SULING EMAS
Cipt: Asmaraman.S Kho Ping Ho
Pada
jaman lima wangsa ( th.907- 960 ) , kerajaan Nan-Cao merupakan negara kecil di
propinsi Yu-Nan sebelah selatan. Mungkin karena kecilnya kerajaan ini tidak
dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang kemudian di
bangun.
Akan
tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun ( semi ) itu, banyak sekali
tokoh-tokoh terkenal di dunia kang-ouw termasuk ketua-ketua perkumpulan dari
pelbagai aliran, orang-orang muda yang patut di sebut pendekar silat, dan
orang-orang aneh yang memiliki kesaktian, Datang membanjiri Nan-cao. Apakah
gerangan yang menarik para kelana dan pe tualangan itu mendatangi Nan-cao? Ada
pula hal yang menarik mereka berdatangan dari tempat-tempat yang amat jauh.
Pertama
adalah pengangkatan Beng-kauw ( Ketua Agama Beng-kauw ) sebagai Koksu ( Guru
Negara ) Kerajaan Nan Cao. Mereka berdatangan untuk memberi selamat kepada
Ketua Beng-kauw yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah tidak
mengenal Ketua Agama Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berju-luk Pat-jiu
Sin-ong ( Raja Sakti Berlengan Delapan ) Itu ? Pada masa itu, Pat-jiu Sin-ong
Liu gan merupakan tokoh gemblengan yang jarang ditemukan keduanya, jarang
menemukan tanding. Selain memiliki kesaktian hebat, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
juga merupakan pendiri Agama Beng-kauw atau pembawa agama itu dari barat.
Tidaklah mengherankan kalau apabila kini tokah-tokoh dari partai persilatan
besar seperti Siauw lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim utusan
untuk menghaturkan selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini sebagai Koksu
Kerajaan Nan-cao.
Adapun
hal kedua yang meyebabkan terutama kaum muda, para pendekar perkasa dari
pelbagai penjuru dunia ikut pula berdatangan, adalah tersiarnya berita bahwa
puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong hendak mempergunakan kesempatan berkumpulnya
para tokoh persilatan itu untuk mencari jodoh ! Tentu saja hal ini menggegerkan
dunia kaum muda, menggerakan hati mereka untuk ikut datang mempergunakan
kesempatan baik mengadu untung. Siapa tahu ! Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua
Beng Kauw itu sudah terkenal di mana-mana. Terkenal sebagai seorang gadis yang
selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki kecantikan seperti dewi khayangan.
Terkenal pula betapa gadis jelita ini telah berani menolak pinangan-pinangan
yang datangnya dari orang-orang besar, dari putera-putera para ketua
perkumpulan, bahkan menolak pula pinangan dari istana beberapa kerajaan !
Tentu
saja para pemuda inipun sebagian besar hanya ingin menyaksikan sendiri bagaimana
ujud rupa dan bentuk dara yang terkenal itu, karena jarang diantara mereka yang
pernah melihat Liu Lu Sian. Yang pernah bertemu dengan gadis ini memuji-muji
setinggi langit, terutma sekali tentang kecantikannya, yang menjadi buah bibir
para muda, bahkan entah siapa orangnya yang membuat, telah ada sajak pujian
bagi Liu Lu Sian.
"Rambutnya
Halus licin laksana sutera harum melambai, meraih cinta asmara ! Mata indah,
kerling tajam menggunting jantung, bulu mata lentik berkedip mesra membuat
bingung ! Hidung mungil, halus laksana lilin diraut, cuping tipis bergerak
mesra menambah patut ! Hangat lembut, merah basah juwita Gendewa terpentang
berisi sari madu Puspita !"
Banyak
lagi puji-puji yang mesra bagi kejelitaan dara ayu Liu Lu Sian, yang dikagumi
siapa yang pernah melihatnya, dipuji dari ujung rambut sampai ke telapak
kakinya ! Memang sesungguhnyalah, Liu Lu Sian seorang dara jelita.
Usianya
baru enam belas tahun (pada jaman itu sudah dewasa dan masak) Namun ilmu
silatnya amat tinggi. Hal ini tidak mengherankan karena semenjak kecilnya ia
digembleng oleh ayahnya sendiri. Hanya sayang bahwa sejak berusia dua tahun,
Liu Lu Sian telah ditinggal mati ibunya. Ia tidak pernah merasa kasih sayang
ibu kandung dan mungkin hal ini yang membuat ia menjadi seorang gadis yang
berwatak aneh, riang gembira, lucu jenaka, akan tetapi juga liar bebas, tak
terkekang ingin menang dan berkuasa saja, tidak mau tunduk kepada siapapun
juga.
Para
muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka betapa sukarnya memperoleh gadis
puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga
dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan.
Dara
itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang sakti, yang tentu saja menghendaki
seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut keturunan, keadaan, maupun
tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu hanya mau menjadi isteri seorang
pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya ! Namun, para muda yang sudah
dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang tertarik oleh harum dan
manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha mendapatkannya biarpun bahaya
mengancam nyawa.
Tiada
hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian, memuji-muji
kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk ketika mereka bermalam
dirumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat dibukanya kesempatan
bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa hari lagi,
dimana selain hendak ikut memberi selamat, merekapun berharap akan dapat
menyaksikan kehebatan dara yang mereka percakapkan dan yang kembang mimpi
mereka setiap malam.
Liu
Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja ini maklum sepenuhnya
bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka pada pagi hari itu, dua hari
sebelum ayahnya menerima para tamu, ia sengaja mengenakan pakaian indah,
menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya mengelilingi kota raja !
Memang hebat dara ini. Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya
yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung pipit menghias
senyum dikulum. Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai
mutiara dan ujungnya bergantung dibelakang punggung, halus melambai tertiup
angin. Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari jari-jari
tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir biru dan
kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang padat berisi karena terpelihara
dan terlatih semenjak kecil.
Pengait
baju terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat pinggangnya dari sutera
biru yang bergerak-gerak bagaikan sepasang ular hidup. Celananya sutera putih
yang seakan membayangkan sepasang kaki indah, padat berisi dan sempurna
lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu hitam yang berlapis perak. Cantik
tak terlukiskan ! Menyaingi bidadari sorga dengan gerak tubuh yang lemah
gemulai dan elok, akan tetapi rangka pedang yang tergantung dipinggangnya
membuat ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan Im Pouwsat !
Kuda
putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian memandang lurus ke depan
namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam kesana-sini, terutama diwaktu
kudanya lewat depan rumah-rumah penginapan dimana para tamu muda berjajar depan
pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga, terpesona mengagumi dewi yang
baru lewat.
Setelah
dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda teruna itu. Makin parah
penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin ramai percakapan mereka tentang Si
Cantik manis. Rindu dendam dan harapan mereka yang terbawa dari rumah ratusan
bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata
kepala sendiri dewi pujaan hati mereka. Dan betapa tidak mengecewakan
pemandangan itu. Bahkan melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka
mereka setelah Lu Sian Lewat di atas kudanya.
"Aduh
..., mati aku ...! Kalau aku tidak berhasil menggandengnya pulang, percuma aku
hidup lebih lama lagi...!" Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari
mengucapkan kata-kata ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih
baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang bertangan hampa !"
sambung pemuda ke dua.
"Siapa
tahu, rejekiku besar tahun ini menurut perhitungan peramal ! Jodohku seorang
gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah , matanya..., Kalah bintang kejora
!" kata pemuda lain.
"Mulutnya
yang hebat ! Amboooiii mulutnya...ah, ingin aku menjadi buah apel agar
dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu. Aduhhh...!"
Bermacam-macam
seruan para muda itu yang seakan lupa diri, menyatakan perasaan hati
masing-masing yang menggelora. Sudah lajim kalau sekumpulan orang muda
bercakap-cakap, mereka lebih berani manyatakan perasaan hati masing-masing
sehingga percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang terdengar kata-kata
yang kurang sopan.
Apalagi
para muda yang tergila-gila pada seorang gadis jelita ini adalah orang-orang
kang-ouw, pemuda-pemuda kelana kelana dan petualang. Banyak sudah tempat mereka
jelajahi, cukup sudah dara-dara jelita mereka saksikan, namun baru sekali ini
mereka menjumpai dara secanti k Lu Sian. Melampaui semua kembang mimpi.
Tujuh
orang pemuda yang berkumpul dalam sebuah rumah penginapan itu adalah
pendekar-pendekar muda dari beberapa partai. Seperti biasa, karena merasa
segolongan dan setujuan, mereka lekas bersahabat dan selain menuturkan pengalaman
masing-masing yang biasanya mereka lebihi, juga mereka tiada habisnya
memuji-muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang diam-diam mereka perebutkan.
Setelah Lu Sian yang lewat di depan rumah penginapan itu, sampai jauh malam
para pemuda ini bicara tentang Lu Sian dan masing-masing menyatakan harapan
menjadi orang yang terpilih dengan mengemukakan dan menonjolkan keistimewaan
masing-masing.
"Sebagai
puteri Beng-kauw, tentu kepandaiannya amat tinggi dan belum tentu aku mampu
menandinginya. Akan tetapi, ilmu golokku yang terkenal dan nama Ilmu Golok
Pelangi di Awan Biru memiliki keindahan yang melebihi keindahan seni tari
manapun juga. Siapa tahu, keindahan seni permainan golokku akan menawan hatinya
!" kata pemuda muka putih dengan pandang mata merenung penuh harapan dan
di depan matanya terbayanglah mulut manis Lu Sian, karena dialah yang jadi
tergila-gila oleh mulut manis itu dan ingin menjadi buah apel !
"Aku
tidak punya kedudukan, orang tuaku miskin dan akupun tidak berpendidikan, tidak
pandai tulis baca. Akan tetapi, biarpun ilmu silatku mungkin tidak setinggi
dia, aku memiliki tenaga besar yang boleh diukur dengan tenaga siapapun
juga." kata pemuda tinggi besar yang matanya lebar.
"Mudah-mudahan
nona Lu Sian sudi memandang nama besar Kun-lun-pai sehinga aku sebagai murid
kecil Kun-lun-pai akan menarik perhatiannya." kata pemuda ke tiga yang
tampan juga. Demikianlah, tujuh orang pemuda itu menonjolkan keistimewaan
masing-masing dengan harapan dialah yang akan terpilih.
Lewat
tengah malam barulah mereka memasuki kamar masing-masing, namun tentu saja
mereka tak dapat tidur, karena di depan mata mereka selalu terbayang wajah Liu
Lu Sian. Maka ketika terdengar ada tamu baru datang dan disambut oleh pengurus
rumah penginapan, mereka bertujuh semua keluar dan melihat tamu seorang pemuda
berpakaian indah, berwajah tampan sekali dan bersikap tenang memasuki ruang
dalam.
"Maaf,
Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi, kamar
yang patut untuk Kongcu sudah penuh semua. Kecuali kalau diantara para Enghiong
(Pendekar) yang terhormat membagi kamarnya..." Dengan ragu-ragu dan penuh
harap pengurus penginapan itu memandang ke arah tujuh pemuda yang sudah keluar
dari kamar masing-masing
Tujuh
orang muda itu memandang Si Pendatang baru penuh perhatian. Pemuda ini
berpakaian seperti orang terpelajar, gerak-geriknya halus, sama sekali tidak
membayangkan gerak seorang ahli silat. Otomatis orang pendekar muda itu
memandang rendah.
Mana
ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu buku yang tentu akan
menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab-kitab dan sajak belaka ? Pemuda itu
agaknya maklum akan pandang mata mereka, maka cepat-cepat ia mengangkat kedua
tangan ke depan dada, dan memberi hormat berkata dengan penuh kesopanan.
"Harap
Cu-wi Enghiong (Tuan-tuan Pendekar Sekalian) sudi memberi maaf kepada siawte
(aku yang muda). Tentu saja siawte tidak berani menggangu para Enghiong, akan
tetapi barangkali ada diantara para Cu-wi yang sudi membagi kamar..." Ia
berhenti bicara melihat mereka mengerutkan kening, dan menanti jawaban. Ketika
tidak ada jawaban datang, ia tersenyum.
"Saudara
siapakah dan dari golongan mana ? Apakah tamu dari Beng-kauwcu Liu-locianpwe
(Orang Tua Gagah she Ketua Beng-kauw) ?" tanya pemuda tinggi besar yang
bertenaga gajah.
"Siauwte
she Kwee bernama Seng, orang lemah seperti siauwte yang setiap hari menekuni
huruf-huruf kuno, tidak dari golongan mana-mana dan siauwte hanya pelancong
biasa."
Hmm,
maaf, kamarku sempit sekali."jawab si Tinggi Besar kehilangan perhatian.
"Kamarku
juga sempit." jawab orang ke dua.
"Aku
tidak biasa tidur berteman." kata orang ke tiga.
"Maaf,
maaf, memang siauwte tidak berani mengganggu Cu-wi. Eh, Lopek, kau tadi bilang
tentang kamar yang patut, apakah masih ada kamar yang tidak patut ?" Kwee
Seng menoleh kearah pengurus penginapan sedangkan tujuh orang pendekar itu
sudah kembali ke kamar masing-masing dan menutupkan daun pintunya.
"Ah,
ada.. Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu adalah kamar-kamar kecil di sebelah
belakang, dahulu menjadi kamar pelayan, tidak berani saya menawarkannya kepada
Kongcu..."
Kwee
Seng tersenyum. "Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut, mencari
kamar di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar pelayan
itu."
Dengan
tergopoh-gopoh pengurus penginapan itu lalu mendahului Kwee Seng sambil membawa
sebuah lampu, mengantar tamunya ke sebuah kamar yang berada jauh di ujung
belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya terisi sebuah pembaringan bambu
yang setengah reyot, lantainya tidak begitu bersih pula.
"Ah,
cukup baik !" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan pakaiannya di atas
pembaringan. "Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa tidur gelap.
"Ia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang mengeluarkan bunyi
berkereotan.
Pengurus
penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa lampunya sambil
menggeleng-geleng kepala saking heran melihat seorang kongcu berpakaian indah
itu kelihatannya sudah tidur pulas begitu tubuhnya menyentuh pembaringan, ia
menutupkan daun pintu perlahan-lahan.
Sebentar
kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi. Pengurus dan penjaga pun sudah
tidur . Yang terdengar hanya dengkur yang keras dari kamar pemuda tinggi besar.
Dari beberapa buah kamar lain terdengar suara orang mengigau menyebut-nyebut
nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi pemuda-pemuda ini selalu merindukan Lu
Sian!
Suara
mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai
seorang ahli silat, pemuda tampan itu meloncat turun dari pembaringannya ketika
pendengarannya, atau agaknya lebih tepat indera keenamnya, mendengar suara yang
mencurigakan.
Dalam
meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut pedangnya, dan sekali menggoncang
kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah berada dalam posisi siap siaga,
sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil kamarnya. Tiba-tiba jendela itu
terbuka daunnya dari luar, dan muncullah seorang laki-laki jangkung yang
berusia empat puluh tahun lebih, bertangan kosong. Orang ini memasuki kamar
melalui jendela dengan gerakan ringan dan sikap tenang saja.
"Siapa
kau ? Mau apa..."
"Mau
membunuhmu. Manusia macam kau berani menyebut-nyebut peteri Beng-kauwcu harus
mampus !" berkata bayangan laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu
menerjang maju.
Pemuda
Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi gentar biarpun ia merasa kaget sekali.
Pedangnya berkelebat dan bergulung-gulung sinarnya di depan dada bermaksud
melindungi dirinya saja terhadap orang yang agaknya gila ini. Akan tetapi,
tiba-tiba sekali gerakan pedangnya berhenti seakan- akan tertahan oleh tenaga
yang tak tampak dan sebelum pemuda Kun-lun-pai ini tewas seketika tanpa dapat
bersambat lagi !
Suara
mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti seketika. Jagoan bertenaga gajah
ini pun biar tidurnya mendengkur, Sedikit suara saja cukup membuat ia terjaga
dari tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar murid Kun-lun-pai, maka ia
mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup membuatanya terbangun dan curiga.
Karena
tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah belakang, ia cepat membuka
daun jendela dan... seperti kilat cepatnya ia meloncat keluar dan menerkam
seorang laki-laki yang berdiri di depan jendela murid ku-lun-pai. Kedua
lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si Tinggi Besar berhasil
mencekik leher orang itu.
"Hayo
mengaku, siapa kau dan...uuhhh!" Tubuh yang tinggi besar itu seketika
menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu ia roboh tak berkutik lagi di depan
laki-laki setengah tua yang jangkung itu !
"Apa
yang kau lakukan ? Penjahat...!"
Sebatang
golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar melengkung seperti pelangi.
Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru telah turun tangan
melihat ada orang merobohkan temannya yang tinggi besar. Memang indah
gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita dan selendang para
bidadari sedang menari-nari.
Namun,
dengan mudah bayangan itu menyelinap di antara gulungan sinar golok dan belum
juga empat jurus Si Pemuda menyerang, ia sudah roboh pula terkena tamparan pada
lehernya roboh untuk selamanya karena nyawanya melayang.
Dengan
gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan Maut itu menuju ke kamar yang
lain. Namun belum sempat ia membuka jendela, empat orang pemuda yang lain sudah
berlari datang dan mengepungnya. Mereka lalu berlari ke belakang dan segera
mengepung si Bayangan Maut ketika melihat betapa dua orang temannya sudah
menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian
harus mampus semua...!"
Bayangan
itu mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh sekali, menyelinap diantara
sambaran empat buah senjata para pengurungnya. Hebat memang kepandaian bayangan
maut ini. Empat orang pemuda yang mengeroyoknya bukanlah pemuda-pemuda
sembarangan. Mereka itu sudah terdidik dalam ilmu silat yang cukup tinggi,
setingkat dengan anak murid Kun-lun-pai dan dengan si Tinggi Besar atau si
Golok Pelangi. Namun menghadapi bayangan maut ini, mereka tak mampu berbuat
banyak. Lawan mereka yang mereka keroyok ini seakan-akan hanya bayangan kosong
tak mungkin dapat tersinggung senjata mereka.
Tiba-tiba
bayangan itu terkekeh dan...setelah terdengar suara "plak-plak-plak-plak
!"empat kali, empat orang pemuda itupun roboh, terpukul pada leher mereka
dan tewas seketika !
Setelah
membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan ini berdiri dengan kaki terpentang
lebar, mendongakkan mukanya ke atas sambil tertawa. "Ha ha hah ! Alangkah
lucunya !Orang-orang macam ini mengharapkan seorang dewi seperti dia ! Ha ha
hah !"
Kemudian,
melihat suara ribut-ribut dari pengurus penginapan yang agaknya terjaga, sekali
meloncat ia sudah berada di atas genteng, lalu bagaikan gerakan seekor kucing,
ia berlari ke arah belakang tanpa menimbulkan suara. Akan tatapi mendadak orang
itu berseru perlahan ketika kakinya terpeleset karena genteng yang diinjaknya
merosot turun. Cepat ia berjongkok di atas bangunan bagian belakang rumah
penginapan itu dan membuka genteng, mengintai.
Kiranya
di situ terdapat seorang pemuda lagi yang enak tidur telentang.Sebatang lilin
kecil menyala di atas meja. Kepalanya diganjal bantalan pakaian. Tidak tampak
senjata di dalam kamar itu sehingga bayangan itu mengerutkan kening. Seorang
pemuda pelajar, pikirnya, tak mungkin dia yang main-main denganku. Akan tetapi
siapa tahu ? Ia mengeluarkan sebatang jarum merah dan sekali jari-jari
tangannya bergerak, melesatlah sinar merah ke bawah melalui celah-celah
genteng, menuju ke arah leher si pemuda yang tidur telentang.
Pemuda
di bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar Kwee Seng, menggeliat dan
mengaluh seperti orang mengingau dalam tidurnya,lalu miring. Akan tetapi
tiba-tiba tubuh itu menegang kaget dan tak bergerak-gerak lagi. Bayangan orang
di atas genteng tersenyum puas melihat korbannya yang ke delapan, maka ia
bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi dari tempat itu, menghilang di dalam
gelap !
"Tolong...!
Pembunuhan... pembunuhan...!!" Suara pengurus penginapan ini terdengar
lantang sekali di waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para pelayan
bersama para tamu lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat
pembunuhan sudah penuh dengan orang. Obor-obor dan lampu-lampu dipasang
sehingga keadaan menjadi terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan
nyawa tujuh orang pemuda kang-ouw benar-benar merupakan peristiwa hebat yang
mengejutkan sekali.
Ketika
pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di antara banyak itu, ikut
menjenguk dan melihat pemuda-pemuda teruna yang menjadi korban pembunuhan aneh,
pengurus itu segera memegang lengannya dan berkata. "Ah, Kongcu
benar-benar seorang yang masih dilindungi Thian (Tuhan) ! Seandainya Kongcu
diterima tidur dengan mereka, ah... tentu akan bertambah seorang lagi korban
pembunuh kejam ini !"
Kwee
Seng hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum duka. Di dalam hatinya ia
menyangkal keras pendapat pengurus rumah penginapan ini. Andaikata ia diterima
bermalam dengan mereka, belum tentu iblis maut yang malam itu merajalela dapat
menjatuhkan tangan mautnya.
Diam-diam
ia meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam saku bajunya, jarum merah yang
malam tadi pun hampir membunuhnya. Menyesallah hati Kwee Seng mengapa malam
tadi ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba membunuhnya, dan mengapa ia
begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di bagian depan penginapan itu menjadi
tempat penyembelihan tujuh orang muda.
Kwee
Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali akan bun (sastra), bu
(silat), namun bakatnya lebih menjurus kepada bu (silat). Seorang pemuda yatim
piatu, sebatang kara merantau tanpa tujuan.
Namun
ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu silatnya sukar mendapatkan tandingan
karena selain ia telah mempelajarinya dari para pertapa sakti di puncak-puncak
gunung sebelah barat, juga ia pernah berjumpa dengan manusia dewa Bu Kek Siansu
yang telah menurunkan beberapa macam ilmu kepadanya.
Bu
Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang sewaktu-waktu muncul untuk
mencari bahan baik, tulang pendekar berwatak budiman, dan menurunkan ilmu. Tak
seorang pun di dunia ini tahu dari mana asalnya dan di mana tempat tinggalnya
yang tetap.
Kwee
Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia tidak
pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil di kaki
gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah
penyakit ketika ia masih kecil.
Ia
merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal karena semua sepak
terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di dunia
kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi
julukan Kim-mo-eng (pendekar Setan Emas).
Ia
disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak pernah memperlihatkan
diri. Akan tetapi ia di sebut emas yang mengandung maksud bahwa pendekar ini
berhati emas, membela kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman.
Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas saja pernah mendengar, di dunia
kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah terdengar.
Kwee
Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang pendekar pada
malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota
raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw,
sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya.
Ia
tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap sebagai
bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan. Maka baginya, hal itu tidak perlu
diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang
hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya untuk ikut-ikutan
memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun sama sekali ia tidak ada
nafsu.
Memang
demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada hal-hal yang
dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran. Padahal harus
diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun,
yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar apabila
melihat seorang gadis cantik.
Ia
seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis,suka akan keindahan,
suka akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan
tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya
cukup untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap tenang.
Peristiwa
pembunuhan di dalam rumah penginapan itu membangkitkan jiwa satrianya.
Ia
mendengar keterangan sana-sini dan tahu bahwa tujuh orang pemuda itu adalah
calon- calon pengikut sayembara untuk meminang puteri Beng-kauwcu. Mendengar
pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan Nona Liu Lu Sian, dara
rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat didepan rumah penginapan.
Karena
ini, diam-diam KweeSeng menghubungkan semua itu dengan pembunuhan. Agaknya
karena mereka itu tergila-gila kepada Liu Lu Sian maka malam ini menjadi korban
pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi dasar pembunuhan , entah cemburu atau
bagaimana. Namun yang pasti, untuk mencari pembunuhnya ia harus datang menjadi
tamu Beng-Kauw !
Inilah
yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda perantauannya dan bersama dengan para
tamu lainnya , ia pun melangkahkan kaki menuju ke gedung keluarga Pat-jiu
Sin-ong.
Rumah
gedung keluarga Liu dihias meriah. Pekarangan yang amat luas itu telah diatur
menjadi ruangan tamu, dibagian tengah agak mendalam yang letaknya lebih tinggi
rauangan depan, kini dipergunakan untuk tempat rumah dan para tamu yang
terhormat atau para tamu kehormatan.
Ruangan
ini disambung dengan sebuah panggung setinggi satu meter yang cukup luas dan
panggung ini diperuntukkan untuk mereka yang hendak bicara mengadakan sambutan,
juga dibentuk semacam panggung tempat main silat.
Panggung
semacam ini memang lajim diadakan setiap kali ada ahli silat mengadakan
sesuatu, karena perayaan diantara ahli silat tanpa pertunjukan silat akan
merupakan hal yang janggal dan mentertawakan.
Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan belum tampak di luar. Para tamu disambut oleh tiga orang sute
(adik seperguruan), yaitu pertama adalah Liu Mo adik kandungnya sendiri, Liu Mo
berusia empat puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan pendiam, sinar matanya
membayangkan watak yang serius (sungguh-sungguh) dan berwibawa.
Biarpun
Liu Mo memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan merupakan orang ke dua dalam
Beng-kauw, namun ia tetap sederhana dan tidak mempunyai julukan apa-apa. Di
dalam Beng-kauw, ia merupakan pembantu yang amat berharga dari kakak kandungnya
dan boleh boleh dikatakan untuk segala urusan dalam, Liu Mo inilah yang sering
mewakili kakaknya.
Orang
ke dua adalah Ma Thai kun. Orangnya tinggi kurus, wajahnya selalu keruh dan
biarpun usianya baru tiga puluh enam tahun, namun ia memelihara jenggot dan
kelihatan lebih tua. Ia terkenal pemarah dan wataknya keras, kepandaianya juga
tinggi dan ilmu silatnya tangan kosong amat hebat.
Segala
macam pukulan dipelajarinya dan kedua tangannya mengandung tenaga dalam yang
amat dahsyat. Berbeda dengan Liu Mo yang sabar dan berwibawa, orang ke tiga
dari Beng-kauw ini menyambut tamu dengan wajah gelap dan tak pernah tersenyum,
juga ia memandang rendah kepada para tamunya.
Orang
ke tiga dari para wakil Ketua Beng-Kauw ini usianya hampir tiga puluh tahun,
akan tetapi wajahnya terang dan kelihatan masih muda. Dandanannya sederhana
sekali, bahkan lucu karena ia menggunakan sebuah caping (topi berujung runcing)
seperti dipakai para petani atau penggembala.
