan anak ini adalah
orang-orang gagah yang sudah sepatutnya dibela. Memang kasihan dan sayang
sekali kalau perkumpulan pengemis yang sudah terkenal sebagai golongan kaum
bersih ini sampai terseret ke dalam lembah kejahatan. Selain ini, juga ia
mendapat kesempatan untuk menyembunyikan diri dari kejaran orang-orang
Khitan! Kalau ia sudah mengaku sebagai ketua Khong-sim Kai-pang, mustahil
kalau para petugas yang diutus Lin Lin itu akan mengejarnya lagi dan
menyangkanya Suling Emas!
“Baiklah,” Akhirnya ia berkata. “Akan kucoba
sekuat tenagaku mencegah kaum sesat menguasai dunia pengemis. Akan tetapi aku
hanya mau menjadi pangcu dari Khong-sim Kai-pang dengan syarat, pertama apabila
semua sudah beres, aku tidak mau tetap tinggal di satu tempat. Urusan kai-pang
boleh kalian urus sedangkan aku tetap akan melakukan perantauan seperti
biasa, tanpa ada yang mengganggu. Kedua, aku tidak ingin memperkenalkan mukaku
kepada orang lain sehingga dalam kedudukan sebagai pangcu, aku akan selalu menutup
mukaku. Kalian pun harus bersumpah bahwa kau tidak pernah melihat mukaku.
Mengerti?”
Dua orang kakek pengemis yang merasa yakin
bahwa pendekar ini tentulah Yu Kang Tianglo menjadi gembira sekali. Dengan
bercucuran air mata saking girangnya mereka menyanggupi semua permintaan Suling
Emas.
“Cukup, sekarang pergilah kalian. Tunggu
kedatanganku di Kang-hu waktu bulan purnama yang akan datang. Bukankah pusat
Khong-sim Kai-pang masih berada di kuil tua, di luar kota Kang-hu?”
Dua orang kakek itu makin girang dan tidak
ragu-ragu lagi mereka sekarang bahwa orang ini tentulah Yu Kang putera
mendiang ketua Yu Jin Tianglo yang lenyap ketika berusia tiga belas tahun dan
ketika Khong-sim Kai-pang diserbu penjahat. Mereka mengangguk-angguk dan dengan
mata basah air mata saking terharunya kakek bongkok berkata, “Tentu saja masih
di sana, Pangcu. Siapa dapat melupakan kuil itu?
Suling Emas menarik napas panjang memberi
tanda dengan tangan agar kedua orang kakek itu pergi. Setelah mereka pergi,
baru ia melompat ke atas punggung kudanya menepuk-nepuk leher kudanya sambil
berkata lirih,
“Siauw-ma, mau tak mau kita harus mengalami
hal-hal baru di antara para pengemis itu. Terpaksa Siauw-ma, terpaksa....!
Ataukah.... lebih baik ke Khitan....? Ah, tidak....! Jangan! Biarlah untuk
sementara aku menjadi ketua pengemis!”
Berjalanlah kuda itu perlahan-lahan. Hujan
telah berhenti dan tak lama kemudian terdengarlah suara suling ditiup,
suaranya mengalun dan mengharukan, menggetarkan jiwa tertekan dan batin menderita.
***
Pada masa itu, Kerajaan Sung dipimpin oleh
kaisarnya yang ke dua, yaitu Sung Thai Cung. Sungguhpun kemajuan di jaman
Kerajaan Sung ini tidak dapat menandingi kerajaan-kerajaan yang lalu sebelum
jaman Lima Wangsa, namun jika dibandingkan dengan jaman pemerintahan Sung Thai
Cu kaisar pertama Kerajaan Sung, maka pemerintahan kaisar ke dua ini boleh
dibilang mengalami kemajuan. Hasil yang dicapai lebih besar. Ia telah berhasil
menjatuhkan Kerajaan Hou-han di Shan-si, Kerajaan Wu-yue di selatan, dan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya, kemudian memasukkan daerah kerajaan-kerajaan
yang ditaklukkan ini ke dalam wilayah Sung.
Namun harus diakui bahwa terhadap dua buah
kerajaan, yaitu kerajaan bangsa Khitan di timur laut yang terutama, dan
Kerajaan Nan-cao di daerah Yu-nan, Kaisar Sung Thai Cung tidak berdaya.
Mula-mula memang diusahakannya untuk menaklukkan dua buah kerajaan ini, namun
selalu gagal. Bahkan berkali-kali bala tentara Sung terpukul mundur sehingga
akhirnya kaisar tidak mendesak lagi. Hanya perang dan bentrokan kecil-kecilan
terjadi di perbatasan, namun tidak ada artinya. Bahkan akhirnya, Kerajaan Sung
mengambil sikap dan politik lunak, mendekati dua kerajaan ini dan bahkan
mengirim upeti-upeti sebagai tanda persahabatan!
Tidaklah amat mengherankan apabila ditinjau
keadaan dua kerajaan di sebelah utara dan sebelah selatan itu. Semenjak
dipegang oleh Ratu Yalina, Kerajaan Khitan menjadi sebuah kerajaan yang amat
kuat sehingga sukar dikalahkan, bahkan bangsa Khitan telah menaklukkan bangsa-bangsa
nomad lain yang berkeliaran di daerah utara sehingga kerajaannya menjadi makin
besar. Adapun Kerajaan Nan-cao, sungguhpun hanya merupakan kerajaan kecil,
namun yang berkuasa di situ adalah kaum Agama Beng-kauw yang mempunyai banyak
orang pandai, setia dan berdisiplin.
Karena cerita ini banyak menyangkut keadaan
Kerajaan Khitan, maka marilah kita menjenguk keadaan kerajaan di sebelah utara
dan timur laut itu. Bangsa Khitan adalah bangsa nomad yang besar, terdiri dari
orang-orang gagah perkasa dan ulet. Keadaan hidup mereka yang selalu
berpindah-pindah untuk mencari tempat yang lebih baik dan untuk menyesuaikan
diri dengan iklim yang buruk, kesukaran hidup berjuang dengan alam, membuat
mereka menjadi bangsa yang ulet, tabah dan pantang mundur.
Semenjak bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu
Yalina, kerajaan ini mengalami kemajuan pesat. Di dalam ceritaCINTA BERNODA
DARAH , diceritakan betapa Ratu Yalina ini di waktu keciinya diangkat
sebagai anak oleh seorang jenderal besar bangsa Han, dan di waktu remaja
menerima gemblengan ilmu silat dari orang-orang pandai. Bahkan sebelum menjadi
ratu, secara kebetulan sekali ia telah menemukan sebuah pusaka peninggalan
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw di Nan-cao, yaitu catatan ilmu yang
dahsyat, yang dirahasiakan. Setelah mewarisi ilmu yang disebut Cap-sha-sin-kun
(Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) inilah maka ilmu kepandaian Ratu Yalina
amat hebat dan sukar dicari tandingannya.
Di waktu masih remaja, Ratu Yalina ini pernah
mengalami derita batin yang takkan dapat ia lupakan selama hidup. Antara dia
dan Suling Emas, terjalin kasih asmara yang amat mendalam. Keadaanlah yang
memaksa mereka berpisah, yang tidak memungkinkan perjodohan di antara mereka.
Apa sebabnya? Bukan lain oleh karena kebetulan sekali bahwa Suling Emas adalah
“kakak angkatnya” sendiri, putera kandung ayah angkatnya, Jenderal Kam!
Sebetulnya hal ini bukanlah menjadi halangan benar bagi Puteri Yalina yang
ketika itu belum menjadi ratu. Akan tetapi Suling Emas yang berkeras tidak mau,
bukan hanya karena masih saudara angkat, juga terutama sekali karena Yalina
amat diperlukan oleh bangsanya untuk menjadi Ratu sehingga Suling Emas
mengalah dan pergi!
Akan tetapi, sebelum mereka saling berpisah
untuk puluhan tahun lamanya itu, Suling Emas telah memenuhi permohonan Ratu
Yalina untuk tinggal di dalam istananya selama sebulan. Menjadi suami di luar
nikah! Biarpun tidak berhasil menjadi suami isteri, namun mereka telah saling
menumpahkan cinta kasih mereka yang mendalam, tak kuasa menahan rindu hati yang
tak tercapai karena halangan keadaan lahir.
Betapa tersiksa dan menderita batin Ratu
Yalina ketika kekasihnya sudah pergi, ia mendapat kenyataan bahwa ia
mengandung! Peristiwa yang bagi setiap orang isteri merupakan kebahagiaan
mutlak ini, bagi Ratu Yalina bahkan merupakan derita dan siksa batin! Betapa
tidak? Ia seorang ratu! Seorang ratu dan bukan seorang isteri. Ia tidak
bersuami. Ia secara resmi masih seorang gadis! Dan ia mengandung! Kalau saja
Ratu Yalina tidak teringat akan kedudukannya, tidak ingat akan bangsanya yang
dikasihinya, tentu ia sudah melarikan diri dari Khitan, melarikan diri untuk
mencari Suling Emas, kekasih dan.... suaminya, biarpun hanya suami tidak sah!
Ratu Yalina merasa tersiksa. Ia berduka dan
juga malu. Bagaimana kalau nanti bangsanya mengetahui bahwa ratunya yang masih
belum menikah itu mengandung? Hampir saja Ratu Yalina putus asa. Lebih baik
mati membunuh diri daripada menanggung aib yang hebat! Akan tetapi, untung
baginya bahwa panglimanya, orang yang paling dipercayanya karena panglima ini
diam-diam juga mencintainya tahu akan rahasianya. Panglima ini Panglima Kayabu
namanya, seorang Khitan yang gagah perkasa, tahu bahwa antara ratunya dan
Suling Emas terjalin cinta kasih yang mendalam. Tahu pula bahwa demi bangsanya,
ratunya rela berkorban perasaan, berpisah dari kekasihnya. Ia tahu pula bahwa
Suling Emas ditahan dalam istana ratunya sampai sebulan sebelum mereka berdua
saling berpisah. Kemudian ia tahu pula bahwa ratunya telah mengandung!
Secara rahasia, dijumpailah Ratu Yalina. Pada
saat itulah terbukti kesetiaan Panglima Kayabu. Karena panglima ini telah dapat
menduga kesemuanya, sambil menangis Ratu Yalina membuka rahasianya dan
menyerahkan nasibnya ke tangan panglimanya yang juga menjadi sahabat
satu-satunya dalam menghadapi peristiwa hebat ini. Kayabu menghiburnya dan
memberi usul bahwa Sang Ratu seyogianya memelihara kandungannya dan secara
rahasia kelak melahirkan anak. Sementara itu, dia sendiri secara serentak akan
memillh seorang gadis Khitan dan mengawininya, kemudian kelak kalau Sang Ratu
melahirkan anak, anak itu akan diakuinya sebagai anaknya sendiri! Tentu saja
ia akan menyuruh isterinya itu bersikap seolah-olah mengandung sehingga kelak
tidak akan mencurigakan kalau “melahirkan” anak.
Rahasia yang hebat! Akan tetapi, karena tidak
ada jalan lain, demi untuk menjaga nama baiknya sebagai ratu, dan demi menjaga
agar bangsanya tidak menjadi kacau, Ratu Yalina melakukan sandiwara ini sesuai
dengan rencana Panglima Kayabu! Panglima ini, yang tentu saja luka dan patah
hatinya, memaksa diri memilih dan mengawini seorang gadis Khitan yang cantik.
Semua berjalan sesuai dengan rencana, yaitu
Ratu Yalina dapat menyembunyikan keadaannya yang mengandung dari mata
rakyatnya. Di lain fihak, isteri Panglima Kayabu “pura-pura mengandung”. Akan
tetapi, ketika. tiba waktunya Sang Ratu melahirkan, di dalam kamar rahasia dan
secara rahasia dihadiri oleh isteri Panglima Kayabu dan seorang dukun beranak,
terjadilah hal yang sama sekali di luar dugaan mereka. Sang Ratu Yalina
melahirkan sepasang anak kembar! Pertama seorang bayi laki-laki dan kedua
seorang bayi perempuan!
Kalau saja kelahiran macam ini tidak terjadi
di Khitan, tentu tidak akan mendatangkan kebingungan. Akan tetapi, telah
menjadi kepercayaan umum di Khitan bahwa kembar laki-laki dan perempuan
merupakan pertanda bahwa kedua anak itu adalah titisan atau penjelmaan suami
isteri, dan karenanya, kedua orang anak itu harus dipisahkan dan kelak harus
dijodohkan sebagai suami isteri! Ketika dukun beranak dan isteri Panglima
Kayabu menyatakan hal ini, yang dingerti pula oleh Ratu Yalina, ratu yang
malang ini menangis sedih dan roboh pingsan. Isteri Panglima Kayabu menjadi
sibuk dan cepat-cepat memberi laporan secara diam-diam kepada suaminya.
Panglima Kayabu cepat memasuki kamar itu dan untung Ratu Yalina sudah siuman
dan kini ratu itu menangis terisak-isak di atas pembaringan.
“Harap Paduka jangan gelisah.” panglima yang
setia itu menghibur.
“Aduh.... Kayabu.... lebih baik mati saja aku
kalau begini....!” Yalina menangis. “Kayabu, kautolonglah aku.... kaucarilah
dia, suruh datang ke sini, biar dia yang akan memutuskan keadaan ini....”
Panglima Kayabu mengerutkan keningnya. Ia
maklum siapa yang dimaksudkan ratunya itu. Akan tetapi dalam keadaan seperti
itu, kalau mencari dan memanggil Suling Emas, bukan merupakan hal yang baik.
Kalau terpaksa rahasia ini dibuka, tentu akan timbul kegemparan di kalangan
rakyat, tentu akan menimbulkan aib dan hal ini amat merugikan karena pada waktu
itu, Khitan dikepung musuh dari selatan dan dari barat.
“Harap Paduka tenang saja. Biarlah hamba
mengakui anak laki-laki ini sebagai putera hamba, sedangkan anak perempuan
ini, secara diam-diam kita singkirkan agar dipelihara orang lain dan kelak kalau
mereka berdua sudah besar, mudah saja hamba menariknya sebagai mantu.”
Ucapan ini mengiris jantung Yalina. Dengan
sepasang mata penuh air mata dan dengan muka pucat ia mengulurkan kedua tangan
ke depan dan berkata kepada dukun beranak yang sedang mengurus dua orang anak
yang menangis nyaring seperti berlumba itu.
“Ke sinikan anak-anakku.... biarlah aku
melihat mereka.... biarkan aku mencium dan memeluk mereka.... ahhh .... !” Ia
menangis tersedu-sedu. Isteri Panglima Kayabu ikut menangis, demikian pula
dukun beranak, wanita tua itu yang merasa terharu sekali. Kayabu sendiri,
seorang panglima gagah perkasa yang pantang mengeluarkan air mata, merasa
betapa sepasang matanya panas dan jantungnya serasa diremas. Wanita yang
pernah menjatuhkan hatinya itu kini demikian sengsara, sama sekali tidak
seperti seorang ratu yang berwibawa, sama sekali bukan seperti seorang wanita
yang ia tahu amat perkasa dan sakti, melainkan seperti seorang wanita yang
lemah, seorang wanita yang ditinggalkan kekasih, seorang ibu yang rindu akan
anak-anaknya!
“Anakku.... anakku.... ! Bagaimana aku dapat
berpisah dari mereka ini....“ Ratu Yalina mencium kedua anaknya. Hampir ia
pingsan saking sedihnya ketika melihat bahwa anaknya yang laki-laki memiliki
mata dan hidung kekasihnya! “Anakku-anakku.... di mana Ayahmu.... ?
Anak-anakku.... bagaimana kalian tega meninggalkan Ibumu....?” Ratu Yalina
mencium lagi, kemudian menjerit lirih dan roboh pingsan sambil memeluk kedua
anaknya yang mulai menangis lagi.
“Cepat-cepat, bawa pulang anak laki-laki
itu!” kata Panglima Kayabu kepada isterinya. Untung bahwa peristiwa kelahiran
itu terjadinya pada waktu tengah malam sehingga tidak sampai diketahui orang
lain. “Dan kau, Bibi, dapatkah engkau membantu? Aku harus dapat menyerahkan
anak perempuan ini kepada seorang yang boleh dipercaya!”
“Hamba.... hamba sanggup membantu....
hamba.... mempunyai keponakan. Biarlah puteri ini dipeliharanya, hamba tanggung
takkan bocor rahasia ini....“ kata Si Dukun Beranak sambil terisak menangis.
“Tentu saja jangan sampai bocor. Kalau bocor,
engkau sekeluargamu akan dijatuhi hukuman mati!” Kata Kayabu yang diam-diam
merasa girang bahwa anak perempuan itu ada yang megurusnya. Tentu saja tidak
sukar baginya memerintahkan siapa saja memelihara anak itu, akan tetapi
justeru sukarnya, jangan sampai ada yang tahu akan rahasia besar ini.
Lewat tengah malam, kamar Ratu Yalina menjadi
sunyi kembali. Kedua orang anak yang baru lahir itu sudah dibawa pergi dari
kamar. Yang laki-laki dibawa oleh isteri Panglima Kayabu, sedangkan yang
perempuan dibawa pergi oleh dukun beranak yang keluar dari istana melalui
pintu rahasia di sebelah belakang, lalu nenek tua itu menghilang di dalam
gelap.
Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali para penjaga istana menjadi gempar ketika menemukan nenek dukun beranak
itu menggeletak tak bernyawa lagi di sebelah belakang istana!
Tentu saja Panglima Kayabu yang mendengar
laporan ini merasa seakan-akan dicabut jantungnya saking kaget dan heran. Cepat
ia sendiri mendatangi tempat pembunuhan itu, sehingga para pengawal menjadi
heran mengapa panglima besar mereka begitu menaruh perhatian atas kematian
seorang nenek dukun beranak.
“Pembunuhan terjadi di dekat istana, hal ini
amat gawat demi keselamatan Ratu.” kata panglima yang cerdik ini.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika
memeriksa keadaan mayat dukun beranak itu. Panglima Kayabu mendapat kenyataan
bahwa tubuh itu tidak terluka sama sekali, akan tetapi tanda-tanda biru di
pelipis menyatakan bahwa nenek ini menderita luka hebat di dalam kepala akibat
pukulan yang dahsyat, mengandung hawa sakti, pukulan seorang ahli yang memiliki
kepandaian tinggi. Tentang anak perempuan yang baru dilahirkan semalam, tidak
ada tanda-tanda dan bekas-bekasnya sama sekali!
Kematian nenek ini sebenarnya malah melegakan
hati Kayabu karena lenyaplah kekhawatiran akan bocornya rahasia besar itu. Akan
tetapi kalau ia mengingat akan lenyapnya anak perempuan. Ia mengerutkan
keningnya dan menjadi bingung! Tak mungkin ia dapat mengumumkan kehilangan
anak perempuan itu dan menyuruh anak buahnya menyelidiki atau mencari. Maka
secara diam-diam ia sendiri melakukan penyelidikan dan mencari, namun sia-sia
belaka. Anak perempuan itu lenyap tak meninggalkan bekas sama sekali, bahkan
di seluruh Khitan tidak terdapat seorang anak bayi perempuan yang baru
dilahirkan. Jelas bahwa anak itu dibawa oleh pembunuh nenek dukun, dibawa
keluar dari Khitan atau dibawa sembunyi di tempat rahasia. Akan tetapi siapakah
pembawanya?
Hal ini menjadi rahasia dan teka-teki yang
tak terpecahkan. Dan tentu saja hal ini menambah kesengsaraan hati Ratu Yalina.
Memang agak terhibur hatinya melihat Talibu, yaitu putera kandungnya yang
menjadi putera Panglima Kayabu. Ketika Talibu berusia lima tahun, secara resmi
ia diangkat anak oleh Ratu Yalina! Upacara pengangkatan ini dilakukan secara
resmi dan dirayakan oleh semua orang Khitan. Gembiralah hati bangsa Khitan yang
tadinya merasa prlhatin melihat ratu mereka yang terkasih itu tidak mau
menikah. Akan tetapi setelah melihat Sang Ratu itu mengangkat putera, dan
putera itu pun bukan anak orang biasa melainkan putera Panglima Besar Kayabu,
legalah hati mereka. Kini mereka telah mempunyai seorang pangeran mahkota!
Tentu saja tak seorang pun di antara mereka tahu betapa hati Sang Ratu itu jauh
lebih lega dan bahagia daripada mereka. Diam-diam hati Ratu Yalina bahagia
sekali karena pengangkatan Talibu sebagai puteranya itu merupakan Pesta
pertemuan dan berkumpulnya kembali secara resmi antara seorang ibu dan anak
kandungnya!
Pada waktu itu panglima Kayabu sendiri telah
mempunyai seorang anak perempuan terlahir ketika Talibu berusia dua tahun. Anak
perempuan yang cantik ini bernama Puteri Mimi yang menjadi “adik kandung” dan
teman bermain Pangeran Talibu sejak kecil. Kalau melihat keadaan Puteranya
yang kini benar-benar telah menjadi puteranya, bahkan menjadi putera mahkota,
bahagialah hati Ratu Yalina. Akan tetapi makin besar anak itu, makin gelisah
dan prihatin hatinya. Bagaimana ia tidak akan merasa gelisah dan prihatin
kalau mengingat bahwa puteranya ini telah kehilangan saudara kembarnya, telah
kehilangan calon “jodohnya”? Bagaimana takkan gelisah dan bingung hatinya
karena menurut kepercayaan bangsanya, anak kembar laki perempuan kalau tidak
dijodohkan, tentu akan hidup menderita dan mengalami malapetaka? Kalau teringat
akan hal ini, Ratu Yalina menjadi sedih sekali dan teringat kekasihnya, Suling
Emas, ayah daripada kedua orang anaknya itu!
Kekhawatiran akan hilangnya anak perempuannya
itulah yang membuat akhirnya Ratu Yalina berkeras memberi perintah kepada
Panglima Kayabu untuk berusaha mencari dan memanggil Suling Emas ke Khitan.
Apapun yang terjadi, ayah dari anak-anaknya itulah yang harus mengambil
keputusan! Ayah kandung anak-anak itu sendiri yang harus menentukan nasib
sepasang anak kembar yang terpisah secara ajaib itu. Dan Panglima Kayabu hanya
mentaati perintah, mengirim pasukan dan pembantupembantunya yang cukup pandai
untuk mencari dan memanggil Suling Emas. Bahkan setelah bertahun-tahun gagal menjumpai
Suling Emas dan Pangeran Talibu sudah makin besar, Ratu Yalina menulis segulung
surat untuk diberikan kepada Suling Emas kalau orang-orangnya berhasil
menjumpai pendekar itu.
Sementara itu, Pangeran Talibu makin besar
makin gagah dan tampan. Semua rakyat mencinta pangeran ini. Selain tampan, juga
putera mahkota ini digembleng ilmu surat dan ilmu silat. Tidak hanya Panglima
Kayabu yang menurunkan kepandaiannya kepada putera mahkota, juga Sang Ratu
Yalina sendiri menurunkan ilmu silat saktinya Yaitu Khong-in-ban-kin dan
Khong-in-liu-san. Adapun ilmu silat ajaib Cap-sha-sin-kun ia ajarkan pula
secara hati-hati dan perlahan-lahan karena ilmu ini bukan ilmu sembarangan
dan kalau belum matang keadaan seorang ahli silat, tak mungkin dapat mempelaiarinya
dengan sempurna.
Sebelum kita melanjutkan cerita ini, lebih
baik kita menengok keadaan anak perempuan yang lenyap tanpa bekas itu. Ke
manakah menghilangnya anak perempan itu, adik kembar Pangeran Talibu? Dan
apakah yang terjadi lewat tengah malam itu di belakang istana Ratu Yalina?
Ketika itu, nenek dukun beranak memondong bayi
perempuan yang dibungkusnya dengan selimut. Ia bergegas keluar dari
pintu rahasia yang membawanya
keluar dari istana
dan muncul diluar
taman bunga.
Nenek ini tersenyum-senyum girang. Peristiwa aneh yang ia alami di dalam
istana ini tak dapat tidak akan mendatangkan untung besar kepadanya. Betapa
tidak? Rahasia Sang Ratu berada di
tangannya. Yang dibungkus selimut ini merupakan sebagian rahasia besar itu.
Sebagai orang yang mengetahui rahasia itu tentu hidupnya terjamin. Dan juga
keponakannya akan hidup mewah dan mulia kelak, sebagai pengasuh dan pemelihara
puteri Sang Ratu! Nenek ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada
bayangan berkelebat mengikutinya.
Tiba-tiba nenek itu berhenti melangkah, kaget
memandang ke depan. Di depannya telah berdiri sesosok bayangan orang. Malam itu
bulan sepotong menyinarkan cahayanya yang suram, akan tetapi cukup untuk membuat
ia dapat melihat orang yang seperti setan tiba-tiba saja berdiri di depannya.
Seorang perempuan! Seorang perempuan berpakaian serba putih! Tubuhnya ramping
padat, dengan lekuk-lengkung mencolok. Pendeknya tubuh seorang wanita muda
yang montok, tubuh yang sedang mekar dalam usia muda. Akan tetapi muka dan
kepala wanita muda ini tertutup anyaman benang sutera hitam Membuat wajahnya
hanya nampak bayangannya saja, bayangan seram sekali karena sepasang matanya
mengeluarkan sinar seperti bukan mata manusia! Lebih tepat kalau mata itu
dimiliki iblis, atau setidaknya sepasang mata harimau liar!
“Apa... eh, siapa...?” Nenek ini tergagap dan
ketakutan.
“Hi-hik!” Wanita aneh itu terkekeh dan sekali
tangannya merenggut, anak dalam buntalan selimut itu telah berada di tangannya.
Nenek dukun beranak terkejut dan kemarahannya mengatasi takutnya, kedua
tangannya diulur hendak merampas kembali anak itu.
“Huh, macam engkau mana ada harga merawat anak
Lin Lin?” Tangan kirinya menyambar ke depan. Terdengar bunyi “krekk!” dan tubuh
nenek itu terguling tak bernyawa lagi! Sambil tertawa-tawa yang mengatasi
tangis anak perempuan itu, wanita aneh itu sekali berkelebat lenyap ke dalam
gelap. Suara ketawanya yang nyaring melengking amat menyeramkan, memecah kesunyian
malam dan pasti akan membuat hati orang yang bagaimana tabahnya tergetar.
Siapakah wanita aneh yang menyeramkan ini?
Melihat gerak-geriknya ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa
hebatnya. Larinya amat cepat, seperti terbang saja sehingga ketika fajar
menyingsing keesokan harinya, ia sudah berada di tempat yang ratusan li jauhnya
dari Kota Raja Khitan. Ketika itu ia masih berlari terus memasuki sebuah hutan
lebat, jauh di sebelah selatan. Orang tentu akan heran sekali melihat bahwa dia
adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya! Wajahnya
cantik jelita, tubuhnya ramping padat, pakaiannya serba putih terbuat dari
sutera halus yang membungkus ketat tubuhnya, membayangkan lengkung lekuk
tubuhnya yang menggairahkan. Anehnya muka dan kepalanya tersembunyi di
belakang kain penutup atau “tirai” sulaman benang sutera hitam sehingga
garis-garis mukanya yang cantik hanya nampak remang-remang. Akan tetapi,
sepasang mata di balik tirai itu jelas tampak berkilat-kilat menakutkan, mata
yang jeli dan indah, namun dengan sinar mata yang liar dan mengerikan.
Wanita ini sesungguhnya bukan orang asing bagi
Ratu Yalina. Dia ini adalah kakak angkatnya sendiri, puteri ayah angkatnya.
Mendiang ayah angkat Ratu Yalina, yang bernama Jenderal Kam Si Ek, seorang
jenderal dari Hou-han yang perkasa dan pandai, mula-mula menikah dengan puteri
Beng-kauwcu, yang bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik
Beracun) dan berputera Suling Emas! Kemudian Jenderal Kam bererai dari Liu Lu
Sian, menikah lagi dan mempunyai dua orang anak. Pertama adalah Kam Bu Sin yang
kini menjadi mantu dari ketua Beng-kauw yang baru dan bersama istrinya tinggal
di selatan. Adapun yang kedua adalah Kam Sian Eng, seorang anak perempuan yang
cantik. Sayang sekali bahwa, seperti juga halnya Ratu Yalina, Kam Sian Eng ini
gagal dalam asmara dan mengalami penderitaan batin yang lebih parah lagi. Gadis
yang bernasib malang ini telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang
laki-laki yang jahat, putera pangeran dan bernama Suma Boan. Dapat dibayangkan
betapa hancur hatinya ketika Kam Sian Eng akhirnya mendapat kenyataan betapa
laki-laki yang dicintainya itu membalasnya dengan kekejian, bahkan
memperkosanya. Kehancuran cinta kasih yang diinjak-injak oleh kekasihnya ini
membuat Kam Sian Eng menjadi tertekan batinnya yang membuatnya seperti gila!
(Baca ceritaCINTA BERNODA DARAH )
Secara kebetulan, Kam Sian Eng menemukan
kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (Ibu kandung Suling
Emas) dalam istana bawah tanah.
Dalam keadaan setengah gila ia mempelajari
semua kitab-kitab itu setelah berhasil membunuh Suma Boan bekas kekasihnya
itu. Ia menyembunyikan diri dan tekun mempelajari kitab-kitab pusaka, yaitu
kitab-kitab pusaka yang dahulu dicuri dari partai-partai persilatan besar oleh
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Tentu saja Kam Sian Eng yang memang tadinya sudah
memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi, makin lama menjadi makin hebat
kepandaiannya sehingga sukar untuk di bayangkan lagi. Hebat dan juga
mengerikan karena pikirannya yang setengah gila itu membuat ia kadang-kadang
mempelajari ilmu kesaktian secara keliru yang akibatnya membuatnya menciptakan
ilmu-ilmu yang dahsyat seperti ilmu iblis!
Wanita aneh yang muncul di Khitan dan menculik
anak perempuan Ratu Yalina itu bukan lain adalah Kam Sian
Eng! Tadinya,
selagi pikirannya waras dan ia terkenang kepada adik angkatnya di Khitan, Kam
Sian Eng bermaksud mengunjungi adiknya yang kini menjadi ratu itu. Secara
kebetulan sekali ia tiba di Khitan pada malam hari dan dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi ia memasuki istana dan alangkah herannya ketika ia
melihat betapa dalam kamar rahasia itu adik angkatnya yang menjadi Ratu Khitan
sedang melahirkan!
Bagaikan disambar petir rasa
hati Kam Sian Eng. Dengan air mata
bercucuran ia melihat keadaan adik angkatnya dari tempat sembunyinya di atas
genteng. Terbayanglah ia akan pengalamannya sendiri. Seperti adik angkatnya
ini, ia pun pernah melahirkan anak tanpa ayah! Perbuatan Suma Boan terhadap
dirinya telah membuatnya mengandung. Inilah sebetulnya yang membuat batinnya
tertekan, membuat ia menjadi makin gila, membuat ia menyembunyikan diri dari
dunia ramai, seorang diri di dalam istana bawah tanah. Di situ pula ia seorang
diri melahirkan seorang anak laki-laki! Hal itu telah terjadi setahun yang
lalu. Dan untuk merawat anaknya terpaksa ia pergi menculik seorang wanita yang
mempunyai anak kecil dan memaksa wanita itu untuk selamanya tinggal di dalam
istana bawah tanah untuk menyusul dan merawat anaknya! Betapa sedih hati ibu
muda yang diculik itu, sukarlah untuk diceritakan. Ia dipaksa iblis betina itu
bercerai dari anaknya yang baru berusia dua bulan, untuk dikeram dan hidup di
bawah tanah! Akan tetapi, Kam Sian Eng bersikap baik kepadanya dan anak kecil
yang mungil itupun sedikit banyak menghibur hatinya, menjadi pengganti anaknya
sendiri, seorang anak laki-laki yang entah kapan dapat ia lihat kembali.
Kenangan yang pahit itu membuat penyakit gila
Sian Eng kambuh pada saat ia mengintai di kamar Ratu Yalina. Ia mendengarkan
semua percakapan, kemudian membatalkan pertemuannya dengan Ratu Yalina dan
mengikuti nenek dukun beranak, membunuhnya dan menculik anak perempuan adik
angkatnya! Ia sama sekali tidak peduli bahwa perbuatannya ini tentu akan
menghancurkan hati Yalina yang kehilangan seorang diantara anak kembarnya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati
ibu muda yang merawat anak Kam Sian Eng ketika pada hari itu wanita yang
dianggapnya iblis betina, amat ditakuti akan tetapi diam-diam juga amat
dikasihinya itu tiba-tiba pulang membawa seorang anak perempuan yang masih
merah kulitnya!
“Ya Tuhan! Kouwnio (Nona), apa pula yang
kaulakukan ini? Anak siapa ini? Mana Ibunya ... ?” Wanita itu berseru sambil
membelalakkan matanya. Bahkan Suma Kiat, anak laki-laki berusia setahun yang
digendongnya juga memandang dengan mata terbelalak kepada bayi yang dipondong
ibunya.
Kam Sian Eng tertawa. Berhadapan dengan orang
luar, wanita ini tidak pernah tertawa, akan tetapi terhadap wanita yang
diculik dan dipaksanya merawat anaknya itu ia bersikap seperti saudara. Hal ini
tidak mengherankan oleh karena memang hanya Phang Bi Li ibu muda inilah yang
menjadi temannya di dalam tempat rahasia di bawah tanah.
“Hi-hik! Enci Bi Li, kau kubawakan seorang
keponakan baru, seorang bayi perempuan yang mungil untuk menjadi teman bermain
Kiat-ji (Anak Kiat) kelak. Kaulihat, lucu dan mungil, bukan? Namanya... hemm,
coba kucarikan yang baik... Kwi Lan, ya... Kwi Lan. Kam Kwi Lan. Hi-hi-hik!”
Wanita itu segera menerima anak perempuan
tadi dari tangan Sian Eng. Memang benar, anak itu mungil dan cantik sekali.
Phang Bi Li menahan isak teringat akan anaknya sendiri yang ditinggalkan
dalam usia dua bulan! Segera Kwi Lan, anak itu merampas hatinya dan dirawatnya
penuh cinta kasih seperti anaknya sendiri. Juga Kam Sian Eng biarpun
kadang-kadang kumat gilanya, tak pernah lupa akan segala keperluan Kwi Lan
sehingga karena Bi Li sudah tidak menyusui Kiat-ji lagi, wanita aneh itu lalu
merampas lembu betina, dibawa masuk ke dalam istana bawah tanah dan dipelihara
untuk diambil air susunya.
Karena tempat persembunyian itu merupakan
gudang pusaka-pusaka berupa kitab pelajaran pelbagai ilmu silat yang tinggi dan
aneh-aneh, maka kedua anak itu, Kiat-ji dan Kwi Lan, semenjak kecil digembleng
oleh Kam Sian Eng. Bahkan Bi Li, wanita dusun yang tadinya hanya seorang wanita
muda yang lemah, karena setiap hari berkumpul dengan Sian Eng, mulai pula
memperhatikan dan belajar ilmu silat!
Setelah dua orang anak itu mulai besar,
berusia sepuluh tahun, Phang Bi Li menyatakan kekhawatirannya. “Sian-kouwnio,
aku tidak peduli kalau kau akan mengeram dirimu selama hidup dalam gedung
kuburan ini! Juga aku tidak memikirkan lagi diriku sendiri yang sudah kaupaksa
tinggal bersamamu di sini. Aku anggap diriku sudah mati seperti engkau sendiri
mati dari dunia luar. Akan tetapi, engkau harus ingat kepada puteramu! Juga
harus ingat kepada Kwi Lan. Dua orang anak itu, anak-anak yang tidak punya
dosa, yang tidak tahu apa-apa, mengapa hendak kau kubur hidup-hidup di tempat
ini? Mereka berhak menikmati hidup di atas tanah di dunia ramai seperti semua
anak lain di dunia ini !”
“Hik-hik, engkau salah besar, Enci Bi Li!
Tempat ini aman tentram, penuh damai dan di sini kita tidak usah
mengkhawatirkan apa-apa. Sekali kita muncul di atas tanah dan bertemu dengan
orang, akan timbullah keributan dan malapetaka. Bergaul dengan manusia di dunia
ramai berarti terjun ke dalam jurang penuh keributan dan penderitaan!” Setelah
berkata demikian, tiba-tiba Sian Eng menangis tersedu-sedu dan tidak mau bicara
lagi kepada Bi Li!
Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya Bi Li
tidak pernah bosan untuk membujuk dan membujuk lagi. Apa yang keluar dari mulut
wanita ini memang sesungguhnya suara yang keluar dari hatinya. Ia sudah putus
asa untuk dirinya sendiri. Ia sudah tidak ingin bertemu dengan keluarganya,
karena oleh suami
dan keluarganya
tentu ia dianggap seorang wanita durjana yang meninggalkan anak yang masih
kecil. Selain itu! ia pun, amat mencintai Kwi Lan yang dianggapnya anak
sendiri. Ia tidak suka kepada Suma Kiat sungguhpun ketika masih kecil anak itu
menyusu dadanya. Anak ini amat nakal.
“Tidak! Aku tidak sudi hidup di atas tanah
bergaul dengan dunia ramai yang palsu dan keji!” Sian Eng berkali-kali menjerit
marah kalau dibujuk oleh Bi Li.
“Kalau kau tidak mau aku pun tidak memaksa
atau menyuruhmu keluar dari kuburan ini Sian-kouwnio”. Aku hanya
menuntut untuk
dua orang anak itu. Kenapa engkau begini angkuh? Kalau kita membuat bangunan
sederhana di atas kuburan ini, dan memembiarkan dua orang anak ini hidup di
udara bebas, dan engkau sendiri sembunyi di sini, bukankah bagimu sama juga?
Kalau kau ingin bertemu dengan kami bertiga tinggal panggil saja dan kami tentu
sewaktu-waktu akan turun ke sini. Sian-kouwnio! biarpun engkau tidak pernah
bercerita aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita sakti keturunan orang
gagah yang berkedudukan tinggi. Aku dapat menduga bahwa dahulu kau telah
mengalami tekanan batin dan menderita patah hati. Akan tetapi, mengapa karena
itu engkau lalu hendak menghukum puteramu sendiri dan Kwi Lan yang tidak dosa?”
Akhirnya dibujuk oleh Bi Li yang diperkuat
oleh kedua anak itu yang selalu rewel minta diperbolehkan melihat keadaan di luar,
terpaksa Sian Eng mengalah.
“Akan tetapi aku pesan, tidak boleh kalian
meninggalkan hutan di atas Istana ini. Kalau melanggar aku takkan mengampuni
nyawa kalian. Biar Kiat Ji sendiri akan kubunuh mampus kalau berani melanggar!”
ancamnya dengan suara bengis dan mata bersinar ganas.
Akan tetapi ancaman yang akan membuat orang
lain merasa ngeri ini, seperti tidak didengar oleh Phang Bi Li, Suma Kiat dan
Kwi Lan. Mereka bertiga sudah menjadi girang sekali. Segera mereka dibantu pula
oleh Sian Eng yang masih terus mengomel sepanjang hari keluar dari pintu
rahasia dan mulai membangun sebuah pondok sederhana di dalam hutan di atas
istana bawah tanah itu.
Cara Kam Sian Eng menggembleng ilmu silat
kepada dua orang anak itu amat luar biasa, Mula-mula ia mengajarkan
dasar-daser ilmu silat disamping mengajar ilmu membaca. Setelah kedua orang
anak itu berusia sepuluh tahun dan pandai membaca, ia menyuruh mereka membaca
kitab-kitab pusaka yang berisi ilmu-ilmu silat tinggi, peninggalan
Tok-siauw-kwi. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab rahasia yang mengandung
pelajaran pelik dan gawat, bukan ilmu silat biasa.
Tentu saja kedua orang anak itu, terutama
sekali Suma Kiat yang otaknya tidak begitu cerdas, amat sukar menyelami isinya.
Dan celakanya, ketika mereka bertanya kepada Sian Eng, mereka mendapat
penjelasan yang sebenarnya menyimpang daripada pelajaran sesungguhnya. Sian
Eng sendiri melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi secara keliru sehingga
ilmu silat tinggi yang di
ciptakan orang-orang sakti itu berubah menjadi
ilmu dahsyat seperti ilmu ciptaan iblis sendiri! Dengan bekal ilmu
pengetahuan yang amat kurang ditambah sukar dan tingginya isi kitab-kitab
pusaka, kemudian digembleng oleh seorang yang sudah sesat ilmunya seperti Kam
Sian Eng, tentu saja kedua orang anak itupun menjadi pelajar-pelajar ilmu
sesat. Namun karena mereka memang berbakat, mereka berhasil memiliki ilmu-ilmu
yang amat hebat dan mengerikan.
Diam-diam Kam Sian Eng merasa kagum kepada Kwi
Lan. Anak ini amat cerdas, jauh lebih cerdas daripada puteranya sendiri. Kwi
Lan mempunyai watak haus akan pelajaran, tidak takut akan kesukaran sehingga
diantara kitab-kitiab Pusaka itu, Kwi Lan memilih yang sukar-sukar. Justru
sifat kitab-kitab pusaka itu, makin sukar dimengerti, makin sukar dipelajari,
makin tinggilah mutunya! Juga Kwi Lan amat tekun berlatih sehingga Suma Kiat
yang usianya setahun lebih tua itu tertinggal olehnya.
Semenjak Kwi Lan pandai bicara, menyuruh anak
itu menyebut bibi kepadanya. Karena kurang pergaulan dengan anak-anak lain,
ketika masih kecil, Kwi Lan tidak dapat membedakan mengapa Suma Kiat yang ia
sebut suheng (kakak seperguruan) itu menyebut ibu sedangkan ia sendiri menyebut
bibi kepada wanita yang ia anggap sebagai orang paling baik di dunia ini
setelah Bibi Bi Li. Memang Phang Bi Li amat kasih kepada Kwi Lan, menganggap
anak itu anak kandungnya sendiri. Akan tetapi Sian Eng juga amat baik
terhadapnya. Biarpun wataknya kadang-kadang aneh, namun terhadap Kwi Lan ia
tidak pernah marah-marah.
Ketika Kwi Lan berusia dua belas tahun dan
sudah dua tahun lamanya tinggal di pondok di atas tanah, mulailah Kwi Lan
melihat perbedaan-perbedaan. Mulailah ia bertanya-tanya kepada Bi Li tentang
perbedaan-perbedaan itu.
“Bibi, kenapa Kiat-suheng menyebut Ibu kepada
Bibi Sian?” demikian tanyanya pada suatu sore ketika mereka berdua pergi
memetik bunga dalam hutan. Ketika itu Suma Kiat turun ke bawah, dipanggil
ibunya.
“Kenapa? Ah, Lan Lan, alangkah anehnya
pertanyaanmu ini. Tentu saja karena Kiat-li memang anaknya!” Karena tidak kuasa
menyelami hati dan pikiran Kwi Lan, maka Bi Li menganggap pertanyaan itu
wajar-wajar tapi bodoh.
Kwi Lan masih tetap memilih dan memetik bunga,
membantu Bi Li.
“Kalau aku, kenapa aku harus menyebut Bibi
Sian kepadanya?”
Masih tidak sadar akan nada suara aneh dalam
pertanyaan ini, Bi Li menjawab.
“Anak bodoh, tentu saja engkau menyebut Bibi
karena engkau bukan anaknya.”
Kwi Lan menggigit bibirnya yang tiba-tiba
gemetar. Setelah menekan hatinya, ia berkata lagi.
“Bibi Bi Li, kau dulu pernah bilang ketika
Kiat-suheng bertanya tentang ayahnya bahwa dia boleh bertanya kepada Bibi
Sian. Bibi Sian marah-marah ketika ditanya dan memaki-maki, bilang bahwa ayah
Kiat-suheng sudah mampus. Kemudian Bibi Sian menangis menggerung-gerung. Semenjak
itu, Kiat-suheng tidak berani bertanya-tanya lagi tentang ayahnya. Benarkah,
Bibi, bahwa Ayah Kiat-suheng telah mati?”
Bi Li mengerutkan keningnya, lalu berkata
sambil menarik napas panjang, “Bibi Sian-mu itu memang aneh. Aku sendiri tidak
tahu. Akan tetapi kalau dia bilang demikian, agaknya memang benar bahwa ayah
Kiat-ji telah meninggai dunia.”
Hening sejenak dan mereka melanjutkan
pekerjaan memetik bunga.
“Bibi Bi Li.... kalau.... Ayah dan Ibuku....
siapakah mereka? Di mana mereka....?”
Bi Li tersentak kaget bagaikan disengat
lebah. Cepat ia menoleh dan melihat betapa wajah Kwi Lan menjadi pucat,
sepasang matanya memandang tajam kepadanya, bibirnya yang pucat menggigil dan
anak itu hampir menangis! Barulah tahu Bi Li bahwa sejak tadi, terjadi hal-hal
yang hebat dalam hati dan pikiran anak yang amat disayangnya itu. Baru terbuka
matanya bahwa anak ini mulai mengerti dan mencari ayah bundanya. Ia menjadi
terharu, mengeluh perlahan lalu merangkul Kwi Lan. Tak tertahan lagi air
matanya menetes-netes ketika ia mencium pipi Kwi Lan dan menariknya duduk di
atas rumput.
“Lan Lan, Anakku sayang.... kau.... kau....
adalah Anakku, Lan Lan.”
Kwi Lan balas pelukan dan ciuman wanita yang
semenjak ia kecil telah merawatnya penuh kasih sayang itu. Kemudian ia
berkata, ada suaranya mendesak. “Bibi Bi Li, kalau engkau Ibuku, mengapa
selama ini aku dibohongi? Dan kalau benar aku anak kandungmu, mengapa aku
tidak menyebut Ibu, melainkan Bibi kepadamu? Bibi Bi Li, harap jangan
membohongi aku lagi, aku sudah besar dan dapat membedakan kebohongan atau
bukan. Bibi, katakanlah, siapakah Ayah Bundaku dan di mana mereka sekarang?
Mengapa aku bisa terpisah dari mereka dan berada di sini?”
Tiba-tiba Bi Li menangis sedih. Teringat
ia akan keadaannya
sendiri. Dia sendiri dipaksa berpisah dari suaminya dan dari anaknya yang baru
berusia dua bulan! Sedangkan Kwi Lan ini dibawa datang oleh Sian Eng sejak
masih bayi, agaknya dipaksa berpisah dari ibu kandungnya!
“Aku tidak tahu, Anakku.... aku sendiri sama
sekali tidak tahu tentang dirimu sedangkan aku sendiripun dipaksa berpisah dari
suami dan anak....”
Kwi Lan tercengang. Ia merangkul wanita itu
dan bertanya “Apa yang terjadi, Bibi?”
Setelah mengeringkan air mata dan berkali-kali
menghela napas Bi Li lalu bercerita. “Suamiku seorang penebang pohon dan kami
hidup bahagia di dalam dusun. Ketika itu, aku baru berusia dua bulan,
melahirkan seorang anak laki-laki. Pagi hari itu, selagi suamiku pergi
menebang pohong datang Sian-kouwnio, menangkap dan membawaku pergi
meninggalkan Anakku dibawa ke sini.... sampai sekarang....”
“Apa....?” Kwi Lan membelalakkan matanya yang
jeli. “Mengapa....?”
Bi Li tersenyum pahit. “Untuk merawat dan
menyusui Kiat-ji.”
“Anak kandungnya sendiri? Mengapa? Mengapa
harus engkau yang menyusuinya, Bibi?”
Bi Li menggeleng-geleng kepalanya. “Entahlah.
Selamanya Bibimu Sian itu seorang aneh luar biasa. Klat-ji memang anak
kandungnya, akan tetapi ia menyuruh aku menyusui dan merawatnya. Ahhh, nasibku
sama dengan si Belang....“
Kwi Lan makin heran. Si Belang adalah nama
lembu betina yang dipelihara di bawah tanah dan sekarang sudah sangat tua.
“Apa maksudmu, Bibi Bi Li?”
Dengan senyum pahit di bibir, Bi Li menjawab,
“Aku dipaksa ke sini untuk menyusui Kiat-ji, sedangkan si Belang dipaksa ke
sini untuk menyusui engkau, Kwi Lan. Setahun setelah aku berada di sini, si
Belang didatangkan oleh Sian-kouwnio untuk diambil air susunya untukmu.”
“Dan.... aku.... dari manakah aku, Bibi....?”
Wajah Kwi Lan pucat dan suaranya mengandung isak.
“Aku tidak tahu, Anakku. Aku tidak tahu
apa-apa.”
Tiba-tiba Kwi Lan menjatuhkan semua kembang
yang dipegangnya. Kini wajahnya menjadi merah, matanya mengeluarkan kilat dan
kedua tangannya yang kecil dikepal. Wajahnya yang cantik mungil itu kini nampak
beringas mengancam.
“Kalau begitu Bibi Sian jahat sekali! Kau
dipaksa berpisah dari suami dan anak, sedangkan aku dipaksa berpisah dari Ayah
dan Ibu! Sekarang juga aku akan bertanya kepadanya, Bibi. Dia harus memberi
keterangan sejelasnya!”
“Ssttt, anak bodoh, apa yang hendak kau
lakukan ini?” Bi Lian memeluknya erat-erat dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Apakah engkau masih belum melihat betapa Bibimu Sian itu seorang yang amat
luar biasa wataknya? Kau tidak boleh bertanya apa-apa kepadanya, tidak boleh
membikin susah atau marah kepadanya.”
“Mengapa tidak boleh, Bibi?” Kwi Lan bertanya
kecewa, akan tetapi mulai membayang pula di hatinya kini rasa takut dan jerih
terhadap bibinya yang selalu bersembunyi di bawah tanah itu.
“Kwi Lan, apapun juga yang telah terjadi
dengan kita, namun engkau sendiri tentu telah merasa betapa baiknya sikap
Sian-kouwnio terhadap kita. Segala kebutuhan kita dicukupi, bahkan engkau
dianggap seperti anak sendiri, dirawat dan dididik tiada bedanya dengan
Kiat-ji, putera kandungnya. Aku pun telah mendapat perlakuan yang amat baik
sehingga harus kuakui bahwa keadaan hidupku di sini jauh lebih baik daripada
ketika masih tinggal di dusun yang kadang-kadang menderita kurang makan. Makan
pakaian cukup, aku pun diberi kebebasan, dan bahkan dilatih ilmu silat. Karena
kebaikannya yang ia limpahkan kepada kita inilah, maka sekali-kali kita tidak
boleh membikin susah hatinya. Aku tahu, dibalik keadaannya yang serba aneh luar
biasa itu, tersembunyi penderitaan batin yang amat hebat pada diri
Sian-kouwnio. Ia patut dikasihani. Agaknya ia menculik kita berdua bukan
karena jahat, melainkan terpaksa. Ia menculikku karena ia membutuhkan air
susuku untuk memelihara puteranya. Kemudian ia menculikmu karena.... agaknya,
dia ingin puteranya mendapatkan teman bermain-main.”
“Tapi ia tidak peduli betapa anak kandungmu
sendiri kehilangan Ibu, dan betapa Ayah-bundaku kehilangan anak!” Kwi Lan
membantah.
“Benar, akan tetapi memang demikianlah watak
sebagian besar manusia. Kepentingan sendiri selalu menutupi kepentingan lain
orang.” Bi Li menarik napas panjang. “Kita pun tidak boleh membikin marah
kepadanya, karena dia seorang aneh luar biasa, kalau sekali ia marah, agaknya
ia tidak akan segan-segan untuk sekali turun tangan membunuh kita berdua!” Bi
Li bergidik ngeri. Akan tetapi Kwi Lan sama sekali tidak merasa takut, bahkan
bertanya dengan suara menuntut.
“Bibi, kalau kau melarang aku membikin susah
dan membikin marah Bibi Sian, habis apakah aku harus tinggal diam saja dipaksa
berpisah dari Ayah Bunda kandungku?” Kini Kwi Lan tidak menangis lagi karena
kemarahan memenuhi hatinya.
Bi Li memeluknya dan mengelus-elus rambutnya.
“Anakku yang baik, sama sekali bukan begitu maksudku. Kau harus bersabar,
Anakku. Kau tahu bahwa yang tahu akan rahasia dirimu hanyalah Sian-kouwnio
seorang. Hanya dari dialah engkau akan dapat mengetahui siapa Ayah Bundamu.
Karena itu, engkau harus bersabar. Kalau sekarang kautanyakan hal itu
kepadanya dan dia tidak mau mengaku malah marah, engkau akan bisa berbuat
apakah? Jangan-jangan engkau malah akan dibunuhnya! Lebih baik engkau tekun
belajar, memperdalam kepandaianmu karena kepandaian silat itu merupakan
bekalmu kelak kalau Sian-kouwnio tidak mau mengaku, untuk kaupakai mencari sendiri
orang tuamu.”
Terbukanya rahasia tentang keadaan dirinya
inilah yang membuat Kwi Lan, makin tekun dan giat belajar. Dia seorang gadis
yang keras hati, yang tahan menderita. Biarpun setiap saat pertanyaan tentang
ayah ibunya sudah berada di ujung lidah, namun ia dapat selalu menekan dan
menelannya kembali, tidak mau bertanya akan hal itu kepada Sian Eng yang makin
lama menjadi makin kagum saja akan keadaan keponakan dan muridnya ini Semua
kitab simpanan “dilalap” habis oleh Kwi Lan bahkan kitab-kitab yang oleh Sian
Eng sendiri kurang dimengerti. oleh Kwi Lan dihafal di luar kepala! Memang
seperti tidak ada gunanya baginya, karena tidak ada yang menerangkan artinya,
juga Sian Eng tidak mengerti. namun Kwi Lan menghafalnya di luar kepala dengan keyakinan
bahwa kelak tentu ada gunanya. Dalam hal kemajuan ilmu silat, Suma Kiat
tertinggal jauh oleh Kwi Lan sehingga kadang-kadang Sian Eng merenung seorang
diri.
“Tidak aneh! Kwi Lan keturunan seorang sakti
seperti Suling Emas, sedangkan Kiat-ji anak bajingan macam Suma Boan!” Lalu ia
menangis seorang diri, menangisi kematian Suma Boan, putera pangeran yang amat
dikasihinya, juga amat dibencinya sehingga kedua tangannya sendirilah yang
membunuh Suma Boan.
Dua tahun kemudian ketika Kwi Lan telah berusia
empat belas tahun pada suatu pagi gadis cilik ini bersama Phang Bi Li mencari
kembang seperti dua tahun yang lalu di dalam hutan, tidak jauh dari pondok
mereka.
“Bagaimana kalau sekarang aku bertanya kepada
Bibi Sian tentang orang tuaku, Bibi Bi Li?”
Bi Li menggeleng kepala. “Belum waktunya, Kwi
Lan. Sedikitnya lima tahun lagi, kalau engkau sudah betul-betul kuat, baru kau
boleh bertanya.”
Selagi Kwi Lan hendak bicara lagi, tiba-tiba
Bi Li memandangnya dan menaruh telunjuk di bibir. “Ssshh, tidakkah kau
mendengar sesuatu?”
Kwi Lan mendengarkan penuh perhatian. “Ada
orang bertempur....!” Akhirnya ia berkata.
Bi Li mengangguk. “Agaknya tidak jauh dari
sini. Mari kita lihat, akan tetapi kita harus bersembunyi.”
Berlari-larianlah mereka ke arah suara
beradunya senjata tajam. Tak lama kemudian sampailah mereka ke tempat bertempur
tadi, di pinggir hutan. Mereka bersembunyi di balik pohon-pohon sambil
mengintai.
Kiranya yang bertanding itu adalah seorang
laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti seorang
jembel miskin sekali, pakaiannya penuh tambalan dan amat butut, melawan
pengeroyokan empat orang lain yang pakaiannya juga penuh tambalan. Hanya
bedanya, kalau orang pertama yang dikeroyok itu pakaiannya butut dan kotor,
adalah pakaian empat orang yang mengeroyok ini, biarpun penuh tambalan, amat
bersih dan tambalannya juga berkembangkembang.
Ilmu kepandaian pengemis butut itu lumayan
demikian Kwi Lan yang menonton berpikir. Senjatanya hanya sebatang tongkat, akan
tetapi gerakannya gesit dan tenaganya besar. Betapapun juga, menghadapi
pengeroyokan empat orang pengemis bersih ia nampak repot. Empat orang lawannya
itu memegang tongkat yang lebih besar dan panjang, dan biarpun gerakan mereka
tidak secepat gerakan Si Pengemis butut, namun ilmu silat mereka lihai dan
tenaga mereka tidak kalah besarnya. Selain ini, tempat pertandingan itu
dikurung oleh belasan orang pengemis baju bersih yang bersorak menjagoi empat
orang kawan mereka dan mengejek Si Pengemis baju butut. Agaknya pertandingan
itu sudah berlangsung cukup lama dan tampak betapa pengemis berpakaian butut
itu sudah payah. Tubuhnya penuh luka-luka dan napasnya sudah terengah-engah
pucat. Namun masih terus melawan penuh semangat.
“Aiihhh....!”
Seruan ini mengagetkan hati Kwi Lan. Ketika ia
menoleh ke kiri, ia melihat betapa Bi Li memandang dengan mata, terbelalak dan
muka pucat sekali ke arah pertempuran. Kemudian, nyonya itu meloncat ke depan
bagaikan seekor harimau betina, langsung menerjang tempat pertandingan dan
begitu kaki tangannya bergerak, empat orang pengeroyok itu terlempar ke empat
jurusan Phang Bi Li cepat menghadapi pengemis baju butut itu sambil berseru
suaranya gugup.
“Kau.... kau.... bukankah engkau Tang
Sun....?”
Pengemis baju butut itu terhuyung-huyung
saking lelahnya, mengeluh panjang ketika memandang Bi Li, kemudian berkata
lemah.
“Bi Li.... ! Kau... Bi Li....? Ah, tidak
mungkin....”
Sepasang mata Bi Li sudah bercucuran air
mata. “Aku betul Bi Li isterimu!”
Pengemis itu terbelalak memandang, napasnya
serasa terhenti. “Bi Li....? Aduh.... Hauw Lam.... Hauw Lam.... di manakah
engkau....? Ini Ibumu, Nak....!” Pengemis bernama Tang Sun itu terguling dan
roboh pingsan! Untung Bi Li cepat meloncat dan menubruknya sehingga ia tidak
sampai terbanting, akan tetapi alangkah kaget hati Bi Li ketika melihat dia
ternyata telah terluka hebat, bahkan tulang iganya ada yang patah-patah.
Kiranya laki-laki yang ternyata adalah suaminya ini tadi melakukan perlawanan
mati-matian dan nekat dalam keadaan terluka parah mendekati mati! Cepat ia
merebahkan suaminya, memanggil-manggil namanya dan menangis.
Sementara itu, sejenak para pengemis baju
bersih yang belasan orang jumlahnya tercengang menyaksikan betapa sekali
bergerak, wanita setengah tua itu telah membuat empat orang kawan mereka
terlempar dan jatuh terbanting tidak mampu bangkit lagi, hanya mengaduh-aduh
karena tulang lengan dan kaki mereka patah-patah! Kini melihat betapa pengemis
baju butut roboh pingsan dan wanita itu berlutut menangis, timbul kegarangan
mereka.
“Perempuan liar darimana berani mengganggu
kami?” bentak seorang di antara mereka yang bermuka bopeng koban penyakit
cacar. “Hayo hajar dia!” perintah Si Muka Bopeng ini dengan suara keras. Enam
orang pengemis yang tubuhnya tinggi besar dan agaknya menjadi jagoan mereka di
samping empat orang pengeroyok yang sudah roboh oleh Bi Li, kini menerjang maju
dengan senjata mereka yang sama, yaitu tongkat sebesar lengan setinggi orang.
Saat itulah Kwi Lan turun tangan. Sekali ia
menggerakkan kakinya, ia telah melompat dan bukan main kagetnya enam orang
pengemis tinggi besar melihat bayangan berkelebat seperti seekor burung terhang
dan tahu-tahu seorang gadis remaja yang cantik jelita telah berdiri di depan
mereka sambil bertolak pinggang! Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul
menghadang hanyalah seorang gadis cilik belum dewasa dan bertangan kosong pula,
mereka memandang rendah dan tertawa.
“Ho-ho-ha-ha! Cucuku yang mungil. Minggirlah,
Engkongmu (Kakekmu) tidak ada waktu untuk melayanimu.” teriak seorang di antara
mereka yang kepalanya gundul.
“Eh, Nona cilik yang manis. Apakah engkau
menantang berpacaran? Minggirlah lebih dulu, tunggu kalau aku selesai membikin
mampus anjing betina tua itu, baru aku layani kau, heh-heh-heh!” kata seorang
pengemis tinggi bermuka hitam.
Kwi Lan semenjak kecil berwatak riang gembira,
jenaka dan pandai bicara. Hal ini diketahui baik oleh Phang Bi Li, apalagi oleh
Suma Kiat yang selalu kalah berdebat. Dan hanya di depan Sian Eng saja gadis
ini tunduk dan berubah pendiam. Kini menghadapi orang-orang yang menimbulkan
kemarahan di hatinya itu, muncul pula sikapnya yang ugal-ugalan, Sambil
tersenyum mengejek ia berkata.
“Wah, kalian ini sekumpulan monyet tua tidak
tahu malu, berhati palsu, curang dan selayaknya dihajar! Melihat pakaian
kalian, jelas bukan orang miskin, akan tetapi sengaja ditembel-tembel biar
dianggap pengemis. Ini tandanya kalian bukan pengemis karena keadaan melainkan
orang-orang berjiwa pengemis! Lalu mengandalkan jumlah banyak mengeroyok orang
malah menghina wanita, ini tandanya kalian berwatak rendah, hina, dan curang!
Paling akhir, pandang mata kalian dan ucapan-ucapan tadi menandakan bahwa
kalian bersifat kurang ajar, tak tahu sopan santun, maka kalian sudah sepatutnya
diberi hajaran biar kapok!”
“Mengapa melayani mulut seorang anak nakal?
Tangkap dulu dia, kita bawa pulang!” teriak Si Muka Bopeng yang tertarik
melihat kelucuan dan kecantikan Kwi Lan, juga berbareng mendongkol karena enam
orang anak buahnya dijadikan bahan mainan gadis cilik itu.
Serentak enam orang pengemis tinggi besar itu
menerjang Kwi Lan. Mereka seperti berlumba, hampir berbareng tangan mereka
diulur dan menubruk untuk menangkap Kwi Lan. Karena perintah kepala mereka
bukan membunuh melainkan menangkap, pula karena mereka sendiri pun tidak ingin
membunuh gadis cilik yang cantik ini, maka mereka tidak menggunakan tongkat
untuk menerjang. Hal ini amatlah menguntungkan, bukan bagi Kwi Lan melainkan
bagi enam orang pengemis itu sendiri! Karena sedangkan penyerangan sendiri!
Karena sedangkan penyerangan dengan tangan kosong mereka itu saja sudah
mendatangkan akibat yang hebat, apalagi kalau mereka menggunakan senjata, tak
terbayangkan betapa hebat akibatnya.
Penyerangan itu bertubi-tubi datangnya,
saling susul. Akan tetapi, begitu ada tangan menjangkau ke arahnya, Kwi Lan
hanya bergerak sedikit, menyambut dengan tangannya sendiri yang kecil dan....
“plaakk!” tangan yang besar ini membalik dan menghantam muka Si Penyerang
sendiri. Suara “plakk” disusul “aduhh!” terdengar susul-menyusul dan enam orang
itu sudah terhuyung-huyung, ada yang roboh dan mereka semua mengerang kesakitan
karena yang paling ringan di antara mereka sudah remuk hidungnya, terkena
hantaman tangan sendiri yang secara aneh telah membalik. Lebih hebat adalah Si
Muka Hitam, karena tangannya tadi terbuka jari-jarinya hendak mencengkeram
dada Si Gadis Cilik, ketika membalik masih dalam keadaan mencengkeram dan tak
dapat dicegah lagi, mata kirinya tertusuk jari tangannya sehingga biji matanya
tercokel keluar! Adapun Si Kepala Gundul, tepat kena hantaman kepalanya oleh
tangannya sendiri sehingga di kepalanya tumbuh tanduk dan ia roboh pingsan,
agaknya mengalami gegar otak! Yang lain-lain, sebagian besar kehilangan
hidung, atau setidaknya yang hidungnya agak mancung menjadi pesek karena
ujungnya telah remuk berikut tulang muda batang hidung!
Semua pengemis baju bersih tertegun, apalagi
ketika mendengar gadis cilik itu berkata mengejek, “Baru bisa mainkan sedikit
ilmu silat Khong-thong-pai yang digerakkan secara ngawur saja kalian sudah
sombong! Benar-benar tak tahu malu!”
Si Muka Bopeng cepat melompat maju dengan
tongkat melintang. Wajahnya yang bopeng menjadi merah sekali, dan diam-diam ia
pun merasa heran. Tidak dapat disangkal lagi, ilmu silat yang dipelajari anak
buahnya memang ilmu silat Kong-thong-pai, karena dia adalah seorang murid
pelarian dari Kong-thong-pai. Akan tetapi, ilmu tongkat dan ilmu silatnya sudah
terkenal, sukar dicari bandingnya dan karena itu pula ia dipercaya oleh para
pimpinan pengemis baju bersih untuk memimpin pasukan pengemis di daerah itu,
mengepalai pasukan pengemis lima puluh orang banyaknya. Sekarang, bocah ini
telah mengenal ilmu silat anak buahnya, tidak hanya mengenal, malah mengejek!
“Eh, bocah bermulut lancang den sombong! Kau
tahu apa tentang Ilmu silat Kong-thong-pai?”
“Mengapa tidak tahu? Apa kaukira ilmu silat
Kong-thong-pai yang paling hebat di muka bumi ini? Huh, ilmu silat
Kong-thong-pai tidak banyak ragamnya, tidak menang banyak dengan jumlah bopeng
di mukamu.”
Saking marahnya, Si Muka Bopeng mencak-mencak
dan membanting tongkatnya sampai menancap setengahnya di atas tanah. “Keparat
aku murid Kong-thong-pai yang jagoan, tahu?”
Kwi Lan memang nakal. Ia membusungkan dada dan
menghampiri tongkat itu. “Membanting tongkat seperti itu apa susahnya? Aku pun
bisa. Lihat!” Ia menggunakan tangan kanan menangkap sisa tongkat yang tampak di
atas tanah, diam-diam mengerahkan tenaga sakti lalu mengangkat terus
membanting.
“Krakk.... cappp!” Tongkat itu ketika ia cabut
telah patah di tengah-tengahnya, tepat di permukaan tanah, kemudian ketika
tongkat sepotong itu ia tancapkan, benda itu amblas ke dalam tanah tak tampak
lagi!
Si Muka Bopeng melongo, juga anak buahnya
berseru kaget. Hal ini membuat Si Muka Bopeng marah sekali. Sambil berseru
keras ia menerjang dengan pukulan Serbu Masuk Guha Harimau. Pukulan ini keras
sekali dan mengarah dada Kwi Lan. Sebuah serangan keterlaluan bagi seorang
laki-laki berusia empat puluh tahun terhadap seorang gadis berusia empat belas
tahun. Selain serangan maut, juga tidak sopan. Akan tetapi Kwi Lan berseru
sambil mengejek.
“Wah, Cim-jip-houw-hiat (Serbu Masuk Guha
Harimau) yang buruk sekali!” Ia pun cepat melakukan gerakan yang sama. Akan
tetapi jurus yang sama ini ia lakukan dengan cara yang jauh berlainan, hanya
gayanya saja yang sama akan tetapi dasar dan isinya sudah berbeda jauh. Akan
tetapi hebat akibatnya, karena ketika kepalan tangan Si Muka Bopeng itu
bertemu dengan telapak tangan Kwi Lan, mendadak Si Muka Bopeng itu merasa
betapa tangannya membalik tenaganya dan kepala tangannya seakan-akan sudah tak
dapat ia kuasai lagi dan menyambar ke arah dadanya sendiri! Persis seperti yang
dialami oleh enam orang anak buahnya tadi. Akan tetapi ia cukup lihai dan
secepat kilat ia menggunakan tangan kirinya menangkis tangan kanannya sendiri
sampai terdengar suara “dukkk!” karena beradunya kedua lengan. Ia meringis
kesakitan, wajahnya makin merah. Jelas tadi ia melihat gadis cilik itu bergerak
dalam jurus yang sama, akan tetapi mengapa amat berbeda? Memang tidak aneh
sebetulnya. Seperti kita ketahui dari ceritaSULING EMAS , mendiang
Tok-siaw-kwi Liu Lu Sian telah berhasil mencuri banyak sekali kitab-kitab ilmu
silat dari pelbagai perguruan silat dan partai-partai besar. Di antaranya, ia
telah mencuri pusaka Kong-thong-pai. Kemudian semua kitab pusakanya terjatuh
ke tangan Kam Sian Eng, maka tentu saja sebagai muridnya yang amat rajin, Kwi
Lan telah mempelajari pula ilmu silat dari kitab Kong-thong-pai ini. Seperti
juga dengan ilmu-ilmu silat lain, penjelasan Sian Eng menyeleweng daripada
ilmunya yang benar, maka menjadi berbeda, bahkan ada yang terbalik sama
sekali!
Mengapa ilmu yang dipelajari terbalik dan
menyeleweng ini malah mengatasi ilmu yang aseli, yang telah dipelajari oleh Si
Muka Bopeng? Hal itu pun tidak aneh. Biarpun telah mewarisi ilmu
bermacam-macam yang dipelajari secara menyeleweng, namun Sian Eng telah
berhasil memiliki dan mencipta ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh, sehingga menyerupai
ilmu ciptaan iblis sendiri. Muridnya Kwi Lan, memperoleh kepandaiannya dari
Sian Eng, tentu saja juga mendapatkan pelajaran ilmu menghimpun hawa sakti yang
mujijat. Hanya ketika sudah membaca kitab dan belajar sendiri kitab-kitab itu,
penafsirannya berbeda dengan penafsiran gurunya sehingga dalam ilmu-ilmu yang
tinggi, terdapat perbedaan aneh di antara Kwi Lan, Suma Kiat, dan Sian Eng
sendiri. Akan tetapi karena dasar-dasar pelajaran lwee-kang, khi-kang dan
sin-kang diperoleh dari Sian Eng, maka dalam hal ini mereka bertiga memiliki
dasar yang sama. Dibandingkan dengan Si Muka Bopeng, Kwi Lan jauh lebih menang
tenaga dalamnya maka biarpun jurus yang ia mainkan itu tidak aseli, namun jauh
lebih ampuh!
Si Muka Bopeng telah menerjang lagi kini
dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya, karena ia bermaksud menangkap gadis
cilik ini untuk ditawan dan kelak dipaksa mengaku darimana mempelajari ilmu
silat Kong-thong-pai yang berubah aneh itu dan pula, biarpun gadis itu masih
terlalu muda setengah kanak-kanak, namun sudah kelihatan cantik manis sehingga
hati Si Muka Bopeng tertarik.
Bagi Kwi Lan, serangan lawan yang kasar ini
bukan apa-apa dan sama sekali ia tidak menjadi gentar, malah tertawa mengejek,
“Hi-hik, kaugunakan jurus Hekhouw-phok-sai (Macan Hitam Menubruk Tahi)? Busuk
dan bau sekali!” Gadis cilik yang nakal ini sengaja merobah nama jurus itu yang
sebetulnya adalah Hekhouw-phok-thouw (Macan Hitam Menubruk Kelinci).
Si Muka Bopeng mengeluarkan gerengan marah
sambil menubruk, seperti seekor harimau tulen. Kwi Lan sama sekali tidak
mengelak, malah membarengi gerakan lawan dengan jurus yang sama akan tetapi
diam-diam ia menyalurkan hawa sakti ke arah kedua telapak tangannya dan
tercimlah ganda wangi karena gadis cilik ini telah mempergunakan Ilmu
Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi). Ilmu ini adalah ciptaan Sian Eng sendiri
yang mempergunakan sari kembang beracun yang amat wangi dan ketika berlatih
ilmu ini, kedua telapak tangan digosok-gosok racun kembang ini sehingga hawa
beracun yang berbau harum masuk ke dalam kedua telapak tangan. Jika dalam
keadaan biasa, kedua telapak tangan tidak berbau harum dan racunnya juga tidak
keluar, akan tetapi apabila dipakai untuk bertanding dan dari dalam dikerahkan
lwee-kang ke arah kedua tangan, maka hawa yang wangi beracun itu akan keluar
dari telapak tangan.
Si Muka Bopeng menjadi girang melihat gadis
cilik itu menyambut seranganya dengan jurus yang sama dan memapaki kedua
tangannya yang menubruk. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya dan mukanya
menyeringai. Gadis cilik sombong ini tentu akan mudah ditawan kalau kedua
tangannya dapat ia tangkap. Bau wangi yang menyambar hidungnya tidak membuat Si
Muka Bopeng sadar, bahkan makin girang mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu
demikian wangi!
“Plak-plak!” Kedua pasang tangan bertemu dan
beradu telapak tangan. Si Muka Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya
terlempar ke belakang, terbanting roboh telentang dan tidak bergerak lagi.
Kedua lengannya masih berkembang seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu
kaku dan telapak tangannya terdapat warna merah dan kebiruan, matanya
mendelik napasnya putus!
Sisa para pengemis baju bersih menjadi kaget
dan jerih. Wanita setengah tua yang kini menangisi pengemis baju butut tadi
sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih hebat lagi, dalam segebrakan mampu
menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan ketakutan, sembilan orang pengemis
itu cepat menyeret teman-teman mereka yang luka dan mengangkut mayat Si Muka
Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu sambil sebentar-sebentar menoleh
ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang tertawatawa sambil bertolak pinggang!
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Lan baru
sadar akan suara Bi Li yang menangis terisak-isak. Ia cepat membalikkan tubuh
dan melihat Bi Li berlutut di depan pengemis baju butut yang dikeroyok tadi,
ia cepat menghampiri. Kini pengemis itu sudah bangkit duduk, bersandar pada
batang pohon, napasnya terengah-engah, kedua lengannya memeluk pundak Bi Li
yang berlutut di depannya. Melihat keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan
main, akan tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li
mau dipeluk laki-laki jembel itu? Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah
menyaksikan orang berpelukan, Ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi,
maka ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar
suara mereka ketika mereka bicara.
“Suamiku.... mana dia? Mana Hauw Lam anak
kita....?” terdengar Bi Li berkata menahan isak. Mendengar ini, Kwi Lan makin
kaget. Suami? Jembel itu suami Bibi Bi Li? Rasa heran dan kaget membuat ia
kembali membalik dan memandang pengemis itu lebih teliti. Seorang laki-laki
berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor, pakaian seorang
jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat karena
menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki-laki.
“Bi Li.... isteriku, kenapa engkau
meninggalkan aku? Kenapa engkau tega pergi meninggalkan kami, suamimu dan anak
kita? Apakah kesalahanku kepadamu sehingga engkau begitu kejam?” Suaranya ini
penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin tersedu-sedu. Di antara
isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa ia
diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya
yang baru terlahir, menceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang
berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya.
“Demikianlah, Suamiku. Kuharap engkau suka
mengampunkan aku, akan tetapi.... sungguh aku tidak berdaya.... sampai
sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan Sian-kouwnio....”
Laki-laki itu makin pucat jelas ia menahan
sakit sambil menggigit bibir. “Ah, engkau terluka hebat.... mari kubawa ke
pondok kami, biar kuminta Kouwnio memberi obat kepadamu....“
“Tidak perlu lagi!” Laki-laki itu yang bernama
Tang Sun, suami dari Phang Bi Li, mencegah sambil mengangkat tangan, kemudian
karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia lalu merebahkan diri lagi, dibantu
isterinya. “Lukaku amat parah, kurasa ada perdarahan di dalam dadaku, sakit
sekali.... ougghh.... tak mungkin dapat diobati. Akan tetapi, terima kasih
kepada Thian.... mati pun aku tidak penasaran, sudah dapat bertemu
denganmu.... tapi sayang.... Hauw Lam.... di mana engkau, Anakku....?”
Mendengar disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa
akan penderitaan suaminya yang sudah menghadapi maut. Sambil memegang lengan
suaminya ia berseru keras, “Dimana Hauw Lam? Dimana dia?”
Suara Tang Sun makin lemah, bahkan agak
menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak terputus-putus lagi.
Perubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin mendengar cerita tentang
puteranya.
“Sepeninggalmu, kubawa dia pergi mencarimu dan
hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun. kuserahkan dia kepada ketua
kelenteng di puncak Gunung Kim-liong-san yang kutahu seorang berilmu tinggi.
Aku sendiri lalu melanjutkan perjalanan mencarimu, Bi Li, menempuh seribu
satu macam kesukaran!”
Cerita ini terputus sebentar oleh tangis Bi Li
penuh keharuan sambil memeluk leher suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh
dari situ, merasa betapa jantungnya seperti disayat-sayat saking terharu, namun
ia dapat menekannya dan tidak sebutirpun air mata menetes turun. Di dalam
hatinya, ia makin menyesalkan perbuatan Kam Sian Eng yang telah memisahkan
suami isteri ini dan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan
mungkin tiga orang dengan anak mereka yang agaknya tidak diketahui pula di
mana adanya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak menyalahkan
engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau pun menderita dan tidak
berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya aku tertarik akan sepak
terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka aku masuk menjadi anggauta
Khong-sim Kai-pang. Khong-sim Kai-pang termasuk perkumpulan pengemis golongan
bersih yang ditandai dengan pakaian kotor, dan pada waktu ini golongan bersih
sedang berusaha membasmi pengemis-pengemis golongan kotor yang ditandai dengan
pakaian bersih. Setelah menjadi anggauta Khong-sim Kaipang, banyak teman-temanku
membantuku mencarimu. Dan beberapa hari yang lalu, seorang temanku melihat
engkau di depan pondok. Karena dia tidak mengenalmu akan tetapi merasa heran
melihat seorang wanita dan dua orang anak tanggung tinggal bersunyi diri
didalam hutan, ia lalu menceritakannya kepadaku. Nah, hari ini aku datang ke
sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu dengan belasan orang pengemis
golongan hitam yang mengeroyokku....”
“Dan Hauw Lam, Anakku.... dia bagaimana....
?” Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah suaminya yang pucat itu sudah
mulai agak kebiruan.
“Dia.... dia....“ Kini napas Tang Sun mulai
tersendat-sendat, “Dia, kini tentu sudah dewasa.... hampir lima belas tahun....
akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke sana.... hwesio tua itu telah
meninggal dunia dan.... dan Hauw Lam.... dia....” Sukar sekali ia melanjutkan
kata-katanya.
Barulah Bi Li sadar akan keadaan suaminya. Ia
menjerit dan memeluk, melihat suaminya meramkan matanya, ia menciuminya dan
memanggil-manggil namanya, kini tidak peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang
berdiri termangu-mangu cepat menggunakan punggung tangan kirinya menghapus dua
butir air mata yang tak tertahankan lagi menetes turun ke atas pipinya.
Tang Sun membuka matanya, lalu tersenyum dan
membelai rambut isterinya. Wajahnya membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali
keningnya berkerut ketika ia berkata, “....Hauw Lam.... dia.... pergi dari
sana.... tak seorang pun tahu ke mana. Isteriku, kau.... kaucarilah dia....”
Tangan yang membelai rambut itu lemas dan terkulai.
Bi Li menjerit dan roboh pingsan sambil
memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
“Bibi Bi Li....! Bibi Bi Li....!” Kwi Lan
memanggil-manggil sambil mengguncang-guncang tubuh Bi Li. Wanita itu akhirnya
siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun, membalikkan
tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li memang memiliki
kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain pedang, bahkan
ia menerima hadiah sebatang pedang indah dari Sian Eng. Kini dengan pedang di
tangan, matanya terbelalak memandang kanan kiri, mulutnya menantang-nantang.
“Pengemis-pengemis busuk, jembel-jembel
terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai habis!”
Kwi Lan maklum bahwa bibinya ini amat marah
dan sakit hati karena kematian suaminya. Suami yang terpisah darinya, selama
belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa terus meninggal dunia!
“Perempuan setan, berani kau membunuh saudara
kami?” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah tiga orang kakek
berpakaian pengemis. Mereka adalah tiga orang kakek tinggi kurus yang
memegang tongkat butut, sebutut pakaian mereka.
Begitu melihat tiga orang kakek pengemis ini,
sambil berseru marah Bi Li maju menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat
kilat, pedangnya berkelebat seperti halilintar menyambar.
“Tranggg....!” Pedang itu terpental dan hampir
terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis sebatang tongkat butut yang
dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin marah. Kakek pengemis ini kiranya
lihai sekali, tidak boleh disamakan dengan para pengemis yang tadi mengeroyok
suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan keras sambil memutar pedangnya dan
mengerahkan tenaga, menerjang dengan cepat sekali. Menghadapi serangan yang
begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut dan cepat memutar tongkat
melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan hebat di antara Bi Li dan
kakek pengemis.
Dua orang kakek pengemis lain segera melangkah
maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat ini, Kwi Lan menjadi curiga dan
membentak, “Jembel-jembel busuk, mundurlah kalian!” Gadis cilik ini menerjang
maju dengan pukulan kedua tangannya yang mendorong.
Karena melihat bahwa yang menerjang mereka
hanyalah seorang gadis cilik berusia empat belas tahun, dua orang kakek jembel
itu tersenyum tenang, bahkan mengulur tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tangan mereka bertemu dengan
tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong mundur dan hampir saja mereka terbanting
roboh! Baiknya keduanya adalah tokoh-tokoh lihai, cepat dapat menekan tanah
dengan ujung tongkat sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi. Sejenak
mereka saling pandang dengan muka merah, lalu menatap wajah Kwi Lan dengan
sikap terheran-heran. Namun mereka merasa penasaran. Mungkinkah bocah
perempuan ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya? Karena merasa malu
untuk menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu
menyelipkan tongkat di ikat pinggang lalu melangkah maju mengulur tangan.
“Bocah setan, mau lari kemana kau?”
Melihat dirinya diserang dengan jangkauan
tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa mengejek, “Lari ke mana? Untuk apa
lari menghadapi dua ekor babi tua macam kalian?” Dan dengan gerakan yang indah
namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah dapat mengelak, lolos dari tubrukan
mereka, kemudian cepat ia membalik dan mengirim pukulan ke arah punggung
mereka!
“Wuuuttt!” Dua orang pengemis tua itu berseru
kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga terhindar daripada pukulan
maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi jidat.
Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum betapa pukulan kedua tangan
bocah ini tadi mengandung tenaga Iweekang yang hebat dan dapat mematikan!
Berubahlah pandangan mereka. Kiranya bocah ini gerakannya jauh lebih hebat
daripada wanita yang bertanding melawan saudara mereka. Tanpa malu-malu lagi
keduanya lalu mencabut tongkat.
“Hi-hik, kalian mau lari ke mana?” Kwi Lan
mengejek. Akan tetapi cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit
karena melihat dua sinar tongkat sudah meluncur dengan hebat. Selanjutnya, Kwi
Lan harus mempergunakan kelincahannya untuk menghindarkan diri daripada kurungan
sinar kedua tongkat itu.
Diam-diamanak ini kaget juga. Kiranya dua
orang pengeroyoknya inibenar-benar amat tangguh sehingga tekanan kedua tongkat
itu mengurung dirinya, membuat ia tidak mampu balas menyerang. Dia tidak tahu
bahwa dua orangkakekitujauh lebih kaget dan herandaripadanya. Selama mereka
hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali inimereka menghadapi peristiwa
yang beginianehdanmemalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli silat kelas
tinggi, hanyaorang-orang pilihan saja di dunia kang-ouw yang setanding dengan
mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan
memegangtongkatpula,merekatidak mampu mengalahkan seorang gadis cilikyang
bertangan kosong! Sebetulnya tingkat ilmu silat anak itu belumlah matangdan
tidaklah seberapa tinggi, akan tetapigerakannyaamatanehluar biasasekalidansukar
diduga karena jauh berbeda dengan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaringsekali,
datangnya dari jauh akan tetapiamatjelas seakan-akanyang berkataberada di
belakang mereka, “Enci Bi Li!Kwi Lan! Mundur.... !”
Tentu saja Bi Li dan Kwi Lan mengenal baik
suara ini dan mereka cepatmeloncat mundur tanpa menoleh. Tigaorang pengemis
yang tidak mendengarseruan tadi, mendesak maju. Akan tetapitiba-tiba tampak
bayangan putih berkelebat dan.... tiga orang kakek itu berhentibergerak dan
telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi arca batu!Tanpa dapat
mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh ujung lenganbaju Sian Eng
yang kini sudah berdiri didepan mereka dengan sikap bengis!
Pada saat itu, terdengar bunyi anginmenyambar.
Belasan buah senjata rahasia berbentuk piauw (pisau) dan besi bintangmenyambar
ke arah Bi Li, Kwi Lan, SianEng, dan juga ke arah tiga orang penge mis yang
berdiri kaku. Bi Li dan KwiLan melihat datangnya senjata rahasiayang membawa
angin ini, maklum bahwasenjata itu digerakkan oleh tangan yang lihai, maka
tidak berani menyambut dancepat mengelak. Akan tetapi Sian Englalu mengebutkan
kedua tangannya kedepan dan....belasan batang senjata rahasia yang menyambar
ke arahnya dan ke arah tiga orang pengemis tua runtuh terpukul oleh hawa
pukulan kedua tangannya!
Daribalikpohonmeloncatkeluar lima orang kakek
pengemis pula, akantetapi mereka ini berbeda dengan yangtiga tadi. Kalau tiga
orang kakek pertama berpakaian butut kotor, adalah limaorang ini berpakaian
bersih, sungguhpunbertambal-tambalan seperti halnya parapengemis yang
mengeroyok Tang Sun.
“Wanita iblis, beranikau....”Hanyasampai
sekian saja bentakan seorang diantara mereka karena tiba-tiba tubuhSian Eng
lenyap berkelebat ke depan danlima orang itu menggerakkan kaki
tanganhendakmelawanbayangan yang
tiba-tibamenyambar,namunsia-siabelakakarenatahu-tahu
merekainipunsudahberdirikakusepertipatung,persissepertikeadaantiga orangkakek
bajubutut!
Melihatmunculnyalimaorangpengemisbajubersihini,baruBi
Lisadarakanperbedaanantaralimaorangpengemisinidantigaorangpengemisyangtadidatanglebihdulu.Pakaianmereka!Pakaianlima
orangpengemis yangdatangbelakanganiniserupadenganpakaianparapengemisyangmengeroyoknya,yang
membunuhsuaminya.Adapunpakaiantiga orangpengemis
yangmengeroyoknya,samabututdenganpakaiansuaminya.Teringatlah
iaakanceritasuaminya tentanggolonganputihyangberpakaianbututdangolongan
hitamyangberpakaianbersih.KinimelihatKamSianEngmemandangkepadatigaorangpengemis
bajubututdenganmataberingas, iacepat meloncatmajudanberkata.
“Sian-kouwnio....! Jangan....janganbunuhmerekaini....“
KamSianEngtanpa
menolehbertanya,suaranyadingindan ketus,“Apayangterjadidisini?”
BiLiyangteringatkembalikepadasuaminya,tidakmenjawabmelainkanberlututlagididepanmayatsuaminyasambilmenangis.
KwiLanmaklumbahwabibinyadanjugagurunyaitusedangmarah,maka iacepatmajumewakili
BiLidanberceritasingkat.
“BibiBi
Lidanakusedangmemetikbungaketikakamimendengarsuaraorang
bertempurdisini.Ternyatayang bertempuradalah....suamiBibi
BiLidikeroyokpengemis-pengemis bajubersihsampaiterlukadan tewas.Bibi Bi Lidan
akuberhasilmengusirdanmembunuhbe berapaorangpengemis baju
bersih,dansebelummatisuamiBibi Bi Lisempatbercerita bahwadiaadalahanggautapengemis
bajubutut.Kemudianmuncultigaorangkakekpengemisbaju bututiniyanglancang
menyerangBibiBi Lidanaku. Agaknya merekabertigainimasihsegolongandengan
suamiBibi
BiLi.Danlimaorangkakekyangdatangbelakanganiniagaknyahendakmembalaskankematiananakbuahmereka.”
SianEngmendengarini,melirikkearahBiLidenganwajahyangtertutuptiraisuteraitusedikitpuntidakberubah,tetapdingindankeras.Tiba-tibatangannyabergerakkepunggung,sinarterangberkelebatandisusuljerit-jeritkesakitandan....delapan
orangpengemisyangmasihberdirikakuitukinitelahbuntungsemuatangankanannya!EntahkapanSianEngmenggunakanpedang,entahkapanmencabutnya,danmenyarungkannyakembali,takdapatdiikutipandangmataparapengemisitusehingga
biarpunmerekamenanggunglukahebatdannyeri,merekamasihterbelalak kagetdangentar.Tigaorangpengemistuabajubututituadalahtokoh-tokohKhong-simKai-pangsedangkanlimaorangpengemisbajubersihituadalahtokoh-
tokohterkemukapula dariperkumpulangolonganhitam. Didalamdunia
kang-ouw,terutamaduniaparapengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini
merupakan orang-orang terkenal dengan ilmusilat mereka yang tinggi. Akan
tetapikini, dalam tangan wanita berkerudungyang cantik dan aneh itu, mereka
samasekali tidak berdaya, dipermainkan seperti tikus-tikus dipermainkan
kucing!
“Ohh, Kouwnio, jangan....!” Bi Li
yangmendengar jerit mereka dan mengangkatmuka, segera meloncat bangun. “Tiga
orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan mendiang suami saya....“
Sian Eng mendenguskan suara darihidung.
“Hemmm....!”
Kwi Lan segera berkata, “Bibi Bi Li,tiga orang
jembel tua ini biarpun segolongan dengan suamimu, namun
merekadatang-datangmenyerangkita.Pastibukan orang baik-baik! Sudah
sepatutnyaBibi Sian memberi hukuman.”
Kakek pengemis baju butut yang bertahi lalat
di bawah hidungnya, terdengarmenarik napas panjang. Delapan orang inibiarpun
tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kakitangan,
sedangkan anggauta tubuh yanglain tidak, sehingga mereka masih mampu bicara.
“Kamitigaorangtuabangkamemangtelahberlakuceroboh,tidakmengenal
orangdan tidakdapatmembedakanmanakawanmanalawan.
Kehilangantanganinisudahsepantasnya....!”
“Kouwnio,harapsudimengampunimereka.Tentutadimerekamenyangkabahwasayalahyangmembunuhsaudaramerekaini,padahaldia....
diaini....,TangSun,suamiku....“
“Hemmm....!KwiLanbebaskanmereka!”Sian
Engmenggerakkan kepalanyakearahtigaorang pengemisbajubutut.Sebagai
seorangmuridyangamattekundanamatcerdik,tentu sajaKwiLansudahpula
membacadanmempelajariisikitabIm-yang-tiam-hoat,sebuahkitabpusakadariSiauw-lim-paiyangdahuludicuriolehTok-siauw-kwidanterjatuhketanganSianEng.Dantentusajaiadapatpulamembebaskanpengaruhtotokanilmumenotokjalandarahini.Diham
pirinyatigaorangkakekitudandengansebuahjari
telunjukkanan,ditotoknyapunggungbelakangpusarmerekasambil tangan
kirinyatidaklupamenamparbelakangkepala.Sebetulnyatamparanbelakangkepalainitidakadahubungannyadengan
pembebasan totokan,anaktetapidasar anaknakal, iahendak
melampiaskankemendongkolanhatinyakepadatigaorangkakekpengemisitudalamkesempatanini!
Kembalitigaorangkakekini terkejutsekali.
Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi dan tahu banyak tentang
seluk-beluk IlmuTiam-hiat-hoat(MenotokJalan Darah). Akan tetapi selama
hidupmereka, baru sekali ini mereka tahu adailmu menotok jalan darah yang
pembebasannyadiharuskanmenempilingkepala segala! Makin gentarlah mereka
terhadapSian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk menotok
lengan kanan, menghentikan jalan darahagar darah yang mengalir keluar
daripergelangantanganyangbuntung ituberhenti. Kemudian, sejenak mereka
memandang kepada Sian Eng, dan pengemistua bertahi lalat segera menjura,
diturutdua orang temannya dan bertanya,
“Kami bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah
menerima petunjuk Kouwnio(Nona), semoga lain kali kamiakan dapat membalas
kebaikan ini. SudilahKouwniomemberitahukannamayangmulia dan tempat tinggal.”
SianEng tersenyum, senyum yangdingin dan
mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu akan tetapi juga mengandung hawa
dingin yang menyeramkanketika ia berkata, “Aku Kam Sian Engdan tinggal di hutan
ini. Kalau belumpuas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai-pang datang! Pergilah!”
Tiga orang pengemis tua itu menjuralalu
menghampiri mayat Tang Sun, akandiambilnya. Bi Li maju hendak mencegahakan
tetapi Sian Eng menghardiknya,“Enci Bi Li, mundur kau!” Bi Li terkejut sekali
dan segera meloncat mundur, wajahnya pucat dan air matanya bercucuranketika ia
melihat mayat suaminya dibawapergi oleh tiga orang kakek pengemisitu. Tiga
orang ini memandang sebentarkepada Bi Li dengan pandang mata ka sihan, lalu
menghela napas dan pergi daritempat itu dengan langkah lebar sambil
membawamayatTangSun.
Limaorangpengemistuabajubersihitutadinyaterkejutdankhawatirsekalimendengarbahwaanggauta
Khong-simKai-pangyangterbunuhadalahsuami wanitayangtaktertutupmukanya.Akantetapi,melihatsikapBi
Lidanmendengarbentakanwanitayang berkerudungdanmengaku
bernamaKamSianEngitu,merekamenjadilegahati.JelasbahwabiarpunwanitayangkeduaitumempunyaisuamianggautaKhong-simKai-p
ang,namunsiwanitaanehyangsakti itusamasekalitidakbersahabatdengan
Khong-simKai-pang.Biarpuntubuhmerekamasihkakudan
takmampubergerak,namunpengemisyangtertuadi
antaramereka,yanghidungnyabengkoksepertihidungkukukbelukberkatamerendah,
“Mohonmaafsebanyaknya kepadaCianpweyang mulia.
Karenatidaktahudanbelum mengenal,boanpweberlimaberanimatilancangmemasukiwilayahCianpwe.HendaknyaCiancwememaklumibahwaboanpweberlimaadalahpimpinan
perkumpulan pengemis
Hek-pengKai-pang(PerkumpulanPengemisGarudaHitam)yangmasihberadadibawahlindunganyangmuliaBu-tek
Siu-lam!MakaboanpweberlimamengharapsudilahkiranyaCianpwemelihatmukaCiangbujin(PemimpinBesar)Bu-tekSiu-lamuntukmengampunidanmembebaskan
boanpweberlima!”
SianEngmengerutkan
keningnya.Diam-diamiamerasagelimendengarbetapalimaorangkakekitu
menyebutnyacianpwe,sebutanbagitokoh-tokohtinggiduniapersilatandanmenyebutdiri
boanpwe,sikapyangamatmerendahkansekali.AkantetapiiaheranmendengarnamaBu-tekSiu-lam(Laki-lakiTampan
TanpaTanding).Siapakahitu?Sudahterlalulamaia mengasingkandiri
sehinggatidakmelihatperubahandidalamduniakang-ouw,tidakmengenaltokoh-tokohbarunya.
Siapakahdiayang
berjulukBu-tekSiu-lamitu?”tanyanyatanpadisengajakarenapertanyaandalamhatiiniterlontarkeluarmelaluibibirnya.
Limaorangpengemistuabajubersihitusalingpandangdenganherandanjugakecewa.Benarkah
adaorangdiduniakang-ouw iniyangbelummengenalnama Bu-tekSiu-lam?Dan wanitaaneh
ini demikiansakti!Tapimungkinbelummemasukidunia kang-ouw.Karenaini,
SiHidungBengkoksegeraberkata, sengajamengangkat-angkatnamabesar Bu-tek
Siu-lamuntukmenimbulkankesanmendalam.
“Beliau adalah tokoh tertinggi di
duniakang-ouw yang datang dari dunia barat.Semua perkumpulan pengemis baju
bersihberada dibawah perlindungan beliau, danboanpweyakinbahwakelak
beliaulahyang akan menjadi pemimpin besar semuakai-pang!Jugadalam pemilihan
tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh
DuniaNomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam
tahunbaru nanti, sudah dapat dipastikan bahwaCiangbujin
Bu-tekSiu-lamyangakankeluar sebagai juara, jagoan di antara segaladatuk! Tapi....eh,
kecuali....kalauCianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu,keadaan akan makin
ramai.” Demikiantambah Si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik
kerudung itu kelihatan tak senang.
“Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam!
Kalian berlima sudah lancang beranimenyerangku, berani memandang sebelah
mata. Karena itu, kalianbaru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar
sebuah biji mata kalian!”
Lima orang pengemis itu terbelalak,dan muka
mereka pucat. Keringat dinginmengalirkeluar membasahi jidatdan leher. Sebuah
biji mata disuruh cokelkeluar? Siapa yang sudi? Sebelah tangansudah
dibuntungkan, kini sebelah matadiminta lagi!Mana ada aturan beginibocengli
(kurang ajar)? Wanita aneh initidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum
mengenal. Kalau belum kenal,belum tentu wanita ini benar-benar sakti.Agaknya
hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi
menjadikorban totokan sebelum dapatbergerakbanyakdan sebelum melihat sampaidi
manatingkatilmu kepandaianwanitaberkerudungitu.Karenatidakterdapat jalan lain
untuk menghindarkandiridaripada ancaman cokel mata,
SiHidungBengkoklaluberkata,nadanyasengaja dikeluarkan untuk mengejek.
“Sebagai orang-orang kang-ouw kamitahu bahwa
hukumnya adalah siapa kuatdia menang dan siapa kalah harus tunduk.Sayang
sekali bahwa kami belummerasa dikalahkan,hanyadibuat
tidakberdayaolehserangangelap.Sebagaitokoh-tokohHek-pengKai-pang,kami
mengandalkankeselamatannyawa kamidiujungpedang.Siapatahu,sebelum
kamisempatmencabutpedang,kamimengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok
seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masihingusan
sekalipun dapat melakukan apasaja yang dikehendakinya terhadap kami!”
Akal Si Hidung Bengkok ini
berhasilbaiksekali.SianEngmenjadimerahmukanya dan sekali tubuhnya
bergerak,tampak bayangan putih berkelebat. Ujunglengan bajunyamenyambardanlima
orang kakek itu merasa betapa punggung
belakangpusarmerekatertotokyangmembuattubuhmerekapulihsepertibiasa. Serentak
mereka berlima mencabutpedangdanmembuat gerakan keliling,mengurung wanita
berkerudung itu.
Sian Eng yang berdiri di
tengah-tengahdalamkeadaanterkurung,hanyamemandangtanpamengubah kedudukanbadan
dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang
melirik ke kanan kiri, kemudiantampak giginya berkilat putih ketika iaberkata,
“Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut.
Tidak lekas mencokel mata kanankalian. Tunggu apa lagi?”
Ucapanyangmenyakitkanhatiini merupakankomando
bagilimaorangkakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam
keadaan terkepungdan limaorang itu melakukanserangan berbareng.Lima buah
pedangdengan tusukan dan bacokan kilat me
ngarahtubuhnya.Tiba-tibaterdengarsuara tertawa terkekeh dan lima
orangpengemisterkejutketikamelihatbayanganputih melesatcepat
daritengahkepungandanbenarsaja,ketikamerekamelihat,ujungpedangmerekahanya
mengenai tempatkosongdanlimabuahpedangmerekahampirberadusendiridengan
kawan.Cepat merekamenengokdankiranyaSianEng telahberdiri
sambilbertolakpinggangdisebelahkiri sambiltersenyummengejek.
Pengemishidungbengkokyangberdiripalingdekat,cepatmenerjangnyadenganpedang,diikutiolehteman-temannyayangkinitidakmengurunglagi.
InilahyangdikehendakiSian
Eng,yaituagarlimaorangpengeroyoknyaitumenyerangnyadengansusul menyusul, tidakberbarengsepertitadi.BegitupedangSiHidungBengkok
menyambar, iamengge rakkanlengannyasecaraaneh.
Pedangmenusukdatangdanterdengarlahjeritmengerikandisusulrobohnyatubuhpengemis
hidungbengkok.SianEngtidakberhentisampaidisitusaja.Tubuhnyaterus bergerakkedepandanjeritkesakitansusulmenyusulsehingga
akhirnyaempat
orangpengemisyanglainjugaroboh.Hanyabeberapapuluhdetiksajaterjadinya.Lima
orangpengemisitusendiritidaktahubenarapayangterjadi.Ketika merekamenyerang
secara mendadakpedangmerekamembalikdan mencokelmata merekasendiri,matakanan!
KiniSianEngberdiritegak,memandanglimaorangpengemisituyangmerangkakbangunsambilmerintih-rintih.Tangankananmerekasebataspergelangantelahbuntung.Tadi
merekamenggunakantangankiriuntuk bermainpedang, siapakira,secaraanehsekaliwanitasaktiitutelahmembuatpedangmerekamembalikdanmencokel
keluarbijimatakananmerekadenganpedang merekasendiri.Setelah
merekamampuberdiri,lima
orangpengemistuayangterlukaparahitu,berdirimemandangSianEngdenganmatasebelahmereka,memandang
penuhkemarahandankebencian.
“Pergilah
kalautidakinginmampus!”SianEngberkatadingin.
Limaorangpengemisituinginsekalimenerjangmengadunyawa.Akantetapikinimaklumlah
merekabahwaterhadapwanitaanehinimerekatidakberdayasamasekali.SiHidungBengkok
sambilmeringismenahansakitberkata,
“AkankamilaporkanbahwaengkaumenantangciangbujinkamiBu-tekSiu-lam!”
“Boleh!Suruhdiadatangkesini,akankubuntungikeduatangannyadankucokelkeluarkeduabijimatanya!”bentakSianEng.
Limaorangituterkejut.Benar-benarwanitainisudahgila,beranimengeluarkankata-katasepertiituterhadapBu-tekSiu-lamyangsaktisepertidewa.“Tunggulahdankalaumemangberani,datanglahkelakdipuncak
Cheng-liong-san!”
SianEnghanya
tersenyumdanmemandanglimaorangituyangpergisambilmeringis
kesakitan.Setelahkeadaanmenjadisunyi,barulahSianEngmenolehkepada Bi
Lidanmembentak, “Apakahengkau hendak pergipulameninggalkanaku?”
Didalamsuaranyaterkandung ancaman maut.
Bi
Limenggelengkepala,menyusutairmatanya.“Pergikemana?Suamikutelahmati....!Tidak,akutidakakanpergidarisini,kecualipergikeakhirat.Tidakadalagiyangkuharapkan.”
Mendengarjawabanini,SianEngmengeluarkansuaratertawaterkekeh-kekehmendirikanbuluroma.
KwiLanmengerutkankeningnya,akantetapiketika melirikkearahBi Li,
iamelihatwanitaitumemandangkepadanyadantahulah iabahwa Bi Lidiam-diam
amatmengharapkanagarkelakdapatbertemudenganputeranyayangbernamaHauwLam.Dangadisini,biarpuntidakmendengarkata-katakeluardari
mulut Bi Li,dapatmenduga,bahkanberjanjidalamhatinyabahwakelak
iaakanbantumencariputerayanghilangitu.
Semenjakterjadiperistiwaitu,KwiLanbelajarmakintekundangiatkarena
iamaklumbahwailmukepandaiantinggimerupakan
modalterutamabaginyauntukkelakmencariorangtuanyadanuntukmembantu Bi Limencari
puteranyayangbernamaTangHauwLam.DansemenjakterjadinyaperistiwaitulahnamaKamSianEngdikenaldiduniakang-ouwsebagaiseorangtokohyang
anehdanluarbiasa,sertamemilikiilmukesaktianyangdahsyatpula.Halinimenyebabkan
semuaorangmenjauhkandiridarihutanitu,yangdianggapsebagaihutaniblisdantakseorangpunberanimemasukinya.
***
Limatahunkemudian, seorang
gadisberusiasembilanbelastahunberjalan se
orangdiridikakiGunungLu-liang-san,disebelahbaratkotaTai-goan.Gadisremajainicantiksekalidanamatmanis.Bentukmukanyalonjong,dagunya
meruncing,dengankulitmukayanghalusdanputihsepertisusu,dihias warna
merahjambudikeduapipinya, warnamerah karena
sehat.Mulutnyakecildenganbibirselalutersenyum,bibirmerahmembasahdansegar.Rambutnyaagakawut-awutan,tidakdisisirrapi,namunmenambahkeluwesandankeayuannya.
Tubuhnyasedangdanramping,agakkurusakantetapidenganlekuk-lengkungtubuhyangmenonjolkankewanitaannya.Pakaiannyaberwarna
merahmuda,denganikatpinggangmerahtua.Sebatang pedangtergantungdipinggangnyadan
gagangpedanginidihiassebuahmutiarayangbesar,mutiara berwarnahitamberkilauan.
GadisjelitainibukanlainadalahKamKwiLan!Sudahsetengahtahun
i amerantaumeninggalkanhutaniblis.Setengahtahunyanglalu,bibinya,jugagurunya,KamSianEngtelah
pergibersamaSumaKiat.
“AkupergibersamaSuhengmu.Kautidak
bolehikut,KwiLan.Akantetapikalauengkau
maupergimerantau,terserah.Engkausudahcukup
dewasadankuatuntukmenjagadiri.”DemikianpesanSianEngsecarasingkat.AdapunSumaKiattersenyum-senyum,agaknyahendakmenggodasumoinyaituyangtidakbolehikutpergi!Memang,biarpun
usianyasudahduapuluhtahun,SumaKiatyangkinijugamemilikiilmuke
pandaiantinggiitukadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja!
“Bibi, saya hanya minta agar sebelumBibi
pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku.”
Sian Eng tersenyum di balik kerudunghitamnya.
“KeterangantentangAyah bundamu, bukan?”
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arahBiLi yang
juga berdiri di situ dan yangmenjadi kaget pula.
“Hemm, jangan kira bahwa aku tidaktahu akan
persekutuan kalian beberapatahun yang lalu! Enci Bi Li, suamimutelahmati,anakmu
hilang. Kalau diamemang anak berbakti, tentu dia akandatang mencarimu kelak.
Kwi Lan, kalaukau hendak mencari Ibumu, pergilah keKhitan.Ibumuadalah
adikangkatku,yaitu Ratu Yalina di Khitan. TentangAyahmu....hi-hik, kautanya
saja kepadaIbumu yang manis itu!“
Demikianlah, setelah Sian Eng bersamaSuma
Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan di manaia hidup selama
delapan belas tahun. Iamenasihati Bi Li agar tinggal di dalamistana bawah tanah
saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari
keterangan di dunialuar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya,
Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja di
Khitan di sebelah utara.Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa,
melakukanperjalananseenaknya.Halinibukan saja karena ia memang hendakmenikmati
keadaan kota dan dusun yangdilaluinya, juga terutama sekali
karenahatinyamerasaamatkecewaketikamendengar keterangan gurunya bahwa
diasebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu!Akan tetapi ratunya bangsa Khitan
yangdianggap sebagai bangsa yang setengahliar di utara. Dan kalau dia benar
anakratu, mengapa sampai diberikan kepadagurunya? Kalau benar ibunya itu,
RatuKhitan, adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi
ituuntuk dilatih ilmu silat. Alangkah tegahatiibukandungnyaitu!Berarti
tidaksayangkepadanya!Karenapikiran inilahmakaKwi
LantidaksangatbernafsuuntukbertemudenganibukandungnyayangmenjadiratudiKhitan.
Padapagihariyangcerah itu,KwiLanberjalandikaki
BukitLu-liang-san, menikmatikeindahanalamyang mandicahaya
mataharipagi.Tiba-tibapendengarannyayangtajamdapatmenangkapsuaraorangbertandingdisebelahdepan.Hatinyatertarikdaniamempercepatlangkahnya.Ketikatibadisebuahbelok
an,iamelihatduaorangtengahbertandinghebat. Yangseorangbersenjata
pedang,yangkeduabersenjatatongkat butut.Disekelilingtempatpertandinganitu,berdiripulabeberapa
orangdengantegakdanpenuhperhatianmenontonjalannyapertandingan.Melihatbetapaduaorangyang
bertanding,jugamerekayangberdirimenonton,semuaberpakaian
pengemis,teringatlahKwiLanakanperistiwadihutan iblispada limatahunyang
lalu.Yangbersenjatatongkatbututadalah
seorangkakekpengemisberpakaianbututdandisitumasihadatigaorangtemannyayangkurus-kurusdantuaberdirimenonton.Adapunlawannya,yangberpedang,adalahseorang
pengemispakaianbersih,sedangkanagaknyaempatorangyangberdirimenontondisebelahkiriadalahteman-temannya,sungguhpunhanyadua
diantaramerekayangberpakaianpengemisbaju bersih.
Pertandinganitucukupserudandarigerakan
merekatahulahKwiLanbahwa
merekayangbertandingitumemilikikepandaiancukuptinggidan
tentubukananggautabiasadariperkumpulanmereka,melainkan tokoh-tokoh yang
berkedudukancukup tinggi. Maka ia memandang penuhperhatian sambil mendekati
dengan langkah perlahan.
“Ssssttt....!”
Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang
berdesis itu adalah seorangpemuda yang duduk ongkang-ongkang diatas dahan pohon
sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan
menaruh telunjuk kedepan mulut. Melihat wajah pemuda ituyangberseri,
tidakhanyamulutnya,bahkanhidungdanmatanyaikuttersenyumramah,sekaligus timbul
rasasukadihatiKwiLan.Matapemudaitubersinar
terangdangembira,jelastampakbahwadiaseorangperiangyanglucudanjuganakal.
“Kalaumaunonton,disinipalingenak,jelasamandantidakusahbayar!”bisikpemudaitudanterkejutlah
KwiLan. Pemudaituhanyaberbisik-bisik,akantetapisuaranyajelassekaliterdengarolehnya,sepertididekat
telinganya.Tahulahiabahwapemudayangperianginibukanhanyaseorangpemudaberandalanbiasa,
melainkanseorangpemudayangmemilikikepandaiantinggidansudahmenguasaiIlmu
Coan-im-pekli(MengirimSuaraSeratusMil).Kalausajapemudaitutidakmemilikiwajahtampanyangbegitujenakasepertiwajahseoranganakkecilyang
nakal, tentuKwiLanakanragu-ragubahkanmarah.Namunjelas baginyabahwapemudaitu
nakaldanpolos,tidak bermaksud kurangajar. Hal ini dapat ia lihat dari
sinarmatanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi
Lan sudah dapat membedakan pandangmata laki-laki yang tertarik akan kecantikan
wajah dan bentuk tubuhnya, pandang matamengandungberahiyangkurang ajar.
Sengaja Kwi Lan mengerahkan
ginkangnyasehinggaketika ujung keduakakinya menggenjot tanah, tubuhnya
melayang naik seperti seekor burung kenariterbang melayang dan hinggap di
atascabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda
tanpasedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelikkalau
ia memancing kekaguman pemudaitu, karena si pemuda menoleh kepadanyaseperti
tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringanitu tadi
sudah sewajarnya!
Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan
sejenak, pemuda itu tersenyumlebar,merogohsakubajunya yang lebar, mengeluarkan
bungkusan dan membuka bungkusan itu,
menyodorkannyakepadaKwiLan.Kiranyatanpabicarapemudaitutelahmenawarkankacanggaring
kepada Kwi Lan!
“Enak nonton di sini sambil makan kacang,”
katanya dengan mata bersinar-sinar. “Gerakan mereka dapat nampakjelas. Hayo
bertaruh, siapa yang akanmenangantarapengemisbertongkatkurus kering dan
pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada SiBotak!”
Kwi Lan makin suka kepada pemudayang sebaya
dengannya ini, atau mungkinlebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan.
Tanpa ragu-ragu lagi iamengambil segenggam kacang, membukakulit dan memakannya
sambil menontonke arah pertandingan.
“Aku bertaruh pengemis baju bututyang menang,”
Kwi Lan berkata setelahmenonton sebentar. Kacang garing ituenak sekali, selain
gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberibumbu dan asinnya
cukup.
“Belum tentu!” kata Si Pemuda gembira dan
kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang.“Memang Si Kurus
Kering itu lebih lihaiginkangnya, lebih cekatan. Akan tetapikulihat Si Botak
ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alatuntuk melepas
jarum beracun.”
“Ihhh....!Memang pengemis baju bersihitu
golongan hitam dan curang!” Kwi Lanberseru.
“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tahu saja! Kaukira engkau saja yangtahu
kelicikan mereka?”
Merekasalingpandang,cemberutkarena dengan
pertaruhan itu merekaseperti hendak saling memihak. Akantetapi pemuda itu
tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan kacangnya. “Enakkacang ini, bukan? Tentu
enak, kacangini khusus dibuat untuk istana kerajaan!” ia tertawa ha-ha-he-he,
lalu melanjutkan,“Akan tetapi, Raja dan para Pangeranbelum tentu mempunyai
mulut sepertimulutku, maka aku merasa bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk
mencicipikacang untuk istana ini dan kucuri sebagian. He-he-heh!”
KwiLanjugatersenyumlebardanmengambillagisegenggam.Keduanyakinitidakberkata-katalagikarenaikutmerasategangdenganpertandinganyangmakin
seru itu. Mereka seperti lupa diri,makan kacang sambil menonton ke bawah,
persis seperti lagak para penontonpermainan sepak bola yang ramai. Mereka
seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.
Memang pertandingan itu makin seru. Tepat
seperti yang dikatakan pemuda itu,gerakan pengemis baju butut yang me megang
tongkat amat lincah, tubuhnyaseringkali mencelat ke atas dan
menyambar-nyambardengan tongkatnya.Pengemisbotakyang berbajubersih,agaknya
kewalahan dan terdesak sehinggaia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar
untuk dapat membalas. Namunharus diakui bahwa pertahanan pedangnyacukup kuat
sehingga semua terjangan SiPengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras danilmu
tongkatnyaberubah,membentuklingkaran-lingkaranyangmakin lamamakin sempit
sehingga mengurung tubuh lawannya.
“Hah, mampus sekarang jagomu!” kataKwi Lan.
“Heh,belumtentu! Lihat saja....jawab Si
Pemuda.
“Lihat, nah....kena!” Berbareng dengan ucapan
Kwi Lan yang tentu sajadapat mengikuti jalannya pertandingandengan jelas dan
bahkan dapat mendugapula perkembangan setiap gerakan, benarsaja tongkat
pengemis pakaian kotor itudapat menusuk leher pengemis botak.Akan tetapi,
ketika pengemis botak ituberusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari
gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kuruskering itupun
berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia
tusuk dengan tongkat, tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban
tiga batang jarum beracunyang menyambar keluar dari gagang pe dang ketika
lawannya menekan alatrahasiadigagangpedangitu.Tigabatangjarum berbisa memasuki
perutnya!
Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh
kurus-kurus itu menjadi marahsekali. Akan tetapi pada saat itu, empatorang
lawannya yang tadinya juga menonton, dengan bersorak telah menyerbudan
menerjangmereka bertiga.Tigaorang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat
melawanpengeroyokan empatorang lawan itu. Akan tetapi ternyatakepandaian empat
orang lawan, terutamayang berpakaian seperti jago silat, bermuka penuh brewok
dengan alis tebal,tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai. SiBrewok tinggi besar
ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk. Tiga
orang pengemisbaju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil mundur. Namun
merekamelawan terus dengan nekad sambil memaki-maki. Tidak lama pertandingan
itukarena tiba-tiba tiga orang pengemiskurus itu berteriak keras dan
terjungkalroboh. Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah mempergunakan
sen jata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia ini.
Danagaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya
begituroboh, seperti halnya pengemis pertama,tiga orang kakek baju kotor ini
pun takbergerak lagi, mati seketika!
“Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bukankah
jembel-jembel busuk pesolek yangmenang?” Pemuda di samping Kwi Lanbersorak.
Kwi Lan cemberut, lalu berseru keraske bawah,
“Jembel-jembel pesolek dankaki tangannya memang curang! Anakbuah Bu-tek Siu-lam
mana ada yangtidak curang dan pengecut?” Teringatperistiwa lima tahun yang
lalu, sengajaKwi Lan menyebut nama itu. Siapa kira,mendengar disebutnya nama
ini, Si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak keras lalu terjungkal ke
bawahpohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu
terjungkal, dari bawah menyambar beberapamacam senjata rahasia itu. Cepat
iamenggunakan ujung lengan bajunya mengebutdan....runtuhlahsemua
senjatarahasiaitu.DenganmukamerahKwiLanmeloncatberdiridi atascabangpohon.Ia
melihat empat orang itu terbelalak kaget, akan tetapi seorang diantara dua
pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis,telah mencabut
pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan
senjata rahasia gelang besiyang melayang dan terputar-putar menyambar ke arah
perut Kwi Lan.
Gadis ini memuncak kemarahannya. Iameloncat
turun sambil menyampok senjata gelang besi itu ke bawah dan setengah
disengaja ia menyampok gelangbesi itu ke arah Si Pemuda yang sudahbangun.
“Aduhh!” teriak Si Pemuda
sambilberloncatanbangun danmengelus-eluskepalanya, seakan-akan kepalanya
terkenahantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi jidatnya yang lebar dan
kelimis itutidak terluka, lecet pun tidak.
Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu,lalu
melayang ke arah pengemis bajubersih yang menyambut kedatangannyadengan sebuah
tusukan pedang! Tampaknya serangan ini tak mungkin dielakkanlagi oleh Kwi Lan
yang tubuhnya sedangmelayang di udara dan memang gadis inipun tidak berusaha
untuk mengelak. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbukamelakukangerakan
mendorongdan....pedang itu terkena dorongan hawapukulan ini membalik kemudian
secepatkilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan
yangmemegang pedang dan....pedang itu mencelat sambil membalik sehingga
menusukpangkal lengan pengemis pendek itu sendiri sehingga kulit dagingnya
terbelahdan tampak tulang lengannya! Sementaraitu, entah bagaimana pedangnya
telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk
menodong!
“Ha-ha-ha-heh-heh!”Si Pemuda itu
bersoraksambil mempermain-mainkan gelangbesiyang tadi menyambarnya dengan
tangan kanan. “Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan aksinya.Makanya
jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi pengemis
tapipakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah, ini
namanya tua-tua keladi!”
Tentusaja pengemis pendek yangdirobohkan Kwi
Lan itu melotot ke arahSi Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga
terheran-heranmengapa senjata rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung
racun itukini dipakai main-main oleh Si Pemudaini. Pada saat itu, pengemis ke
dua yangtubuhnya kurus kecil seperti kucing kela paran itu menudingkan telunjuknya
kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranyabesar dan parau sungguh berlawanan
dengan tubuhnya yang serba kecil kurus.
“Eh, iblis betina dari mana beranimenentang
Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina ciangbujin Bu-tek Siu-lam?
Apakah sudah bosan hidup?”
Kwi Lan membalikkan tubuhnya, membelakangi
pengemis pendek yang terlukauntuk menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum
manis ketika berkata, “Kalian inijembel-jembel busuk, biarpun tidak samadengan
Hek-peng Kai-pang, kiranya samabusuknya, apalagi sama-sama di bawahpimpinan
Bu-tek Siu-lam yang biarpunbelumpernahkujumpai,tentubusukpula!”
“Eh, perempuan keparat! Selama hidupkami tidak
pernah bertemu denganmudan tidak pernah bertentangan, mengapa hariini kau
datang-datang menghina danmemusuhi kami? Apakah kau berpihakkepada
jembel-jembel butut itu?” bentakpula pengemis kurus kecil sambil menuding ke
arah mayat empat orang pengemis baju butut. Kumis kecil di kanankiri hidung
itu bergerak-gerak akan te tapi tidak sama sehingga kelihatannyaseperti
sepasang sayap kupu-kupu yanghinggap di situ membuat Kwi Lan menjadi geli dan
memperlebar senyumnya.
“Urusan kalian dengan jembel-jembelberpakaian
butut sama sekali tidak adasangkut-pautnya dengan aku. Akan tetapikebetulan
sekali aku adalah orang yangpaling tidak suka melihat perbuatan-per buatan
curang dan pengecut. Dalam pertandingan tadi, kalian merobohkan
lawanmengandalkan senjata rahasia secara curang sekali. Kemudian kalian juga
menyerangku dengan senjata rahasia. Apakah kau masih mau bilang di antara
kitatidak ada pertentangan?” Berkata demikian, Kwi Lan melirik kepada dua
oranglain yang tidak berpakaian pengemis,yaitu yang bermuka brewok dan
seorangtemannya lagi. Jelas mereka itu tidaksegolongan dengan dua orang
pengemisbaju bersih ini dan mereka puri tidakmencampuri perdebatan, hanya
memandangdengan mata terbelalak heran dan keningberkerut.
“Bocah sombong! Merampas
pedangdanmelukaisaudarakumasihbelummerupakan dosa besar,akan tetapi menyebut
dan menghina nama ciangbujinkami....”
KwiLanmemegang ujung pedangdengan tangan
kirinya dan sekali tekuk,pedang rampasan itu patah menjadi duadan ia buang ke
atas tanah. “Pedang sudah kupatahkan, kalau aku bunuh saudaramu itu dan kumaki
Si Kepala Penjahat busuk Bu-tek Siu-lam, kau mauapa?”
“Iblis betina, rasakan tanganku!” Tiba-tiba
pengemis kecil kurus itu sudah mencabut pedang dan menggerakkan pedangnya
membacok, gerakannya selain cepatjuga kuat sekali, jauh lebih kuat daripada
gerakan pengemis yang sudah terluka tadi.Pada saat yang sama, ketika Kwi
Lanmemutartubuhnyauntukmenghadapiserangan pengemis kecil kurus, pengemis ke dua
yang sudah terluka lengannya itukini menggerakkan tangan kirinya menyambitkan
sebuah gelang besi ke arahpunggung gadis itu.
Apa yang terjadi selanjutnya sedemikiancepatnyasehingga
sukar diikutipandangan mata, akan tetapi tahu-tahudua orang pengemis itu
menjerit danroboh dalam keadaan tak bernyawa lagidan hebatnya, tepat di dahi
mereka tampak luka berlubang ditembusi gelang besiberacun! Kiranya ketika tadi
diserangpedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahubahwa dari belakang ia diserang
dengansenjata rahasia maka secepat kilat ia
berkelebatkedepan,menangkaptanganyangberpedangdari
samping lalu membetot tubuh itu dipakai menangkis gelangbesi yang menyambar
punggungnya sehingga senjata rahasia itu tepat menyambar dahi pengemis kurus.
Adapun SiPengemis pendek yang melepas senjatarahasia secara curang itu, sebelum
sempat mengelak, telah “dimakan” senjatarahasianya sendiri yang dilemparkan
olehpemuda teman Kwi Lan dengan gerakansembarangan namun yang membuat senjata
itu menyambar cepat sekalidanmasuk ke dalam dahi pemiliknya.
Kini tinggal dua orang yang bukanpengemis,
teman-temandaripengemisbaju bersih, berdiri memandang denganmata terbelalak
kaget. Mereka berduamengerti bahwa dua orang muda itumemiliki kepandaian yang
amat tinggi.Orangpertamayangmukanyapenuhbrewok segera melangkah maju dan
menjura sambil mengangkat kedua tangan kedada dan berkata,
“KepandaianJi-wi(TuanBerdua)sungguh hebat dan
membuat kami merasa kagum sekali!”
Kwi Lan hanya tersenyum mengejek,akan tetapi
pemuda itu tertawa-tawatanpamembalaspenghormatan orang.“Heh-heh, kulihat kalian
berdua bukanpengemis. Tapi tadi membantu dalampertandinganantarpengemis!Apakah
sekaranghendakmenuntutbela ataskematian dua orang sahabatmu ini?”
Si Brewok menggeleng-geleng kepalanya. “Kami
tidak tersangkut dalam urusan antara mereka dan Ji-wi, dan telahsaya lihat
betapa mereka itu mencarimati sendiri dengan keberanian mereka melawan dan
memandang rendah Ji-wi.Sungguhpunmenghadapi empatoranganggauta Khong-sim
Kai-pang pengemisbaju butut tadi kami merupakan sekutumereka, namun urusan
terhadapJi-wi kami tidak ikut campur.”
“Menggerakkan lidah memang
amatmudah!”KwiLanberkatamengejek.“Kau bilang tidak ikut campur, akantetapi
siapa tadi yang ikut menyerangkudengan senjata rahasia ketika aku beradadi atas
pohon itu?”
WajahSi Brewok menjadi merah. Memang tadi dia
ikut menyerang Kwi Landengan senjata rahasianya yang berbentukpeluru bintang.
Ia menjura kepada gadisitu dan berkata,
“Harap Nona maafkan, tadi saya menyangka Nona
adalah kawan pengemisKhong-sim Kai-pang.”
“Tidak peduli apa yang kausangka.Hayo serang
aku lagi dengan senjatarahasiamu!” bentak Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Berubah muka Si Brewok. “Saya....saya mana
berani?”
“Berani atau tidak masa bodoh, kauharus! Kalau
membangkang, jangan bilangaku keterlaluan!” Suara ini mengandungpenuh ancaman
sehingga muka yang penuh brewok itu menjadi pucat. Ia berdirisaling pandang
dengan kawannya. Kawannya itu agaknya lebih berani daripada SiBrewok, matanya
yang agak menjulingitu dipelototkan ke arah Kwi Lan dan iaberseru,
“Nona, engkau sungguh
keterlaluan!Kamiadalahorarg-orangThian-liong-pang, bukan orang-orang
sembarangan!Kalau Suhengku ini berlaku mengalahkepadamu, adalah karena melihat
engkaumasih muda, masih setengah kanak-kanak. Setelah Ouw-suheng mengalah,
mengapa engkau malah mendesaknya? Sekalidia turun tangan, engkau akan
celaka,dan hal itu akan sayang sekali, melihatengkau begini muda dan cantik!”
“Sute,diam....!”Si Brewok menegur adik
seperguruannya.
Kwi Lan marah sekali, akan tetapitak seorang
pun tahu akan hal ini karenasenyumnya makin manis. “Ah, begitukah?Jadi kalian
ini orang-orang Thian-liong-pang yang lihai? Kebetulan sekali, lekaskalian
berdua menyerangku dengan senjata-senjata rahasia kalian!”
Si Brewok ragu-ragu, akan tetapi SiMata Juling
berkata, “suheng, dia yangminta dihajar, tunggu apa lagi?” Sambilberkata
demikian Si Juling mengeluarkan dua buah senjata rahasianya, yaitu pelurubintang.
Senjata rahasia ini terbuat daripada baja, ujungnya runcing-runcing dankarena
bentuknya bulat seperti
peluru,makadapatdisambitkandengankeras.Melihatini,SiBrewokyang
didesak-desakjugamengeluarkansenjatarahasiayang sama, akan tetapi hanya sebuah.
“Hayo lekas serang, tunggu apa lagi?”Kwi Lan
berseru, berdiri dengan sikapseenaknya, bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan
menoleh membelakangi duaorang itu.
Selagi Si Brewok ragu-ragu dan
adikseperguruannya yang marah itu menantigerakan kakaknya, terdengar pemuda
itutertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Aku mendengarnama besarThian-liong-pangsebagai
perkumpulan yang disegani danditakuti, yang mempunyai cabang di seluruh
negeri, yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi ternyata
kiniorang-orangnya hanya pengecut-pengecutyang suka menyerang seorang gadis
dengan curang....”
“Eh, manusia berandalan! Diam kau! Ini bukan
urusanmu!” Kwi Lan membentak dan melotot kepada pemuda itu. SiPemuda masih
tertawa-tawa, akan tetapitiba-tiba matanya terbelalak dan wajahnya
memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang
itumenggunakan kesempatan selagi Kwi Lanmenoleh dan bicara kepadanya
untukmenyerang dengan senjata rahasia mereka. Pemuda itu menjadi pucat
karenamaklum betapa hebatnya serangan itudan betapa ia sendiri yang berdiri
jauhtidak sempat mencegah serangan ini.Akan tetapi wajah yang kaget itu
berubah girang dan sinar matanya menyorotkankekagumanketikaiamendengarpekik
kesakitan kedua orang anggauta Thian-liong-pangitu.SiMataJulingroboh dan tewas
seketika karena pelipisdan dadanya dihantam senjata rahasianyasendiri,
sedangkan Si Brewok roboh kesakitan akan tetapi segera melompatbangun kembali
karena hanya pahanyayang terluka olehsenjata rahasianyasendiri pula. Ia berdiri
dengan mata terbelalak kagum dan heran. Memang luarbiasa sekali caranya gadis
itu menghadapi serangan senjata rahasia tadi.
Biarpunsedangmenengokkebelakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan
senjatarahasia.Bahkantanpamenolehlagiiamenggerakkankeduatangannya,menyambarsenjata
rahasiaSiJulingyangdatanglebihdulukearahpelipisdan dada, kemudian secepat kilat
ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemiliknya, tepat mengenai pelipis
dan dada!Adapun peluru bintang yang dilepas SiBrewok hanya mengarah pahanya,
itupuntidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga me”retour” senjata
rahasia itu tepat mengenai pinggir paha Si Brewokyang mendatangkan luka daging!
Sambil meringis menahan sakit, SiBrewok
menjurakepadaKwiLan. “Benar hebat dan mengagumkan. Saya mengakukalah dan
kematian Suteku adalah karenatidak hati-hatinya. Mohon tanya, siapakahnama Nona
yang gagah?”
Kwi Lan sudah menggerakkan bibirhendak
mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berkata, “Eh, apakah matamusudah
buta? Terang Nona ini menggunakan nama Mutiara Hitam, engkau
masihbertanya-tanyalagi?” Sambil berkatademikian, pemuda itu sekali
menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang danhinggapdidekatKwiLan
sepertigerakan seekor burung ringannya. Si Brewokmemandang kagum dan tersenyum
mendengar kata-kata itu. Ia menduga bahwagadis ini memakai nama julukan
Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhiassebutir mutiara hitam yang besar.
Ia lalumenjura kepada pemuda itu dan ber tanya,
“Terima kasih atas penjelasan TuanMuda.
Bolehkahsaya mengetahui namaKongcu?”
“Namanya Si Berandal, apa kalianbelum tahu?”
Suara ini keluar dari mulut Kwi Lan yang hendak membalaspemuda itu. Akan
tetapi Si Berandalhanya tertawa, lalu berkata kepada anggauta Thian-liong-pang
itu.
“Kau ini manusia tidak tahu diri berani
main-main di depan Mutiara Hitamdan Berandal, sungguh sudah bosan hidup!”
“Mohon Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memaafkan,
karena tidak mengenal makakami telah berlaku kurang hormat.
HarapJi-wisukamemandangperkumpulandanketuakamimemberimaaf kepada saya.”
“Kalau kami tidak memaafkan, apa kaukira akan
masih tinggal hidup?” SiBerandal bersombong. “Hayo ceritakansiapa engkau dan
apa urusan Thian-liong-pang dengan pengemis-pengemis itu sertamengapa pula
terjadi pertandingan dengan pengemis-pengemis Khong-sim Kaipang? Dan mengapa
pula nama Bu-tekSiu-lan tadi kudengar disebut Ciangbujin oleh pengemis pendek
itu?”
“Saya bernama Ouw Kiu seperti semua pimpinan
dan petugas Thian-liong-pang saya taat dan tunduk kepada perintah atasan. Saya
dan Sute Ouw Lunitu mendapat tugas untuk menyampaikanundangan kepada para
pimpinan Hek-coa Kai-pang, untuk menghadiri pengangkatan ketua baru
Thian-liong-pang pertengahan bulan depan. Ketika hendakkembali ke Yen-an, di
sini kami bertemudengan tiga orang anggauta Hek-coa Kai-pangyangberhadapandengan
empatorang Khong-sim Kai-pang. Tentu sajakami membantu Hek-coa Kai-pang dan
salah mengira bahwa Ji-wi adalah teman-teman anggauta Khong-sim Kai-pang.”
“Dan tentang Bu-tek Siu-lam?” pemuda itu
mendesak.
Ouw Kiu tidak menjawab, wajahnyapucat.
“Ah,urusanbegitusajamengapamesti banyak tanya
lagi?” Kwi Lan mencela. “Si badut Bu-tek Siu-lam itu sudahjelasmenjadi cukong
dunia pengemisgolongan hitam! Ingin aku bertemu dengan badut itu untuk memberi
hajaranagar ia kapok dan tidak membiarkananak buahnya bermain curang!”
Ouw Kiu makin pucat. “Saya....sayatidak
mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut nama besar Beliau, hanyasaya
mengerti bahwa Beliau merupakanseorang tokoh besar yang amat
dihormatiThian-liong-pang. Suaranya agak gemetardan matanya lirak-lirik ke
kanan kiripenuh kekhawatiran.
“Sudah,pergilahdanbawamayattemanmu.MengingatThian-liong-pangkamimemaafkanmudan
bulan depankalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di
Yen-an.”
Ouw Kiu menjura mengucapkan terima kasih,
kemudian menyambar mayatsutenya dan pergi dari situ dengan langkah
terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus lari pergi pula dari
tempat itu. Akan tetapi belum jauh iapergi, ia mendengar suara orang berlaridi
belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalahpemuda
itu, Kwi Lan lalu mengerahkanginkangnyadanberlarimakincepat.Setelah lari agak
jauh, ia melirik kebelakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di
belakangnya, hanya terpisahtiga meter! Kwi Lan penasaran dan mengerahkan
seluruh tenaganya, lari secepatterbang.Pemudaitupunmengerahkan tenaganya.
Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya
terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.
“Waduh....,beratnih!Eh,MutiaraHitam,apakah
engkautakutpadakumaka melarikan diri?”
Kalau pemuda itu mengeluarkan ucapan lain,
agaknya Kwi Lan tidak akanmempedulikannya dan akan berlari terus.Akan tetapi
dikatakan takut merupakanpantangan besar baginya, maka cepat iamengerem
larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga pemuda yang membalap dibelakangnya
itu hampir saja menubruknyakalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan
berjungkir balik dua kali.Gerakan pemuda ini amat lucu, akantetapi juga indah
dan membuktikan kegesitannya yang luar biasa.
“Takut? Siapa bilang aku takut padamu?”Kwi
Lan bertanya, memandangtajam dan mengangkat muka membusungkandada, sikapnya
menantang.
“Tentusajaakuyangbilang....!” Pemuda itu
berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. “Wah,bisa putus
napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi! Aku tidakbilang kau
takut, aku tadi bertanya apakah engkau takut kepadaku.”
“Aku tidak takut! Apamu yang kutakuti?” Kwi
Lan membentak.
“Kalau tidak takut mengapa lari sepertidikejar
setan? Aku....akumaubicaradenganmu,akuinginjalan
bersama,kenapakaumelarikandiri?”
“Akulari,ataujalan,atau
tidur,bukanurusanmu.Akutidakadaurusandenganmu,akutidakinginberjalanbersama,tidakinginbicaradenganmu.”
“Wah-wah-wah,kenapabeginigalak?Sungguhtidakberbudi....”
“Akutidakberhutangbudikepadamu!Kaumauapa?”
Pemudaitumenyeringaidansenyumnyayanglebaritulucu
sekali, sepertisenyumorangmengunyahgaram,se hingga diam-diam KwiLan
menjadigeli.
“Kaumemangtidakberhutangbudikepadaku.Akantetapiengkauhutangkacang!Hayomenyangkallahkalaumampu!Bukankahkauberhutangkacangasingaringyanggurihdanwangi,tidaksatu,tidakpuladuaatau
tiga,melainkantigagenggamyangisinyabanyak!”
“Hanyaduagenggam!”bentakKwiLan.
“Duagenggambanyakjuganamanya.Lebihduapuluh!Hayokaubayarkembalihutangmuitu,barudiantarakitatidakada
sangkutpautlagi!”
KwiLantertegundan melengak.Ia
menolehkekanankekiri,takberdaya.Darimana iabisamendapatkankacangasin di
dalamhutanitu?Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin dikeluarkan
lagi. Betapapun juga, ia kalah benar. Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia
tadi telah makan dua genggamkacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan
merasa kalah debat. Biasanya,menghadapi suhengnya, Suma Kiatiaselalumenang
berdebat sampai suhengnyakewalahan.Akantetapisekarang iabenar-benar bingung,
tak tahu harus melawan secara bagaimana. Akhirnya
KwiLanmenggerakkankepalakeras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yangjatuh
ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpasadar
apabila ia merasa malu, bingungatau marah.
“Kaumemang manusiaberandalan, ugal-ugalan,
tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asinyang tidak ada
harganya! Cih!”
“Kauyangsombong,galak,tidakmenghargai orang.
Diajak jalan bersamadan bicara saja tidak sudi, seperti tidakingat saja betapa
tadi di atas pohon ikutduduk dan makan kacang....“Pemuda itumerengut.
“Sudahlah! Betul aku telah berhutangdua
genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang hendak kaubicarakan.”
Wajah pemuda itu sekaligus berserikembali seperti
biasa, sepasang matanyabersinar-sinar penuh keriangan. Memangwajah yang amat
tampan dan melihatwajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan
kemendongkolan hatinya.Wajah itu amat segar dan riang, tidakhanya mata dan
bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alisyang tebal itu
bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari.Wajah yang
tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin,lenyaplah
rasa panas di hati Kwi Landan gadis ini lalu duduk di atas akarpohon yang
menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di leher dengan ujung
lengan baju.
“Gerah, ya? Memang hawanya panas,apalagi kalau
dipakai lari-lari cepat, bisamandi keringat kita.” Tangannya merogohdalam baju
dan ketika ditarik keluar,ternyata ia telah memegang sebuah gucipanjang berisi
air jernih dan dingin. Gerakannya cepat dan kelihatannya sepertiseorang
pelawak main sulap saja. Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia
berkata,
“Isinya air, jernih dan bersih. Guci inibukan
sembarang guci, melainkan guciwasiat dan air yang disimpan di sini, makin lama
tidak makin kotor malahmakin jernih, berbau harum dan timbulrasa manis, juga
menjadi dingin segar.Minumlah, Nona.” Ia menyodorkan guciitu kepada Kwi Lan.
Air yang tampak jernih berkilau, muka yang
tampak riang dan menawarkandengan penuh kejujuran, hawa yang panas, semua ini
membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata
apa-apa ia menerima guci,mendekatkan bibirguciyang haluske padabibirnyasendiriyang
lebih haluslagi,akantetapi padasaatitupandangmatamerekabentrokdancepat-cepat
KwiLanmenurunkanlagiguciairitukebawah,tidak jadiminum.
“Kenapa....?”
KwiLan mengerling
denganpandangmatatajam.“Apakahairinijugaakandianggap hutang?Lebihbaikmatikehausandaripadaminumairhutangan!”Iamenyerahkankembaliguciitu
kepadapemiliknya.
Pemudaitutertawabergelak,memperlihatkanderetangigiyangterpelihararapidanputih.
“Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, akutidak percaya, kau
hanya pura-pura bersikap galak saja!”
“Siapa tidak akan marahkalau kaubegini
ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan....”
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura
sampai jidatnya hampir menyentuhtanah, seperti seorang melakukan penghormatan
kepada ratu. “Hamba mohonberibu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap
tuan putri yang mulia....”
“Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa....?”Kwi
Lan tiba-tiba menghentikankata-katanya. Sikap pemuda ugal-ugalanyang melawak
itu sejenak mengingatkania akan ibu kandungnya yang menjadiratu di Khitan
sehingga timbul dugaandan kecurigaannya bahwa pemuda anehini tahu bahwa dia
anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalikmenjadi kaget dan
heran, ia menahankata-katanya, kemudian melanjutkan.
“Sudahlah!Jangankaumain-mainseperti badut.
Sebetulnya engkau mauapakah? Mengapa mengejarku dan hendakbicara apa dengan
aku?”
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan
tetapi tetap saja mukanyayang kekanak-kanakan itu berseri ketikaia menyodorkan
guci airnya. “Harap nonasuka minum dulu air ini agarpercaya bahwa Nona tidak
lagi marah kepadaku.”
Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya.
Memang air yang amat dingindansegar sehinggahilanglahhausnya,terasa amat puas
dan nikmat. “Enakbenar air ini,” katanya memuji sambilmengembalikan guci.
Pemuda itupun meneguk air, kemudian menutup guci danmenyimpannya kembali ke
balik bajunya.
“Nona, terus terang saja, begitu
bertemudenganmu,aku sudah menjadisa ngat tertarik dan kagum. Gerakanmujelas
menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi,sikapmu
terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang
seperti Nona, bagaimana aku dapatberpisah begitu saja tanpa lebih dahulubicara
dan mengikat persahabatan? Apalagi melihat sikap Nona yang sama sekalitidak
memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali beranimemaki seorang
tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekalidan tentulah Nona
seorang yang memilikikedudukan sejajardengan tokoh-tokohbesar dunia kang-ouw
pada waktu ini.”
“Ngawur dan ngaco! Selama hidupkubelum pernah
akubertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa
Ouw Kiu si Brewoktadi kelihatan begitu ketakutan ketikanama Bu-tek Siu-lam
disebut-sebut.”
“Apalagi dia, aku sendiri pun
hampirterjengkangkarena kagetmendengarengkau berani memaki-maki Bu-tek
Siu-lam!”
“Huh, orang macam apakah Bu-tekSiu-lam itu?
Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang
bahwa dia yang melindungisemua pengemis golongan hitam yangkatanya datang dari
dunia barat. Perluapa takut terhadap badut macam dia?”
“Aihh....aihh...., agaknya Nona
belumbanyaktahuakan tokoh-tokohduniakang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama
besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau
merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung....“
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas.Hatinya
juga panas karena rahasianyadiketahui. Dengan lain kata-kata
pemudainihendakmengejeknya,mengatakanbahwaia masihhijau, masih belum
berpengalaman sehinggatidakmengenaltokoh-tokoh besar!
“Hemm, kalau engkau...., sudah
banyakpengalaman,ya?Sudah puluhantahunmerantau?” Kwi Lan sengaja
mengatakanpuluhan tahun padahal usia pemudaitupaling banyak sama dengan usianya
sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan
ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab, “Semenjak lahir aku sudah
merantau, Nona.”
“Dan aku...., sebelum lahir sudah merantau!”
potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis,
senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis
senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik,
tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. “Aih, kiranya
Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!”
“Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah
merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah
pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai.... membual?”
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!” Pemuda itu
terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa
begitu lahir pemuda itu pandai membual.
“Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan
aku yang melakukan perantauan seorang diri, melainkan Ayahku. Aku dibawa
merantau dan sejak itu tak pernah berhenti merantau. Akan tetapi sudahlah,
tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu
tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar
sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguhpun
baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya.
Seiain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah
dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan.”
“Hee....? Mengapa begitu?” Kwi Lan mulai
tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di
dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja
pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apalagi tentang tokoh-tokoh
yang demikian anehnya. Adapun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai
tertarik, menjadi gembira untuk bercerita.
“Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan
gagah, wajahnya tampan sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan
tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan
senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Melihat
gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi melihat
bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah
menyeramkan, apalagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia
pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua
ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak
itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan
putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi
korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorang pun berani lagi mengganggunya
dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika
ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain.”
Kwi Lan, mengerutkan keningnya. Tak pernah
disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di
dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu,
pemuda ini sendiri sudah lihai sungguhpun ia belum mencobanya, akan tetapi
pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, betapapun juga, aku tidak takut
kepadanya!” kata Kwi Lan. “Bagaimana dengan Thian-liong-pang? Apakah ketuanya
juga sehebat laki-laki genit itu?”
Pemuda itu tertawa.
“Ihh, mengapa kau tertawa?” “Mendengar kau
menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!”
“Kau sendiri yang bilang dia genit.”
“Mana bisa laki-laki genit? Laki-laki tidak
ada yang genit, yang genit hanyalah perempuan.”
“Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki
yang genit banyak, di antaranya.... engkau inilah!”
“Wah, wah, menyerang lagi. Kau benar-benar
pemarah, Nona. Maaflah. Yang kumaksudkan adalah bahwa Bu-tek Siulam itu
bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia
seorang banci.”
“Banci? Apa banci....?”
“Banci itu wadam!”
“Wadam? Apa itu?”
“Wadam itu wandu.”
“Wandu? Aku tidak mengerti.”
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu
menggeleng kepala. “Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu
itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa
laki-laki bisa disebut wanita.”
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini.
Keningnya berkerut, matanya bersinar marah.
“Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm.... aku takkan sudi mendengarmu
lag!”
“Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main,
Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak
perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri
tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataannya
demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang
yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang membuat
Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggauta dan banyaknya para
pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang
murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka digabungkan
menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan
mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa yang dimaksudkan Si Brewok tadi
dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin ketua lama mengundurkan diri,
diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan
dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke
Yen-an bersama...., Nona, kalau Nona.... berani!”
“Tentu saja aku berani!” Kwi Lan meloncat
sambil meraba gagang pedangnya.
“Jadi Nona mau....?” Pemuda itu tersenyum
lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, “Soal mau
atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain
laki-laki genit....” Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak
tertawa sekarang, “selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?”
“Tokoh-tokoh dunia hitam banyak sekali, akan
tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te
Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Adapun tokoh-tokoh
yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya
mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang
hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang
berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa
berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah
yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum
pernah bertemu dengan seorang di antara mereka.”
“Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa
memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang menentang dan mengalahkan
mereka?”
“Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah
terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka.”
“Orang gagah? Pendekar? Orang macam apa
mereka ini?”
Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi
mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis
ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan
tetapi mendengar pertanyaan ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak
mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon
apa?
“Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini?
Pendekar adalah orang-orang yang menentang kejahatan, orang-orang dari dunia
putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona
sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari dunia putih yang
amat mulia.”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Guruku bukan dari
dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba
katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?”
Pemuda itu masih belum hilang keheranannya,
akan tetapi ia menahan perasaan ini dan menjawab,
“Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak
sekali yang merupakan tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah
mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas....”
“Suling Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan
sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?”
“Suling Emas adalah nama julukannya. Nama
aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?”
“Siapakah Suling Emas itu? Orang macam apa dan
bagaimana kelihaiannya?”
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke
atas. “Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas,
akan tetapi namanya sudah seringkali kudengar dari para Locianpwe. Ilmu
kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian Te Liok-koai, enam datuk
persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari
emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini.”
“Dimana dia tinggal?”
“Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat
tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang
sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di
tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau
saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam maupun dunia putih.
Sepak terjang mereka penuh rahasia.”
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi, Kwi Lan
melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi.
“Lalu siapa lagi selain Suling Emas?”
“Di antara para pengemis golongan putih
menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat
lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun
keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang manapun juga. Tentu saja dua
orang itu hanya dua diantara banyak lagi. Apalagi kalau kita ingat kepada
partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai
yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama
Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan
tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih maupun hitam, agaknya
tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek
Siansu....”
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan
tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
“Bu Kek Siansu? Siapa dia....?” Kwi Lan makin
tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat
menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang
amat luar biasa.
“Maaf, Nona. Aku tidak berani sembarangan
menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan tetapi aku mempunyai lagu yang
menurut Suhu adalah ciptaan Beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?”
Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke belakang baju dan kembali
seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bambu.
Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju
pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya,
“Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk
Suling Emas!”
Pemuda itu tertawa. “Ah, Nona jangan
main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan
emas, biarpun sama kuningnya. Kaudengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan
lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung ciptaan manusia dewa.”
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar
lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu membentuk irama
lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar ditangkap iramanya, sukar dirasakan
kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua
pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang
tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam
hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti
keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu menghentikan tiupan
sulingnya, gema suara tadi masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga
ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang,
kemudian memandang dengan kagum kepada pemuda itu.
“Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup
suling. Hebat!”
Wajah pemuda itu makin berserigembira. Ia
menjura dan berkata, “Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan
karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus jantung menguasai jiwa.
Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada sepersepuluhnya
dan lagi.... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek
Siansu yang terhormat.”
Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran.
Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walaupun hanya untuk
mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat daripada tiupan suling
pemuda ini.
“Wah, alangkah goblok!” Pemuda itu yang sudah
menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya. Kwi
Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun.
“Ada apa lagi?”
Pemuda itu tertawa. “Alangkah goblok aku.
Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan
putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah
menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling
mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama
bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah
aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda
seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang,
aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata
maupun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak
pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai
bersuling lagi!
“Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku
Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?”
Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata
sungguh-sungguh, “Biarpun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti
kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan
nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama
keturunan) yang terhormat.”
“Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan,
seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Nona benar.
Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama
yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?” Sambil berkata demikian, sengaja
pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan
sambil melucu. Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget
bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan
kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang
saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li?
Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua
kelenteng di Kim-liong-san, meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi
Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari?
Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang
bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah
seorang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu
seperti.... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan
tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
“Aku sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan,
“dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu
merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu, seorang kakek yang hidup di
dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat
tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan
seenaknya sendiri....“
“Seperti engkau!” Kwi Lan memotong.
Hauw Lam tertawa dan mengangguk. “Ya, aku
banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali
di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan
gembira, akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau
diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk
Beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu
jauh lebih berharga daripada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru
yang lain.”
“Siapa nama Gurumu yang aneh. itu?”
“Julukan Beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut
Beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya.” Hauw Lam kemudian menuturkan
pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh
perhatian.
Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah
selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya, yang mencari ibunya, ia
dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di Bukit
Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun,
maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apalagi ibunya
meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun lamanya ia tinggal
di kelenteng Bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan
para hwesio dan karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat
Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.
Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah
mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam
lalu meninggalkan kelenteng dan dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan
ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia
mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam
pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang
berilmu tinggi sehingga banyakpula ia menerima petunjuk.
Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke
selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah
hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah
sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san,
seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat
suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya.
Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!
Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah
anggauta badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling
bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa kakinya ada yang
tarik dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun, ia memutar tubuh
mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke
sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia
memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah
seperti tempat kuburan orang. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang
menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa
sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah
merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biarpun
belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan
merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam
menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan
tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul
kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah
selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada
melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
“Setan atau iblis atau siluman dari mana
berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia,
jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus
melawan Tang Hauw Lam!”
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil
menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada
suara maupun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon
menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak mahluk tak tampak bersendau gurau.
Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua
bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi tentu setan, pikirnya.
Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan
yang mengait kakinya.
Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi
diam-diam ia mengerahkan keduakakinya. Ia ingin mengikat perhatian “siluman”
yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat “siluman” itu
lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil
memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya
karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal
kakinya lagi. Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang
di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat Ia kuasai lagi, tertarik ke bawah
dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting
kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, “Celaka.... mati
aku di tangan siluman....!”
“Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup
sekedar hidup itulah yang celaka, apalagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih
celaka!”
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu
terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan.... hampir ia terjengkang
roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah! Kepala yang berdiri
sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang
bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu,
mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa
lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh
saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan
berkata, suaranya gemetar,
“Saya...., Tang Hauw Lam.... selamanya ingin
menjadi orang baik-baik...., harap anda jangan mengganggu saya....”
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya
yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis
tebal yang menyembunyikan mulut,
“Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak
dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tindak mengganggu?”
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar
mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah
rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala
itu di atas tanah den lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya
terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang “kepalaku”, hal ini hanya
berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia
seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut
kepalaku. Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biarpun muka itu
buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas
bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke
dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul
sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan kepala itu dan berkata.
“Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf
sebanyaknya apabila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan
terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe
berada di sini dan tidak sengaja....”
“Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada
gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan
tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu.... terlalu....!” Kepala itu
mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini
terlalu aneh dan agaknya seorang yang sukaberkelakar. Ia sendiri adalah
seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira maka biarpun ia merasa
mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia
memutar otak mencari akal.
“Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan
memberi hormat sepatutnya. Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut
goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan
pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu
masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah
kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah
putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo
naik!” Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke
atas. Pemuda ini kaget sekali dan menggerakkan tenaga untuk mengatur
keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah,
ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas
tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan
seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh
seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini
seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat
itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima
ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang
pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka
mataku akan ilmu yang sebenarnya.” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa
girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan
juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya
ketika is menatap wajah yang tampan dan jenakaitu. Ia sudah merasa tertarik
sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri. Perasaan
ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li
seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak
ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang
memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda
ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?” Tiba-tiba Kwi Lan
terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentakkaget. Ia mendongkol juga akan
watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar.
“Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa. “Siapa membentak-bentak?
Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak
tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih
mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku
selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa?
Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang
riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napaspanjang.
Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula
bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnyaitu.
Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia
lalu berkata,
“Perlu apa banyak cerita? Namaku, engkau sudah
tahu.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan
aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam....”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja,
cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama?
Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting
mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya
dan mulutnya menggumam lirih, “Nama itu kosong belaka....! Eh, Mutiara Hitam,
semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah.... kau pernah patah
hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah
hati itu seperti kayu kering.... macam ini?” Kwi Lan mematahkan sebatang
ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw
Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara.
Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang
tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik
kaulanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana Ayah dan
Ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu
diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah
yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab,
“Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?”
“Lho! Kenapa marah?” Hauw Lam bertanya
mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?” Kwi Lan
mengulang.
Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita
seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main,
memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga. “Yang bilang? Tentu
saja Ayahku. Ayahku yang bilang bahwa Ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk
menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong akan tetapi dapat
ditahannya.
“Dan Ayahmu di mana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku
berusia lima tahun, Ayah meninggalkan aku di kelenteng Bukit Kim-liong-san dan
semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini
riwayatku, sekarang ganti engkau....”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba
terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah
tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan
bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda
besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak
ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di
antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping
dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil an bulunya hitam
mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!” Hauw Lam terdengar
memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh
kekaguman. Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu
apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya.
Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda.
Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan
tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam
oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan
kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang
mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan, dan agaknya tidak ada perbedaan
antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam
terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman! Pandang mata mereka yang penuh getaran
nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah
dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan
kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput
hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arahmereka. Ia
masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri.
Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap
dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula.
Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata,
“Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara
mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia
melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh
perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat,
pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda
hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini
tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat....!” ia memuji pula. “Sobat, apakah
kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, ber pakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan
matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah
gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian Si
Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka.
Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya
sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh
saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini,
darimana dan hendak dibawa ke mana?” Akhirnya Si Ompong yang menjadi juru
bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan
langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam
bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh....!” Suara seruan kaget ini keluar dari
mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat
menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa
ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua
baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya
bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut
nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jerih. Akan tetapi ia
berpura-pura tidak mengenal Thianliong-pang bahkan ia lalu berkata,
“Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang
begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk
sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara
dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menudingnuding ke arah
Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh
orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik
sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di
antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh
rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang
dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda
betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini?
Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih
kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!” Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena
mereka tahu bahwa temannya Si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan
mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak
mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua
memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia
bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan
dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua
tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar
ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti
suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan
gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan
ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam maupun
Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka
terheran-heran. Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara
Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas
akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan
dengan rumput-rumput itu. Biarpun hanya rumput hijau, namun di tangan dara
perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan
hati. Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak
terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah
terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan
pedas, sedangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong
oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka
berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka
berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka!
Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan
telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak
menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut
terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes! Mereka
terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jerih membuat wajah
mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka
berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa
rumput itu merupakan pleister-pleister hijau “menghias” muka, apalagi orang
yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya
sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan
ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali....! Lucu
sekali....! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor
kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi kuda, ya? Bagus....,
bagus....!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan berjingkrak-jingkrak, membuat
tujuh orang itu mendongkol bukan main. Akan tetapi karena mereka dapat menduga
bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau
lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh
orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap
mengancam.
“Aih.... aih.... kalian masih belum kapok?
Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak
menjadi bangkai?” Hauw Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh
kepada Kwi Lan. “Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidakacuh. Ia
tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka
adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau
membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai di mana kepandaian Berandal,
karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki
ilmu silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan mereka tanpa membunuh barulah
hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, padahal di dalam hati
ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan itu membunuh rakyat ibu
kandungnya.
“Oho, mudah saja, kaulihat!” Hauw Lam berkata
sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian maju, tunggu apalagi? Bukankah
golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya,
tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk,
atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan cara mengejek sekali,
meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan
di punggung! Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa
sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu
sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah
itupun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa
mengalami penghinaan yang luar biasa maka kini menyaksikan sikap dan tantangan
Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh
orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian
tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya
dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak
menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
“Cring-cring-trang-traaanggg....!” Tujuh
batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran,
tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba
lenyap dari tempatnya. Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya
pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu
mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya memegang
sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi!
Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa
golok buruk bentuknya itu ternyata terbuat daripada logam yang ampuh dan
terpilih.
“Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa
ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!” Hauw Lam mengejek,
menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak.
Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju,
melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih yang
amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata
diikuti tujuh batang golok terlempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul
pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja
tujuh orang itu tida hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek
dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena
mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi
tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, “Kami
telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari
utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang.”
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia
menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, “Masih banyak cakap lagi?
Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan tinggalkan kuda
hitam!”
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan
suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga nampak kaget
dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata,
“Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah
persembahan kepada kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai
tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal ini
berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian?
Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara
Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut
ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan
memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang
selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan
mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi! Apakah yang diandalkan dara
ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan
atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai
kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya.
Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa ragu-ragu apakah dara
semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang
rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah Si Ompbng
menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata
sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa,
ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong....”
“Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak
Kwi Lan tidak sabar lagi. Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan
bertanya,
“Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong
(Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?”
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi
menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput.
“Betul...., betul....! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong
kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah....!” Bentakan ini keluar dari mulut
Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum.
Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi
Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya keren dan mulutnya membentak,
“Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu
yang luar biasacepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang
yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula
betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di
tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh
orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula
betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan
kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang
itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat
akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan
karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu
Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan
yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata
terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah menerima pengajaran,” kata Si
Ompong sambil meringis, “harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah
kami melupakannya....“
“Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam
yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong.
“Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal.
Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!”
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda,
sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati,
kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan
begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas
dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini
kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa
siapa yang memegang kendali adalah majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat....!”
Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu
Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini.”
“Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta
kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.
“Apa? Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau
kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah
namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud Si Raja Algojo yang kau
sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil,
berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Ke dua, dengan hadiah ini, masa
kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian
berjingkrak dan bertepuk tangan, “Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi
sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang
lain.”
“Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat
Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda in!, bisa saja kita ambil
kembali.”
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini
memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu
ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
“Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum
banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia.Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih Algojo itu?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh
menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah
terkenalnya daripada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah
Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia
tidak akan dapat keluar hidup-hidup, semua itu, betapapun gagahnya, tewas di
bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia
mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari
utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw
dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!”
“Huh, makin besar julukannya, makin kosong
melompong! Aku tidak takut!”
“Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh
dibuat permainan! Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling
berpengaruh dan paling banyak anggautanya untuk golongan hitam. Karena itulah,
para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar, masih
memandang kepada Thian-liongpang....“
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak
perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kaukira aku
takut untuk pergi sendiri? Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali
kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan
Hauw Lam yang berdiri melongo. Akan tetapi karena selama hidupnya Kwi Lan belum
pernah mempunyai kuda, apalagi menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda
hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan
mogok jalan. Kwi Lan menarik-narik kendali kuda sambil membentak,
"Kau juga hendak mogok? Kuda sialan! Kupenggal
lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau
berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah...., kenapa kau begini
galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah kepadaku? Aku sama sekali tidak takut,
hanya aku heran menyaksikan keberanianmu menentang semua tokoh-tokoh besar.
Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu.... kenapa repot-repot amat?
Lebih baik kautunggangi dia, kan enak?"
Watak Kwi Lan memang aneh, agaknya ia tiru
dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa juga menjadi
lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah mengenal duka maupun
takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan wajahnya sungguh-sungguh, ia
tersenyum. "Aku belum pernah menunggang kuda!" katanya.
Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang
begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda? Benar-benar luar biasa
sekali ini. "Belum pernah? Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus
belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau ditunggangi
orang yang takut-takut menunggang kuda."
"Aku memang belum pernah menunggang
kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut? Kaulihat saja!" Sekali
menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan duduk di atas punggung kuda,
dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali.
Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak
apabila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.
"Ah, keliru kalau begitu menunggangnya.
Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"
"Siapa bilang tidak bisa? Kaulihat!"
Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari
cepat. Kwi Lan terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya
miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah
meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan berdiri!
Hauw Lam sudah mengejar dan memegang kendali
kuda, mengeluarkan suara menyuruh berhenti. Setelah kuda berhenti, ia
menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara
Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri di atas
punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan, dan juga
keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara menunggang kuda. Lihat, kuberi
contohnya!"
Karena memang Kwi Lan seorang yang sudah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka pelajaran menunggang kuda ini dapat ia
kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua orang muda itu melakukan perjalanan
menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil
meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki,
menyuruh pemuda itu berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu
akan marah. Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh
Hauw Lam duduk di belakangnya di atas punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti
kehendaknya sehingga dalam waktu beberapa hari saja melakukan perjalanan,
keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam_ diam Kwi Lan makin
merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya ini.
***
Kota Yen-an terletak di kaki Pegunungan
Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shen-si. Kota ini cukup besar dan ramai
dan dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han yang kini sudah ditaklukkan oleh
Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan Sung.
Kerajaan Hou-han dahulu terkenal sebagai
kerajaan yang kecil tapi amat kuat. Terutama sekali ketika seorang di antara
panglima perangnya adalah mendiang Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai mengatur
siasat perang. Setelah jenderal ini mengundurkan diri keadaan kerajaan
mengalami kemunduran pula. Akan tetapi keadaannya masih amat kuat karena
beberapa tahun kemudian di dalam istana kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu
Sian, seorang wanita sakti yang menjadi "tante girang" di dalam
istana mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para panglima muda yang tampan,
Di samping Tok-siauw-kwi (ibu kandung Suling Emas) ini terdapat pula selir raja
yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk, Siang-mou Sin-ni Coa Kim Bwee.
Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti ini tidak ada kerajaan makin
mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara Kerajaan Sung menjatuhkan kerajaan
kecil ini.
Tokoh-tokoh yang dikalahkan biasanya kalau
tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul dan merupakan kelompok yang
menentang si Pemenang secara diam-diam. Demiklan pula keadaan di bekas Kerajaan
Hou-han ini. Orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lalu mengadakan
persatuan dan bersembunyi di balik papan nama perkumpulan menjadi golongan
dunia hitam yang diam-diam mencari kesempatan untuk melawan atau setidaknya
merongrong pemerintahan yang tak disukainya. Di antara perkumpulan-perkumpulan
semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan terbesar, bahkan boleh
dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini adalah karena bekas para
panglima dan tokoh Kerajaan Hou-han banyak yang menggabungkan diri dalam
perkumpulan ini. Namun karena kesempatan untuk melawan pemerintahan Sung tidak
ada, apalagi setelah para panglima yang benar-benar berjiwa patriotik
meninggal dunia, jiwa perkumpulan Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat.
Dasar yang semula patriotik tadinya terdorong setia kepada kerajaan berubah,
berubah menjadi dasar dunia hitam, dan tujuan yang menyeleweng jauh terdorong
oleh nafsu angkara murka untuk menguasai dunia, harta benda, nama besar dan
kemenangan mengandalkan kekuatan.
Sisa para panglima Hou-han melihat ini
sebanyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di dusun-dusun dan
pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak Thian-liong-pang seluruhnya
dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang menjadi Ketua Thian-liong-pang
adalah seorang bekas pendeta yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti).
Pendeta yang berasal dari barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia
hitam dan biarpun jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah
asuhannya, Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang amat kuat. Semua anggauta
Thian-liong-pang rata-rata di gembleng ilmu silat tinggi. Apalagi murid kakek
itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa.
Murid-murid kepala sebanyak dua belas orang sedemikian terkenalnya di dunia
kang-ouw sehingga tokoh-tokoh yang besar sekalipun tidak akan berani memandang
rendah Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) dari Thian-liong-pang! Dua belas
orang murid kepala yang menjadi murid kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah
mewarisi kepandaian kakek itu menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah
ketenaran mereka adalah senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti).
Oleh karena Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu
tua dan pikun, juga sudah mulai lemah karena tuanya, maka sebagai penggantinya
ditunjuk muridnya yang paling tua, seorang laki-laki tinggi besar bercambang
bauk yang bertenaga besar seperti gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia
berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Tenaga Besar) bernama Ma Kiu. Ma Kiu ini dulunya
seorang jagal babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi anggauta
Beng-kauw. Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi anggauta
Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena
penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takutpula akan
hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia melarikan diri
ke utara. Di Yen-an ia memasuki Thian-liong-pang, berhasil menarik hati
ketuanyadan menjadi muridnya. Karena memang tingkatnya sudah tinggi, maka ia
segera menduduki seorang diantara murid kepala yang lihai, bahkan kemudian
terpilih menjadi murid nomor satu dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti
gurunya yang sudah tua, yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang!
Gedung besar yang menjadi markas
Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an. Agak janggal nampaknya
bahwa jalan besar dimana gedung ini berdiri kelihatan sunyi, bahkan gedung itu
jauh dari tetangga. Namun orang tidak akan merasa heran kalau mendengar bahwa
para tetangga yang tadinya tinggal dekat gedung itu berangsur-angsur diri
sehingga rumah-rumah kosong di sekitar jalan itu merupakan daerah yang dianggap
tidak aman bagi penduduk Yen-an. Hal ini dipergunakan oleh Thian-liong-pang
untuk memperluas markas mereka dengan membeli murah secara paksa rumah-rumah
dan pekarangan yang ditinggalkan.
Pada hari pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang,
keadaan di situ lebih ramai diripada biasanya. Banyak tamu hilir mudik
mengunjungi Thian-liong-pang dan para penduduk Yen-an hari itu merasa
ketakutan selalu karena di kota Yen-an berkeliaran banyak orang-orang aneh dan
sikapnya menyeramkan. Karena itu biarpun tidak tahu pasti, namun sudah dapat
menduga bahwa para tamu luar kota yang hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah
tamu dari Thian-liong-pang dan tentulah terdiri dari bukan orang baik-baik.
Memang dugaan ini tepat. Sebagian besar yang datang mengunjungi
Thian-liong-pang adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lin dan
kang-ouw (hutan lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok, bajak,
gerombolan-gerombolan yang mengabdi kepada hukum rimba mengandalkan kekuatan
untuk melakukan perbuatan apa saja yang mereka kehendaki.
Hari itu semenjak pagi sekali telah banyak
orang-orang yang dandanannya aneh-aneh memasuki kota Yen-an. Menjelang siang
hari, orang-orang yang dengan hati berdebar tidak enak menonton keramaian dan
iring-iringan tamu ini, tertarik sekali melihat dua orang muda yang keadaannya
tidak kalah anehnya daripada orang-orang yang menyeramkan lainnya, akan tetapi
dua orang muda ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan. Bahkan sebaliknya,
dara remaja yang menunggang kuda hitam itu, biarpun pinggangnya digantungi
pedang dan gagang pedang indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati
dan sama sekali tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang
pria yang memandangnya. Adapun temannya, seorang pemuda remaja pula, juga
berwajah tampan dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, mulutnya
tersenyum-senyum. Bahkan ketika memasuki kota Yen-an, pemuda ini dengan wajah
berseri lalu meniup suling sambil berjalan di samping kuda hitam! Sebatang
golok besar dengan sarung pedang aneh, tidak kelihatan menyeramkan sebaliknya
malah tampak lucu, seakan-akan, pemuda itu sengaja membadut dan menggantungkan
golok untuk main-main saja.
Wajah Kwi Lan, dara yang menunggang kuda
hitam, kelihatan gembira pula. Setelah beberapa pekan lamanya melakukan
perjalanan bersama Hauw Lam, ia benar-benar mengenal watak pemuda ini sebagai
seorang pemuda yang selalu gembira, jenaka, ugal-ugalan namun pada dasarnya
gagah perkasa, tak kenal takut, berbudi dan.... selalu mengalah kepadanya.
Harus dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang lain,
apalagi dengan orang mudanya. Teman satu-satunya hanyalah Suma Kiat, dan ia
tidak suka kepada suheng ini, yang kadang-kadang memperlihatkan sikap terlalu manis
berlebih-lebihan kepadanya akan tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh.
Tidak mengherankan apabila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan
dalam waktu yang tidak lama itu mereka telah menjadi sahabat yang akrab. Sukar
bagi seseorang untuk tidak ikut bergembira apabila melakukan perjalanan dengan
Hauw Lam. Apalagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya memang lincah,
jenaka dan suka bergembira.
Melihat betapa temannya memasuki kota Yen-an
sambil meniup suling dan dengan lenggang dibuat-buat seperti seorang penari
atau seperti orang berbaris, Kwi Lan tersenyum geli. Ia maklum bahwa
kedatangan mereka ke Yen-an bukanlah sekedar pelesir, melainkan untuk mencari
pengalaman dan lebih mendekati petualangan karena yang akan mereka masuki
adalah sarang penjahat atau dunia hitam yang amat berbahaya! Akan tetapi
melihat pemuda itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, ia menjadi
kagum dan juga menjadi gembira. Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang
mudanya yang tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari
belakang sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi melihat bahwa
dua orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir kota, sebelum dekat
mereka yang mengikuti sudah berhenti dan membalikkan tubuh meninggalkan
tempat itu.
Setelah tiba di depan rumah gedung besar yang
dihias arca singa batu dan papan nama perkumpulan itu, Kwi Lan menghentikan
kudanya dan Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya. Dari luar gedung saja sudah
terdengar suara banyak orang di sebelah dalam. Beberapa orang penjaga
menyambut mereka dengan menjura dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki
yang mukanya penuh cambang bauk dan yang kelihatan terkejut sekali melihat dua
orang muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya terkejut itu berubah merah
dan ia segera menjura dan berkata.
“Ah, kiranya Nona Mutiara Hitam dan Tuan....
Berandal yang datang berkunjung! Silakan masuk....!” Melihat sikap Si Brewok
ini, teman-temannya juga cepat memberi hormat kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan
mendengar nama julukan pemuda tampan itu, diam-diam mereka merasa geli.
“Ha-ha-ha!” Kiranya Si Ouw Kiu! Engkau masih
hidup? Syukurlah kalau panjang umur. Kami datang memenuhi janji hendak
menonton keramaian sekalian menyampaikan sumbangan kepada ketua baru
Thian-liong-pang!” Teman-teman Ouw Kiu tercengang mendengar ucapan dan
menyaksikan sikap pemuda ini. Bicaranya begitu seenaknya seperti kepada
seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran melihat betapa Ouw Kiu yang
terkenal jagoan di antara mereka, begitu menaruh hormat yang berlebihan
terhadap seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang masih amat muda. Kalau
semua temannya terheran, adalah Ouw Kiu yang menjadi merah mukanya. Peristiwa
di dalam hutan dua pekan yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan
Thian-liong-pang dan para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal
itu merendahkan nama besar perkumpulan. Oleh karena itulah maka ketika tadi
ia menyebut nama Mutiara Hitam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu bahwa
dua orang inilah yang membunuh seorang anak murid Thian-liong-pang. Dengan
menahan kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.
“Ah, Ji-wi ternyata memegang janji. Silakan
masuk! Nona, biarlah orang-orang kami merawat kuda Nona itu. Silakan turun dan
masuk ke dalam!”
“Mana bisa barang sumbangan ditinggalkan di
luar?” Kwi Lan berkata.
“Barang sumbangan....? Apakah maksud
Nona....?”
Kwi Lan tersenyum. “Justeru kuda inilah barang
sumbangannya untuk disampaikan kepada Ketua Thian-liong-pang!”
“Ah.... kuda bagus.... kuda hebat....!”
Ouw Kiu tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa
kuda yang besar dan memang hebat ini akan dipersembahkan kepada ketuanya.
Kiranya dua orang muda yang lihai ini telah merendahkan diri dan hendak
menyenangkan hati ketuanya dengan hadiah seekor kuda pilihan, pikirnya. Akan
tetapi jangan kira bahwa kalian akan dapat lolos dari sini, biarpun telah
menyogok dengan seekor kuda.
Melihat Ouw Kiu memuji-muji sambil menjura....
seorang lain memberi isyarat dengan kedua tangan mempersilakan mereka dan yang
lain-lain juga menjura. Kwi Lan lalu berkata, “Hayo, Berandal kita masuk saja.
Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun tentu suka mencicip arak wangi Thian-liong-pang!”
“Hayo, tunggu apa lagi?” Hauw Lam berkata
sambil tertawa, kemudian ia menempelkan suling pada mulutnya dan melangkah
maju sambil meniup suling. Adapun Kwi Lan tanpa mempedulikan gerak protes
mulut, mata, dan tangan para penjaga sudah menarik kendali dan memaksa kuda
hitamnya untuk menaiki anak tangga, terus menjalankan kudanya memasuki ruangan
depan menuju ke dalam!
Tentu saja para penjaga kaget dan bergerak
hendak mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik kepada teman-temannya dan
kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat karena gentar dan sebentar
merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa dua orang itulah yang
membunuh seorang kawan mereka.
“Jangan sembarangan bergerak, mereka lihai
sekali!” bisik Ouw Kiu. “Biarkan Pangcu yang membereskan mereka!” Setelah
berkata demikian, melalui pintu samping Ouw Kiu mendahului masuk dan diam-diam
melaporkan kepada pimpinan Thian-liong-pang.
Pada waktu itu, Kakek Sin-seng Losu masih
duduk di kursi ketua sambil melenggut mengantuk. Akhir-akhir ini, kakek yang
sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut dan banyak mengantuk. Kini
ia telah mengenakan pakaian khusus untuk upacara. Jubahnya baru dan indah di
bagian dadanya terdapat gambar sebuah timbangan. Inilah tanda bahwa dia sudah
meninggalkan kedudukan ketua dan kini menjadi penasihat yang mempertimbangkan
dan memutuskan segala macam perkara yang tak dapat diputuskan oleh ketua baru.
Di sebelah kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang jagal
babi itu. Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun ini keren, apalagi
jenggot dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya melotot lebar seakan-akan
selalu mengeluarkan sinar mengancam. Di sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu
calon ketua baru ini duduk atau berdiri sebelas orang adik-adik seperguruannya
yang terdiri dari bermacam-macam orang. Ada Hwesio gundul, ada tosu, ada yang
seperti petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek
Sin-seng Losu berdiri seorang petugas yang membawa bendera Thian-liong-pang,
bergambar naga terbang.
Para tamu yang lebih lima puluh itu semuanya
sudah memenuhi ruangan, duduk di bangku-bangku memutari meja bundar yang sudah
disediakan. Pelayan-pelayan sibuk melayani mereka dengan minuman dan makanan.
Saat itu, upacara sudah hendak dilakukan, akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu
mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan tak senang hatinya. Kemudian ia
berbisik kepada suhunya yang masih melenggut, setengah tidur setengah
bersamadhi.
“Suhu, tamu sudah lengkap, Apakah tidak lebih
baik dilakukan sekarang upacaranya?”
“Hemmm....?” kakek itu membuka mata
malas-malasan, kemudian menoleh ke arah kirinya, di mana terdapat sebuah bangku
yang kosong. “Dia belum datang?” Ma Kiu mengerutkan kening dan menggeleng
kepalanya. “Suhu, sudah sejam lebih kita menanti, akan tetapi Siauw-te (Adik
Seperguruan Kecil) masih juga belum muncul. Dia, suka pergi berburu binatang,
suka pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak akan datang karena lupa akan
urusan hari ini.”
“Kita tunggu sebentar lagi.” bantah Si Kakek.
“Betapapun juga, Siangkoan Li adalah anak tunggal mendiang puteraku, dia cucuku
satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang sudah tidak ada, sepatutnya dia
menyaksikan upacara penting hari ini.”
Biarpun di dalam hatinya merasa mendongkol
sekali terhadap Siangkoan Li yang memperlambat upacara pengangkatannya menjadi
Ketua Thian-liong-pang namun Ma Kiu tidak berani membantah kehendak gurunya.
Siangkoan Li adalah cucu Sin-seng Losu, semenjak kecil anak ini sudah ditinggal
mati ayah bundanya yang tewas dalam pertandingan. Kemudian ia dididik oleh
kakeknya dan biarpun ia cucu kakek ini, namun ia juga murid, maka dua belas
orang murid kepala atau lebih terkenal Dua Belas Naga Thian-liong-pang itu
memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal Siangkoan Li masih amat muda,
baru dua puluh tahun usianya.
Pada saat itulah Ouw Kiu si Brewok datang
melapor. Karena Sin-seng Losu sudah melenggut lagi di atas kursinya, Ouw Kiu
lalu melapor kepada Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang kedatangan dua orang muda tadi.
Tentu saja Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali, mendengar bahwa dua orang muda
yang mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal dan telah membunuh seorang
anggauta Thian-liong-pang berani muncul. Akan tetapi oleh karena saat
pengangkatannya sebagai ketua sudah tiba, ia tidak ingin urusan yang amat penting
artinya bagi dirinya itu terganggu atau terkacau keributan, maka ia
menyabarkan hatinya yang panas. Apalagi ketika mendengar laporan Ouw Kiu bahwa
dua orang itu datang untuk menonton upacara dan membawa hadiah seekor kuda yang
bagus. Maka dia segera berdiri dan menyambut. Melihat kakak tertua ini bangkit,
otomatis sebelas orang adik seperguruan itu bergerak pula dan mengikutinya
menyambut.
Terdengar suara nyaring kaki kuda
menginjak-injak lantai dan para tamu serentak menengok, disusul suara mereka
riuh membicarakan tamu yang baru muncul. Tentu saja cara Kwi Lan memasuki
ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar berbulu hitam, amat
menarik perhatian dan selain mendatangkan kaget, juga heran. Akan tetapi
disamping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum karena tidak
saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya lebih menarik lagi,
cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi kemerahan, bibir manis
tersenyum simpul. Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya, lalu menjura ke arah
tuan rumah, diam-diam ia memperhatikan Ma Kiu dan sebelas orang adik
seperguruannya. Biarpun belum pernah bertemu dengan mereka, namun jumlah ini
menimbulkan dugaan di hati bahwa tentu inilah yang disebut Cap-ji-liong yang
ditakuti orang itu. Ia tersenyum dan berseru dengan suara nyaring.
“Kami, Dewi Mutiara Hitam dan Dewa
Berandal....” Sampai di sini Hauw Lam menoleh kepada Kwi Lan yang tersenyum
pula lalu melirik kepada semua tamu yang mengeluarkan seruan heran mendengar
sebutan dewa dan dewi tadi, kemudian melanjutkan setelah keadaan menjadi
sunyi senyap karena semua orang memasang telinga penuh perhatian untuk
mendengarkan apa yang ia katakan selanjutnya,
“..... secara kebetulan lewat di
Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya hendak mengadakan
upacara pengangkatan ketua baru. Maka kami ingin sekali menonton keramaian dan
Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan memberi hadiah kuda hitamnya untuk
Thian-liong-pang!”
Mendengar dirinya disebut-sebut sebagai Sang
Dewi Kwi Lan mengerutkan alisnya dan cemberut, melompat turun dari kuda dan
berkata, “Harap jangan dengarkan obrolan Berandal ini! Kuda ini memang hendak
kusampaikan kepada Thian-liong-pang, akan tetapi bukan hadiah dariku, melainkan
hadiah dari Khitan untuk Thian-liong-pang!”
Mendengar ucapan Kwi Lan berubah air muka dua
belas orang “naga” dari Thian-liong-pang itu. Ma Kiu segera berkata, suaranya
berubah ramah, “Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan dari Pak-sin-ong? Sungguh merupakan
penghormatan besar sekali terhadap Thian-liong-pang dan salah paham yang
terjadi beberapa pekan yang lalu adalah kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi
sudi memaafkan.”
“Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan.” kata
Kwi Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw Lam. “Akan tetapi yang jelas, kuda
ini bukan sembarangan kuda, melainkan kuda keturunan kuda pribadi Ratu Khitan.
Harap Thian-liong-pang suka menerima. anugerah dari Ratu Khitan ini.”
Kwi Lan bicara sejujurnya, karena di dalam
hati ia tetap condong untuk membela Ratu Khitan yang menurut penuturan guru
dan bibinya adalah ibu kandungnya sendiri. Akan tetapi Ma Kiu mendengar ini,
mengangguk-angguk dan bertukar pandang dengan sebelas orang saudaranya.
“Kami mengerti.... kami mengerti dan terima
kasih banyak.... katanya. Tentu saja Kwi Lan tidak mengerti apa yang ia
maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip kepadanya, ia pun diam saja.
Ia lalu melompat turun dari kudanya dan memberikan kendali kuda kepada Ma Kiu.
Calon ketua itu menggapai seorang anggauta Thian-liong-pang yang tinggi besar.
“Bawa kuda ini ke kandang dan pelihara
baik-baik beri makan minum secukupnya!”
Orang tinggi besar itu memberi hormat dan
menerima kendali. Akan tetapi begitu ia menarik kendali, kuda hitam itu
yang mencium bau orang baru dan merasai tarikan keras, segera meringkik,
membuka mulut dan menerjang orang tinggi besar itu! Si Tinggi Besar terkejut
dan berusaha mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit sehingga ia
berkaok-kaok kesakitan dan ketika kuda itu melepaskan gigitannya, daging pundak
berikut baju sudah robek dan darah membasahi semua bajunya! Tentu saja
anggauta ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya. Hauw Lam tertawa
bergelak. “Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda sembarangan!”
“Hemm, memang kuda pilihan. Twa-suheng,
biarlah aku yang membawanya ke kandang.” Seorang laki-laki berusia hampir
empat puluh tahun, bertubuh kecil kurus, melangkah maju, Dia ini adalah seorang
di antara Cap-ji-liong
dan begitu Ma Kiu menganggukkan kepala, Si Kurus sudah menyambar kendali kuda,
lalu tubuhnya melayang naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik
dan meronta-ronta, namun dengan menjepitkan kedua kaki ke perut kuda, Si Kecil
Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot kendali kuda. Kuda
hitam makin marah, melonjak-lonjak dan meloncat-loncat tinggi
menggerak-gerakkan punggungnya. Kalau orang biasa tentu akan terlempar dari
punggung kuda, akan tetapi ternyata Si Kecil Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya
mendoyong ke sana ke mari, namun ia dapat duduk tegak dan tetap. Akhirnya,
setelah hidung dan bibir kuda mengeluarkan darah karena tertarik kendali, baru
kuda hitam itu kelelahan dan menurut saja disuruh berjalan keluar dari dalam
ruangan tamu!
Ma Kiu lalu mempersilakan dua orang tamu
mudanya untuk duduk di bagian depan. Hauw Lam berbisik. “Mereka mengira bahwa
kita ini tokoh-tokoh kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan memang biasanya
orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan sambil menyamar dan
merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang pemerintahan Khitan.
Tentu Si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi banyak tamu, maka ia
bilang mengerti!” Pemuda itu tertawa dan Kwi Lan juga tertawa geli. Pelayan
datang dengan cepat membawa minuman arak wangi dan masakan-masakan lezat dan
mahal. Karena memang sudah lapar dan sudah lama tidak bertemu makanan lezat,
Hauw Lam dan Kwi Lan tidak sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu
adalah seorang ahli makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam
masakan yang datang membanjir! meja mereka Hauw Lam tiada hentinya mengoceh
untuk memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.
“Ini kodok goreng istimewa. Kodok macam ini
hanya terdapat dalam rawa-rawa dan daerah selatan saja, dagingnya empuk, gurih
dan harum sedap. Maka harganya pun amat mahal. Sayang ini yang jantan, kalau
yang betina lebih lezat. Akan tetapi kodok betina jarang disembelih orang
karena dibutuhkan telurnya. Hanya Kaisar yang suka menyuruh buatkan kodok betina
goreng!” Memang luar biasa masakan kodok goreng itu. Berbeda dengan swike
biasa, kodok ini digoreng berikut kulitnya yang loreng-loreng, akan tetapi
justeru kulitnya itu yang enak, kemripik seperti krupuk udang. Juga berbeda
dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan, tidak keras.
“Wah, ini sop buntut menjangan namanya!
Dimasak sop dengan campuran kacang polong dan jamur kuning. Hebat! Tapi kalau
terlalu banyak membuat badan panas dan darah mengalir cepat. Sedikit cukup
untuk menghangatkan tubuh. Dan ini masak tim kaki burung raja air! Kau tahu
apa itu burung raja air? Bebek! Ini tim kaki bebek. Enak kenyilkenyil dan
gurih. Wah, yang di sana itu panggang ayam angkasa. Sedap!”
“Apa itu ayam angkasa?” Kwi Lan bertanya,
gembira oleh penjelasan yang lucu ini.
“Ayam angkasa? Masa tidak tahu? Burung dara!
Enak juga, cobalah.”
Sampai kenyang sekali perut Kwi Lan karena
pandainya Hauw Lam memperkenalkan setiap masakan sehingga tak dapat ia
bertahan untuk tidak mencicipinya.
“Eh, ini masakan apa? Mengapa dagingnya
bundar-bundar tapi bukan bakso? Licin....!”
Hauw Lam mengulur leher menjenguk, lalu
mengorek dengan sumpit untuk memeriksa. “Ini....? Waaahh.... gila amat!
Ini.... ini bukan makanan wanita! Celaka! yang begini dikeluarkan. Sialan
benar!” Ia mengomel panjang pendek tanpa menjawab pertanyaan Kwi Lan.
Gadis itu tentu saja menjadi tertarik sekali,
“Masakan apa sih? Kenapa bukan makanan wanita?”
Heran sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi
merah dan ia tampak gagap-gugup dalam menjawab. Padahal biasanya pemuda ini
paling pandai bicara. “Masakan.... waaahhh, bagaimana ini....? Ini masakan....
masakan....hemmmm....!” Karena mereka berdua tadi bicara keras tanpa
mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan terakhir ini pun terdengar pula
oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka mulai tertawa-tawa geli
menyaksikan sikap Hauw Lam ini.
“Ih, kenapa kau? Sudah mabokkah? Masa menjawab
masakan saja begitu sukar? Kalau tidak mengenal, bilang saja terus terang,
mengapa susah-susah amat?” Kwi Lan menegur.
“Siapa bilang aku tidak mengenal masakan ini?
Semua masakan di dunia pernah kumakan. Aku pernah memasuki dapur kaisar,
pernah ikut dalam perjamuan Beng-kauw di selatan! Ini masakan.... daging
kambing saus tomat!”
“Uhh, hanya daging kambing saja kenapa tidak
dari tadi menyebutnya? Kau bohong agaknya! Kalau benar hanya daging kambing,
mengapa bentuknya bulat seperti ini? Dan mengapa pula tadi kau hilang ini bukan
makanan wanita?”
“Ha-ha-ha-ha! Itu bukan daging kambing, melainkan....
peluru kambing. Ha-ha-ha!” Riuh rendah suara ketawa itu.
Hauw Lam dan Kwi Lan menengok. Sejak tadi
mereka sudah tahu bahwa tidak jauh dari meja mereka, dalam jarak lima meter,
terdapat enam orang anggauta pengemis baju bersih yang duduk mengelilingi meja
dan sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Enam orang pengemis itu rata-rata
sudah berusia enam puluh tahun lebih, hanya yang dua inilah mereka masih muda
dan kini dua orang inilah yang tertawa-tawa oleh ucapan seorang di antara
mereka tadi. Pada saat itu, Kwi Lan dengan sumpitnya telah menusuk dua potong
daging kambing itu yang memang berbentuk bundar telur sebesar telur ayam.
“Hanya kambing jantan yang memiliki peluru
itu, kambing betina tentu saja tidak punya. Akan tetapi keliru kalau orang
bilang wanita tidak boleh memakannya, malah sebetulnya itu makanan wanita,
apalagi wanita cantik....! Ha-ha-ha-ha!” komentar pengemis muda yang ke dua dan
kembali dua orang yang duduknya menghadap kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa
sambil terang-terangan memandang kepada gadis itu.
Akan tetapi, mendadak dua orang pengemis muda
yang sedang tertawa berkakakan itu terhenti ketawanya setelah mengeluarkan
suara “ha-haaauupp!” dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik leher dan
tangan kanan menunjuk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka yang ternganga.
Tanpa diketahui orang lain saking cepatnya gerakan tangan Kwi Lan, dua buah
daging bulat yang tadi berada di ujung sepasang sumpitnya kini telah menyusup
masuk ke tenggorokan dua orang itu melalui mulut yang tadi terbuka lebar-lebar.
Empat orang pengemis lain yang mengira bahwa
dua orang temannya ini, tersedak makanan sibuk menolong, menepuk-nepuk punggung
mereka dengan keras sambil bertanya-tanya. Akan tetapi dua orang itu hanya
dapat mengeluarkan suara seperti orang gagu karena kerongkongannya tersumbat.
Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk dan meloncat keluarlah daging bulat
seperti telur ayam itu, sedangkan seorang lagi, karena daging itu belum keluar
dan ia merasa napasnya hampir putus, dengan nekat lalu memasukkan sumpit ke
mulutnya dan mendorong daging di kerongkongannya itu terus masuk! Akal ini
menolong juga dan terhindarlah ia daripada bahaya maut tercekik.
Kwi Lan yang telah memberi hukuman kepada dua
orang pengemis muda yang berani mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi
merah. Tidak hanya karena marah, juga karena jengah setelah ia mendengar apa
sebetulnya daging bulat-bulat itu. Diam-diam ia memaki tuan rumah yang
mengeluarkan hidangan macam itu. Gadis ini memang masih asing dengan segala
masakan-masakan kota, apalagi masakan-masakan yang begitu mewah. Semenjak kecil
ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat Bibi Bi Li. Kini untuk mengalihkan
perhatian dari masakan yang dianggapnya tidak pantas itu, lalu bertanya kepada
Hauw Lam yang masih tertawa-tawa, mentertawakan keadaan dua orang pengemis
tadi.
“Dan ini, apakah ini? Untuk apa? Kelihatannya
seperti darah.”
“Bukan darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu
menambah asin atau manis masakan.”
Sementara itu, dua orang pengemis muda yang
sudah bebas daripada daging-daging bulat, kelihatan marah-marah, berdiri dan
memandang ke arah meja Kwi Lan sambil melotot. Empat orang kawannya yang lebih
tua juga sudah menengok semua dan mereka bicara berbisik-bisik satu kepada yang
lain, wajah mereka mengancam. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan apa yang
akan mereka lakukan terhadap dua orang muda itu tanpa mengganggu jalannya
pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh biasa saja yang datang mewakili
pengemis golongan hitam, maka tentu saja mereka segan untuk membuat gaduh dan
kacau dalam pesta perayaan pengangkatan Ketua Thian-liong-pang. Akhirnya
mereka mengambil keputusan untuk menanti sampai upacara berakhir, barulah akan
memberi hajaran kepada dua orang muda kurang ajar itu.
Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar,
bentakan suara laki-laki mengiringi tangis wanita. Semua tamu menengok dan
muncullah seorang laki-laki tinggi besar berjubah seperti pendeta, akan tetapi
rambutnya panjang riap-riapan dan mukanya seperti seekor singa, matanya lebar
dan bersinar liar. Laki-laki berusia lima puluhan tahun ini memegang sebatang
cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia menggiring dua belas orang wanita
muda-muda dan cantik-cantik seperti seorang penggembala menggiring ternak
saja.Beberapa orang di antara wanita inilah yang mengeluarkan suara tangisan,
dan yang lain berjalan dengan muka pucat dan mata penuh kecemasan.
Begitu memasuki ruangan itu, kakek ini tertawa
dan wajahnya menjadi makin menyeramkan. Rambutnya yang riap-riapan dan terhias
bunga-bunga cilan, semacam bunga yang wangi, bergerak-gerak ketika ia tertawa.
Melihat tamu ini,Thai-lek-kwi Ma Kiu berubah air mukanya, menjadi girang dan
segera turun sendiri menyambut dan menjura.
“Wah, kiranya sahabat Ci-lan Saikong yang
datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami.”
“Huah-ha-ha-ha! Thian-liong-pang terkenal
dengan Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) yang sungguh gagah perkasa. Kini yang
tertua di antaranya akan menjadi ketua, benar-benar menambah keangkeran
Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk memberi hormat kepada Sin-seng
Losuhu, dan memberi selamat kepada Thian-liong-pang dengan ketua barunya, dan
karena pinceng seorang miskin yang hanya suka mengumpulkan bunga-bunga harum
maka pinceng hanya dapat memberi sumbangan dua belas tangkai bunga harum ini
untuk hiasan kamar Dua Belas Naga dari Thian-liong-pang sehingga kamar mereka
menjadi harum dan membuat mereka enak tidur. Ha-ha-ha!” Kemudian kakek itu
membunyikan cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawanannya sambil
membentak, “Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru kalian!”
Karena agaknya sudah tahu akan kekejaman kakek itu, dua belas orang gadis ini
lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka.
Para tamu yang hadir terdiri dari orang-orang
golongan hitam, maka peristiwa ini tidaklah mengherankan hati mereka, malah
banyak di antara mereka. tertawa-tawa dan terdengar komentar di sana-sini
memuji dua belas orang gadis itu dan menyatakan betapa senangnya menerima
sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi Ma Kiu dan adik-adik
seperguruannya serta para anggauta Thian-liong-pang menganggap hal ini biasa
dan sewajarnya saja. Akan tetapi karena saat itu adalah saat yang penting dan
di situ terdapat banyak tamu, Ma Kiu merasa malu dan jengah juga. Ia kembali
menjura dan berkata.
“Ah, Saudara Ci-lan Sai-kong mengapa begitu
sungkan? Kami tidak mengharapkan sumbangan. Kedatanganmu saja sudah cukup
menggirangkan hati kami!” Sungguhpun tidak menolak secara berterang, namun
kata-kata ini menyatakan ketidaksenangan hati dengan sumbangan itu, karena
diberikan bukan pada saatnya yang tepat.
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa sambil
mengelus jenggotnya yang kaku. “Sudah kukatakan tadi, pinceng orang miskin dan
hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa para pimpinan
Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan pinceng maka pinceng
membawa dua belas tangkai kembang ini. Jangan Sicu (Tuan yang Gagah) khawatir,
bunga-bunga ini masih murni, datang dari keluarga baik-baik dan sengaja kupilih
untuk Sicu sekalian!”
Pada saat itu, Si Tua Renta Sin-seng Losu yang
tadinya duduk melenggut mengantuk di atas kursi, kini tiba-tiba nampak segar,
dan tidak mengantuk lagi. Ia duduk tegak di kursinya, matanya yang setengah
lamur itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua belas orang gadis yang berlutut
di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi ia berkata,
“Sumbangan paling berharga diberikan orang,
kenapa banyak rewel? Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku!”
“Huah-ha-ha-ha!” Ci-lan Sai-kong tertawa
bergelak sambil berdongak sehingga perutnya yang besar bergerak-gerak turun
naik, “Sin-seng Losu benar-benar mengagumkan sekali. Orang boleh tua tapi hati
harus tetap muda! Kalau Losuhu menghendaki, lain kali boleh pinceng kirim
beberapa tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan lebih harum!”
“Heh-heh, terima kasih.... ini sudah cukup....
banyak ....”
Biarpun dia sendiri seorang yang tidak pantang
melakukan segala macam maksiat, namun sebagai calon ketua perkumpulan besar,
Ma Kiu merasa malu juga mendengar percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah
agar suhunya yang sudah pikun dan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan
Sai-kong itu tidak mengeluarkan omongan-omongan yang tidak patut lagi, ia
segera menjura.
“Banyak terima kasih atas sumbanganmu, kami
persilakan duduk dan menikmati hidangan sekadarnya!” sambil menyuruh
adik-adik seperguruannya membawa para gadis itu ke belakang, ia sendiri lalu
mengantar tamu ini ke tempat duduknya.
Hauw Lam mengerutkan alisnya, mukanya yang
tampan dan biasa bergembira itu berubah sama sekali, sepasang matanya
memancarkan sinar kemarahan Kwi Lan melihat hal ini dan merasa heran. Mengapa
pemuda, ini marah-marah?
“Kau kenapa?” Ia bertanya lirih.
“Kenapa? Hemm, tidakkah kaulihat mereka
tadi....?” Hauw Lam menjawab dengan pertanyaan pula. “Ci-lan Sai-kong itu,
jai-hwa-cat terkutuk....”
“Apa itu jai-hwa-cat?”
Dalam kemarahannya, Hauw Lam berubah gemas dan
mengomel. “Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa! Tidak mengenal masakan masih
tidak aneh, akan tetapi seorang dara dengan kepandaian seperti kau ini yang
patut menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa itu jai-hwa-cat benar-benar bikin
hati mendongkol. Sekan-akan kau mempermainkan aku dan pura-pura tidak tahu!”
Kwi Lan makin heran melihat pemuda ini
bertambah kemarahannya. “Eh, kau kenapa sih? Mabok agaknya, ya? Aku benar-benar
tidak tahu, kau marah-marah. Hayo jelaskan, apa sih yang dinamakan
jai-hwa-cat itu? Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan menjijikkan, tapi ia
seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang pendeta? Setahuku,
pendeta suka memetik daun-daun dan menggali, akar-akar untuk obat. Memetik
bunga (jai-hwa) untuk apa?”
“Kau benar bodoh, Mutiara Hitam !
Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan
tetapi di balik kedoknya, ia penjahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan
bunga adalah seorang gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan memetik bunga
biasa, melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kaulihat dua belas
gadis itu....”
“Hemm, mereka itu orang-orang tidak punya
guna. Mereka mau saja dijadikan barang sumbangan. Perlu apa dipikirkan
boneka-boneka hidup itu?”
“Mereka dipaksa!”
“Ih, aku tidak melihat mereka dipaksa. Mereka
berjalan dengan sukarela sama sekali tidak melawan.”
“Mereka orang-orang lemah, bagaimana berani
melawan?”
Kwi Lan mengangkat kedua pundak. Ia tetap
tidak mengerti dan tidak mempedulikan nasib dua belas orang wanita tadi. Hauw
Lam makin mendongkol. Gadis aneh yang telah merampas hatinya ini agaknya
selain berwatak luar biasa, juga, hatinya keras dan tidak mempedulikan nasib
orang lain.
Tiba-tiba terjadi keributan kembali dan
masuklah dari ruangan depan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih
tinggi kurus dan wajahnya tampang sikapnya agung dan pakaiannya biarpun tidak
baru, namun bersih dengan potongan pakaian pelajar. Di pinggang orang ini
tergantung sebatang pedang. Begitu masuk, semua orang tahu bahwa pelajar tua
ini sedang marah, sepasang matanya yang tajam mengeluarkan sinar. Ia langsung
melangkah lebar ke dalam ruangan tamu, berhenti di depan Sin-seng Losu lalu
menudingkan telunjuknya dan berteriak.
“Sin-eng Losu! Bagaimana pertanggunganjawabmu
terhadap Thian-liong-pang? Kulihat betapa Thlan-liong-pang berubah menjadi
perkumpulan iblis yang jahat dan yang mengotorkan nama kami para patriot
Hou-han! Tadinya melihat muka mantumu, Siangkoan Bu yang gagah perkasa dan
dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan benar, aku masih bersabar menyaksikan
sepak terjangmu. Akan tetapi setelah Siangkoan Bu meninggal, kau dan
murid-muridmu makin merajalela melakukan kejahatan-kejahatan yang keji,
menyeret nama bersih Thian-liong-pang sebagai tempat perkumpulan para patriot
Hou-han menjadi perkumpulan bangsat-bangsat dan penjahat-penjahat!”
Mendengar ucapan ini Ma Kiu melompat bangun
diturut sebelas orang adik seperguruannya. “Heh, orang she Ciam! Engkau dahulu
memang tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi dengan kehendakmu sendiri kau
pergi mengundurkan diri sehingga kalau tidak ada Suhu kami, tentu
Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur diperhina orang lain. Kini
Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang besar, dihormati orang di dunia
kangouw, dan kau berani datang bersikap kurang ajar terhadap Suhu? Apakah kau
sudah bosan hidup?”
“Ciam-sicu, mengingat engkau masih bekas
pemimpin Thian-liong-pang dan mengingat akan hubungan kita yang lalu, biarlah
kumaafkan kata-katamu yang kasar tadi.” Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang.
“Akan tetapi katakanlah mengapa datang-datang kau memaki dan marah-marah?
Bukankah anak buahku sudah pula memberi kabar kepadamu dan memberi undangan?”
“Aku tidak peduli akan upacara pengangkatan
ketua baru, asal saja Thian-liong-pang dibawa ke jalan benar. Akan tetapi, aku
sedang mengejar Ci-lan Sai-kong Si Penjahat Pemetik Bunga yang terkutuk, yang
telah menculik belasan orang gadis. Siapa kira, dua belas orang gadis itu
diculiknya untuk diantarkan ke sini! Hayo menyangkallah kalau bisa! Bukankah
Sai-kong keparat itu mengantarkan mereka ke sini sebagai sumbangan? Beginikah
wataknya para pimpinan Thian-liong-pang sekarang? Begini rendah dan bejat?”
“He-heh, Ciam-sicu. Apa pun yang
dipersembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik untuk ditolak.
Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik orang lain. Memang
kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan tetapi kalau kau
menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu,” Kembali Ketua
Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran. Ia sebetulnya tidak takut
terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah karena mengingat akan
perhubungan mereka yang lalu. Ciam Goan ini dahulu adalah seorang di antara
pimpinan Thian-liong-pang dan terkenal aktif serta setia terhadap perkumpulan.
Baru sepuluh tahun yang lalu, karena makin tidak suka akan sepak terjang
pimpinan baru ia mengundurkan diri dan tidak pernah mencampuri
Thian-liong-pang. Baru sekarang ia tiba-tiba muncul dan marah-marah karena
melihat betapa penjahat pemetik bunga yang dikejar-kejarnya itu memberikan
gadis-gadis culikannya sebagai sumbangan kepada pimpinan Thian-liong-pang!
“Sin-seng Losu! Kau masih mempunyai rasa malu,
itu bagus. Lekas bebaskan dua belas orang gadis itu dan selanjutnya aku tidak
akan mencampuri urusan Thian-liong-pang lagi karena semenjak saat ini, aku
bersumpah takkan sudi lagi menginjak lantai ini!”
Mendengar kata-kata ini, Sin-seng Losu menoleh
ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya jelas hendak mengalah dan gerakan
mukanya merupakan perintah agar murid-muridnya membebaskan dua belas orang
gadis sumbangan Ci-lan Sai-kong. Di dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya
merasa mendongkol dan marah sekali. Mereka memang suka dengan wanita-wanita
cantik, akan tetapi bagi mereka amat mudah mendapatkan wanita cantik, baik
dengan mengandalkan uang, kedudukan, maupun kepandaian dan tentu saja mereka
tidak begitu kukuh,untuk menahan dua belas orang gadis tadi. Akan tetapi, sikap
Ciam Goan amat merendahkan mereka dan kalau mereka mengalah, mereka merasa malu
kepada para tamu. Selain itu, mereka pun tahu bahwa gurunya mengalah hanya
karena mengingat bahwa Ciam Goan ini dahulu bekas pemimpin Thian-liong-pang.
Soal kepandaian, sungguhpun Ciam Goan cukup lihai, namun mereka tidak gentar
menghadapinya. Karena inilah, Ma Kiu menjadi ragu-ragu untuk menyetujui sikap
gurunya yang mengalah.
Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras
dan Ci-lan Sai-kong sudah melompat bangun menghadapi Ciam Goan. Sambil
bertolak pinggang orang tinggi besar itu tertawa dan berkata. “Huah-ha-ha-ha!
Cacing kurus yang bicara besar dan sombong! Engkau bilang mengejar dan mencari
pinceng? Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng yang menyumbangkan kepada
dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena pinceng masih berada di
tempat ini, masih menjadi tanggung jawab pinceng!”
“Bagus! Memang aku akan membunuhmu,
jai-hwa-cat!” bentak Ciam Goan dengan marah. Bekas tokoh Hou-han ini tidak
peduli akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah meluap-luap. Yang membuat
marah sekali bukan hanya melihat penjahat cabul penculik gadis-gadis remaja
itu, melainkan terutama sekali karena melihat betapa Thian-liong-pang yang
tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk membangun kembali kerajaan
yang sudah runtuh, kini ternyata menyeleweng menjadi sarang penjahat kejam
terkutuk. Maka kini dengan kemarahan meluap ia mencabut pedangnya dan langsung
menerjang Sai-kong itu dengan tusukan kilat ke arah dada, Harus diketahui
bahwa Ciam Goan ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun seorang
panglima Kerajaan Hou-han dan dalam hal ilmu pedang, ia telah digembleng oleh
seorang pamannya, adik ibunya, juga seorang panglima, yaitu Panglima Giam
Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu pedang
Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan.
Mendengar suara angin pedang berdesing dan
melihat serangan yang cepat ini, Ci-lan Sai-kong tidak berani memandang
rendah. Sambil berseru keras ia sudah meloncat mundur sambil mengibaskan
lengan bajunya yang lebar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah
menghunus keluar sebatang golok tipis yang mengkilap saking tajamnya.
Ujung pedang di tangan Ciam Goan sudah datang
lagi dengan tusukan kearah leher. Kini Ci-lan Sai-kong menggerakkan goloknya
menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Sai-kong ini adalah seorang ahli
gwa-kang (tenaga luar) sehingga tenaganya amat besar. Terdengar bunyi nyaring
ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali. Untung tadi
sudah menduga akan besarnya tenaga lawan, sehingga ia telah mengerahkan
Iwee-kang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat menghadapi tenaga keras
dengan tenaga lemas. Dengan cara ini, walaupun tertangkis keras,pedangnya
tidak terpental melainkan menempel pada golok sehingga tidak ada bahaya
terlepas atau rusak.
Selagi Sai-kong itu terkejut karena
tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat pedang lawan terpukul jatuh,
Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset dan langsung dengan gerakan nyerong
pedangnya itu menyambar ke arah lengan kanan lawan. Inilah jurus ilmu pedang
Kun-lun yang bernama Hunin-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), amat
berbahaya karena yang diserang bukan bagian tubuh lain melainkan lengan kanan
yang memegang golok! Hebatnya jurus ini adalah karena pedang itu akan terus
mengulang gerakannya membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya tanpa memberi
kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Kecepatannya mengandalkan
kepada gerak pergelangan tangan, maka cepatnya bukan main dan lawan yang
diserang tentu akan menjadi bingung.
Demikian pula dengan Ci-lan Sai-kong. Melihat
pedang lawannya membabat ke arah lengan kanannya, ia kaget sekali dan cepat ia
menarik lengan kanannya sambil memutar golok, siap membalas. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika pedang yang lewat ke sebelah kirinya itu kini membalik
dengan kecepatan kilat dan telah membabat lagi ke arah pinggangnya! Tak
disangkanya lawan akan dapat mengulangi serangan sedemikian cepatnya, maka ia
pun menggerakkan golok menangkis. Namun tetap saja Ciam Goan dapat terus
menyambung serangannya, begitu tertangkis, pedangnya membalik dan meluncur
dengan babatan dari samping, demikian pula kalau dielakkan sehingga Sai-kong
itu mengalami penyerangan berantai yang membuat dia repot menyelamatkan diri.
Akan tetapi, Ci-lan Sai-kong juga bukan
seorang lemah. Selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, juga ia sudah kenyang
akan pengalaman bertanding. Inilah sebabnya maka menghadapi serangan
Hun-in-toan-san yang amat lihai ini ia pun tidak kekurangan akal. Melihat betapa
pedang lawan selalu membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan yang
diserang adalah pinggang ke atas, tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan keras dan
tubuhnya lalu rebah dan menggelinding ke atas tanah. Ia tidak hanya
menggelinding untuk menyelamatkan diri, melainkan juga berguling untuk
mendekati lawan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah, membabat kaki lawan
dan juga ada kalanya menusuk ke arah perut. Inilah Tee-tong-to (Ilmu Golok
Bergulingan) yang amat berbahaya. Segera keadaan menjadi berubah. Kalau tadi
Ciam Goan berada di pihak penyerang dan pendesak dengan jurus Hun-in-toan-san,
kini Si Penjahat Pemetik Bunga itu yang mendesak dengan Tee-tong-to. Ciam Goan
menjadi repot sekali, harus meloncat ke sana ke mari dan pedangnya melindungi
tubuh bagian bawah, bagian yang amat sulit dilindungi dengan pedang.
“Wah, ramai betul!” Hauw Lam berkata dengan
wajah gembira. “Kalau tidak hati-hati orang she Ciam itu tentu akan celaka.”
“Tidak mungkin!” bantah Kwi Lan.
“Biarpun ilmu pedangnya hanya permainan
kanak-kanak, sedikitnya ia lebih baik daripada brewok itu.”
“Hauw Lam melirik ke arah gadis ini. Terlalu
sombongkah gadis ini, atau memang betul-betul berkepandaian begitu tinggi
sehingga menganggap ilmu pedang Ciam Goan yang jelas bersumber ilmu pedang
Kun-lun itu dianggap permainan kanak-kanak.
“Kumaksudkan bukan dalam pertandingan melawan
Sai-kong itu. Melawan dia, kiranya takkan kalah karena kulihat Sai-kong itu
hanya luarnya saja kelihatan kuat, akan tetapi dalamnya sudah lapok seperti
pohon tua, napasnya sudah hampir putus. Yang kukhawatirkan adalah orang-orang
Thian-liong-pang. Lihat saja sikap Dua Belas Naga itu dan kurasa Ciam Goan
belum tentu akan dapat meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
Kini Kwi Lan yang merasa heran. Ia tidak
berkata apa-apa, akan tetapi hatinya penasaran. Ia belum berpengalaman seperti
Hauw Lam, tidak mengenal watak orang-orang kang-ouw.
Sementara itu, pertandingan antara dua orang
itu makin seru. Kini Ci-lan Sai-kong tidak lagi menggunakan Tee-tong-to karena
setelah puluhan jurus ia lakukan tanpa hasil, ia menjadi kelelahan sendiri.
Memang Tee-tong-to sungguhpun lihai dan berbahaya bagi lawan, namun untuk
memainkannya membutuhkan tenaga dan napas panjang. Adapun Ci-lan Sai-kong,
sungguhpun terlatih baik dan banyak pengalaman, namun tepat seperti dikatakan
Hauw Lam tadi di sebelah dalam tubuhnya ia sudah lemah. Sai-kong ini adalah
seorang abdi nafsu, seorang yang selalu mengumbar nafsu sehingga tentu saja
kekuatan-kekuatan sebelah dalam tubuhnya menjadi lemah dan mana ia mampu
bertahan melawan seorang yang ulet dan kuat seperti Ciam Goan? Kini keringatnya
sudah membasahi muka dan leher, napasnya mulai terengah-engah seperti orang
dikejar setan.
Melihat keadaan lawan ini, Ciam Goan lalu mendesak
dan menerjang dengan jurus Seng-siok-hut-si (Musim Panas Kebut Kipas). Jurus
ini amat gencar seperti gerakan kipas di tangan, bahkan lebih gencar
serangannya daripada jurus Hun-in-toan-san tadi. Tiga kali Sai-kong itu
mengelak dan menangkis, keempat kalinya ketika ujung pedang menotok iga kiri,
ia cepat melakukan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) untuk
melindungi iganya dengan golok sambil tangan kirinya bergerak memukul dada
lawan. Namun siapa kira, Ciam Goan sudah merobah gerakan pedangnya, ia tidak
jadi menotok iga, melainkan memutar pedangnya ke kanan dan.... “crakkkk!”
lengan kiri Sai-kong itu terbabat putus sebatas siku!
“Aduhh....!” Sai-kong itu terhuyung dan Ciam
Goan sudah menerjang maju untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pada
saat itu tampak sinar putih meluncur cepat dan “traanggg....!” pedang di
tangan Ciam Goan terpental dan lepas dari pegangannya. Sebatang sumpit gading
yang tadi menghantam pedang itu jatuh ke atas lantai di depannya.
Pucat wajah Ciam Goan. Kiranya Ma Kiu yang
menyambitkan sumpit itu untuk menangkis pedangnya dan menyelamatkan nyawa
Ci-lan Sai-kong. Lemparan sumpit saja sudah dapat meruntuhkan pedangnya. Baru
lemparan sumpit begitu hebat, apalagi kalau orangnya maju! Ciam Goan menghela
napas dan berkata,
“Kepandaian Thai-lek-kwi memang hebat. Seorang
saja sudah sehebat itu, apalagi kalau Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang maju
bersama. Akan tetapi aku Ciam Goan seorang laki-laki yang tidak takut mati.
Majulah kalian semua dan mari kita mengadu nyawa di sini!” Sikap Ciam Goan
benar-benar amat gagah sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi kagum sekali.
Diam-diam gadis ini sudah siap-siap untuk membela orang gagah itu. Ia mendengar
kawannya berbisik, “Kalau dia. dikeroyok, hemmm.... akan kucabuti semua rambut
dari muka Ma Kiu berikut bulu-bulu hidungnya!” Mau tidak mau Kwi Lan tertawa
geli mendengar ucapan ini. Karena gadis wajar dan polos, maka suara ketawanya
tidak ia tahan-tahan. Padahal waktu itu, keadaan sudah amat tegang dan amat
sunyi. Tidak ada suara keluar dari para tamu yang menanti perkembangan
selanjutnya yang menegangkan. Tentu saja suara ketawa gadis ini terdengar
jelas.
Sin-seng Losu lalu bangkit berdiri. Suara
ketawa Kwi Lan tadi seakan-akan menampar mukanya dan ia berkata, “Sudahlah kami
sedang hendak melakukan upacara penting tidak perlu pertandingan dilanjutkan
berlarut-larut. Apalagi, kami tidaklah serendah itu untuk melakukan
pengeroyokan terhadap seorang yang tidak berapa pandai seperti Ciam-sicu, kau
sudah berhasil mengalahkan Ci-lan Sai-kong, nah, tidak lekas pergi dari sini
mau tunggu apa lagi?”
Ciam Goan menghela napas dan berkata, “Aku
harus tahu diri, tak mungkin dapat melawan kalian. Biarlah dua belas orang
gadis ini tersiksa di sini, aku tidak berdaya menolong. Akan tetapi ingat, Ciam
Goan bukan seorang yang mudah melupakan kejahatan macam ini. Lain kali kita
bertemu pula!” Setelah berkata demikian, Ciam Goan memungut pedangnya lalu
pergi meninggalkan tempat itu. Ci-lan Sai-kong sudah ditolong dan diobati
lengannya yang buntung, tempat itu sudah dibersihkan oleh pelayan dan Ci-lan
Sai-kong sudah disuruh mengaso di kamar belakang.
“Cu-wi sekalian dipersilakan berdiri, upacara
akan dilakukan sekarang juga!” Sin-seng Losu berseru keras dan semua tamu
bangkit berdiri dari tempat duduk masing-masing. Biarpun merasa tak senang,
Kwi Lan yang melihat Hauw Lam berdiri dengan muka melucu, terpaksa bangkit
juga. Suasana kembali menjadi sunyi sehingga langkah seorang murid kepala
Thian-liong-pang yang membawa panci, diikuti saudara-saudaranya, terdengar
nyata. Sambil berlutut murid itu memberikan panci kepada Sin-seng Losu yang
sudah bangkit berdiri dari kursinya. Dengan kedua tangan ia memegang panci itu
dan pada saat itu Thai-lek-kwi Ma Kiu maju dan berlutut menghadap para tamu.
Seorang murid lain datang pula dari belakang dan terdengarlah hiruk-pikuk
suara anjing menggonggong. Kiranya murid ini datang menyeret seekor anjing
hitam ke depan gurunya. Tanpa berkata sesuatu Sin-seng Losu menggerakkan tangan
kiri dengan dua jari terbuka, menusuk leher anjing hitam itu. Terdengar anjing
itu menguik keras akan tetapi oleh murid tadi ekornya dipegang dan tubuhnya
diangkat ke atas. Dari lehernya yang berlubang bercucuran darah yang
ditampung oleh Sin-seng Losu ke dalam panci tadi. Anjing tadi meronta-ronta dan
menguiknguik, akhirnya darahnya habis dan ia berhenti berkelojotan. Bangkainya
lalu dilemparkan ke sudut oleh Si Murid yang lalu mengundurkan diri. Beberapa
orang pelayan lalu mengangkat bangkai itu ke belakang dan Kwi Lan mendengar
suara Hauw Lam berbisik di belakangnya, “Hemm, tentu dimasak daging anjing
itu.”
“Ihhh....!” Kwi Lan berseru kaget, akan tetapi
mereka lalu mengalihkan perhatian lagi ke tengah ruangan di mana Sin-seng Losu
memegang panci berisi darah anjing hitam. Kakek ini lalu mengangkat panci
tinggi-tinggi dan berkata.
“Dengan disaksikan oleh Cu-wi sekalian, dan
dengan syarat sudah ditentukan dalam perkumpulan Thian-liong-pang kami, saat
ini aku menyerahkan kedudukan Pangcu (Ketua) kepada muridku yang pertama, Ma
Kiu. Nyawa anjing hitam itu menjadi saksi dan darahnya menghalau semua iblis
yang hendak mengganggu tugasnya!” Setelah berkata demikian, Sinseng Losu
menyiramkan darah anjing hitam itu ke atas kepala Ma Kiu yang botak!
“Ihhh....!” kembali Kwi Lan berseru dan
seperti terpesona ia pun menuangkan kecap dari botol ke dalam cangkirnya sampai
penuh! Kecap itu kental dan merah seperti darah.
“Hemmm, benar-benar keji dan kotor.” bisik
Hauw Lam di belakangnya. “Mutiara Hitam, aku sudah muak dan gatal-gatal
tanganku diam saja sejak tadi di sini. Apakah menyaksikan lagak badut-badut ini
kita harus diam saja? Hayo kau ramaikan tontonan di sini, kautarik perhatian
mereka dan aku akan masuk menolong gadis-gadis tadi. Atau aku yang memancing
keributan sedangkan kau yang menolong ....?”
“Ah, peduli amat dengan mereka. Kalau kau mau
menolong, pergilah. Aku.... aku ingin mencoba sampai di mana kelihaian mereka
ini!”
Hauw Lam mengangguk lalu diam-diam ia
menyelinap pergi menggunakan kesempatan selagi semua orang mencurahkan
perhatian kepada upacara pengangkatan ketua baru. Kwi Lan yang memang sejak
tadi mendongkol dan tidak senang, mendengar niat Hauw Lam hendak menolong dua
belas orang gadis-gadis itu, entah mengapa hatinya makin tidak senang lagi. Dan
kini ia ingin menumpahkan kemarahan hatinya kepada orang-orang
Thian-liong-pang. Ia membawa cangkir kecap itu menuju ke depan, lalu berkata.
“Pangcu yang baru diangkat dengan siraman
darah anjing. Kalau dia suka darah biarlah aku mengucapkan selamat dengan darah
naga ini!” Kwi Lan tersenyum manis dan begitu ia menggerakkan tangan kanan,
“darah” dalam cangkirnya menyiram keluar dan dengan kecepatan luar biasa
menyambar kepala dan muka Ma Kiu yang masih berlepotan darah akan tetapi sudah
duduk di kursi ketua yang tadi diduduki suhunya!
Namun Ma Kiu memang lihai. Tanpa turun dari
kursinya, ia mengerahkan tenaga dan.... berikut kursi yang didudukinya ia
telah meloncat kursinya itu telah pindah ke kiri sejauh satu meter! Akan tetapi
karena sambaran kecap itu luar biasa cepatnya, ia tidak dapat menghindarkan
lagi sebagian kecap menyiram pipinya dan memasuki mulutnya. Ketika ia tahu
bahwa yang menyiram mukanya adalah kecap, mengertilah Ma Kiu bahwa gadis itu
sengaja mencari gara-gara. Akan tetapi karena tadi mengira bahwa gadis itu
adalah utusan Jin-cam Khoa-ong, Ma Kiu masih menahan kemarahannya, lalu berseru
dengan nada marah.
“Nona sebagai tamu yang kami hormati, sebagai
utusan Pak-sin-ong yang kami muliakan, apakah arti perbuatanmu ini?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. Sejak tadi ia
sudah tidak senang kepada mereka, terutama Ma Kiu. Ia memang tidak peduli akan
nasib dua belas orang wanita muda tadi, akan tetapi mereka itu ia anggap
terlalu sombong, tidak memandang mata kepadanya sehingga melakukan apa saja di
depannya seakan-akan ia tidak akan bisa berbuat sesuatu! Memang watak Kwi Lan
aneh sekali dan ia hanya selalu menurutkan perasaan hatinya. Kalau perasaan
hatinya suka, seperti terhadap Hauw Lam, ia pun akan bersikap baik.
“Artinya, Brewok, bahwa aku setuju dengan
ucapan orang she Ciam tadi, bahwa Thian-liong-pang dipimpin oleh orang-orang
yang busuk! Bahwa kuanggap engkau seorang yang suka mandi darah anjing hitam,
tak patut menjadi Ketua Thian-liong-pang, patutnya menjadi tukang jagal
anjing!”
Semua orang terbelalak kaget mendengar ini dan
semua tamu menahan napas. Omongan itu merupakan penghinaan yang tiada taranya!
Apalagi bagi mereka yang mengenal bahwa dahulunya Ma Kiu adalah seorang tukang
jagal, maka omongan gadis itu yang entah disengaja atau tidak mereka tidak tahu
tentu amat menyakitkan hati ketua baru Thian-liong-pang ini. Dan memang
sesungguhnyalah, setelah sesaat terbelalak seperti arca saking kaget dan
herannya, wajah Ma Kiu perlahan-lahan menjadi merah sekali sampai ke telinganya.
Kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dan kalau ia tidak ingat bahwa
kursi itu adalah kursi ketua tentu telah diterkamnya hancur lengan kursi itu
untuk melampiaskan kemarahannya.
“Bocah kurang ajar!” bentaknya, Suaranya
menggetar saking marahnya. “Biarpun engkau utusan dari utara, apa kaukira kau
boleh bersembunyi di balik nama Jin-Cam Khoa-ong untuk menghinaku?”
Kwi Lan tertawa, menggunakan tangan kanannya
secara main-main meremas cangkir bekas kecap tadi sehingga cangkir itu hancur
lebur menjadi tepung dalam genggaman tangannya yang berkulit halus lalu
berkata.
“Siapa bilang aku kaki tangan Jin-cam
Khoa-ong? Biar dia algojo manusia maupun algojo anjing seperti engkau, aku sama
sekali tidak mengenalnya. Siapa kesudian bersembunyi di belakang namanya?”
Mendengar ini, kembali semua orang melengak
kaget. Kalau dara remaja itu tadi bersikap ugal-ugalan dan kurang ajar, mereka
semua mengira bahwa gadis itu adalah kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan hal itu
tidaklah begitu aneh. Akah tetapi setelah kini gadis itu sendiri menyangkal
menjadi orang Pak-sin-ong dan berani menghina tokoh besar itu pula di depan
orang banyak, benar-benar mereka menjadi kaget dan heran sekali. Gilakah dara
remaja ini? Kalau gila, alangkah sayangnya, dara remaja begitu cantik jelita!
Lebih-lebih lagi Ma Kiu sendiri. Kemarahannya
meluap-luap dan diam-diam ia pun lega bahwa dara ini bukan utusan Jin-cam
Khoa-ong, karena dengan kenyataan ini ia boleh berbuat sesuka hatinya,
terhadap gadis ini. “Bagus!” teriaknya sambil bangkit berdiri. “Kalau begitu,
biarlah kau menjadi tawanan kami dan akan kaurasakan penderitaan yang akan
membuat kau merindukan kematian!” Dalam suara ini terkandung ancaman yang
hebat dan mengerikan. Akan tetapi Kwi Lan tidak mengenal apa itu artinya takut
danngeri. Ia malah tertawa.
“Sudah, jangan membadut lagi. Sudah sejak tadi
aku muak mendengar dan melihat segala yang terjadi di sini. Lekas keluarkan
kuda hitamku, Nonamu hendak pergi!” Sambil berkata demikian Kwi Lan menggunakan
tangan kiri untuk mengebut-ngebutkan bajunya. Karena ia baru saja melakukan
perjalanan jauh bersama Hauw Lam dengan naik kuda, tentu saja pakaiannya banyak
debunya dan begitu ia kebut-kebutkan, debu mengepul ke sekelilingnya dan
mengotori meja-meja tamu lainnya.
“Wanita keparat! Kau belum tahu lihainya tuan
besarmu!” Thai-lek-kwi Ma Kiu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan
kini hendak melangkah maju. Akan tetapi terdengar suara Sin-seng Losu di
belakangnya.
“Seorang ketua tidak sepatutnya melayani
segala anak kecil. Apakah Thian-liong-pang sudah tidak ada orang lain untuk
membereskan kuda betina liar ini? Hayo, siapa berani maju menangkapnya? Tangkap
dan bawa ke kamarku, aku butuh yang liar macam ini untuk menambah semangatku!”
Untung bahwa Kwi Lan masih hijau dan tidak
tahu apa yang dimaksudkan kakek ini. Kalau ia tahu tentu ia takkan dapat
menahan kemarahannya lagi. Tiba-tiba dari golongan tamu melompat keluar
seorang laki-laki muda yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih. Pengemis
muda ini menjura ke arah kursi ketua dan berkata.
“Betul apa yang dikatakan Losuhu tadi.
Thian-liong-pang tidak perlu repot-repot, di antara tamu-tamu yang hadir masih
banyak yang sanggup menangkap bocah ini. Biarlah saya menangkap siluman cantik
ini untuk Thian-liong-pang!”
“Ha-ha-ha, sahabat-sahabat dari Hek-coa
Kai-pang memang selalu merupakan sahabat-sahabat baik kami. Tidak percuma
bersahabat dengan Hek-coa Kai-pang. Silakan Siauw-sicu” kata Sin-seng Losu.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong,
mengangkat muka dan membusungkan dadanya, melangkah maju menghampiri Kwi Lan.
Dia adalah seorang di antara dua pengemis muda yang tadi dipaksa menelan
daging kambing oleh Kwi Lan, maka tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan
ini untuk membalas penghinaan tadi. Akan tetapi karena wataknya memang mata
keranjang, begitu melihat wajah jelita, hatinya sudah berdebar-debar dan
timbul niat hatinya untuk mempermainkan Kwi Lan. Ia tersenyum dibuat-buat,
matanya memandang kurang ajar, dan berkata,
“Nona kecil bermulut besar! Kau tidak tahu
tingginya langit lebarnya bumi! Berani mengacau Thian-liong-pang dan tidak
memandang sebelah mata kepada para tamunya. Dosamu besar sekali dan sudah
sepatutnya kau dihukum mati. Akan tetapi tuan mudamu yang melihat bahwa kau
masih muda remaja dan cantik jelita, bersedia memberi ampun asal saja kau suka
berlutut dan menganggukkan kepala delapan kali lalu berjanji akan melayani
dengan manis segala kehendak Sin-seng Losuhu dan.... aduuuhhh....” Pengemis
muda itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia keburu mati dengan gosong dan
tulang-tulangnya remuk.
Pukulan Kwi Lan yang disertai kemarahan hebat
itu membuat ia terlempar sampai menimpa meja di depan Ma Kiu si ketua baru!
Kagetlah semua yang hadir di situ. Terutama
sekali lima orang pengemis anggauta Hek-coa Kai-pang yang melihat seorang
saudaranya dalam segebrakan saja terpukul tewas, segera melompat bangun dari
tempat duduk masing-masing. Saudara muda mereka tadi, biarpun bukan anggauta
pimpinan teratas dari Hek-coa Kai-pang, namun merupakan seorang tokoh yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi juga. Bagaimanakah dapat roboh binasa hanya
sekali pukul oleh gadis remaja itu? Sekali melompat mereka tiba di dekat meja
Ketua Thian-liong-pang yang tertimpa tubuh saudara muda mereka dan begitu
melihat dada dan muka pengemis muda itu biru menghitam, mereka mengeluarkan
seruan kaget dan marah. Hek-coa Kai-pang adalah perkumpulan pengemis dunia
hitam yang terkenal akan kelihaian mereka bermain racun. Kini seorang anggauta
mereka tewas oleh pukulan yang mengandung racun hebat!
“Thian-liong-pangcu, maafkan kami yang
terpaksa harus turun tangan terhadap siluman betina ini!” berkata seorang di
antara lima orang pengemis itu kepada Ma Kiu. Setelah berkata demikian lima
orang pengemis ini sudah meloncat dan mengurung Kwi Lan yang berdiri dengan
sikap tenang. Di tangan mereka tampak pedang yang sudah siap untuk menerjang
dan mengeroyok. Akan tetapi melihat pukulan beracun yang hebat itu, pula
mendengar bahwa gadis itu tadi menyangkal sebagai utusan Pak-sin-ong, pengemis
tertua berlaku hati-hati dan berkata.
“Nona muda, engkau sudah berani lancang tangan
membunuh seorang di antara saudara kami. Hayo mengaku, siapakah engkau dan dari
partai mana agar kami dapat mempertimbangkan tindakan kami selanjutnya
terhadap dirimu.” Kata-kata ini mengangkat kedudukan para pengemis itu ke
tempat atas dan memang inilah yang dimaksudkan oleh pengemis itu untuk menutup
rasa malu karena mereka berlima mengurung seorang nona muda.
“Apakah kau tuli? Tadi sudah diperkenalkan
namaku Mutiara Hitam, bukan dari partai manapun juga. Saudaramu mampus oleh
tingkahnya sendiri. Apakah masih ada lagi yang sudah ingin mampus? Kalau ada,
boleh maju biar aku membantunya pergi ke neraka agar dunia ini tidak terlalu
kotor. Kalau tidak ada, hayo keluarkan kuda hitam, Nonamu sudah jemu dan ingin
pergi dari sini.”
Pengemis tua itu tak dapat menahan
kemarahannya dan berseru. “Saudara-saudara, kalau kita tidak dapat membalas
kematian saudara muda kita, percuma saja menjadi anggauta Hek-coa Kai-pang!”
Seruan ini merupakan komando bagi teman-temannya dan serentak mereka
menggerakkan pedang mengirim serangan. Akan tetapi lima orang pengemis ini
hanya melihat Si Nona tidak berpindah tempat melainkan menggerakkan kedua
tangannya dan.... pedang mereka membalik dan menghantam diri mereka sendiri.
Benar-benar amat luar biasa gerakan kedua tangan Kwi Lan ini. Setiap sambaran
pedang ia sambut dengan tangan terbuka dan dengan gerakan aneh yang
mengeluarkan hawa pukulan amat kuatnya, pedang yang menyambar dadanya membalik
ke dada Si Pemegang Pedang, yang menyambar pundak membalik ke pundak Si
Penyerang dan demikian seterusnya sehingga terdengar teriakan-teriakan
kesakitan ketika lima orang pengemis ini roboh berturut-turut oleh
bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka sendiri!
Melihat gerakan luar biasa yang mendatangkan
akibat aneh itu, Ma Kiu yang berkepandaian tinggi maklum bahwa biarpun masih
amat muda, gadis itu benarbenar lihai sekali. Kalau tidak lekas turun tangan
membekuk atau membinasakan gadis yang mengacau perkumpulannya ini tentu
setidaknya akan mengurangi keangkeran Thian-liong-pang, demikian pikirnya. Maka
ia lalu berseru. “Tangkap siluman ini!” Ia memberi isyarat dan sebelas orang
adik seperguruannya mengikuti gerakannya menghampiri Kwi Lan. Gadis ini
teringat akan cerita Hauw Lam akan kehebatan Cap-ji-liong yang katanya disegani
oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ia bersikap hati-hati namun wajahnya tetap
berseri dan bibirnya tersenyum mengejek.
“Inikah yang disebut Dua Belas Ekor Naga dari
Thian-liong-pang? Hemm, Sungguh gagah!” kata Kwi Lan sambil tersenyum.
Merah muka Ma Kiu. Sebagai ketua baru
Thian-liong-pang, sungguh amat memalukan kalau ia harus maju bersama sebelas
orang sutenya untuk mengeroyok seorang gadis remaja. Nama Cap-ji-liong sudah
tersohor. Masa kini menghadapi seorang gadis remaja mereka harus maju bersama?
Akan tetapi gadis ini aneh ilmu silatnya, dan kalau sekali turun tangan
Cap-ji-liong tidak mampu merobohkannya, hal itu akan lebih memalukan lagi.
“Bocah, kalau kau sudah mendengar tentang
Cap-ji-liong, mengapa banyak tingkah? Cap-ji-liong selamanya maju bersama.
Karena kau menjadi tamu, berarti kami kurang sopan kalau turun tangan di
sini. Jika engkau benar-benar berani kami menantangmu untuk mengadu kepandaian
di ruangan silat!”
Ucapan ini sedikit banyak menghapus rasa malu
pihak Thian-liong-pang karena berarti bahwa dua belas orang tokohnya bukan
sekali-kali hendak mengeroyok begitu saja, melainkan telah melakukan tantangan
secara berterang. Kalau gadis ini tahu diri dan menolak tantangan lalu pergi
meninggalkan tempat itu tentu Cap-ji-liong tidak akan menghalanginya. Semua
tamu menduga bahwa, tentu gadis itu akan mempergunakan kesempatan ini untuk
pergi menyelamatkan diri, karena melawan Cap-ji-liong berarti mencari mati.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika melihat gadis itu tersenyum
lebar dan menjawab,
“Kalian menantangku? Boleh, siapa takut akan
pengeroyokan kalian? Hayo, hendak kulihat seperti apa kepandaian Cap-ji-liong!”
Kwi Lan yang tidak mengenal apa artinya takut, tentu saja tidak dapat menolak
tantangan ini, yang diucapkan dengan kata-kata “kalau ia berani!” Ia seorang
gadis remaja yang baru saja turun ke dunia ramai sama sekali belum
berpengalaman hanya mengandalkan kepandaian luar biasa dan keberanian saja.
Kalau ia berpengalaman, tentu ia akan menaruh curiga mengapa Cap-ji-liong
menantangnya dengan memilih tempat.
“Bagus!” seru Ma Kiu. “Mari ke lian-bu-thia
(ruangan silat), biarlah para tamu yang terhormat menjadi saksi bahwa kau
menerima tantangan Cap-ji-liong untuk bertanding di lian-bu-thia!”
Sambil membusungkan dada, sedikit pun tidak
gentar, Kwi Lan berjalan mengikuti Ma Kiu ke ruangan belakang di mana terdapat
ruangan silat yang luas dan berbentuk bundar. Sebelas orang adik seperguruan Ma
Kiu berjalan di belakangnya, kemudian berbondong-bondong para tamu yang ingin
menyaksikan pertandingan itu membanjiri ruangan silat pula.
Kini mereka telah berhadapan. Kwi Lan
memperhatikan mereka. Ma Kiu yang menjadi pimpinan berdiri di tengah sedangkan
sebelas orang lain berdiri di kanan kirinya. Mereka tampak gagah dan keren dan
melihat gerak-gerik mereka, memang dapat dibayangkan bahwa Cap-ji-liong
rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga usia dan pakaian mereka bermacam-macam.
Ada yang sudah tua, ada yang masih amat muda. Ada yang berpakaian seperti tosu,
ada yang gundul seperti hwesio, dan ada yang berpakaian seperti pelajar.
Anehnya, kini mereka telah memakai sebuah tali yang mengikat kepala mereka,
tali yang dipasangi sebuah batu permata kuning dan terpasang di atas dahi
mereka. Juga Ma Kiu kini memakai tali semacamitu. Ia tidak tahu bahwa itulah
tanda khas tokoh Thian-liong-pang dan batu kuning itu diberi nama mustika naga.
“Majulah!” Kwi Lan menantang, sikapnya acuh
tak acuh.
Terdengar suara “set-set-set!” teratur ketika
kaki dua belas orang itu mulai bergeser dengan cepat mengatur barisan
mengurung. Mereka tidak melangkah, tidak mengangkat kaki melainkan bergeser
sehingga sepatu mereka menimbulkan suara di atas lantai. Keadaan menjadi hening
dan tegang semua tamu memandang ke arah Kwi Lan yang menjadi pusat perhatian
karena nona ini sudah terkurung di tengah-tengah!
Dua belas orang itu masih terus bergerak
menggeser kaki sehingga tubuh mereka bergerak mengitari Kwi Lan, suara geseran
kaki mereka kini berbunyi susul-menyusul seperti desis ular, Kwi Lan masih
berdiri diam tak bergerak, hanya biji matanya yang bergerak-gerak, mengerling
dan mengikuti gerakan mereka di sebelah depan. Kedua telinganya memperhatikan
gerakan di belakangnya dengan seksama, setiap urat syaraf di tubuhnya menegang,
siap sedia, akan tetapi wajahnya masih tenang dengan senyumnya mengejek
Tiba-tiba saat yang dinanti-nantikan oleh
semua orang tiba. Dengan teriakan nyaring seorang anggauta Cap-ji-liong yang
muda, bertubuh tinggi kurus bermuka seperti tikus, menerjang Kwi Lan dari
sebelah belakang. Agaknya laki-laki muda ini tertarik oleh kecantikan wajah dan
keindahan bentuk tubuh Kwi Lan sehingga ia menyerang bukan memukul, melainkan
memeluk ke arah pinggang dengan kedua lengannya. Namun gerakannya ini
mendatangkan angin hebat dan tak boleh dipandang ringan. Pada detik berikutnya,
anggauta lain, seorang tosu, mengulur tangan dari sebelah kiri untuk
mencengkeram pundak, disusul serangan saudaranya dari depan, kanan, dan
kemudian dua belas orang itu sudah bergerak serentak susul-menyusul dengan
teratur baik sekali. Gerakan mereka yang teratur itu lebih merupakan gerakan
dalam sebuah barisan dan sekaligus mereka telah menutup semua jalan keluar
bagi Kwi Lan! Kiranya Ma Kiu dan adik-adiknya tidak mau menyia-nyiakan waktu
dan sekali turun tangan mereka tidak main-main lagi.
Pendengaran Kwi Lan yang tajam mewakili
matanya. Ia tahu bahwa penyerang pertama datang dari belakang. Dengan mudah
ia mendoyongkan tubuh mengelak, kemudian secara tiba-tiba kaki kanannya
menendang ke arah tangan tosu yang mencengkeram pundak kirinya, disambut
dengan gerakan meloncat ke atas dan melihat betapa para pengeroyoknya turun
tangan secara bergiliran, tubuhnya yang meloncat ke atas itu tiba-tiba
melakukan gerak berputaran secara cepat sekali. Hebat bukan main gerakan gadis
ini, cepat dan aneh. Karena gerakan memutar di udara ini sukar diikuti gerakan
tangan dan kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah menangkis semua serangan
lawan dengan tangan atau dengan kaki, bahkan masih berkesempatan membagi
pukulan dan tendangan yang mengenai empat orang lawannya. Mereka mengaduh dan
berseru kaget, tak menyangka bahwa selain dapat bergerak cepat itu, bekas
tangan atau kaki gadis itu amat berat menimpa pundak dan dada. Sesaat barisan
itu kacau, akan tetapi Ma Kiu berseru keras dan barisan menjadi rapi kembali
pada saat gadis itu sudah menurunkan tubuhnya dan berdiri di tengahkurungan. Ia
tersenyum-senyum karena dalam gebrakan pertama ini ia berhasil memperlihatkan
kelihaiannya!
Kini para tamu menjadi berisik sekali. Mereka
kagum dan kaget bukan main. Ketika tadi dua belas orang itu menyerang secara
bertubi-tubi dan setiap serangan merupakan pukulan dan cengkeraman yang
lihai, diam-diam mereka menduga bahwa gadis ini mencari mati. Akan tetapi siapa
kira, gadis itu dapat bergerak seperti kilat cepatnya dan hampir sukar
dipercaya betapa gadis itu bukan hanya dapat menangkis semua serangan, juga
dapat memukul dan menendang empat orang pengeroyoknya, biarpun hal itu
dilakukan cepat-cepat dan tergesa-gesa sehingga tidak tepat kenanya.
Gerakan pertama ini membuka mata Ma Kiu. Ia
maklum bahwa biarpun dalam hal tenaga, mereka semua tidak akan kalah oleh
lawan. Akan tetapi dalam hal kecepatan gerak maupun dalam hal ilmu silat yang
luar biasa, gadis itu benar-benar merupakan lawan tangguh. Dia tadi berlaku
sungkan sehingga mengeluarkan komando untuk bergerak satu-satu secara
bergiliran, siapa tahu, karena ia sungkan empat orang adiknya mengalami pukulan
dan tendangan. Sekali lagi ia berseru keras dan kali ini dua belas orang itu
menerjang maju secara berbareng! Hanya lima orang yang menyerang langsung ke
arah tubuh Kwi Lan. Sedangkan yang tujuh orang menghantam ke tengah, ke atas,
ke bawah dan sekitar tempat Kwi Lan berdiri sehingga mereka telah menutup
semua jalan keluar. Kemana pun gadis ini hendak bergerak, ia akan disambut
hantaman yang dilakukan dengan pengerahan Iwee-kang!
Hal ini sama sekali tak diduga oleh Kwi Lan.
Gadis ini terkejut juga, maklum bahwa keadaannya berbahaya.
Baru ia tahu
bahwa Cap-ji-liong benar-benar hebat dan tangguh. Biarpun kalau melawan mereka
satu-satu, ia sanggup merobohkan mereka itu dalam waktu singkat, akan tetapi
kalau mereka maju
berbareng amatlah
sukardilawan. Ia berseru keras, tidak bergerak dari tempatnya, melainkan
menggunakan kaki tangan menangkis dan jari tangannya menotok ke arah
pergelangan tangan lima orang yang menyerangnya secara berturut-turut. Akan
tetapi tiba-tiba lima orang penyerang itu menarik kembali penyerangan mereka
dan barisan bergeser terus, disusul lima orang lain yang menyerang secara
tiba-tiba, dibantu tujuh orang yang mencegat jalan keluar! Setiap menyerang,
lima orang itu mengambil kedudukan ngo-heng, dan setiap kali melihat bahwa
serangan itu akan gagal, barisan yang terus bergeser itu menarik kembali
serangan untuk di ulang dengan perubahan-perubahan mendadak yang sukar untuk
diduga sebelumnya.
Kwi Lan merasa kewalahan. Dahinya yang putih
halus itu mulai berkeringat. Ia takut, akan tetapi jengkel dan penasaran
sekali! Ketika untuk kesekian kalinya lima orang lawan menyerangnya dan
kepalanya sudah mulai pening karena mencurahkan perhatian dan menduga-duga
perubahan, ia berseru keras, mencabut pedangnya dan memutar pedang itu ke
sekelilingnya.
Tidak tampak gerakannya ini saking cepatnya.
Tahu-tahu dua belas orang itu mencium bau yang wangi dan tampak oleh mereka
sinar hijau bergulung-gulung seperti naga sakti bermain di angkasa, seperti
hawa yang dingin sekali.
“Awas.... mundur dan siapkan senjata....!” Ma
Kiu berseru keras. Barisannya melebar dengan cepat, namun masih saja ada dua
orang yang terkena serempetan ujung pedang Siang-bhok-kiam sehingga pangkal
lengan mereka terluka mengeluarkan darah. Lagi-lagi kurang tepat kenanya karena
Kwi Lan tidak menggunakan pencurahan perhatian sepenuhnya dan tadi hasilnya
inipun hanya kebetulan saja. Bagaimana ia dapat mencurahkan perhatiannya dalam
sebuah serangan kalau lawannya yang dua belas orang banyaknya itu selalu
bergerak secara membingungkan? Kini terdengar suara nyaring dan semua anggauta
Cap-ji-liong sudah memegang senjata masing-masing. Ada yang memegang toya, ada
yang membawa pedang, golok, thi-pian (pecut besi), siang-kek (sepasang tombak
cagak), poan-koan-pit (senjata penotok jalan darah seperti pena bulu), tombak
tiat-kauw (gaetan besi) dan lain-lain. Ma Kiu sendiri bersenjatakan sepasang
pedang panjang yang kelihatan berat.
Para tamu makin tegang. Setelah kini kedua
pihak menggunakan senjata, tak dapat disangsikan lagi gadis itu tentu akan mati
dalam keadaan tubuh tidak utuh. Setiap anggauta Cap-ji-liong memiliki ilmu
kepandaian khusus, bahkan sebelum menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu
adalah ahli-ahli silat kelas satu. Kini mereka maju bersama, dapat dibayangkan
betapa hebatnya.
“Ha-ha-ha-ha! Sayang sekali kau akan
tercincang mati.... bunga liar seperti engkau sukar dicari....!” Tiba-tiba
terdengar suara Sin-seng Losu yang tadi kelihatan bersungut-sungut ketika
beberapa orang di antara murid-muridnya ada yang terluka. Kakek ini sejak tadi
melenggut di atas kursi, menonton pertandingan sambil merem-melek.
Kelihatannya saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia
menonton dengan hati penuh penasaran karena semenjak tadi, belum juga ia dapat
mengetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal ini benar-benar membuat
ia kaget dan heran. Biarpun ia sudah terlalu tua sehingga tenaga dan napasnya
sudah berkurang banyak dan kalau bertanding, dia sendiri tidak akan dapat
mengatasi keampuhan Cap-ji-liong, akan tetapi pengetahuannya dalam ilmu silat
sudah amat dalam. Hampir semua aliran ilmu silat di dunia ini! Ia kenal baik
akan tetapi mengapa sekali ini, setelah melihat gadis itu bersilat sampai puluhan
jurus, ia sama sekali tidak mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan? Ia
anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis itu. Mirip-mirip ilmu silat
Kun-lun-pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai, akan tetapi ketika menotok
hampir sama dengan ilmu totok Im-yang-tiam-hoat yang lihai dari Siauw-lim-pai.
Akan tetapi semua itu hanya mirip saja, dan sama sekali bukan aselinya, bahkan
kadang-kadang berlawanan dengan aselinya!
Hal ini memang tidak mengherankan kalau orang
mengenal dari mana Kwi Lan mendapatkan semua ilmu yang aneh itu. Gurunya adalah
seorang wanita yang luar biasa, yang puluhan tahun menyembunyikan diri dan
menelan segala macam ilmu tanpa ada yang menuntun. Dalam istana bawah tanah
terdapat banyak sekali kitab pelajaran ilmu silat peninggalan mendiang
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab itu dari partai-partai
besar. Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan, memang tidak sehat alias tidak
normal, maka ketika mempelajari semua ilmu itu ia telah menyeleweng dan ilmu
yang aseli berubah, menjadi ilmu aneh dan ganas. Kwi Lan juga mempelajari
kitab-kitab itu sendirian saja, hanya menerima petunjuk-petunjuk dari gurunya,
justeru sedikit petunjuk itu menyeleweng daripada aselinya, maka dapat
dibayangkan betapa hasil ilmu yang ia kuasai tentu saja lebih aneh dan lebih
menyimpang dari aselinya! Jangankan Sinseng Losu, biar tokoh-tokoh dari partai
yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri melihat cara Kwi Lan bersilat
tentu takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.
Ucapan mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah
berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi Lan hebat dan luar biasa. Baru pedangnya,
sebatang pedang kayu wangi, sudah membuktikan bahwa gadis ini biarpun masih
remaja, namun sudah mencapai tingkat yang dinamakan tingkat “yang lunak mengalahkan
yang keras” yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur, tenaga yang
dikendalikan hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat dipergunakan untuk
melawan senjata keras. Akan tetapi, menghadapi pengurungan dua belas
Cap-Ji-liong yang mempergunakan dua belas macam senjata ini, Kwi Lan
benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan menyambarnya seperti hujan dan hanya
dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ilmu pedangnya yang aneh maka
sementara itu ia masih mampu bertahan. Seperti juga tadi, dua belas orang
pengeroyoknya itu tidak mengeroyok, secara serampangan saja, melainkan
mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh kuat. Perlahan akan tetapi
tentu mereka mulai menekan dan mendesak.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari
sebelah dalam. Teriak-teriakan orang terdengar.
“Kebakaran....! Kebakaran....!”
“Tangkap bocah setan....!”
“Celaka, tawanan gadis-gadis itu
dilarikan....!”
Semua tamu terkejut dan dua belas orang
Cap-ji-liong yang sudah mulai mengurung dan mendesak Kwi Lan, terpengaruh oleh
teriakan-teriakan ini sehingga tekanan kepada gadis itu agak mengendur. Pada
saat itu, berkelebat bayangan yang tertawa-tawa, “Ha-ha-ha, sungguh memalukan.
Dua belas ekor monyet tua mengeroyok seorang gadis jelita! Dua belas ekor naga
kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!”
Kiranya bayangan ini bukan lain adalah Hauw
Lam yang dengan gerakan cepat sudah meloncat dan memutar goloknya menerjang
barisan pengepung sehingga terbukalah barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu
mengeluarkan aba-aba. Barisan yang diterjang Hauw Lam sengaja membuka “pintu”
dan pemuda ini pun sekarang masuk ke dalam pengurungan dua belas orang tangguh
itu.
“Eh, Mutiara Hitam. Kita datang bersama, mana
bisa sekarang engkau berpesta-pora sendiri saja melabrak dua belas ekor monyet
tua ini? Aku ikut. Hayo kita sekarang berlumba. Kita beradu punggung dan lihat
pedangmu, atau golokku yang lebih dulu membabat mampus mereka ini!”
Kwi Lantersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan
terdesak hebat. Namun seujung rambut ia tidak merasagentar. Ia tadi sudah
siap-siap, kalau sampai ia kalah dan harus roboh di tangan dua belas orang
pengeroyoknya, ia tentu akan menyeret beberapa orang di antaranya terutama
sekali Ma Kiu, untuk tewas bersamanya! Untuk niat ini ia sudah menggenggam
tujuh jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat munculnya Hauw Lam yang
mengajak ia berlumba, timbul kegembiraannya dan ia berseru.
“Berandal cilik! Kaulihat betapa aku
merobohkan mereka!” Setelah berkata demikian, Kwi Lan mainkan pedangnya menerjang
maju. Empat orang di depannya cepat mengangkat senjata untuk menangkis dan
balas menyerang, akan tetapi pada saat itu tangan kiri Kwi Lan bergerak dan
sinar hijau menyambar ke depan.
“Awas....!” Ma Kiu berseru memperingatkan
adik-adiknya. Namun, jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari jarak
dekat sehingga biarpun empat orang itu berusaha mengelak, dua orang di antara
mereka kurang cepat dan robohlah mereka sambil mengeluarkan jeritan
kesakitan. Murid-murid Thian-liong-pang segera menolong mereka ini dan kini
sepuluh orang pengeroyok menerjang dengan marah sekali. Hauw Lam tertawa-tawa
dan sambil berdiri saling membelakangi, dia dan Kwi Lan memutar senjata
menghadapi para pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu Hauw Lam.
Tadi yang membuat ia amat repot adalah penyerangan lawan yang berada di
belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi memperhatikan bagian
belakang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap ada
serangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung menyambut serangan ini
dengan tusukan atau totokan yang mendahului sehingga Si Penyerang
terpaksa menarik kembali serangannya.
“Semua mundur....!” tiba-tiba Ma Kiu berteriak
keras memberi perintah kepada adik-adiknya
Sepuluh orang itu serentak melompat mundur
sambil menggerakkan tangan kiri. Maka berhamburanlah senjata-senjata rahasia
yang berbentuk peluru bintang, bagaikan hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi Lan.
Dua orang muda itu cepat memutar golok dan pedang, memukul runtuh semua senjata
rahasia.
“Wah, kau yang mengajar monyet-monyet itu.
Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam mengomel. Kwi Lan yang maklum betapa
besar bahayanya kalau pihak lawan mulai menyerang dari jauh dengan senjata rahasia,
setuju akan usul ini. Akan tetapi sebelum mereka sempat mendapatkan jalan
keluar untuk melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka injak tergetar dan
dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos ke bawah.
“Celaka....!” Hauw Lam berseru dan bersama Kwi
Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat dicegah lagi!
“Cari pegangan....!” Hauw Lam berseru pula
dan merentangkan kedua tangannya. Goloknya ia tusuk-tusukkan ke samping dan
akhirnya tangan kirinya berhasil merabadinding. Ia menggerakkan tubuh sehingga
tubuhnya yang meluncur itu terbanting ke kiri, menubruk dinding dan di lain
saat tubuhnya tergantung pada gagang golok yang dipegangnya erat-erat.
Akan tetapi Kwi Lan yang memiliki gin-kang
luar biasa itu, dengan menggerak-gerakkan kaki tangannya dapat memperlambat
luncuran tubuhnya, bahkan ketika kedua kakinya menyentuh dasar sumur, tubuhnya
membalik lagi ke atas sampai dua meter lebih, seakan-akan di kedua kakinya
dipasangi per yang lemas sekali.
“Mutiara Hitam.... kau di mana....?” Terdengar
suara Hauw Lam di atas.
Kwi Lan sudah duduk di atas tanah berbatu dan
menjawab, “Di bawah sini. Turunlah. Mau apa kau bergantungan disitu?”
Hauw Lam menengok ke bawah. Sinar yang masuk
dari atas memberi penerangan suram, akan tetapi ia dapat melihat betapa gadis
itu sudah duduk enak-enakan di sebelah bawah, kira-kira tiga meter dari
tempat ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga, mencabut goloknya dan meloncat
turun di dekat gadis itu. Pada saat itu, terdengar suara berderit keras dan
lobang di sebelah atas itu tertutup rapat kembali. Keadaan menjadi gelap
gulita, melihat tangan sendiri pun tak tampak!
“Wah, kita seperti dua ekor tikus masuk
perangkap!” Hauw Lam berkata berusaha untuk tertawa, akan tetapi menahannya
karena khawatir kalau-kalau membuat gadis itu tak senang.
“Kau kenapa? Mau tertawa, tertawalah. Mengapa
memandang kepadaku seperti orang ragu-ragu? Kaukira aku takut? Huh, enak di
sini!” kata Kwi Lan yang segera duduk melonjorkan kedua kakinya.
Hauw Lam terkejut. “Apa kaubilang....?
Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku.... eh, Mutiara Hitam, apakah engkau
mempunyai nama seperti kucing?”
“Hemm, kalau aku kucing, engkau tikus!
Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan apa yang kaulakukan tadi.”
Tentu saja Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini
semenjak kecil tinggal di bawah tanah, di dalam istana bawah tanah sehingga ia
merasa enak berada di bawah tanah! Karena semenjak kecil biasa hidup di tempat
gelap Kwi Lan memiliki mata yang sudah biasa dengan kegelapan dan dapat melihat
benda di dalam gelap, setidaknya lebih awas daripada orang biasa. Mendengar
suara gadis itu tidak dibuat-buat, diam-diam ia merasa semakin kagum dan suka.
Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Selain cantik jelita seperti dewi, juga
wajar dan polos, ditambah kepandaian yang amat tinggi. Tadi ketika dikeroyok
Cap-ji-liong, gadis ini sudah memperlihatkan bahwa ia memiliki kepandaian yang
benar luar biasa. Jarang ada tokoh yang mampu mempertahankan diri dari
pengeroyokan Cap-ji-liong, apalagi melukai dua orang di antara mereka dalam
pengeroyokan. Dan sekarang, biarpun telah terjebak masuk ke dalam sumur, gadis
ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak membayangkan sikap
takut-takut.
“Nanti dulu, paling penting aku harus
menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar.” kata Hauw Lam sambil
mengulur kedua lengan ke depan, meraba-raba.
“Tak usah kauselidiki lagi. Percuma, sumur ini
sengaja dibuat untuk menjebak musuh. Dindingnya terbuat dari batu tebal,
tingginya lima tombak lebih dan di atas ditutup lembaran besi yang atasnya
dipasangi tegel, dan dapat terbuka atau tertutup sendiri dengan alat rahasia.”
Kembali Hauw Lam menjadi heran. Gadis ini
bicara seakan-akan tidak berada di dalam gelap, seperti menceritakan keadaan
yang dilihatnya dengan nyata. Ia tidak percaya lalu kedua tangannya
meraba-raba dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan gadis itu. Dinding
sumur itu segi empat, lebarnya tiga meter tiap segi, dan terbuat daripada batu
tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia tidak dapat melihat
apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba kepala gadis itu!
“Eh-eh, mau apa kau? Seperti orang buta saja!”
Gadis itu membentak.
“Wah, maaf.... aku.... aku memang seperti
buta di sini....”
“Duduklah dan jangan berkeliaran.”
Hauw Lam lalu duduk di atas lantai sumur.
Tanah padas berbatu itu agak basah. Betapapun juga, ia tidak dapat bersikap
masa bodoh seperti gadis ini. Masa mereka harus menerima kematian seperti dua
ekor tikus dalam sumur? Ia harus berdaya untuk keluar dari dalam sumur ini.
“Mutiara, aku tidak mengerti bagaimana kau dapat mengetahui keadaan sumur ini.
Akan tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak mungkin kita meloncat keluar
dari sini. Biarpun begitu, dengan bantuan golok dan pedangmu, aku dapat
meloncat-loncat sambil menancapkan golok dan pedang bergantian pada dinding,
terus sampai keluar. Setelah itu, aku akan mencari tambang untuk menarikmu
keluar pula.”
“Eh, takutkah engkau di sini?”
“Bukan takut! Akan tetapi kita harus mencari
jalan keluar.”
“Hemm, bagaimana kau akan membuka penutup
besi di atas itu? Pula, siapa tahu begitu kau keluar, hujan senjata akan
menyambutmu?”
Hauw Lam terkejut. Beralasan juga kata-kata
gadis ini. “Habis.... bagaimana.”
“Kita menanti kesempatan dan sementara itu,
duduk mengaso di sini dan kauceritakan apa yang terjadi tadi.”
Malu juga rasa hati Hauw Lam mendengar suara
gadis itu yang amattenang. Ia lalu bercerita. Ketika tadi melihat datangnya
Ci-lan Sai-kong yang menggiring dua belas orang gadis-gadis muda yang diculik,
Hauw Lam marah bukan main. Akan tetapi ia menahan-nahan perasaan hatinya dan
setelah mendapat kesempatan ia lalu menyelinap ke dalam pada saat perhatian
semua orang tertarik oleh perbuatan Kwi Lan yang amat berani. Setelah tiba di
ruangan belakang, ia menyergap dan menotok seorang anggauta Thian-liong-pang.
Dari orang inilah ia mendapat keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang
ditahan di kamar belakang, dijaga oleh empat orang anggauta Thian-liong-pang. Ia
menotok lumpuh orang itu kemudian melanjutkan penyelidikannya. Tekad hatinya
akan menolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan kepandaiannya
yang tinggi, secara mudah ia merobohkan empat orang penjaga dan pada saat
itulah dari atas genteng melayang turun seorang laki-laki yang ternyata adalah
Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liong-pang yang tadi diusir oleh Ma Kiu.
Girang hati Hauw Lam dan diam-diam ia kagum
menyaksikan keberanian Ciam Goan. Biarpun sudah jelas bahwa orang gagah itu tak
mungkin dapat melawan para pimpinan Thian-liong-pang dan tadi pun sudah
dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih berani dan berusaha menolong dua
belas orang gadis tawanan. Tanpa banyak cakap mereka lalu memasuki kamar,
membebaskan dua belas orang gadis itu. Hauw Lam menyerahkan dua belas orang
gadis itu kepada Ciam Goan untuk diajak melarikan diri, sedangkan dia sendiri
memancing perhatian orang dengan jalan membakar bangunan samping bagian
belakang. Akalnya berhasil baik. Semua orang lari ke tempat kebakaran dan
mengeroyoknya, sehingga Ciam Goam dan dua belas orang gadis tawanan itu dapat
pergi dengan aman. Hauw Lam sendiri lalu memancing mereka yang mengeroyoknya
ke sebelah dalam gedung, bahkan ia lalu menggabung dengan Kwi Lan yang sudah
terdesak oleh Cap-ji-liong sehingga akhirnya mereka berdua terjeblos ke dalam
sumur perangkap.
“Begitulah.” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
“Kuharap saja orang she Ciam itu berhasil melarikan dan menyelamatkan dua
belas orang gadis itu. Dan kau sendiri, apa yang kaulakukan tadi? Wah,
kepandaianmu hebat bukan main, Mutiara Hitam. Aku takluk setelah menyaksikan
betapa kau melawan pengeroyokan Cap-ji-liong!”
“Hemm, mereka memang kuat sekali kalau maju
bersama. Sebelum kau datang membantu, hampir aku roboh.” Mutiara Hitam atau Kwi
Lan lalu menceritakan pengalamannya. Hauw Lam kagum sekali dan diam-diam di
lubuk hatinya ia merasa puas dan tidak akan penasaran kalau mengalami kematian
bersama nona ini di dalam sumur!
“Sekarang bagaimana? Aku bukannya takut
terkurung seperti ini, akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita
harus keluar dari sini, terutama sekali engkau....” katanya.
“Mengapa aku? Kalau kau bagaimana?”
“Aku juga harus dapat keluar, akan tetapi yang
paling penting engkau, Nona. Kau seorang wanita, karena itu harus didahulukan
keselamatanmu....”
“Huh, laki-laki dan wanita apa bedanya?”
Hauw Lam tidak mau membantah tentang itu.
“Biar kucoba untuk merayap atau meloncat naik.”
“Percuma, kita tunggu kesempatan. Kalau ada
yang membuka penutup besi di atas itu, sudah kupersiapkan jarum-jarumku.
Begitu ada orang di atas, kuserang dengan jarum dan kau boleh melompat dengan
bantuan golokmu ditancapkan pada dinding.”
“Bagaimana kalau tidak ada yang membuka
penutup besi di atas?”
“Kalau begitu, hemm.... kita tinggal di sini
selamanya sampai mati”
Mendengar kata-kata yang dikeluarkan seenaknya
dan tenang-tenang saja itu, Hauw Lam bergidik. Akan tetapi hatinya menjadi
hangat ketika ia ingat betapa gadis itu agaknya senang saja tinggal berdua
dengan dia di situ selamanya sampal mati! Ia menjadi terharu dan baru sekali
ini selama hidupnya Hauw Lam merasa hatinya terharu sekali dan juga bahagia!
Suaranya menjadi gemetar ketika ia berkata, lenyap nadanya yang suka bergurau,
suaranya kini bersungguh-sungguh.
“Nona.... aku...., aku pun rela mati di sini,
rela tinggal di sini selama hidupku, bahkan aku akan berbahagia sekali....
berdua di sampingmu selamanya....”
“Ihhh! apa maksud kata-katamu yang aneh ini?”
Kwi Lan yang tentu saja masih bodoh dalam hal asmara, bertanya heran. Nada
suara gadis ini menyadarkan Hauw Lam, membuat mukanya merah sekali, membuat ia
merasa malu sekali. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga ia tidak usah
menentang pandang mata Kwi Lan, dan kegelapan ini sesungguhnya yang membuat ia
berani melanjutkan kata-katanya yang membisikkan suara hatinya.
“Mutiara.... biarpun belum lama aku
mengenalmu, bahkan namamu yang sesungguhnya pun aku belum tahu.... akan
tetapi.... aku tidak merasa begitu. Bagiku engkau sudah kukenal selama hidupku.
Tadinya aku sebatang kara di dunia ini... setelah bertemu denganmu, aku merasa
tidak sebatang kara lagi. Mutiara.... ah, aku harus berterus terang.... aku....
aku cinta padamu....”
Saking kaget dan herannya mendengar ucapan
yang lama sekali belum pernah didengarnya dan yang baru ia raba-raba maksud
sebenarnya ini, Kwi Lan duduk termenung dan menggigit jarum yang dipegangnya.
Ia seperti orang terpesona, tidak peduli bahwa pada saat itu, sinar terang
menerobos masuk dari atas dan penutup lubang sumur itu dibuka orang! Hauw Lam
melihat ini dan cepat melompat, siap untuk menerjang ke atas dan berseru.
“Mutiara.... lekas serang dia....”
Akan tetapi Kwi Lan hanya memandangnya dan
berkata bingung, “Ada apa....?”
“Ssstt.... naiklah....!” Tiba-tiba orang yang
membuka penutup sumur itu berkata, kemudian seutas tambang meluncur turun dari
atas.
Hauw Lam dan Kwi Lan melihat bahwa yang
muncul dan melemparkan tambang itu adalah seorang yang berkerudung kain hitam,
akan tetapi dari suaranya dapat diketahui bahwa dia seorang laki-laki. Begitu
melempar tambang, bayangan itu lenyap kembali.
“Mari kita naik!” Hauw Lam berkata dan
cepat-cepat pemuda ini merayap naik melalui tambang seperti seekor kera
cepatnya, Kwi Lan juga sudah merayap baik dan sebentar saja keduanya sudah
melompat keluar dari sumur. Sejenak mata Hauw Lam menjadi silau karena
tiba-tiba dari tempat gelap berada diterang. Ia mengejap-ngejapkan matanya,
kemudian ketika matanya bertemu dengan Kwi Lan, tiba-tiba pemuda ini menjadi
merah seluruh mukanya!
“Pergi dari sini cepat!” Hauw Lam berkata dan
mereka lalu melompat keluar dari ruangan silat yang kini sudah sunyi. Akan
tetapi begitu mereka keluar dari ruangan silat dan berada di ruangan tengah,
dari kanan kiri berlompatan keluar beberapa orang anggauta Cap-jiliong!
“Celaka! Mereka lolos! Kepung....
tangkap....!” Mereka berteriak-teriak dan empat orang sudah menerjang Hauw Lam
dan Kwi Lan.
Akan tetapi, keampuhan Cap-ji-liong adalah
kalau mereka maju bersama. Kini hanya ada empat orang di antara mereka, tentu
saja bukan tandingan Hauw Lam dan Kwi Lan. Begitu sepasang orang muda ini
menggerakkan senjata empat orang itu sudah melompat mundur untuk menghindarkan
bahaya maut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hauw Lam dan Kwi Lan untuk
berlari terus. Karena dari depan berbondong datang para anggauta
Thian-liong-pang, Hauw Lam lalu menarik tangan Kwi Lan, diajak lari melalui
ruangan belakang. Mereka lari masuk ke ruangan dalam, terus ke belakang.
Beberapa orang anggauta Thian-liong-pang yang bertemu dengan mereka dan
berusaha menghalangi, mereka robohkan dengan tendangan atau pukulan tangan
kiri.
Untung bagi mereka bahwa para pimpinan
Thian-liong-pang pada saat itu sedang sibuk membuat persiapan untuk mengunjungi
pertemuan antara tokoh-tokoh dunia hitam yang akan diadakan di Puncak
Cheng-liong-san untuk memilih jagoan nomor satu di dunia. Ma Kiu ketua baru,
juga Sin-seng Losu sendiri bersama murid-muridnya bersama beberapa orang tamu
penting sudah meninggalkan gedung untuk mengunjungi kota Tai-goan untuk ikut
menyambut datangnya seorang tokoh besar yang terkenal dengan julukan
Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Karena tokoh besar ini masih terhitung
paman guru Sin-song Losu, tentu saja oleh Thian-liong-pang dianggap sebagai kakek
guru dan mereka mengharapkan kakek guru ini akan menjadi jagoan nomor satu
sehingga nama Thian-liong-pang akan ikut terangkat tinggi. Karena kesibukan ini
mereka hanya meninggalkan empat orang murid kepala bersama murid-murid bawahan
untuk menjaga gedung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa dua orang muda
tawanan mereka akan dapat meloloskan diri dan menganggap mereka itu tentu akan
tewas kelaparan di dalam sumur.
How Lam dan Kwi Lan maklum bahwa kalau para
pimpinan Thian-liong-pang keburu datang mengeroyok, keadaan mereka akan
berbahaya. Karena mereka datang ke tempat itu hanya untuk “main-main” dan tidak
mempunyai urusan tertentu dengan perkumpulan ini, mereka pun tidak ada niat
untuk melanjutkan pengacauan. Dihadang oleh murid-murid bawahan Thian-liong-pang
tentu saja mereka dengan enak merobohkan semua penghadang, terus lari ke
belakang, mencari kandang kuda dan setelah dapat menemukan kuda hitam yang
mereka “sumbangkan” tadi, mereka lalu menunggang kuda berdua dan membalapkan
kuda itu keluar dari Yen-an. Terdengar derap kaki kuda yang ditungganggi para
anak buah Thian-liong-pang mengejar, namun tak seekor pun kuda mampu menandingi
larinya kuda hitam dari Khitan itu.
Setelah kota Yen-an jauh ditinggalkan dan tak
tampak adanya pengejar lagi, Kwi Lan yang duduk di depan tiba-tiba menahan
kudanya. Mereka berhenti di jalan simpang empat.
“Di sini kita berpisah. Kau turunlah.”
Hauw Lam meloncat turun dan memandang gadis
itu dengan muka terkejut. Tak disangkanya bahwa secara tiba-tiba gadis itu
mengajak mereka saling berpisah. Namun nona itu menundukkan muka, tidak
membalas pandang matanya.
“Mutiara Hitam.... Nona...., mengapa kita
harus berpisah?” Suara Hauw Lam gemetar, tidak seperti biasa. Jantung Kwi Lan
berdebaraneh. Ia marah dan juga bingung.
“Nona, apakah engkau marah karena pengakuanku
di dalam sumur tadi? Maafkanlah, aku bukan bermaksud menyinggung perasaanmu
atau menghinamu, aku hanya mengeluarkan isi hatiku sejujurnya. Biarpun kau akan
menjadi marah dan membunuhku, aku tak dapat menyangkal bahwa aku.... cinta
padamu, Mutiara Hitam.”
Kwi Lan menarik napaspanjang. Ia tidak bisa
marah kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia senang mendengar pengakuan itu.
Akan tetapi ia tidak ingin selamanya berada di samping Hauw Lam. Ia ingin
menyendiri.
“Hauw Lam, ada hal yang lebih penting bagimu.
Engkau harus pergi kepada Ibu kandungmu.”
Terbelalak mata Hauw Lam memandang. “Apa....?
Apa yang kaumaksudkan....?”
“Bukankah Ayahmu bernama Tang Sun dan Ibumu
bernama Phang Bi Li?”
Hauw Lam melangkah maju dan memegang tangan
Kwi Lan. “Mutiara! Bicaralah yang jujur! Bagaimana kau tahu akan nama Ayahku?
Memang Ayahku bernama Tang Sun. Nama Ibu aku tidak pernah dengar, akan tetapi
engkau.... bagaimana bisa tahu?”
Kwi Lan yang kini melihat betapa wajah Hauw
Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik tersenyum. “Kau pantas menjadi
kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap aku anak sendiri. Ayahmu....
Ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri. Ibumu masih hidup, namanya Phang Bi Li
dan kini tinggal di Hutan Iblis.”
Makin pucat wajah Hauw Lam. “Di Hutan
Iblis....? Ayahku mati....?” Ia merasa mimpi mendengar keterangan ini dan
tentu ia tidak akan percaya kalau saja ia tidak yakin bahwa gadis yang baru
dikenalnya beberapa hari ini tak pernah membohong seperti juga tak pernah
merasa takut.
“Pergilah, carilah Ibumu dan kau akan
mendengar semua. Ibumu hanya tahu bahwa puteranya bernama Tang Hauw Lam. Kau
pergilah ke Lembah Air Hijau, di kaki Pegunungan Pek-liu-san sebelah utara, di
sana terdapat hutan yang oleh orang-orang disebut Hutan Iblis. Nah, Ibumu
tinggal seorang diri di dalam pondok di hutan itu, menanti-nanti
kedatanganmu. Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula.” Setelah berkata
demikian, Kwi Lan membalapkan kudanya pergi dari tempat itu, meninggalkan Hauw
Lam yang masih berdiri seperti arca dengan muka pucat.
“Ibuku.... Ibu kandungku.... Ibuku....” Pemuda
yang biasanya periang itu kini hanya berbisik-bisik dengan sepasang mata
basah. Pandang matanya mengikuti bayangan Kwi Lan di atas kudanya. dan
semangatnya serasa terbawa terbang pergi.
***
Kwi Lan menjalankan kudanya sambil melamun.
Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa betapa ia kehilangan seorang teman
seperjalanan yang selalu mendatangkan suasana gembira. Akan tetapi kalau ia
teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw Lam, ia menjadi kecewa. Hal ini
melenyapkan rasa gembiranya dan membuatnya menjadi tak enak, hatinya berdebaran
dan ia menjadi malu, tak ingin bertemu kembali dengan pemuda itu. Ada hal lain
yang sejak tadi ia pikirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama
Hauw Lam berada dalam sumur jebakan? Apakah orang gagah she Ciam yang telah
menolong dua belas orang gadis tawanan? Rasanya tidak mungkin karena biarpun
gagah beran, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi kepandaiannya. Penolong
tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan dan rahasia Thian-liong-pang.
Kwi Lan yang tidak mengenal jalan, tidak tahu
bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah Sungai Kuning yang mengalir di sebelah
timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa jalan ini pula yang diambil oleh
rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke Tai-goan!
Hari telah menjelangsenja. Ia segera
membalapkan kudanya ketika melihat sebuah dusun jauh di depan. Perkampungan
ini cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan dusun itu. Semua orang
kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang menunggang seekor kuda hitam
yang indah ini, namun Kwi Lan tidak ambil peduli. Setelah pengalamannya di
Thian-liong-pang, Kwi Lan bersikap hati-hati dan tidak mau mencari perkara.
Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang yang
berilmutinggi. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya dan menurut penuturan
Hauw Lam, di Khitan banyak terdapat orang-orang pandai sehingga seorang tokoh
hitam seperti Jin-cam Khoa-ong itu pun menjadi buronan Khitan. Ia akan menemui
Ibu kandungnya dan kalau mungkin, memperdalam kepandaiannya.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan
perjalanan dan hari telah lewat senja ketika ia menghentikan kudanya di tepi
Sungai Kuning yang airnya melimpah-limpah dan amatlebar. Ia duduk di atas
kudanya sambil termenung. Bagaimana ia dapat melanjutkan perjalanan? Tidak ada
jembatan, tidak ada perahu, dan tempat itu amat sunyi, tak tampak seorang pun
manusia. Hanya dapat dilihat dari situ perahu-perahu nelayan jauh sekali dan
ada di antara mereka yang sudah menyalakan lampupenerangan. Ia lalu
menjalankan kudanya menyusuri sungai menuju ke kiri untuk mencari perahu yang
kiranya akan dapat menyeberangkannya atau kalau tidak, ia akan mencari tempat
yang baik untuk melewatkan malam dan besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba dari jauh ia melihat sebuah perahu
kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu seorang nelayan, pikirnya. Mungkin
dia bisa menolongku mencarikan sebuah perahu besar untuk menyeberang. Perahu
kecil macam itu mana dapat menyeberangkan kudanya? Kwi Lan mempercepat larinya
kuda ke arah pantai. Akan tetapi ia terlambat karena dari dalam perahu itu
meloncat keluar bayangan hitam yang kemudian berlari amat cepatnya ke darat.
Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan nelayan biasa, pikirnya. Nelayan biasa mana
bisa memiliki gin-kang yang sedemikianbaiknya. Ia pun cepat membelokkan
kudanya, mengikuti arah larinya orang itu. Cuaca sudah mulai gelap dan Kwi Lan
yang merasa tertarik, melanjutkan kudanya ke depan sambil mencari-cari dengan
pandang matanya.
Bayangan itu lenyap sudah. Gerakannya terlalu
cepat dan melakukan pengejaran sambil menunggang kuda amat sukar. Selain itu,
juga Kwi Lan meragu untuk mengejar secarasungguh-sungguh. Ia tidak tahu siapa
orang itu dan mengapa berlari-lari dengan cepatnya. Terang bukan nelayan dan
ia tidak mempunyai keperluan sesuatu dengan orang itu. Hanya ia tadi ingin
bertanya kalau-kalau orang itu dapat menunjukkan di mana ia dapat menyewa
perahu untuk menyeberang bersama kudanya.
Sinar terang yang keluar dari kumpulan
batu-batu gunung di pantai sebelah depan menarik perhatiannya. Sinar yang
bergerak-gerak besar kecil itu tentulah sinar api unggun yang dinyalakan
orang. Ada api unggun tentu ada orang dan kalau ada orang berarti ia akan bisa
mendapatkan keterangan dan petunjuk yang diharapkan. Kini kuda hitam yang
ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas yang tinggi dan
dijalankan perlahan.
Ternyata api unggun itu dinyalakan orang di
dalam sebuah guha batu yang amat lebar. Ketika Kwi Lan yang masih duduk di atas
kudanya tiba di depan mulut guha, ia melihat lima orang laki-laki di dalam
guha. Kedatangannya agaknya sudah dinanti mereka karena mereka sudah berdiri
dan tangan kanan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Yang paling
depan adalah seorang pemuda yang berambut panjang, berpakaian hitam dan
berwajah tampan sekali. Kepalanya diikat tali dan di dahinya besinar sebuah
batu permata kuning, Tiga orang yang lain juga sudah siap dan memandang
kepadanya dengan mata terbelalak kaget dan marah. Adapun orang ke lima adalah
seorang pendeta yang jenggotnya kasar dan jarang seperti kawat, tubuhnya
tinggi besar dan di belakang punggungnya tampak gagang sebatang pedang.
“Siauw-ya (Tuan Muda), dia adalah Mutiara
Hitam yang mengacau di Thian-liong-pang....!” Seorang di antara tiga orang di
belakang pemuda tampan itu berseru.
Pemuda itu memandang dengan mata bersinar
tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya nyaring. “Mau apa engkau datang
ke sini?”
Kwi Lantersenyum. Ia tidak memandang mata
kepada orang-orang Thian-liong-pang ini dan melihat batu permata di dahi Si
Pemuda Tampan, Ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang tokoh pula.
Akan tetapi ia sedikit pun tidak takut dan karena ia kemarin tidak melihat
pemuda ini di antara yang mengeroyoknya, ia pun tiada nafsu untuk melayani
mereka.
“Aku tidak butuh kalian, aku hanya perlu
seorang nelayan yang dapat menyeberangkan aku dan kudaku.” jawabnya, suaranya
dingin. Biarpun ia tidak mengharapkan bantuan mereka ini, namun siapa tahu
mereka dapat memberi keterangan tentang nelayan yang ia butuhkan.
Sebelum pemuda dan tiga orang anggauta
Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong yang berdiri paling belakang
itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata.
“Siangkoan-kongcu, biarkan lohu
menghadapinya!” Dengan langkah lebar pendeta ini maju. Setelah berhadapan
dengan Kwi Lan, ia menjura dengan hormat, tersenyum-senyum dan jenggotnya yang
kaku bergerak-gerak, matanya berkejap-kejap.
“Nona, sungguh Nona yang masih begini muda
amat mengagumkan. Tadi lohu sudah mendengar penuturan saudara-saudara
Thian-liong-pang akan sepak terjang Nona yang berani menghadapi Cap-ji-liong.
Ha-ha-ha, sungguh gagah! Seorang muda segagah Nona ini patut dikagumi dan sama
sekali tidak pantas dimusuhi. Orang gagah mengutamakan persahabatan sesama
orang gagah, maka terimalah rasa kagum lohu!”
Kwi Lan yang melihat kakek ini merangkapkan
kedua tangan, membawa kedua tangan ke depan dada sambil bergerak memberi
hormat, tersenyum mengejek. Dengan gerakan ringan sekali tubuhnya sudah
meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi kakek itu dan menjura
sambil berkata.
“Kau orang tua terlalu merendah!”
Biarpun kelihatannya seperti orang menjura dan
memberi hormat, namun kedua tangan sai-kong itu bergerak ke depan dan
menyambarlah angin pukulan dahsyat ke arah dada Kwi Lan. Gadis itu hanya
menjura dengan bibir tersenyum, agaknya seperti tidak tahu akan penyerangan
orang, akan tetapi kakek itu merasa betapa tenaga dorongan kedua tangannya
tadi seakan-akan membentur api dan membalik, menimbulkan rasa panas
padadadanya. Ia kaget sekali, akan tetapi masih merasa penasaran dan sambil
tertawa dan berkata, “Nona benar-benar hebat....!” Kedua tangannya membuka
jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri menotok ke arah pundak dan
yang kanan menotok ke arah pergelangan tangan! Hebat serangan ini, namun masih
saja tampak seakan-akan orang yang memuji dan menyentuh karena sayang dan
kagum, sama sekali tidak kelihatan seperti orang menyerang. Padahal serangan
itu kalau tepat mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan seketika lumpuh
dan lemas.
“Totiang (panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan!”
kata Kwi Lan dan kedua tangannya bergerak ke depan pula seperti orang mencegah.
Hanya tampaknya saja seperti mencegah, akan tetapi sebenarnya dengan cepat
seperti kilat menyambar, jari tangan Kwi Lan sudah siap menerima kedua tangan
kakek itu. Kalau kakek itu melanjutkan serangannya, maka kedua telapak
tangannya tentu akan bertemu dengan jari tangan Kwi Lan sehingga sebelum dapat
menotok orang, Ia sendiri sudah akan terkena totokan lawan!
“Ahhh....!“ Sai-kong itu menarik kembali kedua
tangannya dan melangkah mundur kemudian ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, semuda ini sudah memiliki
kepandaian hebat, benar-benar membuat lohu kagum dan takluk, Nona ingin
menyeberang? Biarlah lohu antarkan!”
Girang hati Kwi Lan mendengar ini. “Kau
mempunyai perahu, Totiang?”
“Ha-ha, tentu saja ada, harap Nona jangan
khawatir. Marilah!” Kakek itu dengan langkah lebar keluar dari dalam guha,
diikuti oleh Kwi Lan.
“Tahan! Mutiara Hitam, engkau sudah mengacau
Thian-liong-pang, bagaimana kami dapat membiarkan kau pergi begitu saja?”
teriak seorang di antara anggautaanggauta Thian-liong-pang sambil melompat
maju dan mencabut pedang. Akan tetapi pemuda tampan tadi mencegah dan
menghardik.
“Nona sudah ikut bersama Huang-ho Tai-ong
(Raja Sungai Huang-ho), mau apa kau ribut-ribut?”
Kalau saja Kwi Lan sudah banyak pengalaman
merantau, tentu ia akan terkejut sekali mendengar nama ini. Huang-ho Tai-ong
adalah nama julukan kepala bajak Sungai Huang-ho yang terkenal sekali. Akan
tetapi gadis ini selain kurang pengalaman, juga tidak mengenal takut, maka
ucapan Si Pemuda ini sama sekali tidak adaartinya. Ia mengikuti sai-kong itu
yang terus berjalan mendekati pantai, kemudian kakek itu mengeluarkan
teriakan melengking nyaring tinggi sambil menengadahkan kepalanya. Terdengar
suitan balasan dari arah kiri dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah perahu
dalam sinar bintang-bintang di langit yang suram muram. Kiranya perahu itu
bercat hitam, cukup besar dan didayung oleh empat orang tinggi besar.
“Silakan, Nona. Lohu sendiri akan menemanimu
menyeberang.” kata saikong tadi sambil tersenyum.
“Terima kasih. Kau baik sekali, Totiang.”
jawab Kwi Lan yang menuntun kuda hitamnya ke atas papan perahu, Kakek itu pun
melompat naik, memberi aba-aba dan empat orang anak buahnya kembali mendayung
perahu ke tengah. Ketika Kwi Lan menengok, ia melihat pemuda tampan tadi
bersama teman-temannya berdiri di pinggir sungai dan memandang.
Karena tidak mengerti, Kwi Lan sama sekali
tidak merasa heran mengapa layar perahu itu tidak dipasang. Untuk menyeberangi
sungai sebesar Sungai Kuning ini, tentu dibutuhkan layar agar penyeberangan
dapat berjalan cepat. Akan tetapi empat orang itu hanya mendayung saja sehingga
perahu bergerak lambat, malah hanyut oleh air. Kuda hitam yang tinggi besar dan
gagah itu pun mendengus-dengus dan meringkik, keempat kakinya menggigil ketika
melihat air yang hitam berombak. Akan tetapi, Kwi Lan berdiri tegak memegangi
kendali, sedikit pun tidak merasa takut!
“Nona, orang-orang Thian-liong-pang tadi menceritakan
tentang sepak terjang Nona di Thian-liong-pang dan menyebut Nona Mutiara Hitam.
Bolehkah lohu tahu, siapa sesungguhnya namamu dan dari perguruan manakah? Lohu
sendiri disebut orang Huang-ho Tai-ong, bernama Ma Hoan.”
Kwi Lan tidak menaruh curiga kepada kakek ini,
juga tidak memperhatikan nama maupun julukannya, akan tetapi karena kakek ini
menolongnya menyeberang, ia menganggapnya orang baik. Dengan acuh ia
menjawab, “Si Berandal sudah menjuluki aku Mutiara Hitam, biarlah selanjutnya
orang mengenalku dengan nama itu juga. Aku tidak terikat dengan perguruan mana
pun.”
Kakek ini mengerutkan alisnya. Gadis yang
cantik jelita, akan tetapi sombong sekali, pikirnya. “Mutiara Hitam, julukan
yang bagus. Nona, kenapa engkau mengacau Thian-liong-pang? Mengapa
memusuhinya?”
“Aku tidak memusuhi Thian-liong-pang dan tidak
ada urusan apa-apa antara mereka dan aku. Hanya aku tahu bahwa orang-orang
Thian-liong-pang bukan manusia baik-baik, pula pengecut. Beraninya hanya
melakukan pengeroyokan dan menggunakan perangkap!”
Pada saat itu, Ma Hoan tertawa bergelak dan
terdengarlah bunyi banyak dayung memukul air. Ketika Kwi Lan melihat ke kanan
kiri, ia mengerutkan alisnya. Kiranya tanpa ia ketahui, telah muncul empat buah
perahu kecil yang mengurung perahu yang ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu
juga bercat hitam dan setiap buah perahu ditumpangi enam orang bersenjata
golok.
“Ha-ha-ha, Mutiara Hitam, engkau terlalu
cantik jelita, akan tetapi terlalu sombong! Engkau sudah berada dalam
cengkeramanku, masih bermulut besar mencaci maki Thian-liong-pang? Ketua
Thian-liong-pang adalah Kakakku, tahukah kau?”
Kwi Lan memandang tajam dan teringatlah ia
sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya adik Ma Kiu Ketua
Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak banyak anak buahnya, tentu
kepala bajak sungai dan dia berada dalam bahaya!
“Bagus, kalau begitu kau sudah bosan hidup!”
kata Kwi Lan dan sekali tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah
tercabut dan menerjang, merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah Huang-ho
Tai-ong Ma Hoan dan empat orang pendayung perahu. Kuda hitam meringkik
ketakutan, empat orang itu berteriak keras dan terjungkal keluar dari perahu,
akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Ma Hoan sudah meloncat dan tubuhnya melayang
ke atas sebuah diantara perahu-perahu kecil yang mengurung perahu besar.
“Tangkap dia, gulingkan perahu!” Ma Hoan
berseru, memberi komando kepada anak buahnya. Kwi Lan mendengar ini menjadi
kaget juga. Kalau lawan menggunakan akal menggullngkan perahu, dia dan kudanya
celaka! Karena itu, sebelum mereka turun tangan, tubuhnya sudah lebih dulu
mencelat ke atas sebuah perahu kecil terdekat. Sambil meloncat, ia memutar
pedangnya. Enam orang dengan golok di tangan menyambutnya. Terdengar suara keras
dan enam buah golok itu terlempar ke dalam air dan seorang di antara mereka
malah roboh dengan lengan kanan terbabat putus! Lima orang lainnya cepat-cepat
meloncat ke dalam air dengan panik.
Begitu perahu kecil yang diinjaknya itu terus
bergoyang-goyang dan miring Kwi Lan sudah mengenjot tubuhnya lagi, kini
meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma Hoan. Ia maklum bahwa kalau ia tidak
cepat menawan Ma Hoan. Ia tentu akan celaka. Di darat, ia tidak akan peduli
akan pengeroyokan tiga puluh orang itu, akan tetapi di air! Melawan seorang di
antara mereka saja belum tentu ia menang.
Ma Hoan tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning
dan tidak akan menjadi kepala bajak kalau ia tidak lihai ilmu silatnya dan
pandai bermain di air. Melihat tubuh gadis, perkasa itu berkelebat meloncat ke
arah perahunya, ia mengenal bahaya dan.... cepat-cepat ia melempar diri ke
dalam air! Dua orang anak buahnya di perahu itu yang tidak keburu terjun,
menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan terjungkal di air.
Keadaan menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram
gelap Kwi Lan mengamuk, meloncat dari perahu ke perahu. Namun para bajak itu
sudah lebih dahulu terjun ke air dan mulailah mereka berusaha menggulingkan
perahu di mana Kwi Lan berdiri. Gadis ini tentu saja tidak, mau digulingkan ke
dalamair. Ia bermain loncat-loncatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi karena
perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu berputaran dan hanyut, apalagi karena
bajak-bajak menggulingkan semua perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah berdiri di
atas perahu yang terbalik, tidak mempunyai tempat lagi untuk meloncat. Kuda
hitam besar sudah terjungkal ke dalam air ketika perahu besar digulingkan.
Ketika perahu terbalik yang ia injak itu tiba-tiba menyelam, ia masih dapat
meloncat ke atas dan.... tak dapat dicegahnya lagi tubuhnya jatuh terbanting ke
dalam air yang bergelombang!
Kwi Lan pingsan dan tidak tahu apa yang
terjadi pada dirinya setelah setelah ia terbanting ke air. Ketika ia siuman
kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan lumpuh kaki tangannya! Tahulah Kwi
Lan bahwa ia telah tertotok lumpuh. Tubuhnya terasa dingin dan basah. Ketika
ia membuka mata, ia melihat api unggun dan ternyata ia telah berada di dalam
guha besar tadi, menggeletak di atas rumput kering dan tubuhnya tidak tertutup
pakaian sama sekali! Kenyataan ini membuat Kwi Lan merasa kaget setengah mati
dan cepat-cepat ia menutupkan kedua matanya lagi, pura-pura pingsan atau hampir
pingsan lagi sakingkagetnya. Ia tahu bahwa ia telah tertawan, dan bahwa orang
telah menanggalkan semua pakaian dari tubuhnya. Kemudian ia mendengar betapa di
situ terdapat banyak orang, bahkan ada suara orang berbantahan. Dengan jantung
berdebar ketakutan, baru sekali ini Kwi Lan mengenal rasa takut, ia
mendengarkan, tanpa membuka matanya.
“Ma-totiang, aku tahu bahwa urusan ini adalah
urusan pribadimu dan sekali lagi kunyatakan bahwa antara Nona itu dan aku tidak
ada sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua hal itu bukan menjadi halangan
bagiku untuk mencegah terjadinya hal yang memalukan ini. Betapapun juga,
Kakakmu, Ma Kiu Suheng adalah ketua kami, kalau sekarang engkau melakukdn
perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti akan menodai nama besar
Thian-liong-pang?”
“Eh, Siangkoan-kongcu! Sejak kapan
Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki mengambil seorang wanita yang
disukanya? Engkau hendak menghalangiku, berarti engkau iri hati dan engkau
sendiri suka kepada wanita pengacau itu. Betulkah?”
“Tidak, Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil
wanita mana saja yang disukainya, akan tetapi kalau wanita itu mau. Engkau
merobohkannya dengan akal curang, dan hendak memaksanya secara keji. Mendiang
Ayahku, seorang Ketua Thian-liong-pang tidak pantang melakukan apa saja kecuali
sikap curang dan pengecut. Kalau kau mengalahkan dia dengan kepandaianmu, maka
menjadi hakmulah untuk memperlakukan orang yang kaukalahkan sesuka hatimu.
Akan tetapi melihat betapa tadi dia dilawan secara licik dan sekarang hendak
diperlakukan keji, sungguh sebagai seorang gagah aku tidak akan mendiamkan
saja. Ma-totiang, agar jangan kita menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw,
kaubebaskan dia!”
“Bocah, berani engkau membuka mulut besar?
Siangkoan Li! Kau menganggap kau ini siapa dan aku ini orang macam apa, bisa
kauperintah sesukamu? Biarpun mendiang Ayahmu pernah menjadi ketua
Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu bukanlah sahabatku! Hanya mengingat engkau
masih cucu luar Sin-seng Losu dan masih adik seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu,
aku masih menganggapmu orang sendiri! Akan tetapi jangan kau keterlaluan karena
menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua saudara Cap-ji-liong juga tidak suka
akan sepak terjangmu yang menyimpang dengan jalan mereka!”
Hening sejenak. Kwi Lan memandang dari balik
bulu matanya dan melihat bahwa yang bertengkar adalah pemuda tampan berambut
panjang dan sai-kong yang menawan dirinya. Tiga orang anggauta
Thian-liong-pang berdiri di sudut, memandang dan melihat pandang mata mereka
terhadap pemuda itu, agaknya mereka ini tidak berpihak kepada Si Pemuda. Kwi
Lan lalu menutupkan matanya kembali, menekan perasaannya yang seperti akan
melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membebaskan diri
dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki tangannya tetap lumpuh dan karena
dadanya penuh hawa amarah yang hebat, sukar baginya untuk mengumpulkan hawa
murni.
“Ma-totiang, bicara tentang sepak terjang,
bukan aku yang menyimpang, melainkan orang lain yang menyeleweng! Akan tetapi
cukuplah tentang Thian-liong-pang. Kita bicara tentang perbuatanmu sekarang.
Ma-totiang, engkau adalah seorang bekas pendeta, sedikit banyak pernah belajar
tentang kebajikan. Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
sedikit banyak mengerti tentang kegagahan. Engkau adalah seorang yang sudah
tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang hendak memperkosa seorang
gadis....?”
“Huh, bocah bermulut lancang! Siapa hendak
memperkosa? Lancang kau menuduh orang....”
“Engkau masih berani menyangkal? Melihat
keadaan Nona ini....“
“Ha-ha-ha! Memang, dia kutelanjangi, akan
tetapi aku tidak berniat memperkosanya. Mungkin anak buah Thian-liong-pang itu
mempunyai niat demikian, melihat pandang mata mereka! Ha-ha, aku sama sekali
bukan hendak memperkosa, melainkan ingin menggunakan dia membantu
menyempurnakan ilmu silat yang sedang kucipta! Dia seorang gadis yang memiliki
Iwee-kang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan darah yang sehat. Dia juga
telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali kuambil semua kekuatan
Im-kang dari tubuhnya....”
“Keji! Aku tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan
bahwa engkau sedang mencipta dan melatih Ilmu Bi-ciong-kun (Ilmu Silat
Menyesatkan) yang kaulengkapi dengan pukulan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah
Beracun)...., akan tetapi mengapa menggunakan Im-kang seorang gadis....?”
“Ha-ha-ha, Siangkoan Li! Kaukira akan mudah
saja mencari rahasia ilmuku itu? Tidak perlu, hanya perlu kauketahui bahwa aku
perlu hawa murni dan darah gadis ini untuk I-kin Swe-jwe (Ganti Obat Cuci
Sumsum). Sudahlah, kau pergi dan jangan menggangguku lagi.”
“Tidak! Kalau engkau lebih dulu membebaskan
Nona ini, kemudian bertanding dengannya secara jantan, biar dia kalah dan mati
di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah tidak akan turut campur. Akan tetapi
melihat dia ditawan dengan akal keji dan kini akan menjadi korban ilmu iblismu,
aku tidak akan tinggal diam saja!”
“Bagus! Memang anak tidak akan berbeda dengan
ayahnya! Ayahmu penyeleweng dari Thian-liong-pang, engkaupun....”
“Tutup mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!”
bentak Siangkoan Li yang sudah mencabut pedangnya.
Huang-to Tai-ong Ma Hoan berteriak keras
seperti seekor harimau terluka, mencabut pedangnya dan menyerang pemuda itu.
Karena guha itu kurang luas untuk bertanding, sedangkan ia maklum akan
kelihaian lawannya, pemuda yang bernama Siangkoan Li itu lalu meloncat keluar
guha dikejar oleh Ma Hoan. Segera terjadi pertandingan hebat di luar guha, di
bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara senjata mereka saling beradu,
terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih berusaha menekan kemarahannya dan
membebaskan diri daripada totokan.
“Sam-sute, bagaimana baiknya sekarang?”
Terdengar seorang di antara tiga anggauta Thian-liong-pang berkata. Mereka
bertiga masih berada di dalam guha itu, kini memandang ke arah Kwi Lan dengan
mata terbelalak penuh kagum dan gairah.
“Biarkan saja mereka bertempur.” kata suara
lain yang parau. “Ma-totiang adalah adik kandung Pangcu (Ketua), dan
Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo-pangcu, bagaimana kita boleh campur
tangan? Lihat alangkah hebatnya Nona ini, hemm.... selagi mereka bertanding,
mengapa kita sia-siakan kesempatan bagus ini?”
“Sam-suheng benar!” kata suara ke tiga. Aku
pun selama hidupku belum pernah melihat yang seindah ini. Aku rela nanti
dimarahi Ma-totiang atau Siangkoan-kongcu....”
Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu
menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh nafsu. Sebetulnya mereka
itu bukanlah kaum jai-hwa-cat macam Ci-lan Sai-kong, bukan pula orang-orang
mata keranjang, sungguhpun mereka juga tak dapat disebut orang baik-baik. Akan
tetapi melihat keadaan Kwi Lan, menyaksikan kecantikan wajah yang memang jarang
bandingannya, melihat bentuk tubuh yang demikian menggairahkan, mereka tak
dapat lagi menguasai hati dan menyerah kepada bujukan iblis nafsunya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi
Lan ketika melihat tiga wajah yang berkeringat dengan mata berkilat-kilat
seperti mata binatang kelaparan itu makinmendekatinya. Ia tidak pernah mengenal
takut menghadapi ancaman maut sekalipun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan
bahwa kini ia terancam malapetaka yang jauh lebih mengerikan daripada maut
sendiri! Ia sudah mengerahkan tenaga, namun perhatiannya tak dapat terkumpul
bulat-bulat sehingga belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan kakinya masih
lemas, lumpuh tak bertenaga.
“Sam-sute, Hok-sute, kalian mundurlah. Aku
sebagai Suheng kalian, paling tua dan biarkan aku mendekati dia lebih dulu.”
“Ah, tidak, Suheng! Aku yang mengusulkan
lebih dulu!”
“Sam-suheng, aku yang paling muda lebih cocok
dengan dia!”
Tiga orang murid Thian-liong-pang yang hati
serta pikirannya sudah hitam dan gelap kotor oleh nafsu iblis itu kini saling
berebut! Dari pertengkaran mulut, mereka kini saling betot dan agaknya mereka
akan saling jotos karena sudah mulai memaki. Melihat ini, Kwi Lan maklum betapa
dirinya diperebutkan oleh tiga orang manusia yang seperti anjing-anjing
kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar gelisah, perasaannya
seperti ditusuk-tusuk. Makin rusaklah pengerahan tenaga dan hawa murni di
tubuhnya sehingga akhirnya ia menghela napas dan mengeluarkan suara rintihan
karena putus harapan.
Tiba-tiba dari luar guha menyambar dua sinar
hitam yang tepat sekali mengenai jalan darah di leher dan pinggang Kwi Lan.
Kiranya dua sinar itu adalah dua buah batu kecil yang tepat telah menotok jalan
darahnya dan.... seketika Kwi Lan merasa betapa jalan darahnya pulih kembali!
Kaki tangannya dapat ia gerakkan dan biarpun masih kesemutan, namun ia segera
melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia sudah menyambar pakaiannya yang
tadi ia lihat bertumpuk di sudut guha. Dengan jarijari tangan gemetar saking
lega dan girang hatinya tertolong pada detik-detik berbahaya itu, namun dengan
amat cepat Kwi Lan mengenakan pakaiannya dan tubuhnya yang kini sudah
berpakaian itu berkelebat cepat ke arah pintu guha ketika ia melihat tiga orang
Thian-liong-pang berusaha lari keluar. Kejadian ini amat cepatnya. Ketika tiga
orang Thian-liong-pang tadi bertengkar untuk memperebutkan Kwi Lan, mereka
tidak tahu bahwa calon korban mereka itu sudah melompat bangun dan berpakaian. Setelah
akhirnya seorang di antara mereka melihat Kwi Lan dan berteriak kaget, mereka
semua menoleh dan serentak mereka kini berlumba lari ke arah pintu guha untuk
menjauhkan diri dari gadis yang mereka tahu amat lihai itu. Namun tiba-tiba di
depan mata mereka berkelebat bayangan orang dan tercium bau harum, tahu-tahu
mereka sudah melihat Kwi Lan menghadang di depan pintu guha dengan pedang
Siang-bhok-kiam yang harum di tangan! Wajah yang cantik jelita itu tersenyum,
senyum manis sekali, akan tetapi sinar matanya tajam bagaikan pedang dan dingin
seperti salju! Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu melangkah mundur
dengan muka pucat dan bergidik ngeri. Jalan mundur tidak ada lagi. Satu-satunya
jalan keluar untuk lari telah dihadang oleh Mutiara Hitam.
Gadis itu melihat tiga orang lawannya
mundur-mundur ketakutan, kini melangkah maju pulaperlahan-lahan. Ia sama
sekali tidak mengeluarkan kata-kata, namun pandang matanya dan senyumnya telah
membayangkan ancaman yang menyeramkan, dan tiada caci maki dari mulut lebih
jelas membayangkan kemarahan yang meluap-luap itu. Tiga orang yang mundur
terus akhirnya sampai mepet di dinding batu guha. Terpaksa mereka berhenti,
saling pandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh menggigil. Mereka
tersudut seperti tiga ekor tikus menghadapi seekor kucing yang hendak
mempermainkan mereka lebih dahulu sebelum menjatuhkan terkaman maut.
Tiga orang itu saking takutnya menjadi nekat.
Mereka merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasia mereka, yaitu
perluru-peluru bintang Sin-seng-piauw yang menjadi senjata utama para anak buah
Thian-liong-pang. Tidak semua anggauta Thian-liong-pang mewarisi ilmu silat
Sin-seng Losu, akan tetapi mereka semua diharuskan melatih penggunaan senjata
rahasia Sin-seng-piauw ini. Senjata rahasia ini bentuknya seperti bintang,
kecil namun berat dan pada ujungnya yang runcing diberi racun.
Seperti mendapat aba-aba saja, tiga orang itu
menggerakkan tangan menyambit dengan Sin-seng-piauw. Belasan buah peluru
bintang ini menyambar ke arah Kwi Lan. Namun sekali memutar Siang-bhok-kiam,
semua senjata itu runtuh, menancap di atas lantai atau dinding kanan kiri
gadis itu. Tiga orang anak buah Thian-liong-pang itu adalah anggauta-anggauta
tingkat rendah kepandaian mereka masih terlalu rendah bagi Kwi Lan. Mereka
menjadi makin ketakutan dan menghamburkan senjata-senjata rahasia mereka
sampai habis. Sebuah pun tidak ada yang menyentuh pakaian Kwi Lan. Gadis ini
memperlebar senyumnya
Sambil berteriak-teriak seperti orang gila
saking takut dan nekat, tiga orang itu lalu menerjang maju, memutar golok dan
membacok sejadinya asal cepat dan kuat. Kwi Lan menggerakkan pedangnya yang
berkelebatan seperti kilat menyambar. “Trangg.... tranggg.... tranggg....!”
Tiga batang golok itu patah-patah dan yang berada
di tangan mereka hanya tinggal gagangnya saja! Kembali mereka mundur-mundur
sampai mepet dinding dan rasa takut mereka ini memuncak. Melihat betapa gadis
itu sambil tersenyum-senyum melangkah maju dengan pedang di tangan, mereka
bertiga hampir menjadi gila. Lutut mereka menggigil dan akhirnya mereka tak
dapat menahan diri lagi, jatuh berlutut sambil memohon-mohon ampun dan
menangis!
“Menjijikkan!” Kwi Lan berkata perlahan akan
tetapi pedangnya bergerak cepat sekali sampai lenyap berubah gulungan sinar
hijau menyambar-nyambar. Terdengar jeritan-jeritan menyayat hati dan ketika
gadis itu melangkah keluar dari dalam guha, di bawah penerangan api unggun
tampak tiga tubuh manusia bergelimpangan di atas lantai guha itu, tanpa tangan
dan kaki lagi! Darah membanjir merah. Mengerikan sekali tubuh yang hanya
tinggal kepala dan badan itu, kaki tangan mereka buntung dari pangkalnya! Kini
tiga orang itu hanya bisa menggerak-gerakkan kepala dengan mulut mengerang
kesakitan dan mata terbelalak, masih ketakutan. Namun satu-satunya bagian tubuh
yang masih dapat bergerak, kepala itu, tentu takkan lama bergerak karena mereka
tak mungkin dapat hidup lagi dengan darah mengalir keluar seperti pancuran itu.
Kwi Lan mendengar betapa di luar masih terjadi
pertarungan hebat. Kini terdengar suara bersuitan keras dan ketika ia meloncat
keluar dari dalam guha, ia melihat betapa pemuda tampan yang menolongnya tadi
dikeroyok oleh banyak orang yang membantu Huang-ho Tai-ong Ma Hoan! Pemuda itu
hebat sekali permainan pedangnya dan biarpun Ma Hoan mengeroyoknya dengan
bantuan tujuh orang anak buahnya, namun pemuda itu masih saja menekan mereka
dengan gerakan-gerakan pedang yang amat kuat. Belasan orang anak buah bajak
bersuwitan dan mengurung. Biarpun ilmu pedangnya hebat, pemuda itu terkurung
oleh banyak sekali bajak yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan.
Kwi Lan melompat, pedang Siang-bhok-kiam
berkelebat dan terdengarlah jerit susul menyusul di antara anak buah bajak yang
mengurung. Keadaan menjadi kacau-balau dan Kwi Lan yang merasa benci sekali
kepada Ma Hoa, berhasil membuka jalan darah mendekati Ma Hoan dan langsung
mengirim tikaman berantai ke arah dua puluh tujuh jalan darah lawan.
“Hayaaaa....!” Ma Hoan terkejut sekali
seperti disambar petir. Repot ia menggerakkan pedang untuk menangkis dan
mengelak. Setiap tangkisan membuat pundak kanannya tergetar dan dadanya panas,
sedangkan setiap elakannya hanya berselisih sedikit sekali dari sambaran pedang
lawan sehingga berkali-kali ia berteriak kaget dan mencium bau harum pedang
lawan yang menyeramkan hatinya. Betapa pun lihainya Ma Hoan, namun menghadapi
ilmu pedang Kwi Lan yang amat aneh, ia hanya mampu mempertahankan diri dan
terhuyung-huyung mundur sambil berteriak-teriak memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk maju mengeroyok. Adapun pemuda itu sekarang juga sudah dikeroyok
banyak bajak sungai, namun mereka ini bukanlah lawan Si Pemuda yang gagah
perkasa. Sebentar saja mereka berseru kesakitan dan banyak di antara mereka
yang mundur. Namun tak seorang pun terluka berat karena pemuda ini sengaja
tidak mau menurunkan tangan maut.
Biarpun dikeroyok banyak orang, Kwi Lan
menggmuk dan sudah lima orang anak buah bajak roboh tewas oleh pedangnya.
Ketika ada empat orang bajak menubruknya dengan golok dari depan sedangkan Ma
Hoan meloncat mundur bersembunyi di belakang empat orang ini, agaknya hendak
lari, Kwi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring . Seketika empat orang di
depannya itu menjadi lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Lan untuk
meloncati kepala mereka mengejar Ma Hoan! Sebelum tubuhnya turun, pedangnya
sudah menyambar ke arah leher lawan yang amat dibencinya ini.
Ma Hoan terkejut sekali dan mengerahkan
tenaga menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg....!”
“Celaka....!” seru Ma Hoan ketika pedangnya
menjadi patah oleh pedang gadis itu dan pundaknya terasa sakit karena
tertusukpedang. Ia cepat menggulingkan tubuhnya ke bawah dan terus
bergulingan, sedangkan para anak buahnya kembali maju menyerbu Kwi Lan. Dengan
demikian, kepala bajak itu tertolong dan sekali tubuhnya meloncat, is lenyap
dalam gelap. Dengan pundak berdarah, Ma Hoan berlari cepat menuju kesungai. Ia
pikir kalau ia bisa sampai ke sungai, berarti nyawanya selamat karena sekali
terjun ke air, gadis itu tentu takkan dapat mengejarnya lagi. Ia bergidik kalau
mengingat betapa hebat ilmu kepandaian gadis itu dan juga menyesal mengapa ia
gagal mendapatkan hawa murni Im-kang dari gadis yang sehebat itu. Diam-diam ia
marah dan gemas kepada Siangkoan Li.
Hatinya girang setelah ia mendengar suara air.
Sungai Kuning terbentang di depan dan ia mempercepat larinya
menghampiripantai. Ia melihat di dalam gelap sesosok bayangan hitam di pantai
dan dikiranya bayangan itu seorang di antara anak buahnya, maka ia menghampiri
sambil berteriak, “Lekas sediakan perahu....!”
Akan tetapi kata-katanya terhenti dan ia
berdiri melongo, tengkuknya terasa dingin dan rambutnya berdiri satu-satu.
Bayangan itu kini melangkah maju dan bukan lain adalah Kwi Lan, Si Mutiara
Hitam! Gadis ini tersenyum manis dan pedang di tangannya tergetar.
Huang-ho Tai-ong Ma Hoan bukanlah seorang
penakut. Sebagai kepala bajak yang sudah belasan tahun merajalela disepanjang
Sungai Kuning, entah sudah berapa banyaknya manusia tewas di tangannya dan ia
dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Akan tetapi sekarang menghadapi
seorang gadis yang tersenyum-senyum manis di depannya, ia memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat sekali! Baru sekarang ia merasa apa yang dirasakan
oleh para korbannya, rasa takut dan ngeri menghadapi bahaya maut. Akan tetapi
sebagai seorang jagoan, ia segera dapat mengubah rasa takut ini menjadi
kemarahan dan kenekatan. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti suara
srigala marah, ia menerjang maju dan kedua telapak tangannya memukul berbareng
dari kanan kiri lambung. Inilah sebuah jurus Bi-ciong-kun dan dari kedua
telapak tangannya keluar tenaga Tok-hiat-ciang. Biarpun ilmu yang ganas ini
belum terlatih sempurna, apalagi tenaga beracun Tok-hiat-ciang belum jadi
sepenuhnya, namun sudah hebat bukan main. Seorang lawan yang tanggung-tanggung
saja kepandaiannya, mungkin masih dapat menangkis atau mengelak dari pukulan,
namun sukar untuk menyelamatkan diri daripada hawa pukulan yang beracun itu.
Kwi Lan menghadapi pukulan ini dengan tenang.
Melihat lawannya tidak bersenjata lagi, ia pun tidak menggunakan
Siang-bhok-kiam di tangannya. Dengan pengerahan tenaga dalam, tangan kirinya
menyampok dan hawa pukulannya menyambut serangan lawan, kemudian kakinya
menendang. Tubuh Huang-ho Tai-ong terlempar ke belakang! Kaget bukan main
kepala bajak ini. Bukan hanya gadis itu dapat menahan pukulannya, bahkan
secara aneh sekali kakinya sudah menendangnya sampai terjengkang beberapa
meterjauhnya. Ia makin panik dan takut, lalu melompat bangun dan....
membalikkan tubuhnya lari kembali ke tempat tadi. Setidaknya di tempat
pertempuran tadi, ia masih dapat mengharapkan anak buahnya untuk membantunya,
daripada menghadapi gadis setan ini sendirian saja di pinggir sungai dan jalan
untuk menyelamatkan diri terjun ke air sudah ditutup oleh Mutiara Hitam!
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan
bingung hati kepala bajak ini ketika ia tiba di depan guha tadi, di situ telah
sunyi, tidak ada lagi pertempuran dan tidak tampak seorang pun anggauta bajak
sungai! Selagi ia hendak lari lagi ke kiri, tahu-tahu ada bayangan berkelebat
dan.... lagi-lagi Si Gadis jelita telah berada di depannya.
“Perempuan siluman!” Ia membentak dan dengan
nekat menubruk maju dengan kedua lengan terpentang, untuk memeluk dan kalau
perlu mengajak mati bersama. Tampak sinar hijau berkelebat, disusul pekik
mengerikan dari kepala bajak itu dan darah menyambur keluar dari dadanya
ketika Huang-ho Tai-ong Ma Hoan roboh tersungkur, mendekap dada dengan kedua
tangan, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian.
Kwi Lan berdiri memandang korbannya. Baru
lenyap sekarang sinar matanya yang berkilat-kilat dan senyumnya yang dingin.
Sambil menarik napas panjang, ia memasukkan Siang-bhok-kiam ke dalam sarungnya.
“Mereka memang jahat, Huang-ho Tai-ong memang
layak mati, akan tetapi kau terlalu ganas, Nona.”
Kwi Lan cepat membalikkan tubuhnya. Ia
melihat pemuda tampan yang rambutnya dibiarkan terurai di atas punggung itu,
pemuda yang bernama Siangkoan Li, yang tadi telah menolongnya dari bahaya yang
lebih hebat daripada maut. Pemuda itu berdiri di mulut guha dan tampak gagah
membelakangi sinar api unggun yang agaknya masih menyala di dalam guha itu.
Teguran ini seketika mendatangkan rasa marah di hati Kwi Lan, akan tetapi
mengingat bahwa pemuda ini sudah menolongnya, ia menekan perasaan marahnya dan
bertanya, suaranya ketus.
“Aku membunuh dia dengan sebuah tusukan,
mengapa kaubilang ganas? Apa yang kaumaksudkan?”
Pemuda itu mengerutkan keningnya dan wajahnya
yang tampan itu tampak makin sungguh-sungguh. “Huang-ho Tai-ong sudah layak
mati dan tusukan pada jantungnya sudah tepat. Yang kumaksudkan adalah
pembunuhan yang kaulakukan kepada tiga orang anggauta Thian-liong-pang.
Mengapa kau begitu ganas membuntungkan kaki tangan mereka, membiarkan mereka
menderita hebat sebelum mati?”
Pertanyaan yang penuh teguran ini bagi Kwi Lan
dirasakan sepertitantangan. Ia segera membusungkan dada, menegangkan leher
dan memandang tajam.
“Hemm, kulihat engkau memakai pengikat kepala
dan permata kuning seperti yang dipakai Cap-ji-liong. Engkau seorang tokoh
Thian-liong-pang. Apakah engkau kini hendak membalas atas kematian tiga ekor
anjing di dalam guha itu?”
Pemuda itu memandang marah. Dua pasang mata
saling pandang dan saling tentang, akan tetapi pemuda itu lebih dahulu
menurunkan pandang matanya, menghela napas dan berkata, nada suaranya penuh
penyesalan.
“Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah
sepatutnya karena dia mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga
orang Thian-liong-pang di dalam guha itu, mengapa kau menyiksa mereka? Dan
mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang ketika
diadakan upacara pengangkatan ketua baru?”
“Huh! Orang sendiri biar kotor dianggap
bersih selalu! Tiga orang itu bukan manusia, mereka hanya tiga ekor anjing
busuk yang patut dibunuh seratus kali! Mereka itu hendak.... hendak.... berbuat
kurang ajar, mereka seperti anjing-anjing yang kotor....!”
Pemuda itu menghela napas. “Ah, sudah kusangka
demikian....! Makin lama makin rusaklah nama Thian-liong-pang bersama rusaknya
watak mereka....! Ah, Nona, sekarang aku tahu mengapa kau membunuh mereka, akan
tetapi tetap saja kau terlalu ganas. Membunuh dengan dorongan kebencian dan
kemarahan bukanlah sikap seorang gagah.”
