CINTA
BERNODA DARAH
Cipt:
Kho Ping Ho
Serial Bu Kek Sian Su (3)
Puncak Gunung Thai-san yang
menjulang tinggi di angkasa tertutup awan putih tebal yang bergumpal-gumpal
mengelilingi puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada
musim panas, sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu tampak
dari bawah. Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan penduduk di
sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san merupakan anak tangga
menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia setengah dewa saja yang
dapat mendatangi puncak Thai-san.
Dongeng atau kepercayaan tentang
hal ke dua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat bahwa penduduk
pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh
permukaan bumi dan diingat pula akan keadaan puncak itu sendiri. Terlalu
tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia
biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak bahayanya. Binatang
buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah yang
mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam badan.
Memang tak mungkin bagi
manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa,
yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh
terlatih, yang kuat menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua
rintangan. Betapapun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi
orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan
yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari itu amat cerah. Awan
putih yang berkelompok di sekitar puncak tampak berkilauan seperti perak
digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan
dan menghias ujung-ujung daun dengan mutiara-mutiara air embun berkilauan
seperti hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau
menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan bumi
seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana gembira dan
indah ini?
Tidak mengherankan. Musim semi
tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat
sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru!
Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru dan yang
indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan renungan setiap insan pada
setiap tahun baru.
Pada penduduk di sekitar kaki
dan lereng gunung, semenjak pagi hari sudah sibuk berpesta, bergembira ria
merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpanan dikeluarkan dari peti
pakaian “setahun sekali” menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang
muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang
dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya hidup.
Serombongan orang amat cepat
gerak-geriknya amat ringan langkah kakinya, bergerak cepat mendaki puncak
Thai-san. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyaksikan
gerak-gerik lima orang yang bagaikan serombongan kera besar melompat ke sana
ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon mendaki puncak,
tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa serombongan dewa atau manusia
setengah dewa yang mendaki puncak itu, untuk bertahun baru di sana!
Rombongan itu adalah para tosu
dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan tiga di Kun-lun-pai,
maka tidaklah mengherankan apabila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak
Thai-san. Tiba-tiba pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi
isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti
patung-patung dewa penghias gunung. Mereka semua telah mendengar suara yang
halus itu. Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan
menyelinap di antara desir angin mempermainkan daun dan dendang anak sungai
di dasar jurang. Namun kata-katanya jelas dapat tertangkap pendengaran
telinga-telinga yang terlatih itu.
“Segala sesuatu yang menimpa
diri pribadi adalah akibat daripada pikiran sendiri.
Pikiran kotor yang mendorong
ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaan seperti roda kereta
mengikuti jejak sapi penariknya.
Pikiran bersih yang
mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan
seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.”
Ang Tojin melambaikan tangan dan
lima orang tosu itu melanjutkan perjalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu
timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan
Pertama), apakah itu suara beliau....?” tosu termuda, belum lima puluh tahun,
bertahi lalat di ujung hidung, bertanya.
“....ssssttttt....!” Ang Kun
Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam. Mereka melanjutkan pendakian
dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil mempergunakan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat
Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam
berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan gin-kang mereka begitu hebat
sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking
cepatnya kaki yang bergerak! Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus,
halus lembut menusuk anak telinga.
“Dia menyiksaku, dia memukulku dia
mengalahkan aku, dia merampokku! Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada
habisnya.
Memang pikiran ini berarti
melenyapkan kebencian, karena benci takkan hapus oleh benci pula,
melainkan musnah oleh kasih!”
Ang Kun Tojin mengerutkan keningnya.
Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang dalam pengetahuannya tentang
Agama To, juga sebagai orang ke dua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun
mempelajari filsafat agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah
pelajaran dari Agama Buddha merupakan bait-bait pertama daripada pelajaran
dalam kitab Dhammapada. Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang
yang menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran berupa syair
Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu! Seorang hwesio (pendeta
Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin,
jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila beliau itu seorang yang
beragama To.
Di pertengahan puncak mereka
berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan putih
berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-puncak gunung
lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing atau seperti gunung-gunung
kecil. Indah bukan main, mendatangkan rasa seakan-akan mereka telah berada di
kahyangan, tempat tinggal para dewa dan mahluk halus, bukan tempat manusia,
menimbulkan kepercayaan bahwa mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa
dapat merasai ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!
Perjalanan dilanjutkan mendaki
puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak ditilami
rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak
yang dikelilingi batu-batu putih berjajar seperti menara, di tanah datar yang
halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di
situ, mendahului mereka!
“Ha-ha-ha, kalian terlambat,
sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata
peribahasa, Ang Kun Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam
puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi caping
lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani lain, kesemuanya
sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana seperti pakaian mereka,
namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.
“Siancai.... siancai....” Ang
Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dada
memberi hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya. “Tidak dinyana
sahabat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu
(Orang Gagah).”
“Ha-ha-ha, selamat.... selaimat,
Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur makmur dan
kokoh kuat.” Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala
Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturutoleh enam orang adik
seperguruannya.
“Juga pinto (saya) sesaudera
menghaturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tong-pai.” kata
pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan ke dua yang di
sebelah kiri. Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul
yang bersikap pendiam dan dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua,
usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih
kuat, jubahnya berwarna kuning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya, Leng Lo Hwesio adalah murid
kepala dan menjadi orang ke dua dari Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat
tinggi, juga pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.
“Omitobud....” Leng Lo Hwesio
cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga orang
adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga
dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”
Murid kepala Hoa-san-pai yang
bertubuh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira sikapnya, suka
berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Berbeda
dengan rombongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan
pendiam sehingga keadaan di situ menjadi kaku dan dingin. Mungkin hal ini
adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta sehingga mereka pun
harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pendeta, yaitu alim dan
suci! Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka
bukanlah tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan penganut biasa dan hidup
mereka sehari-hari adalah sebagai petani.
Melihat keadaan yang kaku dan
dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata. “Wah, tiga rombongan wakil partai
persilatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah berkumpul di sini. Kiranya
dengan maksud yang sama pula, hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu
(Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng Lo Suhu?”
“Pinceng (saya) sesaudara memang
hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas kasihannya.” jawab
murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio tidak
malu-malu untuk minta-minta.
“Karena beliau seorang pendeta
To, sudah selayaknya kalau kami datang mohon diberi penerangan,” jawab Ang Kun
Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu beliau seorang
tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab Dammapada, bukankah
itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan
kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang dan lambat.
Mendengar ini, diam-diam para
anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu
terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi
ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main!
Penggunaan tenaga mujijat khi-kang yang disalurkan pada suara nyanyian itu
benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka khawatir karena kalau betul-betul
Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi
mereka untuk bersaing dengan para hwesio itu.
“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua
Pendekar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu pada golongan
masing-masing. Biarpun saya sendiri, seperti juga sahabat semua : selama hidup
belum pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya
mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau mengakui semua agama, seperti
sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu beliau
seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang
pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu.
Siapa cepat dia dapat, bukan?”
Ang Kun Tojin melangkah maju dan
membantah, “Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orang-orang yang
mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai petani-petani
yang bahagia. Ilmu Silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor di kolong langit.
Untuk apa pula mohon petunjuk Siansu? Tentu bukan untuk urusan kebatinan, akan
tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat : untuk apakah pula?
Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”
“Ucapan Toyu benar,” sambung
Leng Lo Hwesio, “bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para tosu Kun-lun, tentu
saja amat membutuhkan petunjuk tentang kebatinan dari Siansu. Akan tetapi para
Sicu (Orang Gagah) dari Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang
kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat, pinceng
(saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa Ilmu Silat
Hoa-san-pai masih amat rendah.”
Ucapan ini biarpun terdengar
membela namun mengandung sindiran yang memandang rendah tingkat Ilmu Silat
Hoa-san-pai. Memang hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini berwatak keras dan
kaku, juga tidak biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.
“Leng Lo Suhu benar-benar
memandang rendah kami dari Hoa-san-pai!” tiba-tiba orang ke lima dari
Hoa-san-pai membentak sambil melompat maju. Dia adalah Kok Ceng Cu, seorang
yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dengan sepasang mata tajam
bersinar-sinar, usianya sekitar tiga puluh tahun.
“Sama sekali tidak memandang
rendah,” bantah Leng Lo Hwesio, “hanya pinceng sering kali mendengar bahwa
Hoa-san-pai mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan dalam ilmu
silat tidak begitu mementingkan kekuatan dalam. Padahal, Bu Kek Siansu adalah
seorang ahli kebatinan dan tentu saja petunjuknya akan berhubungan erat dengan
kebatinan, maka tidak akan cocok dengan Sicu sekalian.”
“Tidak memandang rendah akan
tetapi sama sekali tidak menghargai kepandaian lain orang. Sama saja! Leng Lo
Suhu, kami dari Hoa-san-pai memang masih rendah pengetahuan, tidak ada sesuatu
yang patut dibanggakan apalagi disombongkan. Akan tetapi, saya akan merasa
takluk kalau seorang di antara para Losuhu dari Bu-tong-pai dapat melebihi apa
yang akan saya perlihatkan!” Kok Ceng Cu yang masih berdarah panas dan tidak
tahan mendengar partainya dipandang ringan, segera melangkah lebar mendekati
sebuah batu gunung yang berwarna putih. Batu ini sebesar perut kerbau, beratnya
tidak kurang dari lima ratus kati. Seperempat bagian dari batu ini terpendam
dalam tanah, kokoh kuat dan untuk mencabutnya keluar kiranya dibutuhkan
sedikitnya tenaga seribu kati.
Kok Ceng Cu memasang kuda-kuda
di dekat batu, kedua tangannya merangkul dari kanan kiri, lalu dengan sebuah
teriakan keras ia mengerahkan tenaga menjebol dan.... batu itu terangkat ke
atas terus diangkat ke atas kepalanya. Otot-otot kedua lengannya tersembul
keluar, lehernya mendadak menjadi besar, namun wajahnya yang tampan itu tidak
berubah, tetap tenang dan tersenyum. Fihak Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai
memandang kagum. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka maklum bahwa
untuk mengangkat batu seberat itu mengandalkan tenaga luar, bukanlah hal yang
mudah dilakukan. Selain membutuhkan latihan tekun dan lama, juga harus
memiliki bakat alam, yaitu tenaga yang besar dan hal ini hanya dapat dimiliki
oleh seorang laki-laki yang selama hidup tetap membujang. Melihat keadaan wajah
Kok Ceng Cu, terang bahwa jago Hoa-san-pai ini biarpun usianya sudah tiga puluh
tahun lebih, ternyata dia masih bujang, jejaka tulen!
“Tenaga gwa-kang (tenaga luar)
Sicu hebat sekali, pinceng kagum!” kata Leng Lo Suhu dengan sejujurnya. Akan
tetapi hal ini memanaskan perut Leng Hi Hwesio, murid ke empat dari
Bu-tong-pai. Biarpun usianya sudah enam puluh tahun, hwesio keempat dari
Bu-tong-pai ini wataknya keras dan tidak mau kalah. Ia segera melompat maju
mendekati Kok Ceng Cu dan berkata nyaring.
“Main-main dengan batu mati ini
apa sih anehnya? Sicu, kalau kau sudah lelah dan bosan, boleh operkan batu itu
pada pinceng!”
Tadinya Kok Ceng Cu merasa
bangga akan pujian murid tertua Bu-tong-pai, akan tetapi melihat dan mendengar
sikap dan kata-kata hwesio ke empat ini, diam-diam ia merasa penasaran juga
kaget. Apakah hwesio yang kurus kering ini dapat mempergunakan tenaga seperti
dia? Ia berseru keras dan kedua lengannya bergerak ke bawah lalu ke atas,
melontarkan batu besar itu kepada Leng Hi Hwesio sambil berseru.
“Losuhu terimalah!”
Batu berat itu meluncur ke arah
hwesio Bu-tong-pai, kalau menimpa kepala tentu akan remuk. Namun, dengan tenang
hwesio ini menggerakkan kedua tangannya, menerima batu itu dengan gerakan
indah. Kiranya ia telah menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika, begitu
kedua telapak tangannya menempel pada batu, ia meminjam tenaga lontaran tadi,
dan terus mengayun batu ke bawah, ke atas lagi, dan melontarkannya ke atas,
diterima lagi, diayun dan dilontarkan lagi ke atas sampai lima kali. Ketika
untuk ke lima kalinya batu itu menimpa turun, ia menggunakan gerakan menyabet
dengan kedua tangan miring. Batu itu melenceng ke samping, terbanting ke atas
tanah sampai amblas hampir setengahnya. Inilah gerak pukulan Pukul Roboh Gunung
Hitam, sebuah jurus ilmu Silat Bu-tong-pai yang lihai.
Terdengar tepuk tangan memuji
dari para tosu Kun-lun-pai. “Siancai, siancai, ilmu pukulan Bu-tong-pai
benar-benar hebat!” seru Ang Kun Tojin. Akan tetapi Pek Sin Tojin, murid ke
lima Kun-lun-pai yang bertahi lalat pada ujung hidungnya, menjadi penasaran
melihat betapa dua orang dari rombongan Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai seakan-akan
mendemonstrasikan kepandaian. Kalau dari fihak Kun-lun-pai tidak ada yang bergerak,
jangan-jangan fihaknya akan dipandang rendah. Ia melangkah maju mendekati batu
itu, berkata,
“Siancai, batu terbanting keras
jangan-jangan banyak cacing yang akan tertimpa remuk.” Kaki kanannya bergerak
mencongkel dan.... batu itu menggelinding keluar dari dalam tanah, sampai lima
kaki lebih jauhnya. Gerakan ini saja membuktikan betapa lihainya para tosu
Kun-lun-pai.
Yang paling berangasan di antara
semua orang adalah Kok Ceng Cu. Ia mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya,
“Hemmm, semua memamerkan tenaga dalam yang mengandalkan tenaga pinjaman, bukan
tenaga aseli dari otot dan urat. Biarpun kami dari Hoa-san-pai hanya melatih
otot untuk memperkuat tubuh, namun permainan lwee-kang (tenaga dalam) seperti
itu juga bukan hal aneh.” Ia tidak melakukan tantangan, namun kata-katanya ini
jelas mengangkat golongan sendiri dan tidak memandang tinggi dua rombongan
lain. Juga ia berdiri dengan dada terangkat, kedua kakinya memasang kuda-kuda
dengan sikap seolah-olah ia siap menghadapi siapa saja yang berani melawannya!
Tentu saja sikap ini memanaskan
hati fihak Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai, apalagi fihak Bu-tong-pai. Kalau saja
Ang Kun Tojin dan Leng Lo Hwesio tidak memberi isyarat dengan pandang mata,
tentu ada tosu Kun-lun dan hwesio Bu-tong yang melompat maju untuk menghadapi
Kok Ceng Cu. Pada saat itu terdengar suara tertawa nyaring dan merdu. Semua
orang menjadi kaget, memandang ke kanan kiri, namun tidak tampak seorang pun
manusia. Padahal jelas sekali tadi terdengar suara ketawa seorang wanita, terdengar
dekat sekali, bahkan suara pernapasan di antara kekeh tawa itu dapat mereka
dengar.
“Omitohud!” Leng Lo Hwesio
mengeluarkan suara sambil merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada.
“Sicu mengeluarkan sikap menantang, membikin marah dewi penjaga gunung!”
“Kita datang untuk mohon
pelajaran kebatinan kepada Bu Kek Siansu, saudara-saudara dari Hoa-san-pai
memperlihatkan kekerasan, sungguh lucu sehingga ditertawakan oleh segala mahluk
halus,” kata pula Ang Kun Tojin, namun diam-diam ia merasa gelisah karena ia
dapat menduga bahwa yang mengeluarkan suara ketawa itu sudah pasti seorang yang
memiliki kesaktian luar biasa. Terang bukan Bu Kek Siansu, juga bukan yang
bernyanyi tadi, karena suara ketawa ini adalah suara wanita.
“Kami orang-orang Hoa-san-pai
tidak takut terhadap segala siluman!” Kok Ceng Cu berkata keras sambil melirik
ke kanan kiri.
“Sute, jangan bicara begitu....”
Kok Bin Cu mencela adik seperguruan yang berangasan itu.
Akan tetapi suaranya terhenti
ketika tiba-tiba pada saat itu terdengar lagi suara ketawa dan kini tahu-tahu
di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang amat cantik. Dia datang
begitu saja seperti muncul dari dalam bumi, tidak tampak datangnya, tahu-tahu
sudah berdiri di depan Kok Ceng Cu sambil tertawa terkekeh-kekeh, bibirnya
yang merah dan lembut itu terbuka, tampak dua deretan gigi yang putih seperti
mutiara berbaris.
Empat belas orang itu memandang
dengan mata terbelalak. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, dilihat dari
wajahnya yang segar berseri itu agaknya belum dua puluh lima tahun usianya,
namun sikap dan gerak-geriknya membayangkan kepribadian yang kuat dan
berwibawa, tenang dan tabah, sikap masak seorang tokoh besar. Pakaiannya dari
sutera tipis berwarna putih sehingga terbayang baju dalam yang berwarna merah
muda. Sepasang kakinya tertutup sepatu kulit mengkilap, berwarna hitam. Yang
menarik hati dan mengerikan adalah rambutnya. Rambut hitam gemuk, panjang
sampai hampir menyentuh tanah di belakangnya, sebagian lagi terurai ke depan dari
kanan kiri lehernya. Tubuhnya padat berisi, kulit leher, tangan dan mukanya
halus den putih seperti salju. Wanita yang cantik jelita, bersinar matar
bengis, dengan mulut yang selalu mengejek tampaknya dan diselubungi sesuatu
yang aneh mengerikan. Begitu ia muncul, tercium bau harum seperti taman bunga.
“Hi-hi-hik, kiranya jejaka
tampan yang mengeluarkan tantangan. Wah, untungku hari ini! Orang muda yang
penuh tenaga dan hawa murni, kau dari golongan mana?”
Kok Ceng Cu biarpun sudah
berusia tiga puluh tahun lebih, namun tak pernah berdekatan dengan wanita.
Memang ia tidak suka akan wanita dan sudah bersumpah akan tetap membujang
seumur hidup. Kini menghadapi wanita cantik aneh yang sikapnya sombong,
ketawanya terbuka tanpa mengenal sopan dan susila ini, ia menjadi marah sekali.
“Wanita tak bersopan! Aku tidak
suka bicara denganmu, akan tetapi kalau kau ingin tahu, aku Kok Ceng Cu murid
ke lima dari Hoa-san-pai. Sudahlah, pergi jangan menambah muak dengan
ketawa-ketawa seperti siluman!”
“Hi-hi-hik, jejaka murni,
nyalinya kuat. Bagus, bagus, kebetulan sekali. Eh, Kok Ceng Cu, kulihat tadi
kau mengangkat batu kecil ini, entah apa kau kuat menerima lemparan dariku?”
Tanpa menanti jawaban, wanita ini menggerakkan kepalanya dan.... rambutnya yang
indah dan panjang itu bergerak seperti hidup ke arah batu gunung putih di
dekatnya yang tadi dipakai main-main oleh orang-orang sakti itu. Begitu cepat
gerakkannya dan tahu-tahu batu itu telah terlempar ke arah Kok Ceng Cu.
Benar-benar membuat semua orang bengong terlongong. Bagaimana rambut indah
panjang itu dapat dipergunakan untuk mengangkat dan melempar batu yang beratnya
lima ratus kati lebih?
Akan tetapi Kok Ceng Cu tidak
sempat berheran. Melihat datangnya batu ke arah kepalanya, ia cepat
menggerakkan kedua lengan, menangkap batu itu dan mengerahkan tenaganya,
melemparkan batu itu kembali kepada wanita tadi sambil berseru membentak,
“Siluman jahat, terimalah kembali!”
Lemparan Kok Ceng Cu dilakukan
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, akan hehat sekali akibatnya kalau wanita
itu tertimpa. Agaknya wanita aneh ini tidak mempedulikan datangnya batu, hanya
mengangkat lengan kiri menangkis. Terdengar suara keras dan batu itu terlempar
ke kiri, pecah menjadi dua!
Kejadian ini benar-benar membuat
semua orang terkejut, dan sekaligus maklumlah mereka bahwa wanita ini ternyata
memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Juga Kok Ceng Cu sadar akan hal ini,
namun penyesalannya terlambat. Sambil terkikik-kikik ketawa wanita itu kembali
menggerakkan kepalanya dan kini rambutnya terurai meluncur ke depan dan di lain
saat kedua pergelangan lengan dan leher Kok Ceng Cu sudah terlibat rambut.
Betapapun murid ke lima dari Hoa-san-pai ini mengerahkan seluruh tenaganya
untuk melepaskan diri, usahanya sia-sia seakan-akan seekor latat yang berusaha
melepaskan diri daripada sarang laba-laba, meronta-ronta tanpa hasil, malah
rambut-rambut itu makin erat mengikat tangan dan mencekik leher.
“Hi-hi-hik, berontaklah, makin
keras makin baik agar darahmu berjalan lebih kencang!” Sambil terkekeh wanita
itu kembali menggerakkan kepalanya. Tubuh Kok Ceng Cu tersentak ke depan,
berputar dan tak dapat dicegah lagi mendekati wanita itu. Tiba-tiba wajah
wanita cantik itu menjadi beringas, matanya bersinar-sinar, mulutnya terbuka
dan.... cepat sekali mulutnya mendekati tengkuk leher Kok Ceng Cu dan
menggigitnya, terus mengisap! Kok Ceng Cu mengeluarkan jerit mengerikan,
mukanya menjadi pucat kehijauan dan beberapa detik kemudian nyawanya telah
melayang meninggalkan badannya!
“Siluman keji....!” Kok Bin Cu
dan tiga orang adik seperguruannya bergerak maju, menerjang wanita itu. Akan
tetapi mereka terhuyung mundur dan tubuh Kok Ceng Cu yang sudah dingin
terlempar ke arah mereka, diiringi suara ketawa wanita itu. Melihat keadaan
Kok Ceng Cu yang sudah menjadi mayat, Kok Bin Cu cepat menyambar dan memeluk
adik termuda ini dengan penuh kesedihan.
Adapun tiga orang adik
seperguruannya yang lain berdiri dengan sikap siap, namun ragu-ragu untuk
menerjang tanpa perintah Kok Bin Cu. Mereka maklum akan kelihaian wanita
siluman ini dan menjadi gentar juga.
“Cuh! Cuhhhhh!” suara orang
meludah dan Leng Hi murid ke empat Bu-tong-pai menyumpah-nyumpah karena
mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui dari mana datangnya.
“Ho-ho-hah, Siang-mou Sin-ni
jangan berpesta seorang diri!” Suara laki-laki seperti tambur bobrok ini
terdengar dan orangnya sekaligus tampak seorang berpakaian pengemis, sudah tua
dan bongkok, mukanya pucat seperti mayat, rambutnya panjang sampai ke pundak,
awut-awutan dan riap-riapan kotor, mata kirinya buta, mata kanannya lebar
membelalak. Pakaiannya kotor dan penuh tambalan, hanya sepasang sepatunya
masih baru. Ia memegang sebatang tongkat butut, berdiri di situ dengan
punggung agak bongkok.
Dilihat sepintas lalu, ia hanya
seorang pengemis kotor biasa saja, malah seorang pengemis yang tidak normal,
setengah gila. Hal itu tampak pada mukanya yang mengerikan, apalagi mulutnya
yang lebar dan selalu sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi
yang hanya satu-satunya dalam mulut tua.
Kembali ia meludah,
“Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.
Melihat ini, Leng Li Hwesio
marah, “Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng tadi?”
“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka
meludah, biasa meludahi anjing korengan dan kucing kudisan. Lebih suka lagi
meludahi keledai gundul, cuh-cuh!” Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah
ke bawah, akan tetapi anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio
yang berada di sebelah kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran
ludah kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya. Entah bagaimana ludah itu
bisa terbang menyeleweng dan miring.
Kakek pengemis itu berjingkrak
kegirangan bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa. “Ha-ho-hoh! Bagus sekali. Keledai
Bu-tong memang baik menjadi tempolong ludah!”
“Jahanam hina!” Leng Hi Hwesio
mana dapat menahan kesabarannya? Dengan kemarahan meluap-luap ia sudah
mencabut pedangnya dan menerjang pengemis itu.
“Ho-ho-ha-hah, untung besar hari
ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan
pedang di tangan Leng Hi Hwesio sudah terlempar jauh, menimpa batu gunung dan
patah menjadi dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali
meludah, Leng Hi Hwesio berseru kesakitan. Hujan ludah itu mengenai tubuhnya,
akan tetapi tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini terasa seperti
pukulan-pukulan keras yang tepat mengenai jalan darah di tubuhnya. Tiap kali
kakek itu meludah dan mengenai tubuhnya, ia berteriak mengaduh, kemudian ia
menggulingkan tubuh untuk menghindarkan diri. Namun kakek itu terus meludah,
makin keras agaknya karena kini tubuh Leng Hi Hwesio bergulingan seperti
seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga dan hidungnya keluar darah
segar!
“Pengemis keji, lepaskan Sute
kami!” Leng Lo Hwesio dan dua orang adik seperguruannya cepat mencabut pedang
dan menerjang pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu mengangkat tongkatnya,
sekaligus tiga batang pedang itu tertangkis dan terpental. Sungguhpun tiga
orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang masing-masing, namun
mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan panas. Terkejutlah mereka.
Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang digerakkan dengan tenaga
lwee-kang, kuat bukan main. Akan tetapi sekarang sekali tangkis saja kakek ini
dapat membuat pedang mereka terpental. Padahal mereka adalah orang-orang yang
menduduki tingkat dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di
bawah suhu (guru) mereka!
Sementara itu, kakek itu terus
meludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat bersambat atau
bergerak lagi. Hebatnya, kepala yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari
situ keluar darah bercampur otak. Hwesio ke empat ini sudah tewas!
“Mana orang Kun-lun! Mana
tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar suara dan kali ini suara itu
terdengar dari.... bawah! Terlalu hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut
itu, dan para tosu Kun-lun-pai masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian
seorang anggauta rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang
mendengar bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan
cepat memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke bawah,
karena dari situlah munculnya suara.
“Hi-hi-hik, It-gan Kai-ong!
Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal ramai sekarang!”
Wanita rambut panjang tadi kini tertawa dan Si Pengemis Mata Satu juga tertawa
dan meludah ke kanan kiri.
“Bagus, dan kebetulan
orang-orang Kun-lun berada di sini. Baik sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak
busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat banyak orang Kun-lun-pai?”
Mendengar disebutnya
Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu dengan
Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut sebagai
seorang tokoh hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit permusuhan
dengan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari mendiang kakek guru Ang Kun Tojin.
Terdengar suara menggereng
seperti harimau dari dalam tanah dan tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan
terbang dan tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang
meluncur cahaya seperti kilat yang terbang ke arah lima orang tosu
Kun-lun-pai.
Para tosu ini bukanlah
orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat mereka seperti juga orang-orang
Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah mencapai taraf tinggi sekali. Sekali
pandang saja mereka maklum bahwa yang menyambar ini adalah sebuah senjata yang
amat tajam dan runcing, yang disusul melesatnya bayangan hitam. Cepat mereka
berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan menangkis.
“Trang-trang-trang....!”
terdengar bunyi nyaring. Bunga api berhamburan disusul melayangnya tiga batang
pedang, yaitu tiga batang di antara lima pedang yang bertemu dengan senjata
berkilauan itu. Kemudian terdengar jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu
yang bertahi lalat pada hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher sampai
ke perutnya terdapat luka goresan yang panjang, luka kulit saja akan tetapi
amat mengerikan. Apalagi kalau mereka melihat lawan mereka yang kini sudah
berdiri di depan mereka, benar-benar mendirikan bulu roma.
Dia seorang yang tubuhnya sedang
saja, malah agak kurus. Seluruh badan, kecuali sepasang tangan yang kecil
kurus, terbungkus pakaian serba hitam. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang
putih mengerikan dengan dua lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi
runcing hitam, kedua kakinya memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak
sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak melengkung.
Senjata sabit itu kini
bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali berkelebat tentu kulit
tubuh tosu itu teriris robek. Pek Sin Tojin menggeliat-geliat, bergulingan,
darah memenuhi tubuh dan mukanya, namun sabit itu terus bergerak, makin lama
makin cepat. Empat orang tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua orang
termasuk Ang Kun Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya
terlempar, menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si tengkorak ini
hanya menggerak-gerakkan tangan kirinya dan semua serangan itu tertangkis oleh
ujung lengan bajunya. Adapun sabit di tangan kanannya terus bergerak,
mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.
Kekejaman yang mendirikan bulu
roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang lagi, tubuhnya berkelojotan, lalu diam.
Gerakan sabit juga berhenti dan kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat
orang Kun-lun-pai yang mengeroyoknya.
Sementara itu, orang-orang
Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang melayani tiga
orang kosen Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki.
Di lain fihak, empat orang
Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita rambut panjang yang melayani mereka
sambil terkekeh-kekeh genit. Sungguh pertempuran yang amat seru namun tidak
seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor harimau buas dikeroyok serombongan
kelinci saja. Sabit di tengan tengkorak hidup itu menyambar seperti halilintar
dan sebentar saja, dua orang tosu Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh
terbacok hampir putus menjadi dua potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang
sutenya sudah luka-luka pula.
Juga wanita mengerikan yang
bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan dua orang
Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri
tegak, kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di sekitar
tubuhnya, menangkis senjata dan menghantam lawan. Jangan dipandang rendah
rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut halus dan berbau harum itu
seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja yang amat kuat.
It-gan Kai-ong (Raja Pengemis
Mata Satu), meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya membikin buta seorang lawan
yang terus ditusuk tongkat kepalanya sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio
mengerahkan seluruh Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama sekali tak
berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.
Mereka semua maklum bahwa kalau
dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada yang memberi komando,
Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi meninggalkan para
sutenya yang sudah tewas.
Mereka pun menderita luka-luka
berat. “Ha-ha-ho-ho! Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk
memberi tahu kepada partai masing-masing!”
“Tak usah kau ngoceh, pengemis
picak!” Siang-mou Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah sambil
mengebut-ngebutkan rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau, apa
kaukira tua bangka Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”
“Ho-ho-hah! Bagaimana,
Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang tokoh Kun-lun?”
Pengemis itu berpaling kepada si tengkorak.
“Aku datang ke Thai-san bukan
untuk itu,” Hek-giam-lo Si Tengkorak Hidup menjawab pendek.
“Hi-hik, untuk apalagi kalau
bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak kapan
kau ikut-ikut menjadi pengemis seperti pengemis picak ini?” Siang-mou Sin-ni
mengejek. Akan tetapi Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.
“Ho-hah, setan cilik, lidahmu
benar-benar lemas, bibirmu halus mengandung madu, tapi ludahmu seperti
butrawali dan mrica! Kau sendiri datang pada permulaan musim semi, apakah akan
memberi selamat panjang umur kepada setan gunung? Ho-ho, kau sendiri juga akan
mengemis ilmu, bukan?”
“Cih, mulutmu bau busuk,
pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek Siansu akan muncul di dunia. Aku
hendak melihat apakah dia dapat menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau
mengangkatnya sebagai guru, bukan mengemis seperti kau!”
“Ha-ha, silat lidah! Menjadi
murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing segala, cuh!” It-gan
Kai-ong meludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya berlubang oleh ludah
itu! “Bukankah begitu, Hek-giam-lo?”
Si tengkorak hidup tidak
menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng hanya mengeluarkan suara, “Huhhh!”
“Ihhh, menyebalkan si tengkorak
busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu? Apakah ingin menyembunyikan suara seperti
bertahun-tahun ia menyembunyikann mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut
lepas kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau
laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua!”
“Hemmm....” Tengkorak hidup itu
mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni dan senjata sabitnya yang
mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.
It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak
tertawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus....! Aku pun mempunyai
keinginan yang amat sangat, yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu.
Alangkah akan ramainya, entah siapa yang hanya bernama kosong belaka.
Siang-mou Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah!”
Sejenak Siang-mou Sin-ni
ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hendak menggerakkan rambutnya
menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah pengemis tua itu, lalu tiba-tiba
ia tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik, pengemis tua busuk, kau hendak akali
kami berdua, ya? Kau mengadu kami, biar keduanya mampus atau payah, baru kau
turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu Kek Siansu. Begitukah?
Akal bulus!”
“Kalian mau saling gempur atau
saling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu
merengut, kesal.
“Kita bertiga harus menentukan
siapa paling unggul, dia berhak menemui Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan
tidak berharga dan harus minggat.”
“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong.
“Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo. Yang ditanya hanya mengangguk,
tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya
kepada dua orang di depannya itu.
Tiga orang sakti itu berdiri
memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka
seakan-akan tiga ekor harimau yang siap menanti datangnya terjangan lawan,
tegang sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak
lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia akan
sirna.
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni
melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke arah
Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik selisihnya dengan gerakan It-gan
Kai-ong yang menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo
yang menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus tiga orang itu telah
menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus nyaring dan mengelak
dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi membentuk segi
tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan senjata mereka yang
menyambar tadi masih terdengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat
situ.
Amat tegang seluruh urat syaraf,
ketiga orang itu sodah siap untuk melakukan terjangan atau menghadapi
serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka bergerak dan perhatian mereka
tertarik oleh bunyi suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu
semerdu kicau burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya sang matahari,
akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar menyambar-nyambar
membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari
tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati
suaminya.
“Tunda dulu urusan kita,” kata
It-gan Kai-ong.
“Kita lihat siapa yang datang,”
sambung Siang-mou Sin-ni mengangguk.
Hek-giam-lo hanya mengangguk dan
menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar makin nyaring,
seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan mendekati tempat itu. Tiga orang
sakti ini menjadi tegang hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu Kek
Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka
dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek
sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama kemudian muncullah si
peniup suling dari balik batu besar, berjalan dengan tenang perlahan menuju ke
puncak sambil meniup suling yang dipegang dengan kedua tangannya. Suling itu
berkilauan tertimpa matahari dan mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada
emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia
antara tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti pakaian seorang pelajar, dengan
ikat pinggang sutera dan tali penutup kepala melambai panjang. Pakaian orang
ini hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi
warna sepatu, pakaian, dan topinya hitam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran
jubah, berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam itu tampak lukisan
sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.
“Iihhh.... gantengnya....!”
Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandeng penuh gairah kepada wajah yang
tampan itu.
“Inikah orangnya yang memakai
nama Suling Emas....?” It-gan Kai-ong berkata perlahan seperti pada diri
sendiri. Adapun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus marah.
Sementara itu, laki-laki muda
bersuling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga adanya
mayat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda
itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat
ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis yang tebal hitam itu
seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Keji sekali....!” Ia
bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.
“Kami yang membunuh mereka. Kau
mau membela?” ejek It-gan Kai-ong menantang.
Dia tersenyum, menoleh kepada
pengemis mata satu dan berkata dengan suara tenang berwibawa, “Kalian membunuh
orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan urusanku.
Akan tetapi andaikata tadi aku berada di sini, jangan harap kalian mengumbar
kekejaman sesuka hati.”
Setelah berkata demikian, orang
ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, memandang sejenak dan berkata. “Kau
Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur
mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo mendengus dan
melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda
itu tertawa mengejek.
“Kau takut aku melarikan senjatamu
itu? Ha-ha, aku sering kali mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki
kepandaian yang amat tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada
sebatang sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini
dari emas, jauh lebih berharga daripada sabitmu, baik harganya maupun
kegunaannya. Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku
ini.”
Sebagai seorang tokoh besar
dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya? Senjata
yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan
muka tengkoraknya.
Pemuda tinggi ganteng itu
tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam. “Terimalah
ini!” serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti
halilintar menyambar, ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Serangan ini cepat
bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan
seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka ke mana
akan mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir
menempel ulu hatinya.
Namun ia memang lihai sekali.
Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan kirinya menyambar
dari samping menangkap suling itu dan mendorong ke kanan agar meleset daripada
ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu. Alangkah herannya ketika ia merasa
betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya dilepaskan oleh
pemiliknya. Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat
itu, tenaga yang amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan
dengan tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak
hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya
ke tangan kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas suling untuk
menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri daripada ancaman suling,
baru kemudian berusaha merampas kembali senjatanya.
Pemuda itu tertawa sambil
melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya. “Hek-giam-lo, terima
kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai
akan kukembalikan.” Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke
kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri, sekali
loncatan tubuhnya melayang lebih sepuluh meter jauhnya. Kiranya ia memilih
tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di tangannya bergerak dan
tampak sinar berkilauan ketika dengan cepatnya ia menggali tanah dengan sabit
itu.
“Heh, kau tentu si muda sombong
yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!” terdengar suara serak
Si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”
Suling Emas tidak menjawab,
melainkan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar saja di
depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali terus
dengan cepat.
Sinar hitam yang lembut
bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari Hek-giam-lo
yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun
Awan Hitam). Begitu hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini
sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika
benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.
Melihat Hek-giam-lo
mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong
terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang
Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari
belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia
menyelamatkan diri?
Suling Emas menggali dengan
gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit saja yang
bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan
mentertawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah
lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan terhuyung-huyung. Akan
tetapi kalau melihat hasil galian di depannya, orang akan bengong terlongong.
Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekalipun belum
tentu akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian
cepatnya.
Sekarang, tiga orang sakti itu
yang menjadi kagum. Tanpa menoleh, Suling Emas masih tetap bekerja dan ketika
gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan
berpencar mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia masih saja
bergerak-gerak menggali lobang. Namun kini di antara berkelebatnya sinar sabit
yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang mengeluarkan angin
keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo
mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi, Si Muka
Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua tangannya dilonjorkan ke depan dan
ia mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk memberi dorongan kepada senjata
rahasianya.
Suling Emas menunda gerakannya
menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya terdapat sebuah kipas
biru yang terdapat lukisan indah. Ia mengipaskan benda itu ke depan sambil
berseru.
“Hek-giam-lo, aku terima
tantanganmu, akan tetapi tunggulah sebentar sampai selesai pekerjaanku.” Ia
mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hitam yang sudah mendesak maju
itu terpental mundur sampai lima kaki jauhnya.
Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang
terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu, Suling Emas berloncatan ke sana
ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang
masuk ke dalam lobang besar yang digalinya tadi. Pemandangan yang amat
mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan hidup kembali dan terbang seperti
setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya menggunakan ujung sabit untuk
mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja sebelas buah mayat itu
sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas lalu menguruk lubang dengan
tanah galian. Begitu cepat ia melakukan pekerjaan ini sehingga waktu untuk
menggali dan “mengubur” ini tidak lebih daripada sepuluh menit saja!
“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas
namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak tahan
melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa mengejek.
“It-gan Kai-ong, terimalah
salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang raja,
sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.
“Tampan sekali! Ganteng.... dan
jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya....” Suara Siang-mou
Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling matanya menyambar.
Pemuda biasa saja kiranya akan runtuh kalbunya dan bobol pertahanannya kalau
menghadapi senyum dan kerling yang memabukkan ini. Memang Siang-mou Sin-ni
memiliki kecantikan yang luar biasa, keharuman rambut yang memabukkan, dan ada
sesuatu yang mujijat, hawa kekuatan yang tidak sewajarnya, keluar dari
tubuhnya.
Suling Emas menjadi merah
mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat. “Siang-mou
Sin-ni, terima kasih. Kulihat di antara mayat-mayat itu terdapat seorang muda
yang sudah kausedot habis isi tulang belakangnya, apakah kau masih juga belum
kenyang?”
Siang-mou Sin-ni hanya
terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Adapun It-gan Kai-ong lalu menegur,
“Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani lancang
menyebut nama kami? Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”
Suling Emas tertawa. “Banyak
raja di dunia ini, akan tetapi yang suka memakai pakaian tambalan, hanyalah
raja pengemis. Di antara banyak raja pengemis yang terkenal, memang ada
beberapa orang di antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi yang picak sebelah
hanyalah It-gan Kai-ong.”
Siang-mou Sin-ni makin keras
kekeh tawanya. bahkan Si Muka Tengkorak yang pendiam juga terbatuk-batuk
menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya. “Bocah sombong,
berani kau mempermainkan aku? Hayo ke sinilah, boleh kita adu kepandaian.”
“Nanti dulu, Kai-ong. Biarlah
dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi rambutku, tak perlu
aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni melangkah maju.
Akan tetapi Suling Emas tidak
mempedulikan mereka berdua, langsung ia menghampiri Hek-giam-lo, menyerahkan
senjata sabit. “Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima kasih.”
Hek-giam-lo mengulur tangan kiri
menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak melepaskannya, dan
sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang
masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemudian menyambar suling itu. Keduanya kini
berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua macam senjata, tidak
saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan, ragu-ragu berada di fihak
Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada suling.
Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain saat
kedua orang itu sudah saling bertukar senjata.
Hek-giam-lo yang masih marah dan
penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia kalah dulu
oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah melompat ke depan Suling Emas dan sambil
terkekeh wanita ini menggerakkan rambutnya yang mengeluarkan bunyi bercuitan
seperti seratus cambuk menerjang Suling Emas.
Bau yang harum semerbak
memabukkan menusuk hidung. Suling Emas cepat mengerahkan sin-kang dan melompat
ke belakang, sulingnya menyampok ke depan dibarengi kipasnya dikebutkan.
Terdengar suara nyaring ketika suling emas itu bertemu dengan gumpalan rambut
yang paiing tebal, sedangkan kipas yang bergerak kuat itu meniup balik rambut
panjang yang tadi menerjang maju seperti hidup. Baik Suling Emas maupun
Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling pandang
dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak disangkanya bahwa
pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya sampai terasa pedas
dan panas karena akar rambutnya terguncang keras. Di lain fihak, Suling Emas
juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar biasa seperti yang sudah lama ia
dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada dua
senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.
“Siang-mou Sin-ni, jangan kau
lancang. Karena dia tadi menghinaku, akulah yang berhak menantangnya. Eh,
Suling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah
melangkah maju lagi, tangan kirinya merogoh saku.
Suling Emas melintangkan suling
di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala, tersenyum tenang. “Aku
mendaki puncak Thai-san dengan perasaan aman dan damai, dengan pikiran
gembira dan bersih daripada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak
menghendaki permusuhan di tempat yang indah dan sejuk ini, akan tetapi kalau
ada yang menantangku, biarpun aku ogah melayani, namun suling dan kipasku
harus menjaga nama dan kehormatan.”
“Jadi!” Hek-giam-lo berseru
keras, tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga
belas batang pedang pendek yang seperti disulap keluar dari jubah hitamnya itu
telah menancap di atas tanah, membentuk lingkaran. Lingkaran itu terdiri dari
sepuluh batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran
tertancap tiga batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras
tubuh Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri
dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang. Pedang itu kecil saja, dapat
dibayangkan betapa tinggi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk
dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh
Hek-giam-lo tetap tegak tak bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.
“Bagus, boleh kulayani kau
main-main sebentar Hek-giam-lo!” seru Suling Emas dan seperti seekor burung
garuda melayang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran,
kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo menyambut kedatangan
lawannya dengan suara ketawa aneh menyeramkan, sabitnya bergerak dan
menyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun,
lawannya bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah
lewat di atas kepala dan sekali menggerakkan kedua tangan, kipas di tangan
kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling
disodokkan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan
gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar diduga
ke mana arah dan sasarannya.
“Huhhhhh....!” Hek-giam-lo
mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung
menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain
yang merupakan pagar.
“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu
silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk
saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”
“Cerewet!” Hek-giam-lo mendengus
dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang
dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi
segulung sinar putih menyilaukan mata.
Suling Emas terpaksa melayani
desakan yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah
tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya
membalas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan
menyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi
patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk
memaksa ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu ditujukan kepada
kakinya yang menginjak gagang pedang.
“Tengkorak busuk, serahkan Si
Ganteng kepadaku!” Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke
atas gagang pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling
Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka
tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang amat
lihai.
***
Namun Suling Emas biarpun masih
muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut Siang-mou
Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka
Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.
“Ihhhh.... kau mau membunuhku?”
Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada
wanita yang lebih cantik dari padaku?”
“Kalau perlu, apa salahnya
membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,” jawab Suling Emas sambil menerjang
lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah, sungguh memalukan
sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh
tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak dapat mengalahkan
seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa tercemar
nama besar Thian-te Liok-koai!” It-gan Kai-ong Si Raja Pengemis Mata Satu
melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya
sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat
tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam
hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani
ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik
daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia
berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri dengan
pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari kesempatan merobohkan lawannya
seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan tiga orang tokoh yang
selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan belum dua puluh jurus ia terdesak
hebat.
Tiba-tiba terdengar suara keras
dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan keluar dari lingkaran
patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas,
telah roboh malang melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa
angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa
dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan
seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tempat
itu.
Suling Emas terheran-heran. Ia
melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang pendek itu, lalu
melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru.
“Iblis Hitam, bawa pergi
pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu
terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar
yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan
patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik
napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya
berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia
merasa serem karena tak mungkin ada orang, betapapun saktinya, dapat
mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. Helaan napas saja dapat
tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali
tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini
pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena
sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambar-gambar
para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke
punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan
punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang
alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu
termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah.
Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di
bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada
punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka
tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja,
seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang
mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun
telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas cepat menjura dengan
sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Maaf,
Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek
Siansu?”
Kakek itu tertawa dan tampaklah
keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua baris
gigi yang masih utuh dan rapi.
“Tidak salah, anak muda. Semoga
dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah
kepadamu....”
Suling Emas terkejut dan cepat
ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada Hari
Musim Semi itu didahului oleh kakek ini.
“Locianpwe, maafkan kelancangan
teecu (murid) tadi. Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe
selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu,
kaurangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kaukira kalau sudah
sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia?
Ha-ha-ha!”
“Teecu mohon petunjuk,
Locianpwe.”
“Sulingmu tadi mainkan Ilmu Pedang
Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan Ilmu Kipas
Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?”
Suling Emas terkejut sekali dan
cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi. “Kiranya
Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu
menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang
Suhu (Guru), dan beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari
kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe don
mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh
adil dan bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang amat baik. Jadi
Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu daripada aku? Ha-ha, aku
berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang
sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah dugaan Locianpwe.
Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah Ho-peh, Suhu
roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat
mencegah terjadinya hal itu.” Suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama
sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya sudah terlalu masak dan mengeras
untuk dapat dikuasai kesedihan.
“Hemmm, belasan tahun ia
bersusah payah membantu Cao Kwang Yin dalam usahanya mendirikan Wangsa Sung.
Sampai Cao Kwang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus
membantunya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa
pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya
hidup makmur. Betapapun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan akan diatur
pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”
“Teecu dikenal sebagai
Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain
lagi.”
“Ha-ha, begini muda, sudah
menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat
mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat,
dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang
yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau tersesat, buktinya kau masih mau
mengubur jenazah-jenazah itu.”
“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup
dapat membedakan mana jahat mana baik, biarpun teecu sengaja meninggalkan hidup
yang lewat untuk.... untuk....”
“Melupakan kepahitan yang
mematahkan hatimu?”
Suling Emas hanya mengangguk
lalu menundukkan muka. “Teecu mohon petunjuk.”
“Kau berjuluk Suling Emas, tentu
pandai bermain suling. Hayo perdengarkan suara sulingmu, dan kita coba-coba
main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek
itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mempunyai tujuh
buah kawat itu.
Suling Emas girang sekali.
Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia
maklum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu, berarti
berlatih atau menguji kepandaian lwee-kang dan ilmu silat tinggi. Ia segera
duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek Siansu tersenyum
mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring
itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar
suara cring-cring-cring tinggi rendah.
Suling Emas kaget bukan main.
Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara sulingnya
terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya,
memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sin-kang di dalam
tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang dan mungkin sampai memenuhi pusarnya,
dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang
kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi permainan khim dari
Bu Kek Siansu juga makin hebet. Suara nyaring tinggi rendah dari kawat-kawat
itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat daripada tusukan-tusukan
pedang pusaka. Lebih hebat daripada gempuran tangan sakti, kadang-kadang
bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat seperti ombak
samudera.
Keadaan Suling Emas amat
terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata, keningnya berkerut
dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sin-kang bekerja
di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan melindungi dirinya
dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi usahanya itu seperti seorang
pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan taufan mengamuk di
lautan. Ia sebentar tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dam terhanyut
kemudian dibantingkan ke atas setinggi gunung lalu dihempaskan ke bawah seperti
dilempar ke neraka. Beberapa kali hampir ia pingsan namun semangatnya yang
pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan tekun ia
memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam
otaknya inti sari jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan
ajaib.
Bu Kek Siansu di samping
menuntun dan memberi petunjuk, agaknya juga hendak menguji kekuatannya. Suara
khim itu makin mendesak, menekan dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak
kuat lagi, kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil
dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba, berbareng
dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin melemah dan makin habis
itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah pucat
dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang menindih
kepalanya, diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya
kembali dalam keadaan normal.
“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau
menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas membuka kedua
matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang amat
berharga.”
“Orang muda, bakatmu memang luar
biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu mengangkatmu sebagai murid. Manusia hidup
mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk
mengabdi kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu
kalau tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya? Apa pula artinya puluhan
tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak dibawa mati? Karena inilah
maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku selalu mencari jodoh untuk
menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu denganku
pada hari pertama musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku
sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing.”
Melihat kakek itu berhenti
sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan
dipermainkan perasaan, berkata,
“Teecu sudah mendengar akan hal
itu, sudah pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal
keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap Locianpwe
terangkan mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu.”
Kakek itu tertawa lebar,
berkilauan giginya tertimpa sinar matahari.
“Aku sudah melepaskan diri
daripada ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci, tiada yang baik
dan tiada yang buruk bagiku. Betapapun juga, aku seorang manusia yang masih
dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu dengan aku,
siapa pun dia, akan menerima warisan ilmu, sesuai dengan watak dan bakatnya.”
Suling Emas biarpun baru berusia
tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah banyak melalap
kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti seperti ini.
Ia tidak mau berdebat, dan tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya, “Teccu
sudah menerima petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama
ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe mengajarkannya?”
“Orang muda, selama aku merantau
dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak pernah dapat
diterima orang, biarpun setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang
pertama adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama
Kim-kong Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani aku,
sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali, berarti kau sudah
dapat menangkap inti sarinya, tinggal kaukembangkan saja, tergantung kepada
ketekunan dan bakatmu. Yang ke dua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat
dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat
kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing
akan sastra, bukan?”
“Teecu masih bodoh, akan tetapi
teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat itu,
Locianpwe.”
Bu Kek Siansu terkekeh girang,
lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan mencurahkan seluruh
perhatiannya. Dengan tenaga sin-kangnya ia dapat membuka mata tanpa berkedip
berjam-jam lamanya.
“Lihat dan ingat baik-baik semua
huruf ini, orang muda,” terdengar Bu Kek Siansu berkata dan mulailah kakek
lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke atas
dan ke bawah, kedua kakinya bergerak selalu, juga geserannya berupa corat-coret
membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan kedua
tangannya.
Suling Emas girang sekali bahwa
dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra, sehingga ia
hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan
oleh kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan kuat.
Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek itu melakukan
belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam pelajaran Nabi Khong
Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi:
THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah
Tuhan Adalah Watak Aseli).
Tentu saja ia sudah hafal akan
ayat-ayat kitab TIONG YONG ini, maka ia tidak perlu lagi untuk mengingat-ingat
susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini
menguntungkan Suling Emas, karena perhatiannya tidak terpecah dan setelah
menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti sarinya
sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain dibentuk
dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biarpun kini Bu Kek
Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan baik
bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf suci
itu.
Saking tertarik dan tekunnya,
tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan
otomatis ia juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan
ia melanjutkan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak
dalam ayat-ayat kitab TIONG YONG.
“Cukup, tidak sia-sia kali ini
aku berlelah-lelah.” Bu Kek Siansu tertawa gembira. “Dan saat pertemuan inipun
sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang juga.”
Suling Emas menjatuhkan diri
berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata, “Budi Locianpwe terlalu besar
terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan penting ini
sedemikian singkat? Teecu mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di
dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal kepuasan
dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat menikmati berkah Tuhan.
Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang kaumiliki ini, kau berada di
persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang kejahatan, juga dapat
membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari golongan hitam dan
putih saja yang sejajar dengan tingkat kepandaianmu.”
“Maaf akan kebodohan dan
kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah pengetahuan
dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha, mereka yang selama ini
menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka mulai
menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan
hitam amat banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang
terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah
mengenal siapa mereka, bukan?”
“Teecu pernah mendengar, akan
tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”
“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi
siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi
adalah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua
Berhati Racun), dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah
terhadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi
sekali.”
“Terima kasih, Locianpwe, akan
teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Adapun tokoh-tokoh golongan
putih, juga banyak akan tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri, suka
bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin
(Manusia Suci Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar
biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak kalau kau
mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat menilai sendiri.
Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak menyeleweng daripada
kebenaran.”
Suling Emas memberi hormat,
kemudian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang kepandaiannya sudah
tinggi tingkatnya, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah
menuruni Thai-san dan setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan
terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak Thai-san yang
kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih sudah tinggi, masih
ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding dengan langit, puncak
Thai-san masih terlalu rendah.” Bibirnya membisikkan sebagian daripada sajak
kuno yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan
perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung mengingat kembali Kim-kong
Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek Siansu.
***
Bu Kek Siansu masih berdiri
seperti patung memandang ke arah perginya Suling Emas, kemudian ia berbisik
kepada diri sendiri, “Manusia bertemu dengan penderitaan hidup kalau ia
mengharapkan kesenangan hidup. Dia dapat menahan derita hidup dengan tenang
tanpa penyesalan, benar-benar seorang muda yang kuat. Kesenangan dikejar,
penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin. Mengapa manusia harus
mengalami semua ini? Mengapa?”
Bu Kek Siansu mengeluarkan
sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan membacanya sambil berdiri. Pada saat
itu tiga bayangan orang muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek Siansu menyimpan kembali
kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan menggantungkannya di punggung.
Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum ramah.
“Bukankah kau Bu Kek Siansu?”
tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kebetulan sekali. Dunia
kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim semi, kau akan
muncul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim
semi, ilmu apakah yang dapat kauberikan kepadaku?”
Bu Kek Siansu tidak marah
mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
“Aku pun menghadap padamu pada
permulaan musim semi untuk minta diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek
Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.
“Yang datang menghadap adalah
kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan suaranya yang
dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat kedua
lengannya ke atas sambil tertawa. “Jangan khawatir, aku si tua tidaklah kikir
dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan
cocok dengan pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat
diterima oleh orang yang menjauhkan diri daripada rasa dengki, iri, murka,
benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu yang kuturunkan
bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan tubuh sendiri. Nah,
ilmu apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang sakti itu saling
pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah sifat yang aneh
apalagi pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran
untuk kelihaian seseorang. Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam, karena
siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat
memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti
itu.
“Bu Kek Siansu, tadi kami
mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci dengan kasih.
Apakah kau termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan Tuhan menguatkan
batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar kasih-Nya.”
“Jadi kau tidak membenci
golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu menggeleng kepala.
Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
“Kalau begitu,” kata pula It-gan
Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi kauturunkan dua macam ilmu kepada
Suling Emas. Nah, kami pun minta kauturunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”
“Betul, aku menghendaki dua ilmu
itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa
namanya?” Hek-giam-lo menyambung.
“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang
bermata tajam, tidak pereuma menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai! Memang
tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong
Sin-im dan Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu
itu dan menyukainya, tergantung kepada kalian sendiri. Bagaimana?”
Karena mereka bertiga tadi sudah
merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas tanpa mereka
ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek
Siansu yang ingin mencegah terjadinya pertempuran selanjutnya antara
orang-orang sakti itu, maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin
mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu banyak cerewet,
lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong yang memang selalu
bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar sikapnya, makin
baik dan berwibawa dan gagah!
“Kalian juga setuju?” Bu Kek
Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou Sin-ni den
Hek-giam-lo. Keduanya meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena
tidak ade pilihan lain. Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini
masih memandang rendah kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh curiga
kalau-kalau kakek tua renta ini akan menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik-baik, kalian perhatikan
dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara Sakti)
dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat musik khim dari
punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim, dimulai
dengan “cring-cring” yang nyaring bening. Mula-mula tiga orang sakti itu
memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi khim, akan
tetapi tak lama kemudian mereka nampak gelisah sekali. Terutama Siang-mou
Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh oleh suara
khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa jantungnya berdebar, kemudian
setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa seakan-akan jantungnya
ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia
mengerahkan sin-kang di dalam tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk
bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih berusaha untuk menyelami
bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan Kai-ong
dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga dalam
tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai dua
orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu mengandung
hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu sambil menutup
kelemahan diri dengan sin-kang mereka pun memperhatikan dan berusaha menangkap
inti sari daripada Kim-kong Sin-im.
Baru seperempat jam saja orang
itu sudah menderita hebat sekali, wajah mereka pucat dan saking kerasnya
mereka mengerahkan sin-kang, kepala mereka sampai mengepulkan uap putih.
Namun pelajaran itu masih juga belum dapat mereka tangkap inti sarinya, atau
ada juga mereka menangkap, namun hanya menurut perkiraan mereka masing-masing
dan ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda, sesuai dengan
watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja menyeleweng daripada inti
sari yang sebenarnya. Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih
rendah kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat,
kiranya mereka tidak berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti
dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu
itu, pula ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara. Suling Emas dapat
mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan
suara sulingnya sehingga seakan-akan ia “bertempur” dengan ilmu ini dan
karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifatnya menyerang dan bertahan
dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal
keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan
kalau hanya mendengar saja.
Bu Kek Siansu memang tidak
hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain di depan
Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila
dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang
menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit
berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang sakti itu tidak
berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam
telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih
sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu
kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat memetik inti
sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang kepada Bu Kek Siansu
dengan mata marah.
Bu Kek Siansu menyimpan kitab
kecilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah kalian
juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang kulakukan di
depan Suling Emas tadi?”
“Kakek, kau tadi bersilat di
depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kauturunkan kepada kami,”
kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong, itulah tadi yang
disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana
dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”
Karena tidak tahu harus memilih
ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapapun juga, mereka masih
ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im
tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka, mendengar bahwa
Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah gerakan-gerakan silat
seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian mereka tadi ketika kakek
ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega,
mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.
Seperti juga tadi ketika
mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat,
kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan
lain yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam
kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh
tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur. Bu Kek Siansu
mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya
berbunyi demikian : THIAN BENG CI WI SENG-SUT SENG CI WI TO-SIU TO CE WI KAUW.
Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama, mempunyai
arti yang amat dalam, kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini :
Anugerah Tuhan adalah watak aseli-Selaras dengan watak aseli adalah
To-Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas bahwa huruf-huruf itu
merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia menuju
kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali
mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan
Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang
ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang
mengemukakan pelajaran tentang kebajikan? Sebagai orang-orang yang
berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti
gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap
kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa
ilmu Silat Sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam
huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih
mendekati arti daripada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini
disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan
begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat
terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak mengherankan apabila tiga
orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus menggerakkan kaki
tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua?
Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.
Agar jangan dianggap berat
sebelah Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama
ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga
orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.
“Nah, puaskah kalian?”
“Puas apa? Kau main-main dengan
kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada
kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.
“Jangan-jangan kakek ini hanya
menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan
kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou
Sin-ni, tersenyum masam. Adapun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan
mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam pertemuan
pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan peringatan
lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju, menyerang Bu Kek
Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan
siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan
Kai-ong menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni menghantam sembilan jalan
darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hek-giam-lo
membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua penyerangen
itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh!
Serentak tiga orang itu
menubruk, Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan
Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu
tadi, mendapat bagian masing-masing separuh karena kitab kecil itu telah
terobek menjadi dua bagian ketika mereka berebut.
Sambil tertawa-tawa mereka
memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka
meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang
dihantam sabit tajam itupun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali
tidak terluka. Namun, jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika
It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya
tidak berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang
disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan
Kai-ong.
“Seorang penipu!” sambung
Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik,
berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya. “Aku
benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam, lalu
menggunakan kakinya menendang. Tubuh kakek itu terlempar ke arah jurang dan
menggelinding turun, diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni.
Akan tetapi tiba-tiba suara
ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga terhuyung-huyung dan
hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang
mereka dari arah jurang tadi.
“Celaka...., rohnya
mengamuk....!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat
jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat
kabur meninggalkan puncak Thai-san.
Tak lama kemudian, tampak Bu Kek
Siansu melayang keluar dari dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi sambil
termenung dan menarik napas panjang berkali-kali. “Tuhan menghendaki demikian.
Akan geger di dunia persilatan.... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia
berjalan perlahan meninggalkan puncak.
***
Pada masa itu, keadaan di
seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada
peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kwan
Yin yang tadinya merupakan panglima tertinggi daripada wangsa ke lima.
Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara
sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa
Cao Kwan Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.
Daerah-daerah yang tadinya
semasa Kerajaan Tangtelah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat
ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal
ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang
sudah kembali, sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai
daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke
Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah
tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada
Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil
dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali terjadi bentrokan-bentrokan
kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan
daerah dan wilayahnya, dan perlu membangun negara setelah persatuan dapat
dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itupun tidak ingin mencari gara-gara
dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang cerah,
sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang, mengikuti aliran Sungai Han yang
mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut
Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti
manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga
kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!
Sunyi di sepanjang sungai itu.
Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka jelas
adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis
panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang
memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya sehari-hari.
Kulitnya coklat kehitaman, terbakar matahari.
Tiga orang yang menumpang
perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih
dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam
bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar,
pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang ke dua adalah seorang
gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas, sebagian
rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya
bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi,
bibirnya tersenyum selalu membayangkan keramahan. Juga gadis ini membawa
pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ke tiga juga seorang
gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis
pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali.
Wajahnya cantik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi
kepalanya. Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini? Mereka
adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan putera-puteri
diri seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe
(Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani
menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang dahulu
memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang. Kam-goanswe yang namanya adalah Kam
Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan lahir batin.
Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri
menjadi raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika
daerah ini diserang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling
berjasa menyelamatkan daerah Shan-si.
Semenjak bentrokan itu,
Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun,
sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air
di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang muda itu adalah
putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam
Bun Sin. Anak ke dua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Adapun
gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut
Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut.
Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan,
Jenderal Kam menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam
gendongan seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati
dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat kagum
menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya
sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu
sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil
menyebut “Lin Lin”.
Lin Lin tahu bahwa dia adalah
seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak angkat. Selama hampir
lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama
dengan anak-anak lain, ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula
Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia memang
seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi akan asal-usulnya
yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas
menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bundanya, juga
tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka, karena menurut jenderal
itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai seorang jenderal perang
yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek menggembleng
tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak
itu mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin
maju dalam penggunaan ilmu lwee-kang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain
pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali keringanan tubuhnya dan karenanya
ia amat maju dalam ilmu gin-kang.
Keluarga Kam hidup tenteram dan
bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Mereka
hidup sederhana sebagai petani dan kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah
ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi, seperti sudah
menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang langgeng, alam dan
isinya selalu berubah. Demikian pula kehidupan manusia, selama manusia masih
terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera
yang selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada
kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan. Hanya manusia
pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi mabuk dan sombong
di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di waktu sengsara. Kalau
orang selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang,
semua itu adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti menguasai
kehidupan, ia akan selalu bersikap waspada, tidak mabuk oleh kemenangan,
tidak putus asa oleh kekalahan, waspada akan tindakan pribadi agar tidak
menyeleweng daripada kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa
mengatur kesemuanya itu, bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di
samudera, tak kuasa melepaskan diri daripada gelombang kalau belum KELUAR dari
dalam samudera.
Hari itu menjelang senja, Kam Si
Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan belakang
rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin
Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah
mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan gaya
masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil bertolak pinggang
dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang
berpakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari
pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah ini.... kiranya
kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu
keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa
bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang mendengar
suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara.
Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi
besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan
wajahnya berubah.
“Giam Sui Lok, mau apa kau datang
ke sini?”
Orang tinggi besar muka hitam
itu tertawa lagi, tetap masih beriongkok di atas tembok, matanya yang besar itu
melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar.
“Kam-goanswe....”
“Aku bukan jenderal lagi, tak
usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau
juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”
Kam Si Ek menoleh ke arah tiga
orang anaknya dan wajahnya makin gelisah.
“Orang she Giam, aku sedang
sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita
bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti kunanti
kunjunganmu.”
Laki-laki tinggi besar muka
hitam itu tertawa bergelak. “Boleh, boleh...., aku tidak khawatir kau akan
dapat lari, ha-ha!” Tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.
“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin
tak enak.
“Dia kurang ajar sekali,” cela
Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan
seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas
pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik
jelita itu kini tampak marah.
“Lin Lin, kembali kau....!” Kam
Si Ek berseru cemas.
Lin Lin berdiri di atas tembok,
memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali, berlari mendekati
ayahnya. “Heran, ke mana ia sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang
macam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum, girang
melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat
khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan
di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di
antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan Giam
Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau
anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.
“Dia itu bekas teman lama, ada
urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kauajak
kedua orang adikmu pergi ke Kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang
juga. Kausampaikan hormatku kepada Kui Lan suci (kakak seperguruan Kui Lan),
dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak
datang ke sini membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang
lalu.”
“Tapi, Ayah, orang tadi....” Bu
Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang membikin
ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu
ayahnya terancam bahaya.
Kam Si Ek tertawa. “Dia memang
ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah
cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru)
kalian.”
Biarpun hati mereka tidak rela,
namun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya, apalagi
mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu
pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu
bergegas mendaki puncak Gunung Cin-ling-san yang tinggi itu, sambil membawa
obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di puncak.
Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di
puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng pendeta-pendeta wanita yang
memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di
kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek.
Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak, malah
pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula memberi
petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan mendaki puncak itu
makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan ilmu lari
cepat. Biarpun cekatan gerakan mereka, karena hanya diterangi oleh obor di
tangan, perjalanan itu agak lambat juga.
Kui Lan Nikouw yang sudah
berusia enam puluh tahun lebih masih segar mukanya dan masih gesit
gerakan-gerakannya itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid
keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa
malam-malam datangnya?” tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga
orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi
hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang menyuruh teecu (murid) bertiga, Sukouw,
pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon
kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke pondok kami
sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm.... Ayahmu memang
aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah ke sini.
Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah,
kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar,
tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouwmu, hayo ke dapur!”
Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali amat disayang oleh tiga orang
murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun
melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin
menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada
urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya.... kami
sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi
ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.”
Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada
bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang
mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar
muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya, Giam Sui
Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin
aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan
kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia
tampak termenung. “Giam Sui Lok....? Ah, akhirnya dia datang juga....?”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia
dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin
mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi
pertumpahan darah.... wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga.
Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa
adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda
itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya dan ketika nikouw
itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan
tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak
memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar
aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu
tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu
termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh
lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak
mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat
diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin
bertanya penasaran.
“Urusan.... eh, urusan....
percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah....
eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi
persaingan, Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan
penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang
menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang
lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki
memang aneh dan tolol.... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini
benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka
bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak, maka
mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap
orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu
dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin
timbul rasa kasihan. Perasean aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap
seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan
khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat
sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam hampir
tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam.
Dapat dibayangkan betapa gelisah
hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali.
Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah....!” Bu Sin berseru keras
dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil
ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan
sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,” kala Kui Lan
Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu sambil memondong peti
hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada, diterangi dari
belakang oleh tiga orang keponakannya, berjalan masuk ke dalam rumah. Ruangan
depan sunyi dan kosong, dan pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang
lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan. Ayah
mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula
ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki
tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi
darah!
Tiga orang anak muda itu
menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan
memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt!” Pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang
she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!”
Pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika
tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas.
Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan
melihat bibi gurunya, ia menahgis dan memprotes, “Dia membunuh Ayah Ibu,
Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan
pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu
berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga
ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi, penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin,
Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke sini. Nah,
lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka
oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu,
terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu
tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya, juga terpental dan tidak ada
tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu
maupun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh....
nanti dulu! Ibumu belum mati.... biar kutolong dia....” Nikouw itu lalu
meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam.
Benar saja dugaannya, nyonya ini biarpun terluka hebat, masih belum tewas,
setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw
yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan,
pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua
ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat
hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini
cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat
diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh.... takut.... takut....
setan....!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan. Bu Sin, Sian Eng, dan Lin
Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau
tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu
mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada di
sini. Setan apa yang kautakuti?” kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis,
terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan, “Setan.... dalam peti
mati.... suaranya.... suling.... suling maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang
ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan
menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa,
mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan
tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang
luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi
hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu
sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah
rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara
mengerikan.
***
Setelah selesai mengurus
pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan
dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya.
Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng,
dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara
keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu,
menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku
dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di
antara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa.
Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee
Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam
hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap
Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi
harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan
huruf BU SONG. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik BU SONG. Harta pusaka itu
diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga
antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang
anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada,
pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kauceritakan
kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam
Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya.
Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sutemu,
KAM SI EK
Sambil terisak-isak mendengarkan
bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak inipun
terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.
“Kalian tentu tidak tahu siapa
itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu
menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu
adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama
Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun
kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan
karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh
melebihi Ayahmu, sayangnya.... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu
dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin
karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan ke mana perginya.... eh,
Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun
putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak
sulung, melainkan yang ke dua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir
sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
“Itulah yang selalu mengganggu
hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu,
Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam minggat pada malam
hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”
Hening sejenak. Tiga orang anak
itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.
“Tentu saja. Malah tujuh tahun
kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai
seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan
tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu Song....” kata Lin Lin,
agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa
tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin
hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut
yang sudah tidak beribu bapak lagi.
“Akan tetapi ketika Ayahmu
mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu
tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian
pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”
“Sukouw, teecu merasa lebih
perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu
takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”
“Teecu juga!” kata Sian Eng.
“Tentu saja teecu juga,” sambung
Lin Lin. “Akan tetapi juga akan teecu cari sampai dapat dia itu.... eh, Kakak
Bu Song.”
Kui Lan Nikouw
mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini,
apalagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi
janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang
yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apalagi
melihat kepandaian orang itu, andaikata kalian dapat menemukannya, agaknya
belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian
pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu.
Akan tetapi, apabila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian
tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni.
Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andaikata tidak mampu,
pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal.
Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni
memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang muda itu berjanji
akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak
beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang
perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita
tukang perahu yang gemar berceloteh.
***
Berhari-hari tiga orang muda she
Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat
indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan
kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
“Kita sudah dekat dengan kota
Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi
gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa
perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya
untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.”
Mendengar ini, Lin Lin bertepuk
tangan dan berjingkrak girang. “Bagus sekali! Aku sudah bosan duduk dan tidur
di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan.
Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”
“Tidak lama lagi, Nona, sore
nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat
mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu
Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan membayar
sewanya kepadamu di sana?”
“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja
saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi
saya tidak berani melakukannya.”
“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng
ikut bicara.
“Karena hal itu berarti bahwa
uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling
banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk
itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”
“Apa maksudmu? Siapa itu
jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak, penasaran.
“Mereka merajalela sekarang,
Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu
kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota
besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan
praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han
merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali pengemis dan setiap
orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada
mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan maupun hasil
menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.
“Aiiihhh, mana ada aturan
begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.
“Lopek, apakah yang berwajib
tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya
penasaran.
Tukang perahu menggelengkan
kepaianya. “Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai
ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang
membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi
kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau
diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta
sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”
Merah wajah Bu Sin dan kedua
adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa
jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”
“Tapi....”
“Kalau perlu pedang kami ikut
bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani
membantah lagi dan dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang
perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang
sore, perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah
Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di tempat ini
merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu
pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka, Tuan Muda, lihat di
sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya....” bisik tukang perahu.
Bu Sin dan dua orang adiknya
memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah
sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang
sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar.
Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah
pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja
Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya
bertanya.
“Lopek, kaumaksudkan empat ekor
cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”
“Sssttttt, Nona jangan bicara
terlalu keras....” tukang perahu makin pucat.
“Dan Tuan Muda harap suka
memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”
“Tidak, Lopek. Kami malah hendak
melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka
berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.
Dengan terpaksa tukang perahu
minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang
di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa
berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.
“Heee, tukang perahu, dari
manakah kau?”
Mengherankan sekali melihat
seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab dengan
sikap hormat, “Kami datang dari daerah Propinsi Shen-si, dusun La-kee-bun
dekat Sungai Han.”
Empat orang pengemis itu
sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar
menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah
meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho,
perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kauterima?”
“....hanya.... hanya dua puluh
tail.... itupun belum saya terima....” jawab si tukang perahu ketakutan.
“Goblok benar! Sejauh itu hanya
dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong. Setidaknya harus lima puluh
tail!”
Si tukang perahu makin takut.
“Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona
ini membagi makan dengan saya dan....”
Lin Lin sudah tidak sabar lagi
mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang
runcing menuding muka pengemis itu.
“Hih, kau ini pengemis tukang
minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami
dengan tukang perahu?”
Pengemis itu memandang heran,
lalu terbahak. “Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kaulihat anak ayam ini. Nona cantik,
kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari
terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan
terakhir ini.
“Jembel busuk! Siapa sudi
mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung
bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu
yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin
dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin, tidak mau mencegah, apalagi
mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap
menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok marah
sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin. “Bocah liar, kau
perlu dihajar!” Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan
terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin. Gadis ini tentu saja tidak sudi
membiarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kaki
kirinya melayang ke atas dan “prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka
pengemis itu dengan keras.
Si pengemis terhuyung ke
belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar
dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya
yang kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.
“Setan cilik, kalian berani
mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang
Lin Lin. Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar
sedikitpun juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan
melihat Lin Lin hendak dikeroyok.
“Jembel-jembel jahat, jangan
kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi seorang
pengemis.
Bu Sin tanpa mengeluarkan suara
juga menerjang maju menghadapi pengemis ke dua. Adapun pengemis yang memaki
tadi, sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau
mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa
saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja.
Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan
kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin kosong
belaka.
Tempat yang tadinya sunyi itu
kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian yang
amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan
keselamatan tiga orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis
Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka.
Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan
pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong
datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita
ini, bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka
terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu
sudah selesai.
Bu Sin yang wataknya pendiam dan
tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan
kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya
menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan lawannya semenit
kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang “memasuki” lambung lawan
membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan perut dan meringis kesakitan,
duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun kembali.
“Stoppp!” Lin Lin membentak
dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi lawannya.
Pengemis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia
pun berdiri dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.
“Stop dulu sebentar, ya?” Lin
Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas
tanah itu. kakinya bergerak dan.... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam
sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin menghampiri
lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu berkata manis.
“Nah, sekarang boleh teruskan!”
Sikap gadis yang lincah jenaka
ini memancing ledakan ketawa daripada para penonton. Memang sudah terlalu lama
mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang
ditahan-tahun. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega
dan pues. Biarpun biasanya mereka takut terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang,
sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan jenaka itu,
mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.
Lawan Lin Lin marah bukan main,
sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan
hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya
yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak
peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan menyerang
dengan tongkat di tangan.
“Wah, baunya yang tidak tahan!”
Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya menghadapi
tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja. Memang lincah sekali gerakan Lin
Lin. Tongkat itu biarpun diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah
dapat menyentuh ujung bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis
ini sudah berhasil memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah
pantatnya sampai mengeluarkan suara “plokkk!” dan debu mengebul dari celana
yang kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi perut
saking menahan tawa.
“Lin-moi, lekas bereskan dia!”
Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.
“Sudah beres, Sin-ko!” jawab Lin
Lin dan entah bagaimana lawannya tidak mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah
terampas di tangan kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung
mundur dan miring ke kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri.
Lin Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang
mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai!
Karena takut dipermainkan terus
oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka hanyut oleh air
sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari tempat. Adapun Bu Sin
segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat pergi
dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu mendayung perahunya
sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak begitu kuat.
Bu Sin maklum bahwa mereka telah
membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang adiknya untuk
memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan
kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran sambil
membicarakan peristiwa tadi.
Karena malam telah tiba dan
mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan di waktu
malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya bermalam pada sebuah rumah penginapan
yang berada di sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang
sederhana, namun cukup bersih.
Di sepanjang perjalanan menuju
ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu
Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan
mereka akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.
“Wah, cerita empek tukang perahu
tadi dilebih-lebihkan.” kata Lin Lin. “Katanya di sini berkeliaran banyak
pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada
gunanya sama sekali.”
“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau
agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng
setengah menggoda.
“Ingin memberi hajaran lagi
kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.
“Lin-moi, jangan sembrono kau.
Apakah kaukira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi kau lalu
menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut
dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke
arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di
depan rumah penginapan.
Lin Lin dan Sian Eng memandang.
Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut
bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil
kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah
tua sekeli, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran
bertumpuk, bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar.
Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan.
Dasar Lin Lin berwatak aneh dan
mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh. Mudah
marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis
pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan
berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap
para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang
perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu
masih saja tidur.
Bu Sin dan Sian Eng terkejut,
akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh,
mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin
bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan
kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai
sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah
dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar.
Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.
Karena merasa lelah, tiga orang
muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang pelayan
rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di
luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua
itulah yang menimbulkan keributan.
Tadinya orang-orang di dalam
ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk di
ruangan depan, mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan
wanita membawa lampu keluar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang
terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak, “Nyamuk keparat!
Nyamuk gila!”
Kakek pengemis itu masih duduk,
akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke atas
dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu
terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan
kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan
menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti
itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan sebentar saja banyak orang melihat
kakek itu.
Bu Sin dan dua orang adiknya
juga bergegas keluar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan terkejut.
Itulah pertunjukan gin-kang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat
makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang
lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan kakek itu
sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si
kakek jembel!
“Nyamuk keparat!” Kakek itu
masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti
orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat, uang perak
membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!” Setelah berkata demikian, kakek
itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa
kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu
berjalan pergi, terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.
Orang-orang tertawa. “Kakek itu
gila, rupanya....”
Akan tetapi Bu Sin dan
adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang
sakti yang luar biasa. Apalagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya
uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi
diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu
ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.
Pucat wajah Bu Sin.
“Celaka....!” pikirnya, “tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi
adalah kita bertiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang
adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia
mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!
“Eh, kenapa kau seperti orang
ketakutan?” tanya Lin Lin.
“Lin-moi, karena perbuatanmu
memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin
sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.
“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian
Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.
“Kalian ini bocah-bocah sembrono
sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu
gin-kang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi
bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat
pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah
kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh
tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga.
Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin
memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya!”
Lin Lin membanting kaki. “Kakek
keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina,
menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi
tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di
mana sih tingginya maka dia begitu sombong!”
“Lin-moi, jangan bicara
sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.
“Aku tidak takut!” Lin Lin
mengedikkan kepala membusungkan dada.
Bu Sin hendak marah, akan tetapi
segera ditekannya perasaanya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin, pertama
karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, ke dua, karena ia
merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin
Lin merasa dibedakan. Memang, biarpun masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang
baik sekali.
“Lin-moi, lain kali kau harus
mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi
bingung dan marah saja!” Sian Eng menegur Lin Lin.
Setelah ditegur, barulah Lin Lin
insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin. “Sin-ko, apakah kau marah
kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”
Mau tak mau Bu Sin tertawa juga.
“Kau memang nakal.”
“Memang aku nakal, tapi tidak
galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng
yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin
meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong....
Enci galak mau bunuh aku....!”
“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa
bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.”
Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang
nakal ini.
Tanpa terasa karena di sepanjang
jalan mereka bersendau-gurau, tiga orang muda ini sudah keluar dari kota
Wu-han, melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat
gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan
perjalanan di malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang
muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
“Sin-ko, kita tidak tahu mana
jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya kita
menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”
“Kita sudah keluar dari Wu-han
sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat? Tidak
ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya
daerah ini jauh daripada dusun.” kata Bu Sin.
“He, kalian lihat. Bukankah di
sana itu rumah? Tapi gelap amat....!” Lin Lin tiba-tiba berkata. Mereka melihat
dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di
langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti
diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di
pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak
terpakai lagi.
“Kita istirahat di sini
melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega. Biarpun hanya sebuah kelenteng
tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di
tengah jalan, di udara terbuka.
Baru saja mereka membersihkan
lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng
tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga orang muda itu
memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu
berpakaian seperti pengemis!
“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin
yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.
Seorang kakek pengemis bertubuh
pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena dia seorang yang tidak
memegang obor, tersenyum lebar dan berkata.
“Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah
merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil
Sam-wi menghadap.”
Bu Sin tidak heran menghadapi
rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat daripada sepak
terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan
hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia
menjadi mendongkol juga. Biarpun pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi
hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap
seperti sikap pembesar saja?
“Lopek (Paman Tua), peristiwa
sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak melakukan
perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak
mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian.
Kalau dia mempunyai urusan dengan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,”
jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.
Kakek pengemis gemuk pendek itu
tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak buah
kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak
burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit luasnya
lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap dengan baik-baik,
harap kalian mengerti dan dapat menghargai kesabaran ini. Jangan sampai aku
orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat
demikian.”
Seakan meledak rasa dada Lin Lin
mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan
membentak, “Pengemis tua bangka sombong, kaukira kami takut kepadamu? Biar
pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau datang, kalian
mau apa?”
“Ho-ho, benar-benar seperti
katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari wilayah
Kerajaan Hou-han di Shan-si?”
“Memang kami datang dari wilayah
Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah kalian
baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului
kakaknya yang masih diam saja. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia membiarkan
terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih
baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek
pendek itu.
“Lopek, ketahuilah bahwa kami
orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di sini, sama sekali
tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami
bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami
hanya berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi meninggalkan
daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”
“Kalian hendak kemana?”
“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”
“Bagus! Kalian datang dari
wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan
kami menghadapi pangcu kami.”
Marah juga Bu Sin. Kakek
pengemis ini terlalu memandang rendah. Biarpun di situ ada belasan orang
pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?
“Kami tidak akan ikut denganmu!”
jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin. Tiga orang
muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di
tangan mereka siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa
takut!
“Wah-wah, benar gagah!” Kakek
itu berkata lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap mereka!”
Bu Sin memutar pedangnya,
mengancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”
Namun kakek itu sudah
menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka
menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang.
Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang
muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar
dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sambil memekik
kesakitan.
Pengemis pendek gemuk memberi
aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu mengeluarkan
gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.
“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor
dengan am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku,
mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang). Tangan kirinya
bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua orang
pemegang obor, tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang jatuh,
padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka dengan
senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat obor-obor
itu runtuh dan padam. Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap
ini, memberi isyarat kepada kedua orang adiknya. Mereka maklum bahwa kalau
pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka
akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan gin-kang mereka, memutar
pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian mereka
sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam
lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan keadaan makin gelap
karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi langit di atas mereka.
“Wah, memalukan benar!” Lin Lin
terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar
harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini,
merasa sebal dan penasaran.
Bu Sin dan Sian Eng juga
berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah, berbahaya benar,”
kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek
pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau
kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah,
apa kaukira masih akan dapat bernapas saat ini?”
“Belum tentu, Sin-ko!” bantah
Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andaikata akhirnya kita mati dikeroyok,
sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada
beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun tidak
penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut penasaran
besar!”
Bu Sin hanya tersenyum. Ia
mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia merasa
khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena
keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu
lalu naik ke atas pohon yang terpaksa bermalam di situ seperti tiga ekor kera
kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka amat
lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah
di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.
Ketika Lin Lin dan Sian Eng
membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan
telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara lalu menuding ke
bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira
seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang kakek jembel
berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang bongkok, rambutnya riap-riapan dan
matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di depan rumah
penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu
sampai penyok!
Dan di depan kakek itu berlutut
puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang mengeroyok mereka
semalam, mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek
pengemis bongkok itu terdengar marah-marah.
“Kalian anjing-anjing tiada
guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah.
“Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri.
Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”
Semua pengemis itu menggigil
ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek itu dengan
sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka
mereka pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis
yang amat berpengaruh!
“Mana anggauta Pek-ho-kai-pang
yang membikin ribut itu?”
Bagaikan empat ekor anjing,
tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek itu. Bu
Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang
pengemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!
“Cih, yang begini mengaku
anggauta pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!”
Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh,
tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah
mati oleh ludah kakek itu!
“Biar ini sebagai pelajaran.
Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua anggauta
Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang
(Kembang Merah)? Hayo maju sini!”
Tiga orang kakek pengemis tampak
merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu. “Perhatikan sekarang.
Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku
membutuhkan tempat sembunyi Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan
padaku. Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian
kitab kecil.”
“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan
seluruh kawan di kai-pang (perkumpulan pengemis),” jawab mereka berbareng
dengan suara amat merendah.
“Sudah, pergi sekarang. Muak
perutku melihat kalian!” Kakek bongkok itu mengomel dan bagaikan anjing-anjing
diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang
pengemis anggauta Pek-ho-kai-pang itu.
Bu Sin dan dua orang adiknya
bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah, kini tampak pucat. Namun, di
samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu yang
dianggapnya sombong dan kejam sekali.
“Orang macam dia harus dibasmi
Sin-ko,” ia berbisik.
“Ssttt....!” Bu Sin mencegah,
namun terlambat. Kakek itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan
menghampiri pohon besar di mana mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali
tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang muda
pernah kuhargai seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.”
Tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan.... “kraaakkk!” batang pohon itu remuk
dan tumbanglah pohon yang besar tadi.
Bu Sin dan dua orang adiknya
bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut bukan
main. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan melompat turun sebelum mereka ikut
roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka
menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap menghadapi kakek
sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun, namun mereka
bertekad untuk melawan mati-matian.
“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri....
tak tahu diri....!” Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang, bagaikan
seekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan
Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.
“Tranggggg!” Tiga batang pedang
di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka,
sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok
yang tertawa berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”
Bu Sin dan dua orang gadis itu
terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan, sehingga mereka diam tak
bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan
maut. Pada saat itu, terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di
seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa
mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka
menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga.
Biarpun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat
telinga terasa sakit sekali.
Kakek itu kelihatan terkejut
pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak
menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga
orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan
tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.
“It-gan Kai-ong! Kau bersama
Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek Siansu dah
merampas kitab dan alat khim. Biarpun Bu Kek Siansu tidak peduli dan
mengampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab
dan nyawamu!”
Tak lama kemudian, tampaklah
oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya punggungnya saja.
Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling, berjalan perlahan.
“Dia bersuling....” Bu Sin
teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng
sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jaarum. Orang itu berjalan
seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar senjata-senjata
rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw
dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang
itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua
senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar kemudian ia lenyap di
balik pepohonan.
“Mari kejar....!” Bu Sin
berkata.
“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak
mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.
Bu Sin maklum akan hal ini, akan
tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening. “Lin-moi, kenapa kau tadi
tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”
“Belum tentu, Sin-ko. Apa
buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa
memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”
Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng
membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah mencela. Kalau
dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak memakai aturan? Jelas
bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kita, perlu apa kita
memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus dapat membalas dendam!”
Lin Lin menarik napas panjang.
“Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku untuk
membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu
pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia
itu orang baik, maka memusuhi kakek pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong
tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah
terhadap orang baik-baik, bukanlah lebih celaka lagi?”
“Dia bersuling, dia lihai, tidak
salah lagi.” kata Sian Eng.
“Kalau memang dia musuh kita
kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari
tempat ini!” kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya
dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan
perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.
***
Enam orang laki-laki sederhana
itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah pemburu-pemburu
binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di
dalam hutan besar membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil
bercakap-cakap.
Tiba-tiba mereka berhenti bicara
dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak panjang, dan mata
mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara
mencurigakan. Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian mereka
merunduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan
hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan binatang buruan
yang kemalaman di situ.
Akan tetapi mereka keliru. Suara
yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh tiga
orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api
unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para
pemburu, yang berjenggot pendek, pemimpin rombongan pemburu enam orang ini,
tertawa dan disusul oleh teman-temannya.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin
terkejut, cepat menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan itu,
tangan meraba gagang pedang.
“Ha-ha-ha, harap Sam-wi
orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu binatang biasa,
bukan perampok,” katanya.
“Cu-wi mengagetkan saja, muncul
begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin setengah menengur.
“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi
sedang bercakap-cakap di sana, mendengar suara Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami
kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi
ini berada di hutan liar?”
“Kami adalah
pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan
kami kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian.”
“Ha-ha, tidak mengapa.... tidak
mengapa.... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi
yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan
tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita
membuat api unggun di sini saja.”
Mereka membuat api unggun besar
dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kaulanjutkan dongengnnu tentang Suling
Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain.
Laki-laki berjenggot pendek itu
berkata sungguh-sungguh, “Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri
pernah ditolongnya. Sungguhpun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu
manusia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya.”
“Ceritakan.... ceritakan....!”
teman-temannya mendesak.
Bu Sin bertukar pandang dengan
dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam orang yang
mengaku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling
Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik
perhatian. Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling?
Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguhpun mereka memilih
tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap waspada
menjaga segala kemungkinan.
“Terjadinya di hutan
Hek-yang-liu (Cemara Hitam),” pemburu she Tan itu mulai bercerita, “kurang
lebih tiga bulan yang lalu. Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku
memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit,
dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di kota Wu-han.”
“Kau memang tabah sekali,
Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang temannya.
“Aku sudah biasa berburu ular,
cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku
sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ke
tiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat
ekor harimau yang langsung menyerangku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan
dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan tetapi
bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus? Agaknya
mereka berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha seekor
harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau jantan
yang tua telah menubruk dan menerkam pundak kiriku. Aku melepaskan tombak,
mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat menusuk dada berbulu putih di
atas mukaku itu, harimau ke dua sudah menggigit pangkal lengan kananku
sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya
lagi....”
Lima orang pendengarnya menahan
napas. “Twako, kukira apa yang dapat kaulakukan hanya berteriak mint atolong,”
kata seorang. Kata-kata ini kalau diucapkan pada suasana yang tidak sedang
tegang tentu terdengar lucu.
“Hutan itu sunyi, minta tolong
apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai seorang
pemburu!” bantah pemburu she Tan dengan suara gagah. “Akan tetapi agaknya
belum tiba saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan,
pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking
tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakan-akan
kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam
keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang memegang suling yang
berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat daripada
benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh ketika empat
ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu
bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat
diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi....”
“Lalu bagaimana, Twako?” Lima
orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh
perhatian.
“Entah berapa lama aku pingsan,
aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor harimau
menggeletak di sana-sini. Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut oleh
robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri
lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau itu
pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging harimau
yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar kulit harimau yang utuh
dan indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian
besar.”
“Jadi yang menolong itu adalah
Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun belum
pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”
“Agaknya begitulah. Siapa lagi
kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak kulitnya?
Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan Si Suling Emas?”
Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan
dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. “Twako, siapakah
sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong
orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin
bertanya.
Pemburu she Tan itu tersenyum.
“Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib seperti dia itu tak
dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh.
Pernah aku mendengar betapa gerombolan perampok di muara Sungai Yang-ce
sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh olehnya.”
“Kabarnya dia pernah
menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai.
Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan
tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata
seorang pemburu yang berhidung besar.
“Juga ketika terjadi geger di
kota raja karena hilangnya burung hong mutiara milik permaisuri, orang-orang
mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah
tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno.
Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang
kaulihat?”
“Aku hampir pingsan dan
gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang
mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya
seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya.
Tentu dia seorang pelajar.”
“Dan pandai bersuling.”
“Suka menolong orang, suka pula
membunuh, suka mencuri....”
Macam-macam suara para pemburu
ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak
seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia
berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang
muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu
Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi berwarna hitam.
Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu membelakanginya.
Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.
“Sudahlah, apa pun dia, terang
bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Tidak baik kita
membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang
bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang
baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah....” Pemburu she Tan
itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua lengannya dekat api.
“Betapapun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran
karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”
Sebentar kemudian, keenam
pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar
sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar kesemuanya
tidur? Tidak menjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat
baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang
agaknya tidak nampak lelah. Mendongkol hati Bu Sin. Kalau mereka menganggap dia
dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan mereka, ia tidak sudi. Ia
mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun
sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.
Menjelang tengah malam, keadaan
amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun.
Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun, amatlah hebat.
Mulailah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang
kang-ouw dan malah mereka secara tidak seng4ja telah terjun ke dalam permusuhan
dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau dirajai oleh seorang
tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama ini takkan mudah
terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dan menjauhkan
diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat
api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol kduar dari tanah.
Tak baik melakukan perjalanan
dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biarpun mereka berdua memiliki kepandaian
tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak mendatangkan dan
memancing keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan kakaknya, Kam Bu Song di
kota raja dan besar harapannya pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun
lebih tua daripadanya itu telah mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia
harus menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan
melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.
Lewat sedikit tengah malam, Lin
Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar
suara adiknya, Sian Eng juga bangun mengulet dan menguap.
***
“Biarlah aku yang berjaga,”
katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin, kasihan melihat
dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan
kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.
“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun
manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan
Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api
unggun sehingga keadaan menjadi hangat.
“Biarlah kita bercakap-cakap
dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau
kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”
“Sin-ko, jangan khawatirkan hal
yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andaikata tidak ada di sana
pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah
Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung
Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota raja. Nah,
tenang dan tidurlah Sin-ko.”
Bu Sin tersenyum. Adiknya yang
sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya memang ia tidak
perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan
hal yang sudah dihadapi sckalipun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus
dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.
“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba
tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu merebahkan tubuhnya,
miring menghadapi api unggun.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri
dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu
masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk
telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik
kesakitan, betapapun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan. Akhirnya,
tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking
itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada
adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak tangan ke
telinga, meramkan mata dan bersamadhi, mengerahkan lwee-kang untuk menjaga isi
dada yang terguncang hebat oleh suara itu.
Dapat dibayangkan hebatnya suara
itu karena biarpun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lwee-kang
masih saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka
gemetaran. Akan tetapi berkat lwee-kang mereka, tiga orang muda itu dapat
mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.
Hanya sepuluh menit kurang lebih
suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka menurunkan
kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mufakat
bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih ingat akan
suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika mereka terancam oleh
It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah mengerikan.
Sampai pagi tiga orang muda itu
tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga, siap
sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan untuk mempertahankan
diri mati-matian biarpun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan
tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang mencekam itu segera dipecahkan
oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
“Mari kita segera pergi dari
sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan suara
hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak
terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”
Biasanya dalam perjalanan yang
lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau sungai
untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di
air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan
tergesa-gesa pergi dari situ.
“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”
Ketiganya memandang. Dari jauh
tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang
telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam. “Malas amat
pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.
“Mari kita lihat, agak aneh
sikap mereka.” kata Bu Sin. Ketiganya berlari mendekat dan tak lama kemudian
mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya enam orang itu
sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua telah
bolong sehingga tampak otaknya!
Tahulah mereka bertiga sekarang
bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka inilah, jerit ketakutan dan
kengerian.
“Ahhhhh....!” Sian Eng menutupi
mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat
merangkulnya.
“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia
sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.
“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin,
juga pemuda ini suaranya gemetar.
“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin
kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek
binatang buas.”
“Habis kau mau apa?”
“Kita kubur dulu mereka. Lupakah
kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong, terhadap orang
tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat
tak terurus harus menguburnya?”
Seketika wajah Bu Sin menjadi
merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena
ngeri dan seram. Mari!”
Sekarang Sian Eng telah dapat
menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk
menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin
dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun
tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam
kuburan bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.
Hari telah siang ketika mereka
selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat hutan
besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka
tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan melalui
dusun-dusun.
***
Rumah makan itu masih sunyi.
Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya
sudah amat lapar. Maklum semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap
berbau sedap yang melayang keluar dari dalam dapur rumah makan menyerang
hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.
Hanya ada dua meja yang dihadapi
tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di
ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat
puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua orang,
agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini
gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur
panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di
punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata. Tadinya Bu Sin dan
adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang
pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu
tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok!
Bu Sin dan dua orang adiknya
belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan
rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han
hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang laki-laki yang nampak
gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami
isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang
siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ke tiga mengeluarkan sebuah cambuk
baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang ke empat yang agaknya
pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan
tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan
kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa
kalian,” kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri itu saling lirik.
Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu sampai
habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?”
Keduanya lalu makan terus dengan
tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok. Bu Sin dan adik-adiknya amat
kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka
bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah
tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han?
Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu
mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi
mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau
tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai
makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur
bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang
mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan
mudah mereka mengelak dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih
pada dinding.
“Bagus!” Pujian ini keluar dari
mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut,
menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan
di depannya itu. Matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, agaknya ia
gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan mereka
dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok
kosong ke lantai sambil meloncat dan begitu kedua tangan mereka bergerak,
kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang
pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat gerakan memutar
dan sudah berdiri saling membelakangi siap dengan senjata di tangan. Cerdik
mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri
berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan
gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa
kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si
pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si
pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari
berserabutan keluar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya menjadi
kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu
cukup tinggi, apalagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa.
Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak
dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya,
isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor
burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya. Pertempuran itu makin
lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu
rata-rata lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia
merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang
adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan
lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati
orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat
orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu
mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar
lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat
itu cambuk dari lawannya ke dua telah melayang dan melecut, dengan gerakan
cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!
“Roboh dia....!” Lin Lin berseru
perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum
karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam
permainan senjata maupun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak
tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berfihak
mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu
menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih meloncat
di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan.... seperti seekor ular
hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali
melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dari tarik-menarik sehingga
jalannya pertempuran di fihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki berjenggot
pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke
dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak
mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu.
Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung sabuk dan
cambuk yang saling libat sambil berkata.
“Tidak ramai kalau begini!”
Hebat orang ini. Sekali renggut
saja, libatan dua macam senjata itu terlepas dan kelihatan tangan kirinya tadi
bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian
setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki
berjenggot ini sudah meloncat keluar dari tempat itu.
Suami isteri yang menghadapi
pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya
laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam,
dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika
tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.
“Mari, ikuti dia....!” katanya
perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat
keluar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di
luar rumah makan.
“Sin-ko, buat apa kita campuri
urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah
melompat keluar, terpaksa ia pun mengikuti mereka. Mereka membayangi si jenggot
panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka
mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari
desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin
sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami
isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka memasuki
kota An-sui dan laki-laki itu setelah masuk kota kembali berjalan biasa. Kota
An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaw Sung,
apalagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ
banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang
berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian
depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu
tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah
mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”
Setelah berada di kamar
penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk
mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita
mencampuri urusan si jenggot tadi?”
“Kaulihat sendiri, tadi dia
mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau
mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biarpun aku kagum
kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan
tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula
siapa lawan-lawannya.”
Bu Sin menghela napas. “Kau
benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa
berfihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han,
seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi
amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut kening Lin Lin.
“Sin-ko, kau berfihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah
melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
Bu Sin tersenyum. “Waktu itu
belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan
pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak
membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berfihak kepada wilayah sendiri,
bukan?
“Adik Lin, kalau takut, malam
ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang
pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.
Lin Lin tidak marah, malah tertawa,
“Cici, kalau ada apa-apa terjadi
kapadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak
rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini,
siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin.
“Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar, ketika
masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
“Siapa lagi, suami isteri itu.”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik
dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana
perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu
mengambil sesuatu dari mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat
mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin.
“Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”
“Kurasa mereka tentu tahu.
Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan
ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata
Bu Sin, dan mereka bertiga pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah
keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan
Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia
pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu
diberhentikan daripada jabatan, akan tetapi mengingat bahwa ia masih
keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan daripada tugas.
Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota
An-sui, hidup sebagai bangsawan “pensiunan” yang kaya, memiliki gedung besar
dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma
Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan
merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau
mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Namun tidak demikian dengan
puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang lemah.
Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah
Si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun
kekuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong
sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka
dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam
mengadakan persekutuan untuk bersama-sama cari kesempatan baik dan kalau tiba
waktunya menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.
Suma Boan sudah berusia tiga
puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia terkenal jahat
dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang,
belum terhitung selir yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak
mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang
menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda maupun masih
menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang
berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya
terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw, ia bukan seorang yang tidak
dikenal pula, dengan julukannya yang amat tekebur, Lui-kong-sian (Dewa
Geledek)!
Suma Boan hanya mempunyai seorang
saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma Ceng, berusia dua
puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan
kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum betapa jauh
bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di kota raja itu dengan
Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus tutur sapanya, lemah lembut dan
baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para pelayan.
Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan
dengan Suma Boan.
Malam hari itu, di ruangan
sebelah dalam dari gedung keluarga Suma, terdengar suara ketawa gembira.
Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang
yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah
Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki
berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
“Ciok-twako, kali ini
benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan secawan
arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.
Si jenggot panjang yang bernama
Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata, “Kongcu
(Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat
itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki
semata-mata dan kemurahan hati Ongya yang telah menurunkan beberapa ilmu
pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan saya kembalikan kepada Kongcu
den terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah
It-gan Kai-ong sambil membungkuk.
“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut
menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan agaknya kau
akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita
minum sepuasnya!” Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang
pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang
amat dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat
guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.
“Jangan khawatir, Suhu. Surat
yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini
tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan
berterima kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu
pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan
Sung, biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka.
Bukankah begitu, Suhu?”
“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal
itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang
tak sanggup kauhadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”
“Siapakah orangnya di dunia ini
yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih dulu.
Bukankah begitu, Ciok-twako?”
“Betul-betul, kepandaian Ong-ya
seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita
yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.
Sementara itu, tiga bayangan
berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini bukan lain
adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan gin-kang, mereka dengan
hati-hati sekali berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka
mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.
“Lin-moi, kau menjaga di sini,
aku dan Cicimu mengintai,” kata Bu Sin.
Kakak beradik itu lalu
menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa
mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung
pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor
kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang
kakaknya itu.
Adapun Bu Sin dan Sian Eng dalam
keadaan bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela, bayangan
tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil
macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang perak,
sudah lama mereka menjadi bangkai.”
Suara ini membuat Bu Sin dan
Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan
mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati
penggebuk!
“Suhu dan Ciok-twako duduklah
dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak boleh
dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”
“Ho-ho-hah, kalau kau melihat
dua orang gadis itu tentu kau akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak
butuh hal itu lagi. Pergilah!”
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam
yang jangkung melompat keluar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan
tetapi sia-sia Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas
genteng lagi. Bukan main heran dan khawatimya ketika mereka tidak melihat
adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu?
Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada
saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah
melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri
seorang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan
berhidung panjang. Muka yang tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki
ini tersenyum mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan
tetapi sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan
senyumannya melebar.
“Melihat wajah temanmu, nyawamu
kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk menemaniku
semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu
kepada Bu Sin. Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar
kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas rumah orang
dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan kesabarannya
dan berkata.
“Harap kau suka menahan mulutmu
yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari
tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki
berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah
maafkan kami dan kembalikan adikku.”
Mendengar disebutnya laki-laki
berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia
tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian
mata-mata!” Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali. Bu
Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan
tetapi pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang
hebat, yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara
It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan
tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat
betapa dua orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh
dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa
saktinya raja pengemis itu.
Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan
main. Tubuh mereka tak dapat dicegah lagi terlempar ke bawah genteng dan
biarpun mereka dapat mempergunakan gin-kang untuk mengatur keseimbangan badan
dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau
saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang,
kiranya yang menolong mereka itu adalah suami isteri yang dikeroyok di rumah
makan pagi tadi!
“Adikku masih di atas....” Sian
Eng berkata.
“Sssttt....!” wanita yang tadi
menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam gelap.
Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian
Eng seketika pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh
mereka?
Bukan hanya Suma Boan yang kini
berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan ke dua, bayangan mahluk yang mengerikan
sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam!
Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar
kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari
pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di langit.
Agaknya suma Boan juga kaget
melihat mahluk ini, terdengar ia berseru keras, “Suhu.... Hek-giam-lo di sini!”
Akan tetapi tiba-tiba ia
terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap
dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari
bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan
lari kau!”
Suma Boan tidak terluka hebat.
Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan
dengan suara marah ia berseru.
“Celaka....! Hek-giam-lo
keparat, surat itu diambilnya....!”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang
terjadi....?” Bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu!” kata
Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya, ketika
mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata
apa-apa aku didorong roboh dan ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini
dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat,
bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan
Hek-giam-lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah
khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya
kembali?”
“Belum tentu.... belum
tentu....!” Suma Boan menggeleng kepalanya, “dia lihai sekali. Heran aku,
siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan
menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun diikuti oleh si jenggot panjang,
Ciok Kam, masuk ke dalam gedung. Sebentar saja para pelayan menyambutnya,
keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di
atas genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak, “Tidak ada apa-apa, mundur
semua!” Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur
ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan
Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung
memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam
gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas
pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa kalian
sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biarpun kalian anak-anak keluarga
Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita
berpisah di sini.”
“Nanti dulu....!” Bu Sin
mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini?
Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini,
tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau
takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin,
seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak
seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami.... hemmm, cukup kauketahui
bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han.
Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Berbahaya!”
Setelah berkata demikian, suami
isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap. Bu Sin dan Sian Eng saling
pandang, mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi
mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk dapat
mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan
menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja
sudah terlalu berat bagi mereka, apalagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada
jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat
itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah
mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega
hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam
sebuah kertas berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah
dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia sendiri
saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat
pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang,
lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin
“kakek gundul” itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami
isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun
Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan “ketemu batunya”
kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang
mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu
kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia diberi petunjuk orang sakti
akan jejak musuh besar kita, baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan
selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko?
Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah
minggat mana kita mampu mengejarnya, apalagi sekarang bersama seorang sakti.
Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya
akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai
seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman
dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui,
menuju ke kota raja.
***
Apakah yang terjadi dengan Lin
Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita ketahui,
ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara
menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng
sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian
Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.
Akan tetapi, selagi ia
kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan
oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan
terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak
tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu
tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin
terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan
berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak
terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia
“terbang” dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia
tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.
Entah berapa lama ia berada
dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya dan
ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh, untung kau tidak
menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh, ke
kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak
seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar.
Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur,
takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang
diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar
membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh,
aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apalagi kau bocah
ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu tepat di belakangnya,
maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi
(Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja
mengerahkan gin-kangnya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong,
tidak ada bayangan, apalagi orangnya!
Suara itu masih terkekeh-kekeh,
“Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku,
heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain
kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia
yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biarpun
seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat
mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran
dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari
berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan
di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa
di belakang, kanan dan kirinya!
“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor
anjing hendak menggigit buntut sendiri berputaran. Heh-heh.... lucu....
lucu.... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar....!”
Tentu saja Lin Lin tidak sudi
berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia
menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau
setan minggat dari sini, aku tidak butub setan!” bentaknya sambil bertolak
pinggang.
“Heh-heh, lebih baik jadi setan,
biarpun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau
tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui
kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal
lebih jahat dan kotor daripada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di
belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya
dan.... tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku
tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku di sini, lihat
baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang
matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang.... tubuhnya
pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja
tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu
tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar
seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal
sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya
panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga
area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Melihat orang seperti itu
anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan
apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung
wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran apa yang
harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang
Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman
It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau
tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku
sudah belajar ilmu gin-kang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam
dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti
kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi lautan!
Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu
bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat,
kau namakan itu ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”
Panas perut Lin Lin, bibirnya
cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa,
memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian
hatinya. “Dan pedang itu.... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa?
Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk
itupun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut
tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya.
“Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong....!”
Kakek itu tiba-tiba meringis,
memperlihatkan isi mulutnya. Hebat giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin
sendiri. “Kaulihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau
meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”
Geli juga hati Lin Lin. Memang
gadis inipun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah
tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia
tertawa juga. “Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”
Kakek itu kelabakan. “Masa? Ah,
mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong....!”
Tampak oleh Lin Lin kakek itu
mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu
gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk
kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu
merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu
sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya
dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya
sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan
main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya
sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki
kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!
“Kek, mengapa kau menolong aku
dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?” akhirnya dia
bertanya.
Kakek itu mengomel, “Gigiku
putih.... tidak kuning....!”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning,
memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan
tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa
lagi. “Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang!”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu
sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti.... seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang
putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan
sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat
mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di
tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan
mau apa kau membawa aku ke sini?”
“Karena kau cantik, seperti
anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di
hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di.... mana, ya? Sang
Sutradara sudah lama membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia
tidak MAIN lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin.
“Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab,
melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi, karena itu
aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu
agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama
dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak
salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh
ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua
matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang
hidungnya sendiri. Apalagi memandang giginya! Betapapun juga, ucapan ini
menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak
keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak
pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena
ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu
karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar
kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan
tidak percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan
hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
“Kau betul-betul hendak
mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat
membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di
dunia ini yang lebih besar daripada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
“Sayang, aku sendiri tidak tahu
Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh
orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa
musuh besar itu bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat
tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak
memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di
depannya lagi. “Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang
tuamu?”
“Orang tua angkat, Kek. Ayah
angkatku namanya Kam Si Ek....”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal
Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Kakek itu menggeleng kepalanya.
Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga
bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. “Aneh tapi nyata. Mungkin sekali
Suling Emas....”
Jantung Lin Lin berdegupan.
“Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau
betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”
Seketika kakek itu memandang
kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil
memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa. Lin Lin
marah. “Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau
tertawa, gigimu kuning....!”
Seketika kakek itu berhenti
tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti.... seperti....”
“.... seperti kapur!” kata Lin
Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”
“Kau hendak bertanding dengan
Suling Emas? Aha, biar kauperas dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau
bisa menang.”
“Tidak peduli. Aku akan
menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku
kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”
“Betul, betul! Kita sebangsa,
sesuku, aku akan bantu aku. Awas dia kalau berani ganggu kau!”
Senang hati Lin Lin. Ia
berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan satu-satunya untuk membalas budi,
hanyalah membalasken dendam kduarga itu.
“Tapi aku tidak bisa
meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan
mencariku ke mana-mana.”
“Kalau Jenderal Kam ayah
angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?”
“Ih, jangan gitu, Kek. Biarpun
saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung
sendiri.”
“Baiklah, mari kau bonceng di
punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”
Lin Lin maklum bahwa kakek itu
adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa
ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan
di saat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena
tubuhnya segera melayang seperti terbang cepatnya!
Setelah menulis sepucuk surat
untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama kakek
itu.
Mereka kini berjalan dan
bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat
betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak
pernah tertinggal.
“Kalau merayap seperti keong
begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu bersungut-sungut.
“Kau maksudkan sampai di tempat
Suling Emas, Kek?”
“Di mana lagi? Bukankah kita
mencari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk
menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin
merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat daripada biasanya.
Menjelang pagi mereka berhenti
di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi hutan.
Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan
membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.
“Heh-heh, bagus di sini. Kita
main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi
tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas
sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon.
Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.
Melihat kakek itu main ayunan
sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek, katanya hendak mengajar
ilmu kepadaku?”
“Aku sedang mengajarmu sekarang.
Kaulihat baik-baik!”
Lin Lin mengerutkan alisnya.
Celaka sekali, kakek ini main-main selalu. Masa ia akan diajari main ayunan?
Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat
lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika
meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini seorang
sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja, dan
hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak
bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti anak
kecil.
“Kek, kau ini sebenarnya
siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”
“Heh-heh, aku pun belum tahu
namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?”
Lin Lin tidak mau pedulikan lagi
filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu. “Kek, namaku Lin, sheku tentu
saja....” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek itu sudah
mendahuluinya.
“.... tidak ada karena kau bukan
she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah
namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.” Ketika tangannya
bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut
gelang bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis
tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik
baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap
lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.
“Namaku Roda Emas, memang hidup
ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau sudah
memperhatikan pelajaran ini?”
Lin Lin terkejut, juga geli
mendengar ia dipanggil “A-lin”. Ketika mengeluarkan sepasang roda atau gelang
tadi, amat cepat. Akan tetapi apakah benda-benda itu mcrupakan senjata?
Andaikata dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada
hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi pelajaran?
“Pelajaran yang mana, Kek?”
“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus,
seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota! Lihat
baik-baik!”
Lin Lin melihat baik-baik. Baru
sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun sembarang
berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai
mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorohg.
Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang
terayun ke belakang maupun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan
mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.
“Nah, kau sudah lihat sekarang?
Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan
Kosong Selaksa Kati). Biarpun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati
biarpun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat
tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan
menjadi lamunan kosong lagi.”
Mulailah Lin Lin menerima
gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang
jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari
perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh
perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu
meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw dan biarpun tidak ada
orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak
pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu
yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te-liok-koai, Si
Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap
Kim-lun Seng-jin.
Pada masa itu, dunia kang-ouw
hanya mengenal Thian-te-liok-koai dan para ketua partai persilatan besar
sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas
sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh
rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya
penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu
Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal
dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling
tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah terdengar
ada tokoh yang melebihi kesaktiannya daripada kakek ini.
Lin Lin boleh dianggap beruntung
dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini selamanya
tak pernah mau menerinna murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan
ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan
lwee-kang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu
silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong Mengurung Gunung). Kim-lun
Seng-jin agaknya takut bertemu orang, ia membawa Lin Lin merantau ke
gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir sungai
yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja seorang lagi kakek
tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah
karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah
serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang
lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu dengan panggang daging
binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti
dalam dunia persilatan.
Ternyata Kim-lun Seng-jin amat
luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah ia
mengenal pula ayah Li Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan
baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek
itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.
“Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu
itu seorang yang keras hati, seorang perajurit sejati yang jujur dan setia.
Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah yang mombuat ia
dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah
menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri hati Liu Lu
Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik Beracun).”
“Lalu bagaimana, Kek?” tanya Lin
Lin, dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu Bu Song
yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam yang telah
bercerai dari ayah angkatnya.
“Entah bagaimana selanjutnya aku
tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan. Setan cantik
itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti, seorang
berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja di
Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak setuju puterinya
menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian amat keras hati
dan nekat, orang tua itupun tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kedengar
hubungan antara ayah dan puterinya ini menjadi putus. Selanjutnya entah.”
***
Lin Lin tahu selanjutnya. Liu Lu
Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu Song dan yang
sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah angkatnya.
“Di mana sekarang adanya Liu Lu
Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”
“Heh, mana aku tahu? Bukankah
Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”
“Bukan. Dia sudah bercerai lama
sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi pula, entah ke mana.
Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di
mana dia sekarang?”
“Mana aku tahu? Dia orang yang
amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya lagi.
Pula, aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia
orang.... hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam
juga kalau berhubungan dengannya.”
Daging itu sudah matang. Kim-lun
Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha kelinci
yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.
“Wah, kau hebat! Heran aku,
kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih? Tanganmu
memang luar biasa!” katanya sambil menikmati daging panas. Lin Lin tersenyum.
Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan
garam dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan di hutan
itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan ini
tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.
“Aku sudah masak seenak-enaknya
untukmu, tapi apa balasanmu?”
“Ihhh, bukankah aku setiap hari
melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”
“Segala Ilmu Khong-in (Awan
Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai menghadapi
musuh besarku, Si Suling Emas?”
Kakek itu mencak-mencak, tapi
masih menggerogoti daging, “Kaupandang rendah sekali, ya? Hendak kulihat,
kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan kedua mataku!
Jangan kau main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih
sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan mampu mengejarmu, tahu?”
“Jadi, aku hanya akan mampu
melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri kalau
bertemu orang sakti?”
“Heh, apa kaukira hal itu tidak
perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa artinya
pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan
Khong-in-liu-san itu, jangan kaupandang ringan. Dengan mempelajari ini,
sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali daripada yang
sudah-sudah, kau tahu?”
Tentu saja Lin Lin tidak percaya
akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga.
“Apa kaukira sekarang aku sudah
dapat melawan Suling Emas?”
Kim-lun Seng-jin membelalakkan
kedua matanya dengan alis diangkat.
“Enak saja bicara! Melawan
segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kaukira orang macam
apa Suling Emas itu?”
“Orang apa sih dia? Bagaimana
kepandaiannya?”
“Dia sih orang biasa saja, tapi
ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia orang yang seperti juga
aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu bekerja dengan diam-diam
secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling Emas, orang
muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah
dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh delapan
tahun ini.”
“Kenapa kau mengira bahwa
mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”
“Orang macam dia itu bisa
berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andaikata mendengar
pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh ketua
Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu
dibunuhnya karena ada kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu
terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?”
“Kek apakah dia benar-benar
lihai?”
“Dia hebat.”
“Kau takut terhadap Suling
Emas?”
Kakek itu mencak-mencak lagi,
tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot
sumsumnya. “Takut apa? Kim-lun Seng-jin tidak pernah mengenal takut.”
“Kalau begitu kau berani
melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?”
Kakek itu duduk kembali, menarik
napas. “Jangan kaukira bisa mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau
dia mengganggumu, aku akan turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan
apakah aku akan menang. Betapapun juga saat ini ingin aku mencoba
kepandaiannya.”
Girang hati Lin lin. “Kalau
begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di
sana, bukan?”
“Kira-kira begitulah. Akan
tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja nanti,
di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih
lagi ilmu pukulan itu.”
Demikianlah, sambil melakukan perjalanan
mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu silat oleh Kim-lun Seng-jin dan
tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin meningkat dengan cepat. Gadis ini
sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar,
melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu yang mereka pergunakan
untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih panjang, perjalanan menjadi
amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat demikian karena ia ingin melihat
Lin Lin dapat melatih diri sampai matang dalam ilmu silat itu sehingga
keselamatan Lin Lin dapat terjaga. Sering kali, di waktu mereka tidur dalam
hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu
menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar.... serupa
benar....”
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin
yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok
keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui,
menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah
mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.
Dua orang ini melakukan
perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan
mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah
keduanya agak muram wajahnya, karena biarpun Lin Lin hanya seorang adik angkat,
namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut
keningnya. Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab
atas keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana.
Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung
jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song,
maupun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi
surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan
suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang
sakti, hatinya menjadi agak lega.
Kota raja Kerajaan Sung tidak
jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja Bu
Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya
di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas
Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang keadaan
kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek biarpun
bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah Kerajaan Sung
karena pada masa itu, Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih
termasuk wilayah Sung.
Oleh karena pernah mendengar
tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja, Bu Sin dan adiknya merasa
gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa
yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka
berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan
mereka, bertanya ke sana ke mari, tentang diri seorang pemuda bernama Bu Song,
she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru mereka
betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan menggunakan she
Liu, yaitu she ibunya.
Orang pertama yang mereka tanyai
adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon pengikut ujian
seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin
selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari keterangan. Tidak
ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan tentang seorang penempuh ujian
belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru sastra yang sudah tua.
Akan tetapi guru sastra itu
menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh menyesal aku tidak ingat
lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu, dan
semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu orang
pelajar yang menempuh ujian.”
Bu Sin dan Sian Eng kelihatan
kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia ingat
betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan
Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat ditemukan, sekarang malah
kehilangan seorang adik dan mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak
mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian
pada empat belas tahun yang lalu!
Pada saat mereka hampir putus
asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih ada satu jalan untuk
mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat sebagai
kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui.
Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena kurasa
pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu
beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”
Wajah kakak beradik itu berubah
dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di
An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin
lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka
dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat merasa bingung dan
tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Setelah keluar dari rumah kakek
guru itu, Bu Sin menarik napas panjang.
“Apakah kita harus pergi ke rumah
itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang berada di
sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan
memasuki gua naga dan harimau?”
“Sin-ko, dengan mereka kita
tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat
menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu
pangeran tua itu mengerti di mana adanya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya
dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apalagi orang
lain?”
“Dengan keluarga Pangeran Suma
memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong
yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”
“Bukankah dia sudah memaafkan
kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat,
kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”
Akhirnya Bu Sin mengambil
keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong
kepada Pangeran Suma Kong. Apapun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena
ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari
Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”
Hanya semalam mereka di kota
raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke An-sui
dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang,
mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di
suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar tegang
ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada Pangeran Suma
bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan yang besar.
Akhirnya pintu terbuka dan
alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang
pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung
bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat
malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya
ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan hendak
menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu
tersenyum-senyum. Di belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki
tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga bahwa mereka adalah
perajurit-perajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi
isyarat dan belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda
itu membalas penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.
“Menurut laporan pelayan, Nona
dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur
siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan
saya, karena semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperluan
Ji-wi datang menghadap Ayah?”
Karena bagi Bu Sin sama saja,
baik Pangeran Suma maupun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang
kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat.
“Maafkan kalau kami mengganggu
waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran
Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini,
kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”
Wajah Suma Boan berubah ramah,
tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke
arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu.
“Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang kami
lakukan?”
“Begini, Kongcu. Kami mencari
seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat
belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa
Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi
keterangan kepada kami apakah beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu
sekarang.”
“Siapakah namanya pelajar itu?
Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan
tentang pelajar.”
“Pada waktu itu, ia memasukkan
namanya sebagai Liu Bu Song....”
“Bu Song....?” Suma-kongcu
kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya
terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.
Bu Sin dan Sian Eng kaget
melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang
menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya, “Dia
adalah kakak kami....”
“Bagus....!” Suma-kongcu
melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah
mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu,
adik perempuan hemmm.... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!”
Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat
sekali. “Tangkap mereka!”
Bukan main kagetnya Bu Sin dan
Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa menanti
lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun
gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang menyambar
ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak melakukan
serangan. Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka
menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma
Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin
terhuyung mundur dan Sian Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian
Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan
Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu
berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan
memondongnya.
“Lepaskan adikku!” Bu Sin
membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan.
Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma
Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi
pedang Bu Sin mengejar terus.
Pada saat itu, para pengawal
sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya.
Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan
orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biarpun dikeroyok, baru
tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh
terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu
pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat.
Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke
atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil
membentak.
“Mundur kalian, orang-orang
tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”
Para pengawal menjadi lega hati
mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan mereka yang
terluka. Adapun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan
menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong
adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.
“Orang jahat she Suma! Apa
kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”
“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu
musuh besarku. Menyerahlah!”
“Sebelum mati takkan menyerah.
Lihat pedang.”
Suma Boan tetap tertawa sambil
mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah bergerak
menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini
menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat
(silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan
Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran
ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalau beberapa tingkat! Tidaklah
mengherankan apabila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan
Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh,
kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan
segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang
marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan
pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik
orang-orangnya. “Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm,
orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian
gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.
Suma Boan menengok ke arah dipan
dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis
yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini
tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!
“Keparat, di mana dia....?” Suma
Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang matanya
melotot, mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan
sebagai ganti gadis cantik itu. Benda ini adalah sebuah bendera kecil,
gagangnya dari kayu hitam menancap pada dipan, benderanya berbentuk segi tiga
berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang
sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!
“Hek-giam-lo....!” bibir Suma
Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi, “lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu,
keparat....!”
Akan tetapi ia maklum bahwa tak
mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya.
Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang!”
Para pengawal menyeret tubuh Bu
Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang.
Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang
menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.
Bu Sin sudah siuman, maklum akan
bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa,
sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang
berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.
“Orang she Suma!” Kata Bu Sin
dengan juara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan
tetapi kaukatakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai
adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah,
kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu,
manusia rendah.”
“Ha-ha, kematian sudah di depan
mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan dan sekali ia meroboh saku, ia telah
mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”
“Siapa takut mati? Seorang gagah
sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam
kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau,
agar aku tahu untuk apa aku mati.”
“Bu Song seorang jahanam besar.
Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian
karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik
sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu
akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik perempuanku. Dia
sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan seratus kali, tapi
agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau
mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya
datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang
barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas himpas hemmm....
kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”
“Di mana adikku, Sian Eng?
Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan
menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kaubebaskan adikku. Dia wanita, tidak
bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”
“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak,
kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai
habis, berikut bunganya.”
Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi
ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk orang macam
ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apapun yang akan
dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian
Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk
membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.
“Pengecut, siapa takut
ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.
Tangan kiri Suma Boan bergerak
dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa
nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah, berkedip pun
tidak pemuda perkasa ini.
“Kalian lihat, semua anak panah
ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus
dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga
malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok
pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.”
“Baik, Kongcu, hamba sekalian
akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak para pengawal
menjawab sambil memberi hormat.
Dengan senyum keji dan mata
berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan kedua
tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha
kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan den pundaknya masih dapat ia
pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar
dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya,
hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau
ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah
lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan
hati sekali.
Suma Boan tertawa-tawa mengejek,
lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya
membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena
sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus
mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lwee-kang amat kuatnya.
Namun sakit di hatinya lebih hebat.
“Jaga baik-baik, awas, jangan
sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya.
Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan
mereka.
Setelah kongcu itu pergi, para
pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang
di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa
penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah,
dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.
Bu Sin merasa seluruh tubuhnya
sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang. Akan
tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan
percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia
sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya.
Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya,
kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan
ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya
lenyap pada malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan?
Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti
juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?
Tiba-tiba matanya terbelalak
kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun tetap
saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu
para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang,
tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti main
sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki
tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu
tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan
tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu Sin sadar kembali, ia
mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di bawah
sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih bernyala,
akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk,
memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang
dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi.
Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera
dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah
yang dicoret-coret merupakan huruf-huruf.
ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU
BERUSAHA MENGEJARNYA.
Bu Sin terduduk kembali. Agaknya
orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat ia
siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan
pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia.
Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan
ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia
merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara
bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan
penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian
Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia
teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu
terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika
mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka
terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking
tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang
mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama
Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang
disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia
tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!
Bu Sin termenung, bingung karena
tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama
Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang
adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang.
Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk,
disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Dengan pikiran bingung dan
gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan
karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi
terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya.
***
Ke mana lenyapnya Sian Eng yang
tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak
terbaring di atas dipan? Gadis ini biarpun sudah tak dapat bergerak karena
jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun
ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia
berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lwee-kang untuk membebaskan
diri daripada totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah
bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan nitam
berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu.
Demikian cepatnya gerakan yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat
orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong dan karena masih dalam
keadaan tertotok, ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang
pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi
mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian
hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan
juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya,
musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik.
Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, cepat sekali larinya seperti terbang
saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu
menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas daripada
totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia
menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka
pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang
itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya mdalui kedua pundak pemondongnya, ia
terkejut dan merasa ngeri. Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat
kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas,
juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di sana, di
dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang
terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya
hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak. Ia dibawa
memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan.
Terowongan yang gelap sekali. Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah
ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari
dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang,
akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali
membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang amat
tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat
bergerak lagi cepat menoleh dan.... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak
lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata
terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi.
Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan
karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah
manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak
hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang
kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat
seperti itu, yakni di bawah tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti
ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit
ketakutan.
Kemudian mahluk itu yang berdiri
tak bergerak seperti patung, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun
seperti dari jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia
hidup, “Nona datang dari Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri
Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian,
Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya
yang bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah untuk membasahi
kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang aneh
dalam pandangan Sian Eng. Mahluk itu, yang kini ia dapat menduga tentulah
seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya
berlutut di depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri!
“Aduhai Sang Puteri....
bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri,
bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba
mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi....
ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti
untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai di sini, si kedok tengkorak itu
lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian
Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa
kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara
tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya
Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia
ikut pula menangis!
Kedok iblis itu segera
membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, “Wahai,
Paduka Puteri junjungan hamba...., betapa bahagianya hati hamba, betapa
bahagianya rakyat kita, setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak.
Kini Paduka telah muncul, bagaikan Sang Matahari muncul untuk mengusir awan
hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan
membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak
Paduka....”
Tentu saja Sian Eng makin tidak
mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya
maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip
tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu.
Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan
kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus, “Mohon perkenan
Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil.
Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan
ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum
bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya. Ia hanya mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah
ia berkata lirih, “Pergilah....”
Tampak bayangan hitam berkelebat
dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok
kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi
peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya bukan manusia si kedok
tadi, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai
menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan bongpai
(batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya
panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya
hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya
putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar
mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir merah itu orang
akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang
matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan
bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal
wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita
ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan
suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak busuk
bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak
lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk.
Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja ucapan ini membikin
marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan
setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget
setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk
seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan
tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya
Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan
tangan kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo tengkorak busuk!
Hayo lekas kauserahkan padaku surat yang kaucuri dari gerombolan It-gan Kai-ong
si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo tidak menjawab akan
tetapi segera melompat keluar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah.
“Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita
tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat
penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang,
setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih
penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat
hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk! Kaukira hanya
kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan
negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot
segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa
sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela
Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang
berhak yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun untuk
itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur
setapak pun!”
“Hemmm, kau perempuan mau main
politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di
antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kaupertahankan nama itu dan jangan
mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet! Kau ini selamanya
pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo
kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di
kepalanya itu sudah bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang
paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan harum itu akan
menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan
tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman
maut yang entah sudah menewaskan nyawa beberapa banyak orang!
“Sin-ni, kau tahu aturan antara
kita. Surat ini kudapatken dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja
tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.”
Sambil berkata demikian,
Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan
sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan
Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan
kalbu, rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan
sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher,
pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga
merampas sabit!
“Uhhh!” Hek-giam-lo membentak,
surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah
menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang
bergulung-gulung dengan sinar sabitnya. Pada detik-detik berikutnya,
Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga
terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat
pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang
bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu bisa,
kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan
berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk
kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat.
Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka
untuk mencari lubang dan memasuki serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana
pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kaurampas setengah kitabnya? Hayo
keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno!”
ejek Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan
memutar sabitnya. “Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu
cerewet, rampaslah suratmu kakau kau memang becus!”
“Keparat, hari ini Hek-giam-lo
mampus di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka
bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan
jurus-jurus mematikan.
Sementara itu, Sian Eng ketika
melihat dirinya ditinggalkan sendiri oleh Hek-giam-lo, segera timbul
keberaniannya. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat
turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang tadi dibawa pula
agaknya oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang
gelap. Seberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan
simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian
Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya
menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah
lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan gin-kang dan melompat keluar dari
lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan
terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap
ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa
yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di
situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang
seorang adalah Hek-giam-lo, yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan.
Orang ke dua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara bertempur
wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan
gemuk hitam sebagai senjata!
Sian Eng tidak tahu apa yang
harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang
miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi
ia masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk
terhadap dirinya. Adapun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itupun
ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh
karena ini, Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan
kesempatan baik ini ia segera melarikan diri.
Akan tetapi Sian Eng benar-benar
keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu
bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu
saja melihat dia keluar dari lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri,
Hek-giam-lo mendengus.
“Sin-ni, lain waktu kita
lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”
“Hik-hik, tinggalkan dulu surat
itu, baru aku memberi ampun padamu!”
Sabit di tangan Hek-giam-lo
menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan
membalas dengan sambaran rambutnya.
“Keparat kau! Aku perlu sekali
dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.
“Aku pun perlu sekali dengan
surat itu. Sebelum kauserahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan
gadis itu. Hi-hik.”
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi
lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini. “Nah,
kaumakanlah suratmu!” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan
melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar
Sian Eng.
Adapun Siang-mou Sin-ni melihat
menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat
bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah
Nan-cao dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu
ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh
hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya
memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada di
depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu
amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja.
“Ih, tampan juga kau!” Siang-mou
Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih,
matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.”
Siang-mou Sin-ni menggerakkan
kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher patung. “Plakkk!”
Rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah,
gempil pun tidak.
Sepasang mata jeli bening itu
terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam,
masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia
menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar, merupakan
gumpalan yang cukup besar.
“Plakkk!” Kali ini tubuh
Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar
sehingga ketika terpental, lebih hebat pula terasa olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya.
Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang
berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki
kesaktian, hiiiiih, Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia
cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti
iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi
iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak
akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat
tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas
ketabahannya.
Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu
betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu
ia tidak akan lari malah akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut
panjang itu pergi, “patung” itu menarik napas panjang, melemparkan selubung
kain putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti
sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas! Seperti juga Siang-mou Sin-ni,
Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya
Hek-giam-lo.
Sian Eng sudah girang hatinya
dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya
terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya
aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan
tetapi, dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak
berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri.... Hek-giam-lo!
“Paduka hendak ke mana, Sang
Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan
pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo
berkata dengan suaranya yang menyeramkan.
“Tidak.... tidak.... biarkan aku
pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia
hendak lari.
Akan tetapi iblis itu sekali
berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan
pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda
keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari
seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil
ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
***
Lin Lin membanting-banting kedua
kakinya seperti anak kecil tidak dituruti permintaannya. “Kek, kau membohongi
aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana
dia? Sudah sepekan kita berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam
suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam
berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”
Kakek gundul pelontos itu,
Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding
yang sudah retak-retak, tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan
mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam
kuil yang gelap itu menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah
kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti
iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu
mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun
Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang
kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja
kita berkeliaran di kota raja ini, Kek?” Lin Lin kembali timbul marahnya dan
membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia
ini, semuanya berguna dan ada manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana
mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja,
bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu?
Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di
istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh,
sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati Lin Lin
lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga
perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari kita ke sana, Kek, ada
masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali!”
Kakek itu tertawa
terpingkal-pingkal agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan
aneh dari gadis remaja itu. “Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar.”
“Serupa siapa, Kek?”
“Serupa dengan orang yang sudah
tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur
yang selama hidupmu belum pernah kaumakan atau lihat. Akan tetapi amat
berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak takut!”
“Bukan soal berani atau takut,
melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama
dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba
kosong itu?” cela Lin Lin. Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut
ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya “serba
kosong”, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biarpun kau sudah menerima
pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai
matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya
dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang sore malam kausuruh aku berlatih,
tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat,
masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang
kurang terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini
tak ingat budi dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu
terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh,
bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu
kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutarbalikkan
kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi,
untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir
Khong-in-ban-kin. Coba kauperlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san
yang kaupelajari sambil mengerahkan tenaga dan gin-kang. Kau kurasa sudah
cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa
bayar!”
Lin Lin girang sekali, lalu
mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh,
ia terlalu keras menggunakan tenaga sin-kang dan “krakkk!” pedang yang
diayunnya patah menjadi tiga potong! Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun,
kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang gagang pedang
sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak
dan bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening,
mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus....! Kaulihat
sendiri, cucuku, dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah
menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau
mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut
ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri
sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap kemarahan Lin
Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu merangkul
pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”
Sambil tertawa riang keduanya
lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual
ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke
istana dan memasuki dapur istana. Memang, kesukaan kakek ini hanya makan, makan
enak, apalagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya
tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan omongannya
dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan
jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak
begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah
menjadi “langganan” tempat terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang
mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan
beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang
meronda pagar tembok, membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga Kim-lun Seng-jin
melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya
untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh
meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh
sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang
terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja
ia bisa memilih tembok yang mana saja. Diambilnya sebuah batu dan disambitnya
ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang
penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena sambitan batu
itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan
mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya
segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin, memberi isyarat kepada Lin Lin untuk
melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon
terdekat dengan tembok, ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga
melihat dari tempat yang tinggi itu.
***
Akan tetapi ia mengeraskan hati
dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa
lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah
hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih
kepada kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke
sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana. “Siapa tahu
di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi
bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi....”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di manapun juga.”
“Apa dia itu hebat sekali, Kek?
Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu menggeleng kepala.
“Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia
telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun
berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku.... aku tidak suka membuat nama besar,
bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari!”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan
Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara
seperti dua ekor kucing saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas
genteng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka
genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menytisup ke dalam, diikuti
oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan
perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang
sudah lama terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat
belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar. Lin Lin menjadi
geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari
daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap
masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh,
sedapnya....!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin
merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan
Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke
bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur
bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih daripada kamar
tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya
mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah
berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar.
Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci
dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tanpa bahwa isinya masih
panas.
Kakek itu sudah tidak mau
memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan
memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit
gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit
ini kewalahan melayani mulutnya yang melalap dan cepat menghabiskan segala yang
dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke
lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar
guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia
mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi
seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh
nikmat.
Lin Lin juga ikut berpesta-pora
sungguhpun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena
banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak
mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu
sebagai masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim
lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini.... wah, ini panggang ikan
lele!” Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui
bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat. Saking
gembiranya, Lin Lip juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras,
namun hangat di perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang
perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih
dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja
yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk
mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh, puas sekali ini.
Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin
Lin!” Kakek itupun tak mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah
memenuhi perutnya sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk
menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum
arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar suara orang bicara dan
langkah kaki mendatangi. Cepat bagaika maling konangan (ketahuan orang) Lin
Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek
itu mengikutinya sambil terkekeh dan sambil mengintai dari atas ia berbisik.
“Ihhh, kenapa kau begini
penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya
merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan
ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali
ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan
memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah
mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri?
Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana
itu. Kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja, melihat pakaian mereka. Begitu
memasuki dapur, ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan
mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan
terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada
yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang
mencuri masuk!”
Tiga orang itu mencari
sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin
berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat
persembunyiannya.
“Agaknya kucing! Kalau orang, mana
berani main gila di dapur istana!”
“Masa kucing bisa mengganyang
habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman!”
Ribut-ribut tiga orang tukang
masak itu. “Lekas laporkan kepada penjaga, eh.... ke komandan jaga saja, biar
dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau tidak tertangkap yang
makan masakan-masakan ini, celaka kita, tentu mendapat hukuman dari Sri
Baginda!”
Seorang di antara mereka lari
keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun
Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini
kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor
yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya.
“Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya,
kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung menambah
darah.”
Pucat muka Lin Lin mendengar
ancaman ini dan saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang
untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua
tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh
curiga.
“Wah, kucingnya di atas sana!”
seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang,
dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan
telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak, “He! Siapa di atas
sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri!” kata
temannya.
“Lebih baik panggil para
pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau
hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang ke arah Lin Lin sambil berseru,
“Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan
jawab. Kalau kucing, jawablah!”
Lin Lin mendengarkan penuh
perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar
pertanyaan ini, otomatis mulutnya menjawab, “.... kucing...., eh
meeooonggg....!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing bisa bicara! Wah,
celaka.... setan....!” Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di
ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin
tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau
lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka Lin Lin, mulutnya
cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih,
Kek!”
“Mari kita ke gudang pusaka!”
Gudang pusaka dijaga kuat.
Memang gudang ini selalu dijaga, siang malam, karena di dalamnya terdapat
simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana. “Kau yang
masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam,
aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kausukai, tapi hati-hati,
banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk dan bagaikan
dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang
penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek
gundul yang berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari.
Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan
tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka
kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok,
tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka
daun pintu yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk,
akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu,
dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih
Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga gin-kangnya sudah jauh lebih tinggi
daripada dahulu, sudah lipat entah berapa kali. Anak-anak panah itu cepat
sambarannya, namun ia lebih cepat lagi, dengan gerakan gesit ia telah melompat
maju di antara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah
dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya! Tanpa menghiraukan
lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata
yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya
senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan banyak
sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat
daripada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh. Akan tetapi
pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding
sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya daripada kulit harimau,
gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah. Seperti dalam mimpi, kedua
kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan
kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang
ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang
turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali
datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat
mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan
kirinya menangkis dan.... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun
itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin!
Saking kagetnva karena pecahnya
batu itu menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar
lagi dari gudang itu dan di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.
“Kek, aku pilih pedang ini....”
katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan
kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang ini? Inliah Pedang Besi Kuning pedang
rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak
ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”
Pada saat itu terdengar suara
gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita pergi!” Kim-lun
Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana ke luar, maka ia
tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar Pergelangan tangan Lin Lin dan
mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar
tembok dan melayang keluar. Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang
melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan,
banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap. Beberapa
menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali.
Mereka duduk dekat api unggun.
Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan
mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia
mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.
“Kek, kau pernah mengatakan
bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang mempunyai gigi dan
hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kaukatakan dahulu berasal dari bangsa
Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu?
Apakah kau mengenal pedang ini?”
Kakek itu mengusap dua butir air
matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya
kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik
jubahmu. Sekarang kaudengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang
gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan
alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup
bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan
tetapi sayang, betapapun juga, masih saja nafsu setan menguasai hati, dan
timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu,
puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, anak baik dia,
gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri
tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada
raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya
ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan
para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga
selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka
aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan
kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah
saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi
raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini kakek
itu menarik napas panjang.
“Lalu bagaimana, Kek?”
“Aku masih terhitung paman
luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau
seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar
kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak, sehingga pertumpahan
darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang
antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di
Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami
gugur, juga puterinya. Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya,
seorang gagah perajurit pilihan Khitan, juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula
bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya yang masih kecil.
Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar
dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan
sepasang mata tajam penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin.
Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada apa, Kek?”
“Kau....! Kaulah puteri Tayami,
tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau
cucu raja kami, kau keturunan langsung.”
Lin Lin meloncat berdiri. “Tak
mungkin, Kek!”
“Siapa bilang tidak mungkin? Kau
anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam
Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan
hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula,
siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih,
merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah
lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa
dia. Juga pedang itu.... bukanlah terlalu kebetulan kalau di antara sekian
banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi,
kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh
para pengikut setia dari Kakekmu mendiang raja Kulukan.”
“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”
Kim-lun Seng-jin tertawa dan
menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena
kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling
mendukung pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri Lin Lin,
kau dicari oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu
sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu Pamanmu, Kubakan,
Raja Khitan yang sekarang.”
“Apa....?” Lin Lin terbelalak
memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak percaya,
Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun
bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus
ada buktinya. Ahhhhh.... satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan
tentu dia!”
“Dia siapa?”
“Putera sulung Ayah angkatku,
Kam Bu Song. Kek, kaubantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak saja hal ini
untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan
dia kiranya dia akan dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”
Lin Lin lalu menceritakan pesan
terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk. “Mungkin Kam
Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi, Lin Lin, jangan kaukira bahwa
andaikata kau benar Puteri Khitan seperti persangkaanku, aku menghendaki kau
benar-benar menjadi ratu dan memerangi Pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat
kau bebas seperti sekarang ini, menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan
sesuatu yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah di antara saudara dan
bangsa sendiri.”
“Kalau aku betul keturunan Raja
Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta
Kerajaan Khitan, Kek!”
Jawaban tiba-tiba ini
mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan
tetapi Lin Lin segera tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri
raja, aku orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan
mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko
dan Enci Eng.”
Mendadak kakek itu meloncat dan
menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari keluar kota raja. Berbahaya di sini!”
Lin Lin kaget dan hendak
membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan yang amat gesit,
lalu terdengar bentakan, “Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!”
Mendengar ini, maklumlah Lin Lin
bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang berkepandaian tinggi.
Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?
“Kek, kita lawan saja....!”
serunya sambil berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin
malah menariknya untuk diajak lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja.
Lin Lin tidak dapat melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun
Seng-jin sudah membawa Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota
raja dan para pengejar tadi makin tertinggal jauh.
“Kek, kenapa kita mesti
lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan sekali!” Lin Lin
mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota raja dan tangannya
dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin. Kakek itu tertawa.
“Bukan takut, melainkan aku
tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan. Kau masih muda, Lin Lin, dan kau
keturunan Raja Khitan. Kalau mereka mengetahui akan hal ini, kau akan
dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau takkan dapat hidup dengan tenteram.
Pergilan, lanjutkan usahamu mencari kakakmu. Kita berpisah di sini. Latih
baik-baik Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak.
Tentang Suling Emas jangan khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya,
akan kutanyai dia apakah betul dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul,
percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh ribu jurus! Sekarang
cepat kau pergi, mereka sudah datang!”
“Dan tinggalkan kau seorang diri
menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek? Tidak nanti!” Lin Lin berdiri
tegak, malah segera mencabut pedangnya.
“Wah, keras kepala, seperti
Tayami!” Kakek itu bersungut-sungut, tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu
ia telah menotok pundak kiri Lin Lin. Karena dara ini sama sekali tidak pernah
menduga bahwa kakek itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan
diri dan seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak,
lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar. Lin Lin
tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia maklum dalam
keadaan seperti ini, kalau bertempur, baru sejurus saja melawan orang biasa,
tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri diam saja dan mendengar
betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh para musuh yang berteriak-teriak.
Agaknya, kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari,
membiarkan dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara
apa-apa lagi. Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya
untuk mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia
menarik napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin
terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan
berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air
matanya menitik turun.
Tak sampai seperempat jam,
totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu menggerakkan
pedang curian, mainkan Ilmu Silat Khong-in-liu-san. Pedang itu mengeluarkan
suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di malam buta. Ia merasa puas
sekali karena pedang yang tipis dan kecil ringan itu terasa amat enak
dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin.
Ia baru berhenti bermain silat setelah fajar berada di ambang pintu langit
timur. Kegelapan malam sudah terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut,
berwarna kelabu, ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat
daripada logam yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.
“Hemmm, Pedang Besi Kuning,
pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi pedangnya. “Dan aku Puteri
Khitan? Seperti dongeng saja!” Melihat bahwa yang aneh pada pedang itu
hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu, Lin Lin segera melepas kedua ronce
merah itu dan menyimpannya dalam saku jubahnya. Betapapun juga, pedang ini
adalah pedang curian, pikirnya. Kalau terlalu menyolok mata dan dilihat orang,
tentu sepanjang jalan hanya akan menimbulkan keributan belaka.
Dengan hati bungah (senang) ia
lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti munculnya kedua orang
kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja pula. Untuk kembali ke kota raja
sekarang terlalu berbahaya. Memang, tidak ada seorang pun yang melihat dia
memasuki istana, akan tetapi keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan
diperkuat dan orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan
pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota raja.
Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar kota.
Di sebelah barat kota raja
terdapat sebuah hutan yang kecil tapi amat indah. Pohon-pohon di situ tampak
subur dan seakan-akan teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para
anggauta istana menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal
ini dan girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya
memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya pagi. Lin
Lin memang memiliki watak periang. Melihat suasana indah dan mendengar kicau
burung yang berloncatan di cabang-cabang dan ranting-ranting pohon,
kegembiraannya timbul. Kadang-kadang ia terkekeh ketawa melihat seekor kelinci
muncul dari belukar, menggerak-gerakkan sepasang telinga yang panjang dan
mainkan bola mata yang bening lebar. Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru
burung kecil yang berloncatan di daun-daun sambil berkicau.
Tiba-tiba Lin Lin terkejut
mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan memperhatikan
burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua orang
laki-laki memperhatikannya. Dua orang laki-laki itu kini menghadang di
depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya mereka adalah dua
orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio yang masih muda, pakaian
pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang bersih, karena sudah mulai ditumbuhi
rambut baru, sikap mereka riang dan wajah mereka berseri gembira, sama sekali
tidak patut menjadi wajah pendeta yang biasanya serius dan alim. Melihat bahwa
yang tertawa adalah dua orang pendeta, Lin Lin tersenyum. Pendeta-pendeta tidak
perlu ditakuti dan kegembiraannya timbul kembali.
“Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak
Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah sekali, bukan?”
Dua orang hwesio itu saling
pandang, dan tertawa lebar. Seorang di antara mereka, yang alis matanya tebal,
maju selangkah. “Selamat pagi. Memang pagi yang indah sekali, agaknya karena
ada Nona yang cantik manis maka suasana begini menyenangkan. Siapakah nama
Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita.
Bukankah begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”
Hwesio ke dua mengangguk-angguk
dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi besar-besar berwarna kuning.
“Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa kembali ke kelenteng,
lebih senang main-main dengan Nona ini di sini.”
Seketika keriangan Lin Lin
lenyap, terganti oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah,
sepasang matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. “Ihhh,
kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah
pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul berpakaian
pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak sudi bicara
dengan kalian lagi!”
“Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis!”
Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan.
“Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya memang antara kita
bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi juga, harus memberi
ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu, Suheng?”
“Ya-ya, betul itu! Di tempat
sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi Kuning.
“Jahanam bermulut busuk!” Lin
Lin membentak, tubuhnya berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan
jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang
roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada
penuh ejekan.
“Hi-hik, kiranya kalian hanyalah
dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”
Dua orang hwesio muda itu kaget
sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan
penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan
lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin, kini dengan mata
merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka
cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang.
Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga
bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.
“Bocah setan, berani kau main
gila terhadap pinceng (aku)?” seru Si Alis Tebal.
“Sute, kita cambuki pakaiannya
sampai ia telanjang bulat!” kata Si Gigi Kuning dengan nada gemas.
“Tar-tar-tar-tar!” dari depan
dan belakang, dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar
di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi
gentar. Malah kemarahannya memuncak.
“Hemmm, monyet-monyet gundul tak
tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia
berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia
dan mengganggu wanita saja!” Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan
tangan kanan dan “srattt!” tampak sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi
Kuning sudah berada di tangannya.
“Bagus, kau berani melawan?
Rasakan cambukan ini!” Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari
belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang
menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup. Kiranya dua orang hwesio muda
itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan
kuat sekali. Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin, yang baru saja
mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan gin-kang
yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor
burung walet. Betapapun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar,
tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti
gulungan sinar kuning dari pedangnya.
Memang hebat sekaii Lin Lin
setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apalagi di tangannya sekarang
ada sebatahg pedang pusaka terbuat daripada besi aji yang amat ampuh. Dengan
sinar yang menyilaukan mata, pedangnya berkelebat dan.... dua orang hwesio muda
itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua
berikut ujung lengan baju dan sebagian daripada kulit dan daging lengan
mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin
itu! Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil
memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan
terbabat putus!
“Bagus sekali. Benar-benar
kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”
Lin Lin cepat menengok. Kiranya
tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di
atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar
dengan jidat lebar, sepasang matanya lebar den menyinarkan kejujuran, alisnya
tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan. Biarpun bukan
wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang
sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih,
rambutnya digelung ke atas den dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah
pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan
senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.
Lin Lin masih marah. Sehabis
bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia
mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah
menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apalagi yang masih muda
seperti ini! Dengan muka merah den mulut cemberut ia membalikkan tubuh
menghadapi pemuda itu, lalu menghardik.
“Memang kiam-hoatku indah den
lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang
laki-laki ceriwis den kurang ajar! Kau mau apa ikut campur?”
Ada semenit pemuda itu melongo.
Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Terbayang
pada matanya itu kekaguman luar biasa den sesungguhnya, ia memang kagum sekali
setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin Lin seakan-akan
menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya
berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara
seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula
menghadapi seorang gadis.
Lin Lin makin tidak sabar.
Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan
memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting
kaki dan memaki, “Apa kaukira aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus
memandangku?”
Pemuda itu tersenyum. “Bukan
barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang lebih indah, lebih
mempesona, lebih....”
“Kau lebih kurang ajar lagi!”
bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan
dengan pedangnya.
“Uiiihhhhh, ganas....!” pemuda
itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa
kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah
mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak. “Baiklah, Nona. Kalau kau
ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan
patut menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan tangan kiri menantang.
Dari gerakan pemuda tadi yang
amat mengagumkan hati Lin Lin, gadis inipun maklum bahwa lawannya kali ini
bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi
ia tidak takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah,
“Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”
“Ha-ha-ha, ada satu saja orang
macam aku sudah terlalu repot bagimu, apalagi ada sepuluh orang!” pemuda itu
berkelakar, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis
karena dengan gerakan seperti seekor burung walet, gadis itu sudah menerjangnya.
“Trang-trang-tranggggg....!”
Tiga kali pedang mereka saling beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke
sana-sini. Keduanya cepat menarik pedang masing-masing dan lega hati mereka
ketika mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras
lawan keras tadi. Masing-masing kagum dan juga kaget. Apalagi Lin Lin. Tadi ia
sudah mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang
terdapat dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk
menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua.
Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu pedang, sedangkan di
tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang lawannya tidak menjadi
rusak dan tidak terpental? Ini hanya menjadi bukti bahwa pemuda pesek ini
selain memiliki pedang yang ampuh juga memiliki kepandaian tinggi, dapat
melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun
Seng-jin yang membohonginya dan membual tentang kelihaian Khong-in-ban-kin?
Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat mengimbangi kecepatan
dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan Khong-in-ban-kin, akan tetapi
sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda pesek, ilmunya itu
seakan-akan tiada artinya lagi.
Di lain fihak, Si Pemuda juga
kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang menjadi-jadi. Tadinya ia
mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan yang amat cepat dan ilmu
pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat mengalahkan dua orang
hwesio kurang ajar tadi. Siapa kira, dalam pertemuan pedang tadi ia mendapat
kenyataan bahwa dalam hal tenaga, gadis itu tidak usah mengaku kalah
terhadapnya, juga pedang di tangannya itu adalah pedang ampuh yang dapat
menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini adalah pedang Goat-kong-kiam
(Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya, pedang pusaka pemberian suhunya.
“Wah karena pedangmu ampuh kau
jadi sombong, ya? Awas lehermu!” Lin Lin membentak dan segera gadis ini mainkan
Khong-in-liu-san untuk menerjang lawannya. Hebat terjangannya ini, pedangnya
berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung, makin lama makin tebal merupakan
segunduk awan bergerak perlahan mengurung diri pemuda itu dari segala jurusan.
Pemuda itu mengeluarkan seruan
tertahan. Benar-benar tak disangkanya gadis ini sedemikian lihainya. Ia pun
lalu bersilat dengan pedangnya, ilmu silat yang aneh, gerakan-gerakannya lucu
dengan tubuh megal-megol seperti seorang pelawak beraksi di atas panggung
wayang. Hampir saja Lin Lin tak dapat menahan ketawanya menyaksikan gerakan
aneh dan lucu ini. Akan tetapi ia pun terheran-heran karena ke manapun juga
pedangnya menyambar, selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda yang
gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itu banyak
mengalah, hanya mempertahankan diri daripada serangan-serangannya yang dahsyat,
tidak berusaha membalas sungguh-sungguh. Memang pemuda itu tidak ingin
merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis itu membuat ia mengalah dan
hanya ingin menguji kepandaian orang.
“Hebat...., hebat.... kiam-hoat
yang luar biasa!” berkali-kali pemuda itu memuji. Akan tetapi, makin dipuji
makin marahlah Lin Lin karena pujian itu ia anggap sebagai ejekan. Mana bisa
ilmu pedangnya dipuji kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan?
“Balaslah! Seranglah! Kaukira
aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru kau laki-laki sejati!” Ia
menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki ilmu Khong-in-ban-kin dan dengan
ilmu ini ia dapat menggunakan gin-kang yang sempurna sehingga ia tidak
khawatir akan termakan pedang lawan.
Seperempat jam sudah mereka
bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu menjadi gelisah, berkali-kali meringkik
ketakutan. Pemuda itu gemas juga. Gadis ini amat menarik hatinya, dan ia tidak
tega untuk merobohkan atau mengalahkannya. Akan tetapi kalau tidak “diberi
rasa”, tentu tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia pikir, bangkit harga
dirinya sebagai seorang laki-laki.
“Baiklah, Nona, lihat pedangku!”
Ia memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga untuk mendesak dan
menindih gulungan sinar pedang lawan.
Memang hebat pemuda ini. Amat
kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati Lin Lin. Namun
cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin, tubuhnya begitu seakan-akan
bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap di antara sinar pedang. Sungguhpun
harus ia akui bahwa semua serangannya sekarang gagal dan buyar, tidak ada
kesempatan lagi, namun ia tetap dapat mempertahankan diri daripada desakan lawan.
Makin keras pemuda itu menekan, makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda
itu selain kaget juga heran dan bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah
ini adalah murid seorang sakti, karena hanya beberapa orang saja di dunia
kang-ouw, boleh dihitung dengan jari jumlahnya, yang akan dapat menghindarkan
diri daripada tekanan pedangnya seperti ini.
Pada saat itu, terdengar
bentakan keras, “Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar itu!”
“Hemmm, hemmm, agaknya
mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”
“Mari kita berlumba, Sute, aku
pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!” sambung suara ke dua.
“Hee, Sicu (Orang Gagah), harap
mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak ini!”
Pemuda itu dan Lin Lin biarpun
masih saling gempur, otomatis kini mengendurkan gerakan dan melirik. Kiranya
yang datang adalah dua orang hwesio muda yang tadi, yang berdiri agak jauh,
akan tetapi kini mereka datang bersama dua orang hwesio setengah tua yang
bertubuh tinggi besar dan keduanya memegang sebatang tongkat hwesio yang
panjang dan terbuat daripada baja. Kedua orang hwesio ini sombong sekali
lagaknya dan agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin Lin.
Tanpa memberi kesempatan lagi,
dua orang hwesio setengah tua itu menerjang maju dari kanan kiri mengeroyok Lin
Lin! Benar-benar tak tahu malu, pikir Lin Lin, suaranya saja hendak berlumba
untuk menangkapnya, kiranya mereka itu hanya ingin mengeroyok mengandalkan
senjata yang panjang dan berat. Mana ada orang yang hendak “menangkap”
menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?
Akan tetapi ketika ia mengayun
pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang tongkat itu,
terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa betapa telapak
tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya di samping
kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lwee-kang yang hebat!
Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia
menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini
berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.
“Tahan senjata! Melihat gerakan,
Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”
Dua orang hwesio setengah tua
itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin
tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang yang menarik
senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang,
sikapnya gagah.
“Kami memang betul hwesio-hwesio
Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kaukatakan kepada kami?”
Pemuda itu mengerutkan
keningnya. “Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu menjunjung
kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang
beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang
menyerang seorang wanita?”
“Gadis liar ini menghina
murid-murid keponakan kami!”
“Hemmm, pemutarbalikan fakta
yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio itulah yang kurang ajar, mengeluarkan
kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat. Ji-wi Suhu akan
membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada
murid-murid sendiri, daripada menyerang orang yang tidak berdosa.”
“Orang muda, kau siapakah, berani
bicara lancang, memberi kuliah kepada kami?”
Pemuda itu tersenyum. “Aku she
Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku mengenal baik Cheng
Han Losuhu, dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela
oleh orang-orang gagah.”
Cheng Han Hwesio adalah ketua
Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu
menjadi kaget sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu, dan
memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk
oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara kacau dan
ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka mengumbar nafsu
jahatnya. Terutama sekali yang menimbulkan keadaan memalukan dan buruk ini
adalah para penjahat dan pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan
mencukur rambutnya dan memakai jubah pendeta, tinggal bersembunyi di
kelenteng-kelenteng. Merekalah yang menjadi “guru” dan menyeret para hwesio
muda yang belum teguh batinnya dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua
orang hwesio ini hanya merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah
terlalu lama berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja
seperti pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.
“Keparat, kau benar kurang ajar!
Kaukira kami takut padamu? Sute, kauhajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona
liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu
ini!”
Dua orang hwesio Siauw-lim-pai
itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang
tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya
dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun, pemuda itu adalah murid orang
sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti yang
tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai di pusat sendiri! Maka kalau mau
dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih jauh di bawah.
“Aku tidak ingin kaubantu!” seru
Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.
“Siapa membantumu, Nona? Aku pun
diserang oleh hwesio palsu ini!” jawab pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu
sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya.
Pertempuran seru terjadi,
terpecah menjadi dua. “Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang.
Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita!”
pemuda itu berseru.
“Baik, seorang laki-laki tidak
melanggar janjinya!” seru Lin Lin girang. Gadis ini sebentar saja dapat melihat
kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu cepat, maka
usul pemuda itu diterimanya dengan girang. Melihat tongkat itu menyodok ke
arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan lawan lengah dan
kegirangan. Beberapa senti meter sebelum ujung tongkat mengenai dadanya,
tiba-tiba ia miringkan tubuhnya menggunakan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung
Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan
jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan dari
Khong-in-liu-san, yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya
itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek
pedang sampai kelihatan tulangnya.
Sambil tersenyum manis tapi
penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek itu,
siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi tiba-tiba
wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu ternyata sudah
lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah rebah dengan
pundak berdarah!
Akan tetapi pemuda itu berkata,
“Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlumba merobohkan dua
orang hwesio ceriwis itu!”
Lin Lin melihat betapa hwesio
muda yang dua orang tadi telah melarikan diri tunggang-langgang melihat betapa
kedua orang paman guru mereka telah roboh! Karena dua orang hwesio muda itu
yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya
amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat
melakukan pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga
berkelebat di sampingnya. Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin
mengerahkan gin-kangnya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua orang
hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit, roboh
terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya.
Karena menganggap bahwa dua
orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak
membunuh mereka.
“Tranggg!” Bunga api berpijar
ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.
“Nona, harap jangan bunuh
mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”
“Hwesio Siauw-lim atau
hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau hwesio-hwesio tua
Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat!”
“Omitohud.... kasar akan tetapi
harus diakui kebenarannya....” terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya,
akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio ini
berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya berpengaruh
penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat kedua tangan
ke depan dada memberi hormat.
“Cheng Hie Losuhu! Kebetulan
sekali Losuhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih faham dengan
beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Losuhu memberi kebijaksanaan.”
Hwesio tua itu tertawa perlahan.
“Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang tua sudah melihat dan
mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat orang anak murid
ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat buktinya.” Kemudian ia
mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata, “Nona, kepandaianmu hebat
bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di
tanganmu! Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan
kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan
menghukum mereka.”
Lin Lin kaget bukan main. Hwesio
tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang
curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia
memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi
sekarang sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak menghukum,
hatinya puas.