Di
punggungnya terselip sebatang cambuk yang biasa dipergunakan para penggembala
mengatur binatang gembalaannya! Memang murid termuda ini seorang yang ahli
dalam soal pertanian dan peternakan. Wajahnya terang dan ia menerima para tamu
dengan sikap hormat sekali.
Inilah
Kauw Bian seorang pemuda desa yang menjadi sute termuda dari Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan. Biarpun sikapnya sederhana dan seperti seorang desa, akan tetapi
jangan dipandang rendah kepandaiannya dan pecut itu sama sekali bukanlah pecut
biasa melainkan senjatanya yang ampuh!
Sebagaimana
lazimnya para tokoh besar, mereka ini selalu menahan "harga diri",
tidak sembarangan orang dapat menjumpai dan dalam menyambut tamu, biasanya
diwakilkan dan kalau perlu barulah ia sendiri muncul menemui tamunya.
Demikian
pula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ia pun menahan harga dirinya dan seluruh para
tamu sudah berkumpul semua dan tidak ada lagi yang datang baru tokoh besar ini
muncul di ruangan tuan rumah. Para tamu segera bangkit berdiri memandang ke
arah tuan rumah dengan kagum.
Memang
patut sekali Liu Gan menjadi seorang tokoh yang terkenal lebih tinggi daripada
perawakan seorang laki-laki biasa. Kekar dan berdiri tegak, dadanya lebar
membusung, pakaiannya indah, pandang matanya berwibawa. Kepalanya tertutup topi
bulu yang terhias bulu burung rajawali.
Ketua
Beng-Kau ini keluar sambil tersenyum-senyum dan menjura ke arah para tamu lalu
duduk. Para tamu juga lalu duduk kembali, akan tetapi semua mata tetap
terbelalak lebar memandang gadis yang keluar bersama, Pat-jiu Sin-Ong.
Itulah
dia, gadis yang kini menarik semua pandang mata bagaikan besi sembrani menarik
logam. Liu Lu Sian, dara jelita yang pada saat itu mengenakan pakaian sutera
putih terhias benang emas dan renda-renda, merah muda. Cantik jelita bagaikan
dewi khayangan!
Para
muda melongo, ada yang menelan ludah, ada yang lupa mengatupkan mulutnya,
bahkan ada yang menggosok-gosok mata karena merasa dalam mimpi! Namun orang
yang menjadikan para muda terpesona itu tetap duduk dengan tegak dan senyum
manisnya tak pernah meninggalkan bibir. Tapi banyak pula yang memandang dengan hati
ngeri.
Mereka
semua, tua muda, sudah mendengar belaka tentang peristiwa hebat di dalam rumah
penginapan, dimana tujuh orang pendekar muda yang tergila-gila kepada gadis ini
terbunuh secara aneh.
Para
tamu yang duduk di ruangan kehormatan mulai bergerak menghampiri Pat-jiu
Sin-ong menghaturkan selamat, diikuti tamu-tamu lain. Pat-jiu Sin-ong menyambut
pemberian selamat itu sambil tertawa-tawa dan tidak berdiri dari bangkunya,
sikap yang jelas memperlihatkan keangkuhannya.
Setelah
para tamu memberi selamat, dan mereka kembali ke tempat masing-masing,
tiba-tiba Pat-jiu sin-ong berdiri dari bangkunya memandang ke luar dan berseru
keras. "Aha, saudara muda Kwee Seng ! Kau datang juga hendak memberi
selamat kepadaku? Bagus! Menggembirakan sekali. Mari ke sini, kau mau duduk
bersamaku!"
Tentu
saja semua tamu menoleh ke arah luar untuk melihat tamu agung manakah yang
begitu menggembirakan Pat-jiu Sin-ong sehingga tokoh ini sampai berdiri dan
berseru menyambut segembira itu? Mereka mengira bahwa yang datang tentulah
seorang tokoh besar di dunia kang-ouw.
Akan
tetapi alangkah heran hati mereka ketika melihat seorang pemuda berpakaian
sastrawan yang melangkah masuk ke ruangan itu dengan langkah lambat dan sikap
lemah-lembut. Seorang pelajar lemah seperti ini bagaimana bisa mendapatkan
perhatian begitu besar dari Pat-jiu Sin-ong yang terkenal angkuh dan tidak
memandang mata kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir di situ?
Pemuda
itu bukan lain adalah Kwee Seng. Memang jarang ada orang kang-ouw mengenalnya, tetapi
di antara sedikit tokoh besar dunia kang-ouw yang tahu akan kehebatan orang
muda ia adalah Pat-jiu Sin-ong, karena Ketua Beng-kauw ini pernah bertemu
dengan Kwee Seng ketika dia mengunjungi Ketua Siauw-lim-pai, Kian Hi Hosiang
yang sakti, memperlakukan pemuda ini sebagai seorang tamu agung pula!
Inilah
sebabnya maka Ketua Beng-kauw mengenal Kwee Seng dan biarpun belum membuktikan
sendiri kehebatan pemuda ini, ia sudah dapat menduga bahwa pemuda yang di
sambut demikian hormatnya oleh Ketua Siauw-lim-pai, yang malah dijuluki
Kim-mo-eng, tentulah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Dengan
tenang dan tersenyum ramah Kwee Seng menghampiri tuan rumah menjura dengan
hormat sambil berkata, "Liu-enghiong (Orang Gagah She Liu), maafkan saya
datang menggangu secawan dua cawan arak. Terus terang saja, kebetulan lewat dan
mendengar tentang keramaian di sini dan ingin menonton.
"Akan
tetapi sama sekali bukan untuk memberi selamat. Makin tinggi kedudukan makin
banyak keruwetan dan makin besar kemuliaan makin besar pula kejengkelan, apa
perlunya diberi selamat?"
"Ha-ha-ha-ha!
Kata-katamu ini memang cocok bagi orang yang mengejar kedudukan dan
memperebutkan kemuliaan, yang tentu saja hanya akan menemui kejengkelan dan
memperbanyak permusuhan. Akan tetapi aku menjadi koksu (guru negara) untuk
membimbing pemerintahan negaraku yang dipimpin oleh keluargaku sendiri.
"Ini
namanya panggilan negara dan bangsa, kewajiban seorang gagah. Akupun tidak
butuh pemberian selamat yang semua palsu belaka, basa-basi palsu, berpura-pura
untuk mengambil hati. Ha-ha-ha! Lebih baik yang jujur seperti kau ini,
Kwee-hiante. Mari duduk!"
Dengan
gembira tuan rumah menggandeng tangan Kwee Seng, diajak duduk semeja dan segera
Liu Gan memerintahkan pelayan mengambil arak terbaik dari cawan perak untuk
Kwee Seng.
"Liu-enghiong,
aku mendengar pula bahwa kau hendak mencari mantu dalam perayaan ini..."
"Ah,
anakku yang ingin mencari jodoh. He, Lu Sian, perkenalkan ini sahabat baikku,
Kwee Seng!" Ketua Beng-kauw itu dengan bebas berteriak kepada puterinya.
Liu Lu Sian sejak tadi memang memperhatikan Kwee Seng yang disambut secara
istimewa oleh ayahnya.
Biarpun
pemuda ini gerak-geriknya halus seperti orang lemah, namun melihat sinar
matanya, Lu Sian dapat menduga bahwa Kwee Seng adalah seorang yang memiliki
kepandaian tinggi.
Mendengar
seruan ayahnya ia lalu bangkit berdiri lalu menghampiri Kwee Seng sambil
merangkapkan kedua tangannya. "Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee), terimalah
hormatku!" katanya dengan suara merdu dan bebas, gerak-geriknya manis sama
sekali tidak malu-malu atau kikuk seperti sikap gadis biasa.
Kwee
Seng sejak tadi hanya memperhatikan Liu Gan saja maka tidak tahu bahwa di
ruangan itu terdapat gadis puteri Liu Gan yang kecantikannya telah banyak
pemuda tergila-gila, bahkan agaknya yang telah menjadi sebab daripada akibat
mengerikan di rumah penginapan malam kemarin.
Mendengar
suara merdu ini ia menengok dan... pemuda itu berdiri terpesona, sejenak ia
tidak dapat berkata-kata, bahkan seakan-akan dalam keadaan tertotok jalan darah
di seluruh tubuhnya, tak dapat bergerak seperti patung batu! Belum pernah
selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan seorang wanita seperti saat itu.
Mata itu!
Bening
bersih gilang-gemilang tiada ubahnya sepasang bintang kerling tajam menggores
jantung kedip mesra membuat bingung
Bulu
mata lentik berseri bagai rumput panjang di pagi hari sepasang alis hitam kecil
melengkung menggeliat-geliat malas kedua ujung!
"Kwee-kongcu..."
kata pula Liu Sian melihat pemuda itu diam saja seperti patung, dalam hatinya
geli bukan main.
"A...
oh..., Liu-siocia (Nona Liu), tidak patut saya menerima penghormatan
ini...!" jawabnya gagap sambil cepat-cepat mengangkat kedua tangannya ke
depan dada. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa angin pukulan
menyambar dari arah kedua tangan gadis yang dirangkap di depan dada itu.
Angin
pukulan yang mengandung hawa panas dan yang tentu akan cukup membuat ia
terjungkal dan terluka hebat. Alangkah kecewanya hati Kwee Seng! Dara juwita
ini, yang dalam sedetik telah membuat perasaannya morat-marit, yang
kecantikannya memenuhi semua seleranya, menguasai seluruh cintanya, ternyata
memiliki watak yang liar dan ganas!
Sekilas
teringat lagi ia akan pembunuhan tujuh orang pemuda tak berdosa dan seketika
itu Kwee Seng merasa jantungnya sakit. Ia masih terpesona, masih kagum bukan
main melihat dara jelita ini, namun kekaguman yang bercampur kekecewaan. Maka
ia pun cepat mengarahkan tenaga ke arah ke dua tangannya yang membalas
penghormatan.
"Aiiihhh...!
Mengapa Kwee-kongcu demikian sungkan? Penghormatan kami sudah selayaknya!"
kata Liu Lu Sian yng berseru untuk menutupi kekagetannya ketika angin pukulan
yang keluar dari pengerahan sin-kang di kedua tangannya membalik seperti angin
meniup benteng baja.
Gadis
ini sambil tersenyum manis menyambar guci arak pilihan dari tangan pelayan
bersama sebuah cawan perak, lalu menuangkan arak ke dalam cawan itu. Cawan
sudah penuh, terlampau penuh akan tetapi anehnya, arak di dalam cawan tidak
luber, tidak membanjir keluar. Permukaan arak melengkung ke atas berbentuk
telur.
Dengan
tangan kanan memegang cawan yang terisi arak itu Liu Lu Sian
berkata,"Kehadiran Kwee-kongcu merupakan kehormatan besar, harap sudi
menerima arak sebagai tanda terima kasih kami."
Kembali
Kwee Seng tertegun. Dara juwita ini tidak saja cantik seperti bidadari, akan
tetapi juga memiliki kepandaian hebat. Sin-kang yang diperlihatkan kali ini
lebih halus, sehingga bagi orang biasa tentu merupakan perbuatan yang tak masuk
akal, seperti sihir.
Akan
tetapi makin kecewalah hati Kwee Seng karena ia menganggap bahwa gadis ini
terlalu binal dan suka membuat malu orang lain. Kalau yang menerima arak
sepenuh itu tidak memiliki sin-kang yang tinggi, apakah tidak akan mendatangkan
malu karena araknya pasti akan tumpah semua begitu gadis ini melepaskan
pegangannya?
"Siocia
terlampau sungkan. Terlalu besar kehormatan ini bagi saya..." Kwee Seng
menerima cawan sambil mengerahkan tenaganya sehingga ketika Lu Sian melepas
cawan itu, arak yang terlalu penuh tetap melengkung di atas cawan tidak tumpah
sedikitpun juga.
Akan
tetapi jantung Kwee Seng berdegup keras karena ketika ia menerima cawan tadi
jari tangannya bersentuhan dengan kulit tangan yang halus sekali, sementara
itu, hidungnya mencium bau harum semerbak yang luar biasa, bau harum bermacam
bunga yang baru sekarang ia menciumnya karena tadi ia terlampau terpesona oleh
kecantikan Lu Sian.
Ia
tadi sudah berhati-hati sekali, sebagai seorang yang sopan, agar jari tangannya
tidak menyentuh jari gadis itu, akan tetapi toh bersentuhan, maka ia tahu bahwa
gadis itulah yang sengaja menyentuhkan tangannya!
Berbarengan
dengan datangnya degup jantung mengeras dan ganda harum yang memabokkan otak,
timbul hasrat hati Kwee Seng untuk memamerkan kepandaiannya pula di depan gadis
jelita yang berlagak ini.
Ia
segera menuangkan arak ke dalam mulutnya, mengangkat cawan tinggi ke atas mulut
dan menuangkannya. Akan tetapi, sampai cawan itu membalik, araknya tetap tidak
mau tumpah ke dalam mulut ! Arak itu seakan-akan sudah membeku di dalam cawan!
“Ah,
maaf... maaf... saya memang tidak bisa minum arak baik!" kata Kwee Seng
sambil menurunkan lagi cawannya. Tiba-tiba ia membuka sedikit mulutnya dan dari
cawan yang sudah berdiri lagi itu tiba-tiba meluncur arak seperti pancuran kecil
menuju ke atas dan langsung memasuki cawan itu menjadi kering!
"Wah,
kehadiran Kwee-kongcu benar-benar menggembirakan. Kalau tadi secawan arak untuk
penghormatan kami, sekarang kuharap kongcu sudi menerima secawan lagi, khusus
dariku!" kata pula Lu Sian sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan
kosong, kali ini lebih penuh daripada tadi, lalu memberikannya kepada Kwee
Seng.
Seketika
terbelalak mata Kwee Seng kedua pipinya menjadi merah dan sinar matanya
berkilat. Lenyap seketika pesona yang menguasai dirinya. Gadis ini benar-benar
terlalu liar, aneh, dan ganas! Ia melihat betapa tadi dari tangan gadis itu
berkelebat sinar putih memasuki cawan dan sebagai seorang pendekar sakti, ia
maklum apa artinya itu.
Arak
kali ini dicampuri semacam obat bubuk yang biarpun sedikit sekali, namun ia
dapat menduga tentu amat hebat akibatnya kalau terminum olehnya. Ia tahu bahwa
gadis ini tidak sengaja mencelakakannya, hanya untuk menguji, akan tetapi cara
ujian yang amat berbahaya!
"Nona
terlalu menghormat ...!" jawabnya dan ia menerima cawan itu. Begitu cawan
diterimanya, ia berseru, "Ah, nona terlalu banyak mengisi
araknya...!" dan tiba-tiba, biarpun cawan itu dipegangnya lurus-lurus, isi
cawan berhamburan keluar dan tumpah semua sampai habis. Anehnya, tangan Kwee
Seng yang memegang sawan sama sekali tidak basah karena ara itu tumpahnya
"melayang" ke depan dan sebaliknya malah membasahi sebagian celana
dan sepatu si jelita!
"Ah,
maaf.. maaf..!" kata Kwee Seng sambil menjura penuh hormat.
"Kwee-kongcu
terlalu merendah ...!" Sepasang pipi Lu Sian menjadi merah sekali dan
kilatan matanya membayangkan kemarahan ketika ia menjura dan mengundurkan diri
kembali ke bangkunya sambil mengusap noda arak dengan sapu tangannya.
Peristiwa
aneh ini hanya disaksikan oleh beberapa orang tamu kehormatan yang duduk
berdekatan, akan tetapi para tamu yang jauh tidak melihat jelas, dan hanya
mengira bahwa pemuda pelajar itu amat canggung sehingga menumpahkan arak yang
disuguhkan orang kepadanya. Namun, banyak yang merasa iri hati melihat betapa
Si Bidadari sampai dua kali memberi suguhan arak kepada pemuda lemah itu.
"Ha-ha-ha,
lama tak jumpa, kau makin hebat, Kwee-hiante! Mari, mari kita minum sampai
mabok!"
Sambil
merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong mengajak pemuda itu menghadapi meja
penuh hidangan. "Liu-enghiong tentu maklum bahwa aku tidak biasa minum
arak lebih dari tiga cawan," bantah Kwee Seng.
"Ha-ha-ha!"
Ocehan burung yang tak patut didengar! Aku percaya, biarpun habis tiga guci,
orang macam kau mana bisa mabok ? Ha-ha-ha marilah, tak usah sungkan. Kita
orang sendiri!"
Karena
sikap tuan rumah ini setulus hatinya, Kwee Seng terpaksa melayani. Ia maklum
betapa suara tuan rumah yang keras ini terdengar semua orang dan ia sudah
melihat sinar mata iri dilempar orang, terutama kaum mudanya, ke arahnya. Ia
memang tidak suka minum arak terlalu banyak, akan tetapi kali ini hatinya
sedang rusak dan kacau.
Harus
ia akui bahwa ia tertarik oleh kecantikan Liu Lu Sian yang luar biasa, dan ia
tahu bahwa hatinya sudah siap mengaku cinta. Seorang dewa sekalipun akan jatuh
hati berhadapan dengan Lu Sian! Akan tetapi disamping perasaan yang baru kali
ini ia rasakan selama hidupnya, terselip rasa nyeri yang membuat hatinya perih,
yaitu kenyataan bahwa gadis yang menjatuhkan hatinya ini memiliki watak yang
liar dan ganas, sama sekali berlawanan dengan pendiriannya.
Karena
perasaan yang bertentangan antara perasaan cinta dan benci inilah maka Kwee
Seng menjadi seperti orang nekat dan ia menerima terus setiap kali Pat-jiu
Sin-ong menyuguhkan arak. Sebentar saja ia sudah minum arak tua belasan cawan
banyaknya!
"Lu
Sian, hayo kau gembirakan hati para tamu kita dengan tarian pedang!"
tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong berseru memerintah puterinya sambil tertawa-tawa
karena tokoh inipun sudah terpengaruh hawa arak.
Lu
Sian tersenyum mengangguk, lalu bangkit berdiri dan dengan lenggang yang dapat
mengayun hati para muda yang memandangnya, gadis ini ini berjalan menuju ke
tengah panggung terbuka. Tepuk tangan riuh gemuruh menyambutnya. Lu Sian menjura
dengan hormat sambil berseru, suaranya merdu nyaring mengatasi keriuhan tepuk
tangan itu.
"Permainanku
masih amat dangkal, harap cu-wi jangan metertawakan!" Setelah berkata
demikian, Lu Sian menggerakan tangannya dan .... dalam pandangan mereka yang
ilmu silatnya kurang tinggi, gadis itu tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan kesana kemari dibungkus sinar putih berkilauan
bergulung-gulung dan berkilat-kilat.
Dari
sana-sini terdengar seruan kagum, yang muda-muda kagum akan keindahan ilmu
silat pedang yang benar-benar merupakan tarian luar biasa itu, adapun golongan
tua kagum karena mereka melihat di dalam gerakan yang indah ini tersembunyi
kekuatan yang dahsyat, setiap kelebatan pedang yang begitu indah tampaknya
sebetulnya mengandung jurus maut yang tidak mudah dilawan. Dengan bukti
kehebatan gadis ini makin tunduklah mereka akan kelihaian dan nama besar
Pat-jiu Sin-ong.
Lu
Sian sengaja mainkan Hwa-kiamhoat (Ilmu Pedang Kembang) yang indah untuk
memamerkan kepandaian dan kecantikannya. Ia bersilat sampai lima puluh jurus
dan ketika berhenti di tengah panggung sambil berdiri tegak, ia tampak gagah
dan cantik jelita, dengan sepasang pipi kemerahan karena denyut darahnya agak
kencang setelah bersilat tadi.
Bibirnya
tersenyum-senyum, matanya yang tajam berseri-seri menyambut tepuk tangan yang
seakan-akan hendak merobohkan panggung buatan itu. Akan tetapi begitu Lu Sian
kembali duduk di tempatnya, berkelebatlah bayangan orang dan seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun sudah berdiri di atas panggung.
Gerakannya
yang demikian ringan dan cepatnya menandakan bahwa ia seorang yang
berkepandaian tinggi, sedangkan pakaian dan cara ia menggelung rambut ke atas
menyatakan bahwa ia seorang pendekar To atau yang disebut tosu. Di punggungnya
tergantung sebuah pedang.
Tosu
ini terdengar lantang suaranya setelah keadaan tadi kembali sunyi karena
terhentinya tepuk tangan. Sambil menjura ke arah Pat-jiu Sin-ong, tosu itu
berkata, "Kauwcu (Ketua Agama), pinto (aku) Ang Sin Tojin dari Kn-lun-pai,
merasa kagum akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong, dan sengaja pinto diutus oleh
ketua kami memberi selamat.
Akan
tetapi tidak nyana bahwa Kawcu dengan puteri Kauwcu menimbulkan hal-hal yang
tidak baik! Kauwcu memamerkan kepandaian dan kecantikan puteri Kauwcu, ada
kabar hendak menggunakan kesempatan ini mencarikan jodoh bagi puteri Kauwcu.
Hal ini sudah sewajarnya. Aka tetapi mengapa banyak pemuda tidak berdosa yang
tergila-gila kepada puteri Kawcu menemui kematian yang penuh penasaran?
Sekarang,
Kauwcu tidak menyelidiki dan membikin terang perkara itu, malah Kauwcu menambah
pengaruh agar para pemuda makin tergila-gila. Apakah sesungguhnya kecantikan
yang gilang-gemilang seperti puteri Kauwcu? Kecantikan hanyalah timbul dari
kelemahan batin melalui pandang mata, sesungguhnya palsu adanya.
Kecantikan
hanya terbatas sampai di kulit, namun siapa tahu isi hati yang tersembunyi di
balik kecantikan. Pat-jiu Sin-ong, Pinto kehilangan seorang anak murid Kun-lun
yang terbunuh secara tidak wajar, terpaksa mohon penjelasan?"
Seketika
tegang keadaan di situ. Terang bahwa tosu ini menuntut kematian muridnya, dan
sekaligus mencela keadaan Beng-kauw dengan adanya kematian tujuh orang pemuda
dan mencela pula pameran kecantikan dan kepandaian Liu Lu Sian! Keadaan
seketika menjadi sunyi karena semua orang menanti dengan hati berdebar.
Sambil
tersenyum Pat-jiu Sin-ong berdiri dari bangkunya, akan tetapi tidak mendekati
Ang Sin To Jin. Sambil bertolak pinggang ketua Beng-Kauw yang tinggi besar ini
bertanya, "Tosu, Kau ini apanya Ang Kun To Jin ?"
"Beliau
adalah Suhengku dan Pinto hanyalah murid kedua dari suhu."
Pat
Jiu Sin Ong tiba-tiba tertawa sambil menengadahkan mukanya ke atas. "Heh,
Tosu mentah! Kau kira kematian bocah-bocah tolol itu adalah perbuatanku atau
perbuatan anakku?"
"Pinto
tak berani menuduh siapapun juga, akan tetapi setidaknya peristiwa maut itu
terjadi karena Kauwcu berhasrat memilih mantu karena kecantikan putrimu dan
tentu dilakukan oleh seorang dari Beng-kauw! Karena itu ketuanya harus
bertanggung jawab!"
"Ha-ha,
bertanggung jawab bagaimana?"
"Kauwcu
harus dapat menangkap pembunuh itu dan menghukumnya mati di depan kami semua.
Kemudian Kauwcu lakukan pemilihan calon mantu yang tepat dan tidak banyak
menimbulkan korban, pilihlah mantu yang cocok dan karena ini urusan Kauwcu,
terserah, asal tidak secara sekarang ini yang membikin gila banyak orang muda
tak berdosa."
"Wah,
lagaknya! Kalau aku tidak menuruti permintaanmu itu, bagaimana?"
"Hmmmmm,
kalau begitu, berarti Kauwcu tidak peduli akan kematian murid Kun-lun-pai yang
menjadi tamu di sini, dan hal itu tentu saja Pinto tidak dapat tinggal diam
saja?"
"Habis,
kau mau apa, Tosu mentah?"
"Pinto
terpaksa menuntut balas atas kematian murid, dan melupakan kebodohan, minta
pelajaran dari Beng-Kauwcu Pat-jiu Sin-ong!" Dengan tegak berdiri, Tosu
itu siap menghadapi pertandingan.
"Tosu
sombong, berani kau menghina ketua kami?" Tiba-tiba Ma Thai Kun yang
bertubuh jangkung kurus sudah melompat ke atas panggung, tangannya begerak
memukul ke arah Ang Sin Tojin. Gerakan Ma Thai Kun cepat sekali sehingga
kejadian yang tak tersangka-sangka itu tidak dapat ditunda lagi. Pukulannya
hebat, mengeluarkan angin bersiutan dan menuju ke arah dada tosu kun-lun-pai
itu.
Ang
Sin Tojin adalah murid kedua dari Ketua Kun-lun-pai, Kim Gan Sian jin, tentu
saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena itu pula ia tadi berani
mengeluarkan tantangan terhadap ketua Beng-kauw. Kini melihat seorang tinggi
kurus bermuka hitam telah berada di depannya dan mengirim pukulan maut, ia pun
cepat menggerakkan tangannya menangkis, sambil mengarahkan Sin-kang (tenaga
sakti).
"Dukkkkk!"
Dua tangan mengandung tenaga sakti. Ma Thai Kun masih berdiri setengah
membungkuk, tubuhnya tidak bergoyang. Akan tetapi akibat benturan kedua lengan
itu membuat Ang-sin to jin terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah.
Diam-diam
tosu Kun-lun-pai ini terkejut bukan main. Harus diakui tenaga sakti Si Muka
Hitam ini hebat sekali, sungguhpun tidak sampai menyebabkan ia terluka parah,
namun cukup menggempur kuda-kudanya dan membuat ia terhuyung-huyung.
"Ji-sute
(Adik Seperguruan ke Dua), mundurlah! Siapa yang mencari perkara dengan aku dan
anakku, biarlah aku menghadapinya sendiri!" Pat-jiu Sin-ong menegur
adiknya. Ma Thai Kun mendengus marah, lalu mengundurkan diri.
"Ang
Sin Tojin, apakah kau masih tidak mau menarik kembali tuntutanmu?"
“Seorang
laki-laki sekali bicara dipegang sampai mati!" jawab tosu itu dengan suara
ketus.
"Ah,
ah, benar-benar tosu Kun-lun-pai keras kepala. Eh, tosu mentah, kau tadi bilang
kecantikan puteriku sebatas kulit. Apa artinya?"
"Pinto
mengakui bahwa puteri Kauwcu cantik jelita dan pandai. Akan tetapi semua itu
hanya sampai dikulit, hanya akibat pandangan mata lahir. Mata batin takkan
dapat ditipu dan takkan silau oleh kecantikkan. Mata batin mencari sampai
kedalam batin pula, mencari kebenaran yang suka tertutup oleh kepalsuan."