Kwi Lan makin marah dan penasaran. Ia
membanting kaki kanannya dan menghardik.
“Kau ini seorang tokoh Thian-liong-pang, apa
kaukira seorang gagah? Apakah Thian-liong-pang perkumpulan orang gagah? Huh!
Kulihat dengan mata sendiri bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkumpulan
orang-orang jahat. Dalam pesta perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang
datang adalah orang-orang dari golongan hitam. Bahkan ada yang menyumbangkan
dua belas orang gadis culikan! Dan ketuanya diangkat dengan upacara penyembelihan
dan penyiraman darah anjing. Perkumpulan apa ini? Dan kau yang menjadi tokohnya
masih berani bicara tentang sikap seorang gagah?”
Aneh sekali. Pemuda yang tadinya bersikap
marah dan penuh teguran kepada Kwi Lan, setelah menghadapi kata-kata yang
pedas ini tiba-tiba saja berubah airmukanya. Ia mengerutkan keningnya,
wajahnya yang tampan menjadi gelap, kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas
tanah, menarik napas panjang berkali-kali dan mengeluh. “Disalahgunakan....
disalahgunakan....!” Dan ia pun menangis!
Kwi Lan tercengang menyaksikan perubahan ini.
Dia sendiri memang keras hati, mau membawa kehendak sendiri dan berwatak aneh,
namun dia bukan seorang yang tidak mengenal budi. Melihat keadaan pemuda ini,
hatinya pun menjadi lunak, dan tanpa disadarinya, ia sudah duduk pula di atas
sebuah batu, di depan pemuda itu lalu berkata.
“Aku tidak bermaksud memaki dan menyinggungmu.
Aku hanya memaki Thian-liong-pang. Biarpun kau seorang tokoh Thian-liong-pang,
kulihat engkau lain daripada mereka. Engkau sudah menolongku tadi dan budimu
itu sungguh amat besar, membuat aku bersyukur dan berterima kasih sekali.
Engkau sudah menentang Huang-ho Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya
hebat, engkau sudah memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu
kerikil.”
Pemuda itu menyusut air matanya dan mengangkat
muka memandang Kwi Lan. Kemudian berkata dengan suara berduka. “Aku tidak
peduli andaikata kau mencaci maki diriku. Dan aku tentu akan menyerangmu
andaikata makianmu terhadap Thian-liong-pang tidak benar. Akan tetapi apa yang
kaukatakan adalah benar dan keadaan Thian-liong-pang seperti itulah yang
menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk Thian-liong-pang, akan tetapi dengan
keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang ini.... bagaimana mungkin aku
membelanya? Aku malu sekali, sedih, tapi.... tidak berdaya....!”
Timbul rasa suka di hati Kwi Lan terhadap
pemuda ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti
telah dibuktikannya tadi dengan sambitan kerikil dan dengan sepak terjangnya
dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya, juga memiliki kesetiaan namun
tidak ikut menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain dari perkumpulannya itu.
Dengan suara halus ia berkata.
“Dari percakapan tiga ekor anjing tadi aku
mendengar bahwa kau bernama Siangkoan Li dan menjadi cucu luar Si Kakek
Sin-seng Losu. Seorang seperti kau ini bagaimanakah bisa berada di
tengah-tengah mereka yang kotor seperti mereka itu?”
Siangkoan Li menundukkan mukanya. “Nona,
bagaimana aku dapat bercerita tentang keadaanku sebagai seorang di antara
tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah perkasa, seorang pendekar
seperti engkau ini?”
“Pendekar? Siapa bilang aku pendekar?”
“Ah, tidak perlu kau merendahkan diri. Kau
tentulah seorang Lihiap (Pendekar Wanita) dari perguruan tinggi yang terkenal
maka kau berani menentang Thian-liong-pang. Kau hidup di dunia yang bersih,
yang menjujung tinggi kegagahan, yang selalu bertindak membela kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan. Sebaliknya aku, aku hidup bergelimang dosa dan
kejahatan, hidup di dunia kotor dan hitam....”
“Ihhh, kau ngaco tidak karuan. Siapa bilang
aku pendekar? Aku sama sekali bukan seorang lihiap. Aku seorang perantau,
tidak datang dari perguruan manapun juga. Guruku bukan orang terkenal, dan
andaikata kuberitahukan juga engkau pasti tak pernah mendengar namanya.
Aku lama sekali bukan penegak kebenaran dan
keadilan, bukan pendekar dan aku hanya bertindak menurut suara hatiku saja.
Yang memusuhi aku, tentu akan kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan
kubaiki kembali. Engkau baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak
mungkin kau kuanggap musuh. Siangkoan Li, aku ingin sekali mendengar bagaimana
kau bisa terlibat dalam Thianliong-pang.”
Mula-mula pemuda itu memandang Kwi Lan dengan
sinar mata heran dan tidak percaya, kemudian berkata perlahan.
“Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita.
Hanya bedanya, engkau bebas dan aku terikat....” Ia meraba permata kuning yang
menghias dahinya. Kemudian ia melonjorkan kakinya, duduk dengan enak dan mulai
bercerita.
Thian-liong-pang tadinya merupakan perkumpulan
orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han yang telah ditaklukkan oleh
Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang berjiwa patriot membentuk perkumpulan
Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali wilayah Hou-han yang sudah
tertumpas musuh. Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa,
yang bernama Siangkoan Bu, putera seorang bekas panglima Kerajaan Hou-han. Di
bawah pimpinan Siangkoan Bu inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan
pertempuran gerilya dan sering kali melakukan pengrongrongan terhadap
Kerajaan Sung. Karena perkumpullan ini membutuhkan banyak tenaga orang-orang
gagah, tentu saja sukar untuk mengadakan penyaringan sehingga banyak pula
orang-orang dari dunia hitam yang memiliki kepandaian, masuk pula menjadi
anggauta. Di antara mereka ini terdapat seorang pelarian dari barat, bekas
seorang pendeta yang bukan lain adalah Sin-seng Losu bersama puterinya yang
cantik dan berkepandaian tinggi pula. Hal yang lumrah terjadilah, Siangkoan Bu
jatuh cinta kepada puteri Sinseng Losu dan kemudian mereka menikah. Dari
pernikahan ini lahirlah Siangkoan Li.
Sin-seng Losu memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi sehingga Ketua Thian-liong-pang yaitu mantunya sendiri,
mengangkatnya sebagai guru untuk para anggauta Thian-liong-pang. Dengan
kedudukan ini, ditambah kenyataan bahwa dia adalah ayah mertua Siangkoan Bu,
maka Sin-seng Losu merupakan orang ke dua setelah mantunya di dalam perkumpulan.
Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul penjilat-penjilat, yaitu orang-orang
dari dunia hitam yang menyelundup masuk ke dalam Thian-liong-pang. Mulailah
Sin-seng Losu menyimpang daripada jalan bersih menjadi hamba nafsu dan makin
tua menjadi makin gila.
Orang-orang gagah yang melihat gejala-gejala
busuk mulai tumbuh dalam Thian-liong-pang, menjadi marah dan tidak senang
sekali. Akan tetapi oleh karena segan terhadap Siangkoan Bu, seorang patriot
sejati yang dihormat dan disegani, mereka masih dapat menahan sabar. Tentu
saja, sebagai seorang yang bijaksana, Siangkoan Bu maklum pula akan keadaan
ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh banyak anggauta yang berasal
dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba susah. Mau ditindak, kakek itu
adalah ayah mertuanya. Tidak ditindak, dapat merusak nama baik perkumpulan.
Akhirnya, Siangkoan Bu yang pada suatu hari berhasil merampas tiga belas butir
permata kuning milik pembesar tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi
boneka Kerajaan Sung, lalu menggunakan permata-permata kuning itu sebagai
tandakekuasan. Ia memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang, di
antaranya dia sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain
yang ia tahu adalah orang-orang gagah dan patriot-patriot sejati, sebagai
dewan pimpimpinan yang memakai hiasan dari permata kuning dan mereka yang
memakai tanda ini berhak untuk mengambil keputusan demi kebaikan
Thian-liong-pang, di antaranya berhak menghukum para anggauta yang menyeleweng!
Dengan adanya peraturan ini, Sin-seng Losu
merasa tersudut dan tidak berani lagi melakukan penyelewenganpenyelewengan
secara berterang. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga Siangkoan Bu dan
Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi bentrokan dengan jagoan-jagoan
Kerajaan Sung, Siangkoan Bu dan isterinya tewas dalam pertempuran hebat.
Semenjak itulah, kekuasaan tertinggi jatuh ke
tangan Sin-seng Losu. Dan karena ilmu kepandaiannya paling tinggi ditambah dua
belas orang muridnya yang paling ia sayang, yaitu para penjilat terdiri dari
Thai-lek-kwi Ma Kiu dan yang lain-lain, tidak ada tokoh lain yang berani
menentangnya. Bahkan satu demi satu para patriot mengundurkan diri sehingga
tiga belas buah permata kuning terjatuh ke tangan Sin-seng Losu yang mengangkat
diri menjadi Ketua Thian-liong-pang.
“Demikianlah, Nona. Sebuah permata, yaitu
bekas milik Ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar) diberikan kepadaku untuk kupakai,
sedangkan yang dua belas diberikan kepada para suheng, murid Gwakong.”
“Cap-ji-liong itu?”
“Benar, kami diharuskan sumpah setia sebelum
menerima permata ini, dan hal itu memang menjadi peraturan perkumpulan kami.”
Hening sejenak setelah pemuda itu selesai
bercerita. Diam-diam Kwi Lan merasa kasihan kepada Siangkoan Li. Pemuda ini
yatim piatu dan terpaksa hidup di antara orang-orang jahat dan merasa tidak
berdaya karena yang mengepalai orang-orang jahat itu adalah kakek luarnya
sendiri! Di samping kenyataan ini, juga ia telah bersumpah setia sebagai
pemakai permata kuning, setia terhadap Thian-liong-pang yang kini berubah
menjadi dunia hitam! Pantas saja pemuda ini selalu bersedih, wajahnya tak
pernah berseri karena batinnya tertekan selalu.
“Aku seorang anggauta dunia hitam, Nona.
Bahkan seorang tokohnya karena aku masih cucu luar orang pertama
Thian-liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi seorang macam aku untuk
menceritakan semua ini kepada seorang seperti Nona.
Akan tetapi.... aku tidak bisa diam saja
melihat kau dirobohkan orang dengan cara pengecut, karena itu.... biarpun
merupakan penghinaan terhadap perkumpulan, aku.... aku nekat turun
tangan....”
Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu.
“Siangkoan Li, kalau begitu.... yang menolong aku dan Berandal keluar dari
sumur itu.... engkaulah orangnya?”
Siangkoan Li menundukkan mukanya yang menjadi
merah. “Aku seorang pengkhianat kotor.... aku.... aku akan menebus dosa, akan
menanti sampai Gwa-kong kembali....! Hidup bagiku sudah memuakkan, lebih baik
menyusul Ayah Ibu....”
“Siangkoan Li, mengapa seorang gagah seperti
kau ini bisa mengucapkan kata-kata pengecut seperti itu? Orang yang bosan
hidup, yang mengharapkan kematian, adalah seorang pengecut yang tidak berani
menentang kesulitan hidup, demikian kata Guruku. Biarpun semua orang
menganggapmu sebagai seorang tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan,
menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah!”
“Kam Kwi Lan? Itukah namamu, Nona....?”
Kwi Lan terkejut. Karena merasa kasihan, ia
sampai memperkenalkan namanya secara tak sadar. Karena sudah terlanjur, ia
lalu berkata, “Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah
pemberian Si Berandal.”
“Si Berandal? Pemuda tampan yang datang
bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Di mana dia sekarang?”
“Dia pergi mencari Ibu kandungnya. Siangkoan
Li, kau tadi mengatakan bahwa kau akan menebus dosa menanti kembalinya
Sin-seng Losu. Apa yang hendak kaulakukan?”
Dalam percakapan tadi ketika Si Nona
memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit cahaya gembira,
akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali wajahnya menjadi muram. Sejenak
ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah pohon-pohon yang mulai tampak
karena tanpa mereka sadari, sang malam telah mulai diusir oleh sinar matahari
pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.
“Aku harus mengakui perbuatanku di depan
mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima hukuman.”
“Ah, mengapa begitu? Tinggalkan saja
Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan!” teriak Kwi Lan
penasaran.
Tiba-tiba Siangkoan Li melompat bangun.
“Tidak! Tak mungkini Thian-liong-pang adalah perkumpulan yang didirikan oleh
mendiang Ayahku. Ayah Ibuku telah menyerahkan nyawa mereka untuk
Thian-liong-pang. Masa aku harus melarikan diri? Meninggalkan Thian-liong-pang?
Tidak, Kwi Lan. Aku takkan mundur biarpun harus menghadapi kematian.”
“Tapi, orang tuamu mati untuk Thian-liong-pang
dalam membela Hou-han, mereka mati sebagai pahlawan-pahlawan utama. Akan
tetapi kau...., kau hendak menyerahkan nyawa sebagai seorang pengkhianat
Thian-liong-pang? Selagi Thian-liong-pang dikuasai orang-orang jahat?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menarik
napas panjang. “Betapapun juga, masih ada Sin-seng Losu di situ dan kau harus
ingat, dia adalah Gwakong (Kakek Luar) bagiku. Andaikata tidak ada dia, tentu
aku sudah akan mengadu nyawa dengan Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari
Thian-liong-pang!”
“Marilah kita berdua sekarang juga menghadapi
mereka. Siangkoan Li, kau percayalah, kita berdua akan dapat menghancurkan
mereka! Kulihat kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada Cap-ji-liong....”
Siangkoan Li mengangguk. “Memang, terhadap
Cap-ji-liong aku tidak takut. Biarpun mereka itu terhitung Suheng-suhengku
sendiri karena aku pun mendapat pelajaran ilmu silat dari Gwakong, akan tetapi
aku masih mempunyai dua orang Guru yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi
daripada kepandaian Gwakong.”
“Siapakah mereka itu?” Kwi Lan bertanya
kagum.
Siangkoan Li menggeleng kepala. “Tidak boleh
kusebut, sungguhpun andaikata kukatakan juga, kau takkan mengenalnya. Agaknya
antara gurumu dan guruku ada persamaan keanehan dalam hal nama ini. Kau bilang
gurumu tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi kurasa gurumu masih jauh lebih
terkenal daripada guruku yang benar-benar tak ada seorang pun mengenalnya.”
Tiba-tiba Siangkoan Li memandang ke depan dan wajahnya menegang. Kemudian ia
memegang tangan Kwi Lan, menggenggam tangan yang kecil halus itu sejenak sambil
berkata,
“Sudahlah, Kwi Lan. Mereka sudah datang.
Selamat berpisah. Kau percayalah, pertemuan ini merupakan satu-satunya hal
yang paling menyenangkan hatiku selama hidupku dan sampai mati pun aku tidak
akan melupakan kebaikanmu.” Setelah berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan
pegangan tangannya dan dengan langkah lebar ia pergi meninggalkan Kwi Lan.
Kwi Lan berdiri di depan guha dengan hati
bimbang. Biarpun pemuda itu sudah dua kali menolongnya, akan tetapi pemuda itu
bukan apa-apanya. Orang lain yang kebetulan bertemu di situ. Urusan pribadi
pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia
kepada Thian-liong-pang dan begitu bodoh untuk menyerahkan diri minta dihukum,
peduli apakah dengan dia? Berpikir demikian, Kwi Lan juga mulai berjalan
meninggalkan tempatitu. Ia masih gemas kala mengingat kuda hitamnya yang
hilang. Matikah kuda itu? Hanyut dan tenggelam? Ataukah terampas para bajak?
Pemuda yang aneh, kembali ia berpikir tentang
diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk melupakan pemuda itu begitu saja.
Masih terngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika hendak berpisah,
ucapan yang agak gemetar. Pertemuan yang paling menyenangkan hatinya selama
hidupnya! Sampai mati pun pemuda itu takkan melupakannya! Hemmm, Kwi Lan merasa
betapa mukanya menjadi padas. Jantungnya berdebar aneh, seperti ketika Hauw
Lam si Berandal menyatakan cinta kasihnya kepadanya di dalam sumur.
Siangkoan Li merupakan pemuda yang aneh. Akan
tetapi ada perbedaan mencolok dalam sikap mereka. Hauw Lam selalu gembira dan
jenaka, nakal dan lucu. Sebaliknya, Siangkoan Li selalu muram dan sedih.
Mengenangkan Hauw Lam menimbulkan kegembiraan. Mengenangkan Siangkoan Li
menimbulkan keharuan. Akan tetapi keduanya sama baiknya. Sama tampan, sama
lihai dan keduanya sama amat baik kepadanya! Hauw Lam sedang pergi mencari ibu
kandungnya, dan Siangkoan Li.... pergi mencari maut! Ah, tidak boleh begini!
Ia harus melarangnya, harus mencegahnya!
Kwi Lan lalu pergi mengejar. Siangkoan Li
sudah tak tampak lagi bayangannya akan tetapi karena waktu itu matahari telah
mulai muncul mengusir kegelapan, ia dapat lebih mudah mencari pemudaitu. Ia
mendapatkan pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho dalam keadaan.... terbelenggu
kedua tangannya dan sedang dimaki-maki oleh Sin-seng Losu, disaksikan oleh
seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek kurus berjenggot lebat.
Siangkoan Li hanya menundukkan mukanya dengan
kening berkerut, kelihatan berduka sekali. Melihat keadaan pemuda ini, darah
Kwi Lan sudah bergolak saking marahnya. Di situ hanya terdapat tiga orang
Thian-liong-pang, biarpun yang seorang adalah tokoh terbesar, Sin-seng Losu.
Andaikata Cap-ji-liong lengkap berada di situ sekalipun, ia tidak akan gentar
menghadapi mereka untuk menolong Siangkoan Li. Pemuda itu telah dua tiga kali
menolongnya, tidak hanya menolongnya daripada bahaya maut, bahkan dari bahaya
yang lebih hebat dari pada maut!
“Sin-seng Losu tua bangka jahat! Hayo bebaskan
Siangkoan Li!” bentaknya sambil muncul dari belakang batang pohon dengan
pedang di tangan.
Seorang di antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara
kuning di dahi seperti Siangkoan Li, menoleh dan mukanya menjadi marah sekali
ketika ia mengenal Kwi Lan. Bagaikan kilat cepatnya, tangan kirinya bergerak
dan pada saat itu Siangkoan Li berseru,
“Thio-suheng.... jangan....! Nona Kam, jangan
turut campur....!”
Namun terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw
sudah menyambar ke arah tubuh Kwi Lan, akan tetapi gadis ini menggerakkan
pedang menyampok runtuh tiga batang Sin-seng-piauw sedangkan tangan kirinya
sudah menyebar jarumnya ke arah anggauta Cap-ji-liong itu. Orang she Thio ini
cepat meloncat untuk mengelak, namun kurang cepat karena Kwi Lan melepas
jarum secara luar biasa sekali. Ia melepas dengan gerakan sekaligus, namun
ternyata jarum-jarum di tangannya telah terpecah menjadi dua rombongan. Rombongan
pertama menyerang cepat sekali sedangkan rombongan kedua, biarpun disambitkan
dalam waktu yang sama, lebih lambat dan merupakan jarum penutup jalan keluar
sehingga ke mana pun juga lawan mengelak, tentu akan disambut oleh jarum-jarum
rombongan ke dua ini. Anggauta Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya
tertusuk sebatang jarum yang amblas sampai tidak tampak menembus celana, kulit
dan dagingnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh pingsan!
“Wuuuttt.... singgg....!”
Masih untung bahwa Kwi Lan mempunyai
kegesitan yang mengagumkan dan gerakan yang aneh. Otomatis tubuhnya mencelat ke
kiri sampai hampir menyentuh tanah untuk mengelak sambaran pedang yang amat
luar biasa itu. Ketika ia berjungkir balik memandang, kiranya yang menyerangnya
adalah orang kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi Lan terkejut juga. Gerakan
pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih hebat daripada orang-orang
Cap-ji-liong! Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang Thian-liong-pang yang
menduduki tingkat satu. Kalau begitu orang itu tentu bukan orang
Thian-liong-pang.
Ia memandang penuh perhatian. Orang itu tinggi
kurus mukanya pucat kehijauan, tanda bahwa dia telah melatih semacam ilmu
Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan jenggotnya awut-awutan tak terpelihara,
juga kotor seperti seorang pengemis terlantar. Namun pakaiannya bukan seperti
pakaian pengemis. Agaknya seorang pertapa yang sudah tidak peduli akan
kebersihan dirinya lagi. Mukanya kurus tak berdaging, hanya kulit pembungkus
tengkorak. Tentu usianya sudah tua sekali. Orang ini berdiri memandangnya
dengan muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan perasaan sesuatu,
juga mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata.
“Susiok, harap jangan layani dia! Nona Kam,
kau pergilah....!” Kalimat terakhir itu ditujukan kepada Kwi Lan dengan pandang
mata penuh kedukaan. Makin tidak tega hati Kwi Lan, maka ia menghadapi kakek
berpedang itu sambil mengejek,
“Kalian bebaskan dia atau.... pedangku harus
bicara?”
“Sute (Adik Seperguruan), kau wakili aku hajar
siluman ini!” Sin-seng Losu berkata.
Kini tahulah Kwi Lan bahwa kakek kotor ini
adalah adik seperguruan Sinseng Losu, pantas saja Siangkoan Li menyebutnya
pamanguru. Ia melihat betapa orang itu menggetarkan pedangnya di tangan kanan
sedangkan tangan kirinya tergetar hebat lalu menjadi kaku dengan jari-jari
membentuk cakar garuda. Kemudian tubuh orang itu menubruk ke depan, pedangnya
membabat ke arah pinggang sedangkan tangan kirinya mencakar ke arah mukanya.
Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya, pedang itu ataukah jari-jari tangan
kiri itu. Keduanya mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan amat kuatnya.
Sambutan Kwi Lan atas serangan dahsyat dan
aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan Kwi Lan memang aneh dan tidak
terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti daripada ilmu silat Kam Sian Eng bahwa
setiap serangan lawan merupakan pintu yang terbuka dan merupakan kesempatan
untuk dibalas serangan yang mematikan! Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri,
Kwi Lan sudah meloncat tinggi ke atas sehingga pedang lawan lewat di bawah
kedua kakinya dan berbareng pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak
menyambar ke bawah membabat tangan kiri lawan yang mencakarnya tadi.
Kakek itu membelalakkan mata dan agaknya hanya
gerakan mata ini sajalah yang menyatakan bahwa ia merasa kaget sekali karena
bagian muka yang lain tetap seperti kedok. Namun ternyata ia lihai sekali.
Karena tidak keburu menarik kembali lengan kirinya yang kini menjadi sasaran
pedang lawan, ia segera membuang diri ke belakang sehingga roboh terlentang
sambil memutar pedang di depan dada dan bergulingan. Secepat kilat ia sudah
bangun kembali dan kini mereka sudah berhadapan lagi. Keduanya sama maklum
bahwa lawan adalah seorang yang lihai. Namun Kwi Lan tetap tersenyum mengejek,
menanti serangan lawan.
Kakek itu kini menerjang kembali sambil
memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali. Pedangnya membacokbacok secara
bertubi, kiri kanan atas bawah, diselang-seling namun tak pernah berhenti,
mengikuti bayangan dan gerakan lawan. Kwi Lan memperlihatkan kegesitannya,
terus mengelak dengan sedikit miringkan tubuh sehingga pedang lawan
menyambar-nyambar di samping tubuhnya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti
sudah menyerempetnya! Makin lama makin gencar serangan aneh dan hebat ini.
Pedang itu seakan-akan digerakkan oleh mesin, tak pernah berhenti menyerang
dan setiap bacokan disertai tenaga dahsyat.
Setelah dua puluh jurus lewat Kwi Lan hanya
menghadapinya dengan elakan-elakan segesit burung walet, gadis ini lalu berseru
nyaring dan pedang Siang-bhok-kiam berubah menjadi sinar hijau
bergulung-gulung yang makin lama makin luas lingkarannya dan betapa pun
lawannya memutar pedang setelah lewat lima puluh jurus, sinar hijau mulai
menggulung dan melibat sinar pedang kakek itu.
Kakek ini sebenarnya bukan orang sembarangan.
Dia bernama Yo Cat, murid dari tokoh besar Siauw-bin Lo-mo paman guru Sin-seng
Losu. Di dalam dunia hitam, ia sudah menduduki tingkat tinggi, sejajar dengan
Sin-seng Losu.
Karenanya jarang ia bertemu tanding. Siapa
kira, hari ini, selagi ia ikut dengan suhengnya itu untuk mempersiapkan tempat
istirahat bagi gurunya yang akan datang berkunjung ke Yen-an, ia bertemu
seorang gadis muda belia yang tidak hanya mampu menandinginya, bahkan kini
mendesaknya dengan ilmu pedang yang hebat dan luar biasa, dimainkan dengan
sebatang pedang kayu pula!
“Auuuggghhhh....!” Hebat sekali pekik yang
keluar dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat ini, bukan seperti suara
manusia lagi, dahsyat dan liar,lebih mirip suara binatang buas atau suara
iblis. Kwi Lan adalah seorang gadis gemblengan yang telah mempelajari pelbagai
ilmu yang aneh-aneh dengan cara yang aneh pula. Namun menghadapi Yo Cat yang
terlatih puluhan tahun lamanya dan sudah menjadi ahli sebelum gadis ini terlahir,
apalagi menghadapi ilmu hitam Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis) ini,
jantungnya tergetar dan tubuhnya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia
terhuyung-huyung ke belakang.
Lebih hebat lagi, setelah mengeluarkan ilmu
menggereng yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan melakukan
tekanan-tekanan berat!
Ada satu hal yang menguntungkan Kwi Lan, yaitu
wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak pernah mau kenal apa artinya takut.
Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena kelemahan orang menghadapi ilmu
semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan takut. Kalau hati merasa gentar,
makin hebat pengaruh ilmu itu sehingga mungkin tanpa bertanding lagi orang
sudah bertekuk lutut. Karena hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan
dahsyat itu sebentar saja dan Kwi Lan sudah dapat menetapkan perasaannya lagi.
Pedangnya mulai memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu singkat saja
kembali ia telah mengurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak
pengalamannya, namun menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi yang dilatih di
bawah bimbingan seorang jago wanita gila, tentu saja ia menjadi bingung sekali,
tak dapat menduga-duga bagaimana perubahan pedang itu sehingga menjadi mati
kutu!
“Eh, budak cilik, kau kurang ajar sekali!”
Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu
yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan kirinya bergerak, tampak sinar
berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia
Sin-seng-piauw, namun jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak
murid Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya seperti bintang, akan tetapi
terbuat daripada perak berkilauan dan karena kakek ini yang menciptakan senjata
rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun hebat luar biasa!
“Gwakong (Kakek Luar), jangan....!” Terdengar
Siangkoan Li berseru kaget.
Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan
senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi pedang Yo Cat yang tak boleh
dipandang ringan, maka perhatiannya kurang sepenuhnya terhadap datangnya serangan
Sin-eng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar
berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar yang
menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang kecepatannya menyilaukan
mata.
Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia
cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, namun bagaikan ada
matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila. Ketika ia
berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah kakinya kecuali
sebuah yang secara aneh telah menancap betis kaki kirinya. Untung baginya
bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan begitu merasa kakinya disambar ia
telah menutup jalan darah dan mengerahkan Iwee-kang sehingga senjata rahasia
itu hanya separuhnya saja menancap di daging betisnya. Pada saat tubuhnya masih
di udara, Yo Cat menerjang maju dengan tusukan pedangnya, dan lebih hebat
lagi, Sin-seng Losu sudah mengerahkan sin-kang di lengan kanannya dan mengirim
pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis!
“Auhhhh.... hehhh.... kau berani....
berani....?” Terdengar Sin-seng Losu terengah-engah dan tubuhnya terdorong
mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua
tangan Siangkoan Li yang terbelenggu! Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya masih
di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan lengking tinggi dan
tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular raja menggeliat aneh di udara namun
pedang lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan
pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan.
“Iihhh....!” Suara ini keluar dari mulut Yo
Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan menarik lengannya, namun kurang cepat
sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan pedang, terluka dan darahnya
bercucuran Si Muka Mayat ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan,
agaknya khawatir kalau-kalau gadis yang perkasa itu mendesaknya dengan
serangan maut.
Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan
Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! “Gwakong.... kau tak
boleh membunuhnya.... tak boleh....!” Pemuda itu mengeluh berkali-kali.
“Anak keparat, cucu durhaka.... hehhehhh....
berani kau.... huh-huhh.... kubunuh kau....!”
Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan
ia sudah berdiri menghadang di depan Siangkoan Li, mulutnya tersenyum dan
matanya memandang kakek itu dengan penuh ancaman. Akan tetapi kekhawatirannya
hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat, dengan
napas senin kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah segar! Diam-diam
Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang
lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian
pukulannya jarak jauh juga hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li,
kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan? Sampai di manakah tingkat
kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini?
“Kalian ini dua orang tua bangka yang bosan
hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke neraka!” Kwi Lan menyerbu
dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang orang dari
belakang. Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya dan pemuda itu berkata dengan
nada sedih.
“Jangan, Kwi Lan. Dan lekas kaukeluarkan obat
pemunah jarummu untuk Suhengku. Lekaslah, harap, kau sudi melihat mukaku dan
menolongnya.”
Kwi Lan melongo. Pemuda aneh sekali! Jelas
bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa masih nekad hendak menolong mereka?
Akan tetapi mengingat bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya
untuk menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan
sebungkus kecil obat bubuk dan berkata,
“Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai
obat ini pada lukanya.”
Siangkoan Li menerima bungkusan itu,
memberikan kepada suhengnya. “Thio-suheng, kaupakailah ini!” Akan tetapi
suhengnya membuang muka dan menghardik.
“Tutup mulutmu, pengkhianat!”
Siangkoan Li mengerutkan keningnya lalu
meletakkan bungkusan di dekat kaki suhengnya yang masih rebah tak dapat bangun.
Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata.
“Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi
dari sini. Kalau sampai para suhengku datang, engkau tentu akan celaka dan aku
tidak akan mampu menolongmu lagi.”
Kwi Lan mengeluarkan suara mendengus di
hidungnya. “Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira aku pun takut mati? Biarlah
mereka membunuhku kalau mereka mampu.”
“Nona...., Kwi Lan...., aku tidak ingin
melihat kau mati karena aku!”
“Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau
pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan tempat ini!”
“Jahanam besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin
mayat Ayahmu membalik di dalam kuburnya! Berani main cinta-cintaan dengan
seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini!” Sin-seng Losu sudah
memaki-maki lagi.
“Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang,
harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku menerima hukuman. Akan
tetapi kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran
karena kau menderita celaka.”
Kini Kwi Lan menjadi marah. Dengan pedang di
tangan ia membentak, “Siangkoan Li! Engkau ini pemuda macam apa begini lemah
dan buta? Memang benar kau adalah orang Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu
dahulu adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran
dan bukan golongan orang jahat. Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin
Ayahmu itu, aku tidak akan merasa heran apabila engkau mengambil sikap seperti
ini, bersetia sampai mati. Siangkoan Li, engkau melihat sikap Ciam Goan? Nah,
dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk
di bawah pimpinan Gwakongmu yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan
Thian-liong-pang dan kalau perlu memusuhinya. Bukan memusuhi perkumpulannya,
melainkan orang orangnya yang menyeleweng daripada kegagahan. Siangkoan Li, aku
tidak bisa bicara banyak dan pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau
seorang yang sudah melepas budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu
dengan taruhan nyawaku. Pernah Guruku bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya
mati. Akan tetapi kematian yang paling memalukan adalah kematian seorang
pengecut yang tidak berani menentang kelaliman! Demi untuk kebenaran, jangankan
hanya perkumpulan atau teman-teman, biar orang tua sendiri kalau perlu boleh
saja dilawan!”
Hebat kata-kata ini, apalagi kalimat yang
terakhir. Pada jaman itu, kebaktian merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu.
Tidak ada kejahatan yang buruk daripada kemurtadan anak terhadap orang tua demi
membela kebenaran! Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak
waras!
“Dengar....! Dengar itu omongan iblis betina!
Omongan perempuan gila! Siang koan Li, kau berani murtad terhadap Kakekmu?”
Sambil berlutut Siangkoan Li berkata, “Tidak,
Gwakong, aku tidak berani....! Kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan. “Kwi Lan,
kau pergilah.
Lekas mereka
telah datang....!”
“Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku
tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong nyawaku, aku harus
membalasnya sedikitnya satu kali!” kata Kwi Lan dengan suara tetap.
“Celaka....! Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek
itu?” Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya. “Dia itu susiok
Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong! Biar
ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan dapat melawannya.”
Akan tetapi Kwi Lan hanya tersenyum saja.
Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh tampak layar beberapa
buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun, menghampiri Kwi Lan, memegang
lengannya dan berseru. “Kalau begitu, demi keselamatanmu, kita pergi....!”
Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya
ditarik. Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru, “Eh, eh, kenapa lari
ketakutan? Mari kita lawan bersama.”
“Hushhh.... diamlah. Aku tahu jalan rahasia
yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari....!”
Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap
dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat
sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal
jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.
Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya
Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di pinggir sebuah
sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali. Sinar
matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.
“Mari kuputuskan belenggu.” kata Kwi Lan
sambil menarik tangan Siangkoan Li.
Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali
tangannya.
“Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku
akan kembali menyerahkan diri.”
Kwi Lan marahsekali. Ia meloncat bangun dari
tempat duduknya dan menudingkan telunjuknya kepada Siangkoan Li. “Engkau boleh
berkepala batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara
ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi,
mengapa begini lemah? Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa
kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti Ciam Goan untuk membersihkan
Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain? Kalau kaulakukan
itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau
seorang yang berbakti kepada mendiang Ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang
tua dan perkumpulan. Yang kaulakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau
pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau berkukuh hendak mengerahkan diri, aku
pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan
sama-sama mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga daripada matimu
yang seperti kematian seekor kacoa!”
Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia
meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata melotot. Kedua orang muda
itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik napas
panjang. “Aku bingung dan ragu-ragu.... agaknya engkau benar.... biarlah akan
kutemui kedua orang Suhuku dan minta nasihat mereka....! Thian-liong-pang,
untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat!” Setelah berkata
demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya.
Terdengar suara keras dan.... belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus!
Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah
dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya
yang istimewa. Pantas saja kekeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis
terluka.
“Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang
gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau
kaulakukan ini hanya untuk mengelabuhi aku? Sebelum aku yakin akan keputusan
hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau
hendak ke mana?”
“Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi
Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu, jalan satu-satunya adalah
bertanya kepada kedua orang Guruku. Aku hendak mengunjungi mereka.”
“Kedua orang Gurumu tentu orang-orang luar
biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka. Aku ikut!”
“Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu
orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu dengan orang lain.
Kecuali itu, juga tempatnya amat sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa
mengajakmu ke sana?”
Kwi Lan tersenyum. “Kata-katamu makin membuat
aku curiga. Siangkoan Li, sudah kukatakan tadi. Engkau telah berkali-kali
menolongku, maka aku sudah mengambil keputusan, sebelum kau yakin akan
kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan
meninggalkanmu. Kalau kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak? Marilah
kita berangkat!”
Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini
amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan tentu akan melakukan apa yang
diucapkannya.
“Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah
kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau kau terbawa-bawa ke dalam lembah
hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia
yang kotor.”
Berangkatlah dua orang itu melanjutkan
perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya sejauh bumi
dengan langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama Hauw Lam.
Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan gurau,
gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang dan lucu. Akan
tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang pemuda yang pendiam dan wajah
yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan. Di sepanjang
jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara.
Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li tak pernah membuka mulut! Akan tetapi
Kwi Lan tidak merasakecewa. Ia maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata
pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar
mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya.
Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di
hatinya.
***
Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan
perjalanan yang sukar, naik turun Pegunungan Lu-liang-san, masuk keluar
hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama itu tak pernah
bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang memakai jalan yang
liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di
lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali beberapa puluh keluarga petani, akan
tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana
sekali.
“Kita sudah sampai.” Kata Siangkoan Li.
“Apa? Di dusun ini?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan
telunjuknya ke depan. “Di puncak sana itu.”
Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh
dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok
putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno.
“Bangunan apakah itu?” tanya Kwi Lan.
“Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana
tinggal para hwesio Lu-liang-pai yang merupakan partai persilatan besar di
daerah ini.”
“Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwesio-hwesio
yang tinggal di sana?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya
berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya.
“Apakah dugaanku keliru?”
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas
panjang. “Kedua orang Guruku adalah.... orang-orang hukuman di kuil itu....!”
“Apa....?” Kwi Lan benar-benar kaget karena
hal ini sama sekali tidak pernah diduganya. “Kenapa mereka dihukum? Apakah
mereka itu anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang menyeleweng?”
“Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi.... entah
mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah mereka mau
katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan. Tidak mudah menemui mereka di sana,
kalau, ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau
suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua
orang Guruku.”
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi
jalan, di atas akar pohon yang menonjol keluar, “Siangkoan Li, keadaan Gurumu
itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu
orang-orang hukuman di Kuil Lu-liang-pai?”
Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda
berwajah muram ini lalubercerita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat
namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.
“Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah
Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai
perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan
hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi
mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh Ayah.” Siangkoan, Li
mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia
melanjutkan.
Sebagai seorang anak kecil berusia tiga belas
tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para
pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di
kebun belakang. Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun
belakang memang terdapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang
sejuk memungkinkan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi
Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan
bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan Kuil Lu-liang-pai.
Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebarnya empat
meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak
dipasangi jembatan.
Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin
sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum
terpenuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu terlalu lebar untuk ia
lompati, ia segera mendapatkanakal. Ia tak pandai renang, melompati tak
mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang. Dicarinya sebatang bambu dan
dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai gala loncatan, sampai
jugalah ia ,di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur.
Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan
setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang yang tertutup
rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah! Dia seorang anak
pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami
cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak
berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan
maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan. Akhirnya
setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah
tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua orang kakek
yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka
compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau,
rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua
kurus sekali sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu
merupakan tulangtulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian
atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan tetapi
jenggotnya, lebat dan panjang. Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan
yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si
Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya pucat
seputih tembok!
“Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih),
kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan berada di neraka
berjumpa seorang iblis cilik?” Si Muka Merah berkata sambil terkekeh-kekeh.
“Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku
mau mati?” kata Si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek.
Melihat keadaan mereka dan mendengar
kata-kata itu, biarpun Siangkoan Li seorang anak yang pemberani, ia merasa
serem juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat
dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia
memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian
dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu
bertanya.
“Kakek berdua, siapakah dan mengapa
dikerangkeng di sini?”
Dua orang- kakek itu saling pandang, yang muka
merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut. “Kau
bocah dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?”
tanya yang muka putih.
Siangkoan Li terkejut. Suara itu seakan-akan
menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya berhenti berdetik dan terasa
dingin sekali sampai-sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia
menggeleng kepala.
“Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama
Ayahku berkunjung kepada para Losuhu di Lu-Lang-pai. Aku berjalan-jalan sampai
ke sini dan terjeblos ke lubang.” Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan
bagaimana ia sampai ke tempat itu.
“Ayahmu Siangkoan Bu Ketua Thian-liong-pang?
Ha-ha-ha!” Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju dan.... menyusup
keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya
menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng
itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit.
Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin dapat lolos keluar.
Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak susah?
Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu
(ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat keadaan ini,
sungguhpun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa
dua orang kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia
lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Harap suka memaafkan teecu yang berani
bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orang-orang sakti. Teecu
masuk tidak sengaja, mohon maaf!”
Si Muka Merah tertawa tergelak. “Ha-ha-ha! Apa
artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau
putera Siangkoan Bu? Bagus! Eh, bocah, maukah engkau menjadi murid kami?”
Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali.
Sudah seringkali ia mendengar dari ayahnya tentang orang-orang sakti di dunia
persilatan dan seringkali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat menjadi
murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang
sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid! Ia menjadi girang sekali dan
tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu
lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala, “Teecu akan merasa girang dan bahagia
sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)!”
“Ang-bin Siauwte ( Adik Muka Merah), mudah
saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana kalau kelak ternyata
salah pilih?” tegur Si Muka Putih.
“Heh-heh-heh! Dia ini keturunan seorang
patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih? Kalau kelak
ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan
Li, kau sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh
membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami
sambil belajar!”
Siangkoan Li terkejut sekali. “Tapi....
tapi.... teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah....!” bantahnya dengan
muka pucat.
Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di
hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar. “Hah, boleh kaucoba pergi dari sini.
Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang!”
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya
ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai
saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari
lubang itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio
Lu-liang-pai.
“Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku
dilatih ilmu oleh kedua orang Guruku itu.” Siangkoan Li melanjutkan
penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat tertarik.
“Selama itu belum pernah kedua orang, suhu itu memberitahukan nama mereka. Dan
ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang
ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia dan Thian-liong-pang
telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong
menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga
kepada Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku
dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?”
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati
Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata, “Memang sudah paling tepat kalau
engkau menemui kedua orang Gurumu itu untuk minta pertimbangan dan nasihat
mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok dengan pendapatku,
yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang gagah yang telah mengundurkan
diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan pembersihan di perkumpulan itu
dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang sudah runtuh nama baiknya itu,
Cap-ji-liong harus dibasmi. Kakekmu harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku
ingin sekali bertemu dengan kedua orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan
ikut denganmu, Siankoan Li.”
“Eh, jangan....! Berbahaya sekali....!”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. “Berbahaya?
Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita boleh lihat saja!”
“Bukan, bukan itu maksudku. Kepandaianmu
hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat itu tanpa diketahui para hwesio
Lu-liang-pai. Akan tetapi.... kedua orang Guruku itu wataknya aneh sekali.
Siapa tahu mereka akan marah kalau melihatmu.”
“Betapa pun anehnya mereka, belum tentu seaneh
Guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu gila untuk marah-marah
kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku tidak takut!”
Siangkoan Li habis daya. Berbantahan dengan
gadis ini ia merasa tak sanggup menang. Pula dia telah melakukan hal yang amat
hebat, telah berkhianat terhadap Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini.
Sekarang, kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka bersama sekalipun,
apalagi yang disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilakukan oleh
mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah merasa jantungnya berdebar girang.
Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka kepadanya seperti rasa
suka di hatinya? Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya?
Dengan ilmu kepandaian mereka, dengan mudah
sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan
memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut keterangan Siangkoan
Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus
melalui kebun bunga di belakang Kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka
berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.
“Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai
yang menghukum kedua orang gurumu?” tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup
di taman bunga.
“Entah, kedua orang Guruku tak pernah mau
bercerita tentang diri mereka.”
“Kalau benar demikian, tentu hwesio-hwesio
Lu-liang-pal lihai luar biasa.”
“Memang aku masih ingat cerita Ayah bahwa
pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak percaya
mereka mampu mengalahkan kedua orang Guruku. Buktinya, kalau kedua orang Guruku
menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerangkeng? Agaknya
memang sengaja kedua orang Guruku tidak mau keluar.”
“Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu!”
Tiba-tiba terdengar desir angin. Mereka cepat
menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senjata rahasia)
menyambar di atas kepala mereka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat
mereka bersembunyi. Mereka memandang ke sekeliling dengan pedang siap di
tangan.
“Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua
orang itu di tempat ini?” kata seorang di antara mereka.
“Benar sekali, Sute (Adik Seperguruan).
Agaknya orang-orang jahat yang datang menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)?
Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan
agar kita semua menjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih
belum kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hukuman, teman-temannya
yang jahat datang untuk menimbulkan kekacauan. di sini.”
“Kau benar, Suheng (Kakak Seperguruan). Kata
Suhu mereka itu lihai bukan main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai.
Jelas piauw kita mengenai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap
seperti setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat
dikerahkan tenaga untuk mengepung dan mencari mereka!”
Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh
terguling. Pedang mereka terlempar dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena
jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi
kalau bukan Siangkoan Li yang melakukan hal ini. Memang pemuda ini memiliki
keahlian menyambit dengan kerikil menotok jalan darah, seperti pernah ia
pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan di dalam guha yang terancam
kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang. Setelah merobohkan
dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat
mengajaknya berlari keluar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.
“Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor
sehingga usahaku menemui kedua Suhuku terhalang.” kata Siangkoan Li.
Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika
Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini
dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melintang.
Dengan cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh
dengan rumpunalang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhunya sudah
pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba
saatnya, kedua orang suhunya bebas? Entah hari apa, akan tetapi tentu sekitar
hari ini.
Dengan mudah Siangkoan Li mendapatkan sumur
yang tertutup alang-alangitu. Ia memberi isyarat kepada Kwi Lan untuk
mengikutinya kemudian ia melompat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti
yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat
masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya
dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur, Siangkoan Li lalu
menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki
terowongan di bawah tanah.
Ketika mereka tiba di sebuah tikungan
terowongan dan dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka
merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras.
Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap
di atas tanah sambil memandang ke depan.
Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak
waras ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak
seperti dua orang menari-nari. Akan tetapi luar biasa hebatnya sambaran
tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat
memasuki terowongan menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya
bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi
kakek muka merah sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu
menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi ternyata
makimakiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.
“Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan!
Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus kami tantang rohmu agar datang
ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup ataupun sudah mampus,
engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub
Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang
yang tidak pegang janji dan takut padamu! Lima belas tahun sudah menebus kekalahan
dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat
lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian.
Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?”
Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini
hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan
Li yang bertiarap di lantai terowongan itu merasa betapa lantai tergetar
hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah
kepada mereka berdua, dan mungkin tidak melihat kedatangan mereka karena
mereka berdua datang dari tempat gelap sedangkan tempat kedua orang kakek itu
terang, menerima cahaya matahari yang menerobos masuk dari lubang dan
celah-celah di atas. Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu
benar-benar mengejutkan mereka dan membuat mereka tak berani sembarangan
bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa
saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung tidak
mengerti mengapa ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak
tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang?
Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong,
pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai
tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek inimemang aneh sepak
terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan
Khitandengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas
kerajaan! Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh
Suling Emas, Akm Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan banyak
orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai
niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada orang di dunia ini yang
mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu tek Siansu!
Siapakah Bu Tek Siansu? Jarang ada orang
pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walaupun namanya menjadi
kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Diantara para pendekar terdapat kepercayaan
bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib
baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak
pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan
tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek
Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak terlawan
oleh siapapun juga! Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu atau
lebih tepat, tak seorangpun tahu dimana adanya kakek setengah dewa ini yang
sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak disangka-sangka.
Lima belas tahun yang lalu, setelah Pek-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling Emas dan
kawan-kawannya (baca ceritaCINTA BERNODA DARAH ). sepasang kakek sakti
ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan
timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka
sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh
para hwesio Luliang-san dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa
tokohnya tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Dua orang kakek
ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba
muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini
membuat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi
wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman di
dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa.
Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah
lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji mereka
dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan memaki-maki
karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.
“Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak
berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?” kini terdengar Pak-kek
Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras
menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa
dingin yang mengerikan.
Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi)
yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu di luar, suaranya halus
dan merdu perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li
yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hatinya. Rasa ngeri
dan takut terusir lenyap, namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani
bangkit dan masih bertiarap sambil menanti perkembangan keadaan yang
menenangkan itu.
“Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek
Siansu?” kata Lam-kek Sian-ong.
“Hoh, ke sinilah biar kami dapat menebus
penderitaan lima belas tahun dengan kematianmu, tua bangka!” kata pula Pak-kek
Sian-ong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara yang-khim
makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan
damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin mereda dan
akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara
yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu
yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih
sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun, seakan-akan oleh mereka terdengar
gema suaranya memenuhi telinga, dan suasana tenang damai dan tenteram masih
terasa menyelubungi hati.
“Siancai, siancai(damai, damai)....!
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku
girang sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau diikat
hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia daripada
kerbau....!” Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara
yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap,
tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka
berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka memasuki
terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang kakek tua sekali rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus
seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan sebuah yang-khim berada di
punggungnya.
Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong
dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan
tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri
mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu
urung dengan sendirinya!
“Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini,
kakek-kakek yang sudah amat tua, mengapa harus bertanding menjadi tontonan dan
bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai
lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang mengagumkan,
tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman,
melainkan tempaan dan gemblengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah
memperoleh hasil yang amat berharga.”
“Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai
bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu dan kami menyiksa
diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat,
akan tetapi kami bukan pengecut yang bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih
lima belas tahun untuk menanti hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk
mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu!” kata Lam-kek Sian-ong
dengan mata mendelik.
“Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu
banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!” kata pula Pak-kek Sian-ong
yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang
aneh dan lucu.
Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan
tersenyum ramah. “Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi
menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah
hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak
sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau membersihkan diri dan
menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?”
Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan
Lam-kek Sian-ong, kemudian Si Muka Merah itu tertawa. Ha-ha, Bu Kek Siansu.
kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan.
Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba
kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!”
“Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek
Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini!” kata Pak-kek Sian-ong
penasaran.
“Siancai.... Siancai.... mengapa Ji-wi tidak
melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya? Apakah untungnya dunia
kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semenjak
Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan makin
aman, bahkan kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan mereka.
Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan sekali mereka itu bersatu
padu, bukankah perikemanusiaan terancam bahaya hebat? Ji-wi, segala apa di
dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari memberi
cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman
memberi zat makanan. Ji-wi yang telah dikurniai kepandaian tinggi, layaknya
kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi
hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu
kalau hanya untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka
insyaf.”
“Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari
pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami
untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu.”
“Benar kata-kata Ang-bin Siauwte.” kata Si
Muka Putih. “Yang lain-lain perkara kecil, kami akan menurut selanjutnya
kalau kami kalah lagi.”
Bu Kek Siansu menarik napas panjang. “Aku
sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi
boleh memukulku sesuka hati. Kalau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah
dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi
kalau pukulan-pukulan Ji-wi tidak membuat aku mati karena maut masih
segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah dan
sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang kumaksudkan
tadi.”
Kembali dua orang kakek itu saling pandang.
Betapapun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia setengah dewa
itu. Biarpun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam
kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu memiliki kesaktian yang
sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka
menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini.
Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya.
Melainkan mereka haus akan kemenangan. Apapun juga caranya, kalau mereka sudah
dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apalagi kalau kemenangan ini disahkan
dengan terjatuhnya Bu Kek Siansu,, si manusia dewa di bawah tangan mereka!
“Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek
Siansu!” kata Si Muka Merah.
“Aku pun memukul tiga kali!” kata pula Pak-kek
Sian-ong.
“Terserah, tiga kali juga baik.” kata Bu Kek
Siansu tenang.
“Kau tidak boleh menangkis!” kata pula Lam-kek
Sian-ong.
“Dan tidak boleh mengelak!” sambung Pek-kek
Sian-ong.
“Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak.
Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi.”
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi
bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini, menjadi kaget sekali. Dua
orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah
menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu dapat
tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali
pukulan tanpa mengelak maupun menangkis? Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik
menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah duduk di dekatnya sambil
memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal
sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini
hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan
halus dan lemahitu. Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu,
bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat
cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi,
mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil hidup di
lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar
akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan dari kotoran,
kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan?
Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti yang
dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini
barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum
ayahnya.
Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek
Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu
Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat menyambar.
“Desss....!”
Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke
belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis
maupun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek.
“Ang-bin Siauwte, bergantian!” teriak Pak-kek
Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata
dan mengaturpernapasan. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul
terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin
lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka
dalam. Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam
ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap
hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti
memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh hebat!
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek
Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek Sianong yang
memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat
ini memukul dengan jarijari terbuka dan mengerahkan tenaga Imkang.
“Cesss....!”
Kembali tubuh Bu Kek Siansu tergetar bahkan
terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya
masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah.
Betapapun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali
pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah
menderita luka dalam yang hebat.
Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka
putih itu kagum bukanmain. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan
pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu
tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun
mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak
melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang
memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah
mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua
orang kakek ini telah bersepakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara
berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika
dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam penggunaan
tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan
tenaga dingin. Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya,
bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan
untuk menghadapi dua pukulan itu?
Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek
Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum
saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya
untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li
memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa
pasti bahwa kali ini kakek tua yenta itu tentu akan terpukul mati.
“Bresss....!”
Hebat bukan main pukulan yang dilakukan
berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan
jari-jari tangan Pak-kek Sianong menampar lambung dalam saat berbareng. Tubuh
Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu
punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang-khim di
punggungnya ternyata telah remuk! Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa,
melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak
yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan dinding batu di mana ia
terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh
kakek itu pada dinding batu! Senyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan
tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang
menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar
uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah mempergunakan tenaga
dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan
ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek
Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir
tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan.... mungkin juga menyeret mereka
berdua ke lubang kuburan! Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan
hendak berlaku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka
sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang berdiri dengan tubuh menggetar akan
tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok
bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu
serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.
“Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan
lagi....!”
Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua
orang kakek itu sambil menudingkan telunjuknya dan berkata, “Kalian ini dua
orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan memukul
seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang
tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian
perlihatkan ini?”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sianong terkejut.
Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu telah disaksikan orang
lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri
urusan ini bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak
dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng
tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada tangan kanan Pak-kek
Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan terakhir dengan menggabungkan
tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat
munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu
menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di
jalan.
“Pergilah kalian!” bentak Lam-kek Sian-ong.
Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali
ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat mengerahkan
tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin
pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ketika mereka
mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka
salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu
pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok! Benar-benar,
pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti
datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh
mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa! Akan tetapi, tiba-tiba mereka
merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat,
merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan, sebelum tangan kedua
orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan
kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang!
“Minggirlah, anak-anak!” terdengar bisikan
dari belakang dan Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka
terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa
mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini
karena yakin akan kelihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak
lagi, hanya memandang ke depan.
Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun
lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum.
Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama
sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka mata mereka
dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan
dan mengandalkan kepandaian sendiri! Sinar mata mereka mulai melunak, tidak
seliar biasanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu
yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini
berkata.
“Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian
berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi.”
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum
bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu,
sungguhpun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik
keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang
akan tewas!
Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu
berkata lagi, “Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menyesal? Baru
saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biarpun kepandaian
mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha
membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan keselamatan sendiri,
alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang
sebuah pukulan dari kalian berdua.”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih
saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lamkek Sian-ong
berkata, “Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat
bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua
pesanmu!”
“Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba
saatnya kami melihat kebodohan sendiri!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang
itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa
kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka,
tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi
dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
“Dukkk....!”
Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget.
Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tubuhnya
tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah mengorbankan diri demi
keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat
ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang.
Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah segar! Dua orang kakek
itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.
Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa
melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan
mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini?
Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika
melihat wajah mereka berdua.
“Siancai.... siancai.... legalah hatiku
sekarang.... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan
berat....”
“Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk
kami?” Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
“Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu
sampai mati!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Anak-anak yang baik,” kata Bu Kek Siansu,
seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja. “Tidak
ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah
sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang
lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk
kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali
kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah.” Setelah
berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari
dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum!
Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang
biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah
itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan mukanya di antara
kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu
berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata.
Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan
tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan
hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheranan.
Siangkoan Li segera melangkah maju dan
menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. “Ji-wi Suhu, teecu
Siangkoan Li datang menghadap Suhu....”
Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh
menoleh lalu membentak, “Aku tidak mempunyai murid macam engkau.
Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia
menjadi berduka. “Suhu, harap maafkan teecu. Teecu datang menghadap mohon
nasihat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi
perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus
lakukan....?”
Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh
danmenoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia
membelalakkan mata menghardik, “Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang
yang menjemukan! Pergi.... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini!”
“Suhu....!” Siangkoan Li merintih.
“Cukup! Engkau membiarkan bangunan yang dengan
susah payah didirikan Ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kaukira kami tidak
mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau!”
kata Pak-kek Sian-ong.
“Heh-heh, barangkali orang muda ini datang
untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah
dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twako, kaubikin dua orang muda ini kecewa saja!” Si
Muka Merah mengejek.
Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini
merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya
kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang
suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan
dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak
mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, mengejek dan menghina Kwi Lan.
Wajah pemuda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang
kehilangansemangat. Ia masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat
memandang kepada dua orang kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang
gurunya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka
merah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak
suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka melakukan
pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka
kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun
maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa.
Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika
ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li
dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main,
kemarahannya tak tertahankanlagi. Ia melompat maju dan memaki.
“Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan
sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehendak kalian
sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh
Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasihat, akan tetapi kalian
malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?”
Ia lalu memegang lengan Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari
berlutut, digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil
membujuk.
“Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan
kau mengandalkan dan menyandarkan pendirianmu kepada orangorang lain.
Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta
kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada
orang yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya
susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru laki-laki namanya!”
“Hi-hi-hik....!” Pak-kek Sian-ong
mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-kek Sian-ong juga tertawa.
Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa
lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa
kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua
orang gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap.
Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.
Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan
kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah
Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas
bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan
nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong,
tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut
sebelah depan. Biarpun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ
menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelanja.
Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi
mangkok piring, akan tetapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa
pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa makanan di
atas meja, akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan duduk melenggut, agaknya
tertidur setelah kekenyangan makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja
dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi heran melihat kedua
tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun terpelihara
baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut
yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan
setangkai bunga mawar merah!
Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar
pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak
bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak
pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun
hanya seorang di antara anggauta perkumpulan-perkumpulan itu yang sengaja
berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga Siangkoan Li terlalu
sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usahanya
menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada Si
Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.
“Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah
sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihainya, tak lain hanya
orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan benar? Untuk apa
memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk
memperbaiki hidup, menghapus semua yang kotor dan mulai dengan lembaran baru
yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa
hanyut duka nestapa yang tiada gunanya.” Berkali-kali Kwi Lan menghibur.
“Aihhh...., bukan main....!” Tiba-tiba
terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas. Kwi Lan cepat
menoleh keluar, akan tetapi tidak tampak ada orang di luar. Suara tadi datang
dari luar, ataukah.... dari pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi bukan,
karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang
halus dan panjang, napas orang sedang tidur! Ia menoleh ke arah dalam di mana
kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada orang lain
kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi.
Mungkin suara orang di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya
dengan dia.
Siangkoan Li menghela napas panjang. “Kwi Lan,
setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi, mendengar semua ucapan kakek
ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan kebodohanku
selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku
tidak lagi sudi menyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah
menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengangkat kembali nama
baik Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi....” Ia
menundukkan muka dengan sedih.
“Mengapa lagi? Apa yang menjadi halangan?”
“Selama dua tahun aku setia kepada
Thian-liong-pang yang menyeleweng. Dengan sendirinya aku telah menjadi seorang
tokoh dunia hitam, tokoh jahat! Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata
bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku?
Kurasa usahaku untuk menghimpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia
kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yangcerdik. Ia dapat mengerti
keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak
menjawab dan menghibur, tiba-tiba terdengar suara halus namun keren dan penuh
teguran.
“Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas
menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan kekerasan!”
Kwi Lan cepat menoleh dan tampaklah lima
orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya
bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia
seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, matanya bersinar halus
namun amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya
dan sikap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima semua membawa
pedang.
“Celaka, mereka adalah hwesio-hwesio
Lu-liang-pai....” bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan melangkah
maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.
“Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah
Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu dari
Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan karena hal itu teecu lakukan secara
terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam
sumur di belakang kuil Lu-liang-pai.” Siangkoan Li yang mengenal kesalahannya
dan kini sedang dalam usaha “memperbaiki jalan hidup” mendahului mereka minta
maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.
“Omitohud.... baik sekali kalau kau menyesali
perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang, bukan hanya itu saja
kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami. Beberapa tahun yang
lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan, lebih dari itu,
malah tanpa ada yang mengetahui kau telah menjadi murid dua orang musuh besar
kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah melakukan dua dosa.
Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang
menjadi perkumpulan jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang
paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup
untuk menghukummu. Sekarang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke
dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo lekas
berlutut dan menerima hukuman di kuil kami.”
Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini
Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang Siang-bhokkiam! Gadis ini
berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan
telunjuk tangan kirinya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.
“Hwesio-hwesio gundul sombong! Siangkoan Li
dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak apakah mengadilinya dan
bicara tentang dosa-dosanya? Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa yang
menentukan dosa tidaknya manusia?”
Para hwesio itu nampak kaget, bahkan ada di
antara mereka mencabut pedang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu
mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata.
“Omitohud...... Nona muda siapakah? Kalau
tidak salah, pinceng Cin Kok Hwesio Ketua Lu-liang-pai sama sekali belum
pernah bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?”
“Hwesio tua, tak perlu aku memperkenalkan
diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang tidak rela melihat
kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia. Kau tidak berhak!”
“Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke
dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha) membimbing Nona ke jalan benar.
Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat akan
Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka
kami menganggap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak
membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak.
Kalau kami tidak melihat muka mendiang
Siangkoan-pangcu, hemm.... agaknya pinceng tidak akan berlaku selunak ini.”
Siangkoan Li membuang muka dan
mengerutkankeningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan betapa ayahnya
seorang yang dihormati dan dijunjung tinggi dunia kang-ouw, sebaliknya dia,
putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.
“Tua bangka gundul! Kau bicara seolah-olah
engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia ini! Hemm, sekarang mengerti
aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan
membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri
paling suci, paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang
kalian pandang orang-orang berdosa! Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri
sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan
nasib manusia lain, menghukum dan menganggap mereka berdosa! Pantas kalian
hendak dibasmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang
benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya,
orang-orang seperti kalian ini malah akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk
sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk neraka tak
diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak
tahu malu!”
“Kwi Lan, jangan....!” Tiba-tiba Siangkoan Li
berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan
pedang. Kemudian Siangkoan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan
berkata.
“Thaisu, dan para Suhu semua, dengarlah!
Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua
perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Aku tidak merasa berdosa terhadap
Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu bukanlah dosa.
Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh.
Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku
tidak mau dihukum! Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh!
Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian
orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah, silakan!”
Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu
kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani melawan dan
mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang hebat itu, ia
meragu. Apalagi di situ terdapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang
sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu. Andaikata dia mampu
mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua
orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan
bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi
Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena
di mana adanya kakek itu tak seorang pun manusia mengetahuinya.
“Omitohud....! Maksud pinceng hanya untuk
menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami menolong jiwa
Siangkoan-kongcu dam berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan
Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kami pun
tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami
menghadapi Kongcu sebagai musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi.” Ia
menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus, “Mari kita pergi.”
Hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya yang
lebar, lalu melangkah keluar sambil berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh
empat orang muridnya. Kwi Lan dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang
mata sampai mereka itu mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
“Engkau benar, Kwi Lan. Orang harus dapat
menentukan langkah sendiri, mempertimbangkan perbuatan sendiri kemudian
mempertanggungjawabkannya sendiri pula. Terima kasih atas segala bantuanmu,
Kwi Lan. Sekarang terbukalah mataku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk
membangun kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah
sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, terjunjung tinggi namanya di dunia
kang-ouw. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk memperlihatkan kepada dunia
bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang anak seperti aku.” Ucapan ini bersemangat
sekali dan pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan
terkepal dan mukanya yang tampan kehilangan kemuramannya, kini tampak
berseri dan bercahaya.
Kwi Lan tersenyum lebar, menghampiri dan
memegang tangan pemuda itu. “Bagus! Sekarang aku dapat dengan hati ikhlas dan
dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li. Kelak aku pasti akan datang
mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu.”
Pemuda itu memandangnya tajam. “Apa? Kau....
kau tidak ikut bersamaku?”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Sungguh lucu,
bukan? Tadinya engkau yang selalu menyuruh aku pergi akan tetapi aku tidak mau
meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak meninggalkanmu akan tetapi engkau yang
sebaliknya menghendaki aku membantumu. Sekarang engkau dapat berdiri sendiri,
Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku, melainkan urusan
pribadimu. Betapapun juga, aku girang sekali telah dapat bersahabat denganmu.
Engkau seorang pemuda yang amat hebat!”
“Kwi Lan.... ahhh....”
“Ada apa? Kenapa kau meragu lagi?”
“Kwi Lan...., terus terang saja... hemm,
sekarang ini.... terasa amat berat bagiku untuk berpisah darimu. Tidak....
tidak dapatkah kita.... eh, bersama selalu....?”
“Ehm.... ehm....!”
Untung pengemis yang terlupa dan masih tidur
di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil menggaruk-garuk pundak yang agaknya
digigit kutu bajunya sehingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata
Siangkoan Li itu menjadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada
dalam warung di mana terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang berada
di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan berkata.
“Maaf, Kwi Lan. Kembali aku terseret dalam
kelemahan. Engkau benar. Kita harus mengambil jalan kita masing-masing dan
kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik, setelah tugas kita
masing-masing selesai. Nah, selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan!”
Jari tangan yang menggenggam tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa
hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke dalamhatinya. Ia memandang
mesra kemudian menarik kembali tangannya.
“Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang
baik, tentu kau akan berhasil dalam tugasmu. Sampai berjumpa pula kelak....”
Dengan wajah berseri dan langkah lebar,
Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama kemudian ia telah
berlari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang mengikutinya.
Gadis itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik
warung. Setelah membayar harga makanan, ia pun lalu membawa bungkusan
pakaiannya dan meninggalkan warung itu.
***
Kita tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah
dari Siangkoan Li untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu
kandungnya. Marilah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti telah
disinggung oleh manusia dewa Bu Kek Siansu ketika memberi nasihat kepada
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan
golongan hitam, terjadi perubahan hebat semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai
dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini
membuat golongan hitam menjadi lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apalagi,
pemerintah Sung dengan secara tidak langsung dibantu oleh para pendekar,
mendapat angin baik dan di mana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan
hitam sehingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri
secara berterang. Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini
menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke
dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar perkumpulan pengemis sehingga
banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang
dikejar-kejar itu.
Kemudian timbul desas-desus yang
menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan hitam yaitu dengan turunnya
pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat daripada
mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama
tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang
baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki
pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam
“datuk” mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah
Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang di antara Thian-te
Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu
saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang
akhir-akhir inl banyak muncul di dunia sebelah selatan. Semenjak dikalahkan
oleh Suling Emas (bacaCINTA BERNODA DARAH ), iblis betina ini melarikan
diri dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid
perempuan yang cantik-cantik dan kesemuanya berambut panjang terurai tidak
digelung dan ia menciptakan sebuah barisan wanita yang disebutnya
Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya
Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia sendiri tak
pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia
barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya menggemparkan perbatasan
dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau di antara para dunia pengemis dan
dikabarkan bahwa dia telah membunuh dua ratus lebih orang pengemis golongan
putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang
istimewa, sebuah gunting yang besar sekali. Dia ini dijuluki Bu-tek Siu-lam
(Si Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi
golongan pengemis putih, tentu saja namanya disanjung-sanjung oleh para
pengemis golongan hitam yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di dunia
pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan selain lebih lihai daripada raja
pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan,
pakaiannya hebat luar biasa, lagak bicaranya seperti perempuan genit!
Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoaong (Raja
Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong, seorang tokoh utara
berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya dia itu masih keturunan
mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te Liok-kwi (bacaCINTA BERNODA DARAH
). Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya
sebuah gergaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini
menjadi buronan Kerajaan Khitan!
Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak
buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada Ratu Yalina
dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi
kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabungkan diri atau lebih tepat
bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke empat di antara deretan datuk-datuk
dunia hitam ini adalah seorang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu
menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman
guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi
ilmu kepandaiannya. Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah
seorang bajak laut, maka sekarang pun para pengikutnya sebagian besar
tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima di antara para tokoh adalah
seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek
Kauw-ong (Raja Monyet Bertenaga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepulauan di
laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia
mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah. Sampai kini
belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya yang
aneh dan lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama
tambur dan canang untuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong.
Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai
murid, juga tidak mempunyaipengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia
kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan
tokoh-tokoh besar!
Pagi hari itu amat ramai di Puncak Cheng-liong-san
yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara
puncak-puncak yang paling sunyi, tak pernah didatangi manusia karena selain
sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang
buas dan seringkali dijadikan sarang manusia-manusia buas pula. Pagi hari ini
pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan di antara orang-orang
golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam
menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu
(ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar
golongan putih.
Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang
kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan terdiri hanya dari dua tiga
orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan
sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala! Pagi hari itu sudah
ramailah puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada
yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian
mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang, ada seperti guru
silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis. Biarpun bermacam-macam,
sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu mendatangkan
kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman
bermacam-macam lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar
bunga-bunga, dan lain macam binatang. Di antara banyak bendera itu, tampak
berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula bendera
bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis
yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu
adalah rombongan perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan
Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pengemislah yang terbanyak datang
mengunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan harimau, binatang-binatang buas
hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian pula manusia. Burung
memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan manusia memilih kawan
dengan kecocokan watak dan kebiasaan mereka. Biarpun orang-orang yang pada
pagi hari itu berkumpul di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang
kang-ouw yang sudah biasa melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah
berkumpul mereka dapat beramah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas
penuh rasa persahabatan satu dengan yang lainnya. Dengan bangga mereka saling
menceritakan pengalaman mereka yang bagi umum merupakan perbuatan jahat, namun
bagi mereka merupakan kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan.
Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak ketawa, mengalahkan dan
mengusir burung-burung yang terbang pergi ketakutan.
Seperti telah bermufakat padahal hanya
kebetulan saja, mereka kini berkumpul mengelilingi sebuah batu besar yang
bundar bentuknya dan licin permukaannya sehingga batu itu dapat dipergunakan
sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di
seputar “meja” ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk
begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari
jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ adalah hamba-hamba
nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu ini, serentak mereka
menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua percakapan terhenti dan semua
mata melotot memandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang
berjalan dengan lenggang bergaya tari, menarik dan menggairahkan. Dua orang
wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna
merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa
mereka adalah wanita-wanita selatan. Rambut mereka terurai panjang tak
digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung. Mereka datang sambil
tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling genit.
Karena yang menjadi pelopor pertemuan ini
adalah dua perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kaipang, maka
dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus
meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak musuh yang datang
menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini,
Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang
wanita itu.
“Selamat datang di antara sahabat! Mohon
tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari golongan manakah dan berdiri di
bawah bendera apa?”
Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu
tertawa genit sambil menutupi mulut dengan ujung lengan baju mereka yang
panjang. Kemudian seorang di antara mereka yang lebih tinggi berkata.
“Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin,
diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini.”
“Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou
Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim
undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang
bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!”
Dua orang wanita itu tersenyum-senyum dan
melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari laki-laki semua itu
kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang
wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda,
berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.
“Mari duduk dekatku sini, Nona. Batunya licin
dan bersih!”
“Di sini teduh. Marilah!”
Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk
sambil tertawa-tawa, semua mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang
nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada
pula yang mulai mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan
watak mereka yang memang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul.
Namun dua orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan
mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu
dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum
dan melirik sana-sini memilih tempat. Sesungguhnya bukan tempat yang mereka
pilih, melainkan penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa
gemuruh, mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan
segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biarpun tuan rumahnya adalah
perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan rumah yang
miskin. Sesungguhnya memang amat janggal terdengarnya. Pengemis yang tidak
miskin! Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggauta Hek-peng
Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan
sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias
merampok! Dengan mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka
mendatangi orang-orang kaya lalu “mengemis” jumlah tertentu yang harus
diberikan oleh si kaya. Demikianlah praktek yang dijalankan oleh
perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah
orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan
makanan-makanan yang cukup lezat dan mahal.
Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul,
jumlahnya seratus orang lebih. Maka perundingan pun dimulailah. Yang menjadi
pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat
untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta
membasmi para pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.
“Sudah terlalu lama kita ditindas!” Demikian
antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang berkata. “Semenjak para datuk kita, di
antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu
dikejar-kejar, dihina dan harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu
untuk menghadapi mereka.”
“Agar persatuan kita dapat lebih kuat teratur,
kita harus mengangkat seorang bengcu (pemimpin). Pertemuan ini memang
merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan untuk memilih bengcu. Tentu saja
memilih bengcu harus mencari seorang tokoh yang sakti agar pekerjaan kita
jangan sampai gagal!” kata Ketua Hek-coa Kai-pang. “Kami dari golongan pengemis
mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
Semua pengemis yang merupakan anggauta
pimpinan pelbagai perkumpulan pengemis, bertepuk tangan menyatakan setuju dan
mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa Kai-pang itu.
Mulailah golongan lain mengajukan calon-calon
mereka. Wakil-wakil dari utara mengajukan calon Sin-cam Khoa-ong atau
Pak-sin-ong yang sudah terkenal kesaktiannya. Golongan barat diperkuat oleh
perkumpulan Thian-liong-pang mengajukan Siauw-bin Lo-mo. Sebaliknya para
penjahat yang datang dari timur dan yang mengagumi sepak terjang Thai-lek
Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan tokoh baru ini sebagai bengcu.
Ramailah mereka memuji-muji setinggi langit calon masing-masing, menceritakan
kehebatan sepak terjang mereka, kelihaian mereka, dan kekejaman mereka yang
mereka katakan bahwa lebih hebat daripada Thian-te Liok-kwi yang kini sudah
tidak ada lagi, tinggal Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di
dunia kang-ouw.
“Bagus! Agaknya kita tidak kekurangan calon
yang hebat-hebat! Sudah ada empat orang calon kita yang dalam beberapa hari
ini akan hadir di sini. Setelah semua calon berkumpul, barulah dilihat siapa
di antara mereka yang paling patut dijadikan bengcu. Sementara itu, mengingat
bahwa Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, jadi
merupakan tokoh tua yang patut diingat, sebaiknya kita mendengarkan suara
utusannya yang kini hadir di sini.” kata Ketua Hek-peng Kai-pang sambil
melirik dua orang nona manis yang kelihatan makin merapat duduknya dengan dua
orang laki-laki muda tampan tadi. Tanpa malu-malu lagi kedua nona itu sudah
bersikap sangat mesra terhadap dua orang pasangan mereka.
Mendengar ucapan itu, dua orang nona manis itu
kini dengan manja dan perlahan mendorong dada pasangan mereka, kemudian
tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali meloncat, gerakan mereka yang
amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah berdiri di atas batu besar di
tengah-tengah. Di tempat tinggi ini mereka kelihatan jelas. Cantik genit dengan
bentuk tubuh tampak membayang di balik pakaian sutera tipis. Cantik
menggairahkan.
“Seperti telah kami katakan tadi, kami
hanyalah utusan yang ditugaskan oleh Guru kami sebagai peninjau saja. Guru kami
menyatakan bahwa beliau tidak tertarik lagi akan urusan dunia dan tidak
menghendaki kedudukan bengcu. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa kami tidak
mau bekerja sama dengan Anda sekalian. Guru kami berpesan apabila bengcu baru
sewaktu-waktu bergerak menggempur Suling Emas, Guru kami pasti akan turun
tangan membantu. Hanya kalau bentrok melawan Suling Emas saja Guru kami suka
berkerja sama. Kiranya cukuplah pernyataan kami dan selanjutnya kami hanya
menjadi peninjau yang tidak mengajukan calon.” Setelah berkata demikian, dengan
langkah menggoyang pinggul mereka kembali menghampiri pasangan masing-masing
yang menerima mereka dengan kedua lengan terbuka dan tertawa-tawa.
Ucapan anggauta Siang-mou-tin ini sekaligus
membelokkan percakapan mereka yang hadir di situ dari persoalan pencalonan
bengcu menjadi soal musuh-musuh besar mereka.
“Apa yang dikatakan oleh Ji-wi Kouwnio tadi
memang tepat!” kata seorang di antara para tokoh dari utara. “Memang Suling
Emas merupakan seorang musuh besar kita bersama. Siapakah di antara kita yang
belum pernah terganggu oleh Suling Emas, baik secara langsung mau pun tidak
langsung? Dan jangan dilupakan Ratu Khitan! Wanita yang kini menjadi Ratu
Khitan kabarnya masih sanak dekat Suling Emas, bahkan berhasil menjadi ratu
karena bantuan Suling Emas. Kami mendengar pula bahwa ratu yang sampai kini
tidak menikah itu adalah kekasih Suling Emas. Sungguh memalukan sekali,
terutama terhadap bangsa Khitan yang menjadi kawan baik kami. Oleh karena itulah
kami mengajukan Pak-sin-ong sebagai calon bengcu dan tugas kita pertama adalah
mencari dan membunuh Suling Emas bersama teman-temannya, terutama sekali Ratu
Khitan!”
Ramailah mereka menyebut dan menyumpahi
nama-nama tokoh yang menjadi musuh mereka. Selain Suling Emas dan Ratu Khitan,
juga ada yang menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo yang mereka khawatirkan
akan merupakan pimpinan para pengemis baju butut yang amat lihai. Disinggung
pula nama Kam Bu Sin bersama isterinya Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw yang
kini berdiam di kota Heng-yang, sebuah kota yang terletak di lembah Sungai
Mutiara di mana keduanya hidup rukun dan tenteram namun yang selalu tak pernah
merupakan tugas mereka sebagai orang-orang gagah untuk melawan kejahatan. Masih
banyak nama yang disebut dan dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat ini, di
antaranya disebut-sebut pemilik Ang-san-kok (Lembah Gunung Merah).
“Paling penting lebih dulu memohon bengcu baru
untuk menyerang Ratu Khitan.” seorang tokoh utara berkata, “Kalau kedudukan
Ratu Khitan dapat dirampas, berarti golongan kita akan mendapatkan bantuan
yang amat kuat, yaitu bangsa Khitan, sehingga tidak akan sukarlah membasmi
yang lain-lain.”
“Akan tetapi kabarnya ilmu kepandaian Ratu
Khitan juga amat hebat!” bantah seorang lain. “Aku sendiri belum pernah bertemu
dengannya, akan tetapi aku mendengar bahwa biarpun usianya sudah empat puluh
tahun lebih, namun ia masih cantik jelita seperti bidadari dan ilmu
kepandaiannya amat dahsyat. Di sampingnya ada pula pembantunya yang setia,
Panglima Besar Kayabu yang kabarnya juga lihai sekali.”
“Uhh, lihai apa? Kayabu itu hanya mengandalkan
ketampanan wajahnya sehingga ia menjadi seorang di antara kekasih Ratu Yalina
yang gila lelaki!”
“Masa....?”
“Siapa membohong? Kekasihnya banyak, di
antaranya Suling Emas, Kayabu dan boleh dibilang setiap orang muda bangsa
Khitan tentu ditarik masuk ke istana untuk memuaskan nafsunya.”
“Ah, benarkah itu....?” Orang-orang menjadi
tertarik hatinya.
Orang yang bercerita itu membusungkan
dadanya. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi
besar, nampak amat kuat, mukanya dihias kumis dan jenggot lebat, sehingga
wajahnya menjadi angker menakutkan.
“Aku bukan hanya sudah menyaksikan dengan mata
ini sendiri, bahkan sudah pula menikmati pelukannya yang hangat!” kata
laki-laki ini. “Siapa yang tidak tahu bahwa aku pernah tinggal di Khitan dan
menjadi kekasih Ratu Yalina sampai sepekan lebih?”
“Wah, hebat sekali! Twako, agaknya dia suka
kepadamu karena kau tinggi besar dan gagah!” kata seorang anggauta pengemis
menggoda karena masih belum percaya benar.
“Memang dia paling suka kepada laki-laki yang
tinggi besar, terutama sekali yang jenggot dan kumisnya sebagus ini!” Laki-laki
itu mengelus-elus jenggot dan kumisnya dengan bangga sambil melirik ke arah dua
orang anggauta Siang-mou-tin yang tidak memilih dia.
“Ceritakan....!”
“Ya, ceritakan, Twako. Bagaimana ketika engkau
menjadi kekasih Ratu Yalina?”
Orang-orang mendesak kepada Si Brewok ini
untuk bercerita. Dua orang wanita anggauta Siang-mou-tin yang mendengar
percakapan yang makin menjurus ke arah cabul dan kotor ini hanya
tersenyum-senyum dan kadang-kadang terkekeh geli.
Si Brewok yang kini menjadi pusat perhatian,
dengan bangga lalu melompat ke atas batu besar di tengah-tengah, memasang aksi
dan berdehem beberapa kali sebelum mulai dengan ceritanya yang pasti menarik
dan cabul. Akan tetapi pada saat itu, Si Brewok menjerit dan terjengkang roboh
menggelinding turun dari atas batu besar. Ketika orang-orang datang
menghampirinya, ternyata Si Brewok sudah tewas dan di lehernya menancap
sebatang jarum hijau! Kagetlah semua orang dan pada saat itu, dari balik
sebatang pohon muncul seorang gadis muda yang amat cantik. Gadis ini bukan lain
adalah Kwi Lan! Secara kebetulan sekali, dalam perjalanannya menuju ke Khitan,
Kwi Lan lewat di kaki Gunung Cheng-liong-san. Ia tertarik akan gerak-gerik dua
orang anggauta Siang-mou-tin maka diam-diam ia mengikuti mereka naik ke puncak
di mana ia melihat berkumpul banyak orang dari golongan sesat. Mula-mula ia
hanya mengintai dan mendengarkan, sudah merasa kesal dan hendak pergi ketika
tiba-tiba ia mendengar nama Ratu Khitan disebut-sebut. Ratu Khitan yang bernama
Yalina, ibu kandungnya! Ia mendengarkan dengan hati berdebar. Ketika mendengar
betapa Ratu Yalina dimusuhi, ia hanya mencibirkan bibirnya dan tidak mengambil
peduli. Akan tetapi ketika muncul Si Brewok yang menghina Ratu Yalina, ia tak
dapat menahan kemarahannya sehingga sebelum Si Brewok bicara yang bukan-bukan,
ia sudah menyerangnya dengan sebatang jarum. Siapa kira Si Brewok itu hanya
lihai mulutnya saja. Diserang satu kali telah roboh dan tewas!
Kwi Lan muncul dari tempat sembunyinya dan
berkata lantang. “Aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga. Akan
tetapi mendengar monyet itu membual, benar-benar membikin orang menjadi muak
dan tak dapat menahan tangan untuk tidak menghajarnya. Selamat tinggal!”
Dengan enak saja Kwi Lan yang telah membunuh orang itu membalikkan tubuh hendak
pergi dari situ.
Semua orang terkejut. Gadis cantik itu dapat
bersembunyi di situ tanpa seorang pun di antara mereka tahu, hal ini sudah
membuktikan kelihaiannya. Kemudian sekali turun tangan sudah membunuh Si
Brewok, hal ini merupakan bukti ke dua. Semua orang menjadi kesima. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar seruan seorang Khitan yang ikut dalam rombongan
dari utara.
“Itu dia perempuan iblis yang merampas kuda
hitam Hek-liong-ma!” Orang Khitan ini telinga kanannya putus bekas sabetan
pedang Siang-bhok-kiam di tangan Kwi Lan.
“Benar, dia Si Gadis Siluman, murid iblis
betina yang bernama Kam Sian Eng!” teriak seorang yang tangan kanannya
buntung, mata kanannya buta dan hidungnya bengkok. Dia adalah seorang tokoh
Hek-pang Kai-pang yang pernah mendapat hajaran Kam Sian Eng dan kini mengenal
Kwi Lan.
“Dia pengacau itu....!” beberapa orang
Thian-liong-pang juga berseru.
“Srr.... werr.... siuuuuttt....!” Hujan
senjata rahasia menyerang Kwi Lan!
Gadis ini terkejut. Tak disangkanya bahwa ia
akan bertemu banyak musuh di tempat ini. Cepat ia meloncat ke depan mengelak
dari serangan hujan senjata rahasiaitu. ia menaksir bahwa jumlah lawannya ada
seratus orang lebih dan dari sambaran senjata-senjata rahasia tadi tahulah ia
bahwa di antara mereka terdapat banyak orang yang tak boleh dipandang
ringankepandaiannya. Ia tidak takut, tidak pernah mengenal takut. Akan tetapi
Kwi Lan juga bukan seorang goblok yang mau menyia-nyiakan nyawanya, mati
konyol dikeroyok begitu banyak lawan. Sambil tersenyum mengejek ia lalu mempergunakan
kepandaiannya berlari cepat. Karena ia tidak mengenal daerah itu, ia lari ke
kiri dan kebetulan sekali ia lari ke tempat kuda. Kuda-kuda tunggangan para
pendatang ini dikumpulkan di suatu tempat yang banyak ditumbuhi rumput gemuk,
dijaga oleh belasan orang anggauta rendahan.
Ketika Kwi Lan lari sampai ke tempat ini
dikejar oleh puluhan orang dari belakang, ia melihat betapa di tempat kuda ini
ternyata juga terjadi kekacauan. Belasan orang penjaga kuda sudah menggeletak
malang-melintang di sekitar tempat itu sedangkan puluhan ekor kuda itu sudah
terlepas semua! Terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, membuat
binatang-binatang itu menjadi makin panik, saling tabrak dan riuh rendah suara
mereka meringkik-ringkik. Melihat kesempatan ini, Kwi Lan lalu melompat ke
atas punggung seekor kuda tinggi besar, kemudian menyendal kendali kuda itu,
membelok ke kanan lalu melarikan kuda.
Ributlah suara para pengejar ketika,
menyaksikan kekacauan di tempat ini, apalagi ketika melihat betapa semua kuda
mereka telah terlepas dan panik. Dalam keadaan seribut itu, mereka terhalang
melakukan pengejaran, dan sibuk menenangkan kuda tunggangan mereka.
Kwi Lan membedal terus kudanya menuruni
puncak. Ketika mendengar derap kaki banyak kuda mengejarnya, ia segera mempersiapkan
jarum-jarumnya dan menoleh. Mau tidak mau ia tertawa sendiri melihat bahwa yang
mengejarnya adalah kuda-kuda tanpa penunggang. Kiranya banyak kuda yang karena
bingung lalu mengikuti saja kuda yang ditunggangi Kwi Lan. Gadis ini lalu
menahan kudanya dan menghalau belasan ekor kuda yang mengikutinya itu sehingga
mereka lari kacau-balau ketakutan.
Sambil tersenyum-senyum Kwi Lan melanjutkan
perjalanannya. Senyum kepuasan menghiasbibirnya. Ia telah berhasil merobohkan
orang yang telah menghina ibu kandungnya. Biarpun ia belum pernah bertemu
dengan ibu kandungnya dan belum pernah ada yang bercerita tentang ibunya, namun
ia tidak percaya bahwa ibunya seorang berwatak rendah seperti dibualkan oleh Si
Brewoktadi. Ia puas bahwa ia telah membunuh orang itu dan di samping ini telah
mendapatkan seekor kuda tunggangan. Biarpun tidak sebaik kuda keturunan
Hek-liong-ma yang hilang ketika ia dikeroyok bajak sungai anak buah Huang-ho
Tai-ong, namun kuda ini juga seekor kuda yang baik. Agaknya tunggangan orang-orang
utara tadi. Mereka itu jelas adalah orang-orang dari golongan sesat, maka Kwi
Lan tidak merasa malu untuk merampas kuda mereka.
Akan tetapi, setelah melarikan kuda beberapa
lama belum juga Kwi Lan berhasil turun dari Cheng-liong-san. Ia merasa heran
dan bingung sekali. Sudah lama ia membalapkan kuda, naik turun dan membelok ke
kanan kiri, namun ia hanya berputar-putar di sekitar lerenggunung. Ia memang
berhasil melarikan diri dari para pengejarnya, namun ia tidak berhasil turun
dari gunung!
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia
melihat seorang berpakaian pengemis duduk bersandar batang pohon. Pengemis itu
agaknya kelelahan dan mengaso di tempat itu lalu tertidur karena hembusan
angin gunung yang sejuk. Pengemis ini pakaiannya penuh tambalan, memegangi
sebatang tongkat, sebuah buntalan besar terletak di dekatnya dan sebuah topi
lebar menutupi seluruh mukanya. Topi lebar bundar yang butut dan tua, akan
tetapi anehnya, setangkai bunga mawar yang merah segar berikut dua helai daunnya
terselip menghias pita topi itu.
Kwi Lan menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya
kepada pengemis ini, menanyakan jalan turun. Akan tetapi siapa tahu
kalau-kalau pengemis ini seorang di antara kaum sesat yang berkumpul di
puncak tadi. Tentu akan sia-sia pertanyaannya. Kalau pengemis ini seorang di
antara kaum sesat itu, tentu bukan percuma berada di situ. Mungkin sengaja
menghadang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.
Kwi Lan sengaja memperlambat jalannya kuda
ketika melewati pengemis yang duduk melenggut itu. Kudanya lewat dekat di depan
Si Pengemis dan ia sudah siap waspada menjaga serangan. Namun pengemis itu
tidak bergerak, seolah-olah tidak mendengar suara kaki kuda lewat di depannya.
Kwi Lan lewat terus sampai agak jauh sambil menengok. Pengemis itu tetap tidak
bergerak. Kalau begitu, tentu bukan seorang di antara kaum sesat, pikirnya.
Tentu seorang pengemis tulen yang kelaparan dan kelelahan. Maka ia lalu
memutar kembali kudanya dan meloncat turun dekat pengemis itu. Muka pengemis itu
tidak tampak, tertutup topi lebar. Akan tetapi orang yang menjadi pengemis
tentulah seorang tua yang sudah tidak kuat bekerja lagi dan hidup terlantar,
pikirnya.
“Paman pengemis!” tegurnya nyaring. “Harap kau
bangun sebentar, aku ingin bertanya....”
Pengemis itu tersentak seperti orang kaget,
lalu mengguman dan menggaruk belakang telinganya. Gerakan ini membuat topinya
makin menunduk. Ketika ia mengangkat sedikit mukanya, yang tampak oleh Kwi Lan
hanya sepasang mata mengintai dari bayang-bayang gelap di bawah topi.
“Mau bertanya apa?” Suara pengemis itu lirih
seperti orang kelaparan benar sehingga kehabisan tenaga.
“Engkau tentu mengenal jalan di tempat ini,
Paman tua, kautolonglah aku yang tidak tahu jalan. Tunjukkan padaku jalan
menuruni lembah gunung ini.”
Sejenak pengemis itu tidak menjawab, melainkan
memandang kuda yang dituntun Kwi Lan. Kemudian ia berkata, acuh tak acuh,
“Jalan turun bisa ditempuh jalan kaki, tak mungkin berkuda. Dari sini maju
kira-kira setengah li, di pinggir jalan terdapat sebuah batu besar berbentuk
kepala burung. Di belakang batu itulah terdapat jalan setapak yang akan membawa
orang turun ke bawah.” Setelah berkata demikian, pengemis itu kembali
menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh pulas lagi.
“Terima kasih, Paman.” kata Kwi Lan akan
tetapi pengemis itu tidak menjawab karena agaknya sudah tidur.
Huh, pemalas benar, pikir Kwi Lan. Akan tetapi
tiba-tiba ia ingat seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika
ia mengingat-ingat, terbayanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun
dekat markas besar Lu-liang-pai di mana ia bersama Siangkoan Li berpisah. Di
rumah makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus menerus duduk
melenggut, sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya semenjak ia datang ke
rumah itu sampai pergi lagi. Inikah orang itu? Melihat topi bututnya mungkin
ini orangnya dan kalau betul, benar-benar aneh dan mencurigakan. Bagaimana
bisa begitu kebetulan? Tadinya bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di
Cheng-liong-san. Di sana tidur, di sini pun tidur. Kalau pengemis ini begitu
malas dan kerjanya hanya tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini?
Biarlah, asal ia tidak menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak di
puncak itu dan tentu masih berusaha mencarinya. Tak perlu menambah lawan yang
belumdiketahui kesalahannya. Ia lalu meloncat ke atas punggung kudanya lagi dan
melarikan kuda ke depan.
Kurang lebih setengah li jauhnya, melihat
sebuah batu besar yang bentuknya mirip kepala burung, ia berhenti. Benar saja
seperti diceritakan pengemis tadi, ketika ia menyelinap ke belakang batu,
tampak olehnya jalan menurun yang hanya tampak bekas tapak kaki saja. Jalan itu
curam dan kecil sekali, turunnya harus berpegangan pada akar-akar dan batu.
Tak mungkin dilalui oleh seekor kuda. Kalau begitu pengemis itu tidak bohong,
dan tidak mempunyai niat buruk. Pada saat Kwi Lan hendak menuruni jalan
setapak itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan-bentakan keras di
sebelahbelakang. Ia meloncat keluar lagi dari belakang batu untuk melihat,
siap dengan pedangnya. Alangkah kaget dan herannya ketika dari jarak setengah
li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis malas yang tadi duduk melenggut di
bawah pohon, kini telah bertanding dikeroyok belasan orang banyaknya! Hebatnya,
pengemis itu masih menutupi kepala dan mukanya dengan topi lebar butut, bahkan
masih duduk melonjorkan kaki dan bersandar pada pohon, hanya tongkat di
tangannya yang bergerak-gerak ke depan menangkis serangan senjata tajam
belasan orang itu yang menyerangnya sambil membentak-bentak!
Kwi Lan tertarik sekali. Banyak sekali orang
aneh di dunia ini dan agaknya pengemis malas itu pun seorang aneh. Ia menunda
niatnya meninggalkan gunung ini dan karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu
berlari kembali ke tempat pengemis itu dikeroyok. Ternyata kini setelah dekat
bahwa belasan orang yang mengeroyok itu adalah pengemis-pengemis pula!
Pengemis-pengemis baju bersih yang sudah beberapa kali bentrok dengan Kwi Lan.
“Hayo mengakulah! Engkau dari golongan mana
dan mengapa mengacau pertemuan di puncak Cheng-liong-san? Pakaianmu bersih, hal
ini berarti bahwa engkau masih segolongan dengan kami, pengemis-pengemis
pakaian bersih. Mengapa kau mengacau pertemuan yang diadakan Hek-peng Kai-pang
dan Hek-coa Kai-pang? Kau dari partai mana?”
“Hemm, baju bersih badan kotor hati busuk, apa
artinya? Orang-orang sesat, pergilah dan jangan menggangguku!” Pengemis itu
berkata tak acuh, dan tongkatnya juga bergerak sembarangan menghadapi belasan
batang tongkat, golok, dan pedang itu.
Kwi Lan yang kini sudah berdiri dekat
memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta kagum sekali. Tongkat di
tangan pengemis malas itu benar-benar hebat dan lihai bukan main. Memang behar
bahwa belasan orang pengeroyok itu tidak berapa tinggi ilmu silatnya, namun
karena belasan orang maju bersama maka cukup berbahaya. Apalagi kalau diingat
bahwa pengemis malas itu melawan sambil duduk dan lebih-lebih lagi, mukanya
ditutup topi butut. Akan tetapi begitu tongkat di tangan pengemis malas ini
bergerak ke depan, berturut-turut belasan orang pengemis baju bersih itu roboh
terguling dengan sambungan lutut terlepas karena totokan ujung tongkat yang
dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!
Kini pengemis malas itu dengan gerakan sigap
telah meloncat bangun, dan barulah tampak oleh Kwi Lan betapa tubuh pengemis
ini jangkung dan tegap, namun mukanya tetap bersembunyi di balik topi butut.
Sambil melintangkan tongkatnya dengan sikap penuh wibawa pengemis itu
menghadapi para pengemis yang merintih-rintih dan mengurut-urut lutut mereka,
lalu terdengar suaranya lantang berpengaruh, jauh bedanya dengan ketika bicara
dengan Kwi Lan tadi.
“Berani menjadi pengemis berarti berani
menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan jahat, berani mengatasi
kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati nurani mereka yang mampu,
berani mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan tetapi kalian menghadapi
kemiskinan dengan perbuatan jahat. Kalau sudah begitu, mengapa masih memakai
pakaian pengemis? Kalian hanyalah penjahat-penjahat yang menyamar sebagai
pengemis, membikin kotor dunia pengemis dan sudah sepatutnya dibasmi. Kalau
mau menjadi penjahat, jadilah penjahat yang berani bertanggung jawab, atau
kalian mau jadi pengemis, jadilah pengemis yang baik. Mengapa berlaku seperti
pengecut-pengecut yang hina-dina?”
Belasan orang pengemis yang menggeletak itu
tidak menjawab, hanyalah memandang dengan mata melotot. Sebagai jawaban
kata-kata itu, dari jauh terdengar bentakan-bentakan dan berbondong-bondong
datanglah berlari-lari banyak orang yang bukan lain adalah orang-orang yang
tadi berapat di puncak dan kini sudah datang mengejar. Jumlah mereka itu ada
tiga puluh orang lebih!
Mendengar bentakan-bentakan mereka, pengemis
aneh itu menggerakkan kepala memandang ke depan, kemudian ia menoleh kepada
Kwi Lan dengan muka masih tersembunyi di balik topi. “Nona, mengapa engkau
kembali? Pergilah turun gunung dan jangan kau melibatkan diri dengan
orang-orang jahat itu.”
“Dan engkau sendiri?” Kwi Lan bertanya.
“Aku akan menghadapi mereka. Tongkatku masih
cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus itu.”
“Wah, enaknya! Engkau mau mencari enak
sendiri, Paman jembel! Kalau tongkatmu kuat, apa kaukira pedangku kurang
tajam? Kaulah yang boleh pergi, mereka itu mengejar aku, bukan mengejar
engkau!” bantah Kwi Lan sambil mencabut Siang-bhok-kiam dari sarungnya.
Melihat bahwa pedang gadis itu terbuat daripada kayu, pengemis itu tercengang,
kentara dari sikapnya yang tiba-tiba tak bergerak. Topinya terangkat sedikit
dan dari bayangan topi itu menyambar dua buah mata yang tajam sinarnya.
“Ah, kiranya Nona seorang pendekar pedang yang
lihai!”
Percakapan mereka terpaksa dihentikan karena
para pengejar sudah tiba dekat. Yang tercepat larinya bahkan sudah tiba di
depan pengemis itu dalam jarak empat lima meter. Mereka mengangkat senjata
sambil membentak marah.
Akan tetapi pengemis itu dengan tenang namun
cepat bukan main telah menggerakkan tangan kanannya ke arah topinya, meraih
dan melemparkannya ke depan dengan gerakan kilat dan.... topi itu berpusing
dan terbang menyambar mereka yang datang mengancam. Bagaikan hidup, topi itu
terbang keliling dan kembali kepada pemiliknya setelah lebih dahulu mampir dan
mencium dahi atau leher mereka yang mengejar paling depan. Terdengar
teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul robohnya tubuh enam orang
pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat bangun lagi!
Sejenak Kwi Lan bengong. Bukan karena melihat
senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa itu karena ia maklum bahwa
dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar melempar topi yang pinggirannya
lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi. Yang membuat ia bengong adalah
ketika pengemis itu melepas topinya, maka tampaklah kepala dan muka seorang
pengemis yang tampan dan gagah! Seorang pemuda yang paling banyak dua tiga
tahun lebih tua daripadanya! Dan ia sudah menyebutnya paman tua! Akan tetapi
ketika pengemis muda itu sudah mengenakan kembali topinya yang lebar sehingga
mukanya yang tampan tertutup topi, Kwi Lan sadar darikeheranannya. Ia pun tidak
mau kalah dan secepat kilat tangan kirinya bergerak melepas jarum-jarum halus.
Kembali terdengar jerit kesakitan dan enam orang pengejar roboh.
“Nona, mari kita pergi. Jumlah mereka amat
banyak dan di antara mereka banyak terdapat orang pandai. Mari!”
Mereka berdua lari cepat dan sesampainya di
batu berbentuk kepala burung, mereka lalu menuruni jalan setapak. Para pengejar
yang belum roboh tidak berani mengejar setelah menyaksikan kelihaian dua orang
muda itu. Mereka berdiri ragu-ragu, menanti rombongan pengejar lain yang lebih
banyak sambil menolong teman-teman yang terluka.
Karena Kwi Lan dan pengemis aneh itu
menggunakan gin-kang mereka, sebentar saja mereka berhasil menuruni
Cheng-liong-san dan tak tampak atau terdengar lagi pengejar mereka. Mereka kini
jalan berendeng menuju ke timur. Semenjak turun gunung tadi, tak pernah mereka
membuka mulut dan baru setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, mereka tidak
berlari lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan suara.
“Ah, untung bahwa tokoh-tokohnya belum hadir.
Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm...., berbahaya sekali!”
“Kaumaksudkan tua-tua bangka yang mereka
sebut-sebut tadi seperti Bu-tek Siu-lam, Thai-lek Kauw-ong, Jin-ciam Khoa-ong
dan Siauw-bin Lo-mo? Ah, aku tidak takut! Justeru aku ingin sekali bertemu
dengan mereka untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!” kata Kwi Lan.
Kini pengemis muda itu yang menoleh dan
memandang terheran-heran. Saking herannya ia sampai lupa menyembunyikan muka
seperti yang biasa ia lakukan. Kebetulan sekali Kwi Lan pun menoleh sehingga ia
dapat melihat wajah pengemis itu dengan jelas. Wajah yang tampan dan gagah,
masih muda namun sudah jelas tampak kematangan jiwa pada sinar mata dan tarikan
mukanya.
“Engkau seorang gadis yang aneh, Nona!”
“Tidak seaneh engkau!” jawab Kwi Lan cepat.
“Bukankah engkau ini pengemis malas yang pernah kulihat duduk dalam warung di
lereng Lu-liang-san? Dan mengapa engkau sekarang berada di sini? Apakah engkau
sengaja mengikuti perjalananku?”
Pengemis itu menggeleng kepala. “Tidak ada
yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu lagi di sini karena memang
aku hendak menonton pertemuan kaum sesat di sini. Akan tetapi engkau....
justeru pertemuan di Lu-liang-san itu yang membuat aku keheranan dan mengatakan
engkau seorang aneh, Nona. Kulihat engkau di sana bersama cucu ketua
Thian-liong-pang, bersama seorang dari golongan hitam yang menentang para
hwesio Lu-liang-pai. Aku sudah menyayangkan mengapa seorang dengan kepandaian
seperti kau ini terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan tetapi hari ini
aku melihat engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi mereka, bahkan
baru saja kau menantang-nantang terhadap empat orang tokoh besar mereka.
Bukankah hal ini amat aneh sekali?”
“Jadi tadinya kaukira aku ini seorang tokoh
hitam pula?” tanya Kwi Lan sambil memandang marah.
“Begitulah, karena kau datang bersama tokoh
Thian-liong-pang dan menentang hwesio-hwesio Lu-liang-pai.”
“Bukan, aku bukan tokoh golongan sesat.”
“Itu aku percaya setelah menyaksikan sepak
terjangmu di sini. Engkau tentu seorang pendekar pedang wanita yang sakti.”
“Juga bukan. Aku bukan pendekar wanita dan
bukan pula penjahat. Aku orang biasa saja. Tidak seperti engkau. Engkau tentu seorang
tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Agaknya engkau memimpin
pengemis-pengemis baju kotor, bukan?”
Pengemis muda itu menghela napas panjang
kemudian menggeleng kepala.
“Aku juga bukan apa-apa, seperti engkau bahkan
tidak ada orang yang mengenal siapa aku ini. Memang betul bahwa mendiang Ayahku
adalah seorang tokoh besar dunia pengemis, akan tetapi sudah lama sekali
sebelum aku lahir Ayahku telah mengundurkan diri dari dunia pengemis. Sebagai
seorang pengemis, tentu saja Ayah hanya meninggalkan topi butut, tongkat
lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat betapa dunia pengemis
terancam malapetaka, terpaksa aku harus turun tangan mewakili mendiang Ayah.
Karena itulah aku turun gunung dan bertemu dengan engkau di sini.”
“Wah, kalau begitu Ayahmu tentu Yu Kang
Tianglo!”
Pengemis muda itu terkejut. “Bagaimana kau
bisa tahu?”
Kwi Lan tertawa dan wajah yang sudah cantik
itu menjadi amat menarik. Ketawanya wajar, tidak ditutup-tutupi dan tidak
malu-malu sehingga gadis itu memperlihatkan kecantikan yang aseli. Pengemis
muda ini sejenak menjadi bengong, namun ia membuang pandang matanya dan menekan
perasaannya.
“Tentu saja aku tahu! Kau berilmu tinggi dan
seorang pengemis, kau bilang Ayahmu tokoh besar dunia pengemis. Tentu pengemis
golongan putih. Dan tadi, di antara musuh-musuh kaum sesat disebut-sebut nama
Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau bukan Ayahmu.”
Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini
lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata susila palsu, Di samping ini, juga
pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang
terletak di lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan
sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila kepada gadis ini. Siapa orangnya
yang takkan tergila-gila?
“Betul sekali dugaanmu. Mendiang Ayahku adalah
Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki, pengemis muda sebatang kara,
kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku.” Ia menjura dengan sikap
hormat.
Kwi Lan membalas penghormatan itu sambil tertawa,
“Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan? Gerakan tongkatmu tadi hebat
luar biasa, biarpun pakaianmu pakaian jembel, namun engkau bukan seorang
kotor! Yu Siang Ki, namaku Kwi Lan, Kam Kwi Lan. Akan tetapi ada badut yang
menyebutku Mutiara Hitam!”
Pengemis muda itu mengangkat muka memandang,
sinar matanya penuh dugaan.
“Engkau she Kam, Nona?”
“Benar, kenapakah?”
“Aih, tidak apa-apa, hanya.... mengapa begitu
kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan....”
“Wah, kau menjemukan benar, menyebutku nona-nonaan
segala! Semua orang yang menjadi sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja
atau.... Mutiara Hitam.”
“Tapi aku.... bukan sahabat....”
“Hemm, bagus, ya? Kalau tidak suka bersahabat,
mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau tak mau bersahabat? Nah, selamat
berpisah!” Kwi Lan sudah membalikkan tubuh hendak pergi.
“Eh...., maaf, bukan begitu maksudku. Aku....
tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi.... baiklah, Kwi Lan,
jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang marah?”
Kwi Lan tertawa! “Memang aku gampang marah
gampang gembira! Nah, sekarang lanjutkan, kalau aku she Kam, mengapa
kebetulan?”
“Shemu mengingatkan aku akan seorang yang
kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti yang selain menjadi sahabat baik
mendiang Ayahku, juga menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun
disebut-sebut oleh mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!”
“Eh, dia she Kam?”
Siang Ki mengangguk. “Menurut penuturan
Ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song, Kwi Lan, melihat keadaanmu yang luar
biasa, ilmu kepandaianmu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan
menghubungkan engkau dengan Suling Emas? Apakah engkau puterinya? Ataukah
keponakannya?”
Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya
membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar demikian, bahwa dia puteri seorang
sakti seperti Suling Emas, alangkah akan menyenangkan dan membanggakan! Akan
tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang Khitan
yang dianggap bangsa liar!
“Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan
tidak pernah melihat bagaimana macamnya Suling Emas.”
“Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang
hatiku andaikata engkau benar-benar puterinya, karena aku pun sedang
mencarinya. Aku sendiri pun belum pernah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi
Ayah berpesan bahwa dalam usahaku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum
jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku mengetahui
siapa orang tuamu?”
Mereka tiba di depan sebuah anak sungai yang
amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki Gunung Cheng-liong-san itu amat indah
dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara batu-batu menjadi dendang yang aneh
namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi sungai, di atas batu yang halus licin.
Yu Siang Ki menanggalkan topinya dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher.
Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi anak sungai itu.
“Aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku.”
kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang mata melamun. “Semenjak aku
masih bayi, aku dirawat Guruku.”
Yu Siang Ki menmmandang dengan hati iba. Dia
sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan tetapi sedikitnya ia sudah
menikmati hidup di samping orang tuanya. Gadis ini sama sekali tidak tahu
siapa ayah bundanya, seorang gadis yang patut dikasihani.
“Ah, Gurumu tentulah seorang sakti yang luar
biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”
“Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa,
selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya mengenalnya sebagai Bibi Sian.
ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa
saja.” Kwi Lan memang sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya
adalah seorang aneh yang tidak suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau
menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan memberitahukan
bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!
Yu Siang Ki menarik napas panjang. “Memang
banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan diri tidak mencampuri
urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara mereka dan melihat
kepandaianmu, tentu Gurumu seorang yang amat pandai.”
Kwi Lan tertawa. “Yu Siang Ki, engkau belum
pernah bertanding denganku, belum pernah melihat kepandaianku, akan tetapi
sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah terlalu
aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu
barulah patut disebut orang-orang sakti dan aneh luar biasa.”
Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah
gadis itu dengan penuh perhatian. “Apa? Engkau pernah berjumpa dengan kedua
Locianpwe itu? Mengenal mereka?”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. Hatinya masih
mengkal kalau ia teringat kepada dua orang kakek itu, menganggap mereka itu
keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li, “Tentu saja aku sudah pernah
bertemu dengan dua orang tua bangka seperti monyet!”
“Aiihhh.... Kwi Lan, bagaimana engkau
berani....?”
“Memaki mereka monyet? Di depan mereka pun aku
berani memaki-maki mereka. Boleh jadi mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka
itu layak dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepandaian seperti Bu Kek
Siansu, tentu mereka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu sampai
kapok!”
Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama
makin mengherankan gadis ini! “Kau.... kau pernah berjumpa pula dengan....
dengan Bu Kek Siansu?”
Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan
pengemis muda ini.
Tanpa disadarinva, Siang Ki memegang lengan
gadis itu erat-erat dan dengan penuh gairah ia bertanya. “Benarkah itu, Kwi
Lan? Benarkah ada manusia dewa itu? Aku hanya mendengar namanya seperti
dongeng yang diceritakan Ayah!”
“Mengapa aku berbohong? Aku sudah melihatnya,
dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan tetapi juga goblok!”
Kali ini sepasang mata Siang Ki memandangi
muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesuatu yang tak masuk
akal dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kangouw, menyebut nama
dua orang kakek ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini
tidak hanya berani memaki mereka, bahkan berani mengatakan bahwa Bu Kek Siansu
goblok! Ini sudah keterlaluan sekali. Nama Bu Kek Siansu sudah
disanjung-sanjung oleh semua pendekar, dianggap guru besar yang setarap dengan
Tat Mo Couwsu dan juga disegani, semua tokoh dunia hitam, dianggap seperti
manusia dewa yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini
menyebutnya goblok! Kalau tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri,
tak mau Siang Ki mempercayai hal ini.
“Kwi Lan, maukah engkau menceritakan kepadaku
tentang perjumpaanmu dengan tiga orang kakek sakti itu?” Dengan penuh gairah
pemuda ini berkata sehingga membangkitkan semangat Kwi Lan untuk menceritakan
pengalamannya bersama Siangkoan Li.
Ketika mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki
menghela napas panjang dan berulang kali ia mengangguk. “Ah, kalau begitu
keliru persangkaanku. Patut dikasihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak
aku akan membantunya jika keadaan mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku
banyak persamaannya. Dia bertugas membangun dan membersihkan Thian-liong-pang
sedangkan aku harus membangun kembali dan membersihkan Khong-sim Kai-pang dan
kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kauceritakan bahwa kedua orang Sian-ong
itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek Siansu untuk memihak
kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya orang-orang seperti mereka
itulah yang kelak akan sanggup membendung datangnya iblis-iblis jahat yang
akan menguasai dunia persilatan.”
“Yu Siang Ki, aku sudah terlalu banyak
bercerita. Sekarang kauceritakanlah pengalamanmu, tentang Ayahmu yang terkenal
itu dan tentang kau sendiri.”
Memang begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa
suka dan cocok sekali dengan gadis yang wajar dan polos ini. Apalagi ketika
mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam, biarpun tidak ada hubungan dengan Kam Bu Sang
si Suling Emas, namun persamaan she ini saja sudah menambah rasa suka di
hatinya karena semenjak kecil memang Siang Ki sudah memuja nama Suling Emas
yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya. Kini mendengar permintaan gadis ini tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
Yu Kan Tianglo adalah seorang tokoh partai
pengemis Khong-sim Kai-pang. Ia putera Ketua Khong-sim Kai-pang akan tetapi
semenjak kecil menghilang dan mempelajari Ilmu silat tinggi. Setelah berusia
tiga puluh tahun ia muncul dan mencari musuh besar yang membunuh ayahnya, yaitu
seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi raja pengemis, It-gan Kai-ong.
Di dalam usahanya yang amat sukar ini karena It-gan Kai-ong memiliki kesaktian
yang hebat, ia mendapat bantuan Suling Emas sehingga akhirnya berhasil
membunuh tokoh iblis itu.
Semenjak itu, Yu Kang Tianglo tidak pernah
lagi muncul di dunia kang-ouw. Biarpun secara diam-diam ia masih suka
kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para pimpinan kai-pang, namun ia sendiri
mengasingkan diri dan beberapa tahun kemudian menikah dengan puteri seorang
sahabatnya, juga seorang pendekar silat yang mengasingkan diri. Dari
pernikahan ini lahirlah Yu Siang Ki. Akan tetapi sungguh malang nasib Yu Kang
Tianglo, ketika melahirkan, isterinya meninggal dunia. Hal ini terjadi karena
tempat tinggal mereka yang menyendiri di lereng Bukit Thai-hang-san, jauh
tetangga sehingga pada saat melahirkan. Yu Kang Tianglo sendiri tidak berada.
di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia pulang ke pondok bersama
seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan, isterinya telah
menggeletak tak bernyawa di samping seorang bayi yang menangis keras.
Isterinya mati karena kehabisan darah!
Yu Kang Tianglo hidup dengan hati mengandung
kedukaanbesar. Ia makin tak mau lagi muncul di dunia ramai. Hidupnya dlcurahkan
untuk merawat dan mendidik Siang Ki sehingga ketika pemuda ini, berusia dua
puluh tahun, ia telah mewarisi semua kepandaian ayahnya! Betapapun juga, Yu
Kang Tianglo tak pernah mau mengingkari asal-usulnya sebagai putera kai-pang
(perkumpulan pengemis) sehingga bukan hanya dia, bahkan puteranya pun semenjak
kecil diharuskan memakai pakaian yang dihias tambal-tambalan seperti pakaian
pengemis.
“Demikianlah, Kwi Lan. Ketika Ayah mendengar
bahwa dunia pengemis kembali rusak dan terancam hebat oleh tokoh-tokoh sesat
sehingga banyak pengemis dibawa menyeleweng, Ayah menjadi kaget dan marah
sekali. Hal ini sungguh menjadi malapetaka karena jantung Ayah yang selalu
lemah dan sakit-sakit semenjak ibu meninggal dunia, mendapat serangan yang
membawa Ayah meninggal dunia pula. Ayah hanya berpesan agar aku mewakili Ayah
untuk menolong kaum pengemis, terutama sekali Khong-sim Kai-pang.”
Kwi Lan mendengarkan penuturan itu dengan hati
penuh iba. Kiranya pemuda ini juga bernasib buruk di waktu kecilnya, tidak ada
bedanya dengan Tang Hauw Lam maupun Siangkoan Li. Semenjak kecil sudah
dirundung malang dan kini hidup sebatang kara di dunia.
“Saudara Siang Ki, karena engkau selalu
melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat engkau mengenal semua tokoh
kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam maupun putih. Karena Ayahmu
adalah sahabat baik pendekar sakti Suling Emas, tentu engkau tahu baik tentang
riwayat pendekar itu.”
“Aku hanya mendengar dari penuturan mendiang
Ayah. Biarpun hatiku amat kepingin, namun belum pernah aku mendapat kehormatan
berjumpa dengan pendekar itu.”
“Dalam percakapan kaum sesat di puncak
Cheng-liong-san tadi, aku mendengar mereka menyebut-nyebut nama Ratu Khitan
yang katanya masih sanak dekat dengan Suling Emas, bahkan katanya menjadi....
eh, kekasihnya. Tahukah engkau akan hal itu?”
Yu Siang Ki menggeleng kepalanya. “Ayah tidak
tahu akan hal itu. Aku pun tidak tahu benar. Yang kutahu bahwa Ratu Khitan kabarnya
juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan aku pernah mendengar pula
dari luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi adik angkat Suling Emas. Tentang
hubungan asmara di antara mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, sampai sekarang
Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu Khitan yang kabarnya cantik jelita
itu sampai sekarang tak pernah menikah.”
Berdebar jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa
tidak enak. Menurut kata Bibi Sian gurunya, dia adalah puteri Khitan. Kalau
Ratu Khitan tidak pernah menikah, bagaimana ia bisa menjadi puterinya? Siapakah
ayahnya?
“Ah, bagaimana mungkin seorang ratu tidak
menikah?” Ia pura-pura merasa heran dan bertanya. “Bukankah seorang raja atau
ratu itu membutuhkan keturunan untuk kelak diwarisi tahta kerajaan?”
Yu Siang Ki mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu
mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu tidak menikah. Akan tetapi aku mendengar
dari para pedagang keliling yang seringkali mengembara ke Khitan bahwa
sesungguhnya ia tidak menikah namun Ratu Khitan mempunyai seorang putera
angkat. Agaknya putera angkatnya itu pun telah mewarisi kepandaian ibunya.
Namanya Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali pangeran itu mengadakan
perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya tampan bukan main dan
sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang tangguh.”
Makin tidak nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau
benar seperti yang dituturkan gurunya secara singkat sekali bahwa dia puteri
Ratu Khitan mengapa ia sejak kecil ikut Bibi Sian? Mengapa Ibu kandungnya
sendiri tidak merawat dan mendidiknya, bahkan mengangkat seorang putera?
Apakah karena aku perempuan? Makin penasaran rasa hati Kwi Lan sehingga tampak
mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api kemarahan.
“Kau kenapakah?” Siang Ki yang berpemandangan
tajam itu menegurnya.
“Tidak apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa
bertemu dengan Suling Emas?”
Siang Ki makin terheran. “Kau tadi bilang
bahwa kau tidak mempunyai hubungan dengan Suling Emas, mengapa sekarang hendak
bertemu dengannya?”
Kwi Lan sudah dapat menekan perasaannya.
Iatersenyum dan menjawab. “Puji-pujian yang kudengar mendorong hatiku untuk
melihat bagaimana macamnya pendekar besar itu. Di manakah dia berada
sekarang?”
“Aku sendiri pun mencari-carinya, Kwi Lan.
Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia seperti Suling Emas. Aku hendak
pergi ke Kang-hu mengunjungi pusat dari Khong-sim Kai-pang. Setelah aku
memperkenalkan diri, kiranya para tokoh Khong-sim Kai-pang ada yang tahu di
mana adanya Suling Emas yang merupakan sahabat baik itu.”
Hati Kwi Lan kecewa mendengar bahwa pemuda
yang luas pengalamannya ini pun tidak tahu di mana adanya Suling Emas. Ia harus
bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai pendekar itu tentang ibu
kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya itu seorang wanita tak tahu
malu seperti yang dibicarakan oleh para kaum sesat, ia tidak usah melanjutkan
keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu. Di samping ini, ia pun tertarik
untuk menyaksikan bagaimana keadaan perkumpulan pengemis golongan putih yang menjadi
musuh pengemis-pengemis golongan hitam. Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh
dan pendekar-pendekar besar yang ia percaya tentu akan ia jumpai kalau ia
mengikuti pengemis muda ini.
“Aku ikut!” Tiba-tiba ia berkata. Siang Ki
memandang, terkejut. “Apa maksudmu? Ikut....?”
“Ya, aku ikut bersamamu dengan harapan agar
kau dan Khong-sim Kai-pang akan dapat membantuku mempertemukan dengan Suling
Emas. Atau.... barangkali engkau tidak suka mengajak aku.”
Sepasang mata gadis itu memandang penuh selidik,
bahkan mengandung tantangan. Mau tidak mau Siang Ki tersenyum. Gadis ini
benar lincah dan wajar, aseli danmenyenangkan. Ia mengangguk dan berkata lirih.
“Bukan aku yang tidak suka melakukan
perjalanan bersamamu, Kwi Lan. Sebaliknya aku bersangsi apakah engkau akan
betah melakukan perjalanan di samping seorang pengemis sehingga derajatmu
terseret turun dan dipandang rendah serta dihina orang.”
“Karena kau seorang yang berpakaian pengemis?
Huh, hendak kulihat siapa berani menghinaku kalau aku berjalan bersamamu!
Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan pula dari kata-katanya, melainkan
dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar setelah merantau.”
Pengemis muda itu memandang dengan wajah
berseri dan mulut tersenyum. “Dan engkau akan masih belajar banyak, Kwi Lan,
dan akan mendapatkan kenyataan-kenyataan yang banyak pula. Hidup ini belajar
dan sebelum mati, takkan pernah habis hal-hal yang perlu kita pelajari. Nah,
mari kita berangkat ke kota Kang-hu.”
Demikianlah, untuk ke tiga kalinya Kwi Lan
melakukan perjalanan bersama seorang pengemis tampan yang lihai dan sifatnya
jauh lagi bedanya dengan dua orang pemuda yang pernah dikenalnya. Kalau Tang
Hauw Lam pemuda berandalan yang selalu riang gembira itu memandang hidup dari
segi yang lucu dan menggembirakan, sedangkan Siangkoan Li memandang hidup dari
segi yang penuh kedukaan, kekecewaan dan penuh perjuangan, adalah pemuda ke
tiga ini seorang pemuda yang sikapnya seperti orang tua, sudah masak,
berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan memandang dunia dengan
sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemuda yang ketiganya sama
lihai, entah mana yang paling tinggi ilmunya, dan yang memiliki sifat-sifat
menarik dan baik masing-masing. Tiga pemuda perkasa yang begitu berjumpa dengan
Kwi Lan telah memperlihatkan rasa suka dan sayang!
***
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suling
Emas, semenjak dalam buku jilid pertama. Dua orang tokoh pengemis Khong-sim
Kai-pang yang bernama Gaklokai dan Ciam-lokai, dengan penuh keyakinan mengira
bahwa Suling Emas adalah Yu Kang Tianglo dan mohon kepada “Yu Kang Tianglo”
ini untuk menolong kaum pengemis yang terancam keselamatannya oleh kaum sesat.
Setelah mendengar permintaan mereka berdua, akhirnya Suling Emas menyanggupi
untuk datang ke Kang-hu mengunjungi Khong-sim Kai-pang sebagai Yu Kang
Tianglo!
Ada dua hal yang menyebabkan Suling Emas
menerima permintaan ini. Pertama karena mengingat akan persahabatannya dengan
Yu Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari
tangan orang-orangsesat. ke dua, karena ia sedang dikejar-kejar oleh para
orang-orang suruhan Ratu Yalina dari Khitan yang minta kepadanya untuk datang
ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke Khitan melepaskan rindu terhadap
kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina, akan tetapi keinginan ini ia tekan
dengan anggapan bahwa kepergiannya ke Khitan berarti merendahkan derajat ratu
yang di junjung tinggi oleh bangsa Khitan itu. Tidak, ia harus berkorban.
Dengan menyamar menjadi Yu Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan saputangan,
tentu akan membebaskannya daripada pengejaran orang-orang Khitan itu.
Karena kini menghadapi sebuah tugas yang
penting, maka hati dan pikiran Suling Emas tidak lagi terlalu ditekan oleh
kenang-kenangan pahit sehingga tubuhnya menjadi lebih segar dan bersemangat.
Memang tubuh pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala
penderitaan. Hanya kalau terlalu merana hatinya, teringat akan
kegagalan-kegagalan cinta kasih yang meremukkan jiwanya, maka jantungnya
menjadi tidak kuat dan ia suka terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia sudah
dapat mengatasi kedukaan lni, tubuhnya menjadi sehat kembali.
Kuda merah kurus yang menjadi kawan
satu-satunya dan menjadi kuda tunggangannya yang setia, berjalan perlahan. Setelah
tiba di depan pintu gerbang kota Kang-hu sebelah barat, Suling Emas menarik
napas panjang. Entah sudah berapa belas tahun ia tak pernah lewat kota ini yang
dahulu dikenalnya amatbaik. Ia menaikkan saputangan menutupi mukanya,
menundukkan topi bututnya menyembunyikan muka dan melanjutkan perjalanan. Untuk
pergi ke kuil yang menjadi markas besar perkumpulan pengemis, Khong-sim
Kai-pang, ia harus memasuki kota Kang-hu dan keluar lagi dari kota itu melalui
pintu sebelah timur karena kuil itu berada di luar kota sebelah timur.
Kota Kang-hu tidak ada perubahan.
Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu saja. Namun ia tahu
bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang dahulu telah menjadi
tua, seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti yang muda, yang
dahulu masih kanak-kanak atau bahkan belum terlahir. Oleh karena penggantian
satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa ia tidak mengenal seorang
pun di antara orang-orang yang lalu-lalang atau berada di dalam warung dan
toko. Maka hatinya menjadi lega dan ia melepas saputangan yang menutupi
mukanya. Hanya kalau perlu saja, agar jangan dikenal orang, ia menutupi
mukanya. Kalau memang tidak ada yang mengenalnya, ia tidak perlu menutupi
mukanya karena hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan.
Seorang laki-laki tua di atas kuda kurus dan
buruk bukanlah penglihatan yang aneh di kota itu, maka tak seorang pun
memperhatikan Suling Emas. Semua orang menganggap dia ini seorang petani tua
miskin yang mungkin hendak mencari sanaknya di kota atau hendak berbelanja.
Ketika tiba di sebuah jalan simpang tiga di
dekat pintu gerbang timur, Suling Emas menghentikan kudanya di depan
sebuahwarung. Ia teringat bahwa warung ini dahulu amat terkenal dengan masakan
bakminya yang lezat dan murah. Perutnya memang sudah lapar maka ia ingin makan
di mi warung ini. Seperti yang telah diduganya, juga penjaga kedai bakmi ini
sudah terganti orang lain semua. Akan tetapi meja-mejanya masih seperti dahulu,
menjadi hitam mengkilap saking tuanya dan setiap hari terkena minyak. Dengan
hati lega Suling Emas mengambil tempat duduk di sudut menghadap ke pintu masuk.
Senang juga melihat betapa dugaannya tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi
banyak tamu karena bakminya. Buktinya, belasan orang tamu yang memenuhi tempat
itu semua menggerakkan sumpit makan bakmi!
Ia memesan bakmi dan arak, kemudian makan
dengan enaknya. Betapapun juga, karena ia berada dekat markas Khong-sim
Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah ia akan menghadapi hal-hal yang
pelik, Suling Emas memasang mata denganwaspada. Ia sengaja tidak menurunkan
topi bututnya dan mengintai dari balik topinya sambil makan bakmi dan minum
arak. Tidak ada sesuatu yang ganjil di antara para tamu yang makan bakmi. Hanya
di sudut kanan ada tiga orang laki-laki berpakaian seperti ahli-ahli silat,
agaknya mereka ini adalah piauwsu-piauwsu (pengantar kiriman) yang lewat di
Kang-hu dan makan di kedai ini. Yang seorang sudah berusia lima puluhan tahun,
bertubuh tinggi kurus dengan muka merah. Yang dua orang adalah pemuda-pemuda
berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat terhadap yang tua itu.
Di pinggang mereka tampak gagang pedang. Melihat sikap mereka itu tidak
sombong dan bicara dengan sopan dan perlahan. Suling Emas tahu bahwa mereka ini
adalah orang baik-baik. Logat bicara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang selatan.
Setelah habis semangkok bakmi, Suling Emas
minta semangkok lagi. Perutnya amat leper, sudah dua hari ia tidak makan. Juga
ia minta tambah arak. Pelayan kedai curiga. Orang tua ini pelahap benar, dan
pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat juga seorang dusun yang miskin.
“Lopek harap bayar dulu,” kata Si Pelayan
dengan suara perlahan. Kalau sampai orang ini terlalu banyak makan minum kemudian
tidak dapat membayarnya, dia juga tidak terlepas dari tanggung jawab dan
selain mendapat teguran, sedikitnya ia harus menanggung separoh harga makanan
dan minuman itu!
Suling Emastersenyum. Ia dihina, akan tetapi
ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia tidak merasa terhina karena ia tahu
akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata sesuatu ia mengeluarken sepotong
perak dan memberikannya kepada Si Pelayan. Melihat perak ini yang cukup besar,
Si Pelayan mengubah sikap membungkuk-bungkuk dan berkata,
“Biar nanti sajalah, Lopek. Saya ambilkan
tambahanmu.” Si Pelayan pergi dan Suling Emas menyimpan peraknya sambll
tersenyum pula. Semenjak ia muda dahulu sampai sekarang, generasi telah
berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah tidak
sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga
orang mempercaya orang lain bukan berdasarkan pribadinya namun berdasarkan
harta dan kedudukannya. Orang menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap
pribadinya melainkan berdasarkan bagusnya pakaian dan padatnya kantung.
Manusia sudah tidak dapat menguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya
dikuasai harta benda dan kedudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu
kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan!
Ketika pelayan itu membawa bakmi dan arak
tambahan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut di pintu kedai. Si
Pelayan menoleh dan ketika ia melihat dua orang pengemis di pintu itu yang
marah-marah dan memaki-maki, ia cepat-cepat lari ke dalam dengan muka pucat.
Suling Emas menoleh dan diam-diam ia terkejut ketika melihat dua orang pengemis
setengah tua yang berdiri di depan pintu itu. Dua orang pengemis ini menaruh
tangan kiri di atas dada sedangkan tangan kanan membentuk lingkaran dengan ibu
jari dan telunjuk di atas kepala. Itulah tanda bahwa mereka berdua adalah
anggauta-anggauta Khong-sim Kai-pang! Mau apakah dua orang Khong-sim Kai-pang
datang ke kedai ini dengan sikap demikian aneh?
“Mana pemilik kedai? Hayo lekas keluar!”
bentak seorang di antara mereka dengan suara galak. Kini mereka sudah
menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi mereka kempit. Tak lepas
dari pandang mata Suling Emas betapa para tamu kelihatan gelisah melihat dua
orang pengemis ini, seperti takut-takut. Sejak kapankah anggauta-anggauta
Khong-sim Kai-pang bersikap galak seperti ini dan ditakuti orang?
Dari dalam kedai berlari-lari keluar seorang
berjubah hitam panjang, tubuhnya kecil kurus dan kumisnya panjang sampai ke
dagunya. Jelas tampak orang ini ketakutan, sambil membungkuk-bungkuk dan
memaksa senyum sehingga tampak giginya yang hitam karena tembakau ia
menghampiri dua orang pengemis itu sambil berkata,
“Ah, kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang!
Silakan duduk!”
“Tak usah banyak jual omongan manis. Kami datang
bukan menghendaki bakmimu yang busuk dan arakmu yang bau! Engkau Lai Keng
pemilik kedai ini?”
Be.... betul...., ada apakah, Taihiap....?”
Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, Si
Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada anggauta Khong-sim
Kai-pang itu.
“Huh, engkau benar-benar memandang rendah
kepada kami, ya? Ketika kemarin seorang anggauta rendahan kami datang minta
derma sepuluh tail, kenapa hanya kauberi uang kecil? Engkau berani menghina
kami?”
“Ah, tidak sama sekali...., mana saya berani?
Ketahuilah, harap Ji-wi suka mempertimbangkan. Perdagangan sekarang sepi, dan
pula keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagaimana saya
sanggup menderma sepuluh tail perak? Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan....”
“Tidak laku, ya? Sepi kau bilang? Begini
banyak tamu kau bilang sepi!” bentak pengemis ke dua.
“Benar, ada juga yang datang berbelanja namun
keuntungannya tipis sekali....“
“Banyak alasan! Kalau kaunaikkan harganya
setiap mangkuk, bukankah kau mendapatkan banyak untung dan tidak berat
menyumbang sepuluh tail? Pendeknya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim
Kai-pang bukannya orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau sekarang tidak
mengeluarkan sepuluh tail, jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu
ini!” Sambil berkata demikian, seorang di antara para pengemis itu
menggerakkan tongkatnya ke bawah dan.... “ceppp....!” tongkat itu amblas masuk
ke dalam lantai sampai setengahnya lebih!
Si Pemillk Kedai menjadi pucat wajahnya dan
tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur isak ia berkata, “Kalau begini....
bakal bangkrut....”
“Kaupilih saja. Bangkrut atau mampus!”
Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu
terdengar orang menggebrak meja sambil berseru, “Bangsat tak tahu malu! Dari
mana datangnya pengemis-pengemis yang begini kurang ajar!”
Ternyata yang menggebrak meja dan marah-marah
ini adalah tiga orang piauwsu tadi yang kini sudah bangkit berdiri dan
menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di luar pintu. Piauwsu setengah
tua bermuka merah tadi kini menudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis
sambil membentak,
“Kalian ini golongan apakah? Melihat sikap dan
pakaian seperti pengemis-pengemis yang biasanya mencari sisa makanan di
kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang yang lewat. Akan tetapi ternyata
kalian lebih rendah daripada pengemis maupun perampok. Pengemis tidak minta
secara paksa sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis!”
Dua orang pengemis itu saling pandang,
kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata melotot lebar. “Apa kamu
mencari mampus berani mencampuri urusan kami dua orang anggauta Khon-sim
Kai-pang?” Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara
pengemis itu dengan keras-keras, agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama
ini untuk mendatangkan kesan.
“Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati
Kosong) semestinya mempunyai anggauta-anggauta yang berhati kosong tanpa
pamrih akan tetapi kalian ini perampok-perampok berkedok pengemis amat
menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang sedang makan di kedai ini, memang tidak
ada sangkut-pautnya dengan urusan pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan
kalian berani datang mengganggu! Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan
tidak ada nafsu makan. Hayo enyah dari sini!” bentak piauwsu setengah tua muka
merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak. Malah
seorang di antara dua orang muda ini segera mengulur tangan ke depan,
menggunakan dua buah jari menjepit tongkat yang tertancap di lantai kemudian
sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar dari lantai.
“Phuhh! Yang macam ini dipakai menakut-nakuti
orang? Menyebalkan!” katanya sambil melempar tongkat itu sehingga tongkat besi
itu jatuh berkerontangan di atas lantai. Semua tamu kedai itu terkejut dan
kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah sekali. Pemilik tongkat
sudah menyambar tongkatnya, kemudian mereka berdua meloncat mundur lalu
berdiri di jalan sambil menantang.
“Pengacau dari mana begitu buta matanya berani
memusuhi Khong-sim Kai-pang?”
Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula
diikuti dua orang piauwsu muda. “Tak tahu malu, menggunakan nama perkumpulan
yang begitu muluk, kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan
manusia jahat. Kami datang dan pergi tak pernah menyembunyikan nama. Di
selatan kami terkenal piauwsu-piauwsu yang paling, benci terhadap
penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti srigala-srigala berkedok domba!
Aku Lim Kiang atau Lim-piauwsu, dan ini kedua orang puteriku. Lekas kalian
enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang
mengusir anjing-anjing rendah.”
Dua orang pengemis itu marah bukan main.
“Keparat she Lim! Kau dan anak-anakmu sudah bosan hidup rupanya. Majulah,
hendak kami lihat sampai di mana hebatnya kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu
yang lebar itu?”
“Ayah, biarkan kami menghajar dua penjahat
ini!” seru dua orang muda sambil meloncat ke depan dan pedang mereka sudah
berada di tangan. Sang Ayah yang agaknya cukup percaya akan kepandaian
putera-puteranya, lalu mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil
bertolak pinggang.
Dua orang pengemis itu sudah berseru nyaring
sambil memutar tongkat besi mereka, menyerang dua orang piauwsu muda yang
sudah menangkis dengan pedang mereka pula. Terjadilah pertandingan yang seru,
di atas jalan raya di depan kedai bakmi! Mereka yang tadinya enak-enak makan
bakmi, kini sudah keluar pula dari kedai untuk menonton, wajah mereka tegang
dan khawatir karena semua orang di Kang-hu tahu belaka akan pengaruh
Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berlaku sewenang-wenang. Tentu saja
diam-diam mereka mengharapkan kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari
selatan itu.
Pengharapan mereka itu ternyata terkabul. Dua
orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki ilmu pedang yang hebat. Tidak
sampai lima puluh jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis
Khong-sim Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang dan
tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut menonton menjadi terkejut ketika
melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera ia kenali. Itulah ilmu
pedang Beng-kauw! Tak disangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak
murid Beng-kauw dan melihat sepak terjang mereka, ia menjadi bangga, Mereka
ini murid-murid Bengkauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka
memberi hajaran dua orang pengemis jahat, juga melihat betapa dua orang
piauwsu muda itu hanya melukai pundak lawan, tidak membunuhnya.
Beberapa orang di antara penonton yang tadi
makan bakmi segera menghampiri tiga orang piauwsu itu sambil berbisik, “Sam-wi
harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim
Kai-pang bermarkas di luar kota ini dan selain anggautanya banyak, juga mereka
mempunyai pemimpln-pemimpin yang pandai dan amat kejam! Lekas, Sam-wi (Tuan
Bertiga) pergilah dari sini.”
Piauwsu tua mengerutkan alisnya dan berkata
lantang, “Kami bukan golongan pengecut yang berani berbuat tidak berani
bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua orang pengemis ini karena
kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya datang menuntut balas, biarlah
kami hadapi mereka itu dengan pedang kami.” Ucapan ini dikeluarkan dengan nada
marah akan tetapi sama sekali tidak membayangkan kesombongan.
Banyak orang yang sudah tahu akan kekejaman
orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berubah banyak sekali,
membujuk-bujuk agar mereka bertiga lekas pergi saja karena kalau tidak, mana
mungkin mereka dapat melawan banyak anggauta Khong-sim Kai-pang. Namun
bujukan-bujukan itu sia-sia belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua orang puteranya
bahkan menyatakan hendak mendatangi markas besar Khong-sim Kai-pang dan
mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk
Kang-hu! Tiba-tiba terdengar suara orang yang amat jelas mengatasi semua
suara orang yang sedang membujuk-bujuk, “Ah, orang yang sudah mabok kemenangan
mana bisa dibujuk-bujuk? Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka
mati!”
Semua orang menoleh dan ketika orang-orang di
situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini adalah seorang
berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah tertutup sehelai
kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir. Ada suara
bisikan-bisikan terdengar. “Nah, mereka sudah mulai datang....!”
Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya
she Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling Emas dengan tajam.
Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pemimpin Khong-sim
Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah maju dan hendak menegur.
Akan tetapi Suling Emas sudah menghampiri
mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan menegur, “Kalian ini
orang-orang apa berani hendak mengancam Khong-sim Kai-pang? Kalau ada satu dua
orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang kota ini pencuri
belaka? Kalau ada satu dua orang piauwsu menyeleweng, apakah boleh dibilang
bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka? Demikian pula, kalau ada seorang
dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng, apakah benar kalau dikatakan bahwa
Khong-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat? Setelah memperoleh kemenangan
berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, Itulah sikap
seorang bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah? Hayo
pergi.... pergi.... pergi....!” Ia mendorong-dorong sehingga jari-jari
tangannya menyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw
yang menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Untuk membela yang tertindas
dan menghadapi yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan
ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewarisi watak gagah
ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja beranggapan
bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang membela
perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa pengemis ini bukan
orang sembarangan. Karena itulah, ia memberi tanda kepada dua orang puteranya
untuk mundur, kemudian ia sendiri tersenyum dan berkata.
“Setiap orang manusia tentu mencari
kebenarannya sendiri. Betapapun jahatnya Khong-sim Kai-pang, tentu seorang
anggautanya akan melihatnya sebagai perkumpulan yang baik. Sahabat, kalau kau
merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau majulah!” Sambil
berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.
“Aihh....!” ia berseru kaget dan tangannya
meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk melihat ke arah pinggangnya.
Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pedang itu
sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!
Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak
kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang dengan mata
terbelalak.
“Pe.... pedangku....!” Mereka berkata lirih
dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa pedang kedua orang puteranya juga
sudah lenyap!
“Adakalanya orang tidak dapat mengandalkan
pedangnya.” Suling Emas berkata lagi, “Tapi lebih tepat mempergunakan akal
dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang akan
selalu membawa kemenangan. Sam-wi mencari inikah?”
Tiga orang piauwsu itu melongo ketika melihat
pengemis yang mukanya ditutupi saputangan itu mengangsurkan tiga batang pedang
mereka! Cepat mereka menyambut pedang mereka dan tidak berani sembarangan
bergerak. Orang yang sudah dapat merampas pedang mereka bertiga tanpa mereka
ketahui sama sekali, adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa
sekali dan bukanlah lawan mereka! Betapapun juga, Lim Kiang adalah seorang
gagah yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum ia dikalahkan.
“Boleh jadi engkau seorang yang memiliki
kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira bahwa kami takut untuk coba-coba
memberantas kejahatanmu!” Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan
pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak
hendak menerjang Suling Emas.
Pada saat itu berkelebat dua bayangan hitam.
Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya hanya dua orang kakek
pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang bertubuh bongkok kurus.
Namun Si Bongkok ini sekali sambar sudah mencengkeram leher baju Lim Kiang
yang dilemparkannya ke belakang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung.
Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula melemparkan dua orang piauwsu muda
dengan sama mudahnya.
“Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani
bersikap kurang ajar terhadap Ketua Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo
yang mulia?” bentak Si Pengemis Bongkok yang bukan lain adalah Gak-lokai.
Adapun pengemis ke dua adalah Ciam-lokai.
Lim Kiang adalah seorang piauwsu yang sudah
banyakpengalaman. Ia terkejut dan maklum bahwa dua orang pengemis tua itu pun
lihai bukan main.
Akan tetapi ia makin kaget ketika mendengar disebutnya
nama Yu Kang Tianglo. Ia memandang terbelalak kepada Suling Emas lalu
berkata.
“Locianpwe ini.... Yu Kang Tianglo....? Akan
tetapi.... mereka itu....” Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi
dihajar dua orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas, tanah.
Suling Emas mengangkat kedua tangan ke depan
dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan dua orang puteranya. “Terima
kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang penyeleweng
itu. Memang di antara anggauta Khong-sim Kai-pang ada yang menyeleweng, namun
itu bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan
penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampaikanlah hormatnya Yu Kang Tianglo
kepada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami hormati!”
Diam-diam Lim Kiang terkejut danheran. Ia
memang lama mendengar nama besar Yu Kang Tianglo akan tetapi sama sekali tak
pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis itu pasti dapat mengenal gerakan pedang
putera-puteranya sehingga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang dari
Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diturut kedua orang
puteranya.
“Mohon maaf bahwa kami berani bersikap kurang
hormat kepada Locianpwe.” Setelah berkata demikian, Lim Kiang cepat-cepat mengajak
kedua orang puteranya pergi meninggalkan Kang-hu.
“Kalian sudah datang? Bagus! Bagaimana kalian
dapat membiarkan dua orang jahat itu melakukan hal yang amat memalukan
Khong-sim Kai-pang?” Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.
“Maaf, Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita
keluar kota, di sana para anggauta yang setia sudah menanti. Akan saya
ceritakan kepada Pangcu.” kata Gak-lokai, sedangkan Ciam-lokai mengambilkan
kuda Suling Emas. Ketiganya lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda,
Ciam-lokai menyeret dua orang pengemis yang terluka tadi sedangkan Gak-lokai
sibuk menuturkan apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang selama ini.
Sementara itu, berita tentang munculnya Yu
Kang Tianglo seperti tadi terdengar oleh beberapa orang penonton, telah
tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh
kepercayaan bahwa setelah tokoh besar itu muncul, Khong-sim Kai-pang akan
bersih dari oknum-oknum jahat dan tidak lagi ada penggangguan di kota Kang-hu dan
sekitarnya.
Mendengar penuturan Gak-lokai, Suling Emas
menjadi marah. Ternyata bahwa kaum sesat yang menyelundup di Khong-sim
Kai-pang telah berhasil memecah belah perkumpulan itu, bahkan sebagian besar
anggautanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak
mengherankan karena oknum-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang
menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan dunia.
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang melihat
gejala-gejala buruk ini, maklum bahwa kalau mereka berdua berkeras, tentu akan
terjadi perang di antara para anggauta sendiri yang akan mengorbankan banyak
nyawa. Padahal, mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada
dasarnya jahat, melainkan karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di
samping itu, ada lima orang kaum sesat yang kini terpilih menjadi pemimpin
mereka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian yang
lihai sehingga dua orang kakek ini tidak berani turun tangan secara
serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang mereka andalkan.
“Mereka yang menyeleweng kini menduduki
markas karena para anggauta yang setia rela mengikuti kami mengundurkan diri
bersembunyi di tempat-tempat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu.”
Gak-lokai menutup ceritanya. “Mereka kini mengganti pakaian mereka dengan
baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi. Hanya dengan
menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh orang lebih maka
anggauta-anggauta yang menyeleweng akan dapat disadarkan kembali.”
Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui
pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang tajam melihat
bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara pohon-pohon
mendahuluimereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah mata-mata golongan sesat
yang kini menguasai markas Khong-sim Kai-pang. Ketika mereka bertiga sambil
membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil besar yang semenjak
dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat
betapa dari belakang mereka datang berbondongbondong puluhan orang pengemis
yang berpakaian butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh
orang lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk menengok, mereka
serentak menjatuhkan diri berlutut dan seperti dlkomando saja mereka berseru.
“Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!”
Kemudian tampak dari dalam kuil keluar
beberapa orang yang diikuti barisan pengemis pula, pengemis dengan pakaian
bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini Suling Emas berkata kepada
pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai suaranya nyaring.
“Saudara-saudara semua tidak boleh sembarangan
bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan sendiri, hanya ingin
menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang mengotori kai-pang!”
Demikianlah, empat puluh orang pengemis itu
disuruh menanti di luar, sedangkan Suling Emas dengan diantar Gak-lokai dan
Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk dengan langkah
tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luarpekarangan. Ia memandang ke depan dan
melihat bahwa yang memimpin barisan pengemis baju bersih yang jumlahnya ada
lima puluh orang lebih itu adalah tujuh orang. Lima di antara mereka yang
usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian pengemis
tambal-tambalan dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak senjata tongkat
yang berat dan jelas bukan tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak
berpakaian pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya mereka berdua
itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh lebih. Suling
Emas memandang tajam namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari pekarangan, ia
naik anak tangga yang tingginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan
yang cukup luas. Tempat inilah yang biasanya dipakai untuk pertemuan umum para
anggauta, di udara terbuka dan letaknya di depan kuil.
Lima orang pengemis berpakaian penuh
kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan sikap angkuh,
sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka. Gak-lokai dan
Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya itu ke depan
sehingga dua orang itu jatuh tersungkur ke depan kaki lima orang kepala
pengemis baru.
“Siapakah yang bertanggung jawab atas
perbuatan jahat dua orang anggauta Khong-sim Kai-pang ini?” Terdengar suara
Suling Emas memecah kesunyian. Suaranya halus, namun penuh wibawa. “Mereka
yang merasa bersalah, sudah menyelewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat,
hayo lekas maju mengaku agar menerima hukuman!”
Seorang di antara lima pimpinan pengemis itu,
yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara mereka, sudah melangkah
maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Suling Emas.
“Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan
perkumpulan kami sehingga kau berani mengucapkan kata-kata kurang ajar? Apakah
engkau ini sekutu para pengkhianat macam dua orang jembel tua bangka itu?” ia
menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai.
Gak-lokai tak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh kalian ini tak tahu diri! Kalian adalah orang-orang baru di Khong-sim
Kai-pang, namun kalian seperti buta. tidak mau membuka mata, seperti tuli tak
mau membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, seorang tokoh
terbesar dari golongan Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut!”
Lima orang itu agaknya sudah mendengar
laporan maka mereka tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum-senyum. Akan tetapi
di antara lima puluh lebih anggauta Khong-sim Kai-pang yang sudah dibawa
menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menjadi
pucat mukanya, menggigil tubuhnya. Kawan-kawannya yang percaya kepada
pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Puluhan tahun Yu
Kang Tianglo tidak memperlihatkan diri, membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam
keadaan terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat
keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti seorang kawakan
yang berkuasa! Cih, sungguh tidak tahu malu! Pada saat ini memang Khong-sim
Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk sementara ini kami lima oranglah yang
berkuasa sampai diadakan pemilihan ketua pada pertemuan antara
kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu Kang Tianglo atau
bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini seorang tokoh kawakan
Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli. Engkau tidak ada sangkut
pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di sini!”
Merah wajah Gak-lokai dan Ciam-lokai, namun
Suling Emas memberi isyarat dengan tangan agar merekadiam. Ia sendiri lalu
melangkah maju dan dengan sikap tenang ia berkata. “Yu Kang Tianglo bukan
seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang. Semenjak Ayahku menjadi Pangcu
di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah
yang membela orang-orang terlantar dan jembel-jembel kelaparan, membimbing
mereka kembali ke dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka,
paling anti akan kejahatan. Siapa dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang
dan siapa pun dia orangnya boleh menjadi anggauta, asal saja mereka itu orang
baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan yang selama puluhan tahun ditempuh
Khong-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan muncul di sini sekiranya keadaan
Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya. Akan tetapi sayang
sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan, dengan mata kepala, sendiri aku
menyaksikan dua orangmu melakukan pemerasan seperti perampok. Melihat ini, mau
tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak membersihkan kai-pang dari
orang-orang jahat!”
Mendengar ini, banyak di antara para anggauta
Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju kembang-kembang dan memegang tongkat besi,
menjadi ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka itu meloncat
maju mengurung Suling Emas dan Si Juling membentak.
“Keparat busuk, enak saja kau mengobrol di
sini! Kami yang berkuasa di Khong-sim Kai-pang dan kami yang berhak menentukan
bagaimana cara kami mengumpulkan dana demi kemajuan perkumpulan dan kebahagiaan
semua anggauta kami. Kau berani datang menghina, berarti engkau mencari mampus
sendiri!” Sambil berkata demikian, Si Juling dan empat orang adik
seperguruannya mengangkat tinggi tongkat-tongkat mereka. Ada yang memegang
tongkat besi, ada tongkat baja, kuningan bahkan ada yang memegang tongkat
dari perak murni!
“Hemm.... hemm.... semenjak dahulu Khong-sim
Kai-pang mengutamakan kebenaran dan selalu mengambil jalan halus, maka
bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut sebagai lambang mencari
jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin
murtad bermewah-mewahan dan berlumba memegang tongkat yang membayangkan
kekerasan dan kekejaman. Sungguh menyeleweng sekali!”
“Tak usah banyak cakap! Satu di antara syarat
menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang, dia harus mempunyai kepandaian yang
paling tinggi itu di antara para anggauta. Beranikah engkau melawan kami
berlima?”
“Eh, kiranya kalian maslh mengenal juga akan
peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian memperlihatkan kecurangan dengan
maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama atau ditambah lagi dua orang
sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri pinjam tongkatmu!” kata Suling
Emas, menoleh kepada dua orang tokoh lama itu.
“Harap Pangcu pakai saja tongkat ini. ”Tongkat
bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin Tianglo.” kata Ciam-lokai
sambil menyerahkan tongkatnya, sebatang tongkat bambu yang sudah amat tua.
Yu Jin Tianglo adalah Ketua Khong-sim
Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka tentu saja semua
anggauta yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah. Mereka semua
tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga kedua kakek pengemis
Gak-lokai dan Ciam-lokai sendiri tidak berani sembrono turun tangan menantang
mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah oleh pengeroyokan mereka berlima?
Namun Suling Emas dengan langkah lebar dan
tenag sudah berdiri di tengah-tengah lapanganyang tinggi dan luas itu, menanti
datangnya lawan. Ia melihat betapa Si Juling berbisik-bisik kepada dua orang
pendeta, akan tetapi kemudian Si Juling bersama empat orang kawannya meloncat
dan sekaligus mengurung.
“Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong,
Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat Khong-sim Kai-pang menjadi
perkumpulan yang paling hebat di antara semua kai-pang. Maksud baik kami ini
kiranya malah kauhina! Sungguh kau mencari mati sendiri.”
Suling Emas tertawa di balik saputangannya.
“Kalian ini pengemis-pengemis macam apa? Pakaiannya saja berlumba mewah! Terang
bahwa kalian ini dahulunya tentu orang-orang golongan sesat yang hendak
menyelundup ke kai-pang-kai-pang mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah
karena hari ini tamat riwayat kalian!”
“Manusia sombong!” Lima orang itu membentuk
barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa memasang
kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di
pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi lawan!
Tongkat dipanggul di pundak, berdiri seenaknya dan pandang mata tidak acuh
sama sekali! Diam-diam Gak-lokai Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat,
menjadi khawatir sekali. Akan tetapi lima orang pengemis baju kembang itu
menjadi girang. Mereka terus bergerak mengitari Suling Emas dan mulai
tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba Si Mata Juling yang menjadi pimpinan mereka
berteriak keras dan serentak lima batang tongkat logam yang keras dan
bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan sinar yang menerjang Suling Emas
secara dahsyat sekali! Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti
dugaan mereka, lima orang pengemis baju kembang itu benar-benar memiliki
kepandaian tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat
cepatnya, dan amat berat sehingga terdengar angin bersiutan. Betapa mungkin
ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat menghindarkan diri dari hantaman
lima batang tongkat dari semua penjuru ini?
“Singgggg...., Krak-krak-krak-krakkrak....!”
Semua orang kaget dan berdongak melihat lima
batang tongkat yang kini terbang di udara dan jatuh jauh dari tempat itu.
Ketika mereka memandang ke depan lima orang pengemis baju kembang itu sudah
roboh tak berkutik lagi sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti
tadi memanggul tongkatnya!
Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan
tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya pihak kawan juga sampai
tak dapat bersuara saking heran dan kagum. Kemudian meledaklah sorak-sorai
penuh kegembiraan dari beberapa puluh orang pengemis anggauta Khong-sim
Kai-pang yang setia, sedangkan para anggauta Khong-sim Kai-pang yang
menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima orang ketua baru itu kini
menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri berlutut.
“Yu Kang Tianglo, kau terlalu sombong!”
Bentakan ini keras sekali dan kiranya dua
orang berpakaian tosu tadi telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas,
sedangkan yang kedua dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan
mayat lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang itu ke bawah panggung! Perbuatan
yang kejam ini disambut suara berbisik dari mereka yang pro dan anti di
golongan anggauta, baik yang kini sudah berpakaian bersih maupun yang masih
berpakaian butut.
“Trakk! Trakk! Trakk!”
Suara ini nyaring sekali sehingga menyakitkan
telinga. Melihat betapa kedua telapak tangan pendeta yang menghampiri Suling
Emas ditepuk-tepukkan menerbitkan suara nyaring itu, semua orang yang tadinya
berisik menjadi diam dan memandang penuh keheranan dan kekaguman. Betapa dua
telapak tangan dari kulit dan daging dapat mengeluarkan bunyi seperti itu?
Sahabat-sahabat pengemis dengarlah baik-baik!
Pinto (aku) berdua hanyalah tamu-tamu dari kelima pangcu (ketua) yang telah
terbunuh secara keji oleh manusia sombong yang mengaku Yu Kang
Tianglo ini.
Pinto berdua adalah orang-orang sebawahan Locianpwe Bu-tek Siu-lam, bagaimana
mungkin menyaksikan tuan rumah dihina orang tanpa turun tangan? Telah kita
ketahui semua betapa para anggauta kai-pang di bawah pimpinan orang-orang lama
yang mengaku suci dan bersih, hidup sengsara, kekurangan makan dan pakaian,
bahkan kadang-kadang mengalami kelaparan. Kemudian golongan kami sebagai
pimpinan baru telah mengangkat nasib para jembel sehingga mereka dapat memakai
pakaian baik dan makan sekenyangnya setiap hari. Tak perlu dibicarakan panjang
lebar siapa yang lebih patut menjadi pemimpin kai-pang. Sudah terbukti pula
betapa kelima orang kai-pang yang terbunuh berjasa besar terhadap
saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini yang akan merampas
kedudukan dan akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam lembah
kesengsaraan!”
Mendengar ini, terbangun semangat mereka yang
tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat betapa dahulu, semenjak dipimpin
oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta Ciam-lokai, para anggauta hidup
di bawah tekanan peraturan-peraturan keras sekali, bahkan mereka itu diharuskan
hidup seadanya dan sederhana, sesuai dengan pendapatan serta hasil sumbangan
para dermawan. Kemudian setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan
dipegang oleh lima orang ketua baru, uang mengalir masuk dengan berlebihan
sehingga mereka dapat hidup jauh lebih baik, bahkan dapat pula
bermewah-mewahan! Maka ketika mendengar ucapan tosu itu, mereka lalu saling
bicara dan keadaan menjadi berisik kembali.
Suling Emas tercengang ketika melihat tosu
yang membunyikan kedua telapak tangan tadi. Ia maklum bahwa tosu itu bukan
sembarang orang, telah memiliki kepandaian tinggi dan tentu seorang ahli
Tiat-ciang-kang (Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih kedua telapak tangannya
sehingga menjadi kuat dan keras laksana baja. Apalagi mendengar tosu itu
mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek Siu-lam, ia menjadi tertarik. Memang
selama perantauannya, ia mendengar akan munculnya seorang tokoh besar berjuluk
Bu-tek Siu-lam ini.
Akan tetapi sebelum Suling Emas menjawab,
tiba-tiba terdengar suara Gak-lokai berteriak keras. “Sungguh tamu-tamu yang
tak tahu malu mencampuri urusan dalam Khong-sim Kai-pang!” Kemudian tubuh dua
orang kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah melayang dan
meloncat ke depan Suling Emas menghadapi dua orang tosu itu.
Ciam-lokai menghampiri Suling Emas dan berkata
halus, “Mohon Pangcu sudi membiarkan kami berdua memberi hajaran kepada
tosu-tosu lancang ini.”
Suling Emas cepat membisikkan nasihatnya.
“Baiklah, Ciam-lokai, kau nanti hadapi Si Hidung Besar itu dan awaslah terhadap
telapak tangannya. Dia ahli Tiat-ciang-kang dan jangan sampai mengadu telapak
tangan, akan tetapi serang kedua jalan darah di belakang sikunya.” Karena
bisikan ini dilakukan seperti tanpa menggerakkan bibir, hanya dengan
pengerahan, tenaga khikang yang sempurna, maka yang mendengar hanya Ciam-lokai
seorang. Kakek bertongkat butut inimengangguk-angguk. Ia percaya penuh akan
kelihaian ketuanya yang sakti.
Sementara ini, Gak-lokai Si Kakek Pengemis
yang bertubuh bongkok, sudah melangkah maju, mengerahkan khi-kang dan berkata
lantang sehingga suaranya mengatasi suara berisik para anggauta Khong-sim Kai-pang
yang seketika menjadi tenang dan mendengarkan penuh perhatian.
“Sejak kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai
penasihat-penasihat segala macam hidung kerbau? Urusan kai-pang adalah urusan
dalam dan tidak boleh sama sekali dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah
menjadi peraturan kai-pang sejak dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu.
Sekarang ada tamu-tamu tak diundang yang berani lancang mencampuri urusan
dalam, hal ini tak lain berarti sebuah tantangan!”
Dua orang tosu itu menjadi merah mukanya. Tosu
yang alisnya putih melangkah maju dan membentaki “Jembel busuk! Tak tahukah
kau siapa kami berdua? Kami adalah utusan Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Berani kau
menghina utusan beliau?”
Gak-lokai menjura dan menjawab suaranya tegas
dan nyaring. “Kami sama sekali tidak menghina siapapun juga, apalagi seorang
tokoh besar seperti Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sebaliknya kalian inilah yang
sudah menghina ketua kami! Kalian sebagai orang luar mana tahu peraturan dan
sifat Khong-sim Kai-pang kami? Perkumpulan kami bukanlah perkumpulan segala
macam jembel yang kelaparan dan yang hanya memikirkan tentang makanan dan
pakaian belaka! Akan tetapi, kai-pang kami adalah perkumpulan orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan, orang-orang yang bertugas membela kebenaran dan
keadilan tanpa pamrih, cukup dengan hidup sederhana atas kerelaan dan belas
kasihan orang yang lebih mampu. Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan
menganggap penyelundup-penyelundup itu menjunjung tinggi derajat perkumpulan
kami? Huh, bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan
dengan cara yang keji dan dengan cara yang lebih jahat daripada
perampok-perampok hina!
“Setan kelaparan! Gak-lokai dan Ciam-lokai,
pinto sudah tahu bahwa kalianlah yang menjadi penyakit dalam Khong-sim
Kai-pang. Kalian mengandalkan apa berani bicara seperti itu di depan pinto?”
bentak tosu hidung besar dengan marah. “Pergilah, kalian terlalu rendah untuk
berurusan dengan pinto. Biarkan orang yang sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan
kami!”
“Heh-heh-heh!” Hidung kerbau macam kalian ini
mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu kami yang mulia?” Kalau kalian hendak
menantang, cukup kami yang akan melayaninya. Rekan Gak, kau minggirlah, biarkan
tongkat bututku menghajar anjing hidung besar ini!”
Gak-lokai tertawa lalu meloncat ke pinggir,
lalu tubuhnya melayang ke bawah dan tahu-tahu ia telah menyelinap ke dalam
ruangan depan kuil dan sebelum lain orang berani mencegah, ia sudah meloncat
kembali membawa tiga buah bangku. Ia mempersilakan Suling Emas duduk di atas
bangku, kemudian ia sendiri duduk di sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke
tiga adalah diperuntukkan Ciam-lokai.
“Ha-ha, Tosu Alis Putih. Kami tidak tahu kau
siapa, karena kau tamu tak diundang, silakan kau berdiri saja di sudut situ!”
kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini marah sekali, mengepal tinju dan
mendelik.
“Eh-eh, sabar dulu. Giliran kita belum tiba.
Nanti setelah Saudara Ciam membereskan temanmu Si Hidung Kerbau, barulah kita
boleh saling tonjok!” kata pula Gak-lokai. Tosu Alis Putih itu hanya membuang
ludah melampiaskan marahnya, kemudian ia memandang ke tengah panggung di mana
Ciam-lokai sudah berhadapan dengan kawannya.
Ciam-lokai dengan menggerak-gerakkan tongkat
bambunya yang butut, yang tadi ia pinjamkan kepada Suling Emas, menghadapi tosu
hidung besar, tersenyum lebar dan berkata, suaranya lantang.
“Eh, tosu yang tak tahu diri! Engkau mengaku
tamu, akan tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berarti kalian ini
bukan sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki keadaan Khong-sim
Kai-pang. Setelah kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku siapa
sebenarnya kau ini agar aku tahu pula siapa nama orang yang nanti roboh di
tanganku!”
Ucapan ini diucapkan halus dan sewajarnya,
akan tetapi tetap saja membikin panas telinga karena sifatnya tekebur! Tosu
yang hidungnya besar itu usianya sudah tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih
muda daripada Ciam-lokai, akan tetapi wajahnya masih gagah dan kulit mukanya
kemerahan, rambutnya masih hitam. Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum
mengejek lalu berkata.
“Jembel tua bangka yang sudah mau mampus,
dengarlah baik-baik! Pinto bernama Bu Keng Cu, sedangkan dia itu adalah
Suhengku bernama Bu Liang Cu. Kami berdua adalah anak murid Im-yang-kauw di
perbatasan dunia barat. Kedatangan kami di Khong-sim Kai-pang ini adalah
mewakili Bengcu (Pimpinan) kami yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam untuk memenuhi
undangan pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang pimpinan Khong-sim Kai-pang yang
menjadi sahabat kami dan tuan rumah, telah tewas di tangan Yu Kang Tianglo,
tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam. Kalau kau sudah bosan hidup
hendak mewakili Yu Kang Tianglo, silakan. Akan tetapi jangan lupa bahwa pinto
sudah menasihatimu supaya kau mundur saja karena kau bukanlah lawan pinto,
jembel tua!”
Wajah Ciam-lokai menjadi pucat sekali. Memang
Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang aneh. Orang lain kalau marah akan merah
sekali mukanya, akan tetapi Ciam-lokai menjadi pucat! Ia marah karena merasa
kalah bicara. Siapa kira, tosu ini pandai berdebat dan kini ia yang tadinya
hendak menyombong, oleh tosu yang lemas lidah itu seakan-akan diseret turun
menjadi terbalik keadaannya! Selagi ia memutar-mutar otak untuk mencari
jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu itu sudah tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Nah, mukamu sudah pucat seperti
mayat, jembel tua. Pinto khawatir kau akan roboh pingsan dan tewas karena
takut! Lebih baik sebelum terlambat, kau mundurlah dan biarkan Yu Kang Tianglo
saja yang melayani pinto!”
Ciam-lokai makin pucat, mulutnya
bergerak-gerak namun tidak dapat mengeluarkan suara saking marahnya. Ia tahu
bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang dalam hal kepandaian
berdebat, rekannya Gak-lokai lebih pandai, maka ia hanya dapat menoleh ke arah
Gak-lokai dengan muka masih pucat dan sinar mata minta bantuan.
“Heh-heh-heh, Saudara Ciam yang baik. Mengapa
kau terheran-heran mendengar tosu hidung kerbau Bu Keng Cu itu bernyanyi
semerdu ini? Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak sekalipun kalau hampir
mampus dapat bernyanyi merdu? Akan tetapi Si Hidung Besar ini suaranya
mengandung hawa busuk beracun, maka lebih baik lekas kauusir dia pergi!”
Muka Ciam-lokai yang tadi pucat kini menjadi
merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu sambil menyeringai lebar. “Nah, kau
sudah mendengar sendiri. Masih tidak mau pergi? Besar-benar muka tebal!”
Bu Keng Cu marah sekali. Tanpa bicara lagi
kembali ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan terdengarlah suara
nyaring seperti dua buah benda keras digosok. Kemudian secara tiba-tiba dan
dengan dahsyat sekali, tosu itu sudah menerjang maju, kedua tangannya terbuka,
yang kanan memukul ke arah kepala, yang kiri mencengkeram ke arah dada.
Telapak tangannya berwarna hitam mengkilap dan ketika ia menerjang, sambaran
angin pukulannya dahsyat sekali.
Ciam-lokai terkejut dan cepat ia mengelak
sambil meloncat ke kiri dan tongkat bututnya bergerak secara aneh, berkelebat
cepat dan terdengarlah suara “plak-plak!” dua kali disusul seruan Bu Keng Cu
yang tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Gak-lokai bersorak, diikuti oleh para pengemis
bawahannya. Memang lucu sekali pertandingan dalam gebrak pertama itu. Bu Keng
Cu kelihatan amat dahsyat dan ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan
Ciam-lokai amat cepat dan aneh dan dalam gebrakan pertama saja tongkat
bambunya sudah berhasil menggebuk punggung lawan dua kali dan mendorong pantat
satu kali. Sayang bahwa gebukan-gebukan itu dilakukan terlalu cepat sehingga
tak bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk dapat merobohkan lawan sekuat
tosu itu.
Memang ilmu tongkat yang dipergunakan oleh
Ciam-lokai tadi amat luar biasa. Itulah ilmu tongkat Go-bwee-tung (Tongkat
Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo. Gerakan-gerakannya aneh sekali dan
ilmu tongkat ini sanggup untuk “mencuri” beberapa gebukan walau menghadapi
ilmu silat yang amat tinggi sekalipun, karena sifat-sifatnya seperti ekor buaya
yang dapat menyabet dari belakang tanpa diduga-duga lawan. Hanya sayangnya, Yu
Jin Tianglo dahulu menciptakan ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum dan
menghajar anak buah yang dahulu menyeleweng, maka semua pukulannya bukan
merupakan pukulan maut. Dan karena Yu Jin Tianglo melihat bakat baik pada
Ciam-lokai untuk menjadi pimpinan pengemis maka ia sengaja menurunkan ilmu ini
kepadanya.
Karena sifatnya hanya untuk menghukum, bukan
membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung ini tentu saja tidak banyak paedahnya
kalau dipergunakan dalam pertandingan sungguh-sungguh di mana kedua lawan
berusaha keras untuk merobohkan dan kalau perlu saling membunuh. Betapapun
juga, melihat bahwa dalam gebrakan pertama saja pengemis tua itu sudah
berhasil menggebuk lawannya, para pengemis yang pro kepada Ciam-lokai
bersorak-sorai gembira. Sebaliknya Bu Keng Cu menjadi kaget sekali dan tak
berani menganggap rendah lawannya yang ternyata memiliki ilmu tongkat yang
hebat itu. Ia berseru keras dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya sehingga
terdengar suara nyaring, dan kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak
asap! Itulah puncak kehebatan penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang! Kemudian tosu
itu kembali menyerang, kali ini terjangannya jauh lebih hebat daripada tadi,
juga pukulannya cepat dengan kedua tangan bergerak-gerak secara aneh, yang kanan
lambat-lambat akan tetapi yang kiri cepat-cepat.
Ciam-lokai bukan seorang bodoh. Sudah banyak
pengalamannya dalam bertempur, dan ia maklum pula akan kelihaian tosu ini. Ia
tidak berani lagi main-main dan mengandalkan Go-bwee-tung, maka ia cepat menggeser
kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya, menghindarkan. pukulan kiri lawan yang
amat cepat datangnya itu. Akan tetapi siapa kira, begitu tubuhnya merendah
tahu-tahu pukulan tangan kanan yang tadinya bergerak lambat, sudah tiba dan
dari atas menghantam ke arah kepalanya! Ia kaget sekali dan cepat-cepat ia
mengangkat tongkat menangkis sambil mengerahkan kedua tangannya yang memegang
kedua ujung tongkatnya.
“Krakk!”
Tongkat itu patah menjadi dua! Ciam-lokai
meloncat ke belakang dan wajahnya menjadi pucat. Bukan saja ia menderita malu,
juga ia merasa sayang sekali bahwa tongkat pusaka pemberian mendiang Yu Jin
Tianglo itu kini patah menjadi dua!
Segera terdengar sorakan para pengemis baju
bersih yang berpihak kepada dua orang tosu ini, karena keadaan kini berubah
untuk keuntungan Si Tosu. Ciam-lokai menggigit bibir dan ia menerjang maju
dengan dua batang tongkat pendek di kedua tangan. Kini ia menyesal mengapa tadi
ia tidak segera menggunakan siasat yang dibisikkan ketuanya kepadanya. Maka kini
begitu menerjang, ia segera menggunakan dua batang tongkat pendeknya untuk
menghujani kedua siku tangan lawan dengan totokan-totokan cepat.
“Aiihhh....!” Bu Keng Cu berseru kaget dan
sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk menghindarkan totokan itu. Di dalam
hatinya, ia terkejut bukan main. Bagaimana kakek jembel ini dalam dua gebrakan
saja sudah dapat mengetahui kelemahan Ilmu Tiat-ciang-kang yang
dipergunakannya?
Sampai tiga puluh jurus lebih, Ciam-lokai
mendesak lawannya dengan totokan-totokan maut yang dipusatkan pada kedua siku
tangan lawan. Bu Keng Cu mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan
totokan-totokan itu, kemudian secara tiba-tiba gerakannya berubah. Sejurus
gerakannya kasar dan keras, pada jurus berikutnya berubah halus lembek,
kemudian berubah lagi. Dalam lima enam jurus saja Ciam-lokai sudah hampir
terkena tusukan jari tangan yang sekeras baja, dan untung ia masih sempat
membuang tubuh ke belakang sehingga hanya ujung bajunya yang bolong ketika
tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari menusuk ujung baju bisa bolong menyatakan
bahwa jari-jari itu cukup kuat untuk menusuk bolong logam keras!
Setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu silat aneh
yang sebentar lembek sebentar keras, cepat dan lambat berganti-ganti dan selalu
berubah, Ciam-lokai menjadi terdesak hebat. Kini sukar baginya untuk mengancam
kedua siku lawan, karena kedua tangan lawan itu melakukan gerakan-gerakan yang
selalu berubah sifatnya sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.
Suling Emas yang menyaksikan jalannya.
pertandingan sejak tadi, diam-diam harus mengakui keunggulan tosu itu atas
kepandaian Ciam-lokai. Apalagi ketika tosu itu mainkan ilmu silat yang
dikenalnya sebagai Ilmu Silat Im-yang-kun, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan,
Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan tewas dalam pertempuran ini. Maka ia
lalu mengerahkan tenaga khi-kangnya, mulutnya berkemak-kemik tanpa
mengeluarkan suara.
Akan tetapi, Ciam-lokai yang sedang sibuk
menghadapi desakan lawan yang lihai, tiba-tiba mendengar suara ketuanya itu
berbisik jelas sekali di pinggir telinganya. “Hantam lutut kanannya, totok
pundak kirinya!”
Ciam-lokai yang sedang terdesak hebat dan
sibuk menyelamatkan diri itu, mendengar suara ketuanya, secara membuta lalu
mentaati anjuranini. Ia menggerakkan kedua tangan secara beruntun,
menghantamkan tongkat kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan tongkat kanannya
menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri.
Bu Keng Cu terkejut setengah mati. Memang pada
saat itu, biarpun ia sedang mendesak lawan, bagian lutut kanan dan pundak kiri
inilah yang terbuka, sedangkan perubahan gerak jembel tua itu benar-benar
aneh dan tidak terduga, begitu langsung menyerang dua bagian yang lemah ini.
Hampir saja lutut kanannya kena dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang
lalu menerjang maju lagi dengan kemarahan meluap.
“Hantam pelipis kirinya dan totok lambung
kanannya!”
Kembali Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan
hati girang setelah melihat betapa petunjuk pertama tadi hampir berhasil.
Kembali Bu Keng Cu kaget setengah mati dan hanya dengan susah payah ia mampu
membebaskan diri dari bahaya maut. Ia terheran-heran dan makin penasaran dan
marah. Jelas bahwa ia menang unggul dan ia sudah yakin akan memperoleh
kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan terdesak, jembel itu secara
tiba-tiba merobah gerakan secara begitu aneh, kadang-kadang berlawanan dengan
gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang bermain silat lagi, akan tetapi
selalu tepat menyerang bagian-bagian tubuhnya yang tak terjaga?
Apakah jembel ini mempunyai “mata ke tiga”
yang dapat melihat bagian-bagian terbuka itu? Hal seperti ini hanya dapat dan
mungkin dilakukan oleh orang yang sudah mengenal ilmu silatnya Im-yang-kun.
Akan tetapi andaikata Si Jembel Tua ini mengenal bahkan ahli dalam ilmu silat
Im-yang-kun, mengapa gerakan-gerakannya begitu tiba-tiba dan seperti
dipaksakan?
“Injak kaki kirinya dan tusuk perutnya, kalau
ia membalik, tendang pantatnya!” kembali bisikan itu diturut oleh Ciam-lokai
dengan taat. Pada saat itu Bu Keng Cu sedang mendesaknya dengan tendangan kaki
kanan dan ia baru saja menyelinap ke kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia
lalu mengangkat kakinya menginjak secara tiba-tiba dan keras ke arah kaki kiri
tosu itu, berbareng ia menusukkan tongkatnya ke arah pusar lawan.
“Hayaaaa....!” Bu Keng Cu terkejut dan cepat
ia memutar tubuh untuk menghindarkan dua serangan berbahaya ini. Akan tetapi
siapa duga baru saja tubuhnya terputar, sebuah tendangan tepat mengenai
pantatnya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlempar ke bawah
panggung!
Tepuk sorak riuh-rendah menyambut kemenangan
Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis pengikut kaum sesat menjadi pucat
wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan diri sebagai utusan Bu-tek Siu-lam
itu ternyata hanya sebuah gentong kosong belaka, kalah oleh Ciam-lokai yang tua
dan kurus kering!
Pada saat itu, di antara riuh-rendahnya para
pengemis yang menjagoi Ciam-lokai bersorak-sorak, berkelebat bayangan Bu Liang
Cu, dan begitu berhadapan dengan Ciam-lokai, ia langsung mengirim serangan
bertubi-tubi, mengeluarkan jurus-jurus paling lihai dari Im-yang-kun. Kiranya
tosu yang menjadi suheng Bu Keng Cu ini tadi juga menyaksikan keanehan terjadi
dalam pertandingan itu. Ia yakin bahwa Im-yang-kun mengatasi ilmu silat
Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada saat-saat tertentu jembel itu merubah
gerakannya dan begitu tepat mengisi lowongan yang melemahkan pertahanannya?
Oleh karena inilah, dengan hati penasaran ia lalu maju dan langsung menggunakan
jurus-jurus Im-yang-kun untuk mencoba apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan
ahli Ilmu Silat Im-yang-kun. Hebat bukan main terjangan Bu Liang Cu karena ia
lebih pandai dari pada sutenya!
Karena kejadian ini tak terduga-duga dan
tiba-tiba, maka Ciam-lokai tak dapat mengharapkan bisikan-bisikan ketuanya,
maka cepat ia memutar kedua tongkat dan meloncat ke belakang. Akan tetapi
karena perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan serangan tangan kanan Bu
Liang Cu, ia kurang cepat menghindar ketika tangan kiri tosu itu bergerak
cepat sekali menyambar pergelangan tangan kanannya. Jari-jari tosu itu sudah
menyentuh kulit lengannya. Ciam-lokai terkejut, menarik tangannya. Akan
tetapi ia tidak dapat mencegah lagi tongkatnya yang di tangan kanan terampas
sedangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang! Keadaannya berbahaya sekali
karena jika tosu itu melanjutkan serangannya, celakalah ia!
“Heh, tosu bau, jangan main curang kau.”
Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju menghadapi Bu Liang Cu. “Lawanmu adalah
aku karena rekanku Ciam-lokai sudah mengalahkan kawanmu!”
Tosu itu berdongak dan tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Siapa yang curang? Suteku tidak pernah kalah oleh jembel busuk
itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu!”
“Benar! Mari kita hadapi mereka, Suheng. Hayo
majulah dan biar kita lihat bersama apakah benar kalian berdua dapat
mengalahkan kami!” Bu Keng Cu berseru dan ia pun sudah melompat lagi, ke atas
panggung, berdiri dekat suhengnya. Ia memang tidak terluka. Kini kedua orang
tosu itu berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda Im-yang-kun. Ilmu silat
Im-yang-kun ini memang hebat, akan tetapi kalau dimainkan oleh dua orang, lebih
ampuh lagi.
Gak-lokai yang tidak tahu akan bantuan yang
dilakukan diam-diam oleh Suling Emas kepada Ciam-lokai, menjadi marah sekali.
“Saudaraku Ciam, mari kita hajar dua orang tosu kerbau ini!”
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus
Suling Emas. “Tahan dulu Gak-lokai dan Ciam-lokai, kalian mundurlah. Aku hendak
bicara dengan mereka.”
Karena ketua mereka yang memberi perintah,
biarpun ogah-ogahan, kedua orang kakek pengemis itu lalu mundur. Suling Emas
lalu melangkah maju dengan langkah perlahan dan tenang, menghadapi dua orang
tosu yang sudah siap-siap untuk mengadu nyawa. Biarpun ia menyamar sebagai
ketua kai-pang namun Suling Emas tak dapat menyembunyikan sikapnya yang halus
dan sopan terhadap golongan pendeta. Maka ia segera menjura dengan hormat dan
berkata.
“Ji-wi Toyu, sudah lama sekali saya mendengar
tentang Im-yang-kauw sebagai sebuah perkumpulan agama yang besar di perbatasan
barat, bahkan pernah saya mendapat kehormatan beramah-tamah dengan Kauwcu
(Ketua Agama) Sin-hong Locianpwe. Menurut pendapat saya, jalan hidup yang
ditempuh golongan Ji-wi (Tuan Berdua) dan golongan kai-pang tidaklah banyak
bedanya. Namun, dalam urusan partai masing-masing, tidak selayaknya kalau
kedua pihak saling mencampuri. Harap Ji-wi sudi mendengar alasanku ini dan
persilakan Ji-wi menghentikan semua kesalahpahaman ini.”
Dua orang tosu itu saling pandang, kemudian Bu
Liang Cu yang beralis putih segera berkata, lagaknya angkuh, “Yu Kang Tianglo,
bagaimana pinto berdua dapat bicara dengan orang yang hanya mengaku bernama Yu
Kang Tianglo akan tetapi yang menutupi mukanya?”
Suling Emas menarik napas panjang.
“Sesungguhnya saya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia
ramai. Akan tetapi mendengar betapa kai-pang-kai-pang dicemarkan oleh
penyelundup-penyelundup sesat, terpaksa saya turun tangan. Hanya karena
kepentingan kai-pang saya turun tangan, bukan kepentingan pribadi, maka apa
perlunya saya memperkenalkan muka? Harap Ji-wi Toyu suka memandang perkenalan
saya dengan Sin-hong Locianpwe Kauwcu dari Im-yang-kauw dan menghabiskan
permusuhan yang tiada sebabnya ini.”
Tiba-tiba kedua orang tosu itu tertawa mengejek
dan kini Bu Keng Cu yang berkata dengan suara nyaring, agaknya dengan maksud
agar didengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.
“Ha-ha! Perkenalanmu dengan Sinhong Locianpwe
tak perlu kausombongkan! Kakek itu sudah tewas karena kesalahan terhadap
Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Kini Locianpwe Bu-tek Siu-lam yang memimpin kami,
bahkan beliau pula yang akan memimpin semua kai-pang di dunia. Engkau ini
berani lancang tangan membunuh lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang dan
mengangkat diri sendiri menjadi bengcu di sini tanpa perkenan Locianpwe Bu-tek
Siu-lam. Sungguh tak tahu diri!”
Suling Emas adalah orang yang sudah matang
jiwanya. Kesabarannya sudah sampai pada dasar batinnya, maka ia pun tidak
marah mendengar ucapan yang sombong ini. Namun, ia terkejut juga mendengar
bahwa Ketua Im-yang-kauw yang memang pernah dikenalnya itu tewas di tangan
Bu-tek Siu-lam. Ia tahu bahwa Ketua Im-yang-kauw itu seorang pendeta yang
suci, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Ketua Im-yang-kauw itu sampai
terbunuh oleh Bu-tek Siu-lam, terbuktilah berita bahwa Bu-tek Siu-lam memiliki
kepandaian yang hebat. Jelas bahwa tokoh ini merupakan ancaman di dunia.
“Hemm, Ji-wi Toyu tak dapat menerima
kata-kata halus. Masa bodoh dan terserahlah, karena saya sebagai orang
Khong-sim Kai-pang, tetap hendak mempertahankan kai-pang dari tangan-tangan
jahat, juga menghukum mereka yang menyeleweng daripada peraturan kai-pang.”
“Bagus. Tadi dengan Coam-im-kang (Tenaga
Mengirim Suara) kau telah membantu kakek jembel dan mengalahkan Suteku secara
curang. Sekarang lawanlah kami berdua secara berterang. Hendak kami lihat
apakah kau pantas menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang.”
Dengan sikap tenang Suling Emas menjawab.
“Ji-wi Toyu, silakan maju. Saya siap menerima pengajaran!” Suling Emas maklum
bahwa dua orang tosu ini pun merupakan penyeleweng-penyeleweng daripada agama
mereka maka ia menganggap perlu memberi hajaran kepada mereka, selain demi
kebaikan mereka sendiri, juga agar menundukkan sikap para pengemis yang hendak menyeleweng
mengandalkan pengaruh luar. Pernah ia bertemu dengan Ketua Im-yang-kauw yang
berjuluk Sin-hong (Angin Sakti), dan mereka telah bertukar pendapat tentang
ilmu silat. Ketua Im-yang-kauw itu merasa tunduk akan pengertian Suling Emas,
bahkan berterima kasih sekali karena mendapat petunjuk-petunjuk berharga, maka
sebagai balas kebaikan, ketua itu telah memberikan dasar-dasar Im-yang-kun dan
minta supaya ditunjuk kesalahan-kesalahannya. Karena ini maka tentu Suling Emas
sudah mengenal baik dasar gerakan Im-yang-kun sehingga tadi ia dapat memberi
petunjuk kepada Ciamlokai untuk mengatasi lawan.
Dua orang tosu itu, apalagi Bu Liang Cu,
maklum bahwa ketua kai-pang ini amat lihai. Seorang yang sudah dapat menguasai
Ilmu Coam-im-kang, yaitu mengirim suara dari jarak jauh dengan kekuatan
khikang, adalah seorang yang sudah memiliki tenaga sakti yang hebat. Akan
tetapi karena mereka berdua yakin akan kedahsyatan Im-yang-kun yang dimainkan
oleh mereka berdua maka mereka tidak menjadi gentar dan ingin menebus
kekalahan yang tadi.
Dari kiri dan kanan, dua orang tosu itu lalu
menyerang. Bu Liang Cu menggunakan Im-kang (Tenaga Lemas) menyerang dari
kiri, mengarah lambung dengan pukulan yang amat perlahan dan lambat, sebaliknya
dari kanan Bu Keng Cu sudah menerjang dengan cepat dan kuat sekali,
mempergunakan Yang-kang (Tenaga Kasar). Kehebatan Im-yang-kun ini adalah
perubahan dua macam tenaga yang berlawanan. Dua orang tosu itu dapat
sewaktu-waktu merobah tenaga mereka sehingga lawan yang dikeroyok dua akan menjadi
bingung menghadapi penyerangan-penyerangan tenaga yang berlawanan dan berubah
selalu itu. Suling Emas maklum akan hal ini, akan tetapi tentu saja ia sama
sekali tidak bingung karenanya. Apalagi baru dua orang tosu itu, biar ketuanya
sendiri belum mampu menandingi ilmu-ilmunya. Begitu melihat datangnya serangan
dua orang tosu yang berlawanan tenaganya dan dilakukan secara berbareng ini,
Suling Emas sama sekali tidak mengelak maupun menangkis. Pukulan dari kiri ke
arah lambung dan dari kanan menuju leher itu diterimanya sambil mengerahkan
Iweekang, kedua tangannya bergerak dan mulutnya berseru, “Pergilah!”
“Desss...., plakkk....! Wuuuuttt....!”
Dua pukulan itu tepat mengenai lambung kiri
dan leher kanan Suling Emas, akan tetapi tubuh pendekar sakti itu bergoyang
sedikit pun tidak, sebaliknya kedua tangannya sudah menerkam baju kedua lawan
bagian dada dan sekali ia menggerakkan kedua lengan, tubuh dua orang tosu itu
terlempar jauh ke bawah panggung!
Kedua tosu itu kaget setengah mampus. Akan
tetapi mereka bersyukur sekali bahwa lawan yang sakti itu masih menaruh
kasihan kepada mereka sehingga mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan
berdiri sehingga hanya terhuyung-huyung saja. Kalau terbanting dengan kepala
atau badan lebih dahulu, setidaknya mereka tentu akan babak-belur! Tahulah
mereka bahwa “Yu Kang Tianglo” itu benar-benar amat lihai, maka tanpa banyak
cakap lagi mereka berdua lalu ngeloyor pergi secepatnya.
Semua pengemis yang setia bersorak. Sebaliknya
mereka yang menyeleweng menjadi pucat dan berlutut ketakutan. Akan tetapi
Suling Emas mengampuni mereka, hanya menyuruh mereka itu mengaku terus terang
akan penyelewengan mereka, mengembalikan semua rampasan kepada yang berhak.
Gak-lokai dan Ciam-lokai membantu Suling Emas meneliti semua bekas
penyeleweng, menurunkan kedudukan dan bahkan membagi-bagi hukuman yang ringan
namun cukup meyakinkan hati mereka.
Atas permohonan Gak-lokai dan Ciam-lokai,
Suling Emas tinggal di kuil itu sampai beberapa lama untuk menjaga kalau-kalau
golongan sesat datang lagi mengacau.
“Harap Pangcu menaruh kasihan kepada kami
semua,” demikian kata Gak-lokai. “Kekalahan pihak sesat yang tadinya menguasai
Khong-sim Kai-pang, tentu takkan diterima begitu saja oleh kawan-kawan mereka.
Di samping itu, juga kemenangan dan kembalinya Pangcu di sini akan
membangkitkan semangat bagi para anggauta kai-pang yang lain. Biarlah
kesempatan ini kita pergunakan untuk mengundang, kai-pang-kai-pang lain
sehingga terdapat kesatuan yang kuat untuk menghadapi gangguan kaum sesat.
Setelah Pangcu memimpin pertemuan itu dan keadaan kita benar-benar kuat,
barulah Pangcu dapat meninggalkan kami.”
Suling Emas merasa kasihan dan menyatakan
kesanggupannya. Semua pengemis menjadi gembira sekali dan undangan lalu
dikirim. Bendera Khong-sim Kai-pang kini berkibar megah di atas kuil. Di waktu
senggang, Suling Emas menurunkan beberapa ilmu pukulan untuk menyempurnakan
kepandaian Gak-lokai dan Ciam-lokai yang ia harapkan akan memimpin Khong-sim
Kai-pang kalau ia meninggalkan kai-pang itu. Dua orang kakek itu menjadi
girang sekali dan karena mereka itu memang dua orang ahli yang sudah tahu akan
dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dalam beberapa hari saja mereka dapat
menguasai rahasia ilmu pukulan yang diajarkan Suling Emas.
Beberapa hari kemudian, hari yang ditentukan
untuk pertemuan para kaipang telah tiba. Semenjak pagi, kuil yang menjadi
pusat Khong-sim Kai-pang dikunjungi banyak sekali rombongan pengemis yang
dipimpin ketua masing-masing. Mereka ini datang dari segala penjuru,
merupakan kai-pang-kai-pang yang membawa bendera perkumpulan masing-masing.
Ban-hwa Kai-pang dari Sin-yang, Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju
Kembang), Ang-tung Kai-pang (Tongkat Merah) dan masih banyak lagi kai-pang
lain yang hadir. Diantaranya malah tampak wakil-wakil dari Hek-coa Kai-pang
dan Hek-peng Kai-pang yang tampak mencolok dengan pakaian mereka yang bersih
dan mentereng!
Tentu saja Suling Emas yang berpandangan
tajam itu dapat menduga kai-pang mana yang menyeleweng dari pada jalan benar,
namun sebagai seorang yang bijaksana, ia memerintahkan Gak-lokai dan Ciam-lokai
untuk menerima semua kai-pang itu dengan penghormatan yang sama. Semua bendera
kai-pang yang menjadi tamu dipasang di sekeliling panggung di mana berkibar
bendera Khong-sim Kai-pang, dan para wakil pimpinan kai-pang-kai-pang itu
dipersilakan duduk di sebelah kanan panggung, menduduki kursi-kursi yang
berhadapan dengan kursi ketua yang diduduki oleh Suling Emas sendiri. Semua
anak buah partai-partai ,pengemis itu duduk mengelilingi panggung, ada yang
duduk ada yang berjongkok, ada yang berdiri.
Pada saat itu, di sebelah luar kumpulan
pengemis yang mengelilingi panggung itu, terdapat seorang pengemis muda yang
tampan dan seorang gadis cantik. Mereka ini bukan lain adalah Yu Siang Ki dan
Kwi Lan! Wajah Siang Ki agak pucat dan sepasang matanya terbelalak penuh
ketegangan. Ia sama sekali tidak peduli ketika beberapa orang pengemis yang
duduknya paling belakang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan.
Mereka itu adalah pengemis-pengemis baju butut yang tentu saja menjadi marah
melihat Siang Ki yang berpakaian bersih, mengira bahwa pengemis muda ini
tentulah golongan para pengemis aliran baru, yaitu pengemis-pengemis baju
bersih yang dipimpin kaum sesat.
Hati Yu Siang Ki terlampau tegang untuk
memperhatikan sikap mereka itu. Ia memandang ke atas panggung, sinar matanya
berkilat-kilat ketika ia melihat seorang kakek pengemis bertopi lebar dengan
muka ditutup saputangan duduk di atas kursi ketua Khong-sim Kai-pang.
“Siang Ki, kenapa kau tidak maju dan terjang
badut tua itu?” tanya Kwi Lan ketika menyaksikan sikap pemuda teman barunya
ini.
Yu Siang Ki menggeleng kepala, lalu menjawab
sambil menggerakkan tangan kiri menunjuk ke arah Suling Emas. “Tidak boleh aku
berlaku lancang, Kwi Lan. Memang ketika mendengar dari pengemis-pengemis di
sepanjang jalan bahwa ada orang yang mengaku sebagai Ayahku datang merampas
kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang, aku menjadi marah sekali dan berniat untuk
membuka kedoknya dan menyerangnya. Akan tetapi setelah tiba di sini, aku
menjadi ragu-ragu. Demi menjaga nama baik Khong-sim Kai-pang, aku harus
bersabar. Menurut cerita mereka itu, orang yang mengaku sebagai Ayahku amat
aneh dan tinggi ilmunya, bahkan telah membunuh oknum-oknum jahat yang memegang
pimpinan Khong-sim Kai-pang, bahkan menghukum para anggauta yang menyeleweng,
juga ia dibantu oleh Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua tokoh Khong-sim Kai-pang
yang dulu menjadi sahabat baik dan pembantu Kakek Yu Jin Tianglo. Aku harus
menyaksikan dulu sepak terjangnya, siapa tahu dia itu seorang tokoh pengemis
yang berusaha menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan oknum-oknum jahat
dengan menggunakan nama Ayah untuk mencari wibawa.”
Kwi Lan mengangguk-angguk. Ia heran mengapa
pemuda ini berpikir sedalam itu padahal kalau menurut dia, orang yang
memalsukan Yu Kang Tianglo yang sudah meninggal, wajib dikutuk dan dihajar!
Coba seandainya yang menghadapi urusan itu dia sendiri, atau orang-orang
seperti Tang Hauw Lam si Berandal atau Siangkoan Li tentu takkan
menunggu-nunggu dan melihat gelagat. Memang pengemis muda ini lain lagi
sifatnya, hati-hati dan berpandangan luas. Betapapun juga karena yang
dipalsukan namanya adalah ayah pemuda ini, bukan ayahnya, maka ia pun tinggal
diam saja menanti perkembangannya lebih lanjut.
“Orang sesabar dan selemah engkau baru sekali
ini kujumpai!” omelnya sambil memandang wajah yang terlalu tampan untuk menjadi
wajah seorang pengemis itu.
Yu Siang Ki juga memandang. Pandang mata
mereka bentrok, bertaut sejenak dan pemuda itu tersenyum.
“Sebelum tahu betul apa kehendak orang itu
memalsukan nama Ayah, bagaimana aku dapat bertindak? Ayah sendiri memesan agar
aku berusaha membela dan membersihkan Khong-sim Kai-pang. Kalau orang aneh yang
memalsukan nama Ayah itu bermaksud baik dan membela Khong-sim Kai-pang,
andaikata Ayah sendiri masih hidup dan berada di sini, tentu beliau juga tidak
akan menghalanginya.”
Kwi Lan tidak berkata apa-apa lagi dan ia
hanya menurut ketika pemuda itu mengajaknya memilih tempat di belakang akan
tetapi dari mana mereka dapat memandang, ke atas panggung cukup jelas. Mereka
berdua duduk dan menonton dengan penuh perhatian.
Makin lama makin banyaklah pengemis yang
datang memenuhi pekarangan depan kuil yang menjadi markas Khong-sim Kai-pang
itu. Kemudian tampak Gak-lokai dan Ciam-lokai melangkah maju, memberi hormat
kepada Suling Emas, kemudian mereka berdua menjura ke arah belasan orang yang
duduk di kursi kehormatan yaitu para pimpinan kai-pang-kai-pang lain yang menjadi
tamu. Sebagai wakil Khong-sim Kai-pang yang menjadi tuan rumah, Gak-lokai lalu
berkata suaranya lantang dan jelas.
“Saudara sekalian yang kami undang telah sudi
datang memenuhi undangan, hal ini amat menggembirakan karena jelas ternyata
bahwa persatuan diantara kai-pang masih erat. Kami mengundang Saudara sekalian
untuk mempererat persatuan ini dan hendak memperkenalkan Saudara tua kami yang
telah puluhan tahun mengasingkan diri dan kini berkenan kembali untuk memimpin
kita sekalian, yaitu Yu Kang Tianglo, Pangcu (Ketua) Khong-sim Kai-pang!”
Tepuk sorak menyambut ucapan ini dan Suling
Emas segera bangkit dari tempat duduknya, berdiri dan menjura ke sekeliling
panggung. Melihat tubuh Suling Emas yang tinggi besar dan tegap, sepasang mata
di bawah topi lebar yang tajam berkilat, muka yang bagian bawahnya ditutupi
saputangan, semua pengemis memandang dengan bermacam-macam perasaan. Ada yang
heran, ada yang kagum, penuh harapan, curiga dan sebagainya. Puluhan tahun
yang lalu, Yu Kang Tianglo muncul untuk membunuh It-gan Kai-ong kemudian
melenyapkan diri kembali. Tak seorang pun di antara para pengemis yang belum
mendengar namanya, namun tidak ada yang pernah melihat mukanya. Kini tokoh
besar itu muncul lagi dengan muka tertutup sehingga bermacam dugaan yang
aneh-aneh timbul. Ketika Suling Emas berdiri, keadaan menjadi sunyi dan semua
orang menanti dengan hati berdebar untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan
oleh Yu Kang Tianglo, tokoh pengemis yang tak pernah dijumpai orang namun
namanya amat terkenal itu.
Dua pasang mata memandang ke arah Suling Emas
dengan penuh perhatian dan juga dengan terheran-heran betapa beraninya
memalsukan nama orang yang sudah meninggal dunia. Kwi Lan terheran bercampur
marah sedangkan Yu Siang Ki terheran dan ingin sekali tahu siapa orang itu dan
apa kehendaknya.
“Saudara-saudara para pimpinan dan anggauta
kai-pang!” Suara Suling Emas lantang dan nyaring, akan tetapi halus. “Maafkan
bahwa saya menutupi muka, karena memang sesungguhnya bukan maksud saya mencari
ketenaran diri dengan hadir saya di sini. Sudah semenjak dahulu saya selalu
berusaha menyembunyikan diri dan menjauhkan diri dari pada urusan dunia. Akan
tetapi, dua kali saya terpaksa menampilkan diri, pertama kali dahulu di waktu
It-gan Kai-ong mengotorkan dunia pengemis dengan kejahatannya. Sekarang,
mendengar betapa dunia pengemis kembali diselundupi kaum sesat, mau tidak mau
saya terpaksa menampilkan diri untuk menegakkan kembali kebenaran dan
kebersihan di dunia pengemis. Terutama sekali Khong-sim Kai-pang yang
semenjak mendiang Ayah saya dahulu merupakan kai-pang yang bersih dan gagah
ternyata telah diselundupi oknum-oknum jahat yang mengangkat diri sendiri
menjadi pimpinan dan menyelewengkan kai-pang ke jalan sesat. Terpaksa saya
turun tangan membasmi mereka. Karena itu, dalam kesempatan ini saya peringatkan
kepada saudara-saudara pimpinan kai-pang lain agar berhati-hati dan bersatu
padu untuk menghalau kaum sesat yang hendak mencari tempat dan menguasai
kai-pang.”
“Bagus, bagus.”
“Akur....! Akur....!”
Para pengemis bertepuk sorak. Yu Siang Ki
mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kiranya benar seperti dugaannya. Orang aneh
ini sengaja memalsukan nama mendiang ayahnya dengan maksud baik, yaitu hendak
mengandalkan nama ayahnya untuk mempengaruhi kai-pang dan mengajak mereka
melawan kaum sesat. Ia menoleh ke arah Kwi Lan yang juga memandang ke atas
panggung dengan mata terbelalak. Pada saat itu, Kwi Lan menyentuh tangannya.
“Siang Ki, lihat....!”
Yu Siang Ki cepat menengok dan matanya tajam
masih sempat melihat sinar hitam melayang ke arah leher dan lambung orang aneh
yang memalsukan nama ayahnya itu. Jelas bahwa sinar itu adalah senjata rahasia
yang halus sekali, yaitu jarum-jarum rahasia!
“Celaka!” bisiknya khawatir. Akan tetapi ia
dan Kwi Lan memandang dengan melongo ketika Suling Emas dengan tenang menerima
jarum-jarum itu dengan leher dan lambung, kemudian tangan kirinya seperti
mengusir lalat di leher dan lambungnya dan sekali tangannya bergerak, sinar
hitam melesat dan jarum-jarum itu sudah di “retour” kembali kepada
pengirimnya, namun dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat sekali.
Terdengar jerit-jerit kesakitan dan dua orang pengemis baju bersih yang
berdiri di antara banyak pengemis itu roboh dan tewas seketika karena leher dan
lambung mereka termakan jarum rahasia mereka sendiri!
Hanya para pengemis yang sudah tinggi ilmunya
saja menyaksikan gerakan Suling Emas dan maklum apa yang telah terjadi. Yang
tidak begitu tinggi ilmunya terheran-heran dan tidak tahu apa yang terjadi
sehingga keadaan menjadi panik.
Suling Emas mengangkat kedua tangan ke atas
memberi isyarat kepada semua orang agar tidak menjadi panik. Kemudian
terdengar suaranya lantang.
“Harap Saudara semua tenang. Matinya dua
orang itu menjadi peringatan bagi kita bahwa di mana-mana kaum sesat sudah
menyelundup sehingga perlu kita waspada karena mereka berdua itu adalah
orang-orang jahat yang berusaha untuk membunuh saya. Sebaliknya pihak kaum
sesat juga telah mendapat peringatan!” Suara ini tegas dan penuh wibawa.
“Mereka itu pengemis baju bersih! Basmi para
pengemis baju bersih yang jahat!” Terdengar teriakan-teriakan marah.
Kembali Suling Emas mengangkat tangannya.
“Dengarlah baik-baik! Menilai orang bukan dari pakaian bersih atau kotor! Menilai
orang harus dari sepak terjangnya, dari perbuatannya! Pengemis memang orang
miskin. Sedapat mungkin orang harus berpakaian bersih dan baik, akan tetapi
kalau tidak ada, apa boleh buat, kotor pakaiannya asal tidak kotor hati dan
pikirannya. Orang-orang yang pernah menyeleweng dari pada kebenaran bukan
sekali-kali berarti bahwa mereka itu selama hidupnya menjadi orang-orang jahat
yang harus dikutuk! Karena itu, kami anjurkan kepada saudara-saudara kaum
kai-pang yang pernah menyeleweng, kembalilah ke jalan benar dan bertobatlah.
Apabila kalian tidak insyaf, kami kaum kai-pang yang sudah bersatu akan
membasmi kalian!”
Kembali tepuk sorak menyambut ucapan yang
lantang dan penuh semangat dari Suling Emas ini, karena semua orang menyetujui
pendiriannya. Akan tetapi tentu saja tidak termasuk mereka yang memang hadir
dengan maksud menentang, seperti rombongan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa
Kai-pang. Dua kai-pang ini memang sudah seluruhnya dikuasai kaum sesat, bahkan
dua kai-pang ini pula yang belum lama ini mengadakan pertemuan di dunia kaum
sesat untuk membicarakan soal pemilihan bengcu golongan hitam.
Oleh karena itu, kedatangan dua rombongan ini
tentu saja berdasarkan menyelidik dan juga untuk menghalangi pergerakan kaum
pengemis yang dipimpin oleh Yu Kang Tianglo. Bahkan dua orang pengemis yang
tewas karena senjata jarum mereka diretour oleh Suling Emas tadi adalah
anggauta-anggauta Hek-coa Kai-pang.
Di antara tepuk sorak gemuruh itu, tiba-tiba
terdengar suara nyaring yang mengatasi kegaduhan itu. “Siapa di antara kita
yang mampu menandingi Locianpwe Bu-tek Siu-lam?”
Pernyataan nyaring yang entah dikeluarkan
oleh siapa ini menusuk telinga semua orang dan seketika kegaduhan terhenti,
tak seorang pun berani mengeluarkan suara lagi. Pada saat itu dua orang kakek
pengemis sudah melompat bangun dari barisan kursi pimpinan kai-pang yang
menjadi tamu. Mereka ini lalu melangkah maju ke tengah panggung, menghadapi
semua pengemis yang hadir. Keduanya adalah kakek yang usianya sudah enam puluh
tahun, berpakaian sebagai pengemis akan tetapi pakaian mereka bersih dan baru
yang sengaja ditambal-tambal. Mereka ini memegang tongkat panjang dan melihat
betapa pada baju bagian dada mereka terdapat gambar garuda dan ular, maka mudah
diduga bahwa mereka tentulah tokoh-tokoh dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa
Kai-pang. Dan memang betul sekali. Kakek yang baju di dadanya tergambar garuda
hitam adalah seorang tokoh Hek-peng Kai-pang, sedangkan yang dadanya tergambar
ular hitam adalah seorang tokoh Hek-coa Kai-pang.
Sejak tadi, kehadiran rombongan Hek-coa
Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang sudah merupakan hal yang menimbulkan tegang di
hati para pengemis karena mereka semua itu tahu dengan jelas siapakah mereka
ini. Boleh dibilang pada waktu itu, pelopor para kai-pang yang menggabung
dengan kaum sesat adalah dua buah perkumpulan inilah. Maka semua orang sudah
dapat menduga bahwa munculnya tokoh-tokoh dua kai-pang ini tentulah mengandung
maksud kurang baik. Kini melihat dua orang kakek ini muncul di panggung, semua
orang diam dan memandang penuh perhatian.
Kakek yang dadanya bergambar ular hitam itu
tubuhnya kecil tinggi, kepalanya besar. Setelah memandang ke sekeliling ia
lalu berkata.
“Kami adalah wakil dari Hek-coa Kai-pang.
Mendengar uraian pangcu dari Khong-sim Kai-pang tadi, kami setuju sekali.
Memang di antara kai-pang harus diadakan persatuan erat untuk menghadapi
musuh-musuh kita! Dan untuk memperkuat para kai-pang kita harus memilih
seorang pemimpin yang cakap. Kami dari pihak Hek-coa Kai-pang dan juga saudara-saudara
kita dari Hek-peng Kai-pang dalam pertemuan orang-orang gagah telah bersepakat
untuk mengangkat Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai bengcu kita.”
“Benar apa yang diucapkan oleh Saudara dari
Hek-coa Kai-pang ini!” kata kakek ke dua yang dadanya bergambar garuda hitam.
Kakek ini mukanya merah dan matanya sipit sampai hampir terpejam selalu, tapi
mulut lebar dan bibirnya tebal sekali. “Hanya di bawah bimbingan seorang
Locianpwe yang sakti seperti Bu-tek Siu-lam saja maka derajat golongan kita dapat
terangkat. Kami rasa Yu Kang Tianglo dari Khong-sim Kai-pang cukup bijaksana
untuk menyadari hal ini dan menyetujui pengangkatan Locianpwe Bu-tek Siu-lam
sebagai pimpinan tertinggi semua kai-pang!”
Para pengemis menyambut ucapan dua orang kakek
itu dengan berbisik. Dari rombongan pimpinan kai-pang sudah meloncat maju lagi
dua orang kakek pengemis berpakaian butut. Seorang di antara mereka berteriak.
“Apa? Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu kita?
Setelah ia membunuh secara keji dua ratus orang golongan kita?”
Yang berteriak ini adalah Ketua Ang-tung
Kai-pang, seorang kakek bertubuh kecil pendek akan tetapi bermata lebar. Ia
memutar-mutar tongkat merahnya dengan sikap marah sekali. Ketika Bu-tek Siu-lam
melakukan pembunuhan terhadap dua ratus orang pengemis, belasan orang pengemis
anak buahnya ikut terbunuh, maka tentu saja ia marah-marah mendengar betapa
dua orang kakek itu hendak mengangkat Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu.
“Cocok! Tidak sudi kami menerima tokoh jahat
itu menjadi bengcu!” Teriak pula pengemis ke dua yang sudah meloncat maju. Dia
ini adalah wakil dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Laksaan Bunga).
“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kaipang memang
perkumpulan yang menyeleweng dan bersekongkol dengan kaum sesat!”
Teriakan-teriakan itu terdengar saling bantah dan suasana menjadi berisik
sekali melebihi pasar.
“Yang dibunuh adalah pengemis-pengemis
jahat!”
“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang
menyenangkan hidup anak buahnya!”
“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang pro
kepada tokoh yang diusulkan menjadi bengcu itu.
“Basmi penyeleweng-penyeleweng!” “Basmi
Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang!”
“Bu-tek Siu-lam musuh besar kaipang!”
Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang anti
sehingga keadaan menjadi ribut dan tegang karena setiap saat dapat timbul
perang saudara antara para pengemis ini. Gak-lokai dan Ciam-lokai menjadi
pucat wajahnya dan mereka sudah hendak bergerak, akan tetapi Suling Emas
mencegah dan berkata halus.
“Biarkan saja. Malah lebih baik. Dengan
begini kita dapat melihat siapakah di antara mereka yang menyeleweng. Kalau
mereka sudah menyatakan pendapat, baru kita turun tangan melakukan
pembersihan.”
Sementara itu, di atas panggung sudah terjadi
perdebatan yang makin lama menjadi saling maki antara tujuh orang pimpinan
pengemis baju bersih yang dikepalai oleh dua orang dari Hek-peng Kai-pang dan
Hek-coa Kai-pang, dan pihak lawan mereka adalah sebelas orang pimpinan dari
kai-pang-kai-pang lain yang rata-rata berpakaian butut. Suling Emas hanya duduk
di atas kursi sambil menatap tajam, meneliti mereka yang pro dan mereka yang
anti terhadap Bu-tek Siu-lam. Juga Kwi Lan dan terutama sekali Yu Siang Ki,
memandang dengan hati tegang dan tertarik. Diam-diam Yu Siang Ki terheran
menyaksikan orang aneh yang memalsukan nama ayahnya. Ia masih belum dapat
menyelami isi hati orang itu. Kalau benar tindakannya itu demi perbaikan dan
pembersihan kai-pang, kenapa kini ia diam saja melihat keadaan kacau-balau itu?
Pihak manakah yang dibelanya?
Suling Emas yang duduk tak bergerak di atas
kursinya dapat melihat betapa semua pengemis yang pro kepada Bu-tek Siu-lam
dipimpin oleh dua orang kakek Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dilihat
dari sikap mereka, memang agaknya dua orang kakek ini sudah mengaturnya
terlebih dahulu, sengaja untuk mengacaukan pertemuan ini dan bahkan kini tampak
olehnya betapa rombongan pengemis yang duduk di sebelah timur, yang jumlahnya
banyak, adalah anak buah mereka yang diam-diam sudah siap untuk turun tangan
jika terjadi perkelahian!
Yang menyeleweng secara sadar hanya beberapa
orang saja, pikirnya. Sebagian besar di antara para pengemis itu hanya
ikut-ikutan karena tertarik oleh tingkat hidup yang lebih baik dan kemewahan.
Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu akan banyak roboh korban di kedua
pihak. Suling Emas tidak menghendaki hal ini terjadi, maka ia sudah siap untuk
menegur mereka dan merobohkan para pimpinan pengacau. Orang-orang yang
melakukan penyelewengan secara ikut-ikutan seperti mereka itu, sekali
pimpinannya roboh, tentu akan mudah diinsyafkan dan diajak kembali ke jalan
benar. Yang menjadi sumber penyelewengan para anggauta kai-pang ini sebetulnya
adalah tokoh yang bernama Bu-tek Siu-lam. Karena munculnya tokoh sakti yang sudah
berhasil membunuh Ketua Im-yang-kauw itulah maka para pengemis yang lemah
batinnya, mudah dibawa menyeleweng, karena ada yang mereka andalkan.
Akan tetapi dalam keadaan ketegangan tengah
memuncak itu, sebelum Suling Emas sempat turun tangan atau membiarkan
Gak-lokai dan Ciam-lokai mengurus keributan, tiba-tiba terdengar suara tertawa
bergelak. Suara ketawa ini datangnya dari.... udara! Begitu nyaring dan hebat
sehingga seakan-akan menggetarkan papan panggung.
“Hua-ha-ha-ha! Jembel-jembel busuk ini seperti
sekumpulan anjing berebut tulang!”
“Heh-heh-heh! Tidak usah berebut pangkat,
kamilah yang akan menjadi raja-raja kalian! Heh-heh!”
“Hua-ha-ha! Benar sekali! Aku ingin menjadi
raja pengemis!”
Bagaikan dua ekor burung rajawali, dari atas
menyambar turun tubuh dua orang kakek yang mengerikan keadaannya. Yang seorang
bertubuh kurus bermuka putih seperti orang kehabisan darah, kepalanya botak
dan rambutnya jarang seperti sutera tua. Orang ke dua bertubuh besar kuat dan
mukanya merah sekali, muka yang ditumbuhi rambut sehingga muka itu menyerupai
muka singa.
Bukan main hebatnya gerakan kedua orang kakek
yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya turun ke atas papan panggung, sambil
tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua tangan ke sekeliling dan.... tubuh para,
pimpinan pengemis yang tadinya berhadapan dan cekcok saling maki itu seperti
layang-layang putus talinya, terlempar ke bawah panggung! Dan hebatnya, kedua
orang kakek itu tidak pilih-pilih orang, siapa saja yang tadi saling maki
memenuhi panggung itu mereka lemparkan turun. Mereka itu berjumlah belasan
orang, hampir dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan kai-pang yang memiliki
kepandaian tinggi. Ketika dua orang kakek aneh ini muncul dan menyergap,
belasan orang itu sudah berusaha menerjang dan memukul roboh dua orang kakek
pengacau, bahkan banyak di antara mereka yang menggunakan tongkat besi
menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu
mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama sekali tidak dirasakannya,
dan tanpa dapat dicegah lagi semua orang itu telah mereka lempar-lemparkan
dengan cara yang luar biasa mudahnya. Dalam waktu beberapa menit saja, delapan
belas orang pimpinan para pengemis baju bersih dan baju butut itu telah
dilempar turun dari atas panggung!
“Dua orang iblis dari mana berani mengacau
pertemuan Khong-sim Kai-pang?” Teriakan ini keluar dari mulut Gak-lokai dan
Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan menerjang dengan tongkat mereka.
Suling Emas terlampau heran dan kaget menyaksikan
munculnya dua orang kakek luar biasa itu sehingga ia tidak sempat mencegah
majunya Gak-lokai dan Ciam-lokai. Dengan muka berubah Suling Emas bangkit dari
kursinya, memandang dengan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan
pandang matanya sendiri bahwa dua orang kakek yang muncul itu bukan lain adalah
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua orang kakek yang sakti itu tiba-tiba
saja muncul di situ. Apakah kehendaknya? Benarkah mereka menghendaki menjadi
raja pengemis?
Teringatlah Suling Emas pada pertemuannya
dengan kedua orang tokoh ini puluhan tahun yang lalu. Ketika itu pun dua orang
kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi raja di Khitan (baca cerita
CINTA BERNODA DARAH). Hanya dengan susah payah, setelah dibantu Lin Lin
(Ratu Yalina di Khitan), Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian
Cinjin tokoh Beng-kauw, ia berhasil mengusir dua orang kakek itu. Kini secara
tiba-tiba dan tak terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu
muncul telah mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat
bahwa mereka berdua itu tidak memilih bulu, merobohkan semua pengemis baik
yang berpakaian butut maupun yang bersih, jelas bahwa mereka ini bukan
penggerak kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak menurutkan
kata hati mereka sendiri yang aneh luar biasa!
Terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat
sekali. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang
sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, apalagi dalam beberapa hari ini mereka telah
mendapat petunjuk dari Suling Emas, maka tentu saja terjangan mereka itu amat
hebat. Akan tetapi, dengan gerakan yang tenang sekali, dua orang kakek aneh di
atas panggung itu menggeser kaki dan terjangan kedua lokai itu hanya mengenai
angin belaka.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Makin banyak
muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah, keroyoklah kami, ha-haha!” seru
Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah.
“Bagus sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka
Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi dengan enak!”
Dua orang kakek itu terkekeh-kekeh dan
menghadapi terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai seenaknya saja, dengan tangan
kosong. Si Kakek Muka Merah menghadapi Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih
menghadapi Gak-lokai. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh yang
berwatak luar biasa. Makin tua makin gila dan sejak dahulu mereka amat doyan
berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan hati mereka melebihi
perkelahian yang ramai. Melihat terjangan dua orang pengemis bertongkat itu,
mereka sudah bergembira karena mengira tentu akan menghadapi lawan tangguh
karena mereka pun maklum bahwa di dunia pengemis terdapat banyak orang-orang
berilmu tinggi. Akan tetapi mereka kecewa sekali ketika mendapat kenyataan
bahwa dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali
bukan tandingan mereka!
“Ho-ha-ha, kiranya jembel busuk tidak ada
harganya!” Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah terbahak-bahak dan pada saat
Ciam-lokai memukulkan tongkatnya ke arah dada, ia menyambut dengan kepalan
tangannya.
“Krakkk!!” Tongkat di tangan Ciam-lokai itu
patah-patah menjadi beberapa potong dan setiap kali pengemis tua itu
menghantamkan tongkatnya selalu disambut kepalan dan terpotong-potong lagi!
Sementara itu, Pak-kek Sian-ong yang
menghadapi Gak-lokai juga merasa kecewa. Akan tetapi berbeda dengan Si Muka
Merah yang mendemonstrasikan tenaga Yang-kang dahsyat dan amat kuatnya itu, ia
mengeluarkan keahliannya, yaitu tenaga Im yang lemas dan halus. Ketika Gak
lokai menghantamnya dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak tangan dan....
tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya mencelat ke atas. Gak-lokai terkejut, namun
karena ia pun seorang yang lihai biarpun tubuhnya mencelat ke atas, ia bergerak
di udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Pak-kek Sian-ong. Kakek
muka putih ini lagi-lagi menyambut dengan telapak tangan dan sekali lagi
tubuh Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali hal ini terjadi sehingga tubuh
Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.
“Iblis-iblis tua, berani kau mempermainkan
Khong-sim Kai-pang?” Bentakan halus ini keluar dari mulut Yu Siang Ki. Pemuda
ini menjadi marah ketika menyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu
mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apalagi ketika
melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua
orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau.
Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun
melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya,
ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang
biasanya menghias topinya.
Lontarkan itu bukanlah sembarang lontaran,
melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan darah di dekat siku
Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat
betapa kakek muka merah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu
keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja tangan kakek muka merah itu
berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan
roboh tewas!
“Aihh....!” Kakek muka merah itu mengeluarkan
seruan kaget ketika lengannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya
secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini
menyambar, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira, totokan
gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iwee-kang yang dahsyat sehingga
lengannya kesemutan, ia terheran-heran. Ini bukan sambitan orang biasa. Maka
ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang Ki.
Keheranannya bertambah ketika ia mendapat
kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat
muda. Pada saat itu, Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran, menggunakan sisa
tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lambung dan menusuk di bagian yang
mematikan.
“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat mengenai
lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras saja. Ciam-lokai
kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuhnya sudah
melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek
Sian-ong sudah melakukan gerakan menyepak (menendang ke belakang) persis
seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang
Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini
benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.
Yu Siang Ki maklum akan hal ini maka pemuda
ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai
jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa
lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah menyambar tongkatnya dan
berseru keras. “Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu
menggerakkan tongkat dan menerjang dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga
sin-kang.
“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako
(Kakak Muka Putih)! Kaulihat lawanku ini biarpun masih muda, baru berharga
untuk diajak main-main!” ia bicara sambil menggerakkan tubuh mengelak. Sekali
lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemuda ini hebat dan
tak boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu
Siang Ki.
“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan
iblis ini!”
Inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat
Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak
mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakekitu. Ia tahu bahwa
mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah
dua orang kakek yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka
pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu
Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu. Biarpun ia maklum bahwa dengan
bantuannya sekalipun amat sukar untuk mendapat kemenangan, namun ia tidak bisa
membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu
meloncat tinggi keudara. Ia anggap bahwa gerakan Gak-lokai yang dibuat
permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak
leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah mengeluarkan ucapan tadi dan tahu-tahu
diudara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke
bawah panggung!
Gerakan ini tentu saja kelihatan hebat luar
biasa. Inilah demonstrasi ginkang yang hebat, juga sekali jambret saja ia
dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa
lihainya gadis ini! Semua pengemis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong
dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya
pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong, kini melongo menyaksikan
munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini sudah
menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!
“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kaubilang lawanmu
hebat? Kaulihat ini, Nona muda yang galak ini apakah kalah hebatnya?” Pak-kek
Sian-ong berkata demikian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar
pedang yang menyambar-nyambar dahsyat. Pertandingan di atas panggung kini
benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan. Dua
orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi
seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis
cantik yang memainkan pedang secara ganas. Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah
bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting hebat dan juga tidak
terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang
bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki
kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka.
Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri.
Matanya tajam menonton pertandingan, menimbang dan menilainya. Sebentar ia
memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar
kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia
makin terheran-heran. Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi,
tenaganya kuat dan memiliki kecepatan gerak yang membuktikan bahwa dia bukan
ahli silat sembarangan. Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa
seperti pernah mengenal ilmu tongkat yang dimainkan pemuda itu. Kalau
dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah
mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.
Namun kekagumannya terhadap pemuda tampan itu
tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran antara kakek muka putih dan
gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia terheran-heran
menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan
oleh gadis dengan pedang kayunya itu? Dalam hal Ilmu pedang, setidaknya telah
mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan pedang yang dimainkan gadis itu
benar-benar membuat ia terlongong. Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat
Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang
diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah tendangan ilmu sliat
Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara Gobi-pai. Dan gerakan
pedang itu, kacau balau antara ilmu pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun.
Aneh bukan main, kacau-balau namun justeru kekacauannya inilah yang merupakan
sifat ilmu silat gadis itu yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan
main, keganasannya membuat Suling Emas mengerutkan kening. Pantas saja Pak-kek
Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek
yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sungguh-sungguh sambil
memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau
mempelajari ilmu kacau balau ini sehingga Si Kakek merasa sayang kalau
cepat-cepat menghentikan pertandingan.
Setelah meneliti sejenak tahulah Suling Emas
bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang sembarangan, tentu murid-murid
orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Juga ia sudah mengenal
sifat-sifat dan keampuhan Ilmu silat mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat
Pak-kek Sian-ong. Dibandingkan dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu
lebih lunak dan agaknya tidak akan tega untuk mencelakai orang muda. Oleh
karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata kepada Yu
Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang
muda, kaubantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat
pertahanan kalian!”
“Dukkk....!” Dua lengan yang sama-sama
mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu. Lam-kek Sian-ong sejak tadi
tidak pernah ditangkis Yu Suang Ki karena pemuda yang cerdik itu maklum bahwa
ia kalah tenaga, kini melihat ada orang yang berani menangkis, sengaja
mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan
kedua lengan itu membuat Suling Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek
Sian-ong juga terjengkang dan hampir roboh! Bukan main kaget dan herannya
sehingga kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor singa yang membuat
papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan mata
melotot.
Sementara itu Yu Siang Ki yang melihat
gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika maklum bahwa orang
ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek
Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.
“Kauseranglah terus, biar aku yang
menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan. Pertandingan dilanjutkan dengan hebat dan
makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini dikeroyok dua barulah ia
merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian.
Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi lawan Lam-kek Sian-ong ini.
Bagaimana pemuda ini dapat mengatur sedemikian tepatnya, dengan membagi dua
daya tempur mereka? Memang sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan
main, serangan-serangannya kuat, pendeknya letak kelihaian Ilmu pedang ini
berada pada daya serangnya. Adapun ilmu tongkat pemuda itu lebih mengutamakan
pertahanannya sehingga apabila dipergunakan untuk menjaga diri dan
mempertahankan, amatlah tepat. Gembiralah hatinya menghadapi
serangan-serangan pedang yang demikian berbahaya dan menghadapi pertahanan
seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak, dua orang
muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding dengan sikap
seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat mengimbangi
kelihaian kakek muka putih.
Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas
dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main hebatnya. Setelah beberapa kali hawa
pukulan mereka saling bertemu dan membuat keduanya terdarong mundur diam-diam
mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong selama “dalam hukuman” di lereng
Lu-liang-san, bersama Pak-kek Sian-ong memperdalam Ilmu silat mereka dengan
maksud menghadapi Bu Kek Siansu yang sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu
kepandaiannya jauh lebih hebat daripada dua puluh tahun yang lalu ketika ia
bertemu dengan Suling Emas di Khitan. Di jaman itu, hanya beberapa orang saja
yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek Sian-ong. Akan tetapi mengapa
orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama sekali kakek muka merah ini
tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak
Suling Emas sendiri juga terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat
kepandaiannya, bahkan ia yakin akan kekuatan sinkang di dalam tubuhnya. Namun
ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat mengimbangi
kekuatannya. Maka ia lalu merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan
menggunakan Ilmu silatnya yang ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya
daripada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya,
mulai “menulis” hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti menulis
huruf, pada hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat
dahsyat sehingga terdengar anginnya bersiutan, karena Inilah Hong-In-bun-hoat
(Silat Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin
pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia
mengeluarkan seruan keras.
Pak-kek Sian-ong yang senang gembira melayani
dua orang muda yang mengeroyoknya terheran-heran mendengar seruan
kawannya. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya kaget dan terheran,
menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat membuat Lam-kek Sian-ong
mengeluarkan seruan-seruan seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan,
lalu menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kawannya terdesak
hebat oleh pengemis berkedok yang gerakannya luar biasa sekali. Ia berseru
keras dan kedua lengannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu
Siang Ki. Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan sekaligus
menyerang mereka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan
ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri dengan memutar pedangnya.
Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua telapak tangan
yang terbuka itu. Betapapun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap
saja mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah! Kesempatan
yang memang dicari oleh Si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya.
Bagaikan kilat cepatnya, tubuhnya sudah mencelat ke arah Suling Emas yang
sedang berhantam dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar
biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama sekali.
Memang Pak-kek Sian-ong adalah seorang ahli
yang memiliki keistimewaan sebaliknya daripada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek
Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga
yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong menyalurkan tenaga
saktinya menjadi tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan
tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka merah, bahkan melebihinya!
Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu lengannya
sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya mencengkeram kepala didahului
oleh jari tangan kanan yang menotok ke arah leher!
“Kepandaianmu boleh juga!” Demikian Pak-kek
Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.
Suling Emas terkejut sekali. Menghadapi
seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah baginya untuk memperoleh
kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat sekali ia
menendang lengan tangan Lam-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada
detik lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia akan menyambut
serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras melawen keras. Sambil
mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas menghantam
dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.
Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara
ini. Terdengar suara “piak-piak!” Dan tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke
belakang dan ketika turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus....!”
Di tangannya terdapat sehelai saputangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.
Suling Emas kaget dan cepat ia berjungkir
balik membuat salto sampal lima kali di udara sebelum turun karena ia khawatir
akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi
dirinya tidak menguntungkan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas
papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya berdiri dan memandangnya
dengan mata terbelalak.
“Suling Emas....!” Dua orang kakek itu berseru
heran. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling
Emas di situ. Saking heran, sejenak
mereka tak dapat
bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong yang gagal dalam serangannya dan hanya
berhasil merenggut saputangan penutup muka akan tetapi ia sendiri menerima
pukulan di pundak yang membuat bagian tubuh itu terasa ngilu, merasa penasaran
sekali. Kini, setelah mendapat kenyataan bahwa lawan yang amat tangguh itu
adalah Suling Emas, penasarannya hilang, terganti rasa heran.
Bukan hanya kedua orang kakek tua renta ini
yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas, juga semua orang yang berada di
situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan
girang karena maklum bahwa pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini
adalah seorang pendekar yang sejak dahulu bersahabat dengan kaum kai-pang.
Ada pula yang marah dan benci karena memang sejak dahulu mengandung hati
dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra tunggal Iblis betina
Tok-siauw-kwi Liu Lu. Sian (baca cerita SULING EMAS) yang melakukan
banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya. Yang paling
gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggauta kai-pang. Mereka
maklum bahwa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju
butut setelah Suling Emas berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng
Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ untuk menyelamatkan diri
dan hendak melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek
Siu-lam.
Sementara itu Suling Emas yang sudah terbuka
rahasianya, menarik napas panjang tiga kali, memandang ke sekeliling kemudian
mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Sambil melintangkan suling
emasnya di depan dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil berkata.
“Baiklah, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua).
Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau semenjak dahulu, tetapi jangan
mengira aku akan diam saja melihat kalian mengacau Khong-sim Kai-pang. Aku
akan mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari
gangguan kalian.” suara ini jelas dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas
terdengar oleh semua pengemis yang hadir di situ. Gak-lokai dan Ciam-lokai
berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul-betul telah
salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu adalah
Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan Jagad selama puluhan
tahun!
Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat. Sama
sekali di luar persangkaannya bahwa yang memalsukan nama ayahnya adalah Suling
Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang dihormati dan dijunjung
tinggi selalu oleh ayahnya. Tak salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang
bermaksud menyelamatkan kai-pang dengan , menggunakan nama ayahnya? Akan tetapi
mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu
Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas
menggunakan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia? Mengapa pula memakai
kedok saputangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas seakana-akan
hendak menyembunyikan diri? Saking heran dan bingungnya, pemuda yang merasa
girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.
Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya.
Ia kagum sekali terhadap Suling Emas. Kagum menyaksikan sepak terjangnya
ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum sekali
setelah kini saputangan itu terbuka. Wajah laki-lakl yang amat gagah dan entah
bagaimana, jantungnya berdebar dan ia merasa tertarik sekali. Kini ia tidak
akan sesalkan ibu kandungnya andaikata Ibu kandungnya itu mencinta laki-laki ini!
Makin besar keinginan hatinya untuk bicara dengan Suling Emas, untuk bertanya
kepada pendekar ini tentang Ratu Yalina di Khitan. Pada saat itu ia melihat
Suling Emas sudah mencabut Sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu
sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka, Si Kakek Muka Putih
mencabut pedang putih sedangkan kakek muka merah mencabut pedangmerah. Ia
maklum betapa lihainya dua orang kakek itu maka timbullah kekhawatiran di
hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua orang kakek
itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.
“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar
tak tahu malu!”
Tidak hanya para pengemis yang kaget setengah
mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi sudah kagum dan heran melihat Ilmu
silat gadis ini, sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki
dua orang kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya tersenyum lebar
dimaki-maki.
“Kalian ini sudah tua bangka seperti
kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut kalian
memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan
menyesali perbuatan, betapa kalian bersumpah akan mentaati pesan beliau
sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?,”
Pak-kek Sian-ong hanya meringis dan
menundukkan muka, akan tetapi, Lam-kek Sian-ong dengan melotot lalu
membentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan pesan Bu Kek
Siansu?”
Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar
tajam, bibir yang merah itu tersenyum mengejek, pedang kayu di tangan masih
menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong, ketika gadis itu berkata
nyaring.
“Tidak lupa mungkin sekali, akan tetapi
melanggar sudah jelas! Apa kaukira aku lupa akan pesan itu? Masih terbayang di
depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.” Gadis itu
dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia
bersila seperti ini, hanya bedanya, setelah, menerima pukulan curang dan
pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar.
Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan
meniru lagak dan suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak
ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, Itu sudah
sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang
lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk
kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke
jalan benar. Yang lain-lain tidakkah penting lagi. Selamat berpisah.”
Kwi Lan meloncat bangun dan kembali
menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu berganti-ganti.
“Nah, betul tidakkah demikian?”
“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami
melanggarnya? Kami memang sudah sadar dan insyaf.” bantah Pak-kek Sian-ong.
“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian
datang mengacau di sini masih bilang sadar dan insyaf? Bukankah perbuatan
kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali
menggunakan kepandaian untuk berbuat jahat dan mengacau?”
“Tidak! Jembel-jembel busuk ini jahat, dan
menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan, sudah sepatutnya dihajar! Kalau
kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan
benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.
“Tak tahu malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu
Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo dan Suling Emas itu adalah sahabat
baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak
menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang-orang sesat. Kalau
kalian membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan
tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah itu berarti
kalian lebih sesat daripada kaum sesat? Baiklah, kalau aku bertemu dengan Bu
Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta bagaimana pendapat orang tua suci
itu dan hendak kulihat kelak bagaimana kalian masih mempunyai muka untuk
bertemu dengan beliau!”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling
pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis itu amat berkesan di hati mereka.
Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu mendengar tentang
sepak terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka
melihat Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah
seorang pendekar yang dikasihi Bu Kek Siansu.
“Sudahlah, kami mengaku salah, Nona. Jangan
kaubilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang tua itu. Akan tetapi kesalahan
kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah
mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata
Lam-kek Sian-ong.
“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh!
Sudah jelas yang menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang.
Mereka ini sudah pergi jauh, andaikata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti
bertemu dengan datuk mereka yang bernama Bu-tek Siu-lam, kalian tentu akan
lari terbirit-birit ketakutan!”
“Heh, kaulihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong
marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar mereka!” Dua orang kakek itu lalu
meloncat turun dari panggung dan secepat terbang, mereka pergi. Dari jauh
terdengar suara Lam-kek Sian-ong.
“Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu
untuk menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul!”
Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak
menjawab. Pada saat itu, setelah para pengacau pergi, kembali Suling Emas
yang menjadi pusat perhatian.
Keadaan masih tetap tegang karena hal-hal dan
perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan hadapi ini tidak kalah gawat
dan menegangkan daripada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang Tianglo tadi
ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi,
orang itu ternyata Suling Emas. Lalu muncul pengemis muda lihai yang menurut
keterangan Si Gadis jelita adalah putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis
menjadi bingung dengan adanya perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi
di depan mata mereka. Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang
kini berada di atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa
dalam sepak terjang mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas yang kini tidak menutupi muka
dengan saputangannya lagi, berdiri di atas panggung berhadapan dengan Yu Siang
Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya. Kemudian tanpa
ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan
Suling Emas.
“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa
dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih bahagia lagi hati saya
menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari orang-orang
jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah mendiang Ayah saya.
Sebelum meninggal dunia, Ayah saya meninggalkan pesan kepada saya untuk membela
Khong-sim Kai-pang daripada pengaruh kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya
menemui kesulitan menghadapi orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari
Paman dan mohon pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap
Paman menerima hormat saya.”
Suling Emas tersenyum dan girang sekali
hatinya. Dengan munculnya pemuda yang menjadi putera Yu Kang Tianglo, akan
terbebaslah ia daripada tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi ia sudah
menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah mewarisi
kepandaian ayahnya. Melihat betapa pemuda ini secara gagah berani turun
tangan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang sakti untuk
membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan mencinta
perkumpulan pengemis yang dulu dibangun oleh kakeknya, maka dapat diharapkan
pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan ini.
Untuk menguji Iwee-kang Yu Siang Ki, Suling
Emas menempelkan kedua tangannya di pundak pemuda itu sambil membentak. “Tak
usah berlutut!” Pendekar sakti ini mengerahkan sinkang yang disalurkan di
kedua tengannya.
Yu Siang Ki terkejut ketika merasa betapa
pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung, kemudian tenaga raksasa
membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat wajah yang
tersenyum-senyum itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang mengujinya. Maka ia
pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sehingga biarpun tubuhnya terbetot dan
tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan berlutut!
“Bagus! Engkau patut menjadi putera Saudara Yu
Kang Tianglo!” kata Suling Emas sambil melepaskan kedua tangannya. Pemuda itu
melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan bibir
menyeringai menahan takut. Suling Emas terkejut sekali, tangan kirinya bergerak
cepat dan.... “brettt!” baju Siang Ki sudah robek memperlihatkan pundak
kirinya. Ternyata benar seperti dugaannya, di situ terdapat tanda menghitam
seperti tapak jari tangan!
“Hemm, kau terkena hawa pukulan jarak jauh
yang amat berbahaya. Berputarlah kau dan jangan melawan!”
Yu Siang Ki tadinya terkejut dan heran ketika
ia mengerahkan Iwee-kang untuk menahan ujian, ia merasa betapa dada kirinya
sakit seperti ditusuk-tusukjarum. Ia makin terkejut ketika tiba-tiba Suling
Emas merobek bajunya, akan tetapi kini ia merasa bersyukur. Sebagai seorang
ahli silat tinggi, tentu saja ia sudah dapat menduga bahwa kakek putih yang
sakti tadi ternyata telah melukainya dengan pukulan jarak jauh yang membuat ia
terdorong dan terhuyung ke belakang tadi. Maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu
memutar tubuh membelakangi Suling Emas, melepaskan seluruh urat dan tenaganya
sedikit pun tidak melakukan perlawanan. Pada saat itu ia merasa betapa pundak
kiri dan punggungnya ditotok kemudian telapak tangan yang amat panas seperti
membara menempel di punggungnya.
“Sekarang bernapaslah panjang-panjang dan
rasakan apakah masih sakit.”
Yu Siang Ki menarik napas panjang, hatinya
girang sekali karena dada kirinya sudah tidak sakit lagi. Ia menggeleng kepala
dan berkata. “Sudah tidak terasa apa-apa lagi, Paman.”
Suling Emas melepaskan tangannya dan menghela
napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong, tangannya masih keji! Akan tetapi
bahayanya sudah lewat, hanya perlu memulihkan tenaganya. “He, Nona, ke sinilah
engkau!” Tiba-tiba Suling Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi Lan.
Ketika Kwi Lan tadi melihat betapa Yu Siang Ki
disembuhkan dari lukanya oleh Suling Emas dengan tenaga sin-kang, ia tercengang.
Kemudian ia tersenyum girang. Kiranya kakek muka putih tadi lihai sekali
sehingga dorongannya dari jarak jauh telah melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia
tidak terluka! Dan hal ini berarti bahwa dia lebih kuat daripada pemuda itu,
lebih lihai! Ketika Suling Emas memanggilnya, sambil tersenyum ia menghampiri
dan menyimpan pedangnya. Memang ia pun ingin sekali bicara dengan Suling Emas
yang ia kagumi. Ingin bicara tentang Sang Ratu Khitan, ibu kandungnya!
Begitu Kwi Lan melangkah maju dengan mata
bersinar, wajah berseri dan bibir tersenyum, Suling Emas memandang seperti
orang terpesona. Dadanya berdenyut keras dan seketika teringatlah ia kepada Lin
Lin atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama benar dengan kekasihnya itu!
Seperti itu pula Lin Lin dahulu mengangkat muka dengan leher panjang lurus,
dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan semangat. Seperti itu pula
lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun membayangkan kegagahan. Dan senyum
itu! Senyum nakal dan aneh, pembawaan dari suku bangsanya yang asing, suku
bangsa Khitan!
Gadis itu sudah berdiri dekat di depannya,
namun Suling Emas masih memandang, merasa seperti dalam mimpi. Ia melihat Lin
Lin muda kembali, menjadi gadis remaja!
Melihat keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan
memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh. Dilihat sikapnya, pendekar sakti
yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya dengan laki-lakl biasa, yang selalu
memandangnya dengan sikap tertarik seperti itu. Akan tetapi sinar matanya lain
daripada laki-laki yang lain. Sinar mata yang terpancar keluar dari sepasang
mata yang sayu sedih itu, tidak mengandung nafsu seperti pada laki-laki lain,
melainkan penuh pertanyaan dan keheranan bukan kekaguman dan bukan pula gairah.
“Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk
Suling Emas? Sudah banyak kudengar tentang dirimu dari Yu Siang Ki. Memang aku
ingin sekali jumpa denganmu, banyak hal yang hendak kutanyakan. Suling Emas,
di manakah kita dapat bicara dengan enak dan leluasa? Kuharap engkau tidak akan
merasa keberatan....!”
“Engkau anak siapa? Siapa Ibumu?” Pertanyaan
ini keluar dari mulut Suling Emas secara otomatis seperti di luar kesadarannya
dan terdengar keras seperti bentakan sehingga semua orang yang mendengar
mengira bahwa pendekar itu menjadi marah-marah.
Kwi Lan tersentak kaget, keningnya berkerut,
matanya memandang tajam. Apa maksud pendekar ini? Mengapa begitu jumpa, terus
saja bertanya siapa ibunya? Kwi Lan adalah seorang gadis yang amat cerdik.
Pertanyaan yang membingungkan semua orang ini sudah dapat diduga maksudnya
dalam sekejap mata oleh Kwi Lan. Ia sudah mendengar bahwa orang ini, Suling
Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina, dan mungkin sekali, kalau tidak hisapan
jempol belaka percakapan antara kaum sesat, di antara kakak dan adik angkat ini
terjalin kasih sayang. Kalau betul demikian, agaknya kini Suling Emas terkejut
melihat dia dan tentu saja hanya satu hal yang menyebabkannya, yaitu bahwa dia
tentu mirip dengan ibunya di waktu masih muda! Ia tidak meragukan keterangan
bibi dan gurunya, bahwa Ibu kandungnya adalah Ratu Yalina.
“Kau tanya namaku? Seperti engkau, namaku
hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang Ibuku.... aku sendiri tidak
tahu....”
Mendengar jawaban ini, Suling Emas baru sadar
betapa tidak pantasnya pertanyaannya tadi. Wajahnya menjadi merah sekali dan
ia cepat berkata. “Nona, kaubukalah baju bagian dadamu!”
Kini wajah Kwi Lan yang menjadi merah sekali,
merah karena marah. Sepasang matanya memancarkan kemarahan, sinarnya menyambar
wajah Suling Emas dan tangan kanannya bertolak pinggang, telunjuk kiri menuding
ke arah hidung Suling Emas sambil mulutnya membentak.
“Apakah kaukira setelah kau bernama Suling
Emas dan terkenal sebagai pendekar besar yang sakti, boleh saja engkau
menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang ajar tak tahu malu!” Setelah
berkata demikian, ia membanting kakinya dengan gemas kemudian sekali bergerak,
tubuhnya sudah melayang turun dari atas panggung.
“Kwi Lan....! Kwi Lan, kembalilah! Engkau
hendak ke mana....?” Yu Siang Ki berseru memanggil.
Kwi Lan tidak menoleh, hanya menjawab dengan
suara menyatakan kekesalan hatinya. “Aku pergi, uruslah dunia pengemismu,
sampai jumpa!”
“Kwi Lan....!” Yu Siang masih berusaha
menahan.
“Percuma, gadis seperti dia itu tak mungkin
mau dicegah kehendaknya....!” Suling Emas berkata lirih dan berkali-kali
pendekar ini menarik napas panjang dan berkata. “ aneh.... benar aneh....,” Di
dalam hatinya ia benar-benar makin heran menyaksikan sikap gadis pemarah itu
yang sama dengan watak Lin Lin. Kemudian ia bertanya kepada Yu Siang Ki, “Kwi
Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah datangnya? Ilmunya hebat....“
“Entahlah, Paman. Saya bertemu di tengah
jalan, dia sebatangkara namanya Kwi Lan dan shenya Kam....”
“Heh....?” Suling Emas benar-benar terkejut,
memandang wajah tampan itu dengan mata penuh selidik.
“Benar, Paman. Ketika pertama kali mendengar
saya pun terkejut dan melihat kelihaiannya, saya mengira dia mempunyai
hubungan keluarga dengan Paman. Akan tetapi ternyata bukan dia.... dia bahkan
tidak tahu siapa orang tuanya. Kiranya, semenjak bayi dia dirawat gurunya yang
ia sebut-sebut Bibi Sian.”
Suling Emas berdiri tegak seperti arca.
Penuturan singkat tentang gadis itu membuat pikirannya melayang-layang dan
mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis yang sama benar wajah dan
wataknya dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang dia mempunyai seorang “Bibi
Sian”, yaitu Kam Sian Eng! Dan ilmu kepandaian Sian Eng memang hebat luar
biasa,” karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu
Lu Sian (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)! Benarkah sangkaannya ini?
Akan tetapi, ahh.... mana mungkin Lin Lin mempunyai puteri? Ia hanya mendengar
bahwa sampai kini, Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina di Khitan, tidak
pernah menikah dan hanya mempunyai seorang putera angkat, yaitu anak
panglimanya sendiri yang setia, Kayabu.
Pada saat itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah
meloncat ke atas panggung. Tadi ketika semua orang mendengar bahwa orang yang
mereka sangka Yu Kang Tianglo itu ternyata palsu dan Suling Emas adanya, mereka
menjadi gaduh dan ramailah mereka mengeluarkan pendapat masing-masing.
Gak-lokai dan Ciam-lokai segera merundingkan hal itu dengan anak buahnya.
Mereka kini sudah mendengar bahwa Yu Kang Tianglo telah meninggal dunia dan
karena mereka tahu bahwa Suling Emas dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka
mereka tidak akan menuntut, bahkan berterima kasih. Apalagi di situ ada
terdapat pemuda lihai yang mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus
dibuktikan lebih dahulu kebenarannya. Setelah mendapat persetujuan rekan-rekan
mereka, dua orang kakek pengemis itu lalu melompat ke atas panggung. Langsung
mereka berdua menghadapi Suling Emas dan memberi hormat.
“Kiranya Taihiap (Pendekar Besar) yang
semenjak dahulu telah menjadi sahabat baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi
memaafkan kesalahan kami yang menyangka Taihiap Yu Kang Tianglo.” kata
Gak-lokai.
Suling Emas balas menjura dah menarik napas
panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku pun bersalah, telah berani mengaku
sebagai Yu Kang Tianglo. Syukurlah kalian semua percaya bahwa perbuatanku ini
sama sekali bukan untuk merampas kedudukan, melainkan untuk mewakili sahabatku
itu membersihkan Khong-sim Kai-pang. Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan
kebetulan sekali muncul putera Yu Kang Tianglo ini yang bernama Yu Siang Ki.
Melihat kepandaiannya, kiranya tidak ada orang lain yang tepat untuk memimpin
Khong-sim Kai-pang dan bersama kai-pang-kai-pang lain bersatu menghadapi
ancaman kaum sesat.”
“Ucapan Taihiap tepat sekali dan kami
bergembira bertemu dengan putera Yu Kang Kai-pangcu, sungguhpun merasa sedih
mendengar berita kematiannya.
Akan tetapi, Taihiap, siapakah berani tanggung
bahwa orang muda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo yang sudah puluhan
tahun tiada berita?” kata Ciam-lokai.
“Pendapat rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang
memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap, hal ini masih tidak ada buruknya,
bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap seorang pendekar sakti yang selalu
membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai dipalsukan orang lain yang
kemudian menyelewengkan kai-pang seperti hannya lima pangcu yang telah tewas di
tangan Taihiap, bukankah hal ini akan menimbulkan malapetaka? Karena itu, kami
minta bukti dari orang muda ini bahwa dia betul-betul putera Yu Kang Tianglo!”
“Bagus....! Benar sekali....!” Terdengar
para pengemis berteriak-teriak.
Suling Emas hanya memandang kepada Yu Siang
Ki. Di dalam hatinya ia percaya kepada pemuda ini yang dapat ia nilai
kejujuran dan kesetiaannya dari sikap dan sepak terjangnya tadi. Akan tetapi ia
pun tidak berani memastikan apakah pemuda ini benar-benar putera Yu Kang
Tianglo, karena ketika bertemu dengan tokoh pengemis itu, dahulu Yu Kang
Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya. Oleh karena inilah,
ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk membuktikan
kebenaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.
Pemuda itu dengan sikap tenang, tanpa
ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil berkata.
“Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda
Berdua) tentulah Gak-lokai dan Ciam-lokai. Ayah pernah menyebut nama Ji-wi
kepada saya. Apa yang Ji-wi kemukakan tadi memang benar. Saya harus dapat
membuktikan bahwa saya Yu Siang Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang
Tianglo. Saya mempunyai tiga macam bukti, harap Ji wi dan semua Saudara
anggauta Khong-sim Kai-pang, mendengar dan menyaksikannya!”
Yu Siang Ki berhenti sejenak, kemudian ia
berkata lagi dengan suara lantang sambil menggerakkan kedua tangannya, yang
kiri menekan di dada kiri arah tempat jantung dan tangan kanan diangkat ke
atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. “Beginilah tanda
rahasia perkumpulan kita Khong-sim Kai-pang! Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang
menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya sekedar tanda, melainkan memiliki
tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda pengenal sesama anggauta. Kedua
mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai dengan nama perkumpulan kita,
Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Kosong adalah kosong
lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin tidak memiliki apa-apa, dalamnya juga
kosong dan polos tidak mempunyai watak dan pikiran kotor. Adapun hati
dimaksudkan bahwa setiap anggauta harus memiliki hati yang bersih dan penuh
kesetiaan terhadap perkumpulan. Kemudian arti ke tiga dan hal ini hanya dikenal
oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang, yaitu gerakan ini adalah jurus
pembukaan daripada ilmu silat yang harus dimiliki oleh para pimpinan Khong-sim
Kai-pang. Nama Ilmu silatnya pun Khong-sim-kun (Ilmu Silat Hati Kosong)!”
Mendengar ini, berisiklah semua pengemis dan
semua terheran-heran. Yang sudah tahu jelas akan arti tanda rahasia mereka itu,
mengangguk-angguk membenarkan, yang belum tahu kini menjadi tahu dan
tercengang, tidak mengira bahwa tanda rahasia itu mempunyai arti yang begitu
luas.
“Sekarang bukti ke dua bahwa saya adalah
putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di antara saudara anggauta Khong-sim
Kai-pang tidak ada yang mengetahui siapa nama Gak-lokai dan Ciam-lokai! Adakah
di antara saudara yang mengetahui nama mereka berdua?”
Yu Siang Ki menanti sampai beberapa lama.
Para pengemis itu kembali berisik sekali sehingga keadaan di situ menjadi
seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua orang tokoh yang selalu
hanya dikenal sebagai Gak-lokai dan Ciam-lokai saja. Kemudian terdengar suara
mereka. “Tidak ada yang tahu....!”
Yu Siang Ki menjura kepada Gak-lokai dan
Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji wi Lokai, untuk menjadi bukti, terpaksa saya
memperkenalkan nama Ji wi.” Kemudian pemuda ini menghadapi para pengemis dan
berkata lantang. “Mendiang Ayah pernah mengatakan bahwa di antara para tokoh
Khong-sim Kai-pang, yang boleh saya percaya adalah dua orang yaitu Paman Gak
Lun dan Paman Ciam Hie inilah!”
Dua orang lokai itu saling pandang dengan muka
pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan
tidak pernah ada yang menyebut nama mereka. Memang hanya Yu Kang Tianglo yang
mereka beritahu tentang nama mereka.
Kembali para pengemis menjadi berisik, bahkan
ada yang bersorak karena kedua orang lokai itu sama sekali tidak membantah. Hal
ini hanya berarti bahwa bukti ke dua ini pun cocok.
“Sekarang bukti ke tiga. Seperti kukatakan
tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu diberi pelajaran Ilmu Silat
Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada masa ini, di antara semua
anggauta Khong-sim Kai-pang, hanya Gak-lokai dan Ciam-lokai berdua sajalah
yang faham akan ilmu silat itu, karena dahulu ketika Ayah datang ke sini untuk
memimpin saudara-saudara menghadapi Pouw Kai-ong, sebelum Ayah pergi lagi
Ayah telah menurunkan Ilmu itu kepada dua orang tua ini. Benarkah tidak, Ji-wi
Lokai?”
Gak-lokai dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya
dan mengangguk-angguk. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang tahu
semua kejadian rahasia ini tentulah benar putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi
mereka masih belum puas. Kalau ketua mereka selihai Suling Emas, hati mereka
akan menjadi lega. Akan tetapi Yu Siang Ki masih amat muda. Biarpun tadi kelihatan
kelihaiannya, bahkan dipuji oleh Suling Emas, namun cukup kuatkah pemuda ini
menjadi ketua kai-pang yang kini menghadapi banyak musuh tangguh?
“Nah, kalau benar demikian.” Siang Ki
menyambung kata-katanya, kini saya persilakan Ji-wi untuk menguji aku dengan
ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya
ayahku Yu Kang Tianglo yang dapat mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis
bersorak. Gak-lokai dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka
kesempatan bagi mereka untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di
mana kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka yakin
bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan juga.
Gak-lokai lalu menjura dan berkata.
“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang
memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani kurang ajar!”
Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat
sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap jangan
sungkan-sungkan. Mulailah!”
Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan
benar saja, sebagai pembukaan mereka telah bergerak seperti yang dilakukan Yu
Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan
diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.
Juga pemuda itu melakukan gerak yang sama, setelah itu barulah dua orang kakek
itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh, namun amat cepat dan menimbulkan
angin pukulan halus. Diam-diam Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum.
Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan kakek pemuda itu memang benar hebat,
gerakannya halus dan indah namun mengandung kecepatan gerak dan tenaga kuat.
Begitu menyaksikan cara pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa
dalam ilmu silat ini, Si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya
daripada kedua orang lawannya. Hal inl adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai
hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu Kang.
Tianglo sehingga hanya menerima teori dan
menerima bimbingan sebentar, sebaliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah
pengawasan ayahnya, tentu saja gerakannya lebih mahir dan sempurna.
Dua orang kakek itu girang bukan main. Mereka
pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir Ilmu Silat Khong-sim-kun dan semua
jurus yang mereka keluarkan untuk menyerangnya, semua dapat dikembalikan,
ditangkis atau dielakkan dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus
Khong-sim-kun mereka jalankan dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu
Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis, tentu tangan mereka
terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah lumpuh.
Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja
mereka tentu akan dapat dirobohkan!
Keduanya lalu melompat mundur, menghadapi para
pengemis di bawah panggung dan bersorak, “Saudara-saudara semua! Dia ini
betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua kita!”
Setelah berkata demikian, Gak-lokai dan
Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Yu Siang Ki sambil berkata,
“Yu-pangcu, kami mohon pimpinan Pangcu!”
Pemuda itu terharu ketika melihat semua
pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan mengangkat bangun
Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu merendahkan
diri. Aku tentu saja suka sekali memimpin kalian dan melindungi perkumpulan
kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah lebih
berpengalaman.”
Para pengemis bersorak gembira, ada yang
menari-nari dan ada yang tertawa-tawa. Para pimpinan kai-pang yang menjadi
tamu segera maju dan memberi hormat serta memberi selamat kepada pangcu baru
dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai
ini mereka akan lebih kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.
“Eh, ke mana dia....?” Tiba-tiba Yu Siang Ki
menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di belakangnya.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terkejut dan
heran. “Ke mana perginya Kim-siauw Taihiap?”
“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki
yang melihat tulisan terukir di atas papan panggung di mana tadi Suling Emas
berdiri. Beramai-ramai mereka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang
terukir, amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!
“Selamat kepada pangcu baru,
Suling Emas
akan selalu mengamati
dan
melindungi dari jauh!”
Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan
Ciam-lokai cepat lari meloncat turun menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus
tunggangan Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin
kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat menghilang
begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan yang diukir dengan ujung kaki.
Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki,
Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang karena di dalam tulisan yang ditinggalkan
Suling Emas itu, Si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan,
biarpun dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran,
mereka masih dapat mengharapkan bantuan pendekar sakti itu. Biarpun di dalam
hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi Lan yang pergi
secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia kepada Khong-sim
Kai-pang, ia mengesampingkan perasaan pribadi yang jatuh cinta kepada gadis
itu, dan mulailah ia mengatur segala usaha dan perbaikan untuk Khong-sim
Kai-pang.
***
Suling Emas menarik napas panjang
berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak berhasil mengejar gadis
yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biarpun ia membalapkan kudanya mengejar keempat
penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis
itu memang sengaja tidak mau menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan
mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras sekali. Dan ia memang
kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju.
Tentu saja ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena
seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat pukulan
rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap kurang
ajar!
“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng.” ia
menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Lin-moi, juga wajah dan
bentuk tubuhnya. Heran sekali.... siapakah bocah itu?”
Karena dapat menduga, watak Kwi Lan yang mirip
Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja mencari terus. Kalau gadis itu tidak
mau menjumpainya dan bersembunyi, mana mungkin ia mencari dan menemukannya?
Suling Emas menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang.
Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Hatinya menjadi risau. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini ia
mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan berusaha melenyapkan
segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja pikirannya tak dapat
ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang jahat bermunculan. Bahkan dua
orang seperti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di
dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat menyembunyikan dan mengasingkan diri,
berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin , aku dapat
menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu?
Haruskah ia mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertandingan lagi? Mengganggu
ketenangan dan kesunyian dengan urusan dunia yang tiada habisnya?
Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis
tangan kirinya menarik saputangan yang tergantung di leher ke atas, menutupi
mulut dan hidungnya. Telinganya mendengar suara makian dari jauh, dari arah
belakangnya.
“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu?
Bunuh saja aku!”
“Iblis Khitan, kalau bisa kaucari sendiri
orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina pengemis miskin?”
Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lokai!
Biarpun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun telinganya mendengar betapa
dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang
amat hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan
Pak-kek Sian-ong yang datang, akan tetapi kalau mereka, mengapa suara makian
Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas lalu memutar kudanya
dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan kanannya.
Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia
terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua orang Khitan, dua
orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang menenteng kelinci
saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu dicengkeram punggung
bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Ini saja sudah membuktikan
betapa lihainya dua orang Khitan itu. Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan
terkejut melihat kelihaian mereka karena ia pun maklum bahwa banyak
orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang
datang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi
dalam ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat dari pakaiannya.
Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di dada mereka.
Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar, berarti bahwa
mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin sampai mengutus
panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu tidak main-main lagi,
tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!
Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba
dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas, “Taihiap, bukan kami
yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh dua
ekor monyet Khitan ini!”
Suling Emas berkata dari balik saputangannya,
suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh, “Sepanjang pengetahuanku,
Panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan juga
menjunjung keadilan dan kegagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis
seperti kami? Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hendak mengganas
di selatan?”
Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi
merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling
pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang
berkuda yang menutupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena
perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar
sebagai pengemis dan berada di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang, serta
memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan mereka.
Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan
jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong
menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap,
jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perjalanan
ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan
maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya dua orang manusia
ini terlalu bandel tidak suka membantu.”
“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan
apa-apa, tak pernah saling bertemu dan tidak saling mengenal. Mengapa kalian
bersusah payah mencariku?”
Pangllma yang bicara tadi mengambil sesuatu
dari sakunya, kemudian berkata.
“Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk
menyampaikan surat ini kepada Taihiap. Harap Taihiap sudi menerimanya!”.
Setelah berkata demikian, tangannya yang memegang surat itu bergerak
menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Suling
Emas.
Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia
berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian karena tidak
sembarang orang dapat menyambit seperti itu dan tidak sembarangan orang pula
dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap
gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung
kudanya.
Dua orang panglima itu memandang penuh
kekaguman dan panglima yang menyambitkan gulungan surat berkata, “Ternyata
tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan tugas kami. Maafkan kami,
sobat-sobat yang bandel dan selamat tinggal, Taihiap!” Mereka berdua
melepaskan cengkeraman pada punggung baju dua orang kakek pengemis itu, kemudian
membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi meninggalkan tempat itu.
“Berbahaya sekali! Mereka itu memiliki
kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu diganggu orang-orang Khitan?”
tanya Ciam-lokai terheran-heran. Ini adalah pengalamannya yang dua kali
melihat Suling Emas dikejar-kejar orang Khitan.
Suling Emas tersenyum. “Urusan pribadi,
Lo-kai. Maafkan kalau kalian sampal terbawa-bawa.”
“Adakah sesuatu yang dapat kami lakukan untuk
membantumu, Taihiap?” tanya Gak-lokai ketika melihat wajah pendekar itu agak
pucat.
Suling Emas mengerutkan kening. Ia tadi kecewa
karena tak dapat mencari Kwi Lan, maka kini ia berkata. “Memang kalian dapat
membantuku. Harap kalian sampaikan kepada Pangcu kalian agar suka mengutus
anak-anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya gadis yang
berjuluk Mutiara Hitam itu. Kalau berhasil, harap memberi kabar kepadaku. Aku
akan berada di kota raja.”
Dua orang kakek pengemis itu menyanggupi dan
mereka lalu berpisah. Setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai pergi, Suling Emas
menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil melepas tali pengikat gulungan
kertas. Hatinya berdebar keras. Surat dari Lin Lin? Apa kehendaknya? Jari-jari
tangannya agak gemetar ketika ia membentangkan kertas itu di depannya,
sedangkan kudanya masih jalan terus perlahan-lahan seenaknya. Surat itu
ternyata singkat namun mengandung gambaran hati yang penuh rindu dan risau.
Kakanda Kam Bu Song,
Terlalu lama
saya menanggung derita batin. Terlalu lama menyimpan rahasia besar. Tak
tertahankan lagi. Lekas datang berkunjung.
YALINA
Suling Emas menghela napas panjang dan
menyimpan gulungan surat di saku baju sebelah dalam. Apakah yang dikehendaki
Lin Lin? Rahasia besar apakah yang dimaksudkannya? Bukankah sudah tepat kalau
ia meninggalkan Lin Lin, seperti juga ia meninggalkan Suma Ceng?”
Ah, hidupnya yang lalu dirusak oleh asmara
gagal. Bukan ia tidak merasa rindu kepada Lin Lin, hanya ia sengaja hendak
menghapus perasaan itu mengingat akan kedudukan Lin Lin sebagai Ratu Yalina di
Khitan. Untuk apa dia mengganggu dan merusak nama baik seorang ratu besar?
Inilah yang meragukan hatinya sehingga ia tidak berani berkunjung ke Khitan.
Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan hendak pergi ke kota raja Sung,
untuk menemui Liong ji (Anak Liong). Ya, kini hanya pemuda putera Suma Ceng
itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong adalah pemuda puteranya. Anak Suma
Ceng, menggunakan she Kiang menurut nama keluarga Pangeran Kiang suami Suma
Ceng, akan tetapi Kiang Liong adalah puteranya! Dan semenjak kecil, ia
seringkali berkunjung secara diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang
Liong yang menganggapnya sebagai gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota
raja untuk berkunjung kepada murid dan juga puteranya itu, karena sudah merasa
rindu? Akan tetapi surat Lin Ling yang baru saja diterimanya membuat hatinya
bimbang.
Ah, betapa pahit semua kenyataan itu. Lin Lin
adalah seorang wanita yang dicintanya, bahkan bukan hanya menjadi kekasih
biasa, melainkan menjadi isteri selama sebulan, isteri yang tidak sah! Terpaksa
ia harus merenggutkan cinta kasih, merobek hati sendiri demi kedudukan Lin Lin
sebagai seorang ratu! Dan terhadap Kiang Liong, biarpun ia tahu bahwa anak itu
adalah puteranya sendiri, ia tidak berani mengakuinya dan oleh pemuda itu ia
hanya dianggap sebagai guru! Hal ini ia lakukan demi menjaga nama baik Suma
Ceng, juga nama baik anak itu sendiri sebagai putera pangeran! Benar-benar ia
banyak menderita batin, namun pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi
orang-orang yang ia cinta!
Senja hari di malam tahun baru. Untuk kedua
kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san yang biasanya sunyi
sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tidak seperti dahulu pada
pertama kalinya, kini kaum sesat dengan pasukan-pasukannya yang datang
berbondong-bondong, tidak langsung naik ke puncak, melainkan bergerombol dan
berkumpul menjadi beberapa kelompok di lereng gunung. Puncak Cheng-liong-san
tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang
mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk
kaum sesat yang dipilih oleh golongan masing-masing untuk menentukan siapa di
antara mereka yang patut dipilih menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum
sesat.
Datuk pertama yang muncul di puncak adalah
seorang yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki puncak sambil
bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang lucu,
sedangkan lagunya juga lucu sekali, sehingga suaranya yang bergema di seluruh
lembah dan terdengar oleh para kaum sesat, membuat mereka terheran-heran dan
tersenyum-senyum geli. Suara tinggi kecil seperti suara perempuan. Kalau tidak
melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita.
Akan tetapi ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap,
dengan tubuh berotot dan sepatutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh
gagah. Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata
yang warna hitamnya tercampur biru, kulitnya putih halus seperti kulit wanita,
rambutnya panjang dibiarkan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya,
lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat
besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu manis bentuknya untuk seorang
pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak
makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka
warna yang halus, lehernya digantungi kalung permata yang besar-besar. Kuku
jari-jari tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah! Inilah dia
Bu-tek Siu-lam, datuk yang dipilih para pengemis untuk menjadi bengcu.
Julukan Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang
ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi seperti
perempuan dan tingkah lakunya tiada bedanya dengan seorang wadam (banci).
Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya.
Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam
menghentikan nyanyiannya, memandang ke kanan kiri lalu berdongak ke atas.
Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga
mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini disusul
suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.
“Heiiii! Mana dia iblis-iblis palsu dari empat
penjuru yang katanya hendak beraksi? Kalau benar bisa menandingi Bu-tek
Siu-lam, aku rela menganggapnya sebagai bengcu dan bersahabat dengannya,
hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa
usianya ini berdiri dengan tubuh digerak-gerakan kemayu!
Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan
pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang mulai
berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah
puncak dari mana mereka dapat memandang datuk mereka dengan penuh harapan. Di
antara kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat
pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik hatinya dan ingin menonton
apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang mendatangi bukit yang
sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani, beberapa orang pelancong dan
ada juga beberapa orang kang-ouw yang menjadi ingin tahu sekali. Ketika
rombongan pengemis mulai mendaki bukit, orang-orang ini yang tidak tahu akan
bahaya dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang aneh di atas puncak,
ikut pula naik untuk menonton.
Kedatangan rombongan bukan pengemis ini tak
terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam. Ia segera menghadap ke
arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata,
suaranya manis sekali terdengarnya, sungguhpun dengan dialek asing.
“Siapakah jago kalian? Mana dia? Suruh dia
naik ke sini!”
Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak
ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya karena mereka itu bukan rombongan
tertentu, dan sama sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang menjawabnya,
Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan
tidak menghormatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi
itu sudah melayang turun dari puncak, tiba di antara puluhan orang yang
menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan menjadi girang
dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek
Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan genit ini pun tertawa-tawa.
Akan tetapi secara mendadak suara ketawa
mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang di antara mereka yang
terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Sekali sambar dengan tangan
kanan, laki-laki itu dijambak rambutnya dan digantung. Laki-laki itu terkejut
dan berteriak kesakitan.
“Hi-hik, inikah jago kalian? Atau ada yang
lain lagi?” Bu-tek Siu-lam bertanya sambil tertawa-tawa dan mengangkat-angkat
tubuh yang tergantung di tangan kanannya itu. Karena kesakitan, orang itu
menjadi marah sekali. Betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang kuat
dan pernah belajar silat, maka tentu saja tidak mau dihina oleh orang aneh
ini.
“Bedebah! Lepaskan aku!” teriaknya dan tangan
kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.
“Crakkk!”
Laki-laki itu menjerit dan darah menyembur
dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas siku karena pukulannya tadi
ditangkis dengan guntingan, dilakukan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang
entah kapan sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya, Laki-laki itu
meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan kedua kakinya
menghantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang aneh itu.
“Crak-crak-crak!”
Sungguh hebat pemandangan itu. Mengerikan
sekali! Laki-laki yang tergantung itu kini buntung semua lengan dan kakinya!
Darah bercucuran dan Laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah
lagi, agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat
para penonton menjadi panik, ada yang lari, ada yang jatuh bangun, ada pula
yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking takutnya.
“Hayo mana jagomu. Inikah? Crak-crak! Atau
ini? Crak-crak-crak!” Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerjakan
guntingnya setelah melemparkan korban pertama ke atas tanah. Ia tidak
menggunting badan atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja
belasan orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah membanjir
dan mereka yang menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati karena
kehabisan darah!
“Heeii, anak-anakku semua kaum kai-pang!
Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh kita kalau aku menjadi
Bengcu!”
Para pengemis itu biarpun tadinya merasa ngeri
menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun karena mereka sendiri adalah
golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan senang melihat orang lain bukan
golongannya menderita, lalu bersorak girang.
“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
“Tidak ada yang dapat melawan kegagahan
Locianpwe!”
Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan
Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan puas. Sementara itu sisa
para penonton yang panik dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah
barat menjauhi rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati
mereka lega karena orang aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek
Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk mendemonstrasikan kepandaian
dan kekejamannya telah puas.
Di antara rombongan pengemis itu terdapat
seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis
Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut Hoan-lokai. Dia adalah tokoh
pengemis semenjak mudanya, dan semenjak dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang.
Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari
pimpinan prang baik-baik sampai pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi
Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang.
Hal ini adalah karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan
segala urusan. Pendeknya, ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap
perkumpulannya yang didirikan oleh seorang pamannya dahulu. Begitu bodoh dan
tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah
perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun
ikut rombongan hanya untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang
yang dipilih perkumpulannya sebagai bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut
bergerak kalau rombongannya bergerak.
Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang
amat luar biasa dan di luar batas perikemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan
kemarahannya membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apalagi ketika melihat
betapa para pengemis yang menjadi anggauta-anggauta perkumpulannya kini sambil
tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu mulai menyeret mayat-mayat yang
bergelimpangan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah
Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin penasaran. Kalau ia melihat anak buah merampok
atau memeras, ia masih tidak peduli karena betapapun juga yang dirampok dan
diperas tentulah orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan
tanpa alasan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar
ini menembus kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.
“Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti
iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siu-lam.
“Hoan-lokai, jangan sembrono....!”
“Hoan-lokai, jangan kurang ajar terhadap
calon bengcu....!”
Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan
Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai yang sudah menjadi marah
sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu,
berhadapan dengan Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang dan melihat
betapa kedua tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka terkejut dan
mengeluarkan teriakan kaget. Warna hijau pada kedua tangan ini menjadi tanda
bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua tenaga Tiat-ciang pada
kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan ilmunya dan biarpun semua
orang tahu akankeampuhan kedua tangannya, namun belum pernah mereka melihat
Hoan-lokai mengerahkan tenaga Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau!
Kini tak seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan
muka pucat dan mata terbelalak. Betapapun juga, kejadian ini menegangkan hati
dan menyenangkan, karena mereka mendapat kesempatan untuk menyaksikan
kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang
keselamatan Hoan-lokai, siapa peduli? Kakek ini biarpun memiliki ilmu tinggi,
namun bodoh dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun takkan merugikan
siapa-siapa.
Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat
majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua tangannya hijau, ia hanya
tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu akan sikap kakek
pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua tangan yang hijau itu
mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam agaknya sama sekali tidak
memandang mata.
“Kau mau apa?” tanya Bu-tek Siulam dengan
sikap angkuh sambil memandang pengemis itu dengan kepala dimiringkan.
“Kau ini manusia apakah iblis? Kalau manusia,
mengapa kau membunuhi orang sekejam itu tanpa alasan?” tanya Hoan-lokai dengan
muka merah dan mata melotot.
Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak.
Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi bahwa kakek
pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali. Kemudian tanpa
memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap orang aneh itu yang amat
sombong, Hoan-lokai sudah menggerakkan tangan kanannya menghantam ke arah perut
Bu-tek Siulam. Pukulan ini keras sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan
Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan seperti ini, pengemis tua itu sanggup
memukul hancur sepotong batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan
kuatnya.
Namun bagi seorang tokoh besar seperti Bu-tek
Siu-lam, tentu saja kepandaian seperti ini tidak ada artinya sama sekali,
termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam
Tiat-see-ciang adalah ilmu gwa-kang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang
hanya dengan latihan-latihan berat mempergunakan kekuatan kulit daging, maka
bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat
saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang. Tingkat
Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah tidak lagi memhutuhkan
tenaga kasar untuk mempergunakar, kepandaiannya. Seseorang yang sudah
menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga kasar,
melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk dipergunakan
secara tepat. Seorang ahli ilmu silat tinggi mendasarkan tenaga dalam yang
sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah seperti air, atau lunak
ulet seperti karet. Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan
tenaganya seperti besi sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat
lunak dan lemas itu? Besi dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain karena
keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada
artinya bahkan memukul diri sendiri, kalau dihantamkan pasir, tanah atau
air yang tak melawan, akan lenyap dan tenaga pukulannya akan tersedot tanpa
guna.
“Wuuuuttt.... desss!” Pukulan tangan
Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali mengenai perut Bu-tek
Siu-lam. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia
merasa betapa tangannya itu amblas atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali
tidak menemui perlawanan seperti orang memukul kapas. Namun Hoan-lokai adalah
seorang ahli silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang
aneh kejam seperti iblis ini adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam), maka
ia cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
“Wuuuuttt.... dukkk!” Kali ini dada itu
dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan kiri Hoan-lokai seperti
memukul karet dan membalik. Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan siasat,
hanya menggunakan setengah tenaganya, sedangkan tenaga setengahnya lagi ia
pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang “menancap” ke dalamperut. Ia
berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-hi-hi-he-hehh....!” Bu-tek Siu-lam
tertawa, suara ketawanya genit sekali, berirama dan berlagu seperti orang
bernyanyi! “Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak? Teman-temanmu
mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan aku?”
“Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau
setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka!”
Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah
menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang
panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar,
mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh
itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya menyambar ke depan,
leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya
tadi!
Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan
hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan
binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek-coa Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para pemimpinnya tentu
memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan. Pertama adalah dipelihara
untuk diambil racunnya yang dapat dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua
kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata yang ampuh karena
ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun itu
demikian mudah terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan
kali ini kedua kepalan tangannya secara berbareng, dengan pengerahan tenaga
Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.
“Wuuuttt.... ceppp....!”
Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke
perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi
segera kakek pengemis itu meronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali,
keringatnya keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita
nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu
seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus ke
seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk
mencabut keluar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya
tertawa, suara ketawanya lucu menyeramkan.
“Pergilah!” bentaknya nyaring dan tubuh
Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan tenaga.
Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari “cengkeraman” perut, terlebih
dahulu terdengar suara “pletok-pletok!” dua kali dan ketika kedua tangan itu
sudah bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah!
Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan
tulang sumsum.
Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri
membuat mukanya pucat penuh keringat, dan garis-garis keriputnya makin dalam,
matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai. Dia memang seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka
Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh
lebih tinggi ilmunya. Saking hebatnya rasa sakit yang dideritanya, ia menjadi
makin marah dan nekat. Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju
lagi, kedua lengannya bergantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan
menggunakan kepalanya! Serudukan seperti ini sama sekali tak boleh dipandang
ringan karena dengan kepalanya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah
dinding tembok yang kuat!
Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri
dengan tegak sambil tertawa ha-ha-hi-hi, memasang perutnya yang sengaja ia
busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi tubrukan antara
kepala dan perut itu.
“Suppp!” Kepala itu dengan tepat menghantam
perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak
mengempis
sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut! Aneh sekali kejadian
ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai
tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan
kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti
meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di bawahnya.
Biarpun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu,
yaitu menggunakan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat
menduga betapa kepala Hoan-lokai, seperti kedua tangannya tadi, akan menjadi
remuk tergencet!
Pada saat itu, dari bawah puncak gunung
terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan terbahak-bahak
terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu.
Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat
puncak menjadi kaget dan berdiri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini
bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat jantung
seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan melongo. Belum
lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut
dengan suara ketawanya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan
bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orangnya ternyata
biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran biasa. Kecil kurus, sedemikian
kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang
kecil, sudah amat tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya hanya
sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya
yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di
tengah muka yang sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang
aneh dan lucu pula karena
sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil
berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang
panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan pendek
sebatas pangkal lengan, celananya panjang kakinya telanjang. Benar-benar
seorang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang melihat mukanya, muka
yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali
tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya
sedangkan mulut itu sendiri tidak tertawa!
Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh
ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan orang yang beraneka macam bentuk
dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh seorang di antara
mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga).
Kiranya rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thianliong-pang yang sudah
kita kenal, yaitu perkumpulan yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua
belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor
Naga! Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil
kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw bin Lo-mo (Iblis Tua Muka
Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan.
Sebetulnya, julukannya Iblis Tua Muka Tertawa kurang tepat karena biarpun
suaranya kalau tertawa seperti orang terpingkal-pingkal, akan tetapi mukanya
sama sekali tak pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa!
Kedua kaki orang aneh ini tidak tampak
bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu
di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih “menancap” dalam perut Bu-tek
Siu-lam. Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama sekali
tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki
Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut
lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya tak dapat
diceritakan lagi saking hebatnya.
“Huah-hah-heh-heh-heh!” Siauw-bin Lo-mo
tertawa bergelak tanpa menggerakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu
seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di barat takkan dapat
berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu
dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang berjuluk
Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!” Setelah berkata
demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat
Hoan-lokai.
“Bukkk!” Tendangan ini kelihatannya hanya
tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira demikian,
karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang
hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa
serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar.
Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang
yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus
ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang
hebat.
Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang
keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama
keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan
gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya.
Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia
membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai bagaikan sebuah peluru
meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.
Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lomo
menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah bagaimana,
tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini
dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah
Bu-tek Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak
bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai hendak
mencoba-coba kepandaian Si Iblis Banci! Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia
boleh jadi tergolong seorang tokoh yang berkepandaian tinggi di antara para
anggauta Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia
seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas! Sama sekali
tidak berdaya dan kepalanya pening pandang matanya berkunang-kunang ketika
tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi datang oleh hawa
pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu
hanya dengan dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya terlempar ke
sana ke mari! Sambil mempermainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang
pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenaknya!
“Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah
mengenal namaku dan memiliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan
sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani
mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih
memandang rendah dan mengejek.
“Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek
Siu-lam. Kau boleh. jadi merupakan setan di barat dan ditakuti orang, akan
tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut
kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti
Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin Lo-mo!” Kakek kecil itu
tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini dorongannya membuat
tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siulam.
“He-he-hi-hi-hik! Kiranya Siauw-bin Lo-mo si
Iblis Tua Bangka. Pantas, pantas sekali! Orangnya ternyata lebih buruk
daripada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai menyambar
dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.
Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara,
menggencet tubuh Hoan-lokai dan.... tubuh kakek pengemis itu terhenti di udara,
di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang
saling bertemu di udara! Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa
lawan masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang
ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan mereka diulur ke
depan dengan jari tangan terbuka darimana meluncur tenaga sakti yang tak
tampak, yang “menahan” bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah
mereka berkeringat, tekanan makin hebat dan keduanya tidak mau saling
mengalah.
Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia
diperlakukan seperti sebuah bola dilontarkan ke sana ke mari sehingga
kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan kini, tertahan oleh gencetan
dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuhnya terjepit dan sukar bernapas. Makin
lama makin hebat dan akhirnya ia mengeluarkan teriakan menyeramkan, tubuhnya
lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah!
Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!
Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik
kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke atas tanah.
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Iblis tua bangka kurus
kering benar-benar mengagumkan!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. “Engkau hebat,
akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik
disingkirkan saja!” Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang
Thian-liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin
Lo-mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata. “Tak usah, tak usah,
kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bangkai ini?”
Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan
memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan suara tertawa-tawa lalu
meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan membuka
tutup botol, menuangkannya beberapa tetes cairan berwarna kuning ke atas
mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang
memandang ke arah mayat itu, mereka membelalakkan mata saking kaget dan
herannya. Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya
mulai lenyap, melumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini,
pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat.
Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu
silat dan merupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.
Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat
Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo
masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil berkata.
“Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih
belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”
Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang
hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan
bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepadamu sebelum kau
mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan guntingku
ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu!”
“Huah-hah-hah, bocah muda omongannya besar!
Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku? Ataukah masih ada yang lain?
Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang
tanggung aku turun tangan membuang keringat menghadapi mereka!” Ucapan kakek
kecil ini membuat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar
sombong bukan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh.
Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat menjawab,
terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini
hebat bukan main, menggetarkan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan
bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong mengerikan ini,
orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama anehnya dengan dua
orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus, mukanya
seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang matanya
hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya,
tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang,
ujungnya berkait dan bergigi seperti gergaji! Tangan kirinya memegang segulung
tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing bermata kail pula! Benar-benar
seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam.
Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi
besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah
orang-orang Khitan dan Mongol, orangorang dari utara. Melihat rombongan ini,
mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.
“Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau
bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata Bu-tek Siu-lam.
Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo memandang
penuh perhatian dan amat tertarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata,
“Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma
kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang bernama besar!”
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik.
Tadi, sungguhpun hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah
mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil
itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang namanya
sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya
sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu. Sambil tersenyum mengejek
ia lalu menghadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong dan berkata.
“Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo,
maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu untuk mengikat korban
selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi-hik!
Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat
menandingi gunting dan jarum benangku!” Sambil berkata demikian, Bu-tek
Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan
kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya!
Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang
aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi
lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi
teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya berdiri dengan
kedua kaki terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak
berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak
aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan
diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan
Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina
akan tetapi juga terang-terangan menantangnya itu, mukanya seketika menjadi
merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang
seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar
suaranya,
“Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu.
Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan
kelihaian Pak-sin-ong!” Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang
menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah
ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam.
Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan
agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan
sehebat itu, tentu akan terbelah dan isi perutnya akan cerai-berai!
“Traanggg....!” Pak-sin-ong terhuyung mundur
tiga langkah, juga Bu-tek Siulam terdorong ke belakang ketika senjata gergaji
itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit. Mereka memandang
kagum dan muka mereka berubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi
mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.
“Siuuuuutttt....!” Kini sinar yang kecil
panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung dan
melayang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.
“Cringgg....!” Sinar kecil putih itu terpental
kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan
kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pancing itu
tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini
mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain memiliki tenaga yang kuat,
juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia bertali itu.
Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak
dua kali itu kini saling pandang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo
tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini,
Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil itu
menyeramkan sekali, pikirnya.
“Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya,
kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang, hayo kita putuskan
siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu
kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawannya, memasang
kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek
kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti
serangan untuk menjaga diri.
Pada saat itu, datang angin besar bersuitan
yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan
datang angin , taufan mengamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas
langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah!
Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua adalah orang-orang yang
berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka
menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspadaan. Tak lama kemudian
benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan
langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti
hwesio, mukanya seperti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya
yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa
sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan
berbunyi nyaring dan berisik.
“Tak salah lagi, engkau tentulah Thai-lek
Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang penuh perhatian.
“Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia
adalah Si Raja Monyet?” tanya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian
karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.
“Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya
seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali.
Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!”
“Bagus, kebetulan sekali!” kata Pak-sin-ong
yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang
mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan
memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalonkan
menjadi Bengcu. Kita menanti apalagi? Mari mengeluarkan kepandaian menentukan
siapa yang lebih unggul!”
Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin
Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah
sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah
mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang
kuda-kuda, kedua tangannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di
pinggang. Namun raksasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti
memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar,
mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sampai lama
baru keluar suara dari mulutnya.
“Tidak bertempur!”
Kakek gundul ini memang benar Thai-lek
Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai
Timur menjagainya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut timur. Akan
tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi
bengcu. Ia hanya tertarik mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin
Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan
dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang
jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan
maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak mengenal hukum-hukum
dan bertindak seenak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Karena
ini, banyak ia melakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat,
juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik.
Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat,
hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal,
tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis
membunuh-bunuhi orangorang yang sama sekali tidak salah. Kalau hatinya lagi
senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia akan tertawasaja. Ia
seorang aneh, dan tidak pandai bicara.
Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang
aneh lainnya menjadi heran sekali. “Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?”
tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.
“Tidak ada Bengcu” jawab Si Kakek Gundul
singkat.
“Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar
mengherankan sekali. Bukankah kita berempat ini datang di sini untuk
menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara
kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”
“Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi
menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?”
Ucapan itu singkat namun jelas maksudnya.
Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman
Thian-te Liok-kwi, juga tidak ditentukan siapa menjadi bengcu dan keenam
orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat.
Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan
hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam?
Namun tiga orang aneh yang mendengar usulnya
ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena mereka, bertiga
ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek
Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan
hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau
pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap
dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol. Ia selalu
rindu untuk merampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja
ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia
menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengandalkan bantuan kaum sesat di
dunia persilatan teritu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di
Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu
Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama
ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu
untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas
Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya mengapa
tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak
bicara.
“Pemilihan Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek
Siu-lam.
“Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa
kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula Pak-sin-ong penasaran.
“Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus
diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin Lo-mo juga berkata.
“Bodoh!” Thai-lek Kauw-ong membentak. “Kita
menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding, ayolah! Yang jatuh paling
dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!”
Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembrengnya sehingga
terdengar bunyi “brenggg!” yang nyaring sekali menulikan telinga.
Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah
muncul, menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu lenyap
menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pimpinan
mereka saja berani menonton pertemuan empat orang aneh itu dari tempat yang
agak jauh dan aman.
Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena
mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita mereka
semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan
singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka kepada Thai-lek
Kauw-ong seorang! Padahal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat
bertanding tanpa pilih kawan atau lawan untuk melihat siapa di antara mereka
yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai kakak
tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu
menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti
jerit seekor kera marah!
Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar
cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan,
kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya
itu tiba, ia sudah mendahului menggerakkan sepasang gembrengnya menggencet ke
arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki
kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan tidak terduga-duga ke arah
Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya dengan totokan jari
telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada
lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan
totokan dan balas menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin
bersiutan itu! Sekaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga orang
lawannya!
Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan
guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepasang gembreng
itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat menarik
kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan
sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan kanannya. “Wiirr....!” Jarum
besar yang diikat benang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong.
“Tranggg....!” Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya
ditusuk jarum, maka terpaksa menangkis dengan gembreng kirinya dan usahanya
menjepit gunting menjadi gagal.
Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang
menyambar keluar dan tendangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan tahulah ia
bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang menyatakan
betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh mengelak.
Dalam segebrakan itu saja, dari keadaan
diserang, Thai-lek Kauw-ong mampu merobah keadaan menyerang dan ini
membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan
dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat.
Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan
kemenangan-kemenangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka bertiga
sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!
“Hemm, kalian seperti bajingan-bajingan kecil
hendak mengeroyok? Boleh!” Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata
singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasaan. Tiga
orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di dalam hati
mereka itu diam-diam bermaksud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun
di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini
membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.
“Siapa mengeroyokmu? Sombong! Lihat kelihaian
Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat
dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak
mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sinar putih dari
tangan kirinya sudah meluncur cepat dan itulah pancing bertali yang menyambar
ke arah muka Thai-lek Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum
mengenal senjata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun
ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek
Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya menangkis. Terdengar suara “cringgg!”
keras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sin-ong
sendiri! Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak tali di tangan kirinya sehingga
pancing itu berputaran di udara kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek
Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan
gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah menerjang maju dan menyerang dengan
gergajinya yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!
Sama sekali bukan serangan ringan yang
dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya bergerak amat cepat serta
mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini melengkung
membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan keluar
lawan! Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat
menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan
tenaganya.
“Brenggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika
gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget
dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tangkisan yang
sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan
terhuyung-huyung! Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja
Monyet itu sambil berseru keras.
“Klik-klik!” Guntingnya yang besar berbunyi
dua kali dan dengan amat cepatnya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga
guntingan itu tidak mengenai sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisihnya dari
leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat
mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam
hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka.
Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.
“Klik.... brenggg!” kembali seperti keadaan
Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis sehingga api
berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring
sekali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai menjadi pucat. Ia dapat menangkis dan
mengelak sambaran dan gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah
suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini
benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera
terdesak hebat!
“Breng.... brenggg....!” Hampir saja ujung
baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke
belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada saat
ia membuang diri ke belakang ini.
“Hehh....!” Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali,
tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak dan membuang diri
ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian
berbahaya. Terpaksa ia mengibaskan gembrengnya sambil loncat ke belakang.
Jarum itu terpukul menyeleweng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang
dikibaskan dengan tenaga besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga
terkejut dan mengeluarkan keringat dingin. Kalau ia tidak berlaku cepat,
jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung
bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan
Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sambil memasang
kuda-kuda dengan sikap waspada.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin
Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji kepandaian Si Raja Monyet.
“Huah-hah-hah, Kauw-ong, kauterimalah senjataku!” bentaknya dan ketika
tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong,
melainkan ke depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong, mengeluarkan
seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia
ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu
takut menghadapi senjata rahasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian
mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras
mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata Thai-lek Kauw-ong tadi
tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang
muncrat-muncrat dari ledakan itu!
Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara
tubuhnya memyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya
menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan main sepasang gembreng ini.
Bukan hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, malah kini dipergunakan
sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring
terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang
sebuah lagi menyambar perut! Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan
bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan
mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan
berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng
itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas
tanah. Raksasa gundul ini menyambut sepasang gembrengnya dengan mudah.
Empat orang sakti itu kini saling berhadapan,
atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang gemrengan siap
menghadapi tiga orang itu. Karena dalam gebrakan-gebrakan perorangan tadi
dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong
yang paling hebat, maka kini timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk
mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek
Kauw-ong tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali
bahwa hari ini ia menghadapi tiga orang lawan yang akan merupakan makanan
yang keras baginya! Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara
melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan telinga, juga
membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah menjadi
tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang tinggi.
Tentu saja empat orang itu terkejut dan seketika menghentikan gerakan mereka
yang tadi sudah siap bertanding. Ketika Thai-lek Kauw-ong memutar tubuh dan
tiga orang lainnya juga memandang, mereka melihat seorang wanita duduk di atas
ranting pohon. Entah kapan wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang tak
diketahui empat orang itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa,
apalagi wanita itu duduk di atas ranting yang kecil dan kiranya akan patah
kalau diduduki orang biasa. Akan tetapi wanita itu duduk dengan enak,
membelakangi mereka dengan tubuh diputar dan kepala dipalingkan ke arah
mereka. Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran.
Tubuh wanita itu padat dan indah bentuknya, pakaiannya indah, akan tetapi
kepala wanita itu tertutup kerudung! Biarpun kerudung itu tipis dan
membayangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja menyeramkan dan
menimbulkan bayang-bayang gelap pada muka, terutama pada kedua matanya
sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya kelihatan kilauan seperti
titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit putih halus dan berbentuk
kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi semua jari-jarinya berkuku
panjang dan hitam mengkilap!
Empat orang laki-laki tua itu adalah empat
tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka
itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguhan sendiri
sehingga mereka menjadi angkuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan
wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat
tokoh wanita berkerudung seperti ini. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat
menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan mengeluarkan lengking
seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, akan
tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang
berwatak angkuh. Ia menjadi marah sekali melihat datangnya orang tak ternama
yang berani mengganggu mereka berempat.
“Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa
gerangan dia berani bersikap kurang ajar!” Tangan kirinya bergerak dan sinar
putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.
Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang
mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan! Hal ini bukan aneh atau lucu
karena memang memancing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak jaman
dahulu sampai sekarang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi
Pak-sin-ong, alat pancing dan talinya bukan hanya untuk memancing ikan,
melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amatampuh. Ia menciptakan ilmu
silat yang Khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping gergajinya,
senjata pancing ini amatlah berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang
dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.
Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan
kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka
wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa.
Namun wanita itu yang hanya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan
mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya
pancing yang hendak mengait dan marenggut kerudung yang menutupi mukanya. Ia
hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada saat
pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan telunjuknya menyentil
dengan kuku telunjuk.
“Cringg....!”
Sinar putih itu mencelat kembali dan kini
pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya. Pak-sin-ong mengeluarkan suara
kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan
mudah.
“Huh, tua-tua bangka sombong yang tak
memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk
menghadiri pertemuan puncak ini!” terdengar suara wanita itu. Suaranya halus
merdu, akan tetapi amat dingin. Kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram
daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu
mengeluarkan suara melengking panjang sambil menggerakkan kedua tangan,
daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil menyambar ke arah
empat orang itu. Bahkan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah
beberapa orang pimpinan rombongan pengemis dan rombongan Thian-liong-pang
serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari tempat
persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka mengadu ilmu.
Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang
berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali!
Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata
rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh
ahli-ahli rendahan, akan tetapi dapat melontarkannya sehingga daun-daun itu
hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang
dahsyat, hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya
Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apalagi mereka sebagai
orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada
racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga
sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu
menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat
orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan
dengan tenaga sinkang yang amat kuat.
Jerit-jerit mengerikan membuat empat orang
tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang, ternyata
beberapa orang dari tiga golongan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh
tubuh mereka berubah hitam.
Beberapa helai daun menempel pada muka dan
leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggauta Thian-liong-pang, dan
lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun terbang dan
berkelojotan dalam keadaansekarat!
Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang
menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat tersembunyi,
empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang dengan
kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.
Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu
dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata, “Twanio (Nyonya)
siapakah, harap turun!” Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu
menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu
tenaga Thai-lek yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi
makin melembung
besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar,
demikian pula bajunya. Katau tidak tentu sudah pecah-pecah pakaiannya. Tak lama
kemudian ia mengeluarkan suara di kerongkongan seperti suara seekor katak
jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting
itu.
“Siuuuuutttt.... krakkk.... !” Ranting itu
berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah berikut
daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah
melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa
pukulan dahsyat itu,
Melihat kehebatan Ilmu Thai-lek-kang ini, tiga
orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau mereka
bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang
hebat ini! Juga wanita berkerudung itu diam-diam amat kaget karena tak
disangkanya bahwa Si Gundul yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar
amat lihai. Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh,
dari tempat ia duduk tadi tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa
pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti
angin taufan! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti,
wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suaranya tetap halus dan merdu
namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu
begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.
“Namaku Sian dari Istana Bawah Tanah. Baru
sekarang keluar dari bumi memasuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam
apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw.
Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba
kepandaiannya!”
Sambil berkata demikian, sepasang mata di
balik kerudung hitam itu menyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan
gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak
tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di
balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir usianya, karena
kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis remaja. Akan
tetapi, bentuk tubuh yang membayang di balik pakaian sutera putih yang tipis
itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!
Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin
terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang. Memang tidak
mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita
ini. Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang
lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun
mengenalnya. Apalagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh,
campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab peninggalan iblis
betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri. Seperti tadi
saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan tenaga sinkang
yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani menerima sambaran
hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang
tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkangnya biarpun
cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah
lebih tinggi daripada tingkat mereka!
“Huah-hah-hah!” Siauw-bin Lo-mo tertawa tanpa
menggerakkan bibirnya sehingga Kam Sian Eng memandang dengan hati
terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya
lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami?
Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!”
Kam Sian Eng mengangguk. “Hemm, kalian
berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah
mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang sembarangan, aku bersedia
untuk berkenalan. Aku setuju dengan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang
bernama Thai-lek Kauw-ong?” tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala
gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok
dengan usulnya. “Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari
pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau
sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)?” Kam Sian Eng
tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian
(Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya! Wanita ini
di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh
karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman
jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan
cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh
orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak
menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai-lek
Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa bertanding kalau di antara kita
bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng. Biarpun wanita ini mengalami gangguan jiwa
dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu mudanya ditambah
dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia tidak
kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa
bertanding menghadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan
merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu
juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan
Sian-toanio. Cocok.... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih
terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan
memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.
“Betul! Memang kita segolongan, perlu apa
bertempur?” kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari
teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas
Kerajaan Khitan.
“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan
apa?”
“Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan
apalagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata, Bu-tek Siu-lam sambil
mesam-mesem genit. Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi
melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli.
Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.
Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong dikira
senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini
lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh, memang benar! Banyak orang menyebut aku
seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak
kulihat, bagaimanakah macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di
antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap
jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci
kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat untuk menandinginya
karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.” Berkata
demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya
membayangkan kebencian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan
lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara
Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali
Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara kedua
tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Selain menaruh dendam
karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur
ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada
di Khitan.
Sejenak wajah cantik di balik kerudung itu
menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan
tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu
memusuhi Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan
tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena
semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak tirinya itu (baca
cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam
di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat
melawan kakak tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu
orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor!
Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti,
padahal ibunya adalah Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi!
Dari manakah datangnya Toksiauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis
puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan
perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum
sesat. Aku menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura
seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak
mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam
sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo.
Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng. Dia pernah mendengar dahulu
betapa antara Bengkauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan
sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS).
Karena ia mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi,
maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak
suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu
ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan
pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa
memperdulikan hal-hal lain lagi.
“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian
–toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara
kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini
kita berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan
kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling
banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi
tokoh pertama!” Thai—lek Kauw-ong berkata. Tiga orang kakek yang lain
mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah
menjawab cepat-cepat.
“Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!”
Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ
dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang
sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak,
kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada
perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang
yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!”
ia terkekeh genit.
“Ilmu kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin
Lo-mo yang dalam hatinya suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan
sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti
wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.
“Biarpun tidak ada Bengcu, namun kita
berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu.
Karena itu, kuharap saja kelak apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan
Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk
golongan yang mendukung Samwi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Samwi dapat
mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi sewaktu-waktu
perlu bantuan.”
Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini
memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan, oleh karena itu
tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk melaksanakan
cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan
kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini
berdiam dan mengerling ke arahh selatan karena pendengaran mereka yang tajam
dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian,
muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga
puluh tahun. Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga
membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong
manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya penuh
semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak
pernah tersenyum. Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang
amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di
belakang punggungnya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak
tersembul gagangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan
agung dan gagah daripada cantik, sungguhpun kemanisan wajahnya tidak akan
dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.
“Maaf, saya mewakili Guruku untuk menghadiri
pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan Bengcu baru!” kata wanita itu
sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda
penghormatan.
“Hi-hik, kalau Gurumu secantik engkau,
mengapa tidak kauajak sekalian datang ke sini, manis?” kata Bu-tek Siu-lam
sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita pakaian merah
itu.
Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum
mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih sehingga
menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan
sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian
terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe
ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng
In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!” Sambil berkata demikian ia melangkah
maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam yang memang memandang rendah
semua orang tertawa mengejek lalu berkata, “Ah, kiranya murid Siang-mou
Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan
rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai
murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah
orangnya dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku,
bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke
depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut
sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah
tertangkap.
Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya
ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian
Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi dan.... suaranya adalah suara wanita
atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
“Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang
kalau tidak dicium! Wanita adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak
ditimang!”
Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya
sudah bergerak ke depan dan “ngokk” pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah
diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou
Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua saudara
seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di
antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, di mana-mana
ia disegani dan ditakuti orang. Tak pernah ada orang laki-laki berani
mengganggunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas
karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Sekarang ia mengalami perlakuan
seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja seketika mukanya yang tadinya
merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya
berkilat.
“Lepas....!” jeritnya dengan suara melengking
nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas
kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt.... plakkk!” Itulah rambut hitam
yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke
depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang pergelangan tangan kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan
tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi karena ia tadi memandang rendah dan sama
sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat
menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai
gelang emas itu terkena lecutan ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur
merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung
tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena
luka. Ia berseru kaget dan menarik tangannya sambil melangkah mundur setindak,
kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya
yang tadi terpegang.
Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya
sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini
pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya,
dan begitu tangan kanan bergerak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil
panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak,
matanya penuh kemarahan, dan biarpun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang
cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa
ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, matanya
bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku? Hi-hik,
murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah
benar-benar hatimu terbuat daripada baja!”
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton
tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka
mengaku telah “bersaudara” atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka
bertiga tidak peduli akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang di antara
Thian-te Liok-kwi yang sudah “jatuh” itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat
adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thiante Liok-kwi
(Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang
yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan,
menyeramkan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja! kalau
Bu-tek Siu-lam suka kepada perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah
ia mendapatkannya dan memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu
tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah
mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti
oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol. Juga
Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan
meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang telah
mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih
berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton
sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut,
tentu saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia pun sudah
mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin menyaksikan
sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu. Adapun para pengemis yang
menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam, masih belum hilang kagetnya karena beberapa
orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara
mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak
berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk mereka
muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih
Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Selagi “orang
muda”, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu melakukan
penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang,
“saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru,
perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela
kehormatan Guru saya.” Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit,
tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya dan dia bukanlah
seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan.
Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria,
akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menyenangkan hatinya.
Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan
banci itu menjijikkan hati Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya
tertawa-tawa itu berubah beringas, matanya seperti mata harimau marah, lebih
lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeramkan itu
berubah dan suaranya penuh wibawa ketika ia memberi perintah.
“Buka bajumu!”
Muka Po Leng In menjadi pucat sekali, matanya
terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca,
kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka
berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin
pucat.
“Buka! Buka bajumu!”
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa
dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.
“Hemm.... hemm....!” Terdengar suara Thai-lek
Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah
permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar
memandang dan hatinya bertanya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah
Bu-tek Siu-lam atau tidak.
“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya
sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan
hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu
agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku suka mengampunimu dan
membiarkan hatimu tetap di dalam dada.
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai
bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul
lagi kemarahan dan kenekatannya.
“Bu-tek Siu-lam engkau terlalu menghina
orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”
Kata-kata itu tertutup dengan gerakan pedang.
Cepat sekali gerakan pedangnya, sehingga tak tampak bentuk pedangnya, berubah
menjadi sinar kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam,
dibarengi hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan
digerakkan oleh tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk mengenal
serangan berbahaya. Ia mengeluarkan suara terkekeh mengejek sambil menggeser
langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sempat turun
tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah.
Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelanjutan daripada
jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka
mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika
berhasil mendatangkan maut! Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini
adalah ciptaan Tok-siauw-kwi Si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada
Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah bersahabat dengan
Tok-siuw-kwi dan menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di
antaranya adalah penggunaan rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil
halus itu mengagetkan kedua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana
di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan
lawannya itu tidak seperti laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki
biasa, tentu saat itu sudah tewas oleh cengkeramannya.
Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia
terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat
terkaman ini. Po Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana
kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan
rambut panjang menyambar dari kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok
jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke
arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!”
terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam.
Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran. Kalau ia sebagai seorang
di antara lima “dewa” yang menggantikan kedudukan enam “iblis” kini tak dapat
cepat mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus
menaruh mukanya?
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut
disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara
ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia “tutup”
jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap
gumpalan rambut yang menyambar ke arah mukanya lalu mengangkat tangan kiri
yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Karena iblis banci
ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya setinggi pundaknya,
tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In kaget dan mengenali bahaya. Sambil
berseru “lepaskan” kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari
tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggencet jalan darah
pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat
mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik! Kaulihat, Kauw-ong! Apakah
murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong
menjawab sebal.
“Hi-hik, siapa bilang tidak ada gunanya?
Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot
dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya terbuat daripada baja!”
Pedang di tangan kanannya bergerak dan “brett!” pedang itu berubah menjadi
sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas
wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas
sebatas pinggang tidak berpakaian lagi! Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang
menonton permainan ini memuji. Hebat juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang
sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun
menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi
ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang
murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya,
kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja
hebat penderitaan ini. Mukanya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya
yang tidak tertutup apa-apa, matanya memandang penuh kebencian dan sama
sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah
sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya,
ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena
nyeri. Itulah sebabnya ketika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia
tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki tangan. Iblis ini
memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain
menderita. Kalau melihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan
memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan
merasa terhina!”
“Hendak kulihat sampai di mana ketabahanmu!”
gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang
panjang itu! Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat
menyayang rambut panjangnya, maka tanpa disadarinya ia menjerit ketika
rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan
telentang!
“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana
macam hati perempuan ini!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok
dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih.
Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan
karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih memandangnya penuh kebencian
dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah
menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan,
kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk
tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya
itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga
dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek
Siu-lam sudah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan
perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po
Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. “Mahluk keji tak
berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan
yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena
tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh untuk
dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang
lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih
baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!”
Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam
dimaki orang, apalagi makian demikian hebatnya. Saking heran dan kagetnya, ia
urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita
ini yang datang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana suara
itu datang, ia melihat bahwa yang datang itu seorang gadis muda remaja yang
amat cantik jelita dan yang memandangnya dengan mata berapi-api. Lebih-lebih
lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama, tiba-tiba tangannya yang
memegang pedang menjadi tergetar hebat sehingga secara terpaksa ia harus
melepaskan pedang itu yang jatuh ke tanah didekat tubuh Po Leng Ini
Kwi Lan, gadis remaja yang baru datang itu,
tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam terlepas dan jatuh
karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu kerikil, dan mengira bahwa
orang aneh itu melepaskan pedang karena gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis
yang menegur Bu-tek Siu-lam dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi
Lan. Sayang ia datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan
bertemu dengan bibi dan gurunya, Si Wanita Berkerudung. Biarpun sejak masih
kanak-kanak ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini
tidak pernah mendapat gemblengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga
segala sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh karena
Kwi Lan adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga tidak suka melihat
si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di samping ini, ia suka dan
kagum melihat kegagahan. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang
sama sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia menjadi kagum dan
tanpa mempedulikan bahwa wanita itu adalah murid Siangmou Sin-ni yang ia
pernah dengar dari gurunya adalah seorang di antara Thiante Liok-kwi, ia
segera melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.
Bu-tek Siu-lam tidak memandang kepadanya dan
hal ini mengherankan hati Kwi Lan. Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu
kini sudah meloncat berdiri dan membelakanginya! Sama sekali tidak mempedulikan
dia dan caci makinya tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri
dan melihat gunting besar terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat
menduga dengan pasti siapa orang itu.
“Hei, bukankah kau si iblis Bu-tek....” Akan
tetapi ia tidak melanjutkan teriakannya karena tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam
sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu gunting besar itu sudah berada di
tangannya, menyambar ke arah rumpun bunga di bawah pohon.
“Klik-klik!” hanya dua kali guntingan dan
tetumbuhan itu terbabat habis! Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak heran
karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan manusia. Padahal tadi
ia tahu jelas bahwa orang yang menyambit kerikil ke arah lengannya
bersembunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu dan bagaimana
dapat pergi tanpa ia ketahui?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak,
suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras. Kwi Lan terkejut dan menengok ke
kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan ternyata dugaannya tidak keliru. Dari
balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan
wajah berseri. Siapa lagi kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut
di tangan kanan dan ia berdiri dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan
ia menudingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.
“Huh, kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang
laki-laki yang suka mengganggu wanita. Alangkah jauh bedanya dengan namanya
yang menjulang tinggi!” Hauw Lam mengejek.
“Eh kau Berandal....!” Tiba-tiba Kwi Lan
berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya.
Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya
tersenyum lebar. “Heiii, kau.... Mutiara Hitam....?” Kiranya pemuda itu baru
saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ. Sejenak
mereka saling pandang.
“Awas....!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru.
Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang
sembrono, sungguhpun ia suka berkelakar. Sambaran gunting yang hebat itu telah
diketahuinya dan ia cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya dengan
kuat ke arah lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak
berhasil menggunting leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah
mengancam lengannya segera menekuk siku dan guntingnya membalik, menyambut
golok.
“Traaanggg....!” Bunga api berpijar
menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek Siu-lam
bahwa golok itu tidak patah-patah! Juga tidak terlepas dari pegangan tangan
pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup menahan
senjata yang terpukul, apalagi tergunting oleh senjatanya. Pemuda ini bukan
orang sembarangan!
“Bocah, engkau siapa dan murid siapa? Mengapa
kau berani main-main dengan aku dan menyerang secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam
menahan guntingnya dan bertanya marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada
seorang pemuda berani menandinginya, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda
ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai
dan cukup berharga untuk ditanya.
Hauw Lam menyeringai. Padahal di dalam
hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan membuat bahunya terasa
akan patah itu telah mengagetkan hatinya. Namun ia masih tertawa-tawa untuk
mengelabuhi lawan. “Hehheh, siapa tidak mengenal Bu-tek Siu-lam? Biarpun belum
melihat orangnya, namanya sudah dikenal semua orang termasuk aku. Siapa aku?
Kautanyalah kepada Nona itu, namaku Berandal karena aku suka berandalan! Kau
tanya Guruku? Ada ratusan orang, terlalu panjang kalau disebut satu demi satu!”
“Bocah ingusan! Tak kausebut juga apa kaukira
aku tidak bisa mengenal ilmu silatmu ceker ayam? Kau bergeraklah....!” Setelah
berkata demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju
lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya
membentuk lingkaran lebar yang melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup semua
jalan keluar!
“Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau memang
tampan, biarpun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau wanita?” Tang Hauw Lam
biarpun harus cepat mengelak dengan repot karena gunting itu menyambar-nyambar
dari segala jurusan, namun masih sempat berkelakar untuk memanaskan hati
lawan. Di samping ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum
bahwa ejekan-ejekannya tadi berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran
dan tentu tokoh aneh ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya
dengan cara menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya
untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membunuhnya
sebelum berhasil mengenal ilmu silatnya. Karena inilah Hauw Lam lalu menyambut
serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia peroleh dari petunjuk-petunjuk
gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar biasa, yang muncul dari dalam
kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Karena itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan
betapapun gunting di tangan Bu-tek Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun
pemuda itu dapat membebaskan diri daripada lingkaran, bahkan membalas dengan
sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.
Sementara itu, melihat munculnya Tang Hauw
Lam, Kwi Lan menjadi gembira dan ia cepat-cepat menghampiri Po Leng In. Begitu
jari tangan Kwi Lan menggerayang dan menotok atau mengusap, pulih kembali
jalan darah di tubuh Po Leng In. Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu
sekali. Rambutnya terbabat separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan
tangan kiri memegang rambut berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan
kanannya mengambil pedangnya, lalu ia sejenak memandang wajah Kwi Lan.
Kemudian ia membungkuk dan berbisik. “Terima kasih banyak, mudah-mudahan aku
akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali dengan kerikil kecil sanggup
memukul runtuh pedangku dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
“Kerikil? Meruntuhkan pedang? Aku tidak....
ah, agaknya Si Berandal yang melakukannya.”
“Si Berandal?”
“Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”
Wanita itu menengok dan mengerutkan
keningnya. Biarpun pemuda yang disebut Berandal oleh penolongnya ini cukup
lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata
Po Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan putih, dan seorang pemuda
pakaian putih telah berdiri di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu.
Ia memandang tajam dan pada saat itu, terdengar suara pemuda yang melawan
Bu-tek Siu-lam, yang biarpun terdesak masih tertawa-tawa.
“Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan
wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah mengenal ilmu silatku?”
Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia
akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu melawannya, ia sama sekali belum
dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum dapat
menduganya dari cabang persilatan mana, Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga!
Saking panas hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang
biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini
sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan tetapi karena ia
ingin memaksa Si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat ia kenal
asalnya, maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum besar diikat benang.
Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap dipergunakan bila
perlu.
“Heh-heh, memang kau bertubuh pria berhati
wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting. Eh, kau sendiri tukang
menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kautuduh aku yang bukan-bukan
menyerangmu secara menggelap?”
“Bocah setan! Kau tadi menyambitku dengan
kerikil, sekarang tunggulah, setelah mengenal ilmu silatmu, aku akan
menggunting-gunting tubuhmu kemudian menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”
“Heh-heh, tak mudah, sobat! Katanya kau suka
sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan menjahit tubuhku lalu kaujadikan
barang mainan? Cih, tidak tahu malu. Kalau laki-laki, kau tua bangka dan
kakek-kakek, kalau wanita, kau juga sudah nenek-nenek. Siapa sudi....
aiiiihhh....!” Hauw Lam berseru terkejut dan cepat ia melemparkan tubuh ke
belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi diri. Gerakan memutar
golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi
gerakannya membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan,
sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan
ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyelamatkan diri dari
sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.
“Aihhh, bukan berandal yang menyambitkan
kerikil!” Kwi Lan berkata. Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju
putih dan mengangguk-angguk, kemudian sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi
Lan lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat
malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh
lebih tinggi daripada ilmu kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak
ada gunanya berada di situ lebih lama lagi. Ia harus cepat pulang untuk
melapor kepada gurunya!
Kwi Lan belum melihat pemuda yang muncul itu,
pemuda berpakaian serba putih, karena perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang
mulai payah menghadapi lawan tangguh itu. Ketika ia bergerak hendak mencabut
pedangnya dan meloncat membantu Hauw Lam, tiba-tiba berkelebat bayangan putih
di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan
ucapan serius dan telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.
“Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai.
Kalau ia menghendaki, apakah tidak sudah tadi pemuda sembrono itu menjadi
korban guntingnya? Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya yang
aneh dan selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan
dirobohkan. Kalau Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan engkau
bahkan membahayakan keselamatannya dan keselamatanmu sendiri.”
Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang
tiba-tiba muncul dan mencegahnya membantu Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki
muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya membayangkan kematangan jiwa
sehingga tampak guratan-guratan nyata. Wajah yang tampan dan penuh kesabaran,
penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat berwibawa. Pakaiannya
sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan topinya seperti
seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam tahun.
Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini. Namun hatinya
mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.
“Justeru karena Si Berandal terdesak maka aku
akan membantunya!” bentaknya penasaran karena ia anggap orang ini aneh, sudah
tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah melarangnya membantu? “Apa kaukira aku
tidak mampu menandingi tua bangka genit itu?”
Tanpa menoleh kepadanya laki-laki itu berkata,
suaranya tetap halus namun penuh kesungguhan. “Dia itu lihai sekali dan keji,
harap Nona jangan mendekat. Akulah lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!”
Sebelum Kwi Lan sempat membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan,
gerakannya ringan sekali sehingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan
heran. Apalagi ketika pemuda itu menyerbu ke dalam pertempuran, terdengar
Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.
Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang
senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu dan pensil kayu di kedua
tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi
mengapa Bu-tek Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur? Ia tidak
tahu bahwa dalam segebrakan saja, tadi, pemuda itu telah menotok tujuh belas
jalan darah terpenting dengan sepasang senjatanya kalau mengenai sasarannya
akan cukup kuat merobohkan lawan sekuat Bu-tek Siu-lam! Karena inilah Bu-tek
Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur menghindarkan diri.
Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang
karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang pemuda itu dan pertandingan
berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar ke arahnya
dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya sambil
menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya. Gadis ini tidak menduga dan tidak
tahu siapa yang menyerangnya, maka ia yang amat percaya akan kekuatan sendiri
lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang menyerangnya dari
belakang adalah Thailek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima
“dewa”, jadi lebih lihai daripada gurunya sendiri! Tangkisannya tidak ada
artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan
tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya
sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan tak
dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong mengempit
tubuh gadis itu di lengan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat sekali
meninggalkan puncak.
“Heh-heh, biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam.
Dua orang itu akan membuatnya sibuk. Kalau aku membantu keenakan untuk dia!”
gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang sama sekali tidak mempedulikan
kesetiakawanan.
Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya
merasa penasaran bukan main karena sebegitu lama belum juga dapat membuka
rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua
macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini karena mendatangkan dua macam
angin pukulan yang berlawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang
mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam kehalusan gerak ini tersembunyi
tenaga yang amat dahsyat. Tahulah ia bahwa pemuda baju putih ini bukan orang
sembarangan pula. Diam-diam ia mengeluh. Pemuda berandalan yang bergolok besar
itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui pemuda-pemuda
sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat aneh yang tak dikenalnya sama sekali.
Sekarang muncul pemuda lain yang demikian dahsyat ilmunya. Benar di dunia
telah muncul jago-jago muda yang amat hebat!
“Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau
siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau sahabat dia.... eh, Si Berandal
mentah ini?”
Sebelum pemuda baju putih yang pendiam dan
berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki berandal mentah sudah
mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu malu! Makin banyak
datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit! Ataukah engkau hendak
menggunakan lagak perempuan lacur untuk merayu dan menyembunyikan rasa
takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini membantuku dan menyerangmu karena
semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek Siu-lam adalah seorang
manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut
dibasmi....”
“Siuuutt.... klik-klik....!” Gunting besar
itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan pinggang Hauw Lam.
“Haya.... sayang tidak kena....!” Hauw Lam
berhasil menangkis dengan goloknya, guntingan pertama ke arah lehernya, namun
goloknya sempat terlepas dari tangannya yang terasa panas dan pada saat
guntingan ke dua ke arah pinggangnya mengancam sehingga jalan satu-satunya
baginya untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke belakang dan
bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena berarti ia
kalah, mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih menolongnya, menangkis
gunting sehingga pemuda yang nakal biarpun mukanya pucat dan dahinya
mengeluarkan keringat dingin, masih sempat mengejek juga!
Kembali Bu-tek Siu-lam, tercengang. Tangkisan
Hauw Lam tadi, sungguhpun cukup kuat, akan tetapi tidak mengherankan karena
senjata pemuda itu adalah sebatang golok besar yang berat. Akan tetapi,
biarpun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental dan ia merasa
tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga lengannya terasa
kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar matanya memandang wajah
pemuda itu dengan penuh perhatian.
Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini
sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal, ia pernah menjadi orang
kepercayaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam (pembesar kebiri) yang
dipercaya untuk mengurus segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan
tetapi karena sebelum menjadi thaikam, Bu-tek Siu-lam telah memiliki ilmu
kepandaian tinggi, maka biarpun dikebiri, ia tetap menjadi seorang laki-laki
yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu kehilangan kemampuannya sebagai
laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena
pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat menjadi thaikam itu
hanya melenyapkan kemampuannya mendapat keturunan saja.
Biarpun dengan kenyataan ini diam-diam dapat
merajalela dan merusak kesusilaan yang dijaga keras di dalam istana dengan
melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para puteri dan selir raja, namun
pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat pengebirian,
mendatangkan sifat kewanita-wanitaan kepada dirinya seperti kepada
thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain, timbullah kesukaan
aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada pemuda-pemuda
tampan, hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik!
Kebiasaan seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin
tidak normal dan boleh dibilang mendekati gila! Dan akhirnya, karena dia
tampan dan telah berhasil melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir,
ia ketahuan dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja
yang marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke
timur dan berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup dalam dunia
pengemis.
Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang
tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya hati seorang kakek mata
keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang mengejek dan
menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian. Kemudian muncul pemuda baju
putih yang pendiam dan juga amat tampan wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan
suka sekali, apalagi mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian
yang hebat, lebih lihai daripada Si Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi
apakah ia dapat mengalahkan pemuda ini dengan mudah.
“Orang muda, boleh juga kepandaianmu.
Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Siu-lam tanpa alasan?”
Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya
tenang sekali. “Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku mendengar tentang namamu yang
besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu. Aku she Kiang, bernama
Liong, dari kota raja. Memang tidak ada permusuhan di antara kita, aku hanya
tidak ingin kau mencelakai orang lain. Sobat muda ini benar karena telah
menolong seorang Nona yang hendak kauperhina....“
“Hi-hik, jadi engkaukah yang menyambitkan
kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal sombong ini, dan....”
“Ah....!” Tiba-tiba Hauw Lam memotong,
memandang pemuda baju putih itu tanpa menghiraukan Bu-tek Siu-lam lagi.
“Kiranya Kiang Kongcu....! Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota
raja Sung, putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas....!”
Pemuda baju putih yang mengaku bernama Kiang
Liong itu menahan senyum. Memang tidak salah dugaan Hauw Lam. Pemuda baju
putih ini memang benar Kiang-kongcu, putera Pangeran Kiang yang sulung. Para
pembaca ceritaCINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat bahwa ibu pemuda ini
bernama Suma Ceng dan sebelum Suma Ciang menikah dengan Pangeran Kiang, ia
telah mengandung anak sulung ini! Jadi siapakah ayah pemuda ini? Bukan lain
adalah Suling Emas! Sebelum menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling
cinta dengan Suling Emas dan karena kedudukan mereka tak memungkinkan
perjodohan di antara mereka, maka dengan nekat mereka melakukan hubungan gelap
yang mengakibatkan Suling Emas disiksa (ketika itu belum sakti) dan Suma Ceng
dikawinkan dengan Pangeran Kiang. Tentu saja Kiang Liong sendiri tidak tahu
akan hal ini yang menjadi rahasia besar dan hanya diketahui oleh dua orang
saja, yaitu tentu saja Suling Emas dan Suma Ceng.
Bagi Kiang Liong, Suling Emas adalah pendekar
sakti yang ia kasihi, hormati dan taati, karena Suling Emas adalah gurunya yang
menggemblengnya sejak ia masih kecil. Masih teringat olehnya betapa ketika ia
berusia sepuluh tahun, pada suatu malam Suling Emas memasuki kamarnya, dengan
sikap manis mengajaknya bercakap-cakap kemudian mengajaknya keluar dan mulai
malam hari itulah ia menjadi murid Suling Emas. Murid terkasih dalam rahasia,
bahkan ibu kandungnya sendiri tidak mengetahui akan hal yang dirahasiakan ini.
Lima tahun kemudian, setelah ia berusia lima belas tahun, barulah ayah ibunya
tahu akan hal ini. Ayahnya marah-marah, akan tetapi setelah mendapat penjelasan
ibunya, marahnya mereda dan sejak itu ia menjadi murid Suling Emas secara
berterang.
Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau
bertemu dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu
mengajaknya berlatih di dalam taman bunga.
“Sobat baik, engkau terlalu memuji. Akan
tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau segera dapat mengenalku “
Adapun Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa
pemuda itu adalah murid Suling Emas, menjadi kaget dan kagum sekali,
disamping perasaan tidak enak di hatinya. Dari sambaran batu kerikil yang
mengenai lengannya dan tangkisan pensil terhadap guntingnya saja sudah
membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian pemuda itu. Kalau muridnya sepandai
ini, betapa hebat kepandaian gurunya yang dianggap musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!
“Heh-heh, kiranya engkau murid Suling Emas?
Bagus sekali! Orang muda yang tampan, kaukatakan kepada Gurumu bahwa kalau dia
memang seorang pendekar sakti, boleh dia menghadapi Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa
Tanpa Tanding)!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Hemmm,
Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan mereka itu?”
“Hi-hik, pantas sekali engkau belum tahu
karena nama itu baru tadi dilahirkan. Dengarkan baik-baik dan kauceritakan
kepada mereka yang menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kang-ouw. Butek
Ngo-sian mulai hari ini menguasai dunia persilatan yang kalian sebut kaum sesat
sebagai pengganti Thian-te Liok-kwi yang telah lenyap! Pertama-tama adalah aku
sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, kemudian Siauw-bin
Lo-mo, Pak-sin-ong, dan Sian-twanio. Sayang kau datang terlambat, kalau tidak
tentu dapat berjumpa dengan mereka. Akan tetapi, dapat kuperkenalkan Thai-lek
Kauw-ong....!” ia menoleh ke arah raksasa gundul tadi duduk lalu berseru,
“....ehhh.... kemana Kauw-ong?”
“Heeeiii, mana dia Mutiara Hitam....?” Hauw
Lam juga berseru sambil memandang ke sana ke mari. “Kiangkongcu, tentu dia
dibawa lari setan gundul tadi. Mari kaubantu aku mengejarnya!”
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang tenang
dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan tetapi ia pun merasa khawatir karena
tidak melihat bayangan dua orangitu. Ia merasa heran betapa kakek gundul itu
dapat bergerak sedemikian cepatnya dan tanpa ia ketahui. Hal itu saja sudah
jelas membuktikan bahwa kakek gundul itu tentu lihai bukan main. Ia mengangguk
lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih dahulu.
Bu-tek Siau-lam terkekeh ketawa. “Hi-hi-hik,
Kauw-ong, engkau mencari penyakit! Tidak membantuku malah membawa lari gadis
galak tadi. Biar kaurasakan betapa lihainya orang-orang muda sekarang,
hi-hi-hik!” Ia lalu turun dari puncak, memberi isyarat kepada anak buahnya yang
segera bergerak mengikuti datuk itu turun gunung.
***
“Hei, kakek gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku,
dan ke mana?”
Thai-lek Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang
dikempitnya itu tenang dan ketus, sedikit pun tidak membayangkan rasa takut. Di
samping ketabahan ini, juga menurut perhitungannya, gadis yang sudah ia
lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya dapat bicara lagi. Kemudian, rasa
kagetnya bertambah ketika secara tiba-tiba tubuh yang ramping itu meronta dan
tangan kanan Kwi Lan menyambar dahsyat ke arah lambungnya. Thai-lek Kauw-ong
adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang memiliki tenaga hebat dan kuat
sekali, maka tentu saja ia pun mengenal pukulan yang mengandung tenaga
sin-kang amat berbahaya ini. Untuk menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada
lain jalan baginya kecuali melepaskan kempitannya dan menggunakan pinggulnya
yang digerakkan tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi
Lan terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal, namun tamparan tangan
kirinya pada pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak gagal sama
sekali.
“Plakk!” Dan tubuh Thai-lek Kauw-ong
terhuyung sedikit. Ia terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang Kwi Lan
yang sudah berdiri dengan sikap gagah dan muka mengandung kemarahan. Tentu saja
kakek kosen ini sama sekali tidak tahu akan latar belakang peristiwa ini. Kwi
Lan adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang menurunkan ilmu aneh, ilmu-ilmu
silat tinggi yang dipelajari secara sesat, sehingga menghasilkan ilmu yang
lain sekali daripada ilmu silat tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali
daripada aselinya. Demikian pula dalam melatih lwee-kang dan memperkuat
sin-kang, Kwi Lan mempunyai cara berlatih yang amat aneh sehingga hasilnya pun
luar biasa dan kadang-kadang ia dapat melakukan hal dengan sin-kang yang takkan
dapat dilakukan oleh ahli lwee-keh yang sudah lebih tinggi tingkatnya! Inilah
sebabnya mengapa dalam berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu singkat saja
Kwi Lan sudah mampu membebaskan diri. Menurut perhitungan Thai-lek Kauw-ong,
totokannya itu akan melumpuhkan lawan selama dua belas jam. Akan tetapi, baru tiga
empat jam ia lari turun gunung, gadis itu sudah mampu membebaskan diri, bahkan
sekaligus menyerangnya dengan pukulan maut!
“Hemm, kau boleh juga, patut menjadi. murid
Thai-lek Kauw-ong!” Kakek gundul yang tidak pandai bicara itu berkata sambil
mengangguk-angguk.
Kwi, Lan selain pemberani, juga amat cerdik.
Ia kini tidak berani memandang rendah orang lain. Sudah terlalu banyak ia
melihat orang-orang pandai yang ilmunya. luar biasa seperti Pak-kek Sin-ong,
Lam-kek Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi pun ia melihat betapa lihainya Bu-tek
Siu-lam. Kakek gundul tinggi besar ini tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas
memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Buktinya, tanpa dapat ia cegah tadi telah
menawahnya sedemikian mudahnya. Setelah kini mendengar bahwa kakek itu
menawannya dengan niat mengambilnya sebagai murid, Kwi Lan menjadi lega hati
dan tersenyum mengejek.
“Kakek gundul, jangan kau mimpi pada siang
hari! Kau ingin menjadi Guruku? Sungguh lamunan kosong! Sampai di manakah
tingginya ilmu kepandaianmu maka kau mempunyai keinginan seperti itu? Apakah
kau mampu menandingi....Bu Kek Siansu?”
Thai-lek Kauw-ong membelalakkan kedua matanya
dan mulutnya terbuka. Sejenak ia tidak mengeluarkan suara. Sudah terlalu lama
ia mendengar tentang nama besar Bu Kek Siansu yang disebut oleh segala macam
golongan dengan sikap hormat dan kagum, bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat
betapa orang-orang pandai demikian menghormat, biarpun ia sendiri belum pemah
jumpa, sedikit banyak ia merasa segan juga. Akan tetapi kini mendengar ucapan
gadis ini yang mengandung tantangan ia segera menjawab.
“Aku ingin mencoba kepandaiannya? Apakah dia
Gurumu?”
“Bukan. Sayang aku bukan muridnya karena kalau
aku muridnya, tentu sejak tadi kau sudah menggeletak tanpa nyawa lagi. Kau
belum cukup pandai untuk menjadi Guruku kalau kau belum mampu menandingi Bu Kek
Siansu!”
Panas hati kakek itu. Selama ini, sudah
puluhan tahun ia tidak pernah menemui lawan yang sanggup mengalahkannya.
Selama puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di laut timur telah
menghasilkan ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping himpunan tenaga
Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong
yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan dengan mengambil dasar
gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di pulau-pulau kosong. Di samping
Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya sepasang gembreng amat hebat.
Suaranya saja sudah dapat merobohkan seorang lawan tangguh. Tidak
mengherankan apabila kakek ini tidak pernah bertemu tanding dan
kemenangan-kemenangan itu membuatnya haus, haus akan pertandingan-pertandingan
baru dan ke menangan-kemenangan baru.
“Boleh coba! Hayo siapa yang dapat mengalahkan
aku?” seru kakek itu sambil berdiri tegak, agak membungkuk seperti seekor
monyet besar.
Kwi Lan tertawa lalu berkata, “Wah, lagaknya!
Tentu saja, karena tahu di sini tidak ada siapa-siapa lalu mengeluarkan ucapan
besar dan bersumbar! Sekarang begini saja, eh.... siapa namamu tadi?”
Thai-lek Kauw-ong menyipitkan matanya,
memandang penuh perhatian. Masih terbayang ia akan Bu-tek Siu-lam yang
mempermainkan Po Leng In tadi dan diam-diam ia membayangkan bahwa gadis di
depannya ini jauh lebih cantik jauh lebih indah bentuk tubuhnya daripada Po
Leng In! Thai-lek Kauw-ong bukan seorang bermata keranjang, bahkan sudah
puluhan tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita. Namun, perbuatan, Bu-tek
Siu-lam tadi membuat hatinya bergerak dan nafsu yang sudah lama tidur
kini ikut bergerak hendak bangkit kembali.
“Orang menyebutku Thai-lek Kauw-ong,”
jawabnya singkat.
“Wah, cocok. Memang mukamu seperti raja
monyet! Dan melihat nama julukanmu, tentu engkau memiliki tenaga besar.
Nah, sekarang coba kauperlihatkan
kepandaianmu agar dapat kubandingkan dengan ilmu-ilmu yang pernah kusaksikan
dari Bu Kek Siansu.”
Thai-lek Kauw-ong berpikir sejenak.
Ia harus mendemonstrasikan kepandaian,
terutama tenaganya untuk menundukkan gadis yang beraniini. Ia melihat sebatang
pohon tak jauh dari tempat itu, maka ia mendapat pikiranbaik. Ia menudingkan
telunjuknya ke arah pohon sambil berkata.
“Kaulihat, dari tempat ini aku sanggup sekali
pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!”
Kwi Lan memandang dan ia tercengang. Betulkah
itu? Seorang yang memiliki sin-kang amat hebat sekalipun, sekali memukul dari
jarak jauh paling-paling hanya akan membikin rontok puluhan , helai daun.
Pohon itu daunnya amat lebat, tidak hanya puluhan, bahkan ratusan dan ribuan
helai daunnya! Mungkinkah kakek ini akan mampu memukul rontok semua daun itu
hanya dengan sekali pukul? ia tidak percaya dan menggeleng kepala, tersenyum
lebar dan berkata.
“Kakek sombong, bagaimana aku bisa percaya
kalau tidak melihat buktinya sendiri? Akan tetapi kau harus merontokkan semua
daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan.”
“Hemm, kaulihat baik-baik!” Thai-lek Kauw-ong
berseru, panas juga hatinya diejek dan digoda oleh nona yang pandai bicara itu.
Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk kedua lututnya
sampai hampir berjongkok, tubuhnya merendah dan ia mengumpulkan tenaga
Thai-lek-kang, kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk ujung
menempel di kedua pangkal paha matanya mencorong memandang ke arah pohon itu,
kemudian dari kerongkongannya keluar suara kasar dan parau seperti suara burung
gagak dan kedua tangannya didorong ke depan, agak ke atas mengarah pohon.
Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua. lengan tangan raksasa gundul ini
menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon, membuat batang pohon seperti
didorong tenaga raksasa sehingga miring dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang
sehingga semua daunnya rontok dan melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah
ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.
Kwi Lan terkejut sekali. Sekilas pandang saja
ia dapat melihat bahwa kakek itu benar-benar telah berhasil merontokkan semua
daun pohon sekali pukul! Ketika ia melihat daun-daun rontok berhamburan
sebagian melayang ke arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga
menggerakkan kedua tangan cepat sekali, menyambar dan menangkap beberapa helai
daun lalu mengerahkan tenaga sin-kang menyambitkan daun-daun itu ke arah dahan
pohon. Daun itu masih melayang-layang akan tetapi melayang ke atas dan dengan
tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!
“Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masi, ada beberapa
helai daun yang tinggal, tidak rontok semua!” Kwi Lan mengejek, Gadis ini tidak
peduli apakah kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak karena ia memang
hanya berniat menggangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk
membuktikan bahwa ia pun bukan tidak memiliki kepandaian.
Dan sebetulnyalah bahwa kakek itu telah
melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan. Raksasa gundul yang sudah berdiri
tegak kembali napasnya agak terengah karena tadi ia telah mempergunakan
tenaga besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rohtok dan
tentu saja ia tadi melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia
segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan gerakan Sian-twanio
ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!
“Eh, Nona.... apa hubunganmu dengan
Sian-twanio....?”
Kini Kwi Lan yang menjadi tercengang. Ia
cukup cerdik untuk menghubung-hubungkan sesuatu persoalan. Kakek gundul ini
agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata rahasia maka
menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.
“Bibi Sian adalah Guruku. Apakah kau kenal
dengan Guruku?”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak
banyak cerita, hanya mukanya yang menjadi berseri gembira. “Hemm, dia itu adik
termuda dari Bu-tek Ngosian. Aku yang paling tua. Kausebut aku Twa-supek (Uwa
Guru Tertua)!”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada
hubungan ini? Siapa dan apakah Bu-tek Ngo-sian itu? Guruku tidak pernah
bercerita tentang itu kepadaku.“ bantahnya meragu.
Thai-lek Kauw-ong mengangguk. “Tentu saja.
Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama. Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga
Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke lima Gurumu. Bu-tek Ngo-sian
menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi.”
Kwi Lan tidak puas. Biarpun ia tahu bahwa
gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadang-kadang tidak waras jalan
pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya. Mana mungkin
gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini? Betapapun juga, hal
itu merupakan pertolongan baginya, karena setelah kakek itu tahu bahwa dia
murid Sian-twanio, tentu tidak akan diganggunya.
“Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh
saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat
menjadi muridmu.”
Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi
menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin mengambil murid, hanya
terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek Siu-lam
mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab.
“Bukan murid. Kita orang sendiri. Kautemani
aku beberapa hari. Keponakan harus bersikap manis kepada Supeknya.” Sambil
berkata demikian, sepasang mata itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak
menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan pandang matanya. Kwi Lan bergidik.
Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapl
biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau hatinya
terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang mata Si Kakek
Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia merasa ngeri,
sungguhpun hal ini belum menimbulkan rasa takut.
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor
kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan karena seolah-olah membebaskan dia
pada saat yang tegang. Mereka berdua menengok dan tampaklah dua orang
penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian
indah dan gagah, penuh hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang panglima
Khitan. Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan bulu burung yang amat indah,
sikap mereka angker dan gagah. Melihat sikap mereka dan cara mereka duduk di
atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing ini tentu memiliki ilmu
kepandaian tinggi, apalagi gagang dan sarung senjata yang tergantung di
pinggang mereka berhiaskan emas permata! Kwi Lan sama sekali tidak tahu
panglima-panglima dari mana mereka itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa
mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena inilah, otaknya yang
cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek Kauw-ong.
“Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama sekali
tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan dua orang penunggang
kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau memang gagah perkasa!”
Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh
tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena terlalu lama bertapa
mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan tentu
saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia sama sekali
tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan hatinya untuk mengalihkan
perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang penuh nafsu berahi tadi, dan
menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio besar-benar belum merasa yakin
akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera menjawab.
“Baik, kaulihatlah!”
Sambil berkata demikian, tubuhnya yang tinggi
besar itu sudah berkelebat membuat loncatan tinggi melayang ke arah dua orang
penunggang kuda yang sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah
udara, kakek itu sudah menyambar ke depan dan kedua tangannya mencengkeram ke
arah pundak dua orang panglima itu sambil berseru keras.
“Turun kalian....!” Suaranya keras,
sambarannya cepat.
Akan tetapi dua orang panglima itu
biarpun merasa ngeri, ternyata benar-benar bukan orang sembarangan. Tampak
bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak dengan
jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring.
Terdengar suara keras dari patahnya tulang-tulang punggung kedua ekor kuda itu
disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua ekor kuda besar yang kini
berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat dibayangkan betapa
hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul
dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan tulang-tulang punggung patah-patah
Dua orang Panglima Khitan yang bertubuh tinggi
besar, hampir sama dengan bentuk Thai-lek Kauw-ong itu sesungguhnya bukanlah
orang-orang biasa. Mereka itu keduanya adalah dua orang panglima yang
berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan yang mukanya brewok dengan jenggot
panjang adalah panglima barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya
antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju depan dada. Nama kakek ini adalah
Hoan Ti-ciangkun. Adapun orang ke dua yang bermuka bengis adalah Loan
Ti-ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal pada
lukisan pilar benteng di depan dadanya. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun
inilah adanya dua orang panglima yang belum lama ini telah menyampaikan surat
dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas. Selain ilmu kepandaian kedua
orang panglima ini lihai, juga mereka berdua merupakan utusan-utusan ratu
setiap kali pemerintah Khitan mengadakan hubungan dengan raja-raja di selatan.
Oleh karena itu, keduanya amat mahir berbahasa selatan untuk memudahkan
perkenalan, mereka pun memakai nama Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun.
Mereka merupakan panglima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak
muda mereka sudah menjadi perajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan
mereka berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi.
Tanpa sebab sama sekali kini mereka dalam
perjalanan pulang ke Khitan telah diserang Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda
mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja mereka menjadi marah sekali di
samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai orang-orang berpengalaman, mereka
maklum akan keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka
menindih perasaan amarah. Hoan Ti-ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus,
menoleh ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan, mengelus jenggotnya dan
menarik napas panjang.
“Kasihan, kalian menderita tanpa dosa.”
Setelah berkata demikian, Hoan Ti-ciangkun melangkah maju setindak dan tangan
kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan jarak
jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu berhenti
berkelojotan karena pukulan yang tepat mengarah kepala itu membuat dua ekor
blnatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti-clangkun bersama kawannya
mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.
“Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari
Khitan merasa belum pernah kenal dengan Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan
sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami? Siapakah Lo-suhu?”
Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang
amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua orang panglima itu
sehingga tidak mengherankan apabila Ratu Khitan mengagkat mereka sebagai
utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah pimpinan
Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan rakyat selatan.
Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat Kerajaan Sung tidak berdaya
dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan, padahal kerajaan-kerajasn
lain telah ditaklukkannya.
Siapa kita, ucapan yang halus dan merendah itu
malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah. Hal ini karena dua orang panglima
itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi seorang hwesio. Agaknya
karena ia berkepala dundul maka orang Khitan itu menyangkanya hwesio, tidak
tahu bahwa gundulnya adalah gundul aseli, bukan karena dicukur, melainkan
gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lek-kang!
“Aku Thai-lek Kauw-ong bukan pandeta. Aku
orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada permusuhan. Hanya kalian harus
mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian, kakek
gundul itu sudah menerjang maju kalang-kabut, menggunakan kedua lengannya yang
besar dan kuat.
Dua orang panglima Khitan itu mendongkol
bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul yang bukan hwesio ini telah
membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena
ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik,
mereka berdua yang mentaati pesan ratu mereka tentu akan suka mengakui
keunggulan Si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang, maka
keduanya cepat mengelak dan bahkan kini balas menyerang.
“Ji-wi Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali.
Harap Ji-wi suka kalahkan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua
orang panglima itu dapat menduga sebabnya mengapa Si Gundul ini bertindak
secara edan-edanan. Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja Si Gundul ini
hendak memamerkan kepandaian kepada Si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua bangka,
mukanya seperti monyet, masih hendak berlagak di depan seorang gadis remaja!
Pikiran ini membuat kedua orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka
lalu berdecak dan menyerang sungguh-sungguh.
Dua orang panglima itu adalah orang-orang
gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka melakukan penyerangan. Biarpun
mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata tajam, namun melihat bahwa
lawan mereka tidak memegang senjata, mereka juga tidak mencabut senjata,
melainkan maju menerjang dengan kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa
biarpun mereka berdua adalah panglima-panglima Khitan, namun mereka memiliki
ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya tahan,
juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.
Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa
dua orang ini bukan orang sembarangan, akan tetapi tidak mengira bahwa mereka
memiliki lweekang demikian kuatnya, maka karena ia merasa khawatir kalau-kalau
tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan
diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera mengeluarkan seruan keras sekali dan
tubuhnya lalu bergerak berpusingan dengan kedua lengan dikembangkan. Hebat
bukan main akibatnya gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin
menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh
kakek itu makin cepat berputaran, angin pun makin hebat pula berpusingan.
Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Jarang sekali
Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan ilmunya yang ampuh ini, sekarang karena dalam
hatinya timbul dorongan nafsu dan ingin sekali ia membuat Kwi Lan kagum akan
kepandaiannya, ia hendak merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu sesingkat-singkatnya!
Dua orang panglima itu terkejut bukan main.
Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu sedemikian lihai. Betapa pun
dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai menggigil dan perlahan-lahan
tubuh mereka mulai mendoyong dan akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong
berputar, makin hebat tenaga angin berpusing yang menyedot, mereka tak dapat
mempertahankan diri lagi dan terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang
amat kuat itu. Terlambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan
selagi mereka berdua mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu
yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke mana,
dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hongsin-ciang yang hebat itu.
Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun, berusaha mencabut senjata mereka,
namun terlambat, karena pada saat itu, sambil memutar-mutar tubuhnya, kedua
lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua tamparan mengenai pundak Hoan
Ti-ciangkun dan dada Loan Ti-ciangkun. Dua orang panglima itu mengeluh dan
terlempar ke belakang, masih berputar karena kini mereka terbawa angin,
kemudian roboh terguling-guling! Pada saat itu terdengar suara
melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup dengan
indahnya. Namun, ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara suling yang
masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan mengandung pula pengaruh
yang membuat jantung Kwi Lan berdetak keras. Seketika tubuhnya menjadi lemas
dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut sekali gadis ini. Sebagai
murid Kam Sian Eng, tentu saja ia maklum bahwa suara melengking yang
merupakan nyanyian suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya
malah pernah mengajarkan kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan
suara ini, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan pengaruh
yang begini hebat sehingga secara langsung merampas tenaganya! Gurunya
sendiri tidak akan mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum
bahwa hal ini amat berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk
bersila dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melindungi jantungnya.
Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi terkejut
sekali ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi sehingga tubuhnya
yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan niat
hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang panglima Khitan
itu, dan menghentikan gerakannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk
melawan suara itu. Tiba-tiba suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di
situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang bagian bawah mukanya
tertutup sehelai saputangan. Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang
suling dan kepalanya terlindung sebuah topi lebar pinggirannya yang sudah
butut. Thai-lek Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar
girang. Inilah seorang lawan yang tangguh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan
perlawanan gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima
Khitan yang tiada guna itu.
“Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”
“Thai-lek Kauw-ong sejak engkau turun ke dunia
ramai, engkau telah mengangkat nama besar dengan perbuatan-perbuatan keji dan
ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu di sini dan kembali engkau telah
berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaianmu. Andaikata aku tidak
mengambil pusing sulingku ini saja tentu takkan membiarkan engkau melakukan
segala macam keganasan sekehendak hatimu sendiri!” Sambil berkata demlkian, orang
itu menggerakkan sulingnya di depan dada dan tampak sinar kuning emas
berkelebatan menyilaukan mata.
“Ahhh.... engkau.... Suling Emas?” Thai-lek
Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang berubah menjadi sinar kuning emas
itu.
Sebelum Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah
berkata cepat, “Thai-lek Kauw-ong, engkau mengalahkan dua panglima itu masih
tidak aneh. Kalau kau bisa mengalahkan Suling Emas, barulah kau boleh menyebut
orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian.
Suling Emas mengerutkan keningnya. Bocah itu
benar-benar bersikap berandalan dan nakal. Ia tahu bahwa gadis ini mulutnya
amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang berusaha mengadu kakek gundul ini
dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan nakal, dan teringatlah ia kepada
Lin Lin atau Ratu Yalina, dahulu di waktu mudanya juga seperti gadis ini.
Ataukah seperti Kam Sian Eng? Kalau gadis ini murid Sian Eng, agaknya puteri
adik tirinyaitu. Ia tahu bahwa Sian Eng telah menjadi korban cinta kasihnya
kepada Suma Boan, putera pangeran yang jahat itu dan setelah Suma Boan tewas
di tangan Sian Eng dan Lin Lin, Sian Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah
gila dan secara aneh dan mendadak telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat!
Puteri Sian Engkah gadis cantik yang liar dan nakal ini?
“Hemm, kebetulan sekali. Pak-sian-ong
mengatakan kau lihai, ingin aku mencobanya. Suling Emas, kausambutlah
seranganku ini!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek gundul itu
kembali berputar-putar amat cepatnya, seperti ketika ia menyerang dua orang Panglima
Khitan tadi. Makin lama makin cepat gerakannya dan mulai terdengar angin
berdesing menyambar keluar dari kedua lengan tangannya yang dipentang lebar.
Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka begitu
menyerang, Thai-lek Kauw-ong sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu
Soan-hong-sin-ciang!
“Aahhh, sayang sekali ilmu yang begini hebat
menjadi milik seorang yang gila nama dan kemenangan.” kata Suling Emas sambil
menarik napas panjang. Menghadapi angin yang mulai berpusingan itu Suling Emas
bersikap tenang sekali, menyelipkan sulingnya di pinggang kemudian berdiri
tegak menghadapi lawan yang kini sudah berpusingan amat cepatnya itu. Makin
cepat tubuh Thai-lek Kauw-ong berputar dan angin yang berpusing di sekeliling
tubuhnya amat kuat. Dengan angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil
membuat dua orang Panglima Khitan terhuyung-huyung. Kini melihat sikap Suling
Emas yang berdiri tenang dan biarpun pakaian pendekar sakti ini berkibar
tertiup angin yang berpusing, namun tubuhnya tetap tegak, sedikit pun tidak
bergeming. Thai-lek Kauw-ong lalu berseru keras dan tubuhnya yang berputar itu
mulailah bergerak menyerang. Inilah ilmu Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan
dengan sepenuhnya. Tubuh itu berpusingan sukar dlikuti pandang mata saking
cepatnya, bagaikan telah berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap
berpusingan ini secara tak tersangka-sangka melayang, keluar dua buah lengan
tangan yang melakukan pukulan-pukulan dahsyat.
“Hebat....!” Suling Emas memuji. Ia kagum sekali.
Kecuali Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang tiba-tiba muncul kembali dan
yang ia ketahui memang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, sejak mati atau
mundurnya Thian-te Liok-kwi, belum pernah ia bertemu tanding yang memiliki ilmu
kepandaian seperti ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang dimainkan kakek
gundul ini lain daripada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing
itu saja sudah mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan
mengamuk, atau pusaran angin yang menghanyutkan. Kalau saja ia tidak memiliki
sin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret dan kuda-kuda goyah,
berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri dari
serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor naga menyambar keluar dari awan
tebal itu.
Memang lihai sekali Thai-kek Kauw-ong dan ia
patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Ilmu silatnya. Soan-hong
Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan tetapi sekali ini ia bertemu dengan
,Suling Emas, seorang pendekar sakti yang sudah matang ilmunya. Tadi
pun ketika
Thai-lek Kauw-ong merobohkan dua orang Panglima Khitan dan mengirim pukulan
maut hanya dengan suara sulingnya saja Suling Emas sudah mampu “menangkis” atau
mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan suling tadi pun bukan sembarang
tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat tinggi, yang diperoleh Suling Emas
yaitu yang disebut Kim-kong Sin-kiam.
Kini menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang
dimainkan dengan sungguh-sungguh serta disertai tenaga dalam, amat kuat itu,
Suling Emas menghadapinya dengan tenang. Ia maklum akan lihainya kakek ini dan
ia juga merasa sayang. Biarpun belum jelas mengenal kakek ini orang macam apa,
akan tetapi sepanjang pendengarannya, kakek ini semenjak muncul dari pulau di
lautan timur, selalu mencari perkara dan suka sekali berkelahi, namun tidak ia
dengar kakek ini mempunyai anak buah penjahat. Maka ia pun tidak ingin
membunuhnya, merasa sayang melihat Ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Dengan
tenang namun waspada, Suling Emas lalu menggerakkan kedua tangannya.
Jari-jarinya terbuka dan telunjuk kedua tangannya membuat gerakan
mencorat-coret di udara kosong. Hanya tampaknya saja mencoret-coret menulis
huruf dengan telunuk di udara, namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in Bun-hoat
dimainkan oleh seorang ahli yang sudah matang!
Thai-lek Kauw-ong terkejut setengah mati.
Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret, namun semua pukulannya terpental
membalik, dan dua buah telunjuk itu sedemikian kuatnya sehingga menembus pusaran
angin, langsung melakukan totokan-totokan pada jalan darah di seluruh
tubuhnya. Karuan saja kakek gundul ini menjadi sibuk sekali, menangkis dan
mengelak. Biarpun ia menangkis dengan kedua tangannya dan mengelak cepat-cepat,
agaknya kedua tangan dan elakannya masih belum cukup untuk melindungi tubuhnya
karena yang menyerangnya bukan lagi dua buah telunjuk, melainkan puluhan buah
telunjuk! Demikian cepatnya gerakan Suling Emas. Selain terkejut, juga kakek
gundul ini kagum sekali. Timbul kegembiraan hatinya karena baru kali ini ia
bertemu tanding yanghebat. Ia segera menghentikan pusingan tubuhnya dan
melayani gerakan Suling Emas dengan sama cepatnya. Setelah tubuhnya tidak
berpusing lagi, ia tidaklah begitu terdesak karena kini ia dapat mencurahkan
seluruh perhatiannya ke satu jurusan saja, yaitu ke depan. Ia masih
mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia sengaja mengadu lengan sambil
mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa lawannya itu sama sekali tidak takut
beradu tangan setiap kali kedua lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental
mundur dua langkah, akan tetapi biarpun tubuh Thai-lek Kauw-ong tidak terpental
mundur ia merasa lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal ini berarti
bahwa Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menang seusap
dalam tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi besar
adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!
“Suling Emas, kau hebat!” Kakek gundul itu
biarpun merasa penasaran, namun ia tidak marah melainkan kagum dan gembira.
“Kausambutlah ini!” Sambil berkata demikian, tubuhnya yang sudah mencelat
mundur itu kini berjongkok dan dari kerongkongannya keluar bunyi burung gagak,
kemudian kedua tangannya yang terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah
Suling Emas!
Suling Emas belum pernah mendengar akan ilmu
kepandaian Thai-lek Kauw-ong maka tadi ia kagum dan mengira bahwa Soan-hong
Sin-ciang itu adalah ilmu simpanan atau ilmu yang diandalkan kakek gundul itu.
Ketika melihat kakek itu mencelat mundur dan berjongkok, ia sudah menduga bahwa
kakek ini tentu mengeluarkan ilmu lain macam lagi, maka ia waspada dan memasang
kuda-kuda. Ketika mendengar suara seperti burung gagak keluar dari
kerangkongan kakek itu, ia terkejut bukan main. Ia pernah mendengar.... tentang
ilmu yang amat dahsyat dan yang suaar dimiliki orang, kecuali oleh mereka yang
sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu lwee-kang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang,
semacam Ilmu yang dimiliki seekor katak. Dengan ilmu ini, katak yang demikian
kecil dapat mempunyai tenaga yang dahsyat sekali. Ia pernah mendengar penuturan
tentang Hoa-mo-kang dan Si pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya juga mengeluarkan
suara dari kerongkongannya seperti suara katak. Kini kakek gundul ini
berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara dari
kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini? Suling Emas yang cerdik
itu segera teringat akan julukan kakek gundul itu. Tak salah lagi, tentulah
ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan inilah yang membuat kakek
itu dijuluki Thai-lek. Setelah dengan cepat dapat menduga akan dasar ilmu
pukulan ini, timbul keinginan hati Suling Emas untuk mencoba pukulan lawan
tangguh ini sampai di mana batas kekuatannya. Karena ia tidak mau sembrono dan
membahayakan diri sendiri, maka ia hanya mempergunakan tenaga sebanyak tiga
perempat bagian saja sedangkan sisa tenaganya ia, persiapkan untuk dipakai
meringankan tubuhnya dan meloncat menghindarkan diri.
Melihat Suling Emas berani menyambut
Thai-lek-kang dengan dorongan kedua tangan dari atas ke bawah kakek itu
menjadigirang. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia akan menang. Boleh jadi ia
tidak mampu menandingi ilmu silat Suling Emas yang demikian ajaib, akan tetapi
dalam hal pertandingan mengadu tenaga, tak mungkin ia kalah kuat. Selama hidupnya,
belum pernah ada orang yang sanggup mengalahkan Thai-lek-kang. Sekali ini pun
ia harus dapat menangkan lawan tangguh ini dengan pukulan Thai-lek-kang, maka
sambil mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hawa
panas mengalir bagaikan banjir keluar dari pusarnya melalui kedua lengan.
Bagi pandangan orang lain, pertemuan dua
tenaga sakti di udara itu tidak kelihatan dan seakan-akan tidak ada apa-apa.
Namun bagi kedua orang sakti ini, seakan-aikan halilintar menyambar dan meledak
di atas kepala mereka. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang tangan itu hanya
saling menyentuh ketika keduanya mendorong ke depan, namun keduanya merasa
seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling Emas terdorong dari bawah dan karena
pendekar ini memang sudah waspada, ia segera menggunakan sisa tenaganya untuk
meringankan tubuh sehingga ia berhasil “mematahkan” tenaga dorongan dari kedua
tangan lawan dengan cara membiarkan tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir
empat meter tingginya! Tidak demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa
gundul ini menggunakan seluruh tenaganya dan ia berdiri kokoh kuat di atas
tanah, biarpun ia menang posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah, akan tetapi ia
seperti tergencet dan begitu dua tenaga sakti itu bertemu, kedua kakinya amblas
ke dalam tanah sampai ke lutut! Selain ini, juga kakek gundul ini merasa
napasnya sesak dan seakan-akan dadanya hendak meledak. Thai-lek Kauw-ong
terkejut dan maklumlah ia bahwa lawannya benar-benar amat lihai sehingga kalau
ia terus menggunakan Thai-lek-kang untuk melawannya, akan terancam bahaya dan
bisa menderita luka parah di dalam tubuh. Sebagai seorang ahli ia tidak bodoh
dan tidak mau mengulangi penggunaan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang biasanya
amat dia andalkan itu. Sekali ia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya sudah
meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke tanah sudah tercabut keluar dan
di kedua tangannya tampak senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang gembreng.
“Aha, kiranya kepandaianmu hanya sebegitu,
saja, Thai-lek Kauw-ong? Belum lecet kulitmu belum patah tulangmu, kau sudah
mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya sebegitu kepandaianmu, mana boleh engkau
mengangkat dirimu sebagai orang pertama Bu-tek Ngo-sian? Melawan Guruku saja
,kau belum tentu menang!”
Panas rasa perut Thai-lek Kau-ong mendengar
ejekan Kwi Lan ini. Suling Emas juga mengerutkan kening. Benar-benar seorang
gadis yang bermulut tajam dan berbahaya. Bocah seperti itu patut ia
telungkupkan di atas pangkuannya dan dipukuli punggungnya sampai minta-minta
ampun dan bertobat! Ia tahu bahwa kakek gundul ini merupakan lawan yang
tangguh dan sudah merupakan ahli tingkat atasan yang sukar dicari tandingnya.
“Suling Emas, coba kausambut senjataku ini!”
Thai-lek Kauw-ong yang kini menjadi penasaran dan marah oleh ejekan Kwi Lan,
bergerak maju, sepasang gembrengnya mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika
ia adu-adukan. Tubuh Suling Emas berkelebat dan di depan tubuhnya tampak
bergulung sinar kuning emas, yaitu sinar senjata sulingnya yang sudah ia cabut
dan gerakkan untuk menangkis datangnya senjata lawan yang hebat.
“Trangg.... trangggg....!” Mata Kwi Lan
menjadi silau karena bunga api yang berpijar keluar amat terang, kemudian
disambung oleh suara beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya tergetar.
Gadis ini menjadi kagum dan kaget, apalagi ketika dari suling yang digerakkan
tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi nyaring yang menandingi
bunyl nyaring sepasang gembreng. Riuh-rendah suara suling dan gembreng ini dan
Kwi Lan segera menjatuhkan diri duduk bersila. Ia menyatukan semangat dan
mengatur pernapasan sambil memandang penuh perhatian. Dua orang itu tampak
bergerak makin lama makin cepat. sehingga sukar dibedakan lagi mana Suling Emas
mana Thai-lek Kauw-ong.
Adapun suara gembreng dan suling amat aneh.
Makin lama makin terasa oleh Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang kini
digunakan sebagai senjata itu mulai membentuk irama tertentu seakan-akan dua
orang itu tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu bersama!
Akan tetapi, makin merdu suara suling dan
makin nyaring suara gembreng, makin hebat pula pengaruhnya sehingga akhirnya
Kwi Lan tidak dapat menahan lagi untuk memandang pertempuran itu. Ia makin
mengerahkan tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan telinganya saja
untuk mendengarkan suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia mengakui
kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong dan ia merasa sangsi apakah gurunya
akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu. Makin besar pula kagumnya
terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti daripada Thai-lek
Kauw-ong. Biarpun tingkat kedua orang ini lebih tinggi daripadanya, namun
pertandingan tangan kosong disusul pertandingan adu tenaga dalam tadi dapat ia
ikuti dengan seksama dan ia tahu bahwa dalam dua pertandingan terdahulu itu
Suling Emas berada di pihak unggul.
Makin lama suara suling dan gembreng saling
serang dengan irama yang cocok, jalin-menjalin, seling-menyeling, kadang-kadang
malah ganas dan marah saling menghimpit, akan tetapi adakalanya merdu merayu
seperti sepasang orang muda bercumbu rayu. Akan tetapi kurang lebih seperempat
jam kemudian suara suling makin nyaring melengking, sebaliknya suara gembreng
makin kacau balau dan menyeleweng daripada irama bahkan terdengar parau tidak
keras lagi. Mendengar ini. Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul,
maka ia mengangkat muka memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek
Kauw-ong mulai kacau-balau, sepasang gembrengnya yang berubah menjadi dua
gulungan sinar kebiruan menjadi makin ciut dan kecil, sebaliknya sinar, kuning
emas menjadi makin besar dan panjang, bergulung-gulung menekan dan menghimpit
dua gulungan sinar kebiruan. Namun gerakan mereka masih sama cepatnya sehingga
tubuh mereka tertutup oleh gulungan sinar senjata.
“Cukuplah!” Tiba-tiba terdengar suara Suling
Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik kembali sulingnya yang sudah
menekan dan membuat lawan hampir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan
sepasang mata bersinar dan mulut di balik saputangan ia berkata, “Thai-lek
Kauw-ong, ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa
terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu.”
Thai-lek Kauw-ong juga menghentikan
gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak ternganga dan napasnya
terengah-engah, mukanya agak pucat penuh peluh, juga pakaiannya basah semua,
tangan kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah menngatur
napas dan tidak begitu terengah-engah lagi ia berkata.
“Suling Emas memang lihai. Lain kali bertemu
dan bertanding lagi!” Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan
bajunya menyimpan gembrengnya lalu pergi dari situ dengan langkah lebar.
“Heeei!, Kauw-ong, tentu lain kali kau
mengajak teman-temanmu mengeroyok, ya?” Kwi Lan mengejek. Kakek gundul itu
tidak menjawab, terus melangkah pergi.
“Eh, Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut
Twa-supek lagi? Tidak mau mengambil murid kepadaku? Heeei....!” Akan tetapi
Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya
lenyap di sebuah tikungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek,
dan baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.
Suling Emas berdiri tegak, mengerutkan
keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu mengejek dan tertawa-tawa
bebas, ia menggeleng-geleng kepalanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda,
akan tetapi ada keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa
sungkan, akalnya mengadu domba, semua ini condong ke arat watak yang liar dan
tidak baik.
“Nona, apakah dia itu Twa-supekmu (Uwa
Gurumu)?” ia bertanya ketika gadis itu menghentikan tawanya dan kini berdiri
di depannya, memandangnya penuh perhatian. Kekaguman memancar daripada mata
gadis itu dan entah. bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan ia agak
gugup melihat pandang mata seperti itu!
“Dia? Twa-supekku? Ah, hanya menurut
pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah terbentuk Bu-tek Ngosian dan
ia menjadi orang nomor satu sedangkan Guruku menjadi orang nomor lima, malah dia
menyuruh aku menyebutnya Twa-supekku. Mana aku percaya? Guruku mana sudi
bersekutu dengan dia?”
Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke
bawah. “Bukankah Gurumu yang bernama Kam Sian Eng?”
Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali.
Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya? Ia sendiri baru satu kali
mendengar gurunya menyebutkan namanya, yaitu ketika gurunya bicara dengan
anggauta partai pengemis yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan
menerimahajaran. Ia mengangguk heran dan bertanya.
“Eh, bagaimana kau bisa tahu namanya?”
Kini Suling Emas tersenyum di balik
saputangannya. Kalau sudah bertanya sambil memandang seperti itu, benar-benar
gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu! “Tentu saja aku tahu karena
sebenarnya aku adalah kakak Gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus
kaupanggil Twa-supek!”
Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali
tidak pernah disangka-sangkanya. Gurunya adik Suling Emas? Akan tetapi
mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, kekasih ibu
kandungnya! Mengapa begini kebetulan?
“Harap.... harap kau suka membuka saputangan
itu!”
“He? Apa.... mengapa?”
“Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku
ingin menyaksikan wajah Twa-supekku, bukan hanya orang berkedok saputangan.”
Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan
ia merenggut saputangan yang menutupi bagian bawah mukanya.
“Bukankah kau pernah melihat wajahku di
Kang-hu?”
“Benar, akan tetapi hanya sebentar saja.”
jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan penuh garis-garis pengalaman
pahit itu. “Hemmm, aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!”
Kata-kata terakhir ini keluar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan
dan penyesalan. Pada saat itu, Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan
sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia membuka baju,
juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah kekasih
ibu kandungnya! Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu
Khitan?
Suling Emas terkejut, akan tetapi segera
tersenyum, “Hemmm, kau masih salah sangka agaknya. Engkau menganggap, aku
kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh engkau membuka bajumu?
Ah, anak nakal jangankan kini mengetahui bahwa engkau murid Sian Eng dan masih
murid keponakanku sendiri. Andaikata tidak tahu sekalipun, aku bukanlah
seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar kepada seorang gadis
remaja. Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum
selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar
engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka
seperti yang diderita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai dari Pak-kek
Sian-ong.” ,
Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari
dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang kembali peristiwa itu dan ia
pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar ini. Akan tetapi dasar wataknya
yang keras, ia tidak mau mengakui begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.
“Huh, kakek gila tua bangka itu mana mampu
begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan kurang waspada maka dapat
terluka. Aku tidak luka apa-apa!”
Suling Emas mula-mula heran dan kagum
mendengar ini, kemudian ia mengangguk-angguk. “Agaknya engkau telah mewarisi
ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka engkau dapat terhindar dari
pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian
yang hebat, akan tetapi sayang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun
sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang hormat.” Biarpun mulut
Suling Emas masih tersenyum namun sepasang matanya memandang penuh teguran.
Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba
memandangnya dengan penuh selidik, kemudian terdengar gadis itu bertanya,
suaranya lantang dan agak menggetar perasaan.
“Suling Emas.... ada hubungan apakah antara
engkau dan.... Ratu Khitan....?”
Seketika wajah yang tenang dan sudah agak
pucat itu menjadi makin pucat, sepasang mata pendekar itu menyipit dan
keningnya berkerut, kening tebal yang hampir bersambung setelah dikerutkan
seperti itu. Pertanyaan yang tak disangka-sangkanya sama sekali ini datangnya
terlalu tiba-tiba, lebih-mengagetkan daripada tusukan sebuah pedang yang
tajam.
“Apa....? Apa.... maksudmu....?” Ia tergagap sambil
menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan kekerasan dan kesungguhan.
“Adakah Ratu Khitan itu dahulu pernah menjadi
kekasihmu?” Kwi Lan menyerangnya dengan langsung dan tajam.
Kalamenjing di leher Suling Emas
bergerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti menelan kembali
jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Takkuasa ia menjawab dan tanpa
ia sadari, ia mengangguk sungguhpun hatinya mulai dikuasai kemarahan mendengar
akan pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini.
Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat
gadis ini membanting-banting kaki seperti orang marah sekali dan suara gadis
itu bercampur isak. “Kalau kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu,
kenapa sekarang kau berada di sini dan meninggalkan dia?” Ucapan ini disertai
pandang mata yang tajam menusuk melebihi sepasang pedang pusaka sehingga
Suling Emas melangkah mundur setindak. Akan tetapi pendekar besar ini sudah
dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat wajahnya yang
pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar
berpengaruh, kedua tangannya dikepalkan. Gadis ini terlalu lancang, terlalu
kurang ajar. Biarpun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian Eng sekalipun,
terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak bersikap seperti
itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian kurang ajar!
“Bocah kurang ajar tak tahu kesopanan!”
bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya ditudingkan ke arah muka
Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh tantangan. “Lancang benar mulutmu.
Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu Khitan? Ada sangkut-paut
apakah dengan dirimu?”
Suling Emas yakin akan kewibawaan suara dan
pandang matanya, apalagi pada saat itu setelah kemarahannya bangkit dan semua
tenaga sin-kang terkumpul di dadanya. Lawan yang tangguh sekalipun akan
tergetar. Gadis ini sama sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia
melangkah maju setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia menudingkan
telunjuk ke arah muka gadis itu, kini gadis itu menudingkan telunjuknya ke
hidung sendiri sambll menjawab ketus.
“Huh, mau tahu? Dia adalah Ibu kandungku!”
Setelah berkata demikian, sambil mendengus seperti sapi betina marah, Kwi Lan
membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.
Jawaban ini seperti halilintar menyambar di
atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati Suling Emas sehingga ia
berdiri terlongong dengan muka pucat, memandang ke arah lenyapnya bayangan
gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai
hatinya dan ia berseru. “Heii, tunggu jangan lari....”
Akan tetapi baru saja ia menggerakkan kaki
hendak lari mengejar, ia mendengar suara dua orang Panglima Khitan yang tadi pingsan
oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah siuman kembali,
“Tai-hiap....!”
Suling Emas menahan kakinya dan menengok.
Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah Panglima-panglima Khitan, utusan Lin
Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar keterangan tentang Lin Lin
dan.... gadis yang mengaku anaknya itu. Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi
Lan karena dari sikap gadis itu ia pun merasa sangsi apakah jika dapat
menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu memberi penjelasan. Hatinya tenang
kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka,
ia membuka saputangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu
melihat wajah di balik saputangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi
girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu mereka di
Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan diri
berlutut.
“Terima kasih kami haturkan atas pertolongan
Taihiap, terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa Taihiap masih belum
melupakan sahabat-sahabat dari Khitan.” kata Hoan Ti-ciangkun yang berjenggot
panjang.
Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun
kedua panglima tua itu. “Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku ingin membicarakan
hal penting.”
Setelah mereka bangkit kemudian bersama
mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling Emas menceritakan
maksud hatinya.
“Pertama-tama kuharap Ji-wi berjanji bahwa
Ji-wi tidak akan membuka rahasiaku kepada siapapun juga. Hanya kepada Ji-wi
saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin minta pertolongan Ji-wi.
Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai Suling Emas?”
Dua orang panglima itu saling pandang,
kemudian mengangguk. “Kami berjanji.” kata mereka berbareng.
“Juga takkan membuka rahasia kepada ratu
kalian?”
Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka
terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi, mengingat bahwa mereka tadi tertolong
nyawa mereka oleh Suling Emas dan permintaan itu pun tidak melanggar sesuatu,
mereka kembali menyatakan setuju.
Lega hati Suling Emas. Ia ingat kembali siapa
dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini takkan mungkin mau
melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah dari Khitan, jujur dan setia.
“Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi ini Loan Ti Ciangkun dan Hoan
Ti Ciangkun, pembantu-pembantu utama Panglima Kayabu?”
Kembali dua orang panglima itu mengangguk.
Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima Besar Kayabu, dan Suling
Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka pun tahu bahwa Suling Emas
ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena itu, kedudukan Suling Emas di mata
mereka seperti seorang Pangeran Khitan yang harus mereka hormati. Hanya saja,
mereka tidak menyebut pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu
tidak suka disebut demikian.
“Ji-wi Ciangkun.” katanya, “Semenjak
meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di istana.
Sukakah kalian memberi penjelasan kepadaku tentang keadaan ratu kalian? Tentu
kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya? Apakah
ratumu itu sudah mempunyai putera?”
Dua pasang mata itu berseri gembira. “Ah,
sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini,
mempunyai seorang putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu
yang kami hormati dan cinta.”
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas,
jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya berkunang.
Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin
menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya
dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang
utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya
yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita,
merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih
kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali
hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu
sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam,
biarpun Suling Emas berhasil menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah
rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan menggunakan
saputangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan
menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya dengan
terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti
Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian parah seperti keadaan seorang
yang lemah saja?
“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua),
maafkan aku. Beritamu ini benar-benar mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah
amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu
sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia
seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa.”
Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan
itu yang kaget dan melongo, saling pandang kemudian kembali memandang Suling
Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak
pernah.... tak pernah menikah!” Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah
mendengar ratunya dikatakan menikah karena hal ini dianggapnya suatu
penghinaan. Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti
mengapa Suling Emas menduga demikian, maka ia juga cepat menyambung.
“Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap
maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan adapun putera beliau itu adalah putera
angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu dahulu adalah putera dari Panglima
Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh ratu kami.”
Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa
lapang, seakan-akan sebongkah batu besar yang tadi menindih jantungnya kini
terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia
tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha....!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas
pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang,
terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti
berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik
angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Talibu.
Dan.... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua orang panglima itu benarbenar heran.
“Puterinya? Puteri siapakah, Tai-hiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak
lain kecuali Pangeran Talibu!”
“Hee....? Ada seorang gadis bernama Mutiara
Hitam.... dan.... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan
muai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung,
mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya.
Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya
akan kesetiaan dan kecintaan hati ratu itu kepadanya. Kemudian, tentang
pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa, sebagai pangeran,
juga hal yang tidak mengherankan. Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang
mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang
berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa mengaku sebagai
anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat
itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang
dimaksudkan Lin Lin? Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang,
mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang
disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh
tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan. Kalau tidak ada
urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek
kembali luka yang sudah hampir kering? Betapapun besar keinginan hatinya untuk
bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik
kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji
Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu, aku akan memenuhi
surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan berkunjung
ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada
orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu,
“Tentu saja kami suka membantu Tai-hiap.” jawab Hoan Ti Ciangkun, “akan
tetapi...., bagaimana caranya?”
“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku,
akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu-satunya
hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan
Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar
sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah
kalian membantuku?”
Dua orang panglima itu menganggukangguk tanda
setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap
Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang perwira
penjaga benteng.”
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk sungguhpun
di dalam hatinya ia merasa heran. Memang aneh-aneh sikap orang-orang sakti di
selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti
menyamar seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari
kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut
dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini sebagai lelucon.
Setelah berunding, kedua orang panglima itu
mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika
mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi seorang
kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.
***
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut
bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati
berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua
puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupa itu. Dan mari
kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran
terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang
Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di
situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong
pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong
tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi
ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang
diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun
tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan
pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-kim yang tadi ia gantungkan
pada sebatang pohon. Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya
bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka bermain yang-kim.
Yang-kim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan
jangan dikira bahwa yang-kim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena
pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biarpun Kiang Liong seorang putera pangeran
yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi
perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan seorang pemuda bangsawan
pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda
yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan
penyelidikan ke perbatasan barat, darimana muncul ancaman baru bagi
keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata
mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau
Kwang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung
memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan
menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak
ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur
laut dan utara. Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua,
kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama
makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai
Cung menjelang hari tuanya. Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang
kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan
dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan
tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik inilah yang menyebabkan
Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya sehingga tidak
lagi kerajaan ini mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara,
melainkan menggunakan emas dan perak untuk “menyogok” dan menawan hati calon
musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung.
Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain,
terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung
dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia
adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti
kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merobah atau membelokkan
Agama Buddha dan Tao demi keuntunganpribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya
adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi
kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama
sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyusun kekuatan untuk
melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh
Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan
tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama
berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama
sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya,
tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan
kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya
bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa
perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai
bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji. Mereka melihat akan kelemahan
Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta
murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di
antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapa banyak orang pandai dan sakti
dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk
mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal
batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para
panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan
saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya
diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya
maka Kiang Liong melakukan perjalanan, keluar kota raja dan secara kebetulan
pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam
tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan
pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi
sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek
Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat
dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi
terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw Lam,
menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita
belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku
sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau
boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kausuka. Kalau aku bertemu dengan iblis
itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu.... eh, siapa nama
Nona tadi?”
“Mutiara Hitam.”
“Mutiara Hitam...., tentu dia bukan sembarang
orang dan biarpun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis
itu untuk mencelakainya.”
“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar
kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!” kata
Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan
nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa,
namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku Si Berandal!”
Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat dan
melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri dan tersenyum,
menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri. “Bocah itu
mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak
baik....” Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan
perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya
kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan
meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan
penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang
diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan,
bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang
mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini
memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang
mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah melanjutkan perjalanannya selama
beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya,
juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia
memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa
Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan. Tak seorang pun di antara
penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan
barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas tampak bekas amukan mereka
pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang
mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami
korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan
penculikkan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan
ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah
berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang
menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia.
Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah
menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong
teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke
dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya. Karena
banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun
yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang
terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk
mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang
itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai
berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan
dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini
dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh
serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah
merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya
tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan
rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis tercantik
yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa. Namun tidak ada seorang
pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan
seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua
pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa,
sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta,
sebaliknya para anggauta barisan juga taat kepada pimpinan para perwira.
Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak
barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah
memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke
Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan
Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum
Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling
Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia
sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong
mempercepat perjalanannya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan
Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu.
Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara
Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai
hampir sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul
mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni
lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia
mendengar suara ramai-ramai di sebelahdepan. Ia merasa curiga. Daerah tandus
ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak
pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu
menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara
wanita marah-marah. Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah
tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang
laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita
dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi
kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua
puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan
ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia
menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah
ia perlu turun tangan menolong.
Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan
daerah selatan yang panas. Seorang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan
agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna
kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak
delapan belas tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di
belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan
galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir
keluar dari negeri kami, masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sungguh
kebetulan,sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas
hatiku!”
“Betul, Adikku. Kita harus bunuh
anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita.” kata gadis yang
berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang
masing-masing.
“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik
manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!”
Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata
sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung
dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau
mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum
dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang
menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang
Hsi-hsia, seorang diantaranya adalah Si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis
itu sudah mulai turun tangan, gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam.
sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh
binasa. Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang
Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali dan kalau tadinya mereka bergembira
hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak
kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari
pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari tempat
pengintaiannya tidak bergerak, ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan
orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak
membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam tahun yang
lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih
remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga
memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka
menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua
orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar
pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta
petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari
adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu Ketua Bengkauw. Yang tua
bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih muda, bernama Kam
Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu,
Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis
itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian
kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan
dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali
mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya.
Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan
bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah.
Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang
gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan
memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai
gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang
sakti.
Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong
namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai
seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang
sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat
menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun tangan
kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor
naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna putih berkilauan seperti
perak, menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari
orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi
seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya
mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!”
seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang
hendak lari. Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah
tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia
yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu
menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian,
namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan
Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang
di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah
dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih
dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak
bernyawa lagi! Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa
duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam
dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,
“Adik-adik....! Cukuplah....!”
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih
kemerahan dan beringas, membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan
baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang
berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu
sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan
tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang
punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera
mengenal orangnya.
“Liong-twako (Kakak Liong)....!” mereka
berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong, wajah mereka
yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua
pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali
pedang yang tadi dipakai mengamuk.
“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada
di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?”
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk
Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu
enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu
pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia
sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya. Melihat adiknya
menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi yang lebih tua hanya
berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata,
“Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako....!
Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang
telah menyerbu Nan-cao.... dan.... dan.... dalam pertempuran.... Ayah dan Ibu
kami telah gugur....”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Untung tadi ia
sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan terkejut sekali.
Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk
membangkitkan semangat.
“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka
sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup
manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian
Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat
terhormat dan sungguhpun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian
beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah mendengar bahwa bangsa
Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua
kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan pemuda itu tentu akan menjadi hiburan
yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apalagi kalau diingat bahwa dua
orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri
yang gagah perkasa dan masih cucu Ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi
sungguh di luar dugaan Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur
dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat
mereka telah menangis lagi tersedu-sedu. Kemudian Siang Hui yang kini berkata
dengan suara penuh duka.
“Liong-twako, malapetaka itu lebih hebat
daripada yang kauduga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang gugur, bahkan Han Ki,
adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan.... Kong-kong (Kakek)
serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan musuh....“
“Apa....” Kini Kiang Liong tak dapat menahan
kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat. “Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu
menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan
Beng-kauw?”
“Diantara barisan Hsi-hsia terdapat
orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan
Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan
barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw.
Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu
kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah tua yang cantik dan
berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya
buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil
menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami.
Liong-twako, kautolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong
adik kami Han Ki.”
“Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi,
ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu
dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek
Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram
karena berita duka yang hebat itu agak berseri, “Ahhh, jadi Locianpwe Kauw
Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”
Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air
matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih mengundurkan diri dari
Beng-kauw dan pergi bertapa di Puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari
malapetaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu
denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biarpun tentara Hsi-hsia
sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih berkeliaran di sekitar
tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang
agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan
nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di Pegunungan
Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”
Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua
tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar
dua meter lebih, terhuyung-huyung.
“Eh, ada apa, Twako....?” Siang Hui menegur,
juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil
membalikkan tubuhnya kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah
peluru hitam yang menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu
tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka
dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi
korban. Mereka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang
dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah menjadi bukti
bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kautangkas
juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh
kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi. Kakek ini amat
kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput, bajunya tak berlengan,
kedua pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa.
Kuku tangannya panjang-panjang seperti kuku setan, melengkung runcing.
Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai
sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong bambu
besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam
menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan
terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak
membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa
orang didepannya ini adalah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk
golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya.
“Agaknya saya berhadapan dengan seorang
Cian-pwe. Selamanya, belum pernah saya Kiang Liong dan kedua orang adik saya
ini bertemu dengan Cian-pwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu
menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”
“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku
mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata
keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu
dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Bengkauw? Kalau
bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang
bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan
diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo,
seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo
dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap
keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya
tidak mempunyai kehormatan untuk menjadi anggauta Beng-kauw yang terkenal,
akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati,
sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat
mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!”
“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali
besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin
Lo-mo menerjang maju. Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan
senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari
tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung
racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya!
Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang
sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia akan mampu merobohkan lawannya
yang masih muda. Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran
ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu
tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping
kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda
itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah
memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang
pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil kayu!
Sebetulnya kalau menurutkan wataknya sebagai
seorang pendekar yang enggan bersikap curang, melihat lawan bertangan kosong,
Kiang Liong hendak melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi, serangan
pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan
mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa
lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia
tidak segan-segan lagi untuk mencabut keluar sepasang pensilnya. Juga gerakan
kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan
yang amat tangguh tidak di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai
itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo ketika melihat
betapa gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang
senjata di tangan Si Pemuda, juga terkejut bukan main. Senjata itu saja sudah
merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan sembarangan karena
hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mempergunakan senjata
sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah senjatanya, makin
tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang
belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan
Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh
Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa
dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini
ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguhpun ia maklum bahwa
lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda
seperti engkau mampus di tanganku. Kaulihat kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia
menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi.
Ternyata ilmu silatnya tangan kosong dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang
bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu
terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak
terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat
menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan
ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong
tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan
keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat
mengelak dan menghindarkan diri dari rangsangan serangannya, bahkan balas
menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan
totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan dekat
siku. Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang
karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah
mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keyakinan
Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya
sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang
baja pelindung pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban
totokan!
“Heh-heh, kau berani mati!” bentaknya sambil
bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merobah gerakan. Kini kuku-kukunya yang runcing
itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram
pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat
apabila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman
yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi
terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang
runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu
benar-benar amat menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya. Kini bahkan
kakek itu mulai berloncatan seperti monyet, akan tetapi secara tidak
terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan
berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari
kaki yang dapat membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang runcing itu
mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pansil bulu di tangan kanan Kian
Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil
kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras
ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu
yang melanjutkan gerakan tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri
Kiang Liong. Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram, cepat ia
menggeser kaki ke kanan sehingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput.
Pada detik itu secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak
menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya.
Kiang Liong kaget dan menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke
arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan
lawan.
“Breettt....! Takkk....!”
Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung.
Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjatanya di depan
tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga,
kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher
menerima totokan sambil mengerahkan sin-kang dan tangan kirinya cepat-cepat
mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main,
cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang
semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan
pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur
melalui pensil kayu itu adalah tenaga sin-kang murni dan kuat, maka akibatnya
cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa
lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong
lalu merobah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjatanya itu
dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia menggerakkan
sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah
lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas
tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Silau rasanya mata Siauw-bin
Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali.
Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya bahkan berusaha merampas
sepasang pensil yang amat lihai itu, namun sia-sia hasilnya malah hampir saja
ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret
seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan maut dan setiap
gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang keluar
dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat
membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang
mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan,
jangankan hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa
itu.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa
ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang
diturunkan oleh Suling Emas kepadanya! Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang
dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan
kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang
disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah menguasai sastra
secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu
menguasai Hong-in Bun-hoat. Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat
tinggi yang sudah matang pula. Biarpun Kiang Liong adalah seorang pelajar yang
pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya,
namun ia hanya mampu menguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini.
Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau seluruhnya
membutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti Suling Emas. Betapapun, yang
delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin
Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton
pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan kehebatan sepak
terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu
Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah
tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan
Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu
dengan sepasang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan
diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran
ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu. Dalam pandang matanya, kini
ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di
tubuhnya membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan
diri, Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama
hidupnya ia bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa
penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari
keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah
benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua “telur” itu ke
atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara meledak dua kali dan asap
putih tebal menyelimuti sekelilingnya.
Kiang Liong terkejut dan dapat menduga bahwa
asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat
mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan
totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang
Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap
mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan
gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi, kakek aneh ini sekarang sudah mengambil
bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia membuka sumbat
bambu itu dari dalam bambu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah
semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan memasuki
paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat.
Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya dikebutkan dengan pengerahan
tenaga sin-kang asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling
gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap beracun. Kiang Liong
cepat mengerahkan gin-kangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat
melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat keluar dari kurungan
asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya
sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua
orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
“Kui-moi....! Hui-moi....!” Ia memanggil
dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir
sekali. Mungkinkan Si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap
berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin
rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan
diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya.
Apalagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis
lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan.
Kiang Liong menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah
dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat
tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa
ditipu dan dipermainkan lawan.
“Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!” teriaknya
marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju dan lanjutkan pertandingan.
Tak ada, gunanya bersikap pengecut dan melarikan gadis-gadis itu!”
Betapapun kerasnya ia berteriak, tiada
jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan pandang mata seperti harimau marah,
Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi
ke Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu
kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan
Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia
harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui
dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong
dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia
berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik
gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan
Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal
Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya
kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang
amat erat dengan Bengkauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak
kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat
larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki,
adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas
berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan
kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau
tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sampai
tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu
mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi
gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anakanak pamannya,
Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika
akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk
pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu
melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang
diduganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan
perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah perginya Siang Kui dan
Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman
Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja?
Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki Pegunungan Kao-likung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung
karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada
penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak
tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw.
Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas
di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang
dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran akhirnya ia dapat melihat sungai
itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di
bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih
menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang
Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan
lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung
oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala
gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua
puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat
menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah
seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap
waspada dan juga girang karena tanpa disangkasangka ia mendapatkan jejak
markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan
berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan
Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan
kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang
penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana
engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan
kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat
mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan
Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali
untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona
yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus.
Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak
sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini
dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan
serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang
Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka.
Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka
dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan
ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini
berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang
Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa
mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang
nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu.
Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang
pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang
lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal
ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak
parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala
gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu,
gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja
agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu,
tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan
perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau
dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang
ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia
menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang
Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki
Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya
menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia
menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan
berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras
gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing
yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu
mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi
kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan
tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan
mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai
dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng
kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa
orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak
panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang
mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia
merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak
orang sendirian saja. Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah.
Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya.
Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya.
Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata
rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia
memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran,
cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
“Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke
bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!”
Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai
seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat
secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang
berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan
membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon
siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata
bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia
menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon
itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus
berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap
ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan
seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas
kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di
dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati
dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang
mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata
terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat
bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah
tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat
lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun, pula mengejarnya.
Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata
rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan
sambarannya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya
untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya
yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun
alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini
mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia
robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah
yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi
ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni
tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan
tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan
hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di
depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat
sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar suara halus
memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita
cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu
besar.
Memang banyak terdapat batu-batu besar
sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu
yang gugur dan longsor dari lereng gunung. Ia tidak tahu siapa wanita itu,
akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat
boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu
lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap
dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas
tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu
sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya,
terdengar suara halus.
”Ke sini.... masuk ke guha ini....!”
Suara itu datang dari sebuah guha yang
terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan
batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu
terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan
memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di
sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan
tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat
dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka
berhadapan dan wajah wanita itu cantik manis. Kiang Liong merasa pernah
melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt.... belum waktunya bicara.” wanita itu
berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya,
ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah di
sini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki
tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan
kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata
lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah
ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang
kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam!
Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini.
Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou
Sin-ni!
“Kau.... kau.... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt, mereka tentu sudah dekat....!” Wanita
itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh
pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya
yang terancam pengeroyokan puluhan orang. “Bersembunyi pun percuma, tentu
mereka akan dapat menemukan kita.” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang
keluar.
Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus
menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu. Kau di sinilah aku yang akan menahan
mereka. Kaulihat saja, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu
melangkah keluar dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia
harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka
saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras
mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar
saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap keluar. Karena
betapapun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya,
apalagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni,
maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah
batu untuk mengintai keluar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu
besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir
lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong
berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya
tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh
dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis cantik manis itu melayang naik
ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke
bawah,
“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan
ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali lima orang pendeta yang usianya
sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang jelas memperlihatkan
tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap
hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu.
Mereka mengangkat kedua tangan depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian
seorang di antara mereka menjawab.
“Kiranya Kouwnio (Nona) yang berada di sini.
Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpakaian putih.
Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh beberapa orang
anggauta pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat
di sini....” Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu
dengan pandang mata tajam penuh selidik.
“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu.”
kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia sudah melayang turun
di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu
besar.
Lima orang itu saling pandang, kemudian yang
tertua bicara lagi.
“Akan tetapi, Kouwnio. Ada di antara kami
yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“
“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua
kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian
bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari Guruku berarti
mempunyai derajat lebih tinggi daripada kalian yang hanya menjadi anak buah
Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan
musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah kalian menghina murid
Guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruhnya benar-benar
hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat wajahnya dan mereka menundukkan
muka.
Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang
Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda
ini sebagai tamu, sungguhpun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah
merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian
wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam seringkali mereka membicarakan
wanita ini dalam sendau gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani
menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang dikejar lari ke jurusan
ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi lari ke sini!”
“Masa harus membiarkan dia lari?”
“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai
ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga, khawatir sekali. Kalau
mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia
mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras
dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yanp terjadi, tak mungkin ia dapat
membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!” Bentaknya ketika melihat pasukan
itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti menghina Guruku! Siapa
menghina Guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya
lebih keras daripada batu ini?”
Setelah berkata demikian, Po Leng In
menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu
menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil
seperti pecut. Ujung rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan....
pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan-akan
dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan
orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru
kali ini menyaksikan betapa rambut, apalagi rambut wanita yang halus lemas dan
harum dapat menghancurkan batu! Mereka menjadi takjub memandang dengan mata
terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang-orang
biasa. Andaikata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihormati kepala
mereka dan andaikata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan
tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka,
maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak
percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami
tadi?”
“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau
di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia
lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi maaf, Kouwnio.” kata pendeta itu
yang segera memberi komando kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain.
Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”
Setelah lima orang pendeta itu bersama
pasukannya beramai-ramai pergimencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In
berani memasuki guha kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong
berdiri. dengan sikap tegang. “Terpaksa untuk sementara waktu engkau
bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar guha ini dan kita
dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil
tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu
ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau
ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.””
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk
di mulut guha, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah
Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk
tubuh yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.
“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah
engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku mendengar
percakapan tadi, agaknya gurumu Siang-mo Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu,
kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah Gurumu dan Bouw Lek Couwsu
itu yang telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang
tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar dugaanmu, Kongcu.
“Dan tahukah engkau siapa aku?”
Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu
engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu
silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw.
Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama
sekali bahwa.... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan
kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong berpikir sejenak, kemudian
berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah
kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha
menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya.
Sungguhpun aku merasa bersyukur dan berterima
kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kaulakukan karena
aku tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan
tetapi.... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau akan dapat pergi memasuki
markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu Ketua Bengkauw itu?”
Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali
sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya bergerak memegang tangan gadis itu
yang berkulit halus dan hangat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau
menolongku?”
Po Leng In tersenyum dan ketika ia memandang
ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan
matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak
balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu
memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia
menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum, Kiang Liong adalah seorang
pemuda tampan putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal,
bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga terkenal
sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia
bukan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apalagi menggunakan
kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah
melakukan hal buruk ini. Akan tetapi, ia seorang yang mempunyai watak amat
romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila
kepadanya dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan
kedua lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya
sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang
tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak
memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda
ganteng ini!
“Aku tahu, Kongcu karena selama ini aku
mengikutimu. Apa kaukira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau
menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki Ketua Beng-kauw yang
tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding
melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong
mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam markas, juga Bouw
Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi diingat bahwa Guruku
juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?”
Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah
itu tersenyum menantang.
“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja
aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat
besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”
“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya
kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah
kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan
menjebakmu?”
“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau
melakukan semua ini untukku? Tak mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja.
Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni, dan biarpun baru
sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni,
janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi Gurumu sendiri
demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang kaukehendaki dan
mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih
berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In
menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala,
rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum
menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya
memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.
“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang
seperti Guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andaikata
yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan
tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang
pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau
tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah
kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah
manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu
bertaruh nyawa untukmu!” Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus
yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul
leher Kiang Liong. Biarpun muka mereka sudah saling berdekatan sehingga napas
wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang
dan tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak
rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata
yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat
banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu
rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak
pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang
terpikat. Biarpun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak
cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.
“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In,
betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari
tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”
“Betul...., betul...., aku bersumpah....” Po
Leng, In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
“Dan kau benar-benar menghendaki aku....?”
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh
tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan jambakannya, dia menjatuhkan
mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.
Semalam itu mereka berdua tidak keluar dari
dalam guha yang lebarnya hanya satu meter itu, Po Leng In yang mabuk cinta dan
seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong, menceritakan semua
keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para
pendeta Tibet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu. Pendeta jubah merah
Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan pendeta
yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk
menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang
banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet
bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah.
Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia
yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang
kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu mencari
kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau
kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao
yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh
dan kekuasaan. Dalam usahanya ini, Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat
baiknya, juga bekas kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni! Kalau Siang-mou
Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek
Couwsu biarpun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan
gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu
wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah
kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun-tahun tak
pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan
oleh Suling Emas dan para orang gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH).
Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih
terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa
di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas
kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan
oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus
selama bertahun-tahun.
“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak
terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu
oleh Guruku, mana mereka mampu mempertahankan diri? Di antara para pendeta
jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya
mengapa Ketua Beng-kauw den beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan
dan anak laki-laki itu amat disuka oleh Guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk
menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena sesungguhnya bukan itulah
yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi
musuh besarnya.”
Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia
menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum pernah Po
Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan,
penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan
segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk menjatuhkan hati Kiang
Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan menjelang pagi ia
menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor domba yang
lemah.
“Koko...., akan kubantu kau menolong kedua
orang nona dan anak laki-laki itu.... biarpun untuk itu aku harus
mempertaruhkan nyawa....“ bisiknya sambil merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya
di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam guha batu. Wajah Po
Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah
kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah keluar ia
menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak
tampak perubahan.
“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi
berhati-hatilah jangan kaupandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apalagi
kepandaian Gurumu.”
Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak
mendengar tentang kepandaian Gurumu dan aku tidak takut.”
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul
dan mengusap-usap dagu yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil
tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi Guruku
sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kangouw.
Engkau tentu tidak pernah mendengar. bahwa Guruku kini telah dan sedang
memperdalam ilmu mujijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk
menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu
memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak menjauh, memandang
wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras.
“Apa kaubilang? Diculik untuk.... kau
maksudkan....?”
“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat
Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!”
Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat
terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou
Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu. Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang
menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti guha singa dan telaga naga, akan
tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu
semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita
bahwa Bouw Lek Couwsu adalah seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu
menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah
ia malapetaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang
I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk
melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat yang mujijat, diperlukan
seorang anak laki-laki yang bertulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni
yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa
banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna
karena belum pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar
memenuhi syarat. Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang
berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang
benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mau Sin-ni sudah
menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe dilakukan
dengan cara yang amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit,
setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus
sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan
obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati
juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa
murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot keluar dan pindah ke tubuh
orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah pernah mendengar
penuturan suhunya tentang pelbagai ilmu hitam, tentu saja menjadi ngeri dan
mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau
perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
***
Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan
tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan penasaran. Ia
telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya
menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa
pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya,
adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justeru hal inilah yang selain
mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan
dan penasaran. Kalau pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka
saling berpisah? Mengapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi
Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya
itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang
lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu
kandungnya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau
Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi
sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti
lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah berlari lama dan jauh,
lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia
tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh
Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu. Dalam pandangannya, Suling
Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik
dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah
ditemuinya. Lebih menarik daripada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus,
lebih menang daripada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat
daripada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan senangnya melakukan
perjalanan bersama Suling Emas tentu akan terasa aman dan tenteram di samping
seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau
sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi dia sudah menghina Ibuku....! Katanya
dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan tetapi juga
sebagai kekasih.... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya Ibuku telah
ditinggalkannya!”
Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting
kakinya lalu berjalan pergi, ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya
tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika
wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau
teringat kepada Si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia
hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa
lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya Si Berandal itu?
Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke
Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian ia
melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena
Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah
dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat langkahnya
memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui
rombongan orang sebanyak belasan orang tadi. Hati Kwi Lan tertarik karena ia
melihat betapa seorang di antara mereka di dahinya terhias mutiara. Seorang
anggauta Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau
apakah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini,pikirnya. Ia tahu
bahwa kalau bertemu dengan mereka, tentu akan terjadi keributan, akan tetapi
tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara melainkan ia bermaksud
melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu dan untuk
memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang
menghadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena merupakan
pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai
terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan
orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja
di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin
sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang mereka. Karena
dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan
karena pada masa di mana perang selalu mengancam daerah perbatasan semua orang,
juga wanita-wanita membawa pedang, maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat
mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona oleh
kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita
muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap
di dalam dusun ini, langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia
lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan kelenteng,
juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang
bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan
kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah
belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia akan belasan
orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam
kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya
belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?
“Ah, peduli amat dengan mereka!” Akhirnya ia
berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng
menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan
kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muatan. Mereka yang sibuk
di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang
mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu
memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di
antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang
seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak
bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Minggir! Heiii, kau.... minggir!”
Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan
cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para
pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah.
Seorang di antara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang
ikan yang dipanggulnya, meloncat bangun.
“Dari mana datangnya dua ekor kerbau....?”
Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat
membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah
mengayun kakinya dan.... Si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai! Dua orang
laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar,
bertolak pinggang dan berkata,
“Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat betapa seorang temannya sampai
terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi
besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi
begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya, terdengar jeritjerit
kesakitan dan empat orang nelayan itupun jatuh tersungkur dengan hidung
berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi
besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada lagi?” Mereka berdua menantang dan
semua nelayan menjadi gentar. Seorang di antara mereka yang sudah tua segera
maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami
lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan
kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya
empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah
memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang brewok.
“Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.”
Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan
kelihatan memang paling baik di antara perahu-perahu yang berlabuh di situ.
Perahu itu masih baru agaknya belum lama diturunkan di sungai.
“Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu? Baiklah,
akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan
dipakai mengantar pengantin....”
“Apa kaubilang? Kami berani bayar sewanya dan
siapapun juga tidak boleh mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok
pagi-pagi, kalau tidak.... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”
Nelayan tua itu menjadi pucat wajahnya, akan
tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, “Baik...., baik.... dan
sewanya....“
“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak
memeriksanya dulu!” Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju
ke perahu cat merah. Mereka melangkah masuk dan.... tercenganglah mereka
melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum manis!
Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan, menjadi tak senang dengan
sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang
dipilih oleh dua orang itu secara paksa.
“Eh, mau apa kalian berdua longak-longok
seperti monyet memasuki perahu yang sudah kusewa ini tanpa ijin!” kata Kwi Lan
sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun.
Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar bentakan itu,
mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang
brewok tadi dapat menenangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang
juga bengong terlongong. “Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi
pengantin? Cantik benar!”
“Bu.... bukan, bukan dia.... saya tidak mengenalnya....,
Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?”
“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu
ini, berarti aku lebih dulu menyewanya. Dua orang kasar seperti monyet ini
boleh mencari perahu lain untuk disewa atau.... mereka ini boleh terjun ke air!”
Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi
sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah
mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.
“Mu.... Mutiara Hitam....?” teriak mereka
sambil mencabut golok.
“Hemm, kiranya orang-orang Thian-liong-pang
yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat duduknya.
Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, ia memandang rendah. Ketika
mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan,
secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan
kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan
tendangan sekaligus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut
dua orang lawan itu. Terdengar suara “krekk!” dan sambungan lutut kanan mereka
terlepas. Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka
menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong
dada mereka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu
terlempar masuk ke dalam sungai!
Biarpun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja,
namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat
percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan
tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu
mampu melemparkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut
terlepas sambungannya! Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang
laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah
kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki
meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi Lan dirubung para nelayan yang
kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini
melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata,
“Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan
karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah,
kalian pergilah, aku ingin mengaso.”
Pada saat itu, seorang nelayan datang
berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu
lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong. “Harap Nona hati-hati,
bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan
galak-galak.”
“Tak perlu melayani mereka.”
“Tapi.... harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi
mengasihani kami,” kata nelayan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa
mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu
kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa peduliku!” Kwi Lan mendengus.
Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya
dengan dirinya.
“Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan
dipukuli, dibunuh....!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan
tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian
sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi.... semua ini terjadi gara-gara Lihiap
merobohkan dua orang itu!” Si Nelayan Tua menyambung. “Saya mendengar bahwa
seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda
perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini akan kuhajar habis mereka
itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan
dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan
tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di
kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri
kelihatan takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini
sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga,
karena harapan mereka bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu
melayanl gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan
dengan hati gemblra.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung
jawab. Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia
lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah
membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat.
Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini,
maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka
dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan
kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori
udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi. Bagaikan seekor burung
hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat diantara sinar bulan. Dengan pedang terhunus
di tangannya, gadis perkasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong,
mendekam di atas wuwungan dan mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu.
Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap
memasang jebakan. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang
lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya
sehingga menimbulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya. Namun
tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas
genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan
terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat
berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk
dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau
sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa
pula hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang
Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi
orang itu kalau bukan seorang di antara anggauta dari Thian-liong-pang? Kwi Lan
mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke
arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu
tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh
lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar
orang itu berkata,
“Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah.
Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang
itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki....!” Cepat ia melayang turun
sambil membawa pedangnya. Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit
tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung.
Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena
pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan
wajah keruh dan sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa mereka....?”
“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu,
namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu
ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak
segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku
tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin
suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu
memberi kuliah kepadaku?”
Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang
matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan
itu.
Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya
tetap muram dan suaranya tetap kering. “Kwi Lan, kalau kau membasmi dan
membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi
hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci,
sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini
secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil
Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti....!”
“Apa kaubilang?” Kwi Lan kembali memotong.
“Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikapmu yang
aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak
membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut
mengaku padamu?”
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap
wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh selidik. “Ah,
mengapa kau menyangkal? Mereka itu kaubunuh....!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau
memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu menggunakan alasan
yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak
menantang, hayo, aku sudah siap!” Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat
mundur, pedangnya siap di depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya
mencorong seperti mata harimau.
Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya,
bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu. “Kwi Lan, aku
sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal
jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kaupergunakan untuk menyerangku tadi.
Kaulihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat
baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap
seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati
empat mayat itu dan berjongkok, memeriksa. Alangkah heran dan kagetnya ketika
melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan,
yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi
penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang
jarum dari leher mayat.
“Aiihhh.... aneh sekali....!” Ia berseru
ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya. Jarum itu serupa benar dengan
jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia
pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya, tak salahlagi. Ia
bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai
percaya.
“Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri
jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini.” katanya
sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat.
“Tak mungkin.” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah
terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat
mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas
karena jarum-jarum hijau....“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja
kau menuduh aku....“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat di
sini, curiga terhadap rombongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara
diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di
sungai Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku
menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio
ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun
di sini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka
dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal,
“Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini,
mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang
serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka
itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki
meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang
bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak
berdosa!” kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi
marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal
hwesio-hwesio ini.” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia
kagum akan kecantikan dan kelihatan gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan
wataknya. “Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti
milikmu, itu berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja
memalsukan senjatamu.”
“Hemm, justeru karena itu aku tidak mau
mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan
datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai
besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Ke mana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa
begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?” Kwi Lan kurang percaya,
menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan
bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling
Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini.
“Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu
menuju ke utara. Ada kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke
utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak
bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat
melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum. “Mengapa keberatan? Asal
kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang
Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan
muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan.
Hatinya tetap merasa gelisah dengan munculnya hal yang merupakan teka-teki ini.
Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu? Andaikata orang-orang Thian-liong-pang,
apakah maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah
berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan sebentar
saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi Lan.
“Aku mau tidur.” kata Kwi Lan dan terus saja
ia tidur telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya. Sejenak
Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya
oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah,
ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar
hutan, pikirnya terharu.
“Aku duduk menjaga di luar.” katanya dengan
suara tergetar sambil duduk di atas papan melintang di kepala perahu,
memandangi bulan purnama yang bermain-main di dalam air sungai.
Sinar bulan dan keadaan yang sunyi itu membuat
Siang Ki melamun. Pelabuhan sungai itu sunyi sekali karena setelah peristiwa
yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa takut dan menghentikan kegiatan
pekerjaan malam. Mereka menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat
antara nona perkasa itu dengan para penjahat yang bermalam di Kuil
Ban-hok-tong.
Siang. Ki berkali-kali menarik napas panjang.
Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena peristiwa yang amat penting telah
terjadi. Mula-mula berita itu tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari
beberapa orang pengemis anggauta perkumpulannya bahwa di daerah selatan muncul
Suling Emas yang memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan
Ciam-lokai untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang
kakek pengemis itu pulang dengan babak-belur. Mereka telah bertemu dengan
Suling Emas itu dan ternyata berbeda dengan Suling Emas yang telah menyamar
sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini berpakaian
seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan dadanya.
Hebatnya, Suling Emas baru ini pun berkepandaian tinggi sehingga Gak-lokai dan
Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu
menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri menandinginya! Mendengar
ini, panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan,
menemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kiang Tianglo. Ia menjadi
bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang
pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang sekarang.
Akan tetapi nyatanya, dalam belasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena
inilah Yu Siang Ki lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas
pertama, untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang
sepasang bulan, yang di atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang
Suling Emas yang membingungkan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai
juga agaknya sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah terdengar
melakukan kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk
Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang cukuplah bagi
Suling Emas ke dua itu!
Kembali ia menarik napas panjang memandangi
dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki bersenandung.
“Bulan terapung di angkasa
bermain
dengan mega
tak mungkin
terbang menjangkaunya!
Bulan
tenggelam di
air
bercanda
dengan gelombang
tak mungkin
menyelaminya!”
Kembali Siang Ki menarik napas panjang. Dua
orang Suling Emas itu seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana
tulen dan mana palsu? Keduanya sakti, dan sukar menyelidiki keadaannya.
“Ah.... kau.... kau gagah....”
Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi
Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hatinya berdebar.
Tak salahkah pendengarannya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu
menyebutnya gagah? Tak salahkah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan
seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa disadarinya lagi Siang
Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu. Sinar bulan
tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung dalam cuaca
remang-remang. Bergerak-gerakan bulu mata panjang lentik itu? Sampai lama
Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti
tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu.
Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan
kiri, ikut bergerak-gerak turun naik bersama dadanya. Ada dorongan hasrat yang
amat kuat merangsang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia membungkuk dan
hampir saja ia mencium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan keteguhan
hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup
sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini, menggunakan
kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan hina! Sama
dengan mencuri, sama dengan memperkosa!
Dua macam perasaan berperang di hati Siang Ki,
yang satu mendorong yang lain menahan. Untung pada saat itu perasaannya yang
tajam dapat merasa betapa perahu bergoyang sedikit. Cepat ia menoleh dan
tampaklah dua orang laki-laki meloncat ke atas perahu. Gerakan mereka ringan
bagai burung, membuktikan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki,
ilmu kepandaian tinggi. Bayangan beberapa orang lagi tampak berloncatan di
perahu-perahu yang berada di pelabuhan, juga di pantai tak jauh dari situ.
Perahunya telah terkepung! Seorang di antara dua laki-laki yang sudah meloncat
ke perahu itu dahinya berhias mutiara, itulah salah seorang di antara
Cap-ji-liong, jago-jago Thian-liong-pang yang tersohor lihai!
“Kau gagah Suling Emas....!” Kembali terdengar
suara Kwi Lan barbisik dan Siang Ki yang masih menoleh ke belakang itu seperti
ditusuk jantungnya. Kiranya gadis ini tadi bukan memuji dia yang gagah,
melainkan memuji Suling Emas di dalam mimpi! Dengan muka merah saking malu
mengingat akan sikap dan persangkaannya sendiri tadi, Siang Ki meloncat bangun
sambil menyambar tongkatnya.
“Kalian siapa dan mau apa mengganggu kami?”
bentaknya sambil melintangkan tongkat di depan dada. Akan tetapi sebagai
jawaban, dua orang itu sudah mencabut golok masing-masing, menerjang maju
sambil berteriak,
“Kepung! Tangkap sepasang anjing muda ini!”
Siang Ki marah sekali, tongkatnya berkelebat
dan saking dahsyatnya serangan tongkatnya, dua orang itu berseru kaget dan
meloncat mundur, keluar dari perahu! Yu Siang Ki menoleh dulu sebelum
mengejar, dan melihat betapa Kwi Lan sudah bangkit duduk mengucek-ucek mata, ia
berseru.
“Kwi Lan, setan-setan itu sudah datang hayo
bantu aku basmi mereka!” Setelah berseru demikian, pemuda ini dengan gerakan gesit
telah melayang keluar dari perahu ke darat. Sebentar saja ia sudah dikepung dan
alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang mengepungnya adalah
dua belas orang yang memakai mutiara di dahinya. Kedua belas orang
Cap-ji-liong, jagoan dari Thian-liong-pang lengkap berada di situ! Dan di
samping dua belas orang ini masih ada sedikitnya tiga puluh orang laki-laki
tinggi besar yang merupakan anak buah mereka dan kesemuanya sudah siap dengan
senjata di tangan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut.
Akan tetapi karena keadaan mendesak, ia tidak
mau banyak cakap lagi dan cepat ia menggerakkan tongkatnya yang panjang sambil
berteriak. ”Kiranya dua belas ekor cacing dari Thian-liong-pang yang datang.
Kalian mau apa?”
“Tranggg....!” Tongkatnya tertangkis oleh
sepasang pedang panjang di tangan seorang yang brewok, tinggi besar dan bermata
lebar. Inilah Ma Kiu, atau Thian-liong-pangcu, ketua perkumpulan itu, juga
merupakan orang pertama atau pimpinan Cap-ji-liong yang tersohor. Siang Ki
sudah pernah mendengar tentang orang ini, akan tetapi belum pernah bertemu.
Kini ia dapat menduganya dan pantas saja tangkisan tadi demikian kuat,
pikirnya. Makin tidak enak hatinya karena ia maklum bahwa kali ini ia
menghadapi banyak lawan pandai.
“Orang muda, siapa pun adanya engkau, jangan
mencampuri urusan kami. Pergilah kalau kau ingin selamat. Kami hanya
membutuhkan Mutiara Hitam!” kata Ma Kiu yang marah sekali mengingat akan semua
perbuatan Mutiara Hitam yang pernah mengacaukan Thian-liong-pang bersama seorang
pemuda berandalan bernama Tang Hauw Lam. Tadinya ketika ia mendapat laporan,
hatinya girang, menyangka bahwa Mutiara Hitam yang dilaporkan bersama seorang
pemuda di perahu itu tentulah Tang Hauw Lam. Kiranya pemuda tampan itu hanya
pengemis muda yang tidak dikenalnya. Sebagai Ketua Thian-liong-pang yang
merasa derajatnya jauh lebih tinggi, tentu saja Ma Kiu tidak mau melayani
pengemis muda ini maka mengeluarkan ucapan seperti itu.
Panas juga hati Siang Ki mendengar ucapan
itu. Ia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang ini, memandang rendah kepadanya, maka
sambil mengangkat dada ia menjawab.
“Kalau tak salah dugaanku, engkau tentulah
yang bernama Ma Kiu, yang menjadi pimpinan Cap-ji-liong dan juga menjadi Ketua
Thian-liong-pang.”
“Orang jembel sudah mengenal tidak lekas
pergi!” bentak seorang di antara Cap-ji-liong.
“Thian-liong-pangcu! Biarpun jalan kita
bersimpangan, namun sudah lama aku mendengar tentang Thian-liong-pang dan
Cap-ji-liong. Ketahuilah, aku adalah pangcu dari Khong-sim Kai-pang! Dan
Mutiara Hitam adalah sahabatku. Kuharap, mengingat akan kedudukan kita
bersama, engkau suka melihat mukaku dan tidak mengganggunya. Kalau engkau
berkeras, marilah kita sama-sama pangcu dari perkumpulan besar melihat siapa
di antara kita yang lebih unggul!”
Ma Kiu dan sute-sutenya terkejut dan memandang
lebih teliti. Kiranya pengemis muda ini adalah Pangcu dari Khong-sim Kai-pang.
Tentu saja mereka sudah mendengar akan sepak terjang pangcu baru ini, betapa
Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan pangcu muda ini telah membasmi golongan
pengemis baju bersih yang tadinya menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan
pengemis) di daerah Kang-hu. Karena para pengemis golongan baju bersih adalah
sekutu Thian-liong-pang, maka tentu saja dua belas orang Cap-ji-liong ini
menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.
“Ah, kiranya engkau jembel muda pengacau itu?
Bagus kau datang menyerahkan diri!” Ma Kiu membentak dan sepasang pedangnya
berkelebat menyambar, Siang Ki yang sudah siap cepat menggerakkan tongkat,
sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan membalikkan tongkat mengirim
serangan dengan tusukan ke arah perut yang gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan
dan pada saat itu, sebelas orang sutenya yang menyaksikan gerakan cepat Siang
Ki, segera maju mengeroyok!
“Dua belas ekor cacing Thian-liong-pang tak
tahu malu!” terdengar bentakan Kwi Lan disusul sinar hijau pedang
Siang-bhok-kiam. Gadis ini sudah melompat maju dan begitu ia memutar
pedangnya, empat batang pedang lawan telah dapat tertolak mundur berikut
pemiliknye. Akan tetapi pada saat itu anak buah yang bertubuh tinggi besar dan
mereka ini adalah bekas-bekas bajak sungai yang sudah takluk kepada Siauw-bin
Lomo, kini maju mengepung Kwi Lan!
“Bagus, makin banyak makin baik! Memang
pedangku sudah haus darah!” teriak gadis itu sambil membabat ke sekelilingnya.
Hebat bukan main gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya
yaitu para bajak, hanya mengandalkan tenaga besar dan kekasaran saja, maka
dalam sekejap mata terdengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh
mandi darah!
Kalau Kwi Lan dengan enaknya membabati para
pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang benar-benar menghadapi pengeroyokan
berat. Cap-ji-liong terdiri dari orang-orang pandai dan mereka ini bergerak
bukan sembarangan, melainkan menurut aturan dalam bentuk barisan yang amat rapi
dan kuat. Tingkat kepandaian Yu Siang Ki sudah tinggi dan andaikata
Cap-ji-liong maju seorang demi seorang, biarpun Ma Kiu sendiri takkan dapat
menangkan pemuda ini. Akan tetapi begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam
bentuk barisan yang mengurung rapat, Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak
hebat. Dua belas orang itu menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan
mereka itu bagi Siang Ki amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah, maka
pemuda ini hanya dapat memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata
para pengeroyok yang rata-rata memiliki tenaga lwee-kang cukup besar.
Biarpun ia sedang mengamuk, Kwi Lan tidak
melepaskan perhatiannya terhadap Siang Ki yang ia tahu menghadapi pengeroyokan
Cap-ji-liong yanglihai . Maka ia dapat melihat betapa pemuda itu betapa pun
lihainya, repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman senjata-senjata lawan.
Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang pengeroyok terdepan lalu sekali
meloncat ia sudah tiba di luar barisan Cap-ji-liong yang mendesak Siang Ki.
Pedangnya berkelebat menyerbu barisan Cap-ji-liong dari belakang sehingga tiga
orang anggauta barisan terpaksa membalikkan tubuh dan menangkis, kemudian
secara teratur sekali mereka bergerak diikuti teman-temannya dan di lain saat
Kwi Lan telah terkurung pula bersama Siang Ki!
“Siang Ki, mari kita basmi cacing-cacing yang
menjemukan ini!” seru Kwi Lan marah sambil memutar pedangnya menerjang
kepungan. Akan tetapi barisan itu teratur rapi sekali dan betapapun lihainya
pedang Kwi Lan, karena sekaligus ditangkis oleh sedikitnya tiga senjata secara
berbareng, ia kalah tenaga dan berbalik ia pun dijadikan sasaran hujan senjata!
“Kwi Lan, kita berdua beradu punggung!” Siang
Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan maksud temannya segera membelakangi
pemuda itu dan kini mereka berdiri saling membelakangi. Dengan demikian,
kedudukan mereka lebih kuat dan tidak perlu lagi mereka membagi perhatian ke
belakang karena bagian belakang masing-masing telah terlindung sehingga
perhatian dapat dicurahkan ke depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga oleh
kedua orang muda perkasa ini. Benar saja, setelah beradu punggung, dua orang
muda ini dapat melawan lebih ringan dan biarpun kadang-kadang para pengepungnya
berlari-lari memutari mereka, kedua orang muda ini tidak usah ikut
berlari-lari takut diserang dari belakang lagi. Mereka melayani dengan tenang
dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang, sungguhpun serangan mereka
kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak lawan. Diam-diam Siang Ki
menjadi gelisah karena balasan lawan benar-benar hebat. Andaikata dia dan Kwi
Lan dapat bertahan mengandalkan kegesitan, tenaga dan ilmu silat mereka yang
lebih tinggi tingkatnya, namun sampai berapa lama mereka mampu bertahan? Di
luar barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini masih terdapat puluhan orang
anak buah mereka.
Ma Kiu yang memimpin sute-sutenya ketika
melihat betapa barisannya tidak berdaya menghadapi dua orang muda yang benar-benar
lihai itu, menjadi penasaran dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa Ketua
Khong-sim Kai-pang yang masih mudaini ternyata juga amat lihai sehingga
diam-diam ia harus meragukan kepandaiannya sendiri apakah ia akan sanggup
menghadapi orang muda itu satu lawan satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa
rahasia perkumpulannya. Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu
lalu berlari-lari mengelilingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu
menjadi makin jauh.
“Awas....!” Siang Ki berseru keras dan Kwi Lan
yang sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari sambaran
senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang berbentuk bintang.
Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar saja di sekitar mereka berdiri
berserakan senjata rahasia musuh.
Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw yang
menyambar bagaikan hujan, kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak buah
bajak. Sibuk sekali Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata
rahasia ini.
“Kwi Lan.... kau larilah.... lekas serbu sayap
kiri... aku membantu dan melindungimu, kau harus lari....!” Terdengar Siang Ki
berkata dengan napas memburu. Ketika Kwi Lan melirik tanpa menghentikan putaran
pedangnya, ia terkejut melihat pemuda itu terluka pundak kirinya sehingga
mengeluarkan darah.
“Huh, enak kau bicara! Kaukira aku pengecut
yang takut mampus? Kaulihat!”
Sambil berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan
bergerak menyambitkan jarum-jarumnya ke sebelah kanan. Sinar hitam menyambar
dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan disusul robohnya lima anggauta bajak
yang menjadi korban sambaran jarum-jarum hijau beracun.
Akan tetapi gerakan ini hampir mencelakakan
Kwi Lan juga karena dengan gerak serangannya ini, putaran pedangnya kurang kuat
dan kalau ia tidak cepat meloncat ke kiri, tentu ia menjadi korban sambaran
sebuah di antara puluhan senjata rahasia.
“Tiada guna.... mereka terlalu banyak dan
lihai. Lekas kau lari selagi ada kesempatan Kwi Lan.”
“Ih, kalau kau takut, kau larilah. Aku tidak
takut, akan kulawan sampai mampus!”
“Aku tidak takut, aku ingin kau menyelamatkan
diri, jangan pikirkan diriku....”
“Eh, orang bernama Yu Siang Ki! Apakah kau mau
menjadi orang gagah sendiri dan aku harus menjadi pengecut?
Tidak, kalau kita lari, harus lari bersama,
kalau melawan terus harus berdua!” jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suaranya
jelas memperdengarkan kemarahan.
“Ah, kau bodoh!” kata Siang Ki sambil memutar
tongkat dan mengebutkan lengan baju lalu melompat tinggi. Biarpun sudah
terluka ternyata ia masih gesit sekali. “Bukan berani atau takut, melainkan
kita harus gunakan otak! Kalau melawan terus dan keduanya mati, siapa akan
tolong? Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada kau yang menolongku.
Kenapa nekat? Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku bantu kau melarikan diri!”
Kwi Lan menjadi gemas sekali. Sambil memutar
pedang menangkis senjata rahasia, ia berhasil menangkap sebuah peluru bintang
dan cepat mengembalikannya dengan sambitan kuat. Kembali terdengar jerit
seorang anggauta bajak roboh dan tewas.
“Aku punya rencana. Hayo kaulindungi aku!”
bentaknya kepada Siang Ki, kemudian tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu
untuk membantah, ia sudah meloncat dan menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke
kanan. Yang mengurung di sebelah kiri adalah anggauta-anggauta termuda
Cap-ji-liong dan ketika bertempur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa
sayap kiri ini yang paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu
sayap kanan di mana terdapat Ma Kiu, Ketua Thian-liong-pang yang tentu saja
paling kuat di antara adik-adiknya! Karena melihat Kwi Lan sudah menyerbu,
tentu saja ia pun tak dapat mencegah cepat ia melindungi gadis itu dari dekat.
Ma Kiu terkejut dan cepat ia bersama
adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan sekaligus tiga orang menangkis
sedangkan tiga orang lain membalas dengan serangan dari kanan kiri. Akan
tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini, bahkan ia terus menerjang maju
ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang bertubi-tubi! Melihat ini,
tiga orang anggauta Cap-ji-liong menjadi girang dan mengira bahwa serangan
mereka tentu akan mengenai sasaran.
“Trang-trang-trang....!” Tangkisan tongkat
Siang Ki amat kerasnya sehingga golok dan pedang yang mengancam Kwi Lan itu
sampai terpental dari tangan pemegangnya. Akan tetapi karena Siang Ki sudah
terluka dan dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu banyak tenaga maka
ketika ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar punggung, ia tidak
dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman ruyung! Siang Ki
mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat. Robohlah orang
Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya terkena sodokan
tongkat! Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang matanya oleh hantaman
ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat itu, dua buah peluru
bintang yang mengandung racun telah menyambar dan mengenai dada dan lehernya!
Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih terpegang erat-erat.
Pada saat yang hampir berbareng, Kwi Lan yang
menyerang Ma Kiu juga telah berhasil. Dengan gerakan seperti burung walet
terbang miring, gadis itu melompat menghindarkan sambaran sepasang pedang Ma
Kiu, Kemudian dari samping atas tangan kirinya bergerak dan tanpa dapat dicegah
lagi jari-jari tangannya yang kecil halus namun kuat dan cekatan itu telah
menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua
pedangnya terlepas. Sebelum adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi
Lan sudah meloncat turun, menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang
pingsan itu, menodongkan pedangnya ke dada Ketua Thianliong-pang ini sambil
membentak.
“Mundur semua atau kurobek perut Ketua
Thian-liong-pang!”
Ancaman yang dikeluarkan dengan suara nyaring
penuh amarah ini berhasil. Orang-orang Thian-liong-pang yang tadinya sudah
menggerakkan senjata hendak membunuh Siang Ki yang sudah tak berdaya itu
menarik kembali senjata masing-masing, juga mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan
kini terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi sepuluh orang Cap-ji-liong yang
belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki yang sudah pingsan. Mereka bukan
orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh di tangan gadis itu, mereka pun
mengurung dan menawan Siang Ki.
“Bebaskan kawanku itu, baru aku akan membebaskan
Ketua Thian-liong-pang!” kembali Kwi Lan membentak dan pedangnya masih
ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.
Seorang di antara sepuluh anggauta
Cap-ji-liong yang bertubuh kurus bermuka pucat, melangkah maju mewakili
teman-temannya. Ia melihat betapa banyaknya anak buah bajak yang roboh menjadi
korban nona perkasa itu, dan melihat pula betapa nyawa ketuanya terancam bahaya
maut! Akan tetapi ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu bergerak-gerak, tanda
bahwa ketuanya itu tidak pingsan! Memang dalam hal ini Kwi Lan kurang
menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi
(Setan Bertenaga Besar), memiliki gwa-kang yang bukan main kuatnya sehingga
jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh otot-otot baja dan kulit
besi! Tadi ketika terkena totokan, Ketua Thian-liong-pang ini hanya puyeng
sebentar akan tetapi jalan darahnya tidaklah terhenti seperti yang disangka
Kwi Lan. Ia hanya setengah pingsan sebentar saja dan kini ia sudah sadar
kembali. Akan tetapi dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa sedikit
saja ia bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk dadanya.
“Hemm, Mutiara Hitam.” kata anggauta
Cap-ji-liong yang bermuka pucat tadi, “keadaanmu tidak menguntungkan akan
tetapi kau masih membuka mulut besar! Kau boleh mengancam ketua kami akan
tetapi kami pun dapat mengancam nyawa kawan baik dan kekasihmu ini. Ha-ha-ha!”
Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, pandang
matanya melotot dan ia membentak, “Baik, kau boleh bunuh dia, akan tetapi
selain ketuamu ini kubunuh, juga semua orang Thian-liong-pang takkan kubiarkan
hidup!” Tiba-tiba anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring
dan mereka berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu menggerakkan tubuh
bergulingan menjauhi Kwi Lan!
Gadis itu kaget sekali. Kalau ia menghadapi
penyerbuan mereka, tentu Ketua Thian-liong-pang itu terlepas dari tangannya.
Sebaliknya kalau ia mengejar dan menyerang Ma Kiu yang bergulingan, tentu ia
akan menjadi korban serbuan sepuluh orang Cap-ji-liong! Tentu saja yang
terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau ia roboh,
berarti Siang Ki takkan dapat tertolong lagi. Dengan geram ia memutar pedangnya
menyambut serbuan sepuluh orang anggauta Cap-ji-liong itu. Demikian hebat
gerakan pedangnya yang dirangsang kemarahan sehingga tubuhnya berkelebat
lenyap dan gerakan pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis senjata yang
mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang pengeroyok.
Sungguhpun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja namun dua
orang anggauta Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher.
Segera Kwi Lan dikurung oleh sisa anggauta
Cap-ji-liong dan anak buah Thian-liong-pang yang amat banyak. Terdengar suara
Ma Kiu marah sekali, “Seret ketua jembel itu dan bawa pergi! Siapkan barisan
Am-gi (Senjata Rahasia), keroyok iblis betina ini!”
Makin bingung dan gelisah hati Kwi Lan
mendengar perintah yang dikeluarkan Ketua Thian-liong-pang ini. Ia masih dan
belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andaikata ia menurut nasihat Yu Siang Ki
dan menyelamatkan diri, agaknya tidak terlalu sukar bagi Kwi Lan untuk
meloloskan diri di dalam kegelapan malam. Namun gadis ini luar biasa
beraninya dan juga tak dapat menahan kemarahannya. Melihat betapa temannya
terancam bahaya maut, ia tidak pedulikan lagi akan keselamatan diri sendiri,
terus saja mengamuk seperti seekor naga sakti.
Namun Ma Kiu yang maklum akan kelihaian gadis
ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan dalam keadaan hidup, lalu mengatur
barisan. Mereka lalu mengeluarkan tambang-tambang yang diayun-ayun untuk
menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di samping itu hujan senjata rahasia membuat
Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia harus menghindarkan diri dari hujan
senjata, ia pun harus berloncatan karena kakinya diancam oleh ayunan
tambang-tambang yang dipegangi para pengeroyok dari depan dan belakang serta
kiri kanan. Kini ia terkepung rapat dan andaikata ia mempunyai maksud hati
untuk melarikan diri sekalipun sudah tak mungkin lagi, sudah terlambat.
Sementara itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak
siasat, diam-diam sudah mengambil jaring yang berada di tepi sungai, jaring
para nelayan dijemur di tepi sungai. Diam-diam Ketua Thian-liong-pang ini
mengatur siasat dan alangkah kaget hati Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali
jaring melayang dari atas menyelimutinya. ia berusaha memutar pedang membela
diri. Banyak jaring yang robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya
terasa sakit tertusuk senjata rahasia anak panah, sehingga ia terhuyung-huyung.
Pada saat itu, beberapa buah jaring menutup tubuhnya, dan ada tambang melibat
kakinya dan menjegalnya. Betapa pun kuatnya Kwi Lan, ia tidak dapat
mempertahankan diri lagi dan roboh terguling. Para anggauta Thian-liong-pang
bersorak-sorak dan sebentar saja tubuh Kwi Lan sudah dilibatlibat jaring. Ia
tertawan dalam libatan jaring-jaring itu dan hanya mampu memaki-maki akan
tetapi sama sekali tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu memimpin orang-orangnya
membawa pergi Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang tawanan penting. Masih
untung bagi dua orang muda itu. Kwi Lan adalah gadis yang pernah mengacau
Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku sebagai utusan Pak-sin-ong mengirim
kuda hitam, maka ia bukan orang biasa dan oleh Ma Kiu akan dibawa dan dihadapkan
kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini hendak mengadakan hubungan dengan barisan
Hsi-hsia. Adapun Yu Siang Ki adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi
musuh besar Bu-tek Siu-lam karena pemuda ini berani memusuhi para pengemis baju
bersih, maka juga merupakan orang penting yang patut dihadapkan kepada
Siauw-bin Lo-mo untuk diambil keputusan nasibnya. Selain ini, juga Ma Kiu yang
melihat kecantikan Kwi Lan, merasa sayang kalau membunuh gadis ini secara
begitu saja!
Rombongan orang Thian-liong-pang ini lalu
pergi meninggalkan desa Ci-chung sebagian naik kuda dan ada yang berjalan kaki
mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta tawanan yang bentuknya seperti
kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu Siang Ki yang pingsan dan Kwi Lan
yang memaki-maki di sepanjang jalan.
***
Lembah Sungai Nu-kiang yang meluncur turun
dari lereng Gunung Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat
indah, juga amat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta
Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia. Lembah ini penuh dengan hutan-hutan
liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat menjadi bahan
makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di samping ini semua,
keadaan daerah pegunungan yang amat sukar didatangi orang itu merupakan daerah
sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk datang menyerbu.
Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw
Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan
pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah dibangun pondok-pondok darurat yang cukup
besar. Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul
mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara untuk memasuki dan
mengganggu perbatasan Kerajaan Sung. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu yang suka
dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan atau pengacauan itu kepada
anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di markas baru ini, ditemani
Siang-mou Sin-ni yang biarpun tua namun masih kelihatan cantik dan
menyenangkan hatinya, apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini
disampingnya merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya
menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang wajahnya masih tampan ini
maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membunuh tokoh-tokoh Beng-kauw,
tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.
Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan
pasukan Hsi-hsia dipukul mundur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidaklah terlalu
kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang
ia incar adalah Kerajaan Sung. Ke dua, ia telah berhasil membunuh Ketua
Beng-kauw dan para tokohnya sehingga ia dapat membalas kekalahannya dahulu.
Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam penyerbuan itu mereka
merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita muda. Untuk kakek
pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok belaka ini saja
disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik, sehingga sambil
beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat bersenang-senang sepuas
hatinya.
Juga Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing
akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat
menculik Kam Han Ki, putera bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak
berusia sebelas tahun ini amat tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah
murni dan tulang bersih sehingga terpenuhilah kebutuhannya untuk
menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat! Siang-mo Sin-ni memesan kepada para
penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya
diberi makan minum secukupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia
campuri obat untuk memperkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia “pergunakan”
untuk keperluan ilmunya.
Akan tetapi tidaklah mudah membujuk dan
membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan dibawa ke dalam rimba lalu
dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu memperlihatkan sikap melawan dan
menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah menangis lagi sejak ditangkap,
namun tidak mengenal takut dan selalu menolak apabila diberi makan. Setidaknya,
ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau
tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak
kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan minuman yang
lezat dan berlebihan, ditunggu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin
segar, melainkan makin kurus dan pucat.
Setengah bulan kemudian, pada pagi hari itu
Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki kamar tahanan Han Ki yang berpintu
jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat masuknya wanita cantik berpakaian
mewah dengan rambut terurai panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu,
sepasang mata Han Ki sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah
yang bersama pendeta gundul berkaki buntung, yang membunuh ayah bundanya dan
wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari
seperti terbang cepatnya ke tempat ini.
Melihat wanita ini memasuki kamar tahanan yang
bersih dan tidaklah seburuk kamar tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai
kedua kakinya menyentuh tempat tidur, lalu ia duduk di pembaringannya. Matanya
tak pernah berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping
kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin
berniat baik terhadap dirinya.
Sejenak Siang-mou Sin-ni memandang dengan
matanya yang genit, kemudian ia tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan
berkata, suaranya halus dan manis.
“Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan? Ah,
mengapa kau mengecewakan hatiku? Kau tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga
tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu? Aku sayang padamu, Han Ki.”
“Kalau sayang kenapa kaubunuh Ayah bundaku?
Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi dari sini” Sambil berkata demikian, Han
Ki yang melihat betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka,
lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri.
Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah
menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat dan
sebentar saja ia sudah lari keluar menerobos pintu.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terbetot ke
belakang, bahkan melayang kembali ke dalam kamar. Han Ki meronta dan kaget
sekali melihat betapa tubuhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum
memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.
“Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu
besar. Bagus”
Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut
itu seperti hidup, membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangannya tak dapat
bergerak. Ia tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi
rambut yang amat kuat. Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus
kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung
penuh kasih sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan
ngeri di hati Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor
ular yang menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi
ia tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata
terbelalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa
betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya,
dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi
di balik bedak dan yanci. Ia makin serem dan ngeri.
“Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan
ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu
dahulu pernah menjadi kekasihku, tahukah kau anak baik? Dia amat cinta
kepadaku.... hi-hik”
“Bohong....!” Han Ki tidak begitu mengerti
akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta iblis
betina ini, mana ia mau percaya?
“Hi-hi-hik, siapa bohong? Kau lebih tampan
dari dia, hem.... kulitmu lebih halus, darahmu lebih bersih dan murni....
hemmm....!” Tiba-tiba wanita itu mencium dahinya, pipinya hidungnya, bahkan
kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya!
Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa
wanita itu akan menggigiti dan seperti seekor serigala akan memakannya. Ia
merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah. Ketika Siang-mo Sin-ni
mencium mulutnya seperti orang gila, atau lebih mirip dengan seekor kucing
yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa dada di mana
tubuhnya menempel itu terengah-engah, merasa betapa mulut yang mencium
bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit tubuhnya mengendur.
Saking takut, jijik dan marahnya, ia menggunakan kesempatan selagi rambut
yang membelitnya itu mengendur, ia meronta sekuat tenaga sambil menarik
mukanya ke belakang
Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot
dan cepat kedua tangannya merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian
dengan buas dan terdorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya
dan.... menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni! Mulutnya bertemu kulit leher
yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat
tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya biarpun
ia dipukul sampai mati!
“Aiihhh....!” Siang-mou Sin-ni menjerit
lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan
jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang di antara
Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun, yang
bahkan dialah satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu
kepandaiannya amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru
ilmunya mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu
menghadapinya, belum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu
semacam pukulan darah beracun, bukan main kejinya. Akan tetapi karena dalam
detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh nafsu binatang
karena mengilar akan kemurnian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia
berada dalam keadaan seorang mabok dan pada detik-detik itu, semua tenaga
sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang dikuasai oleh nafsu
binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan
menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang
dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai
sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam
keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang
rontok!
Betapapun juga, sebagai seorang berilmu
tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sinni terkejut. Kalau saja ia bukan orang yang
memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali
menggerakkan jari tangan membunuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa ia amat
membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut, melainkan
menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah itu mengeluh dan
gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya karena dilemparkan,
dalam keadaan pingsan.
Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokannya dan
tersenyum memandang anak itu.
“Hebat,” bisiknya, “kulit leherku sampai
pecah-pecah terluka.” Ia lalu melangkah keluar dan memanggil penjaga yang
datang berlarian. “Jaga baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua
hidangandariku untuknya harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam
mulutnya secara paksa.”
Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari
pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi.
Ia merasa beruntung masih hidup, dan semalam itu ia duduk termenung
memikirkan pengalamannya. Yang selalu terngiang di telinganya adalah
pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih iblis
betina itu! Ia tidak sudi untuk mempercepat hal ini, akan tetapi entah
bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.
Tentu saja anak ini sama sekali tidak mau
percaya karena ia menjunjung tinggi kepada mendiang ayahnya, seorang pendekar
dan menantu Ketua Beng-kauw. Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu
memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis betina ini dahulu
akan tetapi kekasih paksaan karena Kam Bu Sin melayani semua kehendak dan
nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki
obat perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!
Pada keesokan harinya, seperti biasa,
pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan lezat untuknya. Akan tetapi
bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah
merah yang bermuka bengis.
“Kaumakan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan
ke mulutmu secara paksa.” hwesio itu mengancam sambil menyeringai, tampak
giginya yang besar-besar dan berwarna kuning dekil. Melihat gigi besar-besar
kuning dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di
mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu makan
sama sekali biarpun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah terhadap
Siang-mou Sin-ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak mendatangkan rasa takut
pada hati anak pemberani ini.
“Aku tidak sudi. Kaumakan sendiri!” ia menjawab
sambil membuang muka.
“Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak,
biar puas hatiku menjejalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel!” bentak
hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih,
mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini mendekat. Ia tidak
pedulikan Han Ki meronta-ronta, mendudukkan anak itu dipangkuannya dan
menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut Han Ki
secara paksa. Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki tenaga besar dan
berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka mulut, kemudian ia
menjejalkan makanan itu dalam mulut Han Ki. Bocah ini tersedak-sedak,
terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan sampai menutup leher dan
menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia terpaksa harus menelannya!
Percuma saja ia meronta-ronta, dan percuma saja ia berusaha untuk tidak
menelan makanan, karena hal ini tidak mungkin. Akhirnya semua makanan
semangkok penuh itu terjejal ke mulut dan memasuki perutnya! Masakan ini
memang lezat dan hal ini sudah diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula,
akan tetapi dijejal seperti ini lenyaplah rasa lezatnya. Ketika hwesio itu
selesai menjejalkan makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas ranjang,
dua butir air mata meloncat keluar dari mata Han Ki yang melotot dan hinggap
di atas keduapipinya. Ia memandang hwesio itu dengan mata melotot penuh
kebencian. Akan tetapi hwesio itu mengebut-ngebutkan bajunya dan berkata.
“Aku masih ingin sekali menjejalkan makanan
beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu robek. Ha-ha-ha!” Setelah
berkata demikian, hwesio itu keluar dari kamar. Penjaga segera datang,
mengambil mangkok dan menutup pintu lalu menguncinya.
Setelah berada seorang diri, Han Ki duduk
terlongong. Hampir ia menangis menggerung-gerung kalau saja hatinya tidak
menahannya. Ia tidak mau menangis, apalagi di depan hwesio itu. Ia tidak mau
memberi kesenangan pada musuh-musuhnya dengan tangisnya! Akan tetapi Han Ki
seorang anak yangcerdik. Ia pun maklum bahwa kalau ia tidak mau makan, tentu
hwesio itu memenuhi ancamannya dan kalau sampai dijejali lagi, berarti ia
mengalami penghinaan dan agaknya hal itu menyenangkan hati Si Hwesio bengis.
Inilah sebabnya maka mulai saat itu, setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia
segera memakannya dengan sukarela sampai habis.
Luar biasa sekali hasilnya. Dalam waktu
sepekan saja tubuh Han Ki menjadi gemuk, dagingnya penuh, kedua pipinya
kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam! Inilah hasil obat kuat
dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni sendiri. Obat yang
mengandung hawa panas, memanaskan darah dan menguatkan tulang, menambah sumsum.
Han Ki merasa sehat dan kuat, hanya ia
seringkali kepanasan sampai sering ia membuka bajunya di waktu siang, tidak
kuat karena merasa tubuhnya seolah-olah terbakar. Dan kini yang membawa datang
makanan bukan lagi hwesio bengis. Agaknya karena Han Ki tidak pernah menolak
untuk makan hidangan, Siang-mou Sin-ni tidak mau lagi menggunakan hwesio untuk
mengancam, dan kini masakan dibawa datang oleh penjaga biasa. Penjaga itu
seorang Hsi-hsia, biarpun cukup kuat dan galak, akan tetapi tidak mempunyai
watak sadis (suka menyiksa) seperti hwesio itu.
Malam itu Si Penjaga kembali datang membawa
makanan untuk Han Ki. “Mungkin malam ini yang terakhir kau di sini.” kata Si
Penjaga sambil lalu. Berdebar jantung Han Ki mendengar ini.
“Mengapa? Aku hendak diapakan?” tanyanya.
Penjaga itu tertawa mengejek. “Apa lagi? Kau
anak musuh, tidak disembelih sejak dulu sudah untung! Ha-ha, agaknya Sin-ni
suka kepadamu. Entah bagaimana aku tidak tahu.... heh-heh, menurut pikiranku,
kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?”
Tentu saja Han Ki tidak mengerti maksudnya,
akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik
atas dirinya. Harus sekarang kulaksanakan, pikirnya. Untung atau buntung.
Hidup atau mati, tidak ada pilihan lagi.
“Paman yang baik, apa pun yang akan terjadi,
sampai mati aku tidak akan melupakan kebaikanmu.” Han Ki sengaja terisak-isak
seperti bocah terharu dan menangis.
Belasan hari lamanya, Si Penjaga diam-diam
amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah berusia sebelas tahun menjadi tawanan,
namun tak pernah menangis, tak pernah mengeluh, tak pernah ketakutan. Maka
kini melihat Han Ki menangis di depannya dan menyatakan tidak melupakan
kebaikannya, ia tentu saja terheran-heran.
“Huh? Apa maksudmu?”
“Selama ini kau telah menjaga diriku, Paman.
Aku tidak punya apa-apa, hanya ini kubawa dari rumah orang tuaku, akan
kutinggalkan kepadamu sebagai kenangkenangan dan balas budi....“ Dari balik
bajunya, Han Ki mengeluarkan sebuah benda yang macamnya seperti sehelai
tambang, akan tetapi sesungguhnya adalah baju dalamnya yang terbuat daripada
sutera putih dan yang selama ini ia pilin-pilin menjadi seperti tali. Tadinya
ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas, akan tetapi ketika ia
bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan untuk menyelamatkan diri
dengan tali istimewa ini.
“Huh? Apa ini....?” Orang Hsi-hsia yang belum
banyak mengerti tentang benda-benda milik orang kota, memandang heran.
“Inilah kalung jimat para bangsawan di
Nan-cao, Paman. Sebagai cucu Ketua Beng-kauw, aku selalu memakai kalung ini.
Kau diamlah, biar aku memakaikannya kepadamu, Paman, dan kau akan tahu nanti
bagaimana besar manfaatnya.” Tanpa menanti jawaban. Han Ki memutari tubuh
penjaga itu dan berdiri di belakangnya.
Orang Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin
tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.
“Beginilah pakainya, Paman.” Han Ki lalu
menggunakan kedua tangan memegangi kedua ujung tali sutera itu, mengalungkan
secepatnya di leher penjaga, kemudian ia membelit-belit kedua ujung pada
lengannya dan menarik sekuat tenaga!
Orang Hsi-hsia itu terkejut, meronta hebat,
namun Han Ki sekarang sudah menempelkan tubuh pada punggungnya seperti seekor
lintah, kedua kakinya mengempit pinggang, kedua tangan sekuat tenaganya
menarik ujung tali. Semenjak kecil Han Ki telah digembleng orang tuanya maka
ia telah memiliki dasar tenaga dalam. Namun, andaikata ia tidak kebetulan
diberi makan obat yang dicampurkan dalam masakan oleh Siang-mou Sin-ni, kiranya
tenaga anak berusia sebelas tahun ini belum tentu akan dapat mencekik Si
Penjaga yang kuat. Kebetulan sekali, pengaruh obat Siang-mou Sin-ni luar biasa
hebatnya, membuat tenaga dalam anak itu bertambah kuat beberapa kali lipat!
Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat berteriak dan tak dapat
bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh anak itu tetap lengket di
punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya mendelik, lidahnya
terjulur keluar.
Setelah penjaga itu tidak berkutik lagi,
barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu meloncat menjauhi. Seluruh
tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas yang menyelubungi tubuhnya,
juga karena tegang dan tadi mengerahkan tenaga. Ia memegangi kedua kaki
penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa heran mengapa tubuh penjaga itu
demikianringan. Ia tidak tahu bahwa bukan tubuh Si Penjaga yang ringan,
melainkan tenaganya yang kini menjadi amat kuat. Diseretnya mayat itu ke
bawah pembaringannya dan ditariknya tilam pembaringan ke bawah sehingga
menutupi kolong pembaringannya. Kemudian ia mengatur letak guling bantal,
ditutupnya dengan selimut sehingga sepintas lalu tampak seolah-olah ia tidur
dan berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Setelah itu, dengan cepat
namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan mengancingkannya
dari luar.
Ia tidak tahu sama sekaii bahwa tempat ia
ditahan itu merupakan kamar belakang dari bangunan yang menjadi tempat
tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni! Bangunan ini biarpun dibuat
secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw Lek Couwsu tinggal ditemani
gadis-gadis rampasan yang menempati beberapa buah kamar-kamar besar ini,
Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.
Karena dari kamar tahanan itu tidak ada jalan
keluar kecuali melalui ruangan belakang dan yang pertama-tama menembus ke
kamar Siang-mou Sin-ni yang selalu ingin berdekatan dengan kamar tahanan calon
korbannya, maka ketika Han Ki menyelinap keluar dan berjalan melalui lorong
dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar Siang-mou Sin-ni seperti seekor
kelinci mendekati sarang macan! Tiba-tiba suara ketawa cekikikan membuat ia
berhenti bergerak dan merasa jantungnya seakan-akan copot karena suara ketawa
itu ia kenal sebagai suara Siang-mou Sin-ni. Suara itu keluar dari jendela yang
tepat berada di pinggir kepalanya, jendela kamar Siang-mou Sin-ni! Dengan
jantung berdebar Han Ki lalu mengintai dari celah-celah daun jendela, menahan
napas. Untung bahwa ia bertelanjang kaki sehingga tapak kakinya tidak
menerbitkan suara. Sedikit saja ada suara, tentu takkan terlepas dari telinga
Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada di kamar itu.
“Hi-hi-hik, kau bajul buntung tua bangka tak
bermalu!” Terdengar suara Siang-mou Sin-ni. Han Ki yang mengintai kini melihat
kakek yang kaki kirinya buntung dan bertubuh tinggi besar berjubah merah,
sedang duduk bersila di atas pembaringan yang indah. Kakek ini tersenyum-senyum
dan wajahnya yang tampan itu masih kelihatan muda dan sehat. Tangan kanannya
memegang sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou Sin-ni rebah dengan kepala di
atas pangkuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang panjang terurai sampai ke
lantai. Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit dan manja, lalu menyambung
kata-katanya.
“Kau sudah tua bangka akan tetapi hatimu lebih
muda daripada orang yang paling muda! Masih kurangkah perempuan muda yang
kaukeram di sini? Masa kau menginginkan pula dua orang dara itu?”
Bouw Lek Couwsu yang sudah mendekatkan cawan
emas pada bibirnya, menunda minumnya dan memandang wajah yang menengadah di
atas pangkuannya, tersenyum dan berkata.
“Kim Bwee, setua ini kau masih cemburu?” Ia
tertawa bergelak.
Siang-mou Sin-ni cepat bangkit duduk dan
matanya mendelik. “Tua bangka menyebalkan! Aku cemburu padamu? Huh, memalukan!
Kau tahu aku tidak cemburu, aku tidak peduli kau akan mengumpulkan ribuan
perempuan seperti juga kau tidak cemburu dan peduli kalau aku mengumpulkan
ribuan pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua orang dara itu adalah puteri Kam
Bu Sin, mereka itu adalah cucu-cucu Ketua Beng-kauw yang sudah berhasil kita
bunuh. Mereka tadinya, dapat lolos, sekarang dapat tertawan oleh murid-muridmu,
itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh mereka? Makin lama mereka dibiarkan
hidup, makin banyak pula kesempatan bagi mereka untuk lolos. Lebih baik kita
singkirkan bahaya di hari depan kita.”
“Hemmm, omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan
tetapi, aku merasa sayang untuk membunuh mereka begitu saja. Seperti juga
bocah laki-laki yang akan kauambil darah dan sumsumnya, dua orang dara itu
adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki tulang yang baik dan darah
bersih, juga.... hemm, amat cantik jelita. Malam ini, aku janji padamu, mereka
akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok masih belum terlambat untuk
membunuh mereka.”
“Huh, dasar mata keranjang. Akan kulihat
besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri yang akan turun tangan!”
Bouw Lek Couwsu mendekatkan mukanya dan
mencium pipi Siang-mou Sin-ni sambil tertawa ia mendekatkan cawan emas pada
bibirnya, tetapi kembali ia menunda karena Siang-mou Sin-ni berkata mencela.
“Kau akan mencelakai dirimu dengan minuman
seperti itu!”
“Ha-ha-ha, mana bisa celaka? Darah ular salju
amat besar khasiatnya, tentu saja terutama sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli
Im-kang aku membutuhkan racun dingin untuk memperkuat tenagaku, tidak seperti
kau yang suka akan yang panas-panas, ha-ha-ha!”
Pada saat itu terdengar pintu terketok dari
luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan dengan wajah pucat dan
tubuh menggigil saking gelisahnya mendengar dua orang kakak perempuannya juga
tertawan, menjadi makin kaget dan cepat-cepat ia menarik kepalanya, mendekam di
bawah jendela yang gelap. Ia hanya mendengarkan sambil menahan napas. Akan
tetapi ternyata bahwa yang datang memasuki kamar itu adalah seorang pendeta
jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu dan mereka bicara dalam bahasa Tibet yang
sama sekali tidak dimengerti Han Ki. Kemudian terdengar Bouw Lek Couwsu
memaki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru marah.
“Mari kita lihat bagaimana macamnya iblis
itu!” Terdengar mereka meninggalkan kamar. Setelah keadaan di situ sunyi, barulah
Han Ki berani menggerakkan lehernya mengintai. Kamar itu kosong. Hatinya
berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di mana? Dengan hati-hati ia
lalu naik ke atas jendela, lalu memasuki kamar itu. Tubuhnya masih gemetar
dan jantungnya masih berdebar. Lehernya seperti dicekik, amat kering dan haus.
Keadaan sudah amat sunyi dan agaknya ia akan dapat melarikan diri, akan tetapi
ia mendengar bahwa dua orang kakaknya tertawan, lenyaplah keinginan hatinya
untuk melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan mencari dimana kedua orang
kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolong nya!
Bau harum sedap menarik perhatiannya. Cawan
emas itu masih di atas meja dan isinya penuh. Agahnya Bouw Lek Couwsu tidak
sempat meminumnya, keburu datang pelapor yang membuatnya marah-marah dan
meninggalkan kamar. Mencium bau sedap dan melihat isi cawan yang kuning
kemerahan dan jernih, makin kering rasa tenggorokannya. Sebagai putera
pendekar yang dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan arak, karena
seringkali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat tulang-tulangnya dan
membersihkan darahnya. Dalam keadaaan gelisah ia menjadi haus sekali melihat
arak dalam cawan emas itu tak dapat ia menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak
pikir lagi ia lalu menyambar cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan
manis! Rasa enak membuat ia minum terus sampai cawan itu kosong. Ketika ia
melempar kembali cawan ke atas meja, ia mengeluh dan terhuyung-huyung ke kanan
kiri.
Tubuhnya terasa aneh sekali, sebentar terasa
panas yang selama ini memenuhi tubuhnya menjadi makin panas seperti terbakar,
akan tetapi di lain saat menjadi dingin sampai giginya atas bawah saling
beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di dalam dada dan seluruh tubuhnya
terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga raksasa yang membuat tubuh anak
itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han Ki dalam keadaan pingsan di
atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni!
Apakah yang terjadi pada anak ini? Dia menjadi
korban pengaruh dua macam obat yang bertentangan! Mula-mula ia dijejali makanan
yang mengandung hawa panas luar biasa, yang membuat darahnya seolah-olah
mendidih dan tubuhnya menjadi panas sekali. Kemudian, tanpa ia ketahui, ia
minum obat dalam cawan emas, obat yang disangkanya arak biasa. Padahal obat itu
adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat yang mengandung hawa dingin luar biasa
karena terbuat daripada darah ular salju. Dengan demikian, dua macam obat
berbahaya, yang memiliki daya kekuatan luar biasa, panas dan dingin, bertemu di
dalam tubuhnya, diserap oleh darahnya yang menjadi medan pertempuran antara
dua kekuatan. Darahnya keracunan secara hebat sekali.
Ketika akan roboh pingsan, dari mulut anak ini
keluar bisikan. “Aku harus menolong kedua enciku (kakak perempuanku) ....
harus kutolong mereka....!”
Seperti kita ketahui atau dapat menduga, dua
orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, telah lenyap ketika
mereka sedang menonton pertandingan antara Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong.
Pada saat Siauw-bin Lo-mo meledakkan senjata rahasianya yang mengeluarkan asap
tebal, dua orang gadis itu secara tiba-tiba roboh tertotok. Mereka kaget dan
heran sekali karena tidaklah sembarang orang mampu merobohkan mereka begitu
mudah dengan serangan gelap dari belakang. Akan tetapi ketika mereka melihat
bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan adalah searang pendeta
gundul jubah merah yang berkaki satu, tahulah mereka bahwa nyawa mereka
terancam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar mereka, Bouw Lek
Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan kakek mereka! Ketika
kakek itu tidak segera membunuh mereka dan menjebloskan mereka ke dalam kamar
tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis
itu dapat menduga bahwa nasib yang lebih mengerikan daripada maut sendiri yang
tengah menanti mereka. Namun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil
keputusan bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan
mengadu nyawa.
***
“Ke sini jalannya,” Po Leng In berbisik
sambil menarik tangan Kiang Liong yang digandengnya. Mereka menyusup di antara
pohon-pohon kecil, setengah merunduk dan mendaki naik lereng gunung itu.
“Sekeliling puncak terjaga kuat, hanya bagian ini yang tidak terjaga karena
sukar dilewati.” Setelah berbisik demikian, karena muka mereka saling
berdekatan, Po Leng In merangkul leher dan mencium.
“Sudah, bukan saatnya bersenang-senang!”
Kiang Liong mencela sambil menjauhkan mukanya.
Po Leng In menarik napas panjang.
“Liong-koko...., bisiknya dengan suara mesra dan manja, “Aku.... aku cinta
padamu...., selamanya aku tak ingin berpisah dari sampingmu....”
“Huh, cukuplah. Kita bertemu dan
bersenang-senang, cukup sudah. Kau berjanji untuk membantuku menolong Siang
Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita bersimpang, setelah selesai
tugasku, kita berpisah sebagai sahabat.”
“Tapi....”
“Cukup sudah! Tidak ada cinta di antara kita,
tidak ada kecocokan dalam jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling
bertentangan dalam jalan hidup masingmasing, hatiku akan lega. Nah, ke mana
sekarang jalannya?”
Wajah yang cantik itu menjadi muram, mulutnya
yang tadinya tersenyum bahagia itu kini menjadi pahit. “Aku tahu.... aku harus
tahu diri....“ Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian
menudingkan telunjuknya ke depan. “Lewat lereng berbatu-batu itu dan kita akan
berada di wilayah kediaman mereka. Lihat itu Sungai Nu-kiang sudah tampak.”
Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk
wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku, berwarna putih
dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu, tampak puncak
Kao-likung-san yang menjadi markas para pendeta jubah merah. Di sanalah kedua
orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam Kiang Liong berdoa semoga
tiga orang itu masih dalam keadaan selamat.
Tiba-tiba Po Leng In memegang lengannya.
“Sst, Koko, lihat....!”
Tempat mereka berdiri merupakan lereng yang
tinggi dan dari situ mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur
Gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki
bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah rombongan
terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik.
Po Leng In mengeluarkan suara melengking tinggi,
mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak
lirih. “Apa yang kaulakukan?”
“Aku memberi peringatan kepada para penjaga
dan semua yang berada di atas.”
“Eh, apa maksudmu? Bukankah hal itu membuat
mereka siap dan akan menyukarkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu
Sin?”
Po Leng In menggeleng kepalanya. “Sebaliknya
malah. Jika para penjahat melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan
turun dan semua perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam
keributan, apalagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang
diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa.”
Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan
lengan gadis, itu. “Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas.”
Po Leng In menggeleng kepalanya. “Jangan, kau
menanti di sini sampai gelap. Aku harus pergi dulu.”
Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya.
“Leng In, apa sebetulnya kehendakmu?” pertanyaan ini disertai pandang mata
penuh selidik dan curiga.
“Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya
kepadaku, kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhianatan atau aku
akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin terhadapmu. Kau
tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, Guruku dan yang lain-lain akan
tahu bahwa aku telah datang. Kalau aku tidak lekas-lekas menemui mereka, apa
kaukira mereka takkan menjadi curiga? Aku harus segera naik ke sana, dan akan
kuusahakan agar mereka semua turun puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah
gelap, kau boleh merayap terus, melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah
kau melihat bangunan-bangunan di puncak, carilah bangunan yang paling besar
di tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu
ditawan dalam bangunan di samping kanannya, tempat tinggal Guruku. Kurasa,
hanya penjaga-penjaga lemah saja yang akan menghalangimu.”
“Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In.
Baiklah aku menurut petunjukmu.”
Po Leng In tiba-tiba merangkulnya. “Koko,
kau.... kau takkan melupakan Po Leng In, bukan....?”
Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi
lalu menyambung lirih. “Aku akan tetap mengenangmu sebagai sahabat,
kecuali.... kecuali kalau kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau
jalan kita bersimpang, terpaksa aku menentang kau dan Gurumu.”
Po Leng In terisak, melepaskan rangkulannya
lalu lari ke depan, menuju ke puncak. “Gadis yang hebat,” Kiang Liong berkata
seorang diri, “sayang terjerumus menjadi murid iblis betina itu.”
Ia duduk terlindung pohon-pohon kecil dan dari
tempat ia duduk, ia dapat memandang ke bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia
berada, ia tak dapat melihat siapa adanya rombongan orang yang gerakannya
tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang berada di dalam dua buah kerangkeng
tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang kurus, yang berjalan di depan
rombongan itu. Kakek itu menggendong bambu di punggung, pinggangnya dilingkari
dompet-dompet tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah
Siauw-bin Lo-mo! Teringat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan
ketajaman pandang matanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk
melihat lebih jelas siapa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu. Tidak
tampak jelas, namun hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua orang dalam dua
buah kerangkeng itu.
Kiang Liong tak dapat menduga bahwa yang
berada di dalam kereta kerangkeng itu, yang seorang adalah Mutiara Hitam!
Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di dalam kereta kerangkeng itu.
Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang yang dipimpin oleh
Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan,
mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh
Siauw-bin Lo-mo. Ke Gunung Kao-likung-san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lomo
telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini
menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.
“Yang seorang Ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus,
bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci melihat betapa
musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat
aku lebih tinggi daripadanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari
Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini? Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik. Kudengar
Bouw Lek Couwsu paling suka gadis cantik, kebetulan sekali karena aku tidak
membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin
orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha!”
Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo
lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang
menjadi anak buahnya untuk mengunjungi, pimpinan pendeta jubah merah, yaitu
Bouw Lek Couwsu karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang
sudah membasmi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya.
Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat kalau
dapat ditarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga
patut dibasmi kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong dari
Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut
menghadapinya andaikata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Siauw-bin Lo-mo yang belum mengenal watak
Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet, juga tidak menduga
bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni orang terakhir Thian-te Liok-kwi,
dengan hati besar memimpin rombongannya mendaki lereng Gunung Kao-likung-san.
Akan tetapi ketika rombongan tiba di padang rumput yang berada di lereng itu,
hari sudah mulai gelap. Karena tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo
memerintahkan rombongannya berhenti.
“Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak.”
katanya.
Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu
segera terganggu oleh suara lengking tinggi yang datangnya dari bawah puncak,
lengking aneh yang mengingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah
datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Chengliong-san. Lengking
gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni. Salahkah
pendengarannya? Akan tetapi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu karena
tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak buahnya. Di
antara sinar obor yang dipasang anak buahnya, ia melihat beberapa orang
perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang mereka.
Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke
depan, menyampok anak-anak panah yang menyambar ke arahnya, mengerahkan
khikang dan berseru keras.
“Tahan anak panah! Di sini aku, Siauw-bin
Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin Cap-ji-liong dari
Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai, bermaksud
mengunjungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasukan Hsi-hsia!”
Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema
di empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba tampak
api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu muncul puluhan orang pasukan
Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang hwesio berjubah merah
yang berwajah keren. Tempat itu sudah terkurung! Seorang di antara mereka, pendeta
jubah merah, melangkah maju dan berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau
besar dan logatnya kaku.
“Nama Siauw-bin Lo-mo sudah terkenal, akan
tetapi belum cukup besar untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah
kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo
dan anak buahnya?”
“Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah
mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo! Kalau kami datang dengan maksud hati
buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku datang dengan hati
terbuka, ingin bersahabat dengan Bouw Lek Couwsu dan membawa hadiah dara
jelita untuk Couwsu!”
“Tidak ada perintah dari Couwsu untuk menerima
tamu. Kalau ada hadiah, boleh serahkan kepada kami dan selanjutnya kami harap
Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka meninggalkan gunung sebagai sahabat.”
“Ha-ha-ha-ha! Para pendeta Tibet benar-benar
tidak memandang mata kepada Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi karena kedatanganku
memang bukan berniat buruk, biarlah kalian boleh membawa gadis jelita yang
menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek
Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo
mohon berjumpa besok pagi.”
Pendeta jubah merah itu kelihatan ragu-ragu.
Betapapun juga, ia tidak berani memandang ringan Siauw-bin Lo-mo yang namanya
sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan agaknya permintaannya ini
cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia pergi menghadap Bouw Lek Couwsu,
menyampaikan persembahan berupa seorang gadis muda cantik yang memang ia tahu
menjadi kesukaan ketuanya dan mohon persetujuannya menerima permintaan
Siauw-bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya
takkan marah.
“Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga
agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini,
agaknya kami akan dapat menerima permintaan yang layak ini.” katanya dan ia
pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia
mengakui kakek itu sebagai seorang sakti.
Lega hati Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan
perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar untuk mengalah dan sedikit
merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta Tibet yang sekaligus juga merupakan
pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan keras yang didahului dengan lengkingan tinggi.
“Tidak mungkin! Para Lo-suhu jangan kena
dikelabuhi oleh kakek kurus kering yang jahat ini! Namanya Siauw-bin Lo-mo,
mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan palsu!”
Siauw-bin Lo-mo terbelalak memandang dengan
penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid
Siang-mou Sin-ni yang bernama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah
sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambutnya yang hanya tinggal
separuh itu tergantung di depan dada.
“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang
kaumaksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.
“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang
tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan?
Nah, para Lo-suhu dengar baikbaik, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan
kepadanya.” Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati
Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.
“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar
sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan
menjawab semua pertanyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau
pernah bertemu dengan aku?”
“Benar, pernah aku melihat Nona di
Cheng-liong-san.” jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia
memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.
“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani
untuk menjawab sebetulnya. Bukankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong,
Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa
yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga.
“Memang benar dan akulah orang pertamanya!”
“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di
sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek
Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir
membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah
engkau lalu pergi, betul?”
Siauw-bin Lo-mo masih tidak mengerti apa
artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio
jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng
In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik
di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.
“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak
ada sangkut pautnya dengan aku.”
“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kaubilang?
Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu
dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya
tanpa bilang apa-apa, melihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa,
sekarang masih berani datang dengan maksud baik?”
“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu
dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”
“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai
pembela Beng-kauw!” Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu
menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat
seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan
tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang
pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan
meloncat mundur.
Sementara itu, para hwesio jubah merah yang
mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu
saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju menerjang dengan
senjata mereka.
“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk
murid Siang-mou Sin-ni!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan
kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang
hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang
mencelat.
Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh
Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk
mereka diserang dan dikeroyok, segera berteriak marah dan menyerbu, diikuti
anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang
Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil mengeluarkan teriakan lantang lalu maju
menggerakkan senjata masing-masing. Terjadilah perang kecil yang dahsyat dan
seru di antara sinar-sinar obor.
Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti,
Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan
Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo-mo yang
cerdik tidak cepat berseru nyaring. “Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi
jangan bunuh mereka!”
Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang
roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak
sampai tewas. Melihat hebatnya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio
jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pelaporan
kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek
Couwsu yang sedang bersenang-senang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar
iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.
Kwi Lan yang terkurung dalam kerangkeng tidak
luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan.
Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua
kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan
meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam
kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya,
didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.
Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki
mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut
nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia
sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki.
Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehingga
tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam
malapetaka hebat.
Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka
parah. Juga belenggu pada kaki tangannya, kalau ia mau, dapat ia patahkan.
Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerangkeng
terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk meloloskan
diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang
jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia bertambah
kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki
tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja. Pedang
Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas musuh dan di
sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala
bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan
diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget
dan kecewa hatinya ketika di kaki Gunung Kao-likung-san, rombongan orang
Thian-liong-pang ini bertemu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah
menanti di situ. Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat
membebaskan diri!
Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan
sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu
nyawa. Maka dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hatinya ketika ia
melihat munculnya kesempatan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta
jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak
buahnya.
Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu
pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah beberapa kali
membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tanpa banyak
kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.
Seorang di antara kepala rampok yang
ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri
kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam
kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, ditarik ke
kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah meninggalkan
raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi
Lan.
Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam
orang yang lain melihat betapa temannya tewas, cepat maju mengurung
kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan berkepandaian
tinggi, namun bertangan kosong menghadapi ancaman tombak, dari enam penjuru
ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga.
Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit kesakitan dan roboh
bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi
alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara
perampok yang diterangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini toboh.
Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum
hijau, seperti senjata rahasianya yang kantungnya kini dipegang seorang di
antara para perampok, bersama pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat
orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan
jarum-jarum hijau!
Ketika dua orang berkelebat datang mendekati
kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua berjenggot,
pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil
kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi. Orang
ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya digelung
ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan
di pinggang gadis itu terdapat, sebuah kantong kulit. Agaknya gadis itulah
yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.
Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam
kerangkengnya sehingga terdengar suara keras dan jebollah kerangkeng itu.
“Engkau hebat sekali, Adik manis!” kata gadis
itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata
demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang
mengurung tubuh Yu Siang Ki.
“Jangan ganggu dia!” Kwi Lan menyambar cepat,
mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali
serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu
membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu serangannya akan
mengenai sasaran.
“Desss....!” Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur
dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung
mundur dan berubah wajahnya ketika berseru, “Ihhh....! inikah Siang-tok-ciang?
Keji sekali....!”
Akan tetapi Kwi Lan tidak mempedullkan kakek
ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka
akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang,
ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat? beberapa orang
hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan belenggu
tangan Yu Siang Ki.
“Siapa kalian? Mau apa....?” tanyanya gagap.
“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada
kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kaujaga
dibelakangku, biar kugendong dia!”
Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus
itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan
memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu
pun dengan pedang terhunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang
menggendong pemuda itu.
Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong
jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling
menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In
terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa
orang Hwesio jubah merah. Timbul keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In
karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya,
membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan
keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa
lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu
terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan
lalu melompat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu
Siang Ki.
***
“Tahan, senjata....!”
Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan
menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo
karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga
empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya
oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.
Para hwesio jubah merah dan orang-orang
Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin
Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya untuk menghentikan
pertandingan.
Mereka berdiri saling berhadapan, saling
pandang di bawah sinar obor yang amat banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang
hwesio tinggi besar berkaki satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat
besar dan berat dengan kepala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat
indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang,
berambut terurai panjang. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya
manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu
tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini
jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biarpun selamanya ini
belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita
ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah
terbasmi habis itu. Ia memang mendengar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni
seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut
berita, wanita sakti ini sudah mengasingkan diri di pulau kosong di laut
selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo mengapa Po Leng In bersekutu dengan
hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek
Couwsu!
“Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek
Couwsu berkenan keluar sendiri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar
bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek
Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?” Siauw-bin Lo-mo menegur
sambil mendekati Bouw Lek Couwsu.
Bouw Lek Couwsu mengerutkan alisnya yang
tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia melihat
beberapa orang anak buahnya terluka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi
tak seorang puntewas. Ia mengangguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin
Lo-mo sambil berkata, menggerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.
“Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin
Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng
(aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba kepandaianku?”
“Ho-ho-ha-ha-ha! Sama sekali tidak. Salah
mengerti.... salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur
gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah. Aku sengaja datang
untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang
membawa hadiah seorang dara jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk
Mutiara Hitam, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu....“
Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri
Siauw-bin Lo-mo dan berkata, suaranya gugup.
“Locianpwe...., dalam keributan.... dua orang
tawanan telah lolos....!”
“Apa?” Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa
ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali. “Goblok kau! Hayo lekas kejar
sampai dapat!” Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah melihat
Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan
berkata, “Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan
mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk
menghadap.” Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi
menyusul anak buahnya.
“Hemm, iblis tua itu mencurigakan!” kata
Siang-mou Sin-ni.
“Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh
dipercaya!” kata Po Leng In. “Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah
seorang di antara Bu-tek Ngosian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di
Cheng-liong-san.”
“Hemm, harus diberi hajaran!” Siang-mo Sin-ni
sudah siap untuk mengejar ketika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari
puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi
tanda bahaya.
“Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak
baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda
sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok.”
Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan
cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In menjadi
pucat. Ia dapat menduga apa maknanya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak
itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan penjaga. Dengan
jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul gurunya dan Bouw
Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga berlari-lari naik.
Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong
yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai cuaca menjadi
gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia lalu mendaki ke puncak
melalui lereng berbatu. Gerakannya cepat sekali akan tetapi ia berlari naik
dengan amat hati-hati dan waspada.
Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat
keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu
gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat
persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang
buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wanita
cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek
Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Biarpun hanya mendengar keterangan dari Po Leng
In, namun kini melihat gerakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua
orang itu amat sakti. Maka legalah hatinya ketika malihat dua orang ini berlari
turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang
Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga
sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa
olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi
keributan di bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing
keributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan
di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu
terjaga rapat itu.
Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga
tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam
dan bergerak menyelinap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya
berkelebatnya bayangan putih saja. Betapapun juga, ketika ia tiba di bangunan
terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po
Leng In, ia menghadapi kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan,
kanan kiri, belakang maupun atas! Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai
dan mengatur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal
Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou
Sin-ni, mempunyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di
belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak
menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng
merupakan penjaga berkepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta
jubah merah. Adapun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.
Kiang Liong lalu mengumpulkan beberapa buah
batu kecil, kemudian menyelinap ke sebelah kiri bangunan itu. Beberapa detik
kemudian, tiga orang penjaga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak
sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu
kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebabnya. Cepat
bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit
tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan
di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada
penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu beberapa menit saja
tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih
dalam keadaan pingsan di bawah pohon.
Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang
penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang
Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang
Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat
mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi
kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melayang naik ke atas genteng. Dua
orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya, menyambutnya dengan
usaha perlawanan.
Namun sia-sia, tingkat kepandaian mereka
masih terlalu rendah untuk menandingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang
Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka
sudah dilempar di tumpukan tubuh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan
lumpuh.
Akan tetapi, Kiang Liong tertegun dan mau
tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang
pendeta itu karena betapapun dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari
keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam!
Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar
itu.
Ketika empat orang pelayan wanita menyambut
munculnya dengan mata terbelalak ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat
tangan dan berkata, “Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku datang untuk
menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu.
Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan
segera.”
Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu
berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat menjawab! Dan
pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan
cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan
berbahaya, untuk menyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah
wanita-wanita lemah!
“Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua
orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian!” ia sengaja
mengancam.
“Ampun.... mereka.... mereka di sana.... di
kamar belakang....!” Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.
“Lekas bawa aku ke sana!”
Pelayan itu terhuyung-huyung ketakutan, akan
tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari
belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintunya bercat
merah, daun pintunya tertutup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja
daun pintu itu terbuka dan.... Kiang Liong mengeluarkan suara mengutuk ketika
ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang
cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan telanjang! Melihat
tumpukan pakaian mereka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat
dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah
dipatahkan.
“Lekas pakai pakaian kalian!” bisiknya sambil
membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang
Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian
mereka.
“Untung kau datang tepat pada waktunya,
Liong-twako.” kata Siang Kui dengan suara terharu.
“Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar
sampai mampus monyet-monyet gundul itu!” seru Siang Hui penuh kemarahan.
Kiang Liong menoleh menghadapi mereka.
Mendengar ucapan mereka, melihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia
maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.
“Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar
mereka. Jumlah mereka banyak sekali, yang paling penting sekarang, di mana
adanya Han Ki adik kalian?”
Barulah enci adik itu teringat dan mereka
menjadi bingung. “Kami berdua begitu terculik, selalu dikeram ke dalam kamar
ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi
tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari.” kata Siang Kui penuh semangat.
Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik
tangan mereka keluar dari dalam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan
ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata.
Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan mereka
memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah
gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi
keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh mereka.
Melihat sikap ini, Kiang Liong berbisik.
“Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada
sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan
diri keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian....“
“Mana bisa begini?” Siang Hui mencela. “Aku
tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!”
“Biarkan kami berdua membantumu, Twako.” Siang
Kui juga berkata nadanya mendesak.
“Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti.
Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebetulan ada
musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sendiri
agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah
dapat kutolong tentu aku ikut melarikan diri bersama kalian. Akan tetapi
sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.”
“Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu,
kalau perlu dengan taruhan nyawa!” kata Siang Hui.
Kiang Liong habis sabar. “Kalian harus
mengerti, kepandaian mereka hebat, aku sendiri belum tentu dapat menang
menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat
akan binasa semua.”
“Kami tidak takut mati!” Siang Kui dan Siang
Hui berseru saling mendahului.
Kiang Liong melotot. “Kalau aku bekerja
sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak
menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada
orang yang membalas kematian Ayah Bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?”
Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat
wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka
meloncat keluar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka
meninggalkan isak tertahan. Kiang Liong tersenyum geli. “Dasar puteri-puteri
Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati.” Ia memuji, hatinya perih teringat
akan kematian Kam Bu Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia
teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia menyelinap keluar dari bangunan besar
itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan dengan
tubuh menggigil dan muka pucat.
“Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi
kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki-laki kecil
yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!”
Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang
pelayan berkata. “Kami tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou
Sin-ni....“
“Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?”
Pelayan itu hanya dapat menudingkan
telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan
putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata
mereka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut.
Akan tetapi dua orang di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki
mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini
dengan suara terputus-putus mereka lalu menceritakan tentang serbuan pemuda
pakaian putih.
Ributlah para penjaga, dan para pendeta jubah
merah lalu membunyikan tanda tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang
sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan
lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou
Sin-ni.
Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat
tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tandukitu. Ia maklum
bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu merupakan tanda bahaya dan persiapan
pihaklawan. Ia harus segera menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para
pelayan sudah lari keluar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya, tempat
tawanan adalah di bagian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang
pintunya tertutup didobraknya, namun ia tidak dapat menemukan anak itu.
“Han Ki....! Kam Han Ki....!”
Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema
di sekitar puncak karena suara Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat
kuat. Namun tidak ada jawaban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena
pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan
pingsan!
Suara tapak kaki banyak orang menyatakan
bahwa rumah itu telah terkurung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah
melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam menyambutnya
seperti hujan.
“Trang-trang-trang....!” Suara pertemuan
senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika
meloncat keluar tadi ia telah mencabut, keluar sepasang senjatanya yang aneh,
yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh masih melayang dapat menangkis dan
sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya
pemuda ini.
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.
Orang-orang Hsi-hsia sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, namun
mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat
sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati mereka yang terus
mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan orang banyaknya ini
diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah yang memiliki ilmu silat cukup
lihai karena mereka ini adalah kaki tangan, juga murid Bouw Lek Couwsu.
Hebat sekali amukan Kiang Liong. Dalam waktu
setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang Hsi-hsia roboh tak dapat
bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah merah roboh terluka! Ia tidak
akan melarikan diri sebelum dapat menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil)
di tangannya menjadi dua gulungan sinar memanjang seperti dua ekor ular sakti
saling belit dan melayang-layang di angkasa.
“Tahan senjata, mundur semua....!” Tiba-tiba
terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh, Kiang Liong tidak mengenal suara
ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur sambil menarik
senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi dua barisan
dengan sikap menghormat. Karena menduga bahwa kini yang muncul tentulah Bouw
Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya
pernah ia dengar dari suhunya, maka Kiang Liong memegang sepasang senjatanya
erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syarafnya siap
menghadapi lawan tangguh.
Di bawah sinar obor yang dipegang kedua
barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki
satu yang berjubah merah. Biarpun kaki kirinya buntung, namun dengan bantuan
tongkat, ia dapat berjalan dengan tegak dan cepat sekali. Di samping hwesio
ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.
“Bagus! Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan
Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina yang amat keji!” Kiang Liong
membentak marah sekali.
Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau
seorang tokoh benar seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih
terhadap dirinya, bagaimana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia
dan Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, Melihat banyaknya
murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar blasa
sekali. Keheranannya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.
“Orang muda yang tak takut mati, engkau
siapakah?”
Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab, “Aku
she Kiang bernama Liong. Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan
Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk
menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kaubebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu
tidak tahu apa-apa!”
Bouw Lek Couwsu mengangguk-anggukkan kepala
sambil meraba kepalanya yang gundul.
“Aih-aih.... pantas kau seberani ini. Kiranya
engkau inikah yang bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal
sebagai murid Suling Emas?”
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan
dan tertawa, suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguhpun
wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya berderet
rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah, cuping hidungnya berkembang
kempis dan matanya menyinarkan api. “Hi-hi-hik! Inikah murid Suling Emas?
Bagus, kauwakili Gurumu mampus di tanganku!” Berkata demikian, kepala wanita
ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar bayangan hitam.
“Siuuuuttt!” Dahsyat sekali gulungan dua,
sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang Liong. Pemuda ini sudah
menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata, namun
dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut
panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi mengerikan dan
mendatangkan bau harum yang mencekik leher! Pemuda ini maklum bahwa terkena
hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apalagi kalau sampai terbelit.
Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan
sepasang senjata itu dengan tenaga sin-kang.
“Plak-plak.... aiihhh....!” Siang-mou Sin-ni
terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara kaget ketika sepasang gumpalan
rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil itu tidak memungkinkan
rambutnya untuk melibat. Rasa kaget ini berbalik menjadi kemarahan. Kembali
kepalanya bergerak dan kini dua gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan
menyambar ke depan, gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala
Kiang Liong. Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua
kali. Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak
melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak
tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak
tangannya merah seperti mengeluarkan darah.
Kiang Liong yang tahu bahwa ia berhadapan
dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sembrono. Ia
sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang
mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah
pula. Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang
dan seperti menggunting rambut, Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik kembali
rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada dan lambung
pemuda itu. Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara otomatis membuat
sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin-ni
dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebelum
telapak tangan menyentuh baju Kiang Liong, tentu saja ujung pena akan lebih
dulu bertemu dengan pergelangan tangan menotok jalan darah. Gerakan ini
dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga tak tersangka dan membingungkan
lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras dan menarik kedua tangannya
sambil menggeser kaki mundur selangkah sehingga ia pun berhasil membebaskan
diri daripada totokan kedua pensil.
“Kiang Liong, kau masih tidak mau menyerah?
Lihat siapa mereka ini!” Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi memberi tanda
kepada anak buahnya, menudingkan telunjuknya kepada dua orang gadis di
sampingnya. Kiang Liong memandang dan matanya terbelalak, wajahnya pucat
karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan
kakinya tangannya terbelenggu, memandang kepadanya dengan mata duka namun
sedikit pun tidak takut.
“Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali.”
kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan kekecewaan yang membayang di mata
Kiang Liong.
“Liong-twako, jangan hiraukan kami!” kata
Siang Hui dengan suara lantang.
“Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu
Ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati.
Menyerahlah, dan mereka akan kubebaskan!”
“Liong-twako, kami tidak takut mati teriak
Siang Hui.
“Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan
menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah!” teriak pula Siang Kui.
Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya
pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu memalangkan tongkatnya, mengancam di atas
kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa sekali ia bergerak, dua orang
gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat
mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apalagi dibantu banyak sekali
pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang
saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda yang
cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil keputusan.
“Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil!
Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou
Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku!” Sikapnya
tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan
suara kagum.
“Seperti Suling Emas benar....! Beginilah
Suling Emas di waktu mudanya!”
Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak.
“Orang muda sombong! Gurumu sendiri Si Suling Emas belum tentu dapat menandingi
pinceng, apalagi engkau muridnya! Kaulepaskan senjatamu dan menyerahlah,
pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan bantuanmu. Pinceng
berjanji akan membebaskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki itu, dia
adalah hak Siang-mou Sin-ni.”
“Bagaimana aku dapat percaya omonganmu, Bouw
Lek Couwsu?”
Pendeta jubah merah itu marah sekali. “Kiang
Liong, kau benar-benar memandang rendah kepada pinceng! Tak tahukah engkau
dengan siapa kau bicara? Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta
jubah merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng mengeluarkan kata-kata,
pasti tak ditarik kembali!”
Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia sengaja
hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak ia akan makin
malu untuk menarik kembali kata-katanya. “Hemm, siapa tidak tahu bahwa engkau
menjadikan jubah merah dan kepala gundul sebagai kedok belaka, Bouw Lek
Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak hidup sebagai pendeta,
bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta palsu? Akan tetapi aku akan
lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang
terkenal jujur dan perkasa!” Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali
sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk orang-orang
Hsi-hsia.
Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengutuk di dalam
hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai seorang
pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar, tentu saja ia
tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan merendahkan diri dan martabat
dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di samping ini, ia pun amat
membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan
Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutu!
Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.
“Baiklah, aku berjanji sebagai pimpinan
Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini setelah kau melepaskan senjata
dan menyerah.”
Kiang Liong tersenyum lalu memandang sepasang
pensilnya.
“Twako, jangan menyerah!”
“Twako, mari kita berontak, lawan dan adu
nyawa dengan mereka!”
Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan
memandang dua orang gadis itu sambil berkata. “Kalian harus menurut kepadaku.
Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi!” Di dalam
suara ini terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu
pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis.
Kiang Liong mendongak ke atas, melihat tiang
bendera yang amat tinggi berdiri di situ. Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di
puncak tiang. Ia lalu berkata.
“Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas
sana!” Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan
dua sinar menyambar ke atas. Ketika semua orang memandang, ternyata dua buah
pensil itu telah manancap berjajar di puncak tiang bendera! Semua orang
terbelalak memandang penuh keharanan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan
Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.
“Ha-ha-ha, engkau benar seorang muda gagah
perkasa.” kata Bouw Lek Couwsu yang kemudian menoleh dan memberi perintah
kepada anak buahnya. “Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka
turun gunung!”
Belenggu kedua orang nona ini dilepaskan.
Mereka sejenak meragu, memandang ke arah Kiang Liong dengan sepasang mata
basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya dan berkata. “Pergilah,
Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah.”
Dua orang nona itu sedih sekali. Tadi pun
ketika mereka dipaksa oleh Kiang Liong setelah mereka ditolong, dipaksa pergi
dan tidak diperbolehkan ikut pemuda itu mencari Han Ki, mereka menangis
kecewa. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh
mereka melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba
di lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni
yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melakukan perlawanan
berarti mereka telah ditangkap kembali! Dan sekarang karena mereka berdua,
Kiang Liong menjadi tawanan tanpa dapat melawan. Tentu saja mereka berduka
sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil menangis mereka
pergi meninggalkan tempat itu, di dalam hati berjanji akan cepat-cepat
mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak Tai-liang-san, minta
pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk menolong Kiang Liong dan
Han Ki. Kalau terlambat dan dua orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk
dan mengadu nyawa.
Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek
Couwsu berkata.
“Orang muda, pinceng sudah berjanji
membebaskan mereka dan sekarang mereka sudah bebas. Engkau menjadi tawananku,
dan pinceng juga tidak bermaksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak
tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau
tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum berunding!“
Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau
sepasang pensilnya masih berada di kedua tangannya sekalipun, belum tentu akan
dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih
anak buah mereka yang sudah mengurung tempat itu. Kini sepasang senjata sudah
ia simpan di atas tiang bendera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah.
Seorang pendekar harus memegang janjinya dan ia menyerah, kecuali tentu saja
kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka mendengar ucapan
ini ia tersenyum dan menjawab.
“Silakan Bouw Lek Ciouwsu.” Ia memasang kedua
tangan dengan merangkap pergelangantangannya.
Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek
Couwsu tanpa diminta segera melompat maju. Ia sudah membawa sebuah rantai besi
dan untuk menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan
itu erat-erat kemudian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian
kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong sedikit pun tak dapat
bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah itu melangkah
mundur dan memandang ke arah gurunya mengharapkan pujian.
“Goblok kau! Goblok dan tolol!”
Pendeta jubah merah itu kaget setengah mati,
takut mendongkol dan heran terbayang di mukanya.
“Tapi.... Suhu....“
“Kaukira belenggu itu dapat menahan kedua
tangannya?” bentak Bouw Lek Ciouwsu.
Kiang Liong kagum akan kecerdikan dan
ketajaman mata pendeta kepala itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura
lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan
rantai besi yang membelenggunya itu patah-patah! Kemudian ia menyodorkan
kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di
situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau sekalipun tak
mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini mematahkannya sedemikian
mudah.
“Biar kubelenggu dia untukmu!” terdengar
Siang-mou Sin-ni berkata, sebagian jengkel menyaksikan kegagahan Kiang Liong
dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa pemuda ini adalah murid Suling
Emas, musuh besar yang amat dibencinya karena Suling Emaslah yang mengenyahkan
dia dari dunia kang-ouw (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Sambil
berkata demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke
arah kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit
pergelangan tangan!
Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang
membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas
dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena rambutnya ini sama
sekali tak boleh dipandang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan ikatan
rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam saja dan
bahkan memuji.
“Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou
Sin-ni!”
Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di
situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka
itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai
senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat daripada rantai besi,
benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran!
Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu,
tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan
kanannya bergerak menghantam ke depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama
sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis maupun mengelak,
hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.
“Bukkk....!” Lambungnya terkena pukulan.
Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan
terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya
mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan
Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat
hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya.
Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda
tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat di
waktu mudanya Siang-mou Sin-ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang
bernama Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu ketika ia sering menghadapi Suling Emas (dalam
cerita CINTA BERNODA DARAH), dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek pula, yaitu
dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar dari mulut.
Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit lawan, dapat
membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya! Akan tetapi
makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya dan kini ia dapat menggunakan
Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukulan tangan terbuka. Darah beracun yang,
dikumpulkannya itu dapat ia robah menjadi hawa beracun yang jika mengenal
lawan akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah
terkena pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya
mulai keracunan.
“Kim Bwe, jangan bunuh dia!” bentak Bouw Lek
Couwsu sambil melompat maju menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya
Siang-mou Sin-ni tertawa.
“Hi-hi-hik, tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku
sudah puas dapat memukulnya!”
Bouw Lek Couwsu menghampiri Kiang Liong yang
kini kedua tangannya sudah terlepas dari ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. “Kiang
Liong Kongcu, maafkan sikap sahabatku ini yang dulu disakitkan hatinya oleh
Gurumu, Percayalah, kami berniat baik dan ingin bersahabat dengan kau yang muda
dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan melawan dan manyerah baik-baik, pinceng
tidak berani membelenggumu. Marilah, engkau kini menjadi tamuku yang
terhormat.”
Kiang Liong hanya tersenyum dingin dan tanpa
bicara ia mengikuti, pendeta ini naik ke puncak. Siang-mou Sin-ni tertawa
ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak buah ikut pula naik kembali ke
markas sambil membawa mereka yang terluka.
***
Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan
penuh haru rasa hati Suling Emas ketika ia berlutut bersama panglima-panglima
lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat
kuat.
Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan
Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam keadaan menyamar sebagai seorang kakek
yang berjenggot panjang, Suling Emas memandang Yalina atau Lin Lin dengan
jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam
pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu! Masih cantik
jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu
bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini
pandang matanya suram. Kalau bibir yang masih merah mungil ini dahulu
tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik
seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan
keagungan dan kematangan. Begitu pandang mata sayu itu ditujukan ke arah
mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu bergerak
membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat menundukkan
mukanya dengan sikap amat menghormat.
Dengan jantung berdebar dan pikiran melamun
jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya
terdengar sebagian saja olehnya, Suling Emas berlutut sambil menundukkan
kepala. Akhirnya ia mendengar suara Lin Lin atau Ratu Yalina, suara yang
selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu terngiang di telinganya
dalam mimpi.
“Kami amat berterima kasih kepada Cianpwe dan
kami setuju akan usul kedua panglima kami untuk mengangkat Cianpwe sebagai
pengawal dalam istana. Betapapun juga, hati kami takkan puas kalau belum
menguji kepandalan Cianpwe.”
Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan
kagum. Biarpun sudah menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang
disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan
hormatnya terhadap tokoh kang-ouw sehingga dia yang dianggap seorang tokoh
besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan menjawab,
merobah suaranya dibesarkan.
“Silakan apa yang akan Paduka lakukan, hamba
hanya menurut.”
“Lihat serangan!” Tiba-tiba ratu itu berseru
keras dan tangan kanannya menyambar ke arah dada Suling Emas.
Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal
pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah
ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan,
pendiri Beng-kauw, yaitu Ilmu Cap-sa Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang
dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin (baca CINTA
BERNODA DARAH). Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat
memunahkan pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in
Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja
mengerahkan sin-kang di pundaknya, lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh
dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam
pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai empat meter akan tetapi ia jatuh
dalam keadaan masih berlutut seperti tadi.
“Aiihhh....! Hampir aku kesalahan tangan
membunuhmu!” teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi.
Dari tempat ia berlutut, Suling Emas mengerahkan gin-kang dan.... dalam
keadaan masih berlutut itu tubuhnya melayang dan kembali di tempat tadi, sama
sekali tidak merobah kedudukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan
mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri
terkejut. Hebat Ilmu orang ini, pikirnya. Dengan gin-kang seperti itu, dia
sendiri takkan mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar
pun hanya mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya
terkena hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak
apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.
“Ah, maafkan percobaan kami, Cianpwe.
Ternyata Cianpwe sakti seperti diceritakan kedua panglimaku. Siapakah nama
julukan Cianpwe?”
“Hamba tidak ingat lagi nama hamba, orang
hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama).”
Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Bu Beng Lojin,
apakah engkau tidak mempunyai saudara muda atau keponakan atau putera?”
Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang
mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan muka penyamarannya. Cepat ia
menggelengkan kepala. ”Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud
pertanyaan Paduka?”
Ratu Yalina menarik napas panjang. “Tidak
apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang....“ Ia berhenti termenung
sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung. “Mulai sekarang kau
kuangkat menjadi pengawal dalam Istana. Keselamatan kami sekeluarga kuserahkan
ke dalam penjagaanmu.”
Suling Emas menunduk, hatinya terharu.
“Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka”
Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas
menjadi kepala pengawal dan tinggal pula di lingkungan istana. Dia diberi
pakaian yang sesuai dengan pangkatnya.
Seperangkat pakaian yang indah dan gagah,
dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar
sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal. Kepalanya memakai topi
bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang tinggi.
Dalam beberapa hari setelah bertugas sebagai
panglima pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia
diperkenalkan dengan Pangeran Mahkota Talibu yang masih muda belia dan amat
tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya
sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apalagi mengingat bahwa putera
angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima Kayabu, bekas sahabatnya yang
gagah perkasa. Ia bertemu pula dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya
dan ternyata bahwa Panglima Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah
seperti dulu, juga sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh
disiplin keras. Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap
Panglima Kayabu ini.
Terutama sekali keadaan Ratu Yalina,
seringkali membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di
waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap
kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam ruangan
dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas menangis! Kalau sudah
melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan
kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia
merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya? Setelah beberapa hari
berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan.
Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati
bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin?
Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu?
Beberapa hari kemudian, di dalam persidangan
terbuka, datanglah seorang Perwira Khitan yang membawa laporan hebat, yaitu
tentang diserbunya Nan-cao oleh bangsa Hsi-hsia dan tentang kematian Ketua
Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.
Mendengar ini, Ratu Yalina mengeluarkan teriakan
aneh, wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat
bahwa ia seorang ratu saja yang mencegah dia roboh pingsan di atas kursinya.
Cepat-cepat ia memberi isyarat membubarkan persidangan lalu memasuki ruangan
dalam istana. Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas
kursi dan menangis tersedu-sedu!
Sibuklah para dayang dan pelayan, sibuk
menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis tanpa mau
pindah dari atas kursinya. Ia menolak pelayanan para dayang, tidak mau makan,
bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di atas kursinya.
Berkali-kali ia mengeluh dan membisikkan nama Kam Bu Sin, kakak angkatnya yang
baginya seperti kakak kandungnya sendiri
Tentu saja berita tentang malapetaka yang
menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut marah,
dan berduka sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina
karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah
sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia seorang pendekar
sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh gemblengan pahit getir
hidup, ia menerima berita ini dengan sikap tenang. Sekarang ia harus pergi dari
Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki keadaan Beng-kauw yang
tertimpa malapetaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa
Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi
tak mungkin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina,
memperkenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara rahasia agar jangan
ada yang tahu akan hubungan mereka.
Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja
mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua ruangan istana dengan dalih
memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar pekarangan di mana Yalina
menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi lampu penerangan seperti di
siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.
Tampak oleh Suling Emas betapa Ratu Yalina
masih menangis, duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas lengan yang
diletakkan di atas meja. Mukanya pucat sekali dan air mata bercucuran tiada
hentinya di sepanjang pipinya. Seorang pelayan muda yang membawa tempat
hidangan berdiri di belakangnya dengan bingung. Baru saja hidangan yang
sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada Sang Ratu, ditolak dengan bentakan
marah. Dari belakang datang seorang dayanglain membawa teng (lampu), mereka
berdua saling memberi tanda dengan mata dan gerakan tangan, kemudian Si
Pembawa hidangan mundur. Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang,
kedua orang dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang
terdengar hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.
Suling, Emas belum berani memperlihatkan diri
karena ia khawatir kalau-kalau para dayang akan melihatnya dan hal ini akan
membikin malu Sang Ratu. Maka sambil menahan gelora keharuan hatinya, ia
meninggalkan ruangan itu dan mengambil keputusan untuk menemui Yalina malam
nanti di kamarnya untuk memperkenalkan diri dan berpamitan.
Sambil menanti saat yang baik, Suling Emas
lalu menemui perwira yang melaporkan tentang malapetaka yang menimpa
Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di antara petugas-petugas Khitan yang
bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik keadaan di luar Khitan. Memang
Panglima Kayabu amat cerdik. Biarpun pada waktu itu Khitan tidak punya musuh,
namun ia selalu menyebar mata-mata baik ke Negara Sung, ke Nan-cao dan
lain-lain tempat untuk mengetahui keadaan dan perubahan negara-negara lain
itu.
Perwira ini menceritakan kepada Suling Emas
dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke Nan-cao.
“Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba menyerbu ke
selatan, akan tetapi berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat.
Akan tetapi, pimpinan Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah
merah, dikepalai oleh pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya juga
seorang wanita rambut panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut keterangan yang
hamba peroleh, Ketua Beng-kauw berikut pembantu-pembantunya terbunuh oleh
pendeta kaki satu dan wanita rambut panjang itu.”
“Dan bagaimana dengan anak, mantu dan
cucu-cucu Ketua Beng-kauw? Aku pernah singgah di sana dan mereka itu bersikap
baik sekali kepadaku.” tanya Suling Emas.
“Menurut kabar, juga puteri dan menantu Ketua
Beng-kauw tewas, dan anak-anak mereka terculik....”
“Aihhh...!” Suling Emas menjadi marah sekali.
Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang ke Nan-cao.
Sementara itu, Ratu Yalina sudah memasuki
kamarnya. Ia masih menangis, duduk di atas kursi dalam kamarnya ketika sebuah
tangan dengan halus menyentuh pundaknya.
“Ibu, jangan terlalu berduka....”
Suara Pangeran Talibu yang menghibur ibunya
ini membuat tangis Ratu Yalina menjadi-jadi. Karena Ratu ini teringat akan masa
dahulu, ketika ia masih menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan
Kam Bu Sin kakak angkatnya. Teringat pula ia akan pengalamannya melakukan
perantauan dengan Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara angkatnya,
sampai bertemu dengan Suling Emas. Makin jauh pula ia melamun, teringat akan
Suling Emas kekasihnya, ayah dari Pangeran Talibu ini yang sekarang menjadi
anak angkatnya. Padahal dialah sendiri yang melahirkan anak ini.
“Ah, anakku....!” Ia membalik dan merangkul
Talibu sambil menangis. Pangeran Talibu sungguhpun tahu bahwa Ratu ini hanya
ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun, namun rasa
kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.
“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu
memang biadab. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang
menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan
betapa besar ibu menyayangnya. Memang kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan
tetapi hal ini kiranya tidak cukup untuk disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan
Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari
pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”
Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina
tersenyum. “Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit dalamnya lautan!
Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu,
mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat
tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui
mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai
daripada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian Ketua Beng-kauw amat hebat,
juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee
puteri Ketua Beng-kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari
tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan
teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kaulakukan,
biarpun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”
“Biarpun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah,
betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia bersamaku pergi ke
Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.
Ratu Yalina menggeleng-geleng kepalanya.
“Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan
Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan
mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu.”
Pangeran Talibu membelalakkan matanya yang
lebar dan bersinar tajam. “Siapakah dia, Ibu?”
“....Suling Emas....”
“Ohh....!” Pangeran ini tentu saja sudah tahu
bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas
dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri
Kam Bu Sin. “Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia
belum datang, Ibu?”
Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya
dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar
Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya mengerti. “Dia Ayahmu! Dia
Ayah kandungmu!” Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih,
“Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya
akan berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak
tidur.” Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya
menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah air
matanya membasahi bantal.
Sejenak Pangeran Talibu berdiri bengong,
kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksikan
kedukaan ibunya. “Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur di sini menemani
Ibu.”
Dengan suara serak dan hati terharu, juga
senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang kepadanya,
ia menjawab. “Baiklah, Talibu.”
Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di
sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri dan berkali-kali menarik napas
panjang. Ratu Yalina dalam dukanya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran
Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya
mereka pulas juga.
Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua
percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan
mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati
terharu. Ia juga merasa girang mendapat kenyataan betapa Pangeran Talibu,
sungguhpun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta
ibunya. Anak itu mewarisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang
dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu
membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan. Sebagai seorang pengawal
kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalaman
istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam memang
tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling Emas
dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.
Kini ia berdiri di tengah kamar. Hatinya
tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri.
Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar di mana Lin Lin tidur
nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula menjadi
ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan. Berdiam
di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti
sepasang mempelai berbulan madu! Maka kini ia merasa wajar berada di sini.
Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah
miring menghadapi dinding, membuat ia merasa canggung. Betapapun pemuda itu
putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa. Namun, keberangkatannya
ke Nan-cao berhubung dengan malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur
lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah saat dan
kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenalkan diri kepada Lin
Lin.
Suling Emas lalu menanggalkan penyamarannya.
Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya.
Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak.
Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di
sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang sederhana. Bahan
penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melangkah maju
menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu
tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya
miring memeluk guling menghadap ke dinding.
“Lin-moi....!” Ia memanggil dengan suara
gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan
tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat
membuat tubuh itu berguncang keras.
Ratu Yalina, biarpun seorang ratu, adalah
seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Sebagaimana lazimnya seorang
ahli silat, dalam keadaan bagaimana pun urat syarafnya selalu siap sedia
menghadapi segala macam ancaman. Oleh karena itu, biarpun seorang ahli silat
sedang tidur nyenyak, apabila tersentuh atau terguncang sedikit saja tentu
akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri. Ketika Yalina terguncang
oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat keluar dari
pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim
pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya.
Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa
terhenti dan kedua kakinya menggigil.
“....Song-koko (Kanda Song)....?” bisiknya
meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.
“Lin-moi, sudah lama sekali....”
“Song-ko....!” Yalina menjerit dan menubruk,
kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada
laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. “Song-koko.... ah, Song-koko....!”
Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di
dalam rambut yang halus harum itu, kedua matanya basah air mata, kedua
tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada
kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili
seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya terlepas, lalu melangkah
mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya
berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
“Ah...., tak mungkin.... ini tentu hanya
mimpi.... hanya mimpi....!” Ia tersedu dan.... “plakkk!” ditamparnya pipinya
sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua
lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.
“Ahhh.... Song-koko.... kau benar-benar
datang....?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin menjadi-jadi. Demikian
ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang
yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.
Suling Emas amat terharu, namun sebagai
seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meramkan mata
dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin
itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu
dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa bahagianya dapat memeluk wanita
ini. Namun, dalam keadaan demikian, telinganya masih dapat menangkap gerakan
di sebelah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran
angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya
mengerahkan sinkang menjaga punggung.
“Desss....!”
“Auuuhhh....!” Pangeran Talibu meloncat ke
belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa sakit setelah memukul punggung
orang yang memeluk ibunya itu.
Ratu Yalina terkejut dan cepat melepaskan
diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh menghadap
Pangeran Talibu. Biarpun tangannya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini
amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah
mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk menerjang. Pedang itu
berkelebat cepat dibarengi bentakannya. “Keparat berani kau....!” Sinar pedang
itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali tidak bergerak,
hanya tersenyum.
“Plakk.... traanggg....!” Pedang itu
terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.
“Ibu....?” Pemuda itu berseru, heran, bingung
dan marah.
“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah
baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”
Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah
didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh
ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa
selain Suling Emas ini seorang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya.
Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sungguhpun masih ada
perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam
kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!
Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan
berkata, “Paman, mohon maaf atas kekurangajaranku, karena saya tidak tahu....“
“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu
membuka semua rahasia. Dia ini adalah.... A... Ayahmu....!”
“Ibu!”
“Lin-moi....!”
Entah siapa lebih kaget antara Pangeran
Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini, wajah Suling Emas sampai menjadi
pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu
memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan
khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!
Melihat keadaan dua orang yang dicintanya
itu, Ratu Yalina tersenyum diantara air matanya, kemudian melangkah maju
memegang tangan Suling Emas dan Talibu sambil berkata, “Sebagai Ratu, tak boleh
rakyatku mengerahui rahasia ini, akan tetapi sebagai Ibu, kalian dua orang yang
paling kucinta di dunia ini harus mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan kau
Talibu, mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”
Seperti dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu
menurut saja digandeng Yalina menuju meja di tengah ruangan itu. Ketika
melihat jenggot palsu dan baju bertumpuk di sudut, Yalina tertawa. “Ah, kiranya
engkau yang menyamar sebagai Bu Beng Lojin. Pantas saja aku merasa seperti
mengenalmu dan begitu bertemu, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Koko,
kenapa kau begini kejam menggodaku, tidak langsung menemuiku yang sudah dua puluh
tahun mengharap-harapmu?”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas kursi
sambil menarik napas panjang. Pangeran Talibu memandang wajah Suling Emas
dengan bermacam perasaan mengaduk hatinya. Tentu saja pemuda ini menjadi
bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui adalah bahwa dia adalah
putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada usia lima tahun diangkat putera
oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu Yalina sendiri ia mendengar bahwa dia adalah
putera Suling Emas! Bagaimana ini?
“Lin-moi, semenjak.... pertemuan antara kita
dua puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa sekali dan dengan hati luka aku
terpaksa meninggalkan Khitan, meninggalkan engkau yang sudah menjadi Ratu. Tak
mungkin aku mencemarkan dan merusak namamu di mata rakyatmu hanya demi kesenangan
hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan selama dua puluh tahun menderita sakit
batin yang amat hebat. Akan tetapi, mengapa kau sekarang mengatakan bahwa
Pangeran ini adalah puteraku? Apa artinya semua ini?”
“Betul sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu.
Bukankah aku putera tunggal Pangeran Kayabu yang Ibu angkat sebagai putera?”
Ratu Yalina kembali memegang tangan kedua
orang itu di atas meja seakan-akan ia mencari kekuatan dari mereka untuk
bercerita, “Anakku, kau bukan anak angkatku, engkau adalah anak kandungku
sendiri. Akulah yang mengandungmu dan melahirkanmu, Talibu. Dan Ayahmu adalah
dia inilah!” Ia berhenti sebentar, merasa betapa dua pasang mata di depannya
itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan betapa dua tangan yang
dipegangnya itu gemetar.
“Bu Song Koko, ketahuilah bahwa
sepeninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku mengandung! Tentu saja aku menjadi
bingung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi mulia. Dialah yang
menolongku, menjaga teguh agar rahasiaku tidak diketahui siapa pun di sini.
Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu hanyalah seorang bidan dan Kayabu
sendiri. Tidak hanya itu, sebelumnya Kayabu lalu memilih seorang gadis untuk
dikawin, karena menurut rencananya, anak yang akan kulahirkan itu akan diaku
sebagai anak isterinya. Sampai di sini ia berhenti dan dari kedua mata
Pangeran Talibu bertitik air mata, sedangkan tangan pemuda itu kini
menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan
Suling Emas mendengarkan dengan muka pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika dia
menoleh kepada Talibu, pandang matanya mesra dan penuh kasih.
Setelah gelora perasaan harunya mereda,
Yalina melanjutkan, “Rencana Kayabu berjalan baik. Aku melahirkan, dan engkau,
Talibu, begitu lahir terus secara diam-diam dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan
bahhwa isterinya melahirkan engkau. Baru setelah engkau berusia lima tahun,
kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang
sejati.”
Talibu tak dapat menahan perasaannya lagi. Ia
bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu memeluk ibunya. Ibu...., Ibu....!”
Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu berlutut di depan Suling Emas sambil
berkata dengan suara menggetar, “Ayah....!”
Dua titik air mata menetes di atas pipi pendekar
sakti itu ketika ia memeluk puteranya dan mengangkat bangun. “Terima kasih
kepada Thian bahwa aku dikaruniai seorang putera seperti engkau, Talibu. Engkau
tampan dan gagah, sungguh aku merasa bangga sekali!”
Akan tetapi tiba-tiba Yalina menangis
tersedu-sedu, tangis yang amat sedih. Suling Emas dan Talibu menjadi terkejut
dan heran. Mengapa Yalina berduka? Padahal bukankah pertemuan antara ibu,
anak, dan ayah ini suatu peristiwa yang amat menggembirakan? Kalau Yalina
menangis terharu, hal itu tidak mengherankan, akan tetapi tangisnya amat
menyedihkan.
“Lin-moi, ke mana perginya kegagahanmu dan
ketabahanmu? Bukankah hal menggirangkan sekali pertemuan diantara kita bertiga
ini?”
Ibu...., kenapa Ibu begini berduka?”
Ratu Yalina mengangkat muka, menahan isaknya
lalu berkata, “Song-ko, anakku Talibu, ada hal yang selama kau terlahir menjadi
derita batin hebat bagiku. Ketika engkau terlahir, Talibu, lahir pula seorang
Adikmu. Engkau adalah anak kembar....”
“Ibu....!” Talibu terkejut dan menangkap
tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang seperti orang dalam mimpi.
“Adik kembarmu itu kemudian oleh Panglima
Kayabu diserahkan kepada Nenek bidan untuk dipelihara baik-baik dan
dirahasiakan dari orang lain, sementara engkau sendiri dibawa pergi Panglima,
Kayabu. Akan tetapi.... ah.... pada keesokan paginya, Nenek bidan itu
kedapatan mati di dalam taman istana!”
“'Ahhh....!” Kini Suling Emas yang berseru.
“Dan anak itu.... Adikku itu, bagaimana,
Ibu?”
“Itulah yang menyusahkan hatiku, Adikmu itu
telah lenyap tak meninggalkan jejak sama sekali. Tentu saja aku dan Kayabu
tidak berani ribut-ribut tentang hilangnya anak itu karena takut rahasiaku
akan terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa selama ini aku berusaha
keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat aku menanggung rahasia
ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak perempuan kita itu, tak dapat
menahan kesedihan hatiku.... dan kini.... mendengar akan malapetaka yang
menimpa Kanda Bu Sin.... ah....!” Kembali Ratu Yalina menangis sedih.
Dua orang laki-laki itu, ayah dan anak, saling
pandang dan hanya bengong tak dapat bicara. Hati mereka tidak karuan rasanya.
Pukulan hebat menghantam batin mereka mendengar semua kenyataan yang sama
sekali tak pernah mereka duga.
Tiba-tiba Suling Emas menampar pahanya
sendiri. “Ah! Dia.... tentu dia.... tak salah lagi....!”
Yalina mengangkat muka memandang, “Apa
maksudmu, Song-ko?”
Suling Emas memegang kedua pundak Ratu Yalina,
wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar. “Lin-moi, aku telah bertemu dengan
anak perempuan kita! Dia seorang gadis jelita, serupa benar dengan engkau, ilmu
kepandaiannya amat lihai. Julukannya Mutiara Hitam dan namanya.... kalau tak
salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian Eng!”
Yalina meloncat bangun, matanya terbelalak.
“Ah...., betul juga! Mayat Nenek bidan itu mengalami pukulan yang hebat.
Kiranya Enci Sian Eng yang membunuhnya dan membawanya pergi anakku! Akan
tetapi, mengapa ia tidak menjumpai aku? Mengapa ia berbuat begitu aneh?”
“Hemm, kau tahu keadaan Sian Eng,
Lin-moi....!” Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam Sian Eng yang
menjadi gila.
“Song-ko, ceritakan keadaan gadis itu, anak
kita itu kalau kau tak salah sangka. Di mana kau bertemu dengannya? Bagaimana
dia?”
“Benar, ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali
mendengar tentang Adikku....“ kata pula Pangeran Talibu dengan suara tersendat
karena terharu. Mengingat bahwa ia mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat
mesra dan aneh bergejolak di dalam hatinya.
Maka berceritalah Suling Emas tentang
pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan. Ketika ia menceritakan sikap Kwi Lan
yang marah-marah, yang menegurnya mengapa meninggalkan Ratu Khitan, kemudian
betapa Kwi Lan yang marah-marah itu menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.
Mendengar penuturan ini, Ratu Yalina kembali
menangis saking terharu dan girang hatinya karena mendapat kenyataan bahwa
anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu ternyata masih hidup dan menjadi murid
encinya.
“Dia cantik dan gagah, ilmu silatnya ganas dan
dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia murid Sian Eng yang mewarisi semua
kitab mendiang Ibuku dan mempelajarinya secara ngawur dalam keadaan sakit
ingatan. Kwi Lan amat galak dan jujur, berani tak mengenal takut, persis
seperti.... seperti Ibunya!” Suling Emas teringat akan ini tertawa dan Yalina
dalam tangisnya juga ikut tertawa.
Melihat betapa ayah dan ibunya saling
berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama dua puluh tahun mereka tak
saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang dewasa dan yang hatinya
masih terguncang menghadapi kenyatan luar biasa tentang dirinya, lalu berkata,
“Harap Ayah dan Ibu maafkan aku...., aku....
aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang hebat dan membahagiakan hati
ini.... aku ingin mengaso.” Tanpa menanti jawaban pemuda ini segera lari keluar
dari kamar ibunya sambil menutupkan daun pintu. Pemuda ini sesungguhnya tidak
pergi ke kamarnya, melainkan menjaga di ruangan luar untuk melarang siapa
saja, juga pelayan-pelayan ibunya, andaikata malam itu ada yang memasuki kamar
ibunya!
Sampai lama Suling Emas dan Yalina saling
pandang, kemudian seperti ditarik oleh besi semberani, keduanya saling peluk.
Semua kerinduan hati, semua rasa cinta kasih yang selama ini ditahan-tahan dan
dipendam, kini tercurahkan. Sampai pagi mereka tidak tidur, berbisik-bisik
mesra dan menceritakan pengalaman masing-masing.
Akhirnya, ketika malam terlewat menjelang
pagi, Suling Emas berkemas dan berkata, “Sekarang juga aku akan berangkat,
Lin-moi. Betapapun juga, malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak mungkin
kudiamkan begitu saja.”
“Engkau benar, Koko. Akan tetapi.... betapa
aku akan kehilangan dan kesepian lagi.... ah, betapa inginku selamanya tinggal
di sampingmu tak pernah berpisah lagi. Agaknya aku rela meninggalkan kedudukanku
sebagai Ratu....”
“Lin-moi, tidak mungkin begitu, belum tiba
waktunya. Engkau harus ingat akan nasib bangsamu dan kulihat putera kita Talibu
amat cakap menjadi calon raja. Apabila ia sudah cukup masak dan kau angkat
menjadi penggantimu memimpin bangsanya, barulah tepat rasanya kalau engkau
ingin menghabiskan masa hidup di sampingku. Aku pun sudah bosan menghadapi
segala macam urusan dunia ramai dan setelah putera kita menjadi raja, marilah
ikut bersamaku ke puncak gunung berdua dan menghabiskan sisa hidup di sana.
Akan tetapi sekarang kita berdua masih menghadapi tugas berat. Engkau menuntun
Talibu memimpin rakyatmu, dan aku akan pergi ke Nan-cao sekalian mencari
puteri kita, Kwi Lan atau Mutiara Hitam.”
Mendengar kalimat terakhir ini, berserilah
wajah Ratu Yalina. “Mutiara Hitam.... alangkah seremnya julukan Anakku....,
Song-ko, jahatkah dia?”
“Kurasa tidak jahat, hanya aneh seperti
Gurunya.”
Tak lama kemudian berangkatlah Suling Emas,
berangkat dengan diam-diam meninggalkan istana Khitan, diantar oleh peluk cium
penuh kasih sayang Ratu Yalina dan pandang mata berlinang air mata sampai
bayangannya lenyap di balik kesuraman fajar. Dengan kepandaiannya yang luar
biasa, mudah saja bagi Suling Emas untuk pergi tanpa diketahui seorang pun
penjaga.
Pada keesokan harinya, Panglima Talibu memberi
tahu para panglima bahwa kepala pengawal Bu Beng Lojin semalam berpamit dan
pergi. Karena semua panglima mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang yang aneh,
mereka tidak menjadi heran, hanya kagum karena kepergian kakek itu seperti
iblis saja, tak terlihat oleh seorang pun penjaga. Di antara para panglima
tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun yang tahu bahwa kakek
aneh itu sebetulnya adalah Suling Emas, kakak angkat Sang Ratu.
***
Ruangan itu lebar dan indah. Dindingnya
terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno. Mereka duduk menghadapi
sebuah meja bundar yang lebar masing-masing duduk di atas sebuah bangku berukir
naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguhpun diam-diam ia mencari akal untuk
dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang
Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan
tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.
Di sebelah depannya, terhalang meja itu, duduk
Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Bouw Lek Couwsu juga nampak tenang
namun sepasang matanya bersinar gembira, mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya
yang masih tampan membayangkan kecerdikan. Adapun Siang-mou Sin-ni yang duduk
di sampingnya, memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya
kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu akan
tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat bahwa pemuda
ini adalah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang dibencinya.
“Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau
adalah putera pangeran, berarti engkau adalah seorang pemuda bangsawan
tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga amat
lihai. Karena kedua kenyataan itulah maka pinceng tidak mau bermusuhan
denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan, Kiang-kongcu, sebagai
seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak bercita-cita untuk memiliki
kedudukan yang paling tinggi?”
Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
“Apa maksudmu?” tanyanya tenang.
“Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cerdik pandai
masa belum dapat menduga maksud pinceng? Kerajaan Sung adalah amat buruk
pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu
mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak
mampu melawan.”
“Bukan tidak mampu melawan, melainkan karena
kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat,” Kiang Liong membantah sungguhpun
diam-diam di hatinya ia membenarkan omongan pendeta itu.
“Ha-ha-ha! Mana bisa bersahabat dengan
orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan mengganggu? Kerajaan Sung
seringkali dipaksa membayar upeti kepada Kerajaan Khitan, hal itu jelas
menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi lawan dengan sogokan.
Dan untuk memperoleh harta benda sogokan itu
tentu saja caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng
ketahui jelas berdasarkan penyelidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu
menyangkal pula.”
“Andaikata benar pendapatmu bahwa Kerajaan
Sung lemah, habis apakah yang kauhendaki?” Pertanyaan Kiang Liong masih tenang,
padahal di dalam hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti daripada
tugasnya diutus Kaisar, menyelidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan sekarang ia
bahkan berhadapan muka dengan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik
Hsi-hsia terhadap Sung!
“Pinceng harap Kiang-kongcu bijaksana dan
dapat memilih mana yang menguntungkan bagimu. Pinceng menawarkan kerja sama
denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung! Pinceng bergerak dari luar dan
engkau bergerak dari dalam!”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Dari ucapan ini
saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum mengadakan hubungan dengan
pengkhianat-pengkhianat di dalam kerajaan dan hatinya menjadi lega. Hal ini
merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan suara tenang ia bertanya,
“Dan balas jasaku....?”
“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar seorang yang
cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak.
Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?”
Sikap Kiang Liong masih tenang, namun
jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya mendengar janji yang amat
muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah
Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak. Melihat sikap pemuda ini, Bouw Lek
Couwsu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu kurang
besar, Kongcu?”
Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi
dan ia tersenyum lebar.
“Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Seorang muda
dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau jangan main-main.”
“Mengapa tidak? Raja Sung yang sekarang ini
bisa apakah? Engkau jauh lebih pandai lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja.
Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan
gerakan kita berhasil menundukkan Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi
pengganti Raja Sung. Bagaimana?”
Kiang Liong mengangguk-angguk. “Hemm, memang
muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan begini saja. Akan tetapi, apakah
engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu?
Apakah yang kau andalkan untuk dapat menaklukkan Sung?” Dengan cerdik sekali,
berkedok kesangsiannya akan hasil persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia
kekuatan barisan Hsi-hsia!
Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan
mengangkat cawan araknya. “Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira
mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!”
Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum
mengangkat cawan dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira
juga melihat pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi
sekutu, tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi
ia memandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat
“bersahabat” dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat
bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan
pemuda ini yang seperti singa!
“Kiang-kongcu, jangan kaukira bahwa pinceng
tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun
pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila kesenangan dan kesenian
itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga
penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu mengancam Sung. Sebagian
pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil tersebar di
pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut. Akan tetapi bagian
barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan yang
sambung-menyambung sukar diadakan penjagaan kecuali dengan pasukan besar. Pula
Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat. Inilah keuntungan
kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi menjadi tiga empat
barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan dapat kami hancurkan penjagaan
di perbatasan itu dan kami akan terus menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan,
terbesar dari barat, yang lainnya dari utara dan selatan kami kepung kota
raja. Sementara itu, engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat
kaukumpulkan. Dengan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu?
Ha-ha!”
Diam-diam Kiang Liong terkejut sekali. Hebat
rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para
penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang
banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan
penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi. Kalau siasat
itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya
kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya. Satu-satunya
jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat meninggalkan tempat ini, kembali ke
kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat untuk
menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus berlaku cerdik dan tiada cara lain
kecuali menerima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!
“Hebat! Rencana yang kauatur itu benar-benar
mengagumkan, Couwsu. Kalau siasat itu dijalankan, apalagi ada bantuan yang
kuat dari dalam, akan mudahlah merebut singgasana!” Ia sengaja memasang muka
berseri-seri dan sepasang matanya berkilat penuh harapan.
“Akan tetapi.... bagianku dalam rencana ini
amat berbahaya! Kalau ketahuan rencanaku, tentu akan ditangkap sebagai
pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku? Apakah engkau
kelak tidak akan melanggar janjimu tadi?”
Bouw Lek Couwsu menenggak araknya lalu
tertawa. “Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin besar bangsa
Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti akan menarik kembali
janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan menduduki singgasana
Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi
pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi keuntungan dan menghadiahkan
setengah wilayah kerajaan bagian barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini
adil?”
Bukan main gemasnya hati Kiang Liong kepada
pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh
harapan. “Aku menerima usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha
menghubungi para panglima pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar.
Percayalah, banyak di antara para panglima adalah sahabat baik Ayahku, Pangeran
Kiang.”
“Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk
persekutuan kita ini!”
Mereka bertiga kembali minum arak dan pada
saat itu, seorang pelayan wanita datang berlari-lari dan berlutut di depan
Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup.
“Mohon maaf kalau hamba mengganggu. Akan
tetapi hamba melaporkan bahwa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di
dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan, sedangkan penjaganya kedapatan tewas
di kamar tahanan.”
Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking
panjang dan pelayan yang melapor itu sudah mencelat beberapa meter dan roboh
pingsan karena ditendang, sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat
seperti terbang meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan
pria lalu mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu, membawanya ke ruangan
belakang.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang
Liong mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang dimaksudkan
itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan anak itu, kiranya
pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!
“Bouw Lek Couwsu.” katanya menahan getaran
hati dan suaranya tetap tenang, “Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri,
apakah engkau tidak mau memandang mukaku membebaskan Kam Han Ki itu? Betapapun
juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak
itu tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku
berbaik denganmu.”
Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit
berdiri. “Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak itu merupakan
tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya. Harap Kongcu menunggu di sini.”
Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu lalu meninggalkannya, masuk
menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.
Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya
seperti patung. Ketika ia melirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan
orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah menerima perintah untuk menjaga
dan mencegah dia melarikan diri! Ia menghela napas dengan perasaan tegang.
Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau berhasil dan dia boleh membawa Han
Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan dan janjinya kepada Bouw Lek
Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali untuk semata-mata
menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan Kerajaan
Sung. Karena andaikata ia berkeras menolak sampai tewas di situ, bukankah
rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung
sehingga terjadi malapetaka hebat?
Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas.
Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan.
Ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya, mengerahkan sin-kangnya diarahkan ke
perut sambil menarik napas panjang. Rasa nyeri lenyap seketika, namun hatinya
menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan Siang-mou
Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana. Rasanya di perut, akan
tetapi begitu dilawan sin-kang rasa nyeri itu hilang. Ia tidak tahu bahwa
pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni darahnya dan tentu saja yang
pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi terpukul.
Tak lama kemudian dari ruangan dalam muncul
keluar Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Jantung Kiang Liong serasa
berhenti berdetik ketika melihat Siang-mo Sin-ni mendukung seorang anak
laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia mengunjungi pamannya
dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat menduga bahwa anak
berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah sadar akan tetapi
melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas, Kiang Liong maklum anak
itu tentu tertotok. Menurutkan kata hatinya, ingin ia meloncat dan merampas
bocah itu untuk kemudian dibawa lari. Akan tetapi, pikirannya yang cerdik
melarang ia melakukan hal itu. Kalau ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han
Ki juga takkan tertolong. Yang lebih hebat lagi, Kerajaan Sung akan terancam
bencana hebat! Biarpun hatinya seperti ditusuk ia tetap bersikap tenang dan
ketika mereka berdua sudah datang dekat, ia bertanya.
“Bagaimanakah, Couwsu dan Sin-ni, apakah
persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi (Kalian) mengampuni anak itu dan
memberikannya kepadaku?”
Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu membentak keras,
“Kiang Liong! Apakah hatimu palsu dan kau tidak menghargai perjanjian kita?”
Sikap kakek ini jelas mencurigai dan menentang. Kiang Liong terkejut. Ia
harus berhati-hati. Kakek gundul ini amat cerdik.
“Eh, apa alasannya engkau menyangka seperti
itu, Couwsu?”
“Kalau engkau memang jujur, mengapa kau ingin
benar menolong anak ini? Sepatutnya sebagai tanda persahabatan engkau merelakan
anak ini kepada Sin-ni. Urusan kita amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada
artinya. Apa artinya nyawa seorang bocah seperti ini? Nah, jawablah bagaimana
pikiranmu? Kalau kau mementingkan anak ini, berarti kau tidak sungguh-sungguh
hendak bersekutu dengan kami!”
Kiang Liong terkejut dalam hatinya. Tak
disangkanya kakek gundul ini sedemikian cerdik. Ia memutar otak mencari
siasat, namun tidak melihat jalan lain kecuali berpura-pura tidak mengerti dan
mengalah.
“Aku hanya ingin menolong karena dia putera
Paman guruku, akan tetapi sama sekali bukan berarti aku melupakan persekutuan
kita. Habis, bagaimanakah kehendakmu dengan anak ini, Couwsu? Beritahulah dan
aku tentu saja akan menerima usulmu asalkan demi kebaikan kita bersama,
terutama sekali tentu saja, demi berhasilnya usaha besar kita.” Sengaja Kiang
Liong menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa kepala gundul ini amat
membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan bergerak dari dalam kota
raja.
“Hi-hi-hik, alasanmu dibuat-buat,
Kiang-kongcu. Kalau memang benar kau begitu mementingkan persekutuan di antara
kita mengapa kau hendak merampas anak ini dari tanganku? Susah payah anak ini
kupelihara, kubebaskan dari kematiannya di rumahnya, kemudian kubikin gemuk
sehat untuk keperluanku yang amat penting, menyempurnakan ilmu yang sedang
kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau menyerahkan anak ini kepadamu, kau mau
apa, Kiang-kongcu? Apakah kau akan membatalkan persekutuan kita hanya karena anak
ini?”
Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah
rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi jalan buntu. Membatalkan persekutuan
berarti kematian baginya dan membahayakan Kerajaan Sung, kalau tidak mana
mungkin ia membiarkan anak itu dijadikan korban secara mengerikan? Dari Po Leng
In ia sudah mendengar betapa iblis betina ini hendak melakukan I-kin-hoan-jwe,
untuk kesempurnaan ilmunya Hun-beng Toh-wat, dan untuk keperluan inilah Han
Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas bagaimana orang melakukan
I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam urat, akan tetapi dapat
membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam sekali.
“Jadi engkau akan membunuhnya. Siang-mou
Sin-ni?”
Melihat keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu
lalu memandang tajam. Pendeta ini adalah seorang yang cerdik. Kalau tidak,
tentu saja ia tidak menjadi pemimpin bangsa Hsi-hsia. Ia melihat betapa
Siang-mou Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan saling siap untuk
bertanding. Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar mengharapkan
bantuan pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan raja. Maka
cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.
“Antara orang sendiri tak perlu ribut-ribut,
kalau memang kita semua beriktikad baik.” ia memandang Siang-mou Sin-ni penuh
arti kemudian melanjutkan. “Kiang-kongcu, pinceng telah bicara panjang lebar
dengan Sin-ni. Memang Sin-ni membutuhkan anak ini untuk menyempurnakan ilmunya,
akan tetapi pinceng yang menanggung bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya.
Biarlah kita sama lihat. Kalau kelak engkau dapat memegang janjimu dan
mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota raja, pinceng berjanji akan
menyerahkan anak ini dalam keadaan hidup kepadamu!”
Diam-diam Kiang Liong menyumpahi pendeta yang
amat licik ini di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Han Ki dijadikan “barang
tanggungan” untuk menguji kesetiaannya dalam persekutuan itu. Tidak ada
pilihan lain. Kalau kelak pasukan Hsi-hsia menyerbu, Kerajaan Sung akan
mengatur penjebakan yang menghancurkan barisan musuh dan dia sendiri akan
mengumpulkan tenaga, bahkan gurunya sendiri tentu akan membantunya untuk
menangkap Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak terlambat akan
menolong Han Ki. Akan tetapi awaslah kalian, kutuknya dalam hati, kalau anak
ini kalian bunuh, jangan harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!”
Ia mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali.
“Apa boleh buat, kalau kau tidak percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini
kautahan, Bouw Lek Couwsu. Betapapun juga, urusan besar itu tentu saja jauh
lebih penting.”
“Bagus! Mari kita minum arak untuk saling
pengertian yang baik ini!” Kembali mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Siang-mou Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan.
“Hi-hi-hik! Siapa tahu hati manusia? Memang aku tidak akan membunuh anak ini,
akan tetapi aku harus mengambil sedikit darahnya, sedikit-sedikit tiap hari
dan kuganti dengan obat agar darahnya pulih. Sekarang pun akan kubuktikan
caranya agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu lagi!”
Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni
meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar yang besar itu. Anak itu telentang
di atas meja, matanya yang lebar memandang Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu
penuh kebencian. Ketika melirik ke arah Kiang Liong, dia hanya memandang
sekilas karena tidak mengenal siapa pemuda itu yang agaknya tidak sepenuh hati
hendak menolongnya.
Kiang Liong kagum bukan main dan hatinya
diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar
takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biarpun ia tidak dapat
bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya
menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek
Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.
Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah
mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di
sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan kanan sambil
tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang
telentang di atas meja itu.
Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong.
Kalau mengingat akan tugasnya sebagai penyelidik, teringat akan kewajiban
sebagai seorang yang setia dan mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan
Siang-mou Sin-ni melanjutkan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan
tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah,
tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan
Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak
membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari
lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!
Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan
Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, ketika
tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandangan Kiang
Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.
“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak
akan mematikan anak ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup
di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan
tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.
Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh
nafsu yang menggelora. Tangannya agak menggigil dan setelah jari-jari tangan
kirinya meraba-raba punggung atas bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang
jarum emas bergerak perlahan menemplekan ujung jarum ke kulit punggung anak
itu, siap untuk menusuk!
Meledaklah rasa penasaran dan kemarahan di
hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan
dan mulutnya membentak, “Iblis betina, lepaskan dia!” Hebat bukan main gerakan
Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang Siang-mou Sin-ni
dengan Ilmu Silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang sifatnya
paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling Emas. Karena
terjangannya ini tidak tersangka-sangka, biarpun Siang-mou Sin-ni amat lihai
namun sebagian besar perhatiannya tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang
melonjak-lonjak, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat
meloncat ke samping, namun hawa pukulan Kiang Liong tetap saja mengenai bahu
kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum emasnya terlempar!
“Keparat!” Siang-mou Sin-ni mengumpat,
rambutnya kini sudah bergerak menyambar ke pinggang Kiang Liong. Namun pemuda
itu dengan sigapnya menghindar dan dengan cepat tangan kirinya meraih ke arah
meja hendak menyambar tubuh Han Ki.
“Perlahan dulu, orang muda!” Suara ini keluar
dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang amat kuat menangkis ke arah lengan
tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan
bahaya dan cepat menarik kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan
patah bertemu dengan tongkat yang berat dan digerakkan tenaga hebat pula.
Dari arah kanan menyambar hawa pukulan yang
dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya
sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa
sakit sekali sehingga begitu lengannya terbentur lengan Siang-mou Sin-ni yang
memukul dari kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong terhuyung-huyung dan
sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan dan jalan satu-satunya
hanya menangkis dengan telapak tangan.
“Plakk!!” Tongkat terpental akan tetapi Kiang
Liong merasa betapa kenyerian dari perutnya naik ke dada, terus ke
tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia
terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas
lantai, mengatur pernapasan dan mengerahkan hawa murni melawan luka dan racun
yang mengamuk di perut.
Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah
menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir. Tangannya penuh dengan
hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai kepala Kiang Liong
yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi pemuda itu tentu akan
menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou Sin-ni menyambar, Kiang
Liong sedang siulian (samadhi) untuk mengerahkan hawa murni di tubuhnya.
“Plakk!” Tangan yang halus namun keji dari
Siang-mou Sin-ni bertemu dengan ujung tongkat Bouw Lek Couwsu. Wanita itu
membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip
kepadanya, kemudian mendekatinya dan berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou
Sin-ni.
“Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek
yang tadi.” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuh hidup?”
Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap
maksud pendeta itu menjawab ragu.
“Dia lihai dan kuat, tentu dapat bertahan
sampai tiga bulan. Namun darahnya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong
lagi.”
“Bagus.” bisik pendeta itu. “Kita tak perlu
membunuhnya. Kita lanjutkan rencana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan
di kota raja membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain
anak ini kelak kita kembalikan, juga kaujanjikan obat penawar pukulanmu
Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya sendiri,
agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita.”
Siang-mou Sin-ni tersenyum dan
mengangguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di
dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku sendiri. Ilmu yang
baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat
menyembuhkan muridnya, hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi
terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup
di atas meja.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara
hiruk-pikuk di luar, suara sorak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit
mengerikan, suara senjata-senjata bertemu dan banyak sekali orang bertempur.
Pintu kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia
berteriak, “Barisan Beng-kauw menyerbu....!” Mendadak mereka roboh terjungkal
dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!
“Tar-tar-tar....!” Suara meledak-ledak ini
adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar.
Ke mana pun cambuknya menyambar, di situ tentu ada beberapa orang musuh
terjungkal tewas. Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima
puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan
bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot
panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap
pukulan atau tendangan kakinya tentu merobohkan seorang lawan. Di samping tiga
orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang
gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pedang mereka. Selain
mereka, ratusan orang anggauta Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan
penyembelihan terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena
penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah
merah dan orang-orang Hsi-hsia.
Kakek bertopi lebar bersenjata cambuk yang
luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah
delapan puluh tahun lebih dan dialah satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos
dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah sute (adik seperguruan) Ketua Beng-kauw
yang tewas, akan tetapi dalam hal kepandaian, kakek ini melebihi suhengnya.
Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak
Ta-liang-san.
Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian
Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya, datang
seorang anggauta Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan tentang malapetaka
yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua
orang kakek yang menjadi tamunya itu juga menawarkan tenaga bantuan mereka.
Mereka ini bukan orang-orang sembarangan. Yang bersenjata pedang dan bertubuh
gagah adalah ketua penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok
Liong.
PembacaCINTA BERNODA DARAH tentu masih
ingat akan nama ini, nama seorang pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri
Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap
tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Adapun kakek
kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah
seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan Liong.
Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang
sahabat yang menjadi tamunya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung,
mengumpulkan para anggauta Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang kemudian
mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san. Kebetulan sekali di
lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan Siang Kui dan Siang Hui yang
malam itu dibebaskan karena pertolongan Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat
dua orang gadis ini menceritakan pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang
adiknya yang masih tertawan. Penyerbuan dilanjutkan dengan cepat dan begitu
tiba di markas Bouw Lek Couwsu, terjadilah perang yang hebat dan berat
sebelah.
Biarpun para hwesio jubah merah rata-rata
memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu
terlalu banyak. Apalagi di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang
demikian lihai, terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat
mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok
Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai
ke bangunan terbesar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.
Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan
pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu
kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu maupun.Siang-mou Sin-ni, juga tidak
tampak. Kiang Liong maupun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang pernah menjadi
tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk jalan, menggeledah dan mencari
di seluruh bangunan yang berada di situ, namun sia-sia saja. Dua orang musuh
besar yang menjadi biang keladi penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang
hendak mereka tolong, tak tampak bayangannya. Mereka mengamuk dan membunuh
semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ternyata
perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang
Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika
diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah. Ternyata bahwa
semua orang Hsi-hsia yang bertugas di situ, sejumlah kurang lebih seratus
orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian besar
melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga
melarikan diri. Yang menyusahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang
Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah
perginya dua orang tawanan itu?
Ketika tadi mendengar laporan tentang
penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu
jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari
secepat terbang melalui belakang bangunan, turun gunung melalui jurusan lain.
Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau pula
mempertaruhkan nyawanya menghadapi penyerbuan orang-orang Beng-kauw yang kini
jauh lebih kuat.
Bouw Lek Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia
memang menerjang keluar dan merobohkan beberapa orang penyerbu, akan tetapi
melihat dari jauh akan kelihaian tiga orang kakek yang mengamuk dan melihat
pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw yang menyerbu, diam-diam ia memberi
tanda rahasia kepada para muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai,
mereka meninggalkan orang-orang Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh
keberanian itu. Bouw Lek Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk
bersila di dalam kamarnya. Hatinya bimbang. Pemuda itu sudah mengetahui
rahasia pergerakannya. Bagaimana kalau mengkhianatinya? Di samping
kebimbangan ini, ia pun merasa betapa, pentingnya bantuan pemuda itu. Akan
tetapi ketika ia memasuki kamarnya Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ!
Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya! Siang-mou Sin-ni
memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih
duduk bersila di situ. Ke manakah perginya pemuda itu?
Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat
betapa murid-muridnya sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couwsu juga
berkelebat pergi turun gunung dari sebelah belakang.
Kini setelah perang selesai, tinggallah Kauw
Bian Cinjin berulangkali menghela napas panjang. Alangkah menyesal hatinya
bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu banyak manusia, padahal selama
bertahun-tahun ia hidup aman di pertapaan. Namun, betapa mungkin ia tinggal
diam saja mendengar pimpinan Beng-kauw terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan
Siang Hui menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam
Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung itu
dengan hati gelisah. Kemenangan mereka itu tidak memuaskan hati karena yang
hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.
***
Kamar itu amat terang dan hawanya bersih sejuk
karena jendela dan pintunya terbuka lebar menerima masuknya hawa dan sinar
matahari pagi. Hawa pegunungan amat sejuk memasuki ruangan.
Yu Siang Ki yang rebah telentang di atas dipan
mengeluh perlahan, lalu mengerang kesakitan. Tujuh belas bagian tubuhnya telah
ditusuk jarum emas dan perak oleh kakek kurus yang melarikannya dari dalam
kerangkeng, dan baru saja jarum-jarum itu dicabut kembali.
“Aduhh....” Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata
dan kaki tangannya yang lemas.
“Siang Ki, syukur kau telah tertolong....”
Siang Ki membuka matanya dan pandang matanya
bertemu dengan wajah ayu, wajah Kwi Lan! Gadis ini dengan senyum lebar dan
wajah berseri saking girangnya melihat Siang Ki tertolong nyawanya, memegang
sebuah cangkir, lalu mendekatinya.
“Siang Ki, kauminumlah obat ini.”
“Kwi Lan....! Bagaimana kita bisa berada di
sini....? Bukankah kita berdua tertawan....?” Saking herannya Siang Ki memegang
tangan Kwi Lan, menahannya meminumkan obat.
Kwi Lan tertawa. “Tiga hari tiga malam kau
pingsan terus, kusangka mati! Kauminum dulu ini baru bicara.” Tanpa menanti
jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang Ki yang terpaksa meminum obat
yang pahit dan harum itu.
“Kwi Lan, bagaimana....?”
“Hush, kau tertolong Song Yok san-jin (Orang
Gunung Ahli Obat she Song), dan puterinya, Enci Goat yang cantik manis!”
Berkata demikian, Kwi Lan menudingkan telunjuknya ke sebelah kiri dipan.
Siang Ki cepat menoleh. Barulah tampak olehnya
seorang kakek kurus berjenggot jarang sedang memeriksa sesuatu dalam dua
tabung kaca dan seorang gadis yang cantik manis bergelung tinggi berada di
depan kakek itu.
“Hemmm, tak salah dugaanku. Racun Peluru
Bintang itu adalah racun jamur laut yang terdapat di selatan. Ah, sungguh keji
orang-orang Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun ini dari datuk mereka,
Siauw-bin Lo-mo. Biarpun racun ini ganas, namun pemunahnya tidak sukar. Jalan
darahnya telah kututup, racun tidak menjalar. Goat-ji (Anak Goat), kauambillah
batu penghisap dan bubukan biji delima putih.”
Setelah gadis cantik itu pergi untuk melakukan
perintah ayahnya, kakek itu membalikkan tubuhnya dan membuang darah dalam kedua
tabung itu keluar pintu lalu menaruh tabung ke dalam jambangan air yang berada
di sudut. Barulah ia menghampiri dipan dan bertanya ramah.
“Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar?
Syukurlah....“
Siang Ki cepat melompat turun dari pembaringan
dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata. “Locianpwe
(Orang Tua Gagah) adalah penyelamat nyawa kami berdua orang muda, harap jangan
bersungkan kepada saya. Terimalah hormat dan terima kasih saya Yu Siang Ki.”
Kakek itu tertawa sambil berdongak ke atas,
mengelus jenggotnya yang jarang.
“Ha-ha-ha! Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang
benar-benar tidak mengecewakan menjadi putera sahabatku Yu Kang Tianglo!
Jangan banyak sungkan, kita di antara orang sendiri. Bangkitlah!” Sambil
berkata demikian kakek itu mengangkat bangun Yu Siang Ki dan pemuda ini
mendapat kenyataan betapa di balik telapak tangan yang halus itu tersembunyi
tenaga yang amat kuat sehingga ia menjadi amat kagum dan segera bangkit
berdiri.
“Locianpwe mengenal mendiang Ayah saya sebagai
sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya.”
katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki memejamkan kedua mata karena kepalanya
terasa pening.
“Siauw-pangcu harap rebahan dulu karena racun
masih belum lenyap dari tubuhmu.” kata ahli pengobatan itu. Tanpa diperintah
kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang dan mendorong pundaknya, pemuda itu
kembali merebahkan diri telentang di atas dipan.
Gadis cantik berambut hitam panjang yang
disanggul tinggi itu muncul dengan langkah kakinya yang ringan, membawa obat
dan batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek itu menerima obat dari
tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan puterinya itu, “Kalian
keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot hawa beracun dari
luka-lukanya.”
Song Goat, gadis cantik itu menggandeng
lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu keluar. Kwi Lan menurut saja karena
memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang mempunyai jarum-jarum hijau persis
senjata rahasianya. Setelah dua orang gadis itu keluar, Song Hai yang berjuluk
Yok-san-jin itu lalu menggulung kedua lengan jubahnya, kemudian mulai
menanggalkan pakaian Yu Siang Ki. Luka-luka karena senjata rahasia Peluru
Bintang dari tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu tampak kebiruan, bahkan ada yang
sudah menghitam. Dengan tangan kanannya, kakek itu memegang batu penghisap,
sebuah batu yang berwarna putih dan banyak lubang-lubang kecil, seperti batu
bintang yang terdapat di dasar laut, kemudian tangan kirinya dengan jari-jari
yang panjang halus itu memijit di sekitar luka sambil menekan batu itu pada
lukanya.
Yu Siang Ki meringis kesakitan akan tetapi
pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa nyeri sehingga tidak sedikit pun
keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat yang besar-besar berkumpul di
dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna putih itu menjadi hijau lalu
hitam! Kakek itu menunda pekerjaannya menghisap hawa beracun lalu memasukkan
batu yang menghitam itu ke dalam air yang sudah dicampuri obat. Seketika warna
hitam itu luntur, batu menjadi putih kembali akan tetapi airnya yang berubah
agak kehitaman seperti dimasuki tinta bak! Lalu penghisapan itu dilakukan lagi
pada semua luka sampai luka-luka itu kelihatan merah. Usaha pembersihan hawa
beracun ini amat nyeri, perih dan seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan baru
selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek itu membantu Siang Ki mengenakan
pakaiannya kembali.
“Aman sudah. Tinggal minum obat ini dan dalam
beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih kembali kesehatannya seperti biasa.”
Kakek itu lalu menuangkan obat bubuk delima
putih, ditaburkan pada luka dan terasalah oleh Siang Ki betapa keperihan dan
kenyerian pada luka-lukanya lenyap seketika, terganti oleh rasa dingin dan
menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah memejamkan mata menarik napas lega
dan pulas seketika! Kakek itu tersenyum, lalu mencuci kedua tangannya dan
duduk di atas bangku dekat pembaringan.
Sementara itu, setelah berada di luar pondok
kecil itu, Kwi Lan segera menangkap tangan Song Goat dan berkata.
“Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar
untuk mendengar semua keteranganmu. Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa
kau menggunakan jarum-jarum hijauku untuk membunuhi para hwesio itu, kemudian
menggunakan juga ketika kau menolong kami? Dari mana kau mendapatkan
jarum-jarum hijau itu?”
Song Goat tersenyum dan dua buah lekuk kecil
muncul di sepasang pipinya dekat mulut sehingga ia tampak manis sekali. “Adik
yang baik, bukankah engkau yang berjuluk Mutiara Hitam? Kenapa kau tak dapat
menebak sendiri? Hi-hik!”
“Eh, eh, jangan jual mahal, Enci yang baik.
Lekas ceritakan, kalau tidak....“
“Hemm, anak ganas, kalau tidak kuceritakan
kepadamu apakah kau akan memaksaku dengan pedangmu yang lihai?” Song Goat yang
ternyata pandai berkelakar itu menggoda, sepasang matanya disipitkan ketika
mengerling.
“Aihhh! Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang,
manis ini!” Kwi Lan tertawa dan mengancam dengan jari-jari tangannya yang
kecil.
“Aduh, ampun.... kau anak ganas!” Song Goat
tertawa, menutupi kedua pipinya. “Mari kita duduk di sana dan kaudengarkan
ceritaku.”
Dua orang gadis remaja yang cantik jelita itu
lalu duduk di atas batu-batu besar tidak jauh dari pondok itu. Song Goat mengeluarkan
dua buah kantong dari saku bajunya. “Kaulihat ini, yang sekantong terisi
jarum-jarum biasa, dan kantong kedua terisi jarum-jarum hijau beracun. Jangan
kira bahwa aku mencuri jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau tentu mengerti bahwa
Ayahku adalah seorang yang ahli dalam hal segala macam racun, dan agaknya
secara kebetulan saja jarum-jarum kita menggunakan racun hijau yang sama. Akan
tetapi ada perbedaannya di antara kita.”
“Apa bedanya?”
“Kau selalu menggunakan jarum hijau beracun,
akan tetapi aku hanya menggunakan jarum biasa tanpa racun, kecuali kalau harus
merobohkan orang jahat yang patut dibunuh.”
“Seperti yang kaulakukan kepada hwesio-hwesio
dalam kuil itu? Kau mau bilang bahwa pendeta-pendeta itu adalah orang-orang
jahat?” Kwi Lan mengejek.
“Lebih jahat daripada penjahat biasa, Adik
manis! Penjahat biasa memang penjahat, akan tetapi penjahat-penjahat keji itu
berkedok di balik Agama Buddha yang suci, benar-benar menjemukan sekali! Apa
kau belum dapat menduga bahwa mereka itu adalah sekutu orang-orang
Thian-liong-pang dan perampok-perampok di bawah pengaruh Siauw-bin Lo-mo?
Apakah kau tidak tahu bahwa kedatangan orang-orang Thian-liong-pang yang
menginap di rumah mereka itu mengorbankan belasan orang gadis baik-baik yang
mereka tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang Thian-liong-pang? Kebetulan
Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun tangan membunuh mereka
membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang Thian-liong-pang itu,
segera bubar melarikan diri. Karena sepak terjangmu bersama.... eh, Pangcu
itu, Ayah mengajak aku diam-diam mengikuti karena khawatir kalau-kalau kalian
terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang lihai dan curang. Dugaan Ayah
ternyata terbukti. Kami tak dapat segera turun tangan karena tidaklah mudah
membebaskan kalian dari tangan dua belas orang tokoh Thian-liong-pang itu,
apalagi setelah ternyata mereka itu berkumpul dengan Siauw-bin Lo-mo si iblis
tua....”
Tiba-tiba Kwi Lan meloncat bangun, diikuti
Song Goat yang pendengarannya masih kalah tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang
gadis ini membalikkan tubuh sambil mencabut pedang dan di depannya telah
berdiri seorang kakek yang tertawa-tawa, kakek kurus yang bukan lain adalah
Siauw-bin Lo-mo!
“Ha-ha-ha-ha, bocah manis, ini aku Si Iblis Tua
sudah datang. Jadi engkaukah yang telah berani main-main dan menculik
tawananku? Ha-ha-ha, bagus sekali.
Bouw Lek Couwsu tentu akan senang hatinya
mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi secantik engkau. Mari, kalian ikut
bersamaku!” Sambil berkata demikian, Siauw-bin Lo-mo menerjang maju, dua
lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram dua orang gadis itu.
“Siauw-bin Lo-mo iblis tua! Rasakan
pembalasanku!” Kwi Lan sudah berseru keras dan marah sekali, pedang
Siang-bhok-kiam di tangannya berubah menjadi sinar hijau bergulung panjang
membabat kedua lengan kakek itu.
“Aiihhh....!” Siauw-bin Lo-mo mengeluarkan
seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik kembali kedua lengannya. Ia
tadi terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu, apalagi Kwi Lan yang
pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak
disangkanya gadis ini dapat menyambutnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis
remaja yang galak ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedangnya, sesuai
dengan kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru sekarang ia
mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam kerangkeng dan
menjaganya ketat, kiranya gadis ini benar-benar amat berbahaya.
Song Goat juga membantu Kwi Lan menggerakkan
pedangnya. Biarpun gadis puteri ahli obat ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan
ilmu pedangnya, namun juga termasuk seorang muda yang berilmu tinggi.
“Ha-ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu bernasib
baik! Ha-ha, kiranya selama hidup dalam petualangannya dengan wanita, belum
pernah ia mendapatkan dua orang gadis cantik yang begini lihai!” Biarpun
maklum bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, namun Siauw-bin Lo-mo
sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi gentar.
Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua tangan kosong
menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan Kwi Lan mengeluarkan
seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!
Gerakannya demikian aneh dan ringan sehingga
setiap kali pedangnya hendak mengenai sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti
terdorong lebih dulu dan selalu dapat mengelak, bahkan beberapa kali gagang
pedangnya hampir kena dirampas! Saking marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring
dan pedangnya kini mainkan ilmu pedang yang tiada keduanya dalam soal keanehan
di dunia ini. Siauw-bin Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang Song Goat
karena segera mengenal ilmu pedang gadis ini yang bersumber pada ilmu pedang
Kun-lun-pai, kini terbelalak heran menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Kwi
Lan. Dalam gerakan ilmu pedang ini ia mengenal jurus-jurus campuran yang mirip
ilmu pedang dari Hoa-san-pai, tusukan-tusukan jalan darah seperti ilmu silat
Siauw-lim, pengerahan tenaga berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk
sementara kakek ini menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena
tingkatnya memang jauh lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak
dalam pertempuran, segera ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah berhasil
mengirim tendangan ke arah tangan Song Goat yang memegang pedang. Pedang
gadis itu terlepas dan ia sendiri terhuyung.
“Ha-ha-ha!” Siauw-bin Lo-mo sambil
tertawa-tawa melesat dari depan Kwi Lan ke dekat Song Goat untuk merobohkan
gadis ini, akan tetapi tiba-tiba ia terdorong oleh hawa pukulan dari belakang
yang membuatnya terhuyung-huyung dan berseru heran dan kaget.
Sebagai seorang ahli, Siauw-bin Lomo mengerti
betapa hebatnya hawa pukulan itu, maka cepat ia menggulingkan dirinya sambil
mengerahkan hawa sakti dan akibat pukulan jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia
selamat dari bahaya akan tetapi mengalami malu karena ternyata ia hampir celaka
dalam tangan seorang gadis remaja, hanya karena pukulan jarak jauh tangan kiri
Kwi Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu disamping ilmu pedangnya yang luar
biasa, juga menguasai ilmu pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
Song Goat yang tidak terluka, mendapat
kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali dan kini ia sudah maju lagi
membantu Kwi Lan yang sudah menerjang kakek lihai itu. Namun kini Siauw-bin
Lo-mo sudah bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang aneh dari kedua
lengannya membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih celaka lagi, dua
orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas orang yang bukan lain
adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang bersama sebelas orang adik
seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya berdiri di pinggir menonton,
tidak berani bergerak mengganggu datuk mereka yang yang sedang mempermainkan
dua orang gadis remaja itu!
Pada saat itu, dari dalam pondok melompat
keluar Yok-sanjin Song Hai si ahliobat. Ia sudah memegang sebatang pedangnya
dan melihat betapa Kwi Lan dan Song Goat terdesak hebat dan mengenal kakek
kurus itu, ia berseru.
“Siauw-bin Lo-mo, tidak malu engkau melawan
anak-anak?”
Siauw-bin Lo-mo menoleh dan tertawa.
“Ha-ha-ha, kiranya tukang obat Song yang berada di sini. Ah, kiranya gadis ini
anakmu? Ha-ha, majulah kau sekalian, dikeroyok tiga pun aku tidak takut!”
Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong
sudah maju pula menghadang kakek ahli obat itu yang segera mengurungnya dengan
senjata di tangan. Melihat ini, Song Hai segera memasang kuda-kuda dan bersikap
waspada karena dapat menduga bahwa dua belas orang tokoh Thian-liong-pang ini
tentulah bukan orang-orang lemah.
“Ha-ha-ha-ha! Song Hai tukang obat, sebelum
main-main dengan aku, kaurasakanlah dulu kelihaian anak buahku!” Ucapan
Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi Cap-ji-liong dan lenyaplah keraguan
mereka. Segera mereka menerjang maju secara teratur, mengurung kakek tukang
obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.
Kwi Lan menggigit bibir dan mengeluarkan
semua kepandaiannya. Betapapun juga kakek itu terlampau kuat untuknya. Biarpun
ia dibantu Song Goat yang juga lihai ilmu pedangnya, namun tetap saja dua orang
gadis ini terdesak hebat dan akhirnya terhuyung oleh bayangan kedua tangan
Siauw-bin Lo-mo yang seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya. Song Goat
yang lebih dulu merasa pening dan sebuah tamparan membuat ia terhuyung ke
belakang kembali terlepas dari tangan. Tamparan yang mengenai pundak kanan itu
membuat tangan kanannya serasa lumpuh!
Kwi Lan berseru marah dan menusuk pinggang
lawan yang sedang miring tubuhnya. Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan berjungkir
balik, kemudian menyambut pukulan tangan kiri Kwi Lan dengan tangkisan tangan
kanan.
“Plakk....!” Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur,
akan tetapi Kwi Lan harus berjungkir balik beberapa kali untuk mencegah
terguling. Ketika gadis ini sudah berdiri lagi, ia diserang secara bertubi-tubi
di antara suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk membalas, namun karena sudah
terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat kesempatan dan hanya dapat mengelak
dan menggerakkan pedang membabat tangan yang hendak menangkap dan menotoknya.
Pada saat Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba
terdengar suara melengking tinggi yang tidak hanya mengejutkan hati Siauw-bin
Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song Hai dan dua belas orang
pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan menulikan telinga itu
seketika membuat mereka semua menghentikan pertandingan dan Kwi Lan menjadi
girang sekali ketika menoleh ke arah datangnya suara melengking yang tentu saja
ia kenal baik ini.
Bagaikan bayangan setan, tiba-tiba saja di situ
sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping berpakaian serba putih dan
mukanya dikerudungi sutera jarang seperti rajut berwarna hitam. Kam Sian Eng
guru Kwi Lan!
“Siauw-bin Lo-mo, kau berani menyerang
muridku, berarti engkau tidak memandang mata kepadaku!”
Siauw-bin Lo-mo mengenal wanita ini dan
tertawa, akan tetapi suara ketawanya canggung karena hatinya merasa tidak
enak. “Eh.... Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis yang ganas dan lihai ini
muridmu? Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia muridmu, Sian-toanio
karena dia pun tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”
“Sekarang kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau
masih akan melanjutkan pertempuran?” tanya Kam Sian Eng, suaranya kaku.
“Ha-ha-ha, tentu saja aku tidak mau mengganggu
keponakan sendiri! Bouw Lek Couwsu akan cukup puas kalau aku membawa nona
puteri tukang obat ini. Hayo engkau ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian,
tubuh kakek kurus ini melesat ke depan, ke arah Song Goat untuk menyambar tubuh
gadis ini yang tentu saja sama sekali bukan lawan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi
tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik kembali kedua
tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua tangan yang hendak
menerkam Song Goat itu. Kini gadis ini dengan pedang di tangan berdiri
menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang, matanya mendelik marah.
“Ha-ha-ha-ha, keponakanku yang baik, apakah
kau hendak menantang aku? Sian-toanio apakah begini kau mengajar muridmu?”
“Kwi Lan! Mundur kau! Mau apa kau mencampuri
urusan orang lain? Sejak kapan kau begini usil dan lancang?” Kam Sian Eng
membentak, suaranya dingin seperti suara dari lubang kubur membuat Cap-ji-liong
yang terkenal gagah sekalipun menggigil dan merasa seram.
“Bibi, aku tidak suka mencampuri urusan orang
lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan ayahnya, Song-locianpwe, telah
menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi tawanan tua bangka iblis ini!” Ia
menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo. “Bagaimana mungkin aku sekarang membiarkan
iblis tua ini mencelakai Enci Goat?”
Kam Sian Eng adalah seorang yang memiliki
watak aneh sekali karena memang jiwanya sakit, ingatannya terganggu oleh
peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal budi, tidak mengenal apa
itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada perasaan kasih sayang di
hatinya. Maka melihat sikap dan mendengar pembelaan Kwi Lan, ia menarik napas
panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata singkat.
“Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa
lagi di sini. Setahun kemudian kelak kita bertemu kembali.”
Siauw-bin Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi
serba salah. Ia tidak takut kepada Kam Sian Eng, akan tetapi juga tidak
menghendaki nama Bu-tek Ngo-sian menjadi pecah hanya karena urusan seorang
gadis! Selain itu, juga otaknya yang cerdik bekerja cepat. Kalau terjadi
pertempuran karena ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia sendiri melawan
Sian-toanio ini masih merupakan keadaan setengah-setengah, belum tentu siapa
yang akan menang atau kalah. Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong itu
kalau harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama puterinya dan Si Mutiara
Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka ia lalu tertawa dan agar
jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.
“Ha-ha-ha-ha! Melihat muka Sian-toanio yang
menjadi saudaraku sendiri, tentu saja aku tidak akan meributkan soal seorang
gadis! Hanya sayang sekali, saudaraku yang menjadi seorang di antara Bu-tek
Ngo-sian, ternyata harus tunduk kepada muridnya. Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!”
Ia berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak cakap tidak berani membantah
dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam hutan.
Biarpun perangainya aneh dan otaknya tidak
waras, namun Kam Sian Eng adalah seorang wanita yang memiliki watak angkuh dan
tinggi hati. Oleh karena itu, ejekan yang keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo
tadi sedikit banyak telah meracuni hatinya, membuat keningnya berkerut dan
sepasang matanya mengeluarkan sinar dingin menakutkan. Melihat betapa sepasang
mata Sian Eng memandangnya seperti itu, tahulah Kwi Lan bahwa gurunya atau
bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia menjadi khawatir dan bersikap waspada.
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat
keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang Ki yang sudah sembuh, hanya
belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia terbangun dari tidurnya dan
mendengar suara melengking nyaring, ia segera mengerahkan tenaga, menyambar
tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah lagi, kini ia meloncat keluar,
siap membantu Song Hai dan puterinya, terutama sekali Kwi Lan jika ada bahaya
mengancam. Ketika ia melihat mereka itu berhadapan dengan seorang wanita yang
memakai kerudung, yang sikapnya aneh, yang matanya menyinarkan keseraman yang
mengerikan, ia meloncat dan sudah berada di samping Kwi Lan. Gerakannya
tidaklah sekuat biasa, namun pemuda ini tidak kehilangan kelincahannya.
“Siapa jembel ini?” Suara Kam Sian Eng dingin
sekali, membuat Siang Ki meremang bulu tengkuknya, dan sinar mata yang
menyambar ke arah mukanya seperti tangan dingin menyentuh leher. Ia bergidik.
Song Hai atau Yok-san-jin yang semenjak tadi
memandang kepada Kam Sian Eng dengan penuh rasa kagum dan heran, segera
melangkah maju dan menjura sebagai penghormatan, lalu berkata, “Kouw-nio,
orang muda ini bukan lain adalah kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) dari
Khong-sim Kai-pang, putera mendiang Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa.”
Sian Eng melirik ke arah kakek berjenggot
itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut kouwnio (nona). Tentu saja kakek
itu merasa tepat menyebut nona kepada wanita berkerudung ini karena ia jauh
lebih tua dan memang Sian Eng kelihatan masih muda, baik dipandang pada wajah
di balik kerudung itu maupun bentuk tubuh yang langsing padat. Akan tetapi
kalau hati Sian Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening
mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu Kang
Tianglo yang merupakan seorang di antara lawan golongan sesat yang dipimpin
Bu-tek Ngo-sian. Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling
Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo
ataupun puteranya. Maka kalau ia hendak mengumpulkan jasa untuk mengalahkan
empat orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu
Kang Tianglo yang menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang ini.
“Hemm, jembel muda ini Ketua Khong-sim
Kai-pang? Begini muda menjadi pangcu? Hendak kulihat sampai di mana
kemampuannya!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan Kam Sian Eng
bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan jari tangan terbuka ke
arah dada Yu Siang Ki!
“Bibi....!” Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan
itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang! Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang
ini hebat bukan main karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga
seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya
ini sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah
dalamnya!
Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh.
Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang
meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan
melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini, namun
hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet pundaknya, membuat
tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas daripada bahaya maut.
Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin gelisah
hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum maut karena
senyum ini berarti bahwa gurunya merasa tersinggung dan marah sekali melihat
betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah maju dan kembali tangannya
bergerak hendak memukul dengan Siang-tok-ciang yang lebih hebat. “Bibi,
jangan....!”
Akan tetapi pukulan sudah dilancarkan dan
terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil mengangkat tangannya menangkis.
“Plakk!!” dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, di mana ia
meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka. Sian Eng
sejenak berdiri seperti patung memandang muridnya, sinar matanya makin dingin,
senyumnya melebar.
“Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki.
Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”
“Dia....apamu?” tanya Sian Eng, suaranya
penuh kemarahan yang ditahan-tahan.
“Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka
duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan....”
Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa
dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia
tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti
api disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis
pukulannya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki. Marah dan
kecewa apalagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya memandang dengan muka
jelas berpihak kepada Kwi Lan. Watak Sian Eng memang aneh dan ganas, makin
ditentang makin ganas dan kini kemarahan hatinya membuat gilanya kumat dan ia
tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga
keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan membentak.
“Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua
kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”
Kwi Lan menjatuhkan dirinya berlutut. Ia
seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak takut melawan siapapun juga. Akan
tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih
kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biarpun ia melawan
juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.
“Bibi, kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan
nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia menerima hukuman apapun juga, bahkan
kematian tidak akan membikin aku menyesal. Silakan!”
Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh, keras
dan ganas. Akan tetapi melihat betapa Kwi Lan menantang maut dengan sikap
sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan kagum. Akan tetapi
hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali memuncak.
“Kau sudah berani menangkis pukulanku, nah,
kaucobalah tangkis ini!” Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah kepala Kwi
Lan yang menunduk.
“Wuuuutttt.... prakkkk....!” Hancur luluh
tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk menangkis tangan Siang
Eng dalam usahanya menolong Kwi Lan yang terancam bahaya maut. Ia sendiri
terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda ini sudah melompat maju lagi,
membusungkan dada menantang kepada Sian Eng.
“Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan
karena dia tidak berdosa. Kalau dia menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe,
maka kesalahannya adalah karena saya dan saya bersedia menerima hukumannya,
sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”
Kam Sian Eng tercengang. Sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis
pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah, akan tetapi keheranannya
melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun
tangan dan sebaliknya ia membentak.
“Mengapa kau membela dia? Dia apamu?”
Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng
kepalanya. “Memang bukan apa-apa, Cianpwe. Akan tetapi saya siap untuk
mempertaruhkan nyawa untuknya.”
Terdengar isak tertahan yang keluar dari
kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil
menutupi mukanya. Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan merangkul pundak
puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.
“Hemm....! Kau.... kau mencinta Kwi Lan?”
Kwi Lan sendiri memandang dengan mata
terbelalak. Semua orang memandang kepada Siang Ki dan keadaan di situ hening
oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh
wanita berkerudung yang menyeramkan itu.
“Benar! Saya mencinta Kwi Lan dan siap mati
untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang. Kembali Song Goat
terisak, kini menangis tersedu-sedu dan meronta dari rangkulan ayahnya, terus
melarikan, diri sambil menangis.
“Goat-ji (Anak Goat)....!” Song Hai kakek ahli
obat itu lalu lari mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki
dengan sinar mata mengandung penyesalan.
“Bibi, apakah Bibi masih berkeras hendak
membunuh kami? Silakan!” Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan ia menantang
dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap tenang.
Kam Sian Eng ragu-ragu, “Hemm, kau mencinta
Kwi Lan? Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?” Orang yang
dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu saja ia
memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biarpun tampan namun berpakaian
jembel.
“Cinta....?” Kwi Lan menggeleng kepala. “Aku
tidak tahu...., aku tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki amat baik
kepadaku dan pernah menolongku. Yang sudah jelas, dia adalah sahabat baikku,
Bibi.”
Sinar mata kemarahan di balik kerudung itu
berseri sebentar. Di sudut benaknya, wanita aneh ini tentu saja tidak ingin
mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia harapkan untuk
menjadi isteri puteranya!
“Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda
ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suhengmu.”
Biarpun sejak kecil sering cekcok dengan Suma
Kiat putera tunggal gurunya, akan tetapi karena sejak kecil menjadi teman
bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini. “Di mana adanya Suma-suheng?”
“Di kota raja Kerajaan Sung. Kau lekaslah
menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak berada di sana dalam waktu dua bulan.”
Setelah berkata demikian tubuh wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap
dari situ.
Kwi Lan dan Siang Kwi saling pandang. Baru
saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang
tadinya amat tegang, kini menarik napas panjang. “Hebat.... Gurumu hebat....
katanya dan terasalah kini oleh pemuda itu betapa tubuhnya masih amat lemah,
biarpun rasa nyeri sudah hilang.
“Ah, ke mana perginya Enci Goat tadi? Siang
Ki, kau mengasolah di pondok, biar aku mengejar mereka!” Tanpa menanti jawaban
Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan mengerahkan ginkang dan berlari
secepat larinya kijang memasuki hutan di mana tadi ia melihat Song Goat
melarikan diri kemudian dikejar ayahnya.
Jauh di dalam hutan, Kwi Lan mendapatkan
kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan,
bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!
“Song-lopek! Ada apakah? Mana Enci Goat?”
Kakek itu tidak menjawab, hanya menudingkan
telunjuk kanannya ke batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata
di pohon itu terdapat sehelai saputangan sutera putih yang tertusuk jarum
keempat ujungnya dan saputangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan
ranting pohon dengan tinta getah pohon.
“Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka.
Sampai jumpa.”
“Eh, apa artinya semua ini, Lopek? Adakah ini
saputangan Enci Goat? Tulisannya?” tanya Kwi Lan yang masih belum mengerti.
Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang.
“Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan
tetapi apa gunanya? Sejak kecil dia berkeras hati. Dan dia tulis sampai jumpa,
berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya....” Muka yang tua itu kelihatan
berduka sekali. “Biarlah aku menunggu..., menunggu dan mengharap.... dan
berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan kepada Anakku....“
“Akan tetapi.... mengapa Enci Goat melarikan
diri? Mengapa kalian berduka?”
Tiba-tiba kakek itu membalikkan tubuh
memandangnya dengan tajam sambil bertanya, suaranya tegas, “Nona apakah....
maaf, apakah kau mencinta. Yu Siang Ki?”
Kwi Lan melongo dan wajahnya menjadi merah.
Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang Ki, kalau
tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar. Ia hanya terheran
mengapa kakek ini bertanya, demikian, lebih heran lagi karena baru saja gurunya
pun bertanya demikian.
“Aku tidak tahu, Lopek. Aku suka kepadanya
tentu saja karena dia seorang yang baik, dia seorang sahabatku. Akan tetapi
cinta....? Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu cinta, kurasa aku tidak
mencinta siapa-siapa.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan
ia memegang tangan Kwi Lan.
“Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona.
Tapi.... tapi.... ah, apa bedanya? Dia tetap saja mencintamu.”
“Kalau begitu mengapa, Lopek? Mengapa
pernyataan cinta Siang Ki kepadaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?”
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan
mengelus jenggotnya. “Dahulu, ayah pemuda itu adalah sahabat baikku. Yu Kang
Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya
juga berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh
antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun-tahun aku membawa anakku
merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu Siang Ki telah
menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Kami menyusul ke sana akan tetapi dia sudah
pergi. Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya.
Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau
mengerti betapa hancur dan malu rasa hati Goat-ji....”
“Ahhh....!” Kwi Lan berseru kaget. “Kasihan
sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan tidak mengenal
budi?”
Melihat gadis itu kelihatan marah-marah, Song
Hai memegang tangannya. Jangan kaupersalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu
sama sekali tidak tahu agaknya akan tali perjodohan yang ditentukan mendiang
ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu
dia tidak akan melakukan hal yang begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah,
urusan ini tidak perlu dipersoalkan, soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia
tidak berkuasa memaksakan. Selamat berpisah, Nona.” Kakek itu membalikkan diri
meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia
membalik dan berkata.
“Ayah, tolong kausampaikan Gurumu. Kepadanya
aku tadi tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi
mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kausampaikan kepada
Gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sin-kang, menghentikan
latihan dan tidak mengerahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat tertolong.”
“Heee? Kenapa, Lopek?”
“Dia.... telah salah berlatih. Aku melihat
cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa sakti yang terhimpun secara keliru di
dalam tubuh meracuni darah dan merusak bagian dalam tubuhnya. Dan.... dan kau
sendiri, Nona, karena kau masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda
itu. Hanya mengingat keadaan Gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan
terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti dan
minta petunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu
silatku belum setinggi itu.” Setelah berkata demikian, kakek itu membalikkan
tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon
besar.
Kwi Lan tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia
melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya menanti-nanti
kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang Ki tersenyum gembira
dan berkata, “Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi dari sini, siapa tahu
kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”
Pemuda itu menghentikan kata-katanya karena
melihat wajah gadis itu merah sekali dan sinar matanya seakan-akan dua batang
pedang ditodongkan ke ulu hatinya. “Eh.... eh...., ada apakah....?”
Kwi Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan
kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur ke depan dengan telunjuk
ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika
kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.
“Kau ini seorang yang sangat boceng-li!”
“Hah....?” Siang Ki memandang bengong,
benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti mengapa tiada hujan tiada angin
gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li
(tak tahu aturan)!
“Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan
berhati kejam!” Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan
keheranan dan kebingungan pemuda itu.
“Aahhh....?”
“Semenjak berusia setahun, kau telah
ditunangkan dengan Enci Goat oleh mendiang Ayahmu!”
“Ehhh....?”
“Enci Goat dan Ayahnya bertahun-tahun
mencarimu, setelah bertemu mereka telah menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi,
apa yang kaulakukan kepadanya? Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li
sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!”
“Ohhhh....?”
“Huh! Bisanya cuma ah-eh-oh! Lakilaki macam
apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal budi, malah menghancurkan hati Enci
Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat engkau sahabatku, sekarang juga sudah
kutusuk dadamu, kukeluarkan hatimu!”
“Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya
semua ini? Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini?
Sungguh aku tidak mengerti....”
“Benar kau tidak mengerti? Kau tidak tahu?
Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara kau dan Enci
Goat? Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!”
“Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut
pun. Kalau aku tahu dan menyangkal, biarlah aku disambar geledek!”
“Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari
terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?”
Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih.
Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar
ketika datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti
kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah terasa nyeri
jantungnya.
“Sungguh Kwi Lan. Mendiang Ayahku tidak pernah
bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana kau bisa tahu akan pertunanganku
itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”
Melihat sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya
bahwa memang benar Siang Ki belum tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya,
maka dengan suara yang lebih sabar ia lalu menceritakan pertemuannya dengan
Song Hai dan tentang cerita kakek itu.
“Karena mendiang Ayahmu sendiri yang
menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah menganggap
dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak memandang lain pemuda
karena menganggap kau sebagai calon mantu.”
“Ah...., akan tetapi mengapa mereka tidak mau
memberitahu kepadaku? Sungguh mati, Kwi Lan. Andaikata aku tahu, betapapun
hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta
kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung sekali,
aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah tahu
rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta, apakah yang
harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan diri, duduk di
atas tanah dengan wajah muram.
Betapapun juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat
suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik ini. Agaknya tidak akan sukar baginya
untuk memperdalam rasa suka ini menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu
dan kesempatan. Akan tetapi pengertian bahwa pemuda ini adalah “hak milik”
Song Goat, tentu saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa
kasihan, lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata,
suaranya halus.
“Siang Ki, ke mana perginya sifat gagahmu?
Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang Ketua Khong-sim
Kai-pang, menjadi begini lemah hanya oleh urusan yang menyangkut perasaanmu
sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang
Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali
sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung
tinggi nama Ayahmu dan memenuhi janji Ayahmu, juga harus kau jaga masa depan
Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain
karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan
diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan
menyambung kembali ikatan yang kauputus tanpa kauketahui.”
“Ke mana.... aku harus mencarinya?”
“Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota
raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”
“Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah
kau tidak jadi pergi ke Khitan?”
“Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku
memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”
“Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan
bersama!”
Kwi Lan memandang pemuda itu dengan kening
berkerut karena melihat seri gembira pada wajah itu. “Yu Siang Ki! Masih belum
sadarkah engkau daripada lamunanmu yang kosong! Engkau adalah calon suami Enci
Goat, jangan kauharap untuk aku.... aku....”
Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng
kepala. “Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan pendapatmu dan aku
tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku
hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu, pertama karena dengan demikian
kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai
kita dapat berjumpa dengan.... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku
untuk menerangkannya tentang.... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan kau
yang.menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku.”
Kwi Lan berpikir sebentar lalu mengangguk.
“Alasanmu memang kuat. Baiklah, kita melakukan perjalanan bersama. Akan
tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta
seperti kakak beradik.”
Kemudian Siang Ki menarik napas panjang
melepaskan kedukaan hatinya.
“Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang
gi-moi (adik angkat karena ikatan budi).”
“Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat).
Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat.”
Tanpa menjawab Siang Ki lalu meloncat bangun
dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan hutan.
***
Setelah menuliskan pesan pada saputangan
putih yang ia pasang di batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil
menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah
payah ayahnya membawanya merantau sampai bertahun-tahun, dan betapa hatinya
berdebar tegang penuh perasaan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat
pemuda yang dijodohkan dengannya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh bahaya
maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang Thian-liongpang
kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa calon suaminya itu. Rasa
malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih yang mekar di lubuk hatinya
ketika ia melihat calon suaminya ini. Akan tetapi, alangkah besar kedukaan dan
kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya
itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta
kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali.
Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang
memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih
banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari
pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani
mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia
adalah jodoh putera Yu Kang Tianglo!
Song Goat berjalan terus tanpa tujuan.
Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling
sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah
hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin
melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap. Betapa pun nelangsa
hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri.
Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini
merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan
berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan
mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini
merupakan satu daripada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang
paling hina dan pengecut.
Tidak, dia tidak mau membunuh diri dan
melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang
sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah
kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu
mencari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di
sebelah kirinya, untuk tempat berlindung melewatkan malam.
Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada
terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan
guha-guha batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang
menandakan bahwa di sekitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah
cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya
menyorot keluar dari guha-guha batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang
menyorot keluar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu
adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin. Ia merasa,
heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan
liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit
dan perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar
menghampiri guha itu. Dari celah-celah batu di luar guha yang diterangi sinar
api unggun itu ia mengintai dan.... otomatis tangan kiri Song Goat menutup
mulutnya untuk mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan
mukanya menjadi merah saking jengah. Ia tentu akan segera membuang muka dan
mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja
pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa
dua orang di dalam guha itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di
dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua
pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka
tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan
mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan
seorang gadis cantik!
Song Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari
ayahnya. Biarpun belum pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang
dilakukan dua orang di dalam guha, namun gadis itu pernah mendengar tentang
pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang
lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini dapat pula ia
membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran
tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam keadaan telanjang bulat
seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupakan cara
pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu
dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak
tahu akan susila itu.
Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan
sinar api unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang
telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang
memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku
sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara
pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu
seorang anggauta kaum sesat. Berpikir demikian, Song Goat menjadi muak dan
hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat
berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki guha itu. Ia
mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio berjubah
merah, anak buah Bouw Lek Couwsu! Hemmm, kiranya tempat ini menjadi tempat
berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa
ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui
orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan
tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apalagi ditambah
hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi
meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.
Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan
kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke
dalam guha. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang
hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak
menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata!
Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata
tajam itu melayang ke arah Si Pemuda. Juga kini baru tampak oleh Song Goat
bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia
tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas
pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia
bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh
wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu
bahwa Si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan
mengobati Si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak
berdaya sama sekali.
Song Goat melihat betapa wanita cantik murid
Siang-mou Sin-ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya yang
tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat
tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali
berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak
memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas
tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan.... empat
orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata mereka terlepas dan
mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!
Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri
tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang,
telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya
terengah-engah. Anehnya tubuh Si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi
putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak
dari pinggang ke bawah.
“Celaka....!” seru Song Goat dalam hatinya.
Melihat wanita cantik itu menolong Si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri,
timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat
sekali, sebaliknya Si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada
harapan tertolong nyawanya.
Setelah kedua telapak tangannya terlepas dari
kedua tangan wanita itu, Si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia
membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh menghitam dan di
sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua,
pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan
dipangkunya kepala itu.
“Leng In.... ah, Leng In....” pemuda itu
berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.
Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan
tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua
lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali
dengan lemas, bibirnya bergerak.
“....aku puas.... dapat mengakhiri hidup dalam
keadaan begini.... aku bahagia.... dapat menolongmu, kekasihku.... “ Po Leng
In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan
tetapi ia menjadi lemas, tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak
bernyawa lagi.
“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya,
membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik
ke tenggorokannya. Melihat ini, Song Goat terharu.
Siapa pun pemuda itu, betapapun ia menjadi
sekutu murid Siang-mou Sin-ni, menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang
juga seorang sesat, namun melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut
merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang
dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang
dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak, namun
ditahan-tahannya.
Tiba-tiba tubuh pemuda yang telanjang bulat
itu mencelat keluar dari guha. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suaranya
menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda
itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan
sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang. Akan tetapi agaknya pemuda
itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang mengintai adalah
seorang gadis cantik bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan
dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai menahan sakit
tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.
Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat
adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi
watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang
yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit
yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia
menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam
guha. Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk
mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat
racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu
menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga
untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah. Dengan sendirinya, tubuhnya
menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti
dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke
dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah
merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata
mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada
cahayanya, mata orang-orang mati.
Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang
dapat ia kerjakan lagi di dalam guha yang menjadi kuburan lima orang itu, maka
ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna
merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi
dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari
pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya
masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa
pemuda ini pun masih terancam bahaya maut. Sebagai puteri tunggal Yok_ san_
jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh dan jahat
bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apabila menghadapi penyakit atau
racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah hatinya, makin besar
semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu! Ia lalu
mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa
dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun
tidak karuan, seolah_ olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan
pakaian putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian
pinggangnya dan pergilah Song Goat meninggalkan guha yang mengerikan tadi.
Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut
taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong
pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat.
Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas
mencari_ cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya penerangan
dari sekelompok rumah_ rumah, tentu sebuah dusun. Dipercepatnya jalannya dan
menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari_
cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama
kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki_ laki gemuk setengah tua muncul.
Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi_ pagi untuk mempersiapkan kedainya.
Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini
sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki_ laki yang
pingsan.
_ ....ehh...., Nona siapakah....? Mau apa....?
Dan.... dia ini....?
_ Paman, aku seorang ahli pengobatan,
sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.
_ Tapi.... tapi.... mana bisa....?
_ Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini,
kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah
kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah
gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. _ Kau terimalah gelang itu, untuk
sewa kedai sehari.
Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu
memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik
ke arah gelang emas di atas meja, kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia
sebagai duda tergila_ gila kepada seorang janda muda di dusun itu akan tetapi
belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm,
akan tetapi ia harus hati_ hati.
_ Orang ini.... bagaimana kalau mati di
tempatku?
_ Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini
tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah
Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?
_ Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran
akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat
setelah merapatkan kembali daun pintu depan.
Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih
sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat.
Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah
kedai makanan. Hatinya puas.
_ Paman, harap kautolong isi panci besar itu
dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di
hutan, kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tubuh pemuda itu di
atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.
Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya,
menoleh ke kanan kiri. Ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah
kamar yang tidak begitu bersih, ia terheran. Lebih_ lebih lagi keheranannya
ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya
dan dengan gerakan dan tangan berkulit halus menahan dadanya, mencegahnya
untuk bangkit.
_ Kau keracunan hebat. Aku berusaha
mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku.
Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan
banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita
apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur. Sikap Song Goat kasar
dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda
ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut
tapi tajam menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih
murid Siang-mou Sin_ ni, tak perlu ia bersikap halus pikirnya.
Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar
dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang
dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau, masak dalam pengalamannya untuk mengenal
sifat wanita-wanita cantik seperti ini!
_ Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang
dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?
Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum
pernah Ia dirayu laki_ laki, apalagi kalau laki_ laki itu setampan dan segagah
ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi
kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa
diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak menjawab hanya sibuk
mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam bajunya, lalu menuang
isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tempat teh) itu.
Kemudian, juga masih cemberut tanpa bicara, ia menghampiri pemuda itu dan
dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat
mata kaki kanan.
Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis
itu dengan senyum dan mata memandang kagum. _ Nona, kau hebat. Kalau bukan
penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana....
_ Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk
orang_ orang segolonganmu! Aku Song Goat.... hemm, aku puteri Song Yok_ san_
jin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati,
kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat. Pada saat itu, Si
Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya,
_ Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kaugodok obat bubuk ini dengan air
setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai
habis. Setelah berkata demikian dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit
pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos
lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang
keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia
memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum
lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi _
terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!
_ Kau kenapa, Paman Gedut? pemuda itu
menegurnya sambil tertawa.
_ Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau
melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit
tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu
saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh
namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang
muda, kau benar_ benar sakit kah?
Pemuda itu tertawa dan memang amat
mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa tertawa dan
bersikap setenang itu. _ Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku
dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!
Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya,
menggeleng_ geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa tekoan
berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah Si Dewi tadi. Setelah Si
Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata,
mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori
separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah
mendengar akan nama Song Yok san_ jin si ahli obat, dan sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang
demikian cantik jelita, lebih_ lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan
tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.
Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita
itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik_ baik dan sudah
terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng
In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada
murid Siang_ mou Sin_ ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat
mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk
mengusir bayangan-bayangan itu.
Setelah kamar belakang ini diterangi sinar
matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat muncul dengan
cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang
cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari,
tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat. Melihat
pemuda itu duduk bersila dan bersamadhi dengan cara yang bersih, ia terheran.
Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai akan tetapi cara bersiulian
(bersamadhi) seperti itu benar_ benar di luar dugaannya. Pemuda itu pun
membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.
_ Nona, terus terang saja, apakah kau anggap
keadaanku masih ada harapan?
Song Goat menggerakkan kedua pundaknya,
Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang
ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! _ Entahlah, akan kucoba
menyembuhkannya, kalau dapat. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang
menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya
dalam perutmu?
_ Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.
_ Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?
_ Tidak.
_ Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya
obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hemm, mudah-mudahan saja
usahaku menolongmu berhasil.
_ Nona Song, mengapa begini keras benar kau
berusaha untuk menolongku?
Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu
pandang dan Si Gadis menjadi marah. _ Huh, apalagi kalau bukan karena
kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami
untuk berusaha menyembuhkan siapa saja. Ia berhenti dan cepat menyambung, _
Tentu saja kalau si sakit suka diobati!
Pemuda itu tersenyum. Gadis ini sebenarnya
halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia berpura_ pura
galak. _ Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin
berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan
Tok_ hiat Hoat_ lek dari Siang mou Sin_ ni. Lambungku kena pukul Siang-mou
Sin_ ni.
Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali
tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan
kekasih murid Siang_ mou Sin_ ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina
itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio
jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
_ Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sin_
ni?
_ Mengapa? Karena aku musuhnya.
_ Musuh....? Song Goat terheran. Ini sama
sekali tidak pernah disangkanya. _ Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?
Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan
tubuhnya yang masih duduk bersila. _ Nona Song, maaf, seharusnya engkau
mengenal siapa yang kautolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya
berusaha menolong cucu_ cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan
Siang_ mou Sin_ ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok_
hiat Hoat_ lek.
_ Hemmm...., Song Goat masih ragu-ragu. _
Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu ....
_ Ah, kau maksudkan Po Leng In?
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Dia memang
murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan
nyawaku, bahkan.... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis
yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu
yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali,
apakah kiranya masih dapat diobati?
Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan
Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan menolong bekas
lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan
mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia
daripada aku, pikirnya duka. orang sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang
patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!
“Akan kucoba dan agaknya sebagian besar
tergantung daripada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini harus dicampur
dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas
lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mungkin
akan berbahaya. Bolehkah aku memgetahui, siapa gurumu agar aku dapat
mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”
“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku
segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin berguna,
ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng....”
“Suling Emas....?” Song Goat memandang dengan
mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang
Liong. “Dan kau.... jadi kau adalah.... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”
Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah,
“Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang
terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang.... pada saat ini menggantungkan
nyawa kepadamu.”
Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya
berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya pemuda sesat, adalah
Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar
sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang
pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-menyebut namanya
dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.
“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas
lega.”
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang
wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia
dapatkan dari Ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak
kelihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.
“Wah, penarikan napas lega seorang gadis
sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku mengetahui
alasannya, Nona Song?”
Kini gadis itupun tersenyum. Berhadapan
dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegembiraannya.
“Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Pertama, dengan
kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pengobatan ini dan
tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat.
Ke dua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda
sesat seperti yang tadinya kusangka.”
“Aduh, hal yang pertama itu membuat aku
menjadi besar kepala karena kaupuji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku
amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?”
Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan
pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat.
“Karena karena.... kau dan wanita murid Siang-mou Sin-ni itu....“
Kiang Liong menepuk kepalanya. “Benar juga!
Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang Leng In yang berusaha
menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka
oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya
pula.”
Pada saat itu, Si Gendut, pemilik kedai muncul
dan seperti lagak seorang perajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”
Song Goat mengangguk dan ketika Si Gendut itu
pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara
pengobatan Ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur
daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka.... membuka pakaian
dan merendamkan diri di daiam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu
setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”
Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu
pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek
teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang
diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi
pemilik kedai yang belum melihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan
mereka lakukan ini amat mengejutkan dan mengherankan. Akan tetapi ia yakin
betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong
daripada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajaran ayahnya,
semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian
kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu didasari hawa pukulan
yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang melukai
Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun
hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang
dapat meracuni darah.
Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai
sudah muncul pula di pintu, matanya malotot lebar dan wajahnya merah sekali,
“Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau.... mau.... rebus dia....?”
“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami.”
Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan orang yang sama sekali tidak
mengerti, “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”
“Sudah.... sudah...., dan api sudah saya
nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa
banyak cakap lagi Song Goat lalu membawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si
Gendut yang mengeluarkan suara seperti ayam biang memanggil anaknya dengan
bibirnya yang tebal memberengut.
Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam
tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya.
Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh pemuda yang duduk bersila
itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa
jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jendela dapur. Topi
pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang
bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot
kekar.
“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap
katakan agar aku dapat mengecilkan apinya atau memadamkan sama sekali.” kata
gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.
Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata
lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kaubesarkan apinya.”
Dengan tongkat pengorek api, Song Goat
membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian
tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah
isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai
panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.
Makin lama sepasang mata tukang kedai makin
melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru,
“Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau
ikut campur! Saya bukan tukang masak orang, bukan pembunuh!” Ia hampir
berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.
Air di tahang sudah mulai mendidih, uap
mengepul dan seluruh tubuh Kiang Liong dan dengan hati penuh ketegangan dan
kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah
warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap Si
Gendut itu dan mendengar teriakannya.
“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau
tidak, kaupun akan kurebus hidup-hidup!”
Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya
terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari keluar dari dapur
itu, kedua tangan memegangi kepalanya! Song Goat tersenyum geli lalu berkata
halus dari belakang punggung Kiang Liong,
“Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha
kita....”
Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin
besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”
“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu.
Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang
hebat kepadamu sehingga sinkangmu begini kuat menahan panasnya air mendidih.
Apakah tidak terlalu panas?”
“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih
panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”
“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun
dibersihkan.”
“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona
tidak enak terlalu lama begini dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”
Song Goat tersenyum dan dari belakang ia
memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biarpun akan dapat bertahan dalam air
mendidih, namun harus ia kerahkan seluruh lwee-kangnya, menggunakan hawa
sin-kang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk
bicara. Akan tetapi pemuda ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih
dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!
Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan
merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani
berada di dalamkedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak kenalan dan
langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahannya, ia
menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah mereka
bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bahwa
ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan
mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan
menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih
suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!
“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik
seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.
“Tapi.... Kongcu itu menurut saja direbus.”
kata Si Gendut pemilik kedai.
“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja
pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat
dan disuruh apapun juga takkan membantah.” kata pula Si Kakek yang tahu segala.
“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan
muda dan.... galak.”
“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase,
pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh....!” kata Si Kakek.
“Ihhh....!” kata yang lain.
“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita
serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang
laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.
“Betul, hayo serbu!”
“Cari senjata!”
“Panggil Losuhu di kelenteng, minta jimat!”
Ramailah kini para penduduk dusun itu dan
sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus berpakaian
butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang
membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis
dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pemberani, karena
mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang membawa pisau dapur
atau besi pengorek api!
Mereka bersemangat untuk menangkap siluman,
akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang kedai
betapa siluman rase itu pandai terbang menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai
yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta
ditakuti siluman, rombongan penduduk dusun ini memasuki kedai berindap-indap
dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih
tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.
Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai
kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan. Mendengar suara ini semua
orang meremang bulu tengkuknya, termasuk Si Kakek yang mengenal siluman. Kakek
ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia
menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil membentak.
“Siluman jahat! Kami sudah mengenalmu, kau
siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!” Akan tetapi sambil
maju ia menarik lengan Si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa
selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu
mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan.... semua mata melongo
karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!
“Eh, mana dia....?” tanya suara meragu. Si
Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti
akan mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke jendela, memandang keluar,
kemudian kembali menghampiri tahang isi air yang masih mendidih!
“Lihat....!” Suaranya gemetar, telunjuknya
menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini....!”
Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan
mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan Si
Gendut tukang kedai. Betapapun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus
dengan airnya menghitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini
tadi ada siluman rase.
“Tentu ia menghilang, membawa korbannya yang
sudah matang untuk dimakan dalam gulai” kata Si Tukang Kedai.
“Omitohud....! Memang ada hawa busuk
ditinggalkan di kamar ini...., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini,
harap saudara sekalian sudi mengumpulkan perbekalan dan keperluan
sembahyang....“ kata Si Hwesio. Terdengar semua orang mengeluarkan keluhan
perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan
sebagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang
sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena
ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak,
tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan,
termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya
bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak
tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau siluman!
***
Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri
ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas Bouw Lek Couwsu di
Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan meminjam tangan Bouw
Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil membinasakan Ketua Beng-kauw dan
juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian,
melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si
hwesio tua itu? Apalagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan
ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah boca ini. Maka tanpa
mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh
Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.
Sebagai seorang yang berpengalaman,ia maklum
bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya
dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki cucu Ketua Beng-kauw, maka ia tidak
mau terhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan
sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat lalu membawa anak itu ke Puncak
Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga.
Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang
Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembunyi di Puncak Ta-liang-san.
Kalau ia sudah menyempurnakan Ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa
Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan
mampu melawannya lagi!
Han Ki biarpun masih kecil maklum akan bahaya
maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan
selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan
ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari
totokan, ia lalu mengamuk dan berusaha melawan mati-matian!
Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang
semenjak muda
berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia
merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan
kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di samping rasa
kagumnya, ia pun merasa jengkel.
“Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?”
bentaknya sambil menyodorkan makanan yang sudah ia campur obat karena selama
beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.
“Tidak sudi! Kaumakanlah sendiri, iblis betina
tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil memandang dengan mata melotot.
Sesudah begitu, mau tak mau, terpaksa
Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher membuat
Han Ki kehilangan tenaga sehingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan
dijejalkan masuk melalui kerongkongannya. Anak ini hanya bisa memandang penuh
kemarahan.
Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira
di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi
menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan
tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gembira
melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengambil
keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sumsum Han
Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang mujijat, yaitu Ilmu Hun-beng-to-hoat!
Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara
remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang,
kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menanggalkan pakaian
Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah
kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan
kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya.
Biarpun matanya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak
mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Ada juga rasa takut dan
ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat
mengatasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!
Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar
penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat
kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki ketabahan yang luar biasa.
Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan
betapapun dahulu ia pernah menyiksanya, Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau
menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan
tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti
semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah (baca
ceritaCINTA BERNODA DARAH) sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat
bius dan perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini
memperlihatkan ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi
ayahnya!”
Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora
nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh nafsu itu
menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas
dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah
tengkuk, kemudian tangan kanannya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung
Han Ki.
Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat
merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga
untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan
mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang berkumpul di
dalam pusarnya. Ia meraba betapa di dalam pusarnya terjadi pertentangan antara
panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar,
kadang-kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia
tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.
Siang-mou Sin-ni sudah duduk bersila di dekat
Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang punggung. Wajahnya
berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan napas dan menekan
gelora nafsunya, menenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga. Dalam
melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus “mengosongkan” diri dan karena inilah
maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan
dirinya sewaktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuhnya bagian
dalam yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan
disedotnya itulah yang akan menjadi “bahan bakar” bagi penyempurnaan ilmunya
Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu
melawan orang sakti manapun juga di dunia ini!
Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar,
Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan tubuhnya ke depan, mulutnya menggigit ujung
jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu menghisap!
Hawa di dalam pusar Han Ki bergulung-gulung
antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar biasa adalah akibat obat-obat
Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah
akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam kamar Bouw Lek
Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah
memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh. Biarpun ia belum dapat
memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara
menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya
bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi
punggungnya dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan
mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga
untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.
Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou
Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki
mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan.... jeritan ngeri keluar dari dadanya,
wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget tanpa disadari
lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada
ujungnya itu ikut terarik, keluar dari punggung Han Ki.
Anak itu sendiri tiba-tiba dapat bergerak
meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah
menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan,
melihat betapa Siang-mou Sin-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat,
tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang
menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki
menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh
kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.
“Blessss....!” Jarum panjang itu amblas
menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!
Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan
jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han
Ki.
“Krakk....!” Tubuh anak itu terpental jauh,
terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!
Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah
berkelojotan. Betapapun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus
jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar
jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan,
berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan
akhirnya dia tek bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai
seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia
sebelas tahun!
Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika
Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sum-sum yang
disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa
itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan
bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga
oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam
keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang
dalam tubuhnya. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari
tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sin-kang dan menolak
atau melawan hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam
keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa
dingin ini yang biarpun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki
belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula. Akan tetapi
begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan
tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja
akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam
tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh
anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan
hawa di dalam pusar. Kini, tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga
ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh
totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.
Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan
tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapapun juga, karena dia
masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar daripada Siang-mou
Sin-ni dan anak kecil ini berhasil membunuh musuh besarnya dengan jarum Si
Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa,
biarpun sudah tertembus jarum jantungnya, pukulan jari-jari tangannya masih
mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.
Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang
sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di atas
jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan pohon yang
tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi
kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang
penting. Sinar matahari pagi yang tadinya menerobos masuk, melalui jendela
menjadi agak suram mengurangi seri wajah bumi yang tadinya cerah.
Akan tetapi, lengking maut yang tadi keluar
dari kerongkongan Siang-mou Sin-ni dalam kemarahan, kesakitan dan pergulatan
melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang mendengar sama sekali. Kecuali
burung-burung dan binatang-binatang hutan yang mendengarnya, juga terdengar
oleh seorang kakek tua renta yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek
tua renta yang berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan
berambut panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih
kelihatan berjalan, melangkah seenaknya. Akan tetapi yang hebat, biarpun ia
kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang saja
dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu.
Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat
Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang keduanya menggeletak tak bergerak.
Kemudian kakek ini menarik napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot
putihnya sambil berbisik halus.
“Aahhhhh.... yang pintar maupun yang bodoh,
yang kaya atau yang miskin, yang menang maupun yang kalah, akan berakhir dalam
keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian? Semua
orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang menjemputnya, akan
tetapi.... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak mengisi dengan hal yang
berguna, baik, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri? Manusia....!” Kakek
tua renta itu maju, membungkuk dan mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar
lalu memondongnya keluar dari pondok. Ia masih melangkah biasa, namun kini
lebih cepat lagi daripada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari
belakang, tampak sebuah alat musik yang-kim butut tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang
sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek
Siansu! Kakek sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang
saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya. Kalau Tuhan
menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti ini,
seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek Siansu (baca
cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya
menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorahg
pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan
tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam
cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan
muncul di dalam cerita lain.
Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou
Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu yang kebetulan sampal di puncak
Tai-liang-san, dan mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang
itu. Siang-mou Sin-ni lenyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui
ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya!
***
Kota Lok-yang adalah sebuah kota yang besar
dan ramai, terletak di sebelah barat kota raja Kerajaan Sung. Selain menjadi
kota indah yang banyak dikunjungi pelancong dan pelajar dari daerah-daerah yang
ingin memperdalam ilmu kesusasteraan di kota ini, juga Lokyang ramai
dikunjungi pedagang. Bahkan di kota ini banyak terdapat pengunjung dari utara,
yaitu bangsa-bangsa Khitan, Mongol, dan lain-lain yang datang untuk berdagang
kulit dan bulu dan berbelanja kebutuhan-kebutuhan hidup yang tak dapat mereka
temukan di utara. Ada pula yang datang untuk mengunjungi kota basar ini yang
namanya sudah terkenal sampai ke pedalaman di utara. Tentu saja bangsa Khitan
yang paling banyak datang bsrkunjung, karena memang pada waktu itu, Kerajaan
Sung bersahabat dengan Kerajaan Khltan
Akan tetapi pada pagi hari itu, penduduk kota
Lok-yang dibikin kagum oleh sepasang orang muda yang berpakaian serba indah
gemerlapan, menunggang dua ekor kuda yang besar dan diberi pakaian indah pula,
dikawal oleh dua losin tentara Khitan, Si Pemuda berusia sembilan belas tahun,
amat tampan dan gagah, alisnya tebal hitam, pandang matanya tajam berkilat,
senyumnya manis akan tetapi penuh wibawa, pakaiannya seperti seorang panglima
muda dengan pedang panjang berukir indah tergantung di pinggang. Topinya
dihias naga emas berkliauan dan anehnya, di pinggang pemuda ini terselip
sebatang suling! Adapun dara remaja yang menunggang kuda di sebelahnya amatlah
menarik perhatian orang saking cantik jelitanya. Wajahnya khas orang Khitan,
dengan sepasang mata lebar, senyum terbuka dan anting-antingnya besar, manis
bukan main. Pinggangnya ramping, tubuhnya padat berisi dan dari cara ia
menunggang kuda, jelas tampak bahwa gadis ini pun bukan orang sembarangan serta
memiliki ketangkasan yang mengagumkan.
Semua orang yang melihat sepasang orang muda
ini bertanya-tanya dan menduga bahwa dua orang muda itu tentulah bangsawan-bangsawan
tinggi di Kerajaan Khitan. Dugaan mereka itu memang tidak keliru, akan tetapi
jarang di antara mereka dapat mengenal bahwa Si Pemuda itu bukan lain adalah
Putera Mahkota Kerajaan Khitan, yaitu Pangeran Talibu. Adapun dara remaja
berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita itu adalah Puteri Mimi.
Puteri dari Panglima Kayabu yang sudah dikenal sebagai adik kandung Sang
Pangeran oleh seluruh rakyat Khitan. Semua orang Khitan tahu bahwa Putera
Mahkota itu sesungguhnya adalah putera kandung Panglima Kayabu, atau kakak
kandung Sang Puteri itu, yang semenjak berusia lima tahun diangkat putera oleh
Sang Ratu. Akan tetapi semenjak beberapa pekan yang lalu Pangeran Talibu
sendiri tidak mempunyai anggapan demikian. Ia telah mengetahui rahasia dirinya
dan dengan hati girang kini ia memandang wajah Puteri Mimi yang cantik jelita,
dengan pandang mata yang lain daripada biasanya. Sikapnya lebih mesra dan
sungguhpun hal ini amat mengherankan hati Mimi, namun puteri itu pun menjadi
gembira karena sesungguhnya ia amat mencinta kakak kandungnya yang menjadi
pangeran mahkota ini.
Talibu meninggalkan Khitan beberapa, hari
setelah Suling Emas pergi. Keinginannya untuk pergi ke selatan dan mencari
adik kembarnya tak dapat ditahan lagi oleh Ratu Yalina dan akhirnya
berangkatlah pangeran ini bersama Mimi yang berkeras hendak ikut, dikawal oleh
dua losin tentara pengawal pilihan. Ratu Yalina membolehkan puteranya pergi
karena selain ia tahu akan kelihaian puteranya yang tentu dapat menjaga
diri,juga karena kerajaannya bersahabat dengan Kerajaan Sung sehingga kiranya
tidak ada bahaya mengancam keselamatan puteranya. Selain itu, Mimi sendiri
juga seorang puteri yang memiliki kepandaian tinggi, ditambah dengan dua losin
pengawal pilihan. Biarpun perjalanan Pangeran itu tidak resmi, akan tetapi di
sepanjang jalan, mereka dielu-elukan oleh penduduk dan pembesar setempat yang
mengenal mereka.
Pagi hari itu, rombongan Pangeran Talibu tiba
di kota Lok-yang. Pangeran itu bersama Puteri Mimi menahan kuda di depan sebuah
losmen yang sudah dipesan lebih dulu oleh kusir pasukan pengawal. Beberapa
orang pengawal membantu dua orang muda bangsawan itu menahan kuda mereka yang
besar-besar. Dengan wajah gembira Talibu melompat turun. Matanya yang
berpemandangan tajam itu melihat empat orang laki-laki berpakaian pengemis yang
berteduh di bawah sebuah rumah butut di pinggir losmen. Seperti juga terdapat
di lain-lain kota, di Lok-yang terdapat banyak rumah-rumah kecil butut di
samping rumah-rumah besar dan megah, seperti rumah kecil dan busuk ini di
sebelah kanan losmen yang besar. Talibu maklum bahwa empat orang pengemis itu
bicara tentang dia. Mata mereka semua ditujukan kepadanya, bahkan seorang di
antara mereka yang berjenggot menudingkan telunjuknya secara terang-terangan
kepadanya. Talibu tersenyum ramah kepada mereka. Biarpun ia seorang Pangeran
Khitan, namun ia banyak tahu akan kehidupan kang-ouw di selatan ini. Ibunya
banyak bercerita tentang orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh di selatan yang
akan ia temui di antara rombongan pengemis kotor, pendeta dan pelajar. Melihat
gerak-gerik empat orang pengemis itu, Talibu dapat menduga bahwa mereka
bukanlah pengemis-pengemis biasa. Akan tetapi ia heran melihat betapa pandang
mata mereka itu mengeluarkan sinar kebencian atau kemarahan. Ketika senyumnya
tidak dibalas, ia lalu tak mengacuhkan mereka, apalagi pada saat itu, Mimi
sudah melompat turun pula dari atas kuda. Sambil bercakap-cakap dan
tersenyum-senyum kedua orang muda bangsawan ini memasuki losmen, disambut oleh
pemilik losmen dan anak buahnya.
Pembesar di Lok-yang ketika mendengar akan
kunjungan Putera Mahkota Khitan, menjadi kaget dan sibuk sekali, serta-merta
mengirim undangan makan malam. Akan tetapi Talibu menolak dengan halus,
mengirim pesan bahwa dia dan Puterl Mimi melakukan kunjungan tidak resmi, hanya
ingin melancong dan karenanya minta supaya diperlakukan sebagai pelancong
biasa, bukan sebagai tamu. Biarpun merasa tidak enak hati dan takut kalau-kalau
terdengar oleh Kaisar dan mendapat teguran, namun para pembesar itu tidak dapat
berbuat apa-apa, hanya diam-diam memperingatkan semua penduduk dan pedagang
agar bersikap ramah dan hormat kepada tamu agung ini.
Penyambutan penduduk dan pembesar Lok-yang ini
membuat Talibu menjadi jengkelsekali. Ia ingin bebas, ignin merantau seperti
burung di udara dalam usahanya mencari adik kembarnya. Ia ingin mencari adiknya
dan menghadapi pengalaman-pengalaman tegang seperti yang sering ia dengar dari
penuturan ibunya. Akan tetapi penyambutan dan sikap penduduk yang selalu
membungkukbungkuk dan menghormatinya secara berlebih-lebihan itu membuat ia
merasa tidak leluasa dan tidak enak. Malam itu juga ia memanggil komandan
pengawalnya dan memberi perintah.
“Mulai saat ini, aku tidak mau dikawal lagi.
Aku akan melakukan perjalanan seorang diri dan besok pagi kalian harus mengawal
Sang Puteri kembali ke Khitan.”
Tentu saja komandan. pengawal itu kaget
sekali. “Akan tetapi Pangeran....“
“Tidak ada tapi! Ini perintahku, mengerti?
Mau membantah?”
Komandan itu tentu saja tidak berani
membantah, mengangguk-angguk lalu diperkenankan keluar untuk membubarkan
pengawalan mulai saat itu juga. Talibu sama sekali tidak tahu bahwa
perintahnya ini diam-diam terdengar oleh Puteri Mimi dari balik jendela ketika
puteri ini hendak mengunjungi kamarnya. Puteri Mimi yang mendengar perintah ini
terkejut, cepat kembali ke kamarnya dan termenung. Akan tetapi puteri yang
remaja dan lincah ini lalu tersenyum dan mengangguk-angguk seorang diri, sudah
mengambil keputusan sendiri.
Malam hari itu juga Talibu sudah melepaskan
pakaian pangerannya, mengenakan pakaian biasa, menyamar sebagai seorang
pelajar dan lolos dari dalam losmen, menggunakan Ilmu kepandaiannya melompat
keluar dari jendela dan pergl melalui genteng rumah. Pada keesokan harinya,
para pengawal tidak saja kehilangan Sang Pangeran, bahkan dengan kaget mereka
tidak lagi melihat adanya Puteri Mimi yang sudah lenyap pula dari dalam
kamarnya. Ketika memeriksa ke seluruh kota, sama sekali tidak ada jejak Sang
Puteri. Tentu saja para pengawal menjadi bingung dan gelisah, akan tetapi
mereka tak dapat berbuat lain kecuali berusaha mencari. Komandan pengawal sudah
cepat menyuruh dua orang anak buahnya kembali ke Khitan menyampaikan laporan
tentang hilangnya Puteri Mimi dan tentang perintah Sang Pangeran yang melarang
mereka mengawal karena Sang Pangeran berkenan melakukan perjalanan seorang
diri
Talibu adalah seorang pemuda yang amat berani
dan ilmu kepandaiannya bukanlemah. Ia menerima gemblengan langsung dari
ibunya sendiri, yaitu Ratu Yalina yang di waktu mudanya mewarisi ilmu kesaktian
yang amat rahasia, simpanan tokoh pendiri Beng-kauw yaitu ilmu silat yang
hanya terdiri dari tiga belas jurus, bernama Cap-sha Sin-kun (Kepalan Sakti
Tiga Belas Jurus). Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi kalau Ratu
Yalina yang mainkan, kiranya tokoh-tokoh kang-ouw jarang yang akan dapat
menandinginya. Talibu tentu saja tidak sematang dan sekuat ibunya, namun dengan
ilmu ini ia pun menjadi orang muda paling lihai di seluruh kerajaan ibunya.
Dengan bekal ilmu kepandaiannya, kini pemuda bangsawan yang merupakan orang
paling penting sesudah ratu ini sekarang melakukan perjalanan seorang diri,
diam-diam meninggalkan losmen, lolos dengan pakaian seorang pelajar.
Ketika tubuhnya berkelebat keluar dari pintu
gerbang kota sebelah timur, karena ia bermaksud pergi ke kota raja yang berada
di sebelah timur Lok-yang, ia melihat berkelebatnya bayangan beberapa sosok
tubuh di sebelah belakangnya. Talibu boleh jadi gagah perkasa, namun ia kurang
pengalaman dan tidak mengenal keadaan dunia kang-ouw. Maka ia tidak menaruh
curiga dan dengan lapang ia melanjutkan perjalanan keluar dari kota Lok-yang.
Malam itu amat indah dengan bulan bersinar penuh tanpa gangguan awan. Ia kini
tidak lari lagi melainkan berlenggang seenaknya melalui jalan yang sunyi di
tepi sawah ladang. Suara banyak katak membentuk perpaduan musik yang indah dan
amat menarik hatinya. Sambil tersenyum-senyum Pangeran ini berjalan, pertama
kali selama hidupnya merasa sebagai seorang yang benar-benar bebas, tidak
terikat oleh segala macam peraturan, tidak terganggu oleh hadirnya para
pengawal. Ia pada saat itu merasa benar-benar sebagai seorang pendekar muda
perantau seperti yang sering ia dengar didongengkan ibunya. Sambil tersenyum
ia meraba gagang pedangnya.
“Berhenti....!“ Bentakan ini membuat Talibu
menahan kaki dan memasang kuda-kuda. Ia dapat mencium bahaya, apalagi ketika ia
mengenal empat orang berpakaian pengemis yang pagi hari tadi memandangnya
dengan pandang mata penuh kemarahan ketika ia turun dari atas kudanya, di depan
losmen. Kini empat orang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih
ini berdiri menghadapinya dengan sikap mengancam!
Namun Talibu memiliki keberanian yang luar
biasa. Tidak percuma ia menjadi putera Ratu Yalina yang di waktu mudanya
merupakan seorang wanita seperti naga betina yang tak pernah mengenal takut!
Ia bersikap tenang, namun sedikit pun tidak merasa takut. Bahkan bibirnya yang
merah itu tersenyum ketika ia bertanya.
“Kalian ini siapakah? Apakah golongan orang
gagah dari kai-pang? Dan apa kehendak kalian malam-malam mengganggu perjalanan
orang?”
“Menyerahlah menjadi tawanan kami dan kami
takkan menggunakan kekerasan.” kata seorang di antara empat pengemis ini,
yang berjenggot panjang.
“Eh-eh, apakah kalian tidak salah mengenal
orang? Aku adalah seorang pelajar yang melakukan perantauan, sama sekali tidak
pernah mempunyai permusuhan dengan orang lain, apalagi dengan golongan
kai-pang. Mengapa tanpa sebab kalian hendak menawan aku?”
“Harap kau tidak banyak membantah. Kami tahu
bahwa kau adalah Pangeran Mahkota dari Khitan.” kata Si Jenggot Panjang.
Talibu membusungkan dadanya. “Kalau sudah tahu
aku Pangeran Mahkota Khitan, mengapa menggangguku? Kerajaan Khitan bersahabat
dengan negara ini dan tak tahukah kalian bahwa jika kalian menggangguku maka
hal ini bukan hanya membikin marah Negara Khitan, bahkan juga negara kalian
sendiri? Apakah kalian ini pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang memusuhi
kerajaan?” Sebagai Putera Mahkota Khitan, tentu saja Talibu maklum akan
keadaan kedua kerajaan itu. Ucapannya yang tepat dan bengis membuat empat orang
pengemis itu berubah. Akan tetapi kelirulah kalau Talibu mengira bahwa
ucapannya akan mengundurkan mereka. Tidak sama sekali, mereka itu malah maju
mengurung dan Si Jenggot berkata.
“Kami hanya menjalankan perintah. Harap Sang
Pangeran suka menyerah saja!”
“Hemm, penjahat-penjahat rendah. Kalian kira
aku Talibu takut menghadapi empat ekor tikus seperti kalian?”
Empat orang pengemis ini menubruk maju, akan
tetapi mereka disambut tendangan dan pukulan tangan yang membuat mereka roboh
terguling-guling. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian akan tetapi
begitu Talibu menggerakkan kaki tangannya, mereka sudah roboh jatuh bangun.
Hal ini adalah karena empat orang pengemis baju bersih ini sama sekali tidak
menduga bahwa seorang pangeran bangsa Khitan yang mereka anggap sebagai bangsa
kasar, akan dapat bergerak sebagai seorang ahli silat pilihan! Mereka menjadi
marah dan kini mereka sudah mencabut keluar senjata mereka, yaitu tongkat
berbentuk ular yang berwarna hitam. Senjata ini menandakan bahwa mereka ini
adalah tokoh-tokoh perkumpulan pengemis Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Ular Hitam).
“Bagus, kalian hendak mencoba kelihaianku.
Majulah!” Pangeran Talibu mencabut pedangnya dan tampak sinar gemerlapan ketika
pedang pusaka yang panjang itu tertimpa sinar bulan purnama. Pedang itu
mengeluarkan cahaya kemerahan. Itu bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang
pusaka dari Kerajaan Khitan!
Begitu empat orang pengeroyoknya menyerbu,
Talibu menggerakkan pedangnya membabat. Sinar merah menyilaukan mata dan angin
sambaran pedang membuat dua orang pengemis cepat menarik kembali tongkatnya.
Akan tetapi dua pengemis yang sudah terlanjur menyerang tak dapat menghindarkan
bentrokan senjata.
“Trang.... trang....!”
Dua orang pengemis ini mengeluarkan seruan
kaget dan melompat mundur, tongkat mereka tinggal sepotong karena tengahnya
terbabat buntung oleh pedang bersinar merah! Marahlah mereka dan segera mereka
mengurung dari empat penjuru, kini menjaga agar tongkat mereka tidak bentrok
lagi dengan pedang Si Pangeran. Biarpun tongkat mereka tinggal sepotong, namun
dua orang pengemis itu masih lihai gerakannya.
Talibu mewarisi ilmu dari ibunya sendiri,
karena ilmunya hebat. Sayang sekali bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Kalau
ia sudah matang ilmunya, agaknya dalam sepuluh gebrakan saja ia akan mampu
merobohkan empat orang lawannya tanpa pedang. Sesungguhnya, ilmunya tangan
kosong Cap-sha Sin-kun merupakan ilmu yang jarang bandingnya, akan tetapi
pemuda yang belum berpengalaman ini merasa ngeri untuk menghadapi pengeroyokan
empat lawan bersenjata dengan tangan kosong. Justeru karena ia berpedang, maka
ia malah tidak dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat.
Betapapun juga, karena dasar ilmu silatnya
memang lebih tinggi, tenaga sinkangnya lebih kuat dan ditambah pedangnya
adalah benda pusaka yang ampuh, tidak sampai empat puluh jurus kemudian, empat
orang pengemis itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi Pangeran itu
bukanlah seorang kejam. Hal ini terbukti bahwa empat orang pengemis itu hanya
terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja. Tentu saja kalau ia
mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di lengan bisa menjadi
tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi babatan di pinggang.
Sambil melintangkan pedang di depan dadanya,
Pangeran yang perkasa itu membentak. “Sekarang mengakulah, siapa pimpinan
kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk menangkap aku?”
“Kami tidak berani mengaku!” kata seorang di
antara mereka dan seterusnya mereka membungkam tidak berani bicara lagi hanya
mengeluh karena kesakitan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan
tahu-tahu dari tempat gelap muncullah sesosok bayangan. Ketika Talibu
memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar
bertubuh ramping padat, rambutnya panjang dan ketawanya seperti wanita bahkan
kemudian orang itu lalu menyanyi-nyanyi dengan suara kecil merdu! Orang ini
bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi Talibu tidak mengenal orang aneh
ini maka ia lalu bertanya dengan hormat karena munculnya orang aneh ini
menimbulkan dugaan bahwa dia tentu bukan orang sembarangan.
“Maaf, siapakah Tuan dan mengapa datang ke
tempat ini menjumpai saya?”
“Ha-ha-hi-hi-hik! Pemuda tampan, Pangeran
Mahkota Khitan. Aku disebut Bu-tek Siu-lam dan Pangeran menjadi tamu agung.
Harap saja kau suka ikut bersamaku. Maafkan sikap jembel-jembel yang tidak sopan
ini, dan saya persilakan Pangeran menjadi tamu kami secara terhormat.”
Talibu biarpun belum banyak pengalaman, namun
dapat mengenal orang pandai. Menurut ibunya, orang-orang sakti amat banyak di
dunia kang-ouw dan sikap mereka memang aneh-aneh. Orang ini sukar ditaksir,
laki-laki atau wanita. Pakaiannya aneh dan jelas adalah pakaian pria, namun
lagaknya amat genit, bicaranya seperti wanita dan suara serta ketawanya jelas
suara wanita! Maka ia lalu menjura dengan hormat dan menjawab.
“Saya memang Pangeran Mahkota Khitan, akan
tetapi pada saat ini saya sedang merantau sebagai orang biasa. Saya tidak
mempunyai hubungan dengan Tuan, maka harap Tuan jangan mengganggu dan maafkan
penolakanku.”
“Hi-hik! Kalau para pembesar yang mengundang
boleh saja Paduka menolak, akan tetapi Bu-tek Siu-Lam adalah seorang di antara
Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini undangan bukan hanya datang dari saya
pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Kami
perlu memperundingkan sesuatu yang amat penting dengan Paduka. Apakah Paduka
tidak memandang mata kepada kami?”
Talibu seorang pemuda cerdik. Mendengar bahwa
orang aneh ini sekutu pimpinan bangsa Hsi-hsia, ia terkejut sekali. Dan pada
saat itu ia pun sudah melihat munculnya puluhan orang di sekitar tempat itu,
sebagian besar hwesio-hwesio berjubah merah. Teringatlah ia akan cerita
tentang penumpasan Beng-kauw dan ia maklum bahwa melawan pun akan sia-sia
belaka. Maka ia lalu menjawab.
“Undangan resmi dari bangsa Hsi-hsia untuk
Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya tolak. Saya pun tidak
percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan menyalahgunakan undangan ini.
Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu.”
Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh,
kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran itu berjalan di
sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit. Menjelang pagi
barulah mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ terdapat
bangunan-bangunan darurat dari bambu yang dijadikan tempat persembunyian Bouw
Lek Couwsu dan anak buahnya.
Pangeran Talibu disambut dengan penuh
kehormatan oleh Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya. Hwesio tinggi besar
berkaki buntung ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pintu.
“Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari
Khitan! Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah kehormatan besar sekali
dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai
keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuktikan kesetiaan orang
gagah Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!”
Pangeran Talibu balas memberi hormat dan
berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung. “Sudah lama kami mendengar akan
bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet dan kami merasa kagum bahwa
bangsa yang kecil itu dapat bangkit menjadi bangsa yang kuat. Akan tetapi saya
tidak melihat hubungan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Losuhu untuk
mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa Hsi-hsia.”
Sebagai putera kandung seorang panglima besar,
tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula dalam hal siasat, dan diplomasi. Di
dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia
pun membanting dan menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bangsa yang kecil dan
tidak ada hubungannya dengan Khitan yang besar!
“Ha-ha-ha! Pangeran Talibu dari Khitan benar
tinggi hati! Justeru pertemuan antara kita inilah yang menjadi jembatan
penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan duduk dan mari kita
berunding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang besar dan yang memiliki
kepentingan bersama.”
Talibu mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek
Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk menghadapi meja yang bulat telur dan
panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan cantik segera datang membawa arak
hangat dan hidangan. Para pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan
keadaan di situ tiada ubahnya dengan ruangan istana raja. Diam-diaLm Talibu
merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa
pula seorang pendeta, biarpun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai
pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sebagai
seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia diam saja,
melirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diam-diam ia
merasa bahwa ia berada di dalam keadaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati.
Setelah mereka makan minum, ditemani Bu-tek
Siu-lam yang menjadi makin geenit sikapnya terhadap dirinya, Talibu tak sabar
lagi lalu bertanya,
“Losuhu, kalau saya tidak keliru menduga,
Losuhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para hwesio Tibet yang
menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal sampai ke Khitan.”
“Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan
dugaan itu tepat sekali. Pinceng adalah Bouw Lek Couwsu yang merasa tidak tega
menyaksikan kemiskinan bangsa Hsi-hsia, maka sengaja memimpin mereka untuk
memperjuangkan perbaikan nasib mereka.”
Pangeran Talibu mengangguk-angguk. “Setelah
saya memenuhi undangan Losuhu yang disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap
Lo-suhu suka memberi penjelasan, apakah yang akan Losuhu bicarakan dengan
saya.”
“Ha-ha-ha! Pangeran Mahkota Khitan sungguh
gagah dan bicara seperti laki-laki.” Pendeta ini memberi isyarat dan semua
pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan
itu. Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek
Couwsu berkata.
“Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus
diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul, kita rayakan. Terus terang saja,
kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk mengikat tali persahabatan
dan membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung.”
Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga
sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan senyum yang memikat dan
pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan serbuan Hsi-hsia ke
Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan
gangguan-gangguan di tapal batas sebelah barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa
bangsa ini tidak mempunyai maksud baik terhadap Sung dan sekarang pendeta ini
bicara tentang persahabatan. Tentu saja tidak bisa lain daripada maksud
mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi
Sung! Padahal pada waktu itu, Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung
dan betapa pun bangsanya banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun
ibunya sebagai Ratu Khitan selalu mencegah bangsanya bermusuhan dengan
Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat menerima persekutuan dengan
Hsi-hsia, apalagi atas nama bangsanya. Namun sebaliknya, biarpun ia dianggap
tamu agung, namun ia telah berada di sarang Hsi-hsia, sehingga penolakannya
akan membahayakan keselamatannya.
“Membicarakan urusan kepentingan bangsa
bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguhpun saya Putera Mahkota Khitan, namun saya
tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apalagi pada
saat ini saya hanya sebagai seorang pelancong bagaimana saya dapat
merundingkan urusan besar ini? Setidaknya haruslah seorang utusan khusus dari
Sang Ratu di Khitan.”
“Hi-hi-hik! Pangeran Mahkota Khitan yang
tampan gagah kenapa seperti seorang gadis kemalu-maluan saja? Mengapa harus
bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul!” kata Bu-tek Siu-lam
sambil terkekeh.
Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan
meraba gagang pedang, sikapnya menantang. “Apakah ini sebuah penghinaan?”
Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw
Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai. “Ah, Paduka Pangeran mengapa belum
dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam? Sahabatku ini sama sekali tidak menghina,
akan tetapi suka bicara secara terus terang dan sejujurnya. Apa yang dikatakan
memang tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota, demi
untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak mengambil keputusan. Secara kebetulan
kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi kehendak Thian bahwa di
antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan menjadi sekutu?”
Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik
napas panjang. “Hemm, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang mencinta bangsanya,
tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku. Bouw Lek Couwsu,
bicaralah agar dapat kupertimbangkan apakah aku berhak memutuskan atau
tidak.”
Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan tidak
mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi. “Bagus, memang inilah
sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran Mahkota calon raja
besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa Khitan adalah dua bangsa yang
besar gagah perkasa, mempunyai kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula,
yaitu Kerajaan Sung yang selalu menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami
bangsa biadab? Huh, bangsa Han yang lemah itu harus dihajar. Kerajaan Sung
harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntungannya dengan
bangsa Khitan. Dalam keadaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan
bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari barat, menaklukkan Sung sama
mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami mengulurkan tangan kepada
bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar bersama yang memiliki
wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan selatan!
“Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya
lemah, Sung masih mempunyai banyak panglima yang pandai dan pasukan-pasukan
yang kuat.”
“Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng selidiki,
akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai hubungan dengan
banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan
pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga
banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek
Ngo-sian siap membantu kita.”
“Bu-tek Ngo-sian? Siapakah mereka?” Pangeran
Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orang-orang sakti di dunia
kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang
sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah
lainnya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.
“He-heh-heh, tidak heran kalau Paduka
Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian! Aku
Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi
anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua
adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam
Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak orang
Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat adalah
Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima
adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan memiliki kepandaian
mengerikan.”
“Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu
sudah jelas betapa kuatnya kedudukan kita, Pangeran Talibu. Karena itu,
pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan
kami.”
“Bouw Lek Couwsu, aku hanya seorang Pangeran
dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat kuputuskan sendiri. Apakah
yang harus kulakukan sekarang?”
“Paduka menjadi tamu agung kami dan harap
Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan,
membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya.”
“Kalau Ibuku menolak....?”
“Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan
besar bagi Kerajaan Khitan terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami....“
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di
sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa
gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang
cantik-cantik. Begitu tiba di ruangan itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke
depan. Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan
tangis. Mereka kelihatan bingung, sedih dan ketakutan. Namun harus diakui
hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.
“Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus
kesalahanku dan membayar hutang kepadamu!” kakek itu berkata sambil berdiri
tanpa memberi hormat. “Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutiara Hitam,
akan tetapi sebagai gantinya, lima orang gadis paling cantik yang kutemui di
sepanjang perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau
sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi kalian menjamu Pangeran Mahkota
Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah, kebetulan sekali
kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik, Couwsu, kau menjamu
tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah!”
Melihat kedatangan Siauw-bin Lo-mo, hati Bouw
Lek Couwsu girang.
Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan
Bu-tek Ngo-sian, apalagi setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang
entah ke mana perginyaitu. Ia tertawa bergelak.
“Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lomo.
Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan memilih di antara lima
orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Talibu!”
perintahnya kepada lima orang gadis yang masih berlutut.
Karena sudah mengalami siksaan apabila tidak
menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu seperti kehilangan
semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah pendeta tinggi besar yang
kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka
makin takut dan cepat mereka bangkit berdiri. Wajah mereka yang cantik itu
menjadi agak terang ketika mereka melihat siapa yang harus mereka layani.
Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi
yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan, untuk
menolak! Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih
oleh Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pendeta yang
biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga laki-laki
tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandanan seperti
orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlumba menghampiri Pangeran
Talibu hendak merebut perhatiannya.
Talibu hampir tak dapat mengendalikan
kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenalkan
Pak-sin-ong sebagai seorang di antara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek
Couwsu, ia sudah marah sekali. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar
ibunya, merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khitan dapat
bekerja sama dengannya? Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini
lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah lemas dan
pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia merasa
seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas
lima ekor anjing untuk menerkam dan mengeroyoknya! Ia memandang dan hatinya
dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan
benci di hatinya. Sebaliknya, mereka itu bukan lima ekor anjing ganas,
melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih.
Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk. Mereka pun menjadi korban
kebiadaban orang-orang yang memusuhinya ini. Tak dapat pula ia menahan
kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan
halus sambil berkata.
“Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar
dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing.”
Lima orang gadis itu kelihatan bingung,
saling pandang, meragu dan seperti tidak percaya kepada telinga mereka
sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw-bin Lo-mo yang masih duduk sambil
tertawa. Melihat ini serentak timbul harapan mereka bahwa mereka benar-benar
dibebaskan seperti yang dikatakan pemuda tampan itu. Otomatis mereka
menjatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu
bangkit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.
Mendadak berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah meloncat melalui lima orang gadis itu, berdiri
di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.
“Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau ke mana? Kalau
Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang
membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum
arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!” Sekali rangkul,
ia telah menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia
menciumi muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam
belas tahun itu menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil ketakutan. Tiga
yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja
oleh Bu-tek Siu-lam.
“Tahan!” Talibu membentak dengan suara marah
sekali. Muak hatinya menyaksikan perbuatan Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh
iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan
gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap
mereka. Setelah kubebaskan dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang
sebelah mata di sini?”
“Eh-eh, orang muda! Aku yang membawa datang
anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak membebaskan mereka. Kenapa kau
lancang hendak membebaskan mereka? Kau berani memandang rendah Siauw-bin
Lo-mo?” Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.
Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak
mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan
berkata lagi suaranya keras dan marah. “Bouw Lek Couwsu, engkaulah tuan rumah
di sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang
wanita ini ataukah tidak?”
Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya
meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik keras-keras ke arahnya.
Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu
bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk
pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya!
“Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung,
engkau tak tahu sopan menolak hidanganku untuk menikmati wanita-wanita ini.
Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual lagak. Ha-ha-ha,
apa kaukira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau pura-pura bersikap baik dan
bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan
dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah engkau menulis surat
kepada ibumu Ratu Khitan? Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga,
sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau
menulis surat itu sekarang juga?”
“Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak
saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut nama Pak-sin-ong,
apakah Couwsu tidak melihat perubahan mukanya? Sudah kuduga, Pangeran cilik
ini takkan menurut kalau tidak dipaksa.” kata Bu-tek Siu-lam sambil
membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya secara tak tahu malu.
“Couwsu, serahkan saja bocah ini kepadaku.
Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya saja? Tanggung dalam berapa
jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu.” kata pula Siauw-bin Lo-mo yang
rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia
ini dan untuk menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah
merah.
Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya
memandang tajam ke arah wajah Pangeran Talibu. Melihat betapa Talibu memandang
Bu-tek Siulam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang
menggigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong
tiga orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak, “Hayo kalian bertiga buka
pakaian!”
Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan
diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara gemetar, “Ampunkan
kami.... ampunkan kami....“ sedangkan yang dua orang lainnya menangis.
“ Masih belum memenuhi perintah?” Bouw Lek
Couwsu membentak lalu mengerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga
orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia tertawa, kedua
lengannya yang besar berbulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya
mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara “brett, brett, brett....!” di
antara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek semua
sehingga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat. Mereka hanya
dapat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan.
Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang
wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan sengaja ia meraih dan
merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya,
dipangku dan dirangkul seperti tadi! Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan
terdengar pula suara pakaian cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis
dalam pelukannya yang dalam waktu beberapa detik sudah telanjang pula seperti
teman-teman senasib mereka.
“Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Talibu? Maukah
kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau, biarlah pinceng mengalah
dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!” Bouw Lek Couwsu berkata
penuh ejekan.
Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara
hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk mengujinya, untuk
melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan
tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun
yang terjadi, sampai mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia
macam ini, dan bahwa ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa
Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu
mencabut pedangnya dan membentak nyaring.
“Jahanam berkedok pendeta! Siapa sudi
mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut dibasmi!” Ia menyerbu ke
depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan
kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan tangannya yang
memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatangkan angin
pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat
ke samping sambil membalikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lomo sudah berdiri
di depannya, tertawa-tawa dan berkata.
“Couwsu, apakah kau ingin dia mampus?”
“Jangan, cukup asal kautangkap dia Lo-mo.”
“Kaulihat aku menangkap tikus ini!” Siauw-bin
Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju. Pangeran Talibu tidak gentar biarpun
ia dapat menduga akan kelihaian lawannya. Pedangnya berkelebat, memapaki
datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan yang kurus kering
itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang menyambar tangan
kanannya, Talibu kaget dan cepat menarik pedang memutar pergelangan tangannya
sehingga pedangnya berkelebat ke kanan menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek
ini tertawa menyembunyikan kekagetannya dan menundukkan kepala miringkan tubuh
membiarkan pedang lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian
Pangeran Khitan ini dan karena ia maklum bahwa Ratu Khitan memiliki
kepandaian tinggi, apalagi setelah menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak
berani main-main lagi.
Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan
aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga Talibu menjadi bingung. Ia
melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang berkelebatan,
seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan yang kesemuanya tertawa
terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan segera memutar pedangnya,
menyambarkan pedang ke arah bayangan yang berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan
suara berdesingan dan berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung
menyilaukan mata.
Lima orang gadis yang tak berpakaian lagi itu
kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam
menonton pertandingan sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka
tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar,
mengharap kemenangan bagi Si Pemuda Tampan yang mereka tahu bertanding karena
membela mereka.
Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan
yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum berpengalaman. Memang harus
diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan bahwa jarang dapat
ditemui seorang pemuda, apalagi pemuda Khitan, sepandai dia mainkan
pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya mampu bertahan selama dua
puluh jurus saja. Ketika sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan tiba-tiba
pada saat pedangnya kembali menusuk bayangan yang berada di depannya, bayangan
itu lenyap dan dari sebelah kanannya, bayangan yang lain telah berhasil
mengetuk pergelangan tangan kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking
nyerinya dan pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu
cepat membuang diri bergulingan di lantai menjauhi lawan.
Lima orang gadis itu seperti dikomando saja
menjerit. Jeritan ini mencelakakan mereka karena seolah-olah menyadarkan Bouw
Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban
mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga
lima orang gadis itu kembali merintih-rintih penuh kengerian.
Mendengar jeritan dan rintihan mereka,
semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan urusan lain. Satu-satunya yang
memenuhi perasaannya hanya berusaha membasmi orang-orang jahat ini dan
membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu.
Ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dengan tangan
kosong. Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia
menggulingkan tubuh sampai jauh. Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju
menghampiri Siauwbin Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh. Gerakan pemuda itu
aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo yang
dengan mudah dapat menangkap pemuda ini ketika tadi mainkan pedang, tentu saja
sekarang memandang rendah, apalagi gerakan
pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kelihaian dan garis pertahanannya
lemah sekali. Ia yakin dalam segebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap
pemuda ini.
Makin dekat, gerakan Talibu makin cepat dan
kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya bergerak membawa tubuhnya maju
sambil berputaran! Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai menyangsikan
kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar
seperti itu? Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil memainkan pedang,
memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan tetapi kalau hanya berhadapan
dengan seorang lawan, apalagi bertangan kosong, apa gunanya berputaran? Yang
pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia makin memandang rendah dan
setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia cepat menerjang maju dan
dalam sekali gerak ia telah menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul
cengkeraman untuk menangkap! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah
bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi, hal yang amat aneh terjadi. Semua
totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga cengkeramannya, bahkan dari dalam
putaran itu datang menyambar pukulan tangan kanan Talibu yang mengenai
dadanya, membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling roboh!
Lima orang gadis itu sejenak melupakan
kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam
ketika melihat bahwa pemuda pujaan dan penolong mereka dapat merobohkan
Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika melihat kakek
itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah, namun mulutnya masih terkekeh
ketawa. Kembali mereka berlima harus menderita di bawah penghinaan jari-jari
tangan yang kurang ajar.
Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali.
Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Maka
ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main,
malah jauh lebih lihai daripada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah
merupakan lawan yang lebih tangguh! Dugaannya memang tepat. Setelah kehilangan
pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu menjadi lebih berbahaya. Ia kini
mainkan Ilmu Cap-sha sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biarpun belum
dapat ia mainkan dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat
merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus
dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan
Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya tahan yang kokoh
kuat, dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukulan dan serangan
lawan. Tidak mengherankan apabila totokan-totokan dan cengkeraman tangan
Siauw-bin Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari
dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan kilat yang tak
tersangka-sangka munculnya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin
Lo-mo sampai kena dirobohkan.
Karena Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan
terutama sekali karena latihan Talibu belum masak benar, maka kini setelah
Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu
tidak berhasil. Ketika Talibu melancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir
saja dapat ditangkap lawan. Mulailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih
berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil mundur untuk
menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan pengerahan
tenaga sin-kang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia
maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu akan roboh.
Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi
melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia terus mendesak dengan
pukulan-pukulan yang kuat untuk menghancurkan jurus pertahanan lawan dan
mencari lowongan merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai lelah dan pening.
Jurus Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama karena
hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya, dimainkan sebentar saja sudah
dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada hasilnya. Kakek kurus
itu makin mendesak dan pada saat perputaran tubuh Talibu berkurang
kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo-mo mencengkeram kedua pundak
Talibu!
Pangeran Khitan itu menggigit bibir,
membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang kuat seperti baja, akan
tetapi cepat sekali kedua kakinya bergerak menendang bergantian, pertama ke
arah anggauta rahasia lawan kemudian disusul tendangan ke lutut kanan.
“Aihhhh....!” Siauw-bin Lo-mo sampai berseru
keras saking kagetnya. Kembali ia hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat
aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia elakkan sehingga hanya
menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan susulan biarpun ia elakkan
masih mengenai tulang kering kakinya, membuat ia mengaduh dan meloncat mundur
terpincang-pincang!
“Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak
kecil. Sungguh lucu!” Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek.
Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa
ha-ha-he-he, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah Talibu
menyinarkan pandangan maut. “Kaulihat saja, Siu-lam, kaulihat kuhancurkan
Pangeran cilik ini. Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat
menghancurkannya!”
Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw
Lek Couwsu cepat berkata. “Ingat, Lo-mo. Aku tidak menghendaki dia mati!”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia
ingat akan hal itu. Kini ia melangkah maju, perlahan-lahan seperti seekor
singa menghampiri calon mangsanya. Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya
berdenyut-denyut dan membuat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri,
sudah siap menanti penyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bukanlah lawan kakek
kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan mati-matian untuk mempertaruhkan
namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal. Apalagi setelah teringat
bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan dan pendekar sakti Suling Emas,
keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus sampai titik darah terakhir!
Maka begitu lawannya sudah dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua
rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan ketangkasannya yang mengagumkan.
Kini Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan
kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan menghantam disusul cengkeraman ke
arah anggauta rahasia lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi,
karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju. Kakek itu tidak
gentar melihat serangan aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, menangkis
tangan kanan Talibu dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu terbuka
jari-jarinya dan memapaki tangkisannya dengan totokan-totokan ke arah
pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang hendak menangkap. Inilah
hebat dan berbahaya! Kakek itu secara tergesa-gesa merobah gerakannya, membatalkan
niatnya menangkis dan menangkap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah
menduga akan hal ini, atau memang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur
sedemikian rupa sehingga semua perhitungannya tidak meleset. Kiranya
totokan-totokan itu pun tidak dilanjutkan, di tengah jalan membalik dan
menotok kedua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk keperluan inilah agaknya maka
pemuda itu memasang kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki!
“Haya....!” Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget.
Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena
ditotok lututnya sehingga lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai sehingga
dengan sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya. Di
dalam hati ia harus mengakui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu
jurus-jurus ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan
jurus-jurus itu, dan tiga kali pula ia “termakan.” Kalau pemuda ini lebih mahir
dan menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia
akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.
Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil
melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan menyerbu dengan hati girang.
Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak
berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak
berdaya lalu maju menyerbu dengan terjangan ganas, tidak lagi menggunakan
jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum dikenal lawan. Kini ia
menerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi tiba-tiba
Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya merendah dan sebelum Talibu dapat
mencegahnya, sebuah tamparan mengenai
“Plakk....! Aduuuuuhhh....!” Tubuh Talibu
terguling, lambungnya sakit sekali rasanya, seakan-akan isi perutnya dibakar.
Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar
yang tepat mengenai sebelah kanan lehernya. Seketika pandang matanya
berkunang-kunang, kepalanya pening, kemudian pandang matanya menjadi merah
gelap. Telinganya masih dapat menangkap suara Bouw Lek Couwsu.
“Lo-mo, jangan bunuh dia....!”
“ Jangan khawatir, Couwsu!” jawab Siauw-bin
Lo-mo yang kembali menampar, kali ini mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini
masih mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum
tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.
***
Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman
tenteram. Para pedagang dan pelancong dari luar kota memenuhi kota raja.
Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu kelihatan gembira dan megah.
Pesta-pesta diramaikan bermacam kesenian silih berganti diadakan di halaman
gedung-gedung yang luas. Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias
arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah dan semua ruangan tamu dalam
gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hias melukiskan
sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian pelajar berjalan
hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota
raja ini orang akan mendapat kesan bahwa penduduknya menikmati hidup aman
tenteram dan bersuka ria, berlumba dalam keindahan dan kemajuan seni budaya.
Memang demikianlah yang dikehendaki Kaisar.
Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih mengutamakan kesenangan untuk diri
pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih condong untuk memajukan kebudayaan,
sedapat mungkin menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan
kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kaisar lupa
bahwa untuk menjamin semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan
penjagaan dan untuk menjamin penjagaan yang dapat diandalkan mutlak diperlukan
bala tentara yang kuat! Apalagi kalau diingat bahwa Kerajaan Sung dikelilingi
bangsa lain yang selalu mengincar untuk mencaploknya.
Para bangsawan yang kaya raya itu seakan
berlumba mengadakan pesta terbuka di mana siapa saja boleh datang menikmati
hidangan dan menonton pertunjukan kesenian. Mereka berlumba melakukan derma
dan perbuatan baik, karena Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan.
Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati
sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki muka mereka yang hitam,
oleh korupsi agar menjadi putih bersih. Dan memang siasat seperti ini banyak
berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan kedermawanan mereka, juga
rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan makan serta menonton
gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawanan pembesar-pembesar dan
bangsawan-bangsawan kota raja. Bahkan pandang mata orang-orang kang-ouw yang
biasanya tajam dapat pula dikelabuhi karena terlampau sering mereka ini minum
arak wangi dan hidangan-hidangan lezat.
Pagi hari itu, pagi hari yang cerah, sebuah
pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran Kiang. Gedung besar dengan
taman bunga yang luas dan indah ini adalah sebuah di antara gedung-gedung
besar yang paling terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak mengenal keluarga
Kiang ini? Bukan Pangeran Kiang yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang,
melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu (Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang
Liong. Semua orang mengenal Kiang-kongcu. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw
mengenalnya karena sepak terjangnya yang gagah dan lihai, apalagi karena dia
adalah murid pendekar sakti Suling Emas! Penjahat-penjahat mengenalnya karena
takut. Penjilat-penjilat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka.
Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita
mengenalnya karena ketampanannya dan sifatnya yang romantis sehingga banyak
yang jatuh hati kepadanya!
Dan pagi hari itu, pesta meriah diadakan di
taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang ini! Untuk keperluan apa?
Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga Pangeran Kiang dan isterinya
yang sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan,
tidak hadir. Sebagai wakil tuan rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya
mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangannya di
gedung itu. Dia bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperkenalkan oleh
Pangeran Kiang sebagai anak keponakan Nyonya Kiang yang baru datang berkunjung
setelah berpisah belasan tahun. Padahal sesungguhnya baru pertama kali itu selama
hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera tunggal mendiang Suma
Hoan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu
Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat
ini benar-benar putera mendiang kakaknya, karena mempunyai persamaan wajah yang
tidak dapat diragukan lagi.
“Engkau benar, keponakanku...., engkau tentu
putera mendiang Kakakku...., ah, melihatmu seperti melihat dia dahulu....!”
Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan menangis. Dan
demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat kedatangan
pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti biasanya,
jika ada kesempatan baik seperti ini, banyak pula para anggauta kai-pang
(perkumpulan pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok menyendiri,
menikmati hidangan lezat dan arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai-pang
ini adalah kenalan baik Kiang-kongcu karena mereka ini sesungguhnya bukanlah
orang-orang jembel biasa, melainkan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia
kang-ouw sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran Kiang
ini, banyak orang-orang aneh sahabat Kiang-kongcu muncul sehingga tidak
mengherankan apabila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak
semestinya ikut berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu
pertapa! Semua orang aneh ini datang hanya karena pesta diadakan di kebun
Kiang-kongcu.
Dan bukan hal yang aneh lagi kalau ada pula
beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta! Bukan wanita-wanita cantik
sembarangan, melainkan ahli-ahli silat pula yang menjadi sahabat Kiang-kongcu.
Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang murid perguruan Ang-lian (Teratai
Merah) yang amat terkenal di kota raja. Lima orang wanita ini berusia antara
dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian ringkas, tampak gagah namun tidak
melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat
dipastikan cantikcantik! Tentu saja mereka berlima memilih sebuah meja dan
menjadi sekelompok, akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika mendapat
kenyataan bahwa Kiang-kongcu tidak hadir! Sebetulnya mereka hendak
mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan orang
yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu. Kekecewaan mereka
hanya sebentar karena sebagai pengganti Kiang-kongcu, di situ terdapat
Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam hal keramahan dan kepandaian
bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah lihai daripada Kiang-kongcu!
Suma-kongcu ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah
percakapan yang asyik dan gembira. Apalagi ketika lima orang gadis itu
mendengar bahwa Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga
mulut mereka menyaksikan ketika Suma Kiat menggenggam cawan arak, mengerahkan
sinkang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih! Biarpun
wajah Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia
termasuk seorang pemuda yang berlagak dan tidak berwajah buruk.
Adapun delapan orang pengemis yang menduduki
sekitar meja di sudut adalah para pengemis yang tergolong gagah perkasa.
Pengemis golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap
sebagai seorang musuh. Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi
musuh besar pengemis golongan sesat? Delapan orang pengemis yang kini
berkumpul di situ adalah pengemis-pengemis golongan baju butut, bahkan di
antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang memegang sebuah topi butut
berhias kembang. Pengemis muda belia yang tampan dan gagah. Dia ini bukan lain
adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tu juh orang
pengemis lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim
Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah
dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui
tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa Ketua Khong-skn
Kai-pang ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.
“Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah
seorang sahabat dan semenjak dahulu kami menghormat dan mencintanya. Akan
tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu
dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak pernah
meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah orang melihatnya.
Akan tetapi, yang sudah nyata di kota raja ini terdapat seorang muridnya yang
lihai.” kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Putih).
“Apakah Lo-kai maksudkan Kiang-kongcu?”
“Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal
sampai jauh.”
“Bukan hanya mengenal namanya, Lokai malah
secara kebetulan sekali saya sudah mendapat kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu.”
“Ah, begitukah? Kebetulan sekali. Kami
mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang akan mengadakan pesta umum.
Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta itu. Kalau ada jodoh bertemu
Kiang-kongcu, agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu dapat bertemu
dengan Suling Emas.”
Demikianlah, pagi hari itu, Yu Siang Ki hadir
bersama tujuh orang tokoh pengemis kota raja. Akan tetapi alangkah kecewa
hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa pesta itu
sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut kedatangan
seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin besar rasa kecewa dan
ketidaksenangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan lagak Suma-kongcu itu,
yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genit-genit dan
mendemonstrasikan kepandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam cawan
bergolak, melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan
sombongnya ketika dipuji-puji tamu.
“Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus
diakui bahwa lwee-kangnya hebat sekali.” bisik pengemis di sebelah kiri Siang
Ki. Melihat kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu,
akan tetapi melihat kesombongannya, sungguh jauh bedanya....”
Siang Ki mengangguk-angguk. “Kepandaiannya
hebat, dan mungkin kesombongannya itu karena ia masih muda dan karena
berhadapan dengan wanita-wanita.”
Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebelah kanan
Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik. “Hemmm.... sungguh
mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya hadir
mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu, sebaliknya
banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak pembesar-pembesar penjilat
dan perwira-perwira penting. Heran sekali, orang macam apakah Suma Kongcu
ini?”
“Lo-kai, bukan urusan kita, tidak perlu kita
ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu tidak muncul, sebaiknya kita
mohon diri dan meninggalkan tempat ini saja.” Berkata demikian Siang Ki
mengangkat cawan arak dan hendak diminumnya.
Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak
ketika pada saat itu terdengar suara nyaring suara Kwi Lan! Gadis itu berseru
dengan nyaring.
“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?”
Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia
tersenyum, menenggak araknya dan berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah
kanannya. “Wah, tentu akan terjadi keributan....“
Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan Si Mutiara
Hitam muncul di tempat pesta ini? Telah kita ketahui bahwa dara perkasa ini
melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah pemuda Ketua Khong-sim
Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai seorang adik angkat. Biarpun
sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih gembira dan jenaka seperti biasa, namun
sikap Siang Ki terhadapnya sudah berubah. Pemuda ini menekan hatinya dan
memaksa perasaannya untuk memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia
tak pernah berhasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan
berduka. Akhirnya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang
Ki hendak menemui tokoh-tokoh pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling
Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan tentang Suma Kiat seperti yang
dipesankan gurunya. Diam-diam ia menjadi jengkel sekali. Di dalam kota besar
seperti ini, di mana terdapat puluhan orang, bagaimana ia dapat menemukan
seorang Suma Kiat?
Selagi ia termenung di sore hari itu, duduk di
bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia mendengar suara ketawa cekikikan dan
dua orang, gadis yang berpakaian ringkas berwajah cantik memasuki ruangan itu
dari depan. Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergantung di
pinggang, dan langkah kaki mereka yang ringan, Kwi Lan dapat menduga bahwa
mereka adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari sudut matanya ia
mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis itu yang
genit, akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun
diam saja dan hanya memperhatikan ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di
ruangan itu menuju ke kamar sebelah belakang.
“Wah.... sayang sekali kalau dia tidak ada,
Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?” kata
yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas
kecewa.
“Ihh, yang kaupikirkan dia saja, Moi-moi!
Jangan khawatir, biarpun dia tidak ada, namun ada penggantinya. Aku mendengar
bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!”
“Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat
daripada dia. Siapakah namanya, Cici?”
“Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut
Suma-kongcu begitu....“
Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu
kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup
banyak. Nama Suma-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi
bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat,
suhengnya yang sedang ia cari-cari. Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika
pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen, diam-diam ia membayangi
mereka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan
gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam taman
di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan
ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar,
akhirnya ia berjalan masuk pula.
“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?”
tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima orang wanita cantik,
dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang
terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat
menemukan suhengnya seperti yang diperintahkan gurunya.
Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu
menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun di antara tamu itu
mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok dan ia
meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.
“Aha, Sumoi....! Alangkah girang hatiku
melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini....!” Suma Kiat yang memegang
tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pandang mata
penuh nafsu.
“Suheng, kau menjadi makin gila!” bentak Kwi
Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan pemuda itu, mulutnya
cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Ketika Suma Kiat yang masih
tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan
pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut,
tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah
benar-benar.
“Eh.... eh...., Sumoi...., mengapa marah?
Tidak bolehkah aku melepas rinduku kepadamu? Sudah amat lama kita tidak saling
berjumpa....”
“Bodoh! Tak malukah engkau?” bentak Kwi Lan,
mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah
mereka sambil tersenyum-senyum dan menahan ketawa.
Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan
ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya yang memang amat
dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah
tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoinya kecuali ingin menggodanya
dan ia suka sekali melihat sumoinya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan
lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi
Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini,
melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian
girang sehingga tidak ingat bahwa sikapnya itu ditonton oleh semua tamu. Ia
kini sadar lalu cepat berkata.
“Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah
di sini dan ceritakan semua pengalamanmu. Oya, biarlah kuperkenalkan kau
kepada para tamu.” Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang memprotes, pemuda ini
memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lantang.
“Para tamu yang terhormat! Perkenankanlah
saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan perkasa ini, Kam Kwi Lan!”
Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa menunda percakapan,
makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mereka. Dengan tersipu-sipu
Kwi Lan terpaksa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan
mereka, kemudian karena takut kalau-kalau suhengnya yang otak-otakan ini
melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku
menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan
mata terbelalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.
Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah
Kwi Lan duduk, ia bertepuk tangan memanggil pelayan, berseru. “Lekas, hidangan
terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia!” Bahkan para pelayan diam-diam
mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri.
Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci
tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar.
Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa
menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk menghormatinya, apalagi
kini melihat sumoinya datang, tidak tahu akan ketidaksenangan mereka ini.
Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.
“Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang
nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah
murid-murid kepala dari perguruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan
harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”
Senang hati lima orang gadis itu mendengar
pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan menghormat Kwi Lan. Akan tetapi
Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus.
“Sudah, kalian beriima pergilah!”
Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu
menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi Ci-moi itu, yang tertua, kini
menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus. “Apa makaudmu....?”
“Maksudku sudah cukup jelas. Menggelindinglah
kalian beriima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua lengan Suhengku!”
Lima orang wanita itu tak dapat menahan
kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan
dan seorang di antara murid kepala Ang-lian Bu-koan membentak. “Orang tidak
boleh menghina kami begini saja!”
Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas
karena sikap suhengnya, kini pun marah. “Aku suruh kalian pergi, kalian anggap
menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perempuan genit dan
cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!” Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan
kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu!
Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala
Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini biarpun tak
secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir
balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke
depan menahan meja yang menyambar. Mereka terhindar dari hantaman meja, namun
tak dapat menghindarkan diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang
menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja.
Muka dan pakaian mereka beriepotan kuah dan arak, dan celaka bagi mereka,
kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam keadaan masih
panas-panas! Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan mencak-mencak.
“Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita
bicara....!” Suma Kiat sudah menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik
pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin
membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki
pertempuran melawan suhengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut.
Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.
Setelah mereka berdua duduk di ruangan
samping. Suma Kiat segera berkata suaranya perlahan setengah berbisik, akan
tetapi penuh kesungguhan, matanya memancarkan kecerdikan yang mengagetkan hati
Kwi Lan.
“Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur,
semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?”
Kwi Lan memandang, matanya terbelalak.
Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari
kegilaannya yang makin menjadi!
“Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang
tidak karuan ini!”
“Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah
Ibu yang menyuruh kau datang ke sini mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan.
Kaulihatlah lima orang wanita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah
sekutu kami.”
“Sekutu apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.
“Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama
dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak....”
“Ahhh....!” Bukan main kagetnya hati Kwi Lan.
Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Jadi gurunya yang gila, juga
suhengnya yang berotak miring ini, mempunyai rencana yang demikian gila? Ia
cerdik maka kini ia menahan kemarahannya dan berbisik. “Suheng aku belum
diberi tahu Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?”
Ia pura-pura bersungguh-sungguh.
Suma Kiat tersenyum, menengok ke
sekelilingnya. “Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini adalah gedung Pangeran
Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng menurut Ibu, dia
adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma
Boan.” Sampai di sini Suma Kiat membusungkan dadanya. “Aku cucu Pangeran!
Karenanya aku berhak menjadi kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha-ha-ha,
kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri, dan menjadi ibu
suri.... ha-ha-ha!”
“Hushh.... Suheng, bicaralah yang benar.
Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”
“Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang!
Bangsa Hsi-hsia telah mengadakan hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini,
dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah
sepakat untuk mengadakan persekutuan. Kaulihat hwesio yang duduk di sudut
tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu
menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam apabila saatnya tiba.”
“Hemm, kaukira begitu mudah? Di sini banyak
terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini, Suheng.
Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?”
“Siapa bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat
lemah, kaisarnya seperti perempuan! Dan menurut kabar yang baru kuperoleh,
bangsa Khitan juga siap membantu bangsa Hsi-hsia....”
“Bohong....!”
Kwi Lan sendiri menjadi kaget mendengar
suaranya yang spontan dan mengandung kemarahan itu. Tanpa disadarinya, ia
kini telah menjadi pembela bangsa Khitan! Teringat ini, dan melihat pandang
mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung. “Aku mendengar bangsa Khitan
bersahabat dengan Kerajaan Sung. Tak mungkin mereka sudi bersekutu dengan
bangsa Hsi-hsia yang biadab, yang menyerang dan menghancurkan Beng-kauw secara
menggelap, yang dipimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia biadab
berkedok pendeta!”
“Aihh.... kiranya pengetahuanmu cukup luas,
Sumoi. Agaknya selama dalam perantauan ini engkau sudah menjumpai banyak
pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw
Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan untuk memaksa
pemerintah Kerajaan Khitan untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia.”
“Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia
hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan Khitan adalah negara
besar....“
“Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi
permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota mereka terjatuh ke dalam
tangan Bouw Lek Couw.
“Apa....?” Kwi Lan menekan perasaannya
sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.
Suma Kiat tertawa puas. “Benar? Pangeran
Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini menjadi tawanan Bouw Lek
Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka
membantu.”
Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi
hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang
menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai seorang putera
angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biarpun ia
mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun
kini mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut sekali.
Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bukan urusan main-main.
Kalau yang dikatakan pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin
menolong putera angkat ibunya! Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa
dingin yang sepenuhnya menonjolkan sikap tidak percaya.
“Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau
masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas kau
dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau
memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan ditawan orang-orang
Hsi-hsia?” Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu
menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau bertengkar, ia selalu tertawa seperti
ini.
Merah wajah Suma Kiat. “Sumoi, kaulah yang
bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada aku, calon Kaisar! Pangeran
Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat
Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san....“ Tiba-tiba
Suma Kiat menghentikan kata-katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap
kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang
tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga. “eh, Sumoi...., jangan
bilang kepada siapapun juga....“
Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka
tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman. Mereka bergegas
keluar, terutama Suma Kiat, mendahului sumoinya melompat keluar dan
menghampiri para tamu yang tampak ribut.
Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis
muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi
dihias bunga memegang sebatang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan
dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang
ribut-ribut dan memaki-maki.
“Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak
tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis
tadi yang boleh kaupermainkan....“ bentak gadis muda she Chi, sedangkan encinya
sudah meraba gagang pedangnya.
Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang
Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga bahwa gadis itu tentu
menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan
mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat,
diam-diam ia tertawa. Memang lima orang wanita itu patut diberi sedikit
hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang wanita itu. Akan tetetapi
ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut
suheng oleh Kwi Lan, timbullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel
sekali. Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat,
wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seperguruan pemuda
bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya,
bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia
mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan,
mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar sekali.
Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari
keributan, apalagi mengingat bahwa di situ adalah tempat tinggal Kiang-kongcu
murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan
yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong tadi, kini melihat adanya
kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi
ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya setelah berbisik kepada para
pengemis lainnya. “Jangan heran akan sikapku....!”
Sambil memandang lima orang gadis itu, ia
membentak, suaranya nyaring.
“Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak
membuka mulut sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap.
Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?”
Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biarpun
mereka berlima itu wanita, namun tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu
kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala
Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka. Dan kini
seorang pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang
demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah dan
tak dapat ditahan lagi kemarahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang bernama
Chi Bwee, meloncat bangun menghadapi Yu Siang Ki dan memaki-makinya seperti
tadi.
Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini,
kemudian menambah panasnya api yang ia kobarkan. “Kam Kwi Lan bukanlah iblis
betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak seperti
kalian ini lima ekor tikus betina yang genit....“
“Jembel busuk mau mampus!” bentak Chi Leng,
enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya
menyambar dengan sebuah tusukan ke dada Siang Ki.
“Wuuuuttt....!” Tusukan itu mengenai angin
karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini tanpa merobah kedudukan
kakinya telah mampu mengelak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.
“Gadis galak dan canggung macam engkau ini
berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”
“Enci, mari kita bunuh jembel ini!” Chi Bwee
juga sudah mencabut pedangnya dan membacok. Namun kembali bacokannya mengenai
angin.
“Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut
maju? Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada
kepandaian?” Siang Ki mengejek terus. Marahlah tiga orang murid kepala
Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pemuda jembel
ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut
pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut! Biarpun
dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun
karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu membunuh, Siang Ki tidak
berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sambil bergerak
dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.
“Siuut-siuut-bret-bret....!” Terdengar lima
orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu
sudah terlepas semua ikatannya, cerai-berai dan awut-awutan karena pita
rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki. Mereka hanya
merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka tiba-tiba tertutup
topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa rambut mereka
terlepas ikatannya. Ketika mereka memandang, pita-pita rambut mereka telah
berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.
Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget
karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa lihainya dan
marah karena peristiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu
merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang membuat mereka lupa
diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih
lihai, tiada gunanya berlaku nekat karena takkan dapat menang. Dengan gerakan
ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang
karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu
muncul keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia
berniat mengakhiri perkelahian dan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah
datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marahsekali. Ia tidak
mengenal Si Pemuda Jembel, sebaliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima
janji-janji senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, tentu saja
tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu.
Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun ke
dalam pertandingan dan mengirim pukulan hebat ke arah Yu Siang Ki.
“Suheng.... jangan....!” Kwi Lan melompat dan
mengejar kakak seperguruannya.
Akan tetapi Suma Kiat tidak mempedulikannya
dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini
sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan
topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah
depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang menghantam dengan hawa
amat panas! Kagetlah ia mengenal pukulan ampuh ini. Cepat ia menangkis
dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang topi juga
digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke
arahnya.
“Wuuuuttt.... plakkk....!” Karena Yu Siang Ki
membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis, maka
tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak menduga
bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan
kuat, maka ketika kedua lengan bertemu Yu Siang Ki merasa betapa serangkum
hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung dengan wajah
pucat!
Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar
lagi ke depan, mengirim pukulan lebih ganas kepada Siang Ki yang sedang
terhuyung-huyung ke belakang.
“Suheng.... mundur kau....!”
Suma Kiat melihat sinar hijau berkelebat dan
tahulah ia bahwa Siang-bhok-kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya.
Namun ia tidak percaya bahwa sumoinya akan berani atau mau melukainya, maka ia
tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.
“Brettt....! Aduhhh....! Heeee, Sumoi, gilakah
engkau? Berani kau melukai aku?” bentak Suma Kiat. Pundak kirinya mengucurkan
darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya.
Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya dengan
mata terbelalak heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoinya benar-benar
berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk membela seorang....
pengemis!
Dengan pedang di tangan dan muka merah saking
marahnya, Kwi Lan menjawab dan menentang pandang mata suhengnya. “Suheng!
Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu Pangcu ini telah membelaku
karena di antara kami ada tali persahabatan yang erat. Akan tetapi engkau malah
membela perempuan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku
sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju sehingga terluka pedangku.
Pendeknya, siapapun juga tidak boleh mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang
sekali, pedangnya melintang di depan dada.
“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau
sekarang telah menjadi Inang pengasuh jembel cilik ini? Menjadi pelindung
pengemis kelaparan ini?”
Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi
ia sandarkan di meja. Gerakannya cepat sekali dan kini ia sudah berdiri di
depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya
nyaring ketika berkata.
“Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari
mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari
Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan
kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu.”
Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat
sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak
maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya yang ganas dan diam-diam ia pun
maklum bahwa sekali sumoinya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu
mengalahkan sumoinya itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si
Pengemis ini!
Pada saat yang menegangkan itu, di mana kedua
pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh
perhatian dan ketegangan, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring
berwibawa.
“Hemm, apakah yang terjadi di sini?” Semua orang
menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang
berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang bentuknya
seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping
pemuda itu berjalan seorang gadis cantik jelita berpakaian indah dan gadis
ini adalah Puteri Mimi!
Bagaimanakah Kiang Liong bisa muncul pada
saat itu dan mengapa pula bersama Puteri Mimi? Untuk menjawab pertanyaan ini
marilah kita mengikuti perjalanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi
lancar.
Seperti telah kita ketahui, pemuda murid
Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song Goat yang
cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong di “rebus” dalam air yang dimasuki
obat, air dalam tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan
normal kembali.
Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan
berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar
kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk
dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.
“Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari
tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”,
Kiang Liong membelakangi gadis itu dan
mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi Song Goat dan menjura
sampai dalam. “Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong
selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu.
Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman.
Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!”
“Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu,
Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya amat sederhana dan
bodoh percaya akan tahyul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka,
sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran
sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia
yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana memang bodoh, akan tetapi
jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai
lupa akan kejujuran dan kesetiaan! Marilah kita pergi!” Suara gadis itu
terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.
Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak
mempelajari filsafat dan pelajaran keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu
ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah
hati! Tanpa berkata sesuatu, setelah menyambar sepasang pit dan yang-kimnya,
ia pun melompat keluar jendela menyusul Song Goat.
Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara.
Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat betapa wajah yang
cantik itu terselubung kekeruhan tanda bahwa hati gadis itu berduka. Ia
merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah
bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat menahan
kesunyian di antara mereka.
“Nona Song, harap berhenti dulu.”
Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti.
Mereka, tanpa bicara menghampiri sebuah pohon besar di tepi jalan. Tempat itu
teduh dan amat sejuk hawanya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah
berlari di bawah sinar matahari yang sudah naik tinggi.
Mereka duduk berhadapan, di atas akar-akar
pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih tidak bicara. Song Goat
menyapu dengan pandang matanya ke depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh
selidik, kedua pipinya menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa
mengangkat mukanya ia bertanya.
“Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?”
Kiang Liong tersenyum. Makin tertarik hatinya
ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara cantik manis, memiliki hati yang
baik akan tetapi patah-patah dan...., pemalu! Berdebar jantungnya, timbul
rasa kasih dan suka di hatinya.
“Nona Song, aku hanya ingin bercakap-cakap
denganmu.”
Kini Song Goat mengangkat mukanya dan
cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata
tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. “Bicara tentang apakah,
Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Jalan
kita bersimpangan....”
“Ah, Song-kouwnio, apakah kau menganggap aku
seorang yang demikian rendah dan tidak ingat budi? Kau sudah merenggut nyawaku
dari cengkeraman maut. Engkau telah menyelamatkan aku dan sampai mati
sekalipun, budimu yang besar tidak akan dapat kulupakan, Betapa mungkin
setelah kini kau menyelamatkan aku, akan kutinggalkan saja kau? Tidak, aku
tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohonyang disiram, dipupuk dan dirawat akan
membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang
dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh
pohon atau binatang?”
Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil.
Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak merasa
nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian amat tinggi,
jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi daripada tingkat
ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung
Song Goat ketika ia mengangkat muka. Mereka bertemu pandang. Pandang mata
pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar matahari,
hangat-hangat menembus jantung gadis itu.
“Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima
kasih, harus kepada Ayah, karena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat
dari Ayah....“
“Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada
Song-locianpwe. Di manakah adanya ayahmu, Nona? Bawalah aku kepadanya agar aku
dapat menghaturkan terima kasihku.”
Tiba-tiba Song Goat yang duduk bersandar
pohon itu membungkukkan punggung, menyembunyikan muka di kedua tangan dan
menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal budi,
pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada
peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu
Siang Ki tunangannya yang secara berterang menyatakan pembelaan dan cinta
kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan
dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan sikap Kiang Liong,
pecah dan membanjir sebagai tangis yang membuat air matanya berderai melalui
celah-celah jari tangannya yang menutupi muka.
Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya
dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus terdengar dekat
telinganya. “Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa menangis? Hanya manusia kejam
berhati iblis saja yang tega membuatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona,
dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa ragaku untuk membantumu.”
Sentuhan jari tangan yang halus menghibur,
bisikan yang mengandung ucapan manis ini seakan-akan menjebolkan bendungan
terakhir sehingga membanjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu.
Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan
kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air
matanya!
Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita,
tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu menangis tersedusedu. Tangis
adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati.
Dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan
perlahan-lahan ia menundukkan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut
halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas
dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku hati-hati agar gadis itu
tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah terjaring
cinta, namun ia bukan seorang kasar.
Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang
menggelora di hati Song Goat. Seperti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu
baru sadar bahwa ia merebahkan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar
bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membatas pelukannya, dan
baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua
oleh air matanya.
“Aiiihhh....“ Ia merenggut tubuhnya terlepas
dari pelukan, lalu duduk menjatuhkan diri.
“Aiiihhh....”
“Kenapa, Nona?” Kiang Liong bertanya,
tersenyum ramah. Dua pasang mata bertemu pandang, kasih sayang dan kemesraan
dalam pandang mata Kiang Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam
sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
“Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.... maafkan
aku.... yang lupa diri....“
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan
merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat
kau begini berduka dan sakit hati?”
Song Goat merenungi tanah di depan kakinya
menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng kepala tanpa jawaban.
Kiang Liong meraih maju dan memegang tangan
yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan
diguncangnya sambil berkata. “Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku
kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?”
Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang
air mata dan kembali dua pasang mata bertemu pandang. Melihat betapa wajah
yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya. Song Goat
berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya bergerak dan membalas
tekanan Kiang Liong. Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti
ini. Alangkah mudahnya menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau
saja.... kalau saja.... Song Goat cepat mengusir perasaan ini dan rasa malu
membuat leher dan mukanya menjadi merah dan panas, kemudian ia menarik
tangannya perlahan-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau
memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya
sebagai jawaban suara hati.
“Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan
di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”
Dengan muka tunduk Song Goat menjawab lirih.
“Aku.... meninggalkan Ayahku....!”
“Kenapa? Di mana dia?”
Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia
mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat berkata. “Kiang-kongcu,
urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.... biarlah kau
menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.... dan
biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal
ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku, Kiang-kongcu, aku.... aku
telah dihina dan dikhianati.... tunanganku sendiri.”
Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam
tebal. “Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak buta matanya, tentu
buta hatinya sehingga ia tega berbuat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?”
Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan
betapa sejak kecil ia telah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan
dengan putera sahabat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau, mencari
tunangannya, kemudian menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong
tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta
kasihnya kepada seorang gadis lain sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu
melarikan diri.
Kiang Liong mendengarkan dengan sabar dan
tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah selesai cerita gadis itu, ia
bertanya, suaranya mengandung ketegangan. “Nona Song, kau bilang nama
tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang? Apakah dia seorang
pengemis muda yang bertopi lebar terhias bunga, dan memegang tongkat.
Wajahnya tampan tubuhnya tinggi?”
Song Goat mengangguk. “Apakah Kongcu sudah
mengenal dia?”
“Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku
pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik,
mengapa tega melakukan kekejian kepadamu? Dan siapakah wanita yang
dicintanya?”
“Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara
Hitam, namanya Kam Kwi Lan....”
“Ahhhh....! Dia....?” Terbayang di depan mata
Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita, lincah dan ganas, dan ia kini
tidak merasa heran bahwa tunangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara
Hitam. Memang gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda
jenaka bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu
pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!
“Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan,
Kongcu?”
“Hemm, kenal sih tidak, dia gadis aneh dan
binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya. Memang dia cantik dan lihai,
akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak
bijaksana kalau dia melukai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada wanita
lain di depanmu.”
Song Goat menarik napas panjang. “Tak dapat
kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih kepada Adik Kwi Lan tanpa
ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku. Dan dia menyatakan cinta
kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong keselamatan Adik Kwi Lan.” Song
Goat lalu menceritakan tentang munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang
ternyata adalah guru Mutiara Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada
Kwi Lan dalam pembelaannya ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan
gurunya sendiri.
Mendengar semua ini, Kiang Liong
mengangguk-angguk.
“Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana
aku mempunyai muka untuk bertemu kembali dengan dia, Kongcu? Apalagi harus
bicara tentang jodoh! Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa
terhina dan malu hanyalah melarikan diri seperti yang kulakukan sekarang.”
Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang
ruwet dan ia merasa kasihan sekali. Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil
itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam genggaman, akan
tetapi tidak ditarik lepas.
“Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”
Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu,
lalu menggeleng kepala, menunduk dan menarik tangannya. “Aku.... aku tidak
tahu.... dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu
dengannya...., dan.... mendengar pengakuannya terhadap Kwi Lan, rasanya....
rasanya aku tidak mencintanya....“
Kembali tangan kanan Song Goat dipegang dan
diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat. “Dewiku, kalau begitu mengapa
berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat menghargaimu dan kau pun tidak
mencintanya, mengapa harus berduka? Engkau sebaliknya harus bersyukur telah
terbebas daripadanya. Terus terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh
jiwa ragaku untuk mencintamu, dan cinta kasihku akan jauh melampaui cinta
kasih pengemis bodoh itu!”
Song Goat mendengar ucapan ini memejamkan
matanya dan air matanya berlinang di ataspipi. Ia seperti mabok dan mandah saja
ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bahkan ia hanya meramkan
mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya. Ia merasa
seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat, merasa aman
sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang kuat itu, bisikan-bisikan merdu
merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian dewata. Sejenak ia hampir lupa
diri, hampir mabok madu asmara. Akan tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda
itu dengan penuh kasih sayang dan mesra mendekati dan menyentuh bibirnya, ia
terhenyak kaget dan menggerakkan kedua lengannya yang tadi merangkul leher
pemuda itu untuk mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan
meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.
“Tidak....! Tidak....!” keluhnya
berkali-kali.
Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan
gadis itu, memandang penuh pertanyaan. Akan tetapi ia tidak mau memaksa dan
hanya memandang penuh selidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa
bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas,
seolah-olah ia mempermainkan cinta kasih orang!
“Kiang-kongcu, kaumaafkan aku. Sesungguhnya,
akan merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar sekali bagi seorang dara bodoh
dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk mendapatkan cinta kasih seorang
Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku
akan bahagia sekali!”
Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan
memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat mengelak dan cepat-cepat menyambung
kata-katanya. “Akan tetapi.... jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak
memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak
murtad dan tidak berbakti. Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah
dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil. Sejak dahulu aku sudah
menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang memutuskan
tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk menjadi nikouw (pendeta
wanita)!”
“Moi-moi....!”
“Tidak, jangan sentuh aku lagi, Kongcu!
Ingat, aku isteri orang lain! Engkau seorang pendekar muda yang sudah terkenal
dan aku yakin seorang pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga
peraturan. Engkau budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik
untuk aku mengabdi kepada agama.” Song Goat menghapus air matanya yang kembali
berderai itu dengan ujung bajunya.
Kiang Liong menghela napas panjang, hatinya
terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya terhadap wanita, maka ia lalu
berkata. “Nona Song, aku mengerti akan pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-lian-si
di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat
baikku. Kau dapat datang ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw mempelajari
keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak
akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam satu tahun
dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamulah kalau kau
hendak menjadi nikouw. Kauserahkan suratku kepada Fang-nikouw.”
Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya,
mengambil sehelai saputangan putih dan menggunakan getah pohon sebagai tinta,
mencorat-coret beberapa belas huruf di atas saputangan lalu memberikannya
kepada Song Goat.
“Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali.
Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu.”
“Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin
hatiku terasa perih. Akan tetapi apa boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau
berjanjilah akan menanti sampai satu tahun.”
“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah.
Semoga Thian memberkahimu.”
Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat
gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal gadis cantik, akan tetapi baru Song
Goat ini yang mendatangkan rasa iba besar di hatinya. Kemudian, setelah
bayangan gadis itu lenyap, ia pun melanjutkan perjalanan. Tentu saja ia menuju
pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusanbesar. Ia harus melapor sendiri
kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman bangsa
Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalanan, hanya dua wajah yang
selalu terbayang di depan matanya. Wajah Po Leng In dan wajah Song Goat. Dua
orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan tetapi yang kedua-duanya telah
melepas budi kepadanya.
“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah.
Semoga Thian memberkahimu.”
Ketika ia tiba di lembah Sungai Kuning, di
kaki Bukit Fu-niu-san di sebelah selatan kota raja, senja telah mendatang. Ia
mempercepat larinya karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di
sebuah dusun yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi
jauhnya.
Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh
keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh sudah
kelihatan bahwa di pinggir hutan itu terjadi perang kecil yang dilakukan oleh empat
lima puluh orang. Hatinya berdebar keras. Dari jauh tampak bahwa yang
bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat dilihat dari adanya
beberapa hwesio jubah merah yang bergerak cepat dan tangkas. Sedangkan pihak
lawan adalah orang-orang berseragam, seperti pasukan yang pada saat itu
keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga kelihatan para hwesio
jubah merah itu membuat mereka repot mempertahankan diri. Kiang Liong menjadi
cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini
dekat dari kota raja? Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari
kota raja? Dari jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya
menuju ke tempat pertempuran.
Setelah dekat, ia terheran-heran. Kiranya
pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang Khitan! Beberapa
orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang sisanya melakukan
perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak pandai silat, akan tetapi
mereka biasa bertempur dan memiliki keberanian serta kenekatan yang amat besar.
Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu
terlampau kuat bagi orang-orang Khitan ini. Dan yang mengagumkan hati Kiang
Liong adalah ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang
hwesio jubah merah. Bukan main gadis remaja ini. Cantik jelita, memiliki
kecantikan khas Khitan yang berbeda dengan kecantikan orang-orang daerah,
memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan pedang gadis itu jelas merupakan
ilmu pedang yang bertingkat tinggi! Sayangnya gadis itu agaknya belum banyak
pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih berpengalaman, Kiang Liong yakin
bahwa dua orang hwesio jubah merah ini tentu takkan dapat bertahan lama.
Apalagi ia telah mengenal bahwa pasukan itu
adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan bangsa sahabat, andaikata
pasukan tak terkenal sekalipun, tentu Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk
membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek
Couwsu ini. Terutama sekali melihat gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan
ingin berkenalan. Amatlah baik kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan
musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan dapat berkenalan dengan baik! Akan
tetapi gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan
pedangnya dapat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan
bantuan adalah pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat
maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu
serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat orang Hsi-hsia
memekik dan roboh terguling.
Seketika berubah keadaan perang kecil itu.
Apalagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang dan mengenal Kiang
Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong terus menerjang dan dalam
waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah roboh terguling. Para
perajurit pengawal bangsa Khitan timbul semangat mereka melihat bala bantuan
yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu menyerbu makin hebat.
Orang-orang Hsi-hsia mawut, sebagian roboh binasa, yang lain melarikan diri.
Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok
dara jelita tadi, sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan
berlindung kepada kegelapan malam yang mulai timbul.
“Cianbu (Kapten), syukur kau dan pasukanmu
tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu aku sudah mereka tawan!” Dara remaja
itu berkata sambil menyarungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak
membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguhpun ia baru saja terlepas
daripada bahaya besar.
Kapten yang memimpln pasukan pengawal itu
memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di depan dara itu dan meletakkan
tangan kanan di depan dada, kemudian berkata. “Rasa syukur dan terima kasih
sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau Kiang-kongcu tidak
datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba sepasukan akan terbasmi, juga
Paduka Puteri tidak akan tertolong.” Berkata demikian, kepala pengawal itu
menunjuk ke arah Kiang Liong.
Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong.
Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya
sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan
yang berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia
hanya kaget mendengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si Kapten,
maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.
“Cianbu terlalu memuji....“ Ia berkata sambil menjura
di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.
“Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang
dikatakan murid.... Suling Emas.....?”
Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga.
Kenyataan bahwa dia murid Suling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang
memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah
ini....!
“Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan
hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia.” katanya merendah.
Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun.
“Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas.
Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah
mengenal namamu.”
Kiang Liong memandang wajah ayu itu,
mengingat-ingat. Kemudian ia teringat akan cerita bahwa Panglima Besar
Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan
pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai
ilmu silat.
“Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri
Mimi, puteri dari Panglima Kayabu yang terhormat?”
Puteri Mimi tersenyum, giginya berkilat putih
dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan menerangi cuaca
yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan
ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.”
Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan berkata.
“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat
muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?”
Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.
Kepala pengawal itu kembali memberi hormat
seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali
dan tegas seperti kalau ia membuat laporan kepada atasannya.
“Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para
penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba
memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”
“Apa....? Pangeran Talibu tertawan....?”
Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa orang-orang Hsi-hsia menawan
Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia
cemas sekali.
Kepala pengawal itu menggeleng kepala.
“Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki.
Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum
diketahui dibawa ke mana.
Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan
menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung....” Ia
menoleh ke arah Kiang Liong.
“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran
Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan membantu sekuat
tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah Kerajaan
Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumahku agar
terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan
penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu
dan hwesio-hwesio jubah merah, di antara mereka banyak terdapat orang-orang
pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa
orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”
“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti
akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri
Mimi.
Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu
untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepadamu.”
Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada
kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkatlah pasukan
itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung
dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala pasukan.
Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu
pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai
mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja
lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka
dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat
tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari
belakang rumah.
Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun,
ia melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang
bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat
menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya.
Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima
Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang
cantik jelita ini. Kemudian, dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma
Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.
“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak
muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang
Paman Suma Boan meninggalkan seorang putera?” Kiang Liong bertanya.
“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu,
Liong-ji (Anak Liong).” kata Pangeran Kiang dengan muka cemberut. “Aku pun
baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Suma Boan
tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu
pemuda itu.... hiihh, mengerikan sekali, seperti iblis betina.”
“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau
mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang
suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat
baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip
sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan
Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi.... ah, dia seorang
yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apalagi dia masih adik tiri Suling Emas,
apakah kau masih bersangsi?”
Makin keruh wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala
yang menyangkut nama Suling Emass selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku
tidak pernah ada yang benar. Sialan!”
“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya
dan....“
“Sudahlah!” Pangeran Kiang membanting kaki
dan meninggalkan kamar. Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah
bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan.
Sudah seringkali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam
pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil
murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia
menghela napas panjang dan berkata.
“Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau
apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di
sini pula?”
Suma Ceng yang biarpun usianya sudah
mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas panjang,
memegang dan menarik tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya
sambil berkata. “Puteri harap kaumaafkan kami yang tidak tahu sopan-santun.
Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”
Mimi biarpun masih gadis remaja, namun ia
terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai
membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang halus itu, kagum akan kecantikannya,
lalu tersenyum dan berkata.
“Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan
sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa
lagi.”
Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu
dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan
matanya sayu termenung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi.
Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng,
adalah enci angkat ratumu di Khitan." Kemudian ia memandang putera
sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di
luar tahu siapapun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung.
Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam
dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta
supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan
memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat
menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui
pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat
sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."
Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama
ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tangga ibunya, dan
di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri
belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya,
melebihi sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan
tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adiknya. Rahasia apakah? Dia
tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang
Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal
jauh di selatan, di Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi
siucai (sastrawan)yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya
mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.
"Kalau begitu.... Bibi Kam Sian Eng itu
tidak tinggal di sini?"
"Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat
lalu pergi lagi menghilang seperti.... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan
Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liongji.
Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat
orang-orang sakti seperti Suling.... eh, Gurumu sehingga melihat orang
berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan
mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya.... hih,
menyeramkan!"
Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri
gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda
yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan
dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma
Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biarpun ia
mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu
silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu
silat. Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.
"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut
berpesta di samping?"
Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu,
hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila
kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawinkan
dengan anak itu. Anak pemilik restoran! Wah benar-benar anak itu membikin malu
orang tua!"
Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang
marah. "Kenapa tertawa?"
"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak
pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik
Hoat mencintanya...."
"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan
duka! Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia mencinta seorang gadis
seperti.... Mimi ini...."
"Ihhh.... Bibi membikin aku malu
saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.
"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-marah,
maafkan kalau pendapat saya, keliru." Kiang Liong berlutut dan memeluk
kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus
kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan
dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!
"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal,
sudah begini tua tidak juga mau menikah."
"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan
yang harus kuselesaikan. Apalagi sekarang, aku harus cepat-cepat menghadap
Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat
bertindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota
Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."
Seketika wanita itu menjadi serius.
"Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan
pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas
menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."
Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut
di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar
ini, Kiang Liong lalu melompat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi yang
juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.
Demikianlah, seperti telah kita ketahui di
bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyaksikan
keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.
"Hemmm, apakah yang terjadi di
sini?"
"Kiang-kongcu datang....!" Seruan
ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan semua mata kini memandang
ke arah Kiang Liong. Dengan pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu
wajah orang-orang yang kelihatan menimbulkan keributan. Tertegun hatinya
ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda
bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak
didengarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa
tidak senang di hatinya, apalagi melihat munculnya pengemis muda itu bersama Mutiara
Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang
ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata
apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.
Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh,
namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar
biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan
menarik muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.
"Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang),
aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah
kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah
berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak
kirinya.
Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat
sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang
mengacau dan apa sebabnya?"
Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat
lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata. "Jembel busuk inilah yang mengacau.
Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat
memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan melukai
pundakku!"
Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran,
akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sangkanya.
Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng
yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu
Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya.
Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata. Kemudian ia memandang
Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda
tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata
tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan
seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera
mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah
Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.
"Pesta kecil ini diadakan untuk
menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang.
Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang
tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina
tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan
mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."
Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima
orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di
antara mereka berkata, "Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina
kami, Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan
kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi
dari Suma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang
kami!"
Kiang Liong menoleh kepada mereka dan
tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit
ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti
mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh
didengar omongannya dalam urusan besar.
"Harap kalian pergilah agar tidak
menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!" Suara
dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan dengan
bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk
membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.
Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki.
"Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang
tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu
lain."
"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya
mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang
gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya
kecewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang
patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar mereka,
kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima
pertanggungan-jawabnya."
Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar jawaban
itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu
yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan
jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keangkuhan seorang ketua
perkumpulan pengemis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap
salah, suka menerima pertanggunganjawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung
tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki
sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu
terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!
"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak
mempertanggungjawabkan perbuatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan
rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata
Kiang Liong tajam menusuk.
Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut
dan ia menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang
gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik
mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah
lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti
Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu
kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku kurang ajar dan
ceroboh, membentur Gunung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak
sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan
aku siap untuk menerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"
Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan
dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata
berkilat, siap untuk bertanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua
tamu menjadi tegang, apalagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah
Ketua Khong-sim Kai-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah
pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.
"Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing
kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauw-heng jangan mencapaikan
diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun
kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata
Suma Kiat berlagak sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.
"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku
mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, tiba-tiba Puteri
Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya. Sejak tadi puteri ini
mendengar dan melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap
Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan
gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat
menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel
itu.
Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang
Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang
halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia menjadi
kagum. "Ada petunjuk apakah, Puteri?" Kini semua orang memperhatikan
Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap
didengar.
"Kiang-kongcu, mereka yang ribut-ribut
semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebabnya.
Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan
rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan,
baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas
melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah
terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."
Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang
menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang.
Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil
dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.
Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera
Mimi, sebaiknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat
menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan, berdiri
di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong, sikap dan
pandang matanya penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga
semua orang, langsung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.
"Orang she Kiang! Apakah karena engkau
menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang
pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil hendak dibereskan
secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar
baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam!
Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini
hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan
tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti
hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani berbuat
berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas
seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan
kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan dan nama
Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"
Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang
memang mempunyai persekutuan untuk membantu gerakan bangsa Hsi-hsia, menjadi
pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat
karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan
penghinaan hebat!
"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila?
Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki
menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis
liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan tetapi yang
ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya seakan-akan
mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"
Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar
pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum
hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan
yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar
karena menahan amarah ketika ia bertanya.
"Mutiara Hitam, sungguh lancang
mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau
bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar?
Kau menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum
pemberontak? Apa maksudmu?"
Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya
yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi? Apa kau
menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"
Sepasang mata Kiang Liong mengeluarkan sinar
berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, menghajar gadis
yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan membentak,
"Boleh! Coba hendak kulihat siapa orangnya!"
"Kaulihat baik-baik!" Kwi Lan yang
masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian
melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.
"Sumoi.... jangan....!" Suma Kiat
berseru.
Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan
sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu
mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.
"Brakkk....!" Hwesio kurus berjubah
kuning itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu pecah. Sambil
menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan.
"Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"
Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya.
"Apakah engkau yang bernama Cheng Kong Hosiang?"
"Sumoi, jangan....!" Kembali Suma
Kiat berseru.
Cheng Kong Hosiang menjadi beringas pandang
matanya. Kakek ini mencium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini.
Ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi
seorang gadis remaja.
"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona
mau apa dan...."
Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang
maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang
adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan, melihat
gadis itu sudah menerjang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri
bersenjatakan tongkat. "Trang-trang.... wuuut-wuuut, aduhhh....!"
Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan
pedang Siang-bhok-kiam di tangan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat
itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat
kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan
pemegangnya, kemudian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali
memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pundak patah-patah!
Cheng Kong Hosiang sudah menyambar tongkatnya
yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat daripadanya. Tubuh
gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang
kehijauan.
"Sumoi, tahan....!" Kembali
terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya. Melihat sumoinya
nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan
mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang
mengandung hawa beracun dan betapa pun lihainya Kwi Lan, kaarena ia menujukan
perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk
menghindarkan diri dari pukulan maut suhengnya.
Dan kalau pukulan itu sampai mengenai
lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!
"Dukk....!"
Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya
menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya
sesak. Bukan karena tangkisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya
sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong.
Melihat betapa adik misannya mengirim pukulan dari belakang seganas dan
sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini
menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja
sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu. Andaikata Mutiara Hitam ini benar
bersalah dalam hal keributan ini sekalipun, ia tetap tidak akan membiarkan
adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang
amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua,
seperti juga semua orang, kembali menonton pertandingan antara Mutiara Hitam
dan Cheng Kong Hosiang.
Yu Siang Ki juga menyaksikan peristiwa yang
terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong.
Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melindungi Mutiara
Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah
teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong
bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah
hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh
perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apabila gadis itu terancam bahaya.
Hwesio kurus itu memang lihai sekali.
Tongkatnya terbuat daripada baja kebiruan yang kuat dan berat, sedangkan ilmu
tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat
sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar biru yang
menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh
sinar pedangnya yang kehijauan. Namun pertahanan hwesio tua itu benar amat
tangguh. Ke manapun juga sinar pedangnya menyerang, selalu dapat ditangkisnya
dengan tongkat sehingga pertandingan itu menjadi makin seru dan sengit.
Belasan serangan hwesio itu juga tak pernah berhasil karena gerakan Kwi Lan
amat gesit.
"Trang! Trang....!" Dua kali tongkat
dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mundur
sampai tiga meter lebih.
Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang,
menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis.
"Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan
rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata
kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menantang pinceng, bukan di sini
tempatnya!"
Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua
bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi
sekutumu! Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kaukira aku tidak mengerti akan rahasia
busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau
bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak
di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pembesar yang hadir di
sini...."
"Trang-trang....!" Tongkat itu
menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu sampai merasa
tergetarpundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas
serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara hebat.
Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi
Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian
penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik kepada para tokoh
pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pembesar yang mendengar
ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara
tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat
berbahaya ini.
"Berhenti! Semua tidak boleh,
meninggalkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat
kepada penjaga, kemudian membisikkan perintah agar Si Penjaga cepat pergi
mengundang komandan pengawal istana dan pasukannya. Ia sendiri menjaga di
pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa
heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang
didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang
lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis
itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat
keras untuk menghubungi para pembesar khianat.
Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar
rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya.
Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya.
Akan tetapi hatinya agak lega melihat betapa tadi pukulan suhengnya
digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia
khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian yang jauh
lebih tinggi daripadanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega,
pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus
dapat menghalau hwesio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah
mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu
sendiri.
Kwi Lan menjadi penasaran. Pertahanan hwesio
itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus menggunakan akal.
Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang
merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam
pertandingan-pertandingan itu dibiarkan terus mempertahankan diri agaknya
dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan
kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena
pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika dipergunakan
untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau kelemahan dalam
pertahanan.
Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pedangnya ke
arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak miring dengan kedudukan
kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras
dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan
kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan
girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak
akan dapat menandingi kehebatan sumoinya dan tentu akan roboh. Kini melihat
berobahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang. Ia mencinta
sumoinya, akan tetapi kalau sumoinya menghalang jalan menuju tercapainya
cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoinya terancam bahaya
maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah
berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat
digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.
Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat
pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik
itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena
terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam ke arah
kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja
membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya!
Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun.
Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main,
memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja
perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan
hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik,
perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri
diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah
pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh....!" Pukulan itu
agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting
ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena
seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat
lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan tetapi
pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh
Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu, bagian mana
yang terasa sakit? Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba dada, meraba
perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.
"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!"
Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa
hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa,
Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan
menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma
Kiat hanya menyeringai saja.
Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar
taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah memimpin sepasukan
pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar
menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di
pintu keluar.
"Hemm, tidak ada perlunya kita berada di
sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah
menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali
bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para
tokoh kai-pang yang berada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang
dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti
perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biarkan mereka pergi!"
Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar
ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura
kepada Kiang Liong sambil berkata.
"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya
tadi."
"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan.
Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil
Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah
kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong
membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini.
Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah
membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan
sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman
bersama para tokoh pengemis.
"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu
tentang persekutuan...."
"Ssst, diam dan mari kita keluar kota
raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran
Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"
"Apa....? Bagaimana? Di mana?"
"Sstt, mari ikut saja, nanti
kujelaskan."
"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang
ketakutan?"
"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang
takut!"
"Takut siapa?"
"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang
aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan
tertolong."
"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh
hwesio itu?"
Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda
itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio
itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan
para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus
menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih
baik kaukumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku
pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung
Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan
di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi
Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang
berdiri melongo saking kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia
teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berobah. Seorang calon
nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa
lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu.
Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil
keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah
berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan
yang. dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biarpun ia tidak peduli tentang nasib
Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal
ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan
pengemis yang cukup kuat.
"Mari kita kumpulkan teman-teman!"
katanya dan barangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat.
Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah
lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar
agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi
Lan.
***
Semua tamu yang hadir dalam pesta penyambutan
Suma Kiat, digiring oleh pasukan pengawal istana. Setelah diperiksa, ditanya
seorang demi seorang, mereka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng
Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang
hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama
Kiang-kongcu!
Diam-diam Kiang Liong berunding dengan
pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak
saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong
menghadap Kaisar dan menceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan
orang-orang Hsi-hsia. Kaisar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian
menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah
pecahnya perang.
"Betapa pun kecilnya, perang tetap
merupakan malapetaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus
dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka.
Kalau hanya harta benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka mengorbankan
sebagian harta benda daripada mendatangkan malapetaka bagi rakyat!"
Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan
Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah semacam ini yang sering kali
dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan
Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika
malapetaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang tidak
berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya
dengan bangsa Khitan!
Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah
ini. Namun tentu saja tak seorang di antara para panglima berani membangkang.
Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana
caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang
dipergunakannya kekerasan terhadap orang-orang Hsi-hsia? Dan dimanakah adanya
Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman.
Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Hosiang dan melihat
pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang
hebat itu.
Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya,
mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah, sekarang
kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauw-te!"
Suma Kiat memandang kakak misan ini,
menyeringai dan duduk di atas kursi, tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak
yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling
penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja,
perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.
"Piauw-heng, aku tidak punya rahasia
apa-apa."
"Suma Kiat! Orang lain boleh kaubohongi
akan tetapi aku tidak! Kaukira aku tidak tahu akan kebingunganmu ketika kau
melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan.... kau
membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"
"Ha-ha-ha, Piauw-heng. Kau benar-benar
tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang
lain, sebaliknya menekan adik misan sendiri? Sungguh engkau seorang kakak tak
patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan
kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya?
Kau tidak suka melihat kenyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa
kata Bibi kalau kuceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari
tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.
Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat,
tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis,
mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh marah. Suaranya
mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah
membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu
Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh,
mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mencemarkan nama baik keluarga
kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah
kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak
ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu!"
Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri
tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah
yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah
menyeringai dan matanya disipitkan, dari mana menyambar keluar sinar mata yang
tajam dan aneh. Kemudian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya
bergerak-gerak, suara ketawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak
berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa
iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!
"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kaukira
aku ini orang bawahanmu sehingga boleh kauperintah begitu saja? Kau lupa
agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang
boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku
belum pernah takut kepada siapapun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan
omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"
Setelah berkata demikian, dengan membusungkan
dada Suma Kiat melenggang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong
yang menghadang di pintu. Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan
harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!" Sambil membentak
tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.
Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan
secara tiba-tiba kepalan tangan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke
leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya
menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua
inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!
"Plak-plak....!" Tangkisan Kiang
Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan
kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan
menangkis dengan pengerahan sin-kang disalurkan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat
terlempar dan menabrak dinding sedangkan dengan kaget Kiang Liong merasa
betapa lengannya yang menangkis menjadi panas sekali.
Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi
nanar karena terbanting ke dinding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya
merah sekali, mulutnya tersenyum menyeringai. "Piauw-heng, kau
benar-benar mengajak berkelahi?"
"Huh, bukan aku yang mengajak berkelahi,
melainkan engkau yang memancing keributan. Tinggal kaupilih, mengaku terus
terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong,
suaranya bengis pandang matanya tajam.
Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah,
Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepadamu? Harap kau
suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil berkata
demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong. Pemuda ini pada hakekatnya juga tidak
suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan
menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kemarahannya dan
berkata,
"Begitulah yang kukehendaki, Piauwte.
Sekarang kauceritakan baik-baik tentang...."
"Wuuuutt.... dukkkk....!" Tubuh
Kiang Liong terjengkang ke belakang dan bergulingan di lantai. Pukulan Suma
Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak
menyangka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih
untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena
Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena
pukulan. Hanya karena sin-kang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi
saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak
dan sambil mengguling-gulingkan tubuhnya ia menahan napas mengerahkan sin-kang
yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguhpun
tidak berat danberbahaya. Ia menahan kemarahannya dan terus bergulingan,
karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya
akan menjadi berbahaya.
"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri,
Kiang Liong!" Terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang
keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan keluar
dari empat jurusan.
Kiang Liong yang sedang bergulingan itu
berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas
sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas
Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang
dilontarkannya.
"Kraakkk.... bruukk!" Kursi yang
terbuat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena
terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari kanan kiri.
"Aihhh....!" Suma Kiat terkejut,
tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan
diri dengan pertolongan sebuah kursi. Namun ia tidak dapat terlalu lama
berheran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan
kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari bawah.
Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan Ilmu Silat
Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas
yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan
tenaga gwa-kang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah
dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam).
Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai
ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal tenaga dalam dan pengalaman, ia
masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan menggunakan kedua
tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya.
Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya. Suma Kiat
juga menangkis dengan tenaga gwa-kang, akan tetapi setengah detik berikutnya,
pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan
tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam. Suma Kiat terkejut, namun
terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong
sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan,
menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langitlangit kemudian
terbanting jatuh ke atas lantai!
Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur
pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka mata, lantai terasa
berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh,, merintih dan menarik napas
dalam-dalam. Ia sudah pasrah karena kalau saat itu lawannya menyusul dengan
serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia menanti maut.
Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan,
ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak pinggang, kedua kaki
terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.
Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Menangis
sesenggukan, terisak-isak dan bergulingan di atas lantai, seperti seorang
anak, kecil menangis rewel.
"Uhuuk-hu-huuukk.... Piauw-heng, kau
benar kejam sekali.... u-hu-huuk.... kalau memang kau tega kepada adik misan,
kaubunuhlah aku sekarang juga.... u-huhuuukk....!"
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat
akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini.
Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam
Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otaknnya. Dan
bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah
berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.
"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah.
Bangkit dan lekas kauceritakan semua rahasia itu." katanya dengan hati
sebal.
Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian
meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud
mencelakakannya, dan hanya menggunakan kekuatan sin-kang untuk
melontarkannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting,
hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan
Suma Kiat menghampiri kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga pedangnya
terputar agak dekat ke pinggang.
"Piauw-heng, kau benar-benar terlalu
kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh
Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kaupikir,
Piauw-heng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk
bersekongkol dengannya. Katanya.... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke
kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan?
Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku
hanya suka kepada.... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apalagi enci adik
Chi itu. Kaubagi mereka untukku, ya, Piauw-heng?"
Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu
bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang
tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan
memperoleh keterangan tengang ditawannya Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat
mempermainkannya. Kalau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan
adik misan yang tidak patut ini!
"Suma Kiat!" bentaknya marah.
"Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang dapat
kaubodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota
Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia,
kalau tidak mengaku.... hemm.... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong
melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.
"Eh.... eh.... ohh.... Piauw-heng
kaubunuhlah saja aku...." Kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung!
Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan
ini makin keras menangis, tentu akan terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok
dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan.... sinar putih yang
menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang
dan menyerangnya secepat kilat!
Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan
pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak
tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi,
maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga gin-kang dan
tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus
menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.
"Crak-crak....!" Sebuah meja besar
pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh
Kiang Liong menyelinap ke belakang meja.
Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang
Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia
sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melampaui meja sambil
menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misannya hanya memegang
sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih panjangnya itu. Ia tertawa
dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih
"Cring-cring....
trang-trang-trang....!" Berkali-kali pedang yang bersinar putih itu
bertemu denpan sepasang pensil dikedua tangan Kiang Liong. Barulah Suma Kiat
menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali
pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat
tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang
berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan
pertama pensil kiri mengandung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung
tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat
mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat
tangguh.
Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu
pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar
sepasangpensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang melindungi
tubuhnya. Andaikata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang
musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan
kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan
tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkan dan
menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama
dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong
sedang menanti kesempatan untuk menotok adik misannya.
Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring
menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan
suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!" Angin yang keras menyambar
masuk dari jendela dan.... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi
padam! Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan serangannya dan meloncat mundur.
Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kagetlah
Kiang Liong dan ia menangkis. Pertemuan pedang dengan pensil di tangannya
menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini. Kembali Suma
Kiat menyerangnya. Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman
pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam
pandangan matanya di dalam gelap daripada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup
di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam
di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat
menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.
Karena tidak ingin "salah tangan"
dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik
misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat
"menangkap" pedang itu dengan §epasang pensilnya dengan cara
menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat
terengah-engah berusaha menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka.
Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.
"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!"
Dengan suara tegas Kiang Liong berkata.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah
tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti
memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi.
Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba. Kiang
Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan
kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas
dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong
terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia
sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sin-kang ke arah pundak. Ia percaya bahwa
tenaga sin-kangnya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak
kelihatan.
"Plakk....!”
Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan
halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh,
sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua
tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai kamar.
Suma Kiat menyalakan lampu dinding,
menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau
datang, Ibu."
"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil
jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain adalah Kam
Sian Eng. Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia
merasa serem juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Memang
kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah
untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat,
tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biarpun menggunakan siasat
pertempuran jarak jauh. Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi
karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga
melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba
belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya karena wanita itu dapat
menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia
kini tidak dapat bergerak pula menjadi lemas karena yang tertotok adalah jalan
darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil
memandang ibu dan putera yang gila itu.
"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada
Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan
dan persekutuan bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."
Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang
amat tajam menembus kerudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri.
Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasaan, kehilangan
ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!
"Kaubawa dia dan mari kita pergi!"
katanya lirih.
"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada
lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih
senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan
Khitan, Heh-heh!"
"Siapa?"
"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu
sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang
Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat keluar dari dalam kamar.
Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan
Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat-ji (Anak
Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah.... kau
bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"
"Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus!"
Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.
"Apa....? Di mana dia....?" Suma
Ceng menjerit.
Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma
Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak.
"Pergilah kau!"
Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat
sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan
tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan
sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu
tersabet, terangkat dan tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur
lantai dan nyonya ini pingsan!
"Kau jahat!" Mimi membentak marah,
sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.
"Heh-heh, tidak kepadamu, manis."
Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap.
Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita
lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada
Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.
"Heh-heh, kau gesit juga, manis!"
Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi.
Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan,
mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan
lemah dari tubuh lawan.
Terdengar suara ribut-ribut, tanda para
penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat
cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia
berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka
Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata
pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi
lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya
yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke
arah kamar Kiang Liong.
Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh
seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini
lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian
berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"
Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini
menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan
lenyap ditelan kegelapan malam. Di dalam gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang
dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah melihat Nyonya Kiang
pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi
telah lenyap, demikian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang
kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang
mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia menghela napas panjang dan mengomel.
“Ah, tidak disangkanya dia menurun
ayahnya....!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang
amat jahat. Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan
berkata ketus.
“Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang
sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha, mengerahkan pengawal untuk
mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”
Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan
tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan pasukan pengawal.
Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia
tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya tidak perlu dikhawatirkan.
Ke dua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah
putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati
bukanlahketurunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan
Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa
Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah
keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta isteri, maka ia tidak
pernah membicarakan hal ini.
Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa
lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang
cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai
mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki Bukit Fu-niu-san di lembah
Sungai Kuning.
Malam telah terganti pagi dan matahari telah
bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah
tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah
telentang di atas tanah.
Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi
dipangkunya.
“Ibu, kenapa berhenti?”
“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh
rahasia, amat berbahaya.” Kata ibunya. Puteri Mirni mengeluh dan bergerak
perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat
yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat,
tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu.
Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan dengan aku, ha-ha!”
Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan
mukanya hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu
jauh lebih kuat.
Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan mata,
sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang
menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi. Pemuda ini
mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat,
membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.
“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu
puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”
Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil
menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauw-heng,
apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek, akan tetapi agaknya sinar mata Kiang
Liong yang menyeramkan itu membuat ia kederjuga. Ia tahu betapa lihainya kakak
misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya. Ia mendorong
tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah,
rebah miring. Biarpun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya
dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia
terbebas daripada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apalagi
mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri,
bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!
Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan
terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat
dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera
memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka
hitam, segera berkata.
“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat
menyambut, Couwsu memerintahkan pinceng untuk menyambut Toanio dan
mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”
Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya
menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya
mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat
memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio
jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai
penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang
alang-alang dan berputar-putaranan. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang
luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan
lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia,
pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!
***
Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan
mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan
melanjut perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat
sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja.
Jantungnya berdebar
keras. Ia
belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota
itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula.
Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu. Biasanya
Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar
Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisahsekali. Ia
sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar
penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi
menolong dan membebaskan Pangeran itu daripada ancaman orang-orang Hsi-hsia!
Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran
Mahkota ini tertimpa bencana. Kini, ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu
kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara
paksa oleh gurunya dari Ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya
mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak
kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan
hancur hatinya.
Hutan yang lebar dan gelap itu tidak
menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut.
Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu
tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut
pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu
dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan
gelap, bahkan angin sedikit pun tak ada bertiup.
Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang
lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba kakinya
menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering.
Terdengar bunyi berciutan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah
menyambar ke arahnya dari pohon-pohon dan di kanan kiri, anak panah yang
meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan
tidak mau bertindaksembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya
memutar pedangnya menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak
panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.
Kwi Lan amatcerdik. Ia dapat menduga bahwa
kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serangan atau jebakan
gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali
bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apalagi malam hampir tiba.
Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia
yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah
berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan sekali ia
mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya yang ramping itu
melayang ke arah pohon. Kemudian mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul
“jalan atas” yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar
ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan
kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus
berloncatan sehingga dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan,
melampaui lebih seratus batang pohon besar.
Tiba-tiba ketika ia meloncat ke sebuah pohon
besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arahnya. Cepat ia
menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.
“Cring-cring.... brettt....!”
Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya
adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia
bergidik dan marah sekali, apalagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia,
berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini
tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua
lengan yang panjang berbulu.
Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan
andaikata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet,
biar oleh lima puluh ekor monyet sekalipun ia tidak akan gentar. Kini ia
berada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan “daerah” monyet.
Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit.
Betapapun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh
saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah
jarum-jarum hijau! Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa
“monyet-monyet” itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya mereka
adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet, agaknya untuk mengawasi
daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka
itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang Itu masih berusaha
bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali
Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat
mengeluh lagi karena mereka semua telah tewas!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan
keras dan.... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan
tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan
pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon.
Biarpun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia
mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap,
mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan. Setelah
tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah
atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apabila pohon
itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkangnya,
sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan,
melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung
dahan terpanjang.
Untung sekali bahwa dalam seperempat detik
terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan terpanjang pohon
itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak tanah yang tertutup
daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam
lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, mengerahkan
tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya
mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang
banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!
Kini ia “nongkrong” di atas dahan mengeluarkan
saputangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan keringat dingin.
Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak gemetar, jantungnya
berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang
datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia
berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para
penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempatini. Ia tidak takut menghadapi
mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang
demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka
sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia
bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi?
Kwi Lan memandang kesekeliling. Ia tidak
mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga
tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar sebagai monyet.
Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu
berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil.
Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun dari pohon, tidak berani meloncat.
Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian
ia melangkah maju perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagal
tongkat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya
menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya.
Suara manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup
banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang
kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang.
Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu
menonjol.” Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang
menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak
berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki
banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.
“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar
suara yang parau,
“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru
suara yang lain, suara tinggi.
“Wah, mereka ini tewas....!”
“Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya!”
Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia
memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang terakhir
tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi,
di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suhengnya, di sinilah Pangeran
Mahkota tertawan. Ia memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti
amat kuat, jauh lebih kuat daripada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit
Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota
raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang
Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhatihati. Apa akal untuk dapat
menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?
Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut.
Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang
anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka
jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat
dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia
dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia
bersembunyi di dasar jurang itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan
tetapi di bawah batu besar yang menonjol ini, ia terlindung dan aman!
“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!”
terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh. Kwi Lan maklum
bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia
mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang
berkeliaran mencari-cari di sekitar tempat itu, dengan obor di tangan, Kwi Lan
menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia
yang mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan
kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati
alang-alang dengan goloknya, mencari-cari. Tiba-tiba dua batang jari yang kecil
namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu
lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat,
menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang
golok dan menangkap dengan korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh
yang gemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini
pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari
dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka
berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.
“Jawab saja dengan angguk.” bisik Kwi Lan
dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia menotok urat gagu orang itu.
“Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”
Orang itu menggeleng kepalanya.
“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku
ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”
Kembali orang itu menggeleng kepala, kini
dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di bawah sinar bulan yang bersinar
melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya
dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati
dan keras kepala, sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan
sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan seorang Hsi-hsia? Tentu saja,
orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri
sendiri seorang patriot, seorang pahlawan! Ia melihat, banyak tadi orang
sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah membantu Hsi-hsia menentang
kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat. Dan biasanya, seorang
pengkhianat adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan.
Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apapun, juga, adalah seorang
patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk
harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang
pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati. Sadar akan kekeliruannya
ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan Ia
menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan
tangan ia merayap turun daripohon. ia berlaku hati-hati, tidak berani
sembarangan meloncat.
Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap
di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang
laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan, membawa
obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk
sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak
berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia
membawa orang itu naik ke atas pohon.
Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang
berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apalagi ketika ia mengenal bahwa yang
menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum sesat
dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak
berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada
urat gagunya.
“Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran Mahkota
Khitan, dan kau tidak akan kubunuh.” desis Kwi Lan sambil menempelkan
pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, mengangguk-angguk.
“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh
berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebelum ada
kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu menggeleng-geleng
kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.
“Ampunkan aku, Li-hiap....”
“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan.
“Hayo bawa aku ke tempat itu.”
Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus
mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Pengemis itu
lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang
besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.
Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan
berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh
seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke
tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan
rahasia ini dua atau tiga orang penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka
sempat bergerak. Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan
mereka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu
besar. Kwi Lan biarpun melakukan perjalanan malam gelap, hanya diterangi bulan
sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah
berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar
dari sarang Bouw Lek Couwsu.
“Di sanalah tempat tahanan itu, Lihiap. Di
dalam guha, yang tampak dari sini itu.” pengemis yang ditawan itu berbisik,
suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh. Mereka telah
melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah
menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari
tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh
tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak
memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andaikata ia
terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan
perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian
yang lebih hebat lagi.
Dengan amat hati-hati Kwi Lan merayap di
bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepanjang
tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di
belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati guha batu yang tadi
ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di
belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang. Kiranya di
depan guha yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat
keadaan mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat
tahanan Ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah
yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang
sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias
duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang
memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia
seorang tokoh kai-pang yang sesat.
Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu
saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau
ia melompat keluar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan
secara cepat dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan
atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya tentu akangagal. Ia mulai
menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di
sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan
berhasil. Apalagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai
luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas.
Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih,
pemuda sombong. Tidak memandang mata kepadanya! Padahal semua pemuda, yang
tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh cinta kepadanya!
Mula-mula Tang Hauw Lam Si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada
Hauw Lam. Kemudian Siang Koan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini
tidak memandang sebelah mata kepadanya! Si Sombong, mentang-mentang menjadi
murid Suling Emas lalu besar kepala!
Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat,
mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir
semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya,
kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut guha.
“Eh, apa itu?” Seorang di antara mereka
bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besarsekali. Ia mencabut
pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”
“Benar, mari kita periksa, Suheng.” kata
hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya
pula.
Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam
di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio
ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka lewat
beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari
belakang!
Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum
hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali, dilontarkan
dengan tenaga sin-kang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya
hanya tampak sinar kehijauan. Apalagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari
belakang Si Korban, benar-benar amat berbahaya. Dua orang hwesio itu adalah
murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serangan gelap
seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biarpun mereka yang telah
memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat
sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging
meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau
pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio
ini. Setelah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke
belakang batu besar.
Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali,
dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergunakan kesempatan
ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasukiguha. Ia melihat
seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri
dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu,
tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh dengan luka-luka bekas
cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan
keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.
Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya
perlahan. “Eh, sadarlah!”
Pemuda itu membuka matanya, memandang heran,
seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang
tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.
“Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota
Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”
Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu
balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau bisa....”
“Tidak penting aku siapa, yang penting, apa
kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sabaran.
Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di
bibirnya, lalu mengangguk. “Aku mengenalmu! Ya.... Aku mengenalmu. Kau tidak,
asing bagiku.... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?”
“Wah, kau cerewet benar, apakah
pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”
Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan
berseru. “Nona, awas....!”
Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin
bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat
membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada ditangan kanannya.
Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di
depan guha dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini, Pangeran
Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.
“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku?
Kenapa....?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok
para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih
mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini.
Wajah yang jelita itu bukan asing baginya,
wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.
Pangeran Talibu makin merapatkan matanya,
keningnya berkerut ketika ia mendengar suara “cring-cring-trang-trang!”
bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang
mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali
hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu
bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja
sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat
ibunya. Ibunya. Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya!
Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan
makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti.
Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau
tertawan. Ih, kalau ia teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke
tangan Bouw Lek Couwsu, Butek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri.
Lebih baik dara ini mati saja daripada tertawan hidup-hidup!
Talibu membuka matanya dan.... ia terbelalak
heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di depan guha, tak
bernyawa lagi! Adapun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan guha,
kemudian meloncat masuk ke dalam guha, gerakannya seperti seekor burung,
demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja
seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!
“Tahanlah, aku akan melepaskan belenggu!”
bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pedangnya.
Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena
setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas
dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki
tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan
sepasang mata bersinar-sinar.
“Nona, kau....”
“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan menyambar
tangan Pangeran itu dan ditariknya keluar dari guha, diajak lari cepat
meninggalkan guha. Tak jauh dari guha Talibu melihat mayat dua orang hwesio
jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi
mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing keluar dan
dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah
ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.
“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan
berterima kasih....”
““Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!”
bisik Kwi Lan galak.
Talibu yang berjalan berindap-indap di
belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat
tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali
ini selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis
remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disembah-sembah
rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!
Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru
tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah
pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa, membuat Kwi
Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir
kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan
tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu berdiri tegak dengan
sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya
bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas pandang mata Kwi
Lan dan berkata.
“Bagus! Seperti inilah selayaknya seorang
pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam guha sebagai tawanan. Mati dalam medan
perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan
aku akan dapat terbebas daripada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup,
percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melupakan engkau!
Sekarang aku tidak peduli lagi. Andaikata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku,
mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”
Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh
patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya.
Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki semangat pendekar, jiwa
satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih.
“Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum
meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar
anjing-anjing Hsi-hsia itu!”
“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Marilah kita
mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil
menerjang maju, memutar pedangnya. Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi
Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya,
maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran
karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari marabahaya. Begitu
enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang
agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!
Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan
Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin hebat menyambar dari
kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim
pukulan dengan tangan kirinya.
“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak
Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.
“Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?”
Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju. Kwi Lan menyambar dengan
tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus,
tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat
bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak
memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya
dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan
gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk sementara Kwi Lan
dapat, bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena
ia kini sama sekali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran
Talibu.
“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan
nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang diputar membentuk lingkaran
panjang. Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri
dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan
gemas oleh Kwi Lan. Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri.
Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh
perhatiannya terhadap kakek ini.
Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemassekali.
Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek
Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah
menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan
melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kembali, ia
mendapatkan akalbaik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak
buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan
tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun
bukan hal mudah bagi mereka.
“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia
berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati
kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian
turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.
Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan
pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian
secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas,
pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh.
Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil berseru.
“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”
Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan
sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang
ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah
wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.
“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kaulepaskan
pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini
akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”
Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian
kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya.
Dan ia tahu pula betapa kejam hati Si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu
untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan
tubuh lemas.
“Nona, kau larilah! Jangan mendengarkan
ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan
menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya
membuat ia pingsan!
“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku
menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lomo mengguratkan ujung pedang pada dada yang
telanjang itu dan....kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit,
memperlihatkan garis merah memanjang. Kwi Lan merasa pusing, terpaksa
melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua
bangka, lepaskan dia!”
“Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya
kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”
Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi
Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus
berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia
tinggi besar yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh
banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau
untuk meraba dada gadis itu. Sudah biasa bagi orang-orang peperangan ini
apabila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggauta
pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun
tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini
sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang
pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.
“Heh, mundur....!” Namun seruan Siauw-bin
Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan
orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendahkan diri
menolong seorang perajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih seekor
kucing atau anjing.
Pada saat jari tangan kurang ajar itu
menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat
menghantam pusar orang Hsi-hsia itu yang hanya sempat mengeluarkan suara
“Hekkk!” lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi
perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang
yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang
dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang siapa lagi
berani kurang ajar terhadap dirinya. Keadaan tegang dipecahkan suara ketawa
Siauw-bin Lo-mo.
“Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah
sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sendiri lalu
memegang dengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan
dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah
takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si
Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati
bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang
sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta
Jin-cam Khoa-ong. Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik.
Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia
menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel kelima orang Bu-tek
Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek
Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita
untuk mengangkat diri sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan
bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan
barisan orang-orang tangguh.
Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan
pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi
lagi, yaitu apabila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung,
ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak?
Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang masih keturunan Pangeran! Inilah
sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah
Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan persekutuan di antara pembesar-pembesar
Kerajaan Sung.
Adapun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu,
adalah seorang dari dunia barat yang sengaja bertualang untuk mencari
kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya
ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan
tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan ynng lebih
tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan
mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu Hsi-hsia apabila saat
penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya
tentu akan menjadi seorang pangeran!
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak
kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka
kesempatan untuk memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun
senang membantu Bouw Lek Couwsu. ia sudah tua dan sudah waktunya hidup
bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai matinya.
Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang
Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu bahkan berjanji kelak
akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.
Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung
usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui, Algojo Manusia ini juga
disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Kerajaan Khitan dan
dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin
membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak
ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan
merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.
Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak
mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek Couwsu karena terbujuk
teman-temannya dan terutama sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang
temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia
sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat
orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia
sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi
orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang
menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang
urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang serba lezat. Bouw Lek
Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk
merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek
sakti itu apabila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat
bahwa Thsi-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah.
Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah
berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk
mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.
Ketika Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan
Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar laporan tentang
usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu
sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya.
Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan
penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu
menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang
keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan
dalam guha juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira
malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.
Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua,
seorang pendeta yang diwaktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang
nafsu dan karena pada dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua
pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila
perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita,
juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di
samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali
untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar daripada
nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat
Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan. Pangeran
Talibu.
“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo
sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih
kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka berdua
dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat jangan sampai ada kemungkinan
didatangi orang luar!”
Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa
pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu
kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata.
“Demi Iblis! Engkau benar-benar pintar
sekali, Couwsu!”
Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya
sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan
melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk
si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah!
Ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik
sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kaulaksanakan. Karena kalau sampai
Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan
kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”
“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu bertanya heran.
“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid
Sian-toanio.”
Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan
menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin
Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid
Sian-toanio, mengapa kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah
kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”
Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau
benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Berapa kali
menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia
termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus
berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik
kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”
Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening,
meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk. “Hemmm, memang diam-diam
aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai
kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus
berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”
Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang
mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan
tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke
dalam sebuah kamar tahanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang
lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari
batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun
dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi
jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada
jeruji pula. Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang
masih pingsan itu didorong masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar.
Dua pasang mata penjaga untuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan
pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam
bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.
Kwi Lan duduk di atas lantai, memandang
Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali jantungnya berdebar.
Wajah Pangeran ini telah menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut
lebih cepat daripada biasa. Ia telah rela menyerah, rela ditawan untuk
menyelamatkan nyawa pemuda yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah anehnya
ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa ia menjadi takut
dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk
mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan
pernyataan Hauw Lam,. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki terhadap dirinya. Mereka
itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hatinya terhadap Pangeran
Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini? Kakak angkatnya,
putera angkat ibunya?
Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan
hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung dan jantungnya
berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pangeran
Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biarpun terbelenggu, namun kalau ia berusaha,
kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga simpanan untuk
mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi apa gunanya? Dinding itu amat kuat.
Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana
berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin
Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah
mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar? Harapan untuk dapat lolos
dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan
lawan yang amat berat. Apalagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo.
Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk
menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu Siang Ki.
Kalau saja pemuda itu datang membawa banyak tokoh kai-pang yang sakti!
Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka
dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Iasudah siap menghadapi segala macam
kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tanpa bangkit, ia mengangkat muka
memandang.
“Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh
kami? Siiakan! Memang orang macam engkau ini pengecut, mana berani menghadapi
lawan secara jantan?”
Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar.
“Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”
“Berikan pedangku dan mari kita bertanding
sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa
lagi! Baruiah jantan namanya!”
Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya.
“Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus
bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau
Pangeran Talibu suka menulis surat membujuk ibunya untuk membantu pergerakan
Hsi-hsia, akan kubebaskan engkau dan dia juga! Berlakulah sabar dan tenang,
dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan keributan, terpaksa kau harus
dibuat tidak berdaya.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju
dan menotok dengan jari telunjuknya ke arah tengkuknya. Kwi Lan yang kedua
tangannya terbelenggu, tidak dapat menangkis dan berusaha mengelak, akan tetapi
gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok
pundaknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah
bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditaburkan di atas mukanya, ia
mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan. Baik Kwi
Lan maupun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek
Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum
dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka
belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan
meninggalkan pesan kepada para penjaga.
Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari
pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang menyesakdada. Ia
bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi
dan leher. Kemudian berseru heran karena baru ia ingat bahwa kedua tangannya
kini tidak terbelenggulagi. Ia sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali! Siapa
yang membuka belenggunya? Dan mengapa begini panas?
Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu.
Pemuda itu pun basah oleh keringat. Dadanya yang bidang dan berkulit halus
putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh tetesan-tetesan
keringat dari tubuh pemuda itu.
Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat
perlahan, seperti orang merintih. Jantung Kwi Lan terasa tertusuk.
Rasa iba dan cinta menyesak dada. Tanpa ia
sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu,
menggerakkan tangan mengusap luka-luka di dada dan dahi, luka kecil, darahnya
pun sudah mengering. Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata bertemu pandang,
sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk.
Entah mengapa, pandang mata pemuda itu bagi
Kwi Lan seperti sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia menunduk,
tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya,
dadanya, dan pusarnya.
“Sakit sekalikah luka-luka itu....?” tanya Kwi
Lan, menjadi heran sendiri mengapa suaranya begini halus dan mesra, mengapa ia
menjadi begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang pandang mata
pemuda itu.
“Ti....tidak...., Nona....,mengapa kau
menyerah....?” Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa
suara Pangeran Talibu menggetar dan setengah berbisik? Suaranya yang baginya
begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula hatinya, membuat Kwi
Lan menahan isak yang menyesak di dada. Ia mengangkat muka perlahan. Kembali
dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut, lekat seperti tak dapat
dipisahkan lagi. Bagi Kwi Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra,
begitu penuh cinta kasih, begitu halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam
pandang mata itu yang mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin
membuang diri ke dalam pelukan Pangeran itu, membuat ia ingin merapatkan
mukanya pada dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian
jari-jari tangan Pangeran Talibu dan mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat
telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia terengah-engah,
menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi pening.
“Aku....aku tak mungkin....membiarkan
kau....,kau terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan tubuhnya
terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang kuat
tidak merangkul dan menariknya.
“Nona....“ Suara Pangeran Talibu
tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan seperti
dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah
basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia
sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian
mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu, “Nona....,siapakah
engkau....? Siapakah namamu....?”
Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati
perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan
jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih,
“....aku....namaku Kam Kwi Lan....”
Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar
kilat yangmenyambarnya. Tu buh itu seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan
ia meloncat ke belakang sampai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang
tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sampai jatuh
terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia terloncat
bangun dan berdiri.
“Ada apakah....? Mengapa kau....kau....?” Ia
bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.
Pangeran Talibu terengah-engah, serasa
tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal betul dengan gadis
ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam
Kwi Lan Mutiara Hitam.Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!
"Kau.... kau.... Mutiara Hitam....?"
bisiknya dengan suara menggetar.
Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu
mengangguk. "Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena....
karena.... kita saling mencinta?"
"Diam....!" Pangeran Talibu
membentak. "Jangan bicara tentang itu....!"
Biarpun Kwi Lan merasa sudah tergila-gila
kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati. Ia mengerutkan
kening dan berkata, "Apa? Jadi.... kau tadi.... hanya pura-pura.... dan
kau tidak cinta kepadaku?"
"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara
Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi....
kau....!"
"Kenapa....?" Tiba-tiba Kwi Lan
menaruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara
karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian
ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri. Pangeran Talibu
mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan mengintai.
Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam
bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan, tentu keadaan
mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.
Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium
bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja
menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan
masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik
kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan,
mata yang indah bersinarsinar, hidung yang kecil mancung dan seakan-akan
menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kembang-kempis,
bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menantang, dada yang
padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk. Ah, hampir pemuda ini
tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang
dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan
memangsanya. Akan tetapi, pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik
kandungnya bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini
merupakan perisai yang kokoh kuat. Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi
Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang menggetar-getar
melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan
cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampaiberdarah. Ia terpekik
kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu berahi dapat tertahan.
Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok.
Memang ia mabok, mabok nafsu berahi yang timbul dari obat pemberian Bouw Lek
Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh
gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih ada kesadaran pikirannya
yang merasa terheran-heran melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila?
Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap
dibelai? Ingin mendengar bisikannya? Mengapa? Andaikata ia mencinta pemuda
ini, mengapa harus ada perasaan yang seperti memabokkannya ini? Di sudut
hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan
tetapi ia tidak tahu apa ketidakwajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan
keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas
memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda
itu seperti tersiksa bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.
"Pangeran, kau kenapa? Kita.... kenapa?"
Ketidakwajaran yang makin mendesak dalam kesadarannya membuat ia mengajukan
pertanyaan terakhir itu.
Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran
Talibu. "Kwi Lan.... Mutiara Hitam ah, kita mabok. Tidak
wajar ini! Kita keracunan.... begini panas dan begini.... merangsang...."
Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Racun!
Biarpun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun vang
menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan berahi
begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun! Teringat
akan taburan bubuk wangi yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia
sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama Pangeran Talibu berada
dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin
bahwa ia mencinta pemuda ini! Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran
Talibu, kapan dan di manapun juga.
"Benar kiranya, Pangeran. Kita terkena
racun. Akan tetapi.... apa bedanya? Aku tidak menyesal...."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Aku tidak menyesal menjadi tawanan
bersamamu, Pangeran. Aku.... aku.... ah, bukan main panas hawanya...." Kwi
Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu
duduk di sudut dan bersandar pada dinding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian
atas agar agak melonggar untuk mengurangi hawa panas. Gerakan gadis itu begitu
menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun mundur di sudut
yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya
saling pandang dari jauh, saling menahan gelora berahi yang membakar. Namun
siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu tidaklah seberat yang diderita Mutiara
Hitam. Pangeran itu memaksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu
adalah adik kembarnya sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis
saking girang bertemu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan
orang. Menangis karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi
tawanan dan keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua
perasaan ini merupakan penguat batinnya untuk melawan arus berahi yang tidak
wajar dan yang membakar tubuhnya.
Hebat memang pengaruh obat itu. Serangan yang
datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan
sin-kang yang dikerahkannya untuk melawan hasrat yang dianggapnya gila dan
tidak tahumalu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sin-kang ini dipergunakan
untuk menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sendiri.
Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan
hati Pangeran Talibu. Sungguhpun ia mempunyai perisai berupa
pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya,
namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau
keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan
tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dirasakannya. Akan
tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu
disusul kata-kata mengejek, "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan
makan minum!"
Daun pintu terbuka dan seorang hwesio jubah
merah masuk membawa sebatang lilin merah besar yang sudah dinyalakan,
meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk
makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwesio ini lalu
keluar lagi dan mengunci daun pintu. Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio
itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat
kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya. Belum saatnya
untuk turun tangan, pikirnya.
Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin
berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat suasana
dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana kamar pengantin!
"Pangeran, apakah yang kaupikirkan?"
Kwi Lan akhirnya bertanya setelah sekian lamanya ia memandang ke arah Talibu
yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan
dada turun naik bergelombang.
Talibu membuka mata memandang, mata yang
bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu berahi. Mata yang melotot menyusuri tubuh
Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak
pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah. Gadis ini telah melepaskan
kancing tanpa disadarinya saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi
keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin tersiksa. Pandang mata
Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulatbulat!
"Apa yang kaupikirkan? Aku.... aku....
memikirkan.... kematian!" jawab Talibu. Bagi Pangeran ini, keadaannya
merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik
kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu,
baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah
merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguhpun ia tahu bahwa racun
membuatnya seperti mabok.
Kwi Lan tersenyum dan kembali Talibu
memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya, seperti ujung golok menusuk
jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan khawatir,
aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."
Kembali Talibu membukamatanya. Ia merasa
terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa mereka adalah kakak adik kembar,
namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa
Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan
mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu
Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama mereka masih menjadi tawanan
Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang berahi sukar dikendalikan lagi. Melihat
mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan
perhatian dengan berkata gembira.
"Apapun yang terjadi, sebelum mati kita
harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona!"
Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat
Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk
dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk
menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak
wangi. Talibu kembali tertawa dan berkata.
"Bagaimana kalau makanan ini ada
racunnya?"
"Paling hebat kita mati. Tiada lebih
mengerikan daripada itu.," jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget.
Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di
dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan
segala. Asalkan berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur
lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!
Pangeran Talibu menarik napas panjang.
Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya. Mempunyai kekasih
seperti gadis ini! Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya penuh penyesalan.
Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat
dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi!
Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan janggal jalan hidupnya. Puteri
Mimi yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan
apa-apanya. Orang lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai
pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa
mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah, bahkan
saudara kembarnya!
"Kalau memang ada racunnya, marilah kita
mati bersama jawabnya kemudian dan mulai makan. Kwi Lan tersenyum bahagia dan
tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata amat lezat dan araknya
pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan itu, guci araknya pun
menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.
"Ahh.... betapapun juga Bouw Lek Couwsu
bukan orang yang terlalu pelit. Lezat makanannya...." kata Pangeran Talibu
sambil bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu
berjalan menuju ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang dan ia
terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai seluruh tubuhnya, hawa panas makin
menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan meledak!
"Pangeran.... !"
Talibu sampai disudut membalikkan tubuh dan
ternyata Kwi Lan sudah berada di depannya. Mereka saling pandang tubuh mereka
bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, keduanya saling
tubruk dan saling peluk.
"Mutiaraku....!"
"Talibu, Pangeranku....”
Dekapan makin erat dan muka mereka bertemu
dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah bahkan membalas peluk cium pemuda itu
dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan seperti isak
tertahan, lalu merenggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung
lari ke sudut lain.
"Pangeran....!"
"Berhenti! Jangan maju selangkah pun.
Kalau kau bergerak, mendekatku, aku.... aku akan bunuh diri....!"
Terengah-engah Talibu berteriak.
Kwi Lan sedang dibuai racun yang memabokkan.
Di dalam makanan tadi memang diberi obat oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat
racun di tubuh mereka bekerja makin hebat. Bouw Lek Couwsu yang mengintai di
luar kamar menjadi penasaran sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga
berhasil, maka ia lalu mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk
memperhebat pengaruh racun asmara itu. Melihat kekasihnya melarikan diri dan
mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi heran, kaget, dan juga
kecewa. Ia melangkah maju sedikit dan serentak menghentikan langkahnya karena
tiba-tiba Pangeran Talibu membenturkan kepalanya pada dinding!
"Ahhh...., jangan.... Pangeran....! Aku
aku tidak akan mendekatimu....!" jerit Kwi Lan cemas.
Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena
ngeri memikirkan kalau sampai terjadi pelanggaran susila dengan adik kembarnya
sendiri, dapat mendengar jerit ini dan ia nmenghentikan perbuatannya yang
nekat. Dengan terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu
terlampau cantik, apalagi dibawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang
menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar dan bayangan. Ia tahu bahwa
biarpun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun keyakinan ini belum
tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak di dada dan ia akan menjadi
seperti seorang buta mabok kalau gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.
"Mutiara Hitam.... ini tidak baik....
kita dirangsang racun.... nafsu berahi menguasai kita...." gumamnya.
Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat
muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di sudut lain menangis terisak-isak. Gadis
ini merasa terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.
"Mutiara, Adikku sayang.... maafkan
aku.... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan menghinamu.... akan tetapi
kautunggu.... sampai racun ini bersih dari tubuh kita.... aku tetap cinta
kepadamu."
Kwi Lan menarik napas panjang, menahan
tangisnya dan pikiran bersih menyelinap di benaknya. Mengapa ia harus merasa
nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan, bahkan perasaan tubuhnya membuktikan
bahwa makanan dan minuman tadi pun mengandung racun yang mempunyai daya
rangsang hebat. Ia mencinta pemuda ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan
rangsang nafsu berahi. Dengan pengerahan tenaga batinnya, ia bersila dan
memejamkan mata, bersamadhi. Melihat keadaan gadis itu, Pangeran Talibu
bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
menindas nafsu dan bersamadhi.
Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan
dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa seperti malam hari itu. Tubuh
yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkinkan mereka dapat
bersamadhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar. Pangeran Talibu
menggereng berkali-kali seperti harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh. Adapun
Kwi Lan tidak dapat dibayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu
dan yang merasa yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat
penderitaannya. Berkali-kali ia mengeluarkan suara merintih dan mengerang,
tubuhnya menggeliat, peluhnya bercucuran, namun ia berusaha sekuat tenaga
untuk bertahan agar dapat menindas keinginan hatinya yang membuat ia
seakan-akan ingin loncat menubruk pemuda itu.
Menjelang pagi, mereka mendengar suara Bouw
Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu menyumpah-nyumpah dan
marah-marah agaknya kecewa sekali melihat dua orang muda ini tidak terpengaruh
obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia merasa kagum akan kekerasan hati dua
orang muda itu, di samping merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama
kemudian, kamar tahanan itu penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar
melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang mencium bau harum
tidak sewajarnya.
"Pangeran, hati-hati, asap
beracun....!" Serunya, namun sia-sia belaka. Mereka meloncat dan hendak
menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin ke
luar dari ruangan tertutup itu dan asap makin
menebal Tak mungkin pula menahan napas untuk waktu lama dan akhirnya mereka
terhuyung dan roboh pingsan setelah terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi
itu.
Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah
terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika ia membuka
mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia melihat Kwi Lan terbelenggu
kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang Hsi-hsia yang
tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti monyet-monyet besar. Mereka berdua
itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan bagian
atas telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh
bulu hitam. Juga dada mereka penuh bulu yang memanjang sampai ke perut. Muka
mereka menghitam dan kasar sekali karena bopeng bekas luka penyakit cacar.
Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka
besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan
buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki-laki
dan mendatangkan rasa jijik.
Bouw Lek Couwsu memperlihatkan kertas putih
dan alat tulis kepada Pangeran Talibu, lalu berkata, suaranya halus dan sopan.
"Pangeran, apakah sampai sekarang juga Pangeran tidak sudi menulis surat
untuk Ibunda Pangeran di Khitan?"
"Bouw Lek Couwsu! Percuma saja kau
membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau boleh membunuhku, aku tidak
peduli!" jawab Talibu sambil bangkit duduk. Rasa panas tubuhnya masih ada,
akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi Lan juga
sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu pada
kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak membayangkan
takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek Couwsu penuh
kemarahan.
"Hemmm...." pemimpin orang-orang
Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini membayangkan
kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar keras hati. Mengingat
bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan dan gagah perkasa, kami tidak ingin
menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran sudi memilih, menulis surat ini
ataukah terpaksa pinceng membunuh gadis ini!"
Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam
adalah adik kandungnya, adik kembarnya. Andaikata orang lain sekalipun, tak
mungkin ia dapat membiarkan gadis itu tewas karena dia! Apalagi adik
kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa mengetahui
bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin ia mengorbankan
nyawa adik yang dicintanya ini? Ia tak mampu menjawab, hanya menatap wajah
pendeta yang tersenyum-senyum dingin itu, sambil menggelenggeleng kepalanya.
"Pinceng tahu bahwa hati Pangeran adalah
baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati. Oleh karena itu,
harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan itu dan inilah
kertas...."
"Pangeran Talibu! Jangan pedulikan dia!
Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta palsu. Kau mau bunuh aku lekas bunuh! Apa kaukira
aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang berkedok pendeta untuk
melampiaskan angkaramurka!"
Bouw Lek Couwsu melihat perubahan pada muka
Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras, tanda bahwa Pangeran itu timbul
semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada Mutiara
Hitam. "Baiklah, jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima
kematianmu. Dan kau, Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan pemandangan
yang amat menyenangkan." Ia memberi perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada
dua orang raksasa buruk itu.
Dua orang setengah telanjang itu saling
pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, menyeringai lebar sehingga deretan gigi besar-besar
kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari mengadu untung. Si
Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang menang, maka sambil mengeluarkan suara
seperti binatang buas ia berlutut, girang bukan main, Si Raksasa Hidung Besar
yang kalah hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan
tangannya yang besar meraih ke bawah.
"Breeetttt....!" Sekali renggut
robeklah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan
sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat
dan sebagian kulit paha yang putih bersih! Si Raksasa Hidung Pesek kembali
mendengus dan tangannya siap bergerak untuk menelanjangi calon korbannya.
Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah menguasainya, siap melakukan perkosaan
tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.
"Iblis keparat....!"
Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam
kemarahan yang meluap-luap ia menerjang dengan pukulan ke arah raksasa hidung
pesek yang hendak memperkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak membungkuk, mukanya
menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda
bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala Si Raksasa Hidung Pesek. Inilah
ilmu pukulan sakti Tok-hiat-coh-kut (Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat
hebat dan biarpun baru dilatih setengah matang dari Ratu Yalina namun raksasa
Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana mampu menghindarkan diri.
Terdengar suara "kraakkkk....!" dan raksasa itu terguling dengan
kepala remuk isinya!
"Hemmm....!" Bouw Lek Couwsu
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tangannya bergerak dan Pangeran
Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan jarak jauh
pendeta ini telah merobohkannya. Bouw Lek Couwsu memberi perintah lagi dalam
bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang menjadi marah sekali karena
temannya roboh tewas, mentaati perintah itu lalu bangkit berdiri dan mencabut
sebuah cambuk kulit dari ikat celananya. Kemudian menghampiri Pangeran Talibu
dan terdengarlah suara meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghantam
tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang bagian atasnya, pangeran yang memang
sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit
seperti dicacah-cacah, digigiti cambuk, terasa panas dan perih. Saking
sakitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari seperti
seekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai berdarah,
sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!
Biarpun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata
sesuatu saking terharu dan sakit hatinya, namun air matanya bercucuran
menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu.
Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.
"Bouw Lek Couwsu kau manusia iblis! Kau
anjing tua berkedok pendeta! Aku bersumpah akan mencabut nyawamu kalau diberi
kesempatan!"
Bouw Lek Couwsu hanya tertawa bergelak,
kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti Kwi Lan, "Heeii, kauberi
rasa sekali dua kali kepada bocah bermulut lancang ini!"
Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya
memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu berahi, kini memandang dengan
kebencianmeluap-luap. Ia membalik dan mengangkat cambuknya, siap dijatuhkan ke
atas muka yang jelita dan berkulit halus putih kemerahan itu.
Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara
mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan ujungnya menyambar ke arah muka Kwi
Lan.
"Binatang....!"
Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah
menggeletak kehabisan tenaga dan amat menderita rasa panas perih dan nyeri,
kini meloncat dan ujung cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap
oleh tubuhnya.
"Tarrr....!"
Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia
tadi dapat bergerak karena kemarahan yang meluap-luap ditambah rasa gelisah
menyaksikan adik kembarnya akan disiksa, akan tetapi begitu ia berhasil
menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah
lumpuh oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak maka ia
terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadimarah. Ia lalu menggerakkan
cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi sampai akhirnya pemuda
itu roboh pingsan! Dada dan punggungnya tertutup darah dan garis-garis biru
merah.
"Cukup, kau anjing tolol! Jangan bunuh
dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek Couwsu membentak kemudian
melangkah minggir.
Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan
hebatnya hukuman kalau ia membuat marah pemimpin besar ini, lalu mengangkat
cambuknya, menghantam sekerasnya ke arah Kwi Lan yang rebah telentang tak
mampu bergerak. Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti datangnya cambuk
ke muka dengan ketabahan luar biasa.
"Wuuuutt...., adduuuuhhhh....!"
Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di
tengah jalan bahkan lalu terlepas dari pegangan Si Raksasa Hsi-hsia yang roboh
seperti pohon ditebang. Sebatang jarum telah menembus punggung dan terus
menancap di jantungnya!
"Hemmm…. Bouw Lek Couwsu! Beginikah
engkau memperlakukan muridku?" terdengar suara halus dingin dan muncul di
ambang pintu seorang wanita berpakaian putih berkerudung hitam, Kam Sian Eng!
Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi dengan tangan kiri,
hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah membunuh raksasa Hsi-hsia dalam
sekejap mata. Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi,
dan di belakang dua orang ini berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin
Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini hanya
tersenyum-senyum, agaknya mereka ini tidak peduli, atau bahkan gembira
menyaksikan betapa kini Bouw Lek Couwsu agaknya akan bentrok dengan
Sian-toanio!
Bouw Lek Couwsu tentu saja tidak akan dapat
menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia kalau ia tidak cerdik dan pikirannya
dapat bekerja amat cepat dan mengambil keputusan yang amat tepat, padawaktunya.
Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu
cepat-cepat menjura kepada Kam Sian Eng, tersenyum lebar dan kemudian menghela
napas panjang, menggeleng kepala dan berkata.
"Aaahhh, sayang sekali. Tanpa aku
sengaja, kau telah menggagalkan siasatku, Sian-toanio. Pinceng belum gila
untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah muridmu itu terluka
sedikit pun, Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak lain hanya dalam usaha
menundukkan kekerasan hati Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan
bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa itu.... ah, bukankah
dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"
Kam Sian Eng tadi membunuh raksasa Hsi-hsia,
bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan, melainkan ia merasa terhina
kalau muridnya diganggu orang di depanmatanya. Ia sebetulnya masih marah kepada
muridnya itu, apalagi ketika mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak
terjang Kwi Lan di kota raja. Kini mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia
mendengus dan melemparkan tubuh Kiang Liong ke atas lantai. Kiang Liong
ternyata pingsan dan tubuhnya menggelundung dekat Kwi Lan yang hanya melotot
dan memandang gurunya.
"Kakanda Pangeran....!"
Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat.
Ketika pemuda ini yang tertawa-tawa tidak mau melepaskannya, Mimi mencakar dan
menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng berkata ketus,
"Lepaskan dia!"
Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia
tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk tubuh Pangeran Talibu dan
menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan menggosok-gosok tubuh yang
penuh darah dan luka-luka cambukan.
Bouw Lek Couwsu mengajak tamu-tamunya
meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup dan dikunci dari luar, para
penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu,
kecuali tangis Puteri Mimi. Kwi Lan yang melihat guru dan suhengnya tidak
berusaha membebaskannya, mengerti
di dalam hatinya bahwa ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak
merasa sedih karena kini tahulah ia bahwa gurunya dan suhengnya itu bukanlah
manusia-manusia baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran
Talibu dan Kiang Liong, karena andaikata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum
yakin apakah ia akan mau bersekutu dengan mereka. Kini perhatiannya tercurah
kepada Puteri Mimi yang menangisi Talibu. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu,
melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman bunga Kiang Liong itu kini
menangisi Talibu, ia secara tiba-tiba saja membenci puteri ini! Ingin ia
bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi Pangeran Talibu.
“Kakanda Pangeran....!”
Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu
sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. IA masih dikuasai racun yang
memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di
dekatnya dan memeluki serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak
ia bangkit.
“Mimi.... kau.... kau....?”
Mereka berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali
ketika merasa betapa kakaknya ini, kakak kandungnya yang ia tahu diambil putera
ratunya, kini memeluknya dengan tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi
bibirnya penuh nafsu. Ia terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir
kalau-kalau kakaknya yang dicintanya ini menjadi gila!
"Kakanda....!" Ia berusaha
melepaskan pelukan. Akan tetapi Pangeran Talibu memeluk makin erat, bahkan
mencegahnya bersuara lagi dengan ciuman mesra.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking nyaring.
Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan rasa amarahnya yang menggelegak di
hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada dalam cengkeram iblis cemburu, yang
membuatnya marah dan beringas, siap membunuh Puteri Mimi. Setelah mengeluarkan
suara melengking seperti suara gurunya kalau marah, tubuhnya mencelat ke
depan, memukul ke arah Mimi dengan pukulan maut. Ia sudah lemah, tenaganya
sudah hampir habis karena ia pergunakan untuk melawan rangsangan berahi
sepanjang malam, akan tetapi pukulan itu masih ganas dan dahsyat luar biasa.
"Dukkk....!" Tubuh Kwi Lan
terpelanting dan gadis yang sudah lemah ini sebelum sempat bangkit kembali,
sebuah totokan membuatnya rebah miring dalam keadaan pingsan.
Puteri Mimi terkejut dan dengan pengerahan
tenaga sekuatnya ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Pangeran Talibu. Akan
tetapi Pangeran itu bangkit dengan mata merah, mulut terengah-engah lalu hendak
mengejar.
"Kakanda...., apakah kau gila....?"
teriak Mimi dan gadis ini merasa ngeri dan khawatir. Pangeran Talibu menubruk
akan tetapi sebuah totokan dari samping membuat ia roboh pula menggelundung di
dekat Kwi Lan dalam keadaan pingsan.
Kiranya Kiang Liong yang tadi siuman cepat
turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi tadi. Pemuda yang banyak
pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu yang tidak wajar pada
sinar mata Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat betapa Pangeran itu
mengejar adiknya sendiri dengan nafsu menyala-nyala, segera ia menotoknya
roboh.
Untung bahwa dua orang muda itu sudah
kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong dapat merobohkan mereka
secara mudah. Apalagi merobohkan Kwi Lan, karena tenaga Kiang Liong sendiri
pun sudah lemah akibat luka yang dideritanya akibat pukulan Kam Sian Eng. Setelah
melihat betapa Kiang Liong merobohkan kakaknya, Puteri Mimi berbalik menjadi
marah kepada Kiang Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan
membentak. "Kauapakan Kakakku....?"
Kiang Liong mengerutkan kening. "Mereka
tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku hanya menotok mereka agar tidak
terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka berada di bawah pengaruh
racun." Ia menuding ke arah mangkuk-mangkuk bekas makanan.
Puteri Mimi mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat
kakaknya. Kalau teringat betapa kakaknya tadi menciuminya seperti itu, mukanya
menjadi merah saking jengah. Ah, selama hidupnya belum pernah ia dicium orang
seperti itu! Kemudian timbul pula rasa kasihan dan khawatir di hati melihat
tubuh kakaknya yang penuh luka bekas cambukan. Ia menoleh ke arah Kwi Lan,
mengerutkan kening. Siapa wanita cantik jelita ini dan mengapa datang-datang
hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali merenungi kakaknya dengan hati
penuh kegelisahan.
Kiang Liong juga maklum bahwa keadaan mereka
amatberbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan berduka atau
berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki keadaan kamar tahanan. Setelah
mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat sekali, dijaga ketat di luar, ia lalu
mengundurkan diri di sudut ruangan itu, duduk bersila mengumpulkan hawa murni
untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ia tahu bahwa yang terpenting
adalah memulihkan kekuatan karena apa pun yang akan terjadi, yang paling ia
perlukan adalah tenaga dan kesehatannya. Keadaan di dalam ruangan tahanan ini
menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas panjang diselingi isak dari
Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan akhirnya padam. Ruangan menjadi
gelap. Puteri Mimi makin gelisah. Dua orang pingsan, yang seorang duduk bersamadhi.
Dia merasa seperti di kuburan.
Menjelang pagi terjadi geger di dalam hutan
dekat markas Bouw Lek Couwsu. Yu Siang Ki yang membawa pasukan pengemis
sebanyak lima puluh orang telah tiba dan langsung menyerbu hutan yang kini
terjaga rapat oleh orang-orang Hsi-hsia dan para pendeta jubah merah. Pasukan
yang dibawa Yu Siang Ki adalah orang-orang pilihan dari dunia kai-pang dan
rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai tokoh-tokoh kai-pang yang
berpengalaman, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang ahli akan siasat
pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat rahasia, maka mereka tidak
bertindak sembrono. Yu Siang Ki di samping teman-temannya yang berpengalaman,
dapat menduga bahwa markas besar pimpinan orang Hsi-hsia ini tentu penuh dengan
perangkap-perangkap berbahaya. Oleh karena itu mereka menanti sampai datangnya
malam gelap, barulah mereka menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan
teman-temannya tidaklah begitu sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan
satu-satunya yang terdapat di hutan itu, melainkan mengambil jalan menyusup di
antara semak-semak belukar, menyelinap di antara pohon-pohon besar.
Dengan amat hati-hati mereka menyusup seperti
gerakan pasukan monyet yang amat lincah. Setelah melalui perjalanan yang amat
sukar dan lama, menjelang senja barulah mereka dapat mendekati markas. Mereka
telah lolos daripada perangkap-perangkap rahasia yang dipasang di sepanjang
jalan, akan tetapi ternyata mereka tidak dapat lolos daripada para penjaga
yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan mereka, para hwesio jubah merah
beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak mengepung dan terjadilah pertempuran
hebat sekali di dekat markas besar Bouw Lek Couwsu. Keadaan masih remang-remang
gelap, dan pasukan kai-pang di bawah pimpinan Yu Siang Ki menyerbu dengan
dahsyat sehingga pertempuran itu berlangsung seru sampai pagi. Akan tetapi
ternyata pasukan yang dipimpin Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga banyak
perajurit Hsi-hsia roboh binasa. Para hwesio jubah merah melakukan perlawanan
gigih, namun mereka kalah banyak sehingga mulailah mereka terdesak.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Jembel-jembel busuk sungguh menjemukan!" Bentakan ini disusul
munculnya seorang kakek kurus bertopi tinggi, namun gerakannya hebat luar
biasa. Begitu dengan tangan kosong ia menyerbu, empat orang pengemis roboh
dengan mata mendelik dan putus napasnya!
"Hemmm, baru kalian mengenal
Pak-sin-ong!" kata Si Kurus dan kembali ia melangkah maju. Para pengemis
yang terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek ini, menjadi lebih kaget
mendengar namanya. Kiranya inilah Pak-sin-ong! Namun hanya sebentar mereka
terkejut. Seorang pengemis yang bertubuh kekar dan berkumis lebat, menubruk
maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala Pak-sin-ong. Kakek itu
hanya berdiri dengan angkuh dan tersenyum mengejek.
"Krakk!" Tongkat itu tepat mengenai
kepala dekat dahi, akan tetapi kakek itu tetap tersenyum, sebaliknya tongkat
itu yang terbuat daripada kayu keras, patah menjadi dua potong dan terlempar
jauh entah ke mana. Si Pengemis kaget, namun tiba-tiba kakek itu menggerakkan
tangannya dan ditusukkan ke depan.
Pengemis itu terbelalak dan mulutnya
mengeluarkan jerit mengerikan. Juga teman-temannya terbelalak ngeri ketika
melihat betapa pengemis ini pecah perutnya, ususnya, berantakan dan
ditarik-tarik keluar oleh Si Kakek Kejam! Pemandangan yang amat mengerikan,
akan tetapi juga menimbulkan kemarahan yang meluap-luap, membuat para pengemis
menjadi nekat. Majulah mereka menerjang kakek itu yang melayani sambil
tersenyum simpul.
Yu Siang Ki yang mendengar laporan tentang
munculnya kakek hebat ini, cepat meloncat dan menggerakkan tongkatnya
merobohkan seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi sebelum ia tiba di tempat
Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri ke sarnping, bergulingan
dan menyabetkan tongkatnya ke kiri karena dari arah kiri menyambar sebuah
gunting besar yang tadi hampir saja menggunting putus lehernya! Ia meloncat
bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang terbahak-bahak. Butek Siu-lam!
Kagetlah Yu Siang Ki, sudah lama ia mendengar
akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong sebagai seorang tokoh utara
yang luar biasa saktinya, juga ia pernah mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam
yang baru muncul namun memiliki nama yang tidak kalah oleh orang-orang pertama.
Melihat bentuknya, lagaknya, dan guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya.
Ia tahu bahwa lawan ini amat berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya
dan begitu tangannya bergerak, topinya melesat seperti petir menyambar ke arah
muka Bu-tek Siu-lam.
"Klikk!" Gunting itu menyambar
dan.... biarpun topi masih terbang lewat, namun kembangnya yang menghias topi
sudah terguling dan kini terpegang di tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang
mencium-cium kembang itu dengan lagak genit!
"Hi-hik, pemuda tampan, Engkau boleh
juga, sayang semuda dan setampan engkau begini malas menjadi pengemis.
Hi-hik!"
Pada saat itu, seorang pengemis tua mendekati
Yu Siang Ki dan berkata suaranya gugup, "Pangcu, keadaan kita terdesak.
Minta putusan."
"Beri tanda untuk mundur, sedapat mungkin
keluar dari tempat ini!" kata Yu Siang Ki yang tidak ingin mengorbankan
teman-temannya dan maklum bahwa setelah muncul dua orang sakti yang sama
sekali tidak pernah disangkanya, keadaan pasukannya terancam bahaya. Kakek
pengemis itu mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti
orang menangis. Itulah tanda untuk mundur, maka paniklah pasukan pengemis.
Mereka mulai mundur sambil mempertahankan diri, didesak oleh musuh yang kini
mendapat hati.
Jalan keluar kiranya malah lebih sukar
daripada jalan masuk karena selain pasukan Hsi-hsia dan pendeta-pendeta jubah
merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan Siauw-bin Lomo dari
sebelah kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian Eng dan Suma Kiat!
Percuma saja para pengemis melakukan perlawanan dan berusaha lari. Mereka
disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat lolos dari tempat itu!
Ketika Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa pengemis
muda yang tampan gagah ini adalah seorang Kai-pangcu (Ketua Pengemis) yang
memimpin pasukan pengemis, ia menjadi kagum dan berkata, "Eh, kiranya
engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku mendengar laporan para pengemis anak buahku
bahwa ada seorang ketua pengemis muda belia yang katanya adalah putera mendiang
Yu Kang Tianglo. Engkaukah orangnya?"
"Benar, dan aku pun tahu bahwa engkaulah
orang dari barat yang menampung kaum sesat untuk menyelewengkan dunia pengemis
ke dalam kejahatan. Sudah tiba saatnya kita membuat perhitungan!" kata Yu
Siang Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia sudah menggerakkan tongkat
panjangnya.
"Hi-hi-hik, bagus! Bouw Lek Couwsu akan
suka sekali menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh, bocah ganteng, engkau ikut
saja denganku membantu Couwsu."
"Bu-tek Siu-lam! Kaukira aku Yu Siang Ki
orang macam apakah? Lihat tongkatku!" pemuda itu sudah menerjang dengan
gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan suara mengaung ketika menyambar
ke arah kepala Bu-tek Siulam. Namun kakek ini hanya tertawa mengejek dan berkata,
"Hi-hik, percuma kau melawan!" Tongkat Siang Ki lewat di dekat
kepalanya ketika tokoh banci ini mengelak. Namun sungguh tak disangkanya
ketika tongkat itu seperti seekor naga membalikkan tubuh sudah membalik dan
menusuk ke arah dadanya. Ketika ia cepat miringkan tubuh, tongkat itu kembali
tahu-tahu sudah menghantam ke arah pinggangnya.
"Hiyaa...., kau boleh juga....!"
seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Kiranya biarpun masih muda, pengemis
ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja menjadi ketua kai-pang dan juga
tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Yu Kiang Tianglo yang dulu amat
tersohor.
Pada saat itu, muncul dua orang pengemis tua.
Tubuh mereka sudah terluka di lengan dan pundak, dan wajah mereka penuh
keringat, pandang mata mereka penuh kegelisahan. Mereka serentak menerjang
Bu-tek Siu-lam membantu Yu Siang Ki dan seorang di antara mereka berkata,
"Pangcu mari kita lari, keadaan sudah berbahaya dan mendesak....!"
Kiranya dua orang pengemis ini yang melihat
betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha mengundurkan diri dihajar
habis-habisan oleh musuh, kini berusaha membujuk Siang Ki untuk menyelamatkan
diri. Mendengar ucapan mereka ini, Siang Ki mempercepat gerakan tongkatnya
sehingga ujung tongkatnya berubah menjadi puluhan buah banyaknya, yang
kesemuanya menyerbu ke arah jalan darah dan bagian-bagian lemah dari tubuh
Bu-tek Siu-lam.
"Hi-hi-hi-hik, dasar pengemis tak tahu
diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan tubuhnya berkelebat ke arah dua orang
pengemis tua itu. Guntingnya yang besar menyambar dan mengeluarkan bunyi
nyaring "Klikk! Klakk!" Dua orang pengemis itu menjerit keras dan
tubuh mereka roboh menjadi.... empat potong! Siang Ki kaget dan kemarahannya
meluap. Ia segera menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran ayahnya sambil
mengerahkan semua tenaga sin-kang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh pemuda ini,
berkelebatan dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar tongkatnya yang
menyambar-nyambar. Bunyi mengaung, makin meninggi sampai melengking-lengking
nyaring.
Namun, yang dihadapi pemuda lihai ini adalah
Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian.
Sungguhpun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu silat Yu Siang
Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ganas, juga kakek banci ini menang tenaga
dan menang pengalaman. Semua terjangan tongkat Yu Siang Ki yang demikian
dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga terdengarlah berkali-kali
suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua senjata itu bertemu. Yu
Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya
menjadi kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Dan
ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat
pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek
Siu-lam ini. Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota
Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam, pasukannya hancur dan entah bagaimana
dengan nasib Kwi Lan. Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah.
Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua
perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih
tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu-lam mengejek dan terpaksa ia pun
mempercepat gerakan guntingnya karena biarpun masih muda, lawannya ini
benar-benar tak boleh dipandang ringan. Jarang ia menemui lawan semuda tapi
setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan senangnya mempunyai
seorang kekasih seperti pemuda ini, pikirnya. Tampan, kulitnya putih halus,
matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidaklah
mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus
jurus lebih!
Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum
bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapapun juga,
ia harus mempertahankan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek
Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu
jauh lebih tinggidaripadanya. Ia harus menggunakan akal, kalau tidak, hanya
mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat membunuh Bu-tek Siu-lam.
Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu
mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul
tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke
arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang
berbahaya, mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Bu-tek Siu-lam bukan anak
kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan
yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya
menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah
dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke
dada.
Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan
dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk mencaplok lengan.
Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya
inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa. Ia menggunakan
lengan kirinya itu untuk memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan
lengan kirinya dicaplok gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan
kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan
tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini,
cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan kehilangan lengan kiri, akan tetapi
pukulannya tentu akan membinasakan lawannya!
Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat
betapa lengan kiri itu sama sekali tidak mengelak atau ditarik kembali,
membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia
menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara
"klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan
gerakan reflex yang mengagnmkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus
menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang
tertangkis itu menyeleweng ke bawah dan menghantam paha kirinya.
"Bukkk....!"
Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang,
meringis kesakitan. Biarpun tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah
dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan
orang!" teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia menerjang
maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya
mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!
Yu Siang Ki kaget dan menyesal sekali. Ia
berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia hanya mendatangkan
luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tongkatnya.
Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secarahebat. Ia
melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan
celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua matanya! Pemuda ini terpaksa
membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar
berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi
kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan
tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha
menangkap jarum. Akan tetapi jarum yang diikat benang itu seperti hidup
digerakkan tangan kiri Butek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan
tahu-tahu telah menancap d pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh,
tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali
senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang mengeluh
perlahan dan roboh pingsan.
***
Dalam, keadaan tidak berdaya, Kiang Liong
terpaksa menonton saja ketika ia dan para tawanan lain dibelenggu, karena yang
melakukan ini adalah Bouw Lek Couwsu sendiri yang masuk ke ruangan tahanan
ditemani Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo. Di antara para
tawanan, hanya dia dan Puteri Mimi yang kini dalam keadaan sehat. Akan tetapi
apa artinya dia dan Puteri Mimi berdua saja menghadapi empat orang kakek sakti
ini? Belum waktunya untuk menerjang dan mati-matian mengadu nyawa, pikirnya.
Terpaksa ia berpura-pura lemah dan tidak berbuat sesuatu sehingga mereka semua
ini terbelenggu dengan rantai-rantai baja, diikat pada dinding kamar tahanan
Kiang Liong disudut kiri, dan berbaris di sebelah kanannya adalah Pangeran
Talibu, Yu Siang Ki, Kam Kwi Lan dan Puteri Mimi. Lima orang muda belia
berbaris dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan itu, nasib mereka
berada di tangan kakek-kakek yang kejar, dan ganas!
Puteri Mimi terisak-isak menangis. Melihat
ini, Kiang Liong berkata perlahan dan tenang menghibur, "Harap puteri
jangan gelisah dan putus harapan. Percayalah bahwa Bouw Lek Couwsu yang amat
mengharapkan bantuan Khitan tidak akan begitu gila untuk membunuh puteri dan
Pangeran. Ia melakukan ini sebagai gertakan saja untuk mengancam dan membujuk
Pangeran Talibu yang saya lihat amat gagah dan keras hati tidak mau menyerah
sehingga mengalami siksaan. Kalau dia nanti sadar dan melihat puteri menangis,
hal ini amat tidak baik bagi pertahanannya. Engkau adalah puteri Panglima
Kayabu yang gagah perkasa, tidak semestinya takut menghadapi bahaya yang baru
sekian saja."
Puteri Mimi menghentikan tangisnya. Hanya air
matanya yang masih mengalir turun melalui kedua pipinya, akan tetapi. makin
lama air mata itu pun makin mengecil dan akhirnya berhenti. "Terima kasih,
Kiang-kongcu. Sesungguhnya, aku tidak akan memalukan nama besar ayahku dan aku
bukan menangis karena takut. Kematian di tangan musuh bukanlah apa-apa bagiku.
Yang kutangisi dan kusedihkan adalah keadaan Pangeran Talibu. Melihat keadaan
jasmaninya tersiksa seperti itu sudah cukup mengenaskan, akan tetapi melihat
betapa ia tadi.... ah, Kongcu, engkau tahu bahwa dia adalah kakak kandungku,
bahwa dia adalah Pangeran Mahkota. Hati siapa takkan berduka melihat kakak
sendiri dan pangerannya menjadi.... menjadi.... gila....?"
Kiang Liong menarik napas panjang. Ia tadi pun
melihat betapa Pangeran Talibu memeluk dan menciumi adik kandungnya itu
secara berlebihan bahkan secara tidak patut. Pelukan dan ciuman yang
mengandung nafsu berahi sepenuhnya! Bahkan sedemikian hebat nafsu itu
menggelora dan menguasai Pangeran tadi sehingga Pangeran itu tidak
mempedulikan kehadiran orang lain dan hendak memaksa Sang Puteri. Hal ini
memang benar-benar tidak wajar dan ini pula yang menyebabkan ia tadi turun
tangan menolong Sang Pangeran.
"Puteri Mimi, harap kau suka tenang. Saya
tahu bahwa sikapnya tadi tidak wajar, seperti juga sikap Mutiara Hitam ini,
akan tetapi percayalah, mereka ini pasti terkena racun yang hebat. Mereka
berdua bukanlah orang-orang jahat dan juga tidak gila. Tunggu saja kalau
mereka sadar, tentu kita akan. mendengar keterangan mereka...."
Terdengar keluhan Kwi Lan. Mimi menoleh ke
sebelah kirinya, melihat Kwi Lan menggerakkan kaki tangan yang terbelenggu,
kemudian kepalanya dan akhirnya membuka matanya. Sejenak mata itu nanar dan
bingung, kemudian Kwi Lan menoleh ke kanan kiri dan matanya bersinar-sinar
penuh kemarahan. Mata itu kini memandang ke arah pintu besi dan mulutnya
memaki.
"Heh si bedebah Bouw Lek Couwsu, kakek
tua bangka mau mampus yang tak tahu malu! Kau pengecut besar yang hanya mengandalkan
jebakan-jebakan rahasia, racun-racun menjijikkan dan bantuan pengeroyokan!
Kalau memang kau mengaku jantan pemimpin bangsa biadap Hsi-hsia, hayo kita
bertanding sampai selaksa jurus!"
"Kwi Lan, tidak ada gunanya
menantang-nantang kalau kita sudah tak berdaya begini," kata Yu Siang
Ki. Kwi Lan menoleh ke kiri dan nenjawab dengan mulut cemberut.
"Dasar kau yang tidak punya guna, Siang
Ki. Kau datang bersama pasukan pengemis pilihan, bagaimana tahu-tahu sudah
menjadi tawanan? Ke mana perginya pasukanmu itu?"
Siang Ki menarik napas panjang. "Aaahhh,
semoga saja di antara mereka ada yang berhasil meloloskan diri. Masih terlalu
berat, apalagi kakek-kakek iblis seperti Siauw-bin Lo-mo, Bu-tek Siulam,
Pak-kek Sin-ong dan yang lain. Sungguh mereka merupakan lawan berat."
"Aku tidak takut!" bentak Kwi Lan
marah dan kembali ia berteriak-teriak "Iblis-iblis tua bangka macam Bu-tek
Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo atau Bouw Lek Couwsu, kalau berani
bertanding melawan aku secara jantan, biarkan maju. Kalau aku kalah, aku rela
mampus di tangan. seorang di antara mereka!"
Siang Ki hanya menghela napas, maklum akan
watak gadis ini. Kiang Liong tertawa kecil dan berkata, "Heh-heh, biarkan
saja dia, Yu-pangcu. Andaikata dilayani, dia takkan mampu mengalahkan seorang
di antara Bu-tek Ngo-sian."
Kwi Lan kini menoleh ke kiri, sedapat mungkin
memanjangkan lehernya untuk dapat melihat Kiang Liong yang terhalang Siang Ki
dan Talibu, matanya mendelik dan ia menghardik.
"Kau murid Suling Emas si sombong
tekebur! Kalau kau takut mampus, boleh kau menyerah kepada mereka dan boleh
wakili mereka menempur aku! Huh, sombong, tidak menengok tengkuk sendiri.
Kalau kau pandai dan murid Suling Emas kenapa kau sendiri tertawan? Tak tahu
malu!"
Kiang Liong hanya tertawa, memperlihatkan
deretan gigi yang putih dan kuat, Kwi Lan makin marah, mendengus-dengus dan
meronta-ronta, akan tetapi belenggu kaki tangannya terlampau kuat. Akhirnya ia
tidak meronta-ronta lagi dan hanya merenung ke depan. Dua titik air mata
meloncat ke atas sepasang pipinya yang kemerahan. Melihat ini, Kiang Liong
menjadi kasihan. Dengan kata-kata serius ia lalu berkata.
"Mutiara Hitam, siapakah yang
menyangsikan kegagahan dan keberanianmu? Aku kagum sekali kepadamu. Akan
tetapi, kau tentu mengerti pula bahwa seorang gagah akan dapat menanggung
penderitaan dengan sikap tenang dan tidak putus harapan."
"Huhh....!" Kwi Lan hanya mendengus,
akan tetapi tidak membantah dan kini ia mencurahkan perhatiannya ke sebelah
kanan, kemudian ke kiri ke arah Pangeran Talibu. Ia melihat betapa pangeran
yang dicintanya itu telah sadar pula, dan kembali jantungnya berdebar aneh.
Kini ia tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Talibu dan kalau ia
teringat akan keadaan mereka pada malam hari tadi, wajahnya menjadi merah
sekali. Ah, jelas bahwa malam tadi terjadi peristiwa yang amat memalukan antara
mereka berdua. Sikap mereka seperti orang kemasukan setan, tidak tahu malu! Dan
makin yakin
pula hati Kwi Lan bahwa tentu malam tadi ia
terpengaruh oleh racun yang terdapat dalam masakan dan minuman, demikian pula
Pangeran Talibu. Buktinya, pagi ini ia tidak mempunyai perasaan panas dan
rangsangan seperti semalam, sungguh harus ia akui bahwa cinta kasihnya
terhadap pangeran itu makin membesar. Juga sinar mata Pangeran Talibu pagi ini
halus dan tenang tidak panas dan penuh nafsu seperti malam tadi. Akan tetapi,
perih hatinya kalau teringat akan kelakuan Pangeran itu terhadap Puteri Mimi.
Dan saat ini, pandang mata Pangeran itu pun ditujukan kepada Puteri Mimi yang
berdiri terbelenggu di sebelah kanannya. Dan di antara mereka ini terjadi
percakapan dalam bahasa yang ia tidak mengerti! Bahasa Khitan!
Ia sama sekali tidak mengerti dan tiba-tiba
mendengar ketawa perlahan di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat Yu Siang
Ki tersenyum dan mengangguk-angguk. Juga di ujung kiri tampak Kiang Liong
tersenyum tenang. Jelas bahwa Siang Ki dan Kiang Liong mengerti bahasa Khitan
dan tahu apa yang dipercakapkan kedua orang itu. Membicarakan tentang dia?
Mentertawakan dia? Hatinya panas dan betapapun ditahan-tahannya, akhirnya ia
tidak kuat dan berbisik kepada Siang Ki.
"Mereka bicara apa? Apa yang dikatakan
oleh dia?" Ia menunjuk dengan gerakan muka ke arah Pangeran Talibu.
Siang Ki menoleh kepadanya dan menjawab sambil
berbisik pula. "Pangeran Talibu bilang bahwa puteri ini bukan adik
kandungnya, bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga di antara
mereka."
Kwi Lan tertegun, heran. Ia menoleh ke kanan
dan melihat Puteri Mimi memandang ke kiri, ke arah Pangeran itu dengan mata
terbelalak, seperti tidak percaya, akan tetapi wajah itu berseri-seri, penuh
cemas, harap, dan bahagia! Kemudian ia mendengar Talibu masih berkata-kata
penuh semangat dan perasaan, dan wajah Puteri Mimi makin berseri, lalu kemerahan
kedua pipinya.
"Apalagi yang dikatakan?" desisnya
kepada Siang Ki.
"Ha, Pangeran itu bilang bahwa dia
mencinta Puteri Mimi, dan telah mengambil keputusan untuk menikah dengan
Puteri Mimi...."
Kwi Lan memejamkan mata, merasa seakan-akan
halilintar menyambar kepalanya. Ia membuka mata, menoleh ke kanan melihat
Puttri Mimi juga memejamkan mata sambil tersenyum penuh bahagia. Menoleh ke
ujung kiri melihat Pangeran Talibu memandang ke arah Puteri Mimi, melalui dia,
dengan penuh cinta kasih! Hatinya makin panas dan tiba-tiba air matanya
bercucuran tanpa dapat dicegahnya lagi.
“Kita akan mampus semua....” desisnya
menghibur hati panas dan patah, “kita akan mampus semua di sini....!”
Yu Siang Ki tidak tahu apa yang terjadi dalam
hati dan pikiran Mutiara Hitam. Mendengar ucapan ini dan melihat air mata
bercucuran, ia terheran. Mengapa kini Kwi Lan seperti orang putus harapan? Ke
mana keberaniannya tadi?
“Kwi Lan, sebelum hayat meninggalkan badan,
masih ada harapan untuk lolos....”
“Cukup! Siapa putus harapan?” bentaknya.
Sementara itu, menjelang pagi tadi terjadi
hal-hal yang aneh di luar ruangan tahanan. Serombongan penjaga bangsa Hsi-hsia
sebanyak lima orang yang menjaga barisan luar markas, menantikan datangnya
pengganti penjaga sambil bermain kartu untuk menghilangkan rasa kantuk. Mereka
sedang gembira karena ketegangan semalam telah mereda dan mereka merasa
beruntung mendapat tugas menjaga sampai pagi, lebih untung daripada teman-teman
yang mendapat tugas menyingkirkan sekian banyaknya mayat-mayat para pengemis
yang menyerbu markas. Keadaan mayat-mayat itu mengerikan, ada yang
terpotong-potong tubuh mereka oleh gunting besar Bu-tek Siu-lam, ada yang
berceceran isi perutnya sampai berantakan ususnya oleh tangan Pak-sin-ong.
Menyingkirkan mayat-mayat seperti itu amat menjijikkan dan jauh lebih enak
melakukan penjagaan dalam gardu ini sambil mengobrol dan bermain kartu. Apalagi
setelah kaum penyerbu dapat dihancurkan, keadaan menjadi aman dan siapa berani
memasuki markas mereka?
Suara tapak kaki halus membuat mereka
menengok dan lima orang Hsi-hsia ini meloncat keluar dari gardu sambil
menghunus golok masing-masing. Sebentar saja mereka telah mengepung wanita yang
mendatangi gardu itu. Wanita yang masih muda, cantik manis dengan sikap yang
genit, tersenyum-senyum malu, dengan sepasang mata bening lincah, tubuhnya
melenggak-lenggok, biarpun sedang berdiri, pinggangnya tak pernah diam,
bergerak-gerak seperti batang pohon liu tertutup angin. Wanita yang cantik
molek menggairahkan dan genit! Namun lima orang penjaga Hsi-hsia itu tidak mau
bersikap sembrono. Terlalu banyak wanita cantik yang berbahaya dan
berkepandaian tinggi, seperti Puteri Mimi dan terutama sekali Mutiara Hitam.
Siapa tahu wanita cantik ini pun sahabat Mutiara Hitam. Maka mereka mengurung
dengan golok terhunus.
“Siapa kau? Dari mana dan mau apa?” bentak
seorang di antara penjaga yang berkumis panjang, mengacungkan goloknya yang
tajam berkilauan.
“Iihhh...., jangan bunuh aku.... aduhhh,
jangan bunuh aku.... Cu-wi-enghiong (Tuan-tuan Yang Perkasa)....!” wanita itu
menjerit lirih, suaranya parau basah.
Lima orang Hsi-hsia itu tertawa. Pertama
karena serasa dielus-elus hati mereka mendengar mereka disebut lima orang
perkasa! Dan ke dua karena dengan sikapnya itu, wanita ini jelas bukanlah
pendekar wanita yang pandai silat. Seorang wanita dusun yang cantik dan bodoh.
“Siapa kau dan mau apa datang ke sini?” bentak
seorang penjaga lain yang matanya buta sebelah akibat perang.
“Aku.... aku bernama Kiok Hwa (Bunga Seruni)....
dan aku.... aku datang mencari Boan-koko (Kakanda Boan)....”
Wanita itu tertawa hak-hak-hik-hik, malu-malu
dan akhirnya berkata, “Boan-koko adalah Boan-hwesio, seorang hwesio jubah
merah yang.... ah.... sahabatku, eh.... dia sering datang ke rumahku di luar
hutan. Sudah tiga bulan kami berhubungan, akan tetapi lebih sepekan ini dia
tidak datang....”
“Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa
terbahak-bahak. Mereka tidak mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat menduga
bahwa tentulah seorang di antara hwesiohwesio jubah merah. Bukan rahasia lagi
bahwa hwesio-hwesio itu, biarpun pakaiannya jelas seperti hwesio dan kepalanya
gundul namun dalam hal mengejar wanita cantik, tidak kalah oleh mereka! Bahkan
mereka tahu betapa Bouw Lek Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.
“Kenapa kalian tertawa? Tolong panggilkan
Boan-toako, atau tunjukkan ke mana aku dapat bertemu dengan dia.... “ wanita
itu kembali berkata, sikapnya makin genit, senyum manisnya murah dan kerling
matanya menyambar-nyambar penuh tantangan.
“Ha-ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang berkata
sambil tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak didatangi sehingga menjadi
rindu dan kini menyusul ke sini?” Tangan kirinya diulur dan meraba dagu yang
putih halus itu.
“Aiihh.... kenapa raba-raba.” Wanita itu
menjerit genit.
Si Kumis tiba-tiba memandang tajam dan sikap
gembiranya berubah dengan bentakan menghardik. “Perempuan, jangan kaucoba
mengelabuhi kami! Kau seorang perempuan dusun penghuni luar hutan? Bagaimana
kau dapat memasuki tempat ini?” Kiranya Si Kumis ini teringat betapa jalan
menuju masuk ke situ penuh perangkap dan terjaga sehingga tak mungkin seorang
wanita muda yang bodoh dan lemah dapat masuk tanpa diketahui, sedangkan
Mutiara Hitam sendiri terjebak.
Wanita itu tersenyum genit. “Aahhh. kenapa
Cu-wi begini curiga? Apakah percuma saja aku mempunyai kekasih Boan-koko?
Sudah beberapa hari aku diselundupkan masuk oleh Boan-koko, melalui jalan yang
aman menyusup-nyusup semak dan alang-alang. Apa sukarnya?”
Lima orang ini lega dan percaya kini, lalu
timbul pula kegembiraan mereka untuk mempermainkan wanita cantik genit ini.
“Kenapa kau menjadi kekasih seorang hwesio gundul? Apakah dia masih muda?”
“Ah, tidak muda lagi, lebih tua daripada
kalian.”
“Hemm, apa dia tampan?”
“Tampan? Huh, mukanya bopeng dan terutama
sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar hidung itu, dan dia.... rakus.”
“Ha-ha.-ha-ha! Apanya yang rakus? Apakah
hidungnya?”
“Idihh, mau tahu aja. Pendeknya dia tua dan
buruk, kalian jauh lebih menarik. Apalagi.... hemm, aku paling suka pria
berkumis panjang!” Ia memandang Si Kumis dengan mata dipicingkan penuh
tantangan.
“Waduh! Kalau begitu, kenapa tidak menjadi
kekasih kami saja?”
“Boan-koko biarpun buruk rupa tapi hatinya
baik. Kalau tidak ada dia, bagaimana aku dan Ayah Ibu serta adik-adikku dapat
makan? Aku menjadi kekasihnya bukan untuk mencari kesenangan melainkan
mencari.... makan. Kalau mencari senang tentu aku memilih kalian, terutama
yang kumisnya panjang.”
“Ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang memelintir
kumisnya dengan bangga, matanya liar menjelajahi tubuh wanita itu lalu menengok
ke kanan kiri, “Manis, marilah ikut kami sebentar ke dalam gardu!” bisiknya
sambil merangkul.
Wanita itu terkekeh genit dan balas memeluk
pinggang Si Kumis, sambil berkata, “Aku mau akan tetapi satu-satu. Yang lain
menjaga di luar, karena aku takut ketahuan Boan-koko!”
“Baik. Kawan-kawan, kalian jaga di luar
menanti giliran!” Si Kumis terkekeh dan menyeret tubuh wanita itu memasuki
gardu. Empat orang kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan sikap
tak sabar. Jarang sekali, bahkan belum pernah mereka mendapatkan korban yang
begini lunak. Mereka menanti di luar dan tertawa-tawa ketika mendengar suara Si
Kumis menggereng dan mengeluh di dalam gardu. Tak lama kemudian muncul kepala
Si Wanita sambil menggerakkan leher ke arah Si Buta Sebelah. “Giliranmu. Dia
tertidur!”
Si Buta Sebelah seperti ditarik tenaga tak
tampak, meloncat memasuki gardu menyusul bayangan wanita itu. Kemudian
ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan tetapi tak tampak seorang pun di
antara mereka keluar lagi. Tak lama kemudian, muncullah seorang Hsi-hsia yang
bertubuh tegap ramping, mukanya kotor berdebu, pakaiannya longgar dan di
pinggangnya tergantung sebatang golok. Orang ini melenggang keluar dari dalam
gardu penjagaan, langsung masuk ke bagian dalam dari markas itu. Ketika di
baglan dalam dari batas penjagaan ia bertemu dengan beberapa orang Hsi-hsia, ia
ditegur dalam bahasa Hsi-hsia.
“Hee! Siapa kamu dan dari mana?
Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”
Orang muda itu tersenyum dan menjawab sambil
mengangkat dada. “Aiih, kawan-kawan apakah belum mendengar? Couwsu sendiri yang
dengan rahasia mengutusku dari utara langsung melakukan penyelidikan ke kota
raja Sung dan kini aku datang untuk menyampaikan hasil kerjaku.” Ia lalu
memberi salam dengan tangannya. Sikapnya yang lincah dan tidak ragu-ragu serta
wajahnya yang gembira agaknya tidak menimbulkan kecurigaan.
“Tunggulah, kawan-kawan. Setelah selesai
menghadap Couwsu, akan kuceritakan pengalamanku dengan puteri-puteri Sung!”
Semua penjaga tersenyum dan pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke sebelah
dalam dan mulailah tampak bangunan-bangunan markas Bouw Lek Couwsu. Tidak lagi
tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh
hwesio-hwesio jubah merah murid anak buah Bouw Lek Couwsu. Pemuda Hsi-hsia ini
melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, akan tetapi kali ini ia menyelinap di
antara bangunan-bangunan,mencari-cari. Ia mulai bersikap hati-hati sekali
karena ia dapat menduga bahwa lima orang Hsi-hsia yang dibunuhnya di dalam
gardu penjagaan tadi tentu kini sudah ditemukan orang-orang Hsi-hsia lainnya.
Ia tertawa sendiri kalau teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik
tadi. Untung lima orang Hsi-hsia itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang
sehingga mudah saja ia pancing masuk gardu seorang demi seorang. Kalau tidak,
ia harus bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sungguhpun ia sanggup pula
membunuh mereka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih besar. Ia
harus bekerja cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah hwesio-hwesio
jubah merah dan ia dapat menduga pula bahwa penjaga-penjaga ini tidaklah
selemah penjaga-penjaga sebelah luar yang hanya terdiri dari orang-orang
Hsi-hsia kasar. Hwesio-hwesio ini adalah murid Bouw Lek Couwsu!
“Heiii! Mau apa kau masuk ke sini?” Teguran
ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi teguran yang
diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini melegakan hatinya. Selama hwesio-hwesio di
sini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik sekali. Sambil bersikap
menghormat ia lalu berkata.
“Saya hendak menghadap Couwsu untuk
menyampaikan hasil penyelidikan saya di kota raja Sung sebagaimana yang
diperintahkan langsung kepada saya.”
Hwesio itu mengerutkan keningnya, memandang
tajam. Ia memang tahu bahwa gurunya banyak mengirim mata-mata ke kota raja
musuh, akan tetapi mengapa mengirim seorang pemuda seperti ini” Pula, ia merasa
tak pernah bertemu dengan orang ini. Kembali ia membentak.
“Hemm, kalau menghadap Couwsu, mengapa
longak-longok di sini dan tidak langsung saja masuk melalui pintu gerbang? Dan
kenapa tidak melapor kepada penjaga agar menyampaikan permohonanmu menghadap
kepada Couwsu? Hayo kita pergi ke tempat jaga, dan pinceng (aku) sendiri yang
akan melapor kepada Couwsu yang sekarang sedang sibuk.”
“Ah, Couwsu sedang sibuk apakah? Apakah ada
tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak mengganggu, jangan-jangan saya akan
mendapat marah besar!” pemuda itu tampak ketakutan. Sikapnya itu agak
mengurangi kecurigaan Si Hwesio yang mengenal watak gurunya. Memang kalau
gurunya sedang sibuk, orang yang mengganggunya seringkali menerima hukuman
berat.
“Karena itu harus pinceng yang menghadap. Suhu
sedang menjamu Bu-tek Ngo-sian yang sekarang sudah hadir lengkap. Malah wanita
mengerikan itu, Sian-toanio, datang bersama puteranya. Dan tempat tahanan makin
penuh saja!”
“Eh, apakah yang terjadi? Mengapa ada orang
tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.
“Tahanan-tahanan penting. Pangeran Mahkota
Khitan, puteri Pangllma besar Khitan, Kiang-kongcu dari kota raja, Ketua
Khong-sim Kai-pang, Mutiara Hitam....”
“Mutiara Hitam....?” Pemuda itu bertanya
terbelalak lebar memandang.
“Ya, gadis cantik jelita dan galak.... auuughhh....!”
Hwesio itu roboh oleh pukulan jari-jari terbuka yang tepat menghantam
tenggorokannya, membuat kerongkongannya hancur dan tewas seketika! Sebelum
tubuhnya terbanting, pemuda itu menyambarnya dan menyeretnya ke belakang
semak-semak.
Tidak lama kemudian, dari belakang semak itu
muncullah Si Pemuda yang kini sudah berubah menjadi.... hwesio muda tampan
berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi tak tampak lagi, tersembunyi
di balik jubah merah yang kebesaran itu. Hwesio tadi memang gemuk. Setelah
berpakaian hwesio, pemuda ini dapat memasuki markas tanpa mendapat kesukaran.
Ia selalu menjaga agar wajahnya tidak tampak dari depan oleh hwesio lain, hanya
jubahnya yang merah dan kepalanya yang gundul licin saja yang tampak dan dalam
hal ini, biarpun ada banyak hwesio, jubah merah dan kepala gundulnya tentu saja
tiada banyak bedanya.
Di dalam kamar tahanan orang-orang muda yang
terbelenggu di situ, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, sudah hampir
kehilangan harapan. Apalagi keadaan Pangeran Talibu, sungguh amat mengenaskan.
Biarpun keselamatannya tidak terancam bahaya, namun ia sungguh menderita.
Kulitnya pecah-pecah matang biru, terasa panas perih dan nyeri bukan main.
Kadang-kadang Pangeran ini siuman, mengerang dan seringkali pingsan lagi,
tubuhnya lemas menggantung pada kedua tangan yang terbelenggu di atas
kepalanya. Melihat keadaan Pangeran ini, Puteri Mimi memandang dengan air mata
bercucuran. Kasihan sekali kakaknya. Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat
kakaknya berubah ingatan. Tadi kakaknya mengaku cinta kepadanya, hendak
mengawininya. Mengatakan bahwa mereka bukan sanak kadang, apalagi saudara
kandung! Dan pandang mata kakaknya itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat
mesra. Puteri Mimi menangis.
Kwi Lan juga beberapa kali menoleh ke arah
Pangeranini. Ia gemas, marah, penasaran, benci dan.... cinta! Hatinya seperti
ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang dicintanya ini, akan tetapi
mengingat akan kata-kata yang diterjemahkan Siang Ki, hatinya panas bukan
main. Kalau diberi kesempatan, ia akan membunuh Puteri Mimi!
Yu Siang Ki menyesal sekali kalau mengingat
akan kawan-kawannya. Pasukan yang dibawanya itu adalah tokoh-tokoh pengemis
di kota raja dan di Lok-yang, kini mereka telah dibasmi habis! Sungguhpun tewas
sebagai patriot yang membela negara menghadapi bangsa Hsi-hsia, akan tetapi
semua itu adalah karena kesalahannya! Ia terlalu memandang rendah kekuatan Bou
Lek Couwsu.
Hanya Kiang Liong yang tetap tenang. Pemuda
ini selain pada dasarnya memiliki watak yang tenang, juga ia lebih tahu akan
duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan politik negara. Ia telah yakin
bahwa nyawa mereka belum terancam bahaya. Kalau Bouw Lek Couwsu hendak
membunuh mereka, tentu sudah dibunuhnya dan tidak perlu ditahan seperti
sekarang ini. Dengan cara menahan, berarti tidak menghendaki mereka mati dan
selama nyawa mereka masih ada, harapan untuk lolos pun selalu akan tetap ada.
Apalagi bagi Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bangsa Hsi-hsia
bukanlah bangsa yang besar dan kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar,
hendak menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia tidak sekali-kali
berani membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan yang diharapkan
oleh mereka menjadi sekutu, bukan musuh! Tentang Kwi Lan ia pun mempunyai
keyakinan takkan dibunuh karena bukankah Kwi Lan ini murid wanita aneh yang
disebut Sian-toanio dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Betapapun
juga, guru itu tentu tidak membiarkan muridnya terbunuh, apalagi di sana masih
ada Suma Kiat, suheng gadis itu yang menurut penglihatannya, mencinta Mutiara
Hitam. Dan dia sendiri masih ada dan masih hidup. Ia tidak akan membiarkan
Mutiara Hitam terbunuh! Heeii, apa pula ini? Kiang-Liong ingin menampar
kepalanya sendiri, akan tetapi kedua tangannya terbelenggu sehingga ia hanya
dapat menarik napas panjang dan kembali melirik ke arah Kwi Lan.
Sejak tadi ia memperhatikan Kwi Lan dan makin
dipandang, makin jatuh hatinya. Entah bagaimana, gadis itu seakan-akan
mempunyai hawa yang menyedot dan menarik perhatiannya, kemudian menimbulkan
rasa suka dan cinta yang belum pernah dirasakannya terhadap gadis lain. Ia
memang selalu suka akan gadis cantik, akan tetapi rasa suka ini seperti rasa
suka seseorang akan benda-benda indah, akan bunga-bunga harum, tidak pernah
lebih mendalam daripada itu. Kini ia mempunyai rasa suka dan cinta yang lain
terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada dorongan dalam hati bahwa ia harus membela
gadis ini, harus menolongnya, dan kalau perlu mengorbankan nyawa sendiri
untuknya! Kalau biasanya terhadap gadis-gadis cantik yang pernah menjadi
kekasihnya ia ingin mendengar pengakuan cinta gadis itu kepadanya, kini
sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta kasihnya kepada gadis ini! Alangkah akan
bahagia rasa hatinya kalau gadis ini mau menerima cintanya!
“Kiang Liong, kau sudah gila....!” Pikiran ini
tanpa ia sadar, ia ucapkan melalul mulutnya sehingga semua tahanan, kecuali
Pangeran Talibu, memandang kepadanya dengan penuh,keheranan termasuk Kwi Lan.
“Orang yang gila tidak akan mengaku gila!”,
tiba-tiba Kwi Lan berkata, suara nya mengejek. Memang gadis ini sedikit banyak
merasa gemas kepada Kiang Liong. Bukankah Puteri Mimi tertawan bersama Kiang
Liong? Berarti bahwa Kiang Liong murid Suling Emas ini yang membawa datang
Puteri Mimi ke tempat tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak tertawan, tentu
Puteri Mimi juga tidak dan kalau begitu, tentu Mimi tidak datang ke sini dan
Talibu tidak jatuh cinta kepada gadis itu!
Kiang Liong memandang gadis ini, matanya
bersinar-sinar wajahnya berseri. “Betulkah, Nona? Pendapatmu membesarkan
hatiku, terima kasih.”
“Engkau memang tidak gila, akan tetapi engkau
merasa gila karena.... takut! Huh, dan beginikah murid perkasa dari Suling
Emas?”
Senyum di bibir Kiang Liong lenyap, berubah
menjadi masam karena hati kecewa. “Aku.... ? Takut....? Aku tidak takut, Nona
dan....”
Terpaksa Kiang Liong menghentikan ucapannya
karena pada saat itu terdengar suara pintu dibuka. Semua mata memandang hwesio
gundul jubah merah berwajah tampan yang memasuki ruangan tahanan itu.
“Eh, kau.... Berandal...!” Suara Kwi Lan ini
membuat semua orang menoleh dan memandang kepadanya dengan heran. Apa pula
sekarang maksud Mutiara Hitam yang menyebut berandal kepada seorang hwesio
jubah merah, dengan suara bukan seperti orang memaki, bahkan dengan mata
bersinar-sinar dan muka tersenyum geli?
“Sssttt...., matamu selalu tajam, Mutiara
Hitam.” Hwesio muda itu berbisik dan menaruh telunjuk ke depan bibir, kemudian
melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan, “Aku terpaksa menyamar. Aku datang untuk
membebaskanmu. Kau bersiaplah, aku akan mematahkan belenggu tangan dan
kakimu.”
Pemuda itu bukan lain adalah Si Berandal Tang
Hauw Lam! Dia datang memasuki markas mempergunakan akalnya, menyamar sebagai
wanita cantik, kemudian sebagai orang Hsi-hsia dan terakhir ini sebagai
seorang hwesio gundul berjubah merah. Kini Hauw Lam mengeluarkan goloknya dan
empat kali bacokan kuat, belenggu kaki tangan yang mengikat Kwi Lan terlepas.
“Mari kita cepat pergi dari sini!” bisik Hauw
Lam sambil menyambar lengan Kwi Lan yang sedang menggosokgosok pergelangan
tangannya yang terasa sakit.
“Kaubebaskan dulu yang lain-laini” bisik Kwi
Lan merenggut lengannya.
“Kita harus lekas lari....“ bantah Hauw Lam.
“Berandal! Kalau mereka ini tidak dibebaskan,
aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan marah.
Hauw Lam mengangkat alis dan pundak, lalu
menghampiri Kiang Liong dengan golok di tangan. “Kiang-kongcu,” katanya.
“Bagaimana selama kita berpisah, engkau baik-baik sajakah? Maaf, bukan
maksudku tadi tidak mau membebaskan kalian, hanya makin banyak orang ang lari
makin sukar dan....”
“Saudara tak perlu sungkan-sungkan. Aku pun
sudah bebas dari belenggu.”
“Apa?”
Kiang Liong menggerakkan kaki tangannya
dan.... benar saja, kedua kaki dan tangannya terlepas daripada belenggu tanpa
mematahkan belenggu itu. Hauw Lam terbelalak, memandang ke arah belenggu dan
mengangguk-angguk. “Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat (Lepaskan Tulang Lemaskan Diri)
yang luar biasa!”
Melihat ini, Kwi Lan yang menghampiri Pangeran
Talibu dan menggunakan kekuatan sin-kangnya mematahkan belenggu, berkata
mengomel. “Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak dari tadi? Aksinya!”
Kiang Liong hanya tersenyum dan juga mulai
membantu melepaskan belenggu kaki tangan Siang Ki sedangkan Hauw Lam
membebaskan Puteri Mimi. “Ah, kalau terlepas dari belenggu, apa artinya? Pintu
tertutup kuat dan penjagaan amat kuat, belum waktunya mencoba bebas. Akan
tetapi setelah Saudara Tang datang, terpaksa kita harus berusaha menerobos
keluar!”
“Kita harus keluar berpencar.” kata pula Kiang
Liong yang kini sikapnya sungguh-sungguh. Yang lain-lain, kecuali Kwi Lan,
tunduk kepadanya karena maklum bahwa selain dia yang paling lihai di antara
mereka, juga memiliki pengalaman yang dalam. “Kalau keluar bersama, sekali
ketahuan akan kena tawan semua. Kita masih kurang kuat untuk menghadapi mereka
yang berjumlah besar, apalagi banyak orang sakti di sini. Dengan berpencar,
ada harapan seorang di antara kita bebas untuk pergi mencari bantuan menyerbu
ke sini.”
“Benar,” kata Hauw Lam. “Aku pun tadi
mendahului pasukan Khitan yang agaknya hendak menyerbu dan menyusup dalam usaha
mereka menolong Pangeran Talibu dan Puteri Mimi.”
Mendengar ini, timbul semangat Pangeran
Talibu. Ia diam saja karena Puteri Mimi menggosok-gosok tubuhnya yang
telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk pemberian Hauw Lam. Obat ini
manjur dan mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya memandang dengan penuh iri
dan cemburu. Dalam keadaan seperti itu, ia menahan diri dan tidak mungkin
mengumbar amarah urusan cinta. Apalagi ia tahu bahwa Puteri Mimi memang sahabat
Pangeran, bahkan saudara.
“Pangeran biarlah bersama aku,” kata pula
Kiang Liong membagi tugas. Pemuda ini menahan pula keinginan hatinya untuk
berusaha lolos di samping Kwi Lan. “Mutiara Hitam bersama Saudara Tang, dan
Puteri Mimi bersama Saudara Yu-pangcu. Tiga rombongan kita mencari jalan
masing-masing, sebaiknya. melalui kanan, kiri, dan belakang markas karena di
depan adalah tempat yang terjaga kuat.”
“Baik, pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun
tidak perlu lagi menyamar!” Sambil berkata demikian, Hauw Lam meraba dahinya
dan membuka “kulit” dahi terus ke belakang. Lenyaplah gundulnya dan kini tampak
rambuthya hitam panjang yang segera digelung ke atas belakang dan dibungkus
kain sutera. Jubah merahnya dibuka dan kini ia sudah berganti pakaian, yaitu
pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya ia gantung di pinggang.
“Berapa orang penjaga di luar?” bisik Kiang
Liong kepada Hauw Lam.
“Hanya tiga. Aku tadi membohongi mereka,
mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu membujuk para
tahanan.”
“Baik, mereka bagianku, Mutiara Hitam, dan
Yu-pangcu. Kau menjadi pengawas kalau-kalau ada muncul yang lain.”
Biarpun Kiang Liong hanya berbisik dan
ucapannya singkat-singkat, namun mereka sudah tahu akan kewajiban
masing-masing. Pintu dibuka perlahan oleh Kiang Liong, kemudian melihat tiga
orang hwesio jubah merah menjaga di depan pintu, ia membukanya serentak
lebar-lebar dan empat bayangan berkelebat keluar dengan gerakan amat cepat
laksana empat ekor burung terbang. Bayangan pertama adalah Hauw Lam yang sudah
menghunus goloknya dan meloncat jauh ke depan untuk berjaga, sedangkan tiga
orang kawannya dengan kecepatan kilat sudah menerjang tiga orang hwesio itu.
Tiga orang hwesio ini kaget setengah mati karena tidak menyangka akan hal ini.
Mereka berusaha menangkis namun tiga orang muda itu terlampau cepat gerakannya.
Hampir berbareng mereka roboh tanpa mendapat kesempatan untuk berteriak sedikit
pun.
“Aman....“ bisik Hauw Lam memberi tanda dengan
tangan.
“Berpisah, sampai jumpa!” kata Kiang Liong
yang menujukan kata-kata ini kepada semua temannya akan tetapi matanya
memandang kepada Kwi Lan yang sebaliknya memandang kepada Pangeran Talibu.
Mereka segera meloncat pergi, Kiang Liong menggandeng tangan Pangeran Talibu
meloncat melalui jurusan belakang markas, Yu Siang Ki dan Mimi lari ke jurusan
kanan, sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam yang bergerak paling akhir menuju ke
kiri.
Hauw Lam dan Kwi Lan menyusup-nyusup melalui
bangunan kecil, makin menjauhi bangunan besar. “Bagaimana kau tiba-tiba bisa
muncul, Berandal?”
Hauw Lam terkekeh. Girang bukan main hatinya,
kegirangan yang selama ia berpisah dari samping Kwi Lan tak pernah ia rasakan
lagi. “Aduh, serasa kita tidak pernah berpisah. Mutiara! Serasa kita masih
seperti dulu ketika berlari-lari bersama melawan orang-orang jahat
Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis busuk berbaju bersih! Tahukah kau,
Mutiara, selama ini tak pernah aku melupakan engkau sekejap mata sekalipun.”
“Bohong!” Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh
kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau kau tidur?”
“Tidur pun mimpi bersama engkau!”
“Ah, kau bisa saja. Aku tidak percaya.”
“Eh, tidak percaya? Perlukah aku membuka
dadaku dengan golok ini?” Hauw Lam berhenti lari, mencabut golok dan bersikap
seperti hendak membuka dada. Kwi Lan tertawa.
“Ihhh, sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya
bagaimana kau tiba-tiba saja muncul seperti setan?”
“Memang aku setan! Heh-heh, setan cilik
seperti kata Ibu.”
“Ibu? Kau bertemu Bibi Bi Li?”
Pemuda itu mengangguk, mengerutkan kening
seakan-akan ada sesuatu yang tak menyenangkan teringat olehnya. Akan tetapi ia
tersenyum lagi, “Dan aku melihat istana di bawah, tanah. Wah, pantasnya
menjadi tempat tinggal setan-setan. Ibuku bertahun-tahun tinggal di sana,
bukankah patut aku menjadi setan pula? Aduhh....!” Ia menekan perutnya.
“Ada apa?” Kwi Lan kaget, khawatir.
“Perutku.... lapar amat, tak tertahankan!” Ia
masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh telinga Kwi Lan
suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.
“Dasar rakus! Kau tiada bedanya dengan
cacing-cacing dalam perutmu!”
“Sstt....! Tuh di sana....!” Telunjuknya
menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.
“Ada apa di sana?”
Hidung Hauw Lam kembang-kempis
menyedot-nyedot. “Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu? Begini sedap,
begini gurih!”
Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang
dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium bau sedap masakan dan tampak asap
mengebul. Agaknya tempat itu adalah sebuah dapur. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Perlu apa ke sana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan
sekenyangnya.”
Hauw Lam menggeleng-geleng kepala. “Makan saja
tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi kerja saja tanpa makan
juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan tenaga, kalau perutku
yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam terus di hutan ketika
menyerbu ke sini, mana aku ada sisa tenaga untuk bertempur? Kau pun harus
makan, Mutiara Hitam.”
“Aku sudah kenyang!” jawab Kwi Lan mendongkol,
akan tetapi mukanya menjadi merah karena teringat betapa ia makan kenyang di
tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar biasa dan memalukan bersama Pangeran
Talibu.
“Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan
oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan, bukan?”
“Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah
kelaparan!” ajak Kwi Lan dan mereka berindap-indap menghampiri dapur itu.
Ketika mereka mengintai dari jendela, benar saja dugaan Hauw Lam bahwa tempat
itu memang sebuah dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua
orang koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu adalah
bangsa Han, agaknya anggauta kaum sesat yang menjadi kaki tangan sekutu-sekutu
Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat, mengebul
panas dari mangkok-mangkok besar. Hampir tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika
ia menelan sudah. Karena sudah tidak tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan
melempar empat buah batu kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki
itu berseru kaget dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah
roboh pingsan karena batu-batu kecil itu tepat mengenai belakang telinga
mereka. Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah Hauw Lam dan Kwi
Lan bahwa sedikit banyak mereka mengerti ilmu silat. Kalau sampai mereka
berteriak, keadaan akan menjadi berbahaya, maka bagaikan dua ekor burung
walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela. Sebelum dua orang koki itu
tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok dan “ngorok” di atas
lantai!
Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa
sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk menghadap meja lalu
“menyapu” masakan-masakan yang tersedia di atas meja. “Wah-wah,” serunya girang
sambil mencoba ini mencaplok itu,” dalam hal makanan ternyata Bouw Lek Couwsu
tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan orang-orang Thian-liong-pang!” Supitnya
sibuk bekerja menjepit potongan-potongan daging dan sayur. Hauw Lam memang
mempunyai hobby (kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini makan, Kwi
Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan
mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.
“Sudahlah,” akhirnya Kwi Lan berkata setelah
beberapa lama mereka makan, melihat betapa banyaknya Hauw Lam memasukkan
masakan-masakan itu ke dalam perut didorong aliran arak wangi. “Kalau kau makan
terus sampai kekenyangan, kau bisa tertidur di sini.”
Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri,
mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping. “Wah, kalau makan
lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah terbuat dari daging
apa! Perlu bawa sebanyaknya untuk bekal!” Ia sibuk menggunakan kedua
tangannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar kepalan tangan itu.
Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa dalam
panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana di mana terdapat sebuah
kantung besar tepat di depan perutnya! Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng
kepala. Kemudian mereka keluar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus
ke jurusan kiri markas.
Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan
dan mulai menuju ke jalan yang berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai
dan merasa bahwa kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar
seruan-seruan dan derap kaki kuda dari belakang.
“Kita dikejar! Cepat!” seru Hauw Lam yang
mulai “menancap gas” mempercepat larinya. Kwi Lan yang tadi di dapur mengambil
pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang dan siap untuk melawan.
Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat
itu berbatu-batu dan naik turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat.
Para pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia
berpedang yang memakai topi dan lima orang berpakaian pengemis. Mereka adalah
petugas-petugas yang menjaga di wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi
adalah kuda-kuda pilihan yang cepat-cepat larinya.
“Wah-wah-wah.... celaka bakso-bakso ini!” Tiba-tiba
Hauw Lam berseru.
“Kenapa?” Kwi Lan bertanya, masih lari di
samping kiri Hauw Lam. Ketika gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan
tawanya. Kwi Lan menutupi mulutnya yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia
memandang temannya itu. Kiranya ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan,
bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang berada di kantong kanan
kiri baju sudah berloncatan keluar. Akan tetapi yang berada di dalam panci yang
disembunyikan dalam kantung yang letaknya di dalam celana, berloncatan di
dalam celana, keluar dari panci dan karena bakso itu digoreng, keluarlah
minyaknya membasahi semua bagian bawah tubuh Hauw Lam. Kini sambil berlari dan
mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana dan
berlompatanlah bakso-bakso besar bundar-bundar itu keluar dari dalam celana,
menggelinding ke atas tanah seperti bola-bola karet! Bersungut-sungut Hauw Lam
membuang panci kosong dan pada saat terakhir tangannya masih sempat menyambar
bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan
suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena mulutnya penuh
bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia berhenti lari
dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun sudah ditelannya.
“Percuma lari. Kita lawan!” katanya.
Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa
yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah dan hendak melawan. Mungkin sekali
karena kecewa dan marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonyahilang.
I a pun tidak gentar dan mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua
orang itu berhenti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi
bukan mereka yang menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung
menerjang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di tangan. Terjadi
pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa
menit saja. Dua orang muda itu seakan berlumba dan pertempuran berakhir dengan
robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu
hampir bersamaan!
Hauw Lam tersenyum memandang mayat-mayat
musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka lalu mengangguk-angguk kagum
melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas tanpa luka bacokan. “Kau makin
hebat saja, Mutiara Hitam!”
“Dan kau makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum,
teringat akan bakso-bakso tadi.
Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu
melanjutkan lari mereka. Akan tetapi belum seratus meter mereka lari, tiba-tiba
mereka berhenti dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini mengeluarkan suara
tertahan. Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan
Pak-sin-ong! Dan di belakang mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa
kuda tunggangan mereka.
Hauw Lam terkejut sekali, apalagi melihat
wanita berkerudung yang sikapnya begitu menyeramkan. Ia sudah mendengar nama
Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan Kam Sian Eng maupun
dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu
dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek itu, merupakan lawan berat. Maka ia
cepat mencabut goloknya.
“Srattt....!”
Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah
terbang terlepas dari tangannya. kaget sekali. Ia hanya melihat sinar menyambar
dari tangan kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah angkuh. Kiranya
sinar itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan
pancingnya mengancam tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia
lepaskan dan golok itu terbang, kini terpegang kakek yang sama sekali tidak
tersenyum itu! Hebat bukan main! Biarpun perampasan golok terjadi di kala ia
lengah dan tidak menduga namun melihat ini saja sudah menimbulkan keyakinan
bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh! Ia mengharapkan
gerakan bantuan Kwi Lan, akan tetapi gadis ini sama sekali tidak bergerak,
bahkan memandang ke arah wanita berkerudung dengan kening berkerut gelisah.
“Kwi Lan, apakah engkau hendak melawan aku?”
Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya dingin seperti suara dari balik
kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.
Kwi Lan menggelengkepala. Ia bukan tidak
berani, sungguhpun ia tahu percuma saja melawan gurunya ini, melainkan tidak
mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini
lain lagi. Kini tidak ada siapa-siapa yang harus ia bela, maka untuk dirinya
sendiri tentu saja ia tidak mau melawan gurunya yang betapapun juga sudah
berlaku amat baik terhadap dirinya, seperti seorang Ibu sendiri. Apalagi kalau
diingat bahwa guru ini adalah bibinya, bagaimana ia dapat melawannya?
Pak-sin-ong berkata kepada Hauw Lam, “Orang
muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani membikin huruhara di sini.
Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw Lek Couwsu dalam keadaan hidup
seperti dikehendakinya, kalau melawan, terpaksa kuhadapkan sebagai mayat!”
Hauw Lam juga seorang pendekar muda yang tak
takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh yang nekat dan tidak melihat
kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia akan mati-matian melawan. Akan tetapi
kini keadaannya berbeda. Kwi Lan sendiri tidak melawan, dan melawan berarti
mati. Kalau hanya tertawan, masih ada harapan membebaskan diri, terutama
sekali membebaskan Kwi Lan. Apa artinya ia bebas kalau Kwi Lan tertawan? Ia
tertawa, ketawanya begitu wajar dan gembira sehingga diam-diam Pak-sin-ong
kagum dan harus mengakui bahwa pemuda ini ada “isinya”.
“Ha-ha-ha, seorang bijaksana mengetahui akan
saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti juga Mutiara!”
“Ikat dia di kuda!” perintah Pak-sin-ong dan
dua orang Hsi-hsia tinggi besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta
mengikatnya tanpa perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa.
Ia diikat di atas kuda, kepalanya di belakang dekat pantat kuda, tubuhnya
dilibat-tibat ikatan dari kaki, tangan dan leher! Ia tak dapat berkutik akan
tetapi masih menyeringai dan tertawa-tawa mengejek.
Kwi Lan dengan muka tunduk tak melawan pula
ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia
digiring kembali ke markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat
yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang cemberut angkuh.
***
Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati
Kwi Lan dan terutama sekali Hauw Lam ketika mereka digiring masuk ke dalam
kamar tahanan, mereka melihat semua teman yang tadi melarikan diri sudah
tertawan pula dan berada di situ! Bahkan Kiang Liong dan Yu Siang Ki terluka,
sungguhpun tidak berat namun membutuhkan waktu untuk istirahat karena mereka
terkena pukulan orang-orang sakti.
Ketika Kiang Liong lari bersama Pangeran
Talibu lari melalui jurusan belakang markas, di tengah jalan mereka dicegat
oleh.... Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong. Karena maklum akan
kelihaian Kiang Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek Kauw-ong segera
menerjang dar akhirnya merobohkan pemuda ini dengan pukulan jarak jauh. Sia-sia
saja Kiang Llong melawan. Menghadapi seorang di antara mereka, mungkin ia masih
mampu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan berat sebelah.
Apalagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat diharapkan bantuannya karena
keadaannya masih payah.
Adapun Yu Siang Ki bersama Puteri Mimi yang
lewat di jurusan kanan, dicegat oleh Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu
saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung
bahwa Bouw Lek Couwsu sudah berpesan kepada sekutu-sekutunya agar para
tawanan yang lari itu ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun
hanya terluka yang ringan saja.
Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi,
dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat, dengan kaki
tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan tetapi tidak demikian
dengan Tang Hauw Lam. Karena malah sekali oleh perbuatan pemuda ini yang
hampir saja berhasil membebaskan tawanan dan sudah membunuh banyak penjaga,
Bouw Lek Couwsu menyuruh algojo-algojonya untuk menggantung Hauw Lam di dalam
ruangan itu pada kakinya! Pemuda ini digantung dengan kaki di atas dan kepala
di bawah, kedua lengannya dibelenggu! Dia benar-benar seperti seekor kambing
yang digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya.
Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak berteriak-teriak, bahkan selalu
tertawa-tawa!
Setelah para penjaga meninggalkan ruangan
tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali terkekeh dan berkata,
“Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal yang
dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia belaka
malah kalian menjadi lebih sengsara!”
Kiang Liong menghela napas. “Tidak bisa
menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang. Siapa kira bahwa Bouw Lek
Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak memperhitungkan
kecerdikannya yang luar biasa.”
“Ha-ha-ha! Ia tidak cerdik tapi bodoh,
buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi keenakan kepadaku saja. Di
dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian,
sayangnya tanganku dibelenggu, tapi kalau kugerak-gerakkan karena aku
digantung membalik, agaknya dapat keluar.” Mulailah Hauw Lam membuat
gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk, menggeliat-geliat sehingga
pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini,
akan tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.
“Hi-hi-hik....!”
“Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?”
“Berandal! Kau seperti seekor ular digantung.
Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak tentu menggelinding keluar
semua! Hi-hik!”
Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, memang Bouw Lek
Couwsu manusia sinting. Ingin aku mengadu kecerdikan dengan dia kalau ada
kesempatan!” Akhirnya Hauw Lam berhasil. Semua isi sakunya keluar dan di
antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat
kaki Siang Ki. Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan
ini dan sekali jari-jari itu bergerak, bungkusan mencelat ke atas, diterima
dengan jari-jaritangan. Ia membuka bungkusan itu, dan kembali menggunakan
lwee-kang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka
di bahunya. Setelah selesal, ia membungkus kembali obat itu menggunakan tenaga
lwee-kang menyentuh bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai
mengobati lukanya dengan cara yang sama.
“Eh, dia sudah tidur! Dasar manusia malas!”
Kwi Lan berkata ketika mendengar dengkur orang dan melihat bahwa yang mengorok
adalah Hauw Lam. Pemuda ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di bawah
seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur!
Akan tetapi Kiang Liong mengeluarkan suara
kagum. “Dia tentu pernah mempelajari ilmu samadhi secara jungkir balik. Entah
siapa gurunya yang tentu amat hebat itu.”
“Siapa lagi? Gurunya seorang badut tua,
bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,” kata Kwi Lan, teringat akan cerita pemuda
lucu itu.
“Aahhh....? Betulkah itu? Betulkah bahwa
Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup? Suhu pernah bercerita tentang
Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah meninggal
dunia....“
Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh
sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh, akan tetapi jelas
mereka semua mendengar suara ketawa terbahak-bahak. “Huah-hah-hahhah! Suling
Emas bocah tolol itu mana tahu....?”
Para tawanan saling pandang, saling bertanya
dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi. Suara setankah itu? Akan tetapi
mereka tak dapat berpikir dan berheran lebih lama lagi karena pada saat itu
pintu kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek
Ngo-sian dan Suma Kiat! Para orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur
mendengkur, menoleh dan memandang penuh perhatian dan ketegangan Jelas bahwa
pimpinan orang Hsi-hia datang dengan maksud tertentu, dan agaknya saatnya
telah tiba untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata
Bouw Lek Couwsu ketika ia memandang para tawanan itu seorang demi seorang.
“Pinceng datang untuk bicara dengan kalian
semua, pembicaraan, terakhir! Kali ini pinceng tidak akan bicara kepada
seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua. Maka pilihlah
seorang saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut
jawab seorang wakil itu. Satu mati semua mati, seorang menolak berarti semua
harus mati. Nah, siapa wakilnya?”
Otomatis semua tawanan memandang kepada Kiang
Liong. Biarpun tak seorang pun di antara mereka bicara, namun pandang mata yang
ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah berkata jelas. “Oho, agaknya
Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju
mewakilkan dia?”
“Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!”
kata Talibu dengan suara gagah.
“Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua
mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi kepentingan kami bersama, dan sama
sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli lagi mau
kaubunuh atau kausiksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak
kaulakukan. Bicaralah!”' kata Kiang Liong, menentang pandang mata pimpinan
orang Hsi-hsia itu dengan tenang.
Bouw Lek Couwsu tersenyum. “Kau memang
sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran Talibu harus menulis sepucuk
surat kepada ibunya, Ratu Khitan yang minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia
dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan
surat untuk ayahnya, Panglima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji
untuk membantu kami dengan pasukan pengemis baju kotor membantu untuk gerakan
dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali melakukan
kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka
membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Adapun kau sendiri, harus
berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari dalam kota raja
apabila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima Sung.”
Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang
terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang masih tergantung kakinya.
“Kalau kami menolak?”
“Kalian berikut anjing yang tergantung itu
akan mampus!”
Eh, tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki
anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara
seperti anjing kecil, “Nguiiikk, nguikk, nguikkk!”
Suasana tegang menjadi lenyap sama sekali dan
Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya tersenyum. Hauw Lam membuka
mata, menggeliat dengan pinggangnya dan berkata, “Mutiaraku, kau tahu aku mimpi
aneh sekali!”
“Mimpi apa?” Kwi Lan bertanya, maklum bahwa
temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.
“Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan
bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali, aku digigit seekor anjing besar yang
selain buruk, juga gundul dan buntung. Sialan!”
Kwi Lan tertawa, juga, Puteri Mimi dan Siang
Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul buntung. Siapa lagi
kalau bukan Bouw Lek Couwsu?
“Bagaimana jawabanmu, Kiang-kongcu?” tanya
Bouw Lek Couwsu, pura-pura tidak mengerti dan tidak mempedulikan Hauw Lam.
“Bagaimana kalau seorang di antara kami
menolak?”
“Harus , menurut semua. Seorang saja menolak,
semua dihukum mati!”
“Kalau begitu kami menolak!” teiak Pangeran
Talibu.
“Kami menolak!” seru Puteri Mimi. “Aku pun
menolak!” kata Yu Siang Ki.
“Aku suka menurut Subo, akan tetapi
membantumu? Aku menolak!” kata Kwi Lan.
“Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami.
Jawaban kami sudah jelas!” kata Kiang Liong.
Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu
keruh sekali. Dia sudah menduga akan kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi
tidak mengharapkan jawaban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati? Ruginya
jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para pengemis
baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan dipecahkan suara Hauw lam.
“Haii!, Bouw Lek Couwsu! Aku kok tidak
ditanya? Apa aku bukan orang?” Hauw Lam berteriak-teriak.
Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak
mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang Liong, suaranya penuh
ancaman, “Hemm, kaukira begitu enak hukumannya? Sebelum mati kalian harus
menyakslkan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis
jelita itu dibunuh begitu saja.” Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam
dan berkata, “Kau memilih yang mana?”
“Heh-heh, biar hitam, mutiara namanya. Tetap
cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia.”
“Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah,
kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita harus berani melakukan di depan
semua orang.”
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh matanya
memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi tubuh gadis itu dengan pandang mata
lahap dan haus.
“He, dengar kalian ini pimpinan orang-orang
Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngo-sian! Di mana kegagahan
kalian? Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan! Bouw Lek Couwsu,
orang seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah
perkasa?”
Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak
mau Bouw Lek Couwsu mengangkat muka memandang Hauw Lam dengan keningnya yang
tebal berkerut. “Hemm, kalian sudah memilih wakil pembicara, yaitu
Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?”
“Siapa memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak
sekarang kebodohanmu dan kecuranganmu. Memang yang lain di bawah ini sudah
memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar aku
memilih! Aku belum memilih dan aku berhak untuk bicara!”
Bouw Lek Couwsu tertegun. Betapapun gilanya,
benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia melanggar, maka benar-benar tida tepat
dengan kedudukannya sebagai pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi
kesempatan bicara bocah ini, apa bedanya?
“Hemm, kau bicaralah.”
Kiang Liong yang memandang muka Hauw Lam,
melihat betapa sinar mata pemuda itu bersinar-sinar dan wajahnya berseil-seri.
Ah, bocah ini cerdik, pikirnya, agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu
atau setidaknya mengulur waktu.
“Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar
usul atau ancamanmu seperti yang kaukemukakan kepada teman-temanku yang lain.
Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa mengancam
sepertimu. Aku akan mengajukan teka-teki hitungan dan bukan hanya engkau,
bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu! Kalau di antara kalian ada yang
sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan kepalaku pada dinding ini sampai
kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian tidak ada yang dapat menjawab tepat,
terserah mau diapakan tubuhku ini, masa bodoh! Bagaimana, sanggupkah kalian?”
Mendengar ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek
Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong dan teman-temannya juga menjadi
heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena digantung seperti itu sejak tadi,
terlalu banyak darah mengalir ke kepalanya membuat ke alanya pening dan
bicaranya melantur! Pertaruhan macam apa itu? Kalau terjawab, ia akan membunuh
diri dan kalau tidak terjawab ia boleh diperlakukan apa juga, berarti tentu
saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab?
Bouw Lek Couwsu yang terheran-heran tadinya
tidak mau melayaninya lagi dan menganggap pemuda ini gila, akan tetapi
Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik. Pemuda itu aneh sekali dan gila,
teka-teki macam apa yang akan dikemukakannya? Gila atau tidak, mereka menjadi
tertarik untuk mendengarnya.
“Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan
teka-tekinya, kata Bu-tek Siu-lam.
“He-he, benar, Couwsu. Dia toh takkan dapat
melarikan diri terbang ke langit,” kata Siauw-bin Lo-mo.
Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening. Ia tidak
mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga, takut kalau-kalau ditipu. Maka ia
bertanya, “Bocah gila, kauulangi syaratmu tadi agar kami dengar baik-baik.”
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu?
Boleh saja asal jangan takut kalah karena hanya pengecut yang takut kalah.
Dengar kalian semua. Kalau teka-tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan
kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap
diriku.”
“Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan
kepala ke dinding tak mungkin dilakukan dalam keadaan itu. Turunlah!” Tangan
Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga dahsyat menyambar ke atas rantai
yang menggantung tubuh Hauw Lam dan.... rantai pada kakinya itu terlepas dari
langt-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu! Akan
tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tubuh Hauw Lam berjungkir balik dan ia
jatuh ke lantai dengan kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki
tangannya masih terbelenggu. Semua orang kagum, karena tanpa ilmu gin-kang yang
tinggi, tak mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan
terbelenggu seperti itu.
“Berandal, apa kau gila? Kalah menang kau
tetap mati!” seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan ketegangan hatinya.
Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, Mutiara, apa
artinya mati? Yang penting dalam saat terakhir ini, aku menikmati kemenangan
kalau teka-tekiku tak tertebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang
sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi calon raja, dan
lima Bu-tek Ngo-sian ini masih ada muka untuk menjagol dunia kang-ouw!”
Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di
dalam hatinya ia mengumpat. Kautunggu saja bocah, kematianmu akan menjadi
kematian yang paling sengsara!
“Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan
teka-teki gilamu!” bentaknya.
Di antara mereka semua, hanya Kiang Liong yang
benar-benar menjadi tegang hatinya. Tegang sekali karena kini ia mengenal
siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap
Mutiara Hitam dan oleh Mutiara Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan
akal mengulur waktu. Tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya mengerikan di
tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat menolong. Kini karena tingkah Hauw
Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu dalam siasat mengulur waktu
ini, Si Berandal sudah mendapatkan akal lain lagi yang belum ia ketahui apa
dan bagaimana.
Dalam keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri
tegak, kaku dan mengangkat mukanya, membusungkan dadanya. “Guruku adalah
seorang manusia dewa yang sakti tiada bandingan. Tidak perlu yang budiman Bu
Kek Siansu datang ke sini, baru Guruku saja, kalian akan dibikin kocar-kacir.”
“Hemm, siapa gurumu, bocah sombong?” Thai-lek
Kauw-ong, Si Tukang Cari Lawan, tertarik sekali dan hatinya agak berdebar
mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.
“Guruku bukan manusia biasa, orang-orang
seperti kalian belum cukup berharga untuk mendengar namanya.”
“Bocah gila! Lekas ceritakan teka-tekimu,
tentang Gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu!”
Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini
menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah siasat untuk membikin gentar
lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti itu? Kemudian ia teringat akan
sesuatu dan bulu tengkuk Kiang Liong meremang. Tadi....! Benar sekali, tadi
sebelum muncul musuh, ada suara yang menertawakan Suling Emas tolol. Suara
siapakah itu? Ia mendengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek
Lo-jin adalah seorang kakek yang edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini.
Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin? Timbul harapan di hatinya dan ia
mulai mengerti mengapa Hauw Lam menggunakan siasat mengulur waktu. Agaknya
dia menanti pertolongan gurunya!
“Teka-tekiku adalah teka-teki hitungan yang
berbentuk syair. Tentu saja buatan Guruku karena siapa lagi manusia di dunia
dapat membuat teka-teki seperti ini? Di dalam syair ini terdapat angka-angka
terpendam dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah syairnya!" Hauw Lam
lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup merdu, sambil
menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti irama
lagu nyanyiannya :
"Terang bulan memancing kura,
air jernih
laksana cermin.
lima ekor
yang satu emas,
berapakah
jumlah terbilang?"
"Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka
berapa yang tersembunyi di dalam syair?
Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan
sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu
tahun!"
Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat
menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan itu dengan kagum. Benar pemuda
cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas.... disebut berandal. Masa memberi
waktu setahun? Betapapun juga, siasat itu berhasil karena mereka semua, kecuali
Kam Sian Eng, mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi masing-masing. Kam
Sian Eng hanya berdiri tak bergerak, kadang-kadang memandang ke arah Kwi Lan,
kadang-kadang termenung, tarikan wajahnya tersembunyi di belakang kerudung
hitam. Suma Kiat pasang aksi pula, berusaha ikut menebak teka-teki.
Suasana dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek
Couwsu meraba-raba hidungnya, satu kebiasaan tanpa disadari kalau ia sedang
berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan
kekuatannya, sambil kadang-kadang terkekeh-kekeh seperti orang gila.
Pak-sin-ong makin angkuh mukanya, telunjuk kanan menempel antara kening.
Lucunya, melihat para kakek ini memeras otak,
Yu Siang Ki, Kwi Lan, Puteri Mimi, dan Pangeran Talibu ikut pula berpikir
memecahkan teka-teki! Sungguh permainan yang lucu dan aneh, mudah menular!
Ketika Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw. Lam, mereka saling berkedip
menahan senyum.
Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu.
Para penjaga di luar kamar tahanan saling bertanya-tanya dan terheran-heran.
Namun karena para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun di antara mereka
berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang
KI untuk bersamadhi memulihkan luka-luka mereka.
Akhirnya terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang
bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya merdu sekali, akan tetapi kecil
seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya
bergoyanggoyang pula, akan tetapi ia betul-betul menari seperti seorang
perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata, "Heh-hehheh, sudah
terdapat olehku jawabannya! He-he-he, amat mudahnya!"
"Jangan tertawa dulu, kakek banci!"
kata Hauw Lam berani. "Dan jangan katakan dulu tebakanmu, menanti yang
lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh! Nah,
lebih mudah bukan?"
Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang, agaknya
jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh, maka ia merasa yakin bahwa
jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh yang lain sudah siap dengan
jawabannya.
"Sudah siap? Nah, boleh katakan seorang
demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan jawaban. Nanti baru kukatakan
siapa benar siapa salah," kata pula Hauw Lam yang hatinya sudah
berdebar-debar karena gurunya yang tadi suaranya ia dengar belum juga muncul.
Ia harus mencari akal lain dan otaknya yang cerdik sudah memikir-mikir mencari
siasat yang lebih berhasil. Ketika melihat betapa tadi wanita berkerudung yang
kini ia tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi
seringkali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya
sebagai lanjutan daripada akal teka-tekinya.
Keadaan kembali tegang. Bahkan para tawanan
juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan jawaban pihak musuh, apakah
sama dengan tebakan mereka? Bu-tek Siu-lam yang sudah tidak sabar mulai dengan
jawabannya.
"Hi-hi-hik, orang nnuda yang lucu. Kalau
kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang sekali tidur satu kamar
bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang lain! Syairmu tadi mudah
saja. Jawabannya adalah angka TUJUH! Betul tidak?"
Hauw Lan tersenyum. "Betul atau tidaknya
nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kaujadikan dasar tebakanmu, supaya
diberi tahu. "
"Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau
ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik, Bu-tek Siu-lam tak
mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah bulan
dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan air jernih,
berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah bulan, bukankah sudah jelas
bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya tujuh. Nah, angka yang
tersembunyi tujuh!"
Hauw Lam hanya tersenyum lebar, lalu menoleh
kepada yang lain, sikapnya menantang. "Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam.
Kini siapa lagi yang menebak?"
"Bocah gila, betul atau tidak tebakan
kami nasibmu toh sama saja. Menurut perhitunganku, bilangan yang tersembumyi
adalah DUA PULUH. Sudah jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi
jumlah bulan ada dua. Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol
sama dengan dua puluh!" kata Bouw Lek Couwsu.
Hauw Lam berseri-seri wajahnya, senyumnya
tetap gembira. "Siapa lagi?"
Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan suaranya yang
parau besar, "Bulan purnama berarti tanggal lima belas. Nah, angka
bilangan yang tersembunyi tentu LIMA
BELAS." Hauw
Lam mengangguk-angguk. "Bagus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa
lagi?"
"Tidak ada yang penting dalam syair itu
kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas, bulan dan bayangannya
laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan, bayangannya, dan emas, maka
tentu angka TIGA yang dimaksudkan." kata Pak-sin-ong tenang.
Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga
tidak ada yang dapat menduga, jawaban Siapa yang paling tepat. "Siapa
lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"
"Ha-ha-ha, kau bocah edan! Membikin
orang-orang tua memeras otak dan teman-temanku sampai harus menggunakan arti
yang dalam-dalam. Akan tetapi bocah seperti engkau ini mana mengerti arti yang
dalam? Tentu kaumaksudkan di dalam syair itu jumlah semua benda hidup atau mati
dan yang disebut adalah lima ekor- kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia
yang memancing, dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu
DELAPAN!"
"Boleh kauterka sesukamu. Nah, siapa
lagi? Engkau bagaimana, Toanio?" Hauw Lam menghadapi Kam Sian Eng.
Sepasang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.
"Jangan ganggu aku, tolol!" hardik
Kam Sian Eng. Hauw Lam menahan napas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa
celaka, maka ia lalu cepat-cepat menghadapi para penebaknya dan berkata,
"Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam
menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong angka
lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo angka delapan. Bukan
begitu?"
Lima orang kakek mengangguk-angguk tertarik
untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat tebakannya.
"Ketahuilah, biarpun kalian mengaku
kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan kalian ngawur tidak
karuan, tidak ada seorang pun yang benar! Mau tahu jawabannya yang betul? Nah,
jawabannya, adalah angka EMPAT!"
Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut,
semua mengerutkan kening, menghitung-hitung kembali. "Aihhh, kenapa
empat?" Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.
"Kalian yang bodoh, kecual Sian-toanio
yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab. Yang dipersoalkan dalam
syair hanya baris ke tiga yang berbunyi : LIMA EKOR YANG SATU EMAS. Nah, kalau
ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah emas, maka yang empat ekorlah
yang benar-benar kura-kura tolol, kura-kura yang buruk dan tua seperti
kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas, cantik dan cemerlang,
mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura? Maka kalau dibilang lima
ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan
yang satu hanya terbawa-bawa akan tetapi sama sekali tidak patut disebut
kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk empat ekor
kura-kura itu, paling tepat adalah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa Tanding)!
Ha-ha-ha-ha!"
Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini, pikir
Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas maksudnya, Hauw Lam
dalam jawabannya yang teratur telah menyindir Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa
Tanding). Ia mengumpamakan empat kakek itu kura-kura dan Sian-toanio
diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu ia sebut jebagai Bu-tek Su-kwi!
Inilah siasat memecah belah, memperingatkan Sian-toanio bahwa ia sama sekali
tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang kakek. Cerdik Hauw
Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang
kakek.
Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo,
dan Thai-lek Kauw-ong bukanlah orang bodoh. Mereka kini maklum bahwa mereka
dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena yang berkuasa di situ Bouw Lek
Couwsu, mereka tidak berani turun tangan. Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa
tamu-tamu dan sekutunya dihina, maka ia berkata.
"Bocah gila, kautunggu saja giliranmu.
Kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara dan mengerikan. Sebelum
mati terakhir, kausaksikan dulu teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjutkan
rencana kita tadi."
Bu-tek Siu-lam melangkah maju menghampiri Kwi
Lan yang memandangnya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Semua
tawanan menjadi tegang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan berkata,
"Salahkah aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat?
Lihat saja Bu-tek Siu-lam ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat!
Mengaku seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat disebut setan
tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago, kini menghadapi seorang
gadis remaja seperti Mutiara Hitam saja takut-takut dan begini pengecut? Coba
Mutiara Hitam tidak terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana
saking takutnya. Ha-ha-ha!"
Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam
ini. Kwi Lan girang mendengar ini dan berkata, "Ah, mana dia berani.
Berandal? , Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya.
Ia mirip.... eh, kadal buduk!"
Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya
melebar dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dua kali. Terdengar suara
keras dan.... belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu
bebas!
"Hi-hik, anak manis. Sekarang kau sudah
bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu melawan Bu-tek
Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu!"
Kwi Lan merasa lega. Biarpun ia maklum akan
kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah kini ia bebas, ia akan melawan
mati-matian dan tidak menyerah begitu saja seperti kalau dia dibelenggu tadi.
Sambil mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju, menggunakan
seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya menyerang Bu-tek Siu-lam.
Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih sayang lagi bahwa tenaganya sudah
banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang bertubi-tubi, dengan
penahanan dan dalam belenggu yang membikin kaku urat tubuh.
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ketika
mengelak dan balas menyerang. Pertandingan terjadi dalam ruang tahanan.
Pertandingan yang berat sebelah. Keahlian Kwi Lan adalah bermain pedang. Kini
ia bertangan kosong dan biarpun ia merupakan seorang gadis remaja yang jarang
bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun menghadapi seorang tokoh seperti
Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat. Bahkan kini karena tenaganya sudah
banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga tiap kali dengan mereka beradu, Kwi
Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini
gerakan tokoh banci ini makin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi, meraba
dada dan mencubit paha.
Kwi Lan malu dan marah sekali, berlaku nekat
dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek Siu-lam menubruk, tangan
kiri mencengkeram dada dan tangan kanan mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan
jengah. Serangan ini kurang ajar sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia
mau membiarkan dirinya dipegang? Ia menjatuhkan diri dan bergulingan, akan
tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit ketika terdengar bunyi kain robek. Kiranya
serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju
Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu-lam sehingga pakaian
gadis itu, baik yang luar maupun yang dalam sebagian besar berada dalam
tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi Lan. Gadis ini
cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah
setengah telanjang. Bahkan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan
pahanya yang putih bersih tampak nyata!
"Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"
Bu-tek Siu-lam terkekeh- kekeh dan membawa
robekan pakaian ke depan hidung sambil menyedot-nyedot dan berseru, "Aihh,
wangi....! Mari kita main-main, Nona manis!"
Hauw Lam berseru, "Coba dengar sombongnya
Si Tokoh Banci! Biarpun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia berani memandang
rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid dipermainkan berarti guru
dihina! Kalau murid dihina berarti guru dibunuh! Di depan Sian-toanio Si Banci
menjemukan ini berani bermain gila. Sungguh tak tahu diri!"
Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah melangkah
maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak melakukan penghinaan
seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk menundukkan Pangeran Talibu, Kiang
Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong
betapa wajah di balik kerudung hitam itu mengeluarkan napas yang membuat
kerudung bergerak-gerak, betapa pandang mata dari balik kerudung seperti dua
titik api membakar.
Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang
bagaikan minyak menyiram api, terdengar lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian
Eng sudah berkelebat maju, tangannya yang kanan mencengkeram pundak Bu-tek
Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh
Kwi Lan.
Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuhnya
terlempar membentur dinding. Cengkeraman tadi bukan sembarang cengkeraman,
melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah menembus baju dan
kulit pundak Bu-tek Siu-lam! Wajah Si Banci menjadi pucat ketika ia melompat
bangun, jelas ia kesakitan bercampur marah dan keluarlah senjata guntingnya
dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan menerjang maju. Namun tangan kiri Kam
Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam
yang sebetulnya adalah warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan
sinarnya menjadi hitam. Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan
darah di tubuh Bu-tek Siu-lam! Sinar ini mendatangkan suara berciutan
mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan jarang ada lawan dapat
menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat,
cepatnya seperti kilat menyambar, sasarannya tiga belas jalan darah di
sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan dan racunnya sedemikian hebat sehingga
jangankan terluka, baru tergores sedikit saja sudah mendatangkan maut!
Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah
milik gurunya ini masih belum apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat,
belum lagi Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih). Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan
suara, hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi,
tersentuh kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya terdapat dari
kerangka-kerangka manusia di bawah tanah!
Bu-tek Siu-lam memang lihai sekali namun ia
tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari sambaran sinar hitam
jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar gunting melempar diri ia berhasil
terbebas dari terjangan jarum, namun Kam Sian Eng yang sudah menduga akan
gerakan ini, sudah berkelebat maju dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung
Bu-tek Siu-lam yang sedang repot menghindarkan diri dari jarum-jarum.
"Plakk....! Auuuukhhh!" Bu-tek
Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mulutnya menyembur darah segar. Ia
sudah terluka hebat! Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir
berlepotan darah, mata beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan
dengan gerakan tenang pula Kam Sian Eng membuka kerudung hitamnya. Semua orang
menahan napas. Betapa cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih
kemerahan seperti kulit muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cuping
bergerak-gerak kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh
bergerak-gerak ke kanan kiri dan senyumnya membuat bulu tengkuk berdiri.
Senyum wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan kehangatan.
Akan tetapi senyum ini dingin sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir
orang-orang mati! Dengan kerudung hitam di tangan kiri, diputar-putar seperti
seorang gadis remaja memutar saputangan sutera, tangan kanannya bergerak ke
pinggang dan...., sebatang pedang tipis telah dipegangnya.
"Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih berani
memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu dan manis, namun didorong
ancaman yang mengerikan.
Bu-tek Siu-lam yang sudah dua kali terkena
pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum bahwa keselamatannya
sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan membuat lehernya serasa
tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara seperti tertawa
atau ringkik seekor kuda, kemudian tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya
bergerak menggunting ke arah, leher Kam Sian Eng, sedangkan jarumnya meluncur
ke arah perut lawan. Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan
kerudung hitam yang kini menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat
daripada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka
biarpun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggunting tidak ada hasilnya,
malah guntingnya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi. Adapun
jarumnya dapat dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sambil tersenyum membetot
kerudungnya membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu ia papaki dengan tusukan
pedang mematikan!
Bu-tek Siu-lam terkejut. Tidak mengira bahwa
ia akan mati demikian mudah di tangan wanita ini, akan tetapi apa daya, racun
mulai bekerja di tubuhnya, membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat
memejamkan mata menanti datangnya pedang dan memasuki dadanya.
"Tranggg....!" Pedang di tangan Kam
Sian Eng terpental ketika tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu menangkisnya.
"Toanio, tak boleh kau membunuh
tamuku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan tongkatnya.
Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking
marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu beberapa menit saja ia sudah
bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsi-hsia.
"Ha, kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja
aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian!" Inilah suara
Thai-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu memukul dengan ilmu pukulan
Thai-lek-kang yang luar biasa lihainya. Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan
namun ia tetap saja terhuyung ke belakang, permainan pedangnya menjadi kacau
dan pada saat ia memutar pedang menghadapi tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu,
dari belakang ada tangan menyambar.
"Awas, Bibi....!" terdengar Kwi Lan
berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan kini
mejihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia memperingatkan
gurunya.
Namun Sian Eng yang sudah marah itu
menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar. Hanya tiga batang jarum
yang ia sambitkart namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek Siu-lam yang
roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi disembelih karena seluruh
tubuhnya terasa sakit-sakit, tak tertahankan. Rasa nyeri yang amat hebat
membuat tokoh banci ini seperti gila, guntingnya bergerak menggunting bagian
tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya
buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya! Ia mati dalam
keadaan tubuh terpotong-potong gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.
Andaikata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu
atau bahkan Thai-lek Kauw-ong satu lawan satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak
akan mudah dapat dikalahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek
Couwsu dan Thai-lek Kauw-ong malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah
maju mengeroyoknya! Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja, ia menjadi
repot sekali.
Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya. Ia
menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan darah, lalu mengamuk, mainkan
gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena senjata ini tidak cocok,
ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.
"Kwi Lan, kaubebaskan saja kami agar kami
dapat membantu. Lekas!" teriak Hauw Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong. Akan
tetapi gadis itu dalam kemarahan meluap-luap tidak ingat akan hal ini dan
akhirnya, ketika Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu
Soan-hong-sin-ciang sehingga tubuhnya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh
tertotok dan tak mampu bergerak lagi!
Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan pemuda ini
hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak, "Tak tahu malu! Empat ekor
kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan pengeroyokan! Aku berani
mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua
tentu dapat terbunuh mampus oleh Sian-toanio!"
Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan
akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat orang pengeroyoknya. Ia
tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyung-huyung
dan pening. Ia sudah menghabiskan jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan
kerudung, namun sia-sia dan akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji
Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya. Lambungnya robek. Kam Sian Eng memekik
marah dan tendangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga membuat
Pak-sin-ong terlempar akan tetapi pada saat itu, tongkat Bouw Lek Couwsu,
senjata gembreng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat
ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sin-ong sudah bangkit dan hanya terluka
ringan.
"Wanita hebat....!" Thai-lek
Kauw-ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biarpun ia sanggup
seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang lama.
Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang
Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah empat orang kakek itu dengan jantung
berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak
ada artinya lagi sekarang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi mengapa
gurunya belum juga muncul? Ataukah ia salah dengar dan bukan suara gurunya?
Bouw Lek Couwsu dengan muka geram menghadapi
para tawanan muda. Ia marah sekali karena sekaligus kehilangan dua orang
pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya berdiri
memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya menunduk.
"Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu
kini?" Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu bertanya kepada pemuda itu. Ia hendak
menjenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini. Suma Kiat berkata,
suaranya menggetar.
"Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami
ibu dan anak telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela
gadis sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepadaku, aku
ingin membalas dendam ini kepadanya!"
Bouw Lek Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau
begitu pendapat pemuda ini. "Boleh saja, asal kemudian dibunuh. Dia telah
menimbulkan banyak kerewelan." Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh
Kwi Lan yang pingsan dan dibawa keluar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi
Pangeran Talibu dan berkata,
"Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah
kau masih keras kepala? Kalau sekarang kalian semua kubunuh, siapa yang akan
berani menolongmu?"
Sunyi tiada jawaban dari para tawanan muda.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras disusul sorak-sorai. Agaknya ini
sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang amat berbahaya
bagi keselamatan semua tawanan muda itu tiba-tiba saja berkelebat bayangan
orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ
berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan gagah berusia lima puluh
lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di pinggang, topinya lehar
dan sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.
"Suling Emas....!" Seruan ini keluar
dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan semua kakek itu terkejut seperti disambar
kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di
sekeliling markasnya, tanda bahwa di luar terjadi perang hebat.
Suling Emas tidak mempedulikan empat orang
kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak dan sikap gentar. Ia melirik
dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para tawanan. Pandang matanya
mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata Kiang Liong.
"Di mana Mutiara Hitam....?"
tanyanya, suaranya tenang halus, seperti sikapnya.
"Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera
Sian-toanio...." Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke arah mayat
Kam Sian Eng.
Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada
muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka yang cantik dan tersenyum aneh.
Sedetik Suling Emas memejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak tak
bernyawa itu adalah adik tirinya! Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan
dan.... gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju
tangannya. Suling Emas menyambar gunting dan terdengar bunyi nyaring dua kali
ketika gunting menyambar belenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas
melempar gunting ke atas lantai sambil berkata, "Pergi kaukejar dan ambil
kembali Mutiara Hitam."
"Baik, Suhu!" Kiang Liong menyambar
gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian berkelebat pergi
meninggalkan gunting kepada Siang Ki, yang kini sibuk membebaskan
teman-temannya.
Suling Emas menjura kepada Thai-lek Kauw-ong,
"Kauw-ong, selamat berjumpa kembali. Agaknya sahabat-sahabat ini adalah
Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lomo. Sayang bahwa Sam-wi (Tuan Bertiga) terperosok
rendah mengabdi orang Hsi-hsia."
"Suling Emas, jangan sombong! Kamu kira
dapat menangkan kami berempat?" Bouw Lek Couwsu berseru dan tongkat
kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang Suling Emas, disusul gergaji di
tangan Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal mengacau di
Khitan karena Suling Emas, maka sekarang ia hendak menggunakan kesempatan
selagi ada teman-teman sakti, membalas dendam.
"Suling Emas, hadapilah kematianmu!"
bentaknya.
Thai-lek Kauw-ong yang sudah mengalami
kelihaian Suling Emas, membunyikan gembreng dan menerjang maju secara
dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biarpun bertangan kosong, kini
menerjang maju dengan pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan
bumbung berisi racun.
Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar
biasa gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata bergulung-gulung seperti
naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mundur. Namun ia
dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu
tinggi. Tempat itu kurang luas untuk menghadapi pengeroyokan, apalagi di situ
terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suling Emas tidak mau menginjak
mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang dan sinar sulingnya
menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang pengeroyoknya
mundur, ia melesat keluar kamar. Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak
membiarkan ia pergi dan cepat menyusul. Kiranya Suling Emas sudah menanti
mereka di luar, di tempat yang iuas, sambil memalangkan suling di depan dada
dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Sikapnya gagah bukan main dan
biarpun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan tampan, tubuhnya
masih padat dengan sikap tegak berdiri, dadanya bidang.
"Hyaaaahhh!!" Bouw Lek Couwsu
memekik dan tongkatnya menyambar kepala Suling Emas yang hanya miringkan
tubuh menghindarkan diri, namun sulingnya menyambar dengan totokan ke arah
lambung Ketua Hsi-hsia ini. Dengan menyontekkan tongkat ke sampingf Bouw Lek
Couwsu berhasil menangkisnya. Pada setengah detik berikutnya, gergaji Pak-sin-ong
menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis dengan suling, berusaha
menempel gergaji dengan sinkang, akan tetapi karena pada saat itu Thai-lek
Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan sepasang gembreng yang amat berbahaya itu,
terpaksa Suling Emas melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang membiarkan
gembreng lewat, siku kirinya menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang
hendak menyerang sehingga kakek ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas
sudah meloncat lagi ke depan, selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali
gembrengnya pendekar sakti ini sudah memukulkan suling ke arah kepala.
Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau kepalanya dipecahkan suling, cepat
menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat ke belakang karena tangan Siauw-bin
Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring yang kalau mengenai iganya
dapat mematahkan tulang iga.
Pertandingan terjadi makin seru dan cepat.
Gerakan Suling Emas indah sekali, indah dan cepat namun karena empat orang
pengeroyoknya juga bukan orang-orang biasa, ia kalah cepat dan terpaksa
bertubi-tubi menangkis serangan yang datang bergantian bagaikan hujan lebatnya.
Setelah pendekar sakti ini mainkan ilmunya, Hong-in-bun-hoat, sulingnya
mencorat-coret huruf-huruf sakti di udara barulah dia dapat mematahkan semua
serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan, sungguhpun ia masih belum
dapat membalas serangan.
Sementara itu, di luar terjadi perang hebat
antara pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya melawan orang orang Hsi-hsia
dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan ini memang mencari Pangeran Mahkota
mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya
mereka takkan berhasil kalau saja tidak bertemu dengan Suling Emas di luar
hutan. Suling Emas yang memimpin mereka memasuki markas tanpa diketahui
sehingga mereka dapat menyerbu secara mendadak. Karena jumlah mereka lebih
banyak dan karena pasukan Khitan ini lebih berpengalaman dalam perang, maka
pihak Hsihsia segera terdesak hebat dan banyak jatuh korban.
Sementara itu, Siang Ki telah berhasil
membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan Mimi. Setelah mereka beristirahat sebentar
untuk memulihkan jalan darah yang membeku karena terlalu lama dibelenggu,
mereka lalu keluar dari kamar tahanan yang menyeramkan dengan adanya mayat
Bu-tek Siu-lam yang terpotong-potong! Mereka siap membantu Suling Emas, bahkan
Pangeran Talibu sendiri cemas melihat ayah kandungnya dikeroyok tadi. Akan
tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan pasukannya, teriakan-teriakan
itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil mendesak dan menang.
Ketika mereka tiba di luar, hati mereka makin
lega. Kiranya Suling Emas kini bukan hanya seorang diri menghadapi pengeroyokan
empat musuh, melainkan dibantu seorang kakek tua renta yang cebol berkepala
besar dan tertawa cekikikan. Yang paling girang hatinya adalah Hauw Lam karena
ia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah kakek aneh luar biasa Bu-tek
Lo-jin yang men jadi gurunya hanya untuk beberapa hari lamanya.
Pak-sin-ong dan Thai-lek Kauw-ong mengeroyok
Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw Lek Couwsu mengeroyok Bu-tek
Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang sebatang ranting kecil maupun
Suling Emas yang bersenjatakan suling dapat mendesak kedua pengeroyok
masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, serombongan hwesio jubah merah yang
mendengar tanda bahaya yang dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan
senjata di tangan untuk mengeroyok dua orang pendekar sakti itu. Mereka ini
jumlahnya ada dua puluh orang, murid-murid pilihan yang terpaksa meninggalkan
peperangan yang terdesak untuk membantu dan membela guru mereka. Melihat
munculnya hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera
meloncat maju menerjang dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar
tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak mau ketinggalan. Pangeran ini sudah
mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mimi, dan kedua orang muda
bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu menyerbu dan membantu Siang Ki
dan Hauw Lam.
Sebagian dari hwesio-hwesio itu menyambut
serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian besar membantu Bouw Lek Couwsu.
Melihat datangnya banyak hwesio jubah merah yang otomatis mengeroyok kakek
cebol, Suling Emas menjadi marah. Ia membuat gerakan panjang, gulungan sinar
suling melibat bayangan Thai-lek Kauw-ong yang sungguh luar biasa. Kauw-ong
kaget, merasa betapa sinar itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi
pedang. Untuk menjaga diri, Kauw-ong lalu berputaran seperti gasing, sepasang
gembrengnya menjadi sinar yang membungkus tubuhnya. Akan tetapi, ia kena
diakali Suling Emas yang memang hanya menggertak saja. Setelah kakek raksasa
yang amat lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan seluruh
tenaga dan perhatian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya berkelebat, sulingnya
melengking bagaikan sinar kilat menyambar ke arah Pak-sin-ong. Kini Pak-sin-ong
tidak ada pembantu karena sahabatnya sedang berputaran seperti gasing.
Terpaksa ia menangkis dengan gergaji di tangan kanan sedangkan tali pancingnya
menyambar ke arah kaki Suling Emas.
"Cringg.... krekkkk!" Gergaji itu
patah-patah menjadi beberapa potong. Pak-sin-ong hendak meloncat mundur akan
tetapi alangkah kagetnya ketika gerakannya itu terhalang oleh tali pancingnya
sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan Suling Emas. Kiranya pendekar
sakti itu telah menangkap pancingnya dan karena talinya diikatkan pada
pinggang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri! Ia menjadi nekat,
membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil tiba-tiba menubruk
maju. Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan suling. Pak-sin-ong
mengulur tangan menangkap suling. Gerakannya cepat dan tak terduga-duga
sehingga suling itu dapat tertangkap. Mereka saling betot, adu tenaga. Namun
Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa mempergunakan kedua tangan melawan
tangan kanan Suling Emas. Sambil tersenyum Suling Emas mempertahankan suling
dengan tangan kanan, adapun tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan
yang ampuh dan kuat itu satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa
mengeluarkan suara Pak-sin-ong melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.
Ketika Suling Emas siap menghadapi Thai-lek
Kauw-ong, ternyata Si Raja Monyet itu telah melompat jauh melarikan diri! Ia
tidak mengejar, melainkan menyerbu ke depan membantu kakek cebol yang kini
dikeroyok banyak sekali lawan. Para murid Bouw Lek Couwsu tentu saja semua
mengeroyok Si Cebol ini untuk membantu guru mereka. Si Kakek Cebol benar-benar
hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia dapat menduga siapa
adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena siapa lagi di dunia ini ada
tokoh sakti memiliki tubuh seperti kanak-kanak dan kepala besar seperti
raksasa? Memang kini sudah kelihatan tua sekali sehingga kalau melihat mukanya
orang yang pernah bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi melihat potongan
tubuh dan kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah saja menduga siapa
tokoh ini.
"Locianpwe Bu-tek Lo-jin, terima kasih
atas bantuan Locianpwe!" kata Suling Emas sambil menerjang maju,
menyerang Siauw-bin Lo-mo.
"Heh-heh-heh. Suling Emas, siapa membantu
siapa? Aku hanya ingin menghajar monyet-monyet gundul berpakaian pendeta
ini!" Dan.... "brettt.... brettt....!" celana dua orang hwesio
jubah merah robek dan putus tali kolornya. Tentu saja dua orang hwesio itu
kededoran dan tersipu-sipu mundur untuk membenarkan celananya yang robek.
Kakek cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya kembali berkelebatan di antara
sinar senjata para pengeroyoknya yang amat banyak.
"Hayo Bouw Lek Couwsu, lepaskan
celanamu!" kembali kakek cebol itu tertawa dan menerjang. Ia tidak
pedulikan para hwesio yang menghalanginya. Dengan lincahnya ia melejit dan
menyelinap, tahu-tahu ia sudah berhadapan lagi dengan Bouw Lek Couwsu. Kalau
tadi ia belum berhasil adalah karena selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai,
kakek pemimpin Hsi-hsia ini dibantu pula oleh Siauw-bin Lo-mo. Kini menghadapi
kakek cebol seorang diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat
kuningnya yang berat digerakkan menghantam tubuh Bu-tek Lo-jin.
"Desss....!" Dan Bouw Lek Couwsu
melongo. Jelas tadi ia melihat tongkatnya secara tepat menyambar tubuh cebol
itu, akan tetapi mengapa kini hanya tanah saja yang dihantamnya dan ke mana
perginya Si Cebol? Tiba-tiba terdengar bunyi kain robek dan Bouw Lek Couwsu
cepat membalikkan tubuh karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kiranya Bu-tek
Lo-jin sudah berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh
belakang, celananya di bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak
buah pantatnya yang besar menghitam!
"Ha-ha-ha-ha, persis pantat monyet,
ha-ha-ha," Bu-tek Lo-jin tertawa terbahak-bahak.
Bouw Lek Couwsu marah bukan main.
Murid-muridnya sudah mengurung dan mengeroyok lagi kakek cebol itu dan seorang
murid datang membawa celana baru yang cepat dipakai oleh Bouw Lek Couwsu.
Kemudian sambil menggigit bibir saking marahnya, ia memutar tongkatnya lagi
menerjang Si Kakek Nakal.
Pertandingan antara empat orang muda melawan
para pendeta jubah merah juga berjalan seru. Para pendeta itu adalah
murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan pengawal pribadi, maka
kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan pengawal. Hsi-hsia
yang membantu sehingga empat orang muda itu harus bekerja keras. Banyak sudah
orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan tetapi jumlah pihak lawan makin
banyak. Betapapun juga, dengan enaknya Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam
mempermainkan dan membabati mereka karena tongkat ilmu kepandaian dua orang
muda ini jauh lebih tinggi. Puteri Mimi di samping Talibu sudah mundur karena
Sang Pangeran terlalu lelah oleh luka-lukanya. Dia dibimbing Puteri Mimi yang
siap melindunginya. Tadinya Talibu tidak mau berhenti dalam bertanding melawan
musuh, akan tetapi Yu Siang Ki yang melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah
dan tidak tetap, bahkan wajahnya pucat sekali, maka ia lalu memutar senjata
memberi jalan keluar kepada Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran mengaso
dijaga Puteri Mimi.
Siauw-bin Lo-mo repot sekali menghadapi Suling
Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik oleh suling di tangan lawan. Untung ke
tiga kali itu ia cukup cepat sehingga hanya mengalami jungkir-balik dan babak
belur, kalau ia kurang cepat sedikit saja, tentu nyawanya telah melayang.
Karena maklum bahwa ia bukan tandingan Suling Emas yang luar biasa saktinya,
tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak, tangan kirinya membanting
bumbung, juga tangan kanannya meraih bola yang bergantungan pada pinggangnya.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan
tanpak asap bermacam-macam warnanya mengebul memenuhi tempat pertandingan
itu. Bouw Lek Couwsu berseru memberi peringatan kepada anak buahnya yang lari
cerai-berai, namun terlambat sedikit. Lebih dari sepuluh orang Hsihsia dan
pendeta jubah merah roboh berkelojotan, ada yang terkena besi, ada yang
menghisap asap beracun.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang mengaso
di emper bangunan, dari jauh melihat betapa setelah membantingi bahan-bahan
peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh telentang. Akan tetapi mereka
tidak melihat di mana adanya Suling Emas, Bu-tek Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang
Hauw Lam! Apakah mereka berempat juga sudah menjadi korban?
Kiranya ketika terjadi ledakan-ledakan tadi,
keadaan amatlah berbahaya sehingga orang-orang lihai seperti Siang Ki dan Hauw
Lam sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri karena mereka sedang
menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdua berseru kaget,
tubuh mereka terangkat dan terbang melayang ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu.
Setelah memandang, kiranya Suling Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek
Lo-jin yang membawa "terbang" Hauw Lam! Setelah dilepaskan di atas
genteng, dua orang muda itu segera bertekuk lutut menghaturkan terima kasih.
Bu-tek Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul
pundak Hauw Lam. "Heh-heh, kau lumayan, aku tidak kecewa. Apalagi
permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu dan sekutunya, hebat!"
"Berkat bimbingan Suhu," kata Hauw
Lam merendah.
"Heh, bimbingan apa? Aku tidak pernah
mengajarmu bersyair!"
"Suhu telah datang, kenapa tidak cepat
turun tangan tadi?"
"Kenapa? Aku belum ada
kegembiraan."
"Bukankah tadi keadaan Mutiara Hitam
terancam bahaya?"
"Uuuhh, berani bermain api jangan takut
terbakar. Berani bermusuhan jangan takut berkelahi dan berani berkelahi jangan
takut mati! Perlu apa aku mesti tolong? Eh, Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat
teka-teki, mengapa kau begitu sembrono? Hatiku sampai berdebar tidak karuan.
Bagaimana kalau kebetulan di antara mereka ada yang menebak tepat angka empat?
Kau tentu kalah.
Hauw Lam maklum bahwa gurunya ini memang
ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak ia masukkan hati. "Teecu
(murid) takkan kalah, Suhu. Walaupun ada yang menjawab empat umpamanya, teecu
akan salahkan dia karena jawabannya bukan empat."
"Heeeii, bagaimana ini?"
"Aah, ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di
dalam syair itu terdapat angka atau jumlah bermacam-macam. Kura-kuranya empat,
emasnya satu, bulannya dengan bayangannya dua, tanggal purnama lima belas.
Kalau sekalian angka-angka itu dikali, ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa
saja kita mencari bilangan dari satu sampai seratus! Tentu saja semua tebakan
bisa teecu salahkan!"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening
berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha, kalau begitu kautipu mereka mentah-mentah!"
"Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal
anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja yang dapat diakali permainan
kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan
goblok."
"Ha-ha-ha, orang-orang yang punya
kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw Lam. Aku tidak mau kalah
denganmu. Kaulihat nanti bagaimana aku permainkan mereka dengan akal anak kecil
juga. Lihat ini!" Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari
kelingkingnya mengorek-ngorek ke dalam lubang hidungnya, mengeluarkan upil
(tahi hidung) dan mengumpulkan lalu memelintir-lintirnya menjadi semacam pel.
"Ah, terlalu sedikit," katanya tertawa. "Hayo kaukeluarkan
punyamu. Kau juga, Suling Emas, dan kau.... eh, jembel muda."
Hauw Lam mengedipkan mata kepada Siang Ki agar
pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda
juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup berpengalaman
untuk mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu
ia pun lalu mengorek lubang hidungnya.
Suling Emas tersenyum kepada kakek nakal itu.
Kalau dia mentaati permintaannya, berarti dia sudah kena dipermainkan juga,
maka ia lalu mengambil kotoran tanah yang menempel di bawah sepatunya,
"Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini tentu lebih lezat
rasanya," Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang diambilnya dari bawah
sepatu.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang tahi
hidung saja kurang banyak," ia lalu menuding dan menghitung baju-baju
merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama Bouw Lek si tolol. Biar
kutambah lumpur!" Kakek ini lalu mengumpulkan tanah dari bawah kakinya,
dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari Siang Ki, Hauw Lam, dan dia
sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel pada genteng. Karena
debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini
menjadi sekepal kecil yang warnanya tidak karuan, agak kehitaman, kemerahan
dan abu-abu!
"Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan
Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari turun!" kata Suling Emas
yang melayang turun, diikuti dua orang pemuda dan kakek nakal.
Suling Emas lebih dulu mengambil sulingnya
yang menancap di dahi Siauw-bin Lo-mo yang sudah tewas. Melihat empat orang
ini melayang turun, Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bersorak dan lari
menghampiri. Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini bermunculan
perajurit-perajurit Khitan yang sudah berhasil menyapu bersih orang-orang
Hsi-hsia. Bouw Lek Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini
berdiri bingung, dikurung di tengah-tengah. Pangeran Talibu mengeluarkan
aba-aba kepada para perajurit yang segera mengurung tempat itu dan tak seorang
pun di antara mereka berani turun tangan. Para perajurit ini bersorak girang
melihat bahwa pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat,
sungguhpun Pangeran Mahkota itu tubuhnya luka-luka. Seorang komandan pasukan
cepatcepat maju menghampiri membawa sebuah jubah indah yang dikenakan pada
tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu
mundur lagi setelah memberi hormat.
Dengan wajah keruh Bouw Lek Couwsu melangkah
maju menghadapi Suling Emas dan teman-temannya. "Suling Emas, kau
menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas bunuh!" Setelah
berkata demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan
ini diturut oleh anak muridnya yang semua melempar senjata ke atas tanah. Orang
akan keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda
sifat pengecut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu
tidak akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh.
Perbuatan ini malah membuktikan kecerdikannya. Ia tentu saja mengenal siapa
Suling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal
memiliki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin
sudi membunuh musuh yang tidak melawan lagi! Sedangkan kalau dia dan
murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia dan murid-muridnya tentu
akan binasa semua.
"Bouw Lek Couwsu, kami tidak akan
membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang bijaksana tidak menghendaki
permusuhan dengan bangsa apapun juga. Juga dengan bangsa Hsi-hsia tidak
menghendaki permusuhan. Oleh karena itu kau kini melanggar wilayah Sung, maka
Pemerintah Sung yang berhak memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan
kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran bagimu agar kelak
kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung maupun dengan Kerajaan Khitan.
Kau pergilah pulang ke tempat asalmu!"
"Eh-eh-eh, nanti dulu!" tiba-tiba
Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Suling Emas, kau membebaskan
mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan melepaskan kepala memegang
buntutnya! Mereka kaubebaskan untuk mati, apa bedanya? Lihat, bukankah mereka
semua menderita luka keracunan yang hebat dan tiada obatnya? Ini, lihat leher
Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati dan tangannya menunjuk ke arah leher,
"Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba
tarik napas dalam tidakkah terasa gatal dan sakit?"
Bouw Lek Couwsu benar-benar menarik napas
dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal dan sakit. Sebagai
seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk memunahkan racun ini, namun
makin dilawan makin sakit. Sementara itu, Bu-tek Lo-jin terus mendekati
murid-murid Bouw Lek Couwsu, menuding sana-sini, ada yang lehernya sakit, ada
yang punggungnya, pundaknya, pahanya pendeknya di mana kakek itu menuding,
tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apabila dipakai menarik napas
panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.
"Ha-ha-ha! Bouw Lek Couwsu, tahukah
engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh kalian semua? Inilah
racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali oleh obat yang
dinamakan batu hitam dari guha kembar! Atau dengan cara lain, bagian yang kena
racun itu dipotong. Kalau paha yang terkena, ya. pahanya dipotong, kalau
punggung atau leher... yah, pinggangnya dan lehernya dipotong!"
Sepasang mata Bouw Lek Couwsu melotot marah,
akan tetapi murid-muridnya menggigil ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam
itu? Pinggang atau leher dipotong berarti mati!
"Suling Emas, apakah benar apa yang
dikatakan tua bangka gila ini?"
"Bouw Lek Couwsu, aku bukan seorang ahli
tentang racun, akan tetapi harus diakui bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah
seorang ahli tentang pukulan-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya
kepada beliau."
Bouw Lek Couwsu dengan sikap angkuh kini
menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa, "Apakah omonganmu itu betul dan
tidak omong kosong belaka?"
"Heh-heh-heh, memang omong kosong? Apa
sih isinya omongan? Tapi yang kosong berisi, yang isi itu kosong, bukan begitu
Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang
menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan manusia
bukan anjing tapi manusia dan anjing sama! Luka-luka kalian adalah akibat dari
getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang melompat ke atas tidak
terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah, terkena tanpa kalian rasakan.
Padahal andaikata kami di bawah dan terkena racun juga, tidak mengapa karena
aku mempunyai obat pemunahnya. Kebetulan sekali di antara perbekalanku
terdapat Pel Batu Sepasang Guha."
"Omitohud....!" Bouw Lek Couwsu
menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang mencengkeram dia
dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek Lo-jin, kalau begitu
pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."
"Tadi maki-maki sekarang minta-minta.
Inilah watak manusia kalau membutuhkan sesuatu! Obat ini mencarinya juga
bertaruhan nyawa. Sepasang guha itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku
berani mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepasang
guha itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah batu hitam dikumpulkan
sedikit demi sedikit. Dicampur dengan sari bumi dan debu angkasa. Bayangkan
saja betapa sukarnya mendapatkan obat ini," Bu-tek Lo-jin mengeluarkan
sekepal "obat" yang sudah ia bungkus kain kuning.
Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia
tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia membikin
mampus padanya dan merampas obatnya.
"Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon
pertolonganmu. Kalau perlu dibeli, katakan saja berapa, pinceng akan sanggup
menggantinya."
"Heh-heh-heh, kita sudah saling
bertanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara sobat, mana ada
jual beli? Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau
sekarang kau dan semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali
kepadaku, obat akan kuberikan dengan gratis!"
Tanpa dikomando lagi, sembilan belas orang,
hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut ke arah Bu-tek Lo-jin dan
mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras,
berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali, sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw
Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya pucat dan matanya menyinarkan kemarahan.
Orang telah mempermainkan dan menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya
melampiaskan kemarahannya.
"Hemm, paling-paling pinceng akan mati
kalau tidak dapat mengobati sendiri, akan tetapi seluruh dunia akan mendengar
tentang perlakuan Bu-tek Lojin yang tidak patut!"
"Biarlah, mengingat bahwa engkau adalah
seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini kubebaskan dari berlutut. Akan
tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk angin lalu datang minta obat
kepadaku, engkau harus berlutut!" kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah
puas mempermainkan mereka. Ia membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan
sekepal "obat" itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil
berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya.
"Obat ini adalah obat paling manjur di dunia dan akhirat! Jangankan
manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa
sekalipun dapat disembuhkan!" Ia lalu membagi-bagi menjadi dua puluh
butir, dan membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cousu dan murid-muridnya sambil
berkata, "Telan sekarang juga sebelum terlambat!"
Bouw Lek Couwsu menelan pel kemulutnya. Ia
merasakan betapa "pel" itu kasar dan agak asin, terus ditelannya.
Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu lagi telah menelan obat
mustajab itu. Alangkah lega rasa hati mereka ketika kini mereka menarik napas
panjang bagian tubuh yang keracunan itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula
dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil mengerahkan
sin-kang dan.... rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali
lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.
"Omitohud, Lo-jin telah menyelamatkan
nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi besar. Nah, Cu-wi
sekalian, sampai jumpa," Ia menjura ke arah Suling Emas dan teman-teman,
memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat dengan lenggang
angkuh, diikuti para muridnya. Atas isyarat Pangeran Talibu, para pasukan
Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsi-hsia ini lewat.
Begitu mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa
terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia sampai bergulingan di atas
tanah terbahak-bahak dan di antara suara ketawanya ia berkata, "....
lucu.... ha-ha-ha.... lucu!"
Mereka yang tidak mengerti, termasuk Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek
ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya,
segera bercerita dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya
tadi sama, sekali tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan
Bu-tek Lojin ketika menuding dan sama sekali tidak terancam maut, karena
akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar saja. Bahwa
"obat mustajab" itu adapah upil (tahi hidung) yang dicampur dengan
debu genteng dan tanah di telapak kaki. Orang-orang Khitan yang mengerti
bahasa Han, lalu menterjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada teman-temannya
dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi sampai
terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat keadaan amat
lucu adalah ketika mereka teringat betapa tahi hidung disebut batu hitam dari
sepasang guha, tentu saja sepasang guha adalah sepasang lubang hidung dan tentu
saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung! Dan sari bumi adalah
kotoran di telapak kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas genteng!
Setelah suara ketawa mereda, Suling Emas lalu
menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama Puteri Mimi kembali ke Khitan
dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat
yang bergelimpangan. Di depan banyak orang, Suling Emas menyebut pangeran
kepada puteranya itu. Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik
kuda yang disediakan oleh pasukan Khitan, minta diri dari Suling, Emas dan
Bu-tek Lo-jin, berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam yang
dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah rombongan itu.
Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam,
diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak bicara. Dengan
singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan pengalamannya, pertemuannya dengan
Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua, kemudian betapa berkat keterangan
Mutiara Hitam, ia dapat bertemu dengan ibunya yang kini masih tinggal di
istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan tempat itu.
Bu-tek Lo-jin mendengarkan penuturan ini dan
segera dapat mengambil kesimpulan bahwa muridnya “ada hati” kepada Mutiara
Hitam. “Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?”
Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali.
“Bagainiana Suhu tahu?”
“Heh-heh, kaukira aku begitu tolol?
Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau bercerita setiap menyebut namanya,
sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau cinta dia?”
Hauw Lam menghela napas, “Tak dapat teecu
sangkal, Suhu. Teecu mencintanya, akan tetapi.... ah, seperti hendak
menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari. Terlalu tinggi....“
“Uaaahh! Siapa bilang? Biarpun hanya untuk
beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin! Gadis mana yang terlalu tinggi
untukmu? Biar puteri Kaisar sekalipun, kalau aku yang melamar untukmu, akan
diberikan! Kenapa kau tidak mengawininya? Dia ke mana?”
Hauw Lam maklum akan sifat gurunya yang
ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada di situ, tentu akan diseret
gurunya dan dipaksa menikah dengannya! Ia tidak mau terjadi hal seperti ini,
maka ia menjawab.
“Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi
menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah Puteri Khitan,
puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas duduknya
perkara, tapi....“
“Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan
melamarnya dari tangan Ratu Khitan! Nah, sampai jumpa di Khitan!” Kakek itu
meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru, “Haii, Suling Emas! Aku
pergi sekarang!” Tanpa menanti jawaban ia sudah melesat jauh dan lenyap dari
pandangan mata.
Suling Emas yang sedang bercakap-cakap dengan
Yu Siang Ki, hanya melambaikan tangan ke arah kakek itu. Ia sedang bicara
dengan sikap sungguh-sungguh dan serius dengan pemuda itu.
“Kau sendiri sudah kalah olehnya?” Suling Emas
melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Bu-tek Lojin tadi.
“Betul, Locianpwe. Dia amat lihai,” jawab
Siang Ki yang tadi bercerita tentang Suling Emas palsu yang menantang-nantang
Yu Kang Tianglo!
“Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung
Heng-tuan-san, kaubilang tadi? Dan dia pandai menggunakan hui-to (golok terbang)?”
“Benar, Locianpwe.”
Suling Emas mengangguk-angguk. “Hemm, urusan
ini penting, harus kubereskan sendiri. Akan tetapi aku masih ada persoalan di
kota raja. Siang Ki, sekarang kaubuatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo
dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima belas
di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu.”
“Tapi, Locianpwe....“ Yu Siang Ki tentu saja
bingung mendengar perintah yang aneh ini.
“Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai
Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita lihat saja nanti.”
Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura
sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam juga datang berpamit hendak.
melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki
hendak mengerjakan perintah pendekar sakti itu, adapun Hauw Lam sebelum
ke Khitan hendak menyampaikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud
pelamarannya kepada Kwi Lan.
***
Kwi Lan masih pingsan ketika tubuhnya
dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari keluar. Pemuda ini meloncat ke
atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari menuju ke selatan. Perang
tanding telah terjadi dengan hebatnya namun Suma Kiat tidak mempedulikan semua
itu. Ia membalapkan kudanya dan karena orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal
siapa pemuda ini maka mereka tidak mengganggunya. Perajurit-perajurit Khitan
juga tidak menghalanginya karena pemuda yang membawa lari gadis pingsan itu
tidak menyerang mereka. Satu dua orang yang mencoba-coba menghalangi, roboh oleh
pukulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia keluar dari tempat pertempuran dan
terus membalap ke selatan.
Setelah hari menjadi petang, berhentilah Suma
Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini adalah kuil yang sudah kosong
dan hanya dipergunakan mengaso dan bermalam mereka yang kemalaman di jalan.
Kebetulan kuil itu kosong. Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan memasuki kuil.
Baru saja ia menurunkan tubuh gadis itu di
atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan bergerak. Suma Kiat cepat menotok jalan darah
gadis itu, membuat Kwi Lan yang sudah sadar tidak mampu bergerak karena kaki
tangannya menjadi lemas. Gadis itu membuka matanya dan teringatlah ia akan
semua peristiwa yang dialami. Teringat betapa gurunya dikeroyok dan betapa ia
membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek Kauw-ong yang lihai. Kemudian ia
melihat cahaya api menerangi kegelapan. Ketika ia melirik, ia melihat Suma Kiat
sudah menyalakan lilin. Agaknya para penghuni kuil yang kemalaman di jalan
lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan oleh Suma Kiat. Kemudian
pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas lantai, wajahnya keruh dan
tampak lelah. Kwi Lan berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka karena
baru saja ia tertotok di luar tahunya.
Ia tahu bahwa suhengnya ini memiliki watak
yang aneh, bahkan tidak normal seperti gurunya. Dan ia sama sekali tidak dapat
menerka, apa yang hendak dilakukan pemuda ini terhadap dirinya, mengapa ia
dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan dibuat tak berdaya dengan totokan. Ia
bergidik. Jatuh ke tangan suhengnya ini tidak kurang berbahayanya daripada
jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Kwi Lan membesarkan hatinya dan
bertanya, suaranya biasa.
“Suheng...., bagaimana dengan Bibi Sian?”
Tiba-tiba saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu,
menyembunyikan muka dalam pelukan lengannya. Sampai lama pemuda ini menangis,
pundaknya bergoyang-goyang, sampai mengguguk. Mau tak mau Kwi Lan agak terharu
juga. Betapapun juga, pemuda ini bersama-sama dengan dia sejak kecil dan kini
ditinggal mati ibunya. Tanpa ia sadari, sepasang mata Kwi Lan juga mencucurkan
air mata. Gurunya tentu sudah mati.
Akhirnya tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian
ia mengangkat mukanya, memandang Kwi Lan dengan sepasang mata merah, “Ibu
sudah meninggal dunia....” katanya, suaranya parau, “Aku ditinggal seorang
diri. Karena itu, engkau harus menolongku, Sumoi.”
“Tentu saja, Suheng,” jawab Kwi Lan halus.
“Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka menolongmu. Tapi, kaubebaskan
dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara dalam keadaan begini.”
Tiba-tiba, seperti ketika menangis tadi, Suma
Kiat tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! kaukira aku begitu bodoh? Membebaskanmu
kemudian engkau menyerangku, ya? Ha-ha, Suma Kiat tidak begitu bodoh, Sumoi.
Ha-ha!” Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu menowel paha Kwi Lan. Gadis ini
bergidik. Benar gila suhengnya ini.
“Aku tidak akan menyerangmu, Suheng. Aku
berjanji takkan menyerangmu.”
“Ho-ho-ha-ha, kalau tidak menyerang tentu lari
meninggalkan aku! Ha-ha, aku tidak bodoh. Tidak boleh kau meninggalkan aku.
Ibu sudah pergi, engkau tidak boleh pergi. ibu sudah mati....
huu-huuukhuuuk....“ Ia menangis lagi, “Ibu mati dan aku tidak bisa menjadi
kaisar, menjadi pangeran pun tidak. Aaahhh, aku hanya punya engkau, Hanya
engkau yang dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu engkau tidak
boleh meninggalkan aku dan terpaksa kutotok.”
“Apa maksudmu, Suheng? Menjadikan kau
pangeran?” Kwi Lan bertanya, makin heran akan tetapi juga makin gelisah.
“Tentu saja. Ibu pernah bilang bahwa kau
adalah puteri Ratu Khitan. Kalau aku menjadi suamimu, berarti aku mantu Ratu
Khitan, seorang pangeran. Kalau kelak aku tidak menggantikan ibumu, menjadi
Raja Khitan, setidaknya aku menjadi pangeran. Maka engkau harus menjadi
isteriku, Sumoi.”
Kwi Lan terkejut sekali. Celaka, pikirnya.
Jalan pikiran orang gila ini aneh sekali. Bagaimana ia dapat lolos? Ia harus
cerdik.
“Ah, mana bisa, Suheng? Kau tidak mencintaku,
aku pun tidak cinta kepadamu. Ingat, sejak kecil kita saling bertengkar saja
mana mungkin menjadi suami isteri?”
“Ha-ha-ha, siapa bilang aku tidak cinta
padamu? Kau begini cantik manis, begini molek. Eh, Sumoi, tahukah kau bahwa
setelah kita dewasa, seringkali aku rindu kepadamu? Engkau cantik jelita,”
Suma Kiat membelai dagu wanita itu kemudian menunduk dan mencium pipinya!
Kwi Lan bergidik. Celaka sekarang! “Ah,
Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku bukan seorang wanita yang mudah
ditundukkan. Sekali aku bilang tidak mau, sampai mati pun aku tidak mau. Kalau
aku tidak sudi menjadi isterimu, kau mau apa? Lebih baik kita tidak bertengkar
dan bebaskan aku, dan kita bicara dengan baik, mungkin aku dapat memberi jalan
baik kepadamu.”
“Ha-ha, jangan coba untuk menipuku, Sumoi.
Engkau boleh tidak sudi menjadi isteriku, akan tetapi aku punya cara untuk
memaksamu.”
“Suheng, jangan gila!”
“Heh-heh-heh, memang aku gila. Bukankah Ibu
juga dianggap gila oleh orang lain? Mau tidak mau engkau akan menjadi
isteriku, Kwi Lan. Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang, melainkan
Lan-moi-moi yang cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek. Ini
sebabnya mengapa kau kutotok. Aku akan memaksamu malam ini juga menjadi
isteriku. Kalau sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa menolak
lagi besok? Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum
kawin? Kalau malam ini engkau menjadi isteriku, engkau akan terpaksa menerima
aku sebagai suami. Ha-ha-ha, aku akan menjadi mantu Ratu Khitan. Hebat bukan
rencanaku?”
Kerongkongan Kwi Lan serasa tersumbat! Ia
tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan melakukan rencana gilanya dan
dia akan menjadi korban. Dicobanya menggertak, “Suheng! Biarpun sekarang aku
tidak berdaya, akan tetapi kalau kau melakukan niat keji itu, besok kau akan
kubunuh! Percayalah, kalau kau benar-benar memperkosa, besok kau akan kubunuh,
kucincang hancur tubuhmu!”
Sesaat sinar takut menyelubungi wajah tampan
itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi Lan yang ia tahu memiliki
kepandaian lebih lihai daripadanya. Mulutnya berkemak-kemik seperti bicara
kepada diri sendiri. Melihat ini, Kwi Lan melanjutkan.
“Tidak ada gunanya, Suheng. Kau dapat
memaksaku sekarang, akan tetapi kau takkan dapat menjadi mantu Ratu, tidak
menjadi pangeran, melainkan besok kau menjadi mayat yang hancur lebur
dagingnya. Lebih baik kita bicara baik-baik, kaubebaskan aku.”
Akan tetapi tiba-tiba wajah itu
tersenyum-senyum lagi, seakan telah mendapat sebuah pikiran baru, kemudian
Suma Kiat tertawa, “Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku. Kaukira aku begitu
tolol memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok kubebaskan? Ha-ha, salahmu
sendiri kau membuka rahasia dan rencanamu. Kalau kau tadi tidak bicara, tentu
malam ini kau kujadikan isteri dan besok kubebaskan. Tapi pikiranmu busuk
sekali. Biar malam ini sudah menjadi isteri, besok hendak membunuh dan
mencincang tubuhku. Iihh, isteri macam apa ini? Aku tidak akan membebaskanmu,
Kwi Lan. Tiap tujuh jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau akan kupaksa
menjadi isteriku sampai.... ha-ha-ha, sampai kau mengandung! Nah, kalau kau
sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung keturunanku, masa kau
masih mau membandel!”
Sesak jalan pernapasan Kwi Lan. Ia merasa
ngeri dan bulu tengkuknya meremang. Alangkah akan ngeri dan sengsaranya kalau
rencana gila ini dilaksanakan. Dan sesungguhnya, kalau dilaksanakan ia tidak
akan dapat berbuat sesuatu! Ia akan hidup seperti mayat, makan dipaksa, minum
dipaksa, lalu diperkosa sesuka hati, dan baru akan dibebaskan kalau sudah
mengandung. Celaka! Hampir ia menjerit saking ngeri dan cemasnya. Apa akal
sekarang? Teringatlah Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu-tek
Siu-lam di kamar tahanan. Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang
berdaya upaya sedapat mungkin untuk menyelamatkannya. Hauw Lam, Si Berandal!
Ah, terbayang wajah sahabat baik ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa
besar cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala
macam akal. Pemuda yang cerdik, gagah dan jenaka. Dunia selalu akan berseri
kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam mencintanya. Akan tetapi.... di
sana ada Pangeran Talibu. Ah, betapa besar cinta kasihnya terhadap Pangeran
itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda lain.
Aihh, mengapa ia teringat yang bukan-bukan?
Bagaimana andaikata Hauw Lam yang menghadapi persoalan dan ancaman mengerikan
seperti dia sekarang? Ia kembali mengenangkan sikap Hauw Lam. Mengulur waktu!
Ya, mengulur waktu memperpanjang ancaman dan memperlebar kesempatan.
Tiba-tiba ia menangis. Tadinya ia hanya ingin
berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan kematian gurunya, akan
sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis
sungguh-sungguh! Air matanya bercucuran dan ia terisak-isak. Suma Kiat kaget
melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah ia melihat sumoinya menangis
seperti ini. Dahulu, semenjak mereka kecil, kalau mereka bertengkar , dialah
yang menangis, bukan Kwi Lan. Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk
menangis. Akan tetapi sekarang menangis terisak-isak begitu menyedihkan!
Seketika air mata Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan,
mengangkat tubuh yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada
dinding kuil yang kering.
“Ada apakah, Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang
manis, isteriku yang denok? Kenapa menangis? Aku tidak akan menyakitimu,
manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang. Anak kitak kelak tentu
laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi seperti.... eh, Paman Suling Emas!
Ya, anak kita tentu jagoan!”
Hiburan ini bukan mengurangi kesedihan,
bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin sesenggukan. Betapa tidak kalau
hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini? Ia dihadapkan
ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di
mana engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akalnya!
“Suheng...., apa engkau tidak kasihan
kepadaku? Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir batin? Suheng, lebih baik
kaubunuh saja aku....“
Suma Kiat merangkul lebih erat, “Aihhh mana
mungkin, sayang? Bagaimana aku dapat membunuh orang yang paling kucinta di
dunia ini? Jangan khawatir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah,
aku sayang kepadamu....”
Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati
Kwi Lan ketika pemuda itu mulai membelainya, bahkan dengan gerakan halus dan
hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia pakai
untuk menutupi tubuhnya. Berdiri seluruh bulu di tubuh Kwi Lan dan ia
cepat-cepat berkata.
“Suheng...., dengarlah kata-kataku. Eh....
aduh, tolong kausandarkan aku di dinding, jangan sentuh aku dan dengarkan dulu
baik-baik.... aku.... aku menyerah, akan tetapi ada syaratnya....”
Suma Kiat menarik kembali tangannya,
menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh perhatian, penuh kemesraan.
“Apa, manisku? Kau mau bilang apa?”
Mengulur waktu, harus mengulur waktu,
demikian jalan pikiran Kwi Lan, teringat akan kecerdikan dan akal Hauw Lam.
“Suheng....” suaranya ia buat manis dan halus, “setelah kupikir-pikir, memang
kau benar. Kita sudah kehilangan Bibi Sian, kalau tidak saling tolong,
bagaimana lagi? Dan kupikir-pikir.... eh, engkau bukan seorang pemuda yang
buruk. Engkau tampan, cerdik, juga gagah. Tidak kecewa menjadi isterimu.
Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi....”
“Heh-heh-heh, jangan kau menipuku, Kwi Lan.
Kalau aku disuruh membebaskanmu, tak mungkin. Aku tahu kelihaianmu. Engkau
akan menjadi isteriku dalam keadaan tertotok....”
“Sesukamulah, Suheng. Aku sudah menyerah.
Akan tetapi.... kuminta dengan sangat, jangan.... jangan malam ini! Lupakah
engkau, Suheng, bahwa ibumu baru siang tadi meninggal dunia? Bagaimana kita
dapat melakukan.... eh.... hal itu malam ini? Ini amat tidak baik dan durhaka,
Suheng. Kau boleh totok aku, aku toh tidak mampu lari. Tapi malam ini
jangan...., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah, bahkan kemudian aku
tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau menjadi mantu Kerajaan
Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan aku permaisurimu. Wah alangkah bahagianya!”
Makin berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia
bersorak dan berjingkrak-jingkrak dalam kuil itu, lalu berjongkok dan....
“ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya.
“Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih,
kau baik sekali. Tapi...., kalau sekarang, mengapa sih?”
Tadinya Kwi Lan sudah girang menyaksikan
akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir.
Sungguh sukar menjenguk keadaan hati pemuda gila ini.
“Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih
terbayang di depan mataku.
Tidak mau aku mendurhakai guru melakukan....
hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan mencari
kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya
membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang
pun aku dapat membunuh diri!”
Suma Kiat mengangguk-angguk, “Baiklah, Kwi
Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah sekali, harus tidur
malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!” Pemuda itu lalu berbaring di
dekat Kwi Lan dan sebentar saja sudah mendengkur!
Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya
kelap-kelip memandang api lilin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di
dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Berhasil untuk
sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaimana? Ia tetap
tidak melihat kesempatan. Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik.
Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam lagi, pengaruh totokan akan
lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan alangkah
mudahnya untuk membebaskan diri kalau ia sudah dapat bergerak!
Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat
sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi Lan. Api lilin sudah padam dan
karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu
seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu
dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...., hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih
juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar. Berkali-kali ia berusaha
mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya!
Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan seluruh semangat dan
tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan.... pada saat itu,
jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan
lemas kembali seperti tadi. Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak
tangisnya. Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat
terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma
Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu
sudah mendengkur. Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya tertarik
sehingga biarpun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu.
Napas pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh
kemarahan dan kebencian.
Matahari telah menyinarkan cahayanya melalui
jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan memicingkan mata, silau oleh sinar
matahari Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk lalu tersenyum dan
terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
“Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar
cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu
kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan
seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang
janjimu, bukan? Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi....“
Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah itu.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan di
belakangnya.
“Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan
jahat!”
Suma Kiat meloncat bangun, membalikkan tubuh
dan berhadapan dengan.... Kiang Liong! Pemuda berpakaian putih itu berdiri
tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol
ujung alat musik yang-khim. Seperti diketahui, pemuda ini diperintah oleh
Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan
dan akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda
keselatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam gelap. Pagi-pagi
sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia melanjutkan
perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya.
hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan
mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat kaget bukan main dan sejenak ia
hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat. Kiang Liong
sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak
lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biarpun gadis itu dalam keadaan
tertotok, namun tidak lebih daripada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran
bagaimana Kwi Lan dapat terhindar daripada penghinaan yang hebat.
“Piauw-heng (Kakak Misan).... kau.... menyusul
ke sini? Ah, Piauw-heng.... Ibuku telah.... telah meninggal dunia....” Dan Suma
Kiat menangis!
“Suma Kiat!” Kiang Liong membentak marah.
“Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa maksudmu melarikan Mutiara Hitam
dan apa yang hendak kaulakukan tadi?”
Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang
Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak
misannya marah-marah. “Dia ini....? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku,
Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepadanya!”
Kwi Lan cepat berkata. “Suma Kiat! Engkau memang
gila dan jahat. Kau hendak memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa
ingin menjadi isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!”
“Heh....? Tapi.... tapi.... malam tadi kau
berjanji.... kau akan menyerah pagi ini.... kau....”
Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara.
Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan
memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melangkah maju dan
tangannya bergerak.
“Plak-plak-plak-plak!” Empat kali kedua pipi
Suma Kiat ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun
tetap saja tamparan-tamparan itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia
terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek,
menangis!
“Piauw-heng.... Piauw-heng.... kau.... kau mau
bunuh aku....?” Ia mundur-mundur ketakutan.
Kiang Liong menggigit bibir, “Kalau engkau
bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau
sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!”
Suma Kiat membalikkan tubuh lalu.... lari
secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis dan memegangi
kedua pipinya!
Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu
membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit duduk perlahan. Tubuhnya kaku
dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila sejenak dan
tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah
berada di luar kuil, tadi membiarkan dia beristirahat.
Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil,
memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan mendengarkan, terpesona. Indah bukan
main petikan Yang-khim itu, suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara
pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung ketenangan, namun juga
menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa
meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggalkan Suma Kiat dan
berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut mendengarkan.
“Matahari cerah
menerangi
bumi dan angkasa
tidak
menembus hatiku
tetap gelap
dan gelisah
hanya sepatah
kata
kuharapkan
dirimu
pengusir
gelap dan resah.”
Dengan iringan suara yang-khim, nyanyian
berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila
memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik
napas panjang, melangkah maju dan memanggil.
“Kiang-kongcu....“
Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri,
mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri
berhadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing seperti hendak
menjenguk isi hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah. Dalam
nyanyian tadi dia merasa seakan-akan pemuda ini bicara kepadanya, seakan-akan
dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan resah!
Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali menerima
pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda yang
terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wanita remaja, murid Suling Emas,
agaknya juga.... jatuh cinta kepadanya! Jelas tersinar dari pandang mata itu!
Kwi Lan menunduk, lalu berkata.
“Kiang-kongcu, kau telah menolongku,
membebaskan aku daripada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku,
Kongcu.”
Kiang Liong menjura, “Ah. Nona mengapa banyak
sungkan? Kita sudah pernah senasib sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw
Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya
perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget dan
ancaman bahaya, namun selalu terhindar ini membuktikan bahwa orang baik selalu
dilindungi Thian.”
Kwi Lan bergidik. “Tidak sangka...., Suheng
makin gila....“
“Maafkanlah dia, Nona. Suhengmu atau adik
misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal dan.... dan baru saja kehilangan
ibunya....“
Kwi Lan menggerakkan pundak. Sukar baginya
untuk memaafkan Suma Kiat, biarpun ia tahu bahwa pemuda itu gila, setelah apa
yang diiakukan Suma Kiat terhadap dirinya. Menggigil ia kalau ingat pipinya
dicium, tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya
yang keji! Cepat-cepat ia mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan
percakapan.
“Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu,
Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana dengan.... Pangeran.... dan
teman-teman yang lain?” Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran Talibu,
penuh kekhawatiran.
“Suhu datang setelah gurumu tewas dan berhasil
menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui kecerdikan Hauw Lam. Karena
ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati gurumulah kita semua
selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh
pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul guruku bersama pasukan-pasukan Khitan
yang besar jumlahnya. Pasukan Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia,
sedangkan guruku dikeroyok empat kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana
selanjutnya karena aku dibebaskan Suhu dan disuruh, mengejar Suma Kiat untuk
menolongmu.”.
Kwi Lan mengerutkan kening. Ia percaya akan
kesaktian Suling Emas dan besar harapan Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan
selamat. Akan tetapi mengapa Kiang Liiong disuruh menolongnya?
“Gurumu menyuruhmu mengejar Suma suheng dan
menolongku?”
“Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu
datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika aku memberi tahu bahwa kau
dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat mengejar.
Suhu agaknya amat memperhatikammu.”
Kwi Lan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak
memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih mengkhawatirkan keselamatan
yang lain-lain. “Bagaimana dengan mereka? Ah, jangan-jangan....“
“Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan
menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan kemenangannya. Kurasa mereka
semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari berita tentang
mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak berkeberatan, kita
melakukan perjalanan bersama,” Pandang mata pemuda itu penuh harapan.
Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang
dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya. Semua mencintanya.
Tapi di sana ada Pangeran Talibu! Selain Pangeran ini, kalau disuruh memilih,
sungguh amat sukar. Semua mempunyai kelebihan dan kebaikan masing-masing!
“Aku ingin ke Khitan, akan tetapi, baiklah
kita ke kota raja dulu, karena aku pun ingin sekali mendengar bagaimana dengan
akhir pertempuran di markas orang Hsi-hsia itu,” Tentu saja, bagaimana ia
dapat pergi ke Khitan menyusul Pangeran Talibu kalau ia belum mendengar tentang
keadaan Pangeran itu?
Berangkatlah mereka ke kota raja. Kiang Liong
mempersilakan Kwi Lan naik kuda sedang ia sendiri ber jalan di samping kuda.
Pemuda itu nampak gembira bukan main. Besar harapannya melihat sikap gadis itu
yang selalu manis dan ramah kepadanya. Ia merasa betapa hatinya benar-benar
jatuh terhadap Kwi Lan. Belum pernah selamanya ia menaruh simpati begini besar
terhadap seorang gadis, yang kehadirannya membuat matahari bersinar lebih
terang, bunga-bunga mekar lebihindah. Ia tidak mau secara sembrono menyatakan
cinta kasihnya, dan mengharap senyum itu dapat dimengerti gadis ini. Kelak
kalau sudah tiba saatnya, ia akan mengajukan lamaran secara resmi!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa
kegembiraan mereka, terutama hati Kwi Lan, ketika mereka tiba di luar kota
raja, mereka sudah mendengar berita tentang kesudahan pertempuran di markas
Bouw Lek Couwsu. Mereka mendengar berita bahwa markas orang Hsi-hsia
dihancurkan oleh Suling Emas dan pasukan Khitan, bahwa Pangeran Talibu dan
Puteri Mimi yang ditahan di sana telah dibebaskan dan kembali ke Khitan, juga
tentang kematian Siauw-bin Lo-mo dan Pak-sin-ong oleh Suling Emas yang dibantu
oleh seorang kakek cebol berkepala raksasa yang amat aneh dan lihai!
Dua orang muda itu menduga-duga dan Kiang
Liong berkata, “Tak salah lagi, kakek aneh itu tentulah Bu-tek Lo-jin!”
“Guru Berandal? Betul-betul dia datang?”
tanya Kwi Lan, tertawa geli kalau teringat kepada Hauw Lam. Muridnya begitu
ugal-ugalan, entah bagaimana gurunya!
“Tentu dia, siapa lagi kakek begitu aneh yang
dapat menandingi orang-orang seperti Siauw-bin Lo-mo? Akan tetapi, agar dapat
mendengar keterangan lebih jelas, mari kita memasuki kota raja. Mungkin Suhu
masih berada di kota raja.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Di depan pintu
gerbang kota raja, mereka disambut pasukan kota raja sebanyak dua losin orang
yang dikepalai seorang komandan. Begitu bertemu, komandan itu lalu membentak.
“Kiang Liong, lebih baik engkau menyerah!”
Kiang Liong terkejut bukan main. ia mengenal
komandan ini, seperti juga komandan yang lain. Dia sudah terkenal dan selalu
dihormati mereka. Bagaimana sekarang komandan ini membentak suruh ia menyerah?
“Heii, apa maksudmu?” ia balas bertanya,
terheran-heran.
Komandan ini berkata angkuh, “Lekas berlutut
dan dengarkan firman Kaisar!”
Melihat betapa komandan itu mengeluarkan
segulung surat perintah, Kiang Liong segera berlutut, mendengarkan bagaikan
mimpi suara komandan itu yang lantang membacakan surat perintah. Hampir tidak
percaya ia ketika mendengar bahwa surat perintah itu adalah pernyataan Kaisar
bahwa dia adalah seorang pemberontak yang memancing permusuhan dengan bangsa
Hsi-hsia dan tidak mentaati perintah damai dari Kaisar! Ia termenung tak dapat
berkata-kata. Ketika komandan menghampirinya membawa belenggu, ia menyerahkan
kedua lengannya tanpa membantah, wajahnya pucat.
“Heii, lepaskan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan
menerjang maju dan Si Komandan terpental jauh, jatuh bergulingan dan pingsan!
Dua losin tentara mengurung, namun Kwi Lan mengamuk. Begitu kaki tangannya
bergerak, enam orang tentara sudah terpelanting, roboh!
“Nona, jangan....!” Kiang Liong berseru
menahan.
“Jangan bagaimana? Kiang Liong, engkau mengapa
begini lemah? Biar kaisar biar setan kalau perintahnya tidak benar perlu apa
ditaati? Kau tidak bersalah hendak ditangkap, masa menyerah begitu saja? Kau
boleh menyerah, akan tetapi aku tetap tidak membiarkan kau ditangkap!”
Kiang Liong bingung, apalagi melihat nona itu
mengamuk terus dan setiap orang tentara yang mendekatinya tentu terpelanting
roboh. Ia menghela napas, kemudian mengambil keputusan untuk sementara lari dan
mencari suhunya minta pertimbangan agar mencegah Mutiara Hitam mengamuk yang
dapat menimbulkan bencana lebih besar lagi.
“Baiklah, Mutiara Hitam. Mari kita lari!”
Mereka berdua lalu kabur dengan ilmu lari cepat. Pasukan yang kehilangan
komandan karena komandan itu masih pingsan menjadi bingung dan hanya dapat
menolong mereka yang terluka dan pingsan.
Setelah lari jauh, dengan suara penuh harapan
Kiang Liong bertanya, “Mutiara Hitam, engkau.... mengapa kau menolongku
mati-matian?”
Kwi Lan tersenyum. “Siapa bicara tentang
tolong-menolong? Bagaimana aku dapat melihat kau ditangkap begitu saja? Nah,
kita berpisah di sini. Aku akan terus ke Khitan.”
“Aku mendengar bahwa Nona adalah puteri Ratu
Khitan. Nona hendak menemui ibumu?”
Di dalam hatinya, Kwi Lan sebetulnya bukan
hanya ingin menemui ibunya, melainkan terutama sekali menyusul.... Pangeran
Talibu. Akan tetapi ia menjawab dengan anggukan kepala dan melanjutkan, Nah,
sampai jumpa.”
“Sampai jumpa, Mutiara Hitam dan terima kasih.
Kelak aku akan berkunjung ke Khitan.”
Ketika Mutiara Hitam membalapkan kudanya,
Kiang Liong berdiri mengikutinya dengan pandang mata sampai bayangan manusia
dan kuda lenyap ditelan debu yang mengebul tinggi. Kemudian Kiang Liong
melanjutkan perjalanan, bertanya-tanya dan akhirnya mendengar bahwa Suling Emas
setelah menghadap kaisar lalu meninggalkan kota raja dengan wajah muram. Ada
tokoh pengemis yang mengetahui bahwa Suling Emas pergi menyusul Yu-pangcu ke
Kang-hu. Berangkatlah Kiang Liong ke Kang-hu.
***
Pagi hari itu kota Kang-hu kebanjiran....
pengemis! Dari segenap penjuru kota berbondong-bondong datang para pengemis,
bahkan banyak pula datang dari luar kota. Berita telah tersiar luar, berita
yang amat aneh, yang menarik perhatian bukan saja para pengemis baju kotor,
bahkan para pengemis baju bersih, golongan kaum sesat, dan para tokoh kang-ouw
juga tertarik. Maka pada hari itu, kota Kang-hu tidak hanya kebanjiran kaum
pengemis, bahkan bermacam orang kang-ouw datang berkunjung. Berita apakah yang
begitu menarik? Bukan lain adalah berita penantangan Yu Kang Tianglo kepada
Suling Emas! Sha-gwee Cap-go. Bulan tiga tanggal lima belas, itulah harinya!
Perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang sudah
mempersiapkan panggung besar di depan rumah perkumpulan. Sebuah panggung dari
papan yang luas, yang biasa disebut panggung tempat pibu (adu silat). Yu Siang
Ki atau Yu-pangcu sendiri yang mengatur segalanya, sesuai dengan pesan Suling
Emas. Dan malam tadi Suling Emas sudah datang, kini berada di dalam rumah
perkumpulan, mengenakan pakaian tambal-tambalan. Bagi mereka yang mengerti
duduknya persoalan, menjadi tegang dan gelisah. Yu Kang Tianglo sudah meninggal
dunia dan yang kini menggunakan nama Yu Kang Tianglo adalah Suling Emas yang
sebenarnya, menantang Suling Emas palsu! Yu Kang Tianglo tidak ada dan kini
berarti Suling Emas tulen berhadapan dengan Suling Emas palsu, atau lebih tepat,
Yu Kang Tianglo palsu berhadapan dengan Suling Emas palsu!
Yu Siang Ki sendiri yang menyampaikan surat
tantangan dari “Yu Kang Tiang-lo” kepada “Suling Emas” di Lembah Ang-san-tok
di Gunung Heng-tuan-san, dan mendapat jawaban siap oleh “Suling Emas” bahkan
menentukan jamnya di waktu pagi!
Demikianlah, ketika jam penentuan sudah dekat,
Suling Emas yang berpakaian sebagai pengemis itu keluar dari dalam rumah
perkumpulan, lalu duduk di atas sebuah bangku di atas panggung. Sorak-sorai
para pengemis menyambut munculnya tokoh ini, terutama dari para anggauta
Khong-sim Kai-pang yang mengenal bahwa tokoh besar inilah sesungguhnya Suling
Emas tulen! Yang tidak tahu duduknya persoalan dan tidak mengenal Suling Emas,
mengira bahwa tokoh ini benar-benar Yu Kang Tianglo tokoh Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas duduk di atas bangku, hatinya tegang karena ia masih belum mengerti
apa maksunya orang memalsukan namanya dan menantang Yu Kang Tianglo! Tentu ada
rahasia tersembunyi di balik kejadian ini. Juga ia merasa penasaran dan ingin
menguji kepandaian orang yang memalsukan namanya.
Tepat pada jam yang ditentukan, tiba-tiba
terdengar bunyi melengking tinggi dari jauh, disusul suara, orang. “Suling Emas
tiba! Adakah Yu Kang Tianglo sudah tiba?”
Suling Emas terkejut. Bukan main suara itu.
Jelas bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki khikang yang
hebat, mampu mengirim suara dari jauh, bahkan mampu menirukan lengkingnya yang
khas Suling Emas! Ia lalu bangkit berdiri dari bangkunya, berdongak dan
membusungkan dada, kemudian menjawab dengan pengerahan khikang sehingga
suaranya dapat mencapai tempat jauh, ke arah dari mana suara tadi terdengar.
“Yu Kang Tianglo siap menerima kunjungan
Suling Emas!”
Keadaan menjadi hening. Mereka yang hadir dan
memenuhi tempat di bawah panggung menjadi tegang. Tak lama kemudian tampak
berkelebat bayangan dan bagaikan seekor burung besar, di atas panggung itu
muncul seorang laki-laki tua yang meloncat turun seperti burung terbang
cepatnya. Ketika semua orang memperhatikan, terdengar suara ketawa di
sana-sini. Laki-laki itu sudah tua, lebih tua sedikit daripada Suling Emas,
tubuhnya kurus sekali, jenggotnya panjang, hidungnya mancung dan mulutnya
membayangkan keangkuhan. Akan tetapi yang lucu adalah pakaiannya. Pakaian itu
terlalu besar gedobyoran akan tetapi di bagian dadanya jelas tersulam sebatang
suling dengan latar belakang bulan purnama, persis seperti tanda gambar pada
pakaian Suling Emas! Bahkan Yu Siang Ki sendiri terheran-heran dan mendongkol
menyaksikan pemalsuan yang mentertawakan ini. Orang ini bukan muncul seperti
Suling Emas yang terkenal kegagahan dan ketampanannya, melainkan sebagai
seorang badut! Betapapun juga, harus ia akui bahwa cara laki-laki tua ini
datang benar amat mengagumkan, sesuai dengan ilmunya yang tinggi.
Kalau semua orang memperhatikan dan
mentertawakan, adalah Suling Emas yang memandang dengan serius dan terkejut.
Orang ini bukan semata-mata hendak memalsukan namanya, pikirnya. Pemalsuan
yang dibuat untuk berolok-olok, memperolok Suling Emas karena orang ini jelas
sengaja memakai pakaian yang kebesaran dan kedodoran seperti hendak
memperlihatkan bahwa Suling Emas hanya seorang badut. Ia cepat menyambut
dengan kedua tangan di depan dada, sambil memandang tajam ia bertanya.
“Benarkah yang saya hadapi ini adalah Suling
Emas yang menantang Yu Kang Tianglo?” Sambil bicara, Suling Emas sengaja hendak
menguji lawannya, mengerahkan sin-kang pada kedua tangannya yang mendorong.
Orang itu balas menjura, menangkis dengan sin-kang
pula, dan biarpun tubuh orang itu agak doyong ke belakang sedikit, namun
Suling Emas harus mengakui bahwa tenaga sin-kang orang itu tidak lemah. Orang
itu pun biar tahu bahwa lawannya benar bertenaga hebat, tidak kelihatan takut,
bahkan tersenyum mengejek dan balas bertanya.
“Sebelum saya menjawab, saya hendak bertanya
apakah yang saya hadapi ini benar-benar Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa?”
Suling Emas tercengang, menduga-duga siapa
gerangan orangini. Ia merasa disindir dan menjadi tidak enak sekali. Bagaimana
ia dapat menuduh orang palsu kalau ia sendiri juga palsu? Segera ia berkata
lagi, suaranya tetap halus.
“Sepanjang ingatanku, di antara Yu Kang
Tianglo dan Suling Emas terjalin persahabatan yang erat, bagaimana sekarang
terjadi permusuhan? Apa kehendak yang tersembunyi di balik kelakuanmu,
sobat?”
“Tidak salah!” Orang itu menjawab, matanya
menentang tajam, “Memang dahulu terjalin persahabatan yang erat, akan tetapi
persahabatan erat dapat putus kalau seorang di antara mereka berkhianat!”
Suling Emas makin tidak enak. Pandang mata
orang itu biarpun membayangkan kekerasan hati, namun menyinarkan keberanian
dan kejujuran! Maka ia merasa tidak perlu pura-pura dan berkata.
“Sobat, terus terang saja, aku tidak
mengenalmu. Tidak perlu memalsukan nama Suling Emas, lebih baik menggunakan
nama sendiri. Ingat, Suling Emas masih hidup!”
Orang itu tertawa bergelak, suara ketawanya
nyaring sekali, tanda bahwa lwee-kangnya sudah matang, “Ha-ha-haha! Alangkah
lucunya! Memalsukan nama orang yang sudah mati saja ada orang berani lakukan,
mengapa memalsukan nama orang yang masih hidup tidak berani? Sedikitnya, yang
terakhir ini lebih jujur dan berani dari yang terdahulu!”
Merah Suling Emas. Ia merasa disindir-sindir.
Apa hak orang ini menyindirnya kalau ia mengaku bernama Yu Kang Tianglo?
Sedikitnya tidak merugikan Yu Kang Tianglo yang sudah mati, dan ia pun menyamar
bukan dengan maksud buruk. Maka ia lalu maju selangkah dan berkata.
“Sobat, engkau Suling Emas palsu. Akulah
Suling Emas!”
Kembali orang itu tertawa, “Begitukah? Apakah
engkau ini sebangsa bunglon bisa saja berganti-ganti nama seenaknya? Kemarin
mengaku Yu Kang Tianglo kini mengaku Suling Emas? Ho-ho, tidak begitu mudah,
sobat. Akulah Suling Emas!”
Suasana menjadi makin tegang dan di antara
para pengemis Khong-sim Kai-pang sudah ada yang berteriak, “Hantam saja Suling
Emas palsu ini!”
“Enyahkan si badut!”
“Buka kedoknya!”
Suling Emas makin mendongkol, “Hemm, kalau kau
berkeras berarti engkau menghendaki kekerasan?”
“Terserah! Demi kebenaran, aku tidak takut
kepadamu!”
“Baik! Majulah!” bentak Suling Emas.
Dua orang itu lalu bergerak maju. Suling Emas
yang ingin mencoba kepandaian orang itu sudah menerjang dengan pukulan-pukulan
berat. Namun orang itu ternyata lincah sekali, dapat mengelak cepat dan
menangkis, bahkan balas menyerang! Ternyata bahwa ilmu silat tangan kosong
orang ini cukup lihai dan memiliki daya tahan yang kuat luar biasa sehingga
kalau ia melanjutkan pertandingan tangan kosong itu tentu makan waktu yang
lama. Apalagi kalau ia pikir bahwa tidak sekali-kali ia ingin mencelakakan
orang ini sebelum ia mengetahui apa latar belakang perbuatannya yang aneh. Maka
ia lalu mengirim pukulan sambil melangkah maju, ketika melihat betapa lawannya
menerima pukulannya dengan jari terbuka itu dengan dorongan yang sama agaknya
untuk mengadu tenaga, ia mengerahkan tenaga. Dua telapak tangan bertemu keras
sekali dan akibatnya...., tubuh keduanya terpental ke udara dan mencelat ke
belakang! Hanya bedanya, kalau Suling Emas hanya berjungkir balik satu kali
saja, lawannya berjungkir balik sampai tiga kali baru turun ke atas papan
panggung! Sorak-sorai tepuk tangan menyambut demonstrasi ini. Dalam
penglihatan mereka yang kurang tinggi ilmunya, gerakan “Suling Emas” itu lebih
indah karena sampai tiga kali berjungkir balik, akan tetapi dalam pandangan
yang mengerti, kakek yang memalsu nama Suling Emas itu jelas kalah kuat
tenaganya.
Kini mereka sudah berhadapan lagi. Suling Emas
ingin menguji apakah pemalsuannya juga mempunyai suling, maka sekali tangannya
bergerak, sebatang suling emas berkilauan berada di tangan kanannya.
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Yu Kang Tianglo
yang sudah mati kini hidup lagi dan senjatanya berubah menjadi suling emas!
Sebaliknya Suling Emas yang sudah puluhan tahun tenggelam entah ke mana kini
muncul dengan tongkat di tangan!” Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan
sebatang tongkat rotan kecil dari tangannya, dan langsung menyerang Suling
Emas. Tongkat rotan kecil itu ketika digerakkan mengeluarkan bunyi
melengking-lengking!
Melihat ini, Suling Emas dan Yu Siang Ki
mengeluarkan seruan kaget. Suling Emas cepat menangkis dengan sulingnya dan
ketika lawannya menerjang terus sampai belasan jurus secara bertubi-tubi, ia
cepat mencelat ke belakang sambil berseru,
“Tahan dulu! Sobat, pernah apakah engkau
dengan Yu Kang Tianglo almarhum?”
Orang itu memandang Suling Emas dengan mata
melotot, “Kau sudah tahu almarhum, kenapa masih tega memalsukan namanya?
Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dikagumi seluruh dunia
kang-ouw, mengapa menjadi pengecut, menyembunyikan diri seperti penjahat
dikejar, kemudian menyelinap bersembunyi di bawah nama Yu Kang Tianglo? Mengapa
orang yang sudah mati diganggu, biarpun oleh sahabatnya sendiri? Seorang
laki-laki sudah berani berbuat berani bertanggung jawab, tidak nanti melarikan
diri daripada tanggung jawab. Yang tidak berani mengakui semua perbuatannya,
yang tidak berani menghadapi kenyataan pahit sebagai akibat perbuatannya, tidak
patut disebut laki-laki! Hayo, kalau mau dilanjutkan aku akan melayani sampai
mati!”
Suling Emas seperti ditusuk jantungnya. Ia
memejamkan mata menahan keperihan hati. Kata-kata tadi amat menusuk
perasaannya karena tepat sekali menyindir keadaannya. Puluhan tahun
menyembunyikan diri, melarikan diri dari Ratu Yalina, dari musuh-musuh mendiang
ibunya. Kemudian ia melihat akibat perbuatannya dengan terlahirnya Kiang Liong,
terlahirnya Talibu dan Kwi Lan. Akan tetapi ia tetap masih menyembunyikan
semua itu, dengan dalih menjaga nama baik mereka! Ah, lebih tepat menjaga nama
baiknya sendiri. Ia memang pengecut selama ini!
“Sudahlah!!” katanya dengan keluhan berat
dengan dua titik air mata membasahi matanya dan sekali renggut robeklah jubah
pengemis dan tampak pakaian aselinya, pakaian Suling Emas! “Akulah Suling
Emas dan memang aku pernah mempergunakan nama mendiang sahabat Yu Kang
Tianglo! Akan tetapi hal ini tidak menyinggung siapapun juga. Siapakah engkau
ini yang mencampuri urusanku?”
“Tidak menyinggung orang lain akan tetapi
menyinggung aku, Suling Emas!” kata kakek itu sambil merobek pula jubah
“Suling Emas”nya dan ternyata ia berpakaian ringkas sederhana, “Namaku adalah
Ong Toan Liong dan aku suheng dari Yu Kang Tianglo! Ketika engkau menyamar sebagai
Yu Kang Tianglo, aku besusah payah membantu Kauw Bian Cinjin membalaskan
kehancuran Beng-kauw! Dan engkau enak-enak saja mempermainkan kaum pengemis
dengan penyamaranmu.
Suling Emas tertegun dan pada saat itu, Yu
Siang Ki melompat naik ke atas papan panggung, langsung berlutut di depan kakek
itu sambil berseru, “Ong supek (Uwa Seperguruan Ong)....! Mendiang Ayah
banyak bercerita tentang Supek.... kenapa baru sekarang Supek memperkenalkan
diri?”
Ong Toan Liong atau yang terkenal dengan
julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang) mengelus kepala dan pundak murid
keponakannya, “Aku sudah tua dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa
tahu timbul urusan kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu
sering menyatakan kepadaku bahwa ia ingin sekali melihat puteranya menjadi
seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai pengemis.
Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat
menjadi pangcu.”
Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka.
Pada saat itu, di antara para penonton meloncat naik seorang pemuda yang
langsung berlutut di depan Suling Emas sambil berseru, “Suhu....!”
Suling Emas memandang dan ketika mengenal
bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya seperti diremas dan kembali dua
titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya, “Liong-ji...., (Anak
Liong....), mengapa kau menyusulku....?”
Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini
suhunya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar seperti itu. Tidak
biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia merasa
kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi melihat dua titik
air mata di atas pipi gurunya.
Kiang Liong memang sedang bingung dan
berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah. Maka kini dielus-elus
dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan hatinya dan betapapun ia
menggigit bibir, tetap saja air matanya jatuh berderai.
“Suhu.... Suhu.... teecu...., ahhh....“
Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan
keadaannya. Tentu telah terjadi peristiwa yang amat hebat maka muridnya yang
biasanya tenang ini sampaimenangis. Ia cepat membalikkan tubuh menjura ke
arah Ong Toan Liong dan berkata.
“Cukuplah, Ong-twako. Maafkan semua
kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kauturutlah semua petunjuk supekmu.
Hayo Liong ji, kita pergi!” Ia menarik tangan Kiang Liong dan mereka berdua
meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.
Sepeninggalan Suling Emas dan muridnya, Yu
Siang Ki lalu membubarkan pertemuan, kemudian ia mempersilakan supeknya masuk
ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu menceritakan pengalaman
masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan
ayahnya agar ia tidak menuntut penghidupan pengemis. Siang Ki mohon kepada
supeknya agar sudi membimbing Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri ingin
merantau memperluas pengetahuannya. Ong Toan Liong yang tahu pula bahwa
kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat, menyanggupi, maka secara
resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Beberapa hari
kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja tujuan pertama
perjalanannya adalah menyusul Song Goat, tunangannya!
Adapun Suling Emas membawa muridnya keluar
kota. Di tempat sunyi jauh di luar kota, mereka berhenti, duduk di pinggir
jalan dan Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia mengejar
Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.
“Tidak sekali-kali teecu hendak memberontak
terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan
merobohkan para perajurit, kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu
bingung dan terpaksa lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertimbangan.
Teecu dianggap pemberontak dan tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan
bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang juga teecu akan berangkat ke kota
raja.”
Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara
berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku bicara tentang hal itu, lebih du'lu
kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu. Liong-li, ketahuilah,
Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku sendiri.”
“Suhu....!” Wajah Kiang Liong menjadi pucat
sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.
Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas
tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia berhadapan dengan puteranya
ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan,
baik manis maupun pahit. Orang tidak bisa lari daripada pertanggungan-jawab
perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani menanggung risiko, betapapun
beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah tidak seberat kalau dijadikan
ganjalan hati.
“Bukan suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah
baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu karena cinta kasih
antara ibumu dan aku dahulu adalah cinta kasih yang murni, yang diputuskan
orang karena paksa. Dahulu sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling
mencinta....“ Suling Emas lalu menceritakan semua pengalamannya dengan Suma
Ceng, ibu Kiang Liong (dalam cerita Cinta Bernoda Darah).
“Demikianlah, cinta kasih antara kami
direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu telah mengandung
engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga ayah bundamu, maka
engkau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau adalah puteraku, dan
hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu maka dia membesarkan engkau menjadi
muridku.”
Makin lama mendengar cerita Suling Emas, makin
pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia menubruk kaki Suling Emas sambil
mengeluh “Ayahhh....”
“Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak
perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi, kausebut ayah padaku, jangan
suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu berpaling
lagi dari kenyataan.”
“Ayah...., kiranya Ayah demikian menderita
oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah.”
Merah wajah Suling Emas. Ah, Anakku engkau
tidak tahu, aku belum bercerita tentang Ratu Yalina! Akan tetapi ia menekan
perasaannya dan berkata, “Ada terjadi apakah, Liong-ji?”
“Ayah, terus terang saja, setelah mengetahui
bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar menganggap aku pemberontak, aku
segan kembali ke kota raja. Aku.... aku.... mohon Ayah sudi melamarkan....“
“Ah, engkau mempunyai pilihan hati? Semoga
engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah
akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah cukup dewasa.”
“Dia bukan orang lain, masih anak keponakan
Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam.” kata Kiang Liong sambil menundukkan muka.
Dan untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka,
kalau tidak tentu akan melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya
terbelalak lebar. Harus diakui bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar besar
yang sudah menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam
menghadapi bahaya maut sekalipun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya
jatuh cinta dan minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan! Timbul
penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi
mukanya, tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan
semua peristiwa dahulu, semua perbuatannya, karena hal-hal ini timbul sebagai
akibat daripada perbuatannya dahulu. Akan tetapi mengakui sekarang di depan
Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidaktega. Ia sendiri
mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri, namun
mengingat puteranya, ia tidak sampai hati. Dengan suara halus ia berkata.
“Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota
raja. Dan tentang perjodohan, marilah kau ikut bersamaku ke Khitan.” Hanya
sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup bicara panjang karena khawatir
kalau-kalau lidahnya tak kuasa membendung pertahanan hatinya.
***
Seperti juga mendiang ibunya, betapapun tidak
waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar
biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan
Kiang. Liong, Suma Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan!
Untuk kembali ke kota raja, ia tidak berani karena, ia tentu akan ditangkap
sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke
Khitan bukan tanpatujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan yang
menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!
Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung
henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya
kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar
bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama
sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia
dihadapkan kepada Panglima Kayabu.
“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin
bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya!” Berkali-kali Suma Kiat
berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri di bawah ke istana menghadap
Ratu Khitan.
Begitu berhadapan dengan ratu yang masih
cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut
dan menangis menggerung-gerung. “Aduh, Bibi...., keponakanmu ini mengalami
penderitaan yang hebat.”
Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih,
sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara, “Orang muda,
tenanglah. Engkau siapa?”
“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”
“Ahhh....!” Ratu Yalina lalu memberi isyarat
dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua.
Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya
bersama orang muda itu. Biarpun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu,
namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar
keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian
ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan apalagi seperti orang
muda itu.
Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi
ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan
teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan
tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma Boan yang kemudian
menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh
mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan
tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung
dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya
inikah puteranya?
“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang
masih menangis.
“Nama saya Suma Kiat....” Ratu Yalina
tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata
kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada
puteranya.
“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku.
Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”
“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba....
yang sudah sebatangkara ini.”
“Heh? Ke mana Ibumu?”
“Ibu.... Ibu tewas dalam membela dan
menyelamatkan puteri Bibi....”
“.... puteriku? Siapa....?” Wajah Ratu Yalina
berubah tegang.
“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan Si
Mutiara Hitam?”
Berdebar jantung Ratu Yalina. jadi benarkah
puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?
“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?”
tanyanya makin tegang.
“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu
mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”
“Ceritakan semua...., lekas ceritakan semua,
anakku!” Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya
masuk ke ruangandalam. Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan
minum bagi orang, muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat
terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga
dalam yang hebat luar biasa!
Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat
tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia
sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan
dengan akal cerdik ia berkata, “Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu
yang termasuk seorang di antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu
untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas
Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan
Puteri Mimi....”
“Untung mereka sudah bebas dan sedang
berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi
tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang
Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?”
“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya
kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa
Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”
Ratu Yalina mengangguk-angguk, “Hemmm,
begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang
perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”
“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri
Mimi ditahan, apalagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak
diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siulam. Akan
tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong
Sumoi!”
Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina
menjadi basah air mata. Biarpun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan
tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. Kasihan Enci Sian Eng.
Demikian keluh hatinya.
“Lanjutkan, anakku.” katanya memandang Suma
Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.
“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di
tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu
kepada Sumoi. Siapa kira.... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya
dibunuhnya.... uuh-huk-huk.... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak
menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi
pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?”
Pemuda ini menangis lagi.
Ratu Yalina menjadi terheran. “Ah, kau
tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”
“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi
harus menjadi suami isteri.”
“Aahh...., begitukah?” Kembali Ratu Yalina
mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”
“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir
membunuhku.”
Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun.
Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti....
eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang,
seperti kuda liar.
“Kau.... kalah olehnya? Bukankah kau
suhengnya?”
“Sumoi lihai sekali, dan saya.... saya tidak
tega untuk melawannya....”
Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan
itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng
sudah berpesan demikian.... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan
Mutiara Hitam.
“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai
pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu
dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.” Ratu Yalina
memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar
indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan
lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami
kesengsaraan.
Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah
menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat
yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa,
sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat
sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama
pula kembali ke kota raja Khitan. Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada
Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya di mana adanya Pangeran ini. Karena yang
bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan,
dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang
yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang
pelancong yang ingin tahu saja. Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa
Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan Istana, di
sebelah kiri dimana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya. Mendengar
ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan
menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi
taman luas. Karena Istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan
tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui
penjaga. Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu?
Bagaimana kalau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya
semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun.
Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya
terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi
juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu
menggetar penuh perasaan. “Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku
cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri....!”
Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara
pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah
taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang
sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak
lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar
tidak karuan ketika ia mendengar suara orang yang dirindukan selama ini.
Suara Talibu di sebelah belakang pondok. Ia cepat menghampiri dan memutari
pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang
pondok, diruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya
begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga
emas yang aneh, bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya
panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata. Sejenak
Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan
haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa
teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding
di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling
pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang
itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!
Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya
dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok
dengan tangan tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan.
Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan
membalikkan tubuh.
“ eh, kau.... Mutiara Hitam....!” seru Puteri
Mimi dengan suara girang.
Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa,
hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran
hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka
ia lalu berkata gagap, “Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu....?
Mari kuantar kau menghadap....”
“Tidak perlu! Semua orang boleh saja tidak
pedulikan diriku....!” Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat
pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk.
Memang ia akan mengamuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai
puteri disia-siakan! Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari
jalan ke istana.
“Sumoi....!”
Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di
depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan pakaian indah!
Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya
memandang dengan mata lebar.
“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat
mengharap-harap kedatanganmu....!”
“Kau....? Di sini....?” Kwi Lan akhirnya
dapat menegur.
Wajah Suma Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku
tinggal di sini. Bibi Ratu menerimaku dan.... dan pesan mendiang ibu
disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau
dan aku! Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku dan aku akan menjadi pangeran
mantu!”
Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya
menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa
Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu
mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah
membujuk bibinya tentang perjodohan dan Ibunya.... ah, ibunya yang sejak ia
kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah
tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.
“Keparat....!” Tubuhnya menerjang ke depan
menyerang Suma Kiat.
“Eh.... eh, Sumoi.... eh....!” Suma Kiat
mengelak dan menangkis. Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya
bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi
Lan menubruknya dan menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang ini
putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan
pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat
mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah, mukanya
bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi Lan dengan hati
sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan!
Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu,
terus menarik dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat
Pangeran Talibu.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang
membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat sikap
Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai
menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya begitu buruk,
dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia, kehilangan kakak kandung
mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi cinta asmara!
Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak
mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka
rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam.
Akan tetapi, pada saat mereka hendak keluar
dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan!
Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan
menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu,
suaranya dingin matanya berapi ketika ia berkata.
“Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku?
Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah, bukan seorang yang
tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga
hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan!” Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara,
Mutiara Hitam sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang
menggeletak pingsan dengan muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.
Kwi Lan berlari terus memasuki Istana.
Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang akan tetapi gadis itu terlalu
cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah. Pengawal dalam
sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang di
antara mereka, mengerahkan lwee-kang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan
diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergulingan dan gadis ini
menyelinap masuk terus.
“Tangkap penjahat....!” para pengawal berseru
dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal yang mencabut senjata.
“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara
Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun kalau menghalangi akan
mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.
Pada saat itu terdengar bentakan halus dan
semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan
memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita
setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang,
seperti terkena pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.
“Engkau Mutiara Hitam....?”
“Engkau Ratu Khitan....?”
Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan.
Ratu Yalina terhuyung maju, kedua dengan dikembangkan hendak memeluk, wajahnya
pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak,
pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.
Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis,
menahan jerit hatinya, “Kau.... kau...., telah belasan tahun menyiksa
hatiku.... kau....“ Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar,
air matanya bercucuran.
Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang
Pangeran Talibu masih menyesak di dada. “Siapa yang menyakitkan hati? Siapa
yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti orang
membuang sampah?”
“Haaahhh....!” Ratu Yalina menahan jerit,
hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya terbelalak memandang
gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan.... Mutiara
Hitam.... mari kita bicara....” Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak
masuk kamar, akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di
belakang orang yang menjadi ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang
dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain
menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila
macam Suma Kiat!
Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar
kakinya itu duduk mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap
berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.
“Kau anakku.... ah, betapa rinduku kepadamu.
Akan tetapi baiklah kaudengarkan penuturanku agar kau tidak salah paham.
Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng
yang membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya,
tahu-tahu Si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa
selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku
untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka, kini kau
datang.... Anakku, kenapa kau bersikap begini....? Aku ibumu, ibu yang
melahirkanmu, aku.... betapa rinduku.... ah, Anakku....“
Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi
Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua macam perasaan ini
mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku
lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya
mengalir keluar melalui celah-celah, jarinya.
Ratu Yalina bangkit berdiri,
menghampirianaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras
sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapapun inginnya ia
memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati
puterinya lebih dahulu.
“Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung
dan marah. Ada apakah?”
“Ibu.... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyiakan
hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di
istana bawah tanah, kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu....
menjodohkan aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu
kepadaku?”
Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di
balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata, “Tidak,
Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat
bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan
mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapapun juga. Tentang
perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun Ibumu
takkan melarang....”
Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi
karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata, “Aku tidak mau menikah
dengan siapapun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Talibu!”
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di
saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini.
Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti
berdetik, kepalanya pening. Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran
Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak seperti hampir roboh dan
Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru memanggil, “Ibu....!”
Dan melompat menghampiri.
Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga
baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan Pangeran Talibu seperti
mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil, “Talibu....
dia.... dia cinta padamu.... dia.... ingin menikah denganmu.... oohh,
Anakku....!” Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. ia
menubruk dan memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi
Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata
ibunya.
“Kwi Lan.... Anakku.... aduhhh, kasihan sekali
kau.... ketahuilah, Anakku.... dahulu kau terlahir kembar.... engkau terlahir
tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian Eng....
dan.... dan kakakmu.... kakak kembarmu.... dia Pangeran Talibu....”
Terdengar suara melengking menyayat hati
ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya, pingsan! Ibunya dan
kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar,
Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan,
matanya liar, hidungnya kembang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia
memandangi mereka bergantian, dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci
yang ketakutan.
“.... Anakku.... Kwi Lan anakku....” Ratu
Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan dan kecemasan
melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.
“.... Adikku.... Kwi Lan....“ suara Pangeran
Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya dengan senyum
penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi
kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.
“Plak-plak....!” Dua kali tangannya menampar
pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyung-huyung.
“Kwi Lan....!” Ratu Yalina menjerit. Kwi Lan
membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis
meraung-raung seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk,
maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi
puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih, penuh
rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.
Pangeran Talibu masih berdiri, memandang
pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata lirih, suaranya
menggetar, “Adikku.... sudah selayaknya kaupukul aku.... kalau belum puas
pukullah lagi.... aku seperti mempermainkanmu.... di dalam tahanan Bouw Lek
Couwsu.... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu, akan
tetapi,kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu
Khitan lebih berbahaya lagi.... dan tentang.... tentang peristiwa itu.... kau
tahu kita keracunan.... Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu....?”
Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau
tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu melepaskan pelukan ibunya, membalik
dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda Talibu.... kaulah yang harus memaafkan
adikmu....!”
Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul
adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya pipi yang
kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya, “Adikku
sayang ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus
ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah adik kembarku. Kita
masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak terpatahkan oleh
apapun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang....!”
Mereka berpelukan.
Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di
kursi. Dua orang anaknya itu menubruk mereka dengan penuh kasih sayang.
“Anak-anakku...., anak kembarku...., ah, betapa kalian sudah menderita.
Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri...., ini semua akibat
dosaku....“
Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi
gemetar penuh perasaan, “Tidak, Lin-moi.... tidak.... bukan kau yang salah.
Aku yang berdosa.... ya, aku yang berdosa....!”
Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar
ucapan Ratu Yalinatadi. Ia melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh
kedukaan dan dibelakangnya ikut masuk pula seorang pemuda yang bukan lain
adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak
menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas,
sungguhpun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani melarang.
Melihat Suling Emas Ratu Yalina lalu menarik
bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih,
“Anakku.... Kwi Lan...., beri hormatlah kepadanya.... ini dia.... ayah
kandungmu....!”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku,
dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya
terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah
ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya begitu malu, dan juga heran sehingga
sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih. “Ayahku....!”
Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan
Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas merangkul Kwi Lan,
merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata
berlinang-linang, “Dosaku.... semua dosaku laki-laki pengecut, berani berbuat tak
berani bertanggung jawab.... menyembunyikan dosa dan noda.... sampai anak-anak
sendiri saling cinta...., ya Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba....?”
Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk-batuk.
Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu
amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua merangkul Suling Emas. Juga
Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh getaran
hati yang patah,.... kau adikku...., adikku....“
Setelah keadaan mereda, semua berbahagia,
kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini
menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka, oleh asmara gagal.
Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara
sendiri! Hari itu merupakan hari di mana sekeluarga menumpahkan segala macam
perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang diambilkan merupakan
obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan
dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan
muka terang. Untuk ini, Pangeran Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil
dan diajak berunding.
***
Pesta-pora diadakan di seluruh Kerajaan
Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai berbulan-bulan.
Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Adapun yang dirayakan adalah
bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu, dan terutama sekali
perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pangeran
ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak mengundurkan diri.
Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun
yang luas depan istana yang biasanya dipergunakan untuk berlatih baris telah
penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah
memenuhi ruangan yang disediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah
dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi
bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.
Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di
panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina memakai
pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai
mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik daripada biasa
karena kebahagiaan.... hatinya bersinar-sinar pada wajahnya, membuat pipinya
kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang. Di sampingnya berjalan
Suling Emas, dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar
Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di dada, Suling emas
terselip di pinggangnya, Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan
agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan
besar itu. Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri,
pakaiannya yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga
amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang Liong,
wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati, namun yang ditutup dengan
senyum pula. Lalu tampak Pangeran Kayabu bersama isteri dan puterinya yang
cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan
kegembiraan di hati setiap orang Khitan.
Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang
bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan
sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit
berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke
pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang
mengumumkan bahwa Sripaduka Ratu yang mulia berkenan hendak menyampaikan
amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak gegap-gempita menyambut pengumuman ini,
terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung dengan
sikap agung. Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan
matanya bersinar-sinar, hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan
penghormatan rakyat Khitan kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan
berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ
tidak ada orang, seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk
mendengarkan suara ratu mereka.
“Rakyatku sekalian,” terdengar suaranya,
lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir sampai di
ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khi-kang, “Kalian semua
sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal
yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya
dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tiba-tiba ratu kalian dapat
berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambll keputusan untuk bicara
dengan kalian untuk menceritakan keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi
salah tafsir.”
Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik
napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepadanya.
“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum
menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa
sesungguhnya yang membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena
di selatan saya pernah bersuami, dan suami saya adalah dia ini....“ Ratu
Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri. Pendekar ini tersenyum, kagum
menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun dengan
tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua orang tercengang,
agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak
pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan
penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai,
topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton
pertandingan sepak bola!
“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan....!”
Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin menggema.
Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang.
Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah
diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati daripada yang mereka
khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat dengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan
kembali hening.
“Kami mengaku telah melakukan kesalahan bahwa
hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini akan kami umumkan semua
rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak, yang
pertama sejak kecil diam-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk
dirawat, dan yang kemudian kami angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu!
Dia adalah putera kandung kami!”
Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit
berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah,
ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali
meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersukacita
mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu,
melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya
bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.
“Adapun putera kami yang ke dua adalah seorang
wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan
dan yang terkenal dengan julukan Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan meloncat dan berdiri disamping
ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh kekaguman dan kebanggaan,
terdengar teriakan-teriakan
“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya, Pangeran
Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam
mimpi, disebut puteri!
“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini.
Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia dengan pengumuman resmi
sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan mendengar akan keadaan
kami. Betapapun juga, aku merasa bersalah telah menyimpan rahasia ini dari
rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena inilah, mengingat bahwa usiaku pun
makin bertambah, hari ini pula aku mengundurkan diri dari singgasana dan
mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”
Kini sorak-sorai yang terdengar menjadi
kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang mereka juga
sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri. Ratu
Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan hati dan menangis di depan
rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak
menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara kembar, karena hal ini akan
mendatangkan keributan. Menurut tradisi dan kepercayaan turun-temurun,
saudara kembar laki wanita harus dljodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu
tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu
sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat
masing-masing.
Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan
lantang mengumumkan pertalian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan
Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu
menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi
yang tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka
dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di
dekatnya.
“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?”
kata Kwi Lan menggoda.
Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit
lengan Kwl Lan. Akan tetapi mereka segera berangkulan dan keduanya menangis!
Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti
kasih sayang antara saudara yang mesra.
Dan dimulailah pesta itu. Musik dimainkan
makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu demonstrasi pasukan Khitan,
ketangkasan naik kuda, memanah, dan lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang
menghampiri tempat kehormatan ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu
Yalina dan Suling Emas sebagaimana mestinya. Setelah para tamu yang memberi
selamat habis, tampak seorang pemuda yang tersenyum lebar, matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari rombongan tamu menghampiri
tempat kehormatan itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek
cebol berkepala besar.
“Bibi Bi Li....!” Kwi Lan bangkit dan lari
menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah dia Bibi Bi
Li yang merawatku sejak kecil.”
Nyonya itu memang Phang Bi Li dan kini ia
menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh Yalina ia ditarik bangkit dan
dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan terharu dan halus Ratu Yalina berkata.
“Kakak yang baik. Karena engkau mewakili aku
menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau adalah keluarga sendiri. Duduklah
di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan betapapun juga, nyonya itu kelihatan
sungkan dan malu-malu karena duduk di lingkungan keluarga besar.
“Hauw Lam, kau Berandal!” Pangeran Talibu dan
Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut pemuda itu. Akan tetapi Hauw
Lam lebih dulu memberi hormat kepada Ratu Yalina dengan berlutut.
Ratu Yalina tertawa. “Baiklah, Berandal. Aku
sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau merupakan tuan penolong anakku.
Bangkit dan duduklah, kita di antara orang sendiri!”
Hauw Lam bangun dan menjura kepada Talibu,
“Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”
“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan
Kam-kongcu! Dia putera ayahku dan kakakku sendiri, kenapa kau menyebut
Kiang-kongcu.”
“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan,
Kam-kongcu....!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat dua orang pemuda bangsawan
itu tertawa.
Sementara itu, kakek cebol berkepala besar
sudah disambut Suling Emas yang menjura dan berkata, “Selamat datang,
Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan kehormatan besar.”
Kakek itu longak-longok, bahkan menghampiri
panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak orang tertawa. Akan tetapi kaum
tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi terkejut, mereka berbisik-bisik.
Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun yang lalu, membikin geger Khitan dengan
perbuatan-perbuatan yang lucu dan mengagumkan (dalam ceritaSULING EMAS
). “Heh-heh-heh, tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu
Yalina tampak makin maju saja. Heh-heh-heh!”
Melihat kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan
tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”
Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu,
membungkuk sedikit dan berkata, “Rejekimu besar, Ratu Yalina. Suamimu pendekar
sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak memandang rendah
muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu Si Mutiara
Hitam yang galak itu agar menjadi isteri Tang Hauw Lam.”
Kata-kata yang lantang ini membuat semua
keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap. Suasana hening, bahkan Hauw Lam yang
biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke
arah Kwi Lan. Suling Emas dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi
Lan, maka urusan ini harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang
mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam memang tidak mengecewakan sebagai
seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani memutuskan,
apalagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang menimpa diri Kwi Lan,
yang pernah mencinta kakak kembar dan dicinta kakak tiri seayah! Kedua orang
ini setelah saling pandang lalu menoleh ke arah Kwi Lan.
Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk
memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan puteri Ratu Khitan!
Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara, ia
terpaksa mau diajak serta. Kini melihat keadaan di situ dan mendengar ucapan
pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur tanpa banyak cing-cong lagi
ia menjadi ketakutan dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ratu
Yalina.
“Mohon Paduka sudi mengampuni kelancangan
kami....”
Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li.
“Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan keputusannya kepada anak
kami sendiri.”
Kwi Lan yang kini menjadi pusat perhatian
bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak, sebentar
memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si
Berandalmeminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia membuat
perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan pilih andaikata bukan saudara,
tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong. Setelah ternyata bahwa kedua
orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia tidak tahu siapa yang berkenan di
hatinya. Yu Siang Ki juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan
dengan Song Goat, dan ia tidak suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li,
entah bagaimana jadinya pemuda itu yang dahulu terseret ke dalam dunia sesat.
Ia memandang Hauw Lam, teringat akan semua pengalamannya dengan pemuda ini,
teringat betapa pemuda ini menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam, dan ia
teringat kepada pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat. Pemuda yang lucu,
yang selalu mendatangkan kegembiraan padanya, bahkan yang lirak-lirik
kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan tertawa bebas
sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak mengejutkan ayah bundanya.
Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina sekarang.
Hauw Lam yang menanti dengan tegang, melihat
Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada gadis itu, “Mutiara Hitam,
dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara Hitam,
keadaan kita dahulu sederajat. Akan tetapi sekarang, engkau seorang puteri
kerajaan dan aku.... tetap Berandal maka kalau engkau tidak setuju terus terang
sajalah.”
Kwi Lan menjawab, “Sekarang pun masih sama,
apa bedanya?”
“Jadi....?”
“Jadi...., apa....?”
“Jadi kau setuju....?”
Kwi Lan menggigit bibir, lalu mengangguk!
Hauw Lam saking girangnya hanya melongo! “Tapi terus terang saja, biarpun aku
suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”
Luar biasa percakapan antara dua orang muda
ini. Di depan begitu banyak orang bicara tentang cinta seperti orang bicara
tentang pakaian atau topi saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul
oleh pengakuan ini. Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewajarnya.
“Orang macam aku mana boleh banyak mengharap?
Aku mencintamu bukan karena ingin kaucinta. Aku mencintamu karena ingin melihat
kau bahagia, ingin membikin hidupmu cemerlang penuh kegembiraan. Aku ingin seperti
matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap kauingat
atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu,
melindungimu, menghiburmu, melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang
menjadi dasar kebahagiaanku. Hebat pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh
cinta merupakan sindiran dan petuah yang amat menusuk hati. Memang sebagian
besar orang muda kalau bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta
dan meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk
memberi! Cinta itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan
meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan
mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia
yang dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.
“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”
“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab,
karena aku akan selalu berusaha menyenangkan hatimu, tak usah kautinggal, kau
minta saja aku pergi sendiri.”
“Kalau aku mati?”
“Aku akan ikut! Aku takut kau di sana akan
kesepian dan susah....”
Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin,
“Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada pencinta seperti muridku?
Mutiara Hitam, kalau engkau tidak menerima dia, engkau akan kehilangan!
Ha-ha-ha!”
“Aku suka sekali mempunyai adik ipar Si
Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada pemuda ini
berkata.
“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi
suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.
Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh
ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak suka tinggal
di dalam istana, terikat oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa
canggung dan kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti
burung. Sepasang burung terbang di angkasa, bercumbu dengan angin.
“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya
terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil dudukkembali .
“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk
juga, wajahnya makin berseri-seri.
Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya
mereka mendengar, apalagi melihat, peminangan dan penerimaan seperti yang
dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu
dijamu oleh Suling Emas. Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan membalas Kwi Lan
dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan cekikikan
sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua calon pengantin itu.
Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan
adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang, diam-diam menaruh kasihan
kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan setelah
Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang
amat tidak patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada
keponakannya, memberi kuda yang baik dan perbekalan, yang cukup, ditambah
sekantung emas. “Ah, kalau saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu
kini ikut bergembira pula, sebagai anggauta keluarga. Gembirakah dia? Entah,
dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah, merupakan
hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin
dapat seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta wanita!
Selagi semua orang bergembira dan berpesta
tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang aneh bersama seorang pemuda
yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan, juga
rambutnya awut-awutan seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang
kedua bermuka merah.
Hauw Lam dan Kwi Lan segera mengenal pemuda
itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah manusiamanusia sakti Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li! Suling Emas juga mengenal dua
orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin
ribut, seperti Bu-tek Lo-jin. Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan
tidak mau berlaku jahat, adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah
perbuatan mereka termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan
menjura.
“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong
(Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”
“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja.
Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan. Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak
usah duduk. Aku dan Pek-bin-twako ini datang hanya karena ditangisi murid
kami, Siangkoan Li ini. Kami datang hendak meminang Mutiara Hitam!” kata
Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut
ke arah keluarga tuan rumah.
Suling Emas terkejut. Benar, saja dugaannya.
Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang benar mereka baru
datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah dijodohkan dengan Hauw Lam, namun
cara mereka datang ini jelas menantang keributan. Biarpun maklum akan kelihaian
mereka berdua, namun pendekar sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.
“Mutiara Hitam adalah puteriku. Banyak terima
kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi Sian-ong dan kehormatan yang diberikan,
akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru saja anakku ini telah dljodohkan dengan
pemuda lain.”
Siangkoan Li mengangkat muka, memandang ke
arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah yang tampan itu kelihatan
merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam Kwi Lan
merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biarpun
masih pendiam dan serius, namun matanya liar!
“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek
Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali, mengerikan.
“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka
gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka masih belum merasa
panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak,
tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek
itu. Dia sendiri masih minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari
bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.
“Mutiara Hitam gadis galak telah menjadi
calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho, kita tua sama tua, mau mengajak
apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja
kulayani, minta lagu apa kuturuti. Hayoh....!” Bu-tek Lo-jin memang terkenal
mempunyai hobby (kegemaran) berkelahi. Ia senang berkelahi baik saling maki
maupun saling gasak!
“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan
memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan jodoh adalah di tangan Thian.
Harap tidak menimbulkan keributan,” kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya
halus, namun di balik kata-katanya mengandung peringatan.
Dua orang kakek saling pandang. Mereka tentu
saja tidak gentar biarpun berada di negara orang. Akan tetapi mereka mengenal
siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu
yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada mereka. Mungkin dengan maju berdua,
mereka akan dapat mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di
situ hadir pula Suling Emas yang lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu
Yalina yang kabarnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid orang-orang
sakti.
“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sungkan
membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita bereskan. Suling
Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo, Siangkoan Li,
kau bocah sial dangkalan. Pergi!” Lam kek Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama
Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ tanpa pamit lagi.
Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan
tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan meriah.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda
dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu dengan Mimi dan Hauw Lam dengan
Kam Kwi Lan. Setelah menikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di
Khitan.
Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu
meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan,
seperti burung di angkasa. Adapun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami
Ratu Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah
dari Pegunungan Go-bi-san. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya
merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan di mana ia hidup
tenteram dan melayani Mimi dengann kasih sayang.
Kam Liong meninggalkan Khitan, pergimerantau.
Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Akan tetapi tentu
saja ia tidak kehilangan watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia melayani
kasih sayang seorang wanita cantik di mana saja,hanya sebagai keisengan belaka,
bukan karena dorongan asmara. Namun, kesenangan ini pun tidak membuatnya
menyeleweng daripada kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa wanita,
tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia tidak pernah lupa untuk berdarma
bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah mendapat pengampunan
berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh Ratu Yalina sehingga namanya
terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat bebas menengok ibunya di kota raja.
Bagaimana dengan Yu Siang Ki? Pemuda ini
mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan Song-yok-san-jin berada
pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai berhasil membujuk dan
mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda ini pun menikah. Siang
Ki yang sudah menyerahkan urusan kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong,
meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai pengusaha toko obat yang dipimpin
oleh ayah mertuanya.
Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan
cinta kasih yang murni dari Song Goat akhirnya mendapat kemenangan dengan
menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan
Kwi Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka
matanya bahwa andaikata ia menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh
wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping Song Goat yang lemah lembut
dan halus ini.
Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi,
entah ke mana perginya pemuda yang bernasib malang itu. Banyak orang yang suka
mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga khawatir
kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memlliki kepandaian tinggi itu
akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang
puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin
yang berdiam di puncak Tai-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu
berdua dan gelisah kalau teringat akan adik mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya
Kam Han Ki? Seperti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti setengah
dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan terluka parah dan bagaimana nasib anak ini
selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai pengarang cerita ini menyusun
sebuah cerita baru yang hebat!
Sampai di sini cerita MUTIARA
HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga
merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain
cerita!
TAMAT
Bandung, awal April 1970
No comments:
Post a Comment