“Terserah kepada Losuhu. Aku
percaya Losuhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti
Losuhu membantu orang jahat!”
Muka hwesio tua itu berubah agak
pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu mengajak
Lin Lin pergi, “Marilah, setelah ada Cheng Hie Losuhu, tentu mereka akan
mendapat bagian mereka. Cheng Hie Losuhu terkenal sebagai pengawal
tindak-tanduk dan sepak terjang para anak murid Siauw-lim-pai dan dunia
kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Losuhu, perkenankan
kami pergi.”
Cheng Hie Hwesio menggerakkan
tangannya, mengangguk-angguk. “Pergilah.... pergilah dengan hati-hati, orang-orang
muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua....”
Lin Lin tercengang, hendak marah
kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu
memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak! Akan tetapip melihat sikap hwesio
yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya.
Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun
kudanya.
Sampai lama mereka jalan
berendeng, diam saja, tidak berkata-kata, juga saling lirik saja tidak.
Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan
seorang lain. Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong
sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil
merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri, mengapa ia
merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasai.
Adapun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang
pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.
Setelah mereka keluar dari dalam
hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan
berkata ketus, “Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita
membuat perhitungan!”
Pemuda itu seakan-akan baru
sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget. “Perhitungan?
Perhitungan apa, Nona?”
“Perhitungan apa? Pura-pura
tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlumba merobohkan dua orang hwesio
ceriwis. Siapa yang menang? Aku! Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji
dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku! Tapi kau
memerintah aku ikut denganmu! Sombong!”
Bok Liong cepat menjura,
sikapnya sungguh-sungguh. “Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah
kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah
seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa kau
seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu, terimalah hormatku,
Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata terhadapmu
lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”
Watak Lin Lin memang aneh. Dalam
segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang bersikap keras terhadapnya,
ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok
Liong bersikap merendah dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah
serius, ia pun tidak mau kalah!
“Nah, kau sih yang sombong
tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang
seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi, kalau aku tidak bersikap
keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja
kalau tadi aku bersikap kaku. Betapapun juga, kau telah membantuku menghadapi
hwesio-hwesio kotor tadi.”
Jantung Bok Liong
berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini
kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi.
“Nona, terima kasih atas
pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang amat kuinginkan semenjak aku
melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di hutan itu. Sekali lagi, namaku
Lie Bok Liong, biarpun bukan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi
aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang
masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus
terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan
ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak
partai persilatan lain lagi, sama sekali buta akan ilmu silatmu yang luar
biasa tadi, Nona.”
Lin Lin merasa diayun-ayun di
atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar
sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda berhidung
pesek ini, wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga, sikapnya jujur dan
sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap sewajarnya dari seorang yang
memasang isi hati pada wajahnya.
Timbul rasa suka di hatinya
disertai kepercayaan besar. Apalagi tadi ia mendengar bahwa Bok Liong ini
mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu
kepadanya tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song.
Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu
tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas
dan gemetar!
Memang hebat daya pengaruh
asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang
bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang
bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri
dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam melebihi
pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum sepasang bibir
merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan membuat
kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang! Kilauan gigi
putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir segar,
lebih ampuh daripada sinar petir yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh
menyelusup ke seluruh tulang sumsum! Tidaklah terlalu mengherankan apabila
Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin
Lin yang berseri-seri itu.
“Kaukira aku seorang yang buta?”
demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama
sekali ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang
jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako.... ya, lebih baik kusebut kau
Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua daripada Sin-ko (Kakak Sin). Eh,
berapa sih usiamu?”
Mau tak mau Bok Liong tersenyum,
setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa betapa sinar matahari
menjadi lebih terang daripada tadi. “Usiaku hampir dua puluh dua tahun.”
“Nah, betul dugaanku. Sin-ko
baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di mana aku tadi?
Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she.... Kam.”
“Kam Lin Lin.... indah benar
namamu, Nona.”
“Wah, kalau kau masih menyebut
nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana
pendapatmu, Tuan Besar?”
Bok Liong tertawa bergelak,
kemudian terheran. Seingatnya, baru kali inilah ia dapat tertawa sampai begitu
keras, sampai basah kedua matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi
dengan dirinya?
“Habis, aku harus menyebut
bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku,
Moi-moi.”
“Nah, begitu baru enak bicara.
Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain lagi kalau
terhadap seorang kakak....”
“Maksudmu, terhadap seorang
sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.
“Sama saja, apa bedanya? Twako,
kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?”
Kalau orang lain yang menanyakan
hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama ia berkecimpung di
dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa
pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan
jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apalagi tidak menjawab. Ia
takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah “jinak” dan baik kepadanya ini akan
mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat itu yang
akan lebih besar dan hebat daripada dimusuhi Lin Lin!
“Nona.... eh, Lin-moi (Adik
Lin). Guruku terkenal dengan namanya yang sederhana sekali, malah sesungguhnya,
orang lain termasuk aku sendiri tak pernah mengenal namanya karena ia hanya
memperkenalkan she (nama keturunan) yaitu she Gan. Karena inilah maka di dunia
kang-ouw ia dikenal sebagai Gan-lopek (Empat Tua Gan)!”
Senyum di bibir Lin Lin melebar.
“Gan-lopek? Hi-hik! Badut tak pernah mandi yang pantatnya besar, kumis dan
jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut melihat cacing dan ular?
Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia!” Lin Lin menutupi mulut dengan
tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya.
***
Bok Liong membelalakkan kedua
matanya yang lebar, “Apa? Kau pernah melihat Suhu?”
Lin Lin menggeleng kepala,
menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat bicara. “Aku hanya mendengar
ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah, kakek dan aku tertawa-tawa sampai
perutku menjadi keras dan kakek jatuh terguling dari atas cabang pohon.”
Kembali Lin Lin tertawa terkekeh-kekeh dan diam-diam Bok Liong menjadi tak senang
hatinya karena merasa betapa suhunya, orang yang ia anggap paling hebat di
dunia ini, menjadi buah tertawaan, sungguhpun ia cukup mengenal suhunya sebagai
orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang membuat lelucon yang luar
biasa.
“Hemmm, kau pernah mendengar
cerita tentang Suhu? Dan kakek gundul pacul yang menceritakan itu, apakah dia
jatuh dari cabang pohon terus mati?”
Tiba-tiba suara ketawa Lin Lin
terhenti. “Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau benar-benar tidak
mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu SERBA KOSONG kepadaku, dia orang
sakti seperti dewa. Mana bisa mati jatuh dari cabang?”
Bok Liong benar-benar tidak
mengerti. Luar biasa sekali dara ini, pikirnya. Kalau kakek gundul pacul itu
mengajar ilmu, berarti kakek itu guru si nona. Akan tetapi kenapa nona ini
menyebutnya gundul pacul, sebutan yang seakan-akan mengejek dan memandang
rendah?
“Ah, kalau begitu beliau seorang
sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu namanya?”
“Tentu saja aku tahu. Dia disebut
Kim-lun Seng-jin.... eh, kenapa kau, Liong-twako (Kakak Liong)?” Lin Lin heran
melihat pemuda itu meloncat seperti dipagut ular dan matanya menjadi amat
bundar dan lebar.
“Kim-lun Seng-jin? Beliau itu
gurumukah?” tanya Bok Liong.
Kembali Lin Lin menggeleng
kepala. “Bukan! Bukan guruku. Dia sahabat baikku.”
Makin heranlah Bok Liong. Masa,
kakek sakti yang amat terkenal di dunia ini yang tingkatnya sekelas dengan
gurunya, menjadi sahabat baik gadis ini?
“Tapi kau bilang tadi bahwa kau
menerima ilmu dari padanya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu.”
“Bukan! Hanya kenalan biasa
saja. Tapi ilmunya SERBA KOSONG memang boleh juga.” Lin Lin bersikap
seakan-akan hal itu merupakan hal yang “bukan apa-apa” baginya, sikap ini
sengaja ia “pasang” karena melihat betapa Bok Liong terheran-heran dan agaknya
amat menjunjung tinggi Kim-lun Seng-jin!
“Serba kosong! Aneh sekali nama
ilmu itu. Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang diturunkan oleh Kim-lun
Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau tadi aku bersikap kurang
hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur.... eh, sahabat baik Kim-lun
Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau bisa bercerita
tentang Suhuku.”
Senang sekali hati Lin Lin,
kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya yang sudah membusung.
Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada Bok Liong dengan
kata-kata manis. “Tapi kakek berkata bahwa biarpun Gan-lopek itu orangnya lucu
dan merupakan seorang badut besar, namun kepandaiannya hebat. Maka sekarang,
melihat kepandaianmu, aku percaya akan kesaktiannya.”
Sekarang Bok Liong teringat akan
matanya menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Tadi ketika
mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning, ia amat
terkejut. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari gudang
pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang itu bisa
terjatuh ke tangan Lin Lin. Betapapun pandainya Lin Lin, kiranya bukanlah hal
yang mudah untuk dapat memasuki istana dan mencuri sebuah pedang pusaka. Akan
tetapi sekarang terbukalah rahasia itu, kalau gadis itu pergi bersama scorang
sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal memasuki istana dan mencuri pedang pusaka
bukanlah merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin
Lin dan karenanya ia tidak mau bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut
kalau-kalau Lin Lin akan menjadi curiga dan marah kepadanya. Sebaliknya ia
lalu bertanya.
“Lin-moi, setelah kita menjadi
sahabat dan kenalan sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kaukehendaki
sehingga kau seorang diri sampai berada di tempat ini? Hendak pergi ke manakah
kau?”
Ini memang merupakan pertanyaan
yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini sudah mengambil keputusan untuk minta bantuan
Bok Liong. Kakek gundul Kim-lun Seng-jin biarpun telah mewariskan ilmu dan
mengajaknya ke kota raja, malah ke dalam istana dan mencuri pedang, namun
tidak berhasil menolong dia mendapatkan musuh besarnya, juga kakek angkatnya.
Setelah mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya
dengan bangsa Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu
Song, karena dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat
menceritakan asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal Kam,
tentu Bu Song sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa di waktu itu.
“Liong-twako, sebelum aku
menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kaujawablah. Apakah kau akan suka
membantuku?”
“Tentu saja! Dengan segala
senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan untukmu, Moi-moi?”
“Tanpa syarat?”
“Eh.... tanpa syarat bagaimana?
Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa yang harus
kulakukan.”
Bibir manis itu cemberut, tapi
bagi Bok Liong malah tampak makin manis.
“Kalau begitu, tak usah kau
membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa tidak sepenuh hatimu kau berniat
membantuku. Kalau sepenuh hati suka membantu, tentu tidak akan bertanya-tanya
lagi, apa saja urusannya, akan suka membantu.”
Merah muka Bok Liong mendengar
celaan ini, dan diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis ini, biarpun
terdengar seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya juga. “Baiklah,
aku akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa biarpun untuk
kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan
kebenaran, ringkasnya, aku tidak mau membantu fihak yang melakukan
kejahatan....”
Bok Liong terpaksa menghentikan
kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah sekali. Gadis ini berdiri
tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang, pandang matanya keras.
“Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi bersahabat dengan orang
yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat percaya kepadamu!” Tubuhnya membalik
dan berkelebat pergi.
Bukan main kagetnya hati Bok
Liong. Ia pun cepat mengerahkan gin-kangnya untuk mengejar, “Nanti dulu,
Non.... eh, Moi-moi. Tunggu....! Mari kita bicara....!”
Akan tetapi Lin Lin tidak
mempedulikannya, terus lari kencang. Karena ia mempergunakan gin-kang dari
Khong-in-ban-kin, tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan kuda betina yang
kabur dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat karena harus
mengerahkan seluruh tenaga mengejar.
“Lin-moi.... tunggu dulu....!
Aku percaya padamu....!”
Lin Lin mendengar derap kaki
kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat betapa gerakan Lin Lin amat gesit dan
cepat, kembali ke tempat tadi, meloncat ke atas punggung kudanya dan
membalapkan kuda tunggangnya itu, melakukan pengejaran. Tapi ilmu lari cepat
yang dipergunakan Lin Lin benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis itu sudah
matang dalam melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biarpun berkuda
takkan mampu menyusulnya. Sekarang pun, sukar sekali Bok Liong dapat menyusul. Setelah
berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng sebelah
selatan kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal inipun hanya karena gadis itu
kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas memburu. Sepasang pipinya
menjadi merah seperti buah tomat karena darahnya bergerak cepat setelah
berlari selama itu.
Bok Liong cepat-cepat melompat
turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang berdiri cemberut. Bok Liong
kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat dan suaranya benar-benar penuh
bujuk rayu, “Adikku yang baik, Moi-moi yang baik budi, maafkanlah aku yang
tolol. Aku sungguh tidak mengerti mangapa kau marah-marah kepadaku, kalau kau
suka menjelaskan, biarlah aku akan membunuh diri kalau memang aku berbuat dosa
terhadapmu.”
Di dalam hatinya, Lin Lin
tertawa geli dan mengira pemuda itu membadut. Akan tetapi karena ia masih
mendongkol, ia menjawab ketus, “Kau sudah tidak percaya kepadaku, mengapa masih
memperlihatkan sikap bersahabat?”
“Siapa bilang aku tidak percaya,
Lin-moi? Aku percaya seribu prosen kepadamu. Percaya mati-matian dan
bulat-bulat!” Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja, dara yang
memang pada dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah hilang
marahnya.
“Kaubilang percaya hanya di
mulut tapi di hati kau menyangka aku akan melakukan hal-hal jahat dan akan
menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kebenaran.
Bagus, ya? Lain di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani mati!”
Kini tiba giliran Bok Liong yang
tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari mana dara ini memungut kata-kata
sindiran yang merupakan istilah dalam panggung sandiwara itu untuk mengukur
watak laki-laki.
“Wah, benar aku telah bersalah,
Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk tidak percaya kepadamu.”
“Nah, sekarang bunuh dirilah.
Aku ingin sekali lihat!” kata Lin Lin sambil duduk di atas tanah, dibawah
pohon. Peluhnya membasahi jidat dan leher, diusapnya dengan saputangan sutera.
“Bunuh diri....? Apa
maksudmu....?”
“Eh, pakai tanya lagi! Kan kau
sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh diri kalau berdosa kepadaku. Nah, kau
bunuh dirilah. Atau memang kau pun termasuk golongan yang berani sumpah tak
berani mati?”
“Waduh-waduh, masa kesalahan
begitu saja dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan nyawa? Lin-moi, harap
jangan main-main. Biarlah, aku mengaku salah dan tidak akan banyak tanya lagi.
Aku akan membantumu tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi. Sekarang katakan,
apa yang dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?” kata Bok Liong
sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin. Kudanya yang juga
tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau di pinggir
jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat, kelihatan girang
dan lega kuda itu setelah tadi berlumba lari.
Kini wajah Lin Lin tampak
sungguh-sungguh. Memang, ia tadi mendongkol. Akan tetapi tidak mendalam dan
puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok Liong. Kini dengan suara serius ia
berkata.
“Liong-twako, sebetulnya
pikiranku amat bingung. Aku mencari musuh besar tidak bertemu, mencari kakak
angkatku juga tidak berhasil, malah-malah Kakak Bu Sin dan Enci Sian Eng pun
sampai sekarang tidak bertemu kembali denganku, entah lenyap ke mana mereka itu!”
Tahulah sekarang Bok Liong bahwa
gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam arti kata, terpisah
daripada dua orang kakaknya. Ia tidak memotong, melainkan menanti gadis itu
melanjutkan penuturannya.
“Kami bertiga pergi meninggalkan
dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san, dengan niat mencari musuh besar kami,
juga mencari kakak angkatku yang semenjak kami lahir tak pernah kami temui.
Celakanya, kami bercerai-berai dan aku mencari sendiri, dibantu oleh kakek
gundul Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kakek gundul itu
ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada kakak angkatku,
juga tidak tahu di mana adanya musuh besarku. Nah, sekarang aku minta
bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu.”
Bok Liong tertawa. Hatinya lega
bukan main. “Ah, Lin-moi, kau ini memang suka bikin orang bingung. Kalau
tadi-tadi kau bilang hanya bantuan seperti ini saja, tentu aku seribu kali
setuju. Akan kubantu engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku harus tahu
lebih dulu siapakah gerangan mereka yang kaucari. Siapakah musuh besarmu itu?”
“Aku sendiri juga tidak tahu,
akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah Si Suling Emas.”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat
sampai satu meter lebih. Mukanya berubah dan ia memandang kepada Lin Lin dengan
bengong. Lin Lin juga meloncat dan membanting kakinya.
“Nah-nah-nah, kau kumat lagi!
Apakah semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu mendengar nama Suling
Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek gundul sama saja.
Menjemukan benar!”
Wah, kau yang kumat, bukan aku,
demikian suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya segera berkata, “Jangan
salah sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya terheran-heran. Kau agaknya tidak
tahu orang macam apa dia itu, maka begitu mudah kau menuduh dia sebagai musuh
besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dipandang
tinggi oleh para tokoh bersih di dunia kang-ouw. Masa dia membunuh ayah
bundamu?”
Lin Lin cemberut. “Biar
dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi oleh para dewa
sekali pun, aku tidak takut! Ihhh, semua orang takut kepada Suling Emas. Sampai
bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu dengan dia dan mengajak dia
duel (adu ilmu) sampai selaksa jurus!:
Bok Liong meraba-raba bawah
hidungnya yang tidak berkumis untuk menahan tawa. “Baiklah, Lin-moi. Aku akan
membantumu dan kurasa kalau diusahakan benar, bukan tidak mungkin aku akan
dapat memperjumpakan kau dengan Suling Emas.”
Wajah yang cemberut itu seketika
berseri dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar. Sekarang demikian hebat
ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya berloncatan ke atas
kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik! Mulutnya sampai
ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar matanya sayu penuh keharuan.
Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang demikian indahnya sampai mengharukan.
Akan tetapi Lin Lin mana
memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang cepat ia menyambar tangan Bok
Liong, di guncang-guncangnya. “Betul, Liong-twako? Kau bisa mencari dia? Ah,
kakek gundul itu saja tidak becus. Di mana adanya Suling Emas, Liong-ko? Jauh
atau dekat? Hayo kita segera pergi ke sana, ingin kupaksa dia mengaku tentang
pembunuhan itu!”
Kembali Bok Liong tersenyum.
Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan tawanya mendengar
kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar seorang dara lincah
jenaka yang seperti seekor burung baru belajar terbang, tidak tahu tingginya
gunung lebarnya lautan!
“Tidak begitu mudah, Lin-moi.
Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi, aku
akan bertanya-tanya kepada tokoh kang-ouw. Aku mempunyai banyak kenalan di
dunia kang-ouw dan dari mereka, kurasa akhirnya kita akan dapat berjumpa
dengan Suling Emas. Sekarang soal ke dua, tentang kakakmu itu. Siapa dia dan
bagaimana mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya
selamanya?”
“Kakak angkatku itu bernama Kam
Bu Song, akan tetapi ketika ia mengikuti ujian di kota raja empat belas tahun
yang lalu, ia memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari keterangan tentang dia?”
“Kam.... Liu Bu Song? Tak pernah
aku mendengar nama ini, akan tetapi kalau empat belas tahun yang lalu dia di
kota raja, tentu saja aku tidak ingat lagi. Tentu aku masih kanak-kanak waktu
itu. Akan tetapi, aku dapat mencari keterangan di kota raja tentang dia.
Sekarang, kau hendak mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari kakakmu lebih
dulu, kita kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak periu kita ke
kota raja.”
Lin Lin termenung. Kedua orang
itu sama pentingnya. Akan tetapi, pertemuan dengan Kim-lun Seng-jin dan cerita
tentang “Puteri Khitan” amat menarik hatinya dan membuat ia ingin sekali
segera mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia mencari Bu Song di kota
raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya Bu Sin dan Sian Eng.
Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.
“Biar kita mencari Kakak Bu Song
lebih dulu, ke kota raja.” Akhirnya ia berkata. “Sekalian menanti munculnya
Sin-ko dan Enci Sian Eng. Liong-twako, kau baik sekali. Perlu kau kuperkenalkan
dengan Sin-ko dan terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu gagah perkasa, ilmu
pedangnya hebat dan dia cantik sekali, Twako!” Setelah berkata demikian ia tertawa-tawa
gembira.
Merah muka Bok Liong. “Hush, kau
bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang Cicimu? Apa perlunya?”
“Ihhh, kalau aku memuji
kecantikan Enciku di depanmu, apa sih salahnya?” Ia tertawa-tawa lagi dan
matanya menggoda. Bok Liong tersenyum masam, hatinya mengeluh. Engkaulah yang
cantik, tidak ada wanita ke dua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan
hatiku seperti engkau, demikian suara hatinya.
“Baiklah, kita kembali ke kota
raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar nanti kucarikan
gantinya.”
“Sarung pedang? Mengapa?” Lin
Lin meraba pedangnya.
“Moi-moi, tadi aku mendengar
dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning yang hilang dari
istana dan berada di tanganmu. Lebih baik sarungnya yang istimewa itu diganti,
sehingga tidak akan dikenal orang.”
Lin Lin tersenyum. “Memang
inilah pedang itu, kakek gundul dan aku yang mengambilnya. Wah, kalau kau ikut
tentu senang sekali, Liong-twako. Kami berdua sikat habis semua masakan di
dalam dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama hidup belum pernah kau
merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan perut kakek itu menjadi
busung. Dan kami.... kami menyamar seperti kucing....” Lin Lin terkekeh
gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus diseling tawa ia
menceritakan pengalamannya di istana.
Bok Liong kagum bukan main.
Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum akan manisnya mulut yang
bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka berdua memasuki kota Pao-teng dan
di sebuah toko senjata, Bok Liong membeli sebuah sarung pedang untuk pedang
yang tergantung di pinggang Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa ronce-ronce dan
dengan sarung lain, tiada bedanya dengan pedang biasa, maka tentu tidak akan
ada yang tahu bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka rampasan dari
bangsa Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.
Di kota Pao-teng, Bok Liong
mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Hari
menjelang senja dan perut mereka telah lapar. Tanpa sungkan-sungkan Lin Lin
menyetujui dan seorang pelayan segera menyambut mereka dengan hormat, apalagi
ketika melihat pedang yang tergantung di punggung Bok Liong dan di punggung
Lin Lin.
Bok Liong bertanya, “Kau hendak
makan apa, Moi-moi?”
“Apa sajalah. Setelah makan
eh.... anu.... semua itu, kiranya tidak ada makanan yang cukup bagiku.” Ia
mengernyitkan hidung dan Bok Liong maklum bahwa yang dimaksudkan Lin Lin tentu
masakan-masakan di dapur istana itu. Pelayan yang menanti pesanan mereka tentu
saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona yang cantik jelita dan gagah
perkasa ini.
Bok Liong memesan arak wangi,
nasi putih, bakmi, bakso dan beberapa macam sayur-mayur lagi. Pesanan itu
dilayani dengan cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka telah mulai makan
minum. Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar itu membuat Lin
Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya dengan
masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah masakannya
yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut lapar. Perut lapar
menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana seakalipun!
Suara orang bercakap-cakap riuh
rendah memasuki restoran itu tidak menarik perhatian Lin Lin dan Bok Liong
yang sedang enak makan, juga ketika beberapa orang tamu memesan masakan dengan
suara parau, mereka tidak menengok dan terus makan. Akan tetapi karena tiga
orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang berhadapan dengan
Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak gadis ini
meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat duduk dengan
mata berapi Bok Liong melihat keadaan gadis ini, sambil menghirup kuah dari
mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya. Kiranya yang bercakap-cakap dan
duduk mengelilingi meja itu adalah tiga orang laki-laki yang pakaiannya
ditambal-tambal, pakaian pengemis jembel!
“Sssttttt, Lin-moi, tenang dan
duduklah. Tak baik membuat ribut di restoran orang, bikin kacau dan rusak
barang orang saja.” bisiknya.
Lin Lin sadar, menekan
perasaannya dan duduk kembali. Seorang pelayan sedang siap untuk mengambilkan
pesanan tiga orang pengemis itu, memandang penuh kekhawatiran dan curiga
kepada Lin Lin, akan tetapi ketika melihat gadis ini duduk kembali, ia
cepat-cepat pergi ke dapur. Tidak mengherankan apabila Lin Lin kaget dan marah
melihat tiga orang laki-laki itu, karena mereka ini adalah tiga orang di antara
para pengemis yang malam-malam mengeroyok dia dan dua orang saudaranya. Sebaliknya,
tiga orang pengemis itu agaknya tidak mengenal Lin Lin, dan hal inipun tidak
aneh. Mereka baru satu kali saja melihat Lin Lin, inipun di waktu malam dan
dalam pertempuran. Apalagi ketika itu Lin Lin ditemani oleh Bu Sin dan Sian
Eng, sedangkan sekarang hanya berdua dengan Bok Liong.
“Mereka adalah pengemis-pengemis
yang dulu ikut mengeroyok kami,” bisik Lin Lin.
Bok Liong mengangguk-angguk.
Gadis itu sudah menceritakan tentang perselisihannya dengan para pengemis yang
dipimpin oleh Si Raja Pengemis It-gan Kai-ong.
“Mereka itu tokoh-tokoh
Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang) dan agaknya mereka
datang sebagai tamu. Wilayah mereka bukanlah di Pao-teng sini. Lin-moi, mari
kita ke luar.” Bok Liong memanggil pelayan, membayar dan mengajak Lin Lin
keluar dari restoran.
“Lin-moi, malam ini kita
sebaiknya bermalam di sini. Pengemis-pengemis itu mencurigakan.
Pengemis-pengemis Hui-houw-kai-pang merupakan orang-orang kepercayaan It-gan
Kai-ong. Mereka itu bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, kalau datang ke dekat kota
raja tentu ada maksud-maksud tertentu, sebagai mata-mata. Aku akan membayangi
mereka.”
“Liong-ko, kenapa kau akan
lakukan hal ini? Apa hubunganmu dengan urusan itu?”
Bok Liong memandang dengan sinar
mata penuh perasaan ketika ia berkata. “Lin-moi, seorang warga negara harus
setia kepada negaranya. Demikian pula aku, harus setia kepada Kerajaan Sung.
Kalau aku melihat persekutuan yang membahayakan negara dan aku diamkan saja
bukankah itu berarti bahwa aku menjadi seorang pengkhianat? Tidak Moi-moi,
takkan kudiamkan saja kalau orang-orang Hui-houw-kai-pang ini mempunyai niat
melakukan sesuatu yang membahayakan negara.”
Kagum hati Lin Lin, Sebagai anak
angkat Jenderal Kam, seorang patriot sejati yang rela mengorbankan diri dan
kebahagiaan demi negara, tentu saja ia tahu akan hal ini, dan ia dapat
menghormati sikap ini.
Malam hari itu, Bok Liong dan
Lin Lin membayangi tiga orang pengemis yang memasuki sebuah rumah gedung kecil
di sebelah timur kota Pao-teng. Rumah ini jauh dari tetangga, pekarangannya
lebar dan kelihatannya sunyi. Sebuah rumah kuno yang modelnya seperti rumah
pesanggrahan bangsawan, yang hanya ditinggali sewaktu-waktu saja. Bagi para
penduduk Pao-teng, rumah gedung mungil ini terkenal dengan sebutan “Gedung
Merah”, karena memang cat rumah itu merah. Orang-orang hanya tahu bahwa rumah
itu milik seorang hanya bangsawan muda dari An-sui yang kadang-kadang saja
datang ke rumah ini di mana ia mempunyai beberapa orang wanita penghibur yang
menjadi selir-selirnya. Kalau bangsawan muda itu datang, barulah tampak
kesibukan di gedung merah ini. Tukang-tukang masak pandai dipanggil, rombongan
penghibur, penari dan penyanyi, diundang dan sering kali diadakan pesta oleh
bangsawan itu bersama selir-selirnya, kadang-kadang ditemani beberapa orang
tamu.
Bangsawan muda itu bukan lain
adalah Suma Boan, putera Pangeran Suma. Memang dia seorang pemuda penghambur
nafsu dan uang. Sebetulnya, hanya kelihatannya saja Suma Boan merupakan seorang
kongcu hidung belang yang menghabiskan waktunya dengan pelesir dan
bersenang-senang. Padahal sebetulnya, dia seorang muda yang mempunyai penuh
cita-cita. Tidak sia-sia ia menjadi murid orang sakti It-gan Kai-ong, karena
tidak saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun juga memiliki cita-cita
setinggi langit. Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw ia hubungi, dan ia
menghimpun tenaga untuk sewaktu-waktu bergerak melaksanakan tujuan dan
cita-citanya, yaitu menggulingkan kedudukan kaisar dan mengangkat diri sendiri
menjadi penggantinya! Tentu saja cita-citanya ini masih merupakan rahasia dalam
hatinya dan kiranya hanya gurunya dan pembantu-pembantunya yang paling setia
saja yang tahu. Orang lain hanya menganggap bahwa Suma Boan adalah seorang
bangsawan, putera pangeran, masih sanak dengan kaisar, kaya raya dan royal di
samping memiliki ilmu kepandaian silat tinggi.
Maka dari itu, Bok Liong menjadi
heran sekali ketika ia mengintai dari atas genteng gedung merah bersama Lin
Lin, ia melihat bahwa tiga orang pengemis itu mengadakan pertemuan dengan Suma
Boan. Hal ini sama sekali tak pernah diduganya. Suma Boan putera pangeran yang
tinggai di An-sui itu berada di sini? Benar-benar di luar dugaannya, yang sejak
dahulu berkelana, Bok Liong mengenal siapa adanya Suma Boan, murid It-gan
Kai-ong yang lihai. Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu akan rahasia putera
pangeran ini. Ia tidak menjadi heran karena Suma Boan berhubungan dengan
pengemis, karena guru pemuda bangsawan itu adalah raja pengemis sendiri! Akan
tetapi yang membuat ia terheran-heran adalah munculnya pemuda bangsawan itu di
gedung merah, karena tadinya ia mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak
mengadakan persekutuan atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung.
Maka ia kecewa dan memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ.
Akan tetapi, sebaliknya wajah
Lin Lin menengang ketika ia mengenal Suma Boan. Ia malah memberi isyarat kepada
Bok Liong untuk mendengarkan percakapan mereka di bawah, lalu mendekatkan mulut
pada telinga Bok Liong sambil berbisik.
“Di rumah dia itulah aku
berpisah dengan kedua kakakku.”
Mendengar ini, hati Bok Liong
tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan empat orang itu.
Terdengar Suma Boan bertanya.
“Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya dengan surat yang
dirampas Hek-giam-lo?”
“Kai-ong-ya tidak berhasil
merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa surat itu agaknya sudah terampas
kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari tangan Hek-giam-lo. Sekarang Ong-ya berkenan
pergi sendiri menyelidik ke Yu-nan.”
“Apa? Suhu mendatangi wilayah
Nan-cao?”
“Betul, Kongcu. Pada pertengahan
bulan depan, tepat pada bulan purnama, di sana diadakan pesta menyambut hari
raya kaum Agama Beng-kauw, sekalian memperingati hari wafat ke seribu dari
Kauw-cu (Ketua Agama) yang telah meninggal dunia. Dalam kesempatan ini, tentu
saja Kai-ong-ya dapat menghadiri karena para tokoh hitam dan putih semua
diterima dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw.”
“Bagus!” Suma Boan kelihatan
girang sekali. “Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi tahu, tentu aku akan
ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman.”
“Kai-ong-ya berpesan agar Kongcu
suka menanti kedatangan Tok-sim Lo-tong yang sudah berjanji akan datang
mengunjungi dan sudah siap memberi bantuan untuk menghadapi Suling Emas.”
“Hemmm, si keparat itu apakah
sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang ke kota raja?”
“Menurut Kai-ong-ya, sering kali
ia berada di dalam gedung perpustakaan istana.”
“Heeeee! Apa itu?” Tubuh Suma
Boan berkelebat, diikuti tiga orang pengemis itu yeng sudah melompat keluar dan
langsung melayang ke atas genteng.
Kiranya tadi ketika mendengar
percakapan di bawah, Bok Liong dan Lin Lin menjadi tertarik sekali. Apalagi
ketika nama Suling Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu bernafsu
sehingga ia bergerak untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang hati-hati
dan hatinya tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh telinga
Suma Boan yang tajam.
“Keparat, berani kalian
main-main di depan Lui-kong-sian?” bentak Suma Boan sambil menerjang maju.
Lui-kong-sian atau Dewa Geledek adalah julukannya.
Bok Liong maklum akan lihainya
lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua lengan yang sama
kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental melayang dan tentu akan roboh
terguling di atas genteng kalau tidak cepat-cepat mereka meloncat turun. Lin
Lin yang tahu bahaya, juga mendahului meloncat turun sambil mencabut
pedangnya. Baru saja kakinya menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah
menerjangnya dengan tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah
memutar pedangnya, tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu
menyambut datangnya tiga bayangan tongkat.
Adapun Suma Boan ketika
tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia menjadi penasaran.
“Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang seperti pencuri?” bentaknya
ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya di atas tanah. Sayang keadaannya
agak gelap sehingga ia tidak dapat mengenal siapa pemuda yang lihai di
depannya ini.
“Suma-kongcu, suruh
orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi, tidak akan mengganggumu
lagi,” kata Bok Liong sambil memandang ke arah pertempuran. Akan tetapi ia
tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin karena tiga orang pengemis itu telah
terdesak hebat oleh sinar pedang kuning yang bergulung-gulung dahsyat.
“Enak saja bicara, berani kau
datang untuk memerintahku? Ke nerake kau!” Suma Boan cepat menerjang dengan
pukulan-pukulan maut. Keistimewaan pemuda bangsawan ini adalah ilmu pukulan
tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia memiliki banyak tipu muslihat, juga
memiliki beberapa pukulan yang mengandung tenaga beracun. Namun kali ini ia
menghadapi lawan yang tangguh, murid seorang sakti pula, maka semua pukulannya
dapat dihalau oleh Bok Liong. Karena dia seorang pendekar yang gagah dan
memang suka mengadu ilmu, apalagi sudah lama mendengar akan nama besar
Lui-kong-sian Suma Boan, Bok Liong juga tidak mau mencabut pedangnya dan
melayani lawannya dengan tangan kosong pula. Keduanya sama kuat, sama cepat
dan masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.
Tidak seramai dua orang jago
muda ini keadaan Lin Lin dan para pengeroyoknya. Dalam sekejap mata saja,
pedangnya telah merobohkan dua orang pengeroyok dan pengemis yang ke tiga
lari ketakutan menjauhkan diri! Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan juga
bangga. Ia pernah dikeroyok orang-orang seperti ini, ketika bersama Bu Sin dan
Sian Eng dahulu, dan mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan banyak
pengemis. Akan tetapi sekarang, biarpun yang mengeroyoknya hanya bertiga,
namun dengan pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun Seng-jin, terasa
betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia merobohkan mereka!
Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat dengan pemuda
jangkung yang sombong itu.
“Liong-twako, jangan takut,
pedangku akan mencabut nyawanya!” seru Lin Lin dan cepat ia menerjang. Sinar
kuning berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu
berjungkir balik. Pucat wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar
pedang yang mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang
rendah. Kiranya selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai
dan ganas ilmu pedangnya.
Lin Lin hendak menerjang lagi,
akan tetapi tangannya disambar Bok Liong, ditarik dan pemuda itu berkata,
“Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah orang!”
Lin Lin baru teringat bahwa
sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan orang-orang itu. Tadi
ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya
bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu. Malah
pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang
ke mana harus mencari Suling Emas, musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam
gedung perpustakaan istana! Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat
meloneat pergi bersama Bok Liong, menghilang ke dalam gelap. Suma Boan tidak
mengejar. Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai,
dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus
mengejar tanpa bantuan yang kuat?
Setelah berlari jauh
meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk mengatur
napas. “Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana bersama
Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga bahwa
gedung merah itu milik Suma Boan,” kata Bok Liong.
“Aku tidak takut! Biar ada
jembel tua bangka setengah buta itu aku tidak takut dan akan melawannya
mati-matian!” seru Lin Lin dengan suara gagah.
“Kau memang hebat, Lin-moi.
Memang tenaga kita digabung menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat
sekehendak hatinya. Tapi Suma Boan itupun tak boleh dipandang ringan. Dia
lihai.....” Bok Liong menggeleng-geleng kepala dan ia maklum bahwa kata-katanya
ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal ia tahu
benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma Boan
saja, baru seimbang dengan kepandaiannya. Pemuda bangsawan itu harus ia akui
amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir mencabut
pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.
“Liong-ko, sekarang kita harus
kembali ke kota raja. Suling Emas berada di sana, di dalam gedung perpustakaan
istana. Wah, kali ini dia tidak akan dapat terlepas dari tanganku!”
Bok Liong mengangguk-angguk.
“Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi
sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu nafsu dan lancang
menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang akan bicara dengannya, dan
aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya mengaku apakah dia
membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang
terhadap seorang seperti dia.”
“Aku tidak takut!”
“Memang kau tidak takut,
Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana
kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak
bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah
kepadanya?”
“Baiklah, baiklah, aku akan
menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu
dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas, Twako.”
Bok Liong tersenyum. Ia khawatir
kalau-kalau sahabat barunya ini marah dan mengambul. “Marilah, Moi-moi. Kau
suka melakukan perjalanan malam begini?”
“Biar malam udara terang, lihat
bulan tersenyum di atas tuh!”
Akan tetapi Bok Liong tidak
memandang bulan, melainkan memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya
lebih daripada bulan sendiri!
“Kau tidak lelah dan ngantuk
nanti?”
Lin Lin menggeleng kepala. Maka
berangkatlah dua orang muda itu, berjalan kaki di bawah sinar bulan,
berendeng mereka berjalan. Bagi Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak
mendatangkan perasaan apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin.
Terhadap Bok Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan
menganggap pemuda ini seperti kakaknya sendiri. Tentu saja tidak demikian apa
yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini
mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar darahnya,
membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin menyatakan
cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya. Ingin ia memegang
jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia mendekap kepala dengan wajah
cantik dan rambut hitam halus harum itu ke dadanya, ingin membisikkan sumpah
cinta,ingin ia.... ingin....
“Plakkk!”
“Eh, ada apa, Twako?” Lin Lin
berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada pemuda yang baru saja
menempiling kepala sendiri itu.
Bok Liong sadar, kaget dan
gugup. “Oh.... eh.... tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku,”
jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari mukanya
yang menjadi merah sekali.
“Kau bikin kaget orang saja.
Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri begitu kerasnya?” Lin Lin mengomel
karena tadi ia dikagetkan daripada lamunannya. Sambil berjalan ia pun melamun,
teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan dirinya. Betulkah ia
seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan langsung dari Raja Khitan?
Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat dirinya dengan pakaian puteri
yang indah sekali, berada di dalam gedung istana seperti yang pernah ia lihat
bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan orang! Apalagi kalau ia yang
menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan.... akan apakah dia? Inilah yang baru
ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong
menempiling kepala sendiri dan mengagetkannya serta menariknya turun daripada
angkasa ke alam sadar.
“Sayang tidak ada kuda. Kalau
kudaku masih ada, kau dapat naik kuda, Lin-moi, dan tidak terlalu lelah.”
“Kenapa kaujual kudamu kalau
begitu?”
Bok Liong menghela napas. “Perlu
dijual.... perlu sekali.... saku sudah kosong, apa daya?”
Lin Lin menggerakkan tangan,
sejenak menyentuh lengan pemuda itu.
“Aku tahu. Kau terpaksa
menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar,
untuk biaya-biaya perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik.”
Hati Bok Liong berdenyut-denyut
girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus.
“Ah, yang begitu saja, mana
patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan perjalanan hanya dengan seekor
kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat,
untuk apa? Kalau kita mau, kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda.”
Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan
Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin
Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang
dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok
keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di
bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat
Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta
dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya, di dalam sebuah
hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas daripada cengkeraman
iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya, Hek-giam-lo telah
berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti
kedatangannya. Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo
yang sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian
dibawa lari secepat terbang! Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti,
tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan
diri daripada pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya,
menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang
sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut
dengannya dan mentaati segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum bahwa
tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba.
Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap
menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan
terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
“Hek-giam-lo, sudah berkali-kali
kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she
Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah
aku pergi.” Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka
berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.
Hek-giam-lo memang pendiam dan
tak banyak ia bicara selama dalam perjalanan, sungguhpun ia amat memperhatikan
keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan
pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya
dijawabnya singkat, “Paduka puteri raja kami, memang sejak kecil diambil anak
oleh Jenderal Kam.” Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara
lagi.
Melalui perjalanan yang amat
cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang
setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu
hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat
liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah
perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru
yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar
dikelilingi hutan-butan kecil di antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria!
Dapat dibayangkan betapa heran
dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa
yang ia tidak mengerti, para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang
jalan yang mereka lalui.
“Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat
kita memberi hormat kepada Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.
Sian Eng melihat orang-orang
kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga
terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan
itu.
“Kita sekarang ke mana,
Hek-giam-lo?”
“Mari menghadap Sri Baginda,
Paman Paduka.”
“Pamanku?” Sian Eng tidak
mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke
sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu. Di depan rumah besar
ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah
dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris
rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat.
Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal. Kiranya
dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat
mewah. Bendera-bendera kecil berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya.
Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini
pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun,
baik pasukan laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat takut dan
menghormat Hek-giam-lo.
Melalui pelaporan seorang
penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan
memasuki ruangan besar di mana telah menanti seorang laki-laki tampan
berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat daripada
gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan
bermata tajam.
Hek-giam-lo yang menuntun Sian
Eng masuk, berkata singkat, “Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri
Baginda, Paman Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan
terdengar suaranya nyaring.
“Hamba datang menghadap, dengan
berkah Sri Baginda, hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut
menghadap Sri Baginda.”
Laki-laki itu ternyata adalah
Raja suku bangsa Khitah yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng
penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang
tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi
kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar,
kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup
lancar.
“Nona, marilah mendekat, biarkan
aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu.”
Sian Eng melangkah maju sampai
berada dekat dengan raja itu sambil berkata, “Hek-giam-lo tahu bahwa aku
bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja
membawaku ke sini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan
aku.”
Raja itu memandang lagi penuh
perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak
yang keras. “Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah
inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus. Untung
kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung....!” Sian
Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang
berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.
Akan tetapi pada saat itu
Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng, “Sri
Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal Kam.
Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai di sana. Hamba
mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki dan
berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri
mendiang Tuan Puteri Tayami.”
“Hek-giam-lo, apa yang
menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada
dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang membawanya
bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat
mereka, biarpun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang
kucari-cari daripada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!” Raja memberi
tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring
masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di
kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja
dan menundukkan muka.
“Ha-ha-ha, mereka ini
keponakanku? Akan tetapi biarpun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak
menyenangkan hatiku, biarpun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis
yang kaubawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami.”
“Tapi Sri Baginda....”
“Kau mau bukti? Dengar, ketika
masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah
tanda merah. Coba kita periksa bersama!” Ia memberi isyarat dan tiba-tiba
Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang
hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar berkilauan
menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya
dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan
bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa
detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!
Dapat dibayangkan betapa malu
dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan
tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan
tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas
lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian,
punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit
punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!
“Ha-ha-ha-ha, kaulihat,
Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu sayang. Tapi lumayan juga,
dia cantik manis!”
“Ampun, Sri Baginda. Hamba telah
berlaku ceroboh.” terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.
“Tidak apa, kaucarilah lagi.
Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah.” Sian Eng
terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya
berdiri. Ia mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun
dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu.
Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan
seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul denuan kedua
tangannya ke arah dada dan perut raja itu!
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya
dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau
tidak Hek-giam-lo yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap
keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang
meluap-luap.
“Hek-giam-lo, kuserahkan dia
kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka.
Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan
berkesempatan menghina mereka yang menyebaikan hati rajanya!” Setelah berkata
demikian, raja itu mendengus marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringkan
oleh dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.
Sian Eng sudah bangun kembali
dan cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong.
Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa
pakaiannya terbuat daripada kain yang lebar dan panjang sehingga biarpun
robek-robek namun masih cukup untuk menutupi ketelanjangannya.
Akan tetapi Hek-giam-lo tak
memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak
dan tahu-tahu ia telah menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu,
membawa mereka bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian
melangkah lebar keluar dari gedung itu.
Malam itu terang bulan, namun
keadaan di luar perkampungan itu, di pinggir hutan, amat menyeramkan. Apalagi
kalau orang melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar
bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan
bergidik melihat apa yang tampak di sana.
Tiga buah kepala orang berada di
atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup! Yang dua buah adalah
kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis
terisak-isak dengan air mata bercucuran. Akan tetapi, kepala yang berada di
kiri, kepala Sian Eng, biarpun tampak agak pucat juga, namun sama sekali tidak
menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
Memang hebat dan mengerikan
sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis itu, yang mentaati perintah
rajanya. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur
kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur
mereka sebatas leher. Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya
kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang
benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada
seorang pun manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis
bernasib malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi
tangan kanan raja?
Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian
Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia
akan Lin Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak
angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik
angkatnya itu wataknya aneh sekali dan ketika ia tadi melihat pengawal-pengawal
dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan, alangkah besar persamaan
Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali bulu mata dan hidungnya.
Jantungnya berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia Lin
Lin. Dan besar kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan
raja. Betulkah ini?
Tangis kedua orang gadis di
sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan
perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya
dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya
sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka
akan menghadapi kematian yang mengerikan dari penuh sengsara. Dipendam sebatas
leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima penghinaan dari
para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara
mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng
sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum dari dalam
hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan
hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu
akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun
melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti
harimau?
“Hu-hu-huk, Ayah.... Ibu....
tolong....!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.
“Aku.... aku.... takut.... ya
Tuhan cabutlah nyawaku....!” Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh
dan menangis.
Sian Eng mengerutkan keningnya,
penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka
ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya
mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.
“Enci berdua, tenangkanlah hati
kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang
sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati
adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”
Dua orang gadis itu menengok
kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama
sekali tidak nampak takut.
“Aku.... aku tidak takut
mati.... aku.... aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini
dan.... dan penghinaan.... ah, lebih baik aku mati, tapi jangan.... jangan mati
dimakan harimau....” kata gadis di depannya terisak-isak.
“Sebelum hayat meninggaikan
badan, tak boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci berdua harap tenang
saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah
tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja
mati.”
Hiburan dan kata-kata Sian Eng
yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua
orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam
hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak
dua orang teman “senasib sependeritaan” itu untuk bercakap-cakap. Dari mereka
dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh
tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di
depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya
puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian
Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah
puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu
bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian Eng menjadi panas hatinya.
Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu
akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Dan menghadapi penderitaan dua orang gadis
itu, ia tidak dapat bicara banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka
itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan
ini. Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan
menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi
nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis
lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan
bahwa kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia
akan mengamuk sampai mati!
Terdengar derap kaki kuda dari
jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan
air mata mereka bercucuran.
“Adik Sian Eng, selamat
berpisah....”
“Mudah-mudahan kematian segera
datang menjemputku....” kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis
di depan.
Sian Eng terharu, akan tetapi ia
malah memaksa diri tersenyum, “Enci, kalau seorang di antara kita mati, tentu
yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan
pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan
sekali? Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana pun.”
Derap kaki kuda sudah dekat
sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke
kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena
tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh
karena itu, biarpun hati mereka sekali memandang, mereka tidak dapat dan tidak
tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini.
***
Tak lama kemudian, seekor kuda
yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang
laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya
mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang
ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke
kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya
berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali.
Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki
muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di
bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok.
Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar. Yang membuat Sian Eng berdebar
tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki
yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar
yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan
gambar pada baju di dada itu. Suling Emas! Celaka, pikirnya. Kiranya musuh
besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya,
sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.
Dan orang itu semenjak melompat
turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh
selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut
sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi, dialah
Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apalagi kalau bukan suling terbuat
daripada emas?
Dengan gerakan cepat, ia
mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja tanah di
sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua
tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas,
sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian
itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu
melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia
meoggerakkan kedua lengan menutupi dada!
Pemuda itu menyumpah,
“Keparat....!” cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya ke
arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya
dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda
itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna
putih. Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan
sulingnya, membongkar dari menggali tanah untkik membebaskan dua orang gadis
itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke
dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.
“Benar-benar setan!” ia
menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo,
merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang
merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerodongkan robekan kain hitam
itu ke atas tubuh mereka.
“Lekas, kalian naik ke atas kuda
ini dan cepat pergi. Amat berbahaya di sini.” Ia menoleh kepada Sian Eng,
tersenyum sedikit dan berkata, “Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga,
kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”
Semenjak tadi Sian Eng hanya
melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
“Kau.... kau.... Suling
Emas....?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.
Wajah tampan dan mata sayu itu
menjadi agak muram, tapi ia mengangguk. “Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas
pergi lebih baik,” katanya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri
dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh
mereka terbuka dan.... kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah
menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi
kering membiru!
“Ah, gobloknya aku....!” Suling
Emas menarik napas panjang.
“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng
berseru, cemas dan ngeri.
Suling Emas menunding ke arah
robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo. “Kain itu mengandung racun yang jahat.
Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”
Sian Eng tak sempat menjawab
apalagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan
disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan
tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah
lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.
“Tapi.... jenazah mereka
itu....?” Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib
yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
“Mereka sudah mati, mau diapakan
lagi?” jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari
mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang
cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng.
Memang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang
Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang
satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan
Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya
juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat
bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu
saja!
Ingin ia dapat memandang muka
Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang.
Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang
ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap
wanita. Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun
Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau
saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali
kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya
lagi.
Ketika ia diculik Hek-giam-lo
dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan
Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan
suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya. Sekarang, dalam
perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng
mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini
jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan itu ketihatan selalu
sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak
kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana
takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah
memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti
patung hidup!
Malam itu Suling Emas terpaksa
menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan
perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda
hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling
Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon
besar. Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di
punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya
menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk
mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api
unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat
minum. Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu,
karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak
pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng
tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh.
Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!
Mereka makan roti kering dan
minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling
Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak
bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan
dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah
yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau
teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping.
Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup,
guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin
mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng
tak dapat menahan lagi kegelisahannya.
“Kau hendak membawaku ke mana?”
Suling Emas agaknya terkejut
mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di
dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya
turun dari dunia lamunan dan gagap ia menoleh sambil bertanya.
“Apa....?”
Mendongkol juga hati Sian Eng.
Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia
bertanya. “Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak membawaku
pergi?”
“Dengan maksud apa?” Agaknya
pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar, mengingat-ingat
setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab, “Tentu saja agar kau
bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang
dikuasai orang-orang Khitan.”
Sian Eng tak dapat berkata
apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja
begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia
mengerti. Akan tetapi, Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh
besarnya! Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah
menoleh kembali menatap api unggun.
“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia
berkata dengan suara tegas dan ketus. “Suling Emas, kau telah membunuh ayah
bundaku! Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu
yang.... yang tidak baik!”
Suling Emas mengangguk-angguk,
tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia
gembira sekali mendengar ini. “Hemmm.... itukah sebabnya mengapa kalian
bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata
rahasia kepadaku di hutan itu....”
Sian Eng terkejut. Jadi orang
ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu
pula akan penyerangan di dalam hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai
sekali. Akan tetapi ia tidak takut.
“Memang betul. Biarpun kau
berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak
menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus
menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan
nyawa dalam menuntut balas dendam!” Sian Eng meloncat bangun dan memasang
kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya
walaupun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya
kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.
Suling Emas tetap tidak menoleh,
malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api
membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian
jidatnya itu.
“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak
membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian
bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana
tempat tinggalnya?”
Sian Eng ragu-ragu dan bimbang.
Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur, “Tapi.... tapi....
sebelum meninggal, Ibu bilang.... tentang pembunuh itu.... menyebut-nyebut
tentang suling....”
“Jangan bodoh. Duduklah dan
ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan
menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa
bersikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”
Biarpun Suling Emas tidak
menengok dan masih memandang api namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu
keluar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api,
melirik ke arah orang itu dengan bingung.
“Kalau bukan engkau, siapa....?”
pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya
yang terdengar melalui bibirnya.
“Bukan aku!” jawab Suling Emas
pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng percaya. Andaikata
orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang.
Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling
Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama,
karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Ke
dua, ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan orang-orang
Khitan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang
saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada bahaya maut di tangan It-gan
Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan
sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat
membingungkan?
“Ah, kalau begitu maafkan kami.
Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan
Lin-moi....”
“Lin-moi? Siapa?”
“Adikku....”
“Ahhh, begitu? Kalau tidak
keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng berpikir sejenak. Apa
salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi
merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan
dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.
“Kami adalah keluarga Kam,
tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami....”
“Jenderal Kam.”
Sian Eng terkejut dan kembali ia
menjadi curiga. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Masih tetap merenung dan
memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh.
“Banyak tokoh kukenal. Jenderal
Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah.”
Sian Eng melanjutkan
penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si
Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia
menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka
cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu
seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling
Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak
pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah
ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau
kepada sebuah patung!
“Begitulah, kami bertiga
berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari
musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai
maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum
bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.” Dengan ringkas Sian Eng
menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan
Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi
keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh
Suma Boan.
“Tak tahu aku bagaimana akan
nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.
“Tak perlu gelisah. Dia
selamat.”
“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng
bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa
kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan
lihai itu. “Ah, tentu kau telah menolongnya pula, bukan?”
Suling Emas menunduk, lalu
berkata perlahan, “Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka
oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil
dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya. Kalian bertiga sungguh tak
tahu diri....”
Sian Eng mengerutkan kening.
Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah
menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya
mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.
“Kau sudah menolong kami, patut
aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini?
Mengapa kau menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah
tiga orang yang tak tahu diri?”
Suling Emas bangkit berdiri
untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting
ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang
marah, “Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati
melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa!
Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu
dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang
membunuh ayah bundamu?”
Sian Eng maklum akan maksud
kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh
jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia
kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama
sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di
dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun
juga, ia tetap tidak menjadi jerih.
“Kalau bertemu, biar
kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding
mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.
Suling Emas mendengus. “Huh,
mudah saja bicara. Kau anak kecil....”
Sian Eng mau marah, tapi tidak
dapat. Betapapun jugat ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang
aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.
“Memang aku anak kecil, biarlah,
memang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan
hatinya. Suling Emas menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja
kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang
ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu
dalam alam mimpi!
“Dan kenapa kau menolongku,
menolong Sin-ko?”
“Siapa menolong siapa? Aku tidak
menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan
kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang,
kaubilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi
Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa
itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka
sekali?”
Sian Eng memandang heran. Orang
ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan
tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung.
Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin
wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai
berdebat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah.
Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi
serangan bicara Lin Lin.
“Tak perlu kau marah-marah
kepadaku,” akhirnya ia berkata, “kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga
kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh
ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”
Suling Emas kembali membuang
muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali
ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati.
Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
“Siapa yang membunuh ayah
bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan
saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu.
Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!”
Kaget sekali hati Sian Eng
mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang
ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.
“Bagaimana kau bisa tahu?
Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka
bercerita kepadaku.”
Suling Emas menggeleng
kepalanya. “Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu.
Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi
kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau
bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”
Sian Eng tidak menjawab dan
mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia,
tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia
menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
“Sudahlah, ditangisi air mata
darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan
saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di
tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan
mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang
aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama
Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki
Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah berkata demikian, Suling
Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma
mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh
malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan
kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian
terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah
menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian
Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang
bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu periahan untuk
dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang
menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus
membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang
sepotong besar daging.
“Daging hangus....!” Otomatis
Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari
menghampiri daging itu dan membaliknya.
Suara senandung menghilang.
“Wah, aku lupa....! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.
“Tidak, hanya hangus sedikit.
Pakaian itu.... punya siapa?”
“Kaupakailah. Malam tadi
kudapatkan dari dusun di sana.”
Setelah berkata demikian, Suling
Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan
menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng
memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini
disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan
seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng
membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis
ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang
pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin
pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia
menghampiri daging panggang yang sudah masak.
“Dagingnya sudah matang!” ia
berteriak pada punggung yang lebar itu.
Suling Emas membalikkan
tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti
pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling
Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
“Ini jubahmu, terima kasih,”
Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa
berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
“Kita sarapan daging panggang
lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan
keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling
Emas.
Setelah selesai makan, Suling
Emas berkata, suaranya serius, “Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus
membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat.
Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu
Bu Sin. Silakan!”
Kalau saja kata-kata itu tidak
diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan
angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan
di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera
bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia
bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak
dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling
Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam
gugupnya ia menengok dan.... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang
duduk di belakangnya! Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di
belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian
ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di
belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali
dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum
akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak
merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh
di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas.
Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka
melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat.
Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua
kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian
Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram,
kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang
pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya
pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun
hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng
karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang
mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang
kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran.
Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok
dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah
menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun
telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan
berbisik, “Dia.... Suling Emas....”
Suling Emas menghentikan kudanya
di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan
depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera
memberi hormat kepada Suling Emas.
“Harap para Losuhu (Bapak
Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya
dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”
“Omitohud.... tentu saja,
Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona.... dan anggaplah di sini sebagai
tempait tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. “Apakah
Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”
Suling Emas menggelengkan
kepalanya. “Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.”
Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada
di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu di sini, kalau saudaramu
berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian
bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi
kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.” Suling Emas
memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya
yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian Eng berdiri bengong, tak
dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu,
melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi
Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu
yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin,
yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu
muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba
ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.
“Losuhu, dia itu.... Suling Emas
itu.... orang macam apakah dia?” pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja
dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak
bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan
sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
“Bukan hanya kau yang mengajukan
pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri!
Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu
seorang pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang
bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah
Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi
bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu
berfihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti,
Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk,
Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita
bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau
betul dia itu berada di dalam kota raja.”
Lega hati Sian Eng, sungguhpun
keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan
ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya
penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk
mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah
darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar
para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu
kepadanya. Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan
gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu
Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin
kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim
seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu
bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah
berhutang budi besar kepada Suling Emas.
***
Di bagian depan telah kita
ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan
melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena memang amat
ingin ia bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari
Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu
dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung
perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua.
Mereka telah berhasil melarikan
diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja, dan melanjutkan
perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya,
bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada
bahaya sesuatu yang mengintai.
Memang Lin Lin seorang gadis
remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia pun enak saja
melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih
hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok
Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya
amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan
berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh
juita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempiling jidatnya sendiri karena
timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah, bulan
terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong
berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka
ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang
hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau
indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam
kehidupan dari segenap penjuru.
Biarpun Suma Boan atau
Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena ia maklum bahwa menghadapi dua orang
muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu
saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja.
Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan
tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada di
situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin
dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi
Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran.
Yang pertama adalah ketua dari
perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini
sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua
dan senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga
ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya
senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan
menjadi gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian
yang mengerikan. Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama barisannya
yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Terbang). Barisan
ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan
yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu
mengajak barisannya ini, biarpun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang
muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka
dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Lewat tengah malam, Lin Lin dan
Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok
Liong yang sudah beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah ini, tahu
bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai
lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di
tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera
membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih setelah
keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.
“Kau mengaso dan tidurlah,
Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”
“Mana bisa aku tidur kalau
dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas
membiarkan kau digigiti nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur,
aku pun tidak mau tidur.”
Bok Liong tersenyum lebar, dalam
hati amat bersyukur bahwa gadis ini memiliki watak yang demikian baik.
Memang, kalau orang sedang bercinta, segala yang dilakukan orang yang
dicintanya selalu baik, setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa
kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau
tidur.
“Baiklah, aku pun akan tidur di
sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke
kota raja.”
“Nah, begitu baru adil namanya,”
kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia
pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata,
berbantal tangan. Melihat ini, Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.
“Nih, pakailah untuk bantal,
lumayan.”
Lin Lin tidak membantah, memberi
hadiah senyum terima kasih lalu meramkan matanya. Bok Liong tentu saja tidak
mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya
sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang
tidak takut akan api. Juga, kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia tadi
merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu mau tidur.
Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan leluasa ia dapat memandang
belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata dan bibirnya
membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah yang menjauhkannya
daripada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata sedang mengintai
dari tempat gelap!
Tiba-tiba, selagi Bok Liong
melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih berkelebatan
menyambar. Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan sudah banyak
makan asam garamnya pengalaman dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan
sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan
sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas! Tanpa berpikir
panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu daripada bahaya maut,
ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua lengan bajunya.
Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa batang jarum
halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan menancap ke dalam
dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi dua batang jarum
tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal lengannya
sebelah kiri.
“Twako.... ada apa....?” Lin Lin
melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi mendahului Bok Liong.
Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar daripada tidurnya Lin Lin sudah
berada dalam keadaan siap siaga dan sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara
kurang ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut
pedangnya tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk
pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar
pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh lawan dengan senjata
rahasia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan
sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih
bersambaran itu.
“Jangan gerak, cabut jarum
gosokkan ini!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya gemanya saja yang
terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil melayang jatuh dekat
Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kecil. Bok Liong tadinya
merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biarpun ia tahu
bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat
menahan.
Mendengar suara itu ia terkejut,
akan tetapi juga girang melihat datangnya bungkusan. Apalagi melihat bahwa Lin
Lin tidak terluka, bahkan gadis ini sekarang berdiri melindunginya. Cepat ia
merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang
masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas
semua ke dalam daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna
kuning. Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada
kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa
gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat
berdiri di samping Lin Lin dan berseru.
“Penjahat berhati binatang
berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan mari kita
bertempur secara orang gagah!”
Terdengar suara ketawa mengejek.
“Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong!”
Bok Liong dan Lin Lin
membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah tempat, kini
berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan betapa
bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang dengan
jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya? Jarum-jarum itu
demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api
unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi
dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja,
melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka
bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin
di gedung Suma-kongcu.
“Hemmm, kiranya kalian adalah
ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku kalah dalam hal
ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian untuk menghadapi Barisan
Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani, lebih baik kalian menyerah
untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan Hui-houw-tin, barulah aku
Hui-houw-pangcu mengaku kalah.”
Diam-diam Bok Liong dan Lin Lin
terkejut dan heran sekali. Bagaimana pengemis tua ini bicara begitu aneh, menyatakan
kagum dan mengaku kalah dalam ilmu senjata rahasia? Padahal, mereka itu sama
sekali tidak melepaskan senjata, juga dalam menghadapi penyerangan jarum-jarum
tadi, biarpun Bok Liong berhasil menyampok runtuh dan Lin Lin juga berhasil
menggunakan pedang menggagalkan penyerangan ke dua, namun Bok Liong telah
terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh dianggap bahwa mereka berdua
telah menang bertanding senjata rahasia! Tentu saja kedua orang ini tidak tahu
bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin memutar pedang menyampok runtuh
jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi jarum-jarum bertubi-tubi dan
susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah dari pelbagai jurusan, sering kali
dari arah belakang kedua orang muda itu. Ini adalah akal Hui-houw-pangcu yang
menyerang mereka dari tempat gelap secara berpindah-pindah. Akan tetapi, semua
jarum-jarum yang menyambar dari tempat tersembunyi itu runtuh semua bertemu
dengan benda-benda kecil yang melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata
bahwa yang meruntuhkan jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan
buah-buahan kecil yang secara aneh datang dari jurusan yang berlawanan sehingga
Hui-houw-pangcu tentu saja mengira bahwa benda-benda itu dilepas oleh dua orang
muda yang diserangnya! Akan tetapi, sudah tentu Bok Liong dan Lin Lin tidak mau
menyatakan keheranan ini. Dengan marah mereka lalu melangkah maju menghadapi
barisan yang sudah tersusun di depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka
itu. Tiga belas orang pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan, telah
memasang Barisan Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua
orang sebagai sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua
orang sebagai ekor.
Bok Liong dan Lin Lin yang
memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa gentar. “Saling
membelakangi menghadapi mereka mencegah penyerangan gelap dari belakang,”
bisik Bok Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasihat ini karena memang
itulah cara terbaik bagi mereka sehingga dalam pengeroyokan mereka dapat
mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan gelap.
Akan tetapi, dugaan ini keliru
dan terpaksa rencana Bok Liong ini tak mungkin dipertahankan. Kiranya tiga
belas orang itu sama sekali tidak mengurung mereka sebagaimana biasanya
barisan kalau mengepung lawan yang sedikit jumlahnya. Mereka itu langsung
menerjang dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau terbang
sehingga ketika mereka menerjang maju, hanya Lin Lin yang dihujani serangan
sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.
Lin Lin tidak gentar dan cepat
memutar Pedang Besi Kuning di tangannya, akan tetapi ia kaget sekali karena
senjata tongkat lawan yang terbuat dari baja tulen itu datangnya
susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia sama sekali tidak sempat melakukan
serangan balasan karena repot melayani datangnya bayangan tongkat yang seperti
hujan menimpanya dari atas, kanan, kiri dan bawah!
Melihat cara penyerangan mereka
ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin celaka di tangan barisan
aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau barisan itu hanya menerjang
Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi penjaga punggung Lin Lin belaka.
Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang, membantu Lin Lin. Akan tetapi ia
masih tetap waspada, menjaga agar mereka jangan terlena dan tertipu.
Memang Bok Liong sudah banyak
pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan kelihaian pedang Lin Lin,
juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada lawan bisa menjadi ganas sekali.
Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan para
pengemis, maka ia pun menganggap tiada perlunya menurunkan tangan besi kepada
mereka.
“Lin-moi, kau menahan serangan
mereka, biarkan aku yang membalas!”
“Baik!” jawab Lin Lin, kembali
kagum karena maklum bahwa hanya cara itulah yang memungkinkan mereka dapat
balas menyerang, yaitu yang seorang bertahan, yang seorang pula menyerang.
Segera ia memutar pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan
membungkus dirinya dan di lain fihak Bok Liong melompat ke belakang Lin Lin
membiarkan semua tongkat menyerang gadis itu, kemudian dari samping ia
menerjang. Hasilnya baik sekali, terdengar teriakan kesakitan dan seorang di
antara tiga orang yang merupakan bagian kepala, roboh terguling terluka pahanya
oleh ujung pedang Bok Liong. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu, sinar putih
bersambaran dari belakang. Inilah yang dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda
ini sudah waspada sejak tadi. Melihat sinar putih menyambar, cepat ia memutar
pedang sambil melompat ke belakang Lin Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok
sinar pedangnya. Hati Bok Liong menjadi khawatir juga. Kalau begini caranya
mereka melakukan pengeroyokan, berabe juga. Ia melirik dan melihat betapa
pertahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja, biarpun gadis itu
tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang, namun dengan pertahanan
macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin, kiranya belum tentu akan dapat
membobolkan pertahanannya dalam waktu satu dua jam!
“Lin-moi, tahan terus, aku
menangkap kepalanya!” bisiknya kembali.
Lin Lin sudah percaya betul akan
kecerdikan kawannya. “Baik,” jawabnya tanpa ragu-ragu lagi. Bok Liong melompat
dengan tiba-tiba, gerakannya cepat sekali. Dengan hanya beberapa lompatan ia
sudah tiba di balik gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi menyambar.
Dan.... apa yang dilihatnya? Ia berdiri bengong memandang Hui-houw-pangcu yang
roboh terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih menggenggam jarum-jarum
beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan darahnya yang membuat
tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa jam lamanya. Siapa yang
melakukan hal ini? Tak salah lagi, pikir Bok Liong, tentu dia yang tadi telah
menolongnya dengan pemberian obat pemunah racun! Akan tetapi ia tidak ada waktu
untuk mengherankan soal ini karena di sana Lin Lin masih menghadapi
pengeroyokan barisan Hui-houw-tin yang biarpun sudah roboh seorang, masih amat
kuat dan cukup berbahaya. Hatinya lega, karena dengan robohnya ketua
Hui-houw-pang yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan
serangan gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat
pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan kelegaan
hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini menyerang penuh
semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!
Akan tetapi, biarpun berkurang
tiga orang, ternyata barisan Hui-houw-tin ini malah mengamuk lebih hebat.
Inilah keistimewaan Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau terluka akan
lebih hebat sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan itu masih
lengkap tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit dan
terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa mereka bergerak sehingga
tampaknya makin buas. Namun, malang bagi mereka, kini yang mereka keroyok
adalah murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat
tinggi, jauh melebihi tingkat mereka.
Setelah kini merasa yakin bahwa
dari belakang takkan ada yang menyerang dengan senjata rahasia, dengan enaknya
Bok Liong membabati lawan seorang demi seorang secara cepat sehingga tak sampai
seperempat jam, para pengeroyok itu tinggal empat orang lagi yang cepat
melempar tongkat dan berlutut mohon diampuni! Lin Lin gemas sekali, lengannya
bergerak hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh Bok
Liong.
“Sudahlah, Lin-moi. Mereka hanya
menjalankan perintah. Kita tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka.
Mari kita pergi!”
Pengalaman dalam pertempuran ini
membuka mata Lin Lin bahwa kawannya adalah seorang pemuda yang selain lihai
ilmu silatnya, juga cerdik dan berpengalaman. Kalau saja ia tadi seorang diri
menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya hebat. Mengingat
ini, biarpun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh para
pengeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong mereka melompat
pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan purnama sudah condong ke
barat, akan tetapi sinarnya masih menerangi jagat. Peristiwa tadi mengusir
kantuk dan mereka berjalan terus memasuki hutan.
Malam telah menjelang fajar
ketika bulan yang sudah turun itu tertutup puncak gunung dan sinarnya menjadi
suram. Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin memaksa dua orang muda
itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat terbuka di antara
pohon-pohon besar dan mereka berjongkok menghadapi api unggun yang
mendatangkan hawa hangat nyaman.
“Liok-twako, kau tadi
meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya? Belum
kauceritakan padaku.”
Bok Liong menarik napas panjang.
Tadi ia memang sengaja tidak bercerita, karena khawatir kalau-kalau gadis yang
aneh ini bersikeras hendak mencari penolong itu. Seorang penolong yang tidak
mau memperlihatkan diri tak perlu dipaksa muncul, dan biasanya hanya
orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.
“Lin-moi, dalam pertempuran
tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat pertolongan seorang
sakti.”
Lin Lin mengangguk-angguk.
“Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar obat kepadamu,
Twako.”
“Bukan Suhu, melainkan orang
lain, entah siapa. Obatnya pemunah racun amat manjur, dan ilmu kepandaiannya
hebat sekali.”
“Bagaimana kau bisa tahu,
Twako?”
“Tak ingatkah kau akan ucapan
Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah bertanding senjata rahasia dengan kita?
Padahal kita sama sekali tidak pernah melepaskan senjata rahasia. Bagaimana
dia bisa mengaku kalah bertanding am-gi (senjata gelap)? Tidak bisa lain, tentu
penolong kita yang telah menundukkanya, mungkin dengan cara menggempur
jarum-jarumnya dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau apa yang
terjadi ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang yang
curang itu? Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita yang
menotoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun yang belum
sempat ia sambitkan kepada kita.”
Benar saja, Lin Lin amat
tertarik hatinya. “Siapakah dia Twako? Ah, setelah ia menolong kita, kenapa
tadi kau diam saja? Mengapa tidak memanggil-manggil supaya dia muncul? Aku
ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin....”
“Ingin apa?” Bok Liong sendiri
terheran mendengar suaranya yang berbeda dari biasa, den lebih heran lagi
merasa betapa dadanya sesak dan perasaannya tidak senang. Cemburu! Tapi ia
tidak sadar akan hal ini.
“Ingin mengajak ia bertanding,
menguji kepandaiannya!”
Jawaban ini membuat Bok Liong
melengak heran, akhirnya ia tertawa. Gadis pujaan hatinya ini benar-benar
aneh, lucu, manis dan hebat!
“Lin-moi, kalau seorang sakti
tidak menghendaki dilihat orang, jangan harap akan dapat bertemu dengannya.
Terang bahwa dia membantu kita dengan sembunyi, itu hanya berarti bahwa dia
tidak mau kita melihatnya, maka jalan terbaik hanya membiarkan dia melanjutkan
sikap itu. Memaksa dia muncul sama dengan menentang kehendaknya den ini
bukanlah pernyataan terima kasih yang baik.”
Lin Lin tidak suka akan
keangkuhan. “Huh, siapa memaksa dia menolong kita? Aku sendiri sih tidak butuh
akan pertolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi den begitu
mulia sehingga menganggap tidak berharga mengadakan pertemuan dengan kita,
mengapa dia menolong kita tanpa kita minta? Uh, aku belum percaya apakah benar-benar
dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi apakah dia bermaksud baik
dengan pertolongannya itu.”
“Ssstttt.... Lin-moi, kenapa
kaubilang begitu....?”
Lin Lin melompat berdiri. “Biar!
Aku tetap tidak percaya bahwa dia bermaksud baik. Kau boleh takut kepadanya,
Liong-twako, akan tetapi aku tidak takut. Kalau dia betul orang baik-baik,
kenapa main rahasia-rahasiaan? Siapa sudi main kucing-kucingan dengan orang
yang tidak kita kenal? Orang begitu hanya menonjolkan keangkuhan dan
kesombongannya, merasa lebih tinggi daripada orang lain!”
Bok Liong kebat-kebit hatinya.
Celaka, pikirnya. Gadis ini sudah kumat, dan ia dapat menyelami perasaan gadis
ini yang membuatnya mau tak mau hanya makin mengaguminya. Terang bahwa Lin Lin
wataknya aneh, tapi polos, tidak takut kepada siapa pun juga, tidak suka akan
orang yang plin-plan dan palsu-palsuan. Akan tetapi betapapun juga, hatinya
merasa amat tidak enak terhadap penolongnya. Bagaimana kalau penolong itu
mendengar ucapan Lin Lin ini?
“Ahhhhhh....!”
Bok Liong melompat bangun,
memandang ke kanan kiri.
“Eh, kau mengapa, Twako?”
“Lin-moi, apakah kau tidak
mendengar tadi? Terang ada orang yang menghela napas panjang, dekat sekali....”
Lin Lin ikut memandang ke kanan
kiri, terheran-heran. “Aku tidak mendengar apa-apa. Ah, Twako, kau jadi
seperti anak kecil mendengar dongeng mengerikan sehingga menjadi ketakutan
dan di mana-mana kelihatan setan. Hi-hik!”
Merah muka Bok Liong, lalu ia
duduk kembali. “Lin-moi, belum lama kau terjun di dunia kang-ouw, kau belum
tahu banyak tentang orang-orang sakti....”
Sebelum Lin Lin sempat menjawab,
tiba-tiba terdengar desis keras dan Lin Lin menjerit, “Ular....!” Ia seperti
sebagian banyak wanita, merasa jijik dan geli melihat ular, akan tetapi,
sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja ia tidak takut. Cepat sinar kuning
berkelebat dan di lain saat tubuh ular telah buntung menjadi dua potong!
Mata Bok Liong terbelalak ketika
ia memandang bangkai ular itu. “Wah, celaka, kita agaknya berhenti di daerah
ular api! Ular macam ini tidak takut api dan amat beracun. Racunnya panas dan
membuat tubuh korbannya hangus seperti dimakan api, maka ia disebut ular api.
Eh.... awas Lin-moi....!” Bok Liong sudah mencabut pedangnya, dua kali ia
mengelebatkan pedangnya dan dua ekor ular roboh dengan leher putus. Ternyata
itu adalah dua ekor ular yang menyambar dari atas ke arah Lin Lin!
“Wah.... ular api tak mungkin
dapat melayang tentu ada yang melemparkannya....! Lin-moi, awas, agaknya ada
musuh menyerang....”
“Aku tidak takut! Segala
pengecut curang, kalau berani muncul akan kupenggal batang lehernya!” teriak
Lin Lin dengan marah sekali karena semalam itu selalu diganggu orang-orang yang
tidak mau menyerang atau membantu dengan terang-terangan.
Jawaban teriakan Lin Lin ini
adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang laki-laki tua berpakaian
pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung, sebagai penggantinya ia
memegang sebatang tongkat panjang, tongkat yang bengkak-bengkok seperti tubuh
ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba lorek dan belang-belang seperti
kulit ular. Ketika Lin Lin memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu
pun mirip muka ular!
“Hemmm, kiranya Sin-coa-kai
(Pengemis Ular Sakti) yang main-main dengan kami!” kata Bok Liong dengan
suara mengejek. Ia sudah mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala
atau pimpinan dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular den
menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja
pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti! Akan
tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan
pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada
penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia memandang rendah dan
mengejek.
Pengemis buntung itu tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula
Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih
baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja
Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini
yang begini denok dan can....”
“Swinggggg....!” Pengemis itu
berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah ketika
tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning yang
secepat kilat menerima leher pengemis itu.
***
“Lin-moi, awas belakang....!”
Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah
mengejar Si Pengemis Buntung. Betul saja dugaannya, Si Buntung itu tidak datang
sendiri, melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari
tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis
dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada
Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat puluhan
ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai
dan teman-temannya.
“Lin-moi, serbu....!” Bok Liong
sambil memutar pedangnya dan menerjang maju. Lin Lin mengikuti sepak terjang
Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi ular-ular yang telah
menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam
beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan
Bok Liong.
Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan
teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat
ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar,
melawan dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular
itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.
“Lin-moi, ikuti aku, ke atas
pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu temannya. Sambil memutar pedang untuk
menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan gin-kang dan
melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara ketawa Sin-coa-kai
disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun
kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang
biarpun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!
“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian
tidak menyerah saja?”
“Menyerah kakimu!” bentak Lin
Lin sambil menerjang penuh amarah. Terjangannya hebat sekali, biarpun Si
Buntung berhasil menghindarkan bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun
seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!
Sin-coa-kai memaki marah, lalu
bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti menjadi gila mendengar
suitan ini dan menyerbu lebih ganas daripada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan
Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apalagi tongkat-tongkat para pengemis
masih selalu mengancam dan mencari kesempatan baik.
Pada saat itu, tampak asap tipis
dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong
mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh
Sin-coa-kai! Terbuat daripada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap
daripada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang lawan
mengeluarkan air mata, semacam “gas air mata” model kuno! Para pengemis
sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah sehingga mereka tidak
terpengaruh.
“Celaka....!” teriak Bok Liong.
“Lin-moi, kita membuka jalan mata!”
Mereka berusaha sedapat mungkin
untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air mata, pedang di tangan
mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular
yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani
melangkah keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar pekik
Sin-coa-kai marah, “Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan
ular-ularku?” Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan Si Buntung itu. Asap
yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan Bok Liong masih
terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan
dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan mereka itu amat
lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan
mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang!
Muka Bok Liong menjadi merah
sekali. “Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular
mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti
wayang tanpa penonton!”
Lin Lin membanting-banting
kakinya. “Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa
tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang mentertawakan?
Benar-benar dia memandang rendah!”
“Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia
menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah? Mana bisa kita menjadi
tontonan kalau di sini tidak ada siapa-siapa yang akan menonton kita?
Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol....”
“Siapa bilang tidak ada
penonton? Apa kaukira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita
yang bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol dan dapat
dipermainkan orang, Twako!”
Bok Liong tersenyum. Baru
berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu
mengecapnya tolol segala! “Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi?”
“Tidak! Aku tidak minta dia
tolong, perlu apa berterima kasih?”
“Habis, andaikata dia muncul di
depanmu, kau mau apa terhadapnya?”
“Mau apa? Menebus penghinaan ini
di ujung pedang, apa lagi?”
“Penghinaan?”
“Dia menolong tanpa diundang,
bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan kita dan amat memandang
rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan penghinaan?”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke
kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, “Harap Locianpwe (Orang Tua Gagah)
sudi menjumpai kami....!” Akan tetapi ia kecewa karena di belakang alang-alang
itu tidak ada siapa-siapa.
“Eh, apa kau masih terus bermain
sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kauajak
bicara?”
Bok Liong menggeleng-gelengkann
kepalanya. “Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di sini! Malah ketika aku
melompat sampai di sini, masih kudengar elahan napasnya! Heran benar....”
“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi
melihat serta mendengar setan.”
“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak
mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa
tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu
kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan
sekarang pagi.”
Keduanya lalu berlari
meninggalkah tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak ular
menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah
kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak
mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher.
Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan
tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.
Dugaan Bok Liong memang benar.
Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu
ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan ke
dua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Adapun ke tiga hanya terdiri dari
seorang saja. Orang ini adalah seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah
barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam). Kepandaian ilmu
silatnya tidaklah terlalu tinggi biarpun ia cukup lihai dibandingkan dengan
tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan
dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun
memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh seorang
ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun dan
pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno!
Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja, tidak
suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia tergesa-gesa
melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan
sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan
yang telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di
luar tembok kota raja.
Demikianlah, ketika Lin Lin dan
Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Di luar pintu
gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di alas tanah di
dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya
ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada
orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah diperolehnya,
bertebaran di depannya.
Melihat seorang pengemis, Bok
Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya.
Lin Lin menoleh dan tersenyum. “Twako, kau benar-benar seperti seekor burung
yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa
setelah gangguan para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang
pengemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang
jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh....
lihat.... dia sakit, Twako....!”
Benar kata-kata Lin Lin itu.
Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi perutnya,
mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja.
“Ahhh.... auuuhhhhh.... aduh, mati aku....” keluhnya perlahan, keringat
besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang pedagang tahu yang
memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan sedang menuju pulang ke
desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba.
“Lopek, kau kenapakah?”
Pengemis itu mengeluh dan
meringis kesakitan, nyata amat sukar ia mengeluarkan suara menjawab.
“Aduhhh.... napasku.... sesak.... terpukul.... kumat lagi.... sesak....
auuughhh!” Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan
makin iba.
“Wah, kau sakit berat, Lopek.
Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa orang yang kebetulan lewat, hanya menengok
lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel
tua? Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin,
tentu saja ia dapat merasai penderitaan jembel ini.
Sebagai ahli-ahli silat kelas
tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan kakek itu.
Kakek itu menderita luka dalam dan keadaan amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan
darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara
menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan mengurut urat
di dada dan leher.
Lin Lin adalah seorang gadis
remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya
halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah
lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.
“Kakek, kau terluka di dalam,
biar kutolong kau....” kata Lin Lin.
“Auhhhhh.... oohhh.... terima
kasih....”
Lin Lin segera menghampiri
punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya. Gerakannya gesit
sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok saja ia berhasil.
Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin
menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada.
Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat
dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini
menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!” Bok Liong yang sudah
waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang
menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang
sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek
pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, pedang
pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang
sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang
seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam,
jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Tepat sekali kudanya
datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu
melontarkan dua buah granathya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua....!” Nyaring
sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah
alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia
tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong
yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan
penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan
kedua kaki menggigil.
“Am.... pun.... ampunkan....”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak
ada ampun!” Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu
bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai!
Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap
memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya
menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat
bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun.
Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung
kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna
hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!
“Aduh.... ampun.... Suling
Emas....”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok
Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda yang gagah perkasa,
seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Jembel tua jahat, kaubilang dia
Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul.... Suling Emas.... tak
kenal.... ampun....” Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan
lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat terjadi peristiwa
pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi
meninggalkan tempat itu juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera
pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini
meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis,
tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya....” kata Bok Liong. “Dia
ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata
peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh
kita berdua. Hebat....!”
Tiba-tiba seorang hwesio muda
menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang
yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin.
“Maaf kalau pinceng (aku)
mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan
Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala
kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata hwesio itu lagi,
“tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan
Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin,
hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin....”
Lenyap kecurigaan kedua orang
muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya, “Di manakah Enci
Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia
berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan
di mana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong
pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab.
“Tidak leluasa kita bicara di
tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya
dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki
kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja
memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai
sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut,
“Omitohud.... cantik liar, jangan-jangan siluman musang....!”
Pada saat itu, Sian Eng keluar
dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar,
ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah
saling rangkul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin, bocah nakal kau!”
Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng, kau tahu siapa yang
kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga,” bisik
Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah Suling Emas!”
Akan tetapi Lin Lin keliru dan
kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam
perlahan, “Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri
termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu.
“Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu saja Saan Eng bertanya
dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
“Hi-hik, bukan.... bukan dia.
Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan
Suling Emas, dia Lie Bok Liong koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari
kuperkenalkan dengan Enciku yang lihai dan cantik!” Bok Liong menjadi merah
wajahnya, apalagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan
sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi
karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang
kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia
menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil
menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan
dan malu.
“Liong-twako, betul tidak
kataku? Enciku cantik jelita dan.... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak
tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng, “Enci Eng,
Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku sampai di
sini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat.
Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan....”
“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!”
Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas
penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong Taihiap
(Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini.
Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap adikku....”
“Wah-wah-wah, apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan
segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako kausebut Taihiap. Sebut saja
Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan,
itu palsu namanya!”
“Eh.... oh.... maaf, Nona....
eh, saya....”
“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona,
Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng,
Enciku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi,
kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu
kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo,
bagaimana?”
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia
tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh
Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan
adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja
bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak
pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku
Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan
pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.
“Lin Lin, jangan mengganggu
orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga
datang.”
Lin Lin sadar lalu menoleh
kepada Bok Liong. “Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga berterima kasih
padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan
Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada
di mana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako?”
“Aku akan girang sekali kalau
dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada
kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau begitu, aku dan Enci Sian
Eng akan menanti di sini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta....”
“.... Twako....!” Lin Lin
memotong.
Siang Eng merah mukanya dan
memandang tamunya kebetulan Bok Liong juga memandang. Terpaksa dua orang muda
yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih
wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah! Liong-twako masih
lelah, baru saja datang masa sudah kauserahi tugas lagi. Jangan keterlaluan,
dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan.”
“Ah, tidak.... sama sekali
tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah
sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha
sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam
waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andaikata pergi
dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu di sini sehingga kalau aku
datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan
hasil usahaku mencari kakak kalian, sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok Liong memberi hormat
lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru. “Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?” Terlalu cepat Bok
Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra terlepas daripada
pandang mata yang awas.
“Aku pesan.... kalau kau bertemu
dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu bagaimana?”
“Aku titip tiga pukulan atau
sekali tusukan pedang.”
Bok Liong tertawa dan
mengangguk-angguk.
“Dan jangan lupa, kalau kau
berjumpa dia di jalan katakan....”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Suling
Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku
kepadanya!”
Sian Eng terkejut bukan main
akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan
ketidaksenangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali mengangguk-angguk, lalu
berkata, “Baiklah, Lin-moi, dan kau.... kau yang baik-baik menjaga diri....
selamat berbisah sampai jumpa lagi.” Ia melompat dan pergi dari situ.
Sian Eng memperkenalkan Lin Lin
kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk
kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya.
“Lin Lin, kau terlalu sekali
terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau
selalu mempermainkan dia. Terlalu!”
“Liong-ko? Mencintaku? Tentu
saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri.”
“Hush, bukan begitu. Dia
mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau.... ah, kau masih anak-anak,
adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu
dengan Suling Emas. Betulkah itu? Di mana?”
“Di dekat pintu gerbang kota.
Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi
sombong!”
“Sombong?”
“Ya, sombongnya setengah mati!
Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi
dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali
agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya!”
Tiba-tiba Siang Eng memegang
lengan Lin Lin. “Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali akan
tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi? Adakah yang
lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula.... kau menantang seorang
yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kauandalkan? Lin-moi,
ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat,
kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada
artinya sama sekali.”
“Wah-wah, jangan merendah, Enci
Eng! Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya
berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah
Lin Lin yang dahulu lagi!” Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai
ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan
melakukan jurus pukulan jarak jauh dan.... patung itu terjengkang ke belakang
seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.
“Lihat, Enci, apa kau bisa
mengikuti gerakanku?”
Sian Eng yang melongo
menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa menyentuhnya, menjadi makin
terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang
luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning
yang bergulung-gulung! Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata
ketika Lin Lin sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan encinya
sambil tersenyum bangga.
“Kaulihatlah, Enci. Adikmu ini
sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas, biarpun ia berkepala tiga
berlengan enam!”
“Astaga, Lin Lin, dari mana kau
peroleh kepandaian itu?”
Lin Lin merangkul encinya dan
sambil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang
pertemuannya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian
tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian
Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian
merangkul Lin Lin sambil berkata.
“Ah, aku girang sekali, Lin-moi.
Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat
kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa
seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan
sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan
pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku
sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan
Liong-twako.”
“Dia menolongmu dan Sin-ko?
Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba ceritakan semua, Eng-cici!”
Sian Eng lalu menceritakan semua
pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin
merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan
“istana” di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya
berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng
di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya
berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.
“Apa yang kaualami di sana, Enci
Eng? Ceritakanlah yang jelas!” desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar
penuturan yang membuat degup jantungnya mengeras dan membuat hatinya yakin
siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar
belaka.
“Mereka itu orang-orang yang
kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya....
banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya, mirip.... mirip
dengan kau! Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan.... dan aku
ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mpmpunyai tanda
di pung..... astaga, Lin Lin!” Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat
berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak. “Kau.... kau....
punggungmu....”
“Tenanglah, Enci Eng, dan
duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelasnya. Memang ada tanda tahi
lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka
cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan
kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, setelah
mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan.
Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku, Puteri
Mahkota Khitan, tewas dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah,
sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah.”
Untuk beberapa lama Sian Eng tak
dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya
adiknya itu sambil berlinang air mata.
“Kau bukan seorang di antara
mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar....”
Lin Lin tertawa. “Kaulihat aku
baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar,
seringkali kaukatakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan
teruskan ceritamu.”
Sian Eng melanjutkan ceritanya
sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas,
melakukan perjalanan dengan Suling Emas sampai ke kelenteng di kota raja ini.
Lin Lin amat tertarik dan
beberapa kali ia menarik napas panjang. “Ah, alangkah senangnya melakukan
perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng? Ramahkah
dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang kusangka? Dan kepandaiannya
bagaimana?”
Diam-diam Siang Eng terkejut.
Nada suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan? Ia
merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh
ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.
“Dia memang orang aneh, Lin Lin.
Aneh sekali tidak seperti manusia biasa sepak terjangnya. Kepandaiannya sukar
diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti
gerak-geriknya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan,
itu pun singkat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kaii suram-muram
seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Tak
pernah melihat ia tersenyum, apalagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung,
suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak
aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan bahwa dia adalah
sesopan-sopannya lelaki.”
Lin Lin amat tertarik dan
matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri sendiri,
“Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh.... seperti raja saja dia....”
“Kau bilang apa, Lin Lin?
Mengapa seperti raja?”
Lin Lin sadar dan tersenyum,
“Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi
mana Sin-ko sekarang?”
“Menurut Suling Emas, Sin-ko
berada dalam keadaan selamat, bebas dari tangan Suma Boan yang jahat. Katanya
Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi
sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu.”
“Mudah-mudahan Sin-ko selamat
dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita,
Enci Eng? Apakah kau sudah mendengar tentang dia?”
Sian Eng mengerutkan kening dan
menarik napas panjang. “Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik.
Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya
dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak
sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak
Bu Song itu sudah.... sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara
dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song.”
Lin Lin mengerutkan keningnya.
“Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimanapun juga kita harus dapat
bertemu dengan Kakak Bu song. Kalau Suma Boan membenci kakak kita itu dan
membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak tahu di mana adanya
Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa mengatakan bahwa kakak
kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang
betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya
dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng.”
“Apa? Kau hendak menjumpai
Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak
seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi?
Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang
pun dapat menemuinya.”
“Wah-wah, apa dia itu melebihi
raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga,
biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena
pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku
akan dapat mencarinya!”
Sian Eng merasa khawatir sekali.
Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh
lebih tinggi daripada dia atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu
Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya.
Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagaimana kalau
adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata benar
dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan
menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apalagi
sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
“Enci Eng, jangan gelisah. Aku
tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya
betapa kau memuja-mujanya seperti dewa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang
Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia
baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas.”
“Ihhhhh, kau bicara apa itu,
Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih,
tak bermalu!”
“Hik-hik, kura-kura dalam
perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu, Enciku yang manis ayu, setiap
detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa!”
“Idihhhhh, genit kau!” Sian Eng
mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas
genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.
“Enci Sian Eng, aku pergi dulu!”
Siang Eng menjatuhkan diri di
atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam
jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu
lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah
dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh
pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa
seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia.... eh,
tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin
tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling
Emas. Gila benar! Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang
menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi.
seperti manusia setengah dewa, bukan.... bukan pria macam itu yang dapat
merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua
pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan
Suma Boan, ketika ia tertawan.... dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di
atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
Kita tinggalkan Sian Eng yang
menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang
lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas
menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas
berada di dalam gedung perpustakaan istana. seperti yang ia dengar dari
percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja,
Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.
Pengalamannya dengan Kim-lun
Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka, merupakan
pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu
jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar
pagar tembok. Karena kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia
menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah,
dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah
istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup
di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa lama ia berputaran di
antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia
sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini
begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu
pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa! Celaka,
pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak
mungkin ia harus memeriksa setiap gedung! Apalagi kalau diingat bahwa di
daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian
tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.
Karena kebingungan, akhirnya
secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi.
Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu merupakan
sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng
beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari raya musim semi saja.
Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu
itu diatur secara nyeni (artistik) sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada
yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit
tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang
dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias
bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu
pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu
warna pelangi!
Lin Lin berdiri terpaku di atas
tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat
tanaman itu sunyi tak ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan
menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman
diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua
merupakah hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan
maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung
menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah solah
ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu
sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas
betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran
dengan megal-megol.
“Hi-hik, renangmu begitu kaku,
mana mampu menyusulnya?” Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang
runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang
tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini
mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.
“Kau.... siapakah?”
Teguran ini halus, akan tetapi
membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang
laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya
tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh
perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian
seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini
pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung.
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar.
Agaknya orang ini kaisar!
Laki-laki itu melihat Lin Lin
berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum,
senyumnya melebar dan kembali ia bertanya.
“Kau siapakah? Belum pernah aku
melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?”
“Kau.... kau....?” Lin Lin balas
bertanya, gagap.
Laki-laki itu tertawa, suara
ketawanya nyaring dan bening. “Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera
Mahkota).”
“Ahhhhh....!” Lin Lin mundur
selangkah.
“Kenapa kaget? Kau siapa?”
kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis
ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia
adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!
“Kau.... kau Pangeran yang kelak
mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?” Sepasang mata jeli itu menjadi bundar,
bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur. Pangeran itu tersenyum dan
mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.
“Ohhh....!”
“Kenapa?” Hampir pangeran itu
meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil
mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
“Aku.... aku salah masuk....
aku.... apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau
lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan
orang lain kecuali ayah bundaku yang.... yang sudah tiada....”
Sepasang mata pangeran itu
bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang
bersikap begini “biasa” kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah
jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat
melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang
menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan
betul-betul masih aseli belum bau kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan,
ia menjadi tertarik bukan main.
“Ah, tak usah berlutut. Kita
sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu?”
Lin Lin menggeleng-geleng
kepalanya. “Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.”
Pangeran itu tersenyum geli.
Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya. “Betul juga.
Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Lin Lin.”
“Wah, nama yang indah sekali!
Kau datang dari mana? Mencari siapa disini?”
“Sebetulnya aku mau mencari
gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke
mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran?”
Bukan main! Pangeran mahkota
gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan
sekali. “Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas? Yang di dalam
pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas
pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?”
Sikap dan suara pangeran itu
amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat
kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi
kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar
masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan
seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali
tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa,
seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas daripada segala
aturan protokol, pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda
yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan. Pangeran mahkota memang
mempunyai “hobby” taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya
dan kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang maupun malam,
ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali
karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak
atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan
berani muncul di taman itu.
Begitu memasuki pagoda yang oleh
pangeran mahkota disebut “Pagoda Ikan”, Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan
mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Karena kekaguman gadis ini wajar dan
sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah
diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan
kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum
gembira. Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium
atau tempat-tempat ikan terbuat daripada kaca, di atas dan belakangnya
diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia
mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang,
bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan.
Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik
mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu
semua. Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia
pun menikmati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya daripada
ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat
keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang
terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri
merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan
daripada isi pagoda.
Setelah Lin Lin puas memandangi
semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya,
barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan
kekagumannya dan berkata, “Hebat sekali! Aku merasa seakan-akan berada di
dasar lautan!”
Pangeran itu tertawa.
Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak! Dan teringat
akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba
timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya, “Nona
Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana!
Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?”
Lin Lin cemberut. “Kutu? Aku dianggap
kutu? Kalau kutunya saja seperti aku besarnya, bukunya sebesar apa?”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang
lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi
seorang yang hobbynya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf.”
“Tentu saja aku bisa membaca dan
menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku
pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan....” Lin
Lin menjadi ragu-ragu.
“Melainkan apa? Hendak mencari
kitab rahasia?”
Lin Lin menganggap putera
mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus
terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling
Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota
raja. “Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa
berada di gedung perpustakaan istana.”
Betul saja dugaan Lin Lin,
pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas
berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh
aneh itu. “Kau mencari.... dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari
dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali,
Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau
dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu....”
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras, “Thiancu, saat kematianmu tiba!” tampak sinar menyilaukan mata menyambar
ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan,
langsung menyerang pangeran mahkota!
“Jangan, takut!” Lin Lin berseru
dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara
nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik,
pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul
robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin!
Pangeran itu membungkuk,
memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan, “Menjemukan
benar....” Ia melangkah keluar dan tangannya bergerak, buntungan pedang itu
meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik
kesakitan di tempat yang gelap itu. Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia
sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian
hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan
tenggorokan ditembus buntungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin Lin kembali ke dalam
pagoda pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut. “Tidak enaknya menjadi
keluarga istana,” katanya ketika melihat Lin Lin kembali, “sejak jaman dahulu
sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan, selalu muncul
pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh,
menjemukan sekali!”
“Tapi dengan kepandaian seperti
yang kaumiliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai,
sungguh tak kusangka!” Lin Lin memuji.
Pangeran mahkota memandang
tajam. “Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung
pusaka, juga sama sekali tak kusangka!”
Lin Lin kaget. Pedang Besi
Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap
wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya
mengandung kepahitan.
“Nona Lin Lin, terus terang
saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah kurasai
selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum
terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi
sahabatku selamanya. Tapi.... aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini,
tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja,
kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih
dapat bertemu seperti sekarang ini.”
Lin Lin mendengarkan ucapan yang
baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin
lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia
mulai curiga.
“Lin Lin, pertemuan ini menjalin
persahabatanmu yang akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah
artinya sebuah pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan
pedang itu kepadamu! Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus
menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak
daripada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan
selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para
pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam.”
“Tapi.... tapi.... aku hendak ke
gedung perpustakaan. Di mana itu....?”
Pangeran itu tersenyum. “Kau
tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan berada di sebelah
kiri taman ini, melalul tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih,
kaucari saja tentu dapat.”
Lin Lin menyarungkan pedangnya.
“Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang, berubah pendapatku bahwa
semua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan....”
“Kau kenal Suma Boan?”
“Pedangku yang akan mengenalnya,
dia musuhku!”
Pangeran itu mengangguk-angguk
dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik paga
tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik.
“Mudah-mudahan ia selamat!”
Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di
sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak
setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan antara pemerintahnya dan Kerajaan
Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan!
Lin Lin melompati pagar tembok
taman itu dan menyelinap ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang
pohon ketika melihat berkelebatnya dua bayangan orang.
“Ke mana mereka....?” bisik
sesosok bayangan.
“Memasuki taman Putera
Mahkota....!”
“Ha-ha, mereka mencari penyakit.
Kepandaian mereka belum begitu tinggi, berani mengganggu Thaicu. Mari kita
masuk untuk mengambil mayat mereka.”
“Hush, jangan sembrono kau.
Kalau belum ada tanda panggilan Thai-cu, siapa berani masuk taman? Minta
mampus? Biar kita menanti di sini saja.”
Lin Lin bergerak menjauhi dua
orang pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal
pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan adanya dua orang pembunuh
itu, dan agaknya mereka sengaja membiarkan dua orang penjahat memasuki gua
harimau! Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat bangunan atap putih,
hatinya berdebar. Apakah Suling Emas berada di dalam gedung ini? Kelihatannya
gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat lagi.
“Berhenti! Siapa kau berani
mencuri masuk taman Thai-cu dan berkeliaran di istana? Hayo menyerah!”
Lin Lin sudah mendahului orang
itu, menerjang dan berhasil mendorongnya roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah
melompat bangun. Tadi ia dapat dirobohkan karena sama sekali tidak mengira
akan diserang, apalagi ketika ia terlongong keheranan melihat bahwa yang
ditegurnya adalah seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu
menerjang adalah luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin
Lin tadi menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.
“Gadis liar, jangan lari!”
Pengawal itu membentak dan menubruk. Akan tetapi cepat seperti seekor burung
walet membalik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri dan begitu tangannya
bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah dengan terhempas dan
bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah urat dan tanpa dapat
bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi tanda bahaya.
Lin Lin cepat menjauhkan diri,
melompat ke dekat gedung perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam
pertempuran dengan para pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena
memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebatan
bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh lima orang pengawal
istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing memegang sebatang pedang
dengan sikap mengancam. Di fihak para pengawal, mereka sejenak tercengang, sama
sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan mengurung seorang gadis jelita!
Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu karena pengawal-pengawal istana yang gagah
perkasa seperti mereka, masa harus mmgeroyok seorang gadis muda?
Melihat betapa lima orang
pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat mencabut
pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang pengawal itu
terkejut.
“Eh, kiranya kau pencuri pedang?
Nona cilik, lebih baik kau menyerah saja daripada kami harus menggunakan
kekerasan. Malu kami kalau harus....”
“Banyak cerewet!” Lin Lin sudah
menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung seperti awan kuning. Para
pengawal kaget dan cepat menangkis. Di lain saat Lin Lin sudah dikurung.
Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para pengawal itu tidak malu-malu
lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan
secara dahsyat itu.
Khong-in-lui-san adalah ilmu
silat yang sakti, apalagi sekarang dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka
yang ampuh. Hebatnya bukan main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang
pengeroyok, akan tetapi pada saat seorang lawan ini roboh, terdengar suara
berkali-kali dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain!
Lin Lin bingung juga. Harus ia
akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak rendah, apalagi kalau mereka
melakukan pengeroyokan. Bisa-bisa tenaganya dan akhirnya ia tentu akan
tertawan. Ia pikir lebih baik melarikan diri dulu, keluar dari istana ini.
Urusan dengan Suling Emas dapat dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru
keras, pedangnya meluncur, merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang
lawannya kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan
ini dipergunakan oleh Lin Lin untuk melompat jauh. Akan tetapi, kini para
pengawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ dan kembali Lin
Lin dihadang dan dikurung.
Gemaslah Lin Lin. Ia menggigit
bibirnya lalu memaki. “Aku datang bukan bermaksud bikin kacau. Aku tidak ingin
berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mundur semua, tinggalkan aku! Awas jangan
bikin aku hilang sabar!”
Biarpun maklum akan kelihalan
nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para pengawal tertawa. Gadis itu
hanya seorang diri, dan sekarang di situ telah berkumpul belasan orang
pengawal, bagaimana gadis liar ini masih berani membuka mulut besar?
“Dia pencuri pedang pusaka!
Tangkap!”
Melihat dirinya dikurung rapat,
Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke
sebelah kiri. Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah
ini ia pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustakaan.
Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang bertubuh
tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai sinar hitam melayang-layang
ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget bukan main ketika melihat bahwa benda
itu adalah sehelai tali yang dapat bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam
hendak melibat tubuhnya! Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang
biasa, maka ia segera membabat dengan pedangnya.
***
“Iiihhhhh!” Lin Lin berseru
kaget. Pedangnya yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia
mengerahkan tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu
tentu akan jatuh ke bawah! Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia
melepaskan pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu.
Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap putih, tiba-tiba ia terjeblos dan
tubuhnya melayang ke bawah, ke dalam gedung itu!
Para pengawal girang. Dipimpin
oleh pengawal kurus yang lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi,
tiba-tiba mereka berdiri tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada
sebuah saputangan hitam yang berkibar seperti bendera di ujung atap. Saputangan
hitam yang ada gambarnya suling berwarna kuning!
“Dia.... dia di sini....” bisik
seorang pengawal dan kini para pengawal itu memandang penuh pertanyaan,
menanti komando pengawal kurus yang menjadi pimpinan pasukan.
“Dia di sini, tak boleh kita
mengganggu. Mundur! Lakukan saja penjagaan sekeliling ini dan baru bergerak
kalau gadis itu keluar, tangkap dia!”
Para pengawal melompat turun
lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin
yang terjungkal ke sebelah dalam gedung perpustakaan. Agar jalannya cerita
menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita
tinggalkan.
Telah kita ketahui betapa Bu Sin
yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan digantung di atas kayu bersilang,
dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan
di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama
sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh
penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan
ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan beberapa hari
lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat
ramai.
Sepekan kemudian, menjelang
senja, ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak
tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa
penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam,
karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu! Akan tetapi Bu Sin yang
berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman
berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di bawah
pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok
ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut
sang bulan?
Malam itu bulan purnama. Di
tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan
dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar
kemerahan. amat indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka,
teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana
nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya. Kam Bu Song, amatlah tipis harapan
untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya
itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu
masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh
seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat,
tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih mengingat
akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba napasnya terhenti,
wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya
kedua mata itu, kemudian digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan
di depan itu tidak bcrubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung
berdebar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan
ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat
betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu
nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai
ke kaki? Wanita itu berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk
tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh
kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus
mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu masih muda. Dari mana dia datang?
Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat
itu?
Kuntilanak! Siluman! Tak salah
lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba
gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat kenyataan bahwa tangannya
menggigil. Ia membayangkan bahwa muka kuntilanak ini tentulah mengerikan,
muka pucat seperti muka mayat, mata terbelalak tinggal putihnya saja, mulut
bertaring. Iiihhhhh! Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya
dengan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah
pergi dari tempat itu.
Akan tetapi baru lima enam
langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang
merdu, nyaring dan halus, “Berhenti! Siapa itu?”
Tengkuk dan punggung Bu Sin
serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang
punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia
mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi
wajah yang mengerikan.
Ia membalik tiba-tiba dan.... Bu
Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan
sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan mulut kecil
dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing,
padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan
dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu
Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andaikata siluman juga,
inilah siluman cantik!
Siluman! Teringat akan ini, Bu
Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah
menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang pedangnya.
Wanita itu tertawa, manis
seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan,
hampir seperti tangis! “Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?”
“Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin.
Nona.... eh, Nyonya siapakah?”
Wanita itu tertawa, giginya
berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taringnya! “Bagus sekali! Kau she
Kam? Suaramu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek?”
Bu Sin terkejut dan memandang
heran. “Dia.... dia adalah mendiang Ayahku.”
Sepasang mata yang indah lebar
itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi.
“Hi-hi-hik, pantas saja tampan
dan gagah. Betul, sekarang aku melihat persamaannya. Kau jauh lebih muda,
lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu
pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan
mampus di tanganku!”
Bu Sin makin kaget, dan kini ia
menduga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa
mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya? Ia merasa tidak
perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia
hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi.
Akan tetapi, wanita itu tertawa
dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya
dan “krak! krak!” pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan
tangan, kaki dan pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum,
membuat ia tak dapat berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan
mengerahkan lwee-kangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena
rambut-rambut itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya!
“Hi-hi-hik! Mau apa kau
sekarang? Dengar baik-baik. Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit
hati oleh Ayahmu, jenderal yang angkuh dan sombong itu. Mentang-mentang dia
seorang jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani menolak aku! Hi-hik, dan
sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang akan kulakukan denganmu? Kau
akan kujadikan korban yang ke empat puluh! Aku sedang menggembleng diri dengan
Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk keperluan itu aku
membutuhkann hawa murni dan darah hidup jejaka-jejaka murni
sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja dan murni. Hi-hik, kau menjadi
orang ke empat puluh, dan kau putera Kam Si Ek. Bagus sekali, tentu darahmu
bersih, darah satria. Inilah yang kucari!” Wanita itu tertawa-tawa.
Bu Sin bergidik. Terang wanita
ini gila. Ataukah dia bukan manusia? “Pergi kau! Lepaskan aku!” teriaknya. “Kau
bohong! Usiamu takkan lebih tua daripada aku, mana bisa kau mengenal Ayah.”
Siang-mou Sin-ni menggunakan
telapak tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut. “Terima
kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega membunuhmu. Kau betul-betul
melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku hampir dua kali usiamu. Akan
tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi
tua, aku takkan.... takkan bisa mati! Nah, kau bersiaplah, sudah kemecer
(berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan hangat!” Setelah berkata demikian,
wanita itu mendekatkan mukanya ke muka Bu Sin. Pemuda ini bergidik dan
meremang bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira hendak
dicium, akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan....
hidung dan mulut yang basah hangat itu menempel pada tenggorokannya!
Bu Sin merasa ngeri bukan main.
Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia meramkan mata menahan sakit, siap menanti
maut karena sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu
mengangkat mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya.
“Kau tampan.... gagah, seperti
Ayahmu.... sayang kalau dibunuh!” Sejenak Bu Sin merasa betapa wajah yahg hdlus
kulitnya itu menempel pada pipinya. Ia tak berani membuka mata karena ngeri.
Tiba-tiba rambut yang mengikat kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka
mata.
Siang-mou Sin-ni berdiri di
depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali.
“Kau tampan dan ganteng, kau pemberani,
seperti Ayahmu. Bu Sin.... eh, Kanda.... kausembuhkanlah luka di hatiku yang
disebabkan Ayahmu dahulu. Kauperbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau
tentu mau, Kokc (Kanda) yang ganteng?” Siang-mou Sin-ni mendekat lagi,
mepet-mepet dengan lagak genit dan mengambil hati.
Bu Sin merasa tenggorokannya
tercekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak karuan. “Apa maksudmu?
Apa kehendakmu?”
Siang-mou Sin-ni mengangkat muka
lalu dengan lagak genit mencubit dagu Bu Sin. “Hi-hik, kau benar-benar masih
hijau! Tentu saja maksudku agar kau suka menjadi suamiku!”
Kalau saja pada saat itu ada
gunung meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini.
Wajahnya menjadi pucat dan seketika ia membentak, “Kau perempuan gila! Pergi,
jangan dekat-dekat denganku! Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh, tak bermalu,
lebih baik kaubunuh aku!” Sambil berkata demikian, Bu Sin mengerahkan tenaga
lalu menerjang wanita itu dengan pukulan. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam
pukulan ini karena ia amat benci dan hendak membunuhnya.
“Bukkk!” Kepalan tangan Bu Sin
tepat menghantam dada, bertemu dengan daging lunak, akan tetapi akibatnya,
tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang! Sebelum pemuda ini tahu apa yang
terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya tertotok dan di
lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan dibawa pergi oleh
Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu!
Sambil berjalan di malam terang
bulan, Siang-mou Sin-ni bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang
pendek, “Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih celaka lagi.
Dia menolak dan memaki-maki, keparat!”
Di sebuah anak sungai yang
jernih airnya dalam sebuah hutan, ia berhenti, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia
lempar ke atas rumput. “He, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang? Maukah kau?”
“Tidak sudi dan jangan sebut aku
Kanda, perempuan hina dan gila!”
“Hi-hik, seperti Ayahnya!”
Tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut,
lalu tubuh pemuda itu terlempar ke dalam air di depan Siang-mou Sin-ni! Bu Sin
gelagapan, akan tetapi tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya
dibelenggu rambut. Ia gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil
kedinginan. Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi
tubuhnya masih terendam.
“Jawab, mau tidak kau!”
“Tidak sudi!” Bu Sin membentak.
Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, berkali-kali sampai sukar bernapas dan
perutnya kembung kemasukan banyak air.
“Apakah kau masih bandel tidak
mau?” Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar
dapat bernapas.
Bu Sin tak dapat mengeluarkan
suara lagi. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih cukup kuat untuk
menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak sudi!
“Bandel!” Siang-mou Sin-ni
berteriak marah dan melelapkan kepala Bu Sin sampai pemuda ini menjadi pingsan.
Baru ia angkat tubuh itu ke atas daratan, memegangi punggungnya dan membalikkan
kepala Bu Sin ke bawah, menepuk perutnya sehingga dari mulut pemuda itu keluar
banyak air!
Ketika Bu Sin sadar daripada
pingsannya, ternyata ia telah berada di tempat yang amat tinggi, di atas
pohon yang tingginya lebih dari sepuluh meter! Pakaiannya sudah kering kembali
dan ternyata ia digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung dari
belakang sehingga tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar, ia
berusaha menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah tertotok
pula, tak mampu bergerak. Baju dalamnya sudah tidak ada, agaknya disobek oleh perempuan
iblis itu sehingga ketika bajunya tergantung pada cabang pohon, perut dada
serta lehernya telanjang. Perempuan itu duduk di atas sebatang dahan kecil di
depannya. Luar biasa sekali. Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak
di atas ranting demikian kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau
ranting itu patah?
Siang-mou Sin-ni duduk
merangkapkan jari-jari tangan, kakinya bergoyang-goyang tergantung, rambutnya
riap-riapan, hitam halus mengkilap, matanya meram melek ketika ia menatap wajah
Bu Sin. Nampaknya wanita itu terheran-heran, kagum, juga jengkel dan
kehilangan akal.
“Bu Sin koko, kaubuka matamu dan
pandang baik-baik. Apakah aku tidak cantik molek? Lihat kulitku begini putih
kemerahan dan halus, lihat rambutku begini panjang hitam, halus dan harum.
Tubuhku padat dan denok. Semua orang bilang wajahku cantik seperti bidadari.
Apakah kau menganggap aku kurang cantik?”
Bu Sin mendongkol sekali.
Benar-benar wanita iblis dan ia lebih senang seribu kali mati daripada harus
menjadi suami iblis macam ini. “Huh, Siang-mou Sin-ni, kaukira aku Kam Bu Sin
seorang laki-laki macam apakah? Kau memang cantik jelita, akan tetapi apa
artinya cantik jelita kalau wataknya busuk dan jahat seperti iblis? Apa artinya
buah yang tampak indah dan lezat kalau di dalamnya tersembunyi banyak ulatnya
yang menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka, di bawahnya
hanya daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri hanya tengkorak
yang menjijikkan! Aku tidak butuh kecantikanmu, dan aku muak melihat
kejahatanmu!”
“Ck-ck-ck.... semuda ini sudah
bisa bicara tentang jahat dan baik! Hi-hik, kau seperti anak kecil yang
muntah-muntah melihat tahi, tidak tahu bahwa di dalam perutnya sendiri penuh
tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak dapat menundukkanmu? Masih banyak jalan.” Ia
lalu berkelebat pergi, tapi belum lebih lima menit ia telah kembali, membawa
daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu memercik-mercikkan madu itu pada muka,
leher, dada, perut dan kedua lengannya, kemudian sambil tertawa-tawa ia
melempar daun itu dan duduk kembali seperti tadi.
Bu Sin tidak mengerti apa
kehendak wanita ini. Ia maklum bahwa wanita ini kejam sekali dan ia sudah siap
menanti datangnya siksaan, akan tetapi apa maksudnya memercik-mercikkan madu
kepadanya? Apakah madu ini mengandung racun sehingga sebentar lagi aku akan
merasakan akibatnya? Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan tetapi baru sepuluh
menit kemudian ia mengerti apa artinya madu dipercikkan itu dan ia bergidik
penuh kengerian. Kiranya semut-semut besar mulai berdatangan melalui batang,
cabang, ranting dan daun-daun, dan tak lama kemudian semut-semut itu telah
merayap di seluruh tubuhnya, menggigitnya! Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan
gatal. Bukan main hebatnya siksaan ini. Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air
yang dingin, sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak ada
derita lagi, tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi. Semut-semut ini
menggigit, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang bukan main hebat
penderitaannya. Akan tetapi yang paling hebat di antara segala adalah kenyataan
bahwa ia tidak akan menjadi pingsan karenanya! Ia akan terus sadar untuk
merasakan penderitaan ini, yang membuat seluruh urat syarafnya tegang dan
terganggu, membuat perasaannya tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak
tertahankan lagi oleh Bu Sin, ia mulai berteriak-teriak menahan perasaan yang
tak dapat dilukiskan lagi penderitaannya!
“Hayo bilang bahwa kau mau
menjadi suamiku dan aku akan membebaskanmu!” Berkali-kali Siang-mou Sin-ni berkata
membujuk. Hanya kata-kata inilah yang kadang-kadang menjadi penguat semangat Bu
Sin, karena ia lalu memaki-makinya dan untuk sementara melupakan
penderitaannya. Akan tetapi kalau wanita itu diam saja dan duduk menonton, ia
tersiksa lagi, akhirnya Bu Sin tertawa-tawa, lalu menangis, tertawa lagi
seperti orang gila karena penderitaannya yang tak tertahankan. Kalau diteruskan
beberapa jam lagi, ia tentu akan menjadi gila benar-benar.
Agaknya Siang-mou Sin-ni
memaklumi hal ini, maka ia lalu mengusir semut-semut itu memanggul tubuh Bu Sin
dan melompat turun dari atas pohon, lalu berlari cepat sekali pergi dari situ.
Bu Sin meramkan matanya, merasa seperti dibawa terbang oleh wanita sakti yang
berhati iblis ini. Ia tidak putus asa selama nyawanya belum melayang, akan
tetapi ia bertekad lebih baik mati daripada dijadikan suami seorang iblis
betina yang demikian keji dan jahatnya. Ia seorang laki-laki sejati dan nama
baik serta kehormatannya jauh lebih berharga daripada selembar nyawanya.
Demikianlah tekad hati pemuda jantan ini.
Akan tetapi Bu Sin adalah
seorang pemuda yang masih hijau dan belum berpengalaman. Ia sama sekali tidak
tahu sampai di mana jahat, keji, dan lihainya seorang tokoh besar dunia hitam
seperti Siang-mou Sin-ni yang terkenal sebagai seorang di antara enam tokoh
Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia)! Selama menjadi tawanan wanita iblis ini,
beberapa hari kemudian, ia telah berubah menjadi seorang yang kehilangan
semangat, menjadi seorang yang tak ingat apa-apa lagi, menjadi penurut seperti
binatang peliharaan, disuruh apa saja oleh Siang-mou Sin-ni, akan ditaatinya
tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, tidak ingat lagi akan nama dan
kehormatan, bahkan nama sendiri pun ia tak ingat lagi. Bu Sin telah menjadi
korban kekejian Siang-mou Sin-ni setelah diberi minum racun yang disebut racun
perampas semangat! Dan iblis betina itu tercapai maksud hatinya yang kotor,
menjadikan Bu Sin sebagai seorang kekasihnya, suatu hal yang hanya merupakan
siksaan dan hukuman karena ia tetap tidak dapat merampas cinta kasih Bu Sin,
tidak dapat memiliki Bu Sin yang sebenarnya, seperti yang diinginkannya.
Bersama Bu Sin yang menjadi
tawanan dan kekasihnya, yang menuruti segala kehendaknya seperti patung hidup,
Siang-mou Sin-ni pergi ke selatan. Ia hendak mengunjungi Nan-cao negeri di
selatan yang mengadakan persekutuan dengan Hou-han. Biarpun Siang-mou Sin-ni
seorang tokoh dunia hitam, namun bagi Kerajaan Hou-han yang kecil itu ia
merupakan seorang tokoh yang patriotik dan ia bekerja untuk kerajaan ini. Oleh
karena itu, tentang persekutuan dengan Kerajaan Nan-cao, Siang-mou Sin-ni
sudah mendapat wewenang dan tugas untuk mengurusnya, dan kini ia pergi
mengunjungi, selain untuk tugas ini, juga untuk menghadiri perayaan yang
diadakan di Nan-cao berhubung dengan peringatan seribu hari wafatnya kauwcu
(ketua agama) dari Beng-kauw yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan
Nan-cao, juga bertepatan dengan hari ulang tahun berdirinya perkumpulan Agama
Beng-kauw.
Siang-mou Sin-ni di dunia
persilatan terkenal sebagai seorang di antara keenam iblis Thian-te Liok-koai,
akan tetapi di negerinya sendiri, yaitu daerah Kerajaan Hou-han, orang akan
menjadi terheran-heran melihat ia dihormati semua orang, juga ditakuti dan ia
keluar masuk istana seperti keluar masuk rumahnya sendiri saja! Dia merupakan
seorang tokoh yang selain keji dan kejam, juga amat luar biasa anehnya, penuh
diliputi rahasia dan kepandaiannya luar biasa hebatnya. Inilah yang membuat dia
menjadi seorang di antara keenam Liok-koai (Enam Iblis), sifat-sifat yang harus
dimiliki seorang tokoh untuk disebut iblis dunia. Banyak orang jahat, akan
tetapi ia tidak sakti dan tidak luar biasa anehnya, maka ia tidak bisa
disamakan dengan Thian-te Liok-koai. Keenam orang tokoh ini disebut Iblis Dunia
karena memang mereka terlalu amat jahat, kejam dan tinggi ilmunya.
Alangkah buruk nasib Bu Sin,
terjatuh ke dalam cengkeraman seorang iblis betina seperti Siang-mou Sin-ni.
Agaknya akan lebih baik kalau ia dibunuh, karena nasib yang menimpa dirinya
memang lebih hebat daripada kematian. Ia menjadi seorang manusia yang
kehilangan segala-galanya. Bu Sin sama sekali tidak ingat lagi akan diri
sendiri, juga ia tidak tahu ke mana ia dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni.
Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa ia harus taat kepada segala kehendak
Siang-mou Sin-ni!
***
Nan-cao adalah sebuah negeri
kecil, atau lebih tepat lagi sebuah kerajaan kecil yang berada di daerah
Yu-nan. Di antara kerajaan-kerajaan di daerah selatan dan barat, Kerajaan
Nan-cao yang kecil ini terhitung kerajaan yang paling kuat dan paling gigih
menentang dan tidak mau tunduk kepada Kerajaan Sung. Lain-lain kerajaan seperti
Kerajaan Nan-ping di Hu-pei dan Kerajaan Su di Se-cuan, suka mengakui Kerajaan
Sung dan pemimpin mereka oleh Kaisar Sung malah diganjar pangkat dan
kedudukan. Akan tetapi Nan-cao tidak mengakui kedaulatan Kaisar Sung.
Yang memperkuat kedudukan
Kerajaan Nan-cao sesungguhnya adalah Agama Beng-kauw. Agama ini dipimpin oleh
orang-orang sakti dan karena kaisarnya sendiri juga termasuk pemeluk Agama
Beng-kauw, maka boleh dibilang para pemimpin agama ini adalah keluarga raja di
istana.
Apakah sebetulnya yang disebut
Agama Beng-kauw? Mari kita mengenalnya dari catatan sejarah, Beng-kauw yang
berarti Agama Terang aselinya disebut Manicheism, yaitu menurut nama penemunya
yang bernama MANI. Mani seorang berbangsa Persia (Iran), putera seorang
bangsawan. Pada hahekatnya, Agama Manicheism atau Beng-kauw ini merupakan
perkawinan antara Agama Kristen dan Agama Zoroastrianism yang dianut oleh
sebagian besar bangsa Persia. Agama ini mendasarkan filsafatnya pada filsafat
kuno tentang Im Yang (Positive & Negative). Menurut ajaran agama ini,
segala kejahatan lahir daripada kegelapan yang merupakan sebuah Kerajaan Gelap
yang dirajai setan. Oleh karena inilah, Mani menamakan diri sendiri sebagai
Duta Terang, dan ini pula yang menyebabkan mengapa agama ini disebut Agama
Terang atau Beng-kauw. Segala macam kotoran harus dibersihkan, segala macam
kegelapan harus dikalahkan dan diusir oleh Terang.
Agaknya karena banyak orang
berilmu tinggi dan memiliki kesaktian mendukung lahirnya agama ini, maka
sebertar saja Beng-kauw menjadi sebuah agama yang besar dan dianut manusia
secara luas. Seperti juga dengan agama-agama lain, Agama Beng-kauw tersebar
luas setelah penemunya, Mani meninggal dunia (dihukum mati pada tahun 274
Masehi). Agama ini meluas sampai jauh ke barat menurut catatan sampai ke
Perancis dan pada tahun 694 Masehi mulailah agama ini masuk ke Tiongkok yang
oleh para penganutnya lalu disebut Beng-kauw (Agama Terang). Dua abad lebih
kemudian, biarpun di Tiongkok Agama Beng-kauw sudah amat menurun pengaruhnya,
namun masih berpusat dan bersisa di selatan, di negara Nan-cao.
Puluhan tahun, ketua Beng-kauw
adalah seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktiannya, bernama Liu Gan yang
berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan). Hebat kepandaian ketua
Beng-kauw ini dan orang-orang, terutama para pemeluk agama itu, percaya bahwa
tokoh ini adalah seorang yang tidak bisa mati! Usianya pun katanya lebih dari
seratus lima puluh tahun. Agaknya hal ke dua ini mungkin sekali karena semua
tokoh kang-ouw yang paling tua tidak ada yang tidak mendengar nama besarnya
yang berarti bahwa Pat-jiu Sin-ong ini sudah amat lama tersohor di dunia kang-ouw.
Akan tetapi agaknya tidak benarlah desas-desus yang mengatakan bahwa ia tidak
bisa mati karena buktinya bulan depan ini di sana akan diadakan sembahyangan
untuk memperingati dan menghormat seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong!
Pernah disebut dalam cerita ini
bahwa Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mempunyai seorang puteri bernama Liu Lu Sian
yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Berbisa)! Tiga puluh tahun yang lalu,
Liu Lu Sian merupakan seorang tokoh besar pula di dunia kang-ouw, amat tersohor
karena kecantikannya yang seperti bidadari, kecantikan yang aneh dan asing
karena darahnya adalah darah campuran antara Tiongkok dan Persia, matanya agak
kebiruan, kulitnya yang putih agak kemerah-merahan. Tidak hanya
kecantikannya yang luar biasa itu saja yang membuat ia terkenal, akan tetapi
juga kepandaiannya yang tinggi, yang ia warisi dari ayahnya dan terutama sekah
ia tersohor karena keganasannya. Inilah agaknya yang membuat ia dihadiahi
julukan Setan Cilik Berbisa!
Seperti banyak sekali wanita di waktu
itu, Liu Lu Sian juga tergila-gila kepada jenderal muda Kam Si Ek yang terkenal
tampan dan gagah perkasa. Sebaliknya, Jenderal Kam juga jatuh hati terhadap
puteri ketua Beng-kauw ini. Sungguhpun Jenderal Kam cukup sadar akan keadaan
gadis ini yang terkenal ganas dan merupakan seorang tokoh yang bernama buruk,
namun cinta selalu mengalahkan perasaan dan kesadaran hati manusia muda. Ia
menikah dengan Liu Lu Sian, hal yang amat menggemparkan dunia kang-ouw di waktu
itu. Perkawinan ini mendatangkan seorang putera, yaitu Kam Bu Song. Sayang
sekali, mungkin karena perbedaan watak, pernikahan itu tak dapat dipertahankan
terlalu lama dan jiwa petualang Liu Lu Sian tak dapat dikekang lagi. Akhirnya,
wanita ini pergi meninggalkan suaminya setelah mereka bercekcok. Bu Song yang
ditinggalkan ibunya itu baru berusia empat tahun dan selanjutnya telah kita
ketahui bahwa anak ini pun akhirnya meninggalkan ayahnya, agakya darah ibunya
mengalir di tubuhnya mewariskan jiwa petualang yang besar.
Pengganti Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan yang telah wafat adalah adiknya sendiri, bernama Liu Mo yang usianya juga
sudah amat tua, sukar diketahui berapa usia ketua baru ini. Tubuhnya sama
dengan kakaknya, tinggi besar dengan kulit hitam dan mata agak biru. Ia
pendiam, namun kabarnya juga amat sakti. Beng-kauwcu (Ketua Agama Beng) Liu Mo
ini tidak mempunyai julukan yang menyeramkan, namun seperti juga kakaknya, ia
mempunyai pengaruh yang amat besar di negara Nan-cao dan menjabat kedudukan
sebagai koksu (guru/penasehat kerajaan) yang agaknya menentukan keputusan yang
diambil oleh raja. Seperti juga mendiang kakaknya, biarpun dia sendiri sudah
tua dan usianya tak ada yang mengetahui berapa, namun ia masih kuat dan
mempunyai empat orang isteri muda-muda dan cantik! Akan tetapi, hanya seorang
saja di antara isterinya itu yang mempunyai anak, seorang anak perempuan yang
pada saat itu sudah berusia dewasa, sedikitnya sembilan belas tahun. Gadis
remaja ini diberi nama Liu Hwee.
Demikianlah sedikit tentang
keadaan negara Nan-cao dan Agama Beng-kauw yang selain berpengaruh besar di
sana, juga agaknya yang membuat negara ini angkuh dan biarpun kecil merupakan
negara yang kuat juga. Para penghuni istana, dari raja sampai para pengawal
semua merupakan pemeluk dan penganut Agama Beng-kauw yang setia.
Pada waktu itu, semua penghuni
Kerajaan Nan-cao sibuk dengan persiapan mengadakan pesta besar-besaran untuk
merayakan tujuh abad lahirnya Beng-kauw, juga untuk memperingati seribu hari
wafatnya mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Semua orang bergembira, kota raja
dihias indah dan di dekat istana dibangun ruangan besar untuk menyambut para
tamu agung yang pasti akan memenuhi tempat itu. Seperti biasa di waktu
menghadapi perayaan besar, para pimpinan Beng-kauw dan keluarga raja bekerja
sama karena sebetulnya para pimpinan Beng-kauw adalah keluarga raja juga.
Malah kedua orang saudara Liu yang berturut-turut menjadi ketua Beng-kauw
adalah paman dari Raja Nan-cao. Akan tetapi, seperti telah terjadi belasan
tahun sampai saat itu, keluarga bangsawan ini dalam kegembiraan persiapan
pesta, merasa kecewa kalau teringat akan Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang belum
pernah pulang ke Nan-cao. Bahkan semenjak wanita ini meninggalkan suaminya,
Jenderal Kam, ia tak pernah muncul lagi, dan tak seorang pun tahu di mana
adanya Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, tak tahu pula apakah ia masih hidup.
Kita tinggalkan dulu Kerajaan
Nan-cao yang sedang sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya para tamu
dari empat penjuru untuk menghadiri perayaan kerajaan dan Agama Beng-kauw.
Perlu kita kembali dan ikuti pengalaman Lin Lin agar jalan cerita menjadi
lancar.
Dengan hati ngeri, Lin Lin
merasa betapa tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah, ke dalam gedung
perpustakaan yang amat gelap itu. Cepat ia mengerahkan gin-kangnya, akan
tetapi karena ia tidak tahu betapa tingginya tempat itu, tetap saja ia berada
dalam ancaman bahaya terbanting keras. Akan tetapi tiba-tiba ada tenaga yang
mendorongnya dari bawah, mengurangi kecepatan tubuhnya yang meluncur ke bawah
bahkan kemudian tenaga yang sama pula mendorongnya sedemikian rupa sehingga ia
tahu-tahu telah berdiri di atas lantai yang halus licin! Lin Lin membuka
matanya yang tadi ia tutup saking ngeri.
Kiranya ia berada di ruangan
yang amat lebar dan di balik tikungan ada sinar penerangan menyorot sehingga
ruangan itu menjadi remang-remang. Di depannya berdiri seseorang, entah
laki-laki entah wanita karena hanya tampak bayangannya yang hitam.
Bayangan itu mengeluarkan seruan
kaget dan heran, kemudian melangkah maju, berbisik dengan suara menggetar,
“Aaahhhhh.... kaukah ini....? Kau datang menyusulku....? Dan tikus-tikus itu
berani mengganggumu....? Jangan takut, Kanda akan melindungimu.... ah, betapa
rinduku kepadamu....”
Saking bingung dan herannya Lin
Lin sampai tak dapat berkutik ketika tiba-tiba bayangan itu merangkul dan
memeluknya. Baru setelah bayangan itu menciumnya, yang membuat ia merasa
seakan-akan lantai yang diinjaknya amblong ke bawah dan membuat matanya
melihat ribuan bintang berjoget di depannya, ia meronta dan tangannya melayang
ke depan. “Plak-plak!” kedua telapak tangan Lin Lin bertemu dengan pipi yang
keras.
“Kurang ajar kau.... monyet
celeng keparat kau! Kubunuh kau, binatang kurang ajar! Berani kau me....
me....!” Seperti hiu betina mencium darah, Lin Lin menerjang maju, memukul
mencakar menendang!
Semua pukulan dan tendangannya
tepat mengenai sasaran seperti tamparannya tadi. Bayangan itu sama sekali
tidak mengelak, akan tetapi sedikit pun tidak tampak bahwa pukulan dan
tendangan itu terasa olehnya. Hanya terdengar ia menggumam. “Ah, celaka....
aku sudah gila.... maaf Nona....”
Lin Lin penasaran setengah mati.
Pukulan dan tendangannya tadi bukan main-main akan tetapi mengapa yang dipukul
dan ditendang tidak apa-apa, sebaliknya malah telapak tangannya panas-panas
dan gares (tulang kering) kakinya linu dan seperti mau patah-patah? Ia marah
sekali, kini mengerahkan tenaga sakti Khong-in-ban-kin dan menyerang lagi.
Kalau tadi ia tidak mengeluarkan tenaga ini adalah karena ia masih belum begitu
marah, hanya terlalu kaget saja. Sekarang kemarahannya memuncak. Biarpun,
andaikata, orang ini telah menolongnya tidak terbanting jatuh, akan tetapi
dosanya terlalu besar. Dosa tak berampun. Memeluk dan menciumnya, kemudian
menerima pukulan tendangan dan tamparan tanpa merasakan sakit sedikit pun juga.
“Uhhh, apa ini? Dari mana
kaudapatkan ini?” Bayangan itu agaknya terkejut menghadapi jurus lihai dan
tenaga sakti itu, cepat ia mengelak dan sekali melompat ia telah lenyap di
tikungan depan. Lin Lin mengejar, matanya silau karena kini ia berada di
sebuah ruangan yang terang sekali, diterangi lampu besar yang tergantung di
setiap ujung dan di tengah-tengah ruangan. Dinding tertutup lemari yang penuh
dengan buku. Dan di tengah-tengah ruangan, di bawah lampu berdirilah seorang
laki-laki tampan berjubah hitam dengan gambar suling di depan dada.
Sejenak kedua orang itu berdiri
terpaku, saling pandang. Wajah laki-laki itu penuh ketegangan, matanya tak
berkedip menatap wajah Lin Lin. Sukar menduga apa yang berada di balik sinar
mata itu. Ada kagum, ada gembira, tapi juga kecewa, duka, dan terharu. Di lain
fihak, Lin Lin merasa seakan-akan sudah terlalu sering ia melihat wajah seperti
ini. Di alam mimpi. Ya, di dalam mimpi yang menjadi rahasia hatinya. Wajah ini!
Ia tahu bahwa orang ini tentulah Suling Emas, dan tahu pula bahwa selama
hidupnya, baru kali ini ia bertemu muka. Akan tetapi wajah ini.... dan tadi ia
diciumnya. Mendadak wajahnya menjadi merah dan terasa panas, matanya
mengembang air mata, jantungnya berdenyar-denyar seakan-akan hendak meledak,
dadanya bergelora dan.... kedua kakinya gemetar.
“Kau....? Kau tentu Suling
Emas....! Biarpun kau Suling Emas, suling bambu maupun suling bobrok, aku
tidak takut. Kau harus mampus!” Lin Lin sudah mencelat ke depan, menerjang
dengan pukulan-pukulan dahsyat dari jurus Ilmu Silat Khong-in-liu-san!
“Eh, eh, nanti dulu.... salah
faham.... salah duga, maafkan. Kita bicara.”
“Bicara apa?” Lin Lin makin
“menyala” karena pukulan-pukulannya bertubi-tubi itu hanya mengenai angin
belaka, agaknya amat mudah Suling Emas mengelak, “Kau.... kau kurang
ajar....!”
Suling Emas kembali mengelak.
“Aku salah mengenal orang.... tentu saja kau jauh lebih muda. Kau masih
kanak-kanak, tapi... tapi.... wah hebat. Dari mana kau mendapatkan jurus-jurus
sehebat ini?” Makin cepat Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas
mengelak, sambil memuji-muji jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri
merasa terheran-heran akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian
itu, akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol.
Jurus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekalipun mengenai sasaran!
“Huh, kalau pedangku berada di
tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas
pengawal curang!” katanya sambil menyerang lagi.
“Inikah pedangmu?” Suling Emas
tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang dengan
terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin. Dara ini memandang dan
terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang tadi terampas
pengawal kurus!
“Eh,
betul bagaimana bisa berada padamu?”
Suling Emas berkilat pandang
matanya. “Bukan soal, coba pergunakan pedangmu!” Kata-kata ini merupakan
perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan
tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya.
Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan
mempermainkannya dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia
terjengkang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekaii tidak
dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia
terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.
“Lihat pedang!” teriaknya, lebih
mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning berkelebat
dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang menerjang diri Suling
Emas.
“Bagus!” Suling Emas berkelebat
lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput daripada bacokan maupun
tusukan pedang. “Wah, jadi kau yang mencuri Pedang Besi Kuning? Hemmm, tentu
dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah kau bukan murid
Kim-lun Seng-jin?”
Makin marahlah Lin Lin, karena
biarpun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan bayangan? Manusia
ini tulenkah atau setan? “Aku bukan murid Si Gundul Pacul! Hayo kaukeluarkan
kepandaianmu, hayo kaupergunakan pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai
salah seorang menggeletak mandi darahnya sendiri!” tantangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Suling
Emas menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah, muram dan tak acuh.
Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri.
Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang “tidak wajar” itu, dan
kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung dan dingin. Ia
membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab yang sudah
sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau mempedulikan
lagi kepada Lin Lin.
“Heeiiiii, hayo bangkit. Kita
bertanding!” Lin Lin membentak. Akan tetapi Suling Emas seakan-akan tidak
mendengar bentakannya dan terus saja membaca kitab. Bibirnya umak-umik
(komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.
“Tak sempat dan tiada nafsu bertanding....”
tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca
kitabnya.
“Monyet, celeng, kadal, bunglon,
tikus....!” Lin Lin menyebut semua binatang yang dianggapnya paling
menjijikkan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada Suling Emas untuk
memancing perhatian dan kemarahannya. “Kaubunuh Ayahku, hayo kita bikin
perhitungan sampai lunas!”
Tanpa menoleh Suling Emas
berkata lagi, “Sialan, semua orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar
begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh.”
“Apa kaubilang? Berani kau
memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku!” Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di
belakang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin
bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.
“Kau bocah kecil, banyak
bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!” biarpun kata-katanya mulai
ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali tidak mau
menoleh.
“Iblis, setan, siluman....!” Lin
Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin, “Hadapi aku!
Aku mau bicara denganmu!”
Akan tetapi Suling Emas tetap
diam saja, melirik pun tidak, Lin Lin makin marah dan jengkel mencak-mencak dan
membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga Khong-in-ban-kin sehingga
lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang kecil seperti digali dengan
linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling Emas di seberang meja. Namun
laki-laki itu tetap duduk menunduk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin
menggebrak meja, namun sia-sia.
“Betul kata Enci Sian Eng, kau
seperti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau
kauperlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku!” Sambil
berkata demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan
membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di
depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca! Akan
tetapi, bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan memandang
heran, melainkan kata-kata Lin Lin.
“Apa kaubilang? Enci Sian Eng?
Kau adiknya? Jadi kau.... kau ini.... ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada
di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin!”
Lin Lin merenggut dan melompat
turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat.
“Enaknya menyebut nama orang.
Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh, laki-laki kurang ajar, penghina
kaum wanita. Memangnya aku ini apamu.... berani.... berani mencium....” Muka
Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak berani mengangkat muka!
“Hemmm, maafkan, aku tidak
sengaja. Tapi.... ah, hal itu tidak apa, tak usah kausebut-sebut lagi.
Percayalah, aku menyesal sekali....”
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat
muka, mereka berpandangan dan.... Lin Lin menangis. Aneh memang! Tak biasa
gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi kali ini mengapa air
matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?
“Lin.... eh, Nona Lin Lin, tentu
kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau
datang ke sini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu
bahwa aku berada di gedung perpustakaan?”
“Aku.... aku tahu kau bukan
pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau di sini.
Aku.... aku mencarimu hanya untuk bertanya di mana adanya Kakak Kam Bu Song.
Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Kakak Bu Song
sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan di mana kuburnya? Akan tetapi....
sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang hanya bahwa
kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu.”
“Dosa....?”
“Tadi itu....!”
“Eh....? Oh, itu....? Dengar,
Lin.... eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi
tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman
itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?”
Seperti seorang anak kecil manja
Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan keras. “Tidak
bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman atau kakak mencium.... di
sini....?” Ia menuding bibirnya.
Suling Emas menjadi merah
mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati, keras kepala
dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat ini, “Habis,
bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali....?”
“Tarik kembali hidungmu!” Lin
Lin memaki-maki. Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis ia
meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu.
“Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan aku
sampai mampus seorang diantara kita! Penghinaan yang memalukan ini harus
ditebus dengan nyawa!”
Suling Emas merasa bohwat
(kehabisan akal) benar-benar. “Masa begitu saja dianggap penghinaan yang
memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa disebut
memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona Cilik, sekali lagi aku minta maaf dan
untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal jangan.... bertanding
sampai mati.”
Lin Lin menahan senyumnya.
Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking bangga dan
besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar. Bukankah ucapan Suling
Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya? Bukankah itu berarti
Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap seorang
pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi
langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat
ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang
memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak
takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu saja ia
sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar biasa
itu “ngeri” terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.
“Suling Emas, apakah kau seorang
laki-laki sejati?” Pertanyaan yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk
langsung ke jantung ini membuat pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang
hitam tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung
dan tak dapat menebak apa gerangan maksud di balik kata-kata pertanyaan besar
itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak
bermaksud menghina.
“Apa maksudmu?” Ia toh bertanya
karena benar-benar tidak mengerti.
“Apakah kau tergolong laki-laki
yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”
Sepasang mata Suling Emas
berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi sehingga Lin Lin menjadi terkejut
sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.
“Nona kecil, apakah kau
main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau....!”
Lin Lin cemberut. “Siapa
main-main? Awas.... awas.... tentu saja aku awas, kalau tidak mana aku bisa
melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?”
“Kalau kau tidak main-main, apa
maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki sejati.
Suling Emas lebih menghargai nama baik daripada selembar nyawanya!”
“Dan sekali keluarkan sepatah
kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”
“Jangankan empat ekor kuda,
nyawa terancam maut sekalipun takkan dapat menarik kembali kata-kata yang sudah
kukeluarkan dari mulutku!” Panas perut Suling Emas dan ia terheran-heran
karena belum pernah ia bisa di“bakar” orang selama ini.
“Bagus, kalau begitu nyata kau
seorang Eng-hiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak campuran. Aku
percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan dosamu. Aku pun tidak suka
bertanding sampai mati denganmu, karena aku juga maklum bahwa kau lihai
sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding sampai mati dan kau pula
yang berjanji akan melakukan apa saja asal jangan bertanding, aku mengajukan
tiga buah permintaan kepadamu.”
Hemmm, celaka sekali ini aku,
pikir Suling Emas dan ia sudah menyesal mengapa tadi ia memberi janji segala
macam. Jangan-jangan gadis liar ini akan menyeretnya untuk melakukan hal yang
bukan-bukan. Diam-diam ia gemas sekali dan ingin rasanya ia menangkap bocah
ini, menelungkupkannya di atas pangkuan dan menghajar pantatnya sampai matang
biru!
Akan tetapi Lin Lin yang cerdik
pura-pura tidak melihat mata yang melotot kepadanya itu, melainkan ia
cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Pertama, kau tidak boleh bercerita kepada
siapapun juga di dunia ini, kepada isterimu pun tidak....”
“Aku tidak punya isteri!”
“Masa....?” Lin Lin duduk
menunjang dagu dengan kedua tangan dan memandang tajam. Mereka sudah sejak
tadi duduk berhadapan lagi, terhalang meja. “Kenapa sih? Usiamu sudah lebih
daripada cukup. Kurasa tiga puluh tahun sudah ada....”
Suling Emas menarik napas
panjang, sejenak memandang wajah Lin Lin, kemudian menunduk dan menggerakkan
kedua pundaknya yang bidang. “Aku takkan punya isteri.... siapa akan sudi
padaku....?” Tiba-tiba pandang mata Suling Emas merenung dan tampak sedih
sekali.
“Akan tetapi kelak kau tentu
akan mengubah pendirian ini dan kelak kau tentu akan punya seorang isteri yang
cantik jelita dan baik....”
Suling Emas menggebrak meja
dan.... keempat kaki meja itu amblas sampai belasan sentimeter ke dalam lantai
yang keras. Tiba-tiba meja menjadi pendek. “Apa-apaan semua ini?
Melantur-lantur urusan isteri dan pernikahan segala macam?”
Lin Lin sadar, menurunkan kedua
tangannya, keningnya berkerut-kerut, mengingat-ingat, “Ah, oh.... sampai di
mana aku tadi? Oya, permintaan pertama, kepada siapapun juga di dunia ini, juga
tidak kepada.... calon isterimu, kau tidak boleh bercerita tentang yang tadi
itu. Sanggupkah?”
Lega bukan main hati Suling
Emas. Kiranya hanya macam begini saja permintaan dara gila ini. Saking
gembiranya dan lega hatinya mendengar bahwa permintaan yang belum apa-apa
sudah ia janji menyanggupi itu ternyata bukan permintaan yang bukan-bukan,
timbul kegembiraannya untuk menggoda. Ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya,
“Tentu saja aku sanggup kalau hanya untuk tutup mulut, tapi harus dijelaskan,
tidak boleh bercerita tentang apa?”
“Tentang tadi itu, lho.”
“Tentang tadi? Ada apa sih tadi?
Tentang kau datang ke istana dan bertempur melawan para penjaga?”
“Bukan.... bukan....! Kalau
tentang itu saja boleh kauceritakan kepada setiap orang yang kaujumpai. Bukan
itu, tapi tentang.... eh, tentang antara kita tadi itu.”
Suling Emas menarik muka bodoh,
longang-longong seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti.
“Eh, tentang pertandingan kita
tadi? Baik, aku akan tutup mul....”
“Kaubuka sehari semalam juga
peduli amat kalau tentang itu. Wah, tidak nyana bahwa Suling Emas yang namanya
lebih tinggi dari puncak Thai-san, kiranya hanya seorang laki-laki yang amat
bodoh. Itu lho, tentang kekurangajaranmu tadi, kaupeluk aku dan kau....
kau....”
Melihat betapa wajah itu di
bawah sinar lampu yang terang menjadi amat merah, Suling Emas merasa kasihan
juga. Ia mengangguk-angguk. “Baik-baik, aku mengerti sudah. Aku sanggup untuk
tutup mulut tentang hal itu.”
Lin Lin menarik napas panjang.
Ia merasa lega dan hal itu akan merupakan rahasia antara mereka berdua saja.
“Dan kau akan membantu usaha kami mencari Kakak Kam Bu Song dan pembunuh ayah
bunda kami.”
“Sanggup!” tanpa banyak pikir
lagi Suling Emas menjawab sambil mengangguk.
“Dan kau akan membawa aku
bersamamu dalam usaha mencari Kakak Kam Bu Song dan musuh besarku. Sanggup?”
“Wah.... ini.... ini....” Suling
Emas meragu.
Lin Lin tersenyum mengejek dan
menudingkan telunjuk kanannya ke arah hidung Suling Emas. “Nah-nah, janjinya
menyanggupi segala macam permintaan, baru begitu saja sudah menolak....”
“Menolak sih tidak, tapi....
mencari orang yang tidak tentu tempatnya, membutuhkan waktu yang tidak dapat
diduga berapa lamanya. Pula, besok aku akan pergi ke Nan-cao mengunjungi
perayaan Agama Beng-kauw....” Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, “Ah, di sana
berkumpul semua tokoh kang-ouw, kurasa akan dapat bertemu dengan pembunuh ayah
bundamu di sana.”
“Nah, kalau begitu bawalah aku
ke sana.”
“Tapi.... pembunuh ayah bundamu
tentulah seorang yang amat lihai lagi jahat!”
“Takut apa? Kaukira aku takut?
Lagi pula, aku tidak minta perlindunganmu! Aku hanya minta kau mengajak aku
dalam usaha mencarinya. Nah, bagaimana jawabnya?”
Suling Emas mengerutkan kening,
berpikir-pikir, lalu mengangguk-angguk. “Perlu juga seorang bocah seperti kau
ini menghadapi banyak pengalaman. Di Nan-cao kau akan melihat dan mendengar
banyak. Baiklah, aku sanggup. Besok aku akan menjemputmu di kelenteng itu.”
Bukan main girangnya hati Lin
Lin. Ia dapat membayangkan sudah betapa encinya akan membuka matanya yang jeli
itu lebar-lebar memandangnya kalau mendengar akan janji-janji Suling Emas
kepadanya!
“Sebuah permintaan lagi, kau
harus memperkenalkan nama aselimu kepadaku dan aku pasti akan merahasiakannya
kalau memang kau kehendaki itu.”
Suling Emas tampak terkejut
sekali, akan tetapi ia segera mengangkat telunjuknya ke atas dan berkata
ketus, “Anak nakal, sekali ini aku takkan menyanggupi apa-apa lagi. Kau minta
aku memegang teguh kata-kata yang sudah keluar, akan tetapi kau sendiri mengapa
hendak melanggar omongan sendiri?”
“Aku? Melanggar omonganku
sendiri? Mana bisa....?”
“Kau tadi bilang hendak
mengajukan tiga macam permintaan. Pertama, aku tidak boleh bercerita kepada
orang lain bahwa aku sudah memeluk dan menciummu. Ke dua, aku akan membantumu
mencari kakakmu dan musuh besarmu. Ke tiga, aku akan membawamu serta ke
Nan-cao. Nah, sudah cukup tiga, bukan? Tak boleh diberi embel-embel lagi!”
Lin Lin menyesal bukan main.
“Wah, aku salah. Kalau begitu boleh ditukar. Permintaan pertama itu kutukar
dengan permintaan ini dan....”
“Cukup! Aku tidak mau bicara
lagi. Sekarang kau kembali ke kuil dan besok aku akan menjemputmu, kita bersama
berangkat ke Nan-cao!” Setelah berkata demikian, kedua tangannya bergerak
dan.... tiba-tiba semua lampu penerangan di dalam ruangan itu padam.
“Ikuti aku keluar....” Bayangan
hitam itu berkata perlahan. Lin Lin terpaksa mengikuti dan ternyata mereka
keluar dari pintu samping yang ditutup kembali oleh Suling Emas dari luar.
Orang aneh itu sekali bergerak sudah melompat tinggi dan ternyata ia menyambar
benderanya di atas genteng, lalu melayang turun lagi. Gerakannya demikian
ringan dan cepat laksana seekor burung garuda terbang melayang saja, membuat
Lin Lin kagum bukan main. Suling Emas bergerak lagi dan Lin Lin mengikuti
terus. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Lin Lin ketika Suling
Emas membawanya keluar dari lingkungan istana itu dengan enak saja, berjalan
melalui jalan di antara gedung-gedung besar, kemudian menerobos keluar dari
pintu gerbang. Para penjaga yang berada di situ, terang melihat mereka berdua,
akan tetapi jangankan mengganggu, berkata sepatah pun tidak seakan-akan Suling
Emas dan Lin Lin merupakan dua sosok bayangan yang tidak tampak oleh mereka!
Setibanya di luar, Suling Emas
berkata, “Nah, selamat malam. Besok kujemput di kuil,” Begitu habis kata-katanya
orangnya pun lenyap!
Bukan main, pikir Lin Lin. Lebih
hebat lagi, ia sudah berhasil “menundukkan” orang luar biasa macam itu! Mulai
besok, dia akan melakukan perjalanan jauh bersama Suling Emas! Lin Lin
berjingkrak-jingkrak dan berlari-lari cepat sekali. Ingin ia lekas-lekas sampai
di kuil untuk menceritakan hal yang amat membanggakan hatinya itu kepada
encinya. Betapa akan terlongong heran enci Sian Erg, bisik debar jantung Lin
Lin.
Akan tetapi alangkah heran dan
kemudian bingung hatinya ketika ia tiba di kuli, Sian Eng ternyata tidak
berada di situ. Para hwesio yang ditanyainya menerangkan bahwa encinya itu
pergi meninggalkan kuil tidak lama setelah Lin Lin pergi petang tadi.
“Pinceng semua tidak tahu ke
mana perginya, dia tidak meninggalkan pesan dan pinceng (saya) tidak berani
bertanya.” Memang para hwesio di kuil itu amat menghormati Sian Eng dan hal ini
adalah karena yang membawa datang gadis itu adalah Suling Emas.
Tergesa-gesa Lin Lin memasuki
kamar di sebelah belakang kuil itu. Kamar itu kosong dan hatinya tidak enak
sekali rasanya ketika melihat bahwa bukan hanya Sian Eng yang lenyap dari kamar
itu, melainkan bungkusan pakaian encinya, juga pedangnya, turut lenyap. Hal
ini hanya berarti bahwa encinya memang sengaja pergi dari situ. Bukan pergi
dekat-dekatan saja, melainkan pergi melakukan perjalan jauh, karena kalau
tidak demikian, apa perlunya membawa-bawa bekal pakaian. Akan tetapi, kalau
benar demikian, mana bisa jadi? Masa encinya pergi jauh tanpa memberi tahu
kepadanya? Hanya satu hal yang melegakan hatinya. Agaknya encinya itu tidak
diculik orang atau dibawa pergi orang dengan kekerasan, karena kalau demikian
hainya, tentu encinya tidak membawa serta pakaiannya.
Lin Lin semalam tak dapat tidur.
Baru saja bertemu dengan encinya, sekarang ia ditinggal pergi lagi dengan aneh.
Sekali lagi ia berpisah dari Bu Sin dan Sian Eng, tanpa mengetahui di mana
adanya mereka berdua. Diam-diam Lin Lin mendongkol sekali. Mengapa Sian Eng
meninggalkannya begitu saja? Ada rahasia apakah di balik perbuatan yang amat
ganjil ini? Hatinya baru tenteram dan kebingungannya berkurang banyak kalau ia
teringat akan Suling Emas. Orang itu hebat, kepandaiannya seperti setan.
Sekarang ia sudah dapat “bersahabat” dengan Suling Emas, tentang lenyapnya Sian
Eng, apa sih sukarnya bagi Suling Emas? Besok aku akan minta dia mencari Slan
Eng lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi segera ia teringat betapa aneh dan sukar
watak Suling Emas. Belum tentu ia mau menuruti permintaannya, buktinya, ditanya
nama sesungguhnya saja tidak mau memberi tahu. Lin Lin bersungut-sungut dan
duduk termenung di dalam kamarnya tak dapat tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali seorang hwesio pelayan memberi tahu bahwa ada seorang tamu mencarinya.
Lin Lin meloncat dari pembaringan, langsung keluar dari dalam kamar. Dengan
rambut kusut dan wajah gelisah ia berlari keluar untuk menyambut Suling Emas
dan cepat bercerita tentang lenyapnya Sian Eng. Akan tetapi wajahnya berubah
ketika ia melihat bahwa laki-laki yang duduk di ruangan depan itu sama sekali
bukan Suling Emas yang diharap-harap kedatangannya, melainkan Lie Bok Liong!
Akan tetapi, hanya sebentar saja rasa kecewa ini menekan hatinya, karena ia
segera meraih harapan bahwa sahabat ini berhasil mendapat tahu tentang di mana
adanya Bu Sin kakaknya.
“Liong-twako, bagaimana dengan
Sin-ko? Sudah tahukah kau di mana adanya Sin-ko?”
Sejenak Bok Liong menatap wajah
dengan rambut kusut itu dengan hati berguncang. Selama dua hari berpisah dari
Lin Lin, makin terasalah ia betapa ia tak mungkin dapat terpisah dari gadis
ini. Yang dua hari itu ia merasakan siksaan batin yang kosong dan sunyi,
akibat daripada kebahagiaan yang selama ini ia rasai di dekat Lin Lin telah
direnggutkan dari padanya. Betapa rindunya kepada dara itu, akan tetapi ia
menguatkan hati dan dengan tekun ia mencari keterangan tentang diri kakak nona
itu sampai keluar kota raja.
***
Harus diakui bahwa pemuda ini
mempunyai hubungan yang amat luas dan di sekitar kota raja, boleh dibilang di
setiap dusun dan kota ia tentu mengenal seorang tokoh. Inilah sebabnya mengapa
dalam waktu dua hari saja ia telah berhasil dalam penyelidikannya dan dengan
hati girang pagi-pagi itu ia menuju ke kuil. Selama dua hari ini ia tidak
pernah beristirahat dan dalam hal wajah dan rambut kusut agaknya ia tidak usah
kalah oleh Lin Lin! Mendengar pertanyaan membanjir keluar dari mulut dara
pujaan hatinya itu, ia tersenyum girang. Namun hanya sebentar saja ia tersenyum
karena ia segera teringat bahwa biarpun ia sudah berhasil mendapatkan berita
tentang Bu Sin, namun bukanlah berita baik yang dapat disampaikan kepada Lin
Lin dengan senyum gembira!
“Lin-moi, aku sudah berhasil
mendengar berita tentang kakakmu itu, akan tetapi sebelumnya kuharap kau akan
tenang dan percayalah kepadaku bahwa aku selalu akan membantumu mencari dan
menyusul kakakmu, biarpun untuk itu aku harus menyeberangi samudera api....”
“Aku tahu kau akan membantuku,
tapi bukan itu yang ingin kudengar. Lekas katakan, bagaimana dengan Sin-ko?”
Lin Lin memotong, habis sabar.
Dengan muka duka Bok Liong
berkata. “Menurut kabar yang kudapat, agaknya kakakmu itu terjatuh ke dalam
tangan Siang-mou Sin-ni, Si Iblis Betina yang amat lihai. Tapi percayalah,
kakakmu tidak dibunuh. Aku sudah cukup mengenal watak iblis betina itu. Dia
sedang meyakinkan sebuah ilmu hitam yang amat ganas dan syaratnya adalah
menghisap darah jejaka hidup-hidup. Banyak sudah yang menjadi korbannya dan aku
yakin bahwa kakakmu tidak menjadi korbannya karena biasanya ia meninggalkan
mayat laki-laki yang dihisapnya sampai mati. Kakakmu lenyap dan jejaknya
menyatakan bahwa dia dijadikan tawanan Siang-mou Sin-ni. Menurut keterangan
yang kukumpulkan, aku tahu bahwa iblis itu pergi ke Nan-cao untuk menghadiri
perayaan Agama Beng-kauw. Maka, tenanglah dan mari kau ikut denganku ke
Nan-cao, kita kejar siluman itu dan dengan tenaga kita berdua, kiraku kita
akan dapat merampas kembali kakakmu.”
Mendengar cerita Bok Liong, Lin
Lin terkejut sekali. Akan tetapi otaknya bekerja dan ia segera menjawab, “Liong-twako,
kau benar-benar baik sekali. Terima kasih atas pertolonganmu. Karena sudah
jelas bahwa Sin-ko ditawan Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao, biarlah
aku sendiri yang akan mengejar iblis itu dan merampas Sin-ko.”
“Wah, kau tidak tahu! Siang-mou
Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, seorang di antara Enam
Iblis yang kepandaiannya luar biasa sekali, tidak di sebelah bawah tingkat
It-gan Kai-ong!”
“Apakah lebih sakti daripada
Suling Emas?” tanya Lin Lin dengan sikap dingin, seakan-akan ucapan Bok Liong
tadi “bukan apa-apa” baginya.
“Kalau dengan dia.... ah....
sukar dikatakan....”
“Nah, menghadapi Suling Emas
saja aku tidak takut. Apalagi segala macam manusia iblis seperti Siang-mou
Sin-ni? Liong-twako, harap kau jangan banyak membantah. Bukankah kau sudah
bilang bahwa kau suka sekali membantu dan menolongku?”
“Tentu saja! Karena itulah aku
akan mengantarmu mengejarnya.”
“Tidak, Twako. Kau tidak tahu.
Kita membagi tugas sekarang. Ketahuilah bahwa Enci Sian Eng juga lenyap! Baru
malam tadi ia lenyap.”
“Apa....?” Bok Liong berseru
kaget dan memandang dengan mata terbelalak, lalu menggaruk-garuk belakang
telinga yang tidak gatal. Benar-benar tiga saudara ini orang-orang yang aneh
sekali, selalu lenyap seperti barang kecil berharga saja. Apakah mereka itu
tidak mampu menjaga diri sendiri sehingga mudah hilang?
“Karena itulah, Twako. Aku minta
bantuanmu sekarang, kuminta sungguh-sungguh agar supaya kau suka mencari jejak
Enci Sian Eng. Kalau kau sudah dapat menemukannya dan dia dalam keadaan
selamat, barulah kau boleh menyusulku. Aku akan mengejar jejak Sin-ko yang
diculik iblis betina itu.”
Sebenarnya Bok Liong kecewa
sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak, apalagi dara pujaan
hatinya itu mengajukan permintaan dengan suara penuh permohonan dan sinar mata
mengharap. “Baiklah, aku akan cepat mencari dan menemukannya, kemudian aku
akan menyusulmu ke Nan-cao. Kuharap saja kau tidak akan berjumpa dengan
Siang-mou Sin-ni sebelum aku berada di dekatmu untuk membantu.”
Bok Liong berpamit dan keluar
dari situ, akan tetapi sampai di pintu ia menengok dan suaranya menggetar
ketika ia berkata, “Lin-moi, kau melakukan perjalanan seorang diri mengejar
orang sejahat iblis, kau berhati-hatilah, jaga dirimu baik-baik.”
Lin Lin tersenyum. Ia menganggap
pemuda ini baik sekali kepadanya, seperti kakak sendiri. Tentu saja ia tidak
dapat menduga bahwa suara tadi keluar dari lubuk hati dan mengandung rasa kasih
yang besar dan mendalam.
“Oya, Twako, kau lupa. Kalau kau
bertemu dengan Enci Sian Eng, kau harus ajak dia sekalian menyusulku. Sekali
lagi terima kasih, Liong-twako. Kau seorang yang amat baik dan aku takkan
melupakan budimu.”
Tentu saja hati Bok Liong
menjadi girang bukan main. Dara pujaannya itu takkan melupakan budinya!
Bukankah ini merupakan sebuah janji tersembunyi! Sama sekali pemuda yang jujur
ini tidak tahu bahwa di dalam hati Lin Lin, gadis ini mengharapkan terangkapnya
hati encinya dengan pemuda yang amat baik dan gagah ini!
Baru saja Bok Liong pergi,
terdengar suara, “Dia telah bersikap baik sekali, tapi yang dibaiki tidak tahu
diri!”
Lin Lin cepat menengok dan....
Suling Emas telah berdiri di situ. Seketika kegelisahan yang membayangi wajah
cantik itu lenyap terganti cahaya berseri pada matanya dan warna merah pada
kedua pipinya.
“Apa kau bilang? Liong-twako
memang baik sekali orangnya dan siapa bilang aku tidak tahu diri?”
Suling Emas menarik napas
panjang, menyembunyikan gelora dadanya yang aneh sekali baginya. Mengapa
melihat wajah gadis cilik ini di waktu pagi, mengingatkan ia akan setangkai
bunga mawar dalam hutan yang masih basah oleh embun pagi dan yang selalu
mendatangkan rasa aman tenteram di hatinya? Lalu katanya acuh tak acuh agar
gelora hatinya terselimut, “Dia cinta padamu dan menghendaki kau pergi
bersamanya. Ah, kau suka menyiksa hati orang....”
Sepasang pipi itu menjadi makin
merah dan jantung Lin Lin berdebar. Seperti dibuka kedua matanya oleh ucapan
Suling Emas ini. Lie Bok Liong mencintanya? Ucapan tentang cinta ini membuat
ia memandang Suling Emas lebih teliti lagi, karena perasaan wanitanya membuka
rahasia hatinya sendiri. Bok Liong boleh seribu kali mencintanya, akan tetapi
ia hanya dapat mencinta seorang saja, yaitu.... Suling Emas! Lin Lin terkejut
dan sekuat tenaga batinnya menolak perasaan ini, membantah, namun ia hanya
berhasil melawannya pada lahirnya belaka, adapun hatinya makin erat terpikat
dan terikat, makin hebat terlihat jaring cinta kasih!
“Siapa peduli tentang....
cin.... cinta? Bagaimana kau menuduh secara buta tuli bahwa aku menyiksa hati
orang? Hanya Liong-twako yang kupercaya penuh untuk mencari Enci Sian Eng yang
lenyap....”
“Lenyap....?” Suling Emas
memandang tajam.
“Hemmm, kau tidak tahu. Enci Eng
pergi tanpa pamit, entah ke mana. Pakaian dan pedangnya dibawa, tentu pergi
jauh. Aku minta tolong kepada Liong-twako untuk pergi mencarinya karena aku
sendiri hendak pergi mengejar jejak Bu Sin koko yang diculik oleh Siang-mou
Sin-ni.”
“Apa....?” Kali ini Suling Emas
mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“Liong-twako memang baik dan
hebat!” Lin Lin sengaja memuji-muji di depan Suling Emas. “Dalam dua hari saja
ia berhasil mendapat keterangan bahwa Sin-ko telah dibawa pergi oleh seorang
iblis betina berjuluk Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao. Karena itu,
kebetulan sekali bahwa kita pun akan pergi ke Nan-cao sehingga kita dapat
mengejar iblis itu dan sekalian mencari tahu tentang Kakak Bu Song dan musuh
besarku.”
Wajah Suling Emas kelihatan
serius sekali, “Non....”
“Wah, kau canggung benar. Repot
aku kau sebut nona-nona segala macam. Sebut saja namaku, kau kan sudah tahu
namaku? Aku sendiri karena tidak tahu siapa namamu, akan menyebut kau Suling
Emas begitu saja, atau.... Si Suling saja karena kau memang tinggi janggung
seperti suling.”
Kembali sepasang mata itu
berkilat dan untuk beberapa detik wajah yang serius itu berseri. Akan tetapi
hanya sebentar dan kembali wajahnya muram. “Lin Lin, kali ini kau jangan
main-main. Kau tidak tahu, tidak mengenal Siang-mou Sin-ni. Dia benar-benar
iblis yang jahat, malah dia seorang di antara Thian-te Liok-koai. Kakakmu
terjatuh di dalam tangannya, berbahaya sekali....”
“Maka kita harus lekas
mengejarnya. Hayo kita berangkat.... eh, nanti dulu, aku belum berganti pakaian
dan cuci muka.... bersisir....”
“Apa kaukira kita akan pergi ke
pesta? Begitu saja sudah cukup ambil bekalmu dan kita berangkat!”
“Tapi.... tapi....” Lin Lin tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memutar tubuh dan
keluar dari kuil itu. Terpaksa ia tergesa-gesa memasuki kamarnya, menyambar
buntalan pakaian yang sudah ia persiapkan, membawa pedangnya dan berjalan
cepat keluar. Ia berpamit kepada pimpinan kuil sambil menghaturkan terima
kasih, kemudian ia berlari keluar. Kiranya Suling Emas tidak menantinya dan
sudah berjalan pergi beberapa ratus meter jauhnya.
“Heeeiiiii, tunggu....!”
teriaknya sambil berlari mengejar. Suling Emas berjalan terus tanpa menengok.
Dari belakang tampaknya orang aneh itu hanya berjalan biasa, kedua kakinya
bergerak melangkah lambat-lambat. Akan tetapi anehnya, betapapun cepatnya kedua
kaki kecil Lin Lin bergerak lari sipat kuping, tetap saja jarak antara mereka
tiada perubahan, kira-kira tiga ratus meter jauhnya!
“Hemmm, kini kau akan menguji
ilmu lari cepat?” Lin Lin mengomel gemas, lalu ia mengerahkan seluruh tenaga
gin-kang dan menggunakan tenaga kesaktiannya, yaitu Khong-in-ban-kin yang
dapat membuat ia bergerak laksana burung walet terbang cepatnya. Diam-diam
Suling Emas terkejut dan juga kagum. Kemudian ia pun mempercepat gerakannya.
Lin Lin terus mengejar, penasaran bukan main ketika dari belakang Suling Emas
tetap saja kelihatannya seperti orang berjalan biasa. Lebih dua jam mereka
berkejaran ini sampai lewat puluhan li jauhnya. Setelah Lin Lin bermandi
keringat dan napasnya mulai memburu barulah ia dapat menyusul. Suling Emas
berhenti dan memandangnya, pandang mata yang jelas membayangkan kekaguman.
“Huh.... huh.... kaukira aku
tidak mampu mengejarmu? Huh.... huh.... semua orang boleh menganggapmu
hebat.... tapi.... huh.... huh.... bagiku biasa saja....” Dia antara napasnya
yang senin-kemis itu Lin Lin mengejek dan menyombong.
Suling memandang tajam. Dia ini
sama sekali tidak nampak lelah. Wajahnya biasa saja tidak tampak setetes pun
peluh dan napasnya juga panjang-panjang biasa, “Lin Lin, ilmu yang kauwarisi
dari Kim-lun Seng-jin ini hebat. Sayang sekali....”
“Sayang? Apanya yang sayang?”
“Sayang kau tidak menghargainya
sehingga kau menjadi tolol dan sombong!”
Lin Lin menggigit bibirnya,
kedua tangannya dikepal dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang dan
menyerang untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Sepasang matanya
bersinar-sinar seakan hendak menelan orang di depannya itu hidup-hidup. Akan
tetapi ia menahan perasaannya karena ingin sekali ia mendengar arti pernyataan
yang tak dimengertinya itu.
“Kalau benar aku tolol dan
sombong, mengapa sayang? Apa pedulimu dan apa hubungannya dengan ilmu yang
kupelajari dari Kim-lun Seng-jin?”
“Seorang anak-anak yang goblok tidak
akan tahu akan harganya sebuah mustika dan akan menganggapnya batu biasa saja
dan dipakai main-main. Kau pun tidak dapat menghargai ilmu warisan dari Kim-lun
Seng-jin sehingga kau main-main dengan ilmu itu, maka kau tolol. Orang yang
menganggap diri sendiri sudah hebat tiada bandingnya, dia adalah seorang
sombong dan kau juga selalu mau menang sendiri, tidak menghargai orang lain
maka kau sombong juga. Sayang ilmu yang hebat itu jatuh ke tangan orang tolol
dan sombong, kalau tidak, dengan melatihnya secara tekun dan mendalam, agaknya
takkan mudah lagi kau mengalami penghinaan dari orang lain.”
“Siapa berani menghina aku
kecuali kau? Putera Mahkota sendiri menganggap aku sederajat dan setingkat
dengannya, mengajak aku bercakap-cakap seperti sahabat. Tapi kau.... huh,
kaulah yang sombong!”
“Putera Mahkota? Betulkah kau
bertemu dengan Putera Mahkota? Yang mana, jangan-jangan hanya dengan seorang
bangsawan muda macam Suma Boan.”
“Huh, apa aku tidak bisa
membedakan mana Pangeran Mahkota dan Pangeran Brengsek biasa? Aku memasuki
taman bunganya ketika mencari gedung perpustakaan, dan aku bercakap-cakap
dengannya. Dia suka sekali akan ikan emas, mempunyai sebuah pagoda yang penuh
dengan tempat-tempat ikan dari kaca! bagus bukan main!”
Sepasang mata Suling Emas
terbelalak. Makin heranlah ia menghadapi dara remaja ini, “Kau benar-benar
telah bertemu dengan Pangeran? Tahukah kau bahwa beliau itu adalah adik Sri
Baginda dan merupakan calon pengganti Sri Baginda?”
“Tentu saja aku tahu, aku sudah
mengobrol dengan dia seperti sahabat, tapi kusangka dia itu tadinya putera
Kaisar.”
Suling Emas menggaruk-garuk
hidungnya yang tidak gatal. Benar-benar hampir tak mungkin dapat dipercaya
seorang gadis liar seperti ini bercakap-cakap seperti sahabat dengan pangeran
mahkota! Akan tetapi ia, biarpun belum lama bertemu dengan Lin Lin, sudah dapat
merasa yakin bahwa bocah seperti ini tidak bicara bohong, dan percaya pula
bahwa di depan pangeran mahkota, malah di depan kaisar sendiri agaknya tidak
mau bersikap merendah dan menganggap mereka itu orang-orang biasa seperti dia!
“Kau benar-benar seorang gadis
hebat!” Inilah suara hatinya, akan tetapi tanpa disadari keluar pula dari
mulutnya.
Berkembang lubang hidung Lin Lin
mendengar ini dan sekaligus kemengkalan hatinya karena dimaki tolol dan sombong
tadi lenyap seperti embun terusir sinar matahari. Ia tersenyum manis sekali dan
berkata dengan mata tajam mengerling.
“Kau pun seorang laki-laki yang
hebat!”
Terkejutlah Suling Emas,
seakan-akan ditampar mukanya. Pipinya menjadi merah dan ia cepat memalingkan
muka, menghindarkan diri dari sambaran kerling setajam gunting dan senyum
semanis madu. Tapi jantungnya berdenyut aneh dan dengan batinnya yang sudah
terlatih, matang dan teguh itu ia cepat dapat mengusir perasaan yang tidak
semestinya itu.
“Marilah kita lanjutkan
perjalanan. Perjalanan ini masih jauh, di samping itu, kita harus berusaha
menyusul Siang-mou Sin-ni, kalau saja belum terlambat....”
Ucapan ini sekaligus menyadarkan
Lin Lin yang tadinya terayun kebungahan hati yang ditimbulkan oleh pujian
Suling Emas yang mengatakan dia gadis hebat.
“Apa.... apakah kauanggap Bu Sin
koko berada dalam bahaya?”
“Hemmm, sukar dikatakan. Akan
tetapi yang jelas, Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang kejam seperti
iblis.”
“Akan kubunuh dia! Kalau Sin-ko
dia ganggu, akan kubunuh dia!” Lin Lin berteriak marah dengan semangat
menggelora. Biarpun diam-diam Suling Emas menganggap pernyataan ini amat
menggelikan mengingat lihainya Siang-mou Sin-ni dan “mentah”nya Lin Lin, namun
ia maklum bahwa pernyataan ini terdorong oleh keberanian yang luar biasa. Ia
percaya bahwa Lin Lin pasti akan membuktikan ancamannya, biarpun untuk itu
harus berkorban nyawa. Ia sudah menyaksikan ketabahan hati Sian Eng ketika dikubur
hidup-hidup oleh Hek-giam-lo, akan tetapi agaknya adiknya ini lebih tabah dan
berani lagi, mendekati nekat!
“Kita lihat saja nanti,
mudah-mudahan kakakmu masih selamat. Mari!”
Tanpa mengenal kasihan Suling
Emas mengajak Lin Lin berlari lagi cepat-cepat, agaknya ia tidak peduli bahwa
gadis itu sudah kelihatan amat telah. Lin Lin juga tidak sudi menyerah
mentah-mentah, malu untuk mengaku bahwa ia lelah dan kehabisan napas tadi.
Kini, setelah lelahnya berkurang karena sudah mengaso, ia mengerahkan Khong-in-ban-kin
lagi dan berlari secepat terbang. Ia sama sekall tidak sadar bahwa perbuatan
Suling Emas ini sama sekali bukan karena kejam, melainkan karena disengaja,
yaitu bahwa orang sakti itu hendak memaksa ia melatih Khong-in-ban-kin tanpa
sengaja.
Dengan berlari-lari seperti itu,
perjalanan dilakukan cepat sekali. Lin Lin ingin sekali mengajak teman
seperjalanan ini bercakap-cakap, ingin ia tahu lebih banyak tentang diri Suling
Emas, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan dan ia pun seorang gadis yang
berhati keras. Malu dan pantang mundur, dengan nekat ia berlari terus
mengimbangi kecepatan Suling Emas.
***
Pada malam hari itu setelah Lin
Lin pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kuil, Sian Eng duduk termenung.
Adiknya telah membayangkan tuduhan bahwa dia cinta kepada Suling Emas. Alangkah
jauh menyimpang tuduhan itu. Memang ia merasa amat kagum terhadap pendekar
sakti yang aneh itu, akan tetapi pribadi Suling Emas sama sekali tidak menarik
cinta kasihnya, melainkan menimbulkan rasa seram, enggan, dan segan. Berpikir
tentang cinta kasih dan pria mana yang menarik hatinya, Sian Eng termenung dan
terkenang kepada.... Suma Boan! Jantungnya berdebar, mukanya terasa panas dan
ia menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis!
Memang aneh dan tak masuk di
akal agaknya kalau asmara sudah main-main dengan hati manusia muda. Dewi Asmara
yang ganas dan kadang-kadang kejam itu menyebar anak panah berbisa secara
membabi-buta agaknya sehingga banyak peristiwa terjadi dan cerita terlahir
sebagai akibat daripada bisa anak panah asmara yang menjadi sumber segala
kebahagiaan atau sebaliknya sumber kesengsaraan bagi orang-orang muda.
Sian Eng adalah seorang gadis
puteri seorang jenderal. Sedikit banyak hatinya terpengaruh oleh perbedaan
antara orang biasa dan bangsawan, dan biarpun tidak berterang, ia menganggap
diri sendiri sebagai seorang yang berdarah bangsawan. Atau, mungkin juga di
dalam hatinya terdapat cita-cita untuk mengangkat kembali derajat keluarganya
yang sudah runtuh ketika ayahnya meninggalkan kedudukan sebagai seorang
bangsawan tinggi. Atau juga memang karena kejahilan asmara sehingga begitu
bertemu dengan putera Pangeran Suma itu, seketika ia merasa tertarik sekali.
Tentu saja ia tidak dapat melupakan kenyataan betapa Suma Boan pernah
menawannya dan menurut penuturan Suling Emas, hampir membunuh Bu Sin. Akan
tetapi hati kecilnya membisikkan alasan bahwa untuk perbuatan itu tentu Suma
Boan mempunyai sebab-sebab yang kuat. Agaknya putera bangsawan itu pernah
dibikin sakit hati oleh kakaknya, Bu Song, sehingga ketika bertemu dengan
mereka timbul kemarahannya dan berusaha membalas dendam. Aku akan berikanya
kepadanya, hal ini harus dibikin terang, pikirnya dalam hati. Akan tetapi
bagaimana ia dapat berjumpa dengan Suma Boan?
Tiba-tiba ia mendengar suara
orang bercakap-cakap di ruangan tengah kuli itu. Lapat-lapat ia mendengar suara
hwesio kepala yang menjawab dengan suara lemah ketakutan atas pertanyaan orang
yang suaranya nyaring dan galak, Sian Eng tertarik, juga curiga. Cepat ia
menyambar pedangnya dan keluar dari kamar. Dari balik pintu yang menembus ke
ruangan itu, ia mendengarkan dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal suara
Suma Boan!
“Pinceng tidak berani membohong,
Kongcu. Sesungguhnya mereka telah pergi lagi, entah ke mana pinceng tidak
berani bertanya dan tidak diberi tahu.”
“Bukankah Suling Emas sering
kali datang ke kuil ini?” terdengar pula Suma Boan bertanya.
“Jarang sekali dia datang,
sungguhpun pinceng mengenalnya baik, tapi dia tidak pernah bermalam di sini.
Siapakah bisa mengetahui di mana adanya?”
“Hemmm, aku percaya semua
keterangan Losuhu. Akan tetapi ketahuilah dua orang yang kucari itu adalah
orang-orang berbahaya yang belum lama ini mengacau rumahku, maka terpaksa aku
akan melakukan penggeledahan, siapa tahu mereka itu sudah kembali lagi ke dalam
kuil tanpa setahu Losuhu.”
“Silakan, silakan....”
Mendengar ini Sian Eng terkejut
dan tak terasa lagi ia bergerak. Suara kakinya cukup bagi pendengaran Suma
Boan yang tajam. Pemuda bangsawan ini melompat, mendorong daun pintu dan.... ia
berhadapan dengan Sian Eng!
Dengan kedua alis terangkat Suma
Boan berseru, “Eh, kau di sini pula....?” Lalu ia melanjutkan kata-katanya
dengan nada girang. “Syukur kau telah bebas dari cengkeraman iblis Hek-giam-lo,
Nona!”
Merah muka Sian Eng. Ia balas
memandang, lalu menjawab marah. “Karena gara-gara kau menawanku, maka aku
terjatuh ke tangan Hek-giam-lo. Baiknya ada dia yang menolongku dan membawaku
ke kuil ini....”
“Suling Emas? Kau ditolong
olehnya....”
“Siapa lagi kalau bukan dia yang
menolongku? Suma-kongcu, kami dulu itu dengan maksud baik datang kepadamu
untuk bertanya tentang kakakku yang hilang, mengapa kau lalu menawanku dan
hampir membunuh kakakku Bu Sin? Mengapa kau membenci kakakku Kam Bu Song yang
lenyap? Permusuhan apakah yang membuat kau membencinya?”
Suma Boan tersenyum, lalu
menoleh kepada hwesio kepala dan menjura. “Maaf, Losuhu, bahwa aku tadi
menaruh curiga kepadamu. Kiranya semua ceritamu benar belaka dan kedua orang
muda itu tidak berada di sini. Akan tetapi siapa kira, aku bertemu dengan Nona
kenalanku ini. Harap kau orang tua suka memberi kesempatan kami bicara berdua
saja.”
Hwesio tua itu mengangguk dan
mengundurkan diri dengan sikap tenang dan sabar. Suma Boan lalu menghadapi Sian
Eng. Pemuda yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita ini sekali pandang
saja dapat menjenguk isi hati Sian Eng, bahwa sedikitnya gadis ini tidak marah
dan tidak benci kepadanya. Dan memang ia pernah amat tertarik hatinya oleh
gadis ini, maka pertemuan yang tak sengaja dan tak tersangka-sangka ini tentu
saja mendatangkan rasa girang di hatinya. Tadi ia menyelidik tentang pemuda dan
pemudi yang mengacau rumahnya dan yang jejaknya menuju ke kuil ini. Ia telah
menyiapkan orang-orangnya di sekeliling kuil, bahkan Tok-sim Lo-tong, seorang
tokoh kang-ouw sahabat baik It-gan Kai-ong, sudah datang pula dan kini ikut
menjaga di luar kuil untuk menghadapi dua orang muda yang amat lihai itu, juga
kalau sekiranya perlu, menghadapi Suling Emas! Suma Boan maklum bahwa Suling
Emas takkan mau mengganggunya, hal ini ada rahasianya, akan tetapi dia sendiri
selalu berusaha untuk menangkap dan kalau mungkin membunuh orang yang amat
dibencinya itu. Karena adanya Tok-sim Lo-tong inilah maka Suma Boan berbesar
hati dan berani memasuki kuil di kota raja. Sahabat suhunya yang berjuluk
Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun) memiliki kepandaian yang amat tinggi,
jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.
“Nona Liu....”
“Aku bukan she Liu, melainkan
she Kam,” bantah Sian Eng.
Suma Boan tercengang. “Lho,
dahulu kau dan kakakmu mengaku sebagai adik-adik dari Liu Bu Song....”
Mengertilah sekarang Sian Eng
mengapa tadi pemuda bangsawan ini menyebutnya nona Liu. Ia tersenyum manis
dan hati Suma Boan makin berdebar. Tak salah lagi, bocah ini bukan saja tidak
membenciku, malah agaknya.... ah, manis sekali wajah itu!
“Sesungguhnya dia kakakku, kakak
sulung. Akan tetapi bukan aku yang berganti nama keturunan, melainkan dia.
Sebetulnya dia bernama Kam Bu Song. Suma-kongcu, kau agaknya kenal baik dengan
kakakku, bolehkah aku mendengar di mana adanya Kakak Bu Song sekarang ini dan
apakah urusannya maka kau agaknya bermusuhan dengan dia?”
“Apakah kau betul-betul hendak
bertemu dengan dia, Nona? Sayang bahwa pertemuan pertama antara kita ternoda
oleh permusuhan sehingga aku khawatir kalau-kalau kau takkan dapat percaya
kepadaku lagi.” Suma Brian menarik napas panjang penuh penyesalan.
“Aku.... aku percaya kepadamu.
Ayahmu seorang pangeran. Sebagai puteri seorang bekas jenderal besar, aku tahu
bahwa kita menjaga nama baik leluhur kita yang sudah banyak membuat jasa kepada
negara.”
Suma Boan membelalakkan kedua
matanya. “Ah, kiranya kau seorang gadis bangsawan, Nona? Ayahmu seorang
jenderal? Mengapa.... mengapa Bu Song memakai she Liu dan tidak pernah bilang
bahwa dia putera seorang jenderal besar? Ah, kalau saja ia dahulu mengaku
secara terus terang, kiraku takkan timbul permusuhan ini....”
“Apakah yang telah terjadi? Dan
di mana dia sekarang?”
“Nona, kurasa bukan di sini
tempat kita bicara. Ceritanya panjang dan agaknya perlu kuperlihatkan
bukti-buktinya kepadamu agar kau dapat percaya. Adapun untuk dapat bertemu
dengan kakak sulungmu itu, kurasa membutuhkan perjalanan jauh yaitu ke negara
Nan-cao. Maukah kau ikut denganku ke Nan-cao? Kutanggung kau akan dapat bertemu
dengan kakakmu di sana karena dia pasti akan hadir pada pesta yang diadakan
oleh Agama Beng-kauw.”
Sian Eng menjadi bingung. Ia
tahu bahwa antara Lin Lin dan Suma Boan terdapat permusuhan seperti yang telah
diceritakan oleh Lin Lin kepadanya. Dan agaknya Suma Boan sekarang ini pun
datang untuk mencari Lin Lin dan Bok Liong. Kalau Lin Lin pulang dan bertemu
dengan Suma Boan, agaknya tentu akan terjadi hal yang hebat, Lin Lin sukar
diurus. Ia harus dapat mengambil keputusan tepat.
“Baiklah, Suma-kongcu. Aku
percaya kepadamu. Tunggu kuambil buntalan pakaianku sebentar.” Sian Eng cepat
memasuki kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan
pakaiannya. Ia tidak meninggalkan pesanan sesuatu untuk Lin Lin karena ia
maklum bahwa kalau ia meninggalkan pesan, tentu Lin Lin akan mengejarnya.
Karena ini pula, sengaja ia tidak berpesan sesuatu kepada para hwesio, dan Suma
Boan sudah memberi ingat kepada para hwesio agar tidak memberitahukan siapa
pun juga tentang kedatangannya malam hari itu.
Di luar kuil, para anak buah
Suma Boan menjaga sambil bersembunyi. Hanya Tok-sim Lo-tong yang muncul
menjumpainya. Sian Eng memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa
ngeri. Orang yang muncul seperti bayangan setan ini, tidak dapat ia mengikuti
gerakannya dan dari mana datangnya, adalah seorang laki-laki yang bentuknya
seperti anak kecil bodoh, tapi tubuhnya sudah tinggi melebihi tingginya orang
biasa. Kepalanya gundul plontos, tubuhnya kurus sekali. Laki-laki ini sudah
tua, buktinya wajahnya yang kurus penuh keriput dan mulutnya yang selalu
terbuka itu dihias gigi-gigi ompong. Hebatnya, orang ini tidak berpakaian,
atau lebih tepat, hanya memakai cawat, yaitu kain panjang yang dilibatkan di
sekeliling pinggang dan paha untuk menyembunyikan anggauta rahasia saja.
Kakinya pun tidak bersepatu.
Akan tetapi, biarpun orang ini
lebih pantas disebut orang gila yang terlepas dari neraka, atau sebangsa
siluman yang tersesat keluar dari neraka, ternyata Suma Boan bersikap amat
hormat. Dengan suara seperti orang sakit napas, orang yang seperti bocah
cacingan ini bertanya tak acuh, “Mana Suling Emas?” Belum habis pertanyaannya
ia sudah menguap dengan suara memuakkan!
“Harap Locianpwe sudi maafkan.
Dugaan teecu keliru, ternyata dia tidak berada di sini, malah dua orang musuh
teecu juga sudah kabur. Teecu persilakan Locianpwe bersama teecu malam ini
mengaso di rumah adik teecu di kota raja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke
Nan-cao.”
“Suruh aku tidur di rumah
gedung? Huh-huh, tak sudi! Aku tidur di kolong jembatan di luar kota, besok
kita bertemu di luar tembok kota!” Setelah berkata demikian, tanpa memberi
kesempatan kepada Suma Boan untuk menjawab, ia menoleh ke kiri dan mulutnya
mengeluarkan suara seperti cecak. Hampir Sian Eng meloncat kaget dan jijik
ketika tiba-tiba terdengar suara mendesis dan seekor ular sebesar paha dan
panjangnya dua meter lebih merayap dari tempat gelap, langsung merayap melalui
kaki yang kurus panjang itu, terus melingkar dengan enaknya pada pinggang, dada
dan leher. Kemudian, alangkah kaget dan herannya Sian Eng ketika sekali
menggerakkan kaki-kakinya yang panjang, Si Jangkung itu telah lenyap seperti
amblas ke dalam bumi saja! Sian Eng menjadi kagum, heran, ngeri, jijik dan
takut. Ia merasa seperti berhadapan dengan seorang iblis lain, yaitu
Hek-giam-lo!
Suma Boan tersenyum melihat Sian
Eng berdiri dengan muka pucat dan mulut setengah terbuka itu. “Nona Kam, tidak
aneh melihat kau terheran-heran. Beliau tadi bukanlah seorang biasa, melainkan
seorang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Tok-sim
Lo-tong dan nama besarnya tidak kalah oleh Suhu It-gan Kai-ong sendiri. Beliau
adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, kesaktiannya tak perlu dibicarakan
lagi. Dengan beliau sebagai teman seperjalanan, aku tidak takut kepada siapa
pun juga, dan kita akan melakukan perjalanan dengan aman ke Nan-cao.
“Kaumaksudkan kita kita akan
melakukan perjalanan bersama.... dia tadi?”
Suma Boan tertawa dan giginya
yang putih berkilau tertimpa sinar bulan, “Tidak usah kau takut, Nona. Dia
tidak akan mengganggumu, malah menjadi pelindung kita. Pula eh, pertu
kunyatakan bahwa dengan adanya aku di sampingmu, tak perlu kau takut apa pun
juga!” Biarpun tidak secara langsung agar tidak membuat kaget gadis yang masih
hijau ini, Suma Boan mulai dengan rayuannya. Kemudian ia mengajak Sian Eng
berjalan menuju ke tengah kota di mana terdapat sebuah gedung yang mentereng
dan bagus, gedung seorang pangeran! Sambil berjalan, mulailah Suma Boan
bercerita. Secara singkat ia telah menceritakan hal ini kepada Bu Sin, akan
tetapi kalau kepada Bu Sin ia bercerita dengan penuh kebencian, tidaklah
demiklan kali ini.
“Kakakmu Liu Bu Song itu dahulu
adalah seorang pelajar miskin yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian.
Melihat wajahnya yang tampan dan bakatnya yang baik dalam kesusastraan,
Ayahku, pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh kasihan. Apalagi karena
kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu menolongnya, memberi pekerjaan sebagai
tata usaha di gedung perpustakaan yang juga menjadi pegangan Ayah. Ia rajin dan
pekerjaannya dilakukan dengan baik sehingga Ayah makin sayang dan percaya
kepadanya. Kadang kala kakakmu itu disuruh melakukan pekerjaan tulis-menulis
di gedung kami. Malah ia bersahabat baik denganku, karena usia kami memang
sebaya dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran sastra. Ia banyak
membantuku dalam hal itu.” Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik napas
panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya dia ini
sahabat baik kakakku?
“Ceritamu itu baik sekali. Tapi,
mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona, amatlah tidak enak
mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku Kongcu....”
“Akan tetapi, kau seorang putera
pangeran....”
“Dan kau pun puteri seorang
goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah
menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan? Apalagi kita
akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau
menyebut Kongcu (Tuan Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”
Jantung dalam dada Sian Eng
bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biarpun mereka berjalan di bawah sinar
bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga mukanya takkan tampak,
namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat wajahnya yang membayangkan gelora
hatinya. “Habis.... bagaimana....?” katanya setengah berbisik.
Suma Boan menatap wajah yang
tunduk itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik manis, biarpun
kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan puteri
jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!
“Karena kau terlalu sungkan
tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku mengetahui namamu
dan selanjuthya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku kakak?”
Makin panas kedua pipi Sian Eng.
Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma Boan
cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh. “Hati-hati....!”
serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali. Padahal, seorang
dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh hanya karena
tersandung batu kakinya! Hal ini keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam Sian Eng....”
“Nama yang indah. Adik Sian Eng,
kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?”
Dengan suara lirih dan kepala
tetap tunduk Sian Eng menjawab. “Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja
berkenalan.... dan.... aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung sahabat
ataukah musuh....”
“Ha-ha-ha-ha, kau lucu....! Tapi
benar juga, memang ceritaku tadi belum selesai. Nah kaudengarlah, Bu Song
bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu malam.... ah, malam
celaka itu.... kakakmu tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan
bernama Suma Ceng....”
Hening sejenak dan terdengar
Sian Eng memprotes, “Ah.... tapi.... tapi tentu adikmu.... eh, suka kepadanya.”
Suma Boan menarik napas panjang.
“Itulah soalnya! Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu
saling mencinta di luar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak
mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan
Pangeran Kiang. Ke dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri
sebagai seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang
dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi
kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang jenderal!”
“Kemudian bagaimana? Lalu
kakakku itu.... diapakan dia?” Suara Sian Eng mengandung was-was, juga berada
di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang berpengalaman
cukup macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.
“Aku tidak dapat menyalahkan
Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau tidak kucegah,
agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya dapat
kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam penjara.
Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah sampai
tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik
keluarga. Ayah tak dapat mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk
membunuh Bu Song....”
“Ahhhhh....!” Sian Eng
menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata
berapi.
Suma Boan menggelengkan
kepalanya. “Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau begitu saja
membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku? Tidak! Tentu
saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat menyelami
perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman itu. Namun,
betapapun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu
mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak
menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga
hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal
demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena
memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda bangsawan itu
berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian bagaimana.... Koko?”
Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya telah membuat hati
gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan
suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya
koko kalau saja ia tidak mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk memudahkan rencanaku itu,
pada malam hari ke tiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song dan
mengikatnya pada balok bersilang....”
“Seperti yang kaulakukan
terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak
panahmu?”
Bukan main kagetnya hati Suma
Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat menjauhi, seakan-akan
pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan
tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung
kegetiran, ia dapat menguasai perasaannya dan berkata.
“Dari mana kau bisa tahu tentang
kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan tetapi aku
mendengar dari Suling Emas....”
“Ahhh! Kiranya dia pula yang
telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali....!”
“Mengapa heran? Dia seorang
pendekar yang sakti.”
“Aneh sekali.... dia benar-benar
orang aneh....” Suma Boan berkata lirih, kepada diri sendiri.
“Memang dia aneh, akan tetapi
sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”
“Kau tidak tahu akan urusannya,
Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti mengapa aku menjadi marah
dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat
menahan kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk
main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya agar
Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan
aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap
akan datang menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang
terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi.... Bu Song sudah tidak ada
lagi di sana! Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main
kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah,
karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Su Song.
Apalagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan pangeran
tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan berani mengunjungi
taman adikku, mengadakan pertemuan di sana!”
“Apa....?” Sian Eng berseru
dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu sekali. Demikian
besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga kakaknya tidak
melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri orang lain?
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat kau
dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apalagi terhadap Bu
Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya, sehingga
kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak membunuhnya, dan
bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur kau telah tertolong
dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”
“Kalau begitu.... agaknya....
Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi
isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi,
bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”
Suma Boan tersenyum penuh
rahasia. “Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan
bertemu dengannya di sana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku tidak percaya
kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka memasuki pekarangan
sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi
mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan
seorang di antara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan
mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia
menggandeng tangan gadis itu.
Di ruangan tengah mereka
disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah.
Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun
daripadanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan, rambutnya
yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang
matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing
padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali
karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah
seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan
hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah
gemulai.
“Twako (Kakak), malam-malam
begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik
ini, siapakah?”
Sian Eng kini memandang sekali
lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang
menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila,
karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya,
juga kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.
“Ceng-moi (Adik Ceng) aku
mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang ke sini. Besok
pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di
Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana
suamimu?”
Pandang mata Sian Eng yang tajam
menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi
berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan, “Ah.... dia tidak berada di
rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya....” kemudian suaranya meninggi,
wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan
mengubah percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau
murid siapakah. Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat
bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan
kuperintahkan pelayan membereskannya.”
Suma Boan tersenyum, menyatakan
baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di
ruangan lain, terdengar suaranya. “Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng
adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng menahan seruannya
dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak memandang Sian
Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah
ia bahwa biarpun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun tetap mencinta
kakaknya. Ia cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata, “Enci, harap kau
jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja
aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu
dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan
bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan
Kakak Bu Song di sana.”
Suma Ceng menarik tangan Sian
Eng. “Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku....!” Dari suaranya,
tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu.
Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa
dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri
kakaknya.
***
“Heeeiiiii! Dengar kalian semua!
Aku Si Suling Emas selamanya tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang
Nan-ping maupun Nan-han dan kerajaan-kerajaan di selatan lainnya. Mundurlah
dan biarkan kami lewat, kami sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan
Beng-kauw di sana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian!” Biarpun teriakan
Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya digerakkan menjadi
segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat Lin Lin
yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning yang lebih muda
menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam para pengurung, namun
puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin
hebat.
“Jangan kira aku takut,
tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi
senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok
yang malang-melintang di depannya, “Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi
jangan bunuh!”
Akan tetapi jumlah pengeroyok
makin banyak dan mereka berteriak-teriak, “Bunuh anjing pengkhianat! Jangan
percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”
Suling Emas dan Lin Lin dalam
perjalanan mereka tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang,
dan di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok oleh banyak sekali
orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup
membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan
terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.
Biarpun puluhan orang pengeroyok
itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan
senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apalagi Suling Emas.
Sebentar saja, golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh
terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang
menggetarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok
makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua
orang yang hebat-hebat. Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir
telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun keduanya
sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan
mereka jauh berbeda. Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat
daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya
panjang berbulu, kelihatan kuat sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku
panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan
yang mengerikan. Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat,
juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan
yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat
baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Adapun yang
gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi
Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga
Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te
Liok-koai Si Enam Jahat.
Melihat munculnya dua orang
kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah
sekali. “Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas
yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”
“Heh-heh, Suling Emas, menyerah
kau dan gadis itu!” Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari
pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.
“Suling Emas, menyerahlah
menjadi tawananku kalau mau selamat!” Si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong
mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar.
Tiba-tiba Suling Emas tersenyum
lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia
melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman
lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat
melihat Suling Emas seperti itu selalu!
“Kalian kira aku manusia macam
apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”
“Heh-heh, aku tahu kau tentu
melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang!” Toat-beng
Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan
lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan
ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat mengayun pedang yang
menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat
kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka
ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk menjadi gerakan
mencengkeram dari samping bawah!
Sementara itu, Tok-sim Lo-tong
juga sudah mengeluarkan senja istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan
panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular
dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biarpun
kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling
Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa Si Tinggi Kurus ini amat hebat
kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak
kekuatannya, apalagi “senjata” ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat
sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau
amis dan berbisa, membayangkan teraga sin-kang yang mujijat, bercampuran dengan
hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang
yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.
Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong
yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar
hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan
Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari
Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi
seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te
Liok-koai.
“He, Toat-beng Si Lembu Edan,
tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju
mengeroyokku!” bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa
sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok.
Akan tetapi, kiranya malah Lin
Lin yang menjawab, “Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet
gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kaulayani pedangku kalau
memang berani! Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut
kebanyakan makan itu!” Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan
dengan hati-hati, karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya
Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.
Toat-beng Koai-jin yang tadinya
memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget
juga karena ini. Biarpun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun
dalam hal ilmu silat di dunia kang-ouw, sebagian besar telah dikenalnya, maka
ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.
“Heh, kau murid Kim-lun
Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh!” Tiba-tiba
kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok suling Emas, memegang pada
kakinya dan menggunakan dua “senjata hidup” ini menerjang Lin Lin.
Lin Lin kaget setengah mati.
Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis. “Crak! Crak!” Darah menyembur
karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya! Kakek itu
tertawa-tawa dan.... menggelogok darah yang tersembur keluar itu ke dalam
mulutnya, seperti orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua
mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.
Lin Lin meramkan matanya melihat
kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi
kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjagnya dengan dua “senjata hidup”. Lin
Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati
seketika dengan perut dan dada terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang
gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah
menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat Lin
Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia
sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil
membawa lari tubuh tin Lin yang lemas.
“Toat-beng Koai-jin, kalau kau
mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan memotong-motong dagingmu
sekerat demi sekerat!” Bentakan Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba
sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi
mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang
pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur
sampai lima langkah.
“Ihhhhh.... ilmu apakah
ini....?” Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu
oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng
Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan
kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat
yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya melihat hasil ini, dan
tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim
Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik. Cepat sulingnya bergerak lagi,
membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan
tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang
pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan
melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat
mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah
lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.
Suling Emas memasuki kota
Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu
yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat munculnya
pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah
berseri-seri ia berkata. “Wahai, tak pernah mimpi siauwte akan menerima
kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”
“Ouw-kauwsu, ada urusan penting.
Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng
Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”
Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang
bahwa dia menjadi ketakutan. “Memang.... memang kulihat dia dalam bulan ini
berada di Ban-sin, biasanya dia di.... di dalam kuil....”
“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak
usah repot-repot, aku sudah berada di sini!” tiba-tiba terdengar suara keras
dan parau. Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan.... kiranya
manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk
nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti
daging dari tulang paha, entah paha apa!
Dan pada saat itu juga,
terdengar suara orang mengomel, “Nanti dulu.... tenanglah, kauajak aku
berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apakah? Mau suruh dia tiup
suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya
rumah. ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong....”
Munculiah orangnya yang
berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya
jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang
gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu,
kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas.
Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.
“Eh, eh, anak nakal.... kenapa
kau naik ke sana? Hayo turun lekas.... wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu.
Turun.... turun....!” Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi
Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan
kesibukannya yaitu menggerogoti daging.
Kakek pendek itu makin gugup.
“Kau tidak turun? Celaka.... wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari
tempat tinggi.... hayo turunlah....!” Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia
memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa! Setelah ia
tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin
duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh,
daging itu masih mentah! Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal.
Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya,
kukenal punukmu itu! Ihhh, tentu daging manusia yang kaumakan. Wah, serem....
serem....!”
Bagaimanakah Sian Erg bisa
datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu?
Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke gedung indah
milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian
Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini,
ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari
Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya
tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda
cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.
“Dia meninggalkan aku....” Suma
Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya. “Tapi.... untung
Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku dipaksa
kawin.... sekarang sudah tiga orang anakku.... suamiku baik terhadapku.... aku
berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi.... tapi....” kembali ia menangis
perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang,
di mana ia berada.... kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup
bahagia.... akan terobatilah hatiku....”
Sian Eng ikut menangis. Terharu
hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita
nyonya muda ini dan kakaknya.
“Betapapun juga, kau sudah
berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,” kata
Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu....”
“Tak mungkin! Bu Song takkan
dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku! Kami....
kami.... ah....!” kembali nyonya muda itu menangis sedih. “Siapa tahu.... ia
malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....” terisak-isak ia kini,
“kalau aku tahu.... ah, aku pun lebih baik mati....”
***
Terkejut juga hati Sian Eng.
Bukan main! Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat.
“Enci yang baik, harap
kautenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh
Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan pesanmu kepadanya kalau aku bertemu
dengan kakakku, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain.”
Mata yang agak merah karena
tangis itu memandangnya. “Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu
Song? Hati-hati, Adik Sian Eng.... dia.... kakakku itu....”
Melihat keraguan ini, Sian Eng
timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”
“Dia baik, baik sekali kepadaku
dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang
pula kepadaku. Tapi.... tapi.... ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song
menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapapun sayangku kepada
kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu.... dia mudah terjatuh oleh
wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir
kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa
jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu,
jangan kau bergaul dengannya. Kecuali....” wajahnya menjadi bersinar, “ah,
alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau
mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar! Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh
dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodob dengan kakakku,
bukankah ini baik sekali?”
Merah wajah Sian Eng. “Ah, Cici,
omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?” Sampai di sini
percakapan mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak
biarpun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah. Hatinya
merasa tidak enak.
Akan tetapi Suma Boan ternyata
pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan dan menghormat
sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah
hampir lenyap bekasnya di hati, sungguhpun ia selalu masih berhati-hati dan
tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh itu dilakukan dengan penuh
kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng
ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran ini
agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.
Akhirnya tibalah mereka di kota
Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan
mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh seorang pembesar,
dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang dijaga oleh
perajurit-perajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.
Yang membuat Sian Eng kaget
bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis
yang mengerikan itu! Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia
sudah memasuki kamarnya dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur,
karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang
rumah. Selama ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama
makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar
suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya
bercakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat
itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Sungguh kau sembrono sekali!”
kata suara parau itu. “Dia hanya berada beberapa puluh li di belakangmu dan
kau masih tidak tahu!”
“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim
Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara Suma Boan, membantah.
“Uh, dasar sembrono! Biar
kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga
baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk menundukkannya!”
Sian Eng cepat menyelinap ke
balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama kemudian ia
melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok bersandarkan
tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang suram muram itu kakek ini tampak
makin buruk saja, dengan mata satunya yang berair dan terhias kotoran kuning
di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian
Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih
mengerikan antara It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga
wanita iblis Siang-mou Sin-ni!
Munculnya It-gan Kai-ong ini
tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui
Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat
hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke
atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang
berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di
situ sambil tersenyum! Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah
merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan
Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.
“Sian Eng moi-moi, kau belum
tidur?”
Sian Eng menggeleng kepala.
Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.
“Apakah kedatanganku ini
mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan suara halus.
“Tidak sama sekali. Kenapa kau
begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”
Senyum Suma Boan melebar, tetapi
suaranya gemetar ketika ia menjawab.
“Tidak apa-apa.... hanya aku....
ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”
“Kenapa? sakitkah engkau?” tanya
Sian Eng, memandang tajam.
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi....
Sian Eng.... hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu
terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dam aku
tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu....”
Seketika kedua kaki Sian Eng
menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya
berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di kedua
telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir memecahkan urat-urat di
pelipisnya, ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya setengah tersenyum
setengah menangis.
Sian Eng masih dalam keadaan
setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul orang, betapa
rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya sambil
berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya. Sejenak Sian Eng
memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia
dan napasnya terengah-engah sesak. Aku juga cinta padamu, bisik suara hatinya.
Akan tetapi tiba-tiba telinganya mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma
Ceng ketika bicara kepadanya di dalam kamar. “.... aku khawatir kalau-kalau kau
menjadi korbannya.... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh
kakak kandungku....”
Dan tiba-tiba Sian Eng merasa
betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar,
tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa
pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat,
dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan
kedua tangannya dan menangis.
“.... kenapa Moi-moi....? Kenapa
kau menamparku? Bukankah.... bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku
kepadamu?”
Dengan mata berlinang air mata
Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya terpitus-putus, “.... cintaku
bukan untuk.... untuk.... menjadi permainanmu.... aku bukan.... bukan
perempuan.... yang boleh kauperlakukan sesukamu.... yang boleh kauhina....”
Suma Boan menarik napas panjang,
“Eng-moi, kau aneh...., biarlah kaupikir dan pertimbangkan betapa tidak adilnya
sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati....” setelah berkata
demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil menutupkan daun pintunya.
Sian Eng tak kuasa menahan
kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk
termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama makin menjauhi
kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan menangis di atas
bantal.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan
muka pucat dan saling pandang. “Kalian tikus-tikus goblok! Apa kerja kalian
malam tadi? Tidur semua, ya?”
“Ampun, Suma-kongcu, mana kami
berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”
“Bohong!” Suma-kongcu
menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh tersungkur. “Orang luar telah
memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur? Pemalas!
Goblok!”
“Eh, eh, apakah yang terjadi?” Suara
serak ini disusul muncuinya It-gan Kai-ong. Melihat gurunya, Suma Boan menjadi
agak tenang, akan tetapi kemurungan masih membayangi mukanya yang tampan.
“Suhu, semalam ada musuh
mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid) tak
dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan tanda tapak kaki di
tembok!”
“Apa katamu? Tapak kaki di
tembok?” Si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma
Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?
“Mari, harap Suhu periksa
sendiri!” Pemuda itu mendahului suhunya menuju ke ruangan tengah. Dan di atas
tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil, terdapat beberapa
tapak kaki berlumpur di atas tembok.
“Inilah tanda itu, Suhu,
Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah tapak kaki siapa ini?” kata
Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.
Beberapa orang penjaga yang tadi
dimaki-maki Suma Boant memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki
binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok.
Akan tetapi, jejak yang tampak jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki
manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki
orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi
seperti jejak orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi
bagaimana mungkin seorang manusia berjalan di atas tembok seperti cecak?
Mata tunggal It-gan Kai-ong
melotot sebentar memandang tapak kaki itu. “Hu-huh, Pek-houw-yu-chong (ilmu
merayap di tembok seperti cecak) tingkat tinggi. Manusia sombong bermaksud
menakut-nakutimu atau memang hendak memamerkan kepandaiannya yang tidak
seberapa ini. Orangnya pendek, tak pernah pakai sepatu....” Tiba-tiba It-gan Kai-ong
berhenti bicara, matanya bersinar-sinar.
“Pendek tak bersepatu? Hanya
Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah bersepatu!” Suma Boan
berkata. Gurunya mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya
berkerut.
“Sudah tentu dia bisa melakukan
hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biarpun suka bergurau,
akan tetapi tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu
seorang tokoh lain yang gila....” It-gan Kai-ong kelihatan marah dan
menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah perginya Sian Eng?
Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya, tiba-tiba ia mendapat
perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian di dalam
kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya ia
mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki tua
pendek tersenyum-senyum di tengah kamar, memandangnya. Sian Eng merasa seperti
mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih
ada, malah kini ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja. Benar
seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang
jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang terurai
ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan seperti It-gan
Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan
tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.
“Siapakah.... kau....? Bagaimana
bisa masuk....?” Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.
“Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau
benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan
dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku.”
“Kau siapa? Apa artinya semua
ini?”
Kakek itu tersenyum dan wajahnya
benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum seorang badut. “Aku siapa?
Panggil saja Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya
besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi.” Sambil berkata
demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis ini merasa tubuhnya
melayang keluar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil
melayang dan menariknya. Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang
sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa kakek ini
adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya itu. Hatinya merasa berat
meninggalkan tempat itu, atau lebib tepat, meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi
kalau ia teringat akan peristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera
pangeran itu merayunya, ia menggigil. Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau
ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi korban! Berpikir sampai di sini,
tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat
semua adegan memalukan itu!
Tanpa ia ketahui tujuannya, ia
menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng
tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba
dan agaknya hanya patut dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan
tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak merasa serem seperti ketika ia
ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping
kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang
laba-laba.
“Nah, kita melewatkan malam di
sini. Nona, ketahuilah. Muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta supaya
muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi
bersama Suma Bom dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan memaksa si
tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini
turun tangan setelah melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu.
Besok kita melanjutkan perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja
tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih
aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk,
heh-heh!”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia hampir tak dapat memejamkan
matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia
teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia mendapatkan sebuah mata air di
belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar,
Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi, kakek pendek lucu itu
ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi
sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah
kesabaran Sian Eng.
“Empek Gan.... Empek Gan....!
Bangunlah!” Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu.
Kakek itu kaget, geragapan
bangun. “Ada apa....? Kebakaran....? Dunia kiamat? Celaka.... aku masih ingin
hidup!” Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan bingung sekali
sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.
“Tidak ada apa-apa, Lopek,”
katanya membantah.
Kakek itu menjatuhkan diri duduk
di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata
dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur. “Aduh
ampuuuuun.... sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem
tenterem, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi! Beratnya orang
membela murid.... heeeiiii! Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum juga muncul?
Nona, kau melihat dia?”
Sian Eng mendongkol bukan main
mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita. Akan tetapi maklum bahwa kakek
ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab
dengan gelengan kepala.
“Wah-wah, betul-betul dia tidak
muncul? Celaka.... tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia berani tidak mentaati
perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo kita pergi!”
Kali ini Empek Gan tidak menarik
tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan keluar dari kelenteng dan
Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar ketika ia melihat
jubah hitam dan topi sastrawan.
“Suling Emas....! Dia Suling Emas....
mari kejar dia!” Sian Eng lalu lari mengejar.
Kakek Gan mengomel, “Wah-wah,
pagi-pagi belum sarapan kauajak balapan lari. Dengar perutku mengeluh panjang
pendek. Tak usah kejar....” Akan tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa
mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.
“Dia Suling Emes, aku mau
bertanya tentang kakakku....!” Sian Eng tidak pedulikan omelan kakek itu dan
terus mengejar. Ketika melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam
sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng berhenti di depan rumah itu, meragu
sebentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang
sunyi dan terus menerobos pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari
belakangnya Empek Gan berteriak-teriak mencela.
Seperti sudah diceritakan di
bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata adalah rumah guru
silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang cukup terkenal,
mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu berdiri bengong. Suling
Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke atas di mana seorang kakek
seperti anak hutan sedang duduk di atas balok tiang melintang dekat atap rumah
sambil makan daging paha yang digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari
menghampiri tiang dan memanjat tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa,
berteriak-teriak menyuruh turun kakek seperti orang hutan itu.
“Wah, aku kenal kau sekarang.
Tak salah lagil! Gundul pacul, punuknya seperti lembu jantan, mukanya buruk
seperti monyet, perutnya gendut seperti babi, telanjang hanya pakai cawat,
permakan daging manusia. Betul, biar selamanya belum pernah bertemu, tapi aku
sudah banyak mendengar tentang dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin!” Empek Gan
berteriak-teriak sambil memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.
Memang betul ucapan Empek Gan
yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah Toat-beng Koai-jin Si Orang
Aneh Pencabut Nyawa! Biarpun dia kelihatan seperti orang hutan, namun seperti
juga adiknya, Tok-sim Lo-tong, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sekali.
Dia termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai, dan julukan sebagai seorang
di antara Si Enam Jahat itu memang patut baginya mengingat bahwa ada kalanya
kakek liar ini betul-betul makan daging manusia seperti yang dituduhkan Empek
Gan tadi. Biarpun ia hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng
Koai-jin mendengar maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit saja
orang berani menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa orang itu,
apalagi sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani memaki-makinya seperti
itu. Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah menjadi tanda bahwa dia
sedang marah besar!
“Cacing perut! Makanlah ini!”
Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha yang sudah tak berdaging
lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang masih memeluk tiang dengan kaki
tangannya. Tulang itu menghantam pinggir tiang, terdengar suara keras dan balok
itu somplak seperti dihantam kapak! Tidak hanya membelah kayu, tulang itu
terus menghantam pundak Empek Gan dan.... tubuh Empek Gan melorot turun,
akhirnya pantatnya terbanting menghantam lantai sampai mengeluarkan suara
seperti kasur digebuk.
Empek Gan meringis kesakitan,
bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk menghilangkan rasa
sakit. Debu mengebul ketika celana belakangnya itu ia tepuk-tepuk. Karena
kebetulan sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini melangkah mundur
dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah sangka. Kakek ini sama
sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari cepat saja. Buktinya,
sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu malu!
Empek Gan sudah mengomel.
“Calaknya! Cocok dengan ujudnya!” Ia menoleh kepada Suling Emas dan berkata
menyeringai, “Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan liar itu!”
Toat-beng Koai-jin
menyumpah-nyumpah. “Cacing busuk, jangan lari kau!”
Empek Gan tertawa membalikkan
tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin sambil menggoyang-goyang kibul dan
berkata, “Beginikah gerakan cacing? Ho-ho, sebentar lagi mau mampus masih suka
maki-maki orang!” Setelah berkata demikian, kakek ini menggerakkan kedua
kakinya lari keluar dari rumah itu sambil menoleh ke arah Suling Emas dan
berkata, “Jaga Nona ini baik-baik, jangan sampai dia dirayu palsu oleh Suma
Boan lagi!”
Sian Eng menjadi makin
mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak pedulikan kakek itu, juga agaknya
tidak peduli kepadanya, buktinya menengok pun tidak. Suling Emas menghadapi
kakek liar di atas itu sambil berkata, suaranya serius penuh ancaman.
“Toat-beng Koai-jin, biarpun di
antara kau dan aku tidak pernah terjadi pertentangan karena kita masing-masing
mengikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau telah melanggarnya. Lekas
kau bebaskan dan kembalikan nona yang kauculik, kalau tidak, aku Suling Emas
tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi. Dengar baik-baik, kalau kau mengganggu
nona itu, aku bersumpah takkan berhenti sebelum dapat merobek tubuhmu menjadi
empat potong!”
Toat-beng Koai-jin mendengus
marah. “Suling Emas, kau bocah kemarin sore yang masih ingusan, sombong amat
ucapanmu. Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan hari ini adalah hari
baikku, aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku menangkapmu untuk
kupanggang bersama, heh-heh!”
“Ouw-kauwsu, aku minta tolong
kepadamu, bawa keluar nona ini ke tempat aman!” kata Suling Emas, maklum bahwa
ia akan menghadapi lawan-lawan tangguh sehingga kehadiran Sian Eng hanya akan
merupakan gangguan belaka. “Kau ikutlah bersama Ouw-kauwsu, tunggu aku
selamatkan adikmu.”
Sian Eng diam-diam terkejut dan
dapat menduga bahwa yang diculik oleh manusia liar itu tentulah Lin Lin. Maka
tanpa banyak cakap lagi ia mengangguk dan bergerak mengikuti guru silat yang
wajahnya sudah pucat karena gelisah itu. Akan tetapi begitu keduanya keluar
pintu, terdengar pekik mengerikan dan tubuh Sian Eng terhuyung ke belakang,
masuk kembali ke ruangan itu disusul tubuh Ouw-kauwsu yang terlempar dan roboh
di atas lantai dalam keadaan tak bernyawa lagi, pada pipinya terdapat luka
kehitaman!
Toat-beng Koai-jin tertawa
bergelak dan tubuhnya yang besar gendut itu melayang turun dengan amat
ringannya. Biarpun tubuhnya gendut dan gerakannya kelihatan kaku, akan tetapi
ternyata ia gesit dan cepat sekali. Begitu kedua kaki menyentuh lantai, kedua tangannya
sudah bergerak menerjang Suling Emas, dari kuku-kuku jarinya yang panjang itu
terdengar bunyi bercuitan!
“Sian Eng, jangan keluar, di
sini saja!” pesan Suling Emas dan tubuhnya berkelebat lenyap, berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan di sekeliling tubuh Toat-beng Koai-jin. Kiranya dua
orang sakti itu sudah saling terjang dengan hebatnya! Sian Eng menyelinap ke
sudut ruangan itu, memandang penuh kekhawatiran. Ia cemas sekali, takut
kalau-kalau Suling Emas kalah sedangkan dia sendiri tidak berdaya membantu
karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh ketinggalan dan kalau ia
membantu, hal itu malah akan membikin repot Suling Emas saja.
Suling Emas adalah seorang
pendekar besar yang menjunjung tinggi kegagahan. Ia merasa khawatir sekali akan
keselamatan Lin Lin, juga kini harus menjaga keselamatan Sian Eng, sedangkan
lawannya yang sakti Toat-beng Koai-jin ini masih dibantu oleh orang-orang
jahat dan sakti lain yang berada di luar pintu rumah! Tentu saja ia tahu bahwa
tewasnya Ouw-kauwsu adalah karena serangan dari luar rumah, dan melihat luka
hitam di mukanya itu, agaknya itulah hasil kerja Tok-sim Lo-tong, yaitu gigitan
ular berbisa. Biarpun demikian, namun melihat betapa Toat-beng Koai-jin hanya
seorang diri saja menghadapinya dengan tangan kosong, ia tidak sudi menggunakan
senjata yang paling ia andalkan, yaitu sulingnya. Ia pun menghadapi lawan ini
dengan tangan kosong pula.
Toat-beng Koai-jin dan adiknya,
Tok-sim Lo-tong, sebetulnya adalah doa orang penghuni pulau koong di Lam-hai
(Laut Selatan). Tadinya mereka berdua adalah kacung atau pelayan-pelayan cilik
seorang tokoh besar di jaman Tang, seorang panglima yang tidak sudi
menghambakan diri kepada musuh setelah Kerajaan Tang jatuh. Ia melarikan diri
ke selatan dan mengasingkan diri di pulau kosong, hanya ditemani dua orang
kacungnya. Panglima ini berilmu tinggi dan sampai mati ia tinggal di dalam
pulau itu, tak pernah meninggalkan pulau. Semua ilmunya ia turunkan kepada dua
orang kacungnya yang mendapat kemajuan sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Akan tetapi, agaknya karena
mereka tak pernah bergaul dengan dunia ramai, juga karena di pulau itu banyak
terdapat binatang-binatang berbisa, kedua orang bersaudara ini hidup seperti
tidak normal lagi. Mereka menjadi korban gigitan serangga-serangga berbisa yang
meracuni otak mereka sehingga hidup mereka menjadi liar seperti
binatang-binatang hutan. Puluhan tahun kedua orang kakak beradik ini hidup di
pulau setelah majikan dan guru mereka meninggal dunia. Usia mereka sudah lima
puluhan tahun lebih ketika pada suatu hari secara kebetulan ada sebuah perahu
dagang yang terdampar ke pulau itu setelah dipermainkan ombak dan badai. Dapat
dibayangkan betapa ngeri hati para penumpang perahu yang tiga puluh orang lebih
jumlahnya itu ketika mereka melihat dua orang kakek gila yang telanjang bulat
itu. Dua orang kakek itu segera menyerang mereka dan dalam waktu singkat saja,
tiga puluh orang lebih telah tewas oleh mereka berdua!
Kemudian mereka secara ngawur
mengembangkan layar dan berlayarlah mereka ke tengah samodera. Karena tidak
biasa, mereka mabuk laut, mengamuk dan merusak isi perahu, kemudian roboh
telentang di dalam perahu, pingsan! Angin dan ombak yang kini mengemudikan
perahu dan akhirnya mereka terdampar ke darat. Saat itulah mulai muncul dua
orang sakti yang aneh di dunia kang-ouw. Sepuluh tahun lebih mereka berdua
berkeliaran dan kemudian dunia persilatan mengenal mereka sebagai dua orang
sakti jahat dan menggolongkan mereka dengan pentolan-pentolan dunia hitam lainnya
sehingga terkenallah nama Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sebagai dua
orang di antara si enam jahat!
Ilmu silat yang menjadi dasar
dari kepandaian mereka adalah ilmu silat campuran dari barat dan utara. Akan
tetapi karena mereka hidup puluhan tahun sebagai orang liar, di antara
binatang-binatang dan serangga-serangga beracun, maka hawa pukulan dari
sin-kang mereka bercampur dengan hawa beracun yang amat jahat. Apalagi
Toat-beng Koai-jin mempunyai kesukaan liar, yaitu makan daging manusia. Ini menambah
hawa beracun di dalam tubuhnya dan membuat ia makin ganas dan berbahaya sekali.
Sedangkan adiknya, Tok-sim Lo-tong, terkenal hebat permainannya yang
mengerikan, yaitu dengan ular-ular beracun yang menjadi sahabat-sahabat
baiknya, bahkan senjatanya pun seekor ular.
Suling Emas sudah banyak
mendengar tentang dua orang liar ini, akan tetapi baru kali ini ia
berkesempatan mengadu ilmu. Oleh karena ia harus memikirkan keselamatan Sian
Eng dan juga harus menolong Lin Lin yang belum diketahui bagaimana nasibnya, ia
tidak mau berlaku lambat. Begitu merasa betapa tenaga yang dipergunakan
lawannya mengeluarkan hawa panas dan bau amis menjijikkan, ia cepat
mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya, lalu ia mainkan ilmu silat yang ia
dapat dari suhunya, yaitu mendiang Kim mo Taisu. Sebetulnya ilmu ini adalah
ilmu yang harus dimainkan dengan sebatang kipas pelajar, yaitu ilmu silat yang
disebut Lo-hai-san-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan). Akan tetapi karena
lawannya bertangan kosong, maka Suling Emas juga bertangan kosong mainkan Ilmu
Silat Pengacau Lautan ini.
Hebat memang kepandaian
Toat-beng Koai-jin. Yang amat berbahaya adalah kuku-kuku jari tangannya.
Biarpun ia tidak bersenjata, namun memiliki kuku-kuku panjang seperti itu,
sama saja dengan memegang atau menggunakan sepuluh buah pedang-pedang kecil!
Setiap buah jari mempunyai kuku panjang dan bukan hanya kuku runcing, melainkan
kuku yang mengandung hawa beracun sehingga sekali saja kulit terkena guratan
sebuah di antara kuku-kuku ini, akan melepuh kulit itu dan akan keracunan
darahnya! Semua ini dipergunakan dengan gerakan cepat dan lincah, ditambah lagi
dengan gerengan-gerengan seperti seekor singa dan muncratnya air ludah serta
peluh yang memuakkan baunya!
Hampir Suling Emas tidak tahan
menghadapi ini, terutama bau itu. Beberapa kali ia terpaksa melompat mundur
untuk menyedot hawa segar. Akhirnya ia berseru keras, “Toat-beng Koai-jin,
lekas kaukembalikan nona yang kauculik. Kalau tidak, terpaksa aku membunuhmu.
Aku tiada waktu lebih lama lagi untuk bermain-main denganmu!”
Sambil berkata demikian, Suling
Emas mengeluarkan sebuah kipas yang dipegangnya dengan tangan kiri. Hanya
kipasnya yang akan dapat membantunya mengusir bau memuakkan itu. Ia masih
sungkan mengeluarkan sulingnya, melihat betapa lawannya tetap bertangan kosong.
Melihat bahwa lawannya hanya
mengeluarkan kipas kain sutera yang halus dan kecil saja, Toat-beng Koai-jin
tertawa ha-hah-he-heh, kemudian menubruk lagi melancarkan serangan-serangan
dahsyat. Akan tetapi, sekarang Suling Emas bersilat Lo-hai-san-hoat dengan
kipas di tangan, dan karena ilmu silat itu memang ilmu silat kipas, tentu saja
kehebatannya lipat dua kali daripada tadi ketika ia mainkan dengan tangan
kosong. Seketika tampak gulungan sinar putih yang kadang-kadang menutupi
pandangan mata Toat-beng Koai-jin, malah kakek liar ini merasa sesak napasnya
oleh tiupan angin dari kipas itu. Tidak saja semua bau busuk dikembalikan ke
hidungnya sendiri, akan tetapi ditambah pula dengan angin kebutan kipas yang dilakukan
dengan tenaga sin-kang seorang ahli. Dua kali sudah pundak Toat-beng Koai-jin
kena disentuh ujung gagang kipas, sakitnya bukan kepalang. Diam-diam Suling
Emas terkejut dan kagum. “Sentuhannya” dengan ujung gagang kipas itu sebetulnya
adalah totokan yang pasti akan merobohkan lawan. Akan tetapi kakek liar ini
hanya menyeringai kesakitan saja, sama sekali tidak roboh malah maju makin
nekat! Kiranya kakek ini telah kebal kulitnya dan agaknya pandai pula
memindahkan jalan darah.
Betapapun juga, setelah Suling
Emas mainkan kipasnya, Toat-beng Koai-jin terdesak hebat. Berkali-kali ia
menggereng marah, namun semua tubrukan, cakaran hantaman dan tendangannya
hanya mengenai angin belaka.
“Manusia liar, robohlah!”
Secepat kilat, kipas itu bergulung-gulung sinarnya menutupi pandang mata lawan
dan tangan kiri Suling Emas sudah menyerang dengan jari tangan terbuka ke arah
ulu hati yang telanjang itu. Akan tetapi, Toat-beng Koai-jin benar-benar hebat
kepandaiannya. Begitu jari tangan Suling Emas yang mengandung tenaga sin-kang
amat kuat itu menyentuh kulit dadanya, tubuh bagian ini secara tiba-tiba dapat
di“tarik” masuk dan mulutnya menyemburkan uap ke depan, disusul pukulan kedua
tangan!
“Ihhhhh!” Suling Emas terpaksa
mengipaskan kipasnya ke depan untuk mengebut pergi semburan uap bacin itu,
lengannya dengan mudah menangkis pukulan lawan dan sebelum lawan mendesak
terus, gerakan Suling Emas berubah. Ia telah menggunakan gerakan ilmu silat
sakti Hong-in-bun-hoat yaitu jurus ilmu silat huruf yang ia terima dari Bu Kek
Siansu. Dengan gerakan jurus ilmu silat sakti ini, yang ia lakukan dengan
menuliskan huruf LANGIT, sekaligus ia telah menyerang sampai empat kali.
Serangan terakhir merupakan gerakan bertentangan karena baru saja ia menyerang
dengan arah ke kiri bawah, sekarang tiba-tiba kipasnya menerjang dari atas ke
bawah kanan.
“Auuuhhhhh....!”
Perubahan-perubahan yang amat cepat dan aneh dari jurus ini tak dapat diikuti
dan diduga oleh Toat-beng Koai-jin, maka biarpun ia sudah mengelak dan
menangkis tidak urung pahanya terpukul gagang kipas. Kelihatannya perlahan
saja, akan tetapi kalau saja bukan Toat-beng Koai-jin yang menerima hantaman
ini, tentu tulang pahanya akan remuk. Kakek liar ini hanya mengeluh dan
tubuhnya bergulingan, akan tetapi ia sudah dapat melompat berdiri lagi lalu
meloncat ke atas, membobol genteng melarikan diri.
“Iblis jahat, lari ke mana kau?”
Suling Emas mengejar, akan
tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng. Selagi ia ragu-ragu, tak tega
meninggaikan Sian Eng seorang diri, dari pintu muncullah Tok-sim Lo-tong dan
beberapa orang pengeroyoknya tadi.
“Keparat pengecut!” Suling Emas
marah sekali. “Jangan anggap aku keterlaluan kalau sekarang aku tidak mau
memberi ampun lagi!” Setelah berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah
sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar
sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya. Ia tidak memberi
kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan sekaligus
tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak. Tok-sim
Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi. Juga para pengikutnya
pergi dengen cepat. Sebentar saja tidak tampak lagi lawan di situ.
“Mari kita kejar kakek liar tadi
untuk menolong adikmu!” kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng
untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti dulu, aku tadi melihat
kakek itu melemparkan ini....” kata Sian Eng, membungkuk dan hendak mengambil
sebuah sampul surat.
Akan tetapi tiba-tiba Suling
Emas menggerakkan tangannya dan.... tubuh Sian Eng terdorong mundur sampai
terhuyung-huyung. “Kau.... kau....!” Gadis itu berseru marah.
“Hemmm, lupa lagikah akan
pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil
sampul surat itu. Sian Eng terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia
merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur
leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu! Kiranya Suling Emas telah
menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan
tergigit ular yang ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu. Setelah
melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik keluar sehelai
kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika
matanya menari-nari membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya
makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar
itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.
“Tak mungkin mencari di mana
adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya,
jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan
bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan.” Kata-katanya terdengar ketus dan
marah. Sian Eng mendongkol sekali. Apa peduilmu, bisik hatinya, kau seperti
seorang ayah atau kakak saya. Namun ia tidak berani membantah dan sambil
berjalan di samping Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan mencari Lin
Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan berjanji
kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi
bersamanya ke Nan-cao.
“Bagaimana dia bisa tahu bahwa
kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.
“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song
mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti akan dapat bertemu
dengannya di sana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai di sini.”
“Kemudian, mengapa kau bisa
muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak
senang padanya!”
Tiba-tiba Suling Emas berhenti
melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Eng. “Kau bilang Empek
Gan? Dia....? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek
lucu yang luar biasa lihainya itu.... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula di
sini, aha, akan ramai di Nan-cao.” Agaknya saking gembira dan herannya
mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak
lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan gadis ini
menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka bercerita tentang rahasia
asmara itu.
“Kenapa kita tidak jadi mengejar
kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak, percuma. Mereka sengaja
menahan Lin Lin untuk memaksaku....” Suling Emas menarik napas panjang dan
menggeleng-geleng kepala.
“Mereka? Siapa? Surat itu dari
siapakah?”
“Siapa lagi? Dari Suma Boan
tentu!”
Wajah Sian Eng terasa panas
sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidungnya. Jantungnya berdebar dan
hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat menekan perasaannya. Kiranya Lin
Lin diculik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi.... tapi dia selama
dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi....!
“Kau kenapa?”
Sian Eng menggeleng kepala,
tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu akan terdengar
gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan agaknya Suling
Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar
saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.
***
Lin Lin berusaha meronta dan
melepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangannya, namun sia-sia
belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang terikat seperti seekor babi di
atas sebatang balok melintang, tingginya kurang lebih satu meter dari tanah.
Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia karena mulutnya ditutup
saputangan yang diikatkan erat sekali ke belakang kepalanya sehingga untuk
bernapas saja amatlah sukar.
Seperti diketahui, ketika ia dan
Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, dan banyak lagi
orang-orang yang kepandaiannya cukup kuat, ia telah kena ditawan oleh Toat-beng
Koai-jin dan dibawa lari pergi dari gelanggang pertandingan. Ia berusaha untuk
melepaskan diri atau memukul, akan tetapi tubuhnya lemas semua, kaki tangannya
tak dapat digerakkan lagi. Hampir ia pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh
kakek liar itu. Karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa ia menahan
penderitaan luar biasa ketika mukanya terletak di atas punggung yang ada
dagingnya menonjol besar (punuk), berkeringatan dan baunya apek bukan buatan
itu! Kalau saja ia tidak tertotok lumpuh, tentu Lin Lin sudah muntah-muntah.
Baiknya kakek itu larinya cepat sekali seperti terbang, sebetulnya bukan lari
lagi melainkan melayang dari pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit.
Kecepatan ini mempersingkat penderitaannya karena selain angin yang bertiup
mengurangi bau kecut, juga tentu akan segera sampai di tempat tujuan.
Mereka memasuki hutan dan
tiba-tiba muncul seorang pemuda yang membentak dengan suara nyaring, “Iblis
tua, lepaskan gadis itu!”
Lin Lin girang bukan main
ketiika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan Lie Bok Liong, sahabat
baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak berlangsung lama, segera terganti
kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok Liong sebanding dengan tingkatnya, mana
mampu menghadapi kakek sakti yang seperti ibils ini? Benar saja dugaannya,
biarpun Bok Liong sudah menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam yang berhawa
dingin, kakek itu enak saja melayaninya dengan tangan kosong, bahkan dengan
tubuh Lin Lin tak pernah terlepas dari atas pundaknya!
Seperti juga Lin Lin, pemuda itu
tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apalagi karena Bok Liong
amat terbatas gerakannya, terbatas oleh kekhawatirannya kalau-kalau ujung
pedangnya mengenai tubuh Lin Lin. Tiba-tiba ia berseru keras dan mundur dengan
muka pucat. Kakek itu telah menyodorkan tubuh Lin Lin untuk menangkis sambaran
pedangnya. Bok Liong cepat menarik pedangnya dan pada saat itu, tangan kiri
Toat-beng Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang membuat Bok Liong
terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali, tubuhnya sudah
lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di sepanjang
jalan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh Lin Lin. Kakek
itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.
Di bagian hutan yang gelap dan
penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin Lin ke atas tanah, mengambil akar
lemas dari sebatang pohon dan mengikat kaki tangan gadis itu ke belakang.
Kemudian ia pun merenggut sehelai saputangan dari baju Bok Liong, menggunakan
saputangan ini menutup dan mengikat mulut Lin Lin. Setelah ini selesai,
tangannya bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika baju dan celana luar
pemuda itu ia renggut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada dalam
keadaan setengah telanjang. Hanya sebuah celana dalam saja yang masih menutupi
tubuhnya. Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dari gelisah, juga menjadi
jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya mengerling-ngerling untuk
melihat apa yang akan dilakukan kakek gila itu.
“Heh-heh-heh, kau masih muda,
jejaka tulen, dagingmu tentu masih gurih!” Kakek ini lalu mematahkan batang
pohon dengan kedua lengannya yang kuat, mengikat tubuh Bok Liong pada batang
pohon atau balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian balok berikut tubuh
Bok Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua batang pohon lain
sehingga tubuh Bok Liong tergantung. Kemudian kakek itu mengumpulkan daun dan
kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andaikata mulut Lin Lin tidak diikat,
tentu gadis ini sudah menjerit-jerit memanggil Suling Emas karena ia sekarang
dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kakek gila ini. Agaknya kakek gila
ini membuat masakan yang paling aneh di dunia ini, bukan panggang bebek,
panggang ayam, atau panggang babi, melainkan panggang daging manusia hidup! Bok
Liong akan dipanggang hidup-hidup! Tiba-tiba terdengar suara seperti anjing
hutan menggonggong dari jauh, kakek itu menyumpah-nyumpah, “Jahanam, mengganggu
saja. Ah, terpaksa ditunda sebentar.” Ia bangkit berdiri, menepuk-nepuk tubuh
bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging, mengecap-ngecapkan mulutnya
yang mengeluarkan air liur. “Sayang-sayang...., biar ditunda sebentar,
heh-heh!” Tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja kakek itu sudah
lenyap dari situ.
Lin Lin takut setengah mati.
Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi penonton? Menonton Bok Liong dipanggang
hidup-hidup kemudian dagingnya diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok
Liong. Pemuda ini sama sekali tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok
seperti telah mati. Agaknya pingsan, Lin Lin kembali berusaha mati-matian
untuk membebaskan diri daripada belenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata akar
pohon itu istimewa kuatnya. Matanya melirik ke sana ke mari, mencari-cari. Ia
harus bertindak cepat, harus depat membebaskan diri sebelum siluman itu
kembali, harus dicegah siluman itu memanggang tubuh Bok Liong.
Dengan hati penuh kengerian dan
ketegangan, Lin Lin menggulingkan tubuhnya ke arah sebuah batu besar tak jauh
dari situ. Ia melihat batu itu mempunyai begian-begian yang tajam. Karena kaki
tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan tubuh,
lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan kedua pergelangan tangan
yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian batu yang tajam. Ia
menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil mengerahkan
tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia tidak
melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia berusaha
mematahkan pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan
hatinya makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok
Liong dan mengajaknya melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin
merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia melihat bayangan
Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin terbelalak, harapannya
lenyap bagaikan embun terbakar matahari. Tentu saja ia tidak melanjutkan
usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia bersandar kepada batu
besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan karena dia sendiri sudah tak
berdaya. Dilihatnya kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua
tangannya membawa dua potong kayu kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan
api! Setelah api menyala dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi
itu ke tumpukan daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar
saja daun kering itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan
dan matanya tak dapat ditahannya lagi mengucurkan air mata. Kasihan
Liong-twako, pikirnya.
“Heh-heh, kau hendak lari ke
mana?” tiba-tiba suara kakek itu terdengar dekat dan Lin Lin merasa pundaknya
dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke tempat semula.
Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil terkekeh-kekeh
berkata.
“Ha-ha, kau mau melarikan diri?
Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu itu berlumur racun
kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kaulihat baik-baik
sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya makin lama merah diciumi api, makin lama
makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah masak nanti, boleh
kaupilih bagian mana yang paling gurih untukmu.... ha-ha!”
Toat-beng Koai-jin memandang ke
arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya
yang lebar, bibirnya yang tebal dan giginya yang besar-besar. Dengan hati
berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba
matanya terbetalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang
hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat
di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biarpun keadaannya
juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang
pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan
tiduran di atas nyala api yang hangat!
Agaknya sikap dan wajah Lin Lin
yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng
Koai-jin, kakek ini segera menengok ke arah “panggangannya” dan alangkah
kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot
jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu
yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!
Kakek yang menggantikan
kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh....
nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu
kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras?
Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kaupanggang seratus
tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”
“Demi Iblis! Siapakah kau ini
orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur.
Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu
sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi
lawan yang tangguh.
“Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin,
kita memang baru tadi saling berjumpa. Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah
melakukan dosa besar terhadapku. Kau tua bangka yang tak lama lagi mampus,
tidak tahu malu, beraninya hanya mengganggu orang-orang muda yang masih
hijau. He, pemakan bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kaupanggang
hidup-hidup tadi adalah muridku?”
Toat-beng Koai-jin menggereng
seperti seekor singa kelaparan. “Bagus! Mari tua sama tua mengadu kepandaian!”
serunya sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu
mencengkeram.
“Tak tahu malu!” Empek Gan,
kakek lucu itu, berseru. Benar-benar sepak terjang Toat-beng Koai-jin kali ini
amat licik, masa menerjang lawan yang masih terikat dan terpanggang di atas
api? Empek Gan cepat menggulingkan dirinya dan kaki tangannya bergerak,
kayu-kayu dan daun-daun yang masih terbakar itu kini terbang berhamburan ke
arah Toat-beng Koai-jin!
Si kakek liar terkejut bukan
main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biarpun serangan kakek pendek itu
tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan sedikit
banyak tentu akan melukai kulitnya. Ketika kayu dan daun yang menyala itu
runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah memakai pakaiannya
dengan lengkap. Benar-benar kakek yang luar biasa, pikir Lin Lin yang masih
duduk sambil menonton dengan hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu
adalah guru sahabatnya, guru Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia
lupa akan penderitaannya sendiri. Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti
bahwa sahabatnya itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan
besar tertolong. Apalagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu
dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah
memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.
Segera kedua orang kakek sakti
itu bertempur hebat. Entah dari mana dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah
memegang hek-mou-pit (pensil bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit
(pensil bulu putih) di tangan kirinya dan ketika kedua tangannya bergerak, yang
tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat,
saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.
“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau
Ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan
tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.
“Hi-hi-hik, setan bangkotan
pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka
gila, hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku
ada kegembiraan untuk melayanimu!” Sepasang senjatanya, pencil butu hitam dan
putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya
si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke sana ke mari, malah lalu
mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung
dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan
diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih
terdengar suaranya terkekeh-kekeh.
“Lin-moi, kau mengalami banyak
kaget?”
Lin Lin terkejut, cepat menengok
dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong.
Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa
pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin daripada
ikatan kaki tangan dan mulut.
“Berbahaya sekali....” Lin Lin
mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”
“Suhu....”
“Wah, Suhumu hebat! Memang badut
dia, tapi hebat!”
Muka Bok Liong menjadi merah, ia
tersenyum dan menjawab, “Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu
sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita
manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling
menyenangkan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan
mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah
Suhu menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng Koai-jin
yang lihai itu pun Suhu masih main-main!” Dalam kata-katanya ini jelas
terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya. Lin Lin
memandang dan ia menjulurkan lidahnya keluar saking kagumnya. Memang hebat
Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk
membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak
mengagumkan? Di atas batu karang di mana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur
membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan
Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aselinya,
punuknya, gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!
“Wah, Suhumu jago menggambar!
Kau tentu pandai pula, Twako?”
“Ah, kepandaian Suhu melukis
memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak pernah diturunkannya kepada
siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya melukis ini, katanya, kalau
diturunkan kepada murid, tiada artinya malah merugikan. Kalau muridnya menjual
hasil gambarannya bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa
gunanya?”
“Twako, apakah kau sudah
berhasil menemukan Enci Sian Eng?”
Bok Liong mengangguk. “Baru saja
aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng
ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan....”
“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng
ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”
Bok Liong menggeleng kepala.
“Aku pun masih heran, tapi kenyataannya encimu itu melakukan perjalanan
bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim Lo-tong yang amat
lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku,
maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai di sini,
Suhu turun tangan mengajak pergi encimu dari samping Suma Boan.”
“Di mana sekarang Enci Sian
Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak mengerti mengapa
encinya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran itu.
“Baru saja Suhu memberi tahu
bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan
ke Nan-cao.”
“Kalau begitu mari kita cepat
menyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya kuharapkan kau dapat bertemu dengan
Enci Eng dan melakukan perjalanan bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku
yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama.... eh,
dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas.
“Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”
“Kalau perlu kau boleh pakai
pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan
perjalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”
Berangkatiah dua orang muda ini,
menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali
ini, tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan bagaimana encinya dapat
melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa penasaran
karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin dan tidak acuh.
Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas terhadapnya dan sikap Lie Bok
Liong. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong,
ah....! Andaikata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya.... alangkah akan
senang hatinya!
***
Tiongkok pada masa itu masih
dalam keadaan terpecah-pecah menjadi banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di
samping beberapa buah kerajaan besar. Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan
Lima Dinasti yang batasnya dari utara sampai ke tembok besar, dari selatan
sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dari barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke
timur sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar. Seperti diketahui, pendiri
Kerajaan Sung Cau Kwan Yin, hanya berhasil menyatukan lima kerajaan utara itu.
Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai Yang-ce-kiang, masih amat
banyak. Di luar tembok besar sebelah utara terus ke timur masih dalam kekuasaan
bangsa Khitan yang amat kuat. Di Se-cuan terdapat Kerajaan Shu, di sebelah
timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan
Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan
Kerajaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di
sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.
Cao Kwan Yin atau setelah
menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil menundukkan
kerajaan-kerajaan di selatan ini dan biarpun Kerajaan Sung tidak lagi
melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali terjadi bentrok dan di
antara mereka terjadilah “perang dingin”.
Akan tetapi kaisar pertama dari
Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat bijaksana. Pada tahun pertama dari
pemerintahannya, ia pada suatu pagi yang cerah mengumpulkan semua
jenderal-jenderainya yang telah berjasa dalam membantunya mendirikan Kerajaan
Sung, berkatalah Sang Kaisar ini!
“Para panglimaku, setiap malam
aku tidak dapat tidur nyenyak.”
Tentu saja para panglima itu
terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.
“Jelas sekali sebabnya,” jawab
Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara kalian yang tidak merindukan
singgasana dan mahkotaku?”
***
Para panglima itu berlutut dan
membantah. Seorang di antara mereka yang tertua mewakili teman-temannya, “Duhai
Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana
Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani
menentang dan memiliki hati khianat?”
“Aku percaya akan kesetiaan hati
kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andaikata pada suatu pagi yang
buruk, seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan
pakaian kuning (pakaian raja), betapapun tidak setuju hatimu bagaimana kamu
akan dapat menghindarkan pemberontakan?”
Sibuklah para panglima itu
menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki hati
seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk menjadi
kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah.
“Ampun, Sri Baginda yang mulia.
Apabila hal itu mengganggu ketenteraman hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah
yang Paduka anggap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba
sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”
Kaisar Sung Thai Cu tersenyum,
mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya nyaring dan
kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih dahulu.
“Hidup di dunia ini amatlah
pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk
menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena
itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian
kuperkenankan melepas pakaian panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman,
di sana memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan, menikmati hidup di
hari tua penuh ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik daripada hidup tak
berketentuan nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di
antara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada
fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan
pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan
pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat.”
Mendengar ini, para jenderal dan
panglima segera tentu saja, menyatakan persetujuan mereka dan pada hari-hari
berikutnya, mereka mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Kaisar
menerima semua permohonan ini, membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa
hadiah-hadiah dan titel.
Demikian, dengan cara yang
cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersihkan istana daripada
kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan dan
pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang dijalankan kaisar
pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil
yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka
dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh
yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah
terhadap Kerajaan Sung!
Sungguhpun Sung Thai Cu memiliki
banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera, namun mereka itu masih
kecil-kecil. Karena itulah, mentaati perintah yang dipesankan ibu suri
menjelang kematiannya, yang diangkat menjadi pangeran mahkota, yaitu calon
pengganti kaisar, adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan
Sun Thai Cung, kaisar ke dua. Ahala Sung. peristiwa ini pun tercatat dalam
sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya dan para
pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri.
Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika
ibunda kaisar ini berada di ambang kematian karena usia tua.
“Puteraku Baginda, apakah yang
menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”
Sebagai seorang anak berbakti
yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung
Thai Cu menjawab, “Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan
kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang
sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan
Ibunda.”
Senang juga hati nenek yang
sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu. “Anak baik, selalu
berusaha mengangkat tinggi orang tua....! Puteranda sayang, bukan.... bukan
aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta
kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi
Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari
Kerajaan Cao! Puteranda harus dapat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal
kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan
kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah begitu bodoh untuk
menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan
kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki
tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan
seperti itu.”
Inilah ucapan ibu suri yang
sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan termenung.
Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah Kerajaan Tang
roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama
tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang
mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas
tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya.
Kerajaan ke empat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini
malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cao yang
bertahan hanya sepuluh tahun lamanya. Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima
Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari
Lima Wangsa itu adalah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan
kedudukan dan saling menggulingkan.
Memang tepat ucapan ibunya.
Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya kepada
puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang
memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kwan Yin, melakukan pemberontakan
dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kwan Yin
setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya
kepada para panglimanya. Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena
dia “terpaksa” pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur
dan “memaksanya” mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai
raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cao yang
dirajai seorang anak-anak itu.
Dan ini sebabnya mengapa
pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera kaisar, melainkan adiknya.
Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Kerajaan Sung ini dikenal sebagai
seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau keturunan sendiri.
Cukup kiranya sekelumit tentang
keadaan Kerajaan Sung Utara yang mempunyai ibu kota atau kota raja di
Kai-teng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita meninjau keadaan
Kota Raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi perayaan besar itu.
Kerajaan kecil yang wilayahnya
meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram daripada
kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk kepada
pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini
sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang
menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw, akan
tetapi lebih daripada itu, malah terhitung keponakan dari ketua Beng-kauw dan
juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini. Ketua Beng-kauw sendiri
atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana
karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama
Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan Delapan) Liu Gan
yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati
kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini memiliki
kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh nomor satu di
Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh semua orang.
Usia Liu Mo sudah amat tua, tak
seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya
masih kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh semangat, biarpun ia
terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Ada
yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun
dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo
tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai empat orang isteri yang
cantik-cantik! Hanya seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai
anak seorang, Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis
remaja yang cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan
kecantikan dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya. Untuk
memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di istana, Liu Hwee
telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri daripada seratus orang
gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu
pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!
Kerajaan-kerajaan tetangga juga
tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa
buah negara kerajaan tetangga pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil
ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan
dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani
mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang
sebagai negara kecil yang kuat.
Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari
daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka
mengejar ilmu daripada mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia
menghilang ke barat dan setelah kembali, ia telah menjadi seorang pendeta atau
ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja
pada permulaannya ia ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu
roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal
sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu
(ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih
keponakannya sendiri.
Pernah diceritakan sedikit dalam
cerita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu
Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan
terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik Beracun). Namanya Liu
Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh tahun yang lalu,
ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja berusia dua puluh
tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si
Ek, seorang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.
Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang
mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya
ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal
ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak
tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih
suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak
banyak artinya?
Namun tak seorang pun berani
menyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apalagi menentangnya. Dengan
bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek
mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan,
berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh
bahagia, saling mencinta.
Akan tetapi, siapa saja yang
mengira bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal abadi, dia akan
kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasaan belaka dan semua “permainan”
ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah senang tergantung
yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan penerimaannya sendiri. Baik
buruknya keadaan rumah tangga, tergantung daripada si suami dan isteri sendiri
karena rumah tangga ibarat bangunan yang dibangun oleh suami isteri.
Pembangunan yang gawat ini membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada,
membutuhkan pengertian dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi
kokoh kuat, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang
nan kokoh, kuat menahan hantaman ombak samudera kehidupan. Sebaliknya, kalau
suami isteri membangun benteng rumah tangganya secara “sambil lalu” saja, hanya
dengan kegairahan dan semangat pada permulaannya saja, buta oleh nafsu yang
selalu dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan indah-indah namun segera
padam oleh kenyataan yang kadang-kadang berlawanan dengan renungan muluk, maka
rumah tangganya, umpama batu karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat.
Rumah tangganya akan mudah pecah, seperti batu karang pasir yang mudah
digerogoti air laut sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!
Alangkah bahagianya suami isteri
yang membentuk rumah tangganya dengan berhasil tadi. Ada suka dinikmati
bersama, ada duka dipikul berdua. Suka dibagi makin bertambah duka dibagi
serasa ringan. Suka si isteri suka si suami, duka si suami duka isteri. Kalau
sudah begini, barulah rumah tangga bahagia namanya dan dari rumah tangga inilah
lahirnya anak-anak yang baik, calon-calon manusia yang jiwanya berlandaskan
cinta kasih penuh pengorbanan.
Sayang tidak demikian dengan
Jenderal Kam Si Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling mencinta, saling
tergila-gila. Hal yang lumrah, Kam Si Ek seorang pemuda tampan dan gagah
perkasa, perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu Sian
terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila? Inilah yang
disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang berdasarkan kecantikan atau
ketampanan muka, berdasarkan nafsu berahi yang timbul di kala orang menyaksikan
keindahan muka dan tubuh lain jenis. Dan cinta yang dibutakan oleh nafsu ini,
seperti menjadi sifat nafsu sendiri, dikobar-kobarkan oleh renungan
muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah menjadi kenyataan. Jika nafsu masih
menyala, berkobar-kobar oleh renungan muluk dan indah, yang tampak hanya yang
indah-indah saja, seperti api yang berkobar selalu indah dipandang, kalau
tangan sudah tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik yang indah itu belum
tentu menyenangkan! Dalam buaian cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si
dia hanya indah semata, segi buruknya tersembunyi atau disembunyikan, tak
tampak atau sengaja tidak dilihat. Kalau tujuan cinta nafsu sudah tercapai
dalam pernikahan, baru tampak segi-segi buruknya dan kagetlah si perenung,
ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang disebut cinta buta, sebetulnya
cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi buta! Bumi langit bedanya dengan
cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat kebaikan, juga keburukan
daripada yang dicinta, biar baik biar buruk tetap dicinta dan berusaha
memperbaiki segala keburukan yang dicinta. Inilah cinta, siap sedia berkorban,
demi kebahagiaan yang dicinta, bukan semata cinta karena cantik atau tampan.
Melihat setangkai kembang mawar harum, tangan memetik hidung menciumi,
membelai-belai, kemudian si kembang layu dan si pemetik membuangnya jijik.
Inilah sifat cinta nafsu, cinta buta, cinta berahi!
Setelah Liu Lu Sian melahirkan
seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang
mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang segera berkembang
menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah
segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik
bidadari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah
menjadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi?
Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci
saudara kembar, bersifat Im dan Yang!
Memang pada dasarnya, watak
kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak,
berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam.
Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan
Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar,
berdarah patriot dan semenjak kecil hanya melihat perbuatan-perbuatan gagah
perkasa, mendengar hal-hal yang menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal
pertentangan rumah tangga mereka. Memang sesungguhnyalah, persesuaian watak
jadi lebih penting dalam pembangunan rumah tangga daripada cinta nafsu yang
membuta.
Percekcokan antara Kam Si Ek dan
isterinya, berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah
suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera, demi untuk kebebasan
dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar
di lereng bukit itu, merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan,
seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang setelah
minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi,
terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama
sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa.
Seperti telah kita ketahui di
bagian depan, putera yang ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari
oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang
tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi, Kam Si Ek menikah lagi dan
seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan
Kam Sian Eng.
Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
meninggal dunia, tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan
sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam
hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya, Liu Mo malah
lebih tekun daripada kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras
dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak
peduli lagi kepada puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek adalah Liu Mo
setelah menjadi ketua Beng-kauw, berusaha untuk mencari keponakannya itu.
Demikianlah keadaan para tokoh
pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao.
Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari
besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus
memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Bangunan-bangunan besar dan
bangunan-bangunan darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung
dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya
raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh
besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw.
Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga
oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar.
Di depan pintu gerbang dibangun
sebuah gedung penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini
untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di
lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk
melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup penting.
Sebagai kepala rombongan
menyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang
tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian
Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan
terlalu besar, rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali
serat, sepatunya dari rumput, di punggungnya tampak sebuah topi caping lebar
yang tergantung dari leher. Ujung sebatang cambuk tersembul dari bawah caping.
Cambuk ini adalah cambuk tukang gembala kerbau, kelihatannya cambuk biasa,
akan tetapi sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh,
senjata yang paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu, sederhana sekali
kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan
dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian
Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.
Adapun penyambut tamu wanita
dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis
yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis
itu bertubuh langsing padat rambutnya dibungkus saputangan lebar berwarna
merah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian
gadis cantik ini. Potongan bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya
berbeda, yang kiri hitam yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan
warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali,
dan yang mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak
mendatangkan pemandangan janggal, malah menambah keluwesan gadis itu! Memang
betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik
menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang
aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu,
tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas pandang orang
akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang
ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda
itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas
yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau Si Gadis manis sudah mainkan
senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu
Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!
Banyak sudah tamu-tamu yang datang
biarpun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu
membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui
bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di
seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal
harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam
sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang
sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.
Kerajaan Sung di utara yang
diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata.
Petinya saja terbuat daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar
naga dan burung dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa
bulu biruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar
tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja
tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang
banyak dan menjadi tontonan! Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan
berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan
Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia
dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan
dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti halnya dengan Kerajaan Khitan,
kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan
masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han
tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.
Banyak juga di antara para tamu
yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak
jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di
depan Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan selamat. Di
antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota
An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan
Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya
sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun
kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping Suma Boan, banyak pula
tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan
“kecil” sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya
Beng-kauwcu sendiri.
Seperti dapat kita ketahui dari
pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar persilatan terdapat
pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga
karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu daripada
Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka pun menghormati
Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap
bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau
dalam perayaan di negara orang lain.
Betapapun juga, karena memang di
dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah
timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan
bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi,
seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan
Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang
untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari
Nan-cao!
Pada hari yang ditentukan. Ibu
Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja
menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di
jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa, tampak
pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang
ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka
ragam yang menjadi lambang Terang, sifat daripada Agama Beng-kauw.
Di istana sendiri, para tamu
sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu,
berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang
tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di
tempat kehormatan, wajah raja yang sudah berusia lima puluh tahun ini
berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan
Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang
membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.
Di sebelah kanan raja ini
duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias
keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh,
sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di
sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang
bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa. Pakaiannya
serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada
gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya
yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang
bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini
tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di
waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya. Dua perhiasan pada
jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai
tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah
Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat
ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.
Ruangan tamu telah penuh tamu,
akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di
bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai,
Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan
tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan
Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi
belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati
berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis
dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya. Banyak di antara mereka yang
sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat
Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si
Setan Pengejar Roh! Biarpun kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh
iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong
cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan
Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun
cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis
bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi
kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah
berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati
lemas kehabisan darah!
Seakan-akan tiada habisnya para
tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja
Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin
banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima
oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan
tingkat dan kedudukan mereka.
Liu Hwee yang bertugas menerima
tamu wanita, memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong.
Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu
Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung
untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah
ini. Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata, “Enci yang baik, tak usah
repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari
saudara-saudaraku dan....” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya
berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu
dia.... merekalah yang kucari....”
Tanpa mempedulikan para penyambut
lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos
masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di
mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng! Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang
dan “blusukan” tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu
Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ.
Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada
ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka
berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.
“Lin Lin, harap tahu aturan
sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”
Sian Eng yang lebih mengenal
aturan daripada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat
kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap
manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu,
terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju,
memandang teliti dan bertanya.
“Kauwcu, apakah ini yang disebut
orang ya-beng-cu?”
Sian Eng hendak mencegah namun
sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya
yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo
tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa.
Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera
mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi.
Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.
“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu
itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu?
Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu!”
Raja Nan-cao tidak dapat menahan
ketawanya. “Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih
panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini, kami
suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”
Wajah Lin Lin berseri, akan
tetapi keningnya lalu berkerut. “Wah, senang sekali.... tapi, selamanya di
sini? Tidak mungkin!”
“Lin Lin, jangan kurang ajar.
Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut
dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua
Beng-kauw.
“Terima kasih atas keramahan
Ji-wi (Kalian Berdua)!” Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di
sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Bagaimana kau bisa bertemu
dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku
hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu?
Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar
hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng....”
“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu?
Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan
sembarangan kau menyalahkan orang lain.”
Lin Lin menatap wajah Suling
Emas yang tidak menengok kepadanya. “Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri
Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang
mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”
“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu
memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kaulihat dia itu, Siang-mou Sin-ni,
tapi mana kakakmu Bu Sin?”
Lin Lin teringat akan kakaknya,
menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai
seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita,
rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat
indah, malah menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis
jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
“Aku akan tanya kepadanya!” Lin
Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni
dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya. Melihat ini, Suling Emas
menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan
cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan
diajak duduk di kursi sebelahnya.
“Lin Lin, jangan bikin kacau.
Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan
rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah
kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau
berlaku sembrono.”
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka
saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian
Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan
bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul
kakaknya, yaitu Kam Bu Song!
Lin Lin gembira sekali.
“Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling ke arah Suling
Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul
di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk
mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul
pula. Alangkah baiknya.”
“Karena itu, kita menanti gerakan
Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan
menggagalkan semuanya.”
Pada saat itu, dari luar
terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang
kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek,
kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi
yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah
pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan
kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh. “Aku
membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya
di seluruh dunia!” Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di
tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.
Kauw Bian Cinjin agaknya
mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak
normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai
di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.
Sambil tertawa ha-hah-he-heh
Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti
tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin
menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja
Nan-cao.
Akan tetapi ia tidak segera maju
memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata
mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para
tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel.
“Di mana sih ditaruhnya meja
sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong,
mendiang orang tua yang hebat itu!”
Mendengar ini, terdengar Liu Mo
ketua Beng-kauw berkata lembut, “Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan
ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru
dilakukan besok di dalam kuli istana.”
“Ohhhhh, begitukah? Tidak
apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she
Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan
yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”
“Gan-sicu, keahlianmu melukis
terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai
harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin
kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.
Akan tetapi Raja Nan-cao,
seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis.
Dengan wajah berseri segera berkata, “Silakan.... silakan....”
Empek Gan tanpa banyak sungkan
lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan
jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental.
Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam
semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya
tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot
lebar. Di sana-sini sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap
kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka
yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai
melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena
sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu
mendemonstrasikan keahliannya melukis.
Empek Gan mengeluarkan suara
keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke
atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana
coret sini, melompat mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan
kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya
masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur.
Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan
tenaga sin-kang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat
mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yaNg hanya berani
menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat
melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih
dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa
ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan
tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar
biasa dari seekor harimau! Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut
yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang runcing dan lidahnya
yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu
indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak
bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan
hanya mempergunakan jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati
penciptaan!
“Bagus.... indah sekali....!”
Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali,
menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas.
Gan-lopek tiba-tiba mengangkat
poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam
mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini
menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan
menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga
ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.
Gan-lopek berlutut lagi
menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah
gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa.
Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah
atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya
merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu
telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang!
Gan-lopek kini bangkit berdiri,
wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa,
tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu
dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
“Kauwcu yang baik, terimalah
persembahanku yang tidak berharga ini!”
“Terima kasih, Gan-sicu, terima
kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.
“Indah sekali, harap gantungkan
di dinding agar semua orang dapat menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao
dengan wajah berseri. Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang
anak murid segera maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga
semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua
mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek,
kini menjadi keheran-heranan. Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat
besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang
seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan
siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata.
Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan
coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!
Selagi orang-orang mengagumi
kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan
sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah
lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
“Hamba Suma Boan mewakili
keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat antara
Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang
masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara, menghaturkan selamat kepada
Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan
harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.”
Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu
mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda
itu berpidato.
“Kami sekeluarga Suma di An-sui
tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan
kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang
pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri
Baginda agar menjadi kenang-kenangan.” Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan
lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.
“Wah, ini lukisan pelukis besar
Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja Nan-cao.
Sambil tersenyum Suma Boan
berkata, “Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal
barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang
amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk
menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak.”
Kini raja sendiri yang memberi
perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena
tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan
harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan
Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan
semua orang berseru kagum. Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah
dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya
melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda
itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh!
Ukuran lukisan kuda ini lebih
besar daripada lukisan harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh
sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda
ini yang menggunakan warna aseli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan
mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata.
“Perkenankan hamba mengucapkan
sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”
Raja yang suka akan lukisan dan
sajak, segera berseru, “Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”
Suma Boan berdiri tegak,
mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk
dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring.
“Kuda sakti, lambang keindahan,
kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan
maju secepat larinya kuda sakti!”
“Bagus!” Raja bertepuk tangan
memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan,
membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan
sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok
ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah
suara.... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan
Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati
batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan
karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut
dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek!
“Gan-lopek, apa kau memandang
rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di
lantai. Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu
memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing.
Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau
kakek pendek ini berani memandang rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah
Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan
kakek yang menyakitkan hatinya ini.
Gan-lopek tertawa bergelak.
“Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu
kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha,
kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia
menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah
maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan
tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.
“Gan-sicu, lukisan ini adalah
lukisan aseli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat
bernilai, sama sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw biarpun termasuk
orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak
berandalan dan ugal-ugalan, apalagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh
itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda
itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang, sekarang mendengar kata-kata
Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak
setuju.
“Heh-heh-heh, penghinaan tidak
langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”
“Gan-lopek, jangan menuduh
sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah
yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma
Boan menudingkan telunjuknya.
“Melepas kentut apa salahnya?
Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah
kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut
kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan
jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya,
tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau!
Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu
itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah
lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku
bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw
seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah?
Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia!
Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat
pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah
Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan
lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para
tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung
itu dapat tertawa. “Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi
kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai
memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau
kami boleh mendengar keterangannya?”
“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan
dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan berseru, tak dapat menahan
kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua
Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan
Gan-lopek yang hebat.
Kini Gan-lopek yang
tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal sebagai raja di
antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur
menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao,
biarpun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki
keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan
matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari?
Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi
harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!”
Tepukan tangan menyambut
keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada
Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. “Gan-lopek
boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan
tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan
dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!”
Inilah sebuah tantangan yang
terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di
depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu
kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah
cukup tahu bahwa biarpun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli
sastra, apalagi ahli sajak!
Biarpun tantangan Suma Boan itu
bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu
sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena
dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya, dalam
mengadu ilmu sastra, biarpun yang kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun
ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi, Gan-lopek adalah
seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun pernah ia
mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya
tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan
dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai
sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping
ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia
dapat menyelamatkan diri daripada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan
Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti
kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia
akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang “mati
kutu” terhadap Suma Boan!
“Ho-hah, omonganmu lebih jahat
dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua
bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua
gurumu kaupanggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa?
Kutanggung menulis pun belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat
atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk
ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris
kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”
Suma Boan bukanlah seorang
pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh
dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin
takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja,
menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur
bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat
yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat
itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia
menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya,
terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini.” Kemudian
setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan
pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma
Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian
sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya
kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris
kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu,
Gan-lopek?”
“Betul, betul!” Gan-lopek
mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin
dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar
kaupakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”
“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan
empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan
menantang.
Hening di tempat yang tadinya
ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang
karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan
baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek.
Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra),
memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan
sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa
sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal
ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu,
suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, “Bocah she Suma, enak saja
kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi
syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”
***
Suma Boan tersenyurn mengejek.
“Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa
kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi,
kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat
yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”
“Ho-hah, boleh.... boleh....
akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang
tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga
hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”
Pecah suara ketawa di sana-sini,
bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang
mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini
benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang
terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu
hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak
mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan
kata-kata “tahi” ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila! Akan
tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga
terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu
muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor
ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk
melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda,
Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan.
“Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”
Kembali orang-orang pada
tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan?
Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya “makan tahi”! Benar-benar orang
sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut,
seperti hainya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan
keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan
tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah menanti sebentar, Empek
Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat
adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kauputar-putarlah otakmu,
kaurangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan
mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu
berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau
menerimamu, hoh-hoh!”
Suma Boan tidak mempedulikan
kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki
yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang
harus dirangkai menjadi kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh
empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti,
yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA.
Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya!
Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia
berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat
kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
“Ha-ha, Empek Gan, kau
benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku
sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik
karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari
jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua
tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!” Suaranya
perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua
orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di situ
diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu
sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh
dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah
membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi sekalian dengarkan
jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”
Dengan suara nyaring Suma Boan
menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang kauajukan itu amatlah sederhana dan dari
empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.”
Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara
mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan
menang, pikir mereka. “Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam
kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah
salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!”
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian,
maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan.
“Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu.
Yang ke dua bagaimana?”
“Yang ke dua adalah KUDA MAKAN
TAHI HARIMAU!”
Kini Empek Gak
terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. “Hoah-hah-hah, siapa
pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau?
Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu
itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi.
“Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan
tahi harimau? Hoa-ha-ha!”
“Empek Gan tidak perlu semua
lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah.
Semua yang hadir menjadi saksi!”
Empek Gan menyusut air matanya.
Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. “Apa kau bilang? Betul? Eh,
bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah
huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG
KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan
tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda
makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa
bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?” Empek Gan menoleh ke
arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu
saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan
nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga
semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan
menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia
berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
“Jawaban Suma Boan itu bohong
semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau
makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat
telunjuk ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum
manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu,
sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang
mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira, “Betul....!
Ucapan Nona betul!”
Memang sesungguhnya, siapa tidak
tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu
dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam
jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu
biarpun ada artinya, namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah
semua orang diam, “Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu
tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja
kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”
Suma Boan melotot ke arah Lin
Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
“Empek Gan, kau orang tua penuh
tipu muslihat! Kaukira aku mudah kautipu begitu saja? Terus terang saja
kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang
mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah
kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan
pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan
di laut?”
“Hoah! Pertanyaan begitu saja,
apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di
laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”
Meledak suara orang tertawa
mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
“Empek Gan, kau belum menjawab.
Hayo kaurangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa
melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai
guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!” Saking marahnya, Suma Boan
mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya,
melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat
yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua
orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak
seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri
tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan
menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil
mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak
sanggup pula.
“Betulkah? Dengar baik-baik kau,
bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari
empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga
yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini....” Ia
sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan
semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas
terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya
Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda
bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah
dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya
begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!”
“Tidak betul!” Suma Boan
berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI
belum dimasukkan!”
“Sudah betul,” kata Empek Gan.
“HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”
“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya
kautinggalkan!”
Orang-orang berteriak-teriak,
“Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan mendengar banyak orang
mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek, “Empek Gan orang tua
tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya
kaulupakan. TAHI-nya bagaimana?”
Empek Gan tertawa, “Cu-wi
sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini
untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.... kuberikan kepadamu.
Suma Boan. Kaumakanlah, itu bagianmu!”
Sejenak hening, banyak mata
terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa
memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari
bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira
bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian
yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah
kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang
bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan
yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan
berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya
bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang
memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang
menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma
Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan
sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar
kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur
lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa
jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara
kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan
serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak
melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan!
Mendadak kakek itu membalikkan
tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya
bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa
terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku
nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”
Lin Lin yang tadinya tertawa
geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh
persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini
membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa
menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat
dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan
tak pernah mengenai sasarannya! Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan
pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja
menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di
belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya
secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa
lagi.
“Hi-hik, pantas saja Liong-twako
juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul
lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan
mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi
keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan
bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk aseli pulau ini
suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga
menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam
menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari
Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat
yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian
itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau
disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan main.
Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka.
Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan
tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai
lima meter lebih! Luar biasa sekali!
“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah
di sini kau mau memamerkan diri?” tiba-tiba terdengar suara nyaring
menggetarkan anak telinga, biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.
“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan
aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya,
heh-heh-heh....” kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang
masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi
tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian
Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata,
“Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi
kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih
kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan menyengir sambil
memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek.
Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah
maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!
“Wah, kau jempol sekali, Kakek
Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako
kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah,
apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”
Empek Gan tertawa senang karena
banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada
orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para tamu lain
yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh
keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini
mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu
menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing
sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa
menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan
janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit
dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu
yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin
Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung.
Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling
Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja
nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia
memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut “Suling Emas” begitu saja,
sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang
punggung yang bidang itu.
“Kim-siauw Koko (Kakak Suling
Emas)....” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti
baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang. “Kau? Kau bilang apa
tadi?”
Lin Lin tersenyum. “Tidak bilang
apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa
namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih janji!”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa kau lupa lagi?
Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu
Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat....
eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak
mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia
cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat
dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura
tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang. Gadis itu bukan lain
adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama
Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas
seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya
berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah
menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke sinilah....!”
Lin Lin tersentak dan sadar
bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan
keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia
menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri encinya.
“Lin-moi, kau sudah tahu,
kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di
sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal
itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang macam itu kaupercaya,
Enci Eng?”
“Hush, bukan tak beralasan aku
percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan
penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah
yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah
meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang
ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua
Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia
menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”
“Wah, betul juga Enci Eng.
Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja
kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil
menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
“Jangan, Lin-moi. Tidak baik
begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song
sudah hadir sekarang.... eh, Lin-moi, kau ke mana....?”
Kiranya Lin Lin sama sekali
tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat
itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak
berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia
sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling
Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw.
Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin keluar dari ruangan itu
melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang
lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu
di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan
selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari,
mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung
taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat
peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada
sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang
menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah tiga buah
pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan
berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua
orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia
menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di
belakang pondok ke dua.... dadanya makin panas seperti terbakar ketika, ia
melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan
keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan
tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah
kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee
lapat-lapat.
“.... ah, kau terlalu lemah....”
“.... cintaku takkan kunodai
darah....” terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi
meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya,
Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu
kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi
merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya
Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga
kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian
dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget,
cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai
darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa
artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam
dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw
itu?
Setelah dua orang itu tidak
kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan
tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak
lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang.... iblis
tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar
watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri
saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak
seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun
baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini
tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
“Harap jangan berteriak....”
suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.
“Hemmm, apa perlunya berteriak?
Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,” kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing
itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.
“Kau kenal padaku....?” Dalam
suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.
“Siapa tidak mengenal
Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku
sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku
masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau
secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga
gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau
berani berbuat seperti itu jahatnya?”
Tercenganglah Hek-giam-lo,
biarpun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak,
jelas bahwa ia tertegun. “Kau.... kau.... betulkah kau orang yang
kucari-cari....? Sudah berkali-kali aku keliru....”
“Hek-giam-lo, kau berhadapan
dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri
Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalin!” Tiba-tiba sikap
Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang
puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin
merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang junjungan
terhadap hamba sahayanya!
Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang
mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi
lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih
membayangkan keraguan ketika ia berkata.
“Be.... betulkah ini....? Tidak
tertipu lagikah.... tidak keliru lagikah....?”
“Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang
kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang
hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi
puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada
punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main sikap
Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu
Sin dan Sian Eng menyakslkan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu
kedua orang saudara angkat itu akan terheran-heran.
“Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan
hamba, Tuan Puteri Yalin yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat
menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba
antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka.”
Diam-diam Lin Lin terkejut juga.
Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan
sakti seperti Hek-giam-lo ini, takn mungkin dapat ia pengaruhi hanya
mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita encinya tentang tokoh ini
dan ia tahu bahwa mau ataupun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si
tengkorak hidup. Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong
hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan
ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak
sekarang, pula ia merasa berat untuk.... berpisah dari Suling Emas! Menolak
permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal
ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang
demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.
“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku
pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta
keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah
selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman....”
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman
Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu
dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang
juga kita berangkat.”
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak
salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang
juga. Ia harus mencari akal....
“Sekarang? Tapi kita masih
berada di sini sebagai tamu.... perayaan Beng-kauw masih belum habis....”
“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita
jauh lebih penting daripada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya
kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita,
hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apalagi urusan negara lain....,
marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalin!” Tubuh yang mengerikan itu bergerak
maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat,
Tuan Puteri.”
Lin Lin bergidik. Ia dapat
merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman
dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk
melawan, berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia
takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya
yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.
“Hek-giam-lo, aku memang juga
amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan
tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku
mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?”
Sepasang mata di balik kedok
tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang.
Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.
“Tuan Puteri Yalin, siapakah
gerangan berani menghina Paduka? Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan
menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”
“Ada dua orang yang telah
menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak
tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat
ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya,
aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kaupikir, apakah ini bukan
penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang
terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu
berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kaurampas
tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi
ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan
Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh
dipermainkan bangsa lain.”
“Tongkat Beng-kauwcu....?”
Terang bahwa Hek-giam-lo, biarpun dia seorang tokoh besar malah seorang di
antara enam iblis, kaget juga mendengar perintah ini.
“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh,
jagoan Khitan takut terhadap ketua Bengkauw?”
“Hamba tidak takut terhadap
siapapun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua
Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau
kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan
Nan-cao?”
“Khitan tidak bermaksud
bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan
begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau
Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang
menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan
demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana
kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk
Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?”
Kena juga akhirnya tokoh iblis
ini “dibakar” oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara.
Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat.
“Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”
“Bagus! Sekarang musuhku yang ke
dua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu
pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu.
Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal.
Kautangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.”
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar
dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut
kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”
“Hamba juga tidak takut, akan
tetapi.... urusan ini.... tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar
daripada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang
terbunuh itu?”
“Ayah angkatku adalah Jenderal
Kam Si Ek di....”
Tiba-tiba tubuh berselubung
hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok
itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus, “Kam Si Ek?
Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalin, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak
bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!”
Sejenak Lin Lin bingung, akan
tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik
dari bibi gurunya maupun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah
angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia
sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur.
Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.
“Sudahlah kalau begitu, sekarang
kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini.” Tentu saja
tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya
mahluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.
“Paduka akan berangkat sekarang
juga....”
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu
benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat.
“Apa kau bilang? Lebih dulu
ambil tongkat....” Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak
Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi,
hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.
“Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa
yang kau lakukan ini....?” berkali-kali Lin Lin bertanya. Akan tetapi
Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari
balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya
seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah
bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas,
telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi. Terkejutlah Lin Lin dan
ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang
mengandung penuh tenaga khi-kang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya
dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin
meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera, mengerahkan
sin-kang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya daripada
serangan tak langsung tapi cukup hebat itu. Benar saja, segera semua rasa
tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara mendesis tinggi
yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu.
Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah barat,
seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.
Lewat sepuluh menit kemudian,
suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan.... bukan
Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung
kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa
saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini
berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat
dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.
“Kau.... kau siapa?” Lin Lin
bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba
lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi
kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”
Kakek itu membungkukkan
tubuhnya. “Tuan Puteri Yalin, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti
Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun Suheng (Kakak
Seperguruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah,
Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini, Suheng memesan agar supaya hamba
mengajak Paduka sekarang juga.”
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah,
kiranya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya
ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya
Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam
penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua
kakinya buntung, agaknya di ales lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan
kasihan. Kakek begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya
memisahkan diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo,
Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu
ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat
bersilat dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari
kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau
mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang
akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini.
Akan tetapi, melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini, Lin Lin merasa tidak
enak hati sekali.
“Mari, Tuan Puteri, hamba
iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”
Berangkatlah kedua orang ini.
Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah
pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang
paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki
tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya.
Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian
baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit,
diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu “berjalan” agak
terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat
cepat. Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya
berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek
buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun
tidak ketinggalan!
Ketika ia menoleh, kakek itu
tersenyum lebar dan berkata, “Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini,
kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan
dilakukan lebih cepat.”
Lin Lin tidak menjawab. Mereka
melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena
hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu
aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan
tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman
memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin
pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin
cepat keluar dari Kota Raja Kerajaan Nan-cao.
Sebentar saja mereka sudah tiba
di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin
untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.
“Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat
Paduka ini hebat sekali....!” seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah
kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat
mengikutinya.
“Pak-sin-tung, aku tidak mau
berangkat sekarang!” Tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh
dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
“Apa maksud Paduka?”
“Kau pergilah sendiri, aku tidak
mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan
sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman
Baginda.”
Akan tetapi senyum mengejek itu
tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara
tenang. “Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka
ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”
“Kalau aku tidak mau?” bentak
Lin Lin.
“Terpaksa akan hamba dukung
sampai ke Khitan.”
“Srattt!” Lin Lin sudah mencabut
pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta.
Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin,
akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa
oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.
“Pak-sin-tung, kau boleh coba
kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.
“Pedang pusaka Besi Kuning....!”
Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah
mundur. “Tidak.... hamba tidak berani.... tidak berani....”
Besar hati Lin Lin dan sekarang
tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa
Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung
ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus
memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia
membentak.
“Kau masih berani membantah
perintah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang
dengan pedangnya.
“Ti.... tidak, hamba tidak
berani....” Kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan
ke manapun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat. Hebat
sekali kakek ini, biarpun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya
tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan
tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini
benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali bertemu senjata,
tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan
Khong-in-ban-kin!
“Ampun, Tuan Puteri, hamba
percaya sekarang, harap jangan marah....”
Lin Lin seorang cerdik. Ia
maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran
sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apalagi kalau datang
jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini lihai,
sebaiknya ditarik menjadi kawan daripada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan
bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk.... menawan Suling Emas!
Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan
sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga
benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa
pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi “hajaran” kepada Suling
Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan
bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah
bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.
“Pak-sin-tung, kalau kau menurut
perintahku dan tidak melawang aku pun mana suka bertentangan dengan orang
sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan.
Akan tetapi, aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku
mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi
untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo,
masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?”
Kini kakek buntung itu duduk di
atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang
takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin. “Ajaib....” katanya
perlahan. “.... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka
pula.... ajaib.... agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit....”
“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau
tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”
“Maaf, Tuan Puteri. Hamba
bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah
Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih),
mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan
barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi.
Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang perajurit pilihan
mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”
“Bagus! Panggil mereka berkumpul
di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”
Pak-sin-tung mengangguk-angguk,
lalu mulutnya diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin lama makin tajam
sehingga kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil
Pak-sin-tung, merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan
mengerahkan sin-kang untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam
suara itu mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan
banyak orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua
puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian
seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya
bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya
dengan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung!
“Hamba sekali sudah berkumpul
dan siap menanti perintah Tuan Puteri Yalin!” kata Pak-sin-tung. Tak dapat
dicegah oleh Lin Lin rasa bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat,
pikirnya dan yang luar biasa adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal ini
aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan sudah seharusnya demikian!
“Kalian semua dengarlah
baik-baik,” katanya sambil memasukkan Pedang Besi Kuning ke dalam sarungnya.
“Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi peringatan kepada Nan-cao
negara kecil ini agar lain kali tidak berani memandang rendah kepada kita, aku
telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat ya-beng-cu
dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku untuk dua urusan
lain, pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hidup-hidup, kita bawa dia ke
Khitan.” Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling pandang dengan
muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya, “Ke dua, kalian bantu aku
menangkap Suma Boan putera pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa
mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang
ia berada. Setelah ia menunjukkan di mana adanya Kam Bu Song, kalian boleh
siksa ia sekedarnya tapi tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali.
Mengerti?”
“Hamba mengerti, Tuan Puteri,”
jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya. “Biarlah hamba yang menemani
Paduka, adapun saudara-saudara ini siap secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu
dapat datang jika hamba panggil.”
“Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari
kita kembali ke kota raja.” Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin
Lin dan Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka
keluar.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin
yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu, untuk
menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa
Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin
berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan
barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou
Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh
pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu
sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya
ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya
bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan
tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan
di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia
kaget dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia
sendiri merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan
sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia
duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar
bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah “perang” antara suara
khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini
ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena
ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah
mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya
sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka
lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Banyak sudah
lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa
sehingga merupakan “jurus-jurus” yang dapat merusak semangat, membikin putus
urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan!
Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun
kejahatan, tergantung daripada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati
Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang
ganas itu, mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan
yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan
sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan
tetapi tiba-tiba “cringgg!” sebatang kawat khimnya putus!
“Keparat....!” Siang-mou Sin-ni
melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim,
rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan. Akan
tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat.
Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang
sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu
sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah
seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang
ia menjadi pucat ketakutan.
“Kau.... kau.... setan....!”
teriaknya, membalikkan tubuh dan.... lari meninggalkan kakek itu, kembali
menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus
sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak
pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi
dan.... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mujijat dari
samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi
untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim
melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
“Kurang ajar....!” Siang-mou
Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak
menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari
pingsannya. Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang
yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba
seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou
Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang
berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking
setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari
meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti dan tubuh
kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah
perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua
tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri
di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit.
“Kasihan....” bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama,
begini nasibnya....”
Bu Sin menengok, sepasang
matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu. “Mana.... mana dia....?”
bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan
mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng
kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah
menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan
sebentar lalu berbisik lagi. “Belum terlambat.... anak baik, kauikutilah
aku....”
Seperti linglung Bu Sin bangkit
berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap
hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera
mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya, “Bolehkah saya bertanya
siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada di mana, apa yang telah
terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala.
Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun
belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
“Kau menjadi korban Siang-mou
Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek itu
mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan
menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba
kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda
ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga
ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah
berapa lamanya ia berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia
melompat bangun dan berseru.
“Iblis betina, boleh kaubunuh
aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”
Akan tetapi terpaksa Bu Sin
harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua
matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan
senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat
kepadanya, dan dia.... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa
hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa
tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun
ia tidak tahu bagaimana caranya.
“Locianpwe tentu telah
membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima
kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak
sakit.
“Anak baik, mari kau ikut
denganku agar kesehatanmu pulih kembali.” Kakek itu mengulurkan tangan dan di
lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa
betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara
angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena
angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi
angin.
“Kita sudah sampai!” Suara halus
kakek itu menyadarkannya. Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi.
Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat
bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar
matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia
tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
“Locianpwe, teecu mengerti bahwa
Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu
terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke
tempat ini? Mohon petunjuk....”
“Orang muda, kau telah menjadi
korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat
dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam
sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan
membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong.
Hanya sin-kang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang
katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin diam-diam terkejut sekali
mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga
apa artinya “menjadi permainannya” dan ia merasa malu, juga gemas terhadap
iblis wanita itu. “Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah
terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana
nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh
ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk
memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni
si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan
bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi
menolong.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke
puncak untuk menjadi seorang pertapa.
***
“Akan tetapi, hal demikian tak
dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku
bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung
kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau
kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita,
agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu,
biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan
perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”
Bu Sin sudah membulatkan
tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan
pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya
ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja
terbebas daripada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa
artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu
besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air
terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya
untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa
kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di
samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula
memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak
tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan
kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia
tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu,
tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik
di dekat telinganya, “Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan
berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah
tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin melakukan
perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk
menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher.
Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan
mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena
kakek sakti itu membantunya.
“Lindungi tiong-cu-hiat dengan
sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur
pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul
di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas.” Dengan kata-kata yang halus
berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu
mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah
kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia
tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak
lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.
Begitu tekun Bu Sin mendengarkan
wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya.
Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang
telah berganti malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu
sudah tidak membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya
sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus
berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan
membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.
Setelah suara itu makin menghilang,
barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan
mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan
tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya
serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan
ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing! Cepat ia mengerahkan hawa dalam
tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan
tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia
menggigil kedinginan, giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan
mengkal. Cepat ia mengingat isi pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi
serangan hawa dingin. Akan tetapi karena belum pandai benar ia menjalankan ilmu
itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya
serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api neraka, telinganya
terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kembali dengan mengingat
pelajaran tadi, ia berhasil menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad
yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek
sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan
terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia
merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya
lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini
lebih kuat daripada biasa. Hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi
perutnya yang terasa olehnya, kelemahan yang wajar. Karena khawatir kalau-kalau
kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka
mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi
kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia
membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia
memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan
dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya
akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung
kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak
cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu,
kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!
Bu Sin bangkit berdiri dengan
kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini
kembali menimpa batu yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana
adanya kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat
semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan
menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan
permainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya,
kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia
tahan bersamadhi di bawah air terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa
hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam bersamadhi sambil
mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu
itu.
Tak perlu bersusah payah mencari
kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek
itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia
berada. Harus ia selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah
mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di
depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang
hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!
Tak lama kemudian, dengan hati
lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya
menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan
berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut
yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia
makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik
kesakitan seorang manusia. Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum
sempat digigit ia buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara.
Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin
kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh orangnya
sendiri. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang
pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat
dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya
atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek
tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun
pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau.
Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut
harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau
sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si
pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.
Bu Sin melompat dekat, tangannya
diayun dan.... “krakkk!” tubuh harimau terguling, kepalanya pecah. Laki-laki
itu merangkak keluar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu
Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia
berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk
di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri
berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang.
“Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe....”
Si pemburu yang sudah bangkit
duduk, makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh
pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang
sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda
penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih
kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu
hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru sadar akan
terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh
dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bangkit dan menghampiri. Tidak hebat
luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar
terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di
pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu
yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk, pandang
matanya bertemu dengan bangkai harimau, bergidik dan menoleh memandang Bu Sin,
matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin
tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
“Tidak ada bahaya lagi, sahabat.
Tenanglah, harimau itu sudah mati.”
“Kau.... kau.... manusiakah
kau....?”
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum
dan mengangguk-angguk. “Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut
masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku
lewat dan sempat membantumu.” kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa
orang ini kagum kepadanya.
Pemburu itu segera menjatuhkan
diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun.
“Tak perlu segala kekosongan
ini!” katanya. “Marilah kita bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama
mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada
di daerah mana? Aku.... aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk.”
Orang itu kelihatan tertegun.
“Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri
pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa
terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih
jauh, dua hari perjalanan!”
Kaget hati Bu Sin ia sudah
berada di dekat Kota Raja Nan-cao di selatan? Hebat! Kiranya iblis betina itu
membawanya ke Nan-cao! Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan
kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata.
“Betul, aku hendak ke Nan-cao.
Masih dua hari perjalanan? Tolong kautunjukan jalannya agar aku tidak sesat
lagi.” Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan
sungai di atas tanah.
“Terima kasih, sekarang juga aku
akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Taihiap. Kau telah
menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang
pemburu, Lai Teng nama saya, dan....” akan tetapi ia tidak melanjutkan
kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja
sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai
bayangan Bu Sin lenyap diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang
sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda
daripada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia
tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari
cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah
pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu
siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan
cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia
di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa ia sadari ia telah
memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan
indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada
batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan
bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari
depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah
sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap.
Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling,
menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang
diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang
lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman,
apalagi orang ke tiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar.
Orang ke dua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang
menyolok adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
“Ha di sinilah tempatnya. Pangcu
(Ketua) berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh,
memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga!” kata orang bermata juling
sambil menurunkan karung hitam dari punggung, meletakkahnya di atas tanah.
Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung
diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah
berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong karung peluhnya membasahi leher dan
mukanya.
“Loheng (Kakak), tak enak
menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka
saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan
semangat, heh-heh!” kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara
mereka.
“Sam-te, jangan main-main kau!”
cela si kepala besar, “Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si
cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah
kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?”
“Wah, Suheng (Kakak
Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya? Dia
hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling
orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa
oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah.... berabe, baru tiga hari dia
bunuh diri!” kata lagi si bopeng.
“Ha-ha, agaknya takut melihat
bopengmu!” kata si juling.
“Loheng, kau sendiri apa mengira
dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet....!”
“Tapi tidak bolong-bolong
seperti kulit mukamu yang dimakan rayap....!”
“Sttt, sudahlah!” tegur si
kepala besar. “Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan
saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biarpun aku
sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa
bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu
kongcu mampu menawannya.”
“Takut apa, Loheng? Biarpun dia
lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak
hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di
kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang
tanggung,” Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali
pengikat mulut karung. “Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau
ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari
Kongcu!” Kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya, ketika mendengar
ucapan terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju.
Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya? Bu Sin yang sudah
dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh
seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua
matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang
tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian
menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang
halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki
celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi
keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya
tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
“Coba lihat, alangkah manisnya!”
kata si juling.
“Hebat, memang patut menjadi
puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.
“Suheng, suheng...., a.... aku....
kan boleh ya aku.... menciumnya satu kali saja?” kata si bopeng, berkali-kali
menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik
itu.
“Sam-te, jangan gila kau!” seru
si kepala besar.
Si juling tertawa menyeringai.
“Mencium sih tidak ada halangannya, biarpun kita bertiga melakukannya juga.
Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?”
Bu Sin tak dapat menahan
kemarahannya lagi. Ia melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil
membentak. “Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis, benar-benar
sudah bosan hidup!”
Tiga orang itu kaget sekali dan
dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling
kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia
roboh dan bergulingan, ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin
juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk. Akan
tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin
dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah
menyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
“Bocah jahanam, siapakah kau
berani main gila di depan Tiat-kak-cao (Ular Tanduk Besi)?” seru si kepala besar
yang mempunyai “tanduk” daging di jidatnya.
“Tak perlu tahu aku siapa, lekas
kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!”
bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.
Si kepala besar yang berjuluk
Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka
bopeng. “Sam-te, kaumasukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita
memberi hajaran kepada bocah lancang ini.” Setelah berkata demikian ia sendiri
lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter
menerjang Bu Sin yang segera mengelak.
Si muka bopeng yang sudah
mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mendengar perintah ini, mengayunkan
goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri
tubuh gadis yang masih pingsan, “Heh-heh.... pipimu begini halus....!” Ia pikir
tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik,
maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi
ciuman kurang ajar.
“Plakk! Ngekkk....!” Si muka
bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan
melompat ke samping. Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah
menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang
roboh kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada
leher merusak alat suaranya!
“Siluman betina, berani kau
memukuli temanku?” teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang
pedang, langsung ia menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis. Dengan gerakan
masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia
didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini
masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari
kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat
mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit
duduk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil
mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!
Sementara itu, Bu Sin yang
bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah
sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala
dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu
tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun,
dengan ilmunya yang baru, ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya
sedemikian rupa sehingga sekaligus gin-kangnya juga mengalami kemajuan pesat
dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya. Dengan gesit bagaikan seekor
burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang
sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan
sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian
tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin
menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas,
sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan,
kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.
Melihat datangnya pukulan yang
amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan
belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan
ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat
Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu
Sin sudah mencengkeram tongkat lawan. Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga
membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju
setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi
Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk
melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan
Bu Sin!
Akan tetapi pada saat itu tampak
bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat
dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main, sedetik
mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia
menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya. “Dukkk!” pemuda ini
melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur,
tangannya pedas dan panas sekali, sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan
darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekagetannya
bertambag ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya
mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!
Gadis jelita itu masih terdesak
hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.
“Bocah tiada guna, minggir!”
tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing
ditendang saja, kemudian gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat
melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan
dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini
adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih
pening ini pun seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar
biasa.
“Huh, kalian ini tiga orang
gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!” kata
It-gan Kai-ong. Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat
mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu
mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sekti ini berjalan
dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di
depan sebuah kuburan kuno. Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan....
tiba-tiba batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan,
diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama
kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan
kelihatan ngeri. Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah
tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi
kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini
merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin dan gadis itu merasa
terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya
menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka
akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima
meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat
perlakukan yang lebih halus diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di
pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan
panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.
“Kalian jaga baik-baik di luar,
jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali
tidak boleh diganggu. Tahu?” Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan
kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.
Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu
Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia
rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari
dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba,
akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa
panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila
dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata
dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian.
Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Gerakannya terdengar oleh gadis
itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis
dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, “Terima kasih atas
pertolonganmu....”
“Ah, tak perlu dibicarakan,
Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah
bagaimana agar dapat membebaskan diri.”
“Yang kunilai bukanlah hasilnya,
melainkan sifat daripada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya,
berhasil maupun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku
mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini seorang tamu dari
golongan mana?”
Bu Sin tidak menjawab karena dia
sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak,
seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.
“Eh, bagaimana ini? Harap kau
jawab pertanyaanku.”
“Ehhhhh.... ap.... apa....?” Bu
Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang
linglung.
Gadis itu tersenyum lebar.
Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau
menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang
bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin
menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.
“Kau pelamun benar. Aku bertanya,
siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari
golongan terhormat yang mana?”
“Oh.... aku.... namaku Kam Bu
Sin, aku.... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku.... aku masuk
ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan
golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman
seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan....”
Bu Sin berhenti bicara karena
melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang
terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik
hati Bu Sin.
“Kau.... namamu Kam Bu Sin?
Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”
Kini giliran Bu Sin yang
melengak kaget dan heran. “Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan
mendiang Ayah?”
Gadis itu tersenyum lagi dan
kini wajahnya berubah girang. “Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain!
Kita masih ada hubungan.... eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau
masih terhitung.... keponakanku!” Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu,
mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah
tertikam panah asmara yang berbisa!
“Ah, tidak mungkin!” Tanpa
disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa
mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana mungkin
kau menjadi.... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh
tahun?”
“Sembilan belas!” Dara itu
menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat
membuatnya menjadi tua.
“Nah, sembilan betas malah! Aku
yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?”
Dara itu tertawa kecil sambil
menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran
dan bersitegang, dari pemuda itu. “Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan
bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku
itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah,
kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini
juga keponakanku dan aku bibimu?”
Pening kepala Bu Sin mendengar
penjelasan yang tidak jelas itu. “Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah
keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau....” Tiba-tiba wajah Bu Sin
berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu
Song?”
Nona itu mengangguk-angguk
sambil tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan dia?”
Dapat dibayangkan betapa kaget,
heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan
lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah,
di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia
sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan
terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua
orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu.
Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju,
memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata
penuh gairah.
“Di mana dia? Di mana kakakku
itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”
Mula-mula gadis itu mengerutkan
alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama
di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum
dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda.
“Kau perintah siapa? Mohon
kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”
Mendengar ini Bu Sin sadar dan
cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia
cepat-cepat memberi hormat. “Maaf.... maklumlah, selamanya aku belum pernah
bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman
adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.... aku
mengharapkan dapat bertemu dengannya.”
“Sebut dulu bibi, dia itu
keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga.”
Bu Sin maklum bahwa gadis ini
tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah. “Nona,
kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi
karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka
tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau
adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu pun memandang, dua
pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung
berdebar tidak karuan, “Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko.”
Bu Sin tertawa. “Adikku yang
manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali
belum mengetahui namamu.”
“Aku she Liu, namaku Hwee.
Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”
“Ah, benar-benar aku lancang dan
kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya
Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan....”
“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin
koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi
nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat
denganku?”
“Ti.... tidak begitu, tapi
kau....”
“Sudahlah. Mari kita duduk dan
bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel itu cukup menghormat
kita sehingga di sini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.” Keduanya
duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat
lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua
Bengkauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai
keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik
dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.
“Hwee-moi, aku mendengar bahwa
Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah
berada di sini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di
mana?”
“Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah
namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama
sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan
orang! Ketahuliah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah
teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,”
“Tapi, bagaimana It-gan
Kai-ong....”
“Sabar dan dengarlah
penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam
perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap di antara para tamu
untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh
yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku....”
“Kaumaksudkan Kakak Bu
Song....?”
Liu Hwee mengangguk. “Aku dan
dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi
tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih
tepat kecuali dia....”
“Wah, dia hadir juga dan dia....
dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”
Liu Hwee membelalakkan matanya
lalu tertawa merdu. “Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu
saja tidak! Maksudku.... aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan
penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”
“Hal apakah yang terjadi dalam
pesta perayaan itu?”
“Hal-hal yang memanaskan hati
dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu,
banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari
kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti
penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari
kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa
isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja,
sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga!”
“Wah, alangkah menghinanya
Kaisar Sung!”
“Bukan demikian. Isi peti itu
memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali.
Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya
yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan
antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”
“Hemmm, dan para tamu tahu akan
hal itu?”
“Tidak. Memang Ayah menghendaki
supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk
menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang
hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou
Sin-ni...., eh kau kenapa?”
Tentu saja Liu Hwee kaget
melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi
pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat
marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat
mengendalikan perasaannya.
“Tidak apa-apa, hanya aku
mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali....”
“Memang jahat seperti iblis,
maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan.
Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo
secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka
berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang
pun boleh dipercaya, tapi....”
“Bagaimana dengan tokoh ke enam?
Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia
hadir pula?”
Lim Hwee termenung sejenak.
“Tentang dia.... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidek
mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima
tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di
antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou
Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan,
sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan
Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya,
tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung.
Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, di sana hadir
pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun
Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula. Kami
curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan
untuk berlumba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena
kabarnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek
Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”
“Ah, tidak.... tidak, aku
tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku
mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi
yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”
“Wah, Koko! Kau ini apakah
hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri.
“.... hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas.... apakah tidak gila
ini....?”
“Hwee-moi, apa maksudmu? Aku
tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia
akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir
dan....”
“Sin-koko, benar-benarkah kau
tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada
ini....”
“Maksudmu?”
“Keponakanku itu, kakak tirimu
Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas....!”
Bu Sin melompat dari tempat
duduknya, matanya terbelalak lebar, keheranan memenuhi dada dan kepalanya. “Kau
bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu kakak kami sendiri....? Wah,
pantas, pantas.... dia selalu menolong kami! Ah, memang patut ditampar
kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok. Ha-ha-ha-ha!” Bu Sin
tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya sendiri. “Ha-ha-ha,
benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar! Wah, kakakku demikian
gagah perkasa.... ah, alangkah akan girangnya hati Ayah kalau mengetahul hal
itu.... sayang, Ayah.... takkan pernah tahu....” Dengan kepalan tangannya,
pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air mata dari pelupuk
matanya.
Sadar akan keadaannya yang tidak
sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil tersenyum malu. “Maaf
Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah sekali. Kau harus tahu, selama
hidupku, belum pernah aku bertemu dengan kakakku itu, dan yang lebih hebat
lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah menyangka bahwa Suling Emas
adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak mencari Kakak Bu Song dan
mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa tahu dan
siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah kakak
sulung kami!”
Liu Hwee menarik napas paniang.
“Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas semenjak kecilnya
telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang membingungkan. Bahkan aku
sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu
Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang tahu, hanya dapat menduga-duga,
namun tak pernah aku atau Ayah dapat menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali
enci misanku itu, juga puteranya aneh.”
“Pertemuanku denganmu
benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena rahasia kakakku telah dapat
kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan dapat
berlangsung terus. Bagaimana aku akan dapat bertemu dengan kakakku itu kalau
sekarang kita berada dalam tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan keluar?
Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak berhasil menyelamatkanmu, malah aku
sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai
dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan
pingsan?”
“Belum kuceritakan hal itu
kepadamu. Tadi telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan
penyelidikan. Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki
para tamu yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku menyelidiki ke
tempat para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat
pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang
pengemis yang mengempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri. Aku
tertarik sekali, mengira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan. Karena mereka
berada di negeriku, aku harus mencegah orang berbuat kejahatan, maka aku lalu
mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba dua orang itu
melepaskan orang-orang yang dikempitnya dan.... ternyata dua orang yang
dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga berpakaian pengemis dan tertawa-tawa,
lalu empat orang itu mengeroyokku! Mereka tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan mereka tidak
ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud menculikku.
Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka
bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku
sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi
seorang, muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan
tetapi dia bukan tandinganku. Terlampau kuat, akhirnya aku roboh pingsan dan
selanjutnya kau menolongku.”
“Agaknya mereka itu memang
hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?”
“Mungkin karena kecurigaanku,
atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong hendak mempergunakan aku sebagai
jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin berani menggangguku, karena sekali dia
berani membunuhku, dia akan berhadapan dengan Ayah dan seluruh warga
Beng-kauw. Kalau terjadi demikian, biar di dunia ini ada seratus It-gan
Kai-ong, mereka akan dibasmi semua!”
“Atau dia mempunyai rencana yang
amat jahat! Ah, Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat
bantuan Kakak Bu Song....” Bu Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan tetapi
segera ia mendapat kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan
ini tertutup semua oleh dinding batu karang yang amat kuat, adapun pintu
satu-satunya adalah pintu terbuat daripada besi yang agaknya dipalang dari luar
sehingga tak mungkin dibuka dari sebelah dalam.
“Sin-koko, tak usah dicari jalan
keluar, tempat ini memang dahulu dipergunakan untuk tempat tahanan tawanan
penting, dan rahasia. Hanya ada satu cara....”
“Bagaimana caranya? Adik Liu
Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar dari sini!”
“Kita makan dan minum dulu
sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu memulihkan tenaga untuk menghadapi
terjangan keluar.” Gadis itu lalu meraih panci dan memilih roti, menawarkannya
kepada Bu Sin yang ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu
Hwee menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis itu berkata kemudian.
“Tak usah khawatir, roti dan
arak serta air ini tidak beracun.”
Bu Sin tersenyum dan ia pun
segera makan roti itu, karena selama ini ia hanya makan buah-buah saja maka
roti sederhana itu terasa enak sekali, “Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa
makanan dan minuman ini tidak beracun?”
“Mudah saja. Kalau lawan hendak
membunuh kita, apa sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada
makanan atau minuman yang belum tentu kita sentuh?”
Bu Sin mengangguk-angguk dan
diam-diam ia memuji kecerdikan dan ketenangan dara muda itu. Setelah mereka
kenyang mengisi perut, Bu Sin yang sudah tidak sabar bertanya.
“Bagaimana caranya supaya kita
dapat keluar dari neraka ini?”
Liu Hwee tersenyum. “Neraka? Aku
sama sekali tidak merasa berada di dalam neraka, Sin-ko. Senang malah di sini
seperti ini.”
Tiba-tiba jantung Bu Sin
berdegupan keras. Gadis jelita ini senang berada di situ bersama dia? Tentu
karena ada dia, masa kalau sendiri merasa senang di tempat seperti itu? Tak
mungkin.
“Adikku yang baik. Aku pun
merasa senang sekali karena ada engkau bersamaku di sini, akan tetapi alangkah
akan lebih menyenangkan sekali kalau kita berada di luar tempat tahanan.”
Liu Bwee mengangkat muka
memandang tajam. Kembali mereka saling berpandangan dan biarpun mulut mereka
tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa sinar mata
tampak nyata dan terasa oleh kedua fihak sehingga kembali kulit pipi menjadi
merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang mata yang saling
peluk.
“Ruangan ini tidak mempunyai
jalan keluar lain kecuali pintu itu. Pintu terkunci dan di luar pintu tentu
dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan Kai-ong di
situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari ruangan ini, aku
mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini yang belum tentu dikenal
pula oleh mereka.”
“Kalau begitu, bagaimana kita
bisa keluar dari ruangan ini?”
“Kauseranglah aku dan kita
bertempur mati-matian, saling serang, akan tetap jangan ragu-ragu untuk memukul
dan merobohkan aku....”
“Apa kaubilang? Mana bisa....
apa artinya itu, Moi-moi?”
Melihat kebingungan pemuda itu,
Liu Hwee merasa geli, juga besar hati karena pemuda yang telah membetot rasa
kasihnya ini tentu saja bingung dan menolak untuk memukulnya roboh! “Hanya ada
satu cara untuk memancing mereka membuka pintu ini, Koko. Kau tadi dengar
sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka tidak mengganggu aku, ini
hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki aku mengalami malapetaka
atau terganggu di sini karena dia tidak berani menghadapi kemarahan Ayah dan
Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur, tentu mereka merasa khawatir
kalau-kalau aku sampai celaka, apalagi kalau mereka membuka pintu melihat kau
memukul aku sampai roboh, tentu mereka menyerbu masuk untuk menghalangi
maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat itulah kita pergunakan untuk
menerjang keluar. Mengertikah engkau?”
Bu Sin mengangguk-angguk, tapi
alis nya berkerut. “Tapi.... Moi-moi, aku hanya
akan memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana
bisa aku memukulmu sungguh-sungguh?”
Kembali Liu Hwee tersenyum
senang. “Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau orang-orang bodoh yang
mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah ahli-ahli sitat yang akan
dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah sungguh-sungguh, biar
keras asal jangan kaupergunakan lwee-kang. Percayalah, hanya dengan cara itu
usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi
lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kaudesak aku dan aku
mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan.... kaupukullah punggung kanan ini
sampai aku terjungkal....”
Sambil berkata demikian Liu Hwee
memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biarpun
hatinya merasa tidak enak sekali. Setelah mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu
Hwee, sepasang orang muda ini mulai berteriak-teriak, membuat gaduh dengan
menyambitkan pecahan batu pada pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya
mereka membuat suara gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka
melakukan hal ini dan beberapa kali mereka menendang daun pintu.
Akhirnya daun pintu bergerak
perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan sekarang keduanya
bertempur sungguh-sungguh! Begitu bertanding, kagetlah Bu Sin karena dara
jelita itu benar-benar hebat kepandaiannya. Pertemuan lengan membuat tubuhnya
kesemutan, dan gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya.
Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, ia bukan lawan gadis
perkasa ini.
“Jahanam, berani kau mengganggu
puteri Beng-kauwcu?” Liu Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangannya.
“Nona manis, kalau tidak mau
menyerah kepadaku lebih baik kau mampus!” teriak Bu Sin dengan kata-kata
dibuat kurang ajar.
Daun pintu terbuka makin lebar
dan kini tampak muka yang bopeng mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka
pengemis bopeng tadi. Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga,
maka si bopeng tidak segera membuka pintu melainkan mengintai ke dalam.
Melihat itu, Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang berbahaya,
sambil mengerahkan sin-kang yang ia pelajari dari kakek sakti. Ayunan tangannya
mendatangkan siutan angin. Liu Hwee mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke
belakang sambil miringkan tubuh dan terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk
batu. Saat itu dipergunakan oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan
kirinya dengan tepat menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul
dengan keras akan tetapi menyimpan tenaga lwee-kang, hanya mempergunakan
gwa-kang atau tenaga kasar, yaitu tenaga gerakan otot.
“Bukkkkk....!” Kepalannya
mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa ditusuk.
“Aduhhhh....!” Liu Hwee
mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke belakang, menumbuk dinding batu dan
terjungkal roboh. Bu Sin sampai menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang
hanya dilakukan dengan kasar itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu
hebat? Ia lupa akan permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia
meloncat ke dekat Liu Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu,
merangkulnya untuk memeriksa keadaannya.
“Setan kurang ajar, kau sudah
bosan hidup!” teriak si muka bopeng yang sekarang membuka daun pintu dan
menerjang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala besar. Mereka bertiga
menerjang Bu Sin dengan senjata mereka. Akan tetapi Bu Sin sudah siap, cepat ia
mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan bagaikan kilat menyambar kakinya
sudah melayang, tepat memasuki rongga perut si juling.
“Ngekkk!” Demikian si juling
mengeluarkan suara tertahan, napasnya terengah-engah, matanya yang juling itu
berputaran sebelum ia roboh pingsan.
Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan
tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang lawan lagi
menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu
cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga
Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan! Bu Sin
terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya
mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang
yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok,
akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.
“Blukkk! Aduhhhh....!” Tiba-tiba
Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap dan ia
berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu
yang dilontarkan oleh Liu Hwee!
Dalam keadaan kaget dan
khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan
pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak
kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.
“Cepat, ikut aku!” Liu Hwee
berbisik. Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang
hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui
lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.
“Ssttt, di depan pintu lorong
penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”
“Kita terjang saja, membuka jalan
darah!” kata Bu Sin gagah.
“Sia-sia, apalagi mungkin It-gan
Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan rahasia. Mari....!” Gadis itu menyambar
tangan kiri Bu Sin ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang
sempit lagi gelap. Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak
tangan yang berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan
kecil itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka. Kembali
Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, melepaskan tangannya dan
berbisik.
“Sin-ko, kaupegang batu yang
kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal
di belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kauraba
karena agak gelap.”
“Ah, inikah? Sudah siap,
Moi-moi.”
Liu Hwee memasukkan lengannya
yang kecil ke sebuah lubang yang terdapat dalam celah antara dua batu,
mengerahkan tenaganya dan begitu ia menekan, terdengar suara berkeretakan di
sebelah sana di balik dinding batu, “Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke
kiri, Koko!”
Mereka menarik, seorang ke kiri,
seorang lagi ke kanan. Setelah mengerahkan sin-kang, barulah kedua batu itu
bergerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu!
“Cukup, lekas masuk!” Liu Hwee
berbisik sambil menarik tangan Bu Sin. Pintu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin
dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong alat rahasia
dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia.
Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak
gelap seperti tadi karena ada cabaya masuk ke dalamnya.
“Selamat!” bisik Liu Hwee sambil
tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.”
Muka Bu Sin menjadi merah. “Ah,
jangan mengejek, Moi-moi. Justeru aku tadi telah membuka rahasia kita karena
lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul
terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu....”
Wajah gadis itu berseri-seri.
“Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu tepat sekali.
Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau betul-betul
hendak.... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak
bersandiwara.... ah, kau baik sekali, Koko.”
“Sudahlah Moi-moi,
pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang
bagaimana kita dapat keluar?”
“Mari ikut aku. Pesanku, kalau
kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara,
biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena sekali kau salah
bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa
untuk menolongmu.”
Bu Sin kaget dan
mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan,
dan tempat yang serem seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang
menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apalagi setelah ia merasakan
kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang
menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin gelap dan
akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan tangan Liu Hwee,
Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya.
Tiba-tiba tercium bau yang amat
harum dan Liu Hwee menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu
Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera
ingat akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan
mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah!
***
“Cici yang mulia, adikmu lancang
mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan Suara aneh.
Hening sejenak, bau harum makin
keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap. “Siauw-moi, apa Ayahmu juga
melarang kau main-main dengan pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?”
Bu Sin diam-diam bergidik. Bau
harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu!
Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apalagi
kata-katanya begitu tak tahu malu!
“Tidak, Cici. Dia ini seorang
tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah.
Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan
lancang lewat di sini.”
“Hemmm, kau tahu siapapun dia
yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa
mengampuni, tapi dia ini!”
“Ampunkan dia, Cici. Bukan
kehendaknya lewat di sini, melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah
menolongku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita
tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia menolong
nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau
membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici.”
Terdengat suara ketawa lembut,
tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau
berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar
dengan Siang-mou Sin-ni!
“Aku tidak bisa melihatnya
jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan
sebelum memeriksa dia orang apa!” Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau
harum menyengat hidung. Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi
dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya
disentuh orang yang tidak tampak! Hatinya lega bukan main ketika tangan yang
meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar suara yang tadi.
“Tampan dan muda, juga gagah.
Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”
“Cici....!” Liu Hwee memprotes.
“Cerewet! Aku tidak buta, aku
tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak patut menjadi mantu
Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak ketua partai
persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?”
Bukan main mendongkolnya hati Bu
Sin. Ia merasa bahwa siapapun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya
keterlaluan dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya
untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa
betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan erat.
“Dia orang biasa saja, Cici.”
“Hemmm, adikku mencinta
laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”
“Cici yang mulia, cinta tidak
mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat maupun tingkat, tidak mengenal kaya
miskin, bahkan ada kalanya tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah
mengalaminya, mana ada aturan melarang orang lain?”
“Sudah, sudah....! Kau cerewet
seperti Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet!
Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus
di kepalanya!”
“Terima kasih, Cici, selamat
tinggal,” kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah
menyeret pemuda itu pergi dari situ, melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan
suara. Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari
sebuah gua yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil!
Setelah melompat keluar, barulah
Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan.... ia menjatuhkan diri ke atas rumput
sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan
pundaknya bergoyang-goyang!
Kagetlah Bu Sin. Cepat ia
berlutut di dekat Liu Hwee, “Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?”
Dengan megap-megap gadis itu
berkata di antara sedu-sedan, “Aku malu.... aku malu setengah mati....”
Perlahan Bu Sin bangkit berdiri.
“Memang kurang ajar dia! Menghinamu sesuka hatinya. Biar kuhajar dia,
Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat memasuki gua itu.
“Sin-koko, jangan....!” Liu Hwee
kaget, berteriak dan melompat bangun.
Akan tetapi ia terlambat
mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang keluar dari
dalam gua. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya
yang kini sudah patah menjadi tiga potong!
“Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu
bernyali juga. Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus sekali, sekejap tecium bau
harum akan tetapi segera lenyap lagi.
“Sin-ko....” Liu Hwee berlutut
dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan, “Cici! Kalau kau bunuh dia,
aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada
jawaban kecuali rintihan Bu Sin. Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan
Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat,
hanya pingsan karena terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu
Hwee merangkulnya, pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.
“Waaahhhhh.... bukan main....
aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia mendorong aku
terlempar melayang keluar gua dan tidak ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa
dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici....” tiba-tiba Bu Sin
berhenti bicara dan mukanya pucat. “Dia kausebut Cici.... kalau begitu.... dia
itu....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara
banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.
“Betul. Sin-koko, dia adalah
Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”
“Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun
Cilik).... ibu tiriku....”
“Sssttttt, sudahlah. Aku pesan
padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kauceritakan kepada siapapun
juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi.
Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di sana!”
***
Memang banyak hal luar biasa
terjadi di Kota Raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama tiga hari itu
ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta perayaan Beng-kauw
itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.
Apalagi dengan munculnya bahaya
baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah
berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati
perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di
samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke
Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di
Nan-cao!
Telah dituturkan di bagian depan
betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan
Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo dan dara cerdik
itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh
empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi. Hari sudah mulai gelap
ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak
Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali tempat ini dapat
dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu.
Pada saat itu, Suma Boan sedang
berada di dalam kamar pondoknya. Pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai
seorang putera pangeran, apalagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda
ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk dirinya
sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu
oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepadanya
di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang
ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai
sekarang, semua rencananya berjalan dengan baik.
Biarpun ia seorang pemuda
bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan
tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah
karena biarpun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang
sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh
kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan
pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri,
sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya.
Ia mempunyai banyak pembantu dan
kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan
tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
“Tok-tok-tok....!”
“Siapa....?” tanya Suma Boan,
terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu
depan seperti itu.
“Suma-kongcu, aku datang mau
bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.
Suma-kongcu adalah seorang
pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita
yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta
menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun seorang
yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak
terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.
“Siapa di luar? Aku tidak bisa
menemui orang yang tidak kukenal,” jawabnya dan diam-diam ia telah menyiapkan
diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Suma-kongcu, aku.... Lin Lin,
aku datang membawa pesan enciku Sian Eng!” Dari encinya, Lin Lin mendengar
bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang
Lin Lin menggunakan nama encinya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih
baik dengan kongcu ini daripada dia.
Benar saja dugaan Lin Lin,
mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apalagi ia
sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biarpun yang sudah-sudah gadis
ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu.
Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir
kesunyianku malam ini, pikirnya sambil tersenyunn, lalu membuka pintu. Benar
saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok, biarpun keadaan remang-remang
Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu
tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang
buntung kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi
kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.
“Silakan masuk, Nona,” katanya,
menahan rasa kecewanya.
Lin Lin tersenyum dan menoleh
kepada Pak-sin-tung. “Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”
“Maaf, Nona.” kata Suma Boan
cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”
“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin
Lin bangga.
“Ah, aku hanya mengundang Nona,
bukan dia. Eh, aku.... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”
Lin Lin sudah timbul marahnya,
akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin
melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia
berkata, “Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, di mana adanya
Kakak Kam Bu Song seperti yang kaujanjikan kepada Enci Sian Eng?”
Dengan pandang mata yang penuh
gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan
tersenyum-senyum lalu bertanya, “Siapa yang mengutusmu ke sini?”
“Enci Sian Eng.”
Suma Boan mempermainkan matanya,
melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup maklum betapa Sian Eng
jatuh hati kepadanya, biarpun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak
sudi melayani kehendaknya yang tidak patut. “Kalau dia ingin bertanya, kenapa
tidak datang sendiri? Suruh ia datahg sendiri ke sini baru aku mau bicara.”
“Dia tidak mau datang, dia
menyuruh aku mewakilinya.” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.
Senyum Suma Boan melebar,
matanya berkedip-kedip penuh arti. “Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau
betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam di sini
semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili
encimu tidur di sini semalam bersamaku....?”
Suma Boan cepat melompat ke
belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang
ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan
kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah,
matanya bersinar-sinar.
“Wahai, jangan marah, Nona
manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu
sendiri, bukan?” Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini
sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya dengan hebat.
“Agaknya harus kurobek-robek
kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan
terus melanjutkan serangannya. Namun biarpun Lin Lin berpedang mustika dan
mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin,
namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga
latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biarpun ia bertangan kosong, namun
pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan angin pukulan yang kuat,
membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.
Pada saat itu tampak sinar hitam
yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam
mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan lengan
baju menangkis. “Plak-plak!” Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah!
Ketika ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang
menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma
Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek
ini pengawal Lin Lin. Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!
Pedang di tangan Lin Lin tidak
memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk melompat
keluar dari pondok dan memanggil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek
buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti
kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan keluar.
Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan
tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena
dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging
pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih
berhasil mengelak daripada sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung
tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi.
Lin Lin segera menodongkan
pedangnya ke depan dada Suma Boan. “Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu
Song, kalau kau mau hidup!”
Suma Boan tersenyum mengejek.
Keringat membasahi dahinya, darah di pundaknya membasahi bajunya, akan tetapi
ia tidak kelihatan gentar. “Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenangkan.
Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman
maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau
encimu sendiri datang ke sini.”
Bukan main gemasnya hati Lin
Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apalagi bicaranya begitu kurang
ajar. “Kalau begitu kau mampus saja....”
“Tok-tok-tok....!” Lin Lin kaget
dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap.
Suma Boan tersenyum lebar. Lucu
benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini? “Siapa di luar?”
tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang datang mengetuk
pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.
“Aku....! Suma-kongcu, keluarlah
aku mau bicara....!”
Berubah wajah Lin Lin. Itulah
suara Sian Eng, encinya! Cepat ia memberi tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek
buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah,
bersembunyi.
“Ha, kebetulan sekali, Eng-moi.
Kau masuklah, aku.... aku tak dapat bergerak....”
Hening sejenak di luar. Kemudian
terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu,
curiga, juga cemas. Ketika pandang matanya melayang ke arah Suma Boan yang
menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget.
Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.
“Suma.... Koko! Kau kenapakah?
Kau terluka.... parah....?”
Suma Boan tersenyum dan napasnya
makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih menahan sakit. “Aku
diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau bebaskan totokan pada jalan darah
thian-hu-hiat....”
Sian Eng membungkuk, lalu
membuka jalan darah itu dengan totokan dan tekanan. Akhirnya Suma Boan dapat
bergerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi
pundak kirinya yang terluka.
“Bagaimana? Sakit sekalikah?
Biar kuperiksa, harus segera dibalut....” kata Sian Eng yang timbul kasih dan
ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka.
Dengan bantuan Sian Eng, Suma
Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya mencari-cari
dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan kakek
buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia
merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci
luka dan membalutnya.
“Penjahat siapakah yang
melukaimu, Koko? Dan kenapa?”
“Tidak tahu, aku tidak
mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi.... tapi
kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Eng-moi? Apakah kau
tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon
maaf kepadamu....” Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut
di depan gadis itu! Sian Fng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan.
“Sudahlah, aku datang ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa
bertemu dengan Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika
tadi aku melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk
menanyakan hal ini....”
Suma Boan mengerutkan keningnya.
“Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini
kepadaku?”
Sian Eng menggeleng kepala.
“Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu ke mana perginya anak itu, sampai
sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku itu biarpun anak
perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani!”
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Aku percaya.... dia.... dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus terang
saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik perempuanku seperti
pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak.... semenjak ia menghilang,
aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras
bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih
mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang
Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya.”
Sian Eng mengangguk. “Aku pun
pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu Song
adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua
Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”
“Apa....?” Suma Boan melompat
kaget dari tempat duduknya. “Kalau begitu.... dia.... dia.... Suling Emas!
Sudah kuduga, ada persamaan.... tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri
lama-lama dan.... dan Bu Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian
sakti....!”
Sian Eng menjadi pucat mukanya.
Ia pun berdiri dan melongo. “Suling Emas....? Kakakku.... Kam Bu Song....
Suling Emas....?” bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia
tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika
Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan
maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling Emas selalu
menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.
“Suma-koko, bagaimana kau
menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”
Suma Boan dengan gerakan halus
dan sopan memegang tangan Sian Eng, ditariknya ke dekat meja. “Mari kita
duduk, adikku dan kita bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang.
Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku
melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk
tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song
seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling
Emas....! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera
dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal
dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah.... Suling Emas! Kalau begitu, tidak bisa
lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri!”
“Wah.... dan kami telah
menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”
“Memang dia orang aneh, bisa
melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita....”
Sian Eng mengangkat muka,
memandang tajam penuh selidik. “Bicara tentang diri kita? Apa yang hendak kau
bicarakan?” Kedua pipinya mendadak berubah merah.
Suma
Boan memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus,
Sian Eng tidak menarik lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.
“Moi-moi, kita saling
mencinta.... tapi aku.... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau marah
lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta kasihku, dan
bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”
Tubuh Sian Eng panas dingin,
tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata, “Aku adalah seorang gadis
terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak
mau dipermainkan, dan.... dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau
suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau
bisa utusan meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang
berada di lereng puncak Cin-ling-san.” Suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia
bicara dengan malu-malu.
Di luar pondok makin gelap, dan
dari luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar, bisik-bisik mesra sepasang
orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.
***
“Tuanku puteri, mengapa kita
harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak usah kita takut, kalau
perlu dia boleh hamba robohkan sekali!” Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin
mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar
munculnya Sian Eng. Akan tetapi ia menggelengkan kepala terus lari sehingga
terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin
Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.
“Tuanku puteri, belum pernah
hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu tidak lebih pandai
daripada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung
belang itu takut apa?”
“Diam kau!” Lin Lin membentak,
betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak
ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan,
hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan
kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada gadis itu,
aku.... aku.... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas!”
Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu.
“Tuan Puteri.... hal ini.... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng
Hek-giam-lo....”
Diam-diam Lin Lin tertawa di
dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja
hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk
mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu
dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan
orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia
pura-pura marah dan membanting kaki.
“Pak-sin-tung! Belum apa-apa kau
sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau kulaporkan
kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm.... ingin kulihat ke mana kau
hendak menyembunyikan kepalamu!”
Wajah kakek buntung itu menjadi
pucat. “Maaf, Tuan Puteri.... bukan maksud hamba membangkang....”
“Cukup! Kau takut kepada Suling
Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun
juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”
“Baiklah, Tuan Puteri,
baiklah....!” Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di
kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang
pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin
Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti
bayangan-bayangan setan di dalam gelap.
“Hamba telah siap,” kata Si
buntung.
“Mari kita mencarinya. Kulihat
tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan baik sekali, maka
malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk
persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”
Ruangan sembahyang itu amat
lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para
tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang
besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong maSih berada di dalam peti
mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri
ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya dimasukkan di dalam peti mati
yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya
supaya dimasukkan ke dalam kamar samadhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya
tidak boleh dikubur! Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu
Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani
membantah permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar
dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini,
tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati
itu disembahyangi secara besar-besaran.
Ketika mengintai dari jauh dan
melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua
Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali
ia kelihatan gelisah. “Dia di sana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu
kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu.”
Lin Lin merengut. “Ah, kalau
tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo....
eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil.
Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kautunggu saja
di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kaulihat dan
biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani daripada jago-jago Khitan!
Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan
mengangkatnya!”
“Tuan Puteri.... ini
berbahaya....!” Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut
Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.
Terpaksa Pak-sin-tung melangkah
mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis
itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu
lenyap di sebuah bagian yang kecil.
“Celaka.... dia memasuki bagian
terlarang.... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan
ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw....!” Pak-sin-tung berdiri dengan
muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya
bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan
tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia
akan membantunya sampai titik darah penghabisan!
Dengan hati tabah Lin Lin
menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap.
Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi
hio (dupa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas
lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang
melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati!
Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan
menangkap Suling Emas, walaupun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu
untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan.
Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri daripada
pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang sakti dari Khitan,
hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling
Emas duduk di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat,
pura-pura hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin
yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para
tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang
menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka
ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima
perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw. Seperti kita ketahui, secara
tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han
yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut
belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou
Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini.
Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu
kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.
Malam hari itu, tiga orang
panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan
pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah
serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan
yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou
Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat “terhormat”.
“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh
rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata
sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh
Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik,
takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati
Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata maupun kedudukan mulia.
Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan dapat
termakan api.” Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar
ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.
“Akan tetapi menurut Sin-ni,
Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw yang paling muda
diantara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil
jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang
tidak sewajarnya.”
“Ucapan Gak-enghiong memang
patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi hendaknya maklum bahwa
siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di
Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biarpun Sri Baginda yang menjadi raja di
sini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa
watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka
bersekutu dengan kerajaan manapun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga,
akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun.”
Gak Houw mengangguk-angguk dan
Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata. “Saudara Su Ban Ki
betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul
saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan
melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri
bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok
penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan
dengan mudah?”
“Sukar bagi orang luar, akan
tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku
Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah
saja baginya untuk....”
Tiba-tiba terdengar suara
“braaakkkk!” genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos
turun sebuah benda hitam besar. Mereka berempat kaget sekali, apalagi setelah
menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul meluncurnya benda hitam yang
ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas
meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti
mati ini diturunkan orang dari atas genteng.
“Keparat, siapa berani main
gila?” Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han
itu mencabut pedang sambil melompat keluar, terus melayang ke atas genteng.
Akan tetapi sunyi di atas genteng, tidak tampak bayangan seorang pun manusia.
Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar
dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun
sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan
mereka sendiri.
Ketiga orang jago Hou-han ini
kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri dengan muka
pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak.
Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan
telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi tidak dapat
mengeluarkan suara.
Tiga orang jago Hou-han itu
adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan
sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki
berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang
yang jiwanya pengecut seperti ini.
“Saudara Su Ban Ki, tenanglah
dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya
keren.
Su Ban Ki membasahi bibir dengan
lidah, mencoba menelan ludah yang kering. “Ini.... ini.... peti mati....
istana.... entah apa artinya....” Ia tergagap.
Gak Houw maju ke depan, membuka
tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka
tutup peti. “Kerrriittt!” Tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok
tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.
“Suheng....!” Su Ban Ki berseru
kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka.... suheng dibunuh.... tentu rahasia bocor
atau.... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari
keluar kota....” Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu
memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar
suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.
Tiga orang jagoan Hou-han cepat
melompat keluar dan di dalam gelap mereka masih sempat melihat Su Ban Ki roboh
terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan yang membuat tiga orang
ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak pergi,
kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang berloncatan. Saking kaget dan ngeri
hati, mereka tidak mengejar. Akan tetapi Lu Bin cepat meloncat ke dalam rumah
dan melihat bahwa peti mati yang tadi masih menggeletak di atas meja, terbuka
dan kosong. Dengan demikian, berarti bahwa peti mati di luar yang “hidup” itu
adalah peti mati lain, walaupun bentuk dan modelnya sama, yaitu di bagian
kepala terdapat ukir-ukiran kepala siluman seperti naga atau harimau.
Ia cepat melompat keluar lagi.
“Kejar....!” serunya sambil lari cepat diikuti kedua orang sutenya. Akan tetapi
dalam sekejap mata saja peti mati “hidup” itu sudah lenyap! Dengan penuh
keheranan dan penasaran, tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget
dan herannya hati mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak
melihat lagi mayat Su Ban Ki dan suhengnya.
Ketika mereka memasuki rumah, anak
buah mereka masih berdiri saling pandang dengan muka pucat, memandang peti
mati yang masih terbuka kosong di atas meja!
“Hemmm, apa artinya ini semua?”
Gak Houw berseru marah. “Orang sakti mempermainkan kita. Sayang tidak ada
Sin-ni, kalau ada jangan harap dia dapat bermain gila seperti ini!”
Lu Bin mengelus jenggotnya.
“BetapaPun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak mengganggu kita. Siapa
lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana kalau bukan orang sini
juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin dianggap sebagai
pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa pembunuhnya tentulah
orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak buah mereka menggeletak di
luar. Juga agaknya mereka itu hendak memperingatkan kita.” Memang Lu Bin
seorang yang berpemandangan luas dan sudah berpengalaman dalam dunia kang-ouw
yang serba aneh.
“Habis, bagaimana baiknya?” kata
Giam Song. “Apakah kita harus melaporkan hal ini kepada Sin-ni?”
“Tidak perlu,” kata Lu Bin.
“Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas kita hanya untuk menghubungi Nan-cao
dan untuk mengadakan persekutuan guna memperkuat pertahanan bersama. Soal-soal
yang busuk tadi datangnya dari fihak Nan-cao sendiri sebagai usul, bukan hasil
pemikiran kita. Dan inilah sebabnya kita tidak diganggu. Hebat benar orang
sakti itu, dan sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa kita tidak mempunyai
maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita kembalikan.”
“Kembalikan? Ke mana?” Gak Houw
berseru kaget.
Lu Bin tertawa. “Datangnya dari
atas genteng, tentu saja harus kita kembalikan ke atas genteng pula!” Sambil
berkata demikian, ia menghampiri meja, mengempit peti mati itu dengan lengan
kiri, membawanya keluar kemudian sekali menggerakkan tangan, peti mati itu
melayang naik ke atas genteng, jatuh di atas genteng tanpa membikin pecah
genteng dan terletak di situ seperti diletakkan perlahan-lahan oleh tangan yang
amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lwee-kang dari orang she Lu ini sudah
cukup kuat. Lu Bin lalu mengajak teman temannya masuk ke dalam pondok dan
memesan anak buahnya agar supaya iangan lengah, biarpun berada di dalam kamar
masing-masing agar supaya malam itu jangan tidur, melainkan berjaga-jaga.
Tidak hanya di tempat penginapan
orang-orang Hou-han yang terjadi peristiwa aneh. Juga di tempat lain terjadi
keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat kediaman para utusan
Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada waktu itu, rombongan
utusan Kerajaan Sung Utara sedang sarapan. Di kepala meja duduklah ketua
rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang panglima tua bernama Ouwyang Swan
yang pada saat itu mengenakan pakaian biasa. Ia semeja dengan tiga orang
panglima lain yang lebih muda. Tentu saja dalam percakapan mereka bicara
tentang peristiwa dalam perjamuan kemarin, dan membicarakan Gan-lopek dan Suma
Boan. Mereka tertawa-tawa geli. Sebagian besar panglima yang setia kepada
Kerajaan Sung, tidak senang belaka kepada Suma Boan, putera dari Pangeran Suma
yang korup.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh
di luar dan ketika mereka menengok, dengan heran mereka melihat seorang kakek
tua yang telanjang bulat memegangi sehelai kain berlari-lari ke arah mereka
sambil berteriak-teriak.
“Waduhhh.... walaaahhh....
ular.... hiiiii.... ular, ular....!”
Sambil berteriak-teriak dengan
mata terbelalak ketakutan, kakek itu berlari memasuki ruangan dan terus saja
meloncat ke atas meja di depan Panglima Ouwyang Swan, kakinya yang juga
telanjang itu menginjak-injak hidangan dan menendang cawan-cawan arak sehingga
hidangan dan minuman itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia terus
berloncat-loncatan dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan.
Tentu saja para panglima dan
rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah sekali. Apalagi ketika
mereka melihat seorang kakek lain yang muncul dengan seekor ular besar
membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukin lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang
di antara keenam Thian-te Liok-koai, kakek yang hanya bercawat saja dan
tubuhnya tinggi kurus kering seperti tiang lampu! Melihat munculnya iblis ini,
barulah panglima Ouwyang Swan teringat dan kini ia memandang kepada kakek
pendek telanjang bulat yang masih menari-nari di atas meja-meja,
menginjak-injak semua hidangan sambil berteriak “ular-ular!”. Kini ia mengenal kakek
telanjang itu, bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang sakti dan yang
sejak pagi tadi menjadi bahan percakapan mereka.
Kagetlah hati Ouwyang Swan.
Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam keadaan begitu aneh, benar-benar hal
yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak yang marah sekali, akan tetepi
sebagai anak buah yang taat, mereka belum berani bergerak sebelum mendapat
komando dari Ouwyang Swan sendiri.
“Tikus busuk she Gan, jangan
lari, hayo ke sini lawan aku!” suara kecil dan berbunyi ngik-ngik seperti orang
sakit napas itu menantang.
“Memang aku tikus, paling takut
melihat ular!” Empek Gan menggigil. “Tapi engkau bocah cacingan kurang ajar!
Engkau cacing busuk. Kalau mengajak berkelahi, pakailah aturan. Masa orang lagi
enak-enak mandi kau ganggu dan takut-takuti dengan ular? Aku paling jijik
melihat ular yang kotor!”
Orang-orang yang tadinya sarapan
kini sudah berdiri semua, ada yang menahan ketawa, ada yang memandang tegang.
Peristiwa itu tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek yang disohorkan sakti
terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari bertelanjang, akan tetapi
sebetulnya amatlah menengangkan karena kakek sakti ini kini berhadapan dengan
seorang di antara Enam Iblis.
“Orang she Gan, mari....
mari.... kita main-main sejenak....!” kembali Tok-sim Lo-tong menantang sambil
berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok.
Akan tetapi Empek Gan tidak
mempedulikan dia lagi. Entah dari mana dapatnya, tahu-tahu kakek ini sudah
mengeluarkan puluhan butir obat bundar sebesar kelingking. Kain yang tadi
dibawanya sudah ia libatkan menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa lebar ia
berkata.
“Kalian ini jagoan-jagoan dari
Kerajaan Sung mengapa begini goblok?”
Ouwyang Swan mengerutkan
alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya sudah terkenal, ilmu
kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula di Kota Raja Sung. Biarpun ia
maklum akan kesaktian Gan-lopek, namun ia merasa bahwa orang sakti ini
keterlaluan, sama sekali tidak memandang mata kepadanya.
“Gan-locianpwe, kami mengerti
bahwa kau adalah seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang bodoh saja,
akan tetapi tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di antara kita
tidak ada....”
“Aduhhh....!” Dua orang anak
buahnya terguling dan merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka memegangi perut
yang terasa amat sakit.
Ouwyang Swan kaget sekali,
mengira bahwa kakek sakti itu turun tangan jahat, akan tetapi tiba-tiba tiga
orang temannya yang menjadi pembantu-pembantunya juga mengerang kesakitan dan
menekan-nekan perut.
Empek Gan tertawa bergelak.
“Salahkah kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya sehingga tai busuk
dimakannya! Sekarang setelah keracunan, masih berlagak lagi! Nih, telanlah
seorang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang rakus, mau makan
sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku tidak bisa menolong
lagi!” Setelah melempar puluhan butir obat itu ke atas meja, ia berlari-lari
keluar.
“Eh, kau masih di sini? Tok-sim
Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan ular, ya? Lebih
baik kau main tari-tarian ular biar nanti kuberi hadiah!”
“Hadiah kepalamu!” Tok-sim
Lo-tong menerjang maju, ular itu telah ia pegang perutnya dan kini binatang ini
ia pergunakan sebagai senjata, menyambar ke arah kepala Gan-lopek.
“Hiiiii.... jijik aku....!”
Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatannya tidak mengelak hanya
menggerakkan pantat megal-megol, tapi serangan-serangan Tok-sim Lo-tong
mengenai tempat kosong melulu! Ketika iblis itu marah dan mendesak, Gan-lopek
sudah lari pergi sambil berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong juga lari
mengejar.
Adapun Ouwyang Swan cepat
membagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan obat itu karena tiba-tiba perutnya
juga terasa panas dan sakit. Ajaib. Begitu ditelan, rasa panas dan sakit lenyap
seketika. Anak buahnya juga mengalami hal serupa.
“Hemmm, ada yang menaruh racun
pada makanan kita....!” Ouwyang Swan berkata marah. “Heran sekali, apakah
pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni tamu-tamunya yang datang
memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai tanda persahabatan?”
“Tuan rumah memperlihatkan sikap
bermusuhan, tak perlu kita tinggal lebih lama di sini, Ouwyang-twako!” kata
panglima lainnya, Tan Hun, yang menjadi pembantunya.
“Memang, hendak kulaporkan hal
ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil berpamit.” Cepat Ouwyang Swan memasuki
kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi pada saat itu terdengar pekik
kesakitan di sebelah belakang rumah. Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan
melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ
berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana,
kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Kauw Bian
Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu!
“Maaf, Cu-wi enghiong dari
Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara pengkhianat dua
orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan
obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas
keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.
Panglima tua ini cepat balas
menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang
terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami Cinjin?”
Kakek Beng-kauw itu tersenyum
sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima),
yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan
penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi
percayalah, semua ketidakwajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya
dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk
memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah,
selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin
membunyikan cambuknya satu kali “tar!” maka muncullah dua orang anak buah
Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan
kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.
Ouwyang Seng dan anak buahnya
saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang
aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan
tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan
teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke
tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu
yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
***
Kita kembali mengikuti Lin Lin.
Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh empat orang
Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah mendatangi ruangan
sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu, bersama tokoh-tokoh
Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana terdapat sebuah peti mati
yang besar dan panjang, melihat pula betapa Beng-kauwcu masih memegang
tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin
Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil
merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka baginya
untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ,
maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan sembahyang
itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan serem.
Pak-sin-tung kaget sekali karena
kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian
terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang, apalagi orang luar,
bahkan para anggauta Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya.
Sekarang, Lin Lin masuk melalui pintu kecil!
Tadinya ia hanya bersembunyi
sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan
taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul,
kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan tempat
sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak mengeluarkan suara, ia
telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya ketika ia membaca
tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki
pintu itu.
Betapapun gagahnya Pak-sin-tung,
ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur lagi, tidak berani
masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi dan mengintai ke arah
ruangan yang masih sibuk.
Lin Lin memasuki lorong yang
amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus, meraba-raba dengan
kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa serem ketika lorong yang
panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin menyusup tulang,
seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu
dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa
di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap untuk
memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju
terus.
Tiba-tiba ia tersentak kaget.
Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula terdengar di
atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya
meremang, mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin mendekat,
terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia
melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan
terdengar suara, “Cuittttt!” keras.
Lin Lin meloncat ke atas,
semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia tahu bahwa suara
itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi kena injak tikus. Hampir ia pingsan.
Celaka baginya karena diantara segala benda dan mahluk di dunia ini, hanya
tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan dilawannya,
harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus! Menggigil ia dibuatnya. Saking
jijik dan takutnya, Lin Lin
memutar tubuh dan setengah berlari kembali. Akan tetapi anehnya sampai lama ia
tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah
jalan, tidak tahu bahwa lorong
itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah tersesat ke dalam liku-liku
jalan di bawah tanah.
Kegelisahan tercampur rasa ngeri
dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di jalan terowongan
gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat melihat cahaya
remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi,
pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan keluar. Benar saja, lorong itu
makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.
Tiba-tiba terdengar suara
mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil menyambarnya. Lin
Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat ketika pedangnya
membacok ke arah bayangan ini.
“Crakkk!” Lin Lin berdiri dengan
mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya adalah seekor ular
hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan menyerang. Kini
tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh
sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah maju dengan
hati-hati.
Setelah berjalan maju sejauh tiga
puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah ruangan besar dan cahaya
yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah cahaya matahari yang masuk
melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai
kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya
berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan
tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah, peti-peti mati itu
bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang yang
menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan hatinya.
Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah persediaan
bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget karena melihat
bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama benar dengan
peti mati yang berada di ruanyan sembahyang. “Ah, benda mati, hanya terbuat
daripada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati menenangkan ini Lin
Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan peti-peti mati itu, lalu
sibuk mencari jalan keluar. Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu!
Akan tetapi dari balik ruji jendela itu ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya
ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan melihat
peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat penyimpanan peti
mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang demikian, mengapa tidak ada
pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah untuk memasuki ruangan ini
orang harus melalui jalan terowongan yang berliku-liku, banyak cabang dan
rahasianya dan selain jauh, juga demikian gelapnya? Tak masuk akal!
Ia melangkah maju dan
menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.
“Kriiittttt....!”
Lin Lin menengok, bulu
tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah pintu karatan
dibuka, atau.... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu
tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus
besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah
kakinya.
Dengan hati berdebar-debar Lin
Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus! Ia menggerakkan kedua
pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan gelinya. Akan
tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya, tikus takut melihat manusia dan tentu
akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti mati
itu malah keluar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat dekat
kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga takut akan
sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!
“Ah, tidak ada setan di siang
hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia
melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.
Ia tersenyum. “Nah, tidak ada
apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?” katanya
perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas. Setelah kengeriannya
lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak memeriksa
terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas tutup peti
mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk menyatakan
bahwa peti mati itu memang kosong.
Peti mati itu terbuka tutupnya,
mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit
demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus
mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan....
Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai
punggungnya menyentuh dinding dingin, matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat,
tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara.
Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti, muka mayat yang pucat kurus
dan lebih hebat lagi.... tangan mayat yang hanya tulang terbungkus kulit itu
bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu bergerak dan hidup!
Dapat dibayangkan betapa kaget,
ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang,
tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti mati itu
meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan menjenguk keluar dan
lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.
Lin Lin menggerakkan tangan kanan
meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar lengking tinggi
mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin
menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain
mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.
“Kau.... kau....” Suaranya
tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian gadis ini menjadi
lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan
pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling,
ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.
***
Suara lengking itu berhenti,
peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas, kini sudah berada di
bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti mati terbuka makin
lebar oleh lengan yang kurus dan dengan gerakan perlahan mengerikan, “setan”
itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali
seperti tengkorak terbungkus kulit, kepalanya gundul, matanya tak pernah
berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti
orang menangis, tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di
sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak bergerak-gerak
itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut menjadi muka
mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan bahwa ia masih
hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!
Mayat hidup itu berjalan
perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis
itu, mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang setengah tertawa
setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia
mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang bertumpuk,
membuka tutup peti mati teratas lalu.... memasukkan tubuh Lin Lin ke dalam peti
mati itu dan menutupnya kembali! Setelah melakikan hal ini, ia kembali
mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya bergerak seperti orang
tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam peti matinya yang dapat
bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati. Dalam sekejap mata,
peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan
itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.
***
Di ruangan sembahyang telah
mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi penghormatan.
Mereka itu, seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti mati
besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja sembahyang. Bukankah
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw itu telah
meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti matinya masih
berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya tidak dikubur?
Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang pengunjung, akan
tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat mereka memasang
hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah ruangan. Asap
hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan, membawa bau harum.
Di sebelah kanan peti mati
berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan membalas dengan
sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah kiri peti
mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu pimpinan
Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan
adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh
kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi
Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya
duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan wajahnya
berseri-seri.
“Sungguh, Song-koko (Kakak
Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat! Setengah
mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya.
Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas adalah
kakak kami Kam Bu Song?”
Suling Emas menahan senyumnya
sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti itu.
Bagiku, aku adalah Suling Emas....”
Bu Sin mengeluarkan sebuah
gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biarpun kau sudah melupakan kami, sebaliknya
kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat kepadamu, berusaha susah payah
mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau meninggalkan pesan agar kami bertiga
mencarimu dan memberikan benda ini kepadamu. Twako apakah kau berani bilang
bahwa kau melupakan benda ini?” Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling
Emas.
Melihat benda ini, Suling Emas
berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia membaca dua buah huruf yang
berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil itu, ia meramkan matanya untuk
beberapa detik lamanya, agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak,
membayangkan ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat
betapa bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas
mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran bagaimana
benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.
“Bu Sin....” katanya kemudian,
perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau menyangka aku
melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biarpun harus kuakui
bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah
lagi. Juga.... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi.... Bu
Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian,
belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”
Pada saat itu, Stding Emas
tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang keluar ruangan. Bu
Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah mahluk
yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya terdengar parau dan
bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.
“Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun
mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum.” Ia
lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata
terbelalaknya.
Menyeramkan sekali iblis ini
bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya
adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup,
tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkoran yang menyeramkan.
“Hek-giam-lo, terima kasih atas
penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau datang mewakili
Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”
“Khitan tidak ada urusan maupun
permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan
Beng-kauw, apalagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan yang
cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati tiga tahun
yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di sini, apa salahnya
aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang sepuluh tahun yang
lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh mendiang Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan.
Beng-kauwcu Liu Mo tentu saja
cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis, dan aneh sekali. Akan tetapi
mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia terkejut dan
marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan kakinya
mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak
melakukan perbuatan yang lancang ini.
“Hek-giam-lo, mengingat akan
hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan
jangan mengganggunya.”
Akan tetapi secara tiba-tiba
sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan.... kedua tangannya memukul dengan
gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada
Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan
tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya
ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya daripada gangguan
Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya.
Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu
Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini, tentu akan kalah dia yang
diserang Hek-giam-lo. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan
seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biarpun dalam keadaan
berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak kehilangan
kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan, secepatnya digerakkan menangkis
pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.
Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu
hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini sudah menubruk dari
samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu itu telah
dirampasnya. Ia melompat keluar dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.
“Manusia curang....!” Suling
Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan rumah, ia
hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.
“Hek-giam-lo, kembalikan
tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang keluar
mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat
dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak
dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini
bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.
“Kauwcu, tidak perlu mengejar
dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuliah, tongkatmu itu hanya dipinjam,
terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang
ingin meminjamnya sebentar!”
Pada saat itu Suling Emas sudah
berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah Beng-kauw sudah ikut
mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu pun tidak mau
ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah
pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk
lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak
buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka. Seperti kita ketahui,
Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang
memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di
situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh
empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing
sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua
Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.
“Siapa kau?” Beng-kauwcu Liu Mo
menegur, memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat
dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak gagah bersemangat.
Memang, Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo
suka merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di
Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan.
Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.
Pak-sin-tung menjura. “Kauwcu,
saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo adalah suhengku,
karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu mengejar suheng.”
Merah muka ketua Beng-kauw itu.
Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih mau turun tangan.
Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti Pak-sin-tung ini,
betapapun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua Beng-kauw ini bertepuk
tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring seperti diadunya dua
buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget bukan main karena
tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga dalam ketua
Beng-kauw itu. Beberapa detik kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan
tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu
sambil berkata penuh hormat,
“Mohon maaf atas kelambatan
siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat kesempatan untuk berbuat kurang
ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan siauwte membereskan si buntung ini.”
Seperti biasa, sikap Kauw Bian
Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam ketenangannya, kakek berpakaian
sederhana bertopi caping yang memegang pecut ini memperlihatkan gerak-gerik
yang lincah bertenaga dan sikapnya berwibawa. Memang terkenallah di Nan-cao,
apalagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang
menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu mengenai Beng-kauw. Biarpun
kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suhengnya, yaitu Liu Mo sendiri,
namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andaikata ia tidak
sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat
itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya
Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tongkat. Tadi pun
ia hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan
diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.
Dengan sikap angker Kauw Bian
Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum. “Pak-sin-tung, kami
tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari Khitan kau datang secara
sembunyi. Kiranya kau dan suhengwu merencanakan perampasan tongkat ketua kami.
Pak-sin-tung, siapakah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan rendah ini?
Pribadi kau dan Hek-giam-lo, ataukah Kerajaan Khitan?”
Tak enak juga hati Pak-sin-tung
menghadapi sikap serius ini, apalagi nama Kerajaan Khitan dibawa-bawa. “Terus
terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak tahu-menahu, akan tetapi
peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan Puteri kami yang kebetulan
kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang ingin meminjam tongkat
itu.”
“Wah, adikmu yang bikin
gara-gara....!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada di
sampingnya, pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari keluar dan
ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kautunggu di sini, biar kucari
dia!” Sebelum Bu $in dapat mengerti apa yang dimaksudken Suling Emas, pendekar
aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.
Sementara itu, Kauw Bian Cinjin
menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak lantang. “Kami mohon
dongan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil dari Khitan!”
Semua orang memandang dan muncullah
seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap gagah dan berpakaian serba
hijau. Ia menghadapi Kaw Bin Cinjin, dengan sikap yang gagah seorang perwira
tinggi peperangan memberi hormat dan berkata, suaranya lantang dan agak kaku
karena memang ia seorang Khitan aseli, “Semua ucapan Pak-sin-tung benar belaka.
Urusan pagi hari ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan
dan sepenuhnya adalah tanggung jawab Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”
“Bagus, kami pun memang tidak
ingin membawa-bawa fihak yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil
dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami fihak
Beng-kauw maupun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apalagi wakil kerajaan
lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa kami
bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil Khitan itu
mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi
Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung, karena jelas
bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama
Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah,
dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Melawan, kami akan
menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omongan
dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa
tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat
apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya?
Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami,
aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu
terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja
pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian Cinjin agaknya
ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu
untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh
ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan. “Sute, kehormatan
Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia,
kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang.
Hukum mati dia!”
Cambuk atau pecut panjang di
tangan Kau Bian Cinjin berbunyi “tar-tar-tar” tiga kali dan kakek ini sudah
melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”
Pak-sin-tung tertawa bergelak
dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan suara
berciutan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya menangkis.
Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul
mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat,
sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke
belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu
disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung.
Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya
susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki!
Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga
kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga terasa
oleh para penonton deretan terdepan betapa angin pukulan menyambar-nyambar
menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan
bahwa julukan Pak-sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi ternyata wakil
Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat
dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan
mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang, ilmu silatnya
tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting
kepadanya, pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa
yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring
ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala
kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.
Akan tetapi ia bukanlah
penggembala biasa, dan tentu saja, pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan
sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar dan hanya terdapat di
Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata
tajam manapun juga, dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan
untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung
hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.
Betapapun pandainya, menghadapi
Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia
kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan
tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apabila lengah sedikit saja.
Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak
lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk
lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung
makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!” Tiba-tiba cambuk
itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang
tongkat. Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat
kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu
terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi
tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan
mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung mengeluarkan
bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia telah
mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya
dan.... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang
terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak terlepas dari
libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya. Kiranya ketika ia
mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin
Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan
lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian,
selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian Cinjin
menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa
pun juga!
Pak-sin-tung yang hanya berdiri
di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi, tidak
keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos
dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak
terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga
tubuh itu seakan-akan bersandar, ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada
tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengcur darah di
sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.
Enam orang Khitan yang melihat
keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin.
Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya, terdengar bunyi
“tar-tar-tar....” enam kali dan.... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik
lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di sekeliling tempat itu,
akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang
ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian
Cinjin menghela napas panjang sambil mengikatkan cambuknya di pinggang,
membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah
dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia
tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang
pertapa.
Belasan orang telah melangkah
maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah
Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu
makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas,
pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun
menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama
sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam
orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah
terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati sebagai laki-laki
sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan
mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena
apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan
nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan
Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan
hormat.
Kauw Bian Cinjin balas menjura
dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun
memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang
sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan
terima kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun memberi hormat
ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi
duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini memimpin anak
buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.
Seperginya rombongan ini, para
tamu menjadi berisik, apalagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata
satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada
di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek. “Aha, Beng-kauw
telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian memperlihatkan
kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dahulu haus darah sehingga
untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia.
Heh-heh-heh!”
Sirap semua suara berisik tadi
dan keadaan kembali menjadi tegang. Apalagi ketika di belakang It-gan Kai-ong
itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai,
yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang
membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar
dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini
merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.
Melihat munculnya It-gan Kai-ong
sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apalagi
mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan
suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.
“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa
kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan
tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang
dari Khitan, biarpun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus
kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut dihormati,
kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat
menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang dateng
dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat
untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau
hendak menyangkal kata-kateku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam, berdiri
tegak dan gagah.
It-gan Kai-ong menyeringai.
Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua
Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan
tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri.
“Cuhhh, anak kecil bicara besar!
Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian Cinjin memutar tubuh
ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding. “Kauwcu,
bolehkan siauwte sekalian membuka semua rahasia agar didengar oleh para tamu
yang terhormat?”
Beng-kauwcu Liu Mo bicara
perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.
Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi
It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para tamu mendengarnya! Di antara
Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan
hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di
antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung,
dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti
batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang
Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum
orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat
bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam
memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal
memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari
Kerajaan Sung!”
Semua tamu menjadi berisik.
Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang demikian hebat,
padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa
Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula
mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah
ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.
“Baiknya usaha busuk itu dapat
digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang tertawa dan mata mereka
mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.
“Siapakah yang melakukah usaha
busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong
juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”
Semua orang memandang kakek
tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telanjang dan iblis ini tidak
mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Adapun It-gan Kai-ong
kembali menotokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan sembarangan
membuka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal sebelah
itu mengeluarkan sinar kemarahan.
Kauw Bian Cinjin tersenyum.
“Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh orang-orang kami
sendiri yang berkhianat dan dapat kaupikat untuk bersekutu. Akan tetapi,
It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat dibuktikan. Kau
telah menculik puteri Beng-kauwcu!”
Orang-orang menjadi ribut lagi.
Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu, yaitu gadis cantik
jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya hitam putih dan aneh.
Akan tetapi It-gan Kai-ong tetap
terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan bohong! Tidak ada
saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh dan memfitnah
tanpa bukti?”
Tiba-tiba terdengar suara merdu
nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak menyangkal lagi?” Dan
dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu Sin, menuju ke
pekarangan itu. Kiranya tadi ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat
mencari Bu Sin dan memberi isyarat kepada pemuda ini untuk menyembunyikan
diri, menanti saat baik untuk muncul membantu paman gurunya membuka rahasia
It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis itu, bukan main kaget dan herannya
It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri memandang dengan mulut bengong.
Tiba-tiba kakek pengemis itu
tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada hubungannya! Nona ini
kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku. Tentang meracuni
utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah mabuk? Aku orang dari
Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak dahulu, malah aku pun
sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku berusaha mengganggu
utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Kerajaan Sung memberi penjelasan!”
Matanya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.
Dua orang panglima dari Kerajaan
Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi Ouwyang Swan dan
pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah It-gan Kai-ong,
kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.
“Cinjin, memang ada usaha untuk
meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa bukan It-gan Kai-ong
yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau mencampuri urusan busuk
ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus terang saja, secara
diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan melindungi barang sumbangan
kami, dari utara ke sini.”
It-gan Kai-ong tertawa lagi
terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa Beng-kauw memfitnah
orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho, bagi orang yang otaknya
beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw merupakan tuan rumah
yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua telah diatur! Siapa
tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan Sung itu sebetulnya
dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah mendengar tentang
peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri, keributan yang terjadi di
rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw, kabarnya bernama Su Ban
Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup! Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati
hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui (Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama
dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui adalah orang Beng-kauw! Kemudian
terdengar lagi dua orang pelayan yang melayani utusan Sung berusaha meracuni
para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw Bian Cinjin sendiri. Apa
artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah akal busuk orang-orang
Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”
Hening di situ, mendengar ucapan
panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu. Keadaan diputar balik, kalau tadi
It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek mata satu berbalik menjadi penuduh
dan menimpakan semua kesalahan kepada Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali
dan kini semua mata ditujukan kepada Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang
akan menjadi jawaban wakil ketua Beng-kauw itu.
“It-gan Kai-ong, tidak percuma
kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!” jawab Kauw Bian Cinjin.
“Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan fakta belaka, tanpa dasar
dan bukti....”
“Ho-ho-ho, dengar baik-baik,
Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para tamu yang jauh-jauh
datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini bukan buatan Beng-kauw
sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba yang mencuri barang
sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh, tentu mereka dapat
dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi Cui-beng-kui
serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri membunuh dua
orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk mengadu
domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling bermusuhan.
Kalau kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw akan
menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”
Para tamu menjadi ribut saling
bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang membenarkan It-gan Kai-ong
ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin yang pendiam dan tenang
itu kalah bicara oleh si raja pengemis.
Tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian sastrawan, bertubuh tinggi
tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan berkata.
“It-gan Kai-ong, di mana-mana
kau menimbulkan keributan belaka! Kepada orang lain kau boleh memutar lidah,
akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku sudah mengenal isi perutmu!”
“Suling Emas, kau mau apa?
Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah sekarang pendekar gagah
perkasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw pula?” ejek It-gan
Kai-ong, dan Toat-beng Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika melihat
campur tangannya Suling Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada
perhitungan denganku!”
Suling Emas tidak mempedulikan
kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan Kai-ong, melainkan
ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi tempat itu sambil
berkata.
“Cu-wi sekalian sudah mengenal
akan watak jahat iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada
hakekatnya, dia diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak
mengenal putera pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan
bantuan gurunya ini, berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba
kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia
berkesempatan merebut tahta kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik
dengan panglima-panglima Sung, tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama
aku mengawas-awasi jejak guru dan murid pengkhianat ini....”
“Suling Emas, tutup mulutmu!
Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di sini. Kau ini seorang
jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah diperalat pula oleh
Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau dan Beng-kauw!
Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”
“Kau tadi bilang, bukan di sini
tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang sunyi, jangen di tempat
suci ini.”
“Tempat suci? Beng-kauw suci?
Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang kotor?” It-gan Kai-ong yang
kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan Beng-kauw agar para tamu lebih
percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan keganasan mendiang Pat-jiu
Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang puterinya, Tok-siauw-kui Liu
Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu, yang menjatuhkan hati banyak
laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”
Tiba-tiba semua orang terkejut
karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu terdengar suara
melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati yang
berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat itu.
Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi melengking
tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang tinggi kepandaiannya,
roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan menusuk hati mereka dan
melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sin-kangnya sudah kuat, cepat
mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi jantung dan menahan getaran yang
melumpuhkan ini.
“Cui-beng-kui.... ho-ho-ho,
akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang. “Nah,
sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat
sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”
Peti mati itu kini terletak di
pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara melengking berhenti
dan diganti suara yang agaknya terdengar dari dunia lain, bergema
menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong! Mulut kotormu
menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya do dunia ini, tak mungkin aku
mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu,
bersiaplah!”
It-gan Kai-ong adalah seorang di
antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar menghadapi ucapan
ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal, menotok-notokkan tongkatnya ke taneh,
lalu berkata sambil meludah.
“Cui-beng-kui, bukan aku yang
akan mati, akan tetapi peti matimu kini betul-betul akan terisi mayat.
Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti mati, akan tetapi tiga kali
pula ludahnya menyeleweng, tidak mengenai peti mati melainkan mengenai tanah
yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.
“Krrriiiiittttt!” Tutup peti
mati terbuka perlahan dari dalam. Semua tamu, terutama yang muda-muda dan
bukan jago kawakan, menjadi pucat memandang ke arah peti mati. Juga para jagoan
tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui, memandang penuh perhatian,
hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini keluar dari peti mati,
selalu kalau “beraksi” tentu dari peti matinya. Sekarang peti mati terbuka,
Cui-beng-kui akan tampak ujudnya, siapa yang tidak akan tegang hatinya. Bahkan
para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang penuh perhatian.
Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati para pimpinan
Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini tidak mereka duga-duga.
Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang tahu di
mana ia bersembunyi.
Tutup peti mati terbuka makin
lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula tampak sebuah lengan
yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan kuku-kuku jari tangan
yang panjang-panjang. Lengan ini menutup peti, terus menyangga ke atas
sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua. Semua mata memandang, leher
memanjang dan.... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti mati!
Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia
roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.
Cui-beng-kui kiranya seorang
laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat, pakaiannya
putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh, dari lutut sampai
ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali seperti tampak
tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan tipis. Seperti juga
kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing melengkung.
Yang menarik adalah sikap Kaisar
Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata terbelalak
dan muka berubah.
“Kau.... Thai Kun....!” seru
Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.
“Ma-ciangkun (Panglima) Ma....!”
Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.
Manusia yang seperti mayat hidup
itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua Beng-kauw lalu
mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis Pengejar Roh
(Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya
iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu
dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih
terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!
Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang
di antara banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian,
puteri dari suhengnya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal
Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun tahu
di mana ia berada. Siapa nyana, sekarang panglima itu muncul kembali dalam
keadaan yang begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara
Enam Iblis itu adalah bekas panglima ini. Kauw Bian Cinjin yang mengepalai
penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang,
kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah
Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan
ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biarpun Ma Thai Kun kini sudah berubah
menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga
turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.
“Ma-suheng, biarkan siauwte
menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin. Ia terhitung adik
seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang
pertama adalah mendiang Liu Gan, ke dua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang
masih adik kandung Liu Gan, ke tiga adalah Ma Thai Kun dan ke empat Kauw Bian
Cinjin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga
jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cinjin
meragukan apakah suhengnya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu
menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih
ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya
masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.
“Mundurlah!” Cui-beng-kui
mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong.
“Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”
It-gan Kai-ong tertawa bergelak,
“Hoh-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral orang-orang
Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau
juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun tergila-gila kepada
murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”
“Majulah jembel busuk. Hendak
kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat
hidup itu.
Akan tetapi pada saat itu,
terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang melompat
keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang
di tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!”
Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati
kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan, menghadapi
Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya
berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan
kanannya menggetar.
“Kau siapa? Jangan kira setelah
kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”
“Iblis busuk, setahun lebih
kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau pembunuh
ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya? Setahun yang lalu di
Ting-chun?”
“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau
sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut Tok-siauw-kwi
dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat
bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku
menanti giliran!”
Muka yang pucat dan tak pernah
bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu
merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati
yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan
peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat
“hidup” sehingga ia roboh pingsan itu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti
mati kosong oleh Cui-beng-kui! Untung tidak lama Lin Lin pingsan di dalam
peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat dibayangkan betapa
bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita
sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak
tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya
berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di dalam peti
mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti
mati.
Dengan menabahkan hatinya, Lin
Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan tetapi
hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul,
sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut
mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu! Pucat
tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke
bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.
Akan tetapi Lin Lin teringat
bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi kali ini.
Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir menyebut-nyebut
tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara seperti suling. Ingatan
ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.
“Iblis jahat, kau pembunuh ayah
ibuku....!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat keluar dari dalam
peti.
Akan tetapi iblis itu
menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak
dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.
“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri
mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau hanus menebus hutang ayahmu,
kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus....”
Suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya
makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya menekan pundak kini bergerak
ke arah leher dan dada.
Saking ngeri dan takutnya, Lin
Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari jauh, agaknya
melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin
dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia
selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi. Setengah
pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang
terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya
keluar dari dalam peti.
Pada saat yang amat berbahaya
bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang membawa
datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama
dinginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”
Iblis itu yang tadinya sudah
melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya, dan memandang
kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada
di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi
yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata
burung hong, rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba
hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.
Sejenak iblis itu tertegun,
kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin
terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin
terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan
pertemuan dua orang aneh itu.
“.... Lu.... Lu Sian....!”
Dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara. Jantung Lin Lin
berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita
itu. Cantik memang, biarpun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik
daripada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah
angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap? Inikah,
menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw
yang berjuluk Tok-siauw-kwi?
“Hemmm, Ma-susiok, dengan
perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa kau
mencintaku sampai kau mati? Huh, kitanya kau pun sama saja dengan laki-laki
lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”
“Tidak.... tidak.... Lu Sian,
aku.... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu.... aku bersetia
padamu.... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya aku
mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah
timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu murni?”
“Huh, tak perlu bermanis bibir,
Susiok. Mau kauapakan gadis itu tadi?”
“Eh.... aku.... terus-terang
saja.... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini.... melihat gadis itu
tadi.... hampir saja.... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih!
Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari
turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”
“Sudahlah, tak perlu banyak
membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi
keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan jasa
terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”
“Lu Sian, aku tahu, selama ini
kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku. Mengapa kau
tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku.... aku malu bertemu dengan
orang-orang....”
“Hemmm, tentang permintaanmu
mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau membuat jasa.
Kalau tidak, jangan harap malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”
Terdengar iblis itu mengeluh dan
diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan
adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian
mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biarpun sudah tua, tetap tidak melupakan
kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat
iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah
perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar. Namun
hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu
adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam
yang harus ia balas, apalagi tadi telah menghinanya dan hampir saja
mencelakainya.
Iblis yang bukan lain adalah Ma
Thai Kun bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan
Cui-beng-kui ini dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara
suling, memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah
dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di ujung bawah kiri dinding
itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul dengan terbukanya sebuah
lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.
“Lu Sian, aku menaati
permintaanmu....” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar
melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan
sendirinya.
Wanita berambut panjang itu
menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya
bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun,
menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi menjadi
“tempat tidurnya”.
“Bibi, terima kasih atas
pertolongan Bibi....” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih
ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah
angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan
tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja bibi.
“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe
Hwa?”
“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah
ayah angkatku, bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari Kakak Kam Bu
Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song....?”
Akan tetapi wanita itu tidak
menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya amat
besar kepadaku? Biarpun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta
yang murni....” Ia menarik napas lagi.
“CINTA BERNODA DARAH!” Lin Lin
berkata suaranya berubah dingin.
“Apa kau bilang....?” Wanita itu
agaknya heran.
“Cintanya bernoda darah! Ia
telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”
“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu
karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana
ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama
masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar
Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah
dendamnya dan dibunuhnya mereka.”
“Betapapun juga, dia musuh
besarku, harus kubalas dendam ini!”
Wanita itu mengeluarkan suara
ketawa halus. “Kau....? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!”
Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin
Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.
Lin Lin tidak mempedulikan hal
itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya ia
tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka
sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang
di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan tenaga dan....
terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang. Lin Lin
menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman
dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan
setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam
sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan
sembahyang!
Demikianlah, pada saat
Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin
muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya
sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang
berkepandaian tinggi, selain terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis
juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.
Tentu saja ia menjadi marah
sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan orang
banyak, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang
membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian.
“Betul aku yang membunuh jahanam
Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa
berani berlagak di depanku?”
“Cui-beng-kui! Biar akan
melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu angkatku!”
bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.
“Cringgg!” Lin Lin terhuyung ke
belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri,
mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh
kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat
pedangnya terpental dan ia terhuyung?
“Lin-moi, jangan lepaskan dia!”
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam
kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.
“Enci Eng, hati-hati, dia lihai
sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi
juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian
encinya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti
ini.
“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut,
aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini sejak
munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu
Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui
bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah berada di
sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat tinggal
diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran menemani
kedua orang adiknya.
“Heh, bagus sekali! Kalian ini
anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul orang tuamu!”
Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring
tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak ke depan dengan
kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.
Pukulan ini mengandung hawa
pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin bersiutan
menyambar-nyambar, Bu Sin cepat mengerahkan sin-kangnya namun ia tetap
terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan
Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biarpun sudah mengerahkan
sin-kang, tetap saja ia terguling roboh!
“Keparat, rasakan pedangku!” Lin
Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang menerjang
sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar
bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.
“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!”
Cui-beng-kui memuji dan pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi
dari Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa
ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan
Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar leher,
kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan
yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah perutnya!
***
Lin Lin terkejut bukan main.
Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat
menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang
berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi!
Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke arah
Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas
menggerakkan tangan kanan dan.... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah,
terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan
bergulingan.
“Keparat, siapa main gila....?”
Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana datangnya batu
kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya
tadi.
Akan tetapi pada saat itu telah
berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya dengan senjata di
tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat, berani kau menyerang tuan
puteri kami yang mulia?”
Cui-beng-kui tercengang, akan
tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya bagaikan
hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya. Terdengar bunyi
trang-tring-trang-tring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian
disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram atubuh
dua orang Khitan. Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang
ini roboh mandi darah, dada dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar
semua! Biarpun senjata mereka sudah terpental, empat orang Khitan yang lain
menyaksikan dua orang kawannya tewas, dengan nekat mereka menyerbu. Orang-orang
Khitan terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini
menjadi kuat. Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di
antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat
kelompok dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela
Pak-sin-tung, kini kelompok ke dua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama
sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan
dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut
berantakan.
Mendadak dua belas orang Khitan
yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka
mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti
orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti
orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan
mengitari sekeliling tempat itu. Biar Cui-beng-kui sendiri dan para tamu,
merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan “upacara” macam
ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah
saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari keluar dari
tempat itu sambil berteriak-teriak pula. Selelah mereka pergi, barulah semua
orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa disangka-sangka,
telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!
Mula-mula tidak ada yang
menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau itu
tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng
mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan barulah
mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang Khitan itu
sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat
menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah
berada di belakang mereka dan berkata perlahan.
“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah.
Dia bukan lawanmu.”
“Twako, dia.... dia pembunuh
ayah ibu....!” Bu Sin membantah.
Sian Eng terharu mendengar
kakaknya menyebut Suling Emas “twako”. Kini semua keraguannya lenyap. Jelas
bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka
cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata
berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata perlahan.
“Kau.... kau Kakak Bu Song?”
Suling Emas tunduk memandang wajah
cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut kepalanya. “Sian Eng,
adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia
amat lihai, bukan lawan kalian.”
“Song-koko, kau majulah,
balaskan kematian ayah kita....!” Sian Eng berkata.
Suling Emas tersenyum duka, lalu
menggerakkan mukanya ke arah depan.
“Tenanglah dan lihat, dia
bertemu tanding.”
Ketika mereka memandang, kiranya
sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi berhadapan dengan
Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim
Lo-tong!
“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau
hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju membantumu!”
kata Cui-beng-kui, nadanya mengejek.
“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah
lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu benar-benar
menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh
kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling
unggul, nanti bulan lima malam ke lima belas kita main-main di puncak Thai-san,
Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling menguji
kepandaian di sana.”
“Hemmm, kau masih berani memaki
Liu Lu Sian?”
“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya
lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai
semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau
tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan
kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam,
tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas
kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang
Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa
kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk
menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi
nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil daripada
ancaman Sung Utara!”
Ucapan It-gan Kai-ong ini
bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu
agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi
pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini,
mereka menganggap It-gan Kai-ong sebagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung,
karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang
putera Pangeran Sung. Siapa kira, di tempat ini, disaksikan oleh para utusan
dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa
merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang
mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut
panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou
Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.
“Aku setuju dengan ucapan It-gan
Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel
busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”
Makin tegang keadaan di situ,
terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah
para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang
menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap
Sung itu.
“Ho-ho-heh-heh, bagus sekali,
dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu
apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju.
Aku yakin yang ke lima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang
Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara!”
Hati Ouwyang Swan Panglima Sung
yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia
dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia
gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini
berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau
Enam Iblis itu membantu fihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang
matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik
hubungannya dengan para casan Kerajaan Sung.
“It-gan Kai-ong, jangan membuka
mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring.
“Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa
memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana
mendengar ocehanmu yang berbisa!” Kemudian pendekar ini menghadapi
Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap jangan
mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana
jembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan, yang mempunyai rencana memukul
Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja
yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya. Locianpwe
sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk seperti itu.”
Hening sejenak mengikuti ucapan
Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh.
“Ho-ho-heh-beh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk
seorang bocah dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa
dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan
kepandaian yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su menurunkan beberapa ilmu. Tapi,
kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan
satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini
anak musuh besarmu, dialah buah daripada percintaan antara kekasihmu dan
jenderal itu.”
Mendadak Cui-beng-kui
mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas
dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas sendiri kaget
setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak
tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng
telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh
It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya karena
Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang
merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak
jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.
Namun Suling Emas bukanlah
seorang lemah. Jauh daripada itu, ia malah seorang sakti yang memiliki ilmu
tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang,
cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari
terjangan hebat.
“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak
ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia menghentikan
kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan
kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini,
apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu yang
kurang kuat roboh lemas!
Suling Emas terkejut. Ia sendiri
merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia bahwa
mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah
mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mujijat dalam bentakan mayat hidup
itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sin-kangnya akan
berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi mengerikan itu. Kembali
ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya. Begitu ia
menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking ke dua yang jauh
bedanya. Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui
terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga,
adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai,
halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mujijat yang seakan-akan
mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh,
merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.
“.... karena kau adalah tokoh
Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking. “Ke
dua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita....”
Kembali ia menghentikan kata-katanya
karena serangan Cui-beng-kui makin dabsyat. Gerakan kedua lengan tangan
Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan keluar,
tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini
mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan
jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan lawan.
Lengking suara Cui-beng-kui
berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya terpukul
suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia
memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri Suling Emas.
“Desssss....!” Telapak tangan
Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui. Pertemuan dua tenaga raksasa
yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakan-akan
tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik
kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan
dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung
dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.
Bu Sin dan Sian Eng cepat
menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata
sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya.
“Mundurlah kalian.... aku tidak apa-apa....” katanya, siap untuk menghadapi
Cui-beng-kui yang ganas. Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng
mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa penasaran. Mayat hidup
itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah
mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa
orang ini adalah seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap
ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia masih berlaku sabar sungguhpun ia tahu bahwa
orang ini adalah pembunuh ayahnya. Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira,
Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk
mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah
pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh),
yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum
karena selama ini, belum pernah ada yang sanggup mengatasi pukulan maut itu!
Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di
antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan pukulan ini
terhadapnya!
“Iblis tua, kau tidak tahu
dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk memberi hajaran
kepada Cui-beng-kui. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam.
Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir
di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang
terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama
makin kuat dan sudah tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan!
Tidak hanya yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat
menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar
saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan.
Hal ini mengejutkan semua orang
sakti yang berada di situ. Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak
mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan tenaga batin unituk menolak
pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang
dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya.
Kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasai hal yang sama dan mempunyai dugaan sama
pula, ternyata dari pandang matanya. Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi
Beng-kauw, hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka,
mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai
dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong,
yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah ilmu yang disebut
Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas semangat. Ilmu ini
merupakan cabang daripada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat
melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan
khi-kang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang
lain, sedangkan yang ke dua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang
disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan mendiang
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan
Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat
meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan
memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka mendengar suara
bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja timbul
dugaan apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to. Kalau benar demikian,
siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong
sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja,
suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangannya pun
tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu, sekaligus
dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan!
Kalau dua orang tokoh Beng-kauw
itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti
It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling
Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja
dengan sin-kang yang amat kuat, mereka tidak terpengaruh terlalu hebat oleh
getaran suara itu.
Tiba-tiba terdengar suara merdu
halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), berani kau
mengganggu anakku?”
Suling Emas sedang sibuk
mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng yang
juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk
bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari
kakek sakti sehingga ia terbebas daripada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika
mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya, cepat ia melompat
berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan.... kedua kaki pendekar ini
menggigil!
Kini semua mata tertuju ke arah
pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah seorang
wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai.
Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan,
sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah
tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita mengagumkan.
Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya,
hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya,
seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang
sedang berahi, dihias bulu mata panjang hitam melentik, dilindungi sepasang
alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya meruncing dan
sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya ada rambutnya terdapat
tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi
seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua
karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.
Hanya tiga orang saja di seluruh
ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama adalah
Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa keponakannya yang
selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini
telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang merupakan
terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal
ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri
bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi
wanita itu. Orang ke tiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena
wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling ia
cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada seorang lagi yang
hanya menduga-duga, dengan ragu-ragu dan dengan jantung berdebar keras serta
kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia
memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi
meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana
perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia
ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu
tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat
wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah lagi, inilah ibu
kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan, bau ibunya
dulu (baca cerita SULING EMAS).
Akan tetapi ia menahan
perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah gemetar
hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh
keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.
Wanita itu memang bukan lain
adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu
menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas, dengan ilmu
silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa (baca cerita
SULING EMAS). Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw
tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu
saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.
Kini semua orang memandangnya,
yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa
gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan
suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju
terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan
tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai, di
balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan tak acuh, dan
kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.
Iblis yang biasanya menyeramkan
hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki menggigil, sinar matanya
mengandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari
bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak.... tidak....
Lu Sian.... jangan kau benci padaku.... ah, ampunkanlah aku.... jangan
benci....”
“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang
mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melangkah
mendekati.
“Ti.... tidak.... Lu Sian....
aku benci karena dia.... dia putera Si Ek. Jangan.... jangan pandang aku
seperti itu.... Lu Sian.... kauampunkan aku.... kaubunuh aku.... tapi jangan
benci....!”
Semua orang melongo. Benar-benar
sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut
akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu
membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam
cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian! Cui-beng-kui mundur-mundur, terus
diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling menentang
pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu
masih manis luar biasa karena semua giginya masih utuh, akan tetapi entah
bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang tidak semestinya, yang
membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma, seperti senyum seorang
siluman!
“Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku
dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau mendesak-desakku
dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku
lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain
yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta
kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi
seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah
orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima
cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni!”
Semua orang melongo. Benar-benar
adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta kasih kepada
kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan
menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka
mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat
betapa Cui-beng-kui menangis!
Iblis itu menangis, melangkah
maju dan merangkul Liu Lu Sian, di antara tangisnya terdengar ia berkata,
“Terima kasih.... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”
Wanita cantik jelita itu
kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra, terdengar
kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan
tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku....” Ucapan ini
disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui
karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku dan ketika wanita itu melepaskan
rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar dari
semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung,
mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu
Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali
bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan seperti baru
saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah!
“Wah, Thian-te Liok-koai kurang
seorang!” Terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan membanting ujung tongkatnya
di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh,
dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan
kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap
kembali. Ho-ho-he!”
Memang seorang tokoh sakti
seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum
bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan kepandaiannya sehingga
semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama besar Thian-te
Liok-koai, apalagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita
itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga
timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggauta Liok-koai lainnya,
kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!
“Tikus busuk, jangan menjual
lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki melayang ke
depan dan tangan kanannya bergerak mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja,
akan tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu
ia telah berada di sebelah atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua
tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung!
Hebat bukan main serangan ini.
It-gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari belakang dan
depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak
mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis
kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan
tetapi tangan yang menampar pundak, biarpun dapat ia elakkan sehingga tidak
tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.
“Plakkk.... brettt!!”
Keduanya melompat mundur. Dalam
segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang mengerikan. Untung keduanya
memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan
kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi
kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong
besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung sin-kangnya amat
kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga hanya
terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah
terdapat “cap” lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim
Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak membantu It-gan
Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah
mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
“Bagus, kau memang patut menjadi
seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di antara
Liok-koai, bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa lebih unggul, kau
diharapkan ikut datang pada bulan lima malam ke lima belas di puncak Thai-san.
Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling rendah.
Ho-ho-heh-heh!”
“Kai-ong, apakah tidak diberi
hajaran sedikit dia agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim Lo-tong berkata
sambil “sentrap-sentrup” menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.
“Jangan, Lo-tong. Dia masih
terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin
ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti
go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau
menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata demikian,
It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu,
diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut para wakil
dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis yang
mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat lemah
dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.
Bu Sin merasa heran dan kaget,
juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan berkata
kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kautunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi
Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”
Betapa herannya hati Bu Sin
melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan pergi, Bu
Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi
suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa artinya ini? Apa
hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”
Merah sekali muka Sian Eng. Lama
ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia berkata juga,
“Dia.... dia hendak melamarku....”
Bu Sin meloncat kaget seperti
disengat lebah. “Apa....?” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.
“Mengapa kau kaget, Koko?
Bukankah itu hal yang biasa saja?”
“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi,
mana akalmu yang sehat? Apakah.... agaknya kau telah menyetujuinya....?”
“Sudahlah, Koko. Ini bukan
urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”
“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh
dengan keparat itu! Dia jahat, dia.... dia.... ah, Eng-moi, bagaimana kau....”
“Sssttttt, Koko. Kita menjadi
perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi....” Sian Eng mencegah, merasa
bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma
Boan di tempat itu.
Bu Sin menengok dan benar saja.
Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa rombongan, kini
tenang kembali dan memandang ke arag rombongan tuan rumah karena di situ
terjadi hal yang menarik sekali. “Kita akan bicara tentang ini nanti....”
katanya perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.
Apakah yang terjadi? Kiranya Liu
Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus.
“Kau masih di sini dan tidak
lekas angkat kaki?”
Siang-mou Sin-ni melesat dari
tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat
dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya,
biarpun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda daripada Liu Lu Sian. Keduanya
memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut di belakang
tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat, Siang-mou
Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
“Beruntung sekali dapat berjumpa
dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga Suthai
dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu
guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada
seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada
Liu Lu Sian? (baca cerita SULiNG EMAS).
“Kim Bwee, sejak kapan aku
menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau
lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat
membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu
menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”
Muka Siang-mou Sin-ni menjadi
merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba
sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat
kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan menolak pinggang dan tangan
kiri menudingkan telunjuk, ia berkata.
“Karena menerima ilmu darimu,
aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu sebagai guru.
Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua
yang tidak ingin dihormat!”
Liu Lu Sian tersenyum, lalu
melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali
menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi
mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa?
Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!”
Tantangan yang menghina sekali.
“Wanita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia,
menyuguhkan pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu.
Tapi kau membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih
seperti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini!”
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni
menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu
menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap
pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan
darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!
Perlu diketahui bahwa meskipun
Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi,
namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu
ini biarpun amat berbahaya bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan
apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya, dari mulutnya keluar
lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan....
pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni
sendiri!
“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni
kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik beberapa kali untuk
melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah,
ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas
tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, matanya mendelik.
“Liu Lu Sian! Kau besar hati
karena berada di tempat sendiri. Andaikata aku dapat mengalahkanmu, tentu aku
akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku
tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian,
Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari situ. Tentu saja para utusan
Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula tanpa sempat
berpamit lagi.
“Bu Song! Ke sini kau....!” Liu
Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus
lembut.
Suling Emas berdiri terkesima.
Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan masa
dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika
ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali, karena betapapun juga, ia
lebih cinta ibunya daripada ayahnya. Oleh karena itulah, ketika ayahnya menikah
lagi, timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya
makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya,
ayahnyalah yang salah (baca cerita SULING EMAS). Oleh karena itu ia
minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.
Pada waktu ibunya pergi
meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebab-sebabnya.
Sekarang, setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul,
ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu
kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak malu? Apalagi kalau ia teringat
akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di Hou-han
diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan,
jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni
diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan
ibunya tidak membantahnya!
“Bu Song, anakku, ke sinilah.
Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”
Ucapan ini mengagetkan hatinya,
menyeret ia turun daripada lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut, kecewa,
sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju
di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang
bertahun-tahun ini menjadi lamunannya, menjadi bayangan yang dirindukannya.
Liu Lu Sian memeluk pundaknya
yang lebar. “Bu Song anakku.... ah, kau sudah begini gagah perkasa! Hi-hi, kau
pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut
memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan
memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu,
Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”
“Ahhhhh....!” Suling Emas
terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari
pelukan ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian menyambar lengan
Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu dengan
hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi
bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak
orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya yang amat
besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan bahagia
melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.
“Hi-hik, anakku yang gagah
perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar
Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap
Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan
memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.
“Paman Liu Mo, kursi yang kaududuki
itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu
sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang
berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal
lain orang!”
Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar
merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi
tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia
berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.
“Lu Sian, tidak ada yang
merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan
di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapapun kami mencarimu,
tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya
aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan kedudukan Kauwcu, sama
sekah bukan merampas. Kalau sekarang kau menghendakinya, aku pun tidak akan
kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian.”
Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik,
tentu saja harus kauberikan kepadaku, suka maupun tidak. Andaikata tidak
kauberikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku
harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song
menjadi kaisar di Nan-cao!”
“Enci Lu Sian, kau terlalu
menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah
melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar
biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.
“Hi-hik, bocah ingusan mau
kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila
dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!” teriak Liu Lu Sian,
tubuhnya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di
antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan
sikap mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk ke dua
menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik. Liu Hwee mempertahankan,
akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa
Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari dan ke manapun juga ia
menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika
hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana, cambuk itu sudah melibat
pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika
cambuknya ditarik-tarik.
“Lepaskan dia, wanita jahat!”
terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya
yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan
kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas
hatinya itu, dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya
terancam bahaya.
“Hi-hik, laki-laki ini sudah
tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang itu terkekeh dan
tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
“Ihhhh....!” Liu Lu Sian berseru
kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap lengan Bu
Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari
dari kakek di air terjun.
Namun hanya segebrakan saja
tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian karena di lain saat, segumpal
rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul
sebatang toya yang terbuat daripada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting
roboh.
“Kau kejam!” Liu Hwee berseru,
menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang namun
kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal
dekat Bu Sin.
“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik
sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di
kahyangan!”
Akan tetapi pada saat itu tampak
bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh
Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget,
akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas,
wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anakku!”
“Ibu,” kata Suling Emas dengan
suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut
ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”
“Ha-ha-hi-hi-hik! Paman Liu Mo,
kaudengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan, dan
begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw.
Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi
perdana menteri anakku!”
Hebat ucapan ini dan semua orang
menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang gembira karena mengharapkan
menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggauta Beng-kauw memandang
bingung. Mereka merasa serba susah. Betapapun juga, wanita itu adalah puteri
tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw!
“Ibu, tidak boleh kau bilang
begitu....!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.
“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu
Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam. Ketika
bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka.
Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat
bening dan indah, bukanlah sinar mata manusla yang sehat jiwanya!
“Ibu, harap kau jangan
mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku.... aku tidak mau menjadi kaisar.
Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat....”
“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau
anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan mengancam,
seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih
kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka
merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh tangannya dan
ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang mata penuh
iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan kedua
matanya. Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas
dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka
pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa
Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu
akan tewas di tangan wanita iblis itu.
Kini semua mata memandang ke
tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di
tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa, namun
tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya.
Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata, suaranya lantang
berpengaruh.
“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau
dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa perlunya dipertontonkan
orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi
kita!”
Liu Lu Sian memandang dengan
mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya
sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di
waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering
kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong!
“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru)
Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu, memang kau
pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di
Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti
yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku
sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu
utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti
Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan
Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”
“Lu Sian!” Kauw Bian Cinjin
membentak, disusul cambuknya meledak di udara “tar-tar-tar!”. Sesaat ia tak
mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan
semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada
Suheng, kepada Beng-kauwcu kita, kalau tidak, aku sebagai paman gurumu
terpaksa akan memberi hajaran kepadamu.”
Sejenak Liu Lu Sian melebarkan
matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahhya menjadi muram dan ia
berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa
akan kubunuh.”
“Aaahhhhh....!” Kaow Bian Cinjin
lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai lama
ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada
pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di
sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan
puterimu!”
Setelah berkata demikian, sekali
lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali
menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil
tersenyum-senyum.
Suasana menjadi tegang kembali
ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung adalah
Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa
dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang
puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin ia membantu ibunya yang
dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya,
ia hanya berdiri dengan muka pucat.
“Liu Lu Sian, biarpun kau
merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan
tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan
agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai
penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan
sikapku ini.”
“Orang tua keras kepala! Kaukira
akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi (Setan Cilik
Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”
“Kalah menang bukan soal, yang
penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan nyawa!” jawab
Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di depan dada.
Liu Lu Sian tiba-tiba
mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya
dan kalau saja Kam Bian Cinjin yang “diserang” suara ini bukan tokoh besar
Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin
berseru keras dan memutar cambuknya sehingga berbunyi angin bersuitan yang
melawan pengaruh suara lengking itu.
“Serahkan nyawamu!” bentak Liu
Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat sekali,
didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian
Cinjin.
Kakek ini kembali berseru keras
dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat hebat. Lebih hebat
daripada pertempuran-pertempuran tadi, karena sekarang yang bertempur adalah
dua orang tokoh Beng-kauw. Betapapun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan
lawan sehingga dapat menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin
amat lihai sehingga di waktu mudanya ia mendapat julukan Cambuk Halilintar.
Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang yang kurang tingi
kepandaiannya menjadi ngeri dan jerih. Cambuk itu berubah menjadi gulungan
sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara
disusul sinar memanjang menyambar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk
ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan!
Betapapun juga ilmu cambuk Kauw
Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu
Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apalagi
sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia
minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan
tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam ilmunya, malah ia telah
berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya
merupakan permainan “ilmu cambuk” yang mujijat karena rambut itu dapat dipakai
menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari
jurusan-jurusan yang berlawanan.
Kauw Bian Cinjin dapat menduga
akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam menghadapi
It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang
membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri suhengnya ini telah
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum tidak akan mampu
menandinginya, akan tetapi, untuk membela Beng-kauw yang terang-terangan hendak
dikacau Liu Lu Sian, ia menjadi nekat. Apalagi kalau diingat bahwa suhengnya,
Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat
mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan
suhengnya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan
dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak waras
otaknya, yang sakit jiwanya.
Setelah saling serang dengan
hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari
mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara
tiba-tiba tidak bergerak lagi dan ketika semua mata yang tadi menjadi kabur dan
silau oleh gerakan-gerakan cepat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian
Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu
Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan
kanan, pundak dan leher kakek Bengkauw itu.
“Kauw Bian Cinjin, mengingat
hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi
pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.
“Liu Lu Sian, kau sadarlah dan
jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid keponakanku
yang baik dan akan menerima berkah dan doaku....” jawab Kauw Bian Cinjin,
suaranya tetap lantang berwibawa.
“Tua bangka keras kepala!
Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu dihajar....!” Tiba-tiba
tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah
terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan kanannya.
Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan
merah!
“Liu Lu Sian, tak perlu kau
berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!” Tiba-tiba terdengar Liu Mo
berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau
juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu,
aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu!”
Wajah Liu Mo tetap terang dan
bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali tidak hendak
menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena
sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang
menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin
ayahmu lebih dulu!” Berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan.
“Kalau aku sudah minta ijin
kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”
“Tentu saja, kalau Suheng
mengijinkan!”
Ucapan ini tentu saja membikin
semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang mati memberi ijin?
Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk
sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ
mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat
penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan karenanya
menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak berlutut,
hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa
kasar dan berandalan watak wanita itu.
“Ayah, aku minta ijin padamu
untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku
menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang
hadir. Suasana menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan
permintaannya ini. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak
yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah
Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama)
secara demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan
“dicopot” dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok
dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita
berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih
patut disebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi,
akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan
menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu kepandaiannya yang demikian
hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.
Tiba-tiba kesunyian itu
dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut
ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak
keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan.... sesosok tubuh yang tinggi
besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar
berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari
pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang
seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.
“Tiga tahun aku menanti
datangnya saat ini.... Lu Sian.... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau
mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat.... hanya aku yang
dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan
ini....!”
***
Sejenak Liu Lu Slan terhenyak
kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik
kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia
melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya
terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain
karena ia juga mempergunakan ilmu mujijat Coam-im-i-hun-to seperti yang
dipergunakan ayahnya tadi.
“Tidak, Ayah. Aku masih ingin
hidup, ingin menguasai dunia, ingin memperkembangkan Beng-kauw sehingga seluruh
manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”
“Bodoh! Agama yang dipaksakan
dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi
penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”
“Ayah, kenapa kau tidak mati
sendiri? Aku tidak mau ikut!”
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang
disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya
bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separoh jumlah tamu
jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini
yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya
tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling,
akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sin-kang dan tergoyang-goyang
di atas tempat duduk masing-masing.
“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku
melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan
pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa
di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka
sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya
yang disangkanya telah mati itu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih
tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan
bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak
kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara “Uhhhhh!” dan darah segar tersembur
keluar dari mulutnya. Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit
mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh
menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh
miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika
Beng-kauw Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa
kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan
dunia. Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suhengnya itu tiga tahun
yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati
karena sesungguhnya suhengnya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa,
menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa
puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian
hari pasti akan menggegerkan dunia (baca ceritaSuling Emas).
Suling Emas sudah berlutut di
dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega karena
ia pikir lebih baik begini daripada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di
dunia. Liu Hwee juga berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin
yang terluka hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke
dalam untuk dirawat. Para anggauta Beng-kauw nampak berkabung dan berduka,
juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka
berani bersuara.
Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri
dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apalagi mereka yang tadi pingsan
dan sudah siuman kembali.
“Cu-wi sekalian yang terhormat.
Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi
maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap
Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan
kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw, kami sebagai ketua Beng-kauw
di sini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang
menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk
mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian,
mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian
kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih
serta maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”
Maka bubarlah para tamu. Setelah
mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari Kota Raja Nan-cao. Di
sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi
di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan
hal-hal luar biasa, ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran
tingkat tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.
Suling Emas ikut membantu
pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut
di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih.
“Saya mintakan maaf atas sepak
terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”
Liu Mo menarik napas panjang dan
mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak apa, anak baik. Memang
Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau
agaknya mewarisi watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah
seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu
pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan
merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan
ini kepadamu.”
Suling Emas mengangguk-angguk,
“Baiklah. Den sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke
Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”
Setelah berpamit, Suling Emas
mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin den Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari
den menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw den
untuk mewakili Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak
Thai-san! Perpisahan yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan den
kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling
menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang
saling mencinta.
***
Mari kita ikuti pengalaman Lin
Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa
akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia
lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah dibentu oleh Bu Sin dan Sian
Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui yang sakti, dan
sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang
Khitan yang secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut
pedangnya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang
Khitan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut “mengancau atau
mengail ikan”, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan
dalam kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan
ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang
gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil “mencuri” Lin Lin
dari depan banyak orang.
Lin Lin sendiri yang ketika itu
hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong
oleh Suling Emas, hanya melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di
sekelilingnya, membuatnya pening dan entah begaimana, akhirnya ia ikut
berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh meninggalkan Nan-cao, tapi
selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!
Setelah menjelang senja dan
rombongan orang Khitan itu yang tiada henti-hentinya berlari tiba jauh di
daerah perbatasan kota raja mereka berhenti. Lin Lin terengah-engah dan barulah
gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan
itu keluar dari kota raja.
“He, kalian ini membawaku ke
mana? Antarkan aku kembali ke Kota Raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui
iblis jahat itu!”
Seorang di antara dua belas perajurit
Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu
berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka daripada
bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana,
berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”
“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui
dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling
Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”
“Tuan puteri, hamba sekalian
tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain
kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya
melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan
beliau....”
“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima
Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.
“Paduka sendiri yang
memerintahkan beliau merampas tongkat....”
“Ohhh, kaumaksudkan Hek-giam-lo?
Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh
dia ke sini!” Dengan sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia
memerintah orang-orang Khitan, Lin Lin membentak-bentak mereka.
“Hek-lo-ciangkun sudah lama
menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan
Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”
Lin Lin menganggap omongan ini
tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”
Maka berangkatiah mereka,
sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin
di depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang.
Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali
tidak kelihatan berduka walaupun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua
belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara
berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah! Mula-mula Lin
Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa
tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat
dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah
membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit
kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing
baginya, namun, dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti
maksud kata-katarnya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi
menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras
dan makin bersemangat.
Tak lama kemudian sampailah
mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir
menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar
Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk
rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh,
seperti suara binatang tidak keras akan tetapi suara itu membawa getaran yang
kuat.
Sepuluh menit kemudian,
terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur
datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam
dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!
Sebentar kemudian perahu itu
minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang
pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah berada di atas
perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa
dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga
orang, menjadi lima belas orang.
Lin Lin cepat menghampiri
Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kaulakukan? Mana
tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.
Hek-giam-lo membungkuk sedikit,
lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat bintang Paduka yang
terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam
bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi
kita berangkat.”
“Berangkat?” Lin Lin terkejut.
“Ke mana?”
“Ke mana lagi kalau bukan ke
Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”
“Tidak! Aku perintahkan, tidak
pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke
Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”
Sejenak tengkorak hitam itu diam
saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan
bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang aseli tidak nampak.
Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.
“Tuan Puteri Yalina, sudah
banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua
gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat
memenuhi permintaan Paduka lagi, kita harus berangkat kembali ke Khitan di
mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”
“Tidak! Kau harus monurut
perintahku, Hek-giam-lo!”
Si Tengkorak Hitam
menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.
“Kaulihat apa ini? Kau harus
tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan
menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu
serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi Hek-giam-lo
mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan
tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas
oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa
Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan
menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya
dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan
Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
Lin Lin terkejut, sama sekali
tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani
melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki. “Keparat
kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri
Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal
leher!”
Hek-giam-lo mendengus, kemudian
memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak
buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke
balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri
dengan tegak walaupun kedua tangannya terbelenggu.
“Yalina, ucapanmu ini
mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah
ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah
baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan.... Lin Lin menjadi
pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan
gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena.... tidak berkulit lagi! Daging
muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin,
hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan
dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak
berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah
yang mengerikan, jauh lebih mengerikan daripada wajah Cui-beng-kui!
“Kau.... kau siapa....?” Dengan
suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.
Secepat tadi ketika merenggutkan
kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya
tidak mengerikan lagi, dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik
kedok.
“Hemmm, kau telah melihat
wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah, karena aku berdosa mencinta Ibumu,
aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah
lain ibu, dan dia memilih seorang perajurit biasa menjadi suaminya, yaitu
Ayahmu!” Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya. Lin Lin
teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang
bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa
kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang perajurit
gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada
saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah
panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.
“Jadi kaukah orangnya yang
berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bengsaku dipukul hancur di
Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut
“bangsaku” dan “ayah ibuku”, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah
musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah
bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.
“Heh-heh, kau pandai menduga,
ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau
sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”
“Aku tidak percaya! Aku tidak
percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk
membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”
“Hemmm, kau memang pandai
menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah,
dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku
dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya
memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan
wanita. Tapi dia.... dia.... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!” Lin Lin
dapat membayangkan semua itu, biarpun ia tidak mendapat cerita yang jelas,
namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di
dunia itu (baca ceritaSuling Emas).
“Hek-giam-lo, kalau begitu
sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”
Secara tidak terduga,
Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!
“Ih, tak perlu membadut dan
berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.
“Tuan Puteri Yalina, hamba tidak
berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak
hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan
dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak
hamba.”
“Apa....?” Lin Lin menjerit.
“Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu
masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila
kau!”
“Heh-heh, tidak ada yang gila,
Tuan Puteri. Jamak laki-laki beristerikan wanita, muda lagi cantik. Ibu Paduka
memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di
antara kita sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi
junjungan di samping Sri Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba
Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba
membelenggu Paduka.”
“Gila....! Kau dan semua orang
Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu
selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan
mengambilku sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih
gila daripada ini?”
“Paduka akan menyesal
mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda
mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat
bahwa Paduka masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua
yang mengharapkan Paduka duduk menjadi yang dipertuan di Khitan,
kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri.
Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”
“Tidak! Aku tidak sudi, tidak
mau....! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”
Pada saat itu, sesosok bayangan
hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di
belakang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang
mengikat tangan gadis itu, sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke
dada Hek-giam-lo!
“Jangan takut, Lin-moi, aku
membelamu,” bisik pemuda itu sambil mengerahkan tenaga tangan kirinya untuk
melepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.
Gadis itu terkejut sekali.
Andaikata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa
bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat
ini dan tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan
kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang menghadapi Hek-giam-lo yang berdiri
dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha pertolongan
Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini
malah akan menghadapi bahaya pula.
Para anak buah perahu
bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri tertegun, tidak berani turun
tangan sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu.
Agaknya iblis tengkorak ini sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu
Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya berdiri bertolak pinggang, seakan-akan
ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.
Akhirnya terlepas juga ikatan
tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada di
belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan.
Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan
nyawanya untuk membela gadis yang telah merampas hatinya.
Tiba-tiba Lin Lin teringat akan
sesuatu dan wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya,
tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani
ini menghadapi Hek-giam-lo?
“Liong-koko, mana gurumu?” bisik
Lin Lin penuh harap.
Bok Liong tidak menjawab,
matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan yang
bermunculan dan mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu mulai
bergoyang sedikit karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena
memang ia datang tidak bersama suhunya. Pemuda ini ketika melihat Lin Lin
lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan, merasa khawatir sekali. Hatinya
sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin. Lie Bok Liong pemuda perkasa
murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena itu, tanpa
mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan yang terjadi di
ruangan sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari
menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus membayangi mereka sampai mereka tiba
di pinggir sungai dan melihat kekasih hatinya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan
dirampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi
nekat dan cepat ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup
maklum betapa lihainya Hek-giam-lo, akan tetapi untuk membela Lin Lin yang
dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar
di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekalipun, ia tidak akan mundur selangkah
dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!
Melihat cara Bok Liong
menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan
suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu?
Suruh dia yang keluar menghadapi aku!”
Diam-diam Bok Liong terkejut.
Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu
silatnya, terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan
tetapi ia tidak gentar dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan
menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.
“Lin-moi, jangan takut. Untuk
menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan aku
saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.
“Hek-giam-lo, kau seorang
Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharusnya kau memaksa Nona ini yang
tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka Suhuku dan
membebaskannya, biarkan dia pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku
atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima
kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh
kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk
akan “sopan sentun” kang-ouw seperti ini.
Akan tetapi Hek-giam-lo
mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau
ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan
kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan ucapan ini, Hek-giam-lo
menggerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah
dada Lie Bok Liong.
Tenaga sakti yang dahsyat
merupakan angin yang kuat sekaii menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap
sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping tubuhnya bergoyang-goyang,
pinggulnya megal-megol akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di
antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan ke arah jambung si iblis
tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Seorang muda yang dapat
menghindarkan serangannya dan seketika dapat balas menyerang, jarang sekali
terdapat di dunia kang-ouw. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah
lumayan kepandaiannya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis tusukan
pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.
Ketika pedangnya terkena kibasan
ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget
bukan main, namun ia tetap melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat
tiga lingkaran lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada
lawan. Hebat serangan ini, dan kuat sekali. Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo
menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan baju
membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan.
Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menyerang, dan ini
merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala
mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan bergerak. Dan mereka
memang betul, karena andaikata ada yang bergerak, hal itu berarti membantu
Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang
mungkin hukumannya adalah maut!
Lin Lin yang melihat perlawanan
gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo, menjadi kagum. Tiba-tiba ia lari
menerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja,
apalagi gadis itu adalah “tuan puteri” bagi mereka, tanpa ada perintah
Hek-giam-lo mereka tidak akan berani mengganggunya sedikit pun juga. Tak lama
kemudian Lin Lin sudah berlari keluar lagi, di tangannya memegang tongkat
Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu! Kiranya gadis ini
memasuki bilik untuk mencari senjata karena pedangnya sudah terampas oleh
Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia melihat Bok Liong terkurung sinar hitam
yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu
menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala
Hek-giam-lo!
“Werrrrr!” Tongkat itu lewat
dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis
tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat
pedang Bok Liong, tangan kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau
mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah seketika.
“Hayaaaaa....!” Bok Liong
menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar lewat dan
“brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong
berlubang besar! Biarpun Bok Liong sudah terhindar daripada bahaya maut, namun
pedangnya, pedang pusaka Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di
tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang
tertawa, tangan kanannya bergerak dan pedang rampasan meluncur ke belakang
menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah menyambarnya lagi.
“Traaanggggg!” Biarpun pedang
itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin
mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya tongkatnya
tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah
kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat menghindar agar jangan sampai
kakinya terbabat pedangnya sendiri. Cappp! Pedang Goat-kong-kiam menancap
sampai setengah lebih di atas papan perahu.
“Bocah gila, lekas minggat.
Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan
tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke
arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik lalu
mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar.... keluar
perahu!
“Byurrrrr....!” Tubuhnya menimpa
air yang muncrat tinggi.
“Tolong.... auppp....!” Lin Lin
kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat digerakkan
untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.
Sesosok bayangan melompat ke
air. Dia adalah Bok Liong yang cepat menyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang
sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir
perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau
melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran perahu, lalu
menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi terkena totokan lihai
Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.
“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku.
Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi dan aku.
Kalau kau mau berkelahu, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau
tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”
“Heh, bocah edan! Nona ini
adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila
berani jatuh hati kepadanya?”
Marahlah Bok Liong. Ia melompat
maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang lawan
dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan.... tubuh Bok Liong terbanting
ke atas papan perahu. Setika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena
kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang telah bolong terkena pukulan
Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia beruseha melepaskan diri namun sia-sia
karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap.
Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kaubunuhlah aku, tapi bebaskan
Lin-moi!”
“Tidak dibunuh buat apa?”
Berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tubuh Bok Liong yang masih terjepit
papan perahu. Pemuda ini biarpun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih
berada di tangan dan ia dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan
terakhir dengan senjatanya sebelum tewas, sedikitpun tidak terbayang rasa
takut di wajahnya.
“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!”
tiba-tiba Lin Lin berseru keras.
Hek-giam-lo menengok ke arah
gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu
menggumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan
Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya....!” Setelah berkata
demikian, Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
“Hek-giam-lo, kalau kau
membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa menoleh Hek-giam-lo
menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”
Karena Hek-giam-lo membacokkan
pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat
menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan
tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan
tangan kanan iblis itu sudah bergerek mencengkeram ke arah kepala Bok Liong.
Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah
menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo, kalau kaubunuh
dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat
Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak
mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang
mengerikan.
Cengkeramen ke arah kepala itu
mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok
Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan
sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari
perahu dan “byuuurrrrr....!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika
tertimpa tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong
tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari
dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata
mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.
“Hek-giam-lo iblis penakut
anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, akan mengadu jiwa denganmu!”
Melihat kenekatan pemuda yang
keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir
perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia
melawan dia!”
“Lin-moi, tidak bisa aku
meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa
artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami
bencana!” Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan
cinta kasihnya terhadap gadis itu! Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia
terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dari cinta kasihnya
terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari
bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
“Jangan, Twako,” katanya,
suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita
dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”
Bok Liong meragu, akan tetapi
mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan
mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam- diam ia merasa bahagia
sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu.
Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku
pasti akan menjungkir balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!” Setelah
berkata demikian, pemuda itu berenang ke pinggir. Setelah mendarat, barulah ia
merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan
tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun
cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan
untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan.
Ia bersikeras untuk membayangi terus, biarpun ia harus berjalan sampai ke
Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!
Dapat dibayangkan betapa
sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu
menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti
terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para
penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan
perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek. Adapun Lin
Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu
keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi
sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya
karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan
karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya
sendiri, sudah tersangkut oleh.... sebuah suling yang terbuat daripada emas!
***
Kita tinggalkan dulu Lie Bok
Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan Lin
Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini, biarpun hakekatnya amat
dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan
diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti perjalanan Suling Emas
bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.
“Twako, kenapa kau tadi tidak
mencegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia
mengalami celaka?” Di tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.
Suling Emas diam saja, hanya
menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas sebagai
petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan
di belakang.
“Eng-moi, bagaimana kau bisa
menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa hebat
susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin. Terang bahwa Suling
Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang
iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu saja
Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin Lin.”
Kembali Suling Emas menarik
napas panjang. “Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku
bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apalagi mengingat akan
pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin
adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapapun juga, kita akan
pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari Lin Lin.
Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku
mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san,
tentu saja kalau dia mau.”
“Kalau ia mau? Apa maksudmu,
Twako?” tanya Sian Eng heran.
Suling Emas tersenyum. “Bukankah
dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali kepada bangsanya dan merasa
berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita
tidak dapat memaksanya bukan?”
“Aku ikut, Twako. Aku akan
membujuknya! Tidak boleh dia tinggal bersama suku bangsa liar itu!” seru Sian
Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.
“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi
akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”
Kembali Suling Emas menarik
napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia
sebenarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya
untuk mengusir mereka.
“Baiklah, akan tetapi perjalanan
amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku
diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku,
agaknya perjalananku tidak akan aman lagi.”
“Mengapa, Twako?”
Suling Emas menarik napas
panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh.
“Mendiang ibuku.... ah tak perlu
dibicarakan lagi.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak
bertanya dari belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya
adiknya ini tidak banyak bertanya.
“Orang-orang Khitan itu tentu
berangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara
hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan
tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak Bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam
Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan turunnya sebelah sana
hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang. Jurang ini tidak lebar, hanya
sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam.
Dahulu aku memasang sehelai tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu.
Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”
Dua orang adiknya menurut dan
mulailah mereka mendaki Bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang
dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu
tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah yang sukar sekali. Mereka
harus melompati banyak jurang-jurang kecil, melalui daerah batu karang yang
tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau
diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya. Akan tetapi, karena mereka
bertiga adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka mereka dapat
melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang kadang-kadang harus berpegang
pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian Eng yang paling
rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan hebat sekali
semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.
Matahari telah condong ke barat
ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya
yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil
menyeberanginya dan tiba di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ,
karena tepi jurang itu membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di
bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang
dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri
mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam
tenggorokannya. Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang di atas
jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi “jembatan” ini
tidak kosong! Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek
tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas
tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk “berdiri”
jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua
kaki menjulang ke atas, dan lagi kalau tambang itu melintang di atas jurang
yang dalamnya ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut,
meram melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil ompong
itu keluar dengkur yang keras.
Suling Emas tampak marah.
“Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan kaki
kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.
“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah
kehendakmu menghadang aku di sini dan menjual kepandaian secara tengik
begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku menendang
tubuhmu yang reyot itu ke dasar jurang!”
Bu Sin dan Sian Eng berdiri di
belakang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan
di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adaleh Tok-sim
Lo-tong, seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka maklum
dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan
di atas tambang yang melintang di atas jurang seperti itu, benar-benar amatlah
berbahaya, baik bagi yang kalah maupun bagi yang menang. Sekali saja
keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan
harap akan dapat menyelamatkan nyawa, kecuali kalau orang itu mempunyai sayap
seperti burung!
“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling
Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”
Merah wajah Suling Emas. Begitu
cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya. “Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah
payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk
apa bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”
“Heh-heh, berani kau melawanku?
Di atas tambang ini?”
“Takut apa?” Suling Emas
meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu menoleh dan
berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri
isyarat dari sana.”
Sehabis memberi peringatan
kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil mengeluarkan senjatanya,
yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biarpun kelihatan seperti orang tolol,
kekanak-kanakan, namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga
ia dianggap cukup berharga untuk menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai.
Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan sulingnya.
“Heh-heh-heh!” Tok-sim Lo-tong
terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran beberapa kali
di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang. Hebat sekali
demonstrasinya ini, seakan-akan tambang itu merupakan tanah keras biasa
baginya. Begitu kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu
lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari
kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang
itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat
sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.
Bu Sin dan Sian Eng memandang
pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua kakinya telanjang,
tentu saja ia lebih leluasa “main-main” di atas tambang daripada Suling Emas
yang memakai sepatu kulit dengan sol dipasangi baja Suling Emas dengan
sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat
mencengkeram tambang dengan jari-jari kakinya!
“Heh-heh-heh, terjunlah....
terjunlah.... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada
tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan
dapat menahan dirinya.
Namun Suling Emas bukanlah
pendekar sembarangan saja. Biarpun usianya belum tua, namun ia seorang yang
selain memiliki kesaktian tinggi juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang
tenang dan waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak
gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lwee-kangnya ia dapat membuat kedua
kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biarpun tubuhnya tergucang-guncang
dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, namun ia sama sekali tidak dapat
terjatuh dari atas tambang.
“Tua bangka curang, cukup
permainanmu ini!” tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke atas,
kedua kakinya terlepas dari tambang! Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini
benar-benar berbahaya. Betapapun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang,
bagaimana begitu sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun
lagi dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?
“Heh-heh-heh, kau cari mampus!”
teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat kesempatan baik.
Guncangan pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas
tidak akan mampu turun lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru
keras dan melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia
berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar
bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya.
Sekali saja ia terkena totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan
akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah. Karena Tok-sim Lo-tong sibuk
mengelak inilah maka tambang tidak terguncang-guncang lagi dan tentu saja hal
ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi
di atas tambang. Kini dialah yang menyerang, terus mendesak lawan dengan
sulingnya sehingga kakek gundul itu berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa
mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi seberang jurang.
Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik
dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang
dan kedua tangannya yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang
sebesar kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang
masih berada di atas tambang! Serangan hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus
menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa karena dengan
mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang yang demikian besarnya.
Namun Suling Emas tidak menjadi
gentar atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok,
sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah.
Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah.
Sampai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi
Suling Emas sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat sedikit pun ke
bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.
Di seberang lain, Sian Eng
meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri sekali. Mereka melihat
betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur
berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur
kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.
Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi
marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang,
agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat
ini, maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat
merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong. Terpaksa iblis
ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke
belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan
batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan
derasnya. Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan
itu gerakan mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia
bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil
menyerang. Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua
batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan
sambaran sembarang sambar! Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis,
malah mengeluarkan kipasnya dan senjata ke dua ini banyak berjasa mengebut
runtuh batu-batu kecil. Biarpun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih
sempat berseru ke sebelah belakangnya.
“Kalian menyeberanglah!”
Bu Sin dan Sian Eng mendengar
seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.
“Kau menyeberang dulu, Eng-moi,
biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.
Menyeberang tambang seperti itu
bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah
yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak
pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya
agak menggigil, Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.
“Jangan takut, adikku. Tidak
apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya?
Asal kau jangan memandang ke bawah.”
Sian Eng mengangguk, lalu
melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah
hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan
tubuh.
Ketika mereka tiba di
tengah-tengah “jembatan”, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah
belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget
hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa
sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka injak!
“Twako.... tolong....!” Hampir
berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena
pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.
Dua batang golok yang tajam
menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu
Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada
saat itu tidak terjadi hal yang hebat. Suling Emas mendengar teriakan
adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang memegang
kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah
dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua
buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking cepatnya. Tahu-tahu dua
orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka terguling roboh dan karena
mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi
menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya terdengar raung mengerikan
ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan terbantingnya
tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke
atas, saking tingginya tempat itu.
Sejenak Sian Eng meramkan mata
dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya
menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya.
Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat
gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.
“Eng-moi, bahaya telah lewat,
hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan mendorong. Sian Eng
sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang
tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi
penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa
bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini
subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air
sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang. Tentu saja mereka hanya
dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka
segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim
Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu
Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka mereka hanya
memandang dengan kagum dan juga cemas.
Kakek tinggi kurus itu ternyata
lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan
tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya!
Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah
pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata! Memang
demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suhengnya, Toat-beng
Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena
sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas seperti orang
hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun karena
gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka
tentu saja kepandaian mereka hebat. Suling Emas sudah berhasil mendesaknya,
namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran,
namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya
memang tidak tepat benar.
“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian
pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum
datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran
sungai. Lekas!”
Bu Sin dan adiknya heran melihat
sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling
Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi
cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling
tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya
ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.
Bahkan yang terdepan, seorang
kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya
gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan
tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu Sin sekarang akan
maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi
kurang leluasa untuk melawan sekian banyak orang pandai, karena disamping
harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.
“Tapi.... kau sendiri....
Twako?” Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk
meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan
tangguh.
“Pergilah....!” Suling Emas
berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat
pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.
Jalan menuruni bukit hijau ini
amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah
tempak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan
larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di
tepi Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi
perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memeng
jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat
dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang
berbelok-belok.
“Kita menanti di sini, Sin-ko.
Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau.... kalau dia....”
“Dia tidak akan kalah, Eng-moi.
Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”
“Tapi di sini amat sunyi, mana
ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako
datang.”
“Twako tadi berpesan supaya kita
berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai
dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”
Tanpa memberi kesempatan lagi
kepade Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak
melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sunsai itu ke hilir dengan langkah cepat.
Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah
depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu
besar yang menawan Lin Lin!
***
Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian
Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin
Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi
kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan
harapan akan segera dapat tersusul Suling Emas karena betapapun juga, berpisah
dari kakak yang sakti ini mereka merasa tidak enak. Mereka melakukan perjalanan
menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling Emas. Dan inilah
sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan
makin menjauh karena kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk
membikin Lie Bok Liong yang mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.
Suling Emas setelah melihat
kedua orang adiknya pergi cepat, menjadi lega hatinya. Ia tadi melihat
munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu
yang gerakan-gerakannya cukup membayangkan kepandaian tinggi. Oleh karena
inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia
maklum bahwa menghadapi lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian
Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum mengejek ia
berkata.
“Tok-sim Lo-tong, karena aku
tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada
dendam mendendam. Mengapa kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak
tadi aku berlaku murah dan mengalah? Sekarang suhengmu datang dan
teman-temanmu, aku tidak bisa bersikap mengalah lagi!”
Tiba-tiba Suling Emas
menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat
Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini adalah
ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama ini
merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan sembarangan ia
keluarkan kalau tidak perlu. Dengan ilmu silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa
mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas jarang menemukan tandingan.
Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan mendesak dengan munculnya
Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus menyusul kedua orang
adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran
Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini untuk menghadapi
Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu.
Tok-sim Lo-tong terkesiap,
mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi silau. Di depan
matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan yang bergerak
membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain indah gayanya, juga mengandung
tenaga mujijat yang sukar ia lawan. Selama hidupnya kakek ini belum pernah
gentar menghadapi ilmu silat dari manapun juga, akan tetapi menghadapi gerakan
aneh yang mengandung getaran mujijat ini, ia benar-benar kaget sekali. Cepat ia
mengerahkan tenaga sin-kangnya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata
tajam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas
suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak meleset seperti
mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan
suling, seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat
gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai sepuluh meter
lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong dirinya, kalau
tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.
Kehebatan jurus yang dikeluarkan
Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat
sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf
sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf
ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan memiliki arti yang lebih
mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi Locu dengan kitab To-tik-keng
(Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan
filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO inilah! Demikian dalam dan penuh
rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan
bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking
kecilnya tidak tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib
daripada yang gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua rahasia!
Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik pandai
membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.
Nah, dengan mendasarkan jurusnya
pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan
saja, kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan bergulingan
sampai sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar!
Pada saat Tok-sim Lo-tong
bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang
temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui,
kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi
pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang anak buah pengemis
itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang perjalanan Suling Emas.
Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka tadi yang
berada di jembatan tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin
yang menganggur menjadi tidak betah, dan mengajak tiga orang pembantu itu
memasuki hutan mencari daging binatang.
Toat-beng Koai-jin melihat
sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya,
“Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah, adikku sayang?” Ia
merangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya
seperti scorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis
dalam rangkulan suhengnya! Tangis manja seorang anak kecil!
Adapun tiga orang pembantu
It-gan Kai-ong itu ketika melihat Suling Emas segera menyerbu dengan golok di
tangan. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di
situ ada Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati
dan berani menyerbu, pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak
melanjutkan coretan-coretan terakhir dari huruf To, hanya dua kali gerakan
coretan lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik
keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh
terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun kembali!
Karena Suling Emas memang tidak
mempunyai niat untuk menunda perjalanannya dengan pertempuran-pertempuran yang
tidak beralasan, tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan
tempat itu.
“He, Kim-siauw-eng, tunggu! Kau
sudah berani mengganggu Suteku, beraninya hanya pada anak-anak, hayo kau lawan
aku!” bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah
batu karang yang besar.
Suling Emas tertawa dan mengelak
sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang
seketika. “Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka,
seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!” Suling Emas
tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng Koai-jin yang memaki-makinya
dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.
Karena gin-kang dari Suling Emas
sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia dapat meninggalkan dua
orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang.
Adapun tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biarpun
tidak tewas namun masih “ngorok” seperti babi disembelih.
Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin
menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas hanya
membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika
ia melihat banyak sekali orang menghadangnya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia
kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada di situ, dan ia heran menyaksikan
puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao
dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh
besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio
Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka
ini semua rata-rata bersikap keren dan bermusuh!
“Para sahabat yang baik, nah
itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia yang harus membayar
hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar It-gan Kai-ong berseru
sembil tertawa mengejek.
Kini Suling Emas sudah
berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling
Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil berkata.
“Saudara-saudara sekalian ini
bukankah tadinya menjadi tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas
kembali ke tempat masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apakah?”
Orang banyak itu melangkah maju,
dan seperti seribu burung berkicau mereka menjawab dengan ucapan
masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih
sempat mendengar betapa mereka itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan
mendiang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari
Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.
“Cheng San Hwesio, kau mengenal
baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya tidak memusuhi
Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini
mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap
Siauw-lim-pai?”
“Hemmm, Suling Emas, memang kau
tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan Siauw-lim-pai. Akan
tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu
kandungmu. Tiga orang suhengku tewas dua puluh tahun yang lalu dan seorang
suteku diculik ibumu, kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah
dijadikan barang permainan ibu kandungmu. Dosa itu tak berampun, dan karena
ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar hutangnya! Harap saja kau suka
menyerahkan agar pincang (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!”
“Mana bisa, Cheng San Hwesio!”
bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas sebagai seorang tokoh
Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling
Emas karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik
Hoa-san, membunuh lima orang suhengku, mencuri pedang pusaka dan menghina
ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan
sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan, tahun
yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh
Siang-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi
kalau bukan Suling Emas yang harus mempertanggungjawabkan? Suling Emas, hayo
kau ikut dengan pinto ke Hoa-san!”
“Tidak bisa!” kata seorang
hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai.
“Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan kepada
puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi!”
Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain lalu
melangkah maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.
Masih banyak yang bicara dan
rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan Tok-siauw-kui dan
menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih
dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan
yang dibela sehingga ia rela meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta,
ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah
melakukan banyak perbuatan jahat! Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin
menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan
dibunuh, ingin menebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa.
Akan tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apalagi ia telah
berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya.
Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang agaknya menjadi korban
ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak
ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin, ia harus melindungi
mereka untuk menebus dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan
terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu.
Dengan sudut matanya Suling Emas
melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum
terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan selain di
situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang masih datang pula
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau mereka semua maju, biarpun ia
tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi mereka!
“Kalian terburu nafsu! Andaikata
mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak ada
waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk dendam!” Setelah berkata
demikian, Suling Emas memutar sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan
diri. Tentu saja ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa
ia ke tempat adik-adiknya dan kalau hal ini terjadi akan berbahayalah bagi
adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu
sungai, berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu
melakukan pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.
Suling Emas menjadi makin
gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang
tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi,
menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan
terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan
mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh
ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justeru
sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia
menambah dosa-dosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya.
Akan tetapi, para pengejarnya
adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu
saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus
melakukan pengejaran den tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah
tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang
amat nyaring dari seorang wanita.
“Kau harus menebus nyawa ayah
yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”
Suling Emas kaget sekali, cepat
ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak
meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat
seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini
cantik dan berwajah keren, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau,
usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinat putih perak itu
tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid
pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli Sin-kang yang sakti. Gerakan wanita
itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun
cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia
mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedeng itu tiap
kali sinarnya menyambar.
“Kau siapakah, Nona?”
“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang
Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui,
tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabuhi ayah sehingga
berhasil mewarisi gin-kang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus
dosanya!” bentak wanita itu sambil menyerang lagi.
Suling Emas kaget. Ia ingat akan
nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu yang berjuluk
Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”
“Betul dan sekarang menanti di
akhirat untuk menunggu nyawamu!”
Diam-diam Suling Emas mengeluh.
Apalagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak
tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar
yang berbudi, kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang
anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?
“Ibuku yang berbuat, aku tidak
tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah
menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit
darahku!” Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas
sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju
serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju,
akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara
lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada
jalan darah di dekat siku.
“Maafkan aku!” setelah berkata
demiklan, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum
para pengejarnya datang dekat.
Hanya sebentar saja Tan Lian
lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan
perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia
dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau
Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum pulalah ia
bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya terbacok. Tak
terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di
mata pedangnya.
“Ayah, cukupkah darah ini....?”
bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.
“Dia sudah terluka!”
“Hayo kejar, dia sudah terluka!”
Demikian teriakan para pengejar
dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut
pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang
dipanaskan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin juga
sudah ikut mengejar.
Para pengejar itu, didahului
oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan
hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah
Suling Emas. Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling
Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya. Ia maklum
bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak
boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri
daripada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah “senjata rahasia”
yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng
Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!
Karena maklum akan bahayanya
serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh
orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani
hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi
senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan kebutan
kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan
sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani
serangan. Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh
dendam dan ingin berebut menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau,
yang satu malah menjadi penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan
yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan
menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri
lagi. Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Tidak
terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar
Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit
pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya
memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya
lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi
gin-kang gadis itu, karena biarpun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat
berbahaya baginya, namun dengan gin-kang seperti itu, pedang di tangan si gadis
menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.
Heran ia memikirkan apakah yang
terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang
terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia
mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas
besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka, mempermainkan
pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang didengarnya
itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih
Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.
***
Kita tinggalkan dulu Suling Emas
yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih tokoh-tokoh
kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh
Suling Emas disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai
Kan-kiang. Sepekan sudah mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka
makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.
“Sin-ko, mengapa Bu Song koko
belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali
menengok....”
“Ah, Song-ko seorang sakti, dia
akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia sendiri
pun merasa gelisah. “Betapapun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih
dulu, tak boleh kita tidak mentaati perintahnya.”
“Kalau begitu, kita berhenti
saja untuk menunggu kedatangannya!”
“Jangan, Moi-moi, kita harus
berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tampak sungai membelok ke kanan,
melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui
puncak bukit di sana. Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki
gunung seberang sana. Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku yang mencari
perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”
Sian Eng tidak berani membantah
lagi. Memang dari tempat mereka berdiri, tampak dari tempat tinggi ini Sungai
Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan
perjalanan memotong bukit itu melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi
lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kepandaian, karena bagi orang biasa, biarpun jarak lebih dekat, akan tetapi
mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama.
Kakak beradik itu lari
mempergunakan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah
mulai condong ke arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit itu.
Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.
“Sin-ko, itulah tempatnya....?”
Bu Sin berhenti, kaget melihat
muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.
“Tempat apa, Eng-moi?”
“Itu.... kuburan tua itu.... di
sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo dahulu....! Tak salah lagi, aku
ingat betul tempatnya juga berada di lereng seperti itu....”
“Hemmm, kalau begitu tempat itu
mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana. Bukankah kakak
kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita
harus membantunya!”
“Tapi....”
“Eng-moi, takutkah kau?”
“Iblis itu lihai sekali,
Sin-ko.”
“Aku tahu, akan tetapi kita
tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita, juga kita
bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya
menyelidiki tempat itu, adikku. Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak
ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus menyerahkan segala tugas berbahaya
kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai
orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”
Bangkit semangat Sian Eng.
“Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek sakti
seperti yang kauceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah. Kau
betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tempatnya!”
Berlarilah kedua orang kakak
beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah
kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah
mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah
bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari
sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.
“Di situlah....” bisiknya sambil
menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah lantai depan makam, “Di situ
terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah
pekuburan ini.”
“Kau tidak melihat orang lain
dahulu ketika kau dibawa masuk?” tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, mari kita
selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu disembunyikan di tempat ini.
Besar kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu
bisa mengambil tongkatnya kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku
akan girang sekali kalau dapat membantu Song-twako.”
Sian Eng mengangguk setuju dan
mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu, benar
saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya
kurang lebih satu meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya,
ternyata batu itu dapat terbuka dan di bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula
anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu Sin lalu melangkah masuk, diikuti
adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan
beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu gelap bukan main.
“Kenapa berhenti?” tanya Sian
Eng.
“Gelap sekali, kita harus
membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.”
Mereka mundur dan keluar
kembali. Bu Sin segera mencari bahan, kulit pohon yang dapat terbakar lama,
membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin
berjalan di depan, obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya,
mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan
licin, juga makin lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu Sin
tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak membungkuk. Setelah bergerak
melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik.
“Seingatku dahulu terdapat
ruangan yang lebar seperti kamar....”
Mereka maju terus mata dan
hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan menyempit dan
Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.
“Agak terang di sini....”
katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi.
“Entah dari mana datangnya sinat terang ini....”
Akan tetapi Sian Eng tidak
menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian
Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada
sesuatu di belakangnya dan ketika ia menengok.... hampir Sian Eng menjerit dan
pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai
suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo
yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak
berpakaian hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri
memegang senjatanya yang mengerikan, kiranya obor di tangannya itulah yang
membuat terowongan itu menjadi terang!
“Eng-moi kau kenapa....?” Bu Sin
bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya
ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak
menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan.... dapat dibayangkan betapa
terkejut hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.
“Hek-giam-lo....!” katanya dan
pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut. “Kalau kau memang menjadi
tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari belakang?”
Iblis bertopeng tengkorak itu
mendengus. “Hemmm, maju terus atau.... hemmm, kurobek-robek badan kalian di
sini juga!”
Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan
tangannya dan dua buah batu karang melayang ke arah muka dan dada iblis itu.
Kiranya gadis ini sudah dapat menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih
dua buah batu di dekatnya, kemudian menyambitkannya dan ketika iblis itu
sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di
pinggir kepala, adapun batu ke dua ia terima begitu saja dengan dadanya.
“Brakkk!” Batu itu pecah
berantakan!
“Gadis lancang, sekali kau
tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm,
bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ketika melihat iblis itu dengan
langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin segera
berkata, nadanya penuh ejekan, “Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau
ini, sungguh tak tahu malu melayani seorang wanita seperti adikku! Kalau
memang kau gagah, mari kita mencari tempat lapang dan kita bertanding secara
laki-laki!”
“Heh-heh, orang muda sombong.
Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kaubuktikan betapa kesombonganmu
tidak ada isinya!”
Memang bukan maksud Bu Sin untuk
menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk mencegah si iblis
mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah
baginya untuk melindingi adiknya terhadap iblis yang luar blasa lihainya itu.
Dengan begini, setidaknya Sian Eng untuk sementara akan bebas daripada
ancaman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan akal bagaimana
harus melawan iblis ini.
“Marilah, Moi-moi, kau
bergeraklah di depanku, sini....”
Sian Eng sudah menjadi putus asa
menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima sambitannya begitu saja dengan
dada, membuat batu itu hancur! Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu
Sin dan kakak beradik yang sudah tak berdaya lari seperti dua ekor tikus masuk
jebakan ini merangkak maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka,
tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan,
lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.
Benar saja seperti yang
dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian terowongan sempit itu berubah menjadi
lebar dan beberapa puluh meter kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di
bawah tanah yang luas. Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar
matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke tempat itu. Sejenak timbul akal
dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik
dan menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya
mencegahnya. Serangan seperti itu amat rendah, apalagi kalau dipikir usaha ini
belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini. Dengan tenang ia lalu
mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia
membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.
“Nah, Hek-giam-lo,” katanya
dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi gagang
obor, “terus terang saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini.
Sekarang kau telah berada di sini, apa yang hendak kaulakukan terhadap kami?”
“Orang-orang muda lancang!
Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”
“Adikku ini mengenal tanah
kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kauculik dan kaubawa ke sini.
Karena itu aku merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan mata sendiri
tempat rahasia ini.”
“Hanya itu?” Hek-giam-lo
mendesak.
“Tentu saja kalau kami melihat
tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami bawa
dan kembalikan kepada Beng-kauw.” Jawab Bu Sin sejujurnya.
“Hemmm, tidak ada orang luar
yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini,
bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri.
Biar pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh,
hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini. Ha-ha-ha, kalian
merupakan umpan-umpan yang baik, biar dia datang hendak kulihat!”
“Sombong! Aku pun tidak takut
padamu, iblis busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu!”
Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda
ini ke arah kedok tengkorak itu.
“Huh, bocah bosan hidup!” Si
iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan. “Dukkk!”
gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu,
sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus
bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini biarpun dilakukan dengan perlahan,
namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu
sudah kena pukul.
“Prakkk!” kini gagang obor di
tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu
Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.
“Bocah sombong, keras juga
kepalamu!” katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya. Tentu saja
iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang
dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya
ini boleh dibilang menjadi sumber daripada tenaga mujijat yang dimilikinya
akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh
lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin
tidak sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja
menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa
pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti
Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan
itu sudah ia angkat ke atas kepala!
Tiba-tiba terdengar suara
“singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan iblis
itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa takut. “Iblis sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu!”
“Eng-moi, mundur! Dia bukan
musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.
“Aku tahu, Koko, akan tetepi dia
pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati dulu dari
padamu.”
Diam-diam jantung Bu Sin seperti
tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai
melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan
yang demikian sakti dan ganas mengerikan.
“Jangan khawatir, Moi-moi. Kita
berdua dapat melawan iblis ini!” katanya dan mencabut pedangnya. “Akan tetapi
biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil
kalau Song-koko lewat di atas!”
Mendengar ini, Sian Eng menjadi
girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini telah putus harapan
karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya
orang yang boleh diharapkam dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling
Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah benar-benar menyusul dan
sampai di atas sana.
“Sin-ko, kaupertahankan dia,
biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat meloncat untuk berlari keluar
melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika
Hek-giam-lo menggerakkan lengan baju ke arahnya sambil mendengus.
“Huh, kau takkan dapat pergi ke
mana-mana!”
“Setan, berani kau mengganggu
adikku?” Bu Sin sudah memerjang maju dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga
saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa
lihainya.
“Tranggg!” Pedang di tangan Bu
Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya sampai ikut
terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya,
perih dan panas.
Sian Eng membentak marah sambil
menusukkan pedangnya. Akan tetapi sekali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak,
pedang itu sudah terpukul patah, menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung
lengan baju hitam. Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo
sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.
“Ibils keparat!” bentak lagi Bu
Sin yang menerjang dengan nekat. Ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa
sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia
warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan
tetapi ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan
ilmu kepandaian Hek-giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis
Dunia.
Ketika tadi memukul kepala Bu
Sin yang mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda
itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu
terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak yang
mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan
ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng bahwa si iblis ini
tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa
mereka tidak akan dapat tertolong lagi.
Menghadapi terjangan Bu Sin kali
ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan dengan
ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan
baju ini memapaki pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu
seketika menggulung dan membelit pedang.
“Aihhhhh!” Bu Sin mengerahkan
tenaga sakti sekuatnya dan.... “brettttt!” putuslah ujung lengan baju hitam
itu.
Hek-giam-lo mengeluarkan suara
menggereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat mengancam leher Bu
Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis. “Trangggg....!” kali ini Bu
Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari
tangannya!
Melihat sinar hitam berkelebat
di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerahkan gin-kang berdasarkan tenaga sakti
untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke
kiri menerobos di antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi
walaupun gerakannya itu cepat bukan main, ia masih terlambat. Memang,
gerakannya tadi menyelamatkan dadanya daripada kehancuran ketika ujung lengan
baju Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak
dapat menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya keserempet hawa pukulan
dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan lumpuh dan
patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah
menotoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak pula!
“Hu-huh, bocah-bocah sombong!
Adik-adik Suling Ems kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas? Biar dia
datang, kurobohkan sekalian!”
“Hek-giam-lo, kalau kakak kami
datang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.
Hek-giam-lo tertawa-tawa,
kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdampingan dengan ruangan itu. Tak
lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.
“Kutinggalkan kalian di sini,
kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan menjadi
setan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang tiada gunanya macam kalian,
percuma dibunuh juga. Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia
berkepandaian, dia boleh minta kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-hah!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tempat
itu.
Bu Sin dan Sian Eng berusaha
keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah makin hebat
mereka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan
Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh
dan tiap kali mereka mengerahkan sin-kang, tubuh serasa dibakar dan
nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah tak
berkutik di atas tanah yang lembab.
Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa
berada di terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu
bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan
terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo
menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat ini memang menjadi
sarangnya, di pinggir sungai terdapat pula sebuah rumah pondok yang indah dan
jauh daripada tetangga. Inilah tempat peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para
mata-mata Khitan apabila melakukan tugasnya dan tiba di tempat ini. Ke rumah
inilah Lin Lin dibawa, sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah
kuburan kuno untuk mengambil kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas
dari tangan kakek sakti Bu Kek Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan
“tengahnya” karena yang separoh terampas oleh It-gan Kai-ong. Memang ia tidak
berani membawa-bawa kitab yang ia tahu menjadi incaran It-gan Kai-ong, Suling
Emas dan Siang-mou Sin-ni, mungkin juga Bu Kek Siansu sendiri itu. Ketika
melawat ke selatan, ia menyimpan kitab pusaka itu di dalam terowongan dan
sekarang ia hendak mengambil dan membawanya kembali ke Khitan. Secara kebetulan
ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng memasuki tempat sembunyinya.
Lin Lin merasa jengkel sekali.
Biarpun ia selalu diperlakukan dengan hormat, dipanggil tuan puteri, setiap
kali mendapat hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam kebutuhannya,
dipenuhi segala macam perintahnya, kecuali perintah agar ia bebas, ditaati,
namun ia maklum bahwa sebenarnya ia menjadi tawanan! Ia merasa tidak berdaya
menghadapi Hek-giam-lo yang kosen, juga para anak buah Khitan itu terdiri
daripada orang-orang pilihan. Oleh karena itu, gadis ini maklum bahwa takkan
mungkin ia memberontak atau melarikan diri, hal itu hanya akan membuat ia
menderita saja. Pikiran inilah yang membunt ia akhirnya tidak rewel minta
dibebaskan lagi, ia diam saja, malah kini memaksa diri bergembira, akan tetapi
diam-diam ia amat mengharapkan munculnya Suling Emas! Ia merasa gemas juga
mengapa sampai begitu lama Suling Emas tidak juga muncul menolongnya? Dan di
samping ini, ia merasa amat sengsara dan sedih kalau ia mengingat Bok Liong.
Kadang-kadang ia masih dapat melihat bayangan pemuda itu di pinggir sungai,
pakaiannya kotor, rambutnya kusut dan kelihatannya sengsara. Memang pemuda yang
keras hati ini sudah nekat untuk terus mengikuti perahu yang membawa gadis
pujaannya.
“Liong-twako, sudahlah jangan
mengikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia membebaskan aku!”
dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan Lie Bok Liong yang bergerak
di pinggir sungai. Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang mendengar dan
melihat ini hanya tersenyum-senyum saja.
Pemuda itu berseru menjawab.
“Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling Emas berada di mana,
kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orarg-orang liar itu mengganggumu? Aku
akan mengadu nyawa dengan mereka! Jangan khawatir selama aku berada di
dekatmu!”
Lin Lin menghela napas diam-diam
ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia dan
jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan pemuda itu
untuk dirinya. Mulai terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong amat mencinta
dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan terharu. Bukan pemuda ini yang selalu
menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan hatinya. Hati dan perasaan
cinta kasih dalam dadanya terampas oleh Suling Emas! Ia merasa amat khawatir
melihat tingkah laku Bok Liong yang begitu nekat hendak melindungi dan
membelanya, biarpun pemuda itu sendiri tahu betul bahwa menghadapi Hek-giam-lo
dan anak buahnya, ia tidak berdaya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok
Liong akan nekat dan akhirnya akan mengorbankan nyawanya, apalagi ketika ia
diturunkan dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi sungai itu. Dan
kekhawatitannya terbukti. Sore hari itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi
meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat itu. Pemuda ini
tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat menyusul. Ketika
melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia segera menghampiri
rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit ia melangkah ke halaman pondok
itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal pemuda ini sebenarnya sedang tidak
sehat tubuhnya panas dan lemas, karena selama dalam perjalanan mengikuti
perahu, ia jarang sekali makan, pula ia masih menderita luka ketika bertempur
dengan Hek-giam-lo di atas perahu beberapa hari yang lalu. Agaknya rasa cinta
kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala derita.
Ketika melihat pondok itu sunyi
saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan depan. Ia sudah nekat, hendak
mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu lari, atau membiarkan gadis itu lari
sedangkan dia akan menahan orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.
“Lin-moi....!” Ia memanggil
dengan suara parau. Suaranya menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat
ia terserang batuk pula. Memang perahu itu tak pernah berhenti sehingga di
waktu malam sekalipun Bok Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal
jauh. Selama hampir sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang
malam, makan sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan
sambil berjalan terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh
dikatakan tidur.
“Lin-moi....!” Kembali Bok Liong
berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang tertutup.
Karena tidak juga ada jawaban,
Bok Liong melompat ke pintu samping, yaitu pintu yang menuju ke taman di
samping pondok. Pintu ini terbuat daripada kayu dan tidak sekokoh pintu depan.
Sambil mengerahkan tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah
pintu itu! Akan tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam keluar seorang
laki-laki berkumis.
“Jahanam liar! Berani kau datang
ke sini?” teriak orang Khitan itu yang segera menerjang ke depan dengan
pukulan-pukulan keras. Bok Liong mengelak sambil melompat ke belakang, akan
tetapi karena tubuhnya lemah dan gemetar, ia terhuyung-huyung sampai ke ruangan
depan. Lawannya yang kelihatan kuat itu terus mendesaknya dengan
pukulan-pukulan keras, betapapun juga, tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh
lebih tinggi, maka biarpun terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak,
kemudian setelah peningnya agak berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan
itu terkena pukulannya pada leher sehingga orang Khitan itu terpelanting.
Akan tetapi dari pintu taman itu
bermunculan orang-orang Khitan. Bok Liong cepat mencabut pedangnya, akan
tetapi karena enam orang Khitan itu serentak maju menubruknya, Bok Liong yang
sudah lemas itu tak dapat bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung,
kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh dan kedua kakinya pun diikat!
Pemuda ini hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan
mengambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah ketika
terjadi pergulatan tadi.
Bok Liong diseret masuk ke
ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin tidak muncul.
Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya terikat
pada sebuah tiang! Memang, sebelum pergi meninggalkan pondok, Hek-giam-lo
mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup maklum akan kelihaian gadis
ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan gadis ini akan cukup
membahayakan, sungguhpun dua puluh orang anak buahnya merupakan pasukan yang
cukup tangguh. Iblis itu tidak mengkhawatirkan kedatangan Lie Bok Liong karena
iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda itu sudah hampir kehabisan tenaga.
Melihat Lin Lin diikat pada
tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya ia meronta-ronta. Namun ia
terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangannya.
“Lepaskan dia! Kalian
binatang-binatang liar! Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak mengganggu
wanita! Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu wanita dan boleh siksa
atau bunuh aku!”
Lin Lin memandang Bok Liong dan
amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar menderita, wajahnya pucat,
rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya lecet-lecet di sana-sini. Dalam
keadaan seperti itu, pemuda ini masih hendak membelanya! Tak terasa lagi dua
titik air mata membasahi bulu mata gadis ini.
“Liong-twako, kenapa kau
menyusul ke sini?” tegurnya perlahan.
“Lin-moi, bagaimana aku bisa
meninggalkan kau yang masih menjadi tawanan?” balas tanya Bok Liong, suaranya
penuh perasaan sehingga Lin Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apalagi
ketika ia melihat betapa Bok Liong diikat tiang lain di depannya, kemudian
seorang Khitan yang berkumis panjang mencambuknya.
“Tahan! Jangan bunuh dia!”
teriak Lin Lin. “Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi
permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman berat, akan dikupas kulit
kalian!”
Orang Khitan yang berkumis tadi
menjura, akan tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata, “Tuan Puteri, harap
Paduka jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas yang diperintahkan
Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi harus memberi
hukuman kepadanya.” Setelah berkata demikian, ia memberi aba-aba dalam bahasa
Khitan. Majulah dua orang Khitan tinggi besar yang membawa cambuk
berdetak-detak, dua batang ujung cambuk lemas itu melecut dan bertubi-tubi
menghantam punggung, leher, muka dan seluruh tubuh Lie Bok Liong!
“Tar-tar-tar....!” Bunyi cambuk
nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.
“Boleh siksa aku, bunuhlah aku,
keparat-keparat jahanam! Akan tetapi bebaskan Lin-moi!” Biarpun dicambuki dan
bajunya robek-robek, kulitnya robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan
darah, namun Bok Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin
dibebaskan. Sedikit pun ia tidak mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya
nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat bergerak lagi. Mukanya
menjadi matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan beberapa menit
kemudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada ikatannya. Bok Liong
pingsan.
Lin Lin meramkan mata. Tiap kali
cambuk melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air matanya mengalir
membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan cambuk, Bok Liong
selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi cambuk terhenti, barulah ia
berani membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa hancur dan terharu hatinya
melihat Bok Liong dalam keadaan seperti itu. Seluruh pakaiannya
compang-camping, kulit tubuhnya penuh jalur-jalur merah dan biru, mukanya
sukar dikenal lagi karena bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar
orang-orang Khitan itu melepaskan ikatannya, menyeret keluar pondok dan
melemparkannya ke dalam semak-semak belukar!
Lin Lin yang tidak berdaya itu
merasa tersiksa hatinya. Semalam itu, ia direbahkan di atas pembaringan dengan
kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu terkenang
kepada Bok Liong. Tentu saja ia tidak melihat betapa pemuda itu benar-benar
mengalami derita yang hebat sekali. Bok Liong siuman tak lama sesudah ia
dilempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan
sukar sekali bangkit karena setiap kali menggerakkan kaki tangan, terasa amat
nyeri. Ia memaksa diri untuk bangkit, merangkak keluar dari dalam semak-semak,
berjalan terhuyung-huyung menuju ke sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya
yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia jatuh tersungkur dan kembali
ia pingsan di pinggir sungai. Sampai jauh malam barulah ia sadar, akan tetapi
tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga setelah mencuci tubuh, ia tidak
dapat berdiri lagi.
Namun Lie Bok Liong adalah
seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus asa. Ia lalu
duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan mengerahkan tenaga.
Menjelang pagi, ia sudah merasa mendingan.
“Liong-twako....!” Ini suara Lin
Lin.
Cepat Bok Liong membuka mata,
akan tetapi ketika ia memandang, ia merasa kecewa. Ternyata Lin Lin berjalan di
depan rombongan orang Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan
tetapi di dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo!
“Aku tidak apa-apa, Lin-moi.
Kaujagalah dirimu baik-baik!” Ucapan ini tentu saja diterima dengan hati perih
oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan cinta kasih
yang luar biasa besar dan tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan isak gadis
itu menundukkan mukanya dan berjalan terus menuju ke perahu bersama
Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya
melawan.
Orang Khitan yang berkumis
panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan pedang Goat-kong-kiam ke dekat
pemuda itu sambil meludah dan tertawa mengejek!
Bok Liong bukanlah orang yang
sudi menerima penghinaan begitu saja tanpa membalas. Melihat pedangnya, secepat
kilat ia menyambarnya dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya
menerjang orang berkumis itu. Si kumis kaget sekali, cepat mengelak, namun
pedang Bok Liong masih saja mencium pundaknya. Orang Khitan itu terhuyung ke
belakang dan Bok Liong cepat menambah serangannya dengan sebuah tusukan
kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti akan tertembus pedang
Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu Hek-giam-lo tidak cepat menggerakkan
tangan kanannya sambil membalikkan tubuh. Tangan itu masih terpisah satu meter
dari Bok Liong, akan tetapi pukulan jarak jauh ini cukup membuat Bok Liong
terpental sehingga tusukannya meleset dan si kumis selamat. Kalau saja Bok
Liong tidak dalam keadaan selemah itu, kiranya belum tentu pukulan jarak jauh
ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.
Bok Liong benar-benar nekat dan
keras hati. Ia terlempar ke kiri dan jatuh, akan tetapi cepat ia meloncat bangun
dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo! Ia memang terluka dan
lemah, namun jurus serangannya adaiah jurus serangan ilmu silat tinggi, dan
pedangnya adalah pedang pusaka, maka serangan itu tak boleh dipandang ringan.
Kalau lawan biasa saja tentu sukar terlepas daripada bahaya serangan ini. Akan
tetapi sayang bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil
mendengus panjang, iblis ini menggerakkan senjatanya yang aneh diputar
menyilaukan mata. Terdengar suara nyaring entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Bok
Liong terlempar ke dalam sungai. “Byurrrrr!” Air muncrat tinggi-tinggi dan
pemuda itu gelagapan, dengan susah payah berusaha berenang ke tepi.
Orang-orang Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu dan
perahu itu meluncur menurutkan aliran air sungai, meninggalkan Bok Liong yang
masih gelagapan dan berenang ke pinggir.
“Lin-moi....! Jangan khawatir,
aku akan menyusulmu....!” Suara Bok Liong ini terdengar oleh Lin Lin yang
berada di atas perahu, dan makin gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas
mengapa sampai begitu lama belum juga datang menolongnya sehingga Bok Liong
harus mengalami derita yang demikian hebatnya. Tak tega lagi hatinya, maka ia
lari memasuki pondok perahu, membanting diri di atas pembaringan yang
disediakan untuknya, lalu menangis. Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia
segera meraih tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang selama ini
memang menjadi benda permainannya. Sebetulnya, sebentar saja ia sudah bosan
dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya akan membawa
ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main dengan tongkat
itu. Ia merasa yakin bahwa Suling Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk
merampas kembali tongkat ini.
Ia meraba-raba tongkat itu. Baru
sekarang ia memperhatikan tubuh tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah.
Tongkat itu sebesar lengannya, makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya
terdapat mutiara-mutiara ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini,
tanpa sengaja ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba terdengar bunyi “klikkk!”
dan bagian tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.
***
Ketika diperiksanya bagian ini,
ternyata bagian tengah tongkat itu bersambung, akan tetapi sambungannya diatur
demikian rupa sehingga takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh
kunci pembuka sambungan itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin
Lin menarik kedua ujung tongkat dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua potong.
Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah sebagai wadah yang ternyata
berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin memeriksa,
mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu dan keluarlah
gulungan-gulungan kertas tipis dari dalamnya.
Dengan hati berdebar-debar Lin
Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas bergulung itu ada tiga belas lembar
banyaknya, lebarnya sekaki persegi dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang
indah. Lin Lin cepat membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika
membaca pelajaran ilmu silat aneh yang didahului dengan latihan samadhi yang
aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini orang harus
bertelanjang bulat. Memang semua aliran menganjurkan bahwa di waktu samadhi,
orang harus mengenakan pakaian yang longgar, jangan ada yang menekan agar
kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan darah tidak terganggu, dan memang harus
diakui bahwa yang terbaik adalah bertelanjang bulat. Akan tetapi pelajaran ini
mengharuskan orang bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal
yang aneh dan luar biasa. Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat
membebaskan diri dari tangan Hek-giam-lo. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu
ini merupakan ilmu mujijat yang akan dapat menolong dirinya. Tanpa ragu-ragu
lagi ia lalu membuka semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersamadhi
dalam keadaan aneh ini, kepala di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di
dalam gulungan kertas pertama.
Beberapa menit kemudian ia
merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memaksa diri, mendesak hawa sin-kang
ke bagian menurut petunjuk dan.... sepuluh menit kemudian kakinya yang berada
di atas itu terbanting ke bawah karena gadis ini sudah menjadi pingsan!
Kebetulan sekali tubuhnya yang tak berpakaian lagi itu menimpa tongkat dan
gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.
Kalau saja keadaannya tidak
seaneh itu, agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua kali
anak buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar
makan, dan dua kali itu tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya
Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan perlahan didorongnya pintu
dan ia menjenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini mendengus, lalu
menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian memesan kepada semua anak
buahnya agar jangan mengganggu tuan puteri yang sedang tidur nyenyak. Betapapun
juga, gadis itu akan diperisteri oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo
tidak suka mengganggunya. Apalagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini
tidur dalam keadaan telanjang bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak
buahnya. Seorang gadis yang menjadi calon permaisuri mana boleh dilihat oleh
anak buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak curiga,
apalagi memang hawa pada siang hari itu amat panas.
Lin Lin siuman kembali dan
cepat-cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu yang tertulis di dalam
gulungan kertas itu merupakan ilmu mujijat yang luar biasa. Ia dapat menduga
bahwa mempelajari ilmu ini tidak boleh secara serampangan belaka, maka ia
mengambil keputusan untuk membacanya dengan teliti dan tidak akan melatihnya
sebelum ia mengerti benar inti sarinya. Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena
kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan. Telah diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan
keadaan ketua Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu mendiang
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian. Lu Sian mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga
Pusaka) yang menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu
kesaktian Pat-jiu Sin-ong boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak
perempuannya sendiri yang murtad (baca ceritaSuling Emas). Karena
inilah maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan mujijat
yang seluruhnya berjumlah tiga belas macam dan secara rahasia ia tulis dan ia
sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu gaib ini ia ciptakan
dengan susah payah selama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang berat dan
dalam.
Inilah sebabnya mengapa begitu
melatih samadhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin menjadi pingsan!
Baiknya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan tekun mempelajarinya
secara diam-diam. Setelah hafal betul dan tahu bagaimana harus bersikap dalam
latihan samadhi yang aneh itu, kini ia hanya berlatih samadhi di waktu malam
dan sengaja ia menggelapkan kamar dan menutupi mutiara ya-beng-cu agar tidak
mengeluarkan sinar. Baru berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan
hebat dalam dirinya. Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam
dadanya dan berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya. Akan
tetapi berkat petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat
mengatur dan menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar. Kemudian
ia mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya.
Tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu yang diciptakan selama tiga belas tahun
ini apalagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin Lin pernah menerima petunjuk dan
gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak ia telah memiliki
dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biarpun dengan susah payah dan sukar
sekali, namun kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.
Semenjak mendapatkan kertas
gulungan pelajaran rahasia yang kalau sudah baca ia simpan kembali ke dalam
tongkat, Lin Lin bersikap tenang dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari
jalan pembebasan. Ia maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan
Hek-giam-lo dan untuk mencapai hal ini adalah tidak mudah. Tak mungkin ia
dapat mengalahkan orang sakti itu walaupun ia sudah mempelajari ilmu mujijat
yang baru dilatihnya beberapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin
memperdalam ilmu ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke Khitan dan akan
mencari jalan keluar agar supaya kehendak Kaisar Khitan atau pamannya itu
ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah, baru ia akan
melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi dan menghalau
penghalang.
***
Suling Emas terus melarikan
diri, dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu. Pendekar sakti
ini menjadi serba bingung. Lari terus dari orang-orang yang berkepandaian
tinggi ini merupakan hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin karena mereka
itu rata-rata memiliki gin-kang dan ilmu lari cepat yang mencapai tingkat
tinggi. Berhenti dan melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan
mengandalkan ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari Bu Kek
Siansu. Akan tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran
sehingga ia dapat lolos, jalan satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justeru
hal ini yang tidak ia kehendaki. Mereka itu adalah orang-orang yang dibikin
sakit hati oleh mendiang ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas
kepadanya. Kalau ia merobohkan mereka, melukai apalagi membunuh, hal itu
benar-benar tidak patut dan berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah
ditumpuk oleh ibunya. Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja
ia menyerah, hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan
menyerahkan nyawa di tangan mereka!
Akhirnya Suling Emas terpaksa
berhenti di sebuah lapangan rumput di lereng bukit. Lari terus tiada gunanya
lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya yang
sudah melarikan diri ke jurusan timur karena ia sendiri lari ke arah barat.
Dengan mengangkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.
“Tahan, aku hendak bicara!”
Dalam waktu beberapa menit saja
mereka sudah tiba di depannya. Sebagian daripada mereka terengah-engah karena
untuk beberapa lama melakukan pengejaran dengan pengerahan gin-kang
sepenuhnya.
“Kau mau bicara apa lagi, Suling
Emas?” bentak Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai sambil melintangkan tongkat
hwesio di depan dadanya. “Kau yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang
sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri.
Hemmm....”
“Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya,
anak tidak akan jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya pengecut, melakukan
kejahatan lalu bersembunyi puluhan tahun, mana anaknya tidak pengecut pula?”
kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pal sambil menudingkan pedangnya ke arah
Suling Emas. Yang lain-lain ikut pula bicara sehingga ramailah di situ,
hiruk-pikuk. Suling Emas melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan
terdepan, yang tidak terengah-engah tanda bahwa gin-kangnya mencapai tingkat
tinggi, tidak berkata apa-apa, malah menundukkan muka dan kadang-kadang saja
mengerling ke arahnya dengan sikap bingung dan ragu-ragu.
“Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua
Sakti) harap jangan terburu nafsu,” kata Suling Emas setelah menarik napas
panjang. “Sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan urusan Cu-wi (Kalian)
dengan mendiang ibuku. Akan tetapi percayalah, andaikata benar ibu telah
melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai puteranya takkan mengingkarinya dan
sanggup untuk mempertanggungjawabkannya. Akan tetapi, ada dua hal yang harus
dipecahkan lebih dulu.”
“Apakah dua hal itu? Hayo bicara
yang betul, jangan plintat-plintut!” bentak Hek Bin Hosiang, si hwesio muka
hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah gatal-gatal tangannya hendak mengemplang
kepala putera musuh besarnya ini dengan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.
“Pertama,” sambung Suling Emas
tanpa menghiraukan sikap galak ini. “Cu-wi begini banyak, yang masing-masing
hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Ada yang hendak menawan, ada
yang hendak membunuh. Mana mungkin hal ini dapat dilakukan? Kedua, biarpun
Cu-wi semua mempunyai cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan
kepada mendiang ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu
benar belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah dan tidak benar
adanya?”
“Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi
adalah iblis betina yang jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Kau
putera tunggalnya, kau harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua
akan saling memperebutkan engkau, baik mati maupun hidup!” bentak Hek Bin
Hosiang sambil menghantam dengan toya baja di tangannya. Hantaman toya baja
ini luar biasa kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih
dari seratus kati, juga tenaga hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini melebihi
gajah! Terdengar angin bersiutan ketika toya itu lenyap bentuknya berubah
menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas!
“Syuuuuur!” Pita rambut yang
panjang berwarna hitam itu berkibaran ketika toya baja menyambar lewat di
atas kepala Suling Emas yang sudah merendahkan tubuh mengelak. Namun toya itu
membuat gerakan membelok dan meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan
lebih kuat lagi. Kini yang diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar
sakti ini cepat menotolkan ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke
atas membiarkan toya itu menyambar lewat di bawah kakinya. Sebelum tubuhnya
turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya ia
kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua fihak oleh
lawan yang lain!
Terdengar bunyi nyaring ketika
pedang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai itu tertangkis suling. Kok
Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia seorang tokoh
Hoa-san-pai tingkat dua, lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi, akan
tetapi benturan pedangnya dengan suling itu membuat telapak tangannya panas.
Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai, karena tongkat
hwesionya yang ia pukulkan ke arah kepala, tiba-tiba menyeleweng ketika
dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas. Tentu saja hwesio tua ini menjadi
penasaran dan juga kaget sekali. Tenaga pukulannya dengan tongkat itu
mendekati tiga ratus kati, bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah
kipas dan menjadi meleset?
Suling Emas menarik napas
panjang mengumpulkan sin-kang dan menggetarkan sulingnya sambil
mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat itu, hujan senjata menyerangnya
dari segenap penjuru. Terdengar bunyi nyaring dan semua senjata itu dapat ia
pentalkan mundur oleh getaran sulingnya, sedangkan yang lain dapat dikebut
menceng oleh kipasnya. Ia kembali mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat
sikap orang-orang kang-ouw ini yang amat membencinya, yang ingin melihat ia
roboh, melihat ia mati, memperlakukannya seolah-olah ia seorang penjahat besar
yang keji dan patut dibasmi! Mengingat akan hal ini, melihat sinar kebencian
berpancaran dari mata mereka, Suling Emas tak dapat menahan kesedihannya, tak
dapat lagi ia mengangkat senjata melawan mereka dan setelah memutar sulingnya
dengan gerakan memanjang sehingga sinar senjata ampuh ini berubah menjadi
pelangi memanjang yang membuat para pengeroyoknya berlompatan mundur, Suling
Emas lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri lagi!
“Pengecut, jangan lari! Begitu
sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari terbirit-birit?”
seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar, nada suaranya penuh ejekan.
“Ho-ho-ho! Putera tunggal
Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa menjadi orang gagah? Tentu licik,
curang dan pengecut!” It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar paling depan.
“It-gan Kai-ong! Kalau kau
menghendaki bertempur, hayo kita mencari tempat. Jangan kira aku takut padamu,
memang aku masih ada perhitungan denganmu yang belum diselesaikan.”
“Ha-ha-ho-ho! Kau menantang
sambil berlari! Bilang saja kau takut!”
Memang Suling Emas terus
melarikan diri, dikejar oleh banyak orang. Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan
perutnya, akan tetapi ia cukup maklum bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh
pengemis tua mata satu itu sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis
sakti, melainkan merupakan akal bulus untuk mencegahnya melarikan diri dan
memaksanya menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.
“Jembel busuk, aku sama sekali
tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku hanya tidak mau melayani mereka!”
“Ha-ha-ho-ho, akal bulus!”
It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biarpun hatinya mendongkol, Suling Emas
melanjutkan larinya. Para pengejarnya juga mengerahkan gin-kang dan mulai
menghujankan senjata rahasia lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas
berhasil menyelamatkan diri dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan
berloncatan ke depan secara berbelok-belok ke kanan kiri.
Mendadak pendekar sakti itu
berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini belum dikenalnya
dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia melarikan diri ke jurusan yang
buntu! Kini di depannya terbentang jurang yang amat dalam dan luas, lebarnya
lebih dari seratus meter dan dalamnya tak dapat diukur lagi. Ia telah masuk
perangkap, di depannya menghalang jurang yang tak mungkin dapat dilampaui, di
belakangnya mengejar puluhan orang yang merupakan lawan-lawan berat dan
terutama sekali, merupakan lawan yang tak ingin ia hadapi bukan karena takut
melainkan karena enggan.
“Ha-ha-ha, sekarang tamatlah
riwayatmu, Suling Emas!” It-gan Kai-ong melompat maju dan menerjang dengan
pukulan dahsyat. Karena diantara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan
Kai-ong merupakan orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi, maka jembel
iblis ini dapat menyerang lebih dulu daripada orang lain. Serangan dahsyat
sekali kedua tangannya melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh
sedangkan tangan kanannya menghantamkan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk
dikatakan mana yang lebih berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri
itu, biarpun jaraknya jauh dan tidak akan langsung mengenai kulit lawan, namun
bahayanya tidak kalah oleh kemplangan tongkat pada kepala.
Namun Suling Emas cepat
menangkis tongkat dengan sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun tangan
kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kakinya digeser ke depan, kemudian kipas
yang tadinya menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan
digetarkan sedemikian rupa sehingga kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan
darah kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher! It-gan Kai-ong
terkejut sekali. Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat
miringkan tubuh dan totokan ke dua ke arah lehernya itu ia papaki dengan air
ludah! Sudah terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu
kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air ludah yang
keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air ludahnya,
lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air ludah ini cukup
kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher.
Di lain fihak, Suling Emas tidak
sudi membiarkan kipasnya terkena ludah kakek menjijikkan itu, maka terpaksa ia
menarik sedikit kipasnya dan mengerahkan tenaganya mengebut. Air ludah itu
terkena kebutan kipas membalik dan menyambar muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan
tetapi kakek ini membuka mulutnya dan menerima kembali air ludahnya dengan
mulut.
“Kawan-kawan, hayo tangkap
putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan diri!” teriak
It-gan Kai-ong yang diam-diam merasa gentar juga menghadapi pendekar yang lihai
itu. Memang para tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap
menerjang, maka tanpa menanti komando ke dua lagi mereka beramai-ramai terjun
ke gelanggang pertempuran dan sibuklah Suling Emas menggerakkan sepasang
senjatanya untuk menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat
lowongan-lowongan yang kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan beberapa
orang pengeroyok. Akan tetapi justeru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia
menjadi terdesak hebat dan tidak melihat jalan keluar lagi. Jalan keluar ke
arah kebebasan hanya melalui jalan darah, yaitu dengan merobohkan beberapa
orang pengeroyok. Bingunglah hati Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang
di antara mereka tak mungkin ia bisa lolos kali ini. Hanya kepada It-gan
Kai-ong seorang ia mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek
itu, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya sebagai
tokoh-tokoh terhormat yang bernama baik. Akan tetapi balasan serangannya
kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia hanya dapat
mempergunakan sepersepuluh bagian saja daripada perhatiannya yang harus ia
pergunakan untuk menangkis dan menghindar daripada serbuan lawan.
Dalam kesibukannya
mempertahankan dirinya ini, teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya.
Mulai menyesallah hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya
yang ia sangka menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu,
sampai ayahnya mati, tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti kepada
ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya.... ah,
kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak berbakti
kepada ayah kandung! Hatinya menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena
semangatnya menurun. Kesedihan hatinya mendorongnya untuk meloncat saja ke
dalam jurang di belakangnya, meninggalkan para pengeroyoknya, meninggaikan
dunia ini, meninggalkan mereka yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya
di dunia ini? Ada memang, akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang
dicintanya sudah menjadi isteri orang lain!
Akan tetapi jiwa satria di dalam
dirinya melarangnya membunuh diri begitu saja. Seorang gagah tidak boleh mati
secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung senjata lawan daripada
mati menceburkan diri ke dalam jurang begitu saja! Oleh karena ini,
semangatnya timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat akan ilmu yang ia
dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia
pergunakan, maka akan berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan
senjata sulingnya, dan ia tidak mau menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu
akan merobohkan para pengeroyoknya. Ia teringat akan Ilmu Kim-kong-sin-im
(Suara Sakti Sinar Emas) yang lebih menyerupai ilmu musik! Karena sudah tidak
ada jalan lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan
menempelkan suling pada bibirnya. Terdengarlah suara yang aneh, mengalun
tinggi. Para pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan seluruh
sin-kangnya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh! Karena
menghadapi orang-orang kang-ouw yang memiliki nama besar sebagai orang-orang
gagah perkasa, secara otomatis Suling Emas yang menjadi ahli dalam soal
kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan lagu MENGABDI TANAH AIR yang
bersifat menggugah semangat kebangsaan dan kepatriotan.
Memang nyanyian itu hanyalah
sebuah lagu akan tetapi jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring merdu itu
adalah suara biasa saja. Suara itu mengandung suara sakti yang disalurkan dengan
sin-kang sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu berdiri melongo dan sejenak
menahan gerakan, akan tetapi beberapa detik kemudian, beberapa orang di antara
mereka yang kurang kuat sin-kangnya, terguling dengan tubuh lemas dan
gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh yang luar biasa besarnya, membuat
mereka merasa terharu, malu kepada diri sendiri, dan menghapus semangat mereka
untuk bertanding melawan bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki
tangan mereka. Akan tetapi orang-orang seperti It-gan Kai-ong, Hek Bin
Hosiang, Cheng San Hwesio dan lain-lain yang cukup kuat sin-kangnya, tentu saja
tidak gampang menjadi roboh. Betapapun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa
mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara aneh yang mendebarkan
jantung mereka itu.
Ada sembilan orang tokoh
kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada yang roboh
terguling dengan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan mengumpulkan
tenaga untuk melawan arus hawa sakti yang mempengaruhi mereka, akan tetapi tak
seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh suara ini karena memang Suling
Emas tidak bermaksud melukai mereka. Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di
dalam dunia pada masa itu, jarang ada yang memiliki ilmu sehebat ini. Dahulu
ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan
suara yang merobohkan puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh
seperti It-gan Kai-ong sampai harus mengerahkan tenaga dan tidak bergerak
selama sepuluh menit! Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling
Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan
belum matang betul ia latih.
Setelah berdiam diri tak
bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sin-kang untuk melawan pengaruh
suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat syaraf, perlahan-lahan
It-gan Kai-ong dan delapan orang tokoh lain mulai menggerakkan kaki. Selangkah
demi selangkah mereka maju, senjata siap di tangan, makin mendekati Suling Emas
yang masih terus meniup suling, mencurahkan perhatiannya kepada permainan
sulingnya sehingga boleh dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang
yang tidak terpengaruh oleh Kim-kong-sin-im dan yang kini makin mendekatinya
dengan ancaman maut.
Makin dekat dengan Suling Emas,
pengaruh Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang tokoh itu menjadi
tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa berhenti
melangkah setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi dari tempat Suling Emas
duduk. Pengaruh Kim-kong-sin-im demikian hebatnya sehingga tiga orang ini
merasa tubuh mereka bergoyang dan kedua kaki demikian lemas dan berat tak
dapat digerakkan lagi. Terpaksa mereka tinggal berdiri dan mengerahkan
sin-kang agar tidak terguling roboh. Enam orang lain, didahului oleh It-gan
Kai-ong, masih dapat melangkah maju sungguhpun hanya dengan lambat dan sukar.
Akan tetapi, jangankan sampai ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja
kalau pada saat itu dapat menyerang Suling Emas, tentu akan berhasil
menewaskan pendekar ini karena pada saat itu Suling Emas seakan-akan berada
dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.
Enam orang itu tidak melangkah
lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju, sedikit demi sedikit It-gan Kai-ong
dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu, tongkatnya sudah ia angkat ke
atas, siap untuk menghantam kepala musuh lamanya itu. Hatinya sudah merasa
girang sekali karena ia akan merasa aman kalau musuh yang paling berat ini
tewas. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, mengikuti
suara suling dan suara ini amatlah lembut akan tetapi kedengaran bersemangat
sekali. “Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara,
itulah paling mulia)!”
It-gan Kai-ong yang sudah
mengangkat tongkatnya, terkejut sekali. Apalagi setelah tiba-tiba terdengar
suara yang-kim yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas,
terjadilah hal yang luar biasa. Enam orang itu serta-merta menjatuhkan diri dan
duduk bersila, meramkan mata dan mengendalikan semangat mereka yang terbawa
melayang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara suling dan yang-kim. Tak
mampu lagi mereka bergerak, apalagi menyerang, lenyap sama sekali nafsu
bertempur. Juga semua orang yang tadinya berada di bawah pengaruh suara
suling, kini dapat menarik napas lega karena gabungan suara suling dan
yang-kim ini, biarpun membuat mereka terpesona dan tak dapat bergerak, namun
amat enak dan menyenangkan hati dan pikiran, membuat mereka merasa seperti
melayang-layang di angkasa dan menciptakan pandangan tentang
pahlawan-pahlawan pembela tanah air. Mereka seakan-akan mimpi tentang dongeng
akan pahlawan-pahlawan yang paling mereka kagumi!
Perlahan-lahan gabungan suara
musik itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi kembali sungguhpun gema suara ajaib
tadi masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat
berdiri, seakan-akan baru bangun daripada tidur nyenyak. Kiranya di dekat
Suling Emas yang masih duduk bersila di atas tanah, terdapat seorang kakek tua
renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang berpakaian sederhana,
berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan
tetapi di balik kesederhanaannya ini terpancar cahaya keagungan yang amat
berwibawa. Pada punggungnya tersembul keluar sebuah alat musik yang-kim.
Wajahnya yang cerah itu membayangkan keramahan, kesabaran dan pengertian yang
mendalam dan luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan
menghormatnya.
Akan tetapi begitu It-gan
Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak marah dan berkata kasar, “Bu Kek
Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja kau disebut-sebut manusia dewa yang
selalu melepas budi kebaikan kepada siapapun juga tanpa memilih bulu dan
dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh segala urusan duniawi. Akan
tetapi apa buktinya sekarang? Kau membantu Suling Emas menghadapi kami semua
dengan ilmu sihirmu!”
Semua tokoh yang hadir di situ
terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini menjadi
pujaan semua tokoh kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw
mengharapkan bertemu dengan kakek manusia dewa ini karena konon kabarnya
setiap tahun apabila bertemu dengan orang, kakek ini berkenan memberikan satu
dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini. Sekarang
secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan Kai-ong, semua
orang kini memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya.
Kakek itu tersenyum ramah,
menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri dengan gerakan perlahan. Suling
Emas juga bangkit berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di
sebelah kiri kakek itu sambil menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.
“It-gan Kai-ong, bersabarlah dan
hembuskan semua hawa nafsu yang meracuni hatimu,” kata Bu Kek Siansu, suaranya
tetap sabar dan tenang serta ramah, “aku tidak pilih kasih, tidak pula melepas
budi kepada siapapun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak
membantu Suling Emas, melainkan mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa.
It-gan Kai-ong, andaikata kau orangnya yang kena fitnah seperti Suling Emas dan
akan dibunuh kemudian kebetulan aku lewat dan melihatnya, sudah tentu aku pun
akan berusaha mencegah pembunuhan itu.”
“Uuhhh, pemutaran lidah! Tua
bangka yang pura-pura suci!” It-gan Kai-ong memaki-maki, akan tetapi yang
dimaki malah tersenyum-senyum sehingga akhirnya kakek pengemis itu menjadi
jengah sendiri dan menghentikan makiannya, menoleh kepada orang banyak dan
berkata, “Kawan-kawan sekalian mendengar omongannya yang busuk itu. Sudah
terang Suling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat banyak
kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu kandungnya,
kakek sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek
Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling Emas, si
wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?”
“It-gan Kai-ong, tutup mulutmu
yang busuk dan kalau memang kau mencari lawan, boleh lawan aku sampai seribu
jurus. Kau mengadalkan kesabaran Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan,
hemmm, sungguh tak tahu malu!” Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.
“Ho-ho-ha-ha! Kawan-kawan
lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang melarikan diri, sekarang setelah
ada pembelanya menjadi galak dan sombong! Suling Emas, kau boleh menunggu
giliran, sekarang kami berurusan dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu
Kek Siansu, kaujawablah!”
Sukarlah mencari orang yang
sudah sedemikian teguh jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina seperti
ini, sama sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar.
Di bagian depan dari cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh
Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak saja berusaha
membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-kim, namun sama sekali
kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki oleh jembel
iblis itu, ia hanya tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang matanya tetap
penuh kasih.
“It-gan Kai-ong, aku tidak mau
bilang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak pernah berbuat
dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena fitnah daripada
sungguh-sungguh berdosa. Tentu saja aku tidak tahu akan semua urusannya, akan
tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar. Sebagian besar daripada kalian
yang kini menumpahkan dendam kepada Suling Emas, ternyata telah melontarkan
fitnah yang tidak disengaja karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak
mengetahui urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, apalagi pada puteranya ini.”
Ucapan kakek ini bukan hal aneh
karena memang semua orang sudah mendengar belaka akan sepak terjang yang aneh
dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini mengetahui akan semua
urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah mengherankan. Semenjak puluhan
tahun yang lalu, nama Bu Kek Siansu terkenal mengatasi semua nama-nama besar
seperti nama Pat-jiu Sin-ong tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo Taisu si manusia
emas yang menggemparkan kolong langit (baca ceritaSuling Emas). Kali
ini, orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan
Tok-siauw-kui, akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui tidak
berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati banyak tokoh yang
mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan dendamnya kepada
putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San Hwesio segera
melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.
“Omitohud! Benar-benar pinceng
(aku) yang sudah tua dan tak lama lagi berada di dunia, mendapat berkah besar
dengan perjumpaan ini! Telah puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari
Bu Kek Siansu dan pinceng hendak menggunakan kesempatan baik ini untuk mohon
petunjuk. Siansu yang dimuliakan, dua puluh tahun lebih yang lalu, seorang
janda muda telah membunuh tiga orang suhengku dari Siauw-lim-pai, kemudian
menculik seorang suteku yang kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Janda muda
yang cantik dan berwatak iblis itu bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian,
puteri dari ketua Beng-kauw. Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya
dengan fihak Siauw-lim-pai ini Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tidak bersalah?”
Si kakek tua renta
mengangguk-angguk, “Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui
pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh
karena itu aku banyak tahu akan urusannya.” Ia menarik napas panjang dan
mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keributan ini (baca
ceritaSuling Emas). Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah
kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur,
keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan
Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Adapun yang
menjadi sebabnya adalah sutemu yang sama sekali bukan diculik oleh
Tok-siauw-kui, melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan
perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang
suhengmu marah-marah dan hendak membunuh sutemu. Tok-siauw-kui membela
kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San
Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok-siauw-kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena
berjina dengan sutemu, namun fihak Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan,
yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu. Kiranya tidak patut kalau hendak
menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa
dalam urusan itu. Apalagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah
orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan
cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau
jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata
setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah
buah daripada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan
kebajikan.”
“Omitohud.... kata-kata mutiara
Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan.
Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh
kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya
lagi. Pinceng sudah bicara!” Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu,
lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.
“Omitohud.... Bu Kek Siansu
telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap
kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih
yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang
Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai.
Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab itu
dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang baik dari
Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan
mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah
sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus
mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas) apakah kau mendapat
peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas menggeleng
kepalanya. “Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah mendengar
tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek Siansu mengelus
jenggotnya yang putih. “Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas
untuk membantu fihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan
kepada Go-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu
kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang,
apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang dicurinya adalah
kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran
I-kin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas mengangguk-angguk.
“Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan
mengembalikannya ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu
berseri. “Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan,
pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga
akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia
menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di sini.” Hwesio
ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat
itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali.
“Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat
mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan landasan cinta kasih?”
“Maaf.... aku....” Suling
Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis
baju hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka
gadis itu sebentar pucat sebentar merah.
“Ya, apa yang hendak
kaubicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.
“Maaf, Siansu....” Gadis itu
memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai
dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang
Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah.... ah, ayah meninggalkan
teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui
setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabuhi ayah sehingga
ayah menurunkan gin-kang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang
palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu,
setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi kalau bukan kepada puteranya
teecu membalas? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan
menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di dalam suara gadis ini
terkandung isak.
“Nona, siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan
Hui....”
Mendengar nama ini, semua orang
menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng (Pendekar
Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka
bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu.
Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di
Nan-cao. Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh
ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam
mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa
adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu gin-kang luar biasa
sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama
pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang (baca ceritaSuling
Emas).
“Ahhhhh.... dia itu ayahmu?
Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui,
karena diantara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan
jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki Gunung
Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui adalah ayahmu
yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan
demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan gin-kangnya kepada
Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau
masih kecil....”
“Teecu baru berusia lima tahun
ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan
kitab-kitab pelajaran dari ayah....” kembali suara ini tercampur isak.
“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama
Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu
tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu
menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya.
Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka
bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu
itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali
temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian
menjadi pucat. “.... tapi.... betulkah itu, Siansu....?”
“Begitulah kiranya. Kau dapat
bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup
di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah.
Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia
ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai silat menyenangkan atau menyusahkan,
wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan
kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang
menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat
senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati.
Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan mereka yang
sudah mati?”
Wajah yang cantik itu sebentar
pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas,
kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah
nona itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan gin-kang yang
disohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.
“Wah-wah, tua bangka ini
menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong
membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi
saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan
ilmu sihir. Kita laki-laki seiati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita
membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat
menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk
menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui!”
Memang para tokoh kang-ouw itu
merasa jerih dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka
mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat
itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan
Bu Kek Siansu.
Kakek ini mengerutkan keningnya,
berkata halus, “Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat
ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu?
Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya
digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe, teecu berterima
kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan
tetapi kesedihan hati teecu lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari
kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah
mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu
kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat hal inilah yang menghancurkan
hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang yang mengancam
nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan
Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya
maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak
mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang memiliki watak
yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti
manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk yang
lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau
jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang
budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka disebut
orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang
sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan
orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu
merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat.
Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul
prikemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau
menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu
tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau
JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang
sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri.”
Suling Emas mengangguk-angguk,
“Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu
melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga
akibatnya merugikan bayak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak
menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biarpun ibu
dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah
melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas kesengsaraan ibu
ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu
harus lakukan?”
“Sudah kukatan tadi,
Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan benci.
Benci menimbuikan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan merugikan fihak lain
sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya, rangkaian permainan
karma. Orang membenci takkan kehabisan bahan untuk mencela, sebaliknya orang
mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji. Karena dasarnya hanya dirugikan
atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci berubah cinta
setelah yang dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda maupun
perasaan. Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta
mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kaupusingkan siapa orangnya yang
membencimu atau mencintamu. Semua harus kaupandang sama, dengan pandangan kasih
sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu
yang dianggap DOSA, kaulakukanlah hal-hal yang menguntungkan dan menyenangkan
hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan, sebanyak-banyaknya. Dengan
perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi nama orang tua, termasuk ibumu.
Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai satria, yaitu membela
si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat maupun
dengan ilmu kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang
merugikan orang lain, perlu disadarkan, baik dengan jalan halus maupun kasar.
Kau mengerti maksudku, bukan?”
Suling Emas mengangguk. “Terima
kasih, Locianpwe.”
“Sekarang mari kauperdalam
Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang kurang
sempurna.”
Kakek itu lalu bersila di depan
Suling Emas, menurunkan yang-kim dan mulai mainkan yang-kimnya. Suling Emas
cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu
kembali terdengar paduan suara yang-kim dan suling, melagukan nyanyian yang
amat merdu, akan tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga
keadaan di lembah itu amat aneh. Kadang-kadang paduan suara itu terdengar
seperti badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi
karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul maupun bersuara. Di
lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan
angin lalu, seperti kicau burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening,
sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang
mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan
penuh damai.
Lebih dua jam mereka berlatih.
Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu Kek
Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.
“Tugasmu amat banyak, Suling
Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya,
karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan
tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan
orang lain.”
“Locianpwe, setelah semua tugas
teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan
menjauhkan diri daripada urusan dunia.”
Kakek itu tertawa dan
mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Lamunan semua orang muda yang sedang
diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha,
mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!” Maka pergilah
kakek itu.
Sepergi kakek sakti Bu Kek
Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia
bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek
Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan
bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu kebatinan yang
dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini lebih berkuasa
daripada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal
perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan
satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam,
agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang babwa wanita itu bukan
jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang,
seperti hatinya!
“Ceng Ceng.... kekasihku....”
terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang
terluka. Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang
sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya. Suma Ceng. Terbayanglah
dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih
menjadi seorang pengawal muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota
raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran
itu. Masih jelas terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri
pangeran itu. Bulan bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam
taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup
suling, permainan yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang
Dewi Malem atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul,
tertarik oleh suara sulingnya.
“Ceng Ceng....” kembali Suling
Emas menarik napas panjang dalam lamunannya. Teringat dan terbayanglah semua
itu. Betapa mesra pertemuan itu, betapa sinar mata mereka yang bicara dalam
seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa
mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang tak dapat
dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng
puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya! Namun betapa
cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta
bahkan ia tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan
mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam.
Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang menjadi
saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.
Akhirnya, semua mimpi muluk
berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan
kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum,
hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi
gurunya (baca ceritaSuling Emas yang amat menarik).
“Ceng Ceng....!” Suling Emas
mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semejak hubungannya
dengan Suma Ceng ketahuan. Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah
kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian
dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan
kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu
lenyap dari pandang matanya.
Suling Emas bangkit berdiri,
sikapnva tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya
seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali, “Ceng Ceng.... Ceng Ceng....!”
Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini.
Makin dipikirkan, makin perih
hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada
di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang ke dua adalah Suma Ceng.
Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan
perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan
meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat. Adapun
Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari
pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain! Apalagi yang diharapkan di
dunia ini? Untuk apalagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek
Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi
kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa
pun ia takkan mau?
Semua renungan ini membuat ia
merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andaikata ibu kandungnya
masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng
yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andaikata ayahnya masih hidup, ia
tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari
ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang
masih hidup.
“Ceng Ceng.... aku harus
menemuimu.... sekali lagi....!”
Tubuhnya berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada!
Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja
mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia
akan melaksanakan tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili
ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te
Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan
menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan,
apabila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir,
seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan
bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu
kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh
Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik
berikutnya lenyap sudah.
***
Seperti sudah menjadi sifat
orang-orang kaya maupun pembesar-pembesar yang berkuasa, tentu saja ada
kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan, mereka
adalah orang-orang malas yang enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan
hasil yang sebanyak mungkin. Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena
tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin
berkuasa saja dan enggan dikalahkan.
Karena inilah agaknya, bangunan
di sekitar istana yang dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar istana,
amat sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari sudah
naik tinggi. Kalau orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para manusia yang
kebetulan dinasibkan menjadi pembesar dan penguasa itu, akan tampaklah
orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam kasur empuk bersutera kembang,
berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak ada yang berani mengeluarkan
suara keras, berjalan pun berjingkat agar tidak menimbuikan gaduh.
Namun pada pagi hari itu,
seperti biasa pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di belakang dan samping
kiri sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam
lingkungan istana, terdengarlah suara suling. Suling ini bunyinya cukup
nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak dapat dibilang merdu, bahkan ada
tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak. Lagunya adalah lagu
kanak-kanak yang sederhana.
“Liong-ji (Anak Liong), suka
sekalikah kau meniup suling?” terdengar suara halus seorang wanita.
Suara suling berhenti. Kiranya
di dalam taman bunga yang indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu penghuni
gedung-gedung yang lain masih mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang
menilik pakaian dan gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan.
Usianya masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik
sekali dan wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong
seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak
laki-laki lain berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil
tertawa-tawa, seakan-akan ia hendak mengejar burung-burung kecil yang
beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu. Anak yang menyuling adalah
seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh tahun. Anak ini duduk di
atas sebuah bangku dan asyik memegang sebatang suling bambu yang tadi
ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita tadi, ia berhenti meniup dan menjawab.
“Aku suka sekali, Ibu.”
Sejenak wajah cantik itu
termenung, kemudian memaksa keluar sebuah senyum sambil berkata, “Aku akan
suruh mencarikan seorang guru suling untuk mengajarmu, Liong-ji. Maukah kau
belajar meniup suling?”
Anak itu mengangguk-angguk
gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya. Ibunya memandang dengan penuh
perhatian, jantungnya serasa tertikam yang membuatnya terharu, komat-kamit
mengeluarkan kalimat yang hanya ia dengar sendiri. “.... serupa benar....”
Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli
melihat puteranya yang ke dua berusaha mengejar burung-burung di udara dan
membuat gerakan menangkap.
“Sun-ji (Anak Sun), hati-hati
jangan lari-lari, nanti jatuh!”
“Bu, aku ingin bisa terbang
seperti burung!” anak ke dua itu berseru gembira dengan suara pelo dan lucu,
kemudian membuat gerakan dengan kedua lengannya, digerakkan seperti sepasang
sayap burung, mulutnya menirukan bunyi burung bercuat-cuit.
Si ibu gembira melihat
anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka puteranya yang ke tiga, yang
tertawa-tawa gembira.
***
Pagi yang gembira, sehat dan
menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang juga membangkitkan kenang-kenangan
lama. Hal ini dapat dilihat dari wajah cantik ibu muda ini, sebentar ia
bergembira terpengaruh oleh tiga orang anaknya, sebentar lagi ia termenung
seperti ingat akan sesuatu yang membangkitkan kenang-kenangan yang berkesan.
Anak yang dipanggil Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun dan
sungguh-sungguh ia meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling
dengan jari-jari tangannya yang kecil.
“.... Ceng Ceng....!” Suara ini
tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut yang punya suara.
Wanita itu tersentak kaget dan
serentak bangkit berdiri dari bangkunya, sambil memondong anaknya yang paling
kecil. Suara itu! Seketika wajahnya berubah pucat. Hanya ada satu orang saja di
dunia ini yang memanggil namanya dengan suara seperti itu! Kedua kakinya
menggigil dan ia tidak mau menggerakkan tubuh, tidak mau memutar tubuh menengok
ke belakang ke arah suara, karena ia khawatir kalau-kalau suara tadi hanya
suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok dan tidak melihat sesuatu, ia
akan kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin menikmati kenangan lama yang
sedemikian mendalam dan menggores kalbunya sehingga di pagi hari yang indah ini
ia sampai-sampai mendengar suara orang yang menjadi sebab lamunannya.
“Ceng Ceng....!”
Wanita itu mengeluarkan seruan
tertahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali, seakan-akan
takut kalau orang yang bersuara itu sudah pergi lagi, ia memutar tubuh
memandang.
“Bu Song koko (Kanda Bu
Song)....! Kau.... kaukah ini....? Kau di sini....?” Ia melangkah maju dua
tindak, kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah laki-laki itu
kini menurun, berhenti pada dada di mana terdapat gambar sebatang suling dari
benang emas.
“Koko.... kau.... kau Suling
Emas....?”
Dua pasang mata bertemu pandang,
dua sinar mata saling belit, saling dekap, saling cumbu dan saling menampakkan
rasa rindu berahi yang ditahan-tahan selama sepuluh tahun. Wanita itu
memandang dengan mulut agak terbuka, terengah-engah dan dari sepasang matanya
yang bening itu bertitik butiran-butiran air mata seperti mutiara. Keduanya
mempunyai hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya
menahan gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran air
mata itu, laki-laki yang bukan lain adalah Suling Emas ini, secepat kilat
membalikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia berdongak ke atas, meramkan
kedua matanya, bibirnya agak menyeringai tanda betapa perihnya hati, seperti
ditusuk-tusuk pedang rasanya. Kemudian ia membuka pelupuk mata,
mengejap-ngejapkannya untuk menahan agar jangan sampai kedua matanya yang terasa
panas dan gemetar itu menitikkan air mata. Kebetulan sekali ketika ia
membalikkan tubuh, ia melihat bocah yang memegang suling kini sudah berdiri di
dekatnya. Melihat anak ini, Suling Emas menggerakkan tangan kiri dan
mengelus-elus kepala yang gundul itu. Bocah ini dapat ia pergunakan untuk
landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan keharuan yang
seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.
“Kau.... kau pandai bersuling,
Nak?” tanyanya, suara serak, tanda bahwa hatinya penuh gelora dan haru, dan
bahwa hampir saja pendekar sakti ini tadi terisak menangis.
Bocah itu tertawa dan
mengangguk.
“Cobalah kau menyuling untukku.
Kau mau diajar meniup suling?”
“Mau....! Mau saja.... Ibu tadi
bilang hendak memanggil guru suling. Apakah kau ini gurunya, Paman?”
Suling Emas tersenyum dan
mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi sulingnya. Suling Emas mendengar isak
tertahan di belakangnya, lalu disusul suara yang pilu dan gemetar, penuh
perasaan.
“Kau.... kau datang.... apakah
kehendakmu, Koko....?”
Suling Emas menarik napas
panjang, masih membelakangi wanita itu dan tangan kirinya masih meraba-raba
kepala bocah yang menyuling.
“Tadinya aku sudah bersumpah
pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng Ceng, takkan menemuimu selama
hidupku agar lukaku tidak semakin parah....” Ia berhenti dan tidak melanjutkan
kata-katanya yang tertelan oleh isak.
“Song-koko, aku pun sama sekali
tidak mengira akan dapat bertemu lagi denganmu. Sama sekali aku tidak
menyangka bahwa Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan setiap
orang itu kaulah orangnya! Ahhh.... siapa kira....”
Dalam kalimat terakhir ini
terdengar keluhan dari hati yang merasa amat menyesal.
Suling Emas memutar tubuhnya.
Kembali mereka berpandangan, akan tetapi kali ini mereka sudah kuat menahan.
Untuk sejenak keduanya memandang penuh selidik, untuk mengetahui keadaan
masing-masing, memandang sinar mata, memandang keadaan tubuh, kurus gemuknya,
dan keduanya makin menduga-duga. Beruntunglah ia tanpa aku? Demikian agaknya
pertanyaan yang terkandung di hati masing-masing.
“Song-koko, aku mendengar bahwa
Suling Emas belum berumah tangga.... apakah.... betulkah ini? Apakah kau belum
juga menikah? Song-koko.... mengapa begitu? Apakah kau belum juga dapat
melupakan aku....?”
“Melupakan engkau? Ah.... Ceng
Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu! Sudah kucoba-coba, sudah
kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku berada di sini!” Agak keras
dan kasar kata-kata ini dan sepasang mata pendekar itu memandang tajam,
bagaikan menusuk-nusuk, membuat nyonya muda itu tertunduk.
“Dunia serasa makin sempit
bagiku, Ceng Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh ibuku, akan tetapi
ibu meninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam gelap, tak tahu harus
ke mana.... betapa aku tak dapat melupakan engkau, Ceng Ceng....! Karena itulah
aku datang.... untuk melihat wajahmu lagi, aku.... tak tahan aku akan
rindu....”
“Song-koko....!” Wanita itu yang
bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran, yaitu Pangeran
Kiang, menjerit kecil. “Jangan begitu, Koko.... aku.... aku sudah menjadi ibu
dari tiga orang anak! Kaulihat mereka ini....!” Suma Ceng cepat-cepat
mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau lebih tepat untuk
pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot dan hendak dihanyutkan
oleh bekas kekasihnya. Ia maklum kalau tidak cepat-cepat ia berpegang kepada
tiga orang puteranya, bisa-bisa ia terbawa hanyut, karena sesungguhnya, sampai
mati sekalipun ia takkan mungkin dapat melupakan Bu Song.
Suling Emas menarik napas
panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar kembali ketika anak
yang menlup suling itu tiba-tiba menarik tangannya dan bertanya, “Paman Guru,
bagaimana dengan kepandaianku meniup suling?”
Suara yang lantang dari bocah
ini menariknya turun dari sorga lamunan, dan membuatnya kaget karena hampir
saja tadi ia melakukan sesuatu yang tidak patut. Melihat wajah Suma Ceng
kembali, berhadapan muka dengan wanita ini, benar-benar bisa membuatnya lupa
akan segala.
“Kau sudah pandai, tapi harus
belajar lagu-lagu yang indah!” katanya sambil meraba kepala anak itu. Tiba-tiba
wajahnya berubah dan jari-jari tangan kirinya tetap meraba-raba kepala yang
gundul itu. Aneh! Ajaib! Kepala anak ini sama benar dengan kepalanya! Tak salah
lagi! Jarang di dunia ini ada kepala seperti ini, kepala yang dahulu membuat
mendiang gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan mengambilnya
sebagai murid. Inilah “kepala pendekar” seperti yang dulu disebut-sebut Kim-mo
Taisu. Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama dengan
kepalanya?
“Ceng Ceng....” suaranya gemetar
ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu.
Suma Ceng tidak menjawab, hanya
menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.
“Anak ini.... dia putera
sulungmukah?”
Suma Ceng mengangguk dan gerakan
ini membuat dua titik air mata yang tadi bergantung pada bulu matanya runtuh
ke bawah, menimpa pipinya.
“Dia.... dia ini....!” Tiba-tiba
Suling Emas berjongkok di depan anak itu, menatap wajah anak itu penuh
perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal, seperti
alis matanya. Hidung dan mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan
tetapi mulut itu, alis itu, kepala itu! Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah
kini melangkah maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari
Suma Ceng.
“Dia.... dia itu....?” suaranya
serak dan lirih, “dia itu....?” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik
di lehernya.
Kini Suma Ceng menangis. Air
matanya bercucuran dan ia mengangguk-angguk. Melihat ibunya menangis, anak
kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air
mata Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air mata
pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya gangguan ini malah
meredakan gelora hatinya.
“Betul, Song-koko, dia.... dia
anak kita....”
“Ya Tuhan....! Dan kau.... kau
diam saja....?”
“Aku tidak tahu akan hal itu
sebelum aku menikah dengan suamiku. Andaikata aku tahu sekalipun, apa yang
dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya apa-apa.” Ucapan ini
penuh sesal. “Andaikata kau dulu selihai sekarang.... ah, untuk apa kita
melamunkan yang bukan-bukan? Andaikata aku tahu bahwa bahwa pertemuan di
malam terakhir itu.... ah, andaikata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku,
apakah yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin,
paling-paling aku hanya dapat membunuh diri....”
“Ceng Ceng, kaumaafkan aku.
Memang kau tak bersalah. Akan tetapi.... ah, anak ini dia anakku! Dia harus
ikut denganku!”
“Tidak Song-koko. Apakah kau
ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang hebatkah penderitaan
batinku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau
melupakan aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau.... kau
kawinlah dengan gadis lain, berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko....”
“Ceng Ceng.... Ceng Ceng....,
kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan hatiku....” Hampir tak kuat
Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin memondongnya, ingin
menghiburnya. Namun pandang mata wanita itu kini tidaklah seperti dahulu.
Memang, ada perubahan pada diri Ceng Cengnya, kekasihnya.
“Heee, siapakah di situ?”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah
berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan lain
adalah Pangeran Kiang! Ketika ia melihat Suling Emas, wajahnya berubah,
pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia menghampiri Suma Ceng.
“Hemmm.... jadi tidak salah
omongan Kakak Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam bermain
gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak tahu malu! Sudah
punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjina dengan laki-laki lain?
Keparat!”
“Ooohhh.... tidak...., tidak!”
Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung pedang
yang menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia.... kami tidak berbuat apa-apa yang
melanggar kesopanan, jangan kau menuduh yang bukan-bukan!”
“Bagus, ya? Kau masih hendak
membelanya? Perempuan hina.... kupukul mukamu yang tak tahu malu....!” Pangeran
itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar
ke arah pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak
mempedulikan datangnya tangan yang menampar.
Akan tetapi tangan yang menampar
itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga
penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa, akan
tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti seakan-akan
tertahan oleh dinding yang tidak tampak!
“Keparat, hayo mengaku bahwa kau
telah berjina dengan.... dengan bangsat ini!” Ia berteriak memaki untuk
mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.
“Sesungguhnya, kami tidak
berbuat apa-apa.... suamiku dengarlah.... memang betul dia dahulu adalah
seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi.... tapi.... semenjak
itu.... baru ini kami saling bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang
melanggar susila. Percayalah....!”
“Perempuan rendah! Siapa tidak
tahu bahwa dahulu kau berjina dengan kekasihmu? Aku masih berlaku murah dan
sabar, akan tetapi siapa kira, sekarang kau mengadakan pertemuan gelap!
Terkutuk....!” Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang isterinya
sendiri. Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang
memegangi gaunnya dari belakang, menjerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan
yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang mendatangkan rasa takut pada
mereka itu. Hanya anak yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata
terbelalak sambil memegangi sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di
hatinya, akan tetapi tentu saja ia pun tidak mengerti apa artinya semua ini.
Biarpun pedang itu mengancam
nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan pedang. Baginya,
hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan kemarahan suaminya yang
pada hakekatnya tidaklah menuduh yang bukan-bukan! Memang ia merasa berdosa
terhadap suaminya yang sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia
dapat mengelak bahkan melawan, karena adik dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu
kepandaian silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi daripada kepandaian
suaminya.
Akan tetapi, seperti juga tadi,
pedangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, malah
mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat
ditahannya lagi runtuh terlepas dari tangannya, menimbulkan suara berkerontangan.
Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh memandang. Tak salah dugaannya.
Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang pernah ia dengar namanya
sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan itu, berdiri tegak dan
menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan atau dorongan jarak jauh yang
tadi menahan pukulan-pukulannya dan tusukan pedangnya.
“Manusia berhati binatang!”
Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang lain boleh takut
kepadamu, akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh menyebutmu pendekar,
akan tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang menganggu isteri
orang! Kau seorang laki-laki rendah berjina dengan perempuan ini yang juga
hanya seorang isteri berwatak pelacur....!”
“Plakkk!” Pangeran itu terguling
dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan tangan Suling Emas yang
menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat, matanya memancarkan
cahaya berkilat.
“Mulutmu busuk! Kau boleh memaki
aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng! Biarpun dia sudah menjadi
isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang bersih, yang suci.”
“Dia perempuan jalang, pelacur
tak tahu malu....!” Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan memaki
lagi.
“Bukkk!” Sebuah dorongan membuat
ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil meringis kesakitan
pangeran ini merangkak bangun lagi.
“Huh, pendekar macam apa ini?
Menjinah isteri orang, menggunakan kepandaian untuk menghina orang dan
merampas isterinya! Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku,
akan tetapi namamu akan membusuk sampai akhir jaman! Mari kita mengadu
nyawa....!”
“Jangan....! Suamiku, jangan....
kau takkan menang....! Bu Song, kau pergilah....!”
Akan tetapi Suling Emas tidak
mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu Suma Ceng akan
celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.
“Pangeran yang tolol,
kaudengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang bukan-bukan
dengan isterimu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang dulu aku
mencintainya, akan tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia menarik
napas panjang. “Jangan kau memfitnah yang bukan-bukan.”
“Siapa bilang fitnah? Kau datang
menjumpainya, sikap kalian.... dan perempuan hina ini membelamu.... hemmm,
siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta? Keparat, terkutuk,
benar-benar menghina sekali. Hayo kaubunuh aku lebih dulu, baru kau bisa
merampas isteriku, keparat!” Dengan kemarahan meluap karena rasa cemburu,
pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada Suling
Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri
yang terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya!
“Kau ingin mati? Apa
sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini menghina kita,
mengapa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biarpun kau sudah menjadi
ibu dari tiga orang anak. Hemmm.... aku masih sanggup melindungimu selamanya
dan membunuh tikus busuk bermulut kotor ini!” Pada saat itu, Pangeran Kiang
sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biarpun rasa nyeri hampir
membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus
menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan membuat pangeran
itu terlempar sampai empat meter jauhnya. Namun kembali ia merangkak bangun
untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh tamparan tangan Suling Emas
yang kelihatannya sudah marah sekali.
“Kau ingin mampus, ya? Nih,
terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada isterimu,
mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh benar-benar engkau!”
Suling Emas menghajar terus sampai pangeran itu babak-belur, mukanya berdarah
dan bengkak-bengkak.
“Tahan! Suling Emas, kau berani
memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia melalui
mayatku!” Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan
telah memungut pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina.
Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.
“Ceng Ceng....!” Suling Emas
terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!” Ujung pedang itu
menusuk dadanya. Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya lalu cepat
mengerahkan tenaga sehingga pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus,
menancap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan menembus daging
dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena
pengerahan sin-kang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng
merasakan telapak tangannya panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya
dan masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau hendak membunuh
suamiku? Ahhh.... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya dengan
nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan
dahsyat.
“Ceng Ceng...., aahhhhh....!”
Dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari
tempat itu.
Suma Ceng menubruk suaminya,
merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkak-bengkak itu
tersenyum. “Isteriku.... akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta
aku seorang! Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia
pembelaanku...., kau isteriku yang setia.... maafkan semua tuduhanku tadi.”
“Diamlah.... diamlah.... kau
terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng mengusap air matanya
dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh penuh rasa
nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya
untuk mengusir Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali
untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka. Kalau melihat dia bersedia
bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah untuk
melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman,
sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan
muka ketakutan.
Adapun Suling Emas melarikan
diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya
bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar
dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan.
Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya, akhirnya ia
menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh
tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya.
Hanya terdengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita
nyeri yang amat sangat. Darah masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari
luka di dada dan pundaknya. Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi.
Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah
luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling
Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di dalam
rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya
serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng
Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan
pedang tadi!
Suling Emas mengeluh dan ketika
ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya nampak pucat
bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada,
telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah
itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya
beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua matanya makin
mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.
Tanpa disadarinya, tangannya
meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang
keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu
sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini,
tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan menyedihkan. Namun
sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang
belum lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan
kesedihannya lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat
tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini
untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya, seperti biasa ia hendak
memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.
Kini pikirannya dapat bekerja
baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah
mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian
kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap
dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu
kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati!
Mengapa ia harus merasa berduka?
Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran Kiang? Suling Emas
mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala petuah,
pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kimmo
Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu.
Apakah artinya cinta? Pernah mendiang
gurunya menguraikan tentang cinta ini. Cinta yang paling murni di antara
manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri sendiri,
yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi
untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta. Contohnya kasih sayang seorang
ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela, satu-satunya idaman hati seorang
ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa
mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling
berharga. Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki
agar orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki
agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada
di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini
penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang
dapat duka nestapa dan sengsara mendatangi.
Suling Emas termenung. Dia
manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia mencinta
Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halusan budinya, karena
keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena.... agaknya lebih daripada
itu karena dahulu membalas cintanya! Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri
orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu, mengapa ia
harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka?
Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran
Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi anak laki-laki itu, putera sulung
Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali Suling Emas merenung,
gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya, menggunakan kepandaiannya,
untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum
tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran
Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya.
Ah, akibatnya hanya merugikan semua fihak.
“Aku harus melupakan dia!
Harus....! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan
laki-laki?”
Tiba-tiba Suling Emas melompat
bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan, mengagetkan
burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya
sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar
bergulung-gulung yang kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas!
Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan
sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun
pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa
pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!
***
Bu Sin dan adiknya, Sian Eng,
tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah tanah. Mereka tiada
hentinya berusaha untuk membebaskan diri dari pada totokan, namun totokan,
Hek-giam-lo ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa sehingga biarpun Bu
Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya, tetap saja ia tidak mampu membebaskan
diri. Apalagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah
berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib.
Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas.
Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh
di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari.
Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andaikata Bu Sin dan Sian Eng tidak
sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini
takkan terdengar mereka.
Sian Eng menjadi girang sekali
dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang
yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan
tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sir
yang kelihatan kaget dan gelisah. Apalagi pada saat itu terdengar suara yang
parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak boleh kau
mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong jembel menjemukan!”
balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan Sian Eng tentu saja
menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan
Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin lebih
mengerikan daripada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan
tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan
itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap
mata dua bayangan ini lenyap sudah memasuki terowongan, agaknya mereka itu
sedang berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya dua bayangan orang
sakti itu, berkelebat bayangan ke tiga dan ternyata orang ini adalah Suma Boan.
Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya, ketika
melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah, ia terkejut sekali.
“Dinda Sian Eng.... kau di
sini....? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat
pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.
Biarpun kaki tangannya lumpuh,
namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik, “.... harap kau....
tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
“Ah, tak mungkin aku menolong
dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan.... dan di sini
berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita
cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Suhu.” Setelah berkata demikian,
Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu
dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini
adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apalagi tadi gurunya mengejar
Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini
menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin tidak enak sekali
melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya kepada
putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih
dalem keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan
itu, karena betapapun juga, pemuda putera pangeran itu bermaksud menolong Sian
Eng. Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka
terancam bahaya. Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng daripada ancaman
iblis-iblis jahat yang memasuki terowongan tadi. Dan.... dan agaknya di antara
adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguhpun ia
tidak suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa
pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih
baik seorang di antara mereka tertolong daripada keduanya harus mati konyol di
tempat mengerikan ini.
Mendadak terdengar angin bertiup
dan dua, sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi. Kini dua
bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang mereka adalah Siang-mou
Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong jembel busuk, kau
mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita
bersama mempunyai tujuan sama, mencari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi
ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa di sini kecuali bocah menjemukan
ini!”
“It-gan Kai-ong, kau benar-benar
menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku akan
berhasil. Kau benar-benar sialan!” Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni
menerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun
It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu
dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.
“Tua bangka bosah hidup, lihat
ini!”
“Aiiihhhhh.... hebat! Inikah
hasilmu dari Bu Kek Siansu?” teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak
hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas
dari Bu Kek Siansu. Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia
menggerakkannya, terdengar suara mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong
terhuyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan
pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang
menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni
tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya ini, dan ia
melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan
tongkat It-gan Kai-ong berubah, kini tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran
aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti auman singa.
Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan
terhuyung-huyung.
“Setan alas! Ilmu iblis apa yang
kaumainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang hanya setengahnya
kudapat....!” It-gan Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruhannya kumiliki, kau
tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”
Siang-mou Sin-ni berdiri diam,
berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil daripada perampasan kitab dari
tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah
kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki
kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong, sekarang bukan
waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh bertempur
sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak
melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang
di antara kita mampus!”
“Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni
iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk kepalamu
yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di
Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”
Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah
Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata, “Bu Sin koko yang
tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari padaku. Hemmm,
agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka sekarang bertemu
kembali di sini.”
“Heh-heh, agaknya sudah jodoh,
Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau sudah
bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!” It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin.
Andaikata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu
Sin berlubang dan sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi
Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung
rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala
membiarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu
karang di belakangnya!
“Jembel busuk, jangan main-main!
Dia ini punyaku, tak boleh kauganggu dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau
mati atau hidup, aku yang menentukan!”
“Ho-ho-hah! Enak kau bicara,
Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus,
aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kaubawa pergi, ia harus menceritakan
lebih dulu ke mana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah
begitu saja? Jangan kaukira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja
mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua bangka! Aku mau
bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali kedua orang sakti itu
sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan
percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti
yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh
prosen ia akan mati.
“Kalian tidak perlu ribut-ribut
di sini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab.” Baru saja
Bu Sin bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah
berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi kegembiraan hati Bu
Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah berada
di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia dapat mencium bau
harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan
serem kalau mengingatnya. Tak salah dugaannya bahwa yang datang kembali
adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu
berkata.
“Anak manis, apakah sekarang kau
akan dapat melarikan diri dariku lagi?” sambil berkata demikian ia meraih dan
memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari keluar dari terowongan itu.
“Perempuan busuk! Perempuan
hina! Kaulepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih sakit sekali
kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu
benar juga, kalau aku haus, darahmu akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin mengkirik kengerian, akan
tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan ternyata
mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya,
mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin.
Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi
ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya meramkan mata saja
ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih tampan, aku masih
sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka pemuda itu,
“Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti
semua kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki gagah
perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang
kan?”
“Perempuan hina! Pergi!” Mendadak
Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.
“Blukkk!” Siang-mou Sin-ni
terlempar dan mengeluarkan seruan kaget. Tadi ketika ia melihat pemuda itu
memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin
masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama
sekali. Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti,
tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya.
Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguhpun tidak
mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan
lwee-kangnya.
“Eh-eh.... dari mana kau
mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.
Namun Bu Sin sudah melompat
bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia mengerahkan
tenaga sin-kang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah
berada dekat, kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu
sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang
mengandung cengkeraman maut!
“Hayaaaaa! Bu Sin, kau
benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang! Baiklah kalau kau sudah bosan
hidup!” Dengan gerakan lincah dan mudah saja wanita ini mengelak daripada dua
pukulan Bu Sin itu, kemudian ia berseru keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah
mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya. Bu Sin yang menjadi penasaran
mengejar dan kembali menerjang, akan tetapi iblis betina itu menggoyang kepalanya
dan Bu Sin merasa gelap pandang matanya ketika rambut yang hitam panjang itu
melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum sekali baunya. Pemuda ini
berusaha untuk menghindarkan diri dengan melompat ke samping, namun tiba-tiba
gerakannya tertahan dan sama sekali la tak mampu berkutik oleh karena bagaikan
ular-ular hidup, rambut-rambut itu telah melibat kaki tangan dan lehernya! Ia
merasa seakan-akan ia diringkus oleh banyak tangan yang halus dan harum, dan
betapapun ia mengerahkan tenaganya, ia tetap saja tak mampu bergerak!
“Hi-hi-hi! Orang bagus berhati
baja! Kau mau bilang apa sekarang?” Wanita itu berdiri di depan Bu Sin, kurang
lebih satu meter dekatnya, matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah
menyeringai memperlihatkan deretan gigi putih berkilauan dan kecil-kecil.
“Siang-mou Sin-ni iblis betina!
Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh boleh lekas bunuh, siapa takut
mampus?” bentak Bu Sin.
“Tentu kubunuh.... wah, aku
memang haus dan darahmu tentu enak sekali, darah seorang keturunan jenderal,
gagah perkasa dan satria utama! Mendekatlah manis, serahkan lehermu kepadaku,
biar kupilih jalan darahmu untuk kuhisap....!”
Bu Sin tetap hendak
mempertahankan diri terhadap tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti seekor
lalat terlibat dalam sarang laba-laba, ia bisa meronta namun tak dapat
melepaskan diri. Tarikan rambut-rambut itu makin kuat, dan tenaganya sendiri
makin lemah sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser maju mendekati
bibir merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu, agaknya senang sekali
dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin, wanita iblis itu terkekeh senang.
“Hi-hik, cobalah, berontaklah
kalau mampu lolos, hi-hik. Hayo kerahkan tenagamu, baik sekali.... darahmu
menjadi kencang jalannya!”
Bu Sin meronta-ronta dan
memaki-maki, namun sia-sia belaka. Kini ia sudah dekat sekali dengan Siang-mou
Sin-ni dan ketika wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya, diam-diam Bu Sin
merasa ngeri sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada lehernya, kemudian
bibir yang lunak basah dan panas itu menempel kulit leher. Bu Sin hanya dapat
meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia maklum bahwa
terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba bibir yang
menempel lehernya itu merenggang dan.... Siang-mou Sin-ni terisak!
“Tidak.... tidak.... aku tidak
bisa membunuhmu! Aku terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin, mengapa kau tidak mau
membalas cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku mencinta laki-laki
seperti kepadamu! Bu Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan menjadi isterimu,
akan melayanimu, akan menurunkan kepandaian kepadamu.”
“Iblis! Bunuhlah aku, tak perlu
kau merayu dengan kata-katamu yang berbisa!”
Siang-mou Sin-ni memeluknya,
menciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata. Ngeri dan jijik hatinya. Perasaannya
seperti seorang yang dibelit dan dibelai seekor ular!
“Dengar, Bu Sin. Kalau kau
menjadi suamiku, aku akan membawamu ke Hou-ha, aku akan merampas kedudukan
kaisar untukmu. Dengar ini! Kau akan kujadikan kaisar!”
Bu Sin terkejut dan sejenak
pikirannya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas jenderal, tentu saja
ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita muluk. Menjadi kaisar
merupakan tawaran yang mendebarkan jantungnya dan hampir melemahkan pertahanan
hatinya. Alangkah akan mulia dan senang hatinya. Menjadi kaisar, disembah dan
ditaati orang senegara, nama ayahnya akan terjunjung tinggi! Akan tetapi segera
ia ingat akan wanita iblis di sampingnya, dan kegembiraannya lenyap. Biarpun
ia menjadi kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan menjadi
kaisar yang hanya akan mencelakakan rakyat. Wanita ini bukan manusia,
melainkan iblis bertubuh manusia. Teringat ia akan dongeng tentang Kaisar Tiu
Ong yang biarpun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya menjadi seorang kaisar
lalim karena godaan Tiat Ki, seorang wanita cantik yang kemasukan iblis,
seekor siluman rase yang menjelma menjadi wanita cantik jelita yang keji dan
ganas. Bu Sin mengkirik saking jijiknya dan semua lamunan tadi lenyap, kemarahannya
memuncak.
“Siluman hina! Bunuh saja aku!”
bentaknya.
Tangis Siang-mou Sin-ni
terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia juga marah. “Tentu kau akan
kubunuh,” katanya dengan suara dingin, “akan tetapi kubunuh perlahan-lahan,
biar kau tahu rasa! Aku akan membunuhmu sekerat demi sekarat, akan kusiksa kau
sampai kau merasa menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu! Darahmu kuhisap
sedikit demi sedikit!” Dengan suara makin kejam wanita ini kembali mendekatkan
mukanya. Kilauan gigi putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya merasakan
sentuhan bibir lunak basah dan panas, kemudian terasa leher itu dikecup, terasa
nyeri ketika gigi-gigi kecil meruncing itu menggigit dan....
“Tar-tar-tar!” Terdengar suara
keras di udara dan sepasang bola baja kecil menyambar kepala Siang-mou Sin-ni.
Iblis betina ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari leher Bu Sin, menoleh.
“Siang-mou Sin-ni iblis jahanam!
Keji sungguh kau!” terdengar bentakan wanita yang marah sekali. “Bu Sin koko,
jangan takut, aku datang!”
Kembali sepasang bola baja yang
berada di ujung cambuk itu menyambar, mengarah jalan darah di punggung
Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke arah kepala tadi tidak dilanjutkan karena
agaknya Liu Hwee, gadis yang baru datang itu, takut kalau-kalau membahayakan
kepala Bu Sin.
Melihat datangnya serangan yang
amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni tidak berani memandang rendah. Dari
sambaran sepasang bola baja itu ia cukup maklum bahwa gadis aneh ini memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Apalagi diingat bahwa gadis ini adalah puteri
ketua Beng-kauw, tentu saja lihai. Siang-mou Sin-ni marah sekali, memekik liar
dan tiba-tiba rambutnya yang tadi membelit-belit tubuh Bu Sin melepaskan
pemuda itu menyambar ke belakang, sebagian menangkis senjata lawan, sebagian
lagi menyambar ke arah jalan darah membalas serangan!
Adapun Bu Sin yang dilepas oleh
libatan rambut-rambut itu, terhuyung-huyung. Akan tetapi hanya sebentar, karena
ia segera dapat memulihkan tenaganya. Tangannya meraba leher dan ternyata lehernya
berdarah sedikit. Untung Liu Hwee datang, kalau tidak....!
“Adik Liu Hwee, mari kita basmi
siluman betina jahat ini!” bentaknya.
Pada saat itu, Liu Hwee sudah
memutar senjatanya merupakan bentuk payung hitam yang menangkis semua
serangan rambut Siang-mou Sin-ni. Begitu bertemu dengan gulungan sinar senjata
berupa payung ini, rambut Siang-mou Sin-ni kena dikebut bertebaran sehingga
iblis itu terkejut sekali. Hebat juga puteri Beng-kauw ini!
“Bu Sin koko, kaupakailah ini!”
Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan sebatang pedang. Tentu saja Bu
Sin girang bukan main. Dalam menerima pedang itu, jari-jari tangannya
bersentuhan dengan jari-jari tangan Liu Hwee. Keduanya saling pandang sejenak,
dan dalam waktu beberapa detik ini saja, pandang mata mereka sudah penuh
dengan pernyataan hati masing-masing. Pandang mata mesra dan dalam pandang
mata ini tersimpul semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa
mereka akan sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.
“Terima kasih, Moi-moi. Mari
kita gempur dia!”
Siang-mou Sin-ni berdiri
memandang. Ia dapat melihat dan dapat merasakan apa yang terkandung dalam sikap
kegembiraan mereka dan pandang mata yang mesra itu. Kemarahannya memuncak dan
ia begitu terserang panas hati sehingga ia hanya berdiri tegak, seakan-akan
lupa bahwa ia berhadapan dengan dua orang lawan yang harus segera ia terjang.
“Kalian.... ah, keparat. Bocah
she Liu kau.... kau mencinta Bu Sin....!”
Seketika wajah Liu Hwee menjadi
merah, matanya berkilat menyambar.
“Siang-mou Sin-ni, kami fihak
Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi dengan dirimu! Dan mengingat bahwa kau
pernah menjadi murid mendiang enci Lu Sian, biarlah kumaafkan kata-katamu.
Harap kau suka pergi meninggalkan kami!” Biarpun Liu Hwee baru berusia
sembilan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, ia
mempunyai sikap agung dan berwibawa.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni
tidak memperhatikan dia, melainkan memandang ke arah Bu Sin sambil membentak.
“Dan kau.... kau manusia tak kenal budi, kau.... kau mencinta bocah Beng-kauw
ini!”
Seperti juga Liu Hwee, wajah Bu
Sin menjadi merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah dua kali ada
orang mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama adalah wanita iblis
yang lebih dahsyat daripada Siang-mou Sin-ni yang berkata demikian, yaitu
mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu Suling Emas. Kedua kalinya adalah si
iblis wanita ini!
“Siluman jahat, kami saling
mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak ada harganya untuk
menyebut-nyebut hal itu!” bentak Bu Sin marah.
Siang-mou Sin-ni menjerit keras,
jeritan melengking tinggi dan hampir saja Bu Sin tak kuat mempertahankan karena
isi dadanya berguncang hebat. Cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang yang ia latih
dari kakek sakti, dan sebentar saja pengaruh jeritan itu lenyap.
“Kalian harus mampus, akan
kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling mencintai, ya? Memang betul,
kalau akan menjadi satu, akan tetapi setelah menjadi daging hancur, hi-hik!”
Wanita itu kini mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu yang-khim yang
dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu. Sambil memekik keras ia menerjang
maju, rambut kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim yang digerakkan
secara dahsyat sekali.
“Bu Sin koko, hati-hati....!”
Liu Hwee berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis ini merasa gelisah
dan ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis ini yang luar biasa
saktinya.
Sebagai puteri tunggal ketua
Beng-kauw, tentu saja ilmu kepandaian Liu Hwee sudah hebat. Gin-kangnya tinggi,
gerakannya cepat sekali, tenaga dalamnya juga sudah mencapai tingkat tinggi
sehingga senjatanya yang berupa cambuk yang kedua ujungnya dipasang bola baja
itu digerakkan dengan kecepatan yang sukar dilawan. Senjata macam ini merupakan
senjata yang paling sukar dipelajari, akan tetapi apabila sudah matang
gerakkannya, senjata ini bergerak otomatis, seakan-akan menjadi satu dengan
kedua tangan, dan amat berbahaya.
Betapapun juga, dibandingkan
dengan Siang-mou Sin-ni, ia masih kalah beberapa tingkat. Siang-mou Sin-ni
adalah seorang di antara Enam Iblis, kepandaiannya aneh dan tinggi. Selain
itu, iblis betina ini telah hampir berhasil dalam menciptakan ilmunya yang
mujijat dan keji yaitu Ilmu Tok-hoat-lek (Ilmu Gaib Darah Beracun) yang
diciptakan dengan cara menyedot habis darah seorang korban. Entah sudah berapa
puluh orang korban yang disedot habis darahnya oleh iblis wanita ini! Selain
memiliki ilmu setan yang hampir selesai dipelajarinya ini, ia pun memiliki ilmu
menggunakan rambut panjang yang ampuhnya melebihi segala macam senjata. Di
samping ini, ia berhasil merampas yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan
senjata aneh ini merupakan tambahan kesaktian baginya.
Karena perbedaan tingkat
kepandaian ini, dalam pertempuran itu Liu Hwee selalu tertindih dan terdesak.
Sepasang bola bajanya yang menyambar-nyambar itu selalu terbentur kembali,
bahkan kini yang-khim dan rambut lawan mulai mengurung dan mendesaknya.
Bantuan Bu Sin tidak ada artinya bagi Liu Hwee. Pemuda ini memang benar
memiliki tenaga sakti yang murni, hasil latihan kakek sakti, akan tetapi tenaga
itu hanya dapat dipergunakan untuk menjaga diri. Dalam menyerang, karena ilmu
silat yang dimiliki Bu Sin adalah ilmu silat biasa saja, maka
serangan-serangannya tidak diacuhkan oleh Siang-mou Sin-ni, selalu terbentur
dan gagal oleh rambut yang hitam panjang.
Siang-mou Sin-ni adalah seorang
wanita yang berwatak kejam. Wataknya ini mungkin hampir sama dengan watak
seekor kucing yang suka sekali mempermainkan dan menyiksa tikus sebelum
memakannya, atau seekor laba-laba yang suka menikmati korbannya yang
meronta-ronta hendak membebaskan diri dengan sia-sia. Demikian pula, dalam
menghadapi Liu Hwee dan Bu Sin, wanita iblis itu mempermainkan mereka, mengejek
dan tidak segera merobohkan mereka, karena dalam mengejek dan mempermainkan
ini, ia mengalami kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa.
“Kalian saling mencinta, ya?
Hu-huh, ingin menjadi suami isteri dan membangun rumah tangga bahagia,
memiliki banyak putera-puteri? Hi-hik, takkan tercapai maksud kalian!”
“Keparat, tutup mulutmu yang
kotor!” Liu Hwee membentak, sepasang bolanya menyambar. Siang-mou Sin-ni
tertawa, rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena dilibat
rambut. Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia memukulkan
tangannya ke depan dengan pengerahan tenaga sakti. Inilah pukulan jarak jauh
yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.
“Wuuuuuttttt!” Angin pukulan
dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat mengenai sasaran.
“Uuugghhh!” Dari mulut iblis
betina itu tersembur darah segar yang langsung menyambar ke arah muka Liu Hwee!
Tadinya Liu Hwee girang, mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira
darah yang tersembur keluar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat
sekali. Ia sudah berusaha mengelak, namun tiba-tiba ia menjadi pening dan
biarpun darah itu tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir kepala,
namun cukup membuat gadis ini terhuyung-huyung, pandang matanya gelap. Ia
tidak tahu bahwa itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang tidak
tahu mengira bahwa Siang-mou Sin-ni terkena pukulan sampai muntah darah,
padahal ilmu mujijat ini selain dipergunakan untuk menahan pukulan, juga
sekaligus dipergunakan untuk menyerang lawan dengan darah yang langsung keluar
dari dalam mulut, darah yang mengandung racun berbahaya!
“Ibils keji!” Bu Sin menerjang
maju menusukkan pedangnya. Kembali Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia
menerima tusukan pedang itu dengan perutnya!
“Cappppp!” Bu Sin girang karena
mengira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang dibencinya. Akan tetapi
mendadak wanita itu terkekeh, rambutnya bergerak menangkap tubuh Bu Sin,
diangkat ke atas lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri Liu Hwee yang sedang
terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi, kedua orang muda itu terbanting dan
roboh tumpang tindih!
“Eh.... maaf.... Moi-moi....” Bu
Sin mengeluh.
“Tidak apa, Koko.... siluman ini
memang lihai....”
Bu Sin sudah kehilangan pedang
yang “menancap” di perut Siang-mou Sin-ni. Namun ia menjadi nekat. Bersama
dengan Liu Hwee ia melompat bangun, siap menerjang dengan tangan kosong. Akan
tetapi tiba-tiba Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan.... pedang yang dikira menancap
di perutnya itu melayang bagaikan anak panah cepatnya menuju dada Bu Sin!
“Koko, awas....!” Liu Hwee
mendorong Bu Sin dari samping. Terdengar kain terobek dan pedang itu ternyata
telah merobek baju Bu Sin di bagian lambungnya. Kurang cepat sedikit saja Liu
Hwee mendorong, bukan baju yang akan terobek, melainkan dada atau lambung!
“Iblis keji....!” Dengan wajah
pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia menyerang lagi dengan sepasang bola
bajanya. Adapun Bu Sin cepat lari dan mencabut pedangnya yang menancap pada
sebatang pohon. Kemudian ia menghampiri tempat pertempuran dan membantu Liu
Hwee lagi dengan mati-matian.
“Hi-hik, saling mencinta berarti
bodoh, boleh mati bersama!”
Tiba-tiba terdengar suara
nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu Hwee telah lekat dengan
kawat-kawat alat musik yang-khim. Betapapun Liu Hwee membetotnya, sia-sia saja
karena dengan tenaga “menyedot” Siang-mou Sin-ni telah membuat bola-bola itu
melibat-libat kawat, kemudian rambutnya bergerak seperti puluhan cambuk ke
depan!
Bu Sin berusaha menolong
temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya rambut-rambut itu, dengan maksud
membabatnya sambil mengerahkan tenaga sakti. Namun Siang-mou Sin-ni sekarang
telah tahu bahwa pemuda ini entah bagaimana caranya telah memiliki tenaga
sakti yang hebat, maka ia tidak melawan keras dengan keras karena khawatir
kalau-kalau rambutnya akan terbabat putus. Ia menggunakan tenaga lemas,
rambutnya bertemu pedang terus membelit, bahkan membelit juga pergelangan
tangan Bu Sin. Pemuda ini berseru keras karena merasa betapa pergelangan
tangannya seakan-akan hendak patah. Pedangnya terlepas dari pegangan dan di
lain saat ia telah dilucuti, seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini berdiri tanpa
senjata, menghadapi lawan yang terkekeh dan menggerak-gerakkan kepala
sehingga rambutnya menyambar-nyambar mengerikan.
“Hi-hik, kalian saling mencinta,
ya? Hi-hi-hik, sehidup semati, senasib sependeritaan!” Siang-mou Sin-ni terus
mengejek dengan suaranya yang nyaring diselingi kekehnya yang menyeramkan.
Kini rambut kepalanya
menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu. Kasihan sekali
Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak dari hujan serangan ini
karena rambut kepala yang hitam panjang dan gemuk itu berubah menjadi puluhan
batang cambuk yang kuat. Mereka dapat mengerahkan sin-kang untuk menjaga diri,
namun mereka tak mungkin dapat menjaga pakaian mereka yang mulai robek-robek!
Liu Hwee maklum bahwa ia akan terhina kalau sampai pakaiannya robek semua dan
membuatnya menjadi telanjang bulat, maka dengan nekat ia berusaha untuk
menyambar rambut-rambut itu. Akhirnya ia berhasil mencengkeram segenggam
rambut, mengerahkan tenaganya dan menarik sekuatnya.
***
Siang-mou Sin-ni menjerit karena
segenggam rambutnya telah jebol dari kulit kepala. Ia seperti setan sekarang.
Rasa nyeri membuatnya marah sekali dan di lain saat kedua tangan Liu Hwee telah
dibelit rambut sampai tak dapat bergerak tagi, lalu cambuk-cambuk rambut itu
melecut-lecut tubuhnya dari segenap penjuru! Gadis ini hanya dapat meramkan
mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut, akan tetapi pakaiannya mulai
robek-robek tidak karuan. Betapa hancur hati Bu Sin menyaksikan gadis yang
merampas kasih sayangnya itu mengalami siksaan itu. Namun apa dayanya? Ia
sendiri juga tidak terlepas daripada siksaan cambuk-cambuk rambut yang halus
dan harum itu, tetapi yang melecut dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan
sedikit saja ia mengurangi pengerahan sin-kang, kulitnya tentu akan robek-robek
pula.
“Bocah she Liu, bersiaplah untuk
mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.
“Siang-mou Sin-ni, aku tidak
takut mampus! Akan tetapi, sekali kau berani mengganggu kami, ayah pasti akan
mencarimu dan mencabuti semua urat dari dalam tubuhmu!”
“Hi-hi-hik, siapa takut terhadap
Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja datang, kubikin mampus sekalian!”
Gugup sekali hati Bu Sin
sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek kulitnya karena saking gugup dan
bingung melihat gadis yang dicintanya terancam, pengerahan tenaganya mengendur.
“Siang-mou Sin-ni, kalau kau berani mengganggu dia, kakakku Suling Emas tentu
akan menghancurkan kepalamu!”
Siang-mou Sin-ni mendengus,
“Huh, siapa takut Suling Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh sekarang juga bocah
she Liu kekasihmu ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis betina itu
mengangkat tangan kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.
Akan tetapi tiba-tiba ia
menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini tahu apa yang
terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya ada orang yang tadi
menariknya ke atas dengan cara mencengkeram rambut-rambutnya, dan kini orang
telah mengikatkan ujung rambutnya pada batang pohon yang tinggi di atasnya!
Ketika ia melirik ke atas dengan heran, ternyata yang melakukan perbuatan ini
bukan lain adalah.... Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni hendak
melepaskan diri, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar kuning dan
punggungnya telah tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!
“Siang-mou Sin-ni, di mana-mana
kau hanya membikin onar!” seru Suling Emas dengan suara dingin dan marah ketika
ia melirik ke arah Liu Hwee yang kini berlutut di tanah dengan muka merah
sambil berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang, dan Bu Sin yang juga
robek-robek pakaiannya, bahkan mandi darah oleh lecutan-lecutan tadi.
“Twako....!” seru Bu Sin dengan
girang sekali.
Suling Emas tidak dapat menjawab
karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni sudah memaki-makinya. “Suling Emas, kau
pengecut hina-dina! Kau menyerangku dengan cara pengecut! Hayo lepaskan aku
dan kita bertanding sampai selaksa jurus! Cih, kau laki-laki apa? Pengecut tak
tahu malu!”
Akan tetapi Suling Emas tidak
melayaninya, bahkan tangannya meraih dan.... seketika pakaian luar Siang-mou
Sin-ni terlepas dari tubuhnya, membuat iblis betina ini menjadi setengah
telanjang karena yang menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!
“Heee, setan neraka! Mau apa kau
dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus dan ragu-ragu, “Suling Emas....
kalau kau.... suka kepadaku, kenapa tidak menanti sampai kita berdua saja....?
Mau apa kau melepaskan pakaianku!”
“Huh, perempuan hina!” Suling
Emas mendengus marah, lalu melompat dari atas pohon, menyerahkan pakaian itu
kepada Bu Sin sambil berkata, “Kauberikan ini kepada Bibi Kecil Liu Hwee,
kemudian kau bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”
Bu Sin menerima pakaian itu lalu
menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah yang memegang kesopanan,
ia membuang muka tidak mau memandang Liu Hwee yang setengah telanjang itu,
menyodorkan pakaian sambil berkata.
“Hwee-moi, cepat pakailah ini!”
Dengan cepat dan lega hati Liu
Hwee lalu menyambar pakaian itu dan sebentar saja ia sudah memakai pakaian
Siang-mou Sin-ni yang serba hitam. Untung baginya, bentuk tubuh iblis betina
itu ramping dan sama dengan tubuhnya sehingga pakaian itu pas betul.
“Bu Song, kaubunuh saja
perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling Emas.
“Hi-hik, kau yang pengecut tak
tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian akan kubunuh
mampus semua!”
“Bibi Kecil Liu Hwee, harap kau
dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat kembali ke Nan-cao. Iblis ini biar aku yang
menghadapinya. Setelah aku dapat menolong Lin Lin, tentu aku akan kembali ke Nan-cao
pula. Eh, Bu Sin, di mana adanya Sian Eng? Kenapa tidak bersamamu?”
Dengan kening berkerut Bu Sin
menceritakan pengalamannya di dalam terowongan rahasia, betapa mereka menjadi
tawanan Hek-giam-lo kemudian betapa Siang Eng dibawa lari oleh Suma Boan dan
dia sendiri diculik Siang-mou Sin-ni.
“Hemmm, sudahlah. Agaknya kali
ini aku takkan bisa mengampunkannya lagi!” kata Suling Emas dengan suara gemas.
“Kalian lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku di sana. Terlalu banyak orang
jahat memusuhi kita dan tak mungkin dapat membagi diri untuk mengamati kalian.
Aku pasti akan dapat mencari Sian Eng, Lin Lin, dan membawa kembali tongkat
Beng-kauw.”
“Paman Guru Kauw Bian Cinjin
juga sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali tongkat pusaka,” kata
Liu Hwee menerangkan.
Suling Emas mengangguk-angguk,
“Bagus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan. Sekarang kalian
lekaslah kembali ke Nan-cao.”
Liu Hwee dan Bu Sin tidak
membantah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat itu. Akan
tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee berhenti dan
berkata.
“Bu Sin koko, cukup jauh kita
berlari. Mari sekarang kita kembali.”
Bu Sin memandang heran.
“Hwee-moi, apa maksudmu?”
Gadis itu tersenyum dan dunia
ini serasa lebih cemerlang dan indah bagi Bu Sin. Semenjak jaman purba sampai
jaman sekarang, senyum seorang gadis selalu mendatangkan keajaiban bagi pria
yang mencintanya, keajaiban yang indah, seindah bunga mekar tersiram embun di
waktu pagi, atau matahari mengintai di ufuk timur mengusir kemuraman subuh.
Untuk senyum inilah seorang yang mabuk cinta siap sedia mengorbankan apa saja!
“Koko, betulkah hatimu rela
begitu saja kalau kita berdua kembali ke Nan-cao sedangkan tugas sedemikian
banyaknya yang harus diurus oleh kakakmu? Kedua orang adikmu terancam bahaya,
tongkat pusaka terampas musuh, bagaimana mungkin kita pulang begitu saja tanpa
memberi bantuan sedikit pun juga?”
“Cocok dengan isi hatiku,
Moi-moi. Aku pun merasa tidak enak sekali kalau harus pergi begitu saja
berpeluk tangan, bukanlah sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Akan
tetapi Song-twako yang memerintah, bagaimana aku dapat membantah?”
Kembali Liu Hwee tersenyum.
“Kakakmu itu memang lihai sekali, agaknya dengan orang seperti dia turun
tangan, semua urusan pasti akan beres. Akan tetapi, aku sama sekali tidak
setuju kalau harus tinggal diam saja. Tadi pun aku hendak membantahnya, akan
tetapi tidak baik di depan iblis betina itu kalau kita saling bantah. Karena
itu aku tadi diam saja. Sekarang, mari kita kembali dan mengambil jalan kita
sendiri, mencari kedua orang adikmu. Biarlah kita berlumba dengan Suling
Emas!”
Gembira sekali hati Bu Sin,
kegembiraan bertumpuk-tumpuk karena tidak saja ia gembira dapat membantu untuk
menolong kedua orang adiknya, juga ia senang sekali dapat melakukan perjalanan
ini bersama Liu Hwee, dapat sama-sama menempuh bahaya!
“Bagus! Mari kita berangkat,
Moi-moi!”
Mereka kini berlari ke arah
timur, akan tetapi belum lama mereka berlari kembali Liu Hwee berhenti.
“Perempuan tadi, dia.... dia
agaknya amat mencintamu, Koko!”
“Huh, iblis betina itu!” Bu Sin
mendengus, mukanya berubah merah sekali.
“Tadi.... tapi dia cantik
sekali, Sin-ko, dan di dunia ini, entah berapa banyaknya pria yang tergila-gila
dan jatuh hati kepadanya.”
“Uhhh, kecantikan iblis seperti
keindahan warna kulit seekor ular beracun. Sudahlah, kita tak perlu bicara
tentang dia, aku jijik kalau mengingat dia!” kata Bu Sin.
Liu Hwee tersenyum. “Syukurlah
kalau begitu. Aku sudah khawatir sekali. Sin-ko, di dunia ini hanya ada dua
orang wanita yang benar-benar hebat dan sukar dapat dilawan oleh laki-laki yang
bagaimana gagah pun. Pertama adalah mendiang enci Lu Sian, ke dua adalah Coa
Kim Bwee atau Siang-mou Sin-ni itulah. Senjata mereka yang paling mengerikan
adalah kecantikan mereka.”
“Kurasa terdapat perbedaan besar
antara encimu yang menjadi ibu kandung Bu Song twako itu dengan iblis betina
Siang-mou Sin-ni. Hwee-moi, mari kita lanjutkan perjalanan dan kalau boleh, aku
ingin sekali mendengar penuturanmu tentang riwayat hidup mendiang
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang hebat itu.”
Liu Hwee tersenyum lalu
menggerakkan kaki, dan mereka berdua kini melanjutkan perjalanan biasa. Liu
Hwee mulai menuturkan riwayat mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang luar
biasa dan hebat, akan tetapi yang hanya diketahui sebagian saja oleh Liu Hwee
(riwayat ini dituturkan dengan jelas dalam cerita SULING EMAS).
Sementara itu, setelah kedua
orang muda itu pergi, Suling Emas lalu menggunakan sulingnya membebaskan
totokannya pada tubuh Siang-mou Sin-ni. Setelah jalan darahnya bebas, dengan
mudah saja wanita itu dapat melepaskan diri dari atas cabang pohon di mana
rambutnya yang panjang tadi diikatkan oleh Suling Emas. Dapat dibayangkan betapa
hebat kemarahan wanita ini yang sekarang berdiri di depan Suling Emas hanya
dengan pakaian dalam yang serba ringkas, pendek, dan terbuat daripada sutera
merah! Kalau saja sepasang matanya tidak menyala-nyala liar, mukanya tidak
membayangkan kemarahan yang tak dapat dikendalikannya lagi, agaknya Siang-mou
Sin-ni akan kelihatan amat menggairahkan dalam pakaian seperti itu dan rambut
yang hitam panjang riap-riapan membantu pakaian dalam yang kurang cukup
menutupi bagian-bagian tubuhnya itu.
“Keparat....! Jahanam....!
Kau.... kau.... terlalu menghinaku.... kau harus mampus....!” Kata-katanya
sukar sekali keluar di antara dengus napasnya yang panas, kedua kakinya
bergerak maju perlahan-lahan, kedua tangannya berkembang, jari-jari tangannya
seperti kuku harimau hendak mencengkeram, ujung rambutnya yang terlalu panjang
terseret di atas tanah.
Suling Emas mengerutkan
keningnya dan melangkah mundur. “Siang-mou Sin-ni, ingat! Kini belum waktunya
kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tunggu nanti
tiba saatnya di puncak Thai-san, aku akan mewakili mendiang ibu kandungku. Kita
lihat siapa yang lebih kuat.”
“Tidak peduli! Kau harus mampus
sekarang juga. Kau terlalu menghinaku!”
“Hemmm, kau sombong. Dengan apa
kau hendak membunuhku? Dengan rambutmu? Ataukah dengan alat khim yang kaucuri
dari Bu Kek Siansu? Ah, tidak akan ada gunanya, Siang-mou Sin-ni. Lebih baik
kau bertapa lagi memperdalam ilmumu, agar kelak di puncak Thai-san kau dapat
melayaniku sedikitnya seratus jurus!”
“Suling Emas, kaulah yang
sombong! Kaukira aku tidak memiliki ilmu untuk membunuhmu? Nah, kauterimalah
ini!”
Tiba-tiba sekali wanita itu
membuka mulutnya dan sinar merah yang panjang kecil bagaikan seekor ular merah
menyambar dari dalam mulut itu ke arah Suling Emas. Pendekar ini terkejut
juga, tidak mengira bahwa wanita iblis ini memiliki kepandaian seaneh ini yang
selamanya belum pernah ia lihat atau dengar. Cepat ia miringkan kepala, tidak
berani menyambut benda yang menyambar ke arah mukanya itu. Benda itu menyambar
lewat kepalanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba pandang
matanya berkunang dan napasnya menjadi sesak. Kiranya benda berupa sinar merah
itu adalah darah. Darah hidup! Darah yang mempunyai pengaruh hebat sekali, yang
membuatnya tiba-tiba menjadi pening. Sebelum Suling Emas dapat mengusir
kepeningannya, tiba-tiba angin bertiup dari depan, alat musik khim sudah
menghantam ke arah kepalanya dibarengi suara kekeh tertawa yang seram.
“Aiiihhhhh....!” Suling Emas
mengumpulkan semangat, menjatuhkan diri ke kiri sehingga sambaran alat khim itu
tidak mengenai dirinya, akan tetapi pada saat itu, selagi ia masih nanar,
tahu-tahu tubuhnya sudah terlibat oleh rambut yang amat kuat, yang melihat kaki
tangan dan lehernya bagaikan puluhan ekor ular yang mengeroyoknya!
Suling Emas maklum bahwa
nyawanya berada dalam bahaya maut. Cepat ia mengerahkan seluruh sin-kang di
tubuhnya dan seketika lenyaplah kepeningan kepalanya. Dengan gerakan
menggoyang tubuh sambil mengembangkan tangan kaki. Terdengar Siang-mou Sin-ni
memekik penuh kekecewaan melihat calon korbannya dapat terlepas begitu
cepatnya. Di lain saat Suling Emas sudah memegang suling dan kipasnya.
“Iblis betina, kiranya kau
mempunyai ilmu setan yang jahat. Akan tetapi jangan harap kau dapat mengakali
aku lagi. Hayo majulah!”
Dengan sikap tenang penuh wibawa
Suling Emas berdiri tegak dengan sepasang senjatanya yang amat terkenal itu di
kedua tangan, matanya menatap tajam. Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, maklum bahwa
ilmunya Tok-hiat-hoat-lek masih belum cukup kuat untuk merobohkan Suling Emas,
namun ia merasa gembira sekali karena biarpun ilmunya belum matang betul, namun
ia tadi sudah hampir dapat mengalahkan Suling Emas. Andaikata ilmunya sudah
matang, tentu tidak semudah itu Suling Emas menyadarkan diri dan sudah mampus
di tangannya. Ia tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya mencelat jauh pergi
dari tempat itu. Suara ketawanya masih terdengar jelas seperti suara
kuntilanak, disusul kata-katanya mengejek, “Suling Emas, kautunggu saja, di
puncak Thai-san aku takkan gagal lagi seperti tadi!”
Sejenak Suling Emas termenung.
Ia teringat betapa dahsyat ilmu yang dipergunakan Siang-mou Sin-ni tadi.
Hampir saja ia menjadi korban. Kalau tadi ia tidak lekas-lekas dapat menguasai
dirinya dan melenyapkan kepeningannya, tentu ia sudah menjadi korban. Diam-diam
ia bergidik. Ilmu semburan darah segar tadi benar-benar mengerikan dan kelak
ia harus berlaku hati-hati sekali apabila berhadapan dengan iblis betina itu.
***
Dengan amat tekun dan rajin Lin
Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai kertas tipis yang ia
dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. Memang segala sesuatu sudah
menjadi takdir Tuhan. Ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja
menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang merupakan inti sari
daripada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih
jurus-jurus yang dapat mengatasi isi kitab itu, karena ketika menciptakan ilmu
ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk menurunkannya kepada
Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad. Dengan demikian, ilmu ini ia
tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biarpun sudah lama tongkat pusaka yang
dijadikan tempat penyimpanan wasiat ini berada di tangan Liu Mo ketua
Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan oleh Liu Mo atau tokoh
Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja sama sekali, Lin Lin dapat
menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini jodoh namanya?
Karena ia termasuk seorang anak
yang cerdas, Lin Lin segera dapat menghafal wasiat ini di luar kepala, dan ia
dapat menduga bahwa ilmu mujijat ini tak boleh sekali-kali diketahui orang
lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu selama lima belas hari di atas
perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis itu dan
menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.
“He, apakah itu?” bentak
Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin. Betapapun juga,
iblis hitam ini merasa curiga karena selama setengah bulan ini, Lin Lin tak
pernah keluar, juga tidak pernah memperdengarkan protes atau memperlihatkan
sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan menebarkan potongan-potongan
kertas banyak sekali ke sungai.
Akan tetapi ia terlambat
mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat kecil-kecil
itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang
melayang lalu hingap di atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya
berkelebat dan bagaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke permukaan
air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh itu membalik
kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.
Diam-diam Lin Lin kagum bukan
main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat sekali.
Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono, biarpun sudah memiliki hafalan
ilmu mujijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Dengan
sepasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang Hek-giam-lo yang sudah melihat
potongan-potongan kertas itu. Lin Lin tadi sudah berlaku hati-hati sekali
sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya merupakan potongan sebesar ibu
jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan kertas, akan tetapi apa
artinya? Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta
memasangnya kembali seperti semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!
“Apa ini....?” Hek-giam-lo
meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan
ingin tahu sekali.
“Kenapa kau tidak mau
menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai seorang di
antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa adanya surat
yang kurobek-robek menjadi potongan-potongan kecil itu?” Suara Lin Lin mengejek
dan mempermainkan karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul kembali
kejenakaan dan kelincahannya.
“Tuan Puteri, harap jangan
main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri dan
membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri
harus hamba jaga teliti dan tidak boleh sekali ada rahasia. Surat apakah,
tadi?”
Lin Lin tersenyum, matanya
mengerling penuh ejekan. “Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak
dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi
tahu. Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari.... kekasihku. Nah,
puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!” Lin Lin bersikap
nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo mendongkol juga.
“Paduka maksudkan surat dari Lie
Bok Liong pemuda tolol itu?”
Lin Lin menghela napas panjang
dan seketika ia menghampiri pinggir perahu dan pandang matanya mencari-cari ke
tepi pantai. Disebutnya nama pemuda itu mengingatkan ia akan penderitaan Bok Liong
yang mati-matian membelanya.
“Bukan, bukan dia. Liong-twako
adalah seorang yang amat baik, gagah perkasa dan ia amat mencintaku. Akan
tetapi bukan dia....” Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi
hatinya berbisik, “Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia orang yang
kucinta....”
“Kau mencari dia?” kini suara
Hek-giam-lo yang penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut sekali. Selama setengah
bulan ia bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana jadinya dengan Bok Liong?
Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan dibunuh oleh Hek-giam-lo.
“Di mana dia? Kauapakan Lie Bok
Liong twako?” bentaknya dengan mata terbuka lebar.
“Paduka cukup cerdik, mengapa
tidak menduga sendiri?” Kini Hek-giam-lo yang mengejeknya.
Lin Lin membanting-banting
kakinya. “Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang iblis yang tidak segan-segan
melakukan segala macam kejahatan di dunia ini, akan tetapi aku pun tahu bahwa
kau terlalu sombong untuk bersikap pengecut dan membohong terhadap seorang
gadis cilik macam aku! Nah, apakah kau telah membunuh Lie Bok Liong?”
Hek-giam-lo menggeleng
kepalanya. “Orang macam dia, perlu apa aku membunuhnya? Dia sudah mau mampus
dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya, pelukis sinting itu tidak
datang dan membawanya pergi.”
Berseri wajah Lin Lin. “Apa
kaubilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya? Mengapa dia tidak
membunuhmu?”
Hek-giam-lo mendengus marah.
“Badut tolol itu mana berani? Dia datang membawa pergi muridnya, tergesa-gesa
dan ketakutan.”
“Kau bohong, aku tidak percaya!”
Hek-giam-lo hanya mengangkat
bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan Lin Lin ke kepala perahu. Lin Lin
menoleh ke sana ke mari, akan tetapi pandang mata para anak buah perahu yang
mentertawakannya membuat ia gemas dan dengan marah ia kembali memasuki bilik
perahu. Hatinya panas dan ingin ia memberontak dan pergi dari perahu. Akan
tetapi ia tidak bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih masak-masak,
pula di atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali perahu
digulingkan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan pula.
Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.
Dengan makin tekun Lin Lin mulai
melatih diri, siang malam ia melatih diri. Bukan main girang hatinya ketika
pada setiap gerakan pukulan, terasa ada angin pukulan yang antep dan dahsyat
menyambar keluar dari tangannya yang terbuka. Dinding bilik perahu sampai
berguncang dan hal inilah yang membuat Hek-giam-lo menjadi curiga sekali dan
malam itu, menjelang subuh, mendadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan
menerobos masuk.
Baiknya ketika itu Lin Lin sudah
melatih jurus yang ke sembilan. Jurus ini dilakukan dengan duduk, merupakan
pukulan jarak jauh yang dilakukan sambil duduk. Pukulan kedua tangan itu
merupakan gerakan lingkaran sehingga angin pukulannya memutari tubuhnya dapat
menghantam lawan yang berada di manapun juga tanpa mengubah kedudukan tubuh
yang duduk. Untuk melatih jurus ini, Lin Lin duduk di atas pembaringannya, maka
ketika tiba-tiba pintu biliknya terbuka, ia tidak menjadi gugup, melainkan
menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap seperti orang bersamadhi, sikap
yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat tinggi apalagi waktu menjelang
subuh adalah waktu terbaik untuk bersamadhi.
Melihat “tuan puteri” itu duduk
bersamadhi, sama sekali tidak bergerak, Hek-giam-lo tidak berani mengganggu.
Akan tetapi getaran-getaran pada dinding bilik sekarang berhenti. Makin
curigalah iblis itu. Ia menutup pintu bilik dan melompat keluar, menyelidik di
sekeliling perahu, bahkan ia menyelidiki ke darat. Akan tetapi ia tidak
menemukan sesuatu.
Kecurigaan Hek-giam-lo ini yang
mengganggu latihan Lin Lin. Pada keesokan harinya, secara mendadak Hek-giam-lo
menghentikan perahu, lalu mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan ke
utara melalui darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga, tidak hanya pada diri
Lin Lin, melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai yang hendak merampas Lin
Lin dan tongkat pusaka Beng-kauw daripadanya. Hal ini mungkin saja, apalagi setelah
muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari pantai.
“Aku tidak mau melakukan
perjalanan di darat!” Lin Lin membentak marah. “Lebih enak melalui air, tidak
lelah dan dapat tidur nyenyak!”
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Air
sungai ini akan membawa kita ke laut, sedangkan Khitan letaknya bukan di laut.
Kita harus mendarat sekarang juga. Jangan khawatir, untuk Paduka, hamba akan
menyediakan seekor kuda yang baik.”
Tentu saja keberanian yang
diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya ia ingin
melakukan perjalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya. Dengan
perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah pengawasan
Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk berlatih.
Namun Lin Lin cukup cerdik untuk
membantah terus karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan. Selain itu,
biarpun ia kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah kesempatan
baginya untuk melarikan diri, sungguhpun ia takkan sembrono melakukan hal ini
kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.
Kesempatan ini tak pernah ia
dapatkan karena Hek-giam-lo selalu mengawalnya sendiri dengan hati-hati dan
teliti sekali. Ia diberi seekor kuda pilihan yang baik sedangkan Hek-giam-lo
berjalan cepat di belakangnya. Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan kudanya itu
akan percuma, tidak saja di situ terdapat banyak kuda-kuda yang cepat, akan
tetapi juga orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat ditinggal lari di
atas kuda. Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan sia-sia belaka dan
akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang baik. Kini biarpun
ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan Hek-giam-lo
sendiri, selalu bersikap menghormat. Ia selalu diberi hidangan yang lezat dan
selalu diperhatikan keperluannya.
Beberapa pekan kemudian, pada
suatu sore, tibalah mereka di perbatasan yang menjadi wilayah bangsa Khitan.
Suku bangsa Khitan adalah bangsa perantauan di sebelah utara, sering kali
berpindah wilayah sesuai dengan keadaan dan musim. Mereka terkenal sebagai
bangsa yang gagah berani dan pandai menunggang kuda, pandai melakukan perang.
Hek-giam-lo menghentikan
rombongannya dan menyuruh orang-orangnya mendirikan kemah di tempat itu,
yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Ia sendiri lalu menunggang kuda untuk
mengabarkan kepada rajanya tentang kedatangan Puteri Yalina! Pada waktu itu,
karena tekun mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin sudah pandai
berbahasa Khitan. Memang ada hubungan darah, maka bahasa ini baginya amat
mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo dan terbukalah
kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggaikan rombongan itu!
Akan tetapi pada saat
Hek-giam-lo pergi, datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata adalah dayang-dayang
yang serta-merta melayaninya. Mereka ini terdiri dari selosin orang wanita
muda yang cantik, mereka datang membawa makanan asing yang enak, membawa
pakaian-pakaian indah dan perhiasan untuk Sang Puteri Yalina, calon
permaisuri!
Memang watak Lin Lin nakal dan
ingin sekali ia mencoba pakaian itu. Maka ketika ia didandani, ia menurut saja.
Akhirnya ia tertawa sendiri cekikikan ketika melihat bayangannya di cermin.
Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang pakaiannya aneh beraneka
warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat daripada emas penuh batu
permata!
“Pantaskah aku memakai ini?”
tanyanya dalam bhhasa Khitan kepada para dayang yang tertawa-tawa gembira
melihat puteri itu cekikikan di depan cermin.
Mereka serentak menjatuhkan diri
berlutut dan menghujani Lin Lim dengan pelbagai pujian. Lin Lin merasa bangga
sekali. Alangkah senangnya menjadi ratu, pikirnya. Dilayani, dihormati, dan
menjadi orang terpenting di antara bangsa yang mempunyai laki-laki gagah dan
wanita cantik ini. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia akan dijadikan
permaisuri oleh paman tirinya sendiri, yang bernama Kubakan dan sekarang
menjadi Raja Khitan, ia bergidik dan cepat-cepat ia melepaskan pakaian asing
itu, mengenakan pakaian sendiri. Ia tidak mempedulikan protes para dayang itu,
bahkan lalu meloncat keluar dari perkemahan dengan maksud hendak lari.
Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika selosin orang dayang yang muda-muda dan cantik itu tiba-tiba mengejar
dan mengurungnya dengan pedang di tangan. Mereka ternyata bukanlah dayang
biasa, melainkan gadis-gadis yang terlatih baik dan kini mereka membentuk
barisan pedang yang mengurung Lin Lin dengan gerakan yang cekatan dan sigap.
“Harap Tuan Puteri jangan pergi
meninggalkan perkemahan ini. Hamba semua telah menerima perintah Sri Baginda
untuk menjaga Paduka, Lo-ciangkun (Panglima Tua) tadi memesan bahwa kalau perlu
hamba semua harus mempergunakan kekerasan mencegah Paduka pergi.” Kata seorang
di antara mereka.
“Perempuan rendah! Bukankah aku
ini ratumu? Berani kau menghalangi kehendakku?” gertak Lin Lin dengan marah.
“Ampun, Tuan Puteri. Paduka
adalah calon ratu dan hamba sekalian tentu saja mentaati semua perintah Paduka.
Akan tetapi lebih dulu hamba harus mentaati Sri Baginda, kemudian Lo-ciangkun,
baru Paduka.”
“Kalian berani? Hemmm, agaknya
sudah bosan hidup. Majulah!” tantang Lin Lin, akan tetapi selosin dayang itu
tidak bergerak, hanya tetap mengurung.
“Mana hamba berani menyerang
Paduka? Hanya kalau Paduka hendak melarikan diri, terpaksa hamba sekalian
harus mencegah.”
“Oh, begitukah? Nah, aku mau
pergi, hendak kulihat kalian bisa berbuat apa!” Sambil berkata demikian Lin Lin
meloncat ke kiri menerjang dua orang dayang yang menjaga di situ. Akan telapi
dengan gerakan cepat sekali mereka menggerakkan pedang, merupakan dinding
pedang yang menghalangi perginya. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa dua
belas orang dayang ini merupakan tenaga-tenaga terlatih baik dan agaknya mereka
betul-betul akan menyerangnya kalau ia bersikeras melarikan diri dari tempat
itu. Dan pada saat itu, sudah datang pula para orang Khitan berlari-lari,
jumlah mereka lebih dari dua puluh orang!
Bangkit kemarahan di hati Lin
Lin. Sebetulnya ia tidak mempunyai rasa benci kepada orang-orang Khitan karena
setelah ia menjadi tawanan Hek-giam-lo beberapa lamanya, ia mendapat kesan
yang amat baik terhadap orang-orang Khitan. Mereka adalah orang-orang yang
berani, jujur, dan amat setia. Mereka hanya melakukan perintah atasan mereka
dan semua tugas mereka jalankan dengan taruhan nyawa.
“He, dengarlah kalian semua!”
serunya sambil mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tongkat Beng-kauw
berada di tangan kirinya. “Aku Puteri Yalina amat suka kepada bangsaku, akan
tetapi aku benci kepada paman tiriku Kubakan yang menjadi raja lalim dan hendak
memperisteri aku, keponakannya sendiri! Aku juga benci kepada Lo-ciangkun
Hek-giam-lo yang kejam! Dengarlah, aku bersedia menjadi ratu kalian kalau kedua
orang itu sudah tidak ada. Demi arwah ibuku, Puteri Tayami yang gagah perkasa,
dan demi arwah kakekku, Raja Kulukan yang bijaksana, aku suka menjadi Ratu
Khitan asalkan kedua orang jahat itu sudah tewas! Sekarang, terserah kepada
kalian, adakah yang masih hendak menangkap aku? Boleh maju!”
Beberapa orang dayang dan
beberapa orang penjaga ketika menyaksikan Lin Lin berdiri sambil mengucapkan
kata-kata ini penuh wibawa, serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Bahkan
disebutnya nama-nama mendiang Kulukan dan Tayami membuat beberapa orang dayang
menangis.
“Hamba setia kepada Puteri
Yalina!” teriakan-teriakan ini terdengar riuh-rendah.
Akan tetapi tidak semua dayang
dan tidak semua penjaga berlutut dan menyatakan setianya, bahkan sebagian
besar merasa lebih taat kepada Raja Kubakan dan lebih takut kepada
Hek-giam-lo. Jumlah mereka yang menentang Lin Lin ini ada dua pertiga bagian
dan kini sembilan orang dayang menerjang maju dengan pedang-pedang mereka
menyerang Lin Lin!
“Trang-cring-tranggggg....!”
Terdengar jerit kesakitan dan pedang-pedang beterbangan ketika Lin Lin
menggerakkan pedang dan tongkat Ceng-kauw, diputar untuk menangkis disertai
pengerahan tenaga sin-kang. Tidak hanya pedang sembilan orang dayang itu
runtuh beterbangan, juga sebagian ada yang terguling roboh karena hebatnya
tenaga tangkisan Lin Lin, sebagian meloncat mundur dengan muka pucat. Lin Lin
sendiri terheran-heran. Bagaimana tangkisannya bisa begitu hebat? Sama sekali
ia tidak menduga bahwa semua ini adalah berkat ilmu baru yang didapatkannya,
yaitu ilmu dari lembaran-lembaran rahasia di dalam tongkat Beng-kauw.
Namun sembilan orang dayang itu,
seperti juga para petugas lain, amat setia kepada tugasnya. Biarpun pedang
mereka sudah hilang dan mereka semua maklum bahwa tuan puteri yang mereka harus
cegah perginya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada
mereka, mereka tidak mundur dan kini dengan tangan kesong mereka menubruk maju
dengan maksud menangkap Lin Lin.
Lin Lin tidak tega untuk
menggunakan senjata menghadapi mereka, maka ia cepat menyimpan pedangnya yang
tadi membuat banyak orang Khitan berlutut karena pedang itu adalah Pedang Besi
Kuning yang dahulu menjadi pusaka keramat Kerajaan Khitan, kemudian dengan
dorongan tangan kanannya ia menerima serangan para dayang itu.
“Wuuuttttt....!” Dari tangan
kanan Lin Lin menyambar angin pukulan dahsyat karena gadis ini sudah
menggunakan tenaga dari ilmunya yang baru yang pernah dilatihnya dalam perahu
dan yang angin pukulannya menggetarkan dinding sehingga pernah Hek-giam-lo
menjadi curiga.
Hebat akibatnya. Sembilan orang
dayang itu seperti daun-daun kering tertup angin, mereka terlempar dan
menjerit kesakitan. Ketika mereka terbanting roboh, hanya enam orang saja yang
mampu merangkak bangun dengan muka pucat dan lemah, sedangkan yang tiga orang
lagi, yang paling depan, tak dapat bangun lagi karena mereka telah tewas dengan
mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah!
Alangkah kagetnya hati Lin Lin.
Ia sampai berdiri melongo dan tercengang, hatinya dipenuhi rasa menyesal dan
rasa girang. Ia menyesal karena tanpa ia sengaja ia telah melukai para dayang,
bahkan membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi juga girang karena
mendapat kenyataan bahwa ilmu mujijat yang ia dapat dari dalam tongkat
Beng-kauw itu ternyata merupakan ilmu yang ampuh! Hatinya menjadi besar sekali
dan ia kini menghadapi para penjaga yang belasan orang banyaknya itu dengan
bentakan nyaring.
“Yang berani kurang ajar
terhadapku sudah terhukum! Mundur kalian semua, kalau tidak, calon ratumu akan
turun tangan besi. Aku sayang kepada mereka yang taat, akan tetapi aku harus
membasmi mereka yang mencoba menahan kepergianku!”
Sejenak para perajurit Khitan
itu tertegun. Mereka terheran-heran melihat betapa gadis ini yang tadinya,
biarpun cukup lihai, namun masih dapat mereka atasi, kini mendadak memiliki
ilmu pukulan yang demikian dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat yang mengerti
akan ilmu silat tinggi, belasan orang Khitan itu mengenal ilmu pukulan dahsyat,
maka diam-diam mereka menyesal sekali mengapa Hek-giam-lo sudah pergi dari
situ. Biarpun mereka dapat mengandalkan tenaga banyak teman, namun dengan ilmu
pukulan sakti seperti itu, agaknya sukar mencegah gadis ini melarikan diri.
Mereka tidak takut terhadap Lin Lin biarpun gadis itu memiliki ilmu dahsyat,
mereka jauh lebih takut dan ngeri kalau sampai gadis ini lenyap, takut akan
kemarahan dan hukuman yang akan dijatuhkan Hek-giam-lo terhadap mereka!
“Tuan Puteri, hamba sekalian
harus mencegah kepergian Paduka dengan taruhan nyawa!” teriak seorang penjaga
dan mereka lalu maju mengurung Lin Lin, merupakan pagar manusia yang tak dapat
dilalui begitu saja tanpa membuka jalan berdarah!
Lin Lin menarik napas panjang.
“Kalian keras kepala!”
Setelah berkata demikian, Lin
Lin kembali mengayun tangan kanannya mengirim pukulan jarak jauh. Kali ini dua
orang laki-laki terguling roboh dan beberapa orang lagi terhuyung-huyung. Akan
tetapi dari kanan kiri dan belakang mereka mendesak maju, siap untuk
merobohkan Lin Lin atau kalau mungkin menangkapnya. Kembali Lin Lin mengirim
pukulan, kini malah tongkat Beng-kauw di tangan kiri ia pergunakan untuk
menyapu kaki mereka. Ada beberapa orang lagi roboh, dan dua orang malah patah
tulang kaki mereka terbabat tongkat pusaka Beng-kauw.
“Mundur kalian! Hemmm, apakah
kalian sudah bosan hidup?” bentak Lin Lin karena mereka demikian nekat sudah
menyerbu lagi sehingga ia tidak melihat jalan keluar. Kembali beberapa orang ia
robohkan dan ia sudah menggerakkan kaki meloncat keluar dari kepungan melalui
tempat mereka yang sudah roboh ketika tiba-tiba para pengeroyoknya terpelanting
dan terdengar suara orang mendengus marah.
Lin Lin berdiri tegak dan
memandang kepada Hek-giam-lo yang sudah berdiri di depannya! Berdebar jantung
gadis ini, akan tetapi ia sama sekali tidak takut, malah ia menentang pandang
mata Hek-giam-lo dengan pandangan menantang.
“Tuan Puteri, Sri Baginda sudah
mengirim joli untuk menjemput Paduka, kenapa Paduka membikin ribut di sini?
Apa yang Paduka kehendaki?” Kini suara Hek-giam-lo malah lebih hormat daripada
yang sudah-sudah, agaknya hal ini karena mereka sudah dekat dengan Raja Khitan,
akan tetapi di dalam suara ini pun terkandung kemarahan tertahan.
“Aku mau pergi dari sini! Aku
tidak sudi dijadikan isteri paman tiriku! Tua bangka tak tahu malu dia, dan kau
tidak tahu diri, hendak memaksa aku menjadi isteri seorang kakek. Hemmm,
andaikata kakekku masih hidup, atau ibuku, kau tentu akan dihajar,
Hek-giam-lo!”
Kembali iblis hitam itu
mendengus. “Tangkap dia!” bentaknya kepada para pembantunya.
Karena Hek-giam-lo sudah hadir
di situ, orang-orang itu menjadi lega hatinya. Kalau sebelum iblis itu datang
Lin Lin sampai terlepas dari tangan mereka, pasti mereka akan mengalami hukuman
siksa sampai mati yang amat mengerikan, akan tetapi sekarang Hek-giam-lo berada
di situ, berarti iblis itulah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Pula,
kehadiran iblis ini membesarkan hati mereka, membuat mereka tidak takut akan
kelihaian sang puteri. Serentak mereka maju mendesak, hendak menangkap Lin
Lin.
Lin Lin kembali mengayun
tangannya, kini ia tidak hendak menyembunyikan lagi ilmunya. Terdengar
Hek-giam-lo mendengus keras dan iblis ini pun menggerakkan tangannya sehingga
angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lin Lin, bertemu dengan angin
pukulan Lin Lin. Akibatnya, Lin Lin terdorong dan terjengkang ke belakang, akan
tetapi Hek-giam-lo juga terhuyung-huyung. Hal ini membuat Hek-giam-lo kaget
setengah mati. Dari mana tiba-tiba gadis itu memiliki sin-kang yang sedemikian
hebatnya? Ia berseru keras dan melompat maju, ketika itu Lin Lin juga sudah
bangkit kembali dan memutar kedua senjatanya, yaitu Pedang Besi Kuning dan
tongkat Beng-kauw.
“Semua mundur, biarkan aku
menghadapinya!” Hek-giam-lo membentak ketika tiga orang pembantunya dalam
sekejap mata saja roboh oleh kedua senjata Lin Lin.
Kini Hek-giam-lo sendiri yang
maju dan berhadapan dengan Lin Lin yang memandangnya penuh ketabahan. Lin Lin
sama sekali tidak jerih. Kalau sebelum ia mendapatkan ilmu muiijat saja ia sama
sekali tidak takut, apalagi sekarang. Ilmu itu membuat ia laksana seekor
harimau betina mendapat sayap.
“Hek-giam-lo, kaukira aku takut
kepadaku?” katanya dan kini ia menggerakkam kedua senjatanya dengan gerakan
ilmu silat yang ia pelajari dari dalam gulungan-gulungan kertas.
Dua sinar berkilauan menyambar,
bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi bersuitan. Hek-giam-lo terkejut dan
melompat mundur, kedua lengan bajunya bergerak ke depan untuk menangkis.
“Heh, dari mana kau mendapatkan
ilmu ini?” bentaknya.
Lin Lin tidak menjawab hanya
tertawa mengejek sambil menerjang maju lagi. Sayang sekali bahwa dia kurang
latihan sehingga biarpun kedua senjatanya mengeluarkan hawa pukulan yang
berdesir-desir, namun ia belum mampu mengerahkan tenaga sepenuhnya dan
gerakan-gerakannya masih kaku. Namun tak dapat disangkal lagi bahwa
terjangannya ini dahsyat sekali sehingga diam-diam Hek-giam-lo menjadi kaget
dan kagum. Tokoh sakti ini pun mengerti bahwa jika ilmu gadis ini terlatih
baik, tentu gadis ini akan merupakan lawan yang berat dan sedikitnya setingkat
dengan kepandaiannya!
Hek-giam-lo adalah seorang yang
cerdik. Ia dapat menduga bahwa ilmu aneh ini tentu didapatkan oleh Lin Lin
selama menjadi tawanan di dalam perahu dan ia teringat akan desir angin pukulan
pada tengah malam itu di perahu. Kini ia mengerti bahwa pada waktu itu, tentu
Lin Lin yang sedang berlatih. Dari mana gadis ini mendapatkan ilmu itu? Gadis
itu tidak bertemu siapapun juga, tidak pernah meninggalkan perahu. Tongkat itu?
Tongkat pusaka Beng-kauw! Tentu di situlah rahasia ilmu itu.
Dengan gembira karena ingin
sekali mendapatkan ilmu aneh ini yang pasti akan dapat menambah kelihaiannya,
Hek-giam-lo mempergunakan gin-kangnya menyelinap di antara sambaran sinar
senjata, lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sabit bergagang
panjang yang amat tajam.
“Serahkan tongkat pusaka
Beng-kauw!” bentaknya sambil menyerang dengan sabitnya. Gerakannya hebat,
tenaganya mujijat sekali sehingga Lin Lin terpaksa meloncat mundur karena silau
menyaksikan kelebatan sinar senjata lawan. Namun ia berhasil menangkis
senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang membuatnya kembali
terhuyung-huyung dan telapak tangannya terasa sakit sekali. Namun hal ini saja
sudah membuat Hek-giam-lo terheran-heran. Hanya ahli silat kelas tinggi saja
yang mampu mempertahankan terjangannya tadi dengan akibat hanya
terhuyung-huyung. Tadinya ia memperhitungkan bahwa sedikitnya gadis itu akan
melepaskan sepasang senjatanya!
Karena penasaran kembali ia
menerjang dengan sabitnya. Dalam pertandingan, apalagi kalau menemui lawan
tangguh, Hek-giam-lo lupa segala. Karena Lin Lin dapat menangkis terjangannya
tadi membuat ia lupa dan bersemangat sehingga kini ia menerjang dengan
serangan maut tanpa mempedulikan apakah gadis calon ratu, calon permaisuri rajanya
itu akan mampu menangkisnya.
“Tranggg....!” Lin Lin kembali
berhasil menangkis dengan pedangnya, dibantu pula dengan tongkat, namun kini
ia terguling. Alangkah heran hati Hek-giam-lo karena begitu terguling, gadis
itu sudah meloncat lagi, malah kini membalas dengan serangan-serangan yang tak
kalah ganasnya. Ia sampai memekik kaget dan memutar senjatanya untuk
menangkis. Adapun Lin Lin yang bangkit semangatnya karena hawa sin-kangnya
kini ternyata mampu bertahan terhadap kekuatan lawan yang tersalur dalam
setiap serangannya, kini menerjang dengan tabah dan penuh tenaga.
Namun, betapapun juga, karena
ilmu barunya itu baru ia kuasai beberapa bagian saja, sama sekali belum
terlatih, mana ia mampu mengimbangi seorang jago kawakan seperti Hek-giam-lo
yang menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Sebentar saja ia sudah sibuk
sekali, hanya mampu menangkis ke sana ke mari tanpa mampu membalas kembali.
Hek-giam-lo mendengus dan
setelah sekarang Lin Lin tak dapat menandinginya, teringatlah ia lagi bahwa
gadis ini adalah calon permaisuri raja, maka gerakan senjatanya tidak lagi
merupakan ancaman maut, melainkan kini ia berusaha menangkap gadis itu.
“Lepaskan tongkat!” bentaknya,
senjatanya menyambar ke arah dada. Lin Lin kaget sekali karena sambaran itu
cepat bukan main. Ia menangkis dengan pedangnya dan.... pedangnya menempel pada
senjata lawan, lekat tak dapat ditarik kembali. Dengan gemas ia menggunakan
tongkatnya mengemplang kepala lawan, namun tangan kiri Hek-giam-lo menyambut
tongkat itu, menangkap dan membetot. Lin Lin tak kuasa bertahan dan terpaksa
tongkatnya berpindah tangan. Akan tetapi karena Hek-giam-lo membagi tenaga
untuk merampas tongkat, gadis itu berhasil melepaskan pedangnya.
“Kembalikan tongkat itu!” Lin
Lin berseru keras sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi kini Hek-giam-lo
seperti tidak pedulikan dia lagi. Senjata sabitnya ia pergunakan untuk
menangkis, sedangkan matanya memeriksa tongkat Beng-kauw, mencari rahasianya.
Tiba-tiba ia teringat akan kertas yang dirobek-robek oleh Lin Lin dan disebar
di sungai. Ia menggeram keras dan membentak.
“Kertas yang kau robek-robek
dahulu itu.... surat rahasia apakah itu?” suaranya terdengar penuh kemarahan
dan kini ia hanya menyebut Lin Lin dengan “kau” saja.
“Peduli apa kau?” Lin Lin balas
membentak sambil menyerang lagi. Akan tetapi sebuah tangkisan membuat ia
terhuyung ke belakang. Kini Hek-giam-lo yang mendesak maju.
“Serahkan rahasia tongkat
Beng-kauw kepadaku!”
“Rahasia apa?” Lin Lin menjawab,
kaget.
“Rahasia ilmu yang kau pelajari.
Cepat!”
“Tidak.... tidak ada....!” Lin
Lin gugup karena rahasianya diketahui.
“Jangan bohong! Aku perlu sekali
ilmu itu, berikan!” Hek-giam-lo mendesak dan menerjang dengan sabitnya.
Serangan ini kuat sekali sehingga ketika Lin Lin menangkis, pedangnya terlepas
dari pegangan tangannya dan mencelat.
“Ho-ho-ho, Bayisan, aku bisa
membiarkan kau merajalela di dunia akan tetapi kalau kau mengganggu puteri
dari Tayami, aku yang akan menghalangimu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan
Pedang Besi Kuning yang mencelat dari tangan Lin Lin tadi telah disambar dan
berada di tangan orang ini. Ketika semua orang memandang, kiranya yang datang
adalah seorang laki-laki tua berkepala botak, bertubuh pendek gemuk, kakinya
tidak bersepatu, jenggotnya panjang sampai ke dada.
“Kim-lun Seng-jin....!” Lin Lin
berseru girang sekali melihat munculnya kakek ini. Kim-lun Seng-jin
mengedip-ngedipkan matanya kepada Lin Lin dengan cara yang lucu, kemudian
mengangsurkan Pedang Besi Kuning.
“Anak baik, Tuan Puteri Yalina
yang mulia, kauterimalah pedang ini. Pedang ini memang hakmu. Lekas kau pergi
dari sini, belum saatnya kau kembali kepada bangsamu. Biar aku yang menandingi
Bayisan yang dahulu mengganggu ibumu dan sekarang hendak mengganggumu lagi.”
“Kakek yang baik, terima kasih,”
kata Lin Lin sambil menerima pedangnya. “Tapi aku tidak mau pergi, aku mau
membantumu menghadapi iblis tengkorak ini.”
“Heh-heh-heh, bukan saatnya.
Ilmumu tadi memang aneh, mujijat dan hebat, akan tetapi masih mentah, kurang
terlatih. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Kim-lun Seng-jin menendang
dan.... karena tidak menyangka-nyangka, tubuh belakang Lin Lin kena ditendang,
membuat tubuh gadis itu terlempar dan melayang jauh! Anehnya, Lin Lin tidak
merasa sakit dan tahulah ia bahwa kakek itu tidak main-main, melainkan melihat
bahwa perlu sekali ia segera melarikan diri. Karena tadinya memang ingin
membebaskan diri dari tangan orang-orang Khitan, Lin Lin lalu lari secepatnya
sambil berseru.
“Kakek botak, terima kasih! Kelak
kalau aku menjadi ratu, kau kuangkat menjadi Koksu (Guru Negara)!”
“Heh-he-he! He, Bayisan, tak
boleh kau mengejarnya. Akulah lawanmu, tua sama tua, heh-heh!” kata Kim-lun
Seng-jin sambil menerjang maju ketika melihat betapa Tengkorak Hitam itu sudah menggerakkan
kaki hendak mengejar Lin Lin. Terjangan kakek botak itu hebat sekali karena ia
telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang roda emas yang
gemilang dan berputar-putar di tangannya.
Hek-giam-lo mendengus dan
meloncat ke kiri menghindarkan diri, lalu berkata nyaring.
“Kim-lun Seng-jin, kau orang
buangan dari Khitan, pengkhianat dan orang yang tak tahu malu. Raja sendiri
sudah tidak mengakui kau, mau apa kau turut campur?”
“Hueh-heh-heh-heh! Bayisan, kita
dahulu sama-sama perajurit, sama-sama berjuang untuk membela suku bangsa
Khitan yang selamanya menjadi bangsa perantau yang disia-siakan dan tak tentu
tempat tinggalnya! Akan tetapi sekarang setelah kau menjadi antek nomor satu
dari Kubakan yang berkhianat, kau banyak tingkah dan membuka mulut besar!
Siapa tidak tahu bahwa sebetulnya kedudukan raja atas suku bangsa Khitan
berada dalam hak keturunan Puteri Tayami? Sekarang Puteri Yalina, keturunan
Tayami sudah dapat ditemukan, akan tetapi bukan dia diangkat menjadi ratu, malah
akan dikawini oleh paman tirinya sendiri? Si Kubakan. Dan kau berani bilang aku
seorang pengkhianat? Heh-heh-heh, tidak lucu!”
“Tutup mulutmu! Kaukira aku
takut padamu?”
“Bayisan, dahulu pun antara kita
sudah sering terjadi perselisihan faham, dan biarpun kau lebih muda, tingkat
kepandaian kita seimbang. Sekarang setelah kau menjadi seorang di antara
Thian-te Liok-koai, agaknya kepandaianmu sudah banyak maju, sebaliknya aku
makin tua dan makin lemah. Akan tetapi, jika kau hendak mengganggu Puteri Yalina,
aku mempersiapkan tulangku yang sudah rapuh dan kulit dagingku yang sudah
lembek untuk melawanmu.”
“Tua bangka bosan hidup!”
Hek-giam-lo berseru keras dan senjatanya yang menyeramkan itu menyambar,
berubah menjadi sinar hitam yang diselingi sinar kilat seperti halilintar
menyambar.
Kim-lun Seng-jin maklum akan
kesaktian Hek-giam-lo, maka dia pun tidak banyak cakap lagi, segera
menggerakkan kedua tangannya dan sepasang roda emas itu berputar-putar dengan
indahnya melindungi seluruh tubuh. Berkali-kali terdengar suara nyaring dan
bunga api berpijar menyilaukan mata apabila senjata kedua orang jagoan Khitan
ini bertemu. Orang-orang Khitan yang berada di situ melongo, kagum dan tegang.
Mereka semua tahu siapa adanya Kim-lun Seng-jin, seorang tokoh tua bangsa
Khitan yang dikabarkan meninggalkan kelompok bangsanya dan merantau, dianggap
musuh oleh raja yang sekarang, akan tetapi merupakan seorang tokoh besar di
masa lalu. Mereka tidak berani membantu karena membantu Hek-giam-lo tanpa
diperintah berarti mencari kematian sendiri karena dianggap menghina
Hek-giam-lo. Selain ini, mereka pun berarti mencari mati kalau mencampuri
pertandingan itu karena gerakan kedua orang sakti itu terlalu cepat bagi
mereka. Sukar bagi mereka untuk dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan
pandang mata. Yang tampak oleh mereka hanyalah gulungan sinar hitam
menyambar-nyambar di antara dua gulung sinar emas, sedangkan dua orang tokoh,
itu tidak tampak bayangannya lagi.
Biarpun usianya sudah sangat tua
dan kalah tenaga, namun Kim-lun Seng-jin termasuk seorang tokoh sakti yang
berkepandaian tinggi. Dahulu, sewaktu Hek-giam-lo yang masih bernama Panglima
Bayisan masih kecil, Kim-lun Seng-jin sudah menjadi Panglima Khitan yang sukar
dicari bandingnya. Bahkan ketika Bayisan sudah menjadi panglima yang jagoan,
Kim-lun Seng-jin masih menjadi tokoh di Khitan sampai akhirnya kakek ini pergi
dari Khitan karena tidak suka melihat perebutan kekuasaan, sedangkan raja
sendiri, ketika itu adalah Raja Kulukan ayah Puteri Tayami (kakek Lin Lin),
malah menaruh curiga ketika Kim-lun Seng-jin memberi nasihat. Ketika itu,
Kim-lun Seng-jin masih bernama Kalisani (baca ceritaSuling Emas).
Namun, kini menandingi
Hek-giam-lo, kakek itu makin lama makin repot juga. Hek-giam-lo selama ini memang
memperoleh kemajuan hebat, apalagi belum lama ini ia telah berhasil merampas
setengahnya daripada kitab simpanan Bu Kek Siansu yang setengahnya lagi
dirampas It-gan Kai-ong. Dengan separuh kitab ini ia telah memperoleh kemajuan
yang luar biasa sekali sehingga setelah bertempur selama seratus jurus,
mulailah Kim-lun Seng-jin terdesak hebat. Kini sinar senjata sabit
berkilat-kilat menyambar dan setiap gerakan merupakan jangkauan maut yang
mengerikan.
Namun anehnya, Kim-lun Seng-jin
terdengar tertawa-tawa bergelak, ia merasa gembira sekali dengan pertandingan
ini. Kakek ini memang selalu merasa khawatir kalau-kalau ia sebagai seorang
Khitan, akan tewas di perantauan di tangan jago silat yang banyak terdapat di
seluruh penjuru bumi. Akan tetapi sekarang, nasib membawanya kembali ke
perbatasan Khitan dan bahkan bertanding dengan seorang tokoh Khitan nomor satu
di waktu itu. Lebih-lebih kegembiraannya bahwa ia dapat bertahan sampai seratus
jurus lebih, ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat menggembirakan
hatinya.
“Hueh-heh-heh, Hek-giam-lo.
Ternyata namamu kosong melompong! Mana patut bersombong menjadi seorang di
antara Enam Iblis Dunia? Ha-hah, menghadapi seorang kakek yang sebelah kakinya
sudah masuk lubang kubur macam aku saja, sekian lamanya belum juga dapat
mengalahkan!”
“Ciuuuuuttttt!” Sabit itu
menyambar dengan gerakan seperti halilintar. Saking marahnya, Hek-giam-lo
mempergunakan seluruh tenaga. Kim-lun Seng-jin cepat menangkis dengan roda emas
kiri.
“Cringgggg!” Hebat bukan main
pertemuan antara kedua senjata ini, tapi Kim-lun Seng-jin yang cerdik
membarengi pertemuan senjata ini dengan melontarkan roda emas kanan ke arah
lawan. Karena pembagian tenaga ini, apalagi memang ia sudah amat lemah dan
tenaganya kalah kuat, maka roda emas kiri yang bertemu dengan sabit secara
hebat menjadi patah, bahkah tangan kirinya terluka oleh sabit yang sempat
menyerempetnya. Akan tetapi di lain fihak, Hek-giam-lo yang tidak menyangka
akan serangan kilat dari roda emas kanan yang dilontarkan, tak sempat mengelak
dan dadanya terpukul.
“Desss....!” Sekiranya bukan
Hek-giam-lo yang dihantam lontaran roda emas, tentu sudah pecah dadanya. Akan
tetapi Hek-giam-lo sempat mengerahkan sin-kangnya sambil menjerit keras sekali.
Roda emas menghantam sebagian dada dan pundak kirinya, terpental kembali dengan
keras dan diterima tangan kanan Kim-lun Seng-jin yang juga terluka tangan
kirinya, mengucurkan darah dan mukanya pucat. Akan tetapi kakek ini
tertawa-tawa gembira sekali.
“Heh-heh-heh, Hek-giam-lo,
pecahlah dadamu! Mampuslah, heh-heh-heh!”
Hek-giam-lo muntahkan darah
segar, kemudian ia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor binatang buas,
lalu menubruk maju dengan gerakan senjata sabitnya. Tampak sinar berkelebat.
Kim-lun Seng-jin berusaha menangkis.
“Tranggggg!” Roda emasnya patah
lagi, akan tetapi sabit di tangan Hek-giam-lo juga terlepas dari pegangan.
Namun Hek-giam-lo terus maju dan kedua tangannya seperti dua cepitan baja
sudah mencekik leher Kim-lun Seng-jin. Kakek ini tak bergerak lagi, seketika
tewas pada saat tangan yang beracun dari Hek-giam-lo menyentuhnya. Akan tetapi
iblis buas itu tidak juga mau melepaskan leher lawannya sebelum leher itu
patah tulangnya, kemudian ia membanting tubuh itu, menyambar sabitnya dan....
pada detik-detik berikutnya tubuh Kim-lun Seng-jin sudah hancur dicabik-cabik
sabit! Hanya mukanya yang tidak disentuh sabit. Dari leher ke bawah hancur
sampai kelihatan tulangnya. Anehnya, muka itu tetap saja tersenyum seakan-akan
mentertawakan kelakuan Hek-giam-lo yang seperti gila saking marahnya.
Hek-giam-lo sendiri terluka, patah tulang pundaknya dan terluka sebelah dalam
dadanya. Akan tetapi tidak berbahaya, dan setelah menelan obat penawar, ia
cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Lin Lin. Akan tetapi, pertandingan
melawan kakek Kim-lun Seng-jin tadi memakan waktu cukup lama, sampai seratus
jurus lebih, dan tentu saja Lin Lin telah lenyap dari situ, sukar untuk dicari
jejaknya. Apalagi gadis ini cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sepi,
melalui hutan-huan dan selalu menghindarkan diri daripada pertemuan dengan
manusia sehingga pengejarnya, Hek-giam-lo, sama sekali tidak mendapatkan
keterangan ke mana arah larinya Lin Lin.
Biarpun hari telah terganti
malam, Lin Lin tidak pernah menghentikan larinya, menyusup-nyusup hutan liar.
Untung baginya, malam hari itu sore-sore bulan sudah keluar, biarpun belum
bulat penuh, namun cukup untuk menerangi jalan di dalam hutan. Dengan pedang
terhunus di tangan, gadis ini terus melanjutkan perjalanannya, mengarah selatan
karena ia tahu bahwa dirinya saat itu berada di utara. Andaikata tidak ada
bulan muncul, kiranya sukar juga baginya untuk memilih arah.
Setelah lewat tengah malam dan
keadaan hutan yang dimasukinya gelap sekali karena daun-daun pohon raksasa
menutupi sinar bulan, baru Lin Lin menghentikan larinya. Ia naik ke atas
sebuah pohon raksasa, duduk di atas cabang tersembunyi di balik daun-daun, lalu
beristirahat. Enak sekali rasanya duduk beristirahat setelah setengah malam
terus berlari dengan hati tegang itu. Kini ia merasa lega, bebas dari tawanan
Hek-giam-lo. Segera ia duduk bersila sambil melatih samadhi menurut pelajaran
ilmunya yang baru dan sebentar saja lenyaplah semua rasa lelah, tubuhnya
terasa segar dan dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil mendiamkan panca
inderanya, mengheningkan cipta dan mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat
tenaga sakti di tubuhnya.
Pada keesokan harinya, setelah
matahari mulai mengusir embun pagi yang membuat hawa udara amat dingin, baru
Lin Lin menyudahi samadhinya, apalagi karena suara kicau burung pagi yang
menggembirakan itu tiba-tiba terganggu oleh suara melengking tinggi yang
menggetarkan perasaannya. Suara suling! Jantungnya berdebar tegang. Suara
melengking macam itu banyak sudah ia dengar keluar dari mulut orang-orang
sakti, di antaranya pernah pula Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti itu di
kala mengerahkan tenaga saktinya. Jangan-jangan Hek-giam-lo sudah mengejar
sampai ke situ!
***
Tidak takut, pikirnya! Kalau dia
datang dan benar-benar dapat menyusulku, aku harus melawannya sampai mati! Akan
tetapi kembali ia mendengarkan dengan teliti. Mengapa suara itu berbunyi
terus-menerus? Dan lengking itu membentuk lagu. Suling! Debaran darahnya makin
kencang dan dengan hati-hati ia meloncat dari cabang ke cabang, dari pohon ke
pohon seperti seekor tupai yang gesit, menuju ke arah suara yang ia tahu tentu
amat jauh.
Mernang betul dugaannya. Suara
itu sebetulnya datang dari tempat yang cukup jauh dan andaikata tidak kebetulan
ia berada di pohon raksasa yang amat tinggi dan tidak dalam waktu pagi yang
sunyi dan dingin, agaknya suara itu tidak akan mencapai pendengarannya. Sudah
puluhan batang pohon ia loncati, namun belum juga ia sampai di tempat dari mana
suara suling itu melayang, akan tetapi makin dekat makin hebatlah getaran suara
suling. Lin Lin melompat terus.
“Aaaiiiihhhh....!” Tiba-tiba
tubuhnya terguling ketika ia meloncat dari sebuah cabang ke cabang lain. Untung
ia masih dapat meraih cabang di bawahnya sehingga tubuhnya tergantung, kemudian
dengan hati-hati sekali ia merosot turun dan akhirnya dapat juga ia mencapai
tanah, berdiri dengan muka pucat dan cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang di
tubuhnya sambil duduk bersila! Apa yang terjadi? Kiranya setelah makin
mendekati tempat itu suara suling mempunyai getaran sedemikian hebatnya
sehingga tanpa ia sangka-sangka dan sadari jantungnya tergetar dan tubuhnya
tiba-tiba menjadi lemas sehingga hampir saja ia tadi terjungkal dari atas pohon
besar yang amat tinggi. Kalau saja ia tidak cepat dapat menangkap cabang dan
terbanting jatuh, akan celakalah dia.
Setelah mengerahkan sin-kang
yang disalurkan terutama ke isi dada dan ke arah sepasang telinga, barulah Lin
Lin pulih kembali keadaannya. Ia bangkit berdiri dan maklumlah ia sekarang
bahwa suara suling yang ditiup dengan pengerahan hawa sakti, semacam ilmu luar
biasa sekali dan agaknya si peniup suling sedang menghadapi lawan tangguh,
maka sulingnya ditiup seperti itu. Kini Lin Lin menyelinap dari pohon ke pohon,
mendekati arah suara suling yang terdengar amat jelas, makin dekat, makin
terasalah pengaruh suara suling. Biarpun ia sudah menekan perasaan dan
membulatkan kemauan agar jangan memperhatikan, tetap saja ia terseret dan
tanpa disadari ia memperhatikan juga. Suara suling itu amat merdu, mengayun
sukma, merayu semangat, namun amat menyedihkan karena makin lama diperhatikan,
makin mengarah suara orang menangis dengan kesedihan yang luar biasa. Tiba-tiba
Lin Lin merasa betapa tenaganya mulai berkurang, tubuhnya mulai lemas lagi.
Cepat-cepat ia menggerakkan kaki tangan dan mengatur napas menurut ajaran
ilmunya yang baru dan heran sekali, seketika lenyap pengaruh suara suling yang
mujijat itu. Ia menjadi girang dan mulailah ia melangkah maju dengan
gerakan-gerakan ilmu silatnya yang baru. Akhirnya ketika ia keluar dari
gerombolan pohon itu, tampaklah apa yang menimbulkan suara mujijat ini dan
jantungnya berdebar keras, hampir ia menjerit girang akan tetapi kembali ia
terkejut karena hal ini mengguncangkan jantungnya dan membuat ia hampir roboh.
Cepat-cepat ia menguasai perasaannya dan mengerahkan sin-kangnya kembali,
berdiri memandang ke depan.
Di sana, hanya beberapa puluh
meter di depannya, di sebuah lapangan terbuka di antara pohon-potion itu,
tampak Suling Emas berdiri tegak dengan kedua tangan memegang dan memainkan
suling yang ditiupnya. Di sekelilingnya berdiri sedikitnya lima belas orang
yang sikapnya mengancam, semua membawa senjata macan-macam, posisi mereka
dalam jurus ilmu silat dengan kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi anehnya,
mereka itu sama sekali tidak bergerak menyerang Suling Emas, melainkan berdiri
seperti patung batu dengan mata memandang terbelalak seolah-olah terpesona
oleh Suling Emas yang bermain suling. Wajah mereka tegang, beberapa orang di
antara mereka berhasil bergerak sedikit, akan tetapi tidak berhasil bergerak
terus melanjutkan serangan. Yang lainnya sudah persis patung batu, wajahnya
pucat dan tubuhnya seperti mati kaku!
Lin Lin tertegun. Setelah
sekarang dekat benar, ia pun merasakan pengaruh luar biasa dari suara suling
itu, yang membuat tubuhnya sebentar lemas sebentar kaku seirama dengan suara
suling yang mengalun tinggi rendah! Kembali ia mengerahkan sin-kangnya menurut
ilmunya yang baru. Aneh, kini terasa betapa segar dan nikmat tubuhnya, betapa
suara itu memasuki telinganya seperti musik dari angkasa, merdu merayu dan amat
indahnya. Mungkin hal ini terjadi karena kegembiraan hatinya melihat Suling
Emas di tempat itu.
Dengan pandang mata penuh
kekaguman Lin Lin melihat betapa pendekar sakti itu dengan tenangnya terus
menyuling. Tiba-tiba suara suling berubah ketika mata Suling Emas mengerling
dan dapat melihat Lin Lin berdiri di situ. Pandang mata itu menjadi berseri dan
bersinar-sinar, karena sesungguhnya bukan main girang hati Suling Emas melihat
Lin Lin yang disangkanya masih tertawan Hek-giam-lo itu berdiri di tempat itu.
Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang tentu saja menggirangkan
hatinya karena ia sampai tiba di tempat itu bukan lain karena hendak mengejar
Hek-giam-lo, menolong Lin Lin dan merampas kembali tongkat pusaka Beng-kauw.
Kini Suling Emas dengan masih
meniup suling melangkah meninggalkan para pengepungnya yang berubah menjadi
patung hidup itu. Inilah pengaruh Ilmu Kim-kong Sin-im (Suara Sakti Sinar Emas)
yang ia pelajari dari Bu Kek Siansu, yang belum lama ini ia perdalam latihannya
bersama kakek dewa itu. Melihat Lin Lin berdiri tegak dan bengong, Suling Emas
mengira bahwa Lin Lin tentu, seperti para pengeroyoknya itu terkena pula
pengaruh ilmunya Kim-kong Sin-im, maka ia melepaskan tangan kiri dari
sulingnya, menyuling hanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya diulur hendak
menangkap Lin Lin dan dibawa pergi dari situ.
Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika ia melihat gadis itu bergerak dan gadis itu malah yang menangkap tangan
kirinya, digandeng mesra sambil berkata.
“Kenapa baru sekarang kau
muncul? Hampir saja aku celaka lagi oleh si iblis Hek-giam-lo, dan kau
enak-enak di sini, mainkan suling dengan orang-orang itu. Mereka siapakah?”
Suling Emas demikian
terheran-heran sampai ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang Lin Lin
dengan melongo. Para pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang ulung, yang
berilmu tinggi, setidaknya tentu lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki Lin
Lin, rata-rata sin-kang mereka tentu lebih kuat daripada Lin Lin. Kalau mereka
itu semua terpengaruh oleh suara sulingnya mengapa Lin Lin enak-enak saja,
agaknya sama sekali tidak merasai pengaruh Kim-kong Sin-im? Sebelum Suling Emas
sempat bertanya, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kiranya belasan orang
pengeroyok tadi setelah kini suara suling lenyap, segera pulih kembali keadaan
mereka. Mereka menjadi marah sekali, tadi mereka seakan-akan dalam keadaan
tertotok oleh pengaruh Kim-kong Sin-im, sekarang mereka berteriak-teriak sambil
menyerbu dengan senjata di tangan. Mereka ini terdiri daripada hwesio-hwesio,
tosu-tosu, dan orang-orang gagah yang berilmu tinggi maka serbuan mereka
bukanlah hal yang boleh dipendang ringan. Gerakan mereka jelas membayangkan
tenaga yang besar dan gerakan kaki mereka amat ringan.
Ketika menengok dan melihat ini,
Suling Emas segera menyambar pinggang Lin Lin dengan lengan kirinya, kemudien
ia berkelebat dan melompat naik ke atas pohon, berloncatan seperti burung
garuda terbang, cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Hujan senjata rahasia datang
dari belakangnya, namun dengan menggerakkan suling di tangan kanannya ke arah
belakang, diputar sedemikian rupa sehingga angin pukulannya meruntuhkan
senjata-senjata rahasia yang datang menyambar. Kembali Suling Emas tertegun
melihat betapa Lin Lin juga menggerakkan tangan, mendorong dan hawa pukulan
yang bercuitan keluar dari tangan gadis yang mendorong itu dan meruntuhkan
beberapa anak panah gelap yang menyambar ke arah mereka!
Akan tetapi karena para
pengeroyok itu kini sudah mengejar cepat, bahkan di antara mereka ada pula yang
mengambil jalan seperti Suling Emas, yaitu dengan cara meloncat ke atas pohon
dan bagaikan terbang mengejar dari pohon ke pohon, maka Suling Emas tidak ada waktu
lagi untuk bicara dengan Lin Lin. Ia mempererat kempitannya pada pinggang Lin
Lin dan mengerahkan semua tenaga dan gin-kangnya melarikan diri. Lin Lin merasa
seakan-akan tubuhnya dibawa terbang, akan tetapi yang teringat olehnya sama
sekali bukan lain hal kecuali bahwa ia dikempit atau setengah dipondong oleh
Suling Emas! Hal inilah yang mendebarkan hatinya dan sambil meramkan mata ia
menempelkan mukanya erat-erat pada dada laki-laki itu.
Ilmu kepandaian Suling Emas
memang hebat sekali. Biarpun para pengejarnya telah mengerahkan tenaga, semua
sia-sia belaka, mereka tertinggal jauh dan sejam kemudian mereka telah
kehilangan bayangan Suling Emas dan terpaksa menghentikan pengejaran. Memang
ada di antara mereka yang lebih hebat gin-kangnya daripada yang lain, namun
untuk mengejar sendiri saja tentu amat berbahaya.
Setelah merasa yakin bahwa para
pengejarnya sudah menghentikan pengejaran mereka, Suling Emas berhenti
berlari. Mereka telah tiba di luar hutan dan matahari telah naik menyinarkan
sinar pagi yang hangat. Akan tetapi alangkah herannya ketika Suling Emas
melihat bahwa Lin Lin sudah tidur pulas dalam pondongan atau kempitannya!
Tadinya ia kaget, mengira bahwa ada sesuatu terjadi pada diri gadis ini, akan
tetapi setelah ia tahu betul bahwa gadis ini hanya tidur pulas, mau tak mau
Suling Emas tersenyum lebar.
“Bocah nakal, enak-enakan
tidur!” katanya, akan tetapi Lin Lin tidak bangun oleh tegurannya ini. Memang
luar biasa sekali. Ketika tadi berada dalam kempitan $uling Emas, Lin Lin
merasa dirinya begitu aman, begitu senang, dan begitu lega hatinya sehingga
kelelahan tubuhnya kembali menyerang dirinya. Rasa puas dan lega membuat ia
mengantuk dan tanpa ia sengaja, ia sudah tidur pulas sambil menyandarkan muka
pada dada Suling Emas!
Sambil tersenyum dan
menggeleng-geleng kepala, Suling Emas meletakkan tubuh gadis yang tidur pulas
itu di atas tanah berumput. Akan tetapi gerakan ini membangunkan Lin Lin yang
membuka mata dan cepat melompat berdiri sambil mengusap-usap ke dua matanya
dengan punggung tangan. Agaknya hanya sejenak ia nanar oleh tidurnya, karena
segera ia celingukan dan bertanya.
“Mana mereka? Mana orang-orang
jahat itu?”
“Orang jahat? Tidak ada orang
jahat di sini.”
Gadis itu memegang tangan Suling
Emas, memandang dengan kening berkerut.
“Apa kau bilang? Orang-orang
yang mengeroyokmu tadi, yang mengejar dan menyerang dengan senjata-senjata
rahasia, apakah mereka itu bukan orang-orang jahat?”
Suling Emas menggeleng
kepalanya. “Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa, di
antara mereka malah ada pendeta-pendeta dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, dan
Go-bi-pai.”
“Apa? Mengapa keledai-keledai
itu mengeroyokmu? Dan terang kau tidak akan kalah oleh mereka, mengapa tidak
melawan dan menghajar mereka, sebaliknya melarikan diri seperti orang
ketakutan?”
“Ah, panjang ceritanya. Akan
tetapi, bagaimana kau bisa berada di sini? Bukankah kau bersama-sama
Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan?”
“Ah, panjang ceritanya....” Lin
Lin mengerling dan cemberut. Suling Emas memandang, lalu tertawa, maklum bahwa
gadis ini membalasnya. Adik angkatnya ini memang benar-benar nakal sekali.
“Eh, kau pendendam sekali!”
Lin Lin juga tertawa. “Orang
bertanya baik-baik kau bilang panjang ceritanya.” Ia menegur.
Suling Emas menarik napas
panjang. “Lin Lin, kau tidak tahu. Untuk bercerita tentang mereka yang hendak
mengeroyokku, yang ingin sekali melihat aku mati, amatlah tidak menyenangkan
hati. Aku tidak bisa bercerita tentang itu, harap kau tidak marah.”
“Hemmm, rahasia, ya? Dan mengapa
kau menjadi sedih? Sudahlah, aku hanya main-main.”
“Aku sendiri tidak punya rahasia
apa-apa, kau boleh dengar semua.”
Gadis itu lalu menceritakan
pengalamannya, sejak ia bertemu dengan Hek-giam-lo di Nan-cao, tentang
perintahnya merampas tongkat pusaka, tentang dirinya hendak dijadikan
Permaisuri Khitan, kemudian betapa ia berhasil melarikan diri karena
pertolongan Kim-lun Seng-jin.
Suling Emas mendengarkan dengan
terheran-heran, sampai berkali-kali ia menggeleng kepala. Gadis ini benar-benar
hebat, luar biasa keberaniannya dan agaknya hanya Lin Lin di antara tiga orang
adiknya yang belum tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song.
“Jadi kaukah Puteri Mahkota
Kerajaan Khitan? Dan kau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka Beng-kauw?
Apa maksudmu untuk merampas tongkat, untuk apa?”
Merah muka Lin Lin mendengar
pertanyaan ini. Sejenak ia menundukkan muka, tidak berani menentang Pandang
mata Suling Emas. Akan tetapi hanya sebentar saja “rasa salah” ini mengganggu
hatinya, karena beberapa detik kemudian ia sudah mengangkat muka lagi memandang
wajah Suling Emas dengan pandang mata menentang dan bibir tersenyum!
“Memang aku Puteri Mahkota
Khitan. Ibuku adalah Puteri Tayami yang gagah perkasa dan kakekku adalah
mendiang Sribaginda Kulukan, raja besar Khitan! Namaku sendiri sebetulnya
adalah Yalina sampai ibu yang menggendongku tewas di dalam peperangan dan aku
dipungut anak oleh ayah angkatku Jenderal Kam Si Ek dan diberi nama Kam Lin.”
“Kalau begitu, seharusnya aku
menyebutmu Tuan Puteri,” kata Suling Emas, sungguh-sungguh.
“Aku memang ingin merampas
kembali tahta kerajaan bangsaku yang jatuh ke tangan pamanku! Aku ingin
memimpin rakyatku menjadi bangsa yang kuat!” Ketika mengucapkan kata-kata ini,
Lin Lin berdiri tegak, sikapnya agung, sinar matanya tajam bercahaya, penuh
semangat.
Suling Emas mengangguk seperti
orang memberi hormat. “Tepat, memang begitulah seharusnya Paduka bersikap
sebagai seorang pemimpin yang mencinta bangsanya, Tuan Puteri Yalina.”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan
memegang tangan Suling Emas. “Ihhh, seperti main sandiwara saja! Aku belum
menjadi ratu dan takkan bisa selama paman tiriku dan Hek-giam-lo masih berkuasa
di Khitan. Aku tidak suka kauperlakukan sebagai ratu, dan panggil aku Lin Lin
saja seperti biasa.”
Kembali Suling Emas tersenyum
dan ia sendiri merasa aneh dan heran mengapa hatinya selalu menjadi gembira
kalau berdekatan dengan gadis ini yang membuat ia mau tak mau menjadi gembira?
Ataukah karena wajah Lin Lin ada persamaannya dengan Suma Ceng?
“Agaknya kau tidak suka kepada
Hek-giam-lo. Akan tetapi mehgapa kau menyuruh dia merampas tongkat pusaka
Beng-kauw?”
“Kau tidak tahu. Biar kau
berjuluk Suling Emas dan menjadi pendekar sakti, agaknya kau tidaklah terlalu
cerdik untuk dapat menyelami apa yang menjadi maksud hatiku.” Ucapan ini
langsung keluar dari hati Lin Lin yang selalu berbisik, “aku mencinta kau,
mengapa kau tidak tahu?” dan yang tentu saja tak mungkin terucapkan mulut itu.
“Ketika aku bertemu dengan Hek-giam-lo, biarpun sikapnya menghormat dan ia
menganggap aku junjungannya, akan tetapi aku tahu bahwa diam-diam aku menjadi
tawanannya. Karena itulah aku menyuruh dia merampas tongkat Pusaka Beng-kauw.”
“Mengapa?”
“Masih bertanya lagi? Tentu saja
biar kau mengejarnya dan kalau kau mengejarnya, berarti kau akan dapat
menolongku bebas daripada tawanannya!”
“Ahhh....!” Diam-diam Suling
Emas memuji kecerdikan gadis ini. “Tapi kulihat sekarang kau sudah pandai
membebaskan diri sendiri.” Kemudian ia teringat akan sesuatu dan cepat
bertanya, “Dan kulihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Dulu kau tidak
begitu. Dari mana kau memperoleh kepandaian yang aneh itu? Apakah Hek-giam-lo
mengajarmu?”
“Ihhh, orang macam dia mana mau
mengajarku? Aku dianggap musuhnya, tahukah kau? Dia.... dia buruk sekali!”
Lin Lin bergidik, teringat akan
muka Hek-giam-lo ketika iblis itu membuka kedok memperlihatkan mukanya.
“Tahukah kau mengapa mukanya menjadi seperti setan? Karena dia berani
mengganggu ibuku dan ibu menghajarnya dengan bubuk racun pada mukanya! Huh,
orang macam dia berani mengganggu ibuku. Tidak dibunuh pun masih untung dia!”
Suling Emas mengerutkan
keningnya. Alangkah banyaknya rahasia penghidupan orang-orang tua yang ia tidak
sangka-sangka dan tidak ketahui. Seperti halnya ibunya yang tentu mempunyai
pengalaman hidup yang luar biasa dan menarik sekali, akan tetapi yang ia tidak
tahu sama sekali, agaknya pengalaman hidup orang tua Lin Lin ini pun tidak
kalah hebat dan menariknya (dugaan ini memang benar dan semua pengalaman itu
menjadi ceritaSULING EMAS yang menarik).
“Kalau bukan dari dia, dari mana
kau mendapatkan ilmu yang aneh itu?”
Lin Lin tersenyum bangga, akan
tetapi juga terheran. Ia memang telah mempelajari ilmu mujijat dari tongkat
pusaka Beng-kauw, akan tetapi seingatnya semenjak bertemu dengan Suling Emas
tadi, ia tak pernah mainkan ilmu baru itu. Bagaimana Suling Emas dapat
menduganya?
“Nanti dulu, Suling Emas.
Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku mempunyai gerakan-gerakan hebat.
Bagaimana kau bisa tahu padahal aku tak pernah melakukan pertempuran sejak
tadi?”
“Kau tadi dapat menahan pengaruh
Kim-kong Sin-im dari suara sulingku, kemudian dengan pukulan jarak jauh yang
aneh kau meruntuhkan senjata rahasia.”
“Oh, itu?” Diam-diam Lin Lin kagum.
Kelihaian Suling Emas dapat diukur dari sini. Sebelum ia memperlihatkan
ilmunya, pendekar sakti ini sudah mengetahuinya hanya melihat hal itu saja.
Timbul kegembiraannya hendak mencoba ilmu barunya terhadap pendekar yang
menggugah kasih sayang dan kekaguman hatinya ini.
“Suling Emas, sebelum aku
memberi tahu dari mana aku mendapatkan ilmu ini, aku hendak mengujinya
kepadamu. Harap kau suka meneliti dan memberi petunjuk kepadaku.”
Kembali Suling Emas tersenyum.
Gadis ini berwatak aneh, akan tetapi jujur dan jenaka. Sudah menjadi watak
semua tokoh kang-ouw untuk menyembunyikan rahasia ilmunya, apalagi yang belum
dilatih masak-masak, mengeluarkannya saja di depan umum tentu segan karena
khawatir kalau-kalau diketahui rahasianya oleh orang lain. Akan tetapi gadis
ini selain hendak membuka rahasia malah ingin mengujinya terhadap dirinya dan
minta petunjuk. Mengapa gadis ini amat percaya kepadanya, apalagi karena belum
tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song, dan mengingat betapa dahulu telah terjadi
peristiwa “menyeramkan” di lingkungan istana, atau lebih tepat di gedung
perpustakaan istana ketika ia menyangka gadis ini Suma Ceng dan memeluk dan
menciumnya? Karena peristiwa itu pula maka ia sengaja tidak memperkenalkan
diri, biar gadis ini sendiri yang kelak mendengar dari Kam Bu Sin atau Sian Eng
bahwa dia, Suling Emas, laki-laki yang dulu pernah bersikap “kurang ajar”
kepada gadis itu, adalah kakak angkatnya! Apalagi, kakak angkat bukanlah
hubungan yang amat dekat, jauh bedanya dengan saudara tiri yang masih seayah
lain ibu seperti halnya dia terhadap Bu Sin dan Sian Eng. Kakak angkat pada
hakekatnya adalah orang lain dan bukan apa-apa. Terutama sekali apabila diingat
bahwa gadis ini sebetulnya adalah seorang puteri bangsa Khitan, semenjak
dahulu musuh utama bangsanya, khususnya Kerajaan Hou-han. Akan tetapi betapapun
juga semenjak kecil gadis ini dipelihara ayahnya, dan mengingat betapa gadis
ini bercita-cita besar sekali ingin menjadi Ratu Khitan, tidak ada salahnya
kalau ia memberi petunjuk agar Lin Lin memiliki kepandaian yang boleh
diandalkan, terutama sekali untuk menghadapi Hek-giam-lo yang sakti.
“Silakan kauperlihatkan ilmu
itu.”
Lin Lin melompat mundur sampai
dua meter, berdiri dalam jarak empat meter dari Suling Emas, kemudian merangkap
kedua tangan seperti orang menyembah, ditaruh di depan dada kiri, kemudian
terus digerakkan ke atas dengan sepasang matanya meram. Lambat-lambat gerakan
ini, namun makin lama makin tergetar dan menggigil, kemudian kedua tangan itu
mengembang ke atas kepala seperti seorang yang memohon sesuatu daripada Tuhan.
Beberapa detik sepasang tangannya menggigil di atas kepala, lalu
diturunkannya kembali dan ia membuka matanya. Sikapnya berubah tenang sekali,
bibirnya tersenyum, kedua tangannya tidak menggigil lagi.
“Aku sudah siap, Suling Emas.”
Suling Emas mengikuti semua
gerakan Lin Lin itu dengan mata makin lama makin terbelalak. Merangkap tangan
di depan dada itu! Hampir ia tidak percaya. Gerakan merangkap tangan ke depan
dada lalu menggerakkan ke atas kepala dan memohon kepada Thian, itulah gerakan
sembahyang dari Beng-kauw! Akan tetapi ia tahu betul bahwa Lin Lin bukanlah
seorang penganut Beng-kauw, dan ia pun dapat menduga dari kedua tangan yang
menggigil mengandung getaran tenaga dahsyat itu bahwa gerakan gadis itu tadi
sama sekali bukan semata-mata gerakan upacara keagamaan, melainkan cara untuk
mengerahkan semacam hawa sakti yang hebat dan luar biasa. Hal ini dapat
dibuktikan dari sikap gadis itu yang berubah begitu tenang, terlalu tenang,
sebagai tanda seorang yang seluruh tubuhnya sudah disaluri tenaga sin-kang
(hawa sakti) yang kuat. Ia pun bersikap waspada dan dengan mata penuh selidik
ia berkata.
“Nah, kaumulailah menyerang,”
suaranya lirih karena hatinya berguncang.
“Lihat serangan!” Lin Lin berseru
dan ia segera melompat maju dan memutar-mutar tubuhnya bagaikan sebuah gasing!
Inilah jurus ke tujuh daripada ilmu yang ia pelajari. Menghadapi Suling Emas
yang amat lihai, ia tidak mau mempergunakan jurus-jurus sederharta dan sengaja
ia memilih jurus-jurus yang ia anggap paling aneh. Jurus ini memang hebat dan
aneh yang menurut catatan rahasia itu disebut sebagai jurus Soan-hong-ci-tian
(Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat)!
Selama tahun-tahun belakangan
ini, semenjak ia mendekati Beng-kauw, sudah sering kali Suling Emas menyaksikan
jurus-jurus terlihai dari Beng-kauw. Bahkan dengan Kauw Bian Cinjin yang
menjadi sahabat baiknya, sering kali ia bertukar pengalaman dan kritik tentang
jurus-jurus sakti. Akan tetapi belum pernah ia menyaksikan jurus macam ini. Hal
ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa jurus ini adalah sebuah di antara
tiga belas jurus istimewa yang khusus diciptakan oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan, diciptakan khusus untuk menghadapi semua isi tiga kitab pusaka yang
dicuri oleh puterinya sendiri. Jadi boleh dibilang tiga belas macam ilmu
pukulan sakti ini diciptakan untuk mengatasi seluruh inti sari ilmu kesaktian
Beng-kauw yang telah ada! Tidaklah mengherankan apabila hebatnya bukan alang
kepalang, sehingga agaknya Suling Emas sendiri tentu akan menemui lawan yang
mengejutkannya kalau saja Lin Lin sudah sempurna berlatih.
Namun, biarpun baru beberapa
hari Lin Lin berlatih ilmu baru ini, menghadapi serangan pertama ini Suling
Emas menjadi terheran-heran. Mula-mula ia tidak terkejut, hanya terheran-heran
karena melihat gerakan serangan yang begitu aneh, bahkan menggelikan. Mana ada
jurus ilmu silat yang menyerang dengan pembukaan seperti itu? Berputar-putar
seperti gasing, bagaimana dapat menyerang dengan baik? Malah boleh dibilang
memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang hebat selagi tubuh
berputar-putar seperti itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mempergunakan
kesempatan ini untuk menyerang, karena ia hanya ingin menguji. Ia sendiri tegak
menanti sampai gadis itu mendahului menyerang.
Dan serangan itu datang! Bukan
main aneh dan hebatnya! Tiba-tiba, dengan tubuh masih berputaran, setelah dekat
dengan Suling Emas, tiba-tiba dari putaran itu menyambar keluar dua buah
tangan yang bergerak tak tersangka-sangka.
Tangan pertama, yang kiri,
menghantam ke arah kepala Suling Emas, dan tangan kanan sebagai pukulan ke dua
sudah menyambar ke arah dada sebelum pukulan pertama mengenai sasaran. Dua
serangan sekaligus yang susul-menyusul dan kecepatannya cukup membahayakan.
Suling Emas miringkan kepala
menghindarkan diri daripada pukulan pertama dan sengaja ia mengangkat lengannya
menangkis ketika pukulan ke dua tiba menyambar dadanya.
“Dukkkkk!” Tubuh Lin Lin
terhuyung-huyung seperti melayang-layang, akan tetapi Suling Emas mengeluarkan
seruan heran dan kaget ketika kuda-kudanya tergempur oleh pertemuan lengan itu.
Kalau saja ia tidak cepat mengerahkan sin-kangnya, tentu ia akan terhuyung
juga, biarpun tidak sehebat Lin Lin. Ia cepat meloncat untuk menahan dan menolong
Lin Lin, akan tetapi ternyata gadis itu sudah dapat menguasai dirinya kembali
dan sama sekali tidak apa-apa!
“Kenapa kau sungguh-sungguh?”
Lin Lin mengomel.
“Wah, hebat sekali! Lin Lin,
hebat sekali seranganmu tadi. Mengandung tenaga mujijat. Sayangnya, dengan
berputaran seperti itu, sebelum kau memukul, kau dapat diserang lawan lebih
dulu dan keadaan berputaran itu tidak menguntungkan.”
Lin Lin tertawa. “Hi-hik, boleh
coba! Aku tadi justeru mengharapkan kau menyerang lebih dulu. Suling Emas, di dalam
catatan ilmu ini, kelihaian jurus Soan-hong-ci-tian terletak kepada cara
berputaran itulah! Dan jangan kira bahwa berputaran seperti itu melemahkan
kedudukanku, ih, sama sekali terbalik. Itulah gerakan memancing, malah
sengaja begitu biar lawan menyerang lebih dulu. Kehebatan daya serangnya
justeru di waktu lawan menyerang, karena lawan memandang rendah dan percaya
serangannya akan berhasil. Mau coba?”
Akan tetapi Suling Emas
mengerutkan kening, memikir-mikir. “Soan-hong-ci-tian....? Tak pernah kudengar
jurus ini, melihatnya pun baru sekarang....”
“Hi-hik, masa? Suling Emas yang
tersohor sakti, pendekar jagoan itu tidak mengenal jurusku? Lucu!”
“Lin Lin, dari mana kau
memperoleh ini? Siapa yang mengajarmu?”
“Sssttt, nanti dulu. Belum habis
kan ujian ini? Kaujaga seranganku berikutnya!” Sambil berkata demikian Lin Lin
sudah menerjang lagi mengeluarkan jurus-jurus yang aneh dan lihai. Dari kedua
tangannya yang memukul menyambar angin yang amat kuat sehingga Suling Emas tak
berani memandang rendah. Makin lama Suling Emas makin tertarik, karena
jurus-jurus itu betul-betul belum pernah ia melihatnya.
“Pergunakan pedangmu....!”
katanya gembira. “Lekas cabut pedangmu dan mainkan menurut jurus-jurusmu....!”
Tadinya Lin Lin sudah merasa
kecewa sekali karena biarpun ia menerjang dengan hebat, sama sekali ia tidak
mampu menyentuh bayangan Suling Emas sehingga ia merasa seperti menyerang
bayangannya sendiri dan merasa betapa ilmunya yang baru ini kalau berhadapan
dengan lawan sesakti Suling Emas atau Hek-giam-lo, benar-benar tidak ada
gunanya. Akan tetapi mendengar perintah Suling Emas ini, ia tidak mau
membantah, apalagi dalam suara itu terkandung kegembiraan dan kekaguman.
Sinar kuning emas berkeredepan
menyilaukan mata ketika Lin Lin mencabut Pedang Besi Kuning dan mainkan pedang
pusaka ini menurut jurus-jurus ilmu baru. Tiga belas jurus sudah ia mainkan
semua dan pedangnya sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Suling Emas.
Dengan perasaan sebal dan kecewa Lin Lin menghentikan permainannya dan
menyimpan pedangnya, membanting kaki dan berkata.
“Sudahlah! Perlu apa
kaupermainkan aku? Memang aku tidak becus, dan ilmuku, ilmu picisan!”
“Wah, siapa bilang begitu? Lin
Lin, kau benar-benar telah mewarisi ilmu yang luar biasa sekali. Sungguh mati,
kalau kau sudah melatih ilmu itu dengan sempurna, jarang ada tokoh kang-ouw
yang akan mampu menandingimu. Bahkan aku sendiri merasa ragu-ragu apakah aku
akan dapat bertahan begitu mudahnya menghadapimu. Ilmu mujijat, Lin Lin, hanya
kurang terlatih dan ada bagian-bagian yang kau keliru latih agaknya. Kau tadi
minta petunjuk, bukan? Nah, aku akan memberi petunjuk-petunjuk kalau saja kau
suka berlatih perlahan-lahan. Aku bersumpah takkan mempelajari ilmu itu, dari
manapun datangnya.”
“Jangan pura-pura membesarkan
hatiku, padahal kau hanya mengejek. Kau begitu baik hubunganmu dengan
Beng-kauw, masa pura-pura tidak mengenal ilmu silat yang kutemukan di dalam
tongkat pusaka Beng-kauw?” Ucapan Lin Lin ini sewajarnya saja karena memang ia
sungguh-sungguh menganggap bahwa Suling Emas mempermainkan dan mengejeknya
yang membuat hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi ternyata ucapan ini
mengagetkan Suling Emas yang terang-terangan membelalakkan kedua matanya dan
memandang kepada gadis itu seakan-akan Lin Lin bukan seorang gadis jelita
melainkan seorang siluman yang mengerikan.
Memang bukan main kaget hati
Suling Emas mendengar kata-kata ini. Hal ini ada sebabnya. Tadi ketika ia
melayani jurus-jurus istimewa anehnya dari Lin Lin, ia selain kaget dan kagum,
juga merasa heran mengapa jurus-jurus ini mengandung inti sari ilmu Beng-kauw,
akan tetapi lebih tinggi dan seakan-akan mengandung unsur-unsur menekan dan
mengatasi inti sari ilmu Beng-kauw. Inilah yang mengagetkan hatinya ketika
mendengar bahwa gadis itu mempelajarinya dari surat warisan yang ditemukan di
dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Otaknya yang cerdik segera dapat menangkap
rahasianya. Takkan salah lagi, tentu mendiang Pat-jiu Sin-ong yang menciptakan
dan menyembunyikannya di dalam tongkat pusaka Beng-kauw dengan maksud
menurunkan atau mewariskannya kepada ketua Beng-kauw. Adapun ketua Beng-kauw
adalah pamannya sendiri, Liu Mo, yang kelihatan tenang-tenang saja ketika
tongkat itu dirampas Hek-giam-lo. Andaikata pamannya tahu bahwa di dalam tongkat
pusaka itu terdapat surat wasiat mendiang kakeknya yang mengandung pelajaran
ilmu kesaktian yang begitu hebat, sudah tentu pamannya itu akan menjadi panik
sekali dan tak mungkin menyerahkan tongkat begitu saja kepada Hek-giam-lo,
karena sekali ilmu itu dipelajari orang luar, berarti Beng-kauw terancam! Hal
ini hanya berarti bahwa pamannya belum tahu akan surat wasiat, berarti pula
bahwa surat wasiat itu belum pernah terlihat orang lain dan Lin Lin adalah
orang pertama yang mempelajarinya.
Lin Lin yang kini mendapat
giliran kaget sekali ketika Suling Emas menangkap tangannya dan memegangnya
erat-erat.
“Eh-eh, aduuuhhhhh.... hendak
kaupatahkan lenganku?” serunya, agak dibuat-buat manja karena sesungguhnya,
seerat-eratnya Suling Emas memegang, tentu saja tidak sampai mematahkan tulang
lengannya, apalagi dia memiliki sin-kang yang tidak sembarangan!
“Eh, maaf, eh.... Lin Lin, di
mana surat wasiat itu? Di mana sekarang?” tanya Suling Emas agak gugup. Siapa
orangnya tidak akan gugup? Kalau surat wasiat itu terjatuh ke tangan orang lain
seperti Hek-giam-lo, tentu Beng-kauw akan terancam bahaya. Takkan ada orang
Beng-kauw yang akan dapat melawan musuh yang memiliki ilmu itu secara mendalam,
karena ia tahu bahwa ilmu itu adalah ilmu berinti sari pelajaran Beng-kauw yang
agaknya dicipta untuk mengatasi kepandaian orang-orang Beng-kauw.
“Kenapa sih? Kau yang sudah
begitu pandai, yang tadi dengan mudah saja menghadapi ilmu ini, apakah kau
masih begitu murka ingin mempelajari ilmu ini pula? Ingat, Suling Emas, kau
sudah bersumpah tadi takkan mempelajarinya. Bukan aku melarang kau
mempelajarinya, hanya.... aku.... aku tidak mau kalau kau melanggar sumpahmu.”
“Aku takkan mempelajarinya, Lin
Lin. Tapi lekas katakan, di mana adanya wasiat pelajaran itu?”
Saking tegang hatinya, penuh
kekhawatiran kalau-kalau wasiat itu terampas pula oleh Hek-giam-lo, Suling
Emas sampai lupa untuk melepaskan tangan Lin Lin. Sejak tadi ia masih
memegangi tangan itu, sungguhpun kini tidak ia cengkeram seperti tadi. Dengan jantung
berdebar Lin Lin melirik ke arah kedua tangannya yang digenggam Suling Emas. Ia
tersenyum.
“Panggil dulu namaku....”
“Lin Lin....”
“Sebut aku Moi-moi (Adik)....”
“Lin-moi-moi (Adik Lin) yang
baik!” kata Suling Emas, biarpun mendongkol merasa geli juga karena memang
gadis ini adik angkatnya, apa salahnya menyebutnya adik?
“Kau menyebut dinda, aku pun
menyebut kanda. Koko yang baik, surat wasiat itu sudah kumusnahkan.”
“Kaumusnahkan?”
Mereka bertemu pandang,
sama-sama menyelidik. Melihat wajah Suling Emas agak berseri membayangkan
kegirangan hatinya, legalah hati Lin Lin.
“Sudah kurobek-robek menjadi
sekeping-keping kecil lalu kusebarkan ke dalam sungai.”
“Betul sudah musnah? Apakah
Hek-giam-lo tidak melihatnya?” kata Suling Emas agak terburu-buru dan mukanya
menjadi merah karena baru sekarang setelah hilang kekhawatirannya, ia teringat
bahwa sejak tadi ia menggenggam sepasang tangan yang kecil halus itu.
Lin Lin tertawa. “Lucu sekali
Hek-giam-lo. Dia goblok. Ada beberapa potongan surat wasiat itu ia ambil, akan
tetapi apa artinya satu dua huruf pada kepingan-kepingan kecil itu! Ia
mendesak, curiga dan bertanya.”
“Dan apa kaujawab?”
“Kukatakan bahwa surat itu
dari.... dari kekasihku, hi-hik....”
Kembali terpaksa Suling Emas tessenyum,
perbuatan yang jarang atau tak pernah ia lakukan. Semenjak ia terpaksa berpisah
dari kekasihnya, Suma Ceng, tersenyum merupakan hal yang sukar dapat dilakukan
Suling Emas karena hatinya sudah terluka dan ia selalu memandang penghidupan
dari segi yang muram-muram. Akan tetapi entah mengapa, berdekatan dengan Lin
Lin, ia sudah beberapa kali tersenyum seakan-akan kelincahan dan kegembiraan
gadis ini merupakan cahaya terang yang sinarnya mencapai pojok-pojok hatinya
yang gelap.
“Hemmm, anak nakal. Lalu, dia
bagaimana? Percayakah?”
“Mula-mula tidak. Ia bertanya
siapakah kekasih itu.”
“Dan kaujawab....? Tentu....
murid Gan-lopek, ya?” Suling Emas sendiri merasa heran mengapa mendadak sontak
ia melayani kelakar Lin Lin bahkan mengeluarkan godaan ini. Benar-benar ia
menjadi seperti kanak-kanak, pikirnya dengan wajah merah.
“Iiiihhhhh....!” Tiba-tiba Lin
Lin menggunakan kedua tangannya menangkap lengan tangan Suling Emas dan sepuluh
buah jari-jari tangannya mencubiti kulit lengan itu.
“Aduh-aduh.... aduh....!” Suling
Emas tertawa dan menjerit-jerit karena memang sakit sekali cubitan-cubitan
jari yang berkuku runcing itu. Ia tidak tega tentu saja untuk menggunakan
tenaga melawan cubitan karena selain tak patut main-main dibalas sungguh-sungguh,
juga ia khawatir kalau-kalau kuku-kuku jari yang terpelihara itu akan rusak
oleh perlawanannya.
“Kau menyebalkan! Siapa bilang,
hayo, siapa bilang aku punya kekasih murid Gan-lopek si badut tua itu?
Memalukan, menggemaskan....!”
“Sudah.... sudah, aduh....!”
Suling Emas masih tertawa-tawa. “Lepaskan!”
“Hayo bilang dulu siapa yang
mengatakan demikian?”
Kegembiraan Suling Emas timbul,
maka ia merasa belum cukup menggoda. Sambil tertawa ia berkata, “Memang sudah
sepantasnya Lie Bok Liong yang tampan dan gagah itu menjadi anumu.... ha-ha....
aduhhh!”
Cubitan Lin Lin makin keras.
“Anu apa? Hayo bilang, apa yang kaumaksudkan dengan anumu....?”
“Aduh, sakit, Lin-moi, lepaskan.
Kumaksudkan kekasihmu tentu. Bukankah ia amat mencintamu dan selalu membelamu?”
Mendadak Lin Lin melepaskan
tangannya dan.... menangis!
“Eh-eh.... mengapa
menangis....?” Suling Emas benar-benar terkejut dan heran sekali.
“Kau jahat....! Kau mengejekku,
kau menjengkelkan, sengaja bikin aku marah....! Kau tidak punya hati, tak
berjantung!”
“Eh.... oh.... nanti dulu,
Lin-moi! Aku sama sekali tidak mengejekmu, aku.... aku hanya main-main. Masa
tidak boleh orang main-main? Maafkan aku, Lin-moi, sungguh mati aku tidak
bermaksud membikin kau marah dan jengkel. Sudahlah, kaumaafkan aku.”
Lin Lin mengangkat mukanya yang
merah dan basah. “Betul-betul kau tidak mengejek?” tanyanya dan Suling Emas
tidak berani main-main lagi karena suara itu mengandung kesungguhan hati yang
mengherankan dan mengejutkan. Mengapa gadis yang lincah dan suka berjenaka ini
begitu sedih ketika digoda?
“Tidak, aku tidak mengejek,
hanya main-main.”
“Bagaimana kau bisa menyangka
begitu terhadap Lie Bok Liong twako? Apa sebabnya kau mengira dia kekasihku?”
Bingunglah Suling Emas, akan
tetapi dengan tenang ia menjawabp “Lin-moi, sudahlah, aku tadi hanya main-main.
Pula, andaikata aku benar timbul persangkaan demikian, bukankah engkau sendiri
yang tadi menceritakan betapa Lie Bok Liong hampir saja mengorbankan nyawa demi
untuk membelamu? Hanya orang yang mencinta dengan sepenuh jiwa raga dapat
membela dengan pengorbanan sehebat dia.”
Dengan muka termenung Lin Lin
mengangguk-angguk. “Memang dia amat baik hati, dia.... agaknya memang betul
bahwa dia amat mencintaku. Liong-twako seorang berbudi. Tapi.... tapi bukan
dia.... aku tidak mencintanya, aku hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak
atau sahabat....”
“Hemmm, kasihan dia. Sudahlah,
Lin-moi, cukup tentang dia. Terang kalau begitu bahwa bukan dia kekasihmu,
maafkan aku tadi. Kemudian bagaimana dengan Hek-giam-lo tadi? Ketika dia tanya
siapa kekasihmu, bagaimana jawabmu? Apa kau bilang kekasihmu itu ada?”
Suling Emas tak dapat
menyembunyikan keheranan yang membayang pada wajahnya ketika melihat betapa
gadis itu kini memandangnya sambil tersenyum dengan wajah cerah. Bukan main!
Baru saja menangis dan marah-marah, kini sudah tersenyum-senyum. Siapa tidak
akan heran kalau melihat udara yang gelap mendung dan hujan tiba-tiba tampak
matahari bersinar?
“Tentu saja ada, dan dia
percaya!”
“Siapa?”
Lin Lin berdebar jantungnya. Ia
seorang gadis yang tabah dan jujur, tidak pemalu, akan tetapi pertanyaan ini
sekarang amat sukar terjawab. Ia terpaksa menyembunyikan mukanya dengan
tunduk, lalu menjawab.
“Suling Emas....”
Suling Emas menjadi begitu kaget
sampai ia berdiri kesima tak mampu bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Ia
masih mengira bahwa Lin Lin gadis nakal itu sengaja menyebut namanya untuk
mempermainkannya sebagai pembalasannya tadi. Akan tetapi melihat kepala yang
ditundukkan, sikap yang malu-malu dan bersungguh-sungguh itu, makin gelisahlah
dia.
“Lin-moi, harap kau jangan
main-main yang bukan-bukan....” Ia masih mencoba untuk melawan kekhawatirannya.
Lin Lin mengangkat mukanya.
Merah sekali muka itu, terutama sepasang pipinya, seolah-olah ketika menunduk
tadi, gadis ini memulas kedua pipinya dengan yanci (pemerah pipi). Tapi kini
suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh tuntutan.
“Mengapa, Koko? Aku tidak
main-main! Bukankah pengakuanku itu benar-benar? Kalau kau sekarang terheran,
kaulah yang pura-pura dan main-main. Yang kaulakukan terhadapku di perpustakaan
istana itu....”
Suling Emas gelagapan. Tentu
saja ia tidak dapat melupakan peristiwa itu, pertemuannya pertama kali dengan
Lin Lin, pada suatu malam di lingkungan istana, ketika itu ia berada di dalam
gedung perpustakaan, sedang melamunkan kekasihnya, Suma Ceng, ketika tiba-tiba
muncul Lin Lin yang di dalam cuaca remang-remang itu bentuk tubuh dan potongan
wajahnya mirip benar dengan Suma Ceng. Pada waktu itu, karena hatinya sedang
diliputi penuh rindu dendam terhadap kekasihnya, ia seperti orang mimpi,
mengira Lin Lin, Suma Ceng, memeluknya, menciumnya! Agaknya Lin Lin tak pernah
dapat melupakan peristiwa itu pula, hanya bedanya, kalau ia mengenang
peristiwa itu, dengan perasaan jengah dan malu serta merasa bersalah,
sebaliknya gadis ini menganggap peristiwa itu sebagai pernyataan cinta kasih
Suling Emas terhadap gadis itu!
“Kenapa? Apakah kau
mempermainkan aku ketika itu?” Lin Lin mendesak ketika melihat wajah Suling
Emas menjadi pucat. Gadis ini merasa gelisah sekali, khawatir kalau-kalau
dugaan hatinya meleset. Ketika itu ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas
mencintanya.
“Sudahlah, Lin-moi. Apakah kau
tidak bisa memaafkan kesalahanku? Lekas kaulanjutkan ceritamu. Bagaimana
dengan tongkat pusaka? Di mana tongkat itu sekarang?”
“Dirampas Hek-giam-lo,” jawab
Lin Lin pendek, masih bersungut-sungut karena ia merasa betapa Suling Emas
seperti hendak mengingkari perbuatannya di perpustakaan.
“Lin-moi, sekarang juga kau
harus ikut aku. Kalau hal ini tidak lekas kuurus, selamanya kau akan dianggap
musuh besar Beng-kauw.”
Ucapan ini begitu mengagetkan
Lin Lin sehingga ia melupakan urusan cinta kasih. “Apa? Mengapa?”
“Lin Lin, ketahuilah. Sudah
menjadi rahasia yang belum terpecahkan oleh para pimpinan Beng-kauw bahwa
Pat-jiu Sin-ong meninggalkan warisan ilmu yang mujijat. Mereka mencari-cari,
namun belum juga dapat menemukannya. Kini rahasia wasiat itu terbuka olehmu,
bahkan telah kaumusnahkan dan kaupelajari isinya, padahal kau sama sekali
bukanlah orang Beng-kauw. Hal ini akan menimbulkan geger di kalangan Beng-kauw
dan kalau mereka tahu, tentu mereka itu akan mencarimu dan membunuhmu.
Rahasia ilmu itu sama sekali tidak boleh diketahui oleh orang luar. Kalau
sampai mereka tahu dan memusuhimu, biar aku sendiri takkan mampu mencegahnya.”
“Aku tidak takut! Aku tidak
mencuri ilmu, hanya kebetulan....”
“Hemmm, kau seperti anak kecil
yang tidak pedulikan langit ambruk bumi terbalik, Lin-moi. Ketahuilah, urusan
ini amat besar dan gawat. Biarpun secara kebetulan kau menemukan ilmu itu, akan
tetapi bukankah engkau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka? Dan
tahu pulakah kau mengapa Hek-giam-lo suka merampas tongkat itu? Semata-mata
karena taat kepadamu? Tak mungkin. Dia mempunyai pamrih lain. Ketahuilah bahwa
ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong itu telah terdengar pula oleh tokoh-tokoh kang-ouw
dan Hek-giam-lo termasuk seorang di antara mereka yang ingin sekali mengetahui
dan memiliki ilmu itu. Tentu saja ia tidak menduga bahwa ilmu itu disimpan di
dalam tongkat pusaka, akan tetapi aku berani bertaruh bahwa ia merampas tongkat
pusaka untuk ditukar dengan wasiat ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong itu.”
“Wah-wah, bagaimana baiknya? Aku
sih tidak takut! Kalau kakek ketua Beng-kauw marah-marah, aku dapat
mengembalikan ilmu ini kepadanya dengan mengajarnya. Bukankah beres begitu?”
Kembali mau tak mau Suling Emas
tersenyum. Bocah ini sama sekali belum tahu akan seluk beluknya dunia kang-ouw.
Kalau tahu tentu akan ketakutan sekali, karena urusan ini berarti kematiannya
yang sukar untuk dicegah pula.
“Lin-moi, aku percaya akan
ketabahanmu yang luar biasa, sungguhpun aku tahu bahwa tak mungkin kau mampu
menghadapi Beng-kauw. Andaikata ilmu ini sudah kausempurnakan, agaknya kau
memang akan menjadi penantang Beng-kauw yang berbahaya, akan tetapi kau seorang
diri mana mampu menghadapi Beng-kauw yang mempunyai banyak sekali orang sakti?”
“Termasuk kau?”
“Jangan ngacau! Lin-moi, bukan
saatnya kita bicara main-main. Hanya ada satu cara untuk membebaskanmu
daripada keadaan berbahaya ini.”
“Bagaimana?”
“Kau harus mengunjungi makam
mendiang Pat-jiu Sin-ong, bersumpah di depan makam sebagai murid yang
menemukan ilmu itu. Dengan cara demikian, maka kau boleh dibilang sudah
menjadi murid Pat-jiu Sin-ong sehingga biarpun kau bukan anggauta Beng-kauw,
kau berhak mewarisi ilmunya.”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang
kecil hitam. “Pergi sendiri? Aku tidak tahu tempatnya!” Hatinya berkata, “Aku
ogah!”
“Aku yang akan membawamu ke
sana.”
Seketika wajah gadis itu berseri
ketika ia memandang Suling Emas. “Dengan kau? Boleh, mari kita berangkat!”
Suling Emas menggeleng-geleng
kepala, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Bocah ini baginya
merupakan ancaman bahaya yang jauh lebih hebat dan mengerikan daripada ujung
senjata para pengeroyoknya tadi.
***
Beberapa hari kemudian,
pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang
berjalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang
melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah pekuburan
kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh yang termasuk
pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh Pat-jiu Sin-ong.
Keadaan di situ menyeramkan.
Matahari belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin merasa
seakan-akan ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya terdiri
dari orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun, masih tidur
di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu nisan itu.
“Di mana makamnya....?” tanya
Lin Lin, suaranya agak gemetar. Setelah tiba di tempat pekuburan itu, hatinya
gentar juga. Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk
bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu
ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, secara kebetulan dan ia sama sekali
tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw. Kalau dulu ia
menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal itu
hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling
Emas! Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan
di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan
rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga
mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!
“Di sana makamnya, di bagian
yang agak tinggi. Kaulihat, masih baru!” jawab Suling Emas sambil menudingkan
telunjuknya.
Mereka berjalan menghampiri
makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan
sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus
bersumpah menjadi murid penghuni makam! Amat heran hati Lin Lin melihat betapa
Suling Emas serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat di depan
makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah
meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar dengan ketua
Beng-kauw yang masih hidup.
“Lin-moi, lekas kau berlutut dan
mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi.” terdengar Suling Emas berkata.
Akan tetapi Lin Lin tetap
berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan kata-kata.
“Lin-moi, mau tunggu apa lagi?”
Lin Lin tetap diam saja.
“Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu?
Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”
“Ah, aku.... aku tidak bisa. Hal
ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah
benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau
tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?”
Suling Emas tertegun, memandang
kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu ia melihat berkelebatnya
bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya berdebar karena ia mengenal
laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin! Celaka, pikirnya.
Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu akan bertanya dan kalau
kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu takkan
membiarkan Lin Lin hidup!
“Lin-moi, lekas berlutut. Lekas
bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang tangan gadis itu.
“Tidak, aku tidak bisa lakukan
itu.... masih ada jalan lain....”
Suling Emas hendak membantah,
akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat sekali sudah tiba
di situ dan kakek ini biarpun terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada
di makam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia
segera berseru.
“Kim-siauw-eng (Suling Emas)!
Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak Hwee)?” Pertanyaan ini yang sama sekali
tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas tercengang.
“Bukankah dia sudah pulang
bersama Bu Sin?” Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran karena ia sendiri
yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou Sin-ni, kemudian ia
menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri pergi mencari Lin Lin
dan Sian Eng.
Kauw Bian Cinjin kelihatannya
tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita. “Dia sudah pulang.
Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu ke Cin-ling-san menemui
bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan mengapa, kelihatan di
sini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya
seperti orang gila! Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya
tidak tampak bayangannya, kami menjadi khawatir sekali.”
“Ahhh....!” Suling Emas
terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia menyambar
tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar mereka!”
Lin Lin tidak diberi kesempatan
bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain
yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi
sudah bingung den khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan marah
oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa banyak cakap lagi
ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum kepada Kauw Bian Cinjin
yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis liar ini di sini?
Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu bahwa gadis itu
adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya lagi.
“Kim-siauw-eng, kau mencari ke
timur aku ke utara!” teriaknya. Suaranya terbawa angin dan karena kakek ini
mengerahkan khi-kang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke telinga
Suling Emas.
“Baik!” jawab Suling Emas sambil
mengerahkan khi-kang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh, tidak
tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih dapat saling
menyampaikan pesan!
Apakah sebenarnya yang terjadi?
Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di Nan-cao,
berkeliaran seperti orang gila kata Kauw Bian Cinjin, sehingga kini
dikejar-kejar oleh Liu Hwee?
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan Hek-giam-lo di dalam
terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni sehingga akhirnya
tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh Suling Emas. Adapun
Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan dibawa pergi oleh
Suma Boan!
Cinta memang dapat meracuni hati
siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah berkuasa, banyak terjadi
hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan seorang korban cinta jauh berlawanan
dengan pandangan umum. Agaknya seluruh orang di dunia ini yang merasa suka
kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini
jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma
Boan. Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang
sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun yang akan dikatakan orang lain,
tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta.
Demikianlah, ketika dirinya
dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa terharu dan girang
sekali, sungguhpun ada perasaan kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia
teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada
dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa.
Baru beberapa hari kemudian Suma
Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya. Sian Eng segera
menegur.
“Suma-koko, kenapa baru sekarang
kaubebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin koko?
Ah, bagaimana nasibnya sekarang?”
Suma Boan merangkul pundaknya.
“Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sendiri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo
yang lihai. Bagaimana aku bisa sekaligus menolong dua orang? Dan saking
takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari
dan baru sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita
dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di
Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi
Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”
Dengan halus Sian Eng melepaskan
pundaknya dari rangkulan. Biarpun di hutan itu sunyi tidak ada orang lain,
namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap terlalu mesra kepada
dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan! Akan tetapi ia mengajak
pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin
Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tangkap
Hek-giam-lo.
“Kau agaknya sudah tahu bahwa
kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu
tidak lekas beri tahu padaku?” tegur Sian Eng.
Suma Boan tersenyum dan memegang
tangan gadis itu. “Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling
mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak
setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai
mantu seperti kau.” Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul
lagi.
“Ihhh, jangan begitu....!” Sian
Eng melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagaimana aku dapat memberi keputusan?
Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san.”
“Aku akan pergi ke sana, akan
kulamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting
sekali. Maukah kau membantuku?”
“Lihat-lihat urusannya!”
“Begini, adikku yang manis. Kita
melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap
tak tentu rimbanya, kiranya muncul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula
di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya
ia mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di
waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab
rahasia ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah
mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan
di tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan
ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui,
ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar
biasa.”
Sian Eng mengerutkan keningnya,
lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda itu. “Hushhh, jangan kau
bicara begitu, Suma-koko. Betapapun juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari
kakakku Kam Bu Song.”
Suma Boan mencekal tangan itu
dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.
“Gila!” cela gadis itu dengan
muka menjadi merah. “Kauceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?”
“Begini, kekasihku. Aku ingin
sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau
suka membantuku....”
“Ihhh!” Sian Eng mengkirik
karena merasa seram. “Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong
yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?”
“Ah, siapa bilang aku lihai?
Hanya kau yang mencintaku, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat
aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi
isteriku, aku mampu melindungimu daripada segala macam bahaya, dan kelak kalau
kiia mempunyai anak, aku mampu menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga
dia menjadi seorang pendekar nomor satu di dunia?”
Sian Eng adalah seorang gadis
gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah
membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia
memandang Suma Boan dengan bingung.
“Bagaimana kau bisa menemukan
tempatnya? Andaikata bisa.... hiiihh, mengerikan sekali!” Gadis ini teringat
akan cerita kakaknya, Bu Sin dan ia merasa takut.