Merah
muka Pat-jiu Sin-ong, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Anakku memang
cantik, ini semua orang tahu. Kalau mata melihatnya tidak cantik sekalipun,
yang salah bukan dia, melainkan matanya! Tosu mentah, lekas kau pulang ke
Kun-lun-san, jangan mencari keributan disini."
"Kalau
begitu, pinto minta pelajaran dari Beng-kauwcu!" kata tosu itu sambil
mencabut pedangnya. Ia tadi sudah membuktikan betapa hebat sin-kang dari Ma
Thai Kun yang hanya merupakan adik seperguruan Ketua Beng-kauw ini, maka ia
tidak berani berlaku sembrono. Dengan pedang di tangan ia mengira akan dapat
mengimbangi lawannya, karena memang Kun-lun-pai terkenal dengan kiam-hoatnya
(ilmu pedangnya).
"Kau
menantangku?" Liu Gan bertanya, masih tersenyum.
"Pinto
siap!"
"Nah,
terimalah ini!" Kedua tangan Pat-jiu Sin-ong bergerak. Begitu cepatnya
gerakan kedua lengannya itu sehingga kedua tangan itu seakan-akan berubah
menjadi delapan! Inilah agaknya maka ia mendapat julukan Pat-jiu (Lengan
Delapan). Dalam segebrakan saja Ang Sin Tojin merasa seakan-akan ia diserang
oleh delapan pukulan yang kesemuanya merupakan pukulan maut! Cepat ia menggerakkan
tubuhnya dan memutar pedangnya melindungi diri.
"Plakk!
Tranggg... aduhhh...!" Hanya dalam sekejap mata saja terjadinya. Entah
bagaimana tosu itu sendiri tidak tahu, pergelangan tangannya sudah terpukul,
membuat pedangnya terpental dan tiba-tiba ia merasa amat sakit pada telinga dan
mata kanannya. Ia roboh menggulingkan diri sampai beberapa meter lalu meloncat
lagi berdiri. Telinga kanan dan mata kanannya mencucurkan darah! Ternyata daun
telinga kanannya pecah bagian atasnya, sedangkan pelupuk mata kanannya pun
robek!
"Tosu
mentah! Mengingat akan suhengmu, Ang Kun Tojin, dan memandang muka terhormat
suhumu, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun, aku tidak mengambil nyawamu. Akan tetapi
aku tidak dapat membiarkan matamu yang salah lihat dan telingamu yang salah
dengar. Hendaknya pelajaran ini membuka matamu bahwa Beng-kauw tidak boleh
dibuat main-main oleh siapapun juga! Nah, pergilah!"
Ang
Sin Tojin maklum bahwa orang sakti didepannya ini bukan lawannya, bahkan
suhunya, Ketua Kun-lun-pai sendiri, belum tentu akan dapat menandinginya. Ia
bukan seorang bodoh dan nekat. Tanpa banyak cakap ia memungut pedangnya,
menjura dan berkata, "Pinto hanya dapat melaporkan kepada suhu bahwa pinto
gagal dalam tugas." Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan
pergi dari situ.
Keadaan
di situ sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan suasana ini amat tidak enak.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu tertawa dan mengahadapi para tamunya. "Cu-wi
yang terhormat harap maafkan gangguan tadi. Nah, karena soal pemilihan calon
mantu sudah disebut-sebut oleh tosu mentah tadi, terpaksa kami akui bahwa hal
itu memang tidak salah.
Cu-wi
sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh karena itu, kalau ada di
antara para muda gagah yang hendak memperlihatkan kepandaian, anakku akan sanggup
melayaninya. Mereka yang dapat mengalahkan anakku Liu Lu Sian berarti lulus dan
akan diadakan pemilihan di antara mereka yang lulus, kalau-kalau ada yang
berjodoh menjadi mantukku.
"Ha-ha-ha!"
setelah berkata demikian dan menjura, Ketua Beng-kauw ini duduk lagi di
tempatnya.
"Eh,
saudara muda kwee, kau lihat tosu tadi, menjemukan tidak?"
"Memang
menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata Kwee Seng.
"Ha-ha,
urusan begitu saja jangan menghilangkan kegembiraan kita. Mari minum!"
Keduanya
lalu minum lagi dan keadaan di situ menjadi meriah pula.
Sementara
itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah panggung lagi setelah meninggalkan
pedangnya di atas meja. Hal ini berarti bahwa ia hanya akan melayani
pertandingan tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata.
Ketika
melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di tengah panggung, di antara para
tamu muda timbullah suasana gaduh. Sebetulnya banyak sekali pemuda yang datang
dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan kecantikan gadis yang sudah
terkenal itu dengan mata sendiri.
Dan
sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian, hampir semua pemuda yang hadir di situ
tergila-gila dan tak seorang pun yang tidak ingin memetik tangkai bunga segar
mengharum ini. Akan tetapi, menyaksikan ilmu kepandaian Lu Sian dan kehebatan
ayahnya, sebagian besar para muda itu sudah menjadi gentar dan tidak berani
mencoba-coba.
Apalagi
kalau mengingat akan pembunuhan-pembunuhan aneh di dalam rumah penginapan
kemarin malam, mereka merasa ngeri dan membuat sebagian besar di antara mereka
mundur teratur! Betapapun juga, di antara mereka ada juga yang nekat karena
mungkin dapat menahan hatinya yang sudah runtuh oleh kecantikan Lu Sian.
Seorang
pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya di bagian bawah, berjalan
dengan langkah lebar dan gagah ke arah panggung, kemudian sekali menggerakkan
tubuhnya ia sudah meloncat ke atas panggung berhadapan dengan Lu Sian.
Pemuda
ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan matanya tajam, hanya mulutnya
lebar membayangkan ketinggian hati. Dengan sikap gagah ia menjura dan merangkap
kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Liu Lu Sian sambil berkata,
suaranya lantang.
"Aku
bernaama Han Bian Ki, dikenal sebagai Siauw-kim-liong (Naga Emas Muda) di
lembah sungai Min-kiang, ingin mencoba-coba kepandaian nona Liu yang
gagah."
Lu
Sian melirik dan bibirnya melempar senyum manis sekali. Akan tetapi
sesungguhnya melihat mulut yang agak lebar itu ia sudah merasa tidak senang
kepada pemuda ini. Orang macam ini berani mau coba-coba, pikirnya. Apanya sih
yang diandalkan ? Tampangnya tidak menarik, dan melihat gerakan loncatannya,
juga tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu silatnya.
"Han-enghiong,
tak usah ragu-ragu. Mulailah!" katanya dengan suara dingin.
"Saya
Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si Muka Kuning yang suaranya seperti
orang berbisik, atau kehabisan napas.
Makin
muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua orang yang berwajah buruk
ini. Memang ia sengaja menantang agar mereka maju sekaligus agar ia tidak usah
berkali-kali menghadapi mereka seorang demi seorang. Pula, tantangannya ini
merupakan akal untuk menilai mereka. Yang mau datang mengeroyoknya manandakan
seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh dihargai sama sekali, perlu
cepat ditundukkan sekaligus.
Han
Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang semaksud itu. Kini terbuka
kesempatan pula baginya untuk mencari kemenangan, atau setidaknya tentu
berhasil menyentuh kulit badan Si Nona atau beradu lengan. Maka ia tidak mau
kalah semangat dan biarpun sudah sejak tadi ia dipermainkan, kini ia
memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian dengan seruan nyaring.
Dua
orang yang baru naik itu pun tidak membuang kesempatan ini, membarengi dengan
serangan-serangan mereka karena mereka tahu bahwa serangan tiga orang secara
berbarengan tentu akan lebih banyak memungkinkan hasil baik.
"Menjemukan...!"
Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat menarik. Tiga orang
pemuda itu menyerang dari tiga jurusan, serangan mereka galak dan ganas, apalagi
Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata merupakan seorang ahli ilmu silat yang
mempergunakan tenaga dalam.
Pukulan-pukulannya
mendatangkan angin yang bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan
dan enam buah kaki itu menyentuh ujung baju Lu Sian.
Gadis
itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap dan berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan seperti sambaran burung walet yang amat lincah. Dan
dalam pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar teriakan-teriakan dan
secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu "terbang" dari atas
panggung, terlempar secara yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana. Mereka
jatuh tunggang-langgang dan berusaha untuk merangkak bangun.
"Hemm,
orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!" terdengar suara
keras membentak di belakang mereka dan sebuah lengan yang kuat sekali memegang
tengkuk mereka dan tahu-tahu tubuh mereka seorang demi seorang terlempar
keluar. Tanpa berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun yang melemparkan mereka
keluar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan keluar dari halaman gedung.
Para
tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk tangan riuh rendah. Para
muda yang tadinya ada niat untuk mencoba-coba, makin kuncup hatinya dan hampir
semua membatalkan niat hatinya, menhibur hati yang patah dengan kenyataan bahwa
tak mungkin mereka dapat menandingi nona yang amat lihai itu!
Akan
tetapi ternyata masih seeorang laki-laki muda yang dengan langkah tegap dan
tenang menghampiri panggung, kemudian dengan gerakan lambat melompat naik.
Ketika kedua buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian merasa tergetar kedua
telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini memiliki lwee-kang yang cukup
hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika mengangkat muka memandang, ia
merasa kecewa.
Laki-laki
ini sikapnya gagah dan pakainnya sederhana, mukanya membayangkan kerendahan
hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak tampan, matanya lebar dan alisnya
bersambung hidungnya pesek!
"Saya
yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang. Sebetulnya saya tidak ada harga
untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena sudah sampai di sini dan saya amat
tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Nona, perkenankanlah saya
memperlihatkan kebodohan sendiri." Kata-katanya merendah akan tetapi jujur
dan sederhana.
Lu
Sian tersenyum mengejek. "Siapa pun juga boleh saja mencoba kepandaian
karena memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan saudara Lie
maju!"
"Nona
menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa sungkan untuk membuka
serangan." Jawab Lie Kung.
"Hemm,
kalau begitu sambutlah ini!" Secara tiba-tiba Liu Lu Sian menyerang,
pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan tetapi bersifat ganas karena
pukulan itu mengarah bagian berbahaya di pusar, merupakan serangan maut ! Lie
Kung berseru keras dan kaget. Tak sangkanya nona yang demikian cantiknya begini
ganas gerakanya, maka cepat ia melompat mundur dan mengibaskan tangan dan
menangkis dengan kecepatan penuh.
Lu
Sian tidak sudi beradu lengan, menarik kembali tangannya dan menyusul dengan
pukulan angan miring dari samping mengarah lambung. Sekali merupakan terjangan
maut yang amat erbahaya, Lie Kung ternyata gesit sekali karena jungkir balik ia
dapat menyelamatkan diri!
Tepuk
tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para tamu merasa mendapat suguhan
yang menarik, tidak seperti tadi di mana tiga orang pemuda sama sekali tidak
dapat mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang gesit. Pemuda pesek ini
benar-benar cepat gerakannya walaupun tampaknya lambat dan tenang.
Setelah
diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak, mulailah dia mengembangkan
gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga bahwa pemuda ini merupakan
seorang ahli lwee-kang, dan ternyata benar.
Pukulan
pemuda ini berat dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan,
buktinya yang diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya. Marahlah Lu
Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan serangan pada pundak, pangkal lengan
dan bagian-bagian lain yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah.
Dianggap bahwa pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan sudah
merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.
Setelah
lewat tiga puluh jurus mereka serang-meyerang, tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan
suara kelengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Gerakannya tiba-tiba
berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan gerakan yang melingkar-lingkar.
"Bagaimana
kaulihat pemuda itu?" Pat-jiu Sin-ong bertanya ketika ia melihat Kwee Seng
menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika tiga orang pemuda
mengeroyok Lu Sian. Kwee Seng memandang acuh tak acuh.
"Lumayan
juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak terlalu banyak kehendak, ia dapat
menjadi ahli lwee-keh yang tangguh."
"Ha-ha,
kaulihat . Puteriku sudah mulai mainkan Sin-coa-kun ciptaanku yang terakhir.
Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
Diam-diam
Kwee Seng memperhatikan. Ilmu Silat Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) memang
hebat, mengandung gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang disembunyikan dalam
gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular menggeliat-geliat dan
melingkar-lingkar.
Namun
dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat ganas, dan kembali sepasang
alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh sayang sekali, kecantikan
seperti bidadari itu, dirusak sifat-sifat liar dan ganas, diisi ilmu yang amat
keji.
Untuk
mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya, pemuda ini menuangkan arak
sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar puas!" lalu sekali tenggak
habislah arak itu. Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak dan minum araknya pula.
Ramalan
Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh jurus, setelah pemuda she Lie
itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus yang seperti sepasang ular
mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia mengaduh dan
terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tepat pada saat lehernya dihantam, ia
dapat mengibaskan tangannya mengenai lengan Lu Sian sehingga menimbulkan suara
"plakk!" dan gadis itu menyeringai kesakitan, lengannya terasa panas
sekali.
Biarpun
ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher lawan dengan tepat, karena
lengannya tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan cepat ia maju lagi
mengirim pukulan yang agaknya akan menamatkan riwayat pemuda itu.
"Cukup...!!"
tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan dengan cepat menangkis
tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut. "Dukkk!" Dua buah lengan
tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang sampai tiga langkah.
Dengan
kemarahan meluap-luap Lu Sian memandang orang yang begitu lancang berani
menangkis pukulannya tadi. Ia membelalakkan matanya dan... tiba-tiba ia merasa
seakan-akan jantungnya diguncang keras, kemarahannya lenyap dan ia terpesona.
Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang pemuda yang begini ganteng!
Rambutnya
hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera kuning. Pakaiannya indah
dan ringkas, membayangkan tubuhnya yang tegap berisi, dadanya yang bidang.
Alisnya berbentuk golok, hitam seperti dicat, hidung mancung, mulut berbentuk
bagus membayangkan watak gagah dan hati keras.
Pendeknya,
wajah dan bentuk badan seorang jantan yang tentu akan meruntuhkan hati setiap
orang gadis remaja! Seketika Lu Sian jatuh hatinya, akan tetapi mengingat
perbuatan lancang pemuda ini, untuk menjaga harga dirinya, ia menegur juga,
hanya tegurannya tidak seketus yang dikehendakinya.
"Kau
siapa, berani lancang turun tangan mencampuri pertandingan ?"
Pemuda
itu menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung, menyuruhnya mengundurkan
diri, Lie Kung menjura ke arah Liu Lu Sian lalu melompat turun, terus pergi
meninggalkan tempat itu. Setelah itu, baru pemuda yang membawa sebuah golok
disarungkan dan digantungkan pada pinggangnya itu membalikkan tubuh menghadapi
Liu Lu Sian sambil berkata.
"Maaf,
Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi sekali-kali bukan dengan
maksud hati yang buruk, hanya untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Sudah terlalu jiwa melayang...ah, sayang sekali. Kunasihatkan kepadamu, Nona.
Hentikan cara pemilihan suami seperti ini. Tiada guna! Dan kasihan kepada yang
tidak mampu menandingimu. Nah, sekali lagi maafkan kelancanganku tadi!" Ia
menjura dan hendak pergi.
"Eh
orang lancang! Bagaimana kau biasa pergi begitu saja setelah menghinaku ? Hayo
maju kalau kau memang berkepandaian!" Lu Sian sengaja menantang karena
hatinya sudah jatuh dan ingin ia menguji kepandaian laki-laki yang menarik
hatinya ini. Kalau memang benar seperti dugaannya, bahwa laki-laki ini seperti
terbukti ketika menagkisnya tadi, memiliki kepandaian tinggi, ia akan merasa
puas mendapat jodoh setampan dan segagah ini.
Kwee
Seng memang tampan pula tetapi terlalu tampan seperti perempuan, kalah gagah
oleh pemuda ini. Dan biarpun ia tahu ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan
tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang
"jantan!"
Pemuda
itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil berkata,
suaranya perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi
pemenang.. akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku
mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam yang menusuk hati
Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.
"Apakah
engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani memperkenalkan diri
? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?
Dimaki
pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan pengecut! Kalau
Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah
berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari
panggung dan cepat-cepat lari keluar dari halaman gedung.
Sampai
beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung, merasa
betapa semangatnya seakan-akan melayang-layang mengikuti kepergian pemuda
ganteng itu, "Pat-jiu Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon
mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar daging panggang
dengan sumpitnya.
"Kau
maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah
kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.
"Ha-ha-ha!
Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan hanya karena adanya pemuda itulah
maka Shan-si terkenal daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya yang
bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu. Puterimu menjadi
perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah berapa banyaknya gadis di dunia ini
yang ingin menjadi istrinya! Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai
terpengaruh arak.
Memang
sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak bias minum arak
banyak-banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap
Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.
"Huh,
apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan, akan tetapi kalau disuruh
memilih kau, Kwee Seng!"
Liu
Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah
panggung. Juga para tamu mrndengar percakapan yang dilakukan dengan suara keras
itu. Kini mereka memandang ke arah mereka, terutama sekali Kwee Seng menjadi
pusat perhatian.
Pemuda ini sudah bangkit berdiri, cawan arak
di tangan kanannya. Hatinya berguncang keras ketika ia mendengar ucapan ketua
Beng-kauw itu. Betapa tidak ? Jelas bahwa Ketua Beng-kauw ini agaknya suka
memilih dia sebagai mantu. Dan dia sendiri pun sudah jelas mencintai gadis
jelita itu, hal ini tidak dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya
mengakui.
Mau
apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di balik
rasa cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat rasa tak
senang yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan-bisikan tentang
kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali tidak cocok,
bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya.
Ia
jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan ganas, sombong dan
tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Beng-kauw
yang sakti, aneh dan sukar diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi
sebab kematian banyak pemuda yang tak berdosa!
Kesadarannya
membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu, cintanya hanya karena
pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti cintanya yang terdorong
nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah kalau ia
boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi
seorang isteri yang baik dan cocok dengan sifat-sifat dan wataknya.
"Lo-enghiong,
jangan main-main!"
"Ha-ha,
siapa main-main ? Kwee-hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas bertanding
dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak anakku itu akan makin besar
kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri!
Ha-ha-ha!"
"Hemmm,
puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, akupun ingin sekali menguji
kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka.
Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi,
perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati
masing-masing.
Bagaimana
kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara pemilihan
jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini
dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan
tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula.
"Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti,kau memang seorang yang teliti dan cermat,
terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa
melanggar harus didenda!"
Kwee
Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana? Kau
harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku
itu kepadanya."
"Aku.
Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh.
Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati
Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya
dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat
Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang
berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!
"Apakah
Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?"
Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih
mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin
basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara
diam-diam itu, pemuda ini sudah memang setingkat daripadanya.
"Cuma
kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dan
seorang yang mabok!" Dengan kata-kata ketus ini, Liu Lu Sian hendak
menebus rasa malunya tadi.
Kwee
Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya, mulut yang
biarpun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar.
Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu dan sejenak Kwee
Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah
mulut dara jelita.
Bibir
merah basah menantang Bentuk indah gendewa terpentang Hangat lembut mulut juita
Sarang madu sari puspita Senyum dikulum bibir gemetar Tersingkap mutiara indah
berjajar Segar sedap lekuk di pipi Mengawal suara merdu sang dewi!
"Heh,
kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya
menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee
Seng sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya
tidak ingin memasuki sayembara... dan aku ...aku lebih suka bertanding dengan
si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya
mencari-cari.
"Cukup!
Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku
kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu
Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah
mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan
tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak diatas meja dan
secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.
Pemuda
itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan
setengah kagum begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya
dengan gerakan indah. Lu Sian merasakan ejekan ini dan dengan gemas ia
berkata," Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak
bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi.
Aku
mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata
demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih
menyilaukan mata.
"Lu
Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi
hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan
sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!"
Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.
"Hemm,
aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok
ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya. Akan tetapi secepat itu
pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan
ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.
"Ji-sute,
mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras dan biarpun matanya melotot
marah, Ma Thai Kun tidak berani membantah perintah suhengnya dan ia mundurkan
diri dengan kemarahan di tahan-tahan.
Orang
She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian sambil
menggerakan pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi segulung
sinar putih yang membuat lingkaran-lingkaran lebar, makin lama lingkaran itu
makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda ini hanya menggerakkan
sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar daripada kilat yang berpencaran keluar
dari sinar pedang itu.
"Lu
Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin
Badai)!" seru Liu Gan dengan suara gembira, wajahnya berseri dan matanya
bersinar-sinar.
Begitu
gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat berlangsung, Lu Sian sudah
mengerti bahwa Kwee Seng ini benar-benar amat lihai. Pedangnya yang
menyambar-nyambar seperti hujan cepatnya itu ternyata dapat dielakkan secara
aneh dan sama sekali tidak tampak tergesa-gesa, seakan-akan gerakan-gerakannya
ini masih terkampau lambat bagi Kwee Seng.
Oleh
karena ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera mengerahkan tenaga dan
berlaku hati-hati, cepat ia mainkan ilmu pedang ajaran ayahnya, yaitu Toa-hong
Kiam-hoat. Gadis ini mengerti bahwa kali ini ia tidak saja harus menjaga harga
dirinya, melainkan juga menjaga muka ayahnya.
Melihat
perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini menderu-deru seperti angin badai
mengamuk, diam-diam Kwee Seng kaget dan kagum. Tak percuma Ketua Beng-kauw
mendapat julukan Pat-jiu Sin-ong dan tidak percuma pula gadis itu menjadi
puteri tunggalnya karena ilmu pedang ini amat cepat dan hebat berbahaya
sehingga tak mungkin dihadapi mengandalkan kecepatan belaka.
Pemuda
sakti ini maklum pula bahwa Pt-jiu Sin-ong seorang yang amat licik dan aneh.
Tentu sekarang Ketua Beng-kauw itu menyuruh anaknya mengeluarkan ilmu pedang
simpanan agar terpaksa ia mengeluarkan ilmunya yang sejati pula untuk
mengalahkan Lu Sian.
Kwee
Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan ilmunya yang mengalahkan Lu Sian,
adalah janji yang amat licik dari Pat-jiu Sin-ong, yang membayangkan sifat loba
seorang ahli silat yang ingin sekali menguasai seluruh ilmu yang paling sakti
di dunia ini.
Melalui
puterinya, Ketua Beng-kauw ini hendak memancing-mancing ilmu silatnya untuk
menambah perbendaharaan ilmu Pat-jiu Sin-ong! Karena tidak ingin menggunakan
ilmu simpanannya untuk mengalahkan Lu Sian agar ia tidak usah menurunkan ilmu
itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) yang lebih tinggi daripada kepandaian gadis itu untuk meleset kesana
kemari, menyelinap di antara sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai
mengamuk itu. Akan tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang
Toa-hong-kian, ayahnya sudah berseru lagi.
"Lu
Sian, pergunakan Pat-mo Kiam-hot!" Ilmu pedang Pat-mo-kiam (Pedang Delapan
Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat-jiu Sin-ong untuk mengimbangi Ilmu
Pedang Pat-sian-kiam (Pedang Delapan Dewa) yang pernah ia hadapi dahulu.
Hebatnya bukan kepalang. Lu Sian kembali menurut perintah ayahnya dan gerakan
pedangnya berubah lagi.
Kini
pedangnya tidak mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mendasarkan serangan
pada penggunaan tenaga sin-kang (tenaga sakti). Setiap tusukan atau bacokan
mengandung tenaga mujijat sehingga anginnya saja sudah cukup untuk merobohkan
lawan yang kurang kuat.
Kembali
Kwee Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifatnya Pat-sian-kiam yang ia kenal,
ilmu pedang ini rapi sekali, seakan-akan dimainkan oleh delapan orang, namun
Pat-mo-kiam mengandung sifat yang lebih ganas dan keji. Mendadak ia mendapatkan
pikiran yang baik sekali. Biarpun Pat-mo-kiam diciptakan untuk menghadapi
Pat-sian-kiam, namun ilmu silat hanya sekedar teori atau peraturan gerakan
belaka yang terpenting adalah orangnya. Karena tingkatnya lebih tinggi daripada
tingkat Lu Sian, maka ia merasa sanggup mengalahkan Pat-mo-kiam yang dimainkan
gadis ini dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam.
Ia
berseru keras dan tahu-tahu tangannya sudah mencabut keluar sebuah kipas yang
di sembunyikan di dalam bajunya. Cepat ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian-kiam,
kipasnya mengeluarkan angin yang kuat sekali sehingga gulungan sinar pedang
putih terdesak dan tiba-tiba Lu Sian berseru keras karena siku kanannya terkena
totokan gagang kipas.
Seketika
tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan pedang, baiknya dengan gerakan
yang cepat bukan main Kwee Seng sudah memulihkan totokan lagi sehingga gadis
itu dapat menyambar pedangnya yang sudah terlepas tadi.
Dasar
gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya terpegang lagi ia
terus menyerang dengan hebat!
"Aiihh...!"
Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat. Terpaksa ia mempergunakan ilmunya
yang hebat, yaitu Pat-sian Kiam-hoat yang sudah ia gabung dengan Ilmu Kipas Lo-hain
San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Kipasnya mengebut pedang lawan dan
selagi pedang itu miring letaknya, gagang kipasnya menotok dan... kini seluruh
tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi!
Kwee
Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas pedang itu di antara
kipas sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan! Lu Sian dapat bergerak
lagi akan tetapi pedangnya sudah terampas. Gadis itu marah bukan main, siap
menerjang dengan tangan kosong berdasarkan kenekatan.
"Lu
Sian, cukup ! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu!
Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu Sin-ong sambil melompat ke atas panggung. Tepuk
tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini, sedangkan Lu Sian lari ke dalam
tanpa menoleh lagi.
Sambil
merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata lantang kepada para
tamunya. "Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas puteriku dan
dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi, karena dia pun seorang aneh,
tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat menentukan apakah
perjodohan ini diteruskan atau tidak.
Betapapun
juga, ia sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku
kepada Liu Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"
Orang
tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum sepuasnya. Sedangkan
para tamu mulai menaruh perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang
tampaknya lemah-lembut itu. Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng
sebagai Kim-mo-eng dan mulai saat itu, terkenallah nama Kim-mo-eng Kwee Seng.
Tiga
hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar
dari kota raja Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah menangkan
pertandingan, ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus
menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.
Pat-jiu
Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng
karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum
dan mabuk-mabukan saja, manjadi seorang peminum yang luar biasa.
Betapapun
juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya merupakan pasangan
yang amat setimpal. Wajah Lu Sian nampak berseri, karena betapapun juga,
menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis ini dapat menduga bahwa sebetulnya pemuda
yang tampan dan sakti ini jatuh hati kepadanya.
Pandang
mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-diam merasa girang sekali. Memang
sudah menjadi waatak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati kepadanya makin
giranglah hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat mematahkan hati orang-orang
yang mencintainya itu!
"Kwee-koko
(Kakanda Kwee), kemanakah kita menuju?" Tanya Lu Sian dengan suara halus
dan manis, bahkan mesra. Kwee Seng memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri.
Melihat wajah ayu itu menengadah, mata bintang itu menatapnya dan mulut manis
itu setengah terbuka, hatinya tertusuk dan cepat-cepat ia membuang muka sambil
memejamkan matanya,
"Ke
mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil duduk di
punggung kuda tanpa memegangi kendalinya.
"Eh,
bagaimana ini? kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai ditepi
sungai Wu-kiang yang indah. Bagaimana koko?" "Hemm, baik. Ke lembah
Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.
Lu
Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum arak, akan
tetapi kudanya dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu
Sian.
Tak
lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki hutan.
Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut berhenti.
"Kwee-koko,
mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap,
kan menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko,
hentikan minummu, kau pandanglah aku!"
Mulai
jengkel hati Lu Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan. Kwee Seng
menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia menenggak
araknya!
"Nona,
tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah arak ini wangi
sekali!"
Lu
Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang
menjemukan ! Masa kau tidak bosan-bosan minum setalah tiga hari tiga malam
terus minum bersama ayah ? Kwee-koko, aku" aku pernah disebut ayah bunga
kecil harum dan orang-orang di sana semua mengatakan bahwa ada ganda harum sari
seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau tidak mencium ganda harum
itu?"
Kwee
Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini ! Alangkah bebasnya dan
genitnya ! Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu kepada seorang
pemuda. Dia sendiri yang mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi
secara jujur ia berkata, "Memang ada aku mencium bau harum itu, nona,
semenjak kita bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa olehku.
Eh, bagaimana ini!" Ia tergagap dan untuk menutupi malunya kembali ia
menenggak araknya. Lu Sian menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya
laki-laki ini tiada bedanya dengan yang lain, mahluk lemah dan bodoh, canggung
dan kaku kalau berhadapan dengan gadis ayu ! Alangkah akan senang hatinya dapat
mempermainkan laki-laki ini, mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian
tinggi, yang kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi, tidak
berada di sebelah bawah tingkat ayahnya !
"Kwee
Seng, berhenti!!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang pada saat
Kwee Seng sedang minum araknya di awasi oleh Lu Sian. Gadis itu terkejut karena
mengenal suara bentakan. Cepat ia membalikkan tubuh diatas punggung kudanya.
"Ma-susiok
(Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul kami?" Biarpun masih
duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng tahu
bahwa yang datang adalah dua orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika
mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali dalam jawaban pertanyaan Lu Sian.
"Lu
Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng dengan aku
dan percayalah, tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan dirimu."
Kwee
Seng adalah seorang pemuda yang amat halus perasaanya. Ia maklum orang macam
bagaimana adanya sute ke dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan
pemarah, sombong dan tinggi hati. Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus
yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara terhadap Lu Sian ?
Tiba-tiba
ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan keningnya berkerut. Tahulah ia
sekarang sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah olehnya semua rahasia
pembunuhan di Beng-kauw. Hal ini mendatangkan marah di hatinya dan ia berkata.
Nona,
lebih baik kau menuruti permintaan susiokmu. Kau minggirlah, dan biar aku
bicara dengannya.Liu Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan wajah
berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh Kwee Seng. Mengapa gadis itu
malah tersenyum seperti orang bergembira padahal jelas bahwa paman gurunya
mempunyai niat tidak baik terhadap dirinya ? Ia tidak peduli, lalu meloncat
turun dari atas kudanya dengan guci arak masih di tangan kiri, sambil membalik
sehingga ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia berhadapan dengan Ma Thai Kun
dan seorang laki-laki muda yang sikapnya tenang sungguh-sungguh, berpakaian
sederhana memakai caping dan punggungnya terhias sebatang cambuk. Ma Thai Kun
merah mukanya, alisnya berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar
kemarahan.
Ma
Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang. Kwee Seng, kau seorang yang
telah menghina Beng-kauw ! Kau tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh
Beng-kauw, mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita muda,
mengandalkan mulut manis mengelabuhi seorang tua. Twa-suheng boleh saja kau
kelabuhi, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan kau pergi menggondol
keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu yang kotor!
Wah-wah
! Hatimu dan pikiranmu sendiri berlepotan noda, kau masih bicara tentang niat
kotor orang lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang telah kau pergunakan
untuk membunuh tujuh orang pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda
yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!
Ma-susiok
! Betulkah itu?Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar kata-kata ini bertanya dengan
suara terdengar gembira. Benar-benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi
ia terheran-heran atas sikap Lu Sian ini.
Merah
wajah Ma Thai Kun. Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah itu
tak tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan-bujan, orang-orang macam
mereka mana patut memikirkan Lu Sian ? Aku membunuh mereka apa sangkut-pautnya
dengan kau, Kwee Seng?
Suheng
Kenapa kau lakukan kekejaman itu ? Bukankah Ji-suheng sudah melarang kitaOrang
muda bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh kekuatiran.
Sute,
tak usah kauturut campur ! Kau anak kecil tahu apa!
Kwee
Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang muda yang
menjadi adik seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh bedanya dengan
saudara-saudara seperguruannya, jauh lebih bersih batinnya.
Ma
Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan aku,
akan tetapi pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu.
Apalagi, kau masih menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah kau tidak ingin
memintanya kembali?Sambil berkata demikian, Kwee Seng mengeluarkan sebatang
jarum merah dari saku bajunya. Kau mengenal ini ? Kau menghadiahkan ini
kepadaku selagi aku tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum
membalasnya.Kwee Seng menyindir.
Berubah
wajah Ma Thai Kun. Kau kaukah jahanam itu ?bentaknya dan tanpa memberi
peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya
mengirim serangan maut dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sin-kang
sepenuhnya.
iii
. aiih. inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu ?Kwee Seng mengelak
sambil mengejek dan tiba-tiba dari dalam guci arak itu meleset keluar bayangan
merah dari arah yang mencrat dan menyerang muka Ma Thai Kun. Biarpun hanya
benda cair, karena arak itu digerakkan oleh tenaga lwee-kang, terasa seperti
tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat mengibaskan tangannya dan hawa pukulannya
membuat arak itu pecah bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang
sudah kosong melayang ke arah kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan
kirinya.Brakkk !guci itu pecah pula berkeping-keping. Namun Kwee Seng sudah
merasa puas. Serangannya yang mendadak dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai
Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma Thai Kun
menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama kuatnya.
Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga bertangan kosong.
Memang
di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal seorang ahli silat
tangan kosong yang tak pernah menggunakan senjata. Namun, kedua tangannya
merupakan sepasang senjata yang mengandung racun, menggila dahsyat dan ampuhnya
! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau lawannya juga bertangan kosong.
Baru beradu lengan dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi lawan.
Namun
kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biarpun masih muda, namun telah memiliki
tingkat kepandaian yang sangat tinggi sekali. Biarpun ia tidak mengisi kedua
lengannya itu telah kebal terhadap hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya pun
juga, karena ketika ia merantau dan berguru kepadanya pertapa-pertapa di
Pegunungan Himalaya, ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya dengan
obat-obat mujijat, juga di dalam pertempuran berat ia selalu Mengisi kedua
lengannyadengan hawa sakti dari dalam tubuhnya.
Pertandingan
itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan maupun kaki, membawa
angin dan menimbulkan getaran, bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa
tergetar oleh tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai
Kun menggereng dalam pengerahkan tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke
dalam lengan yang beradu dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang
terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin merahlah ia
dan terjangannya makin nekat.
Ma
Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi mengingat
akan persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian
yang masih terhitung murid keponakan dan melihat muka adik seperguruanmuyang
bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan engkau. Pergilah!
Sambil
berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok
dan kedua lengannya mendorong ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga
sakti yang hebat. Tidak ada angin bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa
betapa tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia pun merendahkan
diri, mendorongkan kedua lengannya untuk bertahan, namun akibatnya, terdengar
bunya berkerotokan pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti
layang-layang putus talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya
menjadi bengkak-bengkak.
Orang
she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!kata orang muda bertopi
runcing sambil melepaskan cambuknya dari punggung.
Saudara
yang baik, siapakah namamu?Kwee Seng bertanya, suaranya halus."Aku bernama
Kauw Bian, saudara termuda dari Twa-suheng Liu Gan.Hemm, kaulihat kau seorang
yang jujur dan baik. Mengapa engkau henndak membela orang yang meyeleweng
daripada kebenaran?
Tindakan
Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sutenya, melihat seorang
suhengnya terluka lawan, bagaimana aku dapat diam ? Kewajibankulah untuk
membelanya ! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku
ini!Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya keatas dan
terdengar bunyi Tar-tar-tar!nyaring sekali. Diam-diam Kwee seng kagum sekali.
Cambuk itu biarpun kelihatan seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini
dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang
membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng
segera menjura dan berjata.
Kauw-enghiong,
sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku
tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun
percaya kau tidak seperti Suhengmu untuk menyerang seorang yang tidak mau
melawan.Setelah berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh
kepada Lu Sian sambil berkata.
Nona,
terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak.Lalu ia
melarikan kudanya pergi dari situ. Liu Lu Sian tercengang sejenak lalu
tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar. Tinggal Kauw Bian yang masih
memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah
bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
Kauw
Bian-sute ! Adik macam apa kau ini ? Kenapa tidak serang dia?Kauw Bian terkejut
dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis
kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.
Tidak
mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang
yang tidak mau melawan?
Ahhh,
dasar kau lemah. Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena mendadak
bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun.
Kiranya
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang
matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia
lalu membentak.
Ma
Thai Kun ! Bagus sekali perbuatanmu, ya ? Kau layak dipukul seperti
anjing!Tangan kiri Liu Gan bergerak dan Plakkk, plakkk!telapak dan punggung
tangan sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang
terhuyung-huyung ke belakang. Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit
berbahaya ketika berdongak memandang.
Twa-suheng,
apa kesalahanku? Masih bertanya tentang kesalahannya lagi ? Anjing hina kau !
Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu ?
Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat diampunkan!
Suheng,
apa buktinya? Setan alas ! Kaukira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu ?
Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk
Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu
Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu ! Dan kau begitu
cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah
engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian
sekarang kau berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan
karenanya menampar mukaku. Keparat!!
Mendengar
ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran,
terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga).
Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
Twa-suheng,
semua itu memang benar ! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian !
Dia wanita dan aku laki-laki ! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak
melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan
keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh
jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng
marah-marah?
Gemertak
bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Jahanam hina ! Apa kau kira
menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu ? Huh, goblok dan hina ! Lu Sian
selalu akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia
ingin menikmati kelucuan badut-badut itu ! Kau sama sekali tidak memandang mukaku,
maka kau harus binasa sekarang juga!Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia
menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah
menghalanginya.
Kauw
Bian Sute, mau apa?? Maaf, Twa Suheng. Terus terang saja siauwte seendiri tidak
setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapapun besar
kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati
kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu
akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar
Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia
kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa Ketua Beng-kauw
membunuh
adik seperguruannya sendiri.
Liu
Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sutenya yang paling
muda dan memang paling ia saying itu. Ah, Siauw-sute ! Kau masih begini muda
namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat
menahan kemarahan ku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau ! Mulai detik ini, aku
tidak sudi lagi melihat mukamu dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm,
aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu !
Ma
Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara
pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya
dari pipi.
Kau
menangis, Sute ?Liu Gan bertanya heran. Dengan suara serak Kauw Bian menjawab,
masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun. Perbuatan
manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita
mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi
saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak
seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk
selamanya ? Betapapun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh
duka adikmu ini melihat betapapun juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan
kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal
yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti bahwa semua
perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.
Mendengar
kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Hemmm, agaknya benar
lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng
kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat
buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah
Suhengmu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku
akan merantau selama dua tiga bulan.
Twa-suheng
hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian ? Itu baik sekali,
Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pri dan wanita, sungguh
merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita daripada
si pria.
Sute,
kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi !Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda
yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking
kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.
Musim
dingin telah tiba dan melakukan perjalanan pada musim dingin bukanlah hal yang
menyenangkan atau mudah. Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat
untuk berlindung dari serangan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak
mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan mendatangkan
sengsara dan juga bahaya mati kedinginan.
Namun,
tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang muda ini bukanlah
orang-orang biasa, melainkan pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang
dengan ilmunya telah dapat menyelamatkan diri daripada serangan hawa dingin
tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal dan selimut. Mereka melakukan
perjalanan seenaknya dan hanya mengaso kalau kuda yang mereka tumpangi sudah
lelah dan kedinginan.
Pada
siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-kiang yang mengalirkan
airnya perlahan-lahan ke jurusan timur. Airnya tampak tenang dan sedikit pun
tidak bergelombang, membayangkan bahwa sungai itu amat dalam. Lu Sian
menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda mereka, juga
dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan hangat.
Kwee-koko,
sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga kau penuhi
dua permintaanku.Lu Sian berkata sambil mengorek-orek kayu membesarkan nyala
api.
Nona
? Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali sudah
kukatakan supaya kau jangan menyebut Nona kepadaku ? Wah, pelajar apakah kau
ini, Begitu pikun dan kurang perhatian ? Mana bisa maju mempelajari sastra
begitu sulitnya!
Kwee
Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja benar-benar
mempunyai kecantikan yang asli dan gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan
hatinya, namun juga memiliki watak yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut
karena ia jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun seakan-akan dapat
menambah terangnya sinar matahari, menambah merdu kicau burung, menambah meriah
suasana dan menjadikan segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga
makin yakin hatinya bahwa di balik segala keindahan, segala hal-hal yang
menjatuhkan hatinya ini, tersimpan sifat-sifat lain yang amat bertentangan
dengan hatinya. Sifat kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain, terlalu
cinta kepada diri sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan
berkuasa saja.
Memang
aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian.Ia menjawab kemudian
menambahkan. au minta aku menceritakan riwayatku, apakah gunanya ? Aku tidak ada
riwayat yang pantas menjadi cerita, aku seorang sebatang kara, yatim piatu,
miskin dan gagal. Apalagi ? Tentang permintaanmu ke dua mempelajari ilmu silat
yang sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya.
Wah,
kau jual mahal, Koko!Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya mendekati pemuda
itu. Memang demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga.
Jinak-jinak merpati, tampaknya jinak tapi tak mudah didekati ! Hawa begini
dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi beku ? Eh,
Kwee-koko, kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli silat yang
lihai, kau ini pelajar gagal dan murung mengingatkan aku akan seorang penyair
yang sama segalanya dan sama murungnya dengan engkauhi hikGadis ini menutup
mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas mentertawakan Kwee Seng.
Penyair
mana yang kau maksudkan?Biarpun tahu gadis itu hanya menggodanya, namun bicara
tentang syair dan menyair menimbulkan kegembiraan selalu bagi Kwee Seng.
Siapa
lagi kalau bukan Tu Fu ! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang
syair-syairnya, mengerikan!
Mengapa
mengerikan kalu dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan kenyataan dan
terdorong oleh rasa kasihan kepada sesamanya?
Bukan
rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada diri sendiri
! Karena keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang kemiskinan.
Coba dia itu kaya raya, atau andaikata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya
akan cinta kasih kepada alam seperti penyair yang seorang lagieh, siapa itu
yang suka memuji-muji alam, yang sukamabok-mabokan, gila arak seperti kau pula
Kau
maksudkan penyair Li Po? Na, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang
dunia dari segi keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu takkan begitu pahit
dan pedas sajak-sajaknya. Wah, aku seperti mengajar itik berenang ! Kau tentu
lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri mendengar syair Tu Fu tentang anggur,
daging dan tulang. Bagaimana bunyinya, Kwee-koko?
Kwee
Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas lalu mengucapkan
syair ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang
memaki-maki keadaan pada waktu itu.
Di
sebelah dalam pintu gerbang merah hangat indah serba mewah anggur dan daging
bertumpuk-tumpuk sampai masam rusak membusuk ! Di sebelah luar pintu gerbang
merah dinding kotor serba miskin berserakan tulang-tulang rangka mereka yang
mati kedinginan dan kelaparan!
Iiiihhh
! Itu bukan sajak namanya!Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri, Tidak
enak benar mendengarkan sajak seperti itu.
Memang
sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung kegagahan yang
tiada bandingnya, Noneh, Moi-moi.
Sepasang
bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara ketika
Lu Sian mendengar sebutan moi-moi (dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee
Seng di dalam hatinya. Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau
mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun alangkah mudahnya kalau aku mau
menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk lutut di depan kakiku ! Demikianlah nona ini
berkata dalam hatinya.
Ah,
apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-koko?Biarpun aku juga
hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat, sedangkan
mendiang Tu Fu benar-benar seorang sastrawan yang tak tahu bagaimana caranya
memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang gagang pensil.
Kalau
begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?$BE.(Boi-moi, kau
tidak tahu. Biarpun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali pada waktu
itu, tak mungkin ia berani melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak itu,
karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di hukum mati!
Tapi
aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya yang
benar-benar membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini :
Alangkah
inginku dapat terbangdengan pedang sakti di tanganmenyebrangi samudera untuk
membunuh ikan paus pengganggu nelayan!
Ketika
mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri, kedua kakinya terpentang,
tubuhnya tegak dada membusung penuh semangat dan kelihatan gagah dan cantik
jelita. Suaranya
bersemangat,
merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng melihat dan mendengar dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga ! Ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru
tersipu-sipu membuang muka ketika Lu sian memandangnya dan bertanya.Kau kenapa,
Koko?
Tidak
apa-apa, tidak apa-apakau pandai membaca sajak, Moi-moi kata Kwee Seng gagap. Akan tetapi terdengar
gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa yang mengandung banyak arti dan gadis
itu masih tersenyum-senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan
ketika mereka bangkit berdiri dan berhadapan, Lu Sian menggerakkan kakinya
perlahan mendekati, sampai dekat benar, sampai terasa benar oleh hidung Kwee
Seng keharuman yang luar biasa keluar dari tubuh gadis itu.
Wajah
jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan mata
bersinar-sinar dan bibir terbuka menantang dikulum senyum. Serasa terhenti
detik jantung Kwee Seng, bobol pertahanannya dan dengan nafsu yang memabokkan
pikirannya didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan ditundukkannya mukanya
untuk mencium.
Akan
tetapi tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium oleh Kwee
Seng hanyalah rambutnya, rambut yang harum menyengat hidung, dan tiba-tiba
terdengar gadis itu bertanya, suaranya dingin aneh, penuh cemooh. Hai, Kwee
Seng pendekar muda yang sakti, pertapa belia tahan tapa dan si teguh hati,
apakah yang akan kau perbuat ini?
Seakan
disiram air salju mukanya, Kwee Seng gelagapan, mukanya menjadi pucat lalu
berubah merah, dilepaskannya dekapan tangannya dan ia membuang muka lalu
menundukannya. Maaf ah, maafkan aku. Seperti sudah gila aku tadi ah, Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau
begitubegitu jelita dan.. dan.. keji
Liu
Lu Sian tertawa, suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan
ejekan.
Kwee-koko,
kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita
lanjutkanTiba-tiba Kwee Seng mendorong gadis itu yang segera meloncat, bermodal
tenaga dorongan Kwee Seng yang juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan
cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan menyambarlah lima batang senjata
piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti
disitu saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah
bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian. Akan
tetapi, kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan
waspada, dengan mudah mereka menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya
dan dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan
senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Adapun Kwee Seng sendiri
hanya dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja, ujung lengan bajunya
mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata! rahasia menyeleweng
dan tidak mengenai dirinya.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan ternyata dua ekor kuda mereka yang dilarikan
orang. Keparat hina dina!Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang
yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak bernyawa lagi !
Ah,
Moi-moi, kenapa begitu ganas?Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi
kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
Penjahat
rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah
sepatutnya dibunuh.Kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali
pedangnya.
Kwee
Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak
menunjukkan orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda
biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah
mati dan tak dapat ditanya lagi.
Justeru
karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita,
perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biarpun merupakan
kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang kang-ouw untuk
merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang semua ini, namun sayang, mereka
sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan, dua mayat
ini tentu akan diurus oleh teman-temannya yang kurasa tidak kurang dari lima
orang banyaknya melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi. Kau
hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi kita takkan berhenti
sampai disini saja.
Lu
Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh,
lalu melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan
kuda ke timur di sepanjang lembah sungai Wu-kiang. Melihat Kwee Seng naik kuda
dengan wajah muram dan alis berkerut, diam tak mengeluarkan kata-kata dan sama
sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian bertanya.
Koko,
apakah kau masih marah kepadaku?Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, Kenapa
marah ? Tidak!
Diam
pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang.
Dari jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di
tepi sungai.
Kwe-koko,
hemm, ada apakah kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk
saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?
Mau
tidak mau Kwee Seng menoleh dan wajahnya seketika menjadi merah ketika ia
melihat wajah gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang
bersinar tajam menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh
pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa seperti
ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.
Sian-moi,
(adik Sian), kau mau bicara apakah?Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan
perasaan.
Kwee-koko,
kau telah jatuh hati kepadaku, bukan ? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!
Sejenak
Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar
berwatak siluman ! Pertanyaan macam benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis
manapun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia
maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak mempermainkannya
seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee
Seng adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan
mukanya berubah merah kembali.
Tak
perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu
cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak
dapat kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?
Lu
Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan
kepalanya, matanya bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke
atas. Aku ? Mencintaimu ? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa
seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum cukup lama aku
mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu
lebih dulu. Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku,
mengapa kau menolak dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?
Aku
memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin ah, terlalu banyak
aku melihat kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat
keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiriah, kurasa takkan mungkin
kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi mungkin
aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!
Kembali
Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran.
Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja
berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi
kiranya gadis itu malah mentertawakannya !
Hi-hik,
kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan
dengan berlutut menyembah-nyembah kakiku!Setelah berkata demikian, gadis itu
berseru keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan
membalap ke depan. Kwee Seng terheran-heran, lebih heran daripada terhina oleh
ucapan aneh itu, akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri
percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar,
memasuki kota Kwei-siang.
Hari
telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka
mencari sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan.
Seorang pelayan penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan
memberi dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini
membersihkan diri daripada debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka
lalu mengambil tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang
masih belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang
paling baik.
Wah,
kau mau mabok-mabokan lagi Koko ? Benar-benar menjengkelkan ! Aku malam ini
ingin sekali bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!
Sambil
menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena
kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus
dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk
dari gadis itu pula.
Biarpun
minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa
denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap
sambil minum kan dapat juga.
Ahhh,
siapa bilang ? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan
perhatianmu pada arak, dan.. eh, koko, lihat mereka itu. Tiba-tiba Lu Sian
menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa orang laki-laki muncul
seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.
Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin
tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok
telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun. Orang ini berjalan dengan
gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya
mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena
Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya
lebih dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang
laki-laki lain di belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta
To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut digelung ke atas,
kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di
pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio
(pendeta Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang
berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang sembarangan karena
gerak-gerik mereka ringan dan gesit.
Koko,
kau lihat mereka, bisik pula Lu Sian.
Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu dihiraukan.Kata Kwee Seng
yang sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa, kemudian pemuda ini
minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya
tahu-tahu sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja. Liu Lu Sian
tersenyum dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia diatas meja tanpa
menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee Seng
juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum
akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam ancaman,
lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan tepat.
Betapapun
juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat dengan kerling
sudut matanya ke arah orang-orang itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan
sikap yang cukup jelas. Orang pertama sudah mencabut golok, Si Hwesio
mengangkat tongkatnya sedangkan yang lain juga sudah bersiap seperti orang
hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu hendak mencari perkara karena
pandang mata mereka semua kini terarah kepadanya !Dengan gerakan penuh ancaman
enam orang itu kini makin mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang
dihadapi Kwee Seng dan Lu Sian. Namun, Kwee Seng tetap tenang sambil minum
araknya, melirik pun tidak ke arah mereka. Lu Sian juga bersikap tenang, namun
hatinya berdebar. Tidak biasanya ia bersikap seperti yang diambil Kwee Seng
ini. Biasanya, begitu ada orang memusuhinya, ia segera menurunkan tangan besi
dan baginya, lebih cepat merobohkan lawan lebih baik.
Para
pengurus rumah makan sudah lari ketakutan menyaksikan enam orang itu
mengeluarkan senjata dan beberapa orang tamu yang tadinya sedang menikmati
hidangan, juga cepat-cepat membayar harga makanan dan segara pergi. Semua orang
sudah melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang seakan-akan tidak tahu
akan kesibukan itu semua dan enak-enak minum. Siluman betina ! Kau harus
mengganti nyawa puteraku!tiba-tiba Si Pemegang Golok yang berwajah muram itu
membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Sian.
Gadis
ini mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk dan tersenyum mengejek,
kemudian dengan mata berseri-seri memandang kepada pemuda tampan yang membawa
pedang. Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali lihat sudah tahu bahwa pemuda
tampan itu sejak tadi memandang kepadanya penuh rasa kagum, dan hal inilah yang
membuat matanya berseri dan senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip-negedipkan
mata kirinya lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.
Siapakah
puteramu dan siapa engkau ? Mengapa pula aku harus mengganti nyawa puteramu?
Setan
betina ! Masih kau hendak berpura-pura tidak tahu sedangkan tadi dengan kejam
kau membunuh pula dua orang pembantuku?
hihhh
hihhh jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda ? Sungguh sayang. Gadis ini
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada pemuda tampan yang
tiba-tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian seakan-akan menunjukan kata-kata
sayangitu kepadanya.
Siluman
sombong ! Puteraku dengan baik-baik memasuki sayembara karena dia begitu bodoh
tergila-gila kepada kecantikanmu, dan andaikata di dalam pertandingan itu dia
kalah, apakah salahnya ? Kenapa dia masih harus dibunuh secara penasaran ?
Apakah tiap laki-laki yang gagal mengalahkanmu harus mati seperti anakku Lauw
Kong itu?
Teringatlah
kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di atas panggung. Memang
seorang diantara mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku
datang dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-siang ini.
Oh,
Si Muka Hitam itukah puteramu ? Memang aku sudah mengalahkannya, akan tetapi
aku tidak membunuhnya!
Kau
setan betina ! Siluman cantik ! Banyak pemuda terbunuh karena engkau tapi kau
masih pura-pura, dasar perempuan rendahan
Cukup,
ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!Pemuda tampan yang membawa pedang
itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan itu
kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat bahwa
mata pemuda itu agak kuning. Nona, kami tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian
puteri Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong telah
mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan yang lalu. Memang dia kalah oleh
nona, Dan bukan nona pula yang membunuhnya, akan tetapi ternyata ia terbunuh
dengan pukulan beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu,
ayah dan kami minta pertanggungan jawabamu!
Muak
rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih enak-enak
minum arak saja, seolah-olah tidak perduli dirinya dimaki-maki orang. Hemm,
pikirnya, apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini ?
Tiba-tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah melayang ke belakang,
kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja yang masih penuh sisa hidangan dan
arak bekas para tamu tadi, yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang
sudah lari ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang
dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di
atas kedua ujung kakinya, pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan
dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia berkata.
Orang
She-lauw, menghadapi orang-orang kasar macam kalian ini aku tidak sudi banyak
bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian ! Kalau aku
tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini, jangan
sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!
Ucapan
ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan, akan tetapi diam-diam
Kwee Seng maklum bahwa sama sekali ucapan itu bukan kesombongan kosong karena
ia tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk
membuktikan ancamannya.
Ia
dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota Kwi-san,
bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas kematian
puteranya, telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya
tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.
Bagus
! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!seru Si Pemegang Golok
dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja
di mana Lu Sian berdiri. Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum
mengejek. Tiba-tiba sekali, tanpa kelihatan gadis itu menggerakkan kakinya,
cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi
bentakan Lu Sian.
Nih,
makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!Hebat sekali serangan lu
Sian ini. Gadis itu dengan sin-kangnya yang sudah amat kuat, hanya menggunakan
ujung kakinya menyentil barang-barang diatas meja dan beterbanganlah mangkok
dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke arah enam orang lawannya.
Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali
tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor
tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok
penuh masakan daging ! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang
yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka
dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah !
Sebetulnya,
melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan
maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan
meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata
masing-masing mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan, Lu Sian
tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya
kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat.
Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang
menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas
kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan
ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak
saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata
semua runtuh ke atas lantai karena tanpa mereka ketahui mengapa, tahu-tahu
tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka
terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka bau arak dan
tepat pada jalan darah disiku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran
mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk
minum arak.
Menyerang
orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk
perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam
orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf
dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata ? Lekas
pungut senjata dan pergi barulah perbuatan orang yang berakal sehat!
Tahulah
enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan
senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat
puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar.
Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya
seorang yang demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa
menghentikan keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan
melucuti senjata mereka !
Orang
she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya lalu ia menjura ke
arah Kwee Seng. Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuat mata kami
yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan.
Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?
Kwee
seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di
tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.
$BE"(Bngin
kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri suara suling mengusir harimau dan
menentramkan hati nama harta kepandaian tiada artinya yang penting adalah
pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!
Enam
orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka
pun tidak pernah mendengar nyanyian itu. Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu
ia berkata nyaring.
"Sebangsa
cacing macam kalian ini mana mengenalnya ? Dia bersama Kwee Seng, para
locianpwe mengenalnya sebagai kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu
menandingi aku. Biarpun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku !
Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih Bukankah itu lucu
sekali?
Enam
orang itu kelihatan kaget dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu
meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang
takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Kwee Sng menyatakan kesanggupannya
membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani
sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.
Lu
Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum,
matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah
Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak
kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara
ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang
bahwa perasaan hatinya amat terganggu. Memang demikianlah. Hati pemuda ini
tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis
ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak
mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis itu
di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya,
namun betapapun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya ! Ia merasa
makin tak senang ,muak dan benci menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat
betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam orang lawanny! a ! kalau
saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin
cinta ! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya
tariknya menguasai hatinya.
Kwee-koko,
dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang
kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang
suling, adakah kau mempunyai suling, dan pandaikah kau meniup suling dan
mempergunakannya sebagai senjata?
Aku
seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala
panas lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki
sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi
Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat).
Terbelalak
sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu. Apa ? Kau
betul-betul bertemu dengan ok-hengcia (pendeta jahat) itu ? Aku pernah
mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan
Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau
menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan
tewas, maka mereka menghentikan pertandingan. Dan kaukau bertemu dengannya ?
Bertanding ? Dan sulingmu hancur olehnya ? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah
olehnya?
Kwee
Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak. Dia memang
hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu
dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw. Pemuda itu lalu menceritakan
pengalamannya seperti berikut.
Beberapa
bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu,
tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw, Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak
dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.
Air
berkeriput biru sehalus beledu tilam pembaringan berkasur bulu bunga teratai aneka
warna penghias indah dicumbu rayu ikan-ikan emas berwarna cerah berperahu di
telaga barat mandi sinar bulan minum arak sesudah itu mati pun tak penasaran!
Nyanyian
ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu mereka untuk
para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan
berjalan-jalan disekitar telaga, yang tergolong cukup merasa puas dengan
menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi para pelancong
kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka itu akan menyewa
perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan
hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula pelacur-pelacur
untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan
penyanyi menabuh yangkim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap
malam diwaktu musim tiada hujan, sehingga keadaan telaga barat amat meriah.
Ketika
Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw, keadaan di situ sedang meriah
sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak
orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan
banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya ke Telaga See-ouw
di mana mereka dapat menghibur tubuh dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau
uang sudah habis dihamburkan !
Begitu
melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup rapi datang
seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya, menawarkan perahu mereka.
"Mari,
Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong ! Saya pesankan arak Hang-ciu
yang paling baik ! Kongcu perlu hidangan yang paling lezat ? Restoran Can-lok
atau rombongan penyanyi ? Anak buah Bibi Congcantik-cantik, muda dan suaranya
emas atau Kongcu suka ehmm ditemani bidadari jelita ? Tinggal pilih menurut
selera Kongcu.
Demikianlah,
ribut mereka menawarkan perahu sampai pelacur. Kwee Seng tersenyum dan
menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka jangan bicara sambung-menyambung
membikin bising.
Dengar
baik-baik, jangan ribut sendiri!katanya tertawa. Aku hanya membutuhkan sebuah
perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil
yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan arak
dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-panas dan kemudian boleh
panggil seorang pelacur yang pandai bicara, pandai main yangkim meniup suling,
pandai bernyanyi dan pandai bermain catur.
Wah,
mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil terbuka,
Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih dan
enak, tidak terganggu dari luar
Kembali
Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini tidak pantang
bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai pada batas mengobrol
dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si
cantik bernyanyi atau menabuh yangkim meniup suling saja.
Aku
ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak? Ada! Ada! Jangan
khawatir, Kongcu, perahu saya kecil bersih, dicat biru dan tanggung tidak
bocor. Lima belas cni saja untuk semalam suntuk!
Dan
perempuan yang kukehendaki itu ada tidak ? Pandai bicara, pandai main musik,
bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!
Wah,
wah yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah)
seorang . Seorang bidadari yang tercantik dan termahal disini!
Bagus
! Kaupanggil Ang-siauw-hwa untukku,kata Kwee Seng, senang hatinya. Ah, tidak
mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga
pandai segala biarpun tidak secantik Ang-siauw-hwa atau si Kim-lian (Teratai
Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan tetapi tidak pandai
main catur dan tidak suka minum arak
Hati
Kwee Seng sudah kecewa. Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak
mungkin memanggil dia ? Berapa harganya ? Aku sanggup bayar!
Orang-orang
itu menggeleng kepala dan seorang yang setengah tua berkata, suaranya perlahan
seperti takut terdengar orang lain, Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat
terkenal disini dan setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang,
biarpun Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita disini, namun dia
bukanlah pelacur sembarangan. Dia hanya mau melayani bicara dan bernyanyi, main
catur atau minum arak, bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah
terdengar Ang-siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan.
Bagus,
dialah pilihanku ! Panggil dia!Kwee Seng tertarik sekali. Akan tetapi
orang-orang itu menggeleng kepala. Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe
(Hartawan Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu.Ia menuding ke arah tengah
telaga di mana tampak sebuah perahu Lim-wangwe sendiri yang mengadakan pesta
bersama lima orang pendekar yang menjadi tamunya. Sejak pagi tadi Ang-siauw-hwa
berada di sana, mungkin sampai semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu
suara suling tiupan Ang-siauw-hwa.
Kebetulan
angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah oleh telinga Kwee Seng tiupan
suling yang merdu dan halus.
Lebih
baik jangan panggil dia, kongcu. Yang lain masih banyak, boleh Kongcu pilih
sendiri. Ang-siauw-hwa hanya mendatangkan ribut belaka.
Ah,
kenapa?Kwee Seng terheran. Beberapa orang memberi isyarat akan tetapi pembicara
itu agaknya sudah terlanjur dan berkata, Pagi tadi timbul keributan karena dia,
Lo Houw (Macan Tua), Seorang tukang pukul yang terkenal di daerah ini, memaksa
hendak mengajak Ang-siauw-hwa dan biarpun perempuan itu sudah lebih dulu
dipanggil Lim-wangwe, Lo houw tidak mau peduli dan hendak merampas
Ang-siauw-hwa, bahkan mengeluarkan kata-kata memaki Lim-wangwe. Kemudian ia
mendatangi Lim-wangwe dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir. Kami
mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami saying kepada Lim-wangwe yang
berbudi halus dan suka menolong kami yang miskin. Akan tetapi, apa terjadi ? Lo
Houw menyerang ke sana dengan perahu, akan tetapi ia kembali ke pantai dengan
basah kuyup!Orang itu tertawa dan yang lain juga tertawa, biarpun ketawanya
sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan takut kalau-kalau mereka terlihat
orang.
Ah,
apa yang tejadi?Kwee Seng makin tertarik.
Kabarnya
menurut tukang perahu yang kebetulan berada di dekat sana, Lo Houw meloncat ke
perahu besar dan memaki-maki. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara
tamu Lim-wangwe dan dalam beberapa gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu
terlempar ke dalam air!
Ha-ha,
dia harus berenang ke tepi!kata seorang lain. Kwee Seng tersenyum. Hal semacam
itu tidaklah aneh baginya yang sudah biasa bertemu dengan peristiwa pertempuran
yang lebih hebat lagi. Biarlah, kalau ia sedang melayani hartawan itu, aku pun
tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja sebuah perahu kecil yang baik,
sediakan satu guci arak da cawannya bersama sedikit daging panggang, tiga macam
sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya, lebihnya boleh kau miliki.Kwee Seng
mengeluarkan dua potong uang perak yang diterima dengan tubuh
membongkok-bongkok oleh tukang perahu setengah tua itu yang merasa kejatuhan
rejeki.
He,
tukang perahu jembel ! Lekas sediakan perahu terbaik, lima guci arak wangi,
lima kati daging, lima macam sayur, mi lima kati dan nona-nona manis lima orang
yang cantik-cantik dan muda-muda ! Eh, kembang pelacur yang kalian obrolkan
tadi, siapa namanya?
Kwee
Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang besar dan nyaring ini.
Ketika melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya Kwee Seng yang terperanjat,
juga semua tukang perahu memandang dengan mata terbelalak, tak seorangpun
menjawab.
Pembicara
ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, sekepala lebih tinggi daripada orang
yang berukuran tinggi umum. Melihat pakaiannya yang sederhana dan longgar,
apalagi melihat kepalanya yang gundul, orang tentu mengatakan bahwa ia seorang
hwesio (pendeta Buddha). Akan tetapi yang meragukan, kalau benar ia seorang
pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan pelacur ? Anehnya pula, dia
itu seorang diri, mengapa memesan demikian banyaknya makanan dan minuman yang
serba lima takar, juga memesan lima orang perempuan lacur ? Pertanyaan-pertanyaan
inilah agaknya yang membanjiri pikiran para tukang perahu sehingga sampai lama
mereka terheran-heran tak mampu menjawab.
Heh
! Jembel-jembel busuk, mengapa kalian diam saja ? Apakah kalian tuli dan
gagu?Laki-laki tinggi besar gundul yang usianya tentu lima puluh tahun itu
membentak.
Seorang
tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura sambil tertawa-tawa. Maaf eh,
Lo-suhutapitapi yang Lo-suhu pesan begitu banyak
Hwesio
itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang berdiri dengan tenang,
menaksir-naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa gerangan hwesio aneh
ini.
Heh-heh,
seorang pelajar melarat saja mampu menyewa perahu dan membayar arak, apakah kau
kira aku seorang perantau lain tidak mempunyai uang?Ia menggulung kedua lengan
bajunya yang lebar sehingga tampaklah lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia
merogoh ke balik jubahnya dan keluarlah sebuah pundi-pundi berisi penuh uang.
Dibukanya tali pundi-pundi itu danhwesio itu memperlihatkan potongan-potongan
uang emas dan perak ! Para tukang perahu memandang melotot dan menelan ludah.
Belum pernah selama hidup mereka tampak sekian banyaknya uang.
maaf,
maaf, Lo-suhu, bukan sekali-kali saya meragukan Lo-suhu takkan dapat membayar.
Hanya, Lo-suhu seorang diri, Pesanannya begitu banyak, apalagi pakai lima orang
bidadari
Heh..heh,
goblok ! Apa salahnya ? Malah kembangnya pelacur itu harus pula melayani aku,
berapapun biayanya akan ku bayar.
Tapi,
Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di perahu mewah yang berada di
sana tukang perahu itu menunjuk. Hwesio tinggi besar memandang dan mulutnya
yang berbibir tebal mengejek.
Biarlah
nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan pesananku semua. Cepat dan nih
uangnya, lebihnya boleh kalian bagi-bagi!Hwesio itu mengeluarkan belasan potong
uang perak dan melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar sampah
saja.
Gegerlah
para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka kejatuhan rejeki besar. Seperti
berlumba mereka lari kesana-kemari untuk memenuhi pesanan hwesio aneh. Akan
tetapi Kwee Seng sudah merasa muak perutnya dan begitu pesanannya tiba, ia
segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi makanan dan minuman pesanannya,
kemudian ia mendayungnya ke tengah telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi.
Hemmmm,
Menjemukan sekali.Pikirnya. Kalau para pembesar negeri suka mencuri uang negara
dan makan sogokan seperti anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya
melanggar pantangan, minum arak, makan daging dan main perempuan, akan
bagaimanakah jadinya bangsa dan negara?Berpikir sampai disini hati Kwee Seng
merasa kecewa sekali. Akan tetapi pemandangan telaga itu benar-benar indah
sehingga kekecewaannya terobati. Hari menjelang senja dan matahari di ujung
barat tampak tenggelam ke dalam air telaga, kemerah-merahan dan indah sekali.
Kwee Seng mulai makan daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit
memang ia tidak begitu suka minum arak.
Makin
gelap cuaca tanda malam tiba, makin indah di situ. Bulan muncul dengan
cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikitpun awan,
permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, seakan-akan terbakar menjadi
emas, berkilauan. Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit dan
bunga-bunga teratai yang berkelompok disana-sini mulailah menari-nari
menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri. Perahu-perahu yang berkeliaran di
permukaan telaga mulai memasang lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada
yang merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di telaga itu.
Tiba-tiba
telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling yang sayup sampai,
suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak air. Kwee Seng tertarik dan
mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara suling itu keluar dari sebuah
perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat mendengar suara suling dengan
jelas sekali. Akan tetapi ia segera menjadi kecewa. Suara itu tadi indah
kedengarannya karena dipermainkan oleh angin. Setelah mendengar dari dekat, ia
mendapat kenyataan bahwa biarpun peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya
kurang tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati peniupnya. Akan
tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan yang mendebarkan jantungnya.
Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu Lim-wangwe yang sedang menyambut
lima orang tamunya da mungkin sekali suling itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa
seperti yang diceritakan oleh para tukang perahu tadi ! Hemm, kalau benar
wanita itu yang meniupnya, lumayan ! ju! ga ! Setidaknya, kalau seorang pelacur
saja dapat meniup suling seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur yang luar
biasa.
Ketika
suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan tertawa-tawa memuji dari
dalam perahu, tanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu gembira
dan kagum. Tak lama kemudian, kembali suling itu berbunyi, kini mainkan lagu
yang menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu Bulan mengembara cari kekasih.Kalu tadi
kwee Seng hanya kecewa mendengar tiupan suling yang dianggapnya kurang baik,
kini telinganya terasa sakit mendengar betapa lagu kesayangannya dirusak orang.
Karena tidak dapat menahan lagi, pemuda yang sudah terpengatuh oleh hawa arak
itu mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya dan tak lama kemudian
melengkinglah suara sulingnya melayang-layang di permukaan telaga, mendesak
suara suling pertama yang keluar dari perahu besar. Karena suara suling Kwee
Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam dan tak terdengar
lagi.
Sahabat,
alangkah indah bunyi sulingmu!Kwee Seng yang baru saja menghabiskan bait
terakhir cepat memandang. Seorang wanita dengan pakaian serba indah berwarna
merah muda, berdiri di pinggiran perahu dan kelihatan seperti seorang dewi
telaga. Ah, kalau saja aku bersayap, kuakan terbang membebaskan diri dari sini
untuk belajar meniup suling darimu sahabat
Kwee
Seng tercengang. Inikah pelacur yang berjuluk Ang-siauw-hwa ? Pantas saja
terkenal menjadi kembangnya sekalian pelacur di daerah Telaga Barat ini,
pikirnya sambil memandang kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia menilai
teliti karena keadaan yang remang-remang itu tidak cukup menerangi wajah si
gadis, akan tetapi, selain pandai meniup suling juga kata-katanya begitu halus
dan teratur, dari ucapannya itu saja mudah diduga bahwa nona ini tentu pandai
bersyair. Dengan hati tertarik Kwee Seng mendayung maju perah kecilnya untuk
mendekati perahu besar dan agar ia dapat memandang lebih jelas. Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara memanggil dari bilik perahu besar dan nona
berpakaian serba merah muda itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu
besar.
Kwee
Seng sadar daripada kebodohannya. Perempuan itu sudah disewa hartawan pemilk
perahu besar, mau apa ia mendekat ? Ah, mengapa ia begitu tertarik kepada
seorang wanita pelacur ? Kwee Seng sadar akan kebodohannya sendiri dan
menggerakkan dayung untuk menjauhi perahu besar. Akan tetapi pada saat itu ia
melihat sebuah perahu meluncur cepat ke arah perahu besar dan di dalam perahu
ini terdapat seorang hwesio tinngi besar bersama lima orang wanita pelacur yang
sedang minum-minum dan tertawa cekikikan seperti segerombolan kuntilanak, Kwee
Seng cepat mendayung perahunya menyelinap dan bersembunyi di belakang perahu
besar untuk mengintai karena ia merasa curiga menyaksikan gerak-gerik hwesio
tinggi besar yang aneh itu.
Dari
balik perahu besar itu Kwee Seng melihat jelas betapa hwesio tinggi besar itu
sekali menggerakkan kaki telah melayang naik ke atas papan dek tanpa
menimbulkan guncangan sedikitpun juga. Kwee Seng kaget dan kagum. Hwesio ini
benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke perahu hwesio
tadi, ia merasa muak. Lima orang wanita pelacur yang memakai bedak tebal itu
dalam keadaan setengah telanjang dan awut-awutan rambutnya, tertawa cekikikan
dan bersenda gurau, agaknya sudah mabok semua ! Perahunya yang tidak di kuasai
oleh hwesio telah oleng ke kanan kiri tanpa diketahui lima orang pelacur mabok.
Karena merasa muak, Kwee Seng tidak mempedulikan mereka dan ia kembali
memandang ke arah hwesio yang berdiri kokoh seperti batu karang diatas papan
dek perahu besar.
Heh,
hartawan she Lim!Hwesio itu berseru dan suaranya yang parau keras itu menembus
desir angin. Lekas serahkan Ang-siauw-hwa kepadaku, kutukar dengan lima orang
yang berada di perahuku!
Tiba-tiba
dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang laki-laki tinggi kurus yang
mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya terhias sebatang golok. Gerakan
laki-laki ini ringan dan cepat, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu
dengan mata berkilat. Eh, eh, hwesio jahat darimana berani mengganggu
kesenangan kami ? Apakah kau sahabat dari Si Jahanaman Lo Houw yang kulempar ke
dalam air?
Hwesio
itu memandang sejenak lalu tertawa. Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw,
dan tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil
Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang
disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang.
Lekas suruh dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin
tenggelam berikut semua penumpangnya!
Hwesio
sesat ! Pergilah!Si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat. Cepat
sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu
memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat. Hwesio ini mencari
penyakit, pikirnya, penghuni perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah.
Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar,
tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu
secara berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu
masih tertawa, sama sekali tidak mengelak. Celaka, pikir Kwee Seng, betapapun
lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga
dalam itu?
Buk
! Buk!Dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung. Ha-ha-ha-ha!Si
Hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua pukulan itu.
Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar bergulung ketika ia
mencabut goloknya dan membacok dengan cepat ke mengarah leher.
Celaka
kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si hwesio
karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar-benar memiliki sin-kang (tenaga
sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan
berarti celaka bagi si jangkung.
Memang
tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit menggerakkan tubuhnya
si hwesio sudah mampu mengelak dan sebelum si jangkung sempat menyerang lagi,
tubuhnya sudah tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa,
hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar perahu !
Byurrrr!Air
muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam usahanya menyelamatkan diri.
Hwesio
keparat, berani kau memukul Suteku (adik seperguruanku)?Kini muncul seorang
pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang) melintang di tangan. Tanpa
menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan toyanya menghantam leher
hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung tadi, dapat di bayangkan
betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat agaknya akan
pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali tidak
mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal
lengannya.
Bukkk!Si
hwesio masih tertawa-tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik
keras dan tubuhnya terlempar keluar perahu. Kembali terdengar air menjebur dan
tubuh gemuk itu tenggelam timbul, agaknya lebih parah lukanya daripada sutenya.
HebatDiam-diam
Kwee Seng terkejut dan kagum. Perhatiannya kini tertuju pada hwesio itu sambil
mengingat siapa gerangan hwesio yang demikian lihainya itu. Terang bahwa
kepandaian dua orang yang dikalahkannya secara mudah tadi cukup tinggi dan
hanya seorang sakti saja yang dapat mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan.
Akan tetapi kalau memang hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan
kelakuannya begitu gila-gilaan ? Sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang
tokoh sakti yang terkenal. Merampas seorang pelacur ! Benar-benar mengherankan
sekali !
Sementara
itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki-laki. Usia
mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang pedang.
Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih cekatan
daripada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar, mereka
serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang mereka.
Kwee
Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya tertarik oleh
kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah muda berlari-lari ke
pinggir perahu besar itu lalu wanita itu meloncat ke air ! Byurrr!air muncrat
tinggi dan tubuh wanita itu lenyap !
CelakaUntuk
ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut celaka, akan tetapi
ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si pakaian merah tadi. Selagi ia
hendak menyelam, tiba-tiba wanita itu muncul dan legalah hati Kwee Seng melihat
bahwa wanita itu ternyata pandai berenang ! Ah, benar-benar pelacur yang aneh
sampai berenang pun pandai ! Pelacur itu memang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa
yang kini berenang cepat ke arah perahu Kwee Seng.
Kongcu
yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang$B)t(B katanya
sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan tetapi beberapa
kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu terlampau tinggi dari
permukaan air.
Kwee
Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam perahunya.
Ia memandang, kagum. Memang patut dikagumi wanita ini. Pakaiannya basah kuyup
dan karena pakaian ini terbuat daripada sutera tipis dan halus, maka kini
tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh yang padat ramping, dengan lekuk
lengkung sempurna, tubuh seorang wanita muda yang sudah masak.
Kenapa
kau meloncat ke air?Kwee Seng bertanya, menekan gelora jantungnya yang membuat
darah mudanya yang bergerak lebih cepat daripada biasanya.
Ah,
hwesio demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku ? Lim-wangwe
yang sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua bersikap sopan kepadaku, akan
tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah
akubiarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau kehendaki untuk membalas
budimu ini. Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau harum
menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum manis dan
mengerling penuh arti.
Aku
aku bersedia menolong, tapi tapi aku tidak menghendaki apa-apa darimu jawabnya
gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita
di belakangnya menarik napas panjang. Ahhhsudah kuduga, kau seorang pelajar yang
sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna susila
macam Ang-siauw-hwa?Suaranya mulai terisak. Beginilah nasibku, kongcu hanya
orang-orang rendah budi saja yang suka berkenalan denganku, dengan maksud yang
kotor, akan tetapi orang baik-baik selalu menjauhkan diri dariku.
Kwee
Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita yang
terperosok ke Lumpur kehinaan. Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak
memesanmu menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga sammbil bersuling
dan bernyanyi atau mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa
hartawan itu, aku berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku
sekali-kali bukan menolongmu karena hendak minta upah. Nih, kaupakai jubah
luarku untuk menahan dingin dan angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari
sini.Setelah melemparkan jubah luarnya untuk dipakai berselimut Ang-siauw-hwa,
Kwee Seng cepat mendayung perahunya.
Akan
tetapi di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul pekik-pekik
kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun terlempar ke
dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul
bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
Ah,
Ang-siauw-hwa kembang pelacur ! Kau hendak lari ke mana ? Tak boleh lari
sebelum melayaniku sampai puas!
Melihat
menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng menggerakkan dayung
sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh orang itu terbanting ke dalam
air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
Ah,
celaka kita, kongcuAng-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah dingin
itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
Tak
usah takut, kita akan minggir lebih dulu daripada dia.Jawab Kwee Seng sambil mengerahkan
tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur seperti anak panah terlepas dari
busurnya.
Ang-siauw-hwa
menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu sudah meloncat ke dalam
perahunya sendiri. Sekali ia menggentakkan perahu, lima orang pelacur yang
mabok-mabokan di dalam perahu itu terlempar ke dalam air pula ! Menjemukan !
Tingallah kalian di air!kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia
mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng. Sementara itu, para penghuni
perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang pelacur yang
menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
Kongcu,
dia dia mengejar, Ang-siauw-hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari belakang. Bau
harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya membuat Kwee Seng
meramkan matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya mengeluh. Usianya sudah
dua puluh dua dan belum pernah ia berdekatan begini dengan seorang wanita.
Getaran yang menggelora di jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang
cepat ia mendayung perahu.
He,
orang muda tolol ! Apakah kau bosan hidup ? Berhenti dan berikan gadis itu
kepadaku!Suara hwesio itu melengking di telinganya. Akan tetapi Kwee Seng tidak
peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
Kau
ingin mampus!Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan tangannya dan dari
ujung lenan bajunya menyambar angin yang memukul runtuh benda itu yang ternyata
adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas hancur oleh hwesio
hebat itu!
Kwee
Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, mungkin lawan
yang paling tangguh yang selama hidupnya pernah ia hadapi. Dengan adanya
Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti melemahkan
kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio kosen itu,
apalagi kalau diingat bahwa hwesio memang bermaksud merampas Ang-siauw-hwa.
Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya. Kepandaiannya di
atas air hanya terbatas dan sekali jatuh ke dalam air, takkan ada gunanya lagi.
Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga
perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya
di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya
melompat ke darat, lalu berkata lirih, Nona, cepatlah, kau lari dari sini!
Tapi, tapi kau bagaimana, Kongcu
Jangan
pikirkan aku, lekas lari.Kwee Seng mendorong wanita itu dalam gelap, kemudian
ia meloncat lagi ke dalam perahunya dan mendayung ke bagian lain dari tepi
telaga itu untuk menyesatkan perhatian si hwesio terhadap Ang-siauw-hwa. Usaha
dan akalnya ini berhasil baik, karena perahu hwesio itu terus mengikutinya
setelah mendekat, kemudian terdengar hwesio itu berseru keras.
Bocah
setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!
Akan
tetapi karena ia sudah terbebas daripada keselamatan Ang-siauw-hwa kini Kwee
Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya, berkipas-kipas
diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat ia berkata,
Lo-suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar
menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang
pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan
kepandaian?Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung
teguran pedas.
Heh
he he he, bocah yang masih bau susu ibu ! Macam engkau ini hendak memberi
kuliah kepada Ban-pi Lo-cia ? Heh he he!Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti
bunyi keras seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan
tampaklah sinar hitam melecut-lecut di udara. Kiranya kakek itu sudah
mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng
seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar
disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)! Nama ini adalah
nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di dunia kang-ouw,
namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian
hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban-pi
Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa
dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara
tiba-tiba di tempat ini?
Kekagetan
dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah sehingga
ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan
tahu-tahu pinggangnya sudah telibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika
Ban-pi Lo-cia menggerakan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti
terbang, terbawa oleh ujung cambuk ! Kwee Seng terkejut, namun ia dapat
menenangkan hati dan mencari akal. Dengan kipas di depan dada untuk melindungi
diri, ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk
yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempaar melayang ke
arah Ban-pi Lo-cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai ! Orang
gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya
seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud
mempermainkannya.
Akan
tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah
sudah melayang ke dekatnya, tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari
kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan
oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan
darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok ! Ketika raksasa itu mengelak ke
belakang, tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya dan menggunakan
pundak raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan
melompat sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri
daripada libatan ujung cambuk. Usahanya berhasil. Ban-pi Lo-cia berseru heran
dan tubuh Kwee Seng sudah melayang kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan
pohon kembang di pinggir telaga yang cepat disambarnya dan dengan ayunan indah
tubuh pemuda itu sudah berada di darat, berdiri dengan tenang ! da! n dengan
kipas di tangan sambil memandang ke arah lawan yang masih berada di atas
perahunya !
"He
he he, kau boleh juga, bocah!" Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah
setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu danbagaikan didorong tenaga
gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali
meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng ! Dua orang ini
kini berhadapan dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang
bersih, indah sekali akan tetapi di dalam keindahan itu tersembunyi kengerian
yang di timbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini.
Pinggir telaga sudah sunyi karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi
besar yang mengamuk, sudah melarikan diri cepat-cepat akan tetapi ada pula
beberapa orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
"Ban-pi
Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok
benar dengan namamu!" kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling
bambu yang tadi ditiupnya dan memegang suling itu di tangan kanannya sedangkan kipasnya
ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini
ia harus di Bantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu
ia akan dapat mencapai kemenangan.
"Heh,
kau mengenalku ? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku
baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kausebut cocok dengan
namaku?"
"Kau
terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan
mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu
sekarang?"
"Wah,
sombong ! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?"
"Aku
Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya
suling dan kipas ini yang kubawa."
"Heh..heh,
kata-kata muluk ! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau
sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini ? He-heh, orang muda,
tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan
terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan.
Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di
tangan Ban-pi Lo-cia!" Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam
bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar
kepala.
Hebat
bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal
dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung
getran penuh dari sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Jangan kan
terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi
pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan
yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan
yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya ! Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang
benda lemas dan licin, akan tetapi jangan dipandang ringan senjata ini.
Bahannya saja terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat
dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, diantara gunung-gunung es. Di
tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas
melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah
senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus. Menyaksikan gerakan ini Kwee
Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya,
maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya
untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu
bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus
dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan
kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan
dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat. Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan
Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat
yang sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia
dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan
Himalaya. Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan
sekarang mengahadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia
mengeluarkan dua ilmunya yang dima! in! kan dengan lincah dan penuh mengandung
tenaga sin-kang. Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking
tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali
dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar. Adapun
kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totoka-totokan maut
oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah
yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak
menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh
suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau
Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya,
sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan.
Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda
dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa
pemuda itu demikian hebat.
Tangkisan
suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas
itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa ia harus berlaku
hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung lengan baju kiri untuk
menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal betul bahwa suling itu memainkan ilmu
pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan ilmu silat Lo-hai
San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang lain.
Permainan
pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat
dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun
masih sukar untuk dihadapi ! Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat
umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung
kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan
kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa
dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang
kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap
wanita yang biasanya digolongkan orang lemah !
Puuuttttar-tar-tar!!sekali
serang, cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa
detik saja ke arah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar. Kwee Seng menggerakkan
suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh
mengubah kedudukan kaki untuk menghindarkan diri serangan pada leher. Adapun
pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakan
kipasnya ke depan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau totokan ini
mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
Haiihhh!Ban-pi
Lo-cia berseru keras, mengerahkan sin-kang dan ujung cambuknya terus melibat
suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan
sebelah kiri.
Brettt!Robeklah
ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak
mengenai sasaran. Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya
yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan
tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul
kaki kanan menendang ke arah pusar !
Diserang
secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat ke
belakang. Ia berhasil berhasil menyelamatkan diri dari bahaya, namun sekali
renggut dengan pengerahan tenaga oleh Kwee Seng membuat suling yang terlibat
lepas dari ujung cambuk ! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak tangan yang
memegang suling, terasa panas dan kesemutan.
Hebat
! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi
Locia!Seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang raksasa
gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik
dan berkelahi ! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda
cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya !
Kini
Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya, cambuknya di
gerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang
membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan membingungkan
pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar
menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis. Dengan cambuknya yang panjang,
raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang
kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani
lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia
lari mengelilingi Kwee Seng.
Kagetlah
hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti,
juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk
mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa karena dia berada dalam lingkaran,
kedudukannya berbahaya, dan membutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi
serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan
kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat
tangan kanan tinggi melintang di atas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan
kiri melindungi bagian bawah.
Anehnya,
Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat
jelas, ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada di belakang tubuhnya.
Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua
itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas. Hebat bukan
main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena
Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa
mampu balas menyerang.
Mengapa
Kwee Seng meramkan kedua matanya ? Apakah ia memandang rendah lawannya ?
Bukan,
sama sekali bukan ! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan
matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan
pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka
mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan
menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram,
namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan. Dan mengapa pula
pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa
mencari kesempatan balas menyerang ? Ini pun merupakan siasat baginya, karena
dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya cepat
lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya, sedangkan dengan
penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.
Orang-orang
cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat daripada yang gerak.
Gentong air yang penuh tak tersembunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang
yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang
bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka
yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat
kedudukannya daripada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan
sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu
menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat.
Karena
bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam
lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan
serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan. Namun diam-diam
Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan
tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat
dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani
mengaku sudah lebih pandai daripada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan
kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu.
Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga
menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari
sepatunya.
Ia
mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk ke atas
kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan
dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah melayang
cepat sekali memasukilubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat
menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.
Kyaaaa!Ban-pi
Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh,
matanya melotot heran dan kaget.
Tentu
saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat ke depan
dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya
menghantamkan serangan-serangan maut. Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh
yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah
tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah
cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian
cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung
di depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam
menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lwee-kangnya. Terdengar suara keras
ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya Keduanya terlempar ke
belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas tanah !
Dengan
napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk
di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri, Heh-heh-heh, kau hebat
orang muda!
Kwee
Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya. Dan kau
jahat, Ban-pi Lo-cia!jawabnya.
Kembali
Si Raksasa gundul tertawa. Aku pernah mendengar sayup sampai tentang seorang
tokoh berjuluk Kim-mo-eng, yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan.
Agaknya kaukah orangnya?
Tidak
salah, para Locianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku.
Heh-heh-heh,
masih muda sudah sombong, ya ? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu ? Kita masih
seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!Raksasa itu
berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali.
Kwee
Seng juga bangkit berdiri. Aku selau melayani, kalau kau memang hendak
berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak melakukan
hal-hal jahat!
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan
pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga dalam
pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa dalam hal tenaga
dalam, ia menang setingkat.
Dan
hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan
balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal
ini akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak dan kalau terus-menerus
diadu dengan cambuk, tentu akan hancur sedangkan cambuk lawannya sama sekali
tidak mengalami kerusakan apa-apa, Kwee Seng mengerahkan gin-kang (meringankan
tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan
serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit
daripada lawannya yang tua dan tinggi besar.
Kini
Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu
silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan.
Sebaliknya, tidaklah muda bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat
kuat ini. Dalam benturan ke dua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya
kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya. Pertandingan telah setengah
malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur.
Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala
masing-masing.
Bah,
kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda
seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan
pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ke dua dengan kau inilah
! Heh-heh-heh ! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek
Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya
seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?
Aku
tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah
beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek
Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan.Kwee Seng kini
bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan
ulet.
Heh-heh-heh,
sampai mati, bocah sombong!Ban-pi Lo-cia menerjang maju dan kini ia membekuk
cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat
ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya,
berbareng menyodokkan kipasnya.
Brakkkk!!
Uh-uhKwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur ! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia
juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak
perut itu menjadi mulas ! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang
mengandung tenaga sin-kang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya,
mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan
perutnya mulas seperti orang terlalu banyak lombok saja !
Serrr..
serrrserrr!Belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia. Cepat
kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh
berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar belasan orang yang bersenjata
lengkap.
Inilah
hwesio jahat itu ! Serbu KeroyokKiranya belasan orang ini adalah lima orang
jago silat bersama teman-temannya, sedangkan di belakang mereka masih tampak
puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah
telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib,
sedangkan lima orang jago silat sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.
Kwee
Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia,
cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga
maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh
puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan
sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak
tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala
mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang mereka sambil melompat
pergi. Dari jauh terdengar suaranya.
Eeh,
Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!
Sekarang
pun boleh!Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran,
apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang. Akan tetapi
beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau
kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya
akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa
menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi
sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa
betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan
kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang
lain.
Kongcu
Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan
tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang
membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.
Dia
sendiri di situ ! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa, pakaiannya masih serba
merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang
bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali.
Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata.
Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis.
Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh
pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam
suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.
Kongcu,
kau kenapa Kau terluka Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala.
Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya. Ah, kau
tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu.
Aku sengaja menunggumu disini dan kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini
jodoh namanya?
Ooh
tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya.
Ang-siaw-hwa
menarik lengannya. Tentu saja jodoh. Kongcu, marilah ikut Ang-siauw-hwa, kau
perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu. Dengan kata-kata yang
mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya
pergi.
Kenapa
kenapa kau begini baik kepadakuKwee Seng masih mencoba menolak. Akan tetapi
Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya. Kenapa ? Karena kau
telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu, karena karena aku ingin
belajar menyuling darimu
Menyuling
?Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas. Pertemuan ini mengganggu hati dan
pikirannya dan amat merugikannya kerena seharusnya ia dapat beristirahat
memulihkan tenaga tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran.
Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan
dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita
itu.
Ketika
Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan yang hangat,
bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia
melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya.
Melihat
betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa
saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu
dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya
kembali.
Ambilkan
bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak
melayani Kongcu makan.Terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan. Dari balik bulu
matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk di bawah,
bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi
hidangan untuknya.
Kongcu,
kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur.Kata Ang-siauw-hwa sambil
menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng. Pemuda ini bangkit duduk,
memandang ke sekeliling lalu berkata, penuh kegugupan dan malu-malu.
Ah,
agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku
pergi
Akan
tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya. Mengapa begitu, Kongcu ? Tidak sudikah
Kongcu menerima pembalasan budi dariku ? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain
memandang rendah kepadaku, seorangpelacur?Wanita itu masih memeluknya sambil
menangis !
Kwee
Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita
juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka
melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.
Sudahlah,
Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali.
Nona
itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih membasahi pipinya,ia
teresenyum gembira. Marilah makan, Kongcu.Katanya merdu.
Kwee
Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat
baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang dilayani amat mesra
oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk
tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan
mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah
gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu
menghampiri Kwee Seng dan duduk diatas pangkuannya !
Ah,
Nonainiini.. bagaimanaKwee Seng tergagap.
Kongcu,
budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu, selain
dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa
saja untuk memalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?
Tidak
karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan dengan halus ia
mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya. Nona, duduklah yang betul dan
mari kita bicara. Kau mau tahu namaku ? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar
gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga.
Ah,
Kwee-kongcu mengapa bicara begitu ? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat
berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya Kembali
nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi dan menutupi muka dengan
kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari
tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.
Nona,
kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti
gadis bodoh. Mengapa kau sampai sampai
tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.
Sampai menjadi pelacur?Ang-siauw-hwa
menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes di
sepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan. Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu.
Ketahuilah, di waktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku
seorang pangeran dari Kerajaan Tang
Kaget
seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. Ahhh ! Mengapa sampai begini?
Nona
itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si
Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh,
sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak
kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan. Akan tetapi di
tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di
antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang
hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan
itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena
keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan.
Akhirnya,
pelayan itu terjerat oleh cengkraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama
bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak
perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama, hutang mereka berumpuk dan akhirnya,
setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In Dijualkepada
bibi Cang sebagai pembayar hutang.
Demikianlah,
Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkraman
bibi Cang. Akan tetpai baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan
pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang
dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan
kulayani, dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi
kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah
aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini
kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In
entah ke mana, dan akuaku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina
yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau kembali Ang-siauw-hwa menangis.
Bukan
main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan
kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur.
Sudahlah,
Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari
bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka
memungutmu sebagai anak. Adapun tentang nona Khu Gin In, biarlah
perlahan-perlahan kucarikan untukmu.
Ah,
Kwee-kongcukau menumpuk budi kebaikan padaku. Ang-siauw-hwa menubruk kwee Seng
dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng
tidak menolaknya, mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan
dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya. Karena ia yakin
bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya
hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak
pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang
memiliki kecantikan jarang keduanya ini.
Setelah
reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata, suaranya
mesra dan manja. Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap
kau suka mengajarku. Hati Kwee Seng berdebar sebutan Kongcu (Tuan Muda) berubah
menjadi Koko (Kakanda) ini.
Sulingku
remuk oleh si Hwesio jahanam.Jawabnya, masih mengagumi rambut hitam halus
panjang dan harum itu.
Di
sebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah ku suruh pelayan
membeli untukmu.
Tak
usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan,
harus dicoba dulu.
Malam
itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang
menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu
dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat
bahwa nona ini adalah seorang pelacur !
Di
lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta
kepada Kwee Seng karena selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu dengan pemuda
yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya, laki-laki
yang manapun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang
datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan
daripadanya. Akan tetapi kwee Seng ini berbeda sekali, pemuda tampan ini
menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus
hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa
raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama
hidupnya !
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang
masih setengah tidur di atas pembaringan. Moi-moi, aku pergi dulu hendak
mencari suling yang baik.
Dengan
mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang
berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata, suaranya mesra dan penuh
cinta kasih, Kwee-kokojangan kau tinggalkan aku lagi.
Kwee
Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini
kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram lalu Kwee
Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum. Jangan kuatir, Moi-moi, aku
takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling!
Entah
mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali.
Lenyap
sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan
Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan
pohon-pohon di sekitarnya, tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung
pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya
bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan bibirnya tersenyum aneh
kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa ! Ia harus mencari suling yang baik, tidak
saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi
senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering betul.
Benar
seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang
penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa
biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat daripada bambu biasa
saja.
Saya
mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik
hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah
Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling,
takut tidak akan ada yang berani membelinya.Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling
itu berkata. Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu
yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat
senjata.
Mana
bambu itu ? Kenapa tidak dari tadi kaubilang ? Keluarkanlah, biar kumelihatnya.
Setelah
bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam
yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee
Seng berkata, Jadilah. Harap kaubuatkan suling dari bambu ini sekarang juga,
aku akan menunggunya.
Setengah
hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah
hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa
memang sudah tepat ukuran lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling
yang limapuluh kali lebih mahal daripada harga suling biasa, membeli pula
sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat
larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat
istirahatnya tak jauh dari telaga.
Moi-moi,
kaulihatlah suling ini!Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil,
rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya.
Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan
dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh melang-melintang di
belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah
dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang
kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
Moi-moi
serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia
sudah menerjang dun pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Apa yang dilihatnya ?
Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh
bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya
hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher
dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang
keluar dari dadanya di mana tampak menancap sebuah gunting !
Kwee
Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis
ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting itu tepat menancap di ulu hati.
Ia diam-diam heran mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan
seperti itu.
Moi-moi
siapa melakukan ini Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu.
Ang-siauw-hwa
membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.
Kwee-kokokau datang terlambat tapi lebih baik beginitak mungkin aku dapat
melihat mukamu setelah apa yang terjadilebih baik aku akhiri hidupku
Apa
katamu ? Kau membunuh diri ? Tapitapi mengapa, Moi-moi
Koko
pada saat kau pergi datang hwesio iblis ituah, dua orang pelayanku dibunuhnya
dan aku aku Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. Setelah bertemu
dengan engkau setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorangkebiadaban hwesio
itu membuat aku tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini aku aku ah koko,
aku cinta padamu kau carikan saudaraku Gin In
Moi-moi,Akan
tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada
saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil. Ang-siauw-hwaKenapa
kau dua hari tidak kembali ke kota ? Aku menanti-nantimu, banyak tamu
menanyakan kauLalu terdengar jerit wanita.
Kwee
Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua
orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan
pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa di atas pembaringan,
menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu dan secepat kilat ia melompat ke
luar kamar melalui jendela, membawa jubahnya yang kemarin dipinjam
Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di dekat tubuh pelacur itu.
Demikianlah,
Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengangkibatkan sulingku
hancur!Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian. Tentu saja dalam
cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas.
Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang
segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur
itu adalah bunga botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah
dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian
merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi
pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang
runcing.
Kwee-koko,
mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi
Lo-cia, matamu berkilat marah ! Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa
itu, mana ada harganya untuk dibela?Memang ini termasuk sebuah di antara watak
Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh
wanita lain, biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati
dan cemburu !
Di
lain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum
berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti
akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
Ah,
mengapa kau bilang begitu, Sian-moi ? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang
lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku
untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi
Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!
Makin
tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat
Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Si
Pelacur.
Koko,
apakah kau mencinta perempuan hina itu?tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang
tajam. Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu
bertambah kagumlah hatinya.
Tidak,
aku hanya kasihan kepadanya.Jawab Kwee Seng , suaranya jelas menyatakan isi
hatinya.
Akan
tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan
mendesak lagi. Pernahkah kau jatuh cinta ? Adakah seorang wanita yang kau cinta
di dunia ini?
Bertemu
dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee Seng menjadi
makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian
katanya.
Selama
ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanyahanya setelah bertemu dengan engkau,
Sian-moiah, entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh
cinta kepadamu!
Mendengar
kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia
bangkit dari tempat duduknya dan berkata. Kwee-koko, mari kita melanjutkan
perjalanan.
Apa
? Hampir tengah malam begini?Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya
dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil
pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat
memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapakannya di
depan rumah penginapan.
Mengapa
tidak, Koko ? Apa salahnya melakukan perjalanan malam ? Setelah keributan tadi,
aku tidak senang di sini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di
tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak
memikirkan.
Memikirkan
sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?Kwee Seng mengomel
karena sesungguhnya ingin ia mengaso. Memikirkan apa saja, sih?
Liu
Lu Sian tersenyum manis. Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!
Kwee
Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat-cepat ia pun
mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat ke
atas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata
terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu,
yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi.
Begitu
keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa mengikutinya
dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya, dan hatinya
berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya
kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah
malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan
cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari
belakang.
He,
paman tukang perahu ! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana ! Berapa
biayanya kubayar!
Tukang
perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera meminggirkan
perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas
dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Di bagian belakang perahu duduk
seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
Baiklah,
nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari
mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran sekali
pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana.Kata si tukang
perahu dengan suara penuh keheranan.
Lu
Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat ke atas dek perahu, sedangkan
Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia
dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali.
Kali
ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga
tidak bicara apa-apa.
Ah,
Paman, kau tadi bilang apa?ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian
bertanya. Orang-orang mengungsi dari sana ? Ada terjadi apakah diseberang sana?
Si
Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut. Apakah nona belum tahu ? Daerah
San-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang
ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi
setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan
pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam
mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong
jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh
gubernur, dengan tuduhan memberontak
Ah
Dan bagaimana dengan jenderal itu ? Apakah ditangkap juga ? Dan dimana dia
sekarang?
Lu
Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan
hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan
negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun
yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi
pecah-pecah karena diperebutkan. Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan
raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri,
mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai, seakan-akan
sekelompok anjing masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu
semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan
duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk
memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di
kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh !
Mana
bisa Jenderal Kam ditangkap ? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya,
hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya ! Pula, tanpa adanya jenderal
yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat
bertahan terhadap serangan dari luar?
Paman
yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?
Betul,
bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi nona tidak
tahu apa-apa tentang keributan di daerah San-si?
Kini
Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah
mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu, bahkan belum lama ini
Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan
wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan
maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah yang berwatak satria,
tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum
tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh
wajah cantik ! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
Ah,
Sian-moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke
utara ? Mau ke manakah ? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya
ikut denganku,kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu
untuk membantu penyebrangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak
amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak.
Dengan
kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa
ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu !
Kwee-koko,
seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan
menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selau
menuruti kehendakmu ! Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau
belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau
janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain
tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji,
terserah.
Kwee
Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia
tertawa dengan sabar. Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya.
Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, ke mana pun boleh. Akan tetapi kalau
di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak ke sana?
Lu
Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai
muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon. Justeru karena ada perang
aku ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian ! Kwee-koko, ada tontonan
bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja ? Pula, melakukan perjalanan
bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?Gadis itu
mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi
jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi
sinar keemasan !
Kau
cantik sekali, Moi-moi , katanya perlahan, penuh kekaguman.
Lu
Sian tertawa. Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik ? Ihhh, kau
sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara ! Lu Sian
tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu, tangannya menyambar
air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga
seluruh kulit mukanya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan
segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda
secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia
tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan
di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah ? Mengapa ia tidak pergi
saja tinggalkan gadis ini ? Ke mana perginya keangkuhannya yang selama ini ia
banggakan ? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar
pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya.
Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguhpun
ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu
kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran ?
Setelah
menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari
belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan. Benar saja
seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah
berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan
rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil
akan tetapi sunyi.
Mengapa
mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu ? Memenuhi jalan saja.Lu Sian
mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon
kecil berduri mengganggunya.
Rakyat
sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu
bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat
atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian
beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka
mempergunakan kesempatan merampok.
Hah,
kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?
Kwee
Seng mengangguk. Derap kaki banyak kuda dari belakang ! Akan tetapi belum tentu
perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi.
Mereka
berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap kaki kuda
berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan
kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan
ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik daripada kuda
tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah
wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas.
Pedang berukir indah bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang
kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang
kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat,
apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik. Yang terdepan
paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang
ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ke tiga baru
delapan belas tahun berpakaian serba hijau.
Melihat
raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar
dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik dan pandang
mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi
dengan bedak dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga menimbulkan kesan di
hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti
Ang-siauw-hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai
bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu
Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya
kemerahan seperti buah apel masak.
Minggir
! Minggir!Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari
kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik
kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya
menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih
kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.
Dua
ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum
minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis termuda, melambat dan gadis
ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar senyum ! Setelah melirik penuh
arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi.
Kwee
Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis
ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya
hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu !
Moi-moi,
mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal
dan tidak ada permusuhan dengan kita?
Lu
Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng,
lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya. Menjemukan ! Koko, apakah kau
selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?
Merah
kedua pipi Kwee Seng. Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada
orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi
mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?
Tidak
salah apa-apa ? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?
Kwee
Seng tertawa geli mendengar ini. Tukang copet ? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh
tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet ? Dan lagi, aku Si Miskin ini
apanya yang patut di copet? Lu Sian tersenyum juga. Apalagi kalau bukan hatimu
yang akan dicopet?
Kwee
Seng membelalakan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya
mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan
lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
Mari
kita lanjutkan perjalanan!Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian
tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.
Ah,
kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu ?
Dia manis sekali, Kwee-koko ! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan
!Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus
membalapkan kudanya.
Akan
tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya
sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu.
Pada hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan yang dingin, Kwee Seng
dan Lu Sian melanjutkan perjalanan. Di persimpangan jalan mereka melihat banyak
orang pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan,
sebaliknya mereka menuju ke utara ! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga
Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi
laki-laki yang sudah tua.
Kopek,
kalian semua hendak mengungsi ke manakah? Ke mana lagi kalau tidak ke benteng
Naga Emas ? Hanya di sanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goan-swe
(Jenderal Kam) berada di sana.
Mengapa
di lain tempat tidak aman Lopek ? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?Kwee
Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mendengar
pertanyaan ini kakek itu memandang heran. Kongcu datang dari manakah sehingga
tidak tahu keadaan disini ? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala
tentara gubernur merajalela menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa
wanita dengan alasan membasmi pemberontak ! Semua orang takut menentang
Gubernur Li, hanya Kam-goan swe seorang yang berani melindungi kami.
Kongcu
dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di
daerah ini, berbahaya.Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan
perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih
itu.
Kopek,
masih jauhkah benteng itu dari sini?tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil
mengajukan kudanya. Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya
berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya,
membentak,
Ah,
Kakek ! Apakah kau tuli dan bisu?
Kakek
itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel. Tidak ada wanita baik di jaman edan
ini!
Tentu
saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian
akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju ke depan Lu Sian dan
berkata kepada kakek itu.
Kopek,
sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab ? harap jangan
salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia.
Lenyap
kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Adapun kakek
itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.
Harap
nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat pula tiga orang gadis seperti
nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang kami mereka
pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda
mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh
lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini.
Setelah
rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk
melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata,
Kwee-koko,
kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam.
Ah,
mengapa begitu ? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa
yang harus berhenti disini?
Keadaan
benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi ke
sana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki ke
sana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi.
Ah,
Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan kita ? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang
menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai
cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi.
Akan
tetapi lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso
dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari
kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.
Sudahlah,
koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman
roti kering kita.Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak
lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada
telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti
kelinci dan membakar dagingnya. Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian
merebahkan diri di atas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit
kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan,
napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat
kelihatan panjang membentuk bayangan pada pipi.
Berjam-jam
Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring di depannya.
Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam
itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan
kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang
panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun
yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi
Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu.
Lu
Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya menyibakkan
rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak terlentang,
terdengar bisikannya, Kwee-koko
Berdebar
keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan menyebut-nyebut namanya dalam
tidur ! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga menaruh hati kepadanya?
Ia
memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya memandang
wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar segar. Terpesona Kwee
Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini awut-awutan itu, mengingatkan ia
akan syair tentang keindahan rambut yang pernah di bacanya :
halus
licin laksana sutera hitam mulus melebihi tinta gemuk panjang berikal mayang
mengikat kalbu menimbulkan sayang harum semerbak laksana bunga melambai meraih
cinta asmara sinom berikal di tengkuk dan dahi pembangkit gairah dendam berahi
!
Setelah
kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala lalu pandang mata
itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung bulu mata panjang
melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung.
Kecil
mungil mancung dan patut halus laksana lilin diraut cuping tipis bergerak mesra
mengandung seribu rahasia
Makin
berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa hendak meledak.
Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya,
mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan,
teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa. Bukan gadis pelacur itu yang terbayang,
melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada saat itu mendorong semua gairah
birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan
kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggil, Kwee Seng lalu membungkuk ke arah
wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya.
Suara
ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang
menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat
menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia
melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam
keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke
jurang asmara !
Lewat
senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka
matanya. Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Ehkwee-koko, kau masih duduk di
situ sejak tadi ? Tidak mengaso?Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan
rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada
membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk
menyanggul rambut di belakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah.
Hemm, kalau saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam
keadaan begini, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan
tidak mendengar akan kata-kata Lu Sian.
Hih
! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca ? Apa sih yang kau
lihat?tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip
mengandung ejekan.
hohkau
bilang apa tadi, Moi-moi Kwee seng tergagap.
Kini
Lu Sian tertawa, Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah tidur.
Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini
Kudengar
suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai
atau air terjun di sana.
Bagus,
mari kita ke sana, Koko. Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan
Kwee Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri. Benar saja dugaan Kwee
Seng, di situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula
tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak
beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air. Hah, dingin dan segar,
Koko!teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke dalam air di
pinggir sungai. Koko, aku hendak mandi ! Kau jangan melihat ke sini sebelum aku
masuk ke dalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan
kusambit kau dengan batu!
Kwee
Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu. Siapa ingin
melihat?serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi sungai. Ia hanya
mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian mendengar gadis
itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan bayangan yang
amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan hendak mengusir
bayangan itu dari depan mata.
Sudah,
Kwee-koko. Kau sekarang boleh saja melihat ke sini, aku sudah aman tertutup
air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah segar bukan main.
Kwee
Seng membalikkan tubuhnya dan ia terpaku di tempat ia berdiri. Kedua kakinya
menggigil dan matanya berkunang-kunang. Aduh, Lu Sian apakah benar-benar
sengaja kau sengaja ingin menggodaku ? Demikian keluhnya dalam hati. Ketika ia
menengok, ia melihat pakaian gadis itu bertumpuk di pinggir sungai, di atas
sebuah batu besar, semua pakaian berikut sepatu dan pita rambut. Kemudian, apa
yang dilihatnya di tengah sungai itu benar-benar membuat ia berkunang dan
lemas. Memang gadis itu merendamkan tubuhnya di dalam air sehingga yang tampak
dari luar air hanya leher dan kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa
air itu amat jernih ! Ataukah memang sengaja ? Air itu demikian jernihnya
sehingga batu-batu di dasarnya tampak. Apalagi tubuh yang duduk di atasnya !
Pemandangan aneh tampak oleh Kwee Seng. Tubuh padat berisi sempurna
lekuk-lekungnya, bergoyang-goyang bayangannya oleh air. Cepat-cepat ia
menundukkan mukanya. Kuatkan hatimu ! Ah, kuatkan hatimu sebelum ! ka! u
kemasukan iblis ! Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri menundukkan
mukanya, mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.
Moi-moi
Ia berhenti karena suaranya kedengaran aneh. Hemm Kau mau bilang apa, Koko?
Kwee
Seng menarik napas panjang dan mulai tenanglah gelora isi dadanya. Sian-moi,
aku tidak mandi. Kau mandilah yang puas, biar kunanti kau disana. Aku khawatir
kalau-kalau kuda kita dicuri orang.Tanpa menanti jawaban Kwee Seng lalu
membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat semula di mana ia menjatuhkan diri
duduk termenung memikirkan Lu Sian. Gadis yang aneh ! Ia harus mengaku bahwa
hatinya sudah jatuh betul-betul. Ia memuja Lu Sian, memuja kecantikannya.
Padahal ia maklum sedalam-dalamnya bahwa watak gadis itu sama sekali tidak
cocok dengan wataknya, bahwa kalau ia mempunyai isteri seperti Lu Sian,
hidupnya akan banyak menderita. Aku harus dapat menahan diri, semua ini godaan
iblis, pikirnya. Aku sejak semula tidak menghendakinya sebagai isteri, hanya
karena sudah berjanji dengan Pat-jiu Sin-ong untuk menurunkan ilmu yang
mengalahkannya, maka sekarang mengadakan perjalanan bersama. Ah, mengapa ia
menjanjikan hal itu ? Ia kena diakali Pat-jiu Sin-ong yang! t! entu saja ingin
menguras ilmunya. Kalau sudah menurunkan ilmu, aku harus cepat-cepat menjauhkan
diri dari Lu Sian, pikirnya. Akan tetapi, teringat akan perbuatannya mencuri ciuman
tadi, kembali gelora di dadanya membuat Kwee Seng meramkan mata. Gila ! Kau
sudah gila ! Tiba-tiba Kwee Seng yang masih meram itu menampar kepalanya
sendiri !
Heee
! Apakah kau sudah gila ??Teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan meloncat
bangun sendiri !
Kiranya
Lu Sian sudah berdiri di depannya, biarpun cuaca sudah mulai gelap, masih
tampak gadis itu segar dan berseri-seri, makin cantik setelah mandi. Gadis itu
tertawa geli. Kwee-koko, kukira kau tadi menjadi gila, apa-apaan itu tadi kau
menampar kepalamu sendiri ?
Aku
Ah.. kau tidak melihat tadi ? Banyak nyamuk di hutan ini. Mengiang-ngiang di
atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk-nyamuk itu.
Baiknya
Lu Sian percaya alasan ini. Kwee-koko, sekarang aku hendak pergi. Kau menanti
di sini saja, ya?
Kemana,
Sian-moi? Ke benteng itu. Meyelidik! Ah, apakah perlunya ? Jangan mencari
perkara Sudahlah ! Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka, kau tidak
usah ikut. Aku tahu kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri. Biarlah kau
menanti di situ bersamaeh, nyamuk-nyamuk itu. Aku pergi, Koko!Setelah berkata
demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaianny meloncat dan lari cepat, sebentar
saja lenyap dari situ.
Kwee
seng mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan berbahagia hidup di samping
gadis itu sebagai isterinya. Akan tetapiah, mengapa hatinya seperti ini ?
Mengapa timbul kekuatirannya kalau-kalau Lu Sian menghadapi malapetaka ?
Biarlah kalau ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri. Mencari perkara.
Mencampuri urusan orang lain ! Kwee Seng mengeraskan hatinya dan mulai membuat
api unggun untuk mengusir nyamuk yang memang banyak terdapat di hutan itu. Akan
tetapi hatinya tetap merasa tidak enak. Terjadi perang di dalam hatinya antara
membiarkan atau pergi menyusul Lu Sian.
Dengan
pengerahan gin-kang dan ilmu lari secepatnya, sebentar saja Lu Sian telah tiba
di luar tembok benteng. Tembok benteng itu cukup tinggi, pintu gerbangnya
berada di tengah, terjaga kuat oleh belasan orang prajurit. Pintu belakang juga
terjaga, malah tertutup rapat, sedangkan di atas tembok itu, pada setiap
ujungnya terdapat bangunan kecil di mana tampak pula penjaga yang bersenjata
lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga-penjaga meronda di sekeliling tembok.
Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali. Untuk melompat tembok, terlampau
tinggi dan andaikata dapat juga, pasti akan tampak oleh para penjaga diempat
penjuru.
Akan
tetapi, Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak akal, berani dan lihai. Ia
memilih bagian yang agak sepi, menanti sampai peronda lewat, kemudian cepat
sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok ! Pedangnya bukanlah pedang
biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Go-bi, terbuat daripada
logam baja biru dan oleh ayahnya diberi nama Toa-hong-kiam (Pedang Angin
Badai), karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang itu kepada puterinya ketika
menurunkan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut. Pedang baja biru ini dapat
dipergunakan untuk memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang terbuat daripada
bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi Toa-hong-kiam. Belum lima menit, Lu
Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki tubuhnya. Di lain saat
tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor kucing ia sudah
berloncatan cepat menghilang di antara kegelapan malam, mendekam di tempat
gelap sambil memperhatikan keadaan di dalam benteng.
Benteng
itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala tentara. Di
dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih para perajurit, juga
terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya menjadi tempat bermalam
para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai sebagai dapur, lalu
kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan. Di tengah sendiri terdapat
empat buah bangunan besar yang bentuknya kembar. Tak salah lagi, di sinilah
tempat para perwiranya. Maka tanpa ragu-ragu Lu Sian lalu berindap-indap
menghampiri empat bangunan ini karena memang kedatangannya ini terdorong oleh
rasa hatinya ingin mengintai dan menyelidiki keadaan Jenderal Muda Kam Si Ek !
Di sudut lubuk hatinya memang ia tak pernah melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah
perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya di atas panggung adu ilmu.
Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu kepandaian. Namun sikapnya
yang gagah dan keras, wajahnya yang membay! an! gkan kejantanan, telah
menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam perjalanan ini ia mendengar
disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit hasrat hatinya untuk menemuinya
dan mempelajari keadaannya, kalau perlu mencoba kepandaiannya !
Melihat
bendera tanda pangkat jenderal di depan sebuah di antara empat gedung, hati Lu
Sian berdebar. Ia menyelinap ke belakang gedung ini, kemudian menggerakkan
tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah belakang, dan dengan hati-hati
ia merayap di atas genteng menuju ke bagian tengah. Ketika ia melihat sinar api
penerangan yang besar dan mendengar suara orang, ia membuka genteng dan
mengintai ke bawah. Betapa girang hatinya ketika ia melihat orang yang
dicari-carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri, berada di dalam sebuah ruangan besar
di bawahnya ! Biarpun seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa,
mungkin karena tidak sedang dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung
ke atas, diikat sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah dan
penuh tenaga. Ia duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan
Yang
membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga orang
gadis cantik yang pernah di lihatnya. Kini tiga orang gadis itu mengenakan
pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna pakaiannya tetap sama, yaitu yang
pertama serba merah, yang kedua serba kuning dan yang ketiga serba hijau.
Rambut mereka digelung rapi dan dihias emas permata mahal. Muka mereka dilapisi
bedak, bibir dan pipi ditambah warna merah dan bau minyak wangi mereka sampai
tercium oleh Lu Sian yang mendekam di atas genteng !
Pada
saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata. Tidak bisa !
Siauwte (aku) bukanlah seorang penghianat ! Sejak dahulu, nenek moyangku adalah
orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela mengorbankan nyawa
untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di dalam kentaraan
tanpa pamrih untuk pribadinya, melainkan semata untuk berbakti kepada negara
dan bangsa ! Kedatangan Sam-wi Lihiap (Pendekar Wanita Bertiga) saya terima
dengan penuh kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte sekongkol
dengan Cu Bun, terpaksa saya menolak keras!
Dengan
suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka bertiga,
berkata halus, Kami bertiga Enci Adik sudah cukup mengenal kegagahan dan
kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goan-swe (Jenderal) untuk
bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak ? Akan tetapi, bukankah bekas
Gubernur Cu Bun kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang sudah berdiri
belasan tahun lamanya ? kini terjadi perebutan kekuasaan, dan raja tidak dapat
membiarkan mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan
kerajaan baru, yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena
itu, kami mengajak kepada Goan-swe untuk berjuang bersama, menghalau para
pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak menggunakan
kesempatan ini untuk mengganas.
Maaf,
siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa Gubernur Cu Bun berhasil
menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan tetapi, berhasil atau
tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada dukungan rakyat. Dan untuk
mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus diberi kehidupan yang
tentram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup yang layak. Akan tetapi apakah
buktinya ? Rakyat menjadi korban selalu. Dimana-mana timbul kejahatan,
perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman, masih ditekan pajak, diperas
oleh lintah-lintah darat yang berupa raja-raja kecil di dusun-dusun, masih
diganggu oleh para tentara kerajaan yang buas melebihi perampok. Buktinya ?
Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung mencari
tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus
orang lebih pengungsi. Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang
tidak didukung rakyat ? Dan selama pemerintahan ti! da! k mendapat dukungan
rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah pemerintahan itu.Muka
jenderal muda itu menjadi merah, bicaranya penuh semangat dan wajahnya yang
tampan gagah itu mengeluarkan wibawa seperti seekor harimau yang menakutkan.
Kam-goanswe
yang perkasa,kata Nona kedua yang berpakaian kuning. Bolehkah saya bertanya,
Goanswe ini sebetulnya mengabdi kepada siapakah ? Dahulu keluarga Goanswe
mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir. Setelah kaisar jatuh, Goanswe
mengabdi kepada siapa ? Kalau Goanswe tidak mengakui kekuasaan Raja Liang,
apakah Goanswe mengabdi kepada gubernur Li?
Kam
Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu seakan-akan
makin besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata. Aku hanya mengabdi kepada tanah
air dan bangsa ! Siapa saja yang mengganggu rakyatku, akan kulawan ! Bangsa apa
saja yang berani memasuki tanah airku akan kuhancurkan ! Aku tidak mengabdi
kepada Raja Liang, dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman
seperjuanganku dahulu, dia tetap teman baik asal saja dia tidak menyeleweng
daripada jalan benar.
Nona
paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua orang encinya,
lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan arak dan menjura
kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus merdu penuh rayuan.
Maaf,
maafKam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan-akan lupa bahwa saat
ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang berat-berat. Kasihan
sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya masakan menjadi dingin.
Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum sambil membicarakan hal-hal yang
menyenangkan. Sudilah kau menerima secawan arak dariku sebagai cawan minta
maaf!Ia melangkah maju, Tergopoh-gopoh Kam Si Ek balas menjura dan ia pun
tersenyum.
Hihiap
benar, maaf. Aku sampai lupa diri.Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak
habislah isinya. Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi. Untuk
kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai tanda
persahabatanDengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam
kesempatan ini jari-jarinya yang halus menyentuh tangan Kam Si Ek. Pemuda itu
kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok dan hitam itu
bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu bagaimana harus menghadapi wanita yang
tiba-tiba berubah sikap ini.
Cukup
cukup katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama tangannya
terpegang jari-jari halus mungil.
Ah,
Kam-goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?Si Baju Hijau berkata manja
dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya sengaja
menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja pemuda ini meloncat pergi, akan
tetapi sebagai tuan rumah ia masih mempertahankan diri, hanya mengisar kaki
menjauhi lalu berkata, Baiklah, kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!Ia
minum lagi arak dari cawannya.
Akan
tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda cantik
berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang, melainkan menyeret
sebuah bangku dan duduk di sampingnya ! Ini dilakukan sambil tersenyum-senyum,
matanya mengerling tajam penuh arti.
Daripada
berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya sama sekali,
bukankah lebih baik kita berteman ? Kam-goanswe, kami sudah lama mendengar nama
besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam Si Ek yang gagah perkasa dan
menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi Shan-si ! Kami bertiga enci adik
tidak mempunyai niat buruk terhadap jenderal, melainkan hendak membantu
usahamu, hendak menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam-goanswe! Sambil
berkata demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya
sampai mepet dengan bangku Kam Si Ek.
Si
Baju Merah dan kuning segera tertawa-tawa dan mengitari meja, menarik bangku
dan mengisi cawan arak. Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe, kami
menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani! kata yang tertua sambil
menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang pundak pemuda tampan itu.
Percayalah,
kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di daerah ini.Kata si
baju kuning yang memeluk leher Kam Si Ek dari belakang !
Dirayu
dan dikeroyok tiga orang gadis-gadis cantik yang berbau harum ini, sejenak Kam
Si Ek tertegun saking kaget dan herannya. Kemudian ia serentak bangkit dari
bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah sekali dan ia berkata,
suaranya keren.
sam-wi
ini apa maksudnya bersikap seperti ini? Maksud kami sudah jelas, masa Goanswe
tidak tahu ? Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu berjumpa kami jatuh
cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami ini ?kata Si Baju Merah
tanpa malu-malu lagi.
Kam-goanswe,
ribuan orang pemuda tergila-gila kepada kami dan semua kami tolak, sekarang
melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah ini jodoh yang baik
sekali ?kata Si Baju Kuning.
Dengan
kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya merampas kedudukan
raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan kekuasaan ini ? Goanswe
mempunyai tentara yang cukup banyak dan kuat.Kata Si Baju Hijau.
Gila!Kam-goanswe
berseru marah. Pergilah kalian ! Pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergi !Kam
Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini agaknya belum menyamai
kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas genteng. Gadis ini marah sekali
kepada tiga orang perempuan yang dianggap tak tahu malu itu. Juga disamping
kemarahannya ia pun kagum kepada Kam Si Ek ! Sungguh jantan ! Sungguh gagah dan
keras hati, tidak tunduk oleh gadis-gadis cantik yang tergila-gila kepadanya.
Dinggg!!Tampak
kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga orang gadis jelita
itu.
Pilihan
kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau serahkan kepalamu
untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan Liang!
Bagus!Kam
Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut goloknya yang berkilauan saking
tajamnya. Telunjuk tangan kirinya menuding dan ia berkata bengis, Kalian tiga
orang wanita muda tak tahu malu. Kalian datang mengaku sebagai
See-liong-sam-ci-moi (Tiga Enci Adik Naga Barat), berlagak pendekar wanita yang
bermaksud membantu karena melihat kesengsaraan rakyat dalam jaman perang
perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian dengan baik dan hormat. Kiranya kalian
mengandung maksud hati yang kotor dan hina. Kalau aku memberi tanda, alangkah
mudahnya anak buahku yang ribuan orang banyaknya datang menangkap kalian untuk
dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi aku Kam Si Ek seorang laki-laki sejati,
tidak mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan sudah sepatutnya golokku
mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam jurang kenistaan!
"Manusia
sombong!" Si Baju Merah meloncat dan bagaikan kilat menyambar pedangnya
menusuk, berikut tubuhnya yang melayang ke depan, benar-benar seperti seekor
naga menyambar. Hebat serangan ini, akan tetapi Kam Si Ek yang sudah siap
dengan goloknya, menangkis keras.
"Tranggg!!"
Wanita baju merah itu terpental ke samping, akan tetapi dengan gerakan indah ia
membuat loncatan salto dua kali. Adapun kedua orang adiknya juga sudah
menerjang maju dengan loncatan-loncatan tinggi dan menyerang dengan pedang
selagi tubuh mereka masih di udara. Kam Si Ek terkejut sekali. Tiga orang
wanita ini benar-benar patut dijuluki Naga Barat, karena gerakan mereka
benar-benar lincah dan cepat laksana naga menyambar. Ia cepat mengelak sambil
memutar golok sehingga berhasil menangkis tusukan pedang dari kanan kiri. Akan
tetapi tiga orang enci adik itu sudah mendesaknya dengan serangan pedang
bertubi-tubi. Kam Si Ek cepat memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan
keluarga Kam.Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh tiga batang pedang
yang bekerja sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke
sana ke mari, sebentar saja terdesak hebat.
Namun,
sebagai seorang jantan Kam Si Ek berpegang kepada kata-katanya. Ia tidak mau
berteriak minta bantuan para penjaga yang berada di luar gedung itu dan tetap
mempertahankan diri dengan goloknya. Sewaktu pedang Si Baju Merah menusuk
tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang Si Baju Kuning sudah membabat
penggangnya. Cepat ia bergerak dengan jurus Burung Walet Membalikkan Tubuh,
membuat gerakan memutar untuk mengelak sambil memutar goloknya melindungi tubuh
belakang. Ia berhasil mengelak dan sekaligus menangkis babatan pedang Si Baju
Hijau tepat pada waktunya. Akan tetapi kembali pedang Si Baju Merah sudah
menerjang datang, disusul dua buah pedang yang lain ! Karena ketiga orang gadis
lihai itu kini menghujankan serangan di tiga bagian, yaitu bawah tengah dan
atas, maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok emasnya yang diputar
merupakan benteng melindungi tubuhnya, ia hanya dapat melindungi bagian atas
dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan pedang d! i ! bagian bawah, ia
harus meloncat-loncat yang membuat gerakan pemutaran goloknya terganggu.
Setelah lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai berputar-putar dan terdesak ke
sana ke mari, semua jalan keluar telah dihadang oleh tiga orang gadis yang
tertawa-tawa mengejek.
"Jenderal
sombong, daripada mati di ujung pedang, bukankah lebih baik kau memeluk tiga
orang gadis jelita ? Ah, alangkah goblok engkau ! Mana bisa engkau melawan
See-liong-sam-ci-moi ? Kami benar-benar mencintaimu, Kam-goanswe !"
"Lebih
baik aku mati !" teriak Kam Si Ek ganas dan melihat kesempatan selagi Si
Baju Merah bicara, golok emasnya menyambar dengan pembalasan serangan dahsyat.
Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan kembali ia terkepung tiga
gulungan sinar berkilau yang mematikan semua jalan ke luar itu.
Liu
Lu Sian yang menonton dari atas genteng, segera mengetahui bahwa biarpun Kam Si
Ek memiliki tenaga yang cukup kuat, namun di bidang ilmu silat agaknya belum
dapat diandalkan benar, jauh di bawah tingkat tiga orang gadis itu.
Kemarahannya memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek juga memuncak. Ia
segera mengambil jarum-jarum rahasianya dan tiga kali tangannya bergerak
disertai pengerahan sin-kang yang sepenuhnya. Senjata rahasia jarum ini adalah
ajaran ayahnya, penggunaannya amat sukar karena jarum-jarum itu kecil dan
ringan sekali, harus disambitkan dengan sin-kang tertentu baru dapat
meluncurcepat melebihi anak panah. Dan sekali jarum-jarum ini meluncur, sama
sekali tidak mendatangkan suara, kalaupun ada, suara itu halus sekali sukar
ditangkap telinga.
Hebat
sekali kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan tiga orang gadis iti
seperti disambar petir. Si Baju Merah melepaskan pedangnya dan berputar-putar
seperti mabok, disusul Si Baju Kuning yang melemparkan pedang dan mencekik
lehernya sendir, kemudian Si Baju Hijau terjungkal dan melingkar-lingkar di
atas lantai. Tiga orang gadis itu berkelojotan di atas lantai dan beberapa menit
kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah kemasukan jarum tepat di
ubun-ubunnya, Si Baju Kuning terkena lehernya dan Si Baju Hijau terserang
dadanya. Jarum-jarum itu mengandung racun kelabang yang gigitannya menewaskan
seketika, maka bukan main hebatnya.
Kam
Si Ek berdiri dengan golok melintang di depan dada, matanya terbelalak lebar.
Pada saat itu berkelebat bayangan memasuki pintu dan muncullah seorang wanita
berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang, usianya sebaya dengan Kam
Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan kirinya menjambak rambut
dua orang laki-laki berpakaian tentara lalu ia mendorong dua orang itu sehingga
terguling di atas lantai, terus berlutut di situ dengan tubuhmenggigil.
"Eh,
Sute siapa mereka ini ... ah, bukankah ini See-liong-sam-ci-moi yang menjadi
tamu kita ? Dan ... ah, mereka sudah tewas dan ... kau memegang golok ! Apa
yang terjadi, Sute ?"
Kam
Si Ek menggunakan tangan kirinya menggosok mata lalu menyusut peluh di dahinya,
menggeleng-geleng kepala. "Bukan aku yang membunuh mereka, Suci. Tapi
mereka patut tewas, mereka mempunyai niat busuk terhadap aku. Akan tetapi
....agaknya ada orang pandai membantu dan membunuh mereka.."
Wanita
itu membanting-banting kakinya. "Celaka ! Mereka adalah tamu-tamu kita, mana
patut tewas di sini ? Kalau ada orang yang membunuh mereka secara bersembunyi,
belum tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya!" Wanita baju putih itu meloncat keluar lagi. "Nanti
dulu, Suci. Dua orang ini ... ada apakah ?"
"Hemm,
sialan benar. Dia dan lima orang lain melakukan pemerasan kepada beberapa orang
pengungsi, malah mengganggu wanita. Yang lima kulukai, yang dua ini
pemimpinnya, kubawa ke sini untuk kau adili."
"Jahanam
!" Kam Si Ek menggerakkan kakinya menendang dan dua orang yang sial itu
terlempar, kepala mereka membentur tembok,pecah dan tewas seketika. Beginilah
watak Kam Si Ek yang benci akan penyelewengan-penyelewengan. Akan tetapi kakak
seperguruannya, wanita baju putih itu sudah meloncat pergi ke luar untuk
mencari pembunuh See-liong-sam-ci-moi. Kam Si Ek juda cepat lari ke luar
setelah menyambar gendewa dan anak panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia
kurang pandai, akan tetapi ilmu panahnya terkenal di seluruh Shansi, di samping
ilmunya mengatur siasat perang dan ilmu menunggang kuda.
Ketika
Kam Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para penjaga sudah ribut-ribut
memandang ke atas. Ketika ia berdongak, ia melihat bahwa sucinya telah
bertanding pedang dengan hebatnya melawan seorang gadis yang gerakannya lincah
sekali. Bulan malam itu menerangi jagat, akan tetapi dari bawah ia tidak dapat
melihat siapa adanya gadis yang bertanding melawan enci seperguruannya itu.
"Goblok
!" terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu, melengking
menembus kesunyian malam. "Beginikah kalian membalas pertolongan orang
?"
"Kau
harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh orang di tempat kami,"
jawab sucinya dengan suaranya yang tegas.
Pada
saat itu, entah mengapa , tiba-tiba sucinya kehilangan keseimbangan tubuhnya,
terhuyung di atas genteng dan sesosok bayangan yang bergerak seperti terbang
telah menyambar tubuh wanita itu.
Lu
Sian kaget melihat lawannya wanita baju putih itu tiba-tiba menghentikan
penyarangannya dan terhuyung, kemudian ia lebih kaget lagi ketika tubuhnya
tibq-tibq menjadi lemas dan tahu-tahu ia telah disambar orang dan dipanggul
pergi ! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee Seng, ia
meronta-ronta, namun tidak berhasil melepaskan diri. Ingin ia menusukkan pedangnya
pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi membuat tubuhnya terlalu lemas.
Kam
Si Ek sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita yang ternyata telah
menolongnya kalau tidak segera tertolong, rasanya ia takkan mampu menangkan
See-liong-sam-ci-moi. Tadinya ia sudah hendak meloncat naik mencegah sucinya
menyerang wanita itu, sekarang melihat seorang laki-laki muda berpakaian
pelajar memondong wanita itu, ia menyangka bahwa tentulah pemuda itu, seorang
jahat. Cepat ia memberi aba-aba untuk menyerang pemuda itu dengan anak panah,
sedangkan ia sendiri pun lalu mementang gendawanya.
Akan
tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang tampan itu
tersinar bukan dan hatinya Kam Si Ek tercengang. Pemuda itu tampan bukan main
dan senyumnya manis sekali ! Tentu sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang
hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan rendah !
"Lihat
panah !" bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang anak panah
menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng !
"Bagus
!" Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji, karena
kepandaian melepas panah itu benar-benar hebat. Lima anak panah itu menuju ke
lima bagian jalan darah di punggung dan kakinya, dan dengan kecepatan yang luar
biasa !
Cepat
tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lwee-kangnya untuk
mengebut dan meruntuhkan anak-anak panah itu. Akan tetapi kini para perajurit
panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan Kam Si Ek dengan
kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak panahnya. Terpaksa Kwee Seng
kembali mengebut sambil mengerahkan sin-kang-nya, kemudian sekali berkelebat
tubuhnya sudah meloncat jauh, kemudian berlari cepat setelah tubuhnya melayang
turun dan sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok
benteng. Hujan anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh
para perajurit itu tentu saja tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali
kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah menyeleweng
arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar tembok dan lenyap !
"Suci
... ! Dimana kau ... ?" Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat
kakak seperguruannya itu. Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak
mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk melakukan
penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah
mayat yang menggeletak di lantai ruangan gedung. Malam itu juga ia mengadili
lima orang lain yang dilukai encinya dan menggunakan kesempatan ini untuk
mengancam para tentara dengan hukuman berat apabila ada yang berani melakukan
penyelewengan. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia
maklum bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena sesungguhnya,
ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka. Banyak diantara mereka
yang diam-diam ingin rupanya dia mengabdi kepada Raja Liang atau kepada
Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja muda di
Shan-si.
"Tidak,"
bantah suara hatinya, "sebelum muncul pemimpin yang betul-betul akan
membuat rakyat Shan-si khususnya hidup aman tentran dan makmur, aku tidak akan
mengabdi kepada siapapun juga !"
Sementara
itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya di gerak-gerakkan danakhirnya
Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat mereka tadi beristirahat sambil
membebaskan totokannya. Dengan pedang di depan dada Lu Sian meloncat maju dan
membentak.
"Kwee
Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau mengganggu urusanku ? Apakah kau
hendak pamer kepandaianmu ?"
"Eh,
Sian-moi ..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di tempat
orang, aku ... aku hanya bermaksud menolongmu ... "
"Siapa
butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng, agaknya di samping kelemahan hatimu,
kau juga memiliki kesombongan memandang rendah orang lain. Apa yang kulakukan,
kau peduli apakah ?"
"Sian-moi,
mengapa kau berkata demikian ? Bagaimana aku dapat tidak mempedulikan apa yang
kau lakukan ? Sian-moi ... kau sudah tahu akan perasaan hatiku, tak perlu
kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah, sekarang terlepaslah sudah ganjalan
hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak dapat membiarkanmu terancam bahaya
atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati,
seorang gagah perkasa, tak boleh diganggu..."
"Cukup
! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk mengurusi
persoalanku. Aku bukan apa-apamu, tahu ? Kau boleh mencintaku sampai mampus,
akan tetapi aku tidak mencintaimu ! Dengar baik-baik, Kwee Seng, aku tidak
cinta kepadamu ! Kau memang tampan, kau memang gagah perkasa, memiliki
kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah ! Kau bukan laki-laki
sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kaukira aku cinta kepadamu ? Ihh ! Aku suka
ikut bersamamu karena mengharapkan kepandaianmu yang kaujanjikan kepadaku di
depan ayah. Nah kau dengar sekarang ? Setelah kauketahui pendirianku, apakah
kau kini hendak menarik janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut ?"
Bukan
main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan-akan ribuan batang jarum
berbisa menusuk-nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah,
tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan dua butir air mata
membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi mengeraskan perasaan, menguatkan
hatinya, mengepal tangan dan berkata sambil menengadahkan muka ke langit.
"Bagus
sekali ! Memang kau patut menjadi puteri Pat-jiu- Sin-ong ! Aku yang bodoh.
Ha-ha-ha, aku yang tolol. Orang macamku mana berharga menjatuhkan hati padamu ?
Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku ! Kapan saja kau minta, akan
kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan kau di panggung Beng-kauw ketika
itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau tidak mencintaiku sama sekali.
Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang rakus ini, oleh pikiran yang
pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan, ha-ha-ha!"
Senang
bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri Beng-kauwcu
ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau memang memiliki watak
aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai tokoh aneh di dunia kang-ouw,
gadis ini suka sekali melihat laki-laki, sebanyak-banyaknya, jatuh hati
kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan kejelitaannya agar mereka makin dalam
terperosok, kemudian akan ia kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka dan
melihat mereka menderita, ia akan mentertawakannya !
"Untung
engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku
menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah malam, di sini juga. Aku
akan menjumpaimu di sini dan ... "
"Tidak,
Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan akan melihat
kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya sukar didatangi, terjal dan liar.
Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau menurunkan ilmuku kepadamu di
puncak bukit itu. Besok malam tengah malam tepat, aku menantimu di sana !"
Lu
Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah bayangan
sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang bentuknya aneh,
puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga atau kepala mahluk aneh.
"Baik,
besok malam aku akan berada di pumcak itu!" Setelah berkata demikian, Lu
Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu pergi meninggalkan Kwee
Seng.
Pemuda
itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda yang yang makin
lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya, serasa perih hatinya, serasa
jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang melayang mengikuti suara derap
kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis yang selama ini memenuhi hatinya.
Tiba-tiba ia tertawa dan menampar kepalanya sendiri. "Ha-ha-ha, tolol !
Gila perempuan!!" Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum dari
guci araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok
memasuki kerongkongannya.
Tiba-tiba
ia berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan pohon kembang kecil
yang belim kebagian sinar matahari pagi, masih gelap. Biarpun perasaannya
terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda ini masih amat tajam,
perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar ferakan orang disitu,
maka tegurnya, "Siapakah mengintai disitu?"
Sesosok
bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis
berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa
malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil berkata.
"Harap
Taihiap sudi memaafkan. Sesungghnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan
tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan
diri."
Kwee
Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini.
Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia
kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah agaknya Si Bayangan
Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng benteng tadi.
"Hemm,
kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri,
tentu Nona sudah mengetahui segalanya!" kata Kwee Seng dengan hati mengkal
karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang merendahkan dirinya.
"Sekali
lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang
tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik
seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang
amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga, dan andaikata
dia datang memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya
dengan segala kehormatan. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa
bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh
karena itu, saya peresilakan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk
mempererat persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang
dangkal."
Diam-diam
Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona
ini benar-benar jauh bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini
membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan hati-hati, seperti
sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum
menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona
ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima
kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku
mengenal nama nona yang terhormat?"
"Saya
yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam-sute (Adik Seperguruan
Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi saya yang
bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat keluarga Kam."
Kembali
jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai
watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali
lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi,
sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi
pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang mendatangkan
kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan
terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Kui
Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia menjawab
dengan sikap sederhana merendah, "Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah
membukla mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami persilakan
Kwee-taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan kami."
"Tidak
bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga." Setelah
berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu
melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah kosong.
Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian,
sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.
Setelah
pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu. Berkali-kali ia
menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia
melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu. Tanpa ia sadar, ia
menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya
seakan-akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili
diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya menggetar-getar itu. Kalau Lu
Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini
sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan
merobohkan dia !
Memang
aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk di hati
orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa
jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya tidak tahu akan hal
ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian tidak mau
membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si Ek !
Ketika
Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan
beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk matanya. Teringat akan
keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar itu. Jatuh cinta kepada
puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu,
gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak
pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda yang menjadi korban di Beng-kauw.
Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia
teingat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si
Ek. Sutenya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis
tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang di
antara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, di antaranya tiga orang
enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu !
Teringat
pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di
puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri. Bukit itu terkenal dengan nama
Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan sebuah di antara
gunung-gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar
didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak setannya. Kam Si Ek sendiri
melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang keadaannya amat berbahaya
dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu kelihatan
aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan di sana mengalir pula
sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian
menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama
Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari
membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah !
Kemudian
Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci
arak. Semangatnya seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng Si
Pendekar Muda yang sakti dan tampan !
Kwee
Seng yang merana hatinya oleh ppengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas
cintakasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek.
Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu membelokkan kudanya
ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki
gunung, sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan di situ terdapat sebuah rumah
penginapan sederhana yang membuka pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah
penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan
ia tidak benyak menunggu.
Kwee
Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum
mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan
kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel memberinya nama Sastrawan
Pemabok ! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan
penyair terkenal Li Tai Po.
Pada
senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan,
memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan
menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat arak terbuat
daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa
barat yang berwarna indah sekali sambil sekali-kali meneguk arak dari tempat
itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil mengangkat muka dan
menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak
itu,
Kunikmati
arak hingga tak sadar akan datangnya senja rontokan daun bunga memenuhi lipatan
bajuku mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan ohhh, burung terbang
pergi, sunyi dan rawan
Kwee
Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi
kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang namun
sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki orang.
Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke
sebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"Heh-heh-heh,
matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..." Ia berkata-kata seorang
diri akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang.
Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan ?
Ketika
melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak
berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut
matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah
gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek
! Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan
manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi
tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu
sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak
melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada
orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak
sewajarnya ! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda
yang memandang penuh curiga kepadanya.
Kwee
Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan
dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan
tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya,
berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang
alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan.
Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada
biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah
orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan
tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam
yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini,
dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah
seekor domba yang dituntun ke penjagalan.
Seekor
domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini seakan-akan berdengung di
telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu
sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau
minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan
araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi
masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui
Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih
domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa
sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir ? Seperti seorang
yang melek akan tetapi tidak sadar ?
Makin
gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng
menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia
meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama
sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang
mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya
sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang
naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan
guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan
dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak.
Akan
tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia
terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan
hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan dalam
keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata,
terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat
dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu ! Akan tetapi
air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti
itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak
berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih
membujuk-bujuk.
"Nona
yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra pemuda
itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air mata. "Aku tertarik oleh
kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal
kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan
diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke
Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu
adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah
kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku
menggunakan kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan,
panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi kekasihku..." Pemuda
itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.
Tiba-tiba
pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium
karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya jelilatan ke sana ke mari,
cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak. Ia meraba
tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia mendekatkan tangannya ke depan
hidung, ia berseru kaget.
"Keparat,
siapa berani main-main dengan aku?" "Penjahat cabul jahanam! Di
tempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang beremu dengan aku
tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!" terdengar suara Kwee Seng
dari atas genteng.
Bayisan
bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela
kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik ke atas genteng. Akan
tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi itu! Bayisan
celingukan, napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang
sudah berada di tangan kanannya.
"Heeeei!
Jahanam cabul, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang
berani!" Tahu-tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat itu,
melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang Khitan ini
makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan
terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar dusun. Di luar
dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.
Mereka
berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia sedang meneguk
araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya jalang, pedang di
tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia makin
marah.
"Eh,
kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang
dan mencampuri urusan pribadi orang lain?" Bayisan membentak menahan kemarahannya
karena ia maklum bahwa yang berdiri di depannya bukan orang sembarangan
sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu.
Bayisan terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat
cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang
tangguh dan pandai. Kwee Seng tertawa. "Aku orang biasa saja, tidak
seperti engkau ini, Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar
tadi namamu Bauw I San? Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku
mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama
Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat cabul) aku belum
pernah!"
"Hemm,
manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan, kau mendengarnya
atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai
kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah kau tidak bisa
mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang
sudah menjadi tawananku!"
"Heh-heh-heh,
Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu
wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul, aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku
Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!" kalaimat
terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng
selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!" Kalimat
terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng
meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
Di
lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu?
Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak
mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan
menuyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan ke atas akan tetapi
dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala, kemudian disusul
gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan
saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada!
Akan
tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke belakang
sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama
sekali!
"Aih...
aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung
belang, muridnya mata keranjang!"
Akan
tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan permainan pedangnya
benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia,
agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling
tinggi, di samping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai di
daerah utara dan barat. Pedang di tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar
bergulung-gulung dan angin yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan
mengerikan.
Diam-diam
kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan
ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah saying kepandaian begini baik jatuh
pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang dengan kepandaian seperti
ini tentu akan dapt menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang memang
terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa yang kuat dan pengelana yang ulet.
Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee
Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas di tangan kir, barulah ia menghalau
semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya,
Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul
jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-o-eng. Akan tetapi gurunya tidak
bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka sungguh kagetlah ia ketika melihat
betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya,
malah kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup
sama sekali! Celaka, pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu,
hal yang amat meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan
melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui
Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan
lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia
terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada
totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke
benteng,sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderi! ta! rugi dua kali,
pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua, rencananya
menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.
Berpikir
demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan
tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan telinga, kemudian pedangnya
bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah. Kwee Seng
terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan.
Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai,
tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa)
yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi
lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini
mengagumkan dan berbahaya.
Kwee
Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan rusak menghadapi
hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan
itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan tangan kirinya. Benda-benda
hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia
mengelak dan jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya. Jarum-jarum beracun
yang lebih jahat daripada jarum beracun milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan
bau tidak enak, ia meneguk araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil
berkata.
"Jembel
busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk ... " Hanya sampai di sini
kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas !
Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan dari mulutnya dan
menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya melompat seperti
kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang
lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu,
terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di
lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada
dadanya. Kini suara Kwee Seng keren berpengaruh.
"Bayisan
? Kau terhitung apa dengan Kalisani?" Bayisan orangnya cerdik sekali.
Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia
mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia
berkata, "Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau
berani menghinaku!"
Kwee
Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho-ho-ha-ha ! Kau hendak
menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku ? Aha, lucu ! Justeru karena
engkau saudara misannya, justeru karena memandang mukanya, aku mengampuni
jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia
rendah yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!" Kwee Seng
meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari
cepat ke dusun.
Ketika
ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas
pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah dapat
mulai bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok
jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis ini meloncat bangun, mukanya
membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua
tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api memandang ke sana ke mari,
mencari-cari. "Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu
nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah,
Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia sekarang terbaring
di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya
tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing datang banyak orang
dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama
Nona..."
Tiba-tiba
Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil
menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus.
"Ah, apa-apaan ini Nona ?Mari bangkit dan duduklah, kalau hendak bicara,
lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai
Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap
berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap,
kau telah menolong jiwaku..." "Ah, kau tidak terancam bahaya maut,
bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
"Kwee-taihiap
bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu
lebih hebat daripada maut..." Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus
air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat
melupakan budi Taihiap..." Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan
sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat
sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi.
"Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa kejahatan
selalu pasti akan hancur."
"Ah,
di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah
berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee
Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi
ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang
dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan
diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi hatinya lega ketika
ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak
tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar
luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya.
Ketika
dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat Kwee Seng,
hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan membaca
tulisan yang rapi dan bagus.
Para
pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal
lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.
Surat
itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang
menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan
berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari
jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi
dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan
perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.
Pada
keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san.
Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang
masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui.
Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini,
bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal
mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia
tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi
karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk
untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat
pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar
yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah
selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar, adapun di sebelah
utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan
betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh
sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik,
akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika
tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang.
Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu
bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak
batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka
ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan. Ia diam
saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak
mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat
mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia
mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan
daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang
aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah,
bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah
maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari t! ur! un lagi menyongsong Kui
Lan.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba
berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling
pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh...
ah... Kwee-taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang
mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa
menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena kau tahu bahwa
malam ini Taihiap tentu akan datang disini." Kata-kata ini diucapkan
tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau
menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
"Kau
aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu ? Akan tetapi
biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang
di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku bertanya, bagaimana kau
bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan ? Duduklah biar enak kita bicara."
Lai
Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan
Kwee Seng yang duduk di atas tanah.
"Kemarin,
setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu." Ia mulai bicara, suaranya
menggetar, "aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum
kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima undanganku, kami
sesungguhnya membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap. Aku
tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda." Ia
berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi
pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah
keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya,
yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan.
Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu kami bertempur dengan kesudahan
aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main,orang Khitan keparat itu.
Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu.
Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap.
Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke
benteng, berkenalan dengan Suteku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap
dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan
pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun
kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan nama yang
baik dan mana yang buruk."
Di
dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah
seorang yang amat cinta kepada negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan
rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah kalau menolak
terus.
"Baiklah,
Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di benteng Jenderal
Kam."
"Terima
kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan
menjura, berkali-kali.
"Ssttt,
ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di sini, aku
pesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali
memperlihatkan diri, apapun juga yang terjadi. Maukah kau memenuhi permintaanku
ini?"
Lai
Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk.
Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat
kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui Lan, mendaki puncak.
Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu
Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan yang tak terhalang
sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan. Sinar bulan membungkus
dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.
"Kiranya
kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini, siap menerima
ilmu seperti yang kau janjikan dahulu." Kata Liu Lu Sian, akan tetapi
suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena terdengar dingin, alangkah jauh
bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan
kemesraan. Ia tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga
mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau menggunakan sebutan moi-moi
(adinda), karena kuatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan Si Gadis
dan akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergila-gila
kepada Lu Sian.
"Lu
Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah
Ilmu Silat Pat-sian-kun biasa saja."
"Tak
perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan
kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"
Kwee
Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik-baik. Inilah
ilmu silat itu." Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia
mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hwat dengan tangan kosong, akan tetapi jelas
bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat
ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima
petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi
seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi
seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak
serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng
berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata.
"Nah,
inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian, Sudahkah kau
memperhatikan gerakannya ? Harap kau coba latih, mana yang kurang jelas akan
kuberi penjelasan."
"Ah,
kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu
saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai daripada Pat-mo Kiam-hoat
ciptaan Ayah ! Mana bisa kaukalahkan aku dengan ilmu itu ? Kwee Seng, aku tahu,
setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya dengan
menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
Gemas
hati Kwee Seng, dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam kepada orang
yang tidak menjadi pilihan hatinya. "Lu Sian, sipa membohongimu ? Ketika
aku menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan ilmu lain kecuali ini!"
"Aku
tidak percaya ! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah.
Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah ranting
pohon yang berada di tempat itu. "Kau mulailah dan lihat baik-baik, aku
hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!"
Lu
Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan jurus
berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kun (Ilmu Silat
Delapan Dewa).
Melihat
pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa,
Kwee Seng menggeser kakinya ke kiri lalu ranting di tangan kanannya melayang
dari samping menempel pedang dari atas dan menekan pedang lawan itu ke bawah
disertai tenaga sin-kang. Pedang Lu Sian tertekan dan tertempel seakan-akan
berakar pada ranting itu ! Betapapun Lu Sian berusaha melepaskan pedang,
sia-sia belaka.
"Nah,
tangkisan ini dari jurus keempat yaitu pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka
Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan serangan jurus ke delapanPat-sian-hian-hwa
(Delapan Dewa Serahkan Bunga), pedang menyambar sesuka hati, boleh memilih
sasaran, akan tetapi untuk contoh aku hanya menyerang bahu." Tiba-tiba
ranting yang tadinya menekan pedang itu lenyap tenaga tekannya dan selagi
pedang Lu Sian yang telepas dari tekanan ini meluncur ke atas, ranting cepat
melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian !
Lu
Sian meringis, tidak sakit, akan tetapi amat penasaran. "Coba hadapi
ini!" teriaknya dan pedangnya membuat lingkaran-lingkaran lebar, dari
dalam lingkaran itu ujung pedang menyambar-nyambar laksana burung garuda
mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu
ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat-sian-hut-si (Delapan Dewa
Kebut Kipas) untuk melindungi diri." Kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting
di tangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar bulat melindungi tubuh
atasnya dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke empat belas yang disebut
Delapan Dewa Menari Payung!" Tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah
lebar seperti payung dan tahu-tahu dari sebelah bawah, ranting telah meluncur
dan menyabet paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara "plak!" keras.
Kalu saja ranting itu merupakan pedang tentu putus paha gadis itu !
"Aduh
...!" Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan sakit.
"Kwee Seng, kau kurang ajar...!"
"Maaf,
bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak
! Kau akali aku ! Aku minta kau ajarkan ilmu-ilmi silatmu yang terkenal,
seperti Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Menaklukan Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam
(Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan Bian-sin-kun (Tangan Sakti
Kapas)!"
Kwee
seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu-ilmu silat rahasia
simpanannya itu ? Ia menjadi curiga. Kalau Pat-jiu Sin-ong mungkin tahu, akan
tetapi nona ini ? Suaranya keren berwibawa ketika ia menjawab.
"Liu
Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan
kau Pat-sian-kun, dan kau harus menerima apa yang hendak kuberikan
kepadamu."
"Kau
hendak melanggar janji??" "Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada
ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu pedangmu itu, dan
kurasa Pat-sian-kun yang dapat menjadi Pat-sian Kiam-hoat dapat mengalahkan
ilmu pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!"
"Hoa-ha-ha-ha
! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh
keterlaluan sekali!"
Kwee
Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu Sin-ong sudah berdiri disitu,
tinggi besar dan bertolak pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng memberi
hormat sambil berkata, "Ah, kiranya Beng-kauwcu telah berada disini!"
Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu
Sian mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh
orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya untuk menjajaki kepandaiannya
dan kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya. "Beng-kauwcu, apa maksudmu
dengan mengatakan bahwa aku menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
"Ha-ha-ha
! Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat menangkan Pat-mo Kiam-hoat ! Tentu
saja kau dapat menangkan Lu Sian karena memang tingkat kepandaianmu agak lebih
tinggi daripada tingkatnya." Dengan ucapan "agak lebih tinggi"
ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda
itu mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andaikata aku yang mainkan
Pat-mo Kiam-hoat, apakah kau juga masih berani bilang dapat mengalahkannya
dengan Pat-sian-kun?"
"Orang
tua yang baik, mana aku yang muda berani main-main denganmu? Kita sama-sama
tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan merupakan syarat mutlak untuk menangkan
pertandingan, melainkan tergantung daripada kemahiran seseorang. Betapa indah
dan sulitnya sebuah ilmu kalau si pemainnya kurang menguasai ilmu itu, dapat
kalah oleh seorang ahli mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu
dahulu kuhadapi dengan Pat-sian-kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji
hendak menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan
kepadanya Pat-sian-kun, apalagi yang harus diperbincangkan?"
"Orang
muda she Kwee ! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" Si Ketua
Beng-kauw membentak, suaranya mengguntur sehingga bergema di seluruh punucak,
membikin kaget burung-burung yang tadinya mengaso di pohon. Dari jauh terdengar
auman binatang-binatang buas yang merasa kaget pula mendengar suara aneh ini.
"Pa-jiu
Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu." Jawab Kwee Seng, tetap tenang.
"Dengan
setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang sekali kalau
kau menjadi suami anakku. Akan tetapi kau pura-pura menolak ketika berada di
sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan perjalanan dengan
puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang mempunyai mantu engkau.
Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepaa Lu Sian, sikapmu menjemukan seperti
seorang pemuda lemah. Ini masih kumaafkan karena memang kukehendaki kau
mencintainya dan menjadi suaminya. Akan tetapi Lu Sian meliha kelemahanmu dan
tidak mau membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau
yang katanya mencintainya mati-matian, ternyata hanya hendak menipunya, karena
kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu simpananmu ? Inilah
penghinaan ke dua!"
Panas
hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam
mengawasi gerak-geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan
kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku curang dan tak tahu
malu.
"Pat-jiu
Sin-ong ! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati ! kau menganggap aku
menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau
hendak menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu untuk memuaskan
nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku,
karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu,
maka sekarang aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!"
Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan
Pat-jiu Sing-ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti
main sulap saja, tahu-tahu di tangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau.
Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani
tokoh ini merantau sampai jauh ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya
darah manusia.
"Kalau
begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan begitu Pat-sian-kiam !"
teriaknya.
Terkejutlah
Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal
main-main, karena berarti merupakan pertempuran selama dua hari dua malam
melawan Ban-pi Lo-cia berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini saja
sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini, dan sekarang kakek ini
mengajak ia bertanding pedang ! Dia tidak mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan
suling sebagai pengganti pedang. Akan tetapi sulingnya tidak ada lagi ! Namun
Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat
sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini
tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak
akan kuat bertahan ! Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi
ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil berkata.
"Pat-jiu
Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad
hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha,
Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu
menghadapi Pat-mo-kun ! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali
campur tangan!" Lu Sian meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu
Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat
sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan
mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk pedang, berubah
menjadi sinar bergulung-gulung yang melebihi sinar bulan terangnya
"Kwee
Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak
pat-jiu-Sin-ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Eng.
Karena
Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka
tentu saja gerakannya ada persamaan dan Kwee Seng mengenal baik gaya serangan
ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan oleh pat-jiu Sin-ong
amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian. Jurus apa saja kalau diperagakan
oleh tangan kakek Ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan
berbahaya. Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi
dengan Pat-sian-kun, jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia
ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan
tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu
seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis
pedang.
"Krakkkk!"
Ranting itu patah menjadi dua. Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa
bergelak.
"Ha-ha-ha-ha,
kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng ! Apa kaukira dapat
mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti yang kaulakukan
kepada Lu Sian?"
"Kau
tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong." