PENDEKAR SUPER SAKTI
Cipt: Kho Ping
Ho
Serial Bu Kek Sian Su (7)
Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu
mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot
saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung
ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar
riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh
ayahnya. Dari luar jendela ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi
tawa itu karena amat bising bercampur suara musik, akan tetapi menyaksikan
sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu, anak ini menjadi marah dan
sedih. Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya
bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis
berlebih-lebihan, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua
tangan sendiri melayani seorang pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan
arak sambil membungkuk-bungkuk.
Ayahnya yang dipanggil ke
kanan kiri oleh para pembesar, menjadi gugup dan kakinya tersandung kaki meja,
guci arak yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sedikit arak menyiram
celana dan sepatu seorang pembesar lain yang bermuka kuning. Anak itu dari luar
jendela melihat betapa pembesar ini melototkan mata, mulutnya membentak-bentak
dan tangannya menuding-nuding ke arah sepatu dan celananya. Ayahnya cepat
berlutut dan menggunakan ujung bajunya menyusuti sepatu dan celana itu sambil
mengangguk-angguk dan bersoja seperti seekor ayam makan padi! Tak terasa lagi
air mata mengalir keluar dari sepasang mata anak laki-laki itu, membasahi
kedua pipinya dan ia mengepalkan kedua tangannya.
Ia marah dan sedih, dan
terutama sekali, ia malu! Ia malu sekali menyaksikan sikap ayahnya. Mengapa
ayahnya sampai begitu merendahkan diri? Bukankah ayahnya terkenal sebagai
Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya dan disegani semua orang, bukan
hanya karena kaya rayanya, melainkan juga karena ia terkenal pula dengan nama
Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie). Ayahnya hafal akan isi kitab-kitab, bahkan
dia sendiri telah dididik oleh ayahnya itu menghafal dan menelaah isi
kitab-kitab kebudayaan, dan kitab-kitab filsafat. Semenjak berusia lima tahun,
dia telah belajar membaca, kemudian membaca kitab-kitab kuno dan oleh ayahnya
diharuskan mempelajari isi kitab-kitab itu yang menuntun orang mempelajari
hidup dan kebudayaan sehingga dapat menjadi seorang manusia yang berguna dan
baik. Akan tetapi, mengapa setelah kini menghadapi pembesar-pembesar Mancu,
ayahnya menjadi seorang penjilat yang begitu rendah?
Anak itu bernama Han,
lengkapnya Sie Han dan panggilannya sehari-hari adalah Han Han. Dia putera
bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An yang disebut Hartawan Sie atau
Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang anak
perempuan, kini telah berusia tujuh belas tahun, bernama Sie Leng. Han Han
adalah anak ke dua.
Pada saat itu, Han Han yang
mengintai dari balik kaca jendela, melihat ayahnya sudah bangkit kembali,
agaknya mendapat ampun dari pembesar muka kuning, dan kini menghampiri pembesar
brewok yang sudah setengah mabuk dan memanggilnya. Pembesar brewok itu
berkata-kata kepada ayahnya dan ia melihat betapa ayahnya menjadi pucat sekali
dan menggeleng-gelengkan kepala. Akan tetapi pembesar brewokan itu menggerakkan
tangan kiri dan.... ayahnya terpelanting roboh. Han Han hampir menjerit.
Ayahnya telah ditampar oleh pembesar brewok itu! Dan semua pelayan yang
membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka pucat dan tubuh
menggigil. Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan riuh-rendahlah
mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak ayahnya melakukan
sesuatu.
Si Pembesar Muka Kuning
sekarang menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut pedangnya.
Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan pedangnya sehingga
ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan gagang bergoyang-goyang
mengerikan.
Han Han membelalakkan matanya
dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya, kini ia menjenguk dari
pintu belakang, terus masuk dan akhirnya ia berhasil masuk tanpa diketahui,
berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di balik tirai kayu, di mana ia dapat
mengintai dan juga dapat mendengarkan percakapan mereka.
“Sie Bun An!” terdengar
pembesar brewok membentak sambil menundingkan telunjuknya kepada sastrawan itu
yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat, “Apakah engkau masih
berani membantah dan tidak memenuhi perintah kami?” Suaranya terdengar lucu
karena kaku dan pelo ketika bicara dalam bahasa Han.
“Kaukira kami ini orang-orang
macam apa? Kami bukan serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya
penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur ini?” Si Muka Kuning menunjuk ke arah
para wanita sewaan yang memang disediakan di situ untuk melayani dan menghibur
mereka. “Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami tidak
menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu!”
“Ha-ha-ha! Aku mendengar
Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis!” berkata seorang pembesar lain yang
perutnya gendut tapi kepalanya kecil.
“Suruh mereka melayani kami,
baru kami percaya bahwa engkau benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah
baru, bangsa Manco yang jaya!” kata pula seorang pembesar lain yang kurus
kering.
“Tapi.... tapi....!” Suara
ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan perlahan, kepalanya
digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas. “Hal itu ti.... tidak
mungkin.... ampunkan kami, Taijin....” Melihat ayahnya meratap seperti itu, air
mata Han Han makin deras keluar membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena
kasihan, melainkan terutama sekali karena malu dan kecewa. Ia tahu banyak
keluarga di kota itu yang pergi mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan
bangsa Mancu, mengungsi dan meninggalkan rumah serta hartanya. Akan tetapi
ayahnya tidak mau meninggalkan kota, rupanya sayang kepada hartanya dan
percaya bahwa kalau ia bersikap baik dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia
akan dapat hidup aman di situ.
“Kau membantah? Kalau begitu
kau memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal kepala!” Si Perwira Muka
Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang menancap di atas meja dan
mengangkat pedang itu, siap memenggal kepala Sie Bun An yang masih berlutut.
Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan wanita-wanita sewaan,
menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar tidak menjerit. Han Han dari
balik tirai memandang dengan mata melotot.
“Tahan....!” Terdengar jerit
dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya Sie) berlari dari dalam. “Mohon para
Taijin yang mulia sudi mengampuni suami hamba....! Biarlah hamba melayani
Taijin....”
Tujuh orang perwira Mancu itu
menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka kuning menyeringai dan menyarungkan
kembali pedangnya, kemudian sekali tangan kirinya bergerak, ia telah menyambar
pinggang Nyonya Sie dan dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa.
“Benar cantik....! Masih
cantik, montok dan harum....! Hemmm....!” Perwira muka kuning itu tidak
segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu yang saking kaget, takut dan
malunya hanya terbelalak pucat. Memang Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik.
Biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat
baik itu masih padat, wajahnya yang memang jelita tampak lebih matang
menggairahkan. Para perwira lainnya tertawa bergelak menyaksikan betapa
perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya, seolah-olah di
situ tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan yang melihat betapa
nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu, menggigil dan
menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri yang masih
berlutut, memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak dapat
bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.
“Taijin.... ampun....” Nyonya
Sie megap-megap karena sukar ia bicara dengan bibir diciumi secara kasar
seperti itu. “.... lepaskan.... ohhh, ampun, saya.... adalah wanita
baik-baik....”
Sebagai jawaban, perwira muka
kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus. “Karena wanita baik-baik,
aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak ini untuk menyambut aku,
ha-ha-ha!” Perwira itu menyambar cawan araknya yang masih penuh, lalu memaksa
nyonya itu minum. Nyonya Sie hendak menolak, akan tetapi dipaksa sehingga
sebagian arak memasuki mulut, sebagian tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah
itu membuat pakaiannya yang putih seperti terkena darah.
Han Han menggigil seluruh
tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan air mata bercucuran.
Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada saat itu, ia tertarik
oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri. Gerakannya amat gesit
sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi besar dan perutnya yang seperti
gentong gandum.
“Ha-ha-ha, kalau ibunya matang
dan denok seperti ini, tentti puterinya ranum dan segar. Cocok untukku! Biar
kujemput dia!” Sambil berkata demikian, perwira brewok itu sambil tertawa-tiwa
melangkah masuk melalui pintu dalam.
“Ha-ha-ha, baik sekali! Jemput
dia, jemput dia....!” sorak perwira lain.
“Ohhh, uuuhhhhh....!” Nyonya
Sie meronta, akan tetapi perwira muka kuning mempererat pelukannya dan membungkam
mulutnya dengan ciuman kasar.
Han Han menggigil di
tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik ia melihat
betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis! Alangkah lemahnya ayahnya itu!
Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira brewok atau
menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa untuk membela kebenaran.
Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang kegagahan seorang
eng-hiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga mati sebagai seorang
terhormat daripada hidup sebagai seekor anjing penjilat. Dan ayahnya ternyata
memilih hidup seperti anjing penjilat! Bukankah peribahasa mengatakan bahwa
harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama? Kulit harimau
berharga, nama pun harus berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai
tikus yang tidak ada harganya sama sekali.
Terdengar jerit mengerikan dan
tak lama kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali sambil memondong seorang
gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Gadis yang cantik sekali,
tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam dan kulitnya
putih seperti susu baru diperas. Perwira brewok itu melangkah lebar, kemudian
duduk kembali di tempatnya sambil memangku Sie Leng dan menciumi muka yang
halus putih kemerahan itu dengan mukanya sendiri yang kasar dan penuh cambang
bauk sehingga seakan-akan muka yang halus itu disikat oleh sikat yang kasar
dan kaku. Sie Leng yang hendak menjerit tak dapat mengeluarkan suara karena
mulutnya tertutup oleh Si Perwira Brewok yang lebar.
Tiba-tiba terdengar teriakan
serak dan melompatlah Sie Bun An yang tadinya berlutut. Bangga hati Han Han
melihat betapa ayahnya kini menjadi seekor harimau, meloncat bangun dan sambil
berteriak menerjang maju hendak memukul Si Perwira Brewok. Akan tetapi
kebanggaan hati Han Han berubah menjadi kecemasan ketika Si Brewok itu
menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman tangan kiri yang tepat mengenai
dada ayahnya.
“Dukkk....!” Tubuh Sie Bun An
terlempar ke belakang dan mulutnya muntahkan darah segar. Hartawan ini sejak
kecilnya hanya tekun mempelajari sastra, sama sekali tidak pandai ilmu silat,
maka tentu saja sekali terkena pukulan berat perwira brewok itu, ia terluka
dalam dan muntah darah. Namun, Sie Bun An benar-benar telah menjadi seekor
harimau marah. Kemarahan dan sakit hati membuat ia seperti tidak merasakan nyeri
akibat pukulan itu dan sambil berteriak, ia maju lagi. Karena ketika dia
terlempar, ia jatuh ke dekat tempat duduk perwira muka kuning yang masih
menciumi isterinya dan meremas-remas serta meraba-taba tubuh wanita yang
ketakutan itu, kini Sie Bun An menyerang perwira muka kuning. Akan tetapi,
perwira muka kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk ke depan dan....
“Blesssss....!” pedang itu
menembus perut Sie Bun An sampai ke punggung. Tubuh Sie Bun An menegang kaku,
matanya terbelalak, dan ketika pedang dicabut, ia mendekap perutnya lalu terpelanting
roboh, berkelojotan dan tak bergerak lagi. Lantai di bawahnya merah oleh
genangan darahnya yang masih mengucur keluar dari perut dan punggung.
Han Han hampir pingsan
menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa ibunya dan cicinya menjerit dan
meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira muka kuning sambil
tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun berdiri dan Si Brewok
berkata dengan suara memerintah kepada lima orang perwira lain yang masih
duduk.
“Rumah ini boleh dibersihkan,
suruh anak buah masuk membantu!”
Setelah berkata demikian, Si
Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk ke dalam ruangan belakang, diikuti oleh
Si Muka Kuning yang memondong Nyonya Sie. Dua orang wanita ini menjerit-jerit akan
tetapi segera dibungkam oleh ciuman-ciuman. Adapun lima orang perwira itu
bersorak dan berpestalah mereka. Pesta yang amat liar karena sambil berteriak
memanggil pasukan yang menjaga di luar, mereka ini meraih para wanita sewaan
dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat Sie Bun An masih menggeletak di situ tidak
ada yang berani merawatnya.
Dengan tubuh menggigil saking
marah dan dukanya, Han Han menyelinap ke belakang dan memasuki rumah melalui
pintu belakang. Ia sudah mengambil keputusan nekat untuk mati bersama ayah dan
ibunya. Ia harus menolong ibunya, menolong cicinya! Tanpa mengenal takut lagi
anak ini berlari-lari menuju ke kamar ibunya. Akan tetapi sebefum ia memasuki
kamar ibunya yang sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar jerit cicinya di kamar
sebelah, yaitu kamar cicinya. Cepat ia mendorong pintu kamar itu dan apa yang
disaksikannya membuat darahnya mendidih. Cicinya menjerit-jerit dan berusaha
melawan perwira Mancu brewok yang hendak memperkosanya, akan tetapi kembali
jeritnya lenyap ke dalam mulut Si Perwira. Pakaian gadis yang bernasib malang
itu robek semua dan ia sama sekali tidak berdaya menandingi kekuatan Si Perwira
Brewok yang terengah-engah dan terkekeh-kekeh, agaknya makin hebat nona itu
meronta dan melawan, makin senanglah hatinya. Dalam pandangan Han Han, ia
seolah-olah melihat seekor kucing besar yang mempermainkan seekor tikus kecil
sebelum ditelannya. Ia sudah melangkah maju dengan tangan terkepal, hendak
nekat menubruk dan memukul punggung Si Brewok ketika tiba-tiba terdengar suara
ibunya.
“Leng-ji (Anak Leng)....
anakku....!”
Suara ini terdengarnya
demikian memilukan sehingga Han Han mengurungkan niatnya menolong cicinya,
atau terlupa karena seluruh perhatiannya kini tertuju kepada ibunya. Agaknya
Nyonya Sie yang sudah hampir pingsan karena teringat kepada suaminya dan kini
pun tidak berdaya menghadapi rangsangan Si Perwira Muka Kuning, ketika
mendengar jerit Sie Leng, timbul kekuatannya dan meronta sambil memanggil
anaknya. Ia berhasil melepaskan diri daripada cengkeraman kedua tangan perwira
muka kuning dan dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu. Namun sekali
melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan melemparkannya ke
atas pembaringan sambil tertawa.
“Heh-heh, biarkanlah puterimu
sedang bersenang-senang dengan kawanku. Mari kini bersenang-senang di sini,
Manis. Heh-heh-heh!” Kembali ia menubruk nyonya itu dan pada saat itulah Han
Han mendorong pintu kamar ibunya dan meloncat masuk. Melihat keadaan ibunya,
ia berteriak nyaring dan menerjang maju, memukuli punggung perwira muka kuning,
menjambak rambutnya, membetot-betotnya agar melepaskan ibunya.
“Ehhh! Bocah setan....! Mau
apa kau....?” Perwira itu menoleh, tanpa menghentikan usahanya menggelut Nyonya
Sie.
“Han Han....! Pergilah....!
Pergilah jauh-jauh dari sini....!” Nyonya Sie bergerak dan membelalakkan mata
melihat puteranya.
“Ibu....!”
“Hemmm, anakmu, ya? Mengganggu
saja!” Si Perwira Muka Kuning meloncat, menjambak rambut Han Han sehingga tubuh
anak itu tergantung. Akan tetapi Han Han tidak takut, melotot dan kedua
tangannya berusaha memukul. Perwira itu lalu menampari mukanya.
“Plak-plak-plak-plak!” Berkali-kali
sampai muka itu menjadi matang biru dan membengkak, mulutnya mengeluarkan
darah.
Namun anak itu masih memandang
dengan mata melotot, penuh kebencian kepada perwira muka kuning.
“Han Han....!” Nyonya Sie
menjerit.
Perwira itu membanting tubuh
Han Han ke atas lantai, suaranya berdebuk dan tubuh anak itu rebah miring. Akan
tetapi Han Han masih bergerak hendak bangun. Sebuah tendangan mengenai
tengkuknya, membuat kepalanya nanar dan berkunang. Kemudian kembali kaki
perwira itu menendang, keras sekali mengenai dadanya. Tubuh anak itu terlempar
membentur dinding. Kepalanya terbanting pada dinding, napasnya sesak dan anak
itu roboh tak sadarkan diri, mukanya membengkak dan matang biru sehingga
matanya tidak tampak, mulutnya mengeluarkan darah, demikian pula hidungnya.
“Han Han....!” Namun
jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh di seluruh rumah itu, di mana
para serdadu Mancu mulai merampoki barang-barang berharga, dan lapat-lapat
terdengar jerit tertahan Sie Leng diselingi suara ketawa yang parau dari
perwira brewok dan suara kekeh menjijikkan dari perwira muka kuning.
Malam yang amat mengerikan.
Malam terkutuk bagi keluarga Sie. Malam jahanam di mana terjadi
perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau sering terjadi di dalam jaman
perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan, perampokan! Perbuatan-perbuatan yang
tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia beradab. Malam penuh noda, darah membanjir
dan iblis tertawa gembira karena malam-malam jahanam seperti itu adalah
malam-malam kemenangan baginya.
Han Han tersadar di
tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia segera teringat dan cepat bangkit. Akan
tetapi ia mengeluh, kepalanya nyeri bukan main, berdenyut-denyut keras,
kiut-miut rasanya seperti akan pecah, dadanya pun nyeri dan napasnya sesak. Ia
tentu akan roboh kembali kalau saja tidak melihat ibunya. Ibunya menggeletak
di lantai tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang berkulit putih itu berlepotan
darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir ke bagian yang rendah dari
lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali, hampir putus sehingga
kepala itu letaknya terlalu miring sehingga aneh.
“Ibu....!” Han Han belum sadar
betul akan keadaan ibunya, terhuyung-huyung menghampiri dan hendak mengangkat
tubuh ibunya. Akan tetapi matanya terbelalak memandang leher yang hampir
putus, mata yang terbuka, mata yang tidak bersinar lagi.
“Ohhh.... ohhh....
Ibuuuuu....!” Han Han menjerit dan tergelimpang roboh di dekat mayat ibunya,
pingsan kembali.
Rumah gedung Keluarga Sie yang
telah dirampok habis-habisan itu kini dimakan api. Ini adalah siasat para perwira
tadi yang lebih baik membuat rumah itu menjadi lautan api untuk menutupi
perbuatan-perbuatan biadab mereka. Kalau rumah sudah hancur menjadi abu, siapa
bisa membuktikan bahwa rumah itu habis dirampok? Kalau mayat itu sudah menjadu
abu, siapa dapat mengatakan bahwa mereka itu diperkosa atau dibunuh?
Tidak ada seorang pun tetangga
yang berani muncul. Mereka sendiri masih merasa untung terlewat oleh bencana
yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Dalam keadaan seperti itu
seperti yang terjadi pada setiap negara yang dilanda perang, terbuktilah bahwa
segala sesuatu yang tadinya dianggap menguntungkan dan menyenangkan bahkan
menjadi sebab-sebab malapetaka! Aneh akan tetapi nyata bahwa dalam keadaan
seperti itu, mereka yang kaya raya dan mereka yang mempunyai anak-anak
perempuan cantik malah menjadi korban, sebaliknya mereka yang miskin tidak
mempunyai apa-apa dan yang tidak mempunyai anak gadis cantik, malah aman dan
tidak terganggu! Kalau sudah begini, tak seorang pun berani mengatakan bahwa
harta benda dan kekayaan duniawi ini merupakan syarat hidup bahagia!
Di antara sinar api yang
membakar rumah gedung Keluarga Sie, yang menerangi kegelapan malam sunyi,
tampak bayangan seorang laki-laki tua dengan nekat menyelinap memasuki rumah
bagian yang belum dimakan api. Asap tebal menyambutnya, membuatnya
terbatuk-batuk dan membuat matanya seperti buta, akan tetapi orang ini terus
masuk dan meraba-raba. Biarpun api itu amat terang, namun cahayanya membuat
mata buta karena setiap mata dibuka, hawa panas menusuk-nusuk. Akan tetapi
orang itu agaknya sudah hafal akan keadaan di dalam gedung ini. Buktinya ia
dapat terus menyelinap masuk, menuju ke kamar-kamar di sebelah belakang, dekat
ruangan dalam yang tadi dipakai pesta-pora, di mana kini menggeletak mayat Sie
Bun An dan tiga orang pelayan pria yang juga dibunuh oleh serdadu-serdadu Mancu
itu. Laki-laki itu tidak mempedulikan mayat-mayat ini, terus terhuyung-huyung
masuk dan akhirnya ia memasuki kamar Nyonya Sie mendorong pintu yang sudah
mulai termakan api.
“Sie-hujin....! Kongcu (Tuan
Muda)....!” Ia berseru dan cepat berlutut dekat dua sosok tubuh itu. Tubuh
Nyonya Sie yang telanjang bulat dan mandi darah itu hanya ia lirik sebentar
saja, akan tetapi ketika ia meraba tubuh Sie Han yang belum mati, cepat ia
mendukung tubuh anak itu dan hendak dibawanya keluar kamar. Akan tetapi pintu
kamar itu kini sudah terbakar semua, bahkan mulai runtuh dan atap pun sudah
terjilat api!
Laki-laki itu kebingungan lalu
menuju ke jendela kamar. Didorongnya jendela itu dengan bahunya, dan asap
bercampur api menjilat masuk. Ia tidak peduli akan hawa panas yang menyesak
dada, terus saja ia menerobos keluar melalui jendela dan setibanya di luar
jendela, sebagian atap yang terbakar menimpanya! Orang itu mendekap tubuh Han
Han dan kayu yang membara menimpa kepala dan pundaknya. Rasa nyeri dan panas
menyengat tubuhnya, membuatnya hampir roboh. Akan tetapi ia hanya jatuh
berlutut saja, cepat bangkit kembali dan terhuyung-huyung mencari jalan keluar.
Beberapa kali ia menerjang lautan api, rambutnya sudah terbakar habis, juga
kumis, jenggot dan alisnya, mukanya, sudah hangus dan melepuh, pakaiannya
setengah telanjang dan hangus, tubuhnya melepub semua dan napasnya
terengah-engah. Akan tetapi akhirnya ia berhasil keluar dari lautan api dan
terhuyung-huyung memasuki taman yang gelap. Sinar api hanya menyinar melalui
celah-celah pohon kembang dan di tempat inilah laki-laki itu terguling roboh.
Tubuh Han Han terlepas dari dukungannya dan terbanting pula ke atas tanah yang
bertilam rumput hijau basah dan segar.
“Ibu....!” Han Han siuman
kembali dan pertama-tama yang teringat olehnya adalah ibunya. Akan tetapi sinar
merah dan suara berkerotokan rumah terbakar itu menyadarkannya dan ia cepat
bangkit duduk menoleh ke arah rumah keluarganya yang terbakar. “Ibu....!”
“Aagghhh.... Kongcu....
Ibumu.... sudah tewas....”
Han Han bangkit dan
terhuyung-huyung menghampiri orang yang rebah tak jauh dari situ. Ia berlutut
dan hampir tak dapat mengenal wajah yang sudah melepuh, kepala yang gundul dan
tubuh yang hangus itu. Akan tetapi sinar api kadang-kadang menjilat sampai ke
situ dan ia dapat mengenal bentuk muka ini.
“A Sam....!” Ia memeluk. Anak
ini amat cerdik dan kuat ingatan. Tadi ia berada di kamar ibunya, sekarang
berada di taman dan A Sam luka-luka terbakar. Segera ia dapat menarik
kesimpulan bahwa pelayannya yang setia inilah yang menolongnya keluar dari
rumahnya yang terbakar. Ia teringat ayahnya yang sudah tewas pula, dan teringat
cicinya di kamar sebelah.
“Cici Leng....?”
“.... dibawa pergi....
anjing-anjing Mancu.... kau pergilah, Kongcu.... pergilah jauh-jauh.... menyamar
sebagai pengemis.... jangan berada di kota ini.... aku.... aku....
auugghhh....” A Sam, pelayan tua yang amat setia dari Keluarga Sie, yang selalu
menjadi teman bermain Han Han semenjak ia dapat berjalan, menjadi lemas.
“A Sam....! A Sam....!” Namun
orang itu tidak menyahut, dan tidak akan dapat menjawab lagi karena ia telah
mati. Mati sebagai seorang yang setia dan karenanya mati sebagai seekor
harimau!
Han Han duduk melamun. Ia
tidak menangis. Tidak dapat menangis lagi. Dan ia merasa seolah-olah ada sesuatu
yang mendorongnya untuk berpikir, untuk berbuat dan menggkinakan akalnya.
Matanya melirik ke kanan kiri seperti mata seekor anjing yang dikurung dan
mencari kesempatan untuk keluar. Mata yang cerdik sekali. Terjadi pada diri Han
Han yang tidak ia sadari sendiri. Ketika tadi ia dibanting lalu ditendang,
kepalanya terbanting menumbuk dinding dan getaran bantingan inilah yang agaknya
mengubah keadaan pikirannya. Mendatangkan ketabahan luar biasa, kecerdikan
yang aneh, dan membuat ia tidak dapat susah lagi! Biarpun kini menghadapi
kematian ayah bundanya, dan kehilangan cicinya, yang berarti bahwa seluruh keluarganya
hancur, ia sama sekali tidak merasa susah! Yang ada hanya bayangan tujuh orang
perwira, terutama sekali wajah dan bentuk tubuh perwira brewok dan perwira muka
kuning, seperti terukir di benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya!
Dari peristiwa terkutuk dan
malam jahanam itu, terciptalah seorang yang aneh, dan orang yang melihatnya
tentu akan mengira bahwa Han Han telah menjadi gila oleh peristiwa mengerikan
itu. Ketika anak itu akhirnya membungkuk, mencium dahi gosong bekas pelayannya,
kemudian bangkit berdiri dan terhuyung-huyung meninggalkan taman, memasuki
bagian-bagian yang gelap, orang yang melihatnya tentu akan merasa kasihan
sekali. Akan tetapi orang itu akan tercengang kalau saja dapat melihat betapa
mata itu berkilat-kilat, betapa mulut yang masih bengkak itu tersenyum aneh.
Bocah ini hanya berhenti sebentar untuk merobek sebagian dari pakaiannya, mengotori
tubuhnya dengan abu, membuang sepatunya kemudian menyelinap sampai keluar dari
kota.
Peristiwa terkutuk itu terjadi
di kota Kam-chi ketika pasukan-pasukan Mancu memperluas wilayahnya dan menyerbu
ke jurusan selatan, yaitu pada tahun 1645 dan merampas kota Nan-king. Dan tidak
hanya terjadi di Kam-chi saja, melainkan di setiap kota dan dusun selalu
terjadilah pembunuhan-pembunuhan, perkosaan-perkosaan, penculikan dan
perampokan yang keji. Memang demikianlah sifat kekejian yang ditimbulkan oleh
perang, di bagian mana saja di dunia ini, semenjak masa dahulu sampai sekarang.
Gelombang bangsa Mancu ini
dimulai ketika di antara bangsa dari utara ini muncul seorang tokoh besar yang
menjadi raja mereka, yaitu Raja Nurhacu (tahun 1616) yang menamakan diri
sendiri kaisar dan mendirikan wangsa atau Kerajaan Ceng. Di bawah bimbingan
Kaisar Nurhacu yang kebesarannya menyamai Raja Mongol Jengis Khan yang
tersohor itu, mulailah bangsa Mancu membuka dan mengembangkan sayapnya,
menaklukkan gerombolan-gerombolan dan suku-suku bangsa yang dipimpin raja-raja
kecil sehingga dalam beberapa tahun saja berhasil menguasai seluruh Mancuria.
Melihat kekuasaan dan kekutan
bangsa Mancu, bangsa Mongol yang sudah lama kehilangan kekuasaannya setelah
Pemerintahan Goan hancur, menjadi tertarik dan menggabungkan diri dengan
bangsa Mancu. Persekutuan ini amat kuat dan barisan gabungan ini menyerbu dan
menundukkan Korea dalam tahun 1637. Kemudian pasukan Mancu yang diperkuat
dengan pasukan Mongol dan pasukan taklukan dari Korea, di bawah pimpinan Kaisar
Abahai yang menggantikan Kaisar Nurhacu (1626-1646), menyerbu terus ke
Shan-tung, berhasil menundukkan propinsi ini dan menghancurkan bala tentara
Beng, lalu terus menyerbu ke arah ibu kotanya, yaitu Peking. Namun penyerbuan
ini tertunda karena Kaisar Abahai meninggal. Karena putera mahkota masih
sangat muda, maka kekuasaan dipegang oleh Pangeran Dorgan, saudara mendiang
Kaisar Abahai.
Pangeran Dorgan adalah seorang
ahli perang yang ulung. Ia mengerti bahwa di dalam pemerintah Beng sendiri
terjadi pemberontakan-pemberontakan, dan Peking telah terjatuh ke tangan
pemberontak Lie Cu Seng yang menyerbu dari selatan. Dengan cerdik Pangeran
Dorgan menghubungi Bu Sam Kwi, panglima yang menjaga tapal batas utara, dan
bersama Panglima Beng yang berkhianat ini menyerbulah bala tentara Mancu ke
Peking dan berhasil mengalahkan barisan pemberontak Lie Cu Seng. Lie Cu Seng
sendiri melarikan dari Peking setelah merampok kota indah itu habis-habisan.
Akhirnya Bu Sam Kwi sadar
bahwa ia telah memasukkan srigala ke tanah airnya, maka ia merasa menyesal dan
membawa bala tentaranya mengungsi ke barat daya yaitu ke Se-cwan di mana ia
memperkuat kedudukannya dan menjadi raja yang berdaulat di situ, jauh dari kekuasaan
dan pengaruh pemerintah Mancu yaitu Kerajaan Ceng-tiauw.
Pangeran Dorgan melanjutkan
penyerbuannya ke selatan dan di bawah pinnpinan pangeran inilah bala tentara
Mancu berhasil terus menduduki Nan-king dan wilayah bagian selatan. Pangeran
Dorgan yang amat cerdik itu pandai mengambil hati para pembesar dan hartawan di
selatan, mengumumkan tidak akan mengganggu mereka asal mereka suka bekerja
sama. Tentu saja ada terjadi kekecualian, yaitu mereka yang tidak mau bekerja
sama tentu dirampok habis dan dibasmi keluarganya. Ada pula terjadi hal-hal
seperti yang menimpa Keluarga Sie di Kam-chi itu, dan pelaporan ke atas tentu
berbunyi sama, yaitu bahwa keluarga itu tidak mau bekerja sama sehingga
terpaksa dibasmi!
Demikianlah, cerita ini
dimulai pada tahun 1645, dimulai dengan lembaran hitam dan sebagai contoh dari
sekian banyaknya peristiwa keji dan terkutuk, diceritakan kemalangan yang
menimpa Keluarga Sie.
Beberapa bulan kemudian
setelah terjadinya peristiwa terkutuk di Kam-chi itu, tampak seorang anak
laki-laki berpakaian penuh tambalan berjalan seorang diri memasuki kota Tiong-kwan
di lembah Sungai Huang-ho. Kota ini telah lebih dulu ditaklukkan oleh tentara
Mancu sehingga kini keadaan di situ sudah tampak aman dan tenteram. Rakyat sudah
mulai bekerja lagi seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi perang,
seolah-olah rakyat tidak peduli siapa yang berkuasa, siapa yang menjadi raja
dan bangsa apa yang menjajah mereka! Anak kecil itu berusia sepuluh tahun
lebih, berjalan melenggang seenaknya dan di pundaknya tergantung sebuah
keranjang yang terisi beberapa buah roti kering dari gandum.
Dia bukan lain adalah Sie Han,
atau Han Han. Kalau ada orang Kam-chi yang bertemu dengannya, tentu tidak akan
dapat mengenalnya sebagai bekas putera sastrawan Sie Bun An. Bukan hanya pakaiannya
yang penuh tambalan dan kakinya yang telanjang serta kulit kaki tangannya
yang kotor itu yang membuat orang pangling, namun memang terjadi perubahan
besar pada diri anak ini. Pandang matanya jauh berbeda, pandang mata yang amat
tajam dan manik mata itu seolah-olah mengeluarkan sinar yang menembus dada
orang. Bola mata yang bening itu bergerak-gerak lincah sebagai pencerminan
otaknya yang dapat bekerja cepat. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus
dengan saputangan yang kotor. Ketika berjalan melalui jalan yang sunyi menuju
ke kota Tiong-kwan ini, Han Han bernyanyi dengan suara nyaring. Orang tentu
akan tercengang keheranan kalau mendengar kata-kata nyanyiannya. Orang yang
tidak pernah membaca kitab tentu menganggapnya bernyanyi ngawur saja atau
sedikitnya mengira dia tidak waras.
Akan tetapi kaum terpelajar
akan lebih tercengang keheranan karena tentu akan mengenal nyanyian dari sajak
ciptaan sastrawan besar Go Pek di jaman Kerajaan Sui, ratusan tahun yang lalu.
“Bekerja
seenaknya tak tertekan tak diperintah,
mengemis ke
mana saja mengetuk hati nurani manusia.
Amboi....
betapa bebas dan senangnya!
Mereka yang
tidak tahu akan kebahagiaan para pengemis,
tidak tahu
pula senangnya kehidupan burung di udara!”
Setelah selesai menyanyikan
sajak yang ia hafal dari kitab-kitab yang pernah dibacanya, Han Han lalu
mencela sendiri, dengan ucapan bisik-bisik seperti berkata kepada diri sendiri,
mencela nyanyian tadi.
“Wah, Go Pek memang pelamun kosong!
Kalau ditakdirkan menjadi manusia, mengapa menginginkan kehidupan burung?
Manusia dan burung tidak sama. Orang yang malas dan hanya suka mengemis adalah
orang yang tiada gunanya. Dan apakah artinya hidup di dunia kalau tidak ada
gunanya?” Ia menggeleng-geleng kepalanya lalu bernyanyi lagi akan tetapi sekali
ini nyanyiannya jauh berbeda dengan tadi, karena nyanyiannya seperti lagu
kanak-kanak :
“Duk-ceng,
duk-ceng!
warna hitam
tampak putih,
bau busuk
disangka wangi,
suara
brengsek terdengar merdu,
rasa pahit
katanya manis!
Duk-ceng,
duk-ceng!
Jangan
percaya mata dan telinga mulut,
semua itu
palsu belaka.
Duk-ceng,
duk-ceng, duk-ceng-ceng!”
Terdengamya saja nyanyian ini
seperti nyanyian kanak-kanak. Suara duk-ceng itu adalah suaranya tambur dan
gembreng. Akan tetapi sesungguhnya, nyanyian ini adalah nyanyian kaum Agama To
dan mempunyai arti yang amat dalam. Nyanyian yang menyindirkan betapa manusia
dikuasai oleh panca indranya, betapa manusia selalu menurutkan perasaannya.
Betapa tepatnya nyanyian kanak-kanak ini karena setiap hari pun sampai sekarang
dapat kita lihat “dagelan” (lawak) macam itu. Betapa banyaknya orang melihat
hal hitam sebagai putih sehingga yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan.
Betapa yang busuk-busuk dapat ditutup dengan harta sehingga tercium wangi,
suara-suara yang menyesatkan dianggap merdu kalau suara itu menguntungkannya, dan
masih banyak kenyataan-kenyataan lain.
Semua itu dikenal Han Han dari
kitab-kitabnya. Dia meninggalkan rumah dan keluarganya yang terbasmi habis itu
tanpa membawa uang sepeser pun. Akan tetapi Han Han seorang anak yang cerdik
dan semenjak peristiwa itu terjadi, ia menemukan ketabahan dan keuletan yang
luar biasa sekali. Di sepanjang jalan dalam perantauannya yang tiada bertujuan
ini, ia selalu mencari pekerjaan, membantu petani kalau lewat di dusun, membantu
mencuci piring di restoran, menggosok kuda dan kereta, mengangkut barang-barang
yang dibongkar dari perahu dan lain-lain. Dengan keuletannya ini, ia tidak
pernah kekurangan makan dan pada saat itu, ia malah masih mempunyai bekal roti
kering yang akan cukup menghindarkannya dari kelaparan selama beberapa hari.
Ketika ia memasuki pintu
gerbang kota Tiong-kwan dan memasuki tempat yang mulai ramai, Han Han tidak
bernyanyi lagi, bahkan sikapnya pun tidak acuh seperti sikap seorang pengemis
biasa. Ia melihat-lihat keadaan kota yang cukup ramai itu karena letaknya yang
dekat dengan Sungai Huang-ho membuat kota ini mudah melakukan hubungan dengan
kota-kota lain. Akan tetapi ada hal yang membuat Han Han diam-diam termenung
dan prihatin, yaitu banyaknya pengemis di kota ini. Bukan pengemis-pengemis biasa
yang terdiri dari orang-orang tua yang sudah tidak kuat bekerja dan tidak
mempunyai keluarga yang menyokongnya, melainkan pengemis-pengemis cilik yang
terdiri dari anak-anak sebaya dengan dia sendiri.
Akibat perang, keluhnya
diam-diam dengan perasaan tidak senang. Anak-anak yang sudah kehilangan orang
tua dan keluarga, atau anak-anak yang orang tuanya demikian miskin sehingga
mereka ini terlantar dan mencari makan dengan jalan mengemis. Anak-anak usia
belasan tahun yang pakaiannya compang-camping, ada yang penuh tambalan, ada
pula yang hanya memakai celana butut tanpa baju, dengan tubuh kurus akan tetapi
perut gendut tanda perut yang jarang diisi atau diisi secara tidak teratur.
Muka yang kurus pucat, sinar mata yang sayu tidak bercahaya, pencerminan hati
yang kehilangan harapan dan pegangan. Akan tetapi ada pula di antara mereka
yang nakal-nakal, dengan sinar mata mencemoohkan dunia, tidak peduli akan
segala perbuatannya, tidak tahu membedakan pula antara baik dan buruk. Pengaruh
keadaan!
Tiba-tiba sebatang kayu
bercabang meodongnya. Han Han mengangkat muka, sadar dari lamunan dan melihat
bahwa yang menodongnya adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, akan
tetapi tubuhnya amat kurus sehingga tulang-tulang iga yang tidak tertutup baju
itu tampak nyata. Muka yang cekung kurus itu membayangkan ketampanan,
sedangkan matanya bersinar cerdik menimbulkan rasa suka di hati Han Han.
“Berlutut kamu! Berlutut dan
tunduk kepada perwira tinggi atau kupenggal kepalamu! Engkau tentu pencuri, he?
Atau pencopet?” Mata anak itu melirik ke arah keranjang yang terisi roti
kering.
Melihat lagak anak ini seperti
seorang perwira menodongkan pedang dengan angkuhnya, Han Han tertawa terbahak
dengan hati geli. “Ha-ha-ha-ha! Perwira macam apa ini? Bajunya dari kulit hidup,
bukan terhias bintang melainkan terhias tulang-tulang iga. Dan celananya, bukan
terhias baju besi melainkan terhias tambal-tambalan! Apakah kamu ini perwira
dari neraka?”
Melihat Han Han tidak marah
sehingga tidak ada alasan untuk diajak berkelahi, malah tertawa dan mengeluarkan
kata-kata lucu, anak itu pun menyeringai tertawa. Giginya putih dan rata,
menambah ketampanan wajahnya dan menambah rasa suka di hati Han Han.
“Kau orang baru di sini?
Bagaimana kau datang? Dan dari mana kau mendapatkan roti kering begitu
banyak?” tanya anak itu, menyelinapkan rantingnya di pinggang seperti seorang
perwira menyimpan pedangnya.
“Kau mau? Lapar? Nih sebuah
untukmu,” kata Han Han sambil menyerahkan sehuah roti kering.
Anak itu memandang terbelalak,
menelan ludah dan bertanya ragu, “Benar-benar kauberikan sebuah untukku? Tidak
main-main?” Ia merasa heran karena belum pernah melihat seorang pengemis lain
memberinya sepotong roti dengan sikap begitu royal dan ramah.
“Mengapa tidak? Kalau kau
lapar! Mari kita makan di pinggir jalan,” kata Han Han sambil berjalan ke tepi
jalan lalu duduk di atas tanah. Anak itu telah menerima roti pemberian Han Han,
memandang roti seperti belum percaya, lalu mengikuti Han Han duduk di tepi
jalan. Seketika sikap bocah itu berubah ramah dan akrab dan memang itulah sifat
aselinya. Kalau tadi ia seperti anak yang memancing perkelahian adalah watak
yang dibentuk oleh keadaan sekelilingnya.
“Wah....! Keras....!” Anak itu
mengeluh ketika mencoba menggigit rotinya.
Han Han tersenyum. “Memang
keras sekali, sengaja dibuat untuk dapat bertahan sampai berbulan-bulan.
Makannya harus dicelup air teh, baru nikmat.”
“Wah, dari mana bisa
mendapatkan air teh?”
“Beli, kalau kamu mau pergi
membeli sebentar.”
“Hah? Beli? Memang kaukira aku
ini kongcu (tuan muda) hartawan?”
Han Han tertawa geli dan
merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong uang kecil, sisa hasil ia membantu
pedagang membangkar barangnya kemarin dulu.
“Nih, kaubelilah air teh,
kutunggu di sini. Untuk dapat membeli air teh saja masa memerlukan seorang
kongcu hartawan?”
Kembali anak itu memandang
heran, akan tetapi ia lalu menyambar uang itu dan lari pergi dari situ, membawa
roti keringnya. Han Han menghela napas. Kalau dia tidak kembali ke sini, aku
tidak akan heran, pikirnya. Bocah-bocah seperti itu patut dikasihani!
Benar-benar sebuah pemikiran yang amat janggal. Dia sendiri yang tadinya
seorang “kongcu” hartawan dan terpelajar, tinggal di rumah gedung dilayani
banyak pelayan, sekarang keadaannya tiada bedanya dengan anak-anak pengemis,
namun ia masih menaruh kasihan kepada mereka!
Dugaan Han Han keliru dan ia
menjadi makin suka kepada bocah itu ketika melihatnya datang berlari sambil membawa
sebuah kulit waluh kering yang ternyata terisi air teh. Terengah-engah ia duduk
di dekat Han Han. Han Han melirik dan mendapat kenyataan bahwa roti kering di
tangan anak itu masih utuh, ia makin suka. Ini menandakan bahwa anak ini
memiliki watak jujur dan setia, tidak mau mendahului makan roti dengan air teh
sebelum tiba di tempat Han Han!
“Nah, mulailah!” ajak Han Han
yang mengambil sepotong roti, mencelupkannya di air teh sampai lama, kemudian
mulai makan roti itu. Anak itu menirunya, dan setelah ia berhasil menggigit
sepotong roti, ia mengunyahnya dengan lahap sambil mulutnya mengomel.
“Wah, enak! Harum dan
gurih....!”
Tidak ada balas jasa yang
lebih nikmat lagi bagi seorang pemberi kecuali kalau pemberiannya itu dipuji
dan menyenangkan hati orang yang diberinya. Wajah Han Han berseri dan
teringatlah ia akan ujar-ujar kuno yang berbunyi : “Bahagiakanlah hati orang
yang memberimu dengan menghargai pemberiannya!” Bocah ini telah melakukan hal
itu. Tak mungkin dia tahu akan ujar-ujar ini, tentu hanya kebetulan saja!
“Siapa namamu?” tanya Han Han.
“Wan Sin Kiat! Ayahku dahulu
perajurit, tewas di medan perang melawan anjing.... eh, tentara Mancu.” Bocah
itu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau makiannya terdengar orang.
“Ibuku lari bersama seorang perwira Mancu. Aku tidak sudi ikut ibu, maka
merantau dan.... beginilah. Engkau siapa?”
“Aku Han Han....”
“Tentu seorang kongcu yang
menyamar menjadi pengemis!”
“Eh! Sembarangan saja menuduh.
Aku bukan kongcu, juga bukan pengemis!”
“Lagak dan sikapmu seperti
kongcu. Kau patut menjadi kongcu. Mungkin juga bukan, akan tetapi bukan
pengemis? Heh, jangan berolok, kawan. Pakaianmu itu!”
Han Han penasaran. “Biarpun
pakaianku butut, aku tidak pernah mengemis! Aku makan dari hasil keringatku.
Roti itu pun pemberian pedagang roti yang kubantu membongkar muatan terigu!”
“Ahhh, begitukah?” Sin Kiat
menghela napas dan menunduk. “Kalau aku.... aku pengemis tulen.”
Han Han merasa menyesal telah
menyinggung perasaan orang tanpa disengaja. Ia memegang lengan anak itu dan
berkata, “Engkau sampai menjadi begini akibat perang...., bukan kehendakmu,
Sin Kiat.”
Tiba-tiba Sin Kiat berkata
penuh semangat. “Kalau sudah besar aku akan menjadi seorang perajurit seperti
mendiang Ayahku! Bahkan aku akan menanjak menjadi Perwira. Kau lihat saja!”
Han Han tersenyum. Melihat
semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau benar-benar Wan
Sin Kiat menjadi seorang perwira. “Nih, kau ambil lagi rotinya,” ia menawarkan
ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut kawan baru itu.
Sin Kiat mengambil sepotong
lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang teringat akan sesuatu, ia memegang
lengan Han Han dan berkata, “Han Han, apakah engkau suka membagi rotimu kepada
anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?”
“Hah? Kalau perlu tentu
saja boleh.”
“Bagus! Engkau benar-henar
anak jempol! Mari ikut aku!” Sin Kiat bangkit berdiri, menarik tangan Han Han
dan mengajak teman baru yang mempunyai banyak roti itu berlari memasuki kota.
Mereka lewat di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar,
kini tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika
tiba di situ, ternyata di situ terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang
juga berpakaian seperti pengemis, bahkan ada pula seorang kakek berpakaian
seperti pengemis, kakek yang kurus kering dan rambutnya riap-riapan.
“Mana teman-teman yang lain?
Ada rejeki datang!” Sin Kiat berseru dengan wajah berseri-seri.
“Pergi mengemis ke pasar,”
jawab seorang anak pengemis yang kepalanya gundul. “Katanya ada pembesar
meninjau pasar.”
“Huh, bodoh! Belum tentu
mendapat sedekah, yang sudah pasti mererima cambukan para pengawal yang galak,”
kata Sin Kiat mengomel.
“Itulah sebabnya mengapa kami
berdua tidak ikut pergi,” kata pengemis ke dua. “Aku benci melihat
pembesar....”
Terdengar batuk-batuk dari
kakek pengemis yang melenggut di sudut. “Hmmm...., anak-anak, hati-hatilah
sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan hidup?”
Tiga orang anak pengemis itu
menjadi pucat dan celingukan memandang ke kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa
anak-anak itu seperti anak-anak burung yang ketakutan selalu, maka ia makin
kasihan kepada mereka. Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya,
pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.
“Lopek, silakan makan roti
kering seadanya.”
Kakek itu memandang dengan
tajam. Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang
mata yang demikian tajamnya. Lalu kakek itu setelah meneliti Han Han dari
kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus melenggut lagi
sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu sudah tua dan
kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti kering yang
keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk saja! Ia lalu
membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang menerimanya dengan
gembira.
Han Han lalu menurunkan
keranjang rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar untuk mengambil
lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung yang terbakar
itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti berada di rumah sendiri.
Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini adalah gedung keluarganya.
Sin Kiat mendekati kakek
pengemis dan berkata dengan suara mendesak, “Kek, kauajarlah aku silat agar
kelak aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang perwira!”
Kakek itu membuka matanya,
menjawab malas. “Aku tidak bisa silat....”
“Bohong....! Kakek
bohong....!” Sin Kiat dan dua orang temannya berteriak-teriak.
Akan tetapi kakek itu hanya
melenggut, mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh perhatian. Banyak
sudah ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang
sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis.
“Kemarin dulu kau membubarkan
selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan apakah kalau tidak dengan
ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajar kami ilmu silat. Han Han tadi sudah
begitu ramah dan murah hati, membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini
pelit untuk membagi ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan
menjadi habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang
sekalipun takkan menjadi habis!”
Han Han kagum mendengar alasan
Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan tidak
enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia segera berkata.
“Aku tidak suka belajar
silat!”
“Hehhh??” Tiga orang anak itu
berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa. Sin Kiat memegang lengannya
dan bertanya, “Mengapa, Han Han? Semua orang yang tertindas dan terhina ingin
belajar silat, mengapa kau tidak?”
“Kalau pandai silat, kan kita
selalu menang kalau berkelahi dan menjadi jagoan!” kata Si Gundul sambil membusungkan
dadanya yang tipis kerempeng.
“Kalau pandai silat,
orang-orang akan takut kepada kita dan memberi apa saja yang kita minta!” kata
bocah pengemis yang lain.
“Dan aku akan menjadi orang
kuat sehingga kelak dapat menjadi perwira,” kata pula Sin Kiat.
Han Han menghela napas. Dari
pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan cita-cita ketiga orang
anak ini. “Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai silat membikin orang menjadi
kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas si lemah! Orang yang merasa
kuat akan selalu mencari permusuhan, suka berkelahi, suka pukul orang, bahkan
suka membunuh orang. Tidak! Pandai silat amat tidak baik, orang menjadi jahat
karenanya.”
Kakek yang tadinya melenggut
dan agaknya lega karena terbebas dari desakan anak-anak itu, kini membuka
matanya dan tertawa. “Ho-ho-ho! Omongan tekebur dan menyeleweng jauh, bocah!
Omongan sombong! Siapa bilang ilmu silat menimbulkan kejahatan dan kekejaman?
Uh-uh, sombongnya! Ilmu silat telap ilmu silat, tidak baik dan tidak jahat.
Baik atau jahatnya tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan untuk
kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu
baik. Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai
silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kaukira pedang lebih tajam
daripada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali sabet, akan tetapi
pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan dapat menggulingkan
kerajaan. Ha-ha-ha!”
Han Han tercengang dan
berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek jembel itu. Teringat ia akan sejarah
betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan pena. Dan betapa tepatnya
pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang tergantung daripada si pemilik
ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar ucapan demikian dalam isinya dari mulut
seorang kakek jembel. Melihat betapa bantahan kakek itu membuat Han Han
bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan mendapat kesempatan untuk mendesak lagi.
“Hayolah, Kek, ajar kami ilmu
silat.”
“Aku tidak bisa ilmu silat.”
“Waaah, Kakek selalu mengelak.
Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu dapat mematahkan tombak, membikin
pedang dan golok serdadu-serdadu itu terpelanting, dan membuat mereka roboh,”
bantah Sin Kiat.
“Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat
Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).”
“Kalau begitu, ajarkan kami
Pek-lian Tung-hoat!” kata Sin Kiat, dibantu oleh dua orang kawannya.
Kakek itu menggeleng kepala.
“Tidak mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh
adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan kami.
Marilah ikut bersamaku.” Kakek yang kelihatan lesu dan lemas itu, tiba-tiba
sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali. Han Han begitu kaget
dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi. Kini kakek itu
sudah menyentuhkan ujung tongkat bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan
tubuh dan melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung
tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan
terpaksa melangkah mengikuti kakek itu!
“Heiiiii....! Ehhh....?” Han
Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat dari pundaknya, namun
tidak herhasil. Tongkat itu melekat seolah-olah berakar di pundaknya dan ada tenaga
membetot yang amat hebat tak terlawan olehnya, membuat ia terseret terus!
Han Han adalah seorang anak
yang memiliki kecerdikan luar biasa. Biarpun ia seorang anak yang asing sama
sekali akan ilmu silat, namun dari kitab bacaan ia sudah banyak mengetahui
bahwa di dunia ini selain terdapat sastrawan-sastrawan luar biasa, orang-orang
yang pandai berfilsafat dan pandai membuat sajak-sajak indah, juga terdapat
orang-orang dari golongan “bu” (persilatan) yang disebut pendekar-pendekar
sakti. Maka tahulah ia bahwa kakek jembel ini pun tentulah seorang pendekar
sakti yang berilmu tinggi. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengenalnya
lebih dekat dan untuk mengetahui ke mana ia akan dibawa. Ia tidak merasa takut,
maka ia lalu berkata, “Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin mengajak aku
pergi, harap lepaskan tongkat. Tidak enak sekali diseret-seret seperti seekor
anjing.”
Akan tetapi kakek itu tidak
mempedulikannya, bahkan kini langkahnya lebar-lebar dan cepat sehingga Han Han
terpaksa harus melangkah cepat pula kalau tidak mau terseret. Sebentar saja
mereka telah pergi jauh dan teriakan-teriakan Sin Kiat yang mengingatkan bahwa
keranjang rotinya masih tertinggal, kini tidak terdengar lagi. Tak lama
kemudian mereka sudah keluar dari kota dan terus menuju ke tepi Sungai
Huang-ho. Setibanya di tepi sungai, kakek itu melanjutkan perjalanan ke kanan,
jadi ke arah utara.
Mereka berjalan sudah lebih
tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Han Han
yang juga memiliki kekerasan hati dan pada saat itu di samping keinginan
tahunya juga merasa penasaran dan mengkal, merasa dirinya dipaksa pergi
setengah diculik, tidak pernah bertanya apa-apa pula. Ia berjalan terus di
belakang kakek itu. Tentu saja kakek itu yang melangkah lebar dan cepat membuat
ia sering kali harus setengah berlari dan tubuhnya sudah lelah sekali.
Jalannya tidak rata, menyusup-nyusup hutan dan naik turun. Akan tetapi dengan
kekerasan hatinya, Han Han mengikuti terus kakek itu yang akhirnya membawanya
masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho.
Di tepi sungai dalam hutan
ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang sudah dibersihkan, pohon-pohonnya
ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang amat luas, bahkan dipagari dengan
bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang aneh dari tempat ini, agak bundar,
akan tetapi Han Han tidak tahu apa maknanya. Baru setelah mereka memasuki
pintu gerbang dan membaca papan yang tergantung di depan pintu, tahulah Han Han
bahwa bentuk bundar dari tempat itu dengan lingkaran-lingkaran aneh adalah
bentuk bunga teratai, sesuai dengan nama tempat itu yang menjadi pusat dari
perkumpulan Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis Teratai Putih). Han Han
berdebar jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang kai-pang dan ketuanya yang
sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang. Siapakah pangcunya?
Kakek itu memasuki pintu
gerbang dan tampaklah banyak orang-orang berpakaian pengemis berkeliaran di
sekitar tempat itu. Di tengah-tengah terdapat bangunan pondok berbentuk
kelenteng dan dari situ mengepul asap hio yang wangi.
Para jembel itu melihat
masuknya kakek bersama Han Hang namun mereka hanya melirik saja dan tak seorang
pun ambil peduli. Kakek itu menghampiri pondok kelenteng, lalu masuk ke ruangan
depan di mana terdapat meja sembahyang. Han Han mengikuti dari belakang dan
berdiri memandang heran ketika melihat kakek itu tiba-tiba duduk bersila dengan
kedua kaki saling bertumpangan paha di depan meja sembahyang yang berbentuk
teratai, kemudian kakek ini melakukan upacara sembahyang yang aneh. Kedua
lengannya digerak-gerakkan, dilonjorkan ke depan, diangkat ke atas, ditekuk ke
belakang sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang tidak dimengerti
Han Han. Kemudian kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag seperti
biasa. Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah keluar lagi, memberi
isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk mengikutinya.
Han Han ikut terus dan ternyata
mereka menuju ke sungai di mana terdapat sebuah kolam besar yang mendapatkan
airnya dari sungai, dialirkan ke tempat itu. Karena kolam di pinggir sungai itu
cukup lebar dan permukaannya sama dengan permukaan air sungai, maka air di situ
tenang. Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa belas benda berbentuk
bunga-bunga teratai warna putih, terbuat daripada kayu, mengambang dan
bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam. Yang membuat Han Han tercengang
adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang berlatih, berloncatan dari satu
ke lain teratai kayu di permukaan air. Ada tiga orang yang berlatih, sementara
itu masih ada tiga puluh orang lebih menonton di pinggir kolam. Mereka semua
itu adalah orang-orang berpakaian tambal-tambalan terdiri dari laki-laki dan
wanita. Akan tetapi lebih banyak lelaki daripada wanitanya yang hanya ada
beberapa orang.
Han Han tidak mengerti ilmu
silat, namun menyaksikan tiga orang itu berloncatan ke atas teratai-teratai
kayu yang mengambang di air, melihat gerakan mereka yang begitu ringan dan
gesit, ia kagum. Ternyata mereka itu sedang berlatih, karena setelah tiga orang
itu meloncat ke darat, mereka digantikan oleh tiga orang lain. Ada pula yang belum
mahir meloncat sehingga terpeleset dan teratai yang diinjaknya miring membuat
ia terjungkal ke air. Yang menonton mentertawakannya, ada yang mengejek, ada
yang memberi petunjuk, membicarakan kesalahannya sehingga ia terjatuh. Ketika
kakek yang membawa Han Han muncul, suara tertawa-tawa itu berhenti, akan tetapi
tak seorang pun menegurnya. Yang berlatih masih tetap berlatih, namun kini
lebih tekun dan serius. Kemudian terdengar kakek itu berkata.
“Latihan gin-kang ini bukan
untuk main-main. Tanpa ketekunan kalian takkan mendapat kemajuan. Panggil Sin
Lian!”
Han Han melihat betapa semua
pengemis yang berada di situ amat menghormat dan taat kepada kakek ini. Agaknya
kakek inilah ketua mereka! Akan tetapi mengapa mereka itu seperti acuh tak acuh
atas kedatangan kakek itu? Mengapa tidak ada yang memberi hormat? Sungguh mengherankan.
Sementara itu, seorang
pengemis tua yang tadi berlari-lari untuk memenuhi perintah kakek ini, datang
bersama seorang anak perempuan yang juga berlarian dan dari jauh sudah
memanggil.
“Ayah....!” Anak itu
menghampiri ayahnya dan memeluk pinggang kakek itu. Si kakek mengelus-elus
rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kembali Han Han tercengang.
Kakek ini sudah amat tua, sedikitnya tentu enam puluh tujuh tahun usianya, akan
tetapi anaknya baru berusia paling banyak sembilan tahun! Juga keadaan anak itu
amat mencolok, cantik mungil dan pakaiannya indah bersih, wajahnya berseri-seri
matanya kocak gembira. Kehadirannya di antara para jembel itu benar-benar
merupakan seekor burung murai di antara sekumpulan gagak!
“Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau
tidak ikut latihan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dengan para Pamanmu?”
Suara dalam pertanyaan ini halus dan penuh kasih sayang, namun mengandung
teguran.
“Aku pergi ke hutan, Ayah.
Bunga mawar sedang bersemi, indah sekali.”
“Hemmm, ada waktunya berlatih,
ada pula waktunya bersenang. Jangan campur aduk. Coba kauperlihatkan
latihanmu!”
Anak perempuan itu tertawa
dengan sikap manja, lalu melepaskan ayahnya dan menghampiri tepi kolam. Yang
berlatih telah mendarat. Mereka semua kelihatan gembira, memandang ke arah
gadis cilik itu, dan jelas tampak betapa mereka semua menyayang anak yang
bernama Sin Lian ini. Bahkan kini tidak ada lagi yang berlatih, memberi
kesempatan kepada anak itu untuk berlatih seorang diri sehingga tidak
mengganggu.
“Heiiittttt....!” Anak itu
mengeluarkan seruan keras dan nyaring. Tubuhnya lalu meloncat ke tengah kolam,
melambung agak tinggi kemudian di udara ia berjungkir-balik sampai dua kali,
baru tubuhnya turun dan kakinya hinggap di atas sebuah teratai kayu. Indah
bukan main loncatan tadi dan terdengar seruan-seruan, “Bagus....!”
Han Han melongo. Apa yang
disaksikannya itu terlalu aneh dan indah. Kagum ia melihat betapa anak
perempuan itu kini berdiri di atas teratai kayu yang bergerak-gerak timbul
tenggelam dan bergoyang-goyang. Namun tubuh anak itu sedikit pun tidak
bergoyang, bahkan terdengar lagi seruannya, “Heeiiittitt!” dan tubuhnya sudah
mencelat ke atas lagi, lalu hinggap di atas teratai kayu yang lainnya.
Demikianlah, bagaikan seekor katak, anak itu berloncatan dari satu teratai ke
lain teratai, makin lama makin cepat sehingga seakan-akan ia terbang di
permukaan air. Hanya benda-benda berbentuk teratai itu saja yang bergerak-gerak
timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Seruan-seruan menjerit nyaring itu
terdengar susul-menyusul dan akhirnya tubuh anak itu mumbul ke atas dan
berjungkir-balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali dan ketika turun ia
melayang ke dekat kakek tadi.
Tepuk tangan memuji dari para
penonton membuat wajah anak perempuan itu makin berseri. Wajahnya menjadi
merah karena tadi dia telah mengerahkan banyak tenaga, dan napasnya
terengah-engah. Kakek yang menjadi ayahnya mengangkat muka dan terhentilah
semua tepuk tangan.
“Masih jauh daripada sempurna,
Lian-ji. Teratai-teratai itu masih bergoyang terlalu keras. Lihat baik-baik,
juga kalian semua!” Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang seperti sehelai daun
kering ke tengah kolam, hinggap di atas teratai, lalu meloncat ke lain teratai,
terus-menerus dan cepat sekali. Tidak lebih indah daripada permainan Sin Lian
tadi, akan tetapi hebatnya, teratai-teratai yang diinjaknya itu sanna sekali
tidak bergoyang, seolah-olah hanya kejatuhan sehelai daun kering saja! Kemudian
kakek itu mendarat kembali dan berkata.
“Untuk dapat menginjak teratai
kayu tanpa menggerakkannya, membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun dengan
tekun. Apalagi dapat meloncat dan hinggap di atas bunga teratai aseli,
membutuhkan bakat dan latihan yang amat mendalam.” Setelah berkata demikian,
kakek itu menggandeng tangan Sin Lian, menggapai ke arah Han Han dan mengajak
mereka memasuki sebuah pondok bambu sederhana di sebelah kiri pondok kelenteng.
Juga pondok sederhana ini dihias dengan lukisan-lukisan dan ukir-ukiran teratai
putih.
“Bocah ini siapakah, Ayah?”
Sin Lian bertanya ketika kakek itu mengajak mereka duduk di atas bangku.
“Namanya Han Han. Siapakah
she-mu (nama keturunan), Han Han?”
“Aku she Sie bernama Han,
biasa disebut Han Han,” jawab anak itu. “Locianpwe ini siapakah? Apakah ketua
dari Pek-lian Kai-pang?”
Kakek itu memandang kepadanya
dengan mata terbelalak. “Engkau tahu bahwa di sini sarang Pek-lian Kai-pang?
Dari mana kau mengenal nama Pek-lian Kai-pang?”
Han Han teringat bahwa
ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia pandai membaca. Memang tidak patut
bagi seorang yang keadaannya seperti pengemis macam dia ini pandai membaca.
Maka cepat-cepat ia berkata,
“Aku hanya mengira-ngira saja, locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian
rombeng, tentu merupakan sebuah kai-pang. Adapun tentang namanya, di sini
kulihat banyak sekali hiasan-hiasan berupa teratai putih, maka tentu saja aku
menduga bahwa nama kai-pang di sini tentulah Pek-lian Kai-pang.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Nah, kau dengar sendiri, Sin Lian. Betapa cerdiknya anak ini. Dia ini adalah
calon muridku, dan agaknya dialah yang boleh diharapkan kelak untuk....”
“Aku tidak ingin menjadi murid
locianpwe!” Han Han memotong cepat-cepat dengan suara nyaring.
“Wah, bocah sombong engkau!”
Sin Lian mendamprat. “Kau tidak mau menjadi murid Ayah, sedangkan seluruh bocah
di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya. Kau tidak tahu siapa Ayah? Ayah
adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di seluruh wilayah Sungai
Huang-ho! Apakah engkau lebih suka menjadi jembel busuk yang tiada artinya,
mengandalkan hidup dari sisa makanan?”
Merah wajah Han Han. Matanya
melotot memandang anak perempuan itu. Ia merasa terhina sekali. “Aku bukan pengemis!
Dan aku tidak suka menjadi murid pengemis! Aku tidak mau menjadi anggauta
kai-pang!”
“Lagaknya! Engkau pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis! Pakaianmu
tambal-tambalan, kalau bukan pengemis, apakah kau ini Pangeran?”
“Bukan! Aku bukan pengemis,
biar pakaianku tambal-tambalan aku tidak pernah mengemis! Tidak seperti engkau,
biar pakaianmu baik tapi....”
“Kau kurang ajar! Beranikah
kau kepadaku?”
“Mengapa tidak berani? Kalau
aku benar, biar terhadap kaisar sekalipun aku berani!”
“Phuhhh! Kalau berani hayo
kita berkelahi!”
“Aku bukan tukang berkelahi,
bukan tukang pukul, tapi aku tidak takut kepadamu.”
“Hayo pukul aku kalau berani!”
“Aku bukan tukang pukul!”
“Kalau kupukul, kau berani
membalas?”
“Tentu saja!”
“Plakkk....!” Pipi Han Han
sudah kena ditampar Sin Lian sampai Han Han terpelanting dari bangkunya. Ia
bangkit dan timbul kemarahannya, akan tetapi Han Han sudah membaca kitab
tentang sifat seorang gagah, tentu saja ia malu kalau harus bergelut dengan
seorang anak perempuan.
“Tidak sakit!” katanya sambil
meraba pipinya yang menjadi merah.
“Balaslah!”
“Membalas anak perempuan?
Untuk apa, memalukan saja. Pukulanmu seperti tahu, tidak terasa sama sekali.”
“Sombong kau!” Sin Lian marah
sekali, menerjang maju dan gerakannya cepat bukan main. “Dukkk....
plenggggg....!”
Han Han terjengkang roboh.
Perutnya menjadi mulas kena ditendang tadi dan kepalanya pening oleh
tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan bocah itu luar biasa cepatnya
sehingga Han Han tidak tahu bagaimana caranya bocah itu menendang dan memukul.
Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia marah dan kini ia melompat
bangun.
“Kau.... perempuan keji!” katanya
lalu ia menerjang maju, hendak menampar. Namun tamparannya mengenai angin
belaka dan sebelum ia sempat melihat, kembali tangan kiri gadis cilik itu mampir
di pipinya, menimbulkan suara nyaring dan terasa amat panas dan pedas.
Tonjokan kepalan kanan yang kecil namun terlatih menyusul, mengenai lehernya,
membuat Han Han terhuyung-huyung ke belakang. Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil
menyapu kedua kakinya. Tanpa ampun lagi tubuh Han Han kembali terpelanting,
terbanting pada lantai di mana ia hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang
puyeng seketika.
“Cukup, Lian-ji.” Terdengar
kakek itu berkata, suaranya tenang dan halus. Kakek ini tadi diam saja melihat
puterinya menghajar Han Han, karena memang hal ini ia sengaja, untuk “membakar”
hati Han Han dan menimbulkan semangat jantannya. Dia menduga bahwa setelah
mengalami hajaran tentu bocah itu akan merasa terhina dan sadar betapa perlunya
mempelajari ilmu untuk memperkuat diri sehingga kelak tidak akan terhina orang
lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han Han, disuruhnya duduk lagi di bangku.
Han Han masih pening, ketika ia memandang bocah perempuan itu, wajah yang manis
namun menggemaskan hatinya saat itu kelihatan menjadi dua. Memandang benda
lain juga kelihatan dua! Maka ia meramkan mata sejenak sampai peningnya
hilang, baru ia membuka matanya memandang kakek itu dengan mata penasaran
“Nah, bagaimana
pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku, tidak mungkin kau akan mudah
dihajar orang lain begitu saja.”
Akan tetapi jawaban Han Han
sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu. Anak ini mengangkat muka dan dadanya, lalu
berkata, “Aku tetap tidak mau belajar berkelahi! Apa sih gagahnya mengalahkan
lain orang? Mengalahkan diri sendiri baru patut disebut gagah perkasa!” Dalam
kemarahannya, tanpa disadarinya lagi Han Han mengucapkan ujar-ujar dari kitab.
Kembali kakek itu tercengang.
“Aihhh! Dari mana kamu mengetahui filsafat itu?”
“Filsafat apa? Itu pendapatku
sendiri. Mengalahkan dan memukul orang paling-paling bisa disebut
sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian dan menjadi tukang pukul!”
“Dan mengalahkan diri sendiri?
Apa yang kaumaksudkan?” Kakek itu memancing.
Han Han cerdik, ia pandai
menutupi rahasianya, maka setelah otaknya bekerja, ia berkata, “Tidak tunduk
kepada kemarahan sehingga tidak memukul orang, tidak merugikan orang lain
karena kepingin, tidak melakukan pekerjaan hina biarpun perut lapar,
mengalahkan diri sendiri.” Dengan ucapan ini ia telah menyindir orang yang
telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan mengemis yang dianggapnya hina.
“Bocah bermulut lancang! Ayah,
biar kuhajar lagi dia sampai setengah mampus!”
Lauw-pangcu menggeleng kepala.
“Biarkan dia pergi.”
Han Han memang telah berdiri
dan melangkah pergi dari tempat itu. Ia keluar dari pintu gerbang tanpa ada
yang mengganggunya, kemudian dia berlari cepat untuk segera meninggalkan tempat
itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke timur, akan tetapi ia tidak ingin
kembali ke barat. Tidak ingin kembali ke kota Tiong-kwan karena takut
kalau-kalau bertemu dengan kakek itu lagi kelak dan menimbulkan hal-hal yang
amat tidak enak. Sekarang saja ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas,
kepalanya masih berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan
diam-diam ia mengomel.
“Bocah perempuan yang keji dan
galak!”
Han Han berjalan terus ke
timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah malam tiba, ia mengaso di pinggir
sebuah hutan dan mengisi perutnya yang lapar dengan telur-telur burung yang ia
temukan di jalan. Juga ada beberapa macam buah-buah yang dapat dimakan
sehingga malam itu ia dapat tertidur nyenyak di pinggir hutan.
Pada keesokan harinya, ia
melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak sebuah dusun. Uang bekal dan makanan
sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di dusun itu sekedar dapat makan. Di
mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biarpun di dusun, para petani membutuhkan
tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya yang membutuhkan tenaga pula.
Asal rajin, tak mungkin orang sampai kelaparan, asal mau bekerja. Tidak
seperti pengemis-pengemis itu, hanya bermalas-malasan, ingin makan enak tanpa
bekerja, biarpun hanya makanan sisa. Menjijikkan! Alangkah hinanya! Tentu
saja ia tidak sudi menjadi pengemis, biarpun diberi pelajaran ilmu memukul
orang!
Apalagi selalu berdekatan
dengan bocah perempuan yang ganas itu. Ia bergidik kalau teringat akan Sin
Lian, sungguhpun harus ia akui bahwa wajah bocah itu manis sekali.
Ketika Han Han berjalan sambil
termenung sampai di pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda dari depan. Han Han mengangkat muka dan memandang. Seorang anak laki-laki
sebaya dengan dia, berpakaian indah dan berwajah tampan, menunggang seekor kuda
yang besar dan membalapkan kuda itu keluar dari dusun. Han Han cepat minggir,
akan tetapi sambil tertawa-tawa anak laki-laki itu sengaja menyerempetkan kudanya
sehingga Han Han yang sudah berusaha melompat masih terlanggar dan jatuh
terguling. Beberapa orang dusun melihat hal ini berseru tertahan, agaknya
mereka takut untuk mengeluarkan seruan keras.
“Bocah sombong, apakah kau
sudah gila?” Han Han berteriak marah sambil merangkak bangun.
Kuda itu dihentikan dan
diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya kini tidak tertawa lagi,
melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis. Setelah kudanya tiba di depan
Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya tangkas sekali, lalu menghadapi
Han Han sambil menudingkan telunjuknya.
“Jembel busuk! Berani engkau
memaki aku?”
“Setan kepala angin! Mengapa
tidak berani? Yang kumaki bukan orangnya, melainkan perbuatannya. Biar kau
kaisar sekatipun, kalau perbuatannya tidak benar, tentu akan dimaki orang!”
Han Han membantah berani.
Anak itu usianya antara
sebelas tahun, kini mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak
jembel, menjadi terheran-heran sehingga lupa kemarahannya. “Engkau siapakah
berani berkata seperti itu?”
“Aku Han Han dan siapa takut
mengeluarkan kata-kata benar?”
“Wah-wah, agaknya sudah miring
otakmu. Tidak tahukah engkau bahwa aku adalah Ouwyang-kongcu (Tuan Muda
Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini tidak ada yang berani kepadaku. Apalagi jembel
macam kamu! Hayo bertutut dan mohon ampun!” Bentakan ini mengandung suara
marah.
Seorang di antara para
penduduk dusun yang mulai datang berkerumun, segera mendekati Han Han dan
berkata, “Kau agaknya bukan anak sini. Lebih baik lekas bertutut mohon ampun
kepada Kongcu.”
Mendengar ini, Han Han makin
marah. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan bertolak
pinggang, lalu berkata, “Apa perlunya minta ampun? Orang bersalah sekalipun
tidak perlu minta ampun dan harus berani menerima hukumannya! Apalagi orang
tidak bersalah!”
Ucapan ini rupa-rupanya
merupakan pendapat yang baru sama sekali dan mengherankan semua orang. Bahkan
pemuda tampan itu sendiri terheran dan berkurang kemarahannya, lalu mengomel.
“Tidak salah katamu? Kau
berdiri di jalan, menghalang kudaku!”
“Bukan aku yang menghalang,
tapi kau yang menabrak! Berani berbuat tidak berani mengaku, laki-laki macam
apa kau?”
“Berani kau? Apa sudah bosan
hidup?” bentak anak yang disebut tuan muda Ouwyang itu. Setelah berkata
demikian, ia menerjang maju. Han Han berusaha melawan, namun ternyata
Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali. Begitu menerjang, Han Han telah
kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya. Han Han terjengkang, napasnya
sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan dunia menjadi hitam bagi Han
Han.
“Jembel busuk bosan hidup! Kau
belum mengenal kelihaian Kongcumu, ya?” Suara Ouwyang-kongcu ini terdengar
sayup-sayup oleh Han Han dan pemuda tampan itu mengeluarkan sehelai tambang
dari saku sela kudanya. Diikatnya kaki kiri Han Han, kemudian ia memegangi
ujung tali itu dan melompat naik ke atas kudanya. Ketika kudanya dilarikan,
tubuh Han Han tentu saja terseret di atas tanah!
Orang-orang yang berada di
situ hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak ada seorang pun berani
membela Han Han. Mereka hanya saling pandang dan menggeleng-geleng kepala
dengan hati kasihan kepada anak jembel yang amat pemberani itu.
Han Ham memiliki kenekatan dan
nyali yang luar biasa sekali. Juga tubuhnya memiliki daya tahan mengagumkan.
Hal ini telah dilihat oleh mata yang awas dari Lauw-pangcu ketua Pek-lian
Kai-pang sehingga kakek itu merasa tertarik dan ingin mengambilnya sebagai
murid. Biarpun ia tadi telah dipukul hebat dan kini tubuhnya diseret seperti
itu, ia masih tidak merasa takut. Bahkan ia marah sekali. Tidak dipedulikan
punggung dan pinggulnya lecet-lecet, pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu
makin buruk karena compang-camping. Ia tidak mengeluh, tidak pula minta ampun,
bahkan ia yang terseret itu berusaha mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan
telunjuknya ke depan, ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki.
“Bocah kejam melebihi iblis!
Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke lembah kecelakaan!”
Pada saat itu, dari arah kanan
berkelebat sinar putih. Ternyata itu adalah sebatang piauw (pisau sambit) yang
disambitkan oleh seorang gadis cilik. Piauw itu tepat sekali mengenal tambang
yang menyeret Han Han sehingga putus seketika dan Han Han terbebas, tidak terseret
lagi. Sambil duduk dan berusaha membuka ikatan kakinya, Han Han memandang
dengan mata terbelalak ketika mengenal bahwa anak perempuan itu bukan lain
adalah.... Sin Lian! Han Han mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang anak
laki-laki kejam oleh seorang anak wanita ganas! Kedua orang anak itu setali
tiga uang, sama-sama ganas dan kejam, tiada yang dipilih!
Sin Lian sudah meloncat
turun dari atas batu di mana ia tadi berdiri dan menyambitkan piauwnya.
Sikapnya garang sekali ketika ia memandang Ouwyang-kongcu dan telunjuknya yang
kecil runcing itu menuding ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki.
“Setan alas kau! Monyet
pengecut kau! Beraninya hanya menyiksa bocah jembel yang tidak bisa silat! Hayo
lawan aku kalau berani, kalau minta remuk tulang-tulangmu!” Sin Lian memasang
kuda-kuda menantang.
Ouwyang-kongcu ini adalah
putera seorang bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Ouwyang Cin Kok. Dia putera
pangeran, tentu saja selain kaya raya juga angkuh dan sudah biasa menerima
penghormatan di mana-mana. Namanya adalah Ouwyang Seng dan pada waktu itu ia
sedang menerima pendidikan ilmu silat dari gurunya, seorang tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi dan sakti. Sebagai putera pangeran, tentu saja
dalam perguruannya tersedia segala perlengkapan untuk kebutuhannya setiap
hari, sampai-sampai tersedia seekor kuda untuknya. Dan ia pun belajar sambil
main-main, kadang-kadang menunggang kuda pergi ke dusun-dusun dan ke manapun
juga ia pergi, anak nakal ini tentu disambut penduduk dusun dengan ramah dan
hormat, sungguhpun di dalam hati mereka ini membencinya karena kenakalannya
suka menggoda orang. Kini, dimaki-maki seperti itu, Ouwyang Seng marah sekali
lalu meloncat turun dari atas kudanya.
“Eh, kau bocah dusun! Berani
kau memaki Kongcumu? Kau pun sudah bosan hidup agaknya!” Sambil berkata
demikian, Ouwyang Seng lalu menggunakan sisa tambang yang berada di tangannya,
yang panjangnya ada dua meter lebih untuk menyerang. Serangannya hebat, cepat
dan keras sekali sehingga mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat dan
mengelak. Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa anak nakal
ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang Seng diasuh oleh
seorang guru yang amat pandai sehingga biarpun cara ia belajar kurang tekun,
namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu melawannya, biarpun anak itu
pandai silat sekalipun.
Sebaliknya, melihat betapa
anak perempuan yang tadinya hendak ia rangket karena telah berani memakinya
itu dapat mengelak demikian cepat, Ouwyang Seng menjadi penasaran dan menerjang
lebih gencar lagi. Sin Lian tidak diberi kesempatan membalas serangan-serangannya,
karena tambang itu menyerang terus-menerus, membuat ia harus menggunakan
gin-kang dan berloncatan ke sana ke mari.
“Monyet cilik! Monyet curang!
Jangan pakai tambang kalau berani!” Sin Lian memaki kalang-kabut karena ia
benar-benar terdesak dan tidak sempat membalas sama sekali, bahkan pahanya
telah kena dipecut satu kali sehingga terasa pedas dan panas.
Ouwyang Seng tertawa bergelak.
Ia kini tahu bahwa biarpun memiliki kegesitan luar biasa, anak perempuan ini
masih bukan merupakan lawan berat baginya. Maka ia lalu membuang tambang itu
dan berkata, “Majulah kalau ingin merasakan kaki dan tangan yang sakti!”
Melihat pemuda cilik itu sudah
membuang tambangnya, Sin Lian menjadi girang dan cepat ia menerjang maju dengan
kaki tangannya yang gesit. Namun dengan mudah Ouwyang Seng menangkis sambil
mengerahkan tenaga, membuat Sin Lian meringis kesakitan. Ouwyang Seng tertawa
lagi, lalu mendesak dengan pukulan aneh. Sin Lian berseru kaget, terhuyung
mundur dan tiba-tiba lututnya kena ditendang Ouwyang Seng sehingga ia roboh
terguling.
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan tahu-tahu Han Han telah melompat dan menubruk Ouwyang Seng dari
belakang. Mulutnya mencela, “Laki-laki apa, menerjang perempuan!” Kedua
lengannya merangkul leher dengan sekuat tenaga, kedua kakinya mengait pinggang!
Ouwyang Seng terkejut,
meronta-ronta. Akan tetapi biarpun tidak pandai silat, Han Han pada dasarnya
memang memiliki tenaga besar. Apalagi ia mempunyai kelebihan, yaitu nyali dan
kenekatan. Biarpun Ouwyang Seng mengobat-abitkannya, ia tetap tidak mau melepaskan
rangkulan lengan dan kempitan kakinya, seperti seekor lintah yang kelaparan
menempel pada daging gemuk.
“Lepaskan....! Lepaskan, kau
jembel busuk.... lepaskan....!” Akan tetapi Han Han tidak mau melepaskannya,
bahkan menggunakan tangannya untuk mencekik leher!
Penduduk dusun yang
menghampiri dan menonton perkelahian ini, tidak berani mencampuri, hanya
memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada yang berani melawan
Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang pengemis cilik berani
menghinanya, memakinya, dan melawannya.
Ouwyang Seng yang
meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han Han bersama-sama. Mereka
bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap Han Han tidak mau melepaskan
kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal, ia lalu menangkap tangan Han Han
dan menekuk jari telunjuknya.
Bukan main nyerinya rasa
telunjuk itu, sampai terasa menusuk di ulu hatinya. Han Han marah lalu....
menggigit pundak Ouwyang Seng sekuat tenaga.
“Ouwwuw.... aduh.... aduh....
mati aku, aduhhh....!” Ouwyang Seng menjerit-jerit, pundaknya berdarah dan
akhirnya ia menangis berkaok-kaok, melolong-lolong sambil meronta-ronta.
Penduduk dusun yang melihat
ini menjadi khawatir. Takut kalau terbawa-bawa, maka mereka lalu memburu dan
cepat melerai, menarik Han Han melepaskan rangkulannya, kempitannya dan gigitannya.
“Hi-hi-hik! Pengecut besar!
Bisanya hanya menangis! Hi-hi-hik, kau hebat, Han Han....!” Sin Lian
bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena lututnya yang tertendang itu
membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas sambungannya. Juga Han Han
merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit sekali, seperti patah sambungannya
pula.
Ouwyang Seng tadi menangis
bukan hanya karena sakit, melainkan terutama sekali karena ketakutan setelah
usahanya melepaskan rangkulan gagal. Kini setelah bebas, ia menjadi marah
sekali dan menerjang Han Han dengan pukulan keras. Han Han terjengkang dan
terpaksa menerima hantaman dan tendangan. Sin Lian memaki-maki, dan untuk ini,
Ouwyang Seng segera melompat ke dekatnya dan menendang kepalanya. Biarpun tak
dapat bangun, namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat mencoba untuk menangkis
dengan lengan, dan akibatnya ia pun roboh terguling-guling.
Ouwyang Seng menjadi mata gelap
saking marahnya. Disambarnya sebuah batu sebesar kepalanya dengan kedua tangan
dan ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi, kemudian dihantamkan ke arah kepala
Han Han. Kalau hantaman ini kena, tentu kepala Han Han akan remuk.
Akan tetapi tiba-tiba batu itu
tertahan dan di situ telah berdiri Lauw-pangcu. Sekali renggut batu itu
terampas dan dibuang ke pinggir. “Anak keji, pergilah!” Lauw-pangcu berkata
dan ia menangkap tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan. Tubuh anak itu
melayang dan.... jatuh tepat di atas punggung kudanya.
Ouwyang Seng maklum bahwa
kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar seorang anak yang manja, ia malah
memaki, “Tua bangka jembel busuk! Kalau berani, katakan siapa namamu!”
Lauw-pangcu hanya mengira
bahwa anak itu adalah seorang anak bangsawan manja saja, maka sambil tersenyum
ia berkatap “Bocah, aku adalah orang she Lauw.”
Ouwyang Seng menarik kendali
kudanya, menendang perut kuda itu yang segera meloncat maju dan membalap ke
depan, meninggalkan debu mengebul tinggi. Han Han bukan tidak mengerti bahwa
nyawanya tertolong oleh kakek itu, dan ia sudah terlalu banyak belajar tentang
kebudayaan dan tentang budi, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan
kakek itu sambil berkata,
“Saya menghaturkan terima
kasih atas pertolongan locianpwe.”
Lauw-pangcu tersenyum.
“Bangunlah dan mari ikut bersamaku, Han Han.” Ia lalu memondong tubuh puterinya
dan Han Han terpaksa mengikutinya karena tidak mau dianggap tak mengenal budi.
Setelah tiba di sarang
Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati Sin Lian dan telunjuk tangan Han Han.
Hebat sekali cara kakek ini membenarkan sambungan tulang karena setelah diurut
sebentar dan ditempeli koyok, dalam waktu setengah hari saja telah sembuh
kembali.
“Pengalamanmu hari ini tentu
telah meyakinkan hatimu, Han Han, betapa pentingnya mempelajari ilmu menjaga
diri. Berkali-kali engkau dapat dipukuli orang, dan hampir saja tewas. Aku
tidak berniat buruk denganmu, bukan hendak mengajarmu menjadi tukang pukul. Aku
melihat bakat yang amat luar biasa pada dirimu yang tak akan dapat ditemukan di
antara sepuluh laksa orang anak, maka engkau berjodoh untuk mewarisi semua
ilmuku, Han Han.”
“Akan tetapi, locianpwe, aku
tidak ingin belajar silat.”
“Coba sajalah. Dan pepatah
mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Kalau kau sudah mengenal
seluk-beluk ilmu itu, kau tentu akan suka sekali. Sementara ini, biarlah engkau
akan menerima menjadi muridku dan coba belajar, hitung-hitung untuk membalas
budi kepadaku. Bagaimana?”
Kakek itu memang cerdik. Ia
telah mengenal bahwa bocah ini memiliki watak yang aneh dan keras luar biasa,
memiliki kemauan yang tak terpatahkan, tidak dapat dipaksa dan mengenal budi.
Karena itu, ia sengaja mengemukakan tentang balas budi untuk mengikat dan
memaksa. Dan memang usahanya berhasil, Han Han terjebak. Anak ini sudah mempelajari
kitab tentang budi pekerti sampai mendarah daging, di mana diajarkan bahwa
setiap budi yang dilepas orang harus dibalas berlipat ganda, sebaiknya budi
sendiri yang dicurahkan kepada orang lain harus dianggap sebagai kewajiban dan
segera dilupakan.
“Baik, locianpwe.”
“Bagus, Han Han. Sekarang
engkau telah menjadi muridku. Aku adalah gurumu dan Sin Lian ini adalah sucimu
(Kakak Seperguruan), biarpun dia lebih muda darimu.”
“Baik, suhu, teecu (murid)
mengerti.”
Makin kagum hati kakek itu dan
timbul persangkaannya bahwa anak ini tentu bukan keturunan orang biasa ketika
mendengar Han Han menyebut dia suhu dan diri sendiri teecu, kemudian betapa
anak itu berlutut di depannya dan paikwi (menyembah) sampai delapan kali.
Ia mengangkat bangun muridnya
itu dan berkata, “Han Han, muridku yang baik. Sebagai seorang murid,
pertama-tama engkau harus mengerti apa yang menjadi kewajiban utama seorang
murid?”
“Teecu mengerti. Harus taat
dan berdisiplin. Taat terhadap segala perintah suhu, dan berdisiplin dalam
memegang tugas, kemudian harus setia dan berbakti terhadap guru.”
Kalau tadi Lauw-pangcu hanya
kagum saja, kini ia terheran-heran dan tercengang.
“Sin Lian, dengar baik-baik
omongan sutemu (Adik Seperguruan) ini! Engkau dapat belajar banyak dari dia!
Han Han, pendapatmu tadi tepat sekali. Nah, sekarang sebagai perintah pertama
dari suhumu, kauceritakanlah pengalamanmu, siapa orang tuamu dan bagaimana
engkau sampai menjadi seorang anak terlunta-lunta dan hidup seorang diri.”
Han Han terkejut mendengar pertanyaan
ini. Ia sudah mengambil keputusan ketika ia meninggalkan rumah orang tuanya
yang terbakar, di mana terdapat mayat ayah bundanya, untuk menyimpan rahasia
tentang dirinya, untuk melupakan penglihatan itu dan hanya mengingat wajah
tujuh orang perwira Mancu, terutama wajah Si Brewok dan Si Muka Kuning. Kini
orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini pertama kali mengharuskan dia
menceritakan pengalaman dan riwayatnya! Ia menundukkan mukanya, dan begitu
rasa penasaran dan sakit hati timbul karena pertanyaan itu mengingatkan ia
akan semua malapetaka yang menimpa keluarganya, mendadak ada rasa aneh sekali
di kepalanya. Kepalanya sebelah belakang kanan yang dahulu terbanting pada
dinding ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini berdenyutan keras,
seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya menjadi pening. Ia
hanya berkata perlahan sambil menunduk.
“Teecu tidak dapat
menceritakan itu....”
Tiba-tiba Sin Lian mencela
dengan suara keras dan nyaring, “Sute (Adik Seperguruan)! Engkau ini murid
macam apa? Sudah tahu akan kewajiban murid, akan tetapi pada kesempatan pertama
kau telah tidak mentaati perintah guru!”
Han Han makin marah. Bocah ini
benar-benar cerewet sekali, dan ia merasa terdesak. Ia mengangkat mukanya
memandang Sin Lian, melihat betapa anak perempuan yang lebih muda daripadanya
akan tetapi telah menjadi kakak seperguruannya itu juga memandang kepadanya
dengan sinar mata aneh, seperti orang terpesona, terbelalak keheranan.
Dengan hati marah Han Han
memandang dan di dalam hatinya ia memaki.
“Kau bocah cerewet! Kau
seperti seekor monyet yang menari-nari!”
Mendadak terjadi hal yang amat
aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat mundur dan menggerakkan kaki tangannya
menari-nari, mulutnya berbisik-bisik, “Aku seekor monyet.... menari-nari....!
Aku seekor monyet yang menari-nari....!” Dan ia menari-nari dengan gerakan
lucu, seolah-olah ia meniru gerakan monyet!
Lauw-pangcu tadinya mengira
bahwa Sin Lian yang memang biasanya nakal itu sengaja hendak memperolok-olok
dan mempermainkan Han Han, maka dengan bengis ia membentak puterinya yang manja
itu, “Sin Lian! Hentikan itu!”
Akan tetapi, puterinya yang
biarpun manja namun selalu mentaati perintahnya itu, masih saja berjoget,
secara aneh dan lucu sambil terus berbisik, “Aku seekor monyet menari-nari....
seekor monyet menari-nari....”
Terkejutlah Lauw-pangcu! Ia
menoleh dan memandang kepada Han Han dan mukanya berubah pucat, matanya
terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata anak ini menyinarkan cahaya yang
amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti mengeluarkan api, demikian
tajamnya seperti menembus otak, membuat ia tidak mampu menggerakkan bola mata,
membuat ia terpaksa memandang sepasang mata itu, seperti melekat, seperti
tertarik besi sembrani! Ia mengerahkan sin-kang, berusaha melawan, namun terdengarlah
suara Han Han, padahal anak itu tidak menggerakkan bibir, terdengar suaranya
penuh wibawa, penuh pengaruh luar biasa.
“Suhu sudah tua, tidak perlu
merisaukan suci yang nakal. Lebih baik suhu mengaso dan tidur daripada
menjengkelkan kelakuan suci....”
Terjadi keanehan ke dua. Kakek
itu menguap dan mulutnya berkata lirih, “Auhhh, aku sudah tua.... ingin mengaso
dan tidur....” Lalu kakek itu pun merebahkan kepala di atas meja, berbantal
lengan dan tidur!
Han Han melongo saking
herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang masih terus menari-nari sambil
berbisik-bisik, “Aku seekor monyet yang menari-nari.... seekor monyet....”
Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih tidur nyenyak! Melihat
ini, Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa Sin Lian hanya
mempermainkannya dan menari-nari untuk mengejeknya, maka ketika memandang
gurunya, ia merasa kasihan dan hatinya menghibur gurunya agar supaya jangan
jengkel dan supaya guru yang tua itu mengaso dan tidur daripada mempedulikan
Sin Lian. Akan tetapi sekarang, gurunya benar-benar tidur dan Sin Lian masih
terus menari-nari seperti telah menjadi gila! Dari bingung, Han Han menjadi
ketakutan dan diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak.
“Suhu....!Suhu.... Bangunlah,
suhu....!” Lauw-pangcu serentak bangun dan matanya terbelalak ketika meloncat
dari bangkunya. “Apa.... apa yang terjadi....?” tanyanya seperti orang habis
bangun dari mimpi, padahal ia tertidur belum ada dua menit! Ketika ia menoleh
ke arah puterinya, wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah mempunyai pengalaman
yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang ini benar-benar
membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran. Namun, ia sudah dapat menguasai
perasaannya, cepat ia melompat mendekati Sin Lian yang masih menari-nari
berloncat-loncatan seperti seekor monyet nakal itu, menangkap pundak puterinya
dan menotok punggungnya. Sin Lian mengeluarkan suara merintih perlahan lalu
roboh pingsan dalam pelukan ayahnya.
“Dia.... dia kenapakah, Suhu?
Suci mengapa tadi....?” tanya Han Han, khawatir juga menyaksikan semua itu
karena kini ia dapat menduga bahwa keadaan Sin Lian tadi tidak wajar, bukan
menari-nari untuk mengejeknya.
Kakek itu hanya menghela napas
panjang, lalu merebahkan tubuh puterinya di atas dipan, memeriksanya sebentar
lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, sebentar lagi pun sembuh, ia tertidur.”
Kemudian ia mengajak Han Han keluar.
“Han Han, mari kita bicara di
luar.”
Dengan hati tidak enak Han Han
mengikuti gurunya keluar kamar dan duduk di ruang depan pondok kecil itu.
Mereka duduk berhadapan dan Lauw-pangcu kini memandang wajah muridnya dengan
pandang mata tajam penuh selidik. Makin tidak enak hati Han Han dan ia
menunduk.
“Han Han, pandanglah mataku!”
perintah kakek itu.
Han Han mengangkat mukanya memandang.
Sejenak pandang mata mereka bertemu dan jantung kakek itu berdebar. Mata yang
hebat! Ia merasa betapa sinar mata itu mendesak pandang matanya, menusuk masuk
dan membuat jantungnya tergetar. Seperti mata iblis! Akan tetapi saat itu
kosong sehingga yang terasa hanya ketajamannya yang menggetarkan dan betapapun
kakek ini mengerahkan sin-kangnya, akhirnya ia tidak kuat menahan dan terpaksa
mengalihkan pandang matanya, tidak kuat lebih lama beradu pandang. Padahal ia
telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat! Tertipukah ia? Adakah
bocah ini murid seorang sakti yang telah memiliki tenaga mujijat? Harus kucoba
lagi.
Berpikir demikian, Lauw-pangcu
menggerakkan tangan kanan cepat sekali, tahu-tahu telah menotok jalan darah
kian-keng-hiat di pundak anak itu. Seketika tubuh Han Han menjadi kaku tak
dapat digerakkan, akan tetapi hanya sebentar saja karena kakek itu telah
menotoknya kembali, membebaskannya. Lauw-pangcu menunduk dan makin heran. Jelas
bahwa anak ini tidak mengerti silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang
mengerti ilmu silat tentu memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas
penyerangan terhadap dirinya. Anak ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu,
tidak berusaha mengelak atau menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak
menentang, tanda bahwa urat syarafnya juga belum terlatih, tidak biasa akan
serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang mata itu, pengaruhnya yang hebat!
Adapun Han Han ketika tadi merasa
pundaknya disentuh gurunya membuat tubuhnya kaku menegang, kemudian pulih
kembali, menjadi heran dan penasaran. Ia tidak tahu apa yang dilakukan suhunya.
Akan tetapi ia menganggap suhunya itu penuh rahasia, tidak berterus terang dan
seolah-olah tidak mempercayainya. Tiba-tiba suhunya itu memegang kedua pundaknya
dengan cekalan erat, mata kakek itu menatapnya penuh selidik dan terdengarlah
pertanyaannya dengan suara keras mendesak dan bengis.
“Han Han! Dari mana kau
mempelajari ilmu I-hun-to-hoat (semacam hypnotism)?”
“Apa? I-hun-to-hoat, suhu?
Mendengar pun baru sekarang. Sudah teecu katakan bahwa teccu tidak pernah
mempelajari ilmu apa-apa....”
“Hemmm, jangan mencoba untuk
menyangkal. Habis, apa yang kaulakukan terhadap sucimu dan aku tadi kalau bukan
Ilmu I-hun-to-hoat?” Ilmu I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu hypnotism, membetot
semangat dan menguasai kemauan orang dengan penggunaan sin-kang yang sudah
mencapai tingkat tinggi.
Han Han makin tak senang
hatinya. Ia sudah menentang perasaan hati dan pendapatnya sendiri dan sudah
suka menjadi murid Lauw-pangcu. Akan tetapi mengapa suhunya ini sekarang
menuduhnya yang bukan-bukan?
“Suhu, mengapa suhu menuduh
yang bukan-bukan? Suhu mengambil murid teecu ini hendak diajar ilmu ataukah
untuk dituduh-tuduh saja? Sudah teecu katakan bahwa teecu tidak pernah belajar
silat.”
“Tapi.... tapi pandang
matamu.... dan peristiwa tadi! Lian-ji menari-nari di luar kehendaknya, aku pun
tertidur di luar kemauanku. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau orang
menggunakan Ilmu I-hun-to-hoat yang amat kuat. Han Han, aku tidak mempunyai
niat buruk terhadap dirimu. Kalau kau benar-benar pernah menjadi murid orang
sakti, aku pun malah makin suka kepadamu. Perlu apa kau membohong? Sudah ada
buktinya peristiwa tadi, aku sendiri mengalami, dan pandang matamu juga penuh
dengan tenaga mujijat yang hanya timbul dari sin-kang yang tinggi.”
Han Han menjadi tidak sabar.
“Teecu tidak mengerti apa yang suhu katakan itu, tidak pernah mendengar apa itu
I-hun-to-hoat, dan apa itu sin-kang! Pendeknya, teecu belum pernah belajar
ilmu silat, bahkan sebelum menjadi murid suhu, teecu membenci ilmu silat. Malah
sekarang, karena suhu tuduh yang bukan-bukan, timbul pula rasa tidak senang
itu....”
“Han Han, jangan salah
mengerti. Memang ada sesuatu yang amat aneh terjadi, dan kurasa, ada sesuatu
yang ajaib sekali terdapat dalam dirimu. Aku tidak menuduh sedikitpun juga dan
kau pun harap suka berterus terang. Mungkinkah kau pernah membaca kitab kuno
tentang ilmu menguasai semangat dan kemauan orang lain, dan telah
mempelajarinya?”
“Tidak, sama sekali tidak.”
“Engkau anak aneh.
Datang-datang kaubagi-bagikan roti kering kepada lain jembel. Hal ini saja
sudah membuktikan keanehanmu. Dan cara kau bicara, sungguh tidak seperti
seorang anak jembel.”
“Teecu bukan pengemis!”
“Kalau begitu engkau seorang
anak keluarga bangsawan yang terlunta-lunta. Bukankah begitu?”
“Tidak, tidak! Teecu sudah
katakan bahwa teecu tidak dapat menceritakan asal-usul dan riwayat teecu. Teecu
sendiri hampir lupa. Mengapa suhu memancing-mancing? Apa artinya riwayat
teecu? Pendeknya, teecu seorang yang tiada ayah bunda lagi, tiada saudara,
sebatangkara. Suhu, teecu biarpun hidup melarat dan seorang bodoh, namun teecu
berpegang kepada peribahasa It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (Sepatah kata
dikeluarkan, empat ekor kuda pun tidak kuat menariknya kembali)!”
Lauw-pangcu tercengang. Ucapan
muridnya ini jelas membuktikan bahwa bocah itu bukan bocah sembarangan, dan
bukan hanya memiliki watak yang keras, memiliki pribadi yang aneh, tenaga sakti
simpanan yang penuh rahasia, akan tetapi juga memiliki asal-usul yang menarik
dan tentu bukan dari keluarga sembarangan. Ia menjadi girang sekali, akan
tetapi juga khawatir. Anak ini selain memiliki kekuatan mujijat, juga memiliki
watak yang sukar diukur dalamnya, sukar dijenguk isinya sehingga bagi dia yang
menjadi gurunya, akan sukarlah untuk membentuk watak bocah ini kelak. Diam-diam
ia heran dan berpikir keras untuk menduga, ilmu apakah yang telah dimiliki atau
yang masuk secara aneh dalam diri bocah ini.
Tentu saja Lauw-pangcu tidak
dapat menduganya, tidak mengerti akan keadaan Han Han. Jangankan orang luar, sedangkan
Han Han sendiri pun tidak mengerti, tidak sadar bahwa ada perubahan hebat pada
dirinya, bahwa ada sesuatu yang secara ajaib terjadi di dalam dirinya. Ketika
ia dihajar oleh perwira muka kuning dahulu di dalam kamar karena ia telah
“mengganggu” perwira muka kuning itu yang sedang memperkosa ibunya, ia dilempar
dan kepalanya terbanting pada dinding kamar dengan keras sekali sehingga ia
menjadi pingsan. Entah bagaimana hanya Tuhan yang mengatur dan mengetahuinya,
bantingan kepala yang terjadi pada saat hatinya merasa tertusuk-tusuk oleh
perasaan duka, marah, sakit hati dan gelisah itu, bantingan keras yang
menggetarkan otaknya, telah merubah dan mengguncangkan otaknya, merubah susunan
syaraf dalam kepala. Tanpa ia sadari, timbullah semacam kekuatan mujijat di
dalam kepalanya yang menyinar keluar dari matanya. Kekuatan mujijat ini
terutama sekali timbul apabila hatinya terganggu dan membuatnya menjadi marah
dan sakit hati. Kekuatan mujijat yang membuat pandang matanya kuat melebihi
pandang mata seorang ahli sihir yang bagaimana pandai sekalipun, yang membuat
daya ciptanya sedemikian kuatnya sehingga dalam keadaan seperti itu, mudah saja
ia “merampas” dan menguasai semangat kemauan orang! Kalau ahli-ahli sihir
memperoleh kekuatan mereka karena latihan dan ketekunan, adalah Han Han
memperolehnya karena kekuasaan Thian yang tiada batasnya. Susunan otak dan
syarafnya, seperti manusia-manusia lain, adalah sempurna sekali sehingga
segala sesuatu dapat dipergunakan secara normal. Akan tetapi, hantaman
kepalanya pada dinding itu menggoyahkan kesempurnaan itu sehingga cara kerja
otak dan syarafnya menjadi terganggu. Justeru gangguan ini yang menimbulkan
kekuatan hebat itu!
Namun Han Han sendiri tidak
sadar akan hal ini. Karenanya ia tidak dapat menguasai kekuatan mujijat ini dan
kekuatan ini hanya timbul kalau ia sedang marah seperti yang tadi timbul dan
tanpa ia sadari sendiri telah membuat Sin Lian menari-nari seperti monyet dan
Lauw-pangcu tertidur pulas di luar kehendaknya!
Lauw-pangcu menghela napas
panjang. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman luas, ia telah dapat
mengenal sifat-sifat Han Han. Ia tahu bahwa kalau ia mendesak terus, hasilnya
malah merugikan karena anak ini tentu akan kehilangan gairah belajar ilmu
silat. Pada saat itu, Sin Lian berlari-lari keluar dari kamarnya dan berkata.
“Ayah.... Ayah.... aku mimpi
aneh....”
Lauw-pangcu memandang
puterinya lalu mengerling kepada Han Han yang menundukkan muka. “Mimpi apa?”
“Aku mimpi menjadi monyet dan
menari-nari.... eh, sute masih di sini. Bagaimana, Ayah, apakah dia masih berkepala
batu tidak mau menceritakan riwayatnya?”
Lauw-pangcu kembali melirik
kepada Han Han mendengar ucapan puterinya itu, dan Han Han masih menunduk,
hanya mukanya menjadi merah karena anak ini pun terkejut dan heran di dalam
hatinya. Tadi dia telah memaki di dalam hatinya, memaki Sin Lian seperti
monyet menari-nari dan gadis cilik ini pun lalu menari-nari tanpa sadar.
Kemudian sekarang bocah ini mengatakan mimpi menjadi monyet dan menari. Apa
yang telah terjadi? Dia sendiri tidak mengerti dan bingung. Akan tetapi hatinya
lega ketika mendengar gurunya berkata.
“Sutemu sama sekali
tidak kepala batu, Lian-ji. Jangan kau kurang ajar dan terlalu mendesaknya. Han
Han adalah seorang keturunan keluarga Sie, dan karena dia sudah tiada ayah
bunda lagi, memang tidak ada sesuatu yang perlu diceritakan.”
“Aihhhhh...., dia ini jaka
lola (yatim piatu)....?” Suara Sin Lian mengandung penuh iba sehingga lunturlah
semua kebencian di hati Han Han. Apalagi ketika ia memandang kepada “suci-nya”
itu dan melihat pandang mata Sin Lian terhadapnya begitu lembut dan penuh
kasihan, ia lalu tersenyum kepada Sin Lian. Dara cilik itu membalas senyumnya
dan mulai detik itu terjalinlah rasa persahabatan antara mereka.
Mulailah Lauw-pangcu
mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Han Han. Hatinya girang bukan main
karena dugaannya sama sekali tidak meleset. Bocah ini memiliki ingatan yang
amat luar biasa, seperti kertas putih bersih saja, sekali ditulis tidak akan
luntur lagi. Mudah saja bocah ini menerima pelajaran kouw-koat (teori silat)
dan mendengar terus mengerti dan ingat. Sebentar saja ia sudah dapat menghafal
semua nama dan kedudukan bhesi (kuda-kuda). Juga ketika melatih kuda-kuda,
sebentar saja ia sudah dapat menguasainya sungguhpun kuda-kudanya itu tentu
saja hanya merupakan kulit yang belum ada isinya. Ketika Sin Lian disuruh
mengujinya, sekali serampang dengan kaki, kuda-kuda yang dilakukan Han Han itu
rontok dan ia pun terguling! Maka Lauw-pangcu makin yakin bahwa anak ini memang
belum pernah belajar silat. Mulai hari itu, Han Han disuruh berlatih memasang
kuda-kuda dengan tekun dan Sin Lian yang menjadi sucinya selalu menemaninya dan
mengawasinya dengan rajin pula. Dalam keadaan apapun juga, Han Han diharuskan
memasang kuda-kuda dan dengan demikian, ia mulai memaksa otot-otot kakinya,
dan melatih otot-otot kakinya itu agar menjadi seperti kaki ahli silat karena
sepasang kaki merupakan pilar terpenting bagi seorang ahli silat. Makin kuat
kuda-kudanya, makin sempurnalah ilmu silatnya, demikian pendapat para ahli
silat.
Han Han merupakan seorang anak
yang rajin dan tekun. Akan tetapi kerajinannya ini hanya ditujukan untuk
membaca kitab karena memang sejak kecil ia sudah “berkecimpung” dalam lautan
kitab-kitab dan huruf-huruf sastra. Kalau disuruh menghafal, sekali baca ia
dapat mengingat seribu huruf di luar kepala. Kini, disuruh melatih bhesi, ia
merasa tersiksa sekali. Menimba air pun harus dengan sepasang kaki memasang
bhesi, di waktu berdiri, di waktu jongkok, bahkan di waktu ia berdiri memasak
air dan membantu pekerjaan Sin Lian mengurus rumah, ia diharuskan oleh gurunya
untuk memasang kuda-kuda. Dan semua ini selalu diawasi dan dikontrol secara
keras oleh Sin Lian!
“Sute, memang membosankan
belajar bhesi seperti ini. Akan tetapi karena bhesi amat penting, sute harus
tekun. Aku sendiri semenjak pandai berjalan sudah disuruh belajar bhesi oleh
Ayah!”
Han Han menarik napas panjang.
Sudah hampir sebulan ia berlatih bhesi seperti ini. Bayangkan saja. Dalam sebulan
itu ia selalu memasang bhesi! Hanya di waktu tidur nyenyak saja kakinya tidak
dikakukan karena dalam tidur ia terlupa. Kedua kakinya terasa kaku sekali, bahkan
kalau dilonjorkan menimbulkan rasa sakit-sakit lagi.
“Suci, apakah belajar silat
begini tidak menjemukan? Jangan-jangan kalau sudah lulus, sekali berdiri
memasang bhesi kedua kakiku lalu berakar di tanah dan tidak dapat dicabut lagi.
Berapa lama aku harus melatih bhesi seperti ini?”
“Tergantung orangnya, sute.
Akan tetapi menurut kata Ayah, engkau memiliki daya tahan dan bakat yang luar
biasa sehingga dalam beberapa hari lagi tentu Ayah akan mengajar lebih lanjut.”
“Mengajar apa?”
“Ilmu silat tentunya. Ilmu
pukulan.”
“Wah, aku tidak suka.”
“Mengapa?”
“Ilmu saja kok ilmu memukul
orang! Untuk memukul, menyiksa dan membunuh orang digunakan ilmu yang
dipelajari. Alangkah kejinya!”
“Sute, kau ini bocah aneh
sekali. Ilmu silat bukan semata-mata memukul orang. Memukul hanya merupakan
sebuah di antara gerakan silat, di samping gerakan mengelak, menangkis,
menendang, menyiku dan lain-lain. Ilmu silat, menurut penjelasan Ayah, adalah
ilmu tata gerak menjaga dari pada serangan lawan, juga ilmu kesehatan karena dengan
latihan ilmu silat, jalan darah kita beredar dengan lancar dan betul
mendatangkan kesehatan, selain itu, juga merupakan seni tari yang indah, dan
terakhir merupakan latihan batin, meningkatkan harga diri dan memupuk sifat
rendah hati.”
Han Han mendengarkan dengan
melongo. Mereka duduk mengaso setelah berlatih kuda-kuda itu di dalam taman
liar yang dipelihara oleh Sin Lian, duduk di atas rumput yang tebal. Tak
disangkanya bahwa puteri ketua pengemis ini dapat bicara seperti itu!
Disangkanya bahwa Sin Lian hanya pandai bersilat dan pandai memaki, galak,
ganas, akan tetapi juga ramah sekali.
“Keteranganmu amat menarik,”
katanya tersenyum, “dan engkau pandai membela kebaikan ilmu silat. Tentang yang
pertama, aku percaya karena engkau pandai menjaga serangan lawan bahkan pandai
menyerang. Juga bahwa ilmu silat adalah ilmu menyehatkan tubuh, boleh dipercaya
melihat betapa engkau sehat dan kuat serta lincah sekali. Akan tetapi bahwa
ilmu silat adalah ilmu yang mengandung seni tari indah, masih kusangsikan.”
“Masih sangsi? Kau lihat dan
katakan apakah ini tidak indah,” kata Sin Lian yang sudah melompat bangun dan
dara cilik ini mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya cepat, namun terutama
sekali amat indah. Gerakan tangan kaki teratur rapi dan benar-benar membuat
Han Han menahan napas. Ia melihat betapa gerakan-gerakan itu, biarpun agak
terlalu cepat, namun tiada ubahnya seperti seorang dewi yang menari dengan
indahnya, sama sekali tidak kelihatan sebagai ilmu untuk berkelahi. Betapa
lemasnya kedua lengan dan tubuh itu!
“Bagus! Memang indah sekali,
suci!” katanya memuji dengan sejujurnya.
Sin Lian berhenti bersilat,
lalu duduk pula di dekat Han Han.
“Harus kuakui bahwa ilmu silat
tadi seperti orang menari saja. Kini aku percaya bahwa dalam ilmu silat
terkandung seni tari yang indah, sungguhpun aku masih sangsi apakah aku dapat
belajar bersilat seindah yang kaumainkan itu. Tentang meningkatkan harga diri
dan memupuk sifat rendah hati, kurasa hal ini tidak karena ilmu silat,
melainkan tergantung daripada sifat orangnya.”
“Ah, tidak bisa! Seorang guru
yang baik seperti Ayah, di samping mengajarkan ilmu silat, juga menekankan
aturan-aturan keras untuk membuat muridnya memiliki harga diri, menjadi pembela
kebenaran dan keadilan, serta tidak sombong.”
“Kalau begitu aku suka belajar
ilmu silat. Biar kuminta suhu mengajarku gerakan kaki tangan.”
Sin Lian menggeleng-geleng
kepalanya yang bagus bentuknya. “Tidak begitu mudah, sute. Kuda-kudamu belum
sempurna benar. Lebih baik kita berlatih lagi agar kuda-kudamu cepat sempurna.
Setelah kuda-kudamu kuat benar, baru kau akan diberi pelajaran gerakan kaki
tangan.”
“Berapa lama lagi kiranya?
Sebulan, dua bulan, tiga bulan?”
“Tergantung dari kemajuanmu,
sute. Mungkin setahun baru diberi pelajaran pukulan.”
Jawaban ini membuat semangat
Han Han menjadi lesu kembali. Disuruh belajar bhesi sampai setahun? Wah, berat
sekali! Membosankan. Memang pada dasarnya ia kurang dapat melihat manfaatnya
ilmu silat dan tadinya sama sekali tidak suka, kini setelah mulai tertarik ia
terbentur pada kesukaran belajar kuda-kuda yang membosankan itu sampai setahun!
Sin Lian baru berusia sembilan
tahun lebih, akan tetapi ternyata dia seorang bocah yang cerdik. Melihat wajah
sutenya menjadi muram, ia cepat berkata.
“Sute, jangan memandang rendah
kuda-kuda. Karena sesungguhnya pokok kekuatan ilmu silat terletak pada
kekokohan bhesi inilah. Bagaikan rumah, demikian kata Ayah, bhesi adalah
tiang-tiangnya, pukulan tendangan dan gerakan lain hanya bagian atasnya atau
cabang-cabangnya berupa daun-daun jendela dan penghias-penghias lain. Apa
artinya rumah itu tampak indah dan kuat kalau hanya tampaknya saja dan
tiang-tiangnya tidak kuat? Tertiup angin keras sedikit saja akan roboh!
Demikian pula orang pandai silat. Kalau hanya kelihatannya saja bagus dan
kuat, namun tidak memiliki sepasang kaki yang dapat berkuda-kuda kuat, sekali
bertemu lawan berat akan mudah dirobohkan. Memang terlalu banyak orang yang
hanya ingin pandai memukul, menendang, sehingga kelihatannya pandai. Akan
tetapi kalau demikian halnya, engkau hanya akan menguasai seni tarinya saja
tidak akan dapat menguasai inti sari ilmu silat.”
Kembali Han Han tertegun.
Bocah perempuan ini pandai sekali berdebat, dan jalan pikirannya seperti orang
dewasa saja. Agaknya memang Lauw-pangcu sudah menggemblengnya sejak kecil, bukan
hanya digembleng ilmu silat, melainkan juga nasehat-nasehat dan
wejangan-wejangan.
“Baiklah, suci, aku akan tekun
berlatih bhesi,” kata Han Han sambil menghela napas. Mulailah ia berlatih
lagi, mengulangi berbagai kuda-kuda yang sukar-sukar, diawasi dan diberi
petunjuk oleh sucinya yang lebih muda darinya itu. Sampai hari menjadi gelap
barulah keduanya meninggalkan taman.
Tiga bulan kemudian Han Han
masih belum dilatih gerak pukulan, akan tetapi di samping latihan bhesi, ia
mulai dilatih mengatur napas dan bersamadhi oleh gurunya. Pelajaran ini pun
membosankan baginya, namun setidaknya ia cukup mengerti akan manfaat siulian
(samadhi) dan mengatur pernapasan, karena dalam kitab-kitab kuno hal ini pun
selalu disebut-sebut sebagai kewajiban setiap orang yang hendak menguasai diri
pribadi dan menguasai nafsu-nafsunya. Karena itu, latihan siulian dan mengatur
napas ini lebih mudah ia pelajari. Hanya bedanya, kalau siulian untuk menguasai
diri pribadi dan mengendalikan nafsu dilakukan dengan duduk diam dan belajar
mengendalikan pikiran dan menenteramkan hati serta menutup semua perasaan,
adalah siulian yang diajarkan oleh Lauw-pangcu ini ditujukan untuk melancarkan
jalan darah, untuk menguasai pernapasan dan terutama sekali untuk menggunakan
hawa dalam tubuh sebagai kekuatan!
Lauw-pangcu kembali tertegun
dan terheran-heran ketika pada hari-hari pertama ia mengajar murid barunya ini
bersamadhi, dalam waktu singkat saja Han Han sudah dapat mematikan semua rasa
dan berada dalam keadaan hening yang hanya akan dapat dicapai oleh orang yang
sudah berbulan-bulan belajar samadhi! Ia hanya mengira bahwa Han Han memang
memiliki bakat luar biasa dan kemauan yang amat keras seperti baja, tidak tahu
bahwa hal ini timbul dari keadaan yang “tidak wajar” dalam diri Han Han akibat
terbantingnya kepalanya pada dinding dahulu.
Lebih-lebih lagi keheranannya
ketika ia melatih Han Han untuk mengumpulkan hawa ke pusar dan bertanya apakah
ada terasa hawa di situ, anak itu mengangguk! Ia lalu menyuruh muridnya menggunakan
kemauan untuk mendorong hawa panas itu naik ke dada dan kembali Han Han
mengangguk, sebagai tanda bahwa ia telah melakukan perintah suhunya.
Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba dada muridnya. Ia terbelalak. Dada itu
mengeluarkan getaran yang amat kuat sehingga tubuh bocah itu menggigil, mukanya
merah seperti terbakar. Cepat-cepat ia menurunkan lagi hawa panas itu turun ke
pusar sehingga keadaan anak itu normal kembali.
Setelah Han Han dan gurunya
duduk mengaso tidak berlatih, gurunya berkata. “Dalam latihan siulian, kau
cepat maju, Han Han. Hati-hatilah, jangan kau sembrono dengan hawa panas di
pusar itu. Itu merupakan kekuatan hebat dan kalau kau sudah dapat
mengendalikannya, hawa itu dapat kaudorong ke bagian tubuh yang manapun juga,
merupakan kekuatan sin-kang yang luar biasa. Akan tetapi kalau kau sembrono dan
keliru menggunakannya, dapat merusak bagian dalam tubuhmu sendiri. Sebaiknya
secara perlahan kaulatih dan kuasai hawa itu, mendorongnya perlahan-lahan dan
sedikit demi sedikit maju, sampai dapat kauperintah dia maju ke pundak,
kemudian turun ke lengan dan sebagainya. Hawa itu dapat diperkuat dengan
latihan samadhi dan pernapasan yang benar seperti yang kuajarkan kepadamu. Kau
sudah hafal akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam latihan-latihan yang
tekun.”
Demikianlah, hanya dengan
setengah hati Han Han melanjutkan latihannya, yakni memperkuat kuda-kuda dan
latihan samadhi. Sebetulnya ia sudah tidak kerasan sama sekali tinggal di
sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia merasa tidak bebas lagi, tidak seperti ketika
ia berkeliaran tanpa tujuan. Sekarang ia terikat oleh kewajiban-kewajiban
berlatih dan membantu pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Sin Lian. Ia
tidak lagi dapat berlaku sekehendak hatinya, mau tidur tinggal tidur, mau jalan
tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya atau menangis semaunya kalau ia
kehendaki. Di situ, ia terpaksa berlaku tidak wajar dan palsu. Ia tidak suka
berlatih silat, namun terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya sedang mengkal, ia
seharusnya cemberut, menurutkan hatinya, akan tetapi di depan gurunya, Sin
Lian dan para anggauta kai-pang, ia memaksa diri tersenyum! Benar-benar hidup
tersiksa baginya. Lebih-lebih kalau ia mengingat akan sikap para suheng-suheng
(kakak seperguruan) atau susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya,
membuat ia makin tidak kerasan lagi. Mereka itu, anggauta-anggauta kai-pang
yang taat, memandang rendah dan hina kepadanya karena ia bukan termasuk
golongan pengemis! Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa belajar ilmu
silat di situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering kali
menegurnya. Han Han sering kali dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi dasar
dia memiliki watak keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai watak
pengecut, ia tidak pernah mengeluh di depan gurunya. Bahkan di depan Sin Lian
ia tidak pernah menceritakan perlakuan mereka itu terhadap dirinya. Sikap ini
menolongnya karena para anggauta kai-pang yang gagah itu merasa kagum
menyaksikan sikap Han Han dan gangguan-gangguan mereka makin berkurang.
Sudah lima bulan Han Han
berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu. Pada suatu pagi, datanglah serombongan
pengemis ke tempat itu. Mereka ini terdiri dari belasan orang pengemis, tampak
kuat-kuat seperti para anggauta Pek-lian Kai-pang. Hanya bedanya, kalau pakaian
para anggauta Pek-lian Kai-pang, biarpun bertotol-totol berkembang atau
tambal-tambalan, dasarnya selalu warna putih, adalah rombongan pengemis yang
datang ini pakaiannya serba hitam! Wajah mereka juga bengis-bengis, dan mereka
dipimpin seorang pengemis tua bongkok berpakaian hitam yang matanya hanya
satu, yaitu yang kanan karena mata kirinya buta.
Han Han yang sedang berlatih
bersama Sin Lian, segera berlari-lari menghampiri bersama gadis cilik itu yang
menjadi tegang dan berbisik, “Ah, mereka adalah orang Hek-i Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam). Tentu mencari keributan!”
Han Han menjadi berdebar
tegang hatinya. Benar-benarkah akan terjadi bentrokan antara para pengemis?
Alangkah aneh dan lucunya. Sama-sama pengemis, masih bertengkar! Ia dan Sin
Lian menonton dari pinggir karena saat itu, Lauw-pangcu sendiri telah menyambut
datangnya rombongan pengemis baju hitam ini bersama anak buahnya yang sudah
berbaris rapi. Rata-rata para anggauta Pek-lian Kai-pang bersikap keren.
Lauw-pangcu telah mengangkat
kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Biarpun belum pernah jumpa, namun
tidak akan keliru dugaan saya kalau yang datang berkunjung ini adalah
Song-pangcu (Ketua Pengemis Song) dari lembah utara!”
Kakek bongkok itu mengeluarkan
suara mendengus seolah-olah sikap sopan dan ramah ini malah tidak menyenangkan
hatinya. “Benar, Lauw-pangcu. Aku orang she Song ketua Hek-i Kai-pang dari
seberang sungai. Tak perlu kiranya kita berpanjang debat, Lauw-pangcu, karena kita
sama tahu bahwa di antara anak buah kita sudah sering kali timbul bentrok,
dan....”
“Bentrokan yang sengaja
dilakukan oleh anggauta-anggautamu, Song-pangcu!” bantah Lauw-pangcu dengan
suara keren. “Sudah jelas daerah kita dibatasi sungai, namun para anggautamu
sengaja menyeberang sungai dan mendesak daerah kami di selatan!”
“Tidak perlu dibicarakan lagi
urusan itu!” Song-pangcu memotong marah. “Kami tidak perlu lagi banyak cakap
dengan segala pemberontak....”
“Song-pangcu! Mengapa kau
menuduh yang bukan-bukan?”
“Ha-ha-ha! Menuduh, katamu?
Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian Kai-pang adalah cabang dan pecahan dari
Pek-lian-kauw yang memberontak dan jahat? Siapa tidak tahu akan kontak antara
kalian dengan pemberontak di barat?”
Lauw-pangcu menjadi pucat mukanya
lalu berubah merah sekali. “Song-pangcu, memang tidak perlu banyak cakap. Antara
kita terdapat jurang pemisah dan bibit permusuhan. Sekarang, kalian datang mau
apa?”
“Ha-ha, mau apa lagi?
Membereskan urusan antara kita dengan senjata!” kata It-gan Hek-houw sambil
terkekeh dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang juga berwarna hitam seperti
pakaiannya.
Lauw-pangcu memberi isyarat
dengan tangan dan melompatlah lima belas orang anggauta Pek-lian Kai-pang
tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh Sin Lian dan Han Han disebut susiok
(paman guru) dan mereka ini yang mewakili Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada
para murid. Hanya Sin Lian dan Han Han berdua saja yang menerima pendidikan
langsung dari ketua Pek-lian Kai-pang ini. Lima belas orang itu bergerak secara
teratur, berputaran dan terbentuklah sebuah barisan lingkaran tiga lapis. Yang
luar terdiri dari delapan orang, sebelah dalamnya lima orang dan yang paling
dalam dua orang. Bentuknya seperti teratai.
“Song-pangcu, bicara tentang
mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang mempunyai
banyak anak buah, tidak patut kalau turun tangan sendiri sebelum mengajukan
anak buahnya. Cobalah kaupecahkan barisan kami yang bernama Pek-lian-tin
(Barisan Teratai Putih) ini!” kata Lauw-pangcu.
Barisan itu hanya bentuknya
saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya merupakan gabungan daripada
pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang diwakili oleh lingkaran pertama di
luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan
im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan
barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis tenaga
yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat dan kuatnya
barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan kuat.
Akan tetapi It-gan Hek-houw
yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek.
Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari
Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka
majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak
seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun
masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda
dengan tongkat lawan yang putih.
Lima belas orang pengemis
pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelifingi
Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan
pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak,
hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan
mereka masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka
barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah
lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap
dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan
dua orang yang membentuk im-yang-tin.
Han Han menonton dengan
jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara
orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti
hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk
berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah
pandai ilmu silat juga seperti mereka ini? Ia pun memikirkan tuduhan kakek
mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang. Benarkah Pek-lian
Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah
cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini,
yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya
adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw
yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu. Menurut patut, pemberontak terhadap
Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa
sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak
dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan
tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada
pertempuran hebat yang akan berlangsung.
“Anjing-anjing hitam itu tidak
mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian dengan suara berbisik.
“Akan tetapi jumlah mereka
lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat
bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berfihak kepada
Pek-lian Kai-pang.
“Kau lihat saja, nanti tahu
kelihaian Pek-lian-tin, sute.”
Han Han tidak keburu bertanya
lagi karena kini pertandingan sudah dimulai, perhatiannya tertarik dan ia
menonton dengan hati tegang. Batu pertama kali ini selama hidupnya Han Han
menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini
akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali.
Pertempuran itu dimulai dengan
bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua fihak. Mula-mula
lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari
Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu
bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama, karena memang mereka itu
bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya.
Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah
memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan
mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu.
Kalau diukur tingkat
kepandaian perorangan antara anggauta kedua “tin” ini, agaknya berimbang dan
tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang
lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima
serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah
mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi,
setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya. Tiba-tiba mereka
itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan
karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian
Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja lalu bergerak ke
kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Adapun orang ke dua fihak
lawan yang menyerangnya otomatis telah “diterima” oleh teman yang datang menggeser
dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara
bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi
seorang lawan saja.
Kemudian secara tiba-tiba
sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak
terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar
yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang
membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke
sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam
tadi berada dalam posisi lemah.
Terdengar teriakan-teriakan
kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggauta
Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan
mereka tadi amat tiba-tiba, maka fihak lawan hanya ada dua orang saja yang
mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh
berkelojotan dengan kepala retak!
“Nah, kau lihat kelihaian
Pek-lian-tin!” seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini
ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan
di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas
mereka yang sedang bertempur.
Han Han merasa kagum, akan
tetapi juga ketidaksenangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak
memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki
tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata,
telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak
bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah
perkumpulan kai-pang dibentuk? Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru.
Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan
mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah
mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini!
Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada
ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk
menghancurkan lawan, untuk membunuh!
Setelah kehilangan tiga orang
kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum
bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan
sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di
sebelah dalam barisan lawan itu. Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka
bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka
pun berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian
mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi,
dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga
yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya. Keadan
makin seru dan kacau karena fihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh
penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu
oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di
luar. Perang campuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua fihak. Akan tetapi
sekali ini, fihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di fihak Hek-i
Kai-pang roboh tiga orang lagi.
Pat-kwa-tin yang kehilangan
empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak
disia-siakan oleh fihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit.
Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang
lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan
mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang
pengemis Hek-i Kai-pang. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan
roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang
terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan.
Kiranya mereka ini merupakan “inti” dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian
mereka lebih tinggi daripada tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat
kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena
mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan
mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam.
Maka sekali menerjang keluar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka
berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!
Bersoraklah fihak Pek-lian
Kai-pang melihat hasil ini. Kini fihak pengemis baju hitam sudah tewas atau
luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja! Sedangkan fihak
Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini
keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis
Pek-lian! Namun, harus dipuji semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam
itu. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya
teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan
setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang
hebat ini, keadaan makin kacau. Fihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan
sisa lima orang lawan ini setelah merobohkan fihak sendiri dengan empat orang
lagi!
Lima belas orang pengemis baju
hitam dan delapan orang anggauta Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah,
sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat! Tujuh orang anggauta
Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biarpun lawannya sudah
roboh semua, wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran
ini merekalah yang berada di fihak menang! Tapi pada saat itu, terdengar
bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak
maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh
orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut
terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu
memang hebat. Tongkatnya yang hitam itu biarpun kecil, mengandung tenaga luar
biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh
orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam
waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!
Lauw-pangcu memekik marah
melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya
menyambar ganas.
“Desssss....!” Dua tongkat itu
bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi,
kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok
itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.
“It-gan Hek-houw! Engkau tua
bangka tak tahu malu! Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak
buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara
kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali
menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.
“Orang she Lauw, manusia
sombong, pemberontak rendah!” It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan
melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia,
menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru.
Ilmu tongkat Lauw-pangcu yang
diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya,
diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai, yaitu Ilmu Tongkat
Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa.
Memang sesungguhnyalah bahwa
Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari
Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw
sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim
berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan, dan
menerima kawan-kawan baru lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang.
Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai
perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan
tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak
yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika
Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu
yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan
mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat
dan menentang pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini
sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi
gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase
terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali
bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.
Akan tetapi fihak pemerintah
Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan,
pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan
di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga
perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu
saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula
maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat
antara ketua sama ketua!
It-gan Hek-houw juga bukan
seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai,
maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun. dalam hal
ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat
lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya.
“Krakkk....!” It-gan Hek-houw
mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi.
Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat
dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian.
Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini
saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.
“Orang she Lauw, hari ini aku
mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!” Setelah berkata
demikian, It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti
sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.
Beberapa orang tokoh Pek-lian
Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak
dan melarang mereka.
“Pangcu, anjing macam dia
kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,”
bantah seorang di antara mereka.
“Jangan gosok-gosok luka yang
sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi
tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi
ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita
kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja).
Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok
pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.”
Wajah para pengemis itu
berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan
yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun
berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling
pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam
pertandingan tadi, serta merawat yang luka.
“Han Han, engkau di mana....?”
teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun
sambil menonton ahak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan
tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
“Ada apakah, Lian-ji? Ke mana
Han Han?”
Sin Lian mengerutkan alisnya
yang kecil hitam. “Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton
pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana.
Kupanggil-panggil tidak menyahut.”
Lauw-pangcu membantu puterinya
memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak
itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang
untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan
bekas.
Ke manakah perginya anak itu?
Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan
ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi, di sudut hatinya ia
makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama
pengemis saling bunuh seperti itu. Andaikata mereka itu merupakan
jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan
bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu. Apalagi
setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul
perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak
yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin “ong-ya” di barat. Ia menjadi
makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap
pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan
politik yang ia tidak mengerti. Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar
terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang
tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ
dan terus berlari cepat keluar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya
akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika
Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada
amat jauh di luar hutan.
Han Han kembali ke kota
Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu.
Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang
waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu
Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan
jembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama jembel cilik yang
bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat! Berseri wajah Han Han
ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi
mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia
harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah
Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar.
Dari jauh sudah terdengar
suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri
dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian
mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik. Gerakan anak
berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep
buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan mengaduh-aduh. Ketika Han Han
meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan
Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian
melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera
teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah
pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan
yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang
ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua
orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya
sambil membentak marah.
“Kau bocah sombong dan jahat!
Di mana-mana kau suka memukul orang!”
Melihat datangnya seorang
bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan
memegangi pantatnya. “Aduhhh.... kau main curang, awas kau kalau aku sudah
dapat berdiri lagi....!” Adapun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh
lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali
sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya
berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul.
Bocah berpakaian mewah membawa
kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah
pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan
yang lebih kuat. Apalagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang
sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang,
memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.
“Hemmmmm, kau ini bocah edan
yang dulu pernah kuhajar setengah mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu,
kau bukan lawanku. Apalagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat
dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcumu?
Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun
kembali.”
“Sombong! Mentang-mentang kau
ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kaukira aku takut padamu? Apa
artinya kebangsawananmu kalau itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan kesopanan?
Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya
pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan
menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”
Ucapan Han Han ini sungguh
tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia,
akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah
dibacanya!
“Wah-wah, yang sombong ini
sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah jembel tidak mengerti ilmu silat,
bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana
mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?”
“Huh, macam engkau bicara
tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini,
apakah itu juga gagah?”
“Kau tidak tahu! Aku dengan
baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya jembel tua yang suka berada di
sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka
pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau
menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah
memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?”
Han Han tertarik, jantungnva
berdebar. “Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?”
“Eh, engkau tahu tempatnya?”
“Tentu saja! Aku muridnya!”
Ouwyang Seng terbelalak memandang.
“Kau....? Muridnya....? Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kautunjukkan padaku di mana
dia!”
“Mau apa sih?”
Han Han menjadi geli hatinya.
Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan
tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda‑kuda Vang pernah
ditatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungykin. Kalau ia hanya
memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan
ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian
dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga
gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang
sudah ia saksikan kelihaiannya.
“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo
suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian
sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada
di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han memandang dengan hati
terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang
Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong
di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan
ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung
kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya. Kepalanya botak kelimis.
Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus
licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok.
Sedikit rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah, kasar dan
besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang,
juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular
kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh, seperti mata
orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari
sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap.
Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali,
seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya
kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa
isinya.
“Suhu, bocah jembel ini adalah
murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita
kepada kakek jembel itu.”
Si Botak tertawa lagi. “Memang
sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari sendiri.
Nah, Kongcu, kaubawakan buntalan ini!”
Memang aneh kalau seorang guru
menyebut “kongcu” atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru
Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan
putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan
Mancu. Namun, hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia
berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng
menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya
cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling
banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng
lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu
menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar! Hei, bocah murid Lauw-pangcu! Siapa
namamu?”
Ujung cambuk itu melecut-lecut
dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak
merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak.
“Namaku Han Han, dan biarpun
aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong
kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah
ini hebat! Lihat matanya.... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia! Boleh
dijadikan pelayan.”
Kiranya kakek botak itu
bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan
memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia
kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya
Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau
mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani
mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti daripada
setan sendiri! Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki
tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum
sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di
antara datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk
hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi “pelindung” Pangeran Ouwyang Cin
Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan
yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil
putera pangeran itu sebagai muridnya! Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si
Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah
bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki
Ouwyang Seng terlalu rendah.
Inilah sebabnya maka mata Si
Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik. Dia
bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis
yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan
serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang
Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun
tangan karena “gengsi” pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti
seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu. Akan tetapi karena
muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian
Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama.
Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini
yang ingin memberi “hajaran” kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya
rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah jalan, Ouwyang Seng
membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari
kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhuku ini
sampai di tempat yang kautunjukkan! Berani tidak kau mengadu tenaga melawan
aku?”
Kalau hanya ditantang
berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi.
Akan tetapi ditanya “berani atau tidak”, segera bangkit semangatnya.
Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati
bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang
lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.
“Tentu saia berani. Mengapa
tidak? Mengadu tenaga bagaimana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi.
Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”
“Tidak usah berkelahi, kau
takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa
yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia
akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.”
“Boleh!” Han Han menjawab.
Si Setan Botak hanya
tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang
anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar
di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.
“Siap?” tanya Ouwyang Seng.
“Siap!” jawab Han Han.
“Mulai!” Ouwyang Seng
mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua
telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong. Han Han yang merasa betapa
kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua
kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di
bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah
berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk
balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa
tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia
sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri,
disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku
lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel
dadanya.“Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng
tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja
sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang
daripada Han Han.
Namun Han Han menggeleng
kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa
kalah, karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah tertekuk
sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih
kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar
dari lingkaran.
“Kau kepala batu!” Ouwyang
Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan
lebih cepat. Akan tetapi, daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah
mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad
untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekalipun, ia masih
belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran?
“Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa....!”
Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han
terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran! Han Han
terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia
terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia
terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit
tenagat mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan bangga Ouwyang Seng
lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri
memandang heran, setelah putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhunya.
“Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar
mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!”
Han Han amat cerdik. Biarpun
ia tidak tahu apa sebabnya dan bagaimana caranya, namun ia dapat menduga bahwa
kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah
sekali. Apalagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia
berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus
berlutut. Kemarahan membuat jantungnya berdebar, darahnya panas naik ke kepala
dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
“Aku? Berlutut padamu? Tidak
sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung,
“Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan
bungkusan itu dengan hormat!”
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu,
disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang
bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han mengira bahwa Ouwyang
Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi,
seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke
pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut
sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”
Ouwyang Seng kini tersentak
kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han,
ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.
“Kenapa....? Kenapa aku
berlutut....?”
“Ajaib.... ajaib....!”
Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel dan tiba-tiba Han Han
merasa betapa tubuhnya melayang ke atas. Tahu-tahu ia telah tergantung di atas
kuda, dengan kakek botak itu yang memegangi tengkuk bajunya dan mendekatkan
mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang
mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau
berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak
marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
“Ajaib.... bocah ajaib....
matamu ini.... ah, luar biasa!” Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang
melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat
berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya,
membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia
sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sin-kang yang amat luar biasa
dari Si Kakek Botak.
Adapun Ouwyang Seng yang tidak
tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan
taat saja “diperintah” oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi
uring-uringan.
“Tar-tar-tar!” Cambuk panjang
di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo
cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”
Han Han sudah berjalan sambil
memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia
sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han
Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng....!”
“Keparat! Menyebut aku harus
Kongcu, mengerti? Jembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?”
“Namamu memang Ouwyang Seng,
bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.”
“Setan pengemis! Apa kau minta
dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya
kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
“Tar-tar....!” Han Han yang
merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk,
melepaskan bungkusan itu yang jatuh ke atas tanah, berdebuk.
Biarpun hatinya panas dan
marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia
tidak akan menang, apalagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak
yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya
di atas pundak. Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat
ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima
cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke
hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan
dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak
buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari itu mereka tiba di
dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang
Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang
berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka
itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan
mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu
ayahnya.
“Han Han....!” Tiba-tiba Sin
Lian berseru girang ketika melihat sutenya itu datang memanggul sebuah
bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa
Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang
kuda, dengan sikap tenang sekali.
Semua anggauta kai-pang yang
sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua
mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguhpun Si
Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun
semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggauta Pek-lian Kai-pang
selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu sendiri pada saat
itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut
dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya,
karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam
kekuatan yang amat mujijat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya.
Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap
dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil
muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada
di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han,
seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, untuk menekan perasaannya yang
gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri
kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa
herannya para anggauta Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang
terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada
kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan
suara mengandung rasa cemas.
“Sungguh tidak
tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe
sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya karena tidak
tahu lebih dahulu, kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”
Mendengar ucapan itu, para
anggauta Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka
bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang
Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang
sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok,
malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya.
“Bocah, apakah dia ini ketua
Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”
“Benar,” jawab Han Han.
Si Setan Botak tertawa.
“Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kauhadiahkan isinya kepada gurumu,
ha-ha-ha!”
Han Han menjadi girang. Memang
dia tidak suka perkelahian, apalagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhunya
sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya
menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu
bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang
akan diberikan suhunya! Tanpa berkata apa-apa lagi karena girang ia lalu
menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhutiya
dan membuka tali pengikatnya. Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang
membuat Han Han terpaksa menutup hidung, matanya terbelalak memandang isi bungkusan.
Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggauta Pek-lian Kai-pang yang
tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget.
Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya.
Lima kepala orang anggauta Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah
Lauw-pangcu! Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai
tikus!
“Aihhh....!” Banyak mulut
mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si
Setan Botak.
Lauw-pangcu memandang kepada
Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding
ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka! Baiklah
sebelum semua mati, engicau akan mampus di tanganku lebih dulu!” Setelah
berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya
melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya
seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke
arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat,
andaikata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu
sekalipun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri daripada serangan
maut ini. Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut
Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh
dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagaimana tangguh pun akan
sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara
secepat dan sekuat itu.
Mengapa Lauw-pangcu menjadi
begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah
yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus
terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan
sekalipun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri! Sesungguhnya adalah
karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama
Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat
menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula
bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apalagi melihat Han Han
tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja
ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi
pembantu musuh! Adapun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling
ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai
kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han
tidak akan gagal lagi.
Han Han bukan tidak tahu bahwa
gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan
tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang
tanpa berkedip.
“Ayahhhhh....!” Sin Lian
menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut
mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sutenya, maka tanpa ia sadari ia
menjerit.
Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu
yang melayang dan yang sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han,
hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling! Kakek
ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun,
tongkat di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak
yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun
nyaring dan ketus.
“Gak-locianpwe, saya hendak
turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah
perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara
Lima Datuk Besar?”
Baru sekarang semua yang
hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak
membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan
terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagaimana tahu-tahu
Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping?
Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia
ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si
kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini
tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong
dia! Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai
seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan
siapakah mereka ini?
Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak
melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggauta Pek-lian
Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya
tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu “terangkat” oleh tenaga
yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak
di tengah-tengah kepungan para anggauta Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan
Lauw-pangcu! Mulutnya menyeringai dan kumisnya yahS panjang bergerak-gerak
seperti dua ekor ular kecil hidup.
“Orang she Lauw! Bagus engkau
mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali
engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum
pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah
menjadi pelayanku. Mana bisa kaubunuh dia begitu saja? Pula, kedatanganku ini
memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang perkumpulan pemberontak rendah! Nah,
kauserahkanlah kepalamu dan kepala semua anggauta-anggautamu seperti yang
terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini.”
Ucapan ini terdengar seperti
halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggauta pengemis
Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka tetdiri dari lima puluh orang
lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri
saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biarpun ia sudah mendengar akan kesaktian
Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun
teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak
takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada
anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat
mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu
dari segala jurusan.
Melihat ini, hati Han Han
sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang,
pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian.
“Suci, mari hajar bocah setan
ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki.
“Engkau murid murtad!”
Han Han yang amat kaget itu
tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu
hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan
Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil
tertawa-tawa mengejek. Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan
tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak.
Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang
membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk
sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.
Han Han lebih tertarik
menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya,
karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh
lebih hebat daripada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik
hatinya. Apalagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan
tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya
bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah
di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit,
dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan lalu memanjat pohon
agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Apa yang dilihat Han Han
membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas
pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju
adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu
sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya
berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram
ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar,
kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan.... tujuh orang pengemis
Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati! Itulah semacam
kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi
para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat.
Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan
tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata
rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan
sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian
yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.
“Heh-heh-heh....!” Si Setan
Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggauta
Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata
seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!
Kembali belasan orang pengemis
maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras.
Harus diketahui bahwa para anggauta Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu
silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan
dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh. Namun, kakek botak itu sama
sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran,
ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada,
menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat
yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung
tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk
tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak. Namun sama sekali kakek itu
tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar
kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh pengemis yang menjadi
senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan terdengarlah suara
“prak-prak-prak!” berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan
kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan
kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena
sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang
dijadikan senjata. Adapun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping,
telah hancur dan tidak menyerupai kepala!
Lauw-pangcu marah bukan main
sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas, dalam keadaan
mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi
nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke
depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh
orang.
“Heh-heh-heh, bagus! Biar
kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan Botak dan tiba-tiba tubuhnya
berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Hen yang melihat
kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek
itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi
panas! Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den
roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali! Hanya Lauw-pangcu, dan dua
orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya, terhuyung ke belakang akan tetapi
tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah,
mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh
orang anggauta Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan,
telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu!
Han Han kini menjadi ngeri,
akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak.
Bagaimana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat
gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian, ternyata gadis cilik ini pun
sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang
Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa
perhitungan lagi den sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu
terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya den menangkap kedua lengannya terus
dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!
“Kau bocah galak seperti
kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan
hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!” kata Ouwyang Seng
tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu.
Wajah Han Han menjadi merah.
Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak
perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki.
“Ouwyang Seng, kau
bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kaulakukan itu? Tidak tahu sopan,
tidak bersusila kau!"
Ouwyang Seng hanya terkekeh
dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa
hasil. Pada saat itu, tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik
sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus.
“Anak, kau minggirlah.”
Han Han terbelalak. Gerakan
wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah di
situ, melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya
antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam
sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya
disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung
pedang indah terukir. Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan
hanya wanita cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di
situ telah berdiri pula dua orang. Yang seorang berusia kurang lebih empat
puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang sebatang cambuk
besi. Laki-laki ini biarpun pendek kecil, namun memiliki pandang mata yang
keren berwibawa. Adapun laki-laki ke dua adalah seorang berusia empat puluh
tahun, bertubuh tinggi besar berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang
toya kuningan yang kelihatannya berat sekali.
Laki-laki pendek yang memegang
cambuk besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata,
“Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu
menghadapi iblis ini!”
Lauw-pangcu kelihatan lega
ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak
enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini,
biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat!”
Mendengar disebutnya nama ini,
tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi
terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata
masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.
“Hemmm, sudah lama mendengar
Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru
sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian!”
kata pula laki-laki pendek penuh semangat.
Si Setan Botak memandang penuh
perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah
mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid
Siauw-lim-pai. Benarkah?”
“Kami memang anak murid
Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk
membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa!” kata wanita cantik itu,
suaranya nyaring dan merdu.
“Heh-heh, kau cantik dan
bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?” tanya pula Si
Setan Botak memandang rendah.
“Ceng San Hwesio adalah Sukong
(Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya,
menggeledek.
Tiga orang itu bukanlah
orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal
gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan
perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga
Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan. Yang tertua dan
bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa
Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk
Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang
wanita yang masih gadis tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang
mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik).
Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu
mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa
Mancu.
Akan tetapi ketika
Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak
tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San
Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang
datang, barulah patut melayani aku beberapa jurus.”
Ucapan ini amat tekebur dan
memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang
tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua
Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal
kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka
mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu
dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam
orang yang berkepandaian tinggi.
Han Han yang menonton dari
atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak
senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik
di antara kedua fihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang
karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh
semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang
karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu
banyak kawan.
Sebagai murid-murid perguruan
tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para
anak buah Pek-lian-pai yang suka “main keroyok” secara kacau-balau. Pertempuran
sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya.
Memang, mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan
secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan
berganti-ganti. Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si
wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang
ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena
selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya
digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang
akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap
berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang
sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.
“Krakkk! Brettttt....!
Ha-ha-ha-ha!”
Tubuh Bhok Khim mencelat ke
samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri
sibuk berusaha menutupkan baju bagian dadanya yang sudah robek lebar
memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke
tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua! Pucatlah wajah semua
orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap
pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek
baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.
“Iblis tua bangka!” Liem Sian
menerjang dengan toya kuningannya. Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu
toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian
membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri
diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia
memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.
“Ayaaa....!” Liem Sian
terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan
toyanya hampir terlempar.
Saat itu dipergunakan oleh Khu
Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk
besinya. “Tar-tar....!” Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek
botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang
tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.
“Cringgg....!” Bunga api
berpijar dan ujung cambuk itu patah!
Lauw-pangcu dan dua orang
kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok.
Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar
sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggauta Pek-lian
Kai-pang, lalu maju mengeroyok.
Kakek botak itu gerakannya
tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung
tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh
kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan
dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan
pukulan. Setlap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sin-kang yang
aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan
lawannya! Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu
roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk
dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan
pundaknya patah pula, adapun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis
itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Kakek ini terbahak-bahak
tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil
menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian
lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang
pingsan.
“Ayah...., Ayahhh....!”
Biarpun lengannya sudah patah
tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang
terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan
memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.
“Locianpwe adalah seorang
datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan,
kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi
kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu Cen Tiam yang menyebut
locianpwe, karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu
kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu. Lima
Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima
orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia
persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka
diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!
“Heh-heh-heh, kalau tidak
memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat
ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari, sebagai
penebus nyawa kalian!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian
membentak marah. Biarpun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka
menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja, keduanya sudah
terbanting dan terjengkang ke belakang!
“Baik, kalau kamu iblis tua
bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami
para anggauta Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat
perhitungan!”
“Sute....!” Khu Cen Tiam
menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa
bergelak.
“Bagus.... bagus.... kiranya
akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian
mengembalikan sumoimu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”
Setelah berkata demikian,
sekali tubuhnya melayang, kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak
dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang
Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu!” Dengan
tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan “kraaakkkkk!” batang pohon
itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah
bersama-sama!
Han Han bergulingan, kulitnya
lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya.
“Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera pangeran itu. Han Han
menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela
napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali
kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan
tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beherapa kali terdorong
moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar
dari dalam hutan itu.
***
Dapat dibayangkan betapa hancur
dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan
Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggauta Pek-lian
Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggautanya sehingga mereka yang
kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa
orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua
anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu
Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si
Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat
menyesal, juga amat marah dan sakit hati.
“Sudah kucegah tadi ji-wi
enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,” demikian
Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi
terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang.
Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si
jahanam Sie Han!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian
menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan berkata demikian.
Kita sama-sama anggauta Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi
penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan
di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan
hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”
“Ahhhhh, iblis itu terlampau
sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya
amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu
melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat
akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.
“Di antara saudara kita banyak
yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh
besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam
waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis
itu dan menolong sumoi.”
Demikianlah, setelah
penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama
Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan
dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat
itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung
dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang
orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Adapun Kang-thouw-kwi Gak Liat
yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas,
diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han, pergi menuju ke timur menyusuri
pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka
tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.
“Berhenti di sini!” Ia
meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.
“Di sinikah tempatnya
batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya Ouwyang Seng.
Si Setan Botak mengangguk.
“Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya,
seperti yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali
untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”
Ouwyang Seng melihat betapa
gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta
lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil
membentak. “Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!”
Akan tetapi sekali
merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah
memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu
kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis
itu yang hitam panjang. Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh
kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam
yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa
seperti melihat cicinya sendiri yang telah lenyap, sungguhpun pandang mata
Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cicinya yang penuh kasih
sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di
depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.
“Locianpwe adalah seorang yang
sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini
melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?”
“Han Han, tutup mulutmu yang
busuk!” Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan
memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia
memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak
itu berseru perlahan.
“Demi iblis....! Matamu mata
iblis....! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah kulakukan?”
Han Han menuding ke arah Bhok
Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu. “Lepaskan cici itu dan
aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan
perbuatan hina!”
Si Setan Botak memandang
terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis,
kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ini kauanggap perbuatan hina dan rendah?
Ha-ha-ha-ha!” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang
halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan
dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada
dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan
mata dan merintih perlahan.
Kemarahan Han Han memuncak. Depgan
mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak, “Locianpwe! Kau tidak
akan menghina wanita!”
Kakek itu mengangkat mukanya memandang
sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata
Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan
terdengarlah ia berkata perlahan, “Aku.... aku....”
Tentu saja Ouwyang Seng
menjadi bengong menyaksikan keadaan suhunya ini, maka ia berseru keras dan
heran, “Suhu....! Apa artinya ini....?”
Sesungguhnya, pandang mata dan
suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mujijat yang tidak sewajarnya.
Demikian kuat dan mujijat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti
Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai
terpengaruh! Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan
kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya
sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, Kang-thouw-kwi
Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam
ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia
sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping. Gadis itu
terguling dan rebah miring, tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah
menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali,
di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata
Han Han yang masih bersinar-sinar sungguhpun kini kemarahan anak itu mereda
karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.
“Eh, Han Han, coba katakan,
siapakah nama Ayahmu?”
Kalau Han Han ditanya
riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya, karena hal itu akan
mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya.
Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk
menjawab, apalagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya
tidak akan mengganggu Bhok Khim.
“Ayahku bernama Sie Bun An.”
“Ayahmu ahli silat tinggi dan
tokoh kang-ouw?”
“Ah, tidak sama sekali,
locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar
silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia berterus terang dengan suara
keras. Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini
di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini
pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering
kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat
kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai
membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!
Mendengar ini, kakek botak itu
tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran. “Matamu
itu.... hemmm.... Han Han, kaukatakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali
aku mengenalnya.”
“Aku tidak pernah melihat
Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayanku tidak banyak bercerita
tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan
namanya Sie Hoat....”
Kakek botak itu meloncat
bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie Hoat....? Sie Hoat Si Dewa Pencabut
Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)?
Pantas.... pantas....”
Han Han bengong, mengira bahwa
Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya! Ayahnya adalah seorang
sastrawan yang kaya raya, biarpun ayahnya belum pernah bercerita tentang
kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan.
Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan
pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.
“Kenapa locianpwe tertawa?
Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”
“Ha-ha-ha! Mengenal
Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu! Dia masih hutang
beberapa pukulan dariku. Dan kau.... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku
karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat
muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”
“Locianpwe, apa yang locianpwe
maksudkan....?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran.
Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak
Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke
arah awan yang berarak di langit. “Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat!
Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha!”
Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di
atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang
diangkatnya.
“Locianpwe tidak boleh....!”
Akan tetapi ucapan Han Han ini
terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya
diseret pergi dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali
mengganggu suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan
orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kaubantu aku mencari batu-batu bintang.
Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau
dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau
akan diambil murid seperti aku!”
Han Han yang terus diajak
pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya, mengerti juga
betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti
itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik.
Ia tertarik mendengar tentang bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.
“Untuk apakah batu bintang?
Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?” tanyanya sambil memperhatikan
ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak
terdapat di situ.
“Kau lihat baik-baik batu ini
dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kuceritakan,” jawab Ouwyang Seng. Han Han
melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil,
paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang,
runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan
mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari
dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari
Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.
Seperti yang pernah didengar
bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda
besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini.
Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan
dari bintang, karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali
pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang.
Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini
tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali
biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan
orang.
“Akan tetapi suhu yang sakti
luar biasa melihat sifat yang mujijat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang Seng
melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu
kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”
Sambil memandangi batu-batu kemerahan
itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya.
“Sifat mujijat apakah? Dan apa
itu Yang-kang?”
“Ah, dasar kau hijau bodoh
tidak tahu apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang?
Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu
kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada
seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang
(Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu
terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mujijat dari Yang-kang,
dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya
bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas.
Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”
“Bagaimana caranya?”
“Kau akan melihat sendiri!
Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang
mendidih?”
“Ah, masa....?” Tentu saja Han
Han tidak percaya.
Ouwyang Seng tersenyum bangga
dan menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang
berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar
seperti kedua lengan suhu, akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau
sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh
lawan yang bagaimana kuat sekalipun!”
Han Han memandang dengan
melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di
dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri.
Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki
kekuatan yang mujijat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah
dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia
dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai
seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!
“Benarkah semua yang
kaukatakan itu, Ouwyang Seng?”
Tiba-tiba bocah itu melotot
dan membentak marah, “Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan
sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan
suhuku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran
Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya
kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!”
Wajah Han Han menjadi merah.
Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan “sopan santun” yang
diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan si kecil mencium ujung sepatu si
bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang
bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.
“Maaf, benarkah semua yang
kauceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”
Berseri wajah Ouwyang Seng.
“Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku
percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri
menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa
yang kuceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han.
Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya,
karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi
sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya.
Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”
Han Han mengangguk dan mereka
berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang
Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya,
lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di
mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Ketika kedua orang anak
itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu
dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia
melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia
melangkah pergi sambil terisak menangis.
“Ho-ho, Manis, kenapa
menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu,
dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu ho-ho-ha-ha!”
Wanita muda itu tiba-tiba
membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang
penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata dan ia bergidik. Belum
pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan,
kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan
berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak
Si Kakek Botak.
“Sudah mendapatkan banyak batu
bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat
engkau berlatih, Kongcu.”
Tubuh kakek botak yang tadinya
duduk, tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi
berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek
Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang Seng agaknya tidak heran
menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain
sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya. “Hayo kita berangkat, Han Han. Hari
sudah hampir gelap!”
Kembali mereka melakukan
perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang
duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh
Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang
adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han
Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.
Menjelang malam, tibalah
mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han
tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali,
yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho
dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah
bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!
“Rumah siapa ini....?” tanyanya
ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan
Si Kakek Botak dan Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang
melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki
gedung dari pintu tengah.
“Heh-heh, rumah siapa lagi?
Ini rumahku!”
“Rumahmu....?” Han Han makin
kagum.
“Bodoh, bukankah sudah
kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini
bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku
di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat
kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja!”
Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han
dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri
ke dalam rumah gedung dan malampun tiba.
Pada keesokan harinya, Han Han
terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa
semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu
sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang
gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari
situ. Betapapun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan
kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia
masih memilih bebas daripada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan.
Karena kedua kaki Han Han
telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara
dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi
alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu
terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali
memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu
tinggi untuknya. Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa.
“Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari
ke mana?”
Han Han terkejut dan cepat
menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak
tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak
tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek
itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim
suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka
dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia
duduk bersila dan bersamadhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan
Lauw-pangcu.
Setelah Ouwyang Seng bangun,
Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah
gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini
dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya
di mana ia melatih diri dan muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan
batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang
gedung dan tempat ini penuh rahasia. Kalau para pelayan di gedung itu masih
diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek
botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini.
Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya
sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah
tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri
memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia
harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.
Han Han mendengar semua ini
dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin
hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu sudah marah dan
menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekalipun tidak akan dapat
menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang
di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani
melanggar larangan ini, akan mati!”
Diam-diam Han Han tidak puas
hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena
ketidaksenangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah
saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan tetapi ia tidak mau banyak
cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari
dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat
memperlihatkan ketidaksenangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya.
Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini,
pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang
diperintahkan Ouwyang Seng. Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur,
memenuhi sebuah kwali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian.
Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil,
mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena
batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi,
mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali!
Pecahan batu-batu bintang ini
lalu dituangkan ke dalam kwali besar yang airnya mulai mendidih. Pada saat itu,
muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti
ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena
menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain
ringan tak terdengar, juga amat cepat.
“Suhu, apakah teecu (murid)
sudah boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng bertanya.
“Hemmm...., masih jauh! Kedua
lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu
dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu
sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah,
Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kwali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi
dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu
harus digodok sampai hancur!”
Dengan muka keruh karena
kecewa Ouwyang Seng menghampiri kwali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan
di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kwali itu kelihatan menghitam, dan
airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung
kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali
air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua
tangannya keluar.
“Aduh, terlalu panas....!”
serunya.
“Hemmmmm, Kongcu kurang tekun
berlatih!” Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya
tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apalagi berlatih dengan batu bintang.
Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kwali itu, jangan ragu-ragu, masukkan!”
Ouwyang Seng memandang ke arah
suhunya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat
memasukkan kedua lengannya ke dalam kwali di depannya. Tubuhnya menggigil dan
hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan
kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan
wajahnya kelihatan tenang.
“Bantulah dengan hawa dalam
tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian (samadhi) jika tidak kuat,” suara
kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur
napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek
itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.
“Berlatih terus sampai dua
hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dari ulangi lagi sampai aku
kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak
pinggang.
Han Han yang sejak tadi
berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang
amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam
keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas!
“Hei, mana airnya? Cepat
tambah sampai penuh dan godok atu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap
habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai
hancur. Mengerti?”
Han Han terkejut dan sadar
dari keadaan bengong tadi, cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke
sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kwali besar berisi batu
bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.
“Kerjakan penggodokan batu ini
sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku
datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan kumasukkan ke dalam air ini!”
Setelah mengeluarkan kata-kata
ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke
arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersamadhi dengan kedua lengan direndam air
hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya,
maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan
perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat
kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai
berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali dan menambah kayu perapian
sehingga hawa panas memenuhi ruangan “dapur” dari lian-bu-thia ini.
Baiknya ia bekerja kepada
Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya
oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa
untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia
telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya, ia sudah dapat bertahan
merendam kedua lengannya di air racun yang panas. Karena kegembiraannya, ia
sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan
yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu.
Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya,
tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang!
Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si
Setan Botak ini.
Menurut penuturan Ouwyang Seng
yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi
Gak Liat, sebagaimana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek
itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu
menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal
karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak
jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu menyerbu ke
selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancarkan
jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.
“Menurut kata Ayahku, Pangeran
Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini,
maka aku disuruh menjadi muridnya. Kaulihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan
aku.... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi
jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”
Han Han amat tertarik. Belum
pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguhpun sudah
banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia
tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata sendiri.
“Kongcu, tadi gurumu
mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau
pernah mendengar tentang Kakekku itu?”
Ouwyang Seng menggeleng
kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan
Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya.
Kelak akan kutanyakan mereka.”
“Ah, jadi Kongcu masih
mempunyai suheng dan suci?”
Ouwyang Seng mengacungkan
jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat! Aku mempunyai dua orang suheng
dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan
tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan
lebih lihai daripada mereka!”
Han Han dapat menduga bahwa putera
pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya
sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu,
bukan sekali-kaii karena ia ingin menggunakannya untuk berkelahi memukul
apalagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik
hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air
dari kwali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan
setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan
melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam
kedua lengannya di air panas tanpa terluka?
“Kaulanjutkan pekerjaanmu
menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan
jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari
lian-bu-thia ini, apalagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung.
Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan!”
Sudah menjadi watak Han Han,
juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.
“Ada apanya sih di daerah
terlarang itu, Kongcu?”
“Hush! Mana aku tahu? Di situ
tempat suhu bersamadhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun
baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan!
Ada tengkorak-tengkorak hidup.... hihhh.... ada setan-setannya di situ. Akan
tetapi, suhu menguasai setan-setan itu semua yang membantunya memperdalam
ilmu-ilmunya.”
Han Han merasa seram juga,
akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah
terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena
melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersamadhi dan berlatih, ia pun lalu duduk
bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang.
***
Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum
Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah
penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia
kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai
tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai
golongan hitam atau kaum sesat! Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak
pernah ada tempat atau markasny tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan
perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak.
Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot
ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain.
Kang-lam Sam-eng Si Tiga
Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga
orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah
di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian
Kai-pang merupakan sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah
pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja
Muda Bu Sam Kwi.
Akan tetapi, tiga hari sebelum
pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian
Kai-pang sehingga hampir seluruh anggauta perkumpulan pengemis pejuang ini
terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka,
juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula
mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si
Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua
ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe
sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Peristiwa ini yang segera
terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama
besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguhpun belum pernah ada yang bertemu,
apalagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh
besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup
menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya, hati mereka lega, ketika Khu Cen
Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar
Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng,
atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya
Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu.
Selain Siauw-lim Chit-kiam
yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang
tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan
itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena
khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Bgtak sendiri dan siapa tahu
kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah
yang akan membasmi mereka.
Demikianlah, pada hari yang
ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana
penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil
di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai
lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi
dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada fihak musuh datang
menyerang.
Semenjak pagi, sudah banyak
anggauta-anggauta Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian
yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah
diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan
yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua
orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut
dalam pertandingan melawan musuh pandai. Ada tiga puluh orang lebih yang
berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan
tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah
Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap
tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak
kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki
tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat.
Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan
julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja
mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini
selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang
dahsyat. Adapun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan
bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari
Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang
dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang
amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat
(menotok jalan darah).
Akan tetapi berbeda dengan
sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong
dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini hanya
mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di
Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan menimbulkan
kekhawatiran dan keraguan.
“Mengapa khawatir menghadapi
Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat
dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya baru mendengar namanya
sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak perlu gelisah! Macam
datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa
memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapinya!”
Karena semua orang maklum
bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai
sekali, mereka tidak mau membantah, apalagi mereka semua sedang dalam suasana
berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka
tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat
kematian teman-teman mereka, yaitu anggauta-anggauta Pek-lian Kai-pang yang
telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan.
“Kami percaya akan kemampuan
Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,” kata pula
Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua
saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat
lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat,
apabila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga
bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil
berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya
mendengarkan dengan sikap tenang.
Seorang di antara Siauw-lim
Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan
bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang.
“Kami bukanlah
anggauta-anggauta Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid
keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh
Kang-thouw-kwi Gak Liat. Meman, Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi
kewajiban kami untuk menentangnya, apalagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan
tetapi, dia amat sakti, sungguhpun kami sendiri belum pernah melawannya, namun
menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama, mungkin baru
dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan
jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi
kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan
dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.”
Setelah bicara demikian, Song
Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersamadhi seperti enam orang saudara
seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam
mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sin-kang mereka.
Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap
telah berlatih dan bersiap-siap.
Lauw-pangcu, ketua Pek-lian
Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini, telah mendapat pengobatan pula
dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak.
Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun
semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa
sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggauta Pek-lian
Kai-pang. Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di
Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar
dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur
persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat
menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si
Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah
disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!
Setelah semua hadir, pertemuan
itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang usaha perlawanan Raja
Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang pemerintah penjajah bangsa
Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang
dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia menambahkan.
“Kalau saya merenungkan betapa
malapetaka ini didatangkan oleh.... murid saya sendiri.... sungguh perih sekali
perasaan hatiku....” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini
menitikkan air mata. Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan
mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa
muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya
lima buah kepala pembantu-pembantunya! Kenangan ini mendatangkan kemarahan
luar biasa dan biarpun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan
tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama
hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali waktu
tentu akan kubalas dendam ini!” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon
bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada
saya.” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar. Song Kai
Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang.
“Lauw-pangcu, seorang gagah dapat
menerima segala keadaan, betapapun buruknya, dengan penuh kesabaran dan
ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan
semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan
menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua
Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali.
Akan tetapi ucapan kakek ini
telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam
mereka ini pun membenci Sie Han, apalagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang
murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah
gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak
berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik.
Para anggauta Ho-han-hwe itu
lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan
mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang
mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga
selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat
mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan. Usul
ini diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki
masing-masing berjanji untuk menculik anak pernbesar yang paling tinggi
kekuasaannya, kalau mungkin malah akan menculik putera Raja Mancu! Kesanggupan
kedua orang sakti ini tentu saja disambut gembira. Di antara mereka yang hadir
dan membicarakan semua rencana perlawanan dengan bermacam cara terhadap
penjajah ini, hanya Siauw-lim Chit-kiam saja yang tidak mencampuri dan mereka
tetap bersamadhi sambil melatih diri untuk menghadapi Setan Botak yang mereka
tahu amatlah lihainya.
Akan tetapi, sehari itu mereka
menanti-nanti, Setan Botak belum juga tampak muncul. Menjelang senja,
tiba-tiba dari luar menyambar sebatang piauw beronce merah ke arah Khu Cen
Tiam. Pendekar Siauw-lim-pai ini cepat mengulurkan tangan dan menyambar piauw
itu sambil berseru heran karena ia mengenal piauw ini sebagai senjata rahasia
sumoinya. Juga Liem Sian mengenalnya, maka pendekar ke dua dari Kang-lam
Sam-eng ini sudah melesat tubuhnya keluar dari kuil tua dan terdengar suaranya
di luar kuil.
“Sumoi....!”
Akan tetapi, tak lama kemudian
Liem Sian kembali ke dalam kuil dengan wajah muram dan pandang mata heran. “Dia
benar sumoi, akan tetapi sudah pergi jauh.” Ucapan ini ia tujukan kepada
suhengnya.
Khu Cen Tiam menarik napas panjang.
“Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini, buktinya ini dia mengirim surat
dengan piauwnya. Betapapun juga, dia selamat, sute, dan kita boleh bersyukur
karenanya.”
Akan tetapi setelah Khu Cen
Tiam membuka surat yang terikat pada piauw tadi, keningnya berkerut dan ia
menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang masih bersamadhi. “Susiok, teecu
persilakan membaca surat sumoi,” bisik Khu Cen Tiam kepada Song Kai Sin.
Kakek ini membuka mata
memandang, lalu dengan tenang mengulur tangan menerima surat dan dibacanya.
Wajahnya masih tenang, namun pandang matanya mengandung sinar kilat, lalu
menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut di sebelahnya, orang ke dua dari
Siauw‑lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima surat, membaca dan bibirnya bergerak,
“Omitohud....!” lalu menyerahkan surat itu kepada orang ke tiga. Sebentar saja
surat itu beralih tangan dan Siauw-lim Chit-kiam sudah membaca semua. Yang
terakhir dari ketujuh orang tokoh Siaiw-lim-pai ini adalah seorang kakek kurus
bermuka merah. Setelah membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan suara mendesis
seperti ular dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk ketika ia
membuka kembali tangannya! Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan
kekuatan yang ia perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras
bukanlah hal yang amat mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas seperti
kertas sampai hancur membubuk, benar-benar tidaklah mudah dilakukan oleh
sembarang ahli!
“Chit-te (Adik ke Tujuh),
simpan tenagamu untuk menghadapi lawan tangguh, bukan diumbar dan habis
dihisap kemarahan,” kata pula Song Kai Sin dengan nada menegur. Orang ke tujuh
yang bernama Liong Ki Tek ini menghela napas panjang dan segera meramkan mata
kembali.
Apakah bunyi surat yang
dikirim secara aneh oleh Bhok Khim itu? Bunyinya pendek saja namun isinya
difahami oleh dua orang suhengnya dan tujuh orang susioknya.
Kedua
Suheng,
Perbuatan
keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa aku tidak ada muka untuk bertemu dengan
orang lain, memaksa aku pergi mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” di
kuil. Kalau suheng berdua dapat menewaskannya, syukurlah. Kalau tidak, aku
akan memperdalam ilmu dan kelak aku sendiri yang akan menghancurkan
kepalanya.
Bhok Khim.
Tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai itu diam-diam mengeluh dan menangis dalam hati. Mereka tahu bahwa
murid wanita Siauw-lim-pai itu telah diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat dan
mereka tahu bahwa mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” merupakan
perbuatan nekat seperti orang membunuh diri.
“Siauw-lim Chit-kiam akan
mengadu nyawa dengan Kang-thouw-kwi....!” Tiba-tiba Song Kai Sin berseru keras
ke arah luar kuil. Semua orang terkejut dan ketika mereka memandang keluar,
ternyata Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua
orang lain yang kelihatan amat menarik karena perbedaan muka mereka. Yang
seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti pantat kwali, adapun yang
seorang lagi bertubuh pendek kurus bermuka putih seperti kapur! Akan tetapi
mereka yang mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang menemani Si
Setan Botak ini bukanlah sembarang orang, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat
terkenal, yaitu kakak beradik yang terkenal dengan julukan Hek-pek Giam-ong
(Raja Maut Hitam Putih)! Mereka ini adalah murid-murid Si Setan Botak. Masih
ada seorang lagi murid Si Setan Botak, yaitu seorang murid wanita yang bernama
Ma Su Nio, berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya
malah lebih lihai daripada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam daripada gurunya.
Akan tetapi iblis wanita itu tidak nampak hadir.
“Hah-ha-ha-ha-ha!” Terdengar
Si Setan Botak tertawa, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya tertawa
dengan nada mengejek. Yang membuka mulut bicara adalah Hek-giam-ong, muridnya
yang bermuka hitam. Hek-giam-ong melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring
sekali.
“Bukankah Siauw-lim Chit-kiam
murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak kapankah murid-murid Ceng San Hwesio
bersekutu dengan para pemberontak?”
“Sejak iblis-iblis macam
kalian membantu penjajah Mancu!” bentak Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang suaranya
lebih menggeledek dari suara Si Muka Hitam. “Kalau kalian berani, masuklah ke
dalam kuil, di sini lega dan memang sudah disediakan untuk kita bertanding mengadu
ilmu!” Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan sekedar karena wataknya yang
keras dan kasar, melainkan menurut rencana Ho-han-hwe untuk memancing musuh
yang tangguh ke dalam kuil.
“Hah-ha-ha-ha-ha!” Si Setan
Botak makin keras tertawa dan ia melangkah memasuki kuil, diikuti oleh dua
orang muridnya yang kelihatan agak ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong maklum betapa
berbahaya memasuki “sarang” musuh, akan tetapi karena di situ ada guru mereka,
dan melihat guru mereka sudah memasuki kuil, tentu saja mereka berbesar hati
dan melangkah masuk sambil mengangkat dada.
Suara ketawa Si Setan Botak
makin nyaring dan biarpun mereka bertiga sudah tiba di ruangan kuil yang luas,
kakek botak ini masih tertawa terus, makin lama makin keras dan terkejutlah
mereka semua yang hadir karena tubuh mereka tergetar hebat oleh suara ketawa
yang mengandung tenaga khi-kang amat luar biasa ini. Hanya mereka yang sudah
tinggi tingkat sin-kangnya saja yang tidak terpengaruh, hanya tergetar dan
masih mampu mengatasi getaran hebat ini. Siauw-lim Chit-kiam, kedua Kang-lam
Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang masih dapat
bertahan, sungguhpun mereka ini diam-diam harus mengerahkan sin-kang untuk
melawan suara ketawa itu. Beberapa orang anggauta Ho-han-hwe juga masih mampu
melawan sambil cepat duduk bersila, akan tetapi belasan orang lain yang tingkat
tenaga sin-kang mereka masih kurang kuat, sudah terjungkal dan cepat-cepat
merangkak lalu berlari menjauhi ruangan itu ke sebelah belakang kuil sambil
menutupi telinga mereka! Kalau mereka tidak cepat pergi dan menutupi telinga,
mereka akan mati oleh suara ketawa itu yang mengguncangkan jantung!
Melihat ini, Ban-kin Hek-gu Giam
Ki yang berwatak keras berangasan menjadi marah sekali. Ia seorang ahli silat
tinggi dan tentu saja maklum bahwa Setan Botak itu memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa, mengerti bahwa orang yang telah pandai mempergunakan khi-kang
dalam suaranya untuk menyerang lawan dengan Ilmu Ho-kang seperti auman suara
harimau, adalah seorang sakti yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, selain kasar
dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga terkenal tidak pernah takut menghadapi
siapapun juga. Dengan kemarahan memuncak, keberaniannya bertambah dan ia
menerjang maju menyerang Si Setan Botak sambil berseru.
“Setan Botak! Jangan menjual
lagak di depan Ban-kin Hek-gu!”
Ban-kin Hek-gu bertenaga besar
dan kini menyerang dengan penuh kemarahan, maka pukulan tangan kanannya yang dikepal
mengarah kepala Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah dahsyatnya. Pukulan belum tiba
anginnya sudah menyambar hebat. Akan tetapi kakek botak itu tenang-tenang saja,
masih tertawa lebar sungguhpun sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Setelah
kepalan tangan yang besar itu menyambar dekat, hanya tinggal sepuluh sentimeter
lagi dari dahinya, kakek ini mengangkat tangan kirinya dan menerima kepalan
tangan Ban-kin Hek-gu dengan telapak tangan.
“Plakkk!”
Si Kerbau Hitam itu terkejut
bukan main karena merasa betapa telapak tangan Setan Botak itu lunak dan panas
seperti air mendidih, di mana tenaganya sendiri seperti tenggelam. Cepat ia menarik
tangannya, akan tetapi kepalan itu melekat pada telapak tangan Setan Botak
yang tertawa-tawa. Ban-kin Hek-gu Giam Ki meronta-ronta dan rasa panas dari
telapak tangan itu menerobos lengannya, membuat tubuhnya mandi keringat dan
mukanya yang hitam berubah makin hitam.
“Ha-ha-ha, siapa yang
berlagak?” Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa. “Pergilah, kau tidak berharga
untuk bertanding melawan aku!” Sekali kakek botak itu mendorongkan lengannya,
Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan. Akan tetapi
dia memang bandel dan berani. Cepat ia meloncat bangun lagi dan memaki.
“Siluman botak! Hayo
bertanding menggunakan ilmu silat, jangan menggunakan ilmu siluman! Aku masih
dapat berdiri, sebelum mati aku Giam Ki tidak sudi mengaku kalah terhadapmu!”
“Phuahhh, sombongnya!”
Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan sama tinggi besarnya dengan Giam Ki
sudah melompat maju dan bertolak pinggang. “Engkau ini berjuluk Kerbau Hitam,
memang otakmu seperti otak kerbau! Suhuku telah berlaku lunak terhadapmu,
akan tetapi kau masih banyak lagak. Kerbau macam engkau ini tidak perlu suhu melayaninya,
cukup dengan aku yang akan mencabut nyawa kerbaumu!”
“Bagus! Memang hendak kubasmi
sampai ke akar-akarnya, baik guru maupun murid harus dibasmi agar jangan mengotori
dunia!” Ban-kin Hek-gu Giam Ki sudah menerjang maju dengan kepalannya yang
besar. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding, sama tinggi besar dan
karenanya suka mempergunakan tenaga kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang
(Tangan Api Pencabut Nyawa) ditambah tenaganya yang besar, dia benar amat
lihai. Melihat datangnya pukulan Giam Ki, ia tidak mengelak melainkan menangkis
dengan lengannya.
“Dukkk!” Dua buah lengan yang
besar dan kuat bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang. Tenaga mereka seimbang,
akan tetapi Hek-giam-ong menang dalam hal “isi” lengannya yang mengandung hawa
panas. Giam Ki merasa betapa lengannya panas akan tetapi ia maju terus dan
ternyata bahwa gerakan tubuhnya lebih cepat daripada gerakan Hek-giam-ong.
Dengan kemenangan ini ia bisa menutup kekalahannya dalam hal ilmu pukulan
Hwi-ciang.
Segera terdengar suara
bak-bik-buk dan dak-duk-dak-duk ketika dua orang raksasa ini saling gebuk.
Mereka ini selain bertenaga besar, juga memiliki kekebalan sehingga pukulan
yang tidak tepat kenanya, tidak cukup merobohkan mereka. Akan tetapi terjadi
perubahan aneh pada diri Ban-kin Hek-gu Ciam Ki sehingga membuat teman-temannya
yang tentu saja menjagoinya menjadi heran dan juga gelisah. Kini raksasa tinggi
besar hitam ini sering mempergunakan kedua tangannya bukan untuk menyerang
lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya!
Karena diseling dengan garuk
sana garuk sini, pertandingan menjadi kacau karena ternyata gerakan-gerakan
menggaruk ini malah membingungkan Hek-giam-ong. Raja Maut Hitam ini sudah
mengirim pukulan Toat-beng Hwi-ciang ke arah dada lawan. Ketika melihat tangan
kiri Giam Ki bergerak menuju ke dada, Hek-giam-ong menarik kembali pukulannya
karena takut lengannya dicengkeram. Akan tetapi ternyata bahwa Giam Ki
menggerakkan tangan itu bukan untuk mencengkeram tangan lawan, melainkan untuk
menggaruk-garuk keras dadanya. Kemudian Giam Ki berseru aneh dan membawa tangan
kanannya ke atas seperti hendak menyerang dari bagian atas. Melihat ini,
Hek-giam-ong cepat mengelak, akan tetapi kembali ia kecelik karena tangan kanan
yang bergerak ke atas itu kini menggaruk-garuk kepala! Kejadian-kejadian ini
aneh dan lucu sekali, juga menegangkan dan mendatangkan kekecewaan bagi para
teman kedua fihak. Hek-giam-ong menjadi marah, merasa seolah-olah ia
dipermainkan, maka ia menerjang lagi dengan gerakan dahsyat.
Giam Ki yang diam-diam mengeluh
di hatinya karena secara tiba-tiba tubuhnya diserang penyakit gatal yang tak
tertahankan, cepat menangkis dan kembali pertemuan dua lengan yang kuat itu
membuat mereka terpental mundur. Giam Ki meloncat maju lagi, kini menggerakkan
tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong meragu. Hendak memukul ataukah hendak
garuk-garuk tangan itu? Akan tetapi ia tidak mau menanggung resiko dan cepat
menggerakkan kedua tangan ke atas, maksudnya kalau lawan memukul benar-benar,
ia akan menangkap lengan itu dan akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk,
ia akan mencengkeram kepala lawan.
Dan ternyata tangan kiri Giam
Ki itu kembali hanya menggaruk kepala, akan tetapi kepalan kanannya sudah
menonjok ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak tersangka oleh Hek-giam-ong
sehingga dadanya tertonjok.
“Bukkk!” Tubuh Hek-giam-ong
terjengkang dan bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek, napasnya sesak dan
setelah terbatuk-batuk, barulah ia meloncat bangun dan menghadapi lawannya
dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan masih terus
garuk-garuk.
“Kau masih belum mampus?”
bentaknya dan kembali ia menerjang. Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan
daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas.
Hek-giam-ong mengejek dengan
dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya
mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan untuk menggaruk kepala
yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan cepat melangkah maju dan
menonjok dada Giam Ki.
“Bukkk! Desssss....!” Dua
tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh
kelenger (pingsan) karena tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak,
akan tetapi di lain fihak, Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini
Giam Ki mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul
sehingga dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher
Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak
bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)!
Pek-giam-ong sudah menyambar
tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa kakaknya tidak terluka parah, hanya
terguncang oleh kerasnya pukulan. Di lain fihak, para anggauta Ho-han-hwe
telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat
Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu
dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang.
“Untung....” kata tokoh
Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka ketika bertanding terus diganggu
rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan
dengan iblis tua itu. Baiknya, pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa
panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga
nyawanya tertolong.”
Pek-giam-ong yang marah
menyaksikan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang.
Akan tetapi ia dibentak gurunya, “Mundurlah!” bagaikan seekor anjing dipecut,
Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya. Kini Kang-thouw-kwi Gak
Liat melangkah maju, menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan pandang mata
yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Setan
Botak ini berkata.
“Aku sudah datang, siapa di
antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan pemberontak
ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?” Suaranya penuh ejekan, akan tetapi
matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya.
It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun
tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian kakek botak ini,
namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah atau mati
sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh hina dan
rendah kalau dianggap takut bertemu dengan lawan tangguh.
“Kang-thouw-kwi! Engkau bukan
saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat
bangsa! Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini!”
Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat
sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat
ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk menyerang dengan totokan-totokan
maut. Si Setan Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan
tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang
menyentuh kulitnya.
“Sut-sut-sut-cet-cet....!”
Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara
bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah
ia mampu mengenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada
di belakang tubuh Si Setan Botak. Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah
mengubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang
akan tetapi entah bagaimana semua serangan lawan tidak ada yang berhasil.
Belasan orang anggauta
Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan, sudah
bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong
berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, langsung ia menyerbu dan
gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit kesakitan dan robohnya beberapa orang
anggauta Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong.
“Krek-krekkk....!” Setan Botak
menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun
terlempar, kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya
telah patah-patah!
“Huah-ha-ha-ha! Pek-giam-ong,
pergilah dan bawa kakakmu pergi!”
Pek-giam-ong yang terkenal
berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat.
Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi
mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali
melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu dan kedua orang saudara
Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk
dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam
kuil.
“Ha-ha-ha, Siauw-lim
Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut main-main denganku. Majulah!”
Lima orang anggauta Ho-han-hwe
yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang roboh, masih mencoba
untuk menyerang Si Setan Botak dengan senjata mereka, akan tetapi kini kakek
botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang
itu roboh dengan tubuh hangus dan mati seketika! Itulah kehebatan ilmu pukulan
Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk
membikin gentar hati lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat
wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi
melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah
menjadi marah sekali.
“Kang-thouw-kwi, engkau telah
berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam
akan mengadu nyawa denganmu! Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim
Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya
membayangkan kemarahan.
“Huah-ha-ha-ha! Siauw-lim
Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San
Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang membantu kalian, aku masih akan
kurang puas. Ha-ha!”
“Omitohud.... engkau
benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,” kata Lui Kong Hwesio
orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di
sebelah kiri Song Kai Sin.
Kemudian secara berjajar,
ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk bersila, menurutkan urutan tingkat
mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui
Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek.
Sebetulnya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu
tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara
perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin
Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun. Akan tetapi, sekali ini,
menghadapi seorang di antara Lima Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat
yang amat terkenal di antara golongan sesat sebagai seorang yang memiliki
kesaktian luar biasa, ketujuh orang takoh Siauw-lim-pai ini tidak berani
berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka lalu
bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu
Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua
Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya. Chit-seng-sin-kiam
(Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah
merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh, akan tetapi permainannya tidak akan
menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh
orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan
sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.
Kang-thouw-kwi Gak Liat
memandang dengan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan ilmu
pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian Ceng
San Hwesio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin ini, berarti bahwa ia berhadapan
dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang darinya.
Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San
Hwesio pula! Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk
bersila dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan
menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika
memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali.
“Ha-ha-ha, bagus sekali!
Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya Chit-seng-sin-kiam
dari Ceng San Hwesio!” Sambil tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula
di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak di antara Setan Botak dan
tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh
orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan
Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong! Memang
datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka. Ia
memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas
yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang
melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia
masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam!
Song Kai Sin dapat menduga
sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain
merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah
menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan
kehormatan Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik
seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian,
bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertabankan
nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.
“Sudah siapkah engkau,
Kang-thouw-kwi?”
“Ha-ha, sudah, sudah! Lekas
keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!” jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan
kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.“Lihat pedang!” Song Kai Sin
berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan
pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih
belum dapat melewati jarak tiga meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat
mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga
selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang
aneh. Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari
tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai
Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan
orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar!
Melihat kehebatan tenaga
sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang
lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka
bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak
sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di
dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta
Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di
atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat
indahnya. Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta
Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka
saksikan selama hidupnya.
Betapa mereka tidak akan
terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu? Baik ketujuh orang
tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di
atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak
dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka “bertanding” dan tujuh orang
itu mengeroyok Si Setan Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah
menjadi sinar-sinar gemerlapan. Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan
kedua lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong,
bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya.
Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga
mengepulkan uap putih seperti asap panas!
Kalau dilihat begitu saja,
seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main.
Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan
ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi
sebentar panas sebentar dingin. Hanya beberapa orang saja di antara mereka,
yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari
pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka
memandang dengan hati penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim
Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang
digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi! Mengerti pula betapa selain
sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan
Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
Akan tetapi mereka yang tidak
mengerti cara pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan
Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk
bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka kesempatan
baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak
ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih
anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini
ingin membalas dendam. Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi
isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak
maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka
bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.
“Celaka....!” It-ci Sin-mo Tan
Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget
namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan
disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan
tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus! Mereka tadi
seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di sekitar
arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam
dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api. Sebelum mereka dapat menyentuh
tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang
menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar!
Melihat ini, Song Kai Sin
orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak
hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena
mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka
mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali.
Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga
ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan
bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu
ada yang mengenai tubuh para penyerbu. Maka begitu Song Kai Sin berseru keras,
tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan
kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan
kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga. Getaran
sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya
merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali
lipat kuat daripada tenaga perorangan.
Ketika Si Setan Botak menangkis
dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan
kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil
menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit
dan mengeluarkan darah!
“Keparat! Kalian sudah bosan
hidup!” bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan.
Hebat bukan main adu tenaga
sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan
tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka
menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah
adu tenaga, keras lawan keras! Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka
menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur
kedua lengan ke depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh
orang pengeroyoknya. Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di
lain fihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan
uap panas! Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan
Siauw-lim Chit-kiam terdesak!
Lauw-pangcu yang melihat
keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata
mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah
untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan
akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur
sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam
pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam! Memang siasat ini kalau
dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri,
namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan
Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.
Dengan isyarat Lauw-pangcu,
mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar.
Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata,
karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka terancam
maut bersama nyawa Setan Botak. Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya
dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga mereka tidak
tahu betapa di antara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap
memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain
adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!
Sin Lian tadinya dititipkan
kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini
diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang
berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia
ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu! Selain itu,
juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia
minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya.
Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil
tua yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari
menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat
tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah.
Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat
marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang
gelap dan yang belum dicium api.
Ruangan dalam kuil kosong itu
mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya,
Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca
batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak
tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang
kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti
arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka,
terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar.
Melihat musuh besar itu, Sin
Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang
berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi melihat musuhnya duduk
membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang!
Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang
maju, memukul tengkuk.
“Dukkk....!” Sin Lian
terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit,
akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi
merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas
seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam
memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik
nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara
konyol. Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti
tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan
jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh
Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena
Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam!
Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua fihak sedang mengadu tenaga
sehingga kedua fihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak
bergerak ke mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia
tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena
kekebalan tubuh kakek botak itu.
Betapapun juga, karena berani
memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut.
Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong
lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan
mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan
dapat menolong bocah ini? Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar
sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di
situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan
tetapi mereka merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak
membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan
Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup!
Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum
akan gangguan seorang anak perempuan di belakangnya. Akan tetapi ia tidak
peduli, karena kalau ia membagi perhatian, apalagi membagi tenaga, ia akan
celaka. Menghadapi persatuan Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar
mencapai kemenangan dan hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan
dapat menang. Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa
keadaannya berada dalam bahaya pula. Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu
ia akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada kesempatan
untuk menyelamatkan diri.
Dalam usahanya untuk segera
dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu tinggi itu, Kang-thouw-kwi
Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali, karena anak itu sama sekali
tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, kedua lengannya
menggigil dan lengan yang diluruskan ke depan itu menjadi makin panas.
Kekuatan mujijat yang amat dahsyat kini menerjang maju bagaikan hembusan angin
badai yang panas ke arah Siauw-lim Chit-kiam! Getaran gelombang tenaga sakti
ini segera terasa oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa pun mereka ini
menggerakkan tenaga mempertahankan diri, tetap saja tangan mereka yang
menudingkan pedang gemetar keras.
“Werrrrr.... cringgg....
krak-krak....!”
Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam
menjadi berantakan ketika dua batang pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua
orang di antara mereka, patah dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi
pucat wajahnya. Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim
Chit-kiam ini kehilangan pedang yang tadi bergetar keras lalu patah-patah,
lima orang tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan
gelombang tenaga hebat yang menekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat setelah
tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar hebat, muka
mereka pucat dan napas terengah. Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan
kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan
saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang
kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan
kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi.
Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan,
apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan
mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada.
Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring!
Melihat ini, lima orang
Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh
semua, namun mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api menjilat
tempat itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar. Pada
seat mereka terhimpit den terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat
berteriak marah den bajunya sudah termakan api! Bagaimanakah baju Setan Botak
ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ? Bukan
lain adalah hasil perbuatan Sin Lian! Karena tubuhnya terjengkang dan
terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak, Sin Lian menjadi penasaran
den marah sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan
ilmu silat, anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja
kalau ia memukul. Maka ia lalu mencari akal den barulah ia sadar bahwa tempat
itu telah terkurung api yang mulai membakar ruangan! Dalam kaget dan paniknya,
timbul akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong kayu yang
terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den membakar
pakaian musuh ini dengan api itu! Bahkan ia lalu berusaha membakar rambut di
kepala botak itu pula!
Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah
seorang ahli Yang-kang, bahkan kedua lengannya sudah memiliki Ilmu
Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber pada panasnya api. Boleh jadi kedua lengannya
itu sudah kebal terhadap api, namun tubuhnya tidak, apalagi rambut di
kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya terbakar, bahkan sebagian rambutnya
dimakan api, ia terkejut dan marah sekali. Sambil berteriak dan menggereng
seperti harimau, ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, pertama untuk memadamkan
api yang berkobar pada bajunya, ke dua untuk menyingkirkan diri daripada
gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam. Kemudian, setelah bergulingan dan
keluar dari sasaran lawan, ia membalikkan tubuhnya dan memukul ke arah Sin
Lian dari jarak jauh. Saking marahnya, kini ia menumpahkan semua kemarahan dan
kebencian kepada anak perempuan itu.
Kelima orang Siauw-lim
Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah itu berada di cengkeraman maut. Mereka juga
maklum bahwa bocah perempuan itulah yang telah menyelamatkan nyawa mereka yang
tadi sudah tertekan hebat. Tentu saja sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa,
kini mereka tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja menyaksikan penolong
mereka terancam. Tanpa komando, lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini
menodongkan pedang mereka dan mengerahkan tenaga, menghadang pukulan jarak
jauh Setan Botak yang ditujukan kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis
oleh sinar pedang, akan tetapi biarpun Sin Lian dapat diselamatkan, sebagian
hawa pukulan menerobos dan sedikit saja sudah cukup membuat Sin Lian terguling
roboh dan pingsan dengan muka gosong!
Karena ruangan itu mulai
terbakar, Gak Liat yang tahu akan bahaya lalu tertawa dan tubuhnya sudah
melesat keluar menerjang api lalu lenyap di dalam kegelapan malam di luar
kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam tidak mengejar, karena selain mereka
harus menyelamatkan dua orang saudara yang terluka dan gadis cilik yang
pingsan, juga mengejar keluar kuil apa gunanya? Mereka takkan mampu
mengalahkan Setan Botak yang lihai itu. Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga
tubuh Sin Lian dan mereka pun cepat-cepat menerjang api menerobos keluar
sebelum ruangan itu ambruk.
Para anggauta Ho-han-hwe
menjadi kecewa dan berduka. Tidak saja usaha mereka menewaskan Setan Botak itu
gagal sama sekali, juga mereka harus cepat-cepat angkat kaki dari Tiong-kwan
karena kini tentu kaki tangan pemerintah Mancu akan mencari untuk membasmi
mereka. Terutama sekali Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih anggauta
Pek-lian Kai-pang, menjadi berduka sekali. Akan tetapi di samping kedukaan ini,
ada sinar terang yang membahagiakan hati ketua kai-pang ini, yaitu bahwa
Siauw-lim Chit-kiam berkenan mengambil Sin Lian sebagai murid mereka! Setelah
Ui Swan dan Ui Kiong diobati, dan juga Sin Lian sembuh, anak ini lalu dibawa
pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk mendapat gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si.
Adapun Lauw-pangcu sendiri
lalu pergi ke barat untuk menyampaikan laporan kepada Raja Muda Bu Sam Kwi dan
membantu perjuangan raja muda itu dalam usahanya mengusir penjajah Mancu dari
tanah air. Juga semua anggauta Ho-han-hwe yang mengunjungi pertemuan itu,
cepat-cepat meninggalkan Tiong-kwan, akan tetapi tak seorang pun di antara
mereka menghentikan atau mengurangi semangat perjuangan mereka yang anti
penjajah.
***
Kurang lebih setengah tahun
lamanya Han Han berada di dalam gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan,
menjadi pelayan dari Setan Botak bersama muridnya Ouwyang Seng. Mengapa Han
Han dapat bertahan sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ?
Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan
tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia
memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara
latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau
tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan
merendamnya di dalam air panas bercampur racun!
Mula-mula ia tidak berani,
akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok
air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa,
terdorong oleh sifat aneh yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah
mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai semalam
suntuk! Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat
ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya,
ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan
untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang! Padahal latihan
merendam lengan di air batu bintang ini hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi
Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat
ini!
Guru dan murid yang wataknya
aneh dan keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah
aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut
sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan
murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan kalau tidak ada Han Han
yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan alat-alat dan
keperluan berlatih.
Apalagi Ouwyang Seng, sama
sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih,
bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri
tidak pernah mimpi bahwa bocah jembel itu ternyata selain melatih diri dengan
dasar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah
terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua
orang! Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia berikan
kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah
ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.
Apabila Kang-thouw-kwi Gak
Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang
mengetahui ke mana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan
lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya,
kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia dapat bertahan
merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam
memasuki daerah tertarang! Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri.
Di kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia
memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang
berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia bahwa kuburan-kuburan yang
berada di situ seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini
telah dibongkar dan tulang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan
di tempat itu! Benar-benar bukan merupakan tempat latihan seorang manusia.
Lebih tepat dinamakan tempat seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan
cerita Setan Botak kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan
dalam cairan batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan
dengan membakar kedua lengan di atas api bernyala!
“Bukan api sembarang api,”
demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng.
“Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari
tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun
Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan
memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus
berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.” Demikian antara
lain penjelasan Setan Botak.
Entah mengapa ia suka
mempelajari semua ini, Han Han sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak
bermaksud mendapatkan kekuatan pada kedua lengannya karena ia tidak suka,
bahkan benci berkelahi. Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah
yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka
setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai
dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya. Mula-mula ia memanaskan kwali
tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak manusia, merendam kedua lengannya
dalam cairan yang menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan
Botak kepada Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di
atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang
kering manusia yang berserakan di tempat itu.
Sampai setengah tahun lebih
Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya
secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini
diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi! Kini sudah lebih dari
setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan gurunya, dan mulailah ia merasa
bosan. Memang ia melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena
tertarik dan kini setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api
berkobar sampai api itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan
dan menganggap bahwa apa yang dicarinya sudah dapat. Ia mulai bosan setelah
mengingat betapa ia telah membuang waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan
dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia tidak
dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang dapat menahan
panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama sekali!
Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai dasar-dasar
Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat! Tidak tahu bahwa bakatnya jauh
melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula
ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada
tandingannya di dunia ini.
Sayang bahwa Han Han sama
sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak
mau mendengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori
silat) kepada Ouwyang Seng. Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan
ilmu silat, bukan hanya tidak suka, malah membencinya. Apalagi kalau ia terkenang
akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang Pek-lian Kai-pang, ia
menjadi muak dan makin membenci ilmu silat yang dianggapnya hanya merupakan
ilmu membunuh manusia lain!
Kalau dipikirkan memang lucu
sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang dianggapnya ilmu yang keji. Akan
tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu
Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu golongan hitam atau ilmu
sesat yang amat keji! Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian
menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan
dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat. Untuk
memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya
menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang
pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum sesat
mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan
beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Hen sama sekali tidak tahu akan
hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat
namun diam-diam meniadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang!
Akan tetapi, kebosanannya
melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan
ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum
kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu
Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.
“Han Han, lekas berkemas,
bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota
raja!”
“Kota raja?” Han Han bengong.
Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidupnya
belum pernah ia melihat kota raja.
“Ya, kota raja di utara!
Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah
rindu kepada orang tuaku, kepada teman-temanku. Lekas berkemas, kalau
terlambat, suhu akan marah.”
“Aku.... aku diajak, Kongcu?”
Han Han menyembunyikan debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu
akan pergi ke mana. Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak
suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota
raja, ia akan mengesampingkan dulu ketidaksukaannya menjadi pelayan. Kota raja!
Ia harus melihatnya!
“Tentu saja kau kuajak.
Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus
keperluan kami?” bentak Ouwyang Seng marah.
“Siapa saja yang pergi,
Kongcu?”
“Siapa lagi kalau bukan suhu,
aku dan engkau? Sudahlah, cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang
kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku!”
“Dan aku sendiri jalan kaki?
Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?” Han Han membantah,
penasaran.
“Huh, mana ada pelayan
menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh
membonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang
bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!”
Han Han berkemas dan diam-diam
mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah,
tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya
masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan. Namun ia mempunyai satu stel
pakaian cadangan, pemberian seorang pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya.
Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia
selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh
tambalan, pakaiannya selalu bersih!
Setelah selesai berkemas,
berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan
gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena,
berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing menunggang
kuda, Han Han berjalan kaki. Akan tetapi biarpun amat melelahkan, perjalanan
ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di
dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada
di alam terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan
dusun. Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat,
baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di
belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini dia pulalah
yang melayani segala keperluan mereka.
Hanya dehgan kemauan keras
yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han dapat menekan perasaaannya
yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar
dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak
sombong. Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang
terbasmi dan terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang
dilayani ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya. Terbayanglah
wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir di
hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu wajah perwira
muka kuning dan perwira muka brewok.
Pada suatu pagi mereka tiba di
kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya
berhenti. “Kita berhenti dan mengaso di sini!” kata Setan Botak itu sambil meloncat
turun dari kudanya. Han Han cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang
Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada sebatang pohon.
Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula. Sejak pagi-pagi sekali
mereka melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah.
Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela
kuda, dan menyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan
rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka
menyatakan terima kasih.
“Kongcu, lihatlah, puncak di
sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali
tidak boleh diganggu.”
Ouwyang Seng memandang suhunya
dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara
yang sifatnya segan kepada seseorang. “Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia
orang macam apa?”
Kang-thouw-kwi Gak Liat
memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan kening
berkerut, termenung sejenak lalu berkata, “Namanya Siangkoan Lee, julukannya
Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi
lawanku yang paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu
dengannya. Entah bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.”
“Ah, jadi di sanakah
tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia
seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping
suhu?”
“Benar dialah
orangnya....” Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa
dahulu di mana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan
hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh. “Dia
bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu, kemudian
mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jalan kerajaan baru ini....”
“Ilmu apakah yang paling ia andalkan,
suhu?”
Setan Botak itu menghela napas
panjang. “Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang!
Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah,
betapa inginku mengetahui sampai di mana sekarang tingkat ilmunya itu....”
“Suhu, kenapa kita tidak naik
ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah!”
“Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau
akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw,
kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin
akan menang, dan berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat
merugikan. Itulah syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan
tahun ini sehingga namaku masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.”
Ouwyang Seng mengangguk-angguk
dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin
Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang
akan dapat menandingi gurunya. Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda,
ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan
pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat
menjadi watak orang gagah. Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan
jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya,
biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus
dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya
merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda
itu.
“Han Han, lekas pergi ke dalam
hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau
belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!” Ouwyang Seng yang melihat
bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun
juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya
seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.
Han Han yang juga merasa
lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di
sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya.
Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa
seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang
beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera
yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian. Ah, betapa ingin hatinya
untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan
kota raja, dan juga ia tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah
dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman
di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan
buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu
mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan
tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya,
tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring, “....
heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt!”
Han Han tertarik dan cepat ia
menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa
yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh
selisihnya dari usianya sendiri. BOcah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul,
menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak
untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia sepuluh atau
sebelas tahun itu amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan main,
mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik
ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan
keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya
jauh lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa
tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri
Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat
yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti
menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan
kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia
memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu
berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan
tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan
menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali,
baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya.
“Bagus sekali....!” Tak terasa
lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak perempuan itu menengok
dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira
bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan
memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan
adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Akan tetapi ia kecelik! Anak
perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata
penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum
dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan,
gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Hang membuat Han Han menjadi
merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan.
Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti
pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba
merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa
berkata-keta menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada
Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.
“Untuk apa ini....?”
“Sedekah seadanya untukmu.
Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kautemui dusun, akan percuma
mencari sumbangan....”
“Aku bukan pengemis!” Han Han
membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap
wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu
cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti
pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa
ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud
menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga
bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi
sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia
berkata dengan suara halus.
“Aku memang miskin, pakaianku
tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”
Kembali anak itu mengangkat
alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan
kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis!
“Kau.... siapakah? Dan apakah
kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she Sie. Aku
hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti
di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Engkau
siapakah? Kalau tadi kaukatakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa
berada di sini?”
“Namaku Cu, she Kim. Aku
memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi,
dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah
ini milik suhuku dan siapapun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah
bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau
baik sekali.”
“Eh, baik bagaimana?”
“Aku lancang memuji ilmu
silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa
malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
Anak perempuan itu menggeleng
kepala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis
akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi
sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau
pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng
kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....”
“Kalau tidak bisa, bagaimana
tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang bagus dan
indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu
silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya,
menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau
dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik
itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han.
“Wahy celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama
suhu....?”
Melihat gadis cilik yang
menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang
tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga
bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....”
“Ihhhh....?”
Pada saat itu, terdengar
bentakan.
“Han Han! Kau kacung malas!
Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan
pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng
dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan
kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik.
Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara
sembarangan....!”
Kim Cu yang sudah melepaskan
tangannya dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang
Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan
cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia
macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu,
karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”
“Budak hina, jangan membuka
mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu!” bentak Ouwyang Seng yang
menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani
menghinanya seperti itu.
“Kau yang membutuhkan
hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan
kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah
menghantam ke arah kepala dan dada Ouwyang Seng! Akan tetapi, murid
Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap
kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan
kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya.
Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa sekali cengkeram,
kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun, segera dia
berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur.
Terlambat! Perutnya masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia
terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya dan meringis. Biarpun tidak
mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika. Dengan
kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat.
Bertempurlah kedua orang anak
itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik
itu telah memiliki dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat
daripada Ouwyang Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan
daripada murid Setan Botak itu.
“Rebahlah, manusia sombong!”
Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena
kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat
gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
“Bukkk....! Aduuuhhhhh....!
Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang
di dadanya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun
Ouwyang Seng yang terlath sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biarpun
ilmu silatnya lebih unggul dan gin-kangnya lebih tinggi daripada Ouwyang Seng,
namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk
merobohkan lawan dengan beberapa kali pukulan saja.
“Budak hina, engkau sudah
bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya
menyeringai seperti mulut harimau haus darah. Ia meloncat bangun,
menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan
dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim
Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah
pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng, dengan tenaga inti api sebagai
hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.
“Kongcu....!” Ia berseru, akan
tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhunya
bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu
Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang tadinya sudah
beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan
melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.
“Plakkk....! aughhh....!”
Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia
miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan
tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu
terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha
bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim
pukulan api beracun untuk kedua kelinya. Kalau mengenai tepat dan tidak
ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!
“Jangan....!” Han Han cepat
meloncat dekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut yang
dilakukan Ouwyang Seng itu.
“Desssss....!”
“Aiiihhhhh....!” Kini tubuh
Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh
bergulingan lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya
seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han
Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia
sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan
Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang
tahu-tahu telah berada di situ.
“Anak setan, dari mana kau
mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang
Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”
Ouwyang Seng menggeleng
kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar
sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan
menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu
bergerak itu. Terdengar suara “bak-buk-bak-buk” ketika ranting itu jatuh
seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!
“Pengecut....!” Bentakan ini
dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat
mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu
terlepas di atas tanah. Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena
khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat
gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan
pukulan api beracun.
Kim Cu menolong Han Han dan
membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia
bangkit duduk. Biarpun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena
tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini
terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari
pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan itu buyar.
“Budak hina, kacung busuk!
Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng menudingkan
telunjuknya dan mengancam.
“Engkau bangsawan
berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han
kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin
Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih
ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk
mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi perhatian Ouwyang
Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa
terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang,
kiranya suhunya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang
aneh sekali. Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke
depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah
dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding melawan
gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing.
Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak
pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia
menandingi Setan Botak!
Ouwyang Seng belum pernah
melihat suhunya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda
itu. Suhunya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda,
yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar
dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andaikata didiamkan saja pukulan
itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu
bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan
Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!
“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si
Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan
tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan
angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan
kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk
menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang
yang berhawa dingin melebihi salju!
“Darrr....!”
Pertemuan dua hawa yang
bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan
dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Dan tubuh
kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.
“Hi-yeh-heh-heh....! Hwi-yang
Sin-ciang tidaklah begitu buruk....!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi Gak Liat
diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah
dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi
ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang
yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya
merah oleh ejekan lawan.
“Siangkoan Lee, kausambutlah
ini....!”
Kini dari tempat ia berdiri,
Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke
dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang
kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka
Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah
mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula,
uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya. Biarpun
sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi
sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan
Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda
adalah uap dingin.
Bentakan Kang-thouw-kwi itu
disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka
Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu
pula akan kelihaian serangan ini, sudah melesat pula ke atas untuk menyambut
pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula. Kalau gebrakan yang
pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan
ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan
kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi
dengan dahsyatnya. Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan
tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau
Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas
tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian
turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak
tingkatnya.
“Suhu.... suhu....
tolong....!”
Mendengar seruan muridnya ini,
Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han
Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han
Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan
tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil
meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim
Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika
mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh
lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil
berkata.
“Siangkoan Lee, Swat-im
Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja,
tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kauperdalam ilmumu itu agar kelak
kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!”
Si Muka Kuda meringkik keras
sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena
tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni
nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa
yang lebih unggul di antara kita.”
Mendengar ucapan mereka itu,
Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan
sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu,
Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kembali!”
Pada saat itu, Han Han merasa
betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit
lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah
anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa
seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut
kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan
karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan
suara lantang.
“Saya tidak mau kembali! Saya
tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!”
Sepasang mata Setan Botak
mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar
kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak
mau ikut, sepatutnya engkau mampus!” Setelah berkata demikian, dengan lengan
kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan
kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari
jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan
menjadi hangus! Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat.
Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemauannya dan memaksa hawa di pusarnya
bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak
itu.
“Desssss....!” Han Han
tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah
remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan
dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan! Kim Cu lari menubruknya
dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang
terheran-heran, “Jangan bunuh dia....!”
Kang-thouw-kwi Gak Liat
benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan
betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus
dan mati, melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa
dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang
dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak
ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah
kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah
terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan
rahasia!
“Bocah setan, pencuri busuk!
Mampuslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini
membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.
“Desssss....!” Hawa yang
amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan
Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang
sambil berkata.
“Gak Liat, apakah engkau sudah
tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi daripadamu? Di
daerahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa
seijinku!”
“Siangkoan Lee, aturan apa
ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa
sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo tertawa
meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh
muridmu itu.”
Gak Liat makin marah.
“Mengapa?”
“Hemmm, engkau ini tua bangka
yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari
pukulan muridmu, apakah kaukira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi
tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kaukira muridmu
masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau
berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau
masih berkeras hendak membunuh anak ini?”
“Tapi, dia bukan muridmu, dia
kacungku!”
“Kau keliru. Setelah dia
menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”
“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa
dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku....”
“Itu bukan alasan. Salahmu
sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak
melanjutkan pertandingan, silakan.”
Setan Botak itu meragu. Ia
tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid
In-kok-san. Apalagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang
sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu
bisa terjadi. Ia mendengus marah. “Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk
membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!” Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.
“Panggil saudara-saudaramu,
bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat
lenyap dari tempat itu. Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke
dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan
itu bergema ke empat penjuru dam dari sana-sini terdengar suitan-suitan
balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak
perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian
dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan
segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh
Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.
“Nanti saja kuceritakan.
Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.”
Beramai-ramai lima orang anak
ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han
mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah
terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya
itu.
Siapakah sebenarnya kakek yang
mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada
muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-hin Lo-mo. Kakek
ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan
tetapi karena menyalahgunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang
mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia
dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.
Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia
muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam
perbuatan kejam dan tidak peduli akan prikemanusiaan. Namanya makin meningkat
dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil
mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mujijat dan tinggi yang seolah-olah
disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin
(Kakek Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar
dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang
diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang
mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu
Hwi-yang Sin-ciang.
Biarpun puluhan tahun Ma-bin
Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang
yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah
Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu
memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan
anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang dia pilih bertulang dan
berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok. Ia sudah mengumpulkan
belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita
untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan
menggulingkan pemerintah penjajah memimpin rakyat yang berniat memberontak
terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak
berprikemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin
murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek
terhadap cucu-cucunya. Namun, di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan
disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi
hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san (Puncak Lembah
Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ
Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han
Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok.
Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang
Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh
kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan
dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan
memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada Kim
Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata.
“Han Han, engkau berada di
In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid
suhu.”
Mendengar ini, Han Han cepat
meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku.... aku tidak mau
menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”
“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu
bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai
silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu
keparat itu kepadamu.”
Dengan keras kepala Han Han
menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau
sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku
tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan
tidak akan mengalami pukulan.”
“Wah, seorang jantan harus
berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan
tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang
lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari seorang
anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim
Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.
Han Han yang merasa dimaki
pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau
bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah!
Engkau....!”
Di luar kesadarannya, Han Han
kembali dalam kemarahannya telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang
aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat. Anak laki-laki
itu menjadi pucat, tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik,
“Ya.... aku...., akulah yang pengecut....”
“Heiii, sute! Mengapa kau
ini....?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu. Han Han menjadi sadar
dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin
Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan
kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai
dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia
menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri
dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi....? Ahhh.... apakah aku
mimpi....?”
“Ehhh.... tak mungkin....!”
Seruan ini keluar dari mulut
Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang memaksa
anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh
Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik.
Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan
“kosong”, maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo,
kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu
benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya
melalui sinar matanya.
“Hemmm, aneh sekali. Bocah
aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping
itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan
menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar
peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti
engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan
kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat
kepadamu!”
Di lubuk hati Han Han
menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis
cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan
itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh
main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menentang
dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan,
terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.
Ia duduk kembali di
pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena
ia tidak melihat jalan keluar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut
di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.
“Teecu Sie Han menerima
kebaikan suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh....! Anak
baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu,
kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”
Han Han mengikuti mereka
keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput
yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok
domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak
halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu
memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali.
Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian
datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu,
sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk
Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya
sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang
laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang
buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun
gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun
dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo duduk di atas
sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan
menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu.
Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah
seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru
karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan
kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat
menguasai keharuan hatinya.
“Nah, berceritalah, muridku.”
“Jangan sungkan-sungkan dan
banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira. “Di sini
kita berada di antara keluarga sendiri!”
“Benar! Benar sekali!” teriak
anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han
Han dan guru mereka.
Timbul kegembiraan di hati Han
Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik.
Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.
“Namaku Sie Han dan kedua
orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam....”
“Aaahhh, aku juga,
begitu....!”
“Orang tuaku juga!”
“Keluargaku juga terbunuh
orang Mancu....!”
Han Han tercengang. Semua anak
itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan
bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh orang-orang Mancu!
Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan
murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapapun juga, ia menjadi
terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang
bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban
keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah
ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.
“Seorang diri aku mengembara
merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan
menjadi muridnya hampir setengah tahun.”
“Kaumaksudkan Lauw-pangcu
ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.
“Benar, suhu.”
“Hemmm, apa saja yang ia
ajarkan kepadamu?”
“Dalam waktu lima bulan lebih
teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di
samping belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan.”
“Bagus, coba kau berlatih
langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han Han mulai tertarik kepada
kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian
terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia
lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia
pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan
itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap
untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena
ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki
kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada
yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan
langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.
“Baik sekali. Dasar-dasar
langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu
selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Kemudian muncul
Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi
bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan.
Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu
silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka
mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu
dengan suhu di sini....”
“Nanti dulu, Han Han. Selama
setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?”
“Sama sekali tidak, suhu.”
“Hemmm, kalau tidak sama
sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”
“Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”
Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama sekali
tidak mengerti dan tidak bisa....”
“Perlihatkan lenganmu!”
Han Han mengangsurkan kedua lengannya.
Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke
dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin
dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari
pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena
latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap keluar
melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali. Ma-bin
Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut.
“Han Han, awas jangan engkau
membohong. Apakah engkau minta dihukum?”
Ketika kebetulan Han Han
mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat
dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.
“Teecu sama sekali tidak
membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada
teecu.”
“Dari mana engkau bisa
mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang
tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda
marah.
Wajah Han Han menjadi merah
karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang
Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.”
Anak-anak itu kini tertawa,
akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji.
Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!”
Han Han memandang anak-anak
itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk.
Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti
akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan hanya dapat diperoleh
dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh,
bahkan mencuripun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh
digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han
Han yang cerdik!”
Di dalam hatinya Han Han sama
sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan
ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang
menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik.
Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan
menyetujui nasehat guru ini? Betapapun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo
sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki
kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas,
bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih
terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia
dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah
pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.
“Coba ceritakan bagaimana
caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah.
Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Pertama-tama teecu merendam
kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan
racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas,
akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan
hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai
semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu bintang....” Han
Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua!
Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk
menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan
hilang keampuhannya.
“Batu bintang? Benar-benarkah
Si Botak mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?” Ma-bin
Lo-mo bertanya penuh perhatian.
Han Han tidak dapat mundur
lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya.
“Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah
timur kota Tiong-kwan.”
“Lalu bagaimana?
Teruskan....!” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang
agaknya ingin sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu
Pukulan Sakti Inti Api itu.
“Diam-diam teecu lalu merendam
kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok
berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat
ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara
diam-diam teecu lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah mempelajari
ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”
“Inilah yang dinamakan bakat
dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa
bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh
dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku
akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat
kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan
khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku.
Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar
biasa. Sekarang, engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan
bersumpah, muridku.”
“Bersumpah....?” Han Han
tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah
berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.
“Semua murid harus menjalankan
sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.
Gadis cilik ini membawa
sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara kaupakailah
dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat kubuatkan
yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling
kausukai?”
“Putih....” jawab Han Han
sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena
pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan
Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di
situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian
seperti pengemis?
“Lekas kaupakai pakaian itu
dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah.
Hayo kuantar, di sana ada air....” Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang
tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di
situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala
batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking
jernihnya.
“Lekas kau mandi dan tukar
pakaian, sute.”
Mendengar sebutan sute ini,
sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga
menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli
hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan
tetapi keduanya adalah sucinya (kakak perempuan seperguruan)!
“Eh, kenapa kau
tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”
Han Han tertawa. “Engkau....
engkau baik sekali, suci.”
“Tentu saja! Bagaimana seorang
suci tidak baik kepada sutenya? Kaupun harus baik dan taat kepada sucimu. Nah,
hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”
Han Han mendekati air dan
hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di
situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia
pegang untuk ditanggalkan. “Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini....”
“Mengapa sih?”
“Malu ah....”
Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan
kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil
membalikkan tubuh membelakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang
aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah
mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena suhu
sudah menunggu!”
Gadis cilik itu berlarian
pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian lalu membersihkan tubuh dengan
pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ,
bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia
tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi. Air itu
dingin sekali, membuatnya menggigil, akan tetapi seperti biasa, berkat
kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya
melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk
dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan
masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa
seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita
rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat
rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok,
semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apalagi
Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.
“Sute, engkau benar-benar tampan
dan gagah!”
Dipuji secara begitu terbuka
di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa
dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.
“Han Han, muridku yang baik.
Lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian
berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.”
“Baik, suhu.”
Han Han menghampiri meja
sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang
hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah
badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya keren, hidungnya agak bengkok
seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan
kekejaman.
“Arca siapakah itu....?” Ia
berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara
Kim Cu di sebelah kanan.
“Jangan banyak bertanya. Itu
arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)....”
Hemmm, arca itu tentulah arca
guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak
peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan
sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan
menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat
itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
“Murid baru Sie Han, sekarang
bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.”
“Baiklah, suhu. Teecu siap,”
jawab Han Han, bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu
menyeramkan, dengan asap hio mengepul dan berbau harum, ditambah suara Ma-bin
Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka
bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan
Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
“Teecu Sie Han bersumpah di
hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu
Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala
perintah dan larangan suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika
teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke
tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu
yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi
nama besar Couwsu dan nama besar suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air
dan untuk melaksanakan segala perintah suhu.”
Di dalam hatinya, Han Han amat
tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat
menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya
mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut
tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan
kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang fihak yang
sewenang-wenang? Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk
isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka
duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.
“Han Han, dan semua muridku.
Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri
pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk
membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena, jahat dan baik atau
benar itu merupakan pendapat prihadi yang sering kali menyesatkan! Yang
penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk
kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling
tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan
kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang penting adalah diri kita
sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan
membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!”
Kembali timbul keraguan di
dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat
menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid
mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting
di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak
mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau
dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan
sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia
akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira
terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi
semua keluarganya?
“Han Han, sebagai murid baru
kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu
kauketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan
kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo. Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru
ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini, karena muka itu
tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini
jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu.
Betapapun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhunya
diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
“Hanya ada sebuah pertanyaan
teecu. Yaitu, siapakah suhu ini, bagaimana riwayat suhu dan siapa pula Couwsu
yang kita puja-puja itu?”
Terdengar seruan-seruan heran
di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu
diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu
silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang
riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu! Kim Cu memandang
gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah
dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan
tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang
meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi
Han Han kembali memandang suhunya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini
seorang aneh, lebih aneh daripada Setan Botak.
“Pertanyaan yang aneh,
akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya
guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku,
karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan
sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran,
nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti
dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suhengku yang
bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapapun tekun dan
rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat
itu, aku masih kalah jauh!” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah
ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.
“Di manakah supek itu
sekarang, suhu?” tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.
“Entahlah, sudah dua puluh
tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar
namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang
ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek
kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu
yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat
kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat
mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang.
Adapun supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya
Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada supek kalian. Ilmunya
menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh
kang-ouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi
tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya,
yaitu berkelahi!”
Semua murid, termasuk, Han
Han, mendengarkan dengan kagum.
“Dan suhu sendiri?” tanya Han
Han.
“Aku membantu sukong kalian,
kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan supek
kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong kalian menarik
banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya, sukong kalian banyak dimusuhi
orang kang-ouw. Termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Namun sukong kalian
dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang
datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah sukong kalian meninggal dunia, aku
tidak mau menghadapi sekian banyakriya musuh seorang diri, apalagi karena supek
kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu
meninggalkan kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya
aku tinggal di sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh
bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana
mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela
dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian
murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi
kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa!”
Cerita itu jelas merupakan
singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan
oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik
sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar
lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah
menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.
Mulai hari itu Han Han menjadi
murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima
pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun
kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja
dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian
baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih
ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia
bebas seperti dahulu. Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang
telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak jadinya
dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah
logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka
dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain,
menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!
Di antara murid-murid di situ,
dia merupakan murid termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah orang
terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan
murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka, hanya ada tiga
orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya.
Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Ke dua
adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok
Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu.
Ke tiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda
daripada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh
keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering
kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang
lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan,
Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin
merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik
hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu, tukang merantau, petualang dan
menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap
bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur
sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!
Sering kali ia termenung dan
kalau sudah demikian, Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta
menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.
“Kenapa kau murung selalu,
sute?” pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka
duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan
dahinya.
“Tidak apa-apa, suci.
Hanya.... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan keluar, turun gunung agar
melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun
lamanya....”
“Tunggulah sebulan lagi, sute.
Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun
Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama
beberapa hari.”
“Syukurlah kalau begitu.
Kim-suci, senangkah engkau di sini?”
Gadis cilik yang kini berusia
dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari
padanya, lalu tersenyum manis.
“Mengapa tidak senang, sute?
Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku.... sudah tidak mempunyai keluarga
searang pun.”
“Suci, engkau telah mendengar
riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau
menceritakan riwayatmu kepadaku?”
“Apakah yang dapat
kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja.
Kami diserbu orang-orang mancu, ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh
semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun,
empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”
“Dan semua suci dan suheng
itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”
“Benar.”
“Dan semua ditolong suhu?”
“Begitulah, hanya engkau
seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut suhu, kelak
engkau yang paling hebat di antara kita.”
“Wah, jangan memuji, suci.”
“Sesungguhnyalah, sute.”
Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han han. “Ada sesuatu yang aneh pada
dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang
Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai akan tetapi engkau selalu menyangkal dan
selalu merendahkan diri. Engkau hebat, sute.”
Muka Han Han menjadi merah dan
ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa
ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan,
ia cepat bertanya.
“Tiga orang suheng yang cacad
itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”
“Ah, belum tahukah engkau?
Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”
“Hukuman? Siapa yang menghukum
mereka?”
“Siapa lagi kalau bukan suhu?
Kumaksudkan, suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang
melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman
potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan
suhu ketika suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu,
sababat suhu.”
“Wah....!” Han Han juga tahu
akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di
pondok. “Siapa yang melaksanakan?”
“Aku.”
“Hah....?” Han Han memandang
sucinya dengan mata terbelalak.
Kim Cu tersenyum geli.
“Mengapa?”
“Kau.... kau tega melakukan
itu....? Kau.... mengapa begitu kejam....?”
Kim Cu menggeleng kepala.
“Sama sekali tidak, sute. Aku hanya mentaati perintah suhu dan syarat utama
seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama
sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan
hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun
telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”
“Dia.... tidak mendendam
kepadamu?”
“Ah, tidak sama sekali. Dia
mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”
“Dan.... yang lengannya
buntung?”
“Kwi-suheng? Dia telah mencuri
baca kitab milik suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya
yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”
“Yang buntung kakinya?”
“Lai-suheng? Dia hendak
minggat, tertangkap dan karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah
kakinya dibuntungkan.”
Han Han bergidik. Kim Cu
berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu
tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami
semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita.
Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu
memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”
“Hemmm...., sungguh ganjil.
Tamu tadi, yang bicara dengan suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku
tidak pernah melihat ada tamu datang.”
Kini Kim Cu memandang ke kanan
kiri, kelihatannya jerih dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan
ilmunya kata suhu melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari
suhu....”
“Apa....? Suhu masih mempunyai
Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu....?”
Kim Cu mengangguk. “Tidak ada
yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong
mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang
paling muda. Lihainya bukan main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu masih
mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw
itu....”
“Kau menyebutnya Sian-kouw
(Ibu Dewi)?”
Kim Cu mengangguk dan menelan
ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. “Kita para murid suhu
diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah
disebut suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak
Pencabut Nyawa).”
Han Han bergidik. “Mengapa
Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”
“Ke mana-mana dia membawa guci
arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia.
Sudahlah, sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw....”
“Kalau begitu kita bicara
tentang tokoh-tokoh lain, suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar
dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan
petualangan mereka, terutama sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu, putera
dari sukong itu.”
“Banyak sekali tokoh-tokoh
besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang
dikenal suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu,
Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar
yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu namun sudah
terkenal namanya di jaman dahulu, banyak sekali.”
“Seperti Koai-lojin (Kakek
Aneh) yang pernah disebut suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?”
Kim Cu mengangguk. “Benar,
dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari
segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih maupun
golongan yang disebut golongan sesat.”
“Kita ini masuk golongan
mana?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali
kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi
merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak
patut!
“Kita ini golongan sesat,
begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan
tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada
golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang
tidak sesat?”
Han Han menjadi bingung.
“Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, suci.”
“Dia itu, menurut suhu,
merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun.
Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau
kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan
tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak
ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu,
semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk suhu sendiri. Namun tak
pernah ada yang berhasil.”
“Seperti dongeng saja....”
kata Han Han kagum.
“Memang seperti dongeng, dan
bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu,
dunia kang-ouw pada jaman sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu,
atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut
suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat
seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah
Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak
yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar
sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek
Siansu!”
“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek
Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”
“Entahlah. Siapa tahu? Menurut
dongeng suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima
ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam
dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah
Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada
pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut
suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar
dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada
hubungan keluarga, entah bagaimana dengan Pendekar sakti Suling Emas.”
Han Han mendengarkan penuh kekaguman
dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau
dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan
orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan
Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?
“Heiiii, sute dan sumoi,
kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!” Terdengar seruan Lai
Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin,
menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk
di atas rumput dengan muka berseri.
“Sie Han sute bertanya tentang
Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan suhu,” kata
Kim Cu.
Gu Lai Kwan yang berwatak
gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, sute,
apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana
mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi
seorang sakti seperti Suma-sukong!”
“Agaknya baru mungkin
kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, sute,” Kim Cu ikut pula
menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”
“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa
terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa
dalam dongeng itu, agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini
tentu telah berada di sana.”
Han Han diam saja dan akhirnya
Kim Cu yang menaruh kasihan, menarik tangannya dan berkata menghibur, “Sudahlah,
sute. Kalau kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan suhu, kelak pun kita
akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi sakti
seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya
yang dapat mengajar kita....”
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus.
“Hih-hih-hih-he-he-he! Dua
pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma
Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia,
dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku!”
Empat orang anak itu cepat membalikkan
tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh.
Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan
diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut,
“Sian-kouw....!”
Kim Cu menarik kaki Han Han
dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han
tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia
mengerling ke atas penuh perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan.
Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya
dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya
sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan
diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan tersenyum
selalu, senyum mengejek dan memikat. Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua
telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek
terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang.
Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya
bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang
kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera
yang mahal dan mewah sungguhpun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan
kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras.
Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata,
tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak!
“Hi-hi-hik, aku suka mendengar
semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik,
yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan
menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling
ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee....!
Ke sinilah kamu....!” Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti
seorang puteri memanggil hambanya, kemudian ia menenggak araknya dari guci
arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada
dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.
“Teecu datang menghadap....!”
Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan
dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh
hormat kepada nenek tua itu.
“Harap Sian-kouw sudi maafkan,
karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.”
Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar- benar amat menghormat, seperti seorang
murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang
amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu
kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat
ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak
Pencabut Nyawa)!
“Siangkoan Lee, aku datang
untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku
beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini
menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma
Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”
Ma-bin Lo-mo mengangguk.
“Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini
amatlah baik.”
“Karena mereka telah menjadi
murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan
orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus
cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha
mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang
gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang
sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”
Ma-bin Lo-mo mengerutkan
keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan
anjing-anjing penjajah itu! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi
pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.”
“Soal Gak Liat mudah saja.
Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting
sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah
membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan,
mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya
dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”
Ma-bin Lo-mo
mengangguk-angguk.
“Sudahlah, kau boleh membuat
persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat
muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan
murid-muridku!” kata pula Si Nenek.
Ma-bin Lo-mo kembali
mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah
pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang
dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan
tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila
tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang
agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua
dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik
seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki
pondok.
“Kalian semua sudah pernah
disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di
dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.
Empat orang anak itu
mengangguk.
“Syarat-syarat dan
hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang
akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biarpun kalian
menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak
ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan
pemenggalan kepala. Tahu?”
Empat orang anak itu
mengangguk-angguk kembali akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam
apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah
rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai
sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti
tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan
saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.
“Gerak silat boleh kalian
latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting,
aku akan mengajarkan kalian menghimpun sin-kang, karena dengan kuatnya sin-kang
di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah.
Lihatlah aku! Aku sudah berusia seratus delapan puluh tahun paling sedikit!
Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?” Nenek itu
menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya
dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil
bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil
berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah,
inilah berkat kekuatan sin-kang yang hebat!” Ia duduk kembali. Han Han tertawa
geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya guru yang baru
ini seorang yang miring otaknya!
“Golongan kami
mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan
Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang
rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna,
kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan.
Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di
tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus
seketika. Lihat baik-baik ini!”
Nenek itu mengangkat cawannya
dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke
atas dan.... berdetakanlah butir-butir es keluar perutnya melalui mulut,
bertebaran di atas lantai!
“Im-kang yang sudah amat kuat
dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku,
juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung
Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun
Im-kang.”
Setelah memberi pelajaran
teori tentang ilmu silat dan samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang
muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi
dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek
itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian
sebelum dua hari dua malam! Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan
mereka. Bagi Hen Hang hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh
anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan
yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biarpun
begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka
maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.
“Bagus, kalian memang patut
menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira. Dan
sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid
barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka
makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan samadhi
yang akan dapat menghimpun sin-kang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan
“mengisi” mereka dengan sin-kangnya untuk membuka jalan darah mereka seorang
demi seorang.
Akan tetapi ketika tiba
giliran Han Hang nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid
lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada
punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak
itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam
pusar. Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang
merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia ini. Hanya bedanya, tanpa
latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan,
hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja, diam-diam
menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan
latihan samadhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat
dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai. Nenek itu mengerahkan Im-kang
dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia
salurkan itu tiba-tiba “macet” dan berhenti penyalurannya.
“Aihhhhh....! Di mana kau
belajar mengerahkan sin-kang untuk melawanku?”
Han Han juga kaget. Cepat ia
menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya
itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari
Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”
“Hemmm, kau jauh lebih kuat
dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.”
Han Han merasa tersiksa
sekali. Berbeda dengan Kim Cu dan teman-teman lain yang pada dasarnya belum
memiliki sin-kang dan yang dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu
secara wajar, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah
hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi
ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya
bergerak dan menolak.
“Nah, latihlah dengan tekun.
Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri.” Akhirnya nenek itu
berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya. Cara nenek ini
melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih
murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh
empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan
yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu
terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa
Yang. Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi.
Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan
yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang
pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersamadhi dengan memusatkan
pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersamadhi
sambil menunggang naga sakti. Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan
sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai
dengan aturan bernapas dalam samadhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya
terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya
sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya.
Sungguhpun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara
yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.
Banyak cara yang terdapat
dalam kitab-kitab tentang pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama
yang mengajarkan soal samadhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam samadhi,
orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang
disebut berulang kali : Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu,
Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang
Buddha dan membaca mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi
para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera :
Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya
itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan
menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.
Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng
Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersamadhi
mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat
sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini
dianggap baik atau pun buruk.
“Kalau engkau suka
membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu,
tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan
bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu! Yang
penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan
demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai
pikiranmu.”
Memang cara yang aneh, akan
tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan daripada ajaran-ajaran yang
lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek
itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan
pikiran ke mana ia melayang!
Tanpa disadarinya, mulailah
Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan
kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan
lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin
sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan
cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah
ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.
Sebulan lewat dengan cepat.
Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi
kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah
diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah
gunung. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar
untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau
Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak
In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.
Han Han tadinya diajak oleh
Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han
menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya
kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia
berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis.
Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan
diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan
dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan
seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan
hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.
Ia melakukan perjalanan
menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki
bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan
ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu
merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apalagi dusun itu merupakan dusun
kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena
musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka.
Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai
menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.
Menyaksikan kegembiraan dan
kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak
berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru kelihatan riang
gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan
hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan
oleh orang tua mereka.
Akan tetapi betapa heran hati
Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar
suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan
suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya
tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan
memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia
tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman
orang tanpa ijin!
Begitu memasuki pintu gerbang,
alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh
tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan, sedang berdiri dan
menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan
jari-jari tangannya yang kotor. Seorang laki-laki yang bermuka kejam,
berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul, berdiri dengan
muka merah di atas anak tangga, tangan kanan bertolak pinggang di atas
sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kiri menuding-nuding
dengan marahnya sambil membentak-bentak.
“Maling cilik! Bocah hina!
Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!”
Anak itu menggigil seluruh
tubuhnya. “Aku.... tidak mencuri apa-apa....”
“Tidak mencuri, ya? Kau hendak
maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat
pohon ang-co (korma) tadi?”
“Aku.... aku ingin makan
buahnya.... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”
“Setan alas! Masih banyak
membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak
perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak
itu terangkat ke atas. Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang
begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan
itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin
lebar.
Tiba-tiba laki-laki itu
menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus
putih....! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus....” Kini tangan
kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang
ajar. “Ah, masih terlalu kecil.... kalau kau lebih besar dua tahun lagi,
hemmm.... hebat juga....!”
“Lepaskan aku....!
Lepaskan....!” Anak itu meronta-ronta.
“Ha-ha, tentu saja kulepaskan
kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.
Han Han cepat menggerakkan
tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan
yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil
memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.
“Kau manusia berhati keji,
pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han
memaki.
Laki-laki itu terbelalak heran
dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh
seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja
sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah
putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.
“Kongcu siapakah dan hendak
mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”
“Keparat! Hayo lekas berlutut
dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak itu.
Merah muka si tukang pukul.
“Apa? Engkau siapakah?”
“Aku seorang pelancong yang
kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”
“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau
mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan berdiri
tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung
yang kelihatan lemah ini.
“Kalau tidak mau, aku akan
memaksamu!”
“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup?
Baik, mampuslah!”
Tukang pukul yang mengandalkan
kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan
kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han
Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring
mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki
yang menendang.
“Krakkk....! Aauggghhh....!”
Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang
betisnya telah patah!
“Tidak lekas minta amppn?” Han
Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu
baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok,
dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga ibunya yang sudah
diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.
“Setan kecil!” Tukang pukul
itu tentu saja tidak mau terima dan biarpun kakinya terasa nyeri, ia sudah
meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya. Sambil menggereng
seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya
membacok. Biarpun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah
ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han biarpun tidak pandai silat
namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan
mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya
memukul ke arah kepala orang itu.
“Prokkk....!” Tubuh orang itu
terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah! Di luar kesadarannya, Han
Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan
Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca
memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka
penuh darah, amat mengerikan. Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat
ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan jembel itu menangis,
menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan
yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh
orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak
perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari. “Hayo kita
cepat pergi dari sini!” bisiknya
Berlari-larianlah kedua orang
ansk itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria
merayakan hari Sin-ciag tidak ada yang mempedulikan mereka karena memang dalam
suasana pesta seperti itu, tidak mengherankan melihat dua orang anak itu
berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira
dan bermain-main. Keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh
dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti
anak jembel, tidak terasa pada saat itu.
“Aduhhh.... aduhhh....
kakiku.... aahhh, berhenti dulu.... napasku mau putus....!” Anak perempuan
jembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia
tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan
mempergunakan ilmu lari cepat.
Mereka telah tiba jauh di luar
dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak
perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit
kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.
“Engkau bocah cengeng benar!”
katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap
anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang
jembel berkeliaran tanpa teman.
Anak perempuan itu mengangkat
muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang
dengan sinar mata polos ke wajah Han Han, air matanya menetes turun ke atas
pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?”
Melihat sepasang mata itu,
seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan
sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah
dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya sendiri tidak patut
menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.
“Tentu saja tidak! Engkau
siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di
dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”
Mendengar pertanyaan ini, anak
itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han
menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak
ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat
pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar.
Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia
berkata.
“Sudahlah, jangan bersedih.
Engkau hidup sebatangkara, bukan? Kehilangan keluargamu?”
Anak itu mengangguk, pundaknya
bergoyang-goyang karena isaknya.
“Nah, aku pun sebatangkara,
aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan
aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang
saudara, bukan?”