“Apa yang mengerikan? Kau akan
kuajak ke Nan-cao dan di sana, mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling
Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau
menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah
kau mendapat keterangan, kausampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab
itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”
“Aku.... aku sudah tahu tempat
sembunyi Tok-siauw-kui....”
“Apa....?” Saking kaget,
bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan Sian Eng sehingga gadis ini
tersentak berdiri dan merasa lengannya sakit.
“Auuuhhhhh....” keluhnya. Suma
Boan sadar dan cepat ia merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri
dan bersungut-sungut.
“Jangan sekali-kali kau berani
lagi berbuat seperti ini sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani
ulangi, aku akan membencimu!” Matanya berapi-api dan sikapnya menantang.
Suma Boan adalah searang pemuda
yang bangor, yang sudah banyak pengalamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan
diri berlutut dan merangkul kaki gadis itu.
“Maaf Eng-moi, maafkan aku yang
tak kuasa mengendalikan diri saking besarnya cintaku. Mari kita duduk dan
ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”
Melihat pemuda bangsawan yang
dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan memohon dengan suara yang minta
dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng yang masih hijau. Cinta itu buta kata
orang. Bukan cinta yang buta, melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti
buta. Buta dalam arti kata lengah kehilangan kewaspadaan, pertimbangannya
menjadi miring, karena orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar
keluar dari orang yang dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada
perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih, harum
baunya!
Demikian pula Sian Eng yang
sudah tercengkeram asmara, segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini seialu
menarik, selalu menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia
lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata halus.
***
“Sudahlah, Koko. Aku tidak marah
lagi, asal kau jangan sekasar tadi.”
Girang hati Suma Boan. Gadis ini
merupakan korban yang mudah dan lunak baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng
dan diajak duduk di bawah pohon besar, diminta menceritakan tentang tempat
sembunyi Tok-siauw-kui.
“Aku sendiri belum melihat
tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu Sin.” Ia lalu menceritakan apa yang
pernah ia dengar dari Bu Sin ketika bersama Liu Hwee melarikan diri dari
tahanan It-gan Kai-ong melalui lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.
“Bagus!” Suma Boan berseru girang.
“Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun menghilang bersembunyi di negaranya
sendiri, di dalam lorong di bawah tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana
pula karena ketika ia keluar dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di
manakah jalan keluar lorong itu menurut cerita kakakmu?”
“Dia bilang jalan keluar itu
merupakan sebuah gua kecil yang tertutup alang-alang dan tidak tampak dari
luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan para pimpinan
Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko melihat ada
serumpun bambu kuning tumbuh di atas gua.”
Suma Boan mengerutkan keningnya,
memutar otaknya, “Tok-siauw-kui muncul dari dalam gedung sembahyang, tentu
lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik
ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai.”
Sian Eng tidak setuju.
“Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat bagi Beng-kauw, tentu
terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi orang luar. Lebih aman kalau
kita mencoba mencari hutan kecil dan berusaha mendapatkan gua yang atasnya ada
serumpun bambu kuning itu.”
Suma Boan menarik tangan Sian
Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira
sekali karena kalau ia sampai bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi
seorang jagoan yang hebat!
“Mari kekasihku, mari kita
mencari tempat itu! Aku akan berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita
bisa mendapatkan tempat itu. Mari!”
Berlari-larilah mereka menuju ke
tanah pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja
mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang Beng-kauw,
karena ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biarpun di situ ada Sian Eng,
mereka tetap akan mencurigainya dan kalau sampai terjadi bentrok dengan
mereka, biarpun ia tidak takut, namun usahanya ini tentu akan gagal. Ia sengaja
memilih waktu malam untuk menyelundup masuk dan mencari hutan itu yang akhinya
dapat mereka temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan
pimpinan Beng-kauw.
“Agaknya itulah tempatnya!”
akhirnya Sian Eng berseru girang ketika mereka berdiri di depan serumpun
alang-alang dan di atas segunduk gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon
bambu kuning yang indah. Waktu itu menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka
menyingkap alang-alang itu dan.... betapa girang hati Suma Boan ketika melihat
bahwa di balik alang-alang tebal itu betul saja terdapat sebuah gua yang
setinggi dua meter lebih, gelap dan menyeramkan seperti mulut seekor naga
terbuka lebar.
Suma Boan seorang yang cerdik
dan licik. Betapapun besar nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk
memasuki gua terowongan yang menyeramkan dan belum diketahui benar
keamanannya itu. Ia maklum bahwa gua itu merupakan tempat keramat bagi
orang-orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat tokoh-tokoh
Beng-kauw yang lihai.
“Eng-moi, kekasihku, kau tentu
suka membantu aku, bukan? Sebetulnya memang aku yang seharusnya memasuki gua
ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu sendiri, kalau ada yang
melihatku, tentu terjadi pertempuran mati-matian dan tidak ada harapan bagiku
untuk keluar hidup-hidup. Oleh karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku
minta dengan sangat sukalah kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga
di luar. Andaikata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan
alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan dalih bahwa kakakmu Bu
Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau ingin sekali menyaksikan
sendiri, maka kau memasukinya.”
Dengan bujukan-bujukan yang
manis dan alasan-alasan yang masuk akal, terutama dengan janji bahwa setelah
mereka menemukan kitab itu, Suma Boan akan membawa Sian Eng pulang ke
Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk memibicarakan urusan perjodohan
mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat membantah lagi.
“Baiklah, Suma-koko, akan tetapi
apapun yang akan terjadi dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan
meninggalkan tempat ini, dan andaikata aku berhasil kelak mendapatkan
kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajari
ilmunya.”
Suma Boan merangkul pundak Sian
Eng sambil tersenyum lebar. “Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya
kepadaku?”
Girang hati Sian Eng dan ia pun
tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan memasuki gua itu dengan hati-hati
sekali. Setelah melihat gadis itu menghilang di dalam kegelapan gua itu Suma
Boan lalu menutup dan merapikan kembali rumpun alang-alang dari sebelah dalam
sehingga tidak akan tampak dari luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut gua
dengan hati berdebar-debar.
Sian Eng terus melangkah ke
depan dengan hati-hati sekali karena di dalam terowongan gua itu amat gelap.
Kakinya melangkah dengan pasangan kuda-kuda untuk menjaga segala kemungkinan,
pedangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang diinjaknya
kering dan tidak licin, juga rata seakan-akan diratakan oleh manusia. Ia maju
terus menyusuri terowongan yang agaknya tidak ada ujungnya itu. Beberapa kali
terowongan itu berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan di
depannya mulai terang. Tak lama kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan
sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat dinding batu karang yang agak basah.
Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter.
Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat
meter persegi yang cuacanya terang sekali, karena berbeda dengan terowongan
tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan cahaya
matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang dalamnya lebih
dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan celah-celah di
antara batu-batu besar inilah yang diterobosi sinar matahari sehingga tidak
hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian lorong juga
mendapatkan cahaya. Tiba-tiba terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan
hitam kecil menyambar dari depan ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget
sekali, mengira bahwa bayangan itu adalah senjata rahasia karena anginnya
halus dan cepat. Ia miringkan tubuhnya dan melompat ke tengah ruangan. Akan
tetapi segera ternyata olehnya bahwa sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena
benda itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika
melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya. Betapapun juga,
karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat
bersikap lebih hati-hati dan dapat memandang keadaan sekelilingnya dengan
jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke atas lantai.
Akan tetapi begitu kedua kakinya
menginjak lantai tepat di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara
hiruk-pikuk di depan dan belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan cepat ia
memandang. Kiranya pada saat itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai
tertutup oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam dinding!
“Celaka....!” Sian Eng berseru
dan cepat ia melompat ke belakang untuk menerobos keluar kembali dari ruangan
itu. Akan tetapi terlambat. Batu itu sudah hampir tertutup seluruh jalan
terowongan. Gadis ini segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan
bergeser maju terus itu, mengerahkan sin-kang untuk menahan atau mendorong
kembali batu itu agar ia dapat menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng
ketika mendapat kenyataan bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia
menahan sehingga batu itu terus bergerak sampai terowongan itu tertutup
seluruhnya.
Sian Eng membalikkan tubuh dan
meloncat ke sebelah seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah
sana masih belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia
terlambat dan tidak kuasa mendorong kembali balu penutup yang dapat bergerak
secara aneh itu.
Sian Eng kembali meloncat ke
tengah ruangan. Ia telah terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu
karang yang agak basah, bawahnya lantai batu karang pula, di depan dan belakang
kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan demikian beratnya sehingga ia
tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter tingginya, tertutup
batu-batu besar pula dan hanya celah-celahnya yang cukup lebar saja dapat
diterobos sinar matahari.
Sian Eng bukan seorang gadis
penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga. Kembali ia mendekati
batu-batu yang menutup lorong itu, bergantian ia memeriksa dengan teliti
kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit sehingga terdapat lubang untuk
diterobosnya. Akan tetapi, memang betul di antara dua batu penutup dan dinding
karang terdapat celah-celah yang cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah
lengannya, karena di antara dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang
tidak rata, akan tetapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena
terlampau kecil. Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada
celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi pedangnya
membalik dan tidak akan sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya! Ketika
ia memeriksa, ternyata batu hitam yang luar biasa kerasnya, seperti baja!
Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun
sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan menjatuhkan diri duduk di tengah
ruangan yang mulai gelap, telapak tangannya berdarah dan perih, bahkan
pedangnya menjadi rusak-rusak ujungnya.
Sian Eng menangis! Kemudian ia
berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti
di luar gua.
“Suma-koko! Suma-koko....! Ke
sinilah dan tolong aku....!”
Ia menjerit-jerit terus sampai
ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan
ia berhenti setelah suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah
lahir batin, Sian Eng kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan
hatinya dan memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu. Dan
setelah ia dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali
kelelawar berseliweran di dalam ruangan itu. Mula-mula ia merasa heran, dari
mana datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara
batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubahg yang cukup lebar untuk
diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia
menjadi seekor kelelawar!
Semalam suntuk, selama ruangan
di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti
menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan
hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi
ruangan itu dan menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa
serem dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama
sekali. Andaikata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu
dapat membebaskannya dari kurungan batu-batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng
tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.
Akhirnya, menjelang pagi ia
masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding
bagaikan orang yang tidak waras otaknya.
“Aku harus hidup! Aku harus
hidup!” Terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada
angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu,
namun sia-sia. Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta
di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu
yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka
sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian
tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa
kulit tengkuknya sakit sekali.
“Kurang ajar!” bentaknya, cepat
ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit
sudah terbang pergi lagi. Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit.
Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi
ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian
Eng dari segala jurusan. Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya,
menampar ke sana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan
beberapa ekor kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak
bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki. Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu
terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika
racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh,
binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, mengisap darah!
Suma Boan yang menunggu di luar
gua tanpa mengetahui keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga
hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar! Pemuda ini tetap
bersembunyi di mulut gua, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir
kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia
meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapapun juga ia
percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.
Akan tetapi setelah lewat dua
pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa
gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena
pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak
mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena
kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang
penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab
peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak
mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.
Karena khawatir kalau-kalau
usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas,
pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki gua itu untuk
menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati
sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke
ruangan yang kini tertutup batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki
lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang,
karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya
remang-remang saja.
Betapa kaget dan bingungnya hati
Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu
menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia
merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu
dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang
karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.
“Eng-moi!” Ia memanggil. Sunyi
tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara
dari alam lain.
“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali
ia berseru keras. Tetap sunyi.
Ah, tentu Sian Eng tidak berada
di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini,
apalagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat
menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan
di lorong bawah tanah ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan
hati-hati, meraba-raba dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan.
Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan
itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya
meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong
kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah
meter saja.
Lorong kecil ini seakan-akan
tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian
Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan
berdiri terpaku saking kaget dan serem. Lorong itu diterangi sinar kehijauan
yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika
dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan
penglihatan yang luar biasa seremnya. Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua
tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia
yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak
menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah
memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian
(semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!
Suma Boan bukanlah seorang
penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis.
Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan daripada empat buah rangka
manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah
rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan
ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya
kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah hati
Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi, alangkah kagetnya
ketika ia tiba di tengah ruangan, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan
empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru!
Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis.
Ia memandang rendah. Apalagi hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana
sekarang dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja
kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya
bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus
senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka.
Terkejutlah Suma Boan ketika
melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali, senjata
mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang
menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana
titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang
amat tinggi dan aneh! Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis
sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah
serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya! Suma
Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi
ia terguling roboh di atas lantai!
Kiranya empat buah rangka itu
hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak
mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan
itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari
sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma
Boan.
Sebagai seorang tokoh yang sudah
banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu
adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja
dapat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka
itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka-rangka
itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat
keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.
Akan tetapi kalau hal ini ia
lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya
masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat dan kalau ia
menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya belum tentu
terjamin. Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu
menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya.
Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak
terasa nyeri ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia
lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk
memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan
kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia
menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.
Baru sekarang terasa betapa
perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat
gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat
bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil
berteriak-teriak memanggil Sian Eng.
Mulai gelisah hati Suma Boan.
Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak
mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan
mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu.
Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh
orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya.
Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang
apalagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan
tidak mendapat mangsa.
Dengan tubuh sakit-sakit dan
hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa
kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan
mengumpulkan napas, mengerahkan sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti,
tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai
mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan
pandang matanya kabur.
Hatinya lega ketika ia melihat
sinar terang dari luar gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak
olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan gua itu.
“Moi-moi....! Kekasihku,
akhirnya kita bertemu juga....!” teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh
tenaganya untuk mengejar keluar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan
tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah
seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?
“Kekasihku....!”
“Tutup mulutmu yang kotor!”
Tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma
Boan. Biarpun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya.
Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu
yang juga dapat menghindarkan diri.
“Moi-moi.... kau hendak mengkhianatiku?
Serahkan kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil
menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.
Dengan teriakan tertahan, gadis
itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya
terang yang kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor
yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai
gelap! Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan
melakukan pukulan jarak jauh dan.... padamlah obor itu. Keadaan sudah
menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang.
Tampak bayangan lain berkelebat
datang, “Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini
bertanya.
“Susiok (Paman Guru), dia ini
Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar dari gua rahasia! Mari tangkap! Dia
kelihatan seperti gila!” jawab Liu Hwee, gadis itu.
Sementara itu, ketika Suma Boan
mendengar percakapan pendek ini, sadarlah ia bahwa ia telah keliru sangka.
Gadis itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu
Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian Cinjin,
orang ke dua dari Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu lari tunggang
langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga melompat mengejar dan
terjadilah kejar-mengejar di malam buta.
Kauw Bian Cinjin juga ikut
mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang
lawan macam Suma Boan, cukup ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau
kedatangan Suma Boan itu hanya pancingan belaka agar ia ikut pula mengejar,
sedangkan siapa tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan
datang beraksi! Karena itu, Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya,
melainkan melakukan perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw yang berada
di atas lorong-lorong rahasia.
Demikian, seperti kita ketahui
di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan Suling Emas dan
Lin Lin yang berada di depan kuburan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas untuk mencari-cari Liu Hwee
yang belum juga tampak kembali. Suling Emas mengejar ke timur sedangkan Kauw
Bian Cinjin mengejar ke utara.
***
Suling Emas dan Lin Lin mengejar
ke timur dengan cepat. Tanpa disadari sendiri oleh gadis itu, kini ia dapat
mengimbangi kecepatan Suling Emas, kemajuan yang luar biasa semerak ia
mempelajari ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong, terutama sekali
petunjuk-petunjuk cara bersamadhi dan mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari
hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat menduganya karena dahulu tidaklah
sehebat ini gerakan Lin Lin. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir.
Ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong ini hebat sekali. Baru satu jurus
Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan Lin
Lin ketika ia mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya, kalau sudah
terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di dunia
persilatan. Ia hanya khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu pada diri
seorang gadis seperti Lin Lin akan menimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa
sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri
manusia, menimbulkan dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung
daripada si manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang
amat aneh, sukar sekali dimengerti.
Sampai sepekan mereka mengejar,
belum juga mereka mendapatkan jejak Suma Boan maupun Liu Hwee. Pada hari ke
tujuh mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan berhentilah
Suling Emas.
“Tiada guna,” katanya ketika
mereka mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan.
“Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju. Pula Kauw
Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan dapat menyusul dan
menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andaikata tidak dapat menyusulnya, Suma Boan
akan bisa berbuat apakah? Kepandaiannya tidak ada artinya kalau dibandingkan
dengan kesombongannya.”
“Apakah kepandaian Liu Hwee itu
hebat?” Lin Lin bertanya sambil memandang wajah tampan di sebelah kanannya.
Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya karena ia menyaksikan sendiri betapa
akrab hubungan antara Suling Emas dan Liu Hwee.
“Puteri tunggal ketua Beng-kauw
tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga
pandangannya luas dan ia selalu hati-hati dan waspada.” Suling Emas memuji-muji
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seketika bibir Lin Lin cemberut.
“Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara
dia dan aku!”
Suling Emas yang tadinya duduk
seperti melamun menjadi kaget, dan cepat menoleh memandang wajah gadis itu yang
masih cemberut. Mulut dan mata gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang
bergejolak di dalam dada Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya
berdebar dan ia menarik napas panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan
wajah kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja pertahanan hatinya bobol. Bagaimana ia
tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya begini mirip Suma Ceng, yang
wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali akan
mendatangkan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap muram? Bagaimana
takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan kegagalan cinta
kasih, apabila ia menerime uluran hati gadis ini? Namun tidak! Tak mungkin ia
menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini mencintanya,
semenjak.... semenjak peristiwa di dalam gelap di malam hari dalam kamar
perpustakaan istana dulu! Semenjak ia memeluk dan mencium gadis itu tanpa
disengaja karena mengira Lin Lin adalah Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi
betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih itu betapapun inginnya? Gadis
ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini sungguhpun bukan merupakan
penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang. Ke dua, gadis ini masih
amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin baru delapan belas tahun,
sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak, ia harus tahu diri!
“He, mengapa kau diam saja?
Bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling Emas yang
menjadi kaget dan sadar daripada lamunannya.
“Apa? Pendapat apa?” tanyanya,
tersenyum.
“Aku bilang tadi, ingin
kumenandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya!”
“Hemmm, ada-ada saja kau ini.
Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu untuk mencari perkara dengan puteri
Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw).”
“Siapa bilang tidak ada?”
Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar. “Banyak sekali
alasannya!”
“Hemmm, apakah kesalahannya? Apa
alasannya?” Suling Emas membantah, mengerutkan kening.
“Banyak, terutama sekali karena
aku tidak mau kalah olehnya!”
Suling Emas melongo. Dia seorang
jagoan yang sudah banyak makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal
watak-watak orang aneh seperti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi
sesungguhnya belum banyak pengalamannya dengan wanita, karena semenjak
hatinya terluka oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai daripadanya dan menikah dengan
orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk mendekati
wanita. Karena itu, ia sama sekali tidak mengenal watak-watak wanita dan tidak
dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat pandang mata yang
begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang mengandung sinar kemesraan
seperti kalau sepasang mata Suma Ceng memandangnya, Suling Emas segera
menundukkan muka.
“Sudahlah,” katanya kemudian
setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar tidak karuan,
“mari kita bicarakan urusan lain yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini
kita harus berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal
ini pun tak dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan
jurus-jurus ilmu yang kaudapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau
hal itu diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap
sebagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.”
Akan tetapi Lin Lin sama sekali
tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat terakhir. Matanya terbelalak dan
wajahnya berubah, karena kata-kata “berpisah” itulah yang menggores hatinya.
“Berpisah?” ia tergagap.
“Kenapa....?”
Suling Emas tersenyum duka.
Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak
ingin berpisah dari padanya. Sama dengan Suma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma
Ceng bersikap lemah dan menerima keadaan, sebaliknya gadis ini bersikap
keras, agaknya takkan mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.
“Tentu saja kita harus berpisah,
karena jalan kita memang tidak sama. Kau kembalilah ke Cin-ling-san menyusul
kakakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri mencari Sian Eng. Setelah dapat bertemu,
tentu dia pun akan kusuruh menyusul ke Cin-ling-san.”
“Aku ikut! Aku juga hendak
mencari Enci Sian Eng sampai dapat. Kita mencari bersama, bukankah lebih baik?
Aku tidak akan menyusahkanmu, biar.... biarlah aku mencari makan minumku
sendiri!”
Mau tak mau Suling Emas tertawa.
Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran
seperti kanak-kanak.
“Bukan begitu, Lin Lin. Banyak
sekali urusan besar harus kuhadapi. Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te
Liok-koai di Thai-san sudah dekat waktunya, aku pun harus hadir di sana.
Selain itu, kau melihat sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku.
Setiap langkahku terancam bahaya....”
“Aku tidak takut! Kalau mereka
mengganggumu, aku akan hajar mereka! Apa kaukira aku ini seorang manusia yang
tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san!”
“Wah, kau mau menandingi
iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?”
“Aku tidak takut terhadap
mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan.”
“Hemmm, baru saja kupesan supaya
kau tidak menggunakan ilmu peninggalan....”
“Kan mereka bukan orang
Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau
aku dapat mengalahkan mereka dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat
nama Beng-kauw dan terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu
akan tertawa melihat betapa ilmunya di tangan seorang gadis seperti aku dapat
mengalahkan iblis-iblis jahat!”
Suling Emas merasa kalah
berdebat. “Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa, kita
harus berpisah. Atau.... kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar sampai di
Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat menemukan Sian Eng,
baru kau dan encimu pulang bersama.”
“Tidak! Sekaii lagi ti...”
Tiba-tiba tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah
didekapnya dengan telapak tangannya. Lin Lin memandang dengan mata terbelalak
kaget dan heran, akan tetapi baru ia mengerti ketika Suling Emas menaruh
telunjuknya di depan mulut dan memberi isyarat agar gadis itu tidak
mengeluarkan suara. Kini baru Lin Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak
bayangan manusia berkelebat cepat sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar
dilihat siapa orang itu, hanya jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga
bentuk tubuhnya ramping. Akan tetapi mukanya tidak tampak karena ketika lari
menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan larinya,
seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.
“Seperti Enci Sian Eng....”
bisik Lin Lin terheran-heran. Memang bentuk tubuh wanita itu seperti Sian Eng,
akan tetapi pakaiannya bukan pakaian seorang ahli silat yang serba ringkas
melainkan pakaian seorang wanita dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita
itu rambutnya panjang terurai, sungguhpun tidak sepanjang rambut Siang-mou
Sin-ni, namun terurai sampai ke lutut belakang.
“Bukan, mari kita ikuti dia,
mencurigakan sekali....!” kata Suling Emas yang sudah melompat dan mengejar.
Lin Lin terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan
gin-kang dan berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali
ini ia tertinggal, karena Suling Emas betul-betul berlari cepat kini. Baru ia
tahu bahwa kepandaiannya dalam berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat
oleh pendekar yang dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena
belum matang dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh.
Namun sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu
itu.
Tiba-tiba Suling Emas berhenti
ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia
berkata.
“Hebat ilmu lari cepat orang
itu. Lin-moi, kaupegang tanganku!”
Tak usah menanti diperintah dua
kali, Lin Lin menyambar tangan kiri Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin
melepas tangan itu untuk selamanya! Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk
karena segera tubuhnya tersentak keras ke depan dan di lain saat ia terpaksa
harus mengerahkan gin-kangnya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari
seperti terbang cepatnya! Namun, bayangan wanita di depan itu tetap tak dapat
tersusul. Hal ini saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu
betul-betul sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali
dan ia pun ingin segera melihat siapa sebenarnya wanita itu.
Wanita di depan itu lari menuju
ke timur. Setelah tiba di daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia
mengurangi kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas
mengajak Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.
“Kenapa tidak susul dia? Aku
ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,” bisik Lin Lin.
“Sssttt, apa perlunya? Aku
merasa curiga. Ilmu larinya bukan main, tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu
dia hendak ke mana dan hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu,
akan tetapi lupa lagi....” kata Suling Emas.
Akan tetapi wanita itu
benar-benar kuat sekali. Tak pernah ia berhenti berjalan sampai senja berganti
malam! Lin Lin sudah merasa lelah sekali.
“Aku.... aku tidak kuat lagi
berjalan....” ia mengeluh. “Kakiku serasa hendak copot sambungan tulangnya. Mau
apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat lagi....” Lin
Lin tiba-tiba menjatuhkan dirl duduk di atas tanah.
“Mari kupondong!” Suling Emas
yang betul-betul tertarik oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya,
tanpa ragu-ragu membungkuk dan memondong tubuh Lin Lin. Gadis ini segera
merangkul lehernya dan merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati penuh
babagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanan
mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh
yang kadang-kadang menyebut “kanda” ada kalanya menyebut “Suling Emas” begitu
saja kepadanya. Gadis yang bukan sedarah deging dengannya, lain ayah ibu,
gadis berdarah bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.
Malam itu bulan muncul
sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan wanita yang mereka
ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut bahagia dan mesra. Dengan
bulan purnama di angkasa, suasana menjadi romantis sekali. Tidak salah kiranya
orang tua yang mengatakan bahwa sinar bulan purnama mendorong dan merangsang
hati muda ke arah kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara. Lin Lin masih
merangkul leher Suling Emas, kepalanya rebah miring di atas pundak pendekar
itu dan matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta
kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah banyak berkurang
kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini. Dirasanya baru
sebentar ia dipondong!
“Koko....” bisiknya di dekat
telinga Suling Emas.
“Hemmm....?” Suling Emas
menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya tertuju ke depan. Wanita itu mendaki
sebuah bukit kecil di mana terdapat tanah kuburan yang penuh dengan
gundukan-gundukan tanah dan batu nisan!
“.... ingin sekali aku selamanya
berada di dalam pondonganmu....”
“Huh, kau bukan bayi! Sudah
terlalu lama kau kupondong. Turun!” Suling Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya
sinar bulan berwarna kemerahan sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang
menjadi merah sekali.
“Koko....”
“Hushhhhh.... lihat itu....”
Suling Emas menuding ke depan. Teringatlah Lin Lin akan wanita yang tadi sudah
ia lupakan sama sekali. Di dalam pondongan Suling Emas di malam penuh sinar
bulan tadi, ia sudah lupa segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas,
dunia ini hanya ada mereka berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang
lain-lain tidak ada lagi! Sekarang ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah
hati Lin Lin ketika mendapat kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah
kuburan, bahkan Suling Emas dan dia sudah mengintai dari balik sebuah batu
nisan, di bawah sebatang pohon kecil.
Wanita itu dengan lenggang yang
menunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan bagus sekali,
berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu
nisan sambil menangis tersedu-sedu!
“Ayah...., Ayah yang baik....
ampunilah anakmu....” ratap tangis wanita itu.
Sejenak Lin Lin tercengang,
kemudian tak terasa lagi air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya.
Teringatlah ia akan dirinya sendiri yang sudah yatim piatu, tiada ayah bunda
lagi, bahkan dibandingkan dengan wanita di sana itu, dia lebih sengsara.
Setidaknya wanita itu dapat menangisi kuburan ayahnya, sedangkan dia, di mana
kuburan ayah bundanya saja tidak tahu! Timbul rasa simpati dan kasihan kepada
wanita yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa senasib dan ingin ia
mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan kakinya dan Lin Lin sudah
bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas
memegang lengannya dan menahannya. Pendekar ini memberi isyarat dengan
telunjuk di depan mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka sedang mengintai, maka ia
membatalkan niatnya dan menghapus air mata dari pipi, lalu mengintai dan
mendengarkan.
“Ayah.... ampunkan aku, Ayah.
Anakmu telah gagal membalaskan dendam untukmu.... dia terlalu sakti, bukan
lawanku. Banyak tokoh kang-ouw bersamaku mengeroyoknya, tanpa hasil. Ayah....
tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hatimu, tak mungkin aku dapat
mengalahkan dia, pula.... ampunkan aku, Ayah.... anakmu ini.... yang hina
dina.... tidak akan tega membunuhnya. Mungkin dapat aku memperdalam ilmu untuk
mengalahkannya, akan tetapi.... aku.... aku cinta padanya. Aku mencinta Suling
Emas putera musuh besarmu....” Kembali gadis itu tersedu menangis, kemudian
tiba-tiba bangkit berdiri mengembangkan kedua lengannya berdongak memandang
bulan purnama dan bersumpah.
“Ayah, semoga rohmu mendengarkan
sumpahku, disaksikan oleh Dewa Bulan! Biarpun aku tidak akan dapat membunuh
Suling Emas, namun aku bersumpah untuk membunuh semua isterinya kalau dia
beristeri, dan semua anaknya kalau dia mempunyai anak!”
Sampai pucat wajah Suling Emas
ketika ia mengenal suara dan wanita ini yang bukan lain adalah Bu-eng-sin-kiam
Tan Lian, puteri tunggal almarhum Hui-kiam-eng Tan Hui yang tewas di tangan
ibunya! Bukan main hebatnya sumpah ini sehingga biarpun hati Suling Emas sekuat
baja, namun ia menjadi pucat dan gemetar juga karena maklum bahwa malapetaka
akan menimpa keturunannya!
Sementara itu, Lin Lin tadinya
juga pucat sekali mendengar ini, akan tetapi timbul kemarahannya mendengar
pengakuan wanita itu yang mencinta Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh
anak dan isteri kekasihnya ini, membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan seruan
yang merupakan lengking tinggi, hasil yang tak disadarinya daripada ilmunya
yang baru, ia telah melompat ke depan dan selagi wanita itu membalikkan tubuh
dengan kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis sudah melancarkan serangan
berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan tangannya yang kecil halus saling
bertumbukan, namun tepat menghantam tubuh wanita itu secara berbareng.
Wanita itu menjerit dan
terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika!
Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak mengira bahwa
pukulannya akan sehebat ini, apalagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki
kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.
“Lin-moi, jangan....!” Suling
Emas berseru namun terlambat. Andaikata Suling Emas tidak demikian terpengaruh
oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia
kini berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan
Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan darah.
Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget
bukan main melihat akibat daripada pukulan Lin Lin karena setelah memeriksa,
ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan
dapat ditolong lagi. Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan
tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu
pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut
(Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung
hawa beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian hanya
membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa
saja takkan mungkin mampu menolongnya.
“Bocah lancang!” bentaknya
kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?” Setelah berkata demikian,
Suling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari
tempat itu.
“Koko.... tunggu....!” Lin Lin
berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Suling Emas tidak menjawab dan
sudah tidak tampak lagi. Lin Lin memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke
mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah
dan air mata membasahi pipi.
“Dia marah kepadaku....”
pikirnya, “mengapa marah? Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya,
dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan
ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan
menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.
Perjalanan ke Thai-san merupakan
perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi
Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian.
Apalagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang
lihai, seperti wanita di kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya
sendiri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapapun juga karena pada
dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti. Pikiran ini pula yang
membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya
berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka
Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga
sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri daripada tiga
belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus
Sakti).
Berpekan-pekan Lin Lin melakukan
perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan
kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung
Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin
Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu?
Bagaimana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas
itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas? Hatinya tidak
enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata
masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat
betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya!
Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang
marah-marah kepadanya memakinya sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul
seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah
itu?
“Ah, Suling Emas, aku cinta
kepadamu.... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia menghela
napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya dengan saputangan.
Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandarkan
tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau
yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik
oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang
kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak
rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar
seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang.
Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biarpun si kuda
naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian.
Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.
Kuda makin mendekati tempat Lin
Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....
“Liong-twako....!” Lin Lin
berseru sambil melompat bangun.
“Lin-moi....!” Penunggang kuda
itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas punggung kudanya, lari menghampiri Lin
Lin dan serta merta memeluknya dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya.
Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu.
Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda
ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada
dada Bok Liong.
“Lin-moi.... ah, Lin-moi....
alangkah bahagia haLtiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau
selamat, bisa terbebas daripada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang
jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri
dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh
air mata!
Dengan gerakan halus Lin Lin
melepaskan diri daripada pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina,
bahkan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira
dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.
“Twako, tenanglah, mari kita
bicara yang enak. Aku pun girang sekaii melihat kau selamat. Tadinya aku sudah
khawatir sekali, mengira kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo
dan orang-orangnya.” Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas
rumput. Sambil berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir
kalau-kalau ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi
tempat itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak mahluk lain
kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh
membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.
Bok Liong tertawa, menghapus air
matanya. “Ah, maafkan aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air
mata seperti bocah cengeng,” katanya.
“Bukan begitu, Twako. Kau
terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa
menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika melihat kau
tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi, bagaimana kau dapat
selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhumu yang lucu itu.”
“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah
menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal bersama
Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa,
yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu
nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu
berada di sini?”
“Aku ditolong oleh Kim-lun
Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia
tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia
tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.
“Tapi mengapa kau bisa berada di
kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus
digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang tinggal
lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin
dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini.
Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya
karena mereka adalah orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti
iblis.”
Lin Lin tersenyum dan senyum ini
menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi pedang runcingnya.
“Twako, justeru kedatanganku ini
hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”
Bok Liong melongo dan
menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya.
“Nonton? Moi-moi, kau terlalu
meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong
langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja,
secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apalagi
dalam marah atau duka. Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka
jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan mereka berlumba agaknya untuk
dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te
Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia!
Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok
Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.
Lin Lin kembali merasa tidak
enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan
pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab.
“Liong-twako, kenapa kau
sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi
Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang
membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula,
bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andaikata tidak berjumpa denganku, kau
hendak ke manakah?”
“Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan
kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu
celaka di tangah iblis itu. Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan
dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para
iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan
kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau.
Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi
kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau
selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh
perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat
Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.
“Hemmm, kau selalu memikirkan
tentang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andaikata
aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan
hebat lalu kau hendak mengajakku ke mana?”
Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan
memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar,
“Lin Lin, Moi-moi.... aku.... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi
gurumu, aku.... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”
Bukan main kagetnya hati Lin
Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pemuda ini mencintanya, akan tetapi
mendengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia
benar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik
kedua tangannya dan bangkit berdiri.
“Tidak.... tidak....
Liong-twako, aku.... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang
baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara.... tapi aku tidak....
tidak....”
Bok Liong yang masih berlutut
memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan.
“Lin Lin, dewi pujaan hatiku....
aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu
semenjak pertemuan kita yang pertama, aku rela mati untukmu.... sudilah kau
menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup
selamanya. Aku bersumpah akan membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”
Air mata bercucuran dari
sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa andaikata ia
menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih
sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang
di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama
bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong
adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas,
satria sejati. Namun, hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya
memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.
“Tidak, Liong-twako....!”
Setelah berkata demikian, Lin
Lin menggerakkan kakinya terlepas daripada pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat
cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang mendaki Gunung Thai-san!
***
Sejenak Lie Bok Liong
tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti bayangan
gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik pepohonan. Ia
menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir kemudian
bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya
tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa
gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena
kaget dan gelisah, hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja
yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus
asa dan akan berlaku sabar. Akan tetapi hatinya khawatir bukan main melihat
gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu
dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan
siap untuk membela dan melindungi Lin Lin daripada marabahaya. Gurunya,
Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada hari-hari pertandingan para iblis
di puncak Thai-san, gurunya itu akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya
hanya orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang
akan berani datang untuk menonton pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya
menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang
amat curam dan sukar dilalui itu. Baru sekarang teringat olehnya betapa
cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya mendaki
gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya sebanding saja
dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah malah. Bagaimana tadi ia melihat
Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung sedangkan dia sendiri merasa
betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus bergerak dengan hati-hati dan
lambat!
Ketika Lie Bok Liong tiba di
daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di punggung Gunung
Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan
main karena ia tidak melihat bayangan orang mengapa tahu-tahu ada suara ketawa
yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak
juga melihat bayangan orangnya. Bulu tengkuk pemuda ini berdiri dan biarpun ia
tidak percaya akan setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga
bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang
baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut
seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan
main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri! Kini kakek ini muncul dari balik
sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk daripada dulu. Punggungnya makin
bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu,
mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal
sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya
terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya memegang sebatang
tongkat butut.
“Heh-heh-ho-hah! Orang muda,
pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?”
Di dalam hatinya Bok Liong
mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis
sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera menjura
dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan.
“Kai-ong (Raja Pengemis) yang
mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada
di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”
“Hua-hah-hah, kau mengenal aku?
Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”
“Mana mungkin Locianpwe mengenal
saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah
mengenal Suhu.”
“Heh-heh, tak perlu
kauperkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba tongkat butut di
tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri
Bok Liong dengan totokannya!
“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong
terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus
silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan
dan ia berhasil mengelak dari totokan ini. Melihat gerakan itu, terutama
sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil
menarik kembali tongkatnya.
“Heh-heh, kau murid si tukang
gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”
“Maaf, Locianpwe. Saya tidak
berani memanggil Suhu kalau beliau tidak berkenan muncul atas kehendak
sendiri.” Jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya. Ia tidak tahu
apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan
menyombong bahwa gurunya akan melindunginya, akan tetapi jawaban itu
membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong
akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek
berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!
Akan tetapi It-gan Kai-ong
adalah seorang manusia iblis yang sukar digertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu
gurumu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak membekuk
mampus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan
kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa she Gan si tukang gambar ke
puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi
kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus mampus!”
Kaget sekali Bok Liong. Ia
bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak
terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biarpun ia
maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama
sekali tidak mengandung rasa takut den tidak gemetar.
“Huah-ha-ha! Semua iblis yang
datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda
laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan den menjijikkan ini
membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”
Dua gumpal ludah menyambar
bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada,
cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat
kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya,
melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak
sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali kakek itu meludah,
kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air
menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar pedangnya dan
terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya
yang menangkis semua percikan air ludah itu.
Akan tetapi It-gan Kai-ong
kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru
baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia
merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu
menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sin-kang yang terkandung
dalam serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah,
menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia
mengerahkan sin-kang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak
berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu
tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya
mengalihkan arah ludah-ludah itu ke semping. Biar sampai habis ludahnya, tak
mau aku menerima penghinaan ini, pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak
penuh kelincahan. Betapapun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah
cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas
menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang
selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya, membuat It-gan Kai-ong marah luar
biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya, serangan ludahnya sudah cukup
untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau boleh juga. Cukup
berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju
dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi
puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya. Pemuda ini
terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu
sambil bergerak mundur dengan loncatan-loncatan lincah. Namun akhirnya ia
terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan
menganga lebar, siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke
mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh dan tongkat bututnya
mendesak makin dahsyat.
Betapapun dahsyat dan hebatnya
ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok
Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek
yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat
tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan
ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat
mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas
menyerang dengen nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di
pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi
terkekeh sekarang. Betapapun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat
ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek
ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua
senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah. Namun
dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti
kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak
peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya “terbuka”
dan tidak terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya
berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena
memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu
terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan
Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun
terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia
celaka, karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan
“menyedot” sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong
tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada,
tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya
berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai
tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi, karena memang kedudukan
Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan
ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka
terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
“Heh-heh-heh, mampuslah kau,
murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhken pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak
rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia
bergulingan cepat sehingga ia terlepas daripada pukulan tongkat, akan tetapi
di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!
Pada saat itu, sebuah bayangan
berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang
bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.
“He, pengemis iblis picak!
Kauapakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh, tua bangka she
Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya
It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.
Berubah wajah Empek Gan.
Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya
yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya.
“Jembel busuk berhati iblis! Tak
tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang
laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”
“Wah, tutup mulutmu yang busuk.
Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu,
bukankah sudah pantas?”
“Tak perlu banyak bicara, It-gan
Kai-ong, kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau
tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah, siapa takut kepadamu?”
Kedua orang kakek ini memasang
kuda-kuda. Maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat
tangguh, keduanya tidak main-main lagi. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat
bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas,
kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya
yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Adapun
Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang
disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan
kanan sedangkan yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua
lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang,
kedua lengannya bersilang.
Ada lima menit mereka hanya
berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor
jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum
bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah
menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga
dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar
tempat itu.
“Wesssss!” Tongkat butut
melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek, dan pelukis sakti ini mengerjakan
senjatanya melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan
tetapi, dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat
menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat
dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat
syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang yang belum begitu
tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu
dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa
lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi
bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya.
Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena
setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau
lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah “lubang” dan hal ini berbahaya.
Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan
segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong
sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau
dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan
tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua
gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan
mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biarpun sepasang pena bulu itu
menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat
menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar
melingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian
tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki
Gan-lopek. Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan
emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di
bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu
hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan
sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini
sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk
menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apalagi dengan gerakan
khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah
seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat
tinggi dan betapapun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat
mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja.
Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga saling serang dan
saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang
tampak terdesak. Memang harus diakui bahwa fihak Empek Gan lebih banyak
menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal!
Di lain fihak, It-gan Kai-ong
juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang
pilihan, bahkan telah mengerahkan sin-kangnya yang simpanan, namun tetap tak
mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apalagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia
menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan
licik ke arah muka Empek Gan.
“Heh, jembel busuk!” Empek Gan
memaki, pena bulunya mengebut dan.... air itu menyambar kembali ke arah
tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong
memang tidak bermaksud menggunakan “ilmu” meludah ini yang ia tahu takkan ada
gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk
melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya
melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin
dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang
menyerang ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa....!” Gan-lopek berseru
terkejut. Baru kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia
memaksa diri untuk menangkis dan mengerahkan lwee-kangnya, namun tetap saja
ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti
angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu
bahwa inilah ilmu yang telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab
rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu, yaitu kitab yang separoh terampas
olehnya sedangkan separohnya lagi terampas oleh Hek-giam-lo. Tadinya It-gan
Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san
dan berhadapan dengan anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai yang lain, hendak
menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena
Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya,
It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!
Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu
itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan
Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak
tahu akhir. Lawannya sudah “tertawan” oleh daya serangannya, sudah ikut
berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan
merobohkan lawan. Betapapun juga, dalam keadaan berpusing seperti itu, banyak
lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek dan dengan terkekeh-kekeh beringas
It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada
lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!
“Trakkkkk....!” Tiba-tiba
segulung sinat kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang
menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek, jangan takut,
biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kaucoret-coret mukanya dengan tinta
hitam putih!”
It-gan Kai-ong kaget sekali
karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang
yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia
terbelalak heran dan matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi
ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya
seorang gadis remaja yang bukan lain adalah Lin Lin.
Lebih-lebih kaget dan herannya
ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya. Pedang Besi Kuning, menerjang
dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang
rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu, tidak berapa
kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu, kesalahan
menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan
melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung
pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan
yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk! Baiknya
It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya
ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan.... air ludahnya
muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata
sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya
menangkis pedang yang agak terlambat oleh tangkisan air ludah tadi.
“Wah, kotor! Keparat busuk,
manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka....!” Lin Lin melompat mundur dan
menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang
menempel di situ!
Adapun It-gan Kai-ong yang
merasa kaget sekali menyaksikah gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia
dikeroyok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, aken tetapi sebagai
seorang manusia iblis tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan
dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya berada di fihak lemah, ia cepat
menggunakan kesempatan selagi Lin Lin ribut membersihkan peding, untuk melesat
pergi sambil berseru.
“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap
dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!”
“Dia curang, dia licik, main
kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata,
“Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan para iblis
itu?”
Sejenak, seperti juga It-gan
Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin
Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya
jerih menghadapi seorang nona!” Kemudian kegembiraannya mereda ketika ia
teringat akan muridnya.
“Nona yang baik, muridku
terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari bantu aku
mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin
mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni
jurang dengan hati-hati melalui jalan memutar yang tidak begitu terjal.
Jurang itu amat curam dan betapapun pandainya, seorang manusia biasa yang
tidak pandai terbang seperti burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa
memilih jalan memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih
kemudian baru mgreka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai
mencari-cari. Namun tidak ada jejak maupun bayangan Lie Bok Liong!
Ke manakah pemuda yang tadi
terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur
terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi?
Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan
yang menyelamatkan nyawanya.
Ketika tubuhnya terjungkal dan
melayang turun dengan kecepatan mengerikan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia
tentu akan tewas. Namun sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia menggigit
bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua
tangannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak
dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya melihat
bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat memusingkan
kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan batu menonjol
terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu adalah pundaknya dan
kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa kepalanya
seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi gelap,
ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.
Ia tidak tahu betapa sebelum
tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang
berseru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan
kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran
tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke
atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun
kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.
Hanya sebentar Bok Liong
pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah
semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang
jatuh. Kiranya ia sudah duduk di atas batu, ketika ia bangun. Dan tak jauh dari
situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak
hancur, biarpun ada luka-luka sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi
heran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi
bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.
“Heeeiii, Nona, tunggu....!”
Gadis itu menengok sebentar,
akan tetapi lalu lari pergi.
“Eh, kau Sian Eng....!” Bok
Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di
pundaknya, dan melompat lari mengejar. Biarpun hanya sekali menoleh, ia
mengenal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja
bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok
Liong berhenti termangu-mangu.
“Aku tentu sudah mati.... dan
agaknya Sian Eng juga sudah mati.... tentu ini alam baka....” pikirnya sambil
duduk di atas batu kembali.
Akan tetapi, sedikit demi
sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya
masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam
jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang
membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana, ia tidak terbanting
remuk, agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini
terjadi. Sian Eng cukup ia kenal, tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula
kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya, malah jauh lebih
rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana carahya? Dan andaikata
benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus
pergi dan mengapa ada bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya
halus peramah itu?
Ketika teringat lagi bahwa
It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin sekali kakek itu akan mencari jalan
ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri
dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya,
hanya luka kulit dan daging di bahu saja.
Inilah sebabnya mengapa Lin Lin
dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal
ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan
diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.
“Eh-eh, mengapa kau menangis?”
Gan-lopek bertanya heran.
Lin Lin tidak menjawab, terus
menangis keras dan akhirnya dengan kata-kata bercampur isak ia berkata.
“Kasihan.... Liong-twako.... tentu telah hancur lebur.... ah, Liong-twako kau
orang yang amat baik.... mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak
ada kuburnya.... ah, Liong-twako....!” Lin Lin menangis makin keras karena
memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.
“Hush, bocah tolol, kenapa kau
bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”
Seketika terhenti tangis Lin Lin
dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si
kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong
muridnya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta muridnya.
Melihat pandang mata Lin Lin
penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek
segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan
bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini,
biarpun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging
atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat
tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat,
entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan
tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di
saat itu.”
Bukan main girangnya hati Lin
Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun
dan merangkul kakek itu dan.... menangis lagi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa
kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan
hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini.
Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini
diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat
muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang,
melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk tangan sebelah, cinta
kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan
diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun
tertawa, girang bukan main karena ternyata calon “mantu murid” ini memiliki
watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang
sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang
lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau
mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti dulu. Kenapa kau
tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara
ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi
yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin akhirnya dapat
menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan
ujung lengan baju, gadis ini berkata.
“Banyak sekali hal yang patut
membikin aku tertawa, Kek.” Tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada
Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira kau tertawa
saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang pertama kali
memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu,
Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal
ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik
terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu hal apalagi yang
membikin kau tertawa selain hal yang kausebutkan tadi?”
Kembali Lin Lin tertawa dan tak
segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke
sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin
tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin
terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia
akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali
ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung
khi-kang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan
jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak
menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khi-kang dan
sin-kangnya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan
terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang
lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari daser jurang membubung naik
sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat
mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi
melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena
keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang
kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan
sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air
dan sukar keluar!
“Stop....! Stop....!” Akhirnya
Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan
hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk
“mendorong” gadis itu dalam “pergulatan” tenaga suara yang kalau dilanjutkan
akan berbahaya itu. Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah
mereka daripada pertandingan khi-kang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang
dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara
sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa
murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, “kau
hebat, Kek!”
Si tua menarik napas panjang,
mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk.
“Siapa bilang aku hebat? Tidak,
anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau.... ah,
hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir
aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku
si tua bangka, yang biarpun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”
Lin Lin kaget. “Ah, mana mungkin
aku mencelakakanmu, Kek? Andaikata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku
mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor
semut melawan gajah!”
“Huh-huh, kadang-kadang si semut
berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak
baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi
kepandaianmu tidak seperti yang kauperlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki
ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin benar-benar merasa
heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga
bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya
yang tadi mendatangkan khi-kang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget
setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas,
Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.
“Kakek Gan, kau orang tua harap
jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek
dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi
petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan
berguna!”
Empek Gan tertawa. “Wah,
boleh.... boleh.... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua
mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak
demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba terdengar “ayam
berkokok” dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.
“Tunggulah, Kek. Betapapun juga,
aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut
perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama
kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali. Di dalam
hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk
menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk
Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia
segera menggunakan kecerdikannya untuk “mengambil hati” melalui perut lapar
Kakek Gan.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan
Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong
Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar
dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.
Siapakah gadis itu sesungguhnya?
Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian
Eng! Akan tetapi, kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat
tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas
jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar
biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan dan pengalaman
Sian Eng.
Telah kita ketahui bahwa Sian
Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk memasuki
lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan
tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian
Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang
agaknya telah dipasang orang sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu
tanpa dapat mencari jalan keluar karena jalan keluar satu-satunya hanya
mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan
ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu
ini!
Di bagian depan cerita ini, kita
tinggalkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar
kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya.
Setelah roboh dan merasa betapa
kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri
yang bercampuran dengan sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang
kecil itu mendatangkan rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke
mari, menjerit-jerit seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian
dan ketakutan itu timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang
secara aneh membuat ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru. Sian Eng meloncat
bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel
di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala
binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan mengisap darahnya. Rasa
sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan
sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!
Pergulatan menyeramkan di gelap
ini seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan
membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi
pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah
lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat
berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena
penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi
tiada hentinya ia membunuh kelelawat dan bahkan mulai makan dagingnya dan
minum darahnya.
Semalam suntuk Sian Eng
bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan entah sudah
berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya. Akhirnya malam
pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya memasuki ruangan.
Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng
juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di atas bangkai-bangkai
kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari
darah yang keluar dari luka-lukanya.
Sehari penuh Sian Eng
menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah
itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi
setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap, kelelawar-kelelawar
kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian Eng seperti dibangunkan
dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang hanya “hidup” di waktu
malam, ia bangkit lagi dan seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan
dengan kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas
sekali. Kembali Sian Eng menjadi korban gigitan, akan tetapi anehnya
gerakan-gerakannya lebih tangkas dan lebih ganas daripada kemarin. Kini lebih
banyak lagi kelelawar yang mati, dan lebih banyak lagi yang darah dan dagingnya
memasuki perut Sian Eng! Kembali semalam suntuk terjadi perang kecil yang ganas
mengerikan di dalam ruangan gelap, akan tetapi kali ini Sian Eng kelihatannya
makin kuat saja sehingga menjelang pagi, binatang-binatang itu mulai gentar dan
hanya satu dua ekor yang berani menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng
menangkapnya, merobeknya menjadi dua dan mengisap darah yang menyembur keluar.
Agaknya rasa darah, sakit hati, dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng
berubah seperti seorang kuntilanak! Anehnya begitu sinar matahari menerangi
ruangan, Sian Eng baru merasa lemas dan letih, lalu terguling dan menggeletak
telentang setengah telanjang di atas “kasur” terbuat daripada bangkai kelelawar
yang bertumpuk-tumpuk.
Seperti juga kemarin, sehari
penuh Sian Eng tidur setengah pingsan. Luka-luka kecil di kulitnya yang putih
kuning dan halus, yang kemarin tampak berbintik-bintik merah, kini mulai
menghilang, akan tetapi tubuhnya sebentar terasa panas membara, sebentar
kemudian dingin seperti salju!
Memang terjadi sesuatu yang
hebat pada diri gadis ini. Kelelawar-kelelawar itu ternyata adalah sebangsa
kelelawar yang beracun, yang biasanya sekali menggigit orang tentu meninggalkan
racun yang akan cukup merampas nyawa orang itu dalam waktu dua tiga hari.
Sedangkan Sian Eng telah menerima gigitan yang bertubi-tubi dari
kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas yang disertai kemarahan sehingga racun
yang jahat dan berbahaya banyak sekali memasuki tubuh dan meracuni darahnya.
Akan tetapi, secara kebetulan sekali keadaan yang mengerikan itu membuat Sian
Eng menggila dan mengganas, membuat ia marah dan makan daging kelelawar serta
minum darahnya. Justeru inilah yang menjadi obat penawar, obat penawar yang
tiada keduanya di dunia ini! Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri,
selain dapat mengisi perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah
mengobati dirinya sendiri. Tidak saja mengobati dan menghalau bahaya dari
racun gigitan kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah
memasukkan sumber tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung
hawa panas, yang biasanya akan menghanguskan jantung, mengeringkan darah,
sebaliknya, racun penawar yang terdapat dalam daging dan darah kelelawar itu
mengandung hawa dingin.
Kini mulailah kedua racun yang
bertentangan itu bekerja, bertempur mati-matian di dalam tubuh Sian Eng,
membuat gadis ini dalam keadaan tidak sadar sebentar kepanasan sebentar
kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang harus masih
hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapapun aneh dan tak mungkin tampaknya
jalan itu di mata manusia. Demikian pula dengan halnya Sian Eng. Nyawanya
tergantung di ujung sehelai rambut. Hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya,
hanya Tuhan yang memutuskan mati hidupnya. Dua macam racun yang memasuki
tubuhnya, yang satu lewat luka-luka gigitan yang ke dua lewat mulut, adalah
racun-racun yang amat berbahaya dan terlalu banyak masuk ke tubuhnya. Kini
kedua macam racun yang mempunyai kekuatan bertentangan itu saling bertanding,
saling dorong untuk menguasai tubuh Sian Eng yang akan berakhir dengan maut
jika satu di antara kedua racun itu kalah! Hawa panas dan dingin saling desak,
kuasa-menguasai. Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa ini, akan tamatlah
riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang ini. Namun, seperti
sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki riwayat gadis ini tamat,
karenanya secara ajaib sekali, kedua macam racun itu KEBETULAN memiliki
kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur dan lenyaplah daya merusak, bahkan
sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng, kedua macam racun itu bercampur dan
lahirlah semacam daya tenaga mujijat yang membuat sin-kang (hawa sakti) di tubuh
gadis ini naik beberapa puluh kali lipat!
Tidaklah mengherankan apabila
gadis itu bergerak bangun setelah hari kembali menjadi gelap, yaitu pada malam
ke tiga, gadis itu merasa tubuhnya ringan dan nyaman sekali, sama sekali tidak
ada rasa sakit lagi, yang ada hanya rasa hangat yang menyenangkan. Selain ini,
lenyap pula rasa takut dan rasa ngeri. Bahkan ia tertawa-tawa ketika mendengar
sambaran kelelawar-kelelawar yang untuk ketiga kalinya kini mulai hendak
menyerbu musuh yang ulet itu.
Sian Eng merasa betapa sambaran
binatang-binatang itu amat lambat dan lemah. Dengan mudahnya ia menyentil
dengan kuku-kuku jarinya. Sekali sentil saja remuklah kepala kelelawar yang
menyambar ke arahnya. Ketika banyak sekali binatang itu mulai menyerbu, Sian
Eng kewalahan juga dan terpaksa membiarkan satu dua ekor menggigit tubuhnya
yang setengah telanjang itu. Akan tetapi, terjadilah keanehan. Gadis ini sama
sekali tidak merasakan nyeri ketika tergigit, sebaliknya, kelelawar yang
menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh dan berkelojotan terus mati! Tentu saja
hal ini tidak tampak oleh Sian Eng, akan tetapi sejam kemudian, tidak ada
seekor pun kelelawar yang menyerangnya lagi. Binatang-binatang itu hanya
beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan, seakan-akan mereka kini mengakui bahwa
manusia yang tiga malam berturut-turut dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan
patut menjadi ratu mereka.
Sian Eng terbebas daripada
ancaman maut oleh racun-racun berbahaya itu. Akan tetapi agaknya pengaruh
racun-racun itu mempengaruhi juga otaknya. Setidaknya tentu mengubah
kesempurnaannya, mengganggu dan membuat Sian Eng menjadi seorang aneh.
Kadang-kadang ia tertawa sendiri kalau menangkap kelelawar untuk dimakan,
kadang-kadang ia menangis karena teringat akan Suma Boan. Malam ke tiga itu diisi
dengan tawa dan tangis berganti-ganti.
Pada keesokan harinya, Sian Eng
dapat bergerak dengan gesit dan pikirannya juga menjadi terang. Teringatlah ia
bahwa ia terkurung di situ, terkubur hidup-hidup. Pikiran ini menggerakkan
semangatnya dan ia menghampiri batu penutup lubang. Dicobanya tenaganya untuk
membongkar batu itu, untuk mondorongnya kembali. Ia merasa betapa dalam
tubuhnya bergolak hawa yang amat kuat, yang terasa panas sekali. Ia mengerahkan
tenaga, hawa panas meningkat, batu bergoyang, akan tetapi tiba-tiba hawa panas
itu berubah menjadi hawa dingin dan.... Sian Eng roboh pingsan dan batu itu
kembali menutup lubang!
Setelah siuman kembali, Sian Eng
mencoba dan berkali-kali ia pingsan hanya karena perubahan hawa di dalam
tubuhnya. Akhirnya ia maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat hawa yang aneh,
yang kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, akan tetapi yang demikian hebat
sehingga ia tidak mampu menguasainya dan kalau ia memaksa terus mengerahkan
tenaga yang aneh itu, tentu akhirnya ia akan mati terpukul sendiri. Karena
inilah Sian Eng lalu mencari jalan lain. Ia memeriksa seluruh dinding, seinci
demi seinci, diperiksanya teliti sekali. Namun hasilnya sia-sia dan sementara
itu, karena ia belum dapat menguasai dua macam hawa di tubuhnya, berkali-kali
Sian Eng roboh pingsan.
Akan tetapi pada suatu hari,
kurang lebih lima hari semenjak ia terkurung di situ, usahanya berhasil. Ia
mulai memeriksa lantai. Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya dan
akhirnya ketika ia mendongkel sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah lubang
yang lebarnya ada dua kaki persegi. Mendadak dari dalam lubang itu meluncur
keluar seekor ular yang kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar, ular itu
menerjang ke atas dan tanpa dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian Eng kena
digigit. Sian Eng menjerit dan mengerahkan tenaga. Karena ia belum menguasai
dua macam tenaga di tubuhnya, ia mengerahkan sekenanya saja dan kebetulan pada
saat itu, hawa dingin di tubuhnya yang lebih kuat maka seketika pengerahan
tenaga ini membuat lengannya yang tergigit ular itu terasa seperti berubah
menjadi es! Dan hebatnya, ular itu lalu melepaskan gigitannya,
melingkar-lingkar menggeliat-geliat dan tak bergerak lagi, mati! Sian Eng
menjadi tertarik sekali. Inikah tempat persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui?
Tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat
turun, ia berada di sebuah ruangan lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah
ruangan yang penuh bangkai kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui
lubang dua kaki tadi, cukup membuat ruangan itu menjadi terang. Di sudut
ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih tepat sebuah bangku batu yang
permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan bentuk pantat dan kaki orang yang
bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai duduk bersila orang yang bertapa
di sini. Akan tetapi, bagaimanakah sebuah bangku batu sampai cekung seperti itu
hanya karena diduduki orang saja, benar-benar merupakan hal yang luar biasa
sekali. Hanya bangku itulah yang terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada
apa-apa lagi.
Saking besarnya rasa kecewa dan
menyesalnya, Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku itu dan
menangis. Ia melihat betepa tapak kaki bersila itu kecil mungil, menggambarkan
kaki seorang wanita, maka ia merasa yakin bahwa tentu bangku ini menjadi tempat
bersila dan bertapa samadhi Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia
menangis karena teringat akan hubungannya dengan Tok-siauw-kui. Tok-siauw-kui
dahulunya adalah isteri ayahnya, Jenderal Kam Si Ek, yang kemudian pergi
meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu menikah lagi, dengan ibunya. Agaknya
Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya sehingga kini biarpun sudah
meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan sakit hartinya dan menghukum anak
dari wanita yang merebut suaminya!
“Bibi Liu Lu Sian.... mengapa
kau begini kejam? Mengapa aku yang kausiksa, padahal aku tidak berdosa
kepadamu? Bibi.... betapapun juga aku adalah anak tirimu.... kau pernah
mencinta ayah kandungku.... demi mendiang ayahku.... harap kautunjukkan jalan
keluar bagiku, Bibi....!” Ia menangis dan masih berlutut di depan bangku batu
itu. Kemudian ia teringat akan ayahnya dan menangis makin sedih.
“Ayah.... Ayah, kau tentu sudah
berkumpul dengan Bibi Liu Lu Sian.... bujuklah dia agar supaya anakmu ini
diberi petunjuk keluar dari neraka ini!” sambil menangis Sian Eng
membentur-benturkan kepalanya di atas lantai depan bangku.
Tiba-tiba terdengar bunyi
perlahan dan ternyata setiap kali Sian Eng membenturkan jidatnya di atas
lantai, bangku batu itu bergeser ke kiri, makin lama makin ke kiri sehingga
akhirnya tampaklah sebuah lubang di bawah bangku batu itu. Sian Eng terkejut
dan memandang dengan heran karena di situ terdapat sehelai kain kuning yang
menutupi sesuatu dan ditulisi dengan huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT
PENINGGAIAN LIU LU SIAN. Jantungnya berdebar keras dan tangannya sudah
digerakkan untuk meraih dan membuka kain kuning itu, untuk segera melihat
wasiat deri wanita sakti itu. Akan tetapi ia segera ingat bahwa benda-benda di
bawah kain kuning itu adalah milik Liu Lu Sian, dan bahwa wasiat wanita ini
mustahil ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak berani melanjutkan niatnya. Ia
tidak berhak! Akan tetapi selagi ia termenung, ia teringat akan tugasnya,
teringat akan kekasihnya, Suma Boan. Timbullah pertentangan dalam batinnya. Ia
adalah keturunan seorang gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal
sebagai seorang satria utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi
melakukan sesuatu yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayahnya sudah
menjejalinya dengan budi pekerti orang gagah. Akan tetapi di lain fihak, cinta
kasihnya terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.
Akhirnya kembali Sian Eng
berlutut di depan bangku batu tempat bersamadhi Tok-siauw-kui, membenturkan
jidatnya di lantai sambil berkata.
“Bibi Liu Lu Sian, mohon
perkenan bibi untuk mengambil sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi
kehendak kekasih. Mohon bibi sudi memberi ampun....” Tiba-tiba Sian Eng menghentikan
kata-katanya karena pada saat itu, dari dalam lubang tadi melayang keluar tiga
batang anak panah yang menyambar ke atas. Anak-anak panah itu lewat di depan
mukanya dan peninglah kepala Sian Eng mencium bau yang wangi memabukkan. Terang
bahwa anak-anak panah itu mengandung racun yang dahsyat dan andaikata ia tadi
melanjutkan niatnya membuka kain kuning, tentu anak-anak panah itu akan tepat
mengenai muka dan lehernya. Ia mendongak ke atas dan melihat anak-anak panah
itu menancap pada dinding batu, gagangnya bergoyang-goyang. Sian Eng bergidik
ngeri dan ketika ia memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain kuningnya
telah tersingkap dan di bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia yang tadi
menggerakkan tiga anak panah. Kiranya ketika ia membenturkan kepala di lantai
depan bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat rahasia yang
menggerakkan anak-anak panah itu sehingga ia selamat. Seorang yang begitu saja
membuka kain kuning tadi karena bernafsu memiliki wasiat, pasti akan menjadi
korban anak panah, betapapun pandainya, karena anak-anak panah itu menyambar
tak terduga-duga dan jarknya amat dekat.
Sian Eng memandang lebih teliti
dan ternyata selain alat-alat yang menggerakkan anak panah, juga di situ
terdapat tulisan yang terukir pada dasar lubang. Seperti tulisan di atas kain
kuning, tulisan yang terukir pada batu di dasar itu pun besar-besar, dan jelas,
berbunyi : YANG TAHU AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI MURIDKU. DUDUKLAH
BERSAMADHI DI ATAS BANGKU, HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.
Sian Eng bukan bermaksud hendak
menjadi murid Tok-siauw-kui, melainkan bermaksud untuk mencari kitab
peninggalan wanita sakti itu, untuk diberikan kepada kekasihnya. Karena
bukankah kitab-kitab ini akan menyenangkan Suma Boan dan seperti dijanjikan
oleh kekasihnya itu, setelah ia berhasil menemukan kitab-kitab itu mereka akan
pergi ke Cin-ling-san untuk merundingkan urusan perjodohan mereka dengan bibi
gurunya? Selain itu, ia tadinya tidak memiliki keinginan lain. Akan tetapi
setelah kini ia terkurung dan tidak mampu keluar, timbullah keinginannya untuk
mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Tok-siauw-kwi, sungguhpun hal ini hanya
dimaksudkan untuk membuat ia mampu keluar dari neraka ini. Karena itulah, maka
tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu naik ke atas bangku batu dan duduk bersila.
Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas
permukaan batu cocok benar dengan ukuran tubuh belakang dan kakinya,
seakan-akan sudah dicetak untuk dirinya. Kemudian ia teringat akan
Tok-siauw-kui yang muncul dan menggemparkan perayaan Beng-kauw. Memang ada
persesuaian dalam bentuk tubuh wanita sakti itu dengan dirinya. Mulailah Sian
Eng mengheningkan cipta, bersiulian (bersamadhi) di atas bangku itu yang
ternyata amat enak diduduki.
Akan tetapi sama sekali di luar
dugaannya bahwa hal ini akan membawa ia kepada hal-hal baru yang akan
mengubahnya menjadi seorang manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti yang
diajarkan ayahnya, duduk diam tak bergerak sedikit pun juga, mematikan raga.
Tanpa ia sadari, ia sudah duduk seperti itu selama setengah hari!
Tiba-tiba terdengar suara keras
dan kagetlah Sian Eng karena ia merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. Ketika ia
membuka matanya, benar saja, bangku batu itu sudah nyeplos ke bawah dan ia
sudah berada di dalam ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi. Ia segera turun
dan melihat betapa di ruangan ini terdapat dipan untuk tidur, terdapat meja dan
bangku, sedangkan di atas meja terdapat akar-akar dan buah-buah obat, juga di
sana-sini bertumpuk kitab-kitab kuno. Sedangkan di sudut kiri terdapat sebatang
pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang telanjang yang menancap pada
dinding batu karang sampai setengahnya!
Dengan hati berdebar-debar tidak
karuan Sian Eng memperhatikan cara bagaimana ia tadi dapat merosot ke bawah
bersama bangku yang didudukinya. Setelah mengadakan pemeriksaan, kiranya
bangku tadi dipasangi alat-alat yang halus sekali dan ternyata kehangatan
tubuhnya melepaskan minyak-minyak beku dan menggerakkan alat-alat yang
bergerak otomatis. Kalau saja tubuh orang yang bersamadhi tidak cocok dengan
lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kiranya alat itu takkan dapat berjalan.
Terang bahwa Tok-siauw-kui memang menghendaki seorang yang bentuk tubuhnya
menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk menjadi ahli warisnya! Dan
kini kitab-kitab pelajaran yang serba rahasia, yaqg dicari penuh kerinduan
oleh orang-orang di seluruh dunia kang-ouw, terletak di depan Sian Eng, tinggal
memilih saja!
Akan tetapi Sian Eng tidak
membutuhkan semua ilmu itu! Ia hanya ingin mempelajari ilmu untuk menghimpun
tenaga sakti agar ia dapat menggerakkan batu-batu penutup lubang, agar ia dapat
keluar dan ia akan membawa sebuah dua buah kitab ilmu untuk diberikan kepada
kekasihnya yang berada di luar gua. Karena kitab-kitab itu banyak sekali
macamnya, akhirnya ia dapat juga menemukan sebuah kitab yang mengajarkan ilmu
Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan Tangan Selaksa Kati). Ilmu ini mengajarkan
cara I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum), cara bersamadhi dan bernapas,
menghimpun tenaga sakti dan menguasainya. Segera Sian Eng bersamadhi dan
berlatih menurut petunjuk kitab ini. Sama sekali ia tidak mengira bahwa kalau
bagi orang lain harus memakan waktu berbulan-bulan untuk memetik buah latihan
ilmu ini, baginya hanya membutuhkan beberapa hari saja oleh karena di dalam
tubuhnya sudah terdapat dua macam hawa panas dan dingin yang amat hebat berkat
racun dari kelelawar. Berhari-hari Sian Eng tekun berlatih dan apabila ia
merasa lapar, ia menangkapi kelelawar untuk dimakam dagingnya. Untuk minum
tidaklah sukar karena dinding batu-batu karang itu mengandung air, dan di
sana-sini terdapat air jernih menetes-netes dari atas. Tentang akar-akar dan
buah-buah obat di atas meja, tidak ia perhatikan ketika ia membaca keterangan
di sampingnya bahwa obat-obat itu adalah obat untuk pelbagai luka pukulan dan
korban racun.
***
Demikianlah, tidak mengherankan
apabila dua pekan kemudian semenjak ia memasuki gua, Sian Eng sama sekali
tidak mendengar teriakan-teriakan Suma Boan yang menyusulnya dan
berteriak-teriak dari luar batu penutup lubang. Di waktu itu, ia sedang tekun
bersamadhi menyempurnakan sin-kang yang sudah terasa memenuhi tubuhnya. Dengan
girang Sian Eng mendapat kenyataan bahwa tenaga panas dan dingin yang
kadang-kadang menguasainya, yang membuatnya berkali-kali pingsan, kini dapat ia
kuasai sepenuhnya dengan cara yang diberikan oleh kitab itu.
Setelah merasa bahwa ia dapat
menguasai tenaga mujijat itu, Sian Eng menghentikan latihannya dan pada saat
itulah baru ia melihat gambaran di dinding, gambaran yang ada tanda-tanda
huruf kecil terukir. Ia segera memperhatikan dan bukan main girang hatinya
karena gambaran-gambaran itu merupakan tanda-tanda rahasia cara membuka dan
menutup pintu-pintu rahasia dan alat-alat rahasia lain yang dipasang di dalam
istana di bawah tanah ini. Cepat ia mencari rahasia batu besar yang menutup
terowongan dan kiranya rahasianya terletak pada batu itu sendiri. Di ujung
kanan atas dari batu itu terdapat bagian yang menonjol dan bagian inilah yang
harus dipukul tiga kali ke dalam.
Dengan hati amat girang Sian Eng
melompat melalui lubang itu ke bagian atas, kemudian sekali lagi ia menerobos
ke bagian paling atas melalui lubang. Ia tidak sadar bahwa gerakannya melompat
melalui lubang ini hebat dan ringan sekali, jauh bedanya dengan keadaan dirinya
sebelum memasuki tempat ini. Begitu memasuki ruangan paling atas, hidungnya
disambut bau yang amat busuk dari bangkai-bangkai kelelawar yang
bertumpuk-tumpuk di situ selama beberapa hari. Sian Eng menutupi hidungnya dan
dengan menahan napas ia lalu menghampiri batu penutup terowongan. Betul saja,
di bagian atas ujung kanan batu itu terdapat bagian yang menonjol. Ia mengepal
tangannya dan menghantam tiga kali.
Terdengarlah suara berkerotokan
dan.... dapat dibayangkan rasa gembira hati gadis itu melihat batu besar itu
bergerak dan masuk ke dalam dinding membuka jalan terowongan itu seperti
sediakala! Saking girangnya Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan
menangis tersedu-sedu. Kemudian ia teringat kembali kepada Suma Boan, maka
cepat ia melompat dan berlari-lari keluar melalui terowongan sambil
tertawa-tawa gembira. Tadi ketika keluar dari dalam kamar rahasia, ia telah
mengambil dua buah kitab kuno yang ia kira tentu akan memuaskan hati
kekasihnya, karena kitab-kitab itu adalah kitab ilmu pedang dan ilmu silat.
Kini dua buah kitab kuno itu berada di balik baju dalamnya.
Akan tetapi ketika ia tiba di
luar gua, di situ sunyi sekali tidak kelihatan bayangan Suma Boan. Pada waktu
itu, hari telah berganti malam, keadaan di luar gua gelap gulita.
“Suma-koko!” Sian Eng memanggil,
menyangka bahwa kekasihnya tentu sedang beristirahat di suatu tempat setelah
menanti-nanti kelurnya dengan hati kesal. Tentu kekasihnya itu merasa khawatir
sekali, mungkin sudah putus asa.
“Suma-koko!” Berkali-kali ia
memanggil sambil melangkah keluar. Namun tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba ia
mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Sian Eng cepat menggerakkan kakinya
mengejar. Juga kali ini ia tidak sadar bahwa gerakan kakinya cepat dan ringan
bukan main, dan bahwa ia telah berlari cepat sekali! Ini adalah berkat hawa
sakti di tubuhnya yang kini mulai dapat ia kuasai setelah ia memiliki Ilmu
Ban-kin Pek-ko-chiu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa Suma Boan baru saja keluar
dari dalam gua, dan bahwa pemuda itu hampir celaka oleh Liu Hwee dan Kauw Bian
Cinjin.
Setelah melaktikan pengejaran
dengan kecepatan mengagumkan, akhirnya ia dapat menyusul dua bayangan yang
berkejaran itu. Segera ia mengenal Liu Hwee yang mengejar Suma Boan! Ia tidak
mengenal apa sebabnya, maka diam-diam ia hanya mengikuti mereka.
Ketika tiba di luar hutan, Liu
Hwee mulai menyerang Suma Boan dengan senjata rahasia jarum perak, kemudian
karena pemuda itu terhalang larinya ketika mengelak, gadis puteri ketua Beng-kauw
ini cepat menerjangnya dengan senjatanya yang hebat, yaitu sepasang cambuknya
yang diganduli dua buah bola baja.
“Suma Boan manusia busuk, kau
hendak lari ke mana?” bentak Liu Hwee.
Suma Boan yang melihat bahwa
gadis ini hanya mengejar sendirian saja, menjadi marah dan timbul kembali
keberaniannya. Tadi ia melarikan diri karena gadis itu berdua dengan Kauw Bian
Cinjin, merupakan lawan yang amat berat. Sekarang, melihat gadis itu sendirian
saja, ia lalu membalikkan tubuh dan melawan sambil memaki.
“Bocah sombong, kau bosan
hidup!”
Seperti biasa, pemuda bangsawan
ini melawan dengan tangan kosong saja. Biasanya, menghadapi lawan muda,
biarpun lawan bersenjata, ia selalu mendapatkan kemenangan karena sebagai
murid It-gan Kai-ong, tentu saja ia memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi.
Akan tetapi kali ini ia berhadapan dengan puteri Beng-kauw! Pula, Lio Hwee
memegang senjata aneh yang amat berbahaya. Di samping ini, baru saja Suma Boan
mengalami hal-hal yang melelahkan dan menakutkan, sedangkan betisnya yang ia
potong dagingnya juga masih terasa sakit. Oleh karena semua inilah maka
sebentar saja ia terdesak hebat dalam pertandingan mati-matian itu. Cuaca
remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit, dan dua orang
ini bertanding mengandalkan ketajaman telinga, karena ketajaman pandangan mata
tidaklah dapat dipercaya dalam keadaan setengah gelap itu.
Betapapun Suma Boan mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi kecepatan senjata
cambuk di tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara bola-bola baja itu
menyambar pundaknya, Suma Boan mengeluh panjang dan terhuyung-huyung. Ia sudah
mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun tetap saja karena yang
diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka yang biarpun tidak
parah namun cukup membuat kedudukannya menjadi makin lemah.
“Siapa berani mengotori tempat
suci Beng-kauw, harus mati!” seru Liu Hwee dan senjatanya kembali menyambar,
kini mengarah kepala dan yang sebuah lagi menotok pusar. Serangan maut yang
agaknya sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan yang sudah
terhuyung-huyung.
Akan tetapi tiba-tiba menyambar
angin pukulan yang amat dahsyat dari samping, yang membuat sepasang bola di
ujung cambuk itu meleset arahnya, bahkan tampak bayangan orang yang cepat
menyambar cambuk itu dan sekali merenggut, cambuk itu terampas dari tangan
Liu Hwee! Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak menyangka-nyangka
sehingga senjatanya kena dirampas orang. Ia mengira bahwa yang datang
tentulah It-gan Kai-ong atau setidaknya tentu kawan Suma Boan yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur dan siap-siap menghadapi lawan
tangguh dengan tangan kosong.
Akan tetapi bayangan itu sudah
menyambar tubuh Suma Boan dan dibawa lari dari tempat itu! Lie Hwee menjadi
penasaran sekali, biarpun ia maklum bahwa lawan amat tangguh dan ia harus
berhati-hati, namun ia diam-diam mengikuti dan mengejar ke arah lenyapnya
bayangan yang membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan itu. Sayang
baginya, malam yang gelap membuat ia kehilangan jejak lawannya sehingga
akhirnya Lie Hwee hanya melanjutkan pengejarannya dengan kira-kira saja,
untung-untungan.
Sementara itu, bayangan tadi
membuang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa lari Suma Boan.
“Suma-koko.... kau terluka....?”
katanya sambil lari.
Sejenak Suma Boan tak mampu
menjawab. Tadi ketika ia sudah terancam bahaya maut di tangan Liu Hwee, ia
merasa girang dan heran karena tertolong oleh bayangan yang belum ia ketahui
siapa dia. Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia tahu bahwa
orang ini adalah seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak karuan, akan
tetapi yang memiliki kepandaian hebat sekali. Karena kehebatan gerak inilah maka
ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin Sian Eng memiliki kepandaian
sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia tidak dapat melihat wajah
gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis itu membuka mulut bicara,
ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian Eng! Tentu saja ia menjadi
bengong dan tak mampu menjawab. Pikirannya bekerja. Tentu terjadi sesuatu yang
hebat kepada diri Sian Eng, dan tentu selama dua pekan itu, Sian Eng telah
mempelajari ilmu yang sakti.
Suma Boan memang seorang yang
cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor oleh syakwasangka dan penuh tipu
muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis ini mengkhianatinya, setelah mendapatkan
ilmu lalu dimilikinya sendiri!
“Suma-koko.... hebatkah lukamu?”
kembali Sian Eng bertanya sambil melanjutkan larinya, karena gadis ini merasa
khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka.
Suma Boan pura-pura mengeluh
panjang, “Cukup hebat.... mengapa kau begitu lama baru muncul, Moi-moi? Dan
bagaimana hasilnya, dapatkah kau menemukan kitab-kitab itu?”
“Dapat.... dapat.... jangan
khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah kitab untukmu.” Tiba-tiba gadis ini
tertawa dan berdirilah bulu tengkuk Suma Boan. Suara ketawa ini tidak
sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi diam-diam ia girang bukan main.
“Mana kitab-kitab itu? Biarlah
aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar tidak gemetar.
“Nanti saja, kita lari dulu,
takut kalau-kalau dikejar musuh.”
“Katakan saja di mana, aku yang
akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.
Kembali Sian Eng tertawa geli,
“Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di balik.... baju dalam dan....” Tiba-tiba
suaranya terhenti dan gadis itu roboh lemas. Kiranya Suma Boan telah menotoknya
dengan tiba-tiba. Karena yang ditotok adalah tong-cu-hiat di belakang leher dan
thian-hu-hiat, maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak dapat mengeluarkan
suara lagi. Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa betapa Suma Boan
meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang disimpannya di situ.
Terdengar pemuda itu berseru girang, mengantongi dua buah kitab itu lalu
menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari oleh Suma Boan,
dipondong di atas pundak!
Sian Eng memjadi kecewa dan juga
bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kekasihnya akan melakukan
perbuatan seperti ini. Saking marahnya, ketika ia berusaha untuk mengerahkan
tenaga, jalan darahnya yang berhenti itu membuat hawa sakti menyerang dirinya
sendiri dan ia pingsan seketika!
Ketika Sian Eng siuman dari
pingsannya, ia mengerang perlahan dan tubuhnya tidak karuan rasanya. Ia
memandang ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya berbaring telentang di atas
sebuah dipan di dalam kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya sebuah
perahu besar yang berlabuh di pinggir. Melihat kamar yang bersih dan indah ini,
tentu ia berada di sebuah perahu yang mewah. Sinar matahari yang memasuki
jendela kamar perahu menandakan bahwa malam telah berganti pagi dan hawa pagi
itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa segar bahkan merasa tidak enak
sekali. Kagetlah ia ketika menengok dirinya. Ternyata pakaiannya yang
robek-robek semalam telah diganti pakaian indah bersih, pakaiannya sendiri yang
buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia memasuki gua. Seketika wajahnya menjadi
merah. Ia dapat menduga bahwa tentu Suma Boan yang mengganti pakaiannya.
Serentak ia bangkit dan ia menyeringai. Badannya terasa sakit-sakit.
Kemarahannya bangkit ketika ia teringat akan kelakuan Suma Boan semalam, yang
secara khianat telah menotoknya. Kemudian kecurigaannya timbul ketika ia
menyaksikan keadaan dirinya di pagi ini.
Tiba-tiba pintu kamar itu
terbuka dari luar dan masuklah Suma Boan. Pemuda ini berpakaian indah bersih
pula, wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng dengan senyum
lebar yang menambah ketampanan wajahnya.
“Isteriku yang manis, kau sudah
bangun?”
Bagaikan disambar petir Sian Eng
memandang terbelalak. Ucapan ini memperkuat kekhawatiran hatinya.
“Apa.... apa kau bilang....?”
Kemudian, pandang mata Suma Boan seakan-akan menceritakan semuanya, membuat
Sian Eng gemetar seluruh tubuhnya.
“Kau.... kau telah
melakukan....”
Suma Boan melangkah maju dan
memeluknya mesra. “Isteriku, kau isteriku yang tercinta. Sian Eng, kita telah
menjadi suami isteri dan.... aduhhh....!”
Suma Boan terlempar ke sudut
kamar karena dengan tenaga yang dahsyat sekali Sian Eng telah mendorongnya.
Sian Eng kini bangkit berdiri, matanya merah menyala-nyala, pipinya seperti
terbakar rasanya.
“Keparat biadab! Kau.... kau
berani....”
Suma Boan terkejut bukan main,
akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia tidak terluka. Ia
melangkah maju lagi dan membujuk dengan suara manis.
“Eng-moi-moi, kau kenapakah?
Bukankah kau mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu dengan
seluruh jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga kelak?
Aku.... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu sehingga
kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak tahan lagi.
Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”
“Keparat busuk!” Sian Eng memaki
dan bagaikan seekor singa betina ia menerjang maju. Suma Boan tentu saja tidak
mau membiarkan dirinya diserang, cepat ia mengelak, malah kemarahannya kini
bangkit. Memang sesungguhnya di hati putera pangeran ini tidak ada cinta kasih
murni terhadap Sian Eng, yang ada hanya cinta berdasarkan nafsu binatang
belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya terhadap Sian
Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia menafsir bahwa Sian Eng
telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah menjadi “isterinya” tentu Sian
Eng akan membuka rahasia ilmu itu kepadanya. Tentu saja di samping ini, juga
kelemahan batinnya terhadap kecantikan Sian Eng merupakan sebab yang kuat pula
sehingga di malam itu ia melakukan perbuatan biadab seperti binatang.
Kini dalam marahnya, Suma Boan
balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi daripada kepandaian Sian Eng, maka
sekali ia mengeluarkan jurus yang sulit, tangannya berhasil memukul pundak Sian
Eng, membuat gadis itu terjungkal.
“Kau hendak berlagak, ya? Mulai
sekarang kau harus mentaati segala perintahku, kalau tidak, kau akan kusiksa
sampai mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik kau tidak mau
terima!” Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah berhasil
merobohkan Sian Eng, Suma Boan melangkah maju.
Sian Eng rebah miring dan
menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini hampir membuatnya menjadi gila.
Rasa menyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati memenuhi kepalanya, membuat
kepalanya berdenyut-denyut, membuat tubuhnya sebentar panas sebentar dingin.
Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang dicintanya, yang dipujanya, yang
diharapkan menjadi suaminya kelak, memperlakukan dia seperti ini. Tiba-tiba
kemarahannya memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika
Suma Boan sudah melangkah dekat, ia siap-siap. Benar saja, Suma Boan yang
bermaksud hendak “menundukkan” Sien Eng mengangkat k&kinya menendang. Pada
saat itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat berdiri. Suma Boan tidak
bisa berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian Eng mengayun-ayun tubuh itu,
diputar-putarnya di atas kepala!
“Kuhancurkan kepalamu!
Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam keparat!” Sian Eng memaki-maki
sambil menangis dan air matanya bercucuran.
Suma Boan takut setengah mampus.
Ia berusaha untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan diri, namun kakinya yang
dicengkeram tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia tidak mampu meronta. Ia
mulai merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya meluncur keluar dua buah
kitab kuno. Melihat ini Sian Eng mendadak tertawa-tawa!
“Hi-hi-hi-hik! Untuk dua kitab
ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau tega menghancurkan harapan hidupku,
membuyarkan cita-citaku, membanting remuk kasih sayangku. Hanya untuk dua buah
kitab kuno, hi-hi-hik!”
Makin takutlah Suma Boan. “Sian
Eng.... Moi-moi.... kauampunkanlah diriku.... Eng-moi, ingatlah.... aku cinta
kepadamu, sungguh mati, biar aku bersumpah....!” Akan tetapi kata-katanya
tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.
Pada saat itu, terdengar suara
wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang menantang, “Bangsat
Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”
Sian Eng terkekeh makin geli.
“Dia memang laki-laki, akan tetapi laki-laki seperti anjing. Nah, terimalah!”
Ia mengayun tubuh Suma Boan dan melemparkannya keluar dari pintu.
Baiknya Suma Boan dapat
mengerahkan gin-kangnya sehingga ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan
dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Liu Hwee
yang berdiri di situ dengan sikap menantang. Mula-mula ia khawatir kalau-kalau
Liu Hwee datang bersama orang lain. Akan tetapi setelah mendapat kepastian
bahwa gadis puteri Beng-kauw ini hanya seorang diri, apalagi tidak bersenjata,
melainkan bertangan kosong dan bertolak pinggang di situ, hatinya menjadi
besar. Ia merasa malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau orang lain menyaksikan
keadaannya, benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan merasa terhina oleh
Sian Eng itulah maka kini kemarahannya ia tumpahkan kepada Liu Hwee.
“Perempuan keparat! Kau mau
apa?” bentaknya.
“Suma Boan mata-mata busuk. Mau
menghukummu, apa lagi?”
Suma Boan berseru keras dan
cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah Liu Hwee mengelak dan balas
menyerang. Suma Boan menyeringai karena merasa betapa kakinya yang tadi
dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan kaku, membuat gerakannya kacau.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, dalam hal kematangan ilmu silat,
kiranya Suma Boan lebih tinggi sedikit daripada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi
banyak macam ilmu dan sudah lebih banyak pengalamannya bertempur. Akan tetapi
pada saat itu, Suma Boan sedang merasa gelisah memikirkan keadaan Sian Eng.
Selain itu, ia pun masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih,
ditambah lagi cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa
meremukkan tulang kakinya. Oleh karena merasa kaku dan sakit-sakit kakinya,
segera Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu
Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Beracun). Ilmu silat ini ia warisi dari
It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Untuk mainkan ilmu silat ini, ia hanya
menggunakan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya, dipakai
menyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang remeh jari-jari ini, karena
ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung hawa pukulan beracun yang sekali
mengenai tubuh lawan dapat mengakibatkan maut datang menjemput.
Melihat datangnya serangan yang
mengeluarkan angin berciutan serta melihat uap hitam yang mengepul dari
jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw yang sakti maklum dan
dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu pukulan jahat dan ganas. Ia
tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji ini, cepat menggunakan gin-kang
dan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari mencari kesempatan
membalas. Ia maklum bahwa kalau tangannya sampai terbentur jari-jari itu, ia
akan terluka oleh racun berbahaya.
Suma Boan menjadi makin
penasaran dan melihat lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya, ia menjadi
makin ganas. Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke manapun juga
Liu Hwee mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka sehingga
pemuda itu kehilangan kegesitannya. Andaikata tidak demikian, agaknya tidak
mudah bagi Liu Hwee untuk dapat menyelamatkan diri.
Pertandingan ini berjalan
setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak lelah. Memang ia sudah lelah
sekali, dan kakinya makin sakit. Namun berkat ilmu pukulannya yang dahsyat dan
keji, Liu Hwee belum sempat membalas dan selalu menyelamatkan diri. Hal ini
dimengerti oleh Suma Boan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan seperti
harimau ia mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak mempedulikan
rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali dan ia betul-betul terdesak ketika
ia mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak sampai di ujung perahu dan
agaknya tidak ada jalan keluar lagi baginya.
“Ha-ha-ha, bocah sombong. Ke
mana lagi kau akan lari?” Suma Boan mengejek, lalu menerjang maju dengan
tusukan kedua jari tangan kanannya sambil memekik, “Hiaaaaattttt!” Hebat bukan
main serangan ini dan Liu Hwee sudah berada di pinggir perahu, kalau ia
melompat ke belakang tentu ia akan jatuh ke dalam air!
Namun gadis yang tenang dan
gesit gerakannya ini dapat melihat bahwa betapapun hebat dan berbahayanya
serangan lawan ini, ia dapat melihat bahwa Suma Boan sudah kehilangan
kecepatannya. Maka dengan tenang dan tabah ia miringkan tubuh secepat kilat
setelah ujung kedua jari berbahaya itu sudah mendekati dadanya. Kedua ujung
jari itu lewat hampir mengenai bajunya dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan
kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan
hilang kagetnya menyaksikan gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang
perkasa itu telah mengerahkan tenaga, serentak menarik dengan lwee-kang
sepenuhnya sambil menggerakkan dan melepaskan lengan itu. Suma Boan memang
sudah lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apalagi ia tidak mengira sama
sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan melakukan perbuatan ini.
Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat, tubuhnya yang ketika
menusukkan jari tadi memang sudah condong ke depan dan kaki kanannya juga
terangkat ke depan, tak dapat ia pertahankan lagi, terlempar dan....
“byurrrrr!” air sungai muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh Suma Boan yang
cukup berat.
Liu Hwee yang memang curiga
bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw, cepat memasuki
bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia.
Ia memeriksa cepat dengan pandang matanya, namun tidak mendapatkan sesuatu
yang penting. Lalu ia melompat keluar lagi, juga tidak melihat Suma Boan.
Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam ke dalam sungai. Gadis ini lalu
menggerakkan kedua kakinya melompat ke darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun
merasa lelah sekali karena semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan
pertandingan tadi sudah memeras banyak tenaganya.
Tentu saja tidak benar dugaan
Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai. Pemuda bangsawan ini
terlalu cerdik dan licin untuk dapat ditewaskan secara begitu mudah. Karena
maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah seperti itu tak mungkin ia dapat
melakukan perlawanan lagi, pula karena khawatir kalau-kalau Liu Hwee menanti di
pinggir perahu dan siap menyerangnya dengan serangan maut apabila ia hendak
kembali ke perahu, Suma Boan lalu menyelam dan bersembunyi di bawah perahu
dengan hanya mengeluarkan hidung dan mulutnya di permukaan air. Dari bawah ia
melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya terdapat
orang bergin-kang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap Sian Eng
membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi, goyangan perahu hanya sebentar
saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka Suma Boan lalu naik ke
perahu, melalui tambang yang tergantung ke bawah. Dengan hati-hati ia melompat
naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada bahaya mengancam. Terhadap Liu Hwee
ia tidak begitu takut, akan tetapi ia ngeri memikirkan sepak terjang Sian Eng.
Namun di perahu itu sunyi saja,
tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan berindap-indap memasuki kamar
perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya serasa tertusuk, penuh
kekecewaan, penasaran, dan kemarahan. Tak perlu ia mencari lagi. Terang bahwa
dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan kemudian ia rampas, ketika tadi
jatuh dari dalam saku bajunya, telah diambil kembali oleh Sian Eng yang
sekarang telah pergi entah ke mana!
“Perempuan laknat!” Suma Boan
menyumpah-nyumpah sambil menanggalkan pakaiannya yang basah untuk diganti
dengan yang kering. Kemudian ia duduk di atas dipan dan termenung. Sian Eng
telah ia nodai dan ada dua akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini.
Pertama, gadis itu akan merasa menjadi isterinya walaupun tidak sah dan inilah
yang ia harapkan ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apabila begini
akibatnya, tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang
menyerahkan diri dan kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya
dengan sah agar kitab-kitab itu dan terutama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng
dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi akibat ke dua
mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama sekali, dan gadis
itu akan merasa sakit hati kepadanya lalu memelihara dendam kesumat yang tiada
habisnya terhadap dirinya. Memikirkan akibat ke dua ini, Suma Boan bergidik.
“Dua buah kitab itu telah
kulihat sepintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan yang sebuah
lagi ilmu pedang. Akan tetapi Sian Eng telah memiliki tenaga kecepatan dan
gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mungkin ia pelajari dari dua buah
kitab itu, apalagi hanya dalam waktu dua pekan. Agaknya banyak rahasia aneh di
dalam gua itu. Aku harus memberi tahu suhu.... ah, tidak, kalau suhu yang
menemukan semua itu, tentu takkan diberikan kepadaku....” Demikianlah, Suma
Boan melamun dan memeras pikirannya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
mencari kesempatan baik dan kalau kesempatan ini terbuka, ia sendiri yang akan
menyelidiki ke dalam gua. Akan tetapi untuk itu ia harus membuat persiapan.
Sebelum melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia harus menemui gurunya dan
kebetulan gurunya akan membuat pertemuan di puncak Thai-san. Maka berangkatlah
Suma Boan ke arah Thai-san.
Adapun Sian Eng, setelah
melempar keluar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar dua buah kitab
dan selagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia mempergunakan kesempatan
itu untuk melesat keluar dari jendela bilik perahu, terus melompat ke darat dan
melarikan diri sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Akan tetapi,
kadang-kadang ia tertawa dan memaki-maki diri sendiri. Mulai saat itu, apabila
teringat akan nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian Eng menjadi
berubah tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa berganti-ganti. Tujuan
hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal
ihwalnya ini, untuk mengadukan penasarannya dan mohon kepada kakak tirinya
untuk membalaskan dendamnya. Akan tetapi apabila ia dalam keadaan tenang, ia
hanya menangis perlahan dan termenung-menung, akan tetapi sifat liar itu
lenyap. Dengan cepat Sian Eng yang pernah mendengar tentang niat Suling Emas
mewakili ibunya ke Thai-san, juga menyusul ke Thai-san untuk bertemu dengan
Suling Emas.
Demikianlah, setelah tiba di
lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia yang berada di bawah jurang melihat
orang jatuh meluncur dari atas. Betapapun berubahnya watak Sian Eng, melihat
orang terancam maut ini, tak dapat ia berpeluk tangan, timbul sifat satria
keturunan ayahnya. Ia lalu mempergunakan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan
ternyata ia berhasil menolong Bok Liong. Ketika melihat bahwa yang ia tolong
adalah Lie Bok Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya karena ia merasa
bahwa ia telah menjadi seorang yang terhina, maka tanpa banyak cakap ia lari
meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki puncak dengan
kecepatan luar biasa.
***
“Bagus, bagus sekali!
Heh-heh-heh-heh!” Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di lain
bagian dari lereng Gunung Thai-san, keluar dari sebuah hutan yang penuh pohon
pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan tumbuh-tumbuhan
obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.
“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita
pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul tambur dan canang, tentu
kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!” Suara itu berteriak-teriak lagi
kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek
lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek. Dia berdiri menari-nari kegirangan,
mengangkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang
sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada dua
batang pohon di kanan kiri. Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan bersilat di
atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat dengan gesit dan dengan
pengerahan gin-kang yang luar biasa. Kini gadis itu dengan kedua kakinya
dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya berayun-ayun dan berputar-putar
seperti baling-baling pesawat terbang!
Mendengar ucapan terakhir dari
Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bangga dan girang akan pujian-pujian
itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek
sambil bertolak pinggang dan mulutnya cemberut.
“Apa kaubilang, Kek? Kau mau
anggap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini
memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya jinjit (berdiri di ujung jari)
sambil berkata lagi, “Hayo kaulayani hasil latihanku, Kek!” Setelah berkata
demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua
tangannya diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan
ke depan, mengarah dada Gan-lopek.
“Ehhh, jangan....!” Gan-lopek
kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan
ketika mendengar desir angin yang dahsyat keluar dari pukulan gadis itu. Hawa
pukulan yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan.... “kraaakkkkk!”
patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!
“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek
melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuhku, bocah liar?”
Sejenak Lin Lin sendiri tertegun
menyaksikan hebatnya akibat pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang
sekali, menghampiri dan merangkul pundak si kakek sambil tertawa-tawa.
“Masa aku hendak membunuhmu,
Kek? Andaikata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”
“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang
main-main, Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau
sudah berhasil. Selamat, selamat....”
“Kek, banyak terima kasih.
Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai
tenaga sin-kang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih
ilmu-ilmu pukulan ini.”
“Hemmm, entah iblis mana yang
sudah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biarpun kau tidak memberi tahu dan
aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kaulatih ini
adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang dimiliki
Thian-te Liok-koai. Mengerikan!” Tiba-tiba empek ini meloncat dan memukul-mukul
kepalanya sendiri. “Wah-wah-wah, keenakan bersenang-senang dengan gadis cantik
di hutan ini sampai lupa bahwa waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak,
jangan-jangan kita akan terlambat menonton pertunjukkan yang terhebat di kolong
langit!” Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan
diseretnya diajak lari cepat. Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut
lepas tangannya dan berkata.
“Kakek Gan, hayo kita berlumba
lari cepat ke puncak!”
Maka berlari-larilah kakek dan
gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat bukan main,
berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum bukan main,
mulailah ia meragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia melihat
sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan
muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.
Sementara itu, dalam benak Lin
Lin timbul pikiran lain daripada yang dipikirkan Gan-lopek. Gadis ini
memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia selalu memikirkan Suling Emas
dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah dan penasaran karena
Suling Emas meninggalkannya dan seperti marah-marah kepadanya padahal ia
memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas. Mengapa
Suling Emas marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan
yang hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu
bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan
yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas?
Perempuan macam itu harus dibunuh! Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah
hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada
tentu.... dirinya! Berpikir sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia
menarik napas panjang, pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung
perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi
wajahnya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu
dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah
perutnya memikirkan hal ini.
Selain marah dan penasaran
terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir dan gelisah. Oleh
karena itu, ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling Emas. Maka
setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak terbang agar
dapat cepatcepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan hatinya. Sama
sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh
Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.
Baik kita tinggalkan dulu Lin
Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat menuju puncak itu untuk sejenak
menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama kita tinggalkan.
Ketika Suling Emas menyaksikan
dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan
kuburan mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya
perasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang
merupakan malapetaka besar. Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya, sudah
dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara mereka sendiri
yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan Lian dan dia. Akan tetapi
agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit
bahwa gadia baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka
dua belas! Dan Tan Lian bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh
isteri dan anak-anaknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur
hati Suling Emas, betapa duka dan menyesalnya. Akan tetapi percobaan yang
menimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan
menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya. Pukulan yang dahsyat itu tak
bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan Pat-jiu Sin-ong,
hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja tahulah Suling Emas bahwa ia
tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian. Tak seorang pun di dunia ini
akan mampu, kecuali tentu saja di Raja Obat di lereng Thai-san. Maka tanpa
banyak cakap lagi ia lalu memondong tubuh Tan Lian dan setelah menegur Lin
Lin, ia melesat pergi meninggalkan Lin Lin. Ada tiga hal yang membuat ia
sengaja meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka
hebat, yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng
Thai-san, ke dua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan
para anggauta Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ke tiga adalah karena ia sengaja
hendak menjauhi Lin Lin! Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus
melakukan perjalanan bersama gadis itu. Gadis remaja itu secara jelas sekali
membayangkan kasih sayang kepadanya, membayangkan cinta berahi dan agaknya
mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang
amat ia khawatirkan. Dekat dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai
bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang mendatangkan rasa suka
di hati, mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya untuk mempertahankan
hati. Lebih berat daripada menghadapi seratus orang lawan tangguh. Ia maklum
bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal
takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu cantik jelita,
dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak
yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak
ternoda sedikit pun kekotoran duniawi. Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan
Lin Lin, akhirnya sifat egonya (mementingkan diri sendiri) akan mengalahkannya,
dan kalau sudah terjadi demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan
hatinya dengan Lin Lin, sebagai pengganti Suma Ceng. Akan tetapi, bukanlah
demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin Lin.
Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu tua
untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apalagi
setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menyeret
orang lain, apalagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang
mengerikan itu.
Demikianlah, dengan batin
menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui
bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini merasa
rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya kalau
perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi. Suling Emas yang berpandangan
luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian secara
demikian ganas. Sebagai seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa
Lin Lin melakukan hal itu dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah,
Lin Lin mencintanya! Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin
Lin ikut pula mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian
mencinta Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah
sebabnya mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena....
cemburu pula!
Ketika berhenti sebentar di
pinggir sebuah sungai kecil di luar hutan, untuk sekedar menyegarkan tubuh dan
minum, Tan Lian mengerang perlahan dan membuka matanya. Gadis itu dibaringkan
oleh Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera menghampiri.
“.... kau....?” Tan Lian
terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan,
seakan-akan meragukan pandang matanya, serasa dalam mimpi.
Suling Emas menggerakkan tangannya,
mencegah gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia lakukan ini
karena begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan tidak kuat bangun.
“Kau terluka hebat, harap jangan
bergerak! Aku sedang membawamu ke Thai-san, untuk minta pertolongan Kim-sim
Yok-ong (Raja Obat Berhati Emas). Kau tenanglah. Tan-siocia (Nona Tan), kurasa
Yok-ong akan mampu menyembuhkanmu.”
Tan Lian nampak gelisah.
“Kau.... kau mendengar semua....?”
Suling Emas dapat menduga apa
yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik napas panjang, mengangguk dan berkata
halus. “Aku mendengar semua, akan tetapi sekarang juga sudah lupa lagi apa yang
kudengar.” Jawabannya ini berarti bahwa hal-hal yang ia dengar diucapkan gadis
itu tidak dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia ceritakan kepada orang lain.
Biarpun Tan Lian maklum akan
arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah lagi ia merasa berduka dan malu. Air
matanya mengucur keluar dan ia menangis terisak-isak.
Suling Emas menarik napas
panjang lagi. Ia tahu apa yang menyebabkan gadis ini menangis, maka ia tak
dapat bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis baju hijau
yang gagah perkasa ini. Ia maklum bahwa Tan Lian adalah seorang pendekar
wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi daripada Lin Lin. Kalau
saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat dalam tongkat pusaka
Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan Lian, apalagi hanya dengan
sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu benar-benar hebat dan berbahaya
sekali, lagi ganas dan dahsyat. Jangankan Tan Lian, dia sendiri kalau ilmu itu
sudah terlatih baik oleh Lin Lin, tidak akan mudah dapat mengalahkannya.
Pat-jiu Sin-ong tidak percuma
terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu, dan ilmu yang ia ciptakan
itu merupakan inti sari daripada semua kepandaian yang menjadi ilmu pusaka
Beng-kauw!
“Tenanglah, Nona. Memang nasib
kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan oleh orang-orang tua
kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik ayahmu maupun ibuku
sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur riwayat mereka bersama
jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan riwayat dan
urusan mereka? Ah, Nona Tan, kuharap kau tidak berpemandangan sesempit
itu....”
Tan Lian menghentikan tangisnya,
memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika berkata, “Berpemandangan
sempit? Kau.... kau tidak merasakan, tentu saja pandai mencela! Di dunia aku
hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian ayah karena dibunuh ibumu membuat aku
sebatangkara. Kausalahkan aku kalau aku bersumpah mendendam dan hendak
membalas kematian ayah? Akan tetapi Thian tidak menaruh kasihan kepadaku. Aku
terlambat!” Suaranya terisak. “Aku terlambat setelah aku berlatih dengan susah
payah selama bertahun-tahun, setelah aku rela tinggal seorang diri...., tidak
mau menikah.... menjadi perawan tua.... semua ini hanya untuk satu tujuan,
yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup kuat dan hendak
mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan tentang
keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain menimpakan
dendam kepadamu? Tapi.... aku tidak becus.... aku.... aku tidak mampu
mengalahkanmu....” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.
Suling Emas mengerutkan keningnya.
Ia dapat membayangkan penderitaan batin yang selama ini menimpa diri Tan Lian.
Memang benar hebat dan berat sekali dan diam-diam ia memuji kebaktian Tan Lian
yang demi untuk berbakti kepada ayahnya sampai berkorban sedemikian rupa,
menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi seorang gadis yang
sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun, padahal gadis ini
cantik dan gagah, tentu dalam usia tujuh belas atau delapan belas sudah menjadi
isteri orang kalau saja ayahnya tidak meninggal, terbunuh oleh ibunya!
“Tan-siocia harap kau jangan
berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur sampai di mana
puncaknya, dan siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai tingkat yang lebih
tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang lebih tinggi lagi.
Andaikata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan mampu menandinginya, karena
biarpun kau telah menggembleng dirimu belasan tahun lamanya, ibuku pun terus
memperdalam ilmunya selama puluhan tahun!”
“Lebih baik kalau aku tewas
dalam usahaku membalas ibumu, daripada seperti sekarang ini....” ia terisak.
“.... tidak seja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau.... kau tidak
membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan ini, lebih
baik kaubunuh aku!”
“Nona, di antara kita tidak ada
permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak, aku, tidak akan
berpemandangan begitu picik. Dan kuharap kau pun dapat sadar akan hal ini,
bahwa di antara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita saling benci
dan saling bermusuhan.”
“Akan tetapi...., aku sudah
bersumpah.... untuk membunuh isterimu....”
“Jangan khawatir, aku tidak
beristeri,” kata Suling Emas, tersenyum.
“Tapi wanita yang memukulku itu?
Ah, dia tentu tunanganmu!”
Suling Emas kembali
menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.
“Tapi, jelas dia mencintamu!”
Suling Emas kaget bukan main
mendenger pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa Lin Lin
mencintanya?
“Hemmm, mengapa kau berkata
demikian?” katanya, suaranya tenang saja, padahal jantungnya berdebar keras.
“Dia cemburu kepadaku.... eh,
kumaksudkan....” Tan Lian menjadi gugup sekali karena tanpa ia sengaja atau
sadari, ia sendiri sudah membuka rahasia hatinya.
“Tak mungkin, Nona. Dia adalah
adik tiriku!”
Tan Lian tercengang dan entah
mengapa, tiba-tiba wajahnya berseri gembira! Akan tetapi hanya sebentar,
karena ia lalu menghela napas dan berkata dengan lirih dan berat, “Aku sudah
bersumpah memusuhimu, tak perlu kau berlaku baik kepadaku, tiada gunanya. Lebih
baik aku mati saja, tak perlu kaucarikan orang pandai untuk berobat.”
“Hemmm, mengapa kau begini putus
harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup....”
“Muda, katamu? Seorang wanita
sudah berusia.... seperti aku, kaubilang masih muda? Aku adalah perawan tua.
Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup hanya menjadi bahan ejekan? Sebatangkara,
tiada keluarga, tugas pun terbengkalai tak terpenuhi, apa artinya hidup? Aku
sudah tua!” kembali air matanya mengalir turun.
“Kau masih muda, Nona Tan. Muda
dan cantik jelita lagi gagah perkasa. Kurasa, dia yang merasa dirinya pandai
dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan berebutan untuk mendapatkan
perhatianmu, dan akan merasa bahagia sekali kalau menjadi pilihanmu.”
Sepasang pipi gadis itu tiba-tiba
menjadi merah, matanya memandang lebar-lebar ke arah Suling Emas seakan-akan
hendak menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati yang jujur. Melihat
sepasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan
kejujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap. “Be....
betulkah....?”
Suling Emas lega hatinya. Ia
mengangguk meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan Lian lagi sambil
berkata, “Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera sampai di Thai-san.
Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti ini.”
Di dalam pondongan pemuda itu,
Tan Lian termenung-menung. Dia masih belum beristeri, usianya sudah lanjut
pula, tentu lebih tua beberapa tahun daripada dia sendiri! Permusuhan antara
orang tua tentu saja akan hapus kalau mereka menjadi suami isteri! Dia begitu
baik, begini gagah perkasa, dan bukankah dia tadi memuji-muji bahwa aku cantik
jelita dan gagah? Bukankah pujian yang keluar dari mulut seorang laki-laki,
pujian yang bukan hanya kosong, yang keluar dari hati sejujurnya, menjadi
bayangan daripada cinta kasih?
Makin muluk-muluk lamunan Tan
Lian sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak di dalam pondongan Suling Emas.
Di lereng Thai-san yang agak
tersembunyi, di bagian yang paling sunyi karena hanya penuh dengan hutan-hutan
belukar, terdapat sebuah pondok sederhana dan bersih, mempunyai banyak jendela
sehingga di dalam pondok itu hawanya sejuk segar. Inilah tempat tinggal
Kim-sim Yok-ong, seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua
akan tetapi wajahnya tetap segar berseri dan kemerahan seperti wajah seorang
pemuda remaja, sepasang matanya bersinar-sinar dan bentuknya indah seperti mata
wanita cantik. Jari-jari tangannya halus dan runcing seperti tangan seorang
terpelajar, gerak-geriknya halus, tutur sapanya ramah dan sopan, pakaiannya
sederhana dan dari kain murah, akan tetapi bersih sekali, sebersih kuku-kukunya
dan rambutnya. Inilah dia Kim-sim Yok-ong yang namanya terkenal di seluruh
jagat, yaitu nama sebutannya, bukan nama aselinya karena nama aselinya tidak
ada yang tahu. Ia dijuluki Kim-sim (Hati Emas) karena kakek ini menolong kepada
siapa saja yang perlu ditolong, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, tanpa
pamrih, tanpa syarat seolah-olah hatinya terbuat daripada emas yang amat
berharga penuh dengan cinta kasih akan sesamanya. Di samping ini ia disebut
Yok-ong (Raja Obat) karena ilmu pengobatan yang ia miliki benar-benar luar
biasa sekali sehingga banyak orang bilang bahwa tidak ada penyakit di dunia ini
yang tidak bisa diobati dan disembuhkan oleh Kim-sim Yok-ong! Karena kebaikan
hatinya yang tidak pandang bulu dan tidak pilih kasih inilah agaknya maka semua
orang di dunia ini, termasuk mereka yang memiliki watak kasar dan buruk, semua
segan-segan dan tidak berani mengganggunya. Bukan tidak berani terhadap Kim-sim
Yok-ong sendiri yang tak pernah dilihat orang bermain silat, akan tetapi tidak
berani karena sekali dia mengganggu Kim-sim Yok-ong, tentu ia akan berhadapan
dengan seluruh tokoh di dunia kang-ouw, baik tokoh kanan maupun kiri, tokoh
putih maupun hitam, para pendekar maupun penjahat! Agaknya Kim-sim Yok-ong
sudah menjadi “milik” semua orang yang akan membelanya mati-matian!
Akan tetapi, tidaklah sering
raja obat ini dikunjungi orang yang hendak berobat. Pertama, karena tempat
tinggalnya sering kali berpindah-pindah dan selalu ia memilih lereng-lereng
gunung yang tinggi dan yang mempunyai tetumbuhan yang mengandung obat. Ke dua,
kepandaiannya yang istimewa adalah khusus untuk mengobati orang-orang terluka oleh
pukulan-pukulan, oleh senjata-senjata rahasia atau oleh racun-racun. Dalam hal
inilah ia memang memiliki kepandaian istimewa. Adapun kepandaiannya mengobati
orang-orang sakit biasa, tidaklah istimewa, sama dengan tabib-tabib yang banyak
terdapat di kota-kota. Oleh karena itu pula maka hanya para anggauta dunia
kang-ouw saja yang selalu mencari dan minta tolong kepada Kim-sim Yok-ong. Dan
justeru ini pula yang membuat namanya terkenal di antara para tokoh kang-ouw.
Bahkan tak boleh disangkal lagi,
enam iblis Thian-te Liok-kai yang kini tinggal lima orang saja itu, sengaja
memilih puncak Thai-san sebagai tempat mengadu ilmu karena pada waktu itu
Kim-sim Yok-ong berada di gunung itulah. Hal ini penting sekali karena mereka
maklum bahwa pertandingan adu ilmu di antara mereka tentu sedikitnya akan
mengakibatkan luka-luka yang parah dan mengerikan, dan hanya Kim-sim Yok-ong
saja yang akan mampu mengobati.
Pada pagi hari itu, selagi
Kim-sim Yok-ong mengatur akar-akar obat di atas genteng depan rumah untuk dijemur,
datanglah Suling Emas yang memondong tubuh Tan Lian. Sudah dua hari dua malam
gadis itu berada dalam keadaan pingsan maka Suling Emas tidak pernah berhenti,
berlari cepat siang malam sehingga ketika ia tiba di situ, keadaan pendekar
ini lesu dan lemah, tubuhnya lelah sekali, tangannya kaku-kaku dan kakinya
gemetar.
“Ayaaaaa....! Kiranya
Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) yang datang! Ah, lagi-lagi kau melupakan
kesehatan sendiri, sedikitnya dua hari dua malam tak pernah berhenti berlari
untuk menolong seseorang. Kim-siauw-eng, orang seperti engkau ini amat
diperlukan dunia, dan berbahagialah engkau karena hidupmu telah kauisi dengan
kemanfaatan bagi dunia. Bawalah dia masuk, sebentar aku menyusul!”
Suling Emas mengangguk. “Terima
kasih, Locianpwe.” Lalu ia melangkah memasuki pondok dan merebahkan tubuh Tan
Lian di atas sebuah pembaringan di sudut ruangan. Sedikit gelisah juga hati
Suling Emas menyaksikan keadaan Tan Lian yang sudah pucat sekali mukanya,
tubuhnya dingin dan kaku seakan-akan sudah mati. Hanya napasnya yang lemah saja
yang membuktikan bahwa gadis itu masih hidup. Diam-diam Suling Emas berdoa
semoga gadis itu tidak mati oleh pukulan maut Lin Lin, karena kalau hal ini
terjadi, ia akan merasa berdosa dan makin menyesal mengingat bahwa semua ini
adalah akibat daripada perbuatan ibu kandungnya yang lalu.
Tak lama kemudian Raja Obat itu
memasuki pondok dengan langkah perlahan dan tenang sekali. Suling Emas sudah
mengenal watak Raja Obat ini, maka ia pun diam saja dan menanti sampai orang
tua itu melakukan pemeriksaan.
Kim-sim Yok-ong menghampiri
sebuah tempayan air di sudut luar, mencuci kedua tangannya, kemudian
menyusutnya dengan kain bersih. Barulah ia menghampiri Tan Lian tanpa menoleh
ke arah Suling Emas yang masih berdiri di dekat pembaringan. Tabib sakti itu
membungkuk, memandangi Tan Lian dengan kening berkerut, mengulur tangan kiri
menekan nadi tangan gadis itu dan tangan kanannya meraba-raba pundak dan
leher.
“Uhhhhh....!” katanya, agak
tercengang. “Aku mendengar berita bahwa Pat-jiu Sin-ong sudah meninggal dunia!
Bagaimana nona ini bisa terkena pukulannya beberapa hari yang lalu?”
Suling Emas tidak merasa heran
mendengar ini, sungguhpun ia menjadi makin kagum saja. Tidak ada akibat
pukulan yang bagaimana hebat pun di dunia ini yang tidak dikenal oleh Kim-sim
Yok-ong!
“Bukan, Locianpwe. Pat-jiu
Sin-ong memang sudah meninggal dunia dan tidak melakukan pukulan terhadap nona
ini.”
Kakek itu memandang dan tahulah
ia bahwa Suling Emas tidak ingin bicara tentang pemukul nona ini. Ia menarik
napas panjang dan berkata, “Siapapun juga pemukulnya, sudah pasti bukan
Beng-kauwcu Liu Mo, juga bukan Kauw Bian Cinjin. Kalau bukan Pat-jiu Sin-ong,
entah siapa yang mampu melakukan pukulan ini. Hemmm, siapapun juga, dia
menggunakan pukulan Beng-kauw dan aneh sekali bahwa kau yang membawanya ke
sini untuk kuobati.”
Ucapan ini tidak langsung, namun
diam-diam Suling Emas mengerti bahwa kakek itu sudah tahu segalanya, sudah
mendengar bahwa dia adalah putera Tok-siauw-kui dan cucu Pat-jiu Sin-ong.
Alangkah cepatnya berita tersiar, tidak heran bahwa tokoh-tokoh kang-ouw
mencari dan hendak mengeroyoknya. Apalagi kalau diingat bahwa banyak tokoh
kang-ouw mengunjungi kakek ini untuk minta obat.
“Kau keluarlah dulu,
Kim-siauw-eng, biar kucoba untuk mengobati nona ini.”
Suling Emas lalu mengangguk,
melangkah keluar dan duduk di atas sebuah batu hitam yang terdapat di depan
pondok itu. Memang di depan pondok terdapat sekumpulan batu-batu besar yang
beraneka warna. Inilah sebuah di antara kesukaan Kim-sim Yok-ong, yaitu
mengumpulkan batu-batu yang licin halus dan aneh-aneh macam serta warnanya.
Lebih dua jam Suling Emas
menanti, belum juga ada berita dari dalam. Ia melamun dan bermacam pikiran
menggodanya, terutama sekali pikiran tentang diri Lin Lin! Ia merasa amat
sayang dan kasihan kepada gadis remaja itu, malah hampir ia jatuh cinta!
Berulang kali Suling Emas menarik napas panjang, bukan sekali-kali menyesali
nasibnya, melainkan menyesal mengapa setelah ibunya menjadi sebab kegegeran
dunia, kini diamenjadi sebab pula kegegeran hati gadis-gadis cantik.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa
seperti suara katak di musim hujan. Suling Emas cepat mengangkat muka dan
kaget serta herannya bukan main ketika ia melihat dua orang kakek sudah berdiri
dalam jarak lima meter di depannya, masing-masing kakek itu memegang leher baju
seorang penduduk gunung. Yang membuat Suling Emas kaget dan heran adalah betapa
kedua orang kakek itu dapat datang tanpa ia ketahui sama sekali, tahu-tahu
sudah berada di situ. Terlalu dalamkah ia tadi tenggelam dalam lamunannya
sehingga ia tidak mendengar kedatangan mereka, ataukah mungkin mereka itu
luar biasa saktinya? Akan tetapi sepanjang ingatannya, hanya Bu Kek Siansu saja
yang pandai datang dan pergi tanpa ia ketahui!
Ia memandang penuh perhatian.
Seorang di antara dua kakek itu rambut dan jenggotnya panjang berwarna putih
seperti perak, bahkan alis matanya juga putih, jubahnya panjang dan putih pula.
Pendeknya, tidak ada warna lain terdapat pada diri kakek ini, malah kulitnya
kalau diperhatikan juga luar biasa putihnya, seakan-akan tidak ada darah di
bawah kulit itu. Diam-diam Suling Emas kaget. Orang ini membayangkan tenaga
sin-kang yang mujijat, akan tetapi bagaimana seorang dengan kepandaian sehebat
ini belum pernah ia jumpai dan tidak ia kenal sama sekali? Kemudian
perhatiannya teralih kepada orang ke dua. Dia ini juga seorang kakek tua,
rambutnya awut-awutan, kumis dan jenggotnya tebal panjang. Akan tetapi berbeda
dengan kakek pertama yang rambutnya serba putih, kakek ini rambut dan
jenggotnya kemerah-merahan, juga pakaiannya serba merah, sepatu rumputnya
merah, kulit badannya juga kemerahan seakan-akan setiap hari dibakar matahari!
Yang membuat Suling Emas diam-diam terkesiap hatinya adalah ketika ia melihat
mata kedua orang kakek itu. Kakek pertama matanya putih hampir tidak kelihatan
bagian hitamnya, akan tetapi kakek ke dua matanya merah dan hampir tidak tampak
bagian putihnya. Benar-benar dua orang kakek yang luar biasa sekali. Jangankan
bertemu mereka, mendengar tentang mereka pun belum pernah!
Kedua orang kakek itu masih
tertawa-tawa, dan kedua orang penduduk gunung yang dicengkeram leher bajunya
itu kelihatan ketakutan sekali.
“Hah, biruang busuk, benar
inikah rumah Kim-sim Yok-ong?” tiba-tiba si kakek putih bertanya kepada orang
yang dicengkeramnya. Orang itu mengangguk-angguk, dengan tubuh gemetar dan
biarpun mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari
bibirnya.
“Huah-hah-hah, si tabib
memelihara anjing untuk menjaga pondok agaknya!” kata si kakek merah sambil
menudingkan telunjuk ke arah Suling Emas. “Biar kuusir dulu anjing itu,
menyebalkan benar!” Setelah berkata demikian, kakek merah ini tiba-tiba
menggerakkan tangan kanannya seperti orang mendorong ke arah Suling Emas yang
masih duduk di atas batu hitam. Terdengar suara bercuitan menyambar ke arah
Suling Emas. Pendekar ini kaget dan kagum juga menyaksikan pukulan jarak jauh
yang demikian dahsyat, akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan tenang
Suling Emas yang biasa menghormat kaum tua, sengaja tidak mau menangkis,
melainkan ia dalam keadaan masih bersila tubuhnya, melayang ke atas mengelak
pukulan dan seperti seekor burung, tubuhnya yang masih duduk bersila itu
hinggap pada batu lain di sebelah kiri.
Pukulan jarak jauh itu tidak
mengenai dirinya, akan tetapi terdengar suara keras dan.... batu hitam tempat
duduk Suling Emas tadi pecah-pecah dan di antara muncratnya batu itu tampak
cahaya berapi yang panas luar biasa!
“Anjing penjaga yang baik....!”
seru kakek putih dan dengan mulut menyeringai memperlihatkan deretan giginya
yang putih berkilauan, kakek ini pun menggerakkan tangan kanannya mendorong ke
arah Suling Emas.
***
Pendekar ini masih belum hilang
kagetnya menyaksikan akibat pukulan jarak jauh si kakek merah yang benar-benar
dahsyat itu, pukulan yang mengandung tenaga raksasa penuh hawa panas membakar
yang sekali mengenai tubuh manusia akan membuat tubuh itu tidak hanya remuk
akan tetapi juga terbakar! Kini melihat datangnya pukulan jarak jauh yang sama
sekali tidak bersuara namun membuat rumput-rumput di atas tanah yang dilalui
seketika menjadi layu, ia cepat-cepat menggerakkan tubuhnya melompat tinggi dan
kemudian turun berdiri dengan keadaan siap siaga.
Ia melihat betapa batu yang
didudukinya bergoyang-goyang sedikit, akan tetapi tidak pecah seperti tadi,
malah tampaknya tidak apa-apa. Tadinya ia mengira bahwa kepandaian kakek putih
itu kalah jauh oleh kakek merah, akan tetapi tiba-tiba si kakek merah berseru.
“Wah-wah, agaknya kau berusaha keras mengalahkan aku. Huah-hah-hah!”
Suling Emas kaget dan melihat
lagi. Matanya terbelalak kelika ia melihat batu besar yang disangkanya tidak
apa-apa itu, kini mulai bergerak-gerak tak lama kemudian runtuh dan kiranya
sudah hancur menjadi debu! Diam-diam ia kaget sekali. Dua orang kakek ini
benar-benar merupakan orang-orang yang paling sakti yang pernah ia jumpai atau
dengar, kecuali tentu saja Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek itu memang boleh
disejajarkan dengan manusia biasa.
Cepat ia menjura penuh
penghormatan sambil berkata.
“Mohon maaf sebesarnya bahwa
karena teecu (murid) tidak mengenal siapa adanya Ji-wi Locianpwe (Dua Kakek
Sakti), maka terlambat untuk mengadakan penyambutan. Teecu juga hanya seorang
tamu dari luan rumah Kim-sim Yok-ong yang kini sedang sibuk mengobati orang
sakit. Harap Ji-wi (Tuan berdua) sudi menunggu, biarlah teecu menyingkir kalau
kehadiran teecu tidak menyenangkan hati Ji-wi.”
Biarpun maklum bahwa dua orang
kakek itu sakti luar biasa, akan tetapi tentu saja Suling Emas tidak merasa
takut. Ucapannya yang sopan dan mengalah bukanlah bayangan daripada rasa
takut, melainkan bayangan daripada sikapnya yang menghormat orang asing yang
lebih tua, dan juga karena ia sedang menghadapi tugas penting mewakili ibunya
menghadapi anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai, maka dia tidak mau mencari
perkara lain yang akan mengacaukan tugasnya.
“Huah-hah-hah, orang muda ini
boleh juga. Heh, orang muda, kami datang karena mendengar nama besar Kim-sim
Yok-ong yang menjulang tinggi sampai ke langit. Akan tetapi kami tidak percaya
kalau tidak membuktikan sendiri sampai di mana kepandaiannya. Kata orang, tabib
sombong ini dapat menghidupkan lagi orang mati terkena racun!”
Diam-diam Suling Emas
mendongkol. Dua orang kakek ini boleh jadi sakti, akan tetapi sikap mereka
berandalan. “Saya rasa berita itu tidak benar, Locianpwe. Sepandai-pandainya
orang, bagaimana bisa menghidupkan orang yang sudah mati? Akan tetapi memang
benar bahwa Kim-sim Yok-ong pandai sekali mengobati korban-korban segala macam
pukulan dan senjata beracun yang bagaimana parah sekalipun!”
“Huh, huh!” Si kakek putih,
berbeda dengan si kakek merah yang selalu tertawa mengejek, kalau bicara
selalu bersungut-sungut. “Siapa mau percaya? Coba dia sembuhkan akibat pukulanku
ini!” Setelah berkata demikian kakek putih ini melemparkan tawanannya ke atas
tanah dan tangan kirinya bergerak. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh orang
gunung itu tidak berkutik lagi, kaku kejang seperti sebatang balok.
“Huah-hah-hah, bagus! Memang
tanpa diuji mana mau percaya? Andaikata dia bisa menyembuhkan dia itu, tak
mungkin dia bisa menyembuhkan orang ini!” Ia pun mendorong tawanannya ke depan
dan memukul. Kembali terdengar jerit keras dan orang gunung ke dua ini
berkelojotan di atas tanah.
Suling Emas kaget dan marah,
akan tetapi dua orang kakek itu sudah berkelebat dan lenyap dari situ. Hanya
gema suara ketawa kakek merah yang masih terdengar. Ingin Suling Emas
mengejar dan menegur kakek itu, bahkan ia pun siap untuk mengadu kepandaian
dengan dua orang kakek yang kejam itu. Akan tetapi karena kedua orang
penduduk gunung yang tak berdosa itu berada dalam keadaan luka hebat dan maut
mengancam nyawa mereka, Suling Emas membatalkan niatnya mengejar, kemudian
cepat ia menghampiri dua orang korban untuk memeriksa keadaannya.
Tercenganglah Suling Emas ketika
menyaksikan keadaan dua orang itu. Mereka sama sekali tidak terluka, akan
tetapi keadaan mereka sungguh mengerikan. Korban kakek putih masih tetap kaku
kejang, seluruh tubuhnya mulai berubah warna menjadi keputih-putihan dan
biarpun masih bernapas, namun ketika diraba terasa dingin seperti salju!
Sebaliknya, korban kakek merah berkelojotan, tubuhnya mulai
kemerahan-merahan, bahkan dari lubang-lubang tubuhnya mulai keluar asap tipis
dan kalau diraba darahnya panas seperti api! Melihat keadaan mereka ini,
cepat-cepat Suling Emas lari memasuki pondok untuk memanggil Kim-sim Yok-ong.
Ia maklum bahwa kakek itu sedang mengobati Tan Lian dan biasanya ia pun tidak
berani mendesak atau mengganggu si raja obat. Namun karena keadaan memaksa,
terdorong rasa kasihan terhadap dua orang penduduk gunung yang tak berdosa
ini, Suling Emas segera berseru dari pintu.
“Locianpwe, harap lekas keluar,
di sini ada dua orang korban yang membutuhkan pertolongan Locianpwe!”
Akan tetapi sebetulnya tidak
perlu dia berteriak-teriak karena pada saat itu kebetulan sekali Kim-sim
Yok-ong keluar dari dalam ruangan pengobatan sambil tersenyum. Begitu melihat
kakek ini, teringatlah Suling Emas akan keadaan Tan Lian maka cepat ia
bertanya, “Bagaimana dengan keadaan nona itu, Locianpwe?”
Lega hati Suling Emas. Setelah
mendengar bahwa Tan Lian tertolong, ia teringat kembali kepada dua orang
korban di luar. “Locianpwe, di luar ada dua orang korban yang keadaannya amat
berbahaya, harap Locianpwe sudi monolong orang-orang yang tak berdosa itu.”
Tanpa banyak cakap lagi Kim-sim Yok-ong lalu melangkah cepat keluar pondok.
Melihat dua orang menggeletak di pekarangan rumahnya, yang seorang berkelojoikn
dan yang kedua diam tak bergerak kaku, ia cepat menghampiri dan memeriksa.
Keningnya berkerut-kerut dan ia menggeleng-gelengkan kepala, kadang-kadang
mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran dan kaget.
“Kim-siauw-eng, apakah yang
terjadi di sini tadi?” tanyanya tanpa menoleh kepada Suling Emas sambil
memeriksa tubuh korban kakek putih yang makin lama makin dingin tubuhnya itu.
Dengan singkat Suling Emas menuturkan tentang dua orang kakek aneh yang tadi
datang. Mendengar ini, tabib sakti itu mengeluarkan seruan aneh, bangkit
berdiri dan memandang Suling Emas dengan mata terbelalak.
“Agaknya mereka itu bukan
manusia!” serunya kaget. “Kalau mereka manusia, tokoh dari golongan manapun
juga, tentu pernah kulihat atau setidaknya kudengar nama dan keadaannya. Akan
tetapi selama puluhan tahun aku hidup, belum pernah mendengar tentang seorang
kakek putih dan seorang kakek merah. Lebih hebat lagi, aku tidak mengenal pula
pukulan-pukulannya terhadap dua orang ini!” Ia menarik napas panjang. “Gunung
Thai-san ini boleh dibilang tinggi, namun puncaknya masih kalah tinggi oleh
awan. Sungguh segala sesuatu di dunia ini tak dapat diukur batasnya. Mereka itu
agaknya sengaja menantangku dan hendak menguji. Hemmm, orang-orang sesat,
nyawa manusia dibuat main-main! Butakah mereka sehingga tidak melihat bahwa
mati hidupnya seseorang bukan sekali-kali tergantung daripada kepandaianku
mengobati, melainkan tergantung sepenuhnya pada kehendak Thian? Kim-siauw-eng,
bawalah masuk mereka, akan kucoba menolong, sungguhpun aku merasa ragu-ragu
untuk dapat menyelamatkan mereka.”
Suling Emas cepat mengempit dua
orang itu dan membawanya masuk ke dalam pondok dan atas permintaan tabib sakti
itu. Ia membaringkan mereka di atas bangku-bangku kayu yang berada di ruangan
belakang. Kemudian seperti yang diminta oleh Kim-sim Yok-ong. Suling Emas
menanggalkan pakaian kedua orang itu, pakaian bagian atas sehingga tubuh mereka
bagian atas telanjang. Ngeri sekali keadaan mereka. Tubuh mereka itu kini yang
seorang sudah berubah putih, yang kedua menjadi merah, persis warna kulit ke
dua orang kakek aneh itu.
Sementara itu, Kim-sim Yok-ong
sibuk membakar ujung jarum-jarum perak dan emas di atas api lilin. Kemudian ia
menghampiri korban kakek putih yang tubuhnya kaku dan berwarna putih itu.
Dengan gerakan hati-hati sekali namun tidak ragu-ragu, ia menancapkan
jarum-jarum emas pada jalan-jalan darah tertentu di dada, leher dan pusar!
Kemudian ia menggunakan jarum-jarum perak untuk menusuk jalan-jalan darah pada
tubuh orang kedua yang menjadi korban kakek merah. Setelah pada masing-masing
tubuh kedua orang korban itu tertancap tujuh batang jarum, Kim-sim Yok-ong
mengeluarkan sebatang pisau yang tajam lalu melukai kedua telapak tangan
mereka dengan ujung pisau.
Aneh! Dari luka di telapak
tangan korban kakek putih segera mengucur keluar darah yang keputih-putihan
sedangkan dari luka di telapak tangan korban kakek merah mengucur darah yang
kehitaman! Lambat laun, berubahlah warna pada wajah kedua orang itu, kembali
menjadi normal dan napas mereka pun mulai tenang. Akhirnya mereka
bergerak-gerak mengeluh panjang. Kim-sim Yok-ong menarik napas panjang,
kelihatan lega hatinya. Akan tetapi agaknya ia tadi telah mengerahkan tenaga
dan mencurahkan seluruh perhatiannya, sehingga ia tampak lelah dan sambil menghapus
keringatnya, ia mulai mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh kedua orang
itu.
“Siapapun kedua iblis itu, dia
tidak mungkin dapat mengalahkan kekuasaan Thian,” kata Kim-sim Yok-ong
perlahan. “Inilah buktinya! Karena agaknya Thian belum menghendaki kedua orang
tak bersalah ini tewas, kebetulan sekali aku dapat menyembuhkan luka-luka
mereka yang hebat, akibat pukulan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya.
Betapapun juga, pukulan kakek merah itu mengandung, unsur panas sedangkan
pukulan kakek putih mengandung pukulan dingin. Di dunia ini, hanya terdapat dua
macam unsur tenaga, Im dan Yang, sungguhpun berbeda ragam dan caranya, namun
bersumber sama.”
Suling Emas menyaksikan dan
mendengarkan dengan hati penuh kekaguman. Akan tetapi pada saat itu terdengar
suara ketawa yang sudah amat dikenalnya. “Huah-hah-hah, Kim-sim Yok-ong!
Jangan bergembira dulu dan merasa senang! Cobalah kaupunahkan akibat
pukulan-pukirian kami ini!”
Bagaikan kilat menyambar, Suling
Emas sudah berkelebat keluar pondok, siap untuk menghadapi dua orang iblis
asing yang hendak menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong dengan cara buas, yaitu
melukai orang-orang tak bersalah itu, main-main dengan nyawa orang seakan-akan
mereka itu hanya binatang-binatang kelinci saja. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika tiba di pekarangan depan, ia tidak melihat dua orang kakek itu
melainkan empat brang dusun lain yang sudah menggeletak tak bergerak di atas
tanah.
“Celaka! Keji benar mereka!”
serunya sambil membuhgkuk untuk memeriksa.
“Jangan pegang mereka! Biarkan
aku memeriksa lebih dulu!” seru Kim-sim Yok-ong sambil berlari-lari keluar.
Hebat sekali keadaan empat orang
itu. Mereka adalah korban baru. Ada yang tulangnya patah-patah sampai menjadi
puluhan potong! Ada yang tulangnya remuk-remuk. Ada yang seluruh tubuhnya
keluar bintik-bintik merah dan orang ke empat mengeluarkan darah dari semua
lubang di tubuhnya!
“Kejam....!” Seru Yok-ong.
“Kim-siauw-eng, bantulah aku. Mereka harus cepat-cepat ditolong!”
Maka bekerjalah Suling Emas mengangkat
orang-orang itu ke dalam pondok dan ia girang melihat dua orang dusun pertama
sudah dapat bangun. Segera Yok-ong menyuruh mereka pulang sanibil membawa
obat-obat minum kepada kedua orang itu. Akan tetapi selanjutnya ia sibuk
mengobati empat orang yang menderita luka-luka hebat sekali. Suling Emas hanya
membantu, memasakkan obat, mengambilkan daun ini dan akar itu, sambil
mengagumi cara tabib sakti itu menolong para korban. Cekatan dan terampil,
hati-hati dan tepat sehingga kembali empat orang itu dapat diselamatkan
nyawanya.
Akan tetapi, secara
berturut-turut pekarangan depan pondok itu kebanjiran para korban dua orang
kakek iblis yang aneh itu, yang selalu meninggalkan korban mereka di pekarangan
pondok sehingga dalam waktu setengah hari saja di situ berkumpul tiga puluh
orang lebih yang terancam nyawanya dengan pelbagai macam luka-luka hebat, dari
racun-racun yang paling ganas sampai pukulan-pukulan yang paling keji yang
selamanya belum pernah terbayangkan oleh Suling Emas, bahkan yang banyak di
antaranya membuat si tabib sakti agak bingung! Akhirnya si tabib sakti terpaksa
mengakui kehebatan dua orang kakek itu karena menjelang senja, sudah ada
empat orang yang tewas, karena tak mampu ia menyembuhkannya!
Hebatnya, malam itu masih bertambah
lagi jumlah korban sehingga seluruhnya menjadi lima puluh orang korban tangan
maut kakek merah dan kakek putih yang luar biasa ini! Suling Emas memuncak
kemarahannya, namun ia tidak dapat melakukan pencegahan atau pun pengejaran
karena tenaganya amat dibutuhkan untuk membantu Kim-sim Yok-ong. Baiknya Tan
Lian siuman menjelang malam dan keadaannya sedemikian baiknya sehingga gadis
ini mampu bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheran-heranan
karena ia melihat seorang kakek tua dibantu oleh Suling Emas sibuk mengurus dan
mengobati puluhan orang. Biarpun yang sembuh telah disuruh pulang oleh tabib
sakti itu, namun di dalam rumah masih terkumpul tiga puluh orang dan enam orang
mayat!
“Ahhh.... apa yagg terjadi? Di
mana aku....?” Gadis itu bertanya, penuh kengerian hati.
Suling Emas segera menghampiri
dan giranglah hatinya melihat gadis itu sudah sembuh sama sekali, tempak dari
wajahnya yang segar.
“Syukur kau telah tertolong,
Nona. Akan tetapi kau harus beristirahat di sini barang tiga hari menurut pesan
Yok-ong Locianpwe. Akan tetapi celaka, hari ini terjadi hal hebat. Dua orang
iblis yang tidak terkenal mengamuk dan melukai banyak orang, hanya untuk
menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong.” Secara singkat Suling Emas menceritakan
keadaan itu, sedangkan Yok-ok sama sekali tidak ambil peduli dan tetap sibuk
mengurusi mereka yang luka.
Tan Lian menjedi heran dan
terharu menyaksikan kebaikan hati tabib itu. “Apa? Aku harus beristirahat skja
melihat begini banyaknya orang yang perku ditolong? Tidak, Locianpwe, aku siap
membantumu!” Ia meloncat turun dari pembaringan dan biarpun kepalanya masih
agak pening, namun gadis ini dengan cekatan lalu mulai membantu dengan masak
air den lain-lain.
Kim-sim Yok-ong
mengangguk-angguk dan memandang sebentar. “Boleh kau boleh membantu. Yang tak
boleh kaulakukan hanya pengerahan tenaga dalam. Bagus hari ini aku
bersusah-payah menolongmu bukah tiada gunanya. Nona kau ambilkan bungkusan
dari atas lemari itu, kemudian kau bakar ujung semua jarum ini sampai terasa
panasnya pada ujung gagangnya.”
Demikianlah, tiga orang itu
semalam suntuk sibuk menolong orang dan baiknya dua orang iblis tua itu agaknya
sudah cukup “menguji kepandaian” Kim-sim Yok-ong, buktinya tidak ada lagi orang
terluka mereka antarkan.
Pada keesokan harinya menjelang
tengah hari, barulah selesai pekerjaan itu. Sebanyak empat puluh lebih orang
telah sembuh dan boleh pulang, akan tetapi ada delapan orang yang tak dapat
tertolong dan kini rebah menjadi mayat di dalam pondok. Kim-sim Yok-ong tampak
lelah sekali, jauh lebih lelah dari Tan Lian yang juga bekerja keras dalam
keadaan belum pulih tenaganya. Kakek ini tampak duduk di atas bangku, bersila
dan wajahnya keruh, keningnya berkerut-kerut dan agak pucat. Ia berkali-kali
menarik napas panjang dan memandangi mayat-mayat yang berjajar di situ.
“Locianpwe, harap Locianpwe
tidak merasa berduka. Sudah cukup hebat kepandaian Locianpwe dan delapan orang
korban ini agaknya memang sudah dikehendaki Thian untuk mati. Apakah yang
harus disesalkan? Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini!”
Kim-sim Yok-ong
menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang, “Bukan itu yang
menyusahkan hatiku, orang muda. Kau tidak mengerti, apa kehendak dua orang aneh
itu dengan perbuatan mereka?”
“Apalagi kalau tidak hendak
menguji kepandaian Locianpwe? Kalau memang mereka itu orang-orang yang
mempunyai sedikit saja prikemanusiaan, tentu mereka akan menyesali perbuatan
mereka dan akan mengakui keunggulan Locianpwe dalam hal melawan dan memunahkan
akibat pukulan-pukulan beracun mereka!”
“Bukan...., bukan demikian.
Ketahuilah, Kim-siauw-eng, mereka itu sengaja melakukan bermacam-macam pukulan
dengan penggunaan racun yang berbahaya, tak lain hendak mempelajari caraku
memberi obat. Mereka memaksaku mengeluarkan ilmu pengobatan dan agaknya
mereka memang sengaja hendak mempelajarinya. Ilmu pengobatan memang amat baik
dan boleh saja diketahui semua orang, akan tetapi kurasa bukan dengan niat baik
kedua orang itu mempelajarinya, buktinya cara mereka mempelajari sudah cukup
ganas dan keji. Aku khawatir sekali....”
“Siapakah iblis-iblis itu?” Tan
Lian berseru. “Kalau sudah pulih kembali kesehatanku, akan kucari mereka dan
kuajak mereka bertanding. Membasmi mereka atau mati di tangan mereka
merupakan tugas seorang yang menjunjung kegagahan!”
Suling Emas memandang kagum dan
kakek itu menghela napas. “Nona, bukan sekali-kali aku memandang rendah
kepadamu. Akan tetapi kepandaian dua orang itu, biapun Thian-te Liok-koai
sendiri belum tentu dapat menandinginya!”
Suling Emas kaget. Ia harus
percaya omongan tabib dewa ini yang tentu dapat menilai kepandaian orang
melihat akibat pukulan-pukulannya. Diam-diam ia bergidik dan makin kuat niatnya
untuk menggempur dua orang kakek itu.
“Biarlah saya mengubur
mayat-mayat ini dan setelah itu, aku akan mencari mereka berdua untuk minta
pertanggungan jawab mereka!”
Dengan dibantu oleh Tan Lian,
Suling Emas mengubur delapan mayat itu, disaksikan oleh Kim-sim Yok-ong yang
merasa prihatin sekali. Baru kali ini selama ia memdapat julukan Raja Obat, ia
gagal menyembuhkan delapan orang yang meninggal dunia di depan matanya. Ia
merasa terhina sekali.
Setelah delapan buah mayat itu
dimasukkan lubang di tanah dan mereka mulai menguruk dengan tanah, tiba-tiba
terdengar suara ketawa dari arah barat, suara ketawa kakek merah bersama suara
ejekan kakek putih yang sudah dikenal baik oleh Suling Emas.
“Huah-hah-hah, kiranya hanya
begini saja kepandaian si Raja Obat!” terdengar suare kakek merah.
“Kau tidak patut dan tidak
berhak menggunakan sebutan Yok-ong (Raja Obat) lagi!” seru suara kakek putih.
“Locianpwe, biarkan saya memberi
hajaran kepada mereka!” Suling Emas berseru marah, dan hendak lari ke barat
dari mana suara-suara itu datang. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang.
Ia menoleh dan ternyata Tan Lian yang memegang tangannya, wajah gadis itu pucat
dan memandang dengan penuh kekhawatiran.
“Ada apa, Nona Tan?” tanya
Suling Emas merasa terganggu.
Merah wajah Tan Lian dan gadis
ini segera melepaskan pegangannya. “Tidak apa-apa, hanya.... mereka itu
benar-benar sakti, mari kubantu engkau....”
“Terima kasih. Tidak perlu,
karena kau sendiri masih belum boleh mengeluarkan tenaga, harus beristirahat
sampai sembuh.” Suling Emas lalu berkelebat dan lari untuk mencari dua orang
kakek iblis itu.
“Kau.... berhati-hatilah....!”
seru Tan Lian dan sampai lama gadis ini berdiri bengong memandang ke arah
barat, ke arah perginya pendekar yang sudah menundukkan hatinya itu. Sampai
lama ia berdiri seperti patung, tidak tahu bahwa pekerjaan menguruk kuburan
masih menanti dan juga bahwa si kakek tabib memandanginya dengan tarikan napas
panjang.
“Anak yang baik, mayat-mayat itu
menunggu untuk diuruk selekasnya!” Tiba-tiba tabib itu berkata. Sadarlah Tan
Lian daripada lamunannya dan segera ia mengerjakan tanah galian untuk menguruk
lubang-lubang kuburan itu bersama Kim-sim Yok-ong. Kemudian tabib itu mengajak
Tan Lian ke pondok dan mereka membersihkan pondok dari darah yang berceceran.
Kim-sim Yok-ong menyiram-nyiramkan obat pemunah hawa beracun dan membakar akar
wangi, kemudian ia memanggil gadis itu untuk duduk di depannya.
“Tak usah kau merasa khawatir.
Biarpun kedua orang iblis itu lihai sekali, namun Suling Emas biarpun masih
muda adalah seorang pendekar yang sakti dan waspada. Kurasa tidak akan mudah
mencelakakan Suling Emas,” kata kakek itu dengan suara menghibur.
“Mudah-mudahan begitulah,
Locianpwe,” jawab Tan Lian yang kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan
kakek itu. “Saya berhutang nyawa kepada Locianpwe, apabila dalam hidup ini saya
tidak mampu membalas, biarlah dalam penjelmaan lain saya akan menjadi binatang
peliharaan Locianpwe untuk membalas budi.” Dan tiba-tiba dengan sedih nona ini
menangis.
Kim-sim Yok-ong tertawa,
mengelus-elus jenggotnya dan membangunkan gadis itu.
“Jangan begitu, kau duduklah.
Jangan kauikat aku dengan belenggu karma. Semua yang kulakukan bukanlah untuk
menanam budi, juga bukan bermaksud menolong, melainkan karena sudah menjadi
kewajibanku. Anak yang baik, kalau orang sudah setua aku ini, seharusnya
melakukan segala sesuatu tanpa pamrih, hanya berdasarkan kewajiban dan sebagai
pujaan kepada kebesaran Thian. Nona, kau telah terpukul oleh seorang yang
memiliki pukulan dasar dari ilmu silat Beng-kauw, pukulan yang dahsyat dan yang
tadinya kuanggap hanya mampu dilakukan oleh Pat-jiu Sin-ong seorang. Siapakah
yang memukulmu dan mengapa? Bagaimana pula Suling Emas yang membawamu ke sini?
Kalau kau tidak keberatan, harap kauceritakan kepadaku karena aku merasa
kasihan kepadamu dan ingin memberi sekedar nasihat.”
Makin sedih tangis Tan Lian
mendengar pertanyaan ini. Ia hidup sebatangkara, selama ini tidak ada orang
lain yang memperhatikan nasibnya kecuali, tentu saja, Thio San. Thio San adalah
seorang pemuda, tunangannya sejak kecil. Akan tetapi ia telah menyia-nyiakan
pertunangannya dengan Thio San dan selalu menghindari pemuda itu karena
besarnya tekad dan cita-citanya selama ini untuk membalas dendam. Selain ini,
di lubuk hatinya, ia pun tidak puas dengan tunangan ini, tunangan yang dipilih
ayahnya semenjak ia masih kecil karena Thio San adalah putera sahabat baik
ayahnya. Ia tidak puas karena Thio San, sungguhpun merupakan seorang pemuda
yang tampan dan baik, dan yang ternyata amat setia dan amat mencintanya pula,
hanya seorang pemuda terpelajar yang lebih tekun mempelajari kesusastraan
sehingga dalam pandangannya Thio San adalah seorang pemuda lemah yang tidak
mengerti ilmu silat. Tidak sesuai dengan keadaannya sendiri sebagai puteri
mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui yang terkenal sebagai seorang pendekar besar.
“Locianpwe, banyak terima kasih
atas perhatian Locianpwe terhadap diri saya yang bernasib malang ini.
Sesungguhnya secara terus terang saya mengakui bahwa yang memukul saya adalah
adik tiri Suling Emas, sedangkan Suling Emas adalah.... adalah musuh besar
saya.”
“Apa? Musuh besarmu? Akan tetapi
dengan susah payah dia membawamu ke sini!”
“Itulah yang memberatkan hati
saya, Locianpwe, dan saya mohon petunjuk. Sebetulnya bukan dia musuh saya,
melainkan ibunya, Tok-siauw-kui yang sudah membunuh ayah saya.”
“Siapakah ayahmu?”
“Mendiang ayah adalah
Hui-kiam-eng Tan Hui....”
“Ahhh....! Tentu saja aku kenal
dia. Lalu bagaimana? Teruskanlah dan jangan ragu-ragu, mendiang ayahmu dahulu
adalah sahabat baikku, dia seorang pendekar besar.”
Mendengar ini, makin deras air
mata mengucur keluar dari sepasang mata gadis itu. Setelah dapat meredakan
tangisnya ia menyambung ceritanya, “Kematian ayah membuat saya menjadi seorang
yang hidup sebatangkara, tidak ada cita-cita lain di hati kecuali mencari
Tok-siauw-kui dan membalas dendam. Akan tetapi karena Tok-siauw-kui amat lihai
sehingga ayah sendiri kalah olehnya, saya melewatkan waktu sampai belasan
tahun untuk memperdalam ilmu silat. Akan tetapi, Locianpwe, alangkah malang
nasib saya. Begitu saya merasa bahwa sudah tiba saatnya saya pergi mencari
Tok-siauw-kui yang kabarnya berada di Nan-cao, bersembunyi di sana dan saya
segera berangkat, di tengah jalan saya mendengar berita bahwa Tok-siauw-kui
baru saja tewas! Ah, hancur hati saya karena saya tidak berhasil membalas
dendam. Akan tetapi, kemudian saya mendengar dari It-gan Kai-ong bahwa
Tok-siauw-kwi adalah ibu dari Suling Emas. Tentu saja saya ikut bersama
tokoh-tokoh kang-ouw lain untuk membalaskan sakit hati itu kepada putera musuh
besar saya. Kembali saya kecewa, Locianpwe, karena.... karena.... saya tidak
mampu mengalahkan Suling Emas, malah.... malah.... ketika saya bersumpah di
depan makam ayah untuk membalaskan dendam itu kepada isteri dan anak-anak
Suling Emas, saya dipukul roboh oleh adik tirinya dan.... dia malah menolong
saya....” Gadis itu kembali menangis sedih.
“Hemmm.... hemmm.... tidak hanya
kau kalah oleh Suling Emas, malah hatimu pun roboh oleh asmara. Kau mencinta
Suling Emas?”
Seketika berhenti tangis Tan Lian
dan ia melonjak kaget, memandang kakek itu dengan muka pucat dan mata
terbelalak. Kakek itu tetap tersenyum sabar.
“Bagaimana.... bagaimana....
Locianpwe bisa tahu....?” Akhirnya Tan Lian bertanya dengan suara gagap.
Senyum kakek itu melebar, “Aku
pernah muda, anak baik, dan sudah banyak kusaksikan di dunia ini. Sudah banyak
dongeng dan peristiwa terjadi karena cinta. Kalau tidak karena cinta, agaknya
tidak akan terjadi urusanmu dengan Suling Emas, tidak akan terjadi permusuhan
yang terpendam di hatimu. Ayahmu pun menjadi korban cinta. Karena itu, kau
percayalah kepadaku, anak baik, buang jauh-jauh perasaan itu karena kulihat
bahwa kau berbakat untuk menjadi muridku. Tadinya aku tidak ada niat memiliki
murid, akan tetapi setelah dua iblis itu mengakaliku dan mencuri banyak
pengetahuanku, aku harus menurunkan kepandaianku. Kaulah yang cocok untuk
menjadi muridku, tidak saja kau berbakat, akan tetapi kau pun anak
sahabatku.”
Tan Lian menjatuhkan diri lagi
berlutut di depan kakek itu. “Ohhh, Locianpwe saya merasa seakan-akan bertemu
dengan ayah saya. Locianpwe, tolonglah saya. Saya sudah bersumpah hendak
membunuh isteri dan anak-anak Suling Emas, akan tetapi.... dia tidak punya
isteri dan.... dan memang betul saya jatuh cinta kepadanpa. Locianpwe, sudilah
Locianpwe menolong saya, mewakili orang tua saya yang sudah tiada, harap suka
usahakan perjodohan saya dengan Suling Emas. Kalau hal ini tidak terjadi, saya
merasa sia-sia hidup di dunia, dendam ayah tak terbalas, hasrat hati hendak
memunahkan dendam dengan ikatan jodoh tak tercapai....”
Kakek itu termenung sejenak.
“Suling Emas termasuk seorang di antara tokoh-tokoh aneh di dunia ini. Aku
khawatir kalau-kalau maksud hatimu akan gagal, Nak. Mengapa tidak kaubatalkan
saja dan hidup mencapai kebahagiaan penuh damai daripada kesunyian seperti aku?
Aku tanggung bahwa kebahagiaan itu akan jauh lebih sempurna daripada
kebahagiaan itu akan jauh lebih sempurna daripada kebahagiaan duniawi.”
“Cobalah dulu, Locianpwe. Belum
tentu dia tidak setuju, agaknya.... agaknya dia pun bukan tak suka kepada
saya....”
Akhirnya kakek itu
mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiklah.... baiklah, akan tetapi jangan
kau lalu membunuh diri kalau dia menolak. Berjanjilah dulu, tanpa janjimu aku
takkan mau menerima permintaanmu.”
“Saya berjanji takkan membunuh
diri kalau.... dia menolak.”
“Dan akan suka menjadi muridku,”
sambung kakek itu.
“.... dan akan suka menjadi
murid Locianpwe....”
“Bagus!” Kakek itu tampak
girang, “Nah, kau beristirahatlah, kita menanti sampai dia kembali.”
Akan tetapi pada saat itu, di
luar pondok terdengar langkah kaki orang. Tergopoh-gopoh Tan Lian berlari
ketuar, hatinya sudah tak sabar lagi untuk menyambut kedatangan Suling Emas. Ia
harus cepat melihat dengan mata sendiri bahwa pendekar itu kembali dalam
keadaan selamat. Ketika ia melangkah keluar dari pintu pondok, tiba-tiba ia
tercengang dan berdiri seperti patung, memandang laki-laki muda yang berdiri di
pekarangan rumah itu dengan mata terbelalak. Pemuda itu, yang berpakaian sederhana
seperti seorang pelajar, kelibatan lelah sekali, berwajah tampan dan keningnya
lebar, juga memandang kepadanya, mata yang sayu kelelahan itu bersinar-sinar,
wajahnya berseri-seri.
“Lian-moi (Adik Lian)....!”
Akhirnya ia berseru dan tersaruk-saruk ia melangkah maju.
“Kau....? Kenapa kau datang ke
sini?”
“Kenapa? Lian-moi, tentu saja
hendak mencarimu, menyusulmu! Lian-moi, hampir glia aku mencarimu, mengikuti
jejakmu. Lian-moi, mengapa kau di sini dan dengan siapakah kau....” Orang muda
yang bukan lain adalah Thio San itu tiba-tiba berhenti karena melihat
munculnya seorang kakek yang bersikap tenang dan bermata tajam muncul di
pintu, di belakang tunangannya.
“Thio San! Sudah berapa kali
kujelaskan kepadamu bahwa di antara kita sudah tidak ada ikatan dan tidak ada
urusan apa-apa lagi. Kenapa kau begini tak tahu malu dan masih berani
menyusulku dan mengikutiku selalu? Pergilah!”
“Tapi....”
“Pergilah, sebelum aku habis
sabar dan terpaksa bertindak kasar!”
“Tapi, Lian-moi, kita bertunangan....”
“Hemmm, kalau tidak ingat akan
hubungan itu, sudah dulu-dulu aku mengenyahkanmu dengan kekerasan. Thio San,
sejak dua belas tahun yang lalu, di depan engkau dan orang tuamu, bukankah aku
sudah menyatakan pembatalan ikatan itu? Bukankah sudah kujelaskan secara
terang-terangan apa yang menjadi sebabnya? Thio San, antara kita sudah tidak
ada apa-apa lagi. Nah, cukup, kau pergilah!” Karena hampir tidak kuat menahan
air matanya, Tan Lian lalu membalikkan tubuhnya dan lari memasuki pondok.
Pemuda itu berdiri dengan muka
pucat, sinar matanya menjadi makin sayu, wajahnya makin muram, tubuhnya
bergoyang-goyang seperti sebatang pohon terlanda angin, agaknya ia mengerahkan
seluruh tenaganya agar tidak roboh.
“Orang muda,” Kim-sim Yok-ong
berkata, suaranya halus menghibur. “Aku tidak berhak mencampuri urusanmu, akan
tetapi biarlah kuperingatkan kau bahwa perjodohan yang dipaksakan oleh sefihak
takkan membentuk rumah tangga yang berbahagia. Syarat utama perjodohan adalah
kesediaan, kerelaan dan cinta kasih kedua fihak. Karena itu, seorang laki-laki
harus dapat menguatkan hati dan rela berkorban perasaan demi mencegah dirinya
sendiri terperosok ke dalam neraka rumah tangga yang tidak bahagia.”
Suara orang lain yang memasuki
telinganya menyadarkan pemuda itu dari keadaan yang memelas (menimbulkan iba)
itu. Ia mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya, memandang tajam kepada
kakek itu ketika menjawab.
“Orang tua, aku tidak mengenal
siapakah engkau, akan tetapi karena ucapanmu bermaksud baik, aku berterima
kasih sekali kepadamu. Namun, kalau aku harus membenarkan pendapatmu itu, lalu
ke mana nanti perginya kesetiaan dan kebaktian? Jodoh yang sudah dipilihkan
orang tua semenjak kecil, harus diterima dengan rela, itu bakti namanya! Satu
kali orang bertunangan, harus ditunggu sampai mati, itu setia namanya!
Betapapun juga, kau betul, orang tua. Dia tidak suka kepadaku dan aku tidak
dapat memaksanya. Dia seorang ahli silat yang lihai, hatinya penuh dendam yang
belum terbalaskan, hidupnya bagaikan seekor naga yang melayang-layang di
angkasa dengan bebas beterbangan di antara awan dan petir! Sedangkan aku....
aku....”
“Dan kau seorang muda yang penuh
filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup menurunkan garis-garis
dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapapun mengecewakannya, manusia
yang belum mau melepaskan diri daripada kehidupan ramai, berarti belum mungkin
terlepas daripada nafsu-nafsu duniawi! Kau tidak mau mengerti bahwa orang
seperti Tan Lian hanya tunduk kepada nafsu yang menguasai hatinya, sebaliknya
kau hanya tunduk kepada peraturan tanpa mau menjenguk keadaan orang lain.
Orang muda, aku kasihan kepadamu. Kau seorang yang baik, berbakti dan setia,
akan tetapi kau lemah! Bukan lemah jasmani saja, juga lemah batinmu karena kau
malu akan kenyataan bahwa juga engkau telah dikuasai nafsu yang mendorong cinta
nafsumu terhadap Tan Lian, akan tetapi kau tidak berterus terang, malah kau
hendak menutupi cintamu dengan dalih setia dan berbakti! Sayang....”
Tiba-tiba dua titik air mata
membasahi pipi pemuda itu yang menundukkan mukanya dan berkata, “Orang tua,
kau betul. Aku cinta padanya, tapi dia menolakku. Namun, aku akan menanti
dengan sabar, seperti yang sudah kulakukan belasan tahun lamanya, karena
kulihat dia masih sendiri. Kalau dia sudah bersuamikan orang lain, barulah aku
akan mundur. Maafkan aku, orang tua,” Setelah berkata demikian, pemuda itu
menjura dan membalikican tubuh, lalu berjalan dengan langkah-langkah gontai
meninggalkan pondok.
Sampai lama Kim-sim Yok-ong
berdiri memandang dari depan pintu pondoknya sambil menggoyang-goyang kepala
dan menghela napas. “Sampai sekarang, entah sudah berapa juta orang muda
menjadi korban penyakit asmara ini. Sungguh memalukan, aku yang berjuluk
Yok-ong belum juga dapat menemukan obatnya!” Sambil menggeleng-geleng kepala ia
memasuki pondoknya dan melihat Tan Lian menangis terisak-isak sambil menutupi
muka dengan kedua tangan, kakek ini tidak mau bertanya-tanya lagi. Ia maklum
bahwa gadis ini tentu merasa menyesal, berduka, dan malu karena urusan
pribadinya telah terdengar orang lain.
“Locianpwe...., aku.... aku malu
sekali. Ah, Locianpwe tentu akan memandang rendah kepadaku.... seorang gadis
yang sudah ditunangkan sejak kecil akan tetapi berani minta tolong kepada
Locianpwe untuk menguruskam perjodohan dengan pria lain....! Kalau Locianpwe
merasa bahwa aku terlalu hina dan rendah, biarlah aku pergi dari sini dan tidak
berani mengganggumu lagi....”
“Hemmm, aku tahu keadaan hatimu,
Nak, dan tidak biasanya aku mencampuri urusan pribadi orang lain. Aku tidak
memandang rendah dan aku tetap akan memegang janjiku.” Mendengar ucapan ini,
Tan Lian berlutut dan merangkul kaki Yok-ong sambil menangis.
***
Dengan gerakan yang cepat
sekali, bagaikan terbang saja terlihat dari jauh, pendekar sakti Suling Emas
lari mendaki puncak Thai-san. Ia sengaja mencari tempat-tempat tinggi, bahkan
kadang-kadang ia meloncat naik ke atas pohon untuk melihat keadaan sekitar
pegunungan itu dalam usahanya mencari jejak dua orang iblis tua yang telah
mengacau pondok Kim-sim Yok-ong. Namun sudah sehari semalam ia mencari,
hasilnya sia-sia belaka. Pada harti ke dua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di
puncak paling tinggi dan selagi ia meneliti keadaan sekelilingnya, tiba-tiba
ia mendengar tetabuhan khim yang nyaring, merdu dan halus. Sejenak kagetlah
Suling Emas karena ingatannya melayang-layang, mengira bahwa Bu Kek Siansu
berada di tempat ini. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ia segera
mengerutkan keningnya. Suara alat musik yang-khim yang ditabuh ini, sungguhpun
cukup nyaring dan merdu, namun memiliki gaya yang liar dan iramanya
merangsang. Betapapun juga, harus ia akui bahwa tenaga yang keluar dari suara
khim ini cukup hebat, menimbulkan rangsang yang mendebarkan jantung dan bagi
orang yang kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan roboh di bawah pengaruh
suara itu.
Kemudian Suling Emas tersenyum
dan teringatlah ia akan Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-koai,
yang dapat mainkan yang-khim seganas ini? Ia ingat bahwa dahulu wanita iblis
ini telah merampas alat musik yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan agaknya
ia telah mempelajari alat musik itu, disesuaikan dengan ilmu untuk menyerang
orang, baik melalui suara yang-khim maupun dengan cara mempergunakan alat musik
itu sebagai senjata. Diam-diam Suling Emas menghitung-hitung dan memang hari
itu sudah tiba saatnya perjanjian para anggauta Thian-te Liok-koai mengadakan
pertemuan untuk mengadu ilmu di puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari
Siang-mou Sin-ni itu merupakan panggilan atau tantangan, untuk sementara
Suling Emas menunda urusannya mencari dua orang asing dan kini ia mencabut
sulingnya, meniup dan melagukannya sambil melangkah lebar ke arah datangnya
suara.
Sungguh ajaib suara yang
terdengar di hutan-hutan Gunung Thai-san pada saat itu. Kalau ada orang
mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa suara itu bukan sewajarnya,
mungkin para iblis hutan sedang berpesta. Suara suling mengalun, bergelombang
turun naik mengelus perasaan, menyegarkan akan tetapi juga memabukkan karena
memiliki daya seret yang menghanyutkan. Suara ini mengiringi atau diiringi
suara berkencringnya yang-khim yang diseling dengan “melody” yang jelas
satu-satu dan nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap bunyi
“ting!” dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya untuk
membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema di
seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar jurang yang
paling dalam.
Pertandingan jarak jauh yang
dilakukan dengan “suara” itu benar-benar amat menarik. Kini Suling Emas tidak
melangkah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya agak merah dan
dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan bahwa Siang-mou
Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk menghadapi suara
yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap sembarangan dan harus pula
mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga sin-kang. Akan tetapi, begitu
pendekar sakti ini memusatkan tenaganya, suara yang-khim makin menjadi lemah
seakan-akan terdesak suara suling yang makin melengking tinggi itu. Anehnya,
daun-daun pohon yang masih hijau segar, yang tumbuh di atas kepala dan di
dekat Suling Emas meniup sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu, melayang-layang
ke bawah dengan gerakan aneh dan lucu seakan-akan daun-daun itu menari-nari
mengikuti bunyi irama suling!
Akhirnya suara yang-khim itu
berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara Siang-mou Sin-ni dari jauh.
Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup jelas. “Suling Emas, saat
mengadu kepandaian adalah malam nanti kalau bulan sudah muncul. Aku hanya
main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”
Suling Emas juga menghentikan
tiupan sulingnya dan ia menarik napas panjang lalu tersenyum. Kata-kata itu tak
perlu dia menjawabnya. Ia tahu bahwa untuk menghadapi malam pertemuan bulan
lima tanggal lima belas, yaitu malam nanti di mana akan diadakan pertandingan
untuk menentukan tingkat masing-masing, Siang-mou Sin-ni berusaha untuk “mengukur
keadaannya” dengan suara yang-khim tadi. Dan menurut pendapatnya bahwa biarpun
ia tidak kalah oleh Siang-mou Sin-ni dalam penggunaan sin-kang di dalam suara,
namun kemajuan wanita iblis itu tak boleh dipandang ringan begitu saja dan
malam nanti akan merupakan lawan yang tangguh.
Setelah Siang-mou Sin-ni pergi,
Suling Emas teringat kembali akan dua orang kakek yang dicarinya. Ia lalu
melanjutkan usahanya mencari jejak kedua orang itu.
“Dua Locianpwe yang muncul di
pondok Kim-sim Yok-ong, silakan kduar, saya mau bicara!” Demikianlah
berkeli-kali ia berteriak dengan pengerahan khi-kangnya sehingga suaranya
bergema sampai jauh. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada jawaban kecuali gema
suaranya sendiri.
Ia melangkah terus dan tiba di
sebuah puncak lain. Di sini ia pun berdiri dan meneriakkan panggilannya seperti
tadi. Oleh karena suaranya memang keras, apalagi dengan pengerahan khi-kang,
suara itu bergema dan burung-burung yang tadinya enak-enak hinggap dan mengaso
di atas cabang-cabang pohon, berlindung dari panasnya matahari di antara
daun-daun, menjadi kaget dan beterbangan sambil bercuwit-cuwit, sekelompok
burung yang kebetulan berada di pohon dekat Suling Emas berdiri, kaget dan
kelepak sayapnya terdengar gaduh. Suling Emas mengangkat muka memandang sambil
tertawa.
Akan tetapi suara ketawanya
terhenti ketika ia melihat sinar hitam seperti asap menyambar ke atas dan
burung-burung itu yang jumlahnya belasan ekor runtuh ke bawah dan berjatuhan di
depan kaki Suling Emas. Ketika ia memandang teliti, ternyata burung itu semua
telah mati dan kulit mereka berubah menjadi hitam sedangkan bulu-bulunya
rontok! Tahulah ia bahwa bukan hanya Siang-mou Sin-ni saja yang sudah hadir di
Thai-san, dan agaknya para anggauta Thian-te Liok-koai mulai mendemonstrasikan
kelihaiannya.
“Hek-giam-lo iblis keji. Tak
perlu kau memperlihatkan kekejamanmu di hadapanku, kalau kau mau mulai
bertanding, keluarlah!”
Tidak ada jawaban kecuali suara
dengus mengejek yang disusul oleh sambaran sinar hitam yang cepat bagaikan
kilat gerakannya. Diam-diam Suling Emas kagum dan mengerti bahwa kepandaian
Hek-giam-lo dalam hal melepas senjata rahasia Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun
Awan Hitam) telah maju dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu dalam
pertandingan di puncak Thai-san ini (baca jilid pertama). Karena ini
Suling Emas tidak mau memandang rendah. Cepat tangannya sudah mencabut keluar
kipas birunya dan dengan gerakan yang diisi lwee-kang sepenuhnya ia mengibas ke
depan. Runtuhlah jarum-jarum hitam itu, semua lenyap ke dalam tanah. Akan
tetapi sinar hitam ke dua menyusul, malah lebih besar dan lebih kuat. Ketika
Suling Emas mengibaskan kipasnya lagi, sinar itu membalik, tapi hanya kurang
lebih dua meter, lalu terdorong maju lagi, mendesak terus, bahkan kini mulai
berpencar menjadi tiga bagian yang menerjang tubuh Suling Emas dari atas,
tengah, dan bawah! Suling Emas terkejut karena pada saat itu, di belakang sinar
hitam yang sudah pecah menjadi tiga bagian, tampak belasan sinar berkilauan
menyambar pula ke depan. Itulah barisan hui-to (golok terbang), senjata rahasia
dari Hek-giam-lo yang ampuh sekali di samping senjata rahasia jarum-jarum
beracunnya. Dengan cara luar biasa sekali, iblis hitam itu dapat menyambitkan
tiga belas batang golok kecil (belati) sekaligus dan tiga belas batang pisau
terbang itu secara tepat mengancam tiga belas bagian tubuh yang kesemuanya
mematikan!
“Hek-giam-lo, terlalu kau!” seru
Suling Emas dengan marah. Tangan kanannya sudah mencabut sulingnya dan
bagaikan terbang tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ketika sinar-sinar hitam itu
mengejar, ia mengibaskan kipasnya dan berbareng ia memutar sulingnya
merupakan lingkaran besar di depan tubuhnya. Ketika belasan pisau terbang itu
tiba, pisau-pisau itu “tertangkap” oleh lingkaran sinar suling, terus ikut berputar-putar
merupakan bundaran sinar berkilauan yang indah sekali.
“Terimalah kembali!” bentak
Suling Emas yang sudah turun ke bawah. Sulingnya digerakkan seperti mendorong
dan tiga betas batang pisau terbang yang tadinya beterbangan memutar-mutar di
depan Suling Emas, kini seperti belasan ekor burung terbang kembali ke
sarangnya!
Seperti juga Siang-mou Sin-ni,
tahu-tahu terdengar suara Hek-giam-lo dari jauh, “Malam nanti kita bertanding!”
Suling Emas mendongkol sekali
akan tetapi ia tidak mau mengejar karena memang saat yang dijanjikan adalah
malam nanti kalau bulan purnama sudah muncul menyinari bumi. Ia berjalan terus
mencari dua orang kakek sakti yang aneh dan kejam. Diam-diam ia merasa
khawatir juga. Dari peristiwa tadi ia mendapat kenyataan bahwa Siang-mou
Sin-ni dan Hek-giam-lo sudah memperoleh kemajuan pesat dan jauh lebih berbahaya
daripada dahulu. Tentu iblis-iblis yang lain, It-gan Kai-ong dan kakak beradik
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong juga telah memperdalam ilmu-ilmu
mereka. Dia tidak gentar menghadapi mereka, akan tetapi siapa tahu, kalau dua
orang kakek asing yang baru muncul mengacau di pondok Kim-sim Yok-ong itu
membantu para iblis, sukarlah untuk mencapai kemenangan.
“Aku harus menghadapi dua orang
kakek itu lebih dulu sebelum bertanding dengan Thian-te Liok-koai,” pikirnya
dan kembali ia melanjutkan usahanya mencari. Hari telah menjelang senja ketika
ia makin mendekati puncak di mana pertandingan antara Thian-te Liok-koai akan
diadakan.
Makin tinggi orang mendaki gunung,
makin dinginlah hawa udara. Suling Emas juga sudah mulai merasa dingin, apalagi
menjelang senja itu, puncak Thai-san diliputi hailmun yang cukup tebal. Ketika
ia memasuki sebuah hutan pohon cemara tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan
banyak pohon tumbang, malah ia lalu terpaksa berloncatan ke sana ke mari
untuk menghindarkan dirinya tertimpa batang-batang pohon yang beterbangan ke
arahnya! Suling Emas cepat menyelinap sambil meloncat ke sana-sini, kemudian
tahulah ia bahwa yang “main-main” dengan batang-batang pohon adalah Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong! Agaknya mereka berdua juga melihatnya, karena
kini mereka tertawa-tawa dan semua batang pohon dan batu-batu besar yang
mereka permainkan itu kini menimpa ke arah Suling Emas! Pendekar ini
memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya.
Biarpun ada “hujan” pohon dan
batu-batu besar, bagaikan seekor kera ia menyelinap dan mengelak ke sana-sini.
Demikian cepat dan ringan gerakannya sehingga bajunya saja tak pernah tergores
cabang pohon yang menimpanya bertubi-tubi.
“Dua iblis liar, beginikah cara
kalian menandingiku?” Suling Emas membentak dan sudah siap untuk balas
menyerang. Akan tetapi sambil tertawa-tawa dua orang iblis itu melarikan diri,
dan Suling Emas tidak mau mengejar mereka. Ia melanjutkan perjalanannya,
sementara itu cuaca mulai menjadi remang-remang dan hawa udara makin dingin.
Puncak tertinggi sudah tampak
menjulang tinggi di depan matanya. Ia sudah mulai putus asa untuk bisa
mendapatkan dua orang kakek aneh itu, karena ia sudah tidak ada waktu lagi
untuk mencari mereka. Ia harus pergi ke puncak untuk menemui dan menandingi
iblis-iblis yang berkumpul, untuk mewakili ibu kandungnya yang dulu ditantang
oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia membelok, ia melihat pemandangan
aneh sekali di pinggir anak sungai yang mengalir deras dari sumbernya.
Dua orang kakek yang
dicari-carinya selama sehari semalam itu ternyata, tanpa diduga-duga kini
berada di depannya! Si kakek putih duduk bersila di tengah sungai, tenggelam
sampai sebatas lehernya. Bukan main! Hawa udara begitu dinginnya menyusup
tulang, dan air sungai itu pun dinginnya melebihi salju, akan tetapi kakek ini
duduk bersila merendam diri, kelihatannya enak-enak tidur ataukah sedang
samadhi dengan tenangnya! Akan tetapi bukan, ia bukan sedang tidur atau
bersamadhi karena mulutnya mengomel panjang pendek, “Wah, panasnya, tak enak,
sialan benar!” Hawa udara begitu dingin, berendam di air gunung lagi, masih
mengeluh kepanasan!
Adapun kakek merah tidak kalah
anehnya. Kakek ini duduk di pinggir sungai, bersila di atas tanah, dikelilingi
api unggun yang menyala besar. Jarak antara tubuh kakek itu dengan api yang
mengelilinginya kurang dari satu meter, seluruh tubuhnya yang sudah merah itu
menjadi makin merah. Di depannya terdapat sebuah periuk terisi air yang
digodok di atas api, air yang mendidih. Dapat dibayangkan betapa panasnya
dikurung api besar sedekat itu, akan tetapi kakek ini malah menggigil
kedinginan dan kedua tangannya berganti-ganti ia masukkan ke dalam periuk penuh
air mendidih itu, lalu menyiram-nyiramkan air panas itu ke mukanya. “Waduh
dinginnya, tak tertahankan, hu-hu-huuu.... dingin....!”
Alangkah sombongnya mereka ini,
pikir Suling Emas. Ia maklum bahwa kedua orang kakek ini memang sengaja
berdemonstrasi seperti itu untuk memamerkan kepandaian mereka. Memang harus
diakui bahwa demonstrasi ini jelas membuktikan kehebatan sin-kang mereka yang
dapat membuat tubuh menjadi kebal akan rasa panas maupun dingin. Perbuatan
seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesaktian,
yang tenaga sin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi sungguh
suatu cara menyombongkan kepandaian yang amat menggelikan kalau kepandaian
seperti ini dibuat pamer, apalagi terhadap dia! Karena merasa yakin bahwa dua
orang ini sengaja memamerkan kepandaian kepadanya maka terpaksa Suling Emas
harus melayani mereka. Ia mendekati kakek putih yang berendam di dalam air
sebatas leher itu. “Ah, Locianpwe, memang kau benar, hawanya amat panas, membuat
orang ingin mandi terus. Akan tetapi aku tidak ada kesempatan mandi, biar
kurendam saja kepalaku!” Setelah berkata demikian, Suling Emas lalu
membenamkan kepalanya ke dalam air dan tidak dikeluarkannya dari dalam air
sampai lama sekali! Biarpun perbuatan ini hanya demonstrasi atau main-main,
akan tetapi jelas menang setingkat kalau dibandingkan dengan kakek putih yang
biarpun tubuhnya terendam air, akan tetapi hanya sebatas leher, kepalanya
tidak. Dan merendamkan kepala ke dalam air sedingin itu, apalagi sampai lama
sekali, tentu lebih sukar daripada merendam tubuh saja. Ketika mendengar air
itu berguncang cepat Suling Emas mengangkat kepalanya. Ia maklum bahwa pukulan
dari dalam air dapat membuat air bergelombang dan kepalanya akan terancam
bahaya luka di dalam kalau tergencet hawa pukulan melalui gelombang itu.
Kiranya kakek putih sudah berdiri dalam air yang tingginya hanya sebatas
pahanya, bajunya yang serba putih basah kuyup dan kakek itu memandang dengan
mata marah.
Akan tetapi Suling Emas tidak
mempedulikannya, melainkan segera menghapus muka dan kepalanya yang basah
sambil menghampiri kakek merah yang duduk dikurung api unggun dan main-main air
mendidih.
“Kau kedinginan, Locianpwe?
Memang hawanya dingin bukan main. Untung kau membuat api unggun!” Sambil
berkata demikian, Suling Emas menghampiri api dan memasukkan kedua tangannya ke
dalam api yang bernyala-nyala, bahkan membiarkan api itu bernyala menjilat
leher dan mukanya!
“Bocah sombong! Berani kau
memamerkan kepandaian kepada kami?” Kakek putih membentak marah dari dalam
sungai.
“Huah-hah-hah, orang muda,
bukankah kau anjing penjaga Kim-sim Yok-ong? Apakah kau menantang kami?”
“Ji-wi Locianpwe, aku hanya
mengimbangi cara kalian. Sama sekali bukan bermaksud pamer. Aku bukan penjaga,
melainkan sahabat baik Kim-sim Yok-ong yang kalian ganggu dengan cara keji
melukai banyak orang.”
“Huah-hah-hah, ada delapan orang
yang mampus, kan? Mengapa dia tidak mampu menghidupkan mereka?” kata lagi kakek
merah sambil berdiri di tengah-tengah api unggun.
“Kailan dua orang tua
benar-benar terlalu. Ji-wi ini siapakah dan mengapa melakukan pembunuhan keji
hanya untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong? Apakah dosanya orang-orang itu
dan apa pula kesalahan Yok-ong yang selalu menolong orang tanpa pandang bulu?
Tidak ada orang di dunia kang-ouw ini yang tidak menaruh sayang dan hormat
kepada Yok-ong yang berhati emas, akan tetapi kalian ini telah
mempermainkannya.”
“Heh, bocah lancang! Siapakah
kau berani bicara seperti ini kepada kami?” bentak si kakek putih.
“Ha-hah, apa peduliku dengan
orang-orang kang-ouw cacing-cacing tiada guna itu?” kata pula kakek merah. “Kau
siapakah, bocah lancang?”
“Orang mengenalku dengan sebutan
Kim-siauw-eng, Si Suling Emas!”
“Suling Emas, agaknya kau merasa
menjadi pendekar muda. Usiamu paling banyak tiga puluh tahun, masih bocah! Mana
kau mengenal kami? Yang tua-tua pun belum tentu mengenal kami. Akan tetapi
kalau kau mau tahu, aku adalah Lam-kek Sian-ong (Dewa Kutub Selatan) dan dia si
putih itu adalah Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara)! Nah, kau sudah mengenal
kami sekarang, dan kau harus mampus!” Si kakek merah ini tiba-tiba menggerakkan
tangannya ke arah api dan.... bagaikan bintang-bintang beterbangan, lidah-lidah
api itu menyambar ke arah tubuh Suling Emas!
Suling Emas kaget sekali. Baru
ia tahu bahwa demonstrasi yang dilakukan kakek ini tadi hanyalah demonstrasi
kecil saja, mungkin dilakukan karena memandang rendah kepadanya. Akan tetapi
serangan yang dilakukannya kali ini, benar-benar hebat luar biasa, merupakan
“pukulan berapi” yang luar biasa, mengandung sifat panas melebihi api sendiri.
Ia maklum bahwa inti tenaga Yang ini amat kuat, ia takkan mampu menandinginya
kalau melawan dengan kekerasan, maka cepat Suling Emas menggunakan kipasnya mengebut
sambil meloncat ke sana ke mari. Api menyala-nyala yang menyambar itu merupakan
api yang didorong oleh tenaga pukulan jarak jauh, begitu terkena dikebut,
menyeleweng arahnya dan karena kakek itu terus melakukan pukulan sedangkan
Suling Emas terus mengibas sambil mengelak tampaklah pemandangan yang indah.
Api-api itu beterbangan, merah menyala dan padam apabila runtuh menyentuh
tanah, seperti kembang api yang dinyalakan orang untuk menyambut datangnya
musim semi!
“Serahkan dia padaku!” seru si
muka putih dan tiba-tiba dari arah sungai melayang sinar-sinar putih
berkeredepan dan setelah dekat, Suling Emas merasa hawa dingin yang menembus
kulit menyelinap ke tulang-tulang. Kagetlah ia dan maklum bahwa juga kakek
putih ini benar-benar sakti. Inti tenaga Im yang dimiliki kakek itu sudah
sedemikian hebatnya sehingga ia mampu membuat air sungai dikepal menjadi salju
atau es dan dilontarkan merupakan peluru-peluru yang mengandung hawa pukulan
dingin mematikan! Seperti juga serangan api tadi, kini serangan es yang dingin
tak mampu ia menghadapinya dengan perlawanan tenaga, maka ia pun cepat mengelak
ke sana ke mari sambil menyelewengkan hujan es itu. Sebentar saja Suling Emas
menjadi sibuk sekali, kipasnya mengibas hujan api dari kanan, sulingnya
menangkis hujan peluru es dari kiri!
Adapun kedua orang kakek itu
agaknya begitu penasaran sehingga mereka tidak mau menggunakan cara lain untuk
menyerang. Berkali-kali terdengar mereka berseru kaget dan kagum. “Aneh, dia
dapat bertahan!” disusul seruan-seruan tak percaya, “Masa semua tidak mengenai
sasaran?”
Agaknya karena penasaran inilah
mereka terus melontarkan pukulan seperti tadi dan Suling Emas terus-menerus
menangkis dan meloncat ke sana ke mari menyelamatkan diri tanpa mampu balas
menyerang. Namun gin-kangnya memang sudah hebat dan gerakan kaki tangannya
sudah sempurna, maka biarpun dihujani api dan es dari kanan kiri, pendekar ini
tetap dapat mempertahankan diri. Sementara itu, senja sudah mulai terganti
malam dan bulan mulai menampakkan dirinya. Bulan bundar dan penuh, kebetulan
tidak ada awan menghalang, halimun pun sudah pergi, maka keadaan menjadi terang
benderang.
“Suling Emas....! Mengapa kau
tidak muncul? Takutkah engkau?” Terdengar teriakan yang bergema, datangnya dari
arah puncak.
Suling Emas sibuk sekali. Dua
orang kakek ini lihai bukan main, tak mungkin ia dapat meninggalkan mereka. Ia
pun tahu akan kelihaian dan kejahatan iblis-iblis yang berada di puncak. Kalau
mereka tahu bahwa ada dua orang kakek asing yang amat sakti memusuhinya, tentu
mereka akan mempergunakan kesempatan baik ini untuk memukul roboh padanya.
Maka ia pun diam saja.
“Huah-hah-hah, agaknya bocah ini
banyak musuhnya. Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), biar kita beri kesempatan
padanya untuk menghadapi musuhnya, baru nanti kita turun tangan, takkan
terlambat.”
“Baiklah, Ang-bin-siauwte (Adik
Muka Merah) kita nonton, sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh jaman sekarang!”
Seketika hujan api dan hujan es
itu terhenti dan ketika Suling Emas memandang, kedua orang kakek itu sudah
lenyap dari tempat itu! Ia menarik napas panjang, menyusut peluhnya dan
berkata seorang diri, “Berbahaya....! Mereka benar lihai. Apa maksud kedatangan
mereka di dunia ramai? Nama mereka tidak dikenal di dunia kang-ouw, tanda
bahwa mereka adalah pertapa-pertapa yang puluhan tahun menyembunyikan diri,
mengapa sekarang tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu Kim-sim Yok-ong?”
Suling Emas mengerutkan keningnya dan diam-diam ia ingin melihat gerakan ilmu
silat mereka untuk mencoba-coba menerka, dari golongan manakah kakek merah dan
kakek putih itu. Tingkat tenaga inti dari Im dan Yang sedemikian tingginya,
kiranya hanya dicapai oleh para guru besar dari partai-partai persilatan besar
pula, hasil latihan matang selama puluhan tahun.
“Suling Emas! Apakah kau tidak
berani muncul?” kembali terdengar seruan suara parau yang menggunakan khi-kang.
Suling Emas mengenal suara ini, suara It-gan Kai-ong, maka ia lalu mengerahkan
khi-kangnya, berseru keras.
“Aku Kim-siauw-eng datang!”
Tubuhnya berkelebat cepat bagaikan terbang menuju ke puncak itu. Bulan purnama
bersinar terang, dan Suling Emas memang sudah sering kali mendaki pegunungan
ini sehingga ia hafal akan jalannya, maka di bawah penerangan bulan purnama,
sebentar saja ia sudah sampai di puncak.
Ternyata mereka sudah hadir
lengkap di puncak yang merupakan tanah terbuka ditumbuhi rumput hijau. Lengkap
hadir para anggauta Thian-te Liok-koai yang kini hanya tinggal lima orang itu.
It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, Toat-beng Koai-jin, dan adiknya,
Tok-sim Lo-tong. Mereka sudah tidak sabar lagi menanti, dan mengomel panjang
pendek ketika akhirnya Suling Emas muncul.
“Anggauta Thian-te Liok-koai
selalu berlumba untuk lebih dulu hadir dalam pertemuan mengadu kepandaian,
membuktikan bahwa ia berani. Dia ini main lambat-lambatan, anggauta macam apa
ini!” Toat-beng Koai-jin mendengus dan marah-marah.
“Memang dia tidak patut menjadi
anggauta Thian-te Liok-koai! Cuhhh!” It-gan Kai-ong meludah dengan sikap
menghina sekali.
“Sudah menjadi pendirian
Thian-te Liok-koai bahwa anggauta-anggautanya terdiri daripada orang-orang
gagah yang suka melakukan perbuatan berani dan gagah! Akan tetapi dia ini tidak
gagah berani, melainkan lemah dan pengecut, buktinya dia selalu memperlihatkan
watak lemahnya dengan menolong orang-orang!”
***
Mendengar ucapan Hek-giam-lo ini
semua orang mengangguk-angguk membenarkan. Diam-diam Suling Emas mengeluh di
dalam hatinya. Memang, baik dan jahat, gagah dan pengecut, semua hanya sebutan
manusia, dan karenanya baik atau pun bucuk, gagah ataupun pengecut, sepenuhnya
tergantung daripada orang yang mengatakannya, yaitu berdasarkan pandangannya.
Iblis-iblis berupa manusia ini memang wataknya berlainan dengan manusia biasa,
akan tetapi mereka tidak sengaja bersikap demikian, karena memang menurut
pendapat mereka, pandangan mereka itu pun benar pula! Dari jaman dahulu sampai
kini banyak terdapat orang-orang seperti ini, yang hatinya sudah tertutup dan
kotor sehingga pandangannya pun kotor dan nyeleweng tanpa mereka sadari. Perbuatan
ugal-ugalan, mengganggu orang, menindas, mengandalkan kekuasaan dan kekuatan,
mengganggu wanita baik-baik, menonjolkan kekurangajaran, semua perbuatan ini
mereka anggap sebagai perbuatan gagah berani, atau setidaknya sebagai bukti
bahwa mereka ini gagah berani dan mereka bahkan menjadi bangga karena
perbuatan-perbuatan itu. Sebaliknya, orang-orang yang menghindari
perbuatan-perbuatan semacam ini, yang selalu berusaha mengasihi sesamanya,
mengulurkan tangan menolong sesamanya, dianggap sebagai tanda dari watak
penakut dan pengecut!
“Hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni
tertawa terkekeh dan memasang muka semanis-manisnya ketika ia mendekati Suling
Emas, memandang wajah yang tampan itu, lalu berkata, “Betapapun juga,
kepandaiannya cukup lumayan untuk membuat ia patut menjadi anggauta Thian-te
Liok-koai. Tentang sifat-sifat gagah berani itu, biarlah kelak aku sendiri yang
akan membimbingnya. Aku akan membuat hatinya lebih kuat daripada hati kalian,
aku akan mengajarnya menjadi seorang yang paling gagah dan paling berani di
dunia ini!” Kembali iblis betina itu terkekeh dan dari rambutnya semerbak bau
wangi. Tentu saja yang dimaksudkan dengan “hati kuat” adalah hati yang kejam
dan ganas, sedangkan “gagah berani” adalah suka melakukan perbuatan yang paling
jahat mengerikan. Ketika Siang-mou Sin-ni mengulurkan tangan hendak
menggandengnya, Suling Emas melangkah mundur sambil mengelak.
“Eh, Suling Emas, mengapa kau
mundur? Bukankah tadi kita sudah main-main dan permainan bersama kita
menghasilkan perpaduan yang sedap didengar? Percayalah, kalau kau dan aku
bersatu, kelak kita akan mempunyai seorang putera yang akan menjadi raja yang
menguasai seluruh jagad!”
Suling Emas melangkah maju dan
berkata, suaranya keren, “Dengarlah kalian berlima! Aku datang bukan dengan
maksud hendak menjadi anggauta Thian-te Liok-koai, oleh karena itu tidak perlu
kalian menilai diriku apakah aku patut atau tidak menjadi rekan kalian! Aku
datang mewakili mendiang ibuku yang ditantang oleh It-gan Kai-ong untuk ikut
dalam adu ilmu di antara Thian-te Liok-koai, dan di samping itu, aku hendak
minta kembali tongkat pusaka Beng-kauw dari tangan Hek-giam-lo juga sekalian
aku memang mempunyai perhitungan dengan kalian semua. It-gan Kai-ong harus
mengembalikan kitab yang dirampasnya dari tangan Locianpwe Bu Kek Siansu, juga
Hek-giam-lo, sedangkan Siang-mou Sin-ni harus mengembalikan yang-khim. Adapun
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong yang kena dibujuk It-gan Kai-ong untuk
menjadi kaki tangan Suma Boan, sebaiknya kembali saja ke tempat asal kalian di
pulau-pulau kosong!”
“Wah-wah, dia cukup berani!
Memaki-maki kita, mengusir kami berdua! Biarkan dia ikut dalam adu
kepandaian!” kata Toat-beng Koai-jin. Memang tokoh-tokoh hitam ini paling suka
melihat orang yang berani, apalagi yang kejam, karena watak ini cocok dengan
selera mereka.
“Baiklah, kita mulai dan kali
ini kita harus bersungguh-sungguh untuk dapat menentukan urutan tingkat dalam
Thian-te Liok-koai, siapa yang paling pandai disebut twako (kakak tertua), yang
ke dua ji-ko (kakak ke dua) dan seterusnya. Yang mampus dalam adu ilmu ini
takkan dikubur, bangkainya akan menjadi makanan binatang buas dan burung gagak,
tulang-tulangnya akan diperebutkan anjing-anjing hutan!” kata It-gan Kai-ong
sambil meludah-ludah.
“Bagus, kita mulai!” teriak
Siang-mou Sin-ni dan Hek-giam-lo berbareng. Lima orang itu serentak meloncat
mundur, masing-masing melompat mundur kira-kira dua tombak jauhnya dan kini
mereka memasang kuda-kuda, mata mereka melirik-lirik mencari korban. Karena
maklum bahwa mereka ini adalah orang-orang sakti yang aneh, Suling Emas juga
tidak mau menjadi sasaran di tengah-tengah dan ia pun melompat mundur. Kini
enam orang itu merupakan lingkaran yang menghadap ke dalam, menanti saat untuk
merobohkan lawan dalam pertandingan campuran itu, di mana tidak ada kawan,
semua adalah lawan yang harus dikalahkan, kalau perlu dibunuh!
“Siapa berani menyerangku?”
It-gan Kai-ong mengejek. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tok-sim Lo-tong yang
menerjangnya dari samping kiri sambil mengeluarkan senjatanya yang berupa
seekor ular hidup. Terjangan ini dibarengi pekik nyaring yang tidak menyerupai
pekik manusia lagi, melainkan lebih pantas keluar dan mulut seekor binatang
buas atau agaknya begitulah suara iblis. Memang aneh sekali watak orang-orang
ini. Tok-sim Lo-tong bersama kakaknya, Toat-beng Koai-jin tadinya dapat
diperalat It-gan Kai-ong dan bekerja sama dengan raja pengemis itu. Akan
tetapi dalam pertemuan di puncak Thai-san ini, di mana mereka hendak
memperebutkan kedudukan sebagai saudara tua yang paling lihai di antara
mereka, lenyaplah segala persahabatan, segala hubungan, satu-satunya nafsu yang
menguasai mereka adalah menang sendiri dan menjadi jagoan nomor satu!
Serangan Tok-sim Lo-tong ini
hebat sekali, tangan kirinya yang mencenakeram ke depan mengeluarkan sambaran
angin pukulan yang mengeluarkan bunyi seperti suara tikus, bercicitan,
sedangkan ular yang ia pegang dengan tangan kanan itu meluncur ke depan
menggigit dan mengeluarkan racun dari semburan mulutnya! Jangan dipandang
rendah racun ular itu karena binatang yang dijadikan senjata ini adalah ular
beracun yang amat berbahaya, yang mempunyai bisa disebut “racun api” karena
racun itu dapat membakar hangus apa saja yang disentuhnya. Juga cengkeraman
tangan kiri Bocah Tua Hati Racun (Tok-sim Lo-tong) ini mengandung tenaga dalam
yang penuh dengan racun dingin, merupakan racun yang berlawanan dengan ular di
tangan kanannya, namun tidak kalah hebatnya karena sekali saja pukulan tangan
kirinya mengenai sasaran, dapat membikin beku jantung dan darah.
Namun Tok-sim Lo-tong boleh jadi
berbahaya bagi lawan manusia biasa, menghadapi It-gan Kai-ong ia menemukan
tanding. Dengan suara ketawa terbahak, raja pengemis ini menyambut serangan
Tok-sim Lo-tong dengan sama dahsyatnya. Kakek mata satu ini mengangkat tongkat
bututnya, ditusukkan ke arah mulut ular sedangkan dia sendiri meludah tiga kali
berturut-turut yang ditujukan ke arah tiga jalan darah di sepanjang lengan kiri
lawan yang menyerangnya. Jadi, serangan Tok-sim Lo-tong itu dibalas serangan
pula oleh It-gan Kai-ong!
“Uh-uh!” Lo-tong menjerit marah
dan tentu saja ia mengerahkan kedua lengannya, yang kanan untuk menghindarkan
ularnya dari tusukan maut sedangkan yang kiri untuk menghindari sambaran air
ludah yang lebih berbahaya daripada senjata rahasia beracun. Kemudian ia
mendesak lagi dengan memutar ularnya seperti kitiran angin cepatnya, sedangkan
tangan kirinya tetap melakukan pukulan sebagai selingan.
“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong
tertawa mengejek dan ia pun memutar tongkatnya mengimbangi lawan dan di lain
saat keduanya sudah berhantam dengan seru. Biarpun tongkat di tangan It-gan
Kai-ong itu hanya tongkat butut, namun kalau sudah ia mainkan seperti itu,
dapat melawan senjata baja yang bagaimana keras dan tajam pun. Sebaliknya,
senjata hidup di tangan Tok-sim Lo-tong juga demikian, kecuali bagian lemah
yang terletak di mulut dan mata ular itu, tubuh ular telah dilindungi kulit
yang kebal dan tahan bacokan senjata tajam. Pertandingan antara dua orang tokoh
iblis dunia ini hebat sekali, angin yang berputar-putar seperti angin puyuh
membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan daun-daun pohon
banyak yang rontok!
Sementara itu, Hek-giam-lo,
orang ke dua yang sama licik dan curangnya dengan It-gan Kai-ong, segera
menggerakkan senjata sabitnya yang mengerikan dan tajam seperti pisau cukur
itu, tanpa peringatan lagi ia menerjang Toat-beng Koai-jin yang berdiri di
sebelah kirinya. Mengapa ia memilih lawan Toat-beng Koai-jin? Inilah kecerdikan
setan hitam itu. Menurut perhitungannya, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni,
apalagi dengan Suling Emas, Toat-beng Koai-jin ini adalah lawan yang lebih
empuk, maka ia tidak menyia-nyiakan waktu terus saja meniilih Toat-beng
Koai-jin sebagai lawannya yang ia yakin akan dapat ia jatuhkan dalam waktu
singkat.
Toat-beng Koai-jin si manusia
liar yang gendut berpunuk seperti kerbau itu, bertelanjang baju, menggereng
seperti binatang biruang luka, kemudian kedua tangannya mencakar-cakar dengan
kuku-kukunya yang panjang runcing. Di lain saat sudah ada tiga buah batu besar
dan dua batang pohon menyambar ke arah Hek-giam-lo. Iblis Hitam ini tentu saja
dapat mengelak cepat, akan tetapi ketika ia menerjang lagi, si punuk liar itu
sudah memegang sebatang pohon besar, dipergunakan sebagai senjata, mengamuk
dan menerjang Hek-giam-lo! Repot juga Hek-giam-lo diterjang dengan senjata
pohon yang penuh cabang ranting dan daun-daun itu. Ia membabat dengan sabitnya
dan beterbanganlah daun-daun dan ranting pohon itu bagaikan hujan. Sebentar
saja pohon di tangan Toat-beng Koai-jin sudah tinggal batangnya saja yang
dipergunakan oleh Toat-beng Koai-jin sebagai senjata tongkat besar, tongkatnya
yang sebesar balok bergaris tengah tiga puluh senti itu ia putar-putar di atas
kepala sehingga sinar bayangannya menyelimuti seluruh tubuhnya. Segera kedua
orang iblis ini sudah saling terjang dan terlibat dalam pertandingan yang tidak
kalah serunya dengan pertandingan antara It-gan Kai-ong dan Tok-sim Lo-tong.
Hanya bedanya, pertandingan ini mengakibatkan batu-batu kecil beterbangan ke
atas dan tanah menjadi debu bergulung-gulung menyuramkan pandangan mata yang
hanya diterangi sinar bulan purnama.
Suling Emas sudah siap siaga
ketika ia melihat orang terakhir, Siang-mou Sin-ni melangkah dan menghampirinya
dengan langkah seperti harimau lapar, dengan pinggul digoyang-goyang, lenggang
dibuat-buat, disertai senyum manis dan sepasang mata ini berkilat-kilat
memantulkan sinar bulan. Deretan gigi putih berkilauan mengintai dari balik
bibir mengulum senyum, Suling Emas bersikap makin waspada dan siap, karena ia
cukup mengenal iblis betina ini. Makin manis sikapnya, makin berbahayalah iblis
ini. Diam-diam ia harus kecantikan Siang-mou Sin-ni. Seorang wanita yang sudah
masak, yang sukar dicari cacatnya dari rambut yang halus hitam panjang berbau
harum itu sampai kepada wajah cantik jelita dan bentuk tubuh yang ramping padat
dan sepasang kaki tangan yang kecil menarik. Patut disayangkan seorang wanita
yang berdarah bangsawan Kerajaan Hou-han ini tersesat menjadi seoranp manusia
iblis yang keji. Kalau Suling Emas teringat akan perbuatan-perbuatan jahat
Siang-mou Sin-ni, lenyaplah rasa sayang dan kasihannya. Entah berapa banyak
manusia dan kanak-kanak tidak berdosa tewas di tangan iblis wanita ini, dihisap
darahnya hidup-hidup untuk dijadikan obat kuat! Mengingat akan kekejaman ini,
ia bergidik dan timbul niatnya untuk membasmi wanita iblis ini agar lenyap
sebuah ancaman bagi keselamatan manusia.
Akan tetapi wanita itu tidak
segera menyerangnya seperti yang disangka oleh Suling Emas, bahkan mendekatinya
sambil tersenyum-senyum dan matanya mengerling tajam.
“Suling Emas, biarkan si goblok
itu saling gempur sendiri. Kita tidak begitu goblok untuk bunuh-membunuh di
malam seindah ini, bukan? Lihat, betapa indahnya bulan, betapa cemerlang dan
sejuknya hawa udara. Suling Emas, kita biarkan mereka itu saling gebuk dan
saling bunuh, nanti dengan mudah kita bereskan mereka semua anjing-anjing busuk
itu, Sekarang mari kita menonton mereka sambil mengobrol di bawah sinar bulan
purnama, asyik dan nikmat, kan? Aku merindukan dirimu semenjak pertama kita di
sini dahulu. Marilah, sayang!” Sambil berkata demikian, dengan bibir tersenyum
dan mata setengah terkatup wanita itu mengembangkan kedua lengannya seperti
hendak memeluk Suling Emas.
Suling Emas melangkah mundur,
mengibaskan lengan bajunya dengan marah. “Siang-mou Sin-ni, simpanlah bujuk
rayumu untuk orang lain. Aku bukanlah laki-laki seperti yang kaukehendaki.
Lebih baik kau insyaflah, tebus dosa-dosamu dengan bertapa dan membersihkan
batin. Kalau tidak mungkin aku sendiri yang akan mengantar kau kembali ke alam
asalmu!”
Tiba-tiba sepasang mata yang
tadi setengah terkatup bersinar mesra itu terbuka lebar dan sinarnya kini penuh
kekejian. Mulut itu masih tersenyum, akan tetapi matanya membayangkan
kebencian yang memuncak. Kennudian, tiba-tiba wanita itu menjerit dan menubruk
maju, didahului rambutnya yang panjang menyambar hendak menangkap Suling Emas.
Wanita yang tadinya seperti seorang puteri jatuh cinta, yang gerakannya lemah
gemulai dan penuh bujuk rayu itu, kini tiba-tiba berubah menjadi siluman
betina yang haus darah!
“Kalau begitu, mampuslah kau!”
teriaknya mengikuti serbuannya.
Suling Emas cepat menggerakkan
kipasnya mengebut pergi rambut itu dan sulingnya berkelebat menjadi sinar
keemasan menotok ke arah leher Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi wanita sakti ini
dapat mengelak dan melanjutkan serangannya dengan dahsyat dan penuh
kebencian. Kini tangan kirinya memegang sebuah yang-khim sebagai senjata dan
bertempurlah mereka berdua dengan seru dan mati-matian.
Tempat yang indah dan romantis,
puncak Thai-san yang biasanya sunyi hening dan yang tentu akan menarik
perhatian kaum pertapa sebagat tempat suci itu kini menjadi medan pertandingan
mati-matian yang mengerikan. Enam orang yang sedang bertempur itu kesemuanya
memiliki kesaktian yang tinggi. Angin pukulan mereka membuat daun-daun rontok,
semua batu-batu pecah berhamburan dan debu mengebul tinggi. Suara angin pukulan
mereka berciutan mengerikan dan dalam jarak belasan meter batang-batang pohon
yang terlanda angin pukulan berguncang-guncang seperti didorong oleh tenaga
raksasa.
Dasar lima orang manusia iblis
itu berwatak aneh dan liar, maka dalam melakukan pertandingan untuk menentukan
siapa yang paling unggul, sama sekali tidak dipergunakan aturan sehingga
pertempuran itu dari kacau-balau dan penuh nafsu membunuh. Dan memang
masing-masing memiliki keistimewaan sendiri maka tidaklah mudah bagi yang
seorang untuk mengalahkan yang lain.
Betapapun juga, menghadapi
It-gan Kai-ong yang luar biasa dan yang telah memiliki sebagian daripada kitab
rampasan dari Bu Kek Siansu, lambat-laun Tok-sim Lo-tong terdesak hebat. Karena
merasa penasaran bahwa Tok-sim Lo-tong selalu dapat menahan serangannya
sungguhpun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga, akhirnya It-gan Kai-ong memekik
keras dan mulailah ia menggerakkan tongkatnya menurut ilmu barunya yang ia
pelajari daripada kitab rampasannya yang hanya setengahnya itu. Namun hasilnya
sudah hebat sekali. Serangkum angin pukulan berpusing menyerbu ke arah Tok-sim
Lo-tong. Iblis ini mengeluarkan seruan kaget, cepat ia memutar pula ularnya.
“Prakkk!” ujung tongkat It-gan
Kai-ong tepat sekali menghantam kepala ular sehingga kepala ular itu pecah
berantakan. Tok-sim Lo-tong menjerit marah dan ia menyambitkan bangkai ular ke
arah lawannya. Namun sekali menangkis, bangkai ular itu terlempar ke samping,
ke arah gerombolan pepohonan di sebelah kiri. Terdengar jerit mengerikan dan
tubuh seseorang yang tak dikenal terguling-guling roboh, sebagian dari tubuh
ular itu masuk ke dalam dadanya. Demikian hebatnya sambitan itu! Kiranya orang
yang terkena sambitan itu adalah seorang tosu yang tadinya menonton sambil
bersembunyi.
Pada saat berikutnya, terdengar
Siang-mou Sin-ni terkekeh genit, rambutnya menyambar ke kanan dan di saat
berikutnya rambutnya telah “menangkap” seorang hwesio yang tak mampu
melepaskan diri, biarpun sudah meronta-ronta sekuat tenaga. Siang-mou Sin-ni
menggerakkan kepalanya dan tubuh hwesio itu terangkat lalu diputar-putar
seperti kitiran, dijadikan senjata melawan Suling Emas!
“Iblis keji! Lepaskan dia!” seru
Suling Emas yang terpaksa mengelak ke sana sini karena tidak mau menangkis
yang akibatnya tentu menewaskan hwesio penonton yang tak bersalah itu. Akan
tetapi Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh dan terus menerjang makin hebat. Dengan
menggunakan gin-kangnya, Suling Emas mendahului meloncat ke atas dan dari atas
sulingnya bergerak menghantam rambut yang mengikat hwesio itu, sedangkan tangan
kirinya merampas tubuh si hwesio. Hwesio itu dapat terampas dan terlepas, akan
tetapi alangkah kaget hati Suling Emas melihat bahwa hwesio itu sudah tewas,
lehernya hampir putus oleh jiratan rambut tadi! Ia melemparkan mayat itu ke
samping lalu menerjang maju penuh kemarahan. Wamta iblis itu menyambutnya
sambil terkekeh mengejek.
Agaknya sudah banyak berkumpul
tokoh-tokoh kang-ouw yang cukup tabah untuk menonton pertandingan hebat ini,
yang memang sudah tersiar luas di dunia kang-ouw. Celakanya, ketabahan harus
dibayar mahal sekali sehingga dalam waktu beberapa detik saja, dua orang sudah
menjadi korban. Lebih hebat lagi, agaknya hal ini menimbulkan kegembiraan hati
yang buas dan liar itu, karena terdengar It-gan Kai-ong tertawa-tawa, untuk
sementara mengurangi desakannya pada Tok-sim Lo-tong dan ia meludah
sejadi-jadinya ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dan beberapa orang
sudah terluka oleh ludah-ludah itu. Sibuklah kini di balik pepohonan itu
karena orang-orang yang tadinya menonton mulai jerih, beramai-ramai
mengundurkan diri sambil membawa teman-teman yang tewas atau terluka. Akan
tetapi tampak sinar terang berkelebat dan dua orang di antara mereka terjungkal
tanpa kepala lagi. Kiranya Hek-giam-lo tidak mau ketinggalan dan berpesta
dengan senjata sabitnya. Hal ini ditambah dengan hujan batu besar dan
pohon-pohon yang dilontarkan oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
Setelah para penonton yang tak
diundang itu kalang-kabut pergi menjauhi tempat maut itu, pertandingan
dilanjutkan, lebih gembira dan lebih dahsyat daripada tadi. Tok-sim Lo-tong
kini sudah meniru kakaknya, menggunakan sebatang pohon untuk menghadapi It-gan
Kai-ong. Akan tetapi karena keistimewaannya adalah senjata ular hidup, ia
tidaklah begitu cekatan seperti kakaknya dan beberapa belas jurus kemudian,
tongkat It-gan Kai-ong yang gerakannya berpusing aneh itu berhasil mengetuk
tangannya sehingga sambil berterik kesakitan Tok-sim Lo-tong terpaksa
melepaskan senjatanya sambil bergulingan ke kiri dikejar It-gan Kai-ong yang
tertawa-tawa.
Ketika Tok-sim Lo-tong terguling
di dekat Hek-gia-lo, mendadak iblis hitam ini meninggalkan Toat-beng Koai-jin
dan mengayun sabitnya membacok ke arah kepala Tok-sim Lo-tong! Iblis gundul
kurus kering ini cepat mengelak sambil meloncat berdiri sehingga sabit itu
luput makan lehernya dan amblas ke dalam tanah sambil mengeluarkan api ketika
terbentur batu-batu yang terbabat seperti agar-agar saja!
Terdengar teriakan keras dan
pnhon besar di tangan Toat-beng Koai-jin menyambar ke arah Tok-sim Lo-tong
yang baru saja terbebas dari maut di tangan Hek-giam-lo. Tok-sim Lo-tong
meloncat tinggi menghindari serangan kakaknya sendiri, akan tetapi ia
terhuyung-huyung oleh sambaran angin pukulan dengan batang pohon ini. Hebatnya,
Siang-mou Sin-ni agaknya melupakan Suling Emas dan kini wanita itu pun
menerjang Tok-sim Lo-tong yang sudah terhuyung-huyung, menggunakan rambutnya
yang panjang mengirim serangan maut!
Suling Emas berdiri bengong.
Lima orang itu memang patut dijuluki iblis. Mereka begitu licik dan curang sehingga
dalam pertandingan menentukan kedudukan ini, mereka tidak segan-segan untuk
mengeroyok Tok-sim Lo-tong yang terdesak hebat, menggunakan serangan-serangan
maut. Bahkan Toat-beng Koai-jin, kakak Tok-sim Lo-tong sendiri, ikut pula
mengeroyok, seakan-akan lupa bahwa yang dikeroyok itu adalah adiknya sendiri!
Adakah manusia yang lebih ganas daripada mereka ini?
Namun, boleh dipuji kepandaian
Tok-sim Lo-tong. Biarpun ia tadi terhuyung-huyung, namun menghadapi serangan
Siang-mou Sin-ni, ia masih dapat menggerakkan kedua tangan mengirim
pukulan-pukulan dengan sin-kang sehingga gumpalan rambut yang menyambar ke
arahnya itu dapat tertahan oleh hawa pukulannya, malah kini tangannya
membentuk cakar setan untuk mencengkeram rambut itu! Pada saat itu, tampak berkelebatnya
sabit Hek-giam-lo yang membabat ke arah tangannya sehingga terpaksa Tok-sim
Lo-tong menarik kembali tangannya. Tongkat It-gan Kai-ong menyambutnya dari
belakang dan batang pohon di tangan Toat-beng Koai-jin juga sudah menyambar
pula dari depan! Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak dan menggunakan ilmunya
menggelinding seperti bola ke sana ke mari, gesit dan cepat sekali. Namun empat
orang pengeroyoknya tidak memberi ampun dan pada saat ia meloncat bangun
menghindarkan bacokan Hek-giam-lo, pundaknya keserempet tongkat It-gan
Kai-ong. Si gundul kurus kering ini memekik kesakitan dan membalikkan tubuh
hendak mengamuk. Namun cabang-cabang pada batang pohon yang menyambarnya telah
menyapu kakinya sehingga ia roboh terguling.
“Tranggggg!” Sinar kuning emas
menangkis sabit yang membacok kepala Tok-sim Lo-tong dan menangkis pula
tongkat It-gan Kai-ong, bahkan kipasnya mengebut rambut-rambut Siang-mou
Sin-ni. Kiranya Suling Emas yang menolong Tok-sim Lo-tong. Pendekar ini tak
dapat tinggal diam saja menyaksikan pertandingan yang berat sebelah dan tidak
adil. Mana ada aturan mengeroyok orang yang sudah terdesak? Benar-benar mereka
itu tidak mengenal watak gagah tidak mau peduli akan norma-norma yang berlaku
pada tokoh-tokoh kang-ouw. Biasanya, sungguhpun golongan hitam yang terdiri
daripada penjahat, masih enggan melakukan perbuatan yang memalukan dan
bersifat pengecut. Akan tetapi iblis-iblis ini benar-benar tak tahu malu dan
terpaksa Suling Emas turun tangan membantu Tok-sim Lo-tong yang dikeroyok oleh
empat orang rekan-rekannya para anggauta Thian-te Liok-koai termasuk kakaknya
sendiri Toat-beng Koai-jin!
Campur tangan Suling Emas
membuat pertandingan menjadi kacau-balau dan secara otomatis mereka itu
masing-masing memilih lawan terdekat dan di lain saat It-gan Kai-ong sudah
bergebrak melawan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni bertanding dengan Toat-beng
Koai-jin, sedangkan Tok-sim Lo-tong yang kini sudah menyambar sebatang pohon
itu kini menyerang mati-matian kepada Suling Emas yang baru saja membebaskannya
daripada ancaman maut! Semua keadaan yang tidak tahu aturan, tidak mengenal
budi, dan liar ganas seenaknya sendiri ini berjalan tanpa kata-kata.
Diam-diam Suling Emas menjadi
bingung juga. Ia tidak mau terlalu mendesak Tok-sim Lo-tong karena ia tahu
bahwa begitu si gundul kurus kering ini ia desak, tentu yang lain-lain akan
turun tangan mengeroyok Tok-sim Lo-tong! Oleh karena inliah maka ia hanya
mempertahankan diri sambil memperhatikan jalannya pertandingan antara
pasangan-pasangan lain. Juga ia sempat melihat bahwa banyak juga tokoh kang-ouw
yang masih bersembunyi menonton, akan tetapi mereka kini tidak berani terlalu
mendekati tempat itu, melainkan nooton dalam jarak yang cukup aman.
Mendadak terdengar suara
“cring-cring-cring” yang amat nyaring dan menggetarkan jantung. Suling Emas
kaget sekali, mengenal suara itu yang ternyata keluar dari alat musik yang-khim
di tangan Siang-mou Sin-ni! Betul saja Toat-beng Koai-jin yang terserang suara
ini karena ia bertanding melawan Siang-mou Sin-ni, tidak kuat melawan pengaruh
suara yang mengikat semangat ini, ilmu yang dicuri oleh Siang-mou Sin-ni
menggunakan yang-khim milik Bu Kek Siansu. Kakek berpunuk yang liar itu
tiba-tiba menjadi pucat dan terhuyung-huyung ke belakang. Tahu-tahu kedua
kakinya sudah terkena sambaran rambut Siang-mou Sin-ni yang menariknya sehingga
kakek liar itu terjengkang ke belakang. Seperti tadi ketika Tok-sim Lo-tong
terdesak, kini mereka berempat, Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong, dan Tok-sim
Lo-tong bersama Siang-mou Sin-ni serentak menyerang Toat-beng Koai-jin yang
sudah roboh!
“Pengecut, tahan!” seru Suling
Emas melompat untuk membantu Toat-beng Koai-jin. Namun terlambat karena ketika
ia tiba di dekat kakek itu, sabit di tangan Hek-giam-lo telah membacok kepala,
sedangkan tongkat It-gan Kai-ong sudah menusuk dada dalam detik hampir
berbareng, sedangkan rambut Siang-mou Sin-ni yang terbagi menjadi dua merobek
tubuh kakek itu dengan menarik kedua kaki ke kanan kiri disusul oleh hantaman
balok pohon oleh Tok-sim Lo-tong. Betapapun saktinya Toat-beng Koai-jin,
tubuhnya seketika menjadi remuk dan terobek-robek, hancur!
“Kejam! Kalian iblis-iblis
ganas!” bentak Suling Emas yang segera mengamuk dengan sulingnya. Saking
hebatnya gerakan Suling Emas, Tok-sim Lo-tong tak dapat menghindarkan dirinya
dan sekali dadanya terkena totokan suling, kakek ini pun roboh dengan nyawa
putus, rohnya melayang menyusul kakaknya.
“Heh-heh-heh, Toat-beng Koai-jin
menjadi anggauta ke enam karena dia mampus lebih dulu. Tok-sim Lo-tong menjadi
anggauta ke lima, setingkat lebih tinggi daripada kakaknya. Lucu!” kata It-gan
Kai-ong tertawa-tawa. Hek-giam-lo hanya mendengus dan Siang-mou Sin-ni
cekikikan. Kini tinggal empat orang yang masih hidup dan otomatis mereka
berdiri di empat sudut, memasang kuda untuk memperebutkan kemenangan.
“Kalian iblis-iblis ganas, malam
ini aku Suling Emas bersumpah hendak membasmi kalian bertiga!” seru Suling
Emas. Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali dan dia
sekaligus sudah membagi-bagi serangan kepada tiga orang lawannya secara
beruntun. Karena maklum bahwa tiga orang lawannya ini merupakan orang-orang
terlihai dari Thian-te Liok-koai, maka dalam serangannya ini Suling Emas
mengeluarkan ilmunya berdasarkan Hong-in-bun-hoat yang dahulu ia terima dari
Bu Kek Siansu. Tidak saja gerakannya berdasarkan ilmu silat huruf yang hebat
ini, juga ia mengerahkan tenaga Kim-kong Sin-im sehingga ketika bergerak,
sulingnya mengeluarkan bunyi yang dahsyat dan menggetarkan isi dada ketiga
orang lawannya. Hebat sekali gerakan Suling Emas ini, sulingnya berubah seperti
halilintar menyambar, sinarnya menyilaukan mata para lawannya, apalagi
dibarengi suara melengking tinggi itu, benar-benar mengejutkan lawan yang
sambil memekik mereka melompat mundur dengan gerakan mempertahankan diri.
Mereka selamat dari penyerangan pertama ini, namun tidak urung mereka merasa
gentar juga dan jantung mereka berdebar-debar.
Tiga orang iblis ini adalah
orang-orang yang cerdik dan licik. Maklumlah mereka bahwa pendekar muda ini benar-benar
tak boleh dibuat main-main, kepandaiannya meningkat hebat semenjak pertemuan
terakhir. Oleh karena itu, kini pendirian mereka pun berubah. Mereka tidak mau
saling serang antara kawan sendiri dan bermaksud menggabungkan tenaga tiga
orang untuk menghadapi Suling Emas.
Tanpa kata-kata, tiga orang
iblis ini sudah bersepakat dalam hal ini, maka otomatis mereka melakukan
gerakan menyudut dan mengurung Suling Emas dari sudut segi tiga. Rambut yang
hitam halus dan panjang dari Siang-mou Sin-ni melebar tegak lurus seperti duri
landak, penuh tenaga dan siap dipergunakan, sedangkan alat musik khim yang
berada di tangan kanannya diangkat ke atas kepala, digerak-gerakkan perlahan
untuk mengubah-ubah posisi, mencari kesempatan yang baik, wanita yang cantik ini
sekarang kelihatan mengerikan dan agaknya pantas kalau mulutnya yang
menyeringai itu diberi tambahan caling di kanan kiri, seperti gambar siluman
betina yang haus akan darah manusia. Hek-giam-lo juga berdiri dengan siap,
kedua kakinya terpentang lebar, kokoh kuat, mukanya yang berkedok tengkorak
amat mengerikan karena dari lubang di bagian matanya berjelalatan, sabit yang
tajam berkilau diangkat tinggi ke atas, terkena sinar bulan berkeredepan
menyilaukan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka didorong lurus
ke depan, seperti tangan setan hendak mencengkeram korbannya. Yang paling
menjijikkan adalah It-gan Kai-ong. Kakek raja pengemis ini berdiri agak
terbongkok, kedua kakinya ditekuk rendah bagian lututnya, tongkat bututnya
melintang di depan dada, matanya yang tinggal sebelah itu merah terbelalak tak
pernah berkedip, mulutnya agak terbuka dan air liurnya menetes-netes dari ujung
kanan.
Suling Emas yang terkurung di
tengah-tengah tampak tenang-tenang saja. Lenyap sudah kerut merut kemarahan
dari mukanya. Memang pendekar sakti ini sudah berhasil menghalau nafsu marah di
hatinya dan inilah syarat utama bagi seorang pendekar silat, yaitu tidak boleh
sekali-kali dipengaruhi nafsu perasaan di hatinya. Ia berdiri dengan kuda-kuda
biasa, kaki kiri diangkat ke atas dengan lutut ditekuk, kaki kanan berdiri di
ujung jari kaki, suling di tangan kanan melintang di depan kening, tangan kiri
memegang kipas biru yang bergerak-gerak, tertutup terbuka, perlahan-lahan
tanpa mengeluarkan bunyi, sepasang matanya tidak memandang ke mana-mana,
seakan-akan memandang ujung hidungnya sendiri seperti keadaan seorang dalam
samadhi, namun seluruh urat syarafnya telah “dipasang” dan panca inderanya
mengikuti gerak-gerik tiga orang lawannya.
Sunyi hening di saat itu. Empat
orang itu seperti patung-patung mati, bahkan pernapasan mereka pun tidak
terdengar. Jengkerik dan walang yang biasanya ramai berdendang menghias
kesunyian puncak, kini berhenti seakan-akan mereka ikut nonton dengan penuh
ketegangan dan kecemasan, seperti para tokoh kang-ouw yang sembunyi sambil
menonton di sekeliling tempat itu. Tiba-tiba empat “patung” itu bergerak
dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata biasa, disertai suara-suara
mengejutkan.
“Hiaaaaattttt!” Sabit di tangan Hek-giam-lo
menyambar cepat sekali, seperti kilat dan hanya tampak cahayanya saja.
“Siuuuttttt!” Hanya satu sentimeter saja selisihnya dari leher Suling Emas yang
dengan mudah miringkan tubuh membiarkan sabit menyambar di dekatnya.
“Huah-ha-ha-ha.... wuuuuttttt!”
Tongkat It-gan Kai-ong melakukan serangan tusukan maut dari samping selagi
Suling Emas miringkan tubuh, disusul pada detik berikutnya oleh sambaran
yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni yang menghantam pusar dengan gerakan
kuat-kuat sehingga yang-khim mengeluarkan bunyi “singgggg!”. Namun dengan amat
cekatan, seakan-akan berubah menjadi segulung asap. Suling Emas sudah bergerak
menyelinap di antara gulungan sinar senjata lawan dan tak sebuah pun di antara
hujan senjata lawan dan tak sebuah pun di antara lembaran rambut Siang-mou
Sin-ni yang mengirim serangan susulan, dapat menyentuhnya! Namun Hek-giam-lo
sudah menerjang lagi, sabitnya menyambar-nyambar laksana burung hantu dari
udara, sedangkan tongkat It-gan Kai-ong juga bergerak-gerak seperti ular hitam
menotok pelbagai jalan darah mematikan, dibantu oleh hantaman-hantaman
yang-khim dan sambaran-sambaran rambut yang mengeluarkan suara berciutan.
Suling Emas memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Ia meloncat, mendekam,
memutar tubuh, berjungkir-balik dan setelah lewat lima menit mereka berempat
bergerak-gerak sedemikian cepatnya sehingga bayangan mereka campur aduk menjadi
satu, tampak Suling Emas meloncat tinggi sekali dan tahu-tahu sudah berdiri
sejauh empat meter di depan tiga orang lawannya. Kembali seperti tadi, mereka
berempat tak bergerak, saling pandang penuh rasa benci dan penasaran. Kini
Suling Emas tidak terkurung lagi, melainkan menghadapi mereka bertiga yang
berada di depannya.
Perlahan-lahan tiga orang itu
melangkah maju dan otomatis membentuk barisan segi tiga. Namun Suling Emas
tidak mau terkurung lagi. Ia ingin membalas, tidak mau dijadikan umpan serangan
mereka tanpa mendapat kesempatan membalas sama sekali. Ia maklum bahwa
kecepatan mereka itu amat hebat dan kalau ia sudah terkurung seperti tadi,
serangan mereka bertubi-tubi tak pernah berhenti dan keadaan demikian itu tentu
saja amat berbahaya dan tidak menguntungkan. Ia tersenyum mengejek, lalu
berkata.
“Bagus, tokoh-tokoh Thian-te
Liok-koai! Menghadapi aku saja dengan tiga lawan satu, kalian gentar, apalagi
mau menghadapi mendiang Ibuku! Eh, apakah kalian takut? Kalau takut....”
“Sssrrr.... srrr....
srrrrr....!”
“Cuiiiiittttt....!”
“Sing.... sing.... singgg!”
Suling Emas tentu saja sudah
waspada. Malah ini yang ia kehendaki, maka ia tadi sengaja mengejek untuk
memanaskan hati mereka. Pancingannya berhasil karena secara beruntun mereka
melepas senjata rahasia. Pertama-tama Siang-mou Sin-ni yang melontarkan
jarum-jarum beracun dari arah kiri, sebanyak tujuh belas yang kesemuanya menuju
ke jalan-jalan darah utama. Kemudian disusul oleh senjata rahasia It-gan
Kai-ong yang menjijikkan namun tak kalah jahatnya, yaitu air ludahnya,
menyerang dari arah kanan dan paling akhir Hek-giam-lo telah menggunakan
pisau-pisau terbangnya menyerang dari depan langsung dengan kecepatan luar
biasa. Biarpun orang sesakti Suling Emas, andaikata ia lengah, tentu akan
sukar melepaskan diri daripada ancaman bahaya maut dari tiga penjuru ini.
Baiknya ia memang sudah waspada dan sudah menduga lebih dulu, maka begitu
tampak sinar melayang dari tiga jurusan, ia telah mendahului mereka, tubuhnya
mendadak mumbul ke atas seperti terbang, lebih cepat daripada sambaran
senjata-senjata rahasia itu, dan kini dia melayang di atas senjata-senjata rahasia
itu, langsung ia menerjang tiga orang lawannya dari atas dengan serangan
sulingnya dalam jurus-jurus rahasia dari Hong-in-bun-hoat. Kini giliran tiga
orang iblis itulah yang kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada suara
mendengung-dengung dan melengking di atas kepala mereka, disusul oleh sinar
keemasan yang menyilaukan mata. Mereka sama sekali tidak menduga akan
terjangan Suling Emas sehebat itu.
Karena tiga orang iblis itu
memang sakti dan berilmu tinggi, biarpun terkejut dan terdesak hebat oleh
serangan Suling Emas dari atas yang dahsyatnya bagaikan sambaran halilintar di
musim hujan itu, namun mereka bertiga dapat juga menyelamatkan diri. It-gan
Kai-ong berhasil menjatuhkan diri ke belakang sambil memutar-mutar tongkatnya
melindungi dirinya, sehingga ia berhasil memecahkan sinar bergulung-gulung
yang menyambarnya dan hanya pakaiannya saja yang sebagian besar robek oleh
sambaran sinar suling lawannya. Hek-giam-lo juga berhasil melompat ke belakang
sambil berteriak nyaring dan menangkis dengan sabitnya. Terdengar suara keras
dan ujung senjatanya itu patah, akan tetapi ia selamat tidak terluka. Hanya
Siang-mou Sin-ni yang kurang beruntung karena ketika dalam kagetnya ia
menggerakkan rambutnya menangkis, rambutnya itu terbabat sinar kuning emas dan
putuslah rambutnya yang hitam panjang sehingga tinggal sampai ke pundaknya
saja! Wanita ini menjerit ngeri dan menangis.
Akan tetapi tidak hanya sampai
di situ Suling Emas menyerang. Kini tubuhnya sudah berada di atas tanah dan
tanpa membuang waktu lagi ia melanjutkan serangannya, bertubi-tubi ia
menyerang tiga orang lawannya sambil tetap mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat
yang amat luar biasa itu. It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo terdesak, mereka
maklum akan kelihaian ilmu ini maka mereka main mundur menjauhkan diri. Tidak
demikian dengan Siang-mou Sin-ni yang menjadi marah sekali karena rambut yang
menjadi kebanggaan dan menjadi senjata ampuhnya itu telah “berondol”. Dengan
nekat wanita ini menyambut serangan Suling Emas dengan kekerasan. Ia mainkan
yang-khim di tangannya dan menyambut pukulan dengan pukulan pula.
Betapapun juga, Siang-mou Sin-ni
terpaksa mengakui kehebatan Hong-in-bun-hoat karena belum sampai sepuluh jurus,
ia sudah terdesak dan terancam hebat. Dengan gerakan nekat tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya, Siang-mou Sin-ni menjerit dan menghantamkan yang-khim pada
saat suling lawannya bergulung-gulung mengitari dirinya.
Suling Emas kaget sekali, tidak
menyangka lawannya akan berlaku nekat mengadu nyawa. Tiada waktu lagi untuk mengelak,
maka ia menggerakkan kipasnya yang sudah tertutup untuk menangkis.
“Brakkkkk!” Keras sekali suara
ini terdengar dan yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni pecah menjadi empat
potong, tetapi kipas biru di tangan Suling juga patah menjadi dua. Detik amat
berbahaya itu dipergunakan Suling Emas dengan baiknya karena sulingnya sudah
meluncur ke depan dan tiga kali sulingnya berhasil menotok tiga jalan darah
yang berbahaya dari Siang-mou Sin-ni.
“Aihhhh....!” Siang-mou Sin-ni
menjerit, yang-khim yang sisanya berada di tangannya ia lemparkan ke bawah,
berbareng dengan kipas Suling Emas yang juga dibuang ke bawah, kemudian
tiba-tiba wanita itu tertawa nyaring dan.... sinar merah menyambar dari
mulutnya ke arah muka Suling Emas. Pendekar sakti ini kaget sekali, maklum apa
artinya sinar merah yang mengeluarkan bau busuk memabukkan itu. Wanita iblis
itu telah mempergunakan ilmunya yang terakhir, yaitu Tok-hiat-hoat-lek, ilmu
menyemburkan darah beracun yang amat berbahaya. Kipasnya sudah tidak ada
padanya, padahal kipas itulah yang paling tepat untuk menghadapi serangan
dahsyat mengerikan ini. Terpaksa ia lalu melempar tubuhnya ke belakang. Namun,
biarpun ia tidak terkena semburan darah beracun, hawa beracun dari darah yang
mengeluarkan bau busuk melebihi mayat busuk ini telah mempengaruhinya dan
mendatangkan pusing pada kepalanya dan pandang matanya berkunang-kunang. Ia
cepat mengerahkan sin-kang dan setelah tubuhnya terlempar ke belakang, segera
ia berjungkir-balik dan melompat jauh ke kanan. Baiknya ia seorang yang
hati-hati dan gesit, karena benar seperti yang ia khawatirkan, semburan darah
itu tadi mengejarnya dan kalau saja ia tidak cepat-cepat berjungkir-balik dan
melompat tentu ia akan menjadi korban. Kini ia melihat wanita iblis itu
terhuyung-huyung dan tertawa-tawa. Hal ini membuat Suling Emas diam-diam
mengagumi Siang-mou Sin-ni. Totokannya tiga kali tadi hebat sekali dan
kesemuanya mendatangkan maut. Seorang yang bagaimana pandai dan kuatnya tentu
akan roboh dan tewas seketika. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni masih mampu
mengeluarkan ilmunya yarig terakhir, mampu tertawa-tawa dan hanya
terhuyung-huyung. Hebat! Wanita itu sambil tertawa memuntahkan darah yang
beracun, lalu berlari-larian seperti orang gila dan akhirnya terdengar jeritnya
melengking ketika tubuhnya terjungkal ke dalam jurang tak jauh dari situ.
Agaknya ia seperti gila dan buta oleh luka-lukanya dan lari tanpa melihat lagi
sehingga terjungkal memasuki jurang yang ratusan kaki dalamnya!
Tiba-tiba Suling Emas berteriak
keras dan tubuhnya melesat ke kanan kiri sambil memutar sulingnya. Secara
serentak ia diserang hebat oleh It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo. Karena pandang
matanya masih berkunang-kunang dan kepalanya masih pening, ia hanya dapat
mengelak sambil menjaga diri dengan suling. Agaknya keadaannya ini diketahui
pula oleh dua orang manusia iblis itu, yang terus mendesaknya dengan
serangan-serangan kilat. Setelah dua orang iblis ini mengeroyok berdua saja,
mereka mendapat kenyataan yang mengagumkan, yaitu bahwa ilmu silat yang mereka
mainkan untuk mengeroyok Suling Emas kini menjadi berlipat ganda ampuhnya. Ilmu
silat mereka itu saling mengisi kekosongan yang ada dan dimainkan bersama-sama
dapat menjadi semacam daya serang yang luar biasa! Insyaflah mereka akan hal
ini, karena memang sesungguhnya ilmu silat baru mereka itu adalah
bagian-bagian daripada sebuah ilmu yang kitabnya mereka ranpas dari tangan Bu
Kek Siansu. It-gan Kai-ong dalam perebutan berhasil mendapatkan kitab bagian
depan sedangkan Hek-giam-lo bagian belakang.
Suling Emas juga kaget karena
terasa olehnya betapa hebat desakan kedua orang ini. Ia berusaha menghalau hawa
beracun yang mendesak di dadanya dan ke otaknya, akan tetapi kedua orang
lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya, terpaksa ia harus mengandalkan sulingnya
untuk melindungi tubuh sehingga suling itu berubah menjadi gulungan sinar
kuning emas yang menyelimuti dirinya, tak memungkinkan sabit dan tongkat
menyentuhnya. Mereka seakan-akan hanya mengadu tenaga dan keuletan. Akan tetapi
berapa lama ia akan dapat bertahan? Betapapin juga, dalam ilmu silat, menyerang
lebih menguntungkan daripada mempertahankan, kecuali kalau pertahanan itu dapat
diubah cepat menjadi penyerangan balasan. Dalam hal ini, Suling Emas sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Hal ini adalah karena ia masih
berada dalam pengaruh hawa beracun Tok-hiat-hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni
tadi, dan ke dua karena penggabungan ilmu silat kedua orang iblis itu
benar-benar memperlipat ganda kehebatan daya serang mereka.
It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo
adalah tokoh-tokoh kawakan yang sudah matang ilmunya, maka tentu saja dalam
hal ilmu silat mereka merupakan orang-orang yang banyak pengalaman dan cerdik
sekali. Setelah mainkan bagian ilmu rampasan kitab Bu Kek Siansu bersama-sama,
segera mereka menarik kesimpulan baliwa apabila kedua ilmu mereka itu
digabungkan, maka akan merupakan ilmu yang hebat sekali.
“Kiri buka, atas tekan!”
Tiba-tiba It-gan Kai-ong berseru.
Hek-giam-lo mendengus dan
berteriak. “Kanan tutup, bawah dorong!”
Kiranya yang diucapkan It-gan
Kai-ong adalah merupakan sebagian daripada ilmu pukulan yang paling hebat, akan
tetapi karena hanya ia dapatkan setengahnya, maka selama ini merupakan rahasia
baginya dan tak dapat ia pergunakan. Adapun ucapan Hek-giam-lo sebagai
imbangannya adalah lanjutan daripada jurus itu, maka keduanya segera bergerak.
It-gan Kai-ong lebih dulu lari disambung oleh Hek-giam-lo. Bukan main
dahsyatnya terjangan ini, sebuah jurus rahasia yang kini dimainkan secara
bersambung oleh dua orang! Begitu otomatis gerakan mereka, ganti-berganti
sehingga merupakan serangkaian serangan yang serba sulit dihadapi.
Suling Emas kaget sekali. Hampir
saja ia terkena bacokan sabit setelah ia berhasil menghindarkan tusukan maut
tongkat It-gan Kai-ong. Akan tetapi begitu sabit itu lewat sedikit di atas
pundaknya, secara aneh sekali tongkat kakek raja pengemis sudah menyambar,
ujungnya tergetar menjadi lima dan menyerang ke arah lima bagian tubuhnya dari
sebelah atas, disambung dengan sambaran sabit bertubi-tubi dari bawah! Suling
Emas sudah berusaha menyelamatkan diri dengan memutar sulingnya, namun karena
ia masih pusing dan sulingnya hanya merupakan senjata pendek yang sukar
menghadapi senjata-senjata panjang yang menyerang dari atas dan bawah secara aneh
dan bertubi-tubi, ketika tubuhnya melompat miring, pundaknya terkena hantaman
tongkat It-gan Kai-ong.
“Brukkk!” Hantaman ini keras
sekali. Batu karang juga akan hancur terlanda pukulan ini. Suling Emas sudah
mengerahkan lwee-kangnya ke arah pundak, namun tetap saja ia terbanting dan
bergulingan di atas tanah!
“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong
tertawa gembira dan mukanya beringas ketika ia mengejar dengan tongkat
terangkat, siap memberi tusukan terakhir.
“Mampus kau!” Hek-giam-lo
mendengus dan berlumba dengan kakek pengemis itu untuk berusaha mendahuluinya
membacokkan sabitnya ke arah tubuh Suling Emas yang bergulingan dan
kelihatannya tak berdaya lagi itu. Hampir berbareng, tongkat dan sabit itu
menyambar ke arah tubuh Suling Emas.
Tiba-tiba terdengar suara
melengking tinggi yang getarannya seakan-akan mencopot jantung It-gan Kai-ong
dan Hek-giam-lo. Suara ini adalah suara yang ditiup Suling Emas dalam keadaan
bahaya itu. Sejenak Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong tertegun dan gerakan mereka
terhenti beberapa detik. Namun beberapa detik ini cukuplah bagi pendekar sakti
seperti Suling Emas yang sudah melompat bangun dan menggerakkan sulingnya.
“Trang-trang.... duk....
duk....!” Tubuh It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo terlempar dan melayang bagaikan
layang-layang putus talinya, sedangkan sabit dan tongkat mereka patah-patah!
Kemudian robohlah dua orang iblis sakti itu, mengeluh dan dari mulut mereka
muntah darah segar. Mereka telah terluka hebat.
Akan tetapi di lain fihak,
Suling Emas berdiri dengan terhuyung-huyung. Ia berusaha mengusir kepeningan
kepalanya akibat hawa beracun Siang-mou Sin-ni tadi, karena luka di pundaknya
akibat gebukan tongkat It-gan Kai-ong tidaklah amat parah baginya kalau
dibandingkan dengan hawa beracun itu.
“Huah-hah-hah, anjing muda boleh
juga!”
“Semua sudah roboh, tinggal dia
yang harus roboh!” Sambung suara ke dua dan muncullah kakek putih dan kakek
merah. Keduanya menggerakkan tangan, kakek merah dari depan Suling Emas
sedangkan kakek putih dari belakangnya karena munculnya kedua orang kakek itu
berpencar. Suling Emas yang sudah berkurang tenaganya karena pusing, juga
karena luka di pundaknya, cepat miringkan tubuh dan mementangkan kedua
lengannya, didorong ke arah kanan kiri untuk menghadapi serangan dua orang kakek
itu. Ia kaget sekali ketika menerima dorongan tenaga sakti yang berlawanan,
dari kanan tenaga kakek merah panas seperti api, sedangkan dari kiri tenaga
kakek putih dingin seperti salju! Inilah hebat, pikirnya. Tak mungkin ia
mengerahkan dua macam tenaga untuk menghadapi serangan maut ini, akan tetapi
Suling Emas bukanlah seorang sakti yang sudah kenyang akan gemblengan hebat
kalau ia menjadi panik atau gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, semua
hawa murni ia kerahkan untuk menahan gelombang serangan itu, sepasang matanya
meram, dari balik kain kepalanya mengepul uap putih. Gelombang tenaga makin
dahsyat dari kanan kiri, tubuh Suling Emas sudah gemetar, hampir tak kuat lagi.
“Orang-orang tak tahu
malu, pengecut! Mengeroyok kakakku yang sudah terluka!” Tiba-tiba seorang
pemuda meloncat ke depan. Dia ini bukan lain adalah Bu Sin! Pemuda ini mencabut
pedangnya. Sesosok bayangan lain berkelebat dan cepat menarik tangannya.
“Bu Sin, jangan....!
Tiarap....!” Dengan sentakan keras bayangan yang ternyata adalah seorang nikouw
(pendeta wanita Buddha) ini berhasil membuat Bu Sin roboh terguling. Akan
tetapi ia berhasil menyelamatkan Bu Sin saja karena sekali kakek merah
mengibaskan tangan kirinya ke arahnya, nikouw yang bukan lain adalah Kui Lan
Nikouw, bibi guru Bu Sin ini, roboh terguling sambil mengeluh.
Pada saat itu, Hek-giam-lo dan
It-gan Kai-ong sudah merangkak bangun. Terdengar It-gan Kai-ong terkekeh
biarpun napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan darah, sedangkan
Hek-giam-lo mendengus aneh, juga napasnya terengah-engah. Kedua orang kakek ini
lalu dengan langkah terhuyung-huyung menghampiri Suling Emas yang berdiri
dengan kedua lengan terpentang kaku, tangan mereka memegang sisa senjata yang
sudah patah lebih setengahnya. Jelas bahwa mereka hendak menurunkan tangan maut
terhadap Suling Emas yang sama sekali sudah tidak berdaya itu. Mereka ini sudah
terluka berat di sebelah dalam tubuhnya akibat totokan suling, akan tetapi
nafsu mereka masih besar untuk membunuh Suling Emas yang sudah berada dalam
keadaan “terjepit” antara dua tenaga raksasa yang amat dahsyat. Biarpun keadaan
dua orang iblis itu sudah terluka dan lemah namun karena mereka adalah
orang-orang sakti, tentu saja tanpa perlawanan Suling Emas, sekali pukul dengan
senjata-senjata sepotong itu sudah akan cukup untuk membunuh perdekar ini.
Mereka kini sudah berada dekat sekali dan sabit serta tongkat sudah diangkat,
siap untuk dipukulkan.
“Plakk!” Dua sosok bayangan
manusia berkelebat cepat, sebatang pedang bersinar kuning menangkis sabit
membuat sabit itu kini terpotong tinggal gagangnya sdja, sedangkan sebuah
tengan yang kecil halus menangkis tongkat sehingga tongkat itu terpental.
Kiranya yang muncul adalah dua orang gadis, Lin Lin dan Sian Eng yang muncul di
saat yang bersamaan dari dua jurusan! Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong terkejut
dan terhuyung mundur. Lin Lin sambil berseru keras mengayun pedangnya menyerang
Hek-giam-lo. Iblis hitam ini tentu saja tidak takut menghadapi Lin Lin, akan
tetapi oleh karena ia telah terluka hebat dan senjatanya yang ampuh sudah
musnah, ditambah lagi karena dalam tangkisan tadi ia mendapat bukti bahwa Lin
Lin telah memiliki ilmu dan tenaga mujijat, Hek-giam-lo mendengus marah lalu
melompat jauh, menghilang di tempat gelap. Juga It-gan Kai-ong yang sudah
terluka parah ketika menerima tangkisan lengan Sian Eng, kaget setengah mati
karena tangannya terasa panas dan gatal-gatal. Ia maklum bahwa keadaannya yang
sudah terluka itu tidak menguntungkan dirinya, maka ia pun lalu melompat dan
lenyap di tempat gelap.
Lin Lin dan Sian Eng saling
pandang gembira.
“Enci Sian Eng....!” serunya
gembira. Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan Lin Lin melihat betapa wajah
encinya yang tersinar cahaya bulan itu aneh sekali. Sian Eng seakan-akan tidak
mempedulikannya, malah kini Sian Eng dengan tangan kosong menerjang kakek putih
yang berjuluk Pek-kek Sian-ong, dari mulutnya terdengar lengking yang amat
aneh, yang membuat bulu tengkuk Lin Lin serasa berdiri karena ia teringat akan
lengking yang keluar dari si mayat hidup Cui-beng-kwi! Akan tetapi ia pun
segera sadar bahwa Suling Emas terancam bahaya, maka dengan pedang terhunus ia
lari menghampiri Lam-ek Sian-ong kakek muka merah, lalu menerjang dengan ilmu
pedangnya berdasarkan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam tongkat pusaka
Beng-kauw!
Melihat dua orang gadis yang
gerakan-gerakannya ganas sekali menerjang, baik Lam-kek Sian-ong maupun Pak-kek
Sian-ong terkejut sekali dan sama sekali mereka tidak menduga-duga terjadinya
hal ini. Tadi, melihat betapa dua orang gadis muda remaja itu sekali tangkis
dapat membuat It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang sudah mereka saksikan
kelihaiannya lari tunggang-langgang saja sudah membuat mereka terheran-heran.
Maka mereka berbareng lalu mengerahkan tenaga mendesak Suling Emas. Karena
memang sudah payah keadaannya, di“jepit” seperti itu Suling Emas tak dapat
menahan lagi, ia mengeluh panjang dan roboh terguling, dalam keadaan pingsan
dan mukanya pucat sekali seperti sudah mati!
Sian Eng dan Lin Lin memuncak
kemarahannya. Lin Lin memutar pedangnya dan menyerang kalang-kabut sambil
memaki-maki, “Kakek tua bangka mau mampus! Kau berani mencelakai dia? Kucukur
jenggotmu kutabas hidungmu kupenggal lehermu!” Ia memaki-maki sambil
menyerang. Serangannya hebat bukan main karena dalam keadaan marah itu ia
mengeluarkan jurus-jurus paling hebat dari ilmu silat barunya yang sudah ia
latih lagi atas petunjuk Gan-lopek. Adapun Sian Eng yang juga menyaksikan
keadaan Suling Emas, kini memaki-maki dan melengking-lengking secara aneh, namun
gerakan-gerakan kedua tangannya ketika menerjang kakek muka putih dahsyat bukan
main, mengeluarkan angin yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Lin Lin dan Sian
Eng yang marah melihat Suling Emas roboh dan menyerang kedua orang kakek itu,
tidak melihat betapa sesosok bayangan berkelebat cepat sekali, menyambar tubuh
Suling Emas dan dibawa lari dengan kecepatan seperti terbang.
“Eh, siapa kau dan hendak
kaubawa ke mana kakakku? Berhenti!” Bu Sin yang tadinya bingung berlutut di
dekat tubuh bibi gurunya yang terluka, kini meloncat ketika melihat seorang
wanita cantik baju hijau melarikan Suling Emas yang masih pingsan.
“Bodoh! Kubawa dia ke pondok
Kim-sim Yok-ong agar diobati!” wanita itu membentak Bu Sin sambil terus lari.
Bu Sin yang mengejarnya sebentar saja kehilangan bayangan wanita itu yang bukan
lain adalah Tan Lian, gadis yang memiliki gin-kang luar biasa itu dan yang
tentu saja tak dapat dikejar oleh Bu Sin. Karena mengkhawatirkan keadaan bibi
gurunya dan kedua orang adiknya, apalagi karena mendengar bahwa wanita tadi
hendak mengobatkan Suling Emas, terpaksa Bu Sin kembali ke tempat
pertandingan.
Memang harus diakui bahwa di
luar kesadaran, bahkan diluar kehendak mereka atau tidak disengaja, baik Lin
Lin maupun Sian Eng telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat luar biasa, yang secara
mujijat telah mendatangkan tenaga sin-kang yang amat kuat, namun ilmu itu baru
saja mereka dapatkan dan belum mereka latih masak-masak. Kini mereka menghadapi
tokoh-tokoh seperti dua orang kakek sakti yang aneh itu, sudah tentu saja bukan
lawan mereka. Tadi pun ketika menghadapi Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong,
mereka dapat dan kuat menangkis hanya karena kedua orang iblis itu sudah
menderita luka dan kehabisan tenaga. Kalau dua orang iblis itu dalam keadaan
sehat dan segar, tentu saja Lin Lin dan Sian Eng tentu takkan mampu menandingi
mereka.
Sepasang kakek yang aneh itu,
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, juga hanya sebentar saja merasa heran
dan kaget, akan tetapi setelah menghadapi Lin Lin dan Sian Eng, maklumlah orang-orang
sakti ini bahwa dua orang gadis itu sungguhpun mewarisi ilmu mujijat, namun
ternyata masih “mentah”. Segera terdengar mereka tertawa-tawa dan begitu kedua
orang kakek ini menggerakkan kedua tangan mereka, tubuh Lin Lin dan Sian Eng
“tersedot” dan “hanyut” dalam arus hawa pukulan yang berputaran seperti angin
puyuh! Lin Lin dan Sian Eng berusaha mempertahankan diri, namun sia-sia, mereka
terputar-putar seperti kitiran angin oleh dua orang kakek sakti.
Bu Sin bingung sekali. Bibi
gurunya masih pingsan dengan muka pucat. Melihat kedua orang adiknya
terputar-putar seperti itu, hatinya ingin menolong, akan tetapi ia pun
maklum bahwa tenaga dan kepandaiannya jauh dari yang diharapkan untuk bisa
menolong adik-adiknya. Betapapun juga, pemuda ini sudah siap menerjang kedua
orang kakek itu. Dengan gerakan nekat, ia meloncat dan membentak.
“Dua orang kakek siluman
lepaskan adik-adikku!” Akan tetapi begitu meloncat, segera ia terbanting roboh
ke belakang dekat bibi gurunya, terdorong oleh sebuah tenaga ajaib yang datang
tiba-tiba. Tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek lain, kakek tua yang
berjenggot panjang, yang berdiri tersenyum memandang kepadanya, akan tetapi
yang cukup membuat Bu Sin terhenyak kaget ketika mengenal kakek itu sebagai
kakek sakti yang pernah menolongnya dan melatihnya di bawah pancuran air.
“Mereka bukan lawanmu,”
terdengar kakek itu berkata lirih.
“Locianpwe, tolonglah
adik-adikku....”
Akan tetapi kakek itu yang bukan
lain adalah Bu Kek Siansu, sudah melangkah maju dan berkata, suaranya lirih
namun suara ini menembus seluruh udara, mendatangkan gema yang nyaring
berpengaruh.
“Sayang.... puluhan tahun
bertapa ternyata tak mampu mengendalikan nafsu!” Ia mengangkat kedua lengannya,
digerakkan perlahan ke depan dan.... dua orang gadis itu seakan-akan tertarik
dan bebas daripada pusaran hawa pukulan kedua kakek, terhuyung-huyung dan roboh
dengan kepala pening namun tidak menderita sedikit pun juga.
Si kakek merah dan si kakek
putih terdesak mundur oleh hawa halus yang keluar dari gerakan tangan Bu Kek
Siansu, sehingga kuda-kuda mereka terbongkar. Mereka kaget sekali, memandang Bu
Kek Siansu dengan penasaran.
“Siapa kau?” hardik Lam-kek
Sian-ong si muka merah.
“Berani kau menentang kami?”
Pak-kek Sian-ong juga membentak.
“Damai di bumi....” Bu Kek
Siansu berbisik lirih lalu menarik napas panjang dan balas memandang dengan
wajah berseri dan mulut tersenyum. “Pak-kek Sian-ong, siapa adanya aku bukanlah
soal yang perlu diributkan, karena aku tiada bedanya dengan kalian berdua atau
orang lain. Aku manusia biasa, tiada bedanya dengan kalian. Hanya sayang
kalian.....”
“Kau mengenal nama kami?” seru
Pak-kek Sian-ong terheran-heran, karena puluhan tahun mereka berdua merupakan
tokoh tersembunyi dan tak seorang pun tokoh kang-ouw, apalagi yang baru-baru
mengenal mereka.
“Kau siapa?” bentak Lam-kek
Sian-ong. “Kau yang berani menentang kami, apakah kau begitu pengecut untuk
menyembunyikan nama?”
Bu Kek Siansu tersenyum, “Aku
sama sekali tidak menentang kalian.”
“Kau bilang tidak menentang akan
tetapi kau turun tangan terhadap kami dan menolong dua orang bocah itu!”
“Aku memang turun tangan.” jawab
kakek sakti itu dengan penuh kesabaran, “akan tetapi sama sekali dasarnya bukan
untuk menentang kalian!”
“Lalu, apa dasarnya?”
“Pertama, karena aku sayang
kepada kalian, sayang akan jerih payah kalian bertapa sampai puluhan tahun dan
kini tak dapat mengendalikan nafsu hendak membunuh dua orang anak perempuan
ini. Ke dua, aku merasa sayang, kalau bocah-bocah yang masih muda remaja, yang
atas kehendak Thian telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi, yang masih akan
melanjutkan riwayat hidupnya dan meramaikan dunia ini dengan
perbuatan-perbuatan mereka, kalian habiskan riwayatnya sampai di sini saja.
Pula, memang agaknya sudah menjadi kehendak Thian bahwa dua orang anak ini
tidak semestinya tewas pada saat ini, maka kebetulan sekali aku lewat....”
“Manusia sombong!” bentak si
muka merah.
“Betulkah mereka takkan tewas
setelah kau datang? Heh, manusia besar mulut, kalau sekarang kami turun tangan
membunuh mereka, kau mau bisa berbuat apa?”
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng
kepala dan menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang, sabar, dan
ramah. “Penentuan mati hidup berada sepenuhnya di tangan Yang Menghidupkan!
Hanya manusia yang buta hati saja yang tidak melihat kenyataan mutlak ini.
Membunuh? Terbunuh? Tak seorang pun mampu menentukan hal-hal rahasia ini. Kalau
Tuhan menghendaki seseorang meninggalkan raganya, biarpun seribu dewa takkan
mampu menunda atau membatalkannya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang
tetap hidup di dunia, biarpun seribu setan takkan mampu menewaskan orang itu.
Hanya orang-orang sesat saja yang mengira bahwa dia, dengan kekuasaannya,
dengan kekuatannya, dapat menentukan mati hidup orang lain, berlawanan dengan
kehendak Tuhan, karena dengan perkiraannya itu, berarti dia hendak menentang
kekuasaan Tuhan!”
***
“Tua bangka besar mulut! Apakah
kauanggap kami ini anak-anak kecil dan kau seorang pendeta yang hendak memberi
wejangan tentang kebatinan? Huh, lamunan kosong belaka semua kata-katamu itu.
Yang Maha Kuasa, Thian, hanya menuruti kehendak yang menang, yang berkuasa dan
kuat. Mau bukti? Sekarang juga kami sanggup membunuh dua orang gadis itu, juga
kau sendiri!” bentak si muka merah yang agaknya lebih berangasan daripada si
muka putih yang mendengarkan dan mengangguk-angguk membenarkan.
“Damai.... damai....” Kakek itu
bersabda, lirih seperti orang berbisik. Kemudian ia memandang tajam dan dengan
wajah masih berseri ia berkata lagi.
“Alangkah kosong rasa hati
mendengarkan ucapan, Saudara. Dan hebatnya, apa yang kaukatakan itu justeru
menjadi anggapan sebagian besar manisia, dan tak dapat dibantah lagi,
perkembangan di dunia memang sejalan dengan pikiranmu itu. Anugerah paling suci
yang diberikan kepada manusia, yaitu akal budi, yang dapat membuat manusia
mengungkap segala rahasia alam, yang membuat manusia merupakan mahluk yang
terpandai, ternyata oleh manusia sendiri disalahgunakan. Anugerah ini malah
dipergunakan untuk menentang Sang Pemberi. Makin pandai manusia, makin gila
dia. Makin pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat daripada
jalan pikiran yang telah kauucapkan tadi. Wewenang dipakai mencari menang.
Kekuasaan menjadi alat penindas. Kepandaian dipergunakan sebagai alat pemuas
nafsu. Ya Tuhan, turunkanlah kiranya kekuasaanmu untuk menyapu bersih segala
kotoran yang menutup dan menyuramkan api suci dalam jiwa manusia....”
“Tua bangka. Pendeta kepalang
tanggung, tosu bukan hwesio bukan. Mau apa kau banyak mulut?” Lam-kek
Sian-ong.
“Eh, sahabat, kami berdua
sengaja turun dari pertapaan untuk mencari tanding di seluruh permukaan bumi!”
kata Pak-kek Sian-ong.
“Hemmm, menandingi diri sendiri
saja masih belum mampu, menandingi orang lain? Saudaraku yang baik, kaukalahkan
dulu dirimu sendiri dan kau akan menaklukkan dunia,” jawab Bu Kek Siansu.
“Kami akan bunuh dua orang gadis
ini. Lihat, kau dapat berbuat apa?” Lam-kek Sian-ong membentak dan diturut
oleh Pak-kek Sian-ong, dia sudah bergerak maju. Lin Lin dan Sian Eng yang sejak
tadi mendengarkan dengan heran, kini bersiap untuk menjaga diri.
Akan tetapi Bu Kek Siansu
mengangkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini agaknya
mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu untuk
sementara.
“Mengapa kalian begini bernafsu
untuk memukul orang? Daripada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan
aku takkan melawan.”
“Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui
tanding? Tua bangka, jangan kau sombong, sekali pukul kami mampu membikin
tubuhmu separuh hangus separuh beku!” teriak si muka merah yang merasa
dipandang rendah.
“Biarlah kalau Thian menghendaki
demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu daripada
pukulan-pukulanmu.”
“Ang-bin-siauwte,
mengapa banyak bicara melayani kakek gila ini? Mari kita pukul dia hendak
kulihat bagaimana macam mayatnya nanti,” kata Pak-kek Sian-ong. Keduanya lalu
melangkah maju setindak dan dengan gerakan berbareng mereka memukul dengan
pukulan jarak jauh. Biarpun tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan
kedua orang kakek itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya
putih dan merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih
mendatangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap menyambar ke
arah tubuh Bu Kek Siansu dan.... tidak terjadi apa-apa! Tubuh tua itu masih
tetap berdiri di situ, wajahnya tetap berseri, matanya membayangkan
keterangan, kesabaran dan cinta kasih terhadap sesama hidup, sedikit pun tidak
ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat
itu. Dua orang kakek muka merah dan muka putih, tetap berdiri sambil
menggerak-gerakkan kedua tangan, agaknya mengerahkan tenaga dan memperkuat
daya pukulannya. Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia
menghampiri Kui Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya
kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu menggerakkan kedua
tangannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta wanita itu mengeluh,
bergerak, lalu bangkit duduk!
Kiranya Kui Lan Nikouw yang
pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek sakti ketika ia
menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu diobati dengan hawa pukulan
yang sama, yaitu kakek sakti ini “memindahkan” hawa pukulan dua orang kakek
aneh itu ke tubuh Kui Lan Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh
kembali. Setelah menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit
berdiri dan menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.
“Cukupkah kalian memukul? Belum
puaskah nafsumu?”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu mereka mendadak
melempem seperti kayu bakar terendam air? Mereka merasa yakin bahwa pukulan
mereka mengandung tenaga sepenuhnya, hal ini terasa benar. Akan tetapi mengapa
kakek yang punggungnya membawa alat yang-khim ini seperti tidak merasakan
sesuatu.
“Belum, belum cukup!” Pak-kek
Sian-ong membentak.
“Rasakan ini!” Lak-kek Sian-ong
menyambung. Mereka lalu serentak maju dan kini mereka menyerang Bu Kek Siansu.
Pukulan mereka ini hebat sekali. Batu hawa pukulannya saja mampu merobohkan
lawan, bahkan Suling Emas sendiri, seorang pendekar sakti, tadi juga digencet
oleh hawa pukulan mereka. Apalagi kalau pukulan itu langsung mengenai kulit
lawan, dapat dibayangkan bahayanya!
Akan tetapi, tepat seperti yang
dikatakannya tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis
maupun mengelak. Ia berdiri tenang dan tegak, memandang dengan sinar mata orang
tua yang menghadapi kenakalan kanak-kanak.
“Buk-buk-plak!” Beberapa kali
secara bertubi-tubi telapak tangan kedua orang kakek aneh itu mengenai tubuh Bu
Kek Siansu. Namun seperti juga tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak bergeming.
Bahkan kedua orang kakek itu yang menjadi pucat dan mundur-mundur dengan jerih
karena ketika menampar dan mendorong tadi, mereka merasa bahwa tubuh kakek
sakti itu “kosong” sehingga pukulan-pukulan mereka seperti batu-batu berat yang
tenggelam ke dalam laut dan tidak meninggalkan bekas.
“Mengapa kalian mundur? Sudah
puaskah sekarang kalian memukulku? Kalau belum puas, boleh ditambah lagi kelak
dengan mencari aku di puncak-puncak gunung. Cari saja di mana adanya Bu Kek
Siansu....” Tiba-tiba kakek sakti ini lenyap dari depan dua orang kakek aneh
yang tiba-tiba terbelalak matanya ketika mendengar nama Bu Kek Siansu itu, dan
biarpun sudah lenyap bayangannya, namun masih terdengar suara kakek sakti itu
melanjutkan kata-katanya “.... bahagialah orang yang sadar akan kekurangan,
kelemahan dan kebodohan sendiri.”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong sejenak tertegun seperti patung, kemudian mereka mengeluh panjang dan
sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
“Omitohud.... pinni (aku) merasa
bahagia sekali mendapat kesempatan untuk bertemu kakek sakti Bu Kek Siansu dan
mendengar suaranya....” Kui Lan Nikouw merangkap sepuluh jari di depan dada dan
memuji-muji sebentar, kemudian ia membuka mata memandangi ketiga orang keponakannya
sambil berkata. “Dan amat menggirangkan hatiku bertemu dengan Sian Eng dan Lin
Lin pula di sini. Hal yang tak terduga-duga sama sekali. Akan tetapi di manakah
adanya Bu Song? Benarkah dia tadi Bu Song?”
Agaknya saking tertarik oleh
peristiwa munculnya kakek sakti Bu Kek Siansu tadi, Lin Lin dan Sian Eng juga
begitu terpesona sehingga mereka seakan-akan melupakan Suling Emas. Baru
sekarang mereka menoleh dan mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan
kaget. Lebih-lebih Lin Lin yang menjadi bingung sekali, Bu Song? Kakak tirinya
yang sulung? Mengapa bibi guru ini menyebut-nyebut nama Bu Song?
Tiba-tiba muncul banyak orang
dari balik gerombolan pepohonan, yaitu tokoh kang-ouw yang sengaja datang
hendak menonton pertandingan puncak antara tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai dan
bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tewas. Dari dalam gelap
berkelebat bayangan orang mendekati Lin Lin sambil berkata.
“Suling Emas diculik seorang
wanita baju hijau, kulihat lari ke arah sana!”
Mendengar ini, bagaikan kilat
menyambar cepatnya, Lin Lin berkelebat ke arah itu, mengejar. Hatinya pasan
bukan main. Bukankah wanita baju hijau itu wanita yang dipukulnya di tanah
kuburan, yang kemudian dibawa pergi oleh Suling Emas? Dia tadi mati-matian
membantu dan membela Suling Emas, akan tetapi wanita siluman itu malah yang
sekarang menggondol kekasihnya!
“Tunggu, Lin-moi....! Aku
tahu....” akan tetapi Lin Lin sudah tak mendengarnya karena sudah lari terbang
cepat sekali.
Sian Eng yang kini berada dalam
keadaan “normal” memegang tangan kakaknya dan bertanya, “Apa yang kau ketahui,
Sin-ko?”
“Tadi ada wanita baju hijau
memondong Bu Song koko, ketika kukejar, dia bilang hendak menolong Koko,
membawanya kepada Kim-sim Yok-ong untuk diobati.”
“Ah, mari kita kejar....!” dan
tiba-tiba saja Bu Sin merasa tangannya dipegang adiknya dan di lain detik
tubuhnya telah terseret seperti terbang cepatnya, mengagetkan dan
mengherankan hati Bu Sin yang benar-benar tidak mengerti bagaimana adiknya ini
sekarang memiliki tenaga dan gin-kang begini hebat. Seperti mereka, para tokoh
kang-ouw yang tadinya menjadi “penonton” kini mengelilingi Kui Lan Nikouw dan
ramai membicarakan dan memuji-muji Lin Lin dan Sian Eng yang demikian berani
dan gagah. Juga mereka tiada habisnya membicarakan Bu Kek Siansu yang selama
hidup mereka baru sekali itu mereka lihat dan buktikan kesaktiannya yang tak
dapat diukur lagi tingkatnya. Ketika mereka membicarakan Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, timbul kekhawatiran besar di hati para tokoh ini karena
mereka maklum kalau Suling Emas saja tidak mampu mengalahkan mereka berdua,
siapa lagi yang akan dapat menahan mereka kalau mereka mengacau di dunia
kang-ouw? Satu-satunya manusia yang dapat menghadapi mereka kiranya hanya Bu
Kek Siansu, akan tetapi kakek sakti ini bukan manusia biasa dan tadi pun tidak
mau menurunkan tangan keras terhadap kedua kakek iblis itu.
“Harap Cu-wi jangan khawatir
akan hal itu,” akhirnya Kui Lan Nikouw berkata dengan suaranya yang halus dan
tenang, “Betapapun tingginya uap air terbang ke angkasa, akhirnya akan runtuh
kembali ke bumi menjadi hujan. Betapapun pandai dam jahatnya manusia
menyeleweng daripada kebenaran, akhirnya ia pun akan runtuh dan pasti ada yang
mengalahkannya. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Maafkan, Cu-wi
sekalian, pinni tidak dapat melayani Cu-wi (Anda sekalian) lebih lama
bercakap-cakap karena pinni harus menyusul dan mencari keponakan-keponakan
pinni tadi.” Kui Lan Nikouw lalu menjura dengan hormat dam meninggalkan
orang-orang yang masih ramai membicarakan peristiwa hebat tadi sampai pagi
hari.
***
“Nona, lepaskan aku....”
Tan Lian kaget dan juga girang.
Ia tadinya lari memondong tubuh Suling Emas yang pingsan. Mendengar kata-kata
ini, ia segera menurunkan Suling Emas dengan hati-hati di atas rumput.
Kemudian ia sendiri berlutut dam memegangi lengan pendekar itu.
“Kau tidak apa-apa? Ah syukur
kepada Tuhan. Aku.... aku tadi khawatir sekali.... kalau.... kalau kau mati....
aku pun tidak mau hidup lagi....” Gadis ini lalu menelungkupkan mukanya di atas
dada Suling Emas sambil menangis!
Suling Emas dengan gerakan halus
mendorong pundak gadis itu, lalu ia bangkit duduk, malah terus berdiri.
“Nona Tan, harap kau suka sadar
dan ingat! Insyaflah bahwa kau terseret oleh nafsu perasaan yang tidak benar.
Ah, mengapa kau selemah ini?”
Tan Lian kaget, seakan-akan
disiram air dingin kepalanya. Ia pun meloncat berdiri dan menghadapi Suling
Emas. Untung sinar bulan agak kemerahan sehingga menyembunyikan warna merah
pada sepasang pipinya.
“Apa.... apa maksudmu?”
Suling Emas menarik napas
panjang. Berat rasa hati dan lidahnya untuk bicara akan tetapi ia maklum bahwa
betapapun juga akibatnya, ia harus bicara secara terus terang kepada nona ini.
Pura-pura tidak tahu hanya akan menambah berat penanggungan batin nona yang
patut dikasihani itu.
“Nona,” suaranya perlahan dan
agak tersendat, “terus terang saja, aku telah tahu akan semua isi hatimu yang
kaucurahkan di depan Kim-sim Yok-ong. Aku tahu akan semua persoalanmu dan tahu
pula akan niat hatimu. Aku merasa terhormat sekali, Nona, dengan maksudmu
untuk.... untuk mengubah ikatan permusuhan orang tua kita dengan ikatan....
ikatan jodoh antara kita. Akan tetapi hal itu tidak mungkin, Nona. Bukan
sekali-kali karena aku tidak menghargai perasaan hatimu, akan tetapi....
aku.... aku tidak dapat menerima itu dan.... dan hendaknya kau ingat pula akan
tunanganmu! Mana mungkin kita akan demikian tidak mengenal aturan sehingga
mementingkan kesenangan diri sendiri dengan mengesampingkan perasaan orang
lain yang terluka? Nona, kau kembalilah kepada tunanganmu, dan antara kita....
biarlah kita tetap menjadi sahabat atau saudara. Kita lenyapkan permusuhan
antara orang tua kita dengan kesadaran, bukan dengan.... dengan ikatan
jodoh....”
Selama bicara, Suling Emas tidak
berani menentang muka nona itu. Dan memang hebat akibat kata-kata ini yang tiap
kata merupakan ujung pisau beracun yang menikam jantung Tan Lian. Dengan muka
pucat dan tubuh gemetar nona itu beberapa kali membuka mulutnya tanpa ada suara
yang keluar. Akhirnya ia dapat memaksa mulutnya bertanya.
“Kau.... kau menolakku....?”
Tidak ada tikaman yang lebih hebat dan parah akibatnya bagi seorang gadis
daripada tikaman berupa penolakan cinta kasih oleh seorang pemuda!
“Bukan begitu, Nona. Aku menolak
karena tidak mungkin melaksanakan maksud hatimu itu. Aku.... aku tidak
mempunyai niat untuk berumah tangga, di samping itu, kita harus ingat kepada
tunanganmu....”
“Cukup....! Kau.... kau dua kali
menghancurkan hatiku, membasmi harapanku....! Ahhh....!” Gadis itu lalu lari
sejadi-jadinya sehingga tidak melihat adanya sebatang pohon yang ditabraknya
begitu saja. Ia roboh terguling, merangkak bangun dan lari lagi sambil
menangis.
Seluruh urat syaraf di tubuh
Suling Emas bergerak mendorongnya hendak mengejar dan menghibur, namun ia
mengeraskan hati. Lebih baik begini, pikirnya, lebih baik dia membenciku
daripada aku harus memberi harapan yang kelak akan lebih menghancurkan hatinya.
Biarlah ia pergi dengan marah, karena hanya jalan inilah yang akan mengurangi
kepatahan hati gadis itu agaknya, biarlah dia membenciku, pikirnya. Akan tetapi
segera terasa dadanya sesak dan cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk
menahan rasa nyeri yang menyesak dada, kemudian ia lalu berlari cepat menuju
ke pondok Kim-sim Yok-ong.
“Wah, kau terluka berat....!”
seru Kim-sim Yok-ong dan begitu Suling Emas merebahkan dirinya di atas bangku
panjang, tabib sakti itu cepat-cepat membuka baju atas pendekar itu dan
memeriksanya.
“Aiiihhh! Dua orang kakek iblis
itu lagi-lagi yang menurunkan tangan kejamnya!” serunya kaget. “Dua macam
tenaga Im dan Yang menyerangmu. Hebat.... ganas! Baiknya tenaga sin-kang dalam
tubuhmu cukup kuat, Kim-siauw-eng. Mudah-mudahan aku akan berhasil
menolongmu. Tunggulah sebentar, aku membakar jarum-jarumku.”
Suling Emas telentang dan
mengatur napasnya. Dadanya makin sesak dan ia harus mengakui kehebatan bekas
tangan kedua orang lawannya. Ia menjadi penasaran sekali, karena ia diam-diam
merasa bahwa andaikata ia tidak terpengaruh oleh racun jahat Siang-mou Sin-ni,
kiranya belum tentu ia akan terluka oleh pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong
dan Lam-kek Sian-ong. Rasa sesalnya ini merugikannya, karena dadanya makin
sesak dan untuk kedua kalinya Suling Emas roboh pingsan setelah mengeluh
panjang.
Kim-sim Yok-ong mendengar
keluhan dan menengok. Ia cepat menghampiri dan memeriksa. Ia cepat menghampiri
dan memeriksa, mencium pernapesan Suling Emas, lalu menggeleng-geleng
kepalanya, “Luar biasa sekali. Sepantasnya ini hasil kerja Siang-mou Sin-ni,
racun darah yang luar biasa jahatnya. Hemmm, pendekar yang begini gagah tak
boleh mati sebelum iblis-iblis berupa manusia itu lenyap dari muka bumi.” Ia
kembali kepada jarum-jarumnya. Dengan tekun tabib sakti itu membuat
persiapan-persiapan dengan jarumnya dan sementara itu, malam sudah berganti
pagi. Matahari mulai menyinar, menerobos masuk melalui jendela ruangan yang
dibukanya lebar-lebar.
Mendadak berkelebat sesosok
bayangan orang dan Lin Lin sudah memasuki pondok itu. Begitu melihat Suling
Emas telentang di atas bangku panjang dengan muka pucat dan mata meram, ia
meloncat dekat. Kemudian ia melihat kakek yang sedang membakar jarum, dan
melihat banyak bahan-bahan obat di situ. Seketika harapannya timbul dan ia
segera menegur.
“Kakek yang baik bagaimana
dengan dia....? Ah, tolonglah dia, Kek.... kausembuhkan dia dan aku akan
berlutut seribu kali kepadamu....”
Sepasang mata Kim-sim Yok-ong
bersinar-sinar.
“Nona cilik, tanpa kauminta aku
pun memang sedang berusaha mengobatinya. Upah berupa penghormatanmu sampai
seribu kali itu terlalu melelahkan. Aku tidak pernah minta upah untuk usahaku
mengobati orang.” Setelah berkata demikian, Kim-sim Yok-ong melanjutkan
pekerjaannya membakari jarum.
Lin Lin dapat menduga bahwa
kakek itu tentulah seorang tabib pandai, akan tetapi ia diam-diam merasa
curiga. Tadi ia mendengar dari seorang diantara penonton pertandingan bahwa
Suling Emas dibawa lari seorang gadis berbaju hijau, akan tetapi mengapa
sekarang ia temukan di dalam pondok ini dalam keadaan pingsan? Kemana perginya
gadis baju hijau? Siapa tahu, kakek ini masih ada hubungannya dengan gadis baju
hijau itu. Berpikir begini, Lin Lin segera memasuki ruangan dan kamar lain,
mencari-cari dan melakukan pemeriksaan! Hatinya lega ketika mendapatkan
kenyataan bahwa pondok itu memang tidak menyembunyikan si nona baju hijau.
Ketika ia kembali ke ruangan pengobatan, kakek itu masih sibuk dengan
jarum-jarumnya sedangkan wajah Suling. Emas dalam pandangan Lin Lin makin
pucat saja! Mulai bingunglah Lin Lin.
“Kek, lekaslah, Kek.... mengapa
kau berlambat-lambat benar? Jangan-jangan dia takkan dapat kau tolong lagi.
Lihat, dia begini pucat....!” Lin Lin meraba-raba muka Suling Emas dengan
jari-jari tangannya, meraba-raba dadanya dan ingin ia menangis di atas dada
itu.
Ketika Kim-sim Yok-ong menengok
dan menyaksikan keadaan Lin Lin demikian itu, ia segera bertanya, “Nona,
apamukah Suling Emas?”
“Bukan apa-apa, akan tetapi
kalau aku hidup dia harus hidup pula, sebaliknya kalau dia mati aku pun tidak
mau hidup lagi. Kek, kau harus tahu, kalau kau dapat menyembuhkan dia, kau pun
akan hidup, sebaliknya kalau dia mati kau pun akan ikut kami!”
Sejenak sepasang mata kakek ini
terbelalak, kemudian ia menggeleng-geleng kepalanya. Wah, bocah ini memiliki
sifat liar, pikirnya, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi, dia mencinta
Suling Emas. Teringat ia akan Tan Lian yang juga mencinta pendekar itu. Kembali
Yok-ong menghela napas. Sungguh ruwet liku-liku cinta kasih dan diam-diam ia
merasa kasihan kepada Suling Emas. Dicinta dara-dara “nekat” macam Tan Lian
dan apalagi Lin Lin, benar-benar berabe!
Setelah selesai membakari
jarum-jarumnya, Kim-sim Yok-ong lalu berjalan menghampiri Suling Emas dan
mulailah ia menusuk-nusukkan jarum-jarum emas dan peraknya ke dada, leher,
pundak dan bagian pusar. Lin Lin hanya menonton dari pinggir dengan hati penuh
ketegangan, pandang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Suling Emas yang
masih pucat. Akan tetapi, sepuluh menit kemudian terdengar pendekar ini
mengeluh panjang dan wajahnya mulai merah. Diam-diam Lin Lin girang bukan main.
Pada saat itu terdengar suara di
luar pondok, “Ah, di sini agaknya!” Ketika Lin Lin menengok, makin girang
hatinya karena yang datang adalah Sian Eng bersama Bu Sin. Dua orang ini tersenyum
girang dan hendak menegurnya dengan kata-kata. Akan tetapi Lin Lin cepat
menaruh telunjuk di depan mulut, mencegah mereka mengeluarkan suara berisik.
Bu Sin dan Sian Eng ketika melihat tanda ini dan melihat seorang kakek sedang
mengobati Suling Emas dengan tusukan-tusukan jarum, segera melangkah maju
dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara. Tiga orang muda itu segera
berdiri mengelilingi Suling Emas yang terlentang di atas meja, sedangkan
Kim-sim Yok-ong membungkuk dan mulai mencabuti jarum-jarumnya. Setiap kali
jarum dicabut, Suling Emas mengeluh dan setelah jarum terakhir di lehernya
dicabut, mulailah ia membuka kedua matanya. Ia mula-mula memandang wajah
Kim-sim Yok-ong, lalu memandang Lin Lin, kemudian Sian Eng dan Bu Sin. Ia
mengejap-ngejapkan kedua matanya sejenak, lalu mengeluh lagi, “Kepalaku....
ah, pusing....”
“Bagus, itu tandanya dua hawa
pukulan yang bertentangan itu sudah mulai bergerak keluar. Lekas kau
menelungkup. Bagian belakang tubuhmu mendapat giliran ditusuk!” kata Kim-sim
Yok-ong dengan wajah berseri. Tanpa diperintah dua kali Suling Emas segera
menelungkup di atas bangku itu, dikelilingi adik-adiknya dan si tabib sakti
yang memegang jarum dengan jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, siap
menusukkan ke jalan darah tertentu.
Sian Eng yang keadaannya normal
kembali tiba-tiba teringat akan pelajaran yang ia baca di dalam gua di bawah
tanah. Tiba-tiba ia berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan tangannya
diangkat ke atas, jari-jarinya bergerak-gerak lalu meluncur ke atas punggung
Suling Emas, menotoknya secara aneh sampai tiga kali beruntun, mendahului jarum
di tangan Kim-sim Yok-ong! Totokan aneh itu dengan jitu mengenai pusat jalan
darah di tengkuk, punggung dan pinggang.
“Auuuhhhhh....!” Suling Emas
mengeluh dan membalikkan kepala menoleh.
“Hebat....! Luar biasa....!”
Kim-sim Yok-ong berseru.
“Enci Sian Eng....!” Lin Lin
berseru, terkejut dan marah.
“Eng-moi, apa yang
kaulakukan....?” Bu Sin juga membentak.
Akan tetapi secara tiba-tiba
keadaan Sian Eng sudah berubah, kini ia menoleh ke arah jendela yang terbuka,
matanya liar, mukanya merah padam dan mendadak ia mengeluarkan lengking aneh
sekali yang seolah-olah menggetarkan seisi ruangan itu, disusul tubuhnya yang
berkelebat melayang keluar jendela.
“Enci Eng....!” Lin Lin loncat
mengejar.
“Sian Eng...., tunggu....!” Bu
Sin juga mengejar.
Sementara itu Kim-sim Yok-ong
berdiri terbelalak keheranan melihat Suling Emas sudah dapat meloncat turun
dan hendak mengejar pula. Akan tetapi Suling Emas ingat bahwa ia berada dalam
keadaan setengah telanjang, maka ia tidak jadi lari mengejar, melainkan
cepat-cepat ia menyambar baju dan memakainya.
“Hebat, gadis itu.... ia
memiliki tenaga dan ilmu mujijat! Im-yang Tiam-hoat (Ilmu Menotok Im Yang) seperti
itu hanya dimiliki ketua Siauw-lim-si....” kata si tabib sakti itu.
“Dia adikku, harus kukejar. Ada
sesuatu yang tidak wajar terjadi....” kata Suling Emas dan ia pun melompat
keluar jendela. Akan tetapi ia mengeluh dan melompat masuk lagi, lalu duduk
bersila mengerahkan sin-kang. Ketika melompat tadi, dadanya kembali sesak
rasanya.
“Kau sudah sembuh sama sekali
oleh totokan Im-yang Tiat-hoat tadi, akan tetapi luka di dalam dadamu belumlah
sembuh benar. Tak boleh kau bergerak mengeluarkan tenaga dalam sebelum
istirahat dan minum obat,” kata Kim-sim Yok-ong. Suling Emas menarik napas
panjang. Hebat memang akibat pukulan dua orang kakek itu. Ia sudah sembuh, akan
tetapi sekali mengeluarkan tenaga gin-kang atau lwee-kang, lukanya akan terasa
nyeri. Sedikitnya ia harus beristirahat dua hari sehingga lukanya sembuh
betul.
Sementara itu, Lin Lin yang
mengejar dengan cepat, ternyata tidak dapat melihat bayangan Sian Eng. Begitu
cepatnya dan begitu anehnya gerakan Sian Eng sehingga dalam sekejap mata saja
lenyaplah encinya itu. Namun Lin Lin tetap mengejar dengan hanya
mengira-ngirakan arah yang dapat ditempuh encinya. Karena pengejaran yang
dilakukan secara kira-kira ini, maka jurusan yang diambil Lin Lin berbeda
dengan jurusan yang diambil oleh Bu Sin. Dalam mengejar saudara mereka itu
kedua orang muda ini berpencar.
Setelah melalui dua buah hutan
di lereng Thai-san tanpa menemukan jejak Sian Eng, Lin Lin tiba-tiba teringat
akan keadaan Suling Emas dan ia menghentikan pengejarannya. Ia tidak tahu apa
yang terjadi dengan diri Suling Emas. Sudah sembuhkah dia? Ataukah totokan Sian
Eng, yang aneh tadi malah membahayakan keselamatan nyawanya? Lin Lin merasa
khawatir sekali dan akhirnya ia berlari kembali menuju ke pondok Kim-sim
Yok-ong. Kiranya ia telah menghabiskan waktu beberapa jam dalam pengejaran
itu dan karena ia belum hafal akan daerah hutan-hutan Gunung Thai-san ini, ia
mulai menjadi bingung ke mana ia harus mencari pondok Kim-sim Yok-ong! Lin Lin
mengingat-ingat jalan yang ditempuhnya tadi dan beberapa kali ia meloncat naik
ke puncak pohon tinggi untuk mencari-cari pondok si tabib sakti.
***
“Locianpwe.... tolonglah....!
Selamatkan dia!”
Suara setengah menangis ini
membangunkan Suling Emas daripada samadhinya. Ia membuka mata dan bangkit
berdiri. Kim-sim Yok-ong sedang sibuk mencari daun-daun dan akar-akar obat di
sebelah belakang, maka agaknya tidak mendengar suara orang di depan pondok itu.
Suling Emas melangkah keluar pintu pondok dan melihat seorang pemuda kurus
pucat berlutut di depan pintu pondok sambil menangis. Karena memang Suling Emas
mengintai dari tempat jauh ketika pemuda ini untuk pertama kali datang ke
pondok, maka ia mengenal bahwa pemuda ini adalah tunangan Tan Lian, pelajar
yang bernama Thio San itu.
“Apakah yang terjadi?
Ceritakan!” Suling Emas bertanya, di dalam hatinya ia merasa amat tidak enak
dan kasihan karena ia merasa dirinya menjadi “gara-gara” kesengsaraan hati
pemuda ini.
Thio San, pemuda itu mengangkat
muka dan ia agak bingung melihat seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya.
Ia mengharapkan pertolongan tabib sakti, bukan orang muda ini.
“Jangan ragu-ragu, sahabat. Aku
tahu bahwa kau adalah tunangan Nona Tan Lian. Saudara Thio San, apakah yang
terjadi? Aku adalah sahabat baik tunanganmu itu, ceritakanlah apa yang terjadi,
aku menolongmu.”
Pada saat itu, Kim-sim Yok-ong
berjalan mendatangi dari belakang. Melihat kakek itu muncul, Thio San menangis
lagi dan berkata, “Locianpwe, tolonglah dia! Dia.... dia hendak menjadi nikouw,
hendak menggunting rambutnya, dan hendak bunuh diri! Saya tidak kuasa
menahannya....!”
Mendengar ini, Suling Emas cepat
menyambar tangan pemuda itu dan menariknya pergi. “Cepat, antarkan aku
kepadanya!” Jantung Suling Emas berdebar-debar tegang, dan ia merasa khawatir
sekali. Sedikit pun tak pernah ia menyangka bahwa hati Tan Lian akan sekeras
itu, tak mengira bahwa gadis itu akan menempuh jalan nekat. Sambil berjalan
setengah berlari biasa, tak berani ia berlari cepat, pikiran Suling Emas
membayangkan keadaan Tan Lian. Mula-mula gadis itu bersumpah hendak membalaskan
dendam ayahnya, kemudian gadis itu kecewa karena tidak mampu mengalahkannya,
bahkan lebih celaka lagi, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Kemudian, di depan
makam ayahnya, Tan Lian bersumpah hendak memusuhi anak isteri Suling Emas,
kemudian melihat kenyataan bahwa Suling Emas tidak beristeri, lalu timbul
kembali cinta kasihnya dan berhasrat menghabiskan permusuhan dengan
perjodohan. Akan tetapi kembali harapan ini buyar ketika Suling Emas dengan terus
terang menyatakan tak dapat menerimanya.
Ia dapat membayangkan betapa
hancur hati gadis itu. Kecewa, menyesal, malu, merasa terhina dan gadis yang
tadinya merupakan seorang pendekar wanita, keturunan pendekar besar mendiang
Hui-kiam-eng Tan Hui, anak berbakti, kini telah mengambil keputusan nekat
untuk menjadi nikouw, bahkan hendak membunuh diri. Dan semua ini dialah yang
menjadi gara-garanya. Kalau Tan Lian berhasil membunuhnya, atau kalau dia mau
menerimanya sebagai isterinya, tentu takkan terjadi hal-hal ini. Akan tetapi
itu bukanlah merupakan jalan keluar yang baik. Apalagi menerima gadis itu
menjadi isterinya. Bukankah itu berarti merebut hak orang lain? Dan dia pun
tidak ada rasa kasih terhadap Tan Lian! Sayang, seorang gadis yang baik, seorang
anak yang berbakti!
Berbakti! Kata-kata ini
mendatangkan ilham bagi Suling Emas. Inilah agaknya senjata yang dapat ia
pergunakan untuk memecahkan persoalan Tan Lian ini.
“Mari cepat, di mana dia?”
“Di depan itu, di balik
gunung-gunungan batu, di tepi jurang!” kata Thio San, suaranya gemetar penuh
kegelisahan. Dia ini calon suami yang amat baik, pikir Suling Emas. Dengan hati
penuh cinta kasih murni, pemuda ini akan dapat mendatangkan bahagia di hati Tan
Lian.
Benar saja, ketika mereka
memutari gunung-gunungan batu, tampaklah Tan Lian duduk menangis, berlindung
dari teriknya matahari di bawah batu yang menonjol, jurang curam yang luas
terbentang tak jauh di depan.
“Lian-moi.... Thio San berseru
dengan isak tertahan.
Tan Lian mengangkat mukanya dan
ia meloncat karena kaget melihat Suling Emas datang bersama tunangannya.
Adapun Suling Emas berdiri seperti patung, hatinya serasa tertusuk melihat
gadis itu. Muka gadis itu pucat sekali, kedua pipinya basah air mata, matanya
kemerahan dan kepalanya gundul plontos. Rambut yang tadinya gemuk hitam dan
panjang, yang ia lihat diurai ketika gadis itu bersumpah di depan makam
ayahnya, kini lenyap sama sekali. Wajah itu tetap cantik, dan kegundulan
kepalanya sama sekali tidak mengakibatkan lucu, melainkan mendatangkan rasa
iba.
“Kau.... kaubawa dia datang
bersamamu? Kau.... kalian terlalu menghinaku! Apa gunanya hidup lagi?” Gadis
itu lalu beriari cepat menuju ke tepi jurang, siap hendak meloncat.
“He, tunggu dulu, Nona! Dengar
dulu omonganku....!” Suling Emas berlari maju dan Thio San juga lari mengejar
dengan kedua lengan dikembangkan, wajahnya makin pucat.
Di tepi jurang, Tan Lian
menoleh, kedua tangannya sudah berkembang siap meloncat ke dalam mulut maut
yang ternganga lebar di bawah kakinya. “Jangan dekat! Aku akan meloncat dan tak
seorang pun dapat mencegahku. Mau bicara apa, boleh bicara, tapi jangan
mendekat!”
Dengan hati tegang terpaksa
Suling Emas menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa kalau ia mendekat lagi,
gadis nekat ini akan meloncat turun tanpa mendengarkan lagi kata-katanya.
Hatinya perih melihat titik-titik air mata menetes dan sepasang mata yang
lebar, jeli itu memandang kepadanya penuh sesal.
“Nona Tan, ingat dan sadarlah.
Pikiriah masak-masak. Apa kau tidak kasihan kepada Saudara Thio San, tunanganmu
ini? Dia amat mencintamu, mencinta dengan murni, dengan sepenuh jiwa raganya.
Nona, dia bersedia melupakan segala-galanya, bersedia, menerimamu dan
melanjutkan perjodohan kalian. Tak seorang pun laki-laki di dunia ini yang dapat
mencintamu seperti dia....”
Sepasang mata itu terbelalak
memandangnya, bibir yang gemetar itu berkata lemah, “Dia.... dia....?”
Tertusuklah hati Suling Emas oleh pandang mata dan kata-kata ini. Ia maklum apa
artinya itu. Pandang mata dan dua kata itu merangkai pertanyaan tek berbunyi,
“Mengapa dia dan dia saja, mengapa bukan engkau?”
“Sudahlah, pergilah kalian.
Atau.... barangkali kalian ingin melihat aku terjun?” Kembali Tan Lian siap
untuk terjun ke depan.
“Lian-moi....! Kalau kau
bertekad hendak mati, biarlah aku menemanimu ke alam baka!” teriak Thio San.
Teriakan ini agaknya meragukan Tan Lian.
Melihat bahwa tidak ada jalan
lain untuk menghalangi maksud gadis keras hati itu, tiba-tiba suling Emas
berkata keras.
“Nona Tan Lian, kau ternyata
adalah seorang anak yang paling murtad dan tidak berbakti di dunia ini! Arwah
ayahmu pasti akan merasa malu sekali!”
Cepat sekali Tan Lian
membalikkan tubuhnya. Matanya memandang penuh kemarahan kepgda Suling Emas.
“Suling Emas! Tutup mulutmu! Kau sudah menghinaku, apakah kau juga hendak
menghina ayah? Tak boleh kausebut-sebut nama ayah, dan aku.... karena baktiku
kepada ayah maka sampai begini!”
Suling Emas sengaja tersenyum
mengejek. “Huh, orang seperti engkau ini masih mengaku berbakti kepada ayah?
Kau durhaka dan tidak berbakti. Orang seperti Saudara Thio San ini, barulah
bisa disebut setia dan berbakti. Ia berbakti dan menjunjung tinggi perintah
ayahnya untuk menjadi jodohmu dan ia setia kepadamu sampai mati. Akan tetapi
engkau? Huh, kau durhaka terhadap ayah, masih pura-pura merasa diri berbakti?
Memalukan!”
“Jahanam, tutup mulutmu!
Buktikan apa yang kaukatakan tidak berbakti itu, kalau kau tidak dapat
membuktikan, hemmm.... aku akan mengadu nyawa denganmu!”
Suling Emas tertawa memanaskan
hati. “Kau sudah bersumpah membalaskan dendam ayahmu, tidak terlaksana. Hal itu
masih bisa dimengerti karena ibuku yang hendak kaubalas sudah meninggal dunia,
pula untuk membalas dendam itu kepadaku, memang kau tidak mampu menangkan aku.
Akan tetapi ayahmu telah memilih Thio San menjadi jodohmu. Perintah ayahmu ini
bukan tak dapat kaupenuhi, karena Thio San masih ada dan pemuda itu mencintamu.
Mengapa kau mengingkarinya? Mengapa kau hendak melanggar janji perjodohan yang
ditentukan ayahmu? Bukankah dengan demikian berarti kau menyeret ayahmu ke
jurang kehinaan, sebagai orang yang mengingkari janji ikatan jodoh? Huh-huh,
kukira kalau kau sekarang meloncat terjun ke dalam jurang itu dan mampus,
arwahmu akan disambut penuh kemarahan dan kebencian oleh arwah ayahmu. Nah,
kau loncatlah, biar kulihat!” Suling Emas berdiri tegak sambil memangku tangan.
“Kurang ajar!” Thio San
berteriak sambil berlari menghampiri Suling Emas. Kemarahannya membuat wajah
pemuda ini merah padam, “Kau kurang ajar sekali. berani mengeluarkan kata-kata
menghina seperti itu kepada Lian-moi. Biarpun kau seorang pendekar yang pandai
ilmu silat, biarlah aku yang mengadu nyawa denganmu untuk mencuci
penghinaanmu!” Setelah berkata demikian Thio San menggerakkan kedua tangannya,
bertubi-tubi memukuli muka dan dada Suling Emas yang menerima semua pukulan
itu tanpa melawan dan dengan mata tidak berkedip.
“San-koko.... jangan....!” Thio
San yang tadinya sudah merasa betapa sia-sia memukuli “manusia baja” yang
seperti tidak merasakan pukulannya dan yang sebaliknya malah membuat kedua
tangannya sakit itu, tercengang dan cepat menengok mendengar sebutan “koko”
dari tunangannya. Ia melihat tunangannya itu menangis tersedu-sedu menutupi
muka dengan kedua tangan.
“Lian-moi, dia kurang ajar!”
“.... tidak.... dia benar.... Ya
Tuhan.... ayah, ampunkan anakmu ini, ayah....!”
Thio San cepat maju memeluk
tubuh tunangannya yang terhuyung-huyung hendak roboh. Gadis itu makin
tersedu-sedu di atas dada tunangannya. “Koko.... kau.... pun maafkanlah
aku....” isaknya. Thio San hanya dapat mengusap pundak gadis pujaan hatinya
dengan air mata bercucuran. Ketika ia menengok, ia melihat Suling Emas sudah
melangkah pergi dari situ dengan wajah berseri dan bibir tersenyum. Thio San
mengejap-ngejapkan matanya menahan haru yang menguasai hatinya. Ia takkan
melupakan pendekar itu, selama hidupnya. Tahulah ia sekarang bahwa sesungguhnya
nyawa Tan Lian tertolong oleh Suling Emas, bukan hanya nyawa Tan Lian,
melainkan juga nyawanya, kebahagiaan hidupnya! Cepat-cepat ia lalu memapah dan
merangkul Tan Lian, diajak pergi meninggalkan jurang yang tetap menganga dan
sunyi, seakan-akan merenungi peristiwa itu tanpa perasaan apa-apa.
Suling Emas berjalan sambil
menundukkan kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguhpun tadi ia berhasil
mencegah Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan kembali dua
buah hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng, namun semua
hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biarpun ia berhasil
membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar, kepada orang yang
berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan kembali dendam gadis itu
sebagai pelaksanaan daripada kebaktian terhadap ayahnya. Sumpah di depan
kuburan yang tadinya terselimut oleh rasa cinta, kini muncul kembali berupa
ancaman terhadap keluarga Suling Emas!
Berkali-kali Suling Emas menarik
napas panjang dan karena perjalanan ini sedikit banyak mempergunakan tenaga, ia
merasa dadanya sakit kembali. Dalam keadaan melamun dan nelangsa ini ia tidak
tahu bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu bahwa udara yang tadinya
terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai bertiup. Baru setelah ada
daun-daun gugur yang tertiup angin keras menghantam mukanya, dan kain kepalanya
hampir terlepas terbang dari kepalanya, ia sadar dan kaget. Ternyata cuaca
sudah menjadi agak gelap dan udara yang tadinya tenang menjadi liar karena
angin bertiup keras. Sebentar lagi turun hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke
arah gunung batu di mana terdapat banyak gua-gua batu untuk berlindung.
“Suling Emas....!”
Di dalam gua ia membalikkan
tubuh. Kiranya Lin Lin yang memanggilnya dan kini gadis itu yang berlari cepat
sudah masuk gua, serta-merta gadis ini merangkul dan menangis, membenamkan
muka ke dadanya! Suling Emas memejamkan dan mendongak ke ataS, sekuat tenaga
berusaha menekan guncangan hatinya, namun sia-sia.
“Ah, betapa gelisah dan khawatir
hatiku tadi.... aku sedang mengejar Enci Sian Eng ketika aku teringat akan
keadaanmu. Aku hendak kembali ke pondok namun sesat jalan. Aku.... aku gelisah
dan melihat kau berjalan dengan muka pucat bersama pemuda itu, aku heran dan
mengikuti.... pertemuanmu dengan gadis baju hijau yang aneh. Ah, Suling Emas,
betapa khawatir hatiku. Dia.... dia mencintamu dan.... ah syukurlah. Kini aku
bahagia. Kiranya kau hanya mencinta aku seorang, seperti juga aku hanya
mencinta engkau seorang di dunia ini....!”
Suling Emas tidak menjawab,
tidak mampu menjawab karena jantungnya yang berdebar-debar seakan-akan hendak
pecah itu mencekik tenggorokannya. Karena itu ia hanya dapat menggelengkan
kepalanya keras-keras. Gerakan ini agaknya terasa oleh Lin Lin yang segera
mengangkat muka memandang. Suling Emas menunduk, muka mereka berdekatan, dua
pasang mata saling pandang. Kembali Suling Emas menggeleng kepala dan pandang
matanya sayu.
Lin Lin memeluk lebih erat lagi.
“Kenapa kau menggeleng kepala? Apa maksudmu hendak menyangkal? Suling Emas,
betapapun kau hendak berpura-pura, hatimu tidak akan dapat menipuku, tidak akan
menipumu. Debar jantungmu meneriakkan betapa kau mencintaku. Ah, jangan kaugoda
aku....!” Kembali Lin Lin membenamkan mukanya pada dada yang bidang itu.
Sejenak Suling Emas tenggelam ke dalam alam perasaan indah dan nikmat yang
membuat ia membelai-belai rambut hitam halus dan menciuminya penuh nafsu.
Biarpun mereka tak berkata-kata, dengan muka Lin Lin terbenam di dada Suling
Emas dan muka Suling Emas terbenam di rambut Lin Lin, namun keduanya sama-sama
tenggelam dalam kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terbuai
asmara. Mereka tidak menghiraukan bahkan tidak tahu betapa angin makin keras
mengamuk di luar gua.
“Koko (kanda).... sebetulnya
siapakah namamu?” Lin Lin berbisik lirih.
Akan tetapi bagi Suling Emas,
bisikan lirih ini seakan-akan merupakan halilintar menyambar kepalanya yang
menghancurkan semua mimpi indah dan menyeretnya kembali kepada kenyataan.
Dengan halus akan tetapi pasti ia memegang kedua pundak Lin Lin dan mendorong
gadis itu sehingga terlepas dari padanya kemudian ia melangkah mundur dan
memutar tubuhnya membelakangi Lin Lin sambil berseru keras, “Tidak.... tidak
mungkin....!”
Tentu saja Lin Lin terkejut
sekali dan memandang dengan muka pucat dan hati khawatir. “Ada apakah? Apa yang
tidak mungkin....?” katanya sambil memegang lengan Suling Emas, akan tetapi
pendekar ini tetap membuang muka dan kedua matanya dipejamkan.
“Tak mungkin kita lanjutkan
kegilaan ini. Lin Lin, aku.... betapapun perih rasa hatiku, aku.... aku tak
mungkin begitu gila untuk menerima perasaanmu yang murni. Tak mungkin!”
Kata-kata terakhir ini keluar dari mulut Suling Emas seperti keluhan dengan
suara gemetar dan parau.
Lin Lin tersentak bagaikan
disambar petir. Dua titik air mata meloncat turun di atas pipinya yang pucat
dan sepuluh jari tangannya bergerak-gerak saling remas membayangkan hati yang
bingung, perih dan gelisah.
“Kenapa....? Kenapa....? Suling
Emas, bukankah kau mencintaiku? Sejak pertama kali kita bertemu di kota
raja.... sikapmu selama ini.... pengakuanmu di depan gadis tadi.... bukankah
itu semua membuktikan bahwa kau pun mencintaiku seperti aku mencintamu?
Ataukah.... aku telah salah duga? Suling Emas, katakanlah, sebagai seorang
laki-laki yang gagah, katakanlah, apakah kau menolak kasihku? Apakah kau
tidak.... tidak mencintaku seperti yang kuduga?”
Suling Emas bersedakap memangku
lengan, ia masih membuang muka dengan mata terpejam karena tidak kuasa ia
memandang wajah gadis yang bicara dengan suara begitu tergetar memilukan.
Akhirnya ia dapat menjawab, suaranya lirih dan tersendat-sendat menahan
goncangan hati.
“Adik Lin Lin, semata-mata bukan
aku menolak cinta kasihmu, bukan pula membencimu, akan tetapi justeru aku
sangat menyayangkan nasibmu kelak apabila kau menjadi jodohku. Lin Lin, engkau
cantik jelita, muda remaja, engkau berhak memperoleh seorang suami yang lebih
segala-galanya daripada aku. Masih banyak kesempatan bagimu untuk bertemu
jodoh yang tampan dan gagah perkasa, seorang satria sejati yang tepat menjadi
teman hidupmu selamanya. Aku.... ah, aku sudah tua untukmu, Lin Lin!”
Di belakang punggungnya, Suling
Emas mendengar isak tangis Lin Lin. Ia mengeraskan hatinya. Apa yang ia
ucapkan tadi adalah suara hatinya. Lin Lin adalah adiknya, sungguhpun bukan
adik kandung dan berasal dari orang lain, namun gadis ini sudah menggunakan
she (keturunan) ayahnya, bernama Kam Lin, adik Kam Bu Song, dia sendiri!
Ayahnya sudah meninggal dunia, berarti dia sebagai putera sulung menjadi
pengganti ayahnya. Dia adalah kakak Lin Lin, juga wakil ayah Lin Lin. Dia yang
berkewajiban mencarikan jodoh untuk adiknya ini, jodoh yang tepat. Mana
mungkin dia sendiri terlibat cinta kasih dengan Lin Lin! Mana mungkin dia
memperisteri Lin Lin, mengambilnya sendiri menjadi jodohnya. Dunia akan
mentertawakannya, arwah ayahnya akan mengutuknya, Thian akan menghukumnya.
Kalau saja Lin Lin bukan bernama Kam Lin, bukan adik angkatnya, agaknya ia akan
membuka kedua lengannya, karena hanya pada Lin Lin ia melihat pengganti Suma
Ceng!
“Tidak....! Kau tidak tua
bagiku. Aku tidak sudi menjadi jodoh orang lain. Aku hanya mencintaimu seorang!
Suling Emas, apakah cinta kasih murni mengenal usia? Ah, Suling Emas, aku yakin
betul akan cinta kasihmu, mengapa kau harus berpura-pura, menipu diri sendiri?
Mengapa kau hendak merenggut pertalian kasih antara kita, rela merobek hatimu
sendiri dan menghancurkan hatiku, hanya karena alasan usia? Tak tahukah engkau
bahwa sikapmu ini mengakibatkan hati kita robek-robek berdarah, dan selama
hidup akan menyiksa kita sendiri? Aku hanya mencinta engkau seorang, dan kau
pun cinta kepadaku.... ah, aku mohon kepadamu.... jangan patahkan ikatan suci
ini.... Suling Emas....!” Lin Lin menangis sesenggukan dan tiba-tiba ia
berlutut dan merangkul kedua kaki Suling Emas!
“Jangan....! Jangan begitu....!”
Suling Emas berseru kaget sambil melangkah mundur.
“Biarlah! Kaulihat. Demi cinta
kasihku kepadamu, aku berlutut dan bermohon kepadamu! Aku merendahkan diri, aku
bersikap hina, karena.... karena cintaku. Kau telah mengenalku, kalau bukan
demi cintaku, lebih baik aku mati daripada merendahkan diri seperti ini....!”
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat mukanya dan berteriak, “Suling Emas....!” Akan
tetapi pendekar itu sudah lenyap, tidak berada di dalam gua lagi. Dengan isak
tertahan Lin Lin melompat keluar, disambut angin dan air hujan. Matanya sukar
dibuka dan lebih sukar lagi melakukan pengejaran dalam keadaan seperti itu.
“Suling Emas....!” Berkali-kali
ia menjerit, memanggil-manggil dan lari ke sana ke mari mencari pendekar itu
sambil menangis. Air matanya bercucuran menyaingi air hujan. Beberapa jam
kemudian tubuh Lin Lin menggeletak pingsan di antara siraman air hujan.
***
“Lin-moi....!” Bu Sin terkejut
bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin seperti telah tak bernyawa lagi itu di
atas rumput. Cepat-cepat ia memondong tubuh adiknya dan berlari kembali ke
pondok Kim-sim Yok-ong.
“Locianpwe.... tolonglah....
tolonglah adikku ini....! Kudapatkan dia seperti ini di dalam hutan....!” Bu
Sin berkata dengan suara gugup kepada kakek tabib yang sedang duduk di ruangan
dalam.
Kim-sim Yok-ong menghampiri Lin
Lin yang rebah di atas bangku panjang di mana tadinya Suling Emas berbaring.
Wajah Lin Lin pucat sekali seperti mayat, dadanya tidak bergerak seakan-akan
sudah tak bernapas lagi. Hal inilah yang membuat Bu Sin kebingungan. Setelah
menyentuh nadi pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong menggeleng-gelengkan
kepalanya dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin yang menjadi amat
gelisah.
“Hemmm.... di dunia ini banyak
terjadi hal-hal aneh! Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat terserang
perasaan malu, kecewa dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia tadi
demikian lincah gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa.”
Bu Sin lega hatinya, namun ia
sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin Lin merasa malu, kecewa dan
berduka? Apa sebabnya? Ia memang sudah terheran-heran melihat Lin Lin. Adiknya
ini tiba-tiba memiliki kepandaian yang hebat, demikian pula Sian Eng. Apakah
yang terjadi dengan kedua orang adjknya? Ia belum mendapat kesempatan untuk
bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi entah ke mana, dan
Lin Lin.... mengapa bisa begini?
“Tak usah kau khawatir, Yok-ong
bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah beristirahat!” Tiba-tiba terdengar
suara orang dan Bu Sin segera menengok, kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw
yang berada di situ. Kui Lan Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah
orang-orang muda itu pergi. Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong,
Kui Lan Nikouw menjadi kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu
merajang akar dan daun obat di sebelah belakang pondok sambil menanti
kembalinya para keponakannya.
Nikouw ini biarpun ilmu silatnya
tidak sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang terkenal pula di
Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat. Biarpun ia hanya berdiam di Cin-ling-san,
bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran Agama Buddha. Akan tetapi
setelah lama ketiga orang murid keponakannya meninggalkan Ting-chun, ia merasa
khawatir juga, lalu pada suatu hari ia meninggalkan Cin-ling-san, mencari
keponakan-keponakannya ke kota raja.
Secara kebetulan sekali di
tengah perjalanan ia bertemu dengan Bu Sin yang hendak mengunjungi Cin-ling-san
untuk memberi laporan kepada bibi gurunya tentang mereka bertiga, juga sekalian
untuk membicarakan rencana perjodohannya dengan Liu Hwee, puteri dari
Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw). Girang hati nikouw ini mendengar tentang
rencana perjodohan, akan tetapi di samping kegirangannya, ia pun merasa
gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia menegur keponakannya ini,
“Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti adik-adikmu sehingga dapat pulang
bersama mereka? Kau benar-benar terlalu memikirkan kepentingan sendiri.
Kurasa, yang dapat menolong kita mendapatkan adik-adikmu hanyalah Bu Song yang
kini ternyata menjadi Suling Emas, pendekar besar yang namanya sampai bergema
di Cin-ling-san. Pinni (aku) mendengar pula tentang pertandingan besar antara
Thian-te Liok-koai di Thai-san. Kurasa Suling Emas akan hadir pula di sana,
maka sebaiknya kita langsung ke sana menemuinya. Setelah kita berjumpa dengan
Sian Eng dan Lin Lin, baru kita beramai pergi kepada Beng-kauwcu untuk meminang
puterinya.”
Demikianlah, secara kebetulan
sekali Kui Lan Nikouw dan Bu Sin muncul ketika terjadi pertandingan hebat di
puncak Thai-san, di mana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa pukulan dua orang kekek
sakti karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi secara mujijat nikouw ini
ditolong oleh Bu Kek Siansu. Nikouw ini tadinya gembira sekali karena tepat seperti
dugaannya, ia dapat bertemu dengan Suling Emas di puncak Thai-san, bahkan
bukan hanya dengan keponakannya yang telah lama hilang ini, juga malah bertemu
pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang telah memiliki kepandaian yang ajaib
sekali. Akan tetapi kegembiraannya hanya sebentar saja karena sekarang kembali
kedua orang keponakannya itu telah lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali
dengan Lin Lin yang berada dalam keadaan pingsan, bahkan seperti telah mati.
Baiknya ada Kim-sim Yok-ong yang memberi jaminan bahwa Lin Lin tidaklah
berbahaya keadaannya.
Sampai dua hari dua malam Lin
Lin tidak sadarkan diri. Tak pernah membuka mata dan kadang-kadang ia mengigau
tentang hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh Kui Lan Nikouw maupun Bu
Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali mengigau tentang usia
tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu dan puteri-puteri.
Sering kali ia menjerit, “Bukan karena tua, akan tetapi karena kau mencinta
wanita lain!”
Hanya sedikit bubur encer yang memasuki
perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kui Lan Nikouw. Tubuhnya menjadi
kurus dan mukanya pucat sekali, dan biarpun kedua matanya meram, akan tetapi
banyak air mata keluar dari sepasang matanya.
Pada hari ke tiga, pagi-pagi
sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya bingung.
“Sin-ko....! Sukouw....!”
Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang yang duduk di pinggir dipan. Ia
bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya sambil menangis.
Kui Lan Nikouw mengelus-elus
rambutnya, penuh kesabaran, “Kau berbaringlah saja, anak baik. Kau sudah
sembuh, hanya perlu beristirahat.”
“Lin-moi, aku mendapatkan kau
rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang terjadi?”
Kui Lan Nikouw memberi isyarat
dengan matanya kepada Bu Sin, akan tetapi pemuda ini sudah terlanjur bicara,
maka nenek ini menoleh kepada Lin Lin dengan khawatir. Menurut anggapannya,
tidak tepat saatnya untuk bicara tentang itu selagi Lin Lin baru saja sadar.
Akan tetapi Lin Lin hanya mengerutkan kening, menggeleng kepala, matanya sayu.
Ini pun hanya sebentar karena tiba-tiba matanya mengerling kepada Kui Lan
Nikouw dan kembali merangkulnya.
“Ah, girang sekali bertemu
denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul di sini? Seperti dalam mimpi
saja!”
Lega hati Kui Lan Nikouw.
Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu, ramah dan lincah. “Nanti kuceritakan,
Lin Lin. Sekarang kau rebahlah, kau perlu beristirahat kata Kim-sim Yok-ong.”
“Ah, Si Raja Obat itukah yang
menolongku? Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan tentang hatinya emas
atau bukan, perlu diselidiki dulu.” Ia tersenyum dan sudah mendapatkan
kegembiraannya kembali. “Aku tidak merasa sakit apa-apa, Sukouw, hanya....
lemas dan.... dan lapar sekali! Kalau begini rasanya aku sanggup menghabiskan
nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor, bakmi dua kati!” Gadis ini tertawa dan
Kui Lan Nikouw juga tertawa.
“Bocah nakal! Dua hari ini
kaubikin hatiku penuh kekhawatiran saja.” Nikouw ini girang bukan main. Akan
tetapi biarpun mulutnya tersenyum, di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia
terlampau kenal watak Lin Lin yang memang mudah sekali berduka dan gembira,
mudah menangis mudah tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat
betapa di balik wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang
membayang dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya
dapat timbul karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa
prihatin dan kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya karena ia
mengenal watak Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak atas kehendaknya
sendiri.
Ditemani oleh Kim-sim Yok-ong,
Lin Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan masakan tanpa daging yang
dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka bicara tentang peristiwa yang
lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap Sian Eng yang amat aneh.
“Sungguh aku merasa heran sekali
melihat Enci Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah yang terjadi atas
dirinya maka ia berubah seaneh itu?” kata Lin Lin.
“Kau sendiri pun aneh, Lin-moi.
Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga berdua dengan Sian Eng kau
mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana kau bisa mendapatkan kemajuan dalam
waktu singkat dan memiliki ilmu yang luar biasa?”
Lin Lin tersenyum. “Ah,
kebetulan saja aku mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat kuceritakan dari
mana asalnya. Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu aneh, seakan-akan
kumelihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya.”
“Sayang sekali, Bu Song juga
ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum sempat aku bercakap-cakap
dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih mengetahui akan keadaan Sian Eng
yang aneh,” kata Kui Lan Nikouw.
“Siapa katamu, Sukouw? Kakak Bu
Song....? Di mana dia....? Siapa....?” Lin Lin bertanya dengan muka
terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar disebutnya nama kakaknya yang
sampai kini belum ia lihat itu.
Bu Sin tertawa. “Kasihan kau,
Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum tahu dan belum dapat menduga? Aku dan
Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin karena kau selalu terpisah dariku, maka kau
tidak tahu akan rahasia ini. Suling Emas, pendekar itu, dialah sebetulnya kakak
Kam Bu Song yang kita cari-cari!”
“Prakkk!” Pecahlah cangkir yang
berada di tangan Lin Lin. Gadis ini bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar
ketika ia memandang kepada Bu Sin dengan sinar mata tak percaya. Kemudian ia
memandang Kui Lan Nikouw dengan mata bertanya.
“Dia....? Kakakku....?”
Bu Sin tertawa gembira melihat
keheranan dan kekagetan Lin Lin ini. Akan tetapi Kui Lan Nikouw memandang
dengan kening berkerut, karena sekarang nenek inilah yang dapat melihat bahwa
gadis itu tidak hanya heran dan kaget saja. Ia segera berkata menerangkan.
“Tentu saja dia kakakmu, Lin
Lin! Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu Sian. Kemudian Bu Sin
dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang ke dua dan ke tiga, dari ibu mereka
yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri adalah....”
“Anak pungut! Aku hanya anak
angkat!” Lin Lin berseru keras.
Kini Bu Sin memandang kaget.
“Biarpun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu sendiri, Lin-moi.
Kau adik kami....!”
“Adik angkatnya! Sebetulnya
orang lain!” Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit bibirnya yang
gemetar.
“Hushhh! Mengapa kau bicara
begitu?” Kui Lan Nikouw menegur. “Lin Lin, kau juga puteri ayahmu, biarpun anak
angkat akan tetapi kau sah menjadi keluarga Kam. Kau she (bernama keturunan)
Kam dan namamu Lin....”
“Bukan!” Lin Lin sudah meloncat
sekarang, dan sinar keemasan berkilauan ketika ia mencabut pedangnya. Pedang
Besi Kuning! Melihat ini, Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan
muka pucat. Hanya Kim-sim Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik
sedikit ke arah Lin Lin, agaknya kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh
baginya karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya.
“Bukan! Aku bukan apa-apa
kalian, bukan apa-apanya Bu Song! Aku tidak punya she Kam, dan namaku adalah
Yalina! Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia Puteri Yalina! Aku bukan
apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan adiknya....!” Tiba-tiba Lin Lin
meloncat dan lari keluar dari dalam pondok, pedangnya berkilauan.
“Lin-moi....!” Bu Sin hendak
mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.
“Takkan ada gunanya, Sin-ji.
Sejak dulu aku sudah menduga bahwa sewaktu-waktu ia akan memenuhi panggilan
darahnya. Memang dia berdarah bangsawan Khitan. Kau tidak lihat sikapnya tadi?
Begitu agung seperti puteri! Biarkanlah, hatinya keras sekali dan kepandaiannya
juga luar biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya.”
“Korban asmara lagi....” Kim-sim
Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada dirinya sendiri. “Penyakit
orang muda yang amat sukar diobati. Percuma saja aku disebut Raja Obat,
terhadap penyakit yang satu ini aku benar-benar angkat tangan....” lalu ia
menarik napas panjang dan meninggalkan meja, memasuki kamarnya untuk mengaso.
Bu Sin hanya dapat saling
pandang dengan bibi gurunya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Raja Obat
itu. Yang paling bingung dan sedih adalah Bu Sin. Kembali ia harus berpisah
dari Sian Eng dan Lin Lin. Perpisahan yang amat aneh dan luar biasa. Sian Eng
lenyap tak meninggalkan bekas sehingga sukar baginya untuk mencarinya. Akan
tetapi Lin Lin biarpun pergi secara aneh dan tidak sewajarnya, dapat ia duga
bahwa adiknya, adik angkat, yang luar biasa ini besar sekali kemungkinannya
pergi ke Khitan! Hanya Suling Emas yang dapat ia harapkan! Suling Emas, atau
kakaknya, Kam Bu Song seoranglah yang dapat ia harapkan bantuannya untuk
mencari kedua orang adiknya itu. Akan tetapi, Suling Emas juga lenyap tak
berbekas, ke mana ia harus mencarinya?
Sementara itu, Lin Lin
berlari-lari seperti orang gila, tidak peduli ke mana kakinya bergerak
membawanya, berlari sambil mengulang kata-kata, “Dia bukan kakakku.... dia
bukan kakakku....!” Sampai malam gelap tiba, gadis ini terus berlari
meninggalkan Pegunungan Thai-san dan akhirnya tibalah ia di sebuah hutan di
kaki gunung bagian utara. Malam yang gelap tidak memungkinkan ia melanjutkan
larinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput dan duduk termenung. Tidak menangis
lagi, namun beberapa kali ia masih terisak, sedu-sedan menyelingi napasnya
yang terengah-engah karena berjam-jam lari cepat tadi melelahkannya.
Pikirannya penuh dengan bayangan Suling Emas, penuh dengan persoalan Suling
Emas.
***
Sambil menyadarkan tubuhnya pada
sebatang pohon, Lin Lin merenung. Ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas
mencintanya. Hal ini jelas dapat ia tangkap dari pandang mata, dari kata-kata,
maupun dari gerak dan belaiannya kemarin. Ia tahu bahwa Suling Emas memaksa
diri menjauhinya, memaksa diri memutus rasa cinta kasih. Apakah sebabnya?
Inilah yang menjadi bahan pemikirannya. Karena mereka masih bersaudara? Hanya
namanya saja saudara! She Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang aseli. Ia
tidak berdarah Kam! Tidak dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak menghubungkan
pertalian darah antara dia dan Suling Emas. Apakah karena Suling Emas
betul-betul merasa telah tua? Ini pun tidak betul, karena biarpun ada selisih
usia antara dia dan Suling Emas, namun pendekar itu belumlah tua, baru tiga
puluh tahun lebih. Lalu, apa sebabnya dia menolaknya. Karena di sana ada wanita
lain! Tapi.... ia yakin bahwa Suling Emas mencintanya.
Tiba-tiba ia teringat dan
meloncat bangun! Mengapa ia hanya mengingat akan Suling Emas? Sehingga ia lupa
akan Kam Bu Song? Ah, sekarang tahulah dia. Pernah ia mendengar tentang
hubungan asmara antara kakaknya itu, Kam Bu Song pernah bercinta dengan puteri
bangsawan adik Suma Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling Emas! Ah, mengapa ia
begini tolol? Teringat ia sekarang akan perjumpaannya yang pertama kali dengan
Suling Emas. Di dalam gedung perpustakaan di istana kaisar. Perjumpaan pertama
di tempat yang agak gelap itu, di mana serta-merta Suling Emas memeluk dan
menciumnya, kemudian kaget dan minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan bahwa
Suling Emas menyangka dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya, yang
biasa dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya? Ah,
mengapa ia begitu bodoh? Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain, tak
salah lagi, wanita itu tentulah adik Suma Boan!
Berpikir sampai di sini, muka
Lin Lin menjadi merah padam. Alangkah memalukan! Ia mencinta orang yang selama
ini dicari-carinya sebagai kakaknya! Dan ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang
dicintanya sama sekali tidak membalas, karena telah mencinta orang lain.
Benar-benar ia telah merendahkan diri sampai sehina-hinanya. Ia merasa malu
sekali.
“Aku harus pergi jauh. Aku harus
kembali ke Khitan. Aku takkan mau bertemu muka dengan dia lagi, kecuali kalau
aku sudah menjadi ratu di Khitan! Baru aku suka bertemu dengan dia, sebagai
ratu bukan sebagai adiknya, apalagi sebagai.... kekasihnya. Tapi sebelum ke
Khitan.... aku harus melenyapkan wanita itu, wanita yang berani menolak cinta
kasih Suling Emas, wanita yang berani merampas hati Suling Emas, wanita yang
menjadi penghalang kebahagiaannya!” Berpikir demikian, hati panas membuat Lin
Lin lupa akan kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu melanjutkan perjalanan di
waktu malam, keluar masuk hutan.
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan
kakinya dan kepalanya dimiringkan. Ia mendengar suara aneh. Lengking tinggi
berkali-kali menggema di malam gelap. Hatinya berdebar. Suara sulingkah itu?
Ia ragu-ragu. Ia tidak sudi bertemu kembali dengan Suling Emas sebelum ia
menjadi ratu di Khitan. Akan tetapi.... sebelum ia pergi jauh, apa salahnya
satu kali lagi saja melihat wajahnya? Keraguan meliputi hati Lin Lin, akibat
daripada dua macam perasaan yang bertentangan. Namun akhirnya kakinya
melangkah, seakan-akan di luar kesadarannya, menuju ke arah suara
melengking-lengking, Pedang Besi Kuning sudah berada di dalam tangannya.
Ketika tiba di tempat itu, Lin
Lin tertegun. Di sebuah tempat terbuka, di bawah sinar bintang-bintang yang
remang-remang, ia melihat pertempuran yang hebat dan ia tersentak kaget.
Siang-mou Sin-ni agaknya yang sedang bertanding, melawan seorang kakek bongkok
yang bukan lain adalah It-gan Kai-ong! Akan tetapi mana mungkin? Bukankah
Siang-mou Sin-ni sudah tewas, terjerumus ke dalam jurang, mati di tangan Suling
Emas? Dan suara melengking-lengking itu keluar dari mulut Siang-mou Sin-ni.
Akan tetapi, biarpun wanita itu bertanding dengan rambut terurai, rambut itu
tidak sepanjang Siang-mou Sin-ni dan wanita ini bertanding tanpa menggunakan
rambutnya seperti keistimewaan Siang-mou Sin-ni! Apakah wanita baju hijau?
Pernah ia melihat wanita baju hijau itu berurai rambut ketika bersumpah di
depan makam ayahnya. Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak
berambut lagi, sudah gundul seperti seorang nikouw! Siapakah gerangan wanita
ini?
Ia mendekati dan melihat betapa
wanita itu gerakan-gerakannya dahsyat dan aneh luar biasa, It-gan Kai-ong
merupakan lawan yang berat, tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan angin
keras. Akan tetapi gerakan kakek itu lamban, dan teringatlah Lin Lin bahwa
kakek pengemis mata satu ini pun sudah terluka parah. Kalau tidak terluka,
agaknya wanita itu bukan lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah kaget
dan marahnya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian Eng!
“Enci Sian Eng, jangan takut.
Kubantu kau menghajar mampus iblis ini!” setelah berkata demikian, tubuhnya
berkelebat ke depan, didahului sinar kuning emas pedangnya yang sudah
menerjang It-gan Kai-ong dengan ganas. Maklum akan kelihaian lawan, serta-merta
Lin Lin mainkan jurus-jurus yang ia pelajari dari ilmu rahasia dalam tongkat
pusaka Beng-kauw. Hebat gerakannya itu, biarpun belum matang sekali namun
karena jurus-jurus itu adalah jurus sakti yang khusus diciptakan oleh mendiang
pendiri Beng-kauw, Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya bukan main. Begitu pedangnya
bergerak, It-gan Kai-ong berseru, “Uhhhhh!” Dan kakek ini terhuyung ke
belakang, hampir saja perutnya termakan ujung pedang.
“Bagus, Lin-moi adikku! Mari
bantu aku bikin mampus anjing ini!” teriak Sian Eng dengan gembira dan kedua
tangannya melakukan serangan hebat, dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke
arah dada kakek itu. Lin Lin tertegun karena melihat betapa kedudukan kaki dan
gerakan tangan encinya itu mirip sedikit dengan ilmu barunya! Hal ini
sebenarnya tidak aneh karena sebuah di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di
dalam gua adalah kitab ilmu silat Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang
tentu saja dasarnya sama dengan ilmu yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong.
Karena ini ia menjadi gembira dan mainkan pedangnya. Secara aneh sekali,
gerakan mereka seimbang dan setelah mereka menyerang bersama, maka serangan itu
merupakan rangkaian yang cocok dan daya serangannya hebat bukan main. It-gan
Kai-ong yang sudah terluka parah dalam pertandingannya melawan Suling Emas
beberapa hari yang lalu, menjadi terkejut sekali. Biarpun dua orang gadis itu
sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang luar biasa, namun andaikata ia tidak
terluka parah, agaknya tidaklah mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkannya.
Akan tetapi, apa hendak dikata, ia terluka hebat dan luka itu belum sembuh,
maka sekarang ia menghadapi keroyokan ini dengan berat. Beberapa kali ia
terhuyung dan pada saat ia menangkis Pedang Besi Kuning dengan tongkat yang ia
buat dari dahan pohon, kedua senjata itu saling tempel tak dapat dipisahkan
lagi. Inilah saat yang celaka bagi It-gan Kai-ong karena pada detik berikutnya,
pukulan tangan kanan Sian Eng dengan hebat menghantam lambungnya.
“Blukkk....!” It-gan Kai-ong
memekik aneh dan mulutnya menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya terjengkang
ke belakang. Pedang Besi Kuning yang sudah terlepas dari tempelan tongkat,
menyambar dan sebuah bacokan membuat pundak kiri It-gan Kai-ong hampir putus.
Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
“Adikku, pinjamkan pedangmu
sebentar!” kata Sian Eng dengan suara bersorak, kemudian ia menerima Pedang
Besi Kuning itu dan.... sambil tertawa-tawa seperti orang gila Sian Eng lalu
menghujani tubuh It-gan Kai-ong dengan bacokan dan tusukan sehingga dalam
sekejap mata saja tubuh kakek itu hancur tidak karuan macamnya lagi.
“Sudah, Enci Eng....!” Lin Lin
merasa ngeri dan memalingkan mukanya. Ia merasa ngeri dan heran mengapa
encinya meniadi begitu ganas. “Cukup! Dia sudah mati....!”
Akan tetapi Sian Eng terus
membacok-bacok sambil tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak merupakan tubuh
manusia lagi, melainkan merupakan daging cacahan yang mengerikan. Tiba-tiba ia
berhenti membacok, melempar pedangnya ke atas tanah lalu.... gadis ini
menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu, sedih sekali.
Lin Lin sejenak terkesima.
Kemudian ia mengambil pedangnya, membersihkannya dengan rumput dan
menyarungkannya. Setelah itu ia mendekati Sian Eng, berlutut, merangkulnya dan
membujuk.
“Sudahlah, Enci Eng. Mengapa kau
agaknya begitu membencinya? Mengapa pula kau melarikan diri secara aneh? Ada
rahasia apakah yang terjadi padamu? Ceritakanlah kepada adik....” sampai di
sini Lin Lin teringat dan menyambung, “ceritakan kepadaku, apa yang
kaususahkan.”
Mendengar ini, Sian Eng menangis
makin keras sampai tubuhnya berguncang-guncang sesenggukan ketika ia
membenamkan mukanya pada rangkulan Lin Lin. Akhirnya tangisnya mereda dan ia
dapat bicara, “Lin Lin, aku menangis saking girang hatiku dapat membunuh anjing
ini. Dapat membunuh.... gurunya dan sekarang aku akan mencarinya. Sebelum aku
dapat membunuhnya, aku tidak mau berhenti!”
Lin Lin belum dapat mengerti.
“Membunuh siapa, Enci Eng?”
“Siapa lagi kalau bukan murid
anjing ini?”
Lin Lin terkejut, terheran.
Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci
Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya encinya membenci secara luar biasa?
“Kaumaksudkan, Suma Boan?”
Tiba-tiba meledak lagi tangis
Sian Eng. “Betul! Anjing biadab itu! Keparat jahanam Suma Boan, kautunggulah
pembalasanku!” Ia berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia
sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah
merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman
encinya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
“Enci Sian Eng, memang Suma Boan
itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan
tetapi, kausebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya itu?”
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada
saat itu, ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut encinya, mengatur
dan menyanggulkannya kembali.
“Lin-moi, dia.... dia.... ah,
tadinya aku.... aku telah gila. Aku.... aku mencintanya....”
“Hemmm....?” Tapi Lin Lin
menindas keheranannya, “Apa anehnya dengan itu? Wajar, Enci. Memang hati ini
tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya.”
“Tapi dia menipuku! Dia
mengkhianatiku! Ah.... Lin-moi, pilihanku keliru....!”
Sambil menangis Sian Eng lalu
menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari
ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu di mana ia dinodai
oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin,
ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata, “Bedebah! Dia
patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan
kita bunuh anjing itu, setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku
pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan.”
Kini Sian Eng yang memandangnya
dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan
tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah
adiknya, bertanya, “Suma Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku
pernah bertemu dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya
baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam
Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.”
“Justeru itulah sebabnya mengapa
aku harus membunuhnya!”
“Apa? Karena ia mencinta kakak
Bu Song?”
“Karena ia berani mencinta
Suling Emas!”
“Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa
salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta....”
“Karena aku mencinta Suling
Emas!” ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Erg melongo dan sejenak tak
dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan
mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya daripada tidur
dan mimpi buruk.
“Lin-moi....! Gilakah kau?
Suling Emas adalah Kam Bu Song!”
“Aku tahu!” jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung. “Kau
tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah
kakakmu....”
“Bukan! Sekali lagi bukan
kakakku! Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami? Dia itu kakak
tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah
Yalina, Puteri Yalina, Puteri Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku
adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling
Emas?”
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng
terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama
sekali tak pernah disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini.
Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang
menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang
lebih aneh pada diri Lin Lin.
“Hemmm, begitukah? Kau mencinta
Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Dia sudah bersuami
orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu lagi? Bagaimana sikap Suling
Emas terhadap cintamu?”
Ditanya begini, tiba-tiba Lin
Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang
menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian, di antara isak
tangisnya, Lin Lin yang menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling
Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak
dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
“Tentu karena gara-gara Suma
Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri
memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan
saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu
membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah
itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku.
Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap menganggapmu
sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini
bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati.”
Sian Eng terharu, merangkulnya
dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu
tempat yang amat menyeramkan karena di situ terdapat onggokan daging tulang dan
darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama
setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang
untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini!
***
Sementara itu, terjadi perubahan
besar di Kota Raja Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu, Kaisar Kerajaan Sung
pertama, telah menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya sendiri yang berjuluk
Kaisar Sung Thai Cung juga melanjutkan politik pemerintahan kakaknya, namun
dibandingkan dengan Sung Thai Cu kaisar ke dua ini lebih berhasil kemudian Sung
Thai Cung berani mempergunakan tangan besi terhadap para pejabat tinggi yang
melakukan penyelewengan, tidak mudah dijilat oleh sikap memuji-muji, dan di samping
ini, memperkuat pasukan kerajaan dalam persiapan menggempur kerajaan-kerajaan
kecil yang sampai saat itu belum juga mau tunduk dan belum mengakui kekuasaan
Kerajaan Sung.
Berbeda dengan jaman kerajaan
yang sudah-sudah, terutama di jaman Kerajaan Tang yang sering kali terjadi
perebutan kekuasaan dan perang saudara di kala tahta kerajaan berpindah tangan,
pemindahan kekuasaan dan penggantian kaisar kali ini terjadi dengan aman dan
tidak terjadi sesuatu keributan. Hal ini adalah karena kebijaksanaan Kaisar
Sung Thai Cu yang dalam hal ini melaksanakan anjuran ibunya, yaitu menyerahkan
kekuasaan dan mengangkat adiknya sendiri sebagai penggantinya. Andaikata ia
tidak bijaksana dan memaksa untuk mewariskan tahta kerajaan kepada
putera-puteranya yang kurang pengalaman, pasti hal ini akan menimbulkan
kekeruhan, mendatangkan perebutan kekuasaan dan perang saudara, seperti yang
sudah-sudah.
Kaisar yang baru, Sung Thai
Cung, adalah seorang yang luas pandangan dan bijaksana. Namun tindakannya yang
pertama, yaitu membersihkan petugas-petugas negara yang korup dan nyeleweng,
sedikit banyak menimbulkan keributan pula dari para pembesar yang melakukan
perlawanan. Betapapun juga, mereka ini semua dapat ditundukkan dan diseret ke
dalam penjara, bahkan banyak di antaranya yang diberi hukuman mati. Biarpun
peristiwa pembersihan ini melegakan hati rakyat, namun mengubah suasana di
kota raja. Karena terlalu banyak pembesar korup dibunuh, dan juga karena memang
hampir semua petugas tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka yang
melarikan diri sebelum tertangkap, dan mereka yang masih berani tinggal di kota
raja dengan harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak pernah
berani keluar rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang membuat
kota raja menjadi sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama maupun baru, yang berani
berfoya-foya dan berpelesir seperti yang sudah-sudah.
Keadaan di kota raja ini
mempengaruhi pula keadaan kota-kota besar lain, terutama sekali yang
berdekatan dengan kota raja, seperti kota An-sui. Kota ini pun menjadi sepi dan
banyak pembesarnya melarikan diri atau ditangkap.
Gedung besar Pangeran Suma Kong
tetap berdiri megah dan pangeran tua ini tidak mau melarikan diri. Memang ia
dahulu terkenal sebagai seorang pangeran yang korup dan banyak makan uang
negara. Akan tetapi sudah bertahun-tahun ia tidak memegang tugas lagi karena
dipecat dan tidak diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja oleh kaisar
pertama. Selain merasa bahwa dia sekarang sudah “bersih”, juga dengan adanya Suma
Boan yang amat terkenal, tentu saja keluarga bangsawan Suma ini tidak merasa
takut. Bahkan Suma Boan mengumpulkan anak buahnya, yaitu para buaya dan tukang
pukul yang memiliki kepandaian, untuk menjaga gedungnya siang malam. Di luar
gedung, di setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri dan belakang,
semua terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran Suma itu
seakan-akan berubah menjadi sebuah benteng.
Setiap hari para penjaga yang
bertugas menjaga di pekarangan depan yang luas dari gedung itu, melewatkan
waktu menganggur dengan latihan-latihan ilmu silat atau olah raga lain yang
maksudnya selain untuk berlatih juga sebagai “pamer kekuatan” untuk membangun
ketabahan sendiri dan untuk mengecilkan hati golongan yang hendak memusuhi Pangeran
Suma. Di situ terdapat delapan belas macam senjata dan juga besi-besi dan
batu-batu besar yang mereka angkat dan lempar-lemparkan ke atas untuk
mendemonstrasikan tenaga mereka. Penjagaan yang amat ketat ini dilakukan siang
malam sehingga keluarga itu seakan-akan mempunyai barisan sendiri yang terdiri
dari seratus orang lebih yang melakukan penjagaan secara bergiliran.
Pada suatu pagi yang cerah,
seperti biasa, belasan orang penjaga di pekarangan depan itu bermain-main di
pekarangan, mengangkat besi dan melempar-lempar batu, ada pula yang bermain
silat dengan pelbagai senjata. Di antara mereka, yang mempunyai bentuk tubuh
kuat dan menjadi ahli gwa-kang (tenaga luar), sengaja membuka baju untuk
memamerkan otot-otot yang besar melingkar-lingkar di tubuh mereka. Kelebatan
senjata tajam menyilaukan mata. Para penjaga yang bertugas di atas rumah juga
ikut menonton sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Munculnya Sian Eng di depan
pintu pekarangan itu sekaligus menghentikan semua kegiatan olah raga. Semua
mata mengincar keluar dan senyum lebar menghias semua mulut para penjaga itu,
senyum dan pandang mata kurang ajar karena memang pemandangan di pagi hari ini
menyedapkan mata. Pakaian Sian Eng yang ringkas membungkus tubuh yang langsing
padat, wajah yang cantik jelita dengan hiasan rambut yang hitam halus disanggul
ke atas, gerakan yang lemah gemulai, semua ini merupakan daya penarik yang
mengagumkan hati semua laki-laki.
Sudah lazim di dunia ini,
apabila melihat seorang wanita cantik, timbul kegembiraan di hati pria. Kalau
pria itu hanya sendirian, tentu tidak berani ia mengumbar kekurangajarannya dan
akan menyimpan kekagumannya dalam pandang mata dan senyum. Kalau pria itu
memang berwatak bersih, ia hanya akan menyimpan kekagumannya di dalam hati.
Akan tetapi kalau banyak laki-laki yang memang wataknya kasar sedang
berkumpul, tentu akan timbul kekurangajaran mereka dan mulailah para penjaga
ini tertawa-tawa.
“Aduhhhhh.... cantiknya....!”
“Wahai.... siapakah begitu
bahagia memiliki bidadari ini?”
Demikian bermacam-macam teriakan
yang terdengar dari mulut mereka, bahkan di antara mereka ada yang mulai pula
melempar-lempar batu dan mengangkat-angkat besi berat untuk pamer dan berusaha
menarik perhatian gadis cantik ini. Namun Sian Eng tidak pedulikan itu semua,
kakinya langsung melangkah masuk dengan tenang.
Melihat gadis itu betul-betul
memasuki pekarangan, kegembiraan mereka memuncak dan seorang di antara mereka,
komandan jaga, segera melangkah maju bertanya, suaranya digagah-gagahkan,
“Nona, kau hendak mencari siapakah? Siapa diantara kita yang hendak kau jumpai?
Heee, teman-teman! Adakah di antara kalian yang mengenal Nona ini?” kata-kata
ini diteriakkan si komandan jaga dengan nada tidak percaya.
“Aku....!”
“Aku kenalannya!”
“Ah, akulah sahabat baiknya!”
“Heee, jangan mengacau! Dia
tentu memilih aku!” teriak pula seorang penjaga yang bertugas di atas genteng.
“Pilihlah aku, Nona. Habis bulan
semua gajiku akan kuserahkan padamu seluruhnya!” teriak pula seorang yang
tubuhnya tinggi besar.
“Ha-ha, jangan percaya! Tentu
sebagian sudah ia selundupkan ke tangan isterinya yang pertama!”
Ramailah suara para penjaga,
bahkan banyak diantaranya yang mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak sopan.
Akan tetapi Sian Eng tetap tenang tidak mempedulikan mereka, bahkan tersenyum
sedikit, senyum yang sebenarnya merupakan senyum sedih akan tetapi karena
memang ia manis sekali kalau tersenyum, maka senyum ini mendatangkan
teriakan-teriakan baru yang lebih riuh. Sian Eng menanti sampai hiruk-pikuk itu
reda, baru ia berkata.
“Aku ingin bertemu dengan Suma
Boan.”
Semua suara sirap seketika dan
semua mata memandang penuh curiga, penuh selidik. Semua penjaga ini mengenal
belaka kongcu mereka dan mengenal pula wanita-wanita yang mempunyai hubungan
dengan putera pangeran itu. Akan tetapi mereka belum pernah melihat Sian Eng,
oleh karena itu mereka menjadi curiga.
“Mengapa mencari Suma-kongcu?
Apakah kau kenal dia?” tanya si komandan matanya memandang penuh selidik.
Sian Eng mengangguk, “Aku kenal
dia, harap suka panggil dia keluar.”
Seorang penjaga yang
bertelanjang dada, yang tubuhnya tegap dan kuat, melangkah maju. “Nona cantik,
mengapa mencari Kongcu? Apakah kita ini tidak cukup hebat? Kau tinggal pilih.
Lihatlah aku, hemmm, kalau kau menjadi kekasihku, kau akan aman. Lihat betapa
kuatnya aku!” Ia lalu membungkuk, kedua lengannya bergerak mengangkat sebuah
batu besar. Otot-otot di tangannya melingkar-lingkar dan menonjol keluar ketika
ia melemparkan batu itu ke atas, disambut dan dilemparkan lagi berkali-kali,
seakan-akan seorang anak kecil bermain-main dengan sebuah bola karet yang
ringan. Akhirnya ia membanting batu seberat seratus kati lebih itu ke atas
tanah, ke depan Sian Eng, sambil mengangkat dada dengan penuh kebanggaan.
Sejak tadi sebetulnya hati Sian
Eng sudah panas dan marah, akan tetapi ditahan-tahannya. Pikirannya sedang
normal maka ia dapat mempergunakan kesabarannya, apalagi memang kedatangannya
ini sudah ia rencanakan bersama Lin Lin. Mereka sudah beberapa malam mengitari
gedung akan tetapi tidak melihat jalan aman untuk memasuki gedung. Demikian
ketat penjagaan di situ dan mereka berdua maklum bahwa menghadapi Suma Boan
saja sudah berat, apalagi kalau dikeroyok banyak penjaga dan siapa tahu di
dalam gedung itu bersembunyi pula orang-orang sakti yang membantu Suma Boan.
Akan tetapi menyaksikan lagak orang-orang ini, Sian Eng hampir tidak kuat
menahan kesabaran hatinya. Ia melangkah maju mendekati tempat itu, kaki
kirinya bergerak dan.... batu besar itu terlempar ke arah penjaga bertelanjang
dada yang sedang membusungkan dadanya itu.
“Uhhhhh....!” Orang itu berseru
kaget, terpaksa menerima batu itu, namun ia tidak kuat menahan dan tubuhnya
terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Untung batu itu segera ia lempar
ke samping sehingga tidak menimpa dadanya, namun hantaman tadi cukup membuat
ia terengah-engah dan dari mulutnya keluar darah!
Ributlah para penjaga itu. Makin
curiga mereka karena ternyata bahwa gadis cantik ini memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi Sian Eng segera berkata dengan suara ketus. “Aku adalah
kenalan baik Suma Boan, apakah kalian masih berani main-main? Tunggu saja kalau
Kongcu kalian melihat kekurangajaran kalian, aku akan minta dia memenggal
kepala kalian seorang demi seorang!”
Kata-kata ini berpengaruh
sekali. Mereka segera mundur dengan muka pucat dan komandan jaga segera
mengedipkan mata kepada kawan-kawannya, kemudian ia sendiri berkata, “Maaf,
karena kami tidak mengenal Nona, maka berani bersikap kasar. Harap Nona tunggu
sebentar, saya akan melaporkan kepada Suma-kongcu.”
Sian Eng hanya mengangguk,
kemudian ia menghampiri penjaga yang masih duduk terengah-engah. “Kau tidak
lekas berlutut?” bentaknya.
Penjaga yang sial ini sudah
mendengar juga tadi pengakuan gadis lihai ini sebagai kenalan baik
Suma-kongcu, maka dengan menahan rasa sakit dan hati penuh rasa takut akan
kemarahan majikannya, ia segera berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala minta
ampun. Tiba-tiba mereka semua, para penjaga itu, menjadi ngeri den merasa serem
karena gadis cantik itu tertawa meleking aneh dan terdengar bukan seperti suara
ketawa manusia. “Pergilah!” kaki Sian Eng bergerak dan penjaga itu terlempar
beberapa meter jauhnya, bergulingan seperti sebuah bola ditendang. Anehnya, ia
merasa dadanya tidak sesak lagi, maka cepat ia meloncat berdiri, mengangguk
dengan hormat dan mengundurkan diri!
“Moi-moi....!” Pada saat itu
Suma Boan muncul dari pintu samping. Ketika menerima laporan bahwa seorang
gadis cantik yang amat lihai datang mencarinya, Suma Boan menjadi curiga dan
mengintai dengan jalan memutar, dari pintu samping. Akan tetapi begitu melihat
bahwa yang datang adalah Sian Eng, hatinya berdebar keras. Tentu saja ia
menjadi curiga dan menyangka buruk. Akan tetapi, karena Sian Eng hanya datang
seorang diri, timbul ketabahan hatinya, dan pula memang ia merasa suka kepada
gadis cantik yang ia tahu amat mencintanya ini. Maka dengan hati berdebar dan
sikap waspada, pemuda ini lalu muncul dan memanggil dengan suara penuh kasih
sayang, wajah berseri, akan tetapi sinar matanya penuh selidik menatap wajah
yang cantik jelita dan agak pucat itu.
“Koko....!” Sian Eng juga
berseru dengan suara tertahan, seakan-akan ia merasa girang dan terharu,
mukanya tiba-tiba menjadi merah seperti orang malu dan jengah. “Aku.... aku
ingin bicara penting denganmu....!”
Berdebar-debar jantung Suma
Boan. Akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, ingin ia menjenguk isi
hati gadis itu. Ia tahu bahwa Sian Eng mencintanya, akan tetapi tahu pula
bahwa gadis itu bisa mendendam kepadanya dan bisa membenci karena perbuatannya
terhadap gadis itu di dalam perahu. Tentu saja ia tidak mencinta dengan setulus
dan sejujurnya hati terhadap Sian Eng, melainkan mencintanya karena gadis itu
memang cantik jelita. Bagi seorang laki-laki semacam Suma Boan, ia selalu jatuh
cinta kepada wanita cantik, berapapun banyaknya, cinta yang berdasarkan nafsu
berahi, cinta yang berdasarkan ingin menyenangikan diri sendiri. Di samping
kecantikan Sian Eng, juga gadis ini telah menemukan kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kui yang amat ia inginkan.
Namun Suma Boan adalah seorang
laki-laki yang sudah banyak pengalamannya, pula ia terkenal cerdik, maka ia
masih saja menaruh curiga. Tentu saja ia cukup percaya akan kepandaian sendiri,
tahu bahwa Sian Eng seorang diri saja takkan mampu berbuat buruk terhadapnya,
akan tetapi ia sudah membuktikan keadaan aneh gadis ini yang seakan-akan telah
menemukan ilmu dan memilikinya secara hebat, sungguhpun belum sempurna benar.
“Koko, aku mau bicara
tentang.... kitab....” Seketika wajah Suma Boan berseri. Keinginannya
mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui amat besar, apalagi pada
waktu sekarang setelah keadaan pemerintahan di kota raja terjadi perubahan dan
ia merasa betapa kedudukan keluarga ayahnya terancam, ia ingin sekali
mendapatkan kitab-kitab itu dan mewarisi kepandaian yang akan membuat ia
menjadi seorang jagoan nomor satu yang ditakuti semua lawan.
“Moi-moi...., aku girang sekali
kau datang. Marilah kita bicara di dalam....!” Ia melangkah maju, memegang
lengan Sian Eng dan menggandengnya. Sian Eng menurut saja dan berjalanlah
mereka bergandengan tangan menuju ke ruangan dalam, melewati pagar penjaga yang
berdiri tegak tanpa berkedip. Suma Boan yang menggandeng dan merapatkan tubuhnya
merasa betapa jantung di dalam dada gadis itu berdebar-debar keras. Diam-diam
ia merasa bahagia sekali karena mengira bahwa gadis ini terlalu girang bertemu
dengannya.
Setelah mereka memasuki ruangan
sebelah dalam, Suma Boan segera menarik gadis itu ke dalam sebuah kamar tamu
yang indah, tiba-tiba ia memeluk Sian Eng dan menciuminya. Sejenak Sian Eng
menurut saja, kemudian perlahan ia merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan
Suma Boan yang makin merasa yakin bahwa gadis ini tidak marah atau benci
kepadanya.
“Moi-moi, kekasihku yang
tercinta,” bisik Suma Boan, masih memegangi kedua tangan gadis itu, “alangkah
rinduku kepadamu! Kau datang seperti seorang bidadari dari sorga yang turun ke
dunia untuk menghibur hatiku. Moi-moi, aku tidak akan melepaskanmu lagi, jangan
kau pergi meninggaikan aku lagi. Mari kita hidup bahagia di rumahku ini!”
“Suma-koko, kau sudah mengenal
hatiku. Perkara itu belum waktunya kita bicarakan. Kedatanganku ini membawa
urusan yang amat penting. Lepaskan tanganmu dan mari kita bicara baik-baik.”
Sian Eng menarik tangannya. Suma Boan tersenyum dan sengaja menekan jantungnya
yang berdebar saking girangnya, karena di depan gadis ini ia harus
menyembunyikan perasaannya bahwa ia jauh lebih “cinta” pada kitab-kitab pusaka
peninggalan Tok-siauw-kui daripada diri gadis ini.
“Marilah, Adik Sian Eng, kita
duduk di sana.” Ia menarik Sian Eng dan keduanya lalu duduk di atas dipan yang
terdapat di kamar itu. Suma Boan tetap tidak melepaskan gadis itu, duduk di
sampingnya sambil memeluknya. Sian Eng tidak menolak lagi dan ia berkata
perlahan.
“Koko, kau tentu maklum akan
perasaan seorang gadis. Saking kaget dan duka hatiku, ketika di dalam perahu
dahulu....” suaranya tersendat dan kedua pipinya menjadi merah sekali, “secara tidak
sadar aku menyerangmu dan kemudian melarikan diri. Baru kemudian aku merasa
betapa.... aku tak dapat hidup terpisah dari padamu, maka.... maka aku datang
ke sini....”
Girang sekali hati Suma Boan. Ia
mengelus-elus rambut kepala gadis itu lalu berkata, “Aku tahu, Moi-moi. Aku....
aku lupa daratan waktu itu saking besarnya cintaku kepadamu. Tentang
kitab-kitab itu.... eh, bukankah kau tadi bilang mau bicara tentang kitab?”
Wajah Sian Eng berseri dan ia
tersenyum lebar. “Kitab-kitab? Ah, belum kuceritakan kepadamu bahwa setelah aku
pergi dari perahu, aku memasuki lagi gua rahasia dan mengambil semua kitab
peninggalan Tok-siauw-kui. Kau tahu kitab-kitab apa yang kudapatkan? Kitab
rahasia dari Siauw-lim-pai, kitab ilmu pedang dari Kun-lun, kitab rahasia
tentang ilmu kesaktian Beng-kauw, ada pula kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu
mujijat tentang melawan maut, malah ada kubaca sepintas lalu judul sebuah
kitab yang mengajarkan ilmu menghilang dan terbang!”
Seperti seorang kelaparan
mendengar cerita tentang makanan-makanan lezat, Suma Boan menelan ludah, akan
tetapi sebagai seorang yang cerdik ia menahan gelora hatinya ini dan cepat
memeluk Sian Eng. “Ah, kekasihku yang baik. Sesungguhnya, soal kitab itu
bagiku hanya soal kecil. Yang penting, yang selalu kurindukan, yang selalu
kuimpikan, adalah dirimu, Adik Sayang! Akan tetapi aku khawatir sekali karena
kau sudah mendapatkan kitab-kitab itu, tentu kau menjadi incaran orang-orang
dunia kang-ouw. Akan lebih aman kalau kau tinggal bersamaku di sini, beserta
kitab-kitab itu yang boleh kita pelajari bersama. Kita kelak akan menjadi suami
isteri yang paling hebat di kolong langit! Di manakah sekarang kitab-kitab
itu? Mari kita ambil dan bawa ke sini, Moi-moi.”
Sian Eng tersenyum manis,
biarpun hatinya penuh kebencian ketika pemuda yang ia cinta akan tetapi yang
menghancurkan cinta kasihnya dengan pengkhianatan itu menciuminya mesra.
“Itulah sebabnya aku datang, Koko. Kitab-kitab itu kusembunyikan di tempat
rahasia. Akan tetapi aku tidak berani mengambilnya sendiri dan membawanya ke
sini. Kau benar, kalau sampai ketahuan orang kang-ouw, tentu mereka akan
berusaha merampasnya. Marilah kau ikut denganku ke tempat itu, tidak jauh, kita
bersama mengambil kitab-kitab itu dan membawanya ke sini. Akan tetapi....
apakah betul kau akan tetap setia kepadaku?” Sian Eng pura-pura memandang penuh
curiga.
“Ah, Sian Eng, kekasihku, apakan
kau masih tidak percaya kepadaku?” Tiba-tiba pemuda itu berlutut di depan Sian
Eng, merangkul kedua kakinya! Sejenak sepasang mata yang bagus itu
mengeluarkan sinar berapi. Alangkah inginnya ia menggerakkan tangan, sekali
pukul ubun-ubun kepala yang tunduk di depannya itu ia akan dapat membunuh Suma
Boan. Akan tetapi ia teringat akan banyaknya penjaga dan ia tentu akan
terkurung dan berada dalam bahaya.
“Mari kita pergi sekarang,
Koko.”
“Sekarang? Mengapa tergesa-gesa?
Pula, berbahaya sekali mengambilnya di waktu siang. Lebih baik malam nanti kita
pergi, Adikku.”
Karena tahu bahwa kalau ia
mendesak, Suma Boan pasti akan menaruh curiga, gadis itu terpaksa menyetujui.
Pula, memang lebih baik pergi di
waktu malam untuk melaksanakan rencananya yang sudah ia atur dengan Lin Lin
ini. Ia harus berani berkorban, demi maksud hatinya membalas dendam. Hatinya
perih dan makin sakit, akan tetapi Sian Eng rela menjadi permainan Suma Boan
sebelum ia mendapat kesempatan menghancurkan orang yang telah membasmi
kebahagiaan hatinya. Ia terpaksa menuruti kehendak Suma Boan terpaksa ia
menyerah dan menahan-nahan kemuakan hatinya ketika Suma Boan membuktikan
“cinta kasihnya”, yang sesungguhnya bukan lain hanya terdorong nafsu
semata-mata. Makin bencilah hati Sian Eng, dan ketika hari terganti malam Suma
Boan menggandeng tangannya keluar dari gedung, hampir Sian Eng tak kuat
menahan kebenciannya. Baru setelah mereka berjalan di dalam gelap, gadis ini
mencucurkan air mata yang cepat-cepat ia usap dengan ujung lengan bajunya.
Suma Boan kini percaya betul
kepada Sian Eng. Siang tadi, gadis ini menyerah ikhlas kepadanya, tanda bahwa
gadis ini benar-benar datang karena cintanya. Penyerahan gadis inilah menjadi
bukti baginya bahwa di balik kedatangan Sian Eng tidak ada rahasia apa-apa.
Kalau tadinya ia menaruh curiga dan menyangka akan adanya jebakan, maka dengan
penyerahan diri Sian Eng kepadanya, maka kecurigaan itu lenyap sama sekali.
Kini ia yakin bahwa Sian Eng benar-benar mencintanya, benar-benar datang
hendak menyerahkan diri sambil membawa kitab-kitab yang berharga. Maka dapat
dibayangkan betapa bahagia rasa hati putera pangeran ini.
Mereka memasuki hutan yang
letaknya di sebelah barat kota An-sui. Hutan yang tidak terlalu luas akan
tetapi cukup gelap karena pohon-pohon besar memenuhi hutan itu.
“Baik sekali kau tidak mengajak
pengawal, Koko. Urusan ini lebih baik tidak diketahui orang lain.”
“Memang betul, Moi-moi. Kalau
saja kau tidak membuktikan cinta kasihmu yang besar siang tadi, tentu aku akan
mengajak pengawal-pengawal. Maklumlah, bukan aku kurang percaya kepadamu, akan
tetapi perubahan di kota raja membuat musuh-musuhku mencari kesempatan untuk
menghancurkan aku. Di manakah gua itu, Adikku?”
“Di sebelah sana, sudah dekat.
Mari!” Di dalam gelap itu, dengan “mesra” Sian Eng menggandeng tangan Suma Boan
dan diajaknya berlari menuju ke tengah hutan. Tak lama kemudian mereka berhenti
di depan sebuah gua yang depannya tertutup oleh rumput alang-alang. Sian Eng
menarik tangan Suma Boan, diajak memasuki gua yang gelap itu sambil menyingkap
alang-alang yang tinggi menyembunyikan gua.
“Mari masuk, kusembunyikan di
dalam situ.” Mereka lalu memasuki gua yang cukup besar itu dengan jalan
berindap-indap. Suma Boan mulai curiga dan bersikap waspada, akan tetapi
karena tidak mendengar suara apa-apa, ia ikut dengan Sian Eng melangkah masuk
ke dalam gua. Setelah mereka melangkah maju sejauh lima meter, mereka bertemu
dengan dinding gua.
“Di mana kitab-kitabnya?” Suma
Boan berbisik.
Akan tetapi tiba-tiba Sian Eng
merenggutkan tangannya. Suma Boan kaget. Gua itu gelap, ia melihat bayangan
Sian Eng menjauhkan dirinya.
“Moi-moi.... di mana kau? Mana
kitabnya....?”
Tiba-tiba matanya silau oleh
sinar api yang dibuat orang dari luar dan beberapa detik kemudian, Lin Lin yang
membawa obor di tangannya telah meloncat masuk, obor di tangan kiri, pedang
bersinar kuning di tangan kanan! Juga Sian Eng menyambar sebuah obor,
dinyalakannya dan menaruh obor itu di sudut gua. Keadaan menjadi terang
menyeramkan.
Suma Boan berdiri terbelalak.
Matanya mencari-cari dan ternyata gua itu kosong sama sekali. Luasnya lima
meter persegi. Di depannya kini berdiri dua orang gadis berdampingan dan
menutup jalan keluar. Lin Lin dengan pedang bersinar kuning di tangannya. Sian
Eng dengan kedua tangan terbuka, jari tangannya menegang, matanya terbelalak
penuh kebencian. Diam-diam Suma Boan merasa ngeri juga, akan tetapi karena ia
seorang laki-laki yang tabah dan berilmu tinggi, ia dapat menekan perasaannya
dan pura-pura tidak dapat menduga kehendak mereka.
“Moi-moi.... adikku Sian Eng
yang manis, mengapa tiba-tiba adikmu ini muncul? Dan manakah kitab-kitab yang
kaujanjikan?”
“Suma Boan manusia iblis!
Kematian sudah di depan mata, masih pura-pura tidak tahu akan dosa-dosamu?”
bentak Sian Eng dengan suara gemetar saking menahan kemarahan yang meluap-luap,
kemarahan dan kebencian yang selama ini memenuhi dadanya, yang selalu
ditahan-tahan dan ditutupi sikap kasih sayang untuk dapat memancing dan menipu
Suma Boan.
“Apa....? Eng-moi.... apakah
maksudmu? Bukankah kau juga mencintaku seperti aku mencintamu? Bukankah
tadi.... kau menyerahkan diri sepenuhnya dengan rela dan suka kepadaku?”
“Tutup mulutmu yang kotor!”
bentak Sian Eng sambil melangkah maju penuh ancaman. “Ooooohhh, betapa bencinya
aku! Makin benci mendengar kata-katamu. Suma Boan manusia berhati binatang,
perbuatanmu yang biadab terhadap diriku di dalam perahu telah menodai cinta
kasihku, telah merobek-robek hatiku, telah mengubah cintaku menjadi benci yang
sebesar-besarnya. Aku ingin mengganyang jantungmu, ingin kuhirup darahmu
kukeluarkan isi perutmu!”
Suma Boan kaget bukan main,
merasa ngeri dan gentar. Mulai menyesallah hatinya mengapa ia terburu-buru
menodai gadis ini yang ternyata tadinya benar-benar mencintanya. Akan tetapi
semua itu telah terlanjur dan melihat bahwa yang menentangnya hanya dua orang
gadis ini, tentu ia segera dapat mengusir rasa jerihnya. Ia tersenyum mengejek
dan berkata.
“Hemmm, Sian Eng. Dengan
kepandaianmu dan dibantu adikmu, apa kaukira akan mudah saja mengalahkan aku?
Kau tahu, tingkat ilmu kepandaianku jauh melebihimu. Juga jauh melebihi
kepandaian adikmu. Insyaflah akan hal ini dan kalian ini nona-nona manis,
sayang sekali kalau sampai tewas di tanganku. Lebih baik kalian hayo ikut
denganku, hidup penuh kesenangan di istanaku sambil memperdalam ilmu silat....”
“Laki-laki ceriwis....!” Lin Lin
membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning, menyambar ke arah leher
Suma Boan. Pemuda ini terkejut. Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian
cepatnya maka ia segera mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil
mendorong dengan tangannya ke arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu
lewat di atas kepalanya. Namun Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang
baru, yaitu Cap-sha Sin-kun, segera dapat merubah letak pedangnya yang kini
membalik ke bawah, menyambar dengan gerakan pergelangan tangan sehingga tangan
Suma Boan yang tadinya hendak mencengkeram siku, kini berbalik disambar mata
pedang!
“Aaaiiihhh!” Suma Boan yang
sudah menarik lengannya itu kini menjerit sambil melompat ke atas dan
berjungkir balik ke belakang karena kembali sinar pedang Lin Lin yang tadi
dapat dielakkannya itu sudah berubah menjadi segulungan sinar kuning yang
berpusing di sekitar dada dan lehernya! Hanya dengan cara berjungkir balik
seperti tadi maka ia selamat.
“Bersiaplah menerima hukuman!”
bentak Sian Eng dan kembali Suma Boan terkejut sekali karena tiba-tiba angin
menyambar berputaran dari arah Sian Eng ketika gadis itu menerjangnya dengan
pukulan yang gerakan-gerakannya aneh sekali. Suma Boan baru saja terbebas dari
ancaman maut pedang Lin Lin, kini ia cepat menggerakkan tubuhnya miring ke
kiri sambil mengibaskan tangannya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya untuk
menangkis.
“Wuuuttt! Wuuuttttt!” Angin
pukulan kedua fihak yang disertai tenaga sin-kang itu saling sambar dan baiknya
Suma Boan adalah seorang jagoan yang terlatih maka biarpun ia merasa tergetar
oleh hawa pukulan mujijat dari Sian Eng, namun tidak membuatnya roboh dan
tangkisannya tadi berhasil.
“Singgg....!” Kembali sinar
kuning pedang Lin Lin menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang tidak kalah
mengerikan daripada sambaran pedang. Kedua orang gadis itu menerjangnya
susul-menyusul dan bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa dan gerakan
yang amat aneh.
“Kalian hendak mengadu nyawa?
Boleh!” Akhirnya Suma Boan memekik marah karena ia tidak melihat jalan keluar
lagi. Betapapun juga, dalam hal ilmu silat, ia lebih banyak pengalaman kalau
dibandingkan dengan dua orang gadis ini. Maka cepat ia mengerahkan tenaga dan
mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat dari beberapa orang guru pandai,
di antaranya terutama sekali It-gan Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini
menjagoi daerah An-sui, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti
orang dan pengaruhnya besar sekali. Saking lihainya, ia sampai mendapat
julukan Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena pukulan tangannya selalu ampuh
dan sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa lawan ke akherat. Entah berapa
banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh pukulannya. Ketenaran namanya dan
kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma Boan menjadi manusia sombong,
memandang rendah orang lain, dan ke manapun ia pergi, ia tidak pernah membawa
senjata karena ia menganggap bahwa kedua pukulannya sudah cukup untuk
mengalahkan musuh yang bagaimanapun juga.
Di antara banyak macam
kepandaiannya menggunakan tangan kosong, yang paling hebat adalah ilmu pukulan
yang ia pelajari dari It-gan Kai-ong yaitu yang disebut Ho-tok-ciang (Tangan
Racun Api). Pukulan ini kalau dipergunakan, hebatnya bukan kepalang karena
dapat membuat badan lawan yang terpukul menjadi hangus! Jarang sekali Suma
Boan menggunakan ilmu pukulan ini, karena sungguhpun hebat akibatnya kalau
mengenai tubuh lawan, juga merugikan diri sendiri karena pengerahan sin-kang di
tubuhnya yang dibarengi dengan penggunaan racun yang panas seperti api, dapat
merangsang dirinya sendiri sehingga dapat mendatangkan luka pada kedua
lengannya.
Menghadapi pengeroyokan Lin Lin
dan Sian Eng yang mempunyai gerakan-gerakan aneh mujijat itu, mula-mula Suma
Boan menggunakan semua ilmu silat yang ada untuk melawan. Namun baru dua puluh
jurus lewat saja ujung pedang Lin Lin sudah menggurat pahanya dan pukulan Sian
Eng yang ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga membuatnya
terhuyung-huyung. Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang bahwa ia berada
dalam bahaya. Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin Lin dan Sian Eng
setahun yang lalu, jauh selisihnya. Dua orang gadis ini mainkan ilmu silat
yang amat aneh, ganas dan selain itu, tenaga mereka secara ajaib telah menjadi
berpuluh kali lebih kuat daripada dahulu.
“Hiaaattt!” Ketika Sian Eng
menerjang lagi, Suma Boan memekik dan meloncat ke kanan sampai mepet dinding
gua. Secepat kilat pemuda ini mengeluarkan racun dari sakunya dan
digosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan racun bubuk itu sehingga bubuk
itu hancur memasuki telapak tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya,
telapak tangan itu kelihatan menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti
arang dibakar. Hawa panas segera memenuhi gua.
“Awas tangannya, Enci!” Lin Lin
berseru dengan kaget. Akan tetapi gadis ini tidaklah menjadi gentar sungguhpun
lawan menggunakan ilmu yang begitu aneh. Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng
celaka oleh tangan api itu, Lin Lin sudah menerjang maju lebih dulu, memutar
pedangnya dan sekaligus ia menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh
Mengeluarkan Kilat), sebuah di antara tiga belas jurus ilmu saktinya.
Sian Eng juga mengeluarkan suara
melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke atas dan dari atas ia menyambar turun
dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti hendak mencengkeram kepala
lawannya.
Di antara kedua orang
pengeroyoknya, Sian Englah yang amat dibuat ngeri oleh Suma Boan. Ia maklum
bahwa gadis ini menaruh kebencian besar kepadanya, menaruh dendam yang hanya
dapat diredakan oleh darah dan nyawa. Oleh karena itu, begitu melihat
datangnya serangan mereka yang demikian dahsyatnya, Suma Boan segera
mendahului menggempur Sian Eng yang menyambar turun dari atas dengan dorongan
kedua tangannya yang mengandung tenaga Ho-tok-ciang. Melihat ini, Sian Eng
nekat. Ia segera mengerahkan tenaga menurut ajaran kitab-kitab yang ia temukan
di gua rahasia bawah tanah, lalu memekik tinggi. Belum juga kedua pasang tangan
itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke tulang sumsum. Sian Eng merasa betapa
hawa panas memasuki kedua lengannya, sebaliknya Suma Boan kaget sekali karena
serasa kedua lengannya dingin dengan mendadak.
Tiba-tiba mata Suma Boan menjadi
silau oleh cahaya kuning. Ia menjerit dan cepat mempergunakan tangan kiri untuk
mencengkeram pedang Lin Lin yang menyambar. Kalau tangannya sudah dimasuki
tenaga Ho-tok-ciang macam itu, ia tidak takut untuk menangkis atau
mencengkeram senjata tajam.
Gerakan inilah yang mencelakakan
Suma Boan. Andaikata ia menggunakan seluruh tenaganya menyambut Sian Eng, tentu
gadis itu akan kalah kuat dan celaka oleh hebatnya hawa pukulan Ho-tok-ciang.
Atau andaikata ia menggunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga
untuk menyambut pedang Lin Lin, tentu pedang itu akan terampas dan Lin Lin akan
menemui bahaya maut. Akan tetapi setelah Suma Boan membagi perhatian dan
tenaga, juga membagi kedua tangannya, kini berbalik ia yang kalah kuat.
Terdengar jerit mengerikan
ketika mereka bertiga itu dalam detik yang sama saling berbenturan. Siang Eng
terhuyung mundur, juga Lin Lin terhuyung mundur, akan tetapi Suma Boan
terlempar ke belakang, dan hanya dapat berdiri sambil bersandar dinding gua.
Tangan kanannya lumpuh, tangan kirinya luka berdarah dan hilang dua buah
jarinya. Sejenak ia tertegun, akan tetapi tiba-tiba rasa sakit dari kedua
tangannya tak tertahankan lagi. Tangan kanannya yang kalah kuat ketika bertemu
dengan kedua tangan Sian Eng, membuat tenaga beracun Ho-tok-ciang membalik dan
kini rasa panas berselubung rasa dingin akibat hawa pukulan Sian Eng memasuki
dan menjalar perlahan-lahan dalam lengannya. Bukan main nyerinya, sampai
seperti menusuk-nusuk jantung. Adapun tangan kirinya yang termakan Pedang Besi
Kuning, juga terasa perih dan gatal. Pedang Besi Kuning adalah pedang pusaka
yang tidak beracun, akan tetapi mengandung khasiat anti racun. Karena lengan
kiri Suma Boan tadinya penuh hawa beracun, begitu termakan oleh pedang ini,
maka hawa yang anti racun itu memerangi racun di tangan itu, maka mendatangkan
rasa nyeri yang luar biasa.
“Aduh.... aduh.... mati aku....
aduh tanganku....!” Suma Boan tidak kuat menahan. Tubuhnya terguling, ia
merintih-rintih lalu bergulingan ke sana ke mari seperti cacing kepanasan,
mengaduh-aduh dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek semua ketika ia bergulingan,
mukanya menjadi kotor dan matanya mendelik mulutnya berbusa.
“Lin-moi, pinjam pedangmu!”
Lin Lin yang pernah menyaksikan
kekejaman hati Sian Eng ketika mereka membunuh It-gan Kai-ong, merasa ngeri dan
ragu-ragu untuk memberikan pedangnya. Akan tetapi mendadak tangan kiri Sian
Eng mencengkeram ke arah mukanya dengan ganas. Lin Lin terkejut sekali dan
mengelak, akan tetapi pada detik selanjutnya Pedang Besi Kuning sudah terampas
dari tangannya. Terpaksa ia hanya dapat berdiri memandang dengan hati ngeri.
“Eng-moi.... jangan.... ampunkan
aku!”
“Ampun? Hi-hi-hik, ampun kau
bilang?” Pedang itu berkelebat dan “crok! crok!” dua kali pedang menyambar
putuslah kedua lengan Suma Boan sebatas pundak!
“Aduhhh....!” Suma Boan menjerit
dan bergulingan. Darah bercucuran keluar dari kedua pundaknya yang buntung.
Celaka baginya, pemuda bangsawan ini telah melatih diri sedemikian rupa
sehingga daya tahan tubuhnya amat kuat. Lain orang tentu sudah roboh pingsan
dan takkan merasakan sakit lagi. Akan tetapi dia tidak pingsan dan dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan yang ia rasakan.
“Hi-hi-hik! Kau jadi buntung!
Hayo coba kulihat apakah kau masih mampu berbuat keji kepada wanita!” Kembali
Sian Eng sambil tertawa-tawa menyeramkan menggerakkan pedangnya membacok Suma
Boan yang ketakutan itu mukanya pucat penuh peluh. Ia masih mampu menggulingkan
ke sana ke mari untuk membebaskan diri daripada bacokan pedang. Namun pedang
itu membayanginya terus dan akhirnya “crok! crok!” disusul jeritan panjang dari
mulut Suma Boan.
“Aduh.... ampun.... ampun....!”
Biarpun kedua kakinya sudah terbacok putus sebatas paha, tubuh Suma Boan masih
mampu bergerak-gerak dan sepasang matanya melotot seakan-akan hendak meloncat
keluar dari dalam rongga matanya.
“Hi-hi-hi-hik! Kau begitu ingin
menjadi jago nomor satu di dunia dan untuk itu kau rela menipuku? Nah, setelah
kaki tanganmu buntung, apa kau masih ingin menjadi jagoan?”
“Eng.... moi...., ampun....”
Suma Boan masih dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara serak. Akan tetapi
agaknya sebutan terhadap dirinya ini menambah keganasan Sian Eng karena kembali
pedangnya menyambar dan terbukalah perutnya. Tangan kiri Sian Eng menyusul,
cepat membetot keluar jantung yang basah oleh darah sehingga tangan kirinya
berlepotan darah. Tubuh Suma Boan berkelojotan sebentar lalu diam terkulai.
Sian Eng tertawa-tawa lagi sambil menjilati darah di tangannya kemudian ia
makan jantung itu. “Hi-hik, kuminum darahmu, kuganyang jantungmu....!”
“Enci Sian Eng....!” Lin Lin
menjerit penuh kengerian sambil melompat mendekati, tangannya merampas pedang.
“Enci Eng, apakah kau telah menjadi gila? Kau kejam dan liar!”
Jantung itu sudah memasuki perut
Sian Eng. Kini ia menunduk, memandang tubuh Suma Boan yang sudah tidak karuan
macamnya, kaki tangan buntung, perut robek dan isinya berceceran keluar.
Tiba-tiba Sian Eng menubruk dan menangis sambil memeluk Suma Boan.
“Suma-koko.... kenapa kau
menyia-nyiakan cintaku....?” Ia menangis menggerung-gerung, membuat Lin Lin
berdiri tertegun dengan bulu roma berdiri. Hatinya tidak karuan rasanya. Jelas
bahwa encinya ini tidak beres lagi otaknya.
“Enci Sian Eng, ingatlah! Dia
memang jahat, akan tetapi kita sudah berhasil membunuhnya. Mari kita pergi dari
sini!”
Tiba-tiba Sian Erg mengangkat mukanya
yang basah air mata, lalu membentak, “Pergi dari sini? Tak tahukah kau bahwa
aku tak dapat meninggalkan kekasihku? Dialah satu-satunya pria yang kucinta.
Kau pergilah, jangan ganggu kami!”
Lin Lin menggeleng kepalanya.
Watak encinya suaah amat berubah dan kalau ia menggunakan kekerasan tentu
encinya akan mengamuk. Ia ngeri memikirkan akibatnya kalau mereka berdua sampai
bentrok. Biarpun ia menguasai ilmu silat tinggi, namun encinya juga mewarisi
ilmu yang biarpun sama halnya dengan dia sendiri, belum masak latihannya, namun
harus ia akui bahwa encinya memiliki ilmu yang aneh mujijat. Pertempuran antara
mereka akan hebat sekali akibatnya. Maka dengan perasaan ngeri, apa boleh buat
ia meninggalkan tempat itu, cepat lari menuju ke kota raja. Biarlah, kalau
encinya sudah kumat penyakit gilanya, ia akan pergi sendiri mencari Suma Ceng,
wanita yang menjadi kekasih Suling Emas, yang menghalangi pertalian kasih
antara dia dan Suling Emas.
Karena Lin Lin melakukan
perjalanan cepat sekali maka pada keesokan harinya pada senja hari ia telah
tiba di kota raja. Sungguh pun kini kaisar yang memegang tampuk kerajaan sudah
diganti, namun keadaan di kota raja tampaknya biasa saja, tidak ada perubahan.
Bahkan Lin Lin melihat bahwa di dalam kota tidak tampak berkeliaran
anggauta-anggauta pasukan seperti keadaan dulu. Hal ini memang satu-satunya
perubahan yang diadakan oleh kaisar yang baru, yaitu Sung Thai Cung. Setelah
kalsar baru ini menggantikan kedudukan kakaknya, ia memperkuat keadaan
pasukannya dan memperkuat penjagaan tapal batas atau wilayah Kerajaan Sung,
mengerahkan seluruh balatentara yang ada untuk menjaga di perbatasan dan
mencegah gangguan dari kerajaan tetangga.
Malam hari itu, dengan
menggunakan ilmunya, Lin Lin berkelebat di atas genteng rumah gedung besar
Pangeran Kiang, suami Suma Ceng. Mudah saja bagi Lin Lin mendapatkan rumah
Pangeran Kiang karena ketika ia bertanya tentang rumah ipar dari Suma Boan,
tidak ada orang di kota raja yang tidak tahu. Seperti juga dahulu, rumah gedung
ini masih indah dan mewah. Akan tetapi keadaannya sunyi, padahal waktu itu
malam baru saja tiba dan bulan hampir penuh menghias angkasa menciptakan malam
indah. Tiba-tiba Lin Lin yang berada di atas genteng rumah itu mendengar suara
anak-anak yang bermain-main sambil tertawa-tawa. Cepat ia melompat ke arah
belakang dan ternyata dalam sebuah taman tampak tiga orang anak sedang
bermain-main, diasuh oleh dua orang pelayan. Adapun di dekat kolam ikan duduk
seorang wanita cantik yang termenung memandang bayangan bulan di dalam air.
Hanya kadang-kadang saja wanita ini menoleh ke arah anak-anak yang
bermain-main dengan gembira, akan tetapi segera ia tenggelam pula dalam
lamunannya.
Dari atas genteng, Lin Lin
memperhatikan wanita itu. Lampu taman yang diselubungi kertas berwarna-warni
menjatuhkan cahayanya pada wajah yang ayu dan tubuh yang bentuknya ramping,
gerak gerik yang halus. Makin panas hati Lin Lin. Kalau benar inilah wanita
yang bernama Suma Ceng pantas kalau Suling Emas jatuh cinta. Wanita ini cantik
dan memiliki sikap agung seperti biasa dimiliki puteri bangsawan. Tentu saja
Suling Emas memilih wanita ini daripada dia. Dia seorang gadis kang-ouw yang
kasar dan liar! Makin dipandang, makin panas hati Lin Lin dan tiba-tiba
tubuhnya sudah melayang turun dan langsung ia lari ke depan wanita itu.
Wanita itu memang betul Suma
Ceng adanya. Semenjak peristiwa dengan Suling Emas yang menyerang suaminya dan
ia membela suaminya mati-matian, sering kali wanita ini duduk melamun.
Kadang-kadang ia menyesali perbuatannya karena sesungguhnya, harus ia akui di
dalam hati bahwa cintanya terhadap pendekar itu tak pernah lenyap, tak pernah
luntur dari hatinya, maka perlawanannya terhadap Suling Emas untuk membela
suaminya itu tentu saja menghancurkan hatinya. Ia maklum bahwa perbuatannya
itu tentu merupakan tusukan yang menyakitkan hati terhadap bekas kekasihnya.
Akan tetapi, pikiran ini segera ia usir dengan kesadaran bahwa sesungguhnya hal
itu merupakan jalan terbaik baiknya. Lebih baik membiarkan Suling Emas pergi
dan membencinya, tidak akan kembali lagi selamanya agar pendekar itu dapat
melupakannya, tidak tersiksa lagi hatinya. Juga dia sendiri dapat menjaga nama
baik sebagai seorang isteri yang setia kepada suaminya. Dan yang jelas,
semenjak peristiwa itu terjadi, suaminya, Pangeran Kiang, bersikap manis dan
baik kepadanya.
Ketika Suma Ceng melihat
berkelebatnya orang dan secara tiba-tiba melihat seorang gadis berdiri di
depannya, ia kaget sekali dan cepat bangkit berdiri. Tadinya ia kaget dan
mengira Suling Emas yang datang lagi, akan tetapi setelah melihat bahwa yang
datang seorang gadis, ia terheran-heran. Akan tetapi ketabahannya kembali
ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis muda yang cantik sekali.
Dengan senyum tenang Suma Ceng bertanya.
“Siapakah kau dan apa kehendakmu
datang secara begini?”
Lin Lin meraba gagang pedang,
sejenak ia menentang pandang mata wanita itu sehingga dua pasang mata yang
sama jeli dan sama tajam itu saling tatap penuh selidik. Kemudian Lin Lin
bertanya, suaranya lantang.
“Apakah kau yang bernama Suma
Ceng?”
Suma Ceng mengerutkan keningnya.
Sebagai seorang nyonya yang selalu menjunjung tinggi nama suaminya, segera ia
menjawab, “Aku adalah Nyonya Pangeran Kiang dan siapakah kau?”
***
“Tapi dulu sebelum menikah
bernama Suma Ceng?” Lin Lin mendesak lagi.
Terpaksa Suma Ceng mengangguk.
“Betul, dahulu aku bernama Suma Ceng, dan kau mau apakah tanya-tanya nama kecil
orang lain?”
“Srettt!” Pedang Besi Kuning
sudah berada di tangan Lin Lin.
“Mau membunuh engkau!”
bentak Lin Lin dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning yang menyambar ke
arah leher Suma Ceng. Gerakan ini demikian cepat dan tidak terduga sehingga
nyonya muda itu biarpun pandai silat tak sempat untuk menyelamatkan diri lagi,
hanya berdiri terkesima dengan mata terbuka lebar. Pedang Besi Kuning menyambar
ganas!
“Tranggggg!” Lin Lin terpental
ke belakang berputar-putar sampai lima kali putaran baru ia dapat menghentikan
kakinya ketika pedangnya bertemu dengan sesuatu yang amat hebat tenaganya, membuat
pedangnya itu terpental dam membawa pula dirinya berputaran. Ia kaget dan marah
sekali, namun tidak gentar karena ia memang sudah siap untuk bertempur
mati-matian dalam usahanya membunuh wanita yang dibencinya. Cepat ia meloncat
dan membalikkan tubuh, siap dengan pedang di depan dada. Tapi mendadak tubuhnya
gemetar, wajahnya pucat dan tangan yang memegang pedang menggigil. Kiranya
yang menangkis pedangnya, yang kini berdiri tegak di depan Suma Ceng, dengan
suling di tangan, yang memandangnya dengan kening berkerut dan mata sayu,
adalah.... Suling Emas!
“Lin Lin, terlalu sekali
engkau.... hendak membunuh orang yang tidak bersalah apa-apa?” Suling Emas
menegur sambil menggeleng-geleng kepalanya, wajahnya yang tampan itu kelihatan
sedih sekali.
Teguran ini meledakkan gunung
berapi kemarahan yang mendesak di hati Lin Lin. Tiba-tiba saja air matanya
keluar bercucuran dan ia menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. “Kau....!
Kau....! Kau yang telah menghinaku.... kini membela dia....! Ah, aku benci
padamu! Benci....!” Sambil terisak menangis Lin Lin meloncat dan lari pergi
secepatnya.
“Lin Lin, tunggu....!” Suling
Emas mengejar. Di taman itu tinggal Suma Ceng yang berdiri terlongong,
sedangkan anak-anaknya ketakutan dan dua orang pelayan sibuk menghibur mereka
dengan muka pucat karena takut pula.
“Mari kita masuk, dan jangan
ceritakan kepada siapapun juga tentang peristiwa tadi,” akhirnya Suma Ceng
berkata, kemudian ketika berada di dalam kamarnya, tak tertahankan lagi nyonya
ini menjatuhkari diri di atas pembaringan dan menelungkup sambil menangis.
“Lin Lin, tunggu....!” Suling
Emas berteriak dan mempercepat pengejarannya. Lin Lin seperti orang gila,
berlari cepat sekali karena ia mengerahkan ilmu lari berdasarkan tenaga yang ia
peroleh dari latihan ilmunya yang baru di bawah petunjuk Empek Gan. Betapapun
juga, latihannya yang masih belum masak itu tidak memungkinkan ia dapat
melarikan diri daripada pengejaran Suling Emas. Akhirnya, jauh di luar kota
raja, ia dapat disusul oleh Suling Eruas yang mendahuluinya dan membalik,
menghadang di tengah jalan.
“Lin-moi, berhenti sebentar,
mari kita bicara baik-baik....”
Dengan air mata membasahi
pipinya, Lin Lin melintangkan pedangnya di depan dada dan matanya yang tajam
menatap wajah pendekar itu sambil berkata ketus, “Bicara apa lagi? Kau sudah
puas menghinaku dua kali! Kau menyusul aku apakah hendak menghina lagi dan
melihat aku mampus?” air matanya makin deras bercucuran.
Dengan suara sedih Suling Emas
berkata, “Lin Lin.... Lin-moi, mengapa kau berkata demikian? Tidak sekali-kali
aku berani menghinamu. Ah, Lin Lin, tidak tahukah kau betapa hancur hatiku
menghadapi semua ini? Kau agaknya tahu sekarang, bahwa.... bahwa aku adalah
kakakmu sendiri. Tidak saja aku jauh lebih tua darimu, tapi juga aku.... aku
adalah kakakmu, Lin Lin. Aku tidak menghina....”
“Cukup!” Lin Lin membentak di
antara isak tangisnya, “Katakanlah bahwa kau memandang aku sebagai seorang
gadis yang tak tahu malu, seorang gadis yang rendah! Kau bukan kakakku, ini kau
pun tahu jelas. Aku seorang puteri Khitan, aku hanya anak pungut ayahmu, aku
bukan she Kam! Kita bukan sedarah dadaging, bukan seketurunan. Tentang
usia.... sudahlah, tentu saja kau menganggap aku seorang gadis tak berharga!
Kau.... kau mencinta Suma Ceng yang sudah bersuami dan mempunyai anak. Ah,
mengapa kau tidak bunuh saja aku?” Kembali Lin Lin menangis.
Suling Emas menarik napas
panjang. “Kau betul. Memang aku pernah mencintanya, mencintanya sebelum ia
menikah dengan Pangeran Kiang. Namun kami tidak beruntung, dan dia sudah
bahagia di samping suaminya, aku.... aku sudah melupakan perhubungan kami yang
lalu. Karena inilah Lin-moi.... karena aku merasa bahwa aku sudah pernah
mencinta orang lain, ditambah lagi kenyataan bahwa kau sejak kecil menjadi puteri
ayahku, diperkuat dengan kenyataan bahwa aku jauh lebih tua daripadamu,
bagaimanapun juga.... tak mungkin aku mau merusak hidupmu. Kau masih muda,
jelita, dan perkasa, lagi pula kau Puteri Khitan. Banyak di dunia ini pria yang
jauh melebihi aku segala-galanya, menantimu....”
“Cukup! Kau hendak menambah luka
di hatiku? Kau sengaja menghancurkan hatiku yang sudah sakit ini? Alangkah
kejamnya kau! Alangkah bencinya aku kepadamu!” Lin Lin menggerakkan pedangnya
dengan ancaman hendak menusukkan senjata ini di dada Suling Emas.
“Bagus begitu.... kau tusuklah
dada ini! Lebih baik begitu, Lin-moi. Untuk apa aku hidup lebih lama lagi kalau
hidupku hanya mendatangkan sengsara bagi banyak orang?” Suling Emas berhenti
sejenak, meramkan matanya membayangkan wajah Suma Ceng, juga wajah Tan Lian
yang menjadi korban asmara, kemudian ia membuka lagi matanya. “Sudah kupenuhi
kewajibanku mewakili ibu menghadapi Thian-te Liok-koai, sudah kupenuhi
kewajibanku bertemu dengan adik-adikku seperti pesan ayah. Kautusuklah dadaku!”
Karena Lin Lin memegang
pedangnya dengan gerakan menusuk, maka ketika Suling Emas menubruk ke depan,
tak dapat dicegah lagi pedangnya menusuk dada Suling Emas. Lin Lin terkejut dan
membuang muka sambil menutupinya dengan tangan kiri. Tangannya yang memegang
pedang gemetar sehingga pedang itu menyeleweng, menggores kulit dada kemudian
ujung pedang menancap di pundak kanan Suling Emas!
Ketika merasa betapa pedangnya
menusuk daging, Lin Lin menjerit kecil dan menarik pedangnya, berdiri terbelalak
dengan muka pucat. Suling Emas masih berdiri, mulutnya tersenyum sedih, darah
mengucur keluar membasahi bajunya.
“Mengapa kepalang tanggung,
adikku? Tusuklah lagi, yang tepat.... ini dadaku, aku rela mati untuk
membebaskanmu dari derita....”
Makin besar mata Lin Lin
terbelalak, kemudian ia menjerit lagi dan terisak lari meninggalkan tempat itu.
Suling Emas terhuyung-huyung kemudian roboh pingsan.
***
“Berhenti! Menyerahlah untuk
menjadi tawanan kami!” terdengar bentakan keras dan belasan orang berloncatan
keluar dari balik pohon dan segera mereka mengurung Lin Lin yang berdiri
tenang. Sekali pandang tahulah Lin Lin bahwa ia dikurung oleh para perajurit
Khitan, bahkan di antaranya ada yang ia kenal sebagai perwira-perwira yang
pernah ikut rombongan ke Nan-cao menghadiri perayaan Beng-kauw. Dan di
belakang belasan orang ini muncul pula rombongan yang merupakan pasukan
berjumlah lima puluh orang lebih, lengkap dengan senjata tajam. Sikap mereka
rata-rata galak dan tangkas, dan memang suku bangsa Khitan terkenal sebagai
orang-orang yang berjiwa gagah perkasa, sudah biasa akan kesulitan hidup yang
membuat mereka kuat lahir batin.
Namun menghadapi pengurungan
banyak orang itu Lin Lin tidak menjadi gentar. Di dalam hatinya timbul
perasaan bahwa mereka ini adalah orang-orangnya, bukan musuh. Maka sambil
berdiri tegak dan bertolak pinggang ia menghardik.
“Kalian ini mau apa? Mengapa
hendak menawan aku? Tidak tahukah siapa aku? Aku adalah Puteri Yalina, puteri
mahkota yang berhak akan mahkota Kerajaan Khitan!”
Sikapnya yang agung dan
kata-katanya yang mantap ini meragukan para perajurit. Akan tetapi seorang
komandan berkata keras, biarpun kata-katanya tidak kasar. “Kami hanya menerima
perintah dari Lo-ciangkun, bahwa apabila Nona muncul di wilayah ini, kami harus
menawan Nona.”
Lin Lin tahu siapa yang
dimaksudkan dengan Lo-ciangkun (panglima tua) itu. Ia tersenyum mengejek.
“Hemmm, siapa takut iblis Hek-giam-lo? Kalian ini bangsa Khitan yang terkenal
gagah perkasa, yang sejak dahulu setia kepada nenek moyangku, menjadi abdi-abdi
setia dari kakekku, raja besar Kulukan, mengapa sekarang bersikap pengecut,
tunduk kepada perintah seorang iblis seperti Hek-giam-lo?”
“Kami bukan pengecut!” bantah
komandan itu dengan muka merah. “Akan tetapi kami harus tunduk terhadap
perintah Lo-ciangkun yang menjadi kepercayaan sri baginda. Kalau kami tidak
melakukan perintah, tentu kami dihukum mati. Sudah banyak contohnya
pembangkang yang dihukum mati secara mengerikan. Oleh karena itu selain kami
takut dihukum, juga kami sayangkan kalau sampai Nona menerima hukuman dari
Lo-ciangkun.”
“Hemmm, siapa takut? Kalian tahu
betapa kejamnya iblis Hek-giam-lo, kejam dan menjadi tokoh penjahat di dunia
yang hanya menodai nama besar Khitan! Apakah dahulu kakekku, raja besar
Kulukan sekejam itu? Baru sekarang, setelah paman tiriku Kubakan menjadi raja
dan dibantu Hek-giam-lo, terjadi kekejaman-kekejaman. Hek-giam-lo adalah
pengkhianat. Dahulu juga seorang panglima kakekku, akan tetapi karena berdosa
kepada mendiang ibuku, maka mukanya menjadi seperti iblis, dan dia membantu
paman tiriku yang tidak berhak akan kedudukan raja. Lihat, kalau aku yang
mewarisi mahkota yang menjadi hakku, aku tidak akan berlaku kejam. Kalian
sudah menghinaku, hendak menawanku, akan tetapi aku tidak akan membunuh
kalian.”
Mau tidak mau komandan itu
tersenyum. “Nona, Lo-ciangkun mengandalkan kepandaiannya yang setinggi langit.
Nona hendak mengandalkan apa untuk melakukan kekejaman?”
“Eh, kau memandang rendah?
Keparat! Lihat baik-baik!” Dengan kecepatan kilat Lin Lin menggerakkan
tubuhnya, melakukan jurus sakti memukul dan menendang ke depan. Terdengar
teriakan-teriakan kaget dan.... enam orang Khitan berikut komandan tadi
berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih, tanpa mereka ketahui mengapa mereka
dapat jatuh bangun seperti itu!
“Nah, kaukira aku tidak dapat
menyiksa kalian dan membunuh kalian secara kejam kalau kukehendaki? Akan
tetapi biarpun kalian keterlaluan, aku tetap memaafkan kalian karena kalian
adalah bangsaku dan orang-orangku. Bangunlah!”
Enam orang itu meringis-ringis
dan bangun, akan tetapi kesetiakawanan mereka membuat pasukan itu bergerak dan
merapatkan pengepungan. Melihat enam orang kawan mereka dirobohkan Lin Lin,
mereka yang tidak mendengar kata-kata Lin Lin tadi kini maju mendesak dan siap
untuk mengeroyok gadis itu dalam kepungan itu. Melihat ini Lin Lin membentak.
“Mundur kalian! Benar-benarkah
kalian ini akan melupakan darah nenek moyangku dan membantu pengkhianat? Belum
cukupkah bukti tadi bahwa aku cukup kuat akan tetapi tidak mau membunuh kalian
yang kusayang sebagai rakyatku? Awas, kalau memang kalian ini hanya terdiri
dari orang-orang yang hanya tunduk kalau diperlakukan kejam, jangan salahkan
aku terpaksa menggunakan kekerasan!”
Akan tetapi orang-orang Khitan
itu tidak mengenal takut. Mereka mendesak makin dekat dan sikap mereka
mengancam. Tiba-tiba mata mereka menjadi silau oleh sinar kuning terang yang
bergulung-gulung ketika Lin Lin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkannya
dengan cepat di atas kepalanya.
“Mundur! Kalian tidak melihat
ini? Pedang pusaka Besi Kuning, pedang mendiang ibuku Puteri Tayami, siapa
berani melawan ini? Hayo maju, siapa maju akan kupenggal kepalanya!”
Semua orang Khitan mengenal
belaka pedang ini. Mereka yang masih muda dan belum pernah menyaksikan pedang
ini, setidaknya pernah mendengar dongeng bermacam-macam tentang pedang ini yang
katanya dahulu adalah pemberian raja dewa kepada nenek moyang Raja Khitan.
Mereka serentak mundur dan muka mereka menjadi pucat.
“Kalian tahu, hanya pedang
pusaka inilah yang menjadi tanda. Siapa memegangnya dialah yang patut menjadi
raja di Khitan. Dahulu pedang ini terlepas dari tangan Kubakan, terampas oleh
Kaisar Sung. Raja macam apa dia itu sehingga melepaskan pusaka kerajaan? Dia
tidak patut menjadi raja dan dia hanyalah anak dari selir kakek Kulukan.
Ibukulah puteri mahkota, dan karena aku anaknya, maka akulah keturunan
langsung dari kakek Kulukan, dan aku, Puteri Yalina, yang berhak memakai
mahkota Kerajaan Khitan. Hayo, siapa berdiri di fihakku dan siapa berani
menentangku?” Sambil berkata Lin Lin mengacungkan pedangnya ke atas, berdiri
tegak dan sikapnya gagah dan agung. Anehnya biarpun belum banyak ia
mempelajari bahasa Khitan ketika ia ditawan Hek-giam-lo, namun kini dia dapat
bicara dengan lancar dalam bahasa itu. Memang panggilan darah agaknya yang
membuat ia merasa tidak asing dengan suku bangsa dan bahasa Khitan. Apalagi ia
adalah keturunan dari orang-orang yang berdarah Kerajaan Khitan.
Pada saat orang-orang Khitan itu
ragu-ragu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis ini, tiba-tiba
di bagian kiri orang-orang itu bergerak minggir, memberi jalan kepada rombongan
yang datang. Di antara mereka ada yang berkata dengan suara membayangkan
kelegaan hati.
“Bagus, Pek-bin-ciangkun tiba!
Hanya dialah yang dapat memberi keputusan, kita ini perajurit biasa yang tunduk
perintah!”
Lin Lin cepat menengok dan ia
melihat bahwa yang datang betul adalah Panglima Khitan yang terkenal itu, yang
dahulu mewakili Kerajaan Khitan ketika datang pada pesta Beng-kauw. Panglima
yang berwajah putih ini datang bersama belasan orang perwira pembantunya dan
mereka semua memandang ke arah Lin Lin dengan pandang mata penuh selidik dan
wajah keren. Namun Lin Lin tidak menjadi gentar dan ia cepat menghadapi
Pek-bin-ciangkun dengan sikap agung dan gagah. Sengaja ia tidak mengucapkan
kata-kata seakan-akan sikap seorang puteri yang menerima laporan dari
panglimanya!
Pek-bin-ciangkun tentu saja
mengenal siapa Lin Lin dan panglima ini sudah pula mendengar tentang asal-usul
gadis ini. Maka ia bersikap hormat sungguhpun ia tidak merendahkan diri. Tadi
ia sudah menerima laporan lengkap, bahkan ucapan Lin Lin yang terakhir tadi
didengarnya pula. Hal ini mengejutkan hatinya. Terang bahwa gadis keturunan
langsung dari raja lama ini menuntut haknya dan kalau gadis ini berhasil
menghasut, pasti akan terjadi perang saudara!
“Nona, kami sudah mendengar
semua laporan dan mendengar pula ucapan Nona yang amat berbahaya. Ketahuilah,
Nona. Kami hanya menjalankan tugas kami, taat kepada perintah raja besar kami.
Lebih baik Nona menurut saja kami bawa menghadap raja dan percuma membujuk kami
yang semenjak dahulu merupakan perajurit-perajurit setia sampai mati terhadap
junjungan kami.” Ucapan yang bersemangat dan gagah ini berhasil menggugah
semangat para perajurit dan menghilangkan keraguan mereka.
Lin Lin melihat hal ini menjadi
gemas. Dengan sinar mata tajam ia menentang wajah Pek-bin-ciangkun dan
berkata lantang. “Pek-bin-ciangkun! Melihat usiamu yang sudah lanjut, tentu
kau dahulu pernah mengenal ibuku. Tahukah kau siapa mendiang ibuku?”
Sambil menunduk hormat panglima
itu menjawab. “Ibunda Nona yang mulia adalah mendiang Puteri Mahkota Tayami
yang gagah perkasa.”
“Dan kau tentu tahu pula
siapakah kakekku, ayah dari ibuku?”
Kembali panglima itu membungkuk
lebih hormat lagi, “Beliau adalah mendiang raja terbesar kami yang amat
mulia, yaitu mendiang Kulukan yang besar!”
“Hemmm, agaknya ingatanmu masih
baik. Dan kau tahu, rajamu yang sekarang itu, Raja Kubakan, dia itu terhitung
apa dengan aku....?”
“Dengan Nona, beliau terhitung
paman tiri, karena sri baginda adalah putera mendiang Maha Raja Kulukan dari
seorang selir.”
“Hemmm, paman tiri, namun masih
ada hubungan darah, masih sama-sama keturunan kakek Raja Kulukan, sungguhpun
ibuku puteri permaisuri dan dia hanya putera selir. Akan retapi tahukah kalian
semua apa maksud hati paman tiriku itu hendak menangkapku? Aku hendak
dipaksanya menjadi isterinya! Bukankah amat gila ini? Tidakkah jelas
menunjukkan betapa bejat moral Kubakan yang kini menjadi raja kalian, raja
yang tak berhak?”
“Kami tidak mau mencampuri
urusan pribadi orang lain, apalagi urusan pribadi raja kami yang kami junjung
tinggi,” bantah Pek-bin-ciangkun sambil mengerutkan keningnya.
“Bagus!” Lin Lin berseru marah
sambil melintangkan pedangnya. “Kau juga tidak memandang pedang pusaka ini?”
Pek-bin-ciangkun menghela napas
panjang. “Tentu saja, kami menaruh hormat kepada pedang pusaka yang sudah
banyak berjasa terhadap bangsa kita itu. Akan tetapi, sebagai kepala pasukan
pengawal raja, kami harus mentaati perintah yang diberikan atasan kami, yaitu
yang terhormat Lo-ciangkun. Menyerahlah Nona, kami akan memperlakukanmu dengan
hormat dan baik.”
Lin Lin mengedikkan kepalanya,
matanya bersinar-sinar marah. “Kalau kalian tunduk dan menjadi kaki tangan
Hek-giam-lo si iblis jahanam, biarlah sekarang mengeroyok dan membunuhku. Aku
tidak takut!”
“Ah, Nona Muda. Sesungguhnya
kami bukan tidak tahu bahwa kau adalah tuan puteri, keturunan langsung dari
Yang Mulia Kulukan. Kami merasa sayang dan segan untuk memusuhimu. Akan tetapi
apakah daya seorang anak perempuan muda seperti kau ini? Apakah artinya melawan
dengan kekerasan? Siapa tidak tahu bahwa Lo-ciangkun memiliki kesaktian yang
tak terlawan? Kuharap saja kau dapat menyadari hal ini dan mari ikut kami
menghadap raja. Mungkin hubungan darah kekeluargaan akan menyelamatkan dirimu.”
“Aku tidak takut terhadap
Hek-giam-lo si iblis! Aku tidak takut kepada si muka buruk Bayisan itu, seorang
perwira yang berani menghina mendiang ibuku. Suruh dia datang, biar kami
mengadu nyawa di sini!” teriaknya nekat.
“Bayisan....? Apa maksudmu,
Nona?” tanya Pek-bin-ciangkun dengan suara kaget.
“Siapa lagi kalau bukan
Hek-giam-lo? Dia adalah Bayisan, apakah kalian masih pura-pura tidak tahu bahwa
Hek-giam-lo adalah Bayisan, dahulu perwira kakek Raja Kulukan yang berani
menghina ibuku?”
“Aaahhh....!” Jelas sekali
kelihatan Pek-bin-ciangkun kaget bukan main, wajahnya yang putih itu mendadak
menjadi merah dan matanya terbelalak tak percaya. Bukan panglima ini saja yang
terkejut, juga semua perwira yang mengiringkannya kelihatan kaget dan para
perajurit juga ribut mendengar ucapan Lin Lin itu. Suasana menjadi gaduh
karena mereka kini saling bicara sendiri dan keadaan baru tenang kembali
setelah Pek-bin-ciangkun membentak, menyuruh mereka diam. Kemudian panglima ini
menghadapi Lin Lin dan bertanya.
“Nona, semenjak kecil Nona
terpisah dari lingkungan kami, bagaimana Nona bisa mengatakan bahwa lo-ciangkun
adalah.... Bayisan?” Panglima yang sudah banyak pengalaman ini tidak mau
percaya begitu saja.
Sebaliknya, menyaksikan sikap
mereka yang kaget dan mendengar pertanyaan Pek-bin-ciangkun yang demikian
sungguh-sungguh, diam-diam Lin Lin menjadi heran tak mengerti. Mengapa mereka
semua tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan seperti yang ia dengar dari
iblis itu sendiri, dan mengapa pula hal itu membuat mereka kaget? Tentu ada
rahasia yang hebat, yang ia tidak ketahui. Dengan hati berdebar penuh harapan
Lin Lin bergantung kepada kesempatan ini, lalu ia bercerita dengan suara
sungguh-sungguh.
“Pek-bin-ciangkun, memang
tadinya aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ketika aku menjadi tawanan
Hek-giam-lo dan kutanya mengapa dia begitu membenciku, dia membuka kedok
iblisnya, memperlihatkan muka yang lebih buruk mengerikan daripada kedoknya
sendiri, muka yang rusak sama sekali. Hanya sebentar dia memperlihatkan mukanya
yang rusak sambil mengaku bahwa namanya Bayisan, dan bahwa di waktu mudanya
dahulu ia jatuh cinta kepada ibuku, akan tetapi ibu menolaknya. Menurut cerita
dia, ibu malah menyiram mukanya dengan racun yang membuat mukanya menjadi
terbakar dan rusak. Akan tetapi aku dapat menduga bahwa tentu ia bermaksud
hendak kurang ajar terhadap ibu, maka ibuku melakukan hal itu kepadanya.”
Kembali suasana menjadi gaduh.
Dan akhirnya Pek-bin-ciangkun berkata, suaranya berubah lunak dan panggilannya
juga berubah, “Tuan Puteri Yalina, kami mohon maaf atas kekasaran kami tadi
dan mulai saat ini, hamba dan sekalian anak buah hamba berdiri di belakang
Paduka untuk menggempur pengkhianat Bayisan beserta raja paman tiri Paduka yang
ternyata telah menipu kami semua, mempergunakan pengkhianat untuk membunuh
ayah sendiri dan merampas tahta kerajaan.” Setelah berkata demikian,
Pek-bin-ciangkun menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin. Para perwira
lainnya juga ikut berlutut, sedangkan para perajurit sambil berteriak, “Hidup
Tuan Puteri Yalina. Puteri Mahkota Khitan!”
Sejenak Lin Lin berdiri tegak.
Pedang Besi Kuning di tangan kanan, tangan kiri bertolak pingang, kepala
dikedikkan, dada dibusungkan dan matanya menyambar-nyambar ke kanan kiri penuh
wibawa. Kemudian ia berkata lantang, “Harap kalian suka berdiri. Syukurlah
bahwa kalian dapat memilih fihak yang benar untuk bersama menghancurkan fihak
yang salah. Aku minta Pek-bin-ciangkun suka mengumpulkan para perwira untuk
mengatur siasat bersamaku.”
Pek-bin-ciangkun bangkit
berdiri, diturut oleh semua anak buahnya yang ternyata berjumlah seratus orang
lebih. Kini mereka berkumpul dan berdiri di sekeliling tempat itu dengan
harapan baru. Sudah terlalu lama mereka bekerja di bawah tekanan yang
menakutkan dari Hek-giam-lo yang mempunyai kekuasaan tertinggi, agaknya malah
lebih tinggi daripada raja sendiri. Pek-bin-ciangkun mengajak perwira yang
semua ada enam belas orang untuk mengadakan perundingan dengan Lin Lin di
bawah pohon-pohon yang rindang daunnya, setelah ia memperkenankan para anak
buahnya untuk beristirahat sambil berjaga-jaga.
“Ciangkun, terus terang saja,
aku tidak tahu mengapa setelah Ciangkun dan semua saudara mendengar bahwa
Hek-giam-lo adalah Bayisan, Ciangkun lalu tiba-tiba menyatakan mendukung aku?
Ada rahasia apakah di balik semua ini?”
Pek-bin-ciangkun menarik napas
panjang. “Tuan Puteri tidak tahu, memang sepantasnya tidak tahu karena hal itu
terjadi sewaktu Paduka masih amat kecil dan ibu Paduka belum meninggal dunia.
Bayisan dahulunya adalah seorang Panglima Khitan yang terkenal gagah perkasa.
Seperti telah ia akui di depan Paduka, dia tergila-gila kepada Puteri Mahkota
Tayami, tetapi ditolaknya dan seperti kenyataannya, ibunda Paduka telah
menikah dengan seorang perwita rendahan yang gagah perkasa. Nah, agaknya ia
menaruh dendam, apalagi karena Maha Raja Kulukan sendiri tidak menyetujui
niatnya mengawini Puteri Tayami. Diam-diam ia lalu melakukan pengkhianatan dan
pada suatu malam, Sri Baginda Kulukan meninggal dunia dalam kamarnya. Oleh
puteranya, Sri Baginda Kubakan yang sekarang, ketika itu masih seorang pangeran,
dikabarkan bahwa sri baginda tua meninggal karena penyakit. Akan tetapi hamba
dan para perwira yang tahu akan ilmu silat tinggi, mengerti bahwa meninggalnya
sri baginda karena pukulan jarak jauh yang beracun. Kami sudah menduga bahwa
hal itu tentu dilakukan oleh Bayisan, akan tetapi ketika kami mencarinya, ia
telah lenyap tak meninggaikan jejak. Kiranya pada malam hari itu juga ia
berani mati hendak mengganggu Puteri Tayami sehingga disiram racun pada
mukanya. Karena itulah kami sekalian mengira bahwa dia pergi takkan kembali
lagi, karena malu dan takut akan pembalasan kami.”
Lin Lin mendengarkan dengan
penuh perhatian dan merasa tidak sabar ketika panglima itu berhenti sebentar
untuk mengingat-ingat peristiwa yang telah puluhan tahun terjadi itu (baca ceritaSuling
Emas).
“Sementara itu, bangsa kita
selalu mengadakan perang dengan Kerajaan Hou-han, dan yang menjadi calon ratu
bukan lain adalah Puteri Mahkota Tayami. Akan tetapi, ibunda Paduka tewas di
medan pertempuran secara aneh karena anak panah yang membunuhnya kami kenal
sebagai anak panah yang biasa dipergunakan oleh Bayisan yang menghilang! Dan
beberapa tahun kemudian, setelah paman tiri Paduka, Kubakan menjadi raja,
muncullah Hek-giam-lo yang kami sebut lo-ciangkun, menjadi panglima tertinggi yang
amat berkuasa. Karena dia sakti, dan raja amat percaya kepadanya, maka kami
tidak berani bertanya-tanya siapa adanya Hek-giam-lo. Siapa kira, dia adalah
Bayisan yang berkhianat!” Pek-bin-ciangkun tampak marah sekali.
Akan tetapi lebih hebat adalah kemarahan
Lin Lin. Kiranya Hek-giam-lo adalah pembunuh ibunya! Makin besarlah hasrat
hatinya hendak membasmi Hek-giam-lo dan merampas tahta Kerajaan Khitan, “Hemmm,
bagus sekali! Kalau begitu mari kita serbu kerajaan dan bunuh Hek-giam-lo si
pengkhianat!”
“Sabarlah, Tuan Puteri.
Hek-giam-lo amat sakti. Bagaimana kita mampu melawannya?”
“Jangan takut, percayalah
kepadaku. Aku mampu menandinginya, dan andaikata aku kalah dan tewas, berarti
aku sudah berjasa, mati untuk bangsaku dalam usaha membasmi pengkhianat!”
jawab Lin Lin dengan gagah.
Pada saat itu terdengar suara
terompet dan gaduh. Ternyata muncul serombongan pasukan yang dipimpin oleh
seorang pemuda yang bermuka putih, pemuda yang tampan dan gagah sekali. Begitu
dekat, pemuda yang membawa golok besar ini dari atas kudanya berseru, “Hei,
kaum pemberontak. Menyerahlah kalian sebelum aku terpaksa menggunakan
kekerasan atas nama sri baginda!”
Semua orang terkejut,
lebih-lebih Pek-bin-ciangkun yang melihat bahwa pemuda itu bukan lain adalah Kayabu,
puteranya dan juga anak tunggalnya. Kayabu ini juga memakai nama bangsa Han,
dan ia memilih nama Liao yang kelak menjadi nama Kerajaan Khitan. Liao Kayabu
ini seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, gagah perkasa dan tampan, ahli
main golok dan anak panah, semenjak muda digembleng ayahnya, malah dalam
perantauannya ia belajar ilmu silat tinggi dari para pertapa di sepanjang
pegunungan utara.
“Kayabu, apa artinya ini? Tak
tahukah kau bahwa ayahmu berada di sini?” bentak Pek-bin-ciangkun dengan suara
lantang.
Pemuda gagah itu sejenak
memandang ayahnya, kemudian ia melompat turun dari atas kudanya, berlari
menghampiri Pek-bin-ciangkun dan menjatuhkan diri berlutut. “Ayah, sebagai
anakmu, aku menghormat dan menjunjung tinggi padamu. Sebagai anakmu, aku harap
hendaknya Ayah suka sadar dan insyaf, bahwa Ayah telah terseret oleh bujukan
orang untuk turun berkhianat. Ayah, semenjak kecil aku mendapat didikan Ayah
yang terutama menekankan agar supaya aku menjadi seorang gagah yang selalu
mencinta bangsa dan setia kepada rajanya. Pelajaran Ayah ini sudah berakar di
dalam hatiku. Untuk membela bangsaku dan bersetia kepada bangsaku, aku siap
menerima kematian, siap mengorbankan apa pun juga. Akan tetapi, hari ini aku
mendengar laporan bahwa Ayah berkumpul dengan orang-orang yang hendak
memberontak, yang berarti mengkhianati bangsa dan raja. Ayah, sekali lagi,
sebagai puteramu, aku mohon Ayah suka sadar dan menarik diri keluar dari
persekutuan jahat ini!”
Muka Pek-bin-ciangkun sebentar
pucat sebentar merah, sedangkan Lin Lin memandang dengan hati tegang.
“Kayabu, kau tidak mengerti.
Ayahmu tetap seorang yang selalu setia terhadap bangsa dan kerajaan. Ketahuilah
bahwa gerakan yang akan diadakan oleh ayahmu adalah justeru gerakan membasmi
pengkhianat yang semenjak puluhan tahun merajalela dan baru sekarang diketahui
dan akan diberantas. Ketahuilah, bahwa lo-ciangkun sebetulnya adalah si
pengkhianat Bayisan, dan sri baginda yang sekarang ini malah mempergunakan
tenaganya. Karena itu, tak dapat diragukan lagi bahwa kematian sri baginda tua
maupun Puteri Tayami adalah hasil pengkhianatannya yang dibantu oleh Bayisan.”
Para perajurit dalam pasukan
yang baru datang, menjadi gaduh mendengar ini, pasukan tak dapat diatur lagi
dan mereka saling bicara sendiri dengan ramai. Liao Kayabu bangkit berdiri dan
suaranya nyaring mengatasi suara gaduh lainnya.
“Pek-bin-ciangkun! Aku sekarang
bicara sebagai seorang hamba Kerajaan Khitan yang setia! Aku tidak tahu dan
tidak ambil peduli akan dongeng tentang pengkhianatan jaman dahulu, akan tetapi
kenyataannya sekarang, au bekerja sebagai panglima di dalam Kerajaan Khitan,
karena itu aku harus setia kepada raja dan bangsa. Siapapun juga yang mempunyai
niat memberontak, dia adalah musuhku. Pemberontakan berarti pengkhianatan, baik
terhadap raja maupun terhadap bangsa, karena itu, sudah menjadi kewajibanku
untuk membasminya dengan taruhan nyawa!”
Dengan golok melintang di depan
dada, Kayabu berdiri tegak menentang pandang mata ayahnya dan juga Lin Lin.
Gadis ini diam-diam kagum sekali. Pemuda ini benar-benar gagah perkasa,
pikirnya, dan kesetiaannya terhadap Kubakan bukanlah kesetiaan karena
dorongan perasaan pribadi, bukan pula dengan pamrih mencari kemuliaan duniawi,
melainkan kesetiaan yang jujur dan bersih dari seorang panglima yang gagah
perkasa terhadap negara dan bangsanya. Akan tetapi, Pek-bin-ciangkun marah
sekali.
“Anak durhaka! Kau hendak
melawan ayahmu sendiri?” Orang tua ini sudah melangkah maju dan mencabut
pedangnya yang panjang. “Sejak kau kecil aku mendidik dan membangunmu, biarlah
sekarang aku sendiri yang membasmimu!”
“Ciangkun, tahan dulu!”
tiba-tiba Lin Lin berseru dan sekali tubuhnya berkelebat ia sudah melewati
Panglima Muka Putih ini dan berkata, “Puteramu ini seorang panglima sejati yang
gagah, harus dihadapi dengan kegagahan pula. Biarlah aku yang menghadapinya.
Setujukah kau?”
Pek-bin-ciangkun mengerutkan
keningnya, akan tetapi karena ia menganggap Lin Lin sebagai junjungan baru
calon ratu di Khitan, tentu saja ia merasa tidak enak kalau membantah. Ia
menunduk dan menjawab, “Terserah kepada kebijaksanaan Tuan Puteri. Akan tetapi
harap Paduka berhati-hati karena bocah ini kepandaiannya cukup tinggi sehingga
hamba sendiri pun belum tentu dapat mengalahkannya.”
Biarpun dalam ucapan ini
Pek-bin-ciangkun memberi peringatan agar junjungannya berhati-hati, namun
mengandung pula kebanggaan seorang ayah terhadap puteranya.
Lin Lin mengangguk, tersenyum
manis. “Aku mengerti.” Kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Kayabu yang
masih berdiri tegak dengan sikap menantang.
“Kayabu, kau seorang panglima
yang dipercaya dan setia kepada Sri Baginda Kubakan agaknya. Apakah ini berarti
bahwa kau adalah kaki tangan Hek-giam-lo si iblis busuk?”
“Aku seorang perajurit, seorang
ksatria, tidak ada sangkut-pautnya dengan lo-ciangkun, melainkan mengabdi
kepada negara dan bangsa!”
“Bagus! Karena kalau kau kaki
tangan Hek-giam-lo, biarpun dengan hati menyesal karena kau putera
Pek-bin-ciangkun, tentu kau akan kubunuh. Ketahuilah, aku adalah Puteri
Mahkota Yalina, dan sri baginda yang sekarang adalah paman tiriku yang merampas
tahta kerajaan dengan cara yang curang dan jahat. Akan tetapi kau tentu tidak
peduli akan hal itu semua. Sekarang, sebagai musuh, melihat ayahmu berada di fihakku,
apakah kau tidak mau menakluk?”
“Aku seorang perajurit sejati.
Sebelum kalah atau mati takkan menakluk!”
Lin Lin tersenyum. “Hemmm,
bagaimana seandainya aku mengalahkan kau dan golokmu itu?”
Pemuda itu nampak terkejut, lalu
menggelengkan kepala. “Tak mungkin!” Lalu ia menyambung. “Di antura kalian
semua, kiranya hanya ayahku yang akan mampu menandingi aku. Nona, lebih baik
kau pergilah jauh-jauh dari Khitan dan hentikan semua niat memberontak ini agar
ayahku jangan terseret-seret.”
“Haiii.... Kayabu, kau
benar-benar memandang rendah kepadaku! Majulah, kutanggung paling lama tiga
belas jurus aku akan mampu mengalahkan kau!”
Terbelalak mata Kayabu dan
ributlah semua perajurit mendengar ini. Kayabu terkenal sebagai seorang ahli
golok yang pandai. Biarpun kepandaiannya tidak sehebat Hek-giam-lo, namun ia
terhitung Panglima Khitan yang pilihan dan mengalahkan panglima ini dalam waktu
tiga belas jurus sama sukarnya dengan merobohkan sebuah gunung agaknya.
Diam-diam Pek-bin-ciangkun sendiri mengerutkan keningnya. Ia bersimpati
kepada Puteri Yalina dan mau membantu karena ingin pula menumpas Bayisan yang
menjadi Hek-giam-lo serta mengakhiri pengkhianatan Kubakan. Akan tetapi kalau
yang ia bela adalah seorang puteri muda yang begini sombong, yang bersumbar
akan mengalahkan puteranya dalam waktu tiga belas jurus, benar-benar
keterlaluan dan kelak gadis ini tentu akan menjadi seorang ratu yang sembrono
sekali.
Melihat puteranya sambil
tersenyum-senyum melangkah maju menghadapi Lin Lin dengan sikap hendak
bersungguh-sungguh, panglima tua ini berseru, “Kayabu, jangan kurang ajar kau
terhadap Sang Puteri Yalina!”
“Aku ditantang, dan memang
musuhnya. Mengapa kurang ajar? Sudah semestinya musuh saling menantang dan
siapa kalah harus tunduk. Nona, agaknya kaulah yang mengepalai pemberontakan
ini, dan kau pula yang mempengaruhi ayahku dan teman-teman untuk memberontak.
Setelah sekarang menantangku, hendak merobohkan aku dalam waktu tiga belas
jurus, marilah kita membuat janji. Kalau betul kau mampu mengalahkan aku dalam
waktu tiga belas jurus, aku akan menyerah tanpa syarat! Akan tetapi, bagaimana
kalau dalam waktu itu kau tidak mampu mengalahkan aku?”
“Kalau aku tidak manipu, akulah
yang akan menyerah tanpa syarat dan akan menghentikan niatku membasmi
Hek-giam-lo dam Kubakan!”
“Tuan Puteri....!”
Pek-bin-ciangkun berseru kaget, Hebat janji yang keluar dari mulut Lin Lin itu,
karena sekali berjanji, kalau betul tidak mampu mengalahkan Kayabu dalam tiga
belas jurus, akan hancurlah semua cita-cita tadi. “Kayabu mundur kau! Kalau kau
lanjutkan, aku takkan mengakuimu sebagai anak lagi!” Saking khawatirnya,
Pek-bin-ciangkun berkata demikian.
“Ciangkun, biarkanlah. Pula,
kalau kau dan teman-teman yang lain tidak menyaksikan kepandaianku, mana kalian
bisa percaya atas bimbinganku?”
“Tidak, Tuan Puteri. Biarlah
hamba yang menghadapi anak hamba yang durhaka ini! Kalau dia kalah, akan hamba
bunuh, dan kalau hamba yang kalah, hamba rela mati dalam tangan anak kandung
yang durhaka, Kayabu, hayo lawan bapakmu sendiri!” Pek-bin-ciangkun sudah
meloncat ke depan akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana, tubuhnya itu mundur
sendiri seakan-akan ada tenaga tak tampak yang menariknya dari belakang. Ia
menoleh dan melihat Lin Lin tersenyum. Kiranya gadis itu yang tadi menariknya
dengan penggunaan tenaga jarak jauh yang amat hebat!
“Ciangkun, tak tahukah kau bahwa
majuku ini karena aku sayang kalau kalian ayah dan anak saling gempur? Anakmu
seorang gagah perkasa, tidak semestinya dimusnahkan. Minggirlah!”
Mendengar kata-kata ini dan
melihat bukti betapa lihainya Lin Lin yang mendemonstrasikan tenaga saktinya
tadi, terpaksa Pek-bin-ciangkun mengundurkan diri dan menonton dari samping
dengan hati cemas.
“Kayabu, kau majulah dan
hitunglah jurus-jurus yang kupergunakan. Awas seranganku!” Lin Lin merasa yakin
akan dapat mengalahkan lawannya dalam tiga belas jurus. Tentu saja yang ia
maksudkan dengan tiga belas jurus itu adalah jurus-jurus sakti yang ia warisi
dari Pat-jiu Sin-ong! Kalau ia mengandalkan ilmu silat biasa, tentu saja tiga
belas jurus merupakan waktu yang terlampau sedikit untuk mengalahkan seorang
panglima muda yang kelihatannya begitu gagah perkasa. Namun, ia amat percaya
akan keampuhan tiga belas jurus sakti peninggaian Pat-jiu Sin-ong, maka ia
sengaja menantang untuk memperlihatkan kelihaiannya sehingga para pengikutnya
akan percaya kepadanya. Apalagi kalau diingat bahwa dia tadi sudah menyatakan
sanggup menghancurkan Hek-giam-lo si iblis sakti, kalau ia tidak
mendemonstrasikan kepandaian yang sakti, tentu mereka itu takkan mau percaya.
“Aku sudah siap!” jawab Kayabu
dengan suara lantang. Pemuda ini merasa penasaran dan juga marah. Kalau saja
ia tidak menghadapi pemberontakan yang serius dan yang harus diberantasnya
dengan segera, tentu ia tidak sudi menerima tantangan yang amat menghina ini.
Dia, Liao Kayabu, seorang jagoan besar di Khitan, hanya di “hargai” semahal
tiga belas jurus saja oleh seorang gadis muda jelita? Benar-benar penghinaan
yang amat hebat! Kali ini baginya juga merupakan ujian. Ia harus memperlihatkan
kepandaiannya terhadap gadis yang amat cantik jelita ini, yang agaknya adalah
puteri keponakan sri baginda sendiri yang baru muncul sekarang. Bukankah kalau
ia sanggup bertahan sampai tiga belas jurus, pemberontakan itu sekaligus dapat
dipadamkan tanpa pertumpahan darah lagi? Ia harus dapat bertahan, tidak saja
bertahan sampai tiga belas jurus, bahkan ia harus berbalik dapat menangkap
gadis cantik ini.
“Awas serangan pertama....! Lin
Lin berseru sambil menggerakkan Pedang Besi Kuning yang berubah menjadi
gulungan sinar keemasan. Hampir saja Kayabu tertawa menyaksikan serangan jurus
pertama itu. Itu sama sekali bukan merupakan serangan, mengapa dimasukkan
sebagai jurus serangan? Ia melihat gadis itu menggerakkan pedang ke depan dada
dan tangan kiri merangkap tangan kanan merupakan sembah di depan dada, kemudian
kedua lengan dikembangkan ke atas kepala dengan pedang dibalik masuk ke
belakang lengan kanan, seperti gerakan orang yang menengadah dan memohon
berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Inikah jurus serangan? Akan tetapi
sesunggqhnyalah, inilah jurus pertama atau jurus pembukaan dari tiga belas
jurus ilmu sakti yang oleh Lin Lin disebut Co-sha Sin-kun.
Tiba-tiba Kayabu berseru keras
dan terkejut bukan main. Cepat-cepat ia mengubah kedudukan kakinya dan memasang
kuda-kuda yang amat kuat karena dari arah Lin Lin datang hawa pukulan yang
seperti angin gunung bertiup perlahan. Bukan merupakan serangan langsung, akan
tetapi karena hawa pukulan atau angin ini timbul hanya karena gadis itu
menggerakkan lengan ke atas, benar-benar mengejutkan sekali. Baru bergerak
seperti itu saja sudah mengandung hawa pukulan yang terasa dalam jarak tiga
meter, apalagi kalau dipergunakan untuk memukul! Kayabu sama sekali tidak
tahu bahwa jurus pertama ini memang bukan jurus serangan, melainkan jurus untuk
mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sin-kang!
“Jurus ke dua....!” kembali Lin
Lin berseru dan kembali Kayabu menjadi geli karena jurus ke dua ini dimainkan
dengan amat lambat sehingga Pedang Besi Kuning itu jelas sekali bergerak
menusuk ke arah pundak kirinya. Kayabu biarpun merasa geli menyaksikan
jurus-jurus yang lucu dan tidak ada bahayanya sama sekali ini, tidak mau
memandang rendah. Dia seorang pemuda yang cukup hati-hati dan banyak pengalamannya
dalam pertandingan, maka menghadapi tusukan lambat ke arah pundaknya ini ia
cepat menggerakkan golok besarnya. Tentu saja mudah baginya untuk mengelak.
Akan tetapi menurut pengalamannya, biasanya serangan yang lambat itu hanyalah
merupakan pancingan dan serangan sesungguhnya baru akan datang setelah yang
diserang mengelak. Inilah sebabnya sengaja Kayabu tidak mau mengelak,
melainkan ia menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil mengerahkan seluruh
tenaganya karena ia berniat mengakhiri pertempuran tak seimbang ini dengan
memukul runtuh pedang gadis itu.
“Cringgg....!”
Kayabu mengeluh dan meloncat ke
belakang. Sabetan goloknya tadi keras sekali, akan tetapi ia merasa betapa
telapak tangannya seperti dibeset kulitnya oleh gagang goloknya sendiri.
Kiranya dengan sin-kang yang mujijat, gadis itu telah membuat Pedang Besi
Kuning yang ditusukkan dengan lambat itu tergetar amat kuat dan halus sehingga
tidak tampak. Maka begitu golok lawan membentur pedangnya, getaran kuat ini
menjalar melalui golok dan sampai ke gagang, membuat telapak tangan lawan
menjadi panas dan sakit-sakit. Makin keras Kayabu menangkis, makin keras pula
telapak tangannya terkena getaran. Pemuda Khitan itu cepat mengatur
keseimbangan tubuhnya dan siap-siap menghadapi serangan selanjutnya. Kini ia
tidak berani memandang ringan sama sekali, bahkan timbul rasa ngeri dan
khawatir di hatinya.
“Awas jurus ke tiga....!” Lin
Lin berseru dan pandang mata Kayabu berkunang-kunang karena tiba-tiba gadis
itu lenyap sama sekali, terbungkus oleh gulungan sinar pedang kuning yang
mendatangkan angin berpusing-pusing. Gadis itu seakan-akan telah berubah
menjadi angin puyuh yang berputar-putar makin mendekatinya! Kayabu tidak tahu
bahwa Lin Lin telah mengeluarkan jurus yang amat hebat dari ilmu sakti Cap-sha
Sin-kun, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan
Kilat). Karena tidak tahu harus bagaimana menghadapi gulungan sinar kuning
yang berpusing itu, Kayabu lalu mengeluarkan seruan keras goloknya berkelebat
membacok ke depan.
“Wesss.... wesss....!” Aneh
sekali, sinar goloknya membabat gulungan sinar, seakan-akan membabat bayangan
saja, tidak mengenai apa-apa. Dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar kuning
itu menyambar ujung Pedang Besi Kuning seakan-akan kilat cepatnya.
“Aiiihhhhh!” Kayabu menjerit dan
goloknya terlepas karena kulit tangannya tergores pedang dan sebelum ia tahu
apa yang terjadi, lutut kakinya terkena totokan ujung sepatu Lin Lin dan tak
tertahankan lagi ia roboh tertelungkup!
Pek-bin-ciangkun dan para
perwira lainnya memandang dengan bengong. Kejadian itu bagi mereka teramat
aneh. Para perajurit yang merasa simpati kepada Lin Lin bersorak gemuruh,
sedangkan Kayabu bangkit berdiri dengan muka merah.
“Bagaimana, Kayabu? Sudah puaskah
kau ataukah kau hendak melanjutkan percobaanmu?”
“Aku bukanlah seorang yang buta
dan nekat. Aku tahu bahwa kepandaian Nona amat tinggi dan aku bukan lawan Nona.
Setelah aku kalah, silakan Nona gerakkan pedang itu membunuhku!”
“Tidak, Kayabu. Aku tidak akan
membunuhmu, malah aku minta sukalah kau membantuku menumbangkan kedudukan paman
tiriku yang dibantu oleh iblis Hek-giam-lo untuk melepaskan bangsa kita
daripada penindasan si lalim.”
Sepasang mata pemuda itu
seakan-akan mengeluarkan kilat. “Aku adalah seorang perajurit sejati, bagiku
tidak ada pilihan lain, mati dalam perjuangan atau menang. Tak perlu kau
membujukku, setelah kalah, mati bukan apa-apa bagiku!” Sambil berkata
demikian, pemuda ini menggerakkan goloknya ke arah lehernya sendiri.
“Kayabu....!” Pek-bin-ciangkun
memekik penuh kekhawatiran. Sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak khawatir
atau ngeri melihat putera tunggalnya menghadapi maut, akan tetapi ia
benar-benar akan merasa hancur hatinya kalau puteranya itu tewas membunuh diri,
suatu perbuatan yang dianggap pengecut dan rendah. Sama sekali ia tidak
menyangka puteranya akan melakukan perbuatan itu sehingga tidak ada kesempatan
lagi bagi Pek-bin-ciangkun untuk mencegahnya. Akan tetapi, sinar kuning
menyambar dari tangan Lin Lin, terdengar suara keras dan golok di tangan Kayabu
patah-patah dan terlempar sampai jauh. Pemuda itu mencelat mundur dengan muka
pucat.
Pek-bin-ciangkun melangkah maju
dan melayangkan tangannya menampar pipi puteranya dua kali sehingga pipi itu
menjadi merah dan dari ujung bibirnya keluar sedikit darah.
“Huh, anak durhaka! Apakah kau
hendak meninggalkan aib pada ayahmu dengan cara pengecut? Membunuh diri?
Ihhh, Kayabu, sampai hatikah kau melakukan hal itu di depan ayahmu?” Suara
orang tua ini menjadi serak dan dari matanya yang melotot lebar itu keluar
beberapa butir air mata.
Kayabu menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kaki ayahnya. “Ayah, ampunkan anakmu yang lupa dan gila
karena kekecewaan. Bukan hanya kecewa karena anak tidak dapat memenuhi tugas
sebagaimana mestinya, melainkan terutama melihat ayah sebagai junjungan dan
pujaanku ternyata hendak menjadi pengkhianat dan membantu pemberontak. Ayah,
di manakah kegagahan kita dan bagaimana kita kelak dapat
mempertanggungjawabkannya di depan nenek moyang kita?”
Pek-bin-ciangkun memegang pundak
anaknya dan ditariknya berdiri. Mereka berhadapan muka, ayah dan anak yang sama
tingginya ini, saling bertentang pandang sampai beberapa lama, kemudian si ayah
berkata, “Kau keliru, yang kautuduhkan itu sesungguhnya kebalikan daripada
kenyataan. Sekarang ini ayahmu bukan berdiri di fihak pemberontak atau
pengkhianat, bahkan sebaliknya daripada itu. Ketahuilah, Kayabu, yang selama
ini kita bela, sesungguhnya adalah fihak pengkhianat. Kita terpaksa membela pengkhianat
karena dia yang berhak telah melenyapkan diri. Dan sekarang, Tuan Puteri
Mahkota Yalina yang berhak akan tahta kerajaan, telah muncul kembali. Aku
dahulu adalah panglima dari kakeknya, kemudian ibunya, setelah kedudukan
terampas oleh paman tirinya dan dia sendiri lenyap, terpaksa aku membantu
pengkhianat. Sekarang tiba waktunya untuk membasmi para pengkhianat.”
Selanjutnya panglima tua itu menceritakan puteranya tentang semua peristiwa
yang terjadi belasan tahun yang lalu, juga tentang Hek-giam-lo yang
sesungguhnya adalah Bayisan, panglima pengkhianat yang melarikan diri (baca
ceritaSuling Emas).
Terbukalah mata Kayabu. Mulai ia
dapat melihat siapa sesungguhnya gadis cantik jelita yang berpakaian seperti
gadis Han, yang memiliki kesaktian yang luar biasa itu. Tahulah ia sekarang
mengapa Panglima Khitan yang paling dipercaya oleh raja, yang merupakan orang
terkuat dan boleh dibilang paiing berkuasa di Khitan, dijadikan pembantu oleh
raja padahal orang itu terkenal sebagai seorang iblis yang jahat. Hek-giam-lo
berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap bangsanya sendiri, akan tetapi
maklum betapa saktinya Hek-giam-lo, dia tak dapat berbuat sesuatu selain
mengadu kepada ayahnya yang hanya menggeleng kepala, bahkan melarangnya
menentang Hek-giam-lo yang sakti dan jahat.
Pemuda yang dapat berpikir
panjang ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin sambil berkata,
“Maafkan hamba yang tidak mau melihat kenyataan dan telah bersikap tidak pantas
terhadap Tuan Puteri....”
“Awasss....!” Tiba-tiba kaki Lin
Lin menendang pundak Kayabu, membuat pemuda itu terlempar bergulingan sampai
enam meter lebih jauhnya. Semua orang kaget sekali, terutama Kayabu sendiri dan
juga Pek-bin-ciangkun. Mereka terkejut dan kecewa, mengira bahwa Lin Lin tiada
bedanya dengan Hek-giam-lo, yang berwatak ganas dan kejam, tak dapat memberi
ampun kepada orang lain. Akan tetapi, keraguan dan kekecewaan ini segera lenyap
terganti kekaguman dan kegirangan ketika Lin Lin membungkuk dan memungut tiga
batang benda hitam yang menancap di atas tanah, tepat di mana tadi Kayabu
berlutut. Ternyata itu adalah tiga buah pisau hitam yang entah bagaimana
tahu-tahu telah berada di situ tanpa terlihat orang lain, kecuali Lin Lin tentu
saja, yang telah berhasil menyelamatkan Kayabu.
“Kebetulan sekali, belum dicari
sudah datang! Hek-giam-lo iblis busuk, keluarlah terima binasa!” teriak Lin Lin
sambil melompat ke kiri dengan pedang di tangan dan tangan kirinya bergerak
menyambitkan tiga batang pisau hitam tadi ke semak-semak. Akan tetapi tiga
batang pisau itu lenyap ke dalam semak-semak tanpa mendatangkan akibat apa-apa.
Hek-giam-lo memang hebat. Baru saja ia menyambitkan pisau-pisaunya dari
semak-semak itu untuk membunuh Kayabu, tahu-tahu ia sudah lenyap dari situ dan
tiba-tiba keadaan sebelah kanan menjadi ribut. Ketika Lin Lin meloncat ke
bagian ini, wajahnya menjadi merah saking marahnya karena tanpa ada yang tahu
apa yang menjadi sebab, dua belas orang perajurit telah menggeletak mati dengan
muka hitam seluruhnya, tanda terkena racun yang amat jahat!
“Keparat Hek-giam-lo! Pengecut
kau! Hayo keluar dan bertanding seribu jurus melawanku!”
Akan tetapi terpaksa Lin Lin
cepat memutar pedangnya ketika telinganya menangkap desir angin senjata rahasia
dari arah belakang. Terdengar bunyi “ting-ting-ting” ketika pedangnya berhasil
menyampok pergi belasan batang jarum hitam, akan tetapi kembali ada enam orang
perajurit terjungkal roboh dan mati seketika!
Lin Lin makin marah. Gadis ini
berkelebatan ke sana ke mari untuk mencari tempat persembunyian musuhnya,
namun Hek-giam-lo benar-benar jahat dan licin. Agaknya iblis ini sengaja hendak
mempermainkan Lin Lin dan para pengikutnya. Berturut-turut roboh para
perajurit dan sebagian daripada para perwira. Setiap kali roboh tentu enam orang
dan dalam waktu beberapa menit saja sudah tiga puluh enam orang roboh binasa
dalam keadaan mengerikan!
“Berpencar....! Masing-masing
berlindung....!” Kayabu berteriak nyaring dan bersama ayahnya yang banyak
pengalaman dalam pertempuran, pemuda ini mengatur sisa orang-orangnya. Dalam
sekejap mata saja para perajurit yang tadinya kebingungan dan kacau-balau
kehilangan pimpinan itu, berserabutan dan lenyap dari pandangan mata,
berlindung dan bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak. Tinggai Lin Lin
seorang diri yang masih tinggal berdiri tegak di situ sambil memaki-maki dan
menantang-nantang. Tiba-tiba dari arah depan terdengar deru angin senjata
rahasia dan cepat gadis ini memutar pedangnya. Hujan senjata rahasia berupa
pisau-pisau dan jarum-jarum beracun itu dengan gencar menyambar datang, namun
semua dapat ditangkis oleh gulungan sinar kuning yang merupakan benteng sinar
yang melindungi tubuh Lin Lin. Sambil menangkis, Lin Lin memaki-maki.
“Hek-giam-lo iblis jahanam! Hayo
keluarlah kau kalau memang laki-laki! Inilah anak tunggal Puteri Tayami. Aku
Puteri Mahkota Yalina, hayo kaulawanlah kalau memang gagah. Jangan main
sembunyi dan melepas senjata rahasia seperti seorang pengecut rendah!”
Akan tetapi tidak pernah ada
jawaban dan hujan senjata rahasia pun berhenti. Tiba-tiba kesunyian itu
terpecah oleh lengking tinggi dan kagetlah Lin Lin karena pendengarannya yang
tajam menangkap suara angin pukulan. Desir angin pukulan seperti itu hanya
dapat terdengar kalau ada tokoh-tokoh sakti mengadu kepandaian. Cepat gadis
ini melompat dari tempat itu menuju ke arah suara. Benar saja dugaannya, tak
jauh dari situ, terhalang oleh pohon-pohon rindang, tampak tiga orang tengah
bertanding hebat. Dan Lin Lin kaget bukan main ketika mengenal mereka. Yang sedang
bertanding hebat itu bukan lain adalah Hek-giam-lo yang dikeroyok oleh dua
orang, Gan-lopek dan Lie Bok Liong!
Hek-giam-lo memang hebat sekali.
Sebetulnya iblis ini masih belum sembuh dari lukanya yang hebat ketika ia
bertanding menghadapi Suling Emas di puncak Thai-san. Luka akibat pukulan
Suling Emas yang bagi lain orang tentu akan mengakibatkan maut itu, bagi
Hek-giam-lo hanya mendatangkan luka sebelah dalam yang amat hebat dan
membutuhkan pengobatan dan istirahat lama. Namun, keadaannya yang terluka
hebat ini tidak mengurangi keganasannya sehingga ketika ia mendengar tentang
maksud pemberontakan orang-orang Khitan yang dipimpin oleh Lin Lin, iblis ini
segera keluar dan turun tangan, berhasil dengan jarum-jarum hitamnya membunuh
sampai tiga puluh enam orang banyaknya.
Bahkan ketika dia menghujankan
senjata rahasia kepada Lin Lin dan tiba-tiba muncul Gan-lopek dan Lie Bok
Liong yang menyerangnya, iblis ini masih sanggup untuk melakukan perlawanan
yang hebat. Gan-lopek tokoh kang-ouw kawakan yang selalu bergembira dan lucu
itu, sebagaimana diceritakan di bagian depan, berpisah dari Lin Lin ketika
mereka tiba di pucak Thai-san karena Lin Lin membantu Suling Emas dan bertemu
dengan saudara-saudaranya. Merasa bahwa dia adalah “orang luar”, kakek ini
menjauhkan diri. Akan tetapi kemudian ia berjumpa dengan muridnya, Lie Bok
Liong, dan alangkah kecewa dan menyesal hatinya ketika melihat muridnya yang
terkasih itu menderita batin. Apalagi ketika ia mendengar pengakuan Lie Bok
Liong tentang penolakan kasih sayang Lin Lin, kakek ini tidak mau mengerti.
“Ah, tak mungkin!” bantahnya.
“Lin Lin suka kepadamu, ini aku tahu benar!”
“Suka tidak sama dengan cinta,
Suhu....”
“Apa bedanya? Dari suka menjadi
cinta. Hayo, mana dia? Mana gadis liar itu?”
“Teecu (murid) khawatir bahwa
dia sudah berangkat ke Khitan, Lin-moi memiliki hasrat besar untuk menuntut
kembali haknya atas mahkota Kerajaan Khitan.”
“Wah-wah, bocah lancang dia!
Mana dia mampu menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan seorang diri? Dia
bisa celaka. Hayo, Bok Liong, kita harus menyusulnya.”
Demikianlah, guru dan murid ini
muncul di Khitan. Kebetulan sekali pada hari itu mereka menyaksikan
Hek-giam-lo secara pengecut menyerang Lin Lin dari tempat sembunyi dengan
senjata-senjata rahasia. Tanpa banyak cakap lagi Gan-lopek lalu menerjang iblis
itu dengan senjatanya yang istimewa, yaitu Hek-pek-mou-pit (Pensil Bulu Hitam
dan Putih). Terjadilah pertandingan hebat dan mati-matian antara dua orang
sakti. Hek-giam-lo memang menderita luka dalam, namun ketika menyambut
terjangan Gan-lopek, gerakannya masih hebat, senjatanya yang mengerikan, sabit
tajam panjang itu, menyambar-nyambar seperti seekor naga siluman mengamuk di
angkasa raya. Menyaksikan kehebatan iblis ini, Bok Liong tidak mau tinggal
diam, lalu mencabut Gwat-kong-kiam dan menyerbu dengan hebat. Karena maklum
akan keganasan dan kelihaian si iblis hitam, apalagi karena ia maklum pula akan
isi hati Bok Liong yang tidak mau ketinggalan dalam usaha membantu dan menolong
Lin Lin, maka Gan-lopek tidak melarangnya melakukan pengeroyokan terhadap
Hek-giam-lo.
Melihat Bok Liong, Lin Lin
merasa tertusuk hatinya. Terharu sekali ia melihat pemuda ini, yang pernah
secara terus terang menyatakan cinta kasihnya kepadanya, dan dengan tegas ia
menolaknya. Entah berapa kali sudah pemuda gagah perkasa ini menolongnya,
membelanya, membantunya tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri. Betapa
mulianya hati pemuda ini, betapa gagahnya sehingga tidak takut-takut
menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya untuk menolongnya, sungguhpun pemuda
itu cukup maklum bahwa kepandaiannya tidak akan mampu dipakai menghadapi
Hek-giam-lo. Cinta kasih murni yang amat mengharukan hatinya. Dan kini pemuda
itu muncul lagi, membelanya lagi, malah bersama gurunya.
Lin Lin berdiri terbelalak
kagum. Tak tahu ia bagaimana ia harus berbuat. Ia maklum bahwa Gan-lopek adalah
seorang tokoh sakti dan kini menghadapi Hek-giam-lo dengan bantuan muridnya
sendiri. Apakah ia harus pula bantu mengeroyok? Pengalamannya selama merantau
dan bergalang-gulung dengan para tokoh kang-ouw yang sakti mendatangkan
pengertian bahwa membantu seorang tokoh sakti bertanding dapat diartikan
menghinanya!
Pertandingan itu hebat sekali.
Hek-giam-lo agaknya mengerahkan seluruh tenaganya, terbukti dari bunyi lengking
yang panjang bersambung-sambung dari kerongkongannya, sedangkan senjata
sabitnya menyambar-nyambar cepat sekali dan mengeluarkan angin bercuitan. Akan
tetapi permainan sepasang pena bulu di tangan Gan-lopek amat kokoh kuat dan
tenang, sungguhpun sinar senjata sabit yang gilang-gemilang itu seakan-akan
mengurung dan menyelimutinya, bahkan menekannya. Bok Liong juga mainkan
pedangnya dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Mengagumkan sekali betapa guru dan murid ini dapat main bersama. Gerakan mereka
begitu mirip dan biarpun senjata mereka berbeda, namun kerja sama mereka amat
baik, isi mengisi, bantu-membantu.
Hek-giam-lo memang amat sakti.
Andaikata ia tidak menderita luka dalam, apalagi kalau Bok Liong tidak membantu,
agaknya Gan-lopek sendiri tak dapat bertahan melawannya. Kini, keadaannya yang
terluka dan ditambah pengeroyokan Bok Liong yang sudah memiliki kepandaian
tinggi, membuat pertandingan itu menjadi seimbang, malah boleh dikata
Hek-giam-lo banyak tertekan sungguhpun sabitnya kelihatan garang dan amat
berbahaya.
Melihat ini, Lin Lin menjadi
tidak sabar. Ia ingin terjun ke dalam gelanggang pertandingan, ingin ia dengan
tangannya sendiri membunuh iblis yang dahulu pernah membunuh kakeknya,
menghina ibunya dan mencemarkan nama baik bangsa Khitan. Akan tetapi sebelum
ia sempat bergerak, tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan disusul sorakan
keras.
“Basmi pemberontak! Hancurkan
pemberontak!” Dari arah utara muncullah banyak sekali pasukan Khitan dengan
senjata di tangan menyerbu.
“Pasukan siaaaaappp! Dengan
darah dan jiwa kita bela Puteri Yalina, keturunan langsung Raja Besar Kulukan!
Basmi pengkhianat Bayisan dan Kubakan!” demikian terdengar teriakan-teriakan
keluar dari mulut Kayabu dan ayahnya, Pek-bin-ciangkun yang sudah
mempersiapkan pasukannya pula. Terjadilah perang tanding hebat antara mereka.
Melihat ini, Lin Lin tidak jadi membantu Gan-lopek, melainkan ia sendiri
memimpin para pendukungnya menghadapi penyerbuan tentara pengawal kerajaan. Hebat
sepak terjang gadis ini. Tubuhnya lenyap terbungkus sinar kuning emas dan ke
manapun juga sinar ini menyambar, terdengar teriakan-teriakan dan senjata
terlempar dari tangan disusul robohnya tentara musuh yang terluka tangan atau
kakinya. Akan tetapi tak seorang pun yang tewas di tangan Lin Lin, karena gadis
ini merasa tidak tega membunuhi tentara bangsanya sendiri.
Jumlah pasukan pengawal yang
berpihak Hek-giam-lo sebetulnya lebih besar. Maklum karena memang tadinya
semua pasukan Khitan merupakan anak buah Hek-giam-lo, suka atau pun tidak. Akan
tetapi ketika pasukan itu melihat bahwa “pemberontak” itu dipimpin oleh
Pek-bin-ciangkun dan Kayabu, dua orang tokoh yang mereka hormati, mereka
menjadi ragu-ragu. Tak seorang pun diantara mereka yang suka kepada
Hek-giam-lo, kecuali beberapa orang perwira dan pasukan yang memang
dipergunakan oleh Hek-giam-lo dan yang mengenyam pula hasil kejahatan dan
kekejaman iblis ini. Oleh karena itu, timbullah kekacauan yang hebat ketika
sebagian dari tentara ini membalik dan malah membantu gerakan
Pek-bin-ciangkun. Lebih-lebih setelah mereka menyaksikan sepak terjang Lin Lin
yang mereka dengar adalah Puteri Mahkota Yalina yang sejak kecil lenyap dan
disangka mati. Sepak terjang Lin Lin yang hebat itu selain mendatangkan rasa
gentar juga mendatangkan rasa kagum dan suka karena ternyata bahwa tak seorang
pun yang roboh di bawah tangan gadis ini tewas.
Melihat keadaan berbalik untuk
keuntungan fihaknya, Lin Lin segera teringat kepada Hek-giam-lo yang masih
bertanding melawan pengeroyokan Gan-lopek dan Bok Liong. Hampir gadis ini
menjerit ketika memandang ke arah pertempuran itu. Terjadi perubahan hebat dan
pertandingan itu kini menjadi pergulatan mati-matian. Kiranya dengan gerakan
yang hebat bukan main Hek-giam-lo yang cerdik itu telah mendesak Bok Liong,
berniat merobohkan dulu lawan yang lebih lemah ini agar ia dapat memusatkan
kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan Gan-lopek.
***
Pada saat Bok Liong menangkis
sebuah sambaran maut sabit, pedang pemuda yang bersinar kuning itu bertemu
sabit dan.... terus menempel lekat tak dapat ditarik kembali. Bok Liong merasa
tiba-tiba lengannya panas dan kejang. Terpaksa ia hendak melepaskan gagang
pedangnya, namun alangkah kagetnya ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa hal
ini pun tidak mungkin. Telapak tangannya seakan-akan sudah lekat pula dengan
gagang pedangnya, seakan-akan gagang pedang itu sudah “berakar” ke dalam
tangannya. Rasa panas dan sakit makin menghebat sehingga pemuda itu mengeluh.
Melihat ini, Gan-lopek kaget
sekali. Ia maklum bahwa iblis hitam itu lihai bukan main, memiliki hawa sakti
yang telah dilatih dengan racun sehingga setiap serangannya kalau mengenai
sasaran merupakan tangan maut. Ia maklum bahwa muridnya terancam bahaya maut
dan terlambat sedikit saja usaha pertolongan, tentu takkan tertolong lagi. Oleh
karena itu, sejenak ia melupakan Hek-giam-lo dan cepat ia memindahkan mouw-pit
putih ke tangan kanan, tangan kirinya yang kosong memegang pangkal lengan
muridnya sambil mengerahkan sin-kang untuk melawan penyaluran hawa serangan
Hek-giam-lo, sedangkan tangan kanan yang memegang sepasang pena bulu itu ia
hantamkan ke arah sabit.
“Cringgggg.... Plakkk....!”
Peristiwa itu terjadi hanya beberapa detik saja. Dengan bantuan tenaga sin-kang
suhunya, Bok Liong berhasil melepaskan gagang pedangnya dan terlepas dari
bahaya maut. Adapun hantaman sepasang pena bulu itu tepat mengenai sabit,
demikian hebatnya sehingga baik sepasang pena bulu maupun senjata sabit itu
patah-patah. Akan tetapi agaknya Hek-giam-lo yang cerdik menggunakan saat yang
tepat itu untuk menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga yang mengandung
penuh Hek-in-tok (Racun Uap Hitam) memukul punggung Gan-lopek dengan telapak
tangan. Pada saat tepukan itu mengenai punggung, dari dalam lengan bajunya yang
kiri melayang sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap sampai ke
gagangnya di punggung Gan-lopek pula!
Gan-lopek kelihatan terkejut,
terhuyung dan memandang Hek-giam-lo, lalu tertawa bergelak dan roboh
terguling!
“Iblis keparat!” Lin Lin
menerjang maju, menyesal mengapa tidak sejak tadi ia turun tangan. Adapun Bok
Liong yang menyaksikan gurunya roboh, cepat memungut pedangnya dan menerjang
lagi dengan nekat.
Biarpun ia telah berhasil
merobohkan Gan-lopek, Hek-giam-lo harus menebusnya dengan mahal. Ia menderita
luka dalam yang hebat, kini ia harus mengerahkan tenaga sin-kang dari dalam
tubuhnya yang membutuhkan pengerahan sekuatnya, maka luka di dalam dadanya
menjadi menghebat, membuat ia merasa darah naik ke dalam kerongkongannya dan
tak tertahankan lagi ia muntah darah. Pada saat itu, Lin Lin datang
menerjangnya. Karena Hek-giam-lo sudah bertangan kosong, cepat ia menggerakkan
lengan kiri. Belasan batang hui-to atau pisau terbang menyambar ke depan,
sebagian besar ke arah Lin Lin dan beberapa buah ke arah Bok Liong. Namun semua
dapat dipukul runtuh oleh kedua orang muda itu.
Sinar kuning bergulung-gulung
menyambarnya. Hek-giam-lo yang sudah lemah dan berkunang-kunang matanya itu
mengangkat lengan kanan menangkis.
“Crakkk!” Putuslah lengan itu
dan darah menyembur dari pangkal lengan yang putus. Lin Lin mendesak terus.
Kembali Hek-giam-lo menangkis dengan tangan kiri, dan sekali lagi putuslah
lengan kirinya. Ia mendengus-dengus aneh, akan tetapi tak seorang pun tahu apa
yang ia ucapkan karena pada saat itu gulungan sinar pedang kuning emas sudah
membabatnya dan robohlah Hek-giam-lo dengan dua tusukan di dadanya dan sebuah
babatan pada lehernya membuat leher itu hampir putus pula!
Para perajurit yang dipimpin
Pek-bin-ciangkun bersorak gembira. Adapun para perajurit yang menjadi anak buah
Hek-giam-lo menjadi kecil hati dan melawan sambil mundur. Saat itulah
dipergunakan Pek-bin-ciangkun untuk berseru lantang.
“Orang-orang gagah bangsa
Khitan, dengarlah baik-baik! Yang mampus itu, Hek-giam-lo si iblis kejam adalah
pengkhianat yang puluhan tahun kita benci dan kita cari-cari, kita sangka
sudah binasa. Dia adalah Bayisan! Bersama Kubakan, dia membunuh sri baginda tua
Kulukan dan merampas kedudukan sebagai raja. Kalau kalian membelanya berarti
kalian membela pengkhianat bangsa. Sudah semestinya kita membantu Puteri
Mahkota Yalina untuk menumbangkan kekuasaan jahat membangun Kerajaan Khitan
yang kuat dan besar, seperti dahulu!”
Ucapan yang nyaring ini ternyata
besar sekali pengaruhnya. Banyak di antara para pasukan itu yang segera
membuang senjata dan menggabungkan diri. Memang ada yang masih setia kepada
Raja Kubakan, namun kekuatan mereka tidak ada artinya lagi dan pertempuran
dilanjutkan dalam keadaan berat sebelah.
Lin Lin untuk sejenak tidak
mempedulikan semua itu. Bersama Bok Liong ia berlutut di dekat tubuh Gan-lopek
yang sudah payah. Muka kakek ini perlahan-lahan sudah berubah kehitaman, akan
tetapi kakek sakti ini masih dapat tersenyum-senyum.
Bok Liong pendekar muda yang
gagah itu kali ini tak dapat menahan diri menangisi gurunya karena ia maklum
bahwa tak mungkin suhunya tertolong lagi. Dengan lengan kiri menyangga leher
suhunya, ia hanya dapat berbisik-bisik menyebut nama suhunya dengan putus harapan.
“Eh, mengapa knu menangis,
muridku? Apa kaukira kelak kau sendiri takkan mati juga? Kalau kau menangisi
orang mati, berarti kau menangisi dirimu sendiri. Eh, Lin Lin bocah nakal! Kau
benar-benar tidak percuma hidup, sudah banyak menimbulkan geger. Sebelum aku
mati, kau bilanglah dulu secara jujur, apakah kau suka dan sayang kepada
muridku Bok Liong ini?”
Lin Lin juga berlinang air mata.
Mendengar pertanyaan ini, tanpa ragu-ragu ia menjawab, “Tentu saja aku sayang
dan suka kepada Liong-twako!”
“Ha-ha-ha! Nah, apa kataku, Bok
Liong? Dia suka padamu!” Gan-lopek terbatuk-batuk karena ketika tertawa tadi
dadanya terasa sesak sekali, kemudian ia menggigit bibir menahan rasa nyeri
yang secara mendadak terasa di seluruh tubuhnya. Tadi ia dapat menahan rasa
nyeri karena ia mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi setelah bicara, ia lupa
akan ini dan serentak pengaruh racun membuat ia kesakitan.
“Tapi.... tapi....” Bok
Liong kebingungan, sebagian karena kata-kata itu, sebagian pula karena melihat
keadaan suhunya.
“Heh....” Gan-lopek menghela
napas. “Kau masih penasaran? Lin.... Lin.... jawab lagi...., apakah.... apakah
kau.... suka menjadi.... isteri muridku ini....?” Gan-lopek tak dapat bicara
dengan baik lagi, sudah tersendat-sendat dan sukar.
Bukan main kagetnya hati Lin Lin
mendengar pertanyaan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek ini akan
bertanya tentang perjodohan. Tentu Bok Liong sudah bercerita kepada gurunya
tentang penolakannya. Sebetulnya ia merasa tidak tega terhadap Gan-lopek yang
sudah mendekati kematiannya ini, tidak tega mengecewakan hatinya. Akan tetapi,
tidak mungkin ia dapat berbohong dalam menjawab tentang perjodohan, apalagi Bok
Liong sendiri berada di situ. Pemuda itu menundukkan mukanya yang pucat seperti
orang terdakwa menanti dijatuhkannya keputusan hukuman. Ia harus berterus
terang sehingga urusan yang tidak menyenangkan ini segera selesai.
“Tidak, Empek Gan, aku tidak
suka menjadi isterinya karena kuanggap Liong-twako seperti kakakku sendiri.”
Bok Liong tidak heran mendengar
ini, akan tetapi sepasang mata Gan-lopek yang tadinya sudah meram itu mendadak
terbuka lagi dan memandang dengan melotot lebar. “Apa....? Kau.... kau tidak
mau....? Kau nakal.... sebelum aku mati.... hayo bilang laki-laki mana yang
kauharapkan menjadi suamimu....?”
Sambil menundukkan mukanya Lin
Lin menjawab, perlahan akan tetapi cukup jelas untuk Gan-lopek, bahkan
merupakan halilintar menyambar ke dalam telinga Bok Liong, “Suling Emas....!”
“Suhu.... Suhu....!” Bok Liong
tiba-tiba memeluk gurunya yang sudah putus napasnya dengan mata masih
terbelalak lebar. Lin Lin menahan isaknya, hatinya terharu dan penuh iba. Akan
tetapi apakah yang dapat ia lakukan?
“Liong-twako, dia sudah
meninggal, biar kusuruh atur pemakamannya....” katanya perlahan.
Akan tetapi Bok Liong
menggeleng-geleng kepala, membungkuk dan memondong jenazah gurunya, bangkit
berdiri, memandang sejenak kepada Lin Lin dengan air mata bercucuran, kemudian
ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Gadis itu pun memandang dengan air
mata berlinang akan tetapi ia menguatkan hati dan tidak menahan karena maklum
bahwa inilah yang terbaik. Ia merasa kasihan sekali kepada Bok Liong dan
berjanji dalam hatinya bahwa selamanya ia akan menganggap Bok Liong sebagai
kakaknya sendiri. Ia hanya mengharapkan mudah-mudahan kelak akan tiba saat dan
kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Bok Liong terhadap dirinya.
Sementara itu pertempuran sudah
selesai. Sebagian besar pasukan istana menyerah dan takluk, sebagian pula
melarikan diri. Lin Lin segera mengumpulkan pasukannya, kemudian
memerintahkan kepada Pek-bin-ciangkun untuk melakukan penyerbuan ke istana.
“Kalau Paman tiriku mau menyerah
dengan baik-baik, jangan ganggu dia. Aku akan memberi kesempatan kepadanya
untuk memilih, pergi dari Khitan atau menjadi seorang tahanan selamanya dengan
perlakuan baik. Akan tetapi kalau dia melawan, kita gempur!”
Dengan sorak gemuruh pasukan
pendukung Lin Lin berangkat menuju istana dan di sepanjang jalan, pasukan ini
bertambah besar jumlahnya karena pasukan lain yang mendengar tentang
pemberontakan ini dan tentang tewasnya Hek-giam-lo yang ternyata adalah
pengkhianat Bayisan, ikut bergabung. Apalagi pasukan di bawah perwira-perwira
tua yang mengenal Bayisan, tentu saja bersimpati kepada Puteri Yalina, anak
dari Puteri Tayami yang mereka kagumi.
Tidak ada perlawanan berarti di
sepanjang jalan. Baru setelah pasukan tiba di depan istana, dari halaman istana
para pasukan pengawal mengadakan perlawanan. Segera terjadi pertempuran hebat, namun
tidak lama pula jalannya pertempuran karena hanya beberapa orang saja fihak
musuh yang melakukan perlawanan sungguh-sungguh, yaitu mereka yang masin
terhitung keluarga raja sendiri. Adapun para perwira lain juga hanya setengah
hati saja melakukan perlawanan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa
menyeramkan dan barisan depan menjadi kacau. Barisan tengah mendesak ke
belakang dan kelihatan beberapa orang perajurit dengan muka pucat melarikan
diri. “Ada setan....!” terdengar teriakan. “Iblis sendiri membantu sri baginda,
kita celaka!” disusul teriakan lain.
Lin Lin kaget sekali. Selagi ia
hendak berlari ke depan, tiba-tiba ia terhenti dan terbelalak memandang ke
depan, Kayabu datang sambil memondong tubuh ayahnya. Pek-bin-ciangkun telah
terluka hebat sekali. Dari mata, hidung, mulut, telinga keluar darah segar!
“Ahhh, siapa melukainya?” teriak
Lin Lin terkejut.
“Tuan Puteri, kita terjebak!”
kata Kayabu gelisah. “Sri baginda mendatangkan bala bantuan dua orang iblis
yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dari jauh mereka memukul-mukul dan
barisan kita kocar-kacir. Ayah sendiri terkena pukulan jarak jauh dan beginilah
akibatnya.”
Dengan pedang di tangan Lin Lin
berseru keras dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap karena secepat kilat ia
sudah berlari ke depan. Ia melihat barisannya sudah mundur ketakutan sehingga
halaman istana itu kosong kembali, kecuali barisan pengawal yang berjaga di
kiri, sedangkan di tengah terbuka tidak terjaga. Ketika Lin Lin berlari dekat,
ia melihat bahwa di bagian tengah ini berdiri dua orang kakek. Dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mengenal mereka. Bukan lain mereka ini
adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek sakti yang belum
lama ini juga telah mendatangkan geger di puncak Thai-san!
Lin Lin adalah seorang gadis
yang tidak mengenal takut. Ia tahu betul bahwa dua orang kakek itu adalah
orang-orang sakti yang sukar dikalahkan. Di puncak Thai-san, hanya setelah Bu
Kek Siansu muncul saja dua orang kakek ini dapat diusir. Akan tetapi, mengingat
betapa dua orang kakek ini hampir saja menewaskan Suling Emas, ia menjadi marah
dan memandang penuh kebencian.
“Kailan iblis tua bangka!”
bentaknya sambil menudingkan pedang. “Mau apa kalian muncul di Khitan? Apakah
kau sudah menjadi kaki tangan paman tiriku si pengkhianat?”
Lam-kek Sian-ong si muka merah
tertawa. “Ha-ha-ha, kita bertemu lagi dengan si gadis liar yang berilmu aneh,
Pek-bin Twako (Kakak Muka Putih)!”
“Hemmm, menyebalkan sekali,
Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah), bereskan saja bocah itu!”
“Ha-ha-hah, jangan, Twako.
Sayang! Lihat, alangkah cantik dan agungnya. Siapa kira, dia berdarah Raja
Khitan! Kalau kita menjadi sepasang raja di sini, dan dia menjadi pelayan kita,
bukankah hebat?”
Lin Lin tak dapat menahan
kemarahannya lagi. “Kalian ini dua iblis tua bangka bermulut kotor, lekas
pergi dari sini sebelum pedangku bicara dan sebelum kukerahkan barisanku untuk
membasmi kalian!”
Akan tetapi baru saja Lin Lin
berhenti bicara, dari dalam istana berlari-lari keluar pengawal raja sendiri
sambil membawa senjata dan langsung mereka ini menerjang dua orang kakek itu
sambil berteriak-teriak. “Pembunuh raja! Kepung...., tangkap....!” Dua orang
kakek itu saling pandang, lalu tertawa dan sekali mereka menggerakkan kedua
lengan, para pengawal raja itu terlempar dan roboh tak dapat bangun lagi.
Bagaikan nyamuk menyerbu api, para pengawal itu roboh bergelimpangan dan
tumpang-tindih. Dua orang kakek itu dengan sikap acuh tak acuh merobohkan
mereka dan dengan kaki, mereka itu menendangi mayat-mayat itu ke arah halaman
depan.
Lin Lin terkejut dan heran.
Tadinya ia menyangka bahwa paman tirinya mempergunaken dua orang kakek sakti
ini. Siapa kira, paman tirinya malah agaknya sudah terbunuh oleh mereka. Jelas
sekarang bahwa mereka ini hendak merampas kedudukan raja di Khitan!
Kemarahannya meluap di hati Lin Lin dan dengan gerakan cepat ia nekat menyerbu
ke depan sambil berteriak, “Iblis-iblis busuk, mampuslah!”
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
yang berpusing dengan jurus Soan-hong-ci-thian itu tahu-tahu tertahan oleh
dorongan tenaga sakti dari Lam-kek Sian-ong yang menggerakkan kedua tangannya
ke depan dada, kemudian kakek itu membuat gerakan memutar dengan kedua
lengannya dan tubuh Lin Lin ikut pula terputar-putar seperti kitiran angin! Gadis
yang kurang pengalaman itu ternyata terlambat melihat sehingga ia membiarkan
dirinya “terlibat” hawa pukulan yang luar biasa itu.
“Ang-bin-siauwte, mengapa
main-main dengan dia? Habiskan saja agar lekas beres!” Si Muka Putih mencela.
“Ha-ha-ha, tidak, Twako. Aku
sayang kepadanya!”
“Apa....? Setua kau ini
masih....”
“Ah, tidak, Twako. Jangan salah
sangka. Aku hanya suka melihat dia ini, patut menjadi muridku, murid kita.
Begitu garang, begitu galak dan tabah!”
“Kau takkan menurunkan kepandaian
kepada orang lain. Biar kuhabiskan dia!” bentak si muka putih dan ketika
tangannya bergerak, sinar putih seperti perak yang berhawa dingin sekali
menyambar ke arah tubuh Lin Lin yang masih berputar-putar di bawah pengaruh
kekuatan tangan si muka merah.
“Dua iblis tua bangka mengeroyok
gadis remaja, sungguh tak tahu malu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Lin-moi, jangan takut, aku
datang membantumu!” terdengar suara lain.
Kiranya yang muncul adalah empat
orang, yaitu Kauw Bian Cinjin, Suling Emas, Bu Sin, dan Liu Hwee! Begitu tiba,
Suling Emas cepat menyambar dengan sulingnya menangkis sinar perak yang
mengancam nyawa Lin Lin. Terdengar suara keras dan sinar perak itu runtuh ke
bawah, ternyata itu adalah sebutir batu putih yang dingin. Sementara itu, Kauw
Bian Cinjin sudah memutar pecutnya yang menyambar sambil mengeluarkan suara
keras mengancam kepala Lam-kek Sian-ong!
“Bagus, bagus! Makin banyak
lawan tangguh, makin menggembirakan!” Lam-kek Sian-ong si muka merah
tertawa-tawa dan terpaksa ia melepaskan Lin Lin yang cepat menggerakkan Pedang
Besi Kuning membantu Kauw Bian Cinjin mendesak kakek sakti itu. Liu Hwee juga
tidak mau tinggal diam. Cepat ia memutar senjatanya berupa joan-pian berujung
bola baja, mengeroyok Lam-kek Sian-ong setelah memesan kepada tunangannya Bu
Sin, agar tidak ikut mengeroyok kakek sakti itu karena terlampau berbahaya
mengingat bahwa tingkat kepandaian Bu Sin masih belum tinggi benar.
Sementara itu, Suling Emas sudah
menghantam melawan kakek muka putih, Pak-kek Sian-ong. Pertempuran yang sunyi,
tidak bersuara, namun hebat bukan main. Kakek muka putih ini telah memegang
sebatang pedang yang putih pula, berkilauan dan mengeluarkan hawa dingin. Namun
suling di tangan Suling Emas bergulung-gulung seperti naga kuning emas bermain
di angkasa, sedikit pun tidak mau mengalah terhadap gulungan sinar putih.
Memang Suling Emas mendongkol sekali kepada kedua orang kakek ini, teringat
ketika ia dipermainkan, dikeroyok dua dan hampir saja ia binasa. Kini terbuka
kesempatan baginya untuk mengadu satu lawan satu, maka ia mengerahkan segenap
tenaganya dan mainkan ilmu silatnya yang paling aneh dan hebat, yaitu gabungan
dari tiga macam ilmu silat sakti, yaitu Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan
Dewa), Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dua macam ilmu yang ia
warisi dari gurunya, yaitu Kim-mo Taisu, dan digabung dengan ilmu sakti yang
ia warisi dari Bu Kek Siansu, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Huruf Angin
dan Awan). Dengan permainan gabungan yang luar biasa ini, biarpun Pak-kek
Sian-su merupakan tokoh yang sukar dicari bandingannya pada jaman itu, namun
ia menjadi sibuk juga dan akhirnya hanya dapat mempertahankan diri dengan
jurus-jurus sakti yang dikerahkan untuk menyelamatkan diri saja.
Kakek muka merah, Lam-kek
Sian-ong menghadapi pengeroyokan yang berat, yaitu Lin Lin, Liu Hwee, dan Kauw
Bian Cinjin. Dua orang tokoh Beng-kauw ini memang memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi, apalagi Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi tingkat mereka berdua
sesungguhnya masih kalah kalau dibandingkan dengan Lam-kek San-ong yang
memang betul-betul sakti itu, dengan dasar tenaga Yang-kang, sehingga setiap
pukulannya membawa hawa yang amat panas. Namun, kedua orang tokoh ini menjadi
kaget dan terheran-heran bahwa masuknya Lin Lin yang mainkan pedang Besi Kuning
itu seakan-akan menjadi pelengkap daripada kekurangan atau kekalahan mereka
terhadap Lam-kek Sian-ong. Mereka terkejut mengenal dasar gerakan Lin Lin yang
sama dengan ilmu silat Beng-kauw, bahkan gerakan pedang itu demikian hebatnya
sehingga mereka berdua, biarpun bersenjatkan dua macam senjata, seakan-akan
terseret dan terpengaruh oleh gerakan pedang Lin Lin dan membuat mereka
terpaksa bergerak menurut gulungan sinar pedang itu yang seolah-olah
“memimpin” mereka. Tentu saja mereka menjadi heran dan juga girang, akan tetapi
Lam-kek Sian-ong yang menjadi kaget setengah mati! Seperti halnya Pak-kek
Sian-ong yang terdesek oleh Suling Emas, ia sendiri pun terdesak oleh
pengeroyokan tiga orang itu dan hanya mampu menangkis saja!
Lewat seratus jurus, dua orang
kakek sakti itu maklum bahwa tiada harapan lagi bagi mereka, apalagi kalau
diingat bahwa di situ terdapat ratusan orang perajurit yang sudah siap untuk
melakukan pengeroyokan begitu menerima komando. Lin Lin memang sengaja tidak
mau mengerahkan pasukan karena maklum bahwa biarpun hal ini akan mendatangkan
kemenangan, namun perajurit-perajurit itu tentu banyak yang akan menjadi
korban.
Tiba-tiba kedua orang kakek itu
dengan berbareng mengeluarkan bentakan keras sekali, bentakan yang dilakukan
dengan pengerahan tenaga khi-kang. Beberapa orang perajurit terjungkal, bahkan
yang terlalu dekat roboh tak dapat bangkit lagi! Suling Emas mengeluarkan
bunyi melengking tinggi dan memperhebat desakannya, akan tetapi Kauw Bian
Cinjin tampak terhuyung mundur karena Lam-kek Sian-ong sengaja melakukan
pukulan hebat yang khusus ia tujukan kepada kakek Beng-kauw ini. Melihat Kauw
Bian Cinjin terhuyung, Lin Lin menerjang dengan jurus ampuh dari ilmu
Cap-sha-sin-kun, pedangnya tertangkis pedang merah di tangan Lam-kek Sian-ong,
namun masih dapat menyerempet pundak kakek itu.
“Twako, mari pergi....!” Lam-kek
Sin-ong berseru, tubuhnya melesat den sekaligus ia menerjang Suling Emas yang
mendesak saudaranya. Tentu saja Suling Emas maklum betapa bahayanya dikeroyok
dua orang kakek ini. Baru seorang Pak-kek Sian-ong saja ia hanya mampu mendesak
belum mampu mengalahkan, apalagi kalau Lam-kek Sian-ong datang mengeroyok.
Terpaksa ia melompat mundur sambil memutar sulingnya. Kesempaten baik ini
dipergunakan oleh kedua orang kakek sakti untuk berkelebat pergi dari tempat
itu.
Dalam kemarahannya, Lin Lin yang
tidak kenal takut itu meloncat pula melakukan pengejaran. Akan tetapi
tiba-tiba ia berhenti, tangannya ada yang memegang. Ketika ia cepat menoleh,
kiranya yang memegang pergelangan tangganya adalah Suling Emas!
“Lin-moi, jangan mengejar
mereka, berbahaya sekali. Biarlah aku membentumu....”
Lin Lin mengibaskan tangannya
terlepas dari pegangan Suling Emas. Matanya terbelalak penuh kemarahan karena
munculnya pendekar ini mengingatkan ia akan segala pengalamannya yang pahit dan
mematahkan hatinya, terutama sekali ketika Suling Emas membela Suma Ceng. Tak
tertahankan lagi tangan kirinya bergerak menampar pipi kanan Suling Emas yang
tidak mengelak dan hanya memandang dengan mata sedih. “Plakkk!” Tangan kiri
Lin Lin meninggalkan tapak tangan kemerahan pada pipi Suling Emas.
“Lin Lin! Gila engkau?” Bu Sin
membentak marah sambil lari menghampiri.
“Pergi....! Pergi....!” Lin Lin
berteriak-teriak sambil melarikan diri air matanya mulai bercucuran membasahi
pipinya.
“Lin Lin, tunggu....!” Bu Sin
mengejar, sedangkan Suling Emas setelah berdiri dengan muka pucat dan seperti
kehilangan semangat, akhirnya ikut pula mengejar di belakang Bu Sin.
Lin Lin berlari secepatnya ke
arah utara, tidak peduli betapa daerah ini makin sukar dilalui, merupakan
padang rumput yang makin lama makin jarang pohonnya, hanya rumput-rumput belaka
dan di sana sini mulai tertutup pasir. Karena tempat ini terbuka, mulailah
terasa angin bertiup keras dari arah depan, menyesakkan napas. Namun Lin Lin
tidak merasakan ini semua dan berlari terus mendaki bagian yang menanjak. Ah,
mengapa dia datang? Mengapa aku mesti berjumpa kembali dengan dia? Aku benci dia!
Ah, aku benci dia....! Keluhnya sambil menangis, karena betapa ia mengeraskan
hati memaksa diri mengaku benci, perasaannya tahu bahwa ia membohongi dirinya
sendiri. Ia mencinta Suling Emas, demikian mencintanya sehingga ia menjadi
benci karena Suling Emas tidak membalas cinta kasihnya!
“Lin-moi, tunggu!” Kembali Bu
Sin berteriak keras dengan napas terengah-engah karena ia harus mengerahkan
seluruh kepandaiannya untuk dapat mengejar Lin Lin yang lari seperti terbang,
apalagi angin mulai mengamuk di padang rumput itu, membawa terbang
butiran-butiran pasir, “Lin-moi, mari kita bicara! Inilah Kakak Bu Song yang
kita cari-cari! Berhentilah dulu!”
Mendengar ini, makin deras air
mata Lin Lin mengucur di sepanjang pipinya, dan makin cepat pula kedua kakinya
berlari menjauhi dua orang itu. Bukan kakakku, pikirnya sedih, bukan karena
aku adiknya. Apa artinya adik angkat, lain ibu lain ayah? Aku orang lain. Hanya
karena dia.... dia mencintai wanita yang sudah punya suami dan anak-anak! Ah,
alangkah benciku!
Sementara itu, Suling Emas sudah
memegang lengan Bu Sin dari belakang. “Sin-te (Adik Sin), kau kembalilah.
Biarkan aku membereskan urusan ini. Percayalah kepadaku!”
Karena memang merasa tidak
sanggup menyusul Lin Lin dan juga merasa ragu apakah ia akan dapat mengatasi
watak adik angkatnya yang kukoai (luar biasa) itu, Bu Sin berhenti dan tidak
mengejar lagi. Suling Emas lalu mengerahkan kepandaiannya dan bagaikan terbang
ia lari mengejar, mendaki jalan tanjakan. Angin makin hebat bertiup, merontokkan
daun-daun beberapa batang pohon yang sudah setengah gundul. Rumput tebal yang
tinggi bergerak-gerak menyabet kaki seperti lecutan cambuk.
Akhirnya Suling Emas dapat
menyusul Lin Lin di puncak bukit itu, puncak yang gundul tidak ada pohonnya
sama sekali sehingga angin bertiup kencang membuat mereka sukar bernapas,
membuat pakaian mereka berkibar-kibar.
“Lin Lin, untuk terakhir kali,
mari kita bicara. Kalau kemudian kau masih penasaran kau boleh bunuh aku di
sini juga!” Suling Emas menangkap lengan Lin Lin dan tidak mau melepaskannya
lagi.
Gadis itu membalikkan tubuh,
tangannya meraba gagang pedang, mukanya penuh air mata. Sejenak mereka bertemu
pandang, kemudian dengan terisak Lin Lin merangkul pinggang dan membenamkan
mukanya di dada Suling Emas! Pendekar ini menahan napas, berdongak sambil
meramkan mata. Tak terasa lagi pendekar sakti yang berhati baja ini menitikkan
dua butir air mata.
Baju di bagian dada Suling Emas
sudah basah oleh air mata Lin Lin dan rambut gadis itu tertiup angin
melambai-lambai dan menyapu-nyapu muka pendekar itu. Suling Emas memeluk
pundaknya dan membelai rambutnya.
“Lin Lin, dengarlah baik-baik.
Tiada guna kita lanjutkan semua ini. Kau tahu bahwa tidak mungkin kita
berjodoh....”
Lin Lin mengangkat mukanya yang
basah. “Kenapa tidak mungkin....? Kita.... kita saling mencinta. Katakanlah
bahwa kau tidak mencintaku! Katakanlah! Kalau kau tidak mencintaiku, baru aku
menerima nasib, akan tahu diri....!”
Suling Emas menggeleng-geleng
kepalanya. Tentu saja mudah bagi mulutnya untuk mengatakan hal ini, akan
tetapi kalau ia katakan bahwa ia tidak mencinta Lin Lin maka itu berarti bahwa
ia membohong, membohongi Lin Lin dan membohongi diri sendiri! “Lin-moi, kau
tahu bahwa aku pun mencintamu, adikku. Aku mencintaimu walaupun cinta kasihku
ini tidak ada harganya. Sudah terlampau banyak aku menimbulkah peristiwa duka
oleh cintaku. Cinta kasihku bernoda darah, Lin-moi. Aku tidak mau menyeretmu
ke dalam kutukan ini, karena.... karena besarnya cintaku kepadamu. Aku tahu
bahwa kau tidak peduli tentang usia, dan aku tahu bahwa cintamu kepadaku murni.
Namun.... betapapun besar aku mencintamu, aku tetap tak dapat menerimanya,
adikku. Dunia kong-ouw memusuhiku, hidupku selalu terancam bahaya,
dan mereka semua sudah tahu bahwa kau adalah Kam Lin, adik angkatku. Mana
mungkin kakak mengawini adik angkat sendiri? Alangkah akan hinanya nama kita,
nama keluarga kita. Kau akan sengsara lahir batin kalau menjadi jodohku.
Selain itu, kau pun harus ingat. Kau seorang puteri mahkota, bahkan kau calon
ratu Khitan. Kau harus ingat akan tugas suci ini, ingat akan bangsamu. Jauh
lebih mulia bagi seorang manusia untuk berbakti kepada bangsanya daripada
menuruti nafsu hatinya.”
Biarpun angin menderu keras,
namun karena Suling Emas mempergunakan khikang dalam suaranya, Lin Lin dapat
mendengar jelas. Ia makin terharu. Semua kata-kata itu menikam ulu hatinya dan
mau tak mau ia harus mengakui kebenarannya. Matanya serasa terbuka oleh
kata-kata itu, mata hati yang selama ini seperti buta oleh cinta. Akan tetapi,
teringat akan Suma Ceng ia masih meragu.
“Apakah.... apakah semua itu
bukan hanya kaugunakan untuk menghiburku? Apakah tidak tepat kalau kau.... tak
dapat menerima persembahan hatiku karena kau sudah mencinta orang lain,
mencintai Suma Ceng?”
Suling Emas memegang dagu gadis
itu, diangkatnya mukanya agar menentang mukanya sendiri. “Kaupandanglah mataku,
Lin-moi. Adakah mataku membayangkan kebohongan? Memang, dahulu aku pernah
mencintai Suma Ceng, akan tetapi cinta itu tercabut akarnya meninggalkan luka
di hati setelah ia menikah dengan orang lain. Banyak sudah hatiku terluka
karena cinta gagal, dan aku tidak mau mengorbankan dirimu hanya untuk mengobati
hatiku. Aku.... aku amat mencintamu, adikku, karena itulah, aku rela berkorban
patah hati sekali lagi dan kali ini yang paling parah. Dengarlah, aku
bersumpah takkan menikah dengan gadis lain, aku ingin mengikuti jejak mendiang
suhu Kim-mo Taisu dan jejak locianpwe Bu Kek Siansu. Aku hanya memujikan semoga
engkau mendapatkan seorang jodoh yang baik, adikku.”
“Ah.... Suling Emas.... aku
mencintamu aku tidak akan menikah dengan orang lain aku bersump....”
Tiba-tiba Suling Emas menutup
bibir yang akan bersumpah itu dengan tangannya, kemudian ia tersenyum dan
mencium dahi Lin Lin dengan mesra dan penuh kasih sayang. “Tak perlu
bersumpah, adikku. Dan aku percaya akan cintamu seperti engkau percaya pula
akan cintaku. Biarlah perasaan kita ini menjadi rahasia kita dan membahagiakan
kita bahwa betapapun juga, kita saling mencinta. Nah, keringkanlah air matamu,
adikku, dan bersiaplah engkau memimpin bangsamu. Lihat, mereka datang
menjemputmu.”
Sekali lagi Suling Emas mencium
gadis itu lalu melepaskan pelukannya. Lin Lin terisak dan menengok. Betul saja,
dari bawah tampak rombongan pasukan Khitan yang dipimpin oleh Kayabu. Mereka
itu berkuda, kelihatan keren dan garang. Tampak pula Kauw Bian Cinjin, Liu Hwee
dan Bu Sin di antara rombongan ini. Lin Lin merasa bangga hatinya dan
diam-diam ia menghapus air matanya, lalu bergandengan tangan dengan Suling
Emas menuruni puncak bukit. Ketika mereka saling lirik, keduanya tersenyum
dan di dalam kerling mata mereka terbayang haru dan bahagia.
Kayabu segera meloncat turun
dari kudanya, diikuti semua pasukan dan mereka memberi hormat dengan
membungkuk di depan Lin Lin. “Hamba melapor bahwa pasukan kita berhasil menang
dan menduduki Istana. Kini para panglima menanti Paduka untuk menerima perintah
selanjutnya.”
Lin Lin mengangguk dengan sikap
agung, lalu meloncat ke atas kuda yang sengaja dibawa untuknya. Suling Emas
juga mendapatkan seekor kuda. Beramai-ramai mereka menuruni bukit itu. Lin Lin
di depan bersama Suling Emas, Bu Sin dan Liu Hwee. Kauw Bian Cinjin agak di
belakang. Di tengah perjalanan, Lin Lin bercakap-cakap dengan Bu Sin tentang
Sian Eng. Ternyata, Sian Eng menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tak seorang
pun tahu ke mana perginya gadis itu yang sudah berubah menjadi seorang yang
aneh.
Pengangkatan Puteri Yalina
sebagai Ratu Khitan dilakukan dengan suasana meriah sekali. Suling Emas, Bu
Sin, Liu Hwee, dan Kam Bian Cinjin merupakan tamu-tamu agung yang menghadiri
perayaan ini. Ratu Yalina mengangkat Kayabu sebagai panglima tertinggi,
menggantikan kedudukan Pek-bin-ciangkun yang tewas dalam pertempuran. Atas
petunjuk Kayabu, Yalina mengangkat pula banyak panglima-panglima Khitan, diberi
kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Sekali lagi, Khitan menjadi
bangsa yang kuat di bawah pimpinan seorang ratu yang bijaksana dan mencinta
bangsanya, terlepas dari kekejaman dan kelaliman seorang raja murka seperti
Kubakan yang ternyata tewas oleh Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Setelah upacara pengangkatan
selesai, para tamu agung minta diri. Kauw Bian Cinjin mendapatkan kembali
tongkat Beng-kauw. Tentang isi tongkat, yaitu rahasia peninggalan Pat-jiu
Sin-ong, tidak disebut-sebut. Rahasia ini hanya diketahui oleh Lin Lin dan
Suling Emas belaka, karena catatan-catatan itu sudah terlanjur dimusnahkan Lin
Lin.
Dengan menahan keharuan hatinya,
Lin Lin mengantar keberangkatan para tamu agung itu. Ketika pandang matanya
bertemu dengan pandang mata Suling Emas, tak terasa lagi bulu matanya menjadi
basah oleh air mata. Akan tetapi bibirnya tersenyum membayangkan kebahagiaan
akan rahasia yang tersimpan di dalam hatinya dan hati Suling Emas, bahwa mereka
saling mencinta dengan kasih sayang yang murni, dengan pengorbanan.
Lin Lin yang kini menjadi Ratu
Yalina dengan pakaian indah dan Pedang Besi Kuning menghias pinggangnya,
berdiri mengantar tamunya sampai derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi
setelah lama bayangan mereka tak tampak. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan
dengan bangga melihat pasukannya berdiri siap di depannya, siap menanti setiap
perintahnya. Ia berjanji akan memimpin bangsanya ke arah kemuliaan dan
kebesaran.
Demikianlah, kisah CINTA BERNODA
DARAH ini berakhir sampai di sini dengan catatan bahwa di antara tiga saudara
yang turun dari Cin-ling-san, hanya Kam Bu Sin seoranglah yang berhasil dalam
perjodohannya. Beberapa bulan kemudian, Kam Bu Sin melangsungkan pernikahannya
dengan Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw, dilakukan dengan upacara yang amat
meriah. Hanya sayangnya bagi Bu Sin, di antara saudaranya, hanya Suling Emas
saja yang menghadiri perayaan itu. Sian Eng tetap tak pernah muncul, sedangkan
Lin Lin yang sibuk dengan tugasnya yang baru, hanya mengirim barang-barang
berharga sebagai sumbangan.
Setelah Bu Sin menikah, Suling
Emas juga melenyapkan diri dari dunia ramai. Hanya kadang-kadang saja ia muncul
di Nan-cao, akan tetapi sebentar saja lalu pergi lagi tanpa ada yang tahu ke
mana perginya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Apakah hanya berakhir sampai di
sini saja riwayat tokoh-tokoh seperti Lin Lin, Suling Emas, dan Sian Eng?
Berakhir dengan menyedihkan karena mereka gagal dalam asmara dan menderita?
Pembaca budiman, selama manusia ini masih berada di atas tanah, belum masuk ke
dalam tanah, takkan pernah peristiwa berhenti mengejarnya. Cerita mengenai
diri manusia, selama manusia itu masih hidup, takkan pernah habis dan barulah
riwayat manusia benar-benar tamat kalau dia sudah masuk ke dalam tanah. Oleh
karena itu, riwayat tentang diri Suling Emas, tentang diri Lin Lin, tentang
Sian Eng dan juga Lie Bok Liong, sekali waktu akan dapat anda nikmati pula
apabila pengarangnya telah siap dengan rangkaian cerita lain yang merupakan
sambungan daripada cerita CINTA BERNODA DARAH. Tunggulah saatnya, dan anda
pasti akan berjumpa pula dengen mereka dan.... dalam keadaan yang lebih
menyenangkan!
Mengapa Suling Emas menjadi
nekat merusak kebahagiaannya sendiri, padahal kebahagiaan itu sudah berada di
depan mata, sudah menggapainya dalam bentuk cinta kasih timbal balik dengan Lin
Lin? Mengapa ia menolak uluran tangan kebahagiaan cinta kasih? Hal ini akan
terjawab apabila anda membaca cerita SULING EMAS, di mana anda akan
menjumpai Suling Emas atau Kam Bu Song semenjak kecilnya, menjumpai pula
pengalaman-pengalaman hebat dengan asmara berliku-liku dari ibunya, yaitu
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang cantik jelita, gagah perkasa dan genit. Anda
akan bertemu dengan tokoh-tokoh hebat seperti guru Suling Emas yang berjuluk
Kim-mo Taisu, bertemu dengan ayah Suling Emas yang tampan perkasa, Jenderal
Kam Si Ek yang menjadi perebutan antara gadis-gadis cantik dengan tokoh-tokoh
kang-ouw yang terlibat urusan ruwet dengan Tok-siauw-kui sehingga terjadi
permusuhan yang akhirnya menimpa diri Suling Emas. Dalam cerita SULING EMAS ini
akan diceritakan pula tentang masa mudanya Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong,
Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, Siang-mou Sin-ni, dan Cui-beng-kui,
pendeknya keenam Thian-te Liok-koai akan muncul di masa mudanya!
Akhirnya, anda akan menikmati
kisah asmara antara Suling Emas dengan cinta pertamanya, kemudian dengan
Suma-Ceng. Tak ketinggalan kisah menarik dari ibu Lin Lin, yaitu Puteri Tayami.
Demikianlah, semoga cerita CINTA BERNODA DARAH berhasil dalam menghidangkan cerita hiburan sehat bagi para pembaca budiman. Sampai
jumpa di lain cerita!
Solo, awal Oktober 1968
No comments:
Post a Comment