Anak perempuan itu
menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka
basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan
hati Han Han dengan sinar matanya yang bening. Han Han tersenyum.
“Maukah engkau menjadi
Adikku?”
Anak itu mengangguk perlahan,
kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin
suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan
lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah!
“Engkau menjadi Adikku dan
kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she
Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagaimana kau
sampai sebatangkara dan tiba di tempat ini?”
Sejenak anak itu memandang Han
Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han
Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu.
Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.
“Koko.... Han-ko (Kakak
Han).... Koko....!”
Han Han menjadi terharu. Ia
mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan
yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya
terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan ketakutan dan
kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan
penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar
matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata. Setelah
tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari
dadanya, memandangnya dan berkata.
“Moi-moi yang baik, sekarang
katakan, siapa namamu?”
“Lulu....”
Han Han tercengang. “Eh,
namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”
“Ayahku seorang pembesar Mancu
di kota raja....”
“Haaahhh....?” Han Han
benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata
terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?
“Ayahmu seorang perwira
Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka
kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya
yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.
Lulu terkejut dan meringis
kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. “Ada
apakah, Han-ko....?”
Akan tetapi Han Han sudah mendorong
tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu
malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han
dengan matanya yang lebar itu terbelalak.
“Ko-ko, engkau kenapakah?”
“Aku benci orang Mancu!”
bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena
sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu
seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan
tubuh. Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang
tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.
“Kenapa, Han-ko? Apakah kau
membenci aku juga? Engkau begitu baik....”
“Benci, ya, benci! Aku benci
semua orang Mancu!”
“Tapi, kenapa....? Tentu ada
alasannya. Apakah engkau.... pemberontak?”
Kalau bukan Lulu yang ia
hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih
banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia
tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.
“Orang tuaku dibunuh,
keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”
“Membenci aku juga?”
“Kalau kau orang Mancu, ya!”
“Tapi aku Adikmu!”
“Aku tidak sudi mempunyai Adik
seorang Mancu.”
Tiba-tiba Lulu menjatuhkan
diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis,
tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.
“Han-ko, jangan.... jangan
membenci aku. Aku Adikmu.... jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan
aku akupun sebatangkara. Ayah bundaku, biarpun orang-orang Mancu,
mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang,
keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud
agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku
ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian jembel....! Yang melakukan
pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis
pemberontak, dan dan.... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku
tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”
Han Man tertegun mendengar
ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Kenyataan
bahwa gadis cilik yang dibasmi keluarganya ini tidak membenci semua orang yang
sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya, menusuk perasaannya. Memang
sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik
ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang
kejam dan jahat.
“Maafkan aku, Moi-moi....” Ia
berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han
Han. Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling
menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya
melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang
mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena
andaikata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan
menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?
“Lulu-moi, kau bilang tadi
bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?”
Lulu mengangguk sambil
berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu
yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali
kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.
“Ayah sedang berangkat ke
selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya,
yaitu ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan
kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah
terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar
pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberentak itu lihai
sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel
tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah
yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang
melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah
bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti
akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek jembel yang disebut
Lauw-pangcu itu!”
Tiba-tiba kaki Han Han
tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir
jatuh.
“Hemmm...., dia....?” kata Han
Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah
gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!
“Mengapa? Kau kenal dia Koko?”
“Ya, begitulah.”
“Kau hebat, kau lihai, dapat
membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah
kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”
“Ah, mudah saja kau bicara,
Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan
kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar
sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam.
Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke manapun aku pergi.”
Lulu mempererat pegangannya,
hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis berseri
dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak
mau berpisah darimu.”
Ucapan terakhir ini
mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar
otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo,
minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan
inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat
mempelajari ilmu yang tinggi.
“Sute....!”
Han Han dan Lulu berhenti dan
membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan
ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman.
Kim Cu memakai pakaian yanS indah, dan sebuah bungkusan menempel di
punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat
mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.
“Wah, sute! Setengah mati aku
mencarimu!”
“Ada apakah, suci? Bukankah
waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”
“Ada perubahan, sute. Suhu
sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang
juga karena suhu hendak pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita
harus berada di sana. Dan.... eh, siapakah dia ini?” Agaknya karena ketegangan
hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim
Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan
bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.
“Aku hendak membawa dia
menghadap suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”
“Wah, agaknya tidak akan
mudah, sute. Siapa sih anak ini?”
“Namanya Lulu, seorang becah
Mancu.... heee, tahan, suci....!”
“Dukkk!” Tubuh Kim Cu
terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han
Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.
“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa
kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku
membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata
terbelalak ketakutan itu.
“Tidak, suci. Jangan! Dia ini
bukan musuh kita.”
“Siapa bilang bukan kalau dia
seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku,
dan keluargamu juga!”
“Benar, akan tetapi bukan dia
ini yang membasmi keluarga kita, suci. Sebaliknya, keluarga Lulu ini pun
terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai
musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan
kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik
dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang
yang jahat, termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena kejahatan beberapa
gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia
ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi.
Tidak, suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun
dia anak seorang perwira Mancu.”
Kim Cu termenung. Memang semenjak
berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa
pikiran sutenya amat luas dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia.
Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan
tingkat sutenya masih lebih rendah daripada tingkat murid lainnya. Ucapan Han
Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan
kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu,
pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah
semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya
bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.
“Agaknya engkau benar
dalam hal ini, sute. Akan tetapi engkau salah besar kalau engkau hendak membawa
Lulu kepada suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu
akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku
dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, sute.”
“Tidak bisa, suci. Kalau dia
ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh suhu, lebih baik aku tidak kembali ke
In-kok-san.”
“Eh, mengapa begitu? Apamukah
bocah ini, sute? Jangan bodoh....”
“Dia ini Adikku!”
“Apa? Adikmu? Anak Mancu
ini.... mana mungkin Adikmu....?”
“Dia betul Adikku, dan aku
Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan
melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku
yang telah menjadi kakaknya, suci,” kata Han Han, suaranya tetap.
Wajah Kim Cu menjadi berduka.
“Sute, kalau kau tidak kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan
kehilangan....”
“Suci, engkau adalah murid
In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan
Lulu tidak mempunyai siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah
berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di
In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka mengingat
hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”
Kim Cu termenung dengan muka
sedih. “Kalau engkau tidak kembali, suhu akan marah sekali. Terutama sekali
Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti
akan dicari suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap.... ah, hukumannya
mengerikan, sute.”
“Kalau melarikan diri dan
tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”
Lulu mengeluarkan jerit
tertahan. “Keji....!”
Kim Cu memandang bocah itu
dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja
yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka
harap kau jangan pergi.”
“Biarlah, aku sudah mengambil
keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau
sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan
di mana kau bertemu denganku, suci.”
Kim Cu menarik napas panjang
dan menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi....
ah....”
“Sudahlah, suci. Harap suci
suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.”
Kim Cu berdiri dengan muka
sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.
“Sute....! Tunggu dulu....!”
Ia meloncat dan berlari mengejar.
Han Han membalikkan tubuh,
alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak
menghalangi aku?”
Kim Cu maju dan memegang
tangan Han Han. Air matanya menitik turun.
“Tidak sama sekali, sute.
Aku.... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini.... ah, setelah dia
menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu....” Gadis cilik
ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan
dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.
“Lulu, kaupakailah ini agar
engkau pantas menjadi adik Sie Han sute.”
Lulu menerima pakaian dan
sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah
mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko....”
“Cihhhhh....! Kanak-kanak
bicara tentang cinta! Cinta apa?”
“Engkau mencinta Han-ko,
Enci....”
“Hush! Sudahlah....!” Suara
Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari
situ dengan gerakan yang amat cepat.
Han Han berdiri melongo,
memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya,
kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta
bagaimana?”
Lulu tersenyum. “Dia sungguh
cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan
senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”
“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah
bagaimana, sungphpun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti
setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan
jantungnya berdebar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita
melanjutkan perjalanan.”
Lulu segera bersembunyi di
balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika ia muncul kembali, Han Han
memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik yang
cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak
yang manis sekali.
“Kita ke mana, Koko?”
“Hayo ikut sajalah. Aku ingin
ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”
“Aku datang dari sana, akan
tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu
akan sampai juga.”
Maka pergilah kedua anak ini,
tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san.
Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan
kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak
boleh dibuat main-main. Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada
orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan
jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun
gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biarpun
pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah
lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya
mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.
Han Han menjadi makin suka
kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar
memiliki watak yang menyenangkan. Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh
tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak
kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han
sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya
ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk
mereka. Betapapun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang
sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi
seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau
kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia
keji dan mengerikan. Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga
menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li
dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita
itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi
seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang
telah membasmi keluarganya.
Harus diakui bahwa Han Han
yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat
dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah
seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang
tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan
Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.
“Lulu adikku yang baik, kurasa
engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia
seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya
hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam
sebuah hutan.Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran.
“Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kauceritakan
kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?”
“Tentu saja.”
“Kalau engkau menaruh dendam
kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi
keluargaku?”
“Ah, jauh sekali bedanya,
Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan
nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguhpun hal
ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa
benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam.
Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian
itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok
harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada
keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang
berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang
pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh
pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian
bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas
perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu
yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan
Mancu?”
Lulu merengut dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apapun yang menjadi alasan, akibatnya sama
saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar daripada perbuatan para pembasmi yang
kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku
pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara
dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan
mereka?”
Ditegur oleh bocah yang matang
dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya
berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang
kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang
adalah keji! Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan
betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar
manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita
alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa
gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau
kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi
musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”
“Koko, bagaimanakah orang yang
jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya
karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan
tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa.
Bagaimana ini?”
“Tidak tahulah.... tidak
tahulah.... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”
Mereka melanjutkan perjalanan
dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan.
Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar
tampak dinding di puncak bukit.
“Di puncak bukit itu tentu
tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuli tentu sebuah dusun. Sebaiknya
kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian
untukmu, Moi-moi.”
“Bukan hanya untukku, Koko,
engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak
pula. Aku pun dapat bekerja, apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau
mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”
“Engkau puteri seorang
pembesar, mana bisa bekerja kasar?”
“Jangan begitu, Koko. Dahulu
puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb....”
“Hanya Adikku yang baik dan
manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai
mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba
di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang
ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.
“Lihat! Kebakaran!”
Benar saja. Api yang
berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar
api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu
terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.
“Celaka....! Hayo kita naik
terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.”
“Aku.... takut...., Koko.”
“Ada aku di sampingmu, takut
apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api
mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok. Akhirnya mereka tiba di luar pagar
tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung
di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke
sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang
membuat Han Han menarik tangan adiknya diajak bersembunyi. Kiranya di dalam
perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan
manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring
suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas tampak karena disinari api yang
membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan
mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada
kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia
mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.
Perang tanding yang lebih
banyak terdengar daripada terlihat itu berlangsung semalam suntuk! Demikian
pula kebakaran yang agaknya tidak ada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan
betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok.
Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur
dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat.
Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api
membakar dan tidak ada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran
itu berlangsung sampai pagi!
Han Han yang memberanikan
hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang, menjadi silau matanya
menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi
murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar
senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua
sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat
menduga babwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali
orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia
melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.
Semalam suntuk tidak tidur
sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua
orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah
pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan,
ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya
tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi
tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.
Han Han bangkit berdiri, akan
tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat
oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu
gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak
seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu
bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu
yang masih menggigil ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah
melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main
naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri,
wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan
keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang
dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar. Yang
amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada
puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar
laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada
pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti terbabat
senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus.
Mayat ini mandi darahnya sendiri.
“Han-koko.... aku....
aku takut hiiii....!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang
menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
“Tenanglah, Adikku.... aku pun
takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang
merintih....! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu....”
“Aku.... aku takut.... nge....
ngeri....!”
Akan tetapi Han Han sudah
menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat,
tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak,
membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu.
Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat
karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk
sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena
justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.
Han Han memiliki ketabahan
yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir pingsan
saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan
Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.
“Moi-moi, ada orang terluka.
Mari kita tolong mereka....!”
Kasihan sekali Lulu. Sudah
takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya.
Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk
lari pula mengejar. “Koko.... Han-ko, tunggu aku....!”
Han Han sudah berlutut di
dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran.
Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak
akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka
berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih
tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya
terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya
terpelihara baik-baik. Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik,
tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya
rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman,
sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu
setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang
menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang
itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang
putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih
dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu
meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali
tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri olehnya,
dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
“Tenanglah, Yan
Hwa.... tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan)
tenanglah, Adikku, kekasihku....”
“Oughhh.... suheng (Kakak
Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih....?
“Aku.... aku.... selamanya cinta kepadamu, suheng....”
“Hushhh.... ada orang datang,
diamlah....”
“Aughhh.... ahhh, panas rasa
kerongkonganku...., aduh, Kanda, minum.... minum....”
Hati Han Han sebenarya sudah
tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh
peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek
dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.
“Locianpwe, biarlah saya yang
mencarikan air minum....!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam
sekarat itu, ia bangkit den cepat pergi mencari air.
“Han-ko.... tunggu....!” Lulu
berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu
ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.
“Mari kita mencari air minum
untuk mereka. Kasihan mereka....” kata Han Han yang menanti adiknya lalu menggandeng
tangan adiknya. Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan
mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu
sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan
dada.
“Ini airnya, locianpwe,” kata
Han Han. Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu
tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang
itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Adapun Lulu berdiri di belakang Han
Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling
berpelukan mesra itu.
“Oohhh, mana air....?” Nenek
itu mengeluh. Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona
memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi
minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai
terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan,
wajahnya menjadi tenang, dengan sikap manja merebahkan pipi kirinya di atas
pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang
ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi. Kakek itu tidak minum, bahkan
tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut
sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah,
tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah,
muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan
yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan
dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.
“Engkau siapa?”
Han Han adalah seorang anak
yang amat kukoai (aneh), babkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan
yang bagaimana aneh wataknya sekalipun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan
sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil
memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab,
sama kakunya dengan suara kakek itu.
“Namaku Sie Han!” Hanya sekian
ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya
kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.
Kembali dua pasang mata beradu
pandang dan kakek itu makin terbelalak.
“Eh....! Matamu....!”
“Mataku kenapa?” balas tanya
Han Han, makin penasaran.
“Seperti....”
“Mata setan!” Han Han
melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan
Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua
menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh
besar selalu menyebut-nyebut matanya.
Kakek itu menggeleng-geleng
kepala, dan aneh.... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga
wajahmu dan sikapmu yang kepala batu.... akan tetapi pada dasarnya berhati
penuh welas asih.... eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan
seorang sahabatku yang amat baik.”
“Hemmm, locianpwe yang aneh.
Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak
membayangkan bahwa locianpwo baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han
menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.
Nenek itu mengangkat muka
memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko.... siapa bocah setan ini? Perlu
apa bicara dengan dia? Mana.... mana dia.... Jai-hwa-sian?”
“Sabar, Moi-moi....
Jai-hwa-sian belum juga datang.... ahhh, sayang sekali.... kalau sampai kita
keburu mampus sebelum dia muncul....”
Han Han terkejut sekali.
Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini
demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar
nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.
“Locianpwe mencari
Kong-kongku?”
Kakek itu mengangkat muka
memandang, cemberut. “Siapa mencari Kong-kongmu? Siapa itu Kong-kongmu?”
“Jai-hwa-sian....!”
“Hehhh....?”
“Ihhhhh....?”
Kakek dan nenek itu berseru
kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi
telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya
karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia
terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu
Jai-hwa-sian.
“Heh, anak setan, siapa
nama Kong-kongmu?”
“Namanya Sie Hoat.”
Kakek itu mengerutkan alisnya,
sedangkan nenek itu yang masih lemah telah menyandarkan kembali pipinya ke
pundak Si Kakek dengan sikap manja.
“Bagaimana kau tahu kakekmu
itu berjuluk Jai-hwa-sian?”
“Yang memberi tahu adalah
Setan Botak.”
“Setan Botak? Kaumaksudkan
Setan Botak si....?”
“Siapa lagi kalau bukan Setan
Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han
Han, masih panas hatinya, apalagi karena kakek itu menganggapnya main-main.
Kini mata kakek itu makin
terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang
anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan
Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir
seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!
“Di mana Kakekmu yang berjuluk
Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga barangkali
Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya
itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah
begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.
Akan tetapi anak itu
menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti
yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, sudah puluhan tahun
pergi merantau, menurut dongen Ayah....”
“Siapa nama Ayahmu dan di mana
tinggalnya?”
“Ayah bemama Sie Bun An,
dahulu tinggal di Kam-chi....”
“Sie Bun An? Suma Bun An? Di
Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak
sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat
ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.
“Sekarang di mana adanya
Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”
“Locianpwe! Ayahku adalah Sie
Bun An, apa ini Suma-suma segala?”
“Ha-ha-ha! Dasar pengecut,
mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya,
biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya
Kakekmu?”
“Ayah dan sekeluargaku telah
dibunuh perwira-perwira Mancu....”
“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum
karma....! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi....”
“Locianpwe!” Han Han
membentak, marahnya bukan main. Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada
siapapun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dam keluarganya
kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah
tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang
sudah berterus terang menceritakan, malah ditertewakan! Inilah yang benar-benar
dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!
Akan tetapi kakek itu tidak
peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum
karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat,
datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapapun engkau baik terhadap kami.
Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan
menimbulkan akibat, buah daripada pohon perbuatan sendiri akan dipetik
sendiri.... seperti juga kami berdua...., kami berdua mungkin lebih sesat
daripada engkau, maka buahnya pun lebih pahit.... aahhh!” Kakek itu kini
menangis terisak-isak!
“Kakek.... kenapa menggali
hal-hal lampau....? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... engkau
mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di
ambang maut.... kita mati dalam cinta.... alangkah bahagianya....” Dengan napas
terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka
berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut
dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!
Kini Han Han berdiri melongo.
Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup
angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu
yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir
putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan
kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah
terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh
kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.
“Moi-moi.... anak ini
cucunya.... kita berikan saja kepadanya, ya?”
“Terserah, Koko.... terserah
kepadamu. Lekas berikan.... aku sudah ingin sekali melayang pergi bersamamu,
Koko....”
Kakek itu kini dengan tangan
menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya, dan tangan kirinya
mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya
meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab
pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah
kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah
sekali.
“Dengar, anak yang bernama Sie
Han.... dengarlah baik-baik, berlututlah....”
Suara yang lemah menggetar itu
mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu
bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat
dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh
berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan
ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.
Dengan tangan gemetar, kakek
itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning.
“Kauterimalah ini.... kausimpan baik-baik dalam bajumu! Lekas.... jangan
bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan....”
Han Han tidak diberi
kesempatan membantah dan seperti ada sesuatu yamg menggerakkan hatinya anak ini
menerima sepasang kitab yang kecil itu, langsung ia masukkan ke balik bajunya.
“Dekatkan telingamu....”
Han Han menggeser lututnya,
mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya,
“Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di
bawah, buang satu coretan menurun....”
“Sudah mengertikah engkau?”
Han Hen mengangguk dan
mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti
apa maksudnya.
“Simpan kitab-kitab itu dan
kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan
yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan
kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”
Kembali Han Han penasaran.
Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”
Kakek itu menarik napas
panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama
nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu
mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah
tadi, penuh semangat.
“Sie Han, dengarkan baik-baik,
tiada banyak waktuku. Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai
Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak
mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku
Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih
dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu,
aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang
mampu mengalahkan kami....”
“Juga Koai-lojin tidak
mampu....?”
Untuk terakhir kalinya kakek
yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu pula akan
Koai-lojin?”
“Hanya mendengar penuturan
orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab
Han Han sederhana dan sejujurnya.“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku
makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi
aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan
sendiri, saling mencinta dan
kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi.
Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak
bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru
kami....”
“Sumpah apakah, locianpwe?”
Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang
Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan
yang bagaimana mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati
akan terbiasa juga.
“Guru kami menyumpah bahwa
murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa....”
“Iihhh...., kejam....!” seru
Lulu.
“Karena itu, biarpun saling
mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini
membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi
kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba
berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang
bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang
telengas. Dusun ini adalah sarang berandal, dahulu, puluhan tahun yang lalu
kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada
Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan
mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi, kembali kami
saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling
serang sehingga akhirnya.... engkau lihat sendiri akibatnya....” Kakek itu
mulai lemah suaranya.
Nenek itu membuka mata dan berkata,
suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus
dengan nyawa, Koko.... dan aku.... aku girang sekali.... aku bahagia....”
Kakek itu mencium kening nenek
itu. “Sie Han.... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris
kami.... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu
kuberikan kepadamu.... engkau.... engkau mulai saat ini menjadi murid kami,
dan aku girang mempunyai murid seperti engkau....”
Han Han yang tahu bahwa dua
orang itu takkan bebas dari kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya
sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng
Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak
mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Teecu (murid) menghaturkan
terima kasih kepada suhu dan subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi kakek itu sudah
tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek
itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan.... mereka menghembuskan
napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja
tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu
mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan
cinta.
“Suhu....! Subo....!” Han Han
mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua
orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan
guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka
terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me.... mereka.... sudah
mati.... oohhh....!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru
sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.
“Aku harus mengubur
mereka....”
“Hayo kita pergi. Han-ko....,
aku takut sekali....”
“Nanti dulu, Lulu. Aku harus
mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau
menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulan sebentar.”
“Kalau begitu, mari kubantu
engkau, Han-ko.”
Dua orang anak itu lalu
bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung
bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam
waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang
cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka
temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang itu bagus
sekali!” bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala.
“Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan
agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah
kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak berani membantu
ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam
lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu
dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu
berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri
yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
“Sekarang kita harus cepat
pergi dari sini....” kata Han Han. Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja
setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di
bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama
lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi
dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh
keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun
itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat
berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan
Lulu!
Bagaimana kalau sampai ada
orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi
penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan
Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh.... aduh....
perlahan-lahan, Koko.... kakiku sakit....!”
Akan tetapi Han Han yang kini
sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera
berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong....”
Lulu sudah merasa lelah
sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali
kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah
hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia
lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan
kedua kaki. Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang
hangat menempel tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa
kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia
lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap
keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik
angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin
dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil berlari, Han Han
teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah
kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa
ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia
bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya
sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia
ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat. Agaknya tidak mungkin kalau
kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis
Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya
seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan
tetapi ayahnya.... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya.
Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas
sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah
dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah.
Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik
Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat
(penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa
wanita! Biarpun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi
cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya
kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian. Akan tetapi, dia
harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi
gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu
pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat.
Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si
Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang
dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”
Dia tidak tahu apa artinya
ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya,
karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang
kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke
mana ia harus pergi? Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya
dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu.
Ke mana? Ke kota raja! Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya.
Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang
keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia
tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah
yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan
merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!
Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat
kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya,
membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak
sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia
memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah malas! Enak saja kau,
ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena
sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian
pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati
Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak
perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai,
kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu, ia
kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan
bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu
dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke
dada tanda kedinginan.
“Kasihan....” bisiknya penuh
kasih sayang. Aku harus mencarikan makanan untuknya. Akan tetapi pada saat Han
Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit
saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di
situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang
datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti
arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han. Seorang adalah laki-laki
gundul seperti hwesio, ke dua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking
kurusnya, dan yang ke tiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol
hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang
menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka
bengis!
Han Han bukan seorang penakut.
Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama
dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta
daripada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang
timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di
rumahnya yang terbasmi dahulu. Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu
bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai
ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri.
Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa
mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau
sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak
menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin
bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama
sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka
menjalankan hukuman. Teecu menyerahkah sebelah kaki teecu, aken tetapi
setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan
biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah
duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk
dipilih suhunya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum
bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki
ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk
dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan
penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung
jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena
Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah
ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di
depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han.
Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada
Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut,
membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata
lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh,
ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan
berkata.
“Koko...., ada apakah....?
Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi.
Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan,
kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak
saling berpisah....”
“Kakimu dipotong....?
Tidak....! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku!
Pergi.... pergi....!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi
beringes dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo
dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, ke sini....! Jangan
begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu
itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak
mau menurutmu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini!
Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek
jahat!” Lulu masih berdiri dengen sikap menantang dan matanya yang lebar itu
seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang
temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu
dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku
yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah
menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo
menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak
itu dan mengangkatnya. Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik
ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar
aneh itu menelitinya. “Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu....
hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biarpun mulai ketakutan, namun
Lulu masih marah.
“Bukan, suhu.... bukan....!”
Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik
angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan
gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku perwira
Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan
aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan
anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia!
Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han
berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya
mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh
Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah.
“Bocah setan! Murid durhaka!
Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira
Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga
kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum
dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini....” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas
hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu, jangan....!”
Tiba-tiba terdapat perubahan
pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk.
“Hemmm...., bagus sekali. Dia
anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan
orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau....” Ia tidak melanjutkan
kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok
Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki
muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya.
Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar
tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka
berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ
terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam
perahu dan setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah
perahu itu, menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu
dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah
siuman dan mengeluh. Ketika melihat, bahwa dia terbelenggu dan terlentang di
atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga
terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko.... syukur kakimu
masih utuh....” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan
menangis...”
“Aku.... aku.... takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama
nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi.... mereka jahat
sekali....”
“Hushhh, diamlah....”
Mereka itu seperti dua ekor
kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak
memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan
perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo
yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan
menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
“Murid murtad....! Murid
durhaka....!”
Han Han tidak putus harapan.
Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan
menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka
berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak
takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan
Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku
berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak
berdosa, harap suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima
hukuman dari Sian-kouw sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak
membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu....!”
“Diam! Kau murid murtad,
pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar
mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak
mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil
berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han
Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia
itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia
sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur
cepat sekali dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran
itu amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut
dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk
laut. Han Han yang telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa
mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan
Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah.
Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak
dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah
miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu....! Harap tolong
membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu....! Dia....! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok,
lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri
Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas
dan.... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita
lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum.
Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan
tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Malam itu mereka berdua diberi
makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah
makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan
masih dibelenggu ke belakang dengan tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka
bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, Han Han dan Lulu sama sekali tidak
dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang
tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.
“Lihat, alangkah indahnya
pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan
seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak
bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya
maju cepat sekali.”
Lulu terhibur dan setelah
melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang
yang suram, ia bertanya.
“Kita ini.... dibawa ke mana,
Koko?”
“Entahlah, akan tetapi kalau
tidak salah, suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah
aku mendengar para suheng dan suci bercerita tentang Pulau Es.”
“Pulau Es? Di mana itu? Mau
apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.
“Aku sendiri pun tidak tahu.
Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau
takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”
“Koko....!” Lulu menangis.
“Eh, malah menangis. Ada apa?”
“Koko, mengapa kau begini baik
kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.
“Aihhh, aneh benar
pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku
hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”
“Han-ko....!” Lulu kembali
menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada
kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu
tertidur.
Perahu kecil itu melakukan
pelayaran selama tiga hari tiga malam. cepat sekali karena di waktu angin
berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat
merupakan orang-orang sakti yang memiliki sin-kang kuat sekali, biarpun hanya
didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah
utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita,
akan tetapi apabila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita
sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi
sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur, Si Muka Bopeng
tiba-tiba berseru kaget.
"Perahu di sebelah
depan!"
Mereka semua memandang,
termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu
yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna
hitam.
Ma-bin Lo-mo memandang ke
utara, ke arah perahu itu dan melinduhgi matanya dari sinar matahari dari
kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam daripada kawan-kawannya dan
setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia
berkata.
"Perahu itu bukan perahu
pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di
atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu
orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi
mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"
Layar tambahan dipasang, Si
Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan
perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali
melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian
perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat
adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak
merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah
menanti datangnya perahu kecil yang mengejar. Akhirnya perahu itu berdekatan,
dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin
Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang
berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua
wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun,
cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat
puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna
hitam dan mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan tampaknya
sikap mereka gagah.
Han Han memandang dengan hati
tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke
arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang
ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan
Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka
tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.
"Mereka adalah
orang-orang dari Hek-liong-pang (PerkumpuJan Naga Hitam)!"
"Sikap saja, habiskah
mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang
maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak,
tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Akan tetapi,
Siangkoan-locianpwe mereka itu adalah orang segolongan…." Si Muka
Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo memandang
kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah?
Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu
jalan, menjadi pembantu-pembantuku dan jika berhasil perjalanan ini, kalian
akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi.
Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw
yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut
menghadapi tikus-tikus itu?"
“Tidak…. tidak takut… hanya…”
"Cukup! Hadapi mereka,
dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut
karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh
mereka, hanya merusak perahunya.”
Han Han bergidik. Gurunya ini
benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan
perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada
di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang
menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggeJam tentu akan mati di perut ikan!
Sementara itu, tiga beJas orang
di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang di
antara mereka, yang tertua, berusia empat puJuh tahun dan berjenggot panjang,
segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata
nyaring.
"Ah, kiranya Swi Coan
Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami? Harap Lo-enghiong menerima
salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran
ini."
"Cu-wi (Tuan Sekalian)
melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" Suara Si Muka
Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan orang-orang
Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas
rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya
kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong
bertanya kepada Pangcu kami sendiri."
"Bukankah kalian disuruh
mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya
marah karena biarpun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo,
namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.
Pimpinan rombongan
Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata.
"Mana mungkin kami dapat
menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu
kami."
"Hemmm, kalian sudah
berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau
harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."
Tiga belas orang
Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka
Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka
Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa
orang tua itu akan memusuhi mereka.
"Swi Coan Lo-enghiong!
Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah
menguasainya. Siapapun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah
Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu
kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami
menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat
akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."
"He-hemmm…." Si Muka
Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga. Dia tidak takut kepada
orang-orangHek-liong-pang ini, dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan
seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah
mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini
berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata.
"Kalian mentaati
perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan
perahu kalian, sekarang juga karena perahu kalian harus ditenggelamkan di
sini!"
Kembali seruan marah dan
penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan
Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu
merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu diantara
orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya.
Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ
terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya
dan bertanya.
"Kalau kami boleh
bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan
untuk hwesio) itu?"
Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum
dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa.
"Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu
Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."
Tiga belas orang anak
buahHek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai
seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari
perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki
kepandaian yang tinggi sekali.
"Adapun dia itu adalah
Ouw Kian yang terkehal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka
Hitam)."
Kembali tiga belas orang itu
terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh
nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-tai-hiap
hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki
cacad yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biarpun suka
memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak) namun terkenal pula
sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa
wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan
orang-orang pandai itu.
"Hemmm, nama besar kedua
orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan
kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa
mereka sekarang memusuhi kami?"
"Sama sekali tidak
memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua
orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau
ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil
tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga belas pasang mata
memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek
berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu,
seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga
orang itu biarpun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan
jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apalagi terhadap kakek asing yang
mukanya seperti kuda itu.
"Siapakah locianpwe
ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga
bahwa biarpun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang
pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi
kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan tersenyum lebar.
"Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga,
masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"
Si Jenggot Panjang dan para
adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun
mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang
berdiam di In-kok-san. Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata
lirih.
"Mukanya…. jangan-jangan
dia…. Ma-bin Lo-mo….”
Tiga belas orang itu terkejut
dan memandang makin terbelalak. Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas
orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku
benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air dan hal
ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."
Tiga belas orang anggauta
Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa
dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah
menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi
karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka
sedapat mungkin hendak membela diri.
"Maaf, Locianpwe.
Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk
terhadap perintah Pangcu kami."
"Swi Coan, tidak lekas
turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang
pembantunya.
"Kalian tidak lekas
meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke
pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.
"Suhu! Kalau mereka
disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka?
Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han tidak dapat menahan
kemarahannya lagi, berteriak nyaring.
"Tutup mulutmu, murid
murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.
Tentu saja tiga belas orang
anggauta Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki
yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu
seperti itu, apalagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu.
Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati,
Si Jenggot Panjang berkata.
"Sungguh mentakjubkan! Si
murid lebih bijaksana daripada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua
Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai
anak buah Hek-liong-pang yang mentaati perintah Pangcu, juga sebagai
orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa
akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"
"Orang-orang muda yang
keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng dan mereka bertiga sudah
melonca t dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu.
Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak
mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka
itu untuk dilempar ke laut.
Akan tetapi mereka kecelik.
Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini
ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu
mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah
yang kepandaiannya rendah. Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu
meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok
masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang
kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu
tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk
lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran
itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.
Ketika tiga orang kakek itu
sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram
seorang lawan dan dilempar ke laut, mereka masing-masing bertemu, dengan tiga
empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihaissekali.
Mereka terkejut dan cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat.
Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga
mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas
golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan
saling melindungi.
Tiga orang kakek itu mulai
berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang,
namun selalu tidak berhasil. Andaikata tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang
itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat "memasuki"
pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi, tiga
belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi
maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan
sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapapun tiga orang kakek itu berusaha,
selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang diantara mereka
berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.
Setelah lewat dua puluh jurus
belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas
orang anggauta Hek-liong-pang Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar.
"Sialan! Kalian menjadi
pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!" Seruan ini segera
diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil.
Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut, senjata masing-masing dan
mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka
memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa
Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan. Ketua
Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam)
adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali, dan
terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan
pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah
memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kini terdengarlah lengking
tinggi yang menyeramkan dan tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk
bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan
yang cepat sekali. Tiga beJas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda
itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap
dengan golok melintang di dada. Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut
karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu
terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Dan pada
saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi
mereka dengan kedua lengannya bergerak-gerakseperti mendorong. Terdengar
pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mat a saja terdengar golok terlepas
dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh
mereka. Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-liat dengan
wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru dan tubuh
mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah
menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan
sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa
nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada
mereka membeku!
"Hemmm, kalian memang
sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo, kemudian kakek sakti ini menyambar
sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini
ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah
dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke
air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu
berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa
tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
"Ohhh…. kejam sekali….
aahhh, Koko, aku takut…." Lulu berkata lirih dan mulai menangis. Han Han
hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang
menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sukar ia menentukan siapa
di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki
"pegangan" yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat
merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaanMancu, sedangkan Si Muka Kuda
ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu, namun baginya, kedua orang itu
merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki
watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut
saja. Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan
merasa ngeri, melainkan merasa muak dan diam-diam ia mempertebal keinginannya
untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan
dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.
Kembali tiga hari tiga malam
telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas dan
kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu
memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap, hanya di
waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang
terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya,
menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi
telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak
pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.
"Sudah belasan kali aku
berkeliaran di antara pulau-pulau itu, selama puluhan tahun yang lalu, namun
tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga
orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas.
"Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu
pulau itu telah muncul pula di permukaan air."
"Apakah dahulu pulau itu
tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio, tertarik.
"Begitulah, agaknya. Ada
kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu
dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"
"Siangkoan Locianpwe,
benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha
sakti?" Tanya Si Muka Tengkorak.
"Saya mendengar, manusia
dewa Koai-lojin tinggal di sana….?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.
"Kalian bantu saja aku mendapatkan
Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab
ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak
seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja
masih sulit."
"Ada perahu lagi….!"
Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tanganya. Empat orang itu sudah
menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang
dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak
akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu
itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah
mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut
memandang dengan kening berkerut.
Seperti juga tiga hari yang
lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan
kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar
tegang ketika ia berkata.
"Wah, sekali ini perahu
Mancu! Kalian bertiga harus hersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti
ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di pulau itu dan
kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak
boleh dipandang rendah."
"Setan Botak ?
Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara
gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas
mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!
"Tak usah khawatir! Gak
Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat
tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia
sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada
orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"
Sekali ini pun dugaan Ma-bin
Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan
layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul.
Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak
berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari
kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!
"Bagus! Hanya tiga puluh
orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat
kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat
habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin
Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu
tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira
Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan
pasti."
Pada saat itu, biarpun jarak
di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin,
jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!
"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka
Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati
kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”
Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan
Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat
mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat
terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi
kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo
berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh
khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu,
akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mujijat.
"Gak Liat Si Setan Botak!
Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan
mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan!
Adapun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!"
"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo,
apakah kaukira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si
MukaTengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang
bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan
pembantu-pembantumu. Ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan
tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka, menyesal sekali
aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah
bersama para pembantumu!"
Setelah terdengar suara
Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak
panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun,
dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan
semua anak panah yang menyambar mereka. Adapun Han Han cepat menarik tangan
Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han
menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar
perahu. Melihat ini, Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu
roboh.
"Belenggu mereka, agar
jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah
menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan
berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh
kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian
melemparkan mereka di sudut lantai perahu.
"Ha-ha-ha, Setan Botak!
Anak panah-anak panah macam ini kaukirim kepada kami? Boleh habiskan anak
panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk
memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga
orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu. Ia percaya bahwa tiga orang
pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu
diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi, ternyata Kang-thouw-kwi amat
cerdik dan biarpun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk
mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk
melepas anak panah berapi!
Serangan ini dilakukan dan
terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal ke ji
ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar
itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang pembantunya menjadi repot
sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula
berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan
pada layar.
"Celaka, perahu
terbakar!" seru Kek Bu Hwesio dan benar saja. Tiga orang itu kekurangan
tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus
berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan
mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu. "Kita harus
meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu
dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"
Tiga orang pembantunya yang
sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si
Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng
yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik
ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Adapun Kek Bu
Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air. Tiga
orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan mempergunakan
bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Adapun Ma-bin
Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali
membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan
untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil
tertawa, "Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut
berkobar bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya
minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.
Han Han segera mengerti bahwa
dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam
bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak, dan belasan ember terisi
air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang
membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi
geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau
bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam
karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.
"Koko…. aku takut….. api
itu akan membakar kita….”
Tiba-tiba saja air laut
bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka
sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak
kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah
nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu
badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya,
ombak makin membesar dan langit makin gelap.
"Lulu, lekas berdiri
contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambi
angkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu. Dia mendekatkan
belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena
begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sin-kang yang sudah berada
di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali,
bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh
kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung
belum terlanjur terbakar.
Han Han dapat membebaskan
belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya.
"Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.
"Tidak….! Aku takut….!" kat a Lulu sambil menangis dan menutupi
mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak
menelannya itu.
Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau
ingin terbakar api?"
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras
sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah
bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan.
Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.
"Hujan…!”
Bukan air hujan, melainkan
percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air
menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras
perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Hart
Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya,
dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi. Ia berhasil
menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik dan biarpun perahu masih
terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada
bahaya mereka terlempar keluar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu
dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak
itu roboh pingsan di pelukan Han Han. Han Han sendiri sudah payah
mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia
melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang
ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan
memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke
kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang
setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya
erat-erat di dadanya.
Entah berapa lamanya badai
mengamuk, Han Han tak dapat mengira-ngira. Cuaca selalu gelap sehingga tidak
ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama
sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya
tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua
malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya
sebentar-sebentar mengerang lalu "tertidur" lagi. Namun Han Han tetap
sadar!
Ketika perahu berhenti terayun
dan cuaca menjadi terang kembali, keadaan amat tenangnya, Han Han baru merasa
betapa tubuhnya nyeri semua. Tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk dan
Lulu merintih perlahan.
"Bangunlah, Adikku,
bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya
perlahan.
"Han-ko…, apakah kita
sudah…. sudah mati….? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit…."
Han Han merasa kasihan sekali.
"Kita masih hidup, Lulu." Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah
rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik
Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat daripada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga
biarpun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang.
Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu
meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat
memasuki tubuhnya dan anak itu biarpun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan
duduk, malah kemudian berkata, "Perutku lapar….”
Han Han tertawa dan pada saat
itu ja pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu
membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu,
mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia
menemukan beberapa potong roti kering. Biarpun roti ini sudah basah oleh air
laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong,
mencegah kematian karena kelaparan.
Setelah terisi roti dan arak,
tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya
diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai keluar dan melihat bahwa mereka
berada di taut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sarna
sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han berusana mencari-cari Ma-bin
Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka.
Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira
Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk. Hatinya agak lega
karena kini dia dan adiknya terbebas daripada ancaman manusia-manusia iblis
itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata.
Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum, dan
selain perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun
sudahtinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang
dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan
mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk
menyelamatkan diri daripada ancaman maut ini.
Memang, kalau menurut
perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat
dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan keluar lagi dan akal
manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi, nyawa manusia
berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati,
biarpun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki
segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan
dapat membebaskannya daripada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia
mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biarpun tampaknya sudah
tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut.
Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama
sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun, pada malam
harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan
yang sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin
yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung. Han Han dan Lulu
kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan
dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan
lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air
laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan
mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.
"Kita mati, Koko…. kita
mati…. akan tetapi jangan tinggalkan aku…. kita bersama…”
Suara dan ucapan Lulu itu
mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apapun yang akan terjadi, dia
tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta.
Dia tidak akan merasa penasaran biarpun dia akan mati, asal dia dapat mati
bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi
adiknya ini.
Karena tubuh mereka sudah amat
lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu
lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu
diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang,
gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk
dinding. Perahu itu membentur sesuatu!
Han Han membuka matanya dan
melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam
bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.
"Lulu, badai sudah
berhenti lagi… mari… mari kita keluar…." kata Han Han dengan suara lemah.
Lulu membuka matanya. Ia
merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dininabobokkan dan ia
merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia
memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan
melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.
"Lulu…. mari kita
keluar….. kita harus berusaha, untuk mendarat…."
"Oohhh…. lebih senang
begini, Koko….." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan
sama sekali tidak mau membuka matanya.
Han Han menunduk dan ketika ia
melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya
seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau
didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!
Maka ia menguncang pundak Lulu
dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus
berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di
sampingmu!"
Lulu membuka matanya dan
seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan
matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu.
Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika
Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.
"Koko, kitab-kitabmu
tercecer…."
Han Han menunduk dan ia
terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya
memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa
ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab
yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu. Yang sebuah
adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab
peninggalan SepasangPedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah
kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah
kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah
kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.
Yang sebuah berjudul “Menghim pun Tenaga Im-kang” dan yang ke du berjudul
"Berlatih Samadhi dan Lwee-kang", keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo.
Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo
dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang
entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab
itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik. Ketika mereka muncul
di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang.
Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya
aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi
salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa
girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.
"Pulau Es….! Lulu, kita
berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu
untuk keluar dari perahu itu. Lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu
tidak berkepandaian. Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya
melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa
salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga ketika mereka bergulingan jatuh,
mereka tidak terluka. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini
mereka akan tertolong.
“Kita selamat…! Kita
mendarat….!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah. Anak
ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah, telah berhari-hari dapat
bertahan terhadap segala kesengsaraan dan semua itu terdorong oleh semangatnya
untuk menyelamatkan Lulu. Kini, setelah kekuatan yang luar biasa dan yang
tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan keluar
karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan
bernapas pun menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil
tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan
kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di
at as salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya, terlepas.
"Koko….! Han-ko…..! Ah,
Han-ko, bangunlah…." Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi
Han Han tidak bergerak. Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan
menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan
matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.
"Han-ko….! Jangan mati,
Han-ko…., jangan tinggalkan aku….!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh
Han Han.
“Gerrrrr……!”
Suara gerengan yang
menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat
mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan
mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan
wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara keluar
dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan
suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal. Di depannya,
dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor biruang yang
berbulu putih. Biruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan
tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu
sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan
memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan
rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan
meruncing.
Setelah menggereng beberapa
kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak
menghampiri Han Han.
"Ohhhhh, tidak….
jangan…" Lulu menggeleng kepalanya. " jangan mengganggu
Han-ko…." Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak
angkatnya. Andaikata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah
roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini, melihat biruang itu
mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir biruang
itu dengan suara dan gerakan tangan!
Namun, biruang itu agaknya
tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan
manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit
berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang
masih pingsan!
Lulu terbelalak, seperti
terpesona. Biruang itu tidak menggigit Han Han, tidak menganggunya, malah
memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan,
mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan
perlahan-lahan mengikuti biruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau biruang
itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa
mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan
keselamatan kakaknya. Betapa indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang
yang begitu murni dan berada dalam hati setiap orang manusia itu
diperkembangkan! Betapa sucinya cinta kasih sehingga dalam detik-detik yang
mengancam diri sendiri, orang masih lupa akan bahaya yang mengancam diri
pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan orang yang dikasihinya. Cinta kasih
murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan mengusir kelemahan utama manusia,
yaitu mementingkan diri pribadi (egoism). Cinta kasih adalah suatu sifat yang
suci, sebuah di antara sifat Tuhan Yang Maha Kasih.
Biruang putih atau biruang es
itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan
keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu, kini dapat
berjalan terus mengikuti biruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi,
melangkah setidak pun sudah terasa amat berat, bagi tubuhnya yang kurang makan
sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.
Alangkah heran hati Lulu ketika
ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah
bangunan itulah biruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang.
Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di
pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti biruang itu yang membawa Han Han
memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo. Bangunan itu amat
indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat
untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu.
Kosong dan sunyi saja. Dan biruang itu membawa Han Han masuk kesebuah kamar
yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang
bertilam kain berbulu tebal. Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan
tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah
tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi
pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han
seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin
meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan biruang itu dengan pandang matanya
dan ia makin terbelalak keheranan. Biruang itu benar-benar luar biasa sekali,
seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu
menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu
lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak
di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua
kaki depannya yang besar. Kemudian, binatang itu mengambil dua batang pedang
pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.
Lulu menahan pekiknya dengan
tangan. Kiranya biruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan
hati ngeri. Ia melihat betapa biruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan
kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang.
Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu,
menerbitkan suara yang nyaring sekali.
“Cringgggg….!”
Bunga api muncrat di dekat
perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu
di dalam tungku dan biruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan
sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu
menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa
dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu.
Biruang itu lalu memandang
Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar. Lulu seperti
baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko….! Koko…!
Bangunlah…. Ada… ada binatang aneh….!" Akan tetapi Han Han belum juga
sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.
Akan tetapi ia segera
menghentikan tangisnya karena biruang itu sudah kembali memasuki kamar,
mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa
benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja
dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara
gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu
kalau hendak menyatakan sesuatu. Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik
juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah
jahat.
"Apakah kehendakmu?"
katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri biruang itu.
Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat
perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat daripada petak. Ia menuding ke arah
panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu
adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia
mengambil panci itu dan membawanya ke depan biruang yang kini mengambil
sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara
"arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian. Lulu tidak
mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga,
mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam
panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali.
Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi
minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia
kaget sekali ketika tiba-tiba biruang yang besar itu melompat dengan ringannya,
menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan
kaki depannya ke arah tungku.
"Paman biruang, aku mau
memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"Biruang itu hanya menggereng-gereng
dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang
itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah
jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya
ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia
masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan biruang
itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai
mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi
dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas
atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
"Ah, kiranya disuruh
masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Biruang?"
Biruang itu mengangguk-angguk
dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut biruang yang
gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Biruang itu
mengeluarkan suara ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan
gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu! Bccah ini menjadi girang sekali dan
cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun
beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun
ini tinggal sedikit, biruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han
Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih, sebentar saja menjadi
dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke
dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan
kirinya.
Hatinya girang sekali karena
biarpun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu.
Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda
putih biasa itu, Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum
yang bubur encer dan mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan
bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak namun agaknya masih belum
sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu
teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas
pembaringan di dekat kaki Han Han.
***
Atas perawatan yang tekun dari
Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh biruang es yang luar biasa itu, dalam
waktu sepekan saja Han Han telah sembuh daripada sakitnya. Dengan
terheran-heran setelah sadar benar, Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang
biruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu
yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali
kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh
biruang putih.
Bangunan itu cukup besar dan
mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han
dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah
kamar tidur yang indah dan lengkap, adapula ruangan yang amat luas untuk
belajar ilmu silat, ada pula sebuah “taman” yang aneh karena disitu bunga-bunga
tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat
hidup karena disitu selali diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan
batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan
pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.
Ternyata pula bahwa
satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah biruang es
itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia
memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh biruang
itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.
Yang amat menarik perhatian
Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali
kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat,
pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar.
Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan
Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!
Han Han dapat menduga bahwa
yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini
bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah
dapat menduga dengan melihat keadaan biruang putih itu. Hanya seorang sakti
saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang
yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat
dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.
Mula-mula Han Han dan Lulu
merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang.
Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan
menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.
Kamar pertama adalah kamar yang paling besar, perlengkapannya tidaklah sangat
mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang
berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain
mengandung filsafat yang da!am-dalam dan pandangan yang amat luas dan
bijaksana, juga ditulis amat indah. Di bagian lain dari dinding tertulis di
rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah,
sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci
sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari
kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet
ada tulisannya : "Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang
berkepentingan." Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis
dengan cara yang lain daripada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau
tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah
ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam
dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti
atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun
itu.
Betapa ingin
mata memandang mesra
Betapa ingin
jari tangan membelai sayang
Betapa ingin
hati menjeritkan cinta
Namun Siansu
berkata:
Bebaskan
dirimu daripada ikatan nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang, dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun
juga, cinta segi tiga membahagiakan!
Menyenangkan
yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan
persaudaraan dilupakan
Akhirnya
yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya,
benarlah pesan Siansu bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!
Membaca sajak-sajak dan
tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat
menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam
kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya
sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.
Adapun kamar yang ke dua dan
ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita.
Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan
segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah,
perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam!
Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua
kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua
orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai keperluan makan, kedua
orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas "petunjuk"
biruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang
dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini, juga lengkap terdapat
bumbu-bumbu masak. Adapun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat
bantuan biruang es. Binatang ini adalah seekor mahJuk yang amat ahli menangkap
ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah
tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang
amat aneh, terasing daripada dunia ramai.
Mulailah Han Han menggembleng
diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak
terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersamadhi dan dasar-dasar
ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu
membuka dan mempelajari kitab-kitab yang di tinggalkan oleh manusia sakti
penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali
ia tidak tertarik. Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan
di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah!
Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang
Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan
huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan
coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali!
Akan tetapi Han Han memiliki
kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan,
mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya. "Tambah
satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah,
buang satu coretan menurun." Ia membuka dua kitab yang disatukan itu,
memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah
tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa
sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat
kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik maupun coretannya
dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu! Dengan tekun Han Han lalu mulai
membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan
kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang
tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk golongan sesat ini. Karena
pada desarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia
lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat dan tanpa disadarinya, dia
telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata
amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai
akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding
sedangkan perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa malapetaka hebat
yang menimpa keluarganya.
Adapun Lulu yang juga mulai
belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing
oleh Han Han, namun anak yang masis "bersih" ini lebih dapat
menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia
sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu
mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali
tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu
maka biarpun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak
dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.
Mula-mula, Han Han mencari di
antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan
berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu
melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa Lulu sebagai puteri seorang
perwira, sejak kecil sudah diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han
untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya,
ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal
jerih payah, Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biarpun bakatnya dalam
ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat juga ia
merasakan hasilnya. Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu,
Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam
kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun,
anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk
melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih
mengenakan baju bulu yang hangat. Setelah tubuhnya menjadi kuat dan gerakannya
menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang pelajaran
memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki. Mulailah Lulu belajar silat dari
sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat
tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja
karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat
menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik
sebagian kecil.
Kemajuan Lulu menggirangkan
hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang
"ahli silat" dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat
terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Adapun Han Han yang
melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang
Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia "mencuri" ilmu
dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan dan secara ngawur ia telah
dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan.
Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan
tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga
Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam
cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa
dingin sebagai ujian.
Sebetulnya, dengan inti dari
Ilmu Hwi-yang Sin-kang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat
tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sung,guhpun hal
ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan
dingin dengan kekuatan sinkangnya. Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan,
akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur
akan terancam bahaya maut. Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini
karena dia memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo
dan Sepasang Pedang Iblis. Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun
tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga mujijat,
begitu ia bersamadhi dan mulai melatih diri, sebntar saja ia dapat menghimpun
tenaga "dingin" ini. Berlatih menghimpun tenaga dingin, di dalam hawa
yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan
hebat pada tubuhnya. Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han
beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau
sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu
cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat
api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga
terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.
Akan tetapi Han Han memiliki
kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa kapok
dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia
dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin daripada hawa dingin di luar
tubuhnya. Dengan begini, karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin daripada
suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang, ia malah merasa bahwa hawa yang
amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin!
Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin,
Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya!
Demikianlah, dengan ditemani
biruang es yang merupakan teman bermain bahkan teman berlatih silat amat
tangguh dari Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri
dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh
amatlah aneh bagi umum!
Setelah tinggal di Pulau Es
selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka
sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka
bahwa dahulu tempat ini merupaan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa
kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan
para penghuninya. Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak
pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu.
Tulisan-tulisan di dinding hanya merupakan sajak-sajak yang selain mengandung
filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si
penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama maupun riwayat mereka yang
dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.
"Ah, Paman Biruang! Kalau
saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es
ini amat menarik hati," kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan
binatang itu.
"Mungkin dia sudah
berkali-kali bercerita kepada kami dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang
tidak mengerti," kata Lulu sambil tertawa.
"Boleh jadi!" kata
pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum.
Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan
cantik anak ini, matanya yang lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan
manis dengan lesung pipit di pipi kiri.
“Benarkah, Paman Biruang? Apa
sih yang hendak kauceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang
telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala
kemewahan ini?”
"Nguk-nguk
ger-gerrrrr….!” Lulu meniru suara biruang itu dan menggerak-gerakkan kedua
lengannya. dengan lagak seperti biruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa
geli.
Mendadak biruang itu
menggereng, kemudian menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi
dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.
"Ihhh, salah sangka
selalu kau, Paman Biruang! Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi!" kata
Lulu dan melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, biruang itu pun
hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.
Mendadak terdengar desir angin
yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi
itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke
arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin.
Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka
diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali
berubah makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.
"Agaknya badai akan
mengamuk lagi…!" kata Han Han dan biarpun mereka tidak perlu
mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengan Pulau Es, namun teringat
akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga.
Mendadak biruang es itu
mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini
seperti suara yang mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut
karena binatang besar itu telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka
memasuki istana.
"Paman biruang, bukan
waktunya untuk main-main!" Lulu berusaha untuk merenggutkan tangannya.
"Dia tidak main-main,
Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut
dia masuk!" kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana.
Akan tetapi biruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang
mendorong-dorong untuk terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka
ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan.
Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, biruang es itu lalu
berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah
dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua
lengannya ke arah dinding.
"Apa maksudnya?"
tanya Han Han.
"Aneh sekali, dia seperti
minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat
besar tentu lebih berhasil daripada kita," jawab Lulu dan anak ini lalu
menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha mendorong seperti yang
diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap
tidak bergerak.
"Eh, Paman Biruang. Kalau
memang harus didorong, kaubantulah aku!" kata Lulu rnendongkol karena
tidak mengerti maksud binatang itu. Han Han menghampiri dinding itu mencoba
untuk mendorongnya, membantu Lulu. Akan tetapi tiba-tiba biruang itu memegang
pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu menggereng-gereng dan
menggeleng-celeng kepala, kemudian membuat gerakan mendorong lagi dari jauh
sambi! menuding-nuding ke arah Han Han.
Mereka telah tiga tahun
bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa
gerakan ini.
"Han-ko, agaknya Paman
Biruang minta engkau yang mendorong dinding!" kata Lulu.
Han Han mengerutkan kening.
“Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini
ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh.
Mundurlah, Lulu."
Ketika mendengar ini dan
melihat Lulu mundur, biruang itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara
seperti kalau dia sedang bersenang hati. Makin yakin hati Han Han dan ia lalu
mundur. Dalam jarak satu meter ia lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian,
menahan napas, mengerahkan hawa sin-kang di dasar perut dan disalurkan ke arah
kedua lengannya lalu mendorong ke arah dinding. Karena setiap hari selama tiga
tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan
dorongan ini ia pun otomatis mempergunakan Im-kang. Kemajuan yang diperoleh Han
Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat
dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan dinding yang
terbuat dari baja itu tergetar hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa.
Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang sebelah kanan tidak
tergoyang sedikit pun.
"Bagus! Sudah tergetar,
Koko! Coba lagi, lebih kuat!" kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan
untuk membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali mengetahui apa yang akan
terjadi. Sementara itu, suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat
santer dan angin malah masuk sampai ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa
hebatnya badai mengamuk kalau anginnya dan suaranya sampai memasuki ruangan di
bawah tanah itu!
Han Han sudah siap untuk
mencoba lagi, akan tetapi biruang itu menggereng-gereng marah dan
menggerak-gerakkan kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap
membuat gerakan mendorong-derong dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi,
lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong, akan tetapi agaknya
keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga
kasar, tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal
tenaga kasar, biruang itu jauh lebih menang dibandingkan dia. Tentu harus
menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah? Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia
melatih sin-kangnya berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan
dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang.
Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana
di Pulau Es ini berbeda sinkangnya dengan Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi, tenaga sinkang
ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu
Yang-kang. Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah
tiga tahun ia tidak pernah melatih Yang-kang. Betapapun juga, Han Han masih
belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa sakti itu.
Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia
sudah cukup mantang.
“Apakah dengan tenaga
Yang-kang?" Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya
memandang, tidak berani mengganggu karena maklum bahwa ka-
kaknya sedang berusaha keras
untuk membuka rahasia dinding ini. Han Han kembali menekuk kedua lututnya,
kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha mengobarkan hawa Yang-kang di
tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka dan lehernya,
akan tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai menjadi panas,
bahkan mengepulkan asap! Lulu terbelalak kagum dan biruang itu meloncat ke
belakang ketakutan. Memang luar bfasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang
tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mujijat dan kekuatan kemauannya bukan
main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai kemauannya
daripada kematangan latihannya.
Setelah merasa kedua lengannya
menggetar-getar dengan hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara
diam-diam di daerah terlarang belakang istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han
lalu melakukan gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu.
Kembali dinding itu tergetar
hebat seperti tadi. Akan tetapi, sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian
dinding di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak
bergerak, menjadi sebaliknya daripada tadi. Biruang itu mulai
"mengomel" lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang
marah, lalu menuding-nuding Han Han lagi sambil menggunakan gerakan
mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung. Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang
keduanya gagal, habis cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu? Sementara
itu, kini angin yang masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang
keras sehingga mengejutkan mereka.
"Han-ko, apa bedanya
doronganmu yang pertama dengan yang ke dua?" Tiba-tiba Lulu yang sejak
tadi memperhatikan itu bertanya.
“Yang pertama menggunakan hawa
sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti panas."
Lulu bertepuk tangan dan
wajahnya berseri. "Ah, sekarang aku mengerti! Ketika engkau menggunakan
Im-kang yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan
yang kanan tidak bergerak. Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding
di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri tidak. Sekarang, kau doronglah
dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan
Im-kang ke sebelah kiri dinding dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang
ke sebelah kanan, tentu akan terbuka rahasia ini, Koko!"
"Agaknya engkau benar,
akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara
berbareng?"
“Mengapa tidak mungkin Koko?
Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada
diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam sinkang?"
"Benar, dan sepasang
kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga yang
berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja dapat.
Kalau aku seorang diri harus mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa
mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu!"
"Koko, engkau seorang
yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini! Apa yang tidak mungkin
bagimu? Cobalah, engkau tentu bisa! Lihat, badai makin hebat mengamuk! Butiran-butiran
es seperti peluru dan aku harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran
itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti tidak merasakan! Koko, aku
dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Biruang
agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat itu!"
Han Han meooieh dan melihat
betapa biruang itu repot menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman
butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya tentu akan
mengakibatkan luka. Binatang ini ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak
kucing.
Harus kucoba, pikirnya dan
mulailah ia menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur
hawa sinkang yang disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk
membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya, hanya orang yang
sinkangnya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan
Yang-kang secara berbareng. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga
sinkang yang amat kuat. Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah
bimbingan ahli, maka ia repot sekali membagi sinking ini. Kedua tangan sakti
itu menarik-narik, kadang-kadang menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga
tubuhnya menggigil kedinginan, kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua
tenaga menjadi hawa sakti yang panas membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia
merasa tersiksa sekali, dadanya sampai terasa nyeri dan napasnya
terengah-engah.
Akan tetapi ketika ia hendak
membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat
adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini
memberi kekuatan luar biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk
berusaha sampai berhasil biarpun dia akan menderita sampai mati sekalipun.
Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga mujijat inilah yang
membuat ia memiliki kekuatanpada matanya sehingga tanpa belajar ia telah
mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang lain! Kini tenaga
kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biarpun ia belum pernah melatih untuk
mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk "mencegah"
sinkangnya menjadi dua macam, sekali ini dia berhasil! Akan tetapi keadaannya
seperti seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga
ia harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar
jangan sampai menyeleweng ke kanan atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan
kedua lengan yang berlawanan hawa saktinya.
Dinding itu tergetar hebat,
terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh
kemudian.… dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada
tenaga rahasia mendorongnya ke kanan kiri!
"Kau berhasil,
Han-ko….!!" Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera berubah menjadi
kaget ketika melihat .tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat melompat dan
berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han Han tidak sampai terbanting.
Biruang itu pun berseru
girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia
menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi
isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil
memondong tubuh Han Han, mengikuti dari belakang dengan wajah takut-takut.
Lulu yang menjadi cemas
melihat kakaknya pingsan, segera menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena
ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong biruangnya. Melihat
kakaknya dipondong biruang itu, teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika
mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia yang mengikuti
binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan. Anak tangga itu amat
dalam, dua kali lebih dalam daripada anak tangga yang menuju ke gudang bawah
tanah. Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu
ia sudah bersorak gembira kalau saja tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan
yang berada di dasar tangga itu benar-benar mempesonakan sekali, jauh lebih
indah daripada semua ruangan di atas! Benda-benda yang berada di situ
berkilauan, terbuat daripada emas dan perak. Biruang itu sudah menurunkan tubuh
Han Han ke atas lantai yang terbuat daripada batu putih bersih dan mengkilap,
kemudian biruang itu berlari ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di
depan tiga buah patung yang terbuat daripada batu pualam. Berlutut sambil
mengeluarkan suara seperti menangis.
Biarpun merasa heran sekali,
akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu, tidak pula
memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia curahkan
kepada Han Han yang menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut di dekat
kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kulit muka
kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan berwarna hitam seperti terbakar
gosong, adapun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat. Han Han
rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal satu-satu.
"Koko…, Han-ko….. ahhh,
Koko….!" Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi kebingungan. Akan tetapi
ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam, akibat
dari pengerahan sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah
banyak membaca kitab tentang latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih
diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari
perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah
dipelajari Han Han dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han
menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan
ilmu kaum bersih! Melihat keadaan kakanya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu
memindahkan sinking ke tubuh orang lain untuk membantu orang itu. Maka, biarpun
latihannya belum matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk bersila dan
menempelkan kedua telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia
mengheningkan cipta, bersamadhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya
yang ia paksa keluar melalui kedua tangannya memasuki tubuh Han Han!
Han Han siuman dan merasa
betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia membuka
mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan menempelkan kedua
telapak tangan ke badannya, ia menjadi terharu sekali den rasa sayangnya
terhadap adiknya ini makin mendalam.
"Cukuplah, Lulu. Jangan
menyia-nyiakan sinkangmu yang masih belum kuat..." katanya halus sambil
mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan. Lulu membuka matanya akan tetapi
menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia melihat betapa kakaknya
bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang
mengerahkan tenaga untuk mengobati diri sendiri dan perlahan-lahan muka
kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih kembali. Hatinya menjadi
lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling ruangan indah itu dengan
pandang matanya.
Ruangan itu benar-benar amat
indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung, yang tengah merupakan
seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi,
terdapat dua buah lubang seolah-olah bagian kepala patung ini ada yang
menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria ini adalah
sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah
lembut, akan tetapi sebelah kakinya buntung! Adapun yang berada paling kanan
adalah patung seorang wanita yang juga cantik jelita, lebih tinggi daripada
wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan
kekerasan hati dan kekejaman yang membayangkan pada wajah cantik itu. Hanya
patung inilah yang tidak ada cacadnya.
Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang
lucu melihat tingkah laku biruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan
atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri didepan
patung pria, memeluk kaki patung itu, mengeluarkan suara seperti menangis,
kemudian berlutut di depan patung wanita buntung, berdongak ke atas memandang
wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa saying, akan tetapi selalu ia
kembali ke patung aebelah kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa
cacad itu sambil mengangguk-angguk dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan
mengeluarkan suara seperti sedang ketakutan. Melihat biruang itu berlutut di
depan tiga patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main
sehingga Lulu tertawa.
Han Han membuka matanya. Ia
pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa biruang
itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini, suara badai mengamuk tidak
terdengar lagi dan mereka memang aman daripada gangguan suara den ancaman hujan
butiran ea keras yana beterbangan seperti peluru. Akan tetapi, melihat biruang
itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang
terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu patung-patung
itu adalah patung dari para penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan
kesemuanya untuk dia dan Lulu! Sudah meninggal duniakah mereka bertiga itu? Ia
bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.
"Lulu, jangan sembrono.
Kurasa mereka itu adalah patung daripada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni
Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat….”
Lulu menurut dan sambil
bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga
buah patung itu menggambarkan Seorang laki-Jaki muda dan tampan dan dua orang
wanita yang cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan
meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni Istana Pulau Es?
Akan tetapi, menyaksikan sikap biruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia
membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga
patung itu sambil berkata.
"Teecu Sie Han dan Sie
Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami
Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua menghaturkan banyak terima
kasih atas segala kebaikan yang ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan
teecu berdua."
Biruang itu kelihatann girang
sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria
itu dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa
dua orang anak-anak itu adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi
sahabat-sahabatnya!
"Koko, mengapa aku
bernama Sie Lulu?" Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan melihat-lihat
keadaan ruangan yang indah itu.
"Habis, engkau Adikku.
Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa lagi?"
"Koko, para Locianpwe
yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan
seperti orang-orang lemah?"
"Hussshhh, jangan berkata
demikian, Lulu. Kau lihat biruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya
tidak salah lagi. Mereka adalah penghuni istana ini dahulu, entah berapa puluh
tahun yang lalu. Menurut percakapan tokoh-tokoh yang kudengar, Pulau Es ini
dicari sejak puluhan tahun yang lalu dan Kim Cu suci pernah mendongeng bahwa di
sini dahulu dikabarkan tinggal seorang manusia yang maha sakti seperti
dewa…."
“Ah…. Cici Kim Cu yang baik
itu sekarang tentu sudah menjadi seorang gadis jelita. Dia mencintamu,
Koko….!"
"Husssh, yang bukan-bukan
s.aja kau ini! Kau tahu apa tentang cinta! Di tempat sesuci ini jangan bicara
begitu…"
Kembali mereka berdua
memperhatikan tiga buah patung batu pualam itu dan melihat betapa kini biruang
itu duduk mendeprok di dekat kaki patung pria dengan sikap anteng dan tenang,
juga sikap binatang itu jelas menunjukkan ketaatan dan penghormatan yang mendalam.
Patung-patung itu amat indah buatannya, halus dan seolah-olah hidup. Dan Han
Han yang mempelajari wajah patung-patung itu melihat betapa mata patung pria
itu mengandung kebijaksanaan yang luar biasa, mendatangkan rasa kagum dan
tunduk. Patung wanita kaki buntung cantik sekali, membayangkan kehalusan budi
dan sepasang matanya seolah-olah memancarkan kasih sayang yang amat besar. Akan
tetapi yang paling menarik hatinya adalah patung wanita cantik di sebelah
kanan. Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita
secantik ini, cantik dan menggairahkan sehingga Han Han yang mulai dewasa itu
berdeber jantungnya, seakan-akan ia terangsang oleh wajah cantik dan bentuk
tubuh yang elok itu. Ia kagum dan sekiranya patung wanita itu benar-benar hidup,
tentu ia akan suka mengabdi kepada wanita ini asal dapat selalu berdekatan.
Sifat keras hati dan ganas yang terbayang pada bibir yang penuh dan mata yang
lebar indah itu baginya malah menambah daya tarik.
Menjelang senja, badai di luar
Istsna Pulau Es itu mereda dan mereka pun keluar dari tempat rahasia itu. Han
Han mengajak Lulu memberi hormat lagi kepada tiga patung itu sambil berlutut.
Kemudian, didahului oleh biruang yang agaknya telah tahu bahwa badai telah
berhenti, mereka keluar, mendaki anak tangga rahasia. Setibanya di luar,
seperti digerakkan tenaga gaib, dinding yang tadinya terbuka itu dapat menutup
sendiri! Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah
mahluk tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja ini? Mereka
diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia itu lagi
kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu
ketentereman dan kesunyian tiga patung yang indah itu.
***
Ke manakah perginya perahu
Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang laJu
ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan
di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin
Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar
dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut
meninggalkan perahu yang terbakar.
Si Setan Botak tertawa
bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu
terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis taut
sendiri. Adapun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut
dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka
renggut putus dari perahu, yaitu bamboo-bambu pengapung yang dipasang di kanan
kiri perahu yang terbakar itu. Pada ssat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Lia
bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka
melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan
tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung
bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu itu. Tidak melihat betapa
empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang
kuat-kuat sehingga betapapun badai mengamuk dan perahu itu diayun dan
diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah
menempel di perut kerbau.
Setelah badai mereda, perahu
itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau
kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira
Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan
sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu berseru keras
dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.
Sekali meloncat, Gak Liat
sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biarpun dia memiliki
ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas daripada mata orang biasa,
namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu
memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara, kemudian ia berkata
girang.
“Tidak salah lagi! Itulah
Pulau Es! Kita berhasil….!” Teriaknya
Tentu saja hatinya girang
ketika ia melihat sebuah puJau yang putih diliputi salju dan melihat
samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, dibagian yang agak tingi.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang perwira
Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika. Seperti iblis-iblis penghuni pulau,
muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup, dan biarpun keadaan
empat orang kakek ini cukup payah karena terendam di air laut terlalu lama,
namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi
Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka herhasil mendarat pula
dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan
tewas seketika!
“Iblis Muka Kuda! Engkau masih
belum mampus?" teriak Setan Sotak dengan nyaring dan terheran-heran.
"Si Botak yang buruk!
Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas Ma-bin Lo-mo yang
segera maju menerjang Si Setan Botak. Adapun tiga orang pembantunya sudah
dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu. Pertandingan hebat din mati-matian
terjadilah di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan
tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya
terpental ke belakang. Biarpun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka
berlawanan dan amat berbeda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua
adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan
seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan
tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan
hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukuJan
lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.
Pertandingan antara tiga orang
pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga
berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah
perajurit-perajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja
diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka
mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan
karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang
berilmu tinggi. Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar
seperti biasa, biarpun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para
perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo
itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu
yang diombang-ambingkan gelombang lautan. Gempuran-gempuran air laut membuat
mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang mengerikan,
sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal
setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai
puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang di antara
para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan
serangan-serangan berganda yang ganas.
Antara Gak Liat Si Setan Botak
dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan
hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang
lalu dan sungguhpun mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan
untuk saling bermusuhan, apalagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini
lain lagi sifatnya. Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain
merupakan penghalang terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu
yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih
maupun kaum sesat. Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es
itu merupakan tempat bertapa Kaoi-lojin, seorang mewa yang memiliki kesaktian
luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab
pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan benda
pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa
sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat
mencapai idam-idaman hati masing-masing.
Setelah lewat kurang lebih
satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru
dan sukar untuk diduga siapa diantara mereka yang lebih unggul dan akan
mencapai kemenangan. Memang sudah tentu sekali seorang di antara mereka akan
kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali, mungkin sehari
penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai
terjadi seorang di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan
keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.
Namun dalam pertempuran kurang
lebih satu jam itu, telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang
pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat
sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau
mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong
itu. Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah
thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang
sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara
meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para
pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu. Adapun Kek Bu hwesio tokoh
Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan
sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang
kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata
ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan
dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat
baja. Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang
pedang yang lemas sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika di
mainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang membentuk
lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok
yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.
Betapapun lihainya tiga orang
tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok
terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu
akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan
para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar. Setelah pertandingan ini
berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing telah menewaskan dua
pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka
bertiga pun tidak luput daripada luka-luka bacokan golok. Biarpun luka-luka itu
tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang
keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir
karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh biarpun mungkin
mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi. Dengan demikian, keadaan
tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin
Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah
atau paling banyak dia hanya menang seusap saja.
Pertandingan yang berlangsung
amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain
yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah
belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih
baik daripada perahu Mancu, dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga
layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah.
Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang
gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang usianya paling
sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok
sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka
warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.
Siapakah mereka ini? Para
pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan
lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang
dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti
juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es, bahkan
sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai, mereka menggunakan perahu untuk
mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh
minat atas pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi
dunia persilatan itu. Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin
Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka
dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga
manusia, betapapun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti
setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa
mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti
juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan
dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.
Siauw-lim Chit-kiam tidak
membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata
mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar di jauh. Karena
ini, mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi
dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat
pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu.
Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan
pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu berloncatan
mendekati tempat pertandingan.
Dapat dibayangkan betapa kaget
hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah
Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali
perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan
terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti
yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah
datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa. Bahkan mereka pun hampir
saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak
buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum
sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut dijadikan sahabat maupun
sekutu sungguhpun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah
Mancu.
Akan tetapi kini menyaksikan
pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali
karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo sama sekali tidak. Mereka
sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai
pendekar-pendekar pedang yang gagah, tentu saja tidak sudi bersekutu dengan
manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo. Akan tetapi mereka memiliki permusuhan
pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul ketika keponakan
wanita mereka, yaitu Bi-kiam Khok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik,
telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini.
Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat akan pembasmian anak
buah Lauw-pangcu oleh Set an Botak. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan
sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu
perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan
Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut pedang sambil
menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin Lo-mo Siangkoan
Lee.
"Kang-thouw-kwi,
bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin
yang menjadi wakil dari para sutenya. Bentakan ini pun merupakan isyarat
komando karena serentak mereka bertujuh sudah menggerakkan pedang mereka
sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara
bercuitan nyaring sekali. Gak Liat terkejut bukan main melihat munclnnya tujuh
orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak
sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi
Siauw-lim Chit-kiam. Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo, dan dia sudah pernah
bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan
yang amat tangguh pula. Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan
seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga
dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat
sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling
dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Maklum akan lihainya pukulan
ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet
pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sutenya sudah
menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang
tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada
Setan Botak itu.
Gak Liat terkejut setengah
mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat
menangkis dengan lengan kirinya. “Dukkk!” Sekali lagi tubuh kedua orang ini
terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah
enam sinar pedang, akan tetapi biarpun ia berhasil meloloskan diri dari
cengkeraman maut, pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan
pundak berdarah! Pada saat itu, sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo.
Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia terdorong
ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya.
Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para
pengeroyoknya.
"Ha-ha-ha." Ma-bin Lo-mo
tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang
kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu. Serangan ini benar-benar amat tidak
terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling
dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh
saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya
terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka
menggigil kedinhinan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa
dingin itu lenyap!
Siauw-lim Chit-kiam kini
bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak
dan saling memandang, menanti fihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi
bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling bantu. Bagi
Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit. Kalau dibuat ukuran, di
antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah.
Kalau, mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka
akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu
bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu akhirnya pasti akan
berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini! Kalau mereka kini
menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo
akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang
mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.
Si Setan Botak Gak Liat yang
tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini
tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan
sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia
kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo
menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam
memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, Iblis Muka
Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau
kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh den enak sekali bagi
tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua
memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya.
Ha-ha-ha!"
Mendengar ini, Siauw-lim
Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di de pan
mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Adapun Ma-bin
Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan
sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah terluka
sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu. Ia tahu bahwa
setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena
lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu
bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka
Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia
meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk
mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!
Pada saat itu, tujuh orang
Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu
mencari-cari dengan pandang mata mereka, tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri
dan menjadi bengong. Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan
Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah
yang mereka lihat? Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang
mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai
kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka. Akan
tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu
masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat
akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah menjadi arca-arca batu! Tahulah
orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga
orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah
mereka! Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok,
hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang pembantu
Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu
saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam
waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam
pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti
itu?
Kenyataan inilah yang membuat
mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh
tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di
belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-l.ahan menuju ke tempat
mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah
caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat
sederhana, pakaian seorang nelayan miskin. Biarpun kini dia sudah melangkah
makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang
terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang,
namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan
Ma-bin Lo-mo sekalipun menjadi bergidik.
Siauw-lim Chit-kiam juga tidak
mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan
ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini
mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh
karena itu, mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang
sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah
ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.
"Teecu bertujuh Siauw-lim
Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apabila teecu
sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe
memperkenalkan diri."
Kakek nelayan itu tetap
menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang
halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih, "Chit-wi-sicu datang di
pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bias mempunyai pulau ini?
Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang
lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."
Sementara itu, Ma-bin Lo-mo
dan Kang-thouw-kwi yang menyaksikan keadaan kakek ini, menjadi khawatir hati
mereka. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berfihak
kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan
lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih
dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan
Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu
sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im
Sin-ciang dari kiri. Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali akan tetapi mereka
tidak sempat lagi berbuat apa-apa, selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat
ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang
sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.
“Dessss…..! Desssss….!”
Dorongan kedua orang kakek
sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang
dikembangkan. Tenaga mujijat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya
hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan
kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan
Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi merah sekali
dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan
mukanya den tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang
masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat
bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka
sendiri.
Kakek nelayan itu
bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar, "Tenaga Im dan Yang
adalah hebat sekali dan Ji-Wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni
sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk
keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri sendiri...”
Setan Botak dan Iblis Muka
Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget, “Koai-lojin.....!”
Pada saat itu, Siauw-lim
Chit-kiam yanng melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan,
sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar
pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka.
Kejadiah ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya
terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh
getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya
berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak.
Mendadak kakek nelayan itu
mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya mendorong ke arah sinar
pedang dan..... “Trangggg....!!” Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas
tanah dan tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan
muka pucat. Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang
seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang penting.
"Tujuh pedang lihai
takkan ada gunanya kalau titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran
dipusatkan, alangkah akan kuatnya..."
Tujuh orang pendekar pedang
itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang
menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka
pikirkan, maka mereka cepat mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka ketahui adalah Koai-lojin,
manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang tak
pernah mereka jumpai itu.
"Hendaknya Cu-wi sekalian
kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka karena
pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan
mendatangkan kutuk. Mencari sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri,
bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak berjodoh, takkan
mendapat.
“Hendaknya segera Cu-wi
meninggalkan tempat berbahaya ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari
cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan manusia.” Dia
berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata.
“Siangkoan-sicu kehilangan
perahu, boleh menggunakan perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah,
selamat berlayar."
Kakek nelayan itu sudah duduk
bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai
sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera
hitam itu tampak sepasang mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh
wibawa sehingga mereka yang berada di situ, terrnasuk Gak Liat dan Siangkoan
Lee yang biasanya ganas seperti iblis, tidak berani membantah lagi.
Gak Liat bersungut-sungut dan
mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak kembali
yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan
gerakan mereka untuk beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat
yang diam-diam masih hendak mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua
teropong yang berada di situ telah lenyap. Mereka berbondong-bondong kembali ke
perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa heran dan mendongkol
hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan
di perahu juga lenyap semua. Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari
secara ngawur saja, namun akhirnya tidak berhasil juga dan karena daerah itu
banyak diserang badai, mereka akhirnya pergi ke selatan. Demikian pula dengan
Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka
tidak berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali
ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan mereka langsung
berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang meninggalkan pulau, terdengar
lapat-lapat suara nyanyian kakek neJayan:
"Yang
tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin
itu kurang dan kecewa!
Yang tidak
mencari akan mendapat
Yang mencari
akan sia-sia....!
Yang ada
tidak dimanfaatkan
Yang tidak
ada dicari-cari!"
Tak lama kemudian, setelah
tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di
kaki langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh,
dia seolah-olah melayang di atas air dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin.
Akan tetapi andaikata ada yang dapat melihat dari dekat, akan tampaklah betapa
kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan
bambu itu meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan
sengaja dikembangkan sehingga menjadi pengganti layar!
***
"Han-ko....! Sadarlah!
Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ!" Lulu berteriak sambil berdiri
bertolak pinggang di pondok taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila
tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian tubuh dan di atas kepala Han Han penuh
dengan salju membeku. Di belakangnya, biruang es sedang menggaruk-garuk salju
yang menutup air, agaknya dia menciumm ikan di bawah situ.
Lulu kini bukanlah Lulu enam
tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han,
usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja
berusia lima belas tahun, berwajah cantik dengan sepasang mata lebar dan indah,
tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat membayangkan tenaga sakti yang
amat kuat. Adapun Han Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi
sekarang. Dia kini telah berusia delapan belas tahun, telah menjadi seorang
jejaka remaja yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang pinggangnya
kecil, tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan
tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat
bertahan bertemu pandang dengan pemuda luar biasa itu. Dia sedang melatih diri
dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama enam tahun itu
telah memperoleh kemajuan yang amat mentakjubkan. Tenaga sinkang yang ia
kerahkan menjadi Im-kang amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan
Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika menjadi gumpalan es yang besar!
Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan
dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak
lagi mengganggunya karena dengan tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih
dingin daripada yang di luar dirinya, sehingga tubuhnya seolah-olah berubah
menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya
sampai membeku!
"Koko! Terlalu sekali
kau! Masa aku kaudiamkan sampai tiga hari tiga malam? Benar-benar kakak yang
tidak menyayang adik!" Lulu membanting-banting kaki kanannya dengan
jengkel!
Akan tetapi Han Han sama
sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam
samadhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu
membayangkan senyum yang mengejek. Dalam keadaan terlelap itu timbul
bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa dengan amat mudahnya
ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuanya, dan
membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan pembalasannya dengan
memuaskan sekali. Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan,
paling kejam dan paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya itu sedikit
demikian sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang mengalahkan
siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab. Dan ia
telah mencurahkan segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia
mulai siulian, tepat seperti cara mencurahkan perhatian dalam samadhi seperti
yang pernah diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan
apabila wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa
disadari telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.
"Han-ko... Han-ko....
tolong..... Paman Beruang diserang ular....!”
Kalau lulu hanya mengomel dan
marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan samadhinya. Akan
tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia
sadar dan membuka matanya. Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan
siksaan yang paling kejam terhadap musuh-musubnya sudah mulai terang, ia
menoleh. Dilihatnya Lulu, sedang menarik seekor ular dari leher biruang yang
terkapar di atas salju sambil berkelojotan. Dia merasa heran sekali mengapa
biruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat bergerak
sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah
bagaimana tadi menggigit leher biruang dan membelit leher itu.
Pada waktu itu, Lulu telah
menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan
sin-kang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari tubuh biruang dan
ular merah itu tiba-tiba melejit sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu
karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali. Ular merah
yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu kini
meluncur dari bawah dan menyerang ke arah leher Lulu! Namun gadis ini sudah
menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia
mengangkat tinggi-tinggi tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti
sepasang sumpit menjepit, dan ular itu .tidak dapat melepaskan dirinya lagi,
hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan
geli.
Ketika merasa betapa tubuh
ular yang licin dan panas itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya,
bulu tengkuk Lulu berdiri dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan
diremas hancur dengan tangan kiri.
"Tunggu, Moi-moi. Jangan
bunuh dulu!" tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia
telah berada di depan lulu. Gerakan Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan
ginkang yang tidak lumrah manusia biasa ini pun ia dapatkan dari hasil
latihan-latihannya yang menyeleweng.
"Mau apa kau? Enak-enak
saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh!"
Lulu mengomel.
"Jangan dibunuh begitu
saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa
yang telah ia lakukan. Lihat Paman Biruang itu!" Han Han menunjuk ke
bawah, Lulu menengok ke arah biruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han
cepat menyambar ular itu dan ia pegang pada lehernya. Dengan mudah ia
melepaskan belitan tubuh ular dari tangan lulu dan gadis ini pun tidak
mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh biruang
sambil memekik-mekik memanggil.
"Paman Biruang....
Paman.....! Akan tetapi biruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan
karena mukanya yarig putih menjadi biru sedangkan kulit pada telapak keempat
kakinya ada totol-totol merah.
Sampai lama Lulu menangisi
biruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut
menangisi biruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di
bawah pohon yang tidak berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak
olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu sedang membakar sesuatu.
"Apa yang kaulakukan itu,
Koko?" Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika
melihat apa yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan mata terbelalak.
Ternyata Han Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan
menggantung binatang itu di pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering
yang bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi sedikit! Ular itu
menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus
melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam
sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira menyaksikan betapa ular itu
menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andaikata ular itu dapat bersuara, tentu
sudah melolong karena kesakitan.
"Han-ko, kenapa tidak
kaubunuh saja dia?”
"Ha-ha, terlalu enak
kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan dalam
penderitaan sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman Biruang.
Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan! Setelah dia cukup tersiksa, akan
kuambil darahnya untuk kita minum!"
"Ihhh, jijik! Aku tidak
mau!"
"Mengapa, Lulu? Ingat,
ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah
membaca kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan
makin banyak khasiat darah dan dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan
dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita membalaskan sakit hati Paman
Biruang! Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian raman, Biruang?"
"Tentu saja! Biar
kuhancurkan kepalanya!"
"Eiiiiit, jangan! Dia
harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku. Darahnya akan
kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita makan. Biar
arwah Paman Biruang melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita kubur bersama
mayat Paman Biruang." Berkata demikian, sinar mata Han Han bercahaya penuh
kepuasan.
"Koko, kau tidak
menengok... dia....?" Lulu menuding ke arah tubuh biruang
yang sudah menjadi mayat.
"Perlu apa? Dia sudah
mati. Dia bukan Paman Biruang lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur
nanti. Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat ini." Setelah
berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian
dengan kekuatan tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu.
Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah sekali mulai menetes-netes
keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan. Makin deras darah menetes,
makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih
setengah jam darah itu bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular
itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya
tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat biruang di
mana Lulu berlutut sambil membelai bulu biruang dengan penuh kesedihan.
"Lulu, mari kita minum
darah ini di depan mayat Paman Biruang sebagai tanda pembalasan terhadap
ular." Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar darah ular
itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan dengan sisa darahnya kepada Lulu.
Lulu menerima cawan itu,
mukanya berkerut dan menyeringai. "Ihhh, aku... jijik...., Koko!”
"Lulu," kata Han Han
sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya. "Rasanya
manis dan enak pula .apakah kau tidak mau menyenangkan
arwah Paman Biruang? Dia saat
ini mungkin sedang menggereng marah meliha ketidaksetiaanmu."
Lulu bergidik dan memandang ke
kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah bangkai
biruang itu. Kebetulan sekali muka biruang itu menghadapnya dan biruang itu
mati dengan mata terbuka. Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata biruang yang
sudah mati itu mendelik marah
kepadanya! Kembali ia
bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai
habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus
menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.
"Koko.... badanku....
menjadi panas....!"
"Bagus! Itu tandanya
bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kaubantu
aku memanggang daging ular, kita makan didepan mayat Paman Biruang sebagai
upacara sembahyang, kemudian kita kubur mayat Paman Biruang bersama kepala ular
yang tadi menggigitnya, agar di akherat Paman Biruang dapat mengejek dan
menyiksa ular yang hanya tinggal
kepalanya saja."
Ular itu sudah mati dan
karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu setelah memenggal
kepalanya yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya
yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam telapak kaki depan biruang,
kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu.
“Upacara" makan daging panggang
ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu
benar-benar gurih dan sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular
sepanjang satu meter itu! Setelah itu, mereka lalu menggali lubang sampai
tampak tanah dan terus menggali sedalam satu meter lebih, kemudian mengubur
mayat biruang bersama kepala ular. Lulu menangis terisak-isak ketika mereka
menguruk lubang itu. Teringat kepada biruang yang selama enam tahun menjadi
kawan bermain dan kawan berlatih silat, Lulu menjadi berduka sekali den terus
menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan biruang. Han Han
membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu
nisan kuburan biruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam
setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan
heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat
ukirukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian
membaca huruf-huruf terukir itu.
"Betapa
menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan
daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian,
pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat!
Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular
salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak
berjodoh dengan Pulau Es?"
Demikianlah bunyi tulisan itu
dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat? Teringatlah ia
akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim
Cu adalah sucouw mereka bernama Suma Kiat! Dan menurut cerita itu selanjutnya,
Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya
tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma Hoat! Kalau
begitu, suheng dari Ma-bjn Lo-mo itukah penghuni Pulau Es? Patung pria yang
tampan itu adakah itu Suma Hoat? Akan tetapi coretan, huruf terukir di batu ini
amat jauh bedanya dengan tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah.
Coretan ini huruf-hurufnya buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju
merah. Apakah ular yang telah membunuh biruang?
Akan tetapi Han Han tidak
mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san tidak menarik
hatinya, apalagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh
perguruan itu. Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini
pun tetap ia terancam bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan
meletakkannya di depan kuburan biruang, dengan ukiran huruf-huruf itu ia taruh
di bawah agar tidak tampak!
Ditaruhnya batu nisan di depan
kuburan ini membuat Lulu menangis makin keras, sampai gadis ini tersedu-sedu.
Han Han memeluknya, kemudian setengah
memaksanya bangkit berdiri dan
menuntunnya ke dalam pondok di taman.
"Sudahlah, Adikku. Untuk
apa ditangisi lagi? Biar engkau menangis air mata darah sekalipun, Paman
Biruang tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini mungkin dia
sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang membunuhnya.!"
Akan tetapi hiburan ini tidak
menghentikan tangis Lulu yang karena kematian biruang jadi teringat akan
kematian orang tuanya. Gadis itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada
Han Han. Akhirnya pemuda itu mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat
gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam pelukannya. Han Han merasa
tubuhnya panas dan aneh sekali ada ribuan ekor semut di balik kulit tubuhnya
merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk
di lantai pondok yang terbuat daripada marmer, dengan Lulu masih bersandar di
dadanya.
Mereka berdua tertidur seperti
orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba. Malam
bulan purnama clan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak
berdinding itu. Hawa udara pun amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang
muda itu berpeluh!
"Han-ko..... ah,
Han-ko....."
Han Han membuka matanya,
jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan, tubuhnya panas dan telinganya
mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti mengambang di
atas lautan suara mengiang itu. Ia melihat wajah Lulu dekat sekali di atas
dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan tertimpa sinar
bulan. Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti berlinang air,
memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu kembang-kempis,
seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun terbuka, membantu
pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang terjadi pada dirinya?
Ia merasa panas sekali!
“Lulu...!”
"Han-koko....!"
Suara gadis itu seperti mengerang lirih, muka mereka berdekatan, pandang mata
mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han Han menundukkan mukanya,
menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi
mereka. Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi
Lulu. Akan tetapi begitu hidungnya menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar
keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium bau harum yang tak pernah
selamanya ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan
mulutnya! Gilakah dia? Han Han masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini,
dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa Lulu juga membalas menciumnya,
tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga akhirnya
mulut mereka bertemu dalam ciuman, mesra. Akan tetapi keduanya seperti terkejut
dan keduanya merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak
dan malu, kemudian Han Han melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan
apa yang baru saja terjadi.
“Aku... aku.... panas
sekali....” dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi
hal yang baru saja terjadi.
"Aku pun.... begitu.....
Koko...." Lulu juga bicara dengan bingung sambil berusaha mengelakkan
pandang mata mereka agar jangan bertemu.
Han Han yang merasa betapa
tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang
ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa aneh. "Heh
mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan panasnya, lebih baik kubuka
bajuku!"
Karena dia sudah biasa dalam
latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka bajunya
dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali. Akan tetapi kini pandang
mata Lulu menatap setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh
kemesraan, memandang tubuh atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar
biasa.
"Lulu! Kau kenapa?"
Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus dadanya dan
mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia seingaja membentak marah untuk
menutupi perasaannya.
Lulu terkejut dan
menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti dibakar dan
pandang matanya seperti orang mabuk. "Entahlah...... aku...... pun merasa
panas sekali, tak tertahankan, Koko....." Gadis itu seperti dalam keadaan
tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian
dalamnya yang tipis. Han Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia
mengerahkan seluruh sinkangnya untuk melawan perasaan panas ini, akan tetapi
hasilnya malah membuat tubuhnya makin panas, lalu berubah dingin, dan seluruh
tubuh seperti dimasuki gelembung-gelembung tenaga mujijat yang membuat ia merasa
seperti sebuah bola karena penuh angin. Ia mengeluh danterhuyung-huyung.
"Han-ko....., kau
kenapa..... hati-hati, kau bisa jatuh!" Lulu meloncat bangun dan memeluk
kakaknya untuk mencegah kakaknya terguling. Akan tetapi sentuhan tubuh mereka
yang tadinya sebagai sentuhan seperti biasa itu mendatangkan getaran yang
mujijat dan mereka akhirnya berpelukan dan kembali mereka berciuman dengan
penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan tidak atau setengah sadar! Seluruh
hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh nafsu yang bergolak tak
tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran mereka gelap. Mereka
lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata dipejamkan. Ketika
Han Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia hampir menelanjangi
Lulu yang tidak melawan bahkan membantunya penuh gairah nafsu berahi, ia
terkejut seperti disambar halilintar. Kekuatan batin dan sinkang Han Han jauh
lebih besar daripada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan cepat ia mendorong
tubuh adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh terlentang dengan napas
terengah-engah dan mata terpejam, tubuh menggeliat-geliat.
"Lulu! Itti tidak benar!
Engkau Adikku!!" Han Han berkata, berteriak dengan suara nyaring.
"Han-ko..... ahhh,
Han-ko..... jangan tinggalkan aku.... aku bukan Adikmu,
Han-ko.....!"
"Gila!" Han Han
membentak lagi, menahan diri sekuatnya agar tidak menubruk dan memeluk gadis
itu, melanjutkan hasrat berahi yang memenuhi benak dan hatinya. "Kita
keracunan! Ular merah itu! Keparat....!" Terlintas dalam benaknya bunyi
tulisan pada batu dan kini mengertilah ia mengapa Suma Hoat mengutuk ular salju
merah. Agaknya Suma Hoat juga makan daging dan darah ular itu dan merasa pula
rangsangan nafsu berahi seperti ini. Teringat akan ini, Han Han lalu mengeluarkan
pekik menyeramkan dan tubuhnya meloncat keluar dari dalam pondok itu. Ia
berlari-lari seperti orang gila menjauhi pondok dan ketika ia tiba di pantai
yang berbatu-batu, ia lalu mengamuk. Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul,
menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga
inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia
menggunakan tenaga Im-kang. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika
batu-batu besar itu pecah berantakan oleh amukan Han Han yang seperti telah
menjadi gila. Han Han terus mengamuk sepanjang malam sampai pagi, sampai habis
tenaga sinkangnya dan ia menggunakan tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya
luka-luka dan akhirnya ia roboh pingsan di antara batu-batu yang sudah hancur berantakan
itu.
Matahari telah naik tinggi
ketika Lulu mengguncang-guncang tubuh Han Han yang menggeletak di pantai, tubuh
atas telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu menangis dan
memanggil-manggil.
"Han-koko…. Han-ko…..
jangan tinggalkan aku…..! Han-ko…..!!"
Han Han membuka matanya,
mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar matahari.
"Han-ko, kau kenapakah
?" Lulu bertanya penuh kekhawatiran, air mata masih membasahi kedua
pipinya.
Han Han menggoyang-goyang
kepalanya mengusir sisa kepeningannya. Juga mengusir pemandangan yang aneh.
Kini, melihat wajah Lulu yang cantik, sepasang pipi yang merah itu, ia merasa
berbeda dari biasanya. Tidak seperti biasanya ia memandang gadis ini seperti
adiknya. Kecantikan Lulu kini menyentuh hatinya dan membingungkannya,
sungguhpun gairah gila seperti yang mendorongnya malam tadi sudah lenyap.
"Tidak apa…. Aku….. aku
hanya mimpi buruk….. tanpa sadar, kuhantami batu-batu ini…." ia melihat
kaki dan tangannya yang lecet-lecet.
"Aku pun mimpi, Koko.
Mimpi aneh akan tetapi indah sekali….."
"Mimpi apa?" Han Han
memandang tajam, diam-diam memaki diri sendiri nengapa kini Lulu tampak lain
dalam pandangannya.
"Aku tadi pagi terbangun
di pondok taman dan….. dan pakaianku tidak karuan, aku mimpi….. engkau seperti
bukan Kakakku, melainkan…. ah, sungguh aneh akan tetapi aku aku senang sekali,
Koko…." Dan gadis itu menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi makin
kemerahan sampai ke telinganya.
"Hushhh! Kau gila! Kita
keracunan ular keparat itu!"
Lulu memandang muka Han Han
penuh selidik. Gadis ini masih terlalu murni dan polos dan dia bertanya,
"Betulkah, Koko? Keracunan ular itu? Akan tetapi…., setelah mimpi itu,
aku…. heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku khawatir kalau-kalau kau
akan meninggalkan aku…”
"Sudahlah, jangan
berpikir yang bukan-bukan. Lulu, kita harus meninggalkan pulau ini."
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tetap karena di dalam hatinya Han Han
maklum bahwa makin lama mereka berada di pulau itu, makin besar bahayanya dan
ia khawatir bahwa akhirnya ia tidak akan kuat bertahan. Ia mengeraskan hatinya,
memusatkan tenaga batinnya dan kemauannya untuk mengambil keputusan bahwa gadis
ini adalah adiknya, adiknya! Ia merasa kuat kini dan mulai berani memandang
wajah Lulu lagi, diperkuat oleh kemauannya yang memaksa hati dan pikirannya
bahwa Lulu adalah adiknya, bukan orang lain dan bahwa tidak boleh ia mencinta
Lulu seperti perasaannya malam tadi. Lulu adiknya! Lulu adiknya! Kekuatan
kemauan Han Han memang luar biasa dan ia sudah tenang kembali. Sambil tertawa ia
menangkap tangan Lulu, diajak bangkit berdiri dan sambil berkelakar ia berkata.
"Kita harus membuat
perahu, kita akan meninggalkan tempat ini secepat mungkin! Kau bocah malas,
harus membantu!"
Kekuatan kemauan yang
tetpancar keluar dari mat a Han Han mempengaruhi Lulu pula. Gadis itu pun
menjadi biasa dan bertanya keras.
"Pergi ke mana,
Koko?"
"Eh, anak bodoh dan
pelupa. Apakah kau selamanya akan tinggal di pulau ini sampai menjadi
nenek-nenek? Apakah kau tidak ingin rnencari musuh besarmu?"
Lulu menjadi bersemangat.
"Betul! Kita harus pergi mencari musuh besar kita!"
Demikianlah, kedua orang muda
itu lalu mulai membuat perahu. Han Han bukan seorang ahli maka tentu saja
membuat perahu amatlah sukar baginya. Namun, berkat tenaga dan kemauannya yang
kuat, tiga hari kemudian selesailah dia membuat sebuah rakit dari kain dan
bambu seadanya, menggandeng-gandengnya dengan ikatan akar yang cukup kuat. Ia
menyediakan dua buah cabang pohon untuk mendayung. Baru saja selesai ia
mengikat sambungan terakhir, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras
sekali dan terdengar Lulu berlari-lari sambil menjerit-jerit.
"Ular….! Ular…..! Banyak
sekali ular…..!"
Han Han terkejut dan menengok.
Dilihatnya Lulu beriari-lari menghampirinya dengan wajah pucat penuh jijik dan
dari jauh tampaklah ratusan, mungkin ribuan ekor ular merah mendatangi sambil
mengeluarkan suara mendesis mengerikan sekali.
"Cepat! Naikkan bekal
makanan dan air itu ke atas perahu!" teriak Han Han dan sibuklah mereka
mengangkuti bekal makanan dan minuman ke atas perahu. Beberapa ekor ular merah
sudah datang dekat dan Han Han membunuhnya dengan injakan-injakan kakinya pada
kepala ular-ular itu. Setelah semua bekal diangkut ke perahu, Han Han lalu
mendorong perahu rakit itu ke air dan bersama Lulu ia mendayung perahunya ke
tengah laut.
Ular-ular itu agaknya tidak
takut air, buktinya mereka itu terus mengejar dan berenang sambil terus
mendesis-desis. Lulu yang merasa geli itu memukuli ular-ular terdekat dengan
dayungnya. Tenaga pukulan gadis ini sudah kuat sekali sehingga dalam waktu
singkat puluhan ekor ular mati dengan kepala remuk. Han Han mengerahkan tenaga
mendayung perahu yang meluncur cepat sehingga mereka dapat meninggalkan
ular-ular yang mengejar. Dari jauh, kedua orang anak muda itu memandang ke arah
pulau dengan pandang mata sayu. Betapapun juga, selama enam tahun mereka hidup
di pulau itu, Pulau Es yang tadinya amat indah, namun yang kini menjadi pulau
ular yang menyeramkan. Dari jauh tampak warna merah ular-ular itu seolah-olah
pulau itu penuh dengan bunga-bunga merah yang mulai mekar.
"Arah mana yang kita tuju
ini, Han-ko?" tanya Lulu sambil membantu kakaknya mendayung.
"Arah selatan. Pulau Es
adanya hanya di utara, maka kita harus kembali ke selatan."
"Bagaimana kau tahu bahwa
arah yang kita tempuh ini menuju ke selatan?"
"Ha-ha, kau bodoh sekali!
Kau tahu dari mana munculnya matahari?"
"Dari timur."
"Nah, kau lihat. Matahari
yang baru muncul itu berada di sebelah kiri kita, berarti kita kini maju ke
arah selatan."
Mulailah Han Han dan Lulu
menuju kepada pengalaman-pengalaman baru dengan hati penuh ketegangan, juga
kegembiraan karena mereka kini akan memasuki dunia ramai yang sudah enam tahun
mereka tinggalkan. Bekal yang mereka bawa cukup banyak, juga mereka membawa
bekal pakaian. Han Han tidak lupa untuk membawa kantung karet berisikan
surat-surat peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es, karena sesuai dengan
pesan di luar sampul, ia hendak menyampaikan surat-surat peninggalan itu kepada
yang berhak sebagai tanda terima kasih dan tanda bakti kepada penghuni Pulau
Es. Tentu saja ia tidak tahu kepada siapa surat itu akan diberikan, akan tetapi
hal ini akan dia selidiki kelak.
Sungguhpun kedua orang muda
itu, terutama sekali Han Han, kini telah merupakan seorang yang memiliki tenaga
luar biasa dan jauh sekali bedanya dengan ketika dahulu menjadi tawanan Ma-bin
Lo-mo, namun perjalanan pulang ini bukanlah merupakan perjalanan yang mudah.
Apa.lagi kalau diingat bahwu perahu mereka bukanlah perahu biasa, melainkan
hanya batang-batang kayu dan bambu disambung-sambung sehingga biarpun mereka
dapat mendayung dengan kuat dan cepat, namun perahu yang melaju di laut bebas
itu sering kali mundur lagi karena terbawa ombak. Juga dalam perjalanan selama
belasan hari ini tiga kali mereka diserang badai yang ganas sehingga kalau saja
mereka tidak kuat-kuat berpegang kepada rakit itu, tentu mereka sudah terlempar
ke laut dan binasa. Perbekalan mereka hanya sedikit saja yang dapat
diselamatkan selama mereka diserang badai dan akhirnya mereka harus berjuang
melawan ombak selama tiga hari tiga malam, tanpa makan dan minum! Untung bahwa
mereka berdua telah memiliki daya tahan yang luar biasa sehingga mereka hanya
merasa lelah sekali ketika akhirnya mereka berhasil mendarat di pantai yang
sunyi dan penuh dengan hutan liar.
Dapat dibayangkan betapa
gembira hati mereka setelah dapat mendarat, melihat tanah dan pohon-pohon
berdaun hijau. Selama enam tahun mereka tidak pernah melihat tanah karena
daratan di Pulau Es itu seluruhnya tertutup salju dan es membatu.
Juga di Pulau Es, hanya ada
beberapa macam tanaman saja yang dapat hidup dan berdaun, dan sekarang mereka
melihat pohon-pohon raksasa yang hidup subur dengan daun-daun hijau.
Sambil tertawa-tawa kedua
orang muda itu lalu mencari buah-buah yang dapat mereka makan dan ketika mereka
menemukan buah-buah apel yang dapat dimakan dan sudah masak, mereka makan
buah-buahan seperti seorang kelaparan! Han Han juga menangkap seekor rusa yang
mereka panggang dagingnya dan sehari itu mereka berdua berpesta-pora dan makan
dengan lahap sampai perut mereka penuh kekenyangan.
"Kita mendarat di mana,
Koko?"
"Siapa tahu? Dan aku
tidak peduli, pokoknya mendarat di tanah! Ah, Lulu, aku merasa seolah-olah
hidup kembali! Mari kita melanjutkan perjalanan terus ke selatan. Akhirnya
tentu kita bertemu manusia menuju ke kota raja!"
"Keluarga Ayahku dahulu
tinggal di kota raja!" kata Lulu dengan suara terharu, teringat akan
keluarganya yang sudah terbasmi habis.
"Dan musuh-musuhku tentu
berada di kota raja pula!" kata Han Han penuh semangat dan terbayanglah wajah-wajah
para perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya. Dengan penuh semangat. clan
kegembiraan, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke barat,
menjauhi pantai taut. Mereka melakukan perjalanan sampai belasan hari, naik
turun gunung, masuk keluar hutan dan belum juga mereka bertemu dengan dusun
yang ada manusianya. Namun mereka tidak menjadi putus asa dan terus melakukan
perjalanan seenaknya. Mereka tidak tergesa-gesa karena tidak ada sesuatu yang
memaksa mereka tergesa-gesa.
***
Kurang lebih dua bulan
kemudian, setelah Han Han dan Lulu bertemu dengan dusun dan mendapat keterangan
bahwa kota raja tidak jauh lagi berada di sebelah selatan, pada suatu pagi
mereka memasuki sebuah hutan besar. Mereka mengikuti jalan yang masuk ke hutan
itu, sebuah jalan umum yang biasa dipergunakan oleh orang yang
melakukanperjalanan jauh. Ada tapak-tapak kereta menjalur panjang di jalan itu
dan dengan hati gembira Han Han dan Lulu berjalan sambil melihat-lihat burung
yang beterbangan di antara dahan-dahan pohon menyambut datangnya pagi dengan
kicau dan tarian mereka dari dahan ke dahan.
Keadaan Han Han mengherankan
orang-orang yang melihatnya. Pemuda ini bertubuh tegap dan jangkung, pakaiannya
cukup bersih dan terbuat dari kain mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Yang
amat menarik adalah rambutnya
yang dibiarkan terurai ke
punggungnya, rambut yang hitam dan kaku mengkilap, tak pernah disisir karena
Han Han memang sarna sekali tidak mempunyai keinginan untuk bersolek. Lebih
hebat lagi adalah sepasang matanya. Mata itu kini merupakan dua buah benda yang
mengeluarkan sinar aneh. Kadang-kadang tenang seperti air telaga, seperti orang
termenung kehilangan semangat, kadang-kadang secara tiba-tiba menjadi amat
tajam dan panas seperti mengandung bara api. Tidak pernah ada orang yang berani
menentang pandang mata Han Han dan setlap orang yang beradu pandang menjadi
ngeri mengkirik karena pandang mata itu seolah-olah menelanjangi mereka dan
dapat menembus terus ke lubuk hati.
Lulu juga amat menarik
perhatian orang, akan tetapi bukan karena anehnya, melainkan karena cantik
jelitanya dan karena sikapnya yang polos dan tidak pernah malu-malu seperti
gadis-gadis biasa. Sepasang mata gadis remaja inilah yang menjadi daya penarik
luar biasa, sepasang mata yang lebar dan jeli, yang pandang matanya dapat
membuat segala sesuatu di dunia ini tampak lebih cemerlang, lebih indah.
Pakaian Lulu termasuk mewah dan indah karena gadis ini memang mengenakan
pakaian-pakaian indah yang ia dapatkan di dalam kamarnya. Bahkan ia memakai
pula sebuah anting-anting bermata mutiara yang amat besar dan mahal. Namun
hanya sepasang anting-anting dan pita rambut sutera merah saja, yang menghias
tubuhnya, dengan jikat pinggang kuning emas, baju berwarna merah muda dan
sepatu putih. Gadis remaja ini benar cantik jelita mengagumkan semua pria yang
memandangnya. Akan tetapi setiap orang pria yang memandang kagum, begitu
bertemu pandang dengan kakak gadis itu, seketika mengkeret dan mundur teratur
karena merasa ngeri.
"Koko, apakah kau
mengetahui nama musuh-musuhmu, para perwira yang membunuh orang tuamu?"
Sebetulnya Han Han tidak
pernah merasa suka membicarakan tentang musuh-musuhnya dengan adik angkatnya
ini. Bukankah Lulu seorang anak perwira Mancu pula? Bicara tentang
perwira-perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya tentu mendatangkan rasa tidak
enak dalam hati Lulu.
"Tidak, Lulu. Aku tidak
tahu," jawabnya singkat.
"Tapi kau mengenal wajah
mereka? Aku ingin sekali melihat mereka yang begitu kejam terhadap keluargamu,
Koko. Engkau seorang yang begini baik. Kalau Ayahku masih ada, tentu
perwira-perwira yang kejam itu akan dilaporkan dan dijatuhi hukuman! Aku masih
ingat be tapa Ayah dahulu mencela keras perajurit-prajurit yang melakukan
perampokan.
Han Han diam saja. Hemm,
benarkah ayah Lulu perwira yang baik? Adakah perwira Mancu yang baik? Ma-bin
Lo-mo dan semua murid In-kok-san mengutuk semua orang Mancu. Demikian banyaknya
anak-anak yang menjadi murid Ma-bin Lo-mo adalah korban-korban kebiadaban
orang-orang Mancu, termasuk Kim Cu. Bahkan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan
Botak itu, baru menjadi kaki tangan Mancu saja sudah begitu kejamnya!
Orang-orang Mancu dan kaki
tangannya adalah orang-orang yang seperti iblis! Akan tetapi, Han Han membantah
sendiri pendapat ini, Ma-bin Lo-mo adalah seorang yang anti Mancu, akan tetapi
mengapa kekejamannya tidak kalah oleh Gak Liat? Apakah semua orang yang
berkepandaian tinggi di dunia ini adalah orang-orang berwatak iblis? Han Han
menjadi bingung dan ia mengambil keputusan untuk menentang semua orang-orang
yang berilmu tinggi!
"Bagaimana, Koko?"
“Ha….? Apa…..?”
"Kau belum menjawab
pertanyaanku. Apakah kau mengenal wajah mereka?"
Han Han mengangguk dan
terbayanglah wajah tujuh orang perwira Mancu itu, terutama Si Muka Kuning dan
Si Brewok. Yang lima lainnya juga akan dikenalinya setiap saat dan tujuh orang
ini harus ia bunuh, lebih-lebih dua orang perwira yang telah memperkosa ibunya
dan kakaknya! "Aku mengenal mereka, akan tetapi sukar dikatakan…..
sudahlah, Lulu. Aku tidak suka membicarakan mereka."
"Baiklah, Han-ko. Memang sebuah
kenang-kenangan yang tidak enak. Akan tetapi aku akan mencari Lauw-Pangcu….”
“Sukar, Lulu….”
"Mengapa sukar?"
tanya Lulu dan memandang penuh selidik.
“Dia seorang pejuang….”
"Pemberontak,
maksudmu?"
"Ya, pemberontak bagi
fihak Mancu, pejuang bagi rakyat. Sama saja. Kalau tidak dia sudah mati, tentu
dia selalu bersembunyi, sukar ditemukan….."
"Aku tidak khawatir. Ada
engkau di sampingku, masa tidak dapat mencarinya? Kau tentu akan membantuku,
Koko."
"Tentu saja, Moi-moi.
Hanya, kurasa sukar melawan dia. Kau takkan menang,
dia lihai sekali."
"Kalau kau membantuku,
tentu akan menang!" kata pula Lulu dengan suara mengandung penuh
kepercayaan.
"Belum tentu.
Kawan-kawannya banyak sekali dan amat lihai…."
Tiba-tiba terdengar bunyi
derap kaki kuda dan bunyi roda kereta. Terpaksa Lulu menghentikan percakapan
itu dan hati Han Han menjadi lega. Bagaimana ia dapat bicara dengan enak hati
kalau pembicaraan itu mengenai permusuhan dengan Lauw-pangcu, gurunya yang
pertama? Bagaimana nanti sikap Lauw Sin Lian puteri Lauw-pangcu kalau dia
membantu Lulu memusuhi Lauw-pangcu?
Kereta yang lewat tak lama
kemudian menyusul mereka itu adalah sebuah kereta besar ditarik oleh empat ekor
kuda dan di dalamnya tidak ada penumpangnya, melainkan dua buah peti yang
panjangnya ada dua meter, tinggi dan lebarnya satu meter. Dua buah peti itu
ditaruh berjajar di dalam kereta dan di atas kereta hanya ada seorang kusir dan
seorang laki-laki bersenjata golok. Di kanan kiri dan belakang kereta ada
belasan orang berpakaian piauwsu (pengawal) yang dikepalai oleh seorang
laki-laki berjenggot panjang. Mereka ini semua menunggang kuda, sikap mereka
keren dan gerak-gerik mereka membayangkan bahwa para piauwsu ini memiliki
kepandaian si!at yang tidak lemah. Ketika para piauwsu ini lewat, semua mata mereka
ditujukan kepada Lulu dan mereka tertawa-tawa, pandang mata mereka kagum
sekali. Han Han tidak mempedulikan hat ini, dan Lulu malah tersenyum, sama
sekali dia tidak tahu bahwa mereka itu bersikap kurang ajar. Han Han hanya
memperhatikan sebuah bendera di atas kereta, bendera yang bersulam gambar
seekor burung garuda putih di atas dasar biru, dan empat huruf besar yang
berbunyi HOA SAN PEK ENG (Garuda Putihdari Hoa-san) sedangkan di bawahnya
terdapat dua huruf kecil yang berbunyi Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Barang).
"Mereka itu ramah!"
kata Lulu setelah rombongan piauwsu ini lewat. Han Han tidak menjawab. Dia juga
tidak tahu bahwa seperti kebanyakan kaum pria kalau melihat wanita cantik, para
piauwsu tadi tertawa-tawa dengan sikap kurang ajar, hanya ia harus mengakui
bahwa mereka itu ramah sungguhpun keramahan mereka tidak menyenangkan hatinya.
"Hoa-san Pek-eng
Piauwkiok! Apa artinya itu, Koko?"
"Mereka itu adalah
rombongan piauwsu, yaitu pengawal-pengawal barang kiriman dan nama itu adalah
merknya. Mungkin piauwkiok itu dipimpin oleh orang dari Hoa-san atau…. ah,
benar juga. Agaknya pemimpinnya adalah seorang anak murid Hoa-san-pai."
"Kalau begitu, mereka itu
adalah orang-orang kang-ouw, Koko! Kenapa tidak kaukatakan dari tadi?”
"Kalau mereka orang-orang
kang-ouw, habis mau apa?"
"Ah, kita harus
berkenalan dengan mereka. Tentu mereka dapat bercerita banyak tentang dunia
kang-ouw. Bukankah engkau menjadi buronan In-kok-san? Dan engkau pun mencari
tahu tentang penghuni Pulau Es, bukankah kau ingin menyampaikan surat-surat
peninggalan manusia sakti itu? Mungkin sekali para piauwsu yang tentu banyak
pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, akan dapat memberi keterangan kepada
kita."
"Wah, kau benar juga,
Moi-moi. Mari kita kejar mereka!" Han Han lalu menggunakan kepandaiannya
untuk berlari cepat dan Lulu juga cepat mengejarnya. Biarpun Lulu tidak dapat
bergerak secepat Han Han, namun dibandingkan dengan orang biasa, gadis ini
dapat berlari amat cepat karena ia memiliki keringanan tubuh, tenaga sinkang,
dan napasnya tidak kalah panjang oleh napas kuda.
Lebih dari seperempat jam
mereka berlari cepat dan hutan itu makin lebat. Ketika mereka tiba di bagian
yang berbatu-batu, mereka mendengar suara ribut-ribut dan sayup-sayup terdengar
pula suara beradunya senjata berdencing-dencing.
"Koko, ada orang
bertempur….!"
"Hemmm, agaknya para
piauwsu itu menghadapi musuh. Mari kita percepat lari kita!" Han Han
mengerahkan tenaganya meloncat dan tentu saja Lulu tertinggal jauh. Akan tetapi
Lulu sekarang bukan seperti Lulu enam tahun yang lalu. Dahulu ia penakut, akan
tetapi sekarang Lulu menjadi seorang yang tabah dan pemberani, biarpun
tertinggal di belakang ia tidak takut dan mempercepat juga larinya agar dapat
sampai ke tempat pertempuran itu.
Dugaan Han Han ketika dia bicara
dengan Lulu tadi memanglah tepat. Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok
yang kenamaan di kota Kwan-teng. Terkenal sebagai piauwkiok yang boleh
dipercaya dan yang dapat menjamin keamanan semua barang kiriman sehingga tidak
hanya para saudagar besar menjadi langganannya, bahkan para bangsawan yang
mengirimkan barang-barang berharga selalu minta diantar dan dikawal oleh
perusahaan pengawalan barang Garuda Putih ini. Hal ini bukan hanya karena
Pek-eng-piauwkiok mempunyai banyak sekali piauwsu yang cakap dan kosen,
melainkan terutama sekali karena piauwkiok itu dipimpin oleh seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi. Ketua atau pemimpin piauwkiok ini adalah seorang
tokoh Hoa-san-pai, seorang bekas pendekar perantauan yang gagah perkasa bernama
Tan Bu Kong yang berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san). Setelah
ia bosan merantau dan sudah berusia lima puluh tahun, juga mengingat bahwa
sebagai seorang kepala keluarga tidak baik kalau dia menjadi perantau terus, ia
membuka piauwkiok itu yang ia beri nama mengambil dari julukannya yang sudah
terkenal. Dalam masa sepuluh tahun saja, nama piauwkiok itu menjadi terkenal
sekali dan setiap pengiriman barang yang diberi tanda bendera piauwkiok ini
tentu akan lewat dengan aman sampai ke tempat tujuan karena para perampok dan
penjahat merasa segan untuk memusuhi Pek-eng-piauwkiok.
Setelah perusahaannya menjadi
besar, Tan-piauwsu lalu mendatangkan adik-adik seperguruannya, yaitu anak-anak
murid Hoa-san-opai yang masih menganggur untuk membantunya bekerja, mewakilinya
mengantar barang-barang yang penting. Kiriman barang yang tidak begitu penting
cukup dikawal oleh orang-orangnya yang kesemuanya adalah orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Dengan demikian, selain ia dapat
menjamin nafkah hidup para sutenya, juga mereka dapat berkumpul dan dapat
melanjutkan cita-cita yangdipesansankan oleh guru besar Hoa-san-pai, yaitu
diam-diam membantu perjuangan para patriot yang menentang kekuasaan pemerintah
Mancu. Akan tetapi, perjuangan ini selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,
karena pada waktu itu, kekuasaan pemerintah Mancu sudah terlalu
meluas dan hampir seluruh
pedalaman telah diduduki sehingga perlawanan berupa perang terbuka takkan ada
gunanya dan pasti akan mengalami kekalahan dan kegagalan. Dengan demikian, di
samping tugasnya menjadi piauwkiok, Pek-eng-piauwkiok juga menjadi tempat
rahasia dari para patriot untuk mengadakan pertemuan, perundingan, pengiriman
barang-barang rahasia, dan juga pembantu dalam bidang pembiayaan.
Beberapa hari yang lalu,
kantor pusat Pek-eng-piauwkiok di Kwan-teng kedatangan seorang wanita yang
cantik jelita dan berpakaian mewah. Wanita ini datang berkuda dan melihat
pakaiannya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang gadis Mancu yang
berpengaruh dan berkuasa. Kedatangannya saja dikawal oleh selosin perajurit
Mancu yang bersenjata lengkap. Adapun gadis cantik ini sendiri menunjukkan
bahwa dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu
kepandaian. Hal ini dapat dilihat dari cara melompat turun dari kuda, dari
gerak-geriknya yang gesit, dan dari cara bicaranya. Gadis bangsawan Mancu ini
dengan suara keras menyatakan kepada para penjaga piauwkiok bahwa dia ingin
berjumpa dengan ketua Pek-eng-piauwkiok!
Hati Tan-piauwsu merasa tidak
enak, akan tetapi sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, ia keluar
dengan sikap tenang dan dengan sikap hormat ia menyambut gadis Mancu yang
usianya kurang lebih delapan belas tahun itu. Ia memberi hormat,
mempersilakannya duduk, menghidangkan air teh kemudian menanyakan maksud
kedatangannya.
Biarpun gadis itu masih
berpegang kepada kebiasaan lama, yaitu berpakaian sebagai seorang wanita
bangsawan Mancu, namun setelah membuka mulut bicara, ternyata ia dapat
berbicara bahasa Han dengan fasih sekali.
"Apakah saya berhadapan
dengan Tan Bu Kong piauwsu sendiri yang berjuluk Hoa-san Pek-eng?"
Tan-piauwsu tidak menjadi
heran menyaksikan lagak gadis muda ini. Dalam pengalamannya ia sudah banyak
menyaksikan wanita-wanita yang berkepandaian, dan sudah mendengar bahwa di
antara para tokoh Mancu banyak terdapat wa:a-wanita yang berilmu tinggi.
Apalagi wanita-wanita yang berasal dari bangsa Khitan dan yang kini banyak
masuk dalam pasukan Mancu sehingga pasukan itu merupakan pasukan gabungan yang
amat kuat. Maka ia selu menjura dan menwab.
"Tidak salah dugaan Nona.
Saya adalah Tan Bu Kong yang memimpin piauwkiok ini. Apakah yang dapat saya
lakukan untukmu, Nona?"
"Pek-eng-piauwkiok adalah
sebuah piauwkiok kenamaan yang katanya dapat menjamin keamanan setiap barang
kiriman. Sampai di manakah kebenaran
berita itu?"
"Saya tidak perlu
bersombong, Nona. Namun kenyataannya, selama sepuluh tahun ini, tidak ada
barang kiriman yang tidak sampai di tempat tujuannya. Sungguhpun ada terjadi
gangguan-gangguan di tengah jalan, namun semua gangguan dapat diatasi dan kami
belum pernah merugikan para langganan kami."
Gadis itu tersenyum mengejek.
Senyumnya manis sekali dan pasti akan mudah merobohkan hati setiap orang pria,
akan tetapi di balik senyum ini membayang kekerasan hati yang dingin membeku
sehingga diam-diam Tan-piauw-su bergidik. Wanita muda ini amat berbahaya,
pikirnya.
"Hemmm, bagus kalau
begitu. Saya memiliki dua buah peti kiriman yang harus dibawa ke Nam-keng.
Apakah engkau berani menjamin bahwa barang-barang itu akan sampai ke tempat
tujuan dengan seJamat, Tan-piauwsu?"
"Menjamin sampainya
barang kiriman ke tempat tujuan dengan selamat adalah kewajiban mutlak setiap
piauwkiok, Nona, karena itu, saya berani menjamin!"
Kembali senyum mengejek itu
sehingga Tan-piauwsu menjadi mendongkol, akan tetapi segera ditutupnya dengan
sikap hati-hati dan waspada.
"Bagaimana andaikata
kiriman itu dirampok di tengah jalan?"
"Akan kami bela
mati-matian!”
"Bagaimana andaikata…..
hemmm, maaf, piauwsu. Bagaimana andaikata kalian gagal mempertaruhkan
keselamatan barang-barang itu dan kemudian sampai terampas orang?"
"Hah! Tak mungkin! Dan
kalau terjadi demikian…. hal ini….. tak ada lain jalan kecuali mengganti harga
barang-barang kiriman itu."
Gadis itu tersenyum lebar
memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara. "Barang-barangku
dalam dua peti itu biarpun diganti dengan seluruh benda milikmu ditambah milik
penduduk kota ini masih takkan cukup, Tan-piauwsu! Dengar baik-baik. Aku
menghendaki dua buah peti mati itu dikirimkan sekarang juga dan berapapun kau
minta untuk biayanya akan kubayar! Akan te:api, kalau sampai hilang di jalan,
tanggungannya adalah nyawamu! Engkau akan ditangkap dan dihukum mati sebagai
pemberontak!"
Berubah wajah Tan-piauwsu dan
ia nemandang gadis muda itu dengan alis :erangkat. "Mengapa begitu?"
"Tentu saja! Selama
sepuluh tahun engkau mengawasi barang, kesemuanya selamat, akan tetapi sekarang
mengawal benda penting dari seorang Puteri Mancu, kalau sampai hilang maka ini
berarti bahwa kau sengaja membikin hilang dan berarti kau memusuhi pemerintah
Mancu! Nah, sekarang kutanya engkau, Tan-piauwsu. Beranikah engkau mengawal
barang-barangku ini ke Nam-keng?"
Ditanya begitu, Tan-piauwsu
merasa tersinggung kehormatannya. Juga piauwsu yang berpengalaman luas ini
berpikir bahwa kalau ia menolak, akan menimbulkan kesan bahwa dia anti kepada
pemerintah Mancu. Ia percaya bahwa para tokoh kang-ouw tidak ada yang akan
mengganggunya, apalagi di daerah selatan ia memiliki banyak sahabat dan namanya
sudah terkenal. Siapa yang akan berani dan mau mengganggu barang kiriman yang
dikawalnya?
"Baiklah! Akan tetapi
karena jaminannya adalah nyawa, maka biaya pengirimannya tentu harus lipat
sepuluh kali dari biasa!"
"Hi-hik! Jangankan
sepuluh kali lipat, biar dua puluh kali pun kubayar sekarang juga. Nih, cukupkah?"
Gadis itu mengeluarkan sebuah pundi-pundi uang dan melemparkannya di atas meja.
Tan-piauwsu mengambilnya dan membuka. Matanya terbelalak melihat bahwa
pundi-pundi itu isinya potongan-potongan emas belaka yang menurut taksirannya
berharga tiga empat puluh kali daripada tarip biasa!
"Terlalu banyak! Saya
tidak setamak itu dan nyawa saya yang tua pun tidak semahal ini," katanya
tersenyum.
"Engkau benar-benar jujur
dan gagah, Tan-piauwsu. Saya boleh berlapang dada kalau dua buah petiku itu
dilindungi oleh Pek-eng-piauw-kiok. Biarlah semua emas itu kuserahkan kepada
Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi kuminta hari ini juga barang-barangku
dikirim."
"Di manakah dua peti
itu?"
Gadis itu kembali tersenyum.
"Sudah tersedia di luar pintu piauwkiok ini!" Ia bertepuk tangan tiga
kali dan selosin pengawalnya memberi hormat di depan pintu. "Bawa masuk
dua peti ke sini."
Para pengawal mundur dan tak
lama kemudian mereka masuk lagi menggotong dua buah peti yang panjangnya dua
meter, lebar dan tingginya satu meter. Peti-peti itu terbuat dari kayu besi
yang kuat dan keras, dicat keemasan dan selain kokoh kuat, juga rapi dan halus.
Batas antara peti dan tutupnya tidak tampak sehingga agaknya untuk membuka peti
itu jalan satu-satunya hanya merusaknya, yaitu membukanya secara paksa. Agaknya
hal ini sengaja dilakukan untuk mencegah orang luar yang ingin tahu membuka
peti-peti itu.
"Agaknya Nona tidak akan
memberi tahu apa isi buah peti ini?" Tan-piauwsu memancing.
"Perlukah itu? Tugasmu
hanya mengawal dan mengantar sampai ke tempat tujuan. Tentang isinya adalah
rahasiaku, Tan-piauwsu."
"Baiklah, dalam waktu
paling lama sebulan dua buah peti ini tentu akan tiba di tempat tujuannya di
Nam-keng. Harap Nona suka memberi alamat penerimanya.”
Gadis Mancu itu lalu
menuliskan alamat penerimanya dengan gerakan tangan cepat dan ternyata
huruf-huruf tulisannya amat indah dan halus. Alamat di Nam-keng itu adalah
alamat sebuah rumah penginapan!
"Eh, mengapa tidak ada
nama penerimanya? Hanya nama penginapan."
"Tidak perlu karena
penerimanya adalah aku sendiri yang tentu akan berada di rumah penginapan itu
pada saat barang-barang itu tiba."
Tan-piauwsu tidak mau banyak
bertanya lagi, padahal merupakan hal yang aneh kalau gadis ini menyatakan dapat
berada di sana lebih dulu daripada rombongan piauwsu yang melakukan perjalanan
cepat! Dia mulai menaruh curiga, akan tetapi untuk menjaga keselamatan diri dan
piauwkioknya, dia tidak dapat menolak kiriman itu.
"Nah, sampai bertemu
kembali, Tan-piauwsu! Hati-hati, kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan
memimpin pasukan untuk menangkapmu!" Setelah berkata demikian, gadis itu
tertawa dan meninggalkan piauwkiok, dikawal oleh selosin orang perajurit. Suara
derap kaki kuda mereka meninggalkan kesan yang menyeramkan bagi para piauwsu
yang berada di situ, seolah-olah derap kaki kuda itu mendendangkan peringatan
yang mengerikan.
Setelah gadis Mancu yang tidak
memperkenalkan namanya bersama para perajurit Mancu Itu pergi, Tan-piauwsu
cepat berkata kepada seorang di antara sutenya yang bertubuh kurus tinggi.
"Teng-sute, lekas
kauselidiki ke mana mereka itu pergi!”.
Orang she Teng yang kurus itu
mengangguk dan sekali berkelebat ia sudah lari keluar dari tempat itu. Dia
memang ahli ginkang yang dapat berlari cepat sekali, maka dialah yang disuruh
oleh Tan-piauwsu untuk mengejar rombongan gadis itu dan mengetahui dj mana
tempat tinggal dan siapa gerangan gadis aneh itu. Kemudian Tan-piauwsu
mengumpulkan lima orang sutenya yang lain dan diajaknya masuk ke ruangan dalam
untuk berunding.
"Sute sekalian, gadis
Mancu tadi amat mencurigakan. Aku dapat merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu
yang tidak beres. Tentu dia mengandung maksud tertentu di balik pengiriman
ini."
"Aku pun berpikir
demikian, Suheng. Mengapa Suheng tidak menolak saja tadi?" berkata sutenya
yang tertua, seorang berusia lima puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan
bertubuh kecil pendek, namun bermata tajam. Dia ini adalah seorang Hoa-san-pai
yang bernama Lie Cit San dan dialah merupakan orang ke dua di Pek-eng-piauwkiok
karena tingkat kepandaiannya pun paling tinggi di antara para sute dari
Tan-piauwsu.
"Tidak bisa menolak,
Sute. Dia sudah sengaja memilih kita dan kalau aku menolak, dia memiliki alasan
untuk mengecap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak mau mengawal
barang milik seorang Puteri Mancu. Aku khawatir kalau-kalau rahasia perjuangan
kita tercium oleh mereka dan sekarang ini mereka menggunakan ujian di balik
pengiriman barang."
"Dugaanmu bagaimana,
Suheng?"
"Ada dua kemungkinan.
Kalau dia mau mengganggu kita, mungkin dia sendiri yang akan mempersiapkan
orang-orangnya untuk merampas peti-peti itu di tengah jalan sehingga dengan
mudah akan menghancurkan kita."
"Keji sekali! Akan tetapi
kita akan lawan dia, Suheng!" kata Ok Sun, sutenya yang berangasan,
seorang berusia tiga puluh lebih yang bertubuh kekar dan di pinggangnya
tergantung sebuah golok besar.
"Tentu saja akan kita
lawan, akan tetapi ada kemungkinan lain yang lebih melegakan hati. Yaitu
mungkin ini hanya merupakan ujian bagi kesetiaan kita terhadap Pemerintah
Mancu. Kalau benar demikian, kita akan selamat."
"Jangan-jangan dua peti
itu terisi peralatan untuk menghancurkan kawan-kawan seperjuangan kita!"
kata seorang sute lain.
"Hal itu tidak penting
dan kurasa tidak demikian. Untuk menjaga kemungkinan pertama, yaitu gadis aneh
itu mengerahkan orang-orang untuk mengganggu kita di jalan, aku sendiri akan
mengawalnya!" kata Tan-piauwsu sambil mengepal tinju. Dia harus unjuk
gigi, dan untuk menjaga nama baik Pek-eng-piauwkiok, akan dia lawan mati-matian
setiap usaha untuk merampas dua buah peti itu.
Tiba-tiba Kwee Twan Giap,
sutenya yang paling muda akan tetapi terkenal paling cerdik, berkata.
"Suheng, justeru inilah
yang ku khawatirkan. Agaknya justeru pemikiran dan keputusan Twa-suheng ini
yang sudah diperhitungkan mereka!"
“Apa maksudmu, Kwee-sute?"
"Bukan lain, tipu
muslihat memancing harimau keluar dari sarang!"
Tan-piauwsu dan empat orang
sutenya yang lain terkejut dan membelalakkan mata. Tan-piauwsu meninju meja di
depannya. "Ah, tepat sekali, Sute! Mengapa hal yang mungkin sekali ini kulupakan?
Memancing harimau keluar dari sarang! Ah, bisa jadi itulah inti dari rahasia
pengiriman aneh ini. Kita harus bersiap-siap untuk kemungkinan itu!”
"Sebaiknya begini saja,
Twa-suheng," kata pula sute termuda yang cerdik itu. "Pengawalan
barang ini diserahkan saja kepada seorang di antara kami, karena untuk
menghadapi gangguan di jalan, kurasa tidaklah amat berat. Apalagi kalau diingat
bahwa perjalanan itu menuju ke Nam-keng. Daerah sepanjang perjalanan ke selatan
penuh dengan sahabat-sahabat kita, sehingga kalau terjadi sesuatu, banyak
sahabat yang dapat membantu. Adapun Suheng sendiri bersama para Suheng lainnya
menjaga di sini untuk menghalau setiap gangguan dan juga untuk dapat melihat
perkembangan, kalau perlu merundingkan dengan kawan-kawan seperjuangan yang
datang dan lewat di kota ini."
Usul ini dapat diterima dan
akhirnya Tan Bu Kong menetapkan Lie Cit San dan Ok Sun sebagai wakilnya
mengawal dua buah peti itu, membawa pasukan piauwsu pilihan sebanyak lima belas
orang. Berangkatlah hari itu juga dua orang piauwsu dan lima belas orang anak
buahnya, mengawal dua buah peti yang dimasukkan ke dalam kereta yang ditarik
empat ekor kuda besar.
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, di dalam hutan, rombongan piauwsu ini bertemu dengan Han Han dan
Lulu. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan seorang pemudi
berjalan di hutan yang liar dan sunyi itu, Lie Cit San sudah menjadi curiga dan
berbisik.
"Awas, semua siap sedia!
Dua orang di depan itu mencurigakan!"
Demikianlah, rombongan piauwsu
itu lewat dan ketika mereka melihat bahwa yang mereka curigai itu hanyalah
seorarg pemuda sederhana dan seorang gadis remaja yang cantik, mereka
tertawa-tawa dan memandang ke arah Lulu dengan kagum dan tentu saja timbul
sifat-sifat kurang ajar mereka, sungguhpun di depan Lie Cit San dan Ok Sun para
anak buah itu tidak berani mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan.
Ketika rombongan ini tiba di
tengah hutan, di bagian yang berbatu, mendadak muncul sembilan orang laki-laki
yang gagah sikapnya dan mereka ini sengaja menghadang di tengah jalan. Usia
sembilan orang ini dari dua puluh sampai empat puluh tahun dan melihat pakaian
mereka yang rapi dan seperti biasa dipakai orang-orang yang pandai ilmu silat,
mereka itu seperti bukan golongan perampok. Seorang di antara mereka, yang
paling tua, sudah mengangkat tangan ke atas dan berseru.
"Pek-eng-piauwsu yang
mengawal kereta, berhenti dulu!"
Lie Cit San yang menunggang
kuda, segera mengajukan kudanya, mengerutkan kening dan matanya yang tajam
memandang penuh selidik, kemudian bertanya.
"Sahabat-sahabat yang
berada di depan siapakah dan apa maksudnya menghentikan kami? Hendaknya
diketahui bahwa kami mewakili Suheng kami Hoa-san Pek-eng untuk mengawal
barang-barang dalam kereta menuju ke Nam-keng. Harap sahabat-sahabat suka
minggir dan membiarkan kami lewat!"
Sembilan orang laki-laki itu
mengeluarkan suara marah dan yang tertua di antara mereka segera mengangkat
tangan memberi isyarat agar teman-temannya bersikap tenang. Kemudian ia berkata
kepada Lie Cit San.
"Orang-orang Hoa-san-pai
amat sombongnya sehingga seperti buta, tidak membedakan orang! Kami bukanlah
golongan perampok rendah yang menjadi sahabat para piauwsu! Kami adalah
anak-anak murid Siauw-lim-pai yang sengaja mencegat kalian di sini untuk
membalas dendam!"
Lie Cit San terkejut sekali
dan mengerutkan alisnya. Dia memang tahu bahwa beberapa bulan yang lalu terjadi
bentrokan antara beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dengan anak murid
Hoa-san-pai, akan tetapi bentrokan itu terjadi antara orang-orang muda yang
masih kurang pengalaman dan hal itu telah dibereskan oleh golongan tua.
Urusannya hanya kecil karena terjadi hubungan cinta antara seorang murid wanita
Hoa-san-pai dengan seorang murid pria Siauw-lim-pai. Hubungan cinta ini
menimbulkan rasa iri pada saudara-saudara seperguruan lain sehingga terjadilah
bentrokan itu. Dalam bentrokan itu pun hanya mengakibatkan luka-luka tak
berarti di kedua fihak. Mengapa hal yang sudah padam itu kini hendak digali dan
dipanaskan kembali oleh sembilan orang anak murid Siauw-lim-pai yang tidak
dapat dikatakan orang-orang muda ini?
Lie Cit San bukan seorang anak
muda yang berdarah panas, maka ia menyabarkan hatinya dan mengangkat kedua
tangan setelah meloncat turun dari atas kuda. Sutenya, Ok Sun yang tadinya
berada di atas kereta, juga meloncat turun dengan gerakan gesit, berdiri di
dekat suhengnya dalam keadaan siap-siap. Tokoh Hoa-san-pai yang berangasan ini
sudah meraba-raba gagang senjata.
"Maafkan kalau kami salah
menyangka," kata Lie Cit San. "Kiranya Gu-wi adalah para Enghiong
dari Siauw-lim-pai! Lebih baik lagi kalau begitu. Hendaknya Cu-wi suka memberi
tahu apakah sebabnya Cu-wi sekalian menahan kami?"
Ok Sun yang marah menyambung,
"Biarpun anak-anak murid Siauw-lim-pai namun lagaknya seperti perampok,
menghadang perjalanan orang. Suheng, kurasa mereka ini telah menjadi
antek-antek Mancu dan sekarang mereka diperalat oleh gadis Mancu itu!"
"Tutup mulutmu!"
bentak seorang pemuda diantara sembilan orang murid Siauw-lim-pai itu.
Lie Cit San dan pemimpin
rombongan Siauw-lim-pai segera menghardik saudara masing-masing agar suka diam.
Kemudian orang Siauw-lim-pai itu berkata, "Aku Liong Tik adalah seorang
anak murid Siauw-lim-pai yang menjunjung kebenaran dan keadiIan! Maksud kami
sembilan orang murid Siauw-lim-pai menahan kalian tidak lain hanya untuk
bertanya apa isinya kereta yang kalian kawal!"
"Ada sangkut-paut apakah
hal itu dengan kamu orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong?" bentak Ok Sun
yang memang berangasan dan sebagai seorang murid Hoa-san-pai tentu saja masih
panas hatinya oleh bentrokan antara murid-murid keponakannya dengan murid-murid
Siauw-lim-pai beberapa bulan lalu. Akan tetapi kembali Lie Cit San yang masih
sabar itu menyambung.
"Mengapakah para sahabat
gagah dari Siauw-lim-pai ingin mengetahui hal itu? Hendaknya Cu-wi sekalian
tahu bahwa kami sendiri hanya bertugas untuk mengawal barang dan sama sekali
tidak tahu apa isinya dua buah peti yang kami kawal, bahkan kami pun tidak
ingin mengetahui barang milik orang lain."
“Dua buah peti….?” Sembilan
orang Siauw-lim-pai itu saling pandang penuh arti, kemudian memandang marah ke
arah kereta.
Liong Tik yang tertua di
antara saudara-saudaranya mengimbangi kesabaran Lie Cit San dan kini ia
berkata, suaranya masih halus namun nadanya memaksa, "Kami percaya bahwa
dua orang saudara Hoa-san-pai yang gagah tidak mengetahui isinya, akan tetapi
kami minta agar kedua buah peti itu dibuka agar kita bersama dapat melihat
isinya!"
"Perampok-perampok
berkedok Siauw-Jim-pai! Kalau ternyata isinya emas permata tentu kalian akan
merampoknya!" bentak Ok Sun sambil mencabut golok besarnya. Para anak
murid Siauw-lim-pai juga sudah mencabut senjata masing-masing dengan sikap
marah.
Lie Cit San menggeleng kepala.
"Tidak mungkin hal itu dilakukan,” katanya. “Kami harus menjaga nama baik
kami sebagai piauwsu, tidak akan membuka peti kiriman barang orang lain, juga
tidak memperbolehkan siapa juga membukanya."
"Twa-suheng, sudah jelas
bahwa mereka hendak menyembunyikan. Kalau tidak lekas turun tangan, mau menanti
apa lagi?" bentak seorang di antara anak murid Siauw-lim-pai yang paling
berangasan sambil meloncat maju dengan pedang di tangan. Ok Sun menggereng dan
kedua orang itu sudah bertanding dengan sengit. Melihat ini, Lie Cit San dan
Liong Tik maklum bahwa bentrokan tak dapat dielakkan lagi, terpaksa mereka pun
maju. Lie Cit San mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang cambuk
besi yang kecil panjang, sedangkan Liong Tik mengeluarkan senjata sepasang
tombak bercagak dan kedua orang ini pun sudah bertanding hebat. Tujuh orang
anak murid Siauw-lim-pai yang lain sudah menyerbu ke arah kereta dan mereka
disambut oleh lima belas orang anak buah piauwsu sehingga sebentar saja di situ
terjadi pertandingan yang seru, terdengar bunyi senjata-senjata bertemu
diseling teriakan marah mereka. Pertandingan antara dua orang murid Hoa-san-pai
melawan dua orang murid Siauw-lim-pai terjadi seru dan berimbang, akan tetapi
lima belas orang anak buah rombongan piauwkiok itu segera terdesak hebat oleh
tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai dan setelah lewat belasan jurus, mulailan
fihak piauwkiok terdesak dan empat orang sudah roboh terjungkal mandi darah.
Tiba-tiba terdengar bentakan
yang amat keras, "Semua berhenti!!"
Aneh sekali. Bentakan itu
selain keras dan penuh wibawa, juga mengandung tenaga mujijat yang membuat
mereka yang sedang bertempur itu serentak meloncat mundur dengan kaget dan
gentar, menahan senjata masing-masing dan memandang terbelalak kepada seorang
pemuda rambut riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di tengah antara mereka.
Pemuda ini bukan lain adalah Han Han yang segera dapat memilih fihak karena
melihat betapa tadi rombongan piauwsu itu terdesak, bahkan ada empat orang di
antara mereka yang roboh dan tewas. Kini ia memutar tubuh, membelakangi para
piauwsu, menghadapi para murid Siauw-lim-pai dan membentak marah.
"Perampok-perampok
laknat, berani kalian mengganggu orang lewat? Orang-orang jahat macam kalian
ini patut dibasmi!"
Para piauwsu yang mengenal Han
Han sebagai pemuda yang tadi mereka lewati, memandang heran namun juga geli.
Pemuda hijau macam ini mana mungkin dapat menakuti hati para anak murid
Siauw-lim-pai yang lihai itu. Dan betul saja dugaan mereka, murid-murid
Siauw-lim-pai marah sekali karena mengira bahwa pemuda liar yang bermata setan
ini pasti seorang anak murid Hoa-san-pai pula. Maka seorang di antara mereka
yang termuda, yang tidak memandang mata kepada Han Han, sudah menerjang sambil
membentak.
"Bocah setan,
mampuslah!" Pemuda Siauw-lim-pai itu bersenjata sebuah toya dan senjata
toya ini memang merupakan sebuah di antara senjata kaum Siauw-lim-pai yang
ampuh. Begitu tara digerakkan terdengar bunyi mengaung dan ujung toya itu
tergetar menimbulkan bayangan belasan batang banyaknya. Kini toya itu rneluncur
ke arah tubuh Han Han, menyodok ke dadanya. Han Han sama sekali tidak bergerak.
"Krakkk!!" Toya itu
dengan tepat menyodok ulu hati Han Han, akan tetapi pemuda ini sama sekali
tidak bergeming, sebaliknya toya itu patah-patah rnenjadi tiga potong! Anak
murid Siauw-lim-pai itu terdorong tenaganya sendiri sehingga menubruk tubuh Han
Han. Pemuda ini mengangkat tangan kiri yang terbuka, memukul ke arah tengkuk
lawannya.
"Krekkk!" Murid
Siuw-lim-pai roboh dengan batang leher patah dan tewas seketika!
Peristiwa ini menirnbulkan
geger. Delapan orang anak murid Siauw-lim-pai menjadi marah sekali dan mereka
maju dengan senjata mereka menerjang Han Han. Saking marahnya menyaksikan
seorang saudara mereka tewas, mereka itu lupa akan sifat kegagahan dan delapan
orang jagoan Siauw-lim-pai dengan senjata di tangan kini menerjang dan mengeroyok
seorang pemuda tanggung yang tak terkenal dan bertangan kosong!
Pada saat itu, Lulu juga sudah
tiba di situ dan gadis ini dengan mata berkilat dan muka berseri
berteriak-teriak, "Han-ko, sikat saja perampok-perampok itu!"
Akibat pengeroyokan itu sungguh
hebat! Han Han kaku sekali gerakannya dan ia tidak mempunyai ilmu silat
tertentu untuk dimainkan menghadapi pengeroyokan itu. Biarpun ia sudah
mempelajari gerak kaki, namun gerak tangannya hanya ia pelajari sepintas lalu
saja karena selama enam tahun ini ia hanya memusatkan ketekunannya untuk
memupuk tenaga sinkang. Ia memasang bhesi dengan kuda-kuda Chi-ma-se, kedua
kakinya terpentang dan lutut ditekuk, akan tetapi kedua lengannya dikembangkan
dan diputar-putar menghadapi setiap serangan para pengeroyok. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kagetnya kedua fihak yang bermusuhan melihat akibat
pertandingan ini. Setiap kali ada senjata datang menyerang, Han Han memapakinya
dengan dorongan atau kibasan tangannya dan…. si penyerang terguling, senjatanya
patah-patah dan orangnya roboh tewas, ada kalanya tewas dengan muka kebiruan
seperti membeku, ada kalanya pula tewas dengan tubuh hitam seperti hangus
terbakar! Dalam keadaan tidak sadar akan kekuatan sendiri, Han Han telah
"mengisi" lengan kiri dengan tenaga inti Im-kang, sedangkan tangan
kanannya mengandung tenaga inti Yang-kang. Kekuatan dan kedahsyatan setiap
gerak tangannya tidak kalah oleh ilmu pukulan Swat-im Sin-kang maupun Hwi-yang
Sin-kang! Karena dia tidak menyerang hanya memapaki mereka yang menyerang saja,
maka dalam gebrakan-gebrakan itu robohlah tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam
keadaan tak bernyawa lagi, sedangkan Liong Tik dan seorang sutenya yang lebih
tinggi ilmunya dapat meloncat ke belakang sehingga terhindar dari bahaya maut,
akan tetapi juga senjata mereka itu remuk oleh hantaman hawa pukulan yang
keluar dari tangan Han Han.
Pada saat itu keadaan Han Han
benar-benar mengerikan sekali. Ia masih berdiri seperti tadi karena ia telah
merobohkan tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak mengubah kedudukan
kaki sama sekali. Ia berdiri menghadapi Liong Tik dan sutenya, siap menerima
serangan, matanya mengeluarkan cahaya yang tajam sekali, mulutnya tersenyum
mengerikan seperti senyum setan mengejek sehingga wajahnya yang tampan itu
kelihatan menyeramkan, kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri. Karena fihak
lawan yang tinggal dua orang itu terbelalak dan tidak menyerangnya, maka ia pun
diam tak bergerak dan sesaat keadaan di situ menjadi sunyi karena Lie Cit San,
Ok Sun dan semua anggauta piauw-su juga terbelalak dengan hati ngeri.
Derap kaki kuda terdengar
jelas di saat yang sunyi itu dan Lulu menengok ke kanan. Seekor kuda hitam
datangseperti terbang cepatnya dan di atas kuda itu duduk seorang gadis cantik.
Bukan duduk, lebih tepat berdiri karena gadis itu memang berdiri dengan kaki di
kanan kiri perut kuda, di atas tempat kaki. Dapat berdiri seperti itu selagi
kuda membalap dengan miring membuktikan betapa pandainya gadis cantik ini
menunggang kuda. Akan tetapi wajah gadis itu diliputi kedukaan dan kegelisahan.
Melihat betapa anak murid Siauw-lim-pai banyak yang tewas dan kereta yang
membawa dua buah peti berada di situ dalam keadaan ditinggalkan karena para
piauwsu tadi menyambut penyerbuan para murid Siauw-lim-pai, gadis itu mengeluarkan
teriakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat sekali mendahului kuda
dan tahu-tahu ia telah berada di belakang kereta. Para piauwsu terkejut, akan
tetapi sebelum ada yang sempat bergerak, gadis itu sudah menggerakkan tangan
dua kali.
"Brakkkkk!
Brakkkkk!!"
Dua buah peti itu terpukul
bagian atasnya oleh dua tangan yang kecil halus, akan tetapi seketika bagian
tutupnya remuk dan terbukalah kedua peti itu. Si gadis cantik menjenguk ke
dalam peti-peti itu dan terdengar teriakannya menyayat hati.
"Liok-suhu…..!
Chit-suhu….!!" Dan gadis itu menangis tersedu-sedu.
Para piauwsu tercengang
keheranan, apalagi setelah Liong Tik dan seorang sutenya berlari menghampiri
kereta, menjenguk isi peti dan menjatuhkan diri berlutut pula sambil menangis.
Lie Cit San dan Ok Sun, diikuti para piauwsu lari pula mendekat dan ketika
mereka melihat isi peti, mereka terbelalak.
"Aihhhhh….!!" Lie
Cit San dan Ok Sun terhuyung ke belakang dengan muka pucat sekali. Kiranya di
dalam dua buah peti itu terisi dua sosok mayat orang yang bukan lain adaiah
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim
Chit-kiam!
Gadis cantik itu sudah
menghentikan tangisnya lalu bangkit berdiri. Sikapnya dingin sekali, penuh hawa
amarah meluap-luap, penuh dendam sakit hati yang harus dilampiaskan. Ia
bertanya kepada Liong Tik dan sutenya.
"Siapa yang membunuh
saudara-saudaramu itu?"
"Sukouw (Bibi Guru)…..
mohon bantuan…. para Sute dibunuh oleh bocah iblis itu….!" Liong Tik
menuding ke arah Han Han yang masih berdiri seperti arca. Tadi ia seperti
kemasukan pengaruh yang aneh, terdapat rasa gembira sekali ketika kedua
tangannya merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi kini Han Han memandang
mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan bengong. Ia baru sadar ketika ada
suara wanita membentak di depannya.
"Siapa engkau yang begini
kejam telah membunuh tujuh orang murid keponakanku?"
Tiba-tiba Lulu yang berdiri di
belakang Han Han tertawa geli sehingga suasana tegang itu menjadi terpecah.
"Hi-hi-hi, aneh sekali!
Melihat muka dan tubuhmu, usiamu tidak akan banyak selisihnya dengan usiaku,
akan tetapi engkau mempunyai keponakan-keponakan yang sudah tua-tua. Aneh dan
lucu, hi-hi-hik!"
Akan tetapi gadis itu tidak
mempedulikannya, bahkan seperti tidak mendengarnya karena gadis itu kini sedang
memandang Han Han penuh perhatian, bahkan wajahnya yang cantik kini menjadi
agak pucat, sinar matanya penuh keheranan dan tidak percaya.
Han Han yang sadar akan
teguran suara wanita, mengangkat muka dan begitu ia memandang wajah gadis
cantik di depannya itu, ia terbelalak dan sampai lama tidak dapat menge1uarkan
suara. Kedua orang ini saling pandang, kadang-kadang meragu, kemudian merasa
yakin dan Han Han berkata lirih.
“…. Suci….!!”
"Engkau….? Engkau….. Han
Han….? Dan engkau membantu Hoa-san-pai, menjadi anjing penjajah Mancu….?”
“Suci…., sama sekali tidak….”
"Kau bukan Suteku 1agi!
Kau musuh yang harus mati di tangankuI" Gadis itu menyerang dengan dahsyat
sekali. Biarpun dia menyerang dengan pukulan tangan ke arah dada Han Han, namun
tangan kosong gadis cantik ini jauh lebih berbahaya daripada serangan senjata
para murid Siauw-lim-pai tadi. Datangnya antep, cepat dan mengandung tenaga
sinkang yang kuat.
"Dukkkkk…!” Han Han yang
tidak menangkis itu terpukul dadanya, terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi
gadis itu sendiri terbanting roboh! Gadis itu yang sesungguhnya adalah Lauw Sin
Lian, terkejut dan meloncat bangun. Tangan kanannya yang memukul itu menjadi
kebiruan dan tubuhnya menggigil kedinginan! Cepat-cepat ia menahan napas dan
mengerahkan hawa dari pusarnya sehingga rasa dingin itu dapat diusir. Ia
memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak, kemudian ia menoleh kepada dua
orang murid keponakannya sambil berkata, suaranya mengandung isak tertahan.
"Naikkan jenazah para
Sute itu ke at as kereta." Dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera
melaksanakan perintah ini dengan air mata bercucuran. Lauw Sin Lian meloncat ke
atas kereta, diikuti dua orang murid keponakannya, kemudian setelah sekali lagi
menoleh ke arah Han Han dengan pandang mata penuh kebencian, ia lalu memekik
nyaring dan menarik kendali kuda. Empat ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke
depan, lalu membalap. Para piauwsu tidak ada yang berani berkutik. Mereka masih
terkejut dan bingung menyaksikan kenyataan yang amat mengerikan tadi.
"Suci…..!" Han Han
mengeluh perlahan, kemudian ia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, menghadapi
anak murid Hoa-san-pai yang masih berdiri pucat. Pandang mata Han Han
mengandung sesuatu yang membuat dua orang ini bergidik.
“Kalian…. Kalian……
manusia-manusia iblis! Kiranya kalianlah yang jahat, dan kalian membuat aku
membunuh mereka yang tak berdosa….!" Suara Han Han
perlahan seperti mendesis,
namun hal ini bahkan menambah keseramannya. Dua orang murid Hoa-san-pai itu
menggeleng kepala. "Tidak…. tidak…..!"
Akan tetapi kedua tangan Han
Han sudah menyambar, melakukan gerakan menampar ke deparn. Jarak antara mereka
masih jauh, ada dua meter, namun tamparan ini mengandung hawa sinkang yang
hebat, mengandung hawa pukulan yang biasa ia latih di Pulau Es, pukulan-pukulan
yang dapat membuat air membeku menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak lembu!
Dua orang murid Hoa-san-pai
itu roboh tanpa dapat bersambat lagi, roboh dengan tubuh kaku membeku dan tewas
seketika! Para anak buah piauwsu menjadi putat sekali, akan tetapi Han Han
sudah menghadapi mereka dan berkata.
"Kalian hanya anak buah,
tidak tahu apa-apa…. !" Tanpa berkata apa-apa lagi Han Han lalu menyambar
tangan adiknya dan ditariknya lalu diajak pergi cepat-cepat dari tempat itu.
Sebentar saja kedua orang muda ini lenyap dari tempat itu dan barulah para
anggauta piauwkiok itu sibuk mengurus jenazah kedua orang pimpinan mereka dan
empat orang jenazah itu, dengan penuh duka dan masih menggigil kalau teringat
kepada pemuda yang mereka anggap iblis itu, mereka kembali ke Kwan-teng untuk
melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
“Eh-eh, berhenti dulu,
Han-ko….!" Lulu merenggut tangannya dan terpaksa Han Han berhenti. Wajah
pemuda ini keruh tanda bahwa pikirannya kalut dan hatinya terganggu oleh
peristiwa dalam hutan tadi.
"Han-ko, semua peristiwa
tadi amatlah mengherankan hatiku. Siapakah gadis cantik yang kau sebut Suci
tadi? Benarkah dia itu Kakak Seperguruanmu?"
Han Han yang masih kalut
pikirannya itu mengangguk. "Dia Suciku, dia P uteri guruku yang pertama.
Dia puteri Lauw-pangcu…" Baru Han Han teringat dan kalau bisa ia hendak
menelan kembali semua kata-kata yang sudah dikeluarkan. Namun terlambat karena
Lulu sudah mendengar semua dan gadis itu tiba-tiba menjerit, lalu membalikkan
tubuh dan lari secepatnya.
“Eh, Moi-moi…., tunggu
dulu….!!” Han Han meloncat dan cepat mengejar. Sebentar saja ia dapat menyusul
dan memegang tangan Lulu. Akan tetapi Lulu merenggutkan tangannya dan dengan
cemberut memandang Han Han dengan muka merah dan air mata memmbasahi pipinya.
"Jangan dekat-dekat!
Jangan pegang-pegang! Kau kiranya murid musuh besarku! Apakah kau hendak
membelanya? Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan denganmu!"
"Eh, Lulu jangan begitu.
Aku tetap Kakakmu, dan aku tidak akan membela siapapun juga kecuali engkau Adikku…."
"Bohong! Mana mungkin
membelaku kalau musuh besarku adalah Gurumu sendiri? Kakek jahat she Lauw itu
adalah Gurumu, baru puterinya saja sudah kau bela tadi! Sudahlah, karena kau
murid musuh besarku, berarti engkau musuhku juga. Nah, kau lekas serang dan
bunuh aku……, lekas bunuh aku….. tak mungkin aku dapat membalas kematian
keluargaku karena engkau murid musuhku. Bunuh aku, engkau murid musuh
besarku!" Saking berduka dan marah, omongan Lulu menjadi kacau-balau tidak
karuan dan bercampur dengan isak yang ditahan-tahannya. Sepasang matanya yang
lebar dan yang biasanya bersinar seperti sepasang matahari kembar itu kini
menyuram, dan dua butir air mata jernih seperti mutiara menggantung di bulu
matanya yang lentik.
Han Han melangkah maju dan
memegang kedua pundak Lulu, tersenyum duka dan berkata, "Baiklah, lulu.
Engkau menganggap aku musuhmu, nah, ini dadaku sudah terbuka di depanmu.
Kauhantamlah aku sampai mati, kalau kau menganggap aku musuhmu."
Sepasang mata yang lebar indah
itu memandang ke arah dada Han Han, dada kakaknya yang selama ini menjadi
tempat ia bersandar, dan ia bergidik, akan tetapi mulutnya masih mencela.
"Kau mengejek! Kau tahu
bahwa betapapun keras aku memukul, takkan melukai dadamu, engkau kuat dan
kebal….."
"Adikku yang manis.
Sekali ini aku tidak akan melawan, dan aku akan senang mati di tanganmu, kalau
hal itu memang kaukehendaki dan akan menyenangkan hatimu. Apakah kau akan
senang hatimu kalau kau dapat memukul mati Kakakmu ini, Moi-moi?"
Lulu menengadahkan mukanya,
mereka berpandangan dan Lulu terisak menangis sambil menubruk kakaknya,
menyembunyikan mukanya di dada yang ditawarkan untuk ia pukul itu. Air matanya
membasahi baju dan dada Han Han yang mengelus-elus kepala adiknya penuh kasih
sayang.
"Lulu, sudahlah jangan
menangis. Aku bukan musuhmu melainkan Kakakmu."
"Akan tetapi kau murid
Lauw-pangcu musuh besarku."
"Sekarang tidak lagi,
Lulu. Itu dahulu ketika aku masih kecil. Engkau mendengar sendiri betapa
puterinya tadi mengatakan demikian pula, bahwa dia bukan Suciku dan aku bukan
Sutenya. Puterinya itu pun kini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang
hebat….."
Lulu mengangkat mukanya
memandang. Mukanya masih agak basah, kulit muka yang halus itu kemerahan dan
kemarahan sudah menghilang dari pandang matanya yang kini menatap wajah
kakaknya penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Koko, engkau…..
mencinta dia…?"
"Siapa?"
“Dia, puteri musuh besarku
itu….”
"Aha! Kaumaksudkan Lauw
Sin Lian tadi? Dia bekas Suciku, ahhh….. tidak, aku tidak tahu tentang cinta,
jangan bertanya yang bukan-bukan!"
"Syukurlah, aku akan
bingung sekali kalau sampai engkau mencinta puteri musuh besarku. Akan
bagaimanakah sikapku? Dia puteri musuh besarku akan tetapi juga….. eh calon
So-so (Kakak Ipar), kan merepotkan hati namanya!"
"Hussh, kau memang nakaI,
Moi-moi. Apakah lupa baru saja kau mengamuk dan menangis? Sekarang sudah
menggoda orang!"
Lulu tersenyum, giginya yang
rapi dan putih berkilat di balik kemerahan bibirnya. "Tapi aku girang, tak
mungkin kau menikah dengan Lauw Sin Lian. Dia sudah marah dan benci kepadamu
karena kau telah membunuh murid-murid keponakannya!"
Han Han menghela napas panjang
dan menggeleng-geleng kepalanya. "Lulu, jangan menganggap hal itu seperti
main-main! Aku tadi telah salah membunuh orang. Kusangka tadinya orang-orang
Siauw-lim-pai itu yang jahat dan menjadi perampok, kiranya piauwsu-piauwsu anak
murid Hoa-san-pai itu yang jahat, menyembunyikan dua orang tokoh Siauw-lim-pai
yang mereka bunuh di dalam peti-peti itu."
Seketika wajah Lulu menjadi
serius dan membayangkan kekhawatiran. "Wah, kalau begitu engkau akan
dimusuhi oleh Siauw-lim-pai, Koko?"
Han Han tersenyum dan pandang
matanya membayangkan ejekan. "Aku tidak takut! Mengapa mesti takut karena
memang aku membunuh mereka karena salah sangka? Juga sikap mereka itu sendiri
yang mendorongku membunuh mereka. Bahkan aku akan pergi ke Siauw-lim-pai,
mencari Sin Lian untuk menjelaskan peristiwa itu."
"Bagus sekali! Mari kita
ke sana, Koko. Engkau ingin memberi penjelasan kepada Sin Lian dan aku akan
bertanya di mana adanya Ayahnya agaraku dapat membalas dendam! Engkau tentu
akan membantuku membunuh Lauw-pangcu, bukan?"
Han Han merasa serba salah,
akan tetapi dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Kurasa sekarang engkau
telah cukup lihai untuk mengalahkan Lauw-pangcu, Lulu. Bagaimana mungkin aku
dapat turun tangan terhadap dia yang dahulu amat baik kepadaku? Aku hanya
berjanji akan melindungimu jika kau sekiranya kalah, akan tetapi untuk
membantumu membunuhnya….., wah, berat juga."
"Tidak apalah tidak
kaubantu juga! Kalau aku kalah, aku dapat belajar lagi darimu dan lain kali
kucari lagi dia dia. Mari kita ke Siauw-lim-pai mencari Sin Lian, Koko!"
Akan tetapi Han Han menggeleng
kepala. "Tidak sekarang, Moi-moi. Aku akan pergi dulu mencari pusat
Pek-eng-piauwkiok itu! Aku telah kesalahan tangan membunuh murid Siauw-lim-pai
dan semua itu hanya karena kejahatan dan kepalsuan orang-orang
Pek-eng-piauwkiok. Mungkin dua orang piauwsu yang mengawal dua peti terisi
mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam itu pun hanya petugas saja. Tentu
ketua piauwkiok itu yang menjadi biang keladi dan yang bertanggung jawab. Dia
yang harus menebus semua kesalahan ini. Setelah aku menghukum orang yang
menjadi biang keladi peristiwa di hutan itu, yang menjadi pembunuh dua orang di
antara Siauw-lim Chit-kiam, barulah aku akan mengajakmu pergi ke
Slauw-lim-pai."
'Tapi, ke mana kau akan
mencari Pek-eng-piauwkiok, Koko? Kita tidak mengenal mereka….."
"Wah, kau bodoh sekali,
Lulu! Kita pergi saja ke jurusan dari mana mereka datang, kemudian kita
bertanya-tanya orang, apa sukarnya?" Tanpa memberi kesempatan kepada
adiknya yang cerewet itu membantah lagi, Han Han menyambar tangan Lulu dan
digandengnya, kemudian mengajak dara itu pergi meninggalkan tempat itu. Biarpun
lama berada di Putau Es, namun Han Han masih belum kehilangan kecerdikannya
kalau tak dapat dikatakan dia makin cerdik karena ada sesuatu yang aneh dalam
dirinya, yang membuat otaknya dapat bekerja, lebih cepat. Tepat seperti yang
diduganya, dengan mudah mereka dapat mencari keterangan tentang Pek-eng-piauwkiok.
Piauwkiok yang besar dan terkenal ini berada di kota Kwan-teng, dan dua orang
muda itu segera pergi ke kota Kwan-teng, tidak peduli akan tatapan pandang mata
keheranan dan kagum dari orang-orang yang berjumpa dengan mereka. Heran melihat
Han Han yang aneh dan rambutnya riap-riapan, kagum menyaksikan Lulu yang cantik
jelita. Pandang mata heran dan kagum ini lama-lama terbiasa bagi mereka. Di
dalam hatinya, Han Han mengambil keputusan untuk menebus semua pembunuhan. yang
ia lakukan di hutan tadi, pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan seakan-akan di
luar kesadarannya. Entah bagaimana, sekali bertemu tanding, ia mendapat
perasaan gembira dan senang sekali merobohkan para lawannya tanpa dasar
apa-apa! Dan begitu keluar pulau, dia telah melakukan pembunuhan terhadap
orang-rang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dua partai persilatan yang besar!
Karena itu, dia harus membereskan urusan ini, mencari siapa yang bersalah dan
siapa yang menjadi biang keladinya.
***
Memang tidak salah pendapat
Han Han bahwa Hoa-san-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar dan
terkenal, sungguhpun tidaklah sebesar partai Siauw-lim-pai yang seolah-olah
menjadi sumber partai persilatan di Tiongkok. Hoa-san-pai yang berpusat di
puncak Gunung Hoa-san itu mempunyai banyak sekali anak murid yang pandai-pandai
dan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anak murid Hoa-san-pai adalah
tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai
pendekar-pendekar pembela keadilan.
Pek-eng-piauwkiok dipimpin
oleh Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu
silatnya. Di dalam anak tangga tingkat Hoa-san-pai, Tan Bu Kong menduduki
tingkat lima. Di samping para sutenya yang tentu saja lebih rendah tingkatnya,
dia telah berhasil membuat nama besar, tidak hanya mengakibatkan kemajuan dan
keuntungan piauwkiok yang ia pegang, akan tetapi juga sekaligus mengangkat nama
besar Hoa-san-pai. Apalagi karena di samping perusahaannya ini diam-diam
Pek-eng-piauwkiok menjadi tempat pertemuan tersembunyi di antara para patriot
yang melakukan gerakan menentang pemerintah penjajah Mancu.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Pek-eng-piauwkiok didatangi seorang gadis Mancu yang cantik
jelita dan juga aneh, yang mengirimkan dua buah peti panjang dengan biaya amat
mahal itu. Setelah dua buah peti itu diberangkatkan, hati Tan Bu Kong yang
menjaga di rumah menjadi amat tidak enak dan selalu gelisah. Dia memerintahkan
anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan hatinya makin tidak enak
ketika sampai sore sutenya yang ia suruh mengikuti dan menyelidiki gadis Mancu
itu belum juga kembali. Sutenya itu, Teng Lok, memiliki kepandaian yang boleh
diandalkan dan terutama sekali ginkangnya amat tinggi, tidak kalah oleh dia
sendiri. Mengapa sampai sore belum juga sutenya itu kembali?
Menjelang malam, Tan-piauwsu
mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia, meloncat dan berlari keluar
dengan jantung berdebar, siap menghadapi segala kemungkinan karena agaknya para
anak buahnya ribut-ribut oleh sesuatu yang tentunya tidak beres. Ketika ia tiba
di luar dan memandang, wajahnya menjadi pucat dan cepat ia menyongsong ke depan
dan berseru.
"Teng-sute…..!"
Adik seperguruannya itu sedang
digotong oleh anak buahnya dan agaknya begitu tiba di depan gedung piauwkiok,
adik seperguruannya itu roboh pingsan. Tidak aneh kalau melihat keadaannya yang
demikian mengerikan. Lengan kanannya buntung sebatas siku dan lehernya terluka
mengeluarkan darah. Cepat orang she Teng ini digotong masuk direbahkan di atas
dipan dalam kamar. Setelah menerima perawatan, akhirnya dia mengerang dan
siuman. Luka di lehernya tidak membahayakan, hanya lengannya yang bunltung itu
benar-benar mengerikan. Ketika ia menengok dan memandang suhengnya duduk di
situ menjaganya, ia mengeluh.
"Ahhh, Suheng….. untung
siauwte masih hidup….. dan dapat bercerita kepada Suheng……"
Tan Bu Kong menekan pundak
sutenya dan dengan terharu berkata, "Tenanglah, Sute dan ceritakan
perlahan-lahan dan seenaknya, engkau masih amat menderita….”
"Tidak, harus sekarang
juga Suheng dengar. Gadis Mancu itu bukan manusia! Dia seperti iblis! Ketika
aku mengikuti keretanya, kusangka tidak ada yang tahu dan aku terus
membayanginya sampai kereta itu berhenti di luar kota raja di mana terdapat
sebuah gedung peristirahatan yang mewah, entah punya siapa, yang jelas tentu milik
seorang pembesar Mancu. Diam-diam aku lalu menyelidik dan akhirnya aku dapat
membekuk seorang pelayan, kuseret keluar dan di bawah ancaman, dia mengaku
bahwa gedung itu tempat peristirahatan Puteri Nirahai yang katanya adalah
puteri Kaisar Mancu dari selir. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba
terdengar suara ketawa merdu dan gadis Mancu itu telah berada di situ tanpa
kuketahui sama sekali. Dia menyindir bahwa aku sejak tadi membayangi keretanya
dan untuk kelancangan itu aku harus dihukum. Aku menyatakan bahwa sebagai
pimpinan piauwkiok, aku wajib mengetahui alamat pengirim barang. Dia tidak
peduli dan minta supaya aku membuntungi lengan kananku dengan pedang
sendiri!"
“Ah….., terang dia bersikap
tidak baik terhadap kita!" kat a Tan Bu Kong marah.
"Bukan hanya tidak baik,
bahkan telah direncanakannya, Suheng! Aku tentu saja tidak mau dan hendak
pergi, akan tetapi aku selalu terguling roboh setiap kali tangannya bergerak
mendorongku. Agaknya dia memiliki sinkang yang luar biasa dan dengan pukulan jarak
jauh selalu merobohkan aku setiap aku hendak pergi. Aku menjadi marah, mencabut
pedang dan menyerang gadis penjajah laknat itu!" Muka Teng Lok menjadi
merah karena ia masih penasaran dan marah terhadap gadis bangsa Mancu itu.
"Lalu bagaimana,
Sute?"
"Dia lihai sekali. Entah
bagaimana aku sendiri tidak tahu, tiba-tiba pedangku telah dirampasnya dan di
lain saat, lenganku telah terbabat buntung dan leherku terluka. Hanya dengan
mengandalkan ginkang saja aku dapat melarikan diri untuk melapor kepadamu, Suheng."
Pucat wajah Tan Bu Kong, pucat
karena kaget dan marah. Dia maklum akan gawatnya persoalan. Andaikata gadis itu
bukan puteri Mancu, apalagi puteri kaisar sendiri, tentu dia akan mengerahkan
tenaga untuk mendatangi dan membalas semua ini. Akan tetapi gadis itu adalah
puteri Mancu, kalau diganggu, tentu berarti merupakan perang terbuka menentang
Pemerintah Mancu dan hal ini akan menyeret pula Hoa-san-pai!
“Itu belum semua,
Suheng," kata pula Teng Lok sambil memandang wajah suhengnya yang
berkerut. "Ketika aku lari, aku tahu bahwa jika dia menghendaki, tentu dia
akan dapat mengejar dan membunuhku. Akan tetapi dia hanya tertawa dan
mengatakan bahwa kita harus bersiap-siap menanti serbuan orang-orang
Siauw-lim-pai. Entah apa maksudnya, akan tetapi aku khawatir sekali, Suheng.
Gadis itu seperti iblis betina yang entah pekerjaan terkutuk apa yang sedang
dia lakukan….."
"Hemmm….., tentu ada
hubungannya dengan peti-peti itu. Baik kitat unggu saja dan engkau
beristirahatlah, Sute sambil merawat diri. Kelak, karena lengan buntung, tentu
Suhu akan dapat memberi ilmu yang khusus untukmu. Sementara ini, aku akan
memperkuat penjagaan, bersiap menanti datangnya bahaya yang terasa benar olehku
sedang mengancam kita."
Semenjak sore hari itu, sampai
tiga hari tiga malam lamanya, Tan Bu Kong makin gelisah, duduk salah berdiri
pun tak enak, makan tak sedap tidur tak nyenyak, dan selalu menanti-nanti
kembalinya rombongan sutenya yang pergi mengawal dua buah peti itu ke selatan.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika pada suatu sore, sepekan
kemudian, rombongan anak buahnya berlari-lari datang dengan wajah kusut, tanpa
membawa kereta piauwkiok dan tanpa dipimpin oleh dua orang sutenya yang
bertugas mengantar dua buah peti itu. Tan-piauwsu membentak para anak buahnya yang
bercerita simpang-siur dan amat gaduh, lalu memerintahkan seorang di antara
mereka, yang tertua, menceritakan semua pengalamannya.
Piauwsu tua itu bercerita
sambil mencucurkan air mata, menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa
kereta mereka dihadang oleh serombongan anak murid Siauw-lim-pai yang hendak
memaksa membuka dua buah peti itu, kemudian betapa mereka bertanding meJawan
anak-anak murid Siauw-lim-pai dan munculnya seorang pemuda aneh yang rambutnya
riap-riapan bersama seorang dara remaja jelita yang secara mengerikan telah
merobohkan dan menewaskan tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, kemudian betapa
muncul seorang gadis anak murid Siauw-lim-pai yang lihai dan yang membuka dua
buah peti dengan secara paksa.
"Dibuka? Apa
isinya…..?" Tan-piauwsu bertanya dengan suara keras saking tegang hatinya.
"Isinya adalah dua mayat
manusia, mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam….”
"Hayaaa…..!!!" Tan
Bu Kong mencelat bangun dari kursinya dengan muka pucat sekali.
“Celaka….!"
Piauwsu itu lalu melanjutkan
ceritanya. Betapa gadis murid Siauw-lim-pai itu menyerang Si Pemuda aneh namun
dapat dikalahkan dan kemudian gadis itu membawa pergi jenazah-jenazah dalam
peti dan jenazah para anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian, dengan suara
terengah-engah dia menceritakan betapa pemuda aneh itu menjadi marah kepada
para piauwsu, dan dengan sekali gerakan telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun!
"Ahhh! Siapakah pemuda
yang ganas dan kejam itu?" Tan-piauwsu berseru dengan alis berdiri.
"Entahlah, hanya kami
mendengar gadis murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mengenalnya dan pemuda itu
malah menyebut Suci kepada murid Siauw-lim-pai itu, dan gadis itu menyebut
namanya Han Han….."
Akan tetapi, biarpun kedua
orang sutenya tewas, hal ini tidak mengurangi kekhawatiran hati Tan-piauwsu dan
kemarahannya terhadap Si Puteri Mancu. Sebagai seorang yang berpengalaman,
tahulah dia bahwa fihaknya, yaitu Pek-eng-piauwkiok yang tentu saja dapat juga
dianggap mewakili Hoa-san-pai, telah diadu domba secara licin dan keji sekali
oleh Puteri Mancu yang lihai itu! Pantas saja puteri itu menyindir kepada
sutenya, Teng Lok bahwa Hoa-san-pai harus bersiap-siap untuk menghadapi
penyerbuan Siauw-Hm-pai! Kini jelaslah sudah bahwa dua orang tokoh Siauw-Hm-pai
itu, kedua orang dari Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh oleh puteri Mancu yang
kemudian memasukkan dua jenazah itu ke dalam peti dan sengaja menyuruh
Pek-eng-piauwkiok mengawalnya ke selatan. Dan ia dapat menduga pula bahwa tentu
fihak Siauw-lim-pai secara diam-diam diberi tahu oleh puteri iblis itu sehingga
mereka menghadang kereta dan minta lihat isi peti! Hal ini kalau dipikirkan
amat sederhana, sebuah tipu muslihat yang mudah, akan tetapi betapa kejinya!
Tentu saja fihak Siauw-lim-pai berkeyakinan bahwa dua orang tokoh mereka itu
terbunuh oleh Hoa-san-pai dan tentu akan timbul dendam dan bentrokan hebat
antara kedua partai besar ini.
Tan-piauwsu termenung. Si
pembuat urusan ini adalah puteri Mancu itu, tak salah lagi, sungguhpun ia
bergidik kalau mengingat betapa dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam sampai
dapat terbunuh! Padahal dia tahu bahwa Siauw-lim Chit-kiam adalah tujuh orang
tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, yang memiliki tingkat ilmu kepandaian amat
hebatnya, masing-masing merupakan tokoh Siauw-lim-pai tingkat tiga! Kalau biang
keladinya adalah puteri Mancu, dan yang menjadi korban adalah Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai, dua buah partai yang menentang Mancu, maka mudah saja diduga
sebabnya! Tentu fihak Pemerintah Mancu sengaja mengadu domba Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai agar dua partai yang me musuhi Mancu ini menjadi lemah dan saling
gempur sendiri. Dan hal ini amatlah berbahaya!
Malam hari itu juga Tan Bu
Kong menyuruh seorang sutenya untuk pergi keHoa-san, miengabarkan peristiwa
hebat ini kepada pimpinan Hoa-san-pai agar dapat mengambil langkah-langkah
seperlunya untuk-mencegah terjadinya pertentangan hebat antara Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai yang akan timbul sebagai akibat taktik adu domba yang amat keji
itu. Juga mengundang tokoh-tokoh sakti Hoa-san-pai untuk diajak mengambil tindakan
terhadap puteri Mancu yang amat sakti dan aneh itu, karena dia maklum bahwa dia
sendiri takkan mungkin dapat mengalahkan puteri Mancu yang telah berhasil
membunuh dua orang sakti seperti dua di antara Siauw-lim Chit-kiam. Atau,
andaikata bukan puteri itu yang membunuh, karena dia masih tidak percaya
seorang puteri remaja seperti itu akan sanggup membunuh dua di antara Siauw-lim
Chit-kiam, tentu ada orang sakti di belakang puteri itu yang tentu akan
melindungi Sang Puteri.
Pada keesokan harinya, tanpa.
disangka-sangka muncullah seorang pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan
bersama seorang gadis baju kuning yang cantik manis. Kedatangan dua orang in
sedikit menghibur hati Tan Bu Kong karena mereka itu, biarpun terhitung sute
dan sumoinya, namun murid-murid dari supeknya ini memiliki ilmu kepandaian yang
jauh melampauinya! Sutenya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggi
besar, usianya dua puluh tahun lebih, gerak-geriknya halus, wajahnya periang
dan peramah, namun sesungguhnya dia inilah pendekar muda Hoa-san-pai yang
berjuluk Hoo-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san)! Adapun gadis cantik
manis berusia antara delapan belas tahun itu pun bukan sembarang orang karena
dialah tokoh kang-ouw yang amat terkenal yang berjuluk Hoa-san Kiam-li (Dewi Pedang
Hoa-san)! Biarpun masih muda, dua orang pendekar Hoa-san ini telah membuat nama
besar dengan perbuatan-perbuatan mereka yang menggemparkan dalam membela
kebenaran dan keadilan.
Ketika melihat wajah suheng
mereka yang keruh, pemuda dan dara ini cepat bertanya apa yang terjadi sehingga
menyusahkan hati Tan-piauwsu.
"Kami berdua menerima
pesan Suhu untuk datang membantu usaha Suheng menghimpun orang-orang gagah yang
bergerak menentang kekuasaan penjajah Mancu," kata pemuda tampan itu.
"Mengapa Suheng kelihatan tidak bersemangat dan berduka?”
Dapat dibayangkan betapa kaget
hati dua orang muda perkasa itu ketika tiba-tiba Tan-piauwsu mengeluh, menarik
napas panjang dan matanya menjadi basah dengan air mata! Suheng mereka, yang
gagah perkasa dan banyak penga.laman di dunia kang-ouw itu, menangis! Tentu
terjadi sesuatu yang amat hebat!
"Sute dan Sumoi,
kedatangan kalian ini merupakan cahaya penerang bagi hatiku yang sedang gelap,
akan tetapi aku membutuhkan bantuan para Lo-cian-pwe, para Susiok dan Suhu kita
di Hoa-san-pai karena tanpa mereka, kiranya sukar untuk membikin terang perkara
yang amat gelap in!" Tan Bu Kong lalu menceritakan semua peristiwa yang
terjadi semenjak puteri Mancu itu menitipkan dua buah peti untuk dikirim ke
selatan.
Mendengar semua itu, Hoa-san
Gihiap mengepalkan tinjunya. "Ah, jelas. Puteri Mancu itulah yang mengatur
semua rencana terkutuk itu! Biarlah aku akan pergi menangkapnya, kemudian
menyeretnya ke Siauw-lim-pai, memaksanya mengaku akan semua perbuatannya. Hanya
dengan jalan itu, semua perkara dapat dlbereskan, Suheng."
"Betul pendapat
Wan-suheng!" kata Hoa-san Kiam-li penuh semangat. "Biar aku membantu
Wan-suheng menangkap iblis betina yang palsu itu!"
Tan Bu Kong mengangkat tangan
dan menggeleng kepala. "Bukan aku kurang percaya akan kesanggupan Sute dan
Sumoi, akan tetapi sungguh sembrono sekali kalau hal itu dilakukan. Pertama,
ada kemungkinan puteri itu memiliki kelihaian yang amat luar biasa kalau benar
dia yang membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam. Kelihaiannya telah dirasakan
oleh Suheng kalian Teng Lok, akan tetapi akan lebih hebat lagi kalau dia dapat
membunuh dua orang Locian-pwe dari Siauw-lim-pai itu. Selain itu, mungkin dia
mempunyai kawan-kawan yang berilmu tinggi dan hal ini tidak mengherankan kalau
diingat betapa datuk-datuk besar golongan hitam banyak yang menghambakan diri
kepada penjajah Mancu. Hal itu saja sudah menjadi sebab yang harus kita
perhatikan dan sama sekali tidak boleh dianggap ringan. Ada lagi hal yang harus
dipikirkan masak-masak sebelum kalian mengambil keputusan untuk menangkap
puteri itu. Dia adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri, sungguhpun puteri
selir namun kedudukannya amat tinggi sehingga kalau sampai dia kita tawan,
tentu akan timbul geger dan Hoa-san-pai tentu akan diserang secara terang-terangan
oleh bala tentara Mancu. Dalam hal ilmu kepandaian, tentu Sute dan Sumoi jauh
melampaui aku, namun dalam hal pengalaman, aku jauh lebih tua dan lebih banyak
mengalami hal-hal yang sulit. Sehaiknya, Sute dan Sumoi secara diam-diam
melakukan penyelidikan terhadap Puteri itu. Tentu saja kalian harus
berhati-hati, jangan sampai terjadi hal yang menimpa diri Sute Teng Lok. Cukup
kalau Sute dan Sumoi mengetahui latar belakang puteri itu, apakah ada
orang-orang sakti di sana, dan siapa sesungguhnya puteri yang aneh dan lihai
itu."
Mau tidak mau kedua orang muda
perkasa itu harus tunduk dan merasa kagum akan pandangan yang luas dari suheng
mereka itu. Mereka menyanggupi dan pertemuan antara murid-murid seperguruan itu
dilanjutkan dengan makan minum dalam suasana prihatin.
"Sebaiknya Sute dan Sumoi
melakukan penyelidlkan di waktu siang saja agar tidak berbahaya. Kita menanti
kembalinya utusanku ke Hoa-san, dan setelah para Locianpwe dari Hoa-san tiba,
barulah kita mengambil keputusan berdasarkan pendapat beliau-beliau itu, agar
sepak terjang kita tidak simpang-siur." Demikian pesan Tan Bu Kong yang
dipatuhi oleh dua orang adik seperguruannya.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali dua orang muda perkasa itu sudah meninngalkan piauwkiok dan
melakukan penyelidikan ke tempat yang ditunjuk oleh teng Lok, yaitu di luar
kota raja yang tidak begitu jauh dari situ, hanya dalam jarak perjalanan
seperempat hari saja.
Pada sore harinya menjelang
senja, selagi Tan-piauwsu dan para anak buahnya duduk menanti kedua orang
sutenya itu, juga menanti berita dari Hoa-san, tiba-tiba muncul dua orang muda
di depan pintu gerbang piauwkiok. Melihat mereka ini, para pengawal yang tempo
hari ikut mengawal dua peti jenazah, menjadi pucat dan gugup. Ada yang
berbisi-bisik.
“Dia datang…! Dia datang….!!”
Ketika Tan Bu Kong menengok
dan melihat seorang pemuda yang berambut panjang riap-riapan, berwajah tampan
dan aneh, sinar matanya tajam sekali dengan sikap tenang muncul di depan pintu
menggandeng tangan seorang dara remaja yang cantik jelita, kemudian mendengar
suara orang-orangnya, hatinya berdebar dan ia dapat menduga bahwa tentu inilah
pemuda aneh yang telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai dan membunuh
pula dua orang sutenya, yaitu Lie Cit San dan Ok Sun. Sejenak Tan-piauwsu
terbelalak keheranan, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang dikabarkan
amat aneh dan amat lihai itu hanyalah seorang pemuda remaja yang kelihatannya
terlalu tenang dan terlalu lemah, bahkan terlalu sederhana mendekati tidak
normal! Yang membiarkan rambutnya terurai seperti itu biasanya hanyalah kaum
pertapa yang tidak peduli lagi akan keadaan dirinya!
"Apakah di sini
Pek-eng-piauwkiok?" Han Han, pemuda itu, bertanya sambil memandang ke arah
Tan-piauwsu yang baru muncul dari dalam dengan langkah lebar.
Tan Bu Kong mengangkat kedua
tangan depan dada sebagai penghormatan sambil menjawab, "Benar, di sini
adalah kantor Peng-eng-piauwkiok. Kalau Siauw-enghiong (Pemuda Gagah) ada
keperluan, silakan masuk, kita bicara di dalam!"
Betapapun juga, Han Han yang sudah
hafal akan sopan santun dan belajar tentang kebudayaan dan kesusastraan
semenjak kecil, menjadi kikuk juga dan terpaksa ia pun membalas dengan
mengangkat kedua tangan depan dada sambil melangkah masuk, diantar oleh tuan
rumah memasuki ruangan dalam yang luas. Di belakang Tan-piauwsu, para pengawal
mengikuti dengan wajah tegang. Teng Lok masih beristirahat di dalam kamarnya
dan di situ hanya terdapat empat orang sute Tan-piauwsu yang tingkat
kepandaiannya belum dapat diandalkan, sungguhpun tentu saja sebagai murid-murid
Hoa-san-pai jauh lebih lihai daripada semua pengawal yang bekerja di
Pek-eng-piauwkiok.
"Siauw-enghiong dan
Lihiap, silakan duduk," kata Tan-piauwsu.
Akan tetapi Han Han tetap
berdiri dan Lulu juga berdiri karena melihat kokonya tidak duduk. Gadis ini
hanya memandang ke kanan kiri, mengagumi perabot rumah yang biarpun tidak
seindah perabot di Istana Pulau Es, namun jauh berbeda. Han Han berkata dengan
kening dikerutkan.
"Harap tidak usah
repot-repot karena saya datang untuk mencari pemimpin Pek-eng-piauwkiok."
Tan-piauwsu memandang tajam,
lalu menjawab, “Saya Tan Bu Kong adalah pemimpin Pek-eng-piauwkiok. Enghiong
siapakah dan ada keperluan apa mencari saya?" Sebagai seorang yang
berpengalaman, piauwsu ini tidak langsung menyatakan mengenai pemuda ini,
melainkan pura-pura bertanya akan maksud kedatangan pemuda itu yang, memang
belum dapat ia menduganya.
"Bagus sekali! Jadi
engkau pemimpin piauwkiok ini? Tan-piauwsu, tidak perlu main sandiwara lagi!
Tentu orang-orangmu telah menceritakan betapa aku telah membunuh kedua orang
pembantumu. Engkau tentu yang bertanggung jawab tentang pengiriman dan
pembunuhan dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dua orang di antara Siauw-lim
Chit-kiam. Karena itu, aku datang untuk membunuhmu sebagai tebusan kejahatanmu.
Bersiaplah!" Han Han sudah bergerak hendak memukul.
"Nanti dulu,
Siauw-enghiong! Yang kaubunuh itu adalah dua orang Suteku, justeru aku ingin
bertanya mengapa engkau membunuh mereka? Dan mengapa pula engkau hendak
membunuhku?”
"Sudah jelas, kalian
telah membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dan memasukkan jenazah mereka
dalam peti. Karena salah sangka, aku membantu orang-orangmu dan kesalahan
tangan membunuh orang-orang Siauw-lim-pai. Engkaulah yang bertanggung jawab.
Aku bukan algojo, tukang bunuh orang tanpa sebab, maka engkau yang menjadi
biang keladinya harus menebus dosa!" Setelah berkata demikian, Han Han
menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan dengan jari tangan terbuka.
"Wesssss….!" Angin
pukulan yang amat dingin menyambar. Tan-piauwsu mengenal tenaga sakti yang
menyambar ganas. Ia berseru kaget dan cepat ia meloncat ke kanan untuk
mengelak. Sebuah meja yang berdiri dua meter dibelakangnya menggantikannya kena
sambaran tenaga pukulan itu dan pecah berantakan, terlempar sapai jauh!
Tan Bu Kong merasa ngeri, dan
cepat ia melompat mundur sambil berseru, "Nanti dulu, Siauw-enghioog! Aku
sama sekali tidak mengerti tentang jenazah-jenazah itu. Bukan kami yang
bertanggung jawab, kami pun terperosok dalam perangkap musuh…."
“Sudah ada bukti hendak
menyangkal lagi? Koko, orang ini pintar mainkan lidah, jangan kena dibohongi.
Sikat saja!” kata Lulu yang ingin agar urusan ini cepat selesai sehingga ia
dapat mengajak kakaknya mencari lauw Sin Lian agar dapat ia bertanya tentang
musuh besarnya, ayah dari gadis itu.
Han Han juga berpendapat
seperti Lulu. Sudah jelas buktinya bahwa peti-peti yang berisi jenazah itu
diangkut oleh Pek-eng-piauwkiok, dan jelas pula bahwa ketika orang-orang
Siauw-lim-pai minta supaya peti-peti itu dibuka, para pengawal Pek-eng-piauwkiok
rnencegahnya mati-matian. Andaikata bukan orang Siauw-lim Chit-kiam, setidaknya
Pek-eng-piauwkiok tentu bersekutu untuk rahasiakannya.
"Tidak perlu banyak cakap
lagi!" katanya karena hatinya amat kesal kalau ia teringat betapa ia telah
membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan karenanya Sin Lian,
gadis yang dahulu amat baik terhadap dirinya, yang telah berkali-kali
menolongnya, dan yang dengan rajin sekali memberi petunjuk-petunjuk kepadanya
ketika ia mula-mula berlatih silat, menjadi marah-marah dan membenci kepadanya.
Ia memukul lagi dengan tangan kirinya. Akan tetapi Tan-piauwsu yang sudah siap
sedia dan yang melihat gerakan pemuda aneh itu maklum betapa pemuda itu
gerakannya kaku namun memiliki hawa sakti yang menggiriskan, telah berkelebat
cepat, mempergunakan ginkangnya meloncat tinggi dan melewati tubuh Han Han
sambil mengayun tangan menotok pundak pemuda itu. Tan Bu Kong berjuluk Hoa-san
Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san), dan julukan ini saja menunjukkan bahwa dia
dapat bergerak tangkas dan cepat seperti seekor burung garuda putih.
Kecepatannya yang luar biasa ini membuat Han Han tak dapat menghindarkan
totokan sehingga dua jari tangan piauwsu itu dengan keras menotok pundaknya.
"Dukkk!"
"Aduhhhhh….!" Bukan
Han Han yang mengaduh, melainkan Tan-piauwsu sendiri karena tulang kedua jari
tangannya hampir patah ketika ia menotok pundak yang keras dan panas seperti
besi membara! Han Han menjadi marah, lalu memutar tubuhnya sehingga kedua
kakinya bersilang, tangan kanan diayun ke depan mendorong ke arah tubuh
Tan-piauwsu yang baru saja turun ke atas lantai.
"Aihhh….!!" Tan Bu
Kong cepat meloncat lagi ke atas.
"Byarrr….!!" Pukulan
tangan kanan Han Han mengandung tenaga sakti Yang-kang dan karena pukulannya
dielakkan, maka hawa pukulannya terdorong terus menghantam tiang balok besar.
Separuh dari tiang kayu itu rontok dan mengepulkan asap, sebagian besar gosong
seperti terbakar api!
Tan-piauwsu dan para sutenya
yang menyaksikan kehebatan pukulan ini, menahan napas dan mereka telah bersiap-siap
untuk mengeroyok. Namun Han Han tidak mempedulikan mereka, terus mengejar
Tan-piauwsu yang mempergunakan gerakan-gerakan ginkang untuk menghindarkan diri
dari setiap pukulan jarak jauh.
Betapapun cepat gerakan
Tan-piauwsu, ternyata gerakan Han Han yang memiliki tingkat sinkang jauh lebih
kuat masih menang cepat! Pemuda ini mulai meloncat-loncat pula sehingga dalam
belasan kali serangan saja, Tan-piauwsu telah kehilangan lubang untuk mengelak,
sehingga ketika ia untuk ke sekian kalinya meloncat ke atas untuk menghindarkan
diri, ia kurang cepat dan pundak kirinya masih terkena sambaran hawa sakti dari
dorongan tangan kiri Han Han. Biarpun tidak tepat kenanya, hanya diserempet
saja, namun tubuh Tan-piauwsu terguling dan dia menggigil karena kedinginan.
Namun, piauwsu yang sudah banyak pengalaman ini masih sempat mencegah
sute-sutenya dengan teriakan,
"Sute, mundur
semua!" Dan ia sendiri lalu meloncat ke atas karena dorongan tangan
kanan Han Han telah menyusulnya.
"Desssss!"
lantai menjadi berlubang dan mengepulkan asap ketika terkena sambaran hawa yang
keluar dari tangon kanan pemuda sakti itu. Ia mulai merasa penasaran dan ketika
ia hendak menerjang tubuh Tan-piauwsu yang masih melambung itu tiba-tiba
berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, kemudian tahu-tahu
tubuh Tan-piauwsu telah disambar orang itu sehingga kembali pukulan Han Han
luput!
Ternyata yang datang dan
sempat menolong Tan-piauwsu dari bahaya maut itu adalah seorang pemuda tampan
sekali, bertubuh tinggi besar dan di belakangnya berdiri seorang gadis cantik
yang sudah mencabut pedang dan sikap keren berdiri memandang Han Han.
Pemuda itu adalah Hoa-san
Gi-hiap dan gadis itu bukan lain adalah sumoinya, Hoa-san Kiam-li. Mereka
berdua baru saja pulang dari penyelidikan mereka ke gedung tempat tinggal
puteri Mancu. Ketika mereka memasuki piauw-kiok, mereka melihat pertandingan
itu dan terkejut sekali mereka menyaksikan suheng mereka terancam bahaya.
Hoa-san Gi-hiap yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada Tan-piauwsu,
sekali pandang saja maklum bahwa pemuda rambut panjang itu memiliki sinking
yang luar biasa sekali dan bahwa untuk menolong suhengnya, jalan satu-satunya
hanya menyambar tubuhnya dan membawanya pergi. Maka ia cepat meloncat,
menggunakan ginkangnya dan un tung ia tidak terlambat sehingga Tan-piauwsu
terhindar dari bencana maut.
"Siapakah engkau yang
datang membikin kacau di sini?" Hoa-san Gi-hiap menegur setelah ia
menurunkan tubuh Tan Bu Kong yang segera bersila di lantai sambil mengatur
napas untuk melawan hawa dingin yang menerobos masuk melalui pundaknya.
"Hemmm, dan kau sendiri
siapa berani berlancang tangan mencampuri urusan orang lain?" Han Han juga
menegur.
Dua orang muda itu berhadapan,
saling memandang dengan sinar mata tajam. Mereka sama tinggi, hanya Han Han
kalah gemuk karena dia memang agak kurus, sama tampan dan usia mereka pun
agaknya sebaya. Para murid Hoa-san-pai dan para pengawal memandang dengan hati
tegang. Pemuda rambut riap-riapan itu lihai sekali, akan tetapi mereka pun
maklum bahwa pemuda tokoh Hoa-san-pai itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh
melampaui tingkat Tan-piawsu sendiri. Juga Hoa-san Kiam-li amat lihai sehingga
dengan adanya dua orang muda itu, hati mereka menjadi lega.
Han Han dan jago muda
Hoa-san-pai itu masih saling berpandangan, tidak menjawab pertanyaan
masing-masing yang sama maksudnya. Akan tetapi pandang mata mereka kini
berubah, tidak lagi penuh penasaran dan kemarahan seperti tadi, melainkan penuh
keheranan, keraguan dan menduga-duga.
"Ya Tuhan….!
Bukankah kau….. kau Sie Han? Yang dahulu disebut Han Han, jembel
baik budi yang membagi-bagi
roti?" Hoa-san Gi-hiap berseru penuh keheranan.
"Dan kau….., jembel cilik
nakal, kau Wan Sin Kiat yang dahulu kepingin menjadi perwira! Benarkah?"
teriak Han Han.
Dua orang muda itu saling
pandang, kemudian tertawa bergelak lalu saling tubruk, saling rangkul sambil
tertawa-tawa! Semua orang yang berada di situ memandang dengan mata terbelalak,
mereka tertegun dan hanya dapat mernandang dua orang muda yang tadinya
diharapkan akan bertanding dengan hebat kini malah berpelukan dan tertawa-tawa
itu.
"Koko, siapakah dia ini?
Jembel cilik nakal? Kawan jembelmu di waktu kecil? Wah, ketika aku dahulu
menjadi jembel cilik, aku tidak punya sahabat baik!" kata Lulu yang
menghampiri mereka.
Han Han masih tertawa-tawa
ketika ia melepaskan rangkulannya dari pundak Sin Kiat atau Hoa-san Gi-hiap
itu. Ia lalu menoleh kepada adiknya.
"Lulu, dia ini
bernama Wan Sin Kiat, sahabat baikku, seorang jantan tulen! Sin Kiat, ini
Adikku, namanya Lulu. Manis, ya?"
Sin Kiat yang tentu saja tidak
biasa dengan sikap tulus wajar seperti itu, menjura kepada Lulu dengan muka
merah. Jantungnya terasa seperti copot tersendal keluar oleh sinar mata yang
menyorot dari sepasang mata yang seperti in tang kembar itu. Ia menahan napas
karena harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan
seorang dara sejelita ini. Dan dara ini adik Han Han!
Setelah menjura dengan hormat
tanpa dibalas oleh Lulu yang hanya memandang kagum melihat wajah tampan dan
sikap halus ramah itu, Sin Kiat menoleh kepada sumoinya yang juga sudah
menghampiri mereka. "Han Han, dia adalah Sumoiku, namanya Lu Soan Li.
Sumoi, inilah Sie Han, sahabat baikku di waktu kecil!"
Han Han masih ingat untuk
melakukan penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan dada, akan tetapi
mulutnya langsung menyatakan isi hatinya tanpa disadarinya,
"Nona cantik
sekali!"
Lu Soan Li menjadi merah
mukanya, semerah udang direbus dan semua orang mendengarkan sambil menahan
napas. Akan tetapi Soan Li tidak marah, hanya tersenyum dan membalas
penghormatan Han Han.
"Sute! Apa artinya ini?
Dia…. dia sahabatmu?" Tiba-tiba Tan Bu Kong menegur dan piauwsu ini sudah
dapat berdiri, memandang dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan penasaran.
Sin Kiat teringat akan suhengnya.
"Suheng, dia ini Sie Han, sahabatku. Han Han, dia ini Tan-suheng. Eh,
mengapa kau tadi bertempur melawan Suheng? Kau hebat bukan main, untung aku
keburu datang. Kenapakah kau memusuhi Suhengku yang baik hati ini?"
Alis Han Han berkerut.
"Ah, dia Suhengmu, Sin Kiat? Hemmm sungguh tidak menyenangkan sekali.
Harap kauingat akan persahabatan kita dan jangan mencampuri urusan ini. Aku
datang hendak membunuh orang jahat ini!"
"Eh, apa artinya ini? Han
Han, mengapa begitu?"
"Sute, mengapa engkau
begini lemah? Biarpun di waktu kecil sahabat, akan tetapi sekarang dia musuh
besar kita! Dia seorang kejam yang telah membunuh kedua Suhengmu Lie Cit San
dan Ok Sun!"
Sin Kiat dan Soan Li melangkah
mundur sampai tiga tindak dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat, dia terheran-heran
dan sejenak menjadi bingung mendengar keterangan yang baginya seperti
halilintar menyambar ini. "Han Han! Benarkah itu? Engkau yang membunuh dua
orang Suhengku yang mengawal kereta?"
Han Han mengangguk.
"Benar, Sin Kiat. Dan aku akan membunuh Tan-piauwsu ini pula, harap engkau
jangan mencampurinya!"
Dengan wajah pucat Sin Kiat
memandang sahabatnya di waktu kecil itu. "Han Han, benarkah engkau menjadi
begini kejam sekarang? Ceritakan mengapa engkau membunuh dua orang Suhengku
yang mengawal kereta dan mengapa pula kau hendak membunuh Tan-suheng. Aku sudah
mendengar penuturan para pengawal Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi sepak
terjangmu sungguh membuat aku tidak mengerti."
"Sin Kiat, bukan
urusanmu. Minggirlah!"
"Tidak! Kalau kau tidak
mau memberi penjelasan, lebih baik kau membunuh aku pula, dan tentu akan kucoba
melawanmu sekuatku."
Mereka berpandangan pula. Han
Han menghela napas. "Engkau keras kepala seperti dulu! Aku membunuh dua
orang piauwsu itu karena mereka jahat, mereka menyembunyikan jenazah dua orang
dari Siauw-lim Chit-kiam dalam kereta, melarang orang-orang Siauw-lim-pai
melihat jenazah, sehingga aku menjadi tertipu pula, membantu mereka dan
kesalahan tangan membunuh tujuh murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa. Karena
itu aku membunuh dua orang piauwsu itu dan kini aku akan membunuh pula
Tan-piauwsu yang sebagai pemimpin menjadi biang keladi utama!"
Sin Kiat mengangkat
tangannya."Wah, semua adalah kesalahfahaman yang amat besar! Semua adalah
sahabat-sahabat, baik antara Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai, maupun antara
engkau pribadi dengan kami. Kita semua telah menjadi korban perbuatan terkutuk,
korban tipu muslihat yang dipasang oleh puteri Mancu yang lihai itu..
Tan-suneng, Han Han tidak dapat dipersalahkan telah membunuh Lie-suheng dan
Ok-suheng setelah dia membantu mereka menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai. Han
Han, akulah yang menanggung bahwa kami semua, terutama Tan-suheng, sama sekali
tidak bersalah dalam urusan dua jenazah dalam peti. Mari kita bicara dan
dengarlah penuturanku." Sin Kiat menggandeng tangan Han Han, menariknya
duduk menghadapi meja besar di ruangan itu. Lulu mengikuti kakaknya, dan Soan
Li juga mengikuti suhengnya, kedua orang gadis ini tidak ikut bicara karena
maklum betapa tegangnya urusan antara mereka itu.
Setelah mereka mengambil
tempat duduk, Wan Sin Kiat menceritakan semua peristiwa yang terjadi dari
semula ketika gadis Mancu, yang ternyata adalah Puteri, Nirahai seperti ia
ketahui dari hasil penyelidikannya hari itu, mendatangi Pek-eng-piauwkiok
mengirimkan dua buah peti dengan biaya mahal namun dengan janji takkan dibuka
dan apabila tidak sampai di tempatnya, Pek-eng-piauwkiok akan dibasmi dan
dianggap pemberontak.
"Kami tidak mungkin dapat
menolak permintaannya yang luar biasa itu, Sie-enghiong," Tan-piauwsu
memotong cerita sutenya, "karena mengingat bahwa dia itu adalah seorang
puteri Kaisar sehingga apabila kami menolak, tentu kami akan dicap menentang
pemerintah. Dan sebagai orang-orang gagah yang memegang teguh janji, tentu saja
para pembantuku tidak mau membuka peti-peti .itu, biarpun dengan taruhan nyawa
karena hal itu telah menjadi tugas mereka. Kalau saja kami tahu bahwa isi dua
buah peti adalah jenazah manusia, apalagi jenazah kedua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam yang terkenal, biar dihukum mati sekalipun tentu saja kami
tidak sudi menerima permintaan puteri iblis itu."
Wan Sin Kiat lalu melanjutkan
ceritanya, selain tentang pengawal kereta yang dihadang oleh anak-anak murid
Siauw-lim-pai, juga tentang suhengnya, Teng Lok yang membayangi Puteri Nirahai
dan kemudian terbuntung lengannya. Ia menutup penuturannya dengan kata-kata,
"Nah, kau kini mengerti Han Han, bahwa peristiwa ini sama sekali bukanlah
kesalahan fihak kami, juga terutama sekali bukan kesalahan Tan-piauwsu. Semua
ini tentu telah diatur oleh puteri iblis itu yang sengaja hendak mengadu domba
antara fihak Hoa-san-pai dan fihak Siauw-lim-pai. Siasat kejinya itu pasti akan
berhasil baik dan kedua fihak tentu melakukan pertandingan saling membunuh
dalam hutan itu kalau saja tidak muncul engkau yang mengacaukan semua rencana
keji itu, akan tetapi biarpun mengacau, tetap saja merugikan kedua fihak karena
engkau yang masuk pula dalam perangkap telah membunuh tujuh anak murid
Siauw-lim-pai dan dua orang murid Hoa-san-pai. Keadaan ini gawat sekali, Han
Han. Betapapun juga, fihak Siauw-lim-pai tentu tidak mau menerima kematian
tujuh orang murid mereka sebagai tambahan kematian dua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam. Bagi mereka hal itu merupakan malapetaka hebat dan tentu
saja semua kesalahan ditimpakan kepada Hoa-san-pai karena engkau sendiri pun
tentu dianggap seorang dari Hoa-san-pai, atau setidaknya menjadi pembantu
Hoa-san-pai."
Han Han bukan seorang bodoh.
Ia segera dapat melihat, mengerti setelah mendengar penuturan itu. Mudah saja
diperkirakan bagaimana jalannya tipu muslihat yang licin itu. Hatinya merasa
menyesal dan kecewa sekali. Nasibnya benar-benar amat buruk. Dia telah membunuh
tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa karena salah sangka.
Kemudian, dalam marahnya oleh kesalahan tangan itu ia membunuh pula dua orang
murid Hoa-san-pai yang ternyata kemudian tidak berdosa pula! Han Han
mengerutkan keningnya, menggeleng kepala dan berkata.
“Aahhh…. kalau begitu semua
kesalahan tertimpa di pundakku! Baik Siauw-lim-pai maupun Hoa-san-pai tentu
menyalahkan aku karena aku telah membunuh anak murid mereka. Tan-piauwsu, harap
kaumaafkan kekasaranku tadi." Ia bangkit menjura kepada Tan-piauwsu yang
cepat membalas. Piauwsu ini memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya
baru sekali ini ia bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian
kuat sinkangnya.
"Engkau juga tidak boleh
terlalu disalahkan, Sie-enghiong. Andaikata engkau tidak turun tangan dan
terlibat dalam urusan ini, kurasa antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap
saja akan terjadi pertentangan yang mungkin membawa akibat lebih parah dan
lebih berlarut-larut lagi."
Sejenak keadaan menjadi sunyi,
semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing menghadapi urusan yang amat
tidak menyenangkan hati itu. Tiba-tiba terdengar suara Lulu.
"Wah, sialan benar, Koko!
Kau membantu rombongan piauwsu ternyata salah tangan membunuh murid-murid
Siauw-lim-pai yang tak berdosa! Kemudian kau membunuh dua orang piauwsu untuk
membela kematian murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata yang kaubunuh itu juga
tidak bersalah! Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk menolong orang, Koko!
Sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadamu!"
Semua orang tertegun. Dara
remaja yang cantik jelita ini bicaranya amat kasar, jujur dan tanpa sungkan-sungkan
lagi. Akan tetapi Sin Kiat memandang dengan mata kagum. Semenjak tadi, tiap
kali ia memandang Lulu, jantungnya berdebar tidak karuan dan setiapgerak-gerik
Lulu selalu menarik hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han Han, ia tersenyum
dan di dalam hati membenarkan dara ini seribu prosen! Memang demikianlah kalau
cinta kasih telah mencengkeram hati seorang pemuda. Apa pun yang dilakukan,
diucapkan dan dipikir dara yang dicintanya, selalu benar dan menarik hati!
Tanpa disadarinya sendiri, sekali bertemu dengan Lulu, Wan Sin Kiat pendekar
muda Hoa-san-pai ini telah bertekuk lutut, hatinya jungkir-balik dalam
cengkeraman asmara.
"Menurut pendapat saya,
Saudara Sie tidaklah salah. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dalam
pertempuran dan dengan dasar hendak berbuat baik. Pembunuhan atas diri tujuh
orang murid Siauw-lim-pai terjadi karena Saudara Sie mengira mereka itu
perampok yang hendak mengganggu rombongan pengawal Pek-eng-piauwkiok. Kemudian,
pembunuhan yang dia lakukan atas diri kedua orang Suheng kami pun didasari
pendapat bahwa mereka berdua itu amat jahat terhadap orang-orang Siauw-lim-pai.
Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie terlalu terburu nafsu, seandainya tidak
terburu nafsu dan agak sabar sambil meneliti keadaan, belum tentu terjadi hal
yang amat menyedihkan ini." Ucapan yang keluar dari mulut Lu Soan Li
terdengar sungguh-sungguh, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Han Han
penuh simpati dan pembelaan. Hal ini terasa pula oleh Han Han sehingga ia
bangkit menjura kepada nona itu sambil berkata.
"Nona Lu benar-benar amat
adil dan aku mengucapkan terima kasih, juga aku harus mengakui semua
kelancanganku yang telah mengakibatkan bencana ini. Biarlah akan kuhadapi semua
akibatnya, bahkan aku akan menghadap Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk
menerima hukuman kalau perlu!"
Jawaban ini memancing keluar
sinar mata yang penuh kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li. Seperti halnya
suhengnya yang sekaligus tergila-gila kepada Lulu, gadis pendekar Hoa-san-pai
ini pun amat tertarik akan pribadi Han Han yang aneh dan penuh dengan
sifat-sifat liar ganas namun gagah perkasa.
"Ah, engkau tidak boleh
dipersalahkan, Han Han!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berkata. "Yang
bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis betina itu! Aku bersama Sumoi
sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar bahwa dia itu adalah puteri
selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini dia sedang pergi ke kota
raja; agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya kepada Kaisar. Terkutuk benar
puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang amat jahat, penjajah laknat yang
sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini!" Dalam kemarahan terhadap penjajah
Mancu, Sin Kiat bangkit dari kursinya. Memang semua anak murid Hoa-san-pai
adalah patriot-patriot yang merasa marah melihat tanah air dijajah bangsa
Mancu, sehingga menimbulkan rasa benci kepada bangsa Mancu.
Tiba-tiba semua orang,
terutama sekali Sin Kiat sendiri, dikejutkan oleh bentakan Lulu yang sudah
bangkit berdiri pula lalu bertolak pinggang, matanya yang lebar memancarkan
kemarahan, sepasang pipinya menjadi merah sekali, mulutnya yang kecil cemberut,
kepalanya bergerak-gerak sehingga rambut yang dikepang dua itu bergoyang, satu
di depan dada, yang lain di belakang punggung. Manis bukan main dalam pandangan
Sin Kiat, akan tetapi pada saat itu pemuda ini memandang terbelalak dengan
kaget mendengar bentakan Lulu.
"Eihhh…… eihhhhh…..,
seenaknya saja membuka mulut, ya?!" Telunjuk tangan kirinya diangkat
menuding ke arah hidung Sin Kiat, sedangkan tangan kanannya masih bertolak
pinggang. "Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu bangsa
manusia dengan seladang gandum saja?"
Sin Kiat terbelalak heran.
"Apa….. apa….. maksudmu, Nona….?" Baru sekali ini selama hidupnya,
pendekar muda yang biasanya lincah, ramah, tabah dan pandai bicara itu
kehilangan akal dan menjadi gugup.
Lulu memandang tajam dengan
sepasang matanya yang lebar dan indah sehingga Sin Kiat menjadi makin bingung
dan gugup, seolah-olah menjadi seorang pesakitan yang menghadapi jaksa
penuntut. "Kalau ada beberapa batang gandum yang busuk, orang menganggap
seladang gandum itu busuk. Akan tetapi kalau ada beberapa orang Mancu jahat,
apakah patut kalau seluruh bangsa Mancu dianggap jahat semua? Kalau begitu,
karena aku mendengar bahwa banyak bangsa Han yang menjadi pengkhianat bangsa,
semua bangsa Han adalah pengkhianat, termasuk engkau! Dan aku tahu bahwa banyak
sekali perampok bangsa Han, maka semua bangsa Han adalah perampok, termasuk
engkau! Ada pula bangsa Han yang jahat sekali maka semua bangsa Han adalah
jahat, terutama engkau! Begitukah pendapatmu??"
Muka Sin Kiat menjadi merah,
kemudian pucat, dan dengan gugup ia berkata.
"Tentu saja tidak, dan….
eh, itu lain lagi…. akan tetapi…. ahhh, mengapa kau marah-marah karena aku
mencela bangsa Mancu yang menjadi musuh kita, Nona?"
"Tentu saja marah! Kau
mengatakan aku jahat dan patut dibasmi dari muka bumi, dan kau masih bertanya
mengapa aku marah? Hayo, kau basmilah aku! Kaukira
Han Han hanya memandang sambil
tersenyum. Rasakan kau, Sin Kiat, pikirnya dengan hati geli. Rasakan kau menghadapi
adikku yang liar ini. Ketemu tanding kau!
"Eh, kapan aku mengatakan
demikian, Nona? Bagaimana ini, Han Han?"
"Tak usah mencari
pelindung! Dan seorang laki-laki tidak patut plin-plan, bicara mencla-mencle!
Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semua bangsa Mancu jahat dan patut dibasmi
dari muka bumi ini?"
"Benar demikian, akan
tetapi tidak menyangkut dirimu, Nona….”
"Kau bilang semua bangsa
Mancu dan kini mengatakan tidak menyangkut diriku? Aku seorang gadis Mancu,
tahukah engkau??"
“Aihhh….." Sin Kiat
terkejut sekali dan semua orang yang berada di situ pun terkejut, cepat bangkit
berdiri dalam keadaan siap siaga. Kalau gadis ini seorang Mancu, berarti bahwa
rahasia Pek-eng-piauwkiok sebagai anggauta pejuang menjadi bocor!
"Hayo, siapa yang
menganggap aku jahat dan patut dibasmi? Maju! Aku tidak takut!!" bentak
Lulu dengan mata dilebarkan dan sikap mengancam. Lu Soan Li yang sejak tadi
memperhatikan Han Han secara diam-diam dan melihat betapa pemuda rambut terurai
itu tersenyum-senyum geli, dapat lebih dulu menguasai hatinya. Ia melangkah
maju dan memegang pundak Lulu sambil berkata, "Aihhh, Adik Lulu yang baik,
siapa sih yang mau memusuhimu? Suheng telah salah bicara, apakah kau begini
kejam untuk menekannya? Lihat, dia sudah amat menyesal dan kebingungan!"
Dengan muka merah Wan Sin Kiat
lalu menjura. "Harap Nona Sie suka memaafkan mulutku yang lancang."
Lulu cemberut dan mengerling
ke arah pemuda tinggi besar itu. "Habis, kau terlalu menghina sih….!”
Han Han tertawa lalu berkata
nyaring setelah menyaksikan ketegangan membayang di wajah semua orang yang
hadir, "Tak perlu disembunyikan, memang Adikku ini adalah seorang gadis
Mancu, akan tetapi sekarang telah menjadi Adikku, she Sie dan namanya tetap
Lulu. Hendaknya dikethui bahwa semenjak kecil, Adikku ini hidup sebatangkara
dan menderita karena Ayah Bundanya dan seluruh keluarganya dibasmi habis oleh
para pejuang."
"Ahhhhh…..!" seruan
ini keluar dari mulut Sin Kiat.
"Apa ah-ah-uh-uh-uh sejak
tadi? Biar keluargaku dibunuh habis oleh orang Han, aku tidak begitu tolol
untuk menganggap semua orang Han musuh-musuhku yang harus kubasmi habis dari
muka bumi!"
Wajah Sin Kiat makin merah dan
ia benar-benar terpukul. Seolah-olah dibuka matanya betapa kelirunya mendendam
kepada bangsa lain hanya karena terjadi perang, karena sesungguhnya tidak semua
orang dari sesuatu bangsa itu jahat semua atau baik semua.
"Aku telah mengaku salah,
harap Nona maafkan dan mau hukum apa pun juga aku siap menerimanya."
Han Han tersenyum lebar.
"Lulu, dia sudah mengaku salah dan minta dihukum. Hayo, kau hukumlah dia
kalau kau mau!"
Aneh sekali, digoda kakaknya
begini, Lulu yang biasanya lincah dan nakal, kini hanya cemberut, kemudian
melengos dengan kedua pipinya merah. Semua orang merasa lega bahwa tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan tetapi tetap saja masih ada rasa
tegang di antara mereka setelah mendengar bahwa dara jelita itu adalah seorang
gadis Mancu. Mereka semua telah menjadi korban kekejian seorang puteri Mancu,
kini di situ terdapat seorang gadis Mancu, bagaimana mereka tidak akan menjadi
gelisah dan tidak enak hati?
"Keadaan menyedihkan
seperti yang kini timbul dalam hati Sin Kiat dan Lulu adalah akibat perang yang
terkutuk!" demikian Han Han berkata setelah semua orang duduk kembali.
"Perang yang hanya dicetuskan oleh beberapa gelintir orang yang berambisi,
yang memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, membakar hati semua rakyat,
menimbutkan kekejaman-kekejaman, menimbulkan dendam, menimbulkan kebencian
antara bangsa yang sesungguhnya adalah sesama manusia. Perang menjadikan
keluargaku terbasmi orang-orang Mancu dan sebaliknya menjadikan keluarga Adikku
Lulu terbasmi oleh orang-orang Han. Yang suka akan perang hanyalah mereka yang
rnenginginkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di kerajaan. Dengan dalih membela
nusa bangsa, mereka ini mempergunakan kekuatan rakyat yang sebetulnya membenci
perang karena perang hanya mendatangkan malapetaka bagi rakyat jelata,
sebaliknya mendatangkan kemuliaan duniawi bagi para penggerak perang yang
mendapat kemenangan! Rakyat Mancu ditipu oleh para pimpinan mereka, dijadikan
bala tentara yang setiap saat kehilangan nyawanya. Sebaliknya, rakyat pribumi
ditipu oleh pimpinan
mereka, dijadikan pula tentara
yang mengorbankan nyawa. Dalihnya berlainan, namun selalu yang muluk-muluk
memabukkan dan membodohi rakyat, padahal semua itu hanya ditujukan kepada
pamrih yang satu, yaitu kemuliaan dan kemenangan bagi para pimpinan!"
Mendengar ucapan penuh nafsu
dari pemuda aneh yang rambutnya terurai kacau itu, Tan-piauwsu sendiri melongo.
Ucapan itu mengandung penuh kepahitan, namun memang pada kenyataannya
demikianlah. Dan pendirian seperti yang diucapkan pemuda ini bahkan menjadi
pendirian pula dari banyak partai persilatan termasuk Hoa-san-pai sendiri
ketika terjadi perang saudara. Akan tetapi hanya dalam perang saudara saja para
tokoh kang-ouw tidak suka mencampurkan diri, diperalat oleh mereka yang
memperebutkan kedudukan dengan saling bunuh antara sebangsa sendiri! Akan
tetapi sekarang, yang menjajah negara adalah bangsa Mancu sehingga pendapat Han
Han itu lebih luas lagi, tidak lagi mengenal bangsa melainkan berlaku untuk
seluruh manusia sedunia! Ia maklum bahwa tentu bocah itu terpengaruh oleh kasih
sayangnya terhadap adik angkatnya, gadis Mancu itu sehingga pertalian
persaudaraan antara mereka melenyapkan rasa benci kepada bangsa Mancu,
sungguhpun keluarganya sendiri terbasmi oleh orang-orang Manchu.
"Tepat sekali,
Koko!" Lulu bersorak girang. "Aku akan senang sekali melihat para
kaisar yang gendut karena banyak makan dan terlalu senang hidupnya, berikut
semua pembesar-pembesar tinggi, mengadakan perang sendiri, tidak membawa-bawa
rakyat jelata! Biarkan mereka itu berperang, kaisar lawan kaisar, menteri lawan
menteri, dan pembesar lawan pembesar. Tentu badut-badut itu akan
terkencing-kencing ketakutan menghadapi
ancaman maut!"
.Kembali semua orang terheran.
Tidak ada yang mau membantah pendapat dua orang muda yang aneh itu karena
mereka tidak ingin timbulnya satu kesalahfahaman lagi. Bahkan Tan-piauwsu lalu
membelokkan percakapan.
"Yang terpenting sekarang
kita harus menghadapi kenyataan. Tak dapat disangkal lagi bahwa fihak
Siauw-lim-pai tentu akan memusuhi Sie-enghiong, juga fihak pimpinan.
Hoa-san-pai akan salah faham terhadap Sie-enghiong. Oleh karena itu, sara harap
Ji-wi suka sementara tinggal di sini menanti datangnya mereka itu. Saya yakin
bahwa orang-orang Siauw-lim-pai tentu akan datang ke sini, mengingat bahwa
peristiwa ini timbul dari Pek-eng-piauwkiok yang membawa dua peti jenazah.
Kalau Sie-enghiong berada di sini, ada kami yang akan menjadi saksi dan yang
akan menerangkan duduknya perkara sebenarnya sehingga semua fihak mengerti
bahwa yang menjadi biang keladinya adalah puteri Mancu itu."
Han Han mengerutkan keningnya.
"Akan tetapi, kami tidak suka mengganggu Cu-wi sekalian. Lebih baik aku dan
Adikku pergi, karena aku pun ingin sekali-kali bertemu dengan puteri Mancu yang
demikian lihainya, dan tentang kemarahan fihak Siauw-lim-pai maupun pimpinan
Hoa-san-pai, biarlah kami sendiri yang menanggungnya."
Wan Sin Kiat memegang tangan
sahabatnya itu. "Aih, Han Han. Mengapa kau banyak sungkan? Kita berada di
antara sahabat sendiri. Aku ingin sekali bercakap-cakap denganmu. Tinggallah di
sini barang sepekan. Apakah engkau sudah melupakan sahabatmu ini? Sahabat
senasib sependeritaan di waktu kecil? Aku ingin mendengar semua pengalamanmu,
juga ingin menceritakan pengalaman-pengalamanku. Demi persahabatan kita,
kuharap kau dan Nona Sie sudi untuk tinggal beberapa hari lamanya di
sini."
Berat juga rasanya hati Han
Han untuk menolak. Apalagi ketika Lu Soan Li merangkul Lulu dan berkata,
"Adik yang manis, kuharap kau tidak menolak undangan kami. Aku ingin
sekali belajar satu dua pukulan darimu yang lihai agar bertambah
pengertianku!"
"Aih, Cici. Engkau
merendahkan diri. Sebagai tokoh Hoa-san-pai, agaknya aku yang harus berguru
kepadamu!" Dua orang gadis itu bersendau-gurau, keduanya sama muda remaja,
sama cantik jelita. Han Han merasa kasihan kepada adiknya dan tidak tega untuk
memaksanya pergi sekarang juga. Sudah terlalu lama Lulu tinggal menyendiri di
pulau, terlalu lama jauh dari pergaulan mesra. Kini bertemu dengan gadis
Hoa-san-pai itu, timbul kegembiraan hati Lulu dan sebaiknya kalau mereka
tinggal di situ beberapa lamanya. Juga, ia tidak dapat membantah bahwa ia
merasa am at suka kepada sahabat lamanya yang kini telah menjadi seorang pemuda
tampan yang gagah perkasa itu, di samping merasa suka kepada Lu Soan Li yang
cantik manis, pendiam dan memiliki sifat-sifat gagah dalam gerak-geriknya.
Demikianlah, Han Han dan Lulu
tinggal di Pek-eng-piauwkiok, dijamu dan diperlakukan dengan manis dan hormat
oleh Tan-piauwsu dan para anah buahnya. Mereka telah melupakan rasa dendam
bahwa pemuda ini telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun. Kini mereka maklum
bahwa pemuda ini melakukan hal itu tanpa dasar membenci Hoa-san-pai. Bahkan
tadinya pemuda itu membantu Lie Cit San dan Ok Sun menghadapi orang-orang
Siauw-lim-pai sehingga membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai. Kemudian
pemuda itu membunuh dua orang tokoh Hoa-san-pai itu hanya karena menganggap
mereka ini jahat. Semua terjadi karena kesalahfahaman, terjadi sebagai akibat
daripada tipu muslihat keji yang diatur oleh Puteri Nirahai yang selain lihai
juga amat cerdik itu.
Lulu benar-benar mendapatkan
kegembiraan di tempat ini. Dia merupakan sahabat yang amat cocok dengan Lu Soan
Li, bahkan ia bersikap manis terhadap Wan Sin Kiat. Juga Han Han merasa suka
kepada Lu Soan Li yang manis budi dan pendiam. Empat orang muda ini setiap hari
berkumpul, bercakap-cakap dan Han Han mendengarkan penuturan Wan Sin Kiat
dengan hati tertarik.
Ternyata dari penuturan tokoh
muda Hoa-san-pai itu bahwa tidak lama setelah berpisah dari Han Han, Wan Sin
Kiat bertemu dengan seorang tosu aneh. Tosu ini sesungguhnya adalah seorang
tokoh Hoa-san-pai, akan tetapi berbeda dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang
lain, tokoh ini adalah seorang tosu perantau yang selain wataknya aneh, juga
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi karena ilmu-ilmunya dari Hoa-san-pai
mendapat kemajuan pesat setelah ia banyak merantau dan menyempurnakan
ilmu-ilmunya dengan membandirigkannya dengan ilmu dari lain golongan. Tosu ini
berjuluk Im-yang Seng-cu dan selain Sin Kiat, dia juga mengambil seorang murid
wanita, yaitu Lu Soan Li yang hidupnya juga sudah sebatangkara, ditinggal mati
keluarganya dalam sebuah bencana banjir Sungai Huang-ho.
Berkat gemblengan suhu mereka
yang memiliki kesaktian melebihi tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya, Sin Kiat dan
Soan Li menjadi jago muda yang lihai sekali, sehingga biarpun menurut tingkat
mereka itu terhiturtg masih sute dan sumoi dari Tan-piauwsu, akan tetapi dalam
ilmu silat, mereka jauh melampaui tingkat kepandaian sang suheng ini. Sudah
banyak mereka melakukan perbuatan-perbuatan menggemparkan dunia kang-ouw dengan
separk terjang mereka sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa, bahkan
semenjak ada gerakan perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu, kedua orang
muda ini sudah banyak berjasa. Tentu saja ketika menceritakan pengalamannya Sin
Kiat tidak menceritakan tentang perjuangan ini, khawatir kalau-kalau akan
membikin hati Lulu menjadi tidak enak. Apalagi karena ia mengenal pendirian Han
Han yang agaknya tidak ingin melibatkan dirinya dalam urusan perang. Ia hanya
menceritakan tentang pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu, kemudian betapa
bersama sumoinya dia digembleng oleh gurunya sambil merantau sampai jauh ke
selatan dan ke barat. Diceritakannya pula pertandingan-pertandingan melawan
kaum penjahat dalam usaha mereka membasmi kejahatan sehingga Sin Kiat mendapat
julukan Hoa-san Gi-hiap dan sumoinya dijuluki Hoa-san Kiam-li. Nama mereka
terkenal di dunia kang-ouw sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang
mengagumkan.
Han Han dan Lulu mendengarkan
dengan amat tertarik. Apalagi Lulu. Dia mendengarkan penuturan pemuda tampan
tinggi besar itu seperti mendengar dongeng yang amat menarik hati. Ia
seolah-olah berubah menjadi arca, pandang matanya melekat dan bergantung kepada
bibir Sin Kiat yang bergerak-gerak ketika bercerita. Baru setelah selesai
cerita itu, Lulu menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu
berkata.
"Wahhh kalian hebat
sekali…! Kalian ini pendekar-pendekar muda yang amat mengagumkan….!"
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sin Kiat, Lulu melihat
betapa pandang mata pemuda itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri
seolah-olah ucapan Lulu tadi mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa. Tentu
saja Lulu tidak mengerti atau dapat menduga akan isi hati Sin Kiat, hanya dia
pada saat itu merasa betapa wajah pemuda ini sungguh tampan dan gagah. Entah
mengapa, jantungnya berdebar dan pipinya tiba-tiba terasa panas. Untuk
menghindarkan perasaan yang tidak dikenalnya ini, Lulu berpaling kepada Soan Li
dan berkata, "Enci Soan Li, engkau hebat sekali, lain waktu kau harus
memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku!"
Soan Li merangkulnya dan
mengerling kepada Han Han. "Adik Lulu, engkau seperti mutiara terpendam,
tidak dikenal akan tetapi dalam hal kepandaian, agaknya aku boleh berguru
kepadamu!"
"Wah, Adikku dan aku ini
sama sekali tidak memiliki kepandaian, mana dapat dibandingkan dengan Sin Kiat
dan kau, Nona Lu?" Han Han berkata sambil tersenyum. Gadis itu
memandangnya dan sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan seolah-olah
ada sesuatu yang membuat mereka sukar sekali untuk melepaskan pandang mata
mereka dari pertemuan yang melekat itu.
Lulu bertepuk tangan.
"Hi-hik, dari tadi tiada hentinya kalian saling memandang saja. Ada apakah
dengan Enci Soan Li, Koko? Dan mengapa kau mengerling saja kepada Kakakku, Enci
Soan Li?"
"Ihhh, genit kau, Adik
Lulu!" Soan Li menjadi merah sekali mukanya dan ia mencubit paha Lulu
sehingga gadis ini menjerit.
Han Han juga merasa betapa
mukanya menjadi panas, maka ia tertawa dan memandang, "Lulu, kita
mempunyai mata untuk memandang! Apa salahnya dipakai memandang sesuatu yang
indah dan menarik?"
Ucapan Han Han yang terus
terang ini membuat Soan Li menjadi makin malu dan jengah lagi. Dia sendiri
diam-diam menjadi amat heran akan diri sendiri. Sudah banyak kali terjadi, ia
menjadi marah-marah kalau mendengar ada laki-laki mengeluarkan ucapan-ucapan
tentang dirinya, memuji-muji kecantikannya dan sebagainya. Bahkan ada laki-laki
kurang ajar yang dibunuhnya hanya karena mengeluarkan ucapan-ucapan yang
bermaksud kotor dan kurang ajar. Kini, mendengar ucapan-ucapan Han Han yang
memuji kecantikannya dengan blak-blakan di depan banyak orang ketika mereka
diperkenalkan, kini secara terang-terangan pula dalam menjawab godaan Lulu,
mengapa dia tidak marah malah menjadi….. berdebar jantungnya, berdebar karena
girang? Akan tetapi pemuda ini lain daripada laki-laki lain, dia membela
perasaannya sendiri yang tidak wajar. Pemuda ini secara terang-terangan
menyatakan isi hatinya, tanpa tedeng aling-aling, akan tetapi juga bersih
daripada niat-niat kurang ajar, hal ini dapat dilihat dari pancaran pandang
matanya yang wajar dan biasa, sinar mata kagum yang tidak ditutup-tutupi,
seperti kewajaran sinar mata orang mengagumi bintang di langit atau mawar di
taman.
Sin Kiat hanya tersenyum saja
melihat sumoinya digoda Lulu, kemudian ia berkata kepada Han Han, "Han
Han, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita kepada kami. Tentu pengalamanmu
amat menarik hati, terutama tentang pertemuan dengan Adikmu, dan tentang Gurumu
yang tentu amat sakti, melihat akan kelihaianmu."
"Nanti dulu, Sin Kiat.
Aku teringat akan ketekadan hatimu dahulu. Bukankah kau dahulu pernah menyatakan
kepadaku bahwa engkau ingin menjadi seorang perwira Mancu? Kenapa sekarang
engkau sebaliknya malah menjadi orang yang emusuhi perwira-perwira Mancu?"
Sin Kiat menarik napas
panjang. "Ada sebabnya memang. Ingatkah engkau dahulu betapa kau telah membelaku
ketika aku dipukuli oleh bangsawan muda Ouw-yang Seng murid datuk hitam
Kang-thouw-kwi itu? Nah, semenjak itu, aku berbalik haluan, apalagi setelah
bertemu dengan Suhu, menerima pelajaran dan juga mendengarkan
wejangan-wejangannya. Han Han, sekarang ceritakanlah kepadaku, bagaimana engkau
bertemu dengan Nona Lulu?"
"Wah, aku menjadi kikuk
sekali kausebut Nona! Usiamu tentu tidak banyak selisihnya dengan Han-koko,
maka aku akan menyebutmu Wan-koko dan kau pun menyebut aku Adik seperti biasa
Koko menyebutku. Kalau tidak mau, aku selamanya tidak akan mau bicara
dengan.mu!" Tiba-tiba Lulu berkata kepada Sin Kiat. Pemuda ini menjadi
merah mukanya dan hatinya menjadi girang bukan main.
"Baiklah, Lulu-moi, dan
terima kasih atas kebaikanmu," Sin Kiat berdiri dan menjura.
"Wan, kebetulan sekali
usul Lulu ini. Aku pun hendak mencontohnya dan kuminta Nona Lu Soan Li juga
jangan bersungkan-sungkan lagi, mulai sekarang mau tak mau kusebut Moi-moi dan
harap suka menyebut Kakak kepadaku!”
Jantung di dalam dada Soan Li
berdebar. Dia merasa makin suka kepada kakak beradik yang baru dikenalnya ini.
Mereka berdua itu begitu jujur, begitu polos, dan juga ia dapat menduga bahwa
mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. "Terima kasih
atas kebaikanmu, Han-twako."
"Sebetulnya tisak ada
yang banyak dapat diceritakan tentang kami berdua," kata Han Han.
"Engkau sudah tahu bahwa aku dahulu di waktu kecilku adalah seorang bocah
jembel seperti engkau, Sin Kiat. Dan aku bertemu dengan adikku Lulu ini yang juga
seorang bocah jembel setelah hidup terlunta-lunta karena keuarganya terbasmi
semua. Nah, kami saling bertemu dan mengangkat saudara sampai sekarang kami
menjadi kakak beradik yang tak pernah berpisahan."
"Han-twako, belehkah aku
mengetahui, siapakah Suhumu yang mulia?" tiba-tiba Soan Li bertanya,
mendahului suhengnya, karena ia ingin sekali mendengar siapa adanya guru dari
pemuda yang amat mengagumkan hatinya ini. Han Han dan Lulu saling berpandangan
sejenak. Mereka berdua selama ini berlatih di Pulau Es, berlatih tanpa guru,
hanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab dan berlatih secara ngawur. Ataukah
biruang itu dapat dianggap menjadi guru mereka? Ah, tidak biruang itu hanya
teman berlatih. Guru mereka adalah penghuni-penghuni Pulau Es, pemilik-pemilik
istana yang meninggalkan kitab-kitab pelajaran, akan tetapi siapakah dia itu?
Han Han memiliki pikiran yang tidak lumrah, dapat berpikir cepat melebihi
manusia biasa, dapat mengambil keputusan yang amat tepat dalam sedetik dua
detik pemikiran saja. Ia tahu bahwa Sin Kiat dan Soan Li adalah murid-murid
Hoa-san-pai yang menentang Mancu, dan dia tidak boleh sekali-kali
memperlihatkan sikap bermusuh atau mengaku sebagai fihak yang bermusuhan. Dia
telah belajar ilmu dari Lauw-pangcu, kemudian mencuri ilmu dari Kang-thouw-kwi
Gak Liat. Akan tetapi dua orang ini tidak boleh dia sebut-sebut, karena
menyebut nama Lauw-pangcu berarti menyinggung hati Lulu, menyebut Kang-thouw-wi
Gak Liat sebagai guru lebih tidak mungkin lagi karena Setan Botak itu adalah
kaki tangan Mancu. Dan dia tidak suka berbohong maka ia mendapat jalan tengah
yang baik.
"Guruku adalah Suhu
Siangkoan Lee..."
"Ahhh….!" Sin Kiat
dan Soan Li benar-benar terkejut mendengar ini. "Ma-bin Lo-mo…?”
Han Han memandang wajah Sin
Kiat. "Benar, mengapa? Apakah kau mengenal Suhu? Dia juga seorang yang
amat setia kepada Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kalau tidak salah dia bekas
menteri….."
"Tentu saja kami telah
mendengar namanya. Ah, Ma-bm Lo-mo, seorang di antara datuk-datuk hitam yang
amat sakti. Pantas saja kau begini lihai, Han Han. Kiranya engkau murid tokoh
besar itu!"
Lulu yang mendengarkan ucapan
Han Han itu pun diam saja, hanya memandang dengan sinar mata nakal. Ia
menganggap bahwa kakaknya ini tidak terlalu berbohong, karena memang kakaknya
menjadi murid banyak orang sakti, di antaranya Ma-bn Lo-mo Siangkoan Lee yang
hampir membunuhnya, bahkan yang telah berusaha membakar mereka berdua di
perahu. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya seolah-olah tidak mau bercerita
terus terang bahwa mereka berdua telah belajar ilmu di Pulau Es.
Biarpun Lulu dan Han Han baru
tinggal di Pek-eng-piauwkiok selama beberapa hari, namun hubungan empat orang
muda ini menjadi amat akrab. Apalagi karena di situ ada Lulu yang wataknya
lincah jenaka, yang nakal dan tak pernah malu-malu, jujur dan tidak mengenal
palsu, sebentar saja rasa jengah yang membatasi pergaulan mereka menjadi
lenyap. Berkat kelincahan Lulu, Lu Soan Li menjadi tidak malu-malu lagi
terhadap Han Han, juga Sin Kiat makin tertarik kepada gadis Mancu yang
benar-benar telah menjatuhkan hatinya itu.
Sepekan kemudian, ketika Lulu
sedang mengumpulkan bunga-bunga yang dipetiknya dalam taman bunga tak jauh dari
gedung Pek-eng-piauwkiok, ia dikejutkan oleh suara Sin Kiat, "Wah,
Lulu-moi, setiap pagi kau tentu berada di sini memetik bunga!"
Dara jelita itu menoleh dan
tersenyum. Bagi Sin Kiat, senyumnya amat manis dan hangat, sehangat matahari di
pagi hari itu. Taman bunga itu menjadi makin cerah dan makin jernih bagi Sin
Kiat.
"Tentu saja, Twako.
Bertahun-tahun aku tidak berkesempatan melihat bunga, sekarang ada begini
banyak bunga indiah di sini. Dahulu aku hanya melihat bunga-bunga es
melulu…." Tiba-tiba gadis itu teringat akan larangan kakaknya untuk
bercerita kepada siapa juga tentang Putau Es, maka ia terikejut dan
menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi Sin Kiat telah
mendengar kalimat terakhir itu dan dia mendekat.
"Bunga es? Apa maksudmu,
Moi-moi?"
"Eh….. oh….. tidak
apa-apa….." Lulu yang biasanya. amat jujur polos dan tidak biasa membohong
itu menjadi gagap. Ia tidak senang sekali untuk menyembunyikan atau
merahasiakan sesuatu, karena untuk ini, terpaksa ia harus pula membohong,
padahal ketidakwajaran ini terasa amat asing dan amat sukar baginya.
Sin Kiat memandang tajam,
hatinya merasa tidak enak, bahkan sakit karena ia mengerti bahwa dara yang
dikaguminya ini menyembunyikan sesuatu dari padanya dan hal ini menimbulkan
kesan bahwa Lulu tidak menaruh kepercayaan penuh kepadanya! Dengan nada sedih
ia lalu berkata, tanpa disadarinya ia memegang kedua tangan Lulu yang penuh
bunga.
"Moi-moi, mengapa engkau
tidak percay a kepadaku? Ahhh, sungguh mati, aku tidak ingin memaksamu untuk
membuka sesuatu yang kau rahasiakan, akan tetapi….. ah, ketidakpercayaanmu ini
menyakitkan hatiku, Moi-moi. Tidak tahukah engkau, tidak merasakah engkau
betapa aku…… aku cinta kepadamu, Lulu?"
Lulu tersenyum dan dengan
gerakan halus menarik tangannya sehingga terlepas dari genggaman jari tangan
pemuda itu, yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
"Aku merasakan itu dan
aku tahu, Twako. Akan tetapi, tidak kelirukah cintamu itu kaujatuhkan atas
diriku? Ingat, aku seorang gadis Mancu, musuhmu!"
Sin Kiat memandang penuh
keharuan. "Moi-moi, tak dapatkah kau memaafkan kesalahan ucapanku ketika
pertama kali kita bertemu? Tidak, aku tidak memusuhi seluruh bangsa Mancu, dan
aku hanya akan menentang yang jahat, siapapun dia dan bangsa apa pun dia.
Engkau bagiku bukan bangsa apa-apa, engkau adalah Lulu, satu-satunya gadis yang
pernah dan akan menjadi pujaan hatiku, menjadi satu-satunya wanita yang
kucinta!"
Tiba-tiba Lulu tertawa. Hati
Sin Kiat makin sakit, mengira bahwa dara yang dicintanya ini mentertawakan
pernyataan cinta kasihnya! Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hati bagi
seorang pria daripada cinta kasihnya ditertawai oleh wanita yang dicintanya.
"Hi-hi-hik, alangkah
lucunya!"
"Apa yang lucu, Moi-moi?
Mengapa engkau tertawa?" Sin Kiat bertanya, mukanya menjadi agak pucat.
"Habis, lucu sekali sih!
Engkau dan Sumoimu keduanya telah jatuh cinta kepada aku dan Kakakku, bukankah
ini lucu sekali namanya?"
Sin Kiat memandang wajah
jelita itu dengan kaget. "Apa? Sumoi mencinta Kakakmu? Ah, bagaimana
engkau bisa tahu?"
"Apa sih sukarnya
mengetahui itu? Aku tahu bahwa Sumoimu mencinta Han-koko dan bahwa engkau
mencintaku. Mau bukti? Mari, kau ikut denganku!" Lulu menancapkan
bunga-bunga yang dipetiknya di atas tanah, kemudian ia memegang tangan Sin Kiat
dan menarik pemuda itu, diajak pergi ke sebelah selatan taman bunga, di mana
terdapat pondok yang bercat kuning dan disebut pondok Cahaya Matahari karena
pondok ini menghadap ke timur dan setiap pagi menerima sinar matahari
sepenuhnya. Memang pondok ini dipergunakan untuk mandi cahaya matahari oleh
keluarga Tan-piauwsu.
Sin Kiat menjadi tegang dan
juga girang. Ia merasa betapa kulit telapak tangan yang halus dan hangat
menggandengnya. Akan tetapi ia pun gelisah kalau mengingat bahwa perbuatan dara
ini menggandengnya terdorong oleh sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan,
bukan sekali-kali terdorong oleh cinta kasih seperti yang ia harapkan.
Setelah mereka tiba di pondok,
Lulu menaruh telunjuknya di depan mulut sebagai isyarat agar pemuda itu tidak
mengeluarkan suara berisik, kemudian berendap-indap ia mengajak Sin Kiat
measuki pondok dari pintu belakang, terus menembus sampai ke ruangan depan
pondok. Lulu berhenti dan memandang Sin Kiat dengan sinar mata penuh kebanggaan
dan kemenangan. Tangan kanannya bertolak pinggang, sedangkan tangan kiri
menuding ke sebelah luar di mana tampak Han Han duduk di atas anak tangga
pondok itu sambil bercakap-cakap dengan Soan Li dalam suasana mesra dan ramah.
"Nah, betul tidak
keteranganku? Itu mereka mengobrol dengan asyiknya! Sumoimu mencinta Kakakku
dan setiap pagi mereka berdua tentu duduk dan mengobrbl mesra di situ. Semenjak
semula sudah kuduga, dalam pertemuan pertama mereka sudah saling lirak-lirik,
hi-hik!"
"Wah, ini sama sekali
tidak boleh….!" kata Sin Kiat dengan alis dikerutkan.
"Apa kau bilang? Apanya
dan mengapa tidak boleh? Jangan main-main kau, ya? Apa kau hendak menghina
Kakakku? Menganggap Kakakku kurang berharga untuk Sumoimu?" Kini Lulu
menghadapi Sin Kiat dengan mata terbelalak marah, kedua tangan di pinggang,
sikapnya menantang.
"Bukan…., bukan begitu,
akan tetapi Sumoi….. dia…. dia telah ditunangkan oleh Suhu…. dia sudah
mempunyai calon suami….."
Kini Lulu yang terbelalak
kaget. "Apa kau bilang? Dan engkau calon suaminya?"
"Bukan, bukan! Calon
suaminya adalah seorang sastrawan…."
"Taihiap….! Para pimpinan
Hoa-san-pai telah tiba, Taihiap diminta untuk menyambut….!" Seruan ini
keluar dari mulut seorang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang datang berlari-lari.
Ia berteriak-teriak sehingga tidak saja Sin Kiat dan Lulu yang menengok kaget
dan percakapan mereka terputus, juga Han Han dan Soan Li menjadi kaget
danmenengok, lalu menghampiri mereka.
Sepintas lalu Sin Kiat melihat
betapa wajah sumoinya berseri-seri, agak kemerahan sehingga hatinya makin tidak
enak. Dia akan merasa bahagia sekali kalau sumoinya dapat menjadi calon isteri
Han Han, andaikata dia belum bertunangan. Akan tetapi sumoinya telah
ditunangkan kepada orang lain! Berbeda dengan wajah Soan Li, Lulu maupun Sin
Kiat melihat betapa wajah Han Han biasa saja.
Semua urusan mengenai sumoinya
itu segera terhapus dari ingatan Sin Kiat karena pada saat itu ada urusan yang
lebih gawat, yaitu dengan datangnya para pimpinan Hoa-san-pai yang tentu akan
timbul persoalan yang amat gawat dengan Han Han.
"Han Han, tokoh-tokoh
Hoa-san-pai telah tiba, sebaiknya engkau bersamaku pergi menyambut mereka agar
persoalan ini lekas beres."
Han Han mengangguk, sikapnya
tenang sekali, berbeda dengan Sin Kiat dan sumoinya yang mengerutkan kening dan
kelihatan gelisah. Han Han sudah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, apa pun
alasannya, tentu akan membikin hati para pimpinan Hoa-san-pai menjadi tidak
puas. Sungguhpun Sin Kiat dan Soan Li merupakan dua orang tokoh Hoa-san-pai,
namun mereka tidak banyak mengenal para pimpinan Hoa-san-pai karena mereka itu
digembleng oleh guru mereka, Im-yang Seng-cu, dalam perantauan dan hanya satu
kali mereka disuruh guru mereka pergi menghadap ketua Hoa-san-pai di Puncak Hoa-san.
Maka, hanya ketua Hoa-san-pai saja yang mereka kenal, sedangkan para susiok
(paman guru) lainnya, mereka tidak kenal.
Ketika empat orang muda itu
tiba di ruangan dalam yang lebar, di situ Tan-piauwsu dan para sutenya telah
menghadap tiga orang tosu tua dengan sikap hormat. Sin Kiat dan Soan Li sebagai
murid-murid Hoa-san-pai, cepat melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di
depan tiga orang tosu itu yang duduk berjajar di atas bangku-bangku kehormatan.
"Suhu dan Ji-wi Supek
(Dua Uwa Guru), ini adalah Sute Wan Sin Kiat dan Sumoi Lu Soan Li."
Tan-piauwsu memperkenalkan dua orang muda itu.
“Hemmm….!” Tosu yang
berjenggot pende, guru Tan Bu Kong, mengangguk-angguk dan berkata,
"Agaknya kalian inikah murid-murid Sute Im-yang Seng-cu?"
"Tidak salah dugaan
Sam-wi Supek. Teecu berdua adalah murid-murid Suhu Im-yang Seng-cu. Teecu
berdua menghaturkan hormat kepada Sam-wi Supek," kata Sin Kiat sambil
memberi hormat, yang dicontoh oleh Soan Li.
"Bagus! Kalian tidak
mengecewakan menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Pinto telah mendengar akan
sepak-terjang kalian di dunia kang-ouw," kata tosu ke dua yang lebih tua
dan yang didahinya terdapat cacad bekas luka memanjang. "Duduklah
baik-baik di bangku di pinggir sana." Tosu ini menunjuk bangku-bangku
dengan sikap tidak begitu mengacuhkan. Betapapun juga, dua orang muda ini
hanyalah murid-murid keponakan mereka, dan mereka bertiga datang untuk
membereskan urusan yang amat gawat.
Dengan sikap hormat, Sin Kiat
dan Soan Li duduk di atas bangku-bangku yang ditunjuk oleh tosu codet (luka di
dahi) itu, dan diam-diam Han Han, terutama sekali Lulu, merasa tidak puas
menyaksikan sikap angkuh Si Tosu terhadap sahabat-sahabat baik mereka. Akan
tetapi mereka tidak peduli dan hanya berdiri di pinggiran, tidak jauh dari
tempat duduk dua orang sahabat mereka itu. Tiga orang tosu tua yang melihat Han
Han dan Lulu, tidak mengacuhkannya pula karena mereka ini mengira bahwa Han Han
dan Lulu tentulah orang-orang muda tak berarti, anggauta keluarga atau
pembantu-pembantu di Pek-eng-piauwkiok.
Tiga orang tosu Hoa-san-pai
ini adalah tosu-tosu tingkat tiga, karena mereka ini adalah murid-murid
langsung dari ketua Hoa-san-pai, yaitu yang bernama Thian Cu Cinjin, seorang
tosu yang amat sakti dan sudah berusia tinggi. Mereka bertiga ini adalah kakak
beradik seperguruan. Yang paling tua adalah tosu tinggi kurus yang berjenggot
panjang bernama atau lebih tepat berjuluk Bhok Seng-cu, yang ke dua adalah tosu
codet yang luka dahinya, berjuluk Kong Seng-cu. Adapun tosu ke tiga adalah guru
dari Tan-piauwsu yang berjuluk Lok Seng-cu. Mereka ini rata-rata sudah berusia
enam puluh tahun lebih, namun masih nampak sehat dan berwibawa, penuh semangat
karena sesungguhnya, tiga orang tosu inilah yang bertugas untuk melaksanakan
segala peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena terpengaruh tugas mereka yang
harus dilaksanakan secara baik-baik dan penuh disiplin, maka tiga orang tosu
ini sudah biasa berwatak keras asal benar! Mereka bertiga tidak begitu ramah
ketika diperkenalkan kepada Sin Kiat dan Soan Li, karena sesungguhnya mereka
bertiga tidak suka kepada Im-yang Seng-cu, tokoh Hoa-san-pai yang dianggap
menyeleweng, yaitu menyeleweng daripada aturan Hoa-san-pai, tidak suka menjadi
tosu di Hoa-san-pai melainkan lebih suka mengembara dan berkeluyuran! Juga
perasaan tidak suka ini timbul pula karena Im-yang Seng-cu diinggap tidak setia
kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain golongan, bahkan
berani "mengawinkan" IImu silat Hoa-san-pai yang aseli dengan ilmu
silat golongan lain. Apalagi kalau diingat bahwa mereka itu tidaklah seguru
dengan Im-yag Seng-cu karena Im-yang Seng-cu bukanlah murid Thian Cu Cinjin,
melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah meninggal dunia, yaitu sute dari
Thian Cu Cinjin.
"Tan Bu Kong, kami
mendengar akan pelaporanmu dari mulut utusan Pek-eng-piauwkiok, karena
mengingat akan gawatnya persoalan, maka kami bertiga dating sendiri untuk
memberi hukuman kepada dia yang berdosa. Benarkah bahwa kedua orang Sutemu Lie
Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut
alis Wan Sin Kiat. Para supeknya ini ternyata adalah orang-orang yang berhati
keras dan yang dipentingkan adalah urusan kematian anak murid Hoa-san-pai,
padahal di batik urusan ini tersembunyi hal yang lebih gawat lagi, yaitu
ancaman permusuhan dengan fihak Siauw-lim-pai. Ataukah mungkin laporan utusan
Tan-piauwsu yang tidak jelas menyampaikan laporan? Namun, ia tidak berani
mengganggu, hanya mendengarkan saja.
"Benar, Suhu. Sute Lie
Cit San dan Sute Ok Sun tewas, bahkan Sute Teng Lok juga terluka hebat, buntung
lengannya. Semua ini terjadi karena tipu muslihat keji seorang gadis Mancu,
seorang puteri Kaisar sendiri yang bernama Puteri Nirahai….”
"Siapakah yang membunuh
dan melukai Sute-sutemu? Apakah dia murid Siauw-lim-pai?”
"Bukan, Suhu. Memang terjadi
bentrokan dengan fihak Siauw-lim-pai, akan tetapi semua itu adalah akibat tipu
muslihat keji Puteri Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu menceritakan asalu mula
terjadinya peekara yang hebat ini." Melihat betapa tiga orang tosu tua itu
diam saja dan semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong segera menceritakan asal
mula terjadinya peristiwa itu. Betapa puteri itu datang mengirim dua buah peti
ke selatan dan betapa dia tidak berani menolak karena tidak ingin dicurigai
oleh pemerintah Mancu akan perjuangan Hoa-.an-pai menentang penjajah. Kemudian
betapa Teng Lok sampai buntung lengannya ketika menyelidiki keadaan puteri aneh
itu. Diceritakannya pula betapa rombongan piauwsu yang mengantar dua buah peti
ke selatan, di tengah jalan dihadang oleh anak-anak murid Siauw-im-pai yang
memaksa mereka membuka peti sehingga terjadi pertempuran.
"Pinto telah mendengar
penuturan itu dari utusanmu, tak perlu diulangi lagi," Lok Seng-cu
memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan kirinya ke atas sehingga ujung
lengan bajunya bergetar dan bergoyang. "Pinto hanya tertarik mendengar
akan kematian murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang membunuh
mereka?"
Berkerut kening Han Han. Ingin
ia melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu, mengaku bahwa dialah yang
membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika bertemu pandang
dengan Wan Sin Kiat, ia melihat pemuda itu menggeleng-geleng kepala perlahan
sehingga ia membatalkan niatnya.
Tan-piauwsu juga bingung
sekali atas pertanyaan gurunya yang mendesak-desak itu, seolah-olah tidak
hendak memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan semua agar kesalahan
tangan Han Han itu dapat diperingan dengan alasan kuat.
Akan tetapi, piauwsu ini yang
sudah. merasa yakin akan kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan terhadap dua
orang sutenya itu, memberanikan hatinya dan melanjutkan ceritanya.
"Pertempuran berat
sebelah itu tentu akan berakibat terbasminya semua anak buah piauwsu yang
mengawal kalau saja tidak secara kebetulan muncul seorang pendekar muda yang
membantu fihak Hoa-san-pai dan pemuda itu memukul tewas tujuh orang anak murid
Siauw-lim-pai. Kemudian fihak Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti
kiriman puteri Mancu dan isinya ternyata adalah…."
"Mayat-mayat Liok Si Bhok
dan Liong Ki Tek, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto sudah tahu
semua akan hal itu. Bu Kong, katakan, siapa yang membunuh dua orang
Sutemu?"
"Pendekar muda yang
tadinya membantu Hoa-san-pai dan membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai ketika
melihat bahwa dua peti itu berisi mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi menyesal
dan marah sekali, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka dalam
kemarahannya ia turun tangan membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa baik
fihak Siauw-lim-pai maupun fihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka semua
telah termasuk dalam perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu itu…."
"Tan Bu Kong! Engkau
berfihak kepad a siapakah? Katakan, di mana adanya orang yang membunuh dua
orang murid Hoa-san-pai itu!" bentak Lok Seng-cu dengan nada marah
sehingga Tan-piauwsu menjadi jerih dan menundukkan mukanya.
"Totiang, akulah orangnya
yang membunuh dua orang muridmu itu!" Tiba-tiba terdengar suara Han Han
memecah kesunyian sehingga suasana menjadi tambah sunyi lagi karena kini
kesunyian itu dicekam ketegangan yang memuncak ketika tiga orang tosu tua itu
menoleh dan memandang kepada Han Han penuh perhatian. Han Han sudah melangkah
maju dengan sikap tenang, kemudian 'berdiri menghadapi tiga orang Hoa-san-pai
itu sambil melanjutkan kata-katanya.
"Memang aku yang telah
membunuh mereka, hat ini tidak kupungkiri dan aku mohon maaf kepada Totiang
bertiga sebagai guru-guru mereka. Aku merasa menyesal sekali telah membunuh
mereka berdua seperti rasa penyesalanku telah membunuh tujuh orang murid
Siauw-lim-pai yang tak bersalah. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah karena
aku membunuh dua orang murid Hoa-san-pai dengan persangkaan bahwa
Hoa-san-pailah yang membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka
bersikap palsu sehingga menyebabkan aku kesalahan tangan membunuh murid-murid
Siauw-lim-pai. Hal itu telah terjadi di luar kesalahanku, dan aku pasti akan
mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu. Nah, kurasa cukup lama aku tinggal
di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik
Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini setelah bertemu dengan tokoh-tokoh
Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi menemui pimpinan Siauw-lim-pai
untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa kembali….."
"Berhenti!"
Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang membentak.
Suaranya mengejutkan semua orang karena mengandung getaran yang menusuk rongga
dada, tanda bahwa kakek ini telah mempergunakan khikang yang amat kuat.
Han Han yang tadinya, sudah
melangkah hendak keluar diikuti oleh Lulu, berhenti dan membalikkan tubuhnya.
Sikapnya tenang saja, demikian pula dengan Lulu sehingga Bhok Seng-cu sendiri
menjadi terheran-heran. Hapir semua yang hadir di situ, kecuali Wan Sin Kiat
dan Lu Soan Li yang rnemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, menjadi
pucat sekali wajah mereka karena pengaruh bentakan tadi, akan tetapi dua orang
muda ini saa sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun tidak!
“Orang muda, apakah
sedemikian murahnya kau menghargai nyawa dua orang anak murid kami? Cukup
dengan pernyataan menyesal dan minta maaf? Sungguh engkau memandang rendah
ke-pada Hoa-san-pai!" kata Bhok Seng-cu dengan alis terangkat.
"Habis apa yang harus
kulakukan,Totiang? Aku telah lama menanti kedatangan Totiang di sini, hal itu
karena aku memandang Hoa -san-pai," jawab Han Han dengan sikap yang masih
tenang.Pandang mata pemuda ini bertemu dengan pandang mata Bhok Seng-cu dan
kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan mengalihkan pandang matanya.
"Hutang nyawa harus
dibayar dengan nyawa!" bentak Lok Seng-cu, guru Tan-piauwsu yang menjadi
marah sekali kalau teringat betapa murid-muridnya terbunuh hanya oleh seorang
pemuda yang tak di kenaI sama sekali, bukan pula murid Siauw-lim-pai, bahkan
seorang pemuda yang kelihatannya liar. Andaikata kedua orang muridnya tewas di
tangan seorang tokoh besar, atau setidaknya oleh anak murid Siauw-lim-pai yang
pandai, dia tidak akan begitu malu. "Suheng," katanya kepada Bhok
Seng-cu, “bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini menjadi kaki tangan Mancu
yang sengaja membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar taktik adu
domba berhasil baik. Bocah setan ini tak boleh diberi ampun!"
"Suhu dan Ji-wi Supek,
Han Han bukanlah kaki tangan Mancu….!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berseru dari
tempat duduknya karena tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan suhunya dan
supeknya yang nadanya menekan Han Han. "Teecu mengenal dia baik-baik
semenjak dia masih kanak-kanak karena dia adalah sahabat baik teecu di waktu
kecil."
"Wan Sin Kiat! Tak patut
engkau sebagai anak murid Hoa-san-pai bicara seperti itu terhadap seorang yang
telah membunuh dua orang Suhengmu! Di mana kesetiaanmu terhadap Hoa-san-pai?
Apakah kalau dia ini menjadi sahabat baikmu di waktu kecil, lalu tak mungkin
lagi menjadi kaki tangan Mancu? Pandangan picik sekali!" bentak Bh'ok
Seng-cu sambil menatap wajah pemuda itu dengan mata melotot.
Sin Kiat menunduk, akan tetapi
ia menjawab dengan suara tenang, "Maaf,
Supek. Bukan karena itu,
melainkan karena dia adaJah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan Lee……. "
"Ahhhhh !" Seruan
ini keluar dari mulut ketiga orang tosu tua itu karena
mereka benar-benar merasa
kaget sekali mendengar bahwa pemuda ini adalah
murid seorang di antara
tokoh-tokoh datuk hitam yang amat terkenal itu. Dan
mereka pun maklum bahwa
biarpun seorang tokoh datuk hitam, namun Siang-
koan Lee bukanlah seorang yang
tunduk kepada pemerintah penjajah Mancu. Kini mereka kembali memandang kepada
Han Han penuh perhatian dan dengan pandang mata agak meragu. Akan tetapi hanya
sebentar saja mereka meragu karena segera terdengar suara Bhok Seng-cu yang
kaku dan tegas.
"Kalau dia murid Ma-bin
Lo-mo, memang bukan kaki tangan Mancu. Akan tetapi biarpun demikian, dia telah
membunuh dua orang murid Hoa-san..pai, dan dia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya. Biarpun murid Ma-bin Lo-mo tidak boleh menghina kami orang orang
Hoa-san-pai!"
"Suheng, nanti dulu,
Suheng!" Tiba-tiba Kong Seng-cu berkata dan tiba-tiba tubuh tosu ini sudah
bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkah lebar menghampiri Lulu.
Ia menghampiri dan memandang gadis itu penuh perhatian, mulutnya menggerutu,
"Adiknya……..? ini Adikmu………?"
Han Han yang merasa sebal
menyaksikan sikap congkak dari tiga orang Hoa-san-pai ini berkata, "Benar,
Totiang. Dia Adik angkatku."
Lulu yang dipandang penuh
perhatian,bahkan kini tosu yang dahinya terhias bekas luka itu berjalan
mengelilinginya sambil memandang seperti orang memeriksa kuda yang hendak
dibelinya, tersenyum-senyum dan melirak-lirik dengan sikap lucu dan
mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke bangkunya,
duduk dan berkata, "Gadis
ini adalah seorang wanita Mancu!"
Semua orang yang mendengar ini
menjadi terheran, bagaimana tosu codet ini dapat merlduga sedemikian tepatnya.
"Wanita Mancu?" Bhok
Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget. Lok Seng-cu memandang kepada Tan-piauwsu
dengan pandang mata bengis lalu membentak, "Tan Bu Kong! Betulkah bahwa
gadis ini seorang wanita Mancu dan sudah kau biarkan dia menjadi tamumu?"
Sebelum Tan-piauwsu sempat
menjawab, Lulu sudah melangkah maju dan menjawab dengan suara Ian tang sambil
menmandang kepada Kong Seng-cu, "Benar sekali! Aku adalah seorang gadis
Mancu dan namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she Sie. Tosu codet,
matamu benar-benar tajam sekali!"
“Siancai……. ! Apa kata pinto?
Dalam jarak sepuluh Ii, pinto sudah dapat mengenal wanita Mancu! Suheng dan
Sute biarpun orang she Sie ini murid Ma-birlLo-mo, akan tetapi dia mempunyai
Adik angkat wanita Mancu! Terang bahwa dia telah berkhianat, dan mungkin sekali
dia sekarang menjadi kaki .tangan Puteri Mancu itu! Wah, berbahaya kalau
begini,sama sekali tidak boleh membebaskan dia."
"Tosu codet, selain
matamu awas sekali, juga hatimu busuk sekali. Tentu karena kebusukan hatimu
maka dahimu menjadi codet, bekas terluka senjata tajam. Sayang di dahi,
sebaiknya di mulut agar mulutmu tidak dapat mengham-burkan ucapan-ucapan busuk
lagi.” Lulu yang diam-diam m:arah kini mulai mem-permainkan tosu itu. Semua
orang ter-kejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya.. Gadis yang
dicintanya itu benar-benar berani mati, mengeluar-kan omongan yang seperti itu
terhadap Kong seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua Hoa-san-pai yang
berilmu tinggi! Pemuda perkasa ini maklum bah-wa ucapan itu akan rnempunyai
akibat yang berbahaya sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia memandang dengan
jantung berdebar dan muka pucat.
Juga para anak buah
Pek-eng-piauw-kiok terutama sekali Tan Bu Kong, menjadi khawatir sekali,
apalagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa perbuatannya menerima seorang gadis
Mancu sebagai tamu benar-benar akan menimbulkan salah faham dari para supeknya.
"Suhu, harap maafkan
teecu. Biarpun dia seorang gadis Mancu, akan tetapi dia lain lagi, sama sekali
tidak menganggap kita sebagai musuh dan dan dia adalah Adik angkat Sie-taihiap
………"
Ucapan ini malah merupakan
angin yang membesarkan api kemarahan di
dada tiga orang tosu itu,
terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina dan dimaki oleh seorang gadis Mancu.
"Bocah Mancu,
mampuslah!" bentak Kong Seng-cu dan tanpa bangkit dari tempat duduknya,
kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak jauh dengan. dorongan tangan kanannya
ke arah dada Lulu. Jarak antara mereka ada empat
meter dan kakek ini yang
mermandang rendah gadis Mancu itu yang disangkanya gadis biasa saja, menaksir
bahwa pukulan-nya ini cukup kuat untuk merusak isi dada gadis yang dianggapnya
jahat dan musuh rakyat itu
Angin pukulan yang dahsyat
menyambar ke arah Lulu dan jelas tampak betapa baju gadis itu di bagian dadanya
berkibar disambar angin pukulan, akan tetapi gadis itu sendiri berdiri sambil
tersenyum-senyum manis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak
merasakan datangnya angin pukulan jarak jauh ini seperti sebongkah batu gunung
ditiup angin semilir! Dan memang se-sungguhnyalah bahwa Lulu sama sekali tidak
tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa pukulan jarak jauh
yangmengandung tenaga sakti arnat kuat dari tokoh Hoa-san-pai itu sarna sekali
tidak terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki kesaktian yang luar biasa
seperti Han Han?
Sebetulnya tidaklah demikian.
Seperti kita ketahui, ketika berdiam di Pulau Es,Lulu juga tekun belajar di
bawah bimbingan Han Han. Akan tetapi berbeda dengan Han Han yang memiliki dasar
tidak karuan, bahkan secara paksa menggembleng diri dengan ilmu dari aliran
hitam. Lulu sebaliknya mempelajari kitab-kitab peninggalan manusia sakti
pemilik Istana Pulau Es. Gadis ini berlatih samadhi dan pengumpulan hawa murni
untuk membentuk tenaga sakti menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau
itu, dan ternyata ia dapat memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat
kuat dan yang kini telah menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya
sehingga tenaga sakti ini akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada
bahaya mengancam tubuhnya. Juga gadis ini melatih ilmu silat tangan kosong dan
ilmu pedang dari dua buah kitab lain yang sudah amat tua dan tidak berjudul
lagi, ilmu silat tangan kosong yang lebih mirip ilmu tari karena
gerakan-gerakan-nya indah sekali sehingga sering kali jika Sedang berlatih,
lulu ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa tarian adiknya amat indah
dan 'bahwa' adiknya bukan mempelajari ilmu silat melainkan ilmu tari. Namun,
dengan "ilmu tari" ini,.Lulu sudah dapat membuat biruang es mengaku
kalah! Adapun ilmu pedangnya juga amat indah, akan tetapi karena dipulau itu
mereka tidak mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih mempergunakan sebatang
ranting. Dengan adanya sinkang yang sudah mendarah daging itulah maka tadi
ketika Kong Seng-cu melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga
sinkang, begitu angin pukulan menyentuh kulit, otomatis sinkang di tubuh Lulu
bergerak dan me-nolak serangan dari luar itu maka gadis ini tidak merasakan
apa-apa sungguhpun bajunya sampai berkibar dilanda angin pukulan jarak jauh
tokoh Hoa-san-pai itu!
Wan Sin Kiat menjadi pucat
mukanya,dan pandang matanya menjadi kagum dan heran bukan main. Sebagat murid
tersayang dari im-yang Seng-cu seorang tokoh yang biarpun tingkatnya hanya
saudara seperguruan tiga orang tosu ini namun memiliki ilmu kepandaian jauh
lebih tinggi, dan sebagai seorang yang ahli dalam ilmu silat Hoa-san-pai, Sin
Kiat tadi dapat rnelihat jelas gerakan Kong Seng-cu dan maklum bahwa supeknya
itu dengan secara keji sekali telah melakukan pukulan jarak jauh yang di-sebut
jurus Sian-jin-hian-ko (Dewa Mem-beri Buah) dan yang mengandung tenaga sinkang
amat kuat. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagum nya ketika
melihat bahwa gadis yang telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk
lutut itu sama sekali tidak rnerasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak,
malah senyumnya makin lebar dan makin manis, mata yang lebar itu makin
bersinar-sinar!
"Eh, Tosu Codet. Engkau
mengeluarkan ilrnu hitam apakah?" Setelah bajunya berkibar dan dadanya
agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu sadar bahwa tosu itu tadi telah
memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia sengaja mengejek dan diarn-diam
gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena maklum bahwa para tosu
Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han Han.
Sementara itu, ketika melihat
betapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Kong Seng-cu kepada gadis Mancu itu
sama. sekalj tjdak berhasil, tiga orang tokoh Hoa.-san-pai inj diam-diam
terkejut dan berhati-hati. Mereka maklum bahwa. gadis Mancu yang masih remaja
itu telah memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak lumrah dimiliki seorang
gadis yang demikian muda. Tiga orang tosu itu menjadi serba salah. Mau
merintahkan anak murid turun tangan terhadap Han Han dan Lulu, mereka maklum
bahwa murid-murid yang berada di situ agak-nya bukanlah lawan pemuda berambut
riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang hebat itu. Mau turun tangan
sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu karena amatlah menurunkan
derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua orang yang masih amat muda,
boleh disebut setengah dewasa itu!
Tiba-tiba pandang meta Bhok
Seng cu yang memandangi para anak murid Hoa-san-pai dan anak buah
Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke Satu arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong Seng-cu
yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng mereka yang tentu saja sebagai,
orangtertua di antara mereka merupakan pe-nentu terakhir, mereka berdua pun
mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan wajah mereka berseri.
Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran suheng mereka dan merekapun
setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara,tiga orang tosu Hoa-san-pai ini telah
bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menghadapi Han Han
dan Lulu! Mereka itu sarna mudanya sehingga tidak akan menurunkan nama
Hoa-san-pai, mereka berdua itu pun mu-rid-murid Hoa-san-pai yang lihai ilmunya
sehingga di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap dan Hoa-san
Kiam-li. Dan yang menggirangkan hati ketiga orang ,tosu ini, dua orangmuda itu
adalah murid-murid Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai yang mereka
anggap menyeleweng dan murtad sehingga kalau dua orang murid itu sampai kalah,
Hoa-san-pai tidaklah terlalu merasa malu dan memang tiga orang tosu ini dalam
kebenciannya terhadap Im-yang Seng-cu, menjadi tidak suka pula kepada Sin Kiat
dan Soan Li.
Rasa benci terhadap Im-yang
Seng-cu bukan semata karena tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan Hoa-san-pai,
melainkan lebih banyak terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu membuat nama
besar bukan bersandar kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya telah bercampur
dengan ilmu-ilmu silat lain, dan di sam-ping ini, Im-yang Seng-cu tidak lagi
hidup terikat dan terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai seorang
pendekar dan petualang yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan dunia-wi!
"Murid-murid Wan Sin Kiat
dan Lu Soan Li! Pinto memerintahkan kalian untuk menangkap musuh Hoa-san-pai dan
adiknya, gadis Mancu itu. Kerjakan perintah pinto sebagai murid-murid
Hoa-san-pai yang baik!" Bhok Seng-cu berkata dengan nada suara halus dan
muka berseri. Dua orang sutenya mengangguk-angguk dan tersenyum sambil
meraba-raba jenggot mereka.
Sin Kiat dan Soan Li menjadi
terkejut bukan main mendengar perintah ini. Wajah mereka berubah dan jantung
mereka berdebar karena mereka tersudut kedalam keadaan yang serba salah. Untuk
membantah, perintah itu keluar. Dari mulut supek mereka dan dikeluarkan atas nama
Hoa-san-pai. Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka dapat memusuhi dua orang
muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua orang muda yang masing-masing
telah menjatuhkan hati mereka? Mereka tak tahu harus berbuat apa, merasa mundur
salah maju tidak sesuai dengan suara hati mereka. Apalagi ketika mereka melihat
betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan memandang mereka dengan sikap tenang
dan bahkan Lulu tersenyum-senyum me-mandang Sin Kiat karena gadis nakal ini
agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan melihat pemuda itu yang ia tahu
menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta, kini disuruh menyerang !
Teringatlah dua orang murid
Hoa-san-pai ini akan pesan suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu, "Kalian
memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan
kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu aseli dari Hoa-san-pai. Karena itu,
kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu
Suheng-suheng dan Sute-suteku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku
memegangperaturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang
demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun
sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka
banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan
tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap enikmatan hidup tanpa
pantangan-pantangan. lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari urusan
Hoa-san-pai.
Demikianlah pesan suhu mereka
dan kini, di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat
sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.
"Mengapa kalian tidak
lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menen-tang perintah pinto dan hendak
menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?" kini suara Bhok Seng-cu terdengar
keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua orang
muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai
Soan Li hanya dapat memandang
kepada suhengnya dengan pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat
mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu berkata.
"Supek, mohon maaf, bukan
sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala
perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa
Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin
teecu berdua harus memusuhi mereka?"
"Wan Sin Kiat! Bocah ini
telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suhengmu
sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu
gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya?
Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada kalian?" bentak
Kong Seng-cu.
Ucapan keras yang menambah
ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang
amat sunyi, terdengar oleh semua telinga, "Koko, Tosu Codet itu galak
sekali! Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi,
baru puas hatiku!"
"Sssttttt, Lulu, jangan
lancang mulut…..!" Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu saja
terdengar pula oleh semua orang. Kong Seng-cu hampir tak dapat menahan
kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata melotot. Untuk turun
tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan,
jantungnya serasa ditusuk-tusuk
oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.
"Supek," jawab Sin
Kiat dengan suara tenang, "Suhu mengajarkan agar teecu tidak sembrono
dalam sepak terjang teucu, tidak menurutkan panasnya nafsu hati melainkan
menggunakan pertimbangan pikiran dan liangsim (hati nurani). Biarpun Han Han
membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan karena
kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Adapun Adik Lulu
ini……..dia bukanlah musuh.dia tidak memusuhi kita.
"Kreeekkkkk!" Lengan
kursi yang di.duduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena dicengkeram
tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi kemarahannya.
"Murid murtad!" Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian
menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai
pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru, "Tangkap dua orang murid
murtad ini, dan kami akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu
itu!"
"Serrr….serrrrr……!"
Bhok Seng-cu menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah
Han Han dan Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi,
kini ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia
yang amat berbahaya, menyambar ke arah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi
hanya berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu.
Han Han mengibaskan tangannya
sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan , Lulu dengan sikap
lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek, "Wah, sayang
luput Tosu galak!"
Tan-piauwsu dan para sutenya,
juga anak buah Pek-eng-piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak
buah Hoa-san-pai, tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut
senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu! Di luar tahunya semua
orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah
memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan SoanLi cepat melarikan diri
saja sehingga terhindar pertandingan antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat
ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati mereka akan ikhtikad baik Kwee
Twan Giap.
Akan tetapi, sebelum dua orang
murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik
.melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak
diantara mereka meremang bulu tengkuk-nya mendengar suara ini. Suara ini keluar
dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil melengking keras,
kemudian berkata.
"Majulah semua! Tosu-tosu
picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan
yang kalian dapat!"
Lulu juga meloncat ke dekat
kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung, "Jangan
mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau kalian sudah
bosan hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Han Han
sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah
suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan golok karena
pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang
menyambar keluar dari kedua telapak tangan Han Han. Amat mengerikan akibatnya
karena empat orang itu roboh de-ngan lengan kanan sebatas siku gosong seperti
dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau
tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari
Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang!
Lulu menjadi gembira, tubuhnya
berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan
membuat seorang anak buah
piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya
patah tulangnya dan pedangnya
mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan
gerakan indah dan cepat,
seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pe-
dang itu telah berada di
tangannya, dan la melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan
memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah
boneka.
"Pedang yang bagus
sekali!'" Ia memainkan ronnce-ronce pedang yang berwarna kuning itu dan
mengelus-elus mata pedang yang tajam.
Melihat ini, Tan-piauwsu dan
para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju menyerbu, bukan menyerbu
Sin Kiat dan Soan Li, melainkan me-nyerbu Han Han dan Lulu yang telah bergerak
terlebih dulu. Biarpun sampai mati dalam pertandingan, mereka ini memilih mati
di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan orang-orang lain, bahkan boleh juga
dianggap musuh karena Han -Han telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai
sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu. Kalau mereka me-nyerbu Sin Kiat dan
Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau
tewas berarti mati konyol!
“Han Han…..Lulu-moi….,
kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka….!" Sin Kiat
berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak terjang Han
Han.
Lulu mendengar getaran suara
Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa
kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti
ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.
"Koko, jangan bunuh
orang……."
Pada saat itu, Han Han memang
telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apabila ia mengerahkan
sinkang di tubuhnya. latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun
adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin
menyiksa dan membunuh. Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai,
kemarahan-nya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini
telah bangkit di dadanya, sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak
kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas
hawa melainkan api. Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan
embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh
sebanyaknya, dan ia mengangguk
sambilberkata lirih.
"Lulu, kautahan mereka
itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong!" ,.
Lulu tersenyum, menggerakkan
tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok, tangan
kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata
mendelik, pingsan! Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang
ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang
aneh, juga di-tambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar
kesengajaannya ketika ia berlatih dengan biruang es yang lihai sekali.
Biasanya, kalau ia memukul tengkuk biruang es dengan tangan miring, biruang itu
kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, biruang es
itu hanya akan terhuyung. Siapakira orang ini sekali kena disambar tengkuknya
terus roboh pingsan!
Hebat bukan main sepak terjang
Lulu. Dia kini telah meloncat dekat kakak nya menyerahkan pedang dengan sikap
seperti anak kecil dan berkata, "Aku titip dulu,Koko, jangan sampai hilang
pedangkul" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran
seperti orang menari,namun cepat bukan main sehingga para anak buah
Peng-eng-piauwkiok hanya melihat bayangan berkelebatan di sekeliling mereka dan
mencium keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Lulu dan pada detik-detik
berikutnya, senjata-senjata di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun
mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lenganya, ada yang terkilir kakinya kena
tendangan, ada yang pening kepalanya dengan mata berkunang ,karena ditempiling,
dan ada pula yang mulas perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu. Mereka
seolah-olah melawan bayangan setan, membacok ,dan menusuk secara ngawur karena
tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah
kehilangan senjata dan tubuh mereka malang-melintang di ruangan itu!
"Bukan main !" Sin
Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang
ahli silat kelas tinggi, memiliki ginkang yang hebat, akan tetapi menyaksikan
gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang
saja! Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi itu? Siapakah
gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu dari golongan
bersih,kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau
Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda mengerikan
sekall, Jelas termasuk Ilmu dari kaum sesat.
Kini hanya tinggal Tan Bu
Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sutenya yang lain saja di antara para
piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika nnenyaksikan betapa semua anak
buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah.
Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang maju.Tentu
saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima ilmu
silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh
disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauwkiok tadi.
"Pergilah……!"
Terdengar bentakan Han Han yang tidak membiarkan adiknya .dikeroyok murid-murid
Hoa-san-pai ini.Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke kanan kiri……dan
empat orang murid Hoa-san-pai itu terpental sampai empat meter ke belakang,
roboh tak dapat bangkit kembali karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa
yang keluar dari kedua telapak tangan Han Han. Untung bagi mereka bahwa Han Han
masih ingat akan cegahan adik nya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya
membuat mereka roboh pingsan dengan tulang remuk saja.
"Siancai…… pemuda
iblis…….!”
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu
dengan gerakan tenang namun sesunggunnya cepat dan mengandung tenaga sinkang
yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu.
Melihat tiga orang kakek tokoh
Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi
khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini dan
karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaiqn
hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan. Mereka masih bingung dan
serbasalah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak
benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa ber-henti
berdetik.
"Koko, mana pedangku!
Biar kauserahan Si Codet galak itu kepadaku!" kata Lulu yang agaknya tidak
mengenal bahaya. Pedang itu tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika
ia membantu Lulu dan merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu
menyambarpedang itu dan terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.
"Hayo, Tosu Codet,
beranikah engkau melawan pedang wasiat jimat keramat-ku?
"Kong Seng-cu yang sudah
sejak tadi diejek dan dipermainkan Lulu, memuncak kemarahannya. Ia lupa diri,
lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti
dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut
pedang-nya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang gemilang kehijauan itu
bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu!
"Cring……iiihhhhh…..!
Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet! Wah, kauberikan saja pedangmu itu padaku dan
aku serta kokoku akan mengampunimu. Hayo, serah-kan pedangmu sebagai pengganti
nyawa-mu!”
Lulu berteriak kaget dan
mandang pedangnya yang tinggal sepotong. Ketika menangkis tadi, pedang
rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan
sekali beradu pedang rampasannya buntung. Maka ia menjadi tertarik sekali dan
wajah serta matanya berseri memandang pedang kehijauan yang dipegang Kong
Seng-cu.
Dapat dibayangkan betapa marah
dan mendongkol hati Kong Seng-cu mendengar ucapan gadis itu. Sudah terang bahwa
sekali serang saja, biarpun gadis itu berhasil menangkisnya, namun pedang gadis
itu menjadi buntung sehingga hal ini dapat dipakai ukuran bahwa dia sudah
menang dalam satu gebrakan. Namun gadis itu masih mengeluarkan ucapan untuk
menukar pedangnya dengan nyawa. Seolah-olah gadis itu baru mau mengampuninya
kalau dia sudah memberi "thiap" (sogokan) kepada gadis Mancu itu
berupa pedangnya! Padahal pedangnya itu bukanlah sembarang pedang! ltulah
pedang Cheng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau), sebuah pusaka Hoa-san-pai!
Cheng-kong-kiam ini dahulu amat terkenal didunia kang-ouw sebagai senjata ampuh
dari para pimpinan Hoa-san-pai dan kini berada di tangan Kong Seng-cu karena
dia merupakan seorang diantara pemimpin Hoa-san-pai dan di antara ketiga orang
tosu itu, dialah yang paling pandai dalam kiam-sut (ilmu pedang) Hoa-san-pai.
Dan sekarang, pedang itu diminta oleh Lulu sebagai barang "sogokan".
Sung-guh keterlaluan sekali!
"Perempuan Mancu keparat,
engkau tak patut dibiarkan hidup!" Kong Seng-cu yang sudah memuncak kemarahannya
itu kini menerjang maju dengan ganas, mengeluarkan jurus-jurus maut dari Ilmu
Pedang Hoa-san Kiam-sut.
"Ayaaaaa……, Tosu Codet
selain galak juga ganas sekali !" Mulut Lulu berkata demikian, akan tetapi
sesungguhnya dia tidak berpura-pura dan menjadi kaget sekali. Kasihan dara
remaja ini. Biarpun dia telah mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dan aneh
dari Pulau Es, akan tetapi dia kurang pengalaman dan selamanya dia hanya
berlatih dalam pertandingan pura-pura melawan biruang es. Kini dia diserang
oleh seorang tosu Hoa-san-pai tingkat empat yang memegang sebatang pedang
pusaka Hoa-san-pai pula, yang sudah menjadi ahli pedang sebelum dia terlahir.
Tentu saja dia terkejut dan kewalahan. Baiknya, selama di Pulau Es, gadis ini
telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga dia memiliki sinkang dan ginkang
yang tidak lumrah manusia biasa sehingga biarpun terdesak ia, selalu dapat
bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana kemari, mengelak terus
karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang tinggi sepotong.
"Sing-sing-sing……siuuuuutttt……aihhh...…"
Untuk ke sekian kalinya,. hampir saja ujung pedang bersinar hijau itu mencium
kulit leher Lulu yang putih halus sehingga gadis itu membelalakkan matanya dan
untung ia masih dapat cepat sekali menarik tubuh ke belakang lalu meloncat
keatas dan berjungkir-balik empat meter disebelah belakangnya. Namun Kong
Seng-cu yang sudah marah dan penasaran itu menerjang terus tanpa mengenal
kasihan.
Kong Seng-cu tidak malu
menyerang dengan pedangnya karena tadi Lulu juga memegang pedang, bahkan
biarpun sekarang pedang gadis itu tinggal sepotong, namun masih terus
dipegangnya sehingga gadis itu dapat dikatakan "bersenjata" dan dia
tidak akan disebut menyerang seorang yang bertangan kosong dengan senjatanya.
Berbeda dengan Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu. Mereka berdua setelah menyaksikan
betapa Kong Seng-cu sudah turun tangan terhadap gadis Mancu yang telah
merobohkan para anak buah Pek-eng-piauwkiok, lalu melangkah maju menghampiri
Han Han pula. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang
hebat juga, maka mereka pun tidak malu-malu untuk turun tangan berdua,
sungguhpun mereka masih merasa sungkan menggunakan senjata. Mereka percaya
bahwa andaikata seorang diri masih diragukan untuk dapat menundukkan pemuda
liar itu, berdua tentu akan dapat menawannya untuk diseret kedepan ketua
Hoa-san-pai. Dengan demi-kian, barulah nama besar dan wibawa Hoa-san-pai tidak
akan tercemar karena tewas dan robohnya beberapa orang anak murid Hoa-san-pai
di tangan bocah ini.
"Pemuda iblis,
menyerahlah!" Lok Seng-cu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pundak
Han Han .
Pemuda ini sudah menjadi
marah,apalagi melihat betapa Lulu diserang dengan pedang oleh Kong Seng-cu.
Kini menghadapi cengkeraman tangan Lok Seng-cu, ia sama sekali tidak mengelak,
bahkan menggerakkan tangan pula me-angkis sambil mengerahkan tenaga dengan
lengan kiri.
“Plakkkkk ……..!"
"Ayaaaaa……...!" Tubuh
Lok Seng-cu terpelanting dan hampir saja tosu ini roboh kalau saja dia tidak
cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik, wajahnya pucat dan lengan kirinya
agak membiru. Hawa dingin seperti es menusuk nusuk lengannya itu. Dia
sudah mendengar akan kelihaian Ma-bin Lo-mo yang kabarnya memiliki ilmu pukulan
Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Es) yang mengandung Im-kang yang amat
kuat. Akan tetapi sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa murid
datuk hitarn itu rnemiliki sinkang sekuat ini! Cepat Lok Seng-cu menghimpun
tenaga dalarnnya dan segera rasa dingin rne-nusuk-nusuk itu lenyap kernbali.
Melihat sutenya hampir roboh
dalam segebrakan, Bhok Seng-cu terkejut bukan main dan cepat ia pun menubruk
maju dari sebelah kanan pemuda itu dan mengirim dorongan dengan telapak
tangan-nya ke arah dada Han Han. Dorongan ini .bukan sembarang dorongan, melainkan
pukulan sakti yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang kuat sekali. HanHan
dapat merasai sambaran angin dahsyat yang panas, maka ia pun segera membuka
tangan kanan dan memapaki telapak tangan kakek itu yang mendorong-nya.
"Plak……!" Dua
telapak tangan yang mengandung hawa Yang-kang bertemudan melekat! Bhok Seng-cu
kembali tertegun dan cepat-cepat mengerahkan sinkangnya untuk memperkuat
Yang-kang yang mendorong keluar dari telapak tangannya. Pemuda ini menggunakan
Yang-.kang yang amat panas! Hal ini benar-benar mengagetkan Bhok Seng-cu karena
hawa panas yang menyambut telapak tangannya itu hampir tak tertahankan olehnya!
Melihat betapa suhengnya
telah turun tangan akan tetapi belum mampu merobohkan pemuda itu, Lok Seng-cu
menjadi penasaran dan ia pun menerjang maju dan kini ia memukul dengan
mengerahkan hawa Im-kang. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi Hoa-san-pai,
tiga orang tosu ini tentu saja telah kuat sekali sinkangnya sehingga mereka pun
menguasai tenaga Yang-kang maupun Im-kang. Lok Seng-cu yang sudah merasai
betapa pemuda itu tadi menerima ceng-keramannya dengan tangkisan yang
mengandung hawa sakti dingin, kini me-nyerang pula dengan Im-kang karena ia
maklum pula melihat jurus yang dipergunakan suhengnya bahwa Bhok Seng-cu
menyerang pemuda itu dengan Yang-kang dan bahwa pemuda itu menyambut dorongan
suhengnya dengan hawa sakti panas pula. Kesempatan bagus pikirnya.
Akan tetapi dapat dibayangkan
betapa kagetnya ketika tangan kiri pemuda itu menerima telapak tangannya dengan
sinkang yang berhawa dingin pula! Betapa mungkin ini? Dengan tangan kanannya
pemuda itu melawan hawa panas Bhok Seng-cu dengan hawa panas pula, dan dengan
tangan kirinya menghadapi Lok Seng-cu dengan sinkang yang berlawanan, yaitu
dengan hawa dingin! Lok Seng-cu juga merasa betapa hawa dingin yang keluar dari
telapak. tangan pemuda itu amat luar biasa dan hampir ia tidak kuat menahannya.
Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melawan. Adapun Bhok
Seng-cu yang sudah berkeringat dahinya karena hawa panas menjalari seluruh
tubuhnya, juga mengerahkan tenaga dengan mata setengah dipejamkan untuk melawan
sinkang pemuda itu yang benar-benar amat luarbiasa. Tiga orang ini, dengan
telapak tangan beradu, hanya berdiri tak bergerak, telapak tangan mereka saling
melekat.
Melihat ini, Wan Sin Kiat dan
Lu Soan Li menjadi bengong saking heran dan kagumnya. Han Han seorang diri
mampu menahan pukulan-pukulan sakti kedua orang supek mereka! Mereka sudah
menduga bahwa Han Han adalah seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa,
akan tetapi sungguh jauh melampaui batas dugaan mereka bahwa pemuda itu mampu
menahan serangan hawasakti kedua orang kakek itu, dan bahkan Han Han masih
dapat menengok dan memperhatikan keadaan Lulu yang terdesak hebat oleh pedang
Kong Seng cu yang lihai. Dua orang muda ini menjadi makin gelisah dan bingung.
Melihat anak buah Pek-eng-piauwkiok terluka semua termasuk Tan-piauwsu dan tiga
orang sutenya sehingga ruangan itu penuh dengan mereka yang rebah dan
merintih-rintih, kini melihat betapa Lulu terancam maut di ujung pedang Kong
Seng-cu, dan melihat Han han juga bergulat dengan maut, mereka menjadi bingung
tak tahu harus berbuat apa. Betapapun juga, Han Han dan Lulu jelas merupakan
musuh atau lawan fihak Ho-san-pai, sehingga menurut patut, sebagai murid-murid
Hoa-san-pai pula, mereka semestinya membantu para supek mereka. Kalau mereka
yang memiliki ilmu silat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tiga orang tosu
itu, bahkan dalam hal ilmu silat mungkin mereka lebih lihai, pada saat itu
turun tangan membantu, tentu Han Han dan lulu takkan dapat bertahan lebih lama
lagi. Namun hati mereka tidak mengijin kan mereka turun tangan dan karena
itu,mereka hanya memandang dengan muka pucat. Apalagi Sin Kiat yang jatuh cinta
kepada lulu, menjadi bingung sekali hatinya ingin sekali membantu lulu
membebaskan gadis itu dari desakan berbahaya pedang Kong Seng-cu, namun
bagaimana mungkin ia melawan supeknya sendiri? Sementara itu, Han Han memandang
ke arah adiknya dengan hati penuh kekhawatiran. Ia maklum bahwa menghadapi ilmu
pedang tosu itu, adiknya takkan.mampu mempertahankan diri lebih lama lagi.
Jangankan lulu, dia sendiri pun kalau harus bertanding mempergunakan atau
mengandalkan ilmu silat, bukanlah tandingan tosu-tosu Hoa-san-pai ini. Han Han
maklum bahwa menghadapi mereka,ia hanya dapat mengandalkan kekuatan sinkangnya,
karena dalam hal ilmu silat, dia tidak lebih pandai daripada Lulu kalau tidak
mau dikatakan bahkan lebih rendah lagi karena Lulu telah mempelajari ilmu silat
dari kitab peninggalan pemilik Pulau Es. Untuk menolong adiknya, ia harus cepat
menundukkan dua orang kakek ini.
"Aiiiggghhhhh…….!!"
Seruan dahsyat ini keluar dari dada Han Han dan kedua orang tosu yang
mempertahankan desakan sinkangnya menjadi kaget seperti disambar petir ketika
tiba-tiba mereka merasakan perubahan pada kedua lengan pemuda itu. Bhok Seng-cu
yang tadinya menghadapi hawa Yang-kang panas dari tangan Han Han, tiba-tiba
merasa betapa telapak tangan pemuda itu berubah menjadi dingin sekali, terlalu
dingin sehingga seluruh lengannya seperti ditusuk-tusuk jarum! Di lain fihak,
Lok Seng-cu yang tadinya menghadapi Im-kang dingin, tiba-tiba merasa betapa
tangan pemuda itu berubah menjadi panas luar biasa. Cepat kedua orang tosu itu
pun mengubah sin-kang mereka untuk menyesuaikan diri,akan tetapi kembali Han
Han menukar sinkangnya secara tiba-tiba. Dua orangtosu itu hampir tidak dapat
percaya ke pada perasaan tangannya sendiri. Selama hidup mereka, belum pernah
mereka menyaksikan hal seperti ini. Betapa mungkin mengubah-ubah sinkang secara
mendadak seperti itu? Karena perubahan-perubahan ini, mereka menjadi kacau dan
tak kuat bertahan lagi, sehingga ketika Han Han mengerahkan tenaga mendorong
tubuh mereka mencelat ke belakang dan mereka roboh terbanting dengan napas
megap-megap hampir putus karena dada mereka terluka oleh sinkang mereka
yang.membalik secara tiba-tiba. Cepat mereka bersila dan memejamkan mata untuk
menolong nyawa mereka yang terancam maut.
Han Han sudah meloncat ke
dekat adiknya dan sekali kedua tangannya mendorong ke depan, Kong Seng-cu tak
dapat bertahan. Tosu ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi dingin,
seolah-olah darah di tubuhnya membeku. Ia menggigil dan tanpa dapat ia cegah
lagi,pedang pusaka Cheng-kong-kiam terlepas dari tangannya yang menjadi kaku.
Lulu cepat menyambar pedang itu dan ter-tawa tawa girang sekali, tidak
mempedulikan lagi Kong Seng-cu yang sudah cepat duduk bersila, seperti kedua
orang saudara seperguruannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menolong nyawanya
yang terancam maut.
Suasana menjadi sunyi,
yang terdengar hanya rintihan beberapa orang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang
tak dapat menahan nyeri. Namun, tak seorang pun tewas dalam pertempuran aneh
yang hanya memakan waktu sebentar saja itu. Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li
terlampau terheran-heran sehingga mereka itu masih bengong. Han Han menggandeng
tangan Lulu yang masih mengagumi pedang rampasannya, kemudian Han Han menoleh
kepada dua orang murid Im-yang Seng-cu sambiJ berkata.
"Sin Kiat dan Adik Soan
Li, selamat tinggal. Kami berdua harus pergi sekarang juga."
Lulu juga menoleh kepada dua
orang muda itu, tersenyum manis dan mengedipkan matanya yang lebar kepada Sin
Kiat sambil berkata, "Selamat berpisahdan sampai jumpa pula, ya?"
Hati Sin Kiat terasa sakit dan
ia bersedih harus berpisah dari gadis yang telah merampas hatinya itu, akan
tetapi pada saat seperti itu dia tidak dapat berkata apa-apa, apalagi
menahannya, bahkan ia maklum. bahwa paling baik kedua orang itu cepat pergi
dari tempat itu. Juga Soan Li hanya dapat memandang punggung Han Han yang bidang
sampai bayangan kedua orang itu lenyap dari situ, keluar dari piauwkiok melalui
pintu gerbang yang sudah tidak terjaga lagi.
Sin Kiat memandang ke arah
tiga orang supeknya yang masih duduk bersila dengan wajah pucat akan tetapi
napas mereka tidak begitu sesak lagi, kemudian memandang kepada para suhengnya
yang terluka. Hatinya berduka sekali. la segera menghampiri Bhok Seng-cu dan
berkata dengan suara terharu.
“Supek, sungguh teecu merasa
menyesal sekali telah terjadi malapetaka ini.”
" Teecu mohon maaf tidak
dapat membantu Supek," kata pula Soan Li:
" Dia terlalu hebat,
seperti dewa……..andaikata teecu berdua melawan pun tidak akan ada
gunanya….." kata pula Sin Kiat, masih kagum bukan main menyaksikan sepak
terjang Han Han tadi.
Bhok Seng-cu membuka matanya
memandang kepada Sin Kiat dan Soan Li .Dua orang muda ini terkejut dan otomatis
melangkah mundur melihat betapa sinar mata Bhok Seng-cu penuh dengan api
kemarahan.
"Manusia-manusia
khianat! Murid-murid murtad! Pergilah! Mulai detik ini kalian bukanlah murid,
melainkan musuh Hoa-san-pai" .
"Supek……"
"Pinto bukan Supek
kalian, keparat!, pergi !!" bentak pula Bhok Seng-cu.
Sin Kiat dan Soan Li saling
pandang Di mata gadis itu tampak dua butir air
mata yang ditahannya agar
tidak runtuh Sin Kiat menghela napas panjang, bangkit berdiri karena tadi
mereka berlutut, lalu berkata lirih kepada Soan lie
"Marilah kita pergi,
Sumoi. Kelak Suhu tentu akan dapat mengerti keadaan kita……." Soan li juga
bangkit berdiri dan pergilah kedua orang muda itu meninggalkan rumah piauw.kiok
itu pergi dengan hati perih karena sebagai tokoh-tokohmuda Hoa-san-pai yang
sudah membuat nama besar dan mengharumkan nama Hoa-san-pai, kini mereka diusir
pergi dan tidak diaku sebagai murid. Padahal julukan mereka pun memakai nama
Hoa-san
***
Siauw-lim-pai merupakan
perkumpulan atau partai silat yang bukan saja paling tua. Banyak orang
mengatakan bahwa Siauw-lim-pai merupakan sumber dari semua partai persilatan
yang kemudian timbul, dan sudah tentu saja ilmu silat yang keluar itu bercampur
baur dengan gerakan-gerakan dari lain golongan dan suku bangsa sehingga ratusan
tahun kemudian, ilmu silat dari partai lain sudah tak dapat dibedakan lagi
dengan sumbernya. Tentu saja amat berbeda dalam lagak ragam dan kembangannya
saja karena kalau dilihat lebih mendalam pada dasarnya memang tiada perbedaan
dalam ilmu silat yang hanya terdiri dari dua pokok, yaitu menjaga diri serapat
mungkin dan menyerang lawan setepat mungkin.Semenjak pertama kali didirikan
olehtokoh besar dalam dunia persilatan maupun Agama Buddha, yaitu Tat Mo
Couw-su, Siauw-lim-pai selalu berada di bawah bimbingan para hwesio sehingga di
mana-mana didirikan kuil Siauw-lim atau Siauw-lim-si. Sesuai dengan alam
fikiran manusia yang selalu berubah ubah, di dalam Siauw-lim-pai sering kali terjadi
perubahan yang tentu saja ditentukan oleh pimpinan setempat dan terdorong oleh
keadaan pula. Perubahan peraturan yang kadang-kadang amat menyolok. Pernah
terdapat peraturan dalam kuil Siauw-lim-si yang mengeJuarkan pantangan bagi
seluruh murid untuk berdekatan dengan wanita! Bahkan ada larangan keras bagi
tamu-tamu wanita yang datang bersembahyang ke kuil untuk melangkah melewati
pintu tengah yang sudah dijadikan garis demarkasi! Mungkin peraturan ini
dikeiuarkan untuk memperkuat batin para murid yang sedang digembleng agar
jangan sampai ternoda oleh nafsu berahi karena sesungguhnya, terutama bagi
mereka yang sedang melatih sinkang, hubungan dengan wanita merupakan pantangan
dan penghalang besar sekali bagi penghimpunan tenaga murni.
Akan tetapi, peraturan yang
kelihatan seolah-olah "anti wanita" ini pun tidak dapat dipertahankan
dan kembali terjadi perubahan di mana para tokoh Siauw-lim-pai ada yang mulai
menerima murid-murid wanita. Hal ini terutama sekali terjadi atas kesadaran
para tokoh Siauw-lim-pai bahwa dalam keadaan negara kacau, fihak wanitaiah yang
sering kali mengalami penghinaan dan kekejian-kekejian karena fihak wanita
termasuk golongan lemah. Maka,dalam keadaan negara kacau dan kejahatan
merajalela, perlu sekali wanita diharuskan menjadi nikouw (pendeta),sekarang
murid murid itu, baik pria maupun wanita tidak diharuskan mencukur rambut
menjadi pendeta, akan tetapi tentu saja mereka ini sekaligus menjadi pula murid
murid agama Budha. Hal ini adalah penyebarluasan agama mereka melalui perguruan
silat.
Demikianlah, peraturan bebas
kewajiban menjadi pendeta ini sudah berjalan seratus tahun lebih, jauh sebelum
bangsa Mancu menyerbu pedalaman dan menjajah dengan mendirikan Kerajaan Ceng
sehingga di dalam Siaw-lim-pai terdapat tokoh-tokoh bukan pendeta seperti
Kang-lam Sang-eng, dan bahkan tujuh orang
tokoh Siauw-lim-pai sendiri,
murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu
Siauw-lim Chit-kiam, terdiri
dari hanya dua orang hwesio dan lima orang bukan
hwesio. Pada masa itu, anak
murid Si-auw-lim-pai tersebar luas di kalangan
rakyat jelata, ada yang
menjadi petani,nelayan, piauwsu, kauwsu (guru silat)
dan banyak pula yang menjadi
pendekar-pendekar perantau.
Pada waktu itu, yang menjadi
ketua Siauw-lim-pai adalah guru Siauw-limChit-kiam berjuJuk Ceng San Hwesio.
Hwesio ini usianya kurang lebih delapan puluh tahun, bertubuh tegap agak
kurus,berwajah keren dan penuh wibawa. Seperi halnya Hoa-san-pai dan banyak
perkumpulan silat lainnya, diam-diam Siauw-lim-pai juga menentang bangsa Mancu
yang datang menjajah. Sunguhpun tidak secara terang-terangan, namun banyak para
pendekar Siauw-lim-pai membantu perjuangan para patriot yang berusaha menentang
dan mengusir penjajah yang.makin lama makin kuat itu. Apalagi karena Ceng San
Hwesio sendiri adalah seorang yang anti penjajahan, sehingga sejak penjajahan
Mancu, lenyaplah sebagian besar kesabarannya sebagai seorang hwesio dan
semangat patriotnya timbul, mengeraskan hatinya dan mengeraskan wajahnya. Di
dalam setiap per-temuan dengan murid-muridnya, dia selalu memberi wejangan agar
para anak murid Siauw-lim-pai melakukan segala usaha untuk menentang
bangsa Mancu kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sebagai ketua Siauw-lim-pai,
tentu saja Ceng San Hwesio memiliki ilmu
kepandaian yang hebat sekali.
Dia seorang ahli lweekeh yang sudah matang
sehingga benda apa pun juga
yang beradadi tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi Ceng San
Hwesio tidak pernah mempergunakan senjata, tidak mau mempergunakan tongkat
hwesio sebagai senjata seperti kebiasaan para ketua lainnya, melainkan lebih
suka mengandalkan tasbih putih yang terbuat dari pada biji jagung jali yang
besar-besar.
Seperti telah dlsinggung; di
bagian de beberapa kali telah terjadi bentrokan-bentrokan antara anak murid
Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Akan tetapibentrokan-bentrokan ini hanya terjadi
karena urusan pribadi dan berkat kebijaksanaan para pimpinan kedua fihak,
bentrokan antara kedua partai yang sama-sama menjadi pembantu-pembantu para
pejuang itu dapat diredakan, bahkan diantara para pimpinan telah menghukum
murid masing-masing dan saling minta maaf sehingga urusan dianggap telah
selesai.
Ceng San Hwesio yang memegang
keras peraturan, berdisiplin terhadapmurid-muridnya, selain memberi hukuman
kepada murid-murid yang menimbulkan.bentrokan juga mengeluarkan ancaman bahwa
siapa yang membuat gara-gara keributan dan menimbulkan bentrokan baru dengan
fihak Hoa-san-pai, akan dihukum berat.
Akan tetapi, beberapa hari
kemudian ketika hwesio penjaga pintu membuka pintu gerbang Siauw-lim-si dan
siap untuk menyapu pekarangan, dia melihat tubuh tiga orang menggeletak di
depan pintu. Ketika diperiksa, hwesio ini kaget sekali mendapat kenyataan bahwa
mereka adalah murid-rraurid Siauw-lim-pai yang membuka toko obat di kota
Seng-kwan. Segera ia berseru minta tolong dan beberapa orang hwesio mengangkat
tiga batang tubuh itu ke dalam. Dua di antaranya sudah tewas, sedangkan seorang
diantara mereka masih hidup akan tetapi sudah empis-empis napasnya dan
keadaannya payah sekali.
Kebetulan sekali pada waktu
itu, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam
berada di kuil itu. Mereka ini
adalah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim
Chit-kiam. Ketika mendengar ribut-ribut, dua
orang pendekar pedang
Siauw-jim yang sedang menghadap suhu mereka, segera keluar untuk melihat
mewakili Ceng San Hwesio. Mereka berdua kaget seka!i dan cepat memeriksa. Tiga
orang anak muridSiauw-lim-pai itu terluka oleh pedang yang menggorok leher
mereka. Yang dua orang hampir putus lehernya dan telah mati, sedangkan yang masih
hidup terluka parah, tak dapat diharapkan lagi dapat tertolong.
Liong Ki Tek yang bersikap
tenang, cepat menotok beberapa jalan darah dipundak clan punggung orang yang
terluka hebat itu sehingga rasa nyeri tidaklah terlalu hebat lagi. Begitu rasa
nyeri mereda, orang yang sekarat itu mengeluarkan suara yang tidak jelas,
berbisik dan seperti mengorok tertahan di kerongkongannya. Akan tetapi Liong Ki
Tekclan Liok Si Bhok sudah dapat mendenga rapa yang dimaksudkan anak murid
yangsekarat itu.
"……..Hoa-san-pai…….Tee-kong-bio…..”
Setelah mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas itu, anak murid Siauw-lim-pai
itu pun menghembuskan napas terakhir menyusul kedua orang saudaranya yang tewas
lebih dulu.
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek
lalu menghadap guru mereka untuk merundingkan peristiwa menyedihkan itu. Ceng
San Hwesio yang biasanya bersikap tenang saat itu menjadi merah mukanya dan
jelas sekali bahwa hwesio tua ini diserang nafsu kemarahan yang besar.
"Kalian pergilah, carilah
mereka di Tee-kong-bio, akan tetapi jangan bunuh tangkap mereka dan seret ke
sini. Pinceng menghendaki agar dia menjadi tawanan kita sehingga ada pimpinan
Hoa-san-pai yang datang untuk mendengarkan kekejaman-kekejaman anak murid
mereka. Sungguh keji sekali !"
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek
segera berangkat meninggalkan kuil Siauw lim-si untuk mencari Tee-kong-bio
(Kuil Dewa Bumi) yang terletak di luar dusun Ciu-si-bun. Kuil ini sebenarnya
hanyalah bekas kuil, karena sudah tidak dipakai lagi tidak dipergunakan sebagai
kuil. Letaknya pun di luar kota, di pinggir jalan sebuah hutan dan karena tidak
ada yang merawatnya, maka menjadi kotor dan rusak. Akan tetapi, perlengkapan
kuil itu masih ada, seperti meja-meja sembahyang yang reyot, arca-arca dan
ukiran-ukiran di dinding yang sudah berlumut.Tidak ada yang berani mengambil
benda-benda di situ atau mengganggunya karena menurut desas-desus di
dusun-dusun sekeliling tempat itu, Tee-kong-bio sekarang dihuni oleh
mahluk-mahluk halus atau iblis-iblis sehingga tempat itu menjadi angker.
Karena keadaan kuil yang
dianggap angker inilah maka ketika Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek keluar dari
dusun Ciu-si-bun menuju ke kuil itu, keadaan disekeliling tempat itu sunyi
seperti kuburan. Waktu itu sudah menjelang senja, dan sungguhpun cuaca belum
gelap, namun tidak ada penduduk dusun yang berani berada di daerah angker ini.
Kesunyian itu amat terasa oleh dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini dan mereka
berjalan terus dengan tenang dan penuh kewaspadaan.
“.Liong-sute, aku masih
ragu-ragu akan kebenaran ucapan murid yang sudah dalam sekarat itu. Mereka
adalah pedagang pedagang obat di kota, bagaimanama mereka bisa menyebut nama
Hoa-san-pai di Tee-kong-bio?"
"Entahlah, Liok-suheng.
Aku sendiripun ragu-ragu. Akan tetapi, agaknya tidak sembarangan dia mengatakan
itu tentu ada hubungannya. Aku yakin ter-dapat rahasia dalam peristiwa itu dan
rahasianya terletak di kuil depan itu."
Liok Si Bhok yang sudah
berusia enampuluh tahun lebih itu mengangguk-angguk. Dia merupakan tokoh ke
enam dari Siauw-lim Chit-kiam, seorang yang bertubuh pendek gemuk namun
tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit sekali, wajahnya bundar dan
selalu kelihatan serius, namun mulutnya hampir tersenyum selalu menandakan
bahwa dalam keseriusannya itu sebetulnya dia adalah seorang yang peramah.
Adapun Liong Ki Tek, orang ketujuh atau yang termuda dari Siauw-lim Chit-kiam,
usianya kurang lebih limapuluh lima tahun, berbeda dengan suheng ke enam itu,
tubuhnya tinggi kurus sehingga tinggi suhengnya hanya sampai dipundaknya. Sikap
orang termuda. Dari Tujuh Pedang Siauw-lim-pai ini amat tenang sehingga
kelihatan lamban, akan tetapi biji matanya yang bergerak-gerak terus itu
menandakan bahwa biarpun tenang ia sarna sekali tidak lamban melainkan terus
waspada dan setiap urat syaraf di tubuhnya sudah siap.
Ketika kedua orang tokoh
Siauw-lim-paj ini memasuki pekarangan kuil Tee-kong-bjo yang sunyi, tiba-tiba
mereka mendengar kepak sayap burung. Dengan kaget mereka mengangkat muka
memandang. Kiranya ada tiga ekor burung gagak terbang dari atas genteng kuil
itu, agaknya terkejut oleh kedatangan mereka. Melihat ini, kedua orang itu
saling pandang dan menjadi agak kecewa. Terbangnya tiga ekor burung itu dapat
diartikan bahwa di kuil itu tidak ada orangnya tentu burung yang ketakutan
melihat mereka datang itu tidak akan berani tinggal di situ.
Akan tetapi mereka melangkah
maju terus, melewati pekarangan yang lebardan yang tertutup rumput agak tinggi
itu, sampai di anak tangga yang cukup tinggi, ada dua puluh anak tangga
banyaknya sehingga ruangan depan kuil itu tingginya hampir dua meter dari tanah
dipekarangan. Biarpun mulut kedua orang kakek ini tidak mengeluarkan suara,
namun keduanya seperti te!ah bersepakat dan melangkahlah mereka menaiki anak
tangga dengan langkah ringan dan sikap tenang. Begitu mereka melangkahi anak
tangga terakhir dan tiba di ruangan depan, terdengar suara bercicit keras daan
keduanya siap untuk menghadapi serangan senjata rahasia ketika pandang mata
mereka yang tajam dapat menangkap meluncurnya dua buah Benda hitam dari sebelah
dalam kuil. Akan tetapi sebelum benda itu menyerang mereka, benda benda itu
menyambar ke atas dan mengeluarkan bunyi bercicit, dan ternyata dua buah benda
hitam itu adalah dua ekor kelelawar .besar!
Li-ok Si Bhok dan Liong Ki Tek
saling pandang, tersenyum dan menghela napas panjang. Mereka tadi sudah merasa
agak tegang, dan kini ternyata mereka kecelik. Bahkan keluarnya dua ekor
kelelawar dari sebelah dalam kuil ini lebih meyakinkan dugaan mereka bahwa kuil
itu kosong karena kalau memang ada orang-nya, tentu dua ekor kelelawar itu
sudah sejak tadi terbang pergi, tidak menanti kedatangan mereka yang
mengejutkan binatang itu.
"Aht Chit-te (Adik ke
Tujuh), tempatini tidak ada orangnya…….." kata Liok Si Bhok, kecewa.
"Sebaiknya kita
menyelidiki keadaan di dalam Liok-heng (Kakak ke Enam)," jawab Liong Ki
Tek. Karena hubungan diantara Siauw-lim Chit-kiam amat erat sehingga mereka itu
bukan hanya merupakan kakak beradik seperguruan melainkan merasa seperti kakak
beradik sekandung kadan-kadang mereka menyebut kakak dan adik.
Mereka maju terus akan tetapi
karena hati mereka merasa makin
yakin bahwa
kuil itu kosong,mereka tidaklah menjadi tegang lagi, bahkan ada sebagian
atapnya yang runtuh. Arca-arca yang tidak terawat di situ bahkan kelihatan
makin menyeramkan. Mereka melangkah maju terus, meneliti setiap ruangan yang
mereka lalui. Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah karena pada saat yang
sama kedua orang gagah perkasa ini mencium bau yang amat harum. Bau minyak
harum yang biasa dipakai wanita! Mereka mengerutkan kening. Seperti para suheng
mereka, baik yang menjadi hwesio seperti Lui Kong Hwesio dan Lui Pek Hwesio
orang ke dua dan ke lima dari Siauw-lim Chit-kiam, kedua orang ini. Pun
merupakan murid-murid angkatan lama sehingga mereka pemah mengalami pelajaran
pantangan mendekati wanita. Bahkan mereka itu, seperti suheng-suheng mereka,
tidak pernah kawin. Maka, begitu mencium bau harum minyak wangi yang menandakan
bahwa di situ ada wanitanya, mereka mengerutkan kening. Bukan hanya karena
mereka segan berurusan dengan wanita, melainkan juga mereka terkejut menghadapi
kenyataan ini. Kalau di situ ada orangnya, apalagi wanita, hal ini berarti
bahwa wanita atau siapa adanya orang yang memaka iwangi-wangian itu tentu
memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Sedemikian halus dan ringan tentu
gerakan-gerakannya sehingga kelelawar dan burung gagak yang berada di kuil itu
sampai tidak tahu dan tidak menjadi kaget.
" Sahabat-sahabat
Hoa-san-pai, silakan keluar. Kami dua orang utusan Siauw-lim-pai ingin bertemu
dan bicara!” Liok Si Bhok berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga
suaranya bergema diseluruh kuil, bahkan menggetarkan sarang laba-laba yang
banyak terdapat di sudut-sudut ruangan itu. Mereka berdiri ditengah-tengah
sebuah ruangan lebar dimana terdapat empat buah pintu, menjurus ke empat
penjuru. Daun-daun pintunya tertutup, hanya sebuah yang menuju keluar terbuka
karena mereka yang membukanya tadi ketika masuk dari luar. Hati mereka makin
yakin bahwa kuil ini ada penghuninya ketika melihat bahwa berbeda dengan
ruangan-ruangan lain dibagian depan, ruangan yang paling lebar dan berada di
bagian belakang kuil ini lantainya bersih seolaholah sering disapu
Gema suara Liok Si Bhok
mengaung menyeramkan, kemudian sunyi kembali. Selagi dua orang tokoh
Siauw-lim-pai jtu meragu apakah benar-benar adapenghunjnya kuil itu, terdengar
suara tertawa merdu, suara ketawa wanita yang halus dan bernada genit, seperti
suara ketawa kuntilanak yang menyeramkan. Biarpun dua orang tokoh Siauw-lim-pai
itu merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan tidak pernah mengenal takut,
namun suasana di kuil itu dan suara ketawa ini membuat bulu tengkuk mereka
meremang. Namun mereka dapa segera menindas perasaan ngeri ini dan
Liong Ki Tek lalu membentak.
"Manusia atau siluman,
kami orang keenam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tidak merasa
takut!"
"Hi-hi-hi-hik, Liok Sj
Bhok dan Ljong Ki Tek mengantar kematiannya, masih bermulut besar!"
Perlahan-lahan tiga buah daun
pintu terbuka dari luar dan masuklah tiga orang dari tiga buah pintu itu. Dari
pintu belakang masuk seorang wanita yang usianya tentu sudah empat puluh tahun
lebih, akan tetapi masih kelihatan cantik sekali, berpakaian mewah dan bersikap
genit, terutama sekali matanya yang penuh dengan sinar rafsu berahi. Akan
tetapi yang. amat mengerikan adalah kedua buah tangannya. Tangan yang kecil
berjari runcing halus bagus sekali, hanya warnanya merah seolah-olah kedua
tangan itu berlumur darah!
Dari pintu kiri muncul seorang
kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti dipulas arang, usianya
mendekati enam puluh tahun namun masih jelas tampak bahwa dia kuat sekali dan
bertenaga besar. Kesombongan bersinar dari sepasang matanya yang bulat dan
lebar. Adapun dari pintu kanan muncul seorang kakek yang usianya sebaya akan
tetapi dalam segala hal merupakan lawan merupakan lawan kakek muka hitam karena
kakek ini tubuhnya pendek kecil mukanya putih seperti dibedaki, keliahatannya
lemah tak bertenaga dan pandang matanya seperti orang mengatuk, matanya sipit.
Liok Si Bhok dan Liok Ki Tek
adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, bahkan sudah
mengenal tokoh-tokoh besar. Maka begitu melihat tiga, orang ini, jantung mereka
berdebar keras karena mereka mengenal mereka itu sebagai tokoh-tokoh sakti dari
golongan sesat! Wanita cantik genit itu bukan lain adalah Ma Su Nio yang
terkenal dengan julukan Hiat-ciang Sian-Ii (Dewi Bertangan Darah), seorang
tokoh sakti yang cabul genit dan kejamnya seperti iblis betina! Adapun kakek
bermuka hitam yang tinggi besar itu adalah Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam),
se-dangkan kakek bermuka putih adalah Pek-giam-ong (Raja Maut Putih). Mereka
berdua adalah kakak beradik.dan terkenaldengan sebutan Hek-pek Giam-ong yang
selalu muncul berdua dan setiap kali turun tangan tentu berdua sehingga
merupakan lawan yang amat tangguh. Tiga orang ini adalah murid-murid dan juga
pembantu-pembantu Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, seorang di antara
datuk-datuk golongan hitam atau kaum sesat!
Akan tetapi, dari tiga orang
yang muncul ini tidak ada tercium bau harum tadi. Memang Hiat-ciang Sian-li Ma
Su Nio ada juga membawa bau wangi, akan tetapi berbeda dengan keharuman tadi,
bahkan di antara bau wangi, yang datang dari tubuh Dewi Tangan Darah ini
tercium bau amis darah! Adapun Hek-pek Giam-ong sama sekali tidak membawa bau
harum, kalau ada membawa bau, paling-paling juga bau apek karena pakaian
berkeringat yang tak pernah dicuci.
Setelah kini semua pintu yang
menembus ruangan itu terbuka, bau harum itu makin keras dan ternyata datangnya
dari atas. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek cepat memandang ke atas dan……jauh di
atas balok melintang tampak duduk dua orang muda, seorang gadis cantik dan yang
seorang lagi pemuda yang tampan. Gadis itu cantik sekali, tubuhnya ramping
padat hidungnya mancung dagunya runcing dan sepasang mataya seperti mata burung
hong jantan. Rambutnya yang hitam panjang itu hanya diikat dengan sutera
di belakang tengkuk, dibiarkan melambai ke punggung. Kepalanya ditutup atau
lebih pantas dihias sebuah topi buIu putih yang kecil, dengan sebatang buIu
burung menjadi penghias.Kedua telinganya digantungi sepasang anting-anting emas
dan kedua lengannya bergelang emas pula. Gadis yang usianya sukar ditaksir,
kurang lebih dua puluhtahun ini, tersenyum-senyum dan agaknya bau wangi yang
sedap harum itu keluar dari tubuh dan pakaiannya. Di sebelah kirinya duduk pula
di atas balok itu,seperti si gadis, dengan kedua kaki ongkang-ongkang, seorang
pemuda tampan dan gagah, Usianya sebaya dengan gadis itu. Pemuda ini tubuhnya
tinggi tegap wajahnya ganteng dan pakaiannya amat indah, dari sutera disulam
menyaingi keindahan pakaian gadis itu. Wajahnya yang ganteng itu terawat baik,
berklulit putih halus dan rambut nya pun tersisir rapi dan halus kelimis.
Sayang bahwa wajah yang tampan itu memiliki hidung yang agak besar terlalu
besar dan melengkung, dengan sepasang mata yang mengandung sinar tajam,
bengis dan kejam.
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai
itu terkejut bukan main. Mereka tidak me-.: ngenal dua orang muda itu, akan
tetapi kenyataan bahwa mereka itu dapat ber-ada di situ sejak tadi tanpa mereka
ketahui bahkan tanpa diketahui kelelawar dan burung yang hanya terbang setelah
mereka berdua datang, membuktikan bahwa dua orang muda itu bukanlah orang
sembarangan. Akan tetapi karena tidak tahu siapa adanya kedua orang muda itu,
dan tidak tahu pula apa hubungannya mereka dengan tiga orang murid
Kang-thouw-kwi ini, dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu hanya menggunakan seluruh
perhatian untuk menghadapi Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-Ii.
” Hemmm, kirananya Hiat-cian
Sian-Ii dan Hek-pek Giam-ong yang berada didalam kuil ini. Sungguh tidak kami
sangka. Akan tetapi karena ternyata Sam wi (Tuan Bertiga) yang berada di
sini,kiranya Sam-wi dapat memberi keterangan kepada kami tentang tiga orang
anak murid Siauw-lim-pai yang terluka parah ……”
Tiga orang murid Setan Botak
itu kelihatan terkejut clan mereka memandang ke atas dengan sikap tenang.
" Kongcu (Tuan Muda),
bagaimana mereka ini bisa tahu...?" kata Hiat-ciang Sian-lie
"Hemmm, agaknya
Suheng bekerja kurang sempurna sehingga di antara mereka ada yang belum mampus dan
membuka rahasia……" pemuda tampan itu mencela.
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek
adalah tokoh-tokoh yang sudah banyak pengalaman. Begitu mendengar percakapan
ini, mengertilah mereka akan duduk perkara. Kiranya murid-murid Setan Botak
yangmemang menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu yang telah membunuh
tiga orang murid Siauw-lim-pai dan agaknya mereka itu menyamar sebagai
orang-orang Hoa-san-pai untuk menjalankan siasat adu domba antara Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai! Hanya mereka merasa heran mendengar betapa pemuda itu menyebut
suheng kepada murid-murid Setan Botak yang menjadi tanda bahwa pemuda itu murid
Setan Botak pula, akan tetapi mengapa Hek-pek Giam-ong dan juga Hiat-ciang
Sian-Ii menyebutnya kongcu? Siapakah pemuda itu yang melihat sikapnya dan
mendengar ucapannya seolah-olah yang menjadi pemimpin di antara mereka?
"Bagus sekali!"
Liong Ki Tek sudah membentak marah, "Kiranya kalian ini orang-orang sesat
yang membunuh anak murid kami kemudian menyamar sebagai orang Hoa-san-pai untuk
mengadu domba!" Sambil membentak demikian, Liong Ki Tek sudah mencabut
pedangnya, berbareng dengan suhengnya.
.Tiba-tiba terdengar suara
merdu dan halus, akan tetapi lidahnya asing sehing ga bahasa yang diucapkannya
terdengar lucu, "Lebih baik lagi begini! Sudah kukatan bahwa memancing
ikan besar harus menggunakan umpan besar pula! Tiga orang itu hanya merupakan
ikan teri,kurang besar untuk dijadikan umpan. Kalau kita menggunakan yang besar
ini sebagai umpan, pasti berhasil. Siauw-lim-pai sukar dipancing, hendak kulihat
nanti kalau mereka melihat mayat dua orang ini. Ouwyang-twako, jangan
khawatir,rencana kita sekali ini pasti berhasil. Eh,kalian bertiga tidak lekas
turun tangan, hendak menunggu apa lagi?"
Berbareng dengan
teriakan-teriakan mereka, tiga orang murid Setan Botak itu maju menyerbu. Liok
Si Bhok dan Liong Ki Tek memutar pedang melindungi diri, dan di dalam hati
mereka timbul pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka menjadi heran terhadap
gadis itu.Jelas bagi mereka bahwa gadis itu adalah seorang gadis Mancu yang
agaknya malah lebih berpengaruh dari pada si pemuda she Ouwyang itu, terbukti
dari ucapannya yang nadanya seperti orang bicara kepada bawahannya!
Akan tetapi, dua orang
tokoh Siauw-lim-pai ini tidak dapat memecah perhatian mereka karena tiga orang
lawan mereka sudah mengirim pukulan-pukulan maut yang amat berbahaya. Mereka
itu adalah murid-murid pilihan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat. yang terkenal
sebagai seorang ahli Yang..kang. Tidak mengherankan apabila kedua orang kakek
Hek-pek Giam-ong itu amat lihai, karena keduanya mempunyai ilmu pukulan
berdasarkan Yang-kang disebut Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa)
dan setiap kali mereka mengirim pukulan, tangan mereka didahului menyambarnya
hawa yang amat panas melebihi panasnya api! Mereka berdua inilah yang telah
membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai dan karena mereka itu hendak
menimbulkan kesan seolah-olah orang-orang Hoa-san-pai yang biasa menggunakan
pedang, mereka tidak menggunakan pukuIan Toat-beng Hwi-ciang mereka ketika
membunuh tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu, melainkan dengan sebatang
pedang. Akan tetapi, andaikata mereka itu memegang pedang sebagai. manapun
juga.
Akan tetapi, lebih hebat lagi
daripada dua orang Raja Maut itu adalah serangan yang keluar dari sepasang tangan
merahMa Su Nio. Hawa pukulan wanita. Ini juga mengandung panas yang hebat,
namun di samping hawa panas ini juga membawa bau amis dan mengeluarkan suara
bercicitan sangat tinggi menggetarkan jantung. Sesuai dengan julukannya, kedua
tangan wanita ini memiliki pukulan-pukulan beracun yang amat hebat karena yang
teracun oleh pukulan ini adalah darah lawan yang langsung akan membunuh lawan
dari dalam!
Liok Si Bhok dan Liong
Ki Tek maklum akan kelihaian tiga orang lawan mereka. Biarpun lawan mereka itu
bertangan kosong, namun sesungguhnya gerak pukulan mereka lebih berbahaya dari
pada datangnya luncuran anak panah beracun. Mereka memutar pedang melindungi
tubuh, namun karena terus menerus diserang secara bertubi tubi, pedang mereka
itu hanya dapat dipergunakan untuk pertahanan, sama sekali mereka tidak
mendapat kesempatan untuk menggerakkan pedang membalas. Karena ini, mereka
segera mengeluarkan suara keras dan itulah suara sebagai tanda bagi Siauw-lim
Chit-kiam untuk mengeluarkan ilmu yang mereka andalkan, ilmu pedang yang amat
ampuh yang khusus diajarkan oleh ketua Siauw-lim-pai kepada tujuh orang tokoh
Siauw-lim itu, yaitu Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bihtang). Begitu
kedua orang ini mainkan Chit-seng-sin-kiam dengan pedang .mereka, tiga orang lawan
mereka berseru kaget dan meloncat mundur.
Ilmu pedang Chit-seng-sin-kiam
ini memang hebat luar biasa, diciptakan oleh ketua Siauw-lim-pai dengan bantuan
suhunya yang masih hidup dan sudah berusia tua sekali. Bukan sembarangan ilmu
pedang, melainkan ilmu pedang yang digerakkan dengan sinkang yang kuat sehingga
sinar pedangnya menjadi bergulung-gulung panjang dan dapat melukai lawan dari
jarak jauh. Apalagi kalau dimainkan oleh ketujuh orang Siauw-lim Chit-kiam,
keampuhannya menggila sehingga pernah Siauw-lim Chit-kiam ini dapat menandingi
Setan Botak yang terkenaI sebagai seorang di antara datuk-datuk hitam yang
sakti. Sungguhpun akhirnya Siauw-lim Chit-kiam terdesak, namun tidaklah mudah
bagi datuk hitam itu untuk mencapai kemenangan. Kini,dimainkan oleh orang ke
enam dan ketujuh dari tujuh pendekar pedang Siauw-lim itu, sudah cukup hebat
sehingga membuat ketiga orang murid Setan Botak terdesak mundur, gentar
menghadapi sinar pedang yang berkilauan dan mengandung hawa yang dingin namun
berbahaya itu.
Dua gulungan sinar pedang itu
kini bersatu, merupakan sinar kilat yang membentuk lingkaran-lingkaran aneh
mengurung dan menindih tiga orang tokoh hitam yang terpaksa harus meloncat
kesana kemari untuk menghindarkan diri dari sinar pedang yang berbahaya itu.
“Rebahlah!!” Bentakan ini
keluar secara berbareng dari mulut Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek dan sinar
pedang mereka tiba-tiba berpisah, terpecah dua dan secepat kilat membabat
tangan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang melakukan pukulan mendorong. Kedua orang
kakek ini terkejut sekali, cepat menarik kembaJi tangan mereka, akan tetapi
sinar pedang itu dari kanan kiri meluncur kearah dada mereka!
"Aihhhhh………!"
Hek-giam-ong terpaksa mengerahkan tenaga di tangan kanannya,menangkis sinar itu
sambi! Mengerahkan Toat-beng Hwi-ciang. la berhasil menangkis pedang itu, akan
tetapi lengannya-tergores ujung pedang dan terluka sehingga mengeluarkan darah.
Pek-giam-ong yang tenaganya
tidaksehebat Hek-giam-ong, tidak berani menangkis melainkan cepat membuang diri
ke belakang, akan tetapi pundaknya tetap saja kena dlserempet pedang sehingga
terluka.
"Hiaaaaattt……..!!" Ma
Su Nio menggunakan kesempatan itu memukul dengan kedua tangannya yang merah ke
arah lambung kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi dengan gerakan
otomatis kedua orang pendekar pedang itu menyabetkan pedang mereka ke belakan
sambil memutar tubuh.
"Ayaaaaa.…...!"
Hiat-ciang Sian-Ii Ma Su Nio menjerit dan cepat ia menarik kembali kedua
lengannya yang berbalik menjadi terancam. la dapat menyelamat kan kedua
lengannya, akan tetapi tubuhnya terhuyung ke belakang dan saat itu dipergunakan
oleh Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek untuk menerjang maju, mengirim tusukan maut
ke arah tubuh wanita iblis yang amat lihai itu.
"Tranggg…….!
Tranggggg……..!!”
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek
terkejut, sekali karena pedang mereka ter-pental dan hampir terlepas dari
tangan mereka. Terutama sekali Liok Si Bhok yang merasa betapa pedangnya
tergetar sehingga setelah tertangkis masih tergetar mengeluarkan suara
mengaung, tanda betapa penangkisnya memiliki sinkang yang hebat sekali. Lebih
kaget dan heran dia ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu hanyalah
sebatang payung di tangan gadis Mancu yang tadi duduk di atas tiang balok
melintang. Adapun yang menangkis pedang Liong Ki Tek adalah sebatang pedang
bersinar kuning di tangan pemuda tampan tadi. .Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai
itu maklum bahwa mereka terancam bahaya. Dua orang muda itu ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi, sedangkan tiga orang murid Kang-thouw-kwi Gak Liat
hanya terluka kecil saja. Bahkan Hiat-ciang Sian-Ii Ma Su Nio hanya mengalami
kekagetan saja, belum terluka. Kalau mereka itu mau pula membantu tentu mereka
berdua akan terancam bahaya maut. Akan tetapi, sebagai pendekar-pendekar besar,
mereka tidak menjadi gentar, bahkan saling berdekatan,berdampingan sambil
menyilangkan pedang mereka di depan dada. Liok Si Bhok dengan sikap dan suara
tenang bertanya.
"Siapakah kalian
orang-orang muda?"
Gadis Mancu yang cantik itu
tersenyum, pandang matanya melebihi tajamnya pedang diangan pemuda itu dan
lebih runcing daripada ujung payung ditangannya, namun senyumnya amat manis,
membuka sepasang bibir yang indah bentuknya, memperlihatkan kemerahan rongga
mulut di. balik deretan gigi seperti mutiara.
"Memang amat tidak enak
mati dalam penasaran. Kalian berdua orang Siauw-lim-pai yang keras hati dan
keras kepala sudah menghadapi kematian, agar tidak mati dalam penasaran baiklah
kalian mengenal kami. Aku adalah Puteri Nirahai, puteri ke tujuh belas dari
Kaisarl Adapun dia ini adalah Ouwyang Seng, putera Pangeran Ouwyang Cin
Kok, murid bungsu namun paling lihai dari Kang-thouw-kwi Gak Liat.”
"Kedua orang pendekar
pedang itu terkejut. Biarpun mereka belum pernah mendengar nama kedua orang
muda ini,namun melihat gerakan mereka dan tenaga sinkang mereka, tentu mereka
ini merupakan lawan berat Apalagi kalo gadis ini benar benar seorang puteri
kaisar, tentu di situ terdapat banyak pe-ngawal-pengawal istana yang setiap
saat dapat datang mengeroyok mereka. Mereka tidak takut, akan tetapi ingin
sekali mengetahui apa yang menyebabkan puteri ini melakukan semua perbuatan
ini.
"Mengapa kalian membunuh
tiga orang anak murid Siauw-lim-pai, melemparmayat mereka di depan kuil dan
meng-gunakan nama Hoa-san-pai?" tanya pula Liok Si Bhok.
"Adik Nirahai, kita bunuh
saja mereka!" Ouwyang Seng, pemuda tampan itu berkata sambil
mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
Akan tetapi gadis Mancu itu
sambil tersenyum menggoyang tangan kirinya yang kecil dan berkulit halus.
"Jangan membikin mereka mati penasaran, Ouw-yang-twako. Mereka toh pasti
akan mati di tangan kita, mengapa tergesa-gesa? Biar mereka tahu lebih dulu
akan duduknya persoalan, toh kita tidak usah khawatir kelak roh mereka. akan
membuka rahasia kepada para pimpinan Siaw-lim-pai dan Hoa-san-pai."
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai
itu bergidik. Gadis ini bicara dengan sikap dingin, tidak sombong akan tetapi
mengandung wibawa yang mengerikan.
"Liok Si Bhok dan
Liong Ki Tek, dengarlah baik-baik. Tiga orang muridmu itu memang kami yang
membunuhnya dan sengaja kami pergunakan untuk mengadu domba antara
Siauw-lim-pai dan .Hoa-san-pai. Akan tetapi siapa nyana, kalian keras kepala
dan tidak mau masuk perangkap, bahkan seorang muridmu yang belum mati membuka
rahasia sehingga kalian dapat menemukan tempat ini. Sekarang kami hendak
membunuhmu, dan akan kami atur agar para pimpinan Siauw-lim-pai menganggap
bahwa kematianmu berada di tangan orang-orang Hoa-san-pai. Takkan dapat dicegah
lagi, Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai akan bermusuhan, bertanding dan berbunuh
bunuh-an sampai keadaan mereka menjadi lemah. Bukankah ini merupakan siasat
yang baik sekali!"
"Keji! Iblis
betina yang keji!" Liong. Ki Tek memaki. “Kalau benar kalian ini puteri
Kaisar, tentu mengerti akan peradaban, kebudayaan dan setidaknya mengenal
prikemanusiaan! Akan tetapi engkau palsu dan keji, lebih patut menjadi puteri
siluman!"
"Manusia biadab lancang
mulut !” Ouw-yang Seng membentak dan hendak menyerang, akan tetapi
kembali ia ditahan oleh Puteri Nirahai yang masih tetap tersenyum-senyum dan
sedikit pun tidak kelihatan marah. Hal ini saja sudah mengagetkan hati kedua
orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Gadis masih begitu muda remaja sudah pandai
menguasai perasaan tanda bahwa dia betul-betul memiliki..ilmu yang tinggi lahir
batin!
"Orang-orang
Siauw-lim-pai, pandanganmu amat picik. Aku melakukan semua itu semata-mata
untuk kepentingan kerajaan Ayahku yang menjadi Kaisar, untuk kejayaan bangsaku,
untuk kemenangan negaraku. Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai diam-diam menentang
Kerajaan Ceng merupakan musuh-musuh dan karena kedua partai ini amat kuat dan
berbahaya maka perlu sekali dibikin lemah. Siasat ini merupakan siasat perang,
dan kulakukan dengan dasar berbakti kepada Ayah dan negara, kepada bangsa yang
tercinta. Apakah bedanya dengan perbuatanmu menentang kerajaan kami? Kalian
melakukan hal itu dengan dalih mengabdi bangsa, aku pun melakukan hal ini
dengan dasar mengabdi bangsa, apa bedanya? Perbuatan kalian mungkin dianggap
patriotik dan gagah perkasa oleh bangsa-mu dan kalian dianggap sebagai pahlawan
oleh bangsamu. Akan tetapi aku pun dianggap seorang pahlawan wanita .oleh
bangsaku! Antara kalian dan aku hanya ada satu perbedaan, yaitu perbedaan dalam
penilaian. Kalian berjuang untuk kebaikan, aku pun demikian. Yang menjadi
pertanyaan besar, apakah itu yang dikatakan kebaikan?"
“Akan tetapi, kami penjunjung
kegagahan, kebenaran dan keadilan pantang untuk melakukan siasat-siasat busuk
yang hina seperti yang kaulakukan!" kata pula liok Si Bhok setelah
tercengang sejenak mendengar ucapan yang tidak pantas keluar dari mulut seorang
gadis remaja berusia dua puluh tahun itu.
"Hi-hik , ucapanmu
itu menandakan bahwa engkau bukanlah seorang ahli perang! Mengandalkan
kejujuran dan welas asih dalam perang, mana mungkin dapat menang? Perang ialah
mengadu siasat, makin keji makin baik, mengadu kekerasan dan kekejaman.
Sudahlah, kini bersiaplah kalian untuk mati!
"Baru saja ucapan ini
habis dikeluar kana tiba-tiba Liok Si Bhok melihat sinar .hitam yang lebar
sekali mengembang didepannya dan gadis itu tiba-tiba lenyap, kemudian tahu-tahu
ujung payung yang runcing telah meluncur secepat kilat menusuk dadanya!
Kaget sekali pendekar ini, namun tidak percuma ia menjadi orang ke enam
dari Siauw-lim Chit-kiam karena pedangnya sudah bergerak dengan pemutaran pergelangan
tangannya, langsung menangkis ujung payung dar samping.
"Cringgggg !" Liok
Si Bhok terpaksa meloncat ke belakang sambil memutar pedang melindungi
tubuhnya. Lengan kanannya seperti kesemutan, pedangnya masih tergetar dan
diam-diam ia kaget dan kagum bukan main. Kiranya gadis itu telah menggerakkan
payungnya secara luar biasa dahsyatnya. la memandang dengan penuh perhatian.
Senjata itu adalah sebuah payung biasa yang batangnya tentu terbuat dari baja
pilihan yang amat kuat .Gagangnya melengkung seperti payung biasa, ruji-rujinya
dari baja keras pula dan payungnya dari kain tebal berwarna hijau, ujung
batangnya runcing seperti pedang. Tadi ketika gadis itu menyerangnya, payung
itu berkembang sehingga menyembunyikan tangan dan tubuh gadis itu dan disinilah
letak kehebatan senjata ini. Kalau payung berkembang, lengan dan tangan yang
memegang payung tersembunyi dan tidak tampak oleh lawan. Padahal, dalam
bertanding, yang penting adalah memperhatikan gerak lawan yang dapat dilihat
sebelum senjata digerakkan dari gerakan tangan, lengan dan pundak. Kalau semua
bagian tubuh ini tersembunyi, maka gerakan-gerakan selanjutnya dari lawan
takkan tampak dan perkembangan serangannya takkan dapat diduga terlebih dulu.
Sementara itu, Ouwyang seng
juga sudah enerjang Liong Ki Tek dengan pedangnya. Liong Ki Tek cepat
menangkis, akan tetapi pada saat pedang bertemu, tangan kiri Ouwyang Seng yang
terbuka itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang lebih hebat
daripada ilmu Toat-beng Hwi-ciang dari Hek-pek Giam-ong menyambar ke depan.
"Aihhh…….!" Liong Ki
Tek cepat meloncat ke belakang dan agak terhuyung saking kagetnya.
Ouwyang seng tertawa mengejek
dan menerjang terus ke depan dengan pedangnya diseling pukulan-pukulan yang
lebih berbahaya daripada pedang itu sendiri karena pemuda ini menggunakan
pukulan sakti Hwi-yang sin-ciang!
Di dalam jilid-jilid yang lalu
banyak diceritakan tentang Ouwyang seng ini sebagai murid Gak Liat yang lihai
dan sejak kecil sudah memiliki watak yang
keras dan kejam. Namun di
samping watak ini, dia merupakan seorang murid
yang amat tekun dan disayang
oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, maka setelah kini
berusia dua puluh tahun, ia
telah menjadi seorang murid yang paling pandai di
antara semua murid Si Setan
Botak! Bah-kan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak dapat dimiliki murid-murid
lain, telah dikuasai oleh Ouwyang Seng yang ikut berlatih bersama suhunya
dengan masakan batu batu bintang. Toat-beng Hwi-ciang boleh jadi amat lihai,
dan Hiat-ciang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang,
kedua ilmu pukulan yang berdasarkan Yang-kang itu masih kalah jauh!
Setelah dewasa, tentu
saja Ouwyang Seng yang terkenal dengan sebutan Ouw-yang-kongcu menjadi seorang
yang penting kedudukannya dalam tokoh-tokoh pembela Kerajaan Ceng. Ayahnya seorang
pangeran yang terkenal juga, Pangeran Ouwyang Cin Kok yang menjadi seorang di
antata para penjilat yang terlihai di dekat Kaisar Mancu. Dan mengingat akan
kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang-kongcu ini bergerak dalam bidang pengamanan
kerajaan terhadap ancaman para pejuang yang bergerak secara rahasia menentang
pemerintah Mancu.
Siapakah wanita cantik yang
amat hebat itu? Dia memang seorang puteri,bernama Puteri Nirahai, puteri dari
Kaisar Mancu yang lahir dari seorang selir berbangsa Khitan. Puteri Nirahai ini
rnemiliki kepandaian yang dahsyat, bahkan lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian Ouwyang-kongcu sendiri! Dibandingkan dengan tingkat para tokoh datuk
hitam, dia hanya kalah sedikit! Memang sukar untuk dipercaya bagaimana seorang
gadi berusia dua puluh tahun telah mem:iliki ilmu kepandaian sedahsyat itu,
akan tetapi hal ini tidak akan mengherankan orang lagi kalau diingat bahwa dia
adalah ahli waris dari kitab pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dari mendiang
puteri Ratu Khitan yang dahulu terkenal diseluruh dunia kang-ouw dengan ulukan
Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah seorang pendekar wanita sakti yang amat
hebat ilmu kepandaiannya dan memiliki banyak kitab kitab pusaka ilmu silat yang
aneh-aneh dan amat tinggi. Kitab-kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh
wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cilik! Beracun) Liu Lu Sian
yang bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas yangt amat terkenal(baca
cerita Suling Emas, Cinta Bernoda Darah dan Mutiara Hitam). Selama
puluhan tahun, tidak ada kabar ceritanya tentang kitab-kitab itu dan secara
kebetulan beberapa buah diantara kitab-kitab itu terjatuh ke tangan Puteri
Nirahai inilah.
Di antara ilmu-ilmu silatnya
yang hebat, Nirahai dapat mewarisi tiga buah ilmu kepandaian Mutiara Hitam,
yaitu pertama adalah Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), ke dua
Ilmu, Pedang Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang De-lapan Iblis), dan yang ke tiga
adalah ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Yang amat hebat
adalah ilmu pedangnya Pat-mo-kiam-hoat yang sukar dicari bandingnya karena
memang dahsyat dan ganas sekali. Apalagi gadis ini mainkan ilmu itu dengan
senjatanya yang istimewa yang disebut Tiat-mo-kiam (Pedang Payung Besi), maka
kehebatannnya bertambah. Dapat dibayangkan betapa lihainya permainan pedang
yang tersembunyi di batik payung sehingga lawan tak dapat' melihat
gerakan-gerakannya. Sebetulnya ilmu ini tadinya merupakan ilrnu pedang, akan
tetapi dengan senjata seperti itu, sama dengan permainan pedang dibantu
perisai, namun disatukan sehingga merupakan senjata yang ampuh dan jika tidak
dipakai bertanding, dapat dipergunakan sebagai payung biasa untuk berlindung
dari serangan hujan dan panas, juga menambah gaya bagi seorang gadis jelita
seperti Nirahai.
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek
adalah dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang sudah tinggi tingkat ilmu
kepandaiannya.Mereka adalah dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, Tujuh
Pedang Siauw-lim yang amat disegani orang. Mereka adalah murid-murid langsung
dari ketua Siauw-lim-pai yang selain ahli dalam bermain pedang, juga memiliki
tenaga sinkang yang amat kuat, di samping pengalaman bertanding yang sudah
luas.
Akan tetapi sekali ini,
bertemu dengan Nirahai dan Ouwyang Seng, sebentar saja dua orang tokoh
Siauw-lim-pai ttu terdesak hebat. Ilmu pedang yang dimainkan Nirahai dengan
senjata payung luar biasa sekali dan tidak sampai lima puluh jurus, Liok Si
Bhok yang bertubuh gemuk pendek itu tak mampu balas menyerang lagi karena dari
balik payung hitam itu menyambar-nyambar sinar pedang bagaikan sinar kilat dari
balik awan hitam yang tebal. Tiba-tiba Nirahai mengeluarkan suara melengking
tinggi dari balik payung menyambar sinar berkeredepan yang berbau harum ke arah
leherl Liok Si Bhok. Tokoh ini terkejut, maklum bahwa itulah senjata rahasia
yang amat berbahaya. Dan memang dugaannya benar karena yang menyambar ltu
adalah Siang-tok-ciam, segenggam jarum beracun yang berbau harum. Liok Si Bhok
cepat mengelak dengan miringkan diri ke kiri, akan tetapi ternyata bahwa
serangan jarum itu hanya merupakan pancingan karena kini tahu-tahu ujung paying
itu telah menusuk perutnya.
"Cringgggg!"
Pedang di tangan Liok Si Bhok tergetar, bertemu dengan ujung payung dan
melekat! Pada detik berikut nya, dari batik payung itu menyambar kaki Nirahai
yang kecil bersepatu indah, menendang dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu
telah mengenai lambung liok Si Bhok. Tokoh Siauw-ljm-pai yang bertubuh gendut
pendek ini mengeluh dan tubuhnya terbanting ke belakang. Dua kali ia masih
berhasil menangkis sinar pedang Nirahai, akan tetapi yang ketiga kalinya,
tangkisamya meleset dan ujung payung itu menancap memasuki lehernya menembus
dari kanan ke kiri. Tanpa sempat berteriak lagi Liok Si Bhok tewas dengan leher
hampir putus!
"Ouwyang-twako, jangan
robohkan dia dengan sin-ciang! Pukulan itu akan dikenaI orang dan menggagalkan
rencana-ku!" Niraha~ berseru ketika melihat betapa Ouwyang Seng mendesak
Liong Ki Tek dengan pedang dan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang.
Ouwyang Seng yang melihat
betapa puteri itu telah berhasil merobohkan lawannya, menjadi penasaran dan
malu.Tanpa mengandalkan Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana ia akan mampu merobohkan
lawan yang tangguh ini? Akan tetapi pada saat itu, Nirahai telah menerjang maju
dan menyerang Liong Ki Tek dengan .payungnya yang hebat itu. Seperti juga Liok
Si Bhok tadi, kini menghadapi serangan payung, Liong Ki Tek terkejut dan
bingung. Tahulah pendekar ini mengapa suhengnya tewas di tangan puteri ini,
ternyata bahwa senjata payung pedang itu benar-benar sukar dilawan. Ia
mengerahkan tenaganya menangkis dan terdengar suara keras diikuti muncratnya
bunga api. Dibandingkan dengan suheng-nya, Liong Ki Tek yang tinggi kurus ini
memiliki tenaga yang lebih kuat sungguhpun ilmu pedangnya tidak sehebat Liok Si
Bhok. Akan tetapi tangkisannya yang mengandung tenaga kuat itu pun tidak mampu
membikin payung terpental,bahkan kini pedangnya melekat pula pada ujung payung
itu, tak dapat ia lepaskan. Dan saat ini dipergunakan dengan baik oleh Ouwyang
Seng yang sudah menusukkan pedangnya ke perut Liong KI Tek sampai tembus ke
punggung.
"Ihhh…….., kau kasar
sekali, Twako!" Nirahai menarik payungnya dan cepat meloncat ke belakang
agar jangan terkena semburan darah dari perut Liong Ki Tek.
Ouwyang Seng menjadi merah
mukanya. Memang, tadi ia menyerang dengan kasar saking gemas dan penasaran
bahwa ia harus dibantu oleh gadis ini untuk merobohkan tokoh Siauw-lim-pai ini
sehingga kekasaran serangannya itu nyaris mendatangkan noda darah yang
menyembur keluar dari perut Liong Ki Tek pada baju nona itu. ,
"Sesudah dua orang tokoh
Siauw-lim- pai ini tewas, apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Adik
Nirahai? Kurasa permainanmu terlalu berbahaya sekarang." Untuk
menutupi kenyataannya bahwa dia tidak secepat Nirahai merobohkan lawan.bahkan
mendapat bantuan gadis perkasa itu, Ouwyang Seng menekan gadis itu dengan
kata-kata yang sifatnya menegur ini. "Mereka adalah dua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam, dan kekuatan Siauw-lim-pai sama sekali tidak boleh
dipandang ringan."
Nirahai tersenyum manis.
"Tenanglah, Ouwyang-twako dan serahkan saja padaku karena aku telah
membuat rencana yang baik sekali, jauh lebih baik dari pada rencana semula.
Engkau tahu,Twako. Untuk memancing ikan besar harus menggunakan umpan besar dan
dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam ini merupakan umpan besar sekali yang
kematiannya akan membikin geger Siauw-lim-pai dan sekali lni kutanggung bahwa
Siauw-lim-pai akan memusuhi Hoa-san-pai sehingga kita tidaklah harus bersusah
payah lagi menggempur keduanya.” Dengan wajah manis dan sikap tenang gadls itu
lalu menceritakan rencananya kepada Ouwyang Seng. Pemuda ini mendengarkan penuh
perhatian, makin lama makin tertarik dan setelah gadis itu menyelesaikan
penuturan tentang rencana dan siasatnya, ia bangkit berdiri dan men jura kepada
Nirahai sambi! berkata.
"Wah, engkau hebat
sekali, Adik Nirahai! Sungguh mengagumkan! Makin besar dan berbahagialh hatiku
kalau aku teringat bahwa engkau yang begini cantik jelita, begini lihai ilmu
silatnya, begini cerdik pandai adalah tunanganku…."
"Hemmm, jangan
tergesa-gesa, Twa-ko….." Nirahai memotong, sepasang alisnya yang kecil
panjang dan hitam itu berkerut, akan tetapi bibirnya yang me-
rah tersenyum tenang.
"Adikku sayang……
Nirahai….. aku tidak tergesa-gesa, akan tetapi……. bukankah sudah setengah resmi
perjodohan kita……?" Ouwyang Seng berlutut dan suaranya gemetar penuh
perasaan. "Diantara Ayahmu dan Ayahku……
"Nirahai menundukkan muka
memandang wajah pemuda yang tampan itu. Ia suka kepada pemuda yang se!alu
pandai mengambi! hatinya ini akan tetapi…….Ouwyang Seng bukanlah pria yang
memenuhi idaman hatinya. "Ouwyang-twako yang akan berjodoh adalah kita,
bukan Ayab!'. Kita……"
"Nirahai…...!"
Ouwyang Seng memandang dengan sinar mata penuh cinta kasih dan permohonan
sehingga Nirahai menjadi kasihan, mengulurkan tangannya. Ouwyang Seng menangkap
jari-jari tangan yang halus meruncing itu dengan kedua tangannya, lalu menciumi
jari-jari tangan.itu penuh nafsu birahi dan cinta kasih. "Ohhh, Nirahai
puteri jelita, pujaan hati-ku. Aku cinta padamu….”
Sejenak puteri itu
membiarkan jari tangannya dibelai dan dicium,akan tetapi mulutnya berkata
halus, "Aku tahu bahwa engkau mencintaku, Twako. Akan, tetapi aku
tidak……ah, belum lagi aku dapat menjatuhkan cinta kasihku kepada seseorang…….”
"Aku dapat menanti,
sayang. Aku dapat bersabar, akan kunanti penuh harapan berseminya cinta kasih
di hatimu terhadap diriku. Nirahai……."
Puteri itu menarik tangannya
terlepas dan berkata, biarpun mulutnya masih tersenyum namun suaranya agak
dingin, “Cukuplah, Twako. Kita sedang bertugas,dan aku tidak senang bicara
tentang hal itu. Harap kau suka mempersiapkan pasukan pengawal dan sediakan dua
buah peti mati akan tetapi jangan kelihatan seperti peti mati, melainkan peti
untuk mengirim barang berharga. Aku hendak menyampaikan berita kematian ini
kepada anak murid Siauw-Jim Chit-kiam yang kebetulan berada di kota Kok-lee-bun
tak jauh dari sini, kemudian aku akan ke Kwan-teng menemui Tan-piauwsu kepaIa
Pek-eng-piauwkiok. Siasatku ini harus berjalan lancar dan harus
berhasil,Twako."
Ouwyang Seng adalah seorang
pemuda yang cerdik, maka ia dapat menangkap nada suara dingin itu dan tidak
berani melanjutkan rayuannya tentang cinta. Ia bangkit berdiri, menghela napas
dan berkata, "Baiklah, Adik Nirahai. Aku sudah maklum akan rencanamu
tadi."
Nirahai lalu berkelebat cepat
ke arah belakang kuil tua itu, meloncat ke punggung kuda yang disembunyikan
jauh dari situ kemudian membalap untuk melaksanakan siasatnya. Apakah siasat
puteri yang cerdik ini? Seperti telah diceritakan di bagian depan, siasatnya
mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai ternyata hampir berhasil
atau hanya setengah berhasil karena secara tak tersangka-sangka muncul tokoh
aneh yang mengacaukan urusan, yaitu Han Han dan Lulu!
Keadaan dalam kuil
Siauw-lim-si yang menjadi pusat Siauw-lim-pal dan diketuai oleh Ceng San Hwesio
kini diliputi awan kedukaan dan penasaran. Beberapa hari yang lalu, datanglah
Lauw Sin Lian murid terkaslh Siauw-Iim Chit-kiam bersama beberapa orang anak
murid Siauw-lim-pai mengawal sebuah kereta yang terisi dua peti yang terisi
mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek! Juga mayat tujuh Qrang anak murid
Siauw-lim-pai tingkat rendah.
Dapat dibayangkan betapa kaget
dan berduka hati Ceng San Hwesio dan para tokoh Suw-lim-pai ketika melihat dua
mayat tokoh Siauw-lim-pai yang telah rusak itu. Mayat-mayat itu cepat
diperabukan dan setelah mereka semua berkabung, Ceng San Hwesio lalu
mengumpulkan anak murid dan adik-adik seperguruan untuk berunding. Biarpun Lauw
Sin Lian terhitung hanya cucu murid ketua Siauw-lim-pai ini, akan tetapi karena
tingkat kepandaian Sin Lian sebagai murid terkasih Siauw-lim Chit-kiam sudah
amat tinggi dan pula karena gadis inilah menjadi saksi utama mengenai bentrokan
dengan Hoa-san-pai, maka Sin Lian juga hadir dalam pertemuan besar itu.
"Sungguh tidak nyana
sekali Hoa-san-pai menjadi perkumpulan yang rendah dan dapat diperalat oleh
kaum penjajah !” Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim pa imengerutkan alisnya
dan mengepal tasbih di tangannya erat-erat, wajahnya yang kurus itu menjadi
merah sekali warnanya. "Amatlah keji perbuatan mereka terhadap dua
orang muridku itu dan agaknya mereka itu sudah menyatakan permusuhan secara
terbuka. Sute, mulai saat ini, harap Sute suka mengatur seluruh anak murid kita
untuk melakukan penjagaan ketat siang malam menjaga keamanan kuil Semua anak murid
yang berada di dalam
kuil tidak diperbolehkan
keluar dan segala bentrokan dengan golongan apa pun juga harus ditiadakan.
Selain itu, Sute harap mengutus anak murid untuk mengundang semua saudara dan
murid untuk berkumpul di sini, selambatnya sebulan. Sebelum tenaga kita
berkumpul semua dan kedudukan kita cukup kuat, jangan ada yang lancang turun
tangan terhadap anak murid Hoa-san-pai. Nanti kalau semua tenaga sudah
terkumpul, pinceng sendiri yang akan memimpin pasukan Siauw-lim-pai menuju ke
Hoa-san-pai dan menuntut balas atas kekejaman Hoa-san pai terhadap kita!"
Kalau seorang ketua
perkumpulan besar seperti Siaw-Lim-pai sudah rnenyatakan hendak rnemimpin
sendiri penyerbuan, hal in.i menandakan bahwa ketua itu sudah tidak dapat
menahan kemarahannya lagi. Dan memang demikianlah keadaan Ceng San Hwesio yang
sudah marah sekali. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah dua di antara
murid-murid yang paling ia sayang, kini melihat murid-muridnya itu tewas dalam
keadaan mengenaskan, hwesio tua ini tak mampu lagi mengendalikan kemarahannya.
Sutenya, Ceng To Hwesio yang bertugas menjaga kuil dan membantu pekerjaan
suhengnya yang menjadi ketua, juga merupakan guru dan pelatih dari sebagian
besar murid-murid Siauw-lim-pai, menariknapas panjang dan berkata.
"Baiklah, Suheng.
Penjagaan akan diperkuat, dan pinceng akan mengutus murid-murid mengumpulkan
tenaga. Akan tetapi, maaf, Suheng. Mengenai hal yang menyangkut permusuhan
dengan fihak Hoa-san-pai ini, apakah tidak sebaiknya kalau kita bertanya
nasihat kepada Su-pek?""Bagaimana kita dapat mengganggu Supek dengan
urusan ini? Supek sudah bertahun-tahun bertapa dalam sebuah diantara
kamar-kamar penyiksaan diri, tidak mau diganggu. Biarpun bagi kita urusan ini
adalah urusan besar yang tidak hanya menyangkut nyawa murid-murid kita, juga
menyangkut nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, akan tetapi bagi Supek yang sudah
mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak melibatkan diri dengan urusan dunia,
tentu merupakan hal yang tidak ada artinya sama sekali.
Tidak, Sute, tidak semestinya
kalau kita
mengganggu Supek untuk urusan
ini.Urusan mengenai Siauw-lim-pai menjadi
tugas pinceng sebagai ketua
dan tugas semua anak murid Siauw-lim'-pai."
"Terserah keputusan
Suheng, pinceng hanya mentaati perintah," jawab Ceng To Hwesio yang
menjadi tegang hatinya karena maklum bahwa kalau suhengnya itu mengumumkan
perang terhadap Hoa-san-pai, akan terjadi geger dan tentu akan mengambil korban
yang banyak sekali di kedua fihak.
"Bagus, Sute. Dan engkau
Sin Lian,engkau mengatakan bahwa menurut dugaanmu, kedua orang Gurumu itu
terbunuh oleh seorang pemuda bernama Sie Han. Mungkinkah itu? Seorang pemuda
dapat membunuh dua di antara tujuh orang Gurumu?"
"Teecu tidak ragu-ragu
lagi, Sukong (Kakek Guru). Han Han…eh, Sie Han itu kini ternyata telah menjadi
seorang pemuda yang pandai ilmu iblis!"
"Coba ceritakan
keadaannya dan bagaimana engkau dapat mengenai dia?"
"Ketika masih kecil, Sie
Han ini adalah seorang gelandangan. seorang pengemis yang terlantar. Kemudian
Ayah yang menaruh kasihan, membawanya dan mengambilnya sebagai murid. akan
tetapi hanya sebentar karena dia itu berkhianat,malah kemudian menjadi murid
atat pelayan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat....."
" Omitohud….!" Ceng
San Hwesio berseru kaget. Nama tokoh datuk hitam ini selalu mengejutkan hati
semua orang pandai. "Dia menjadi murid setan itu Akan tetapi…….andaikata
benar menjadi muridnya. pinceng tetap masih meragukan apakah bocah itu mampu
mengalahkan Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek "
"Teecu tidak ragu-ragu
lagi, Sukong. Ketika berusaha menghajar orang-orang Hoa-san-pai dan bergebrak
dengan Han Han itu, dalam bentrokan tenaga teecu mendapat kenyataan bahwa
tenaga sinkang bocah itu melampaui sinkang semua suhu."
" 0mitohud………, mana
mungkin…….?” Ceng San Hwesio kembali berseru.
"Teecu tidak membohong,
Sukong. Ketika itu, teecu menyerangnya dan mengirim pukulan engan pengerahan
lweekang sekuatnya. Pukulan teeucu itu adalah jurus Cam-liong-jiu (Pukulan
Mem-bunuh Naga) dan dia sama sekali tidak menangkis! Teecu yakin bahwa tujuh
orang Suhu tidak akan dapat menerima pukulan itu dengan dada, akan tetapi Han
Han menerima dengan dadanya dan akibatnya teecu sendiri yang terbanting roboh
dan tangan teecu membengkak!"
"Hemmm……!" Ceng San
Hwesio mengulur lengannya ke depan dan membuka tangan dengan telapak di atas.
"Coba engkau menggunakan Cam-liong-jiu dengan kekuatan seperti yang
kaugunakan memukul bocah itu, dengan mengukur kekuatan pukulanmu dapat kiranya
sedikit banyak menilai kepandaiannya."
Lauw Sin Lian maklum akan
maksud kakek gurunya Itu, maka ia lalu mengerahkan tenaga dan mengayun kepalan
tangannya, memukul ke arah telapak tangan kakek tua itu.
"Plakkk!!" 'Sin Lian
merasa betapa kulit tangannya panas dan tergetar, maka ia cepat menarik kembali
tangannya.
"Omitohud , sukar
dipercaya kalau bocah itu mampu menerima pukulanmu tadi dengan dadanya!"
ketua Siauw-lim-pai berseru kaget.
"Memang dia luar biasa,
Sukong."
“Kalau murid Hoa-san-pai
semuda itu takkan mungkin memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menerima
pukulanmu tadi. Akan tetapi kalau dia murid Gak Liat yang menjadi kaki tangan
penjajah,bagaimana dia dapat membantu Hoa--san-pai yang selama ini anti
penjajah?"
"Siapa tahu Hoa-san-pai
menyeleweng atau mungkin hanya Pek-eng-piauwkiok atau sebagian murid
Hoa-san-pai saja yang bersekutu dengan kaki tangan penjajah. Urusan ini amat
berbahaya, kalau Sukong mengijinkan, biarlah teecu pergi menyusul lima orang
Suhu untuk diundangke sini."
Ceng San Hwesio mengangguk.
"Memang, semua murid Siauw-lim-pai harus berkumpul. Terutama sekali para
Gurumu yang tinggal lima orang itu….." Kakek gundul ini menarik napas duka
teringat akan dua orang muridnya yang tewas. "Apakah engkau tahu di mana
mereka itu kini merantau?"
“Teecu mendengar bahwa para
Suhu merantau ke Telaga Barat, tentu masih berada di sana. Teecu akan menyusul
mereka dan menyampaikan berita duka tentang kematian Liok-suhu clan Jit-suhu
(Guru ke Enam dan ke Tujuh)."
"Baiklah, Lian-ji (Anak
Lian), berangkatlah sekarang juga. Pinceng amat membutuhkan bantuan
guru-gurumu."
Pada hari itu juga,
berangkatlah Lauw Sin Lian pergi menyusul guru-guru nya untuk menyampaikan
berita kematian dua orang gurunya dan undangan ketua Siauw-lim-pai, dan selain
Sin Lian, berangkat pula murid-murid Siauw-lim-pai yang diutus oleh Ceng San
Hwesio untuk mengundang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang kebetulan melakukan
perjalanan, atau yang memang tidak lagi bertempat ting-gal di pusat ini
****
Beberapa hari kemudian
semenjak para murid Siauw-lim-pai pergi melakukan tugas masing-masing
menghimpun tenaga yang diundang ke pusat, para hwesio penjaga pintu gerbang
Siauw-lim-pai menyambut datangnya dua- orang tamu dengan pandangan mata penuh
kecurigaan. Tamu ini bukan lain adalah Han Han dan Lulu. Seperti biasa, pemuda
ini tenang-tenang saja menghampiri pintu gerbang, diikuti dari belakang oleh
Lulu yang juga bersikap tenang. Dara ini makin cantik jelita saja, apalagi kini
di punggungnya tampak sebatang pedang yang amat indah gagangnya, yaitu pedang
pusaka Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu tokoh
Hoa-san-pai. Biarpun di luarnya kelihatan tenang, namun di sebelah dalam dada
gadis ini terjadi ketegangan karena ia ingin sekali segera bertemu dengan Sin
Lian untuk bertanya di mana adanya Lauw-pangcu, musuh besarnya.
SembiIan orang hwesio
penjaga yang segera datang ke pintu gerbang itu mengangkat tangan sebagai
tanda penghormatan dan seorang di antara mereka ber-tanya.
"Ji-wi (Tuan Berdua)
hendak mencari siapakah?"
Dengan sikap tenang akan
tetapi membalas penghormatan itu, berbeda dengan Lulu yang memandang ke kanan
kiri penuh perhatian, Han Han lalu menjawab.
"Saya ingin bertemu
dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua dari Siauw-lim-pai.”
Para hwesio penjaga itu saling
pandang. Keadaa:n pemuda yang aneh Ini mencurigakan.
Pakaian pemuda ini sederhana dan bersih, akan tetapi rambutnya dibiarkan
riap-riapan begitu saja, sungguh mencurigakan, dan lebih-lebih sepasang-mata
itu yang amat tajam mengerikan.
“Nona Lauw Sin Lian tidak
berada disini, sedangkan keinginan Kongcu (TuanMuda) untuk berjumpa dengan
Ketua, agaknya hal ini tidaklah mudah dilaksanakan. Hendaknya Kongcu berdua
suka memberitahukan nama dan keperluan barulah kami akan menyampaikan keatasan
apakah permohonan Kongcu, menghadap dapat dikabulkan." ,
Han Han mengerutkan alisnya
yang tebal, masih dapat menahan kesabarannya, akan tetapi Lulu yang mendengar
bahwa Sin Lian yang dicarinya itu tidak -berada di kuil itu, sudah kehilangan
kesabarannya dan ia membentak.
"Wah-wah, seorang pendeta
biarpun sudah menjadi ketua, masa lagaknya melebihi seorang raja saja? Orang
mau berjumpa saja sukarnya setengah mati!"
Para hwesio penjaga itu
memandang dengan muka tidak senang dan wakil pembicara mereka segera menjawab,
"Nona, kalau yang kau maksudkan raja penjajah, memang ketua kami jauh
lebih tinggi dan terhormat! Ada perkumpulan ada pula peraturan, dan
Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang memegang teguh peraturannya, siapa
pun tidak berhak melanggarnya!"
"Waduh-waduh, galaknya!
Eh, hwesio-gundul, apakah engkau ini ber-liamkeng (membaca doa) dan
bersembahyang, memantang makanan berjiwa yang enak-enak, bertapa susah payah,
hanya untuk belajar galak kepada orang lain? Kalau sikapmu masih galak dan
tidak ramah-tamah terhadap orang, tidak baik budi,percuma saja dong rambutmu
dibuang! Ternyata kepalamu menjadi bertambah panas!" .,
Sikap dan omongan Lulu yang
ugal-ugalan ini membuat para hwesio menjadi merah mukanya, akan tetapi karena
kata-kata itu tepat menusuk hati dan merupakan sindiran bagi mereka, sejenak
mereka tak mampu membantah. Kalau mereka menuruti nafsu kemarahan, hal ini
hanya membuktikan betapa tepatnya ucapan gadis nakal itu, kalau tidak marah,
hati yang tidak kuat!
"Heiii, dia inilah bocah
setan itu! Dia yang membunuh saudara-saudara kita, dia yang membela orang-orang
Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara dua orang anggauta Siauw-lim-pai
yang bukan lain adalah LiongTik dan seorang sutenya, dua orang di antara
sembilan murid Sauw-lim-pai yang tidak tewas ketika mengeroyok Han Han.
"Kepung, jangan
sampat dia lari!" Liong Tik yang marah sekali melihat musuh besarnya ini
telah mengeluarkan senjatanya, sepasang tombak cagak dan para hwesio lainnya
telah pula siap dengan senjata masing-masing. Dua oranghwesio sudah berlari
masuk memberi laporan.
Han Han masih bersikap tenang,
dan Lulu sudah berkata lagi, " Wah, tidak hanya galak, malah agaknya para
pendeta Siauw-lim-pai terkenal sebagai tukang mengeroyok orang. Apakah kalian
masih belum kapok, hendak mengeroyok Kokoku?"
Han Han berdiri dengan kedua
kaki terpentang, tegak dan matanya melirik ke kanan kiri ketika kini
berdatangan belasan orang hwesio yang sudah me-ngurungnya. Ia tidak ingin
berkelahi karena kedatangannya lni hendak men-jelaskan persoalan yang timbul
antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai.
"Bocah iblis, apakah
engkau datang hendak mengacau Siauw-lim-pai?" Liong Tik membentak, masih
ragu-ragu untuk menyerang karena ia maklum akan kepandaian pemuda itu yang amat
menggiriskan hati.
"Cu-wi sekalian harap
sabar. Aku datang sama sekali bukan hendak mengacau, bukan pula hendak
menimbulkan perkelahian. Aku datang untuk bicara dengan Nona Lauw Sin Lian, dan
dengan ketua Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan yang baru-baru ini
terjadi."
"Engkau sudah membunuh
saudara-saudara kami, masih datang hendak bicara dengan ketua
kami?" Pertanyaan ini timbul dari hati yang terheran-heran.
Alangkah beraninya pemuda
ini! Ataukah karena sombongnya maka sengaja datang hendak menantang ketua
Siauw-lim-pai?”
Han Han tersenyum dingin.
" Kalau aku tidak datang memberi penjelasan, bagaimana urusan dapat
dibereskan? Semua terjadi karena salah faham….."
"Jahanam! Sudah membunuh
banyak orang, enak saja mengatakan bahwa semua terjadi karena salah faham!
Saudara-saudara, mari kita basmi iblis ini!” Liong Tik berkata marah, akan
tetapi sebelum mereka turun tangan, terdengar bentakan halus.
"Para murid Siauw-Lim-pai,
minggir-lah!"
Mendengar suara ini, para
murid yang tadinya mengurung Han Han serentak minggir dan membentuk lingkaran
kipas yang lebar. Han Han memandang mereka yang datang dan ternyata dari dalam
kuil keluarlah lima orang hwesio yang usianya .rata-rata sudah lima puluh tahun
lebih. Sikap mereka agung dan keren, dan seorang di antara mereka pincang
kakinya sehingga jalannya dibantu sebatang tongkat. Pakaian mereka sederhana,
namun menyaksikan gerak-gerik mereka yang tenang dan keren, dapat diduga bahwa
mereka ini merupakan tokoh-tokoh penting dari Siauw-lim-pai. Dan dugaan Han-Han
ini memang benar karena lima orang hwesio itu adalah murid-murid kepala dari
Ceng To Hwesio, sute dari ketua Siauw-lim-pai itu. Tingkat kepandaian lima
orang hwesio ini sudan tinggi, bahkan tugas mengajar semua murid yang menjadi
tugas Ceng To Hwesio, diwakili oleh lima orang ini. Biarpun tingkat mereka
masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan tingkat Siauw-lim Chit-kiam,
namun karena mereka terhitung adik-adik seperguruan Siauw-lim Chit-kiam, maka
mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga di Slauw-tim-pai.
Han Han yang dapat mengenal
orang-orang pandai segera rnengangkat kedua tangan depan dada dan berkata,
" Saya Sie Han dan adik saya Lulu mohon perkenan Losuhu sekalian agar
dapat bertemu dan bicara dengan ketua Siauw-tim-pal dan dengan Nona Lauw Sin
Lian."
Lima orang hwesio itu tadi
sudah mendapat laporan bahwa yang datang ini adalah pemuda lihai yang membantu
Hoa-san-pai dan yang telah membunuh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai,
bahkan yang mungkin juga menjadi pembunuh dua orang suheng mereka, Liok Si Bhok
dan Liong Ki Tek. Kini, melihat betapa pemuda itu masih amat muda, mereka sudah
terheran-heran sekali, apa lagi menyaksikan sikap pemuda ini yang sopan santun,
mereka menjadi ragu-ragu dan hampir tidak percaya bahwa seorang pemuda seperti
ini dapat memiliki kepandaian yang tinggi.
Mereka segera membalas
penghormatan Han Han karena biarpun tamu itu masih muda, adalah menjadi
kewajiban para hwesio untuk bersikap hormat dan lemah lembut kepada siapa saja.
"Sicu hendak bertemu
dengan murid kami Lauw Sin Lian?" berkata seorang diantara mereka yang
mukanya kurus. "Sayang sekali, Nona Lauw sedang melaku-kan tugas keluar
kota, tidak berada disini. Akan tetapi Supek kami, ketua Siauw-lim-pai, berada
di dalam. Kalau Sicu berdua hendak menghadap Supek, silakan masuk."
Han Han mengangguk dan hatinya
lega. Kiranya tokoh-tokoh Siauw-lim-pal adalah orang-orang gagah yang mudah
diajak urusan, tidak seperti anak buahnya tadi yang bersikap kasar, sungguhpun
ia dapat memaafkan kekasaran mereka kalau ia ingat bahwa dia telah membunuh
tujuh orang saudara mereka. Dengan langkah lebar dan tenang ia memasuki
pintu gerbang didahui oleh lima orang hwesio itu. lulu menyentuh tangan
Hanl Han dari belakang sehingga pemuda itu menengok dan memandang-nya. Gadis
itu berbisik,
"Koko, aku merasa
khawatir sekali. Jangan-jangan kita masuk perangkap mereka.”
“Nona, kami menjunjung tinggi
kegagahan dan kebenaran, anti akan segala kejahatan dan kecurangan. Tidak
perluk hawatir!" terdengar jawaban dari hwesio pincang bertongkat yang
masih berjalan di depan, tanpa menengok. Dapat mendengar bisikan Lulu yang
begitu perlahan cukup membuktikan betapa tajam pendengaran para hwesio ini.
Rombongan lima orang hwesio
yang mengantar Han Han dan Lulu itu kini
memasuki ruangan depan kuil
besar yang menjadi pusat perkumpulan Siauw-lim-pai itu. Bersih dan luas sekali
ruangan itu dan dari situ tampak meja sembahyang di sebelah dalam yaitu di
dalam ruangan sembahyang yang kelihatan tenang dan sunyi, yang mengebulkan asap
tipis berbau harum dari mana terdengar lirih suara hwesio bemyanyi dan berdoa.
Adapun para hwesio lain yang menjadi anak buah dan bertugas menjaga hanya
berkumpul di pekarangan depan tidak diperkenankan masuk karena kini dua
orang tamu itu telah berada di dalam tangan lima orang hwesio kepala ini
Dengan slkap tenang akan
tetapi alis berkerut karena dapat menduga bahwa para hwesio Siauw-lim-pai
ini menyambut nya dengan penuh kecurigaaan dan sikap bermusuhan, Han Han
memasuki ruangan depan yang bersih ltu, diikuti oleh Lulu yang sikapnya biasa
saja bahkan gadis itu seperti biasa tidak dapat menahan rasa ingin tahunya dan
menonton ke kanan kiri memandangi keadaan di situ.
"Sicu dan Nona, silahkan
masuk ruangan disebelah, para pimpinan Siauw-tim-pal telah menanti di sana.
Pinceng berlima hanya bertugas mengantar Ji-wi (Anda Berdua) sampai di luar
pintu sidang pengadilan," berkata hwesio pengantar, sedangkan ernpat orang
hwesio lainnya hanya berdiri dan rnengangkat tangan memberi hormat. Han Han
mengerutkan alisnya yang hitam dan hatinya merasa tidak enak mendengar bahwa ia
dipersilakan rnasuk "ruangan sidang pengadilan" ini.
"Koko, jangan percaya
kepada mereka ini!" kata Lulu. "Biar kita menanti disini saja dan suruh
mereka panggil keluar Lauw Sin Lian dan ketua mereka!"
"Mengapa mesti takut?
Kita adalah tamu dan tamu harus tunduk akan peraturan tuan rumah. Kalau mereka
menghendaki dengan peyambutan besar besar-an, biarlah, Adikku. Mari kau
ikut aku,tak usah taku
“Siapa takut?" Lulu
menjebikan bibir-nya. "Aku hanya berhati-hati, bukannya takut!"
.Dengan langkah lebar dan dada
terangkat, Han Han dan lulu memasuki
pintu yang menembus ke ruangan
samping yang sesungguhnya adalah ruangan
terbesar karena ini adalah
ruangan lian-bu-thia (belajar silat) yang luas sekali.
Begitu Han Man dan Lulu
memasuki ruangan ini, tampak oleh mereka sepasukan hwesio muda berdiri berbaris
di tengah ruangan. Mereka terdiri dari tiga belas orang, berdiri dengan sikap
berbaris,bertangan kosong .dan nampaknya kuat-kuat. Lengan baju mereka digulung
sampai ke siku dan, mereka berdiri dengan bhesi (kuda-kuda) yang amat kuat,
yaitu kuda-kuda Ji-ma-she dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua
kepalan tangan di kanan kiri lambung.
Tiga belas orang hwesio muda
itu hanya berdiri dalam keadaan siap sarnbil memandang ke arah Han Han, tanpa
mengeluarkan kata-kata, tanpa bergerak. Han Han tidak tahu harus berbuat apa
karena barisan ini menghalang di jalan. Akan tetapi terdengarlah suara keren dari
mulut seorang hwesio tua yang berdiri di sudut, hwesio tua yang bermata tajam
dan suaranya nyaring
."Khong-jiu-tin (Barisan
Tangan Kosong) Siauw-lim-pai merupakan ujian pertama bagi orang yang berani
minta berjumpa dengan ketua Siauw-lim~pai!"
Mendengar ini, Lulu meloncat
maju dan menudingkan telunjuknya yang kecil runcing kepada hwesio tua ini
sambil memaki, "Hwesio busuk Orang mau berjumpa dengan ketua
Siauw-lim pai pakai diuji segala macam! Peraturan apakah ini? Hayo suruh
minggat barisan yang tiada gunanya ini, dan panggil ketuamu ke sini untuk
bicara dengan Kokoku!"
Hwesio tua itu yang
sesungguhnyaadalah Ceng To Hwesio, mengerutkan keningnya dan matanya memandang
marah. "Nona, pernah ada jaman di mana wanita dilarang masuk ke ku.il
Siauw-lim-si dengan ancaman hukum mati. Pinceng akan senang sekali kalau
peraturan itu kini masih berlaku. Sayang kini peraturan diperlunak dan kalau
kalian tidak berani menghadapi ujian kami, lebih baik pergi saja dari sini.”
"Eh, hwesio sombong,
siapa yang tidak berani? Biar ditambah lima kali ini, aku tidak takut!"
Lulu sudah bergerak maju hendak menerjang barisan itu. Tiba-tiba tiga betas
hwesio itu menggerakkan kaki dan menggeser kaki, kiri ke belakang mengubah
kuda-kuda. Gerakan mereka itu mantap dan kuat juga amat rapi sehingga Han
Han yang melihat ini cepat berkata.
"Lulu, mundurlah. Kalau
memang begini peraturan Siauw-lim-pai, biar ku
coba menghadapi tin (barisan)
ini."
Lulu melangkah mundur dan
mengomel, "Hemmm. hwesio-hwesio sial Sekali ini agak baik nasib
kalian sehingga tidak jadi mati ditanganku. Kakakku terlalu baik hati untuk
membunuh kalian sehingga kalian hanya akan luka-luka ringan saja. Katau aku
yang maju sendiri……hemmm, jangan tanya-tanya lagi ten tangdosa!"
Biarpun sikapnya masih
kekanak-kanakan namun Lulu sebetulnya adalah seorang yang cerdik dan dapat
menyembunyikan kecerdikannya di balik sikap kekanak-kanakannya. Ia sudah
mengenal watak kakaknya yang setiap kali berhadapan dengan lawan-lawan tangguh
dalam sebuahah pertandingan lalu timbul watak beringas dan kejam seolah-olah
haus darah dan ia tahu pula bahwa fihak lawan tentu akan toboh tewas kalau
bertemu dengan kakaknya yang luar biasa. Dia tidak menghendaki kakaknya menjadi
seorang kejam yang membunuhi manusia seperti membunuh semut saja, maka tadi ia
sengaja berkata demikian untuk mengingatkan Han Han agar tidak membunuh lawan.
Han Han mengerti akan sindiran Lulu maka ia berkata.
"Lulu, tewas atau luka
dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting, kalau sampai terjadi
pertandingan, hal itu bukanlah kehendak kita, melainkan dikehendaki oleh para
hwesio ini.Minggirlah !".
Lulu minggir dan Han Han lalu
melangkah lebar menghampiri barisan yang sudah siap menyambutnya. Dengan sinar
matanya, Han Han menyapu barisan itu dan diam-diam ia merasa amat kagum karena
sikap dan kedudukan pasangan kuda-kuda tiga belas orang hwesio yang rata-rata
berusia tiga puluh tahun itu amatlah kuat dan kokoh seperti batu karang. Dari
pasangan kuda-kudanya saja dapat diketahui bahwa Siauw-lim-pai memiliki
murid-murid yang baik-baik dan ilmu silat Siauw-lim-pai bukanlah omong kosong
belaka.
" Majulah!" Han Han
berseru dan menerjang maju, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka
dilambaikan ke depan dari kanan kiri. Ia tidak ingin menyerang lebih dulu dan
ingin sekali menyaksikan bagaimana kehebatan Khong-jiu-tin ini.Setelah belajar
ilmu di Pulau Es, Han Han amat suka melihat ilmu silat dan ingin sekali
meluaskan pengalamannya dengan menyaksikan ilmu-ilmu silat didunia kang-ouw.
"Sambut serangan!"
Tiba-tiba bentakan ini keluar dari tiga belas buah mulut secara serentak dan
bergeraklah tiga belas orang hwesio itu menyerang Han Han. Gerakan mereka amat
cepat dan langkah-langkah mereka teratur, pukulan-pukulan yang dilancarkan
mantap dan kuat.
Han Han menggunakan
ginkangnya,tubuhnya bagaikan tubuh seekor wallet saja ringannya dan dengan
kecepatan yang mengagumkan ia telah mengelak dari setiap pukulan yang
menyerangnya. Akan tetapi betapapun cepat gerakannya, ia tidak dapat mengatasi
kecepatan gerakan tiga belas orang sekaligus. Apalagi ketika tiga belas orang
itu ternyata bukan sembarangan bergerak mengandalkan kepandaian perorangan,
melainkan bergerak menurut ilmu barisan yang aneh dan hebat. Ke manapun Han Han
mengelak, di situ telah menanti pukulan tangan kosong lain hwesio yang disusul
dengan pukulan-pukulan lain dari segala jurusan sehingga bagi Han Han
seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi. Terpaksa pemuda ini menggunakan
lengannya menangkis. Beberapa kali saja menangkis, terdengar seruan-seruan
kesakitan daripara hwesio yang tertangkis lengannya,dan segera gerakan para
hwesio itu berubah, kini tidak pernah mereka membiarkan lengan mereka
tertangkis lagi! Tiap kali lengan meereka ditangkis, mereka sudah menarik
kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain pukulan dari lain jurusan oleh
hwesio lain.
Han Han makin kagum. Sudah
beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk ketika beberapa buah pukulan para
pengeroyoknya tak dapat ia elakkan dan terpaksa ia terima dengan tubuhnya yang
sudah kebal. Ia maklum bahwa andaikata ia tidak memiliki sinkang yang jauh
lebih tinggi sehingga ia dapat mengandalkan kekebalan tubuhnya yang dilindungi
sinkang dan mengandalkan pula kecepatan gerakannya mengandalkan ginkang,
kira-nya ia akan celaka di tangan tiga belas orang ini. Kalau hanya mengandalkan
ilmu silat, agaknya akan sukarlah menandingi barisan yang hebat ini. Ia mulai
memperhatikan gerakan mereka dan mengertilah ia bahwa sesungguhnya Khong-
jiu-tin yang terdiri dari pada tiga belas orang itu adalah dua macam barisan
yang digabung menjadi satu. Pertama barisan Pat-kwa-tin yang terdiri dari
delapan orang, ke dua barisan Ngo-heng-tin yang terdiri dari lima orang. Kedua
barisan itu kadang-kadang melakukan gerakan terpisah saling membantu,
kadang-kadang membentuk lingkaran dengan Pat-kwa-tin di sebelah luar dan
Ngo-heng-tin di sebelah dalam.
Karena dalam hal ilmu silat
Han Han memang belum dapat dikatakan mahir, menghadapi kedua barisan yang
digabung merupakan Khong-jiu-tin yang mengandung jurus-jurus Ilmu Silat
Lo-han-kun yang amat hebat dari Siauw-lim-pai ini, tentu saja Han Han tidak
mampu melawannya dan terpaksa ia harus mengandalkan sinkangnya yang membuat
tubuhnya kebal dan menerima belasan kali pukulan-pukulan keras sebelum ia
sempat melihat jalannya barisan yang amat mengagumkan itu. Karena khawatir
kalau-kalau pukulan-pukulan yang makin berbahaya melanda tubuhnya, Han Han
mengerahkan khikangnya, mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua
lengannya mendorong ke arah lawan yang mengeroyok dengan pengerahan tenaga
sakti Im-kang. Dapat dibayangkan betapa hebatnya dorongan-dorongan tenaga
Im-kang ini kalau diingat bahwa bertahun-tahun pemuda ini melatih diri di Pulau
Es yang amat dingin, sehingga ia telah dapat menyedot inti sari hawa dingin,
membuat Im-kangnya yang dipelajari menurut kitab-kitab Ma-bin Lo-mo menjadi
hebat, lebih hebat dari Swat-im Sin-ciang milik Ma-bin Lo-mo sendiri!
Terdengar keluhan-keluhan
ketika tiga belas orang itu terhuyung-huyung dan roboh semua dengan muka pucat
dan tubuh menggigil kedinginan! Untung bahwa Han Han teringat akan sindiran
Lulu tadi sehingga ia tidak menurunkan tangan maut, membatasi tenaga
dorongannya sehingga darah tiga belas orang itu tidak membeku.
"Omitohud….., luar
biasa……!" terdengar Ceng To Hwesio berseru. Tiga belas orang hwesio
anggauta barisan Khong-jiu-tin itu saling bantu can mundur. Tempat mereka kini
diganti oleh sebuah barisan lain yang terdiri dari sembilan orang hwesio-hwesio
tua berusia antara lima puluh tahun, rata-rata bertubuh kurus kering dan
kelihatannya lemah sekali.
"Eh, hwesio curang! Sudah
jelas barisan tadi tidak mampu menahan Kakakku, sekarang hwesio-hwesio tua
kurus kering ini mau coba lagi?" bentak Lulu yang menghampiri kakaknya dan
mengusap-usap leher kanan Han Han yang agak merah karena tadi terpukul, bahkan
sebelah kanan bibirnya pecah dan berdarah sedilkit, bajunya robek-robek.
"Koko tidak sakitkah?"
Han Han menggeleng kepala dan
dengan halus mendorong tubuh adiknya kepinggir sambil berkata, "Lulu
,tenanglah barisan yang datang ini lebih berat."
"Apa? hwesio-hwesio kurus
kering ini? Jumlahnya pun hanya sembilan orang, Sekali dorong saja roboh Tak
usah di dorong kautiup saja mereka akan roboh semua Koko! Mereka ini hanyalah
penderita-penderita penyakit encok dan batuk!"
Ceng To Hwesio tldak
rnempedulikan ulah dan kata-kata kakak beradik itu lalu berkata dengan suara
nyaring. "Ujian pertamaa dapat di lalui, ujian ke dua menyusul. Lo-han-tin
(Barisan Orang Tua) dari Siaw-lim-pai, hadapilah, orang muda !"
Barisan ini jauh sekali
bedanya dengan barisan Khong-jiu-tin tadi. Kalau barisan pertama tadi terdiri
dari hwesio hwesio yang bertubuh tegap dan gerakan mereka mantap mengandung
tenaga kuat barisan ke dua ini terdiri dari hwesio-hwesio tua yang lemah
sedangkan gerakan mereka pun kelihatan tak bertenaga. Namun Han Han yang biarpun
belum berpengalaman namun sebagai seorang ahli sinkang dan karena sudah banyak
membaca kitab-kitab ilmu silat tinggi, dapat menduga bahwa barisan ini terdiri
dari ahli-ahli sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Dugaannya memang benar.
Sembilan orang ini adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio dan tingkat
mereka hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat lima orang hwesio murid
utama Ceng To Hwesio yang tadi menjadi pengantar kedua orang muda itu dan yang
kini tidak tampak lagi.
"Hemmm, beginikah
peraturan Siauw-lim-pai? Kurasa hanya ditujukan kepada tamu-tamu yang tak
dikehendaki saja," kata Han Han sambil tersenyum mengejek. "Para
Losuhu, kalau tidak malu mengeroyok seorang muda, majulah!"
Sembilan orang hwesio itu
adalah sebuah barisan yang hanya mentaati perintah, maka tentu saja tidak
mengandung perasaan pribadi dan ucapan Han Han itu tidak membuat mereka menjadi
rikuh, bahkan kini mereka bergerak maju dan mulai mengurung lalu mengirim
serangan-serangan yang kelihatannya lambat, namun sesungguhnya cepat dan
dahsyat sekali, jauh lebih berbahaya dari pada penyerangan Khong-jiu-tin karena
kini setiap pukulan mengandung tenaga lweekang yang hebat
Melihat pukulan-pukulan yang
berbahaya ini Han Han cepat meloncat ke atas dan ia pun mengerahkan sinkang
ditubuhnya, berjungkir balik di udara dan kini tubuhnya menukik ke bawah dengan
kedua tangan didorongkan, lalu ditarik kekanan kiri untuk menangkis sambutan
para pengeroyoknya yang sudah mengirim pukulan-pukulan pula. Begitu hawa
pukulan itu bertemu dengan hawa sinkang yang keluar dari kedua lengan Han Han
sembilan orang kakek itu terhuyung dan mereka berseru heran. Akan tetapi mereka
sudah menerjang lagi maju dan kini gerakan tangan mereka mengeluarkan angin
sebagai tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ada pada
diri mereka.
Seperti juga tadi ketika
menghadapi pengeroyokan Khong-jiu tin, Han Han tidak dapat melawan IImu silat
Lo-han-kun yang dimainkan sembilan orang Ahli itu. Biarpun ia sudah
mempergunakan ginkangnya sehingga kadang-kadang tubuhnya lenyap dari
pengurungan sembilan orang hwesio Itu, dan sudah mempergunakan kecepatannya
untuk mengelak atau menangkis, namun tetap saja masih ada bebera buah pukulan
yang "mampir" dl tubuhnya. Dan kali Ini pukulan-pukulan yang mengenal
tubuhnya sama sekali tidak boleh disamakan dengan pukulan-pukulan barisan
pertama tadi karena pukulan-pukulan kali ini adalah pukulan yang mengandung
tenaga lweekang. Biarpun tubuh Han Han amat kebal karena kuatnya sinkangnya,
dan memang ternyata bahwa tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari pada para
pengeroyoknya, namun pukulan-pukulan itu masih menggetarkan isi dada dan isi
perutnya sehingga sebuah pukulan yang cukup keras pada dadanya membuat darah
keluar mengucur dari mulutnya! Dia tidak terluka, akan tetapi getaran dan
goncangan itu ditambah pukulan yang mampir dl lehernya membuat mulut dan
hidungnya berdarah. Marahlah Han Han, kemarahan yang tidak dibuat-dibuat, yang
timbul dengan sendirinya, yang meembuat , mukanya tampak bengis, sepasang mata
nya menyorotkan pandang mata seperti kilat, penuh kebencian penuh nafsu
membunuh. Seolah olah semua wajah para pengeroyoknya berubah menjadi wajah
wajah tujuh orang perwira Mancu yang membasmi keluarganya sehingga menimbulkan
kebencian yang meluap luap di dalam hatinya, mendatangkan nafsu membunuh. Ia
mengeluarkan suara teriakan melengking yang terdengar mengerikan, lalu tubuhnya
digoyang seperti seekor harimau menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu,
kemudian ia menerjang maju dengan kedua tangan menyambar-nyambar kedepan.
"Koko…… jangan……!!” Lulu
berteriak ngeri menyaksikan keadan kakaknya itu. Han han dapat mendengar jerit
ini dan untunglah demikian, karena kedua tangannya yang menyebar maut dengan
pukulan-pukulan Swat-im Si-ciang dan Hwi-yang Sin-cian secara berganti-ganti
itu dapat ia tahan kekuatannya sehingga sembilan orang hwesio itu hanya
terjenkang dan muntah-muntah darah terluka arah akan tetapi tidak ada yang
tewas
“Omitohud…..!” Ceng To Hwesio
berseru marah. “ Kejam sekali engkau…..!”
Pada saat itu dari luar
menyambar sinar-sinar berkeredapan dan ternyata lima orang hwesio murid utama
Ceng To Hwesio sudah muncul sambil menyambitkan senjata rahasia mereka ke arah
Han han. Hal ini mereka lakukan bukan sekali-kali untuk bermain curang,
melainkan terdorong oleh kekhatiran dan karena mereka ingin menolong para sute
mereka agar jangan sampai dipukul lagi oleh Han han. Mereka mengira bahwa
pemuda itu tentu akan membunuh semua sute mereka yang sembilan orang itu
"Hwesio-hwesio
curang!" Lulu sudah mencabut pedangnya. Sinar' hijau menyilaukan mata
berkelebat dan semua senjata rahasia yang disambar sinar ini menjadi
patah-patah seperti buah-buah mentimun bertemu pisau yang amat ta-jam. .
"Cheng-kong-kiam !"
teriak hwesio pincang bertongkat ketika melihat pedangitu.
"Omitohud kiranya
benar-benar murid Hoa-san-pai yang mengacau!- Tang-kap!" bentak Ceng To
Hwesio ketika mengenal Cheng-kong-kiam sebagai pedang pusaka Hoa-san-pai.
Memang pedang ditangan Lulu itu adalah Cheng-kong-kim yang dirampasnya dari
tangan Kong Seng-cu dan pedang ini sudah amat terkenal di dunia kang-ouw
sehingga para hwesioSiauw-lim-pai juga mengenalnya.
Lima orang hwesio itu
menyerang dengan hebat, mengurung Han Han dan mereka mempergunakan senjata
mereka. Si Pincang mempergunakan tongkatnya, dua orang hwesio mempergunakann.
Toya yang sudah mereka pegang ketika mereka,muncul, sedangkan yang tertua dan
yang nomor dua memegang pedang. Serangan.mereka Itu birarpun tidak sehebat ilmu
pedang Siauw-lim Chit-kiam. namun karena mereka adalah tokoh tokoh Siauw-Lim-pai
tingkat tinggi, tentu saja serangan mereka ini hebat bukan main. Boleh jadi
dalam hal kekuatan singkang, Han Han yang telah memiliki tenaga mujijat itu
sukar ditandingi para hwesio yang mendapat sinking secara latihan wajar, tidak
seperti Han Han yang berlatih dengan cara-cara golongan sesat akan tetapi dalam
hal IImu silat, Han Han sunguh ketingalan jauh kalau dibandingkan dengan lima
orang hwesio murid Ceng To Hwesio itu. Adapun Lulu yang juga memiliki tenaga
sinkang yang tidak lumrah kalau dibandingkan dengan gadis
seusia yang sejak kecil
belajar silat, dan telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali, namun dia
kurang mendapat bimbingan yang benar sehingga ilmu pedangnya yang amat indah
dan tinggi mutunya itu kekurangan isi. Tentu saja diapun bukan lawan
tokoh-tokoh Siaw-lim—pai itu.
Si hwesio tua yang pincang
kakinya menghadapi Lulu dengan tongkatnya. Ternyata hwesio ini bukan main
ketika bergerak menerjang Lulu dengan tongkat di tangan. Gerakanya gesit dan
biarpun kakiknya melebihi kecepatan orang yang tidak cacad. Ketika Lulu
menangkis dengan pedangnya terdengar suara keras, ujung tongkat kayu Itu
terbacok putus sedikit saking tajmnya pedang pusaka Hoa-san-pai Itu, akan
tetapi telapak tangan Lulu tergetar hebat saking kuatnya tongkat di tangan
hwesio pincang.
"Nona muda, lebih baik
engkau menyerah saja. Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang adil dan
tentu akan mengadakan sidang pengadilan yang tidak sewenang-wenang. Melawanpun
tiada gunanya,” hwesio pincang ltu berkata dengan suara halus. Dia seorang
tokoh Siuw-lim-pai yang berilmu tinggi, sudah puluhan tahun malang-melintanl di
dunia, kang-ouw sehingga kini merasa sungkan untuk bertanding melawan seorang
gadis remaja yang menjadi cucu muridnya!
"Hwesio sombong, apa
kaukira akan dapat mengalahkan, aku? Lihat pedang!" Lulu berteriak marah
dan pedangnya sudah berkelebat menyambar lagi, merupakan segulungan sinar hijau
yang tebar dan panjang.
"Omitohud, orang muda
yang bersemangat baja!" Hwesio pincang itu berseru, tidak marah karena
sebagai seorang hwesio tentu saja ia telah memiliki kesabaran besar, bahkan ia
merasa kagum menyaksikan sepak-terjang gadis cantik ini. Cepat ia menggerakkan
tongkatnya dan sekejap kemudian bertandinglah mereka dengan hebat. Biarpun
tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, namun hwesio pincang itu harus
bersilat dengan amat hati-hati karena ginkang gadis itu sudah mencapai tinkat
yang tinggi pula,membuat tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet. dan
tenaga sinkang yang tersembunyi di tangan halus. Yang memegang pedang pun tak
boleh dipandang ringan.
Sementara itu, Han Han juga
mengamuk, dikeroyok oleh empat orang hwesio lain. Agaknya para hwesio itu tidak
ingin gagal untuk memenuhi perintah suhu mereka, yaitu menangkap Han Han, maka
mereka berempat maju serentak dengan tangan kosong, membiarkan hwesio pincang
seorang diri menghadapi. Lulu yang mereka pandang rendah. Mereka:sudah
mendengar akan kelihaian Han Han ini dan karena Han Han telah membunuh
orang-orang Siauw-lim-pai secara mengerikan, bahkan disangka membunuh dua orang
di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu saja mereka maklum bahwa pemuda ini amat
lihai, maka mereka maju mengeroyok dan berlaku hati-hati sekali.
Pening rasa pandang mata Han
Han ketika ia melihat geakan para pengeroyoknya yang selain cepat juga amat
mantap itu. Ke manapun ia menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan
tenaga Hwi-yang Sin-ciang atau Swat-im Sin-ciang, selalu serangannya dapat
dihindarkan keempat orang hwesio itu yang cepat mengelak dan sama sekali tidak
berani menangkis. Memang dahsyat mengerikan sekali sambaran kedua tangan Han
Han ini, kadang-kadang mengandung hawa yang panas seperti api membara
kadang-kadang dingin seperti es
Ilmu silat yang dimainkan
oleh, empat orang hwesio itu adalah ilmu silat tinggi Siauw-lim-pai yang amat
terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Dibandingkan dengan Ilmu Silat
Lo-han-kun yang dimainkan oleh barisan Khong-jiu-tin yang tadi mengeroyoknya,
memang tidak ada bedanya, akan tetapi kini dimainkan dengan tenaga yang jauh
lebih kuat dan gerakan yang lebih mantap. Seperti juga tadi, Han Han tidak
dapat mempertahankan dirinya, tidak dapat menghindarkan diri dari
gebukan-gebukan dan tendangan-tendangan yang tentu akan membuatnya roboh
pingsan sekiranya dia tidak memiliki tubuh yang penuh dengan hawa sinkang amat
kuatnya. Beberapa kali ia kena dijotos dadanya sampai tubuhnya terjengkang dan
roboh bergulingan, namun setiap kali ia bangkit lagi dan mengamuk leblh hebat
lagi. Setelah berkelahi, hawa yang aneh memenuhi tubuh Han Han dan matanya berubah
beringas, wajahnya merah menyeramkan, mulutnya yang berdarah Itu membayangkan
kekejaman dan nafsu membunuh, hidungnya yang jga berdarah itu
berkembang-kempis, matanya seperti meta harimau gila, kerongkongannya
mengeluarkan suara rnengereng-gereng dan kadang-kadang melengking-lengking.
Ernpat orang hwesio murid Ceng
To Hwesio kagum bukan main dan berkali-kali mereka mengeluarkan seruan terkejut
saking herannya melihat betapa pemuda itu dapat menerima hantaman mereka tanpa
mengalami cedera atau terluka sedikit pun, hanya sedikit darah mengalir dari
mulut atau hidungnya setiap kali menerima pukulan. Hampir mereka tak dapat
percaya bahwa ada seorang pemuda remaja memiliki kekebalan seperti itu!
Sungguhpun tubuh Han Han tidak
sampai terluka di sebelah dalam, namun sesungguhnya Han Han menderita bukan
main. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan tidak karuan, kepalanya pening, pandang
matanya berkunang dan telinganya mendengar suara mengiang-ngiang tiada
hentinya. Kemarahannya memuncak. Ketika empat orang hwesio itu untuk ke sekian
kalinya menerjang. maju dari empat jurusan, ia sengaja tidak mau mengelak lagi,
juga tidak menangkis hanya menanti sampai pukulan mereka tiba. Mendadak Han Han
mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kirinya menghantam ke kiri dengan
pengerahn tenaga sakti Swat-im Sin-ciang sedangkan tangan kanan menghantam ke
kanan dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Karena pemuda ini sengaja
mengorbankan tubuhnya menjadi sasaran dan berbareng pada detik itu mengirim
pukulan-pukulan, maka terdengar jerit mengerikan ketika pukulan-pukulannya
mengenai sasaran. Hwesio di sebelah kirinya roboh dengan muka biru dan darah
membeku sedangkan yang berada di sebelah kanannya roboh pula dengan muka
menjadi hitam gosong seperti terbakar! Akan tetapi dia sendiri pun menerima
pukulan-pukulan yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia
muntahkan darah segaryang banyak juga!
"Koko…..!" Tiba-tiba
Lulu menjerit dan Han Han cepat menengok. Ternyata bahwa pedang adiknya itu
telah terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan tangan adiknya itu. Ia
melihat Ceng To Hwesio menggerakkan tangan seperti melambai dan……pedang adiknya
itu terbang ke arah tangan Si Hwesio yang membentak marah.
"Bocah setan, engkau
kembali membunuh dua orang murid pinceng! Kau tidak boleh dibiarkan hidup
lagi!”
Kini mereka semua menyerbu
mengeroyok Han Han. Ceng To Hwesio dan muridnya yang tinggal tiga orang karena
hwesio pincang itu setelah melihat dua orang sutenya tewas lalu meninggalkan
Lulu dan ikut mengeroyok Han Han.
Tidak seperti tadi ketika
dilkeroyok empat orang hwesio bertangan kosong, kini Han Han dikeroyok empat
orang hwesio yang semuanya bersenjata. Hwesio pincang memegang tongkat, dua
orang hwesio lain memegang toya dan Ceng To Hwesio memegang pedang
Ceng-kong-kiam dari Hoa-san-pai,
Dalam kemarahanya, Han Han
tldak takut menghadapi bahaya apapun juga. Ia menjadi nekat dan memutar kedua
lengannya mengirim pukulan-pukulan dengan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang yang
dahsat sehingga empat orang hwesioa itu tidak berani terlalu mendekatinya.
"Omltohud…..keji
sekali….!" Ceng To Hweslo berseru dan pedangnya berubah menjadi sinar
hijau menuju pusar Han Han, Pemuda itu terkejut, cepat ia melompat ke atas
seperti terbang saja dan pada saat itu, tongkat hwesio pincang menyambar
kakinya. Namun Han Han menggerakkan kaki menendang sehingga tongkat itu hampir
terlepas dari tangan pemeganya. Pada saat itu, sinar hijau berkelebat ke
lehernya. Han Han membuang tubuh ke belakang, namun masih saja pedang itu
menyerempet pundaknya sehingga bajunya berikut kulit dan sedikit daging pundak
robek den berdarah.
"Koko……!" Lulu
menjerit dan menubruk Han Han, matanya melotot memandang empat orang hwesio itu
dan mulutnya memaki-maki
"Hwesio....hwesio jahat!
Beginikah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai Tukang keroyok dan tukang bunuh?
Melihat gadis itu yang
melindungi tubuh Han Han, empat orang hwesio itu menjadi sungkan untuk
menyerang. Han Han tldak, lngin melihat adiknya terancam bahaya, maka ia lalu
meraih pingang adiknya dibawa meloncat sambil membentak.
"Minggir kalian!!”
Bentakan Han Han Ini
mengandung suara aneh yang memiliki pengaruh mujijat. Tanpa mereka ketahui
mengapa, empat orang hwesio itu segera mundur ke pinggir dan membiarkan Han Han
lewat bersama Lulu. Setelah pemuda itu berlari ke depan, memasuki kuil, barulah
Ceng To Hwesio berseru.
"Omitohud….., mengapa
kita diam saja…..?" Ia amat terkejut, demikian pula tiga orang muridnya
dan serentak mereka mengejar ke dalam kuil.
Han Han berkelebat cepat
memasuki kuil sampai ke ruangan belakang. Ternyata kuil itu luas sekali dan
mempunyai banyak ruangan. Melihat betapa para hwesio kosen itu mengejar, Han
Han berlari terus sambil menarik tangan Lulu Karena para pengejarnya yakin
bahwa pemuda itu tidak dapat meloloskan diri, apalagi kalau dilihat
kenyataannya bahwa Han Han malah lari memasuki kuil, maka mereka ini agaknya
tidak mau ribut-ribut, dan mengejar seenaknya saja.
Han Han yang menggandeng Lulu
terus lari sampai di ruangan belakang yang amat luas. Tampak banyak daun-daun
pintu tertutup dan ketika Han Han tiba di ruangan itu, tiba-tiba terdengar
suara halus namun penuh wibawa.
"Orang muda yang
diperalat iblis berlututlah dan menyerah!"
Han Han dan Lulu mengangkat
muka ke atas karena suara jtu seperti datang dari atas, akan tetapi diatas
tidak tampak apa-apa kecuali langit-langit rumah. Ketika mereka menoleh ke
kiri, ternyata di situ telah berdiri seorang hwesio tua bermuka kurus bertubuh
kecil jangkung yang berwajah angker penuh wibawa. Hwesio kurus ini kepalanya
gundul kelimis, alisnya tebal dan kumis jenggotnya jarang, tangan kirinya
memegang seuntai tasbih dan pakaiannya sungguhpun sederhana namun masih jelas
berbeda dengan pakaian para hwesio lain, juga kepalanya diikat tali dengan
“hiasan” benda kecil runcing seperti jimat di atas kepala. Hwesio ini adalah
Ceng San Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang memandang Han Han dengan sinar mata
penuh teguran.
Han Han menarik tangan Lulu
hendak lari keluar lagi. Melihat hwesio tua itu, Han Han maklum bahwa dia
berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi begitu ia membalikkan tubuhnya,
Ceng To Hwe-sio dan tiga orang muridnya sudah tiba di situ dan berdiri memenuhi
ambang pintu yang menuju keluar. Mereka berempat ini memandang dengan sinar
mata penuh kemarahan.
"Suheng, dia inilah bocah
yang telah membunuh murld-murid Siauw-lim-pai, bahkan di luar tadi telah
membunuh dua orang muridku. Mohon keputusan ketua !" berkata Ceng To
Hwesio sambil menahan kemarahannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin
ia turun tangan terus membunuh bocah itu, akan tetapi karena yang berkuasa
memutuskan sesuatu adalah Ceng San Hwesio sebagai ketua Siauw-lim-pai, ia
menahan kemarahannya dan menyerahkan keputusannya kepada Ceng San Hwesio.
"Omitohud, malapetaka
menimpa Siauw-lim-pai tiada henti-hentinya…….semoga Tuhan mengampuni kita
sekalian……!” Ceng San Hwesio menekan kemarahannya dan berdoa, kemudian
memandang kepada Han Han sambil berkata, "Orang muda, engkaukah yang
bernama Sie Han, pemuda yang telah membunuh murid-murid pinceng Liok Si Bhok
dan Liong Ki Tek, kemudian membunuh pula beberapa orang anak murid
Siauw-lim-pai dan kini bahkan membunuh dua orang murid keponakanku? Heh, orang
muda yang berhati kejam, apakah sebabnya engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan
itu? Apakah enskau murid Hoa-san-pai?”
Han Han menjura penuh hormat
setelah kini la tahu bahwa hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai. "Harap
Locianpwe sudi mempertimbangkan dan tidak tergesa-gesa sepertl yang lain
menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan. Saya bukanlah murid Hoa-san-pai, juga
tidak mempunyal hubungan apa-apa dengan Hoa-san-pai. Adapun tentang pembunuhan
yang saya lakukan terhadap anak murid Siauw-lim-pai ketika mereka bentrok
dihutan dengan murid-murid Hoa-san-pai tidak perlu saya sangkal, dan memang
saya melakukan pembunuhan itu sunggupun hal itu bukan menjadi kehendak saya.
Juga tewasnya dua orang hwesio yang mengeroyok saya di luar itu terjadi bukan
atas kehendak saya. Akan tetapi tentang kematian dua orang murid Locianpwe, dua
orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, saya tidak tahu-menahu dan justeru
kedatangan saya ini hendak menjelaskan semua duduknya perkara sehingga timbul
bentrokan antara Hoa-san-pai, dan Siauw-lim-pai, kemudian yang me-, nyeret diri
saya sebagai orang luar karena kebetulan saja dan karena salah pengertian
sebagai korban dari tipu muslihat keji seorang Puteri Mancu."
"Orang muda, setelah
membunuh sekian banyaknya murid-murid Siauw-lim-pai, engkau datang ke sini
dengan alasan hendak memberi penjelasan, akan tetapi sambil membunuh pula dua
orang murid Siauw-lim-pai lainnya. Begitukah caramu hendak memberi penjelasan?
Apakah engkau hendak menghilangkan dosa dengan pembunuhan lain lagi?"
"Maaf, Locianpwe. Sudah
kukatakan tadi bahwa tewasnya Losuhu di luar itu bukanlah kehendak saya. Saya
dikeroyok dan mereka berkeras menolak keinginan saya bertemu dengan Nona Lauw
Sin Lian dan dengan Locianpwe sebagai ketua untuk memberi penjelasan, akan
tetapi mereka menggunakan kekerasan. Terpaksa saya melawan untuk membela diri
dan akhirnya dua di antara para losuhu tewas….."
"Suheng! Setan cilik ini
telah menginjak-injak kehormatan .Siauw-lim-pai telah membunuh dengan cara keji
tujuh orang murid-murid Siauw-lim-pai kemudian sekarang membunuh pula dua orang
murid tingkat pertama, bahkan kematian Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek tentu
akibat perbuatannya pula karena memang dia memiliki ilmu setan. Harap Suheng
sekarang memberi keputusan agar saya dapat turun tangan menangkap atau
membunuhnya," kata Ceng To Hwesio yang merasa marah sekali atas kematian
dua orang muridnya yang tersayang.
Tidak hanya Ceng To Hwesio
yang merasa sakit hatinya oleh kematian para murid Siauw-lim-pai. Biarpun ketua
Siauw-lim-pai sendiri, Ceng San Hwesio, juga merasa sakit hati. Akan tetapi
sebagai seorang ketua yang berpikiran luas dan berpemandangan jauh ia tidak mau
bertindak sembrono. Urusan Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai jauh lebih penting
dan lebih besar dari pada urusan dendam terhadap orang muda ini, pikirnya. Maka
ia menindas perasannya dan berrtanya.
"Orang muda she Sie,
engkau hendak menyampaikan penjelasan tentang sebab-sebab bentrokan antara
Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. penjelasan yang kauawali dengan pembunuhan baru
lagi. Penjelasan apakah gerangan? Coba kausampaikan kepada pinceng untuk
dlpertimbangkan."
Han Han maklum bahwa
keadaannya terhimpit dan terancam. la malah merasa pening dan seluruh tubuhnya
sakit-sakit, sedangkan Lulu yang memegang lengannya dari belakang kelihatan
pucat dan tangan gadis itu agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang dan takut.
Kenyataan bahwa kedatangannya ini menimbulkan pembunuhan-pembunuhan baru
membuat perkara menjadi makin ruwet. Akan tetapi karena memang hatinya tidak
mengandung pamrih apa-apa, tidak pula mempunyai niat untuk menonjolkan atau
menguntungkan diri sendiri, melainkan hanya bertindak untuk membela diri dari
serangan-serangan maut, dengan suara tenang ia lalu berkata.
"Locianpwe, semua
peristiwa yang terjadi sehingga mengakibatkan korban-korban yang tewas di
antara murid-murid Siauw-lim-pai dan juga Hoa-san-pai, adalah disebabkan oleh
siasat adu domba yang amat licin dari seorang puteri Mancu yang bernama Puteri
Nirahai. Mula-mula terjadi pembunuhan atas diri dua orang Locianpwe dari
Siauw-lim Chit-kiam yang merupakan rahasia, akan tetapi yang pertama kali
membawa datang kedua jenazah itu adalah Puteri Nirahai itulah." Kemudian
dengan tenang Han Han menceritakan semua peristiwa yang didengarnya dari fihak
Hoa-san-pai tentang pengiriman peti oleh puteri Mancu, dan betapa peti-peti itu
dikawal oleh murid Hoa-san-pai kemudian di tengah jalan dihadang oleh
murid-murid Siauw-lim-pai sehingga terjadi pertempuran.
"Saya dan adik saya
kebetulan lewat di tempat pertempuran dan karena saya mengira bahwa murid-murid
Siauw-lim-pai adalah perampok-perarnpok yang hendak merampas kereta yang
dikawal Pek-eng-piauwkiok, saya lalu membantu Pek-eng-piauwkiok dan dalam
pertandingan itu saya dikeroyok dan akibatnya tujuh orang murid Siauw-lim-pai
yang saya kira perampok ltu tewas. Setelah muncul Nona Lauw Sin Lian yang saya
kenaI diwaktu kecil, yang membuka dua peti terisi jenazah, barulah saya menjadi
kaget dan kembali saya salah sangka, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang jahat
dan turun tangan membunuh dua orang pimpinan Pek-eng-piauwkiok yang menjadi
murid-murid Hoa-san-pai. Saya sudah menjelaskan persoalan ini kepada pimpinan
Hoa-san-pai, dan biarpun hasilnya, tidak begitu memuaskan, saya tetap
mendatangi Siauw-lim-si untuk memberi penjelasan pula kepada ketua
Siauw-lim-pai dan kepada Nona Lauw Sin Lian. Sungguh menyedihkan bahwa
kedatangan saya dikeroyok dan akibatnya dua orang murid Siauw-lim-pai tewas.
Sekarang terserah kepada keputusan Locianpwe."
Ceng San Hwesio diam-diam
terkejut sekali dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bohong tidaknya
cerita yang ia dengar dari mulut pemuda aneh ini. Kalau tidak bohong,
benar-benar Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai terancam kehancuran kalau melanjutkan
permusuhan yang dijadikan umpan perpecahan oleh fihak penjajah. Akan tetapi
siapa tahu kalau cerita itu hisapan jempol belaka? Pemuda ini amat aneh dan
lihai, siapa dapat menjenguk isi hatinya?
"Suheng, harap jangan
percaya dia! Masih ingat pinceng akan cerita Sin Lian bahwa bocah ini adaJah
murid Kang-thouw-kwi Gak Liat dan tadi pun dia mengeluarkan pukulan Hwi-yang
Sin-ciang! Tentu kedua orang murid Suheng dia pula yang membunuhnya!" Ceng
To Hwesio berkata. bukan untuk memanaskan hati suhengnya, melainkan karena ia
menduga keras bahwa Han Han adalah seorang musuh besar.
Sinar mata Ceng San Hwesio
berkilat. “Hemmm, Gak Liat manusia yang keji dan jahat. Sekarang muridnya lebih
kejam lagi……, omitohud! Sie Han, kau lebih baik menyerahkan diri, jangan
melawan. Kau harus menjadi tawanan kami untuk kemudian diperiksa lebih lanjut.”
" Locianpwe, sebagai
seorang ketua perkumpulan besar, apakah Locianpwe tidak dapat menggunakan
kebijaksanaan? Kakakku tidak bersalah, memaksa diri datang kesini untuk memberi
penjelasan agar jangan terjadi permusuhan berlarut-larut antara Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai. Akan tetapi sampai disini malah hendak ditawan. Hayo
kembalikan pedangku dan biarkan kami berdua pergi dari sini kalau Locianpwe
tidak suka mendengarkan penjelasan Kakakku!" Lulu yang tadinya kelihatan
takut-takut itu kini melangkah maju dan bicara dengan suara membentak-bentak
kepada ketua Siauw-lim-pai .
Jari-jar itangan kiri Ceng San
Hwesio menggerak-gerakkan tasbihnya ketika ia memandang Lulu ,alisnya berkerut
dan ia bertanya halus, "Nona muda, siapakah namamu?"
"Namaku Lulu dan aku
adalah adik Kakakku Han Han ini."
"Nona bukan murid
Hoa-san-pai?"
"Bukan, juga Kakakku
bukan murid Hoa-san-pai, bukan pula murid Gak Liat.”
Bibir hwesio tua itu
tersenyum. "Hem, Nona bicara tidak karuan. Kalau bukan murid Hoa-san-pai,
bagaimana pedang Cheng-kong-kiam bisa berada di tangan-mu? Pedang itu adalah
pedang pusaka Hoa-san-pai dan biasanya hanya dipergunakan oleh fihak pimpinan
Hoa-san-pai."
"Ohhh, itu? Pedangku yang
dirampas oleh hwesio jahat ini? Sama saja dengan hwesio itu, Locianpwe, aku
merampas dari tosu Hoa-san-pai?”
"Hemmm, merampas dari
tosu Hoa-san-pai?"
"Apa bedanya dengan
hwesio ini? Dia pun merampas pedangku! Aku diserang tosu Hoa-san-pai dan aku
merampas pedangnya."
Tiba-tiba Ceng To Hwesio maju
dan berkata, "Nona muda yang lancang mulut. Benarkah engkau Adik pemuda
ini? Pinceng tidak percaya!"
Lulu membelalakkan matanya
kepada hwesio yang dibencinya itu, yang telah memegang pedangnya. "Kau
percaya atau tidak bukan urusanku! Aku adalah adik angkat Kakakku ini dan aku
tidak membutuhkan kepercayaanmu!"
"Suheng, gadis ini adalah
keturunan Mancu!" tiba-tiba Ceng To Hwesio berkata. "Lihatlah
matanya, lihat hidungnya dagunya Dia berdarah Mancu!”
" Memang aku gadis mancu,
habis engkau mau apa?" .
" Omitohud……kalau begitu
benar. Mereka ini adalah mata-mata penjajah yang dipergunakan untuk mengadu
domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Bocah kejam, terpaksa pinceng.
Turun tangan kepadamu!" Ceng San Hwesio berseru dan tiba-tiba dia
menggerakkan kaki maju dua langkah dan tangan kanan-nya mendorong ke depan,
mencengkeram ke arah pundak Han Han.
Pemuda yang sudah sakit-sakit
rasa tubuhnya ini ketika mendengar suara mencicit keluar dari tangan ketua Siauw-lim-pai,
terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuh, agak merendah dan dengan nekat
ia mengangkat tangan menangkis ke arah tangan hwesio yang terulur itu.
" Plakkk!”
"
Omitohud…..,mentakjubkan!" CengSan Hwesio berseru dan meloncat ke
belakang untuk mematahkan daya
dorong yang dapat. merusak kuda-kuda kakinya. Akan tetapi Han Han terpental ke
belakang dan roboh terguling-guling. Ternyata bahwa dalam hal tenaga, bahkan
kakek ketua Siauw-lim-pai ini sendiri tak mampu mengatasi Han Han, akan tetapi
karena kakek ini amat lihai, ketika tangan mereka bertemu tadi Ceng San Hwesio
telah menggerakkan pergelangan tangan sehingga Han Han terdorong dari samping
dan kena dilontarkan ke belakang!.
"Kalian benar-benar
menghendaki nyawaku? Hemmm…….majulah, aku Sie Han bukannya orang yang takut
mati!" bentak Han Han, kemarahannya membuat wajahnya menjadi merah sekali
dan kelihatannya beringas menyeramkan, sinar maut terpancar dari sepasang
matanya. Ceng San Hwesio maklum bahwa anak muda ini benar-benar merupakan bahaya
dan bahwa kalau dia sendiri tidak turun tangan, tentu akan sukar bagi
murid-muridnya menundukkan Han Han tanpa mengorbankan nyawa banyak anak murid
Siauw-lim-pai lagi. Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia berpantang
membunuh, akan tetapi karena maklum bahwa pemuda ini sukar dikalahkah dan
memiliki sinkang yang amat luar biasa, ia lalu melangkah maju, siap menurunkan
tangan menyerang. Juga Ceng To Hwesio bersama tiga orang muridnya sudah maju
mengurung Han Han yang beringas dan marah sedangkan Lulu masih berdiri
terbelalak penuh kekhawatiran memandang kakaknya.
Keadaan itu amat menegangkan,
terutama sekali bagi Lulu yang seolah-olah melihat betapa kakaknya yang
tercinta itu hendak disembelih, hendak dibunuh di depan matanya. Ia amat bangga
dan yakin akan kelihaian kakaknya, akan tetapi kini ia mengerti bahwa kakaknya
bukanlah lawan hwesio-hwesio yang saktii ini. Ia pun bersiap-siap untuk
menyerbu untuk membela kakaknya, karena kalau sampai kakaknya tewas, ia pun
tidak mau hidup lebih lama lagi ingin mati disamping kakaknya. Dalam detik
seperti itu terasa benar di hati Lulu betapa ia mencinta kakaknya, betapa di
dunia ini dia tidak punya siapa-siapa lagi, betapa hidupnya akan kosong dan
hampa kalau Han Han mati. Perasaan ini seperti duri-duri menusuk jantungnya,
membuat Lulu tanpa disadarinya memekik nyaring.
"Koko……! Aku ingin mati
bersamamu……!”
Jeritan melengking yang keluar
dari mulut Lulu ini langsung keluar dari hatinya, maka mengandung getaran
hebat. Ceng San Hwesio bersama sutenya dan tiga orang muridnya itu, sudah siap
menerjang maju membinasakan Han Han tergetar oleh jeritan ini. Mereka adalah
hwesio-hwesio y.ang berilmu, hwesio-hwesio yang mengutamakan kebajikan yang
penuh dengan welas asih dan cinta kasih terhadap sesama hidup. Mereka sama sekali
bukanlah orang-orang kejam, bahkan mereka telah berhasil mengusir jauh-jauh
nafsu kebencian. Kalau mereka hendak turun tangan membunuh Han Han, hal ini
dilakukan dengan perasaan demi menjaga keutuhan den kelangsungan Siauw-lim-pai
yang terancam kedudukannya. Kini mendengar lengking itu, hati mereka tertusuk
dan sejenak mereka berdiri melongo memandang Han Han yang berdiri dengan muka
beringas dan darah mengalir dari pundak, hidung dan ujung bibirnya.
Pada detik-detik yang sunyi
itu terdengarlah suara halus yang seolah-olah terbawa asap dupa yang mengepul
keluar dari balik daun pintu tertutup sebelah kiri, suara yang penuh getaran
pula.
"Siancai…..,hidupnya
belum terisi, mengapa ingin mati? Aduhai, sebentar lagi tubuh itu terbujur di
dalam tanah, busuk menjijikkan, tanpa kesadaran, tidak ada, gunanya seperti
kayu habis dimakan api….! Omitohud….,Ceng San…., apa yang hendak kaulakukan di
luar? Kesinilah segera!"
Mendengar suara ini, lima
orang hwesio yang mengurung Han Han itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut
dengan muka menghadap daun pintu tertutup dari mana mengepul keluar asap dupa
harum itu. Kemudian Ceng San Hwesio lalu melompat sambil berlutut dan tubuhnya
yang masih berlutut itu melayang ke arah daun pintu, tangan kanan mendorong
daun pintu terbuka dan tubuhnya terus meluncur masuk ketika daun pintu itu
tertutup kembali. Han Han memandang penuh kagum. Mengertilah ia bahwa
kepandaiannya masih amat jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan
hwesio-hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini. la maklum bahwa biarpun Ceng San Hwesio
sudah pergi, namun tetap saja ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut
kalau ia melawan Ceng To Hwesio, apalagi jika hwesio sakti ini dibantu oleh
tiga orang muridnya. Maka ia lalu menggandeng tangan Lulu dan berlarilah Han
Han menuju ke pintu yang tadi dimasuki Ceng San Hwesio.
"Hei, berhenti kau….!”
Ceng To Hwesio membentak dan ketika Han Han tidak mempedulikannya, Ceng To
Hwesio mengirim pukulan jarak jauh dari belakang. Kembali Han Han mendengar
suara bercuit dari belakang dan ia maklum bahwa ia dipukul dengan hawa sakti
yang amat kuat. Maka ia cepat menarik tubuh Lulu agar berlindung di belakang,
kemudian. ia membalik sambil menggerakkan tangan menangkis. Namun tetap saja
tubuhnya terlempar bersama tubuh Lulu, menabrak dinding akan tetapi malah dekat
dengan pintu itu yang cepat ia buka sambiI melompat masuk dan menarik tangan
adiknya. Kepalanya pening sekali, napasnya sesak dan kemarahannya makin
memuncak.
"Koko, kita ke mana
?" tanya Lulu terengah-engah.
"Biarlah…..akan kucari Ceng
San Hwesio….kalau perlu aku mati bersama dia! Aku akan mengadu nyawa dengan
ketua Siauw-lim-pai….,mati di tangannya tidak penasaran.”
"Koko…..!" Lulu
menjadi pucat akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa Ceng To Hwesio
dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar, bahkan sudah berlutut lagi
menghadapi pintu, hatinya menjadi lega. Memang tidak seorang pun hwesio
Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya, berani memasuki kamar-kamar yang daun
pintunya berjajar diruangan luas sebelah belakang kuil ini. Itulah kamar-kamar
yang disebut "ruangan penyiksaan diri" dan merupakan tempat terlarang
bagi para hwesio lainnya. Kalau tadi tidak medengar suara supek-nya memanggil,
Ceng San Hwesio sendiri tidak akan berani memasuki kamar melalui daun pintu itu.
lnilah sebabnya mengapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani
mengejar Han Han dan Lulu yang memasuki kamar terlarang ini.
Dengan alis berkerut dan wajah
masih beringas darah masih menetes-netes dari hidung dan mulut sebagai akibat
gempuran pukulan terakhir Ceng To Hwesio tadi, mata masih berkunang dan kepala
berdenyut-denyut, Han Han memasuki lorong yang menembus pintu tadi, dipegang
lengannya oleh Lulu yang memandangnya penuh kekhawatiran. Han Han seperti
terbetot asap dupa harum karena kakinya bergerak melangkah maju menempuh asap
dupa dan menghampiri kamar dari mana dupa itu mengepul keluar. Ia melangkah ke
ambang pintu kamar itu dan berdiri tertegun sambil memegangi pundaknya yang
terasa perih karena darahnya keluar lagi ketika terbanting tadi. Seperti
terpesona. Han Han memandang ke dalam kamar sedangkan Lulu yang juga memandang
ke dalam kamar dan melihat tiga orang hwesio di .kamar itu, memandang kakaknya
dengan hati gelisah. Dengan sinar matanya ia seolah-olah hendak melarang
kakaknya turun tangan, karena betapa mungkin kakaknya melawan tiga orang hwesio
tua itu?
Ternyata Han Han tidak turun
tangan, bahkan berdiri seperti arca, terpesona oleh pemandangan den pendengaran
di dalam itu. Di atas sebuah dipan bamboo sederhana duduk seorang hwesio yang
amat tua, begitu tua dan kurusnya seperti rangka terbungkus kulit. Kepalanya
gundul halus mengeluarkan sinar, alis, kumis dan jenggotnya Seperti menjadi
satu berjuntai ke bawah berwarna putih, mukanya tunduk dan matanya terpejam,
tubuhnya terbungkus kain kuning yang kasar dan tangan kanannya memegang sebuah
kipas daun. Hwesio ini duduk bersi!a dan di sebelah kirinya, di dekat kaki
dipan, duduk bersila sambil menundukkan muka pula seorang hwesio lain yang
keningnya selalu berkerut, mulutnya cemberut dan matanya terpejam. Hwesio ini
pun sudah tua sekali, dan agaknya dialah yang melayani segala keperluan hwesio
tua di atas dipan. Sebuah pedupaan berada di dekat hwesio pelayan ini dan
agaknya dia pula yang membakar dupa bubuk di pedupaan itu. Ceng San Hwesio ketua
Siauw-lim-pai tampak duduk berlutut di depan hwesio tua renta itu dengan sikap
penuh hormat. Kamar itu sendiri kosong dan buruk tua, tidak ada hiasan apa-apa
kecuali dipan itu dan sebuah meja kayu di mana terdapat sebuah guci air.
Terdengar oleh Han Han suara
yang halus seperti suara tadi yang keluar dari daun pintu bersama asap dupa dan
sungguhpun bibir kakek tua itu tidak bergerak, namun ia dapat menduga bahwa
itulah suara hwesio tua yang bersila diatas dipan.
"Jangan menilai perbuatan
orang lain yang tidak patut maupun dosa-dosa dan kejahatan orang lain,
melainkan perbuatan dan penyelewengan diri sendirilah yang harus selalu
diperhatikan. Harum semerbaknya bunga-bunga tagara, malika dan kayu cendana tak
dapat tersebar melawan arahnya angin, akan tetapi harum semerbaknya nama baik
seseorang bahkan sampai tersebar melawan arahnya angin. Sama seperti dionggokan
sampah kotor tumbuh bunga teratai yang bersih dan indah, demikian pula seorang
murid Buddha tetap bijaksana seperti teratai diantara orang-orang sesat. Wahai,
Ceng San, apakah engkau sudah melupakan semua pelajaran itu?"
Han Han terpesona, tak berani
bergerak dan tak berani berkedip, memandang kakek tua itu dan mendengarkan
kata-katanya. Ia pernah membaca kata-kata yang keluar dari dalam mulut kakek
itu, mengenal kata-kata itu dari kitab-kitab Agama Buddha yang pernah
dibacanya. Akan tetapi entah bagaimana dia sendiri tidak mengerti, mendengar
kata-kata bersajak itu keluar dengan suara getaran aneh dari tubuh hwesio ini,
terasa dingin sejuk dan sekaligus membuka mata batinnya, membuatnya terpesona
dan ingin mendengarkan terus.
"Teecu selalu ingat akan
semua pelajaran dan tidak pernah melupakannya. Akari tetapi, Supek, urusan yang
melanda Siauw-lim-pai ini adalah urusan besar sekali. Teecu bukan bertindak
berdasarkan dendam kebencian melainkan karena ingin menjaga nama besar
Siauw-lim-pai. Siauw-lim-pai yang didirikan ratusan tahun yang lalu oleh Couwsu
kita, kalau tidak dijaga dan dipertahankan, bukankah hal itu merupakan dosa
besar terhadap Couwsu? Siauw-lim-pai diadu domba dengan Hoa-san-pai,
murid-murid Siauw-lim-pai pilihan telah dibunuh orang, kini pembunuhnya muncul
pula di kuil kita dan membunuh pula murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan mengajak
datang seorang gadis Mancu mengotori kuil kita. Mohon petunjuk, Supek. Apakah
teecu bersikap dungu kalau teecu hendak membasmi manusia sesat dan keji itu
dari permukaan bumi agar perbuatan-perbuatannya tidak menimbulkan mala petaka
yang lebih hebat lagi? Tidak benarkah perbuatan teecu seperti itu?"
Terdengar suara halus itu
keluar dari balik jenggot tanpa pergerakan bibir dan kini suara itu
mengeluarkan nyanyian halus yang ternyata adalah ayat-ayat kitab suci dari
Agama Buddha yang pernah pula dibaca Han Han:
"Si
dungu dengan perbuatannya
mencipta
diri sendiri
menjadi
musuh banyak manusia
di mana pun
dia melakukan kejahatan
yang
menimbulkan banyak penderitaan.
Tidak
benarlah perbuatan
yang
menimbulkan duka nestapa
penyesalan,
ratap tangis dan air mata.
Benarlah
perbuatan
yang
mendatangkan manfaat
kegembiraan
dan kebahagiaan.”
Biarpun ucapan itu ditujukan
kepada Ceng San Hwesio, namun secara aneh sekali meresap ke dalam sanubari Han
Han dan pemuda ini merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada dirinya
sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya apakah selama ini perbuatannya itu
benar? Ia mengangapnya benar, akan tetapi melihat akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatannya, setelah mendengar ucapan kakek itu, ia menjadi
ragu-ragu. Betapa banyaknya kekacauan dan keributan timbul sebagai akibat
perbuatan-perbuatannya itu! Siapakah yang untung, gembira dan bahagia oleh
perbuatannya? Tidak ada? Siapa yang rugi! Yang jelas saja, Hoa-san-pai memusuhi
nya karena dia telah membunuh beberapa orang anak muridnya, kini Siauw-lim-pai
juga memusuhinya, belum lagi diingat Sin Lian yang begitu baik kepadanya kini
menjadi sakit hati dan membencinya!
Dengan hati perih seperti
ditusuk pedang dan perasaan penuh keharuan, Han Han lalu menjatuhkan diri
berlutut dan menghadap ke arah kakek di atas dipan itu sambil berkata.
"Aduh, Locianpwe yang
mulia……., boanpwe Sie Han merasa menyesal sekali atas segala kejahatan yang
boanpwe lakukan……mohon Locianpwe segera turun tangan menghukum……"
Lulu juga berlutut, bukan
berlutut untuk menghormat kakek itu melainkan untuk merangkul pundak kakaknya
dengan penuh kekhawatiran. "Koko, mengapa begini? Kita tidak bersalah
apa-apa, engkau tidak melakukan kejahatan. Mari kita pergi saja, Koko….., kalau
mereka tidak sudi mendengarkan penjelasanmu, mari kita pergi saja !" Suara
Lulu terdengar begitu menyedihkan dan sepasang mata yang lebar itu mengucurkan
air mata.
"Diamlah, Lulu,
diamlah……biarkan Kakakmu mendengarkan wejangan Locianpwe yang mulia ini, dan
kau juga…..perlu mendengarkan, Lulu….." kata Han Han tanpa mengalihkan
pandang matanya dari wajah kakek tua renta yang masih menunduk.
Sementara itu, tanpa
mempedulikan kehadiran Han Han dan Lulu, Ceng San Hwesio berkata pula dengan
suara penasaran, "Mohon maaf, Supek. Kalau Supek menganggap bahwa
keputusan teecu untuk membunuh pemuda jahat itu tidak benar, habis bagaimanakah
teecu harus berbuat menurut pendapat Supek? Teecu mengambil keputuan
berdasarkan pertimbangan yang masak dan adil. Pertama, bocah ini adalah murid
Gak Liat dan mengingat betapa Gak Liat telah merusak hidup cucu murid teecu
sendiri, Bi-kiam Bhok Khim maka berarti bahwa muridnya ini pun bukan manusia
baik-baik……”
Tiba-tiba terdengar suara
keras dan dinding tebal di sebleah kanan jebol dan berlubang besar, kemudian
muncullah seorang wanita dari dalam lubang itu, seorang wanita yang memondong
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun, dan keadaan wanita itu
sungguh mengerikan. Pakaiannya hitam compang-camping, rambutnya panjang
riap-riapan sampai ke pinggul, wajahnya yang masih jelas membayangkan
kecantikan itu kotor dan menyeramkan sekali karena pandang matanya berkilat dan
mulutnya tersenyum mengejek. Anak laki-laki itu tampan dan mukanya putih, juga
memakai pakaian hitam yang tidak karuan bentuknya, kaki nya telanjang dan
rambutnya pun panjang.
"Hi-hi-hik! Biar gurunya
jahat, murid-nya mungkin baik. Biar gurunya baik, banyak sekali muridnya yang
jahat. Kang-thouw-kwi adalah setan neraka jahanam, akan tetapi bocah ini tidak
jahat. Sama sekali tidak……dia berani menentang setan itu dahulu untuk
menolongku."
Sementara itu, Ceng San Hwesio
memandang wanita itu dengan mata terbelalak, dan setelah wanita itu
mengeluarkan kata-kata tadi, barulah ketua Siauw-lim-pai ini agaknya dapat
menekan kekagetannya dan berkata, "Bhok Khim...!Kau…. kau…. dan anak
itu…."
Wanita itu membalikkan tubuhnya
menghadapi ketua Siauw-lim-pai yang masih berlutut, wajahnya berseri aneh
ketika ia berkata, "Hi-hi-hik, Sukong, engkau heran melihat anak ini? Dia
ini anakku! Hi-hik, engkau ketua Siauw-lim-pai pun tidak tahu bahwa di dalam
kamar penyiksa diri aku melahirkan anakku ini. Hi-hik! Selama ini Siauw-lim-pai
tidak mampu membasmi Kang-thouw-kwi, biarlah aku sendiri yang akan
membunuhnya." Sambil berkata demikian,tubuhnya membalik dan berkelebat
cepat sekali pergi dari ruangan itu.
"Supek, apakah artinya
itu? Mengapa Bhok Khim menjadi seperti itu….?” Ceng San Hwesio bertanya kepada
supeknya.
Hwesio tua itu menarik napas
panjang lalu terdengar suaranya, "Kehendak Thian tak dapat diubah oleh
siapapun juga. Dia telah mencuri belajar ilmu yang pinceng berikan kepada Siauw
Lam, dan keadaan jiwanya yang tertekan membuat ia keliru mempelajari ilmu-ilmu
itu. Dunia akan bertambah seorang tokoh yang akan membikin geger. Ceng San
muridku, orang muda ini seorang yang menderita, sama halnya dengan Bhok Khim
tadi. Betapun juga, pinceng tidak melihat dasar-dasar jahat. Menurut pinceng,
sebaiknya membebaskan orang muda ini, akan tetapi karena engkau yang menjadi
ketua Siauw-lim-pai, keputusannya terserah kepadamu. Nah, cukuplah pinceng
bicara."
Ceng San Hwesio memberi hormat
lalu bangkit berdiri, mukanya agak keruh ketika ia berkata, "Mendengar
perintah Supek, bagaimana teecu berani membantahnya? Biarlah sesuai dengan
perintah supek, teecu akan membebaskan. Dia dan gadis Mancu itu untuk sekali
ini. Akan tetapi, mengingat akan kematian para murid-murid, teecu tidak mungkin
dapat membebaskan dia untuk seterusnya dan lain kali dalam lain kesempatan,
tentu teecu akan memerintahkan untuk menangkap dan kalau perlu membunuh
dia." Setelah berkata demikian, kembali Ceng San Hwesio memberi hormat
kepada supeknya, lalu membalikkan tubuh keluar dari kamar itu dengan wajah
muram.
"Siancai……, siancai……,
lahir dan batin memang selalu bertentangan, betapa mungkin disatukan? Siauw
Lam, tahukah engkau, apa yang harus dilakukan manusia yang hidup di tengah
antara dua kekuatan raksasa lahir dan batin?" Kakek itu bertanya tanpa
menoleh
Hwesio pelayan yang bernama
Siauw Lam Hwesio, masih duduk bersila. Dan kini terdengar suaranya yang pertama
kali, suara yang kasar dan serak seperti kaleng diseret.
"Karena sifatnya
bertentangan, menyatukannya berarti menghentikan hidup karena justeru keadaan
hidup yang membuat keduanya bertentangan. Yang seyogianya dilakukan manusia
adalah menyesuaikan dan menyelaraskan keduanya sehingga berimbang."
"Baik sekali pendapatmu,
Siauw Lam. Eh, orang orang muda, engkau masih di sini? Apakah yang
kaukehendaki?"
Han Han yang sejak tadi masih
berlutut, lalu menjawab, "Boanpwe yang banyak melakukan hal-hal yang
menimbulkan malapetaka bagi orang lain, boanpwe merasa bingung sekali dan mohon
peunjuk Locianpwe apa yang harus boanpwe lakukan selanjutnya dalam hidup yang
penuh pertentangan ini."
Kini tubuh hwesio tua itu
bergerak sedikit, mukanya diangkat menghadapi Han Han dan mata yang terpejam
itu bergerak-gerak, terbuka sedikit, menyipit, akan tetapi kagetlah Han Han
ketika dari balik garis mata itu menyambar keluar sinar mata yang lembut dan
tenang sekali, setenang lautan yang luas.Sejenak mereka saling pandang dan
kalau sinar mata Han Han yang pada saat itu masih dikuasai kemarahan itu dapat
di umpamakan api bernyala-nyala, maka.sinar mata kakek itu seperti air yang
tenang dan dingin. Di dalam sinar mata Han Han terdapat pengaruh mujijat yang
membawa isi pikirannya dengan tenaga batin yang luar biasa kuatnya sehingga
kakek itu merasa betapa dia dipaksa oleh tenaga gaib untuk memberi petunjuk
kepada orang muda itu. Kakek yang puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dan
bertapa ini, mengeluarkan suara halus penuh kekaguman.
"Siancai……patut dikasihai
orang muda yang malang. Pinceng hanya dapat memberi dua nasihat kepadamu.
Pertama ambillah pedang dan potonglah kaki kiri mu. Dan ke dua, belajarlah
mengalah terhadap siapapun juga. Nah, pergilah orang muda."
Han Han masih berlutut,
mukanya pucat dan matanya terbelalak, hampir ia tidak percaya akan ucapan kakek
itu.Tadinya ia amat terpesona dan terpengaruh oleh semua ucapan kakek itu, akan
tetapi bagaimana kini kakek itu memberi nasihat seperti ini kepadanya? Disuruh
membuntungi kakinya sendiri! Kalau disuruh belajar mengalah ia masih dapat menerimanya,
akan tetapi disuruh membuntungi kaki sendiri?
"Eh, hwesio tua, kiranya
engkau pun sarna saja, sama jahatnya dengan yang lain-lain! Apakah semua orang
di sini sudah begitu palsu sehingga perlu menyembunyikan sifat jahat dan
dengkinya di balik kepala gundul dan pakaian pendeta? Hanya orang gila yang
menasihati orang disuruh membuntungi kakinya, dan hanya orang gila pula yang
akan menuruti nasihat gila itu!" Lulu membentak dan kini bangkit berdiri,
menarik tangan kakaknya sehingga Han Han pun bangkit berdiri pula. Akan tetapi
kakek. Yang dimakinya itu telah bersamadhi pula dan sama sekali tidak
terpengaruh, wajah yang seperti tengkorak terbungkus kulit itu seperti telah
mati. Hanya hwesio pelayan itu yang kini mengangkat mukadan tiba-tiba matanya terbuka
sambil berkata.
"Nona, memang dunia ini
seperti panggung orang-orang gila bermain komidi, gila oleh nafsu mereka
sendiri. Harap kalian pergi dan jangan mengganggu kami.
"Lulu menjadi makin
marah. Ia kaget melihat sinar mata hwesio pelayan itu seperti dua bola api
menyerangnya, akan tetapi gadis itu memiliki keberanian luar biasa kalau dia
merasa benar. " Memang penuh orang-orang gila dan kalian lebih gila
daripada orang-orang gilla!” teriaknya. "Apa artinya hidup kalian ini?
Apakah gunanya bertapa mengasingkan diri di sini? Apa untungnya bagi dunia? Apa
manfaatnya bagi manusia lain? Paling-paling berguna dan bermanfaat bagi diri
kalian sendiri. Phuhhh, berlagak suci dan……”
“Lulu, diam…..!" Han Han
terkejut sekali mendengar keberanian adiknya yang memaki-maki seorang hwesio
tua yang dijadikan junjungan oleh para murid Siauw-lim-pai. Ia sudah menarik
tangan adiknya diajak berlari keluar dari kamar itu. Mereka berdua terus
berlari keluar melalui ruangan belakang, ke ruangan tengah kemudian terus ke
ruangan luar. Mereka melihat para hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi mereka
semua seolah-olah tidak melihat dua orang muda yang berlari keluar itu. Yang
membersihkan kuil tetap bekerja, yang membaca doa tidak menghentikan tugas
mereka, Dan yang menjaga di luar pun seolah-olah tidak melihat mereka.
Han Han menggandeng tangan
Lulu, berlari terus sampai jauh meninggalkan kuil dan setelah mereka memasuki
sebuah hutan, barulah Han Han melepaskan tangan Lulu, kemudian ia duduk bersila
dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaganya dan menenangkan batinnya
yang terguncang. Akan tetapi, biarpun ia tidak menderita luka parah, tubuhnya
terasa sakit-sakit, sungguhpun rasa nyeri di tubuhnya tidak seperti rasa perih
dihatinya kalau ia terkenang akan ucapan-ucapan hwesio tua di datam kamar
penyiksa diri yang seolah-olah membuka mata batinnya betapa sepak terjangnya
selama ini mendekati perbuatan sesat, betapa mudahnya ia membunuhi orang-orang
yang tidak berdosa, membunuhi orang-orang gagah murid-murid Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai. Hatinya merasa menyesal sekali dan pikirannya menjadi
bingung.
****
Sebuah negara betapa kecil
pun, tak kan mungkin dapat ditundukkan dan di jajah negara lain yang lebih
besar apa bila rakyatnya bersatu-padu dan berjiwa patriotik, memiliki rasa
cinta kasih dan setia bakti kepada tanah airnya. Sebaliknya, betapapun besarnya
negara itu, kalau rakyatnya tidak bersatu, dan banyak pula yang berjiwa
pengkhianat, negara besar ini mudah saja dijajah oleh negara.yang jauh lebih
kecil. Sebagaimana tercatat dalam sejarah,Tiongkok merupakan negara amat besar
yang rakyatnya selalu bertentangan sendiri satu kepada yang lain. Perang
saudara tak pernah berhenti karena oknum-oknum yangi memperebutkan kedudukan.
Apabila ada negara asing yang datang menyerbu dan menjajah barulah bersatu,
melupakan permusuhan antara saudara sendiri den bersama-sama menghadapi musuh
asing. Sayang sekali, begitu musuh asing dapat diusir keluar dari tanah air
pertentangan satu sama lain timbul kembali, memecah-mecahah kekuatan mereka
sehingga memungkinkan masuknya kekuatan asing lain lagi ke dalam negeri.
Ketika bangsa Mongol menyerbu
Tiongkok, negara ini pun sedang dalam keadaan kacau dan rusak oleh perang
saudara sehingga menjadi lemah dan mudah saja ditaklukkan dan dijajah bangsa
Mongol.
Setelah seluruh negeri dijajah
bangsa Mongol, barulah rakyat bersatu-padu dan tentu saja rakyat yang luar
biasa besar jumlahnya itu tidak sukar merobohkan kekuasaan Mongol dan mengusir
penjajah ini. Akan tetapi, begitu penjajah Mongol terusir, timbul kembali
perang saudara yang tak kunjung henti, susul-menyusul yang melemahkan negara
itu sendiri. Karena perang saudara inilah maka kekuasaan Mancu mulai
menyelundup memasuki Tiongkok. Dengan dukungan para oknum penjilat yang tidak
segan-segan menjual negara dan bangsa demi sekelumit kesenangan duniawi bagi
diri pribadi, cepat sekali bangsa Mancu menguasai Tiongkok. Cerita ini dimulai
pada tahun 1645 di mana tentara Mancu menyerbu ke selatan dan sekarang, delapan
tahun kemudian, hampir seluruh Tiongkok dikuasai bala tentara Mancu yang
mempunyai kaisar baru, yaitu Kaisar Kang Hsi, kaisar ke empat dari Kerajaaan
Ceng-tiauw atau kerajaan bangsa itu.
Di bawah pimpinan Kaisar Kang
His inilah diadakan pembersihan secara besar-besaran terhadap para pejuang yang
mempertahankan tanah air menentang penjajah Mancu. Para pejuang melakukan
perlawanan mati-matian dan sebagai pusat perjuangan, atau sebagai pucuk
pimpinan gerakan para pejuang ini bersumber di Se-cwan di mana Bu Sam Ki
menjadi raja muda yang tak pernah mau tunduk terhadap penjajah Mancu.
Seperti lajim dalan jaman
perang seperti itu, golongan-golongan terpecah dua, juga golongan kaum
kang-ouw. Banyak di antara mereka yang terjun ke dalam perjuangan menentang
kekuasaan Mancu, akan tetapi tidak sedikit pula yang mempergunakan kesempatan
itu untuk mencari kedudukan, kemuliaan dan kemewahan secara mudah, yaitu
menjadi pembantu pemerintah Mancu dan menentang bangsa sendiri yang oleh fihak
mereka disebut pengacau dan pemberontak.
Tanpa disadari oleh manusia
sendiri, kehidupan manusia semenjak masih kanak-kanak dan mulai memiliki
pengertian tentang perbedaan, tentang baik buruk, senang susah, rugi untung,
enak tidak enak, sepenuhnya dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu-nafsu
mementingkan diri pribadi, nafsu mencari kesenangan duniawi bagi diri pribadi.
Namun, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat kebajikan, maka terjadilah
perang di dalam hati nurani manusia sendiri. Satu fihak merupakan dorongan
nafsu yang mendorong manusia memperebutkan kesenangan bagi diri pribadi, di
lain fihak merupakan kesadaran manusiawi yang mencegah manusia melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Maka lahirlah perbuatan-perbuatan yang
sesungguhnya merupakan hamba nafsu namun yang berkedok kebenaran! Perbuatan
yang dilakukan demi dorongan nafsu mementingan diri pribadi terhibur oleh
anggapan bahwa perbuatan itu demi kebenaran. Otak dan akal manusia tidak
kekurangan bahan untuk mencari “kebenaran” yang menopengi perbuatan menghamba
nafsu ini. Ada saja alasan, yang diperaya pula oleh diri sendiri, bahwa
perbuatan ini adalah benar dan demi kebenaran! Dengan demikian, setiap
perbuatan di dunia ini selalu dianggap benar oleh si pembuat sendiri, dan
terciptalah pertempuran-pertempuran dalam memperebutkan kebenaran! Benarnya
sendiri-sendiri! Benarnya masing-masing! Benar bagi diri sendiri yang belum
tentu benar bagi fihak lain. Dan terciptalah KEBENARAN NAFSU, yaitu bahwa apa
saja yang mendatangkan enak, senang dan untung bagi AKU, maka itu adalah
BENAR!
Negara adalah wadah sekumpulan
manusia yang dipimpin deh manusia pula, oleh karena itu, kebenaran nafsu itu
pun dianutnya. Bangsa Mancu yang menjajah itu pun menganggap mereka benar!
Mudah saja! Negara Tiongkok kacau-balau, perang saudara tiada hentinya, rakyat
hidup sengsara, ditindas oleh raja-raja muda dan oleh mereka yang berkuasa,
terjadi hukum rimba! Kami, bangsa Mancu, datang untuk membebaskan rakyat
daripada jurang kesengsaraan, kami datang untuk berusaha mendatangkan
kebahagiaan bagi rakyat. Karena itu, serbuan bangsa Mancu ke selatan adalah
benar pula! Sungguhpun harus diakui bahwa akal budi membuat mereka mencari
alasan yang cukup kuat dan memang kenyataannya demikian, namun pada hakekatnya
yang bersembunyi di balik semua itu adalah keuntungan! Keuntungan yang didapat
dalam penjajahan ini, yang sekaligus membuat bangsa Mancu memiliki negara yang
amat besar dengan penghasilan yang melimpah-limpah serta harta benda yang amat
banyak.
Perasaan benar ini bukan
dibuat-buat dan memang setulusnya mereka itu merasa dirinya benar. Nafsu-nafsu
telah menyelubungi kesadaran batin manusia, seperti mendung-mendung hitam tebal
menyelubungi sinar matahari. Kegelapan menyelimuti kesadaran sehingga mereka
itu tidak sadar lagi bahwa mereka menjadi permainan dan hamba-hamba nafsu.
Banyak sekali orang yang menjadi korban seperti ini, menganggap bahwa apa yang
diperjuangkan itu benar dan suci sehingga rela dibela mati-matian.
Demikian pula, di dalam
Kerajaan Ceng, banyak terdapat orang-orang gagah yang membela gerakan Mancu ini
mati-matian karena merasa bahwa apa yang diperjuangkannya itu adalah demi kebenaran.
Terutama sekali bagi mereka yang menjadi anggauta bangsa Mancu, tentu saja
menganggap bahwa berjuang membasmi para “pemberontak” adalah pekerjaan yang
semulia-mulianya, pekerjaan orang-orang gagah yang patut dipuji. Banyak sekali
tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama membantu Kerajaan Ceng-tiauw ini karena
mereka itu menganggap bahwa bangsa Mancu yang gagah perkasa telah berhasil
mendatangkan kemakmuran di Tiongkok, meredakan perang saudara dan mereka ini
mempunyai harapan besar bahwa pemerintah baru ini benar-benar akan dapat
mengangkat nasib rakyat jelata. Tentu saja ini hanya alasan mereka, karena
banyak sekali di antara mereka melihat “nasib baik” mereka sendiri yang
terutama sebagai landasan bantuan mereka. Banyak pula datuk-datuk golongan
hitam yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi membantu dan hal ini adalah
hasil kecerdikan Pangeran Dorgan yang memegang tampuk pimpinan sebagai
pengganti Kaisar Abahai karena putera kaisar itu masih sangat muda. Pangeran
Dorgan memang cerdik sekali. Pandai mengambil hati para orang pandai dan tidak
regu-ragu untuk mengeluarkan biaya besar dalam usaha ini. Di antara tokoh
pandai yang terus merupakan pengawal-pengawal pilihan dan yang masih terus
membantu setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta, adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat
yang merupakan jago yang diajukan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok, seorang di
antara para pangeran bangsa Han yang telah menghambakan diri kepada Kerajaan
Mancu.
Pada suatu hari, para tokoh
yang menjadi pengawal-pengawal istana dan penasihat-penasihat mengenai usaha Kerajaan
Mancu membasmi para pemberontak, mengadakan pertemuan atas undangan Pangeran
Ouwyang Cin Kok. Pangeran ini telah banyak jasanya terhadap Kerajaan Mancu,
telah terbukti kesetiaannya ketika berkali-kali pangeran ini dengan pengaruhnya
yang besar dan para pembantunya yang pandai menghancurkan golongan pemberontak.
Karena kepercayaan yang amat besar ini, Pangeran Dorgan pada beberapa tahun
yang lalu menghadiahkan seorang puteri Mancu kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok,
bahkan setelah Kaisar Kang Hsi menduduki tahta kerajaan, Pangeran Ouwyang Cin
Kok yang kini telah dianggap “keluarga kaisar” telah diangkat menjadi panglima
bagian keamanan yang bertugas melakukan operasi pembasmian terhadap para
pemberontak. Dan untuk merundingkan tugas inilah maka pada pagi hari ini
Ouwyang Cin Kok mengundang semua pembantunya dan pembantu para pembesar lain,
termasuk pengawal-pengawal kaisar sendiri ke dalam istananya. Dengan pakaian
kebesaran sebagai seorang pangeran Kerajaan Ceng-tiauw, Pangeran Ouwyang Cin
Kok duduk di atas sebuah kursi yang terukir indah sekali. Pangeran ini
usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi masih tampak tampan dan ganteng,
tubuhnya tinggi besar mukanya merah, pakaiannya indah rapi dan rambut serta
jenggot kumisnya juga terpelihara baik-baik. Di sebelah kirinya duduk seorang
wanita Mancu yang cantik, bermata tajam lincah, usianya tiga puluh tahun
lebih, tubuhnya montok dan menggairahkan. Itulah puteri Kerajaan Mancu,
puteri selir Pangeran Dorgan yang diberikan sebagai hadiah kepada Ouwyang Cin
Kok dan kini menjadi selir terkasih pangeran ini. Selir ini paling dikasihi,
bukan hanya karena cantik montok dan mudanya, melainkan juga terutama sekali
karena selir ini menjadi “lambang” kekuasaannya, sebagai pangeran mantu
Kerajaan Mancu! Dan untuk memperlihatkan kedudukannya yang tinggi ini pulalah
maka ketika menyambut datangnya tokoh-tokoh berilmu yang membantu kerajaan
baru, Ouwyang Cin Kok ditemani oleh sang selir.
Dengan dikipasi kebutan
terbuat dari bulu-bulu indah burung dewata, dilayani oleh para pelayan wanita
muda-muda dan cantik-cantik, Ouwyang Cin Kok dan selirnya itu duduk menanti
kunjungan para tokoh berilmu. Berturut-turut mereka datang menghadap dan
dipersilakan duduk di ruangan itu yang telah diatur untuk menerima kunjungan
mereka.
Yang pertama kali muncul
adalah putera Sang Pangeran sendiri, Ouwyang Seng murid terkasih dari
Kang-thouw-kwi Gak Liat, seorang pemuda tinggi tegap yang berwajah tampan
berpakaian indah, pesolek dan amat tinggi ilmu kepandaiannya karena dia telah
mewarisi Hwi-yang Sin-ciang gurunya. Bersama pemuda ini datang pula Nirahai
yang segera disambut oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok dengan ramah, karena Nirahai
adalah puteri kaisar sendiri dari selir. Tentu saja sebagai puteri kaisar,
Nirahai amat dihormat. Puteri Nirahai segera berangkulan dengan selir Ouwyang
Cin Kok karena selir Mancu itu masih terhitung bibinya, sungguhpun bibi yang
sudah jauh. Kemudian mereka berdua ini bercakap-cakap dengan asyiknya yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan tugas membasmi kaum pemberontak, melainkan
percakapan antara wanita yang sudah lama tidak bertemu.
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan
puteranya lalu sibuk menyambut para tokoh berilmu yang berdatangan.
Kang-thouw-kwi Gak Liat datang bersama tiga orang muridnya yang lain, yaitu
Hiat-ciang Ma Su Nio yang cantik dan genit, dan kedua kakak beradik
Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Ketiga orang murid Setan Botak ini merupakan
tenaga-tenaga yang penting dan berjasa pula karena ilmu kepandaian mereka sudah
amat tinggi. Selain empat orang ini, muncul pula beberapa panglima-panglima
yang berpangkat tinggi, di antaranya adalah dua orang perwira Mancu yang
terkenal berjasa dan berpengaruh. Mereka ini adalah orang-orang Mancu aseli,
akan tetapi seperti juga kaisar dan para panglima dan menteri yang berpangkat
tinggi, mereka ini pun menggunakan nama Han, dan berpakaian seperti
pembesar-pembesar Han. Seorang di antara mereka adalah seorang panglima tinggi
besar gagah menyeramkan, jenggotnya yang rapi memenuhi mukanya dari rambut
terus melalui pipi bersambung ke dagu. Panglima ini bernama Giam Cu, nama
baru. Adapun panglima ke dua juga memakai she Giam, namanya Kok Ma. Giam Cu
adalah panglima golok besar, sedangkan Giam Kok Ma adalah panglima berkuda
bertombak panjang, keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam mengatur barisan,
juga memiliki ilmu silat yang lihai. Kemudian muncul pula dua orang tokoh
kang-ouw yang namanya menggemparkan, yaitu kakak beradik she Bhong. Mereka ini
terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, karena dahulu pekerjaan mereka adalah
membongkar-bongkar kuburan baru untuk mencuri perhiasan-perhiasan yang
dipakai mayat-mayat yang dikubur dan dalam hal membongkar kuburan, juga membongkar
rumah, mereka adalah ahli-ahli yang sukar dicari keduanya. Yang tua bernama
Bhong Lek, mukanya kaya tikus, rambutnya panjang riap-riapan, kumisnya jarang
seperti kumis tikus, adapun Bhong Poa Sik, adiknya, mempunyai ciri yang aneh pada
kepalanya, yaitu bagian ubun-ubun kepalanya menonjol seperti telur besar.
Semua tamu dipersilakan duduk,
kecuali seorang yang datang paling akhir. Orang itu biarpun dipersilakan
duduk, namun tetap berdiri, bahkan berdirinya aneh sekali, yaitu hanya dengan
kaki kiri, sedangkan kaki kanannya diangkat menempel pada lutut kiri, persis
seperti seekor burung bangau berdiri di tengah sawah! Hebatnya, orang ini pun
mempunyai kepala yang bentuknya seperti kepala burung, bukan kepala burung
yang indah, melainkan kepala burung yang diberunduli bulunya sehingga kelihatan
buruk, lucu dan juga mengerikan. Lehernya panjang kecil, kepalanya kecil
lonjong, kedua telinganya memakai anting-anting emas, matanya agak juling,
mulutnya selalu menyeringai, tampak giginya yang panjang-panjang karena
bibirnya cupet, kumisnya meruncing ke depan menyerupai paruh burung, kepalanya
botak dan hanya ada beberapa helai rambut saja menambah keburukannya. Tubuhnya
kecil kurus, akan tetapi perutnya gendut seperti perut anak menderita cacingan.
Akan tetapi tangan kirinya memegang sebuah senjata yang menakutkan orang,
bergagang panjang yang melengkung seperti gendewa dan ujungnya dipasangi sabit
yang amat tajam. Ia berdiri di sudut seperti seekor burung mengintai katak,
matanya yang juling tak berkedip-kedip, mulutnya yang menyeringai tidak
bergerak-gerak, seolah-olah dia telah berubah menjadi arca yang mati!
Hanya seorang yang aneh inilah
yang agaknya tidak dikenal oleh sebagian besar mereka yang hadir. Yang
mengenalnya hanyalah Puteri Nirahai, Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan selir
pangeran itu. Bahkan Ouwyang-kongcu sendiri tidak mengenalnya dan pemuda ini
memandang tokoh itu dengan penuh keheranan.
Melihat betapa para tamunya,
termasuk puteranya, memandang ke arah manusia aneh itu dengan pandang mata penuh
keheranan dan pertanyaan, Pangeran Ouwyang Cin Kok tertawa dan memberi isyarat
dengan tangan agar para pelayan yang cantik-cantik dan sedang mengeluarkan
hidangan dan arak itu mundur. Mereka ini menyelesaikan tugas menghidangkan
makanan dan minuman, kemudian mengundurkan diri dari ruangan yang lebar itu.
“Cu-wi sekalian agaknya belum
mengenal tokoh ini,” kata pangeran itu sambil memandang kepada manusia
berkepala seperti burung itu, “Padahal semenjak bangsa Mancu yang jaya
bergerak ke selatan, hasil yang baik dari gerakan itu sebagian mengandalkan
kelihaian tokoh ini.”
Kang-thouw-kwi Gak Liat
mengerutkan alisnya sambil memandang tokoh itu dengan pandang mata merendahkan.
Hatinya tidak senang mendengar betapa majikannya menyanjung-nyanjung nama orang
lain. Siapakah adanya tokoh yang jasanya lebih besar daripada dia? Maka ia
segera berkata sambil tertawa.
“Bangsa Mancu yang jaya adalah
bangsa yang besar dan yang sudah ditakdirkan untuk menguasai seluruh dunia,
semua itu berkat jasanya rakyat seluruhnya, bukan jasa perorangan. Harap Paduka
sudi memperkenalkan hamba kepada orang gagah ini.”
“Ha-ha-ha, Gak-lo-sicu, apa
yang Lo-sicu ucapkan sungguh tepat. Bukan maksud kami untuk menonjolkan jasa
seseorang dan mengurangi jasa lain orang, karena masing-masing memiliki
jasanya sendiri-sendiri. Losuhu ini adalah tokoh berasal dari Khitan yaag amat
terkenal akan tetapi karena selalu menyembunyikan diri, tidak mengheranken
apabila orangnya tidak dikenal, hanya namanya saja. Nirahai, keponakanku yang
manis, tolonglah engkau yang memperkenalkan Ciam-losuhu kepada para Lo-sicu
yang hadir.” Ucapan terakhir ini ia tujukan kepada Nirahai dengan suara yang
halus dan ramah, sehingga dalam kesempatan itu, Pangeran Ouwyang Cin Kok
sekalian memperlihatkan kepada yang hadir bahwa dia adalah sanak dekat kaisar
dan berhak menyuruh seorang puteri kaisar begitu saja karena, bukankah puteri
kaisar itu terhitung keponakan selirnya.
Nirahai adalah seorang gadis
yang selain memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah, juga memiliki kecerdikan
melebihi kebanyakan orang. Melihat sikap tuan rumah, ia tersenyum manis dengan
hati penuh maklum. Ia lalu bangkit berdiri, senyum menghias wajahnya menambah
gemilang, gerakan tubuhnya ketika bangkit begitu lemah gemulai seperti seorang
penari, sama sekali tidak membayangkan kesaktian seorang ahli silat.
“Tidaklah terlalu mengherankan
apabila Gak-cianpwe dan saudara-saudara lainnya belum mengenal Si Burung Hantu
karena memang dia jarang sekali keluar di dunia ramai.”
“Apa? Sin-tiauw-kwi Ciam Tek?”
Setan Botak Gak Liat berseru kaget, juga para panglima dan tokoh-tokoh
pengawal yang berada di situ terkejut sambil memandang kakek yang memegang
senjata mengerikan itu. Nama ini, terutama sekali julukan Sin-tiauw-kwi
(Burung Rajawali Hantu) atau lebih terkenal lagi Si Burung Hantu, terkenal
sebagai tokoh dalam dongeng di Khitan! Maka begitu kini mereka diperkenalkan
dengan tokohnya, biar Gak Liat sendiri memandang dengan sinar mata tidak
percaya.
Nirahai mengerti akan pandang
mata mereka itu, maka ia tersenyum dan berkata, “Tentu cu-wi menghubungkan
nama julukan itu dengan burung hantu yang kabarnya dipelihara Kaisar Khitan di
jaman dahulu, bukan? Hendaknya diketahui bahwa memang Ciam-locianpwe ini
adalah seorang tokoh Khitan. Cu-wi tentu maklum bahwa Khitan menjadi sumbernya
orang-orang pandai. Pendekar besar tanpa tanding. Suling Emas sendiri adalah
suami seorang Ratu Khitan, dan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam adalah
puteri mereka! Di samping keluarga kaisar yang memiliki kesaktian luar biasa
itu, banyak pula ponggawa dan Panglima Khitan yang memiliki ilmu kepandaian
hebat-hebat. Sin-tiauw-kwi Ciam Tek ini adalah satu-satunya orang yang
beruntung mewarisi ilmu kepandaian peninggalan Hek-giam-lo (Raja Maut Hitam)
yang amat terkenal di jamannya Pendekar Suling Emas enam tujuh abad yang lalu.
Karena Khitan dan Mancu bersekutu dan berkeluarga, tentu saja semua tokoh
Khitan membantu gerakan Mancu sekarang ini.”
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan
yang lain-lain mengangguk-angguk. Tentu saja mereka pernah mendengar nama-nama
besar yang disebutkan gadis itu. Gak Liat lalu bangkit berdiri dan menjura ke
arah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek sambil berkata dalam bahasa Khitan dengan lancar
karena Si Botak ini paham hampir semua bahasa daerah.
“Selamat berjumpa, Saudara
Ciam Tek. Mudah-mudahan di antara kita akan terdapat kerja sama yang erat.”
Si Burung Hantu itu memandang
Gak Liat dengan mata julingnya, kemudian mengeluarkan suara seperti burung mencicit
akan tetapi hanya dapat dimengerti oleh Gak Liat karena hanya suaranya saja
yang mencicit namun sesungguhnya merupakan kata-kata dalam bahasa selatan yang
pelo dan menggelikan hati para pendengarnya.
“Sudah lama aku mendengar nama
Setan Botak, kiranya begini saja orangnya!” Setelah berkata demikian, Si Burung
Hantu berdiri diam lagi dengan satu kaki, acuh tak acuh! Gak Liat tidak menjadi
marah, sudah biasa ia menghadapi sikap dan watak aneh-aneh dari tokoh-tokoh
besar, maka ia malah tertawa bergelak dan berkata.
“Ha-ha-ha, lain kali aku ingin
sekali merasai lihainya patukanmu dan cakaranmu, Burung Hantu!”
Pangeran Ouwyang Cin Kok
tertawa pula. Biarpun dia sendiri bukan termasuk golongan kang-ouw, akan tetapi
sudah terlalu banyak pembesar ini mengenal tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw
sehingga ucapan Gak Liat yang seolah-olah menantang itu dianggapnya biasa saja
dan tidak mengkhawatirkan. “Cu-wi sekalian kami kumpulkan saat ini karena kami
hendak membicarakan hal-hal yang amat penting. Berkat bantuan-bantuan cu-wi
sekalian, pemerintah kita dapat memperoleh kemajuan-kemajuan di selatan dan
kini, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa fihak pemberontak telah terbasmi
semua, namun mereka itu sudah kehilangan kekuatan dan hanya bergerak secara
sembunyi-sembunyi dan dalam kelompok kecil atau malah secara perorangan. Yang
penting kita harus mencurahkan perhatian ke Se-cuan, karena Bu Sam Kwi
merupakan kekuatan terakhir yang merongrong kita. Bala tentara kita sudah
menghimpit dan mengurung, lambat-laun tentu pertahanannya dapat dijebolkan
pula. Tugas kita yang terpenting sekarang adalah mencegah agar sisa
pemberontak di sini tidak mengadakan hubungan dengan Se-cuan agar kekuatan
mereka tetap terpecah-pecah. Usaha yang ditakukan Puteri Nirahai dan puteraku
Ouwyang Seng untuk memecah belah persatuan antara Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai, menemui kegagalan. Akan tetapi ada pula untungnya, yaitu timbulnya
ganjalan hati antara mereka sehingga tidak memungkinkan mereka itu akan
bekerja sama. Pula, kedua partai besar itu pun tidak melakuan perlawanan dan
pemberontakan secara terang-terangan.”
“Akan tetapi, mengapa tidak
kita gempur saja Se-cuan sampai hancur? Setelah kita dapat menguasai seluruh daratan,
mengapa wilayah sebesar Se-cuan saja tidak dapat segera dikalahkan? Berilah
hamba lima laksa perajurit berkuda, akan hamba hancur lumatkan Bu Sam Kwi dan
seluruh anak buahnya!” Panglima brewok tinggi besar berkata dengan sikap gagah.
“Betul apa yang dikatakan oleh
Giam-ciangkun,” kata Bhok Lek orang pertama dari kakak beradik Tikus Kuburan.
“Kabarnya benteng Se-cuan amat kuat, akan tetapi kalau benteng itu dikurung dan
hamba berdua dibantu tenaga-tenaga ahli melakukan penyusupan ke dalam dengan
menggali terowongan, akan mudah menghancurkan pertahanan mereka!”
“Tidak begitu mudah,” bantah
Puteri Nirahai. “Saya mendengar bahwa di sana banyak terdapat orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi.”
“Hemmm, kalau ada jago di
fihak musuh, serahkan saja kepada hamba. Hamba sanggup menghadapi lawan yang
bagaimana lihai pun!” Setan Botak Gak Liat menyombong sambil tersenyum.
Ouwyang Cin Kok mengangkat
kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar semua orang yang sedang ribut-ribut
mengemukakan pendapat bulat untuk menyerang Se-cuan itu tenang, kemudian
sambil tersenyum ia berkata.
“Tidak dapat kita membawa
kehendak sendiri dan bertindak sesuka hati. Setiap gerakan kita harus
disesuaikan dengan taktik dari Hongsiang (Kaisar). Dengarlah baik-baik, cu-wi
sekalian, agar tahu apa yang menjadi siasat negara pada saat ini, menghadapi Bu
Sam Kwi di Secuan.”
Semua orang mendengarkan penuh
perhatian, termasuk Nirahai karena biarpun dia ini puteri selir kaisar
sendiri, namun tentang urusan politik ia tidak sepaham pangeran yang menjadi
penasehat kaisar ini.
“Kalau kita ingin berhasil
menangkap semua ikan di kolam, kita harus mengacaukan air dan mengejar
ikan-ikan itu dengan membiarkan sebagian tempat itu tetap tenang sehingga semua
ikan akan melarikan diri sembunyi di bagian air yang tak terganggu itu. Baru
setelah semua ikan berkumpul di tempat kecil itu, kita tutup jalan keluar dan
kita sergap di tempat kecil itu sehingga tak ada ikan yang dapat lolos.
Demikian pula dengan para pemberontak yang tersebar di empat penjuru. Kita
harus kejar-kejar mereka, melakukan operasi-operasi pembersihan dengan teliti
sehingga para pemberontak itu kehilangan tempat bersembunyi dan terpaksa
mereka akan bersembunyi semua ke Se-cuan. Hal ini lebih mudah bagi kita
daripada kalau kita hancurkan Se-cuan sehingga para pemberentak itu melarikan
diri tersebar di mana-mana sehingga sukar untuk ditumpas karena daerah Tiongkok
luas sekali. Inilah sebab pertama mengapa kita tidak boleh memukul Se-cuan pada
sekarang ini.”
Semua orang yang mendengarkan
mengangguk-angguk, kagum akan siasat ini, siasat menggiring ikan-ikan supaya
berkumpul di suatu tempat.
“Adapun sebab ke dua adalah
karena Kaisar dengan secara bijaksana memutuskan bahwa rakyat sudah terlalu
lama menderita akibat perang, karena itu sementara ini tidak perlu lagi
mengadakan perang karena Se-cuan tidak begitu penting artinya bagi kita.
Sekarang rakyat perlu ditenangkan hatinya dengan pembangunan-pembangunan,
bukan dengan perang baru yang akan membikin rakyat mendapat kesan buruk
terhadap pemerintah baru. Tidak perlu dengan kekerasan, cukup dengan dikepung
dan dimatikan jalan hubungan mereka ke timur, mereka di Se-cuan akan hidup
serba kekurangan dan sengsara, akhirnya akan menjadi lemah dan kalah tanpa
diserang.”
Kembali Gak Liat menjadi
kagum. Dalam soal taktik perang dan siasat pemerintahan tentu saja dia tidak
mengerti apa-apa.
“Sekarang sebab ke tiga yang
timbul dari kebijaksanaan Kaisar,” terdengar pula suara Ouwyang Cin Kok.
“Pemerintah baru menghadapi tugas membangun negara dan menciptakan suasana
adil makmur bagi rakyat jelata, mendatangkan kehidupan damai dan tenteram
sehingga dengan demikian tidak sia-sialah bangsa Mancu yang jaya telah mengorbankan
banyak nyawa untuk mengusir raja-raja lailm dari bumi Tiongkok. Untuk
pekerjaan pembangunan yang amat besar itu, kita amat membutuhkan bantuan
tenaga-tenaga orang pandai. Harus diakui bahwa di antara para pemberontak
banyak terdapat orang-orang pandai. Sungguh amat sayang kalau mereka itu
dibunuh demikian saja. Karena ini pula, bentrokan perang dengan Se-cuan harus
diundurkan agar kita mendapat banyak waktu untuk menarik orang-orang pandai itu
agar membantu kita. Untuk keperluan itulah Kaisar menyediakan biaya yang amat
besar, kemungkinan-kemungkinan pangkat dari mereka, dan di samping itu tentu
saja mengandalkan kepandaian cu-wi untuk menundukkan mereka. Makin banyak orang
pandai membantu Kerajaan Ceng, makin baik. Mengertikah cu-wi sekarang mengapa
kita tidak diperbolehkan menyerbu Se-cuan secara kasar?”
Semua orang mengangguk, bahkan
dari mulut Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terdengar suaranya yang pelo memuji, “Hebat
siasat ini! Hidup Kaisar!”
Biarpun pelo, namun ucapannya
itu membangkitkan semangat semua orang dan terdengarlah seruan mereka, “Hidup
Kaisar!”
Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah
seorang datuk hitam yang tidak bercita-cita untuk negara maupun untuk kaisar,
melainkan untuk diri sendiri. Karena itu, di dalam hatinya mana ada kesetiaan
terhadap pemerintah Mancu? Namun, dia seorang cerdik dan tidak mau ketinggalan
pula ia ikut mengucapkan kata-kata itu.
“Biarpun kita tidak menyerbu
Se-cuan, akan tetapi untuk keperluan menarik orang-orang pandai ke fihak kita dan
mencegah mereka berhubungan dengan Se-cuan, maka pekerjaan kita bukanlah
ringan. Kita harus dapat menguasai seluruh dunia kang-ouw, dapat mengetahui
keadaannya dan hal ini kami serahkan ke dalam pimpinan keponakanku Puteri Nirahai
yang sudah cu-wi ketahui akan kecerdikannya dan juga akan kepandaiannya yang
tinggi.”Kembali Si Burung Hantu mengangguk, berkata polos, “Puteri Nirahai
mewarisi kepandaian Puteri Mutiara Hitam, dia hebat....”
Juga Gak Liat mengangguk
berkata, “Aku sudah mengetahui kelihaian Puteri Nirahai.”
Gadis cantik itu
mengelilingkan pandang matanya dan girang bahwa tidak ada yang menentang
pengangkatannya sebagai pimpinan. Siapakah yang berani menentang? Selain dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga amat pandai bersiasat, cerdik dan banyak
akal, juga dia adalah puteri kaisar sendiri!
“Terima kasih atas kepercayaan
cu-wi kepadaku yang muda. Tentu saja aku tidak dapat bekerja sendiri dan mengandalkan
bantuan dari cu-wi sekalian, baru tugas kita akan dapat berhasil baik. Di dunia
kang-ouw ini banyak terdapat tokoh-tokoh besar yang belum membantu kita. Di
antara mereka itu adalah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.”
“Hemmm, Si Muka Kuda itu sejak
dahulu menentang Kerajaan Ceng-tiauw!” kata Gak Liat sambil mengeluarkan suara
menghina.
“Itulah sebabnya mengapa kita
harus berdaya upaya agar dia tertarik kepada kita dan suka membantu,
Gak-locianpwe. Karena kalau dia sudah mau membantu, tentu para muridnya yang
kudenger ada banyak sekali yang pandai, akan suka menjadi sekutu kita pula.
Kita harus menyelidiki ke In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san yang dijadikan
pusat perguruannya. Bahkan aku mendengar bahwa Si Nenek sakti Toat-beng
Ciu-sian-li juga berada di sana.”
“Iblis betina itu berbahaya
sekali, akan tetapi agaknya akan lebih mudah dibujuk untuk bekerja sama. Dia
tidak sesukar dan sekokoh Ma-bin Lo-mo pendiriannya. Biarlah persoalan mereka
itu serahkan saja kepadaku, aku akan berusaha mendekati mereka.”
Puteri Nirahai berseri
wajahnya dan ia menjura ke arah Gak Liat. “Terima kasih banyak. Bantuan
Gak-locianpwe dalam hal ini benar-benar amat kami harapkan.” Gadis itu lalu
mengerutkan keningnya dan berkata, “Ada sebuah hal yang amat memusingkan, dan
membutuhkan perhatian. Menurut hasil penyelidikan para mata-mataku yang kusebar
di mana-mana, sekarang aku telah mendapatkan keterangan jelas tentang
sebab-sebab kegagalan siasatku mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan
keterangan itu amat mengejutkan dengan munculnya seorang tokoh muda yang luar
biasa sekali.”
“Hemmm, siapakah dia dan apa
yang telah dia lakukan?” Ouwyang Seng bertanya dengan hati tak senang
mendengar betapa gadis yang dicinta dan dipujanya ini agaknya merasa kagum
terhadap seorang “tokoh muda”.
“Siasatku gagal karena pemuda
aneh itu,” kata Nirahai. “Ketika dua peti berisi jenazah dua orang tokoh
Siauw-lim-pai yang dikawal Pek-eng-piauwkiok itu dihadang oleh murid-murid
Siauw-lim-pai yang sudah kuberi kabar secara diam-diam dan bentrokan hebat
antara murid-murid kedua partai sudah hampir terjadi, tiba-tiba muncul orang
muda itu bersama adiknya perempuan, menggagalkan bentrokan itu dengan
mengalihkan permusuhan kepada dirinya sendiri!”
“Eh, apakah maksudmu, Adik
Nirahai?” Ouwyang-kongcu bertanya heran.
“Pemuda itu yang mengira bahwa
murid Siauw-lim-pai hendak merampok, sekali turun tangan membunuh tujuh murid
Siauw-lim-pai. Kemudian, ketika mengetahui kekeliruannya, ia turun tangan pula
membunuh murid-murid Hoa-san-pai!”
“Ihhh, hebat sekali!” Gak Liat
berseru. Bagi datuk hitam ini, setiap perbuatan kejam amat mengagumkan hatinya,
makin kejam makin tinggi dalam penilaiannya.
“Kemudian pemuda itu bahkan
mendatangi Pek-eng-piauwkiok, dan di sana dia mengamuk, mengalahkan
tokoh-tokoh Hoa-san-pai.”
“Luar biasa....!” Bhong Poa
Sik, si Tikus Kuburan Kecil, berseru kaget.
“Kemudian, tahukah cu-wi apa
yang ia lakukan? Ia pun mendatangi Siauw-lim-si dah di sana mengamuk, membunuh
dua orang tokoh Siauw-lim-pai pula, merobohkan banyak yang lain dan dapat
keluar lagi dari Siauw-lim-si dengan selamat.”
“Sukar dipercaya!” kini Gak
Liat berseru. Kakek ini maklum akan keadaan kuil Siauw-lim-si, maklum pula akan
lihainya tokoh-tokoh di situ. Sedangkan dia sendiri tentu akan berpikir sepuluh
kali sebelum berani menyerbu seorang diri ke Siauw-lim-si!
“Memang sukar dipercaya, akan
tetapi para penyelidikku adalah orang-orang yang berpengalaman puluhan tahun
dan keterangan mereka selalu boleh dipercaya. Keadaan pemuda itu amat mengherankan.
Selain ilmunya yang tinggi luar biasa dan keadaannya yang seperti tidak normal,
juga dia mempunyai adik seorang gadis Mancu.”
“Ah, kalau begitu dia Sie
Han....!” Gak Liat berseru. “Kalau dia sudah berkepandaian begitu aneh dan
tinggi sehingga berani mengacau Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, tentu dia telah
berhasil menemukan Pulau Es!”
Mendengar ucapan ini, semua
tokoh yang berada di situ menjadi terkejut dan tertarik sekali. Disebutnya
Pulau Es tentu saja menarik perhatian semua orang karena semenjak bala tentara
Mancu menguasai daratan Tiongkok, pemerintah baru ini pun selalu berusaha untuk
menemukan pulau itu dan mendapatkan pusaka yang berada di sana. Bahkan usaha
pencarian ini dipimpin Gak Liat sendiri.
“Aiiih, kalau benar-benar dia
menjadi pewaris pusaka di Pulau Es, tentu dia memiliki ilmu yang hebat dan
orang seperti itu patut kita tarik untuk membantu kita,” kata Puteri Nirahai.
“Atau kalau tidak mungkin dia membantu kita, dia akan merupakan lawan yang
berbahaya dan perlu dibinasakan. Terutama sekali gadis Mancu itu harus
diselamatkan dan diselidiki puteri siapakah dia dan mengapa sampai bisa menjadi
adik pemuda yang bernama Sie Han itu.”
“Jangan khawatir, hamba akan
dapat membujuknya. Setidaknya dia pernah ikut dengan hamba dan dengan bantuan
Ouwyang-kongcu, hamba tentu akan dapat menyelamatkan pula puteri Mancu itu,”
kata Gak Liat. Dia menawarkan diri ini sebetulnya adalah dengan mengandung niat
yang lain. Begitu mendengar bahwa Han Han telah muncul, ia ingin sekali menemui
pemuda itu dan kalau perlu hendak memaksa pemuda itu menyerahkan pusaka-pusaka
Pulau Es, atau kalau mungkin mengantarkannya ke Pulau Es!
Puteri Nirahai
mengangguk-angguk. “Mendengar pelaporan yang kuterima, memang pemuda itu
mencurigakan dan lihai sekali, kiranya hanya Gak-locianpwe saja yang cukup kuat
untuk menghadapinya. Baiklah, urusan membujuk tokoh-tokoh di In-kok-san dan
mencari pemuda itu kuserahkan kepada Gak-locianpwe dan Ouwyang-twako. Aku
sendiri mempunyai rencana lain yang boleh cu-wi ketahui. Aku akan pergi ke
utara, mendatangi tanah kuburan Kduarga Suling Emas....”
“Eh, Nirahai, bukankah itu
berbahaya sekali?” Pangeran Ouwyang Cin Kok berseru kaget. Tanah kuburan
keluarga Suling Emas merupakan tempat keramat dari bangsa Khitan dan kabarnya
tak seorang asing pun boleh memasukinya. Biarpun Puteri Nirahai termasuk
keturunan Khitan, namun belum tentu dia diperbolehkan masuk oleh penjaganya
yang kabarnya amat galak dan memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
“Memang berbahaya, akan tetapi
kalau tidak saya sendiri yang mendatangi, siapakah orang lain akan mampu
melakukannya? Saya ingin membujuk penjaga kuburan, untuk meminjam suling emas
yeing disimpan di situ sebagai pusaka. Dengan suling emas peninggalan pendekar
sakti Suling Emas, kiranya akan lebih mudah mempengaruhi para tokoh-tokoh
kang-ouw untuk membantu Kerajaan Mancu. Senjata suling emas itu amat dihormati
di seluruh dunia kang-ouw, dan dengan senjata itu tentu akan dapat dicapai
hasil yang lebih besar dalam membujuk tokoh-tokoh kang-ouw.”
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan
yang lain-lain mengangguk-angguk menyatakan setuju sungguhpun hati mereka
merasa ngeri mendengar bahwa puteri jelita itu hendak mengunjungi tempat
keramat yang sukar dikunjungi sembarangan orang itu. Setelah membagi-bagi
tugas, pertemuan itu dibubarkan. Ouwyang Seng lalu pergi bersama gurunya untuk
melakukan tugas mereka yang tidak ringan. Demikianpun yang lain-lain bubaran
dan melakukan tugas masing-masing. Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri lalu bersiap
untuk pergi menghadap kaisar menyampaikan pelaporan mengenai pelaksanaan
tugas-tugasnya.
Han Han dan Lulu duduk mengaso
di dalam hutan. Melihat kakaknya iiu duduk bersamdhi, Lulu juga tidak berani
mengganggu, bahkan ia pun lalu duduk bersila dan siulian untuk memulihkan
tenaga dan menekan kekecewaan hatinya karena kehilangan pedang yang terampas di
Siauw-lim-pai.
Han Han tidak dapat menyatukan
panca inderanya. Dia sudah dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya, dan
mengobati akibat-akibat guncangan pukulan-pukulan yang ia terima di
Siauw-lim-pai, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Hatinya terkesan oleh
wejangan-wejangan yang didengarnya dari mulut Kian Ti Hosiang, supek dari ketua
Siauw-lim-pai tadi. Mengenangkan semua wejangan itu, terjadi perang tanding
yang hebat dalam pikirannya sendiri. Perasaan menyesal menggumuli perasaannya,
menyesal kalau ia kenangkan betapa sepak terjangnya selama ini hanya mendatangkan
malapetaka dan keributan belaka. Ia sendiri tidak mengerti mengapa kalau datang
perasaan marah akan sesuatu yang dianggapnya jahat dan tidak adil, lalu timbul
kemarahan yang tak tertahankan dan seolah-olah ia baru akan merasa puas,
terhindar dari himpitan nafsu amarah kalau sudah ia lampiaskan dengan
pukulan-pukulan sakti dari kedua tangannya, kalau sudah ia hajar banyak orang
dan membunuhi lawannya! Pemuda ini tidak tahu bahwa sesungguhnya terjadi
konflik atau pertentangan hebat dalam dirinya.
Mula-mula pertentangan ini
terjadi karena ia mempelajari dua macam sin-kang yang berlawanan yaitu inti
sari Hwi-yang Sin-ciang dan inti sari Swat-im Sin-ciang. Pertentangan ini mempengaruhi
jiwanya, ditambah lagi ketika ia membaca kitab-kitab peninggalan penghuni
Pulau Es yang sifatnya bersih dan berbareng ia mempelajari kitab-kitab Ma-bin
Lo-mo dan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) yang bersifat kotor. Terjadilah
pertentangan hebat sekali dari aliran bersih ditambah kesadaran watak aselinya
yang baik berlawanan dengan pelajaran aliran kotor yang ditambah oleh nafsunya,
membuat ia kadang-kabang merasa tersiksa sekali. Kini ia mendapat nasihat yang
amat aneh dari kakek sakti di Siauw-lim-pai itu. Dia disuruh membuntungi kaki
kirinya! Nasihat apakah ini? Betul-betulkah kaki kirinya yang mendatangkan
perasaan tersiksa seperti itu?
Makin dipikirkan makin
bingunglah hatinya. Kebingungan ini makin memuncak kalau ia pikirkan bahwa
semua malapetaka yang timbul akibat sepak terjangnya itu sama sekali terjadi
bukan karena kesalahannya! Dia memang telah membunuh murid-murid Siauw-lim-pai
dan murid-murid Hoa-san-pai di hutan dahulu itu, akan tetapi bukankah hal itu
terjadi karena salah faham? Bukankah hal itu terjadi bukan karena memang dia
bermaksud jahat dan membunuhi mereka? Kemudian kekacauan yang timbul karena
perlawanannya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok.
Dia telah diserang, dituduh yang bukan-bukan, dituduh mata-mata Mancu! Terjadi
pertempuran, akan tetapi salahkah dia dalam hal itu? Dan akhirnya peristiwa
keributan di Siauw-lim-si. Dia datang dengan iktikad baik, dengan maksud
memberi penjelasan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai untuk melenyapkan
kesalahfahaman. Akan tetapi dia disambut dengan kekerasan, bahkan seolah-olah
dipaksa untuk bertanding. Dia hanya membela diri, karena bukankah itu haknya?
Ataukah dia harus membiarkan saja dia ditawan, dipukul, atau dibunuh, juga Lulu
ditangkap? Karena membela diri, kembali dia melakukan pukulan-pukulan dan
pembunuhan-pembunuhan.
Teringat akan ini semua,
timbul kemarahannya. Tidak! Dia tidak bersalah! Akan tetapi kalau ia ingat akan
nasihat kakek di Siauw-lim-pai itu dia menyesal karena kenyataannya, apa pun
alasannya, sepak terjangnya menimbulkan keributan dah malapetaka, bahkan
pembunuhan. Salah kaki kirinyakah?
Tiba-tiba Han Han meloncat
bangun, tidak kuasa lagi menahan tubuhnya yang digetarkan dua hawa yang
bertentangan, sebagai akibat perang dalam hatinya. Ia mengeluarkan suara
ah-ah-uh-uh seperti orang gagu, tubuhnya bergoyang-goyang, kaki tangannya
bergerak-gerak seolah-olah ia bertanding melawan dirinya sendiri! Kedua
tangannya seperti hendak saling pukul, atau lebih tepat, kalau tangan kiri
hendak memukul tubuhnya sendiri penuh penyesalan dan hendak menghukum, tangan
kanannya bergerak menangkis dengan keyakinan membela karena dia tidak bersalah.
Demikian pula kedua kakinya bergerak menurutkan suara hati yang berlawan!
Entah berapa lamanya Han Han
berhal seperti itu, tubuhnya bergerak-gerak aneh dan kelihatan lucu sekali,
padahal ia merasa amat tersiksa baik tubuh maupun batinnya. Tiba-tiba Lulu
datang mendekatinya, dan melihat keadaan kakaknya ini Lulu segera menyentuh
lengan Han Han. Akan tetapi gadis ini menjerit karena lengan yang disentuhnya
itu mengeluarkan getaran yang membuat tangan yang menyentuhnya seperti lumpuh.
Ia meloncat ke belakang dan menjerit.
“Han-koko.... sadarlah....!
Celaka, ada orang merampas kantung surat-surat itu....!”
Sebelum gadis itu menjerit,
Han Han sudah sadar. Sentuhan tangan yang halus dari adiknya itu sudah
menyadarkannya dan seolah-olah menariknya kembali ke dunia dari alam khayal
yang menakutkan. Ada sesuatu dalam sentuhan dan dalam suara Lulu yang amat
mempengaruhi jiwa Han Han sehingga kini dia sadar, menghentikan gerakan-gerakan
tubuhnya dan memandang adiknya itu.
“Apa? Apa yang dirampas
orang?”
“Karena kau bersamadhi tidak
sadar-sadar, aku lalu pergi mencari air untuk mandi. Kemudian aku pergi ke
sebuah kuil tua tak jauh dari sini, duduk di depan kuil dan mengeluarkan kantung
surat-surat dari Pulau Es untuk kubersihkan. Akan tetapi tiba-tiba kantung itu
terbang dari tanganku dan ketika aku meloncat dan membalik, ternyata kantung
itu telah dipegang oleh seorang kakek yang menyeramkan. Aku minta kembali,
bahkan memukulnya, akan tetapi ia tidak menjawab, dan ketika kupukul, ia
tidak mengelak atau menangkis, bahkan bergoyang pun tidak ketika menerima
pukulanku. Aku takut....!”
Merah wajah Han Han mendengar
bahwa kantung surat-surat itu dirampas orang. Kantung itu ia anggap sebagai
barang yang amat berharga berisi surat-surat penghuni Pulau Es yang ia bawa dan
akan ia sampaikan kepada siapa yang berhak menerimanya. Dan kini dirampas
orang!
“Hemmm, kenapa aku selalu
diganggu orang? Siapakah dia yang merampas kantung kita itu? Mari kita temui
dia.”
Lulu memegang tangan kakaknya
dan menarik kakaknya itu, diajak lari menuju ke kuil tua yang hanya setengah li
jauhnya dari situ, di pinggir sebuah sungai kecil. “Tuh dia masih berdiri
depan kuil, Koko. Untung dia belum lari!” kata Lulu menuding ke arah tubuh
seorang laki-laki tinggi kurus berambut panjang yang berdiri membelakangi
mereka.
“Hemmm, kurang ajar, biar
kuminta kembali kantung itu!” Han Han meloncat ke depan kakek itu, memandang
dan alis matanya bergerak karena kaget.
“Ma-bin Lo-mo....!” teriaknya
ketika mengenal kakek penghuni In-kok-san itu.
Kakek itu memang Ma-bin Lo-mo
si Iblis Muka Kuda! Dengan wajah bengis ia memandang Han Han dan tidak mengucapkan
sepatah pun kata, hanya memandang dengan penuh perhatian, manik matanya
bergerak-gerak meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki.
“Siangkoan-locianpwe, harap
suka mengembalikan kantung itu kepadaku. Kantung itu hanya terisi surat-surat
pribadi yang tidak ada gunanya bagi orang lain,” kata Han Han penuh ketenangan
setelah ia berhasil menekan hatinya yang kaget.
“Hemmm, murid apakah engkau
ini? Tidak menyebut suhu lagi kepadaku?”
Han Han tersenyum pahit.
“Lupakah locianpwe bahwa Locianpwe hendak membunuh saya di perahu itu dahulu?
Sikap locianpwe bukan seperti guru yang menyayang murid, bagaimana saya bisa
menjadi murid yang menghormat guru?”
Bekas guru dan murid ini
saling memandang dan delam pertemuan sinar mata itu diam-diam Ma-bin Lo-mo
menjadi kecut hatinya dan cepat ia mengalihkan pandang matanya. Ia menghendaki
sesuatu dari pemuda itu, maka ia lalu berganti siasat, bersikap lunak dan
manis.
“Han Han, kaukembalikan dulu
kitab-kitabku.”
Han Han teringat akan
kitab-kitab Ma-bin Lo-mo yang ia bawa ke Pulau Es. Tanpa ia sengaja, bahkan ia
telah mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu yang ia gabung dengan ilmu dari
kitab-kitab peninggalkan Siang-mo-kiam. Ia tidak merasa mencuri kitab-kitab
itu, maka ia memperingatkan.
“Saya tidak mencuri
kitab-kitab locianpwe.”
Kini Lulu teringat akan Ma-bin
Lo-mo, maka ia berkata, “Koko, bukankah dia ini orang jahat yang menangkap kita
di perahu dan meninggalkan kita dalam keadaan terikat? Koko, dia jahat, jangan
percaya dia!”
Ma-bin Lo-mo tidak
memperhatikan gadis Mancu yang dibencinya itu, dan berkata lagi kepada Han Han,
“Han Han, kitab-kitabku itu tertinggal di perahu, dan melihat betapa engkau
berhasil menyelamatkan diri, tentu kitab-kitab itu berada padamu. Akan tetapi
tidak apalah, bukankah engkau juga muridku yang berhak mempelajari ilmu dari
kitab-kitabku? Sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang kaulakukan
terhadapku, Han Han. Pertama, engkau bersaudara dengan seorang gadis Mancu. Ke
dua, engkau mengambil kitab-kitabku. Akan tetapi aku mengampunimu akan semua
kesalahan itu, bahkan kantung ini yang hanya berisi surat-surat cinta,
kukembalikan kepadamu.” Sambil berkata demikian Ma-bin Lo-mo melemparkan
kantung ke arah Han Han. Pemuda itu menggerakkan tangan menyambut kantung itu
dan menyimpannya dalam baju setelah melihat bahwa isinya tidak lenyap. Ia
melakukan hal ini seenaknya dan sewajarnya saja, dan Ma-bin Lo-mo terkejut.
Ketika melemparkan kantung tadi, ia sengaja mengerahkan tenaga untuk menguji.
Kalau hanya memiliki ilmu kepandaian tinggi biasa saja, tentu pemuda itu akan
roboh menerima lontaran kantung itu, atau setidaknya terhuyung. Akan tetapi
pemuda itu menerima seenaknya seolah-olah pelemparan kantung itu tidak disertai
pengerahan sin-kang yang amat kuat. Tadinya, kalau melihat pemuda itu roboh
atau terhuyung saja tentu Ma-bin Lo-mo sudah menerjang maju untuk menangkapnya,
akan tetapi melihat sikap Han Han menerima kantung seenaknya itu amat
mengejutkan hatinya, maka kakek ini berlaku cerdik sekali dan tidak menyerang.
“Han Han, mengingat akan
hubungan lama antara kita, aku tidak akan mengganggumu, hanya akan bertanya
kepadamu tentang Pulau Es. Engkau tentu telah mendarat di Pulau Es, bukan?”
“Jangan katakan sesuatu
kepadanya, Koko!” Lulu yang di dalam hatinya masih menaruh dendam kepada kakek
yang pernah hendak membunuh mereka itu, cepat berkata mencegah. Akan tetapi,
tanpa dicegah pun Han Han tidak akan bercerita kepada siapa juga tentang pulau
rahasia itu.
“Saya tidak dapat bicara
apa-apa tentang pulau itu, locianpwe.”
“Jadi engkau telah menemukan
pulau itu?”
Han Han tidak menjawab, hanya
menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau bicara tentang itu.
“Han Han, ingatlah. Aku hanya
ingin engkau menceritakan tentang Pulau Es. Kalau aku menggunakan kekerasan,
engkau tentu takkan kuat melawanku. Ingat, dosamu sudah terlalu besar terhadap
perguruan kami dan kalau aku menyerahkan ergkau kepada Toat-beng Ciu-sian-li,
nyawamu tentu tidak akan diampuni lagi. Akan tetapi kalau kau suka bicara
denganku tentang Pulau Es, aku yang menanggung agar engkau diampuni.”
“Maaf, sia-sia saja engkau
membujuk atau mengancam, locianpwe. Saya tidak bisa bicara tentang pulau itu.
Hendaknya locianpwe membiarkan saya dan Adik saya pergi. Saya tidak hendak
memusuhi locianpwe sungguhpun locianpwe pernah menyiksa dan hendak membunuh
kami berdua. Marilah kita mengambil jalan kita masing-masing dan tidak saling
mengganggu, locianpwe.”
Muka Ma-bin Lo-mo menjadi
merah saking marahnya. Ucapan Han Han itu cukup sopan, akan tetapi nadanya
seperti ucapan seorang yang setingkat saja! Padahal dia adalah seorang di
antara datuk-datuk yang ditakuti orang, sedangkan Han Han adalah seorang muda
yang malah menjadi bekas muridnya!
“Han Han, sungguh engkau keras
kepala! Akan tetapi betapapun kerasnya kepalamu, apakah cukup keras untuk
menerima pukulanku?” Ia membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam
sekali.
Namun Han Han tetap bersikap
tenang. “Terserah kepada locianpwe, tapi.... tapi.... harap locianpwe ingat
bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, hal itu bukanlah kehendak saya, melainkan
locianpwe yang memaksaku.”
“Uwaaahhhhh, sembongnya bocah
ini. Tidak bisa dibujuk dengan omongan halus, agaknya perlu dihajar dulu!”
Setelah berkata demikian, Ma-bin Lo-mo menerjang maju mengirim pukulan. Karena
dia tidak ingin membunuh mati anak itu yang dia butuhkan untuk memberi petunjuk
tentang Pulau Es, maka ia tidak mengirim pukulan Swat-im Sin-jiu, melainkan menampar
dengan tangan kanan ke arah pundak disusul cengkeraman tangan kiri ke arah
dada. Biarpun tidak menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang, namun daya pukulan
kakek ini bukan main.
Han Han mengelak ke kiri dan
biarpun angin pukulan kakek itu mengenai pundaknya, sedikit pun ia tidak
merasainya dan ia berkata penuh rasa menyesal, “Engkau sungguh jahat, Ma-bin
Lo-mo, tidak patut menerima penghormatan orang muda.”
“Heh, Han Han. Apakah kau
benar tidak mau bicara tentang Pulau Es? Ingat, tebusannya adalah nyawamu dan
nyawa bocah Mancu ini. Aku bahkan mau mengampuni bocah ini asal engkau suka
memberi penjelasan tentang Pulau Es.”
“Tidak! Dan kalau engkau
memaksa, terpaksa aku melawanmu, Ma-bin Lo-mo!”
“Bedebah! Baru memiliki
sedikit kepandaian saja engkau sudah berani melawan aku?” Ma-bin Lo-mo
mencelat maju dengan gerakan cepat sekali sambil mencengkeram pundak Han Han,
namun gerakan Han Han tidak kalah cepatnya, tahu-tahu ia sudah mengelak ke
kanan dan cengkeraman itu kembali luput. Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran sekali,
begitu tubrukannya luput dan kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah melesat
lagi ke kanan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan
menyilang mengarah kepala Han Han. Bukan main cepat dan lihainya serangan ini
sehingga Han Han terkejut dan cepat merendahkan diri untuk menghindarkan kedua
tangan yang menghimpit kepalanya dari kanan kiri itu. Akan tetapi dengan
gerakan susulan, tahu-tahu kaki Ma-bin Lo-mo menendang ke perut pemuda itu.
Selama melatih diri di Pulau
Es, sesungguhnya Han Han hanya memperoleh inti sari tenaga sin-kang yang amat
hebat saja, yang tidak diperoleh ahli lain dalam latihan biasa selama puluhan
tahun. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, dibandingkan dengan Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee, tentu saja ia masih kalah jauh. Kini menghadapi gerakan serangan
tokoh hitam yang hebat ini, tentu saja ia tidak menyangka sama sekali dan
tendangan itu tahu-tahu telah mengenai perutnya! Akan tetapi gerakan hawa sin-kang
secara otomatis telah melindungi perutnya, dan ia menangkap kaki itu sambil
mendorong ke depan seperti membuang sesuatu yang menjijikkan.
“Dukkk! Aihhhhh....!”
Tendangan mengenai perut, akan tetapi tubuh Ma-bin Lo-mo terlempar sampai jauh
sekali. Kalau bukan kakek sakti ini tentu tubuhnya akan terbanting ke bawah,
akan tetapi kakek ini malah melompat ke atas sehingga tenaga dorongan itu
terpatahkan dan ia turun lagi ke atas tanah dengan mata terbelalak merah
karena heran, kagum dan penasaran.
“Huh, kiranya engkau sudah mempelajari
sedikit ilmu, ya?” Hati Ma-bin Lo-mo makin tertarik untuk memaksa Han Han
bicara tentang Pulau Es, karena tentu saja ia ingin sekali mengetahui rahasia
itu dan memiliki pusaka dari Pulau Es. Melihat betapa Han Han sanggup menerima
tendangannya, dan melihat tenaga hebat ketika pemuda itu mendorong kakinya,
hatinya makin yakin bahwa pemuda ini tentu telah mewarisi kepandaian dari
tempat rahasia itu, maka ia makin tidak ingin membunuhnya dan hanya ingin
menangkap dan memaksanya.
Kepalanya yang penuh dengan
akal dan muslihat itu bekerja dan tiba-tiba sambil tertawa tubuhnya melesat,
bukan menyerang Han Han, melainkan meloncat ke arah Lulu yang berdiri
menonton. Dia mendapat akal untuk menangkap Lulu dan menggunakan gadis itu
untuk memaksa Han Han!
“Ihhh, mau apa engkau?”
Kembali Ma-bin Lo-mo kecelik
karena gadis yang ditubruk dan hendak ditangkapnya itu, biarpun tergesa-gesa,
dapat melesat pergi dengan gerakan yang amat ringan dan tak tersangka-sangka,
sehingga ia menubruk angin! Ketika ia membalik dan hendak mengejar sambil mengirim
pukulan jarak jauh untuk merobohkan gadis itu, tiba-tiba dari samping
terdengar bentakan Han Han, “Jangan ganggu Adikku!” Bentakan ini disusul dengan
bertiupnya angin yang hawanya dingin memukul ke arah lambungnya!
Ma-bin Lo-mo cepat
menggerakkan tangan menangkis, sekali ini karena penasaran ia menggunakan
tenaga Im-kang untuk membuat pemuda itu roboh.
“Desss!” Dua tenaga raksasa
bertemu dan akibatnya kedua orang itu terjengkang ke belakang!
“Eh, eh.... tenaga
Im-kang....” Ma-bin Lo-mo yang sudah meloncat bangun lagi berkata penuh
keheranan.
“Ma-bin Lo-mo, perlukah
pertempuran ini dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuh denganmu!” Han Han
berkata lagi.
“Sambutlah ini....!” Ma-bin
Lo-mo membentak dan sekali ini ia tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan
Swat-im Sin-ciang, menyerang lagi dengan gerakan lambat namun malah amat
berbahaya karena setiap gerakannya mengandung hawa dingin yang dahsyat.
Han Han mengenal gerakan itu.
Dia telah mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan di dalam perahu oleh Iblis
Muka Kuda ini, maklum bahwa lawannya telah menggunakan Swat-im Sin-ciang. Ia
mulai menjadi marah, bukan saja karena kakek itu mendesaknya terus, terutama
sekali karena ia melihat kelicikan kakek ini yang hendak memaksanya dengan
berusaha menawan Lulu. Maka ia pun lalu menggerakkan kedua tangannya, dengan
gerakan yang sama dan ketika Ma-bin Lo-mo mendorong, ia pun mendorong dengan
pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang pula!
“Wuuutttt.... desssss!”
Tubuh kedua orang itu
bergoyang-goyang, kemudian keduanya mundur terhuyung. Han Han dapat
mengerahkan tenaga Yang-kang sehingga seketika hawa dingin yang luar biasa itu
lenyap, akan tetapi Ma-bin Lo-mo membutuhkan loncatan ke atas dan
menggoyang-goyang tubuhnya baru ia pulih kembali. Ia memandang dengan mata
terbelalak kemudian ia berseru marah.
“Bocah celaka! Engkau telah
mencuri Swat-im Sin-ciang!” Akan tetapi sesungguhnya ia merasa heran dan kaget
setengah mati mendapat kenyataan bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang dari pemuda
itu tidak berselisih jauh dengan tenaganya sendiri! Ia sama sekali tidak mimpi
bahwa sesungguhnya tenaga Han Han jauh lebih kuat dan hebat daripada tenaga
sendiri. Sebaliknya, Han Han maklum betapa lihai dan kejamnya kakek ini dan bahwa
sekali lagi, setelah terlepas daripada ancaman maut di Siauw-lim-si, kini ia
terancam oleh kakek yang amat sakti ini. Maka timbullah kemarahannya lagi dan
ia mengambil keputusan untuk melindungi Lulu dan dirinya sendiri, kalau perlu
dengan taruhan nyawa.
Kembali Ma-bin Lo-mo sudah
menyerang, kini serangannya hebat sekali karena kakek ini tidak lagi
menganggap Han Han seorang lawan ringan. Tubuhnya seperti berpusing dan kedua
tangannya seperti berubah banyak ketika ia melancarkan serangan ke arah dada
dan pusar pemuda itu. Han Han tetap tenang, namun juga bergerak cepat. Ia
memutar kedua lengannya dari kanan kiri menjaga tubuh depan dan kembali ia
berhasil menangkis pukulan-pukulan maut Ma-bin Lo-mo. Akan tetapi kakek itu menerjang
terus dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat dengan perubahan yang tak
tersangka-sangka sehingga dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya tanpa dapat
dielakkannya lagi terpaksa Han Han menerima hantaman-hantaman yang mengenai
pundak dan lambungnya. Akan tetapi tubuhnya hanya terpental saja dan sama
sekali tidak terluka sehingga diam-diam Ma-bin Lo-mo makin penasaran dan
terkejut. Ketika melihat kakek itu mengejarnya, Han Han yang sudah bangkit
kembali sehabis terbanting, cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut
kedatangan lawan dengan pukulan dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang. Ia
sudah marah sekali maka kekuatan sin-kangnya dapat dibayangkan hebatnya. Angin
menderu keras dan hawa dingin melebihi saiju menyambar ke depan. Ma-bin Lo-mo
tentu saja tidak takut menghadapi pukulan yang menjadi keahliannya sendiri
itu. Ia menangkis dengan tenaga Swat-im Sin-ciang juga dan sekali ini dua
tenaga sakti bertemu. Hanya bedanya dengan tadi, kini Han Han yang menyerang
dan Ma-bin Lo-mo yang menangkis.
“Wesssss....!”
Tubuh Ma-bin Lo-mo tergetar
hebat, seolah-olah tubuhnya kemasukan aliran kilat dan sejenak tubuhnya kaku
membeku! Kakek ini mengeluarkan seruan aneh, kemudian melempar tubuh ke belakang
dan bergulingan sampai lama baru dapat melompat bangun kembali, wajahnya pucat
dan matanya terbelalak merah.
“Luar biasa....!” Ia menggumam
karena kini ia mendapatkan kenyataan pahit yang amat hebat, yaitu bahwa tenaga
Swat-im Sin-ciang pemuda itu jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri!
Didorong oleh kemarahannya
yang timbul dari rasa penasaran, kini tubuh Ma-bin Lo-mo menerjang maju seperti
badai mengamuk saking hebatnya. Tentu saja Han Han menjadi sibuk sekali dan
sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan dia yang
kalah jauh ilmu silatnya tak mungkin dapat menghindarkan diri dari serangan
yang bertubi-tubi itu dan hanya dapat mengelak dan menangkis, melindungi dirinya
di bagian-bagian yang berbahaya dan membiarkan bagian-bagian yang dapat menahan
pukulan untuk menerima hantaman-hantaman dahsyat dari lawannya!
Ia menjadi bulan-bulanan dan
biarpun tubuh yang tidak berbabaya itu mengandung sin-kang kuat sehingga tidak
terluka, namun kerasnya pukulan-pukulan itu membuat tubuhnya berkali-kali
terlempar dan bergulingan. Melihat betapa pemuda itu dapat menahan
pukulan-pukulannya yang cukup kuat untuk merobohkan lawan tangguh, Ma-bin Lo-mo
menjadi makin marah dan penasaran, serangannya makin diperhebat.
Lulu berdiri dengan wajah
tegang dan penuh kegelisahan. Seperti ketika ia menyaksikan kakaknya
menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok, dan kemudian
menyaksikan kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai, kini pun
ia hanya dapat menonton saja karena ia maklum bahwa untuk membantu kakaknya
tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup sehingga ia bukan membantu
malah membahayakan diri sendiri dan mengacaukan pertahanan kakaknya. Kedua
orang itu memang bertanding dengan amat seru dan hebat. Keduanya mempergunakan
hawa sakti Im-kang sehingga dari tubuh mereka keluar hawa yang amat dingin yang
seolah-olah membikin beku keadaan sekeliling mereka, bahkan Lulu yang sudah
biasa tinggal di tempat dingin seperti Pulau Es sekalipun kini merasa betapa
hawa dingin menyerangnya dan otomatis sin-kang di tubuhnya bekerja sehingga
hawa yang hangat timbul melenyapkan rasa dingin.
Han Han tidak berani mencoba
untuk menggunakan Yang-kang atau hawa sakti panas. Ia maklum bahwa tingkat
kakek ini sudah tinggi sekali, sehingga kalau ia mengeluarkan Yang-kang,
berarti ia menghadapi lawan dengan keras lawan keras yang tentu saja resikonya
amat besar karena kalah sedikit saja kekuatannya dapat merenggut nyawa. Ia pun
maklum bahwa biarpun dalam ilmu silat ia kalah jauh namun dengan pengerahan
inti sari dari Im-kang ia masih dapat bertahan karena kekuatan sin-kangnya
tidak kalah oleh lawan.
Selagi Han Han terdesak hebat,
tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disambung kata-kata nyaring penuh
ejekan, “Ma-bin Lo-mo si Setan Kuda benar-benar sekarang tak tahu malu,
mendesak orang muda dan tidak malu-malu mengeluarkan Swat-im Sin-ciang!”
Han Han melirik sebentar dan
hatinya kecut ketika mengenal orang yang muncul dan mengeluarkan kata-kata itu
karena orang itu bukan lain adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat si Setan Botak bersama
seorang pemuda tampan pesolek yang ia kenal sebagai Ouwyang Seng! Celaka,
pikirnya. Ma-bin Lo-mo jahat, akan tetapi dua orang yang muncul ini tidak kalah
jahat dan sama sekali tidak boleh diharapkan bantuannya!
Akan tetapi, selagi ia
menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo yang masih mendesaknya tiba-tiba Gak Liat
meloncat maju dan memukul Iblis Muka Kuda dengan dorongan kedua lengan yang
menimbulkan hawa panas. Itulah Hwi-yang Sin-ciang!
“Eh, Setan Botak, mau apa
engkau?” Ma-bin Lo-mo membentak dan cepat ia meloncat jauh ke belakang untuk
menghindarkan pukulan itu. Karena loncatannya yang jauh itu kini Han Han berada
di tengah, di antara dua orang tokoh hitam itu. Pemuda itu menghadapi Gak Liat
dan memandang dengan mata berapi. Kemarahannya sudah membakar hatinya dan kini
melihat kakek yang juga amat jahat ini, ia memandang penuh kecurigaan.
“Han Han, lupakah engkau
kepadaku? Aku Owyang-kongcu, sahabat lamamu. Kami datang untuk membantumu!” Ouwyang
Seng sudah cepat berteriak untuk mengambil hati pemuda itu. Tadi ia melihat
betapa Han Han dapat menghadapi Ma-bin Lo-mo, biarpun terdesak namun juga tidak
dapat dirobohkan. Hal ini saja sudah menyatakan bahwa Han Han sekarang
benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi. Biarpun di dalam hatinya ia sama
sekali tidak suka kepada Han Han, namun demi tugasnya ia harus mentaati
perintah Puteri Nirahai untuk “menarik” Han Han menjadi kawan, bukan lawan.
“Ouwyang-kongcu, saya tidak
membutuhkan bantuan apa-apa darimu atau dari Gak-locianpwe.”
Ouwyang Seng menghela napas
panjang dengan muka menyatakan penyesalannya, lalu menghampiri Lulu dan menjura
sambil berkata, “Nona, bukankah Kakakmu itu keliru sekali? Dia diserang dan
didesak orang, masa tidak mau dibantu?”
Lulu sejenak memandang Ouwyang
Seng, kemudian berkata kepada kakaknya, “Koko, kalau mereka memang benar-benar
hendak membantu, mengapa kau menolak?”
“Lulu, jangan mencampuri.
Mereka itu pun bukan orang-orang yang dapat dipercaya!”
Akan tetapi Lulu memandang
wajah Ouwyang Seng yang tampan dan tersenyum-senyum itu dan ia merasa heran
akan ucapan kakaknya karena dalam pandangannya, pemuda tampan ini sama sekali
tidak jahat.
“Han Han, betapapun juga,
engkau bukanlah lawan Iblis Muka Kuda. Biarlah aku membantumu mengusir iblis
itu, kemudian kita bicara sebagai kenalan-kenalan lama. Bagaimana?”
“Gak-locianpwe, apakah
locianpwe juga seperti Ma-bin Lo-mo ini, hendak bertanya tentang Pulau Es
kepadaku setelah locianpwe membantuku mengenyahkan Ma-bin Lo-mo?”
Pertanyaan yang tiba-tiba dari
Han Han ini tepat menusuk hati Gak Liat yang memang ingin sekali mendengar
tentang Pulau Es itulah, sehingga ia lupa akan tugasnya dan penuh gairah
berteriak, “Ah, jadi engkau sudah berhasil sampai ke sana? Anak baik, mari
kubantu engkau membinasakan Iblis Muka Kuda, baru kita bicara tentang Pulau
Es!”
Kemarahan hati Han Han meluap.
“Kang-thouw-kwi, engkau setali tiga uang (sama saja) dengan Ma-bin Lo-mo. Aku
tidak sudi akan bantuanmu!”
Mendengar jawaban ini dan
karena mereka yakin bahwa Han Han tak dapat dibujuk, Ouwyang Seng sudah cepat
turun tangan untuk melakukan siasat yang ke dua. Yaitu, merampas Lulu terlebih
dahulu untuk menyelamatkan gadis Mancu itu dan juga untuk dijadikan umpan memancing
Han Han ke kota raja, bahkan kelak akan dapat dipergunakan untuk memaksa Han
Han tunduk akan perintah Puteri Nirahai. Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak
boleh menurutkan nafsu berahinya yang berkobar begitu ia melihat gadis Mancu
yang cantik molek tidak kalah oleh Puteri Nirahai sendiri itu, karena Lulu
adalah seorang gadis Mancu dan keadaan gadis ini sudah menjadi perhatian Puteri
Nirahai dan sudah diumumkan kepada para pembantunya. Cepat ia menubruk untuk
menangkap Lulu, akan tetapi alangkah kaget dan herannya kelika tubuh gadis itu
seperti seekor kupu-kupu yang hendak ditangkap saja, telah melesat dan mengelak
dari kedua tangannya! Itulah gerak otomatis yang sudah ada pada diri Lulu
sebagai hasil latihan-latihannya selama berada di Pulau Es bersama Han Han.
Melihat Ouwyang-kongcu tidak
berhasil dan gadis itu berkelebat dekat dengannya, Gak Liat lalu menggerakkan
tangan kanannya mendorong perlahan. Lulu mengeluh dan roboh dalam pelukan
Ouwyang Seng yang sudah cepat menyambar, menotoknya dan memondong tubuhnya.
“Koko....!”
Han Han marah bukan main.
“Keparat! Lepaskan Adikku!” Ia mengejar maju akan tetapi dihadang oleh Kang-thouw-kwi
Gak Liat. Melihat ini, dengan muka merah dan pandang mata beringas Han Han
menerjang Gak Liat dan memukul dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Gak Liat terkejut bukan main
melihat ini dan cepat menangkis.
“Bressss!” Tubuh
Kang-thouw-kwi Gak Liat seperti yang dialami oleh Ma-bin Lo-mo tadi tergetar
oleh pukulan Hwi-yang Sin-ciang, keahliannya sendiri. Ia tergetar dan terhuyung
ke belakang sedangkan Han Han hanya tergetar saja.
“Ha-ha, Setan Botak! Bocah ini
sekarang tak boleh dibuat main-main, dia telah mewarisi pusaka Pulau Es!”
Ma-bin Lo-mo mentertawakan Gak Liat.
“Kita berdua harus
menundukkannya!” Gak Liat yang amat cerdik berkata. Dari pada memperebutkan
bocah itu dan kedua-duanya tidak berhasil, lebih baik menangkapnya bersama dan
kelak membagi-bagi hasilnya. Melihat betapa dalam waktu lima enam tahun saja
bocah ini sudah dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang sedemikian hebatnya, dapat
dibayangkan betapa luar biasa dan amat berharga pusaka Pulau Es.
Ma-bin Lo-mo bukan seorang
bodoh. Ia maklum akan isi hati Gak Liat, maka ia berkata, “Baiklah. Dia harus
dapat ditangkap hidup-hidup!”
Gak Liat berteriak ke
belakangnya, “Kongcu, lekas bawa pergi Nona itu!”
Ouwyang-kongcu sudah mengempit
tubuh Lulu dan menotoknya sehingga kini Lulu menjadi lemas tak dapat bergerak
atau berterlak lagi, kemudian ia melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat
itu sambil mengempit tubuh Lulu dengan lengan kirinya.
“Heiiiii, Ouwyang Seng keparat
kurang ajar! Lepaskan adikku.... anjing keparat, kulumatkan tubuhmu, kuhancurkan
kepalamu!” Han Han menerjang ke depan hendak mengejar Ouwyang Seng, akan
tetapi ia disambut oleh pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat, bahkan dari belakang
ia diserang pula oleh Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Han Han mengeluarkan suara
menggereng seperti biruang es, wajahnya merah dan matanya mengeluarkan sinar
beringas. Kemarahan hebat membuat ia menjadi mata gelap dan kebuasannya timbul
kembali. Dua pukulan dari depan dan belakang hampir berbareng mengenai
tubuhnya, akan tetapi seolah-olah tidak dirasakannya dan ia mengamuk,
menggunakan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang berganti-ganti tanpa
aturan lagi sehingga dua orang kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan
heran dan kaget.
Andaikata lawan-lawannya
hanyalah orang-orang yang memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, tentu
amukan Han Han ini akan melumatkan tubuh mereka dan tentu kebuasannya sudah
mengorbankan banyak nyawa-nyawa lagi. Akan tetapi sekali ini yang
mengeroyoknya adalah dua orang di antara datuk-datuk hitam yang ilmu
kepandaiannya luar biasa sekali dan pada jaman itu sukar dicari tandingnya,
maka betapapun ia mengamuk, tetap saja ia tidak dapat memukul lawannya, bahkan
tubuhnya berkali-kali harus menerima hantaman-hantaman yang amat berat.
Hantaman-hantaman itu amat
kuat dan membuat dada Han Han terasa sesak, kepalanya pening dan hal ini
menambah kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat
dan ketika dua orang kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia mengeluarkan
pekik melengking dan mengerahkan seluruh sin-kangnya menyalurkan Hwi-yang
Sin-ciang di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo sedangkan tangan kanannya
dengan hawa Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat. Ia balas memukul tanpa
mempedulikan datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia menyalurkan sin-kang
secara terbalik dan dengan demikian sekaligus menghadapi kedua lawan itu
dengan dua macam tenaga yang berlawanan sehingga keras bertemu keras,
terjadilah tabrakan tenaga sakti yang luar biasa sekali.
“Desssss....!”
Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo
seketika muntahkan darah segar dari mulut mereka akan tetapi Han Han sendiri
yang terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh pingsan!
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah terluka di dalam
dada mereka. Sepuluh menit kemudian mereka sudah bergerak kembali dan keduanya
memandang Han Han sambil menggeleng-geleng kepala.
“Dia luar biasa sekali, Setan
Botak,” Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.
“Hemmm, kalau tidak mengalami
sendiri mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan keduanya cepat menghampiri
Han Han yang masih rebah pingsan.
Mereka berdua lalu turun
tangan menotok jalan darah Han Han. Ditotok oleh dua orang ahli dengan dua
cara menotok yang berlainan dan amat lihai, seketika tubuh Han Han menjadi lemas
dan tak lama kemudian ia siuman kembali. Betapa kaget dua orang kakek itu
ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak mengalami luka sama sekali,
padahal mereka berdua nyaris terluka parah di sebelah dalam dada!
Biarpun tidak terluka parah,
akan tetapi setelah siuman kembali Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya lemas
sekali saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah tertotok dan dia tidak ingin
mencoba untuk membebaskan diri, maklum bahwa di tangan kedua orang kakek itu
percuma saja baginya untuk melawan. Namun, menyerahkan pun tidak ada sedikit
juga di dalam hatinya. Ia memandang kakek-kakek yang duduk di dekatnya lalu
berkata.
“Kalian telah mengalahkan aku,
tidak lekas bunuh mau apa lagi?” Suaranya terdengar dingin sekali dan sedikit
pun tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek datuk golongan hitam itu
menjadi kagum.
“Han Han, mengapa engkau amat
keras kepala? Kami tidak ingin membunuhmu.”
“Benar, Han Han. Engkau masih
amat muda, tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara sia-sia?”
Mendengarkan ucapan kedua
orang kakek ini yang halus dan seolah-olah menyayangnya, rasa dada Han Han menjadi
makin sesak karena marah. Ia mengerti betul bahwa dua orang kakek itu adalah
datuk-datuk golongan hitam yang amat kejam, yang kini bersikap halus kepadanya
karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti desis dua ekor ular.
“Sudahlah, bosan aku
mendengarnya. Kalian sama-sama menghendaki aku bicara tentang Pulau Es, bukan?
Sudahlah, percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian mau bunuh,
kerjakan saja. Aku tidak takut mati!”
Gak Liat dan Siangkoan Lee
saling memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat cara apa yang
harus mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini akan sia-sia,
jalan satu-satunya adalah paksaan dengan jalan penyiksaan.
“Baiklah, hendak kulihat
apakah engkau akan kuat mempertahankan kekerasan hatimu!” bentak Ma-bin Lo-mo
dan jari telunjuknya menotok punggung Han Han di tiga tempat. Han Han tidak
tahu ilmu apa yang dipergunakan Iblis Muka Kuda ini ketika menotoknya, akan
tetapi seketika ia merasa betapa seluruh tulang-tulang di tubuhnya nyeri,
seperti ditusuk-tusuk jarum! Ia mempertahankan diri agar tidak mengeluh, rasa
nyeri makin menghebat, sampai berdenyut-denyut di ubun-ubunnya, akan tetapi ia
tetap mengeraskan hatinya sehingga mukanya penuh keringat dan mukanya menjadi
pucat.
“Engkau tidak mau bicara
tentang pulau itu?” Ma-bin Lo-mo membentak marah, akan tetapi Han Han diam
saja, hanya memandang dengan mata mendelik, sedikit pun tidak mau menjawab.
“Ha-ha, agaknya dia tetap
berkeras. Biar kutambah sedikit!” Gak Liat lalu menggunakan tangannya mengurut
tengkuk Han Han dan seketika Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya
gatal-gatal. Bukan main hebatnya penderitaan ini. Rasa tulang tertusuk-tusuk
menimbulkan nyeri yang sampai terasa di ubun-ubun, akan tetapi rasa gatal yang
tidak nyeri sekali malah ternyata lebih hebat lagi karena merangsang
syaraf-syaraf, terasa di bawah kulitnya. Ingin sekali kedua tangannya
menggaruk, akan tetapi dia masih tertotok lumpuh kedua kaki tangannya! Hampir
ia tak dapat menahan lagi dan ingin menjerit-jerit sekerasnya, namun kekerasan
hatinya yang tidak ingin mengeluarkan keluhan membuat ia tidak suara sedikit
pun, bahkan ia memejamkan kedua matanya. Begitu kedua matanya dipejamkan,
terbayanglah wajah Lulu dan teringatlah ia betapa adiknya itu terancam bahaya
yang lebih mengerikan daripada yang dihadapinya sendiri. Kekhawatiran dan
kemarahan yang bergelombang hebat dalam dirinya mendatangkan kekuatan kemauan
yang tidak lumrah dan seketika ia mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergerak
den seketika itu juga ia telah melompat bangun! Hebat sekali memang keadaan
tubuh Han Han, kehebatan yang tidak wajar lagi. Semenjak kepalanya dibenturkan
oleh perwira yang memperkosa ibunya, terjedi ketidakwajaran dalam tubuhnya,
menimbulkan kekuatan kemauan yang depat mengalahkan kekuatan jasmani dan
dengan sendirinya juga dapat memaksa jasmaninya melakukan hal-hal yang tidak
semestinya dapat dilakukan manusia biasa. Dalam keadaan tertotok tadi, dia sama
sekali tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengerahkan sin-kang. Akan
tetapi kekuatan kemauannya yang luar biasa, terdorong oleh kemarahannya dan
kekhawatirannya memikirkan Lulu, membuat ia mampu mengerahkan sin-kangnya sehingga
ia dapat membebaskan totokan pada tubuhnya dan sekaligus juga membebaskan
totokan dan pencetan yang menimbulkan rasa nyeri-nyeri dan gatal-gatal tadi.
Begitu dapat bergerak lagi, Han Han lalu meloncat hendak pergi dari situ
mengejar Ouwyang Seng yang membawa lari adiknya. Melihat ini, Setan Botak dan
Iblis Muka Kuda yang tadinya bengong dan kesima saking kagetnya melihat pemuda
itu tiba-tiba dapat bebas, cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Han Han
tidak terluka parah di dalam tubuhnya, namun seluruh tubuhnya sakit-sakit
akibat pertandingan tadi, maka larinya tidaklah secepat biasanya. Andaikata
tidak demikian sekalipun, tentu sukar baginya untuk dapat melarikan diri dari
dua orang datuk hitam itu.
“Kau hendak lari ke mana?” Gak
Liat mengejek.
“Hemmm, jangan harap dapat
melarikan diri!” Ma-bin Lo-mo juga mengejek.
Mendengar suara mereka amat
dekat di belakangnya, Han Han maklum bahwa lari pun memang tiada gunanya. Ia
teringat akan sesuatu, teringat akan pengalaman-pengalamannya ketika kecil,
betapa suaranya kadang-kadang dapat mempengaruhi orang. Hal itu dahulu ia
anggap tak masuk akal dan hanya kebetulan saja, akan tetapi dalam keadaan
tersudut seperti ini, tiada salahnya mencoba-coba. Ia mengumpulkan seluruh
kekuatan kemauannya, kemudian tiba-tiba membalik dan membentak.
“Berhenti kalian!”
Dua orang kakek yang sama
sekali tidak menyangka akan dibentak seperti itu, kaget sekali dan mereka
berhenti seperti arca, memandang sepasang mata Han Han yang mengeluarkan sinar
kilat ketika pemuda itu membalikkan tubuh. Melihat keadaan mereka, Han Han
“mendapat hati” dan ia berkata lagi dengan suara penuh wibawa karene didasari
kemauan yang amat kuat.
“Gak Liat dan Siangkoan Lee,
bukankah kalian saling bermusuhan? Siapa tidak menyerang dulu akan celaka!”
Gak Liat den Siangkoan Lee
seperti kemasukan kilat, mereka membalik, saling pandang dengan mata penuh
kemarahan.
“Setan Botak. Engkau musuhku!”
“Iblis Muka Kuda, aku harus
membunuhmu!”
Kedua orang tokoh besar dalam
golongan kaum sesat itu segera saling hantam sendiri! Karena Gak Liat mempergunakan
Hwi-yang Sin-ciang sedangkan Siangkoan Lee mempergunakan Swat-im Sin-ciang
tentu saja baku hantam antara dua orang datuk hitam itu amatlah hebatnya dan
dua kali gebrakan saja mereka berdua terjengkang ke belakang. Karena mereka
berdua memang telah memiliki kekuatan sin-kang dan kekuatan batin yang tinggi,
maka pengaruh luar biasa dari pandang mata dan bentakan Han Han itupun hanya
sebentar saja menguasai mereka. Setelah terjengkang barulah mereka
terheran-heran mengapa mereka saling serang sendiri, dan ketika mereka
memandang ternyata pemuda itu telah lari agak jauh! Tentu saja tergopoh-gopoh
dua orang kakek itu mengejar sambil menyumpah-nyumpah. Mereka menjadi penasaran
den marah, dan tanpa bicara keduanya mengambil keputusan untuk menangkap den
menyiksia bocah itu sampai mati kalau tidak mau bicara tentang Pulau Es.
Han Han maklum bahwa kembali
dua orang kakek itu sudah mengejar dekar. Ia tidak berani lagi mencoba kekuatan
mujijat bentakannya, karena terbukti bahwa mereka itu kini sudah tidak
terpengaruh lagi. Ia berlari terus dan tiba di sebuah lereng gunung yang banyak
jurang-jurang dalam di kanan-kirinya. Celaka, pikirnya, ke mana lagi harus
melarikan diri? Ah, melarikan diri pun tidak ada gunanya dan ia tidak tahu ke
mana Lulu dibawa pergi Ouwyang Seng. Daripada berlari yang akhirnya tentu
tersusul pula, lebih baik melawan mati-matian. Pikiran ini membuat ia nekat
lalu membalikkan tubuhnya dan begitu dua orang lawannya datang dekat, dialah
yang mendahului menerjang maju dan mengirim pukulan dengan kedua tangannya.
Pukulannya ampuh sekali dan terpaksa dua orang kakek itu meloncat ke samping
sambil mengibaskan lengan menangkis. Kembali Han Han dikeroyok dua dan
betapapun ia melawan mati-matian, sebentar saja ia sudah terdesak lagi.
Kedua orang kakek itu selain
berkepandaian tinggi, juga merupakan orang-orang cerdik dan banyak pengalaman.
Mereka segera mengerti bahwa dalam hal ilmu silat, Han Han masih belum mahir,
dan pemuda ini hanya memiliki sin-kang yang benar-benar amat hebat di samping
kekuatan mujijat yang menimbulkan wibawa dan dapat mempengaruhi orang lain.
Karena itu, mereka segera mempergunakan ilmu silat untuk mendesak dan kini
tubuh Han Han montang-manting karena harus menerima hantaman-hantaman yang tak
dapat ia elakkan atau tangkis lagi. Ia terhuyung ke sana ke mari, dijadikan
seperti sebuah bola dipermainkan dua orang anak-anak atau seekor tikus
dipermainkan dua ekor kucing yang tidak segera membunuhnya, melainkan hendak
menyiksanya. Memang orang-orang seperti Setan Botak dan Iblis Muka Kuda ini
memiliki watak sadis yang luar biasa. Mereka itu tak pernah memiliki hati
jujur, tidak pernah memiliki rasa kasihan, bahkan melihat orang lain menderita
dan tersiksa, timbul semacam rasa puas dan gembira, sebaliknya menyaksikan
orang lain senang dan bahagia, hati mereka tidak senang, iri hati dan dengki.
Karena inilah maka mereka itu menjadi datuk-datuk golongan hitam, orang-orang
yang sudah tidak mengenal lagi baik atau buruk, atau tidak mempedulikannya,
yang berbuat semata-mata demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri saja.
Han Han yang merasa betapa
tubuhnya seperti akan pecah, rasa nyeri membuat kepalanya pening
berdenyut-denyut tetap membungkam dan tidak mau bicara sama sekali, apalagi
bicara tentang Pulau Es. Dia malah menggigit bibir sampai berdarah menahan rasa
nyeri, dan masih terus melakukan perlawanan sejadinya yang tentu saja tidak ada
artinya bagi kedua orang kakek itu.
Sebuah pukulah Kang-thouw-kwi
Gak Liat yang mengenai leher Hen Han membuat pemuda ini terpelanting dan
sesaat tak dapat bangun karena pandang matanya berkunang-kunang dan segala
sesuatu seperti berpusingan. Terpaksa Han Han memejamkan mata dan menanti
pukulan maut.
“Masihkah engkau berkeras
tidak mau memberi tahu tentang Pulau Es?” Ma-bin Lo-mo membentak dan tubuhnya
sudah mendoyong ke depan untuk memberi pukulan maut yang akan menghancurkan
kepala Han Han yang kini sudah tak mampu melindungi dirinya lagi itu.
Han Han tidak mau menjawab,
bahkan kini ia membuka kedua matanya, terbelalak memandang kepada dua orang
kakek itu karena ia hendak menghadapi kematiannya dengan mata terbuka agar
depat melihat bagaimana caranya dia mati! Dua orang kakek yang sudah hilang
harapan dan kesabaran untuk membujuk Han Han itu menggerakkan tangan,
seolah-olah hendak berlumba pula menikmati kesenangan membunuh pemuda keras
kepala itu. Kedua tangan mereka bergerak memukul ke arah kepala Han Han dan....
tubuh mereka terpental ke belakang dan terbanting cukup keras ke atas tanah.
Han Han terbelalak penuh
keheranan dan kekaguman ketika ia melihat searang kakek tua renta yang berambut
panjang terurai tidak diurus, pakaian sederhana bukan seperti pakaian lagi,
berkaki telanjang, berdiri tak jauh dari tempat itu. Kakek tua renta itu
patutnya seorang yang hidupnya terlantar, seorang jembel tua, dan yang membuat
Han Han kagum adalah wajah kakek itu yang masih kelihatan tampan dan
mencerminkan ketenangan dan kedamalan hati yang mujijat. Kakek itu berdiri dan
tersenyum memandang dua orang datuk golongan hitam itu.
Kang-thouw-kwi dan Ma-bin
Lo-mo yang juga terkejut sekali meloncat bangun dan ketika mereka melihat kakek
tua renta yang bertubuh tinggi besar itu, mereka mengeluarkan seruan tertahan,
sejenak tubuh mereka menegang seolah-olah hendak menerjang kakek tua renta itu,
akan tetapi ternyata tidak demikian karena mereka membalikkan tubuh dan....
lari cepat meninggalkan tempat itu. Han Han menjadi heran sekali, akan tetapi
tidak sempat bertanya karena kakek tua renta itu pun sudah melangkah pergi perlahan-lahan
dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata-kata.
Han Han baru mengeluarkan
rintihan perlahan setelah dua orang iblis itu pergi dan tidak ada orang lain di
tempat itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tulang-tulangnya seperti
remuk rasanya. Akan tetapi lebih sakit lagi karena memikirkan Lulu. Ia bangun
dan bersila, mengerahkan sin-kangnya sehingga hawa yang hangat menjalar di
seluruh tububnya mengurangi rasa sakit. Akan tetapi karena teringat akan
adiknya, tidak lama kemudian ia bangkit berdiri, agak terhuyung dan pening.
Mulutnya berbisik.
“Ouwyang Seng, awas engkau
kalau mengganggu Lulu....” Ia tahu bahwa Ouwyang Seng tinggal di kota raja. Tentu
adiknya itu dibawa ke kota raja. Ia harus mengejar secepatnya ke kota raja.
Pikiran ini membuat ia melompat ke depan, agaknya ingin ia dengan sekali
lompatan dapat menyusul Ouwyang Seng. Akan tetapi ia mengeluh dan terguling,
menggeletak pingsan di pinggir jurang, nyaris tubuhnya terguling ke jurang kalau
saja tidak ada sebuah batu menghalang tubuhnya yang menelungkup.
***
Setelah Kaisar Kang Hsi naik
tahta Kerajaan Mancu pada tahun 1663, memang terjadilah perubahan
besar-besaran menuju ke arah perbaikan. Kaisar ini menggunakan tangan besi
untuk menyapu para pemberontak, juga melakukan usaha keras untuk membasmi
korupsi dan penyuapan. Dengan cara radikal mengganti para pembesar tua yang
korup dengan tenaga-tenaga muda, bukan hanya diambil dari bangsa-bangsa di
utara, yaitu bangsa Mancu, Mongol atau Khitan, akan tetapi juga tidak pantang
mempergunakan tenaga bangsa Han sendiri yang sudah jelas mendukung pemerintah
baru itu. Bahkan dengan sikap yang manis dan jujur, kaisar ini membuka
kesempatan bagi kaum muda terpelajar untuk menduduki jabatan-jabatan penting di
kota raja melalui ujian yang jujur, bebas daripada pengaruh suapan. Hal ini
disambut dengan gembira oleh kaum terpelajar yang semenjak dahulu bernasib
sengsara kareng dahulu, betapapun pandainya seseorang, kalau tidak dapat
memberi suapan kepada pembesar yang bertugas, tak pernah dapat lulus ujian.
Sikap kaisar ini memang tepat sekali sehingga pemerintahnya mendapatkan simpati
daripada kaum terpelajar.
Namun, di samping sikap lunak
dan baik untuk menarik sebanyak mungkin kaum cerdik pandai membantu roda pemerintahannya,
Kaisar Kang Hsi juga bersikap bengis dan keras terhadap rakyat yang tidak
tunduk kepada pemerintah Mancu. Pembersihan dilakukan di mana-mana, dan
terutama sekali kaum kang-ouw mendapat pengamatan keras. Tepat seperti yang
diceritakan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok kepada para pembantunya, bagaikan
ikan‑ikan para tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah ini
dikejar-kejar sehingga terpaksa mereka yang dapat menyelamatkan diri lari ke
Se-cuan untuk menggabung pada Bu Sam Kwi, raja muda yang merupakan kekuatan
terakhir yang menentang pemerintah Mancu.
Sudahlah lazim di dunia ini
bahwa perubahan-perubahan selalu mendatangkan korban dan selalu menimbulkan
ekses-ekses yang kadang-kadang merupakan malapetaka besar. Sudah biasa pula bahwa
perintah yang dikeluarkan dengan kebijaksanaan dan mempunyai dasar yang baik,
sering kali berbeda dengan pelaksanaannya, atau disalahgunakan oleh si
pelaksana demi kesenangan dirinya sendiri. Demikian pula dengan perintah kaisar.
Kaisar memberi perintah untuk membersihkan kaum pemberontak, dengan maksud
agar pertentangan segera berakhir dan dapat segera menujukan seluruh kekuatan
dan perhatian kepada pembangunan agar kehidupan rakyat menjadi tenteram dan
jauh daripada perbuatan yang mengandung kekerasan.
Akan tetapi bagaimanakah
pelaksanaan daripada perintah ini? Ketika perintah turun sampai ke tangan
Ouwyang Cin Kok dan yang menyerahkannya kepada Puteri Nirahai dan para
pembantunya, perintah itu masih murni dan dilaksanakan dengan baik pula. Akan
tetapi setelah perintah itu tersebar kepada pasukan-pasukan yang ditugaskan
melakukan pengejaran dan pembersihan terhadap orang-orang kang-ouw yang masih
menentang, terjadilah penyelewengan-penyelewengan dan penyalahgunaan.
Pasukan-pasukan Mancu yang beroperasi jauh dari kota raja, jauh dari pengawasan
para pembesar, hanya dipimpin oleh perwira-perwira rendahan yang dalam keadaan
demikian seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berkuasa penuh, segera melakukan
hal-hal yang sama sekali tidak menenteramkan rakyat, bahkan sebaliknya!
Apalagi kalau ada di antara mereka yang tewas oleh sergapan kaum pemberontak
kang-ouw yang berkepandaian. Kemarahan dan dendam mereka yang tak dapat mereka
lampiaskan kepada para pemberontak lalu mereka timpakan kepada rakyat
dusun-dusun yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Terjadilah perampokan,
perkosaan, pembunuhan dan perampasan tanah untuk diberikan kepada mereka yang
dapat mengeluarkan perak dan emas sebagai sogokan!
Bermacam-macamlah peristiwa
yang terjadi di jaman sengsara bagi rakyat jelata itu. Kedatangan
pasukan-pasukan Mancu yang berdalih melakukan pembersihan terhadap kaum
pemberontak itu jauh-jauh sudah didengar oleh penduduk dusun-dusun sebagai
kedatangan segerombolan serigala-serigala kelaparan yang haus darah. Ada yang
bergegas lari mengungsi, akan tetapi sebagian besar hanya menerima nasib dan
menyandarkan nasib keluarga mereka kepada Tuhan. Mau lari mengungsi lari ke
mana? Di rumah pun setiap harinya sudah sukar mendapatkan makan, kalau
mengungsi tanpa tujuan, tanpa bekal, sama dengan mencari mati kelaparan di
perjalanan!
Dan setelah pasukan Mancu
memasuki sebuah dusun, benar-benar nasib mereka yang menjadi penghuni dusun itu
berada di tangan Tuhan. Tidak ada seorang pun dapat membela mereka. Tuhan yang
menentukan siapa di antara penghuni dusun itu yang akan ditimpa malapetaka,
siapa yang dibakar rumahnya, dibunuh, dirampok, atau diperkosa anak isterinya,
siapa pula yang secara aneh terhindar dari malapetaka seolah-olah para pasukan
yang berubah ganas melebihi perampok-perampok itu melewati atau tidak melihat
rumah itu.
Manusia adalah mahluk yang
berakal budi, yang katanya merupakan mahluk-mahluk yang tertinggi tingkat dan
derajatnya di antara segala mahluk hidup yang bergerak. Akan tetapi justeru karena
akal budi itulah maka tidak ada mahluk yang lebih kejam dan buas daripada
seorang manusia yang menyombongkan akal budinya. Sebagian besar manusia
menyalahgunakan akal yang dianugerahkan khusus kepada manusia oleh Tuhan. Akal
bukan dipergunakan untuk kebaikan, untuk kemanfaatan bagi manusia umumnya dan
dunia, melainkan semata-mata akal dipergunakan sebagai alat untuk mencapai
kepuasan nafsu-nafsunya yang tak kunjung habis. Akal dipergunakan untuk
mengakali (menipu) orang lain, budi dipergunakan sebagai bahan utang-piutang!
Kalau manusia sudah diperhamba
nafsunya sendiri, benar-benar mengerikan sekali akibat daripada
perbuatan-perbuatannya. Mata sudah menjadi gelap oleh nafsu, yang ada hanyalah
mengejar kenikmatan dan kepuasan nafsu, tanpa mempedulikan lagi apa yang
disebut baik dan buruk, tidak lagi sadar bahwa perbuatannya menyengsarakan
orang lain bahwa perbuatannya adalah amat jahat.
Dengan dalih pembersihan dan
menumpas kaum pemberontak, rakyat yang tidak berdosa disembelih, hanya untuk
dapat menyita barang-barangnya atau memperkosa isteri dan gadisnya. Di dalam
sebuah dusun, seorang ibu muda melihat suaminya disembelih di depan matanya,
kemudian karena diancam anaknya akan disembelih, ibu muda ini terpaksa
menyerahkan kehormatannya dinodai secara bergantian oleh tiga orang tentara
Mancu yang menyebut diri mereka pahlawan-pahlawan Kerajaan Mancu yang jaya!
Setelah ibu muda itu tergolek pingsan, tiga orang manusia itu membunuhnya,
juga membunuh bayinya! Ada pula gerombolan pasukan yang memperkosa isteri dan
gadisnya di depan tuan rumah yang diikat pada tiang rumah dan dipaksa
menyaksikan betapa isteri dan anaknya menjerit-jerit diperkosa seperti dua ekor
domba diterkam harimau-harimau buas! Banyak lagi kekejian-kekejian yang kalau
diceritakan seakan-akan tidak masuk akal, akan tetapi hal-hal semacam itu
banyak terjadi di masa itu, dan terjadi pula di mana-mana di bagian dunia ini,
terutama sekali di waktu perang mengamuk. Perang mengubah manusia-manusia
beradab menjadi buas melebihi binatang yang paling buas, menjadi jahat melebihi
iblis yang paling jahat. Dan semua perbuatan ini mereka lakukan dengan
memaksakan pendirian di dalam hati sendiri bahwa yang mereka lakukan itu adalah
benar, karena mereka menjatuhkan hukuman bagi musuh-musuh mereka. Mungkin ada,
di antara mereka yang setelah tenang kembali menyadari betapa kejinya perbuatan
mereka, namun mereka akan menghibur hati sendiri bahwa banyak orang menemani
mereka dalam perbuatan itu, bukan mereka sendiri, maka berkuranglah penyesalan
hati mereka, sungguhpun kadang-kadang hati nurani mereka membuat mereka itu
tersiksa batin mereka selama hidup mereka.
Di sebuah dusun, sebelah
selatan kota raja, hanya sejauh tiga ratus mil saja dari kota raja, terjadilah
geger ketika pasukan-pasukan Mancu melanda dusun-dusun di sekitarnya dalam
“operasi” mereka.
Memang ada juga hasilnya
operasi yang dilakukan pasukan itu demi tugas mereka yang semestinya, yang
membasmi perampok-perampok dan mereka yang masih menentang kekuasaan
pemerintah Mancu. Di dalam hutan di luar dusun itu sebuah pasukan yang terdiri
dari tiga puluh orang telah berhasil membasmi segerombolan perampok yang selain
sering mengganggu penduduk dan orang lewat, juga terkenal memusuhi pemerintah
Mancu dan sering kali menghadang dan merampok kereta-kereta pembesar Mancu
yang lewat dan yang tidak begitu kuat pengawalannya. Sarang perampok dibasmi,
banyak yang dibunuh dan ada pula yang melarikan diri. Kepala perampok dibunuh,
akan tetapi seorang di antara isteri-isteri perampok itu, yang muda cantik dan
genit, tidak dibunuh oleh perwira yang mengepalai pasukan, karena perempuan ini
amat pandai mengambil hati dan pandai pula merayu. Perempuan ini menceritakan
bahwa dia bukanlah perampok, bahwa dia adalah puteri seorang guru silat yang
diculik perampok dan diperkosa. Akhirnya ia dapat jatuh ke tangan kepala rampok
itu dan dijadikan selirnya. Karena perwira itu dan pembantu-pembantunya puas
dengan rayuan wanita ini, maka dia dibawa sebagai teman penghibur dalam tugas
pembersihan yang mereka lakukan. Apalagi ketika wanita itu membuktikan bahwa
dia pun pandai silat dan ikut pula melakukan gerakan pembersihan, membantu
para pasukan, dia makin disayang. Hebatnya, perempuan ini mempunyal kesenangan
yang amat aneh, yaitu ia paling suka menyaksikan wanita-wanita diperkosa oleh
para anak buah pasukan! Bahkan dialah yang sering kali menangkapi gadis-gadis
dan wanita-wanita muda yang cantik untuk diberikan kepada para anak buah
pasukan kemudian dengan tersenyum puas ia menyaksikan betapa mereka itu
diperkosa seperti domba disembelih! Hal ini timbul dalam hatinya, merupakan
semacam penyakit sebagai akibat daripada pengalamannya sendiri. Ketika masih
gadis remaja, dia sebagai gadis terhormat seorang guru silat, diculik perampok
dan diperkosa oleh banyak orang. Semenjak itu, nasibnya selalu seperti itu,
diperkosa ganti-berganti tangan sampai akhirnya ia jatuh ke tangan kepala
rampok dan dijadikan selirnya. Karena penderitaan batin yang amat hebat itulah
maka dia akhirnya ingin melihat setiap orang wanita diperkosa seperti yang
pernah ia alami sendiri! Ketika pasukan memasuki dusun di selatan kota raja itu
dan si wanita cabul dan genit ini mendengar bahwa di situ tinggal seorang guru
silat dengan seorang isteri dan seorang gadisnya, timbul kegairahan hatinya
untuk menimpakan malapetaka kepada guru silat dan keluarganya ini seperti yang
pernah dialami keluarga ayahnya sendiri. Maka ia lalu berbisik-bisik kepada
komandan pasukan yang tertawa terbahak, kemudian menjelang senja wanita itu
bersama perwira dan tiga orang pembantunya keluar dari gedung yang dijadikan
markas sementara pasukan. Empat orang perwira itu mengenakan pakaian biasa,
tidak seperti pakaian yang mereka pakai kalau menjalankan dinas, sehingga
mereka itu kelihatan seperti tokoh-tokoh persilatan atau pembesar-pembesar sipil
karena pakaian yang dipakai secara tiru-tiru oleh orang-orang Mancu ini memang
lucu. Namun gerakan mereka ketika berjalan Jelas menunjukkan bahwa mereka
adalah tentara‑tentara Mancu.
Guru silat pemilik rumah yang
agak terpencil itu menyambut kedatangan empat orang laki-laki tinggi besar dan
seorang wanita cantik itu dengan hati gelisah. Dari sikap mereka itu ia sudah
mengenal bahwa empat orang itu tentulah orang-orang Mancu, maka cepat ia
menyambut mereka dengan hormat dan bertanya.
“Cu-wi mencari siapakah?”
Empat orang perwira Mancu itu
belum pandai benar berbahasa Han, maka Si Wanita yang menjawabnya. “Mereka ini
adalah perwira-perwira Mancu yang memimpin pasukan mengadakan pembersihan.”
Wajah guru silat itu menjadi
berubah dan ia bertanya hati-hati, “Ada keperluan apakah cu-wi datang
mengunjungi saya?”
Wanita cabul itu tertawa dan
berkata, “Hanya ada sedikit keperluan yaitu mereka ini hendak meminjam sebentar
isterimu yang kabarnya cantik dan anak gadismu!” Empat orang perwira itu tertawa
bergelak dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Keparat!” Guru silat itu
marah sekali dan cepat menyambar goloknya dari atas meja sambil berteriak ke
dalam, “A-bwee, ajaklah anakmu lari!”
Empat orang perwira itu
tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata. “Bunuh anjing pemberontak ini!”
Kemudian ia bersama wanita cabul itu melompat ke dalam den mengejar ibu dan
anak yang melarikan diri melalui pintu belakang.
Kauwsu (Guru Silat) itu
mengamuk, dikeroyok tiga oleh tiga orang pembantu perwira. Akan tetapi dia
adalah guru silat yang kepandaiannya biasa saja sedangkan tiga orang lawannya
adalah perwira-perwira muda yang kasar dan bertenaga besar, juga hampir
setiap hari bertempur, maka begitu dikeroyok dengan serangan-serangan dahsyat,
ia hanya dapat bertahan belasan jurus saja. Tiga batang golok di tangan
lawannya menyambar-nyambar dan guru silat itu roboh mandi darah dan tewas
seketika. Sambil tertawa-tawa tiga orang perwira itu menancapkan golok mereka
di atas meja lalu berlari menyusul pemimpin mereka ke belakang. Mereka sudah
mendengar jeritan-jeritan wanita dan hal ini menambah gairah hati mereka.
Kasihan sekali nasib isteri
dan anak guru silat itu. Belum jauh mereka melarikan diri sudah disusul oleh
perwira dan si perempuan cabul dan cepat mereka itu ditawan. Melihat bahwa
isteri guru silat yang berusia kurang lebih tiga puluh itu benar-benar amat
cantik, jauh lebih menarik dan lebih matang daripada gadisnya yang berusia lima
enam belas tahun, perwira itu langsung menubruk isteri guru silat itu,
memeluknya dan menciuminya sambil tertawa-tawa. Akan tetapi isteri guru silat
itu meronta, melawan dan mencakar. Adapun gadis itu dengan mudahnya dirobohkan
si wanita cabul yang menyambar sabuknya. Gadis itu bangkit berdiri dan lari,
akan tetapi sabuknya terlepas dan sabuk yang panjang itu membuat tubuhnya
berputaran dan ia roboh kembali, sabuknya yang panjang berada di tangan wanita
cabul yang tertawa-tawa. Wanita itu membuat laso di ujung sabuk dan
mengalungkannya di leher gadis itu. sehingga setiap kali gadis itu meronta,
sabuk itu mengikat dan menjerat lehernya dan dia roboh kembali.
Pada saat itu, tiga orang
pembantu perwira yang berhasil membunuh si guru silat muncul dan melihat gadis
yang meronta-ronta itu, mereka tertawa bergelak. Si wanita cabul memotong sabuk
menjadi empat dan berkata, “Nih, ikat kaki tangannya, kita permainkan dia,
hi-hik!”
Laki-laki yang buas sebanyak
tiga orang itu tertawa-tawa dan dua orang mengikatkan sabuk potongan itu pada
kedua tangan Si Gadis, dan seorang lagi mengikatkan sabuknya pada kaki kanan
gadis itu. Ketika mereka menarik sabuk, dan si wanita cabul menarik pula sabuknya
yang menjerat leher, gadis itu terpentang kaki tangannya dan berdiri dengan
kaki kiri, berloncatan dan berteriak-teriak, “Jangan bunuh aku...., jangan
bunuh aku....!”
Sementara itu, perwira yang
sudah bangkit nafsunya setelah menggumuli isteri guru silat dan mendapat
perlawanan, bahkan pipinya kena dicakar, menjadi marah. Ia menampar muka
wanita itu sehingga terpelanting, kemudian berkata marah, “Hemmm, apakah
engkau masih menolak? Lihat, anakmu akan kusuruh robek menjadi empat kalau kau
menolak. Manis, mengapa kau menolak? Bukankah aku lebih gagah daripada suamimu
yang kurus kering itu?”
“Ibu.... Ibu....
tolonggggg....!” Gadis itu menjerit-jerit.
“Akhiuuu.... anakku....!” Si
ibu menjerit, kemudian sambil terisak-isak ia berkata, “Baiklah.... baikiah....
lakukanlah sesuka hatimu terhadap aku.... akan tetapi bebaskan anakku....
lepaskan anakku....!”
Sambil menangis terisak-isak
isteri guru silat itu tidak meronta lagi, membiarkan saja apa yang dilakukan
oleh perwira yang menjadi buas itu dengan pakaian dan tubuhnya. Sementara itu,
Si Gadis yang melihat keadaan ibunya, cepat berkata kepada tiga orang dan wanita
cabul yang mengikatnya dengan sabuk. “Lepaskan aku...., ah, lepaskan aku.
Lihat, Ibuku sudah mau.... lepaskan aku....!” Anak gadis itu yang hanya
memikirkan keselamatan dirinya sendiri, agaknya lupa akan keadaan ibunya, lupa
betapa ibunya diperkosa orang secara buas, dan lupa betapa ibunya terpaksa mau
menerima penghinaan ini hanya demi keselamatannya.
“Lepaskan aku! Ibu sudah tidak
menolak lagi....!” Kembali ia menjerit.
Wanita cabul itu tertawa
terkekeh-kekeh. “Aduh.... puas hatiku, persis seperti aku dahulu. Hi-hi-hik,
alangkah lucunya, hi-hik!” Ia menuding-nuding ke arah isteri guru silat yang
menggeliat-geliat dan merintih dalam tangisnya, kemudian mengedipkan matanya
kepada tiga orang perwira. “Kita main kucing dan tikus. Lepaskan dia!”
Tiga orang perwira itu maklum
dan sambil tertawa-tawa, mereka melepaskan sabuk. Gadis itu jatuh, kemudian
bangkit berdiri dan tanpa mempedulikan ibunya ia lalu melarikan diri. Akan
tetapi ia menjerit lagi karena tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan kiranya
sabuk yang mengikat kakinya telah ditarik dari belakang! Ia bangkit lagi, akan
tetapi ketika lari ke depan, di situ telah menghadang seorang perwira dan
sekali renggut bajunya robek sebagian! Si gadis menjerit dan lari ke kiri,
hanya untuk bertubrukan dengan seorang perwira lain yang juga merobek bajunya
sambil tertawa-tawa. Gadis itu menjadi panik, lari ke sana ke mari, akan tetapi
selalu bertemu perwira yang sengaja menghadangnya dan merobeki bajunya sedikit
demi sedikit sehingga hampir telanjang. Wanita cabul yang menonton pertunjukan
ini tertawa-tawa penuh kepuasan.
Setelah pakalan gadis itu
habis koyak-koyak, seorang perwira menubruk maju dan memeluknya. Gadis itu
menjerit, dan pada saat itu, jeritnya diikuti jerit Si Perwira yang menciumnya.
Mereka, perwira dan gadis itu, roboh terguling dan masih berpelukan karena
sebatang ranting telah menembus tubuh mereka berdua, membuat tubuh mereka
seperti dua ekor ikan disate! Dari atas pohon melayanglah turun seorang pemuda
berpakaian putih sederhana yang bukan lain adalah Han Han! Ketika pemuda ini
yang kebetulan tiba di dusun itu dalam pengejarannya kepada Ouwyang Seng,
melihat peristiwa yang terjadi di belakang rumah guru silat, kemarahannya tak
dapat ia tahan lagi. Dia tidak tahu, bahwa empat orang laki-laki itu adalah
perwira-perwira Mancu, akan tetapi melihat perbuatan mereka, dalam pandang
matanya wajah mereka berubah seperti wajah perwira-perwira yang telah
memperkosa ibunya dan cicinya. Maka ia menjadi mata gelap. Lebih-lebih ketika
menyaksikan sikap gadis itu sama sekali tidak patut, seorang anak yang puthauw
(tak berbakti), yang membiarkan ibunya menjadi korban asal dia sendiri selamat.
Dalam kemarahannya dan kemuakannya, ia melontarkan ranting pohon dari atas
pohon, sekaligus membunuh perwira dan gadis itu! Kemudian ia melayang turun
dan sekali tangannya menampar, perwira yang sedang memperkosa isteri guru
sliat itu terguling dengan kepala remuk! Dua orang pembantu perwira dan wanita
cabul menjadi kaget sekali. Cepat mereka menerjang maju, akan tetapi sekali
saja menggerakkan kedua tangemnya, Han Han membuat mereka bertiga roboh puia
dengan kepala remuk dan dada pecah! Isteri guru silat sudah bangkit dan lari
menghampiri mayat puterinya sambil menangis, kemudian lari memasuki rumah dan
terdengar jeritnya. Han Han menyusul masuk dan melihat isteri guru silat itu
menggeletak mandi darah di samping mayat suaminya. Kiranya wanita yang
kehilangan suami dan anak ini mengambil keputusan nekat, membunuh diri! Han Han
meninggalkan tempat itu cepat-cepat dan menghela napas. Ia memikirkan
perbuatan wanita tadi. Salahkah kalau dia membunuh diri? Salah pulakah kalau
dia menyerahkan kehormatannya kepada perwira untuk menyelamatkan puterinya? Ah,
betapa malang nasibnya. Suaminya dibunuh. Puterinya juga tewas, dan dia sendiri
sudah diperkosa. Harapan apalagi dalam hidup? Memang, agaknya kematianlah jalan
terbaik.
Ketika Han Han mendengar bahwa
yang dibunuhnya itu adalah perwira-perwira yang memimpin pasukan Mancu yang
berada di dusun itu, ia terkejut dan juga marah. Kiranya di mana-mana pasukan
Mancu mendatangkan malapetaka! Bukan hanya Han Han saja yang terkejut mendengar
akan kematian empat orang perwira Mancu di belakang rumah guru silat itu. Juga
semua penduduk dusun itu terkejut sekali, bukan terkejut bercampur marah
seperti Han Han, melainkan terkejut dan ketakutan. Mereka semua maklum apa
artinya peristiwa itu, apa yang akan menjadi akibatnya. Tentu pasukan Mancu
akan mengamuk, menganggap dusun itu sebagai sarang pemberontak! Maka
berbondonglah malam hari itu juga semua penduduk lari mengungsi.
Mendengar bahwa penduduk lari
mengungsi, pasukan yang kehilangan pimpinannya itu menjadi makin marah dan
menganggap bahwa tentu dusun itu menjadi sarang gerombolan pemberontak. Maka
mereka lalu keluar dari gedung yang dijadikan markas, mulai mengamuk dan
membakari rumah-rumah yang sudah kosong, lalu melakukan pengejaran terhadap
para penduduk yang mengungsi. Akan tetapi, sebelum keluar dari pintu dusun,
mereka dihadang oleh Han Han yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang
menghadapi tiga puluh orang pasukan Mancu itu. Malam itu bulan telah keluar
sore-sore, dan langit tanpa mendung sehingga keadaan cukup terang. Pasukan itu
heran menyaksikan ada seorang pemuda yang rambutnya riap-riapan menghadang di
tengah jalan. Mereka maklum bahwa tentu pemuda itu seorang pemberontak, karena
hanya para pemberontak atau para tokoh petualang kang-ouw saja yang tidak
menguncir rambutnya. Menguncir rambut ke belakang merupakan peraturan baru
yang dikeluarkan pemerintah Mancu, yaitu peraturan yang berlaku bagi rakyat
bangsa Han. Di samping peraturan menguncir rambut, juga ada peraturan bahwa
bangsa Han atau rakyat pedalaman tidak diperbolehkan membawa senjata tajam!
“Berhenti semua!” Han Han
membentak. “Mengapa kalian hendak mengejar rakyat tak berdosa yang ketakutan
dan melarikan diri mengungsi dari dusun mereka?”
“Heh, pemberontak cilik, masih
berpura-pura lagi! Pemberontak-pemberontak telah membunuh perwira-perwira
Mancu, dan semua penduduk ini tentu pemberontak, termasuk engkau dan mereka
semua harus dibasmi habis!” bentak seorang perajurit yang brewok.
“Kalian ingin tahu yang
membunuh mereka di belakang rumah guru silat itu? Akulah orangnya! Pimpinan
kalian telah melakukan perbuatan keji membunuh tuan rumah dan memperkosa ibu
dan anak. Aku yang melihat hal itu tentu saja tidak tinggal diam dan turun
tangan membunuh mereka. Sekarang, kalau kalian hendak membunuh rakyat yang
tidak berdosa, aku pun tidak akan tinggal diam dan akan membunuh kalian semua.”
“Wah, keparat, sombongnya!
Pimpinan kami memeriksa orang-orang yang dicurigai, menghukum atau membunuh
sudah menjadi haknya. Kau.... pemberontak cilik sungguh berani mati.
Kawan-kawan, tangkap dan seret ke kota raja!”
Han Han diserbu oleh puluhan
orang anak buah pasukan itu. Namun Han Han sudah siap sedia dan dia sama sekali
tidak bergerak dari tempatnya. Kedua kakinya tetap terpentang lebar, tubuhnya
berdiri tegak, dan hanya kedua lengannya yang bergerak ke sekeliling tubuhnya.
Setiap sambaran tombak dan golok yang bertemu dengan tangannya tentu membuat
senjata-senjata itu patah atau terlempar, dan setlap kali tangannya menyambar
dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu orang itu roboh dengan napas
putus!
Bagaikan sekumpulan nyamuk
menerjang api lilin, pasukan itu menyerang untuk roboh sendiri.
Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok bergelimpangan di sekeliling Han Han dan
kedua lengan baju pemuda ini sudah mandi darah para pengeroyoknya. Setelah ada
dua puluh orang perajurit roboh binasa, barulah sisanya menjadi gentar dan
tanpa dikomando lagi, karena pemimpin mereka memang tidak ada, mereka itu
membalikkan tubuh dan melarikan diri melalui pintu dusun sebelah utara,
berlawanan dengan arah yang ditempuh penduduk dusun yang lari mengungsi.
Han Han menghela napas
menyaksikan tumpukan mayat-mayat itu. Kembali hatinya dipenuhi rasa penyesalan
karena kembali begitu ia turun tangan melakukan sesuatu, tentu akibatnya
banyak nyawa melayang. Apakah hidupnya sudah dikutuk sehingga tindakannya
selalu hanya akan menimbulkan malapetaka dan pembunuhan belaka? Ia menarik
napas dan mukanya murung. Ia sampai tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendatangi
tempat itu dan menghampiri dari jarak jauh.
Ketika akhirnya ia mendengar
langkah mereka dan menoleh, kiranya yang datang adalah lima orang laki-laki
setengah tua, penduduk dusun itu. Mereka berlima itu segera menjatuhkan diri
berlutut dan berkatalah seorang di antara mereka.
“Taihiap telah menolong kami,
menyelamatkan orang sedusun. Akan tetapi taihiap telah membunuh banyak orang
perajurit, bahkan membunuh empat orang perwira. Hal ini hebat sekali, harap taihiap
cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum barisan besar datang dan melakukan
pembersihan di sini.”
“Hemmm, kalian berlima ini
siapakah?”
“Kami adalah penduduk dusun
ini pula, taihiap.”
“Jangan sebut aku taihiap, aku
hanya seorang muda yang sudah banyak membunuh orang. Mengapa kalian tidak ikut
pergi mengungsi?”
“Kami merupakan
pengungsi-pengungsi yang paling akhir, yaitu laki-laki yang siap mengorbankan
diri menghambat pengejaran agar anak isteri kami dapat lari selamat. Akan
tetapi melihat taihiap menghadang, kami bersembunyi dan menonton. Taihiap telah
menyelamatkan kami, harap taihiap suka mendengar nasihat kami untuk
meninggalkan tempat ini sekarang juga.”
“Tidak, kalian bantu aku
menguburkan semua jenazah ini dan yang berada di belakang rumah guru silat,
baru kita pergi. Bagaimana? Ada yang suka membantuku?”
Lima orang laki-laki itu
saling pandang dengan mata heran. Pemuda ini sudah bersusah payah menolong
penduduk dan melawan para tentara Mancu, berhasil membunuh, akan tetapi kini
tidak lekas-lekas pergi menyelamatkan diri malah mengajak mereka untuk mengubur
jenazah-jenazah itu! Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani menolak dan
tanpa banyak cakap mereka itu lalu membantu Han Han menggali lubang-lubang
kuburan untuk mengubur sekian banyaknya mayat-mayat itu.
Menjelang pagi barulah
pekerjaan itu selesai dan Han Han segera berkata, “Sekarang harap kalian suka
pergi cepat-cepat dari tempat ini. Aku akan bersembunyi dan melihat apa yang
akan terjadi sebagai akibat dari kejadian ini.”
Setelah kelima orang itu pergi
cepat-cepat dengan ketakutan kalau-kalau ada pasukan besar Mancu yang akan
datang menyerbu ke situ, Han Han lalu mengambil sebuah daun pintu rumah yang
terbakar, daun pintu yang lebar dan ia menggunakan telunjuknya dengan kekuatan
sin-kangnya mencoret-coret beberapa huruf besar yang berbunyi:
“Sie Han membasmi pasukan yang
merampok, memperkosa dan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Pemerintah yang
baik melindungi rakyat, bukan menindas mereka.”
Ia memasang papan pintu itu di
tengah dusun yang kini sudah kosong, kemudian ia bersembunyi di pohon-pohon,
menanti datangnya pasukan Mancu yang diduga pasti akan datang ke dusun itu.
Sambil duduk di atas dahan pohon dan makan kue kering yang ia ambil dari sebuah
rumah kosong, Han Han melamun dan mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya
akhir-akhir ini dengan hati merana. Hanya ada dua hal yang berkesan sekali di
hatinya. Pertama, tentu saja terculiknya Lulu oleh Ouwyang Seng yang kini
dicarinya dan merupakan tugas pokok dan terpenting baginya di saat itu. Ke dua
adalah kakek tua renta berambut panjang yang aneh, yang muncul ketika ia
diancam maut di tangan Setan Botak dan Iblis Muka Kuda. Mengapa dia tidak jadi
dibunuh? Mengapa dua orang itu roboh dan mengapa pula mereka lalu lari
ketakutan? Apa yang telah dilakukan kakek aneh itu? Ia tidak melihat kakek itu
melakukan sesuatu! Dan anehnya, ia merasa seperti pernah bertemu dengan kakek
itu, hanya ia lupa lagi, entah kapan dan di mana.
Tak lama kemudian tampaklah
olehnya berbondong-bondong rakyat dusun melarikan diri dengan wajah ketakutan
dan dari sebelah belakang para pelarian ini terdengar derap kaki kuda dan
suara-suara makian.
“Pemberontak keparat!
Pembunuh-pembunuh keji!”
Makian-makian ini disusul
dengan munculnya dua orang penunggang kuda dan melihat pakaian mereka, tahulah
Han Han bahwa mereka itu adalah dua orang pengawal. Dua orang pengawal itu memegang
gendewa dan beberapa kali mereka melepas anak-anak panah ke depan. Kiranya
yang menjerit tadi adalah para pengungsi yang menjadi korban anak panah mereka
itu.
Han Han memandang dengan mata
terbelalak dan muka merah saking marahnya. Ia melihat sendiri betapa seorang
laki-laki muda dan seorang gadis yang melarikan diri roboh oleh anak panah,
bahkan seorang ibu setengah tua yang menggendong bayi dan yang lewat di
bawahnya, menjerit ketika sebatang anak panah menancap di punggungnya. Ibu ini
roboh terguling, mendekap anaknya yang menangis. Seorang laki-laki setengah tua
berteriak kaget dan ternyata dia adalah suami ibu itu. Sambil menangis bapak
ini lalu menyambar tubuh anaknya yang masih kecil, kemudian melarikan diri dan
terpaksa meninggalkan mayat isterinya untuk menyelamatkan dirinya dan anaknya
karena kalau tidak lari tentu mereka berdua menjadi korban keganasan dua orang
perwira pengawal itu pula.
Han Han tak dapat mengekang
kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya sudah melayang
turun, langsung menerjang dua orang perwira pengawal yang lewat di bawahnya.
Dua orang pengawal itu kaget, namun ternyata bahwa mereka pun bukan orang
lemah, karena mereka dalam kegugupan diserang secara tiba-tiba itu
menghantamkan busur mereka kepada Han Han yang sudah menggerakkan ranting di
tangannya.
“Krak-krakkk!” Kedua buah
busur dua orang pengawal itu hancur berkeping-keping sehingga mereka terkejut
sekali. Akan tetapi Han Han sudah menggunakan kedua tangannya memukul. Dua
orang lawannya cepat melempar tubuh sendiri ke belakang, meloncat dari atas
punggung kuda.
“Bluk! Krokkk!” Dua ekor kuda
tunggangan mereka meringkik keras dan roboh terguling, berkelojotan tak mampu
bangun kembali karena tulang punggung mereka patah terkena pukulan kedua tangas
Han Han! Dua orang pengawal yang sudah meloncat bangun memandang dengan mata
terbelalak.
“Keparat! Siapakah engkau yang
membantu para pemberontak keji?” Seorang di antara perwira pengawal itu sudah
mencabut goloknya diikuti oleh kawannya, dan mereka memandang pemuda berambut
panjang itu dengan hati gentar.
“Hemmm, di dunia ini penuh
dengan orang gila yang memaki orang lain gila, penuh dengan maling yang
berteriak maling. Rakyat lari mengungsi pasti ada sebabnya dan apalagi
sebabnya kalau bukan karena kekejian orang-orang macam kalian? Rakyat
mengungsi mencari tempat aman, kalian mengejar dan membunuhi mereka. Sekarang
kalian masih memaki mereka sebagai pemberontak keji! Sungguh menjemukan!”
“Eh, orang muda. Apakah engkau
termasuk seorang pemberontak?”
“Aku bukan pemberontak, akan
tetapi aku menentang setiap kekejaman seperti yang kalian lakukan terhadap para
pengungsi tadi! Mereka adalah orang-orang lemah yang tertindas, yang
membutuhkan bantuan orang-orang yang mengaku dirinya gagah.”
“Ha-ha! Mereka orang-orang
lemah katamu? Hemmm, dengarlah orang muda. Kami adalah dua di antara para pengawal
yang mengawal Giam-tai-ciangkun bersama isterinya. Tahukah engkau bahwa hampir
saja kereta Tai-ciangkun hancur dan ada beberapa orang teman pengawal tewas
oleh pengungsi-pengungsi yang kaukatakan lemah itu? Mereka adalah
pemberontak-pemberontak yang menyelinap di antara rakyat jelata!”
“Tidak percaya! Apakah ibu
yang menggendong anak ini pun seorang pemberontak?”
Dua orang perwira pengawal itu
kelihatan agak malu dan seorang di antara mereka menjawab, “Memang, kurasa bukan.
Akan tetapi dalam pembersihan terhadap para pemberontak, bukanlah hal aneh
kalau ada rakyat yang terkena akibatnya, karena para pemberontak bersembunyi
di antara rakyat jelata.”
“Huh, alasan kosong! Para
pemberontak berada bersama rakyat, hal itu hanya berarti bahwa rakyatlah yang
memberontak? Mengapa rakyat memberontak? Karena rakyat tidak suka akan
pemerintah yang menguasainya! Kenapa tidak suka? Karena pemerintahnya tidak
benar. Daripada membunuhi rakyat, lebih baik membersihkan diri sendiri agar
dapat disuka oleh rakyat!”
“Wah-wah, bicaramu seperti
pemberontak pula. Sombong!” Dua orang perwira itu mendengar suara roda kereta
dan derap kaki kuda mendatangi, maklum bahwa rombongan panglima yang
dikawalnya sudah tiba. Hal ini berarti bahwa kawan-kawan mereka sudah tiba
pula, maka timbullah keberanian mereka dan serentak mereka berdua menerjang Han
Han dengan golok. Kini Han Han sudah membuang tongkat ranting pohon tadi dan
menghadapi kedua orang pengeroyok dengan tangan kosong. Ia melihat betapa
gerakan mereka itu baginya lambat sekali, maka dengan tenang ia meloncat ke
kiri, kemudian dari samping ia menggunakan tangan kanan menampar ke arah
mereka. Tamparan yang kelihatan perlahan saja, dipandang sebelah mata oleh
kedua orang perwira pengawal yang cepat memutar tubuh menggerakkan golok lagi,
bukan saja menangkis tamparan lengan itu akan tetapi juga akan dilanjutkan
dengan bacokan-bacokan mematikan. Tentu saja kedua orang perwira bangsa Mancu
ini sama. sekali tidak tahu bahwa tamparan itu mengandung hawa pukulan maut
Hwi-yang Sin-ciang! Mereka hanya melihat golok mereka terbang dari tangan
mereka, kemudian terasa hawa panas luar biasa menembus dada dan selanjutnya
mereka tidak tahu apa-apa lagi karena mereka telah roboh dengan dada gosong
dan tubuh tak bernyawa lagi!
Robohnya kedua orang perwira
ini tampak oleh rombongan pengawal yang mendahului sebuah kereta yang ditarik
oleh empat ekor kuda. Rombongan pengawal di depan kereta berjumlah dua puluh
orang, mereka ini adalah anak buah dari dua orang perwira tadi, maka melihat
betapa dua orang pimpinan mereka roboh di tangan seorang laki-laki muda
berambut panjang yang tidak memegang senjata, mereka menjadi marah dan
membalapkan kuda ke depan sambil berteriak-teriak dan tombak serta golok mereka
diacung-acungkan ke atas.
Kereta itu cukup indah, ditarik
empat ekor kuda, dan dikawal ketat. Rombongan pengawal di depan tadinya
berjumlah dua losin orang dikepalai dua orang perwira. Empat orang pengawal
telah tewas di perjalanan sehingga tinggal dua puluh orang. Di belakang kereta
juga dijaga pengawal dua losin orang dikepalai dua orang perwira.
Melihat adanya gangguan di
depan, kereta dihentikan dan dua losin pengawal di belakang telah mengurung
kereta dan melindunginya, tidak membantu dua puluh orang pengawal depan yang
menerjang Han Han. Juga dua orang pengendara kereta tidak turun dari tempatnya
dan karena tempat duduk mereka itu tinggi, mereka dapat menyaksikan
pertandingan di sebelah depan. Mata kedua pengendara itu melotot dan wajah
mereka pucat penuh keheranan dan kengerian. Mereka melihat bahwa yang
menghadang jalan hanyalah seorang pemuda rambut panjang yang tidak memegang
senjata, dan yang kini dikeroyok oleh dua puluh orang pengawal itu. Dua orang
pengendara ini tadinya sudah merasa yakin bahwa kembali mereka akan melihat
seorang pemberontak dicincang hancur tubuhnya oleh para pengawal yang kuat
itu. Akan tetapi ternyata apa yang terjadi di depan itu jauh berlawanan dengan
apa yang mereka duga. Pemuda itu dengan sikap tenang sekali hanya menggerakkan
kedua tangan mendorong ke kanan kiri, dan para pengawal yang mengeroyoknya
seperti semut mengeroyok jangkerik itu roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali!
Dua orang pengendara itu melihat jelas dari tempat duduk mereka yang tinggi
betapa ada tombak yang menusuk punggung pemuda rambut panjang itu, ada pula
golok yang membacok pundak dan leher. Akan tetapi, tombak itu patah-patah dan
golok itu rompal, terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian sekali tangan
pemuda itu berkelebat ke belakang, agaknya tidak menyentuh kulit para pengawal,
namun mereka yang gagal menyerang ini roboh pula tak dapat bangun!
Juga para pengawal yang
menjaga kereta di sebelah belakang memandang peristiwa yang terjadi di depan
dengan mata terbelalak. Jendela kereta terbuka, sebuah kepala yang besar dan
muka yang penuh brewok, muka yang gagah perkasa, muka si panglima yang berada
di dalam kereta, muncul dan bertanya kepada dua orang perwira pimpinan pengawal
belakang mengapa kereta lama berhenti di situ.
“Ada gangguan pemberontak,
Tai-ciangkun.” Perwira-perwira itu melaporkan.
“Banyak?” Sang panglima brewok
bertanya tak acuh, memandang rendah karena dia sudah biasa mengalami gangguan
para pemberontak.
“Hanya seorang saja,
Tai-ciangkun.”
“Kalau hanya seorang saja
mengapa begitu lama?” Panglima itu membentak tak sabar.
Suara si perwira yang melapor
kini agak gemetar, “Dia lihai bukan main, Tai-ciangkun.... wah, seluruh pasukan
pengawal depan hampir semua roboh di tangannya....”
Kagetlah panglima itu.
“Rombonganmu jangan meninggalkan kereta!” katanya sambil menutupkan jendela
dari dalam.
“Ada terjadi apakah?” Seorang
wanita cantik yang duduk dalam kereta di depan panglima itu, sambil memangku
seorang anak perempuan yang mungil, bertanya. Wanita ini berusia kurang lebih
dua puluh enam tahun dan dia adalah isteri panglima itu.
“Ah, hanya gangguan seorang
pemberontak,” kata Panglima Giam Cu dengan suara tenang. “Jangan khawatir,
isteriku. Kau tenang-tenanglah di sini, para pengawal sudah menjaga kita,
pula, kalau perlu, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya,” Panglima Giam Cu
meraba gagang pedangnya.
Isterinya menggerakkan tangan
menyentuh lengannya. “Jangan....! Sudah berkali-kali kuminta kepadamu agar engkau
jangan membunuh orang. Kalau hal itu perlu sekali dilakukan, biarlah para
pengawal yang melakukannya.”
Panglima itu tertawa, lalu
membungkuk dan mencium pipi isterinya, kemudian berkata, “Tentu.... tentu....
apa kaukira aku suka menjadi algojo setelah memiliki isteri seorang dewi
seperti engkau ini?”
Akan tetapi biarpun mulutnya
berkata demikian, hati panglima ini mulai merasa tidak enak dan dia lalu
mengungkapkan tirai di jendela depan kereta dan mengintai ke depan. Dapat
dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika melihat bahwa dua puluh orang
pengawal dan dua orang perwira yang memimpin pengawal pasukan depan telah roboh
semua, kuda-kuda tunggangan mereka lari cerai-berai dan kini ia melihat seorang
laki-laki muda yang rambutnya riap-riapan berpakaian putih sederhana, berwajah
beringas dan bermata menyeramkan, melangkah perlahan menghampiri kereta yang
terjaga oleh dua losin pengawal, dua orang perwira dan dua orang pengendara
kereta!
Han Han memang sudah marah
sekali, ketika ia dikeroyok dua puluh orang pengawal tadi, kemarahannya
memuncak. Hujan senjata ke arah tubuhnya tidak ia pedulikan karena ia sudah
mengerahkan sin-kang melindungi tubuh dan pada saat para pengeroyok
menerjangnya, ia menggunakan kedua tangannya memukul ke kanan kiri ke depan
belakang menggunakan Swat-im Sin-ciang. Setiap orang pengawal yang terkena hawa
pukulan ini tentu roboh dengan darah membeku dan jantung mereka berhenti
bekerja seketika. Tentu saja yang jatuh terus mati tak dapat hidup kembali!
Setelah semua pengeroyoknya roboh, Han Han memandang ke arah kereta yang
terjaga oleh sepasukan pengawal lain. Pakaiannya robek di sana-sini terkena
senjata tajam, dan dia melangkah maju menghampiri kereta. Para pengawal
hanyalah anak buah, hanya alat, pikirnya. Yang duduk di kereta itu adalah
pembesarnya dan dialah biang keladinya yang harus ditumpas, pikirnya.
Sejenak sunyi sekali ketika
pemuda itu dengan langkah satu-satu dan lambat-lambat menghampiri kereta.
Setelah dekat, meledaklah suara teriakan-teriakan para pengawal mengeroyok Han
Han, didahului oleh dua orang perwira. Kini rombongan pengawal ini mengeroyok
Han Han setelah meloncat turun dari atas kuda dan segera terdengar suara
hiruk-pikuk, suara teriakan marah bercampur aduk dengan suara senjata patah dan
jatuh ke atas tanah, disusul pula jerit-jerit mengerikan ketika Han Han mulai
dengan amukannya.
Giam-hujin (Nyonya Giam)
mendekap puterinya dan mukanya menjadi pucat mendengar suara hiruk-pikuk di
luar kereta. Giam-ciangkun kembali mengintai dan panglima tinggi besar
brewokan ini mengeluarkan suara menggeram marah ketika menyaksikan betapa dua
orang perwira pengawal itu sudah tewas pula, dan kini orang muda yang aneh itu
sudah merobohkan para pengawal dengan setiap gerakan tangan seperti orang
membabat rumput saja!
“Si keparat....!”
Giam-ciangkun mencabut pedangnya dan hendak keluar dari kereta. Akan tetapi
isterinya memegang lengannya dan menariknya kembali.
“Jangan.... jangan tinggalkan
aku....”
“Hemmm, isteriku. Pemberontak
itu lihai, para pengawal bukan lawannya. Aku sendiri yang harus melawannya.”
“Tidak.... jangan tinggalkan
aku. Aku takut....” Giam-hujin menahan dan anaknya mulai menangis.
Giam-ciangkun duduk kembali,
menghela napas dan memangku pedangnya. “Baiklah, aku menjaga di sini dan kalau
dia berani masuk, kupenggal lehernya!”
Suara hiruk-pikuk di luar
makin gaduh dan tubuh Giam-hujin menggigil. Giam-ciangkun diam-diam juga merasa
gelisah sekali, apalagi ketika ia mendengar jerit-jerit kematian para anak
buahnya. Ia mengintai dan alangkah kagetnya ketika pemuda itu telah mengamuk
dekat kereta dan para pengawal yang mengeroyoknya hanya tinggal enam orang
lagi. Mereka itu pun mengeroyok dari jarak jauh, menggunakan senjata tombak
yang panjang, seperti enam orang pemburu yang menyerang seekor harimau dengan
takut-takut terpaksa dan hanya menakut-nakuti dengan ujung tombak saja!
Han Han yang melihat tidak ada
lagi pengeroyok yang mendesaknya, segera meloncat ke dekat kereta. Ia menggerakkan
tangan mencengkeram daun pintu dan merenggut.
“Braaaakkkkk!” Daun pintu itu
terlepas dan pecah-pecah. Pada saat itulah Giam-ciangkun menerjang keluar
dengan loncatan dan dengan tusukan pedangnya ke arah dada Han Han. Han Han yang
mendengar bersuitnya angin tusukan pedang, maklum bahwa orang yang menyerangnya
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia cepat menggeser kaki ke
kiri, tangannya menyampok pedang itu dan kakinya menendang.
“Bukkkkk!” Tubuh Giam-ciangkun
yang tinggi besar itu terlempar sampai empat meter jauhnya! Pada saat Han Han
hendak mengejar, dari atas melompat dua orang pengendara dengan golok di tangan.
Han Han menyambut mereka dengan kedua tangannya, tidak mempedulikan dua
batang golok yang membacok leher dan pundak. Tangannya herhasil mencengkeram
baju mereka dan sekali kedua tangannya bergerak, terdengar suara keras dan
pecahlah dua buah kepala yang diadukannya itu, darah muncrat bersama otak!
Han Han menghampiri panglima
yang ditendangnya tadi. Giam-ciangkun bertubuh kuat dan ia sudah bangun
kembali dengan pedang di tangan. Ketika Han Han melihat wajah Giam-ciangkun,
terlepaslah pekik melengking dari mulutnya seperti teriakan seekor biruang
marah, dan ia melangkah lagi sambil berkata.
“Engkau....? Engkaukah
ini....? Si keparat jahanam.... kebetulan sekali, kubeset kulitmu.... kuminum
darahmu....!”
Suara Han Han perlahan dan
mendesis, wajahnya beringas seperti bukan wajah manusia. Dia mengenal perwira
brewok yang dahulu memperkosa encinya!
Giam-ciangkun merasa ngeri
melihat wajah Han Han yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia berteriak,
“Serang....!”
Dan enam orang sisa pengawal
itu dengan nekat menerjang maju, menggunakan tombak mereka yang datang
seperti hujan ditusukkan ke arah tubuh Han Han.
Han Han yang menemukan musuh
besarnya, sudah menjadi marah sekali. Ia menggereng, membiarkan tombak-tombak
itu menusuknya, kedua tangannya bergerak, yang kanan memukul dengan ilmu sakti
Hwi-yang Sin-ciang, yang kiri menggunakan Swat-im Sin-ciang dan.... enam orang
pengawal itu roboh, yang tiga orang hangus seluruh tubuh mereka, yang tiga
orang lagi kaku membeku, keenamnya tewas di saat itu juga.
“Kau.... iblis brewok....
tibalah saatnya aku membalas dendam. Ha-ha-ha-ha!” Baru sekali ini selama
hidupnya Han Han tertawa seperti itu, suara ketawa yang tidak sewajarnya,
seperti bukan suaranya sendiri, seperti ketawa di luar kehendaknya dan memang
suara ketawa ini terdorong oleh nafsu dendam yang menyesak di hati.
Giam-ciangkun merasa bulu
tengkuknya berdiri, akan tetapi dia sudah menerjang maju lagi dengan
pedangnya, membacok ke arah kepala pemuda yang menyeramkan itu.
“Siuuuuuttttt....
plak-kreeek!” Pedang yang kena ditampar tangan Han Han itu patah menjadi dua!
Giam-ciangkun kini melempar gagang pedangnya, memandang pemuda itu dengan mata
terbelalak, dan otomatis kakinya mundur-mundur ke arah kereta. Han Han masih
tertawa-tawa dan melangkah maju.
“Rebahlah!” bentaknya dan
tangannya melakukan gerakan mendorong. Biarpun Giam-ciangkun sudah mengerahkan
tenaganya bertahan, namun tetap saja tubuhnya terjengkang oleh hawa dorongan
yang luar biasa kuatnya. Ia jatuh terlentang dan pemuda itu melangkah maju
perlahan-lahan!
Tiba-tiba terdengar jerit dari
dalam kereta dan Giam-hujin sudah turun dari kereta memondong puterinya yang menangis
keras sejak tadi. “Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh suamiku.... mohon
taihiap sudi mengampuni nyawa suamiku....”
Han Han tertegun memandang
wanita memondong anak yang berlutut di depan kakinya. Kemarahannya tak mungkin
dapat dihapus oleh ratap tangis seorang wanita yang tidak dikenalnya.
“Dia jahat, aku harus
membunuhnya....!” Ia menjawab, suaranya dingin.
“Ahhh.... ampunkan dia....
ampunkan kami.... taihiap, ampunkan suamiku....” wanita itu meratap-ratap
sambil berlutut, kemudian menangis dan seolah-olah menciumi ujung kaki Han
Han.
Tergeraklah hati Han Han dan
ia menjadi marah kepada wanita ini yang telah menimbulkan keraguan di hatinya.
Dia harus membunuh perwira brewok ini! Apa pun yang terjadi, dia harus membunuhnya!
Si Brewok ini telah memperkosa encinya, memperkosanya di depan matanya! Dialah
orang ke dua di antara tujuh orang perwira Mancu yang harus dibunuhnya. Harus!
Yang pertama adalah perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh
ibunya, yang ke dua perwira ini yang memperkosa encinya, kemudian yang lima
orang lainnya, mereka yang telah menghina keluarganya, harus dia balas dan
tumpas semua!
“Dia orang busuk, kau tahu?”
Han Han tiba-tiba membungkuk, memegang kedua pundak Nyonya Giam dan menariknya
berdiri agar mereka dapat bertemu pandang. “Dia manusia berhati iblis! Dia
telah memperkosa....” Tiba-tiba Han Han berhenti bicara, matanya terbelalak dan
lehernya seperti dicekik rasanya. Mereka berpandangan, seorang wanita cantik
dan pemuda perkasa itu, yang hampir sama bentuk mukanya, keduanya terbelalak
dan Nyonya Giam seolah-olah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri,
berkedip-kedip, mukanya pucat, matanya terbelalak, tangisnya terhenti seketika.
“Han Han....!”
“Leng-cici....!”
Nyonya Giam itu memang
encinya, Sie Leng, gadis yang dahulu diperkosa kemudian dilarikan oleh perwira
brewok yang bukan lain adalah Giam Cu yang kini telah menjadi panglima. Sie
Leng terkulai lemas, roboh pingsan di dalam pelukan adiknya!
Han Han juga lemas seketika.
Getaran-getaran yang menguasai dirinya, yang membuat ia buas dan haus darah, seketika
lenyap, meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan lelah sekali. Ia duduk di
atas sebuah akar menonjol, memangku encinya yang masih pingsan, memandang jauh
ke depan dengan pandangan kosong. Ia tidak mendengar dan tidak melihat betapa
anak perempuan kecil itu memeluki ibunya dan memanggil-manggil, “Ibu....
Ibu.... Ibu....” sambil menangis. Dia tidak sadar pula bahwa kini Giam Cu
merangkak dan berlutut di depannya, sambil berusaha mendiamkan puterinya.
Sampai lama Han Han termangu
dan melamun. Memangku tubuh encinya yang pingsan membuat ia teringat akan
segala hal ketika ia masih kecil. Bagaikan tampak di depan matanya segala
peristiwa di waktu ia masih kecil dan hampir ia tidak percaya bahwa encinya
yang tadinya disangka mati itu kini berpakaian mewah dan indah, disebut ibu
oleh seorang anak perempuan, dan agaknya menjadi isteri dari Si Brewok yang
akan dibunuhnya tadi!
Sie Leng sadar dari pingsannya
dan ia merasa seperti dalam mimpi ketika mendapatkan dirinya dipangku seorang
pemuda tampan berambut riap-riapan. Han Han! Pemuda ini adalah Han Han, adiknya!
Ia melihat Kwi Hong, puterinya masih menangis dan suaminya berlutut di depan
Han Han!
“Han Han....!” Ia berseru dan
merangkul adiknya. “Han Han, engkau tidak boleh membunuh suamiku. Dia
iparmu....! Han Han, engkau ampunkanlah dia....!” katanya sambil berlutut pula
di samping suaminya.
“Taihiap, saya mengaku
berdosa, akan tetapi demi encimu dan keponakanmu ini, saya mohon ampun....”
terdengar pula suara Giam Cu yang besar.
Han Han menjadi bingung,
akhirnya menarik napas panjang dan berkata, suaranya dingin dan sakit hatinya
masih belum dapat ia hilangkan sama sekali, “Enci Leng, apakah yang telah
terjadi? Kenapa engkau malah mintakan ampun kepadaku untuk orang ini?”
“Han Han adikku, dengarlah
penuturanku.” Sie Leng lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dibawa
pergi oleh Giam Cu. Mula-mula memang ia merasa sakit hati dan benci kepada Giam
Cu yang memperkosanya. Berkali-kali ia hendak membunuh diri, akan tetapi
digagalkan selalu oleh Giam Cu yang menjaganya dan ternyata bahwa perwira itu
jatuh cinta kepada gadis ini. Dengan penuh kasih sayang Giam Cu membujuk,
bahkan tidak lagi ia memperkosa gadis itu, diperlakukan dengan sikap halus dan
dihujani kemewahan. Mula-mula Sie Leng tidak mempedulikan sikap baik perwira
itu, ia terlalu benci kepadanya dan lebih baik mati daripada menjadi isterinya.
Akan tetapi, Giam Cu membujuk, bahkan mengenyahkan semua selirnya. Kemudian,
setelah Sie Leng mendapatkan dirinya dalam keadaan mengandung akibat perkosaan
itu, ia menyerah!
“Dan ternyata bahwa dia
amat mencintaku, Han Han. Mencinta sungguh-sungguh dan sampai sekarang pun
terbukti cinta kasihnya kepadaku. Setelah dia naik pangkat terus sampai menjadi
panglima, dia tetap mencintaku, tidak mempunyai isteri lain dan akhirnya aku
pun mencintanya sebagai suamiku yang baik.” Sie Leng terisak, kemudian
melanjutkan ceritanya, “Kandunganku yang pertama gugur dan hal itu malah
menggirangkan hati kami karena kalau anak itu terlahir, tentu hanya akan
menimbulkan kenangan pahit dari peristiwa jahanam yang terjadi di rumah kita
dahulu. Kemudian aku mengandung lagi dan terlahirlah keponakanmu ini, Kwi
Hong. Dia anak kami yang syah, yang lahir dari cinta kasih antara kami. Han
Han, setelah engkau mendengar penuturanku, maukah engkau mengampuni suamiku?”
Han Han meragu. “Akan tetapi
dia dan kawan-kawannya terlampau jahat, Enci. Lupakah engkau akan keadaan
keluarga kita yang terbasmi habis?”
“Han Han, kalau engkau tidak
bisa mengampuninya dan memaksa hendak membunuhnya, terserah. Akan tetapi engkau
harus membunuh aku dan keponakanmu ini lebih dulu!” Sie Leng memondong
anaknya dan menghadapi Han Han dengan sinar mata menantang.
Han Han terbelalak memandang
encinya dan melihat bahwa ucapan dan tantangannya itu berhasil, Sie Leng lalu
memegang tangan Han Han dan berkata, “Jangan menilai orang lain secara sepintas
lalu, Adikku. Apakah engkau tidak tahu bahwa kita pun bukan keturunan orang
baik-baik? Kakek kita seribu kali lebih ganas dan jahat daripada suamiku. Dia
ini hanya menjadi buas karena tugasnya yang diharuskan membasmi musuh.
Sebaliknya Kakek kita.... hemmm, orang sedunia mengutuknya!”
“Apa.... apa maksudmu, Enci?”
“Ohhh, engkau tidak tahu, Han
Han? Apakah dahulu, Ayah atau Ibu tidak pernah bercerita tentang Kakek kita
yang bernama Sie Hoat?”
Han Han menelan ludah ketika
mengangguk. Teringat ia betapa Setan Botak pernah mentertawakan kakeknya.
Kalau Setan Botak mengenal kakeknya, tentulah kakeknya bukan sembarang orang!
“Kakek kita itu adalah seorang
Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw karena
jahatnya! Pekerjaannya hanyalah mengganggu anak isteri orang, entah telah mencemarkan
berapa ribu orang wanita di dunia ini! Dan lebih banyak pula yang telah
dibunuhnya! Nah, kau dengar sekarang? Apa yang dialami Ibu dan aku sendiri,
boleh dikatakan hukum karma sebagai pembalasan atas dosa-dosa Kong-kong kita
itu. Nasibku masih baik. Biarpun aku diperkosa, akan tetapi ternyata kemudian
bahwa yang memperkosaku menjadi suamiku yang mencinta dan kucinta, menjadi
Ayah puteriku. Nasibku masih jauh lebih baik daripada nasib ribuan orang
wanita yang menjadi korban Kakek kita.”
Han Han mendengarkan dengan
mata terbelatak. “Ah, benarkah itu, Len cici? Kalau begitu, Kakek kita itu
memiliki kepandaian yang luar biasa?”
“Tentu saja! Dia ditakuti oleh
seluruh tokoh di dunia pada jamannya.”
“Kalau begitu, mengapa Ayah
kita begitu lemah....?”
“Ayah kita bukanlah anaknya
yang sah, melainkan anak yang terlahir dari seorang di antara wanita-wanita
yang diperkosanya....”
“Aihhhhh....!” Han Han
menutupi mukanya. Hukum karma? Kedosaan kakeknya mengakibatkan hancurnya
keluarga ayahnya?
“Sudahlah, Adikku. Keturunan
Ayah tinggal kita berdua, marilah engkau ikut bersamaku, Adikku. Kakak iparmu
ini amat mencintaku, dia seorang yang baik. Kalau dia melakukan hal yang
mengerikan terhadap keluarga Ayah, hal itu adalah tidak mengherankan karena
hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam perang. Engkau telah membunuhi semua
pengawal kami, ah, mengapa, Adikku?”
Han Han mengangkat muka,
memandang kepada cihu-nya (kakak iparnya) yang masih menundukkan muka. “Mengapa?
Tanya saja kepada suamimu ini, Leng-cici! Para pengawal itu membunuh-bunuhi
rakyat yang tidak berdosa. Tentu saja aku tidak mau mendiamkannya saja melihat
penyembelihan orang-orang tak berdosa, melihat para pengawal itu seperti
serigala-serigala buas berburu manusia!”
“Hemmm, kauanggap begitukah,
Han Han? Lihatlah ini!” Sie Leng menyingkap bajunya dan memperlihatkan
pundaknya yang terluka, luka baru.
“Mengapa pundakmu, Cici?”
“Akibat serangan mendadak dari
orang-orang tak berdosa itu! Mereka pura-pura menjadi rakyat jelata, menonton
kereta pembesar lewat. Tiba-tiba menyerang dengan senjata rahasia, mengenai
pundakku dan hampir membunuh keponakanmu kalau saja tidak cepat ditangkis
Cihu-mu. Masih banyak hal terjadi, Han Han. Hal-hal mengerikan yang dilakukan
oleh rakyat tak berdosa itu. Pembunuhan-pembunuhan mengerikan terhadap
orang-orang yang bekerja kepada pemerintah baru. Akan tetapi semua itu sudah
wajar terjadi dalam perang.”
Han Han termenung dan
terbayanglah wajah Lulu. Adik angkatnya itu pun puteri seorang Mancu yang
terbasmi sekeluarganya oleh “rakyat”, oleh Lauw-pangcu dan teman-teman yang
menyebut diri mereka kaum pejuang. Bahkan oleh mereka yang menganggap diri
sendiri orang-orang gagah itu, Lulu disuruh berpakaian seperti jembel dan
dibiarkan hidup seorang diri. Apakah dosa Lulu? Berdosakah kalau dia kebetulan
oleh Thian dilahirkan sebagai anak keluarga Mancu? Salahkah sekarang kalau
cicinya mencinta pembesar Mancu yang memperkosanya? Ia menjadi bingung
memikirkan hal ini, lebih bingung lagi mendengar keterangan cicinya bahwa
kakeknya, ayah dari ayahnya, adalah seorang pentolan kaum pemerkosa wanita
sehingga berjuluk Dewa Pemetik Bunga!
Tiba-tiba Han Han berseru,
“Awas....!” Tubuhnya bergerak mendorong cicinya ke samping dan empat buah
senjata piauw runtuh ke bawah. Giam-ciangkun kaget sekali, cepat merangkul
isteri dan anaknya, berlindung di dekat kereta, di belakang Han Han yang
sudah berdiri tegak memandang ke depan.
“Pembesar Mancu keparat,
bersiaplah untuk mampus!” terdengar seruan nyaring sekali sehingga Han Han
diam-diam terkejut. Yang datang adalah seorang wanita yang berkepandaian
tinggi. Buktinya, dari jauh sudah dapat menyambit piauw yang ketika ia sampok
tadi membayangkan tenaga besar, dan sebelum tampak orangnya sudah terdengar
suaranya yang nyaring. Tak lama kemudian muncullah tiga orang muda yang
gerakannya tangkas dan gesit, berloncatan dengan gerakan ringan sekali
membayangkan gin-kang yang tinggi tingkatnya. Mereka itu adalah dua orang
gadis dan seorang pemuda. Dua orang gadis yang amat cantik dan seorang pemuda
yang tampan. Usia mereka sebaya dengan Han Han, dan pakaian mereka, dapat
diduga bahwa mereka adalah orang muda dunia kang-ouw.
Han Han memandang mereka
dengan sinar mata penuh selidik. Jantungnya berdebar dan ia mengingat-ingat
karena merasa yakin bahwa dia mengenal tiga orang muda yang perkasa ini. Tiga
orang itu melihat seorang pemuda berpakaian putih robek-robek dan berambut
panjang riap-riapan berdiri tegak melindungi pembesar Mancu dan anak isterinya
segera meloncat ke depan Han Han, memandang dengan penuh kemarahan dan penuh
selidik pula.
“Sute....!” Tiba-tiba seorang
di antara dua gadis itu, yang cantik dan berpakaian kuning yang memiliki mata
bening dan sikap jujur, berseru dan melangkah maju. “Benar, engkau Han Han!
Engkau Han-sute....!”
Han Han tersenyum. Tentu saja!
Mengapa ia hampir melupakan mereka ini, terutama sekali gadis berpakaian kuning
ini? Mereka ini adalah sahabat-sahabatnya dahulu, bukan hanya sahabat, malah
suci-sucinya dan suhengnya, karena dia bersama mereka inilah yang dipilih oleh
Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid! Gadis manis berpakaian kuning ini siapa
lagi kalau bukan Kim Cu! Dan gadis ke dua yang pendiam dan bermata tajam
berwajah serius itu adalah Phoa Ciok Lin, sedangkan pemuda tampan itu adalah Gu
Lai Kwan!
“Wah, kiranya kedua suci dan
suheng dari In-kok-san!” Ia menatap wajah Kim Cu dan sampai agak lama mereka
saling bertemu pandang. Betapa cantiknya Kim Cu sekarang, pikir Han Han dengan
pandang mata mesra. Di antara semua murid Ma-bin Lo-mo tentu saja Kim Cu
merupakan murid yang paling dekat dengannya. Bahkan, takkan pernah ia dapat
melupakan kebaikan Kim Cu pada pertemuan terakhir mereka, Kim Cu yang
semestinya menangkapnya, bahkan membebaskannya, dan menbiarkannya pergi
bersama Lulu, bahkan memberi pakaian dan sepatu kepada Lulu!
“Kim Cu suci, bagaimanakah
keadaanmu selama ini? Kuharap engkau baik-baik saja, dan sampai kini aku belum
pernah melupakan budi kebaikanmu.”
Tiba-tiba kedua pipi gadis itu
menjadi merah sekali dan terpaksa ia menundukkan mukanya. Untuk melenyapkan
rasa jengah bahwa kenyataannya Han Han hanya memperhatikan dia seorang, Kim Cu
segera bertanya.
“Sute, kenapa kau berada di
sini? Dan siapakah yang membunuhi banyak pengawal anjing-anjing Mancu itu?”
Kim Cu menudingkan telunjuknya yang kecil runcing ke arah mayat yang
berserakan.
“Akulah yang membunuh mereka,”
kata Han Han perlahan penuh keraguan akan benar tidaknya semua yang telah ia
lakukan. Ia teringat akan wejangan kakek di Siauw-lim-si itu dan kini ia
kembali telah menyebabkan kematian banyak sekali manusia, sampai puluhan
banyaknya. Puluhan orang manusia yang sama sekali tidak dikenalnya dan yang ia
sungguh tidak tahu untuk apa ia bunuh!
“Engkau....?” Seruan ini
terdengar dari mulut tiga orang muda perkasa itu dan mata Kim Cu yang bening
terbelalak memandang wajah Han Han. Seruan yang disertai perasaan tidak
percaya. Mereka sudah sering kali bentrok dengan para pengawal dan andaikata
mereka bertiga. dikeroyok oleh empat puluh lebih orang pengawal itu, tentu saja
mereka akan mampu membunuh mereka semua. Akan tetapi Han Han? Seorang diri
pula? Betapa mungkin dapat dipercaya!
“Han-sute, kalau engkau yang
telah membunuh semua pengawalnya, mengapa tidak lekas membunuh pembesar Mancu
ini?” tanya Phoa Ciok Lin, mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh
selidik.
“Bahkan engkau tadi telah
menyampok piauw-piauw yang kulepaskan!” kata pula Gu Lai Kwan. “Apa artinya
semua ini?”
Sedangkan Kim Cu tidak
bertanya sesuatu, hanya memandang penuh kekhawatiran kepada pemuda yang sejak
dahulu amat disukanya dan amat dikaguminya itu. Ia sudah mengenal watak Han
Han yang aneh. Dahulu saja sudah mengambil seorang gadis Mancu sebagai adik!
Siapa tahu setelah kini dewasa, apa saja yang akan dilakukannya!
Han Han menarik napas panjang
lalu mengangguk perlahan. “Sesungguhnya, akulah yang membunuh para pengawal itu
dan aku pula yang menangkis sambaran piauw yang kaulepaskan tadi.”
“Han Han, engkau tentu
melakukan tangkisan piauw karena salah faham, mengira kami menyerangmu. Dan
tadi Gu-suheng juga salah sangka, dari jauh tidak mengenalmu maka mengirim serangan
langsung!”
Han Han menggelengkan kepala
dan berkata, “Tidak demikian, Kim Cu suci, aku memang menangkis piauw-piauw itu
untuk melindungi keluarga ini.”
“Apa....?” Kembali seruan ini
keluar dari tiga mulut dengan berbareng. Kalau mereka melihat Han Han menjadi
pelindung pembesar Mancu, hal ini tidak akan mengherankan hati mereka. Akan
tetapi setelah mendengar bahwa Han Han membunuh sekian banyaknya pengawal
Mancu, mayat-mayat mereka pun masih belum dingin benar, bagaimana sekarang
orang aneh ini malah melindungi pembesar Mancu yang dikawal oleh para pengawal
yang dibunuhnya? Sungguh membingungkan!
“Han-sute, minggirlah dan
biarkan aku membunuh anjing Mancu ini bersama anak isterinya!” Gu Lai Kwan
membentak tidak sabar lagi.
Akan tetapi Han Han tetap
berdiri tegak menghadang. “Tidak boleh, Gu-suheng. Kalian tidak boleh membunuh
mereka.”
“Han Han! Mengapa begini?
Engkau sudah membunuhi pengawalnya, mengapa melindungi mereka ini?” Kim Cu bertanya
dengan suara kecewa dan penasaran.
“Karena dia adalah Ciciku dan
anaknya adalah keponakanku!” jawab Han Han tegas.
“Kalau begitu minggirlah dan
biarkan kami membunuh Si Pembesar anjing....” Phoa Ciok Lin berseru.
“Tidak boleh. Dia itu adalah
Cihu-ku, terpaksa aku harus melindunginya demi kebahagiaan Cici dan
keponakanku.”
“Han Han!” Kim Cu berkata mendahului
sumoi dan suhengnya. “Kalau engkau masih keluarga pembesar ini, mengapa kau
membunuhi para pengawalnya?”
Han Han menghela napas
panjang, kemudian menjawab, “Karena kulihat mereka membunuh para pengungsi.”
“Nah, itu bagus sekali!” Kim
Cu berkata girang. “Engkau menyaksikan sendiri betapa jahatnya penjajah Mancu,
Han Han! Mereka membunuhi rakyat jelata, mereka membasmi keluargamu, bukan?
Juga keluargaku, keluarga sumoi dan suheng ini! Mereka itu jahat, patut dibasmi
dari tanah air kita! Minggirlah dan biarkan aku membunuh pembesar ini. Biar dia
Cihu-mu, akan tetapi dia ini anjing Mancu. Tentu saja kami tidak akan
mengganggu Cici dan keponakanmu.”
“Benar apa yang dikatakan Kim-sumoi,
Han Han. Minggirlah. Engkau pun musuh bangsa Mancu. Mereka itu sudah terlampau
banyak membunuh rakyat yang tidak berdosa, telah menginjak-injak tanah air dan
rakyat kita. Jangan sampai seorang pemuda seperti engkau menjadi seorang
pengkhianat dan penjilat anjing Mancu.”
Mata Han Han berkilat ketika
ia menentang pandang mata Gu Lai Kwan. “Aku bukan sute kalian dan hanya mengingat
akan perhubungan di antara kita dahulu, terutama sekali mengingat akan budi
kebaikan Nona Kim Cu, maka aku melayani kalian bicara. Bolehkah aku bertanya,
sudah banyak pulakah kalian membasmi orang-orang Mancu termasuk mereka yang mau
bekerja sama dengan pemerintah Mancu?”
Tiga orang ini mengira bahwa
setelah membunuhi puluhan orang pengawal itu, Han Han lalu menjadi sombong.
“Ha-ha, sungguh pertanyaan lucu!” jawab Gu Lai Kwan. “Tentu saja sudah banyak!
Sedikitnya seratus orang telah tewas di tanganku ini!”
“Demikian pula dengan Nona Kim
Cu dan Nona Phoa Ciok Lin?” Han Han melanjutkan pertanyaannya. Dua orang
gadis itu mengangguk, pandang mata Kim Cu makin bingung dan khawatir. Ia merasa
tidak senang kalau harus bermusuh dengan Han Han.
Han Han tersenyum, senyum yang
mengandung penuh arti. “Mungkin Cihu-ku ini sudah banyak membunuh orang. Akan
tetapi aku pun sudah banyak membunuh orang dan kalian bertiga sudah mengaku
telah membunuh ratusan orang! Entah siapa yang lebih jahat di antara kita
pembunuh-pembunuh ini dan aku sangsi apakah ada yang baik di antara kita!”
Sejenak tiga orang muda itu
bingung mendengar ucapan itu. “Akan tetapi, yang kami bunuh adalah orang-orang
Mancu yang jahat sedangkan yang dibunuh orang-orang Mancu adalah rakyat yang
tidak berdosa!” bantah Gu Lai Kwan penasaran.
“Gu Lai Kwan, aku hendak
melihat mana ada orang yang tidak berdosa....!” Han Han menarik napas panjang,
teringat akan cerita cicinya tentang kakeknya, yang menjadi pemerkosa wanita
nomor satu di dunia!
“Han Han! Tak usah banyak
cakap, mau tidak engkau minggir dan membiarkan aku membunuh anjing Mancu itu?”
Han Han menggeleng kepala.
“Engkau mau menjadi
pengkhianat?” bentak Phoa Ciok Lin yang seperti suhengnya amat membenci
orang-orang Mancu dan sudah bersumpah hendak membunuh semua orang Mancu untuk
membalas dendam keluarganya yang habis terbasmi orang Mancu.
“Terserah bagaimana penilaian kalian.
Aku tetap tidak membiarkan kalian membunuh Cihu-ku dan keluarganya. Sebaiknya
kalian pergi saja.”
“Wah, agaknya engkau memiliki
sedikit kepandaian dan menjadi sombong!” bentak Gu Lai Kwan. “Minggirlah, atau
terpaksa aku akan merobohkanmu lebih dulu!”
“Han Han, minggirlah. Mengapa
engkau berkeras?” Kim Cu berkata, suaranya setengah memohon. Akan tetapi Han
Han memandang gadis itu dan berkata,
“Menyesal sekali, aku tidak
dapat memenuhi permintaanmu, Nona Kim Cu.”
“Kalau begitu mampuslah!” Gu
Lai Kwan menerjang maju, mengirim pukulan keras sekali ke dada Han Han. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Gu Lai Kwan ini merupakan seorang di antara
empat murid yang diambil Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid, dioper dari
tangan Ma-bin Lo-mo, di samping Han Han, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin. Murid-murid
Ma-bin Lo-mo sudah hebat, menerima pelajaran ilmu kesaktian Swat-im Sin-ciang.
Akan tetapi sebagai murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja tingkat kepandaian
tiga orang itu lebih hebat daripada murid-murid Ma-bin Lo-mo. Mereka juga telah
menguasai Swat-im Sin-ciang, akan tetapi ilmu yang mereka kuasai baru
setengahnya ini seperti yang hanya dapat dicapai oleh semua murid Ma-bin Lo-mo,
telah diperhebat oleh pelajaran yang mereka terima dari Toat-beng Ciu-sian-li.
Dari nenek ini mereka menerima ilmu silat-ilmu silat tinggi, juga telah
menguasai ilmu pukulan yant disebut Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun
Pencabut Nyawa) yang telah digabung dengan Swat-im Sin-ciang sehingga pukulan
yang didasari tenaga sin-kang dingin itu kini mengandung racun yang mematikan.
Ketika menyerang Han Han, Gu Lai Kwan yang belum mengenal kelihaian Han Han,
tidak mengeluarkan pukulan ini, melainkan memukul dengan sin-kang yang kuat
akan tetapi tidak mengandung hawa beracun.
Melihat datangnya pukulan yang
amat kuat ini, Han Han dapat mengukur dari sambaran hawanya, maka dengan berani
ia menerima pukulan itu dengan dadanya! Kim Cu menahan seruannya yang sudah
terlanjur keluar dari mulutnya ketika melihat betapa Han Han menerima pukulan
suhengnya begitu saja dengan dada. Pukulan itu mengandong tenaga sin-kang yang
kuat dan isi dada dapat remuk terguncang dan dapat menyebabkan kematian.
Namun ia tidak keburu mencegah lagi, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Adapun Phoa Ciok Lin yang menyaksikan sikap sucinya ini mengerutkan kening dan
diam-diam ia maklum bahwa Kim Cu menaruh hati kepada pemuda berambut panjang
bersinar mata aneh itu.
“Bukkk!”
“Ayaaaaa....!” Gu Lai Kwan
berseru kaget dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Tentu ia akan terbanting
roboh kalau saja ia tidak cepat mempergunakan gin-kangnya berjungkir balik ke
belakang sehingga ia dapat berdiri lagi dengan mata terbuka lebar. Pukulannya
tadi keras sekali, akan tetapi Han Han telah menerima dengan dada terbuka dan
sama sekali tidak bergeming, malah tenaga pukulannya membalik sehingga ia terjengkang!
“Lai Kwan, lebih baik engkau
dan kedua orang Nona ini pergi saja dan jangan mengganggu aku,” kata Han Han
yang tidak ingin bentrok dengan bekas saudara-saudara seperguruannya itu. Akan
tetapi ucapannya ini menambah kemarahan Lai Kwan yang menganggap Han Han
memandang rendah kepadanya.
“Manusia sombong! Tidak tahu
bahwa aku tadi telah berlaku lunak kepadamu. Kalau benar-benar ingin berkelahi,
nah, kauterimalah pukulan ini!” Setelah berkata demikian, Lai Kwan melompat ke
depan sambil mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mendorong ke
depan ketika tubuhnya masih melambung di udara. Itulah pukulan gabungan
Swat-im Sin-ciang dan Toat-beng Tok-ciang yang amat hebat!
Pukulan yang mendatangkan
suara berciutan itu amat hebatnya dan Han Han tentu saja mengenal pukulan
lihai. Dia tidak berani menerima dengan tubuhnya seperti tadi, apalagi kini
kedua tangan yang mendorong itu menuju ke arah pusarnya. Ia masih berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Cepat ia menggerakkan tangan kirinya,
diayun dari kanan ke kiri dengan gerakan menangkis, diam-diam mengerahkan inti
tenaga Im-kang yang lebih kuat daripada Swat-im Sin-ciang. Dua tenaga mujijat
bertemu dan tentu saja Lai Kwan bukan lawan Han Han dalam hal tenaga sakti.
Sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri
tidak sanggup menandingi Han Han, apalagi Lai Kwan. Pemuda murid Toat-beng
Ciu-sian-li ini merasa seolah-olah tubuhnya dibawa angin puyuh, kedua lengannya
yang mengirim dorongan tadi terbanting ke kanan, dan tubuhnya tak dapat ia
cegah lagi ikut terbanting sehingga ia roboh terguling-guling sampai belasan
kaki jauhnya!
“Aiiihhhhh....!” Yang berseru
ini adalah Kim Cu dan Phoa Ciok Lin, berseru saking heran dan kagetnya. Mereka
tentu saja maklum dan mengenal pukulan suheng mereka, dan tahu betapa kuatnya
pukulan itu. Akan tetapi Han Han dapat menangkis dengan pengerahan tenaga
sin-kang dan akibatnya suheng mereka terpelanting sampai belasan kaki jauhnya!
“Singgggg....!” Ciok Lin sudah
mencabut pedangnya.
“Singgggg....!” Kim Cu juga
mencabut pedang.
Lai Kwan sudah meloncat
bangun, terengah-engah dan bergidik, menggoyang pundaknya. Ia merasa betapa
hawa dingin menyerang dadanya dan ia hanya mengira bahwa pukulannya yang
mengandung Swat-im Sin-ciang tadi membalik oleh tangkisan Han Han yang
memiliki sin-kang amat kuat. Ia masih tidak tahu bahwa Han Han telah memiliki
inti sari Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya. Melihat kedua orang
sumoinya sudah mencabut pedang, Lai Kwan juga mencabut pedangnya dan melangkah
maju.
“Ah, kiranya engkau telah
memiliki kepandaian tinggi. Pantas menjadi begini sombong!” kata Lai Kwan.
“Akan tetapi karena engkau seorang pengkhianat dan pembela anjing Mancu, engkau
akan mati di tangan kami!”
Ucapan itu disusul oleh
gerakan pedang yang amat cepat. Pedang di tangan Lai Kwan berubah menjadi sinar
putih yang menyilaukan mata. Berturut-turut tampak sinar bergulung-gulung
ketika Kim Cu dan Ciok Lin menggerakkan pedang mereka. Memang tiga orang muda ini
telah menerima ilmu pedang yang amat lihai dari guru mereka. Tiga sinar pedang
bergulung-gulung seperti tiga ekor naga sakti, mengurung tubuh Han Han. Pemuda
ini melihat berkelebatnya gulungan sinar pedang yang amat cepat dan
mengeluarkan suara berdesing, terkejut juga dan ia mempergunakan gin-kangnya
untuk berkelebat dan mengelak ke sana ke sini. Diam-diam Kim Cu kagum bukan
main. Ternyata bahwa Han Han kini telah menjadi seorang sakti, tidak saja
memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Lai Kwan, bahkan memiliki gin-kang
yang istimewa sehingga serangan mereka bertiga selalu mengenai tempat kosong!
“Pergilah kalian! Aku tidak
ingin membunuh kalian!” Berkali-kali Han Han berseru keras. Memang dia takut
sekali kalau-kalau ia kesalahan tangan lagi membunuh tiga orang ini. Hal ini
amat tidak ia kehendaki, terutama sekali ia takut kalau-kalau ia salah tangan
melukai Kim Cu! Akan tetapi seruan-seruannya tidak dipedulikan tiga orang itu
yang menjadi makin penasaran, bahkan seruan Han Han itu dianggap oleh mereka sebagai
tanda memandang rendah. Mereka mempercepat gerakan pedang mereka dan kini Han
Han menjadi sibuk. Memang, kalau tiga orang itu hanya mengandalkan tenaga
sin-kang, kiranya mereka takkan dapat berbuat banyak terhadap Han Han yang jauh
lebih kuat, juga dalam hal kecepatan gerakan, Han Han menang jauh. Akan tetapi
karena mereka menggunakan pedang dan ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang
tingkat tinggi yang amat hebat gerakannya, Han Han yang belum matang ilmu
silatnya itu menjadi bingung. Biarpun ia dapat mengelak cepat, akan tetapi
karena dikeroyok tiga dan tidak mengenal perubahan-perubahan gerakan tiga
batang pedang yang menyambar-nyambar ganas, tidak dapat ia menghindarkan diri
dari sambaran-sambaran pedang sehingga dalam belasan jurus berikutnya,
pahanya tergores pedang dan pundaknya juga terluka oleh tusukan ujung pedang.
Melihat pedang mereka berhasil, Lai Kwan dan Ciok Lin lebih bernafsu lagi,
hanya Kim Cu yang berseru.
“Han Han, pergilah. Untuk apa
melindungi anjing Mancu dan mengorbankan diri sendiri?”
Seruan ini berkesan di hati
Han Han dan ia kembali mencatat sikap baik dari gadis itu terhadapnya. Akan
tetapi mana mungkin ia membiarkan cici-nya, cihu-nya, dan keponakannya dibunuh?
Dia menjadi bingung sendiri. Semenjak dahulu ia bersumpah dan mengambil
keputusan di hatinya untuk membunuh perwira-perwira Mancu yang telah membasmi
keluarganya, tujuh orang jumlahnya dan terutama sekali perwira muka kuning dan
perwira brewok yang ternyata adalah Giam-ciangkun ini. Akan tetapi sekarang
bagaimana? Ia malah melindungi nyawa perwira yang setiap saat dahulu tak pernah
ia lupakan sebagai musuh nomor satu itu, melindunginya dari ancaman bekas
suhengnya dan kedua sucinya! Bahkan ia terpaksa harus menentang dan bertanding
melawan Kim Cu, gadis yang demikian berbudi terhadapnya! Ia menjadi bingung,
akan tetapi apa yang harus ia lakukan?
“Mampuslah!” Kembali pedang
Lai Kwan berkelebat menusuk perutnya. Han Han kaget dan dengan hawa pukulan
tangan menangkis sehingga pedang itu meleset, tidak jadi menusuk perut akan
tetapi masih melukai pahanya dengan goresan pedang.
Mulailah ia marah sekali.
Mereka ini tidak tahu betapa sejak tadi dia mengalah, hanya mengelak dan sama
sekali tidak balas menyerang. Kebingungan hatinya, ditambah rasa nyeri dari
luka-luka itu, menimbulkan kemarahannya dan tiba-tiba ia memekik keras,
tubuhnya mundur tiga langkah kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan
sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang!
Tiga orang murid Toat-beng
Ciu-sian-li yang sudah memiliki ilmu Swat-im Sin-ciang, mengenal gerakan ini
dan cepat mereka pun melakukan gerakan serupa untuk meniaga diri. Akan tetapi,
betapa kaget hati Ciok Lin dan Lai Kwan ketika mereka merasa hawa dingin yang
luar biasa menyerang mereka, membuat mereka terhuyung ke belakang dengan muka
pucat, kemudian roboh terguling dengan tubuh menggigil kedinginan!
“Swat-im Sin-ciang....!” Kim
Cu berseru kaget dan heran, juga khawatir melihat keadaan kedua orang saudara
seperguruannya. Dia sendiri tidak dipukul oleh Han Han, maka dia tidak terluka.
Kini dengan cepat ia menerjang
maju, pedangnya menusuk dada. Han Han menangkis dengan hawa pukulan Swat-im
Sin-ciang, dan hawa dingin yang menyambar dari samping, membuat Kim Cu menggigil
dan terhuyung. Han Han melangkah maju dan menyambar pedang dari tangan Kim Cu.
Gadis itu berdiri terbelalak memandang dengan mulut melongo ketika melihat Han
Han yang sudah marah sekali itu melampiaskan kemarahannya pada pedang itu yang
dipatah-patahkannya dengan jari tangan seperti orang mematahkan sebatang lidi
saja!
“Kim Cu, engkau tahu
bahwa aku tidak ingin memusuhi kalian. Harap engkau mengerti dan suka membawa
pergi kedua orang saudaramu.”
Sejenak Kim Cu memandang wajah
Han Han penuh kekecewaan, mengingatkan Han Han akan pandang mata Kim Cu
beberapa tahun yang lalu ketika Kim Cu melepasnya pergi bersama Lulu. Kemudian
dengan gerakan lunglai Kim Cu membalikkan tubuh, memeriksa Ciok Lin dan Lai
Kwan yang sudah bersila dan menghimpun tenaga menyembuhkan luka mereka. Kim Cu
membangunkan mereka, menggandeng mereka, sekali lagi memandang kepada Han Han,
kemudian membawa kedua orang saudaranya pergi. Terdengar oleh Han Han isak
tertahan keluar dari dada gadis itu!
Ia menghela napas dan setelah
bayangan Kim Cu dan kedua saudaranya lenyap di antara pohon-pohon, ia
membalikkan tubuh menghadapi Giam-ciangkun dan isterinya.
“Sungguh berbahaya....!”
Giam-ciangkun berkata lirih. “Dan ilmu kepandaianmu hebat bukan main....
Sie-taihiap.” Panglima yang baru saja terbebas dari maut untuk kedua kalinya,
pertama di tangan Han Han dan yang kedua kalinya di tangan murid-murid
Toat-beng Ciu-sian-li itu, amat cerdik dan masih belum berani menyebut Han Han
sebagai adik iparnya, berkata penuh kagum.
“Ah, untung ada engkau,
Adikku!” kata Sie Leng sambil memeluk adiknya dan mengucurkan air mata. “Kalau
tidak, tentu kami sekeluarga telah terbunuh oleh mereka. Han Han, kepandaianmu
luar biasa. Mari kau ikut bersama kami ke kota raja, dengan kepandaianmu seperti
itu tentu engkau akan mudah mendapatkan kedudukan tinggi.”
“Betul sekali!” Giam-ciangkun
berkata. “Aku yang menanggung bahwa engkau tentu akan diangkat menjadi panglima
pengawal istana!”
Han Han termenung lalu
berkata, “Memang aku hendak pergi ke kota raja, untuk mencari seorang penjahat
keji.”
“Siapakah dia, Han-te (Adik
Han)? Aku akan dapat membantu mencarinya,” kata Giam-ciangkun penuh gairah.
“Tentu Cihu (Kakak Ipar) tahu
siapa dia. Dia bernama Ouwyang Seng....”
“Ah....!” Giam-ciangkun
teringat akan semua rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai di dalam rapat di
rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok. Akan tetapi ia pura-pura bertanya, “Tentu saja
aku mengenalnya. Dia putera Pangeran Ouwyang Cin Kok. Apakah yang telah ia
lakukan terhadapmu, Adikku?”
Han Han tidak peduli akan
sikap yang amat baik dan mesra dari kakak iparnya yang betapapun juga masih
tidak disukainya itu. “Aku mencarinya karena dia telah menculik Adikku!”
“Eh-eh, Han Han. Adikmu siapa?
Engkau tidak mempunyai adik. Anak orang tua kita hanya aku dan engkau!” kata
Sie Leng heran.
“Kumaksudkan Adik angkatku,
namanya Lulu.”
“Lulu? Seperti nama seorang
anak perempuan bangsa Mancu....”
“Memang, Leng-cici. Dia....
seorang puteri keluarga perwira Mancu yang tewas dalam perang. Dia diculik
Ouwyang Seng.”
Giam-ciangkun tersenyum.
“Harap kau jangan khawatir, Adikku. Aku yang menanggung bahwa Adikmu itu tidak
akan diganggu. Tidak mungkin ada orang berani mengganggu dia, apalagi dia
puteri perwira Mancu. Kurasa Ouwyang-kongcu menculiknya justeru karena
mendengar bahwa Adik angkatmu itu puteri Mancu, maka dia menculiknya untuk
menyelamatkannya. Bisa jadi dianggap amat membahayakan keselamatan Lulu kalau
berada di sampingmu. Biarlah, aku yang akan menemui Ouwyang-kongcu dan pasti
Adikmu selamat di kota raja.”
Hati Han Han menjadi lega
mendengar ini. Mungkin benar juga apa yang dikatakan iparnya ini. Lulu seorang
puteri Mancu, mana mungkin Ouwyang Seng berani mengganggunya? Tentu ada sebab
lain mengapa Ouwyang Seng menculik Lulu.
“Baiklah, aku akan ikut
bersamamu ke kota raja, Leng-cici.”
Sie Leng girang bukan main dan
berangkatlah mereka naik kereta yang dikemudikan oleh Giam-ciangkun sendiri
sedangkan Han Han duduk di dalam kereta bersama Sie Leng yang menghujankan
pertanyaan yang dijawab singkat saja oleh Han Han. Betapapun juga, hati Han Han
masih belum terbiasa oleh kenyataan bahwa encinya menjadi isteri musuh
besarnya. Akan tetapi karena Sie Leng benar-benar merasa bahagia dapat bertemu
dan berkumpul dengan adiknya, sikapnya jelas membayangkan kebahagiaan dan
keharuan sehingga hati Han Han tidak tega untuk menyatakan ketidakpuasan
hatinya.
“Leng-cici, aku masih heran
mendengar ceritamu tentang Kakek kita tadi.” Ia berkata kemudian. “Benarkah
Kakek kita yang bernama Sie Hoat itu berjuluk Jai-hwa-sian dan menjadi tokoh
jahat di dunia kang-ouw?”
Sie Leng mengangguk. “Ibu
pernah bercerita kepadaku dengan pesan agar hal itu jangan kuceritakan kepada
siapapun juga, tidak pula kepadamu. Apaiagi tidak boleh terdengar oleh Ayah.
Justeru Ayah yang melarang keras cerita itu diketahui orang lain.”
“Akan tetapi aku masih merasa
heran. Kalau Kakek merupakan seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang dijuluki
Dewa, tentu kepandaiannya hebat. Mengapa Ayah seorang begitu lemah? Kalau Ayah
sepandai Kakek, tentu tidak sampai mengalami nasib demikian menyedihkan. Cici,
apakah engkau mengetahui cerita selengkapnya?”
Sie Leng menghela napas
panjang. Bicara tentang keluarganya merupakan pengalaman pahit yang menyakitkan
hati, karena hal itu mengingatkan dia bahwa suaminya yang tercinta merupakan seorang
di antara mereka yang membasmi keluarganya. Kemudian ia berkata, “Aku pun hanya
mendengar cerita dari Ibu. Akan tetapi engkau sekarang sudah dewasa, sebaiknya
kalau kuceritakan kepadamu, sungguhpun cerita Ibu itu pun tidak lengkap dan
tidak jelas karena urusan itu selalu dirahasiakan oleh Ayah.”
Sie Leng lalu bercerita
seperti yang ia dengar dari ibunya. Puluhan tahun yang lalu, kakek mereka,
yaitu ayah dari ayah mereka yang bernama Sie Hoat terkenal sebagai seorang
tokoh dunia hitam yang amat ditakuti orang dan berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa
Pemetik Bunga), yaitu seorang penjahat besar yang biasanya suka menculik
wanita-wanita, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang, kemudian
diperkosanya. Kalau hatinya puas dengan wanita itu, maka wanita itu tidak
akan dibunuh, bahkan diberi hadiah banyak benda berharga mahal hasil curian di
istana-istana pangeran atau hartawan. Akan tetapi kalau wanita itu mengecewakan
hatinya, apalagi melawan, lalu dibunuhnya secara keji, ditelanjangi dan
disayat-sayat tubuhnya.
Karena banyak tokoh kang-ouw
yang berusaha menentangnya tewas pula di tangan penjahat cabul yang amat lihai
ini, maka namanya makin terkenal dan dia ditakuti oleh tokoh-tokoh kang-ouw.
Wanita yang memuaskan hatinya pun hanya beberapa kali saja didatangi, kemudian
ia tinggalkan begitu saja karena tokoh jahat ini tidak pernah mau mengikatkan
diri kepada seorang wanita. Ada dikabarkan di antara para tokoh kang-ouw bahwa
dia sesungguhnya mempunyai isteri dan anak, akan tetapi tidak ada seorang pun
yang tahu betul akan hal ini. Di antara para wanita yang memuaskan hatinya dan
yang ia datangi sampai belasan kali hanya seorang gadis puteri seorang
sastrawan she Phang. Orang tua gadis yang bernasib malang ini tahu dari
puterinya bahwa puterinya menjadi korban Jai-hwa-sian, akan tetapi apakah yang
dapat mereka lakukan? Dengan hati perih mereka itu hanya dapat menutup rapat
rahasia itu. Akan tetapi betapa sedih hati mereka ibu ayah dan anak itu ketika
terdapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung, sebagai akibat gangguan Jai-hwa-sian
selama belasan kali itu. Jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh hanyalah
pindah secara diam-diam dari dusun mereka ke tempat lain dan di tempat baru ini
puteri mereka diperkenalkan sebagai seorang janda muda yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan mengandung.
Demikianlah, gadis she Phang
itu kemudian melahirkan seorang putera. Kakeknya, sastrawan Phang, yang khawatir
kalau-kalau anak keturunan Jai-hwa-sian itu akan mewarisi watak ayahnya, lalu
memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil anak itu dididik kesusastraan
oleh kakeknya, sama sekali tidak diperbolehkan belajar ilmu silat. Ibu anak itu
meninggal dunia tidak lama kemudian karena menanggung penderitaan batin yang
hebat, karena sebenarnya gadis she Phang ini sudah jatuh cinta kepada Jai-hwa-sian
yang memang tampan dan pandai merayu wanita.
Setelah dewasa, kakeknya
menceritakan Sie Bun An tentang riwayat ibunya, maka tahulah Sie Bun An bahwa
dia adalah putera penjahat besar Sie Hoat yang berjuluk Jai-hwa-sian! Hal ini
membuat pemuda yang semenjak kecil dididik kesusastraan dan mempelajari
filsafat itu membenci ayahnya dan sama sekali tidak pernah bercerita kepada
lain orang. Ia amat maju dalam pelajarannya sehingga mendapat sebutan siucai
setelah lulus ujian kota raja. Dia lalu dikawinkan dan hidup sebagai siucai di
Kam-chiu.
“Demikianlah riwayat
yang kudengar dari Ibu kita, Han Han. Siapa kira, biarpun Ayah kita tidak
mewarisi kepandaian Kakek kita itu, sekarang engkau memiliki ilmu silat yang
begitu tinggi. Kiranya engkau yang mewarisi kepandaiannya, akan tetapi kuharap
engkau tidak akan mewarisi wataknya.”
Han Han menghela napas
panjang. Teringat ia akan ucapan-ucapan Gak Liat Si Setan Botak yang tertawa
bergelak ketika mendengar bahwa kakeknya bernama Sie Hoat dan menyebut kakeknya
itu sebagai Jai-hwa-sian! Pantas saja Gak Liat mentertawakannya karena kakek
itu memperkosa Bhok Khim dan ia mencoba untuk menentangnya. Memang mentertawakan
kalau cucu Jai-hwa-sian mencela perbuatan Gak Liat, karena perbuatan Gak Liat
memperkosa Bhok Khim itu masih belum apa-apa kalau dibandingkan dengan
perbuatan Jai-hwa-sian terhadap ratusan, bahkan ribuan orang wanita!
“Hemmm, aku merasa malu untuk
mengaku menjadi cucu seorang jahanam keji seperti Jai-hwa-sian, Cici.” Suara
Han Han begitu dingin sehingga Sie Leng sendiri mengkirik mendengarnya. Ia teringat
akan perbuatan Giam Cu kepadanya dan ia mulai merasa ragu-ragu apakah adiknya
ini tidak amat membenci suaminya! Juga ia merasa ngeri kalau mengingat bahwa si
pemerkosa ibu mereka adalah Giam Kok Ma, seorang panglima yang berada di kota
raja pula!
***
Han Han kagum menyaksikan
rumah encinya yang seperti istana, lengkap dengan perabot rumah yang serba
mewah dan rumah itu sendiri amat besar, penuh dengan pelayan. Dia diperlakukan
dengan sikap hormat sekali oleh cihunya dan karena pada dasarnya Han Han adalah
seorang yang perasa dan mudah tunduk oleh sikap lunak, ia menjadi makin tidak
enak hatinya. Mau membalas kebaikan cihu-nya, ia selalu teringat akan terbasminya
keluarganya, mau bersikap kasar, cihu-nya amat hormat kepadanya dan ia juga
merasa kasihan kepada cicinya yang amat mencinta suaminya. Yang merupakan
hiburan hatinya adalah Kwi Hong, keponakannya yang mungil dan pandai bicara. Ia
sering kali bermain-main dengan keponakannya itu, akan tetapi kalau teringat
kepada Lulu, hatinya menjadi murung lagi.
Seperti telah dijanjikannya,
cihu-nya itu setiba di kota raja lalu mengunjungi rumah Pangeran Ouwyang Cin
Kok dan dengan girang sekali ia menceritakan pengalamannya, tentang
pertemuannya dengan Sie Han, pemuda perkasa yang aneh dan yang menjadi bahan
percakapan dalam sidang tempo hari.
“Ah, kiranya dia adalah Adik
isterimu sendiri? Ha-ha-ha, bagus sekali kalau begitu!” Pangeran Ouwyang Cin
Kok bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya.
“Akan tetapi wataknya amat
aneh dan sukar diselami, Ong-ya, bahkan isteri hamba yang menjadi kakaknya
sendiri pun menyatakan bahwa perubahan amat aneh dan amat besar terjadi pada
adiknya sehingga hampir ia tidak mengenal watak adiknya. Pula, ada sebuah hal
yang amat membahayakan sehingga hamba khawatir kalau-kalau dia akan mengamuk.
Kepandaiannya benar-benar menakjubkan sekali. Hamba khawatir....”
“Hemmm, tentang kepandaiannya,
aku sudah mendengar dari puteraku. Betapapun pandainya, jago-jago sakti kita
akan mampu menundukkannya.”
“Tentang Ouwyang-kongcu inilah
yang mengkhawatirkan hati hamba. Menurut pernyataannya, Adik angkatnya yang
bernama Lulu, puteri Mancu itu, diculik oleh Ouwyang-kongcu dan dia marah
sekali, mengancam hendak membunuh Kongcu kalau Adiknya tidak dibebaskan dalam
keadaan selamat.”
Pangeran Ouwyang Cin Kok
mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.
“Aahhh, sungguh kedua orang
bocah itu mendatangkan banyak kerepotan saja! Adik isterimu itu aneh dan sudah
mendatangkan banyak pusing, kini Adik angkatnya itu pun tidak kalah anehnya.
Memang Lulu itu itu anak perwira yang menjadi korban penyerbuan kaum pemberontak
beberapa tahun yang lalu. Anak itu disangka mati, kiranya muncul sebagai Adik
angkat iparmu! Ouwyang Seng sudah berhasil menculiknya dan karena Kaisar merasa
kasihan akan nasib anak itu, mengingat pula akan jasa orang tuanya, Lulu
diperbolehkan tinggal di dalam istana sebagai dayang istana. Akan tetapi celaka
sekali, baru beberapa hari saja bocah itu telah menghilang, minggat entah ke
mana! Kini Ouwyang Seng yang bingung pergi mencarinya, karena lenyapnya Lulu
tadinya dianggap mengacaukan rencana memancing Han Han ke kota raja. Siapa tahu
dia telah ikut bersamamu. Kini Han Han mendari Lulu, benar-benar memusingkan!”
Giam-ciangkun juga menjadi
bingung. “Wah, kalau begitu bagaimana baiknya? Han Han tentu tidak akan
mempercayai keterangan itu dan hal ini bisa berbahaya.”
“Jangan khawatir. Katakan saja
terus terang bahwa Lulu minggat dari istana. Kalau tidak percaya boleh suruh
dia menyelidiki ke istana. Sementara itu, engkau harus dapat membujuknya dan
memperkenalkannya kepada para tokoh pengawal dan pembantu. Sementara menanti
kembalinya Gak-locianpwe dan keponakanku Puteri Nirahai, juga puteraku, kita
harus dapat membujuknya. Kalau perlu, kita menggunakan akal untuk membuat dia
tidak berdaya.”
Mereka berunding, bahkan
Pangeran Ouwyang Cin Kok lalu memanggil tokoh-tokoh yang berada di kota raja,
di antaranya adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong
Lek dan Bhong Poa Sik, Hek-giam-ong, Pek-giam-ong dan Hiat-ciang-sian-li Ma Su
Nio yang ketiganya adalah murid-murid Setan Botak Gak Liat dan beberapa orang
panglima pengawal, termasuk Giam Kok Ma Ciangkun, panglima bermuka kuning yang
dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han. Kemudian diambil keputusan untuk
memperkenalkan tokoh-tokoh ini kepada Han Han di rumah Giam-ciangkun karena di
situ terdapat Sie Leng yang dianggap dapat menundukkan Han Han apabila pemuda
itu bersikap menentang. Sebelum pertemuan itu dibubarkan, diam-diam Giam Cu berbisik
kepada Giam Kok Ma yang menjadi pucat sekali mukanya. Panglima muka kuning ini
mendengar betapa Han Han mencarinya dan tentu akan membunuhnya kalau berjumpa,
mengingat bahwa Giam Kok Ma inilah yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han
Han. Panglima muka kuning ini lalu pulang ke rumahnya dengan muka makin kuning
dan jantung berdebar-debar gelisah.
Setelah tiba di rumahnya, Giam
Cu disambut oleh isterinya dan Han Han yang ingin segera mendengar bagaimana
kabarnya tentang diri adiknya. Giam-ciangkun menarik napas panjang dan berkata,
“Wah, Han-te. Adik angkatmu itu benar-benar membikin pusing kita semua.”
“Bagaimanakah? Di mana Lulu?”
“Tepat seperti dugaanku,
karena Lulu adalah puteri perwira, Ouwyang-kongcu sama sekali tidak berani
mengganggunya dan memang tidak berniat mengganggunya. Bahkan Lulu dihadapkan
kepada Kaisar sendiri yang mengingat akan jasa-jasa Ayahnya lalu mengangkat
Lulu menjadi dayang istana, yaitu para siuli yang meniadi pelayan dalam dan
sebagai puteri-puteri yang terhormat. Akan tetapi, entah mengapa, setelah
mendapat kemuliaan itu, baru beberapa hari saja tahu-tahu Lulu telah minggat
dari istana. Entah ke mana perginya tak seorang pun mengetahuinya!”
Wajah Han Han yang tadinya
bergembira dan lega itu kini berubah menjadi suram. Ia memandang tajam kepada
Gam-ciangkun dan berkata, “Apakah Cihu menceritakan hal yang sebenarnya?”
“Han Han, Cihu-mu tidak
pernah berbohong!” Sie Leng berkata menegur adiknya.
“Tidak mengherankan kalau
Han-te kurang percaya. Akan tetapi aku berani bersumpah dan kalau hal itu pun
masih kurang meyakinkan hatimu, boleh saja Han-te melakukan penyelidikan
sendiri ke istana dan bertanya-tanya. Kurasa tidak semua petugas istana dapat
melakukan kebohongan yang sama.”
Han Han duduk melamun. Ia
percaya karena apa perlunya berbohong kepadanya? Pula, setelah tinggal di situ
beberapa hari lamanya, ia mendapat kenyataan bahwa cihu-nya benar-benar
mencinta cicinya dan bahwa benar-benar cicinya hidup bahagia di situ. Ia
menghela napas panjang.
“Kalau begitu, aku pun tidak
bisa lama tinggal di sini. Aku harus pergi mencari jejak Lulu. Tidak mungkin
aku dapat membiarkan adikku itu merana seorang diri. Aku merasa yakin bahwa
pasti dia minggat untuk mencariku.”
“Ah, mengapa terburu-buru, Adik
Han Han! Istana sendiri telah berusaha mencarinya dan banyak penyelidik telah
disebar untuk mencari Lulu, bahkan ada perintah dari Kaisar sendiri untuk memanggil
gadis itu. Kurasa, sebagai seorang gadis Mancu, dia tidak akan berani
membangkang terhadap perintah Kaisar. Lebih baik engkau menanti di sini, pasti
akan dapat ditemukan. Sementara itu, engkau yang memiliki ilmu kepandaian
begitu tinggi apakah tidak ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh besar di dunia
kang-ouw yang berada di sini? Aku telah mengundang mereka dan mereka ingin
benar berkenalan denganmu. Di antara mereka terdapat seorang tokoh sakti dan
aneh berjuluk Sin-tiauw-kwi yang kabarnya murid keturunan tokoh sakti
Hek-giam-lo dari Khitan. Ada lagi kakak beradik yang berjuluk Tikus Kuburan,
juga mereka memiliki ilmu yang luar biasa lihainya. Di samping itu, lebih baik
kau tunggu tokoh yang paling hebat di antara kita semua, yaitu Puteri Nirahai
yang memiliki ilmu kepandaian mujijat biarpun dia hanya seorang gadis muda, dia
memiliki ilmu keturunan dari pendekar wanita sakti Mutiara Hitam di Khitan!”
Hati Han Han tertarik juga
mendengar ucapan itu, terutama sekali mendengar nama Puteri Nirahai. Bukankah
itu puteri Mancu yang amat lihai, yang telah mengatur siasat mengadu domba
antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Kalau Nirahai memiliki ilmu keturunan
pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, berarti gadis Mancu itu masih mempunyai
hubungan perguruan dengan Siang-mo-kiam Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang
sakti Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh sendiri itu karena mereka adalah
murid-murid Mutiara Hitam. Selain ingin ia bertemu dengan orang-orang sakti
yang disebut cihu-nya itu, juga memang kalau dipikir, ke mana ia harus mencari
adiknya yang telah melarikan diri dari istana? Adiknya memang nakal, diberi
kemuliaan di istana tidak betah dan malah minggat tanpa pamit. Ia tertawa di
dalam hatinya. Kalau Lulu tidak menghendaki, biar kaisar sendiri tidak akan
dapat menahannya! Adiknya memang nakal dan lucu, tentu sekarang sedang bingung
mencari-carinya, padahal dia sudah berada di kota raja! Kaisar mempunyai kaki
tangan di mana-mana, tentu lebih mudah mencari adiknya itu.
Melihat pemuda aneh itu
agaknya sudah dapat terbujuk, Giam-ciangkun menjadi girang dan mengatur rencana
untuk mempertemukan Han Han dengan para tokoh lain, bahkan mulai membujuk-bujuk
Han Han betapa senangnya kalau pemuda itu suka menjadi pengawal atau jagoan
kerajaan.
“Engkau akan cepat mendapat kemajuan,
namamu akan dikenal di seluruh negeri, akan mendapat kehormatan besar bahkan
siapa tahu kelak akan mendapat kehormatan menjadi pengawal pribadi kaisar
sendiri.” Demikian antara lain Giam-ciangkun membujuk adik iparnya.
Han Han menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak mau menjadi panglima pengawal kalau pekerjaannya hanya
membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak mempunyai cita-cita menjadi
pembesar, juga agaknya tidak mungkin aku menjadi pembesar Mancu karena aku
masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”
Giam-ciangkun mengerutkan
alisnya yang tebal. “Apakah maksudmu, Han Han?”
Han Han memandang cihu-nya
dengan tajam. Kini ia mendapatkan kesempatan untuk bicara berdua dengan
cihunya. “Cihu tentu mengerti bahwa aku telah bersumpah untuk membunuh tujuh
orang perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuaku. Cihu sendiri karena
sudah menjadi suami Ciciku dan kulihat memang Cihu saling mencinta dengan
Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang perwira lainnya,
terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh mendiang
Ibuku, tak dapat aku mengampuninya begitu saja. Sebelum aku dapat membunuh enam
orang perwira itu, tidak mungkin aku menjadi petugas kaisar.”
Wajah panglima tinggi besar
yang penuh jenggot terpelihara baik-baik itu berubah pucat. “Aihhhhh, Adik Han
Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal itu? Apakah engkau tidak dapat
menerima kenyataan dan menganggap peristiwa itu sebagai peristiwa dalam perang
yang lajim terjadi?”
Han Han menggeleng kepalanya.
“Perang atau tidak, perbuatan manusia dapat dibedakan bagaimana yang jahat dan
bagaimana pula yang baik. Kalau orang tuaku tewas dalam pertempuran, aku pun
tidak begitu bodoh untuk mencari pembunuh-pembunuhnya, akan tetapi orang tuaku
tidak terbasmi selagi bertempur, melainkan dibasmi secara keji tanpa alasan.
Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku mengampuni enam orang perwira yang lain!”
Giam-ciangkuan tidak berkata
apa-apa lagi, akan tetapi Han Han maklum bahwa perasaan cihunya tersinggung,
akan tetapi dia tidak mempedulikannya. Bahkan pada malam harinya, karena ia
telah menaruh curiga akan sikap cihunya yang ia tahu menaruh ganjelan hati
terhadap dirinya, dengan mempergunakan kepandaiannya, Han Han dapat menyelinap
mendekati jendela kamar cicinya dan mendengar percakapan lirih yang terjadi di
dalam kamar itu. Bagi orang yang tidak memiliki sin-kang tinggi sehingga daya
tangkap telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan percakapan di dalam
kamar yang dilakukan sambil berbisik-bisik itu.
“Sungguh celaka. Adikmu itu
tentu akan menimbulkan malapetaka besar. Dia masih mendendam kepada Giam Kok Ma
dan lima orang perwira lainnya yang dulu menyerbu rumahmu. Dia bersumpah untuk
membunuh mereka.”
“Aih, anak itu memang keras
hati sekali. Aku tidak peduli kalau mereka berenam itu dibunuh, akan tetapi
kalau dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu dia akan dikejar-keiar dan
ditangkap. Bagaimana baiknya, suamiku?”
“Satu-satunya jalan untuk
menghindarkan pembunuhan adalah memberi tahu mereka agar cepat-cepat
meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan diri sebelum Han Han pergi dari kota
raja. Kurasa, kalau terlalu lama anak itu berada di sini, akhirnya pasti akan
timbut malapetaka. Wataknya aneh sekali.”
Cicinya menghela napas
panjang. “Betapa berat rasa hatiku harus berpisah kembali dengan saudara
kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi agaknya ucapanmu itu benar
sekali dan terserahlah apa yang hendak kaulakukan asal Han Han terbebas
daripada bahaya.”
“Aku akan mengirim surat
sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar dia bersama lima orang kawan lain itu
melarikan diri.”
Han Han cepat menyelinap
pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak terharu mendengar ucapan cicinya,
juga ia percaya bahwa cihunya tidak akan mencelakainya, akan tetapi mendengar
bahwa cihunya hendak mengirim surat kepada perwira yang bernama Giam Kok Ma, ia
girang sekali. Kiranya enam orang musuh besarnya yang lain itu berada di kota
raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara enam orang perwira itu.
Perwira rendahan yang diutus
Giam-ciangkun membawa surat itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada
orang yang membayangi perjalanannya seperti setan. Ia tidak tahu sama sekali
bahwa bayangan yang mengikutinya itu terus ikut memasuki halaman istana Panglima
Giam Kok Ma dan bayangan yang bukan lain adalah Han Han itu menyelinap ke
dalam gelap setelah tiba di istana itu.
Bahkan ketika perwira utusan
itu menyampaikan surat kepada Panglima Giam Kok Ma yang membaca surat itu
dengan muka berkerut-kerut, Han Han mengintai dari lubang di atas genteng dan
sinar mata Han Han berapi-api ketika ia mengenal panglima yang mukanya kuning
itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa ibunya! Mukanya terasa panas
dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu juga melompat ke dalam
kamar dan membunuh musuh besarnya itu. Akan tetapi Han Han menahan
kemarahannya. Lebih baik menanti sampai mereka semua berkumpul, pikirnya.
Kalau kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima orang lainnya dan
hal itu tidak akan mudah. Apalagi cihunya sama sekali tidak suka membantunya
dalam hal pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan cihunya
tentu saja akan memberi kabar secara diam-diam kepada rekan-rekannya untuk
melarikan diri.
Han Han memang telah mewarisi
ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi betapapun juga dia hanya seorang
pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin ia dapat menandingi kecerdikan
tokoh-tokoh istana? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan menduga sedikit pun
tidak bahwa sesungguhnya semua ini telah diatur dan direncanakan oleh para
tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Tidak tahu bahwa semua
itu adalah pelaksanaan siasat mereka. Karena Giam-ciangkun maklum bahwa di
dalam hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan bahwa pemuda ini merupakan
ancaman baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah mengatur rencana bersama
Ouwyang Cin Kok dan para tokoh lainnya. Kalau mereka menanti kembalinya Gak
Liat, Puteri Nirahai dan Ouwyang Seng, tentu akan memakan waktu lama dan siapa
tahu dalam waktu itu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu, dan apa pun yang
dilakukannya, menimbulkan kengerian dalam hati mereka, mengingat betapa
mudahnya Han Han membunuh puluhan orang pengawal.
Kebetulan sekali dua hari
sebelum Han Han mendengarkan percakapan antara cihu dan cicinya, muncul
seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di dalam gedung istana Pangeran
Ouwyang Cin Kok. Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu telah berada di
ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal yang menjaga. Hanya setelah
dia lewat di kamar yang dijadikan kamar tidur Sin-tiauw-kwi Ciam Tek saja maka
kehadirannya diketahui.
“Rebahlah!” Tiba-tiba
terdengar suara kaku di belakangnya dan nenek itu merasa betapa ada angin
pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari belakang. Nenek ini bukan lain
adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum bahwa ada orang berkepandaian
tinggi menyerangnya dari belakang, nenek ini memutar tubuhnya. Pemutaran
tubuhnya ini didahului oleh menyambarnya anting-anting panjang berbentuk rantai
gelang yang tergantung di kedua telinganya. Rantai gelang itu menyambar ke
depan menangkis pukulan Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.
“Tranggggg....!” Pukulan yang
dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah pukulan Hek-in Sin-ciang, dari kedua telapak
tangannya mengebul asap hitam, hebatnya bukan main. Ketika ujung rantai gelang
bertemu dengan tangan Si Burung Hantu, sebuah gelang terlepas, akan tetapi
bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur ke arah tubuh Si Burung
Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!
Kedua orang tokoh sakti itu
sama-sama terkejut, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut ketika tangkisan senjatanya
yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang putus, maka ia membuat gelang itu meluncur
menyerang lawan sambil meloncat mundur. Adapun Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terkejut
bukan main bahwa serangannya yang amat ampuh itu selain dapat dihindarkan
lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik menyerang dengan senjata
rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya dan mulutnya yang runcing
meniup gelang itu sehingga menyeleweng dan masuk ke dalam dinding!
Mendengar suara ribut-ribut,
sebentar saja ruangan itu penuh dengan para pengawal yang mengepung nenek itu.
Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal nenek itu berseru dengan kaget, “Ah,
kiranya Toat-beng Ciu-sian-li yang datang?”
Nenek yang tadinya menyapu
para pengawal yang mengurungnya dengan pandang mata mengejek, kini memandang
kakak beradik itu dan berkata, “Eh-eh, agaknya kedua Tikus Kuburan juga kesasar
sampai di sini. Orang-orang she Bhong, aku memenuhi undangan Setan Botak yang
menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok membutuhkan bantuan orang pandai,
akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran Ouwyang Cin Kok terhadap tamunya?
Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing galak yang mukanya seperti burung
sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi yang mendengus saja mendengar
ucapan menghina itu.
Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
sudah bangun pula tadi bersembunyi dari tempat rahasia, ketika mendengar bahwa
nenek yang mengerikan itu adalah Toat-beng Ciu-sian-li, dan melihat bahwa jagoan-jagoannya
telah berada di situ, kini berani muncul dan ia segera berkata.
“Ah, harap locianpwe suka
memaafkan orang-orangku. Karena kedatangan locianpwe tanpa memberi tahu dan
pada tengah malam secara begini mengejutkan, maka orang-orangku tidak mengenal
locianpwe. Silakan duduk.”
Toat-beng Ciu-sian-li sejenak
memandang wajah pangeran itu, lalu tertawa dan minum araknya dari guci arak
yang selalu diselipkan di pinggang, kemudian tertawa lagi sehingga kepalanya
bergoyang-goyang dan anting-antingnya yang besar dan amat panjang itu
mengeluarkan bunyi berkerincingan.
“He-he-he, Pangeran Ouwyang
dapat menghargai orang pandai, itu bagus! Eh, Ouwyang Ong-ya, anjingmu ini
selain galak juga lihai sekali. Siapakah dia?” Ia menudingkan telunjuknya ke
arah Sin-tiauw-kwi yang sudah berdiri dengan sebelah kaki.
“Apakah locianpwe belum
mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”
Nenek itu membelalakkan kedua
matanya. “Wah-wah, kiranya inikah Si Burung Hantu? Luar biasa sekali, pantas
dengan namanya, memang engkau buruk seperti burung hantu. Aku ingin sekali
mencoba kepandaianmu!”
“Hemmm, nenek tua bangka.
Bukankah engkau ini seorang di antara selir-selir Suma Kiat? Aku pun ingin
mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus! Kapan saja dan di mana saja!”
Mendengar ini, di dalam hatinya
Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel. Celaka sekali orang-orang sakti yang wataknya
aneh ini. Kalau dibiarkan tentu akan saling gebuk dan rumahnya menjadi arena
perkelahian di antara pembantu-pembantunya sendiri. Bisa berabe! Cepat ia
tertawa dan meloncat ke depan.
“Harap ji-wi suka menangguhkan
pibu itu untuk lain kali saja. Sekarang ada urusan yang amat penting yang
kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li. Marilah kita bicara di dalam
ruangan belakang. Silakan, locianpwe.”
Demikianlah pangeran yang
cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh itu dan hasil perundingan ini merupakan
siasat yang dijalankan Giam-ciangkun terhadap Han Han. Di luar tahu pemuda itu
sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li yang lihai membayangi pemuda ini, terus
membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa surat Giam-ciangkun
kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma. Ini sudah termasuk
rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam Kok Ma, tentu
ia akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan pemuda ini
mengikuti Giam Kok Ma seperti yang mereka duga, hal ini pun sudah mereka
persiapkan untuk menyambut pemuda itu!
Ketika Han Han mengintai dari
atas genteng di gedung Giam Kok Ma, ia mendengar musuh besarnya itu berkata.
“Baikiah, sampaikan kepada
Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti akan isi suratnya dan besok pagi-pagi
aku akan menghubungi rekan-rekan yang terancam.”
Mendengar ini, Han Han lalu
meninggalkan gedung dan bersembunyi di atas sebatang pohon sambil menjaga. Pada
keesokan harinya, ia melihat Giam Kok Ma, musuh besarnya itu, meninggalkan
gedung menunggang kuda dikawal oleh enam orang pengawal. Ia cepat meloncat
turun dan mempergunakan gin-kangnya mengikuti dari jauh. Larinya cepat sekali
sehingga biarpun panglima bersama pengawal-pengawalnya itu membalapkan kuda, ia
masih dapat mengikuti mereka. Jauh di luar kota, rombongan itu memasuki sebuah
hutan dan ternyata di pinggir hutan itu terdapat sebuah bangunan yang indah,
agaknya sebuah rumah peristirahatan pembesar Mancu. Ia melihat Giam Kok Ma
memasuki rumah itu, sedangkan para pengawal lalu menuntun kuda ke kandang kuda
dan masuk di bagian belakang gedung itu.
Han Han cepat melayang naik ke
atas genteng. Dari atas ia mencari-cari namun tidak melihat bayangan musuhnya.
Ia mencari terus dan akhirnya khawatir kalau-kalau kehilangan musuhnya, ia meloncat
turun masuk ke dalam melalui jendela dan tiba di sebuah ruangan yang luas. Baru
saja kakinya menginjak lantai, sebuah pintu terbuka dan yang muncul adalah....
Giam Cu cihunya.
“Eh, Adik Han Han! Mengapa
engkau berada di sini?” Panglima brewok ini bertanya dengan wajah kaget dan
heran.
“Cihu, ini rumah siapakah?”
Han Han balas bertanya, suaranya juga heran akan tetapi keren dan dingin.
“Ini rumahku, rumah peristirahatan!”
jawab cihunya. “Dan sungguh kebetulan sekali kedatanganmu, Adikku. Memang aku
sedang memanggil berkumpul tokoh-tokoh pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya
kepadamu. Siapa tahu, engkau malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa
sampai ke sini?”
“Cihu, aku mengejar musuh
besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia? Harap Cihu jangan mencampuri, suruh
dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!”
“Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa
engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan? Harap kau suka memandang
mukaku, dan mengingat Encimu. Kalau engkau melakukan hal-hal yang mengacaukan
di sini, dan membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau akan
mendatangkan malapetaka kepadaku.”
“Mengapa mereka datang ke
rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya ini semua?”
“Adikku, mereka adalah
panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa mengadakan
pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik kuperkenalkan kau
dengan para pengawal.” Pada saat itu, beberapa buah pintu terbuka dan muncullah
tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han memandang tajam dan ia pun siap
dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini bukanlah orang-orang
sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihunya.
“Sam-wi locianpwe, inilah Adik
iparku yang gagah perkasa dan yang telah mempersiapkan tenaganya untuk
membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han.” Giam-ciangkun memperkenalkan,
kemudian berkata kepada Han Han, “Adikku, locianpwe itu adalah Sin-tiauw-kwi
Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Adapun kedua orang locianpwe ini adalah
kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan, juga memiliki ilmu
kepandaian yang lihai sekali.”
Han Han memandang mereka, terutama
sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya itu. Burung Hantu memandang
Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali memandang rendah, kemudian
berkata.
“Ehemmm, Adik iparmu ini
lumayan juga, Giam-ciangkun!” Mungkin karena ketika bicara mulutnya terbuka dan
mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat terbang menyambar ke arah
mulutnya. “Heh, segala macam lalat mengganggu saja!” kata Si Burung Hantu dan
dua kali tampak sinar berkelebat-kelebat ketika manusia aneh ini menggerakkan
senjatanya yang seperti sabit dan.... tubuh dua ekor lalat kecil itu jatuh ke
lantai, terbelah menjadi dua!
Han Han yang melihat ini
diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang seperti
burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli, lalu
berkata kepada Giam-ciangkun, “Cihu, aku tidak ingin berkenalan dengan para locianpwe
ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku. Suruh mereka
keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam rumah ini!”
“Heh-heh, bocah yang menjadi
iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami, Ciangkun. Siapakah yang
menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini?” tanya Bhong Poa Sik yang
kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada “telur”nya.
Giam-ciangkun menarik napas
panjang. “Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi Locianpwe. Adik iparku
ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam Kok Ma dan lima orang
panglima lain dan berkeras hendak membunuh mereka. Bagaimana aku harus
berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri, sedangkan membunuh enam orang
rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han Han, pikirlah
baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang tidak ada
gunanya itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para locianpwe
ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang pandai.”
Han Han mengerutkan keningnya
dan menggeleng kepala. “Tidak bisa, Cihu. Dari pada menjadi seorang anak yang
puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian keluarga orang tuaku,
lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai mati!”
“Hem, bocah sombong. Engkau
hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan? Wah-wah, nanti dulu! Apa kaukira
hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya? Lawan dulu sabitku, baru boleh
kau coba-coba melanjutkan niatmu yang jahat!” Sin-tiauw-kwi mengejek dan
kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu meloncat-loncat seperti burung,
maju mendekati Han Han.
“Orang muda, dengan adanya
kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima kerajaan? Jangan
mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek yang sudah maju pula bersama adiknya.
Han Han mengerutkan keningnya
dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya dingin sekali. “Hemmm,
beginikah kehendakmu, Cihu?”
Bertemu pandang dengan adik
iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri. Pandang mata Han Han
seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka sambil menggerakkan
pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab, “Engkaulah yang menyusahkan
aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di sini yang akan membiarkan engkau
membunuh orang, apalagi hendak membunuh enam orang panglima. Bahkan aku sendiri
mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku membiarkanmu, berarti aku
seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau sadar?”
Han Han memutar otaknya dan
teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia ingat akan
percakapan antara cihunya dan cicinya, kemudian teringat akan perbuatan Giam
Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata cihunya sudah berada
di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini sudah diatur lebih
dulu? Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka
membusungkan dada.
“Keputusanku sudah jelas! Aku
akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam Kok Ma itu dan
lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang tuaku. Kalau ada
yang hendak menghalang, dia itu pun harus kuenyahkan!”
“Heh-heh, orang muda yang
sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk menangkap Han Han.
Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biarpun keadaannya
aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun mempunyai kepandaian
apakah?
Han Han yang sudah marah itu
membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong. Karena maklum
akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah mengerahkan Hwi-yang
Sin-ciang pada kedua lengannya.
“Hayaaaaa....!” Dua orang itu
terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan menyesakkan dada
mereka, membuyarkan semua tenaga sin-kang mereka yang mereka pergunakan untuk
menahan pukulan, akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa melempar tubuh ke
belakang, terus bergulingan menjauhkan diri! Mereka meloncat bangun dengan
wajah pucat dan mata terbelalak.
“Ehemmm, kiranya engkau
mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung Hantu membentak, akan tetapi sebelum
ia turun tangan, terdengar suara ketawa.
“Hi-hi-hi, burung yang jelek,
jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!” Tubuh Toat-beng
Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan Han Han.
Karena merasa pernah menjadi
murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia menjura dengan hormat
sambil berkata, “Subo, harap jangan mencampuri urusan pribadiku!”
“Heh-heh-hi-hik, kalian semua
telah mendengarnya, kan? Dia adalah muridku dan karena dia telah melakukan dosa
melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya menjadi hakku.”
Sin-tiauw-kwi tertawa.
“Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan murid.
Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu sekali
akan pengajaranmu!”
Teat-beng Ciu-sian-li
menghadapi Han Han sambil menyeringai. “Bocah iblis murid durhaka. Apakah
engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu?”
Han Han mengerutkan alisnya.
Ia melihat cihunya sudah duduk dengan tenang di atas kursi menghadapi meja,
juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk sedangkan
Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap mereka semua seperti
orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han menduga bahwa
memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka hendak
mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya yang
hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran akan tetapi sedikit pun tidak gentar. Ia
menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.
“Locianpwe, aku menghormatimu
sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu lagi. Tentang
kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang tidak suka
menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi hendak
membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang tua suka mengalah dan
membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku membasmi
musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”
“Eh, Si keparat bocah tak
mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di depanku!”
Akan tetapi bentakan ini malah
mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia keluar dari Pulau Es,
dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang disebut golongan
putih maupun oleh tokoh-tokoh golongan hitam. Rasa penasaran ini membuat ia
marah dan nekat.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau
mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi musuh-musuhku dan siapa
pun yang menghalangiku, biar engkau sekalipun, akan kulawan!”
“Wah-wah, baru sekarang aku
melihat murid lebih galak dari gurunya!” kata Sin-tiauw-kwi sambil tertawa.
“Tutup mulutmu, Burung Buruk!”
Ciu-sian-li membentak. “Kaukira aku tidak dapat menguasai muridku? Han Han, sekali
lagi, engkau tidak mau taat?”
“Terserah kepadamu, aku tidak
menganggapmu sebagai guru lagi.”
Toat-beng Ciu-sian-li
mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang yang
dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang kiri
menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada.
Sambaran kedua benda itu cepat
dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing dan Han Han yang tidak keburu
mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua ujung rantai gelang
itu dengan kedua telapak tangannya.
“Plak-plak!”
“Bukkk!” Tanpa disangka-sangka
oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia menggerakkan tangan
menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri nenek itu. Tubuh Han
Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan napasnya sesak. Akan tetapi ia menahan
napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu terkejut bukan main karena tangkisan
kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya kehilangan dua buah mata
gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.
“Bocah keparat, berani engkau
melawan Toat-beng Ciu-sian-li!” Nenek itu memekik dan tubuhnya sudah melayang
naik dan meluncur ke arah Han Han dengan terjangan dahsyat sekali. Kedua
tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun
Pencabut Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium
bau amis sebelum pukulan itu datang. Melihat ini, Han Han maklum bahwa ia
menghadapi lawan yang lebih lihai daripada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka ia
cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan
menggunakan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss.... plak-plak....!”
dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han terjengkang
dan bergulingan. Akan tetapi nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru
berkali-kali, “Luar biasa.... luar biasa....!”
Memang ia merasa heran
setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu lebih hebat
daripada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!
“Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk!
Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri?” Si Burung Hantu mengejek
sambil tertawa.
Nenek itu melengking tinggi
karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan segera Han Han dihujani
serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul, kedua kaki yang bergantian
menendang, dan sepasang anting-anting raksasa yang menyambar-nyambar dari kiri
kanan! Hebat bukan main sepak terjang nenek ini sehingga secara berturut-turut
Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan hantaman senjata rantai
gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya sakit-sakit semua.
Sepasang Tikus Kuburan
bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum bukan main. Sudah
lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan tetapi baru
sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu. Tadi mereka sudah mengenal
kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu mendesak dan
menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu saja
mereka menjadi kagum sekali. Adapun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik
isterinya terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia
menganggap Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.
Seperti yang pernah dilakukan
oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin membunuh Han Han karena
dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang keadaan diri Han Han yang
memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia pun diam-diam menduga bahwa Han Han
tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, maka ia ingin memaksa anak muda
itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es, ingin menangkapnya dan membawanya
pergi. Di samping ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para
jagoan kerajaan, maka ia sengaja mempermainkan Han Han dan mengeluarkan
kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia kehendaki, tentu ia
telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang
dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.
Untuk ke sekian kalinya,
ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang
dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan tangan kiri, yang
amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li mencelat ke atas sehingga
kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya menendang, mengenai dada
Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut ruangan itu. Han
Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi yang
menjadi tempat pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu.
Seperti juga kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat daripada
akar pohon yang bengkak-bengkok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi
sebatang tongkat dan dengan senjata sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi
Si Nenek sakti dengan kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya
kalah jauh, akan tetapi kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang
menyerah, kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya
ini.
“Ha-ha-ha-ha, biar engkau
berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap Toat-beng
Ciu-sian-li, bocah sombong!” Bhong Lek yang mukanya kaya tikus mengejek.
“Heh-heh, biar dia berkepala
tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!” Bhong Poa Sik mengejek pula.
Mendengar ini, nenek itu
terkekeh. “Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh sekalipun aku
masih sanggup mempermainkannya!”
Han Han makin marah, merasa
dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang luar biasa, yang
hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan Botak dan Si Muka
Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan suara lantang, sinar
matanya menyambar-nyambar seperti kilatan halilintar dan suaranya yang
mengandung khi-kang kuat itu didasari kekuatan kemauan mujijat yang amat
berpengaruh.
“Nenek sombong! Lihat, aku
sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa?” Sambil berkata demikian ia menyerang
dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan terbelalaklah semua orang ketika
melihat betapa Han Han benar-benar telah menjadi tiga orang! Tiga orang muda
berambut riap-riapan, ketiganya memegang tongkat dan menyerang Toat-beng
Ciu-sian-li dari tiga jurusan!
“Hehhh....! Mimpikah aku?” Si
Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.
“Demi segala iblis di neraka!”
Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.
“Ajaib.... se.... se....
setan....!” Adiknya juga berseru.
“Ilmu hitam apakah ini....?”
Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti berdetik.
“Ayaaaaa....!” Toat-beng
Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena hantaman
tongkat.
Akan tetapi tubuhnya kebal dan
sungguhpun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak terluka dan kembali ia
melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia menghindarkan pukulan
tangan kanan kedua orang “Han Han” yang berada di belakangnya sambil
menggerakkan rantai gelang telinga kanannya menyerang ke arah dada Han Han yang
bergerak ke depannya.
“Pranggg....!” Dengan telapak
tangan kanannya Han Han menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang
pecah-pecah sambil memegang tongkat dengan tangan kiri. Dalam pandang mata
empat orang yang menjadi penonton, dua orang “Han Han” yang lain juga
memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang berbareng.
“Eh.... hiiihhhhh....!”
Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu.
Ia kembali meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia
menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang rantainya dan
melontarkannya ke arah tiga orang lawannya. Memang anting-anting luar biasa
itu selain menjadi “perhiasan” dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan
sebagai senjata rahasia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya.
Han Han cepat mengelak sambil
menangkis dengan tongkatnya. “Trakkk!” Tongkatnya patah dan remuk dan ternyata
bahwa tongkat kedua orang “bayangannya” juga patah dan remuk. Kini dia dan
bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan kosong. Melihat ini
Giam-ciangkun segera berseru, “Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah
bayangan!”
Toat-beng Ciu-sian-li bukan
seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti. Maka ia segera
sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri menjadi tiga
orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan seketika pandangannya menjadi
terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang telah memperoleh kemajuan
luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga sin-kang yang mentakjubkan.
Akan tetapi rasa gentar dan
bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi lawannya bingung, ia
mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh nenek itu turun, ia menubruk
ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat. Kini ia menggunakan inti tenaga
Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di Pulau Es, menurut petunjuk
kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis dan dengan
pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan menjadi
sebongkah salju sebesar kerbau!
“Ihhhhh....!” Toat-beng
Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru
terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka
maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan itu, tentu ia tidak akan
kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba tubuhnya
lenyap. Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi
berdiri, membuat lantai itu bergetar dan semua perabot yang berada di belakangnya
hancur semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya yang mujijat dan
tubuhnya telah amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat
keluar dari lantai yang mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki,
ia kelihatan pucat dan dari ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena
serempet saja, namun cukup membuat nenek ini terluka!
“Ha-ha-ha, nenek setan arak,
biar kubantu engkau!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dan tahu-tahu Gak Liat
Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu secepat kilat ia memukul
punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Han Han merasa betapa hawa
panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sin-kang melindungi tubuhnya
sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai punggungnya dan
biarpun tubuhnya dilindungi sin-kang yang kuat, tidak urung ia terlempar juga
dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.
“Ha-ha-ha! Aku sudah
membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan, Toat-beng
Ciu-sian-li!” kata pula Gak Liat.
Nenek itu memandang tubuh yang
tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari ujung bibirnya dan menarik
napas panjang. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan bantuanmu, Setan Botak. Akan
tetapi aku memang sudah berjanji untuk membantu kalian asal Kaisar dapat
menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan pribadi dengan bocah ini.
Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia mengempit tubuh Han Han yang lemas
dan hendak pergi.
“Ha-ha-ha, takkan ada gunanya
kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li. Dia keras kepala,
engkau takkan berhasil!” kata pula Gak Liat.
Toat-beng Ciu-sian-li menengok
dan berkata, suaranya dingin, “Siapa hendak bicara tentang Pulau Es? Dia bekas
muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi contoh kepada
murid-murid lain!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap.
Giam-ciangkun bernapas lega,
merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di dalam dadanya
telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu. “Aaahhhhh, sungguh
berbahaya....” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya. Pintu
terbuka dan munculiah Giam Kok Ma, mukanya yang kuning kini berubah putih dan
ia bertanya terengah-engah, “Be.... betulkah apa yang kulihat tadi? Dia....
iblis cilik itu.... berubah menjadi tiga? Celaka.... jangan-jangan hanya satu
yang dibawa pergi, yang dua lagi....” Panglima muka kuning ini memandang ke
seluruh ruangan dengan mata jelilatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua
orang Han Han lagi di tempat itu, yang pasti akan membunuhnya.
Kang-thouw-kwi Gak Liat
tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata.
“Ciangkun, tidak usah
khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah
menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan dan kemauan kita sehingga kita
melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat berbahaya kalau
dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah
tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li.
Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!”
“Syukurlah kalau begitu,” kata
Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.
“Tenaga sin-kangnya tidak
lumrah manusia,” kata kedua orang Saudara Bhong.
Gak Liat hanya tertawa, tidak
mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau mengingat betapa dia
dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah itu, dan lebih-lebih
lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh yang paling disegani,
paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini. Koai-lojin!
“Ehmmm.... sayang sekali aku
tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!” tiba-tiba
Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.
“Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi
burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan Ciu-sian-li.
Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba dengan aku.”
“Boleh! Sekarang pun boleh!”
kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke arah seekor lalat
yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin karena tertarik
baunya yang apek dan penguk. Begitu ia memutar-mutar tangannya, ada angin
berpusingan keras dan betapapun lalat itu hendak terbang, ia tidak mampu keluar
dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar di depannya!
Demonstrasi sin-kang yang
seperti main-main ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung
Hantu sudah menguasai sin-kang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan
tenaga yang dibikin halus seperti itu!
“Ha-ha-ha! Beraninya hanya
sama lalat!” Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya mendorong ke arah
lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan.... hangus!
“Huh!” Si Burung Hantu
mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan seekor lalat,
akan tetapi aku tidak takut!” katanya menentang.
Melihat ini, Giam-ciangkun
lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka, hatinya kesal menyaksikan ulah
kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling tidak mau
mengalah. “Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan main-main yang
berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan locianpwe?”
“Seperti ciangkun telah
melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk membantu kita.
Biarpun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat dipegang, akan tetapi
saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum pemberontak. Tentang
Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu sukar sekali diurus. Akan
tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya yang selalu
dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka. Hemmm,
Si Muka Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia
lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia dari Kang-thouw-kwi,
heh-heh!”
“Bagus! Rahasia apakah itu
locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak mendatangkan banyak
kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita dapat menundukkan
mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat dikerahkan menghadapi
Se-cuan saja.”
“Rahasia besar Ma-bin Lo-mo,
rahasia busuk, ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa, menyambar guci arak di atas meja
lalu minum arak sampai terdengar bunyi mengelogok di tenggorokannya. “Setiap
orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang terbasmi habis. Semua
muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu.
Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Yang
membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri. Ha-ha-ha!”
Sepasang Tikus Kuburan
terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri
Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa
di In-kok-san, di puncak Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan
orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda berilmu yang di mana-mana
memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu melakukan kekacauan.
Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu
karena mereka adalah keturunan para keluarga yang terbasmi oleh pasukan Mancu
dalam perang.
“Eh, Gak-locianpwe. Benarkah
itu?”
Kang-thouw-kwi melototkan
matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini. “Mengapa tidak benar? Orang lain
boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia
memilih calon murid, laki-laki atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat
baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa yang
membasmi adalah orang-orang Mancu dan ia membawa murid itu ke In-kok-san dan
selain memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng.
Dalam usahanya membentuk barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah
baru itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian
dan Kek Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka,
ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!”
“Akan tetapi, betapa mungkin
dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe?”
“Hal itu memang sukar, akan
tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya. Tentang siasat,
sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali lebih cerdik
daripada saya si tua bangka. Dan tentang gadis Mancu yang menjadi adik angkat
Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari murid saya
Ouwyang-kongcu.”
“Ouwyang-kongcu memang sudah
pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan keributan saja.
Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi
baru beberapa hari saja dia sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu
sedang berusaha mencarinya dan belum pulang.”
“Wah, sungguh merepotkan. Dan
Puteri Nirahai, apakah sudah pulang?”
“Belum,” jawab Giam-ciangkun.
“Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi laporan kepada Pangeran
Ouwyang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm.... tak
tahu aku bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya.”
Giam Kok Ma berkata,
“Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit mencari
Lulu. Bukankah alasan itu yang paling baik?”
Giam Cu mengangguk-angguk.
“Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain.”
Kembalilah mereka beramai ke
kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru pada malam hari itu
ia dapat tidur setelah beberapa malam semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia
dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han ia sama sekali tidak dapat tidur
nyenyak tidak dapat makan enak!
***
Di dalam kempitan seorang
sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi dua jalan darahnya telah ditotok,
biarpun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya
dikempit dan dibawa lari cepat sekali, Han Han berkata.
“Toat-beng Ciu-sian-li,
setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih baik kaubunuh
sajalah aku, habis perkara!”
Mendengar ini, Toat-beng
Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata. “Enak saja
membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau
harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan
hukumanmu?”
Han Han tersenyum pahit. “Aku
tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau
menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan?”
“Benar, benar....!”
Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman,
bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya
bicaramu.”
Han Han berpikir dan hatinya
kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini? Gak
Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian
tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang
mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain! Tidak salah ucapan orang
pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk
dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan! Kalau ia bicara tentang Pulau Es,
nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini? Andaikata benar dan
ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia
akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es!
Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni
Pulau Es! Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak
puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah
menjadi pengkhianat lagi? Biarpun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha
agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang
yang mempertahankan kebenaran daripada hidup sebagai seorang manusia yang
rendah budi!
“Tidak ada yang dapat kubicarakan
tentang Pulau Es,” katanya tegas.
“Hemmm, bocah keras kepala.
Apakah engkau ingin kusiksa?”
“Sesukamulah. Sehebat-hebatnya
siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati,
Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan,
mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kaubunuh saja
aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!” Memang luar
biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya
menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata
terbuka.
“Hemmm, enaknya. Engkau akan
kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid
yang murtad!”
Han Han tidak mau menjawab
lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek
itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya
lari cepat sekali seperti terbang.
Para murid di In-kok-san kini
telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani dan biarpun mereka itu
tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun
sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu. In-kok-san kini
hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang, karena
memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Setelah mereka tamat belajar dan
mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san menjadi
sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di puncak itu. Hanya Toat-beng
Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda
dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk memusuhi pemerintah
Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik, dan tekun melatih
tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan. Biarpun
demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin
Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga, mereka terbasmi oleh
bangsa Mancu, apalagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga
saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak
mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo. Sering kali mereka
bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu,
membunuhi mereka, terutama sekali kepala kampung-kepala kampung atau
pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat
betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan
menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget,
penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya
melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima
Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah
melawan Han Han! Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja
ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada semua murid Ma-bin
Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu? Nenek itu marah,
penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han
telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es. Maka ia lalu
turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu
dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana
dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik,
maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin
Kok seperti telah direncanakan. Karena memang dia hendak mencari muridnya
yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan seperti telah
diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang
hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja. Maka ia
lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota raja kemudian
menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san. Mula-mula memang ia hendak
membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es, akan tetapi setelah hatinya
yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan
hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan
hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan menghukum mati di
depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li
tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya
dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang
yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya.
Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han
Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Marcu. Adapun Kim Cu memandang Han
Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia merasa
kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paiing baik ini
akan mengalami hukuman yang mengerikan! Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat
menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga
belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang
dan saling berbisik membicaraken Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai
seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
Nenek itu menoleh kepada para
murid yang bergerombol memandang itu dan berkata, “Murid murtad sudah
tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”
Nenek itu langsung membawa Han
Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar
tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan
bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke
atas dipan.
“Ikat kedua tangannya!” Nenek
itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari
serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan
membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali. Han
Han tidak dapat berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya
sekilas saja melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal
mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata
mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis
itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba.
Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan
karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa
nyeri.
Akan tetapi harapannya ini
buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya.
Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya dan ketika ia berusaha
menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya
itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan dapat melawan
Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu
dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan
yang tentu akan mengeroyoknya. Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu
miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan
nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut
yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati! Apakah
artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum
hidup? Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir dan hidup
baru ada, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada. Betapa akal
budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat menyelami
keadaan sesudah mati? Betapapun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak
mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu
sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang
tak terselami akal manusia selagi hidup. Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya
menembus pintu rahasia itu, kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau
demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir,
mengapa mati takut? Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada
rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan matanya, seperti tidur, atau lebih
tepat lagi seperti dalam keadaan samadhi karena memang dia bersamadhi untuk
menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di dalam ruangan itu
sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka adalah
orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh
musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apabila ada seorang murid In-kok-san
menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena nasib seperti yang
dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.
“Kim Cu, kauisi guci arakku
yang kosong ini!” Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya
yang kosong kepada si murid. Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga
sin-kang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sin-kang kuat dan tidak
terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan
nyawa melayang meninggalkan badan! Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu
dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak
itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali
dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li
menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya
karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian
ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.
“Murid-muridku, juga murid
Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah
seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang
melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan
menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih
memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apabila dia suka
bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah
saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara
tentang rahasia itu kepadaku?”
Hening sejenak di situ.
Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban Han
Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang
mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara
yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang gemetar.
“Han Han.... kau
bicaralah....!”
Gadis itu terkejut sendiri
mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia
sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia
menundukkan mukanya.
Han Han yang berada dalam
keadaan samadhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya. Ibunya
menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih sayang.
Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu.
Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan berdiri
membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka. Karena Han Han ingin
agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki
sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang
mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu
menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan
anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada
tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak
seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah
sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau,
hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai Kwan, ambil golok alat
menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut
di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu
bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ
tahu belaka bahwa murid murid yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan
kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat
gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan, aku menunjuk engkau
sebagai pelaksana hukuman. Kaupergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie
Han!”
Suara nenek ini bagaikan
halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan
sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai
pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang
penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa
dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le.... lehernya, subo....?”
tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li
memandang muridnya ini dengan mata mendelik. “Lehernya, kau dengar? Lehernya!
Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!” Setelah berkata demikian,
nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan mata
mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan menikmatinya
sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan mengangkat golok
itu ke atas mukanya sungguh-sungguh dan kini sinar matanya mengandung
kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya. Semua
murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang
mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan
tenaga pada lengannya, berseru keras, “Haiiittttt!” Golok itu berubah menjadi
sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher
Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh, jangan....!” Jeritan
ini keluar dari mulut Kin Cu dan gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia
berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang
sedang melayang menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg....!” Golok yang
tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia,
menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu....!”
Kaki kiri Han Han terbabat
golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung
terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu....! Jangan
tinggalkan anakmu, Ibu....!” Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam
karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan
makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu....!” Sekali lagi Han
Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia
melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan
pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang
buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan
tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan
dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak
terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh
Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling
ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan
hatinya. Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang
muridnya. Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut, hatinya
mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak
sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu
membela Han Han. Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu
dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa sucinya itu
tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu
masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu
yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang
mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu
menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Ke dua,
kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal
sebelah itu? Ke tiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah
menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan darahnya dan
berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu, mengapa engkau berani
menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani menggagalkan hukuman penggal
kepala bocah itu?” tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali,
perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan,
mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget,
memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata
menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah
kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai
Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai.... Kim Cu,
mengapa kaulakukan itu....?” Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu
dengan mata basah. Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang
kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan.
Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari
pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang
membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu! Jawablah!” Toat-beng
Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah
sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar.
Setelah melepaskan pandang
matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata.
“Subo, teecu menangkis golok
Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan
In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan
sesuai dengan dosanya. Han Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan
diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan
diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya,
maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki
kirinya, berarti bahwa Thian menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu mengerutkan kening.
“Hemmm.... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan
mengobatinya pula?”
“Subo, betapapun juga, Han Han
adalah bekas suteku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita seperti
ini? Teecu.... merasa kasihan....”
“Heh, bocah tak bermalu! Apa
kaukira mudah saja membohongi aku? Apa kaukira mataku buta tak dapat melihat
bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah, Lai Kwan merah, matanya
beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan mukanya. Han
Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk.
“Toat-beng Ciu-sian-li, harap
jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih
belum terlambat!”
“Han Han!” Kim Cu menjerit,
membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid yang sudah
dihukum, tidak aken dihukum lagi!”
“Keparat! Engkau sudah bukan
muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa
hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa? Engkau telah
menjadi seorang buntung, seorang penderita cacad yang tidak berguna lagi.
Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk kamarmu dan sebelum kusuruh keluar,
engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu memandang Han Han
sejenak lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han
Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya
menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali
menahan rasa nyeri. Seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dan kepalanya
pening, pandang matanya berkunang. Terpaksa ia memejamkan mata untuk
menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan
bintang. Namun, ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar
dan makin cepat bergerak-gerak di depan matanya.
“Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang
telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat
betapa lemahnya!”
Mendengar suara ejekan dan
ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia
segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya. Akan
tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan sin-kang,
selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah mengalir
di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya.
Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia
melihat akibat daripada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia
mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata, lalu
melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan
roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan
muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim
Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu. Adapun Phoa Ciok Lin
memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan
tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangannya menekan lantai, lalu berdiri dan
dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus
keluar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita
nyeri yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu
belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah
kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman
itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus, kalau hendak roboh ia
menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa
berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah
cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia
pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan.
Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar
taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang
di atas dadanya.
Menjelang subuh, ia terbangun
oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya, cuaca masih amat gelap, hawanya
dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat
ditahankan, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Sudah empat
hari empat malam dia tidak makan, semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li. Dan
kehilangan darah membuat tubuhnya lemas. Ia bangkit duduk, bersandar batang
pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah
pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang
itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh
daripada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau menderita
begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di
perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi
seorang tapadaksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti
yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli. Apalagi hendak membalas dendam orang
tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak!
Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya. Kantung berisi
surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu
belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini
belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak
dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi
cihu-nya. Biarpun kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan
tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja
ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cicinya. Dan enam
orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi
buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya
itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit
dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan
hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna
apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab
timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang. Yang
terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu,
entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana
ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apalagi kini dia hanya
seorang pemuda buntung! Buntung kakinya! Tiba-tiba ia teringat lagi akan
wejangan dan nasihat kankek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasihatkan untuk
membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain.
Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang
sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang
buntung. Tidak susah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya!
Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung maka
menasihatinya agar membuntungi kakinya sendiri, daripada dibuntungi orang lain.
Ia tersenyum pahit. Nasihat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati,
masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baik, dia akan hidup, dan apa pun
jadinya, akan ia hadapi, sungguhpun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk
melaksanakan tugasnya yang pertawa, yaitu membalas dendam. Timbul rasa rindunya
kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat
menghiburnya. Akan tetapi wahai.... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau
melihat kakinya buntung! Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap
dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata.
Sampai lama ia menangis seperti ini. Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika
teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal
seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya?
Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia
merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi
gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah
bekas banyak menangis. Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut
terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar
matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira
menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang
menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun
yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran seekor burung yang mungkin mengira
pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan
Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes
air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa
akar nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada
sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun
bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan butiran air embun berkilauan,
jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan bahagia. Tiba-tiba
butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak
berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada
mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh
kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk
beberapa lama saja. Kemudian apabila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa
meninggalkan bekas! Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air
embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya
sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya
karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun
pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke
bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti
datangnya maut menjemput!
“Han Han....!” Suara yang
halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat
Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis,
rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis,
pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan
kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang
buntung.
“Kim Cu.... engkau.... datang
ke sini....?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu akan marah....”
Kim CU berlutut dekat Han Han
dan berkata, “Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan
dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati
lukamu....”
Melihat gadis itu dengan
jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan
roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, menghidangkannya di
depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
“Han Han, makanlah dulu....”
Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan. Kim Cu terisak, menggigit
bibir menahan tangis. “Han Han.... kau.... kau menangis....?” Ia melihat dua
butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
“Kim Cu....” Suara Han Han
menggetar. “Mengapa....?”
Kim Cu memandang, juga air
matanya berderai, “Kau hendak berkata apa....?”
“Mengapa engkau sebaik ini
kepadaku....?”
Dengan air mata masih berderai
Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil,
seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah
menggurat perasaan hati Han Han.
“Makanlah dulu, Han Han.
Engkau pucat sekali, matamu merah.... makanlah dulu, baru nanti kita
bicara....”
Han Han mengangguk, lalu
mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan
tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang
berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu
kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka bertaut, ia lalu
menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya.
Roti yang dibawa Kim Cu itu
hampir habis. “Engkau tidak makan? Marilah....”
Kim Cu menggeleng kepala perlahan.
“Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan....”
Roti itu habis dan Han Han
minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju. “Kim Cu, banyak
terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini....”
“Sssttttt, nanti dulu.
Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa
nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han minum obat bubuk itu
dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia
merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu
diambil. Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima
kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik
sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain
bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka
itu, Han Han berkata, “Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan
kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi
kepadaku dan terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu....”
“Jangan katakan itu, Han Han.
Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil
itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus
dibunuh secara sia-sia?”
Han Han menarik napas panjang,
lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon, tangan kiri menekan tongkat
cabang pohon. “Aaahhhhh, harapan apalagi yang ada padaku? Aku telah menjadi
murid tapadaksa.... tiada gunanya....” Kembali ada dua titik air mata meloncat
keluar ke atas pipi Han Han.
Kim Cu memandang penuh iba
hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat pinggangnya dari
sutera untuk menghapus air mata itu. “Ah, Han Han, kasihan sekali engkau....”
Sambil berkata demikian, Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han makin terharu, air
matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke
dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke angkasa,
mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air matanya. Sampai lama
keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan air matanya, kedua
lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap rambut
yang hitam halus dan harum itu.
“Kim Cu....” Han Han berbisik
dekat telinga gadis itu. “Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau.... mencintaku?”
Gadis itu tidak menjawab,
hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han Han terasa
perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga menjauh.
Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari pandang
matanya.
Han Han membuang muka,
tubuhnya miring dan kini ia bersandar pada batang pohon dengan pundak kirinya,
alisnya berkerut dan mukanya keruh.
“Kim Cu, ini tidak benar!
Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi seorang
laki-laki yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama sekali.
Engkau hanya akan menyesal kelak, dan akan malu berada di samping seorang pria
yang menjijikkan....”
“Ohhh, Han Han, mengapa kau
berkata demikian?” Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung tangan kemudian
merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling cengkeram, suaranya
sungguh-sungguh, menggetar dan penuh perasaan.
“Han Han, kenapa kau menjadi
putus asa? Ke mana perginya kekerasan hatimu yang dahulu? Ke mana perginya
kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu? Dahulu engkau begitu
keras hati, begitu besar semangat, begitu mengagumkan? Setelah kakimu bun....
eh, hanya tinggal satu apakah engkau menjadi seorang yang tidak berguna lagi?
Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kaualami ini malah memperkuat dan
memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa
engkau dapat berbuat lebih baik daripada manusia yang utuh tanpa cacad!
Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacad tidak boleh dihina! Jangan
menjadi melempem, Han Han!”
Ucapan yang bersemangat dari
Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han. Seketika matanya
memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia bukanlah seperti
mutiara embun yang tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur hanya karena
tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia, yang berakal budi! Biarpun cacad,
kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang berguna?
“Aduh, Kim Cu...., terima
kasih....!” Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han
Han merangkul gadis itu dan menciumnya. Dia belum pernah berciuman didasari
cinta kasih, dan biasanya dia mencium Lulu secara main-main, dengan hidung pada
pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya sedikit saja pada kulit
pipi atau kulit dahi adiknya. Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan
ujung hidungnya dingin seperti es! Akan tetapi entah bagaimana, ciumannya
sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan, menjadi
kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan
terlepas lagi.
Mereka saling melepaskan
ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak dan napas
terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk menutupi
rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik tergagap, “Han Han, aku.... aku
mencintamu....”
Han Han memegang kedua tangan
gadis itu. “Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku, engkau seorang gadis
yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah
kulupakan! Engkau seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku dan.... heiii, Kim
Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah, bagaimana engkau berani
meninggalkan kamarmu? Bukankah.... bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau
tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh, bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh
guru dan suhengmu kalau engkau pulang nanti....!” Tiba-tiba Han Han yang
teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi gadis itu
menggeleng kepalanya dan berkata, “Aku sudah lari dari kamarku. Aku.... aku
tidak mau kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han.”
Han Han terkejut sekali.
“Tidak....! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan gurumu, dan
kakimu.... kakimu dibuntungi seperti aku....”
“Biarlah, dengan begitu
keadaan kita akan sama, bukan?” Kim Cu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba berkelebat bayangan
dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas dan pendengaran
tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li
sudah berdiri di hadapan mereka!
“Hemmm.... Kim Cu! Engkau
berani menentang perintahku? Engkau sudah begitu tergila-gila kepada bocah
ini?”
“Subo, aku mencinta Han Han!”
kata Kim Cu dengan berani.
“Toat-beng Ciu-sian-li, jangan
salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kauanggap suatu pelanggaran!”
kata Han Han.
Toat-beng Ciu-sian-li
memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau
bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat betapa murid yang
paling disayangnya, Kim Cu, mencinta pemuda itu dan berani menentang perintahnya.
“Kalian saling mencinta, ya?
Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut
bersamaku!” Nenek itu berkata dengan bengis. Kim Cu dan Han Han saling
berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan gurunya, berkata
kepada Han Han.
“Marilah, Han Han. Apapun yang
akan terjadi, aku rela asal bersamamu.” Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya
pergi mengikuti gurunya. Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi
gadis itu, tidak berkata apa-apa dan berloncatan dengan sebuah kakinya,
dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh Kim Cu. Mereka berdua maklum bahwa
mereka berada di tangan nerek itu, mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi
wajah Kim Cu berseri, sedikit pun tidak takut asal ia bersama orang yang
dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi seorang yang sedang diamuk cinta.
Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu,
sungguhpun ia amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan
rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia hanya merasa cemas,
bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan
keselamatan Kim Cu. Betapapun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan
kemampuanku untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia
berloncatan bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang
mengerikan itu.
***
Kita tinggalkan dulu Han Han
dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng Ciu-sian-li, bagaikan
dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti
perjalanan Lulu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh
Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap pemuda bangsawan yang lihai ini,
Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata kepadanya.
“Dengarlah, bocah yang binal!
Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok dan aku
tidak mempunyai niat buruk kepadamu.” Ia masih belum membebaskan gadis itu
dari totokan.
“Beginikah orang yang tidak
berniat buruk? Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak mampu
betgerak?”
Ouwyang Seng tertawa. Gadis
ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak
diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita
selincah ini.
“Kalau kau berjanji tidak akan
melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk ikut
denganku ke kota raja, dan tidak membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu
bahwa engkau seorang gadis Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar.”
Lulu mengangguk dan berkata.
“Baiklah. Bebaskan aku.” Dia cerdik sekali dan dia akan mencari kesempatan
baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat menggunakan
kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda yang
tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng membebaskan
totokannya dan Lulu mengomel, “Engkau kejam sekali. Sampai kaku-kaku tubuhku,
dan kauapakan Kokoku Han Han?”
“Dia bukan Kakakmu, engkau
gadis Mancu dan puteri perwira, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Pendeknya aku tahu, dan eh,
siapa namamu?”
“Katanya sudah tahu. Kenapa
tanya nama?”
Ouwyang Seng gemas. Kalau
bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya bibir manis yang
lincah itu.
“Dengarlah. Kami telah
mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja. Sudah lama
kami mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan siapa
namamu.”
“Namaku Lulu. Sie Lulu!”
Kembali Ouwyang Seng tertawa.
“Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie? Apakah orang tuamu she Sie? Tak
bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang memungut batu di pinggir
jalan!”
“Kokoku she Sie, tentu saja
aku pun she Sie,” bantah Lulu merengut.
“Sudahlah, baik kau she Sie.
Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau akan kami bawa ke
istana.”
Lulu tidak membantah dan
mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran ini melihat
puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri
lalu membawa Lulu menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis itu. Ketika
Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut sekali dan menundukkan muka tidak berani
memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat ia merasa
dirinya kecil. Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biarpun agak kaku, Lulu
dapat menjawab dan dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para
pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat
oleh Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han
Han, dia mengerti bahwa pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar merasa suka dan kasihan
kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus
belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang petatih. Sejak hari itu,
Lulu tinggal di istana. Akan tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguhpun
hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, pada suatu
malam ia berhasil minggat dari istana. Bagaimana mungkin ia dapat hidup senang,
biar di dalam istana indah sekalipun kalau ia jauh dari kakaknya?
Lulu memang cerdik. Ia maklum
bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan dicari dan
dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu dan pada
keesokan harinya, ia melepaskan semua perhiasan emas permata yang harus ia
pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual sebagian perhiasan
itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria. Biarpun telah menyamar
sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau menghentikan
larinya dan ia pun melarikan diri ke jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari
kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya diserang oleh
orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah
kakaknya?
Ia memasuki kota Tiong-bun
pada suatu sore dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju ke selatan kota,
ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan
itu. Si kakek menjawab bahwa mereka hendak menonton pertunjukan silat yang
dibuka oleh rombongan ahli silat perantauan. Lulu tertarik sekali dan ikut
menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi, ia
melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh
sudah terdengar suara tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil
berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.
Ilmu silat memang merupakan
seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak tari yang
terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah namun
menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang kokoh kuat dan daya serang yang
lihai dan praktis. Cadis cilik itu tentu saja belum matang gerakan-gerakannya,
lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika
ia bermain pedang. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang
bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu
memiliki bakat menari yang baik, Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu.
Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun
tidak tahu bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah daripada
gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa
dia bukan bersilat melainkan menari.
Yang menabuh tambur adalah
seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan kedukaan besar,
sungguhpun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat betapa banyak
orang yang menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan silat pedang
anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada pula seorang laki-laki berusia kurang
lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini berdiri
bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang mata penuh
penilaian. Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah seorang
wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil yang ditabuhnya
perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini menambah
keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik itu mengakhiri
permainan pedangnya dengan gerakah indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke
kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan
kepada tangan kanan merupakan penghormatan, tubuhnya membungkuk ke empat
penjuru dan senyum manis menghias bibirnya yang mungil.
Tepuk tangan dan sorak-sorai
meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang tersenyum-senyum dan
membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk
tangan dan bersorak memuji, karena dia benar-benar kagum sekali.
Kini kakek itu maju dengan
tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang dilemparkan ke
atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan melemparkannya ke
atas panggung.
“Cu-wi sekalian, terima kasih
banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang yang masih buruk dari
cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan
silat di kota ini, bukan semata-mata untuk mencari dana sungguhpun tidak
sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan hati cu-wi sekalian yang telah sudi
menyumbang. Tujuan kami yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan dari
satu golongan, yaitu para penggemar ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap
sudilah kiranya di antara cu-wi yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik
ke panggung dan melebarkan pandang mata, meluaskan pengalaman, dan menambah
pengertian kami dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan
saya, kemudian mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan
beberapa macam pukulan tangan kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon
sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat berkenalan dengan cu-wi
sekalian. Terima kasih.”
Pidato singkat kakek itu disambut
dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling towel,
saling menyuruh teman untuk naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu.
Mereka dorong-mendorong, dan yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak
berani naik ke panggung, mereka hendak melihat-lihat dulu bagaimana macamnya
dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga tukang silat itu.
Atas isyarat kakek itu, wanita
yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada suaminya, dan dia
sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah
sampai di tengah panggung, mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan
ke empat penjuru, kemudian mulailah ia bersilat. Seperti juga puterinya,
wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai namun kini berbeda
dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup
kuat. Gerakan tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai
ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu menghabiskan
gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan menghadapi para
penonton, berkata dengan suara manis dan sopan.
“Di antara cu-wi sekalian yang
sudi memberi pelajaran kepadaku, dipersilakan naik.”
Sampai lama tidak ada yang
naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat melihat dasar gerakan wanita
itu, menjadi gentar. Benar bahwa naik berarti hanya menguji kepandaian, akan
tetapi kalau kalah, apalagi deh seorang wanita, tentu akan menjatuhkan namanya.
Maka kembali saling dorong dan saling membujuk teman yang mengerti ilmu silat.
Setelah wanita itu mengulangi
sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba mdayanglah tubuh seorang
laki-laki yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga
puluh tahun. Ketika kakinya turun ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa
tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia menyeringai dan berkata kepada wanita
yang menyambutnya dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.
“Aku bernama Louw Cang,
penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya mengerti
sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka
Hitam). Sekarang mendengar kesempatan untuk menguji kepandaian silat, dan
tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya ingin belajar
kenal!” Ketika mengucapkan kata-kata “belajar kenal” matanya bermain dan
sikapnya ini memancing suara ketawa banyak orang.
“Terima kasih atas perhatian
Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali.
Silakan!” Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya
dengan sikap tenang sekali.
“Nyonya, lihat seranganku!”
Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu bahwa orang kasar
ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki kepandaian yang
berarti. Agaknya hal ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka
menonton dengan acuh tak acuh. Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak
begitu hebat kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak
sengaja diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa
pukulan pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya
terdorong ke depan sampai terhuyung.
Kalau nyonya itu menghendaki,
selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat mengirim pukulan
atau tendangan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh,
maka ia juga menanti saja. Si Muka Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali
ia menerjang dengan pukulan yang lebih keras, kini mengarah dada! Kembali
nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat membalikkan
tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia
mengerahkan tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya
penuh keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu merasa sudah cukup
mengelak terus, apalagi kini tubuh lawannya yang berkeringat itu mengeluarkan
bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran
itu. Apalagi, dari bunyi tambur yang dipukul ayahnya, ia tahu bahwa ayahnya pun
memberi tanda kepadanya untuk mengakhiri pertandingan. Maka ketika laki-laki
lawannya itu kembali memukul dengan keras, ia miringkan tubuhnya, menangkap
pergelangan tangan yang memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan
pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar, kaki Si
Wanita menendang perlahan ke arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang
menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi tubuh Si Naga Muka Hitam
itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!
Tepuk sorak para penonton
menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah meloncat
bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu diri, dan karena ia
menjadi jagoan di kotanya maka ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi.
Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita, hatinya menjadi penasaran,
apalagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama
sekali tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak
merobohkannya secara hebat.
“Aku belum kalah!” bentaknya
seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang menganggap nyonya
itu sudah menang. “Jagalah seranganku!” Ia menerjang lagi dan sorakan penonton
berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan berlangsung
lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali.
Dugaan mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan
nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Seperti tadi, nyonya itu
mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan meloncat ke
kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur waktu untuk
menyudahi pertandingan dan diam-diam ia merasa gemas melihat laki-laki yang tak
tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi sedikit hajaran, Si Muka
Hitam ini tentu akan nekat terus.
“Hyaaatt!” Si Muka Hitam
menendang dengan kaki kanan, ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu
jauh ke depan sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya
yang besar itu menonjok dari bawah mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu
maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat
kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan, sambil mengelak kakinya
menyambar, ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lwee-kang ke arah lutut
Si Muka Hitam.
“Krekkk!” Tak dapat
dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu nyonya
yang lihai itu.
“Ayaaa.... hwaduhhh....
uggghhh....!” Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki
kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil berloncatan
dengan kaki kiri terputar-putar. Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa
diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut sampai ke
jantung.
Karena para penonton yang
menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya, kini menyaksikan
penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan bahkan menjadi geli dan
terdengar suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia
menjadi bahan tertawaan.
“Maafkan saya, Louw-enghiong.”
Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran pandang dari ayahnya. Kakek
itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan
paha, kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.
“Harap Louw-enghiong memaafkan
kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu.”
Akan tetapi Si Muka Hitam yang
kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya ditotok, memandang dengan
mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan
tanpa pamit ia melangkah ke pinggir panggung. Akan tetapi mukanya menyeringai
lagi ketika ia melangkahkan kaki karena begitu digerakkan untuk berjalan,
lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun,
kemudian menuruni panggung dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah
tiba di atas tanah ia lalu pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang
sehingga dari belakang tampak pantatnya berjungkat-jungkit dan tubuhnya
miring-miring amat lucu bagi para penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah nyonya itu mundur,
kakek itu menghadapi para penonton dan menjura sikap tenang. “Kami merasa amat
menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat yang lihai dalam ilmu
silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan karena kesalahan anak saya yang
didesak-desak. Kami mengharap munculnya para sahabat yang benar-benar ingin
berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu silat, Kami
persilakan!” Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya perlahan-lahan
dan lambat-lambat.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di
antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para penonton bergerak mundur dan
minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang perwira Mancu dan para
pengikutnya yang melihat pakaiannya adalah perajurit-perajurit yang
berpangkat, sedikitnya kepala regu. Ada tiga orang perwira dan sepuluh orang
anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu
yang dimengerti oleh Lulu, murid di antara para perwira itu, yang hidungnya
melengkung seperti hidung burung kakatua, dengan gerakan ringian meloncat ke
atas panggung.
Lulu memandang penuh
perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan mereka tadi sebelum
naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan nyonya tadi dan
mengandung niat hati tidak baik, menganggap para rombongan silat itu sebagai
“pelanggar hukum”.
Melihat majunya seorang
perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja, malah memberi
isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh tambur. Kemudian
ia sendiri melangkah maju menyambut perwira hidung bengkok itu sambil menjura
penuh hormat dan berkata.
“Maaf, Tai-ciangkun. Apakah
ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan kami dan memberi
petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?”
Perwira itu mengangkat dadanya
yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya nyaring, “Kakek,
apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa kalian telah
melanggar hukum?”
Para penonton mendengar suara
keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan cucu Si
Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika
menjawab.
“Maaf, ciangkun. Sepanjang
pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang rombongan silat seperti
kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan para ahli silat dan untuk
meluaskan pengalaman.”
“Hemmm, semua orang tahu bahwa
telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa senjata tajam. Apakah
engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak tahu?”
Kembali kakek itu menjura.
Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara para penonton yang
menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton diam-diam telah
meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau terbawa-bawa. Apalagi mereka
yang merasa telah “melanggar hukum”. Pada waktu itu, pemerintah Mancu
mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang menghina penduduk pribumi.
Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut diharuskan bertumbuh panjang
dan dikuncir ke belakang seperti buntut, dan pakaian para pribumi harus
“mencontoh” pakaian Mancu! Tentu saja peraturan ini tidak dapat ditaati secara
serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak
terlalu menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah
pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah pelarangan membawa
senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat mengadakan
pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian
dan rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung
Bengkok mempersoalkan hukum ini.
“Maaf, Tai-ciangkun,” Si Kakek
menjawab dengan sikap penuh hormat sungguhpun tidak menjilat, “kami mengerti
akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa
senjata hanya sebagai perlengkapan dalam permainan silat yang kami
pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat mempertunjukkan ilmu silat?
Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu tidak
akan dapat menari. Adapun mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa
kami sesuaikan dengan pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami
selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk berkenalan, juga merupakan
rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang
sesuai dan ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau tidak sedang
mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan mengubah cara kami berpakaian,
dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah.”
Perwira itu tertawa dan
melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil memandang penuh
perhatian. “Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya mengingatkan
kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi kusuruh tangkap kalian!
Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan sekali, aku pun pernah belajar
ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu silatnya sehingga mudah
saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku mencoba-coba kelihalannya.
Bagaimana?”
Kakek itu mengerutkan
keningnya, “Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat pasaran saja,
mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun? Harap ciangkun jangan main-main.”
Kakek itu tersenyum.
“Siapa main-main? Hayo suruh
dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!”
Kakek itu menjadi serba salah.
Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding
menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau lawannya orang
biasa, kalah atau menang bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau
melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira tentu akan merasa
tersinggung kehormatannya dan tentu akan mengandalkan kekuasaannya mencelakakan
mereka. Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya bagi
keselamatan anaknya.
“Biarlah saya yang akan maju
melayani Tai-ciangkun beberapa jurus,” katanya. Kalau dia yang maju, tentu
saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua pukulan dari
ciangkun ini, asal keluarganya tidak terganggu.
Akan tetapi, perwira hidung
bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan alisnya diangkat,
matanya melotot. “Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu,
mengapa aku tidak? Apakah kauanggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding
melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan sikapmu.”
Wanita itu melangkah maju dan
berkata, “Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus.”
Kakek itu menghela napas dan
mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang memandang dengan
wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung kekhawatiran, lalu
mainkan gembreng. Wanita itu melangkah perlahan ke tengah panggung, dipandang
oleh si perwira yang menelan ludah melihat langkah-langkah lemah gemulai dan
pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat. Wanita itu
benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus itu tanpa
dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan matang
seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang lebih usianya dan sudah
mempunyai seorang anak.
Wanita itu menjura dengan
hormat dan berkata dengan suara halus, “Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran
silat kepada saya? Silakan.”
Sejenak perwira itu memandang
kagum, terpesona oleh kecantikan aseli wanita itu, kemudian tertawa menyeringai.
Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat
agar menarik dan wajahnya berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa
yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu akan membuat mukanya makin buruk dan
senyumnya seperti monyet menyeringai.
“Heh-heh, Nona terlalu
merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai itu.” Ia
sengaja menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya malah
ingin menyenangkan hati orang karena perwira ini maklum bahwa murid wanita
akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan cemberut kalau
disebut nyonya. Akan tetapi wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang
isteri yang setia, maka mendengar sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia
menjawab.
“Saya bukan gadis, ciangkun,
melainkan seorang ibu. Di sana itu suami saya dan anak perempuan itu adalah
anak saya.”
Terdengar suara ketawa ditahan
di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah. “Ah,
baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!” Ia lalu melangkah maju dan
menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang main-main, akan tetapi
nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini membawa angin pukulan
yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menggerakkan kakinya
mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri dan dari samping kakinya
mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah tendangan kilat.
“Aihhhhh, cepat sekali!” Si
perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan
kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.
Wanita itu cepat menarik
kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira itu membabatkan
tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim pukulan ke arah
muka si perwira yang terbuka.
Perwira itu sengaja berlaku
lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat
sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik kembali
tangannya seperti yang dilakukannya dengan tendangan tadi, tiba-tiba tangan
kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu pergelangan
tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya! Terdengar seruan
kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka. Si
wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu memiliki
kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah ditangkap dan ia tidak mampu
melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan kiri,
dengan pukulan yang melengkung dari luar. Seperti tadi, perwira itu seperti
tidak mengelak, dan setelah pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya
menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia bawa ke
tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua
pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!
“Ohhh.... le.... lepaskan
tanganku....!” Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha melepaskan tangannya
yang keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Namun
usahanya sia-sia dan si perwira tertawa-tawa bahkan mengulur tangan kanannya
mencengkeram ke arah dada!
Kakek itu terkejut, maklum
bahwa nyawa puterinya terancam maut. Akan tetapi ternyata perwira itu tidak mencengkeram
untuk membunuh, melainkan mencengkeram dengan halus dan meremas-remas dada
wanita itu secara kurang ajar sekali sambil tertawa-tawa!
“Lepaskan isteriku!” Tiba-tiba
laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan, meloncat maju. Ia masih
ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan
keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang
sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira
itu membentak.
“Pergilah!”
Tangan kiri yang membelenggu
kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang,
sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke
arah kepala laki-laki suami wanita itu.
“Ahhhh....!” Laki-laki yang
diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali
tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
“Krekkk!” Patahlah tulang
pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh.
Kakek itu meninggalkan
tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si perwira yang
bertolak pinggang, menjura dan berkata.
“Kepandaian Tai-ciangkun
sungguh hebat sekali dan kami merasa beruntung dan berterima kasih telah
mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan pengalaman dan
pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri
meninggalkan kota ini.”
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek
Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian
untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan puterimu, berarti aku
telah menjadi sahabat pula, bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam
nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan malam gembira, maka sebagai
sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk bantu
meramaikan malam gembira itu.”
Wajah kakek itu menjadi pucat.
“Maaf, Tai-ciangkun.... hal itu mana bisa dilakukan....?”
“Tentu saja bisa kalau mau!”
jawab Si Perwira.
“Aku tidak mau, Tai-ciangkun.
Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu....”
“Ha-ha-ha, beginikah harganya
persahabatan kalian?” Perwira itu mengejek dan dua orang perwira lain yang
berada di bawah tertawa.
“Kami sudah bosan dengan
gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu menggembirakan,
ha-ha-ha!”
Melihat sikap mereka, kakek
itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata, nadanya
tegas, “Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu
itu.”
Perwira itu menggerakkan
alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan.
“Apakah ini berarti bahwa aku
harus mengalahkan engkau dulu?”
Kakek itu maklum bahwa perwira
berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya mengalahkan puterinya dan
merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan
tandingan si perwira. Akan tetapi, demi menjaga kehormatan puterinya dan nama
baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata.
“Terserah penilaian Ciang-kun!”
“Hemmm, engkau orang tua tidak
memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau untuk
mampus!” Perwira itu melangkah maju dan pada saat itu berkelebat bayangan
orang dan terdengar bentakan halus.
“Tunggu dulu....!”
Perwira hidung bengkok itu
menahan serangannya dan melangkah mundur, kemudian berdiri dan terpesona
ketika melihat seorang pemuda remaja yang amat tampan telah berdiri di depannya
sambil bertolak pinggang, sikapnya angkuh sekali seperti seorang jenderal, akan
tetapi wajah yang tampan itu agaknya tidak bisa membayangkan kemarahan maka
kelihatannya cerah dan berseri. Sepasang mata yang lebar dan bercahaya terang
seperti sepasang bintang itu seolah-olah menembus dada menjenguk jantung.
“Pemuda” ini bukan lain adalah Lulu yang tak dapat menahan kemarahannya lagi
menyaksikan lagak dan perbuatan perwira itu.
“Eh, engkau ini siapakah dan
mengapa menahan aku menghajar Kakek tak tahu diri ini?” Si Perwira akhirnya berkata
setelah pandang matanya puas meneliti seluruh tubuh pemuda yang berdiri angkuh
di depannya itu.
“Engkau yang tak tahu diri!”
Lulu membentak, mengejutkan hati semua orang termasuk kakek yang berdiri di
belakangnya itu. Akan tetapi mereka semua makin terkejut dan khawatir lagi
ketika pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya sambil menudingkan
telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang bengkok itu, “Engkau ini perwira
macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian untuk menghina wanita dan memukul rakyat,
mengandalkan kedudukan untuk menindas rakyat! Dumeh (mentang-mentang) menjadi
perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan kekuasaanmu untuk bertindak
sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira untuk menginjak-injak rakyat?
Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan, akan tetapi engkau malah menjadi
pengacau keamanan! Seharusnya perajurit menjadi pelindung rakyat! Akan tetapi
engkau malah menjadi pengganggu rakyat! Kalau rekan-rekanmu di bawah itu tahu
diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau sudah diseret turun dari panggung
ini dan menerima hukuman dari atasanmu!”
Tidak hanya para penonton dan
rombongan silat itu yang tercengang keheranan, juga Si Perwira sendiri
berikut teman-temannya memandang dengan melongo. Sikap pemuda ini seperti
seorang jenderal memarahi anak buahnya yang menyeleweng saja! Perwira hidung
bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah pucat. Ia menduga-duga akan tetapi
tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu bertanya.
“Eh, pemuda yang lancang
mulut. Siapakah engkau sebetulnya?”
“Aku rakyat biasa yang tidak
sudi melihat adanya perwira macam engkau ini menghina rakyat yang tidak
berdosa!”
Sejenak perwira itu memandang,
kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, pemuda liar macam engkau ini sungguh
menggemaskan! Hemmm, ingin kupukul bibirmu sampai berdarah!” Ia menoleh kepada
teman-teman di bawah panggung. “Bagaimana kalau aku tangkap pemuda liar ini
agar malam nanti dia menjadi badut meramaikan malam gembira kita?”
“Akur! Akur!” teriak dua orang
perwira dan para anak buahnya. Perwira hidung bengkok itu kembali menghadapi
Lulu dan berkata mengejek.
“Kalian orang-orang Han memang
sombong! Kalau aku menghina orang-orang Han, engkau mau apa?”
Kemarahan Lulu membuat mukanya
menjadi merah. Dia muak menyaksikan sikap perwira bangsanya sendiri! Ayahnya
dahulu juga seorang perwira Mancu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ayahnya
tidak jahat seperti orang ini.
“Mau apa? Mau apa kautanya?
Mau apa lagi kalau tidak menghancurkan hidungmu yang bengkok itu!” bentaknya
dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat, yang
kiri menyodok perut yang kanan mencengkeram leher!
“Wah-wah, ganas....!” Perwira
yang memandang rendah gadis itu mengejek. Tangan kanan gadis itu datang lebih
dulu ke lehernya, cepat ia tangkis dan tangan kiri gadis yang menyodok
perutnya, hendak ditangkapnya seperti yang ia lakukan pada nyonya tadi. Akan
tetapi, tiba-tiba ia mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan kanan Lulu
yang ditangkis itu tidak membalik, melainkan meluncur ke atas dan pada detik
berikutnya, tangan gadis itu sudah menampar hidungnya yang bengkok!
“Dessss!” Perwira itu menjerit
dan darah muncrat-muncrat dari hidungnya yang benar-benar telah hancur, bukit
hidungnya lenyap dan remuk bersama tulang mudanya, dan kini hanya tinggal dua
buah lubang yang penuh darah! Lulu mengayun kakinya dan tubuh perwira yang
besar itu tertendang, terguling dari atas panggung, menimpa teman-temannya
dalam keadaan pingsan!
“Pembunuh! Pemberontak!
Tangkap!” bentak dua orang perwira lainnya dan bersama sepuluh orang anak buah
mereka, dengan marah mereka meloncat ke atas panggung dengan golok terhunus.
Gegerlah tempat itu. Para penonton lari berserabutan saling tabrak, di antara
mereka yang tidak keburu lari menjadi korban hantaman golok anak buah perwira
yang seperti biasa dalam keadaan seperti itu memperlihatkan “kegagahannya”
menyerang orang-orang yang tidak mampu membalas.
Kini dua belas orang perajurit
itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa “pemuda” yang perkasa itu terancam,
kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan
kakek itu berseru, “Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini!”
“Untuk melawan
penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan pedang,
Lopek?” Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua orang
perajurit pengawal roboh kembali ke bawah panggung. Karena maklum bahwa pemuda
itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan menyerang Lulu yang
menggunakan kegesitan tubuhnya untuk berkelebat menghindarkan
serangan-serangan golok mereka. Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan
anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di
sudut panggung dengan muka pucat.
Biarpun dalam hal ilmu silat
Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia memiliki sin-kang yang amai
kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari
tandingannya. Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu
selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi.
Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia
tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu, dan kehilangan
hidungnya.
Kakek dan puterinya bersilat
dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu
beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya
berhasil pula menendang perut seorang perwira yang segera berjongkok
menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu. Karena kini ia hanya
menghadapi seorang lawan, Lulu dapat mempermainkannya. Sambil mengelak,
tangannya menampar dan sudah empat kali ia membuat perwira itu
terhuyung-huyung. Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil menyodok, jari
tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang patah dan tubuh
perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan. Lulu kini menyerbu
para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar teriakan-teriakan ramai dan datanglah sepasukan perajurit Mancu yang
jumlahnya tiga puluh orang lebih. Kiranya seorang di antara anak buah
perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor ke markas ketika menyaksikan betapa
fihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar dan rombongan tukang silat itu.
Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar jumlahnya, kakek itu berkata.
“Siauwhiap, harap melarikan
diri saja. Tidak perlu engkau mengorbankan keselamatanmu untuk kami....”
“Eh, omongan apa itu? Apa
kaukira aku takut mati, Lopek?”
Kakek itu melongo. Pemuda itu
lihai sekali, omongannya kasar dan wataknya ganas. Terpaksa ia tidak membujuk
lagi dan kini ia menyambar tubuh cucunya, dikempit dengan lengan kiri sedangkan
tangan kanan yang memegang pedang menyambut datangnya para pengeroyok yang
lebih banyak itu. Mereka terkurung dan panggung yang mereka injak bergoyang-goyang,
hampir tidak kuat menahan demikian banyaknya orang yang bergerak-gerak dalam
pertandingan keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda dan belasan orang berpakaian pengemis menyerbu para perajurit dari luar
sehingga keadaan pasukan pengeroyok menjadi kacau. Para pengemis ini rata-rata
memiliki kepandaian tinggi sehingga ketika menyerbu, banyak fihak tentara Mancu
yang roboh.
“Lekas kalian meloncat dan
memegang kuda ini!” Seorang di antara para pengemis itu berseru kepada
rombongan tukang silat dan Lulu. Pada saat itu, puteri kakek itu terluka oleh
sebuah bacokan di pundaknya dan terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan
membawanya meloncat ke atas punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para
pengemis. Kakek itu memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang
pundaknya sudah pula membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil
memutar-mutar golok dan pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan
membalapkan kuda meninggalkan kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama
kemudian mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Atas isyarat pimpinan
rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan si kepala rombongan yang bertubuh
tinggi kurus itu berkata, “Pasukan besar tentu akan mengejar kita. Sebaiknya
rombongan dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri bersama
sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!” Singkat saja ia
bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua. Mereka membagi kuda, Lulu duduk
di atas seekor kuda bersama anak perempuan kakek itu, kakek itu duduk bersama
pengemis tinggi kurus sedangkan anaknya bersama mantunya sekuda. Para pengemis
lainnya dipecah menjadi dua rombongan, yang serombongan membelok ke kiri, yang
serombongan ke kanan, sedangkan pengemis tinggi kurus bersama keluarga tukang
silat dan Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan.
Belum lama mereka melanjutkan
perjalanan, malam telah tiba dan di dalam hutan itu gelap sekali. “Terpaksa
kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku mengetahui sebuah gua yang
tersembunyi dan aman di depan. Mari!” kata pengemis kurus itu yang sejak tadi
tidak pernah membuka mulut.
Gua itu tersembunyi di balik
rumpun alang-alang yang tebal dan tinggi. Mereka lalu turun dari kuda, dan
pengemis itu menyembunyikan tiga ekor kuda itu dan agak jauh dari gua, kemudian
mereka semua memasuki gua dan tanpa banyak cakap pengemis kurus itu membuat
api unggun di dalam gua, mengeluarkan roti kering dan air, mengajak semua orang
makan dan minum hidangan yang bersahaja itu.
Setelah makan minum sekedarnya
dan melihat betapa suami isteri itu pucat menahan sakit, pengemis tinggi kurus
itu bertanya, “Ji-wi terluka?”
Tukang penjual silat, kakek
itu menjawab, “Mantuku patah tulang pundaknya dan anakku perempuan terluka
bacokan, tidak berbahaya akan tetapi tentu saja nyeri.”
“Jangan khawatir, Lopek. Aku
membawa obat minum untuk tulang patah. Akan tetapi untuk menyambungnya dengan
baik, harus menanti sampai kita bertemu dengan pangcu besok, dia adalah
seorang ahli menyambung tulang patah.”
Pengemis kurus itu
mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus diberikan kepada nyonya itu dan
sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri yang sudah berpengalaman itu
menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri luka-luka mereka. Melihat sikap
pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak banyak bicara akan tetapi yang
menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh, diam-diam Lulu menjadi
kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya. Akan tetapi karena dia belum
mengenal pengemis itu, tidak tahu dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama
sekali belum mengenal rombongan kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia
diam saja dan hanya mendengarkan.
“Bagaimana Lopek sampai
diserbu gerombolan anjing-anjing Mancu itu?” Tiba-tiba pengemis itu bertanya
tanpa memandang si kakek, dan menambah kayu api unggunnya. Lulu memandang
tajam, melihat betapa wajah pengemis itu keruh dan suaranya penuh kebencian ketika
menyebut “anjing-anjing Mancu.”
Kakek itu menghela napas
panjang dan memangku kepala cucunya, yang kelihatan lelah dan mengantuk itu.
“Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang melakukan perjalanan menyelidik,
mencari anakku perempuan ke dua yang dilarikan orang. Karena ada larangan
membawa senjata tajam, kami sengaja menyamar sebagai rombongan pertunjukan
silat agar leluasa membawa senjata. Siapa kira di kota Tiong-bun hampir saja
kami celaka kalau tidak ditolong oleh Siauwhiap ini.”
“Lopek salah sangka. Dia ini
adalah seorang Lihiap yang mengagumkan,” kata Si Pengemis dengan tenang tanpa
memandang Lulu. Tentu saja Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini
benar-benar memiliki mata yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
“Lihiap? Seorang dara remaja?
Ahhh, hebat.... ah, maafkan mataku yang sudah lamur, Lihiap.”
Tiba-tiba terdengar bisikan
nyonya cantik itu kepada suaminya, “Apa kataku? Dan engkau masih cemburu
melihat aku boncengan dengan dia sekuda! Apa kaukira semua laki-laki sejahat
perwira Mancu itu?”
“Sssttttt....!” Suaminya
menegur dan mukanya menjadi merah sekali. Lulu menahan hatinya yang geli dan
ingin tertawa. Kiranya suami itu menjadi cemburu ketika ia menolong isterinya
dan berboncengan di atas kuda! Betapa lucunya!
“Lokai (Pengemis Tua),
pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!” kata Lulu yang melepas
penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang kini terurai dan ia biarkan
saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah rahasianya terbuka.
“Tidak percuma aku merantau di
dunia kang-ouw sampai puluhan tahun, Nona. Lopek, harap suka melanjutkan
ceritamu. Siapakah yang melarikan puterimu?”
“Siapa lagi kalau bukan anjing
Mancu!”
Kembali Lulu terkejut. Hatinya
terpukul berkali-kali. Hari ini ia telah menyaksikan kejahatan perwira-perwira
Mancu dan anak buahnya, dan kini ia lagi-lagi mendengar akan kejahatan bangsanya.
Hatinya tidak enak dan ia memandang api unggun, menutup mulut membuka telinga
mendengarkan penuturan kakek itu.
Kakek itu bernama Gak Mong,
seorang duda yang tinggal di kota Bwee-hian dekat kota besar Cin-an bersama dua
orang puterinya dan seorang mantu serta seorang cucu. Puterinya yang bungsu
bernama Gak Siok Ci, seorang dara remaja berusia delapan belas tahun. Pekerjaan
kakek ini adalah piauwsut yaitu pengawal barang-barang berharga yang dikirim
jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang puterinya dan seorang
mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang lumayan. Gak Kiong adalah
seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena pergaulannya yang luas ditambah
ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar
dan selalu dapat mengawal barang-barang kiriman dengan selamat.
Akan tetapi, malapetakia
terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal sekereta penuh bahan pakaian menuju
ke utara. Ia ditemani oleh seluruh keluarganya karena selain mengawal barang
berharga yang membutuhkan pengawalan yang kuat, juga sekalian mengajak
keluarganya pesiar ke utara, apalagi pada waktu itu perang telah selesai di
bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini perjalanannya
mendapat gangguan, bukan oleh perampok melainkan oleh sepasukan tentara Mancu
yang dipimpin seorang perwira bermata satu (mata kirinya buta). Kereta bahan
pakaian itu dijadikan rebutan oleh anggauta pasukan. Tentu saja keluarga Gak
ini melakukan perlawanan, namun perwira itu ternyata merupakan perwira kelas
satu yang memiliki ilmu golok yang hebat, apalagi dibantu oleh puluhan orang
anak buahnya, maka keluarga Gak itu dikalahkan dan terluka, kecuali Gak Siok Ci
dara remaja yang cantik jelita itu, yang ditawan dan dibawa pergi oleh si
perwira mata satu!
Terpaksa keluarga itu pulang
dengan hati penuh kedukaan. Untuk mengganti barang kawalan yang habis itu
terpaksa pula Kakek Gak menjual semua rumah, tanah dan barang miliknya,
kemudian mereka semua lalu meninggalkan tempat tinggal mereka dan merantau ke
utara dengan maksud mencari anak perempuannya yang hilang.
“Sampai berbulan-bulan kami
merantau, namun tidak dapat menemukan jejak anakku. Perwira mata satu itu lihai
sekali, maka kurasa dia tentu berada di dekat kota raja. Apapun yang terjadi,
kami bertekad untuk mencari anakku dan membalas dendam kepada perwira keparat
itu!” Kakek Gak mengakhiri penuturunannya sambil mengepal tinju.
“Perwira mata satu? Tinggi
besar dan senjatanya golok besar?” Tiba-tiba pengemis itu menepuk pahanya dan
berseru, “Jangan-jangan dia itu Twa-to-kwi (Setan tolok Besar) Liok Bu
Tang....!”
“Serrrrr....!”
Sebatang anak panah menyambar
dari luar gua dan Lulu yang bermata tajam cepat menggerakkan tangan menangkap
anak panah itu. Pengemis kurus itu memadamkan api unggun dan berbisik,
“Bersembunyi mepet dinding gua....!”
Dari luar gua terdengar suara
ketawa bergelak, “Ha-ha-ha! Jembel busuk Kwat Lee, benar sekali ucapanmu.
Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di sini. Engkau boleh berjuluk Bu-eng
Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan) akan tetapi sekali ini bukan saja
bayanganmu juga orangnya, akan menjadi tawananku atau menjadi setan penasaran.
Ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji, menyerahlah. Gua telah dikepung
puluhan orang bala tentaraku!”
Pengemis tinggi kurus yang
bernama Kwat Lee itu berbisik, “Tidak ada pilihan lain. Tinggal di sini berarti
mati konyol. Kalau menyerbu keluar, dikeroyok, akan tetapi belum tentu kita
mati semua. Masing-masing mencari jalan keluar sendiri, lebih baik seorang dua
orang ada yang selamat dan bebas daripada semua mati. Lihiap, kau mengambil
jalan kiri. Gak-lopek, engkau dan puteri serta mantumu mengambil jalan kanan,
kaupondong cucumu. Aku akan mengambil jalan depan!”
Kembali Lulu kagum bukan main.
Pengemis ini memilih jalan yang paling berbahaya bagi diri sendiri!
Dari luar gua terdengar suara
ketawa yang tadi. “Ha-ha-ha! Engkau ketakutan, jembel busuk? Aku tahu bahwa engkau
berada di dalam gua bersama Keluarga Gak. Eh, Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu
hendak mencari si manis Siok Ci anakmu? Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia
di neraka. Dan pemuda hijau yang ikut bersama kalian juga akan mampus.
Ha-ha-ha!”
“Aahhhhh, adikku Siok Ci....
engkau.... sudah mati....” Nyonya itu menangis. Ayahnya membentak.
“Dia sudah mati lebih baik!
Mengapa engkau menangis? Kita pun menghadapi kematian! Orang gagah tidak
menangis menghadapi kematian di tangan musuh!”
Seketika nyonya itu
menghentikan tangisnya, mengepai tinju dan berseru, “Anjing-anjing Mancu,
rasakan pembalasanku!”
Lulu kagum sekali. Orang-orang
Mancu itu.... ah, ia malu sekali. Mendengar bahwa ia disebut “pemuda hijau”,
cepat Lulu menutupi rambut yang digelungnya dengan kain kepalanya, kemudian ia
berkata, “Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil jalan depan!” Ucapannya
tegas dan sedikit pun tidak membayangkan kegentaran. Pengemis itu di dalam
gelap memandang ke arahnya dengan kagum.
“Lihiap, engkau tidak
bersenjata?”
“Aku bisa merampas senjata
dari mereka.”
“Baiklah, engkau mengambil
jalan depan. Aku mengambil jalan kiri bersama mantu Gak-piauwsu yang patah
tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau bersama puterimu dan cucumu mengambil
jalan kanan.”
Tiba-tiba keadaan menjadi
terang ketika pasukan yang mengepung itu menyalakan banyak sekali obor dan memegang
obor di tangan kiri, diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kanan memegang
senjata tajam. Di antara sinar obor, tampaklah perwira tinggi besar yang
memegang golok besar pula, matanya yang tinggal sebelah bercahaya mengerikan.
Mereka yang berada di dalam
gua sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah memegang senjatanya, yaitu sebatang
tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya dipasangi baja runcing. Gak Kiong
kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan dan cucunya dipondong di lengan
kiri. Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan
kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri,
berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng
Sin-kai itu.
“Siap! Kita menyerbu keluar.
Satu, dua, tiga....!”
Meloncatlah mereka keluar,
Lulu yang memiliki gin-kang istimewa itu melompat paling dulu menerjang ke
depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng Sin-kai didampingi mantu Gak-piauwsu
menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama puterinya menerjang ke kanan.
“Tangkap pemberontak!
Bunuh....!” Terdengar teriakan riuh-rendah dan sinar obor bergerak-gerak
menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan bergerak ke depan.
Karena mendengar cerita Kakek
Gak, dan mendengar pula ucapan perwira mata satu, timbul kebencian di hati Lulu
terhadap perwira ini. Maka begitu ia menerjang ke luar dan disambut oleh dua
orang tentara Mancu, dengan mudah ia merobohkan mereka dengan pukulan dan
tendangan, berhasil merampas sebatang pedang kemudian ia meloncat ke depan
perwira yang memegang golok besar itu dan terus menusuk dengan pedang
rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
“Ha-ha-ha, pemuda hijau berani
bertingkah?” Perwira mata satu itu menggerakkan goloknya dengan pengerahan
tenaga dan ia yakin bahwa sekali tangkis, kalau tidak mematahkan pedang lawan
sedikitnya ia tentu akan mampu membuat pedang itu terlepas.
“Heh....? Ahhhhh....!” Ia
meloncat ke belakang sambil mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang
yang tadi menusuk dan ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelakkan
tangkisannya dan terus membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa “pemuda”
itu tak boleh dipandang ringan.
“Hemmm, Twa-to-kwi Liok Bu
Tang, dumeh matamu cuma satu engkau berani memandang sebelah mata kepadaku?”
ejek Lulu yang menerjang terus dengan hebatnya. Gerakannya memang gesit sekali
dan ilmu pedangnya amat indah. Di bawah sinar api obor, pedang rampasannya
berubah menjadi gundukan sinar bundar seperti payung yang melayang maju ke arah
Liok Bu Tang.
“Setan alas! Kaukira aku takut
padamu?” Biarpun mulutnya berkata demikian dan goloknya diputar cepat untuk
menangkis dan balas menyerang, namun kenyataannya perwira ini merasa lega
ketika empat orang tangan kanannya, yaitu perwira-perwira rendahan yang
menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok gadis itu dan membantunya.
Adapun Bu-eng Sin-kai Kwat Lee
yang menerjang ke kiri bersama mantu Kakek Gak, juga menghadapi pengeroyokan
belasan orang tentara. Kwat Lee dengan tongkat bambunya mengamuk hebat,
sebentar saja sudah berhasil merobohkan empat orang pengeroyok. Adapun mantu
Kakek Gak itu biarpun hanya dapat menggunakan tangan kiri, namun ia masih dapat
mempertahankan setiap serangan yang dapat ia elakkan atau tangkis. Namun
hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke kanan di mana ia melihat
isterinya dan ayah mertuanya, yang menggendong puterinya juga dikeroyok banyak
orang.
Lulu marah bukan main
menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu ini. Lenyap sama sekali perasaan
tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri dan kini yang terasa di hatinya
hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang jahat, membela orang-orang yang
benar. Berkat latihan-latihannya di Pulau Es, gin-kangnya jauh melebihi para
pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan, ketika tubuhnya melayang
tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya berbentuk gulungan sinar
seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya memukul ke arah seorang
pengeroyok dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.
“Plakkkkk!” Orang itu roboh
dengan kepala retak dan tewas di saat itu juga. Lulu merasa kecewa bahwa yang
tewas itu ternyata bukan Si Mata Satu, karena dari atas tadi ia hanya menyerang
pengeroyok terdekat.
“Keparat! Kepung, bunuh!”
teriak perwira mata satu dengan marah ketika melihat seorang pembantunya tewas.
Diam-diam ia pun merasa gentar
karena tidak menyangka bahwa “pemuda hijau” itu ternyata demikian lihainya.
Atas teriakannya ini, dua orang perwira rendahan maju menggantikan seorang yang
roboh. Kini Lulu dikeroyok oleh enam orang termasuk Si Mata Satu! Ia mengertak
gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar cepatnya dan kembali dua
orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang seorang putus lengannya, yang
seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua orang, pengganti mereka sudah
cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan kepungan ketat.
Pengemis kurus Kwat Lee juga
mengamuk secara hebat. Empat orang korbannya kini bertambah menjadi delapan
orang, kesemuanya perajurit-perajurit Mancu yang sungguhpun tidak selihai para
perwira yang mengeroyok Lulu kepandaiannya, namun karena jumlahnya amat
banyak, maka ia tidak dapat maju dan akhirnya terhalang oleh tumpukan
mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan sudah berjalan
hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang menengok lagi ke kanan mengeluarkan teriakan
ngeri ketika ia melihat isterinya roboh oleh tusukan tombak dari belakang. Ia
tidak mempedulikan lagi larangan Kwat Lee lalu meloncat dan lari menuju ke
kanan. Ia melihat isterinya roboh mandi darah dan pada saat ia hendak menubruk
isterinya, Kakek Gak berteriak keras dan ketika mantunya menengok, ternyata
ayah mertuanya itu roboh bersama-sama puterinya, keduanya menjadi sasaran
bacokan banyak golok dan pedang!
Dengan buas laki-laki ini
meloncat dan mengamuk dengan pedang di tangan kirinya. Kemarahannya, kesedihan,
dan dendam yang meluap-luap membuat gerakan pedangnya berlipat ganda kekuatannya
dan berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok sebelum ia sendiri roboh dengan
tubuh penuh luka. Habislah riwayat keluarga Gak yang gagah perkasa itu!
Kini tinggal Lulu dan Kwat Lee
yang melanjutkan perlawanan. Pengemis ini mengerti bahwa keluarga Gak tak dapat
ditolong lagi, maka ia cepat menggeser kedudukannya dan akhirnya berhasil mendekati
Lulu. Setelah dekat ia berteriak.
“Lihiap! Kita mengadu
punggung, saling melindungi!”
Lulu mengerti maksud pengemis
itu dan ia pun lalu berdiri membelakangi Kwat Lee dan biarpun punggung mereka
tidak sampai bersentuhan, masih terpisah kira-kira satu meter, namun dengan
kedudukan mereka itu, tidak ada pengeroyok yang akan dapat menyerang mereka
dari belakang sehingga bagi mereka akan lebih dapat melakukan pertahanan yang
kuat.
Liok Bu Tang si Mata Satu
sudah menjadi marah bukan main. Terlalu banyak ia kehilangan anak buah, dan
hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak yang empat orang jumlahnya, empat
orang itu pun yang seorang anak kecil dan seorang lagi sudah patah tulang pundaknya.
Sungguh memalukan! Tidak kurang dari lima belas orang anak buahnya tewas.
Si Mata Satu dan perwira
rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu oleh dua puluh lebih anak buahnya,
kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih marah lagi hati Si Mata Satu ketika
mendengar pengemis itu menyebut lihiap kepada “pemuda” itu. Hanya seorang
gadis remaja!Para pengepung mengangkat senjata, mengurung dan mencari
kesempatan baik, atau menunggu komando. Lulu dan Kwat Lee melintangkan senjata
di depan dada, siap melawan mati-matian. Keadaan amat menegangkan. Mata kedua
orang yang dikeroyok ini tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah
sinar obor yang kini dipegang oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut
mengeroyok, karena tidak kebagian tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar
dengan obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan.
“Serbu....!” Si Mata Satu
memberi aba-aba seperti kalau biasanya ia memberi komando pasukannya menyerbu
barisan musuh.
“Trang-trang-trang-cring-cring....!”
Suara bertemunya senjata nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api muncrat-muncrat
disusul teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang pengeroyok.
Kenbali kedua orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam karena para
pengeroyok juga diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap ketat. Kembali
mereka seperti patung, saling pandang dan menanti kesempatan. Keadaan lebih
menegangkan daripada tadi.
“Lihiap, berapa ekor
kaurobohkan?”
Lulu hampir tertawa.
Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini. Dikepung seperti itu, terancam
maut, masih sempat bertanya yang merupakan kelakar yang menyegarkan untuk
mengusir ketegangan.
“Lima.... ekor!” jawabnya,
lupa bahwa yang disebut lima ekor itu adalah lima orang perajurit bangsanya.
“Aku hanya empat ekor, kalah
satu ekor. Wah, engkau hebat, Lihiap.”
Melihat sikap tenang dan
mendengar percakapan mereka, seperti hampir meledak saking marahnya dada Liok
Bu Tang. Ia marah sekali dan menganggap anak buahnya tidak becus. Mengeroyok
dua orang saja sampai sekali gebrakan roboh sembilan orang!
“Serbu dan serang terus sampai
hancur tubuh mereka!” teriaknya sambil memutar golok. Kembali terdengar suara
nyaring bertemunya senjata dan sekali ini pertandingan benar-benar amat hebat.
Fihak pengeroyok terlalu banyak dan biarpun sewaktu-waktu si pengemis kurus
masih sempat bertanya berapa ekor yang dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban
mereka makin berkurang dan mereka menjadi lelah sekali. Berjam-jam mereka
dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah berkurang karena begitu ada yang roboh,
tentu ada pula yang menggantikannya. Mereka berdua tidak hanya mandi keringat,
juga mandi darah, sebagian besar darah lawan, sebagian kecil darah mereka
sendiri yang keluar dari luka-luka bekas bacokan senjata para pengeroyok. Paha
kiri Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai
tulangnya, juga dada kanannya somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah
membasahi seluruh dada dan kaki kiri. Akan tetapi pengemis ini tak pernah
mengeluh, terus mengamuk dengan tongkat bambunya. Lulu juga terluka, pundaknya
tertusuk mengeluarkan darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul,
kena diserempet pedang sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah
pula. Seperti pengemis yang sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat
itu, Lulu tidak mau mengeluh dan terus mengamuk.
“Jangan khawatir, Lihiap.
Biarpun mati, kita sudah mempunyai banyak pengawal! Kita sudah untung besar!”
demikian pengemis itu berkata gembira.
Lulu kagum bukan main.
“Sin-kai, aku akan bangga mati di samping seorang gagah perkasa seperti
engkau!” kata Lulu sambil menusukkan pedangnya sampai tembus di dada seorang
perajurit. Akan tetapi ketika ia mencabut podangnya, terdengar suara “krekk”
dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya itu terselip di tulang iga lawan dan
ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat itu, golok Liok Bu
Tang menyambar ganas. Lulu terkejut mendengar desing angin golok dari samping
ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan sampai jauh, ketika
meloncat bangun tangan kanannya menghantam kepala seorang lawan sampai pecah
dan tangan kirinya merampas pedang orang itu. Dia telah bersenjata lagi!
“Bukan main! Gerakammu luar
biasa indah dan lihainya, Lihiap!” Bu-eng Sin-kai Kwat Lee memuji akan tetapi
ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini ia sudah dihujani serangan
dari para pengeroyok yang mengepungnya. Biarpun napasnya sudah terengah-engah,
terpaksa ia mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya.
Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi lemah karena gerakan Lulu yang
menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat Lee sehingga kini para pengeroyok
membuat gerakan mengurung menjadi dua rombongan. Dikurung seperti itu tentu
saja lebih berbahaya dan lebih sukar melindungi tubuh, juga membutuhkan
pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar senjata ke belakang dan untuk
berloncatan.
Saking lelahnya ditambah
kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah hampir tidak kuat menggerakkan
senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan kelincahan mereka yang otomatis,
berloncatan ke sana ke sini untuk menghindarkan diri dari senjata lawan yang
datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan dua orang yang
dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata Satu yang merasa sakit hati dan penasaran,
ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang dengan golok besarnya, menghantam
tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara keras dan tongkat pengemis itu
mencelat entah ke mana. Tangannya yang sudah kehabisan tenaga tidak mampu lagi
mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu. Liok Bu Tang kini menyerang
Lulu dan seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguhpun kekuatan
sin-kang gadis ini sebetulnya lebih hebat, namun karena tenaganya habis,
pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari tangannya.
“Jangan bunuh mereka. Tangkap
hidup-hidup!” Liok Bu Tang berseru girang. Dia amat marah dan membenci kedua
orang itu dan kalau membunuh mereka, ia anggap terlalu enak bagi mereka. Tidak,
mereka harus disiksa dulu dan gadis remaja yang cantik itu.... ah, dia sendiri
yang akan “menanganinya”.
Perintah Si Mata Satu itu
menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee. Andaikata tidak ada perintah itu,
dalam keadaan bertangan kosong, dikeroyok begitu banyak tentara bersenjata,
dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka takkan dapat bertahan lama. Kini
para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu dengan tangan
kosong. Tentu saja Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja dan
menyambut mereka dengan hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan beberapa
orang sebelum Kwat Lee terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu sudah
merasa pening kepalanya, pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih
bertahan terus.
Pada saat itu terdengar suitan
keras sekali dan para pengeroyok tiba-tiba menjadi kacau-balau oleh serbuan
delapan orang berpakaian pengemis. Namun delapan orang itu ternyata lihai bukan
main, apalagi seorang di antara mereka, seorang kakek jembel yang sudah tua sekali
dan tubuhnya kurus kering tinggi, rambut dan jenggotnya yang sudah putih itu
riap-riapan dan kakinya telanjang. Dengan senjata sebatang tongkat butut
pengemis tua ini di samping tujuh orang temannya mengamuk dan setiap orang yang
dekat dengannya tentu roboh.
Ketika Twa-to-kwi Liok Bu Tang
melihat kakek tua ini, dia terkejut dan cepat meloncat mendekati Lulu, menggerakkan
goloknya membacok. Lulu yang sudah lelah sekali, mengelak ke kiri, akan tetapi
sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungnya dan ia roboh menelungkup.
Ketika ia menggerakkan kepala menoleh, ia melihat Si Mata Satu mengangkat
golok disabetkan ke arah lehernya. Lulu tidak berdaya lagi, dan ia
membelalakkan mata menanti datangnya maut yang tak terhindarkan lagi itu.
“Tranggggg....!” Golok itu
terpental dan Si Mata Satu cepat melompat tinggi dan terus kabur. Kakek tua
renta yang menangkis golok dengan tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar
tubuh Lulu yang sudah pingsan. Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa
pada detik terakhir ia tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang
ini membuat tubuhnya yang sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak
kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak tahu bahwa dia dan
Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa lari delapan orang pengemis lihai itu
ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lu-liang-san. Dalam keadaan pingsan ia
bermimpi bertanding dikeroyok banyak orang di samping kakaknya, dan hatinya
girang bukan main karena amukan kakaknya membuat semua pengeroyok lari tunggang
langgang!
Kita tinggalkan dulu Lulu yang
ditolong oleh para pengemis dan dibawa pergi untuk dirawat luka-lukanya dan
mari kita mengikuti pengalaman Han Han bersama Kim Cu. Telah diceritakan di
bagian depan betapa kedua orang muda itu diajak pergi oleh Toat-beng
Ciu-sian-li menuruni Puncak In-kok-san. Agaknya nenek yang memiliki watak sadis
ini sengaja membawa Han Han dan Kim Cu melalui lereng-lereng gunung yang terjal
dan sukar. Tentu saja Han Han yang baru saja buntung kakinya dan masih lemah,
menderita kurang darah dan nyeri, sengsara sekali harus mengikuti nenek itu
melalui jalan yang sukar. Ia terpincang-pincang dibantu tongkatnya dan untung
di sampingnya ada Kim Cu yang selalu menggandeng dan membantunya apabila
melalui jalan yang amat sukar. Cinta kasih gadis ini yang jelas tampak dalam
sikap dan pembelaannya, benar-benar amat mengharukan hati Han Han.
Ketika mereka tiba di sebelah
hutan, tiba-tiba nenek itu berhenti, menenggak araknya dan menarik napas
panjang. “Aaahhhhh, tidak sangka engkau mati di sini....!”
Han Han dan Kim Cu yang juga
berhenti, memandang nenek itu dan mengira bahwa tentu nenek itu akan turun
tangan membunuh mereka di tempat sunyi itu. Mereka hanya menanti nasib, karena
maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Akan tetapi di dalam hati dua
ordng muda itu terkandung tekad yang sama. Han Han mengambil keputusan untuk
menggunakan sisa hidupnya ini untuk membela Kim Cu dan kalau nenek itu turun
tangan hendak membunuh Kim Cu, ia akan melawannya, biarpun kakinya tinggal
satu. Demikian pula Kim Cu, dia akan membela Han Han kalau hendak dibunuh
gurunya dan ia akan melawan gurunya!
Tiba-tiba terdengar suara
orang bernyanyi! Suara itu halus dan terdengar seperti amat jauh, akan tetapi
kata-katanya jelas terdengar oleh mereka bertiga.
“Cinta....!
Betapa besar
kekuasaanmu
menyelimuti
seluruh alam mayapada
menunggang
angin menyelam air
terkandung
dalam api tanah dan kayu
engkaulah
penggerak perputaran ngo-heng
engkaulah
imbangan Im-yang!
Cinta
bertahta di langit
langit hanya
memberi tanpa meminta
nafsu
bertahta di bumi
memberi
sedikit akhirnya
minta
kembali seluruhnya!”
Mendengar kata-kata dalam
nyanyian itu, diam-diam Han Han terkejut. Kata-kata yang luar biasa, dan tidak
merupakan pelajaran apa pun juga. Seorang tosukah orang itu? Ataukah seorang
hwesio? Agaknya bukan. Kim Cu yang mendengar suara itu pun terheran dan memandang
gurunya, jelas bahwa gadis ini pun tidak mengenal suara siapa yang bernyanyi
itu.
Toat-beng Ciu-sian-li
menghentikan langkahnya, memandang ke depan dengan kening berkerut. Sepasang
mata nenek ini berkilat dan ia menenggak arak dari gucinya sebelum berkata dengan
suara melengking tinggi.
“Bukankah Im-yang Seng-cu di
depan itu? Kalau benar, lekas keluar jika ada urusan dengan aku, jangan
sembunyi-sembunyi seperti tikus!”
Terdengar suara ketawa dan
tiba-tiba muncullah seorang kakek yang wajahnya kelihatan berseri dan bersih
karena tidak ada kumis jenggotnya, pakaiannya kuning sederhana namun bersih,
kakinya telanjang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang gagangnya
berbentuk kepala naga. Han Han terkejut dan girang ketika mendengar disebutnya
nama kakek ini, karena ia teringat kepada sahabat-sahabat baik yang
dijumpainya di rumah Pek-eng-piauwkiok di kota Kwan-teng, yaitu Wan Sin Kiat
dan Lu Soan Li. Maka tanpa disadarinya ia berseru.
“Ah, jadi locianpwe inikah
Guru Sin Kiat dan Soan Li?”
Mendengar seruan ini, kakek
itu memandang Han Han, kelihatan tercengang dan meneliti Han Han dari atas
sampai ke bawah, pandang matanya berhenti pada kaki buntung itu. Akan tetapi mulutnya
tidak berkata sesuatu kepada Han Han, bahkan dia lalu menghadapi Toat-beng
Ciu-sian-li dan berkata.
“Sian-li, apakah selama
belasan tahun ini Sian-li baik-baik saja?”
Nenek itu mendengus dan
mengerutkan kening, kemudian memandang tajam dan bertanya, “Im-yang Seng-cu,
mau apa engkau berkeliaran di sini?” Nadanya penuh teguran dan jelas bahwa
pertemuan ini tidak menyenangkan hatinya.
Im-yang Seng-cu tertawa dan
merogoh bajunya, mengeluarkan sebungkus hioswa sambil berkata, “Kebetulan saja
aku bertemu dengan Sian-li di sini dalam perjalananku hendak menjenguk dan
menyembahyangi kuburan sahabatku Jai-hwa-sian.”
“Jai-hwa-sian...? Dia....
dia.... Kong-kongku....!” Han Han berseru, terheran-heran. Benarkah kongkongnya
yang berjuluk Jai-hwa-sian telah mati dan kuburannya berada di tempat ini?
Ucapan Han Han ini sungguhpun
tidak ada artinya bagi Kim Cu, namun ternyata mengejutkan Toat-beng Ciu-sian-li
dan Im-yang Seng-cu. Kakek itu kini memandang Toat-beng Ciu-sian-li dan
suaranya tidak ramah lagi ketika bertanya.
“Sian-li, apa artinya ini?
Kulihat pemuda ini baru saja menderita buntung kakinya dan kalau dia cucu
Jai-hwa-siang engkau hendak apakan dia?”
“Im-yang Seng-cu, berani
engkau mencampuri urusanku?” Toat-beng Ciu-sian-li membentak, suara dan
pandang matanya mengancam, rantai panjang di kedua telinganya bergerak-gerak
seperti hidup.
“Mana berani aku lancang
mencampuri urusanmu, Sian-li? Akan tetapi urusan yang menyangkut diri cucu
sahabatku Jai-hwa-sian, tidak bisa tidak harus kucampuri. Kalau aku diam saja,
aku malu bertemu dengan kuburannya!”
“Im-yang Seng-cu, dengar baik-baik.
Aku sama sekali tidak tahu bahwa bocah ini adalah cucunya, dan dia ini adalah
muridku yang murtad, melarikan diri dari perguruan maka telah menerima hukuman.
Adapun gadis ini juga muridku yang membelanya, maka kini keduanya harus dihukum
mati.”
Im-yang Seng-cu memandang Kim
Cu dan Han Han bergantian. Pantas saja begitu bertemu dengan Han Han tadi ia
tercengang menyaksikan persamaan pemuda itu dengan sahabatnya yang telah
tewas. Kiranya bocah ini adalah cucu Jai-hwa-sian! Dan mata kakek ini yang awas
dapat pula melihat kenekatan di dalam sikap dua orang muda itu, melihat pula
pandang mata penuh cinta kasih. Ia tersenyum dan menjawab.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau
tahu bahwa aku cukup menghormatimu sebagai golongan lebih tua, akan tetapi
engkau pun cukup maklum bahwa tak mungkin aku membiarkanmu mengulangi
perbuatanmu dahulu terhadap cucu sahabatku Jai-hwa-sian. Eh, bocah berkaki
buntung! Siapakah namamu?”
Han Han tidak mengharapkan
pertolongan siapapun juga, dia mengaku cucu Jai-hwa-sian tadi pun karena tanpa
disadari dan saking kagetnya mendengar disebutnya nama itu. Kini mendengar
pertanyaan itu, diam-diam ia tersenyum. Ia dapat mengenal orang dan biarpun
kakek ini bertanya secara kasar, namun ia dapat menangkap maksudnya yang baik,
maka dengan tenang ia menjawab, “Namaku Sie Han, locianpwe.”
Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh
mengejek. “Dia she Sie dan mengaku cucu Jai-hwa-sian, hi-hi-hik! Im-yang
Seng-cu, setua ini engkau mudah tertipu seorang bocah!”
Akan tetapi kakek itu tidak
mempedulikan ejekan Toat-beng Ciu-sian-li, dan sambil menatap tajam wajah Han
Han, ia bertanya lagi, “Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kausebut Kong-kongmu
itu?”
“Namanya Sie Hoat.”
“Hi-hi-hi, heh-heh! Kebohongan
yang dipaksakan, sungguh menggelikan!” kembali nenek itu mengejek, lalu
menenggak arak dari gucinya.
“Dan siapa nama Ayahmu?”
Im-yang Seng-cu bertanya lagi.
Han Han mengerutkan keningnya.
Ia merasa seolah-olah seorang pesakitan yang diperiksa untuk kemudian dijatuhi
hukuman, dan seolah-olah ia hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan
diri. Biarpun Jai-hwa-sian itu kakeknya seperti yang diceritakan Sie Leng
kepadanya, namun ia tidak suka kepada kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak
sudi mencoba untuk menolong nyawanya dengan menggunakan nama kakeknya.
“Dengarlah, locianpwe dan juga
engkau, Toat-beng Ciu-sian-li. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku hendak
menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri dengan mengaku sebagai
cucunya! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya yang juga belum lama
kudengar dari Enciku. Ayahku bernama Sie Bun An yang dulu tinggal di kota
Kam-chi dan menurut Enciku, Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk Jai-hwa-sian.
Dan biarpun dia itu Kakekku, aku tidak sudi menyelamatkan diri dengan
berlindung di belakang namanya.”
Im-yang Seng-cu memandang
dengan wajah berseri dan mata bersinar, diam-diam ia kagum sekali melihat sikap
dan mendengar ucapan Han Han.
Teringatlah ia akan sahabatnya
itu dan ia menarik napas panjang.
“Tak salah lagi.... tak salah
lagi, ia mewarisi kenekatan dan keganasan Keluarga Suma.... akan tetapi
mewarisi kekerasan hati dan kegagahan Keluarga Kam....! Sian-li, terpaksa aku
menentang kalau engkau hendak membunuh mereka!”
Toat-beng Ciu-sian-li
mendengus. “Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau tidak tahu diri! Andaikata benar Han
Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu melindunginya, akan tetapi Kim Cu
adalah muridku dan kalau aku hendak membunuhnya sebagai muridku sendiri,
setan manakah yang berhak mencampuri?”
“Bukan setan, melainkan akulah
yang akan menentangmu, Ciu-sian-li!” Tiba-tiba Han Han berkata. “Engkau tidak
boleh membunuh Kim Cu. Dia tidak berdosa. Kalau mau bunuh, kau bunuhlah aku
dan bebaskan Kim Cu!”
“Kalau subo hendak membunuh
Han Han, terpaksa teecu akan menentang dan melawan subo untuk membelanya!”
Tiba-tiba Kim Cu juga berseru sambil menggandeng pemuda itu.
Toat-beng Ciu-sian-li
kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. Sejenak keadaan
sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh suara ketawa Im-yang Seng-cu,
“Ha-ha-ha-ha. Cinta, betapa besar kekuasaanmu....!” Tubuhnya bergerak dan ia
sudah meloncat di dekat Han Han menghadapi nenek itu, lalu berkata, “Sian-li,
apakah engkau masih berkeras dan hendak mencoba-coba melawan kami bertiga?”
Kemarahan Toat-beng
Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat menyambar-nyambar ke arah tiga orang
itu berganti-ganti. Akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh yang hanya menuruti
nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya yang
sudah masak itu penuh dengan perhitungan. Ia mengenal siapa adanya Im-yang
Seng-cu yang biarpun merupakan tokoh murtad dari Hoa-san-pai, namun memiliki
ilmu kepandaian hebat karena tokoh ini memetik banyak sekali ilmu-ilmu silat
tinggi dari luar yang ia gabung dengan ilmu silat Hoa-san-pai, sehingga mungkin
tingkat kepandaiannya sekarang tidak berada di bawah tingkat supeknya sendiri
yaitu Thian Cu Cinjin ketua Hoa-san-pai. Andaikata ia masih dapat mengatasi
Im-yang Seng-cu dan tingkatnya masih menang sedikit, akan tetapi di situ masih
ada Kim Cu yang telah mewarisi sebagian besar kepandaiannya, belum dihitung
lagi Han Han yang biarpun buntung namun sesungguhnya memiliki kepandaian yang
aneh dan luar biasa. Masih bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia
bertanding melawan Han Han di kota raja, pemuda itu dapat “memecah diri” menjadi
tiga orang, kepandaian yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti yang
dimiliki Sun Go Kong, atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam dongeng
See-yu! Kalau mereka ini maju dan sampai kalah, hal ini benar-benar akan amat
memalukan. Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik, dan
wajah yang keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik
napas panjang dan berkata.
“Im-yang Seng-cu, engkau yang
penuh dengan muslihat dan akal bulus! Engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah
mau membunuhmu, mengingat betapa engkau dahulu adalah seorang bocah yang dikasihi
mendiang suamiku. Biarlah mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu. Tentang
bocah yang dua orang ini, hi-hi-hik, aku khawatir apakah? Han Han telah
buntung, tiada gunanya dan kalau Kim Cu lebih senang hidup sengsara di sampingnya
daripada mati sebagai murid yang berbakti, terserah. Kalau aku menghendaki,
kelak mereka akan dapat lari ke manakah? Engkau pun tidak mungkin melindungi
mereka selamanya. Hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Ciu-sian-li
melangkah pergi, rantai panjang di kedua telinganya mengeluarkan bunyi
berkerincingan.
Setelah nenek itu pergi, Han
Han tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya dan ia bertanya, “Locianpwe,
apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga Suma dan Keluarga Kam tadi?
Dan apakah benar kuburan Kakekku berada di sini?”
“Engkau mau tahu? Mari ikut
bersamaku.” Setelah berkata demikian, Kakek itu membalikkan tubuh melangkah
pergi menuju ke selatan. Han Han terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti
dan Kim Cu cepat menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya. Han Han yang
merasa sentuhan tangan Kim Cu menoleh. Mereka berpandangan sejenak dan Han Han
melihat betapa sepasang mata gadis itu basah dengan air mata, air mata
kebahagiaan bahwa mereka telah bebas daripada bencana! Betapa dengan kasih
sayang yang mesra pandang mata gadis itu kepadanya. Han Han terharu dan sejenak
jari tangannya menggenggam tangan gadis itu. Akan tetapi mereka segera
melanjutkan langkah agar tidak tertinggal oleh kakek yang berjalan terus tanpa
pernah menengok kepada mereka.
Kakek itu keluar dari hutan,
melalui pantai sebuah telaga kecil dan memasuki hutan di sebelah telaga. Hutan
ini amat sunyi dan kecil, pohon-pohon di situ jarang sekali. Tak lama kemudian
tibalah kakek itu di depan sebuah gundukan tanah kuburan, mengeluarkan hio
(dupa), menyalakannya dan bersembahyang. Bungkusan itu hanya terisi tiga
batang dupa. Kakek itu mengacungkan dupa menyala di atas tadi, mulutnya
berkemak-kemik seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan bayangan orang yang
dikubur di situ, kemudian menancapkan tiga batang dupa berasap itu di atas
tanah, di depan batu nisan yang sederhana. “Inilah kuburan Jai-hwa-sian,”
katanya sambil melangkah mundur dan berdiri sambil termenung seolah-olah ia
hendak merenungkan masa lalu ketika orang yang kini tinggal kuburannya saja itu
masih hidup.
Semenjak ia mendengar cerita
encinya betapa jahatnya orang yang menjadi kakeknya dan berjuluk Jai-hwa-sian
itu sehingga encinya sendiri mengakui bahwa di dalam tubuh mereka mengalir
darah orang jahat, Han Han merasa tidak suka kepada kakeknya. Kini, melihat
kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena ia melihat ukiran-ukiran
huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia lalu duduk di atas tanah
depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran huruf-huruf itu dan membaca:
MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.
Berdebar jantung Han Han
membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa she-nya Suma, bukan Sie? Teringat ia akan
arca di In-kok-san yang harus disembah-sembah para murid In-kok-san, arca guru
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang bernama Suma Kiat! Dan teringat pula ia akan
dongeng yang dituturkan Kim Cu bahwa sukong mereka itu mempunyai seorang putera
yang bernama Suma Hoat dan yang menghilang entah ke mana!
Melihat wajah pemuda itu, Kim
Cu cepat menghampiri dan ikut membaca tulisan itu. Tiba-tiba gadis itu meloncat
mundur dan menoleh kepada Im-yang Seng-cu sambil berkata.
“Ahhh.... ini kuburan supek
yang menjadi putera sukong Suma Kiat! Kiranya sudah meninggal dan dikubur di
sini!”
“Ini bukan kuburan Kakekku.
Kakekku she Sie, bukan she Suma!” kata Han Han, penasaran.
Im-yang Seng-cu yang berdiri
dengan tongkat di tangan kiri tersenyum, lalu menundingkan telunjuk kanannya
kepada Han Han sambil berkata, “Dan memang sesungguhnya engkau bukan she Sie,
melainkan Suma. Engkau bukan Sie Han, akan tetapi Suma Han!”
Wajah Han Han menjadi pucat.
Dengan limbung ia bangkit berdiri, dibantu tongkatnya dan memandang kakek itu
dengan mata tajam penuh selidik. Diam-diam Im-yang Seng-cu menaruh hati iba
kepada pemuda ini. “Marilah kita duduk dan dengarkan penuturanku, Suma Han.”
Han Han dapat menekan gelora
batinnya dan dengan muka masih pucat ia duduk di depan kuburan itu. Kim Cu
yang memegang lengan Han Han duduk di sebelahnya sedangkan Im-yang Seng-cu
duduk pula di atas batu, menghadapi mereka. Ia menarik napas panjang,
mengangguk-angguk dan berkata.
“Benar, engkau adalah Suma
Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang bernama Suma Hoat, putera tunggal Suma
Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Jadi Suma Kiat adalah Kakek
Buyutmu, sedangkan Toat-beng Ciu-sian-li tadi, yang menjadi selir Suma Kiat,
adalah Nenek Buyutmu.” Han Han mendengar kata-kata ini seperti dalam mimpi.
“Akan tetapi, locianpwe. Kalau
benar aku keturunan Suma, mengapa Ayahku bernama keturunan Sie?” ia membantah,
ragu-ragu.
“Hal itu tidak mengherankan
dan mudah saja diduga. Suma Hoat, Jai-hwa-sian itu, semoga Tuhan mengampuni
sahabatku itu, sungguhpun seorang jantan gagah perkasa, ditakuti lawan,
memiliki kelemahan. Ia tidak dapat menahan nafsunya apabila bertemu wanita
sehingga banyaklah ia mengganggu wanita, perbuatan sesat yang dilakukannya
karena kesadarannya menjadi buta oteh nafsu berahi, sehingga ia dijuluki
Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa penduduk desa, biarpun puteri dalam istana
kaisar tentu akan didatanginya kalau hatinya sudah tertarik! Mungkin sekali,
dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu terlahir dari seorang di antara
wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu yang bershe Suma itu banyak
dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu tidak suka menggunakan she
Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie. Aku yakin akan kebenaran
dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali dengan sahabatku, terutama
pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati kepadanya, akan tetapi dia
hanya mengejar wanita yang menarik hatinya.”
Kakek itu lalu bercerita
tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat. Menurut Im-yang Seng-cu, Suma Hoat adalah
seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, karena seperti juga
Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat merupakan seorang petualang dan perantau
yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya dan tidak segan-segan untuk mencangkok
ilmu dari lain cabang. Mereka bersahabat ketika keduanya berusaha mencari kakek
sakti Koai-lojin. Keduanya berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan
diberi petunjuk sehingga mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering
kali berjuang bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma
Hoat tidak dapat mengendalikan nafsu berahinya seperti nafsu-nafsu lain yang
sudah dapat ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu berahi ini yang sering
kali menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang
disukanya, baik wanita itu gadis, janda maupun isteri orang!
“Darah Suma yang mewariskan
watak seperti itu,” kata pula Im-yang Seng-cu. “Semenjak nenek moyangnya
dahulu, Keluarga Suma ini selalu dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw
karena watak mereka yang tidak baik, semenjak Pangeran Suma Kong nenek
moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu ini mengalir pula darah keluarga
pendekar yang turun-temurun menggemparkan dunia, yaitu Keluarga Kam, keturunan
dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan Hou-han yang gagah perkasa lahir
batin dan yang menurunkan pendekar sakti Suling Emas. Engkau masih mempunyai
darah Keluarga Kam ini pula, Han Han. Mudah-mudahan saja kalau terjadi
pertempuran dalam sanubarimu antara kedua darah keturunan ini, watak Keluarga
Kam yang akan menang.”
Han Han tertegun, wajahnya
pucat. Cerita ini terlalu hebat baginya. Kini dia tidak merasa heran lagi
mengapa kadang-kadang ada dorongan dan rangsangan liar dalam hatinya, apalagi
kalau dia mengerahkan sin-kang, seolah-olah ia menjadi buas kalau belum
melihat musuh menggeletak tak bernyawa di depan kakinya. Agaknya itulah
dorongan watak Suma. Terkutuk!
“Kalau dia begitu jahat,
kenapa locianpwe bisa menjadi sahabatnya?”
“Kelemahannya hanya menghadapi
wanita, kalau tidak sedang dikuasai nafsu berahinya, dia seorang pendekar yang
gagah. Karena itu, sungguhpun banyak pendekar di dunia kang-ouw yang memusuhi,
tidak sedikit pula yang menjadi sahabatnya, termasuk aku sendiri.”
Han Han penasaran. “Kalau
begitu banyak sahabat baiknya seperti locianpwe sendiri, mengapa tidak ada yang
menasihatinya seperti locianpwe sekarang menasihati saya?”
Im-yang Seng-cu mengerutkan
alisnya, tergetar jantungnya ketika ia bertemu pandang dengan pemuda itu.
Pandang mata itu! Mata setan! Mata iblis! Belum pernah ia melihat mata orang
seperti mata pemuda ini. Celaka, pikirnya, kalau sampai pemuda ini menyeleweng,
tentu akan menjadi tokoh dunia yang terjahat di antara semua keturunan Suma
yang pernah hidup, pikirnya.
“Siapa berani menasehatinya
setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi
tokoh Siauw-lim-pai?”
Han Han teringat akan hwesio
tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan segera bertanya,
“Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?”
Im-yang Seng-cu menghela
napas. “Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang
berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang sukar dicari bandingnya,
juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian
yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang terkenal bijaksana,
memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan menantang hwesio itu. Kian
Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal Jai-hwa-sian berjanji untuk
menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada
perlawanan sama sekali dari orang berilmu itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan
dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan hwesio itu dipukul sampai lumpuh
kedua kakinya!”
“Ahhh....! Keparat! Jahat
benar dia!” Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya, hwesio tua yang
mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya sendiri,
sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang jahat!
“Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri!”
Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.
“Dia boleh seribu kali
Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat seperti
itu, aku tetap akan mengutuknya!” kata Han Han yang marah sekali. Kemudian ia
menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.
“Bresssss....!” Batu nisan itu
hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han. Im-yang Seng-cu
terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang ranting
dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu
hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan
batu nisan dengan tenaga sin-kang yang amat luar biasa kuatnya.
“Kenapa engkau merusak nisan
Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya tidak lenyap?” Im-yang
Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia
marah.
Dengan bersandar pada
tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya. “Saya menghaturkan banyak terima kasih
atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap, kuburan Kakek saya. Akan tetapi
nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan
aib dan noda saja pada keturunannya!” Suara Han Han terdengar penuh kepahitan
ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir “keturunannya” itu, ketika ia teringat
betapa sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!
Im-yang Seng-cu juga kelihatan
marah. “Orang muda, engkau sombong! Biarpun Kakekmu tersesat dalam hal
kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa
dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya
sebagai darah nenek moyang Suma! Engkau pun hanya seorang manusia yang tentu memiliki
kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri,
bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau
kelak apakah lebih baik daripada Suma Hoat!” Setelah berkata demikian, Im-yang
Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ. Han Han menghela mapas panjang dan
merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah kepadanya.
Melihat Han Han termenung
dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya. “Han Han, biar
semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di sini masih ada
aku yang selamanya takkan dapat membencimu....”
Hati Han Han seperti
dibetot-betot dan ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya yang
masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam keadaan
seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han
Han dan berkata.
“Marilah kita cepat pergi dari
tempat ini.” Bisikannya mengandung perasaan takut.
“Jangan takut, Kim Cu. Kalau
sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita lawan mati-matian.”
“Aku tidak takut, Han Han,
hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah kita pergi.”
Dua orang muda itu melanjutkan
perjalanan. Biarpun keduanya tidak takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li,
namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka
mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki lereng yang tersembunyi agar
jangan sampai bertemu dengan nenek itu.
“Han Han, kesehatanmu belum
pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau
akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan
tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?”
Han Han mengangguk. “Terserah
kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat yang baik?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali
wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan ia dapat tersenyum
dengan hati lapang. “Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan
diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang
tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak
pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat
itu indah sekali, goa itu merupakan terowongann yang menjurus ke tepi jurang
yang tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun akan datang ke tempat itu.”
“Hemmm, mau apa engkau dahulu
bersembunyi di tempat itu?”
Wajah Kim Cu menjadi merah.
“Mau.... menangis....”
Han Han memandang wajah cantik
itu dengan mata terbelalak heran. “Menangis? Menangis saja mengapa mencari
tempat yang tersembunyi?”
Kim Cu mengangguk. “Ya, biar
tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali,
dan aku menangis di sana sampai kedua mataku bengkak-bengkak!”
“Ah.... Kim Cu.... Kim Cu....”
Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh
cinta kepadanya. Dan ia pun merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya.
Mengapa kini ia mudah terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah
selemah ini. Dan ketika ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya
tidak timbul kebuasan untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih
terkendali dan ia menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang
kakinya yang buntung. Karena kebutungan kakinya itulah maka terjadi perubahan
pada dirinya? Dia tidak tahu.
Melihat pemuda itu memandang
kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata, “Jangan khawatir, Han
Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan tetapi di bagian
yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!”
Han Han tersenyum. “Apa
kaukira aku anak kecil? Betapapun sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan
dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui.”
Kim Cu tiba-tiba menari
kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin heran. “Eh, eh,
apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?”
“Hi-hik, memang aku gila. Gila
karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu
telah bangkit kembali. Bagus! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?”
Han Han memegang kedua tangan
gadis itu, tongkatnya ia kempit. “Kim Cu....” katanya penuh keharuan. “Engkau
seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa
seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak
akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang
Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biarpun aku keturunan Keluarga
Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan
membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih dapat melakukan hal
yang berguna bagi manusia dan dunia!”
“Bagus! Dan aku yakin bahwa
engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka
yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan Suma yang
berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu.”
Han Han mengangguk-angguk.
“Mudah-mudahan, Kim Cu.”
Berangkatlah kedua orang muda
itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa
yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari
kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut terowongan itu.
Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han yang kesehatannya
belum pulih sama sekali.
“Sebelum gelap, aku akan
keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan
diganti kain pembalutnya.”
Han Han mengerutkan kening.
“Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari
di puncak, akan tetapi kain pembalut....?”
Kim Cu memandang pakaiannya.
“Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih daripada
cukup!”
Han Han hanya menggeleng
kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa sudah berlari keluar
goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia merasa gelisah
memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta kasihnya yang amat
mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan
tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas cintanya? Dia merasa
gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak karena tidak mampu
membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia seorang pemuda buntung,
keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak berharga bagi seorang
gadis semulia Kim Cu.
Malam itu Kim Cu datang
membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah penerangan api
unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit pun tidak
kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan membalutnya lagi
menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu
mengaso dan tertidur di dekat api unggun. Sampai jauh malam Han Han tidak dapat
tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai
pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya
memikirkan Kim Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur
miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di
bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak
terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih. Han Han mendekati api
unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir
pagi barulah Han Han dapat tidur, sambil bersandar pada dinding goa setelah
tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga
dan mengatur pernapasannya.
Han Han terkejut dan bangun
dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu. “Han Han....! Han
Han.... bangunlah....!”
Han Han memandang gadis itu
yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul. “Ada apakah, Kim Cu?”
“Ada orang di luar.... kulihat
bayangannya berkelebat....”
“Hemmm, mengapa bingung.
Biarkan saja.”
“Tidak, siapa tahu dia subo!
Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi!” Gadis itu
menarik-narik tangan Han Han. Pemuda ini menurut, bangkit dan jalan
terpincang-pincang dengan tongkatnya, tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki
terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya menerobos memasuki
terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu gelap.
Tiba-tiba terdengar suara yang
amat mereka kenal, datangnya dari luar goa, “Hi-hi-hik! Kalian hendak lari ke
mana? Biar ada Im‑yang Seng‑cu aku harus mengambil nyawamu, murid murtad!”
“Celaka.... dia subo....!” Kim
Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan dan Han Han melihat bahwa
mereka berada di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika ia menjenguk ke
bawah, matanya berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga
dasarnya tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan! Mereka berhenti dan
membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, menanti munculnya Toat-beng
Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya dengan hati berdebar-debar.
Melihat betapa tubuh gadis itu
menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata halus, “Jangan takut, Kim
Cu. Aku akan selalu mendampingimu.”
“Jangan.... jangan
mencampuri.... biar aku menghadapi subo,” bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri
dari pemuda itu.
Dalam terowongan itu sunyi dan
secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng
Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu
maklum bahwa biarpun Han Han membantunya, mereka tidak akan menang, dan
akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat berkata.
“Subo, teecu merasa berdosa
kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan
tetapi..... teecu mohon, jangan subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup
menderita..... bunuhlah teecu saja....”
“Kim Cu....!” Han Han
membentak.
“Heh-heh-hi-hik, muridku yang
paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku
sendiri? Murid murtad engkau!” Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum
menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas. Kim Cu
merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah
menjangkaunya.
“Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan
dulu! Jangan kau membunuh Kim Cu!” Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
“Bocah buntung, kau tunggulah
giliranmu!” Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan
kirinya bergerak. Sinar berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah
sebuah gelang rantai anting-antingnya yang kini dipergunakan sebagai senjata
rahasia yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang
tidak ingin melawan, maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata
rahasia yang menyambar ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
“Kim Cu....!” Han Han
berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha
menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa
bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk Kim Cu
pada kakinya dengan maksud menghindarkan gadis itu daripada ancaman maut.
“Han Han....!”
“Kim Cu....!”
“Heh-heh-heh, hi-hi-hik!”
Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang muda itu
tergelincir ke bibir jurang! Han Han memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari
sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus
ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya!
Perlahan-lahan Toat-beng
Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi,
akan tetapi suara ketawanya kecewa. “Sayang...., kalau dia bisa membawaku ke
Pulau Es!” Nenek ini lalu berjalan keluar dari terowongan itu, sedikit pun
tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan
hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya.
Biarpun Toat-beng Ciu-sian-li
seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun
ia sungguh lancang kalau berani menentukan mati hidup manusia. Hidup dan
matinya manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang
harus hidup, biar dia dihujani selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya
yang membuat ia lolos dari bahaya maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki
seseorang harus mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut
akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan lagi.
Kim Cu sudah hampir pingsan
ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya
sehingga tidak mungkin mempergunakan gin-kang dan kepalanya menjadi pening,
napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan tubuh Han Han
berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat itu lebih cepat
lagi tenaga luncurannya, apalagi Han Han terdorong oleh tenaga loncatannya
ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi sadar kembali
dan ia menjerit panjang, “Han Han....!”
Seakan-akan tidak akan ada
akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu
terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang melayang-layang turun itu
adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng yang pernah didengarnya
bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di bawah. Kalau begitu, apakah
nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia
teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han
Han biarlah ia menuju ke neraka!
“Byurrrrr....!” Kim Cu merasa
seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi!
Tiga hari tiga malam kemudian,
pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan
tetapi ia dapat menggerakkan kaki tanganya dan membuka matanya.
“Omitohud...., Nona sudah
sadar....? Omitohud, syukurlah,” Terdengar suara halus. Kim Cu menoleh ke kiri
dan melihat seorang nikouw yang kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus,
mukanya menyinarkan kebahagiaan batin, tersenyum memandangnya. Nikouw ini usianya
tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh
kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak
seperti seorang dewi.
“Siankouw.... seorang dewi
penjaga hukuman di neraka?” tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah
berada dalam neraka, sungguhpun ia heran mengapa neraka begini bersih dan enak,
dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah di atas dipan yang bertilam putih
bersih pula.
“Omitohud....! Memang dunia
ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah
sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau mati.”
Serentak Kim Cu bangkit duduk
dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya. “Aku masih hidup?
Han Han.... di mana dia....? Han Han....!” Ia menjerit, memanggil nama itu.
Nikouw itu bangkit berdiri
mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim Cu. “Tenangkan
hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak bergerak. Berbaringlah
kembali.”
Suara itu halus sekali, namun
mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan
tubuhnya lagi di atas dipan. “Akan tetapi.... tolonglah beri tahu, subo. Di
mana Han Han?”
“Han Han siapakah yang Nona
maksudkan?”
“Han Han.... temanku. Kami
berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di
mana dia?”
Nikouw itu menggeleng-geleng
kepalanya. “Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu
masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari
tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu
yang bernama Han Han itu....”
“Tiga hari tiga malam? Dan Han
Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya
telah terjadi?”
“Nona, sebaiknya kauceritakan
dulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari
langit saja.”
Kalau dia masih hidup, lebih
baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh
Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya.
“Kami.... aku dan temanku ikut berjalan di atas tebing, dan aku tergelincir,
dia berusaha menolongku dan kami terjerumus ke bawah. Aku tidak ingat apa-apa
lagi. Subo, ceritakanlah bagaimana aku dapat berada di sini.”
Dengan sabar nikouw itu
mengambil sebuah mangkok dari atas meja. “Kau minumlah obat ini dulu, Nona.
Minumlah.”
Karena maklum bahwa ia
ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum obat yang pahit
rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap mendengarkan cerita
nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.
“Menurut nalar orang yang
jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya Thian
menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat di
bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di bagian
bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu karang
menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air. Akan tetapi, omitohud....
engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka. Dan lebih
kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri ketika tubuhmu
yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan oleh perahu
nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat engkau
seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari
Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni
sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu. Syukurlah,
atas kemurahan Thian, engkau selamat.”
“Akan tetapi temanku itu bagaimana
dia? Di mana dia?”
Nikouw itu menghela napas.
“Kalau dia jatuh bersamamu dan masih hidup tentu telah ditolong pula oleh para
nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi,
tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang,
atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya....
hemmm.... agaknya tidak ada harapan lagi baginya.”
“Tidak.... Tidaaakkkk....!”
Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
“Tidak boleh dia mati aku masih hidup! Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari
dia!”
Dari pintu kamar yang terbuka
itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang
dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus
dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw
yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya,
mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu.
Nikouw tua mengangkat tangan
mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata, “Engkau hendak
mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni menemanimu ke
tepi sungai.”
Kim Cu berjalan dengan tubuh
menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu
menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari kelenteng kecil itu,
diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan pundak masing-masing,
hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu.
Dengan hati yang tidak karuan
rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya
melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan
batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi
ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas
melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat
setinggi itu dia jatuh! Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya
menggigil.
“Percayakah engkau kini bahwa
hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau, Nona? Tentang nasib temanmu
itu, benar-benar pinni meragukan keselamatannya.”
“Tidak, kalau aku selamat, dia
harus selamat, suthai! Tolong panggil para nelayan.”
Nikouw itu bertepuk tangan,
lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur jala di tepi
sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia
memandang dengan muka berseri. “Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu,
Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti
kelihaian Sian-kouw mengobati orang.” Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar
sederhana.
Kim Cu berkata, “Lopek, aku
berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku
mohon kepada kalian untuk mencari temanku.”
“Temanmu, Nona? Temanmu yang
mana?”
Kim Cu menahan mulutnya yang
hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama itu takkan ada artinya
bagi si nelayan. “Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari
tebing atas bersamaku.”
“Heh....?” Nelayan itu
terkejut. “Masih ada lagi yang jatuh dari langit?”
“A-liuk, harap kaupanggil
berkumpul para nelayan ke sini.”
“Baik, Sian-kouw!” Nelayan itu
lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil
Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah
berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Mereka semua,
seperti A-liuk, merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan
kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.
“Paman sekalian, selain
bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya minta tolong
sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu jatuh pula
dari atas.”
“Kami tidak melihat ada orang
lain!” terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan saling bertanya
sendiri.
“Mungkin paman semua tidak ada
yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap
paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang
kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka.”
“Kalian penuhi permintaannya.
Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat.”
“Baik, Sian-kouw,” jawab
mereka serempak.
“Tunggu dulu, paman-paman yang
baik!” Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi melaksanakan
permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas, satu-satunya perhiasan
yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka.
“Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian membaginya sebagai
hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku.”
Akan tetapi tidak ada seorang
pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata,
“Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas jasa. Teman Nona
belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana kami dapat menerima
hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki
kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari jala dan kail kami.”
Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang
masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo.
Nikouw tua itu tersenyum
menyaksikan keheranan Kim Cu. “Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos,
jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti
pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang
banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk
akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan
akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang.”
Selama seminggu lebih, setiap
hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu
kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang menanti terus di tepi
sungai menjadi makin hampa. Dua minggu kemudian, para nelayan menyatakan
keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas seperti halnya Kim
Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur, atau tenggelam dan
mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak mau kembali ke
kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani oleh
nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw secara
bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau
makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi
sungai!
Ketika para nelayan
menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan atau
minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk di tepi sungai, wajahnya makin
kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena terlalu
banyak menangis sehingga air matanya kering!
Beberapa hari kemudian, para
nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa
kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya
sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan bubur atau obat.
“Mengapa engkau menyiksa
hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu
itu sudah tewas.”
“Kalau dia mati, aku pun akan
mati!” kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan. “Suthai, biarkan aku mati....!”
Ia terisak-isak.
“Engkau keliru, Nona.
Andaikata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau engkau
memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik mati
seperti itu, Nona.”
“Suthai, kalau Han Han mati,
apa gunanya lagi aku hidup?”
Nikouw itu mengangguk-angguk
dan mengelus-elus rambut gadis itu. “Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda
itu, bukan?”
Mendengar suara yang masih
tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim Cu memandang
dengan mata basah. “Benar, suthai. Aku mencintanya. Dia satu-satunya orang di
dunia ini yang kumiliki.”
“Kalau begitu, engkau harus
hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan
tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan dapat berguna bagi orang
yang kaucinta, akan tetapi engkau malah akan dapat berguna bagi semua orang
dan dunia.”
Kim Cu memeluk nikouw itu dan
berkata, “Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna
bagi Han Han biarpun dia sudah sudah mati?”
Nikouw itu mengusap air mata
dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya ia pun mengusap air matanya sendiri
yang mengucur di hatinya, matanya dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya
keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan
hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti kegaguannya untuk sementara.
Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu
berkata.
“Tentu saja, anakku yang baik.
Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat,
menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu.”
“Menjadi.... nikouw....?”
Nikouw tua itu
mengangguk-angguk. “Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kaupelajarilah
dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan
sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau
sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat berdoa setiap saat
untuk temanmu itu sehingga andaikata dia sudah mati, semoga ia akan mendapatkan
tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup, semoga dia hidup
bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya? Dan berguna pula
bagi orang lain....”
Kim Cu kembali menubruk dam memeluk
nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot turun dam berlutut di depan
nikouw itu. “Teecu, Kim Cu, mohon petunjuk dari subo....”
Demikianlah, mulai hari itu
Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran kebatinan yang
berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih
mengharuskan Kim Cu mengelami banyak penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia
tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir
besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio. Para nikouw dan Kim
Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan kepada para
korban banjir. Dalam pekerjaan inilah, yang dipimpin Thian Sim Nikouw, Kim Cu
merasa betapa hidupnya amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat
dirasainya. Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin
sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan
kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya
dan masuk menjadi nikouw! Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta
Wanita Berhati Emas). Ia telah mendapat ketenangan dam kebahagiaan batin, dan
rasa rindunya yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan
doa-doa bagi keselamatan pemuda itu, baik di dunia maupun di akherat.
***
Di dalam sebuah gubuk di kaki
Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya
sedang dirawat oleh kakek pengemis yang mengobati luka-lukanya. Melihat gadis
itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.
“Jangan bergerak dulu, Nona.
Luka-lukamu bekas bacokan senjata tajam tidak berbahaya, akan tetapi pukulan
di punggung membuat tulangmu ada yang retak. Kau rebahlah saja dan jangan
banyak bergerak.”
Lulu tersenyum, hatinya girang
bahwa dia belum mati. Dia mengenal kakek jembel ini yang telah menyelamatkan
nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok Bu Tang si Mata Satu menyambar lehernya,
yaitu kakek yang telah menangkis golok itu dengan tongkatnya.
“Locianpwe, aku berhutang satu
nyawa kepadamu.”
Kakek itu memandangnya dan
tersenyum melihat gadis yang berpakaian pria itu tersenyum, kaget dan kagumlah
dia. “Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini membuktikan bahwa
engkau telah mempelajari sin-kang yang luar biasa.”
“Eh, jangan pura-pura tidak
mendengar omonganku dan mengeluarkan puji-pujian kosong, locianpwe. Aku telah
hutang satu nyawa kepadamu karena aku tentu telah mati kalau locianpwe tidak
datang menolong.”
Kakek itu menyelesaikan
pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh Lulu, kemudian berkata
sungguh-sungguh, “Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar,
bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak
dapat dikatakan hutang-berhutang. Apalagi kalau kita bersama menghadapi
orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang
jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan
mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan
kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas! Aku
sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang
menimbulkan perang!”
Hati Lulu tertarik sekali.
Ucapan kakek ini benar-benar memiliki arti yang dalam, apalagi terdengar oleh
telinganya, telinga seorang gadis Mancu! “Locianpwe, apakah engkau demikian
membenci orang Mancu? Engkau sendiri mengatakan tadi bahwa orang Mancu juga
manusia seperti kita, mengapa locianpwe amat membenci mereka?”
“Mengapa tidak? Karena
merekalah maka orang-orang seperti aku menjadi binatang-binatang buas yang
membunuhi manusia lain tanpa berkedip! Dahulu, sebelum ada perang, manusia
mengenal prikemanusiaan dan aku akan merasa bangga kalau dapat menyelamatkan
nyawa seorang manusia lain daripada ancaman bahaya maut. Dahulu, nyawa
manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan akan menggegetkan dan
pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi sekarang? Ah, dalam keadaan
perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya! Betapa banyaknya nyawa
manusia melayang oleh perbuatanku, dan kedua tanganku yang berlumuran darah
ini telah membunuh entah berapa banyak manusia lain!”
Lulu makin tertarik. Kakek itu
mengucapan kata-kata penuh semangat dan kesungguhan, dan wajah yang keriputan
itu tampak berduka sekali. “Akan tetapi yang locianwe lakukan adalah demi perjuangan.
Locianpwe berjuang demi negara dan bangsa, dan locianpwe membunuh musuh bangsa.
Bukankah hal itu merupakan perbuatan mulia?”
Tiba-tiba kakek itu tertawa
dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Lulu berdiri. Kelihatannya saja
tertawa, akan tetapi nadanya seperti orang menangis! “Ha-ha-ha! Inilah yang
menyedihkan! Manusia menganggap penyembelihan sesama manusia ini sebagai
perbuatan mulia! Makin banyak menyembelih manusia, makin banyak merenggut nyawa
sesama manusia, akan gagah perkasa, makin mulia dan disebut pahlawan! Memang
perjuangan membela nusa bangsa, membela tanah air adalah sebuah tugas yang
mulia, akan tetapi penyembelihan sesama manusia, sungguhpun berlainan bangsa,
yang dianggap mulia oleh manusia itu, apakah juga mulia dalam pandangan Thian?
Apakah Thian akan bersenang hati menyaksikan manusia ciptaan-Nya saling bunuh
hanya karena memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah
memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi! Tidak, Nona. Aku yakin bahwa
Thian tidak menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin bahwa
penyembelihan antara manusia yang oleh masing-masing golongan manusia disebut
mulia dan dipuji-puji ini dikutuk Thian!”
Lulu menjadi terharu. Ia dapat
mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tentu saja bagi dia, seorang
gadis Mancu, ucapan itu berkesan amat dalam.
“Kata-kata locianpwe
benar-benar mengejutkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin sekali mendengar maksud
ucapan locianpwe tadi bahwa perang antara manusia hanya memperebutkan kebenaran
palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan
duniawi. Apakah yang locianpwe maksudkan?”
Kakek itu menarik napas
panjang. “Maksudku, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak menganggap bahwa
perang yang dilakukannya berdasarkan kebenaran! Lihat contohnya perang yang
dikobarkan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiongkok! Bangsa Mancu menyerbu ke
selatan dan mereka merasa benar karena mereka menganggap bahwa mereka semenjak
dahulu direndahkan, dan menganggap bahwa mereka itu datang untuk membebaskan
rakyat Tiongkok daripada cengkeraman pemerintahan yang tidak baik. Mereka
berperang dengan dasar kebenaran mereka, karena hanya kalau mereka berkuasa di
sinilah maka rakyat akan dapat hidup makmur, terbebas daripada penindasan
kaisar dan pembesar-pembesar Kerajaan Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan
mereka. Jelaslah bahwa bangsa Mancu berperang dengan dasar kebenaran mereka,
kebenaran palsu! Di lain fihak, Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang
melawan mereka, termasuk aku, mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita
sendiri, kebenaran orang mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara
mempertahankan hak dan kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah
kemenangan, dan sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan
duniawi kepada mereka yang menang! Kalau perang hanya terbatas kepada mereka
yang bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, maupun para
perajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang
karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin
terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati.
Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang.”
Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan
melanjutkan kata-katanya.
“Jahat sekali perang ini
akibatnya. Pertengkaran pribadi hanya menimbulkan kebencian, akan tetapi perang
menimbulkan kebendaan antara bangsa! Tidak ada lagi pertimbangan antara baik
dan buruk, bangsa yang dibencinya karena perang, dianggapnya semua jahat dan
semua harus dibasmi! Sungguh menyedihkan sekali karena baru dalam hal inilah
ada persamaan pendapat antara orang baik dan orang jahat! Pendeta-pendeta dan
perampok-perampok dapat bekerja sama menghadapi musuh! Dalam perang antar bangsa,
biar dia perampok yang sekejam-kejamnya kalau sebangsa, dianggap sekutu. Biar
sama-sama pendeta kalau menjadi bangsa yang dibenci dianggap lawan yang harus
dibunuh! Dan maut yang disebar tidak memandang bulu, tidak mengenal
prikemanusiaan lagi. Kebencian melanda dan menguasai hati nurani manusia
sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang kejamnya melebihi srigala.
Membunuh dan menyiksa dianggap perbuatan yang baik dan gagah perkasa. Semua
karena gara-gara perang dan andaikata bangsa Mancu tidak mengobarkan perang
lebih dulu, tidak akan terjadi segala kekejaman itu. Karena itu, aku membenci
orang-orang Mancu yang menimbulkan perang, membenci mereka yang telah membuat
aku sekarang menjadi seorang pembunuh berdarah dingin!” Kembali kakek itu
menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.
“Locianpwe, bukan hanya engkau
yang menderita, bukan hanya rakyat Tiongkok yang menderita akibat perang. Juga
bangsa Mancu sendiri banyak yang menderita akibat perang ini, perang yang
dicetuskan oleh para pimpinan dengan mengorbankan banyak rakyat. Rakyat Mancu
yang dipaksa menjadi perajurit, mati di sini tanpa diketahui dikeluarganya. Betapa
banyaknya pula rumah tangga para perwira yang hancur akibat perang, terbasmi
oleh musuh mereka yang oleh mereka disebut dan dianggap para pemberontak.”
Kakek itu mengangguk-angguk,
kemudian mengangkat muka memandang. “Eh, Nona, bagaimana Nona bisa tahu akan
keadaan bangsa Mancu?”
Lulu memandang tajam dan
menjawab tenang, “Tentu saja aku tahu, locianpwe, karena aku sendiri adalah
seorang Mancu.”
“Ahhh....!” Kakek itu
benar-benar kaget mendengar ini dan ia memandang wajah Lulu dengan sikap
tegang.
“Aku adalah seorang gadis
Mancu yang menjadi korban perang ini, locianpwe. Ayahku seorang perwira yang
terbunuh bersama seluruh keluarganya oleh segerombolan pemberon.... eh,
pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama Lauw-pangcu. Hanya aku yang
dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian jembel dan aku dilepas
sebagai seorang anak jembel yang hidup terlantar....!”
“Ya Tuhan....!” Kakek itu
meloncat ke belakang dan berdiri tegak memandang Lulu dengan mata terbelalak.
Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun yang lalu dan ia berkata lirih penuh
getaran perasaan, “Akulah Lauw-pangcu kini teringat olehku akulah yang memimpin
teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga. Karena engkau
mengingatkan aku akar puteriku yang hampir sebaya, aku tidak membolehkan mereka
membunuhmu.... ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan tetapi mengapa engkau
sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu sendiri?”
Berubah wajah Lulu. Hemmm,
jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh
tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan
tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan....
menangis! Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang menangis itu penuh
keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.
“Nona, aku mengerti bahwa di
dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar kepadaku. Andaikata
engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kauhadapi
dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena
terbukti bahwa engkau membantu fihak pejuang menentang kekejaman pasukan
Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan penuh oleh dosa terhadap
dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak mengenal budi dan bukan
seorang yang tidak berani menanggung segala akibat perbuatanku. Aku yang
membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga Nona terlantar, dan
menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima pembalasanmu. Engkau
boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu. Silakan, aku tidak akan
melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku kepadamu.”
Lulu mengangkat mukanya yang
basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia menangis lagi, menutupi muka
dengan kedua tangan dan kepalanya digeleng-gelengkan.
“Tidak.... tidak...., setelah
aku menyaksikan sepak terjangmu, setelah aku mendengar kata-katamu dan mengenal
watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku
dapat membunuhmu? Apalagi setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira
Mancu.... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang,
bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka bukan karena benci
pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan
melupakan semua itu....”
Lauw-pangcu terbelalak,
menghela napas dan mengeluh, “Aduh, baru sekali ini selama hidupku bertemu
dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini besar!
Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku. Ah,
Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita penuh
penyesalan selama hidup daripada kalau engkau menusuk mati aku dengan pedangmu?
Aku telah membasmi keluargamu.... dan engkau tidak mau membalas dendam.
Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu, menjadi
Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau
sudi....”
Mendengar ini, Lulu terisak,
menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang
lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya,
kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek
Lauw-pancu, “Ayah....!”
Sepasang mata kakek tua itu
menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun
gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang
mata lebar yang masih mengucurkan air mata.
“Anakku...., engkau
anakku...., siapakah namamu?”
“Lulu....”
“Ah, nama yang bagus! Lulu,
aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sin-kang yang luar biasa dan
gerakanmu cepat sekali, amat mentakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum
masak. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang
yang lebih lihai daripada aku sendiri. Akan tetapi aku heran sekali...., siapa
yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sin-kang begitu hebat dan....
memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang pendeta sekalipun?”
Lulu yang merasa amat terharu
dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang ayah, sambil
bersandar di dada “ayah” ini menjawab manja, seperti kalau ia bersikap manja
kepada Han Han! “Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri.”
Kembali Lauw-pangcu terkejut,
memegang kedua pundak “anaknya” itu dan memandang wajahnya dengan tajam. “Kakakmu?
Engkau mempunyai Kakak? Bukankah kaukatakan tadi bahwa.... bahwa yang hidup
hanya tinggal engkau seorang?” Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan pahit,
mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua keluarga gadis yang kini
menjadi anaknya itu.
“Kakak angkat, Ayah.”
“Ohhh.... jadi engkau
mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah angkat, anakku?
Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga banyak orang yang
suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali.”
“Kakakku adalah orang yang
paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini....!”
“Ayah, bocah ini adalah teman
si keparat Han Han!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya
bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah
yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim
Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka
berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu
Hoa-san-pai yang diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok.
Melihat Sin Lian yang bersikap
kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu
tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin Lian
memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah
maju, “Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua
orang suhuku mungkin karena mereka!”
Melihat puterinya maju hendak
menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru.
“Lian-ji (Anak Lian), tahan
dulu! Dia ini adalah Adikmu!”
Mendengar ini, Sin Lian begitu
kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti
arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang
kepada ayahnya penuh pertanyaan.
“Apa.... apa artinya ini,
Ayah?”
“Aku telah mengangkat Lulu ini
sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan
nyawanya untuk perjuangan, selain itu.... dia adalah puteri keluarga Perwira
Mancu yang terbasmi di tanganku.... dan.... satu-satunya jalan bagiku untuk
menebus dosaku kepadanya...., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku,
mengambil dia sebagai anakku, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu
sendiri!”
Berubah wajah Sin Lian agak
pucat dan ia membantah, “Akan tetapi dia.... dia dan Han Han bersekutu dengan
Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai....!”
“Tidak sama sekali, Enci
Lian,” Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang indah tajam,
wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus itu
mengagumkan hati Sin Lian. “Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan
Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan
Kakakku hanyalah karena salah faham belaka.”
“Kakakmu....?” Sin Lian
bertanya, bingung.
Lulu tersenyum dan wajahnya
berseri. “Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia
itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang
paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau
Ciciku!”
Pandang mata penuh kebencian
itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Adapun Lauw-pangcu ketika mendengar
bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan
berseru, “Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah itu!
Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan kita
mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang.”
Setelah mereka bertiga duduk,
Lulu menghela napas dan berkata, “Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena
mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan menghadang para piauwsu
Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat
dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai
yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh beberapa orang murid
Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!”
Sin Lian yang hatinya menjadi
lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata
bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali
dan berkata, “Ceritakanlah.... ceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya.”
Maka berceritalah Lulu tentang
peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai dari pertemuan mereka
dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok sampai terjadi pertempuran dengan para
penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han Han membunuh
murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu dengan
tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
“Ahhh....!” Lauw-pangcu
menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua fihak
terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh fihak Mancu. “Han Han
menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada para pimpinan
Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat dihentikan
dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan.”
“Baik, Ayah. Memang semestinya
begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai
untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang
guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga
melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai.”
“Harap engkau tidak usah
sibuk-sibuk dan capek-capek, Enciku yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai
sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang mengunjungi
Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya.”
“Apa? Dia yang telah difitnah
dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si?
Begitu beraninya?” Sin Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini
membawa cerita yang makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan
heran.
“Memang Han-ko adalah seorang
laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini!”
kata Lulu dengan bangga. “Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela
kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua
Siauw-lim-pai, biarpun harus meridatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja
Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut!” Berceritalah
dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han
ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok
oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti
Hosiang. Mendengar penurutan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin
terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang
memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya.
Setelah Lutu berhenti bercerita, keadaan sunyi. Lauw- pangcu termangu penuh
keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.
“Wah, ceritamu sungguh hebat!”
Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas paniang. “Anakku Lulu,
tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku? Sungguh tidak nyana dia
dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau dapat memiliki sin-kang
dan gin-kang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?”
Biarpun Han Han pernah memesan
agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapapun juga, akan tetapi karena
Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya sedang Sin Lian menjadi cicinya, Lulu merasa
tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia lalu menjawab.
“Guru kami adalah pemilik
Pulau Es....”
“Heiii! Pulau Es....?”
Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut. Benar-benar makin banyak hal tak
terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari mulut Lulu! “Pulau Es yang
semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh kang-ouw?”
Lulu mengangguk. “Secara
kebetulan saja kami dapat sampai di pulau itu dalam keadaan hampir mati setelah
mengalami ancaman maut berkali-kali.” Ia lalu bercerita tentang pengalamannya
bersama Han Han ketika menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu
rusak sehingga mereka mendarat di Pulau Es, menemukan peninggalan kitab-kitab
pelajaran penghuni Pulau Es dan belajar ilmu selama enam tahun di tempat itu.
Betapa kemudian dengan susah payah mereka dapat meninggalkan tempat itu.
Lauw-pangcu dan Sin Llan
mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, merasa
seperti mendengarkan dongeng saja. Cerita itu amat mempesona mereka, bukan
hanya karena keanehan cerita itu sendiri, melainkan juga karena pandainya Lulu
bercerita schingga untuk waktu yang cukup lama kedua orang ini seperti menggantungkan
pandang mata mereka kepada bibir tipis merah yang bergerak-gerak manis ketika
bercerita.
“Yang berilmu tinggi-tinggi
dan berusaha mati-matian mencari Pulau Es, tidak pernah berhasil, dua orang
bocah yang tidak mencarinya malah mendapatkan. Ha-ha, inilah yang disebut
jodoh yang terjadi atas kehendak Thian! Pantas saja engkau lihai sekali,
anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris pusaka-pusaka mujijat yang terdapat
di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung sekali, anakku.”
“Aah, ilmu yang berhasil
kumiliki dengan latihan berat tidak ada artinya, Ayah. Aku memang bodoh dan
kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan dengan Han-koko, ilmuku sama sekali
tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih lihai daripada aku!”
Sin Lian makin kagum kepada
Han Han dan diam-diam jantungnya berdebar. Hatinya makin tertarik.
“Sekarang di manakah.... Han
Han? Mengapa engkau berpisah darinya?” Pertanyaan ini biasa saja, akan tetapi
begitu menyebut Han Han, muka Sin Lian menjadi merah sekali. Hal ini tidak
terlepas dari pandang mata Lulu yang tajam dan pandang mata Lauw-pangcu yang
berpengalaman.
Akan tetapi karena Lulu
diingatkan kepada kakaknya dan hatinya menjadi gelisah, dia tidak ingin
menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu menghela napas dan mengerutkan alisnya
yang hitam panjang, “Ah, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika kami
saling berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan Botak,
sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis Muka
Kuda!”
“Apa? Kang-thouw-kwi Gak Liat
dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee mengeroyok Han Han?” Lauw-pangcu berteriak dan
Sin Lian pun menjadi pucat mukanya. Mereka mengenal siapa dua orang datuk hitam
ini, tahu pula akan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Seorang saja di antara
mereka sudah merupakan lawan yang amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti,
Siauw-lim Chit-kiam ketika menghadapi Setan Botak seorang diri saja hampir
kalah. Apalagi kini dua orang datuk hitam itu maju mengeroyok!
“Mana mungkin ia dapat
menangkan dua orang datuk hitam itu!” Suara Sin Lian ini terdengar lirih, penuh
kengerian dan kekhawatiran karena sembilan bagian perasaannya mengatakan bahwa
tentu Han Han tewas kalau dikeroyok dua orang datuk hitam itu, betapapun
lihainya Han Han.
“Tidak, kakakku tidak akan
kalah!” Lulu berkata. “Tidak mungkin Han-ko sampai kalah! Dia sakti dan cerdik,
tentu dapat mengatasi dua orang kakek iblis itu! Akan tetapi, entah ke mana
perginya. Aku sedang mencarinya sehingga tiba di sini dan bertemu dengan Ayah.
Sekarang aku akan pergi mencarinya lagi sampai bertemu.”
“Lulu, anakku yang baik.
Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau,
mana boleh engkau lalu pergi lagi begitu saja? Engkau telah memiliki sin-kang
yang luar biasa, melebihi aku sendiri, bahkan mungkin sin-kangmu lebih hebat
daripada Sin Lian. Akan tetapi ilmu silatmu belum matang, dan sementara ini
engkau tinggallah di sini bersamaku agar dapat kauperdalam ilmu silatmu. Aku
yang akan menggemblengmu sehingga kalau ilmu silatmu sudah matang, kiranya aku
sendiri sama sekali tidak akan dapat melawanmu, engkau tidak membutuhkan waktu
lama untuk mematangkan ilmu silatmu. Juga Encimu dapat membantumu. Adapun
tentang Han Han, aku akan mengerahkan anak buahku untuk membantumu mencari
kabar tentang Kakakmu itu. Kiranya akan lebih berhasil daripada kalau engkau
pergi mencari sendiri.”
“Ucapan Ayah benar sekali,
Adik Lulu. Sebagai murid Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak boleh mengajarkan
ilmu silat Siauw-lim-pai kepada orang lain bukan murid Siauw-lim-pai. Akan
tetapi agaknya sedikit banyak aku akan dapat membantumu untuk mematangkan ilmu
silatmu sendiri yang hebat.”
Dibujuk oleh ayah dan enci
angkat yang amat disukainya itu, akhirnya Lulu menurut dan demikianlah, mulai
hari itu Lulu digembleng ilmu silat oleh Lauw-pangcu dan Sin Lian. Di bawah
bimbingan Lauw-pangcu yang berpengalaman, benar saja Lulu dapat mematangkan
ilmu silatnya dan Sin Lian sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sin-kang
adik angkatnya itu yang benar-benar lebih kuat dari dia sendiri, juga ilmu
silat yang dimainkan Lulu selain aneh, juga indah dan amat kuat. Benar pula
seperti yang diramalkan Lauw-pangcu, setelah ilmu silatnya dimatangkan di bawah
petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin Lian yang berilmu tinggi, Lulu
memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi lawan, kiranya dia
lebih berbahaya daripada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan daripada Sin
Lian sendiri. Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda
dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu aseli dari Siauw-lim-pai.
Semenjak pertemuannya dengan
Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan
menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biarpun ia tidak pernah
melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang
pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktip bergerak, bahkan
lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai
Huang-ho sebelah selatan di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat
dengan Lulu.
Hubungan antara Lulu dan Sin
Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung.
Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah sehingga mendatangkan rasa
suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan
dan wawasan yang tajam. Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal
di lembah Huang-ho, Lulu ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan)
oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan encinya ini,
akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara
berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, dipuji kegagahannya,
ketampanannya, kebaikan budinya dan kepandaiannya.
“Di waktu kecil dahulu, dia
adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun,
terkenang akan masa lalu
“Ya, dia pernah bercerita
tentang dirimu, Enci Lian.”
“Betulkah? Apa yang ia katakan
tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.
Lulu tersenyum. “Ia pernah
mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi.”
Wajah Sin Lian menjadi merah,
akan tetapi matanya bersinar-sinar. “Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya,
mana baik budi?”
“Akan tetapi, dia betul-betul
memujimu, agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang
sabar dan suka mengalah, hal ini di samping segala kebaikannya membuat banyak
gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita
jatuh cinta kepadanya.”
Sin Lian menengok dan
memandang dengan gerakan cepat. “Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?”
“Hi-hik! Bagaimana aku tidak
tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko
terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan
Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”
“Ihhh, genit kau!” Sin Lian
mencela dan mencubit lengan adiknya.
“Aduh!” Lulu menggosok-gosok
kulit lengan yang dicubit encinya. “Tanganmu mencubit aku, akan tetapi
pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”
“Idiiih! Engkau benar-benar
centil, Adik Lulu! Sudan, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul.”
“Aku sudah bercerita
sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li
Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak
Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab, pendekar
wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi,
setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam.” Lulu
menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya
merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi
agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.
“Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li
itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara.
Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat
tentang asmara, apalagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda
perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti
mutiara belum digosok!” Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya
mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya. “Dan lagi Han-koko
tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya,
karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi
adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san
Kiam-li atau gadis manapun juga, biar puteri kaisar sendiri!”
Dengan wajah heran akan tetapi
tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya,
“Mengapa tidak setuju, Adikku?”
“Karena aku telah menemukan seorang
gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang
betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi
mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.”
Kembali wajah cantik itu
kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya,
“Siapa.... siapa dia, Adikku?”
Lulu menengadah, seolah-olah
hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab, “Gadis itu, yang
kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah
jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh
amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku....”
“Aduuuhhhhh.... Aduuuhhhhh....
tobaaat, Enci....!” Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada
pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya
menjadi merah seperti udang direbus. “Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit
paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau
dicubit sampai habis! Hi-hik!”
“Lulu....!” Suara Sin Lian
terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah melampaui batas
mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Encimu?”
Melihat Sin Lian marah, Lulu
menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang
membusung itu. “Enci Lian, Enciku yang baik, masa engkau tega marah-marah
kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biarpun aku tadi main-main, akan
tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan! Atau....
engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa....
bahwa engkau mencinta Han-koko?”
Terdengar isak tertahan di
dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya dan tidak menjawab. Ketika Lulu
mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata,
Lulu bertanya lirih.
“Salahkah dugaanku, Enci?
Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”
Sin Lian menggigit bibir,
mengejapkan mata, kemudian.... mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu
berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian. “Bagus.... bagus....! Wah, aku
girang sekali! Engkau Enciku menjadi Sosoku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku
bahagia sekali, Enci.... eh, calon Soso yang baik!” Lulu merangkul dan menciumi
kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak mau Sin Lian tertawa
juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu. “Lulu, adikku yang
nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan
Ayahku sekalipun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau
menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biarpun aku mencinta orang,
harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan....
dan.... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, kuminta, mulai
detik ini, jangan kau bicara lagi tentang dia.”
Lulu mengangguk. “Tak mungkin
aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung
perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas
cinta kasihmu.”
“Sudahlah, lebih baik mari
kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku
takkan kuat menandingimu.”
Kedua orang dara jelita itu
lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah
Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga
dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan
khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk
pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri
angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati
Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia
berkata.
“Aku merasa menyesal sekali
bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini
sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw
mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguhpun hatiku tidak
akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu.
Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguhpun sekarang
tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali
terdapat orang sakti yang menyeleweng daripada kebenaran.”
“Jangan khawatir, Ayah. Kalau
aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama
sekali untuk bertemu dengan Lian-ci....” Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan
pandang mata dan senyum menggoda.
Wajah Sin Lian berubah merah
sungguhpun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata,
“Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi
mencari lima orang suhuku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang
menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu
dan Chit-suhu.”
Demikianlah, dua orang dara
jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan
Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari
perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa
sudah terlalu tua ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama
sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Ia kini
tekun bersamadhi semenjak kedua orang puterinya pergi, bahkan menyerahkan urusan
Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Adapun Sin Lian dan Lulu tidak
lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus
berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian
hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang
suhunya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan
ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di
lembah Huang-ho.
“Jangan lupa, Adikku. Bulan
tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke
tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku
bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan
hadir,” demikian pesan Sin Lian.
“Baik, Enci Lian. Aku pasti
akan bersama kakakku!”
Sin Lian merasa betapa
jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan
mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata, “Selamat jalan, selamat berpisah
sampai jumpa kembali, Lulu.”
Maka berpisahlah kakak dan
adik angkat ini. Lulu berdiri memandang encinya yang berlari cepat ke selatan
itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah
perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana
kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara,
arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan
kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.
***
Telah lama kita meninggalkan
Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya
menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang
yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para
nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga
mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan
perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu
merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik
itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya! Akan tetapi pengertian
manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh daripada cukup
untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang
terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian
manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apalagi tentang hidup dan
mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biarpun
dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput! Jika
menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam malapetaka mengancam, dia akan
lolos dari bencana!
Demikianlah pula dengan Han
Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya,
sungguhpun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia
meluncur turun, lebih cepat daripada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air
lebih keras daripada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun
ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu
ingat akan menyelaniatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan
sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat sekali akibatnya,
membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pinpsan.
Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga
begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat
cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan
kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir
tak tertahankan. Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sin-kang yang
tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah
memiliki kekuatan menahan napas. Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas
dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga
mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin
berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han Han terbanting-banting batu
karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya.
Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya
terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu
Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada
saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar, tangannya meraih dan
kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya
mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung
pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.
Han Han sama sekali tidak tahu
karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat
arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau saja ia tidak memeluk
kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini
terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air. Arus air
makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan
karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong
minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah
memasuki sebuah terowongan. Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak
cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan
gua-gua atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut
memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer
panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir di bawah gunung karang!
Sampai setengah hari lamanya
Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak
di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi
hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu. Untung
bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam
air dangkal, mukanya terapung di permukaan air. Ia membuka mata, mengeluh
perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya
masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia
bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas
ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib
Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu
hitam.
“Kim Cu....” Ia berseru
perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di
tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu
selamat pula. “Kim Cu....!” Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu
engkau pun selamat....!”
“Orang muda yang lancang!
Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat
terbebas dari tanganku!”
Han Han yang kuat menahan
dinginnya air karena sin-kangnya, kini menggigil mendengar suara itu. Suara
yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku.
Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri
tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya berkaki satu! Namun,
biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu.
Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan
kaki kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca,
tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak
sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus
itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping.
Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang
dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak
olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut
Penglihatan mata Han Han amat
tajam. Dia dapat mengenal orang pandai, akan tetapi pada saat itu ia bengong
dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah
bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut
dan berkata.
“Maaf, locianpwe. Mengapa
locianpwe mengatakan saya lancang?”
“Hemmm, aku sudah bersumpah
untuk membunuh setiap orang yang berani mendatangi tempat pertapaanku ini dan
engkau telah lancang berani datang ke sini!”
“Tapi.... saya.... tidak
sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.
“Tidak peduli. Engkau telah
mengotori tempat ini dan engkau harus mati!” Tiba-tiba, sukar diketahui oleh
Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah
menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya.
Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat
luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.
“Byurrr....!” Ia terluput dari
maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri
lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang
dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.
“Hemmm, agaknya engkau
memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kauhadapi pukulan ini!”
Sebelum Han Han dapat mencegah
atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan.
Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu
membuang diri ke kanan.
“Pyarrrrr!” Batu hitam besar
yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan
yang amat dahsyat itu.
“Locianpwe, tahan....!” Han
Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari
tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.
“Byurrrr!”
Han Han menengok dengan kaget
menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi
bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki
Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah “bertemu”
dengan nenek itu.
“Locianpwe....!”
Nenek itu sudah memukul lagi,
tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan
tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan
tenaga sin-kang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari
dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.
“Desssss....! Aihhhhh....!”
Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan
tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar!
Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka
di kaki yang dibuntung, apalagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga
dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang
tinggal separuh.
Pertemuan tenaga Im-kang
dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung,
memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.
“Keparat! Engkau pandai
Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan
Lee?”
Akan teitapi pertanyaan yang
terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tidak terdengar oleh Han Han
yang kepalanya terasa pening. “Locianpwe.... saya pernah bertemu dengan
locianpwe.... di Istana Pulau Es....”
Terdengar wanita tua itu
mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas
batu depan Han Han, tongkatnya sudah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke
ubun-ubuh kepala Han Han.
“Apa kau bilang....? Pulau
Es....? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama,
engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee
dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es....!”
Tongkat diangkat ke atas,
ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya
bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan.
Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan biruang es
yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh, “Biruang Es itu telah mati....
mati digigit ular merah....” Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.
“Biruang.... biruang es....?
Mati....?” Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu
perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han
yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali
digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan,
dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan
main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.
“Luar biasa....! Kakinya juga
buntung sebelah....!” gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga
buntung sebelah. Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga
ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda ini, yang keadaannya sudah
lemah, sanggup menangkis pukulan Im-kangnya. Hal ini saja sudah mengejutkannya
karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri
belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Ke dua, pemuda itu
mengatakan pernah bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut
biruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda
ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa
pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.
Ketika Han Han membuka
matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum
di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki Obat
selagi pingsan dan teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi. Cepat ia
bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di
atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian. Melihat nenek itu,
Han Han maklum bahwa biarpun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun
akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas
pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh
terguling.
“Aduhhh....!” Kakinya terasa
nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki
di depan nenek itu.
“Huh, canggung benar!” Si
Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”
“Baru.... baru beberapa hari,
locianpwe.”
Nenek itu mengangguk-angguk.
Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung! Ia makin
heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga
sedemikian kuatnya. “Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu
tentang biruang es dan kapan pernah bertemu denganku. Kalau ada yang
kausembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi!”
“Locianpwe, saya bernama Sie
Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apalagi lancang
memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini lanpa saya
sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau ES secara kebetulan, terbawa badai
dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya
berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab
milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah biruang es mati tergigit ular merah
beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat
berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari
pulau itu. Ketika tadi.... ataukah kemarin.... saya melihat locianpwe di
pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah
orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di
sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya,
patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga
adalah patung wanita cantik yang.... eh, seperti locianpwe....”
“Buntung kakinya?” Nenek itu
bertanya dan suaranya agak menggetar.
Han Han mengangguk sambil
menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh
perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat
pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja
menutup watak aselinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang
yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Tiba-tiba nenek itu mengangkat
muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya
bersinar dingin kembali dan ia berkata, “Benar, akulah patung wanita kaki
buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula
menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu!
Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan
hendak menyerang.
Han Han maklum bahwa dia bukanlah
lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja
kepada siapapun juga, apalagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran
di hatinya dan biarpun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap,
ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri. Timbul pula rasa marah.
Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau
Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga
patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh!
“Nanti dulu, Locianpwe!” Ia
berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khi-kang sehingga nenek
itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa mempunyai kesalahan
apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam
dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri hendak membunuh saya, sebagai
seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe! Akan tetapi, karena saya
pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat
peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang
melanjutkan. Apalagi karena locianpwe adalah seorang anggauta keluarga penghuni
Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan!”
Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat
yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es,
kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar
dengan tangannya.
“Plakkk....! Aihhhhh....!”
Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak.
Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh
tenaga sin-kangnya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh
Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang
keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok,
berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak. Mereka
sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi
kehebatan tenaga sin-kang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini
Han Han menyaksikan gin-kang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek
itu seperti orang menghilang saja!
Akan tetapi betapa herannya
hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang
surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air
mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil
mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu,
mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.
“Aduh.... Suheng Han Ki
Koko.... (Kanda Han Ki)....!” Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan
mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.
Han Han melongo, apalagi dalam
tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko (Kakak Han), mengingatkan
ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu!
“Kakanda Han.... kalau memang
mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang....? Kalau benar engkau
mencinta aku seorang.... ah, kalau aku tahu.... masa aku akan mengalah begitu
saja, membiarkan suci membuntungi kakiku....? Aduh, Han-koko.... Han-suheng....
betapa kejamnya engkau....!”
Han Han tetap berdiri seperti
patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan.
Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri
seperti orang gila. Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah
itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih.
Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas
tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat
beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor. Nenek itu sendiri masih
terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam
kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada
gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang
sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin.
Han Han merasa kasihan sekali.
Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai
kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.
“Locianpwe, ampunkanlah saya
kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe.... kalau saya
tahu.... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin
melihat locianpwe berduka seperti ini....”
Nenek itu menoleh dan
memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda
di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya
menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai. “Mengapa aku tidak
berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan
hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam
laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua
penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya
muncul sebagai akibat salah faham! Dia mencintaku seorang....!
Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca
surat ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!” Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han
merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa
seperti setan menangis!
“Ahhhhh! Apa artinya semua
ini?” Tiba‑tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali
nenek itu lenyap dari pandang matanya. Ketika ia mencari-cari dengan pandang
matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek
itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan
dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini
tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu
menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan
berkata.
“Han-koko, biarlah rahasia ini
tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih
antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!” Dalam ucapan ini terkandung
kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh
getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya.
Setelah surat-surat yang
terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat
itu melayang keluar pondok, sehingga lantal itu kini bersih, sedikit pun tidak
ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih
berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.
“Siapa tadi namamu?”
Han Han masih merasa tegang
dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai
“Kanda Han”, nama yang sama benar dengan namanya sungguhpun kemudian
sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah
suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.
“Nama saya Sie Han,
locianpwe.”
“Hemmm, benar namamu itu yang
tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan
tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak! Eh, orang muda,
sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau sudah menemukan Pulau Es,
mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sin-kangmu luar biasa sekali. Kemudian
engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan.... dan
kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”
“Yang membuntungi adalah
Toat-beng Ciu-sian-li....”
“Wah-wah! Bu Ci Goat perempuan
tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”
Karena maklum bahwa wanita tua
yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat
sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!
“Dahulu, di waktu masih kecil,
saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, melarikan diri
darinya, setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki.”
“Bu Ci Goat sungguh tak tahu
diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?”
Han Han yang tidak mengerti,
apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat
itu, mengangguk.
“Sudah tahu bahwa engkau
telah menjadi murid kami bertiga, masih dia berani mengganggu? Apakah engkau
kalah olehnya?” Nenek itu membentak, agaknya penasaran dan marah.
Mendengar itu, giranglah hati
Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggapnya sebagai murid! Jelas
bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat
berkata.
“Teecu (Murid) melawan
sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga
Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu
dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”
“Biar dikeroyok dengan Si
Setan Botak sekalipun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau
engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.
“Maafkan atas kebodohan teecu,
locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es
dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung
dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi?
Mohon petunjuk locianpwe.”
Sejenak nenek itu memandang
Han Han, kemudian menghela napas panjang. “Hemmm, setelah menemukan Pulau Es
dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami
bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suhengku
dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut
mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal
selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk
seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis
kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus
mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es
yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguhpun setiap orang
kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan
tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh
macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan
Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es!”
Han Han terkejut. “Teecu
mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama
Koai-lojin....”
“Dialah suhumu yang pertama,
Sie Han. Koai-lojin adalah suhengku, adalah penulis surat-surat yang
kausampaikan kepadaku.”
“Ahhhhh....!” Han Han
makin terkejut dan terheran-heran.
“Dengariah baik-baik, muridku.
Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia
dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami
bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki
yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua adalah seorang
puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan
dari Ratu Khitan sendiri. Adapun orang ke tiga yang menjadi murid manusia dewa
itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee.” Sampai di sini nenek itu menghela
napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya
berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum
dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin
Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!
“Kami bertiga menerima
gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan
juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi
kelihaian suciku Maya, apalagi suhengku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru
kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan
hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul
bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”
“Ahhhhh, teecu ingat akan
bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es....!” Tanpa disadarinya
Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh
ucapan nenek buntung tentang malapetaka yang ditimbulkan nafsu.
“Syair apa? Ketika aku pergi,
tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”
Betapa ingin
mata memandang mesra
betapa ingin
jari tangan membelai sayang
betapa ingin
hati menjeritkan cinta
namun Siansu
berkata: bebaskan dirimu
daripada ikatan
nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang
dunia takkan
pernah tercipta
betapapun
juga,
cinta segi
tiga tak membahagiakan
menyenangkan
yang satu
menyusahkan
yang lain
akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan
persaudaraan dilupakan
akhirnya
yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya,
benarlah pesan Siansu bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!
Ketika Han Han mengucapkan
syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu memandangnya dengan bengong
dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han yang bergerak-gerak.
Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan menjadi sunyi dan nenek
itu kembali menarik napas panjang.
“Ahhh, seolah-olah aku
mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya! Dialah yang menulis itu, Sie
Han dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati bercucuran darah.
Kasihan Han Ki suheng!”
“Apakah yang terjadi di antara
subo (Ibu Guru) bertiga?” Han Han yang makin terseret dan tertarik kini merasa
dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi menyebut locianpwe
melainkan menyebut subo!
“Apa yang terjadi? Telah
tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi! Engkau tidak perlu tahu,
muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan akan tetap
menjadi rahasia kami.” (Baca:ISTANA PULAU ES).
“Ahhhh....!” Han Han tak dapat
menahan seruan kecewa ini.
Nenek itu tersenyum dan makin
jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan wajah cantik jelita
dari patung di dalam Istana Pulau Es. “Asmara gagal hanya merupakan cerita
sedih. Engau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh tangan asmara yang
jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi kekusutan dalam pertalian
saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya Suci dan aku. Dari dua
orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta, kami berubah menjadi dua
orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan kelinci. Kami bertanding
dan aku lengah, sebelah kakiku buntung....”
“Yang mana, subo? Teecu tidak
dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?”
Kembali nenek itu tersenyum
dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek buntung yang mengaku
bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang yang amat halus budi
dan peramah, hanya menjadi “beku” di luarnya, mungkin karena penderitaan batin
yang hebat.
“Yang kiri, Sie Han. Kelak
kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan dapat mengubah
kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung sebelah, Maya Suci
menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri.”
“Membunuh diri?” Han Han
terbelalak, teringat ia akari patung wanita yang luar biasa cantiknya, yang
telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang patung itu,
perasaan cinta dan tergila-gila.
“Begitulah agaknya, dia
melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah, kami tiga
murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang, menjadi
terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi selama
delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak pernah
tentang mendengar tentang dia.... ah, surat-suratnya....” Sepasang mata itu
menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia.
Han Han termenung. Teringat ia
akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang nenek-moyangnya. Dia adalah cucu
Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa Wanita, manusia cabul dan sesat.
Dalam darahnya mengalir darah Suma yang terkutuk dan jahat. Akan tetapi, juga
mengalir darah keturunan keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan
kini, penghuni Pulau Es yang merupakan manusia setengah dewa, manusia rahasia
yang disebut oleh orang-orang kang-ouw dengan sebutan Koai-lojin (Orang Tua
Aneh), ternyata bernama Kam Han Ki, keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan
darah dengan dia sendiri! Dorongan perasaan Han Han membuat ia
menggerak-gerakkan bibir hendak memperkenalkan diri, akan tetapi ia teringat
bahwa hal itu adalah urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek
yang menjadi gurunya ini. Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk
selanjutnya menggunakan she Sie tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya
itu. Lebih baik dia tidak mengaku kepada siapapun juga bahwa dia masih
keturunan keluarga Suma yang sama sekali tidak boleh dibanggakan.
Nenek itu kini tersenyum lagi.
“Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada yang mengenalku dan tentu menganggap
aku telah tewas karena selama delapan puluh tahun aku bersembunyi di sini.
Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia sudah mati karena tidak pernah
muncul di dunia. Hanya suheng yang melanjutkan sepak terjang guru kami. Dahulu,
guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan melakukan hal-hal yang luar biasa,
melindungi yang benar dan menyadarkan yang salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu
kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan sekarang pun suheng disebut orang
Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Koai-lojin (Orang Tua
Aneh). Mungkin juga suhu, mungkin juga suheng!”
“Subo, apakah.... apakah
sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar dongeng bahwa
beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar sakti Suling
Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?”
Nenek itu menggeleng-geleng
kepala. “Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh jadi masih hidup,
boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita untuk mengetahui akan
hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih dengan ilmu silat yang
kuciptakan selama puluhan tahun di sini, ilmu yang khusus untuk seorang yang
berkaki satu. Mari, kau ikutlah!”
Han Han tidak berani
bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu tongkatnya
keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung seperti dia,
namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan orang yang tidak
buntung kakinya. Dia berloncatan dengan payah dibantu tongkatnya, akan tetapi
nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan kakinya seperti ada pernya,
menotol-otol tanah tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya begitu ringan seperti
terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat loncatannya.
Dengan susah payah Han Han
mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa daerah tempat
tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, dacrah penuh batu-batu licin
hitam, akan tetapi anchnya, di antara batu-batu itu dapat tumbuh pohon-pohon
dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu berhenti di sebuah
telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga penuh pula dengan
batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap tertimpa cahaya
matahari.
Setelah Han Han dapat
menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu lalu
berkata, “Berapa lama engkau berada di Pulau Es?”
“Kurang lebih enam tahun,
subo.”
“Apa saja yang kaupelajari
selama itu?”
“Maaf, subo. Teecu memang
bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan setiap kali teecu
berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu jatuh sakit dan
peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya kitab-kitab peninggalan
Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam.”
“Eh, Siang-mo-kiam? Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu denggn mereka dan menerima warisan kitab mereka
pula? Mereka adalah murid-murid pendekar sakti wanita Mutiara Hitam, kau
tahu?” Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut saja mendengar
pengakuan Han Han tadi.
Secara singkat Han Han lalu
menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang Pedang Iblis yang
saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian menceritakan pula
betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan tenaga dan perhatiannya
untuk melatih sin-kang, sedangkan dalam hal ilmu silat, biarpun ia membaca
banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang membimbing, dia tidak
dapat memetik hasilnya.
Mendengar ini, nenek itu
menggeleng-geleng kepala penuh takjub. “Dan tanpa kepandaian silat, hanya
mengandalkan sin-kang saja, engkau berani menentang orang-orang macam
Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar! Akan tetapi
ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk orang
buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat mempelajarinya
dengan sempurna. Andaikata engkau sebelum buntung sudah mempelajari banyak ilmu
silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang buntung, agaknya tidak
akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena engkau akan terpengaruh
oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum buntung telah menjadi
seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru setelah delapan puluh
tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan telah memiliki dasar
sin-kang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali dan dapat jauh lebih
mudah mempelajarinya dari siapapun juga. Nah, sekarang aku hendak mencoba dulu
kekuatan sin-kangmu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku, akan tetapi aku
masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah atau tidak.
Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sin-kangmu melawanku.”
Han Han meniru gurunya yang
duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya ke dalam air,
sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke dalam air
telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika merasa betapa
air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air telaga itu dingin,
akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin dingin, tahulah dia
bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti Im-kang dari gurunya
yang lihai.
“Pertahankan dan
lawanlah!” Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya
sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat
dicabut kembali! Han Han terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Dia maklum bahwa gurunya mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya ia lalu
mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui,
dahulu Han Han melatih Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala
Botak Gak Liat dengan merendam tangan di air masakan batu bintang yang
mendidih, bahkan di dalam api, kemudian ia memperdalam dan memperkuat
sin-kangnya di Pulau Es. Biarpun bertahun-tahun melatih diri dengan sin-kang,
kiranya tingkat Han Han tidak akan mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee
murid Bu Kek Siansu ke tiga ini kalau tidak terjadi ketidakwajaran dalam tubuh
Han Han sebagai akibat malam terkutuk ketika ibu dan encinya diperkosa para
perwira Mancu itu. Karena ia dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan
marah, mendendam dan batinnya tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam
tubuhnya yang mendatangkan kekuatan-kekuatan mujijat.
Air yang tadinya membeku dan
amat dingin itu, kini makin lama makin mencair dan hawa dingin perlahan-lahan
berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah mengerahkan seluruh
tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai mendidih! Hanya air di
sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu, yang terpengaruh
sin-kang Han Han yang amat hebat.
Khu Siauw Bwee diam-diam
menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini masih belum puas
dan tiba-tiba ia mengubah sin-kangnya, mengerahkan Yang-kang sehingga air itu
menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh kulit manusia biasa.
“Lawanlah yang ini!” serunya
dengan pandang mata berseri saking girangnya.
Ketika merasa betapa air itu
menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat kehijauan ketika mengerahkan
Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han Han bahwa gurunya sudah
mengubah sin-kangnya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun cepat mengubah
sin-kangnya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan tenaga panas
gurunya.
Pertandingan adu tenaga sakti
ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas dan harus mengakui
bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sin-kang yang tidak lumrah! Ia
menghentikan ujiannya lalu berkata.
“Sekarang kaulihatlah
baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku buntung.” Nenek
itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan.... lenyaplah dia dari atas
batu di depan Han Han! Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke depan.
“Aihhhhh....!” Ia melongo dan
matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan
gurunya dengan pandang matanya. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat
dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke
batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar. Bayangan gurunya itu
seperti sebuah mainan bola yang dilontarkan kian kemari, dari sebuah batu
melayang ke batu lain, akan tetapi tidak ada sedetik lamanya hinggap di sebuah
batu karena begitu menotolkan kaki turun terus mencelat lagi ke jurusan lain,
kadang-kadang ke belakang, ke depan, ke kiri dan ada kalanya ke atas.
Kecepatannya melebihi gerakan seekor burung walet! Makin dipandang, makin
pening dan berkunang pandang mata Han Han. Tiba-tiba sinar berkelabatan lenyap
dan gurunya telah berdiri kembali di sampingnya, di atas batu sambil tersenyum,
sedikit pun tidak kelihatan lelah.
“Bagaimana kaulihat?”
Han Han menjatuhkan diri
berlutut. “Hebat luar biasa.... akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat
mempelajari ilmu sehebat itu, subo?”
“Bisa, tentu saja bisa,
apalagi engkau memiliki kemauan keras dan memiliki sin-kang yang lebih dari
cukup.”
“Teecu amat bodoh, subo. Dua
buah kitab dari suhu dan subo Siang-mo-kiam saja yang sudah teecu hafalkan di
luar kepala, hanya dapat teecu petik tentang pelajaran sin-kangnya, sedangkan
pelajaran ilmu silat pedangnya teecu sama sekali tidak dapat melatihnya,” kata
Han Han menggeleng kepala.
“Karena engkau belum punya
dasar, Han-ji (Anak Han). Akan tetapi setelah engkau berlatih dengan ilmuku,
kelak engkau akan dapat mempelajari ilmu silat yang bagaimanapun juga. Dengar
baik-baik. Ilmu ciptaanku ini kuberi nama Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai
dan Kilat). Aku menciptakannya menjadi gerakan-gerakan kilat yang berdasarkan
ilmu gaya yang hanya dimiliki dan dirasakan oleh orang buntung berkaki satu
seperti kita. Karena kaki kita buntung dan hanya sebuah, tiap kali kita
bergerak lalu menghentikan gerakan kita tidak dapat langsung berdiri tegak
seperti orang berkaki utuh. Kita akan terdorong oleh gerakan kita sendiri
sehingga terhuyung ke depan, ke belakang atau ke kanan kiri menurut gerak
dorongan dari mana kita datang, selalu bergoyang-goyang untuk mempertahankan
keseimbangan tubuh. Sebuah bola pun akan lama sekali baru dapat diam, dan
begitu bergerak, bola itu akan bergoyang-goyang ke kanan kiri sampai dapat
keseimbangan baru diam. Nah, gaya inilah yang kupakai sebagai landasan sehingga
terciptalah Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun ini. Ilmu ini hanya dapat dikuasai dan
dirasakan oleh manusia kaki satu, sukar diselami dan dipelajari oleh orang yang
kakinya utuh.”
Han Han mengangguk-angguk.
Pemuda ini memang pada dasarnya memiliki kecerdikan yang menonjol, apalagi
perubahan mujijat dalam dirinya membuat ia memiliki kekuatan otak yang tidak
lumrah manusia maka sekali mendengarkan ia sudah dapat menangkap inti sari
yang dimaksudkan oleh penjelasan Khu Siauw Bwee.
“Karena ada tenaga mendorong
oleh gerakan pertama, maka timbullah daya tolak yang dapat kita pergunakan
untuk bergerak lagi, atau menyambung gerakan pertama kita itu. Gerakan
berlandaskan daya tolak ini lebih hebat karena kita dapat meminjam gerak
dorongan ditambah gin-kang kita sendiri, maka begitu kita menggunakan daya
tolak untuk melakukan gerakan ke dua, gerakan kita akan menjadi lebih cepat.
Gerakan ke tiga, ke empat dan selanjutnya akan makin cepat. Seperti sebuah bola
karet yang kita ketukkan ke atas lantai dengan tangan, makin lama akan
melambung makin cepat, demikian pula gerak silat dari Soan-hong-lui-kun ini
memiliki kecepatan yang tak terbatas. Karena itu, hal yang paling sukar dan
paling penting dikuasai adalah penggunaan jurus-jurus yang akan menahan gerakan
daya tolak berantai ini. Karena kalau hal ini tidak kaukuasai benar-benar,
engkau akan menjadi permainan dari kekuatan daya tolak berantai itu sehingga
engkau sendiri takkan dapat menghentikan gerakanmu sehingga tentu saja engkau
akan mudah celaka di tangan lawan! Soan-hong-lui-kun ini kubagi menjadi tujuh
puluh dua jurus, dan nanti mulai jurus ke tiga puluh tujuh, separuh dari ilmu
silat ini, engkau akan mulai kulatih dengan penguasaan gerakan yang timbul
dari daya tolak berantai ini.”
Demikianlah, mulai saat itu,
Han Han digembleng oleh nenek buntung yang luar biasa itu, sedikit demi
sedikit, sejurus demi sejurus. Han Han memiliki kemauan yang hebat dan
ketekunan yang mentakjubkan, sehingga biarpun nenek itu sendiri amat
bersemangat melatih muridnya, ia masih kadang-kadang menggeleng kepala penuh
kagum menyaksikan ketekunan dan keuletan muridnya. Seperti juga dalam hal
kekuatan sin-kang, ia harus mengakui bahwa dalam hal kebulatan tekad dan
besarnya kemauan, ia tidak dapat menandingi muridnya ini! Makin sayanglah ia
kepada Han Han, apalagi ketika muridnya itu ia minta menceritakan riwayatnya,
ia merasa betapa riwayat hidup muridnya itu malah lebih mengenaskan daripada
riwayatnya sendiri. Ia melihat munculnya seorang manusia yang lebih besar
daripada dia, dan bertekad untuk menurunkan semua kepandaiannya kepada Han Han.
Makin lama Han Han berlatih di
bawah gemblengan Khu Siauw Bwee, makin terbukalah matanya bahwa sebetulnya,
sebelum ia berlatih silat di bawah bimbingan gurunya yang baru, ia telah mempunyai
banyak ilmu, hanya ilmu-ilmu itu terpendam dan hanya diketahui teorinya belaka.
Kini, ia mulai dapat melatih semua ilmu yang pemah ia pelajari, bahkan
permainan pedang dari kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis yang
bernama Siang-mo Kiam-sut, yaitu penggabungan dari ilmu Pedang Iblis Jantan
dan Iblis Betina, kini dapat ia mainkan dengan tongkatnya!
Setahun lamanya Han Han tekun
melatih diri dengan Ilmu Soan-hong-lui-kun. Ketekunannya sungguh tidak lumrah
manusia. Dia tidak peduli akan siang atau malam, pagi maupun sore, terus
berlatih, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar, hanya
tidur kalau matanya sudah tak mau dibuka, dan hanya mengaso kalau tubuhnya
sudah tidak dapat digerakkannya lagi saking lelahnya. Dengan semangat dan
ketekunan seperti ini, tidaklah mengherankan kalau dalam waktu setahun saja
sudah dapat menguasai ilmu silat itu dan pada pagi hari itu tubuhnya sudah
tampak berkelebatan dari batu ke batu dan dia sudah berlatih Ilmu Silat
Soan-hong-liu-kun. Tubuh yang berkelebatan seperti hampir tidak tampak, karena
terlalu cepat. Baru saja tampak di atas batu sini, tahu-tahu sudah lenyap dan
berada di batu sebelah sana, terus bergerak dan terus berpindah, tongkat di
tangan kiri dan cara ia meloncat seperti terbang saja, makin lama makin cepat.
Biarpun dia sedung berlatih
dengan gerakan-gerakan kilat, pandang matanya yang amat tajam dapat melihat
berkelebatnya bayangan yang telah berdiri di atas batu dan memperhatikan
gerakan-gerakannya. Han Han makin bersemangat dan ia mulai bersilat lagi,
mengulang dari jurus pertama sampai jurus terakhir, tujuh puluh dua jurus ia
mainkan sebaik-baiknya.
Diam-diam Khu Siauw Bwee kagum
dan terkejut bukan main. Pemuda yang menjadi muridnya itu benar-benar amat luar
biasa! Ilmu yang ia ciptakan, selama puluhan tahun, kini dapat dikuasai muridnya
dalam waktu setahun saja!
“Bagus, muridku Han Han! Bagus
sekali! Engkau telah berhasil menguasai Soan-hong-lui-kun hanya dalam waktu
setahun! Dengan ilmu ini, kiranya akan jarang dapat ditemukan orang yang akan
mampu menandingimu. Betapapun juga, di dunia terdapat banyak orang lihai dan
sayanglah kalau semua ilmu yang pernah kaupelajari teorinya tidak kaulatih prakteknya.
Karena itu, mulai sekarang kaulatihiah semua ilmu yang kauketahui, ditambah
ilmu silat yang pernah kaupelalari, agar kau menguasai semua silat tinggi
sehingga kelak tidak canggung menghadapi lawan berat.”
Han Han berlutut di depan
gurunya. “Terima kasih atas semua petunjuk subo dan teecu akan mentaati semua
perintah subo.”
Demikianlah, mulai hari itu,
Han Han melatih ilmu silat-ilmu silat tinggi yang pernah ia pelajari dari
kitab-kitab di Pulau Es, juga Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut ia sempurnakan
latihannya di bawah petunjuk gurunya.
***
Daerah Mancuria bagian timur
laut adalah menjadi pusat suka bangsa Khitan yang pada masa itu telah hampir
musnah dan masuk menjadi bangsa Mancu yang makin berkembang dan berkuasa.
Banyak di antara keluarga bekas Kerajaan Khitan menjadi pembesar-pembesar
Mancu, dan karena kaum wanita Khitan banyak yang cantik jelita, maka sebagian
besar di antara mereka ini menikah, sebagian besar secara paksa, dengan para
Pangeran Mancu. Betapapun juga, diam-diam suku bangsa Khitan, terutama sekali
kaum bangsawannya yang masih berdarah keluarga bekas Kerajaan Khitan, masih
memiliki keangkuhan dan mengangkat tinggi derajat mereka sebagai bangsa Khitan!
Di kaki Pegunungan
Cang-kwang-cai-san, di mana mengalir air Sungai Sungari yang bersumber dari
gunung itu, terdapatlah sebidang tanah pekuburan yang berisi kuburan keluarga
Kerajaan Khitan. Di sini pula dikubur jenazah tokoh-tokoh besar, bukan hanya
besar bagi bangsa Khitan, melainkan juga tokoh-tokoh besar yang dikenal di
dunia kang-ouw. Di sinilah terdapat kuburan pendekar-pendekar sakti Suling
Emas dan isterinya yang bernama Yalina, Ratu Khitan. Bahkan di situ pula
kuburan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, puteri Suling Emas dan Ratu
Yalina, di samping kuburan keluarga kerajaan dan para tokoh terpenting dari
Kerajaan Khitan. Akan tetapi, di antara semua kuburan kuno, yang paiing
menyeramkan adalah kuburan ayah ibu dan puteri mereka, yaitu kuburan Suling
Emas, Ratu Yalina dan Mutiara Hitam. Hanya kuburan keluarga Suling Emas inilah
yang masih terpelihara baik-baik sekalipun kini suku bangsa Khitan telah lenyap
dan dilebur menjadi bangsa Mancu.
Sunyi sekali keadaan di tanah
kuburan itu. Tanah dan pohon-pohon di sekelilingnya kelihatan gundul dan di
mana-mana mulai tampak air membeku keputihan, karena musim salju hampir tiba.
Air Sungai Sungari yang mengalir tepat di depan tanah kuburan, kelihatan malas
karena hampir membeku oleh hawa dingin. Keadaan amat sunyi, tidak ada tampak
seekor pun burung, seolah-olah alam di sekeliling kuburan ikut mati seperti
mereka yang dikubur di situ. Salju yang mulai terbentuk mengecat seluruh tempat
menjadi keputih-putihan, putih bersih menambah sunyi.
Dilihat sepintas lalu, semua
orang tentu akan mengira bahwa tempat sunyi seperti itu tidak ada penghuninya.
Akan tetapi, kadang-kadang tampak asap mengepul dari genteng pondok yang cukup
kokoh dan megah, yang berdiri di antara batu-batu nisan di tanah kuburan itu.
Dan melihat dupa yang selalu berkelap-kelip di depan bongpai (batu nisan)
keluarga Suling Emas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di situ tidaklah tanpa
penghuni seperti orang kira.
Dan sesungguhnyalah. Pondok
itu dahulu dibuat oleh keluarga Kerajaan Khitan menjadi tempat para penjaga
tanah kuburan. Bahkan tanah kuburan itu sendiri tidak selalu sunyi ketika
Kerajaan Khitan masih jaya. Akan tetapi, semenjak bangsa Khitan terdesak dan
dilebur menjadi bangsa Mancu yang makin berkuasa sehingga Kerajaan Khitan pun
lenyap, di tempat ini tidak dilakukan penjagaan lagi seperti dahulu, tidak
pula dikunjungi keluarga raja yang berziarah. Bahkan kuburan itu tentu akan
terlantar dan rusak kalau saja tidak muncul seorang kakek tua bongkok yang
menjaga tanah pekuburan keluarga Suling Emas itu. Dan sejak kakek bongkok ini
menjaga di situ, kuburan keluarga Suling Emas menjadi terawat baik dan tidak
pernah sedetik pun kakek itu meninggalkan tanah pekuburan yang dijaganya dengan
penuh kesetiaan. Kakek ini menjadi satu-satunya orang yang tinggal di daerah
dingin bersalju ini, dan asap yang kadang-kadang nampak berkepul adalah asap
dari dapur di kala ia memasak makanan.
Semenjak kakek bongkok menjaga
tanah kuburan itu, tempat itu menjadi tempat angker dan keramat, ditakuti orang
karena kakek bongkok itu ternyata amat galak dan juga amat lihai sehingga siapa
pun yang berani mendatangi tanah kuburan tentu akan dibunuhnya! Mula-mula, begitu
mendengar akan runtuhnya suku bangsa Khitan dan tanah kuburan keluarga Suling
Emas itu tidak terjaga lagi oleh tentara Khitan, banyak orang-orang kang-ouw
mencoba datang ke tanah kuburan itu karena mereka mendengar bahwa pusaka
peninggalan keluarga Suling Emas berupa kitab-kitab dan senjata-senjata,
terutama senjata Suling Emas sendiri berupa sebatang suling terbuat daripada
emas dan sebuah kitab, berada di tempat itu. Mereka ini berusaha untuk
mendapatkan pusaka peninggalan. Akan tetapi banyak sekali tokoh kang-ouw datang
ke tempat itu untuk mengantar nyawa. Banyak yang tewas di tangan kakek bongkok
dan banyak pula yang dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri membawa
luka-luka berat.
Semenjak itu, tidak ada lagi
orang yang berani coba-coba mengganggu kuburan keluarga Suling Emas, bahkan
bangsa Mancu dan suku bangsa lainnya tidak ada yang berani mendekati tempat
itu. Selama puluhan tahun ini, hanya ada dua buah tempat yang selalu menarik
perhatian orang-orang kang-ouw, yaitu Pulau Es, dan kuburan keluarga Suling
Emas. Akan tetapi kedua-duanya amat sukar didatangi. Yang pertama, Pulau Es,
sungguhpun kabarnya menjadi tempat tinggal Koai-lojin yang tak mau mengganggu
orang bahkan suka membagi ilmu kepada siapa saja, namun amat sukar dicari
karena tersembunyi di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di utara, di
samping sukarnya pelayaran di lautan yang kadang-kadang penuh es dan salju itu.
Yang ke dua adalah tanah
kuburan ini yang biarpun lebih mudah dicari, namun dijaga oleh kakek bongkok
yang memiliki kesaktian yang sukar dilawan dan galaknya melebihi harimau
menjaga
anak-anaknya!
Akan tetapi, pada suatu pagi yang cerah, tampak sebuah joli (tandu) yang
dipikul dua orang laki-laki tinggi besar berlari cepat menempuh hujan salju
rintik-rintik menuju ke tanah kuburan di tepi Sungai Sungari. Dari jauh sudah
tampak tanah pekuburan keluarga Suling Emas yang sunyi. Dua orang pemikul tandu
itu adalah orang-orang Mancu yang bertubuh kuat, namun mereka kelihatan lelah
dan napas mereka terengah-engah ketika mereka tiba di tepi sungai, masih agak
jauh dari tanah kuburan
“Berhenti di sini!” Terdengar
suara nyaring merdu dari dalam joli. Dua orang pemanggul joli berhenti dan
menurunkan joli. Tirai joli tersingkap dan tampaklah wajah seorang gadis yang amat
cantik jelita, berhidung kecil mancung dengan dagu meruncing dan sepasang mata
lebar terbelalak indah dan bening. Tubuh yang ramping itu keluar dan ternyata
dia seorang dara jelita yang masih amat muda, tubuhnya yang ramping berpakaian
indah, pakaian seorang Mancu dengan baju panjang berlengan pendek sehingga
tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sebatas siku. Rambutnya yang
hitam panjang dan subur tertutup sebuah topi putih dari bulu biruang, dan di
atas topi terhias sehelai bulu burung, tanda bahwa dia adalah seorang pemimpin
pengawal Kerajaan Mancu. Rambutnya dikat dengan pita kuning di belakang
tengkuk, dan sepasang telinganya terhias anting-anting emas, demikian pula
kedua pergelangan tangannya. Ketika turun, dara ini membawa sebatang payung
yang gagangnya melengkung dan ujungnya runcing mengkilap. Dara ini bukan lain
adalah Puteri Nirahai, Puteri Mancu yang amat lihai sehingga dia menjadi
pimpinan para pengawal istana! Kalau melihat mata yang lebar indah, bibir yang
tipis merah basah, gerak-geriknya yang lemah gemulai, takkan ada orang mengira
bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Kalian berdua pergilah
sembunyi di balik batu gunung itu dan jangan sekali-kali berani menampakkan
diri sebelum kupanggil,” kata pula Nirahai dalam bahasa Mancu kepada dua orang
itu. Dua orang tinggi besar itu adalah ahli-ahli petunjuk jalan yang bertubuh
kuat dan memiliki kepandaian tinggi, kakak beradik yang merupakan tokoh-tokoh
terkenal pula di daerah utara ini. Akan tetapi ketika menerima perintah dari
“Sang Puteri” untuk mengantarnya ke pekuburan keluarga Suling Emas, mereka
ketakutan setengah mati dan dengan hati berat mereka terpaksa mengantarkan
Nirahai. Kini, pada saat rasa takut mereka membuat wajah mereka pucat dan
napas mereka terengah, mendengar perintah Nirahai agar mereka bersembunyi,
hati mereka lega dan girang sekali. Setelah memberi hormat mereka berdua lalu
melompat dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar, meninggalkan joli di
dekat sungai.
Nirahai bersikap hati-hati dan
dia tidak berani lancang menuju ke tanah kuburan. Dengan bersembunyi di balik
sebuah batu yang menonjol di pinggir sungai, ia mengintai ke arah pondok di
tengah kuburan. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba pandang mata Nirahai yang tajam
sekali dapat melihat munculnya sebuah perahu kecil yang melawan arus air
sungai. Karena air sungai yang dingin hampir membeku itu arusnya lambat sekali,
maka perahu itu bergerak cepat, didayung oleh dua pasang tangan yang kuat.
Mereka itu adalah dua orang kakek bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Nirahai
tidak mengenal mereka, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka itu tentu
bangsa Mongol Utara, melihat dari pakaian mereka yang tebal terbuat dari bulu
binatang dan cara mereka menggelung rambut mereka.
Diam-diam Puteri Mancu ini
memperhatikan dan ia melihat betapa dua orang Mongol itu tiba-tiba melompat ke
darat, seorang di antara mereka memegang sehelai tali panjang yang mengikat
ujung perahu. Setelah keduanya mendarat dengan sebuah loncatan cepat dan jauh
yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pandai, si pemegang tali
menggerakkan tenaganya dan perahu itu seperti dilontarkan oleh angin menuju ke
arah mereka. Kakek ke dua mengangkat tangan kiri menyambut perahu itu dengan
mudah, lalu meletakkan perahu ke atas tanah. Melihat gerakan mereka, Nirahai
maklum bahwa kedua orang kakek Mongol itu memiliki tenaga yang besar.
“Haiiiii.... Setan
Bongkok....! Keluarlah, kami datang menagih hutangmu sepuluh tahun yang lalu!”
Seorang di antara dua orang kakek itu berseru, suaranya nyaring bergema dan
ia menggunakan bahasa Mongol yang dimengerti baik oleh Nirahai.
Suara yang keras itu menggema
sampai lama, kemudian terdengar suara orang batuk-batuk dari dalam pondok di
tengah tanah pekuburan, disusul suara orang yang menggunakan bahasa Mongol yang
kaku.
“Hemmm, Sepasang Anjing Hitam
padang pasir Go-bi! Pergilah sebelum terlambat. Aku tidak suka mengotorkan
tempat suci ini dengan darah kalian. Pergilah!”
Mendengar suara itu, Nirahai
merasa tegang hatinya, jantungnya berdebar. Dia belum pernah melihat kakek
bongkok penjaga tanah kuburan keluarga Suling Emas, akan tetapi sudah mendengar
tentang kakek itu yang kabarnya memiliki kesaktian hebat, galak dan
mati-matian menjaga dan membela kuburan itu. Kini, baru mendengar suaranya saja
sudah menyatakan bahwa kakek itu seorang yang keras, juga tinggi hati, namun
amat menghormati kuburan itu. Nama Sepasang Anjing Hitam dari padang pasir
Go-bi juga amat terkenal. Dua orang jagoan Mongol itu merupakan datuk-datuk di
daerah padang pasir Go-bi yang amat disegani sehingga setiap rombongan kafilah
yang melalui daerah ini tentu akan meninggalkan “tanda persahabatan” di depan
gua-gua di kaki bukit kecil yang disebut Bukit Anjing Hitam, untuk menghormati
dua orang tokoh itu sehingga rombongan mereka takkan terganggu. Akan tetapi,
sekarang kedua orang datuk padang pasir itu tidak dipandang mata sama sekali
oleh penjaga kuburan keluarga Suling Emas, dan mendengar ucapan kakek dari
dalam pondok, jelas bahwa dua orang Mongol tinggi besar itu pernah dikalahkan
sepuluh tahun yang lalu.
“Heh, Si Bongkok setan tua
bangka yang sombong! Selain sombong, engkau pun pelit sekali. Untuk apakah
sekalian pusaka dan kitab peninggalan Keluarga Suling Emas untukmu? Engkau
sudah hampir mampus! Berikan kepada kami sebuah dua buah pusaka sebagai pengganti
nyawamu. Kalau engkau masih pelit, sekali ini kami tidak akan memberi ampun
kepadamu!” Kakek Mongol yang ada tahi lalatnya di ujung hidung dan bertubuh
tinggi besar, berkata dengan suara keras. Sedangkan orang ke dua, yang lebih
tinggi, memandang tajam ke arah pondok, siap menghadapi kakek penjaga kuburan.
Setelah ucapan itu keluar dari
mulut orang Mongol penuh tantangan, keadaan sunyi sekali dan terdengar suara
“gerrriiittttt!” disusul terbukanya pintu pondok. Suara pintu terbuka ini
memecah kesunyian dan terdengar menyeramkan, seolah-olah yang terbuka adalah
sebuah peti mati.
Kemudian muncullah seorang
kakek bongkok di ambang pintu. Setibanya di depan pintu pondok, ia berhenti
sebentar dan mengangkat mukanya. Nirahai bergidik ketika melihat betapa
sepasang mata tua itu seolah-olah merupakan sinar yang menerangi tempat-tempat
yang dipandang mata itu, bahkan ia merasa seolah-olah tempat persembunyiannya
ketahuan ketika pandang mata kakek bongkok itu menyapu ke arah batu besar di
mana ia bersembunyi. Nirahai cepat-cepat menarik diri untuk bersembunyi lebih
baik, akan tetapi ia mengintai terus.
Kakek itu sebetulnya bertubuh
tinggi, akan tetapi karena di punggungnya terdapat punuk yang membuat dia
tidak dapat berdiri tegak dan membongkok, maka kelihatan pendek. Pakaiannya
serba putih dan sederhana, juga sepatunya berwarna putih. Pakaian itu
potongannya seperti pakaian pelayan, akan tetapi putih dan bersih. Wajahnya
tampak kurus, alisnya tebal, kumisnya melintang ke kanan kiri dan jenggotnya
menutupi dagu. Baik rambutnya, maupun rambut yang tumbuh di pelipis menjuntai
ke bawah, sampai kumis dan jenggotnya, sudah hampir putih semua. Dia berdiri
dengan kedua tangan kosong, dan kini perhatiannya ditujukan kepada dua orang
Mongol yang melangkah datang menghampiri kakek bongkok.
Mereka saling berhadapan,
sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling memandang. Sikap kakek
bongkok itu tenang akan tetapi pandang matanya jelas membayangkan kemarahan
dan juga memandang rendah. Sedangkan dua orang Mongol itu biarpun memaksa diri
bersikap tenang, masih saja kelihatan bahwa mereka sebetulnya jerih terhadap
kakek bongkok itu. Nirahai diam-diam merasa heran. Kakek bongkok itu sama
sekali tidak kelihatan seperti seorang sakti, bahkan kelihatan lebib pantas
menjadi seorang pelayan tua yang sudah patut dipensiun! Dara Mancu ini tidak
ingat bahwa dia sendiri pun tidak pantas menjadi seorang wanita yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi, lebih patut menjadi seorang puteri yang lemah lembut
dan menggairahkan!
“Orang tua, benar-benarkah
engkau mempertahankan semua pusaka itu? Engkau telah mendengar nama
Siang-hek-sin-kauw (Sepasang Anjing Hitan Sakti) yang menjadi sahabat seluruh
orang gagah di utara dan barat! Kami mengulangi permintaan kami sepuluh tahun
yang lalu, hanya ingin meminjam sebuah dua buah kitab peninggalan Keluarga
Suling Emas, meminjam selama beberapa bulan saja, pasti akan kami kembalikan!”
Orang Mongol yang lebih jangkung berkata dan mendengar nadanya, jelas kini bahwa
setelah berhadapan, dua orang Mongol itu bersikap lebih lunak.
“Selagi aku hidup, tak seorang
pun manusia boleh menjamah pusaka-pusaka keluarga majikanku. Setelah aku mati
pun, rohku akan tetap menjaga di sini. Pergilah!”
Ngeri hati Nirahai mendengar ucapan
itu, dan diam-diam gadis ini mencari akal bagaimana ia dapat berhasil menghadapi
kakek bongkok yang galak itu. Ia mengintai terus dan ingin lebih dulu
menyaksikan kelihaian kakek bongkok seperti yang sudah ia dengar akan tetapi
belum pernah ia saksikan.
“Setan Bongkok keparat! Kalau
begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak orang Mongol bertahi lalat
di hidung. Bersama adiknya, dia lalu siap untuk menyerang.
Tubuh yang bongkok itu makin
bongkok, mukanya tunduk, matanya terbuka dan melirik ke atas sehingga dipandang
dari depan, sikap kakek itu seperti seekor lembu marah memasang tanduk siap
menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
“Kalian yang akan mati. Sekali
ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup!” jawab kakek itu.
“Setan Bongkok, sambutlah!”
Tiba-tiba orang Mongol yang bertahi lalat di hidungnya berseru, tubuhnya
merendah sampai hampir berjongkok, dan kedua lengannya didorongkan ke depan ke
arah kakek bongkok. Terdengar bunyi tulang berkerotokan dan angin yang kuat
menyambar ke arah kakek bongkok.
Nirahai terkejut sekali. Ia
dapat menduga bahwa pukulan atau dorongan kedua lengan orang Mongol itu amat
lihai, merupakan pukulan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Belum pernah ia
melihat atau mendengar pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti sampai
mengeluarkan bunyi berkerotokan seperti itu!
Kakek bongkok kelihatan
tercengang juga, akan tetapi dengan tenang sekali tubuhnya sudah bergerak ke
kiri, tahu-tahu tubuhnya sudah miring mengelak dan lengannya bergerak
menangkis, yaitu dengan sambaran angin pukulan menangkis serangan lawan.
“Hemmm.... bukankah ini
Thai-lek-kang....?” Terdengar kakek bongkok berseru heran.
“Setan Bongkok mampuslah!”
bentak lawan ke dua yang bertubuh tinggi. Tubuh orang Mongol ke dua ini sudah
bergerak ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu tubuh itu berpusing makin
lama makin cepat, sambil berpusingan cepat sekali tubuh itu menerjang ke arah
kakek bongkok. Tubuh orang Mongol itu lenyap, yang tampak hanya bayangan
berpusing dan kadang-kadang tampak kaki tangannya bergerak keluar dari bayangan
yang berputar cepat seperti kitiran angin itu!
“Ayaaaaa, bukankah ini pun
ilmu dari Thai-lek Kauw-ong yang disebut Soan-hong-sin-ciang (Tangan Sakti
Angin Badai)?” Kakek bongkok itu berseru kaget dan kembali tubuhnya bergerak
dan kini Nirahai merasa kagum karena kakek bongkok itu ternyata dapat bergerak
amat lincahnya.
“Ha-ha-ha, Setan Bongkok. Apa
kau kira kami selama sepuluh tahun ini tinggal diam saja? Ha-ha-ha!” Orang
Mongol bertahi lalat di hidung menerjang lagi dengan pukulan sakti
Thai-lek-kang sambil berjongkok, sedangkan adiknya tetap menyerang dengan ilmu
silat yang aneh itu, yaitu sambil memutar-mutar tubuh amat cepatnya.
Sejenak kakek bongkok itu
terdesak dan menghindar ke sana ke mari sambil mengomel, “Hemmm, Thai-lek
Kauw-ong sudah lama mampus, kini ilmu-ilmunya yang jahat muncul lagi! Kim-siauw
Locianpwe (Orang Sakti Suling Emas), maaf, terpaksa boanpwe (aku yang rendah)
mengotorkan pusaka locianpwe!”
Dua orang Mongol itu sudah
merasa girang karena serangan-serangan mereka yang benar-benar amat luar biasa
dan dahsyat itu berhasil mendesak kakek bongkok. Mereka ingin membunuh penjaga
kuburan ini agar mereka dapat menggeledah dan mencari pusaka-pusaka peninggalan
keluarga Suling Emas di tempat itu. Dengan penuh kepercayaan akan kelihaian
ilmu-ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu pukulan Thai-lek-kang (Tenaga Sakti
Halilintar) dan ilmu Silat Soan-hong-sin-ciang, mereka mendesak lebih keras
lagi.
Kedua macam ilmu ini
sebetulnya memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Dahulu ilmu-ilmu ini
dimiliki oleh Thai-lek Kauw-ong yang pernah bertanding melawan Suling Emas dan
dikalahkan (baca cerita Mutiara Hitam), dan semenjak Thai-lek Kauw-ong lenyap
dari dunia persilatan, ilmu-ilmunya pun turut lenyap. Akan tetapi ternyata kini
ilmu-ilmu yang lihai itu telah terjatuh ke tangan Sepasang Anjing Hitam gurun
pasir Go-bi dan begitu melihat ilmu-ilmu ini terus mengenalnya membuktikan pengetahuan
yang luas kakek bongkok itu yang lihai.
Kedua orang Mongol yang merasa
girang karena yakin akan menang itu tiba-tiba mengeluarkan suara kaget disusul
jerit melengking yang keluar dari mulut mereka ketika berkelebat sinar kuning
menyilaukan mata. Tubuh mereka roboh terpelanting dan ternyata kedua orang
Mongol itu telah tewas! Nirahai terbelalak memandang, penuh kagum. Tangan kiri
kakek bongkok itu memegang sebatang suling emas, sedangkan tangan kanannya
memegang sebuah kipas. Itulah sepasang senjata dari pendekar sakti Suling Emas
seperti ia dengar dari dongeng-dongeng lama!
Kakek bongkok sejenak berdiri
bongkok memandang dua sosok mayat bekas lawannya, kemudian mencium kipas dan
suling bergantian sambil berkata, “Kim-siauw Locianpwe, sampai sekarang pun
senjata-senjata pusaka locianpwe masih terlalu ampuh bagi orang-orang jahat!”
Setelah berkata demikian kakek
bongkok itu menggerakkan kedua tangan dan lenyaplah suling dan kipas itu di
balik baju pelayannya. Kemudian ia mengempit mayat dua orang Mongol itu,
membawanya ke dekat perahu mereka tadi. Tali tambang perahu ia gunakan untuk
mengikat dua sosok mayat bersama perahunya erat-erat, kemudian sekali angkat
dan melontarkan, perahu dengan dua sosok mayat itu terlempar jauh ke tengah
sungai dan perlahan-lahan perahu itu terbawa arus sungai yang lamban. Kakek
bongkok memandang sejenak, kemudian ia kembali ke depan pondok tempat pertempuran
tadi, menggunakan sepatunya menggosok-gosok sampai bersih tetesan darah yang
mengotori tempat itu.
Melihat kakek itu
menggosok-gosok dan membersihkan tanah yang terkena darah dengan teliti dan
hati-hati sekali. Nirahai memperhatikan dan menjenguk dari balik batu. Kakek
itu berdiri membelakanginya, maka ia berani menjenguk keluar. Ia tidak tahu
betapa kakek bongkok itu sejak tadi sudah menduga akan kehadirannya dan betapa
kakek itu kini sambil membelakanginya dan menghapus darah dengan sepatu,
sebenarnya memperhatikan belakang penuh selidik.
Tiba-tiba tubuh kakek bongkok
yang membelakanginya itu bergerak melayang ke belakang seperti seekor burung
garuda menyambar kelinci, kakinya menendang dan kedua tangannya mencengkeram.
Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang mengintai itu seorang dara, ia
berteriak kaget dan tubuhnya membalik cepat, membuat gerakan poksai (salto)
beberapa kali dan meloncat turun ke atas tanah, memandang dengan mata
terbelalak kepada Nirahai yang berdiri tenang sambil tersenyum. Mata kakek itu
menjelajahi muka dan pakaian Nirahai, kemudian mengerling ke arah joli kosong
yang indah akan tetapi tanpa pemanggul itu.
“Nona, mau apakah Nona datang
ke tempat terlarang ini?” Kakek itu marah sekali melihat ada orang berani mendatangi
tempat yang baginya suci itu, akan tetapi karena pelanggarnya seorang dara
muda, ia menjadi tidak enak untuk bersikap kasar. Hanya pandang matanya yang
bengis.
Nirahai tersenyum manis.
“Orang tua, bukankah engkau penjaga kuburan keluarga pendekar besar Suling
Emas? Aku datang untuk berziarah, untuk bersembahyang di depan kuburan para
pendekar.”
“Hemmm, sudah bertahun-tahun
tempat suci ini menjadi tempat terlarang, mana mungkin tempat suci ini
dikotorkan sembarang orang yang hendak berziarah? Engkau ini gadis muda berani
lancang mendatangi tempat terlarang di sini, siapakah engkau?”
Nirahai masih tersenyum,
sikapnya sabar akan tetapi sebetulnya matanya ingin sekali dapat menembus baju
kakek itu untuk melihat suling emas yang tadi ia lihat sekelebatan ketika kakek
ini mempergunakannya untuk merobohkan dua orang Mongol. Suling itulah yang
ingin ia dapatkan. Jauh-jauh ia datang dengan susah payah hanya untuk mendapatkan
suling itu. Senjata pusaka dari pendekar sakti Suling Emas! Dengan pusaka itu,
agaknya akan mudah baginya menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang masih belum
mau tunduk, bahkan yang kini berpusat di barat, di Secuan, membantu Bu Sam
Kwi!
“Kakek yang baik, aku adalah
Puteri Nirahai.”
“Puteri? Puteri Mancu? Masih
ada hubungan apa dengan mendiang Pangeran Dorgan?” Kakek ini bertanya, alisnya
yang banyak putihnya itu berkerut, matanya memandang tajam.
“Mendiang Pangeran Dorgan
adalah masih Kakekku, Paman Kakekku. Aku adalah puteri Kaisar yang sekarang.”
Makin tidak enak hati kakek
itu dan terpaksa ia lalu membungkuk dengan sikap normat. “Ah, kiranya Paduka
ini puteri Kaisar Kang Hsi? Maaf, saya tidak dapat menyambut Paduka sepantasnya
karena tempat ini adalah kuburan, tempat suci. Akan tetapi, sungguh saya merasa
heran, mengapa Paduka hendak berziarah di tanah kuburan ini? Yang terkubur di
sini adalah keluarga Kerajaan Khitan, keluarga pendekar sakti Suling Emas....”
“Engkau benar, orang tua.
Ayahku, Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu, memang tidak mempunyai hubungan dengan
tanah pekuburan ini. Akan tetapi ketahuilah, Ibuku adalah seorang puteri
Khitan! Ibuku termasuk seorang di antara puteri-puteri Khitan yang
dipersembahkan kepada Kaisar Mancu, sehingga biarpun aku puteri Kaisar Mancu,
namun aku pun mempunyai darah keturunan Khitan! Karena itu, kurasa sudah
sepatutnya kalau aku berziarah dan bersembahyang di depan kuburan suci ini,
Kakek yang baik.”
Kakek bongkok itu mengerutkan
alisnya makin dalam dan ia menggeleng-geleng kepaia. “Kalau Paduka benar puteri
Kaisar Mancu, mengapa Paduka datang sendiri tanpa pengiring? Bagaimana saya
dapat membuktikan bahwa Paduka ini puteri Kaisar Mancu dan keturunan keluarga
Kerajaan Khitan?”
Nirahai tersenyum. “Orang tua,
andaikata engkau menjadi seorang keluarga raja, apakah engkau juga akan suka
setiap keluar dari pintu dikawal banyak orang sehingga gerakanmu tidak bebas,
selalu diawasi?”
Kakek bongkok itu memandang sejenak,
tidak menjawab karena ia agaknya bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan
gadis itu.
“Orang-orang seperti kita yang
sudah biasa bergerak bebas lepas seperti burung di udara dan seperti ikan di
samudera, mana bisa merasa senang kalau selalu dikawal orang? Itulah sebabnya
aku tidak pernah membawa pengawal biarpun aku puteri kaisar. Memang aku tidak
bisa membuktikan bahwa aku puteri kaisar, akan tetapi orang tua yang baik, aku
sungguh seorang yang berdarah Khitan, dan lebih daripada itu, akulah yang mewarisi
ilmu kepandaian pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang kuburannya berada di
sini pula.”
Kakek itu mengerutkan
keningnya dan memandang tajam. “Harap Paduka tidak main-main. Kalau yang datang
ke sini adalah Sepasang Pedang Iblis, saya tentu tidak akan ragu-ragu menerima
sepasang manusia sinting itu sebagai pewaris ilmu mendiang Mutiara Hitam. Sudahlah,
Nona. Lebih baik lekas Nona panggil dua orang pemanggul joli Nona dan cepat
pergi dari tempat ini. Tempat ini bukanlah tempat pesiar bagi seorang puteri
seperti Nona. Kalau orang lain yang berani datang, tentu sudah saya bunuh.”
“Hemmm, seperti yang
kaulakukan kepada Sepasang Anjing Hitam dari Go-bi, dua orang Mongol tadi?”
Nirahai mengejek.
“Ahhh, Paduka melihatnya?”
“Tentu saja. Sudah kukatakan
bahwa aku pun seorang tokoh kang-ouw, bukan seorang puteri lemah yang doyan
pelesir dan pesiar, dan aku mewarisi ilmu-ilmu Mutiara Hitam. Dan kedatanganku
ke sini untuk merundingkan sesuatu denganmu.”
“Bagaimana saya dapat yakin
bahwa Paduka benar-benar pewaris ilmu mendiang pendekar wanita perkasa Mutiara
Hitam yang mulia?” Kakek itu berkeras tidak mau percaya.
“Crekkk!” Tangan Nirahai
bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menyambar sebatang payung berujung
runcing yang tadi ia taruh di dalam joli, kakinya memasang kuda-kuda dan ia
berkata sambil tersenyum.
“Bukalah matamu lebar-lebar,
orang tua yang keras kepala! Kenalkah engkau dengan senjata ini?”
“Sebuah Tiat-mo-kiam....” kata
kakek itu. “Bukan merupakan bukti....”
“Memang bukan, akan tetapi
lihat gerakan pedang payung ini!” Nirahai menggerakkan tubuh dan payungnya,
bersilat dengan gerakan lincah dan dari ujung payungnya keluar angin yang
berbunyi bercuitan ketika menyambar ke depan, terus mengitari sebatang pohon
yang sudah kehabisan daun karena dirontokkan hawa dingin dan tinggal
cabang-cabang dan rantingnya saja. Sinar terang ujung payung yang menyambar-nyambar
mengintari pohon tiga kali dan terdengar suara keras ketika cabang dan ranting
pohon itu tumbang semua sehingga pohon itu kini kelihatan seperti raksasa
dibuntungi tangannya.
“Pat-mo Kiam-hoat....!”
Kembali kakek itu berkata.
“Dan engkau mengenal ini?”
Nirahai melakukan gerakan dengan tangan kirinya, lengan kirinya bergerak
seperti menari, atau lebih tepat lengan yang kecil penuh berkulit halus itu
melenggang-lenggok seperti ular, kemudian dengan telapak tangan terbuka ia
tiba-tiba memukul atau mendorong arah pohon yang sudah buntung
cabang-cabangnya itu.
“Kraaaaakkkkk....
bruuuuukkk....!” Pohon itu tumbang terjebol dengan akar-akarnya!
“Sin-coa-kun....!” Si Kakek
Bongkok memandang terbelalak.
Nirahai tertawa. “Kakek tua
yang keras kepala, engkau tentu tidak akan merasa yakin benar kalau tidak
mengujinya sendiri. Hayo, keluarkan suling emas dan kipas peninggalan pendekar
sakti Suling Emas yang kaupergunakan untuk membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi,
dan hadapi payungku!”
Setelah berkata demikian,
Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya yang berujung runcing. Ujung
payung yang seruncing ujung pedang itu tahu-tahu sudah berubah menjadi sinar menyilaukan
yang menusuk ke arah leher kakek bongkok. Kakek itu mengeluarkan suara,
“Hemmm....!” dan dengan mudahnya miringkan tubuh ke kiri mengelak, akan tetapi
betapa kagetnya ketika tiba-tiba payung itu terbuka dan jari-jari payung yang
terbuat daripada baja itu menyerangnya didahului sambaran angin yang meniup
ketika payung terbuka tiba-tiba. Inilah serangan yang hebat! Kakek itu biarpun
sudah tua dan bongkok, ternyata masih mampu bergerak cepat dan ia sudah
menggulingkan tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari sambaran jari-jari
payung.
“Lihat senjata rahasia....!”
Nirahai berseru, tangan kirinya bergerak.
“Wir-wir-wir....
ciat-ciat-ciat....!” Kakek itu terpaksa bergulingan ke kanan kiri untuk
mengelak sambaran sinar hijau dari jarum-jarum yang menyambar susul-menyusul
itu. Ketika melihat sinar hijau dan mencium bau harum, ia meloncat bangun sambil
berseru, “Siang-tok-ciam....!”
Nirahai tersenyum ketika
melihat kakek itu sudah meloncat sambil mencabut sepasang senjata pusaka
peninggalan Suling Emas itu, yaitu sebuah kipas dipegang di tangan kanan
sedangkan sebatang suling emas dipegang di tangan kiri. Gadis ini sambil
tersenyum memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lututnya ditekuk
sedikit, tubuhnya miring menghadapi kakek itu, mengeriing ke kanan, mulut
tersenyum, tangan kanannya yang memegang gagang payung bengkok itu menodongkan
payung ke depan dada, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka miring
berada di depan muka, ibu jarinya hampir menyentuh hidung. Dilihat begitu
saja, kuda-kuda dara ini seperti orang yang sedang mengejek dan mempermainkan
lawan, akan tetapi kakek bongkok itu mengenal kuda-kuda dari Pat-mo Kiam-hoat
(Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan diam-diam ia mengkirik. Ilmu Pedang Delapan
Iblis ini adalah ilmu pedang yang amat hebat dan ganas, dan dahulu menjadi ilmu
dari seorang tokoh sakti wanita yang menggemparkan dunia persilatan yang hanya
didengar oleh kakek bongkok itu dari dongeng, yaitu wanita sakti yang berjuluk
Tok-siauw-kwi. Setan Cilik Beracun (Tok-siauw-kwi) ini bukan lain adalah ibu
kandung Suling Emas (baca cerita Suling Emas) yang amat lihai ilmunya dan amat
ganas sepak terjangnya. Dan kini ternyata ilmu yang hebat ini telah terjatuh ke
tangan gadis puteri Kaisar Mancu yang mengaku masih berdarah Khitan ini! Memang
hatinya sudah mulai percaya, keraguannya menipis, apalagi ketika ia tadi
menyaksikan ilmu pukulan tangan kosong Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti)
dan senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Wangi). Betapapun juga, kalau
belum mengujinya, kakek ini masih belum yakin.
“Marilah, Kakek yang keras
kepala! Engkau hendak menguji apakah benar-benar ilmu yang kaulihat tadi
berisi, dan aku pun ingin melihat apakah sepasang senjata yang kaukeluarkan itu
benar-benar aseli!” Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju
dengan payungnya. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat
sekali.
“Wuuuttttt, singgggg....!”
Pedang yang berbentuk payung itu menusuk.
“Cringgggg....!” Suling di
tangan kiri kakek itu menangkis ujung pedang payung dan tampak bunga api
berpijar. Keduanya tergetar ke belakang. Nirahai memeriksa ujung payungnya dan
terkejut melihat ujung payung yang terbuat dari baja pilihan itu agak lecet!
Diam-diam ia memuji suling emas itu yang ternyata benar-benar sebuah senjata
pusaka yang amat ampuh, sesuai dengan nama pemiliknya dahulu, yaitu Pendekar
Suling Emas.
Sudah menjadi watak kebanyakan
ahli silat kalau bertemu lawan tangguh timbul kegembiraannya. Demikian pula dengan
Nirahai. Sudah lama dia tidak bertemu lawan yang tangguh dan kini bertemu
kakek penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai, ia menjadi gembira, dan
cepat ia melanjutkan serangannya dengan tusukan bertubi-tubi, mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Kakek bongkok ini dahulunya
adalah bekas kacung dari keluarga putera Suling Emas yang bernama Kam Liong,
kakak tiri Mutiara Hitam. Kam Liong inilah yang mewarisi senjata kipas dan
suling ayahnya. Kacung keluarga Kam Liong ini mengabdi sampai tua dan setelah
kuburan keluarga Suling Emas tidak dijaga lagi oleh pengawal-pengawal Kerajaan
Khitan yang sudah runtuh, dia lalu turun gunung di mana ia bertapa melewatkan
hari tuanya, dan menjaga tanah kuburan itu dengan penuh kesetiaan. Nama bekas
kacungnya yang kini menjadi kakek bongkok itu adalah Gu Toan. Dia seorang buta
huruf akan tetapi berkat kesetiaannya mengabdi keluarga Suling Emas, keluarga
itu menyayanginya dan melatihnya dengan ilmu-ilmu silat keluarga pendekar
besar itu. Gu Toan amat rajin dan tekun. Sungguhpun ia buta huruf dan terhitung
golongan orang yang kurang cerdas otaknya, namun ketekunannya membuat ia dapat
menguasai semua ilmu silat keluarga itu. Akan tetapi tentu saja latihannya
tidak sempurna benar.
Betapapun juga, kalau
menghadapi lawan dari luar, kakek ini sukar dicari tandingnya. Kini bertemu
dengan Nirahai yang mewarisi ilmu keluarga Suling Emas dan telah melatihnya
dengan sempurna, tentu saja kakek itu terdesak hebat. Ia mengenal Pat-mo
Kiam-hoat yang dimainkan dengan pedang payung, mengenal pula pukulan
Sin-coa-kun yang dilakukan sebagai selingan alam penyerangan Nirahai, akan
tetapi karena dia tidak pernah melatih ilmu-ilmu itu secara mendalam,
menghadapi terjangan Nirahai itu ia menjadi repot sekali.
“Nona, hentikanlah....!”
Tiba-tiba kakek itu mencelat ke belakang dan memandang kagum. “Paduka
benar-benar puteri Kaisar yang amat lihai, dan saya mengakui bahwa Paduka telah
mewarisi ilmu dari Keluarga Suling Emas. Paduka berhak untuk berziarah dan
bersembahyang di kuburan ini. Silakan!”
Nirahai memanggul senjatanya
yang kini hanyalah sebuah payung biasa, sama sekali tidak tampak seperti sebuah
senjata yang ampuh, dan memandang kakek bongkok itu. Mulutnya yang selalu tersenyum
itu kini kelihatan ditarik keras sehingga wajahnya yang manis nampak
sungguh-sungguh.
“Sebetulnya, siapakah engkau
ini, Kakek yang lihai?”
“Nama saya Gu Toan dan dahulu saya
adalah kacung dari putera Suling Emas. Hanya itu yang dapat saya ceritakan.
Silakan kalau hendak bersembahyang, Nona.”
“Begini, Kakek Gu. Selain
hendak berziarah dan memberi hormat kepada kuburan keluarga besar ini, aku
pun hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu.”
Kakek itu yang masih berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar dan tubuh membungkuk, kedua tangan
tergantung di kanan kiri pinggang setelah menyimpan kembali sepasang
senjatanya, kini mengangkat muka memandang wajah cantik itu penuh selidik dan
bertanya.
“Permintaan apakah itu, Nona?
Apakah yang dapat saya lakukan untuk Paduka?”
“Engkau tentu telah tahu bahwa
Kerajaan Mancu berhasil menguasai semua daratan di selatan. Akan tetapi, masih
ada daerah di barat yang belum mau tunduk, yaitu daerah Se-cuan yang dikuasai
oleh Bu Sam Kwi. Kedudukan musuh ini amat kuat dan hal ini terutama sekali
ditimbulkan oleh bantuan orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Kami
mengalami kemacetan dan kesulitan untuk menaklukkan daerah itu, yang merupakan
daerah terakhir. Kalau Se-cuan sudah takluk, berarti seluruh daratan Tiongkok
berada di kekuasaan Kerajaan Ceng kita....”
“Bukan kerajaan kita, Nona.
Ingat, saya adalah seorang bangsa Han....”
Nirahai mengerutkan keningnya.
“Hemmm...., apakah engkau anti Mancu dan pro kepada Bu Sam Kwi?”
Kakek itu menarik napas
panjang dan menggeleng kepala. “Saya tidak mengenal Bu Sam Kwi, dan saya tidak
peduli akan urusan negara, saya hanya bertugas menjaga kuburan suci ini.
Dahulu, mendiang pendekar sakti Suling Emas menghilangan semua bentuk
permusuhan antar suku bangsa, bahkan Kerajaan Khitan berdarah Han pula. Akan
tetapi sekarang.... ah, saya tidak tahu tentang urusan kerajaan. Teruskan,
apakah yang Paduka kehendaki?”
“Kami ingin menaklukkan
Se-cuan tanpa menimbulkan banyak korban di fihak orang-orang gagah di dunia
kang-ouw. Kaisar kami membutuhkan tenaga orang-orang pandai itu, maka kami
ingin menaklukkan mereka tanpa membunuh, bahkan kalau bisa hendak menarik
mereka untuk bekerja sama demi negara dan bangsa seluruhnya. Karena itu,
kedatanganku ke sini untuk minta pinjam senjata pusaka dari mendiang Suling
Emas. Dengan suling sakti milik Suling Emas, kiranya aku akan dapat
mempengaruhi para orang gagah itu untuk menakluk dengan damai. Berikanlah
suling emas itu padaku, Kakek Gu, untuk kupinjam beberapa lamanya. Kalau sudah
selesai tugasku dengan hasil baik, aku bersumpah untuk mengembalikannya
kepadamu.”
“Tidak mungkin!” Kakek itu
berseru. “Pusaka-pusaka itu adalah benda keramat, yang tidak boleh dibawa pergi
oleh siapapun juga dari sini. Nona sudah menyaksikan sendiri terpaksa saya
membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi yang hendak merampas pusaka. Dan entah
sudah berapa banyak orang-orang yang tewas di tangan saya karena menghendaki
pusaka-pusaka itu. Harap Nona membuang jauh keinginan itu dan meninggalkan
tempat ini dengan selamat.”
“Kakek yang keras kepala!
Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan? Engkau tahu sendiri betapa lihainya
Pat-mo Kiam-hoatku yang tidak akan dapat kaulawan!” Nirahai sudah menggerakkan
payungnya.
“Srettt!” Payung yang tadi
dipanggulnya itu kini telah menodong dari depan dadanya ke arah kakek itu.
“Wuuuttttt.... singgggg!”
Kipas dan suling emas sudah tercabut keluar oleh kakek itu sambil berkata,
“Nona, memang Pat-mo Kiam-hoat amat hebat. Di dunia ini terdapat dua ilmu
mujijat yang dimiliki mendiang pendekar sakti Suling Emas, yaitu Lo-hai
San-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Delapan Dewa). Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dahulu diciptakan
untuk mengatasi Pat-sian Kiam-hoat, akan tetapi betapapun juga, ilmu yang
bersih tak mungkin dapat dikalahkan ilmu yang sesat. Dewa yang suci takkan
dapat dikalahkan Iblis yang jahat. Saya tidak akan dapat menyerahkan suling
ini selama nyawaku masih berada di tubuh ini.”
“Bagus! Engkau memang keras
kepala!”
Nirahai berseru marah dan
payungnya sudah menerjang hebat. Akan tetapi kini kakek itu mainkan Pat-sian
Kiam-hoat dengan suling emasnya, dan kipasnya mainkan ilmu Silat Lo-hai
San-hoat yang dahsyat. Angin keras bertiup dari kebutan kipas,
menyambar-nyambar muka Nirahai dan setiap kali gadis ini terpaksa miringkan
muka atau mengelak oleh sambaran kipas, sinar kuning emas dari suling sudah
meluncur, mengarah bagian tubuh berbahaya, disusul dengan totokan-totokan
gagang kipas.
“Aiiih....!” Nirahai
menggunakan gin-kangnya, tubuhnya melesat ke atas dalam usahanya untuk
menghindarkan diri. Keringat dingin keluar dari jidatnya dan gadis ini harus
mengakui bahwa kakek bongkok itu benar-benar lihai sekali. Ia bersilat dengan
hati-hati, menggunakan payungnya sebagai senjata pedang yang menyerang, juga
sebagai senjata perisai yang melindungi tubuh. Pertandingan berlangsung seru
sekali. Kakek itu menang pengalaman dan juga menang ilmu silat, akan tetapi
kalah lincah dan kalah dalam hal perkembangan, taktik dan kecerdikan.
Pertandingan berlangsung
seratus jurus lebih dan diam-diam Nirahai harus mengakui bahwa Ilmu Pedang
Pat-mo Kiam-hoat memang kalah hebat oleh Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Kalau
saja kakek itu menguasai ilmunya dengan sempurna, kiranya tadi-tadi ia sudah
dirobohkan lawan.
“Ser-ser-serrr....!” Nirahai
tiba-tiba menyambit dengan jarum-jarumnya. Karena jarak di antara mereka
dekat, kakek itu terkejut, memutar kipas dan mengebut jarum-jarum runtuh ke
tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nirahai untuk mengirim tusukan kilat
dengan ujung payungnya. Kipas itu terbuka, menangkis dan tiba-tiba tertutup,
kedua gagang kipas menjepit ujung pedang. Nirahai kaget sekali karena tiba-tiba
payungnya tak dapat digerakkan dan tampak sinar kuning emas berkelebat depan
matanya. Tahulah puteri ini bahwa nyawanya terancam suling yang ampuh itu.
“Plak-plak....!” Tubuh Nirahai
dan tubuh kakek bongkok itu terlempar ke belakang oleh dorongan telapak tangan
yang memiliki tenaga hebat tak tertahankan. Mereka cepat meloncat untuk
mematahkan tenaga dorongan yang membuat mereka terhuyung dan memandang ke
depan. Nirahai terbelalak beran melihat bahwa di situ telah berdiri seorang
nenek yang masih memiliki wajah cantik sekali, pakaiannya pun indah dan bersih
berdiri dengan sikap agung melebihi keagungan permaisuri kaisar sendiri.
“Ya Tuhan.... be.... benarkah
Paduka ini....?” Kakek bongkok bergoyang-goyang tubuhnya, matanya terbelalak,
wajahnya pucat seolah-olah ia melihat setan di tengah hari.
“Gu Toan, apakah matamu telah
menjadi lamur karena usia tua dan tidak mengenal aku?” Wanita itu berkata, suaranya
dingin melebihi salju.
“Benarkah.... benarkah Paduka
ini.... Maya-siocia (Nona Maya)....?”
Nenek itu tersenyum, bukan
dengan mulutnya melainkan dengan matanya. Mata yang amat indah dan sama sekali
tidak membayangkan usia tua. “Gu Toan, biar sudah menjadi kakek tua, engkau
masih bodoh. Masa aku yang sudah jadi nenek-nenek kausebut siocia? Sungguhpun
aku selamanya tidak pernah menikah dan masih seorang Nona, akan tetapi Nona
tua....” Ucapan terakhir ini terdengar bernada duka sehingga Nirahai menjadi
heran.
“Ahhh.... ampunkan hamba....”
Kakek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu. “Hamba kira....
hamba dengar bahwa Paduka....” Ia tidak berani melanjutkan.
“Kaukira aku sudah mati?”
Nenek itu melanjutkan dan melihat kakek bongkok yang berlutut itu mengangguk,
ia menghela napas panjang. “Memang sudah mati...., apakah bedanya dengan mati
kalau batin ini sudah kosong dan semangat ini sudah padam? Hanya tubuh yang tak
tahu diri, yang masih belum juga mau mati....” Ucapan ini terdengar perlahan
kemudian tiba-tiba ia sadar dan melanjutkan dengan suara halus namun amat
dingin dan penuh wibawa, “Eh, Gu Toan, aku melihat engkau sampai menggunakan
sepasang pusaka keramat dan mainkan ilmu simpanan melawan gadis ini. Siapakah
dia?” Ia bertanya kepada Gu Toan akan tetapi menoleh kepada Nirahai dan sejenak
ia terpesona melihat wajah Nirahai, karena ia seakan-akan melihat bayangannya
sendiri dalam air yang jernih.
“Kau.... kau seorang
gadis Khitan....?”
Nirahai yang sejak tadi masih
memandang dengan hati tegang dan heran, menggangguk tanpa mengalihkan pandang
matanya. Ia dapat mengenal orang sakti, yang sekali bergerak dapat membuat dia
dan kakek bongkok terpental ke belakang. “Saya seorang dara Mancu yang
berdarah Khitan pula.”
“Dia adalah puteri Kaisar Kang
Hsi dari Kerajaan Mancu,” Kakek bongkok itu menerangkan, “akan tetapi berdarah
Khitan dan telah mewarisi Pat-mo Kiam-hoat, Sin-coa-kun-hoat dan
Siang-tok-ciam. Datang ke sini untuk meminjam suling emas guna menaklukkan
tokoh-tokoh kang-ouw yang membantu Bu Sam Kwi yang belum mau takluk kepada
Kerajaan Ceng. Terpaksa hamba menolak dan kami bertempur....”
Nenek itu masih memandang
Nirahai penuh selidik. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan. Nirahai
tidak tahu bagaimana caranya, akan tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu
tangan itu telah meraih ke arah payung yang dipegangnya. Tentu saja ia cepat
menggerakkan payungnya untuk mengelak, akan tetapi payungnya itu tiba-tiba saja
terlepas dari tangannya, seolah-olah payungnya berubah menjadi seekor burung
yang amat kuat dan yang terbang melepaskan diri dari tangannya. Ketika ia
memandang, ternyata nenek itu telah memegang payungnya dan memeriksanya,
membuka menutup dan mencobanya dengan beberapa gerakan menusuk. Nenek itu
mengangguk-angguk dan berkata.
“Lumayan juga senjata ini.
Sudah memiliki senjata seperti ini, sudah memiliki ilmu-ilmu ampuh peninggalan
Keluarga Suling Emas, mengapa masih ingin meminjam suling emas?” Pertanyaan
ini bagaikan ujung pedang ditodongkan di depan dada Nirahai yang masih belum
kehilangan kaget dan herannya menyaksikan betapa dengan mudahnya nehek itu
merampas senjatanya! Karena maklum bahwa nenek ini amat sakti, dan tahu pula
bahwa kalau ia salah jawab dan nenek itu menghendaki, sekali pukul saja ia akan
tewas dan ia tidak akan dapat melindungi dirinya dari tangan nenek yang luar
biasa ini. Maka Nirahai yang cerdik dan juga yang merasa amat kagum segera
menjatuhkan diri beriutut di depan nenek itu, seperti kakek bongkok, dan
berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya kepada
locianpwe kalau teecu bersalah dalam hal ini. Sesungguhnya teecu secara
terpaksa sekali mohon pinjam suling emas itu, karena tugas teecu sebagai
pimpinan pasukan pengawal yang bertugas menandingi tokoh-tokoh kang-ouw yang
menentang pemerintah Kerajaan Ceng dan membantu pemberontak Bu Sam Kwi.
Kerajaan Ceng menghendaki agar orang-orang gagah itu ditaklukkan dengan jalan
damai, karena untuk membangun negara yang banyak menderita karena perang,
pemerintah membutuhkan bantuan orang-orang gagah itu.”
“Maka sedapat mungkin,
penaklukan Se-cuan akan dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban di
antara orang-orang gagah yang membelanya. Untuk keperluan itulah maka teecu
terpaksa mohon pinjam suling keramat, karena senjata pusaka itu amat besar
pengaruhnya terhadap para tokoh kang-ouw yang tentu akan menjunjungi tinggi
senjata peninggalan Pendekar Suling Emas dan akan suka berdamai dan menakluk.
Bukan sekali-kali teecu hendak memusuhi Kakek Gu, akan tetapi karena dia kukuh
tidak mau memberikan, dan teecu terpaksa didorong tugas, maka terjadilah
bentrokan tadi.... baiknya locianpwe melerai, karena kalau tidak tentu teecu sudah
menjadi korban kekerasan Kakek itu.”
“Hemmm.... hemmm....”
beberapa kali nenek itu menggumam dan memandang lebih teliti, kini matanya yang
indah menyinarkan rasa kagum dan suka, akan tetapi mulutnya yang dulu di waktu
mudanya tentu menggairahkan itu masih saja membayangkan sifat dingin mengejek
dan memandang rendah dunia ini. “Engkau masih muda sekali, cantik jelita dan
jelas membayangkan darah Khitan di tubuhmu yang ramping padat. Ilmu kepandaianmu
sudah lumayan dan kiranya di dunia ramai agak sukar mencari tandingan,
senjatamu pun baik, tanda bahwa engkau dapat menyelami kitab-kitab peninggalan
pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dengan sempurna. Bicaramu lancar dan dapat
melihat gelagat, tanda bahwa engkau pun memiliki kecerdikan yang mengagumkan.
Eh, Puteri yang manis, siapakah namamu?”
Hati Nirahai girang sekali
mendengar suara nenek itu dan besar kemungkinan ia akan berhasil meminjam
suling emas. “Nama teecu Nirahai, locianpwe.”
“Engkau puteri Kaisar Mancu
yang sekarang?” Ia berhenti sebentar lalu menyambung, “Pangeran Dorgan itu
apamukah?”
“Benar, locianpwe, teecu
puteri Kaisar yang terlahir dari selir. Ibuku adalah Puteri Khitan, masih gadis
telah menjadi selir Pangeran yang sekarang menjadi kaisar. Mendiang Pangeran
Dorgan adalah Paman Kakekku. Karena itu, biarpun sudah amat jauh, darah Ibuku
sedikitnya masih ada keturunan dari Kerajaan Khitan, dan pendekar sakti
Mutiara Hitam masih Nenek Buyutku....”
“Hemmm, semua manusia di dunia
ini kalau ditelusur, tentu masih ada hubungan keluarga. Tahukah engkau bahwa
Mutiara Hitam itu adalah Bibiku sendiri, Bibi Luar? Saudara kembarnya yang menjadi
Kaisar Khitan adalah Paman Luarku....”
“Ohhh.... harap maafkan,
locianpwe, karena teecu tidak tahu maka bersikap kurang hormat.”
“Sudahlah, tak perlu banyak
peradatan, kita tidak dapat membanggakan keturunan Khitan yang sudah ambruk!
Engkau masih lebih beruntung karena keturunan Kaisar Mancu yang kini
berkembang dan mulai jaya. Sekarang ceritakan keadaan kerajaan dan gerakannya
ke selatan. Aku sudah mendengar hal itu dan karena tertarik melihat kejayaan
Mancu, aku sampai keluar dari tempat pertapanku. Kebetulan bertemu dengan
engkau seorang puteri Kaisar sendiri yang memimpin pasukan pengawal. Nah,
ceritakan!”
Nirahai girang bukan main.
Dengan gaya bicaranya yang lancar ia lalu menceritakan keadaan pemerintah
Mancu yang dapat menaklukkan daerah selatan dengan mudah, akan tetapi kini menghadapi
kesulitan karena Se-cuan yang dipimpin Bu Sam Kwi masih belum dapat
ditaklukkan.
“Akan tetapi teecu percaya,”
Nirahai menutup penuturannya, “kalau teecu diperbolehkan meminjam suling emas,
teecu akan dapat mempengaruhi para tokoh kang-ouw yang membela Bu Sam Kwi.
Teecu kira, partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Kun-lun-pai
dan yang lain-lain, yang sekarang belum mau membantu Ceng, tentu akan tunduk
kalau melihat bahwa teecu mendapat kehormatan memiliki suling keramat
peninggalan Suling Emas yang mereka junjung tinggi.”
Nenek itu mengangguk-angguk,
dan tiba-tiba ia bertanya kepada kakek bongkok, “Eh, Gu Toan, kau lihat
baik-baik bocah ini dan katakan, wajah dan bentuk tubuhnya seperti siapakah
enam puluhan tahun yang lalu?”
Kakek itu memandang Nirahai
dan berkata, “Tadi pun ketika pertama kali dia muncul, hamba sudah kaget dan
teringat betapa serupa puteri ini dengan Paduka dahulu. Seperti buah pinang dibelah
dua!”
Nenek itu menghela napas.
“Benar, akan tetapi betapa buruk nasibku. Ahhh, kuharap saja engkau yang
memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti aku, tidak akan mengalami nasib seburuk
nasibku, Puteri Nirahai!” Ketika Nirahai memandang, nenek itu sejenak
kehilangan sifat dingin yang membayang di wajahnya, terganti sinar kedukaan
yang mendalam. Memang nenek itu sedang mengenangkan semua pengalamannya puluhan
tahun yang lalu, di waktu ia masih muda, semuda Nirahai (baca cerita ISTANA
PULAU ES).
“Gu Toan, gadis ini benar. Kau
boleh meminjamkan suling itu untuk selama tiga tahun. Akulah yang kelak bertanggung
jawab kalau dia tidak mengembalikannya dalam waktu tiga tahun!”
“Kalau Paduka yang memerintah,
hamba tidak akan membantah,” jawab Kakek itu, yang mengeluarkan suling emas dan
menyerahkannya kepada Nirahai. Puteri ini girang sekali, menerima suling lalu
berlutut di depan nenek itu. “Teecu menghaturkan terima kasih, locianpwe. Dan teecu
bersumpah untuk mengembalikan pusaka ini selambat-lambatnya tiga tahun. Kakek
Gu, terima kasih dan maafkan kekasaranku tadi.” Kakek itu hanya
mengangguk-angguk tanpa menjawab.
“Teecu mohon diri, hendak
kembali ke selatan,” Nirahai berkata.
“Nanti dulu, Nirahai, aku
masih sangsi apakah suling itu akan membawa hasil. Orang-orang kang-ouw
mempunyai watak yang aneh. Sekali mereka itu mengambil keputusan untuk
berjuang, mereka melupakan apa saja dan kiranya belum tentu mereka mau
memandang suling itu untuk menghentikan perjuangan mereka. Sebaiknya kalau di
samping mencari jalan damai, engkau pun dapat menundukkan mereka dengan
kepandaian. Apakah engkau akan mampu mempergunakan suling itu untuk
menundukkan mereka dengan ilmu silatmu? Dapatkah engkau mainkan suling itu?”
Wajah Nirahai menjadi merah.
“Teecu seorang bodoh, dan jika teecu mainkan suling pusaka ini dengan Ilmu
Pedang Pat-mo Kiam-hoat, kiranya tidak lebih hebat daripada kalau teecu
menggunakan pedang payung.”
“Hemmm tidak baik kalau
begitu. Eh, Nirahai, bagaimana kalau engkau menjadi muridku?”
Tawaran ini tentu saja
diterima dengan hati girang luar biasa oleh Nirahai.
“Teecu akan merasa bahagia
sekali dapat menerima petunjuk locianpwe.”
“Bagus! Engkau kuambil murid,
Nirahai. Dan tempat di sini cukup baik bagiku untuk menggemblengmu beberapa
lama agar engkau dapat menggunakan suling itu tidak saja untuk mempengaruhi
mereka, akan tetapi kalau perlu untuk mengalahkan dan menaklukkan mereka.”
Kening Nirahai berkerut.
“Teecu akan suka sekali tinggal di sini mempelajari ilmu dari locianpwe, berapa
lama pun. Akan tetapi, pada waktu ini teecu mempunyai tugas. Sebagai puteri
Kaisar, bagaimana teecu dapat lari dari tugas? Selama pemerintah masih
membutuhkan tenaga teecu, tak mungkin teecu meninggalkan kerajaan untuk waktu
lama. Kalau locianpwe sudi, bagaimana kalau locianpwe saja yang ikut bersama
teecu ke kota raja dan mengajar teecu di sana? Teecu percaya bahwa Ayahanda
Kaisar akan menerima locianpwe dengan segala kehormatan dan rasa bangga di
hati.”
Nenek itu mengangguk-angguk
dan mempertimbangkan kata-kata muridnya. “Dahulu Pangeran Dorgan pernah bertemu
denganku. Ayahmu tentu hanya mendengar saja namaku, akan tetapi belum pernah
bertemu denganku. Baiklah, aku pun ingin sekali menyaksikan dari dekat kemajuan
usaha bangsa Mancu yang mengagumkan itu, yang tak pernah dicapai oleh bangsa
Khitan. Mari kita berangkat, muridku.”
Nirahai girang sekali. “Harap
subo sudi menunggang joli, biar teecu yang mengiringkan.”
Nirahai bertepuk tangan tiga
kali dan muncullah dua orang pemikul joli berlarian ke tempat itu. Tanpa
sungkan-sungkan lagi nenek itu yang dahulu terkenal sebagai Puteri Maya, masuk
ke dalam joli yang segera digotong oleh dua pemikulnya atas perintah Nirahai.
Dua orang itu merasa heran bukan main mengapa nenek itu amat ringan,
seolah-olah joli itu kosong saja! Nirahai lalu menjura kepada kakek bongkok
sebagai penghormatan perpisahan, kemudian mengikuti joli yang diduduki gurunya
dengan hati girang bukan main. Suling emas ia selipkan di pinggang, di sebelah
dalam bajunya. Sungguh ia amat beruntung, pikirnya. Tidak saja dapat meminjam
suling emas itu, bahkan ia telah bertemu dengan seorang nenek sakti luar biasa
yang menjadi gurunya! Setelah melalui perbatasan utara dan bertemu dengan
dusun, Nirahai membeli seekor kuda. Kini ia mengikuti joli gurunya yang telah
diganti orang lain pemikulnya, yaitu diambil dari dua orang penjaga perbatasan
yang kuat, dengan menunggang kuda. Gurunya itu amat pendiam, kalau sudah duduk
di dalam joli bersila seperti arca, tidak pernah bicara, tidak pernah menjenguk
keluar sehingga diam-diam Nirahai merasa kasihan. Untuk menyenangkan hati
gurunya, sepanjang jalan Nirahai berusaha untuk menghidangkan masakan-masakan
lezat dan menyediakan segala kebutuhan nenek itu. Akan tetapi nenek itu
menerima itu dengan sikap dingin.
Pada suatu pagi mereka tiba di
luar kota raja. Tembok kota raja sudah tampak dari tempat yang agak tinggi
sebelah utara itu dan hati menjadi girang sekali. Sudah beberapa lamanya ia
meninggalkan kota raja, akan tetapi perjalanannya yang memakan waktu lama dan
amat jauh itu ternyata tidak sia-sia belaka, bahkan hasilnya boleh dibilang
melampaui semua harapannya.
Ketika kudanya berjalan
perlahan mengiringkan joli yang dipikul oleh dua orang pemikulnya yang semenjak
meninggalkan kuburan keluarga Suling Emas telah berganti sampai sepuluh kali
itu, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda berjalan tergesa-gesa dari depan,
agaknya baru saja wanita itu meninggalkan gerbang pintu kota raja sebelah
utara. Gadis itu amat cantik, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan
tajam sinarnya, juga wajah yang lonjong dengan dagu meruncing ini menarik
sekali perhatian Nirahai. Sepintas lalu saja ia tahu bahwa gadis itu tentulah
mempunyai darah Mancu dan betapa besar persamaan gadis cantik itu dengan dia
sendiri. Mungkin dia lebih jangkung sedikit, akan tetapi perawakan gadis itu
pun ramping, dan wajahnya yang manis itu hampir sama dengan wajahnya sendiri.
Gadis itu pun berdiri sambil
memandangnya dengan sinar mata tajam menyelidik. Agaknya gadis itu heran
melihat dia memanggul sebuah payung, bahkan ketika rombongannya yang terdiri
dari dua orang pemikul joli dan kuda yang ditungganginya lewat, gadis itu
menghentikan langkah kakinya dan berdiri di pinggir jalan memandang bengong.
Nirahai tidak mempedulikannya
lagi saking girang hatinya sudah hampir tiba di kota raja. Akan tetapi mendadak
ia mendengar bentakan nyaring, “Heiii, berhenti dulu....!” Nirahai menahan
kudanya dan menoleh. Kiranya gadis manis tadi kini datang berlari-lari dan
meloncat ke depan kudanya, seolah-olah hendak menghadangnya. Nirahai
tersenyum, kagum setelah kini dekat melihat betapa gadis ini benar-benar cantik
jelita, dengan kulit muka yang halus dan berwarna putih kemerahan, sepasang
mata yang begitu indah seperti bintang pagi.
“Eh, ada keperluan apakah
engkau menghentikan aku?” Nirahai tidak menjadi marah. Biarpun dia seorang
puteri kaisar, namun sama sekali Nirahai tidak gila hormat. Apalagi ia maklum
bahwa gadis ini tentu belum mengenalnya, maka sikapnya yang kasar itu pun boleh
dimaafkan. Sifat ini mungkin terpengaruh oleh kebiasaannya merantau di dunia
kang-ouw sehingga sifatnya terlepas dan ia tidak begitu mementingkan kedudukan
dan kehormatan sebagai seorang puteri bangsawan tinggi.
Gadis itu bukan lain adalah
Lulu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu meninggalkan lembah
Sungai Huang-ho di mana selama setahun ia melatih diri dengan ilmu silatnya, di
bawah petunjuk Lauw-pangcu dan terutama sekali Sin Lian yang telah menjadi
kakak angkatnya. Dia pergi menuju ke kota raja dan karena ia maklum bahwa
keadaannya di kota raja berbahaya, biarpun di situ ia menyamar sebagai pria,
dan ketika ia tidak berhasil mendapatkan jejak kakaknya, ia lalu keluar dari
kota raja melalui pintu gerbang utara. Dia baru saja datang dari selatan dan
tidak pernah mendengar tentang Han Han, maka sebaiknya kini melanjutkan
usahanya mencari jejak Han Han ke hutan. Akan tetapi baru saja keluar dari
pintu gerbang, ia bertemu dengan Nirahai yang menunggang kuda. Melihat Puteri
Mancu yang cantik jelita dan gagah perkasa ini, Lulu tertarik sekali maka ia
memandang penuh perhatian. Akan tetapi ketika ia melihat payung yang dipegang
Nirahai, ia teringat akan cerita para tokoh Hoa-san-pai di Pek-eng-piauwkiok
tentang seorang Puteri Mancu amat lihai bernama Puteri Nirahai yang bersenjata
payung, teringat akan cerita tentang Teng Lok tokoh Hoa-san-pai yang dalam
penyelidikannya bertemu dengan puteri Kaisar Mancu bersenjata payung yang telah
membuntungi lengan orang she Teng itu. Puteri Mancu bernama Nirahai yang telah
mengadu domba tokoh Hoa-san-pai dengan tokoh Siauw-lim-pai sehingga akibatnya,
Han Han yang difitnah dan menjadi korban, dimusuhi kedua fihak.
“Apakah namamu Nirahai?”
Nirahai membelalakkan matanya
dan hampir saja ia tertawa bergelak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba, begitu
sederhana dan diajukan tanpa dibuat-buat, pertanyaan dengan sikap paling kurang
ajar yang pernah ia alami selama hidupnya. Ia tidak marah, bahkan tersenyum
memandang gadis yang bermata lebar itu. Ia mengangguk, ingin mendergar lebih
banyak. Suara gadis itu merdu dan nyaring, dan setiap gerakannya membayangkan
kejujuran dan kepolosan yang mengharukan.
“Jadi engkaukah yang bernama
Nirahai puteri kaisar, gadis yang mengadu domba tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai? Tentu engkau pula yang telah membunuh dua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam, bukan?”
Kalau ia menghadapi pertanyaan
seperti itu dari seorang tokoh kang-ouw, tentu Nirahai akan menjadi terkejut
dan berhati-hati, akan tetapi menerima pertanyaan begitu langsung dari mulut
yang manis dan mata yang lebar itu, sukar bagi Nirahai untuk membohong lagi.
“Bagaimanna engkau bisa tahu?”
“Hemmm, payungmu itu adalah
senjatamu yang ampuh, bukan? Kau jahat sekali.... jahat sekali dan aku harus
membunuhmu!”
Kembali hati Nirahai merasa
geli sekali. Ucapan seperti itu agaknya hanya patut diucapkan oleh seorang
tokoh besar, seperti gurunya. Enak saja gadis ini mengatakan hendak
membunuhnya.
“Eh, sabar dulu. Engkau
siapakah?”
“Aku Lulu. Perbuatanmu yang
curang itu telah membuat Kakakku Han Han banyak menderita. Engkau cantik
sekali, sayang.... akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau jahat!”
“Nirahai, siapakah bocah ini?”
Nenek itu telah berdiri di luar joli, padahal kedua pemikul joli masih
menggotongnya dan kini kedua orang itu terkejut dan berdiri seperti patung.
Mereka tidak merasa joli menjadi ringan, tidak melihat nenek itu turun, akan
tetapi mengapa tahu-tahu telah berada di luar joli? Seorang di antara mereka
menyingkap tirai joli dan memang benar, joli itu kosong. Terpaksa mereka
menurunkan joli dan keduanya berjongkok di dekat joli.
Lulu menengok, memandang nenek
itu dan ia terkejut. Cepat ia membalikkan tubuh pula memandang Nirahai yang
kini telah meloncat turun dari kuda. “Ah, aku pernah bertemu denganmu....!
Engkau penghuni Pulau Es.... ya benar....!” Lulu menudingkan telunjuknya ke
arah Nirahai.
“Apa? Pulau Es....? Kau gila
agaknya....!” Nirahai menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin dan
Lulu berteriak kaget karena pundaknya sudah dicengkeram oleh nenek itu yang membalikkan
tubuh Lulu menghadapinya sambil membentak.
“Apa maksudmu? Penghuni Pulau
Es? Hayo katakan apa yang kaumaksudkan!”
“Lepaskan tanganmu! Jangan
cengkeram pundakku! Nenek jahat engkau....!” Lulu berteriak meronta-ronta, akan
tetapi percuma saja, jari tangan nenek itu seolah-olah telah melekat di
pundaknya!
“Lepaskan....! Kalau
tidak....”
“Hem, bocah liar. Kalau tidak
engkau mau apa?” Nenek itu berkata.
“Kupukul mampus kau!”
Diam-diam nenek itu kagum
sekali melihat keberanian Lulu, maka ia menjawab, “Mau pukul? Boleh, pukullah!”
Karena Lulu dapat menduga
bahwa nenek ini tentulah kaki tangan Puteri Nirahai dan jahat, terpaksa harus
ia lenyapkan dulu sebelum ia menghadapi Nirahai yang ia tahu amat lihai. Ia
lalu menggerakkan kedua tangannya, memukul secara bertubi ke arah perut dan
dada nenek itu. Ia menggunakan jurus pukulan ilmu silatnya yang sudah ia latih
dan sempurnakan di lembah Huang-ho, dan mengerahkan sin-kangnya yang ia dapat
ketika berlatih di Pulau Es.
“Desss! Desssss!” Lulu
menjerit kesakitan karena kedua tangannya yang memukul itu seperti memukul air,
akan tetapi akibatnya kedua tangan itu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk
dengan seribu batang jarum! Nenek itu pun kaget dan melepaskan pundak Lulu,
matanya terbelalak memandang Lulu dan mulutnya berkata dengan suara menggetar.
“Itulah Hong-in-bun-hoat....!
Dari mana engkau mempelajarinya? Dan sin-kangmu itu.... apakah Swat-im
Sin-ciang?”
Lulu masih meringis kesakitan,
akan tetapi ia cemberut menghadapi pertanyaan itu. “Ternyata engkau memiliki
ilmu siluman dan pertanyaanmu ngawur tidak karuan. Apa itu Hong-in-bun-hoat?
Apa itu Swat-im Sin-ciang? Kalau Kakakku mungkin tahu ilmu-ilmu itu. Aku hanya
belajar sedikit di Pulau Es. Eh, yang manakah di antara kalian ini yang kulihat
patungnya di Pulau Es? Seperti dia....” Ia menuding Nirahai. “Akan tetapi
matanya seperti matamu!” Ia melihat nenek itu. “Akan tetapi yang mana pun juga
di antara kalian, semuanya jahat, memang di antara mereka bertiga di Pulau Es
itu, yang satu itu paling jahat....!”
“Apa kau bilang....? Apa kau
bilang....?” Nenek itu berkata dengan suara gemetar, tubuhnya terhuyung.
“Subo....!” Nirahai meloncat,
mendekati nenek itu. Akan tetapi dengan tangannya nenek itu menolak Nirahai
yang hendak menolongnya, kemudian setelah menghela napas tiga kali ia dapat
menguasai hatinya. Sekali melangkah ia telah menggerakkan tangan menangkap
tangan Lulu tanpa gadis ini dapat mengelak sedikit pun. Gerakan nenek itu cepat
luar biasa dan tidak dapat ia ikuti dengan pandangan matanya. Ia hendak
meronta, akan tetapi membatalkan niatnya ketika nenek itu memijat-mijat kedua
tangannya yang membengkak merah. Lulu juga seorang yang cerdik dan ia mengerti
bahwa nenek inilah sebetulnya orang yang patungnya ia lihat di Pulau Es.
Ketika ia tadi melihat wajah dan mata nenek ini, teringatlah ia akan patung
itu, hanya karena patung itu cantik dan muda seperti Nirahai, maka ia mengira
bahwa Nirahailah orangnya yang patungnya ia lihat di sana. Kini ia mengerti
bahwa biarpun ada persamaan dengan patung itu dan Nirahai, akan tetapi
sebetulnya patung itu adalah patung Si Nenek lihai ini di waktu muda. Dan ia
pun dapat menduga bahwa disebutnya patung itu di Pulau Es mendatangkan
keharuan besar di hati nenek ini. Tentu nenek ini ingin mendengar banyak-banyak
tentang Pulau Es dari dia, maka kini nenek itu bersikap baik, mengobati kedua
tangannya yang membengkak karena memukul tubuh Si Nenek. Kalau tidak mempunyai
maksud demikian, kiranya nenek yang seperti iblis ini akan membunuhnya! Ia
harus bersikap cerdik, pikirnya. Lulu membiarkan kedua tangannya ditekan dan
ditotok dan memang hebat sekali, dalam sekejap mata saja sudah sembuh, akan
tetapi dia sudah memutar otak mencari akal.
“Siapakah namamu?” Nenek itu
bertanya sambil melangkah mundur dua langkah dan memandang tajam.
“Namaku Lulu.”
“Engkau gadis Mancu?” Kini
nenek itu bertanya dalam bahasa Mancu.
Lulu menjawab dalam bahasa
Han, “Aku memang gadis Mancu, akan tetapi lebih suka berbahasa Han.”
Nenek itu mengerutkan alisnya,
“Hemmm, sesukamulah. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa bicara tentang
Pulau Es.”
“Aku tidak mau bicara!”
Nenek itu membelalakkan
matanya dan dari mata yang lebar itu memancar kebengisan yang membuat bulu
tengkuk Lulu bangun satu-satu. Akan tetapi dia seorang gadis yang memiliki
keberanian luar biasa, maka ia menentang pandang mata itu tanpa berkedip.
Matanya jauh lebih lebar dari mata nenek itu dan sinar matanya pun tajam,
bening dan polos.
“Kalau aku paksa padamu,
kupatahkan satu-satu tangan kakimu, apakah engkau juga tidak mau bercerita?”
Tiba-tiba Lulu tertawa, suara
ketawanya yang dimaksudkan agar berbunyi mengejek itu malah terdengar merdu
nyaring dan menular sehingga Si Nenek terpaksa ikut tersenyum, bahkan Nirahai
juga tersenyum lebar. “Heh-heh, kiranya engkau adalah Lulu bocah Mancu yang
diambil Adik angkat oleh tokoh muda aneh bernama Han Han itu. Sudah lama kau
kami cari-cari, siapa sangka akan bertemu di sini.”
“Hemmm, jadi Ouwyang Seng
manusia tak bermalu itu engkau yang suruh? Pantas, engkau jahat, kaki tanganmu
pun jahat. Tentu iblis-iblis tua yang mengeroyok kakakku, Si Setan Botak dan Si
Iblis Muka Kuda itu pun kaki tanganmu, bukan? Hemmm.... cocok sekali!”
Nirahai terkejut. “Aihhh,
engkau tahu....?”
“Tentu tahu! Malah aku telah
ditawan dan dibawa ke istana, oleh Kaisar sendiri aku dijadikan pelayan istana.
Akan tetapi aku lari dari istana....”
Nirahai tertawa lagi. Tak
dapat ia menahan geli hatinya. Anak ini polos dan nakal, akan tetapi wajahnya
begitu manis dan cerah sehingga sukarlah untuk marah kepadanya.
“Engkau aneh. Bukankah senang
sekali menjadi pelayan istana? Engkau gadis Mancu, menjadi pelayan di istana
Kaisar sendiri bukankah amat terhormat? Mengapa engkau melarikan diri?”
“Aku tidak kerasan! Aku akan
mencari kakakku, kalau ia belum dibunuh oleh kaki tanganmu yang jahat!”
Nirahai mengerutkan keningnya.
Diam-diam timbul rasa ingin sekali bertemu dengan kakak gadis ini, yang bernama
Han Han. Kalau adiknya begini aneh, tentu kakaknya lebih aneh lagi.
“Lulu, lekas kau bercerita
tentang Pulau Es, kalau engkau tidak mau, kupatah-patahkan seluruh tulang di
tubuhmu!” Kembali Nenek Maya menghardik.
Nirahai maklum akan kebengisan
seorang berwatak aneh seperti gurunya. Kalau gurunya mau, sekali turun tangan
tentu ancamannya itu akan dilaksanakan tanpa ada yang mampu menghalanginya.
“Lulu, anak baik, engkau mengakulah saja.”
Akan tetapi Lulu yang sudah
mengatur siasat itu menjawab, “Aku tidak peduli apakah tulang-tulangku akan dipatahkan
ataukah tubuhku akan dihancurkan oleh dia itu. Aku tidak takut mati. Memang
aku tahu bahwa di antara ketiga patung itu, wanita cantik bengis itu yang
berhati jahat! Aku baru mau bercerita kalau syaratku dipenuhi.”
Nirahai memang tidak ingin
mencelakai bangsa sendiri. Dan begitu bertemu dengan Lulu, ia sudah merasa
suka dan sayang kepada anak yang keras hati dan berwatak kukoai (ganjil) ini.
“Apakah syaratnya?”
“Pertama, kalau aku dibawa ke
istana, kau harus menjamin agar aku tidak dihukum karena melarikan diri.”
Nirahai tersenyum. “Baiklah.
Kaisar adalah Ayahku sendiri, aku dapat mintakan ampun untukmu.”
“Ke dua, kalau kakakku tidak
terbunuh, kau harus menyuruh kaki tanganmu mencarikan dia untukku. Akan
tetapi kalau sudah terbunuh, engkau harus membiarkan aku membalas dendam kepada
pembunuhnya!” Lulu mengepal kedua tinjunya, matanya memancarkan kemarahan.
Nirahai mengangguk.
“Baik-baik, itu pun sudah adil.” Diam-diam ia merasa bahwa kalau benar Han Han
sudah terbunuh, tentu pembunuhnya itu amat lihai dan bagaimana gadis ini akan
dapat membalas dendam?
“Lekas ceritakan tentang Pulau
Es!” Nenek itu kini membentak, kehilangan sabar dan sudah melangkah maju
setindak ke dekat Lulu. Melihat ini, Nirahai yang merasa sayang kepada Lulu
cepat berkata.
“Lulu, syarat-syaratmu telah
dipenuhi, lekas engkau bercerita.”
“Masih ada lagi syaratku,
yaitu karena aku sudah tinggal di Pulau Es sampai bertahun-tahun dan locianpwe
ini adalah seorang di antara penghuni Pulau Es, maka kalau locianpwe suka
mengambil aku sebagai murid, baru aku mau menceritakannya!”
“Wirrr....!” Tangan nenek itu
bergerak dan biarpun Lulu hendak mengelak, percuma lagi karena rambutnya sudah
disambar dan sekali nenek itu mengangkat tangan, tubuh Lulu tergantung pada
rambutnya yang dicengkeram! Lulu merasa nyeri, akan tetapi ia tidak mengeluh
dan hanya membelalakkan mata dan dia sungguh-sungguh kelihatan seperti seekor
kelinci dipegang kedua telinganya dengan matanya yang lebar itu.
“Bocah setan! Mengapa harus
mengambilmu sebagai murid?” bentak nenek itu.
Diam-diam Lulu ngeri juga. Di
tangan nenek ini ia seperti sebuah boneka yang tidak berdaya. Otaknya
bekerja cepat. Tadi ia sengaja minta menjadi murid karena kini ia telah cukup
tahu betapa pentingnya memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dengan ilmu kepandaian
tinggi dia tidak akan mudah dihina orang seperti berkali-kali ia dan kakaknya
mengalaminya dan ia mengenal orang sakti maka kalau ia bisa menjadi murid nenek
ini tentu ia akan menjadi amat lihai. Ia pun tahu bahwa ia boleh agak “menjual
mahal” karena tahu akan kegairahan hati nenek ini ingin mendengar tentang
Pulau Es, akan tetapi kalau ia agak keterlaluan menjual mahal dan menahan
harga, sekali nenek itu turun tangan ia takkan bemyawa lagi. Cepat ia menjawab.
“Locianpwe yang baik,
peristiwa di Pulau Es merupakan rahasia pribadi, dan keadaan Pulau Es pun tidak
boleh diceritakan pada lain orang, demikian pesan kakakku yang mentaati pesan
tertulis para locianpwe penghuni pulau itu. Kami berdua telah bersumpah takkan
membuka rahasia Pulau Es. Kalau saya tidak menjadi murid locianpwe, berarti
locianpwe saya anggap orang luar. Bagaimana saya akan dapat menceritakan
tentang pulau rahasia itu? Biar dibunuh sekalipun, kalau locianpwe tidak
menjadi guru saya, mana saya berani membuka rahasia?”
Cekalan rambutnya mengendur
dan tubuh Lulu dilepaskan kembali. Nenek itu mengangguk. “Engkau sudah sampai
di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Baiklah, engkau
menjadi muridku bersama Nirahai.”
“Terima kasih, subo!” Lulu
dengan girang menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu. Nirahai juga girang
sekali, berlutut pula di samping Lulu, merangkul pundaknya dan berkata, “Sumoi
yang baik!”
Akan tetapi Lulu melotot
kepadanya. “Suci, awas kalau sampai Han-koko kaubunuh, biar engkau menjadi
suciku, engkau akan kubunuh pula!”
“Bocah kurang ajar, lekas
ceritakan!” kembali nenek itu membentak.
“Subo, urusan rahasia yang
sedemikian gawatnya masa boleh diceritakan di tengah jalan seperti ini? Lebih
baik di dalam kamar, di istana.... kalau Subo hendak ke sana.”
Saking inginnya segera
mendengar cerita itu, Nenek Maya menyambar tubuh Lulu dan sekali berkelebat ia
lenyap. Hanya terdengar suaranya, “Nirahai, kami menantimu di dalam istana!”
Nirahai memandang bengong dan
menghela napas panjang. Ia kagum sekali akan keberanian Lulu dan diam-diam ia
menduga bahwa kelak Lulu akan menjadi seorang yang hebat. Dia tidak akan heran
kalau subonya akan lebih sayang kepada bocah itu. Maka ia lalu memasuki joli
dan memerintahkan dua orang pemanggulnya yang berjongkok dan bengong
menyaksikan tingkah orang-orang aneh itu untuk memanggul joli melanjutkan
perjalanan ke kota raja.
***
Di luar kota Tai-goan terdapat
sebuah dusun yang cukup ramai. Dusun itu bernama Leng-chun, letaknya di sebelah
selatan kota Tai-goan dan di tepi Sungai Fen-ho yang mengalir ke selatan dari
kota Tai-goan. Karena Sungai Fen-ho ini terus mengalir ke selatan sampai
bergabung dengan Sungai Huang-ho yang mengalir ke timur dan sampai ke Terusan
Besar, maka sungai ini merupakan sungai yang “hidup”, yaitu dimanfaatkan oleh
rakyat sebagai jalan umum untuk mengangkut barang dan penumpang. Selain lebih
aman dan murah, juga tidak melelahkan daripada kalau melakukan perjalanan
melalui daratan yang banyak diganggu rampok dan melalui gunung-gunung yang
sukar dilewati.
Karena ramainya sungai ini,
maka dusun Leng-chun merupakan dusun yang makmur pula, banyak dilewati kaum pedagang
dan banyak pula barang-barang hasil bumi diangkut ke timur meialui dusun ini.
Banyaknya kaum pedagang dan pelancong membuat dusun ini ramai dan banyak dibuka
rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan, yang sungguhpun kecil-kecil dan
sederhana namun cukup memenuhi kebutuhan para saudagar dan pelancong. Dusun
kecil ini dengan sendirinya menjadi pusat pertemuan orang-orang dari luar kota
sehingga banyak terdapat orang asing yang bicara dengan bermacam dialek.
Pada suatu hari, seorang
laki-laki yang aneh memasuki sebuah rumah makan di dusun Leng-chun. Laki-laki
ini masih muda, wajahya tampan sekali, sinar matanya aneh dan tajam, namun di
antara kedua alisnya banyak guratan yang menjadi tanda bahwa semenjak kecil
pemuda ini sudah mengalami banyak penderitaan hidup. Pakaiannya sederhana,
serba putih dengan garis-garis biru tua. Yang amat menarik perhatian orang
bukanlah pakaiannya karena pakaian itu sederhana, bahkan orang-orang kang-ouw
yang suka lewat di tempat ini dengan pakaian mereka yang aneh-aneh pun sudah
dianggap biasa oleh penduduk di situ. Rambut itu hitam panjang dibiarkan
terurai ke atas pundak dan punggung, sama sekali tidak diikat atau digelung
seperti biasa. Bahkan semenjak keluar peraturan dari pemerintah Kerajaan Ceng
yang mengharuskan penduduk pribumi menguncir rambut mereka, banyak penduduk
menguncir rambut lalu menyembunyikan kuncir di bawah topi agar tidak tampak.
Akan tetapi pemuda ini membiarkan rambutnya terurai, dikuncir pun tidak! Juga
kakinya amat menarik perhatian karena kaki itu tinggal sebuah. Kaki kirinya
buntung. Pemuda itu berjalan dibantu tongkatnya, sebatang tongkat kayu yang
butut, yang dipegang dengan tangan kiri dan dipergunakan sebagai pengganti
kakinya. Pemuda itu berjalan perlahan-lahan dan agaknya dia sudah mahir
menggunakan tongkat, buktinya ia tidak kelihatan pincang, biarpun ia hanya
berjalan dengan sebelah kaki.
Pemuda tampan berkaki buntung
dan berambut panjang terurai ini bukan lain adalah Han Han. Setelah gurunya
yang baru, Nenek Khu Siauw Bwee yang buntung pula kakinya, menggemblengnya
secara tekun dan sudah membolehkah dia keluar dari daerah tersembunyi itu, Han
Han lalu muncul pula di dunia ramai dan pertama-tama yang ia kerjakan adalah
mencari adiknya. Pada pagi hari itu ia tiba di Leng-chun, dalam perjalanannya
mencari Lulu yang ia mulai dari tempat di mana Lulu diculik Ouwyang Seng, yaitu
ke kota raja. Ia dapat menduga bahwa Lulu setelah ditawan oleh pemuda bangsawan
itu tentu dibawa ke kota raja, maka ke sanalah ia menuju dan pagi hari itu
selagi melewati Leng-chun, perutnya merasa lapar dan ia lalu memasuki sebuah
rumah makan. Dia tidak mempunyai uang sekeping pun, akan tetapi perutnya amat
lapar dan ia bersedia menukarkan tenaganya untuk beberapa potong bakpauw atau
sepiring nasi, semangkok arak.
“Lopek, maukah lopek memberi
aku beberapa potong bakpauw itu? Perutku lapar sekali!”
Ucapan Han Han ini nyaring,
tidak malu-malu sungguhpun di situ banyak duduk para tamu menghadapi meja dan
ada beberapa orang tamu sudah menoleh ke arahnya ketika mendengar ini. Beberapa
orang sudah mengomel, “Hemmm.... di mana-mana ada saja pengemis, seperti lalat
saja!”
Han Han mendengar dengan jelas
omelan ini, akan tetapi ia tidak peduli, tidak pula marah atau merasa terhina,
bahkan menoleh pun tidak ke arah orang-orang yang mengomel itu. Ia hanya menghadapi
koki rumah makan yang gendut, memakai topi bundar dengan kain lap di pundak dan
yang sedang memanaskan bakpauw di sudut rumah makan. Tiap kali koki ini membuka
penutup tumpukan bakpauw yang dimasak, bau sedap menyengat hidung, membuat Han
Han menelan ludah. Sudah lama dia tidak makan masakan enak, apalagi bakpauw. Di
sepanjang jalan ia hanya makan buah-buah, daun-daun muda, dan minum air
gunung.
Koki gemuk itu menoleh dan
mengernyitkan hidung ketika melihat Han Han. Akan tetapi ketika bertemu dengan
pandang mata yang halus namun tajam menusuk itu ia menelan kembali makian
yang sudah keluar ke ujung lidah. Sambil menggerakkan kedua tangan untuk
menyatakan bahwa ia tidak berdaya dalam hal itu, ia berkata.
“Wah, mana bisa, orang muda?
Aku bekerja di sini untuk menjualkan bakpauw ini, kalau diminta begitu saja dan
kuberi, bisa-bisa gajiku akan dipotong habis oleh majikan. Bakpauw ini bukan
untuk disedekahkan kepada orang yang minta.” Dia tidak berani menyebut
pengemis, karena koki ini maklum bahwa banyak orang kang-ouw berkeliaran di
tempat itu dan melihat pandang mata pemuda ini, benar-benar menimbulkan rasa
serem di hati.
Han Han tersenyum ramah. Koki
itu makin heran dan curiga. Kalau pengemis mengapa begini tampan dan giginya begitu
putih bersih dan berderet rapi, serta kelihatan kuat. “Ucapanmu tepat sekali,
Lopek. Aku pun bukan sembarangan mengemis atau minta dengan percuma. Tolong
sampaikan kepada majikanmu bahwa karena perutku lapar, aku minta dan setelah
kenyang, aku akan membayar makananku dengan tenaga, boleh disuruh bekerja apa
saja untuk membayar makananku.”
Wah, pemuda ini ternyara
benar-benar bukan pengemis, pikir si koki dengan hati lega. Ia merasa bangga
akan wawasannya tadi sehingga ia tidak terburu nafsu memaki dan mengusir
pemuda ini sebagai pengemis. “Ah, kalau begitu, tunggulah sebentar!” Dengan
gerak langkah kaki lucu, pantatnya yang membusung kebanyakan daging itu
megal-megol seperti larinya seekor bebek, koki itu lari masuk ke dalam dan
bicara kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai majikan
dan yang kepalanya botak. Si botak itu menghentikan pekerjaannya
menghitung-hitung dengan swipoa, lalu miringkan kepala untuk memandang ke arah
pemuda kaki buntung yang berdiri di depan pintu. Matanya agak lamur dan juling
sehingga kalau melihat orang di tempat agak jauh ia harus miringkan kepalanya,
baru kelihatan agak jelas. Kemudian ia bangkit berdiri malas-malasan,
berjalan keluar diikuti koki yang megal-megol
Sejenak majikan restoran itu
memandang Han Han dari kepala sampai ke kaki, terutama pada kaki buntung itu,
lalu bertanya, “Orang muda, engkau bisa bekerja apakah?”
“Apa saja, asal aku mendapat
makan,” jawab Han Han sederhana sambil memandang ke arah tumpukan bakpauw yang
ditutup.
“Hemmm.... dengan.... eh,
maaf.... kakimu yang buntung sebelah, engkau dapat bekerja apakah?” Majikan
restoran itu mengurut-urut dagunya, berpikir-pikir. Dia mau menolong pemuda
ini, akan tetapi dia pun tidak mau rugi. Segala sesuatu bagi majikan ini harus
ia perhitungkan dengan swipoa, jangan sampai rugi!
“Loya, pagi ini kebetulan
sekali A-ji mangkir, kabarnya sakit. Bagaimana kalau dia ini membantu melayani
tamu?”
Pandang mata majikannya itu menimbang-nimbang.
Biarpun kaki kirinya buntung, akan tetapi pemuda ini bersih dan menyenangkan,
tidak menjijikkan. Apalagi kakinya yang buntung itu pun tertutup celana buntung
sehingga tidak kelihatan. Juga berdirinya dengan kaki satu dibantu tongkat
tegak.
“Baiklah, pagi ini engkau
boleh makan bakpauw sekenyangmu, siang dan malam nanti makan nasi. Akan tetapi
engkau harus membantu kami menjadi pelayan selama sehari semalam. Bagaimana?”
Sebetulnya Han Han merasa
keberatan di dalam hatinya. Dia hanya ingin makan pagi itu kemudian melanjutkan
perjalanannya ke kota raja. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah para tamu,
ia melihat seorang laki-laki muda bertubuh tegap berwajah gagah duduk bersama
seorang temannya yang juga tegap dan gagah. Dan di meja lain tampak empat orang
mengelilingi meja dan tertawa-tawa sambil mengobrol, akan tetapi sikap empat
orang ini seperti mengejek dua orang itu.
Mereka mengobrol sambil
memandang-mandang kedua orang itu, tertawa-tawa dan pandang mata mereka
menantang sekali. Hatinya tertarik. Agaknya di tempat ini banyak orang
kang-ouw bertemu dan agaknya ia akan melihat banyak dan mendengar banyak. Ia
lalu mengangguk. Tidak mengapalah perjalanannya terlambat sehari di tempat
ini.
“Baiklah, aku terima syarat
itu.”
Setelah majikan itu kembali ke
mejanya, melanjutkan pekerjaannya mainkan swipoa sehingga terdengar ketrokan
swipoa ramai, koki itu tersenyum lebar dan berkata, “Aku senang sekali
mendapat bantuanmu. Nah, makanlah bakpauw ini!” Koki itu mengambil dua butir
bakpauw dengan sumpitnya yang panjang dan meletakkannya di atas piring. Han
Han menyambar bakpauw itu dan makan dengan lahapnya. Ia makan sampai habis
lima butir, barulah perutnya kenyang dan seleranya terpuaskan. Setelah minum air
teh panas, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda bertubuh tegap memanggil.
“Bung pelayan!”
Koki itu memberi isyarat
dengan gerakan dagunya kepada Han Han. Han Han lalu meletakkan mangkok tehnya
dan berjalan cepat ke arah meja tamu yang dua orang itu. Si koki memandang langkahnya
sejenak, lalu menggeleng-geleng kepala dan menggumam seorang diri,
“Kasihan....!”
“Ji-wi memanggil pelayan?” Han
Han bertanya dengan sikap hormat kepada dua orang itu.
Si pemuda yang bertubuh tegap
memandangnya sejenak, terutama kepada kakinya yang buntung, lalu bertanya,
“Engkau pelayan?”
“Benar, Kongcu, mulai saat ini
sampai malam nanti. Kongcu hendak memesan apakah?”
“Tolong ambilkan tambahan
sekati bakmi dan seguci arak!”
“Baik, Kongcu!” Han Han
memutar tubuh dan atas isyarat koki yang memanaskan bakpauw ia lalu pergi ke
tempat yang ditunjuk, yaitu ke bagian dapur di belakang. Ternyata rumah makan
yang terdiri dari dua ruangan itu penuh tamu. Ketika ia melewati meja di mana
duduk empat orang kasar yang bercambang bauk, seorang di antara mereka melonjorkan
kaki, seperti tidak disengaja akan tetapi sesungguhnya disengaja. Han Han tentu
saja dengan mudah dapat melewati kaki itu, akan tetapi ia ingat akan kedudukannya
sebagai pelayan dan berkata, “Maaf, harap suka memberi jalan, saya hendak
lewat.”
Orang itu brewok dan matanya
bundar besar yang kini melotot kepada Han Han.
“Apa katamu? Kau tidak bisa
menyebut taihiap? Kami adalah pendekar-pendekar besar, tahu?”
Han Han tersenyum. “Maaf,
taihiap, karena saya tidak tahu maka....”
Orang itu menarik kakinya.
“Sudah, pergilah. Memutari meja kami! Kakimu menjijikkan!”
Han Han membungkuk, lalu
terpaksa mengambil jalan mengitari meja itu, berloncatan kecil dibantu
tongkatnya, terus ke dapur melaporkan pesanan dua orang itu. Koki di dapur
sudah tahu hahwa ada seorang pelayan baru yang menggantikan A-ji yang mangkir.
Tanpa bertanya koki ini lalu menyediakan pesanan itu dan Han Han diberi sehelal
kain lap yang ia sampirkan di pundak. Kemudian ia membawa baki dengan tangan
kanan di atas pundak, menghampiri dua orang pemesannya sambil mengitari meja
empat orang brewok. Sambil mengempit tongkatnya, dengan kedua tangan Han Han
menghidangkan bakmi di meja dua orang itu.
“Kasihan!” kata pemuda tampan
bertubuh tegap sambil memandang Han Han. “Kenapa untuk mendapat makan saja
engkau yang buntung harus menjadi pelayan. Sobat, kalau kau perlu makan,
makanlah, biar kami yang bayar. Dan ini sedikit uang untuk bekal....”
Han Han membelalakkan mata dan
merasa berterima kasih sekali. Dia mengenal orang baik, akan tetapi dia juga
tidak mengharapkan pertolongan orang. Ia menjura dan berkata.
“Terima kasih, Kongcu. Kongcu
seorang yang baik sekali. Akan tetapi maaf, saya hanya menerima bantuan yang
dapat saya balas. Majikan restoran ini memberi saya makan, tentu saja saya
harus membalasnya sekuat kemampuan saya.” Ia menjura lagi untuk mengambil
seguci arak yang dipesan, lalu meletakkannya di atas meja dengan sikap hormat,
dipandang oleh dua orang gagah itu dengan kagum. Tamu baru datang dan Han Han
cepat menyambut dan melayani pesanan mereka. Ia mulai merasa senang juga dengan
pekerjaan ini.
“Sungguh mengagumkan!” kata
pemuda itu kepada temannya yang juga gagah dan usianya sudah ada empat puluhan
tahun. “Biarpun dia pincang kakinya, akan tetapi tidak pincang batinnya, masih
mengenal budi! Alangkah banyaknya orang sekarang yang lupa akan budi, lupa akan
nenek moyang, lupa akan bangsa sehingga tidak segan menjual negara!” kata-kata
pemuda itu penuh semangat.
“Memang, Hiantit. Orang yang
pincang dan lemah masih mempunyai semangat dan kejujuran, seperti watak
patriot. Sebaliknya, betapa banyaknya orang yang kuat dan gagah akan tetapi
sebetulnya lemah dan mabuk oleh harta dan kedudukan, tidak segan membantu
penjajah!” kata orang yang setengah tua.
“Omongan seperti kentut!”
Tiba-tiba seorang di antara empat orang kasar di meja sebelah, yang dahinya
codet, menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok tergetar dan sebagian isinya
tumpah di meja. “Omongan pemberontak! Di waktu kerajaan baru belum
membahagiakan rakyat pura-pura menjadi patriot! Ha-ha-ha, betapa banyaknya
manusia plin-plan seperti itu!”
Keadaan menjadi tegang.
Biarpun tidak secara langsung saling memaki, namun omongan kedua fihak sudah
saling mengejek.
“Ciang-lo-enghiong, banyak
pendapat yang sesat seperti itu. Orang-orang bijaksana jaman dahulu berkata
Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (membela rakyat membela negara, adalah perbuatan
paling mulia). Kalau membaliknya daripada membela negara dan memihak penjajah,
itu namanya penjilat dan tidak berharga!” kata pemuda gagah tadi sambil menghirup
araknya. Mukanya agak merah, mungkin karena terlalu banyak minum, mungkin juga
karena marah.
“Memang
demikianlah, So-hiantit. Akan tetapi bicara kepada orang yang berotak
angin, apa artinya? Sama dengan berteriak di padang pasir, sayang ucapan
baik-baik dihamburkan saja. Gentong kosong berbunyi nyaring akan tetapi tidak
ada isinya. Huhhh!” kata yang tua.
“Mulut bau busuk! Asal terbuka
saja mengeluarkan bau busuk! Eh, Sam-wi Suheng, akan percumalah kita dikenal
sebagai Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Besi) kalau tidak membersihkan
dusun ini yang agaknya terdapat banyak lalat hijau dari Se-cuan! Yang jelas di
sini bau dua ekor lalat hijau yang agaknya baru keluar dari kakus. Baunya
bukan main!” kata seorang di antara empat laki-laki brewok yang hidungnya
besar. Si Codet dan dua orang temannya tertawa bergelak sambil menuding-nuding
ke arah dua orang itu.
Keadaan makin tegang dan
banyak tamu tergesa-gesa membayar makanan yang belum habis, bahkan yang baru
masuk sudah keluar lagi tidak jadi memesan makanan. Majikan restoran berjalan
ke sana ke mari membawa swipoanya, wajahnya pucat. Koki gemuk berdiri di dekat
tumpukan bakpauw dengan kaki menggigil.
Melihat ini, Han Han segera
menghampiri meja empat orang brewok itu dan menjura sambil berkata, “Apakah
Su-wi Taihiap hendak memesan makanan tambahan?”
Si Codet menoleh dan
menepuk-nepuk pundak Han Han sambil tertawa. “Inilah dia seorang patriot
sejati, ha-ha-ha!” Tiga orang kawannya juga terbahak.
Orang ke Tiga yang ada tahi
lalatnya di ujung hidung berkata mengejek, “Eh, pelayan patriot, apakah engkau
kehilangan kakimu di medan juang? Ha-ha-ha, agaknya engkau dahulu pelayan di
Se-cuan dan karena kekurangan makan lalu lari ke sini!”
Orang ke empat yang matanya
sipit sekali menekan perutnya saking menahan ketawa lalu berkata, “Eh, pelayan
patriot. Coba katakan, kami adalah Kang-thouw Su-liong, dan kami membenci para
pemberontak di Se-cuan. Pemerintah baru amat bijaksana, dapat menggunakan
orang pandai untuk membikin makmur hidup rakyat. Akan tetapi para pemberontak
di Se-cuan memancing-mancing perang, mengadakan kekacauan dan membikin sengsara
rakyat yang sudah terlalu banyak menderita akibat perang. Katakan, kalau kami
memihak kerajaan baru yang bagaikan sinar matahari sehabis hujan memberi
harapan baru, tidakkah pendapat kami benar?”
“Kalau berani menyalahkan,
kupatahkan lagi kakimu yang tinggal sebelah!” kata Si Hidung Besar.
Han Han berkata dengan suara
tenang, “Menurut pendapat saya yang bodoh, manusia di dunia berhak memiliki pendapat
masing-masing, asal ada dasar kebenarannya. Kalau Su-wi yang gagah perkasa
membela pemerintah baru mengingat kepentingan rakyat, maka pendapat itu adalah
benar sekali. Pendapat seseorang dapat dinilai dari dasarnya, atau pamrihnya.
Kalau dasar dan pamrihnya baik, maka pendapat itu adalah baik.”
“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus!
Engkau pincang, akan tetapi pendirianmu jejek, untuk pendirian yang bagus itu
engkau harus kami hadiahi secawan arak!” Si Codet mengambil secawan arak,
diberikan kepada Han Han. Terpaksa, untuk tidak menimbulkan keributan, Han Han
minum arak itu.
“Terima kasih, taihiap.” Ia
lalu terpincang-pincang meninggalkan meja dan ketika lewat dekat meja dua orang
gagah itu ia berhenti dan bertanya, “Apakah ji-wi membutuhkan sesuatu?”
Dua orang itu bertukar
pandang, dan yang tua menyentuh lengan Han Han sambil berkata, “Orang muda,
biarpun kakimu buntung, agaknya engkau bukanlah seorang yang bodoh dan suka
bicara sembarangan. Juga sikapmu bukan seperti penjilat yang hanya bicara untuk
menyenangkan orang karena takut.” Ia berhenti sebentar, keadaan sunyi sekali.
Empat orang di meja sebelah sama sekali tidak mengeluarkan suara, agaknya mendengarkan
penuh perhatian dan siap untuk meledak marah kalau ada omongan yang terang-terangan
mengenai mereka. Para tamu lain yang masih berada di situ sudah pindah meja,
para koki dan pelayan bersembunyi di sudut terjauh. “Agaknya engkau memiliki
pandangan luas dan tidak berat sebelah. Katakanlah, orang muda. Seseorang yang
rela berkorban jiwa demi rakyat dan negara, yang mempertaruhkan setiap jengkal
tanah airnya dari kuku penjajahan, tanpa pamrih untuk keuntungan diri sendiri
dan semata-mata berjuang karena merasa bahwa hal itu merupakan panggilan tanah
air, merupakan tugas kewajiban seorang gagah, bagaimana pendapatmu akan
pendirian orang ini? Salahkah dia? Atau gagah perkasa?”
Dengan suara tetap tenang Han
Han yang ingin meredakan api yang mulai membakar di antara dua meja itu, menjawab,
“Pendirian itu pun benar dan tepat sekali, Lo-enghiong. Seorang yang berani
membela negara, asal dengan dasar sebagaimana yang Lo-enghiong sebutkan tadi,
bukan dasar mencari jasa dan keuntungan, dialah seorang patriot sejati yang
patut dijadikan tauladan selagi hidup dan patut dipuji sebagai pahlawanan
setelah gugur.”
“Bagus sekali! Tidak salah
wawasanku bahwa engkau memang bukan pemuda sembarangan. Nah, minumlah arak
bersama kami, orang muda!” Orang gagah itu lalu memberi arak secawan penuh
kepada Han Han yang terpaksa menerimanya dan meminumnya.
“Ciang-lo-enghiong, marilah
kita pergi dari sini. Tempat ini amat tidak menyenangkan, karena terlalu
banyak penjilat-penjilat dan terlalu banyak anjing. Gonggong anjing biasa
masih enak didengarkan, akan tetapi gonggong empat ekor anjing penjilat
sungguh memuakkan. Yang ada di sini hanyalah sahabat buntung ini, yang
ternyata berjiwa patriot dan gagah!”
“Setan!” Si Laki-laki Brewok
yang bermata sipit menampar meja di depannya sambil berdiri dan menunding ke
arah pemuda gagah. “Siapa yang kau maki anjing?”
Pemuda gagah itu pun bangkit
berdiri, dadanya yang bidang dikembangkan dan ia pun menuding.
“Siapa yang kaumaki setan?”
“Aku memaki kalian setan-setan
pemberontak!”
“Dan aku memaki kalian
anjing-anjing penjilat!”
“Keparat!” Empat orang
laki-laki brewok itu menyambar sumpit mereka dan sekali menggerakkan tangan,
delapan batang sumpit menyambar ke arah dua orang gagah itu yang juga sudah
bangkit berdiri. Akan tetapi dengan lincah mereka itu dapat mengelak, bahkan
masing-masing telah berhasil menyambar dua batang sumpit.
“Makanlah senjata kalian!”
teriak yang tua dan mereka berdua mengembalikan empat batang sumpit itu dengan
sambitan kuat ke arah empat orang penyerang mereka.
Akan tetapi empat orang yang
berjuluk Empat Naga Berkepala Raja itu ternyata juga lihai karena dengan
miringkan tubuh sedikit saja empat batang sumpit itu tidak mengenai tubuh
mereka.
“Waduhhh.... aduhhh....
telingaku....!” Majikan restoran menjerit-jerit dan memegangi telinga kirinya
yang ternyata kena diserempet sebatang sumpit hingga daun telinga itu robek dan
berdarah. Han Han sudah melangkeh maju dan berdiri di antara dua meja, di mana
enam orang itu sudah saling serang. Bahkan, empat orang brewok sudah menghunus
golok mereka, sedangkan dua orang gagah itu masih tenang-tenan saja, namun
sudah siap berdiri menyambut serangan lawan.
“Cu-wi sekalian harap sabar.
Ingat, bukankah cu-wi berenam ini tergolong orang-orang gagah? Adakah di antara
cu-wi yang suka disebut orang jahat dan pengecut?”
“Heh? Si Buntung lancang.
Siapa yang kaukatakan penjahat dan pengecut?” bentak Si Mata Sipit sambil
mengamangkan goloknya.
Han Han menjura. “Syukurlah
kalau cu-wi taihiap tidak sudi disebut penjahat atau pengecut, dan memang saya
pun yakin cu-wi adalah orang-orang gagah. Demikian pula dengan ji-wi Enghiong
ini. Kalau cu-wi melanjutkan perkelahian di sini, amatlah disangsikan apakah
hal itu merupakan perbuatan orang gagah, karena perkelahian itu akan merugikan
banyak orang. Pertama, pemilik restoran rugi karena barang-barangnya rusak.
Kedua, para tamu rugi karena tidak dapat makan. Ke tiga banyak bahayanya akan
jatuh korban di antara orang-orang lain seperti terbukti majikan saya daun telinganya
robek. Nah, cu-wi sebagai orang-orang gagah tentu saja tidak suka main kasar
dan merugikan orang lain, bukan? Kalau memang hendak berkelahi, sebagai
orang-orang gagah dapat saja berunding nanti di luar dan menentukan tempat yang
sunyi.”
Dua orang itu sudah duduk
kembali dan yang tua berkata, ke arah majikan restoran, “Maafkan kami untuk
luka itu, biarlah kami menanggung kerugian untuk biaya berobat!”
Majikan itu dengan kaki
gemetar memaksa diri tersenyum. “Tidak usah.... tidak usah.... asal jangan
berkelahi di sini.... saya sudah berterima kasih sekali kepada cu-wi.... eh,
tambahkan arak wangi, gratis dariku untuk terima kasihku kepada enam orang tamu
agung!”
Empat orang kasar itu sejenak
tercengang, kemudian tertawa bergelak dan duduk kembali di bangku
masing-masing.
Han Han cepat mengambilkan
arak wangi, dan ia menerima pandang mata kagum dari koki gemuk dan pelayan
lain, dan pandang mata berterima kasih dari majikan restoran. Kalau tidak ada
pelayan baru pincang ini, celakalah, tentu akan hancur restorannya! Ruginya
jangan dibicarakan lagi, bisa bangkrut dia!
Ketika Han Han menaruh guci
arak wangi di atas meja kedua orang gagah itu, ia berkata, “Ji-wi Enghiong,
saya pernah mendengar kata orang bahwa keberanian tanpa perhitungan bukanlah
kegagahan melainkan ketololan. Benarkah itu? Silakan minum arak!”
Dua orang gagah itu saling
pandang dengan mata terbelalak, kemudian minum arak mereka dan bangkit berdiri.
Tanpa banyak cakap mereka menghampiri meja majikan restoran, setelah
berhitungan lalu melemparkan uang perak di atas meja sambil berkata,
“Kelebihannya harap perhitungkan untuk membayar makanan sahabat yang menjadi
pelayan itu!” Setelah berkata demikian, dua orang itu segera pergi meninggalkan
restoran tanpa pamit dan tanpa menoleh lagi.
Han Han menjadi lega hatinya.
Ketika lewat di bekas meja dua orang itu, tangannya sambil lalu meraba
permukaan meja untuk menghapus huruf-huruf yang berbunyi: “Berbahaya, harap
pergi!” yaitu huruf-huruf yang ia buat dergan guratan jari tangan ketika ia
menghidangkan arak tadi. Memang ia melihat bahaya mengancam kedua orang itu
karena ia tadi dengan pendengarannya yang tidak lumrah manusia, dari jauh
mendengar bisik-bisik empat orang brewok yang mengatur siasat untuk melaporkan
kepada pasukan penjaga di luar dusun untuk menangkap dua orang yang disangka
pemberontak. Dengan memperlihatkan sedikit tenaga sin-kang menggores
huruf-huruf di atas meja, benar saja kedua orang gagah itu menjadi terkejut,
mengerti bahwa pemuda buntung itu bukan sembarang pelayan, percaya kepadanya
lalu pergi.
Semenjak dulu Han Han tidak
pernah dipengaruhi persoalan pro atau kontra bangsa Mancu. Hal ini timbul
karena keadaannya sendiri. Keluarganya terbasmi oleh perwira-perwira Mancu,
akan tetapi dia mempunyai adik angkat tersayang seorang anak Mancu yang
keluarganya terbasmi oleh para pejuang! Keadaan yang amat berlawanan inilah
yang membuat selama ini Han Han berada di tengah-tengah dan tidak terseret,
hanya ia selalu memilih fihak yang benar. Karena itu pula, dalam pertikaian
yang hampir terjadi di rumah makan itu di antara dua orang pejuang dan empat
orang yang pro Kerajaan Mancu, ia tidak mau berfihak kepada satu fihak,
melainkan berusaha untuk mencegah terjadinya bentrokan antara bangsa sendiri
hanya karena perdebatan. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di balik perdebatan
itu terdapat hal-hal yang lebih besar lagi. Memang pemuda ini masih belum
mengerti dan belum dapat menyelami tentang persoalan kepatriotan.
Kini hatinya lega melihat dua
orang pejuang itu telah meninggalkan restoran. Biarpun dia tidak berfihak dalam
persoalan yang diperdebatkan, namun tentu saja hatinya condong kepada dua orang
gagah tadi karena sikap mereka yang halus dan gagah, sebaliknya diam-diam ia
mencela di hati sikap empat orang yang kasar dan jelas menyombongkan nama
julukan dan kepandaian sendiri.
“Hiiiii, pelayan buntung....!”
Han Han menoleh dan melihat
bahwa yang memanggilnya adalah Si Brewok Berhidung Besar, ia segera berloncatan
menghampiri meja empat orang itu. “Ada yang hendak dipesan lagi, taihiap?”
“Hemmm, jadi engkau hanya
mencari upah agar makananmu dibayari maka engkau tadi bersikap manis dan
membela dua orang pemberontak, ya? Kalau hanya uang yang kaucari, apakah
kaukira kami tidak mampu memberimu sepuluh kali lipat daripada harga makananmu
yang dibayar dua orang pemberontak tadi? Dan tidak perlu dengan membela, asal
engkau suka melayani kami akan kami bayar lebih banyak lagi. Hayo kaubersihkan
sepatuku yang penuh debu ini. Kalau engkau menolak, berarti memang kau lebih
suka melayani Si Pemberontak. Dan berarti engkau diam-diam adalah pemberontak
atau mungkin mata-mata pemberontak!”
Han Han mengerutkan alisnya.
Biarpun mengaku sebagai orang-orang gagah, sikap empat orang ini benar-benar
seperti perampok-perampok kasar. Akan tetapi untuk mencegah terjadinya
keributan, ia yang sudah pandai mengendalikan perasaan sendiri, lalu menekuk
lutut kakinya yang tinggal sebelah dan menggunakan lap yang dibawanya untuk
mengelap sepatu Si Hidung Besar.
“Bagus! Lain kali kalau engkau
bicara manis lagi dan membela pemberontak, akan kupatahkan kakimu yang tinggal
sebelah. Pergilah!” Si Hidung Besar menggerakkan kaki menendang.
“Dukkk.... auggghhhhh....!” Ia
menyeringai dan memegangi tulang keringnya yang bertemu dengan kaki bangku!
Ternyata tendangannya yang tidak keras ke arah Han Han untuk membikin malu
pelayan buntung itu bertemu dengan bangku, tepat pada tulang keringnya. Karena
ia menendang tanpa pengerahan sin-kang, hanya untuk mendorong si pelayang
terlentang. Maka begitu tulang kering kakinya bertemu kaki bangku, tentu saja
terasa nyeri sekali. Saking nyerinya, Si Hidung Besar menggebrak meja dan
beberapa mangkok masakan tertumpah di atas meja dan ia lupa untuk menyelidiki
bagaimana tiba-tiba ada bangku yang menghalang di antara dia dan pelayan
itu.
Han Han sudah melangkah mundur
terpincang-pincang. Ia mengambil keputusan untuk pergi dari restoran itu.
Biarpun ia tidak minta, akan tetapi dua orang gagah tadi telah membayar makanannya,
dan setelah makanannya dibayar, untuk apa dia lebih lama di tempat itu? Hanya
akan mendatangkan penghinaan saja. Akan tetapi selagi ia hendak pergi,
tiba-tiba Si Brewok bertahi lalat di hidung berseru.
“He, buntung! Pelayan macam
apa engkau ini? Apakah matamu tidak melihat bahwa meja kami kotor? Hayo lekas
bersihkan!”
Han Han tersenyum, Tadinya ia
hendak pergi begitu saja agar tidak menimbulkan banyak keributan. Akan
tetapi menyaksikan sikap empat orang itu makin lama makin kasar dan kurang
ajar, ia pikir lebih baik memberi peringatan mereka untuk membuka mata mereka
bahwa memandang rendah orang lain dan menyombongkan kepandaian sendiri
bukanlah watak orang gagah dan hanya akan mendatangkan aib kepada diri
sendiri.
“Baikiah, taihiap!” kata Han
Han sambil menghampiri meja itu, berdiri dengan satu kaki, mengempit
tongkatnya, kemudian tangan kirinya menekan meja sambil mengerahkan tenaga
sin-kang menggetarkan meja. Di atas meja terdapat delapan buah mangkok
makanan, panci-panci dan guci besar arak, cawan-cawan dan sumpit. Tiba-tiba
semua benda yang berada di atas meia itu mencelat seperti bernyawa, terbang ke
atas! Han Han dengan tenang mengangkat tangan kirinya dengan telapak menghadap
ke atas, kemudian menggunakan tangan kanan yang memegang lap untuk mengelap
meja yang kotor karena tumpahan masakan dan arak!
Empat orang brewok yang masih
duduk itu tiba-tiba melongo, matanya terbelalak lebar dengan muka menengadah
memandang mangkok piring sumpit panci yang terputar-putar di atas tidak dapat
turun itu! Muka mereka pucat, mulut mereka ternganga sehingga Si Hidung Besar
tidak merasa betapa ada dua ekor lalat hinggap di giginya yang kuning.
Setelah meja itu bersih
disapunya dengan lap, Han Han lalu menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda
yang terbang berputaran di atas itu lalu turun dan tanpa menerbitkan suara
berisik berjatuhan di atas meja kernbali, persis di tempat semula seperti tadi
seolah-olah tidak pernah meninggalkan permukaan meja yang kini telah menjadi
bersih!
Han Han menggantungkan lap di
pundaknya, menurunkan tongkatnya dan terpincang mundur dua langkah, membungkuk
dan bertanya, “Su-wi taihiap, masih ada perintah lainkah?”
Empat orang brewok itu
tertegun, memandang kepada Han Han, menelan ludah dan Si Hidung Besar tersedak
karena ketika menutup mulutnya tiba-tiba, seekor lalat kurang cepat terbang
keluar sehingga terpaksa mencari jalan ke dalam dan kesasar memasuki terowongan
gelap berupa kerongkongan orang itu.
“Ti.... tidak....” Si Mata
Sipit berhasil mengeluarkan suara dengan mata kedap-kedip.
Han Han lalu meninggalkan meja
itu, diikuti pandang mata, bukan hanya pandang mata empat orang melainkan
pandang mata semua orang yang berada di tempat itu dan yang tadi menonton peristiwa
yang bagi mereka amat ajaib. Keadaan sunyi sekali, seolah-olah semua orang
masih belum mendapatkan napas mereka kembali, dan Han Han menyampirkan lap di
atas bangku dekat koki gemuk, lalu menjura kepada koki gemuk sambil berkata.
“Lopek, terima kasih atas
kebaikanmu. Karena makananku telah dibayar oleh dua orang Enghiong tadi,
maafkan aku tidak dapat membantu lebih lama lagi.” Ia lalu memutar tubuhnya
keluar dari restoran itu.
Empat orang brewok itu dengan
muka kini merah sekali karena malu, cepat-cepat membayar harga makanan mereka
dan juga keluar tergesa-gesa. Setelah Han Han dan empat orang brewok itu pergi,
gegerlah di restoran. Semua orang bicara seperti sarang tawon diganggu, semua
membicarakan peristiwa luar biasa itu. Di tempat inilah pertama kali lahir
julukan “Pendekar Buntung”, ada pula yang menyebutnya “Pendekar Siluman”, dan
ada yang menyebutnya “Pendekar Super Sakti”.
Memang sudah menjadi kelajiman
bahwa orang paling suka melebih-lebihkan dalam menceritakan pengalaman mereka
sehingga perbuatan Han Han yang bagi para ahli silat tinggi yang memiliki tenaga
sin-kang kuat bukanlah hal yang mengherankan, makin jauh dibawa angin makin
dilebihkan dan makin aneh sehingga sebentar saja dunia kang-ouw juga mendengar
berita angin tentang munculnya seorang Pendekar Super Sakti yang masih muda
akan tetapi yang memiliki kepandaian setinggi langit!
Han Han melanjutkan perjalanan
menuju ke utara, berjalan menyusuri pantai Sungai Fen-ho yang ia tahu akan
membawanya sampai ke Tai-goan. Karena keadaan di sepanjang sungai ini ramai
dan banyak orang, maka Han Han berjalan seenaknya, tidak mau menggunakan
kepandaiannya karena hal ini akan menarik perhatian orang. Setelah ia keluar
dari dusun Leng-chun, ia pun merasa menyesal mengapa di rumah makan tadi dalam
usahanya memberi peringatan kepada keempat orang brewok ia telah memperlihatkan
kepandaiannya sehingga mengagetkan dan mengherankan banyak orang.
“Ah, betapa mudahnya mengerti
pesan subo bahwa senjata ampuh yang terutama adalah menguasai nafsu dan perasaan
sendiri, akan tetapi betapa sukarnya melaksanakan pelajaran ini,” kata Han Han
di dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya di sepanjang pantai sungai yang
indah pemandangannya.
Kurang lebih sepuluh li dari
dusun yang ditinggalkannya itu, Sungai Fen-ho memasuki hutan den keadaan di
sini sunyi. Han Han dapat melanjutkan perjalanannya dengan ilmunya yang hebat
setelah digembleng Nenek Khu Siauw Bwee, akan tetapi tiba-tiba ia mengurungkan
niatnya karena melihat serombongan orang berdiri menghadang jalan di depannya.
Ketika ia memandang, ternyata mereka itu adalah sepasukan perajurit Mancu
terdiri dari dua puluh orang lebih, dan di depan pasukan berdiri empat orang
brewok tadi bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima sampai empat
puluh tahun. Dari sikap mereka apalagi melihat empat orang brewokan itu,
mengertilah Han Han bahwa mereka itu telah mendahuluinya dengan menunggang
kuda dan sengaja mencegatnya di tempat sunyi itu. Pasukan itu mempunyai
rombongan kuda yang ditambatkan di bawah pohon-pohon tak jauh dari situ.
Han Han menarik napas panjang.
Sebetulnya dia segan terlibat permusuhan dengan fihak mana pun juga. Dia
hendak mencari Lulu, dan dia tidak ingin usahanya mencari Lulu terhambat oleh
segala macam gangguan dan permusuhan yang tidak ada manfaatnya. Akan tetapi dia
juga ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan oleh mereka, terutama
sekali oleh empat orang brewok yang telah ia beri peringatan di rumah makan
tadi. Ia bersikap tenang dan melanjutkan perjalanannya terpincang-pincang
dibantu tongkatnya sehingga ia tiba di depan wanita dan empat orang brewok tadi
yang memandang dengan mata terbelalak, masih tampak jerih. Akan tetapi wanita
itu memandangnya dengan sikap angkuh memandang rendah. Han Han hanya melihat
ini semua dari sudut matanya dan hendak melanjutkan perjalanan dengan mengambil
jalan dekat sungai agar tidak menerjang jalan yang sudah terpenuhi oleh
rombongan pasukan itu.
“Pemuda buntung, berhenti
dulu!”
Bentakan halus nyaring dari
mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan langkahnya, berdiri
tegak tanpa menoleh.
Sunyi sejenak, dan terdengar
wanita itu bertanya lirih, “Dia itukah orangnya?”
“Benar, Sianli. Hati-hati, dia
lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Berhidung Besar ini terdengar jelas oleh
Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.
“Heh, orang muda pincang!
Siapa namamu?”
Han Han yang mendengar betapa
wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang
tokoh kang-ouw dan tentu memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana berani
memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai Dewi, yaitu
Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena empat orang
brewok itu adalah orang-orang yang berfihak kepada pemerintah Mancu, maka wanita
cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang membantu Kerajaan Ceng.
Tanpa menoleh Han Han
menjawab, “Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin bermusuh dengan
siapa juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap kalian membiarkan
aku lewat.”
“Aihhh, orang muda sombong!
Agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu sesombong ini.
Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya, kalau benar engkau
memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan kami karena pemerintah
yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian. Kalau
engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan terjamin dan engkau tidak usah
berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan kelaparan!”
Diam-diam Han Han tersenyum.
Pemerintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik sekall. Kalau bangsa
Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang pribumi yang berkepandaian,
tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti karena rakyat akan menjadi makin
benci kepada pemerintah penjajah itu. Akan tetapi, dengan jalan membujuk
orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi mereka kedudukan yang takkan
mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, maka
kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat, mendapatkan simpati
orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.
“Terima kasih, aku tidak
mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak memiliki kepandaian
apa-apa.” Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han lalu melanjutkan
langkahnya. Wanita itu memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang,
sejenak ragu-ragu akan kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan
kirinya bergerak dan terdengar bunyi “Cuiiittttt!” ketika sinar hitam menyambar
ke arah punggung Han Han.
Han Han tentu saja maklum
bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang dan maklum pula
bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sin-kang kuat
bukan main. Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat
disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Baja)
yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai
oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata
rahasianya. Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar
biasa dan sukar diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti
melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil
masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata
rahasia piauw hitam dari tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan
membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu menahan seruan
kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun
tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut
piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!
“Berhenti dulu....!”
Han Han melihat bayangan
berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan gin-kang
yang tinggi kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya
dan memandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh
selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pemuda ini dan kapan
ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa yakin
bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw muda yang
buntung kakinya, ia lalu berkata.
“Ternyata engkau memiliki
kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap atasanku.
Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal. Kalau
engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau
tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han mengerutkan alisnya
dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan
gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio, harap kau jangan
menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan guru toanio
atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku sendiri dan
kita tidak saling mengganggu.”
“Orang muda, agaknya karena
engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau memandang
rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang
Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah
Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!” Sebagai murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio
tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau Setan Botak!
Mendengar disebutnya Gak Liat,
Han Han tercengang dan tanpa disadari ia mengangkat muka memandang wanita itu.
Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang
panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita
yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini adalah murid Si Setan Botak.
Melihat pemuda buntung itu
akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio tersenyum
dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke
jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang
mata manusia!
Dan tiba-tiba Ma Su Nio
menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang
mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung
itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan apa yang terjadi
dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”
Ma Su Nio berusaha meronta
untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia
merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan
pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu
telah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sin-kangnya sehingga
tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat-ciang (Tangan Berdarah)! Pukulan
Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu
melawannya. Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han
begitu dekat di depannya. Akan tetapi, mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh
pemuda buntung itu berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh
pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, akan tetapi tangan yang mencengkeram
pundaknya masih berada di pundak. Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba
tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan
tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu
dadanya telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani bergerak,
maklum bahwa nyawanya berada di ujung tongkat itu.
“Hayo katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio sudah mendengar akan
gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan dari istana
di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda
inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang pernah menggegerkan istana! Akan
tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah buntung kakinya. Dalam keheranan
dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku.... aku tidak.... tidak
tahu....!”
Han Han menghela napas,
mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan ujung tongkat.
Pada saat itu, empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka
dari belakang. Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerakkan
tangan kirinya ke belakang. Terdengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok
terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu terjengkang roboh.
Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka
dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong
mereka dengan hawa sin-kang yang amat dahsyat!
“Lekas katakan!” Han Han
mengancam lagi.
Ma Su Nio tak dapat mempercayai
matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah merobohkannya
dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa,
telah merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat digolongkan orang
lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru
pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan takut. Pemuda
buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!
“Dia.... dia menjadi pelayan
istana....”
Tongkat itu ditarik kembali
dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu tertawa terbahak
seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat geli hatinya.
Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang
terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan pengakuan wanita itu, akan
tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu, menjadi pelayan istana, ia dapat
membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai
seorang pelayan seperti adiknya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening
kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian membalikkan tubuhnya
dan pergi dari situ.
“Tangkap dia! Bunuh....!”
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong
oleh rasa malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari
dua puluh empat orang itu, dibantu oleh empat orang brewok yang sudah bangun
kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh
lebih cepat daripada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti
orang bingung memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh
pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan
putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Ke mana dia, Sian-li? Di
mana....?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.
Dengan hati sebal Ma Su Nio
mengibaskan tangannya dan menghela napas. “Sudahlah, mari kita kembali!”
Pasukan Mancu saling berbisik
dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka dengan
Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti
yang juga disebut Pendekar Siluman karena mereka menganggap pemuda buntung itu
seperti siluman.
Sementara itu, Han Han yang
sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki
keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri
Sungai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba
ia mendengar suara orang.
“Taihiap, harap suka
menunggu....!”
Han Han mengerutkan alisnya
dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan
tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi.
Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak terengah-engah namun
wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami dapat menyusul
taihiap....” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri
berlutut di depan Han Han. Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam
dan berkata, suaranya penuh wibawa.
“Tidak baik begini, harap
ji-wi suka bangun!”
Dua orang itu lalu bangkit
berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan penghormatan. “Mohon maaf
dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja
tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar
dari restoran, kami berdua melihat betapa anjing-anjing penjilat itu memberi
tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan dihadang,
akan tetapi.... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan
memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing
ketika bertemu taihiap. Hebat sekali....! Padahal iblis betina itu adalah
Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa....!”
“Dalam segebrakan saja
roboh....!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han mengerti dua orang ini
tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu berkata,
“Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada
keperluan apakah?”
“Taihiap, saya bernama Ciang
Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Bu-ongya
untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan
pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan
Bu-ongya melawan penjajah....”
“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima
kasih atas kepercayaan ji-wi, akan tetapi sesungguhnya saya tidak mau terlibat
dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan
pribadi yang harus saya selesaikan.”
“Taihiap, urusan apakah yang
taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di semua
daerah, dan kalau kami dapat membantu....”
“Apakah ji-wi pernah mendengar
akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan saya ingin mencarinya.
Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di
istana....”
“Ouwyang Seng putera Pangeran
Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguhpun kami tidak pernah
mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sahabat-sahabat
yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepadanya tentu akan
ada yang tahu. Taihiap, saat ini, seluruh orang gagah telah berkumpul di
Se-cuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi penyerangan orang Mancu.
Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai
untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa
patriot.”
Han Han tidak mau berbantah
lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata, “Saya
tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Akan tetapi saya hendak
mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran ji-wi.
Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke Se-cuan.
Nah, selamat tinggal!” Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat
ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat
makin jauh dan lenyap dari pandangan mata mereka.
Kedua orang itu menjadi pucat
wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang. “Manusiakah dia?” Yang
muda mengguman.
“Entahlah, akan tetapi seorang
buntung bisa bergerak seperti itu, sungguh sukar dipercaya!”
Keduanya pergi dan makin
banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super
Sakti!
Han Han tidak singgah di kota
Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur
untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san.
Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa
kagum akan keindahan pemandangan alam di pegunungan ini, akan penghidupan para
petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram. Melihat para petani yang
biarpun pakaiannya sederhana, robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di
sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat
kuat, Han Han ikut menjadi gembira. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan
filsafat yang pernah dibacanya bahwa “kemajuan duniawi” bahkan menjauhkan
manusia daripada kebahagiaan hidup. Lihat saja di kota-kota besar. Di kota
manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian indah, perhiasan,
tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenangkan
hidup manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan
kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat, bahkan sebaliknya. Manusia yang bisa
mendapatkan segala kemewahan itu, hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu
menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa
mendapatkannya, merasa berduka dan menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak
bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah melihat mereka yang memakai
segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah perbuatan-perbuatan
maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi, di dusun yang
sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan
yang aneh-aneh dan karenanya, tidak ada seorang pun yang kepingin dan tidak
ada seorang pun yang merasa sengsara. Mereka tidak mabuk pengejaran kesenangan
dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya mereka pun tidak
kekurangan sesuatu! Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta
benda dan kesenangan duniawi yang sekelumit itu, namun tanpa disadari telah
menemukan kebahagiaan sejati yang memang akan menonjol apabila manusia menipis
keinginannya untuk mengejar kesenangan. Kesenangan adalah bayangan yang
menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh sehingga
tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa
bahwa kesenangan itu bergandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan
satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah kesenangan yang sebelah lagi
kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari kesenangan, dia
berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul kesenangan berarti
menggandeng kesusahan pula.
Karena tertarik dan kagum, Han
Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua yang
sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han,
menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung itu,
lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Lopek, maaf kalau aku
mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali,
alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa
hari yang lalu.”
Kakek itu menunda cangkulnya,
menoleh dan tersenyum. “Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan?
Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw
yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat
memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik. Memang benar, semenjak
Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami,
penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para
nikouw cepat turun tangan mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para
nikouw mengusir semua kemaksiatan di dusun-dusun.”
Han Han tertarik dan makin
kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?
“Selain itu, juga tidak ada
orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san, berkat
perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Han Han makin kagum. Dia
menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan karena hari
sudah menjelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan melewatkan
malam di dusun itu. Ia lalu berpamit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke
dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunungan Tai-hang-san. Ketika
tiba di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang
ditunggangi seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok
tergantung di punggung, melewatinya dan meninggalkan debu yang mengotori
pakaian Han Han. Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengerutkan
alisnya. Jelas bahwa orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di
depan bukanlah petani dusun, dan melihat sinar kejam membayang di wajah itu,
diam-diam Han Han merasa khawatir. Akan tetapi dengan tenang ia melanjutkan
perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan ringan dan mudah, akan tetapi
apabila bertemu orang ia lalu menggunakan tongkatnya membantu sehingga tidak
menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia menggunakan ilmunya, bergerak dengan
langkah satu kaki seperti yang ia latih di bawah pimpinan gurunya, tentu ia
akan mendatangkan keheranan kepada mereka yang melihatnya.
Di pinggir dusun itu tampak
sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu sebuah kuil.
Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak tulisan
tangan di atas papan, tulisan yang bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu saja Han
Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu adalah kuil yang
dihuni para nikouw (pendeta wanita). Akan tetapi ia melihat kuda ditambatkan di
pohon tak jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan batang
hidungnya, Han Han menjadi curiga dan ia menyelinap di belakang pohon
mengintai. Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup
gesit dan tampaklah si penunggang kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tembok
dan wajah yang kasar dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar-sinar. Orang
itu berlari menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan
sigap dan melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan
rumah-rumah yang cukup baik keadaannya.
Sikap dan gerak-gerik
penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han untuk
memperhatikan keadaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk
menyelidiki, maka setelah melihat bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah
mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam pagar tembok,
menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di
sudut kebun.
Kebun itu luas dan ternyata
bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu besar. Agaknya para nikouw mengerjakan
kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan bahan makanan lain.
Selagi Han Han hendak keluar
dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil melalui pintu atau
jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar suara dan melihat
empat orang nikouw keluar dari pintu belakang. Ia cepat menyelinap lagi, bersembunyi.
Di dalam cuaca yang mulai
suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han melihat seorang nikouw
tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama tiga orang nikouw
yang bersikap halus. Seorang di antara tiga nikouw ini sudah setengah tua, yang
seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik dan
berkulit putih. Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw ke tiga, jantungnya
berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik jelita. Kepalanya yang
gundul itu berkulit putih dan licin seolah-olah memang tidak pernah berambut,
bibirnya segar merah seperti dicat di tengah kulit muka yang putih halus.
“Ah, agaknya engkau hanya melihat
bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah lembut.
“Tidak, subo. Teecu yakin ada
orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu periksa sebentar!”
Suara itu! Wajah dan terutama
mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang gesit dan ringan sekali,
berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam mencari-cari. Tidak salah
lagi! Ia mengenal nikouw ini, nikouw yang ia duga sedang mencari bayangan si
penunggang kuda yang agaknya mengintai ke kuil dari kebun ini!
“Kim Cu....!”
Han Han tak dapat menahan lagi
hatinya, sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia menghampiri Kim Cu
yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang kepadanya,
seolah-olah nikouw muda ini melihat munculnya setan!
“Omitohud....!” Nikouw tua
berseru perlahan dan kedua orang nikouw lain juga mengeluarkan seruan kaget
melihat munculnya seorang pemuda berkaki buntung yang berwajah tampan dan
berambut riap-riapan.
“Kim Cu....!” Kembali Han Han
berseru dengan suara menggetar. “Ini aku.... Han Han....!”
Nikouw muda ini mukanya
menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadinya merah itu menjadi pucat
pula, terbuka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han,
hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik.
“Kim Cu, lupakah engkau
kepadaku....?” Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak nikouw itu,
suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya bersinar tajam
penuh selidik.
“Tidak....!” Tiba-tiba bibir
itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir menggigil.
“Tidak.... jangan sentuh aku.... ah, aku.... bukan.... bukan dia.... aku....
seorang nikouw....!”
Nikouw muda itu membuang muka
yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han Han dari pundaknya,
tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung ketakutan.
“Kim Cu....,” Han Han menahan
suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang ditundukkan itu
menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan dan mulut yang
kini berbisik-bisik membaca liam-keng!
“Orang muda, perbuatanmu ini
tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan mengotorkan
Kwan-im-bio?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran. Han Han sadar dan
cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening berkerut dan sepasang
mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain berdiri menunduk,
merangkap kedua tangan di dada dan mulutnya berkemak-kemik, seperti mulut
nikouw muda itu, membaca doa!
“Maaf...., maaf....” Han Han
merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya mencelat ke atas
pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw muda yang masih
menunduk dan meruntuhkan air mata sambil berkemak-kemik berdoa mohon kekuatan
batin kepada Kwan Im Pouwsat.
“Ohhh.... Kim Cu....!” Suara
Han Han mengandung isak dan tubuhnya berkelebat lenyap dari atas tembok.
Tubuh nikouw muda itu
terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuklah dua orang nikouw yang
lain mengangkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan menyuruh
bawa tubuh nikouw muda yang pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh
dua orang muridnya itu keluar dari kamar.
Nikouw muda itu memang Kim Cu.
Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu tinggal kebanjiran,
Thian Sim Nikouw mengajak murid-muridnya yang pada waktu itu telah menjadi
sepuluh orang untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng Pegunungan
Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil sederana. Selama itu, Kim Cu yang telah
memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai, bahkan kalau tidak ada
gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan seperti yang
telah dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.
Pertemuan tiba-tiba dengan Han
Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang dahsyat dalam hati
Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat sehingga ia roboh
pingsan. Luka di hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan mengering, kini
seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.
“Han Han....” Bisikan ini
keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu bangkit duduk,
pandang matanya kosong sehingga ia tidak melihat bahwa gurunya duduk di situ.
Ia menoleh ke kanan kiri, kembali memanggil lirih, “Han Han....”
“Omitohud, sadarlah dan
kuatkan hatimu, Kim Sim....”
“Han Han....!” Kini panggilan itu
merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.
“Muridku, sadarlah!” Kembali
nikouw tua itu berkata halus.
Kim Sim Nikouw menoleh dan....
sambil menjerit ia menubruk gurunya, berlutut dan menangis tersedu-sedu di
pangkuan gurunya. “Subo.... ampunkan teecu.... ah, teecu yang lemah berdosa
besar....!”
“Menangislah, muridku,
menangislah. Pouwsat akan selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah yang
sadar akan kelemahannya....” Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan nikouw
muda itu menangis di dadanya. Dia sendiri tergetar hatinya dan tersentuh
perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang sudah tenang, keriput air yang
sedikit itu sebentar saja lenyap. Ia sengaja membiarkan muridnya menangis,
oleh karena ia tahu bahwa tekanan batin yang hebat itu akan amat berbahaya bagi
kesehatannya kalau tidak diberi saluran keluar. Dan saluran terbaik pada saat
itu hanyalah membiarkannya menangis sepuasnya.
Kim Cu menangis sesenggukan
sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir bagaikan air bah
menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari tenggorokannya
sebagai keluh dan rintih melengking. Setelah dadanya tidak terlalu terhimpit
lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.
“Aduh, subo.... apakah yang
harus teecu lakukan....? Bagaimana teecu.... ini...., subo.... tunjukkanlah
jalan.... bagi teecu....”
Thian Sim Nikouw tersenyum.
“Omitohud.... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh welas asih....!
Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak akan memaksamu, tidak
akan menghalangimu. Engkau ambillah keputusan sendiri, Kim Sim Nikouw!”
“Subo.... tolonglah teecu....
teecu bimbang.... teecu bingung. Munculnya Han Han bagaikan sambaran petir mengenai
kepala teecu, gelap semua.... tolonglah subo memberi jalan, memberi petunjuk
kepada teecu.”
“Baikiah, tenangkan dan
sabarlah hatimu. Mari kita bersamadhi sebentar.... pinni akan membantumu
memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang penuh
kesabaran sajalah yang akan mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan bersih
dan tepat.”
Kim Sim Nikouw melepaskan
pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat
tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng
Cui-sian-li, tentu saja samadhi merupakan hal yang sudah biasa ia lakukan. Akan
tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu Thian Sim
Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya. Tak lama kemudian
terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya
yang biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh
lebih tinggi tingkatnya daripada Toat-beng Ciu-sian-li, telah membantunya.
Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah mereka
menghentikan samadhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguhpun pikirannya
masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.
“Muridku, pinni akan berusaha
membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak
mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni
memaksanya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni
menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup manusia. Nah, pinni mulai
dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”
“Baiklah, subo.”
“Apakah engkau mencinta Han
Han?”
“Teecu mencintanya, subo.
Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun,
hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguhpun perasaan itu
hanya merupakan lamunan belaka karena sesungguhnya, setelah mempelajari dan
melatih pelajaran dari subo untuk mengubah cinta kasih perorangan menjadi
cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap mahluk, dunia
dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu
terhadap Han Han.”
Nikouw tua itu
mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum
yakin benar, maka tanyanya kembali, “Apakah engkau masih mempunyai keinginan
untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan
dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isterinya dan kemudian melahirkan
anak-anak keturunannya?”
Kim Sim Nikouw menundukkan
mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan pikiran
sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya
berusaha keras untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah yang akan dapat menunjukkan
jalan yang tepat baginya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang gurunya
dengan sinar mata tulus dan berkata.
“Subo tentu maksudkan apakah
teecu masih mengandung nafsu berahi terhadap dia? Kalau benar demikian
pertanyaan subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan subo, teecu
telah dapat menguasai dan mengendalikan nafsu berahi. Tidak, subo, cinta teccu
terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar teecu menjadi
ibu anak-anaknya.”
“Omitohud.... syukurlah,
engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau
begitu, maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus
memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan tetapi, harus engkau sendiri yang
mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan hal ini
pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kaunyatakan tadi hanyalah ucapan yang
dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan
sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti
itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”
“Maaf, subo. Betapa beratnya
kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah
menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya
yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung.... ah, rela rasanya
teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia!”
“Kemukakanlah kesemuanya ini
kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia, sebutlah nama Kwan
Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau
engkau berhasil memutuskan hubungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat
lebih banyak daripada kalau engkau melanjutkan ikatan itu. Engkau akan
menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat akan
keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan
dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam kesengsaraan. Pinni
yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat setinggi itu di mana
kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu.
Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh
menjumpainya.” Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim Sim
Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.
Kim Sim Nikouw naik ke
pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah,
miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia
bangun duduk bersila dan bersamadhi lagi! Setelah bersamadhi, barulah ia dapat
tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan pikirannya,
lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di tubuhnya.
Menjelang tengah malam,
tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han,
pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersamadhi terus, karena
menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat
batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di
antara mereka. Ia harus menolaknya, betapapun hal ini menyakitkan!
Akan tetapi sampai lama, ia
tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di
kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam!
Hatinya menjadi curiga dan kembalilah wataknya sebagai Kim Cu murid
In-kok-san! Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang keluar dari jendela dan menerobos
memasuki jendela Pui Sim Nikouw, yaitu sucinya yang berusia tiga puluh tahun,
yang cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya
diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking
marahnya! Ia melihat tubuh sucinya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah
robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Sucinya dalam
keadaan tertotok, air matanya bercueuran dan seorang laki-laki tinggi besar
sambil menyeringai meraba-raba dada sucinya dan menciumi bibirnya.
“Manusia jahat!” Kim Sim
Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat
pembaringan. Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar. “Ha-ha-ha,
engkaulah yang kucari sebetulnya. Engkau paiing muda dan paiing cantik! Dan
engkau.... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan
tetapi aku salah masuk. Betapapun juga, dia ini boleh juga!”
“Pergilah!” Kim Sim Nikouw
mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding.
Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia
letakkan di atas meja.
“Ehhh, kiranya engkau pandai
silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu yang
gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”Golok menyambar, akan tetapi
sekali menggerakkan tangan, laki-laki itu berteriak dan goloknya terlepas,
tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim
Nikouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk
maju, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah dada laki-laki
itu.
Pukulan ini sepenuhnya mengandung
pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu tentu
mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang
ketakinan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan
sasarannya.
“Kekkk-krekkkkk!” Bukan dada
laki-laki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.
“Aduh tobaaat.... aduhhh.... aduhhh....
ampunkah saya, Siankouw....!” laki-laki itu mengaduh-aduh sambil berkelojotan
di atas lantai.
“Hemmm!” Kim Sim Nikouw mendengus,
lalu cepat menubruk sucinya, membebaskan totokannya dan menyelimuti tubuhnya
yang telanjang bulat. Nikouw itu menangis, akan tetapi dihibur oleh Kim Sim
Nikouw, “Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku belum terlambat, suci.”
Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis.
Pintu kamar terbuka dan Thian
Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw
karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.
“Apakah yang terjadi di sini?”
“Subo, manusia sesat ini
hendak melakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw. Nikouw tua itu
mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang
laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya
itu.
“Hemmm, ambilkan tempat obat
penyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang segera memenuhi
perintah gurunya. Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati
kedua pundak dan pergelangan tangan laki-laki itu yang terus merintih-rintih
dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata.
“Kalau mau minta ampun,
mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini sebagai obat
untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”
Laki-laki itu menjatuhkan diri
berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia diperbolehkan keluar melalui
pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kembali
memasuki kamar masing-masing. Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kembali ke
kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan berlutut di depan sebuah
arca Buddha yang besar. Ia bersila, bersamadhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca
liam-keng. Hatinya gelisah sekali karena tadi ia dikuasai kemarahan, bukan
karena melihat sucinya hendak diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia
mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa
makin berdosa dan kasihan kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia
masih amat lemah. Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah
menjadi bukti bahwa nafsu berahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi
satu dengan cinta kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti
yang ia katakan di depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia
harus menyatakan semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia
diberi kekuatar dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu
akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.
“Kim Cu....!”
Nikouw muda itu terkejut,
membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya.
Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim
Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, sebelum buntung sekalipun, ia tentu akan
dapat mendengar gerakannya, akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak
mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!
“Omitohud.... kenapa engkau
berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejar-ngejarku?”
Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan tetapi mukanya
menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu
mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mampu menjenguk
isi hatinya!
“Aku akan terus mengejar dan
mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekalipun, selama engkau belum mau
berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu! Apa kaukira
aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kaulakukan untuk
membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?”
“Ohhh, jadi engkau tadi
melihatnya....? Ya Thian Yang Maha Kasih....! Baiklah.... baiklah. Han Han....
aku memang Kim Cu.... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw....
engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siangkong. Pergilah kau....
Han Han.... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku....”
“Hemmm.... ke manakah perginya
kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri, tidak
boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau
menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan
permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama....!”
“Ya, setelah apa yang kita
alami bersama....!” Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh
membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya
masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.
“.... engkau tidak tahu betapa
aku telah menderita hebat.... betapa aku sekarang telah menemukan ketenteraman
kembali.... ketika engkau menolongku, agar aku tidak terkena senjata rahasia
Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri.... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar! Ahhh....
betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin
bahwa kita akan mati bersama.... mati bersamamu di waktu itu merupakan
kebahagiaan yang tak terhingga bagiku....! Akan tetapi, ohhh.... hancurlah hatiku
ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau mati!
Aduhh, Han Han.... tidak ada penderitaan yang lebih hebat daripada itu, hatiku
tersayat-sayat.... ohhh....” Nikouw itu menangis terisak-isak.
Han Han tak dapat
berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah,
perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan
membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung
lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti air mata yang mengalir
deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.
“Aku tidak kuat menahan derita
batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada Thian Sim Nikouw
ketua Kwan-im-bio yang menolongku, menyadarkan aku.... merupakan pelita yang
menerangi kegelapan hatiku.... aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi
muridnya.... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku sembahyang setiap hari
untukmu.... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati.... akhirnya hidupku tenang
dan tenteram, sebagai nikouw....”
“Kim Cu....” Suara Han Han
menggetar dan berbisik penuh perasaan haru, “apakah tidak ada jalan lain....?”
“Jalan lain yang mana? Aku....
aku murid seorang wanita jahat...., seorang datuk hitam yang penuh dosa....
dunia akan mengutuk aku.... manusia akan memandang rendah kepadaku.... hanya
dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa.... dan.... dan dapat melupakan
engkau....”
Han Han tak dapat menahan lagi
keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa
murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya
itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan
seorang wanita. Menjadi nikouw! Pengorbanan nyawa masih kalah besar, karena
sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan
cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup,
sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw! Betapa besar
pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban sedemikian
rupa untuknya?
“Kim Cu, tidak boleh! Engkau
tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak....! Kalau memang
engkau mencintaku.... setelah semua pengorbanan yang kaulakukan untukku....
wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tak mungkin dapat kubalas
selama hidupku.... mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan terpendek
ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup
dengan menjadi nikouw.... akan tetapi aku...., aku yang kauusir.... aku yang
merasa terhimpit oleh budimu.... betapa aku akan dapat bersenang hati,
mengenangkan engkau yang selalu bersamadhi dan bersembahyang di dalam kelenteng
yang sunyi? Ah, Kim Cu.... jelas bahwa engkau masih mencintaku, mengapa....
mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak
berdarah....?”
“Han Han....!” Nikouw itu
menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai lama ia menangis,
berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara menetes-netes keluar
melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing. “Kalau begitu, kalau
aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada engkau orang yang kukasihi
dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw.... kalau
begitu...., biarlah aku mati saja....!” Cepat sekali nikouw muda yang sudah
menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke depan dengan muka
beringas, meloncat ke depan, ke arah arca Sang Buddha yang tersenyum cerah,
hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang
terbuat daripada batu hitam.
“Wuuuuuttttt....!” Tubuh
nikouw itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah
mengerahkan gin-kang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sin-kang
untuk melindungi kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan
pecah.
“Plakkk....!” Kepala nikouw
itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali
tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan
menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw
itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki arca.
Nikouw itu terpental ke
belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada
Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang
keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga
menjadi merah.
“Kim Sin Nikouw, apa yang
kaulakukan ini?” Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya penuh
daya pengaruh menundukkan. Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru
bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang pucat, dahi berkerut,
mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.
“Han Han....!” Kim Sim Nikouw
mengeluh.
“Kim Sim Nikouw, sadarlah
bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling
rendah daripada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak menggetar penuh
keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas. “Akulah yang salah dan engkau
benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan
kebahagiaan. Adapun aku.... hemmm.... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku
hanya kasihan dan ingin membalas budi, dan melihat engkau berbahagia di sini,
aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat
tinggal....!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Sejenak nikouw muda itu
berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han, kemudian ia
menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang Buddha
yang masih tersenyum penuh pengertian, seolah-olah memandang kelakuan dua
orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim
Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah
Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci
noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han!
Han Han sejenak memandang
penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan
menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, memaksanya
meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan bersama dia. Akan
tetapi, kesadarannya membisikan bahwa perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah
pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sampingnya? Apakah dia
mencinta Kim Cu? Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat
murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak akan menyatakan cinta kepadanya?
Betapapun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan
Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan
Kim Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan
mencinta!
Sekali lagi Han Han memandang
Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu di lubuk hatinya,
kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di dalam gelap.
Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah
sebuah guratan lagi di dahinya.
Penjahat yang tadi memasuki
Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda dan telah mendapat
hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga meninggalkan dusun
menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya
terasa nyeri apabila terguncang terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan
kudanya, ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk. Siapa kira di dalam kuil
sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia
mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat
cantik, sehingga tergeraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan
melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya itu ternyata benar. Ia
melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.
“Sialan....!” pikirnya.
Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai
jai-hwa-cat di samping seorang pencuri ulung. Akan tetapi belum pernah ia
memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu
menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia
tidak peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam
itu hampir saja terlaksana apa yang ia sering kali mimpikan. Akan tetapi,
agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw
muda itu. Hemmm, masih untung, pikirnya. Justeru nikouw muda itu ia incar.
Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki tubuh yang
benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia masuk ke kamar
wanita muda yang lihai itu.... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum
tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!
Tiba-tiba ada bayangan
berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti
ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang
dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah
berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti mata harimau.
Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si pemuda buntung,
membentak.
“Heh, bocah buntung! Minggir!
Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?”
Pemuda yang bukan lain adalah
Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya
yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat
cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia
sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat penjahat ini, Han
Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.
“Hemmm, jai-hwa-cat, apakah
yang kaulakukan di kuil tadi?”
Penjahat itu pucat wajahnya.
Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua pundaknya tak dapat
digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan
kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang
sedang terluka dan lemah.
“Aku.... aku terluka.... dan
aku sudah diampuni para nikouw....” katanya gagap.
Han Han memandang penuh
selidik. “Andaikata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu dalam keadaan
tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas dirinya tanpa
ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”
“Wah, jangan main-main, orang
muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main,
sedangkan kau seorang buntung kakimu....”
“Hemmm, apakah dia selihai
ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara
tiba-tiba ke kanan kiri.
“Kraaakkk.... kraaakkkkk....
bruukkk....!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya.
Penjahat itu terbelalak, dan
wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata, “Hebat sekali! Orang
muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya
sehingga aku dapat.... eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku.... aku akan
memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”
“Kau tentu hendak
memperkosanya?”
Penjahat itu menyeringai.
“Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”
“Keparat!” Tongkat di tangan
Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tubuh
terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak
memandang tubuh yang tidak berkepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah
berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han Han yang tadinya
tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi
marah mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya,
tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar mengeluarkan
rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan mengeluh.
“Kakekku seorang jai-hwa-sian!
Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga Suma yang
jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga.... ahhh,
Kong-kong, kenapa kau sejahat itu....?” Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya
keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah terkutuk itu mengalir di
tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk.... ya Tuhan,
ampunilah hamba....” Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan
perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama
mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak
menginjak tanah lagi.
***
Puteri Nirahai memenuhi
janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang
menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.
Lulu tekun belajar ilmu silat
di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai
digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia
berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang
dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih
di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara
ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya.
Kini, setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat
adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia
dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra.
Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu
silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang
menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara.
Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan
Awan). Dahulu, jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han
Han dikatakan sebagai tarian. Kini, setelah mengetahui inti sari ilmu itu,
setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu,
Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar
sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu
Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu
disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu (Kam Han Ki di waktu muda dalam
cerita tersendiri: ISTANA PULAU ES).
Selain dilatih ilmu silat yang
pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang
amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang
kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus
kapas, namun mengandung inti tenaga sin-kang yang dapat menahan tenaga sin-kang
lawan yang kuat.
Lulu amat berbakat dan juga
amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah
dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat
bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sin-kang murni yang
ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.
Adapun Nirahai yang memang
tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara
Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh
Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali. Bahkan ia telah
dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan
suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan
Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya
berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu
pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir
Kaisar Mancu ini.
Makin lama, Lulu makin betah tinggal
di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya.
Apalagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan
memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus
perasaannya itu membalas kasih sayang sucinya. Mereka amat rukun dan kerukunan
ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan
Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara
terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang
timbul dari pengalamannya.
“Suci, sebetulnya aku tidak
ingin mencampuri tugas suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para
pengawal. Akan tetapi karena suci ingin mengajak aku membantu, perlu
kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak
terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai memandang tajam dan
berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para
pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa
dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup
sebatangkara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi,
aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para
pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang
tuamu!”
Lulu mengerutkan alisnya yang
hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang kaukatakan
pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, suci. Sebailknya,
dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang
membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti
sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm, pendirianmu itu salah
sungguhpun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbutan sebagian
tentara Yang kejam. Akan tetapi, apakah kauanggap bahwa perbuatan para
pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”
“Memang kuakui bahwa mereka
telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi
ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi
pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di
dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang
tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai mengangguk-angguk.
“Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan
teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh
tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak
membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah
selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para
pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang
tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan.
Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak
menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan
tentara-tentara kita itupun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan
kejam perorangan, melainkan, kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa
pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya
terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”
Lulu merasa terdesak karena
pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan
Nirahai.
“Apakah engkau percaya bahwa
aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai
dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik
perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku
mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi,
sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua
partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah
mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak
sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku
tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim
Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh
mereka, sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau seorang saudaramu kebetulan
memihak peluang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya,
suci?”
“Tentu Saja! Kalau dia memihak
pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang mencinta
bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara
tidak!”
“Wah, kejinya! Aku benci....!
Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han
kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang
disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai merangkul leher Lulu
dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta
perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang.
Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup
manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup
seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai
tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau
sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang
itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya dan sekuat tenaga
tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan,
perang baru habis dan perdamaian timbul. Percayalah, aku ingin sekali menikmati
masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang
siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya.
Prikemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk
mendapatkan perdamaian itu, kita semua harus sekarang mengerahkan tenaga untuk
menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”
Lulu termenung. Ucapan sucinya
itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Sucinya ini cantik,
berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang
luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat
menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang
kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau begitu engkau
tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai mengangkat alisnya.
“Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada para pejuang kau
tidak benci?”
Nirahai tersenyum dan
menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan
kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa
membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas,
Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan
Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han,
kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah
Han di tubuhku.”
“Wah, kalau begitu, tentu
engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”
Kembali Puteri cantik itu
membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau
menggemaskan dan genit, sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi Lulu mendesak,
“Aku tidak main-main, suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu.
Bagaimana, andaikata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan
merasa terlalu rendah?”
Nirahai menghela napas
panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han.
Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan
tetapi, adikku yang nakal. Pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua
fihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku
seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa
berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu memandang dengan wajah
berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, suci! Dan
menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling
mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang
paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan, suci. Bukan raja bukan
pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah
perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini....” Pandang mata
Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh...., kakak angkatmu
itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, sumoi.”
“Tidak, suci. Dia seorang yang
semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling
patut menjadi suamimu!”
Nirahai tersenyum dan menarik
napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia,
dia pun belum pernah melihat aku. Andaikata kami saling bertemu, belum tentu
pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”
“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria
mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana
yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau
akan terjungkir balik....!”
“Hahhh....? Kauanggap aku
selemah itu mudah dijungkirbalikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang
matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoinya yang
nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiittttt, sabar,
suci! Bukan orangnya yang dijungkirbalikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu
akan jatuh bertekuk lutut....”
“Heiiiii....?”
“Yang bertekuk lutut hatimu,
engkau akan jatuh cinta....”
“Sudah, sudah eh, sumoi,
engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu mengerutkan keningnya dan
menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, suci.
Tidak ada yang lebih kucinta daripada Han-koko.”
“Nah, nah.... kalau begitu
engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu meloncat bangun seperti
diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila....?”
Nirahai menuding-nuding
telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang sumoi? Bocah
kurang ajar, engkau memaki sucimu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu
masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh maaf, suci.
Maksudku, perkataan suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku,
ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, suci!”
“Sudahlah, maafkan aku. Kita
lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan
pamerkan.”
“Aku tanggung engkau akan
kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya.
Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian....” tiba-tiba Lulu terhenti
dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua
pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang
kakaknyas bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin
Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa
disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!
“Ada apakah, sumoi?” Nirahai
bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoinya yang termenung seperti
orang bingung.
“Ti.... tidak apa-apa, suci.”
“Engkau memang aneh, mari kita
berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkirbalikkan
aku, hi-hik!”
Akan tetapi Lulu masih
termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”
Nirahai menarik napas panjang.
Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah
menyelidiki dan malah sudah mendenger tentang keributan yang ditimbulkan oleh
Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap
ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi
oleh nenek itu. Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi
karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar
menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan
diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah
sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya
menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang
diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.
“Sampai sekarang belum ada
beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana.
Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan.”
Demikianlah, Lulu berlatih
terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga
diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa
kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang
sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.
Setahun mereka berlatih tekun.
Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya,
langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun
bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak
tegang dan datang-datang berkata.
“Wah, kembali pasukan-pasukan
kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai
sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan
orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, subo. Dan
mengingat bahwa di fihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap
subo dan sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya tersenyum. “Aku
sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri
akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu, aku
akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”
Nirahai tidak berani memaksa.
“Sumoi, sekali ini, sucimu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau
suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang
belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di
barat.”
Memang Nirahai pandai sekali.
Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda
buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han,
mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan
sumoinya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar
mengajaknya untuk membantu.
Lulu mengangguk. “Baiklah,
suci. Biarpun aku juga seperti subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku
hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya lalu meninggalkan
istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar
keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya,
Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan
besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan
cantik jelita. Adapun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau
pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang
kuda di samping Nirahai.
Banyak orang di sepanjang
jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal.
Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian
biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota
raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam
mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini
untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang
yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka.
Bagaimanakah ada berita bahwa
pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah
pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui,
setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio,
di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda
ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin karena kakinya yang
buntung, juga karena ketika dahulu ia berada di kota raja, ia tidak menimbulkan
kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya
yang buntung. Akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan
karena di masa itu, perang telah menimbulkan banyak malapetaka sehingga banyak
terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacad tubuhnya.
Pada malam harinya, Han Han
mempergunakan kepandaiannya, tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia
meloncat ke atas rumah encinya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she
Giam, kakak iparnya atau suami encinya. Menjelang tengah malam itu keadaan
sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar encinya yang ia sudah hafal karena
ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat encinya tidur
berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri encinya itu yang kini sudah berusia
hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia
membangunkan encinya dengan jalan memijit ibu jari kaki encinya.
Sie Leng terbangun, kaget
ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan
membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan
berbisik.
“Leng-cici, aku datang....”
Sie Leng kini sudah sadar
betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.
“Adik Han.... kaki....
kakimu....!”
“Sssttttt.... tidak apa-apa,
Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia.... eh....
suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu
(kakak ipar).
“Dia.... dia sudah sebulan....
berangkat ke Se-cuan....” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut
kalau-kalau adiknya masih mendendam.
Han Han bernapas lega, lalu
duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat
puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.
“Han Han, engkau pergi tanpa
pamit, kata cihumu, engkau mencari adik angkatmu....”
“Cici, kedatanganku ini memang
untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku
itu?”
Sle Leng menggeleng kepala.
“Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba
lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia
berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”
Han Han tersenyum. Lega
dadanya, bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal
ini.
“Sekarang pertanyaan ke dua,
Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku,
menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma,
bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te....! Apa yang akan
kaulakukan?”
“Apa yang akan kulakukan tak
perlu kauketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa
engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima
orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga
kita?”
Pucat wajah Sie Leng. Ia
merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang
buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh.... ia merasa ngeri
dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Enci, dengarlah!” Han Han
berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku
sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang
lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu
aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya
enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan
membunuh suamimu!”
“Tidak....! Jangan....!” Sie
Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk
dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu? Siapakah dia ini?
Apakah dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi
Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang
dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Lihat, Enci. Puterimu lebih
berbakti daripadamu!”
Encinya memangku Kwi Hong,
menciumnya dan berbisik, “Hussshhhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu
Ibu. Tidurlah, Nak....!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk
itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
“Han Han, jangan kira bahwa
aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak
kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang
akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku....!” Ia
menangis pula.
“Syukurlah kalau begitu.
Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”
“Han Han, apa dayamu
menghadapi mereka? Apalagi kakimu sudah buntung....”
“Jangan khawatir, setelah
kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana
mereka?”
Setelah menarik napas panjang
berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja.
Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca
singa batu di depannya....” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak
akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu.... eh, dengan suamiku,
telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah
perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”
Hati Han Han kecewa sekali
akan tetapi ia percaya akan keterangan encinya.
“Den siapakah perwira-perwira
yang lain, yang lime orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh.... Han Han, mengapa
engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang
memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan.... dan engkau sudah.... sudah
buntung begini....”
“Sudahlah, Cici. Lekas
katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku tidak tahu.... aku
hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah
Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para
pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh.... biarpun aku tidak pernah
mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan
susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka
itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku
dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka
aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui
nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. Adapun
empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han mengerutkan alisnya.
Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang
adalah suami encinya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga
bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang
lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa
sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya
itu! Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di
antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya
teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau
dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan
menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan
tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami encinya itu.
“Leng-cici, jagalah dirimu dan
anakmu baik-baik. Aku pergi....”
“Han Han....!” Sie Leng
mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu. Sie
Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela
dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang
datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian
sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka?
Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong
dan menangis terisak-isak.
Han Han keluar dari gedung
encinya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja,
menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar,
termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan
tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke
mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak
mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti
yang diceritakan encinya. Ke manakah adiknya pergi?
Kalau saja Han Han tahu bahwa pada
saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana, bersama Puteri
Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga
Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah menghela napas berulang
kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat
ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa
terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia
berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak
dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking
lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang pagi, telinganya
yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap
kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan
terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Aku lelah sekali, kita
mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalam aku tidak dapat tidur dan kalau
tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan....”
“Ha-ha-ha, agaknya engkau
tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah. Karena menerima
tugas berat, aku berpamit dan dia.... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk.
Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha, engkau terlalu.
Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan
tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita
akan putus!”
Agaknya mereka mengikat
kendali kuda di depan dan tak lama kemudian Han Han, yang sudah meloncat ke
atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca
masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk
dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung
dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan
tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira dua jam kemudian,
orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya. “Loheng, bangunlah.
Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita
ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”
Temannya bangun, menguap dan
menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh.... sedang enak-enak mimpi
dengan dia kaubangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau benar tidak ada
puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan
mimpi lagi! Hayo!”
Mereka berdua segera keluar
dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke
selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang
yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu
mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri
pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia
membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu
penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua
orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang
menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.
Di kota Thian-cin, dua orang
pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan
ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan, terus membayangi mereka
tanpa kesulitan. Biarpun kakinya buntung sebelah, namun kalau hanya membayangi
larinya kuda, amatlah mudah bagi pemuda sakti ini.
Hujan lebat membuat dua orang
itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok
butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu, kini mereka pakai untuk
berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit.
Sambil berlindung mereka
bercakap-cakap, “Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di
tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”
“Tidak salah lagi. Keterangan
yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan
operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai
kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering
mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar itu pemberontak,
mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri
selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah
ini? Sungguh memusingkan!”
“Mereka itu tentulah
dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk
melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di
luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai
sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah
pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah
terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga
beberapa kali pasukan-pasukan kita yang pilihan mengalami kegagalan dan jatuh
banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti
makan bakpauw?”
“Sam-te, kau tidak tahu.
Puteri Nirahai amatlah sakti, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga
cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau
secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun.
Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca
isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus
dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh, hati-hati, Lohengm,”
kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini
terdapat mata-mata pemberontak!”
“Ah, andaikata ada, berani apa
terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting, kedua kalinya,
dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau
yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”
“Betapapun juga, kita harus
hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan
menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo
kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi alangkah kaget
hati kedua orang perajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda
buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena
mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han
seorang pengemis.
“Heh, kau mau apa di sini?”
bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah kalian hendak
menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan
menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai
untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena
tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang itu terbelalak dan
memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan
Su-ciangkun?”
Han Han tersenyum, diam-diam
merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu orangnya
kecil pendek?”
Dua orang itu kembali saling
pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti raksasa!
Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok.
Akan tetapi, ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus
berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku
karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang sudah amat tertarik
mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apalagi ketika mendengar
disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia sengaja menghadang dan
sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi
Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah
lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira
yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi
Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja
dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil:
Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long
Tek ciangkun.
Dengan sikap tenang namun hati
gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca
isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai
itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu
tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang
yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an.
Demikian jelass surat perintah itu, bahkan diberi gembar pula yang menunjukkan
di mana adanya sarang Lauw-pangcu! Diam-diam Han Han amar kagum akan ketegasan
dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah
kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan
otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan
seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan
terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian
tinggi dan yang marah-marah kepadanya. Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik
baginya, pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga
tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, ke dua ia akan
dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ke tiga ia akan
dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalahfahaman yang terjadi antara
dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat
cerdik.
Han Han sudah mengangkat
tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau
hendak melakukan siasatnya, akan tetapi ia menahan tangannya, tidak membunuh
mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua
orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal
yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas, berteriak marah dan
golok mereka berkelebat menerjang Han Han. Pemuda ini menjadi girang. Kalau
sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal
kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi
mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para perajurit
Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan rakyat yang tidak berdosa, dan
begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang
tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan
tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya
sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan
golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka
masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh
diri!
Sejenak Han Han memandang dan
menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia.
Andaikata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat
perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
Han Han lalu berkelebat pergi,
melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya.
Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han
Han, jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya daripada menunggang
kuda.
Dia mengambil keputusan untuk
mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut
dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan
perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan
Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah
Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar
hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan
markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang
besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan
cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian
besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah
orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum
pelancong. Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil
bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi
mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar
percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang
berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang
tahunnya yang ke tujuh puluh! Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti
orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan
penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang
boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat
lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak
dicurigai. Memang, nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana,
terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa
Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua
berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman,
juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang
menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggauta Pek-lian
Kai-pang.
Ketika mereka semua itu tiba
di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia
kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang
jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu, ketika melihat
Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam
hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu
amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana.
Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tannu yang
terpaksa juga duduk di atas rumput, ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang
berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang
amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang
tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!
Amatlah mengharukan
menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu
dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan
terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu
sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada! Akan tetapi lebih
mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di
atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang
amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang
cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan
memberi hormat kepada para tamu. Biarpun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan
tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian
gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga
para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
“Terima kasih.... terima
kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang
tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk
setinggi gunung, lebih tinggi daripada tumpukan barang sumbangan yang saya
terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan
untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah
biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua dan sejak
dahulu, seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya
butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”
“Hidup Lauw-pangcu yang gagah
perkasa!” Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para
tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan
barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke
Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini, Lauw-pangcu
memandang terharu sampai basah kedua matanya.
Han Han juga terharu. Ketika
ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh
bekas cacar burik-burik. Janturgnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak
mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana.
Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya
itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu,
mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara seperjuangan,
kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar seruan yang nyaring
sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua
mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian
memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang
marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.
“Mohon maaf jika saya tidak
mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang
saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi
datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”
“Kita semua adalah kaum
pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa
bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana
mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu hebat sekali. Pada
waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu
adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan
gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang.
Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa
tidak akan kaget?
“Aihhhhh, apa yang kauucapkan
ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya
pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang
dapat menampung kekuatan pejuang.”
“Heh-heh-heh, sungguh picik
sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!”
Suara ini amat nyaring dan berwibawa, dan tiba-tiba, setelah menyambar angin
besar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka
kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika
mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo! Lauw-pangcu pernah
melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar
nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari
In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya.
Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah
ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu
Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biarpun kakek
ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu
menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
“Kiranya Siangkoan Lee
locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar
sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang
dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang
menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi
terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu
ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku sengaja datang
untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak
boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan
besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali.
Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi
yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa
bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan
pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah
engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”
Wajah Lauw-pangcu berubah
merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang
di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan
maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih.
Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa
Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
“Tentu saja saya tahu,
locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya
kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu adalah seorang
panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal
batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar
daripada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan
diri sendiri.”
“Akan tetapi apa kau pura-pura
menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak!
Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara
bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi
raja di Shen-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat.
Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf, locianpwe. Saya
mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu
memberontak, karena pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan
lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan
pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup
sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam
ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok,
bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena
digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang
mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan
tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah
yang bobrok!”
“Huh! Omongan orang yang
berjiwa pemberontak! Betapapun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang
pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam
itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau
bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah
engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa
Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin
barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota
raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf, locianpwe. Saya kira hal
itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat
perang....”
“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor,
dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia
berani memasukkan srigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh
bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha,
dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis, kalau menurut pendapat
locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak,
bertanya.
“Kita berjuang sendiri! Kita
menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi
pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali
Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm.... kaisar terakhir
Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan
kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”
“Masih banyak
tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak
menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu tidak dapat
menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang
menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar
dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air
dijajah bangsa asing. Adapun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh,
mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak
tahu dan tidak pula memperhatikan. Mereka berjuang dengan dasar mengusir
penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara,
mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apalagi karena yang berdebat ini
adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang
yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya
tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara
menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi
juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!
Melihat ayahnya tak dapat
menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda
itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring
berwibawa kepada kakek itu.
“Siangkoan Locianpwe, sudah
lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo.
Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu
dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk
diri pribadi, kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal
siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari
tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli
mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang
menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk
bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja
sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan
sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”
Semua tamu mengangguk-angguk
mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan
mengerutkan keningnya.
“Nona muda, engkau siapakah?”
“Dia adalah Lauw Sin Lian,
puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo
mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis
itu. Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan,
segala pertentangan faham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui
pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu dan Sin Lian
hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum
sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat
maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha, memang seharusnya
begitu! Dan.... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini
sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu sendiri adalah
seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong,
maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar.
“Belum, Ouw-sicu.”
“Bagus! Kalau begitu,
kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak
sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari
cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat
menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh....
maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh....”
“Mulut busuk!” Sin Lian
membentak marah sekali. Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim
Chit-kiam ini, yang sudah matang pula pengalamannya dan luas pandangannya,
mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapapun juga adalah seorang
kawakan. Akan tetapi, kini sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang
masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah
hidung yang kulitnya kasar itu. “Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan
mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan daripada muka tikus selokan itu? Cih,
tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan
pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang
berbau busuk!”
Sin Lian memang pada dasarnya
galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya,
ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah
sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apalagi melihat betapa para tamu banyak
yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.
“Bocah sombong! Kau mau
mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan cabut pedangmu!”
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan
dengan Si Muka Bopeng dan kalau dia melayani orang itu bertanding tangan
kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan
lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, Si Muka
Bopeng ini tentulah lihai ilmu silatnya.
Diam-diam Ouw Kian menjadi
girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa
ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus
kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu, selama ia merantau sebagai perampok
tunggal. sebelum ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki
kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan
telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya
memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang
memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk!
“Lihatlah kiam-sutku yang
tiada tandingan!” Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan
mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada
pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang
itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.
“Hemmm....!” Sin Lian
mendengus sebal dan membentak, “Sambutlah!” Pedangnya sudah menusuk dengan
kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang
pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan
Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh
Bintang). Kini, menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah
menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara
itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan
yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah
ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.
“Trang-trang-cringgg....!
Ehhhhh....!” Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi
menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar
itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah
memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke
belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang
lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis
muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa
ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.
Ouw Kian maklum akan kelihaian
lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan
pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun,
tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali
ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima
sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!
“Aahhh.... ayaaaaa....
trang-trang-trang....!” Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi
tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga
susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
“Hemmm.... mundurlah!”
Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat
merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw
Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah
menggunakan sin-kang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang
Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam
yang kaumainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”
“Tidak salah, locianpwe. Aku
adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.
Ma-bin Lo-mo
mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoatmu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim
Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau
menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau
murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi.
Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah kalau mendengar engkau akan membantu
pengkhianat Bu Sam Kwi.”
“Siangkoan-locianpwe,
guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama
menentang Mancu!”
Tiba-tiba Siangkoan Lee
tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda
marah, “Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng
jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya
tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah
terbalik?”
Sin Lian menjadi marah
mendengar guru-gurunya diajek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan
pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya
perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh
Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh
yeng gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul
seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang
di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin
Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga
mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara
cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari
kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.
“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau
memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”
Ma-bin Lo-mo melotot dan
membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”
Gadis muda yang bersikap
lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum
mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.
“Cu-wi sekalian tidak perlu
heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin
Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak
tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan
yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi,
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi
kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja
muda di Se-cuan!”
Diam-diam Ma-bin Lo-mo
terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri
sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan mengapa tidak?
Aku jauh lebih berharga daripada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang
menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut
kalian jadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah daripada si pengkhianat
bangsa Bu Sam Kwi!”
Melihat kakek yang menjadi
amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya
dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja
urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan
ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan
pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang
penjajah Mancu. Silakan!”
“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak,
pandang matanya masih marah membayangkan ketidakpuasan dan kemarahan ditujukan
kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian semua masih
melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku
tinggal diam saja! Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam
penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku,
Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati
Kerajaan Beng?”
Kakek yang menjadi datuk
golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata,
“Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang.
Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka
kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke
arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita
bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil,
kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan
sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”
Lauw-pangcu menghela napas
panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut
saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya
perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat
pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu
menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian saya
ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi
pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”
Para tamu berteriak-teriak
menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak
riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah
bahwa tidak banyak yang mendukungnya.
“Lauw-pangcu! Kalau begitu
engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas.... pantas....!
Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang
(Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat!
Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat!
Sungguh tak tahu malu!”
“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak
tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Engkaulah
yang tidak tahu malu! Sebagai tamu, seharusnya menghormati dan mentaati
peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah
tamu yang diundang!”
“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu,
kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu
terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi
pemimpin!”
“Siangkoan Lee! Biarpun sudah
tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur....!” Lauw-pangcu menjadi
marah.
“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang
menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan
pedangnya. Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia
tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng
tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya
menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian
berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.
Di antara tokoh-tokoh
kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai
murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang
muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di
atara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan
hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi
daripada tingkat Sin Lian. Apalagi hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim
Chit-kiam sekalipun maju bersama, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian
Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai
yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!
Melihat sinar pedang gadis itu
yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji
ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai
dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah
Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im
Sin-ciang yang dahsyat. Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya
sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik
mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, dia
tidak mau sembrono menurunkan tangan keji, dan hanya ingin membuktikan bahwa
dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara
mereka semua.
“Hi-yeh-heh.... kiam-sut yang
bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kaupergunakan untuk menyerangku,
Nona Cilik!” Ia mengejek, kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan
melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh
yang amat kuat. Betapapun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap
saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan
dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan
sendirinya.
“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak
patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita
tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan
yang amat hebat adalah gin-kang mereka karena gerakan kedua orang muda ini
cepat seperti kilat!
Pedang di tangan pemuda dan
gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya
terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang
yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo
terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang
muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau
menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan
suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri daripada
sambaran dua pedang.
Akan tetapi, kini Sin Lian
sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini
bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu.
Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya
menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai
itupun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.
Ma-bin Lo-mo kembali
mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba
menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu dengan “meminjam”
tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang
muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira
kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jerih.
Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita
penting!”
Semua orang menoleh, dan
tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah
pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang
maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil
berkata.
“Kau.... kau masih hidup....?”
Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan
Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li
kepada dua orang murid itu, dan dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga
kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar!
Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di
situ! Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan
menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau
banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang
menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han
di balik dadanya. “Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja
(mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat. Tidak ada seorang pun
yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat
bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti
kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak
muntah! Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi
membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga
dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah
menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat,
akan tetapi dia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu
menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah
mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo
ini membuat ia terluka dan jerih. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw
Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga
para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa
pamit.
“Han Han....!” Suara ini
keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.
“Han-twako....!” gadis yang
datang bersama pemuda itupun berseru, wajahnya menjadi merah, akan tetapi,
seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun
memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.
Han Han tersenyum lalu menjura
ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid
Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoinya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia, Lu-siocia,
Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”
Tiga orang muda itu tetap
memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa
orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka
bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher
serasa dicekik keharuan dan kasihan.
“Ah, engkau Sie Han....? Akan
tetapi, kenapa kakimu....?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang
pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa
kakimu itu, Han Han?”
Han Han menjura kepada
Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung,
Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam
keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula
mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe
diberkahi panjang usia dan kesehatan!”
Lauw-pangcu tersenyum dan
memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah
menjadi seorang yang selain tampan dan gagah, juga matang bahkan ada sesuatu
yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia
sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.
“Kebetulan sekali engkau
datang, Han Han. Dan di mana.... di mana Nona Lulu?”
Ditanya tentang Lulu, wajah
Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya. “Entahlah, aku sedang
mencari dia.”
“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya
kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han
menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian
akrab. Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di
dalam!” Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk
melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li
memasuki pondoknya.
Setelah mereka duduk di dalam
pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah
kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
“Agaknya banyak sekali urusan
yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua
orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”
“Kiranya Lauw-locianpwe dan
Lauw-siocia....”
“Iiihhh, kenapa engkau
sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala,
apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur
dengan mulut cemberut. Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi
berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa
menyaksikan sikap Sin Lian ini.
Merah wajah Han Han ditegur
gadis itu. “Eh.... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian
belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan
Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”
“Ah, kiranya murid-murid dari
Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang
hormat.” Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan
memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapapun juga, di
dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Soan Li yang cerdik tentu saja
dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata.
“Nama besar Enci Sin Lian
sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya.
Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala
peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang
sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu.
Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan
sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang
terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi
Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami
penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali....”
Wajah keruh di muka Sin Lian
segera menghilang. Memang pada dasarnya, watak Sin Lian adalah lincah dan
peramah, kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh
Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh
orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.
“Adik Soan Li, aku telah tahu
akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok
dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu
yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauw-kiok itu seolah-olah dapat kubayangkan
dengan mata sendiri!”
“Eh, Non eh, Sin Lian, apa
artinya semua ini? Adikmu Lulu.... bagaimana ini?”
Kembali Lauw-pangcu tertawa,
agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah
banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang
sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan
bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguhpun ia maklum
bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat
luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah
terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling
tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu
kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk
menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”
Kini Wan Sin Kiat bicara,
suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh sumoi akan maksud
kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid
Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah faham akibat adu domba
fihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang
menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada
di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang
menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus
permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami
merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan
pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah
orang Hoa-san-pai.”
Sin Lian mengangguk-angguk.
“Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua
telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apalagi
setelah saya mendengar penuturan sumoi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin
membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada fihak Mancu.”
Lauw-pangcu menghela napas. Memang
perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang
Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku
menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi
anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”
“Aaahhh....!” Han Han
membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini?
Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu,
ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu
mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata
kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!
“Aku mengerti, tentu engkau
bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam
atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah.... adikmu itu adalah seorang
manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa
bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya.” Lauw-pangcu lalu menuturkan semua
pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan
betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.
“Enam bulan yang lalu dia
berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk
datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu.
Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita
ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu,
juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali
dan ia menghela napas panjang.
“Aku mencarinya ke kota raja
tanpa hasil....”
Melihat kesedihan Han Han dan
karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya
yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera
berkata.
“Han Han, jangan khawatir. Aku
akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”
Han Han tersenyum mendengar
janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah
Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam
ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh
dengan pemuda ini! “Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu
berani dan sembrono....”
“Han Han, engkau tidak tahu
bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang
dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan
aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan,
karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.
“Sekarang tiba giliranmu, Han
Han. Ketika engkau muncul tadi, kaukatakan bahwa engkau datang membawa berita
penting. Akan tetapi sebelum kauceritakan itu, aku ingin sekali mendengar
mengapa.... kakimu sampai buntung, Han Han.”
Han Han tersenyum pahit dan
memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata,
“Urusan kecil.... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung
akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li....”
“Iblis betina yang kejam....!”
Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan.... Lulu-moi belum tahu
akan hal itu?”
Han Han menggeleng kepala dan
memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah
seperti hendak menahan tangis!
“Hemmm, aku sudah mendengar
dari suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa
dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya
menjadi pucat.
Ia tersenyum. “Tidak kejam,
melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan
diri aken dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian
aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi
sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,”
Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan
Soan Li ketihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka
terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang penting adalah keperluan yang membawaku
datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan
utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun komandan pasukan Mancu
yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan
cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”
Mata Lauw-pangcu terbelalak
ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia
memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan
Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi
blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat
lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu,
keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah....!”
Lauw-pangcu tetap tenang dan
menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat
perintah ini.” Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan
kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biarpun sudah
lama sekali ia tidak lagi aktip dalam perjuangan karena selain merasa tua juga
setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan,
kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya. “Ah, ini kesempatan bagus
sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada
Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur
barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi
mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”
Han Han menerima kembali surat
itu dan menyimpannya dalam sampul lalu mengantonginya. “Tepat seperti dugaan
saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya
lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan
pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi
Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”
“Heeiii....! Ah, itu berbahaya
sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian
Kai-pang!”
“Lauw-pangcu, apakah kalau
yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”
“Memang tetap berbahaya, akan
tetapi andaikata anak buahku sampai mati sekalipun dia akan mati dengan rela,
mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”
“Hemmm, pangcu. Apakah saya
takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan
sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan
diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal,
aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau fihak Mancu
tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan
mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat
ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu. Setibanya di ruangan depan, para
tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan
mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak.
Setelah tiba di lereng puncak
itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu
meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mujijat, yaitu gerakan-gerakan
kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti
terbang.
“Han Han....!” Teriakan ini
membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang
membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah.
Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata
terbelalak penuh kekaguman.
“Han Han.... kau....
kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi....!”
Wajah Han Han menjadi merah.
Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu
memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”
Sin Lian menundukkan muka
untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justeru karena menunduk, ia
melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu
sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan
air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.
“Eh, Sin Lian.... kau
menangis? Kenapa?”
Sin Lian menggigit bibir.
Sukar sekali untuk bicara. Akhirnya setelah menghapus dua butir air mata dari
pipinya tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus,
ia dapat berkata lirih.
“Aku.... aku kasihan
melihatmu.... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong....”
Han Han tersenyum. “Ah,
semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian.
Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh
kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis
yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”
“Han Han, harap kaumaafkan
aku....”
“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”
“Dahulu, aku telah salah
sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi
Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”
Han Han menarik nafas panjang.
“Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu
orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah
akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan
dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau
suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”
Pemuda buntung itu sudah
membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han....!”
Ia memutar tubuh. Dua pasang
mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main
melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar
dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah.... ah,
mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang
kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka. Hemmm, tak tahu diri,
celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak
tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih
sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya,
akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung.
Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu
saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang
ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak
mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.
“Ada apakah, Sin Lian?”
tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil
menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan
diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.
“Han Han, biarkan aku pergi
menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang
kepada Ayah.”
Han Han terkejut. “Ahhh, tidak
mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal
itu amat berbahaya!”
“Apakah kalau engkau yang pergi
ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita
hadapi bersama. Aku tidak takut!”
Han Han tersenyum di dalam
hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih
kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia
segera berkata dengan halus.
“Sin Lian, bukan demikian
maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau
ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan
tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin
orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan
curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku
sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu
mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain
itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su
itu, Sin Lian.”
“Akan tetapi....”
“Tidak ada tapi, Sin Lian.
Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk
menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu
masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah
selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!”
Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat dan terkejutlah Sin Lian karena
tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka,
melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya
seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti
sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.
“Han Han....!” Ia
mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh.... perasaan
aneh di hatinya. Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia
termenung, dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han
Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han,
betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian
yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah
merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan
segala. Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya.
Betapapun tampannya, betapapun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacad,
seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka
daripada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik
ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han
seorang pemuda tanpa cacad? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau
terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai
teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biarpun kakinya
buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan
hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat
pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang
penderita cacad, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau
dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.
Sin Lian sama sekali tidak
tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda
buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan
pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah
jatuh hati, kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung
kakinya, merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru
melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu, ingin ia
menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan
mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang
berambut panjang itu.
“Suheng, aku merasa khawatir
sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia
seorang diri saja dan.... kakinya sudah buntung. Ah, suheng, mengapa kau tadi
tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik suheng atau aku yang pergi
mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung
menempuh bahaya di sarang harimau!”
“Engkau maksudkan Han Han?”
Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis,
kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, sumoi?”
“Suheng, biarlah secara
diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau
sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun
akan mengalami malapetaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, suheng.
Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur
barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu
Han-twako....”
Sin Kiat memandang wajah
sumoinya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas
mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.
“Sumoi, engkau jatuh cinta
kepada Han Han, bukan?”
Sunyi sejenak. Soan Li
menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang
pandang mata suhengnya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia
menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.
“Suheng, agaknya tidak banyak
bedanya dengan perasaan hati suheng terhadap Lulu.”
Sin Kiat menarik napas
panjang, lalu memegang pundak sumoinya, memaksa tubuh sumoinya menjadi tegak
untuk memandang wajah sumoinya. “Soan Li, sumoiku yang manis. Engkau tahu bahwa
aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu,
tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau
engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat!
Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku
jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dam liciklah kalau aku mencela
sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan
keadaanku, sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan)
oleh suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu,
sebagai wakil suhu, aku peringatkan kepadamu, sumoi, agar engkau selalu ingat
akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke
jalan sesat.”
Tiba-tiba Soan Li bangkit
berdiri dan memandang suhengnya dengan mata penuh kemarahan. “Suheng, apakah
suheng menilai saya serendah itu?”
“Eh, sumoi, apa maksudmu?” Sin
Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.
“Suheng sendiri mengerti bahwa
saya ditunangkan oleh suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua
lagi, saya harus mentaati kehendak suhu. Saya belum pernah melihat wajah
tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta
orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan
atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan
perasaan hati saja. Jangan suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan,
akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh
yang sudah dilakukan suhu! Jangan sekali-kali suheng mengira bahwa dengan cinta
kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”
Melihat sumoinya berdiri
dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang
perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan
bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoinya
dan berkata.
“Maafkan aku.... maafkan
aku.... sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai sumoiku yang bijaksana. Ahh,
sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu
lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting.
Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, sumoi.”
Soan Li terisak, saking
girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram
lengan suhengnya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, suheng. Akan tetapi
berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun
juga.... akan kusimpan sebagai rahasia.... kubawa mati....”
Melihat sumoinya berkelebat
hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!” Sumoinya menahan kakinya, menengok.
“Sumoi, hati-hatilah,
sumoi....!”
Soan Li tersenyum manis kepada
kakaknya, senyum mulutnya akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoinya
pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoinya
ketika menengok tadi, wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi
kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang
takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang
ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan
senyum di antara linangan air mata! Berulang kali Sin Kiat menarik napas
panjang dan diam-diam ia menyesal mengapa suhunya menentukan jodoh bagi
sumoinya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhunya itu
tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan
seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari fihak calon
isteri?
Sin Kiat mencoba melupakan
rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang
mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan
untuk menyambut serbuan pasukan Mancu.
Tidaklah terlalu sukar bagi
Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu
berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini
dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan
terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang
segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa
beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu
dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biarpun ia sanggup menerobos memasuki
markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya
penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak
mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.
“Berhenti! Siapa engkau dan
mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang
mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.
Han Han bersikap angkuh dan ia
menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun!
Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi
beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”
Ujung golok itu agak menjauhi
lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itupun tidaklah
galak lagi ketika bertanya.
“Hemmm, bagaimana kami dapat
tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus
seorang.... eh, pincang.... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota
raja?”
Han Han tersenyum di dalam
hatinya. Biarpun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini
sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang
sungguhpun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara
sebutan pincang dan buntung,
“Hemmm, beranikah engkau meragukan
utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu
bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw
sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali
ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun,
tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak
mengutus utusan resmi. Mengertikah?”
Tentu saja para penjaga itu
mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena
pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah
puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han
hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja
mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi
Puteri Nirahai.
“Maafkan kami kalau engkau
betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapapun juga, kami
sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani
memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar
utusan dari kota raja.”
“Hemmm, kalian boleh juga,
tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah
ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia
mengeluarkan surat bersampul dan memang di baglan depan sampul itu, di atas
kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah. Tentu saja sebagian tentara
biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya
mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu
mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata.
“Baiklah, mari kuajak
menghadap Su-ciangkun!”
Dengan hati berdebar Han Han
lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut
melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan
kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala
tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh
orang-orang pandai. Dia dibawa memauki sebuah gedung besar di tengah markas dan
juga di sini terdapat penjagaan yang ketat. Setelah melalui lima lapisan
penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dibadapkan pada seorang
perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal
sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut
menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han
berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang
lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah
yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh
ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri! Sungguhpun yang
memperkosa encinya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai
Giam Cu yang kini menjadi cihunya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai
musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya.
Lima orang perwira lainnya itupun ikut bertanggungjawab atas terbasminya
keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam
ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan
penuh wibawa.
“Heh, orang muda yang buntung!
Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian,
apa yang ditugaskan padamu?”
Han Han sadar dari lamunannya
dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya
sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung
seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.
“Benarkah saya berhadapan
dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar
lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap
Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”
“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang
mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang
mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Perwira tinggi besar itu menepuk‑-epuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke
dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah
melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”
Han Han terkejut sekali dan
ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi
besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran.
Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian,
mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikiang,mengapa
dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang
ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?
Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan
palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah
terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain
yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia
lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.
“Apakah kalian begini tak tahu
diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing
memiliki nyawa rangkap?”
Sembilan orang itu saling
pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin
menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah So-ciangkun yang bertanggung jawab
dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar
menghadapi kami!”
Han Han tertawa derigan hati
lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar
hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang
dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan
merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”
Tiba-tiba pemimpin itu berseru
dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa
ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh
terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang
ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan
tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat.
Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya.
Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar
menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya. Terdengar suara nyaring sekali,
sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan
robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan
mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga
tak dapat diikuti pandang mata para peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking
heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan
memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Pintu terbuka dari luar dan
muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya
tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar
hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan
sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat
kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat.... hebat....!”
Menurut keinginan hatinya, Han
Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi
dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak
peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi
orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak
sembrono lagi. Ke dua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya karena
kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk
menyelaniatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.
“Ciangkun terlalu memuji.
Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”
“Percaya.... percaya....! Hanya
kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu
membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan
pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya
di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang.....
eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe....”
“Maksudmu Kang-thouw-kwi,
ciangkun?”
“Benar, dan masih ada lagi
tiga orang murid beliau....” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han
Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa
ragu-ragu lagi ia berkata.
“Tentu ciangkun maksudkan
Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”
“Aha, kiranya sicu telah
mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri,
sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita
bicara di dalam, sicu.”
Perwira itu lalu menggandeng
tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung
itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar inipun dijaga
oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu
besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian
suteranya membayatigkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Mereka itu
cantik-cantik dan begitu memasuki kamar, Su-ciangkiin lalu menyuruh mereka
pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah
Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han
yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan
langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari
balik sutera tipis itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain
melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.
“Silakan duduk, sicu. Siapakah
nama sicu?”
“Saya she Suma, ciangkun.” Han
Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia
khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.
Agaknya perwira itu
tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya
sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu
lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada
perwira itu.
Perwira itu menerima surat,
mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan
suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk
pahanya sendiri. “Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang
telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cerdik,
sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat
kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para
petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa
kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu
menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal
secukupnya!”
Akan tetapi Han Han mengangkat
tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang
Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil
baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan
kembali ke kota raja dan menyampaikan pelaporan kepada Sang Puteri.”
“Begitukah? Bagus sekali!”
Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang
gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!” Perwira itu
lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang
cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah
untuk mengeluarkan hidangan.
Han Han merasa sungkan sekali,
karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang
wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!
“Ha-ha-ha, jangan
sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas
mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan
seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau
ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”
“Terima kasih, ciangkun.
Ti.... tidak.... saya.... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat.
Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Pula, saya rasa ciangkun
akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak
itu.”
“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar
mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.” Ia
memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu.
“Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”
Han Han menjura kepada perwira
itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan
dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah
dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es
belum pernah memasuki kamar seindah ini.
“Saya akan menemani taihiap
semalam di sini....” Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat
tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang
memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan
perut yang putih kuning. Matanya menjadi “silau” dan ia memejamkan kedua
matanya.
“Hi-hi-hik.... marilah
taihiap.... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku?
Hi-hik....!” Han Han merasa betapa kedua lengan wanita itu yang telah bangkit
seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser
tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali
renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu
menjerit kecil.
“Maaf....!” Han Han membuka
matanya. “Aku.... aku mau tidur sendiri.”
Wanita itu tertawa. “Hi-hik,
taihiap masih.... masih jejaka tulen?”
Han Han memandang tajam dan
berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”
Ketika bertemu pandang dengan
sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa
pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti
biasa!
Hari itu juga Su-ciangkun
mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan mengatur rencana
untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian
Kai-pang di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula
melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjagaan
dengan dalih kalau-kalau ada mata-mata musuh yang menyelundup dan mengetahui
persiapan mereka. Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga
dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk “melakukan pemeriksaan” di luar
daerah benteng. Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau
sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk
menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun
mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang memasang jebakan,
kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan
“membereskan” musuh besarnya itu.
Hari telah menjadi malam
ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang
kini menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu
Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan membantu pula
penyerbuan sarang pemberontak. Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya
bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang matanya yang
tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat
penjaga. Cepat ia menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada
penjaga yang melihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu,
menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya
bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor
burung garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.
Sebatang pedang yang
berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap
pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik, “Sssttttt, aku Han
Han, Nona Lu....!”
Lu Soan Li, bayangan itu,
kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh
orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana
pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu.
Kagum betapa setelah kakinya buntung, agaknya Han Han kini malah memiliki
kelihaian yang amat luar biasa!
“Han-twako.... kau.... ahhh,
betapa gelisah hatiku setengah hari lamanya, aku berkeliaran di sini,
tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke
sarang harimau itu!” kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik
napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata selamat.
“Nona, kenapa engkau bisa
berada di sini? Mengapa engkau.... eh, agaknya menyusulku....?”
“Aku.... mengkhawatirkan
keadaanmu, twako. Dan aku ingin.... ingin membantumu....”
Han Han memandang muka yang
ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tunduk
itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa
nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi
melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil
takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.
“Ah, kenapa Sin Kiat
membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona.”
“Apakah kunjunganmu ke benteng
itu tidak kurang berbahaya?”
Han Han menghela napas. “Nona,
aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri
dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam
ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan
pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah....”
“Akan tetapi.... apakah....
apakah amat yakin hatimu bahwa engkau tidak.... tidak akan terancam bahaya di
sana....?” Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan
kedua tangannya memegang lengan Han Han.
Han Han merasa betapa dari
jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa
pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga
melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini?
Seperti mimpi, tanpa ia sadari, mulutnya mengeluarkan bisikan hatinya yang
penuh dugaan dan pertanyaan.
“Lu-siocia, mengapa tanganmu
gemetar....?”
Soan Li yang mendengar ini
seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan
Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!
“Twako.... Han-twako, aku....
amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka....”
Han Han tertawa. Teringat ia
akan adiknya, Lulu. Dalam keadiaan gelap, ia merasa seolah-olah gadis ini
adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan
harum rambut Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan
perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena teringat kepada Lulu,
Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua
tangan ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara halus.
“Adikku yang baik, jangan
engkau mengkhawatirkan aku....!”
Han Han terkejut sekali karena
tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan
bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Sejenak ia
tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia
teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san
Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.
“Nona Lu.... mengapa kau....?”
Soan Li menahan napas, menahan
tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya. “Twako.... aku.... aku.... akan merasa
sengsara sekali kalau kau sampai celaka.... hati-hatilah, twako....!” Tubuhnya
lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan
malam. Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan
keningnya dan tiada habisnya mengherankan sikap gadis itu.
Karena ia benar-benar tidak
mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti
itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu, ia
menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah
oleh air mata gadis itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan
keselamatannya! Betapa mungkin ini? Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak
salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan
Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya,
membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening. Ia
cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan
kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa besok pagi.
Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian
lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh
orang perwira yang menjadi musuh besarnya.
Soan Li berlari di malam gelap
sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan
juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda
itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus
rambutnya. Dan dia, biarpun tanpa kata-kata, telah memperlihatkan rasa cintanya
terhadap pemuda itu. Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia
merasa malu sekali. Ah, malu apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya.
Dia mencinta Han Han! Biarpun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya
dengan perjodohan, biarpun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya
saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati
dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han!
Soan Li menjatuhkan diri di
bawah pohon. Duduk bersandar pohon, mengenangkan semua peristiwa tadi.
Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas
terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han pada pundak dan
rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi membasahi dada
pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan saat-saat bahagia
itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus
mengalir.
Tak lama kemudian ia meloncat
bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus
segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya.
Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya! Karena malam
gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho,
Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat
menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian
Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi,
tentu akan menyerbu besok sore.
Lewat tengah malam, selagi
gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat.
Ia menjadi curiga, apalagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan
keluar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia
menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin
Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang
mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh gemuk. Dia menduga-duga.
Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng?
Biarpun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi teringat akan
sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li
menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek lihai itu muncul
terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang. Kalau Ma-bin
Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya mendekat
akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke dua muncul belasan
orang berpakaian.... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan jantung berdebar.
Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh
aneh dan mencurigakan.
“Siangkoan-locianpwe, ada
keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam
begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Muka Tengkorak bertanya kepada
Ma-bin Lo-mo.
“Dan mereka itu.... kenapa
berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.
“Hemmm.... kalian belum
mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka
itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat
perubahan besar. Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan,
dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan menyusahkan
banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku
menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu
pemerintah menghancurkan Se-cuan.”
“Omitohud....!” Hwesio itu
berkata lirih.
“Apa!? Siapa tidak setuju dan
siapa tidak suka membantuku?”
“Ohhh, tidak.... tidak....
pinceng setuju dan suka membantu.”
“Saya pun akan membantu dan
selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka Tengkorak.
“Nah, dengarlah baik-baik.
Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di
daerah ini, untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata
musuh.”
“Siapa....?” tanya Si Hwesio
Gemuk.
“Bocah buntung terkutuk itu.
Han Han!”
“Eh, bukankah dia dahulu yang
kita bakar di kapal....?” Si Muka Tengkorak bertanya.
“Tidak ada waktu untuk
bercerita panjang. Bocah itu telah mehyelundup ke dalam benteng dan mengingat
bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah
Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa fihak
pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat!”
Dapat dibayangkan betapa kaget
hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu
lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu
Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia
Han Han telah diketahui musuh! Betapa lihainya musuh!
“Heiii.... siapa itu? Kejar!”
Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas daripada
yang lain, sudah melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis
itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal
pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk
Ma-bin Lo-mo dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda
yang melakukan pengejaran.
Soan Li juga mendengar derap
kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan
berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di benteng! Dia akan
mengamuk sehingga Han Han yang mendengar amukannya akan keluar dan akan
mendengar peringatannya. Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah
pemuda itu! Betapapun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin
Lo-mo, apalagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah
ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda
yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!
Di dalam tubuh setiap orang
manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur
oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar
kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah sadar. Timbul apabila si manusia
berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang menghimpitnya. Orang yang
berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan
yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa.
Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang
ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih daripada daya
kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi daripada kemampuannya dalam
keadaan biasa. Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang
Seng-cu, memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sin-kang kuat
dan gin-kang yang hebat sehingga memungkinkan dia lari cepat sekali. Akan
tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu,
kekuatan maha dahsyat yang mujijat itu timbul di luar kesadarannya sehingga
membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apabila dibandingkan dengan
kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak
mampu menyusulnya!
Setelah malam terganti pagi,
sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari
mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh pakaiannya, napasnya
terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang pembantunya yang sudah
meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.
“Berhenti....!” Ma-bin Lo-mo
berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada di rumah
Lauw-pangcu?”
Soan Li maklum bahwa kalau ia
sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak
menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia
terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu
mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biarpun Ma-bin Lo-mo suaranya
terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.
“Berhenti, kalau tidak pinceng
terpaksa merobohkanmu!” terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi Soan
Li berlari terus, tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.
Pada saat itu, pintu benteng
terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda yang
ditunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping tentara yang memegang
bendera kebesaran Su-ciangkun.
“Han Han....!” Jerit suara
Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari
belakangnya.
“Robohlah, bocah keras
kepala!”
Serangkum tenaga yang amat
dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi, maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan sin-kang,
pukulan jarak jauh yang amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke
samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sin-ciang menyerempetnya
dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi
dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar teriakan Han Han.
“Soan Li....!”
“Han Han.... awas....
tertipu....!”
“Syut-syut-syut-ser-ser-ser....!”
Ketika tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin
Lo-mo bergerak, belasan batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah
tubuh Soan Li dari belakang. Memang hwesio yang menjadi pelarian
Kong-thong-pai ini memiliki keahlian mempergunakan panah tangan.
Soan Li sedang terhuyung dan
perhatiannya tertarik kepada Han Han, maka biarpun ia berusaha melempar tubuh
mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah mengenai tubuhnya, menancap di
pundak, punggung dan lengan.
“Aduhhhhh....! Han Han....
Han-twako.... awas....!”
“Soan Li....!” Han Han sudah
sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan dengan kecepatan luar biasa sekali
tubuhnya berloncatan ke depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba
di tempat itu. Namun terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat betapa
tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan dara ini merangkak ke arahnya dengan
tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.
“Han Han.... mereka akan
membunuhmu.... kau terjebak....!”
Akan tetapi Han Han tidak
mendengarkan lagi ucapan gadis itu. Tongkatnya sudah bergerak seperti kilat
menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan hwesio yang hanya gundul kepalanya akan
tetapi di tengkuknya tumbuh rambut, jenggotnya seperti jenggot kambing dan
kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio meloncat ke belakang, lalu melepas anak
panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin Lo-mo cepat mengelak. Akan tetapi
dengan gerakan tongkatnya, Han Han berhasil meruntuhkan semua anak panah dan
melihat betapa tubuh Soan Li penuh anak panah, kemarahannya meluap ke arah
hwesio itu dan tubuhnya secara tiba-tiba sudah mencelat ke depan Kek Bu Hwesio.
Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Akan
tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.
“Desss!” Tubuh Ma-bin Lo-mo
mencelat sampai hampir sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan matanya
terbelalak saking heran dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan tangannya dan
ketika itu ada serangan dari belakang, yaitu serangan pedang yang dilakukan
oleh Ciuw Kian dan serangan pecut besi di tangan Swi Coan si Muka Tengkorak,
dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo.
“Haiiiiittttt!” Han Han
menggerakkan tongkatnya ke belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti
pandangan mata.
“Prakk! Prakkk!” Tanpa dapat
mengeluh lagi Ouw Kian dan Swi Coan roboh dengan kepala pecah!
Kek Bu Hwesio sudah dapat
melompat mundur dan enam orang pengawal yang berkuda sudah datang menerjang.
Han Han mengamuk. Tongkatnya bergerak sedemikian rupa sehingga enam orang
pengawal itu mencelat dengan tubuh remuk, tiga ekor kuda roboh akan tetapi
tongkat Han Han tertinggal di perut kuda terakhir! Dia terpaksa melepaskan
tongkatnya karena pada saat itu, belasan batang anak panah yang dilepas Kek Bu
Hwesio datang menyambar. Dengan kedua tangan kosong Han Han menangkap belasan
batang anak panah lalu kedua tangannya bergerak. Terdengar teriakan-teriakan
ketika belasan orang pengawal roboh dan beberapa ekor kuda roboh pula terkena
anak panah yang dilontarkan Han Han. Kini sekali kakinya mengenjot tanah,
tubuhnya sudah menyambar ke depan, tahu-tahu jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia
cengkeram dengan tangan kiri.
“Han Han.... Twako....
awas.... larilah....!”
Han Han menoleh dan melihat
betapa Soan Li merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini menyentuh lututnya, tak
tertahankan lagi air matanya bercucuran. Gadis itu, dalam keadaan hampir mati,
masih saja memikirkan keselamatannya! Dengan kemarahan meluap, ketika pada saat
itu ada seekor kuda yang ditunggangi seorang pengawal meloncat hendak
menubruk, Han Han menggunakan tangan kanan menampar ke arah perut kuda.
“Bukkk!” Kuda meringkik,
terlempar ke udara bersama penunggangnya dan terbanting roboh menindih
penunggangnya yang mati seketika karena tulang punggungnya patah.
“Jahanam engkau.... penjahat
berpakaian pendeta....!” Mulut Han Han mendesis, kedua matanya bercucuran air
mata dan ia membanting tubuh hwesio itu ke atas tanah.
“Prokk!” Hwesio itu tewas
dengan kepalanya hancur tidak merupakan kepala lagi.
“Han-twako....!” Soan Li
mengeluh. “Larilah....!”
“Soan Li.... ah, Soan Li....!”
Han Han menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan tubuhnya tiba-tiba
mencelat ke atas, ketika turun, kakinya menendang roboh dua orang pengawal.
“Tangkap.... kepung....!”
Terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang juga mengejar sungguhpun ia terbelalak
menyaksikan sepak terjang pemuda itu. Betapa mungkin pemuda buntung itu
menjadi sedemikian lihainya setelah kakinya buntung?
Han Han menangkap seorang
pengawal dengan sebelah tangan dan melontarkannya ke arah Ma-bin Lo-mo yang
mengejarnya. Terpaksa kakek ini mengelak, akan tetapi Han Han sudah merobohkan
lagi empat orang pengawal yang berani membayanginya dan melihat keganasan sepak
terjang pemuda buntung itu, para perajurit menjadi gentar. Han Han terus
melompat dan mengerahkan ilmu yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee sehingga
tubuhnya yang memanggul tubuh Soan Li itu sebentar saja mencelat
berulang-ulang, makin jauh dan lenyap dari situ!
“Kejar....! Tangkap....!”
Entah mulut siapa yang
berteriak-teriak ini, terlalu banyak. Dan mereka memang mengejar, akan tetapi
karena hati telah menjadi gentar, tidak ada yang mendahului kawan dan
pengejaran itu sia-sia belaka.
Dengan air mata bercucuran,
Han Han merebahkan tubuh Soan Li ke atas rumput setelah mencabuti anak panah
yang menancap di bagian belakang tubuh gadis itu. Akan tetapi Soan Li rebah tak
bergerak, mukanya pucat, seluruh pakaiannya berlumuran darah, kedua matanya
meram.
“Soan Li....! Soan Li.... ah,
Soan Li!” Han Han menangis dan mengguncang tubuh itu, seolah-olah hendak
memanggil kembali nyawa yang sudah hampir meninggalkan raga itu.
Soan Li membuka kedua matanya,
memandang Han Han dan.... tersenyum! Senyum ini merupakan tangan maut sendiri
yang merenggut jantung Han Han.
“Soan Li....! Mengapa engkau
mengorbankan diri untukku....?”
“Han.... Twako.... syukur
engkau selamat.... hatiku puas....”
“Soan Li! Soan Li.... kenapa
engkau begini....? Apa kaukira aku akan bahagia melihat engkau mati karena
hendak menyelamatkan aku? Soan Li.... kau tidak boleh mati hanya untuk
aku....!” Han Han seperti orang gila, mengguncang-guncang tubuh gadis itu yang
sudah memejamkan mata kembali.
Soan Li membuka mata untuk
kedua kalinya dan pandang mata gadis itu persis pandang mata Kim Cu, persis
pandang mata Sin Lian. Begitu mesra! Han Han menangis, mengguguk. Tak mampu ia
bicara lagi.
“Han-twako.... aku bahagia....
aku.... aku cinta padamu, Han-twako....”
“Soan Li....!”
Mulut gadis itu megap-megap
seperti ikan dilempar ke darat. Han Han menjerit, lalu menutup mulut gadis itu
dengan mulutnya sendiri, seolah-olah ia ingin menyambung nyawa gadis itu,
ingin menambah napas gadis itu dengan napasnya.
“Han-twako....” gadis itu
mengeluh dan Han Han seperti merasa betapa napas terakhir terhembus dari mulut
itu memenuhi dadanya sendiri dan ia tergelimpang, pingsan sambil memeluk Soan
Li!
Tentu saja Han Han sama sekali
tidak tahu bahwa siasat yang diaturnya bersama Lauw-pangcu itu sebetulnya
telah diketahui semua oleh fihak Mancu! Dua orang utusan yang dibunuhnya dan dirampas
suratnya, adalah utusan dari Puteri Nirahai. Puteri ini memiliki kecerdikan
yang luar biasa, maka tentu saja ketika mengirim utusan kepada Su-ciangkun
untuk membawa perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau bertindak
sembrono. Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu berangkat dia
mengirim utusan ke dua yang bertugas menyelidiki apakah perintah yang dibawa
utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun dengan selamat.
Tentu saja utusan ke dua ini
menemukan mayat dua orang kawannya di tengah jalan maka cepat ia melanjutkan
perjalanan ke markas Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan laporan tentang
terbunuhnya utusan dari kota raja dan lenyapnya surat perintah, saat itu Han
Han sedang mengunjungi Lauw-pangcu.
Demikianlah, ketika Han Han
muncul di markas itu mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai, tentu saja
Su-ciangkun sudah tahu bahwa pemuda buntung itu sebetulnya adalah mata-mata
pemberontak yang membunuh utusan kota raja dan merampas surat perintah. Ketika
Han Han menyerahkan surat perintah itu kepadanya dan ia membaca isinya yang
tulen, Su-ciangkun sebagai seorang perwira perang mengerti bahwa fihak pemberontak
menggunakan surat perintah itu untuk mengatur jebakan. Dia lalu sengaja mencoba
ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan kelihaian pemuda buntung itu,
maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi diam-diam ia mengirim utusan untuk
memanggil Ma-bin Lo-mo agar dengan bantuan orang sakti itu, pemuda buntung
yang lihai ini dapat ditangkap dalam keadaan hidup. Dia ingin menggunakan
pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak agar suka menyerah tanpa perang.
Dan mengapa Ma-bin Lo-mo yang
terkenal sebagai seorang pejuang itu tiba-tiba bersekutu dengan perwira Mancu?
Mengapa pula dia mau diundang oleh pasukan utusan Su-ciangkun, dan datang
menunggang perahu, bahkan mengajak pula tiga orang pembantunya untuk membantu
pasukan Mancu?
Hal ini sebetulnya sudah
terjadi jauh sebelum Ma-bin Lo-mo mendatangi tempat tinggal Lauw-pangcu. Jauh
sebelum itu, Ma-bin Lo-mo telah bertukar haluan, diam-diam ia telah membalik
dan membantu Kerajaan Mancu. Hal ini tadinya ia lakukan secara terpaksa sekali
karena tekanan yang dilakukan Kang-thouw-kwi Gak Liat sesuai dengan rencana
yang diatur oleh Puteri Nirahai. Gak Liat telah menemui Ma-bin Lo-mo dan membujuk
Iblis Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan Ceng dan menghancurkan
pertahanan Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang
dahulu pernah menjadi seorang menteri di Kerajaan Beng, menolak dan memaki-maki
Gak Liat.
“Setan Botak tak tahu malu!”
Demikian jawabnya. “Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor kepada bangsa
Mancu, itu adalah urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk aku? Kalau
aku tidak sudi, engkau mau apa? “Hemmm.... Hwi-yang Sin-ciang darimu itu sama
sekali tidak membuat aku takut!”
“Ha-ha-ha-ha, Si Kuda Iblis
sombong sekali bicaramu!” Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan tertawa mengejek.
“Siapakah tidak tahu bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah seorang menteri Kerajaan
Beng? Akan tetapi siapa pula tidak tahu bahwa Menteri Siangkoan Lee menjadi
rusak namanya karena selain tukang merampas anak bini orang, tukang merampas
harta dan tanah ladang, juga tukang korupsi besar-besaran?”
“Setan Botak mau mampus!
Mulutmu sama busuknya dengan hatimu! Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul
di antara kita!”
Melihat Ma-bin Lo-mo sudah
dapat dibikin panas hatinya dan hendak menyerang, Gak Liat cepat berkata,
“Tahan dulu! Sama sekali aku tidak takut kepadamu, kuda iblis! Akan tetapi
sayang kalau kau mampus sekarang, tenagamu masih amat dibutuhkan pemerintah. Sekarang
kau boleh pilih, membantu pemerintah Ceng ataukah engkau mati dikeroyok
murid-muridmu sendiri?”
“Hahhh? Apa maksudmu, Setan
Botak keparat?”
Gak Liat tertawa. “Ma-bin
Lo-mo, marilah kita bicara sebagai orang-orang tua yang sudah matang
pikirannya. Aku tahu, juga pemerintah bahwa engkau berjuang untuk dirimu
sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan Pemerintah Ceng agar engkau dapat
membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah runtuh dan engkau akan menjadi
kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita mengejar kemuliaan, akan tetapi
jangan terlampau tinggi. Engkau mimpi di siang hari. Lebih baik engkau mengabdi
kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan menikmati kemuliaan dan kedudukan
yang cukup tinggi, sesuai dengan kepandaianmu. Pemerintah Ceng pandai
menghargai orang. Kalau engkau menolak, murid-muridmu yang menjadi pasukan
In-kok-san akan tahu siapa sebetulnya yang membasmi keluarga mereka!”
Wajah Ma-bin Lo-mo berubah. Ia
pura-pura tidak mengerti dan memaki lagi, “Gak Liat, apa artinya ucapanmu itu?”
“Wah, engkau masih pura-pura
lagi, Siangkoan Lee? Engkau bermaksud membentuk pasukan yang kuat, terdiri
dari murid-muridmu di In-kok-san. Untuk keperluan itu, engkau memilih banyak
bocah yang berbakat, diam-diam kaubunuh keluarga mereka dan kaukatakan bahwa
orang Mancu yang membunuh, sehingga engkau menanamkan benih kebencian di hati
para muridmu terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kaupergunakan tenaga
mereka untuk membantu kau mencapai cita-citamu....!”
Wajah Ma-bin Lo-mo menjadi
pucat. “Setan....! Cukup, tak perlu membuka mulut lagi. Katakan, apa
kehendakmu?”
“Aku hanya melakukan tugas
yang diperintahkan Puteri Nirahai.”
“Hemmm, apa kehendaknya?”
“Tidak lain, kau diminta untuk
bekerja sama, membantu pemerintah untuk menghancurkan para pemberontak,
terutama sekali pemberontak Bu Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu, tentu
kaisar tidak akan melupakan dan kelak kita tentu akan menikmati hari tua yang
mulia dan terhormat.”
Demikianlah, siasat yang
dijalankan oleh Gak Liat atas perintah Puteri Nirahai itu berhasil baik. Ma-bin
Lo-mo membujuk murid-muridnya yang berjumlah hampir seratus orang untuk
membalik dan membantu Pemerintah Mancu. Tentu saja sebagian besar muridnya
tidak sudi karena bukankah kduarga mereka terbasmi habis oleh orang-orang
Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak guru mereka lalu meninggalkan
In-kok-san dan sebagian menggabung pada para pejuang. Banyak pula yang lari ke
Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi mengadakan perlawanan terhadap bala tentara
Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.
Ketika tidak berhasil
menangkap Han Han, bahkan tiga orang pembantunya yang setia dan pandai itu
tewas secara mengerikan di tangan pemuda kaki buntung yang amat luar biasa
itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan menyesal sekali. Juga di dalam hatinya ia
merasa heran. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari
Pulau Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki pemuda
itu buntung, dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa sekarang
pemuda itu setelah kakinya buntung menjadi makin hebat kepandaiannya? Bahkan
tadi ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga sin-kang
pemuda itu jauh lebih matang daripada sebelum kakinya buntung! Dan ilmunya
bergerak seperti kilat itu, berloncatan seperti terbang saja! Ilmu apakah itu
dan dari mana pemuda buntung itu memperolehnya? Diam-diam ia merasa gentar
sekali, maklum bahwa kini tingkat kepandaiannya tidak akan dapat menandingi
kepandaian pemuda yang mujijat itu!
Pasukan yang dipimpin oleh
Su-ciangkun, dibantu oleh Ma-bin Lo-mo, melanjutkan perjalanan mereka
menyerbu sarang Pek-lian Kai-pang. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han Han dan
Soan Li tadi tidak mengubah rencana mereka menghancurkan sarang pemberontak.
Su-ciangkun sebagai seorang ahli perang yang pandai, maklum bahwa pasukannya
akan menghadapi jebakan kaum pemberontak, maka diam-diam dia memecah-mecah
pasukannya menjadi empat bagian. Bagian pertama sengaja ia biarkan untuk
dijebak, akan tetapi diam-diam dua pasukan menyusul dari kanan kiri merupakan sayap
untuk melindungi induk pasukan yang akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke
empat menggunakan perahu-perahu menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai
ini, bukan pasukan Mancu yang terancam, sebaliknya malah fihak pemberontak yang
berada dalam bahaya.
Lauw-pangcu yang sudah
mengatur barisan pendam di dalam hutan, menjadi girang sekali ketika melihat
pasukan Mancu terdiri dari dua ratus lima orang memasuki hutan itu, memasuki
jebakan, memasuki perangkap yang dipasangnya! Hari telah menjelang senja ketika
pasukan Mancu itu memasuki hutan yang dijadikan tempat perangkap untuk menyergap
pasukan Mancu. Setelah pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan,
tiba-tiba terdengar suara melengking dan itulah tanda yang diberikan oleh Sin
Lian. Dari lubang-lubang dalam tanah menyambar ratusan batang anak panah ke
arah dua ratus lima orang tentara Mancu yang menggunakan perisai-perisai dan
golok menangkis anak panah dan melindungi diri. Akan tetapi ada beberapa orang
terjungkal dan beberapa ekor kuda roboh. Selagi pasukan Mancu menjadi bingung
karena diserang dari kanan kiri dan muka belakang, para pejuang bersorak-sorak
dan berteriak-teriak, meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dalam
tanah berlubang, dari balik-balik batang pohon dan semak-semak, dari atas pohon
dan menyerbu pasukan yang sedang bingung itu.
Jumlah anak buah Lauw-pangcu
tidak kurang dari tiga ratus orang dan hampir semua adalah ahli-ahli silat yang
pandai. Apalagi di situ, terdapat Lauw-pangcu sendiri yang mengamuk, dan terutama
sekali Lauw Sin Lian dan Wan Sin Kiat yang membabati para perajurit Mancu
seperti orang membabati rumput saja. Kalau Su-ciangkun tidak mengatur siasat
lebih dulu dengan membagi-bagi pasukannya, dan andaikata pasukannya hanya
berjumlah lima ratus dan semua terjebak, tentu akan hancurlah pasukannya. Pasukan
induk ini melawan sekuatnya, namun karena mereka diserbu dari empat penjuru
secara tiba-tiba, mereka menjadi kacau-balau.
Para pemberontak atau pejuang
sudah merasa girang sekali dan menganggap bahwa siasat mereka berhasil. Tidak
sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan dapat mereka basmi semua,
demikian pikir Lauw-pangcu dan anak buahnya.
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara terompet tanduk berbunyi dari empat penjuru di luar hutan itu
dan menyerbulah tujuh ratus lima puluh orang tentara Mancu dari empat penjuru,
dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau tadi
anak buah Lauw-pangcu meayergap dan mengurung, kini mereka sendiri dikurung dan
keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi amat hebatnya. Anak buah
Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat dan mengamuk mati-matian. Mereka
akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka lebih baik melawan dan mati
sebagai sekumpulan harimau.
Lauw-pangcu terkejut bukan
main. Juga Sin Lian dan terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan
mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoinya dan Han Han.
Kalau sampai keadaan berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan
sumoinya tentu telah gagal. Namun, mereka tidak sempat banyak berpikir karena
fihak musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok banyak lawan,
satu lawan empat, mulai berjatuhanlah fihak pejuang. Di bawah sinar obor yang
dipegang kedua fihak, tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan
teriakan-teriakan bercampur dengan rintihan. Tubuh-tubuh manusia berjatuhan
tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.
Lauw-pangcu yang mengamuk
hebat, setelah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang lawan dengan
tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh juga dengan dada tertembus tombak.
Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan dengan isak tertahan gadis ini
mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga mengamuk dan tentara musuh yang
berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja. Melihat
kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya, Sin Kiat menyerbu dan
membantunya. Makin mawutlah fihak musuh.
“Hemmm, kalian sudah bosan
hidup!” Bentakan ini disusul dengan menyambarnya angin pukulan dingin dan
ternyata Ma-bin Lo-mo yang menyaksikan sepak terjang dua orang muda ini sudah
maju menyerang. Melihat kakek ini, Sin Lian membentak marah.
“Kiranya engkau iblis tua
bangka! Kiranya engkau adalah anjing penjilat Mancu pula!”
Akan tetapi terpaksa Sin Lian
harus membuang diri menghindar dari sambaran angin pukulan Ma-bin Lo-mo seperti
yang dilakukan Sin Kiat, kemudian ia membalas dengan terjangan ke depan dan
menusukkan pedangnya ke dada kakek itu. Sin Kiat juga menerjang dari kiri,
pedangnya membabat leher.
Ma-bin Lo-mo sudah maklum akan
kelihaian ilmu pedang kedua orang muda itu, maka ia tidak berani memandang
rendah. Melihat dua sinar pedang menyambar, ia cepat melompat ke belakang,
ujung lengan bajunya menampar untuk menangkis pedang Sin Lian yang melanjutkan
tusukan dengan babatan kilat.
“Brett!” Pedang Sin Lian
terpental dan cepat ia mennutar tubuh agar pedangnya tidak terlepas, akan
tetapi ujung lengan baju Ma-bin Lo-mo terbabat putus! Kakek ini marah sekali,
setelah ia mengelak dari tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar, secepat kilat
kedua tangannya mendorong ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat dan Sin Lian maklum
akan kelihaian pukulan jarak jauh ini. Mereka tidak keburu mengelak, dan
menangkis dengan gerakan tangan sambil mengerahkan sin-kang pula. Akan tetapi,
tetap saja tubuh mereka terdorong hebat ke belakang, membuat mereka terhuyung
dan pada saat itu, dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah menubruk dan
menusukkan tombak mereka ke arah kedua orang muda yang sedang terhuyung itu.
Sin Kiat yang sedang terhuyung melihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga
yang kuat itu, cepat menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat
di atas kepalanya, kemudian ia menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut
lawan. Ketika darah mengucur menyusul pedang yang dicabutnya, Sin Kiat sudah
meloncat kembali sehingga tidak terkena semprotan darah. Adapun Sin Lian yang
tadinya juga terhuyung, ketika ditusuk dari arah kanan oleh perwira Mancu,
tidak sempat menangkis. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar leher tombak,
meminjam tenaga lawan menarik tombak sehingga tubuh lawan ikut terdorong ke
depan, lalu menggunakan tenaga sin-kang ia menekuk tombak sehingga patah
tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung perwira itu sehingga tembus!
Melihat betapa dalam keadaan
terhuyung kedua orahg muda itu masih sempat merobohkan dua orang perwira
menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran dan marah. Ia menerjang maju,
bertubi-tubi menggerakkan kedua tangan ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang
menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi menyerang, padahal para
pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan siap-siap menghujankan senjata kepada
dua orang muda lihai ini apabila mereka roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo.
Menghadapi kakek bermuka iblis, murid Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang
Seng-cu benar-benar kewalahan karena Ma-bin Lo-mo menggunakan Swat-im Sin-ciang
yang luar biasa kuatnya.
Tiba-tiba keadaan perang
menjadi makin kacau ketika banyak tentara Mancu roboh dan bahkan ada yang
terlempar ke sana-sini seperti diamuk badai. Ternyata yang datang mengamuk itu
adalah Han Han! Setelah dia siuman dari pingsannya dan menangisi Soan Li yang
telah tewas, akhirnya Han Han teringat akan bahaya yang mengancam Lauw-pangcu
dan anak buahnya. Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia lalu
menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan
kepandaiannya berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal
Lauw-pangcu.
“Han Han.... mana sumoi....?”
Sin Kiat merasa lega melihat pemuda buntung itu, akan tetapi ia gelisah karena
tidak melihat sumoinya datang bersama Han Han.
Ditanya tentang Soan Li, Han
Han diingatkan kembali, air matanya mengalir turun dan tanpa menjawab ia lalu
menerjang maju, menghadapi Ma-bin Lo-mo yang sedang mendesak Sin Kiat dan Sin
Lian.
Ma-bin Lo-mo yang marah sekali
itu ketika melihat Han Han, lalu menerjang sambil mengeluarkan suara meringkik
keras seperti kuda marah. Ia masih merasa penasaran dan kini ia mengerahkan
seluruh tenaganya yang ada. Terdengar suara bercuitan ketika tenaga Swat-im
Sin-ciang dengan kekuatan sepenuhnya menyambar ke depan! Han Han mengenal
pukulan sakti, cepat ia berseru.
“Kalian minggirlah!”
Sin Kiat dan Sin Lian yang
sudah berkali-kali mengenal pukulan dahsyat dari kakek itu, cepat melompat ke
kanan kiri. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mau melompat minggir. Ia
sudah marah sekali, kemarahannya yang timbul dari kedukaan yang hebat karena
kematian Soan Li, maka kini menyaksikan betapa Ma-bin Lo-mo mengerahkan
pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun berteriak keras dan dengan berdiri di atas
sebelah kakinya, ia mendorongkan kedua tangannya ke depan menyambut pukulan
Ma-bin Lo-mo! Han Han sudah kehilangan tongkatnya yang tertinggal di perut
kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia tidak bertongkat lagi. Akan
tetapi sin-kang yang keluar dari kedua lengannya adalah inti sari dari tenaga
Im-kang yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia berlatih di Pulau
Es.
“Desssss....!” Hebat bukan
main benturan dua tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat
orang tentara Mancu yang berdiri terlalu dekat, memekik ngeri dan roboh tak
bernyawa lagi, karena jantung mereka membeku terkena sambaran tenaga sakti yang
saling bertabrakan. Tubuh Han Han mencelat ke atas, tinggi sekali, akan tetapi
ia sudah meloncat lagi ketika kakinya menyentuh dahan pohon, kini tubuhnya
mencelat ke depan menyambar Ma-bin Lo-mo yang terhuyung ke belakang dengan
mulut muntahkan darah segar!
Melihat betapa tubuh Han Han
dari atas pohon menukik ke bawah, Ma-bin Lo-mo mengeluarkan seruan kaget, cepat
tubuhnya melesat ke bawah, bergulingan dan lenyap di antara kaki para pengawal.
“Bresssss!” Lima orang
pengaWal roboh dan tewas seketika dengan tulang-tulang remuk ketika terjangan
Han Han dari atas itu menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin Lo-mo tidak
tampak lagi bayangannya.
Han Han mengamuk terus dengan
hebatnya. Juga Sin Lian dan Sin Kiat mengamuk dengan pedang mereka. Setelah
kini Ma-bin Lo-mo terluka dan tidak muncul lagi, tidak ada yang dapat
mengimbangi amukan tiga orang muda yang perkasa ini. Akan tetapi, di fihak para
pejuang, ternyata hanya tinggal mereka bertiga karena yang lain-lain semua
telah tewas dalam perang tanding yang amat seru di dalam hutan itu. Adapun di
fihak tentara Mancu juga mengalami kerugian tidak sedikit, kurang lebih sama
jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kai-pang!
“Han Han, mari kita
pergi....!” kata Sin Kiat. “Semua saudara telah tewas, tak perlu melawan lagi!”
Akan tetapi Han Han tidak mau
mendengarkan kata-kata Sin Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia akan
bertempur sampai mati untuk membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu, Sin Lian
lalu menyambar tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat, sambil menangis terisak
ia mendekati Han Han yang masih mengamuk.
“Han Han.... bantulah aku....
menyelamatkan jenazah Ayah....!”
Mendengar suara wanita
menangis, Han Han seperti baru sadar dari keadaan yang tidak wajar itu, yang
membuatnya mengamuk seperti orang gila. Ia menengok dan ketika ia melihat Sin
Lian menangis sambil memondong mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut sekali.
“Ah, Lauw-pangcu....!”
“Dia gugur, Han Han, tolonglah
aku membuka jalan keluar dari sini....!”
Han Han mengangguk, kemudian
bersama Sin Kiat ia mengawal Sin Lian yang memondong mayat ayahnya keluar dari
kepungan. Sebetulnya hal ini tidak perlu karena para pengepung itu tidak ada
yang berani mengganggu melihat tiga orang muda itu keluar dari hutan. Mereka
telah menjadi jerih menyaksikan sepak terjang mereka tadi, apalagi sepak
terjang pemuda yang buntung kakinya.
Sin Lian yang menangis sambil
memondong tubuh ayahnya, berlari terus sampai pagi, baru ia berhenti di
pinggir Sungai Huang-ho paling barat, di mana air sungai itu datang mengalir
dari utara dan di tikungan itu membelok ke timur. Daerah ini penuh pula dengan
hutan dan amat sunyi.
Setengah malam mereka tadi
berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan berduka menghadapi malapetaka
yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling gelisah adalah Sin Kiat. Pemuda ini
ingin sekali mengetahui akan keadaan sumoinya, ia pun ingin tahu bagaimana
fihak Mancu sampai dapat melakukan sergapan seperti itu, bahkan dibantu oleh
Ma-bin Lo-mo. Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan itu semua, akan tetapi
mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan keinginan tahunya. Setelah
dia dan Han Han membantu Sin Lian mengubur jenazah Lauw-pangcu di dalam hutan
itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han menjauhi Sin Lian yang berkabung dan
menangis di depan kuburan ayahnya.
“Han Han, ceritakanlah lekas,
bagaimana dengan sumoi!”
Akan tetapi, mendengar
pertanyaan ini, Han Han menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya memandang
jauh dengan sinar muram dan kosong, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sin
Kiat. Melihat ini, Sin Kiat berlutut dan menyentuh lengan Han Han, mengguncangnya
dan bertanya tegang.
“Han Han, apa yang terjadi
dengan sumoi? Di mana dia?”
Tiba-tiba Han Han mengipatkan
lengannya dan Sin Kiat terlempar ke belakang, terjengkang. Ia meloncat lagi
dan terkejut melihat Han Han sudah berdiri di atas sebelah kakinya dan
menudingkan telunjuk ke mukanya sambil membentak, “Sin Kiat, kenapa engkau
membolehkan sumoimu pergi menyusulku? Kenapa tidak kaucegah dia? Percuma saja
engkau menjadi suhengnya!”
Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa
mempedulikan kemarahan Han Han, ia menubruk maju dan memegang lengan pemuda
buntung itu. “Han Han....!” Ia menjerit, suaranya gemetar. “Lekas katakan, di
mana dia? Di mana sumoi....? Dia sendiri yang memaksa hendak menyusulmu,
karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di mana sumoi?”
Mendengar suara Sin Kiat
menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di depan kuburan ayahnya menjadi
terkejut, menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia melihat Han Han
berdiri seperti orang marah dan Sin Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.
“Ada apakah? Han Han, apa yang
terjadi?”
Suara Sin Lian ini mengusir
kemarahann di hati Han Han. Ia menghela napas panjang, menundukkan muka
sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu. “Soan
Li.... dia.... dia telah tewas....!”
“Sumoi....!” Sin Kiat memekik
keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan tangannya mencengkeram
lengan Han Han. “Apa....! Sumoiku.... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang
membunuhnya?”
Han Han menjatuhkan diri lagi
duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin berduka.
Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya
dan menutupi mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua
peristiwa itu dengan suara gemetar.
Setelah habis cerita Han Han,
Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari tangannya
keluar beberapa tetes air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur
hati Sin Kiat. Teringat ia akan wajah sumoinya yang menengok dan tersenyum
ketika hendak meninggalkannya. Senyum manis di antara linangan air mata duka!
“Aduh, sumoi....! Ah,
dia seperti adikku sendiri.... ahhh, bagaimana aku harus bertanggung jawab
terhadap suhu, terhadap.... keluarga tunangannya....?”
Tiba-tiba Han Han menggerakkan
kepala, menoleh memandang Sin Kiat. “Tunangannya?”
Sin Kiat yang maklum akan isi
hati sumoinya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian berduka
dan menyesal atas kematian sumoinya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta
Soan Li terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih.
“Ya tunangannya. Beberapa
tahun yang lalu, atas kehendak suhu, sumoi telah ditunangkan dengan putera
sahabat suhu, seorang siucai she Tan yang tinggal di Nan-king.”
Han Han menghela napas
panjang. “Dan dia mati berkorban untukku....” Ia berbisik lirih. “Betapa mulia
hatinya.... dan betapa besar dosaku....!”
Sin Lian melirik dan melihat
betapa wajah Han Han muram daripada biasanya, betapa wajah yang menarik itu
makin bertambah guratannya. Ia merasa kasihan dan teringatlah ia akan
pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang jatuh cinta kepada Han Han. Kini
mengertilah ia dan biarpun tidak ada yang bicara di saat itu, Sin Lian dapat
menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara jelita murid
Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan tetapi karena
merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan orang lain, maka Soan Li menahan
diri. Betapapun juga, cinta kasihnya membuat gadis itu nekat hendak menyusul
Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.
“Kasihan Adik Soan Li....!”
Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, berkata, “Han Han, sudahlah, tak
perlu kita terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku
tewas, juga Soan Li tewas sebagai orang-orang gagah, tewas dalam pelaksanaan
tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut patut, kita
malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah
menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan mereka. Kita
harus melanjutkan perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai
detik hidup terakhir!”
Mendengar ucapan gadis perkasa
ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja kematian
ayahnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka
dapat mengerti betapa duka hati Sin Lian. Namun gadis itu masih mampu
menghibur mereka berdua, dua orang pria yang semestinya lebih kuat hatinya!
“Nona Lauw benar-benar
mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal kebenarannya!
Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi manusia yang paling tepat hanya
menjaga agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan
keadilan! Han Han, marilah engkau ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di
sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat menyumbangkan tenaga menentang
penjajah sampai berhasil atau hancur!”
“Aku.... aku harus mencari
Lulu....” Suara Han Han masih tidak bersemangat. Memang Han Han masih merasa
tertekan oleh runtutan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Urusan Kim Cu,
gadis yang berkorban demi cinta kasihnya terhadap dirinya merupakan urusan
yang amat menindih hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang
membuat ia merasa berdosa, merasa menjadi penyebab hancurnya kebahagiaan hidup
seorang gadis semulia Kim Cu. Kemudian ditambah lagi dengan lenyapnya Lulu yang
amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena belum juga
ia berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya.
Kini peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas
di depan matanya sendiri, sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang
hendak menyelamatkannya. Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan
hatinya mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa
seperti hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan
pegangan dan dalam keadaan seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya
adiknya itulah tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsaraan ini, hanya
adiknya Lulu itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan
semangatnya.
“Aku harus mencari adikku
Lulu....” katanya lagi penuh rindu.
“Han Han, aku pun ingin sekali
bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan mengumpulkan
sisa teman-teman seperjuangan, dan aku akan berusaha mencari Lulu untuk
kemudian kuajak mereka semua ke Se-cuan,” kata Sin Lian.
“Aku pun akan membantumu
mencari adikmu itu, Han Hari. Akan tetapi, mengingat bahwa adikmu pun tentu
sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah
tidak mungkin kalau dia itupun pergi mencarimu ke Se-cuan, mengira bahwa
engkau berada di sana? Lebih baik kita berangkat ke Se-cuan sambil
mendengar-dengar dan mencari-cari.”
Han Han mengangguk-angguk.
“Pendapatmu benar juga, dan aku pun memang harus pergi ke Se-cuan karena
urusan pribadi.” Ia teringat akan penuturan Sie Leng encinya bahwa sebagian
besar musuh-musuhnya berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang ditugaskan
mengurung dan menggempur Se-cuan.
“Memang demikian lebih baik,”
kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan aku
sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di bagian
timur. Kalau bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke barat.”
Setelah mereka melakukan
penghormatan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan
dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada
malam itu sebagian besar terbasmi oleh tentara Mancu. Adapun Han Han atas
desakan Sin Kiat mengantar temannya ini berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin
Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan runtuhnya air matanya.
“Han Han, ketahuilah, hanya
kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia
mencintamu.”
Han Han menghela napas. “Sin
Kiat, kalau engkau tahu bahwa dia sudah ditunangkan dengan laki-laki lain,
mengapa engkau tidak menegurnya?”
“Sudah kutegur, akan tetapi
akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan dengan Tan-siucai atas
kehendak suhu, bahkan dia belum pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau
dia bertemu denganmu dan jatuh cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili
mendiang sumoiku untuk bertanya terus terang kepadamu, Han Han. Adakah engkau
mencinta sumoi?”
Han Han menundukkan mukanya
dan menggeleng kepala. “Manusia cacad macam aku ini bagaimana berani
menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak
kakiku buntung, aku tidak lagi berani membiarkan hatiku menjatuhkan cinta
kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada seorang pun wanita di
dunia ini dapat hidup bahagia di samping seorang suami cacad memalukan seperti
aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta seorang gadis murni
cantik dan perkasa seperti sumoimu itu....”
Sin Kiat menarik napas
panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han
Han ini, sikap yang mungkin timbul karena peristiwa yang menyedihkan di
samping buntungnya kaki pemuda ini. Ia pun tidak mau menyinggung-nyinggung
lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir di hatinya karena
sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam, Sin Kiat dapat menduga bahwa
Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta kepada pemuda kaki buntung yang
mengagumkan ini.
Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan
Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu adalah seorang kaisar yang benar-benar
pandai sekali, bukan hanya di bidang kemiliteran akan tetapi juga di bidang
pekerjaan sipil seperti pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang amat pandai dan
amat lama memegang kendali pemerintahan Kerajaan Mancu ini (tahun 1663-1722)
telah berhasil dengan baik menarik bangsa pribumi yang tadinya menentang
penjajahan menjadi tenaga-tenaga yang amat penting dan berguna demi memajukan
negara di bawah pemerintahannya. Untuk mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi
memajukan kebudayaan pribumi, bahkan mengundang bangsa pribumi yang terkenal
sebagai kaum cendekiawan, kaum cerdik pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan
penting dalam pemerintah. Tentu saja kaum sastrawan dan kaum persilatan
menyambut undangan ini dengan gembira sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan
dan ahli-ahli silat muda mengalir ke kota raja. Mereka diterima oleh kaisar dan
diberi jabatan-jabatan yang penting.
Juga dalam urusan membersihkan
negara daripada para pemberontak, kaisar yang pandai ini berhasil baik sekali.
Dengan bantuan tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk, pula karena memang
bala tentara Mancu merupakan bala tentara yang kuat, tahan uji, dan
berdisiplin, maka gerombolan-gerombolan bersenjata yang menentang Kerajaan Ceng
satu demi satu dapat dihancurkan. Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa di
antara gerombolan-gerombolan pejuang yang menentang penjajah Mancu demi
perasaan patriotik, terdapat banyak pula gerombolan yang sebenarnya adalah
penjahat-penjahat dan perampok yang mempergunakan dalih “perjuangan” untuk
dapat memeras dan merampok rakyat jelata. Dengan dalih perjuangan, mereka yang
mengotorkan dan mencemarkan perjuangan itu mengancam rakyat yang dipaksa
membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan harta benda untuk biaya
perjuangan!
Sebetulnya, kenyataan itulah
yang merupakan sebuah di antara kelemahan perjuangan kaum patriot di masa itu.
Karena nama perjuangan dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu datang dan
menyapu para perampok yang berkedok pejuang itu, rakyat menyambut dengan
gembira, menganggap bahwa pemerintah yang baru berhasil membebaskan rakyat
daripada pemerasan dan penindasan pejuang-pejuang yang kini disamakan dengan
perampok jahat itu! Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa penduduk
pribumi dapat cepat melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa Mancu
yang menjajah. Selain itu juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang tepat
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tradisi-tradisi lama di Tiongkok.
Para pembesar Mancu diharuskan belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan bahkan
diharuskan bicara dalam bahasa pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemuan resmi
saja bahkan di antara keluarga para pembesar Mancu pun mereka menggunakan
bahasa pribumi. Hal ini adalah karena Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu maklum
bahwa sekali bangsanya sudah menjadi “bangsa aseli”, maka dalam abad-abad selanjutnya
tidak akan ada lagi “pribumi” yang menganggap bahwa pemerintah Kerajan Ceng
adalah kerajaan asing!
Biarpun hampir seluruh daerah
Tiongkok telah dikuasai, dan semua pemberontak di perbatasan-perbatasan telah
dapat dihancurkan, namun hanya Se-cuan yang masih tetap bertahan. Hal ini
adalah karena pemerintah Ceng yang cerdik memang sengaja membiarkan daerah ini
agar menjadi pusat pelarian bagi para pemberontak. Agar dengan adanya wadah
ini, para pemberontak yang sudah kehilangan kesatuannya akan melarikan diri ke
Se-cuan dan kelak akan mudah untuk menyerbu satu tempat saja daripada kalau
harus mengejar pemberontak-pemberontak yang tersebar di mana-mana. Selain
sukar juga membutuhkan benyak tenaga dan biaya.
Karena sengaja didiamkan, dan
hanya sekali-kali diadakan pengepungan dan penyerangan kecil, maka terjadilah
semacam perang dingin dan tapal batas. Se-cuan merupakan daerah gawat.
Pedagang-pedagang petualang yang berani hilir-mudik melewati perbatasan yang
gawat ini tentu akan memperoleh keuntungan yang besar sekali, akan tetapi tentu
saja dengan resiko ditembus tombak perutnya, baik oleh tentara di fihak Se-cuan
maupun tentara Mancu, karena dicurigai sebagai mata-mata musuh.
Dan biarpun belum diadakan
penyerbuan besar-besaran, namun telah terjadi ketegangan karena di fihak
orang-orang gagah di dunia kang-ouw terpecah dua, ada yang pro Se-cuan, ada
pula yang pro Kerajaan Ceng. Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di mana-mana dan
tentu saja mata-mata kedua fihak pun disebar dengan leluasa karena di fihak
pemerintah Mancu pun memiliki banyak kaki tangan orang kang-ouw yang terdiri
dari orang pribumi.
Han Han dan Sin Kiat yang
melakukan perjalanan ke barat, di sepanjang jalan mereka menyelidiki tentang
Lulu. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Bahkan
banyak kaum pejuang yang hilir-mudik ke Se-cuan, yang mengenal Sin Kiat, juga
tidak ada yang pernah melihat Lulu. Hati mereka kecewa sekali, terutama Han
Han yang menjadi makin gelisah. Masih hidupkah adiknya itu? Kalau hidup, di
mana dan mengapa tidak ada jejaknya?
Pada suatu pagi, kedua orang
muda ini memasuki kota Tiang-koan-bun yang letaknya dekat dengan perbatasan
Se-cuan. Di bagian ini telah ada pelarangan membawa senjata yang dilaksanakan
dengan keras oleh para penjaga, berbeda dengan pedalaman yang biarpun ada pula
pelarangan umum itu, namun pelaksanaannya tidaklah begitu ketat. Karena maklum
akan hal ini dan tidak ingin mencari perkara di daerah gawat, Sin Kiat
menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia berpakaian sebagai seorang penduduk
biasa. Han Han masih berpakaian seperti biasa, sederhana dan berwarna putih,
tangan kirinya memegang sebatang tongkat kayu yang dibuatnya begitu saja dari
sebuah ranting pohon.
“Malam nanti kita menyelundup
lewat perbatasan, masuk daerah Se-cuan,” kata Sin Kiat perlahan ketika mereka
tiba di sudut kota.
Han Han berhenti melangkah dan
pandang matanya termenung, keningnya berkerut. Ia menoleh ke kanan kiri seperti
orang mencari-cari, dan memang ia selalu tak pernah berhenti mencari-cari
dengan pandang matanya, seolah-olah setiap saat ia mengharapkan akan melihat
berkelebatnya bayangan Lulu.
“Sin Kiat, agaknya yang
kaupentingkan hanya perjuangan saja,” kata Han Han lirih.
Sin Kiat memandang heran.
“Habis, bagaimana kalau tidak begitu, Han Han? Dalam masa seperti ini, siapa
tidak mementingkan perjuangan?”
Terdengar derap kaki kuda dan
seorang penunggang kuda lewat di jalan itu. Han Han tidak mempedulikan, bahkan
menengok tidak memandang Sin Kiat dan berkata.
“Bagiku, yang terpenting
adalah mencari Lulu sampai dapat ditemukan!”
Sin Kiat juga mengerutkan
keningnya. “Hemmm, Han Han, mengapa kau menekankan hal itu? Apakah kaukira aku
pun tidak gelisah memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu kujelaskan lagi
bahwa engkau tentu paham akan isi hatiku terhadap adikmu! Aku pun ingin sekali
bertemu dengan dia, ingin melihat dia selamat. Akan tetapi, kita memiliki tujuan
dalam perjalanan ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu yang kau tahu amat
kucinta.... hemmm.... bukankah kita sudah selalu menyelidiki tentang dia?
Bukankah aku pun selama ini mengerahkan seluruh tenaga untuk mencari dia?
Siapa tahu, dia berada di Se-cuan.”
Han Han menarik napas panjang
dan kini ia menoleh memandang wajah Sin Kiat yang tampan itu. Tentu saja dia tahu
bahwa pemuda perkasa ini, pemuda yang gagah dan berwatak pendekar, jatuh cinta
kepada Lulu. Dan diam-diam ia pun akan merasa setuju sekali kalau adiknya
mendapatkan jodoh seperti Sin Kiat. Akan tetapi itu adalah perkara nanti. Yang
perlu mencari Lulu sampai dapat! Apa perlunya memikirkan perjodohan Lulu kalau
gadis itu sendiri masih belum dapat ditemukan, belum diketahui masih hidup atau
sudah mati?
“Begini sajalah. Engkau
pergilah dulu ke sana, aku akan mencarinya di sekeliling perbatasan ini.
Selain itu, dulu sudah kukatakan bahwa aku mempunyai urusan pribadi yang harus
kuselesalkan sebelum aku menyusulmu ke Se-cuan. Kita berpisah di sini saja,
Sin Kiat.”
Selama dalam perjalanan, Sin
Kiat sudah mengenal Han Han lebih baik lagi dan ia mengerti bahwa pemuda berkaki
buntung itu sedang menderita tekanan batin hebat sekali sehingga apa yang
keluar dari mulutnya selalu merupakan keputusan yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Ia maklum bahwa akan percuma saja dia membantah, maka katanya.
“Baiklah, Han Han. Kalau engkau
menghendaki demikian, biar aku yang masuk ke sana lebih dulu dan akan kucari
Nona Lulu di sana. Kalau berhasil, aku akan kembali ke sini dan biarlah tempat
ini menjadi tempat pertemuan kita. Selain itu, harap kau suka melihat-lihat
kalau-kalau Nona Lauw Sin Lian tiba di sini, kalau Nona Lulu tidak ada di
Se-cuan, barangkali dia akan datang bersama Nona Lauw.”
Han Han mengangguk dan mereka
lalu berpisah, baru beberapa langkah Sin Kiat sudah membalikkan tubuhnya. “Han
Han, ada urusan apakah sebetulnya? Apakah aku tidak bisa membantumu sebelum
kita berpisah?”
Han Han hanya menggeleng
kepala. “Urusan ini adalah urusan pribadiku. Berangkatlah, Sin Kiat dan sampai
jumpa. Percayalah, kalau memang aku memerlukan bantuanmu, tentu aku akan minta
bantuan. Sekarang ini, bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan hanya mencari
Lulu sampai dapat.”
Sin Kiat menghela napas. “Kau
tentu tahu bahwa aku siap mengorbankan apa saja untuk adikmu. Sampai jumpa!”
Sin Kiat lalu pergi meninggalkan Han Han yang masih berdiri termenung-menung di
tempat itu.
Aku harus mencari Lulu dan
juga mencari musuh-musuhku, pikirnya. Dan menurut encinya tidak hanya cihunya
berada di perbatasan Se-cuan, akan tetapi juga musuh besarnya nomor satu, Giam
Kok Ma, dan mungkin juga empat perwira lainnya. Ia merasa menyesal kalau
teringat betapa dia tidak berhasil membunuh Su-ciangkun karena pada waktu itu
ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara
sehingga Su-ciangkun mendapat banyak kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali ini aku tidak boleh
gagal, pikirnya. Kembali terdengar derap kaki kuda, kini ada banyak kuda yang
datang ke kota itu. Ketika Han Han menengok, ia melihat pasukan yang terdiri
dari belasan orang penunggang kuda berhenti di tempat ramai dan kepala regu berkuda
itu membacakan pengumuman dengan suara lantang dari atas kudanya yang
menggerak-gerakkan kepala. Han Han mendengarkan. Kiranya pasukan itu adalah
pasukan yang bertugas mengumumkan bahwa berhubung dengar ulang tahun ke sepuluh
dari kaisar, yaitu sepuluh tahun semenjak kaisar memegang kendali kerajaan,
maka di seluruh negara diadakan pesta perayaan yang dibiayai oleh pemerintah
dan rakyat akan dihibur dengan tontonan-tontonan gratis, bahkan di beberapa
tempat akan disediakan arak dan roti kering yang boleh dimakan dan diminum di
tempat itu secara gratis pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai tiga hari
tiga malam lamanya.
“Terutama di daerah ini, akan
diadakan pesta besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka ria!” Demikian
kepala regu itu menutup pengumumannya dengan suara lantang. Penduduk kota itu
menjadi girang dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan pemerintah.
Justeru di perbatasan ini pemerintah agaknya akan membuktikan perbedaan yang
menyolok antara kehidupan rakyat di daerah pemerintah dan di seberang lewat
perbatasan, daerah pemberontak. Di samping merayakan ulang tahun kedudukan
kaisar, juga pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk di daerah
pemberontak agar mereka melihat bahwa prikehidupan rakyat di daerah pemerintah
lebih makmur!
Waktu itu permulaan tahun 1673
dan memang sudah sepuluh tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah
Ceng.
Han Han yang berjalan-jalan di
kota sambil menyelidiki adiknya, juga mencari keterangan tentang perwira-perwira
Mancu yang bertugas di perbatasan, melihat persiapan-persiapan yang dibuat
untuk pesta malam nanti. Panggung-panggung dibuka, panggung wayang dan
lain-lain, suasana mulai ramai dan meriah karena rakyat juga menghias
rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga kertas yang dibagi-bagikan oleh petugas
pemerintah setempat.
Tadinya Hen Han hendak mencari
tempat penginapan yang tidak usah bayar, seperti di kelenteng atau kalau perlu
di bawah jembatan, akan tetapi ketika ia merogoh saku bajunya, ia mendapatkan
uang di situ dan ketika dilihatnya, ternyata ada beberapa potong uang perak dan
dua potong uang emas! Han Han menghela napas dan maklum bahwa tentulah Sin
Kiat yang menaruhkan uang di sakunya di luar tahunya, mungkin malam tadi ketika
mereka tidur di hutan di luar kota. Dan ia maklum mengapa Sin Kiat melakukan
hal itu. Pertama, karena Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama
sekali, ke dua karena kalau Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia
akan menolaknya!
Karena mempunyai uang, Han Han
tidak jadi mengisi perut dengan roti kering dan arak gratis, juga tidak mencari
penginapan gratis, melainkan menyewa sebuah kamar sederhana di sebuah rumah
penginapan kecil di sudut kota. Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih,
sore hari itu ia keluar dari kamar, terpincang-pincang pada tongkatnya, hendak
menonton keramaian dengan harapan mungkin Lulu akan datang pula. Adiknya itu
paling suka menonton pertunjukan, maka seandainya Lulu berada di tempat yang
berdekatan, tentu adiknya itu akan datang ke kota Tiang-koan-bun ini untuk
nonton wayang!
Akan tetapi, sama sekali bukan
Lulu yang dilihatnya di antara ribuan orang yang tak dikenalnya yang memenuhi
kota di malam hari itu, melainkan seorang pria muda yang sama sekali tidak
pernah disangka-sangkanya akan dia jumpai lagi, Gu Lai Kwan! Atau suhengnya,
murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda In-kok-san yang lihai, yang dulu diperintah
oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk membunuhnya! Golok pemuda inilah yang telah
membacok putus kakinya!
Han Han terkejut sekali dan
cepat menyelinap di antara orang banyak. Dia tidak membenci Gu Lai Kwan yang
dahulu di waktu kecilnya adalah temannya main-main, juga teman berlatih.
Biarpun senjata pemuda ini yang membuntungi kakinya, akan tetapi pemuda itu
hanyalah mentaati perintah Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid yang tidak taat
akan menerima hukuman lebih berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di antara
mereka berempat yang diambil murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan, dia
sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin yang bermata tajam dan berwajah serius itu!
Melupakan semua persoalan yang
pernah timbul di antara mereka, Han Han yang tadinya girang melihat Lai Kwan
dan hendak menegur, tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin Lo-mo kini telah bersekongkol
dengan pemerintah Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah menjadi kaki tangan Mancu,
sangat boleh jadi Toat-beng Ciu-sian-li juga menjadi kaki tangan Mancu dan
tentu murid-muridnya sama saja. Mengingat akan hal ini, ia membatalkan niatnya
menegur bekas suheng ini dan Han Han malah membayanginya dengan diam-diam. Ia
melihat Lai Kwan dengan senyum-senyum di wajahnya yang tampan itu
berjalan-jalan dan menonton pertunjukan wayang sebentar, kemudian pemuda
In-kok-san itu lalu berjalan lagi memasuki sebuah rumah penginapan besar.
Pengurus rumah pengirapan itu menyambutnya dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat
dan Han Han yang menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik dinding
mendengar suara Lai Kwan bertanya dengan suara angkuh.
“Ouwyang-kongcu sudah datang?”
“Sudah, sudah, Gu-taihiap. Malah
semua orang sudah berkumpul, tinggal menanti taihiap dan beberapa orang tamu
agung lagi,” pengurus hotel itu berkata hormat.
Han Han mengangguk-angguk. Tak
salah dugaannya. Kalau Lai Kwan sudah berhubungan dengan Ouwyang-kongcu yang ia
duga tentulah bukan lain Ouwyang Seng adanya, jelas bahwa pemuda ini pun
mengikuti jejak Ma-bin Lo-mo dan bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Hemmm,
dahulu Ouwyang Seng pernah menculik Lulu dan biarpun tidak mengganggu Lulu,
namun dapat diharapkan bahwa pemuda putera pangeran itu kini mengetahui di
mana adanya Lulu. Sungguh pertemuan yang tak pernah disangka-sangkanya. Hatinya
girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan cepat, tanpa diketahui siapa pun,
Han Han menyelinap ke belakang, menggunakan kepandaiannya bagaikan seekor
burung tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ia maktum bahwa di tempat itu
terdapat banyak sekali orang pandai, maka ia bersikap hati-hati, dan selain
mempergunakan gin-kangnya sehingga kakinya tidak menimbulkan suara dan
tongkatnya tidak pernah menyentuh genteng, ia juga selalu bersembunyi di dalam
bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai dari atas ruangan yang
dimasuki Lai Kwan.
Ruangan itu merupakan ruangan
paling belakang di hotel itu dan dari atas Han Han dapat melihat bahwa hotel itu
ternyata tidak dimasuki tamu lain kecuali rombongan orang-orang penting.
Agaknya hotel ini telah diborong. Buktinya Li Kwan memasuki hotel itu tanpa
memperhatikan keadaan sekelilingnya dan agaknya semua kamar di hotel itu hanya
ditempati oleh orang-orang mereka sendiri. Ketika Han Han melihat mereka yang
duduk memenuhi ruangan itu, sejumlah belasan orang, ia makin kaget mengenal
tokoh-tokoh yang ia jumpai dahulu ketika ia terjebak oleh Giam Kok Ma di kota
raja. Ia mengenal Ouwyang Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihunya sendiri Giam
Cu, musuh besarnya, Giam Kok Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang kepalanya seperti burung berondol bulunya itu, kakak
beradik Tikus Kuburan Bhong Lok dan Bhong Poa Sik, juga tiga orang murid Setan
Botak, yaitu Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio!
Masih ada beberapa orang perwira dan tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya,
akan tetapi semua ini sudah cukup bagi Han Han bahwa di situ diadakan rapat
yang amat penting oleh perwira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia
kang-ouw yang menjadi kaki tangan pemerintah Mancu.
Dia akan mendengarkan dulu apa
yang hendak mereka bicarakan, siapa tahu kalau-kalau mereka akan
menyinggung-nyinggung nama Lulu. Andaikata tidak, masih belum terlambat baginya
untuk mencari kesempatan menangkap Ouwyang Seng dan memaksa pemuda bangsawan
itu bicara tentang Lulu. Kalau dia turun tangan, ia masih merasa sangsi apakah
ia akan mampu menghadapi sekian banyaknya orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi.
Ketika Lai Kwan muncul,
sebagian dari mereka berdiri dan menyambut dengan hormat, terutama para
perwira. Hanya Gak Liat dan tiga orang muridnya yang tidak berdiri, bahkan Gak
Liat lalu menegur.
“Gu-sicu, mana gurumu dan Si
Kuda Iblis?”
Gu Lai Kwan menjura ke arah
Gak Liat yang dianggapnya orang yang lebih tinggi kedudukannya, lalu menjawab
sambil duduk di atas kursi yang masih banyak yang kosong.
“Siankouw.... eh, maksudku
subo (Ibu Guru) tidak dapat hadir sendiri dan mewakilkan kepada saya, juga
Siangkoan suhu tidak dapat datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari suhu den
subo akan datang ke Tiang-koan-bun.”
Gak Liat mengangguk-angguk.
Tak lama kemudian masuklah tiga orang perwira Mancu dan agaknya para anggauta
rapat sudah terkumpul semua, buktinya Giam Cu, kakak iparnya bangkit berdiri
dan menjura kepada semua orang sambil berkata.
“Cu-wi sekalian tentu sudah
maklum mengapa saat ini kita berkumpul semua di kota ini. Bertepatan dengan
ulang tahun ke sepuluh dari Hong-siang (Kaisar) yang bijaksana dan yang dalam
sepuluh tahun telah mendatangkan kemajuan pesat di negara kita, maka kita
dihadapkan pada pemberontak yang kini telah berkumpul semua di Se-cuan.
Menurut perintah dari Hong-siang sendiri, dalam tahun ini juga kita
diharuskan menyerbu dan menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk tugas ini
telah diserahkan kepada yang mulia Puteri Nirahai yang akan memimpin sendiri
penyerbuan ke Se-cuan. Kita semua sudah mengetahui akan kecerdikan dan keahlian
Sang Puteri, maka kini beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang mewakili beliau
untuk memimpin penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada Gak-locianpwe
yang akan mengemukakan pendapat dan rencananya.” Giam Cu lalu duduk kembali dan
menoleh kepada Gak Liat, dan semua orang pun kini memandang kepada Si Setan
Botak itu.
Kang-thouw-kwi Gak Liat
menggaruk-garuk botaknya, lalu berkata tanpa berdiri.
“Sesungguhnya, dalam soal
ketentaraan saya tidak memiliki pengertian apa-apa dan untuk pelaksanaan
penyerbuan, tentu saja saya mengharapkan petunjuk-petunjuk para perwira tinggi
yang sudah berpengalaman dalam soal perang. Akan tetapi, untuk menghadapi para
tokoh pemberontak yang kabarnya memiliki banyak orang pandai, saya dan
teman-teman siap untuk turun tangan. Adapun Sang Puteri yang menyuruh saya
mewakili beliau hanya mengatakan bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan rahasia
sehingga fihak musuh tidak sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta ini
kiranya mereka tidak akan menyangka akan datangnya penyerbuan. Maka telah
diputuskan oleh Sang Puteri untuk melakukan penyerbuan pertama pada bulan
depan hari ke tujuh.”
Han Han terkejut mendengar
ini. Ah, kiranya tentara Mancu akan melakukan penyerbuan besar-besaran tak lama
lagi menggunakan kesempatan selagi fihak Se-cuan tidak menyangka-nyangka karena
dalam suasana pesta itu agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan melakukan
penyerangan. Dan agaknya Kaisar Mancu hendak mempergunakan penyerbuan Se-cuan
ini sebagai hadiah ulang tahunnya! Han Han tidak begitu peduli akan perang,
akan tetapi mengingat akan keganasan tentara Mancu, ia dapat membayangkan
betapa akan sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah Se-cuan dan ia merasa
telah menjadi kewajibannya untuk memberi tahu ke Se-cuan agar di sana orang
dapat berjaga-jaga. Apalagi kalau diingat bahwa banyak sahabat baiknya berada
di sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu akan masuk ke Se-cuan
bersama teman-temannya.
Akan tetapi, tidak mungkin ia
meninggalkan Giam Kok Ma begitu saja. Musuh besar yang paling dibencinya itu,
Si Muka Kuning yang dahulu memperkosa ibunya, telah berada di situ. Bagaimana
ia dapat melewatkan kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus turun tangan melakukan
pembalasan terhadap perwira keji ini, baru ia akan memaksa Ouwyang Seng bicara
tentang Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan untuk menyampaikan
berita penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!
Dengan sabar ia mendengarkan
semua percakapan mereka dan mengingat-ingat nama tempat-tempat yang akan
dijadikan dasar tempat penyerangan mereka, tempat-tempat di fihak musuh yang
akan diserbu dan lain-lain. Tentu saja Han Han tidak dapat ingat semua, akan tetapi
setelah mengingat beberapa nama tempat yang penting, ia merasa sudah cukup.
Ketika pembicaraan yang penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta
di mana mereka silih berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi
selamat kepada kaisar, makan minum sambil tertawa-tawa, Hen Han lalu melesat
meninggalkan tempat pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan
perlahan keluar dari jalan samping ke jalan besar. Ia menyelinap di antara para
penonton dan menonton pertunjukan silat dan barongsai yang dimainkan di
panggung dekat hotel. Dari tempat ia menonton, di antara ratusan orang
penonton, ia dapat melihat ke arah hotel untuk memata-matai orang yang keluar
dari tempat itu.
Betapa mengkal hati Han Hen
ketika ia menanti hampir tengah malam, belum ada juga yang keluar dari hotel,
apalagi Giam Kok Ma yang ia tunggu-tunggu munculnya. Ia mulai tidak sabar dan
sudah melangkahkan kaki untuk turun tangan di hotel itu saja, tidak peduli di
situ banyak terdapat orang pandai! Untuk membalas dendamnya, ia tidak takut
mengorbankan nyawanya. Kalau tadi ia bersikap hati-hati, bukan karena takut ia
akan celaka. Akan tetapi takut kalau gagal. Ia tidak rela mati sebelum ia mampu
membalas dendam ibunya! Akan tetapi ternyata sampai sekarang perwira muka
kuning yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Selagi bergerak
terpincang-pincang tiga langkah, tiba-tiba ia berhenti dan matanya memandang ke
depan hotel. Sebuah kereta datang dari luar memasuki halaman hotel itu, kereta
yang dikusiri oleh seorang berpakaian pengawal, dan di belakang kereta berdiri
pula dua orang pengawal memegang tombak! Cepat Han Han menyelinap dan mengintai
agak dekat pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia mengharap mudah-mudahan
jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia belaka.
Wajah Han Han berseri ketika
tak lama kemudian ia melihat orang yang dituggu-tunggu muncul dari dalam hotel
itu. Giam Kok Ma! Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat wajah perwira muka
kuning yang amat dibencinya itu. Dan di samping orang ini berjalan cihu-nya
(iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya musuh besarnya itu
akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar, sambil tertawa
bebas tanda pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan kusir lalu
memecut empat ekor kuda besar yang bergerak menarik kereta keluar dari
pekarangan hotel.
Tanpa diketahui oleh siapapun,
Han Han menggunakan kepandaiannya membayangi kereta itu. Di ujung kota sebelah
barat, kereta berhenti dan Han Han cepat mendekat sambil berjongkok di balik
batu di pinggir jalan. Dia mendengar Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa
dan dua orang muda itu keluar dari kereta. Kereta berjalan lagi keluar kota!
Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik ini sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Akan tetapi di dalam kereta masih ada cihu-nya dan dia
tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam urusan membalas dendam ini. Dia sudah
berjanji kepada encinya untuk tidak mengganggu Giam Cu, dan kalau dia turun
tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu membantu musuh, agaknya ia akan bisa lupa
diri dan melanggar janji kepada encinya. Biarlah, dia akan tunggu sampai dua
orang itu berpisah, baru ia akan turun tangan. Kalau Giam Kok Ma turun lebih
dulu, ia akan menyergap pembesar ini di rumah tempat ia bermalam.
Kereta berhenti pula di depan
kelompok rumah besar yang agaknya merupakan rumah-rumah penginapan perwira.
Giam Cu keluar dari kereta sambil tertawa-tawa dan setelah perwira ini disambut
oleh pengawal yang mengantarnya masuk ke dalam, kereta bergerak lagi!
“Thian menghendaki agar
manusia terkutuk macam engkau menerima hukuman!” Han Han berbisik dalam
hatinya. Ketika kereta itu agak jauh meninggalkan rumah itu dan agaknya hendak
menuju ke tempat penginapan Giam Kok Ma, Han Han meloncat ke atas dan sekali
ia menggerakkan tangan, dua orang pengawal yang berdiri di belakang kereta
telah tewas dalam keadaan berdiri dan tengkuk mereka patah. Han Han meloncat
ke belakang kereta sambil melemparkan dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu,
kemudian ia meloncat lagi ke depan kereta. Kusir kereta yang sedang mencambuki
kuda agar berjalan lebih cepat karena ia pun ingin sekali mengaso, terbelalak
kaget ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada orang duduk di
sampingnya. Namun ia tidak sempat berteriak, tubuhnya sudah terlempar jauh
dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han Han menyambar kendali kuda dan
menggerak-gerakkan cambuk yang mengeluarkan bunyi meledak-ledak. Empat ekor
kuda itu membalap cepat.
“Heiiiii....! Mengapa terlalu
cepat? Perlahan-lahan saja, kepalaku pening.... ah! Heh, ke mana ini? Kenapa
membelok ke kiri?”
Giam Kok Ma yang tadinya sudah
setengah mabuk, tiba-tiba merasa tengkuknya menjadi dingin sekali ketika
mendengar suara tertawa dari tempat kusir kereta. Suara ketawa itu aneh sekali,
dan kusirnya tidak akan berani tertawa seperti itu kalau ia tegur.
“Heh, apa ini? Hayo
berhenti....!” Giam Kok Ma memukul-mukul pintu kereta sambil berteriak-teriak
marah. “Penggwal, suruh kusir berhenti dan beri sepuluh kali cambukan pada
pantatnya!”
Akan tetapi tidak ada jawaban
dari belakang. Giam Kok Ma cepat menyingkap tirai bagian belakang dan....
betapa kagetnya ketika ia melihat tempat pengawal di belakangnya itu sudah
kosong! Ia melongok keluar jendela, akan tetapi tidak dapat melihat wajah kusir
karena gelap.
“Berhenti....!” Ia berseru
lagi dan kini kusir menahan kuda, kereta pun berhenti.
Dengan kemarahan meluap-luap
Giam Kok Ma yang juga memiliki ilmu silat lumayan, meloncat keluar dari kereta
sambil mencabut pedangnya, pedang kebesaran. Kalau perlu akan membunuh kusir
yang lancang ini, dan ia bisa pulang dengan menunggang kuda!
Ia terheran-heran dan menjadi
ngeri melihat seorang yang buntung sebelah kakinya, yang turun dari tempat
kusir, dengan sikap seenaknya dan tenang sekali mencabut lampu kereta dan
berjalan menghampirinya, bukan berjalan melainkan meloncat dengan kecepatan
luar biasa sekali. Han Han memegang lampu kereta, mengangkat lampu
tinggi-tinggi sehingga mereka berdua dapat saling memandang muka
masing-masing. Han Han memandang wajah yang kekuningan itu penuh kebencian,
sedangkan Giam Kok Ma agaknya tidak mengenal Han Han. Sungguhpun perwira ini
merasa seperti pernah melihat wajah tampan yang bermata seperti sepasang api
bernyala dengan rambut panjang terurai itu, namun ia tidak ingat pernah
bertemu dengan seorang laki-laki buntung seperti ini.
“Siapa.... siapa engkau....?
Di mana kusirku? Mana pengawal-pengawalku?”
Han Han tersenyum, senyum yang
tampak mengerikan dan menyeramkan bagi Giam-ciangkun. “Giam Kok Ma, tidak perlu
mencari kusir dan pengawal-pengawalmu. Mereka telah kubunuh di tengah jalan
tadi. Giam Kok Ma, apakah engkau lupa kepadaku?”
“Siapa.... siapa engkau....?”
Suaranya meragu karena kini ia teringat akan suara ini, suara orang yang pernah
membuat ia tidak enak makan tidak nyenyak tidur.
“Ingatlah baik-baik, pandang
mukaku. Lupakah engkau akan peristiwa terkutuk yang kaulakukan di Kam-chi dekat
Nan-king, di sebuah dusun kecil di mana engkau melakukan perbuatan terkutuk di
rumah keluarga Sie Bun An?”
“Kau.... kau....?”
“Benar! Kulihat engkau mulai
teringat. Tentu engkau ingat akan anak laki-laki yang berteriak-teriak seperti
gila ketika engkau memperkosa ibunya, kemudian engkau membunuh ibu anak itu,
kawan-kawanmu membunuh seluruh keluarga anak itu, merampas barang-barangnya!
Akulah anak itu! Akulah anak yang kaulemparkan ke dinding! Ingat?” Pandang
mata Han Han seperti pandang mata beekor harimau marah.
Giam Kok Ma menggeleng-geleng
kepalanya dan berteriak, “Tidak.... tidak....! Ah, tolooonggg....!”
Han Han tersenyum lebar.
“Benar kata orang bahwa manusia yang berhati kejam sebenarnya adalah seorang
pengecut besar! Giam Kok Ma, bersiaplah engkau untuk menebus dosamu, menerima
hukumanmu atas perbuatanmu yang terkutuk terhadap Ibuku!” Han Han melangkah
maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya
siap untuk melarikan diri. Akan tetapi kemudian perwira itu menguatkan hatinya.
Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak akan
dapat melawan seorang buntung?
“Mampuslah, buntung!”
Makian ini dikeluarkan oleh
Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah keberaniannya dan pedangnya
berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han
Han menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, nemun
pedangnya sudah berpindah ke tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!
Han Han tersenyum, senyum
seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman. “Bagus, Giam Kok Ma, masih ada
lagikah perlawananmu? Jika engkau melawan, sedikitnya engkau memperkecil
sebutan pengecut!”
Kedua kaki perwira itu mulai
menggigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan
tetapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat,
tangannya dikepal dan dihantamkan ke dada Han Han.
“Bukkk! Aughhh....!” Perwira
itu memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia
tidak memukul dada, melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya!
Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya menjadi basah! Kiranya rasa
ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi
terkencing-kencing! Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan
hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han
Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu kereta dan kini pedang rampasan di
tangannya berkelebat.
“Brettt-brettt....!” Pakaian
pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat. Pedang itu telah merobek semua
pakaiannya tanpa menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok Ma menggigil, bukan
karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa
malu-malu lagi ia merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi
(menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu tangan dan ia meratap.
“Taihiap.... ampunkan....
ampunkan hamba.... ampuuunnnnn....!” Dan ia menangis mengguguk seperti anak
kecil!
Akan tetapi sepasang mata Han
Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas daripada tadi. Di bawah
sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut
dan menyembah-nyembah, mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun
yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu memperkosa
ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya
yang meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!
“Bedebah! Keparat! Manusia
berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukumanmu!”
Giam Kok Ma mengangkat muka,
ketika melihat wajah Han Han yang beringas di bawah sinar lampu kereta,
semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. “Aduhhh.... ampunkan,
taihiap.... apa.... apa yang akan taihiap lakukan....?”
“Apa yang akan kulakukan?
Ha-ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kaulakukan kepada Ibuku? Jawablah....
heh-heh, jawab!”
“Ampunnn....!”
“Giam Kok Ma, ingatkah engkau
betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi Ibuku?
Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!” Pedang itu berkelebat,
Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil momegangi tangan kirinya yang
tidak berjari lagi. Kelima jari tangan kirinya telah dibabat putus tenpa ia
rasai dan tahu-tahu ia hanya merasa perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!
“Ampum.... aduh, ampun....!”
“Manusia terkutuk, ingatlah
engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika
memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa
ketika kau bunuh seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan
mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah hukumanmu!” Kembali tampak
sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma
terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah
tak berjari itu.
“Aduhhhh.... mati aku....
aduh, ampunnnn.... taihiap....!”
“Mintalah ampun kepada Tuhan,
atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat
mengampunimu!” Pedang di tangan Han Han berkelebatan seperti kilat
menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit mengerikan yang keluar dari mulut Giam
Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu
benar-benar amat mengerikan. Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari
kakinya, kemudian alat kelaminnya dibabat pedang sehingga terputus. Darah
muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan dan
mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih. Han Han tertawa, suara
ketawanya tidak seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan
suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyoraki kemenangannya!
“Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau!
Hendak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Ha-ha-ha!”
Sejenak Han Han seperti
menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh
telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan berkelojotan,
sepasang mata di muka calon mayat yang terbelalak penuh ketakutan, mulut yang
menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuk-nusuk. Kemudian Han Han
tertawa lebih keras.
“Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu!
Lihatlah musuh besarmu!” Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini
menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang itu. Tidak terlalu dalam, hanya
menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah
disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka sampai ke kakinya menjadi merah
oleh darahnya sendiri! Bukan main rasa nyeri diderita orang ini karena pedang
itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan
sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan. Sambil terus
tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma
ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke
bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak
tertutup lagi itu berhamburan keluar semua! Han Han masih belum puas, karena
iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya
menyambar-nyambar. Leher itu putus, disusul pinggang dan dalam sekejap mata
saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa potong!
Han Han berdiri
terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging berdarah
yang berceceran di depannya, matanya terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan
pedang bernoda darah di tangan kiri, lampu di tangan kanan. Tiba-tiba
kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya yang terbelalak dan
yang tadi bersinar ganas dan liar, kehilangan sinar itu, terganti sinar penuh
takut dan ngeri. Dengan tangan menggigil ia melempar pedang yang berlumuran
darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip memandang daging
berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia diserang
demam.
“Tidak! Tidak!” Ia
menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bahwa pemandangan
mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan
menutupi muka, terus menggeleng-geleng kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang
seperti pohon muda terlanda angin besar.
“Tidak....! Tidak
mungkin....!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke kanan
kiri mencari-cari.
“Iblis....! Iblis menguasai
aku! Iblis, di mana engkau....? Harus kuhancurkan engkau!” Tubuhnya melesat ke
sana ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah suara hiruk-pikuk.
Kereta hancur, empat eker kudanya terlepas dan lari ketakutan. Pohon-pohon di
sekitar tempat itu jebol dan tumbang.
Akhirnya Han Han roboh
terkulai di atas tanah dan menangis. “Ibu.... Ibu.... mengapa aku menjadi
begini? Iblis.... mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau
boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan membunuh
keluargaku. Akan tetapi.... ya Tuhan.... yang kulakukan tadi.... ah, jauh lebih
kejam....! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak
lebih baik daripada engkau....!”
Tiba-tiba Han Han mencelat dan
lenyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya, “Tuhan.... ampunkan
aku.... Ayah Ibu, ampunkan aku....!” Disusul suara tangisnya dan tubuhnya berkelebatan
keluar dari tempat itu, menuju ke kota Toang-koan-bun kembali.
Peristiwa yang terjadi di
hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada
setiap manusia. Manusia adalah mahluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi
nafsu-nafsunya sendiri. Sekali nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi
miring, akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap sinarnya, tertutup oleh
uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar. Han Han dikuasai nafsu dendam
kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya menguasai
dirinya sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah
kejamnya dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira
itupun dikuasai nafsunya. Setelah iblis atau nafsu meninggalkannya dan ia
sadar, penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata pemuda itu betapa
kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya akan
wejangan-wejangan kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman
dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia
yang lemah.
Han Han lupa bahwa dahulu ia
menganggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa perbuatan jahat harus
dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu sendiri akan menjadi kotor
dan tidak murni, tidak adil lagi kalau pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu
dendam dan kebencian. Dengan demikian bukanlah keadilan lagi namanya, melainkan
kejahatan dalam bentuk lain! Keadilan hanya murni kalau dilaksanakan tanpa
pengaruh benci dan suka, tidak berat sebelah dan pelaksanaannya hanya demi
keadilan itu sendiri yang sudah ada batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.
Memang tidaklah mudah bagi
orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan menghayati filsafat
itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat kuat sifat mementingkan
diri pribadi (egoism) yang tentu saja amat berguna untuk mengejar cita-cita dan
mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat ini maka mudah sekali menjadi mangsa
nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri. Terutama sekali dalam soal
mendendam, bagi orang muda amat sukariah untuk menekan nafsu amarah dan dendam
kebencian yang menciptakan keinginan melihat orang yang dibencinya itu
mengalami siksa sehebat-hebatnya. Terciptalah sifat kejam (sadistic) yang
dibentuk nafsu marah dan benci, ingin melihat orang yang telah mencelakakan
dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa malapetaka yang lebih sengsara lagi!
“Lulu.... ah, Adikku Lulu....
di mana engkau....?” Han Han berloncatan dan kini ia
mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa
air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada sesuatu yang dapat
menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang
menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan sengsara
seperti ini.
Teringat akan Lulu, hati Han
Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke
Tiang-koan-bun yang sudah tampak dalam cuaca pagi yang remang-remang.
“Aihhhhh....!”
Jerit yang hanya satu kali
ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han.
Itulah jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri,
memasuki hutan kecil dari mana ia mendengar suara jerit itu. Dan di belakang
beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan yang membuat
mukanya menjadi merah sekali. Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa
sedang mempermainkan seorang wanita muda yang cantik. Lai Kwan menelikung
lengan wanita itu dari belakang dan mendekap mulutnya. Wanita yang kelihatannya
memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng
merenggut pakalan wanita itu sehingga terlepas dari tubuhnya dan terobek,
membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning langsat! Di atas tanah
menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.
“Kuda betina ini liar! Lebih
baik bunuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru karena la kewalahan
juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.
“Wah, sayang kalau dibunuh
begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng meraba dada
yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan,
apakah engkau tidak mau....?”
Wajah Lai Kwan merah sekali.
“Aku.... aku.... tidak pernah, Kongcu....”
“Ha-ha-ha-ha! Benar-benar
engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar,
ha-ha!”
“Akan tetapi.... itu.... itu
perbuatan rendah....” Lai Kwan berkata lagi.
Ouwyang Seng yang sudah hendak
merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang Lai Kwan. “Ucapanmu
sungguh tolol Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia
agaknya seorang petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik
lewat perbatasan. Dia ini amat berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau
sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah, wajahnya yang manis ini?
Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita kenyang
menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”
Gadis itu meronta-ronta dan
hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan. “Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu.
Wah, dia kuat bukan main!”
“Ha-ha-ha, lebih baik dia
meronta-ronta begitu daripada ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia
di rumput dan kaupegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya
menendang-nendang, ha-ha-ha!”
“Tidak, Kongcu.... aku.... aku
malu melihatnya. Biar kuikat dia.... eh, dia terlepas....!”
Lai Kwan yang melepaskan
sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan tergantung di
punggungnya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata tidak kuasa
lagi menahan ketika gadis itu meronta dan terlepas, kemudian gadis itu membalik
cepat, mengirim tendangan ke arah selangkangan Lai Kwan dengan cepat dan kuat.
Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil melepaskan senjatanya,
tali hitam.
“Ha-ha-ha, biarkan dia lepas,
mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih menggembirakan begitu. Ha-ha, lari
tanpa pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang Seng tertawa.
Cadis yang sudah telanjang
bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan membalikkan tubuh melarikan diri.
Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan sebagai cambuk itu
mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke depan, hendak menjerat leher si
gadis yang melarikan diri.
“Ahhh....!” Tiba-tiba Lai Kwan
berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki
buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di
balik batu besar.
“Engkau.... Sie Han sute....?”
Lai Kwan berseru kaget.
“Ha-ha-ha, kiranya Han Han si
bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sutemu? Punya sute kurang
ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang
dengan kening berkerut.
Gu Lai Kwan mengerahkan
tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak mau
melepaskan gigitannya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan
tetapi, betapapun ia nengeluarkan semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak
sedikit pun dari gigitan Han Han!
“Han Han, lepaskan senjataku!”
Lai Kwan membentak. “Kalau tidak....”
Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang
dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak, tentu
ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah
mukanya ketika Han Han melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan menghadapi
Han Han dengan muka merah.
“Gu Lai Kwan, sampai begini
jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba kepada pemerintah
Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan dimaafkan, akan tetapi engkau
menjadi pembantu Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa wanita! Ke
manakah perginya kegagahanmu sebagai murid In-kok-san?”
“Han Han, kaki buntung yang
lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang
tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan sesuka hati yang menawannya.
Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa wanita!”
“Lai Kwan, bocah buntung ini
sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun
sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap saja atau bunuh!” Ouwyang Seng
berseru.
Lai Kwan memang merasa agak
jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu kepandaian
dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya,
biarpun tadi sin-kangnya masih luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat
mengalahkan tenaga Han Han, dia merasa yakin bahwa dalam pertandingan, pemuda
yang buntung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan mudah dikalahkan.
Apalagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian
lebih tinggi dari padanya.
“Han Han, engkau menyerahlah
agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”
Han Han menghela napas
panjang. “Sayang seorang muda perkasa seperti engkau, kini tidah lebih hanya
seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah majikannya.”
“Keparat buntung!” Lai Kwan
marah sekali dan tali hitam di tangannya bergerak, mengeluarkan suara
“tar-tar!” dan berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ke arah
kepala Han Han.
“Wuuuttttt....!” Han Han
menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat
rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung
cambuk menotok tiga jalan darah di tengkuk, punggung dan lambung.
Han Han masih tidak bergerak,
bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya memang
lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal
kembali dan dari belakang tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih
dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga serangan membalik inilah yang sering
kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak menduganya, maka ia merasa
yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara
tepat sekali.
“Tes! Tes! Tes!” Memang tiga
kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han
Han sama sekali tidak bergeming, apalagi roboh seperti yang dan disangka Lai
Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan
tongkat di tangan kirinya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan
Lai Kwan yang memegang cambuk.
“Ayaaaaa....!” Lai Kwan cepat
meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.
“Lai Kwan, jangan engkau turut
campur. Aku mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Ouwyang Seng!”
“Setan buntung sombong kau!
Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!” Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali tangan
kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah
sinar yang menyilaukan mata. Pedang itu terbuat daripada logam yang putih dan
sinarnya menyilaukan seperti sinar matahari.
Lai Kwan yang sudah dirampas
senjatanya, pulih kembali ketabahannya melihat kawannya sudah mencabut
pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan
memukul dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan
kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Han Han dengan ilmu pukulan
Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh. Agaknya karena maklum akan
kelihaian Han Han, sekali menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah
mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang
amat hebat dan sukar dilawan!
Ouwyang Seng bukanlah seorang
bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain
menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan
Hwi-yang Sin-ciang, juga pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu
silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai, dan ia bahkan memiliki
pedang terbuat daripada logam putih yang luar biasa, pedang yang bernama
Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan Gak Liat sendiri telah menciptakan
ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu pedang yang pernah dipelajari
Ouwyang Seng yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat, sesuai
dengan nama pedangnya!
Sekali pandang saja, ketika
Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal terhadap totokan, bahkan dalam
segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa
Han Han yang dahulu memang amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh gurunya
dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kakinya ternyata tidak kehilangan
kelihaiannya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu
untuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar menyilaukan,
menyerang Han Han dari belakang.
“Syuuutttt.... syuuuttt....!”
Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.
“Ciuuutttt.... singggg....!”
“Heiii....! Ayaaa....!”
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han
melambung ke atas dan karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah
serangan dari depan dan belakang sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa
pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng. Keduanya kaget dan
cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri. Dengan
enak saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan
kanan turun lagi, berdiri di atas tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa
dibantu tongkat.
“Ouwyang Seng, jawablah, di
mana adanya Lulu Adikku?”
Ouwyang Seng memandang marah.
“Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya dan pedangnya sudah meluncur
ke depan menusuk dada Han Han. Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih hebat
daripada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu tubuh Han Han sudah pindah tempat.
“Ouwyang Seng, jawablah.
Dahulu engkau menculik Lulu....” Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain
tempat merghindarkan serangan susulan dua orang pengeroyoknya, lalu menyambung,
“.... dan adikku itu lari dari istana. Di manakah dia sekarang....?”
Ouwyang Seng menjadi penasaran
bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng, akan
tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu saja, gerakannya
demikian cepat seperti menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua
itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya, malah sambil bicara!
“Dia sudah minggat, mana aku
tahu?” Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan main
menyaksikan kehebatan gerakan Han Han. Dulu sebelum buntung, tidak sehebat ini
kelincahan Han Han. Bagaimana sekarang setelah buntung malah menjadi begini
lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa
Han Han selalu mencelat ke atas kalau diserang. Ia hendak memapaki tubuh Han
Han kalau mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang Ouwyang Seng.
“Ouwyang Seng
bersumpahlah....” Han Han benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang
yang menyilaukan itu meluncur ke arah lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat,
dengan girang memapaki tubuh Han Han dengan dua pukulan saktinya.
“Syuuut.... syutttt!” Lai Kwan
berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong.
Bayangan tubuh Han Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke
kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya, “....
ber sumpahlah bahwa kau benar-benar tahu di mana adanya Lulu!”
“Setan! Mampuslah!” Kembali
Ouwyang Seng menyerang, ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok,
melainkan memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk
lingkaran-lingkaran yang makin lama makin lebar dan lingkaran itu mulai
mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap menyambut
dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang
kini benar-benar mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.
Han Han berdiri tenang saja,
menanti sampai lingkaran sinar pedang itu makin menyempit, makin menghimpit dirinya
dan tiba-tiba pada saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak membabat
pinggangnya, Han Han menggerakkan tangan dan seperti seekor ular hidup, pecut
yang dirampasnya dari tangan Lai Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan
di lain detik pedang itu sudah terbelit oleh cambuk hitam! Ouwyang Seng
berseru kaget dan mengerahkan tenaga membetot untuk merampas kembali
pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau perlu membabat putus cambuk itu
dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi pedangnya seperti telah melekat
dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.
“Bersumpahlah....!” Han Han
yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan, mempertahankan
dengan menyalurkan sin-kang menggunakan tenaga “menempel dan menyedot”.
Melihat kesempatan baik selagi
Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari belakang
menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat
kuat. Hawa dingin sekali menyambar ke arah punggung sebelum kepalan yang
memukul itu sendiri tiba.
“Desssss....!” Lai Kwan merasa
betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa
dinginnya, seperti sebongkah batu dilempar ke telaga.
“Ayaaaaa....!” Ouwyang Seng
yang masih membetot-betot gagang pedangnya, tiba-tiba merasa betapa ada hawa
dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia
terkejut dan cepat melepaskan pedangnya, terhuyung ke belakang dengan muka
pucat.
Lai Kwan yang kaget merasa
betapa tenaga sin-kangnya amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya
terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya
pening, tubuhnya menggigil karena terasa dingin sekali. Tadi ia dilontarkan
oleh hawa pukulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han Han. Cepat ia
duduk bersila untuk mengerahkan sin-kang dan memulihkan kesehatannya maklum
bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah membalik dan
melukai dadanya!
“Ouwyang Seng, apa sih
sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.
Ouwyang Seng bangkit berdiri
dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahWa pemuda buntung di depannya ini
luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih
nekat hendak melawan. Maka ia tersenyum dan berkata.
“Adikmu itu aneh seperti
engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah
minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak!
Malah menjadi anak buah Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho.
Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah adikmu itu mati atau hidup,
siapa yang tahu?”
Han Han memandang tajam penuh
selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama
Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana
adanya Lulu sekarang?
“Ouwyang Seng, benarkah engkau
tidak tahu di mana adanya adikku sekarang?”
Ouwyang Seng menggeleng
kepala.
“Bersumpahlah!”
Sepasang mata pemuda bangsawan
itu memancarkan kebencian. “Setan engkau, Han Han! Tidak percaya kepadaku?
Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang!
Dan aku bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!”
Han Han mengerutkan keningnya.
Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa mendengar bahwa
pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan
cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk
bersila.
“Lai Kwan, kalau aku mengingat
bahwa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam, agaknya
sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan
melakukan hal bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya
melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan di
antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat.
Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouwvang Seng
amat berbahaya, akan menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan!
Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan biasanya mudah tersesat,
karena mereka mengandalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan semua ini
timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu mementingkan kesenangan
pribadi, mabuk pangkat dan mabuk harta, tidak memperhatikan pendidikan
anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua sendiri sudah
mencandu melakukan kemaksiatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi kebaikanmu
sendiri!”
“Han Han manusia sombong
engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan pemuda
itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku mendengar
ocehannya, dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”
Han Han hanya menarik napas
panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak
kecil, pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun, putera pangeran
itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong den memandang rendah
orang lain. Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik
dari Ouwyang Seng? Hemmn, ia kini meragukan hal itu. Dia keturunan bangsawan
yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan
jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri
dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga).
Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian (Dewa),
tentu kejahatannya sudah melewati takaran! Menurut cerita Im-yang Seng-cu,
kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai
yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka! Keluarganya,
kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang
menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi orang-orang yang tak berdosa,
dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan seperti
manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan
membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil
senjata masing-masing.
“Kenapa kau membiarkan mereka
pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan
penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu
akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin
Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat. Han Han berkata suaranya
lemah, sama sekali tidak bersemangat.
“Saya bukan anak buah Bu Sam
Kwi.”
“Ehhh! Kalau begitu, kenapa
kau menolong aku?”
Mendengar suara yang lincah
galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah
dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak
melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat!
Begitu telanjang seperti bayi baru lahir aka' tetapi juga begitu wajar
seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali. Gadis itu
memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, wajahnya
yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat
menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah
dikalahkan, tidak dibunuh.
Han Han masih terbelalak.
Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang
bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini
menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo seperti terkena
hikmat mujijat. Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas
merayapi kulit tubuhnya yang halus, ia membalik menghadapi Han Han. Melihat
sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan
penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil,
jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari
tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa
hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar
kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya
mencaci-maki!
“Laki-laki monyet binatang
hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit
tak tahu malu....!”
Han Han yang tadinya hanya
membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan matanya
dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap, “Nona.... eh....
apa maksudmu....?”
“Matamu itu! Mata jahat! Mata
cabul! Matamu melihat apa, heh?”
Baru sekarang Han Han
berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia
menampar kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!
“Eh....! Eh, apa kau
gila....?”
Akan tetapi Han Han tidak
mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan
tetapi tiba-tiba gadis itu meloneat maju dan menangkap tongkat itu. “Eh, kau
benar sudah gila! Celaka benar....!”
Han Han teringat bahwa kalau
tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu
kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang,
meloncat bangun membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan
pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan....
pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya! Gadis itu memandang
dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke
arah Si Gadis di belakang tubuhnya tanpa menengok berkata.
“Nih, pakaianmu, pakailah
Nona!”
Gadis itu menyambar pakaiannya
dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai
pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung
yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang,
kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan pakaian luarnya. Biarpun pakaian
luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh
pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia
berkata.
“Sudah.... sudah kupakai....”
Barulah Han Han berani
membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang
dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata, “Maafkan aku, Nona. Aku
tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku.... aku memang kurang
ajar, biadab.... selamat tinggal....!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan
terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.
“Eh, nanti dulu....!” Akan
tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi
tiba-tiba ia berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah
ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan
menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga
buah mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apalagi ketika gadis itu
dalam tangisnya menyebut “ayah.... ayah....” ia lalu meloncat dan sekali loncat
saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu. Dilihatnya bahwa yang ditangisi
gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun,
tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar
berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang
laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya besar.
“Nona, yang sudah mati tiada
guna ditangisi, takkan hidup kembali....”
Tiba-tiba nona yang menangis
itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang
disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak
diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang
aneh itu, ia marah sekali.
“Kau....! Aku sudah tahu bahwa
orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku,
apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air
matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau menghina
seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?” Tiba-tiba gadis itu menerjang
maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah
menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan
gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena
melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak takut menerima totokan
jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan
sin-kang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di
samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya. Maka Han Han lalu
miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa
tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu
kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia,
gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga
aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang
lajim dilakukan ahli totok jalan darah!
“Plak-plak-plak....!” Han Han
menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan
sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat
lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han
tertarik dan kagum. Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan
agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Liang sungguhpun keistimewaan
ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah
seorang ahli totok satu jari yang memiliki gin-kang cukup hebat, sungguhpun
tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis
itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi
bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!
“Eh, di mana kau....?” Gadis
itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya,
akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
“Eh, menghilang? Kau
setankah....?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya
tubuh Han Han.
Karena gerakan-gerakannya yang
cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan.
Biarpun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian
dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk lengkung dan
tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh ke
belakang dan berseru.
“Stoppp....! Berhenti, Nona.
Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud
menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”
Gadis itu cemberut dan
teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan,
telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata
penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini
merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!
“Kau hendak menghibur ataukah
mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi?
Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan
yang tak kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?”
Han Han menghela napas. Kalau
gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia
sudah pergi. Galak bukan main dan.... tidak mengenal budi!
“Maafkanlah Nona kalau
kata-kataku kauanggap keliru. Nah, lanjutkantah tangismu, aku tidak akan
mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”
“Kau mengejek, ya? Biarpun kau
sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan
apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”
Celaka, pikir Han Han. Bicara
begini salah, begitupun tidak betul. Lebih baik tidak bicara. Dia hanya
mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka
itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas
sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang
luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan keindahan tubuhnya dan
kecantikannya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, melainkan
mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.
“Heh, jawablah! Aku tidak
takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau
tahu?”
Han Han memandang gadis itu
dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biarpun bersikap galak
seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.
“Jadi engkau tidak mengejek
aku?”
Han Han menggeleng kepala.
“Dan engkau mengapa kembali
lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan
mengejekku, bukan?”
Han Han menggeleng kepala.
“Kalau begitu, mengapa engkau
menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya
tadi?”
Han Han mengangguk.
Gadis itu bertolak pinggang
dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk. “Eh,
pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi
kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba
menjadi gagu?”
Han Han menarik napas panjang.
Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat
(kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan
marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai
menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa
repot dia!
“Nona, aku tidak gagu. Aku
tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira
aku mengejek dan menghina.”
Gadis itu memandang wajah Han
Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah berkedip,
menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik
lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan
melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang
diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!
Tiba-tiba sikap kaku gadis itu
berubah dan dia berkata lirih, “Maafkan aku.... maafkan bahwa aku telah salah
duga.... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak
kenal budi. Akan tetapi tadi.... mata In-kong.... sungguh.... mengerikan
hatiku....” Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis.
Biarpun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar
amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau
sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis inipun aneh, sekejap
marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah
menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata
hati-hati.
“Nona Tan, marilah kita
mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”
Tan Hian Ceng, nona itu,
menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk.
“In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang
pasukan Mancu.... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku
ini?”
Han Han sebenarnya merasa
geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia
dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab, “Tentu
saja. Marilah, Nona.”
Gadis itu kembali bengong
terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu
menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat
tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa
yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia
menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan
seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan
manusia!
Tiga jenazah itu lalu
dimasukkan lubang. Dengan suara penuh duka, setelah tiga jenazah dimasukkan
lubang, Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.
“Ini adalah ayahku, seorang
pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa bangsa, bernama
Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu
Jari).” Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah
ia mengapa gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan
darah di tubuh lawan.
“Dia itu adalah Paman Giam Ki,
seorang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin
Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”
Han Han juga pernah mendengar
nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu.
Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).
“Dan yang itu adalah seorang
sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan.
Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya,
dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan
yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di Se-cuan.”
Han Han kagum dan terharu.
Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biarpun sudah tua namun masih
bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas
mengorbankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia
dan lebih berguna daripada dia! Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa
Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itupun seorang gadis Mancu pula? Dan
keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu
adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan
tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan
kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak
angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya! Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang
yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa betapa
dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri
berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata
mengalir turun dari kedua matanya!
Hian Ceng melongo memandang
Han Han, air matanya nerocos turun mengalir di kedua pipinya. “In-kong....
engkau.... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku,
In-kong.... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi.... kiranya In-kong
adalah seorang pendekar sakti yang budiman....”
Han Han bangkit
perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya. “Nona Tan, aku hanya seorang yang
rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini
aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.”
Hian Ceng kini sudah berubah
sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri. “Baiklah, In-kong....”
ia lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan
ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sin-kangnya,
mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat
tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat
tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini
dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah
teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!
Hian Ceng menjatuhkan diri
berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan.
Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia
lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan
batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut
tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga
sin-kang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.
Sepanjang usia dicurahkan
membela bangsa
tak kunjung padam sampai nyawa
meninggalkan raga
Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai
tiga pahlawan
patut dijadikan sari tauladan!
Wi-bin-wi-kok,
hiap-ci-tai-cia!
“Indah sekali.... ah,
In-kong hebat luar biasa....!” Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian
Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata
bercucuran.
“Ah, tidak ada artinya, Nona.
Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”
“Akan tetapi.... batu ini
begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke
depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?” Hian Ceng terbelalak. Ayahnya adalah
seorang ahli lwee-keh, memiliki tenaga lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat, dan
dia pun telah mewarisi tenaga lwee-kang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi
ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar
ini.
“Biarlah aku yang
menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”
Hian Ceng melompat menjauhi
dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu
menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan
sin-kang, tongkat dipantulkan dan.... batu besar ini melayang dan jatuh
menimpanya!
“Ahhhhh.... awas!
In-kong....!” Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan
tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda
berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian berloncatan
dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu
itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!
“Bukan main....!” Hian Ceng
berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han. “In-kong.... kiranya
In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di
Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu
In-kong akan ke sana, bukan?”
Akan tetapi betapa kecewa hati
Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepada. Han Han yang memandang
wajah gadis melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga
tentu biasanya cerah itu, cepat ia berkata.
“Tidak, Nona. Aku.... aku
bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau.
Aku.... aku hendak mencari adikku.”
Gadis itu menggeleng
kepalanya. “Sukar dapat dipercaya! Seorang gagah perkasa seperti In-kong,
seorang yang memiliki kesaktian hebat.... yang budiman tidak membantu
perjuangan? Ah, betapa mungkin.... dan siapakah adikmu kalau aku boleh
bertanya, In-kong?”
“Adikku bernama Lulu, sudah
hampir dua tahun lenyap.... sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil....”
Mendengar suara Han Han yang
penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan. “Yang terakhir kalinya engkau mendengar
adikmu itu berada di mana, In-kong?”
“Di lembah Huang-ho, bersama
Lauw-pangcu....”
“Eh? Lauw-pangcu ketua
Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.
“Benar, dia diambil anak
angkat oleh Lauw-pangcu....”
“Ah....! Kalau adikmu
itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia
lenyap tak dapat kautemukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua
pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan dan aku
tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”
“Memang tadinya aku hendak
mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat....”
“Wah, In-kong sahabat baik
Hoa-san Gi-hiap?”
Han Han mengangguk. “Kami,
yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian....”
“Puteri Lauw-pangcu, murid
Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.
Han Han mengangguk, girang
bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh pejuang. “Kami berjanji
akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan
sisa-sisa anggauta Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di
lembah Huang-ho....”
“Aaahhhhh....!”
“Lauw-pangcu juga gugur dalam
penyerbuan itu.”
“Ahhhhh....!”
Tiba-tiba terdengar derap
banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata, “Mereka datang, In-kong, mari
kita lari. Cepat....!”
Gadis itu dalam ketegangannya
agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han
Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau
pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu
melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum
tentu akan mudah bagi Hian Ceng untUk menyelamatkan diri. Maka ia tidak
melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan
tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa
meloncat-lonca dan melayang-layang.
“Heiii.... eeeiiitttt.... eh,
kita terbang....!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama
kemudian ia tertawa-tawa gembira.
“Waduhhhhh.... hebat
sekali.... eiiihh, ngeri.... terlalu tinggi kita meloncat.... aihhhhh!” Saking
ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan
mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan
mata dan merangkul Han Han!
Han Han mendiamkannya saja,
bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda.
Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh
Hian Ceng. “Kita sudah aman, Nona.”
Hian Ceng turun dan membuka
matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata
penuh kagum. “In-kong, aku kagum sekali.... ah, betapa senangku dapat
berkenalan denganmu, In-kong.”
Han Han memandang wajah Hian
Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan
yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan
kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.
“Nona, engkau mengingatkan aku
akan adikku, Lulu.”
“Ah, adikmu tentu cantik
jelita sekali, In-kong!” kata Hian Ceng ketika mereka melanjutkan perjalanan.
“Memang cantik jelita dan
manis sekali, Nona.”
“Dan dia tentu amat lihai.”
“Memang dia amat lihai!”
“Dan dia tentu amat
menyenangkan hati, In-kong.”
“Memang sesungguhnyalah dia
amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”
Hian Ceng tiba-tiba
menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil
menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, “Kalau begitu, In-kong
telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!”
Nah-nah-nah, sudah kumat lagi,
pikir Han Han. “Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan
bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?” Dia
benar-benar tidak mengerti karena biarpun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan
mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan
tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari!
“In-kong bohong! Kalau begitu,
mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu?”
Han Han mengangkat alis
membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi
mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi.
“Oohhh.... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir
sama dengan wataknya.”
“Akan tetapi dia cantik
manis....”
“Engkau juga.... ehhhh!” Han
Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini
gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan,
“Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati....”
Dengan muka berseri girang
Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, “Aku akan mencari adikmu sampai
dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan,
aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia,
akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah
kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai
penyelidik. Sssttttt.... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di
depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh
melakukan penjagaan keras.”
Dari tempat yang agak tinggi
itu Han Han memandang tajam ke depan. “Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.”
Gadis itu mengangguk. “Itulah
bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan, akan terjebak,
mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari
seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang
mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang
memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan
di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana
terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di
situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan
kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang
lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur, yang hendak
melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh
mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”
Han Han bergidik, teringat
akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para
pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai
musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula
membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan
perbuatan kejam yang harus ditentang.
“Kalau jalan itu demikian
berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan
lain yang lebih aman?”
“Jalan depan itu yang terdekat
dan bagiku, yang paling aman.”
“Eh, bagaimana bisa begitu?
Bukankah kaukatakan tadi bahwa....”
“Bagi yang tidak mengerti
bagaimana akalnya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari
banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat....” dia berhenti sebentar,
teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas, “kami selalu menggunakan
jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah
Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah
Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan
lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”
Han Han memandang daerah yang
dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia
melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga
biru. “Kaumaksudkan sungai itu, Nona?”
“Benar, sungai yang mengalir
ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan
melalui sungai itu.”
“Naik perahu?”
“Tidak mungkin naik perahu,
In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan
tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan
dengan panah api....!”
“Habis, bagaimana?” Han Han
memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa
dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi
pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena
kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi
“pemimpin”!
“Marilah, In-kong. Aku akan
menunjukkan jalan dan caranya nanti!” Hian Ceng memegang tangan Han Han dan
menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam. Melihat jurang yang
dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya
Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja
turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling. Akan
tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu
hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat
menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai,
menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan
kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.
Akhirnya mereka tiba di tepi
Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di
tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat
sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu
ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum
perbekalan mereka.
“Kita bunuh mereka dan rampas
perahunya?” bisik Han Han.
Hian Ceng menggeleng kepala
dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik, “Jangan, kalau kita
bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan
perahu itupun tidak ada gunanya bagi kita.”
Akan tetapi Han Han hampir
tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu
bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup
telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis, jantungnya berdebar
keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti
sekarang ini. Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika
berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi
merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak
sadar dan diamuk gairah nafsu berahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah.
Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar
dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya. Dan selain peristiwa
itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung
pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan
sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan
tetapi, hal itupun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya
buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam
kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan
sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!
“Lalu.... bagaimana....?”
bisiknya.
“Kau pandai renang.... ah,
maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa....” Gadis itu melirik ke arah kaki yang
tinggal satu itu.
Han Han menghela napas, bukan
karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi
baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa
kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.
“Akan tetapi memang tidak
perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. “Aku
memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di
bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa
susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman.”
Han Han mengangguk-angguk.
Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena
kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus
terjebak!
“Baik sekali, Nona. Akan
tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”
Gadis itu tersenyum, senyum
kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan
itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat
itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya.
“Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari
permukaan air.”
Har Han memandang kagum.
Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan
dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang
cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh dalam air, berarti sama sekali
tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar. seolah-olah hanya
menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu. Menggantungkan nyawa kepada
batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan
orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, “Aku akan mencari batang
pohon itu di sana.” Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan
lenyap. Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di
perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han.
Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat
sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap
begitu saja dari depan hidungnya!
Karena percaya penuh akan
kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai
mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga
batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan
tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.
“Batang pohon sudah siap di
sana, dekat tikungan.” Ia menuding.
“Bagus, mari kita ke sana,
In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”
Berindap-indap mereka lalu
maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara
di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian
Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali
tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut
akarnya! Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang
pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan
mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung
mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun
pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan
cepat karena arus air kuat juga di bagian itu. Han Han bergantung pada dahan
pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang
kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri,
tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan
menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?
Tiba-tiba tangan Hian Ceng
mencengkeram lengah Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas
yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi
lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada
perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di
antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu
berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di
tangan. Seorang di antara mereka berteriak.
“Awas kawan! Di hawah pohon
ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!”
Han Han terkejut sekali.
Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan
disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat
Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk
dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!
Cepat Han Han menyelam lagi
dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya,
mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan
lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han kagum sekali melihat
betepa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari
tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang
telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan
Hian Ceng. Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain
tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan
mayat-mayat mereka dengen tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala
ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa
itu tidak teriihat oleh tentara lain.
“Kita harus membawa mayat
mereka ke tepi, kalau terhanyut, kita celaka....” kata Hian Ceng yang hendak
berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.
“Biarkan aku melempar mereka
ke darat!” Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan.... tubuh seorang
tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan
tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai.
Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan
mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak
panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada
tanah!
Mereka cepat menyelam lagi.
Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka
mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan
air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng
mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang
diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin
menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak
mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan
hidung untuk memuji.
“Kita sudah masuk perbatasan
daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu,
bisa masuk angin!”
Han Han hanya
mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu
membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang
memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali.
Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi!
Benar-benar wanita merupakan mahluk yang paling aneh, merupakan manusia yang
wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun
kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala,
menggaruk-garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk
telinga tanpa disadarinya.
“Heiiiiii....! In-kong, kenapa
kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?” terdengar teriakan gadis
itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian
kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!
“Aku heran mendengar engkau
mandi, Nona,” kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan
menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel.
Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana
yang dipakainya.
“Mengapa heran mendengar orang
mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”
“Bukan begitu maksudku. Baru
saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari.
Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”
“Mengapa tidak? Air Sungai
Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini suara gadis itu
terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak perlu lagi
membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.”
Han Han membalikkan tubuhnya,
duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan
tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu.
Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan
itu.
Sunyi sejenak. Gadis itu
memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari
bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian
Ceng, Han Han depat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang
robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.
“Mengapa diam saja, In-kong?
Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan
menyadarkannya dari lamunan.
“Eh, tidak apa-apa. Akalmu
tadi baik sekali, Nona.”
“Uh, baik apa? Buruk sekali!
Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh
sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.” Hian Ceng lalu
bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya
pakaian. Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis
pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya,
kemudian ikut dengan ayahnya ke manapun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu
pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian
besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat
liar! Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan
polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama
dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut
bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis
ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan
tidak merasa canggung biarpun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam
keadaan telanjang, biarpun tertutup semak-semak.
Setelah pakaian mereka kering
dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian
Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih,
rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han
Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.
“In-kong, marilah
kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!”
Ia lalu berlari-lari cepat. Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang
mendaki pundak itu dan kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan
kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini
hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti
sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah
gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja
ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya
tidaklah begitu buruk!
Tak lama kemudian tiba di
sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum
sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguhpun dia harus
mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang
sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak
terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang
sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang
sutera.
“Lihatiah, In-kong.
Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan
Min-san dibarat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san
ini, di lembah kedua gunung itupun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali
fihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu
dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat
perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat
tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan
Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan
Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh
Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan
bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang
Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan
Min-san.”
Sambil memandang ke sekeliling
dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang
keadaan dan daerah itu.
“Pusat pemerintah di mana
Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan
yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga
tempat, yaitu Cung-king, Kwan-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke
Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu
engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari
kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biarpun sekarang telah memasuki daerah
sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua
malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan
penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke
Cung-king.”
“Dan kau sendiri, Nona?”
“Aku akan pergi mencari
adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”
“Aku pun hendak mencari
adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan.”
“Benar, akan tetapi sebagai
seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau
tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi
In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah
kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap
Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”
Gadis itu pandai sekali
berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu
dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di
sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan,
gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat
istirahat.
Hian Ceng benar-benar mengenal
daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor
ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan
memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih.
Malamnya, Hian Ceng yang sudah
lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin
sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena
gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di
tempat ini tidur saja di ataS dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti
ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis
yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya
miring.
“In-kong, mari kita tidur.
Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”
Wajah Han Han merah sekali mendengar
ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna
mukanya. “Tidurlah, Nona.”
“Eh, masa engkau duduk saja?
Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama
Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di
sini.”
Akan tetapi tentu saja Han Han
hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan
menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam
terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya,
menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di
depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata
Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni. Akan
tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban,
segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping
seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih
tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya
ini? Tak mungkin!
Perut yang kenyang membuat Han
Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia
tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.
“Huhhhhh.... dinginnnnn....!”
Suara Hian Ceng membangunkannya dan ia melihat api unggun hampir padam. Hawa
malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin.
Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung
bukan apa-apa! Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak
menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai
terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri,
kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar
macam tubuh ular!
Han Han merasa kasihan, lalu
menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan
satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati
Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.
Hian Ceng menghela napas
senang, tangannya meraih “selimut” ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya
mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik “selimut” itu makin ke atas dan
memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak
berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu
akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan
didekap ke atas dada Hian Ceng. Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung
gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda
bahwa gadis itu sudah pulas. Akan tetapi tangannya didekap dengan kedua tangan
oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding,
menekan perasaannya, “mematikan” perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu
ia pun tertidur.
Paginya, kokok ayam hutan dan
bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat
menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu
kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan
pakaiannya yang semalam ia selimutkan gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan
melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang
memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis
itu menengok dan berkata mencela.
“In-kong, engkau sungguh
terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”
Han Han menjadi merah mukanya,
teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang
sungguh tidak patut sungguhpun tidak ia sengaja.
“Nona, sepagi ini sudah
memanggang daging?”
Nona itu tertawa. “Lekaslah
mencuci muka, daging sudah hampir matang!”
Han Han tersenyum dan
menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu.
Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan
panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk
itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.
tersedia ceret untuk memasak
air dan beberapa buah cawan.
Setelah selesai makan daging
yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata, “Nona, mulai sekarang
harap kauhilangkan saja sebutan In-kong itu. Andaikata benar aku pernah
menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali
terhadap aku.”
“Habis, disuruh menyebut apa?
Kongcu?”
“Ihhh, orang macam aku mana
patut disebut Tuan Muda?”
“Ah, ya! Semestinya aku
menyebutmu taihiap!”
“Jangan, sebut saja namaku,
atau sebut saja twako karena aku lebih tua daripadamu, Nona.”
“Ah, mana pantas? Aku menjadi
tidak sopan kalau begitu!”
“Nona, setelah apa yang kita
bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat
lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita
bersopan-sopan?”
“Hemmm, kalau engkau begitu
sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan
kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau
engkau menyebutku adik, tentu aku akan menyebutmu kakak.”
Han Han tersenyum. Memang
harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa
likat dan janggal, malu-malu dan gugup. “Baiklah, Moi-moi. Baikiah, Ceng-moi
(Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku.”
“Twako siapa? Engkau sudah
mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong
besarku ini!”
Kembali Han Han tersenyum.
Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar mendatangkan kegembiraan mengusir
mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan
Lulu.
“Adikku yang baik, namaku Sie
Han. Akan tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.”
“Han-twako!” Dengan sikap
manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura
dan bersoja kepada Han Han.
Mereka melanjutkan lagi
perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba,
kembali mereka hermalam di puncak terakhir. “Sekali ini terpaksa kita harus
bermalam di bawah pohon, Twako.”
Han Han merobohkan seekor
kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang
sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu.
Mereka duduk berdekatan di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar
itu, melepaskan lelah. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan
tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada
gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.
“Lima tahun yang lalu, kdlau
tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,” kata Hian Ceng
sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan
dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.
“Mengapa? Apa yang terjadi?”
Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa
sinar bulan yang telah muncul tinggi.
“Kami diserang halimun
beracun....”
“Halimun beracun? Apa itu?”
“Aku sendiri tidak tahu,
Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu
mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia
yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku
kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti
yang dilakukan Paman Thio.”
“Apa penolaknya?” Han Han
tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”
“Api akan padam karena kayu
bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa
menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah
cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah
minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita
menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di
dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada
keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun
beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih
duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah
mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!”
Han Han tertarik sekali. Ia
membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa
dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang
menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan
dan sudah memiliki sin-kang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan
terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.
“Twako, celaka....!” Tiba-tiba
Hian Ceng berteriak kaget. Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api
unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap,
rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama tak tampak
sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!
“Han-twako.... halim....
mun.... beracun.... kita lari saja...., akan tetapi ke mana.... yang tidak
ada halimunnya....?” Suara Hian Ceng sudah menggigil dan agaknya gadis itu
takkan dapat bertahan lama. Memang terasa oleh Han Han betapa dinginnya kabut
hitam yang disebut halimun beracun ini.
“Han-twako....!”
“Ceng-moi, tenanglah. Ada aku
di sini, jangan khawatir.”
“Di.... dinginnn.... tak
tertahankan....”
“Menggeserlah, jangan
tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin.”
Hian Ceng tadi sudah
mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi percuma saja, hawa dingin makin
menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis
tertawa-tawa.
Ia masih dapat mendengar
perintah Han Han maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu dan
tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba lalu menempel di punggungnya,
tepat di tulang punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di
punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung.
Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu
perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh
tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke
ubun-ubun! Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan
nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja
ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han,
matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat
telinganya.
“Ceng-moi, jangan tidur....
kerahkan sin-kangmu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh
tubuh, kalau kau tidur, berbahaya....!”
Hian Ceng teringat dan menjadi
terkejut. Biarpun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan
sin-kangnya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini
mengalir kembali.
Kurang lebih sejam kemudian,
Han Han berkata, “Sudah aman.... kabut dingin sudah lewat!”
Akan tetapi begitu ia
menghentikan pengerahan sin-kangnya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan
ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring
maka dahinya menempel dagu Han Han!
Pemuda ini menghela napas
panjang, berbahaya, pikimya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau
saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sin-kangnya tidak
akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa
tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak
lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main
cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh
tubuhnya menjadi panas.
“Alangkah cantiknya.... bibir
itu.... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu,
kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah
apel.... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah
terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan
hatinya dengan suara merayu dan membujuk.
“Gila engkau!” hardik suara
lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!”
“Aaahhhhh, siapa bilang kotor
dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah
masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit.
Hayolah, sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia
tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan....” suara itu makin lembut,
“Andaikata dia tahu sekalipun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu
begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang....”
“Tidak!” Suara ke dua
membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!”
“Bukan mencuri....” bantah
suara ke dua halus, “baru saja kau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut,
dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang
menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra.... kau seorang laki-laki
muda, masa begitu bodoh....?”
Han Han memandang wajah itu,
bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya,
cantik jelita melebihi segala keindahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat
menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biarpun hanya satu kali,
biarpun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk sedikit
saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra! Han Han sudah menunduk, tiba-tiba
bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan
peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh
gairah dan berahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling
memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih
belum terlanjur!
Ketika bibirnya menyentuh
bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan
bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama
Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi
dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mujijat mendesaknya sehingga ia ingin
sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di
depannya ini? Mengapa?
Tiba-tiba Han Han merenggutkan
mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan membentak, “Bedebah Suma
Hoat....!” Tangannya yang mengerahkan tenaga sin-kang telah menghantam pohon
itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang
pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras daun-daunnya banyak
yang rontok berguguran!
“Aihhhhh....! Ada.... ada
apa....?” Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri
tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini
menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah
kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sin-kang sehingga pohon itu
roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.
“Si keparat engkau, Suma
Hoat....!”
Sudah ada sepuluh batang pohon
roboh oleh amukan Han Han.
“Han-koko....!” Seruan yang
merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu,
seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan
berbisik.
“Lulu....!” bisiknya
mengandung isak.
Hian Ceng menubruk dan
merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.
“Han-koko....! Kau
kenapakah....?”
Han Han mengangkat tangannya,
mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu berahi
yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai
warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat
membelai rambut gadis itu tanpa nafsu berahi, sewajarnya timbul dari kasih
seperti kalau dia membelai rambut Lulu.
“Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi
aku mengusir setan....”
Tubuh gadis itu menggigil.
“Aihhh.... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi?”
Han Han mengangguk. Pada saat
seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan
yang sebenarnya. “Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah
pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.”
Setelah api unggun menyala dan
hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur.
Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau
ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak
tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.
“Twako, besok kita berpisah,
Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki
gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.”
“Hemmm, baiklah, Ceng-moi.”
“Twako, dua kali kau sudah
menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku daripada bahaya yang mengerikan
sekali, ke dua menyelamatkan aku daripada maut di cengkeraman iblis halimun beracun.
Twako, kau sungguh baik sekali....”
“Sudahlah, Moi-moi. Tidak
perlu menyebut-nyebut hal itu lagi....” Han Han mendekati api unggun dan
menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah....”
“Twako, aku akan mencari
adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk
mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu.... Twako, kau berjanjilah....
kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan
di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”
“Ceng-moi, hal itu belum perlu
dibicarakan sekarang. Tidurlah....” Suara Han Han terdengar terharu penuh duka,
dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin
membesar.
Tiba-tiba Hian Ceng sudah
berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan berkata, “Han-koko,
mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita sekali.... ah,
percayalah, Koko, aku akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk
membahagiakanmu....”
Han Han memandang dan betapa
kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata
Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li!
Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya
dengan halus.
“Ceng-moi.... maafkan aku,
biarkanlah aku sendiri.... tidurlah dan besok pagi kita bicarakan lagi....!” Di
dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan,
menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar dan mencoba tidur. Akan
tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi
api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur
pulas.
Akan tetapi, ketika sinar
matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya,
Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan
di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang
cukup jelas.
“Aku ke Cung-king, tak pertu
dikawal. Sampai jumpa.”
Hian Ceng menghela napas
panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan
tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa
pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan
agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali
menghela napas teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biarpun hanya
berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya. Ah, ia
merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang
menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat
mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa
malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan “iblis” yang
ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali
menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling
berlawanan!
Dia harus mencari Lulu sampai
dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi!
Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke
Kwang-yang.
Seperti ketika dia memasuki
kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya
tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita
cacad akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam
luar biasa itulah yang menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi
kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki
sebuah dunia yang lain. Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota
lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak
tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu
bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum
lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana
tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang
namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat,
tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.
“Sahabat muda, marilah singgah
di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan?”
Han Han menengok dan melihat
seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu
ketika melihat bahwa orang inipun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang
dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh
sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.
“Terima kasih, Paman. Aku ada
perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han Han ramah.
“Kalau begitu, mari kita minum
teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang
perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, aku pun kehilangan sebelah
kakiku dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal, jangankan hanya satu kaki,
biar nyawaku sekalipun kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman
penjajah!”
Han Han merasa jantungnya
tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan
kaki, namun orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak
percuma, melainkan untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan
merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung
dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi.
Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka
dengan wajah ramah.
Mereka makan bubur ayam dan minum
teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam
pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan
hati orang itu dan tidak menimbulkan kecurigaan, ia membenarkan bahwa ia
kehilangan kaki ketika ia membantu fihak pejuang dalam perang melawan penjajah.
Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.
“Paman yang gagah, terima
kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukanlah anggauta pasukan
pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus
kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”
Tiba-tiba laki-laki buntung
itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang
kaku, tidak seramah tadi, “Orang muda, di fihak siapakah kau berdiri? Pangeran
Kiu ataukah Raja Muda Bu?”
Han Han menjadi bingung dan
menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, aku tidak di fihak siapa-siapa.”
“Bagus! Mari kita keluar dari
sini dan bicara di luar.” Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng
tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung
jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, akan
tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.
“Hiante, engkau orang yang
baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah
kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa
sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kausampaikan kepada Bu-ongya, akan
tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan
faham sehingga timbul tiga macam faham. Pertama adalah faham Bu-ongya yang
bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan
kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante? Dan ke
dua adalah faham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk,
berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan fihak
Se-cuan. Nah, yang ke tiga adalah faham yang paling murni, tidak mementingkan
diri pribadi, yaitu faham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang
berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau
mendapat kemuliaan. Seperti.... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah,
kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak
mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang
tinggi!” Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri
termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam
bisikan-bisikan itu.
Ah, dia tidak akan peduli akan
urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara
Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana dan
dia tidak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang
merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu. Han Han
yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah
yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada
tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia
harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang
terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai
seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak
lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mereka itu bukan hanya membantu
penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah
sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata
untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, melainkan terutama sekali
untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu
untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adiknya Lulu,
juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan
memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman
dan kejahatan, dari manapun juga datangnya!
Dengan langkah lebar Han Han
menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa
orang penjaga segera menghadangnya dan tak lama kemudian ia sudah berhadapan
dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.
“Ho-han (Orang Gagah) hendak
mencari siapakah? Apakah hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan?” tanya komandan
jaga dengan sikap hormat. Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala,
tentu ia akan diberi jalan karena memang para penjaga sudah biasa melihat
orang-orang kang-ouw, yang aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han
Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk
menampung orang-orang gagah dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan
untuk menggabungkan diri menghadapi penjajah.
Akan tetapi Han Han menggeleng
kepala! Bahkan ia lalu menjawab, “Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya.”
Para penjaga itu terkejut dan
memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. “Ada keperluan apakah hendak
menghadap Ongya?”
“Urusan penting yang hanya
akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri.”
“Tidak begitu mudah, orang
muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau membawa
pesan, katakan engkau utusan siapa, agar kami dapat melaporkan ke dalam.”
Han Han menggeleng kepala.
“Laporkan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat
penting, aku membawa berita yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan.”
Ada yang terbelalak mendengar
ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya,
pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan Se-cuan? Seolah-olah
Se-cuan dapat diancam begitu saja!
Akan tetapi komandan jaga yang
dapat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat
sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.
“Kalau Ho-han hendak menghadap
Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!”
Han Han tidak tahu apa itu
yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han) dan ia pun tidak peduli
asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana
penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang dipimpin
Setan Botak. Ia mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu.
Mereka memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan
jaga, maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian.
Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hendak pergi ke Ho-han
Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih? Kakinya pun tinggal satu!
Komandan jaga itu membawa Han
Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung
ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang
indah sekali, hanya empat huruf : HOHAN BU KOAN. Berbeda dengan istana
yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga
dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki
pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.
“Para Ho-han tentu sedang
berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!”
Han Han mengangguk dan
bersikap waspada, akan tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki
ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati
pintu tembusan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak
berkumpul banyak sekali orang, ada empat puluh orang lebih dengan sikap
seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas
tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!
“Apapun yang terjadi di
atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang penting,
hancurkan penjajah Mancu!” Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus berkata
sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit
gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging
itu ke mulutnya. Ya, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu dan
dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya
mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah matanya,
karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang buta, karena
yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya tampak guratan
hitam!
Agaknya mereka sedang
membicarakan tentang pertentangan faham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu
seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han Han bersama
komandan jaga membuat semua orang menghentikan percakapan dan mereka menengok,
memandang ke arah Han Han penuh perhatian dan penyelidikan, agak curiga karena
mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.
“Harap cu-wi Ho-han
(Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan
mengatakan mohon menghadap Ongya karena membawa berita yang penting bagi
keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan
keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi
keputusan. Terserah!” Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali
lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.
Sejenak sunyi di ruangan itu
ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling,
memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat
permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat
jendela besar yang tidak berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang indah
pula sehingga ruangan ini mendapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena
ruangan itu amat bersih, tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah
di atas lantai begitu saja.
Karena tidak ada orang yang
menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang
ke tengah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.
“Maafkan saya. Sesungguhnya
komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai
urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja
Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”
Akan tetapi alangkah heran
hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya dengan mata marah,
bahkan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan
bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapinya di atas permadani biru dan
membentak.
“Sahabat yang gagah,
perkenalkan namamu!”
Han Han menjadi makin heran.
Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun bersahabat karena menyebutnya
sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab,
“Namaku Han Han.”
“Siapa gurumu? Dari golongan
mana? Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin siapakah?”
Menghadapi pertanyaan
bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pesakitan ini, berkerutlah alis
Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan sopan dan semua
orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap orang-orang
kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.
“Nama guruku tidak boleh
kuperkenalkan orang lain, aku bukan dari golongan manapun dan aku tidak pernah
ikut berjuang!”
“Aaahhhhh....!” Seruan ini
terdengar dari banyak mulut dan semua orang memandang dengan penuh kecurigaan,
bahkan ada bisikan dari sudut, “Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu....!”
Mendengar ini, Han Han
mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, “Aku bukan pejuang, bukan
pula mata-mata Mancu, akan tetapi aku datang untuk menyampaikan berita yang
amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!”
“Manusia sombong!” laki-laki
kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. “Tidak perlu banyak bicara yang
tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut
tantanganmu. Lihat serangan!”
Han Han terkejut sekali karena
mendadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu
membantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun
tidak menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan sin-kang pada dadanya yang dicengkeram.
Melihat betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak maupun menangkis,
Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi
dorongan telapak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau
membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguhpun orang ini telah
berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa
sudah menjadi “hukum” di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas
permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu
silat)!
“Bukkk!”
Tubuh Han Han sedikit pun
tidak bergoyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan
keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo
Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lwee-kang kuat sekali di
samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si
Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjengkang
sendiri!
“Aku tidak ingin berkelahi,”
kata Han Han.
Akan tetapi Lo Hwat sudah
mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah saking malu, marah dan penasaran.
Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengira bahwa dia malah dibikin malu oleh
bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari
atas tubuhnya menyambar bagaikan seekor burung garuda, kedua tangannya
membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri
mencengkeram ke arah pundak.
Han Han menjadi penasaran.
Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya
menggunakan sin-kang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap menghina atau
juga takut. Dengan kaki satu masih berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya
ke atas. Gerakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah menempel kedua
lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah terguling ke atas
lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali tidak tahu mengapa
tubuhnya tiba-tiba jatuh. Ketika ia memandang, pemuda buntung itu masih berdiri
tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua
lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memuncak. Dia terjatuh di depan pemuda
itu dan ketika ia merangkak bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut
di depan pemuda buntung itu! Kemarahan membuat orang menjadi mata getap. Demikian
pula dengan Lo Hwat. Dia terkenal sebagai orang yang memiliki kepandaian
tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang
kelihatannya sama sekali tidak bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya
orang gagah. Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga kemarahannya
membakar hati dan kepala. Tiba-tiba ia menggereng dan tangan kanannya yang
sudah ia kepal dengan pengerahan lwee-kang sekuatnya, ia pukulkan ke arah
pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok. Hebat bukan
main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut heberapa
orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini melewati batas dan
juga amat keji dan curang.
“Desssss!” Pukulan itu
memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang
keluar dari pusar, sedangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar.
Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pemuda buntung itu sama
sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran
kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sin-kang,
menerima pukulan dan mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu, kepada
penyerangnya. Tenaga dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga
dia memekik keras dan roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan
karena dadanya terluka oleh pukulannya sendiri!
“Omitohud....! Bukan main
bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!” Oua orang yang berpakaian seperti
hwesio, kepala mereka gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning,
bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan
sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.
Akan tetapi, pada saat itu
terdengar bentakan keras, “Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina
muridku? Biarlah aku yang mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai
(Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!” kiranya kakek berusia lima puluhan tahun
yang matanya putih satu hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah berdiri
di atas permadani menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri dengan kaki
satu, tongkatnya dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan suara
menyesal berkata.
“Lo-enghiong, aku tidak ingin
berkelahi dengan siapa pun juga!”
“Omong kosong! Lihat
seranganku!” Kakek ini sudah menyerang Han Han dengan sepasang sumpit
gadingnya yang kini dipegang di kedua tangan. Caranya memegang seperti orang
memegang alat tulis dan begitu menyerang ia menotok jalan darah sehingga
maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah seorang yang ahli mainkan senjata
siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok, hanya dia tidak menggunakan pensil
melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia pergunakan untuk makan!
Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai (Pelajar). Karena
serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai daripada ilmu kepandaian
muridnya tadi. Han Han cepat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit
tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu tiba-tiba mengenjot dan
tubuhnya mencelat ke atas.
“Haliiittttt! Eh....?” Si Mata
Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan
tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain. Ia cepat mengejar dan kedua senjatanya
meluncur cepat, menotok secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang
berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan, mengerahkan
sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya mengenai
tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan seruan bingung
dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali dia yang
bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri mencari
lawannya!
“Lo-enghiong, aku tidak ingin
berkelahi denganmu!” Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin
lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena semua
totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti
setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi?
“Cuit-cuit-cuit....
sing-singgg....!”
Han Han terkejut karena kini
kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu
bergerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar
kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua
“pintu” di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga
ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu
akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menangkis.
“Trak-tringgg....!”
“Ayaaaaa....!” Kakek mata satu
itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran
untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya
terlempar dari tangan.
“Lo-enghiong hebat, aku kagum
dan terima kalah!” Han Han berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum
ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai
ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!
“Cuat-cuat-cuatt....!” Kembali
sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han
Han sudah merasa sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan
sin-kang dan melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali. Mengapakah dia
selalu dimusuhi oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keributan?
Apakah kesalahannya? Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baiknya
selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang.
Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melakukan
serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.
“Mengapa engkau mendesakku?”
teriaknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah
ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas. Pada saat itu, sumpit gading di
tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan
kilat menyambar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan
tongkatnya, mengerahkan gin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya
seolah-olah dapat tertahan di udara, sin-kang di tangan yang memegang tongkat
amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis sepasang sumpit, melekatnya
dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak
dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang
mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!
“Omitohud.... benar
mengagumkan....!”
Kini seruan kagum ini
terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan
tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit ketika jubahnya
yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan.... dua batang sumpit yang tadinya
menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!
Han Han terkejut sekali.
Itulah demonstrasi tenaga sin-kang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur
tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, lalu
melemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata.
“Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak
ingin berkelahi!”
Tok-gan-siucai sebagai seorang
tokoh kang-ouw yang berpengalaman, maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung
itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya
yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru.
Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya pingsan karena tenaga
sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo
Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.
“Omitohud, seorang muda yang
luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!” Hwesio tinggi besar gendut yang
mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat
gerakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di
atas permadani menghadapi Han Han.
“Maaf, Losuhu. Saya tidak
ingin berkelahi,” kata pula Han Han, kembali terkejut menyaksikan gerakan ini.
“Ha-ha-ha, jangan terlalu
merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian yang patut
diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pinceng menyerang!”
Ucapan ini ditutup dengan
gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus itu hwesio
gemuk ini seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik
lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang luar biasa kuatnya, mendorong
ke arah dada Han Han. Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
Tingkat kekuatan sin-kang kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah
kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia
heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di tempat ini, maka ia
tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan itu lewat di bawah
kakinya.“Bagus! Sin-kangmu hebat, juga gin-kangmu amat luar biasa. Belum pernah
pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!” Hwesio gendut itu
mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan
yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara. Akan
tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat betapa tubuh
pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak
lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali
tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya
menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar
dari kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah
secara aneh.
Semua orang yang berada di
situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut itu
menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan
mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda
itu berubah menjadi banyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat
cepetnya!
Han Han sambil meloncat ke
sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi, hwesio
itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan tangan
kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang. Bukan main,
pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah begini hebat, apalagi kalau
tangan kanannya yang bergerak. Dia menaksir bahwa tangan kanan itu tentulah
hebat sekali dan agaknya kini masih belum dipergunakan si hwesio sebagai ilmu
simpanan atau cadangan yang hanya akan dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak
ia keluar dari tempat persembunyian gurunya, nenek berkaki buntung, belum
pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini, maka diam-diam Han Han menjadi
gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri, ingin pula melihat bagaimana
hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.
Setelah timbul keinginan ini,
ketika kakinya turun menotol lantai, ia membuat gerakan untuk mengurangi
tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya
berjungkir-balik berputaran sampai belasan kali seperti kitiran, barulah
kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu kembali
memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena memang
Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula menguji kekuatan Han
Han, pemuda inipun menerima pukulan yang merupakan tamparan dengan telapak
tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.
“Bresssssi!”
“Omitohud.... luar biasa....!”
Tubuh hwesio itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus
dan ia mcrasa betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut
pukulan tadi, Han Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!
Han Han kagum bukan main
karena melihat betapa hwesio itu dapat menerima tenaga sakti ini dengan hanya
tergoyang tubuhnya dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa hwesio itu
memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!
“Orang muda, engkau menarik
sekali. Coba terima ini!”
Hwesio gendut itu tiba-tiba
mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han
Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti
bercahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya!
Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han Han dengan menimbulkan
uap hitam yang panas sekali! Han Han cepat menggerakkan kakinya menotol lantai
dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang luar biasa sehingga uap hitam itu
lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini ia sudah mengenal pukulan itu, yang
ia dapat menduga tentulah pukulan itu berdasarkan hawa Yang-kang seperti
Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih berbahaya karena uap hitam itu tentu
mengandung pengaruh yang luar biasa. Timbul pula keinginannya mencoba. Tadi
ia sengaja menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani
mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya
itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi
kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat,
setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.
Hwesio gemuk itu menjadi
penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu
kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihatan orang, maka kalau tidak
terpaksa sekali, biarpun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan
kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia
harus dapat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat
dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena tiupan
sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus! Hwesio gemuk ini
bersama temannya yang kurus, adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada waktu
itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan
ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali
dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sin-kangnya yang jarang bertemu tending,
dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki
Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)! Adapun hwesio kurus
itupun bukan orang sembarangan, karena dibandingkan dengan hwesio gemuk, sukar
dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian
sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sin-kangnya, juga terkenal
sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang
dapat menguasai semangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir
Tangan Sakti)!
Ketika Thian Tok Lama yang
sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han
Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat
mengerahkan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar keluar suara
“kok-kok-kok” tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu memdorong ke arah
Han Han.
Bukan main hebatnya pukulan
ini. Warna biru kehitaman itu makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari
telapak tangan itu seolah-olah mengandung api menyala dan terasa amat panasnya
sehingga ruangan itu ikut terasa hangat, pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur
ke arah dada Han Han.
Han Han yang timbul
kegembiraannya melihat ilmu yang dahsyat ini, cepat mengerahkan sin-kangnya,
menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan tangan kirinya
mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini,
yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu memukul
air menjadi beku, menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua
pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!
Hwesio gendut itu, Thian Tok
Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung
yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan
karena marah atau benci, ia menggunakan tangan kanannya, dan tadinya ia mengira
bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu
untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan
langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul
dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka
terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin
bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.
“Desssss.... cessshhhhh!”
Semua orang memandang dengan
mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras
seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan menggelapkan
tempat itu!
“Ihhhhh....!” Han Han berseru
keras ketika merasa seolah-olah seluruh lengannya menjadi lumpuh dan ia cepat
menarik kembali lengannya itu.
“Omitohud....!” Thian Tok Lama
juga berseru dan ia pun menarik kembali tangan kanannya, berdiri agak terengah
dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil
seperti orang terserang dingin yang hebat.
“Ibliskah engkau....?” Thian
Tok Lama kini mencelat maju dan mengirim tendangan dengan kakinya yang sebesar
kaki gajah.
“Wuuuuttt!” Han Han meloncat,
akan tetapi kedua kaki itu biarpun amat besar, telah mengirim tendangan
berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup
menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, “Aku
tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari
sini....”
“Tahan....! Jangan
berkelahi....! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan
para locianpwe?”
Sesosok bayangan berkelebat
dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han girang sekali, berlari hendak
menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru sambil berpincangan.
“Han Han, jangan menginjak
permadani itu!” Sin Kiat berteriak. Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi
mundur, lalu memandang Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari
permadani, tidak berani menginjaknya.
“Ah, agaknya ada salah
pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini.” Sin Kiat
tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.
Han Han mengangguk. Ia
teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk menghampiri para ho-han yang berada di
situ, ia memang berdiri di situ. “Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa?”
“Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah
bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini,
berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini.”
“Ohhhhh.... maaf....!”
Sin Kiat lalu menjura kepada
dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata.
“Mohon cu-wi locianpwe dan
para Ho-han suka memaafkan Han Han. Karena dia tidak tahu maka seolah-olah menantang
pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah
membantu para pejuang menghadapi tokoh-tokoh anjing Mancu.”
“Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!”
kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering itu. “Kalau dia itu
sahabatmu, mengapa dia datang seperti ini? Dia menimbulkan kecurigaan besar!”
“Ah tidak, locianpwe. Dia
datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh
penjajah.”
“Hemmm, kalau mencari adiknya
dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu dengan Bu-ongya?”
Tiba-tiba Tok-gan-siucai Gu Cai Ek menegur.
Wan Sin Kiat mengerutkan
alisnya dan menoleh kepada Han Han. “Apakah artinya ini, Han Han? Benarkah kau
hendak bertemu dengan Ongya?”
“Benar sekali dan memang aku
membawa berita yang amat penting!”
“Kalau begitu, ceritakan saja
kepada para locianpwe di sini, karena mengenai urusan perjuangan, tidak ada hal
yang dirahasiakan untuk para Ho-han di sini.”
Han Han mengangguk-angguk.
“Baiklah. Aku telah mendengar rapat rahasia yang diadakan oleh para perwira
Mancu di perbatasan, yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, dihadiri pula
oleh wakil-wakil dari Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu
Ci Goat. Mereka membicarakan tentang penyerbuan ke Se-cuan secara besar-besaran
dalam waktu dekat....”
“Ahhhhh....! Mana mungkin?”
teriak Tok-gan-siucai Gu Cai Ek. “Pemerintah Mancu sedang merayakan ulang tahun
ke sepuluh dari kaisar mereka!”
“Karena inilah maka mereka
hendak menyerbu! Menggunakan kesempatan selagi di Se-cuan orang mempunyai pendapat
seperti pendapat Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada persiapan yang baik. Dan
kalau saya tidak sudah dibikin kacau oleh serangan-serangan maut di ruangan
ini, saya mendengar pula beberapa tempat-tempat yang akan mereka jadikan
sasaran penyerbuan!”
“Wah, ini penting sekali! Mari
Han Han, kuantar engkau menghadap Ongya!”
Semua orang di ruangan itu
menjadi terkejut juga dan Thian Tok Lama malah menjura ke arah Han Han sambil
berkata, “Pinceng mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan kami. Sungguh
taihiap merupakan seorang bekas lawan yang paling hebat yang pernah pinceng
temukan!”
“Ah, sayalah yang seharusnya
minta maaf, locianpwe,” kata Han Han sambil balas menghormat. Akan tetapi
tangannya lalu ditarik oleh Sin Kiat dan keduanya bergegas keluar dari situ
menuju ke istana. Para ho-han ribut membicarakan pemuda yang buntung itu, dan
Thian Tok Lama secara terang-terangan dan jujur mengakui bahwa sukar mencari
tandingan pemuda berkaki buntung itu. Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia
memberi isyarat mata kepada kawannya lalu mereka berdua meninggalkan tempat
itu.
“Kau hebat, Han Han. Thian Tok
Lama sendiri sampai memujimu!”
“Ah, kaumaksudkan hwesio yang
gemuk itu? Dialah yang hebat, agaknya lebih lihai daripada Toat-beng
Ciu-sian-li!” kata Han Han, benar-benar dia kagum sekali.
“Dan dia menyebutmu taihiap!”
Merah wajah Han Han.
“Sudahlah, eh, Sin Kiat. Apakah kau sudah mendengar tentang adikku?”
Wajah Sin Kiat yang tampan itu
menjadi muram dan dia kelihatan berduka ketika menggeleng kepalanya. “Sungguh
menyesal sekali, aku belum berhasil, Han Han.”
Han Han menarik napas panjang.
“Ada seorang nona sedang mencoba untuk membantu mencarinya, namanya Tan Hian
Ceng....”
“Ah, puteri It-ci Sin-mo Tan
Sun? Bagus sekali! Dia adalah seorang yang terkenal ahli yang mengenal semua
daerah ini. Kalau dia membantu.... eh, kenapa?” Sin Kiat heran melihat wajah
Han Man menjadi muram.
“Kasihan dia. Ayahnya
gugur....”
“Apa? Bagaimana?”
“Nanti saja kuceritakan. Lebih
baik sekarang kita menghadap Bu-ongya.”
Sin Kiat menemui kepala
pengawal dan karena dia sudah dikenal, maka mereka berdua lalu dikawal
menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi yang amat terkenal itu. Bu-ongya
menerima mereka berdua di dalam ruangan yang besar dan raja muda yang amat
terkenal sebagai bekas jenderal yang paling gigih mengadakan perlawanan kepada
pemerintah Mancu ini duduk di atas kursi emas dijaga oleh para pengawal
pribadinya. Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang sepak-terjang pemuda
buntung ini di Ho-han Bu-koang maka ketika Han Han datang terpincang-pincang
bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh perhatian dengan wajah
berseri
Sin Kiat memberi hormat dengan
menekuk sebelah lututnya dan bersoja, diturut oleh Han Han yang biarpun hanya
berkaki satu, namun ia dapat berlutut dengan gerakan wajar sehingga seolah-olah
dia tidak buntung.
“Duduklah, ji-wi Ho-han!” kata
Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan
Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi. Han Han memandang wajah
raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu
sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan
sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain
fihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda
buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang,
di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan
ketidakpercayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup
menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!
“Han-sicu, siapakah temanmu
yang gagah ini?” Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar
halus dan ramah. Suara seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang,
pikir Han Han, teringat betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan
raja muda ini dan betapa banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu
Soan Li dan baru-baru ini Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian
Ceng!
“Sahabat baik hamba ini datang
dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting untuk disampaikan
Ongya!” kata Sin Kiat. Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang
kang-ouw, bahkan bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak
ragu-ragu untuk bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai
“kawan seperjuangan”.
“Hemmm, siapakah engkau, sicu?
Dan berita apakah itu?”
Karena Han Han tidak bermaksud
menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri,
apalagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega
dan suara biasa ia lalu menjawab.
“Saya bernama Han, she Suma.”
Han Han tidak peduli kepada
Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus
disembunyikan? Dia benci she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya
yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi,
sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat
pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya
dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di
depan raja muda itu ia mengakui she aselinya dan mulai saat itu ia mengambil
keputusan untuk mempergunakan she aselinya!
Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara
dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa
pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang
Gagah she Suma), berita apakah yang akan kaulaporkan kepadaku?”
Dengan singkat namun jelas Han
Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan
oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula
bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri
Nirahai.
Mendengar ini, berubah wajah
Bu Sam Kwi, tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali,
matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya
membayangkan perlawanan. “Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak
selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan
selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng
tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka!
Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima unluk berkumpul. Sekarang juga!
Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu,
engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!”
Han Han hendak membantah akan
tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh
semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada
para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi
panggilan Bu Sam Kwi. Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan
dan rencana siasat yang dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu
seperti yang dikabarkan oleh Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya
mendengarkan dengan setengah hati, tidak begitu mengacuhkan karena memang dia
tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari
adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena
dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di fihak Mancu, sedangkan di fihak
pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas
adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan
gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat
akan mereka inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan
menentang pemerintah Mancu.
***
Penyerbuan besar-besaran bala
tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan
Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya fihak Se-cuan telah
membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya
dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri
Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik. Bukan saja
tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan
dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga
tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang
diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka,
ternyata “membentur karang” karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti!
Bahkan segala usaha Setan Botak Gak Liat selain gagal oleh perlawanan tokoh
pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak
menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung,
bekas muridnya, Han Han.
Setelah serbuannya yang
berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira
dan perajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan,
selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk
menghadapi fihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.
Tak lama kemudian, utusannya
datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan
dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga
tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan
datang.
Karena perintah ini, perang
yang biasanya hampir setiap hari terjadi, menjadi berhenti dan kedua fihak
hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan
pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Fihak Se-cuan yang dalam perang ini
menjadi fihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya
serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan
baru.
Secara terpaksa sekali Han Han
kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor,
di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama
dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari
ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang
berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih. Dan sesuai pula dengan
siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk
menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu
saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia
selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa
musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding
melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh
lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang
menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia
berperang melawan bangsa adiknya!
Setelah perang dihentikan oleh
fihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan,
keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han
menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil.
Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian
Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk
ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak
sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?
Pagi hari itu, selagi Han Han
termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjapan, Wan Sin
Kiat datang mengunjunginya. Mendengar pangglian Sin Kiat, Han Han menoleh dan
dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya
sebagai seorang panglima muda! Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang,
mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar
penuh semangat, jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang
hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi
mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan
tetapi bagaimana dengan Lulu? Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima
cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat
ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah,
perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang
belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup
ataukah sudah mati? Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin
Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri
roti dahulu itu.
“Wah, engkau gagah sekali, Sin
Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.”
“Cita-cita masih kecil? Apa
maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di
atas akar pohon.
“Lupa lagikah engkau dahulu?
Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira!
Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”
Sin Kiat tidak menyambut
godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas
dan berkata, “Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih
kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah
sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak.
Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh
ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk
meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya
didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan
sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si
anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”
Han Han membelalakkan matanya,
kemudian tertawa memandang wajan tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu.
“Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami
hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian
mencari-mendapatkan-memiliki-memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu
karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda
atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan
membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang
tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak
punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan
kehilahgan!”
Sin Kiat menggaruk-garuk
kepalanya. “Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak
mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”
Han Han tertawa dan menggeleng
kepala. “Manusia menjadi korban daripada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena
itu, dalam keadaan bagaimanapun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya
akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang
punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan
miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang
tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya,
akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin,
dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya.”
Wan Sin Kiat
mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya, dapat melihat kemuraman wajah
Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain
tehtulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya
Lulu!
“Han Han, tadi aku mendengar
engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh
menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,” katanya untuk
membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.
Akan tetapi Han Han menggeleng
kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau
tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku
membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan
sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku mencari adikku yang
sampai kini belum ada beritanya. Hemm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang
barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan
mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau
dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.”
“Ah, jangan dulu kau pergi,
Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan. Para penyelidik melaporkan bahwa
kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat
betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap
engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!”
“Di sini pun banyak orang
gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, periu apa takut? Aku tidak suka
perang, apalagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku
menghambakan diri di sini.”
“Dua orang pendeta itu? Ah,
mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang, mereka itu memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!”
Han Han teringat akan cerita
pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan
bertanya. “Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu
dengan Bu-ongya.”
Sin Kiat menggeleng kepala.
“Memang, sekarang ini kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan
Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di antara
mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah
Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya
agar suka berdamai saja dengan fihak Mancu.”
Han Han sudah tahu akan hal
ini. “Kalau menurut pendapatmu, siapa di antara mereka yang benar?”
“Entahlah, kedua-duanya benar.
Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, adapun
Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat
makin menderita akibat perang.”
“Dan kau sendiri?”
Sin Kiat menggerakkan
pundaknya. “Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh
kesadaran akan kewajibanku sebagai searang warga negara untuk membela
negaranya!”
“Tapi kau menjadi panglima
muda Bu-ongya.”
Wajah Sin Kiat berubah merah
dan ia menggeleng-geleng kepala. “Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang
menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi
panglima, aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat
inilah aku berjuang. Andaikata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan
berjuang melawan penjajah.”
“Aku sudah bosan akan semua
urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan
bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa
tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan
sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia
pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu
menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan
bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang!
Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan
oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku
mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk
menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan
dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi
orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu
sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan
dosa besar sekali karena, menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah
dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari
sini mencari Lulu.”
Kiat, karena itu aku hendak
pergi dari sini mencari Lulu.”
Sin Kiat menarik napas panjang.
“Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona
Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat
berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak
mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau
engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau
tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara.
Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan sementara itu, harap
engkau berhati-hati.”
“Mengapa engkau memperingatkan
aku demikian?”
Sin Kiat memandang ke kanan
kiri, kemudian berkata lirih, “Agaknya pertentangan faham antara Pangeran Kiu
dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan
Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua fihak ingin memperebutkan orang-orang pandai
kedua fihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat
penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”
“Hemmm, aku....?
Diperebutkan?”
“Tenagamu yang amat mereka
butuhkan, Han Han.”
Pemuda buntung itu menggeleng-geleng
kepala. “Aku makin muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan
tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.”
“Aku akan pergi mencari Nona
Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian
itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”
Demikianlah, Han Han mendengar
bujukan dan nasihat Sin Kiat, menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan
tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apalagi pada
waktu itu, fihak Mancu hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan
masing-masing, mereka hanya mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk
saling menyelidiki keadaan masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara
dan selatan. Satu-satunya daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah
Sin-kiang dan Tibet.
Tepat seperti yang
dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami usaha
memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran Kiu ke
dalam gedungnya.
Han Han yang tidak mempunyai
urusan pribadi dengan pangeran itu, merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak
berani menolak dan pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran
Kiu di gedungnya. Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima
muda yang indah dan gagah, Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran,
sungguhpun dia telah diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai
panglima pasukan pelopor. Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian
sederhana, dan terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana
yang megah itu.
Han Han merasa kaget, heran
dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang
menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan
Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan
hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu mendekatinya, memegang
tangannya dan berkata.
“Suma-taihiap, tidak perlu melakukan
banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang
amat penting dengan taihiap.”
Mereka memasuki ruangan dalam
yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di
atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan
wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan
arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut
kamar menanti perintah.
Setelah menerima suguhan arak
beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam
suaranya, “Maaf, Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan
Pangeran. Ada urusan penting apakah?”
Pangeran Kiu tertawa bergelak,
dan dua orang pendeta Lama itupun tersenyum.
“Suma-taihiap, ketahuilah
bahwa sebetulnya antara engkau dan aku, masih ada hubungan keluarga.”
“Ahhh, harap Pangeran tidak
berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.
“Aku tidak main-main, taihiap.
Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,”
jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.
Han Han teringat akan
peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi
dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia lalu menoleh dan memandang wajah
pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.
“Saya mohon penjelasan,” kata
Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah
Thian Tok Lama.
Hwesio Lama gendut ini
tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam
cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di atas meja
ia berkata, “Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara
membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau merasa heran
sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya
begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan
kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.”
Han Han masih merasa heran dan
kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya. “Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan
sesuatu.”
Pendeta gendut itu tertawa dan
matanya bersinar penuh kagum. “Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian
dari pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma-taihiap, bukankah taihiap ini
cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”
Pertanyaan ini diajukan secara
tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan
nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi,
mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya
dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar
ia masih merasa berat. Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang
pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang memiliki
kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya
menyangkal?
“Losuhu, bagaimana Losuhu bisa
tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya
penuh selidik.
Kembali kakek gundul itu
tertawa. “Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah
perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma
Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat
usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah
cucunya.”
Diam-diam Han Han merasa
betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan,
pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang amat
dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau membohong.
Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat akan
tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang
penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!
“Memang benar, saya adalah
cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan
Pangeran.”
Pangeran Kiu tertawa bangga.
“Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante.
Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama
puluhan tahun....”
“Amat terkenal saking kotor
dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.
“.... sebagai keluarga yang
berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang
lebih daripada itu semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!”
“Hemmm, pujian kosong,” pikir
Han Han sungguhpun ia sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang
terkenal.
“Bahkan pendekar sakti Suling
Emas pun masih terhitung anggauta Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa
antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu
karena seorang di antara selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu.
Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah
dengan demikian, di antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga,
Suma-hiante?”
Kepala Han Han menjadi puyeng
mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci
dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduii apakah keluarga Suma itu dahulu
keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang
berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai
anggauta keluarga Suma. Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih
suka memakai nama keluarga Sie, akan tetapi karena dia tidak sudi menyembunyikan
nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma
yang dibencinya itu.
“Apakah hubungannya hal itu
dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya
untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.”
“Ha-ha-ha! Engkau terlalu
kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan
lebih dulu? Marilah, kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”
Karena sikap pangeran itu yang
ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya,
Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han Hidak tahu
betapa Pangeran Kiu den dua orang pendeta Lama itu sering kali bertukar
pandang den isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja mendatangkan
dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda den amat cantik. Tidak tahu
bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk melayaninya, untuk
merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara merdu ketika
menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu ketika
melayaninya. Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada dua
orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani, akan tetapi dia
diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan
keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan
rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka.
Han Han tidak tahu bahwa
Pangeran Kiu sudah mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang
cantik-cantik datang, menari den meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti
menantang minta dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu
dan dua orang hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.
Dan memang Pangeran Kiu
bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa
sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian
melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan
wanita. Karena itu, Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han dan menyenangkan
hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke
dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya. Siapa kira, pemuda itu sama sekali
tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita
perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat. Pangeran Kiu memberi
isyarat dan semua penari dan pelayan mundur. Han Han bernapas lega, karena
tadi, sungguhpun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar
tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih
menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.
“Suma Han-hiante, sekarang
tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat
hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus
terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”
“Bantuan? Bantuan apakah,
Pangeran?”
“Bantuan kepadaku untuk
menghadapi musuh-musuhku.”
Han Han memandang pangeran
itu, pura-pura heran sungguhpun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan
Sin Kiat.
“Pangeran, musuh kita semua
bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walaupun
hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.”
“Bukan hanya itu, Hiante.
Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.”
“Hehhh? Bu-ongya....?
Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”
“Thian Tok Lama, harap suka
memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran Kiu.
Pendeta Tibet yang gemuk dan
bermuka lunak, kanak-kanakan itu lalu berkata dengan sikap lunak,
“Suma-taihiap, biarpun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi, akan tetapi
karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan hal yang
terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam
Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan bangsa
Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu
Sam Kwi!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan
kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak
kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh
bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu.
Akan tetapi dua orang pendeta
Tibet yang sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena
pemuda ini sudah pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai
perasaannya, maka Thian Tok Lama melanjutkan.
“Pada waktu Kerajaan Beng
diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain
mengerahkah bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur.
Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para
panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar
telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu
Sam Kwi maka bangsa Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang,
setelah terlambat, setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang
bangsa Mancu mati-matian dan semua ini untuk mempertahankan kedudukannya
sebagai raja muda di Se-cuan!”
Han Han juga sudah mendengar
akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang
keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan fihak Mancu yang
tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan
pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan
itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama
lalu bertanya.
“Apakah hubungannya semua itu
dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”
Kini Pangeran Kiu yang
melanjutkan. “Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama,
tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi!
Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu,
sebagai anggauta keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu memandang tajam
penuh selidik.
“Akan tetapi, apakah bedanya?
Andaikata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.” Han Han
pura-pura bertanya.
“Omitohud....! Sungguh
mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!” Thai Li
Lama yang kurus berkata.
“Bukan, Hiante. Kuminta agar
engkau suka berfihak kepadaku karena terjadi pertentangan antara fihakku dan
fihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan
Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah
seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan
memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”
Han Han pura-pura terheran.
“Hemm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu,
kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?”
“Jauh bedanya, Hiante! Dahulu
tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu deigan bangsa Mancu, karena Kerajaan
Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah
pengkhianatan namanya! Sekarang, Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai
seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan
namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang berlarut-larut,
dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai
mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah
siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang kita lakukan
selama ini.”
melawan secara membuta seperti
yang kita lakukan selama ini.”
Han Han mengerutkan keningnya,
hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama saja. Permainan
orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan setinggi-tingginya bagi
mereka sendiri. Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang wajah tiga orang itu
berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran Kiu dan dua orang
pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus jantung mereka. Thai
Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar mata ini menjadi
kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik, “Omitohud....!”
“Pangeran, maafkan kata-kata
saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak akan urusan
orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan. Saya datang ke
Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari adik saya
yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan. Kalau saya ikut
membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para orang gagah dan
melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang berhenti, adik saya
tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak meninggalkan Se-cuan.
Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka mencampurinya.
Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan orang-orang
besar yang menggerakkan perang. Demi mencapai cita-cita mereka memperebutkan
kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang muluk-muluk untuk
membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk menukarnya dengan nyawa
rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa yang menjadi korban dan
siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan laksa? Bukan lain
rakyatlah! Kalau menang? Bukan rekyat yang mengecap nikmat kemenangannya,
melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok demi rakyat
itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan! Kalau kalah? Rakyat yang mati
tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri jauh dari
tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat menjadi
sekutu yang menang dan memperoleh kedudukan pula, sungguhpun tidak setinggi
seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan namun menjadi kenyataan selama
sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang
mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah mereka,
orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu
di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke
depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”
Han Han bicara penuh semangat
dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam
hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri
mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan
banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara
Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh! Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu
ini dan banyak lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman
daripada penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan!
Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai dengan bangsa Mancu! Dan
semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan baik-baik. Kecerdikan! Agar
rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi untuk keselamatannya sendiri,
demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi! Rakyat pula yang dibawa-bawa.
Siapa tidak akan muak?
Wajah kedua orang pendeta Tibet
menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak
mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berfihak kepada mereka itu
mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka,
tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan,
maupun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!
“Suma Han! Berani engkau
bicara seperti ini?” Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan
tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.
“Pangeran, harap suka
memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja
pandangannya pun dangkal. Betapapun juga, harus diingat bahwa dia telah
berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah
pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta gendut
ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.
“Suma-taihiap, pinceng harap
taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka
mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu,
pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap
yang bernama Nona Lulu itu.”
Han Han sadar bahwa ucapannya
yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit
berdiri, memberi hormat sambil berkata, “Mohon Pangeran sudi memaafkan saya
yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung
Pangeran Kiu.
***
Dua hari kemudian, ketika Han
Han sedang termenung menyendiri, telinganya menangkap gerakan orang di sebelah
belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang memiliki gin-kang tinggi,
akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.
“Suma-taihiap....!”
Han Han baru menoleh dan
melihat Thian Tok Lama telah berdiri di belakangnya. Cepat ia memberi hormat
dan berkata.
“Sepagi ini Losuhu sudah
datang menemui saya, ada keperluan apakah?”
Thian Tok Lama tertawa. “Kabar
baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.”
Seketika wajah Han Han
berseri, dadanya berdebar tegang. “Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu
bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku
masih hidup! Losuhu, di mana dia?”
Thian Tok Lama memperlebar senyumnya,
diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan
telunjuknya seperti menegur kepada Han Han, “Taihiap, setelah pinceng
mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa
makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian
membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap
teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri
Mancu! Hemmm....!”
Kalau tadinya Han Han masih
curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya
Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak,
“Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap
jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”
“Dia belum lama datang bersama
pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu,
taihiap.”
Han Han membelalakkan matanya.
“Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Pendeta itu memandang tajam.
“Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?”
“Di mana dia, Losuhu, aku segera
menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.
“Di perbatasan sebelah barat
Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.”
“Terima kasih, Losuhu! Terima
kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!” Setelah berkata demikian,
Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak
tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng kepala dah berkata
lirih.
“Sayang.... dia pemuda yang
lihai sekali.... sayang....!”
Bu Sam Kwi tidak dapat menahan
ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin
keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa
adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan
dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.
“Sin Kiat, aku pergi sekarang
juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”
Sin Kiat memegang lengan
sahabatnya itu. “Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?”
“Ke mana lagi? Tentu saja
mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat
menemukannya?”
Sin Kiat menarik napas
panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan
untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu. “Aku pun
akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”
“Jangan!” Cepat-cepat Han Han
menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.”
Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.
Sin Kiat menarik napas
panjang. “Ah, Lulu....!” Ia lalu mengambil keputusan untuk minta ijin dari
atasannya. Perang sedang berhenti, musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam
menganggur ini akan ia pergunakan membantu Han Han mencari jejak gadis itu.
Han Han berlari, atau lebih
tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di
perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga
hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan
di daerah inipun perang tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di
fihak Se-cuan juga melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan.
Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat penjagaan dan memasuki
hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su,
di sebelah barat puncak Min-san.
Pada hari ke lima, pagi-pagi
ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa sampai sekian
jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia meragu.
Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh di
dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar
pada tongkatnya, karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana
di hutan besar yang sunyi itu.
Tiba-tiba Han Han menghentikan
usapannya pada dahi dan leher, matanya melirik ke kanan kiri, tongkat siap di
tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung
tempat itu.
“Wir-wir-sing-sing-singgg!”
Dari arah belakang dan kiri, meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han
Han menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan
dari balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih
lima puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa
Mancu disusul serbuan pasukan itu!
“Aku tidak ingin berkelahi!
Aku mencari adikku Lulu!” Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan
tenaga khi-kang, maka suaranya nyaring sekali membuat perajurit Mancu terkejut
dan langkah kaki mereka tertahan.
“Dia panglima pemberontak Bu!
Tangkap! Bunuh saja!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han,
suara Thian Tok Lama! Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat
ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin
berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu sengaja menjebaknya di sini
untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk memperlihatkan iktikad baiknya
terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah, apalagi ketika dugaannya itu
terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak jauh dari tempat itu. Ia melihat
pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan
hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia
lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus
Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa
orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apalagi di situ terdapat dua
orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!
Betapapun marahnya, Han Han
masih tidak ingin untuk bertempur, sekali-kali bukan karena takut, melainkan
karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari
adiknya yang ia yakin tidak berada di tempat ini dan keterangan Thian Tok
Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu
membalik dan meloncat ke belakang. Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga
pula perajurit-perajurit Mancu dan tiba-tiba bayangan orang tinggi besar
menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas
dan angin keras!
“Wuuuttttt!” Han Han meloncat
ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya,
kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia
kembali mengelak.
“Hemmm, kiranya Hek-giam-ong
dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata marah.
“Singgggg....!” Sinar merah
menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah
berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga
orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama
puluhan orang perajurit Mancu!
“Hek-pek Giam-ong dan
Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku hendak
mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja
dari sini!” kata Han Han.
Hek-giam-ong yang seperti dua
orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama
sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya
yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.
“Han Han, engkau bocah setan
sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut
menyerah menjadi tawanan kami daripada kami turun tangan membuntungi kakimu
yang sebelah lagi!”
Diejek demikian Han Han masih
tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan
melihat betapa pasukan Mancu itu, kini mengepungnya makin ketat dalam jarak
dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan inipun menjaga
dari empat penjuru.
“Han Han, setelah kakimu
buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus
bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong memandang rendah.
“Minggiriah, biar aku pergi!”
Han Han masih bersikap sabar.
“Siuuuttttt.... plakkk!” Tubuh
Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han
seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya
pukulan itu dari kiri.
“Sudahlah, aku pergi saja!”
Han Han berkata lalu tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid
Kang-thouw-kwi itu, hendak mendobrak penjagaan para perajurit Mancu yang mengurungnya
untuk meloloskan diri.
Melihat ini, enam orang
perajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala jurusan,
sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para perajurit. Han Han
tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya mendorong
dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan oleh tenaga
angin badai yang amat kuat.
Akan tetapi, sebelum Han Han
sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan
kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu
telah menerjangnya dengan marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya
dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio
menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan Hiat-ciang
yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga membikin anak telinga
tergetar. Ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari
Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang
Sin-ciang yang biarpun kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang
Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain
nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.
Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan
Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi daripada Toatbeng Hwi-ciang.
Sepasang tangan Ma Su Nio menjadi merah darah kalau ia menggunakan ilmu ini dan
setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang
kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi. Berbeda
dengan Toatbeng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit lawan, pukulan Hiat-ciang
ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni darah lawan hanya oleh
hawa pukulan saja, apalagi kalau sampai bersentuhan atau terkena pukulan tangan
merah itu!
Namun, betapapun lihai dan
mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han
mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah
diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi. Melihat datangnya
pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya, kakinya
yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik, tangan kirinya
didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus terjepit
sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus
menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.
“Desssss....!!” Hawa pukulan
yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang
murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter
jauhnya. Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu
bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para
perajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan
golok mereka.
Menghadapi hujan senjata ini,
Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan
ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari tangan para
pernegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang patah-patah.
“Setan-setan ganas!
Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!” Han Han membentak, akan
tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar
belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.
“Hemmm, benar-benar keparat
orang-orang Mancu!” Han Han mulai panas perutnya. Sekali putar saja, tongkatnya
telah meruntuhkan semua anak panah. Para perajurit sudah menyerbu lagi. Ada
yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang
nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka
menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin marah.
Empat orang perajurit yang
menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung
itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka
merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya
melukai Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan
seperti orang menampar, hawa yang amat dingin menyambar, tubuh mereka
terpelanting ke atas tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih
tergenggam, akan tetapi empat orang perajurit ini telah menjadi mayat yang
darahnya membeku!
Enam orang lain yang datang
menerjang dari depan dan kiri, disambut dengan tongkat. Demikian cepat
gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya
berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam
waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh dan tewas!
“Swinggggg....!”
Han Han cepat merendahkan
tubuh membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas
kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya menyambar ke belakang, ke arah
penyerangnya.
“Trang-tranggg....!” Tampak
api berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan
tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang
menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sedangkan yang menangkis
tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid
Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata. Hal
ini sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima
gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi,
bahkan kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu
pukulan Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan
kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini,
mereka amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka
tidak pernah membutuhkan senjata tajam. Kedua tangan mereka lebih ampuh daripada
senjata tajam yang manapun juga! Akan tetapi sekali ini, menghadapi Han Han
yang ternyata memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa, jauh lebih kuat
daripada tenaga mereka sehingga mereka itu sama sekali tidak dapat mengandalkan
pukulan tangan kosong berdasarkan sin-kang, maka setelah mereka bergulingan dan
lenyap kepeningan kepala mereka, tiga orang tokoh kaum sesat itu telah
menyambar senjata dan menyerang lagi.
Begitu Han Han membalikkan
tubuh, tiga orang sakti itu menyerangnya. Gerakan pedang di tangan Ma Su Nio
cepat bukan main sehingga pedangnya merupakan sekelebatan sinar menyilaukan
mata. Juga gerakan golok di tangan kedua orang Hek-pek Giam-ong mendatangkan
angin berdesir, tanda bahwa tenaga mereka kuat sekali. Tiga orang ini menyerang
dari depan, kanan dan kiri Han Han dan begitu senjata mereka meluncur dengan
tangan kanan, tangan kiri mereka menyusul dengan pukulan Toat-beng Hwi-ciang
dan Hiat-ciang!
Han Han yang baru saja
membalikkan tubuh melihat berkelebatnya tiga batang senjata tajam itu, cepat
menangkis dengan putaran tongkatnya, tidak menyangka bahwa tiga orang lawannya
itu menyusulkan pukulan-pukulan langan kiri yang amat kuat, maka ia hanya
menangkis pedang dan golok.
“Cring-trang-tranggg....!”
Tiga batang senjata lawan ini
terpental dan hampir terlepas dari pegangan, akan tetapi pukulan tiga tangan
yang mengandung hawa sakti kuat, menyambar ke tubuh Han Han. Pemuda ini
mengerahkan sin-kang dan menerima pukulan itu. Tubuhnya bergoyang-goyang.
Melihat betapa tubuh Han Han
bergoyang-goyang akibat sambaran tiga buah pukulan jarak jauh, Ma Su Nio menjadi
girang dan mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah terluka. Ia
mengeluarkan pekik melengking dan menubruk maju, pedangnya menusuk ke arah
lambung kiri Han Han dan tangan kirinya dengan tenaga Hiat-ciang sepenuhnya
mencengkeram ke arah leher. Hebat bukan main serangan Hiat-ciang Sian-li Ma Su
Nio ini, dan entah mana yang lebih berbahaya antara pedang di tangan kanan
ataukah pukulan Hiat-ciang tangan kirinya. Terjangan ganas yang merupakan
serangan maut dari Ma Su Nio ini masih disusul oleh serbuan Hek-giam-ong dan
Pek-giam-ong yang siap-siap mendekati dan mencari kesempatan baik sebagai
perkembangan serangan Ma Su Nio.
Han Han melihat betapa para
perajurit Mancu sudah mengepung rapat tempat itu, melihat pula sikap para tokoh
kaum sesat yang siap hendak membunuhnya. Ia maklum bahwa makin lama akan makin
berbahayalah keadaannya. Kini menghadapi terjangan Ma Su Nio, ia mengeluarkan
seruan keras, tongkatnya bergerak ke pinggir menangkis dan terus menggunakan
sin-kang menempel pedang wanita itu. Pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bau
amis itu tidak ia elakkan, melainkan ia papaki dengan tangan kanannya yang
terbuka telapak tangannya.
“Dukkk! Plakkk!” Pedang dan
tongkat bertemu dan melekat, kedua tangan pun bertemu dan melekat. Ma Su Nio
kembali mengeluarkan suara melengking nyaring ketika merasa betapa pedangnya
melekat pada tongkat dan betapa tangan kirinya yang menempel tangan kanan
pemuda itu, pertama-tama terasa menggigil kemudian terasa betapa hawa yang
amat dingin menjalar masuk ke tubuh melalui lengan kirinya.
“Aiiihhhhh!” Ia berseru,
melepaskan pedangnya yang masih menempel tongkat lawan, menggunakan tangan
kanannya untuk menghantamkan lagi pukulan Hiat-ciang yang lebih hebat ke arah
dada Han Han.
“Bukkkkk!” Han Han sengaja
menerima pukulan tangan kanan wanita itu dan.... telapak tangan Ma Su Nio
menempel pada dadanya, langsung hawa dingin menjalar memasuki lengan kanan
wanita itu. Ma Su Nio mengerahkan sin-kang dan berusaha menarik kembali kedua
lengannya, namun terlambat. Hawa dingin yang tersalur keluar dari tubuh Han Han
adalah inti dari Im-kang yang dihimpunnya di Pulau Es, maka hawa dingin yang
amat luar biasa itu telah melukai jantung Ma Su Nio yang seketika menjadi
seperti kaku dan membeku!
“Setan buntung!” Bentakan ini
keluar dari mulut Pek-giam-ong. Iblis yang berjuluk Raja Maut Putih ini
mencelat maju hendak menolong sumoinya. Goloknya menyambar ke tengkuk Han Han
dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sedangkan Hek-giam-ong juga sudah
menusukkan goloknya untuk mendodet perut pemuda itu dari kanan.
Han Han melepaskan Ma Su Nio
sambil meloncat mundur. Tubuh wanita itu roboh tak bernyawa lagi, roboh
seperti patung kayu yang kaku. Sambil meloncat mundur, Han Han merendahkan
tubuh, tongkatnya menyelinap dari bawah, tangan kanannya didorongkan ke atas
menggunakan hawa pukulan menangkis bacokan golok Pek-giam-ong.
Pek-giam-ong menjerit ngeri
ketika tahu-tahu orang yang dibacok tengkuknya itu sekali mengangkat tangan
membuat goloknya tertahan dan tanpa dapat ia elakkan lagi, tongkat Han Han yang
tadi bergerak dari bawah, melemparkan pedang Ma Su Nio yang tadi menempel di
ujung tongkat. Pedang itu meluncur seperti anak panah dari jarak dekat,
menembus perut Pek-giam-ong sampai ke punggung. Pek-giam-ong membelalakkan mata
melihat ke perutnya, kemudian dengan kedua tangannya ia mencabut pedang itu
dan.... berbareng dengan menyemburnya darah dari perut dan punggungnya, iblis
muka putih ini menubruk maju!
Han Han menangkis pedang itu,
sekaligus ia mengirim tendangan yang membuat tubuh lawan itu tergelimpang dan
tewas. Cara Han Han menendang amatlah mengherankan, tubuhnya mencelat ke atas,
di udara kakinya bergerak dan tendangannya seperti tendangan ayam jago
bertanding. Sambil menendang, ia telah menyambar pedang Ma Su Nio dengan tangan
kanan, pedang yang oleh Pek-giam-ong dipergunakan untuk menyerangnya dalam
keadaan sudah sekarat tadi.
Hek-giam-ong sudah menubruk
dengan kemarahan meluap-luap. Melihat kematian dua orang saudara
seperguruannya, ia menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan sesuatu, maklum
bahwa dengan pukulan dan senjata akan percuma terhadap pemuda buntung itu, ia
telah membuang goloknya dan menubruk maju memeluk pinggang Han Han dari
belakang. Sebelum pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri karena baru
menghadapi Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah dipeluk
oleh sepasang lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari Hek-giam-ong!
Raksasa hitam ini bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya dengan jari-jari
tangan mengandung Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram, yang kanan
mencengkeram perut, yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.
Sedetik pemuda buntung ini
bingung juga menghadapi serangan tidak lumrah ini. Namun tentu saja dia tidak
kehilangan akal. Mula-mula, tubuhnya secara otomatis telah menggerakkan
sin-kang untuk melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian kakinya dan
tongkatnya menekan tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali.
Semua perajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan pertandingan ini
menahan napas. Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut terbawa mencelat
ke atas dan tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali melakukan gerakan
jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar diikuti pandang
mata. Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan melayanglah tubuh
Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara berdebuk dan
dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan ujung tongkat Han
Han.
Han Han melesat ke depan melampaui
kepala pasukan Mancu. Akan tetapi ketika ia melayang lagi ke atas pohon,
tiba-tiba ada desir angin yang amat hebat dari pohon itu. Kiranya di atas pohon
itu telah berdiri seorang pendeta gendut yang bukan lain adalah Thian Tok Lama
dan yang mengirim pukulan ke arahnya. Pendeta Lama itu berdiri setengah
berjongkok di atas dahan pohon yang besar, perutnya mengeluarkan bunyi
“kok-kok-kok!” seperti suara ayam biang dan kedua lengannya didorongkan ke arah
tubuh Han Han yang sedang mencelat ke atas. Itulah pukulan jarak jauh
Hek-in-hwi-hong-ciang yang amat dahsyat den agaknya kakek ini sudah mengenal
gerakan-gerakan Han Han yang cepat seperti kilat maka ia sengaja menghadangnya
dari atas pohon. Angin yang keras dan panas dengan uap hitam menyambar ke arah
tubuh Han Han.
Han Han terkejut sekali,
maklum bahwa lawan tangguh ini melancarkan pukulan yang dahsyat dan berbahaya
selagi tubuhnya masih di udara. Namun tidak percuma dia digembleng oleh wanita
sakti buntung Khu Siauw Bwee dan telah mewarisi ilmu gerak kilat
Soan-hong-lui-kun. Sambaran angin pukulan yang dahsyat itu dapat ia pergunakan
sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan sin-kang di tangan kanan yang
didorongkan ke depan menangkis, ia dapat “meminjam” hawa pukulan lawan membuat
tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu luput. Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara kagum, “Omitohud....!” dan dari pohon sebelah kiri
menyambar pula angin pukulan yang biarpun tidak sehebat Hek-in-hwi-hong-ciang
tadi, namun dibarengi bentakan, “Robohlah!” Luar biasa sekali bentakan ini
karena Han Han merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh! Biarpun ia sudah
menggerakkan lengan menangkis dan mendapat kenyataan bahwa serangan dari
pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah sekuat serangan Thian Tok Lama tadi,
namun di dalam bentakan itu terkandung wibawa dan kekuatan yang lebih berbahaya
daripada pukulan itu! Seperti mimpi Han Han terpelanting, seolah-olah lebih
parah terkena “pukulan” bentakan itu pada lubuk hatinya.
Masih untung bahwa Han Han memiliki
kekuatan batin yang aneh. Andaikata tidak demikian, tentu serangan tadi
benar-benar akan membuat ia roboh terbanting karena pendeta kurus ini telah
menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan
yang disertai ilmu sihir yang terkandung dalam bentakannya tadi. Dalam waktu
dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya melayang turun, Han Han sudah dapat
menguasai dirinya dan cepat ia berjungkir-balik sehingga ketika turun ke tanah,
ia berdiri tegak dengan kaki tunggalnya.
Akan tetapi, baru saja ia
turun, kembali Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah menyerangnya, sekarang
kedua orang pendeta Tibet itu menyerangnya dari atas tanah, dari kanan kiri.
Thian Tok Lama masih menggunakan pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang menyambar
dari kanan, sedangkan pendeta kurus Thai Li Lama mengirim hantaman dari kiri
sambil membentak lagi, “Robohlah!”
Han Han merasa tubuhnya
tergetar, bukan hanya oleh bentakan, melainkan juga oleh hawa pukulan. Ia
mengerahkan semua sin-kangnya, maklum betapa lihainya dua orang lawan itu dan
secepat kilat ia menancapkan pedang rampasan dan tongkat di atas tanah kemudian
mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri mendorong kembali serangan lawan. Secara
otomatis, tangan kiri Han Han mengerahkan tenaga inti es, sedangkan tangan
kanan mengerahkan tenaga inti api. Memang pemuda ini memiliki sin-kang yang
sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga dia dapat memecah sin-kangnya
menjadi dua, yaitu menggunakan tangan kiri dengan Im-kang dan tangan kanan dengan
Yang-kang.
“Wuuut.... wuuuttttt....
desssss!”
Pertemuan tenaga sakti yang
amat dahsyat ini membuat tubuh Han Han tergetar, akan tetapi kedua orang
pendeta Tibet juga terkejut dan mundur selangkah, tubuh Thai Li Lama agak menggigil
kedinginan, sedangkan wajah Thian Tok Lama menjadi merah sekali. Dalam detik
berikutnya, mereka berdua sudah menambah tenaga dan memukul lagi, sambil
melangkah dekat. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan
tubuh Han Han berikut pedang dan tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu
sudah mencelat ke atas. Hampir saja kedua orang pendeta sakti ini saling
mengadu pukulan sendiri dan hanya karena tingkat mereka yang sudah amat tinggi
membuat mereka dapat mengubah sasaran sehingga menyeleweng dan masing-masing
hanya merasakan sambaran angin pukulan teman.
Han Han mencelat ke atas
dengan niat hendak melepaskan diri dari kepungan, akan tetapi tiba-tiba
puluhan batang anak panah menyambar dari atas pohon-pohon yang mengelilinginya.
Ia makin terkejut, maklum bahwa fihak musuh telah melakukan persiapan sehingga
barisan panah telah menutup jalan keluarnya melalui puncak-puncak pohon. Terpaksa
ia memutar tongkatnya turun lagi, agak jauh dari situ.
Begitu ia turun, ia sudah
dikepung lagi oleh puluhan orang perajurit Mancu. Senjata pasukan ini datang
menyerangnya bagaikan hujan. Han Han makin marah. Ia memang tidak suka
berkelahi dengan mereka, akan tetapi kalau dipaksa seperti itu, tentu saja ia
harus membela diri mati-matian. Ia mengeluarkan seruan keras, tongkat dan
pedang rampasannya ia gerakkan seperti kilat menyambar-nyambar sehingga dalam
waktu singkat enam orang pengeroyok roboh dan tewas.
“Minggir....!” Bentakan ini
keluar dari mulut Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Dua orang pendeta sakti
dari Tibet ini maklum bahwa pemuda ini bukan lawan para perajurit itu dan hanya
mereka berdua dan para tokoh sakti saja yang akan mampu menandinginya.
Han Han berdiri tegak,
bersandar pada tongkat di tangan kirinya, sedangkan pedang rampasan yang sudah
merah oleh darah itu ia pegang dengan tangan kanan. Kedua alisnya yang tebal
dikerutkan, sepasang matanya tajam melirik ke arah lima orang sakti yang
bergerak melangkah perlahan-lahan mengepungnya.
Mereka itu bukan lain adalah
Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan Bhong Poa Sik yang
kepalanya ada “telurnya”, yaitu sepasang saudara kakak beradik yang terkenal
dengan julukan Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil berjenggot panjang
yang ia tidak kenal siapa, dan di bawah sebatang pohon, dengan cara berdirinya
yang aneh, tampak Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu yang tidak ikut
mengepungnya, hanya menonton dengan mata tak pernah berkedip seperti mata
seekor burung bangau mengintai katak!
Han Han bersikap waspada. Ia
dapat menduga bahwa di antara enam orang lawannya yang sakti ini, kedua orang
pendeta Tibet dan Si Burung Hantu itulah yang agaknya paling lihai. Kedua
Tikus Kuburan itu biarpun berkepandaian tinggi, namun bukan merupakan lawan
tangguh, hal ini tampak bukan hanya dalam sikap mereka yang kelihatan gentar,
juga terbukti bahwa mereka berdua memegang senjata. Bhong Lek si Muka Tikus itu
memegang senjata siang-kek (sepasang tombak bercabang) bergagang pendek,
sedangkan adiknya Bhong Poa Sik yang kepalanya benjol sebesar telur itu
memegang sebatang pedang. Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek
kurus kecil berjenggot panjang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai
panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.
Aku harus dapat lebih dulu
merobohkan tiga orang yang paling berbahaya itu, pikir Han Han. Musuh
terlampau banyak dan kalau dia melawan mereka yang lebih lemah namun banyak
jumlahnya sehingga nanti tenaganya akar habis untuk menghadapi tiga orang sakti
itu, tentu dia akan celaka. Kalau dia berhasil merobohkan tiga orang lawan
tangguh itu, dia akan selamat, yang lain-lain tidaklah berat untuk dihadapi dan
dia akan dapat menyelamatkan diri.
Setelah berpikir demikian, Han
Han mengeluarkan seruan melengking dari dalam pusar menembus dada dan
tenggorokan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir-balik dan
berputaran membingungkan para pengurungnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah
mencelat ke arah Ciam Tek si Burung Hantu yang kelihatannya melenggut di bawah
pohon, bersandar pada gagang sabitnya yang amat tajam.
Gerakan Han Han amatlah
cepatnya karena memang dia mempergunakan gerak kilat dari Soan-hong-lui-kun
sehingga Si Burung Hantu yang lihai itupun kini menjadi amat terkejut. Dahulu,
ketika ikut membantu Giam Kok Ma menjebak Han Han, Ciam Tek si Burung Hantu ini
pernah mendapat kesempatan bergebrak sejurus menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li
dan ternyata kepandaiannya berimbang dengan nenek itu! Karena itu, biarpun
terkejut sekali, ia tidak kehilangan akal melihat tubuh pemuda buntung itu meluncur
dan menusuknya dengan pedang rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu tahu-tahu sudah
meloncat naik pula, senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu berubah menjadi
sinar menyilaukan, menyambar ke atas menangkis pedang rampasan yang
dipergunakan Han Han untuk menyerangnya.
“Tranggggg....!”
Pedang rampasan di tangan Han
Han patah menjadi dua, akan tetapi senjata sabit itupun patah, bahkan Ciam Tek
masih terhuyung-huyung ke belakang. Ia terkejut bukan main, cepat ia menjatuhkan
diri bergulingan dan setelah meloncat bangun Ciam Tek sudah siap menghadapi
lawannya yang buntung namun memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa itu.
Akan tetapi ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun, ia melihat Han Han
telah dikeroyok dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama! Kembali Ciam Tek
tertegun dan memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang terhitung
suheng-suhengnya karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan mereka
itu, sudah ia ketahui kelihaian mereka. Namun kini mereka berdua maju
berbareng, mengeroyok si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat
aneh dan mulai menipislah rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan
saja senjatanya yang ampuh menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.
Dengan tongkat bututnya, Han
Han menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Tibet. Pemuda ini mengerti bahwa
dua orang lawannya memiliki pukulan-pukulan ampuh sekali, maka ia menghadapi
mereka dengan hati-hati, akan tetapi juga ingin mengakhiri pertandingan itu
secepatnya agar dia dapat membebaskan diri sebelum terlambat dan kehabisan
tenaga. Oleh karena ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya dengan Ilmu
Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau Siang-mo
Kiam-sut lebih hebat dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini dia hanya
menggunakan sebatang tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia
pergunakan untuk menangkis pukulan-pukulan lawan atau membalas dengan
pukulannya sendiri yang mengandung tenaga dahsyat. Dua buah kitab yang dahulu
diberikan kepadanya oleh $epasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah
dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu Iblis Jantan dan
Iblis Betina yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sepasang Iblis) yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang sebatang tongkat
di tangan kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu bagian Ilmu
Pedang Iblis Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.
Melihat gerakan tongkat yang
amat hebat, apalagi didasari gin-kang yang sukar dicari lawannya dan tenaga
sin-kang yang amat kuat, dua orang pendeta Tibet itu diam-diam merasa heran
sekali, juga kagum. Belum pernah selamanya mereka bertemu tanding selihai ini
dan diam-diam mereka mengerti bahwa kalau mereka harus melawan satu-satu,
mereka tentu akan sukar sekali menandingi kehebatan pemuda buntung ini!
Selama tiga empat puluh jurus
kedua orang pendeta itu berusaha merobohkan Han Han dengan serangan
bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka tahu bahwa kalau mereka mempergunakan
jurus-jurus silat, tak mungkin mereka akan dapat merobohkan pemuda buntung yang
ternyata dapat bergerak secepat kilat secara aneh ini, bahkan membahayakan
mereka sendiri karena gerakan loncatan Han Han amat sukar diikuti pandangan
mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya berkaki satu itu mencelat. Tiba-tiba
Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang agaknya menjadi isyarat bagi
sutenya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke belakang, menghadapi Han Han
dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan pukulan dahsyat yang
berdasarkan sin-kang mereka yang kuat!
Thian Tok Lama sudah berdiri
dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya merendah seperti jongkok, perutnya
mengeluarkan bunyi berkokok dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan
yang amat panas hawanya, bahkan dari lengan kanannya yang membiru itu keluar
suara bercuitan, dibarengi mengebulnya uap hitam yang menerjang ke arah Han
Han. Thai Li Lama juga berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, kedua
lengannya bergerak, yang kanan melakukan gerakan mendorong ke arah Han Han,
yang kiri dengan telunjuk mengacung membuat gerakan berputar dan mencoret-coret
seperti sedang menggambar atau menulis huruf di udara.
Han Han juga maklum bahwa
kalau ia mengandalkan ilmu silatnya saja, akan sukarlah ia mengalahkan kedua
orang pendeta Tibet itu, maka begitu melihat mereka mulai mengandalkan pukulan
sakti, ia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian cepat ia
mengerahkan tenaga di kedua lengannya dan dia menggerakkann kedua lengannya ke
kanan kiri, dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan dengan sin-kang
yang menggetar keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.Han Han merasa
betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja yang panas.
Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah mengeluarkan tenaga Yang-kang,
maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke arah kedua
lengannya. Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini. Biarpun kedua tangan
Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh setengah meter, namun
sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari kedua tangan Thian Tok
Lama makin menebal! Han Han berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya
tampak kokoh kuat menahan ke kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua
orang lawannya tidak seimbang. Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat dan melihat
kedua orang itu makin mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia
maklum bahwa kalau dia tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin
sukar baginya mencapai kemenangan. Dalam hal sin-kang, ia percaya kepada
tenaganya sendiri, dan kalau mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah
baginya mempergunakan gin-kang dari Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka
mengirim serangan maut.
Para perajurit Mancu dan para
tokoh yang menonton pertandingan itu menjadi tegang hatinya. Pertandingan yang
aneh bagipara perajurit, akan tetapi bagi tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus
Kuburan, mereka maklum betapa bahayanya mencampuri pertandingan seperti itu
yang seolah-olah mengeluarkan sinar-sinar kilat yang akan mematikan orang yang
berani mendekat. Dari jauh saja mereka sudah dapat merasakan getaran-getaran
hebat yang keluar dari benturan tenaga sakti tiga orang itu.
Tubuh kedua orang hwesio Tibet
itu makin dekat dan telapak tangan mereka hampir menyentuh kedua telapak tangan
Han Han. Tiba-tiba Han Han menjadi terkejut bukan main karena dari sebelah
kirinya di mana Thai Li Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul semacam
gelombang yang amat aneh. Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya, yang
kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat dekat di
telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun mempunyai daya
tarik yang sukar dilawan.
“Menyerahlah.... engkau tidak
kuat lagi.... menyerahlah.... berlututlah....!”
Suaranya sendirikah itu?
Tiba-tiba Han Han merasa betapa beratnya mempertahankan diri, betapa kedua
lengannya yang tadi masih kuat menahan himpitan tenaga sakti dari kanan kiri
itu terasa lelah sekali, hampir tidak kuat dia.
“Menyerahlah, berlutut....!”
Suaranyakah itu? Ah, bukan!
Itu suara Thian Li Lama yang entah bagaimana memasuki otaknya. Ketika Han Han
di dalam hatinya menggoyang kepala mengusir keadaan seperti mimpi itu,
seketika pandang matanya terang kembali, bisikan lenyap akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia melihat bahwa dia sudah benar-benar menekuk lutut kaki
tunggalnya! Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para perajurit Mancu yang
melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan tubuh
gemetar.
“Setan!” Han Han mengerahkan
seluruh kekuatan batin dan sin-kangnya, lalu perlahan-lahan ia bangkit berdiri.
Kiranya telapak tangannya sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di
kanan kiri dan ia merasa betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu
masih dapat ia tahan. Ia melirik ke arah Thian Li Lama dan melihat pendeta
kurus ini mulutnya berkemak-kemik, tangan pendeta ini menempel di tangan
kirinya dan tangan kiri pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh. Mengertilah
Han Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan ilmu hitam. Teringat ia akan
kekuatan mujijat yang terkandung dalam tubuhnya sendiri, maka ia pun membalas
pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan kekuatan kemauannya dan di dalam
hatinya ia membentak, “Thai Li Lama, mengapa menyuruh orang lain? Engkaulah
yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!”
Tiba-tiba pendeta Tibet yang
kurus itu mengeluarkan seruan aneh dari dadanya dan.... kedua kakinya bertekuk
lutut!
“Ji-suheng....!” Terdengar
suara parau Burung Hantu. Agaknya teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li
Lama. Pendeta kurus ini terkejut sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi
terlambat. Saat yang hanya sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang
tiba-tiba, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah
inti hawa panas Hwi-yang Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin
sekali. Seketika tubuh Thai Li Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru
keras, mengerahkan seluruh tenaganya melawan hawa dingin.
“Aihhhhh....!” Han Han
mengeluarkan seruan keras sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah sin-kangnya,
dari dingin ke panas, dari panas ke dingin sehingga kedua orang lawannya
menjadi bingung dan tersiksa. Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang memang sudah
terluka sebagai akibat kelengahannya jatuh di bawah pengaruh kekuatan mujijat
Han Han. Perubahan-perubahan hawa sakti itu membuat keringat dingin bercucuran
dan mukanya pucat sekali.
Akan tetapi, pertandingan
hebat ini bukan tidak merugikan Han Han sendiri karena melawan dua orang tokoh
yang begitu kuat membutuhkan pengerahan seluruh tenaganya. Biarpun dia dapat
menguasai keadaan, namun sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga raksasa, dan
tadi ketika sejenak ia tertekan hebat dan hampir saja ia celaka.
Maklum bahwa tidak boleh ia
berlama-lama karena keadaannya sendiri berbahaya, Han Han mengumpulkan seluruh
tenaganya, tubuhnya direndahkan sedikit kemudian ia mendorong ke kanan kiri
dengan keras sambil berteriak, “Hyyyaaaaattttt!”
Inti tenaga sin-kang Han Han
memang bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya sudah timbul ketika
ia mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia menggunakan kekuatan
kemauan untuk melatih sin-kang yang tinggi tingkatnya seperti Hwi-yang
Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau Es, dia sudah memiliki
sin-kang yang sukar dicari bandingnya. Kemudian sekali, dia digembleng oleh Khu
Siauw Bwee, seorang di antara pemilik Pulau ES, tentu saja tingkatnya menjadi
amat tinggi. Biarpun kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar
di Tibet dan sukar dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan
dengan hawa sin-kang yang berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak
dapat mereka tahan dan tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan
meter jauhnya. Begitu terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat
bersila dan meramkan mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan
sin-kang untuk menolong nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.
Akan tetapi, Han Han sendiri
pun harus menggunakan tenaga terakhir tadi untuk dapat melontarkan dua orang lawannya
yang kuat, maka kini biarpun dia berhasil, dia sendiri pun tidak keluar tanpa
luka, biarpun lukanya tidak seberat kedua orang lawan. Bagitu kedua orang
lawannya terlempar, pemuda buntung ini terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang
dan ia muntahkan sedikit darah segar, kedua matanya dipejamkan dan tangan
kirinya meraba-raba gagang tongkat yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
“Aku mencari adikku.... kenapa
kalian mendesakku....?” mulutnya berbisik penuh penyesalan.
Tiba-tiba dari belakangnya
menyambar angin pukulan yang amat hebat. Han Han terkejut, cepat ia memutar
tubuh, akan tetapi karena kepalanya masih pening, gerakannya kurang cepat.
Terpaksa ia hanya menggerakkan tangan kanan menangkis, dan berhasil menangkis
tangan kiri Ciam Tek. Akan tetapi tangan kanan Si Burung Hantu masih tepat
memukul dadanya dengan pukulan Hek-in-sin-ciang yang beracun.
“Desssss....!” Tubuh Han Han
terpelanting ke kanan dan kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini masih
sadar dan maklum bahwa kalau tidak cepat bergerak, akan celakalah dia. Kaki
tunggalnya menjejak tanah, tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya sudah
mencelat ke atas. Benar saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan
mengenai tanah tempat ia tadi rebah.
Melihat pukulannya gagal, Ciam
Tek Si Burung Hantu yang sudah kegirangan karena serangan pertamanya tadi berhasil,
cepat meloncat naik mengejar dan mengirim pukulan pula.
“Pengecut curang....!” Han Han
memapaki dan terpaksa ia berjungkir-balik untuk mengelak dan terpaksa ia meloncat
turun lagi ke atas tanah. Si Burung Hantu juga melayang turun. Han Han
membelalakkan matanya penuh amarah, bibirnya masih berdarah, dadanya terasa
sakit sekali. Ia marah oleh kecurangan lawan yang memukul dari belakang selagi
ia pening.“Ha-ha-ha, mampuslah!” Ciam Tek tertawa mengejek dan kembali ia melakukan
pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan ini sebetulnya sama
sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan memang dahulu ketika
merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu pukulan ini dari guru
kedua orang pendeta Lama maka mereka itu terhitung suheng-suhengnya. Pukulannya
yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti Awan Hitam) inipun mengeluarkan
uap hitam dan beracun. Sungguhpun tidak sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari
Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup hebat dan jarang ada orang mampu menahan
pukulan maut ini. Manusia bermuka seperti burung ini amat licik dan juga
bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa sedikit banyak pemuda luar biasa ini
sudah terluka dalam pertandingan melawan kedua orang pendeta Tibet, maka ia
mempergunakan kesempatan untuk menghantam Han Han dari belakang. Ketika
pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang sekali dan terus mendesak Han Han.
Akan tetapi Han Han kini sudah
marah bukan main. Orang telah mendesak dia yang tidak ingin berkelahi. Apalagi
Si Burung Hantu yang curang ini. Baik, ia menggigit bibir. Mari kita bertanding
mati-matian! Dengan kemarahan meluap, melihat Ciam Tek memukul, Han Han tidak
mau mengelak, melainkan menerima pukulan Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan
pula sambil mengerahkan Im-kang.
“Desssss!” Si Burung Hantu
jatuh terduduk, tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak. Akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya keluar
suara mencicit seperti burung, tangan kanannya menghantam didahului uap hitam
ke arah ulu hati Han Han.
Pemuda ini miringkan tubuh
mengelak sambil berputar. Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu dengan jari
terbuka dan digerakkan miring membabat ke arah lehernya seperti sebatang golok.
Han Han kembali mengelak, akan tetapi rambutnya yang panjang itu terbabat
sedikit dan.... putus! Han Han terkejut. Kiranya tangan kiri manusia aneh
bermuka burung ini dapat dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak kalah
oleh pedang, dapat membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!
“Heh-heh-heh!” Ciam Tek
mengejek dan kembali kedua lengannya yang panjang-panjang itu sudah bergerak
ke depan. Yang kanan menonjok perut yang kiri membacok kepala. Pada saat itu,
tiga orang perwira Mancu ikut pula menerjang maju dengan senjata tombak mereka.
“Pergi, jangan bantu....!” Si
Burung Hantu membentak, akan tetapi tiga orang perwira Mancu itu terus saja
menyerang Han Han, pura-pura tidak mengerti. Dan memang mereka tentu saja
mengerti bahwa mereka tidak semestinya memyerang terus. Akan tetapi karena
penasaran maka mereka pura-pura tidak mendengar dan menerjang Han Han
menggunakan tombak, seolah-olah berlumba untuk memperebutkan jasa.
Diam-diam Han Han menjadi
girang. Dia sudah agak lemah dan terluka, dan biarpun dia masih sanggup
menandingi Ciam Tek, namun kalau manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh
lain yang lihai, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Untung baginya bahwa
tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari
situ, sehingga yang datang membantu Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki
kepandaian tinggi. Hal ini menguntungkan dia, dan merugikan Ciam Tek karena
bagi ahli silat tinggi, bantuan dari orang-orang yang tidak pandai bukan
merupakan bantuan lagi, bahkan menjadi pengganggu! Karena itulah maka tadi ia
berteriak mencegah mereka sungguhpun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan
Han Han sendiri saja.
Han Han membiarkan dua tombak
datang meluncur. Setelah dekat sekali, ia menangkap kedua tombak dengan tangan,
kakinya menendang roboh perwira ke tiga dan sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh
dua orang perwira itu terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke
arah tubuh Ciam Tek!
“Tolol kamu!” Ciam Tek
mendengus marah, kedua tangannya bergerak mendorong dan tubuh dua orang
perwira itu terbanting ke atas tanah, bergulingan dan pingsan. Kesempatan
itulah yang dinanti-nantikan Han Han. Melihat betapa manusia burung itu
menangkis dan melontarkan kedua orang perwira Mancu, ia sudah meloncat ke
depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan, tangan kanan menonjok
dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat menotok.
Si Burung Hantu atau
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek benar-benar amat lihai. Biarpun serangan Han Han ini
amat cepat dan hanya beberapa detik setelah ia menangkis tubuh dua orang
perwira, namun ia masih dapat menghadapinya. Dengan tangan kirinya ia menangkis
pukulan Han Han, kemudian tangan kanannya mencengkeram ke arah tongkat yang menotok
lehernya. Namun, karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han Han sudah mengatur
siasat lebih dulu, tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit dan sebaliknya malah
menggempur lengannya dengan pukulan yang menggetar karena mengandung tenaga
sin-kang
“Krakkk! Auuuggghhh!” Si
manusia burung itu mencelat ke belakang, menyeringai kesakitan karena tulang
lengan kanannya retak! Saking marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan
tulang tengan kanannya, malah maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor
burung.
Han Han terkejut, tidak
menyangka bahwa lawan yang sudah terluka masih begitu nekat, padahal saat itu
ia melihat berkelebatnya bayangan Sepasang Tikus Kuburan. Maka ia sengaja
menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek yang ia tahu telah terluka, sedangkan
cengkeraman tangan kiri lawan ke arah ubun-ubunnya ia tangkis dengan tangan
kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur ke arah dada lawan.
“Krakkk....! Crotttt....!”
Terdengar jerit melengking dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung
tongkat yang menembus dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han
Han karena memang tadinya tulang itu telah retak.
Han Han menyeringai kesakitan.
Biarpun lengan kanan Ciam Tek telah retak tulangnya, namun pukulan yang mengenai
dadanya itu masih hebat sekali membuat napasnya sesak dan matanya berkunang.
Pemuda ini maklum bahwa dirinya terancam bahaya maka cepat ia mencabut
tongkatnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Pandang matanya masih berkunang dan
kepalanya berat sekali. Ia perlu cepat-cepat membebaskan diri agar dapat
mengobati luka di dalam dadanya.
Akan tetapi, tiba-tiba selagi
tubuhnya meloncat, kaki tunggalnya terbelit ujung rantai baja yang panjang dan
kuat. Kiranya dia telah dikejar dan dikurung Sepasang Tikus Kuburan dan kakek
kecil bertelanjang kaki yang telah menggerakkan rantai bajanya secara
istimewa. Rantai baja itu meluncur cepat dan berhasil melibat pergelangan kaki
Han Han selagi pemuda ini meloncat. Han Han terkejut bukan main. Ia
menendangkan kakinya namun tak dapat terlepas dari libatan rantai baja sehingga
tubuhnya tertarik turun dan terbanting ke bawah! Cepat ia menggunakan lengan
kiri merangkul batang pohon agar tubuhnya tidak terbanting. Pada saat itu,
tampak sinar berkelebat dan pedang di tangan Bhong Poa Sik telah menyambar ke
arah lehernya! Han Han menjadi marah sekali. Teriakan dahsyat keluar dari
kerongkongannya, teriakan yang mengandung hawa khi-kang sehingga si manusia
berkepala benjol itu kaget, gerakannya tertahan sedetik namun cukup bagi Han
Han yang masih bergantung dengan lengan kiri pada batang pohon sedangkan kaki
tunggalnya masih terlibat rantai itu. Han Han menggerakkan tangan kanannya,
mencengkeram ujung pedang, mengerahkan sin-kang dan sekali betot pedang itu
telah dirampasnya. Pergelangan tangannya bergerak, pedang membalik dan kini ia
telah memegang gagang pedang, langsung ia tusukkan ke lambung Bhong Phoa Sik.
Pengerahan sin-kang tadi membuat dadanya makin sesak dan matanya menjadi gelap,
namun Han Han masih dapat menusuk lambung lawannya dengan tepat sehingga pedang
rampasannya menembus dari lambung kiri Bhong Poa Sik. Bukan itu saja, juga
berbareng ia mengerahkan tenaga pada kakinya, menarik kaki itu ke belakang.
Bersama dengan jerit kematian yang keluar dari mulut Bhong Poa Sik bersama
semburan darahnya, terdengar pekik kaget kakek yang memegang ujung rantai
karena tubuhnya terbawa oleh tarikan kaki Han Han. Betapapun ia mempertahankan,
tetap saja tubuhnya terbawa melayang ke arah Han Han.
“Cappppp!”
Han Han terkejut bukan main.
Karena pandang matahya gelap, ia kurang waspada sehingga pada saat ia menusukkan
pedang ke lambung Bhong Poa Sik dan membetot tubuh kekek yang memegang rantai,
sebuah tusukan tombak pendek di tangan kiri Bhong Lek si Muka Tikus menancap di
paha kaki tunggalnya!
Rasa sakit membuat Han Han
makin marah. Tubuh kakek yang memegang rantai itu telah melayang dekat dan
sekali Han Han menendang ke belakang, tumit kakinya menendang perut kakek itu
yang seketika putus napasnya karena isi perutnya remuk! Dan Bhong Lek yang
tadinya girang dapat melukai paha Han Hang tiba-tiba melihat sinar bergulungan
di depan matanya dan.... arwahnya melayang tanpa disadarinya karena tahu-tahu
leher Si Muka Tikus ini telah putus oleh sinar pedang yang digerakkan Han Han.
Pemuda buntung ini berdiri
dengan kaki tunggalnya yang terluka dan bercucuran darah, pedang di tangan
kanan, tongkat di tangan kiri, tubuhnya agak bergoyang, rambutnya riap-riapan,
mukanya beringas penuh keringat, pakaiannya berlepotan darahnya sendiri dan
darah para korban yang tewas di tangannya. Dia siap menghadapi maut, akan
tetapi kematiannya akan ditebus mahal sekali oleh musuh-musuhnya karena dia
siap untuk membela diri mati-matian sampai tetesan darah terakhir!
Para perwira dan perajurit
Mancu gentar menghadapi pemuda kaki buntung yang luar biasa itu. Kakak beradik
Tikus Kuburan tewas, kakek Mongol yang terkenal lihai dengan rantai bajanya
juga tewas, tiga orang murid Setan Botak yang amat lihai tewas pula, belum lagi
banyak perajurit dan perwira yang roboh bahkan kedua orang pendeta Tibet masih
duduk bersila memejamkan mata memulihkan tenaga! Namun, para perajurit yang
mengurung itupun maklum bahwa pemuda buntung yang sakti itu sudah terluka
hebat.
“Tangkap.... Bunuh....!”
Teriakan-teriakan terdengar.
“Jangan dekati!” teriak
seorang perwira. “Serang dengan anak panah....!”
Sibuklah para perajurit,
seperti serombongan orang yang ketakutan mengurung seekor harimau yang ganas
dan kuat. Han Han menggigit bibirnya. Tak mungkin dia menerjang maju karena
kakinya, satu-satunya anggauta badan yang ia andalkan untuk menahan tubuh,
telah terluka cukup parah. Tidak, kalau ia menggerakkan kakinya berarti ia
memperlemah pertahanannya sendiri. Dia akan tetap berdiri di situ dan
menghadapi semua terjangan musuh sampai mati!
“Serrr.... serrr-serrrrr....!”
Puluhan batang anak panah menyambar. Han Han memutar pedang rampasan di
tahgannya sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali, tampak bunga api
berpijar dan disusul pekik beberapa orang perajurit yang termakan anak panah
mereka sendiri yang membalik oleh tangkisan Han Han.
Sebagian besar anak panah
runtuh, ada sebatang menancap di antara rambut yang awut-awutan itu seperti
hiasan rambut, dan sebatang lagi menancap di bajunya setelah melukai kulit
pinggul, tidak dapat menembus kulit karena Han Han memutar pedang sambil
mengerahkan sin-kang melindungi tubuh!
“Hentikan serangan....!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ternyata di tempat itu telah datang
pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih yang merupakan pasukan pilihan
Mancu, dikepalai oleh seorang wanita yang cantik sekali, cantik dan gagah
bermata seperti bintang kembar.
“Han-koko....! Aihhh....
kalian orang-orang gila! Berani menyerang kakakku? Pergi semua! Pergi....! Dia
itu Han-koko, kakakku....! Han-koko....!”
Gadis jelita yang gagah
perkasa itu bukan lain adalah Lulu! Gadis ini, seperti kita ketahui, telah
menjadi sumoi dari Puteri Nirahai di bawah gemblengan Puteri Maya, yaitu nenek
bangsa Khitan yang sakti itu. Kemudian, karena pelaporan dari barisan yang
menyerbu Se-cuan selalu terpukul mundur, Puteri Nirahai menjadi penasaran dan
datang sendiri ke garis depan di perbatasan Se-cuan, mengajak Lulu.
Ketika itu Lulu sedang
bertugas meronda tapal batas memimpin sebuah pasukan. Tentu saja segera
mengenal Han Han dan kedatangannya pada saat yang amat tepat itu menyelamatkan
kakaknya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika
melihat bahwa kakaknya itu berdiri hanya dengan sebuah kaki!
“Han-ko....!” Ia menjerit
lagi, meloncat turun dari kudanya dan melesat cepat seperti terbang, langsung
menubruk dan berlutut merangkul kaki Han Han yang tinggal sebuah sambil
menangis sesenggukan.
“Lulu....!” Han Han juga
memanggil nama adiknya dengan hati yang tidak karuan rasanya. Mula-mula semangatnya
seperti terbang saking girangnya mendengar suara dan melihat betapa adiknya
masih sehat dan selamat, akan tetapi hatinya menjadi perih melihat kedatangan
adiknya itu bersama pasukan Mancu. Karena itu, panggilannya keluar dengan suara
seperti orang merintih. Betapapun juga, keharuan hatinya lebih besar dan dia
pun menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas itu, berlutut dan merangkul adiknya
dengan kedua lengannya. Sejenak mereka berangkulan dan bertangisan.
“Lulu.... kau.... bocah
nakal.... ke mana saja kau pergi?” Han Han menegur, tangan kiri diletakkan di
atas pundak dara itu, tangan kanannya menghapus air mata yang bereucuran di
atas pipi Lulu.
Akan tetapi Lulu tidak
menjawab, melainkan meraba-raba paha kiri Han Han yang buntung, matanya yang
basah air mata itu terbelalak memandang, kemudian ia meloncat bangun, matanya
yang lebar indah itu liar memandang ke arah para perajurit Mancu yang sibuk
mengurus teman-teman yang tewas dan merawat yang luka, wajahnya yang manis dan
jelita itu menjadi beringas, kulit mukanya merah sekali.
“Siapa yang membuntungi
kakimu, Han-ko? Siapa? Hayo katakan kepadaku agar dapat kubalas dia! Han-ko,
katakan siapa yang membuntungi kakimu? Katakan....!”
Para perwira dan perajurit
Mancu menjadi ketakutan dan saling pandang. Mereka tentu saja amat takut kepada
adik seperguruan Puteri Nirahai ini, bukan hanya takut akan kepandaiannya yang
kabarnya amat lihai seperti sang puteri, akan tetapi terutama takut akan kekuasaan
dan kedudukan Puteri Nirahai sendiri.
“Lulu, bukan mereka.... kakiku
sudah sangat lama buntung....” Han Han berkata.
“Aihhhhh, Koko....!” Lulu
menubruk lagi dan menangis, meraba-raba kaki yang buntung, lalu meraba-raba
muka Han Han, menyibakkan rambut kakaknya yang awut-awutan menutupi muka yang
tampan itu. “Kau.... kau terluka hebat.... ahhh.... Koko, mengapa kau berada di
sini?” Kembali Lulu meloncat bangun dengan sigapnya, membalikkan tubuhnya dan
membentak kepada para perajurit.
“Pergi kalian semua! Pergi
dari sini! Kalau tidak, kubunuh semua! Pergi!”
Para perwira Mancu dan para
perajurit terkejut, cepat-cepat mereka membawa mayat dan teman-teman yang
terluka meninggalkan tempat itu. Dua orang pendeta Lama sudah tidak kelihatan
lagi di tempat itu. Mereka berdua maklum bahwa setelah Lulu datang secara tidak
terduga-duga, rencana mereka membunuh Han Han yang dianggap seorang lawan
berbahaya itu menjadi gagal.
Setelah tempat itu bersih
ditinggalkan semua pasukan, Lulu kembali menubruk Han Han. “Han-ko, apakah yang
terjadi dengan dirimu? Mengapa kakimu buntung? Siapa yang dapat melakukan
perbuatan keji ini kepadamu, Han-koko?” Kembali kedua mata gadis itu bercucuran
air mata begitu ia melihat ke arah kaki buntung kakaknya.
Akan tetapi Han Han tidak
menjawab.
Lulu masih menangis sambil
membenamkan mukanya di dada kakaknya, kedua lengannya merangkul leher.
“Han-koko.... setengah mati aku mencarimu.... bertahun-tahun amat lama
rasanya, hampir aku putus harapan. Aku sampai di tempat sejauh ini juga
mencarimu.... tapi.... siapa menduga bahwa kau.... ah, kakimu.... aduh,
Koko....! Katakanlah, siapa orangnya yang begitu kejam membuntungi kakimu? Aku
bersumpah untuk menuntut balas!”
Akan tetapi Han Han tetap diam
tak menjawab.
Lulu yang diamuk keharuan,
kegirangan, juga kemarahan melihat kaki Han Han buntung, tidak merasa betapa
semua pertanyaannya tak terjawab. Kini ia mengangkat mukanya dan berkata penuh
semangat.
“Jangan khawatir, Han-ko.
Kalau musuh itu terlalu lihai, aku dapat membantumu. Aku, adikmu ini, sekarang
bukanlah Lulu yang dahulu! Aku sudah memiliki kepandaian tinggi dan....”
Tiba-tiba Lulu menghentikan kata-katanya ketika ia melihat wajah Han Han. Kiranya
sejak tadi kakaknya itu memandangnya dengan sepasang mata mendelik penuh
amarah!
Wajah Han Han pucat, matanya
mendelik seolah-olah mengeluarkan api, akan tetapi dari pelupuk matanya
menetes-netes air mata! Pemuda yang terluka ini tidak hanya terluka pahanya
yang robek oleh tusukan tombak Bhong Lek melainkan yang lebih berbahaya lagi
adalah luka di dalam dadanya akibat pukulan Ciam Tek si Burung Hantu, napasnya
makin sesak dan seluruh dada terasa panas. Setengah mati ia mencari Lulu,
bertahun-tahun ia lamanya dengan hati rindu dan penuh kekhawatiran, kini setelah
bertemu, kegirangan hatinya ternoda oleh kenyataan bahwa adiknya telah memimpin
pasukan Mancu!
“Koko.... Han-ko.... kau....
kau menangis? Kenapakah....?” Dengan jari tangan gemetar Lulu mengusap air mata
yang mengalir di atas pipi yang pucat itu. Gerakan Lulu yang penuh kasih sayang
ini memancing naiknya sedu-sedan dari dada Han Han, tangan kirinya merangkul
dan mengelus-elus rambut di kepala Lulu, akan tetapi tangan kanannya mengepal
keras sekali. Mulutnya tidak mampu menjawab, dua macam perasaan bertanding
dalam hatinya sendiri.
“Koko...., Koko....
bicaralah.... kau kenapakah? Kakimu....” Lulu terisak, “siapa yang membuntungi
kakimu....?”
“Buk! Buk! Bukkk!” Tiga kali
kepalan tangan kanan Han Han menghantam tanah sehingga Lulu merasa betapa tanah
yang diinjak tergetar. Ia kaget sekali dan memandang wajah kakaknya dengan kedua
mata terbelalak lebar.
“Han-ko! Kenapa....?”
“Lulu! Buntungnya kakiku bukan
hal penting!” Akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata dengan napas terengah.
“Urusan diriku tidak perlu dibicarakan! Akan tetapi engkau....! Engkau....!”
Lulu mengerutkan keningnya,
memandang wajah kakaknya penuh selidik, lalu memegang kedua pundak kakaknya.
“Han-ko, apa maksudmu? Ada apa denganku....?”
Tiba-tiba Han Han menggunakan
kedua tangannya mendorong sepasang lengan adiknya sehingga Lulu terjengkang ke
belakang. “Ada apa dengan engkau? Masih hendak bertanya lagi? Engkau....
menjadi pemimpin pasukan Mancu terkutuk!”
Seketika pucat wajah Lulu. Air
mata yang tadi telah berhenti mengalir kini bercucuran dari sepasang mata yang
tak pernah berkedip menatap wajah kakaknya. Perlahan ia bangkit kembali, merangkak
menghampiri Han Han dan menubruk kakaknya sambil menangis sesenggukan.
“Han-koko.... lupakah engkau
bahwa aku adalah seorang gadis Mancu? Anehkah kalau aku membantu bangsaku
menghadapi para pemberontak....?”
“Plak! Plak!” Kedua tangan Han
Han menyambar dan sepasang pipi yang pucat itu ditamparnya. Lulu terpekik dan
mundur ke belakang sambil meloncat bangun berdiri, memegangi kedua pipinya
yang terasa panas dan sedikit berdarah keluar dari ujung bibir kiri yang pecah.
Matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. Rasa sakit di kedua pipinya bukan
apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri yang menusuk masuk di hatinya. Ia
ditampar kakaknya! Selamanya Han Han belum pernah memperlakukan dia seperti
ini. Jangankan menampar, bersikap kasar sedikit pun belum!
Han Han ikut pula berdiri,
bersandar pada tongkatnya. Wajahnya lebih pucat lagi dan matanya juga
terbelalak ketika ia melihat darah di ujung bibir Lulu. Rambutnya terurai
menutupi muka, ia sibakkan dengan gerakan kepala, akan tetapi rambut itu
terurai kembali menutupi sebelah mukanya.
“Lulu....! Adikku....!
Ahhhh.... apa yang telah kulakukan....?” Suaranya gemetar, mengandung isak,
penuh penyesalan seolah-olah ia baru sadar dari sebuah mimpi buruk.
Namun wajah adiknya yang
biasanya berseri-seri, yang biasanya jenaka, yang biasarya selalu cerah seperti
sinar matanari di siang hari, kini berubah, dingin dan seperti muka mayat,
amat pucat, matanya tidak bersinar, bahkan suaranya berubah ketika bibir itu
bergerak bicara.
“Han-koko....!” Ia berhenti
dan terisak, susah payah menahan isak agar dapat bicara. “Kau tidak adil....!
Memang aku membantu bangsaku karena aku memang bangsa Mancu. Memang aku telah
bersalah, akan tetapi karena engkau tidak berada di sampingku, aku menjadi
bimbang dan akhirnya terseret ke dalam perang. Akan tetapi engkau sendiri?
Bukankah engkau menjadi seorang panglima Bu Sam Kwi yang mempertahankan
Se-cuan? Sudah lama kami mendengar akan adanya panglima kaki buntung dari fihak
musuh yang lihai. Tak kusangka engkaulah orangnya! Engkau seorang berbangsa Han
membela bangsamu menghadapi Mancu, sebaliknya aku seorang berbangsa Mancu
membela bangsaku menghadapi musuh. Siapakah yang benar di antara kita? Siapa
yang bersalah? Engkau.... telah menamparku, bukan menampar pipi melainkan menampar
dan menghancurkan hatiku. Ah, Han-koko, engkau tidak adil....!” Lulu mendekap
muka dengan kedua tangan dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah
jari tangannya.
“Lulu...., Moi-moi adikku....
kauampunkan aku....” Han Han melangkah maju hendak memegang lengan adiknya.
Akan tetapi sentuhan jari tangannya seperti ujung api menyengat tangan Lulu
yang cepat menarik tangannya, memandang dengan mata basah penuh penyesalan,
kemudian terisak dan gadis ini membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu.
“Lulu....!”
“.... engkau tidak adil....!
Engkau kejam.... tidak adil....!” Suara Lulu yang bercampur tangis itu
terdengar oleh Han Han seperti tusukan pedang menembus jantungnya. Ia meloncat
dan mengejar sambil berteriak-teriak seperti orang gila, “Lulu....! Lulu
adikku....!” Akan tetapi ia terguling roboh. Pertemuan dengan adiknya yang
mengakibatkan pukulan batin hebat itu membuat luka di dadanya makin parah. Ia
masih memanggil-manggil nama Lulu sambil merangkak, kemudian bangkit perlahan-lahan
dan berjalan terhuyung-huyung menyeret tongkat, berloncatan tanpa mempedulikan
pahanya yang mengucurkan darah. Namun Lulu telah jauh, telah lenyap dari situ.
Biarpun bayangan gadis itu tidak tampak lagi, namun masih terngiang di telinga
Han Han, merupakan tusukan-tusukan yang membikin hatinya perih, jeritan adiknya
tadi, “Engkau tidak adil....! Tidak adil.... tidak adil....!”
Han Han hampir tak kuat
menahan. Ia merangkul sebatang pohon dan menangis, mengguguk seperti anak
kecil. Ia sadar akan kesalahannya terhadap Lulu tadi. Memang dia tidak adil
terhadap Lulu. Akan tetapi, bukankah dia mendengar bahwa Lulu telah menjadi
adik angkat Sin Lian dan bahkan ikut pula membantu gerakan para pejuang? Mengapa
kini Lulu menjadi pemimpin pasukan Mancu? Benarkah dia tidak adil? Siapa yang
tidak adil? Siapa yang salah? Siapa yang benar?
Han Han menggeleng kepala dan
berbisik, “Tidak ada yang salah kecuali perang! Yang tidak adil adalah perang!
Terkutuklah perang!” Dan pemuda ini lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat
itu, terus memasuki hutan tanpa tujuan. Hatinya kosong, lenyap sudah gairah
hidup. Pikirannya pun kosong, dan ia hanya mengikuti gerak kaki berloncatan
secara otomatis. Akhirnya, di dalam jantung hutan yang lebat, ia terguling
pingsan!
“.... engkau tidak
adil....! Hu-huuu-huuuuu.... tidak adil.... tidak adil....! Hi-hiii-hiiiii....
hu-huuuuu!” Lulu berlari cepat sekali sambil menangis dan merintih-rintih di
sepanjang jalan, kedua tangannya menggosok-gosok kedua mata seperti anak kecil
menangis, beberapa kali ia terhuyung karena kakinya tersandung batu atau akar
pohon.
“Sumoi....!”
Lulu terkejut, seperti sadar
dari mimpi, menahan kakinya dan berdiri memandang melalui air matanya. Nirahai
telah berdiri di depannya. Wajah yang cantik jelita dan biasanya bersikap ramah
penuh kasih kepadanya itu kini kelihatan marah, kedua tangan bertolak pinggang.
Akan tetapi dalam
kesedihannya, Lulu tidak melihat perubahan ini. Begitu bertemu sucinya, ia lalu
menubruk, merangkul dan menangis di pundak Nirahai.
“Aduh, suci....
hu-huuuuu....!”
“Hemmm, tenanglah dan jangan
seperti bocah cengeng! Bicaralah!” kata Nirahai yang masih bersikap marah.
“Suci.... dia.... dia....”
Lulu menangis lagi, terlampau sakit hatinya oleh sikap kakaknya tadi sehingga
sukar untuk bicara.
Nirahai memegang kedua pundak
Lulu dan mendorongnya mundur. “Sumoi, hentikan tangismu! Apa yang telah
kudengar dari laporan pasukanmu? Engkau telah melindungi musuh!”
Lulu mengusap air matanya,
kemudian mengangkat muka memandang Nirahai. “Suci, dia.... dia adalah Han-koko
yang kucari-cari!”
Nirahai mengangguk. “Aku sudah
mendengar. Jadi panglima pemberontak berkaki buntung itulah Han Han yang selama
ini kaucari-cari? Di mana dia sekarang?”
“Kaki.... kau.... mau apakan
dia....?”
“Mau apakan dia? Dia adalah
panglima musuh! Harus ditawan atau dibunuh!”
“Suci....!”
“Sumoi, tidak tahukah engkau
bahwa tadi engkau telah melakukan perbuatan yang khianat? Engkau membantu
musuh!”
“Tapi dia kakakku!” Lulu
membantah penasaran.
“Tapi dia panglima musuh!”
Nirahai membentak, lebih penasaran lagi.
Lulu menjadi lemah kembali dan
meratap, “Suci.... suci.... ingatlah, dia kakakku! Bagaimana aku dapat
memusuhinya?”
Nirahai menarik napas panjang.
“Hemmm, sudahlah! Biarpun kakak, hanya kakak angkat. Andaikata kakak kandung
sekalipun, kalau membantu musuh, harus ditentang. Lulu, dalam masa perang,
urusan pribadi harus dikeduakan, yang diutamakan adalah urusan negara! Aku
tidak membenci kakakmu yang belum pernah kujumpai, bahkan aku tidak pernah
membenci para pemberontak secara pribadi, akan tetapi aku akan membunuh mereka
sebagai musuh negara. Sudah, biarlah untuk sekali ini, aku tidak akan mengejar
panglima buntung dari Se-cuan itu. Mari kita kembali ke pesanggrahan kita.”
Lulu menggeleng kepala.
“Tidak, suci. Setelah melihat kenyataan bahwa Han-koko berada di fihak musuh,
aku tidak mau perang lagi. Aku akan pergi.”
“Ke mana?” Nirahai
menyembunyikan kemarahannya. “Pergi menyeberang ke Se-cuan membantu
pemberontak?”
Lulu menggeleng kepala dengan
sedih. “Tidak, aku mau pergi menjauhi semua ini, mau menjauhi perang yang
menghancurkan hidupku. Aku tidak sudi lagi terlibat....”
“Sumoi! Engkau harus kembali
bersama aku! Ini merupakan perintah!”
Baru sekali ini selama menjadi
sumoi Nirahai, sucinya itu mengeluarkan suara keras dan memperlihatkan sikap
marah. Hal ini mengingatkan Lulu akan sikap Han Han tadi dan sakitlah hatinya.
Ia pun memandang sucinya dengan sinar mata penuh penasaran dan tentangan, lalu
bertanya dengan suara tegas.
“Perintah siapa kepada siapa?”
“Perintah seorang pemimpin
kepada bawahannya! Perintah seorang wakil kaisar kepada warga negaranya!
Perintah seorang suci kepada sumoinya!”
Lulu menggeleng kepala.
“Tidak, suci. Apapun yang terjadi, aku tidak mau kembali ke markas, tidak mau
ikut perang. Aku hendak pergi ke mana aku suka!”
“Lulu! Membangkang berarti memberontak
dan kau bisa dihukum!”
“Terserah!”
“Sumoi, engkau hendak melawan
sucimu? Engkau berani melawan aku?”
“Suci, ketika aku ikut
bersamamu, tidak ada perjanjian jual beli kebebasanku. Kalau sekarang engkau
hendak memaksa, hendak mengganggu kebebasanku, terpaksa aku melawanmu. Melawan
engkau sebagai orang yang hendak memaksaku, bukan sekali-kali melawan bangsa
atau negara! Aku tidak peduli akan urusan bangsa dan negara, tidak peduli akan
perang, aku muak! Biarkan mereka yang suka perang itu maju sendiri mempertaruhkan
nyawa. Bagiku, terima kasih! Aku tidak mau kembali dan kalau suci hendak
memaksa, apa boleh buat, aku melawan sebisaku!”
Nirahai menghela napas,
wajahnya kelihatan penuh kecewa dan sesal. Dia amat mencinta Lulu yang
dianggapnya sebagai adik sendiri, tidak ingin menggunakan kekerasan. Akan
tetapi dia pun sudah mengenal watak Lulu yang sekali menentukan sikap akan
dibela sampai mati. Betapapun juga tak mungkin ia melepaskan sumoinya ini.
Kalau sampai sumoinya ini kemudian membantu pemberontak, hal itu merupakan
malapetaka yang lebih hebat lagi. Bayangkan saja. Sumoinya, seorang gadis Mancu
pula, membantu pemberontak melawan bangsa sendiri! Tidak, ia harus mencegah hal
yang terkutuk itu. Lebih baik melihat sumoinya mati di depan kakinya untuk
kemudian ia tangisi dan kabungi daripada melihat sumoinya menjadi pengkhianat!
“Sumoi, sekali lagi, marilah
kau ikut aku kembali dan kita bicarakan semua urusan dengan baik. Jangan
menuruti perasaan yang sedang terganggu. Perlukah urusan begini saja sampai
mematahkan ikatan persaudaraan dan kasih di antara kita?” Suara Nirahai yang
lemah lembut ini membuat Lulu kembali terisak.
“Suci.... suci.... kau
kasihanilah aku, biarkan aku pergi....” ia meratap.
“Sumoi!” Nirahai membentak
lagi. “Engkau seorang gadis yang perkasa! Engkau adalah sumoiku! Engkau adalah
murid Subo Maya! Mengapa sikapmu begini lemah? Hayo ikut aku kembali!”
Lulu menggeleng kepala, “Tidak
mau, suci.”
“Hemmm, baik. Kita lihat saja
siapa di antara kita yang lebih kuat. Akan tetapi ingat, sekali ini kita bukan
sedang berlatih!” Nirahai berkata mengejek dan menubruk ke depan mengirim
totokan ke arah leher Lulu disusul cengkeraman ke arah pundak.
Lulu cepat mengelak totokan
dan menangkis cengkeraman, bahkan langsung ia membalas dengan pukulan dari ilmu
silatnya yang ampuh dan yang ia latih dari Puteri atau Nenek Maya, yaitu
Toat-beng Sian-kun. Kelihatannya ringan saja, pukulan ini yang mengarah dada
dan perut Nirahai dengan kedua tangan terbuka. Akan tetapi tentu saja mengenal
pukulan sakti, cepat ia mengelak den bales menyerang. Makin lama makin cepat
gerakan mereka sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebat,
kadang-kadang menjadi satu!
Betapapun lihainya Lulu, tentu
saja dia tidak dapat menandingi kehebatan Nirahai yang memiliki banyak ilmu
silat tinggi yang luar biasa. Sebentar saja, tidak sampai tiga puluh jurus,
Lulu mulai terdesak hebat den hanya mengandalkan kelincahan gerakannya yang ia
dapat dari latihan di Pulau Es saja yang membuat ia dapat bertahan dari
serangan Nirahai yang bertubi-tubi. Lulu mulai berloncatan ke sana-sini den
terus mundur.
“Lu-moi, jangan takut! Aku
datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah Sin Kiat
yang langsung menyerang Nirahai dengan pedangnya. Gerakan murid Im-yang
Seng-cu yang berjuluk Hoa-san Gi-hap ini cepat den dahsyat sekali, pedangnya
mengeluarkan suara berdesing den berubah menjadi sinar terang
bergulung-gulung.“Hemmm.... pemberontak cilik bosan hidup!” Nirahai berseru dan
tiba-tiba mata Sin Kiat menjadi gelap ketika ada sinar hitam lebar menutupi
tubuh lawannya kemudian dari tengah bayangan hitam itu meluncur sinar putih
yang menusuk ke arah lambungnya.
“Cringgg....!” Sin Kiat
terkejut sekali. Ternyata bayangan hitam itu adalah sebatang payung yang
tiba-tiba sudah berada di tangan Nirahai dan payung itu berkembang, kemudian
ujung peyung yang runcing seperti pedang menusuknya. Tangkisannya membuat
tangannya tergetar, tanda bahwa puteri Mancu itu memiliki sin-kang amat kuat.
Sin Kiat memutar pedangnya dan
bergerak cepat, namun semua serangannya kena dihalau oleh tangkisan kuat, den
dalam beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak oleh serangan balasan ujung
payung yang menyembunyikan gerakan lengan den pundak lawan.
“Plak.... cring....! Aaaihhh!”
Sin Kiat terpaksa meloncat ke belakang dan hampir saja lututnya kena disambar
ujung payung yang gerakannya amat lihai itu. Sin Kiat memandang tajam, kemudian
ia berkata.
“Hemmm.... kalau tidak salah
dugaanku, tentu engkaulah Puteri Nirahai yang terkenal licik itu, pengadu domba
antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!” katanya sambil melintangkan pedang di
depan dada. Kemudian ia menoleh ke arah Lulu dengan wajah berseri, “Lu-moi,
engkau pergilah. Han Han mencarimu. Biar aku yang menghadapi iblis betina
ini!”
“Wah, melihat gerakan
pedangmu, engkau tentu Hoa-san Gi-hiap seperti yang pernah diceritakan Lulu
kepadaku. Ah, tidak kecewa engkau menjadi murid Im-yang Seng-cu, akan tetapi
engkau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melawanku!” Nirahai berseru
dan kembali payung pedangnya mengirim serangan hebat. Sin Kiat tidak berani
berlaku lengah dan cepat ia menangkis sambil meloncat ke samping kemudian
mengirim serangan balasan yang dapat dielakkan secara mudah oleh Nirahai dengan
sikap mengejek.
“Wan-twako, jangan....! Jangan
campuri, biar aku sendiri hadapi suci!”
Wan Sin Kiat terkejut bukan
main dan untuk kedua kalinya ia meloncat mundur. “Apa? Sucimu....?”
Nirahai tersenyum dan
memandang wajah tampan itu dengan tajam. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang
tampan dan gagah ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda inipun seorang
panglima Se-cuan, maka dia menganggap pemuda ini musuhnya.
“Benar, Wan Sin Kiat, ataukah
Wan-ciangkun? Engkau seorang panglima pemberontak, bukan? Lulu adalah sumoiku,
akan tetapi mencampuri urusan kami atau tidak, setelah engkau berada di daerah
ini, engkau harus menyerah menjadi tawananku atau terpaksa aku akan membunuhmu
sebagai tokoh pemberontak!”
“Lu-moi....! Eh, bagaimana
ini....?”
Sin Kiat bingung sekali, akan
tetapi Nirahai telah menyerangnya kembali dengan hebat.
“Tranggg.... cringgggg....!”
Dua kali Sin Kiat menangkis dan ia terhuyung ke belakang. Nirahai terus
menerjang maju dan mendesak pemuda yang terhuyung itu dengan ujung payungnya.
“Trikkkkk!”
Nirahai mencelat mundur. Lulu
telah mencabut pedang dan menangkis gagang payung itu, menolong Sin Kiat.
“Suci, tidak boleh kaubunuh
dia. Mari kita lanjutkan pertandingan kita.”
“Sumoi, kau makin tersesat!
Membantu pemberontak di depanku, ya?” Nirahai menyerang dengan hebat dan
kembali kedua orang gadis yang sama cantik jelita dan sama lincah itu saling
serang, kini menggunakan senjata. Melihat ini, serta merta Sin Kiat membantu
dan mengeroyok Nirahai. Pertempuran hebat berlangsung di dalam hutan yang sunyi
itu. Kelebatan sinar pedang menyliaukan mata dan gerakan mereka amat cepatnya.
Diam-diam Sin Kiat menjadi
heran sekali, heran dan kagum. Kini ia mendapat kenyataan betapa Lulu telah
memperoleh kemajuan pesat, bahkan dari gerakan-gerakan gadis yang dicintanya
itu ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Lulu kini telah jauh melampaui
tingkatnya sendiri! Akan tetapi, dengan kaget ia pun mendapat kenyataan bahwa
ilmu kepandaian Puteri Nirahai yang terkenal ini lebih hebat lagi, dikeroyok dua
sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali dia dan Lulu terancam oleh
ujung gagang payung yang luar biasa aneh dan lihainya itu. Pantas saja
tokoh-tokoh besar seperti orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam
tewas di tangan gadis puteri Kaisar Mancu ini!
Karena dibantu Sin Kiat, kini
tidaklah begitu mudah bagi Nirahai untuk dapat mengalahkan Lulu, sungguhpun ia
masih terus mendesak karena memang tingkat kepandaiannya jauh di atas kedua
orang pengeroyoknya. Setelah lewat seratus jurus, Nirahai mulai penasaran dan
marah. Kalau tadinya ia ingin merobohkan Lulu tanpa membunuhnya, bahkan kalau
mungkin tidak melukainya, kini ia tidak peduli lagi dan kalau perlu hendak
membunuh mereka berdua. Ia mengeluarkan lengking nyaring sekali dan tampaklah
sinar emas berkilau. Lulu dan Sin Kiat terkejut sekali, mata mereka menjadi
silau dan permainan pedang mereka kacau-balau oleh suara yang keluar dari
sebatang suling emas yang kini dimainkan oleh Nirahai. Itulah senjata pusaka
Suling Emas yang ampuhnya menggila!
“Trang-cringgg....!” Lulu dan
Sin Kiat terhuyung, kedua tangan mereka tergetar hebat.
“Lu-moi, pergilah.... cepat
pergilah.... selamatkan dirimu....!” Sin Kiat berkata sambil memutar pedangnya
dengan cepat membentuk gulungan sinar pedang seperti perisai baja.
“Tidak, Wan-twako! Engkau saja
pergilah, jangan menyia-nyiakan nyawa untuk aku. Biar kuhadapi urusanku
sendiri!” Lulu berkata sambil memutar pedangnya.
“Trang-trangg...!” Kini kedua
orang muda itu tidak hanya terhuyung, bahkan terlempar ke belakang dan
bergulingan. Nirahai tertawa dan terus menerjang maju.
“Moi-moi.... pergilah
selamatkan dirimu....!” Sin Kiat mendesak.
“Twako, kenapa sih engkau
hendak mengorbankan diri untukku?” Lulu bertanya penasaran.
“Moi-moi, kau tahu. Aku cinta
padamu, aku rela berkorban untukmu. Pergilah dan temui Han Han.... di
Se-cuan....!” Sin Kiat menangkis, “Trakkk!” Pedangnya patah menjadi dua
bertemu dengan suling emas! Tendangan kaki Nirahai menyerempet pahanya dan
pemuda itu terguling.
“Wan-twako....!” Lulu
berteriak dan ia memutar pedangnya menghalangi Nirahai mengirim serangan
terakhir kepada pemuda itu.
“Cringgg....!”
“Sumoi, dia mencintamu, apakah
engkau juga mencintanya?”
Lulu tidak menjawab, mukanya
merah dan ia menyerang dengan tusukan kilat yang dapat ditangkis oleh Nirahai.
Sin Kiat sudah meloncat bangun lagi. Ia terkejut melihat betapa Puteri Nirahai
kini menangkis pedang dan memutar-mutar suling emas sehingga Lulu ikut pula
terputar-putar, kemudian pedang itu tak dapat dipertahankan lagi, terlepas dari
tangan Lulu!
“Hi-hik, kau menyerahlah,
sumoi!” Nirahai berkata.
Lulu makin marah, menubruk
maju akan tetapi sebuah dorongan membuat ia terjengkang.
“Moi-moi....!” Sin Kiat
menghampiri Lulu lega hatinya mendapat kenyataan bahwa Lulu tidak terluka.
“Cepat kau lari.... biar aku saja yang mati....!”
Tanpa menanti jawaban Lulu,
Sin Kiat mengeluarkan bentakan keras dan ia sudah menubruk dengan nekat ke arah
Nirahai! Melihat kenekatan pemuda ini, Nirahai terkejut sekali dan hampir saja
pundaknya kena dicengkeram Sin Kiat. Terpaksa puteri yang lihai ini melempar
diri ke belakang dan bergulingan. Kemudian ia meloncat dan memandang pemuda
itu dengan mata marah.
“Hemmm, kau mau bunuh diri,
ya? Nah, mampuslah!” Sinar kuning emas menyambar dan Sin Kiat terpelanting.
Baru kena dorongan hawa pukulan senjata ampuh itu saja ia sudah terpelanting.
Nirahai melangkah maju, mengayun payungnya.
“Biar aku mati bersamamu,
twako!” Lulu menubruk maju dari belakang, menyerang Nirahai.
“Hemmm.... kau mencintanya
juga, bukan?” Nirahai membalikkan tubuh tanpa menghentikan tusukannya pada Sin
Kiat, akan tetapi ujung gagang payungnya hanya menusuk pundak, sedangkan
sulingnya menotok ke arah jalan darah di leher Lulu. Hebat bukan main gerakan
Nirahai, terlalu cepat bagi dua orang muda yang nekat itu.
“Krekkk!” Tubuh Sin Kiat
terkulai, tulang pundaknya patah.
“Cusss!” Tubuh Lulu lemas
karena jalan darahnya terkena totokan suling emas secara tepat sekali.
Nirahai tersenyum, menyimpan
suling dan payung, menyambar tubuh Lulu dan dipanggulnya, kemudian memandang
Sin Kiat yang duduk sambil memegangi pundak kirinya yang patah.
“Wan Sin Kiat, karena melihat
kau dan Lulu saling mencinta, aku mengampuni dan takkan membunuhmu. Akan
tetapi pada pertemuan ke dua, kalau engkau masih menjadi pemberontak, tentu
mengakibatkan kematianmu di tanganku.” Sambil berkata demikian, Nirahai
membalikkan tubuh, tidak mempedulikan pemuda yang memandangnya dengan mata
mendelik itu.
“Nirahai! Aku bersumpah, kalau
engkau mengganggu Lulu, kelak aku akan mencarimu dan akan membunuhmu!”
Nirahai menoleh, tersenyum
mengejek lalu tubuhnya berkelebat pergi dari tempat itu bersama Lulu yang
terkulai lemas di atas pundaknya. Sin Kiat mengerutkan keningnya, masih
terheran-heran mengapa Lulu menjadi sumoi puteri itu, dan heran pula mengapa
keduanya saling serang mati-matian. Ia menggeleng-geleng kepala, menghela
napas panjang penuh sesal mengapa dia tidak mampu melindungi Lulu dari tangan
puteri yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi diam-diam masih terngiang di telinganya
suara Lulu ketika membantunya tadi. “Biar aku mati bersamamu, twako!” Betapa
merdunya suara ini. Bukankah kata-kata itu merupakan pencerminan hati yang
mencinta? Secara kebetulan saja ia bertemu dengan Lulu di tempat ini. Dia
bersusah payah mencari dan mengikuti jejak Han Han semenjak pemuda buntung itu
meninggalkannya. Dan di tempat sunyi ini, bukan Han Han yang ia temukan,
melainkan Lulu! Ke manakah perginya Han Han? Tentu tidak jauh dari tempat ini
karena jejaknya menuju ke tempat ini. Dia harus mencari Han Han! Kiranya hanya
Han Han seorang yang akan mampu menandingi Nirahai yang begitu lihai!
Setelah tiga hari tiga malam
berkeliaran di dalam hutan-hutan sambil mengobati sendiri pundaknya yang
patah tulangnya, akhirnya pada suatu pagi Sin Kiat melihat sesosok tubuh yang
duduk bagaikan arca di bawah pohon, di tengah hutan yang amat sunyi dan liar.
Dan orang itu bukan lain adalah Han Han!
“Han Han....!” Sin Kiat
berteriak girang.
Akan tetapi Han Han tidak
menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan siulian dan matanya terpejam.
Tongkat butut melintang di depan lututnya. Luka di pahanya sudah mengering,
dan luka di dalam dadanya pun sudah sembuh, akan tetapi pemuda ini terus saja
bersamadhi seolah-olah sudah berubah menjadi arca dan tidak ada nafsu untuk
sadar kembali. Han Han mengalami pukulan batin yang amat hebat secara
bertubi-tubi sehingga membuat dia seolah-olah sudah bosan hidup. Pertama-tama
urusan dengan Kim Cu sudah merupakan tekanan batin yang berat, disusul lagi
dengan kematian Lu Soan Li yang juga menjadi korban cinta kasihnya kepadanya.
Pertemuannya dengan Tan Hian Ceng yang mencintanya membuat hatinya makin
terhimpit dan satu-satunya harapan hatinya untuk dapat keluar dari himpitan
dan mendapatkan hiburan batin adalah pertemuannya kembali dengan Lulu. Akan
tetapi, begitu berjumpa dengan adiknya yang tercinta itu, ia malah menerima
hantaman batin yang lebih berat lagi, yaitu dengan kenyataan bahwa Lulu telah
menjadi seorang pemimpin pasukan Mancu! Lebih celaka lagi, dia tidak dapat
mengendalikan kemarahannya yang timbul karena baru saja ia dikeroyok dan
hampir celaka di tangan para pemimpin Mancu sehingga dia menampar adiknya itu,
membuat Lulu sakit hati dan gadis itu melarikan diri dengan kebencian terkandung
di hati adiknya yang merupakan satu-satunya manusia yang ia harapkan akan dapat
menghibur hatinya yang sakit!
“Han Han, mengapa engkau
menjadi begini? Apa yang telah terjadi denganmu? Sadarlah, aku telah berjumpa
dengan Lulu!”
Han Han membuka matanya, memandang
Sin Kiat dan bertanya dengan suara lesu, “Di manakah dia? Mana Lulu?”
“Han Han, celaka sekali! Aku
bertemu dengan Lulu, akan tetapi dia dan aku tidak dapat melawan Puteri
Nirahai. Aku dirobohkan dan terluka, sedangkan Lulu dia dilarikan Nirahai.
Anehnya Lulu menyebutnya suci, dan....” Akan tetapi Sin Kiat melongo ketika
tiba-tiba tubuh Han Han mencelat dan lenyap dari tempat itu!
“Han Han....!” Sin Kiat
berteriak, akan tetapi tubuh Han Han sudah berloncatan jauh sekali. Sin Kiat
menggeleng-geleng kepala mengerti bahwa tidak mungkin ia dapat mengejar pemuda
buntung itu, terpaksa ia pun meninggalkan tempat itu. Dengan hati berat Sin
Kiat lalu kembali ke Se-cuan, minta diri dari Raja Muda Bu Sam Kwi dan meletakkan
jabatan untuk pergi mencari Han Han dan terutama sekali Lulu.
***
Begitu mendengar dari Sin Kiat
bahwa adiknya ditawan Puteri Nirahai, kemarahan Han Han memuncak dan tanpa
pamit ia meninggalkan Sin Kiat, menggunakan kepandaiannya pergi menuju ke kota
raja untuk mengejar dan menolong adiknya.
Tidak ada seorang pun yang
menyangka bahwa pemuda berkaki buntung yang berjalan terpincang-pincang
memasuki kota raja itu mengandung perasaan marah dan sakit hati yang akan
menggegerkan kota raja! Han Han berjalan perlahan memasuki kota raja, suara
tongkatnya yang membantunya terpincang-pincang itu mengeluarkan bunyi
“tak-tok-tak-tok!” mengetuk jalan berbatu yang keras. Beberapa orang menoleh
dan memandangnya dengan perasaan kasihan. Juga banyak yang menjadi heran
melihat pemuda tampan yang wajahnya menyinarkan sesuatu yang aneh menyeramkan,
yang pakaiannya amat sederhana dan rambutnya yang hitam panjang dibiarkan
terurai di ates kedua pundak dan punggungnya, rambut yang kusut.
Han Han tidak tahu ke mana
adiknya dibawa oleh Puteri Nirahai, akan tetapi ia teringat betapa dahulu
adiknya itu diculik oleh Ouwyang Seng, maka ia dapat menduga bahwa antara
Puteri Nirahai dan keluarga Pangeran Ouwyang tentu ada hubungan erat. Karena
itu dengan perasaan marah memenuhi dada, dengan hati panas oleh dendam, ia lalu
menujukan langkahnya yang terpincang-pincang itu ke arah gedung Pangeran
Ouwyang Cin Kok!
Lima orang penjaga pintu
gerbang di luar pekarangan gedung besar Pangeran Ouwyang Cin Kok cepat
menghadang dan memandang heran ketika melihat pemuda buntung itu seenaknya saja
memasuki pintu gerbang.
“Haiii! Berhenti! Tidak boleh
mengemis di sini!” Seorang di antara mereka membentak, kemudian menodongkan tombaknya
ke depan dada Han Han. “Pergi!”
Han Han tidak marah mendengar
makian ini. Baginya, dikatakan pengemis bukan merupakan makian atau penghinaan.
“Minggirlah, aku hendak mencari Ouwyang Seng!”
Lima orang penjaga itu
tercengang. Mendengar seorang pemuda kaki buntung yang mereka anggap pengemis
itu menyebut nama Ouwyang-kongcu begitu saja, timbul dugaan bahwa tentu pengemis
buntung ini miring otaknya.
“Eh, orang gila. Pergilah
kalau tidak mau kami pukul!” bentak penjaga ke dua.
“Kalian minggirlah jangan
halangi aku!” Han Han berkata dengan suara dingin dan tanpa mempedulikan
mereka, dia jalan terus memasuki pekarangan gedung besar. Lima orang penjaga
itu menjadi marah dan berkelebatlah tombak-tombak mereka ke arah Han Han.
“Trang-trang-krek-krek-krekkk!”
Lima batang tombak patah-patah dan beterbangan disusul tubuh lima orang
penjaga itu yang terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup
angin! Han Han tidak mempedulikan mereka lagi dan terus dia berloncatan menuju
gedung.
Teriakan-teriakan para penjaga
ini menarik perhatian para penjaga di gedung dan mereka ini dua belas orang
banyaknya datang berlari-lari. Mereka terkejut melihat para penjaga pintu gerbang
roboh semua dan melihat pemuda buntung itu berloncatan ke ruangan depan. Cepat
mereka mengurung, akan tetapi Han Han yang tidak sabar sudah meloncat tinggi ke
atas kepala mereka, kedua tangan didorong ke bawah dan dua belas orang itu
roboh terbanting tunggang-langgang.
“Ouwyang Seng! Keluarlah!
Kalau tidak, kuhancurkan tempat ini!” Han Han berteriak-teriak dan sekali
sambar ia mengangkat singa-singaan batu yang belum tentu dapat terangkat oleh
sepuluh orang biasa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan melontarkan
singa-singaw batu itu ke dalam.
“Braaaaakkkkk!” Pecahlah pintu
ruangan depan itu dan Han Han meloncat ke dalam ruangan itu, suaranya lantang
berteriak, “Ouwyang Seng! Puteri Nirahai! Keluarlah dan serahkan kembali adikku
Lulu! Kalau tidak, akan kuhancurkan kota raja!”
Tiba-tiba dari sebelah dalam
menyambar senjata rahasia yang berupa gelang-gelang kecil. Cepat dan kuat
sekali sambaran ini, akan tetapi dengan tenang Han Han menggerakkan tubuh
meloncat tinggi sehingga sambaran senjata-senjata rahasia itu lewat di bawah
kakinya. Di udara, tubuh Han Han berjungkir balik dan ia sudah meloncat keluar
karena kalau ada lawan tangguh menghadapinya, lebih baik ia berada di luar
gedung.
Benar saja dugaannya, dari
dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda yang
memegang sebatang golok telah berdiri di depannya. Pemuda itu bukan lain
adalah Gu Lai Kwan! Ketika Lai Kwan melihat Han Han, ia pun terkejut dan marah.
“Keparat! Kiranya engkau setan
buntung!” Lai Kwan memaki dan goloknya sudah menyambar, menjadi sinar putih
yang menyilaukan dan mengeluarkan suara berdesing ketika golok itu membelah
angin.
“Singggg....!”
Lai Kwan terkejut karena
tiba-tiba lawannya lenyap. Cepat ia memutar tubuh dan mengelebatkan goloknya
ke belakang, akan tetapi Han Han yang sudah berada di sebelah belakangnya,
mudah saja mengelak sambil berkata.
“Gu Lai Kwan, aku menjadi
setan buntung karena engkau! Sekarang bukan maksudku datang untuk membalas dendam,
aku tidak mendendam kepadamu. Akan tetapi suruhlah Nirahai dan Ouwyang Seng
keluar membawa adikku Lulu, kalau tidak.... hemmm.... siapa pun yang
menghalangiku akan kubunuh, termasuk engkau!”
“Buntung sombong!” Lai Kwan
malah menyerang lagi. Han Han yang memang sedang berduka dan marah sekali
melihat betapa pemuda bekas suhengnya ini nekat, menjadi gemas, akan tetapi ia
masih tidak bergerak, hanya mengelebatkan tongkat bututnya menangkis sambil
mengerahkan tenaga memutar tongkat yang menangkis itu.
“Trakkk! Aihhhhhh....!” Lai
Kwan terkejut bukan main dan betapapun ia mempertahankan diri sambil
mengerahkan tenaga, tetap saja ia terpelanting dan cepat ia bergulingan karena
takut kalau-kalau Han Han menyerangnya. Akan tetapi Han Han masih berdiri tegak
dan tenang. Melihat ini, sambil meloncat bangun Lai Kwan berteriak keras.
“Suhu....! Sian-kouw....!
Harap bantu....!” Setelah berteriak demikian Lai Kwan sudah menerjang lagi
sambil mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi ia berhati-hati sekali ini,
maklum bahwa lawannya yang buntung ini biarpun dahulu hanyalah seorang sutenya,
namun kini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
“Syuuuttt.... syuuuttt....
singgggg!” Sinar berkilauan dari golok Lai Kwan menyambar ganas bertubi-tubi.
“Wuuuttttt!” Tubuh Han Han
sudah melayang lagi keluar dari ruangan depan menuju ke pekarangan. Lai Kwan
mengejar dan Han Han berhenti di atas anak tangga depan ruangan. Lai Kwan yang
memang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak memberi kesempatan kepadanya,
sudah membacok lagi dengan goloknya mengarah kepala Han Han. Pemuda buntung
ini tidak begitu mempedulikan Lai Kwan, hanya menundukkan muka mengelak sambil
siap menghadapi lawan yang lebih tangguh, yang ia duga tentu akan muncul
mendengar teriakan Lai Kwan.
Dan pada saat itu, terdengar
suara lengkingan dahsyat dibarengi suara ringkik kuda dan muncullah Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee dari pintu samping, langsung ia memukul ke arah Han Han
dengan ilmu pukulan dahsyat Swat-im Sin-ciang! Juga tampak berkelebatnya bayangan
Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat nenek lihai itu melayang turun dari atas
dengan jari tangan mencengkeram ke arah kepala Han Han menggunakan ilmu sakti
Toat-beng Tok-ciang! Dan berbareng di saat itu juga, Lai Kwan sudah membabat ke
arah kaki Han Han!
“Desss!” Pukulan Ma-bin Lo-mo
telah ditangkis oleh Han Han dengan telapak tangan kanannya, sambaran golok
Lai Kwan didiamkannya saja karena dalam gugupnya Lai Kwan menyerang ke bawah
untuk membabat kaki Han Han, lupa bahwa kaki kiri Han Han telah tidak ada lagi
sehingga goloknya menyerang angin kosong! Han Han lebih memperhatikan
cengkeraman si nenek ke arah kepalanya. Ia tidak mengelak, melainkan memapaki
tubuh nenek yang menyerang dari atas itu dengan tongkatnya, gerakan pertama
menotok telapak tangan kiri nenek itu dan ketika Toat-beng Ciu-sian-li terkejut
menarik kembali tangannya, Han Han melanjutkan serangan tongkatnya dengan
totokan pada pinggang nenek itu.
“Aiiihhhhh!” Toat-beng
Ciu-sian-li memutar tubuh di udara, berjungkir balik dan dari kedua tangannya
menyambar dua buah gelang, yaitu senjata rahasia yang amat ampuh!
Han Han telah memutar tongkat
menangkis bacokan susulan Lai Kwan dari belakang, dan kembali tangan kanannya
menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo. Melihat datangnya sambaran dua buah senjata
rahasia ini, teringatlah ia akan Kim Cu yang dahulu hampir tewas akibat senjata
rahasia ini, maka ia menjadi gemas sekali. Kepalanya bergerak, rambutnya yang
panjang menyambar ke depan dan.... dua gumpal ujung rambutnya berhasil melibat
dua buah gelang yang menyambar, kemudian secara kontan dan keras gelang-gelang
itu ia retour kembali ke arah pemiliknya, menyambar dahi dan tenggorokan
Ciu-sian-li yang menjadi terkejut dan cepat mengelak sambil terus menubruk
maju mengirim pukulan sakti dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya
kembali mengarah ubun-ubun kepala Han Han dengan cengkeraman maut. Juga Ma-bin
Lo-mo yang menjadi kagum dan terkejut menyaksikan gerakan Han Han yang
mendapat kemajuan secara aneh dan hebat, kini telah membarengi menyerang
dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang sekuatnya. Bukan main hebatnya
serangan yang dilakukan secara berbareng oleh Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo
ini, dahsyat dan mengingat bahwa keduanya merupakan datuk-datuk golongan hitam
yang sudah mencapai tingkat di puncak, tentu saja amat sukar bagi lawan yang
dikeroyok dua orang ini untuk dapat menyelamatkan diri dari serangan mereka
yang dilakukan berbareng.
Namun, betapa kaget dan heran
hati kedua orang tokoh hitam ini ketika secara tiba-tiba tubuh Han Han lenyap
dari tengah-tengah antara mereka, telah menghindarkan diri dengan sebuah
loncatan yang luar biasa sekali, secepat kilat menyambar sehingga mereka berdua
hampir tak dapat mengikuti dengan pandang mata mereka! Akan tetapi, Lai Kwan
yang berada di luar gelanggang, dapat melihat gerakan Han Han yang menggunakan
ilmunya Soan-hong-lui-kun, gerakan kilat yang membuat tubuhnya seperti mencelat
dan keluar dari kepungan dua orang datuk hitam itu. Gu Lai Kwan adalah murid
Toat-beng Ciu-sian-li yang paling setia dan paling disayang oleh nenek itu dan
oleh Ma-bin Lo-mo dan pemuda ini amat benci kepada Han Han karena sesungguhnya
pemuda ini mencinta Kim Cu. Peristiwa yang menimpa diri Kim Cu sebagai akibat
gadis itu membela Han Han, membuat Gu Lai Kwan menaruh dendam kebencian kepada
Han Han. Maka kini melihat Han Han meloncat keluar dari kepungan kedua orang
gurunya, Lai Kwan mengeluarkan bentakan nyaring dan menggunakan goloknya
menyambut tubuh Han Han yang masih melayang di udara.
“Mampuslah engkau, manusia
buntung keparat!” bentaknya, goloknya menyambar seperti naga mengamuk.
Han Han dapat melihat sinar
maut terpancar dari pandang mata Gu Lai Kwan, maka ia pun membentak, “Begitu
kejamkah hatimu?” Biarpun tubuh Han Han baru meloncat dan kini disambut dengan
serangan golok yang ganas, namun loncatannya itu memang merupakan keampuhan
ilmunya yang mujijat yang ia pelajari dari nenek Khu Siauw Bwee, maka sambil
meloncat, ia melihat menyambarnya golok, Han Han lalu menggerakkan tongkatnya,
dengan tenaga sin-kang yang dahsyat tongkatnya menempel pada golok dengan
sepenuhnya mengandung daya melekat! Betapapun Lai Kwan berusaha menarik
kembali goloknya, sia-sia saja karena goloknya telah melekat pada tongkat
seperti berakar di situ! Tiba-tiba Han Han melepas golok itu sambil mendorong,
pada saat Lai Kwan menarik golok. Tak dapat ditahan lagi golok itu menyambar ke
arah Gu Lai Kwan sendiri. Gu Lai Kwan terkejut, matanya terbelalak dan ia
berusaha menggulingkan tubuhnya, namun golok di tangannya itu lebih cepat, tahu-tahu
sudah membacok lehernya. Teriakan mengerikan seperti leher tercekik keluar
dari mulut Lai Kwan dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu rebah menelungkup,
kepalanya miring secara aneh, golok masih di tangan dan tanah di bawah lehernya
perlahan-lahan menjadi basah dan merah. Pemuda ini tewas oleh goloknya sendiri,
lehernya hampir putus!
Peristiwa ini terjadi cepat
sekali, hanya beberapa detik selagi tubuh Han Han masih mengapung di udara.
Kini Han Han mencelat ke depan, tidak mempedulikan lagi kepada Gu Lai Kwan
yang seolah-olah telah melakukan “bunuh diri” dengan golok sendiri itu.
“Toat-beng Ciu-sian-li dan
Ma-bin Lo-mo, mundurlah, aku tidak ingin bermusuhan denganmu atau dengan siapa
pun juga!” bentak Han Han dan suaranya mengandung wibawa yang sedemikian
hebatnya sehingga dua orang datuk hitam itu sampai tercengang dan sejenak mereka
itu memandang Han Han dengan mata terbelalak. Akhirnya Toat-beng Ciu-sian-li
memaki.
“Bocah setan, murid murtad!
Begini sikapmu terhadap bekas guru?”
Han Han mengerutkan keningnya.
“Aku bukan muridmu lagi, Nenek yang bewatak ganas. Aku datang untuk mencari
adikku, dan siapapun dia yang menghalangi aku mencari adikku, akan kuhancurkan!”
Teringat akan Lulu, kembali Han Han menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak.
“Di mana Puteri Nirahai? Hayo keluarlah dan serahkan Lulu kepadaku.”
Teriakannya ini amat nyaring
sehingga bergema sampai jauh. Kembali Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li bergidik.
Mereka berdua maklum bahwa
pemuda ini telah menjadi ahli waris Pulau Es dan memiliki kepandaian yang luar
biasa sekali, akan tetapi melihat pemuda ini setelah buntung kakinya menjadi
makin lihai dan gerakan-gerakannya seperti orang yang pandai menghilang,
benar-benar membuat mereka berdua menjadi ngeri! Betapapun juga, tentu saja dua
orang yang menjadi tokoh dunia hitam itu tidak merasa takut dan mendengar
tantangan Han Han terhadap Puteri Nirahai, mereka marah dan cepat menerjang
lagi dengan hebatnya. Nenek itu selain menggerakkan kedua tangannya yang
mengandung tenaga sakti Toat-beng Tok-ciang, juga menggerakkan rantai gelang
yang tergantung di kedua telinganya sebagai senjata yang ampuh dan aneh,
tubuhnya melayang-layang dengan ringannya, persis seperti keganasan seorang
kuntilanak dalam dongeng dunia setan. Adapun Ma-bin Lo-mo yang sudah mengerti
bahwa lawannya biarpun buntung dan masih amat muda, memiliki ilmu kepandaian
yang tidak lumrah manusia, juga telah menerjang maju dengan pukulan-pukulan
Swat-im Sin-ciang sekuat tenaga.
Han Han tidak ingin berkelahi
dan tidak ingin pula bermusuh dengan mereka, akan tetapi karena mereka berdua
menghalangi usahanya mencari Lulu, ia menjadi marah dan cepat mainkan ilmu
silatnya yang membuat tubuhnya mencelat ke sana ke mari dengan gerakan yang
tak terduga-duga dan cepat bukan main. Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo menjadi
pening kepala mereka karena harus mengikuti gerakan-gerakan kilat pemuda
buntung itu dan setiap serangan mereka selalu mengenai tempat kosong. Dengan
penasaran kedua orang itu menubruk dengan pukulan-pukulan sakti.
“Wuuuttt!” Pukulan Swat-im
Sin-ciang yang mengandung hawa dingin menyambar dari kiri.
“Singggg.... syuuuttttt!”
Serangan tangan ampuh beracun dari Ciu-sian-li dibarengi sambaran rantai gelang
di telinganya tidak kalah ampuh dan berbahayanya. Dua serangan ini menyambar
dari kanan kiri ketika kaki buntung Han Han baru saja turun menyentuh tanah.
Akan tetapi tiba-tiba saja Han Han kembali mencelat ke atas dengan kecepatan
yang sukar dapat dipercaya, mengatasi kecepatan serangan kedua lawannya dan
tahu-tahu tubuhnya sudah menukik dari atas dan tongkatnya melakukan dua kali
totokan ke arah ubun-ubun kepala dua orang pengeroyoknya.
“Hayaaa....!” Ma-bin Lo-mo
berseru kaget dan cepat menggulingkan tubuhnya yang ia lempar ke atas tanah
sambil berteriak.
“Aiiihhhhh....!” Toat-beng
Ciu-sian-li juga mengelak, melempar tubuh bagian atas ke belakang lalu
berjungkir balik sampai lima kali sehingga rambutnya menjadi awut-awutan dan
saling belit dengan kedua rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya.
Pada saat itu, serombongan
pasukan pengawal datang berlari dan mengurung Han Han. Jumlah mereka lebih tiga
puluh orang, semua bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian
silat dan bertubuh kuat. Pada waktu itu, yang berada di gedung Pangeran Ouwyang
Cin Kok hanyalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan muridnya yang
terkasih, Gu Lai Kwan. Adapun tokoh-tokoh lain telah ikut membantu penyerbuan
ke Se-cuan. Ketika melihat pemuda buntung mengamuk, semua pasukan pengawal
dikerahkan dan Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri yang bersembunyi sambil
mengintai menjadi gelisah bukan main.
Betapapun juga, pembesar ini
masih mengharapkan kemenangan karena di situ terdapat dua orang tokoh sakti dan
di lubuk hatinya ia tidak percaya apakah seorang pemuda yang buntung kakinya akan
mampu melawan Ciu-sian-li serta Ma-bin Lo-mo dan puluhan orang pasukan
pengawal.
Akan tetapi, Han Han sudah
marah sekali dan pemuda ini mengamuk secara menggiriskan hati. Tubuhnya
berkelebat, lebih banyak di udara daripada di darat, karena setiap kali ujung
tongkat atau ujung kaki tunggalnya menyentuh sesuatu, baik tanah, pundak atau
kepala lawan, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, seperti capung bermain di
atas bunga-bunga di permukaan air, cepatnya seperti kilat sehingga setiap kali
tubuhnya menukik ke bawah tentulah roboh dua tiga orang pengawal secara
berbareng, menjadi korban ujung tongkat atau kedua tangannya!
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng
Ciu-sian-li marah dan penasaran sekali, juga mereka berdua merasa malu mengapa
mereka tidak mampu merobohkan pemuda buntung itu, padahal dibantu puluhan orang
pengawal. Ma-bin Lo-mo meringkik keras dan kedua tangannya mendorong ke arah
Han Han ketika pemuda itu turun ke atas tanah.
“Wuuusssss!” Angin yang
mengandung hawa dingin sekali menyambar. Han Han sudah menangkap seorang
pengawal dan melemparkan ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh
pengawal itu terbanting kaku, darahnya membeku muka biru! Dan seorang pengawal
lain roboh pula karena oleh Han Han dipergunakan untuk menangkis pukulan
beracun Ciu-sian-li, roboh dengan tubuh menghitam terkena hantaman pukulan
Toat-beng Tok-ciang! Ketika para pengawal menubruk dengan senjata mereka, Han
Han sudah mencelat ke atas lagi, meloncat sambil menyambar dua orang pengawal,
kemudian ketika tubuhnya membalik, dua orang itu ia lemparkan ke arah Ma-bin
Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, disusul tubuhnya yang meluncur dengan serangan
kilat.
Dua orang kakek dan nenek itu
terkejut. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda buntung yang lihai itu
menyusul dengan serangan, maka apa boleh buat mereka menangkis keras sehingga
dua orang pengawal itu terbanting roboh dengan tulang-tulang iga remuk. Benar
saja seperti yang mereka duga, tubuh Han Han menyambar seperti seekor burung
garuda, dan saking cepatnya hanya tampak bayangan berkelebat. Dua orang datuk
hitam ini cepat meloncat untuk mengelak, namun masih kurang cepat sehingga
pukulan tangan Han Han yang amat panas karena mengandung inti tenaga Hwi-yang
Sin-ciang itu telah mampir di dada Ma-bin Lo-mo sedangkan ujung tongkatnya
telah menotok pundak Toat-beng Ciu-sian-li.
“Hyaaaaahhhhh....!”
“Haiiikkkkk....!”
Ma-bin Lo-mo terjengkang dan
bergulingan, mukanya menjadi pucat sekali dan dadanya sesak, terasa panas
seperti dibakar. Adapun nenek sakti itu juga terbanting ke belakang, cepat
duduk bersila untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terkena totokan
yang hebat. Kalau saja Han Han tidak ingat bahwa kedua orang itu pernah menjadi
gurunya, biarpun pada saat itu ada puluhan orang pengawal yang menerjangnya,
tentu ia akan mudah saja melanjutkan serangan membunuh kedua orang datuk hitam
itu. Akan tetapi Han Han tidak ingin membunuh mereka dan dia hanya menggerakkan
tangan dan tongkatnya, melempar-lemparkan para pengawal seperti orang
melempar-lemparkan rumput saja.
Gegeriah para pengawal dan
mereka mundur-mundur dengan muka ketakutan. Pemuda buntung itu terlalu kuat
bagi mereka, seperti sekumpulan nyamuk melawan api saja. Melanjutkan
pengeroyokan sama artinya dengan membunuh diri bagi mereka. Adapun Ma-bin
Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah menderita luka, tidak berani
melanjutkan pertandingan sebelum mengobati luka mereka, maka mereka berdua pun
sudah lenyap memasuki gedung itu, menyelinap di antara sisa para pengawal yang
hanya berani mengurung dari jauh sambil bersiap-siap untuk melarikan diri
apabila Han Han mengejar. Namun pemuda itu tidak mengejar, hanya berdiri tegak,
bersandar pada tongkatnya, menengadah dan mengeluarkan suara nyaring
memekakkan telinga.
“Puteri Nirahai! Kembalikan
adikku....!”
Setelah beberapa kali
berteriak tanpa ada jawaban, Han Han lalu meloncat ke arah gedung Pangeran
Ouwyang Cin Kok. Melihat ini, biarpun hati mereka dicekam rasa gentar dan
ngeri, namun para pengawal tentu saja segera menghadang dan berusaha mencegah
pemuda buntung itu memasuki gedung. Han Han mengeluarkan seruan keras dan
begitu tongkatnya berkelebat, para pengawal itu roboh terpelanting ke kanan
kiri seperti disambar kilat dan mereka tidak mungkin dapat menghalang lagi
ketika pemuda itu berloncatan cepat melesat ke dalam gedung. Sambil
berteriak-teriak para pengawal ini kalang kabut mengejar ke dalam.
Han Han sudah marah sekali.
Dia mengamuk seperti gila, menggeledah seluruh kamar gedung itu, mencari
Ouwyang Seng dan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Setiap orang pengawal yang berusaha
menerjangnya dirobohkan dengan sekali gerakan saja. Namun hasil penggeledahannya
sia-sia. Tidak tampak batang hidung Ouwyang Seng yang dicarinya. Ketika ada
lima orang perwira pengawal dengan nekat menerjangnya, ia melompat ke atas dan
dari atas sinar tongkatnya bergulung-gulung, empat orang perwira roboh dan
seorang lagi ia jambak rambutnya dan ia seret ke sudut ruangan. Dengan ujung
tongkat ditedongkan di leher perwira itu ia membentak.
“Di mana Ouwyang Seng? Hayo
jawab!”
Wajah perwira itu pucat
sekali, tubuhnya menggigil dan ia dipaksa jatuh berlutut. Dengan napas
sengal-sengal ia menjawab.
“Ham.... hamba.... tidak tahu.
Sudah lama tidak berada di sini....”
“Mana Ouwyang Cin Kok?”
“Tadi.... ketika
ribut-ribut.... beliau lari.... mungkin ke istana....”
“Dan di mana kakek dan nenek
tadi? Mana Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li?”
“Lari.... mereka lari.... ke
istana....”
Han Han menjadi sebal dan
marah. tubuhnya bergerak dan perwira itu sudah ia lemparkan ke sudut, tubuh
perwira itu menabrak dinding dan tak dapat bangun lagi karena pingsan saking
takutnya. Han Han meloncat keluar dan kini ia melesat amat cepatnya
meninggalkan gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah diobrak-abriknya itu,
menuju ke istana!
Kemarahan membuat manusia
menjadi mata gelap dan lupa diri, lupa akan bahaya dan demikian pula dengan
Han Han. Dia sedang marah sekali. Penderitaan batin yang ia alami bertubi-tubi
ditambah kemarahannya mendengar bahwa adiknya ditawan membuat Han Han menjadi
nekat dan tidak memakai perhitungan lagi, lupa bahwa tidaklah mungkin bagi
seseorang, betapapun saktinya, untuk menyerbu seorang diri ke istana kaisar!
Tentu saja penjagaan di istana
tidak dapat dibandingkan dengan penjagaan para pengawal di gedung Pangeran Ouwyang
Cin Kok. Pasukan pengawal yang dipusatkan menjaga istana amat besar jumlahnya,
dan di situ pun banyak terdapat pengawal yang berilmu tinggi di samping
keadaan istana sendiri yang merupakan semacam benteng yang amat kuat! Maka,
begitu Han Han tiba di depan pintu gerbang, ia sudah dikurung oleh puluhan
bahkan lebih dari seratus orang pengawal mengepung ketat, dan ia sudah
dikeroyok secara hebat!
“Tangkap pemberontak!”
“Bunuh pemberontak!”
Para pengawal berteriak-teriak
biarpun dalam beberapa gebrakan saja Han Han telah merobohkan tujuh orang pengeroyok,
namun mereka tetap maju menerjang sehingga Han Han terpaksa memutar tongkat
melindungi dirinya sambil berteriak.
“Aku bukan pemberontak! Aku
hanya ingin bertemu dengan Puteri Nirahai dan minta supaya adikku dibebaskan!”
Tentu saja teriakannya sia-sia
karena para pengawal sudah mendengar betapa hebatnya pemuda buntung ini
mengacau gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok, kini pemuda itu akan mencelakakan
keluarga kaisar ditambah pula, Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri, dengan dikawal
oleh Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sudah lari mengungsi ke istana
karena itu di situ pun diadakan penjagaan yang ketat.
Biarpun para pengawal tidak
pernah berkurang jumlahnya karena setiap ada yang roboh tentu tempatnya
digantikan yang lain, namun dengan ilmunya yang mujijat, yaitu gerakan kilat
Soan-hong-lui-kun, Han Han dapat menembus pintu gerbang dan memasuki halaman
istana. Betapapun juga, dia tidak pernah dapat membebaskan diri dari kepungan
yang makin lama makin ketat. Setelah dia memasuki pekarangan istana yang luas,
pintu gerbang itu ditutup oleh para pengawal sehingga Han Han kini kehilangan
jalan keluar!
“Bebaskan Lulu....! Lepaskan
adikku!” Han Han berteriak-teriak dan mengamuk seperti seekor harimau terjebak.
Betapapun juga, pemuda ini masih ingat bahwa kedatangannya bukan untuk
menyebar kematian di antara para pengawal yang ia tahu hanya menjalankan
kewajiban mereka menjaga keamanan istana. Oleh karena itu, dia hanya merobohkan
mereka tanpa membunuh dan hal ini tentu saja amat mudah ia lakukan karena pasukan
pengawal itu bukan tandingannya. Hanya dengan hawa pukulan yang keluar dari
kedua tangan dan tongkatnya saja sudah cukup baginya untuk membuat kocar-kacir
seperti serombongan semut mengeroyok seekor jengkerik. Kalau hanya pasukan
pengawal yang mengepungnya, biar ditambah sampai seribu orang, kiranya akan
mudah baginya untuk menyelamatkan diri dan keluar dari tempat itu. Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar bentakan keras, aba-aba dari komandan penjaga yang menyuruh
semua pasukan mundur dan mengepung dari jarah jauh. Para pengawal yang tadinya
mengeroyok secara mati-matian, kini mundur dengan hati lega dan tampaklah oleh
Han Han munculnya orang-orane sakti yang kini menghadapinya.
Mereka itu bukan lain adalah
Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan
Kang-thouw-kwi Gak Liat. Lima orang tokoh sakti yang memiliki ilmu kepandaian
hebat!
Han Han maklum bahwa lima
orang lawan ini merupakan lawan yang amat berat, terutama sekali dua orang
hwesio Tibet itu merupakan wakil dari Pangeran Kiu yang mengkhianati perjuangan
Bu Sam Kwi dan para orang gagah dengan mengadakan persekutuan gelap dengan
pemerintah Mancu! Ia tersenyum dingin dan berkata.
“Ji-wi Losuhu, aku tidak mau
mencampuri urusan kalian, tidak mau melibatkan diri dengan segala kepalsuan
orang-orang yang mencari kedudukan melalui perang, fitnah, pengkhianatan dan
lain-lain kekotoran lagi. Aku datang hanya untuk menuntut agar adikku Lulu
yang ditawan Puteri Nirahai dibebaskan. Biarlah Puteri Nirahai sendiri keluar
menemuiku! Aku datang bukan untuk mengacau, bukan untuk mencari musuh,
melainkan semata-mata untuk menolong adikku. Bebaskan adikku, dan aku bersama
adikku akan mengangkat kaki dari sini dan selamanya tidak akan mencampuri
urusan perang yang terkutuk!”
“Murid murtad! Engkau masih
harus menerima hukuman dariku!” Toat-beng Ciu-sian-li berteriak, penuh
kemarahan karena nenek ini masih penasaran dan malu mengingat akan kematian
muridnya terkasih, yaitu Gu Lai Kwan.
“Han Han, engkau bekas murid
yang selain menydeweng juga sudah banyak melakukan penghinaan kepadaku, sekali
ini terpaksa aku harus membunuhmu!” Kata Ma-bin Lo-mo, sengaja mengeluarkan
kata-kata besar untuk menutupi rasa malunya dan untuk berlagak di depan begitu
banyak pengawal yang mengurung tempat itu.
“Ha-ha-ha, engkau bekas
kacungku, kiranya engkau benar cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang menyembunyikan
she Suma menjadi she Sie! Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau adalah Suma Han
cucu Suma Hoat, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau suka bertekuk lutut
dan menyerah, Han Han!” kata Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Sepasang mata Han Han
mendelik. Dia memang tidak akan menyembunyikan nenek moyangnya, akan tetapi
disebutnya nama kakeknya yang diam-diam amat dibencinya karena dianggapnya
sebagai biang keladi keburukan nasibnya itu membuat hatinya mengkal sekali,
namun ia tetap membungkam.
“Omitohud....! Suma-taihiap
biarpun masih muda memiliki kepandaian hebat sekali, benar-benar mengagumkan
hati pinceng. Perlu apa menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian tinggi?
Menyerahlah, Suma-taihiap!” kata Thian Tok Lama.
“Benar ucapan suheng.
Suma-taihiap, lebih baik menyerah dan kalau taihiap berjanji akan membantu
menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu yang mulia kaisar akan suka memberi
ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan kepadamu.” Thai Li Lama membujuk.
Namun semua ucapan keras
menghina dan lembut membujuk itu sama sekali saja, mendatangkan kemarahan di
hati Han Han. Ia berdiri tegak di atas kaki tunggalnya, memegang tongkal butut
di tangan kiri dan menyilangkan lengan kanan di depan dada, kemudian berkata.
“Sudah kukatakan, aku tidak
ingin berurusan dengan pemerintah maupun dengan Ngo-wi Locianpwe yang merupakan
tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Aku datang hanya untuk minta kebebaskan
adikku!”
“Hiye-heh-heh! Bocah sombong!
Kalau tidak diserahkan, kau mau apa?”
“Akan kurebut dengan paksa dan
kuusahakan sampai aku mati.”
“Pemuda buntung sombong!”
Toat-beng Ciu-sian-li sudah menggerakan rantai gelang di kedua telinganya
sehingga terdengar suara berdencingan nyaring dan menggetarkan hati para pengawal
yang mengurung tempat itu sambil berjaga-jaga, menutup jalan keluar pemuda
buntung itu.
“Omitohud, betapa tabahnya!”
Thian Tok Lama yang gendut itu berseru memuji karena benar-benar pendeta dari
Tibet ini merasa kagum sekali. “Apakah taihiap berani melawan kami sedangkan
tempat ini telah dikurung oleh ribuan orang pengawal?”
Han Han menoleh ke
sekelilingnya dan melihat bahwa pasukan pengawal kini bertambah banyak, tentu
ada dua tiga ribu orang banyaknya. Ketika ia menyapu keadaan di seluruh halaman
istana dengan pandang matanya yang tajam, ia melihat bayangan dua orang
berkelebat di puncak genteng istana, akan tetapi lenyap lagi, entah bayangan
manusia ataukah bukan.
“Thian Tok Lama, bagiku, persoalannya
bukan berani atau takut, melainkan benar atau salah. Kalau aku berpijak pada
kebenaran, tidak ada lagi kata-kata takut, karena mati dalam kebenaran adalah
mati yang terhormat. Kalau aku benar, biar menghadapi iblis sekalipun aku tidak
takut, sebaliknya kalau aku salah, biar menghadapi seorang anak kecil pun aku
tidak berani. Aku datang untuk membebaskan adikku, dan hal ini benar, maka aku
tidak takut. Terserah kepada Ngo-wi, apakah aku menonjolkan kegagahan dengan
cara mengeroyok aku dibantu pula oleh ribuan orang pasukan pengawal!” Ucapan
terakhir Han Han ini mengandung ejekan yang amat tajam sehingga wajah kelima
orang tokoh beser itu menjadi merah.
Memang harus diakui bahwa
peristiwa yang kini mereka hadapi merupakan peristiwa yang ajaib dan amat
memalukan. Biasanya, setiap orang di antara mereka berlima yang telah memiliki
kesaktian tinggi, tidak pernah atau jarang sekali menemui tanding sehingga
mereka berangkuh dan menganggap diri sendiri sebagai tokoh tingkat tinggi
yang tidak mau sembarangan bergerak, apalagi hendak mengeroyok lawan. Dan
sekarang, mereka berlima menghadapi seorang pemuda yang selain masih amat muda
patut menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang sebatang tongkat butut
dan yang kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan muda penderita cacad
dengan masih mengandalkan pengurungan ribuan orang pengawal! Benar-benar
merupakan peristiwa yang tak pernah mereka mimpikan dan amatlah merendahkan
nama besar mereka!
“Omitohud, orang muda yang sombong.
Kaukira pinceng tidak berani menghadapimu seorang diri?” Thai Li Lama menjadi
tersinggung sekali dan ia sudah meloncat maju menghadapi Han Han. Empat orang
tokoh yang lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya
menonton, ingin melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat
mengatasi Han Han si pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh
yang baru pertama kali mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah
abad lebih.
Han Han mengerti bahwa Thai Li
Lama adalah seorang yang selain pandai ilmu silat aneh dari barat, juga
memiliki kepandaian ilmu hitam dan ilmu sihir, maka ia bersikap waspada dan
sudah bersiap dengan tongkat dilintangkan di depan dada, sedangkan tangan kanan
dengan jari-jari terbuka berada di atas kepala, telapak tangannya menghadap ke
langit, diam-diam ia telah mengerahkan sin-kang di tubuhnya, yang berputaran
dan siap disalurkan untuk menghadapi lawan yang kuat ini.
Akan tetapi aneh, pendeta
Tibet itu tidak segera bergerak menyerangnya, melainkan berdiri tegak dan kaku,
kepala lurus, kedua lengan lurus di kanan kiri tubuhnya, kemudian terdengar
suaranya, halus seperti membujuk.
“Suma-taihiap, kauturutilah
permintaanku, tundukkan kepalamu....”
Han Han merasa ada getaran
aneh terbawa oleh suara ini, begitu lembut mengelus perasaannya, mendatangkan
rasa terharu dan tidak tega untuk menolak permintaan itu. Akan tetapi
kesadarannya membisikkan bahwa kakek ini tentu menggunakan ilmu sihir, maka sebaliknya
dari menundukkan kepala, ia malah menengadah, memandang ke angkasa!
Benar-benar merupakan gerakan kebalikan daripada apa yang diminta hwesio Tibet
itu! Merupakan tantangan!
“Omitohud, agaknya taihiap
hendak menggunakan kekerasan. Baiklah. Suma Han, kaupandang mataku kalau
berani!”
Andaikata ucapan yang
dikeluarkan merupakan perintah nyaring dan berwibawa ini tidak diembel-embeli
“kalau berani”, tentu Han Han tidak sudi menurut, sungguhpun di dalam suara
itu terkandung wibawa dan tenaga mujijat yang seolah-olah memaksanya dan
menguasai perasaan dan pikirannya. Akan tetapi kata “kalau berani” membuat Han
Han penasaran. Mengapa tidak berani? Ia lalu memandang ke depan, menentang
pandang mata hwesio itu. Dua pasang sinar mata bertemu! Semua orang menahan
seruan saking kaget dan seram melihat dua pasang pandang mata yang luar biasa
itu. Sepasang mata Thai Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan seolah-olah
ada sinar terang keluar dari sepasang matanya, sedangkan sepasang mata Han Han
menjadi tajam seperti mengandung api!
Thai Li Lama berkemak-kemik
dan mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk menguasai kemauan dan pikiran
Han Han melalui pandang matanya, menyerang pemuda itu dengan ilmu
i-hun-to-hoat untuk membetot semangat (hypnotism), akan tetapi Han Han yang merasa
betapa sinar mata itu seolah-olah menembus jantungnya, cepat membulatkan
tekadnya untuk tidak tunduk dan dia malah membalas dengan pandang mata
berapi-api. Di luar kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang mujiiat di
dalam diri pemuda buntung ini. Kekuatan gaib telah dimilikinya semenjak malapetaka
menimpa keluarganya dan kekuatan kemauannya menjadi luar biasa sekali. Kemauan
yang mujijat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin dapat ditembusi oleh
ilmu hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya yang amat kuat ini dapat
memancar keluar dan masih cukup kuat untuk menguasai orang lain!
Kini Han Han yang maklum apa
yang sedang dilakukan lawannya, membulatkan tekadnya untuk melawan dan menolak
getaran halus yang keluar dari sinat mata Thai Li Lama. Ketika ia disuruh
memandang, dia memang melakukannya, akan tetapi sama sekali bukan berdasarkan
tunduk akan perintah itu, melainkan karena memang timbul atas kehendaknya
sendiri hendak “mengadu kekuatam pandang mata” dengan hwesio Tibet itu. Maka
terjadilah “pertandingan” yang luar biasa, lebih hebat daripada pertandingan
adu kekuatan sin-kang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin yang getarannya
bergelombang terasa oleh semua orang yang hadir sehingga mereka itu terpesona
seperti kemasukan pengaruh mujijat.
Dua pedang sinar mata itu
masih saling dorong, saling banting dan berusaha sekuatnya untuk menundukkan lawan,
kalau kelihatan tentu amat seru seperti dua ekor naga saling serang. Keduanya
tak pernah berkedip, bahkan mata mereka makin lama makin lebar, dengan sinar
yang berapi-api. Diam-diam Thai Li Lama terkejut bukan main. Dia tadinya hanya
menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai ilmu silatnya, dan siapa mengira
bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang ahli hoat-sut, ahli sihir yang
memiliki kekuatan batin luar biasa sekali! Biasanya, betapapun pandai silat
lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat ini, lawannya tentu
akan mudah ia tundukkan. Kini melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak
dapat menundukkan pemuda buntung ini, bahkan, seolah-olah sinar matanya
melekat pada sinar mata pemuda itu, sukar dilepaskan lagi, Thai Li Lama menjadi
kaget dan penasaran. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantram dan ia
menggunakan seluruh kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru
besar dari India di lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan
gerengan seperti suara seekor biruang dan membentak.
“Suma Han, lihat
baik-baik siapa aku? Akulah manusia naga dari Himalaya, berkepala tiga
berlengan delapan! Lekas kauberlutut dan menyerah!” Dari kepala pendeta Tibet
itu mengepul uap putih kebiruan dan terdengarlah suara berisik ketika pasukan
itu berseru dan berbisik penuh ketakutan sambil memandang ke arah Thai Li Lama
dengan mata terbelalak dan muka pucat, tangan menuding dan kaki gemetar. Siapa
orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan takut? Pendeta Tibet yang
tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali tidak menimbulkan rasa
gentar itu kini telah berubah menjadi mahluk yang luar biasa. Tubuhnya masih
tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi kepala naga, yang
hidungnya menghembuskan uap biru, dan bukan hanya sebuah kepala naga yang
mengerikan itu, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan dua lagi,
melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya, sehingga lengannya
berjumlah delapan!
Bagi Han Han, karena
penglihatannya dilindungi oleh perisai kemauan yang membaja, perubahan pada
diri Thai Li Lama itu hanya tampak suram-suram saja. Pemuda ini mengerahkan
seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda ini tidak pernah mempelajari hoat-sut,
tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan kekuatan batinnya dalam ilmu ini, akan
tetapi ia mengerti bahwa kalau ia mengerahkan kemauannya, maka ia tidak akan
dapat terpengaruh orang lain bahkan dapat menguasai kemauan orang. Kini ia mengerti
bahwa lawannya menggunakan ilmu sihir yang aneh, maka setelah mengerahkan
seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa dan berkata.
“Hemmm, Thai Li Lama, engkau
ini seorang pendeta yang sudah tua, mengapa bersikap seperti anak kecil?
Permainanmu ini hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi bagiku,
engkau tetap Thai Li Lama yang biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh dengan
akal muslihat kotor dan berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan perbuatan
jahat!”
Semua pasukan yang mendengar
ucapan Han Han yang keras dan berwibawa ini melihat perubahan aneh pada diri
Thai Li Lama. Sekarang pendeta itu berubah menjadi biasa kembali dan kedua
orang lawan itu masih melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata yang
berapi-api! Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya
berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena
saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan
tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han, sedangkan
tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.
Han Han sudah siap sedia, ia
melengking nyaring dan kedua tangannya juga mendorong ke depan, sebelah kiri
dengan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan yang kanan dengan inti tenaga Hwi-yang
Sin-ciang! Dilanda dua macam tenaga yang berhawa amat dingin dan amat panas
ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh terguling-guling. Ia dapat
meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya terengah-engah dan mukanya pucat!
Melihat keadaan sutenya, Thian
Tok Lama sudah merendahkan tubuhnya yang gendut, perutnya mengeluarkan suara
berkokok, seperti ayam biang, dan kedua tangannya menyerang dengan pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang ampuhnya menggila itu. Tangan kanannya berubah biru
dan dari kedua telapak tangan itu menyambar uap hitam ke arah Han Han. Pada
saat yang hampir sama, tiga orang tokoh sakti yang lain, yaitu Kang-thouw-kwi
Gak Liat, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah
menerjang dengan pukulan-pukulan sakti mereka ke arah Han Han.
Namun semua pukulan sakti yang
membawa maut itu luput karena pada saat yang tepat, tubuh Han Han telah lenyap
dan pemuda buntung yang amat sakti ini telah melesat ke atas, kemudian menukik
turun dengan tongkatnya diputar menjadi sinar kehijauan melingkar-lingkar yang
menyambar ke arah kepala lima orang pengeroyoknya! Lima orang tokoh besar itu
yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang sudah mencapai puncaknya,
cepat mengelak dan melakukan pengurungan ketat dari lima penjuru, seolah-olah
secara otomatis membentuk ngo-heng-tin (barisan lima anasir).
Terjadilah pertandingan yang
amat seru dan luar biasa. Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak melancarkan
pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang berhawa panas sekali. Juga Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan Swat-im
Sin-ciang yang berhawa dingin seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li dengan penuh
amarah menggerakkan sepasang rantai gelang di kedua telinganya yang merupakan
sepasang senjata ampuh, dibantu sambaran rambutnya dan serangan kedua, tangan
penuh kuku runcing dengan pukulan Toat-beng Tok-ciang yang beracun. Kedua orang
pendeta Lama dari Tibet juga tanpa segan-segan lagi karena maklum akan
kelihaian pemuda buntung itu, menyerang dengan pukulan-pukulan sakti mereka.
Han Han mengerti sepenuhnya
bahwa dia terancam maut. Dia mengenal kehebatan lima orang lawannya. Kalau
mereka itu maju seorang demi seorang, dia yakin akan dapat mengalahkan mereka.
Akan tetapi, dikeroyok lima orang yang memiliki kepandaian setinggi itu,
benar-benar amat berbahaya dan selama hidupnya, baru sekali ini ia benar-benar
dihadapkan dengan pengeroyokan lawan yang menggiriskan! Terpaksa pemuda buntung
yang amat sakti ini mengerahkan seluruh kepandaiannya yang pernah dipelajarinya
dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang berada di tubuhnya untuk
melindungi diri dan juga untuk balas menyerang.
Pada saat itu, senja telah
mendatang dan keadaan cuaca mulai menggelap. Di atas wuwungan istana, jauh
tinggi di puncaknya, terdapat dua orang yang menonton pertandingan itu penuh
takjub. Mereka ini bukan lain adalah Puteri Nirahai dan gurunya, Puteri Maya.
Tadi mereka keluar dari istana ketika mendengar akan kekacauan di depan
istana, akan tetapi melihat bahwa yang datang mengacau hanya seorang pemuda
buntung dan yang menghadapi pemuda buntung itu sudah amat banyak, hati Maya
menjadi tertarik maka ia memegang tangan muridnya diajak meloncat naik ke atas
wuwungan dan menonton. Bagi Puteri Maya, benar-benar merupakan pantangan besar
dan amat memalukan kalau harus ikut-ikutan mengeroyok seorang lawan yang masih
begitu muda, buntung kakinya dan sudah dikeroyok begitu banyak orang. Juga
Puteri Nirahai merasa segan untuk turun tangan karena hal ini akan merendahkan
derajatnya sebagai seorang puteri kaisar terutama sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi.
Begitu mendengar
teriakan-teriakan Han Han yang minta dibebaskannya Lulu, Nirahai dapat menduga
bahwa tentulah pemuda buntung ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu. Ia
merasa heran dan terkejut melihat bahwa pemuda itu buntung sebelah kakinya,
padahal Lulu tidak pernah mengatakan bahwa kakaknya itu buntung! Dan dia
terpesona, takjub menyaksikan gerakan dan sepak-terjang pemuda buntung itu,
kagum menyaksikan betapa pemuda itu sanggup menghadapi Ilmu I-hun-to-hoat dari
Thai Li Lama, dan hatinya berdebar aneh menyaksikan wajah tampan dilingkari
rambut riap-riapan itu, terutama sekali melihat sepasang sinar mata yang
begitu tajam dan mengandung sesuatu yang aneh.
“Ihhhhh....! Kedua tangannya
mengandung pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang digunakan
secara berbareng! Memecah sin-kang menjadi berlawanan ini dari mana dia
mempelajarinya? Siapa bocah setan itu....?” terdengar Nenek Maya mengomel dan
matanya memandang terbelalak penuh kaget dan heran menyaksikan Han Han
menggunakan kedua tangannya untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya.
“Subo, dia itulah yang selalu
diceritakan Lulu-sumoi. Dia kakak angkatnva yang bernama Han Han,” jawab
Nirahai tanpa mengalihkan pandang matanya dari medan pertandingan di bawah.
Akan tetapi Nenek Maya biarpun
mendengar ucapan muridnya itu, agaknya tidak mengacuhkan karena dia mengalami
kekagetan demi kekagetan ketika menyaksikan pertempuran itu, mulutnya
mengeluarkan seruan-seruan heran, “Lihat pukulannya itu....! Tendangan dengan
satu kaki....! Aihhh, bukankah itu jurus-jurus simpanan yang hanya dikenal kami
bertiga di Pulau Es? Dan itu heiiiii....! Itu gerakan tongkatnya....
bukankah bagian dari Siang-mo Kiam-sut! Dan loncatan-loncatan itu.... hemmm....
seperti telah mengenalnya akan tetapi demikian aneh! Bukan main! Siapa bocah
ini?”
“Subo, dia Han Han dan seperti
subo ketahui, dengan Lulu dia telah berhasil mewarisi kitab-kitab di Pulau Es.”
“Aihhh....! Benar! Tapi
loncatan-loncatan itu! Ilmu silat iblis manakah itu? Benar-benar hebat
dan mengerikan!” Ternyata Nenek Maya ini merasa terkejut dan kagum sekali
karena sebagai seorang ahli dia sampai tidak mengenal ilmu silat dengan gerakan
kilat itu. Memang itu adalah Ilmu Soan-hong-lui-kun yang diciptakan oleh
sumoinya sendiri, Khu Siauw Bwee, dalam pertapaannya! Tentu saja dia tidak
mengenalnya sungguhpun ia merasa kenal akan dasar-dasarnya.
Memang, untuk menghadapi
pengeroyokan lima orang sakti itu, terpaksa Han Han mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Gerakan Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang ia pelajari dari Khu
Siauw Bwee, tongkatnya dimainkan seperti pedang dengan Ilmu Pedang Siang-mo
Kiam-sut, dan tangan kanannya melakukan serangan bergantian dengan hawa
sin-kang Im dan Yang, juga ia mencampurkan gerakan-gerakan silat dari kitab‑kitab
yang telah !a pelajari dari Pulau Es, disesualkan untuk menghadapi hujan
serangan kelima orang lawannya! Benar-benar hebat pemuda ini dan barulah
terbukti kesaktiannya yang jarang dapat ditemui tandingnya, karena setelah
bertempur selama ratusan jurus, mengandalkan kelincahan ilmu gerak kilat, ia
sama sekali tidak terdesak, bahkan berhasil membuat pengepungan lima orang
sakti itu kocar-kacir. Tentu saja lima orang pengeroyoknya menjadi penasaran
sekali, terutama Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li karena pemuda itu bekas
murid mereka, dan Gak Liat karena bocah itu dahulu bekas kacungnya!
Cuaca semakin gelap dan para
pemimpin pasukan pengawal yang melihat betapa pemuda buntung itu masih juga
belum dapat ditundukkan oleh lima orang sakti itu, menjadi khawatir kalau pemuda
itu akan berhasil menyerbu ke istana, maka mereka lalu mulai mengeluarkan
aba-aba dan pengurungan pasukan dipersempit dan diperketat, siap untuk
menerjang pemuda itu seperti air bah mengamuk.
Han Han melihat ancaman ini.
Tidak mungkin baginya untuk menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang,
sedangkan pengeroyokan lima orang sakti itu saja sudah amat melelahkannya.
“Lebih baik aku menerobos ke dalam istana menangkap Puteri Nirahai atau mencari
di mana ditahannya Lulu agar aku dapat membebaskan adikku dan mengajaknya lari
dari situ,” pikirnya. Ia mulai mencari kesempatan untuk lolos dan menerjang
ke dalam istana. Akan tetapi lima orang pengeroyoknya makin lama makin
penasaran dan marah sekali. Dari depan, sepasang pendeta Lama sudah menerjangnya
dengan pukulan-pukulan sin-kang yang lihai, sedangkan dari kanan kiri Ma-bin
Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menerjang pula. Han Han menggunakan tangan
kanannya mendorong ke depan, sekaligus menolak pukulan kedua orang Lama. Hebat
bukan main pengerahan tenaganya ini sehingga kedua orang Lama itu terhuyung ke
belakang. Pada saat itu pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat dengan tenaga sakti
Hwi-yang Sin-ciang sudah menerjang datang, didahului oleh si nenek Toat-beng
Ciu-sian-li yang menyerangnya dari belakang dengan sambaran rantai gelang!
Han Han mengeluarkan suara
melengking, tubuhnya cepat melesat ke belakang, tinggi dan berjungkir balik,
tangan kanannya cepat menyambar dan ia berhasil menangkap ujung rantai gelang
nenek itu yang menyambarnya. Dengan sepenuh tenaga disentakkannya kuat-kuat
hingga tubuh nenek itu melayang ke atas. Nenek itu menjerit, kalau bukan dia
tentu daun telinganya akan putus. Han Han melontarkan tubuh nenek itu dengan
melepaskan rantai gelang ke arah Kang-thouw-kwi yang memukulnya tadi! Kini
tubuh nenek itu melayang dan akan bertemu dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang
yang ampuh!
Melihat ini, Ma-bin Lo-mo
berseru kaget, cepat ia pun mengerahkan tenaganya mendorong ke depan untuk
menyambut pukulan Gak Liat dalam usahanya menolong nenek itu.
“Desssss....!” Ma-bin Lo-mo
terjengkang sedangkan Gak Liat terdorong mundur sambil terbatuk-batuk dan
sedikit darah keluar dari mulutnya. Nenek itu sendiri terbanting roboh ke atas
tanah, amat kerasnya sehingga nenek ini mengeluh dan merasa seolah-olah
pantatnya yang tiada dagingnya lagi terbanting peyok!
Ketika lima orang sakti yang
dalam gebrakan hebat ini terdesak cepat menguasai diri dan hendak menerjang,
tiba-tiba tubuh Han Han melesat ke atas, melampaui kepala para anak buah pasukan
yang mengurung dan telah melayang ke atas genteng istana. Ramailah pasukan itu
lari mengejar, ada pula yang memasang obor karena cuaca sudah mulai
remang-remang.
“Kejar ke atas....!”
“Awas, kepung istana agar dia
tidak lari!”
“Heiii, lekas jaga sebelah
dalam istana, hadang semua jalan!”
“Paling perlu lindungi
kamar-kamar Sri Baginda dan keluarganya!”
Ramailah pasukan pengawal itu
berteriak-teriak dan bergerak kacau-balau seperti serombongan semut diganggu sarangnya.
Adapun lima orang sakti itu, biar sudah amat tertinggal jauh, segera meloncat
pula naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Cara Han Han meloncat amat
luar biasa karena dia menggunakan ilmunya gerak kilat, tubuhnya mencelat-celat
ke atas sampai ke wuwungan. Tiba-tiba ia berhenti di atas wuwungan memandang
terbelalak kepada seorang nenek dan seorang gadis cantik jelita yang berdiri
tenang di situ. Melihat gadis itu dalam cuaca yang remang-remang, Han Han
memekik girang.
“Lulu....!” Tubuhnya mencelat
dan ia telah berada di depan gadis itu, terus dirangkulnya sambil mengeluh
karena kelelahan, “Lulu adikku.... ah, Lulu.... syukur kau selamat....
kauampunkanlah aku, Lulu....!” Saking girang hatinya, seperti dahulu, ia
mencium pipi adiknya itu, tidak tahu betapa gadis itu terbelalak dan mukanya
menjadi merah sekali. Dapat dibayangkan betapa malu dan jengah rasa hati gadis
ini yang bukan lain adalah Puteri Nirahai sendiri yang disangka Lulu oleh Han
Han. Memang ada persamaan pada wajah kedua orang gadis itu dan juga bentuk
tubuh mereka sama, maka tidak mengherankan apabila Han Han yang dalam keadaan
lelah salah duga melihat Nirahai dalam cuaca remang-remang itu.
Han Han berada dalam
kegirangan luar biasa melihat “adiknya” selamat, maka ketika merangkul dan
menciumnya, kegirangan membuat ia kehilangan kewaspadaannya dan tiba-tiba ia
mengeluh, tubuhnya menjadi lemas karena jalan darah di punggungnya telah
tertotok secara hebat bukan main. Totokan biasa saja kiranya tidak akan mempengaruhi
tubuhnya yang dialiri sin-kang amat kuat, akan tetapi sekali ini yang
menotoknya adalah Nenek Maya serdiri! Maka ia terguling dan tahu-tahu telah
dikempit oleh lengan kiri Nenek Maya.
Pada saat itu, lima orang
sakti telah menyusul ke atas wuwungan. Nenek Maya yang mengempit tubuh Han Han,
tersenyum mengejek dan berkata, “Dia sudah kutangkap, kalian mau apa?”
Lima orang sakti itu telah
mendengar bahwa di istana terdapat guru Puteri Nirahai yang amat lihai, akan
tetapi karena belum pernah melihat nenek ini yang kehadirannya dirahasiakan,
Toat-beng Ciu-sian-li yang berwatak angkuh segera menegur, “Engkau siapakah?”
Nirahai khawatir kalau-kalau
gurunya yang memiliki watak aneh luar biasa itu menjadi marah, maka ia cepat
maju dan berkata halus. “Harap Ngo-wi Locianpwe suka mundur dan beristirahat
karena pengacau telah dapat ditangkap oleh guru saya dan akan kami periksa
sendiri.”
Mendengar ini, Toat-beng
Ciu-sian-li terkejut dan memandang tajam penuh perhatian kepada Nenek Maya. Ia
merasa sudah pernah melihat nenek itu, akan tetapi tidak ingat lagi kapan dan
di mana. Juga tokoh-tokoh lain ketika mendengar bahwa nenek yang agaknya dengan
amat mudahnya menangkap Han Han yang tadi membuat mereka berlima kewalahan itu
adalah guru Nirahai, cepat menjura dengan hormat. Mereka semua tahu akan
kelihaian puteri cantik itu, kalau muridnya saja sudah demikian lihainya, apa
lagi gurunya!
demikian lihainya, apa lagi
gurunya!
Nenek Maya sudah membalikkan
tubuhnya dan tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun ia telah meloncat turun mengempit
tubuh Han Han, diikuti oleh Nirahai, memasuki istana kembali melalui pintu
belakang. Lima orang tokoh itupun cepat turun dan kini pasukan pengawal sibuk
merawat teman-teman yang terluka dalam pengeroyokan mereka terhadap Han Han
tadi.
Malam itu, suasana di
sekeliling istana sunyi sepi, akan tetapi di dalam kesunyian ini, penjagaan
para pengawal diperkuat karena para komandan pengawal merasa khawatir
kalau-kalau datang lagi pengacau yang berilmu tinggi seperti di pemuda buntung
yang kini telah menjadi tawanan Puteri Nirahai di dalam istana.
Setelah tertotok lemas dan
dibawa oleh nenek sakti itu ke dalam istana, barulah Han Han dapat melihat
wajah Puteri Nirahai di bawah sinar lampu yang terang dan ia terkejut setengah
mati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis yang disangkanya Lulu, dirangkul dan
dicium pipinya tadi ternyata sama sekali bukanlah Lulu, melainkan seorang gadis
yang mirip Lulu dan cantik jelita sekali. Kekagetannya bertambah ketika ia
melirik dan mengamati wajah nenek yang mengempitnya. Ia mengenal wajah ini yang
biarpun sudah tua namun masih membayangkan kecantikan, membayangkan raut muka
yang mirip benar dengan puteri jelita ini, mirip pula dengan Lulu, dan....
mirip dengan patung wanita di Pulau Es. Han Han terbelalak, kini ia kembali
memandang Nirahai. Bukan main! Sekarang terasa benar olehnya kemiripan wajah
gadis jelita ini dengan patung Puteri Maya di Pulau Es! Han Han melongo,
terpesona, dan biarpun tubuhnya dikempit, pandang matanya seperti lekat pada
wajah Puteri Nirahai.
Puteri Maya membawa tubuh Han
Han memasuki ruangan dalam yang luas di depan kamarnya, kemudian sekali
tangannya bergerak, Han Han telah dibebaskan totokannya dan tubuhnya telah
dilempar ke atas lantai. Kemudian nenek sakti itu duduk di atas kursi,
menyambar guci arak dan minum arak dari sebuah cawan perak. Adapun Puteri
Nirahai masih berdiri. Gadis ini memandang wajah Han Han penuh perhatian,
memandang ke arah kaki dan alisnya yang bagus itu berkerut dalam kesangsian
dan pertanyaan apakah pemuda ini benar-benar kakak Lulu yang bernama Han Han!
Han Han meloncat bangun dan
terhuyung karena tubuhnya masih terasa lemas, bukan oleh bekas totokan yang
telah dibebaskan, karena sin-kangnya membuat ia dapat menguasai kembali jalan
darahnya, melainkan karena lelahnya setelah melakukan pertempuran yang berat
tadi. Tiba-tiba Nenek Maya menggerakkan tangan dan tongkat butut Han Han yang
tadi dia bawa pula melayang ke arah Han Han, melayang seperti luncuran anak
panah menuju ke dada pemuda buntung itu. Han Han cepat menyambarnya dan nenek
itu kagum bukan main. Pemuda buntung ini benar-benar tidak mengecewakan menjadi
murid atau ahli waris Istana Pulau Es! Dengan tongkat di tangannya, Han Han
dapat berdiri tegak dan ketika ia memandang Nirahai, puteri inipun sedang
memandangnya penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu pandang dan wajah Han
Han menjadi merah sekali. Ia teringat betapa tadi ia merangkul dan mencium pipi
yang halus kemerahan itu. Tak terasa lagi ia lalu berkata lirih menggagap.
“Maaf.... maafkan
kekurangajaranku tadi.... kukira engkau adikku Lulu.”
Wajah puteri yang berkulit
halus putih kemerahan itu menjadi makin merah, akan tetapi ia hanya mengangkat
pundaknya lalu bertanya, suaranya dingin seolah-olah hal yang dihadapi dan
ditanyakannya adalah urusan kecil. “Apakah engkau ini yang bernama Han Han,
kakak angkat Lulu?”
Han Han mengangguk dan
bertanya, “Di manakah adikku? Dan engkau.... eh, tentu engkau inilah Puteri
Nirahai, bukan? Mengapa engkau menangkap adikku itu dan di mana dia? Kuharap
kau suka membebaskannya. Kedatanganku ini bukan untuk mengacau, hanya untuk
membebaskan adikku.”
Nirahai tersenyum mengejek.
“Tidak membikin kacau akan tetapi membunuh dan melukai banyak pengawal istana,
menggegerkan istana. Bahkan pernah menjadi pembantu pemberontak di Se-cuan!
Hemmm, tentang urusan Lulu, dia adalah sumoiku, karena dia menyeleweng maka
kutangkap. Subo yang menangkapmu, maka terserah kepada subo untuk mengadilimu.
Subo, teecu akan pergi sekarang mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai
orang buntung ini, terserah kepada subo.”
Nenek Maya mengangguk, sejak
tadi nenek ini memandang Han Han penuh perhatian, lalu menggerakkan tangan
menyuruh Puteri Nirahai pergi. Setelah melontarkan kerling mata terakhir kepada
Han Han, mulut yang manis itu menyimpulkan senyum, Nirahai lalu pergi
meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini menghadapi Nenek
Maya, mereka saling pandang dan Han Han menjadi makin yakin di dalam hatinya
bahwa nenek ini tentulah wanita yang patungnya berada di Pulau Es, suci dari
gurunya yang telah membuntungi kaki gurunya itu. Dan betapa hebat persamaan
puteri cantik tadi dengan patung itu pula!
“Orang muda, engkaukah pemuda
yang bersama muridku Lulu tinggal bertahun-tahun di Pulau Es?” Nenek Maya bertanya
sambil memandang tajam.
Karena kini tidak ragu lagi,
Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Benar, subo, harap subo
memaafkan kelancangan teecu yang telah membikin ribut di tempat ini. Teecu
tidak tahu bahwa adik teecu telah menjadi murid subo, dan sesungguhnya teecu
hanya mengkhawatirkan keselamatan Lulu.”
“Hemmm...., kau menyebut aku
subo (Ibu Guru), atas dasar apakah? Tahukah engkau, siapa aku?”
Han Han teringat bahwa seperti
juga Khu Siauw Bwee, nenek buntung yang menjadi gurunya, Nenek Maya ini pun
telah mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia ramai, maka tentu
saja nenek itu ingin sekaii tahu bagaimana Han Han dapat mengenalnya.
“Maafkan teecu kalau keliru.
Subo adalah Puteri Maya yang arcanya pernah teecu lihat di dalam Istana Pulau Es,
bersama arca Subo Khu Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki.”
“Aihhhhh....!” Nenek itu
terbelalak dan sepasang matanya berkilat-kilat, “Di antara kami bertiga tidak
mungkin ada yang meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau bisa mengenal
nama-nama kami? Awas, sekali engkau berbohong, aku akan membunuhmu!”
Pandang mata, suara dan sikap
nenek ini benar-benar membuat Han Han mengkirik. Betapa jauh bedanya nenek ini
dengan gurunya Si Nenek Buntung. Nenek ini memiliki kecantikan yang amat luar
biasa, seperti bukan manusia, akan tetapi di samping kecantikannya, juga
memiliki watak yang mengerikan. Dan tentang kepandaian, tentu saja nenek ini
memiliki kesaktian hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi mengingat akan
hebatnya kepandaian Khu Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya, yang kakinya
dibuntungi oleh Nenek Maya ini.
“Teecu tidak berani membohong.
Tentu subo telah mendengar penuturan adik teecu tentang pengalaman kami berdua
di Pulau Es. Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak tahu sama sekali siapa
adanya tiga arca yang berada di Istana Pulau Es itu. Akan tetapi, teecu telah
berjumpa dengan Subo Khu Siauw Bwee....” Tiba-tiba Han Han menghentikan
kata-katanya. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan
kemauannya yang amat keras saja ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam
berlutut dan tidak melawan, mengelak maupun menangkis. Nenek itu telah
mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu jari tangan nenek itu telah menyentuh
ubun-ubun kepalanya, siap untuk mencengkeram! Sedikit saja nenek itu menggunakan
tenaganya mencengkeram, tentu kepalanya akan pecah!
“Orang muda....
hati-hati kau.... kalau bohong....!” Suara itu terdengar gemetar, agaknya Nenek
Maya ini terharu dan terkejut mendengar bahwa sumoinya itu masih hidup!
“Teecu bersumpah tidak bohong,
subo. Teecu ditangkap dan kaki teecu dibuntungi aleh Toat-beng Ciu-sian-li
sebagai hukuman, teecu terjerumus ke dalam jurang, hanyut di sungai dan ketika
teecu berhasil mendarat, teecu bertemu dengan Subo Khu Siauw Bwee. Maka teecu
lalu memberi kantung surat, yaitu peninggalan Suhu Kam Han Ki yang teecu bawa
dari Pulau Es untuk teecu sampaikan kepada orang yang berhak. Dan ternyata
surat-surat itu memang ditujukan oleh suhu kepada Subo Khu Siauw Bwee....”
Kembali Han Han menghentikan
kata-katanya karena nenek itu mengeluh lalu terhuyung-huyung ke belakang dan
menjatuhkan lagi dirinya di atas kursi. Wajahnya yang dahulu di waktu mudanya
tentu amat cantik itu pucat sekarang.
“Teruskan.... teruskan.... apa
isi surat-suratnya itu....”
Diam-diam Han Han berpikir.
Biarpun nenek buntung Khu Siauw Bwee tidak mau menceritakan
pengalaman-pengelaman mereka bertiga di waktu muda ketika mereka berada di
Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu terjadi perebutan cinta antara
Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan kemudian, melihat sikap Nerek Khu
Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya
Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang. Akan tetapi, kalau ia
kemukakan hal ini, bukankah berarti ia akan menyakiti hati Nenek Maya ini? Dia
menjadi tidak tega, bahkan diam-diam Han Han merasa kasihan kepada nenek ini.
Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca nenek ini di waktu muda, demikian
cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru melihat arcanya saja jantung
sudah berdebar dan gairahnya terangsang. Tadi pun ketika ia melihat puteri
Nirahai yang mirip dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam
hatinya. Betapa mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu? Akan tetapi, kalau
dia tidak berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan
menjadi marah dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu
terancam bahaya maut.
“Teecu tidak berani membuka
surat-surat itu, subo. Biarpun teecu hanya mengetahui subo bertiga dari
arca-arca yang berada di Pulau Es, namun tentu saja subo bertiga telah teecu
anggap sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dengan demikian menjadi pula
guru-guru teecu. Mana berani teecu membaca surat Suhu Koai-lojin? Teecu hanya
membawanya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dan ternyata memang
surat-surat itu ditujukan kepada Subo Khu Siauw Bwee.”
Kembali terdengar keluhan dari
dada nenek itu, keluhan yang membayangkan kehancuran hati. Kemudian Nenek Maya
dapat menguasai dirinya kembali dan bertanya, suaranya menggetar, “Ceritakan,
bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat dari suheng itu....!”
Di dalam lubuk hatinya, Han
Han sudah dapat menduga apakah yang dahulu terjadi antara tiga orang gurunya,
penghuni-penghuni Pulau Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi yang berkepentingan
sendiri harus mengetahui hal sebenarnya, baik manis maupun pahit, agar tidak
selalu menjadi keraguan dan menimbulkan pertikaian. Nenek Maya ini tentu selalu
menyangka bahwa Koai-lojin mencintanya maka dahulu telah terjadi pertentangan
antara dia dan sumoinya.
“Subo Khu Siauw Bwee setelah
membaca surat-surat itu lalu menangis dan mengatakan mengapa dahulu suhu tidak
berterus terang menyatakan mencinta subo seorang sehingga tidak terjadi pembuntungan
kakinya. Surat-surat itu adalah surat-surat pernyataan cinta....”
Tiba-tiba Nenek Maya menjerit
lirih dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Han Han menjadi kasihan sekali.
Betapa mungkin seorang wanita yang dahulunya tentu amat cantik jelita seperti
bidadari mengalami penderitaan karena cinta! Pemuda itu teringat akan syair
yang diukir di dinding Istana Pulau Es, dan dalam keadaan penuh haru dan
setengah sadar itu Han Han lalu mengucapkan syair dengan suara penuh perasaan:
“Betapa
ingin mata memandang mesra
betapa ingin
jari tangan membelai sayang
betapa ingin
hati menjeritkan cinta
namun Siansu
berkata: bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun
juga,
cinta segi
tiga tak membahagiakan
menyenangkan
yang satu
menyusahkan
yang lain
akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan
persaudaraan dilupakan
akhirnya
yang ada
hanyalah
duka dan sengsara.
Kesimpulan,
benarlah pesan Siansu
bahwa
sengsaralah buah daripada nafsu!”
Nenek Maya yang tadinya
membelalakkan matanya yang basah itu, memandang dengan bengis dan penuh nafsu
membunuh, ketika mendengarkan syair ini, makin lama makin terbelalak dan
wajahnya tidak bengis lagi melainkan penuh keheranan dan keharuan, kemudian
dengan suara serak ia berkata.
“Orang muda, apa.... apa
maksudmu dengan syair itu....?”
“Maaf, subo. Saking terharu
hati teecu, maka teecu teringat akan syair yang diukir pada dinding Istana
Pulau Es, dan menurut Subo Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu diukir oleh Suhu
Koai-lojin.”
Kembali Nenek Maya mengeluh
dan menutupkan kedua telapak tangannya pada mukanya. “Ahhh, kasihan.... kasihan
sekali suheng....! Biarpun mencinta sumoi, ternyata tidak mau mengaku karena
tidak suka menghancurkan hatiku! Orang muda, engkau tentu telah digembleng oleh
Khu-sumoi, bukan? Cara engkau meloncat-loncat itu....”
“Benar, subo. Sesungguhnyalah
karena mengingat bahwa teecu memang sudah menjadi murid suhu dan subo berdua,
dan agaknya melihat kaki teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw Bwee lalu
mengajar teecu beberapa lamanya.”
“Bagus, karena itu maka engkau
tidak kubunuh sekarang! Dalam cinta mungkin aku telah kalah oleh sumoi, akan
tetapi dalam ilmu silat, aku tidak mau kalah! Sumoi telah menurunkan ilmu silat
ciptaannya yang baru kepadamu, dan aku akan menurunkan kepandaianku kepada
muridku Nirahai. Kita sama lihat saja kelak siapa yang lebih unggul. Aku
menitipkan nyawa kepadamu, bocah, dan kelak Nirahai muridkulah yang akan
mengambil nyawamu sekalian membuktikan bahwa ilmuku masih lebih tinggi daripada
ilmu sumoi. Nah, pergilah sebelum aku menyesal akan keputusanku ini!”
Han Han bukan seorang penakut.
Kalau hanya menghadapi ancaman maut saja, dia sudah berkali-kali mengalaminya.
Kedatangannya untuk mencari Lulu adiknya, tentu saja ia tidak akan mudah diusir
pergi dengan ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan adiknya atau setidaknya
mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
“Maaf, subo. Tentu saja teecu
akan mentaati semua perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu teecu harus
dapat menemukan Lulu, adik teecu dan membebaskannya....”
Nenek Maya menyusut air
matanya dan memandang pemuda berkaki buntung itu. Biarpun hatinya masih merasa
panas terhadap sumoinya, namun diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda ini. Memang
hanya muridnya Nirahai itulah yang agaknya merupakan satu-satunya orang yang
akan dapat menandingi pemuda hebat ini. Muridnya itu mempunyai kecerdikan luar
biasa, bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang sukar dicari keduanya.
Betapapun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai akan mampu menandingi
pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan semua ilmunya yang
paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak boleh kalah oleh
murid Khu Siauw Bwee!
“Bocah keras kepala, Lulu
adalah muridku, siapakah yang akan mengganggunya? Dia memang ditangkap oleh
sucinya karena dia menyeleweng, akan tetapi kini dia telah melarikan diri
ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan. Entah ke mana perginya bocah
yang suka menimbulkan kekacauan itu, aku tidak tahu.”
Han Han terkejut bukan main.
“Murid-murid Ma-bin Lo-mo....? Bagaimana.... apa maksud subo?”
Nenek itu tersenyum dingin dan
Han Han kagum melihat betapa nenek itu ternyata masih mempunyai gigi yang
berderet lengkap dan kuat. “Siapa tahu dan siapa peduli? Murid-murid Si Muka
Kuda itu memberontak terhadap guru mereka, dan melihat macamnya Ma-bin Lo-mo,
jelas bahwa murid-muridnya tentu lebih baik daripada dia! Kalau aku turun
tangan, apa yang dapat dilakukan mereka? Aku tidak peduli, dan karena Lulu
hanya akan mereka bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak peduli. Bocah itu
sudah banyak bikin pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau cari sendiri. Nah,
sekarang pergilah dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap kau menantangku!”
Han Han menjadi girang akan
tetapi juga bingung. Dia percaya penuh kepada nenek ini, seorang berkepandaian
tinggi luar biasa dan berwatak angkuh, tentu tidak sudi membohong. Yang penting
baginya, Lulu sudah bebas dan perkara mencarinya adalah urusannya sendiri. Maka
ia cepat memberi hormat, kemudian tubuhnya mencelat pergi dari tempat itu.
Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya yang ia dapat dari Khu
Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia pandai menghilang dan
lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat ini, Nenek Maya
menghela napas panjang penuh kagum.
***
Biarpun Han Han dapat
mempercayai keterangan Nenek Maya bahwa adiknya telah terbebas dari dalam
tahanan ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan, namun ia masih tidak
tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan melakukan penyelidikan dengan
bertanya-tanya tentang peristiwa itu. Tentu saja berita penyerbuan itu
menggegerkan kota raja dan hampir setiap orang yang ditanyainya dapat
menceritakannya. Akan tetapi, seperti biasa berita yang merupakan berita angin
dari mulut ke mulut, setiap orang mempunyai cerita yang berbeda, dan tidak
seorang pun di antara mereka dapat memberitahukan secara jelas, juga tidak ada
yang tahu ke mana perginya Lulu yang ikut pula melarikan diri dari tahanan
bersama para tahanan lain ketika murid-murid In-kok-san (Lembah Awan) itu
datang menyerbu.
Han Han menjadi bingung dan
tidak mengerti kalau ia teringat akan adiknya. Bukankah menurut keterangan Lauw
Sin Lian, adiknya itu telah menjadi anak angkat mendiang Lauw-pangcu dan telah
memihak para pejuang? Akan tetapi dia berjumpa dengan Lulu di Se-cuan sebagai
seorang pemimpin pasukan Mancu! Kemudian mendengar Lulu ditangkap oleh Puteri
Nirahai dan menjadi tawanan, sekarang ditolong oleh murid-murid In-kok-san.
Sebenarnya, di fihak manakah Lulu berdiri? Benar-benar membingungkan dan mau
tidak mau Han Han tersenyum sendiri kalau mengingat ucapan Nenek Maya bahwa
Lulu sudah banyak membikin pusing! Benar-benar anak nakal adiknya itu! Akan
tetapi senyumnya lenyap terganti awan duka kalau ia teringat akan pertemuannya
yang terakhir dengan Lulu. Adiknya itu tentu membencinya! Lulu, aku harus dapat
menemukanmu dan memberi penjelasan, minta maaf, demikian jerit hatinya dan
pemuda ini mengambil keputusan untuk pergi menyelidik ke In-kok-san, di
Pegunungan Tai-hang-san. Adiknya dibebaskan oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo dan
dia sendiri tidak tahu mengapa murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu istana
sedangkan guru mereka sendiri berada di istana membantu Kerajaan Mancu.
Satu-satunya jalan untuk membongkar rahasia ini dan bertanya kepada bekas
suheng-suheng dan suci-sucinya itu di mana adanya Lulu, hanya pergi mengunjungi
mereka! Selain hendak mencari Lulu atau kalau adiknya tidak berada di sana,
bertanya kepada mereka ke mana perginya adiknya, juga Han Han ingin mengunjungi
kuburan kakeknya, yaitu Jai-hwa-sian Suma Hoat dan ingin menyelidik tentang
riwayat nenek moyangnya. Hidupnya selalu dirundung malang, dimusuhi sana-sini,
selalu sengsara dan menderita tekanan batin, agaknya hal ini semua terjadi
karena darah keturunannya. Hidupnya seperti hukuman, dan agaknya memang hukuman
karena dosa-dosa nenek moyangnya!
Di sepanjang perjalanannya
yang jauh itu, Han Han selalu merasa hatinya tertindih kedukaan. Kalau ia
renungkan dan ingat-ingat, apalagi di waktu ia menghentikan perjalanan karena
malam gelap dan ia duduk mengaso di bawah pohon, terbayanglah di depan matanya
wajah Kim Cu yang berkepala gundul dan sinar matanya penuh duka, terganti wajah
Lu Soan Li yang telah mengorbankan nyawa untuknya, kemudian bermunculan wajah
Lauw Sin Lian, Tan Hian Ceng, di antara bayangan wajah Lulu dan yang terakhir
Puteri Nirahai! Diam-diam ia mengeluh! Mengapa Kim Cu dan Soan Li berkorban
untuknya? Mengapa mencintanya? Dan Hian Ceng....! Ah, dia, seorang yang buntung,
yang tidak patut mendampingi gadis-gadis cantik jelita itu, mengapa justeru dia
yang mereka cinta? Bukankah hal ini merupakan hukuman baginya, hukuman karena
dosa-dosa nenek moyangnya, terutama sekali kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat?
Han Han mengeluh di dalam
hatinya. Mengapa dia, yang sudah terang merupakan seorang pemuda berkaki
buntung, bercacad sehingga tidak patut mendampingi seorang wanita, apalagi
gadis-gadis cantik seperti mereka itu, kini selalu mengenangkan mereka? Tidak,
tidak boleh sama sekali! Apakah hal inipun merupakan penyakit baginya,
penyakit turunan sehingga ia tidak pernah mampu mengusir bayangan
wanita-wanita cantik itu? Apakah dia pun termasuk seorang yang memiliki darah
kakeknya, darah seorang pria yang mata keranjang? Kembali Han Han mengeluh
panjang dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, berusaha untuk melupakan
semua itu dan untuk tidur. Dia harus menggunakan kekuatan kemauannya untuk
melupakan bayangan-bayangan wajah ayu itu, kecuali bayangan wajah Lulu,
adiknya!
Tentu saja pemuda yang
bernasih malang ini tidak tahu bahwa dia sama sekali bukan menderita penyakit,
bukan pula mata keranjang, melainkan dia pun seorang manusia biasa. Karena
usianya sudah dewasa, tentu saja daya tarik lawan kelamin makin kuat dan tanpa
disadarinya, berahinya terhadap wanita pun makin menguat. Hal ini adalah wajar
dan bahkan sudah semestinya demikian. Hanya karena pemuda ini telah mengalami
hal-hal yang melukai hatinyai melihat pengorbanan Kim Cu dan Soan Li untuk
dirinya, ditambah pengetahuan bahwa kakeknya seorang penjahat cabul pemerkosa
wanita, maka ia mengekang rasa tertarik terhadap wanita ini yang dianggapnya
sebagai semacam penyakit dan ia menyalahkan darah keturunannya!
Ketika ia tiba di lereng
Pegunungan Tai-hang-san, Han Han memandang sekeliling dan menghirup hawa
segar, hatinya agak terharu mengingat betapa dahulu, sepuluh tahun lebih yang
lalu, ia tinggal di daerah ini sebagai murid In-kok-san! Teringatlah ia akan
Kim Cu yang semenjak menjadi saudara seperguruan, selalu bersikap amat baik
terhadapnya. Memang belum lama ini dia kembali ke In-kok-san, akan tetapi sebagai
tawanan Toat-beng Ciu-sian-li sampai kakinya dibuntungi, dan dalam keadaan
seperti itu ia tidak dapat menikmati keindahan alam dan tidak terkenang akan
masa kanak-kanak dahulu. Kini ia berdiri termenung dan barulah ia sadar kembali
ketika ia mendengar gerakan kaki manusia. Ketika ia menengok, ia melihat dua
orang laki-laki menggotong sebuah joli yang tertutup tirai sutera. Cepat Han
Han menyelinap ke belakang pohon karena ia melihat berkelebatnya bayangan empat
orang yang bergerak cepat sekali, seolah-olah mempunyai niat buruk terhadap
joli yang digotong oleh dua orang itu.
Setelah joli yang digotong
lewat dan empat bayangan itu dekat, Han Han makin tertarik. Ia mengenal empat
orang pemuda tampan itu. Mereka adalah bekas-bekas suhengnya, murid-murid
Ma-bin Lo-mo atau murid-murid In-kok-san! Mau apakah mereka mengikuti joli
sambil bersembunyi dan siapa pula yang duduk di dalam joli? Tadinya, melihat
sikap mereka yang mengancam, ingin Han Han memperingatkan orang yang duduk di
dalam joli, akan tetapi ia segera menekan kehendak hati ini dengan kesadaran
betapa ia selalu mendatangkan salah faham dan keributan setiap kali turun
tangan. Dia tidak akan mencampuri urusan yang belum diketahuinya benar. Maka
Han Han hanya menyelinap dan mengikuti empat orang pemuda itu sambil
bersembunyi, menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat-tempat tersembunyi
sambil mengintai. Agaknya dua orang penggotong joli itu hanyalah memiliki
tenaga kasar saja, hanya kuat untuk menggotong joli dan melakukan perjalanan
jauh, akan tetapi tidak memiliki kepandaian. Buktinya, mereka berdua ini sama
sekali tidak tahu bahwa ada empat orang yang kini membayangi dari dekat.
Kini empat orang murid
In-kok-san itu bergerombol di balik semak-semak, berbisik-bisik kemudian mereka
mengayun tangan ke arah joli. Han Han terkejut sekali melihat sinar-sinar
terang menyambar ke arah joli. Kiranya mereka itu telah menyerang joli dengan
senjata-senjata rahasia. Jarum, piauw, dan uang logam beterbangan dengan jitu
menyambar dan menerobos tirai sutera joli! Han Han membuka mata lebar-lebar
karena tidak terdengar apa-apa dari dalam joli, bahkan beberapa detik,
senjata-senjata kecil itu beterbangan menyambar dari dalam joli, kembali kepada
empat orang penyerangnya secara cepat sekali, jauh lebih cepat dan kuat
luncurannya daripada sambitan empat orang murid In-kok-san tadi! Han Han kagum
dan juga merasa geli hatinya menyaksikan betapa empat orang itu berseru kaget
dan kacau-balau mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka sendiri
sedangkan dua orang penggotong joli itu agaknya tidak tahu apa yang terjadi dan
terus melangkah maju menggotong joli.
Empat orang murid In-kok-san
itu agaknya penasaran dan marah sekali. Mereka berempat lalu melompat keluar
dari batik semak-semak, dan mencabut senjata sambil berseru keras mereka
berempat itu menerjang ke arah joli. Dua batang pedang dan dua batang golok
menyambar dan menusuk ke arah tirai sutera joli itu, terdengar kain robek
ketika empat batang senjata runcing dan tajam itu menembus tirai menusuk ke
dalam joli. Dua orang penggotongnya baru kaget, melepaskan joli dan menjatuhkan
diri berlutut. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati
empat orang murid In-kok-san itu ketika senjata mereka memasuki joli yang
kosong....! Hanya Han Han yang melihat betapa ada bayangan berkelebat cepat
sekali keluar dari joli dari sebelah sana dan bayangan itu kini telah meloncat
dan berdiri di atas cabang pohon sambil tersenyum mengejek. Ketika ia
memandang, kiranya bayangan itu bukan lain adalah Puterai Nirahai yang cantik
jelita!
Kekaguman Han Han makin meningkat.
Dapat menangkap serangan am-gi (senjata gelap) dari dalam joli dan
mengembalikannya tanpa membuka tirai sudah merupakan kepandaian luar biasa,
kini dapat menghindarkan diri dari serangan dengan cara secepat itu hanya
dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat
tinggi! Empat orang muda itu adalah murid-murid Ma-bin Lo-mo yang tentu saja
bukan merupakan jago-jago muda sembarangan, namun mereka kini berdiri bingung
dan barulah mereka menggerakkan senjata dibarengi meluncurnya tubuh wanita
jelita itu dari atas pohon menyambar ke arah mereka!
“Trang-trang-trang-trang....!”
Dua batang pedang itu terlempar ke kanan kiri, disusul robohnya empat orang
muda itu dalam keadaan tertotok lemas dan rebah di atas tanah. Hanya mata
mereka saja yang mampu memandang melotot penuh kebencian kepada Nirahai yang
tersenyum lebar.
“Untung bagi kalian bahwa aku
datang membawa tugas perdamaian dan persahabatan. Kalau tidak, apakah kalian
dapat mengharap masih dapat hidup di saat ini?” Setelah berkata demikian,
Nirahai memasuki jolinya yang sudah robek-robek tirainya itu, memberi isyarat
kepada dua orang penggotongnya. Dua orang itu bergegas menggotong joli dan
cepat-cepat pergi dari situ, sedangkan dari balik tirai sutera yang robek-robek
itu, Han Han dapat melihat wajah cantik jelita itu mengerling ke arah empat
orang murid In-kok-san sambil tersenyum manis.
Bukan main, pikir Han Han.
Puteri itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali! Lebih hebat
daripada kepandaian datuk-datuk yang pernah ia lawan. Tentu akan merupakan
lawan yang amat tangguh! Ia kagum akan kecantikannya yang mempesonakan, akan
persamaannya dengan patung Puteri Maya di Pulau Es, akan kepandaiannya yang
hebat dan akan sikapnya yang angkuh dan agung terhadap empat orang murid
In-kok-san yang sudah jelas menyerang dengan maksud membunuhnya tadi.
Dengan tenang Han Han lalu
menghampiri empat orang murid In-kok-san yang masih rebah tak berdaya di atas
tanah. Mereka itu memandang terbelalak ketika mengenal Han Han. Pemuda berkaki
buntung ini lalu menggerakkan tongkatnya, empat kali tongkatnya bergerak
menotok dan ia telah berhasil membebaskan empat orang muda itu yang cepat
meloncat bangun dan berdiri di depan Han Han.
“Engkau.... Han Han-sute....!”
Seorang di antara mereka yang bernama Song Biauw berkata.
Han Han mengangguk. “Mengapa
kalian menyerang dia?”
Empat orang itu memandang ke
arah perginya joli itu dan Song Biauw berseru marah, “Iblis betina itu sungguh
lihai! Dialah biang keladi segala kesengsaraan!” Kemudian ia menoleh kepada Han
Han. “Kami sudah mendengar bahwa engkau sekarang menjadi seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, sute! Marilah kaubantu kami membunuh iblis betina itu!”
Han Han tersenyum dan
menggeleng kepala. Dia terharu bahwa empat orang ini masih menyebutnya “sute”,
kemudlan ia bertanya, “Ma-bin Lo-mo sendiri membantunya, mengapa kalian memusuhi
puteri yang mewakili kerajaan itu?”
“Ma-bin Lo-mo iblis tua juga
akan kami basmi!” bentak seorang murid In-kok-san dengan muka merah penuh kebencian.
Han Han diam-diam terkejut.
“Eh, mengapa kalian memusuhi suhu kalian sendiri? Kalau kalian memusuhi
Kerajaan Mancu, hal ini aku tidak heran.”
“Hemmm, agaknya kau belum mendengar
akan peristiwa busuk yang menjadi rahasia iblis tua itu, Han-sute? Engkau
tentu sudah tahu bahwa kami semua murid In-kok-san adalah orang-orang yatim
piatu....”
“Aku tahu, orang tua kalian,
seperti juga orang tuaku, terbunuh oleh pasukan Mancu....” kata Han Han.
“Bukan!” Song Biauw memotong
cepat sambil menggoyang tangan. “Mungkin orang tuamu terbunuh oleh pasukan Mancu,
akan tetapi orang tua kami semua sama sekali tidak terbunuh oleh pasukan Mancu,
melainkan dibunuh secara diam-diam oleh Ma-bin Lo-mo!”
“Heeehhhhh....?” Han Han
benar-benar terkejut sekali mendengar ini.
“Iblis tua bangka yang busuk
itu! Dia dahulunya memusuhi penjajah Mancu, dan untuk dapat membentuk pasukan
kuat, dia sengaja memilih anak-anak yang berbakat baik, menggunakan keadaan
yang kacau membunuhi orang tua kami dan kemudian menolong kami dengan
pernyataan bahwa orang tua kami dibunuh orang-orang Mancu. Kami masih terlalu
kecil untuk mengerti akan tipu muslihatnya ini. Akhir-akhir ini dia menjadi
penjilat Mancu sehingga kami merasa heran sekali dan akhirnya kami dapat
mengetahui rahasianya yang membocor dari istana. Tentu saja kami menjadi sakit
hati kepadanya sehingga kami bersumpah selain memusuhi penjajah, juga akan
membunuh bekas guru yang juga pembunuh orang tua kami itu!”
Han Han mengangguk-angguk.
Baru sekarang ia mengerti mengapa murid-murid In-kok-san menyerbu kota raja.
“Jadi kalian menyerbu kota raja, membebaskan tawanan-tawanan, juga dengan maksud
untuk mengacau kota raja dan sekalian mencari Ma-bin Lo-mo?”
Song Biauw berseri wajahnya.
“Kau sudah mendengar akan penyerbuan itu? Kami kehilangan belasan orang
saudara, akan tetapi kami berhasil membebaskan banyak tawanan. Kini
saudara-saudara kami sebagian sudah menyeberang ke Se-cuan, maka kami mendengar
bahwa engkau telah membantu perjuangan dan bahkan menjadi panglima di Se-cuan.
Kami yang masih tinggal di sini, mendengar bahwa puncak Tai-hang-san akan
dijadikan tempat pertemuan antara pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka
kami menghadang di sini untuk menyerang Ma-bin Lo-mo. Tadi ketika kami tahu
bahwa Puteri Nirahai iblis betina itu datang, kami segera menyerangnya. Siapa
tahu dia luar biasa lihainya!”
Han Han menggeleng-geleng
kepala. “Kalian ini bernafsu besar dan bercita-cita muluk, akan tetapi kalian
bukanlah lawannya, bahkan kalian berempat takkan mampu mengalahkan Ma-bin
Lo-mo.”
“Masih ada lima orang saudara
kami di bawah!” Song Biauw membentak.
Han Han menghela napas. “Aku
tidak akan mencampuri urusan kalian. Kebetulan aku bertemu dengan kalian di
sini karena memang aku ingin sekali bertanya. Ketika kalian menyerbu kota raja
membebaskan para tawanan, terdapat pula adikku Lulu yang ikut melarikan diri.
Di manakah dia sekarang?”
“Ohhhh.... dia? Puteri Mancu
itu? Wah, dia hebat sekali!” kata Song Biauw dan tiga orang saudaranya
mengangguk-angguk. “Hanya karena bantuan dia maka kami dapat menyelamatkan
diri keluar dari kota raja, dan hanya belasan orang yang gugur. Agaknya iblis
betina Nirahai sehdiri segan untuk bersikap keras setelah dia turun tangan
membantu kami. Jadi dia adikmu, Han-sute? Ah, sungguh menyesal sekali, kami
tidak tahu ke mana dia pergi karena begitu kami semua berhasil keluar dari
kota raja, dia menghilang.”
Han Han menghela napas
panjang. Dia sudah menduga akan hal ini. Adiknya itu terlalu keras kepala,
keras hati dan ingin bebas, tentu saja tidak mau bersatu dengan orang-orang
ini. Entah ke mana sekarang “terbangnya” bocah itu!
“Sudahlah, aku akan mencarinya
sendiri. Kunasihati saja agar kalian tidak terburu nafsu mengandalkan
kepandaian. Ma-bin Lo-mo lihai sekali, juga bekas guru kalian itu mempunyai
banyak kawan yang lihai. Kalau memang kalian ingin berjuang, tempat kalian
adalah di Se-cuan di mana dapat dihimpun kekuatan untuk menghadapi musuh. Nah,
selamat berpisah!” Han Han menggunakan kepandaiannya, sekali mencelat ia telah
berkelebat lepyap dari depan empat orang itu yang memandang terbelalak, menengok
dan mencari-cari ke sana ke mari kemudian saling pandang dengan melongo. Sukar
mereka percaya bahwa pemuda yang kakinya hanya tinggal sebuah itu dapat
bergerak secepat itu.
Sambil berloncatan, Han Han
berpikir. Pertemuan di puncak Tai-hang-san? Pertemuan apakah itu? Apa pula
yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai yang lihai dan cerdik luar biasa itu?
Ia tertarik sekali, apalagi dia mengharapkan bahwa Lulu akan hadir pula di
pertemuan aneh itu. Dengan penuh harapan, Han Han lalu mendaki puncak
Tai-hang-san, akan tetapi memilih jalan yang sunyi karena dia tidak mau
mengunjungi pertemuan itu secara berterang. Dia tidak mau melibatkan diri, dan
keinginan satu-satunya pada saat itu hanyalah mencari adiknya, Lulu. Ia pun
bergidik kalau teringat akan cerita bekas saudara-saudara seperguruannya tadi
akan kekejian hati Ma-bin Lo-mo. Kiranya kakek iblis itu hendak membentuk
pasukan terdiri dari murid-muridnya yang mengandung hati dendam kepada
pemerintah Mancu dengan cara membunuhi orang tua dan keluarga calon para
muridnya secara diam-diam, kemudian menolong calon murid itu dan mengatakan
bahwa keluarga si murid dibasmi orang Mancu. Cara mengobarkan anti Mancu yang
amat curang, licik dan keji. Lebih menjijikkan lagi, setelah melakukan
perbuatan yang tidak mengenal prikemanuslaan itu, akhirnya kini Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Ciu-sian-li malah membalik, mengkhianati perjuangan sendiri dan
menjadi kaki tangan Mancu!
Makin dikenang, makin sakit
rasa hat Han Han. Bukankah kedua orang nenek dan kakek itu merupakan
orang-orang terakhir di dunia ini yang masih “berbay” keluarga nenek moyangnya
sendiri? Merupakan orang-orang yang masih ada hubungan dengan keluarga Suma
yang terkenal jahat di masa lalu? Teringatlah ia akan cerita yang didengarnya
dari mulut Ma-bin Lo-mo sendiri ketika ia masih menjadi murid In-kok-san di Pegunungan
Tai-hang-san ini. Arca yang dipuja di In-kok-san adalah arca Suma Kiat, guru
Ma-bin Lo-mo atau ayah dari Suma Hoat Si Dewa Cabul atau kong-kongnya sendiri!
Jadi Ma-bin Lo-mo adalah murid dari kakek buyutnya. Adapun nenek iblis
Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang selir dari kakek buyutnya itu! Hemmm, baru
murid dan selir saja sudah merupakan dua orang iblis yang kejahatannya sukar
dicari bandingnya! Dapat dibayangkan betapa luar biasa jahat dan kejinya
keluarga Suma itu sendiri! Pantaslah kalau dia, sebagai keturunan keluarga
Suma, kini selalu hidup merana dan menderita sengsara, agaknya Thian telah
menghukumnya atas dosa-dosa yang dilakukan nenek moyangnya!
Setelah Han Han tiba di puncak
Tai-hang-san, di lembah In-kok-san, dari jauh ia sudah melihat banyaknya orang
yang berkumpul di situ. Ia cepat menyelinap dan berindap-indap mendekati
pekarangan lebar di mana berkumpul banyak orang yang duduk di bangku-bangku
membentuk lingkaran. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah tua dan
bersikap penuh wibawa. Para tamu itu menghadapi fihak tuan rumah yang merupakan
rombongan yang duduk di atas bangku-bangku di depan pondok dan mereka ini
adalah Puteri Nirahai sendiri yang ditemani oleh Ma-bin Lo-mo sebagai pemilik
In-kok-san tempat mereka mengadakan pertemuan, Toat-beng Ciu-sian-li,
Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang lihai,
Thian Tok Lama dan Thian Li Lama!
Han Han yang bersembunyi dekat
tempat itu dapat melihat jelas dan sebagian di antara para tamu ada yang telah
dikenalnya. Dari fihak Siauw-lim-pai hadir Ceng To Hwesio penjaga kuil
Siauw-lim-si yang menjadi sute Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai ditemani dua
orang kakek yang setelah Han Han ingat-ingat ternyata ia mengenalnya sebagai
dua orang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam). Dahulunya tiga
pendekar itu adalah Khu Ceng Tiam kakek yang pendek kecil itu, Liem Sian yang
tinggi besar, dan orang ke tiga adalah seorang wanita cantik Bhok Khim yang telah
diperkosa Gak Liat Si Setan Botak dan bahkan yang terakhir bertemu dengan Han
Han ketika wanita yang menjadi gila itu membobol kamar penyiksa diri di
Siauw-lim-pai dan melarikan diri membawa anaknya. Han Han merasa heran mengapa
dalam pertemuan penting ini, hanya Ceng To Hwesio dan dua orang tokoh
Siauw-lim-pai bukan pendeta ini yang hadir. Mengapa lima orang tokoh Siauw-lim
Chit-kiam tidak hadir pula?
Han Han memperhatikan terus
para tokoh yang hadir sebagai tamu. Ia melihat pula tokoh-tokoh Hoa-san-pai
yang merupakan tosu-tosu tingkat tiga, tiga orang tosu galak yang pernah
bentrok dengan dia dahulu, yaitu Lok Seng Cu dan Bhok Seng Cu, agaknya tiga
orang kakek ini mewakili guru mereka, ketua Hoa-san-pai untuk hadir di
In-kok-san ini.
Selain kedua rombongan wakil
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, masih banyak terdapat wakil-wakil dari
partai-partai persilatan lain, bahkan di antara mereka pula orang-orang dari
Pek-lian Kai-pang, dan tokoh-tokoh pejuang yang pernah ia jumpai di Se-cuan.
Kini dia memperhatikan Nirahai dan makin kagumlah hati Han Han. Benar-benar
ampt hebat gadis itu.
Masih amat muda, wajahnya
cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang demikian lembut seperti setangkai
mawar yang bergoyang-goyang perlahan terhembus angin, kadang-kadang
membayangkan kekerasan yang melebihi baja pilihan. Semuda dan secantik itu
telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan kini mengumpulkan para tokoh
perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan yang jelas merupakan
musuh-musuh besarnya. Demikian beraninya gadis ini! Apa kehendaknya
mengumpulkan para pejuang yang bagi puteri itu tentu dianggap pemberontak-pemberontak
ini? Diam-diam Han Han merasa khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan
ahli siasat yang pandai mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah
dikumpulkan di sini, para pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan
dibasmi! Han Han berlaku waspada dan siap sedia. Kalau benar seperti itu
siasat Nirahai, biarpun dia sendiri tidak peduli lagi akan perang, terpaksa
dia akan turun tangan menentang kecurangan besar ini!
Pada saat itu, agaknya semua
tamu telah mengambil tempat duduk dan terdengarlah suara lantang akan tetapi
merdu dari mulut Puteri Nirahai. Han Han memandang penuh perhatian dan mendengarkan
dari tempat sembunyi. Ia menjadi heran mendengar suara gadis jelita itu,
karena biarpun gadis itu bukan berbangsa Han, akan tetapi suaranya sama sekali
tidak kaku, bahkan kata-katanya teratur dengan rapi, tanda bahwa gadis itu
memiliki pengertian yang baik tentang kesusastraan.
“Atas nama Kerajaan Ceng-tiauw
yang jaya, kami yang bertugas sebagai wakil kaisar dalam hal ini, menghaturkan
banyak terima kasih kepada para locianpwe dan para enghiong yang telah sudi
memenuhi undangan kami untuk datang berkumpul dan bersama-sama menciptakan
perdamaian, persahabatan dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat jelata!”
Han Han mendengarkan dengan
kagum. Puteri itu benar hebat. Selain kata-katanya terdengar rapi teratur, juga
nadanya membujuk dan memuji-muji orang gagah, suaranya mengandung dasar
ketenangan sehingga amat menarik perhatian mereka yang mendengarnya.
Selanjutnya, secara singkat namun padat dan dengan kata-kata teratur baik,
puteri itu menjelaskan mengapa pemerintah Kerajaan Mancu mengulurkan tangan
untuk mengajak damai dengan para orang gagah, terutama dengan partai-partai
besar. Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan menderita sengsara akibat
perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang menyengsarakan itu dilanjut-lanjutkan?
Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan untuk membangun demi kesejahteraaan
hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah Ceng yang jaya dan yang memang sudah
ditentukan oleh Thian untuk memimpin rakyat jelata mencapai kemakmuran.
Sejam lebih puteri itu bicara
dengan lancar dan tidak membosankan para pendengarnya. Wajah itu demikian
cantik jelita seperti setangkai mawar sedang mekar dengan segarnya, siapakah
yang tidak terpikat dan siapakah yang akan bosan memandang? Sepasang mata itu
berkilat-kilat penuh semangat dan gairah hidup, bibir yang bergerak-gerak
ketika bicara itu demikian manis, semanis kata-kata yang keluar secara teratur
dan indah, seolah-olah gadis itu bukan sedang berpidato melainkan sedang
mendeklamasikan sajak-sajak indah!
Tubuhnya agak bergoyang,
sesuai dengan sikap kewanitaannya, mengingatkan para pemandangnya akan batang pohon
yang-liu terhembus angin musim semi, meliak-liuk dengan lemas dan indahnya.
Setelah membeberkan rencana kerja pemerintah dan memberikan janji dengan sumpah
bahwa pemerintah tidak akan mengganggu hak milik para tuan tanah dan tidak akan
mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras rakyat dengan pajak berat seperti
yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar dahulu, berjanji pula akan
menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan rakyat, menumpas para
pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih memberontak, terdengar puteri
jelita itu berkata.
“Hendaknya cu-wi sekalian
tidak membesar-besarkan perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya merupakan bangsa
yang besar, dan jangan terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan
oleh para pemberontak. Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan suku bangsa-suku
bangsa yang menjadi bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih ingat akan nama
seorang pahlawan dan pendekar yang tiada bandingnya selama sejarah berkembang.
Siapa yang tidak pernah mendengar nama julukan pendekar besar Suling Emas?
Siapa pula yang tidak tahu akan sepak terjangnya, yang tidak memperbedakan
bangsa, yang bahkan menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan suku
bangsa-suku bangsa menjadi bangsa yang besar? Bahkan sesungguhnya bangsa-bangsa
pun hanya merupakan perpecahan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri karena
sesungguhnya, tanpa adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua manusia di empat
penjuru lautan adalah saudara, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Kong Hu
Cu bahwa “Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya!” (Di Empat Penjuru Lautan Adalah
Saudara). Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa andaikata Pendekar
Sakti Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan menyetujui persatuan
di antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri Nirahai, tidak membohong
dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling Emas, hendaknya cu-wi
sekalian suka memandang pusaka ini!” Tangan Puteri Nirahai bergerak dan
berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata. Ternyata sebatang suling
emas telah berada di tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di atas
kepala.
“Suling Emas....!” Banyak
mulut mengucapkan kata-kata ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang
tadinya masih ragu-ragu, baru setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri
Nirahai, kini menjadi tunduk benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat
itu berada di tangan sang puteri. Biarpun orangnya sudah puluhan, bahkan
ratusan tahun tidak ada, namun nama besar Suling Emas dikenal oleh semua orang
gagah di dunia kang-ouw, dan karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang
menjadi kagum dan tunduk.
Puteri jelita itu tersenyum
girang menyaksikan sikap para orang gagah itu dan ia melanjutkan.
“Selain memiliki pusaka
keramat ini, juga terus terang saja tanpa maksud membanggakan dan menyombongkan
diri, saya berani mengaku bahwa saya adalah seorang yang mewarisi ilmu dari
pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam. Melihat hubungan saya dengan Suling Emas
dan Mutiara Hitam, masih perlukah diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat
buruk terhadap cu-wi sekalian, orang-orang gagah di dunia kang-ouw?”
Semua orang makin tunduk dan
keadaan sejenak menjadi hening. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ceng To
Hwesio wakil Siauw-lim-pai, suaranya tenang namun mengandung wibawa dan suara
itu menggetarkan jantung karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang,
“Omitohud....! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat benar dan melihat senjata
keramat itu, siapakah yang tidak akan tunduk? Siapakah pula orangnya di dunia
ini yang menghendaki perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan kepada
rakyat jelata? Akan tetapi, Kouwnio, pinceng ingin sekali mengetahui, kalau
benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapakah dua orang
murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua di antara
Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh?”
Semua orang menjadi tegang
hatinya mendengar ini, apalagi ketika Lok Seng Cu, orang pertama dari tiga
orang tokoh Hoa-san-pai, berkata nyaring.
“Tepat sekali apa yang
diucapkan oleh Ceng To Hwesio. Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa tokoh
besar Siauw-lim-pai dibunuh kemudian kesalahannya ditimpakan kepada Hoa-san-pai
dengan jalan melemparkan fitnah?”
Suasana menjadi makin tegang.
Apalagi bagi Han Han yang mengintai dari tempat persembunyiannya, karena dia
sebagai orang luar mengetahui benar akan fitnah itu yang menjadi siasat licin
Nirahai, bahkan dia terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda buntung ini
mendengarkan penuh perhatian dan seperti orang-orang yang hadir di situ, ia pun
memandang ke arah Puteri Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban
puteri itu.
Semua orang tercengang dan
terheran melihat puteri cantik itu tetap tenang, bahkan kini tersenyum manis,
sedikit pun tidak menjadi gugup menghadapi pertanyaan dari fihak Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai yang merupakan serangan hebat itu. Puteri itu memandang tajam
ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan
tenang.
“Maaf, Losuhu. Sebelum saya
menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang
sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar
Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan
terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar
ketentuan pertandingan. Akan tetapi, di dalam keadaan perang, terdapat istilah
siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk
menjebak fihak musuh dapat disebut curang pula?”
“Siasat dalam perang bukahlah
kecurangan,” jawab Ceng To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah
yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang itu curang?
“Terima kasih,” kata Nirahai
sambil tersenyum. “Pertanyaan ke dua, kalau seorang perajurit dalam perang
membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di fihak musuh itu, apakah
dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?”
“Tentu saja tidak,” jaweb pula
Ceng To Hwesio. “Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya.”
Kini Nirahai tersenyum manis
sekali, sepasang matanya berseri-seri dan suaranya merdu dan nyaring, “Terima
kasih Losuhu. Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan tidak dapat
dibantah oleh siapa pun juga. Nah, sekarang terjawablah pertanyaan-pertanyaan
Losuhu sebagai wakil Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai wakil Hoa-san-pai.
Sesungguhnya, saya yang kini mendapat kehormatan memegang pusaka keramat dari
pendekar sakti Suling Emas, dan mengaku sebagai ahli waris ilmu-ilmu pusaka
Mutiara Hitam, seujung rambut pun tidak mempunyai rasa permusuhan, apalagi
kebencian terhadap para orang gagah di dunia kang-ouw. Sebaliknya, saya bahkan
menaruh hormat dan kagum. Akan tetapi mengapa saya membunuh dua orang tokoh
Siauw-lim-pai? Karena tugas saya, tugas seorang perajurit kerajaan Ayahanda Kaisar!
Dan mengapa pula saya menggunakan fitnah kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat
untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Karena tugas saya
sebagai panglima dalam perang! Semua yang saya lakukan itu demi tugas dan
terjadi dalam perang. Permusuhan dalam perang bukanlah permusuhan pribadi,
karena kalau peristiwa yang timbul sebagai akibat perang lalu dijadikan dendam
pribadi, saya kira di dunia ini akan terjadi dendam-mendendam yang tiada
habisnya! Saya harap saja Losuhu wakil Siauw-lim-pai dan Totiang wakil
Hoa-san-pai dapat menerima penjelasan saya ini yang keluar dari hati, bukan
sekedar alasan kosong untuk menghindarkan diri dari kesalahan.”
Semua orang yang mendengar
ucapan puteri itu diam-diam terpaksa harus membenarkannya. Akan tetapi
tiba-tiba seorang kakek yang berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han Han dapat
menduga bahwa kakek ini tentulah seorang anggauta Pek-lian Kai-pang, yang
dengan sikap gagah berkala lantang.
“Semua uraian Kouwnio memang
tepat dan sebagai orang-orang gagah kita harus dapat menangkap kebenarannya.
Sudah menjadi hak dan kewajiban Kouwnio untuk bertugas membela bangsa dalam
perang, dan hal ini memanglah kewajiban suci orang gagah. Akan tetapi, kami
pun, orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kepahlawanan, kami berkewajiban
pula untuk membela negara dan bangsa, menentang penjajah tanah air dari bangsa
asing! Kalau sekarang kami menyetujui uluran tangan pemerintah Mancu untuk
bekerja sama, bukankah hal itu berarti hendak menyeret kami patriot-patriot
gagah menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah dan hina?”
Semua mata orang gagah yang
hadir di situ mengeluarkan sinar bersemangat, dan Han Han makin tertarik, ingin
sekali mendengar bagaimana tangkisan puteri yang cerdik itu terhadap serangan yang
amat hebat ini. Akan tetapi puteri itu tersenyum dan tetap tenang saja. Setelah
memandang ke arah penyerangnya dengan sinar mata tajam, ia lalu menjawab.
“Pertanyaan Lo-enghiong
mengandung beberapa hal yang perlu saya jawab satu demi satu. Pertama, Lo-enghieng
menyatakan bahwa tanah air dijajah oleh bangsa asing! Manakah bangsa asing?
Bangsa kita yang besar mempunyai puluhan suku bangsa, di antaranya suku bangsa
Khitan, Mongol, Mancu dan lain-lain suku bangsa yang tersebar di daerah utara
dan barat di tanah air kita yang luas. Jadi kalau sekarang negara berada di
dalam bimbingan tangan suku bangsa Mancu, tidak dapat dikatakan bahwa tanah air
dijajah bangsa asing! Di dalam catatan sejarah masih dapat diperiksa betapa
eratnya hubungan antara suku bangsa-suku bangsa ini. Kalau suku bangsa Mancu
dianggap bangsa asing, bagaimana dengan suku bangsa Khitan? Kalau Khitan
merupakan bangsa asing, apakah cu-wi sekalian hendak mengatakan bahwa pendekar
sakti Suling Emas memperisteri wanita asing? Apakah pendekar wanita Mutiara
Hitam juga berdarah bangsa asing, dan sekarang tidak tepat kalau dikatakan
bahwa kaisar yang bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar asing yang menjajah!
Lebih tepat dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil menghalau kaisar
lalim dan membebaskan rakyat jelata daripada penindasan!”
Semua orang saling pandang dan
kembali uralan itu sukar mereka jawab secara tepat karena memang mereka tidak
dapat memastikan benar apakah bangsa Mancu termasuk bangsa asing ataukah hanya
suku bangsa mereka yang besar!
“Sekarang hal ke dua. Tadi
Lo-enghiong mengatakan bahwa sudah menjadi tugas kewajiban seorang patriot
untuk membela bangsanya. Tepat sekali! Memang tugas seorang gagah perkasa,
seorang patriot untuk membela bangsanya yang tertindas, akan tetapi bukan
sekali-kali berarti bahwa seorang gagah harus membela kaisarnya yang lalim dan
menindas rakyat, bukan? Buktinya, jauh sebelum suku bangsa Mancu berhasil
menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang bobrok, telah banyak terjadi
pemberontakan-pemberontakan yang sebetulnya merupakan usaha dan perjuangan
para orang gagah untuk membela rakyat yang tertindas dan mengenyahkan kaisar
dan antek-anteknya yang lalim. Lo-enghlong sendiri kalau saya tidak salah duga,
tentulah anggauta Pek-lian Kai-pang dan apakah Pek-lian Kai-pang itu? Bukankah
perkumpulan orang gagah ini merupakan kelanjutan daripada Pek-lian-kauw,
perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti berusaha menggulingkan kaisar lalim
dari Kerajaan Beng-tiauw? Nah, dengan demikian, bukankah usaha suku bangsa Mancu
pun merupakan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat
penindasan Kerajaan Beng-tiauw yang tidak becus? Dengan demikian, antara kami
dengan cu-wi sekalian terdapat cita-cita yang sama, yaitu membebaskan rakyat
dari penindasan. Kita sama-sama pejuang dan karenanya sudah sepatutnya kalau
kita bergandengan tangan, bekerja sama untuk mengangkat rakyat yang sudah
ratusan tahun ditindas itu agar mereka hidup makmur!”
Han Han memandang dengan mata
terbelalak. Kagum bukan main hatinya. Wanita ini benar-benar luar biasa,
pikirnya dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memandang wajah yang cantik
itu. Getaran yang aneh seperti terpancar keluar dari wajah itu dan menyentuh
lubuk hatinya, membuat ia kagum dan terpesona.
Biarpun semua orang kini tak
mampu lagi berkutik, kakek pengemis yang berhati keras itu masih tidak mau
menyerah kalah. “Kouwnio, kalau benar bahwa kerajaan yang baru ini mengulurkan
tangan kepada para patriot, mengapa sampai sekarang Se-cuan diserang terus?
Bukankah Bu-ongya juga seorang patriot besar yang mengorbankan segalanya untuk
mempertahahkan nusa bangsanya?”
Wajah puteri itu yang tadinya
berseri dan tersenyum-senyum, kini berubah keras, matanya bersinar tajam
berwibawa, dan suaranya nyaring berkata, “Bu Sam Kwi sama sekali bukan seorang
pejuang yang membela rakyat! Dia berjuang untuk kepentingan sendiri, untuk
menjadi raja! Lebih buruk lagi, dia adalah pengkhianat yang bermuka dua!”
Semua orang terkejut mendengar
ini dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan marah dan penasaran. Melihat ini,
Nirahai cepat menyambung, “Hendaknya cu-wi sekalian jangan silau oleh tipuan
pengkhianat licik itu dan marilah kita ikuti riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya
siapa? Dia seorang panglima Kerajaan Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak
terhadap Kerajaan Beng-tiauw! Dengan dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw
yang lemah dan lalim, dia mengajak suku bangsa Mancu yang pada waktu itu
dipimpin oleh Paman Pangeran Dorgan untuk bersekutu. Setelah kami berhasil
menyerbu ke selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan muka ke dua dan memusuhi kami!
Dia tidak hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw, akan tetapi berkhianat pula
terhadap kerajaan baru! Orang macam itu mana ada harganya? Dia melawan kerajaan
baru semata-mata karena hendak mengangkangi kerajaan dan hendak mengangkat diri
sendiri menjadi raja, sama sekali bukan hendak membela rakyat! Hal ini
diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana sehingga kini Pangeran Kiu yang
diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang terhormat ini, Thian Tok Lama dan
Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet menerima uluran tangan kami. Bu
Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, membuat rakyat makin sengsara. Akan tetapi,
dia hanya tinggal menanti saatnya untuk kami hancurkan. Sekali lagi, harap
cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang yang bermuka dua itu!”
Hening sampai lama sekali
setelah Nirahai mengeluarkan ucapan yang penuh semangat ini. Kakek pengemis
mengeritkan keningnya, berpikir dan menjadi ragu-ragu akan pendiriannya
semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To Hwesio berkata.
“Bagaimana kami dapat
mengetahui bahwa pemerintah baru ini tidak sama buruknya dengan yang lama?
Apakah buktinya bahwa suku bangsa Mancu yang telah berhasil memegang pimpinan
ini mempunyai niat yang mulia terhadap rakyat?”
Kembali Nirahai tersenyum.
“Pertanyaan yang tepat dan penting, Losuhu dan jawabannya tentu saja memerlukan
bukti! Saya tidak akan membujuk cu-wi sekalian orang-orang gagah untuk percaya
begitu saja. Akan tetapi marilah kita sama-sama membuktikan sendiri! Saya pun
mempunyai darah keturunan keluarga Suling Emas, tanpa malu-malu saya pun
menggolongkan diri sebagai orang gagah. Andaikata kelak ternyata bahwa kaisar
kita lalim, biarpun kaisar itu Ayah saya sendiri, apakah saya akan tinggal
diam? Tidak, saya tetap akan bergandeng tangan dengan cu-wi untuk menentang
kelaliman dan membela rakyat yang tertindas!”
Terdengar sorakan gembira
menyambut ucapan ini dan Han Han menarik napas panjang. Wanita hebat! Sukar
dicari keduanya! Cantik jelita, lihai ilmunya dan cerdik bukan main, akan
tetapi juga gagah perkasa. Dia mau percaya bahwa seorang seperti Puteri Nirahai
itu tentu akan memegang janjinya.
“Baiklah, Kouwnio. Pinceng
sebagai wakil Siauw-lim-pai berjanji akin menarik semua murid Siauw-lim-pai,
tidak akan mencampuri urusan perang. Akan tetapi jangan dikira bahwa kami akan
menjadi penonton yang hanya berpeluk tangan saja. Kalau kelak ternyata bahwa
pemerintah ini sama buruknya dengan yang lalu, tentu kami akan mencabut senjata
lagi melakukan pembalasan terhadap rakyat yang tertindas!”
“Kami juga berjanji!”
“Kami juga!”
“Kami juga!”
Ramailah para tamu yang hadir
itu membuka suara, dan biarpun ada yang hanya tinggal diam, namun jelas bahwa
yang setuju untuk berdamai jauh lebih besar jumlahnya, sedangkan yang membantah
tidak ada seorang pun. Setelah semua diam terdengar Ceng To Hwesio berkata,
suaranya keren.
“Kouwnio, ada sebuah hal yang
dapat kita pergunakan untuk membuktikan sampai di mana iktikad baik pemerintah
baru.”
“Harap Losuhu katakan tanpa
ragu-ragu. Hal apakah itu?” Nirahai bertanya ramah.
“Pemerintah yang baik tidak
akan mempergunakan kaki tangan yang jahat, dan kalau memang pemerintah menghargai
orang-orang gagah, tentu tidak akan melindungi orang jahat pula.”
“Maksud Losuhu bagaimana?”
“Terus terang saja, biarpun
kini urusan pemerintah telah dapat diselesalkan dengan damai dan tidak
mencampuri perang, akan tetapi bagaimana dengan permusuhan pribadi?”
Sepasang mata itu dengan
tajamnya menyambar dan menentang wajah hwesio tua itu. “Maksud Losuhu? Ingat
bahwa semua yang saya lakukan dahulu adalah sebagai lawan dalam perang!”
Hwesio itu tertawa. “Kouwnio
agaknya salah mengerti. Dengar Kouwnio, sungguhpun Kouwnio telah membunuh dua
orangn murid Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah beres oleh
penjelasan Kouwnio tadi. Yang pinceng maksudkan adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat
yang kini menjadi pembantu Kouwnio!”
Nirahai melirik ke arah Gak
Liat lalu berkata sambil lalu, “Losuhu maksudkan bahwa antara Losuhu dan
Gak-locianpwe terdapat urusan pribadi?”
“Benar, Kouwnio. Urusan
pribadi yang tidak ada sangkut-pangkutnya dengan urusan perang, kejahatan
Kang-thouw-kwi terhadap murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus dengan
nyawa!”
Nirahai mengerutkan keningnya,
kemudian menggerakkan kedua pundak mengembangkan kedua lengan sambil berkata,
“Kita berada di antara para orang gagah. Pemerintah berpendirian untuk membasmi
kejahatan, untuk melindungi rakyat. Apabila di antara para orang gagah ada
dendam pribadi, tentu saja pemerintah mempersilakan mereka untuk menyelesaikan
urusan mereka tanpa campur tangan, bahkan kami berjanji untuk menjadi saksinya
agar penyelesaian urusan pribadi itu dilakukan dengan seadil-adilnya, tidak
ada pengeroyokan, tidak ada kecurangan!”
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali!
Sang Puteri benar-benar telah bersikap adil. Nah, orang-orang Siauw-lim-pai!
Kalau memang kalian mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita bereskan
sekarang juga!” Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan dengan
sikap menantang memandang kepada Ceng To Hwesio.
Ceng To Hwesio menggerakkan
lengan bajunya yang lebar. “Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal sebagai
seorang datuk kaum sesat, tentu tidak akan bersikap pengecut dan berani
mempertanggungjawabkan kedosaannya! Apakah engkau sudah merasa akan dosamu terhadap
Siauw-lim-pai?”
“Ha-ha-ha-ha! Dosa? Dosa itu
apakah? Kaumaksudkan murid wanita, seorang di antara Kang-lam Sam-eng itu?
Ha-ha! Itu kauanggap dosa?”
“Gak Liat, manusia berwatak
binatang! Siaplah engkau menghadapi pinceng! Sekaranglah, di depan para orang
gagah, kita membuat perhitungan!” Sambil berkata demikian, Ceng To Hwesio
melolos sabuknya dan sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna kuning
itu menjadi kaku seperti baja! Hal ini membuktikan betapa kuat sin-kang dari
hwesio tua ini dan semua tamu memandang dengan hati tegang.
Akan tetapi Gak Liat tertawa
bergelak, kemudian suara ketawanya itu tiba-tiba terhenti, matanya melotot memandang
hwesio itu dan terdengar suaranya bernada sombong.
“Hwesio bosan hidup! Engkau
siapakah? Kalau hendak membalas dendam, kenapa tidak Ceng San Hwesio ketuamu
saja yang maju menghadapi aku?”
“Tidak perlu ketua kami! Untuk
menghajar seekor anjing perlu apa menggunakan penggebuk besar? Pinceng Ceng To
Hwesio mewakili suheng untuk membalas dendam terhadap kebiadabanmu! Majulah,
Kang-thouw-kwi!”
“Susiok-couw (Paman Kakek
Guru), karena dia berdosa terhadap sumoi, biarkan teecu yang melayaninya!” Khu
Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng, menggerakkan cambuk besinya meloncat
maju. Orang yang pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat
yang telah memperkosa Bhok Khim, sumoinya yang tersayang sehingga ia lupa diri
dan hendak nekat mengadu nyawa. Akan tetapi Ceng To Hwesio yang maklum bahwa
cucu keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu,
membentaknya dan menyuruhnya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio menghadapi Gak
Liat sambil melintangkan sabuknya dan menantang.
“Mari, Kang-thouw-kwi. Kita
tua sama tua mengakhiri perhitungan kita di sini!”
“Ha-ha-ha, aku telah siap
sejak tadi. Kalau kau memang sudah bosan hidup, maju dan seranglah, Ceng To
Hwesio!”
“Omitohud, ijinkan hamba
membasmi manusia iblis ini, bukan karena benci, melainkan untuk menyelamatkan
manusia-manusia lain!” Ceng To Hwesio berkata lirih seperti berdoa, kemudian
tubuhnya bergerak dan ia sudah menerjang maju, sabuknya menyambar ke arah muka
Gak Liat.
Setan Botak ini tertawa,
melangkah mundur dan membiarkan sabuk lewat di depan mukanya, tangan kirinya
sudah diluncurkan ke depan mencengkeram ke arah pusar lawan. Gerakannya cepat
dan mengandung tenaga yang hebat bukan main. Semua penonton, termasuk Han Han,
memandang penuh ketegangan.
Ceng To Hwesio adalah sute
dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu kepandaiannya biarpun belum dapat disejajarkan
dengan Ceng San Hwesio, namun sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat
kalau dibandingkan dengan seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Juga hwesio
tua ini telah berpuluh tahun hidup bersih sehingga ia telah berhasil menghimpun
tenaga dalam yang kuat di tubuhnya. Namun, menghadapi Gak Liat yang tingkatnya
sebanding dengan ketua Siauw-lim-pai, ia masih kalah jauh. Betapapun juga,
hwesio yang berkemauan keras untuk menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat
jahat seperti iblis ini, tidak jerih dan cengkeraman itu dapat ia elakkan
dengan meloncat ke samping dan dari pinggir ini, sabuknya yang telah ia
gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah perut Setan Botak. Namun datuk kaum
sesat ini tertawa dan sengaja menerima sodokan itu dengan memasang perutnya
menyambut.
“Dukkk! Wuuuttttt!”
“Aihhh....!”
Ceng To Hwesio mploncat tinggi
ke belakang dan hampir saja ia celaka. Ketika sabuknya yang menjadi kaku
menyodok perut, ia merasa betapa senjatanya itu membalik, bertemu dengan benda
yang seperti karet, dan tangan Gak Liat sudah melancarkan pukulan Hwi-yang
Sin-ciang yang mengandung hawa panas melebihi api. Biarpun hwesio Siauw-lim-pai
ini sudah meloncat dan menghindar, pundaknya kena diserempet hawa pukulan dan
terasa panas sekali, bahkan bajunya robek dan kulitnya gosong menghitam!
“Ha-ha-ha-ha! Begitu saja
kepandaianmu, Ceng To Hwesio?” Gak Liat tertawa bergelak.
Nirahai mengerutkan keningnya.
Dia maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan Gak Liat yang lihai.
Dia tidak memihak Gak Liat, sebaliknya malah hatinya condong memihak kepada
hwesio Siauw-lim-pai karena dia dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri
murid wanita Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi, dia pun masih membutuhkan tenaga
bantuan seorang lihai seperti Gak Liat. Biarlah, pikirnya, makin banyak permusuhan
diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak banyak pusing menghadapi
permusuhan-permusuhan pribadi antara tokoh-tokoh kang-ouw ini. Kalau saja
hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya, dan mengaku kalah, maka permusuhan
itu akan dihabiskan dan dia dapat menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk
mencegah Gak Liat melakukan pembunuhan.
Adapun Han Han yang menonton
dari tempat sembunyinya, dia tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan itu.
Ingin ia membantu Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat, akan tetapi dia tahu
bahwa pertandingan itu dilakukan secara adil dan bahkan kalau dia turun tangan,
maka dia hanya akan mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai. Maka ia hanya menonton
dan berkali-kali menarik napas panjang, maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai yang
nekat itu hanya akan membunuh diri melawan Gak Liat yang amat lihai pukulan
Hwi-yang Sin-ciangnya itu.
Ceng To Hwesio benar-benar
nekat. Dia sudah menerjang maju lagi, kini sabuknya ia putar-putar dengan
tangan kanan melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh
yang berbahaya, sedangkan tangan kirinya menggunakan Eng-jiauw-kang
(Cengkeraman Kuku Garuda) untuk menyerang. Betapapun kebal tubuh lawan, kalau
terkena cengkeramannya ini agaknya akan celaka!
Gak Liat yang amat lihai dan
banyak pengalamannya itu pun maklum bahwa biarpun tingkatnya jauh lebih tinggi,
namun dia pun tidak boleh memandang rendah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang
terkenal memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Dia cepat menggerakkan kedua
tangan menangkis, dan ada kalanya harus mengelak sambil menanti saat baik. Ketika
sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat kilat ia menangkap sabuk itu,
membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah leher itu mengenai pundaknya
dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan kiri Ceng To Hwesio mencengkeram
pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam dengan telapak tangan terbuka ke
arah dada lawan.
“Brettt.... desssss!”
Baju di pundak Gak Liat robek,
akan tetapi tubuh Ceng To Hwesio terlempar ke belakang dan terbanting roboh
dalam keadaan tak bernyawa lagi karena seluruh dada dan perutnya berubah
menjadi hitam seperti terbakar!
“Manusia iblis....!” Khu Cen
Tiam dan Liem Sian, dua orang di antara Kang-lam Sam-eng meloncat maju. Khu Cen
Tiam menyerang dengan cambuk besinya, sedangkan Liem Sian yang tinggi besar
sudah menggunakan sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat berat.
“Cring-tranggg....!” Dua orang
murid Siauw-lim-pai ini meloncat mundur karena kaget ketika senjata-senjata
mereka ditangkis dan tangan mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri
Nirahai, menggunakan pedang payungnya. Puteri itu berdiri dengan keren dan
berkata.
“Ji-wi Lo-enghiong harap suka
memenuhi janji. Losuhu ini telah kalah dan mati dalam pertandingan adalah yang
lumrah. Lebih baik mati dalam pertandingan yang adil daripada berlaku curang
yang hanya akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai! Lebih baik ji-wi membawa
jenazah Losuhu ini dan tidak perlu memperbesar permusuhan karena sudah terang
bahwa fihak Siauw-lim-pai telah kalah dalam pertandingan yang syah dan adil.”
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai
itu menghela napas, menyimpan senjata mereka lalu mengangkat jenazah Ceng To
Hwesio. Sebelum pergi, Khu Cen Tiam berkata kepada Gak Liat, “Kang-thouw-kwi,
urusan di antara kita masih belum habis. Tunggulah kami melaporkan hal ini
kepada ketua kami.”
“Ha-ha-ha-ha, sudah kukatakan
tadi, lebih baik ketua Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah ramai! Aku akan
selalu menanti, ha-ha-ha!”
Akan tetapi, sebelum dua orang
tokoh Siauw-lim-pai itu pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan
terdengar bentakan nyaring, “Setan Botak, nyawamu sudah berada di tanganku dan
engkau masih bicara sombong!”
Dua orang di antara Kang-lam
Sam-eng menengok ke arah wanita berpakaian putih yang muncul tiba-tiba itu dan
mereka berbareng berseru keras penuh kekagetan dan keheranan, “Sumoi....!”
Gak Liat memandang dengan mata
terbelalak, dan sinar matanya membayangkan rasa ngeri dan cemas. Han Han
segera mengenal wanita itu sebagai wanita yang dahulu menjadi orang ke tiga
dari Kang-lam Sam-eng, yaitu Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak Liat dan
kemudian untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu membobol dinding kelenteng
Siauw-lim-si, keluar dari kamar penyiksa diri dan membawa seorang anak
laki-laki. Jantung Han Han berdebar keras dan perasaannya terguncang penuh ketegangan.
Orang-orang lain yang berada
di situ, termasuk Nirahai, terheran-heran dan tidak tahu siapa gerangan wanita
yang wajahnya masih cantik akan tetapi rambutnya riap-riapan pakaiannya kusut
dan wajahnya membayangkan kemarahan dan kelihatan beringas sekali itu.
“Kau.... kau.... murid
Siauw-lim-pai itu....!” Gak Liat akhirnya teringat dan di luar kesadarannya ia
berteriak.
“Kakek keparat, manusia iblis
Gak Liat. Benar, akulah Bhok Khim dan aku datang untuk merenggut nyawamu!” Setelah
berkata demikian, Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua
tangannya mencengkeram seperti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya
itu menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sendiri sampai menjadi
kaget. Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri, namun dengan
kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorongkan kedua tangannya
ke kanan dan.... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai lima kali.
Dia meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak terluka
sungguhpun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan main!
Melihat pertandingan yang
sedang dimulai ini, Puteri Nirahai kini mengerti siapa adanya wanita itu, maka
ia berseru nyaring, “Pertandingan antara dua orang yang mempunyai dendam
pribadi, harap yang lain tidak mencampuri!”
Seruan ini menenangkan suasana
dan kini semua orang menonton dua orang yang sudah mulai bertanding dengan hebatnya.
Diam-diam Han Han yang menyaksikan pertandingan itu terkejut dan kagum sekali.
Gerakan Bhok Khim amat aneh dan terutama sekali hawa yang menyambar keluar dari
kedua tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan suara bercuitan seperti pedang
yang digerakkan dengan tenaga sin-kang kuat. Tahulah dia bahwa wanita itu di
dalam kamar penyiksa diri telah dapat mencuri ilmu yang diajarkan oleh kakek
sakti Kian Ti Hosiang kepada Siauw Lam Hwesio, pelayannya. Ilmu inilah yang
agaknya dimaksudkan oleh Kian Ti Hosiang, akan tetapi menyaksikan betapa ilmu
itu kini amat ganas dan liar, dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu
mempelajarinya secura keliru sehingga menyeleweng. Namun, melihat hebatnya
gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa hebatnya ilmu yang dicuri oleh wanita
itu dari balik dinding kamar penyiksa diri.
Berkali-kali Gak Liat roboh
terguling akan tetapi karena dia memiliki kekebalan luar biasa, maka pukulan
hawa aneh itu hanya membuat ia roboh bergulingan, sama sekali tidak melukainya.
Melihat ini, Han Han merasa sayang sekali dan ia dapat menduga bahwa wanita itu
ternyata hanya mewarisi “kulit” dari ilmu itu, masih kehilangan inti sarinya,
karena kalau sudah mengenal “isinya”, agaknya ilmu yang hebat itu pasti tidak
akan dapat tertahan oleh Gak Liat.
Agaknya Gak Liat yang jauh
lebih matang pengalamannya dalam hal pertandingan ilmu silat, juga dapat
mengerti akan hal itu. Tiba-tiba ia tertawa bergelak dan kini ia mengimbangi
serangan-serangan Bhok Khim yang ganas dan liar itu dengan pukulan-pukulan
Hwi-yang Sin-ciang sambit menggulingkan diri.
“Celaka....!” Han Han berseru
dalam hatinya. Ia memang sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim itu tidak akan ada
artinya kalau lawannya bergulingan seperti itu dan kini biarpun memukul sambil
menggulingkan diri, Hwi-yang Sin-ciang dari Setan Botak itu tidak berkurang
kedahsyatannya!
Benar saja, setelah Gak Liat
membalas serangan dengan bergulingan dan memukul secara bertubi-tubi, Bhok Khim
terkejut sekali dan ketika ia agak terlambat mengelak, pinggangnya kena serempet
pukulan panas itu dan ia menjerit, roboh terguling dan pakaiannya robek di
bagian pinggang!
“Ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa
bergelak akan tetapi ia menghentikan ketawanya dengan tiba-tiba karena
ternyata Bhok Khim sudah meloncat bangun kembali sambil menubruknya dan
mengeluarkan suara melengking nyaring seperti kuntilanak! Gak Liat masih
berusaha membuang diri ke samping sambil memukul dengan telapak tangannya.
Akan tetapi Bhok Khim sudah mendahuluinya, menangkap kedua tangannya, pada pergelangan
tangan dan gerakan tubrukannya yang kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang,
ditindih oleh Bhok Khim!
Kedua orang itu bergulingan,
bergumul di atas rumput dan karena bergumul dengan kacau, saling membetot
bersitegang melepaskan dan mempertahankan tangan yang dicengkeram, maka tubuh
mereka saling tindih sehingga kelihatan seperti kedua orang laki-laki dan
wanita itu sedang bermain asmara dan bersendau-gurau sambil bergumul. Namun,
semua yang hadir mengerti bahwa pertandingan itu merupakan pertandingan
mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka memandang dengan hati
penuh ketegangan.
Memang hebat dan menegangkan
pertandingan yang kini tidak lagi memakai teori ilmu silat itu. Cengkeraman
jari-jari tangan Bhok Khim pada kedua pergelangan tangan Gak Liat benar-benar
kuat, seolah-olah jari-jari tangannya sudah terbenam ke dalam lengan kakek
itu. Biarpun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja kesepuluh jari
tangan Bhok Khim itu tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat, seolah-olah
menjadi sepuluh ekor lintah yang menghisap darahnya! Gak Liat mulai menjadi
gugup dan juga marah bukan main. Kalau dia dikalahkan dengan ilmu silat yang
lebih tinggi, dia tidak akan penasaran. Akan tetapi dikalahkan dengan cara
wanita berkelahi, mencengkeram dan mencakar, benar-benar amat memalukan! Lebih
celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha untuk menggigit tenggorokannya!
Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi makin malu dan bingung. Ia kembali
meronta dan menendangkan kakinya agar tubuh yang menindihnya itu terlepas,
akan tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan kedua kakinya yang panjang dan
berkulit halus itu ke pinggang Gak Liat dan tiba-tiba mukanya menunduk ke arah
tenggorokan! Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang kini
rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak mencium
Gak Liat!
Terdengar lengking yang serak
seperti srigala disusul teriakan Gak Liat karena tenggorokannya telah tergigit
oleh Bhok Khim! Hal ini hanya dapat terjadi karena gelora nafsu berahi yang
timbul di dalam hati kakek itu. Pergumulan itu, bau keringat dan rambut Bhok
Khim, membangkitkan nafsu berahi di hati Gak Liat sehingga ia sejenak
terpesona dan kehilangan kewaspadaan, maka terlambat ia menyadari bahwa wanita
itu bukan hendak mencium bibirnya seperti yang dikhayalkannya dalam buaian
nafsu, melainkan menggigit tenggorokannya. Rasa nyeri yang hebat membuat Gak
Liat marah sekali. Biarpun tangannya masih dicengkeram, namun ia mengerahkan
tenaga memukul sehingga tangan Bhok Khim yang mencengkeram terbawa dengan
keras sekaii dan pukulan Hwi-yang Sin-ciang bersarang di dada wanita itu!
Pukulan ini hebat bukan main
dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika
menerima pukulan maut ini. Akan tetapi di dalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh
yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru dan biarpun
pukulan itu membuat dadanya seperti remuk akan tetapi tidak membuat ia tewas
dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus
kulit daging dan mengoyak urat besar!
“Desss!” Sekali lagi Gak Liat
memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan
hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena
urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher
itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah
yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang
berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas
dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat
yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat
wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya
lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem Sian.
“Suheng.... suheng.... harap
suheng.... rawat...., anakku....” terdengar suaranya lemah. Suara yang
terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh
sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang
dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
“Kami bukan suhengmu!” Khu Cen
Tiam membentak, jijik dan marah. “Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan
engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!” Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian
yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim, menjadi benci ketika mendengar betapa
dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan
anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi makin benci
karena biarpun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi caranya
berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid
Siauw-lim-pai! Karena itu, mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap
mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
“Kami bukan suhengmu dan
engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!” Liem Sian ikut membentak.
“Suheng.... tolong....
anak.... ku....” Bhok Khim masih mencoba untuk mohon kepada bekas kedua
suhengnya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
“Ibils betina!” Khu Cen Tiam
dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena
kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan
menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap
Siauw-lim-pai.
“Tring-tringgg....!” Cambuk
besi dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh
Siauw-lim-pai itu terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah.
Han Han telah berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada
dua orang itu.
“Pesan seorang yang akan mati
adalah pesan keramat, apalagi kalian adalah bekas suhengnya, betapa kejinya
hati kalian!” bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut
dekat tubuh Bhok Khim.
“Toanio, biar siauwte yang
akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia?”
Bhok Khim membelalakkan
matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini. “Kau.... dua
kali kau menolongku.... ahhh.... terima kasih.... anakku.... kuserahkan
padamu.... kasihan dia.... tidak berdosa.... dia.... dia.... aaahhhhh.... dia
berada....”
“Di mana? Di mana puteramu,
Toanio....?” Han Han bertanya, mengguncang pundak itu. Bhok Khim sudah meramkan
matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han
mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap
kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu. Bagaikan hembusan napas
yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan napas terakhir
Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga Han Han
sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian
sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa
mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang
memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya.
Adapun mereka yang telah mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar
karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung
itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam,
menyembunyikan kekagumannya. Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan
tetapi tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui kebadiran
pemtida itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan
betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan
bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat akan ini,
tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah
sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara
dingin.
“Setelah dibebaskan subo, apa
keperluanmu datang ke sini?”
Han Han mengangkat muka lalu
berbalik dan memandang puteri itu, kemudian menjawab tenang, “Engkau telah menawan
adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana perginya adikku itu.”
Kedua alis yang kecil panjang
hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel, “Apa kaukira aku
menyembunyikan Lulu?”
“Aku tidak mengira atau
menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?” Han Han bertanya,
tetap tenang biarpun semua orang yang berada di situ memperhatikan dia
bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan
sesuatu, sungguhpun kini setelah berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu
dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah puteri itu benar-benar amat
cantik seperti bidadari.
“Aku tidak tahu ke mana
perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san
datang menyerbu. Dia benar sumoiku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka
aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi.”
Ucapan ini melemaskan hati Han
Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi
ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena
murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu berseru marah,
“Murid-murid In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak
kenal budi, lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka.
Terkutuk, akan kubunuh mereka seorang demi seorang!”
Tidak ada yang berani
mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han
menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki
kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik daripada watak Iblis Muka Kuda
ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
“Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini
sebenarnya tak perlu kaukeluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang
terkutuk dan murtad, setelah apa yang kaulakukan terhadap orang tua dan
keluarga para murid In-kok-san!”
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo
menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang
amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya memandang dengan mata
melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu
berkata, tidak ditujukan kepada siapapun juga.
“Suara yang mengajak damai
adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus
kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang
jauh daripada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia.” Setelah berkata
demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya
berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang bengong
memandang.
“Pemuda Super Sakti!”
terdengar orang-orang berbisik kagum. Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat
melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat
menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia
kagum dan juga penasaran ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung
yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan
janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan
tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan.
Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya
berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu,
wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya. Ia kagum, dan juga penasaran,
belum puas hatinya kalau betum dapat berhadapan sebagai lawan dengan pemuda
buntung itu. Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri yang
tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang
harus diseleseikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan kemudian ke
perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah
pemberontak itu.
***
Harus diakui kecerdikan Puteri
Nirahai dan para pimpinan tinggi Kerajaan Mancu yang selain pandai berperang,
dapat memimpin pasukan-pasukan yang berani mati, tahan uji dan berdisiplin
tunduk terhadap pimpinan, juga pandai pula bersiasat. Siasat yang dilakukannya
di puncak Tai-hang-san, mengundang para tokoh kang-ouw termasuk para pimpinan
partai-partai persilatan, mengajak damai dengan mengemukakan pandangan-pandangan
dan filsafat-filsafat yang mengesankan, benar-benar telah berhasil baik sekali.
Berbondong-bondong orang-orang kang-ouw yang gagah perkasa dan para murid
persilatan besar yang tadinya dengan mati-matian membantu perjuangan Se-cuan
dalam menghadapi barisan Mancu, mengundurkan diri dan keluar dari Se-cuan
memenuhi perintah ketua-ketua dan guru-guru mereka. Sudah tentu saja hal ini
membuat Se-cuan menjadi lemah sungguhpun Bu Sam Kwi yang berambisi besar itu
tetap mempertahankan kedudukannya dan mengerahkan seluruh pasukan dan penduduk
untuk mempertahankan Se-cuan dari tangan pemerintah Mancu.
Pengunduran para orang gagah
dari Se-cuan itu bukan tidak diperhatikan oleh fihak pimpinan pasukan Mancu
yang tak pernah meninggalkan perbatasan. Sebaliknya dari itu malah, mereka ini
mempergunakan kesempatan setelah orang-orang gagah itu keluar, lalu
pasukan-pasukan terdepan mengadakan serbuan-serbuan kecil untuk mengacau
pertahanan musuh. Yang paling aktip dalam pengecauan-pengacauan di perbatasan
ini adalah Ouwyang-kongcu sendiri, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
memimpin pasukan istimewa untuk menyerbu daerah-daerah yang kini tidak lagi
diperkuat oleh orang-orang kang-ouw, melakukan pengrusakan, pembakaran secara
kejam, membiarkan pasukannya membunuh, merampok, memperkosa dan membakari
rumah. Memang hal ini disengaja untuk mengacaukan pertahanan musuh dan di
samping itu, Ouwyang Seng mendapat kesempatan pula untuk melampiaskan
nafsu-nafsunya dan memilih wanita-wanita tercantik untuk dirinya sendiri.
Apalagi pada waktu Puteri Nirahai meninggalkan daerah perbatasan untuk kembali
ke kota raja dan menghadiri pertemuan di Tai-hang-san, Ouwyang Seng seperti
seekor kuda tanpa kendali. Kalau ada puteri itu yang ia harapkan untuk menjadi
jodohnya, harapan yang bukan saja terdorong oleh kecantikan dara itu yang
membuat ia tergila-gila, akan tetapi juga sebagai mantu kaisar tentu saja
derajatnya menjadi naik dan ia akan mendapat kedudukan yang tinggi, pemuda
bangsawan itu menjadi “alim” dan bersikap seperti seorang pemuda yang baik.
Han Han yang meninggalkan
puncak In-kok-san, melakukan perjalanan cepat sekali ke Se-cuan. Ketika ia
meninggalkan puncak, di tengah jalan di kaki gunung itu, ia melihat dua orang
murid Siauw-lim-pai, Khu Cen Tiam dan Liem Sian, membakar jenazah Ceng To
Hwesio untuk diperabukan dan dibawa abunya ke Siauw-lim-si, dan ketika ia
mengintai, ia mendengar percakapan antara dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini.
Kiranya kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak mau menerima uluran tangan
Puteri Nirahai yang mengajak damai. Mereka berbantahan. Liem Sian mengatakan
bahwa mendiang Ceng To Hwesio sudah menerima perdamaian itu, akan tetapi Khu
Cen Tiam membantah, mengatakan bahwa kini hwesio itu telah tewas sehingga
perjanjian itu juga dapat dibatalkan. Akhirnya mereka berdua bersepakat untuk
pergi ke Se-cuan dan membakar hati para saudara mereka yang berjuang di sana
untuk lebih memperhebat perlawanan mereka!
Mendengar ini, tentu saja hati
Han Han menjadi khawatir sekali. Terutama ia ingat akan Lauw Sin Lian, puteri
mendiang Lauw-pangcu yang telah menjadi murid Siauw-lim Chit-kiam sehingga
gadis itu pun kini menjadi tokoh Siauw-lim-pai dan kalau Sin Lian terkena hasutan
kedua orang yang mendendam ini, berarti gadis itu akan terus berjuang melawan
pemerintah Mancu. Han Han bukan hanya mengkhawatirkan keselamatan bekas sucinya
itu, akan tetapi terutama sekali ia menjaga jangan sampai tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai, terutama Sin Lian, mengingkari atau melanggar janji yang telah
diucapkan Ceng To Hwesio, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai. Karena inilah dia
bergegas mendahului dua orang Siauw-lim-pai itu menuju ke Se-cuan untuk memberi
tahu kepada Sin Lian akan perjanjian yang diadakan di puncak In-kok-san.
Han Han sama sekali tidak tahu
bahwa kedatangannya di perbatasan Se-cuan itu telah diketahui oleh Ouwyang
Seng yang sudah mengatur rencana bersama Toat-beng Cui-sian-li dan Ma-bin
Lo-mo. Iblis Muka Kuda ini amat khawatir mendapat kenyataan bahwa Han Han telah
mengetahui rahasianya yang busuk terhadap para muridnya, maka ia hendak
mengerahkan segala siasat dan kepandaiannya untuk membunuh pemuda buntung itu.
Juga Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa kini Han Han menjadi seorang
yang berilmu tinggi, khawatir kalau-kalau pemuda itu kelak akan mencelakakannya
sebagai balas dendam karena dialah yang menyebabkan pemuda itu kehilangan
sebelah kakinya. Adalah wajar kalau nenek ini pun ingin sekali membunuh Han
Han agar hatinya tidak akan gelisah lagi. Ouwyang Seng memang membenci Han Han,
maka tentu saja dia menjadi gembira untuk bersekutu dengan dua orang lihai ini
dan menjebak Han Han. Hanya ia merasa sayang sekali mendengar akan kematian
gurunya, karena kalau ada bantuan Gak Liat, tentu kedudukan mereka lebih kuat
lagi.
Ketika sampai di perbatasan,
segera Han Han mendengar dari mulut para pengungsi akan keganasan pasukan yang
dipimpin Ouwyang-kongcu. Mendengar ini, Han Han menjadi marah. Semenjak kecil
ia sudah mengenal Ouwyang Seng sebagai seorang yang sombong dan berwatak jahat.
Kini mendengar akan sepak-terjang putera pangeran yang penuh kekejaman,
membakari dusun-dusun dan melakukan hal-hal di luar prikemanusiaan, Han Han tak
dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia tidak ingin melibatkan diri dengan
perang, akan tetapi apa yang dilakukan Ouwyang Seng sama sekali tidak ada
hubungannya dengan perang, melainkan pengumbaran hawa nafsu jahat. Kalau
Ouwyang Seng dan pasukannya menggempur dan menghancurkan pasukan Se-cuan, dia
tidak akan peduli, itu adalah perang namanya. Akan tetapi membakari dusun,
membunuhi orang yang tidak melakukan perlawanan, memperkosa wanita yang lemah,
apakah ini dapat dikatakan siasat perang? Tidak, ia harus mencari dan
mengenyahkan pemuda bangsawan yang jahat itu, karena kalau tidak segera
dibasmi orang seperti itu tentu keganasan dan kejahatannya akan makin
merajalela dan menimbulkan banyak korban manusia yang tidak berdosa.
Pagi-pagi sekali Han Han telah
tiba di perkemahan pasukan yang dipimpin Ouwyang Seng di lereng gunung. Ia
langsung memasuki daerah yang dikuasai pasukan ini dan merasa heran melihat
keadaan yang sunyi, tidak nampak penjagaan ketat. Bahkan ada beberapa orang
perajurit Mancu yang rebah malang-melintang tidur mendengkur dalam keadaan
mabuk! Pasukan macam begini disohorkan sebagai pasukan yang istimewa?
Diam-diam Han Han memandang rendah, akan tetapi tetap bersikap waspada karena
ia telah mengenal siasat-siasat yang amat berbahaya dari para pasukan Mancu
ini. Berindap-indap ia memasuki daerah itu dan meneliti perkemahan. Di dalam
beberapa buah kemah ia mendengar isak tangis wanita diseling kekeh ketawanya
laki-laki mabuk. Tentu para perwira pasukan sedang melakukan perbuatan biadab
terhadap wanita-wanita tawanan, pikirnya. Akan tetapi tujuan Han Han mencari
Ouwyang Seng dan ia menduga bahwa tentu pemuda bangsawan itu berada di dalam
kemah yang paling besar. Akhirnya, ia melihat sebuah kemah yang besar berwarna
kuning, berada di tengah-tengah perkemahan dan dengan gerakan ringan sekali Han
Han bergerak mendekat. Tentu kemah besar itulah yang ditempati Ouwyang Seng,
pikirnya. Sama sekali Han Han tidak tahu bahwa keadaan yang sunyi itu, adanya
penjaga-penjaga mabuk, memang disengaja oleh Ouwyang Seng, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng
Ciu-sian-li yang berusaha menjebaknya. Pasukan disingkirkan, memasang barisan
pendam mengurung perkemahan, dan kini tiga pasang mata mengikuti gerak-gerik
Han Han dari tempat persembunyian di belakang kemah besar. Keadaan Han Han
seperti seekor harimau yang makin lama makin mendekati jebakan, diintai oleh
pemburu-pemburu dengan hati berdebar tegang.
Sesosok bayangan berkelebat di
depan kemah besar. Biarpun cuaca seperti itu masih belum terang benar, akan
tetapi mata Han Han terbelalak lebar ketika ia melihat bayangan itu. Lulu! Tak
salah lagi! Bayangan itu berdiri depan kemah membelakanginya, akan tetapi
bentuk tubuh, bentuk tata rambut, dan dagu meruncing yang tampak sedikit dari
samping, cara berpakaian, jelas bahwa gadis itu tentu adiknya! Akan tetapi
hanya sebentar saja ia dapat memandang penuh selidik dan dengan hati berdebar
girang karena gadis itu kini telah melompat ke dalam kemah melalui pintu kemah
yang diterobosnya. Ah, betapa lancangnya Lulu, pikir Han Han kaget. Dan
tiba-tiba terdengar jerit melengking dari dalam kemah itu, jerit Lulu yang
menggetarkan jantungnya. Seperti kilat menyambar, Han Han sudah meloncat dari
tempat persembunyiannya dan dengan tiga kali berjungkir-balik di udara tubuhnya
langsung menukik ke bawah dan menerobos memasuki perkemahan yang terkoyak oleh
putaran tongkatnya!
Dari atas tubuh Han Han
menyambar ke bawah, matanya tajam mencari dan siap untuk langsung menolong
Lulu, akan tetapi di sebelah dalam kemah itu kosong! Ketika kaki tunggalnya
turun ke atas lantai, tiba-tiba lantai itu amblas ke bawah membuat tubuhnya
ikut terjeblos ke bawah dengan cepat sekali! Han Han terkejut, maklum bahwa dia
memasuki perangkap yang memang sengaja diatur dan dipasang lawan. Cepat ia
mengerahkan tenaga pada kaki tunggal dan tongkatnya, tubuhnya siap mencelat
ke atas. Akan tetapi pada saat itu, sebongkah batu besar sekali telah jatuh
menimpa ke dalam lubang jebakan, dengan kekuatan ribuan kati menimpa ke arah
tubuhnya!
“Celaka....!” Han Han maklum
bahwa untuk meloncat ke luar tidak mungkin lagi, maka ia sudah siap dengan
kedua tangannya untuk menerima batu besar yang menimpanya. Pada saat itu, ia masih
dapat melihat berkelebatnya dua bayangan di luar lubang, hanya sekilas pandang
saja ia mengenal mereka sebagai Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng! Bahkan
terdengar suara jeritan Sin Lian.
“Han Han....! Awas....!” Akan
tetapi bayangan itu segera lenyap tertutup batu yang sudah menimpanya, batu
yang besarnya persis memenuhi lubang di mana ia terjeblos.
Sambil mengerahkan sin-kang kepada
sepasang lengannya, Han Han mengangkat kedua tangan ke atas setelah menggigit
tongkatnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas, lalu menerima batu yang
berat itu, membiarkan tubuhnya agak merendah lalu mengayun tubuh dan kedua
lengan ke atas. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ada ruang
lagi untuk mengayun batu itu agar daya luncurnya tersalur kembali ke atas.
Dadanya terasa sesak dan tahulah ia bahwa tak mungkin ia bertahan terus dalam
keadaan seperti itu, menyangga batu yang luar biasa beratnya. Kalau kedua
lengannya dan sebuah kakinya tidak kuat, ia akan terhimpit dan tubuhnya akan
hancur tertimpa batu. Bahaya yang mengancam keselamatannya sendiri tidaklah
begitu menyiksa baginya kalau dibandingkan kekhawatirannya akan keselamatan
Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng di atas sana. Bukankah tadi terdengar Lulu
menjerit begitu mengerikan? Dan Sin Lian bersama Hian Ceng tentu akan terancam
musuh yang keji dan kuat. Ia narus dapat cepat menyelamatkan diri sendiri
terlebih dulu, kalau tidak, tentu tiga orang gadis itu terancam bahaya hebat.
Mulailah Han Han mencurahkan pikiran kepada diri sendiri. Bagaimana ia dapat
membebaskan diri dari tindihan batu berat itu? Ia berusaha mendorong batu ke
pinggir dan merasa betapa dinding sebelah kiri hanya tanah biasa, namun tentu
saja tidak mungkin mendorong batu sebesar itu ke dalam tanah padat! Tenaganya
mulai berkurang dan dadanya terasa makin sesak. Jalan satu-satunya adalah
menghindarkan diri tertimpa batu dan membiarkan batu itu turun ke dasar lubang.
Akan tetapi dia harus dapat mencari ruangan untuk tubuhnya agar tidak
terhimpit.
Setelah berpikir dan
memperhitungkan masak-masak, Han Han hanya tahu akan sebuah cara yang harus
ditempuhnya. Kalau berhasil, ada harapan selamat, kalau gagal, paling-paling
hanya tewas. Akan tetapi kalau dia tewas, bagaimana dengan Lulu, Sin Lian, dan
Hian Ceng? Tidak! Dia tidak boleh tewas dalam saat seperti itu karena dia dibutuhkan
tiga orang gadis yang terancam bahaya.
Han Han mengerahkan seluruh
tenaga, mendorong batu dari bawah sehingga batu itu mepet di dinding, kemudian
ia menggeser kedua tangannya yang menyangga itu ke pinggir batu sampai tubuhnya
mengenai dinding. Jauh lebih berat mendorong batu mepet pada dinding dan
menahannya agar tidak jatuh daripada ketika menyangga tadi. Sampai berbunyi
tulang-tulang tubuhnya dan dia hampir tidak kuat lagi. Han Han memejamkan
mata, memanggil semua daya kemauannya, mengumpulkan seluruh tenaga
sin-kangnya, kemudian ia menggunakan tubuh belakangnya mendesak dinding sambil
tetap mempertahankan batu agar tidak menimpanya. Tanah dinding itu mulai
melesak dan tubuhnya mulai amblas di dinding. Sekali lagi ia mendorong sekuat
tenaga dan kini tubuhnya sudah sama sekali melesak ke dalam tanah dinding dan
batu itu meluncur jatuh ke dasar lubang!
Tubuh pemuda itu telah
terhindar dari bahaya terhimpit, akan tetapi ia masih belum bebas dari ancaman
maut karena kini tubuhnya melesak ke dinding tanah dan karena batu itu lebih
tinggi dari tubuhnya, dia tertutup dan tidak ada hawa udara untuk bernapas!
Selain ini, juga Han Han muntahkan darah segar akibat pengerahan tenaga yang
berlebihan ketika ia menggunakan tenaga untuk memaksa tubuhnya memasuki
dinding tanah tadi. Pemuda ini cepat menggerakkan tongkatnya menggali ke atas,
terpaksa menahan napasnya dan hal ini membutuhkan pengerah sin-kang sehingga
dari kedua ujung bibirnya menetes-netes darah segar! Betapapun juga, Han Han
yang ingin cepat-cepat bebas untuk menolong Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng,
tidak mau menyerah kalah dan berusaha terus menggali tanah di atasnya, dekat
batu. Ia menggali sambil menundukkan muka menahan napas karena kalau ia
menengadah, tentu matanya akan terserang tanah yang berguguran dihujam
tongkatnya.
Mengapa Lauw Sin Lian dan Tan
Hian Ceng dapat berada di perkemahan itu? Seperti diketahui, dua orang dara
perkasa ini adalah dua orang pejuang yang gigih menentang pemerintah Mancu
semenjak dahulu dan mereka menggabungkan diri dengan kekuatan penentang
penjajah yang berpusat di Se-cuan.
Setelah penyerbuan tentara
Mancu berkurang, bahkan hampir terhenti sama sekali, Hian Ceng yang tadinya
berjuang di perbatasan timur dan selatan, mengunjungi Cung-king dan bertemu
dengan Sin Lian untuk menanyakan perihal Han Han yang selalu menjadi kenangan.
Kedua orang gadis ini bercakap-cakap, saling menceritakan pengalamannya, akan
tetapi tentu saja menyembunyikan perasaan hati masing-masing terhadap Han Han.
Ketika Hian Ceng bertanya tentang Han Han, dengan hati sedih Sin Lian
menceritakan bahwa Han Han telah mengundurkan diri dan pergi dari Se-cuan untuk
mencari adiknya. Hian Ceng juga menyatakan penyesalannya betapa usahanya
mencari Lulu sia-sia, dan diam-diam Hian Ceng memaki-maki Lulu yang dianggapnya
seorang adik yang tak tahu diri dan hanya menyusahkan saja. Akan tetapi karena
ia kini tahu bahwa Lulu adik angkat Sin Lian, tentu saja dia tidak berani
mengeluarkan makiannya dengan kata-kata.
Seperti para pejuang suka rela
yang lain, yang datang jauh-jauh ke Se-cuan untuk membantu perjuangan,
berperang menentang pasukan Mancu kedua orang perkasa ini pun menjadi kesal
hatinya ketika fihak musuh menghentikan serbuan dan jarang sekali terjadi
pertempuran. Mercka menganggur dan kesal, maka seperti para pejuang lainnya,
mereka juga lalu pergi menjelajah seluruh Se-cuan, dan dengan Hian Ceng sebagai
petunjuk jalan, Sin Lian terhibur hatinya melakukan perjalanan di sepanjang
perbatasan Se-cuan dengan propinsi-propinsi lain yang telah dikuasai musuh. Ketika
sedang melakukan perjalanan inilah kedua orang dara perkasa itu mendengar tentang
sepak-terjang Ouwyang Seng bersama pasukan istimewanya. Sin Lian menjadi marah
sekali mendengar penuturan para pengungsi yang menceritakan segala kekejaman
Ouwyang Seng dan pasukannya.
“Si bedebah! Semenjak kecil
dia memang sudah jahat! Orang macam itu harus dienyahkan dari muka bumi!” Sin
Lian berkata sambil mengepal tinjunya.
“Siapakah panglima musuh kejam
yang bernama Ouwyang Seng itu, Enci Lian?” tanya Hian Ceng heran melihat sikap
Sin Lian yang seolah-olah sudah mengenal panglima yang dikabarkan kejam oleh
para pengungsi itu.
“Dia adalah putera Pangeran
Ouwyang Cin Kok, murid Setan Botak Gak Liat dan dia....”
Wajah Hian Ceng berubah merah
sekali, matanya bersinar-sinar. “Aihhh! Kiranya si keparat laknat itukah? Mari
kita berangkat mencarinya dan aku ingin menyayat-nyayat tubuhnya dengan pedangku,
Enci Lian!”
Kini Sin Lian yang memandang
terbelalak. “Mengapa engkau membenci dia pula, Adik Ceng?”
Hian Ceng cemberut dan matanya
menyinarkan kemarahan, “Kalau tidak ada Han-twako yang menolongku, tentu aku
sudah menjadi korban kebiadaban Kongcu hidung babi itu!”
“Lho, kaumaksudkan hidung
belang, bukan?”
“Hidung belang saja masih
mending, dia hidung babi dan belang pula!” Hian Ceng bersungut-sungut lalu
menceritakan pengalamannya ketika ia ditawan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan,
betapa ia hampir saja diperkosa oleh Ouwyang Seng kalau saja tidak muncul Han
Han yang menolongnya.
Demikianlah setelah kedua
orang gadis itu membicarakan Ouwyang Seng dengan hati penuh kebencian mereka
berdua lalu menyelidiki perkemahan pasukan istimewa yang dipimpin Ouwyang
Seng. Kebetulan sekali bahwa pada malam hari mereka menyelundup ke daerah perkemahan,
Ouwyang Seng bersama dua orang pembantunya yang lihai, yaitu Toat-beng
Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, telah mengatur jebakan bagi Han Han sehingga
daerah itu sengaja tidak dijaga ketat dan dengan kepandaian mereka, dua orang
gadis itu berhasil menyelinap masuk dan melakukan pengintaian di dekat kamar
besar yang berwarna kuning. Dari tempat persembunyian mereka, mereka melihat
kesibukan Ouwyang Seng dan dua orang datuk kaum sesat sedang mengatur jebakan
di dalam kemah. Melihat Ouwyang Seng, naik darah Hian Ceng dan gadis ini sudah
ingin menyerbu dengan nekat. Akan tetapi Sin Lian memegang lengannya dan
memberi isyarat supaya temannya itu tidak terburu nafsu.
“Toat-beng Ciu-sian-li dan
Ma-bin Lo-mo itu lihai sekali,” bisiknya, “Tak mungkin kita dapat mengalahkan
mereka. Kita menanti kesempatan baik....”
Akan tetapi, sampai malam
berganti pagi, pemuda bangsawan yang mereka incar itu selalu bersama nenek dan
kakek sakti itu sehingga mereka berdua tidak berani turun tangan. Akan tetapi
Sin Lian curiga menyaksikan gerak-gerik mereka, bahkan menjadi heran melihat
munculnya seorang gadis yang gerak-geriknya gesit akan tetapi yang melihat
pakaian dan tata rambutnya mengingatkan ia akan adik angkatnya, Lulu. Gadis itu
jelas bukan Lulu, akan tetapi mengapa gadis itu seolah-olah menjadi saudara
kembar Lulu dengan pakaian, tata rambut, dan gerak-gerik yang serupa benar?
Dalam keheranannya, Sin Lian menjadi makin curiga dan mengambil keputusan untuk
menanti dan mengintai terus.
Dia dan Hian Ceng sama sekali
tidak tahu bahwa pagi hari itu Han Han telah muncul pula dalam penyelidikannya,
mengintai tak jauh dari semak-semak di mana mereka bersembunyi. Mereka hanya
melihat gadis yang seperti Lulu itu tiba-tiba tampak berkelebat di depan kemah,
lalu meloncat ke dalam kemah disusul suara jeritan nyaring. Peristiwa ini masih
membuat mereka berdua terheran-heran, akan tetapi ketika mereka melihat Han Han
meloncat dan berjungkir-balik di udara, kemudian menyerbu ke dalam kemah
barulah mereka terkejut dan Sin Lian yang cerdik lantas dapat menduga bahwa
mereka semua itu telah mengatur jebakan untuk Han Han.
“Han-twako....!” Hian Ceng
berbisik ketika ia mengenal tubuh yang meloncat tinggi itu.
“Celaka, dia terjebak.
Mari....!” Sin Lian sudah mendahului Hian Ceng dan kedua orang gadis itu cepat
meloncat dan lari ke tenda kuning, menguakkan pintu tenda. Dapat dibayangkan
betapa kaget hati mereka bahwa kemah iru kosong dan kini terdapat lubang besar.
Han Han berada di dasar lubang dan sebongkah batu besar menimpa turun! Mereka
hanya dapat berteriak tak mampu menolong dan dalam beberapa detik saja batu itu
telah menutupi lubang dan mereka tidak tahu apa yang terjadi dengar Han Han.
“Ha-ha-ha-ha! Memasang
perangkap untuk seekor harimau ganas, yang didapat bukan hanya harimau, akan
tetapi juga dua ekor domba yang berdaging lunak. Ini namanya untung besar,
ha-ha-ha!”
Sin Lian dan Hian Ceng
mencebut pedang dan meloncat keluar dari dalam kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng
yang mengejek mereka telah berdiri di situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan
Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar
biasa. Biarpun ia maklum bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun melihat
pemuda bangsawan yang dibencinva ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi
dan sambil memaki ia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya.
Ouwyang Seng tertawa mengejek.
Betapapun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil
tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara
bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan
mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu
menjauhi kawannya.
Adapun Sin Lian yang tahu
bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai,
membiarkan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap
lagi lalu menggerakkan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam
yang hebat, menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia
dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan
bajunya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat membuat pedang yang menyerang
itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan
penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari
Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang
dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.
“Hemmm, kiam-sut (ilmu
pedang) yang bagus!” Ma-bin Lo-mo memuji sambil mengelak, dan dia tidak ingin
cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh pedang itu, hendak
menyaksikannya lebih dulu.
“Hi-hik, ilmu pedang yang
dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang
Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan
Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepadaku!” kata Toat-beng
Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya menyipit memperhatikan
gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Sin Liat menjadi terkejut
sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat serangannya secara nekat.
Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling
matanya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua
pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki
sebuah kemah sambil tertawa-tawa. Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan
mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Kemarahan membuat
Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat
dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau
menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!
Betapapun Hian Ceng
meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang
tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang
biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi
nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji,
perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia
yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan
iblis sendiri yang menguasainya!
“Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau
terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku.
Siapa yang akan menolongmu, manis?” Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek
sambil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah
dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.
“Ha-ha, aku takkan membunuhmu,
manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku
hendak melihat temanmu itu dan....”
“Ouwyang Seng manusia
binatang!” Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han
Han di depannya! Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit
batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depannya? Setannyakah ini?
Tentu saja bukan! Yang muncul
itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di
atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup
setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia
tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia
mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari kemah
palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia
tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan
pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak membalas,
hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang
yang dimainkan Sin Lian.
Adapun Sin Lian yang melihat
munculnya Han Han, cepat menjerit, “Han Han! Cepat kautolong Hian Ceng di kemah
itu!”
Han Han melihat keadaan Sin
Lian memang belum terancam, maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan
mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan
melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah
terlambat! Sekali lirik saja Hian Ceng, maka kemarahannya membuat wajah Han
Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api ketika
ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apalagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung
bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan
riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri! Ouwyang
Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang
baru saja ia pakai kembali.
“Ouwyang Seng.... kau bukan
manusia.... kau.... iblis.... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang
kaulakukan terhadap Hian Ceng....!” Han Han bicara dengan bisik-bisik parau,
akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih
menakutkan daripada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak. Namun pemuda
bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti,
maka hatinya menjadi besar dan ia berseru, “Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si
Buntung di sini!” Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat
tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya. Cepat bukan main gerakan Han Han
yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut
berkelebatnya tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan
ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai
karena pergelangan tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan
tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan
kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit
akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya
remuk!
Sambil menahan sedu-sedan yang
naik ke lehernya dari dalam dada menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih
telanjang bulat, Han Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan
totokan Hian Ceng. Gadis itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun,
terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya
dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak
kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu. Hian Ceng
mengeluarkan pekik mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah
leher Ouwyang Seng disambar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki
mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi
ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang
ke arah lehernya sendiri!
Seperti digerakkan sesuatu
yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat,
mulutnya berseru, “Ceng-moi....!” Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua
kalinya ia terlambat. Pedang itu telah menyambar leher sampai hampir putus!
Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher
yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air mata
akan tetapi bibirnya tersenyum! Han Han merasa seperti jantungnya
ditarik-tarik, sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu
sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam
pelukannya.
“Ceng-moi.... Ceng‑moi....!”
Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu
yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri
menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin
memucat wajahnya. Beberapa detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han
Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum!
Kekejangan terakhir yang
disusul kelemasan tubuh yang dipeluknya, membuat Han Han merintih, lalu
perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut
yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian
ia terisak dan meloncat keluar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang
menghadapi lawan tangguh.
“Sin Lian....!” Lengking ini
hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan,
ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak,
kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han.
Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo
berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan
pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan
tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin
Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian
terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di
depan dada.
Han Han yang mencelat dengan
kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan
menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke
arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!
“Prakkk! Desss....!” Tongkat
di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin
Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang
menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan
muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting
ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han
Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga
mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan
sin-kang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biarpun
ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han
Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian.
Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.
“Han Han.... ohhhhh, Han
Han....” Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu
roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu
dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan
memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.
“Sin Lian.... aduh Sin
Lian.... kau.... kau ampunkan aku, Sin Lian....! Aku terlambat
menyelamatkanmu....”
Akan tetapi Sin Lian tersenyum
sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin
pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya
menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum! Perlahan-lahan lengan
kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari
tangan gadis itu mengusap air mata Han Han mengusap darah di pinggir mulut,
membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya
berbisik-bisik.
“Han Han.... ohhh, Han Han....
aku rela.... aku senang mati.... dalam pelukanmu....! Han Han.... kau.... kau
menangisi aku....?”
Han Han merasa jantungnya
seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih
melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian
pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang
mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak
kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak
membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa
leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu
membelai rambutnya, dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia
mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.
“Han.... Han.... aku.... cinta
padamu...., aku rela mati.... kau tolong Hian Ceng.... dia.... gadis baik yang
mencintamu pula.... selamat tinggal....” Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.
“Sin Lian.... aduhhh, Sin
Lian....!” Han Han tak kuasa menahan kesedihannya yang datang
bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis,
mengguguk dan kalau dia tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh
karena seluruh tubuhnya menggigil.
Melihat keadaan pemuda yang
menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li
melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jerih menghadapi pemuda buntung
yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk
menerjangnya. Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik, “Celaka....
bocah pengacau itu datang....!” Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang
memegang golok menoleh.
“Kak Han Han....!” Lulu datang
berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han
yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.
“Han-twako....!” Ia menjerit
lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng mempercepat larinya, bahkan kini
berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han.
Han Han tersentak kaget.
Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang
mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan
dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat
seperti mayat.
Kini Lulu membelalakkan mata
memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit, “Enci
Lian....! Dia kenapa....?” Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han,
diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.
“Enci Lian....! Ooohhhh,
dia.... dia.... kenapa....? Mati....! Enci Lian mati....!” Lulu memeluk mayat
itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han
yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan
basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah,
melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.
“Han-koko....! Kau.... kau
kenapa....? Kau terluka....?” Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.
“Ah, Lulu anak nakal....!” Han
Han merangkul adiknya. “Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak
kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang
pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini,
berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan
amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian....!”
“Koko! Apa kau bilang? Aku
tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa?”
“Aku akan mengadu nyawa dengan
dua iblis itu!”
“Tapi engkau terluka! Jangan
khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!”
“Lulu, adikku sayang,
satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini....! Adikku, pergilah, aku rela
mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian.... dia.... demi cintanya
kepadaku.... dia telah berkorban untuk kakakmu ini.... dia berkorban nyawa
dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah aku menemaninya mati untuk membalas
budinya?”
“Tidak!” Dan tiba-tiba Lulu
membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu
menundingkan telunjuknya. “Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai
kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!”
“Lulu, jangan....! Jangan
mencampuri urusan ini!” Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat
menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. “Akulah lawan
mereka....!”
Han Han hendak menyerbu, akan
tetapi begitu ia mengerahkan sin-kang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya
roboh terguling, pingsan di samping mayat Sin Lian.
“Koko....! Han-koko....!
Jangan engkau mati.... jangan tinggalkan aku, Kak Han Han....!” Lulu menjadi
bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang
pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak
bergerak, mukanya pucat seperti mayat.
Baru Lulu sadar ketika sebuah
tangan halus namun kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat
mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ,
dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung
oleh banyak pasukan Mancu.
Lulu meloncat bangun, mencabut
pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata, “Suci! Aku
bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai
Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoimu lagi dan aku akan melawanmu sampai
mati di depan kakimu!”
Nirahai tersenyum, kagum
menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoinya terhadap Han Han. Dia datang
dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ, melihat tubuh Ouwyang Seng
yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih
telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi, mendengar pula betapa Han Han
berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini
melihat sumoinya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap
Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata, “Sumoi, simpanlah pedangmu.
Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, kalau engkau melawan aku, apakah kaukira
dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh
diri.”
“Aku tidak takut mati! Aku
bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!”
Nirahai memperlebar senyumnya.
“Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian,
akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau
boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya,
kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati.”
Mendengar ini, Lulu menyimpan
pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.
“Biarlah dia digotong ke dalam
dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,”
kata Nirahai dan terpaksa Lulu menyerah karena memang ia tidak ingin nekat
membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati kalau memang
masih ada jalan untuk menghindari kematian. Dia sudah mengenal Nirahai dan
tahu sedalam-dalamnya bahwa sucinya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam,
malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut,
hanya terlalu “matang” mengurus tugas dan membantu pemerintah.
Han Han dan Lulu dimasukkan
dalam tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Dalam sebuah kamar yang
cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya,
akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang
masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han,
bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam
kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga.
Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai
tamu-tamu agung!
***
Sampai sebulan lamanya Han Han
berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan
diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika
mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa
jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan
disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.
“Kini pemerintah tidak lagi
memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah
yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan
dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka.” demikian
Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua
orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
“Lulu, kini aku telah sehat
kembali. Kita masing-masing telah mendengar semua pengalaman dan menurut
pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan
oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau
sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita
sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan
Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau
kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang
dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan
aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita
menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu
kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?”
Lulu menangis lalu berlutut di
depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung.
“Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu,
Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan
banyak kesengsaraan padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah....
Koko.... aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....!” Lulu
memeluk kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa. “Ha-ha-ha,
bocah lucu!” Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di
depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua
lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga
tertawa, apalagi ketika Han Han berkata, “Bocah lucu! Aneh sekali. Andaikata
engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu
lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan
terpincang-pincang.... ha-ha-ha!”
Keduanya tertawa akan tetapi
Lulu melihat betapa kakaknya itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan
air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa
untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu
bertangisan!
“Han-koko.... dadamu
berdebar-debar kencang....!” Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan
rangkulannya. Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu,
jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari,
ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi,
rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga
dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat
ia berkata.
“Lulu adikku yang terkasih,
engkau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik
kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah
ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu,
engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin
Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang
pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu.”
Lulu mengerutkan keningnya dan
tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka
yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata, “Aku sudah tahu
bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik
dan gagah perkasa.”
“Ha....! Kalau begitu kiranya
diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?”
Akan tetapi Lulu tidak tertawa
atau tersenyum malu, bahkan masih cemberut ddn alisnya berkerut. Ia menggeleng
kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, “Aku tidak tahu
apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan
tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu....! Koko, aku.... aku tidak mau dikawinkan
dengan siapa pun juga!”
Han Han melengak kaget, “Eh!
Mengapa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang
engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu
tidak akan memutuskan cintamu.”
Lulu menggelengkan kepalanya
pula. “Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko.”
“Engkau harus mau!”
“Tidak mau!”
Kembali kakak beradik ini
beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang
lebih dulu menghalau kemarahannya dan ia menarik napas panjang.
“Ah, sungguh aku yang tidak
tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak
angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu,
akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau
adalah adik kandungku, aku.... aku hanya ingin melihat engkau bahagia....
hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau
kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh.”
Kekerasan Lulu pun luluh dan
ia merangkul kakaknya. “Koko bukan...., bukan seperti yang kausangka, bukan
sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi
perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku
telah berkali-kali membikin susah hatimu, Koko, aku ingin sekali dapat
menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku.... aku....” Lulu
terisak menangis.
Besar sekali rasa hati Han Han
ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu. “Lulu,
adikku yang manis, yang cantik jelita....”
Tiba-tiba Lulu melepaskan
rangkulannya, menatap tajam dan bertanya, “Han-koko, benarkah engkau menganggap
aku manis dan cantik jelita?”
Han Han tersenyum, memandang
wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu
begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan
bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.
“Engkau cantik manis, adikku.
Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang di angkasa
bercahaya, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan.... dan.... juga
mulutmu....” Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.
“Aaahhhhh, lanjutkan, Koko,
bagaimana dengan mulutku?” Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat
manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan
sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas
seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh,
kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris
rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua
kemerahan itu. “Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi sumber
kemanisan yang tiada habisnya.”
Mata yang lebar itu
berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu
sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es.
“Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku,
engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di dunia ini!”
Han Han kembali menggunakan kemauannya
untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu,
didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya. “Lulu adikku, aku hanya mempunyai
satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak
mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?”
“Koko, kalau aku dijodohkan
dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?”
“Tentu saja!”
“Dan engkau akan meninggalkan
aku?”
“Hemmm.... sudah semestinya
begitu, adikku.”
“Kalau begitu aku tidak mau!
Aku tidak mau!” Lulu menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan
hatinya dan bertanya dengan suara tegas, “Kenapa, Lulu?”
“Karena aku tidak mau berpisah
lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!” Tangisnya
mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali
menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak! Ini gila!
Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa.
“Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita
menjadi kakek dan nenek?”
“Biar! Aku akan senang sekali,
Koko. Biar aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!”
Han Han mengeraskan hatinya,
mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu. “Lulu,
tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya?
Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu,
tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku?
Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang
yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!”
Sampai lama mereka saling
pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih, “Han-koko....
kalau hal itu berarti kebahagiaanmu.... aku.... baiklah, aku menurut.” Dia lalu
membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis.
Han Han mendiamkan saja,
membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata,
“Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan
baik, tentu permintaan kita dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan
menggunakan kekerasan!” Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng
tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia
sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan
Lulu.
“Koko, pintunya kuat sekali
dan di luar ada penjaga-penjaga....!”
“Ssstttt, kau ikutlah saja,”
kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para
penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, “Harap kalian suka
membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai!”
“Ah, kami tidak berani! Kami
diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari
pintu!” Komandan jaga membantah dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata
golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan.
Han Han tersenyum. “Kalau
begitu, aku akan keluar sendiri!” katanya dan sekali tangan kanannya bergerak,
terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya,
terlepas dari tembok! Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han
Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok!
Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan
tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di
luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak,
kemudian gadis itu berseru, “Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi
aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?”
Para perajurit Mancu sudah
tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak
berani turun tangan mengganggu. Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit
yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti,
merasa jerih terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang,
kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke
sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai.
Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para pahglima dan
perwira yang selalu dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak
penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang
pembesar tinggi yang gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong
hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan
hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu, para
perajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu
dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para perajurit ini tidak berani mengganggu
Lulu dan jerih terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras
dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri
menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu
ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang
tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan
dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba
di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara
lantang dari Nirahai yang terdengar marah.
“Tidak bisa! Biarpun
Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak
berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira
siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah
perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda
Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang
yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya! Tidak, aku tidak akan dan belum
menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan
kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe
tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang,
sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang
dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup
maklum apa yang menjadi sebabnya!”
Han Han dan Lulu mendengarkan
dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh
desakan dan penyesalan, “Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang
Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan
apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh
mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan
Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak
merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?”
“Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo,
engkau ini sudah tua namun masih bodoh!” Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li
diseling suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya. “Apakah
tidak depat menjenguk isi hati orang muda? Biarpun kakinya buntung sebelah,
hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang
hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!”
Tiba-tiba terdengar suara
Nirahai penuh kemarahan, “Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran
dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat
melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah
ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian?”
“Puteri Nirahai, akulah musuh
dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Ham
menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!”
Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah
itu. Para perajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua
tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti
perintah Puteri Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah
Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para
perajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa,
“Semua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling
dekat sepuluh meter!”
Para perajurit lalu mundur dan
karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran
mengelilingi tempat itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu
berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.
“Siapa yang mengeluarkan
kalian?” Puteri Nirahai bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.
“Suci, akulah yang memaksa
keluar,” kata Lulu.
“Bukan! Akulah yang menjebol
pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu,
Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini,
biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo
dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!”
“Hemmm.... di puncak
Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan
orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan
menantang pembantu-pembantu pemerintah?” Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas. “Sama
sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku
menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam
puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuhnya semua
oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw
Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia
hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau
tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang
mereka berdua sebagai musuh pribadi!”
Di dalam lubuk hatinya,
semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok
untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai
sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu. Dan ketika Han Han
datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras.
Kemudian, tantangan Han Han terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka
puteri cerdik ini tidak mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mereka
menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang
ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat
sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi
mengangkat pundak ia berkata.
“Pemerintah tidak akan
mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah
tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami
tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!”
Dua orang datuk kaum sesat itu
diam-diam merasa jerih terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan,
tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa
harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah
kakinya? Biarpun kini tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua
orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan,
namun ada ratusan orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng
Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.
“Suma Han, engkau sekarang
mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah
engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu
sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurangajaranmu menantangku!”
Akan tetapi Han Han tertawa
mengejek. “Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan
keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di
antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah
ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan
andaikata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat
akan kejahatannya, dia akan kutantang pula! Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi
lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai
seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani
melawan bekas muridmu sendiri yang telah kaubuntungi kakinya? Dan engkau,
Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut
daripada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san?”
Kemarahan dua orang tokoh tua
itu memuncak dan biarpun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya
juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng
Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar
ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos
dari rantai gelang di telinganya.
“Lulu, mundur!” Han Han
berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai
dan Han Han menggerakkan tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat
sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah
di depan kakinya!
“Wuuuttt,
tring-tring-tranggggg....!” Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan
sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua
tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.
“Singgg.... ngiuuukkkkk....!”
Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan
menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im
Sin-ciang!
“Cuat-cuattt....!” Tubuh Han
Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat
hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata
Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata
bergerak cepat dan bersikap waspada.
“Heiiiii! Mengapa main keroyok?
Ini tidak adil!” Nirahai berseru. Biarpun ia tidak khawatir melihat
pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela
agar tidak dianggap berat sebelah.
“Terima kasih, Puteri. Biarlah
mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya
mengandalkan kemenangan dengan kecurangan!” Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin
marah, akan tetapi tentu saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan
ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan
celaka. Tanpa menjawab, mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi. Han
Han tetap mainkan ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat, tubuhnya lenyap
dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai
seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan
loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak
yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat
cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee
adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang
amat kuatnya, bahkan lebih kuat daripada tenaga sin-kang Setan Botak, lebih
kuat pula dari tenaga sin-kang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu
jauh lebih berbahaya karena biarpun sin-kangnya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo,
namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan
banyak sekali macam ilmunya. Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di
dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma
Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia
ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar rambutnya sudah banyak ubannya,
namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat
senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras
menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah! Senjata rantai gelang
yang tergantung di kedua telinganya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena
selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan
dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan
gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang
beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang
(Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biarpun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang,
namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa
kali bertanding melawan dua orang ini, tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama
dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah
si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya
berkerincingan mengacaukan perhatian bahkan bagi para pendengar yang tidak
memiliki sin-kang kuat, dapat menggetarkan jantungnya. Baiknya para perajurit
menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka
menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara
kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan
ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan
serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut,
sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sin-kang yang berubah-ubah,
kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia
menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im
Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan
ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi
Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum
bahwa Han Han hendak merobohkan dulu murid keponakannya, maka berteriak-teriak
dan mengejar terus. Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga
bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa
mereka seperti perajurit-perajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan
tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan
melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil
berteriak-teriak memaki seperti orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan
diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat menyambar, ia mengerakkan tenaga
mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan
Han Han dengan Swat-im Sin-ciang. Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han
Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan
itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di
udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.
“Krakkk! Desss....!” Golok
patah menjadi tiga dan tubuh Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mundur,
dari telinga, mata, hidung dan mulut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh,
mengucur darah dan akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru
dan kaku seperti sebatang kayu karena tubuh itu sudah membeku!
“Becah setan....!” Toat-beng
Ciu-sian-li memaki menutupi rasa gentarnya, semua senjatanya yang ampuh,
rambut, sepasang rantai gelang dan kedua tangannya menyerang kalang-kabut.
Ketika Han Han menggunakan
tongkatnya menangkis, sepasang rantai gelang yang panjang dan pendek itu
bergerak seperti dua ekor ular, tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu
dan mendadak nenek itu menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu membetot
ke kanan kiri. Han Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai
gelang itu. Dia pun mengerahkan tenaga membetot.
“Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!”
“Aihhhhh....!” Nenek itu
menjerit. Tongkat Han Han patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua
helai rantai gelang itu pun copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian
bawah daun telinga di mana rantai itu tergantung! Nyerinya begitu hebat bagi
seorang nenek yang demikian sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia
menjadi marah dan nekat. Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher
Han Han.
Pemuda ini tak sempat
mengelak, rambut itu seperti hidup, tahu-tahu telah membelit dan mencekik
leher. Otomatis kedua tangannya ia gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan
dan menarik putus rambut itu, akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li
Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua tangannya yang berkuku panjang, yang kiri
mencengkeram ke arah ulu hati, sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar
Han Han untuk meremas hancur anggauta kelaminnya!
“Koko, awas....!” Tak
tertahankan lagi Lulu yang menyaksikan gerakan nekat dan curang itu berseru.
Nirahai menonton dengan sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi
tegang, namun ia tetap waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak
enak berdiri sejak tadi itu turun tangan membantu kakaknya.
Han Han sekarang bukanlah
seperti Han Han dahulu ketika baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima
gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia telah menguasai ilmu silat tinggi dan
memiliki kewaspadaan seorang ahli. Dia tidak akan patut disebut orang sebagai
Pendekar Super Sakti kalau dia tidak melihat gerakan kedua tangan nenek itu.
Dari gerakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu sebelum kedua tangan
nenek itu menerkam tubuhnya. Ia membiarkan lehernya tercekik, mengerahkan tenaga
untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak menghalangi pernapasannya, berbareng
secepat kilat ia menggerakkan kedua tangan menerima kedua tangan nenek itu
sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Nenek itu terus mencengkeram kedua
tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han
Han tidak menolak, malah pemuda ini pun mengerahkan sin-kang, yang kiri
mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!
Dua orang itu berdiri tegak,
rambut nenek itu mencekik leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram
dan terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka
berdua maklum bahwa Han Han dan nenek itu mengadu tenaga sakti yang amat
berbahaya.
Kini tangan kiri nenek itu
yang bertemu tangan kanan Han Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang
panjang hangus, sedangkan tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar
pucat sebentar merah, napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.
“Aku Nenek Buyutmu.... Nenek
Buyutmu....!” dan dari kedua mata nenek itu bercucuran air mata!
Han Han merasa muak, juga
kasihan. Air mata hanya dapat dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang
berduka, orang yang menyesali perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan
batinnya saja yang akan dapat mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal
lagi, menangis sama dengan berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang
mendekatkan hatinya dengan Tuhan!
“Pergilah!” seru Han Han dan
ia mengerahkan semua tenaganya, mendorong dan tubuh nenek itu terlempar
dibarengi jeritnya yang menyayat hati. Rambutnya masih melibat leher Han Han
karena dalam saat terakhir itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya
membunuh Han Han, maka masih melakukan perlawanan. Kalau saja dia mengaku
kalah dan tidak melakukan perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan
terlempar saja dan masih selamat. Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut
kepalanya coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia
kerahkan di kedua tangannya membalik dan menghantam isi dadanya sendiri. Ia
terbanting dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya
hangus sebelah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang
lebih mengerikan daripada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!
Lulu berlari menghampiri
kakaknya dan memeluk pundak Han Han yang melepaskan libatan rambut dan
membuang rambut itu dengan helaan napas panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan
Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu mendengar suara ribut-ribut di antara
para perajurit. Nirahai sendiri pun memandang ke jurusan itu dan wajahnya
berubah, keningnya berkerut.
“Katanya diadakan perdamaian,
kenapa hendak menghadap Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak menggunakan
kekerasan?” Terdengar suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para perajurit.
“Sin Kiat....!” Han Han
berseru girang.
“Biarkan mereka menghadap!”
perintah Puteri Nirahai. Para perajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan
serombongan orang muda memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang
muda, Sin Kiat berjalan di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid
In-kok-san, empat orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap
gagah. Han Han melihat di antara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah
menyerang Nirahai dalam jolinya.
Melihat Han Han dan Lulu, Sin
Kiat berteriak girang dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri
Nirahai berdiri di situ, Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah,
“Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah murid-murid In-kok-san.
Kami mendengar keributan yang terjadi di sini, mendengar bahwa
sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami datang untuk
mengajukan protes. Pemerintah mengumumkan perdamaian akan tetapi mengapa
sahabat-sahabatku ditawan?”
Sementara itu, para murid
In-kok-san memandang mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan
mata terbelalak, bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka
melainkan karena terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo bekas
guru yang ternyata menjadi pembunuh keluarga mereka, kini telah menggeletak
tak bernyawa.
Puteri Nirahai tersenyum dan
memandang dengan sinar mata dingin. “Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan
perang, melainkan urusan pribadi. Dan kalian melihat sendiri, kedua orang
yang kaumaksudkan itu tidak lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi
kebebasan kepada Suma Han untuk bertanding melawan dua orang musuhnya tanpa
campur tangan dari kami!”
Lega hati Sin Kiat mendengar
ini dan ia menghampiri Han Han, memegang tangan sahabatnya itu dan memandang
penuh kagum, kemudian menoleh kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagiaan
dapat bertemu kembali dengan Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah
merah sekali.
“Suma Han! Engkau sudah
merobohkan dua orang musuhmu, dan kalau Lulu Sumoi mau pergi, silakan. Kalau
engkau hendak pergi, aku pun tidak akan menghalangi, hanya di sini aku
menantang engkau untuk berpibu mengadu kepandaian denganku pada malam nanti,
tepat tengah malam, di puncak Gunung Cengger Ayam di sebelah utara itu. Aku
akan menanti di sana dan kalau engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap
engkau sebagai seorang laki-laki sombong yang hanya berani melawan orang-orang
lemah, juga seorang pengecut besar!”
“Nirahai....!” Han Han
terkejut dan menyebut nama itu tanpa disadarinya. Akan tetapi, sambil
mengebutkan lengan bajunya, Nirahai sudah membalikkan tubuh dan pergi memasuki
kemahnya.
Lulu menarik tangan Han Han
dan pergilah orang muda itu dari tempat itu. Dua orang murid In-kok-san
mengangkat jenazah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sambil berkata,
“Mereka ini orang-orang jahat di waktu hidup mereka, akan tetapi ini adalah
jenazah-jenazah manusia dan mengingat bahwa kami pernah menerima gemblengan
mereka, kami akan memakamkan jenazah mereka sebagaimana mestinya.”
Han Han menjadi terharu dan
memandang kagum. Para perajurit tidak ada yang berani menghalangi rombongan ini
keluar dari daerah perbatasan. Setelah murid-murid In-kok-san membawa pergi dua
jenazah itu, hanya tinggal Han Han, Lulu dan Sin Kiat yang duduk di dalam
hutan. Han Han menceritakan pengalamannya bersama Lulu, sedangkan Sin Kiat juga
menceritakan betapa dia menari-cari Han Han dan kemudian kebetulan sekali
mendengar bahwa Sin Lian dan Hian Ceng tewas dalam penyerbuan mereka ke
perkemahan Ouwyang Seng, mendengar pula berita mengejutkan bahwa Ouwyang Seng
juga terbunuh dan Han Han ditawan bersama Lulu. Maka dengan nekat ia lalu
menyusul, bertemu dengan rombongan murid In-kok-san yang kesemuanya merupakan
teman-teman seperjuangan dan yang ikut pula bersamanya karena pada waktu itu
perang telah dihentikan.
Setelah mereka menceritakan
perjalanan masing-masing, Han Han lalu bertanya sambil memandang Sin Kiat
dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Sin Kiat, engkau adalah sahabatku
terbaik, sahabat semenjak kita kecil. Katakanlah sejujurnya, di depan adikku,
apakah engkau setulus hatimu mencinta Lulu?”
Wajah Sin Kiat menjadi merah,
dan Lulu yang kedua pipinya menjadi merah pula menunduk, jari-jari tangan
kirinya mencabuti rumput di dekat kakinya, jantungnya berdebar. Setelah mendengar
keputusan Han Han dalam kamar tahanan, begitu Sin Kiat muncul, ia amat
memperhatikan pemuda itu dan memang pemuda ini tak dapat dicela, gagah perkasa
dan tampan, sikapnya pun menyenangkan. “Han Han, seorang laki-laki sejati tidak
akan mempermainkan cinta kasih. Aku telah menyatakan kepada Adik Lulu tentang
cinta kasihku kepadanya. Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa aku
mencinta Adik Lulu sepenuh hatiku, mencinta dengan jiwa ragaku!”
Lega hati Han Han mendengar
ini. “Dan engkau berjanji akan melindunginya seperti engkau melindungi dirimu
sendiri?”
“Lebih dari itu! Kalau aku
diberi kehormatan besar itu, aku akan mendahulukan keselamatan dan
kepentingannya. Aku rela berkorban nyawa untuk melindunginya!”
Han Han menoleh kepada Lulu
yang makin menunduk, memegang tangan adiknya dan berkata, “Nah, engkau
mendengar sendiri, Lulu. Engkau tidak akan menyesal selama hidupmu. Maka
sekarang jawablah terus terang saja, aku menjadi saksinya. Apakah engkau
bersedia kalau dijodohkan dengan Sin Kiat?”
Sepasang mata yang indah dan
lebar itu terangkat, memandang Han Han dan dua butir air mata jatuh berderai di
atas kedua pipinya, bibirnya gemetar ketika ia berkata lirih, “Kalau itu yang
kaukehendaki....”
“Memang aku menghendaki engkau
berjodoh dengan Sin Kiat, adikku. Akan tetapi tentu saja aku tidak akan
memaksamu kalau engkau tidak setuju. Jawablah. Maukah engkau menjadi jodoh Wan
Sin Kiat?”
Lulu menunduk dan
menganggukkan kepalanya. Gerakan ini membuat dua butir air mata baru jatuh
lagi. Sin Kiat hampir tidak dapat percaya akan mata dan telinganya sendiri. Mau
rasanya ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi tentu saja ia merasa malu,
hanya jantungnya yang berdebar-debar menari-nari di dalam rongga dadanya.
“Sin Kiat, engkau telah
melihat sendiri. Adikku sudah sepatutnya menjadi ratu rumah tangga. Sekarang
harap engkau suka mengajak Lulu pergi dan mempersiapkan acara pernikahan.
Siapakah yang akan menjadi walimu dan di mana kiranya upacara itu akan
dilaksanakan?”
“Aku sudah mengambil keputusan
untuk mohon kepada suhu agar suka menjadi waliku, adapun tempatnya, kurasa
paling baik di rumah Tan-piauwsu.”
“Hemmm.... di
Pek-eng-piauwkiok? Di kota Kwan-leng?”
“Benar, aku tidak mempunyai
keluarga, dan Tan-piauwsu adalah orang yang amat baik, kuanggap keluarga
sendiri.”
“Baiklah. Kau berangkatlah
bersama Lulu ke Kwan-teng, buatlah persiapan upacara pernikahan. Tiga bulan
lagi semenjak hari ini, aku akan menyusul ke sana.”
Lulu tiba-tiba mengangkat muka
dan berkata, “Koko, kenapa begitu? Kenapa engkau tidak sekalian pergi bersama
kami? Engkau hendak pergi ke mana?”
“Masih ada urusan yang harus
kuselesaikan, Moi-moi. Pertama-tama, malam ini aku harus memenuhi tantangan
pibu dari Puteri Nirahai.”
“Aihhhhh....! Aku.... aku ikut
denganmu, Koko! Puteri Nirahai adalah suciku, dan engkau adalah kakakku. Kini
kalian hendak mengadu kepandaian. Suci amat sakti, Koko, bagaimana kalau....
kalau.... ahh, aku hendak menjadi saksi!”
“Tidak boleh, Lulu. Dia
mengajak pibu di tengah malam di puncak Gunung Cengger Ayam, hal ini berarti
bahwa dia tidak akan membawa teman dan tidak menghendaki saksi. Mungkin dia
merasa malu kalau-kalau akan kalah. Tenangkanlah hatimu, aku akan berusaha
mencapai kemenangan tanpa harus membunuhnya. Kau berangkatlah sekarang juga
bersama Sin Kiat dan tunggu kedatanganku di Kwan-teng tiga bulan lagi.”
Wajah Lulu menjadi pucat dan
ia terisak menangis. “Bagaimana kalau.... kalau engkau tidak datang, Koko? Kita
baru saja bertemu dan berkumpul dan.... dan.... engkau sudah menyuruhku
pergi.... aku tidak ingin berpisah denganmu.”
Han Han merasa jantungnya
perih, akan tetapi ia memaksa diri tersenyum dan memegang pundak adiknya. “Aku
pasti akan datang, Lulu. Tidak ada peristiwa yang lebih penting bagiku
melebihi upacara pernikahanmu, melihat engkau berbahagia. Hanya kematian saja
yang akan mampu menggagalkan kedatanganku tiga bulan mendatang di Kwan-teng,
akan tetapi andaikata demikian, aku pun akan puas karena percaya bahwa di
sampingmu ada Sin Kiat yang akan membela dan melindungimu dengan sepenuh jiwa
raganya. Berangkatlah, Lulu dan kau sudah berjanji akan menjadi adik yang
baik, yang mentaati permintaan kakaknya, bukan?”
“Koko....!” Lulu menubruk dan
karena Han Han sudah bangkit berdiri, ia merangkul kaki tunggal itu sambil menangis.
Berat sekali rasa hatinya untuk pergi meninggalkan Han Han. Hampir saja Han Han
tidak dapat menahan keharuan hatinya dan kalau ia sampai balas memeluk adiknya,
tentu dia akan membiarkan adiknya ikut dia dan kelak bersama-sama ke
Kwan-teng. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, lalu berkata kepada Sin Kiat
yang memandang penuh keharuan dan bingung apa yang harus ia lakukan.
“Sin Kiat, lekas kauajak Lulu
pergi, hari sudah hampir gelap, jangan sampai kalian kemalaman di jalan dan di
hutan.”
Sin Kiat menghampiri Lulu, memegang
lengan gadis itu dengan mesra dan hati-hati, mengangkatnya bangun dan berkata
halus, “Marilah, Moi-moi. Kakakmu memang benar, dan sepatutnya kalau kita
mentaati apa yang dikehendakinya. Tiga bulan lagi dia akan menyusul kita di
Kwan-teng. Dia bukantah orang yang tidak menepati janjinya, Moi-moi. Marilah!”
Sin Kiat menarik dengan halus dan terpaksa Lulu menurut, akan tetapi gadis itu
terisak-isak dan sambil berjalan digandeng Sin Kiat, ia menoleh memandang ke
arah kakaknya yang berdiri tegak sambil tersenyum, malah Han Han melambaikan
tangan, berkatat “Selamat jalan, Lulu adikku. Selamat berpisah sampai jumpa
kembali. Jangan kau nakal, ya?”
Tiba-tiba Lulu merenggutkan
lengannya terlepas dari gandengan Sin Kiat, lari menghampiri Han Han, merangkul
leher dan mencium pipi Han Han sambil tersedu-sedu. “Koko.... Koko.... sudah
tetapkah keputusanmu....?”
Han Han menahan air matanya
yang memenuhi pelupuk mata. “Pergilah, adikku sayang. Pergilah, doaku
bersamamu....”
Lulu terisak, melepaskan
rangkulan lalu lari meninggalkan Han Han. Terpaksa Sin Kiat juga lari dan dari
jauh Han Han melihat kedua orang muda itu lari cepat berdampingan. Air matanya
tak dapat ia tahan lagi, mengalir turun ke atas kedua pipinya, bersatu dengan
air mata Lulu yang membasahi mukanya, matanya tak pernah berkedip sampai
bayangan kedua orang itu lenyap.
“Bodoh! Lemah!” Han Han memaki
diri sendiri untuk menguatkan hatinya, akan tetapi kaki tunggalnya menjadi
lemas dan ia menjatuhkan diri berlutut di tempat itu, merasa kehilangan, merasa
sunyi dan mulutnya berbisik-bisik, “Semoga Tuhan memberkahimu, Lulu adikku
tersayang....!”
Han Han termenung dalam
keadaan itu, di tempat sunyi, sesunyi hatinya yang terasa kosong. Setelah
kegelapan menyelimuti dirinya, barulah ia teringat akan tantangan Nirahai dan
ia lalu meloncat bangun, menyambar tongkat yang tadi ia buat dari ranting
pohon, dan melesatlah tubuhnya cepat sekali menuju ke gunung kecil Cengger Ayam
untuk menghadapi Puteri Nirahai!
***
Puncak bukit kecil itu
merupakan padang rumput yang rata dan malam itu amatlah terang di situ karena
bulan sedang purnama. Mengertilah Han Han mengapa Puteri Nirahai memilih
tempat ini. Memang sunyi dan padang rumput itu luas, leluasa untuk dijadikan
tempat bertanding, pula malam itu bulan purnama membuat tempat itu terang
benderang seperti sinar matahari pagi.
Dia tiba di puncak menjelang
tengah malam. Di tempat yang sunyi ini Han Han duduk di atas rumput, diam-diam
merasa heran mengapa Puteri Nirahai menantang dia untuk pibu. Benarkah puteri
itu hendak memenuhi janji, datang di tempat yang sunyi ini? Benar-benar aneh
watak puteri itu. Mengajak pibu di tempat ini, tanpa saksi. Bagaimana kalau
terjadi seperti yang dikhawatirkan Lulu, yaitu seorang di antara mereka roboh,
terluka parah atau tewas? Tentu takkan ada seorang pun manusia mengetahui dan
akan terlantar! Apa boleh buat! Sebagai seorang gagah, dia harus berani
menghadapi kekalahan. Dan puteri itu, ahhh, akan tegakah hatinya untuk melukai
Nirahai? Dia harus berani mengaku di dalam hatinya bahwa hatinya amat tertarik
oleh kecantikan dara itu, bahkan segala gerak-gerik Nirahai amat menimbulkan
gairah hatinya. Dan kini dia akan menghadapi dara itu sebagai lawan! Bagaimana
ia harus bersikap? Mengalah? Tidak mungkin! Mengalah terhadap lawan biasa
mungkin saja dilakukan, akan tetapi terhadap seorang dara yang memiliki
kesaktian luar biasa seperti Nirahai, mengalah berarti menghina dan tentu akan
diketahui oleh dara itu!
Tiba-tiba Han Han meloncat
berdiri ketika melihat bayangan yang amat cepat dan ringan sehingga tidak
menimbulkan suara, berkelebat mendatangi dari depan. Jantungnya berdebar
keras. Puteri Nirahai telah berdiri di depannya, cantik jelita seperti dewi
bulan turun dari kahyangan, rambutnya yang hitam mengkilap tertimpa cahaya
bulan, wajahnya yang jelita seolah-olah diselaput emas, sepasang matanya
bersinar-sinar. Puteri ini benar-benar telah menepati janji, datang tepat pada
tengah malam dan seorang diri! Betapa gagahnya!
“Bagus, engkau telah menanti
di sini? Marilah kita mulai!” Dara itu telah melintangkan pedang payungnya di
depan dada.
Terpincang-pincang dibantu
tongkatnya Han Han maju tiga langkah menghadapi puteri itu. “Puteri Nirahai,
apakah perlunya diadakan pibu ini? Di antara kita tidak ada urusan sesuatu,
perlu apa bertanding tanpa sebab yang hanya akan mendatangkan kematian bagi
yang kalah dan penyesalan di kemudian hari bagi yang menang?”
“Hemmm.... Suma Han, tidak
akan mudah bagimu untuk membunuh aku begitu saja seperti yang kaulakukan
terhadap Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li siang tadi!”
Han Han tersenyum. Puteri ini
cantik, lihai, cerdik akan tetapi juga angkuh dan bersikap agung sesuai dengan
kedudukannya sebagai puteri kaisar! “Katakanlah aku yang akan kalah dan mati
di tanganmu. Apakah kelak engkau tidak akan menyesal telah membunuh orang
tanpa sebab dan tanpa dosa?”
“Tiada gunanya bersilat lidah.
Baiklah kukatakan saja sebabnya agar engkau tidak menjadi penasaran dan
menganggap aku gila bertanding! Engkau adalah murid Bibi Guru Khu Siauw Bwee
yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang dahsyat, bukan? Dan aku adalah
murid guruku Nenek Maya. Timbullah keinginan hatiku untuk membuktikan siapa
yang lebih unggul di antara kita!”
Han Han menghela napas
panjang. “Puteri Nirahai, sebenarnya di sudut hatiku, aku amat membenci penggunaan
kekerasan. Membenci perkelahian. Selama ini aku hanya dipaksa untuk berkelahi,
padahal aku tidak suka untuk bertanding, apalagi dengan engkau yang gagah
perkasa dan lihai. Engkau adalah pewaris ilmu-ilmu yang dahsyat dari
pendekar-pendekar sakti jaman dahulu, pewaris ilmu-ilmu dari pendekar wanita
Mutiara Hitam, menjadi murid Nenek Maya yang maha sakti. Biarlah, tanpa
bertanding pun aku sudah mengakui keunggulanmu dan aku mengaku kalah.”
“Suma Han, apa kaukira aku ini
anak kecil yang dapat kaubujuk dengan kata-kata mengalah seperti diberi kembang
gula? Tidak, aku tidak mau menerima alasan seperti itu. Aku menantangmu untuk
pibu dan aku hanya akan meniadakan pibu ini kalau engkau mengaku bahwa engkau
takut dan pengecut, tidak berani melawanku!”
Wajah Han Han menjadi merah.
Ia bukan seorang bodoh dan maklum bahwa sengaja puteri itu menggunakan
kata-kata “pengecut” hanya untuk memaksanya. Dia tidak dapat mundur lagi. Bagi
seorang gagah, dianggap takut dan pengecut lebih hebat daripada mati.
“Hemm, baiklah. Agaknya engkau
sudah bertekad untuk menguji kepandaianku yang tidak seberapa ini. Hanya satu
pesan dan permintaanku kepadamu sebelum kita mulai bertanding, Puteri Nirahai.”
“Katakanlah, engkau cerewet
benar. Apa pesanmu?”
Han Han tersenyum. Sikap dara
ini, biarpun seorang puteri kaisar yang angkuh, mengingatkan ia akan kegalakan
Lulu!
“Kalau aku menang dan
kesalahan tangan sampai membuatmu tewas dalam pertandingan ini, aku akan
menyesali peristiwa ini selama hidupku, engkau akan selalu terbayang olehku dan
hidupku akan selalu dibayangi penyesalan yang hebat. Sebaliknya kalau aku yang
tewas, dan agaknya begitulah mengingat akan kesaktianmu, aku pesan kepadamu,
sudilah kiranya engkau tiga bulan mendatang ini mengunjungi Kwan-teng, di
Pek-eng-piauwkiok dan mewakili aku melaksanakan upacara pernikahan antara
adikku Lulu dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat. Maukah engkau berjanji?”
Puteri itu kelihatan kaget dan
termangu-mangu. “Sumoi.... akan.... kawin?” Akan tetapi ia sudah menguasai
hatinya dan menjawab tenang, “Baiklah, aku berjanji memenuhi pesanmu itu. Mari
kita mulai!”
“Aku sudah siap!” kata Han
Han, memandang tajam penuh kewaspadaan karena ia maklum bahwa senjata berupa
payung itu tidak boleh dipandang ringan.
“Sambut serangan!” Nirahai
berseru dan tiba-tiba mata Han Han menjadi gelap karena payung hitam itu
terbuka menyembunyikan tubuh Nirahai dan tahu-tahu ujung payung yang runcing
itu sudah meluncur ke arah dadanya. Hebat bukan main serangan ini. Han Han
kaget dan kagum, akan tetapi cepat mengangkat tongkatnya menangkis dengan
putaran pergelangan tangannya.
“Cring-cring-cring....!”
Setelah tiga kali menangkis, baru Nirahai menghentikan tusukan bertubi-tubi
dan berganti gerakan, payungnya tiba-tiba tertutup dan tangan kirinya menampar
dari samping mengarah pelipis Han Han, sedangkan payung yang tertutup itu
meluncur dengan totokan ke arah lutut kiri lawan!
Han Han cepat mengelak dan
melihat serangan itu disusul dengan serangan-serangan dahsyat sekali secara
bertubi-tubi, terpaksa ia lalu bersilat dengan gerak kilat yang membuat
tubuhnya seolah-olah menghilang, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun! Namun
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat dara itu memutar pedang
payungnya sambil berputaran, mengarahkan pedang payungnya itu ke atas! Seperti
diketahui, ilmunya Soan-hong-lui-kun yang berdasarkan gerak kilat itu selalu
menitikberatkan serangan dari atas, menggunakan kesempatan selagi tubuhnya
mencelat-celat ke atas yang kecepatannya tak mungkin dapat dicapai orang yang
berkaki dua. Akan tetapi kini Nirahai memutar tubuh dan pedangnya sehingga
tubuhnya bagian atas seperti diselimuti atau dilindungi benteng baja yang tak
mungkin ditembus oleh air hujan sekali pun! Inilah ilmu terbaru yang diajarkan
Nenek Maya kepada Nirahai yang khusus diciptakan untuk menghadapi
Soan-hong-lui-kun!
Han Han menjadi penasaran juga
karena sama sekali dia tidak mendapat kesempatan menyerang kalau menggunakan
gerak kilatnya, maka ia meluncur turun dan membalas serangan lawan dengan
mainkan tongkatnya, mencampur-adukkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut dengan
gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es.
Nirahai sama sekali tidak
berani memandang rendah. Tadi ketika tubuh Han Han mencelat dan lenyap, ia
kaget setengah mati. Cepat ia mainkan ilmu yang diajarkan subonya melindungi
tubuhnya bagian atas. Ia maklum bahwa kalau saja dia tidak mempelajari ilmu
baru itu, tentu dia akan tak sanggup menghadapi ilmu mencelat-celat seperti itu
yang kecepatannya saja sudah membuat pandang matanya kabur, seolah-olah yang
dihadapinya bukan manusia melainkan iblis yang pandai menghilang! Kini setelah
Han Han menyerangnya dengan tongkat yang dimainkan secara kuat dan cepat,
hatinya menjadi tenang dan ia pun menggerakkan pedang payungnya mengimbangi
permainan lawan sehingga kedua orang yang sama kuatnya ini bertanding secara
hebat dan seru. Berkali-kali terdengar suara nyaring ketika pedang payung
bertemu dengan tongkat, dan terdengar bunyi bercuitan atau berdesingan kalau
senjata mereka yang menyambar itu dielakkan lawan yang menusuk tempat kosong.
Han Han merasa tidak tega
kalau dia menggunakan sin-kangnya yang luar biasa, yang sukar dicari bandingnya
di dunia persilatan masa itu. Juga dia merasa bahwa kalau dia menangkan
pertandingan mengandalkan tenaga, ia merasa malu sendiri. Dia adalah seorang
pria, dan lawannya seorang wanita. Baru pembawaan mereka saja sudah berbeda
semenjak lahir, tentu saja pria lebih kuat. Maka dia hanya menggerakkan tenaga
sin-kang sedikit saja untuk mengimbangi kekuatan Nirahai.
Akan tetapi, betapa kagetnya
ketika ia mendapat kenyataan bahwa hampir ia kecelik dan celaka karena perasaan
sungkan ini. Ketika pedang payung itu untuk kesekian kalinya menyambar, dan ia
menangkis dengan tongkat, tiba-tiba tongkatnya melekat pada senjata lawan dan
payung itu diputar dengan pengerahan tenaga sin-kang sedemikian kuatnya sehingga
tongkatnya ikut pula terputar! Dia memperbesar tenaganya untuk bertahan, namun
masih saja tongkatnya terbawa! Kalau dilanjutkan, tentu tongkatnya itu akan
patah atau akan terlepas, maka terpaksa ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah
mengerahkan delapan bagian tenaganya, barulah tongkatnya terlepas!
“Hebat!” Tak terasa lagi Han
Han berseru karena kini ternyata olehnya bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dara
ini sama sekali tidak boleh dipandang rendah, bahkan belum tentu kalah oleh
para datuk kaum sesat, malah agaknya sebanding dengan tenaga kedua orang
pendeta Lama dari Tibet, berarti hanya selisih sedikit di bawah tenaganya
sendiri!
“Sombong! Engkau boleh mengandalkan
sin-kangmu!” Nirahai berkata dan wajah Han Han menjadi merah. Menghadapi dara
secerdik ini dia harus berhati-hati. Baru jalan pikirannya saja yang tadinya
tidak mau mengandalkan sin-kangnya telah dapat diterka tepat oleh Nirahai!Han
Han mengerahkan kecepatannya dan masih mainkan tongkatnya dengan Siang-mo
Kiam-sut. Dasar dari ilmu pedang ini tentu saja dikenal oleh Nirahai yang
telah mewarisi banyak ilmu-ilmu peninggalan Mutiara Hitam. Siang-mo Kiam-sut
diciptakan oleh pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, akan tetapi tidak pernah
dipelajari Nirahai karena memang peninggalan kitabnya tidak ada. Hanya saja,
karena Han Han mainkan ilmu pedang ini dengan pencampuran ilmu-ilmu yang
dilatihnya di Pulau Es, Nirahai menjadi bingung dan bersikap hati-hati. Pertama-tama
dara ini menutup payungnya, mainkan payungnya seperti sebatang pedang dengan
ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat yang gerakannya liar dan ganas, sesuai dengan
namanya Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis). Hebat bukan main ilmu
pedang peninggalan Mutiara Hitam ini, akan tetapi masih belum dapat mendesak
Han Han.
Pemuda ini pun merasa jengah
dan malu kalau mengalah lagi. Biarpun dia masih tidak mau menggunakan pukulan
maut, namun sambil memainkan tongkatnya, ia masih menggunakan tangan kirinya,
didorongkan ke depan dari samping atau dari bawah, sehingga hawa yang amat kuat
menyambar keluar dari telapak tangannya, kadang-kadang ia menggunakan tenaga
hawa panas, kadang-kadang hawa dingin, akan tetapi selalu ia memukul ke arah
pangkal bahu, lengan, atau paha. Namun betapa kagumnya ketika dara itu tak
sempat mengelak lagi, dara itu pun dapat menangkis dengan kibasan tangan
kirinya yang mengeluarkan hawa sin-kang yang hampir sama kuatnya sehingga hawa
pukulannya menyeleweng!
Sampai habis semua jurus-jurus
dari Pat-mo Kiam-hoat dimainkan Nirahai, namun keadaannya tetap terdesak oleh
tongkat Han Han. Gadis ini memang hendak menguji, maka ia lalu mengeluarkan
bentakan halus dan tiba-tiba ilmu pedangnya berubah sama sekali, berbeda
seperti bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan yang tadi. Kalau pedang
payungnya tadi bergerak seperti iblis-iblis mengamuk, ganas dan liar, kini
gerakannya halus teratur rapi, kelihatannya lambat namun sesungguhnya cepat,
kelihatan lemah namun sesungguhnya menyembunyikan kekuatan dahsyat sehingga
setiap kali pedang payung itu bergerak, terdengar suara bercuitan panjang!
Inilah Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang dahulu
dicipta sebagai lawan dari Pat-mo Kiam-hoat dan tentu saja lebih kuat dan
dahsyat daripada ilmu pedang yang pertama, dan Han Han kagum bukan main karena
segera ia terdesak hebat! Namun ia juga mengerahkan seluruh kepandaiannya,
terutama sekali mengandalkan gerak kilatnya sehingga dalam kecepatan ia selalu
mengetahui dan selalu dapat mengelak atau menangkis sambil membalas dengan
hebat sehingga perlahan-lahan ia dapat mengurangi desakan lawan, bahkan setelah
lewat seratus jurus lebih, dia kembali telah mendesak puteri itu sehingga
perbandingan serangan menjadi tiga dua yaitu dia menyerang tiga kali hanya
dapat dibalas dua kali oleh Nirahai.
Kembali dua ratus jurus telah
lewat dan pertandingan sudah berjalan kurang lebih empat jam! Sinar bulan makin
menyuram tanpa terasa dan tahu-tahu keadaan telah menjadi gelap karena bulan
sudah lenyap di balik puncak. Tiba-tiba Han Han meloncat ke belakang dan menghentikan
serangannya.
“Cuaca begini gelap, sebaiknya
kita menghentikan pertandingan,” katanya.
“Sambut seranganku!” Nirahai
yang kini hanya mengandalkan ketajaman telinganya sudah menerjang dengan
luncuran ujung pedang payungnya.
“Cringgg....!” Han Han
menangkis dan kembali pemuda itu meloncat, menggunakan gerak kilat sehingga
loncatannya tidak menimbulkan suara dan puteri itu menjadi bingung karena tidak
tahu ke mana Han Han menyingkir, sedangkan untuk menggunakan mata sudah tak
mungkin lagi saking gelapnya cuaca yang kehilangan sinar bulan sedangkan
matahari masih terlalu pagi untuk dapat menggantikan kedudukan bulan.
“Hemmm, Suma Han! Di mana engkau?
Apakah engkau melarikan diri?” Terpaksa Nirahai bertanya, siap dengan pedang
payungnya karena begitu Han Han menjawab, dia akan dapat menyerangnya.
Sunyi tiada jawaban.
“Suma Han, apakah engkau
seorang pengecut?” Nirahai bertanya lagi, gemas karena merasa dipermainkan. Dia
tidak percaya bahwa pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa itu melarikan
diri.
“Jangan menyerang dulu! Dalam
keadaan gelap seperti ini, bagaimana bisa dilakukan pibu secara jujur dan adil?
Kita tunggu sampai pagi dan kita boleh melanjutkan pertandingan. Pula, aku
lelah sekali, ingin mengaso!”
“Kita masih mempunyai telinga!
Awas serangan!” Nirahai meloncat ke depan dan menusukkan senjatanya ke arah datangtiya
suara tadi.
“Trakkk!” Nirahai terkejut
karena senjatanya menusuk sebuah batu besar. Kiranya pemuda itu bersembunyi di
balik batu besar!
Han Han menahan ketawanya dan
berkata, “Nirahai, mengapa engkau seperti haus akan darahku? Aku memiliki
gerakan kilat yang jika kupergunakan dalam gelap ini, aku akan mudah menyerangmu
dari belakang tanpa kauketahui. Akan tetapi aku bukan seorang pengecut curang
yang hendak menggunakan kelebihan ini untuk mencapai kemenangan dalam gelap.
Kita menanti sampai pagi, kalau tidak mau, terpaksa aku akan pergi saja, tidak
mau melayani engkau yang haus darah!”
Nirahai penasaran dan marah
sekali, tetapi ia tahu bahwa ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Ia menghela
napas dan segera duduk bersila di atas rumput, menjawab lirih, “Aku akan
menanti sampai sinar matahari pagi menerangi cuaca.”
Han Han menjadi lega hatinya.
Bertanding melawan seorang yang sakti seperti dara itu di dalam gelap,
benar-benar amat berbahaya dan kalau dia menghendaki kemenangan, agaknya dia
harus terpaksa merobohkan dara itu yang mungkin akan tewas. Padahal dia sama
sekali tidak menghendaki terjadinya hal itu. Sama sekali tidak. Setelah empat
ratus jurus lebih bertanding melawan gadis ini, dia merasa makin tertarik,
makin kagum dan menaruh hati sayang. Maka ia pun lalu duduk bersila untuk
memulihkan tenaganya dan mengatur pernapasannya.
Setelah berhenti bertanding,
berhenti menggerakkan tubuh, baru terasa oleh Nirahai betapa lelahnya dia dan
betapa dinginnya hawa udara menjelang pagi itu. Dia ingin mengaso dan
memulihkan tenaga, maka tidak mau menggunakan tenaga sin-kang untuk melawan
hawa dingin. Akan tetapi, dengan demikian ia menderita oleh hawa dingin
sehingga mulutnya menggigil dan kedua baris giginya saling beradu.
Han Han adalah seorang yang
telah tinggal selama bertahun-tahun di Pulau Es, bahkan melatih sin-kang di
sana, maka tentu saja hawa dingin di puncak Bukit Cengger Ayam ini baginya
sama sekali tidak terasa dingin. Dia boleh mengaso dan memulihkan tenaga
dengan tenang, sama sekali tidak menderita hawa dingin. Akan tetapi telinganya
yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara gigi dara itu yang saling
beradu karena menggigil maka timbullah rasa iba di hatinya. Tanpa bicara
sesuatu ia lalu pergi mencari kayu, membuat api unggun di dekat Nirahai. Semua
ini ia lakukan tanpa bicara karena ia tahu bahwa seorang dengan hati sekeras itu
tentu akan tersinggung kalau ia membuka mulut. Ia membuat api unggun, seolah-olah
dia sendiri yang membutuhkannya, akan tetapi setelah api unggun itu menyala
besar, ia lalu pergi menjauh dan duduk di bawah sebatang pohon, menanti
datangnya pagi.
Nirahai menjadi gelisah dan
tak dapat bersamadhi sebagaimana mestinya. Jantungnya berdebar-debar keras.
Pemuda yang hebat sekali, kepandaiannya benar-benar luar biasa dan sukar
dicari keduanya. Dan hatinya begitu mulia. Kalau keadaan tidak segelap itu,
tentu ia akan menyembunyikan mukanya yang terasa panas dan tentu merah sekali
ketika Han Han membuat api ungggun. Betapa bijaksana pemuda itu yang tidak mau
mengeluarkan suara, namun dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti betapa
pemuda itu sengaja menbuat api unggun untuk dia! Pemuda itu tahu bahwa dia
menderita kedinginan maka membuatkan api unggun sehingga kini tubuhnya terasa
hangat dan dia tidak terganggu hawa dingin sehingga dapat mengaso dan
memulihkan tenaga dengan bersamadhi. Akan tetapi, kini bukan hawa dingin yang
mengganggunya, melainkan hatinya yang berdebar keras!
Sinar matahari pagi mulai
bercahaya kemerahan, perlahan-lahan akan tetapi pasti sinar itu makin menjadi
terang dan mulai mengusir kabut tebal yang menyelimuti puncak bukit kecil itu.
Kabut lari membawa serta hawa dingin sehingga permukaan puncak bermandi cahaya
matahari dan bumi mengeluarkan hawa yang hangat seolah-olah menyambut dengan
hangat mesra kedatangan sinar matahari. Rumput-rumput hijau tegak semua,
kehijauan dengan ujung terhias mutiara air embun, seperti perawan-perawan
jelita yang muda dan segar sehabis mandi pagi.
“Suma Han, mari kita lanjutkan
pertandingan!”
Han Han membuka kedua matanya,
sejenak ia mengagumi keindahan cahaya matahari bercumbu dengan daun-daun pohon
dan rumput-rumput, kemudian ia menoleh dan memandang kepada Puteri Nirahai yang
sudah berdiri tegak dengan pedang payung di tangan. Biarpun hampir semalam
bertanding dan sama sekali tidak tidur, dara itu tidak tampak lesu atau kusut,
bahkan wajahnva segar kemerahan, hanya rambutnya yang sedikit terurai kusut
namun malah menambah kecantikannya yang aseli.
“Suma Han, aku sudah
siap! Mari kita lanjutkan!” Nirahai menegur lagi ketika melihat pemuda itu
hanya bengong memandang wajahnya.
Han Han menghela napas panjang,
lalu bangkit perlahan bersandar pada tongkatnya. Ia bersungut-sungut dan
suaranya membayangkan penyesalan hatinya, “Ah, sepagi ini enaknya mandi-mandi
lalu minum teh panas menyegarkan tubuh! Akan tetapi engkau sudah mendesakku
mengajak bertanding. Nirahai, demikian besarkah rasa sukamu akan berkelahi?
Tiada bosan-bosannya setelah setengah malam kita bertanding?”
Sepasang alis Nirahai
bergerak. “Semalam kita belum selesai bertanding, terhalang kegelapan dan aku
pun belum merasa kalah. Mari kita segera melanjutkan untuk menyelesaikan pibu
agar diketahui siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Han Han mengerti bahwa seorang
seperti puteri ini kalau sudah menghendaki sesuatu pasti akan dikejarnya
sampai dapat. Dia harus menyelesaikan pertandingan ini, dan dia akan
mengalahkan Nirahai untuk menundukkan hati yang keras ini, untuk menundukkan
keangkuhannya.
“Baiklah, Nirahai, kalau
demikian kehendakmu. Majulah!” Han Han menantang sambil melintangkan
tongkatnya di depan dada dan kaki tunggalnya berdiri tegak, sepasang matanya
memandang tajam bersinar-sinar.
Ketika tadi bersamadhi,
Nirahai memutar otaknya. Dia telah mengeluarkan Pat-mo Kiam-hoat, kemudian
malah mainkan Pat-sian Kiam-hoat, namun kedua ilmu pedangnya yang sukar dicari
tandingannya itu ternyata tidak mampu mendesak Han Han. Dia sudah mengambil
keputusan untuk mengeluarkan seluruh simpanan ilmunya untuk menguji kepandaian
pemuda berkaki satu ini. Maka begitu melihat sikap Han Han, ia lalu membentak
nyaring dan kedua tangannya bergerak.
“Sambut jarum-jarumku!”
Han Han melihat berkelebatnya
sinar-sinar kecil dan mencium bau yang amat harum. Ia kagum dan terkejut.
Jarum-jarum yang mengeluarkan bau harum ini amat berbahaya, selain cepat
seperti menyambarnya kilat, juga bau yang harum itu memabukkan, dapat menyeret
perhatian lawan sehingga kurang cepat menyelamatkan diri, dan mencium baunya
yang harum, Han Han dapat menduga bahwa tentu senjata-senjata rahasia yang
halus dan paling berbahaya, di antara segala senjata rahasia ini tentulah mengandung
racun. Maka ia pun cepat menggerakkan tubuhnya, mencelat ke sana sini. Nirahai
terus menggerakkan kedua tangannya, menyambit dengan jarum-jarumnya ke mana
pun bayangan Han Han berkelebat. Dan dara ini benar-benar kagum sekali.
Jarum-jarumnya memang ia pergunakan untuk menguji sampai di mana kehebatan
gin-kang dari pemuda itu, sampai di mana kecepatan gerak kilatnya. Dia sendiri
tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan itu dengan gerakan tubuhnya, maka ia
menggunakan jarum-jarumnya. Dan ternyata, jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum
Racun Harum) yang biasanya sekali lepas tentu mengenai lawan itu, kini tidak
ada artinya sama sekali terhadap Han Han. Sampai habis semua jarumnya
disambitkan, tidak sebatang pun mengenai Han Han yang terus berloncatan mengerahkan
ilmunya Soan-hong-lui-kun! Setelah dara itu tidak menyambit lagi karena
jarumnya habis, barulah Han Han meloncat turun di tempat tadi, mukanya biasa
saja hanya matanya memandang tajam ke arah Nirahai.
Nirahai yang selain merasa
kagum juga merasa penasaran sekali, cepat menerjang maju dengan pedang
payungnya. Han Han sudah siap dengan tongkatnya, mulai ia mengelak ke sana-sini
untuk melihat dulu sifat-sifat serangan gadis itu. Apakah akan menggunakan ilmu
pedang yang telah dimainkan semalam? Akan tetapi ternyata tidak, dan sekali
ini permainan pedang payung itu berbeda lagi dengan kedua ilmu pedang yang
sudah dimainkan semalam. Jauh lebih aneh dan hebat karena sekarang Nirahai
telah membuka payungnya dan mulailah ia mainkan ilmu pedang simpanannya yang
paling diandalkan, yaitu Tiat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Payung Besi) yang
merupakan penggabungan dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat dan Ilmu Pedang
Pat-sian Kiam-hoat! Payung itu membuka menutup secara tiba-tiba dan terputar
merupakan perisai dan menyembunyikan gerakan-gerakan Nirahai. Sehingga datangnya
serangan dengan ujung payung meruncing itu sama sekali tidak dapat diduga
oleh Han Han. Setelah Nirahai mainkan ilmu pedangnya yang aneh ini, Han Han
terkejut sekali dan terdesak hebat! Namun ia dapat menghindarkan bahaya dengan
loncatan dan gerak kilatnya.
Sambil mengelak ini ia
diam-diam memperhatikan dan merasa kagum karena ilmu yang dimainkan dara ini
memang luar biasa sekali, kelihatan kacau-balau namun menyembunyikan
jurus-jurus yang mengerikan. Itulah penggabungan dua macam ilmu pedang yang
sesungguhnya berlawanan sifatnya!
“Kiam-sut yang aneh!” Han Han
berseru dan kini terpaksa ia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya sehingga
tongkatnya menggetar mengandung hawa Hwi-yang Sin-ciang dan setiap kali menangkis
pedang payung, Nirahai merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat dan
hampir saja payung itu terlepas dari pegangannya! Ia mengeluarkan suara melengking
keras dan memperhebat desakannya. Namun, gerakan Han Han terlampau cepat baginya,
apalagi pada saat pemuda itu hampir terkena serangan, tangkisan tongkat pemuda
itu membuat Nirahai terhuyung mundur. Tangkisan dengan pengerahan tenaga yang
mujijat itu benar-benar terlampau kuat bagi Puteri ini.
Kembali dua ratus jurus lewat
dan dengan ilmu gabungan itu, masih juga Han Han tak dapat dirobohkan oleh
Nirahai! Dara itu menjadi marah dan penasaran sekali, tiba-tiba ia membentak
dan pedang payungnya membuat gerakan serangan yang amat ganas. Senjatanya itu
berubah menjadi gulungan sinar melingkar-lingkar yang menutupi jalan keluar
Han Han karena sudah mengurung di bagian atas, tidak memberi kesempatan bagi
Han Han untuk meloncat ke atas, sedangkan tangan kiri dara itu memukul dengan
ilmu pukulan maut Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ulat Sakti)! Bukan main ganas
dan dahsyatnya ilmu-ilmu itu sehingga Han Han berseru kaget. Terpaksa ia
mengerahkan tenaga pada tongkatnya, menangkis dan dengan tangan kirinya ia
mendorong ke arah pukulan lawan.
“Krekkk! Plakkk.... desssss!”
Cepat sekali terjadinya. Payung itu patah menjadi dua, telapak tangan kiri
mereka bertemu dan.... lambung kiri Han Han dicium ujung sepatu Nirahai yang
mengirim tendangan kilat.
Han Han mencelat ke belakang,
menyeringai menahan rasa nyeri karena biarpun ia tidak terluka dalam, ujung
sepatu yang runcing itu membuat kulit lambungnya lecet! Di lain fihak, Nirahai
dengan muka pucat memandang gagang payungnya.
“Maaf, Nirahai. Aku telah kena
kautendang, aku mengaku kalah.”
Nirahai memandang dengan mata
mendelik, akan tetapi bagi Han Han, dara itu tampak makin menarik, mengingatkan
ia kepada Lulu kalau sedang ngambek!
“Suma Han, benar bahwa pedang
payungku telah patah, akan tetapi aku pun telah berhasil menendangmu, maka jangan
kau mentertawakan aku lebih dulu. Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan!”
Setelah berkata demikian, Nirahai menerjang maju menyerang Han Han.
“Aiiihhhhh....!” Han Han
terkejut ketika melihat sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan tahu-tahu
ada hawa yang mujijat menyambar ke arah dadanya ketika sinar kuning emas itu
meluncur dan menusuk dada.
“Tranggggg....!” Ia menangkis
dengan tongkatnya dan keduanya terpental mundur.
Han Han memandang dengan mata
terbelalak. “Aihhh.... itukah senjata keramat Suling Emas?” Ia berseru.
Nirahai tersenyum mengejek, yakin
akan keampuhan senjata di tangannya. “Payungku telah kaupatahkan, akan tetapi
aku masih memegang suling keramat ini, Suma Han. Hendak kulihat apakah engkau
akan dapat mengalahkan senjata keramat ini!”
“Ahhh, Nirahai, mengapa engkau
menggunakan senjata keramat itu hanya untuk menguji kepandaianku? Kalau sampai
aku tewas, hal itu tidaklah amat penting, akan tetapi kalau senjata keramat itu
sampai minum darahku, bukankah hal itu patut disesalkan? Bukankah hal itu
berarti engkau mengotorkan senjata keramah itu? Marilah kita hentikan, atau
kalau dilanjutkan juga, kita menggunakan kedua tangan kosong!”
“Hemmm, kaukira aku sebodoh
itu mudah saja kautipu? Engkau mengandalkan sin-kangmu yang amat kuat, kalau
kita bertanding dengan tangan kosong, tentu aku yang kalah. Apakah kau takut
menghadapi aku yang bersenjata suling emas?”
“Engkau memang nekat!
Marilah!” Han Han berkata, jengkel juga melihat desakan dara ini.
“Sambut ini!” Nirahai sudah
menerjang cepat dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat dengan
suling emas. Terdengar suara aneh seolah-olah suling itu ditiup, tampak sinar
gemerlapan menyilaukan mata dan terbentuklah gulungan sinar kuning emas
melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan
bermain-main di dalam sinar matahari pagi!
Perlu diketahui bahwa Ilmu
Pedang Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dahulu dimiliki pendekar
sakti Suling Emas, dan memang paling tepat dimainkan dengan senjata keramat
ini. Malam tadi Nirahai sudah mainkan Pat-sian Kiam-hoat untuk menyerang Han
Han akan tetapi dia tidak berhasil karena dia mainkan ilmu itu dengan pedang
payung. Kini setelah ia mainkan ilmu itu dengan suling emas, kehebatannya menjadi
berlipat ganda sehingga kembali untuk kesekian kalinya Han Han terdesak hebat.
Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengandalkan kecepatannya, akan
tetapi ia lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang sehingga
setelah lewat seratus jurus, sudah dua kali ia dicium ujung suling, yaitu pada
pangkal lengan kirinya dan pada pahanya sehingga baju di bagian itu robek dan
kulitnya berdarah. Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga
ia masih dapat bertahan dan tidak roboh. Rasa penasaran membuat dia melakukan
perlawanan sekuatnya. Tadinya memang dia tidak suka mengandalkan sin-kangnya
untuk mengalahkan Nirahai karena ia khawatir kalau-kalau akan mengakibatkan
Nirahai terluka parah atau tewas. Akan tetapi kini melihat desakan Nirahai yang
seolah-olah hendak bersikeras membunuhnya, mulailah ia melawan.
Ketika sinar kuning emas yang
menyilaukan matanya itu menyambar ke arah dada, ia cepat menggerakkan tongkat
di tangan kirinya untuk menangkis dan terus mengerahkan sin-kang sehingga
suling itu melekat pada tongkatnya. Nirahai mengeluarkan seruan kaget karena
tiba-tiba suling yang dipegangnya itu menjadi panas seperti dibakar, telapak
tangannya terasa panas sekali. Maklumlah ia bahwa pemuda itu menggunakan
Hwi-yang Sin-ciang. Ia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan sedangkan tangan
kirinya ia hantamkan ke perut Han Han dengan ilmu Sin-coa-kun. Akan tetapi Han
Han menerima pukulan ini dengan telapak tangan kanannya sambil mengerahkan
hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang.
“Plakkk!” Kepaian tangan
Nirahai menempel pada telapak tangan kanan Han Han dan seketika tubuh dara itu
menggigil!
“Lepaskan sulingmu....!” Han
Han membentak, suaranya halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan dara
itu.
“Tidak!” Nirahai membantah
biarpun tangannya yang memegang suling seperti dibakar rasanya dan dari tangan
kirinya menjalar hawa dingin yang membuat ia menggigil.
Kedua orang muda itu berdiri
seperti arca, saling tidak mau mengalah, akan tetapi juga saling menjaga agar
tidak mencelakakan lawan! Kalau Han Han menghendaki, dengan pengerahan tenaga
sin-kang sekuatnya, tentu Nirahai akan roboh dan tewas, akan tetapi dia tidak
tega melakukan hal ini. Di lain fihak, Nirahai yang kini sudah merasa yakin
benar bahwa dia tidak dapat mengalahkan Han Han, diam-diam menjadi kagum
sekali dan kini ia membuat ujian terakhir, yaitu ingin melihat apa yang akan
dilakukan Han Han. Akan membunuhnya? Ataukah.... seperti yang dia harapkan,
pemuda ini menaruh hati sayang kepadanya?
“Memalukan!” Tiba-tiba
terdengar bentakan halus dan tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke
arah dua orang muda itu. Nirahai dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka
terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat.
“Subo....!” Nirahai berseru
dan menghampiri Nenek Maya, dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya
menjadi merah sekali.
“Subo....!” Han Han berlutut
di depan Nenek Khu Siauw Bwee.
Akan tetapi kedua orang nenek
itu tidak mempedulikan murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang dengan
mata yang sukar dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan
penasaran bercampur aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti
itu.
“Suci....!” Akhirnya Nenek Khu
Siauw Bwee menegur, suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di
dalam suaranya ini.
“Sumoi....! Syukur.... engkau
masih hidup....!” Nenek Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga
perasaan apa yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Han Han dan Nirahai hanya
memandang dengan hati tegang menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek
sakti itu.
“Sumoi, jangan kira bahwa
muridmu telah dapat menangkan muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak
bersungguh-sungguh, kalau dia bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat
membunuh muridmu!”
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum
dan dengan suara tenang menjawab, “Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu?
Kulihat, Han Han yang mengalah tadi!”
“Tidak bisa. Muridku masih
lebih lihai daripada muridmu!” bentak Nenek Maya tidak mau kalah.
Nenek Khu Siauw Bwee yang
jelas memiliki watak lebih sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan
bertanya, suaranya keren, “Han Han, mengapa engkau tadi tidak menggunakan
seluruh tenagamu di saat terakhir? Mengapa engkau mengalah?”
Han Han tidak mau menyinggung
hati Nirahai, maka sambil menundukkan muka ia berkata, “Dia terlampau sakti,
subo. Teecu memang kalah.”
Wajah Nirahai menjadi makin merah
mendengar ini dan ia pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.
“Nirahai, ketika kalian berdua
berdiri mengadu tenaga tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang
dengan tendangan sakti ke arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan
nyawanya? Mengapa engkau mengalah?” Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya
galak.
“Maaf, subo. Teecu.... teecu
tidak mampu mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memang kalah!”
Han Han mengangkat muka.
Nirahai mengangkat muka. Dua pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak
bertaut, penuh perasaan dan seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu
terjadi pencurahan seribu kata-kata yang tak terucapkan, membuat keduanya
segera menunduk kembali dengan jantung berdebar.
“Hemmm.... bocah-bocah ini
saling mengalah, mana bisa diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi?
Sumoi, marilah kita lanjutkan sendiri!”
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum
mengejek. “Kita lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci? Baiklah,
tapi ingat, sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci.”
Nenek Maya tertawa dan Han Han
harus mengakui bahwa biarpun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika tertawa
nenek itu masih mempunyai daya tarik yang luar biasa! “Sumoi, sekarang pun
engkau masih takkan dapat mengalahkan aku!”
“Bagus! Kaukira setelah kakiku
buntung satu, engkau dapat memandang rendah kepadaku?” Nenek Khu Siauw Bwee
berkata marah.
“Majulah, Khu Siauw Bwee!”
Nenek Khu Siauw Bwee
mengeluarkan suara bentakan halus dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah
mencelat cepat sekali, gerakannya lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat
menyambar, dia sudah menyerang Nenek Maya. Akan tetapi Nenek Maya sudah
menggerakkan kedua tangan ke atas dan menyambut serangan sumoinya. Dua lengan
bertemu dan Nenek Khu Siauw Bwee mencelat ke atas lagi, terus
menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di lain fihak, Nenek Maya yang
sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu nenek kaki
tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tubuh menghadapi ke arah
menyambarnya tubuh sumoinya dan selalu dapat menangkis sambil balas memukul.
Pertandingan hebat sekali terjadi.
Han Han dan Nirahai yang masih
berlutut memandang bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak
berani mencampuri urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hubungan dekat
itu, suci dan sumoi! Mereka melihat pertandingan yang lebih hebat daripada
pertandingan mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Swee
menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya tegak
seperti seekor harimau yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke
bawah.
Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee
yang masih berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking
nyaring, tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram
ke ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoinya itu dan tangan
kedua orang nenek yang tidak saling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.
“Plak! Plak!”
“Celaka....!” Han Han dan
Nirahai berseru hampir berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang
betapa guru masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh
terguling. Akan tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan
tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee berkata lemah.
“Suci, engkau memang hebat!”
“Sumoi, engkau lihai!
Pukulanmu mendatangkan maut....!”
“Aku pun takkan dapat hidup
lagi, suci. Pukulanmu meremukkan isi dada....”
“Ah, sumoi.... Siauw Bwee....
aku telah berdosa besar padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi.... puluhan tahun
hidup menderita karena senelah kakimu kubikin buntung.... kaumaafkan aku
sumoi....”
“Tidak, Suci Maya.... akulah
yang menaruh kasihan kepadamu.... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan
tetapi kau.... ah, suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau.... kau
menderita batin yang hebat....”
“Sumoi....!”
“Suci....!”
Kedua orang nenek itu
merangkul saling menghampiri, lalu saling rangkul sambil menangis!
Han Han memandang dengan muka
pucat, sedangkan Nirahai memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han
Han melihat puteri itu menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri
seangkuh dan sekeras itu hatinya mengucurkan air mata!
Setelah bertangis-tangisan
dalam menghadapi maut itu, Khu Siauw Bwee berkata, “Suci, apakah engkau melihat
apa yang kulihat?”
“Maksudmu?”
“Murid-murid kita....!” Khu
Siauw Bwee berkata.
Maya tersenyum menyeringai
menahan rasa sakit di dadanya oleh tamparan tangan sumoinya di punggungnya
tadi. Ia mengangguk.
Khu Siauw Bwee menekan dadanya
yang tadi terpukul sucinya. “Suci...., kita sudah saling memaafkan.... biarlah
kita akhiri pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci....
mengajukan lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku....”
Nenek Maya tertawa
terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia berhenti tertawa karena dadanya menjadi
makin sesak. “Baik.... kuterima pinanganmu.... hi-hi-hik, bagus sekali, memang
pantas.... Nirahai menjadi isteri Suma Han....! Eh, sumoi, sayang kita tak
dapat menyaksikan....”
“Han Han, engkau mendengar
sendiri suci telah menerima pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami
Nirahai, bukan?”
Jantung Han Han memukul keras,
seolah-olah akan pecah dadanya. Ia menoleh ke arah Nirahai yang mukanya juga
menjadi pucat. “Subo, teecu.... teecu mana berharga untuk....?”
“Jangan bicara tentang
berharga atau tidak. Pendeknya, engkau mau atau tidak? Jawab!” Nenek Khu Siauw
Bwee berkata sambil menekan dadanya.
Han Han mengangguk dan tidak
berani melirik ke arah Nirahai. “Tentu saja...., teecu akan merasa bahagia dan
terhormat sekali, teecu mau, subo.”
“Hi-hi-hik, itulah jawaban
laki-laki! Eh, Nirahai, bagaimana dengan engkau? Maukah engkau menjadi isteri
pemuda kaki buntung ini? Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau
menjadi isteri seorang pemuda yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa
engkau takkan dapat menangkan Suma Han. Bagaimana?”
Nirahai yang biasanya tabah
itu, kini menundukkan mukanya yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih,
“Teccu.... menurut perintah subo.”
“Eh, bukan jawaban gagah itu!
Engkau mau atau tidak? Jawab!” Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu
Siauw Bwee tadi.
Nirahai menunduk makin dalam.
“Teecu.... teecu mau....”
Dua orang nenek itu tertawa,
tertawa bergelak-gelak sambil saling rangkul, dengan dua pasang mata tua mengeluarkan
air mata.
“Subo....!”
“Subo....!” Seperti berlumba
cepat Han Han dan Nirahai sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa
dua orang nenek itu telah tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan,
akan tetapi dalam ambang maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis!
Nirahai terisak menangis. Han
Han berlutut sambil menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu
dengan mata merah menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata
halus lirih.
“Lebih baik kita mengubur
jenazah mereka. Di mana sebaiknya dimakamkan?”
Nirahai mengangguk, juga
menjawab lirih, “Sebaiknya di sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan
sunyi.”
“Tepat sekali. Memang tempat
ini amat baik, bahkan merupakan tempat keramat bagi kita.”
Nirahai memandang wajah pemuda
itu. “Mengapa begitu?”
“Bukankah tempat ini yang
mempertemukan kita, bahkan.... yang menjadi saksi perjodohan kita?”
Nirahai menjadi merah mukanya.
Mereka saling berpandangan, kemudian dara itu berbisik, “Marilah kita menggali
tanah untuk makam mereka....”
Han Han meloncat bangun dan pemuda
ini merasakan kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangannya
terasa ringan ketika ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di bawah
pohon di pinggir padang rumput. Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah
patah, lalu menggunakan ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah
lubang di pinggir lubang yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlumba
dan Han Han sengaja mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu
selesai digali dalam waktu berbareng. Karena keduanya merupakan orang-orang
yang memiliki tenaga sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup
dalam telah tergali.
Dengan penuh khidmat dan tanpa
berbicara, mereka lalu mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup
lubang itu dengan tanah galian. Ketika melakukan ini, Nirahai menangis dan Han
Han menghiburnya dengan kata-kata halus. Setelah selesai Han Han mencari dua
buah batu besar dan kedua orang muda itu kembali seperti berlumba, mengukir
permukaan batu nisan dengan ujung tongkat dan ujung payung.
Han Han mengukir huruf-huruf
yang berbunyi :
MAKAM
NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK MAYA.
Adapun ukiran Nirahai berbunyi
sebaliknya:
MAKAM
NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW BWEE.
Ukiran Han Han lebih dalam,
tanda bahwa tenaganya lebih kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih
halus tulisannya. Kini tanpa bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran
masing-masing, Nirahai memperhalus ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu
memperdalam ukiran Nirahai. Setelah selesai, mereka lalu berlutut di depan
kedua nisan yang dipasang di depan makam kedua orang nenek sakti itu. Hari
telah menjadi malam dan kedua orang itu masih berlutut di depan makam.
Untuk mengusir hawa dingin,
Han Han membuat api unggun kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas
rumput dekat dengan Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han
Han menghela napas panjang dan berkata.
“Nirahai, aku merasa seperti
mimpi dan masih belum percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang
puteri kaisar seperti engkau, berkedudukan tinggi dan mulia, cantik jelita,
berilmu tinggi, mau menjadi calon isteri seorang seperti aku.... yang....”
“Ssttttt, jangan
lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan
aku?”
Mereka saling pandang dan kini
sinar mata mereka saling berusaha menembus dan menjenguk isi hati
masing-masing. Sinar api unggun yang bermain di wajah mereka membuat wajah
mereka kemerahan dan menyembunyikan warna kedua pipi mereka yang merah sekali.
“Telah lama sekali aku aku
jatuh cinta kepadamu, Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es....”
“Heee....? Menurut
keterangan Lulu, engkau masih kecil, baru berusia belasan tahun ketika kalian
datang ke pulau itu....! Betapa mungkin?”
“Benar, dan di sanalah, di
dalam Istana Pulau Es itu, pertarna kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus
hatiku telah terpikat.... dan aku telah jatuh cinta!”
Percakapan itu mengusir rasa
canggung kedua fihak dan Nirahai tertawa geli.
“Ihhh, kiranya engkau seperti
Lulu pula, suka bergurau! Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika
kau datang menyerbu, dan selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es!”
“Memang bukan engkau, Nirahai,
melainkan sebuah arca yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana
terdapat tiga buah arca, yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca
Subo Khu Siauw Bwee dan yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka
masih muda. Arca Subo Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu,
begitu aku bertemu denganmu, tentu saja bagiku sama halnya dengan bertemu
orang yang arcanya membuat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa
bahagia dan gembiranya rasa hatiku ketika subo menjodohkan aku dengan engkau?
Serasa kejatuhan bulan purnama....!”
Pada saat itu, bulan purnama
mulai muncul dan otomatis Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas
membuat wajah dara ini tampak nyata dan amat cantik jelita, sehingga Han Han
menahan napas saking kagumnya, kemudian ia memberanikan hati memegang tangan
dara itu yang duduk di sampingnya. “Nirahai.... betapa cantik jelita
engkau....”
Tangan Nirahai menggigil, akan
tetapi dia tidak melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia tersenyum.
Wanita manakah yang takkan berbesar hati penuh kebanggaan kalau dipuji
cantik? Apalagi yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya!
“Aku girang sekali mendengar
pernyataan isi hatimu, Han Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali
bahwa engkau telah berhasil mengalahkan aku dalam pibu....”
“Engkau tidak kalah! Dan
mengapa engkau merasa beruntung kalau kukalahkan?”
“Engkau sudah mendengar
sendiri kata-kata subo tadi. Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau
menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkann aku. Dan aku semenjak mendengar
obrolan Lulu tentang dirimu, bahkan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku
denganmu, semenjak itu, kemudian setelah bertemu, melihatmu dan melihat
kegagahanmu, hemmm.... aku akan merasa menyesal sekali andaikata engkau kalah
olehku.”
Bukan main besar hati Han Han
mendengar ini dan kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu.
Nirahai seperti lemas tubuhnya dan membiarkan kepalanya rebah di dada Han Han.
Sejenak mereka berdua tidak bergerak, bermandi cahaya bulan yang
tersenyum-senyum menyaksikan ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini. Han
Han membelai-belai rambut yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata,
mendengarkan debar jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik
yang amat merdu dan indah. Kemudian ia membuka matanya, dan mengangkat
pandang matanya ke atas untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang
mata itu menjadi lebar sekali dan amat indah seperti mata Lulu!
“Han Han, katakanlah. Mengapa
engkau jatuh cinta kepada arca subo di waktu muda yang kaukatakan serupa benar
dengan aku itu? Mengapa engkau jatuh cinta kepadaku?”
Sampai lama Han Han tidak
dapat menjawab, menatap wajah yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya
dari wajah yang jelita itu. Mata itu! Mulut itu! Dan ia teringat akan perasaannya
di waktu ia memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan
jawabannya, lalu berkata girang.
“Aku tahu! Aku tergila-gila
kepadamu, Nirahai, karena pertama-tama karena matamu!”
Nirahai terkekeh dan mendekap
mulutnya sendiri dengan tangan, matanya terbelalak lebar, “Karena mataku?
Hi-hik! Mataku kenapa?”
“Matamu begini indah....
seperti sepasang bintang di langit.... kulihat laut yang bening dalam di situ,
menghanyutkan....” jawab Han Han sambil memandang sepasang mata yang amat
indah itu, seperti mata Lulu!
“Ihhh, seperti laut yang
menghanyutkan? Mengerikan!”
“Tidak! Sama sekali tidak! Aku
akan rela dan bahagia sekali kalau mati hanyut di situ, tenggelam dalam lautan
kenikmatan yang membayang di dalam matamu. Matamu seperti.... seperti.... bulan
kembar....!”
“Hi-hik, kau aneh....” Nirahai
memejamkan matanya sehingga “bulan kembar” itu bersembunyi di balik pelupuk
dan dilindungi bulu mata yang kini menjadi tebal dan panjang, mendatangkan
bayangan-bayangan menggairahkan di atas pipi, membuat Han Han makin terpesona.
Kalau terbuka mata itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan
main!
“Kau bilang tadi, pertama-tama
karena mataku. Adakah yang ke dua?” tanya Nirahai tanpa membuka matanya.
“Memang ada, dan aku tidak
tahu yang mana yang lebih menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua
adalah.... mulutmu, Nirahai!”
Mata itu terbuka kembali,
terbelalak dan mengandung senyum terheran-heran.
“Mulutku....? Ada apa dengan
mulutku....?” suaranya penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga
geli dan heran.
“Mulutmu.... bibirmu....” Han
Han berbisik dan suaranya gemetar, pandang matanya tak pernah dapat melepaskan
sepasang bibir yang lunak halus kemerahan itu, yang kini bergerak-gerak
seperti menggigil seolah-olah bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat
bibir itu tak dapat diam, “entah mengapa, Nirahai.... melihat mulutmu....
bagiku seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melibat buah apel yang
masak....! Aku.... aku....” Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena
desakan rasa kasih bercampur berahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat
hatinya, membuat ia seperti tak sadar lagi menunduk, mencium bibir itu,
mencium mata itu, lalu mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya,
semesra-mesranya!
Mula-mula Nirahai tersentak
seolah-olah tubuhnya menjadi kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik
sedu-sedan dari rongga dadanya dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa
dia telah membalas ciuman pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu.
Sampai lama mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian,
kesadaran datang memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda
yang sejak kecil sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai
rangsangan hati masing-masing lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di
atas dada yang bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi
bulu matanya yang panjang.
“Ahhh, maafkan aku....!” Han
Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh
terasa panas menggigil.
“Bukan.... bukan salahmu, Han
Han....” Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam. Han Han yang
tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur maka
dia pun tidak bergerak, bersandar pada batang pohon tidak mau mengganggu kekasihnya
yang disangkanya pulas. Akan tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka
berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat
menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih daripada yang
telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.
“Nirahai, kekasih pujaan
hatiku.... terima kasih....”
Nirahai bangkit dan duduk
bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan. “Mengapa,
Han Han? Mengapa berterima kasih?”
“Engkau seperti membangkitkan
kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan
semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan
embun segar pada tunas melayu di bumi mengering.... engkau yang begini cantik
jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini
mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt....”
Nirahai cepat menggerakkan
tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han
Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
“Aku cinta padamu karena
engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena engkau dapat
mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati,
sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau
tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar.”
“Terima kasih, Nirahai. Terima
kasih!” Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai.
Sentuhan cluman ini terasa
menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian
lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu.
Malam terlewat amat cepat bagi
kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit
melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari
pagi sendiri dia berkata.
“Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu,
kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku
tewas dalam pibu melawanmu.”
“Engkau dan aku tidak tewas
dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!” Han Han menggoda.
“Wah, entah Lulu yang
mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!” Nirahai berkata sambil membantu Han
Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh,
“Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota
raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan
sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan Ayahanda
Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau
pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana.”
Kekhawatiran muncul di hati
Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang
dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar!
Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang
mengancam putusnya ikatan di antara mereka.
“Nirahai....!” katanya,
suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Bagaimana.... kalau.... kalau Kaisar
menolak?”
Nirahai menggeleng kepala.
“Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak
akan menghalangi. Andaikata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku
dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!”
“Nirahai....!” Han Han
memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.
Akhirnya Nirahai melepaskan
dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata,
“Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita
bertemu kembali!” Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi
sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis
sekali.
Han Han berdiri seperti arca,
terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya.
Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia
akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu!
Siapa dapat percaya? Ia merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia
berloncatan mengejar Nirahai! Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang
sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa
tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu
dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan
hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.
Akan tetapi ketika ia
membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran
melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua
tangan bersedakap, kepala menunduk, di depan dua makam baru itu! Kakek itu
sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang,
kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah
putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta
ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam
dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas
siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit
lengan dan kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput!
Tiba-tiba kakek itu menoleh ke
arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak
kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata
harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mujijat yang membuat Han Han
merasa kakinya seperti lumpuh! Akan tetapi kakek itu segera membalikkan
tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han
Han.
“Locianpwe, harap berhenti
dulu....!” Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi
kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus
melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga
Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!
“Locianpwe, tunggu....!” Han
Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan ilmunya
berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah
terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Akan tetapi
mengejar sampai hari menjadi sore dan akhirnya kakek itu lenyap di antara bangunan-bangunan
mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki
siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu
menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.
Hari telah senja dan suasana
di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan
ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan
perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba
di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya
itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu besar di pinggir
telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai
pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata
sedang enak-enak memancing!
“Locianpwe....!” Han Han
memanggil. Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan
perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang,
akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh
tadi.
Han Han merasa seolah-olah
dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak
mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari
cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa,
namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!
“Locianpwe, teecu hendak
bicara, harap suka menunggu dulu!” Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras.
Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja
sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!
Han Han terkejut. Maklumlah ia
bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar
terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia
sambil berloncatan mendekat.
Kakek itu menengok dan kembali
Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun
menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan
ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu
berseri, “Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?”
Han Han berdiri dengan penuh
hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya.
Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata.
“Teecu mohon maaf sebanyaknya
kalau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini.”
“Tidak mengapa, orang muda.
Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan
diri, menjauhkan diri dari dunia ramai.”
Tiba-tiba Han Han teringat dan
cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Ah, sekarang teecu
ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin....!” Han
Han berkata dengan seruan girang. “Locianpwe yang telah menolong teecu ketika
teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi.... dan.... dan
locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang terkenal dengan julukan
Koai-lojin, penghuni Pulau Es!”
Kakek itu menarik napas
panjang. “Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat
bicara dengan leluasa.”
Girang bukan main hati Han
Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan seorang guru
besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit berdiri dan
duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.
“Dugaanmu memang benar, akulah
yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoiku
yang telah kaurawat dan makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat
kebaikanmu, Suma Han.” Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini
sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat
sakti ini tentu saja mengetahui segala hal!
“Sungguh berbahagia sekali
teecu dapat berjumpa dengan suhu!” Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid
Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas?
Kakek itu tersenyum tanpa
mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di
permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk. “Yah, boleh juga engkau menyebut
aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang
sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang
banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma
Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira
melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak
yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku
girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung.”
Di dalam hatinya, Han Han
merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasihat hwesio
tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasihatkan agar dia
membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena
kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.
“Suma Han. Perlu diketahui
agar engkau tidak penasaran. Andaikata tidak terjadi seperti sekarang,
andaikata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini engkau sudah
mati.”
“Ahhhhh....!” Han Han terkejut
bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya.
“Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si
menasihatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu!”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandangan awas, sungguh mengagumkan.
Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan
tetapi berbareng dengan hawa mujijat yang terpancar keluar dari pandang matamu
itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di
kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam
akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia
ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi
kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu
akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kdkimu akan naik ke perut,
kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan
engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang
sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang
buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang.”
Han Han bergidik ngeri.
Kiranya begitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah sejak.... sejak ia
melihat ibu dan encinya diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh
perwira Mancu?
“Terima kasih atas keterangan
suhu. Sungguhpun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang
seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian
memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon
petunjuk-petunjuk suhu.”
“Hemmm.... petunjuk apalagi
yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima
warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm.... dua buah
bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoiku, siapa kira
mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia
ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya
obrolan-obrolan kosong yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap
inti sarinya. Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin terhimpit
perasaanku menyaksikan ulah manusia di dunia ramai. Engkau sudah datang ke
sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri daripada
perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku lebih senang
hidup bebas lepas, menyatukan diri dengan alam semesta dan melihat segala
kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang
penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti gerakan awan,
matahari, bulan dan bintang.”
Han Han adalah seorang pemuda
yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani
menyatakan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri
itu, dia lalu berkata.
“Harap suhu maafkan pertanyaan
teecu yang lancang. Suhu tadi menyatakan tidak suka akan ulah manusia yang
dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam
bebas, akan tetapi.... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan?
Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan di telaga
ini?”
“Ha-ha-ha! Bagus sekali! Aku
sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tunduk secara membuta saja, muridku
yang baik! Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal
budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut
pelajaran secara membuta tanpa mengadakan wawasan dan mempergunakan nalar
(logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai pancing? Nah, lihatlah!”
Kakek itu mengangkat tangkai pancingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung
tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil!
“Ah, maaf, suhu. Teecu berani
menduga yang bukan-bukan, akan tetapi.... apakah gunanya suhu memancing tanpa
umpan, melainkan memakai batu? Mengapa suhu.... eh, bermain-main seperti anak
kecil?”
“Ha-ha-ha, tepat sekali!
Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar
dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali
wajar seperti kanak-kanak! Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa
yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan!”
Han Han tidak mengerti dan
memandang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa
lagi dan berkata, “Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan
ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyentuh batu dengan mulutnya?
Kalau pancing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing
dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan
mana gerangan yang akan berjodoh, menyentuh umpan batu ini, ha-ha!”
Han Han ikut tertawa dan
diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh selera kakek ini dalam mencari
kesenangan bermain-main! Apa sih senangnya dengan permainan seperti itu? Namun
permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu
sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak
akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyentuh umpannya.
“Marilah ikut ke dalam pondok,
Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil
bercakap-cakap, bukan?”
Girang hati Han Han, akan
tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak
sedikit pun memperiihatkan keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu
mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pancingnya dan berjalan melenggang
seenaknya dengan wajah gembira seperti wajah seorang tukang pancing yang memperolch
banyak hasil!
Ketika memasuki pondok kecil
mungil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di
atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima
macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak
wangi! Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua itu.
“Duduklah, Suma Han. Makanan
ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buahan itu pun aku sendiri yang mencari
di hutan, dan arak ini.... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah
utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak!”
Bagaikan seorang petani tua
yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin mengajak Han Han makan bersama,
sikapnya biasa saja seperti seorang petani sederhana sungguhpun
masakan-masakan itu ternyata enak juga, agaknya memakai bumbu yang cukup dan
araknya pun amat baik!
Han Han tidak berani bertanya
lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan nasi dan sayur,
makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu
berkata.
“Suma Han, mengapa engkau
menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap
dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan bertanya
adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja
yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”
Kembali Han Han terkejut.
Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan
dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi
hatinya?
“Maaf, suhu. Teecu memang amat
terheran-heran menyaksikan suhu dan agaknya inilah sebabnya suhu disebut
Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Suhu mengasingkan diri dari dunia ramai.
Biasanya, seorang pendeta yang mengasingkan diri dari dunia ramai adalah
orang-orang yang tekun bertapa, berpuasa atau kalau makan pun seadanya saja,
daun dan rumput, minum pun air yang keluar dari sumber, pekerjaannya hanya
memuja Tuhan dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu,
maaf.... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biarpun tanpa daging.”
“Untuk bersembahyang dan
memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di manapun
juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam segala benda dan mahluk di seluruh
alam. Tidak, Suma Han, aku tidak seperti mereka yang mencari tempat sunyi mengasingkan
diri untuk memuja Tuhan. Aku meninggalkan dunia ramai, menjauhkan diri daripada
manusia lain karena dunia ramai menggoncangkan ketenteraman hatiku, membuat
aku kecewa dan berduka. Manusia telah menyelimuti diri dengan kepalsuan-kepalsuan
yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua
yang jahat, yang berakar di dalam seluruh kehidupan manusia, yang
kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan
jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”
Han Han mendengarkan dengan
penuh perhatian dan memandang kakek itu yang mengaso sebentar untuk minum
seteguk arak wangi dari cawannya.
“Aku meginggalkan keramaian
bukan untuk bersembahyang dan hidup sebagai pendeta atau pertapa, karena bersembahyang
adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biarpun
hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak berpuasa dan
menuntut hidup pertapa karena aku tidak mau menyiksa tubuh dan perasaan.
Tubuh manusia merupakan rumah bagi jiwa, maka adalah kewajibanku untuk
memelihara baik-baik rumah yang diberikan oleh Tuhan kepadaku ini. Aku pun
tidak menolak anugerah Tuhan berupa kenikmatan bagi tubuhku, asal saja dapat
dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan
kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwaku.”
Han Han mengangguk-angguk,
takjub akan filsafat yang demikian sederhana namun wajar tidak mengkhayalkan
yang tinggi-tinggi, sungguh jauh bedanya dengan filsafat-filsafat kuno yang
sering dibacanya.
“Manusia sekarang lupa bahwa
makan adalah kebutuhan tubuh atau langsung adalah kebutuhan perut karena yang
menampungnya pertama kali adalah perut. Manusia terlalu mabuk akan kesenangan
sehingga untuk makan pun yang diutamakan adalah kelezatannya, yang mendatangkan
rasa enak pada mulut tanpa mempedulikan kegunaannya bagi si perut, lupa bahwa
yang enak bagi mulut belum tentu enak bagi perut sehingga terlalu sering
terjadi mulut menikmati makanan yang sesungguhnya merupakan racun bagi perut
dan tubuh seluruhnya!”
“Suhu, kenikmatan dan kegunaan
apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?”
“Aku hidup di alam bebas dan
menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh
mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya keemasan
matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, mendengarkan dendang merdu anak
sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi
kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk
menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan
Tuhan.”
Demikianlah, dengan filsafat
yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari
kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek
itu berkata setelah mereka sarapan pagi, “Hari ini kita berpisah, muridku. Aku
akan pergi dari tempat ini.”
“Suhu hendak pergi ke manakah
dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?”
Kakek itu tertawa dan mengelus
jenggotnya. “Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan awan! Dan apabila
Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi.”
Han Han lalu menjatuhkan diri
berlutut. “Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan
sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela
kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan.”
“Ha-ha-ha! Memang amat merdu
dan indah bunyinya! Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan!
Betapa merdu dan indah bunyinya, akan tetapi betapa lucu kenyataannya,
seperti judul adegan panggung serombongan badut! Karena itu, kuperingatkan
kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang
tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan keadilan
untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut
lagi karena semua itu palsu! Menentang kelaliman dan kejahatan yang mana?
Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah mengalahkan
kelaliman dan kejahatan yang merajalela di dalam hati sendiri, dibangkitkan
oleh nafsu kesenangan pribadi. Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang
buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah
yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik,
karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena adanya Neraka maka
ada Sorga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu,
pengejaran kebaikan itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan! Kepandaianmu
sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang
tinggi, tenaga sin-kangmu yang sukar dilawan, gin-kangmu yang luar biasa
dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat yang
mujijat, yang masih terpendam. Tanpa kausadari, mungkin timbul berbareng
dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat
yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan
dapat mengalahkanmu?”
Han Han teringat akan ilmu
mujijat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat akan
pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadarinya ia dapat
menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang
lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat
pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu
I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan banyak mengenal
tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir
yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.
“Suhu, teecu tidak pernah
mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya
dan jahat?”
“Ilmu tetap ilmu, baik atau
jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa makin tinggi
ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya kegunaan ilmu yang tinggi membuat
manusia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi
dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran
dan kemauan orang. Engkau sudah memiliki tenaga yang amet kuat, yang timbul secara
aneh melalui pandang matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja, sehingga
mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat memanfaatkan ilmu
itu sebaik-baiknya. Caranya hanya melalui siulian dan pemusatan kekuatan yang
kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan suara.” Dengan jelas
Koai-lojin memberi petunjuk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han
Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu berpesan.
“Engkau harus berhati-hati
benar dengan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada
dalam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan
ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri
ke jurang kehancuran. Selamat tinggal!” Koai-lojin berkelebat pergi
meninggalkan muridnya yang masih berlutut.
Hati Han Han menjadi makin
kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang
dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin hati-hati
mengendalikan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia
akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin
yang amat kuat.
Karena waktu yang dijanjikan
oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi maka Han Han lalu mempergunakan
gerak kilatnya untuk berloncatan cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke
kota raja. Biarpun ia menghadapi saat yang amat menenangkan, yaitu
perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi
kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi kebahagiaannya
bersama Nirahai.
***
Han Han tiba di kota raja
tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah dengan
Nirahai. Pagi hari itu, dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan
langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang
istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.
“Suma-taihiap....!”
Han Han menoleh dan memandang
perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira itu memanggilnya,
karena kini perwira itu dengan langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan
kiri dan berkata perlahan.
“Harap taihiap suka mengikuti
saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk taihia!”
Han Han mengangguk dan
keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia terpincang-pincang
mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah
barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan mengajak Han Han menyeberangi
jembatan. Kemudian ia berkata.
“Saya diberi tugas oleh Sang
Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerahkan surat ini. Maaf, saya tidak
dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya
akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena
taihiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap.” Setelah
berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.
Makin tidak enak rasa hati Han
Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya
sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh dengan tulisan
indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika mereka bersama
mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam.
Han Han mulai membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya
menjadi tajam berapi membayangkan kemarahan. Apakah isi surat kekasihnya itu?
Kabar buruk. Terlampau buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan
dan kegembiraan, sungguhpun kabar buruk seperti yang dibayangkan dari tulisan
Nirahai ini memang sudah dikhawatirkannya. Di dalam surat itu Nirahai
menceritakan betapa kaisar menjadi marah sekali ketika Nirahai menceritakan
tentang perjodohan itu dan mohon ijin. Kaisar marah-marah dan memakinya sebagai
anak yang tak tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan Mancu. Masa puteri
Kaisar Mancu yang mulia, puteri yang terkenal sebagai seorang panglima besar
akan menikah dengan seorang bekas pemberontak, seorang yang telah membunuh
Ouwyang Seng yang tadinya direncanakan hendak dijadikan suami Nirahai, bahkan
seorang yang buntung sebelah kakinya! Kemarahan kaisar amat hebat sehingga
kaisar memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai dan memasukkan
puterinya sendiri itu ke dalam penjara istana!
“Aku ditahan di dalam kamarku
sendiri di istana,” demikian Nirahai menutup suratnya, “dilayani seperti biasa
akan tetapi dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh keluar dari kamar. Aku bingung
dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han Han, aku cinta padamu akan tetapi
aku pun berat kepada keluarga dan kerajaanku. Biarlah kuanggap hal ini sebagai
ujian, ujian bagi cinta kasih kita, terutama ujian bagi cintamu. Terserah
kepadamu apa yang akan kaulakukan kini untuk mencari jalan keluar!”
Dengan sinar mata berapi Han
Han membaca kalimat-kalimat terakhir, “Aku tahu bahwa Ayahanda Kaisar telah terkena
hasutan Pangeran Ouwyang Cin Kok sehingga membencimu dan menyatakan bahwa aku
lebih baik mati daripada menjadi isterimu!”
Han Han membaca sekali lagi
isi surat itu dari awal sampai akhir, kemudian ia meremas hancur kertas itu.
Nirahai menantangnya! Menantangnya untuk mengambil keputusan, untuk bertindak
demi cinta kasihnya! Dan Pangeran Ouwyang Cin Kok adalah biang keladi dari
kegagalan ini. Timbul niatnya untuk mendatangi istana pangeran itu dan hendak
mengamuk untuk kedua kalinya, membunuh pangeran tua itu. Akan tetapi, teringat
akan wejangan Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu amarahnya,
menghapus dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok bersikap
seperti itu tentu ada sebabnya. Dan sebabnya adalah kematian putera tunggalnya,
yaitu ouwyang Seng. Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah, sakit hati, dan
bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang dibunuh orang? Han
Han menghela napas dan mengusir pergi bayangan Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan
lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana dan bagaimana untuk
dapat membebaskan Nirahai. Ia harus membebaskan Nirahai dari tahanan dan
membawanya lari! Jelas bahwa kekasihnya itu menantangnya untuk bertindak. Ia
tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan pengaruhnya, tentu saja Nirahai dapat
membebaskan diri sendiri tanpa ada pengawal yang berani menghalanginya, akan
tetapi puteri itu agaknya tidak suka memberontak terhadap keputusan ayahnya.
Maka puteri itu menantangnya untuk bertindak, karena kalau Han Han yang turun tangan
membebaskannya, hal itu tidak dapat dianggap sang puteri memberontak.
Dengan ilmu kepandaiannya yang
tinggi, tidak sukar bagi Han Han untuk meloncat ke atas benteng yang
mengelilingi istana, kemudian cepat sekali, dilindungi oleh kegelapan malam, pemuda
ini meloncat turun ke dalam taman istana. Dengan mudah ia dapat menemukan
kamar Puteri Nirahai karena kamar ini merupakan sebuah bangunan mungil dan
mewah tak jauh dari taman, dan bangunan ini dijaga oleh kepungan pasukan
pengawal yang jumlahnya seratus orang lebih! Tidak mungkin memasuki bangunan
itu tanpa diketahui mereka karena sekeliling bangunan kecil itu dikepung ketat.
Kebetulan sekali Han Han
melihat empat orang wanita-wanita muda yang cantik-cantik, berpakaian sebagai
pelayan-pelayan istana jalan beriringan datang menuju ke bangunan itu sambil
membawa baki-baki yang tertutup kain, agaknya hidangan untuk sang puteri. Han
Han cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan meloncat ke depan, muncul dari
balik pohon dan berkata.
“Adik-adik yang manis, aku
adalah rekan kalian! Aku pelayan dari istana Ibunda Sang Puteri, diperintahkan
oleh beliau untuk menjenguk keadaan puterinya.”
Empat orang wanita pelayan itu
tertegun melihat berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati mereka lega ketika melihat
seorang wanita cantik yang berpakaian seperti mereka! Mereka adalah
pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biarpun belum pernah melihat “gadis pelayan”
yang muncul ini, akan tetapi mereka percaya bahwa tentu ini pelayan dari ibunda
sang puteri, kalau tidak siapa lagi berani menyamar di tempat itu?
“Kalau begitu, marilah ikut
bersama kami, Cici. Kami pun hendak mengantar hidangan malam Sang Puteri,”
jawab seorang diantara mereka. Han Han yang sudah berhasil menguasai empat
orang wanita pelayan itu menggunakan kekuatan gaib yang memancar keluar dengan
pengaruh mujijat sehingga mereka melihat dia sebagai seorang pelayan cantik,
lalu berjalan perlahan di belakang empat orang pelayan itu. Mereka mengambil
jalan memutar dan menghampiri pintu samping yang terjaga oleh lima orang
pengawal. Melihat datangnya empat pelayan Sang Puteri Nirahai, lima orang
pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak berani main-main karena pelayan-pelayan
Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu silat yang tak boleh dipandang ringan,
juga para pelayan Nirahai terkenal galak-galak dan tidak boleh diganggu.
Han Han sudah menggunakan
kekuatan matanya sehingga lima orang pengawal itupun melihatnya sebagai seorang
gadis pelayan dan membiarkan Han Han lewat bersama empat pelayan lain. Begitu
memasuki sebuah kamar besar yang berbau harum dan indah, empat orang pelayan
itu sudah mengatur isi baki di atas meja dan Han Han yang melihat Puteri
Nirahai duduk termenung di dekat pembaringan, di atas sebuah bangku menghadapi
meja bundar, cepat menghampiri dengan jantung berdebar saking terharu dan girangnya.
Karena para pelayan masih
berada di ruangan kamar itu, terpaksa Han Han lalu menggunakan kekuatan
matanya, sambil beriutut ia berkata, “Puteri, hamba datang menghadap....”
Nirahai membalikkan mukanya memandang
dan dara ini bangkit berdiri. Sejenak matanya seperti orang bingung,
dikejap-kejap beberapa kali dan terpaksa Han Han harus mengerahkan pandang
matanya dengan tenaga mujijatnya sambil berkata lagi untuk memperkuat pengaruhnya,
“Hamba adalah seorang pelayan Ibu Paduka.”
Biarpun Nirahai juga memiliki
kekuatan batin yang besar serta kemauan yang keras tidak mudah dipengaruhi
orang lain, namun setelah kelihatan bingung sejenak, akhirnya ia terpengaruh
juga dan berkata dengan lesu, “Mau apa engkau?”
“Hamba akan menyampaikan
sesuatu yang amat rahasia kepada Paduka, di bawah empat mata saja.”
Nirahai yang sedang kesal
hatinya itu hampir marah, akan tetapi mengingat bahwa pelayan ini adalah utusan
ibunya, ia lalu menoleh kepada empat orang pelayannya dan berkata, “Kalian
keluarlah dulu dari kamar ini!”
Empat orang pelayan yang
sedang mengatur hidangan itu, sejenak menengok ke arah Han Han, kemudian mereka
keluar dari kamar dan menunggu di luar kamar, di ruangan depan sambil
berbisik-bisik, hati mereka merasa iri dan tak senang karena belum pernah
Puteri Nirahai mengusir mereka hanya karena hendak bicara dengan seorang
pelayan lain!
Setelah empat orang itu keluar
dari kamar dan pintunya ditutup perlahan, Han Han bangkit berdiri dan berkata
halus penuh rasa haru, “Nirahai....!”
Nirahai meloncat ke belakang
dan mukanya seketika berubah pucat ketika melihat Han Han telah berdiri di
depannya. Ia mengejap-ngejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala, memandang
bingung dan sampai lama tak dapat mengeluarkan suara, kadang-kadang matanya
mencari-cari ke kanan kiri, mencari pelayan utusan ibunya tadi.
“Nirahai, jangan bingung.
Pelayan tadi akulah yang jadi, akalku agar dapat masuk ke sini.”
Kini Nirahai memandang Han Han
dengan mata terbelalak lebar, penuh kagum. Hatinya girang dan bangga bukan
main, akan tetapi juga penuh heran. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu
kesaktian yang hebat, jauh melampaui kepandaiannya sendiri, akan tetapi apa
yang dilakukan pemuda itu tadi benar-benar membuat dia tidak mengerti.
“Han Han....! Bagaimana....?
Tadi.... eh, bagaimana engkau bisa mengubah diri menjadi pelayan....?”
Han Han tersenyum dan
melangkah maju, menyambar tangan kekasihnya itu dan memandang dengan wajah
berseri, tersenyum dan sinar matanya mesra. “Nirahai, aku sejak tadi tidak
mengubah diri, hanya pandangan mereka dan juga pandanganmu yang kuubah dan
tunduk kepada kemauaku....”
“Ihhhhh....
I-hun-to-hoat....?” Nirahai bertanya, tidak percaya. “Aku sudah melihat ilmu
I-hun-to-hoat yang dilakukan oleh Thai Li Lama, dan memang banyak yang
terjatuh di bawah pengaruhnya, akan tetapi aku sendiri dapat melawannya dan
aku tidak terpengaruh!”
Han Han yang sudah merasa
rindu sekali kepada Nirahai merangkul pundak dara itu. “Mungkin aku lebih kuat
daripada dia, dan mungkin karena suaraku telah kaukenal, mungkin pula karena
engkau tidak tahu bahwa aku menggunakan ilmu kekuatan kemauanku, maka engkau
terpengaruh. Nirahai.... ahhh, Nirahai, mengapa menjadi begini ikatan
kita....?”
Nirahai balas merangkul dan
dara ini yang kini diingatkan akan keadaannya, terisak di atas dada Han Han.
“Sudah nasibku.... nasibku yang buruk dan malang....!”
“Tidak, Nirahai. Tidak ada
nasib buruk dan malang. Yang terjadi semua di dunia ini, yang menimpa kepada
kita, baik maupun buruk, sudahlah semestinya dan tidak boleh kita terima
sebagai nasib buruk. Hanya kita harus berusaha untuk mengatasi segala
persoalan. Sekarang, setelah aku berhasil masuk di sini bertemu denganmu, apa
yang kaukehendaki?”
Nirahai melingkarkan kedua
lengannya di leher Han Han. “Aku menyerahkan kepadamu. Engkau pilihan
hatiku.... terserah.... aku hanya menurut....”
Han Han menjadi girang sekali
dan baru sekarang ia merasa sebagai seorang laki-laki yang berdiri tegak, penuh
tanggung jawab dan dibutuhkan seorang seperti Nirahai! Dahulu, melindungi dan
membela Lulu ia anggap sebagai hal yang semestinya, tidak menimbulkan perasaan
kagum seperti sekarang karena yang telah menyerahkan nasib diri kepadanya
adalah seorang puteri kaisar! Saking terharu dan girangnya, ia memegangi kedua
pipi dara itu, mengangkat mukanya dan mencium bibir yang tak pernah membosankan
itu. Ia berbisik mesra, “Nirahai, pujaan hatiku, calon isteriku.... biarlah aku
yang melarikan engkau dari tempat ini. Aku yang mempertanggungjawabkan
kesemuanya!”
Tiba-tiba Nirahai melepaskan
pelukan Han Han, menyambar baju tebal, topi bulu dan pedang payungnya yang
baru. “Han Han, kita lakukan bersama, dan mempertanggungjawabkan bersama! Kalau
kita berdua menghendaki, siapakah yang akan mampu mencegah kita keluar dari
sini?”
“Tidak, Nirahai. Tidak boleh
begitu. Engkau ditahan sebagai tawanan oleh Ayahmu sendiri, tidak baik kalau
engkau memberontak. Biarlah aku yang....”
Tiba-tiba empat orang pelayan
wanita itu yang tadi mendengar isak tangis sang puteri, kini membuka daun pintu
dan memasuki kamar. Nirahai berdiri tegak memandang, sama sekali tidak terkejut
karena dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah Han Han berada di
sampingnya, puteri ini menjadi besar hatinya, dibesarkan oleh rasa girang bahwa
ujian terakhir bagi cinta kasih Han Han ternyata membuktikan bahwa pemuda itu
tidak gentar menghadapi tantangan dan bahaya untuk datang ke kamarnya, kamar
tahanan dalam istana yang dikepung ratusan orang pengawal! Kini hatinya besar
dan ia menanti reaksi dari kekasihnya ketika empat orang pelayan itu masuk.
Sejenak, empat orang pelayan
itu terbelalak dengan muka pucat. Han Han segera berkata sambil menggunakan
ilmunya, “Akulah Dewa berkepala singa!”
Wajah empat orang pelayan itu
menjadi pucat sekali ketika mereka melihat seorang laki-laki berkaki buntung
sebelah, memegang tongkat dan berkepala singa dengan sepasang mata mencorong
mulut bergigi runcing terbuka. Kemudian, dengan kaki menggigil dan tubuh
gemetar, empat orang pelayan itu melarikan diri keluar dari pintu sambil
menjerit-jerit seperti orang mengigau saking takutnya. Mereka adalah
pelayan-pelayan Nirahai yang memiliki ilmu silat lumayan, untuk menghadapi
lawan manusia, mereka cukup dapat diandalkan. Akan tetapi, melihat orang
berkepala singa tentu saja menjadi ketakutan.
Han Han mempergunakan
kesempatan itu berkata cepat, “Nirahai, engkau menjadi tawananku. Biarlah aku
melarikan engkau dari tempat ini!” Nirahai hanya mengangguk karena masih kagum
menyaksikan pengaruh ilmu Han Han terhadap empat orang pelayannya. Bagi kedua
matanya, Han Han tetap seperti biasa, sama sekali tidak berkepala singa! Han
Han cepat menggerakkan jari tangan kanannya, menepuk pundak Nirahai dan menotok
jalan darahnya sehingga Nirahai terkulai lemas. Han Han lalu menyambar tubuh
kekasihnya, memanggulnya di pundak kanan setelah menyelipkan senjata
kekasihnya di pinggangnya. Cepat seperti kilat menyambar ia sudah meloncat keluar
dari dalam kamar itu, terus berlari keluar dari pintu samping dari mana tadi ia
masuk bersama empat orang pelayan.
Keadaan di luar geger tidak
karuan ketika empat orang pelayan itu menjerit-jerit dan berlari keluar. Sampai
lama mereka tidak dapat bicara, hanya mengeluarkan jerit seperti orang
mengigau, “Ssseeettttt.... taaaaannn.... singaaa....!” sehingga akhirnya para
pengawal yang kebingungan menangkap lengan mereka untuk ditanyai.
Memang inilah yang dikehendaki
Han Han maka dia tadi membikin takut empat orang pelayan, yaitu untuk mengacaukan
keadaan para pengawal yang menjaga di luar. Dalam keadaan kacau-balau dan tidak
teratur itu karena semua pengawal menjadi panik melihat betapa empat orang
pelayan sang puteri yang biasanya gagah perkasa itu menjerit-jerit karena
melihat setan sehingga mereka lupa membunyikan tanda bahaya dan lupa melapor,
tiba-tiba Han Han berkelebat, mencelat keluar sambil memondong tubuh Nirahai
yang terkulai lemas.
“Celaka....! Tangkap
penjahat!” teriak seorang di antara mereka.
“Itu dia....! Puteri telah
diculik!”
“Tangkap!”
“Kejar....!” Makin paniklah
para pengawal itu dan geger keadaan di istana ketika bunyi kentongan tanda
bahaya dipukul gencar. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi siapakah
yang dapat mengejar pemuda buntung yang meloncat dengan gerakan seperti terbang
ke atas dan dalam sekejap mata saja lenyap ditelan kegelapan malam? Han Han
memang sengaja tidak mau menggunakan kekerasan menghadapi banyak pengawal
karena menghadapi banyak sekali orang tentu saja tak mungkin Ilmu I-hun-to-hoat
dipergunakannya untuk mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Dia memang tidak
takut untuk menggunakan kekerasan melawan mereka, akan tetapi, semenjak bertemu
dengan Koai-lojin dan menerima wejangan-wejangan kakek sakti itu, ia merasa
menyesal atas sepak terjangnya yang sudah-sudah dan berjanji dalam hatinya
tidak akan lagi melakukan pembunuhan dan hanya akan menundukkan lawan dengan
kepandaiannya. Tentu saja dia tidak suka untuk melawan para pengawal dan
kesalahan tangan membunuh mereka yang tidak berdosa, apalagi kalau bahwa hal
itu akan memperbesar pertentangan antara Nirahai dengan keluarganya.
Gerakan Han Han yang amat
cepat tidak memungkinkan para pengawal untuk mengejarnya, tidak dapat
menggunakan anak panah karena khawatir kalau-kalau mengenai tubuh Puteri
Nirahai yang dipanggul pemuda itu. Dengan demikian, tanpa banyak kesukaran
lagi Han Han berhasil membawa Nirahai keluar dari istana, kemudian melarikan
diri melalui pintu gerbang kota raja. Beberapa puluh orang tentara penjaga
yang berusaha menghadangnya, roboh terpelanting ke kanan kiri dan
senjata-senjata mereka terlempar beterbangan ketika Han Han menggerakkan
tongkatnya, dan dalam waktu beberapa menit saja Han Han telah menerobos keluar
dari pintu gerbang dan lenyap dalam gelap.
Setelah keluar dari benteng,
Han Han menurunkan Nirahai dan membebaskan totokannya, kemudian tanpa bicara
lagi mereka melanjutkan perjalanan dan lari dengan cepat. Han Han mengerti
bahwa perasaan Nirahai tertekan sekali maka dia tidak mengeluarkan kata-kata,
hanya berlari sambil menggandeng tangan kekasihnya.
“Ke manakah kita pergi?”
Tiba-tiba Nirahai bertanya tanpa mengurangi kecepatannya berlari.
“Kita pergi ke tempat yang
sunyi dan indah di dekat telaga.”
Nirahai tidak berkata-kata
lagi dan mereka berlari terus. Han Han merasa tidak enak hatinya. Bagi dia
sendiri, tentu saja peristiwa ini amat menyenangkan hatinya. Ia mencinta
puteri yang jelita ini dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru
mereka, Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee. Andaikata dia diterima oleh
kaisar dan tinggal di istana, tentu dia akan merasa sengsara dan tidak betah.
Dengan cara sekarang ini, membawa Nirahai melarikan diri, dia merasa lebih
bebas dan dia yakin akan mendapatkan kebahagiaan besar apabila dapat hidup
berdua sebagai suami isteri bersama Nirahai dan merantau berdua, atau tinggal
di suatu tempat berdua saja! Memang, bagi dia, peristiwa di istana ini amatlah
menyenangkan. Akan tetapi, dia mengerti betapa peristiwa itu amat menghimpit
perasaan hati Nirahai. Dia mengenal Nirahai sebagai seorang puteri kaisar
yang luar biasa, tidak hanya cantik jelita dan berilmu silat tinggi, malah juga
menjadi pimpinan angkatan perang yang menumpas para pemberontak dan sisa-sisa
kerajaan lama yang belum mau tunduk terhadap pemerintah Mancu! Dara jelita
yang perkasa ini mempunyai kesetiaan besar terhadap kerajaan ayahnya dan kini
dia melarikan diri sebagai seorang tahanan dan pelarian. Betapa hal ini tidak
akan menghancurkan cita-citanya? Hati Han Han khawatir sekali, akan tetapi dia
tidak berkata apa-apa dan mempercepat gerakannya untuk mengimbangi larinya
Nirahai yang amat cepat itu. Mereka seolah-olah berlumba, berlumba ke mana? Ke
arah pantai bahagia? Mudah-mudahan begitu, bisik hati Han Han. Dengan mesra ia
menggunakan tangan kanannya menangkap tangan kiri Nirahai. Dara itu yang
tadinya lari cepat tanpa bicara seperti orang termenung, menoleh dan mereka
berdua saling pandang. Nirahai tersenyum dan balas menggenggam jari tangan Han
Han. Sambil bergandeng tangan, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu
berlari cepat sekali, bayangan mereka menjadi satu berkelebat cepat di antara
bayang-bayang pohon.
“Indah sekali....! Indah
dan sunyi....!” Nirahai berseru penuh kagum ketika mereka berdua tiba di
pinggir telaga di mana terdapat dua buah bangunan mungil yang tadinya dijadikan
tempat tinggal kakek sakti Koai-lojin.
Akan tetapi ketika pagi hari
itu mereka tiba di situ dan Nirahai mengagumi pemandangan indah di kala sinar
matahari pagi membakar permukaan telaga dengan warna kemerahan, Han Han tidak
melihat semua keindahan itu karena tidak ada keindahan di dunia ini pada saat
itu yang dapat menandingi keindahan wajah yang dipandangnya dari samping. Wajah
yang lembut namun menyembunyikan kekerasan, wajah yang sejuk namun
menyembunyikan api menggairahkan, wajah yang mirip benar dengan wajah Lulu!
“Memang indah, Nirahai. Indah
sekali.... akan tetapi tidak sunyi. Dengan adanya kita berdua di sini,
kesunyian musnah, dunia akan penuh dengan kita, dengan cinta kasih kita....
Nirahai....!”
Dara itu tergugah dari pesona
dan menoleh lalu tersenyum penuh kebanggaan ketika ia mendapatkan sinar mata
penuh kemesraan dan kasih sayang terpancar dari sepasang mata Han Han. Sinar
mata yang demikian mesra dan hangat, cerah dan lembut, mengalahkan sinar
matahari pagi. Nirahai menarik napas panjang ketika Han Han merangkul pundaknya.
Ia merebahkan kepala, disandarkan di dada pemuda itu.
“Aaahhhhh....!” Nirahai
menarik napas panjang, hatinya terasa lapang seolah-olah penuh dengan sinar
matahari pagi, membuat ia merasa seperti akan terbang dan menari-nari di antara
mega-mega putih berarak dan mandi cahaya matahari pagi yang mulai berwarna
keemasan, indah sekali. “Han Han, adakah sinar matamu itu mencerminkan rasa
hatimu? Adakah engkau benar-benar mencintaku seperti matahari mencinta
permukaan telaga?”
Han Han menundukkan mukanya,
menyentuh dan menelusuri permukaan dahi dan alis itu dengan ujung hidungnya sebelum
menjawab lirih, “Nirahai kekasihku, aku cinta kepadamu, Nirahai....” Ia
mempererat pelukannya dan hatinya penuh dengan cinta mesra. “Ahhh, betapa aku
mencintamu, dengan sepenuh jiwa ragaku, sepenuh hatiku, aku rela mengorbankan
jiwa ragaku untukmu, Nirahai!”
Dara itu memejamkan matanya,
kembali menarik napas dan membelaikan pipinya di dagu Han Han yang menunduk,
sikap yang amat manja bagi Han Han, mengingatkan ia akan sikap seekor kucing
yang minta dibelai.
“Betapa hebat kekuasaan
cinta....!” Hanya demikian Nirahai berkata, suaranya lirih seperti orang
mengeluh, atau lebih mendekati lagi seperti orang merintih, rintihan yang
menjadi penyambung antara nyeri dan nikmat, antara suka dan duka.
Bisikan ini membuat Han Han
sadar akan anehnya peristiwa yang terjadi sekarang ini. Yang dipeluknya, yang
diciumnya adalah seorang puteri kaisar! Seorang panglima besar dan merupakan
orang amat berpengaruh, berkuasa dan penting dalam Kerajaan Mancu! Seorang dara
yang cantik jelita sukar ditemukan keduanya, namun kini berada dalam
pelukannya! Sukar untuk dapat dipercaya! Dan memang hebat sekali kekuasaan
cinta, memungkinkan terjadinya hal yang agaknya tak masuk akal!
“Nirahai, apakah engkau juga
telah benar-benar mencinta aku seperti cintaku kepadamu?” Han Han tak dapat
menahan pertanyaan yang timbul dari hatinya yang masih sukar untuk dapat
menerima kenyataan yang dianggapnya aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini
Nirahai mengangkat kepalanya yang bersandar di dada Han Han, memutar tubuh
sehingga mereka berdiri berhadapan di pinggir telaga itu. Sejenak mereka beradu
pandang kemudian terdengar suara Nirahai yang halus merdu namun tegas.
“Han Han, aku mengerti mengapa
engkau masih mengajukan pertanyaan itu biarpun engkau yang cerdik tentu sudah
merasa yakin akan cintaku dengan bukti yang sekarang kita hadapi. Aku telah
meninggalkan kerajaan Ayahku, meninggalkan kedudukan dan kemuliaan,
meninggalkan cita-cita dan lebih daripada itu semua, aku bahkan telah
menjadikan diriku dimusuhi kerajaan dan keluarga. Semua ini hanya karena
cintaku kepadamu. Masih belum cukupkah bukti dan pengorbanan itu?”
Han Han menarik napas panjang,
hatinya penuh keharuan karena ia merasa sangsi apakah seorang pemuda berkaki
buntung sebelah seperti dia, yang yatim piatu dan miskin, tidak mempunyai tempat
tinggal, patut menerima cinta kasih seorang puteri seperti Nirahai?
“Maaf, Nirahai, bukan
sekali-kali aku masih menyangsikan perasaan cintamu yang suci. Hanya saja.... yang
membuat aku sukar untuk dapat percaya, bagaimana mungkin scorang puteri
bangsawan seperti engkau menghancurkan nasib dan masa depanmu sendiri? Sudah
tentu aku.... aku akan berbahagia sekali kalau engkau selalu berada di
sampingku, akan tetapi hatiku pun akan selalu tertekan dan hancur kalau
melihat engkau menjadi sengsara kelak....”
Nirahai menubruk Han Han,
merangkulnya dan menutup mulut Han Han dengan jari tangannya yang halus.
“Jangan lanjutkan....! Aku cinta padamu, karena hanya engkau satu-satunya pria
yang patut menjadi suamiku! Kita sudah dijodohkan oleh kedua orang guru kita,
dan kita sudah saling mencinta. Itu sudah cukup! Aku pun tidak ingin perjodohan
kita dirayakan besar-besaran, bahkan tidak peduli kalau tidak dirayakan oleh
kita berdua! Tentang kedudukan dan kemuliaan? Dengan kepandaian kita, apa
sukarnya mendapatkan itu?”
“Tapi, Nirahai.... demi
menjaga namamu, semestinya kalau pernikahan kita dirayakan, disyahkan! Ohhh,
dua bulan lagi Lulu akan menikah, bagaimana kalau kita rayakan bersama-sama
dan....”
“Hussshhhhh....! Mengapa
meributkan soal tetek-bengek seperti itu sedangkan aku berada di dekatmu? Apa
kau lupa bahwa aku lelah, bahkan aku lapar, bahwa aku....”
Han Han tertawa dan menutup
mulut Nirahai dengan ciuman untuk menghentikan celaannya, kemudian ia
memondong tubuh kekasihnya itu, dibawa berloncatan ke dalam pondok di sebelah
kiri telaga di mana ia pernah tinggal bersama Koai-lojin.
Han Han adalah seorang pemuda
yang telah dewasa, seorang pria yang selama hidupnya belum pernah terjun ke
dalam lautan cinta asmara seorang wanita. Dia telah berkali-kali menerima cinta
kasih wanita, cinta kasih murni yang dibuktikan dengan
pengorbanan-pengorbanan. Kim Cu yang mencintanya berkorban menjadi nikouw, Soan
Li tewas karena hendak menolongnya dan dara itu pun mengaku mencintanya.
Demikian pula Tan Hian Ceng dan Lauw Sin Liam, mereka itu mencintanya dan
tewas ketika bendak menolongnya. Betapapun juga, tidak pernah dia bermain cinta
dengan seorang di antara mereka, apalagi karena di lubuk hatinya, ia tidak
menemukan cinta kasih terhadap mereka. Kini, hatinya roboh di bawah kaki
Nirahai. Dia mencinta puteri kaisar ini, bahkan Nirahai juga mencintanya, dan
mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka. Adapun Nirahai adalah
seorang dara bangsawan yang tinggi hati. Belum pernah ia tertarik kepada pria,
apalagi jatuh cinta. Memang pernah ia dikabarkan akan dijodohkan dengan
Ouwyang-kongcu puteri Pangeran Ouwyang Cin Kok, akan tetapi di dalam batinnya
ia tidak mengandung perasaan apa-apa terhadap pemuda itu. Kini, begitu bertemu
dengan Han Han, menyaksikan sepak terjang pemuda buntung itu dan terutama
sekali setelah dia merasa kalah pibu menghadapi pemuda ini, dia tertarik dan
sekaligus tunduk dan jatuh cinta. Apalagi setelah Nenek Maya mengambil
keputusan menjodohkannya dengah Han Han, sudah bulatlah tekad di hati Nirahai
untuk menjadi isteri Han Han! Dia memiliki kekerasa hati yang luar biasa, maka
untuk memenuhi keputusan ini, dia sanggup menempuh rintangan apa pun juga!
Kedua orang muda itu sudah
sama dewasa, sama mencinta dan cinta kasih mereka makin mesra dan mendalam karena
peristiwa di istana sehingga mereka merasa bersatu hati, sehidup semati. Tempat
di mana mereka bersembunyi, di pinggir telaga itu merupakan tempat yang sunyi,
tenang, indah dan romantis. Tiada sesuatu yang menjadi penghalang di antara
cinta kasih mereka, bahkan Nirahai tidak lagi peduli akan upacara perjodohan,
menganggap bahwa dia sudah menjadi isteri Han Han semenjak ia minggat dari
istana. Tidaklah mungkin menyalahkan mereka ini kalau keduanya sebagai
orang-orang muda yang saling tergila-gila, saling mencinta dan saling
menderita, kini menumpahkan semua perasaan cinta kasih mereka di tempat sunyi
itu. Bagi keduanya, hal ini merupakan pengalaman pertama sehingga membuat
mereka lupa akan segala dan mabuk oleh manisnya madu asmara, terlupa masa lalu
tak peduli masa depan, yang teringat hanyalah perpaduan kasih, di dalam
pondok, di tepi telaga, di antara bunga-bunga yang tumbuh di hutan kecil
pinggir telaga. Mereka bersendau-gurau, saling menggoda, saling memanja,
saling menyayang, tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang sedang
berbulan madu!
Betapapun besarnya badai dan
ombak, akhirnya akan mereda juga. Gelombang nafsu asmara yang lebih besar dan
dahsyat daripada badai dan ombak pun akhirnya akan mereda juga. Selama satu bulan,
Han Han dan Nirahai seolah-olah lupa segala, tidak peduli akan masa lalu dan
masa depan, ingatnya hanya berlumba merenggut madu asmara yang makin direguk
makin mendatangkan dahaga. Setelah lewat sebulan, cinta kasih mereka yang
menyala-nyala terbakar nafsu berahi, mulai mereda dan mulailah mereka berdua
sadar bahwa cinta kasih bukanlah cinta berahi semata, dan mulailah keduanya
merenungkan masa depan mereka!
Bagaikan dua orang yang
mengaso tenang setelah diombang-ambingkan gelombang dahsyat, selama sebulan
lebih, pada pagi hari itu mereka duduk di tepi telaga. Han Han duduk bersandar
batu hitam yang dulu sering kali dijadikan tempat duduk Koai-lojin di waktu
“memancing”. Nirahai duduk di depannya, setengah dipangkunya dan merebahkan
kepala dengan rambut terurai lepas itu di atas dada Han Han. Sampai berjam-jam
keduanya duduk seperti itu, tak bergerak dan penuh dengan kebahagiaan, dengan
kepuasan, saling menikmati kehadiran kekasih masing-masing yang hanya terasa
oleh detik jantung dan alunan nafas.
Angin semilir dari tengah
telaga datang, bertiup membuat rambut yang hitam berikal melambai dan
menggelitik leher Han Han, menyadarkan pemuda ini dari lamunan nikmat yang membuatnya
tenggelam. Ia menggerakkan lehernya mengusir rasa gatal dan geli, kemudian
melanjutkan gerakan jari-jari tangannya dengan mengelus rambut halus di atas
dadanya itu penuh kasih sayang dan mesra. “Nirahai, isteriku tercinta....”
Nirahai bergerak, menengadah
dan tersenyum memandang wajah Han Han. “Dan engkau suamiku....”
Han Han menunduk dan memberi
hadiah ciuman mesra untuk sebutan yang menggetarkan perasaannya itu. Biasanya,
selama sebulan ini, sebuah ciuman saja sudah cukup membuat keduanya tenggelam
dalam lautan asmara, tidak ingat lagi akan hal lain, menghapus semua niat yang
hendak dibicarakan, karena semua kemauan sudah lumpuh dan kalah oleh gelombang
asmara yang menghanyutkan. Akan tetapi kini Han Han dapat menahan diri dan ia
berbisik.
“Nirahai, aku teringat bahwa
sebulan lagi Lulu akan menikah. Aku harus hadir dan menyusulnya ke Kwan-teng.
Marilah kita pergi ke sana....”
Sepasang mata Nirahai yang
selama sebulan ini selalu dalam keadaan seperti orang mengantuk, kini mulai
menemukan kembali sinarnya ketika mendengar ucapan Han Han itu. Sudah sebulan
mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang lain daripada cumbu rayu
sehingga kini seperti baru sadar dari mimpi. Sadar bahwa di sana masih
terdapat banyak hal lain di samping urusan cinta kasih mereka! Matanya mulai
bersinar, perlahan ia bangkit dari dada suaminya, lalu duduk di atas tanah
bertilam rumput, memutar tubuh berhadapan dengan Han Han. Kedua tangannya
mulai memilin-milin rambutnya yang selama ini dibiarkan terurai lepas untuk dibelai
dan dipermainkan jari-jari tangan Han Han yang penuh cinta kasih.
Baru saat itulah keduanya
saling pandang dalam keadaan sadar, dan otomatis timbul kerut-kerut kecil di
wajah mereka, Han Han pada dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.
“Han Han, engkau tahu bahwa
tidak mungkin bagi aku untuk pergi ke Kwan-teng atau ke manapun juga. Aku telah
menjadi seorang pelarian, dan aku merasa malu untuk bertemu dengan tokoh-tokoh
kang-ouw kalau mereka mendengar bahwa aku adalah seorang puteri pelarian.”
“Mengapa tidak mungkin,
isteriku?” Han Han menggenggam tangan Nirahai. “Mengapa tidak mungkin pergi ke
sana? Apa yang ditakuti? Andaikata engkau dikejar, apakah kita tidak mampu melawan?
Dan mengapa pula malu kepada orang lain? Siapa yang akan berani menghinamu?
Akan kuhancurkan mulut yang berani mengejekmu.”
Nirahai menggeleng kepalanya,
lalu berkata, suaranya tegas, “Tidak, suamiku. Aku tidak mau pergi ke Kwan-teng
atau ke mana saja. Aku sudah mempunyai rencana matang yang sudah berhari-hari
ini kupikirkan dan baru sekarang akan kusampaikan kepadamu.”
Berdebar jantung Han Han,
seolah-olah ada firasat tidak enak terasa olehnya. Ia menatap wajah Nirahai
dan dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa wajah yang cantik itu
diselubungi kekerasan hati yang sukar ditembus. Diam-diam ia menjadi gelisah,
akan tetapi ia menekan hatinya dan bertanya halus.
“Nirahai, bagaimanakah
rencanamu itu?”
“Di selatan ini aku yang telah
membuat jasa besar telah dimusuhi oleh kerajaan. Karena itu, jalan
satu-satunya bagiku adalah kembali ke utara! Di Khitan aku akan lebih
dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik Ibuku, yang kini menjadi
seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku hendak menyusulnya ke sana
dan engkau.... kuharap saja suka pergi ke sana bersamaku, Han Han.”
Sejenak kedua orang yang
selama sebulan lebih mabuk dan tenggelam dalam lautan asmara itu, kini saling
berpandangan penuh kesadaran dan penuh kekhawatiran menyaksikan jalan pikiran
dan cita-cita mereka yang saling bertentangan.
“Aku harus mengurus pernikahan
adikku....” Han Han membantah lemah, berpegang kepada alasan ini untuk menarik
Nirahai yang dicintanya itu dari cita-citanya akan pergi ke utara di luar tembok
besar.
Nirahai mengangguk-angguk,
tersenyum lalu merangkul Han Han, menciumnya mesra yang dibalas Han Han sepenuh
hatinya. Akan tetapi, kedua orang ini merasa betapa dalam ciuman mereka
terdapat sesuatu yang mengganjal, tidak seperti yang sudah-sudah dan keduanya
menjadi gelisah.
“Aku tahu, Han Han. Memang
seharusnya engkau menghadiri pernikahan Lulu. Pergilah ke Kwan-teng dan
uruslah pernikahan adik kita itu. Aku akan menantimu di sini dan kalau engkau
sudah kembali ke sini dari Kwan-teng, kita berdua baru pergi ke utara.”
Han Han mengerutkan keningnya
dengan jantung berdebar tegang. Ke utara? Mau apa ke sana? Hidup di antara
suku bangsa Mongol yang sama sekali asing baginya? Teringat akan sejarah betapa
bangsa Mongol pernah menjadi penjajah bangsanya, dia tahu bahwa tentu dirinya
akan terlibat urusan politik dan pemerintahan lagi di utara yang asing itu dan
ia maklum bahwa dia tidak akan merasa bahagia di sana. Ia seolah-olah dapat
merasa betapa bahaya besar bagi kebahagiaan dia dan Nirahai menunggunya di
utara!
Cepat ia memegang kedua pundak
Nirahai, memaksa kekasihnya itu menghadapnya dan memandang wajah yang jelita
itu penuh selidik. “Nirahai, kekasihku, pujaan hatiku! Engkau adalah isteriku,
dan aku akan hidup sengsara tanpa engkau di sampingku! Marilah engkau ikut
bersamaku, ke Kwan-teng, kemudian merantau ke mana saja, berdua, hidup penuh
bahagia, jangan kita melibatkan diri lagi dengan urusan kerajaan. Aku.... aku
mendapat firasat buruk, kalau kita pergi ke utara.... tentu kita akan terlibat
dan terseret lagi dalam urusan kerajaan, politik dan perang! Aku ingin kita
berdua hidup merantau, bebas lepas tidak terikat urusan duniawi, seperti
sepasang burung dara di angkasa.... marilah, Nirahai sebelum terlambat.”
Han Han yang merasa gelisah
itu menjadi terharu dan hendak memeluk isterinya, akan tetapi tiba-tiba Nirahai
melepaskan diri dari pelukan Han Han, mundur tiga langkah dan menatap wajah Han
Han dengan sinar mata tajam dan wajah diliputi sikap dingin murung.
“Han Han, sudah kukhawatirkan
hal ini akan terjadi semenjak malam pertama aku terlena dalam belai rayumu.
Engkau lupa bahwa aku adalah seorang puteri! Bahwa tak mungkin bagiku hidup
seperti seorang petualangan yang tak tentu tempat tinggalnya! Engkau lupa
bahwa di dalam tubuhku mengalir darah pahlawan, yang semenjak nenek moyangku
dahulu rela mengorbankan jiwa raga demi untuk negara dan bangsa! Biarpun kini
kerajaan menganggap aku seorang pelarian, namun aku tetap harus bersetia kepada
kerajaan Ayahku.”
Han Han menjadi pucat wajahnya
dan ia membantah lemah, “Nirahai, akan tetapi engkau isteriku yang tercinta!”
Nirahai tersenyum pahit.
“Memang, aku isterimu yang mencintamu, Han Han. Aku cinta kepadamu, demi Tuhan
aku cinta padamu, tapi....”
“Tapi engkau lebih cinta
kepada bangsamu?” Han Han berseru penasaran dan hatinya berduka sekali.
Sadarlah ia kini bahwa ia lupa akan sebuah hal yang membuat Nirahai amat jauh
bedanya dengan Lulu. Memang wajah mereka mirip sekali, mempunyai segi-segi keindahan
yang sama, akan tetapi ia lupa bahwa Nirahai tidak mungkin bisa memiliki jiwa
seperti Lulu yang lebih polos dan jujur, yang menganggap sama antara
bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak menaruh dendam terhadap bangsa pribumi,
bahkan telah mengambil tindakan mengagumkan dengan mengangkat Lauw-pangcu,
pembunuh orang tuanya, sebagai ayah angkat! Nirahai juga tidak mempunyai permusuhan
pribadi dengan kaum pejuang, akan tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang
sampai ke sumsum-sumsumnya, seorang yang lebih mencinta negara dan bangsa
melebihi apa pun juga!
Mendengar tuduhan Han Han itu,
Nirahai tersenyum dan mengangguk, “Memang betul, Han Han. Aku mencintamu, akan
tetapi aku lebih cinta kepada bangsaku yang melebihi cintaku kepada diriku
sendiri. Engkau adalah seorang yang berpengetahuan luas, tentu mengerti akan
watak keturunan pahlawan. Betapapun juga, aku cinta kepadamu, suamiku, ahhh,
betapa cintaku kepadamu. Karena itu, kau kasihilah aku, sebelum terjadi hal-hal
yang tidak kita inginkan dan yang akan menghancurkan kebahagiaan kita berdua,
marilah sekarang saja kita pergi ke utara dan melupakan segala! Marilah, Han
Han, demi cinta kasih kita....!”
Suara Nirahai makin melemah
dan akhirnya ia terisak perlahan. Han Han terkejut dan makin terharu.
Isterinya, kekasihnya yang berhati baja itu, kini ternyata telah menderita
tekanan batin hebat sekali!
Ia segera memeluknya dan mereka
berciuman penuh kemesraan. Sesaat pertentangan faham yang timbul dari
percakapan tadi terlupa dan lenyap, tenggelam oleh rasa cinta kasih mereka.
Akan tetapi badai kecil asmara ini pun lewat dan mereka kembali sadar dan
teringat akan urusan penting yang mereka hadapi dan yang tak mungkin mereka
hindari.
“Han Han, kau sendiri
mengatakan bahwa Lulu telah mendapatkan jodoh yang amat baik, yang boleh
dipercaya, aku pun percaya bahwa Wan Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik
sekali, gagah perkasa dan bertanggung jawab. Karena itu, mengapa engkau masih
mengkhawatirkan keadaan Lulu? Marilah kita pergi ke utara sekarang juga.”
Han Han menggeleng kepala.
“Tidak mungkin aku pergi jauh sebelum aku menyaksikan pernikahan adikku,
Nirahai.”
“Kalau begitu, pergilah cepat
dan kembalilah cepat pula. Aku akan menantimu di sini, suamiku.”
Han Han termenung, keningnya
berkerut dan wajahnya muram. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia harus menghadapi
keputusan yang begitu sukar dan yang akan menghancurkan hidupnya! Dia
membayangkan masa depannya bersama Nirahai di utara, di antara bangsa Mongol
yang asing baginya sama sekali! Dia membayangkan Nirahai menjadi seorang
pahlawan puteri di antara bangsa Mongol dan dia sendiri.... dia hanyalah suami
sang puteri yang bagaimanapun juga tidak mungkin dapat menjadi pahlawan bangsa
itu, dan dia hanya akan “membonceng” kemuliaan isterinya! Dia akan merasa
terhina, seorang suami bangsa asing, yang buntung pula. Han Han bergidik
ngeri.
“Tidak, Nirahai. Aku akan
pergi ke Kwan-teng dan engkau harus ikut bersamaku! Setelah aku merayakan
pernikahan Lulu, kita berdua akan pergi, ke mana saja, asal bebas dari
ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi dengan janji bahwa kita berdua tidak
akan mengikatkan diri dengan urusan negara!”
Sepasang alis itu berkerut,
sepasang mata itu bersinar merah dan Han Han terkejut, maklum bahwa datangnya
badai yang lain lagi daripada badai asmara yang memabukkan. Setelah berulang
kali menarik napas panjang sampai terdengar nyata, Nirahai berkata, “Sudah
kukhawatirkan akan menjadi begini....! Jodoh takkan dapat kekal hanya didasari
cinta berahi saja! Yang penting adalah kesesuaian faham dan cita-cita! Ahhh,
Han Han, tak mungkin aku dapat memenuhi permintaanmu itu. Kalau engkau memang
mencintaku, engkau harus memenuhi permintaanku ikut dengan aku sekarang juga
ke utara.”
“Engkau yang tidak
sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai. Engkau lebih mencinta cita-citamu!”
“Dan engkau, Han Han, engkau
seperti telah buta. Engkau memang mencintaku, cinta nafsu, cinta berahi,
padahal sesungguhnya engkau mencinta.... Lulu!”
Han Han meloncat kaget dan
memandang Nirahai dengan mata terbelalak.
“Apa.... apa kau bilang....?”
Nirahai tertawa pahit dan
anehnya, dua titik air mata membasahi kedua pipinya. Ia tertawa akan tetapi menangis,
amat mengharukan ketika suaranya yang gemetar berkata, “Kuketahui setelah
terlambat! Baru pada akhir-akhir ini.... engkau mencumbu dan merayu, mencinta
tubuhku, akan tetapi hatimu lari mencari Lulu. Tanpa kausadari, mulutmu yang
menciumi bibirku membisikkan nama Lulu! Saat itulah aku tahu bahwa
sesungguhnya engkau telah jatuh cinta kepada Lulu! Akan tetapi, sudah
terlanjur! Dan kini aku teringat akan sikap dan kata-kata Lulu. Adikmu itu,
adik angkatmu itu, dia pun mencintamu, Han Han. Mencintamu dengan sepenuh jiwa
raganya, mungkin cintanya terhadapmu jauh lebih murni daripada cintaku
kepadamu. Mungkin dia akan melakukan apa saja yang kaukehendaki. Akan tetapi,
semua itu telah lewat, tiada gunanya lagi disesalkan, kita telah menjadi suami
isteri! Kita tidak boleh berpisah lagi karena hal itu akan berarti menghancurkan
kebahagiaan kita. Aku mencintamu dan engkau mencintaku. Sungguhpun mungkin
cinta kasih di antara kita lebih disuburkan oleh nafsu berahi karena kita
saling mengagumi, namun kita dapat menikmati cinta kasih kita bersama. Sekarang
belum terlambat, marilah kita pergi ke utara.”
Han Han menjadi pucat sekali
wajahnya, matanya kehilangan sinarnya. Pukulan batin yang dideritanya sekali
ini terlalu berat baginya. Kenyataan yang dibuka secara terang-terangan oleh
Nirahai merobek-robek hatinya dan ia harus mengakui kebenaran ucapan Nirahai.
Betapa bodohnya! Lululah yang dia cinta! Bahkan mungkin sekali karena
kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu maka dia tergila-gila kepada puteri ini!
Dan sekarang sudah terlanjur!
“Nirahai, terima kasih. Engkau
hebat dan jujur, aku amat menghargai keterusteranganmu. Maafkan aku, Nirahai,
kalau tanpa kusengaja aku menyakiti hatimu. Sudah semestinya kalau aku menebus
dosa-dosaku dengan menuruti kehendakmu. Akan tetapi, engkau bersabarlah. Aku
akan pergi ke Kwan-teng lebih dulu, merayakan pernikahan adikku, baru kita
bicara lagi tentang ke utara.”
Nirahai membanting kakinya.
Dia sudah marah sekali dan sudah habis kesabarannya. “Tidak! Sekarang juga
kita harus dapat mengambil keputusan! Han Han, kita bukanlah anak-anak kecil
lagi! Kita bukan orang-orang yang lemah dan ragu-ragu dalam mengambil
keputusan. Kita harus dapat menentukan nasib sendiri karena hal ini menyangkut
masa depan dan kehidupan kita. Dengarlah keputusan yang tak dapat diubah-ubah
lagi, Han Han. Aku cinta padamu, dan akan bersedia melayanimu sebagai seorang
isteri yang mencintannu sampai kematian memisahkan kita. Akan tetapi, di samping
itu aku harus pergi ke Mongol dan aku harus mengabdikan diriku untuk nusa
bangsaku, biarpun dengan cara lain daripada yang sudah-sudah. Aku hanya minta
engkau tidak menghalangi cita-citaku itu dan aku bersumpah bahwa cintaku
kepadamu takkan berubah!”
Sementara itu, biarpun amat
berduka, Han Han sudah pula berpikir masak-masak, maka ia menjawab, “Aku pun
sudah mengambil keputusan, Nirahai. Aku cinta padamu dan aku akan mencintamu
selamanya, akan tetapi aku tidak mau terikat dengan urusan pemerintah. Aku
harus menikahkan Lulu lebih dulu, kemudian aku akan mengikutimu ke manapun
engkau pergi, akan tetapi aku hanya minta engkau tidak mencampuri urusan negara
yang hanya akan merenggangkan hubungan kita suami isteri.”
Sejenak sunyi dan mereka
berpandangan. Akhirnya Nirahai bertanya nyaring. “Sudah tetapkah keputusan
hatimu itu?”
Han Han mengangguk tanpa
mengalihkan pandang matanya yang bertaut dengan pandang mata Nirahai.
Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan terkekeh-kekeh.
“Nirahai....!” Han Han maju
hendak merangkul. Ia ngeri melihat Nirahai tertawa seperti itu, dengan muka
pucat, dengan air mata bercucuran, dengan mulut tertarik seperti orang
menangis, seperti mayat tertawa!
“Jangan dekati!” Nirahai
membentak, kemudian ia berkata lirih bercampur isak, “Kalau begitu keputusan
kita, kita harus berpisah, sekarang juga, lebih cepat lebih baik. Nah, selamat
tinggal, Han Han. Engkau kekasihku, engkau suamiku, akan tetapi juga musuhku!
Engkau kucinta, akan tetapi juga kubenci!” Setelah berkata demikian, puteri
jelita itu meloncat dan lari pergi secepat kilat.“Nirahai....!” Han Han
menjerit, hanya lirih keluar dari mulut, akan tetapi amat nyaring keluar dari
hatinya yang berdarah. Ia berdiri termenung memandang sampai bayangan Nirahai
lenyap, berdiri seperti patung, agak terbongkok seolah-olah terlampau berat
beban yang menimpa punggungnya, bersandar pada tongkatnya dan diam tak
bergerak. Hanya air matanya saja yang jatuh satu-satu tak dihiraukannya.
“Nirahai....
Nirahai....!” Hatinya menjerit-jerit.
“Nirahai....! Lulu....!
Lulu....!” Ia menjadi bingung, pukulan batin yang dideritanya membuat ia
seolah-olah menjadi batu.
Kalau saja Nirahai tidak
sedemikian keras hatinya. Kalau saja ia meragu dan kembali ke tempat itu, tentu
hati wanita ini akan hancur luluh dan mencair melihat keadaan Han Han. Sampai
tiga hari tiga malam Han Han masih berdiri di tempat itu, bersandar pada
tongkatnya, tak pernah bergerak kecuali untuk membisikkan nama Nirahai dan
Lulu! Dan yang amat mengharukan adalah rambutnya. Rambut yang gemuk dan
panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah menjadi putih
semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang kakek berusia
seratus tahun! Selama tiga hari tiga malam ini, terjadi perubahan hebat pada
dirinya. Badannya menjadi semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak ada
cahayanya, seperti muka orang yang kehilangan semangat dan kegairahan hidup.
Tiada sepercik pun sinar kegembiraan terlukis di mukanya. Dan memang selama
tiga hari tiga malam itu Han Han hanya memikirkan nasibnya. Hidup semenjak
kecil baginya hanya merupakan serangkaian kesengsaraan yang tidak ada
putus-putusnya. Makin diingat makin menghimpit perasaan.
Teringat ia akan
wejangan-wejangan Koai-lojin yang dia tahu juga banyak mengalami duka nestapa
dalam hidupnya, mengalami kekecewaan-kecewaan besar. Sayup sampai bergema di
telinganya wejangan kakek sakti itu sebelum meninggalkannya, “Hidup itu
menderita duka? Hidup itu menikmati suka? Tidak benar semua itu. Hidup adalah
hidup, adapun suka atau duka adalah urusan hati, tidak ada sangkut-pautnya dengan
hidup. Peristiwa yang menimpa kita tak lepas dari perbuatan kita sendiri. Seni
yang amat indah dan besarlah cara penerimaan kita terhadap segala peristiwa.
Penerimaan, sekali lagi penerimaan! Kalau engkau sudah dapat menguasai nafsu
dan hati, sudah pandai menggunakan pikiran sehingga mendapat kesadaran, engkau
akan pandai pula menerima segala hal yang menimpa dirimu sehingga engkau bisa
saja bersuka dalam duka, dan berduka dalam suka!”
Tiba-tiba Han Han tersenyum
setelah ia teringat akan wejangan ini dan mulailah tubuhnya yang kaku membatu
itu dapat bergerak lagi. Seolah-olah tubuhnya “hidup” kembali sungguhpun ia
merasa betapa hatinya hampa dan kosong. Dia tidak sadar bahwa rambutnya sudah
putih semua dan bahwa ada sinar aneh terpancar dari matanya yang biasanya bersinar
tajam luar biasa. Dengan langkah terpincang-pincang Han Han meninggalkan
tempat itu menuju ke Kwan-teng.
Selagi Han Han berjalan
terpincang-pincang menuruni sebuah lereng sambil melamun, tiba-tiba tampak
belasan orang hwesio berloncatan keluar dan menghadapinya dengan sikap
mengancam. Han Han mengangkat muka memandang dan ia mengenal Ceng San Hwesio
dan belasan orang anak murid Siauw-lim-pai, semuanya pendeta-pendeta berkepaia
gundul yang tingkatnya sudah tinggi. Han Han merasa heran. Kalau sampai ketua
Siauw-lim-pai sendiri keluar dari Siauw-lim-si, tentulah ada urusan yang amat
penting. Biasanya yang mewakili ketua Siauw-lim-pai ini adalah Ceng To
Hwesio, sute dari Ceng San Hwesio. Akan tetapi ia teringat bahwa Ceng To Hwesio
telah tewas dalam pertandingan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Han Han menjura dengan hormat
kepada ketua Siauw-lim-pai itu dan berkata, “Kiranya locianpwe dan para losuhu
dari Siauw-lim-pai yang bertemu dengan saya di tempat sunyi ini, dan agaknya
menghadang perjalanan saya. Tidak tahu ada kepentingan apakah?”
“Hemmm, orang muda tidak tahu
malu! Dahulu engkau membikin kacau Siauw-lim-si, hal itu telah pinceng lupakan
dan dianggap habis. Sekarang engkau yang tadinya telah membuat nama di Se-cuan,
secara tidak tahu malu sekali bersekongkol dengan Nirahai perempuan iblis
itu....!”
“Maaf, locianpwe. Nirahai
adalah isteriku, bukan iblis. Aku melarang siapa saja menghina dan memaki
isteriku! Apakah kesalahan Nirahai? Bukankah di puncak Tai-hang-san telah diadakan
perdamaian?”
“Hemmm, perdamaian? Engkau
kini menjadi suami Nirahai? Bagus, seperti yang telah pinceng duga, engkau
seorang yang tak tahu malu! Kau bicara tentang perdamaian atas nama Nirahai?
Perdamaian yang mengorbankan nyawa Sute Ceng To Hwesio dan engkau yang telah
ditolong murid kami Lauw Sin Lian sampai dia mengorbankan nyawa, engkau....
malah menjadi suami pembunuhnya? Suma Han, pinceng telah mendengar keturunan
siapakah engkau ini, maka pinceng tidak merasa heran bahwa engkau hanyalah seorang
rendah budi yang tak patut dinilai sepak-terjangnya!”
Han Han merasa heran sekali
mengapa hatinya tidak marah seujung rambut pun mendengar penghinaan yang luar
biasa itu. Entah bagaimana, hatinya seperti kosong melompong, tidak dapat
diusik lagi oleh perasaan apa pun. Mestinya ia marah mendengar kata-kata yang
menghina itu, akan tetapi ia malah tersenyum! Bukan dibuat-buat, melainkan
senyum wajar karena ia merasa geli menyaksikan kebodohan seorang kakek yang
sudah menganggap diri pendeta dan menjadi ketua partai besar.
“Locianpwe, harap jangan salah
sangka. Mendiang Ceng To Hwesio tewas dalam sebuah pertandingan perorangan
melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sama sekali bukan kesalahan Nirahai. Adapun
kematian Sin Lian.... hemmm, semoga Thian memberi tempat yang penuh damai bagi
arwahnya, kematiannya pun di luar kesalahan Nirahai karena vang melakukannya
adalah Ouwyang-kongcu dan para pembantunya.”
“Pinceng tidak sudi melayani
percakapan seorang yang tak boleh dipercaya seperti engkau. Sekarang, lebih baik
engkau menebus semua kesalahanmu dengan dua hal. Pertama mengembalikan anak
Bhok Khim, dan ke dua, memberi tahu di mana adanya iblis betina Nirahai!”
Kembali Han Han tersenyum
sambil menghela napas panjang. “Locianpwe, ketika Bhok Khim Toanio hendak menghembuskan
napas terakhir, dia minta tolong kepada kedua orang suhengnya, akan tetapi
kedua orang suhengnya memandang rendah sehingga akhirnya Bhok-toanio
menyerahkan puteranya kepada saya. Sekarang locianpwe memintanya, untuk apa?”
“Untuk apa, kau tidak perlu
tahu. Anak itu adalah anak Bhok Khim seorang murid kami, kamilah yang berhak
atas dirinya.”
“Saya sendiri belum menemukan
anak itu, locianpwe, maka tidak dapat saya serahkan, dan kalau locianpwe hendak
mencarinya, silakan mencari sendiri. Adapun tentang Nirahai, saya tidak dapat
memberi tahu kepada siapa juga ke mana perginya karena saya harus melindungi
isteri saya.”
“Omitohud! Bicara
berbelit-belit, padahal maksudnya hanya menentang dan menolak! Suma Han, apakah
terpaksa pinceng harus turun tangan memaksamu?” Ceng San Hwesio membentak.
Berkerut kening Han Han, bukan
karena marah melainkan karena penasaran menyaksikan sikap seorang ketua partai
besar yang sungguh tidak patut itu. Sepasang matanya yang tajam itu mengeluarkan
sinar yang aneh, menyapu belasan orang hwesio itu, kemudian berhenti ke wajah
Ceng San Hwesio dan ia berkata, “Bukan saya yang mencari perkara, silakan
kalau locianpwe hendak menggunakan kekerasan!”
Para murid Siauw-lim-pai sudah
menyaksikan sikap Han Han yang mereka anggap kurang ajar dan tidak menaruh
hormat kepada ketua mereka. Terdengar bentakan mereka dan mereka sudah melolos
senjata masing-masing, toya, golok dan pedang, gemerlapan tertimpa sinar
matahari.
“Hemmm, cu-wi hendak
menggunakan kekerasan? Jangan mengira bahwa saya takut menghadapi cu-wi. Lihat
baik-baik, saya sudah siap, apakah cu-wi kira akan dapat mengalahkan saya?”
Para hwesio yang sudah
menerjang maju dengan senjata di tangan itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri di
tempat masing-masing dengan muka pucat. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri
berkali-kali mengucapkan “omitohud!” dan membaca mantera ketika melihat pemuda
berkaki buntung itu kini berdiri dengan tegak, tubuhnya berubah menjadi dua!
Kakinya tetap sebuah, akan tetapi kepalanya dua dan lengannya menjadi empat
buah, yang dua memegang tongkat yang dua lagi mengepai siap melakukan
perlawanan!
“Omitohud! Dia menggunakan
ilmu silat siluman! Jangan takut, serbu!” Ceng San Hwesio berseru penuh wibawa.
Sebelas orang anak murid
Siauw-lim-pai yang sudah tinggi tingkatnya itu, biarpun hati mereka gentar
sekali, memaksa diri menyerbu ke arah Han Han yang masih berdiri tegak. Ketika
senjata-senjata para anak buah Siauw-lim-pai itu datang menyambar seperti
hujan, tiba-tiba tampak dua batang tongkat berkelebat seperti dua ekor naga.
“Trang-cring-cring-trakkk!”
Golok dan pedang beterbangan, toya-toya patah ketika bertemu dengan dua batang
tongkat itu. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri yang menyerbu dengan kepalan
tangannya, bertemu dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas sekali,
membuat ia terhuyung mundur!
“Ceng San Hwesio, jalan
kekerasan hanya akan mendatangkan maut dan kerusakan kepada diri sendiri.
Selamat tinggal dan ingatlah selalu bahwa saya sedikit pun tidak pernah dan
tidak akan memusuhi Siauw-lim-pai yang saya hormati dan kagumi!” Pemuda ini
menggunakan kekuatan matanya dan menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, sekali
berkelebat lenyap dari depan mata para murid Siauw-lim-pai.
“Di.... dia menghilang seperti
siluman!” Para murid Siauw-lim-pai berbisik dengan suara gemetar. Namun ketua
Siauw-lim-pai yang sudah tinggi ilmunya itu maklum bahwa Han Han menggunakan
ilmu gin-kang yang luar biasa sekali di samping pengaruh pandang matanya yang
dapat menyihir para muridnya termasuk dia sendiri. Maka dia menarik napas
panjang dan mengajak murid-muridnya pergi dari situ untuk melanjutkan usaha
mereka mencari Nirahai yang tentu saja sia-sia belaka karena pada waktu itu,
Nirahai telah pergi jauh ke utara dengan hati yang sama hancurnya seperti yang
diderita Han Han.
Setelah mengalami peristiwa
pertemuannya dengan ketua Siauw-lim-pai yang amat tidak enak itu, Han Han
tidak mau lagi termenung dan ia melakukan perjalanan cepat sambil mengerahkan
kepandaian, menghindarkan pertemuan dan terutama sekali bentrokan dengan orang
lain.
Demikianlah, pada suatu pagi,
saat yang ia rindu-rindukan, yang dinanti-nantikan tiba, ketika ia memasuki
kota Kwan-teng dan dengan jantung berdebar ia langsung menuju ke Pek-eng-piauwkiok,
yaitu gedung perusahaan ekspedisi milik Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, murid
Hoa-san-pai yang ramah itu.
“Han-koko....!” Lulu menjerit
dan lari menyambut kedatangan Han Han ketika Han Han memasuki ruangan depan
Pek-eng-piauwkiok.
“Lulu....!” Han Han memeluk
adiknya dan menumpahkan seluruh kerinduan hatinya.
“Han-koko rambutmu....
ahhh rambutmu kenapa....?” Lulu yang sudah menangis itu menggunakan kedua
tangannya membelai rambut yang putih semua itu. “Han-koko.... kenapa engkau?
Kenapa rambutmu.... jadi begini?”
Kembali Han Han merasai
keanehan pada dirinya. Rasa haru menyusup ke dadanya, akan tetapi segera
tenggelam seperti sebuah batu dilempar di permukaan telaga dan lenyap tak
berbekas! Dia malah dapat tersenyum sambil mengelus rambut adiknya.
“Lulu, adikku. Rambut hitam
menjadi putih apa anehnya? Sudah wajar dan harap jangan diributkan.”
“Koko.... Han-koko.... ahhh,
Han-koko....!” Lulu merintih-rintih sambil menangis air matanya membasahi baju
di dada Han Han, dipandang penuh keharuan oleh Wan Sin Kiat yang pada saat itu
merasa benar betapa besar cinta kasih calon isterinya kepada kakaknya. Akhirnya
Sin Kiat yang bijaksana meninggalkan kakak dan adik itu masuk ke dalam dengan
alasan hendak menyampaikan kepada gurunya akan kedatangan Han Han.
Setelah tinggal berdua saja,
Lulu mempererat pelukannya dan tangisnya makin tersedu-sedu. “Koko.... Koko
jangan tinggalkan aku lagi, Koko. Marilah kita pergi berdua....
hu-hu-huuukkk....”
“Eh, eh, bocah nakal! Apa pula
yang kaukatakan ini? Engkau akan menikah dengan Sin Kiat. Bukankah engkau cinta
kepadanya?”
“Aku.... aku suka menjadi
isterinya akan tetapi aku tidak akan bahagia kalau berpisah darimu, koko.
Baru berpisah tiga bulan saja, engkau sudah tertimpa malapetaka lagi. Pertama
kali, perpisahan kita membuat engkau kehilangan sebelah kakimu....” Lulu mengguguk
tangisnya. “Dan sekarang.... rambutmu putih semua!”
“Hushhh jangan berkata
demikian. Engkau akan hidup bahagia di samping suamimu, jangan pikirkan aku
lagi.” Biarpun mulutnya berkata demikian, hati Han Han tidak karuan rasanya.
Memeluk adiknya ini teringatlah ia ketika ia memeluk Nirahai dan diam-diam ia
kini harus membenarkan ucapan Nirahai yang menyatakan bahwa sesungguhnya dia
mencinta Lulu. Memang benar. Baru sekarang dia tahu Lululah yang dicintanya!
Dicintanya sejak dahulu! Bukan hanya dicinta sebagai adiknya, melainkan
dicintanya sebagai seorang wanita satu-satunya di dunia ini yang akan membahagiakan
hidupnya!
“Tidak mungkin, Han-koko. Tak
mungkin aku tidak memikirkan engkau. Biarpun aku menjadi isterinya, aku akan
sengsara kalau kau tidak berada di dekatku. Lebih baik aku selamanya tidak
kawin, biarlah aku ikut bersamamu.... hu-hu-huk, kita kembali ke Pulau Es....!”
Han Han tersentak kaget.
Permintaan Lulu ini cocok sekali dengan perasaan hatinya. Dia harus melawan
ini. Tidak boleh begini! Kalau dia menuruti perasaannya, dia tahu bahwa dia
akan menemukan bahagia asmara yang sejati di samping Lulu. Akan tetapi hal
itu hanya akan menambah dosanya yang sudah bertumpuk-tumpuk.
“Tidak! Lulu, jangan
berpikiran gila seperti itu! Engkau adikku, dan adik berada di samping kakaknya
di waktu kecil, setelah dewasa dan bertemu jodohnya, harus berpisah.”
“Aku tidak mau....! Tidak
mau....!” Lulu terisak-isak dan membanting-banting kakinya. Kembali Han Han
teringat kepada Nirahai. Selama sebulan itu, ketika ia memeluk dan mencinta
Nirahai, bukankah setengah hatinya menganggap bahwa Nirahai menjadi pengganti
Lulu? Dan sekarang dia memeluk Lulu! Akan tetapi Lulu yang dipeluknya ini
adalah adiknya! Lebih patut menjadi isteri Wan Sin Kiat.
“Lulu! Apakah engkau ingin
melihat kakakmu makin sengsara? Aku bisa mati karena duka jika engkau bersikap
seperti ini!”
Lulu merintih dan melepaskan
pelukannya, melangkah mundur sambil memandang kakaknya dengan mata terbelalak
dan muka pucat. “Han-koko, benar-benarkah engkau menghendaki aku kawin dengan
Sin Kiat?”
Sejenak mereka berpandangan.
Lulu memandang dengan matanya yang lebar penuh selidik. Han Han berusaha mengelak
dan menyembunyikan perasaan hatinya. Jelas sekali tampak olehnya betapa sinar
mata adiknya itu menyorotkan cinta kasih yang mendalam, penuh pemasrahan,
cinta kasih dengan pemasrahan total tanpa halangan perbedaan faham seperti yang
dimiliki Nirahai, dan agaknya karena kenyataan bahwa mereka kakak beradik
yang membuat Lulu tidak berani menyatakan perasaan melalui mulutnya.
Han Han mengerahkan seluruh
kekuatan kemauannya untuk menekan perasaannya, kemudian ia tersenyum lebar
dan memandang adiknya seperti memandang seorang anak nakal sambil berkata,
“Lulu.... lulu adikku sayang, mengapa kau masih bertanya lagi? Engkau tahu,
satu-satunya kebahagiaan bagiku adalah melihat engkau bahagia adikku. Dan aku
yakin engkau akan bahagia menjadi isteri Sin Kiat. Bukankah selama ini dia
bersikap amat baik padamu?”
Lulu menarik napas panjang,
menggunakan punggung tangan untuk mengeringkan air mata dari pelupuk mata dan
pipi. “Dia baik, akan tetapi engkau jauh lebih baik”
“Hushhhhh! Tentu lain! Dia
adalah calon suamimu, dan aku hanya kakakmu.” Han Han menggandeng tangan
adiknya sambil tertawa. “Jangan seperti anak kecil, Lulu. Mari kita masuk
menghadap Locianpwe Im-yang Seng-cu, guru Sin Kiat.”
Lulu terpaksa menghentikan
tangisnya dan tidak sempat lagi berbantahan dengan kakaknya karena tak lama
kemudian Sin Kiat muncul lagi bersama gurunya, Im-yang Seng-cu, Tan Bu Kong dan
beberapa orang anak murid Hoa-san-pai yang telah berada di situ. Ketika
melihat Han Han yang rambutnya sudah putih semua, Im-yang Seng-cu membalas penghormatannya
sambil berkata, “Siancai.... telah banyak sudah aku mendengar akan sepak
terjangmu, orang muda, membuatku kagum. Kiranya engkau cucu sahabatku Suma
Hoat telah menjadi seorang pendekar yang amat sakti!”
Han Han yang sudah menjura
penuh hormat, segera menjawab, “Harap locianpwe tidak memuji secara
berlebihan. Saya hanyalah seorang kakak yang kini datang untuk merayakan
pernikahan adik saya Lulu dengan murid locianpwe. Mohon locianpwe maafkan,
karena keadaan kami kakak beradik yang tiada orang tua dan tidak memiliki
sesuatu, maka segala pelaksanaan upacara dan perayaan kami serahkan kepada
fihak locianpwe.”
“Suma-taihiap mengapa bersikap
sungkan? Kita berada di antara keluarga sendiri. Tentu saja kami sudah
mempersiapkan segalanya, bahkan kami telah menyebar undangan,” kata
Tan-piauwsu yang menjadi tuan rumah.
Ramailah mereka merundingkan
rencana pernikahan yang akan diadakan beberapa hari lagi. Kini Lulu tidak
pernah rewel lagi sehingga hati Han Han terasa lega sungguhpun tiap kali
bertemu pandang dengan adiknya itu, Han Han merasa jantungnya tertikam melihat
sinar duka menyuramkan sepasang mata adiknya yang biasanya berseri dan
wajahnya yang biasanya cerah itu.
Akhirnya, tibalah harinya yang
telah dinanti-nantikan dan dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sin Kiat,
jago muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap dengan Lulu. Upacara
pernikahan dilangsungkan secara sederhana namun cukup meriah dan dihadiri oleh
tamu-tamu terhormat dari kota Kwan-teng dan sekitarnya. Han Han dan Im-yang
Seng-cu sebagai wakil kedua mempelai, memandang penuh keharuan ketika sepasang
mempelai bersembahyang di depan meja sembahyang, mengangkat dupa wangi,
berdampingan dalam pakaian mempelai yang membuat Lulu tampak makin cantik
jelita. Dalam keharuannya, Han Han merasa lega hatinya. Belum pernah ia merasa
begitu lega hatinya seperti ketika menyaksikan adiknya bersembahyang di
samping Sin Kiat. Adiknya merupakan satu-satunya persoalan yang memberatkan
hatinya, karena kalau dia pergi menjauhi segala kesengsaraan dunia, bagaimana
dengan adiknya yang ia ditinggalkannya. Kini adiknya sudah ada yang memiliki,
ada yang mengurus, membela dan melindungi. Dan dia percaya bahwa Sin Kiat akan
menjadi seorang suami yang baik, dia percaya bahwa tentu Lulu akan hidup
sebagai seorang isteri yang penuh kebahagiaan.
Malam tadi, untuk yang
terakhir kalinya Lulu menemuinya dan menangis, dengan terisak-isak minta
supaya pernikahan dibatalkan! “Koko.... lebih senang kalau aku pergi saja
bersamamu!” Demikian adiknya itu rewel lagi.
“Eh, eh, bagaimana engkau ini,
Lulu? Besok dirayakan perkawinan, tamu-tamu akan datang, mana bisa dibatalkan?
Eh, terus terang saja. Katakanlah, apa engkau tidak cinta kepada Sin Kiat?”
Lulu mengangguk. “Aku suka
padanya, Koko. Aku mau menjadi isterinya, akan tetapi.... berat sekali kalau
aku harus berpisah darimu. Kau berjanjilah bahwa setelah aku menikah, engkau
akan tinggal bersama kami untuk selamanya!”
“Hush, bocah nakal! Apa kau
akan mengikat kakiku seperti seekor burung? Jangan begitu, adikku. Engkau
mencinta Sin Kiat, dia pun mencintaimu. Kalau kalian sudah menjadi suami
isteri, berarti kalian merupakan dua tubuh satu hati, sehidup semati dan
mengenai aku.... ah, aku hanya kakakmu, dan aku.... aku akan mencari jodohku
sendiri!” Terpaksa Han Han menggunakan alasan ini dan benar saja, wajah adiknya
menjadi berseri dan biarpun pipinya masih basah, kini Lulu dapat tersenyum.
“Benarkah, Koko? Kenapa tidak
dengan Suci Nirahai?”
Kalau saja kini rongga dada
Han Han tidak sudah kosong melompong, tentu disebutnya nama Nirahai ini akan
membuat perasaannya tertikam hebat. Akan tetapi tikaman itu mengenai tempat
kosong dan ia hanya memejamkan mata sesaat, kemudian menjawab, “Entahlah,
adikku. Soal jodoh berada di tangan Tuhan, seperti jodohmu dengan Sin Kiat ini
pun sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kasih.”
Bujukan-bujukannya ini membuat
Lulu dapat bersikap wajar dan gembira ketika sepasang mempelai bersembahyang
dan mengikuti upacara pertemuan. Setelah upacara selesai dan sepasang mempelai
duduk bersanding, barulah pesta dimulai dan suasana menjadi gembira sekali. Sebagai
kedua wali sepasang mempelai, Han Han duduk berhadapan dengan Im-yang Seng-cu
dan minum arak wangi.
Akan tetapi, mendadak suasana
gembira itu dipecahkan oleh suara yang nyaring menggema, datang dari luar pekarangan
gedung Pek-eng-piauwkiok, “Suma Han, pinceng tidak ingin mengganggu pesta
pernikahan. Keluarlah agar kita dapat bicara!”
Han Han dan semua orang yang
berada di situ terkejut karena suara ini mendatangkan getaran hebat yang
seolah-olah menimbulkan gempa bumi. Han Han mengenal suara Thian Tok Lama, pendeta
Tibet, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamu, “Harap cu-wi
melanjutkan makan minum, urusan ini adalah urusan saya sendiri yang akan saya
bereskan di luar!” Setelah berkata demikian, Han Han lalu terpincang-pincang
keluar dari ruangan pesta itu.
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu
yang mengerti bahwa orang yang mengeluarkan suara seperti itu tentulah memiliki
kepandaian yang luar biasa, segera bangkit dan diam-diam mengikuti Han Han.
Lulu juga cepat bangkit berdiri dan sebelum dapat dicegah, sudah lari keluar.
Tentu saja Sin Kiat tidak mau membiarkan isterinya pergi sendiri, dan cepat ia
pun ikut keluar. Melihat betapa sepasang mempelai keluar, tentu saja para tamu
menjadi tertarik dan ingin tahu, maka tanpa dapat dicegah lagi,
berbondong-bondong mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata yang berada di depan
gedung Pek-eng-piauwkiok itu adalah dua orang pendeta Tibet, bukan lain Thian
Tok Lama dan Thai Li Lama yang berdiri dengan sikap tenang, akan tetapi mata
mereka memandang marah.
“Kiranya ji-wi yang datang,”
kata Han Han, sikapnya tenang. “Ada keperluan apakah mengganggu aku yang
sedang merayakan pernikahan adikku?”
“Suma-taihiap, kami berdua
masih mengingat akan hubungan lama, karena itu kami datang bukan dengan niat
mencari keributan. Tak perlu kiranya kami jelaskan lagi dan tidak perlu pula
urusan ini dibicarakan panjang lebar. Kami hanya ingin tahu di mana adanya
Sang Puteri sekarang.”
Han Han memandang tajam dan
melihat betapa sepasukan pengawal kerajaan yang jumlahnya dua puluh empat
orang, kesemuanya pengawal pilihan dan yang berbaris rapi di belakang dua orang
pendeta itu, telah siap menerjang. Akan tetapi ia didahului oleh Im-yang Seng-cu
yang telah meloncat maju mendekati kedua orang pendeta Lama itu sambil
menudingkan tongkatnya, “Pinto sebagai tuan rumah yang mengadakan pesta
pernikahan murid pinto, mengharap agar ji-wi Losuhu tidak menggangu perayaan
kami, atau, kalau ji-wi beriktikad baik, kami persilakan untuk masuk sebagai
tamu-tamu yang kami hormati.”
Thian Tok Lama memandang tosu
kurus itu dengan alis berkerut, kemudian ia berkata tegas dan angkuh, “Kami tidak
ingin mengganggu dan tidak mau diganggu! Kami tidak mempunyai urusan dengan
siapapun juga, kecuali dengan Suma Han. Harap yang lain tidak mencampuri urusan
kami!”
Bayangan Lulu berkelebat dan
dia sudah berdiri di dekat kakaknya. Dengan tirai masih menutupi mukanya, dia
menudingkan telunjuknya dan membentak. “Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Aku
mengenal siapa kalian! Beranikah kalian menghinaku dengan mengacau hari
pernikahanku dan menghina kakakku?”
Wan Sin Kiat juga sudah
berkata keras, “Ji-wi Losuhu sudah menyeberang ke fihak musuh, hal itu tidak
ada sangkut-pautnya dengan kami! Mengapa ji-wi sekarang datang mengganggu?”
Thian Tok Lama memandang
sepasang mempelai itu lalu tertawa. “Omitohud....! Seorang puteri Mancu
berjodoh dengan seorang tokoh pejuang! Betapa manis dan baiknya! Kami tidak
mengganggu kalian, melainkan hendak berurusan dengan Suma Han!”
“Suma Han adalah wali mempelai
wanita, menjadi tamu agung bagi pinto. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya.
Pinto sebagai tuan rumah berhak melindunginya. Harap ji-wi suka pergi!” Sambil
berkata demikian, Im-yang Seng-cu meloncat maju dan menggerakkan tongkatnya.
“Locianpwe, jangan....!” Han
Han berseru mencegah.
Namun terlambat. Im-yang
Seng-cu yang dapat menduga bahwa kedua orang pendeta itu tentu lihai dan
berbahaya sekali, telah menyerang dengan tongkatnya. Thian Tok Lama tertawa dan
menggerakkan tangan kanan menyambut tongkat.
“Krekkk....!” Tongkat di
tangan Im-yang Seng-cu patah menjadi dua dan tosu ini terhuyung ke belakang.
Kagetlah Im-yang Seng-cu. Dia merupakan seorang sakti yang berilmu tinggi,
akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, tangkisan tangan pendeta aneh itu
telah mematahkan tongkatnya dan ia merasa sebuah tenaga panas mendorongnya
sehingga ia terhuyung. Mengertilah ia bahwa hwesio ini amat sakti!
“Pendeta sesat!” Lulu dan Sin
Kiat bergerak hendak menyerang, akan tetapi Han Han sudah melonjorkan lengannya
mencegah, lalu berkata penuh wibawa, “Kalian sedang merayakan pernikahan, tidak
boleh bergerak dan berkelahi. Urusan ini memang tiada sangkut-pautnya dengan
lain orang, biarlah aku sendiri yang membereskan!”
Mendengar ucapan Han Han ini,
Lulu dan Sin Kiat mundur dan kini Han Han sendiri menghadapi dua orang pendeta
Lama itu. “Ji-wi Losuhu, baiklah pertanyaan ji-wi tadi kujawab. Tentang Puteri
Nirahai, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang. Jawabku ini sama sekali
tidak membohong, karena memang aku tidak tahu ke mana dia pergi setelah
berhasil kuselamatkan dari tahanan istana. Akan tetapi, perlu ji-wi ketahui
pula bahwa andaikata aku tahu di mana dia berada sekalipun, takkan keberitahukan
kepada siapapun juga jika tidak dia kehendaki. Nah, setelah kujawab sejujurnya,
harap ji-wi tidak mengganggu lagi dan suka pergi dari sini.”
Ramailah anak buah pasukan
pengawal itu bicara sendiri mendengar jawaban Han Han. Thian Tok Lama
mengerutkan keningnya dan nampak marah. “Suma Han! Engkau telah melakukan dosa
besar, menyerbu istana dan melarikan Sang Puteri, sekarang sengaja hendak
menyembunyikannya. Namun, pinceng masih ingat akan hubungan antara kita dan
pinceng persilakan engkau ikut bersama kami untuk menghadapi kaisar dan memberi
jawaban sendiri.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Berarti engkau tidak
mengindahkan iktikad baik kami dan terpaksa kami menggunakan kekerasan
menangkapmu!”
Han Han tertawa. “Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama, apakah yang kalian andalkan untuk dapat menangkap aku?
Kalau hendak menggunakan kekerasan silakan!”
Kedua orang pendeta Tibet itu
sudah mengenal kelihaian Han Han, maka dengan cerdik mereka tadi hendak menggunakan
bujukan halus. Kini melihat pemuda itu tak dapat dibujuk, Thian Tok Lama lalu
mengangkat tangan dan memberi perintah kepada para pasukan pengawal pilihan,
“Tangkap si pemberontak!”
Terdengar suara nyaring dan
tampak sinar berkilauan ketika dua losin pasukan pengawal itu mencabut senjata
mereka. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama pun sudah bersiap-siap untuk menyerbu
kalau pasukan itu sudah mengeroyok. Akan tetapi Han Han yang tidak ingin membunuh
orang, sudah mendahului mereka. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara keras sekali,
“Jangan bergerak!” Dan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor
burung garuda menyambar. Aneh sekali, dua puluh empat orang yang sudah
mencabut senjata itu kini berdiri diam seperti arca dan sekali tubuh Han Han
menyambar turun, dengan mudahnya Han Han merampas dan melucuti senjata-senjata
mereka, mematah-matahkan semua senjata itu dengan kedua tangan seperti orang
mematah-matahkan sekumpulan lidi saja! Kemudian ia membuang senjata-senjata
yang sudah patah itu ke atas tanah.
Melihat ini, semua orang
terheran-heran. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terkejut sekali. Terutama
Thai Li Lama yang merupakan seorang tokoh dan ahli sihir. Dia tadi sampai ikut
diam tak mampu bergerak mendengar bentakan Han Han, maka tahulah pendeta ini
bahwa sekarang Si Pemuda berkaki buntung telah memiliki kekuatan yang mujijat,
jauh lebih kuat daripada dahulu ketika bertanding kekuatan sihir dengannya.
Namun, sebagai dua orang yang memiliki sin-kang tenaga batin kuat, dua orang
pendeta Tibet ini sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sambil berseru marah
mereka menerjang maju dari kiri kanan memukul dengan pengerahan sin-kang ke
arah Han Han.
Menghadapi pukulan dari kiri
kanan yang amat kuat ini, Han Han malah berdiri tegak dan memejamkan matanya!
Tentu saja Im-yang Seng-cu, Lulu dan Sin Kiat menjadi terkejut dan amat khawatir
menyaksikan dua pukulan yang mendatangkan angin mendesir kuat sekali itu.
Tiba-tiba Han Han mengembangkan kedua lengannya dan berseru.
“Thian Tok Lama dan Thai Li
Lama, pergilah kalian!”
Kedua telapak tangan Han Han
menyambut pukulan dua orang lawannya. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat
hebat! Tubuh Han Han diam seperti arca, akan tetapi tubuh dua orang pendeta
Lama itu tergoncang hebat. Mereka masih hendak bertahan, namun mereka terguncang
makin hebat dan kalau dilanjutkan pertahanan mereka, tentu isi dada mereka
akan hancur. Mengerti akan bahaya maut, keduanya lalu melompat mundur dan
terhuyung-huyung, lalu roboh terpelanting dan cepat mereka duduk bersila
mengatur pernapasan!
Pasukan itu menjadi gempar.
Mereka tadi tak dapat menggerakkan kaki tangan sama sekali, dan barulah
sekarang mereka dapat bergerak, namun apa yang dapat mereka lakukan? Senjata
telah dirampas begitu mudah, dan dua orang pendeta itu telah terluka hebat.
“Pergilah, dan bawalah mereka
pergi dari sini,” Han Han berkata halus kepada pasukan itu. Akan tetapi dua
orang pendeta itu sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada Han Han
dengan sinar mata penuh kemarahan, kekaguman dan juga penasaran. Mereka
benar-benar merasa heran sekali mengapa baru berpisah beberapa bulan saja,
agaknya kepandaian Si Pemuda buntung ini sudah meningkat secara luar biasa!
“Suma Han, semenjak saat itu,
engkau adalah musuh negara dan kami akan selalu berusaha untuk membunuhmu!
Engkau seorang pelarian, seperti halnya Puteri Nirahai!” kata Thian Tok Lama.
Han Han menghela napas
panjang. “Sudah untung kami! Akan tetapi, peganglah aturan orang-orang gagah
ji-wi losuhu. Kalian boleh saja mencari aku dan Sang Puteri, akan tetapi jangan
sekali-kali mengganggu orang lain yang tiada sangkut-pautnya dengan kami. Sang
Puteri telah pergi, dan aku pun akan pergi dari sini. Kalian boleh mencari kami
kalau bisa, suatu usaha yang sia-sia belaka karena sesungguhnya aku tidak
peduli akan urusan dunia lagi. Nah, pergilah!”
“Engkau.... siluman!” Thai Li
Lama berseru penuh keheranan. “Engkau patut dijuluki Pendekar Siluman!”
Para pasukan yang masih
terheran-heran menyaksikan cara pemuda itu merampas senjata mereka, otomatis
berseru, “Pendekar Siluman....!”
“Kalian jangan memaki kakakku!
Hayo pergi, kalau tidak, sekali aku turun tangan, aku tak akan sesabar kakakku
dan takkan puas sebelum kepala kalian menggelinding di sini!” Lulu meloncat
maju dan memaki-maki marah mendengar kakaknya dijuluki Pendekar Siluman.
Dua orang hwesio Lama itu
menghela napas lalu membalikkan tubuh, melangkah pergi diikuti para pasukan
yang masih merasa ngeri dan takut. Semua tamu yang menyaksikan peristiwa ini
juga memandang Han Han seperti orang memandang mahluk aneh bukan manusia,
kagum heran dan juga serem. Hanya Im-yang Seng-cu yang memandang penuh kekaguman,
menjura kepada Han Han sambil berkata lirih.
“Sungguh bahagia sekali bagi
mata tuaku ini menyaksikan cucu sahabat baik Suma Hoat menjadi seorang yang kesaktiannya
jauh melampaui nenek moyangnya. Siancai.... siancai!”
Lulu sudah menggandeng tangan
Han Han diajak memasuki gedung dan dara yang sejenak lupa bahwa dia sedang menjadi
pengantin ini menegur kakaknya, “Han-koko, mengapa kau tidak menceritakan aku
tentang Suci Nirahai? Engkau melarikan dia dari istana? Aihhh, engkau nakal
sekali. Kau harus menceritakan hal itu kepadaku, Koko....!”
Setelah pesta pernikahan itu
selesai dan para tamu sudah pulang, barulah pada malam hari itu Han Han
terpaksa bercerita kepada Lulu dan Sin Kiat. Dengan terus terang Han Han
menceritakan bahwa atas keputusan mendiang Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw
Bwee, dia dijodohkan dengan Nirahai.
Mendengar penuturan Han Han
sampai di sini, Lulu menangis. Menangis karena gurunya, Nenek Maya, telah
meninggal dunia, dan menangis saking terharu mendengar bahwa kakaknya
dijodohkan dengan Nirahai.
Han Han melanjutkan ceritanya
yang menyedihkan, betapa kaisar bukan hanya melarang perjodohan itu, bahkan menjebloskan
Nirahai ke dalam penjara. Betapa dia menyerbu istana untuk membebaskan Puteri
Nirahai.
“Di mana suci sekarang, Koko?
Kenapa tidak ikut ke sini?” Lulu bertanya tak sabar.
“Benar sekali pertanyaan
isteriku, Han Han. Kenapa dia tidak ikut ke sini dan.... alangkah baiknya kalau
tadinya dirayakan pernikahan kalian di sini,” kata pula Sin Kiat yang menyebut
Lulu “isteriku” dengan suara mesra, akan tetapi tidak dapat mengubah
panggilannya terhadap Han Han yang dianggapnya sahabat sejak kecil.
“Ya, kenapa tidak begitu,
Koko? Mana suci?” Lulu bertanya lagi penuh desakan.
Han Han merasa jantungnya
seperti ditusuk, akan tetapi hanya untuk beberapa detik saja karena perasaan
ini telah tenggelam dan lenyap. Betapapun juga, wajahnya membayangkan kesayuan
dan kekosongan, sayu dan layu, sinar matanya seperti lampu kehabisan minyak. Ia
menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Dia telah pergi, Lulu. Dan harap
jangan mendesakku.... cukup kalau kuberitahukan bahwa.... bahwa.... di antara
kami tidak sefaham.”
“Koko....!” Lulu memegang
pundak kakaknya dan menangis. Dia telah mengenal betul wajah kakaknya dan
maklum bahwa pada saat itu, kakaknya sedang menderita tekanan batin yang amat
hebat.
“Huuussshhhhh, jangan begini,
Lulu.” Dari atas pundak Lulu, Han Han memberi isyarat kepada Sin Kiat untuk
menghibur Lulu. Dia bangkit berdiri dan berkata, “Lulu, tentang diriku tak
perlu kauhiraukan lagi. Bagiku, yang terpenting adalah keadaanmu. Sudah menjadi
kewajibanku untuk berusaha sekuat tenaga demi kebahagiaanmu. Kini engkau telah
menemukan jodoh, telah mendapatkan seorang suami yang kupercaya penuh akan
mencintamu selamanya, akan menjagamu, membimbingmu dan melindungimu dengan seluruh
jiwa raganya. Maka legalah hatiku, adikku. Cukuplah hidup ini bagiku kalau
melihat engkau bahagia. Kini aku dapat pergi dengan hati lapang, tidak lagi
mengkhawatirkan hidupmu. Yang pandai-pandailah engkau menjaga dan mengatur
rumah tanggamu, Lulu. Yang hati-hatilah engkau bersama suamimu mendayung biduk
rumah tanggamu menuju ke pantai bahagia. Aku.... aku hanya dapat mendoakan
setiap saat untuk kebahagiaanmu.”
“Koko....! Engkau.... engkau
akan ke mana....?” Lulu bertanya dengan muka pucat melibat kakaknya bangkit
berdiri dan agaknya siap hendak pergi itu.
Han Han tersenyum, senyum yang
menyayat jantung Lulu. “Ke mana? Tentu saja pergi dari sini, adikku. Aku sudah
bebas sekarang, bebas lepas seperti burung di udara, bebas daripada tugas,
bebas dari segala-galanya. Aku akan pergi, sekarang juga....”
“Koko, jangan pergi
sekarang....!” Lulu berteriak, mukanya makin pucat dan air matanya mengucur
deras. Melihat keadaan isterinya ini, Sin Kiat cepat merangkul pundak isterinya
dan ikut berkata.
“Han Han, mengapa
tergesa-gesa? Tinggallah di sini barang sepekan....”
Han Han menengok keluar
jendela. Bulan sedang purnama dan di luar rumah terang seperti siang. “Tidak,
aku harus pergi sekarang! Malam ini merupakan malam bahagia bagi kalian, dan
merupakan malam keramat bagiku. Aku harus pergi, selagi bulan sedang purnama,
selagi hatiku sedang terang....”
“Han-koko....!” Lulu menjerit
menahan isak. “Engkau hendak pergi ke manakah? Malam-malam begini....? Ke
mana....?”
Kembali Han Han memaksa
tersenyum kepada adiknya. “Ke mana? Ke manakah semua manusia akan pergi? Hemmm,
aku tidak tahu, adikku. Dunia ini terlalu luas, dan di manapun sama saja.
Terserah kepada hati dan kakiku ke mana aku pergi. Jangan engkau memikirkan aku
lagi, adikku. Nah, selamat tinggal....”
“Koko....!”
“Han Han, jangan pergi seperti
ini! Besok saja....!” Sin Kiat mencegah.
“Tidak, sekarang inilah
saatnya,” Han Han berpincangan keluar.
“Koko, aku antar engkau....”
Lulu mengejar. Sin Kiat juga mengejar. “Kami antar sampai keluar kota!” kata
Sin Kiat yang terharu menyaksikan penderitaan isterinya. Han Han tak dapat
membantah lagi.
Di luar ruangan gedung, mereka
bertemu dengan Tan-piauwsu, atau Tan Bu Kong pemilik Pek-eng-piauwkiok. Ketika
mendengar bahwa malam hari itu juga Han Han akan pergi, Tan Bu Kong menyatakan
keheranannya, akan tetapi dia tidak berani mencegah bahkan ikut pula mengantar.
Setibanya di luar kota, Han
Han berkata, “Sudah cukup, adikku Lulu. Cukuplah Sin Kiat dan Tan-piauwsu.
Kembalilah kalian ke kota, aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Koko....! Ahhh,
Koko.... jangan.... jangan tinggalkan aku....!” Lulu tidak mempedulikan apa-apa
lagi, menubruk Han Han, merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada kakaknya
sambil menangis sesunggukan.
“Lulu, engkau bukan anak kecil
lagi, mengapa bersikap begini? Tidak baik begini, Lulu....”
“Bawalah aku, Koko.... bawalah
aku...., aku tidak bisa berpisah lagi darimu....!”
“Lulu!” Han Han membentak
sehingga Lulu tersentak kaget. Dengan gerakan halus Han Han mendorong Lulu
mundur, kemudian berkata, “Ingat, engkau adalah isteri Wan Sin Kiat yang
mencintamu dan kaucinta. Adikku sayang, selamat tlinggal, semoga Tuhan
melindungimu selamanya!” Setelah berkata demikian, Han Han membalikkan tubuh
dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan mereka.
Lulu seperti terkena pesona
berdiri seperti patung, mukanya pucat, air matanya bercucuran, matanya tak
pernah berkedip menatap tubuh yang pergi itu. Tubuh seorang laki-laki yang
berkaki satu, terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya, rambutnya terurai
lepas berwarna putih. Sesosok tubuh yang menimbulkan haru dan iba kepada yang
melihatnya, terutama sekali Lulu.
“Koko....! Han-koko....
kakakku....!”
Sin Kiat sudah memegang
lengannya. “Kuatkan hatimu, isteriku. Biarkan kakakmu pergi, di sini ada aku
suamimu yang mencintamu lahir batin....” Sin Kiat menahan isak yang bercampur
dalam suaranya.
Lulu membalikkan tubuh
memandang suaminya, lalu menubruk suaminya dan menangis tersedu-sedu.
“Han-koko.... ah, Han-koko.... betapa malang dan sengsara nasib
kakakku.... dia.... selalu berusaha menolong orang sengsara.... akan tetapi dia
sendiri selalu dirundung malang.... ohhh, kakakku....”
Sin Kiat memeluk isterinya,
kemudian mereka berdua memandang tubuh yang makin menjauh itu. Tubuh yang
berjalan terpincang-pincang di bawah sinar bulan purnama, dan tidak pernah
sekali juga Han Han menoleh. Bukan karena tidak ingin, oh, dia ingin sekali
menoleh, akan tetapi dia tidak mau tampak oleh mereka betapa kedua pipinya
basah oleh tetesan air matanya....!
Berbareng dengan kepergian
Suma Han atau Han Han, yang dikenal sebagai Pendekar Super Sakti, juga Pendekar
Siluman, maka berakhirlah cerita yang berjudul Pendekar Super Sakti ini. Khusus
untuk para pembaca yang masih ingin mengikuti perjalanan hidup Han Han yang
selama ini banyak menderita, pengarang menyusun sebuah cerita baru yang
merupakan lanjutan cerita ini, yang berjudul “Sepasang Pedang Iblis”. Dalam
cerita ini, pembaca akan berjumpa kembali dengan Han Han, dengan Nirahai, Lulu
dan tokoh-tokoh dalam cerita Pendekar Super Sakti.
Semoga cerita Pendekar Super
Sakti ini mengandung manfaat bagi pembaca, dan pengarang menyertakan salamnya
bersama salam dari Han Han kepada para penggemar dengan ucapan: “Semoga Tuhan
memberkahi kita semua dan sampai jumpa dalam cerita “Sepasang Pedang Iblis”
TAMAT
No comments:
Post a Comment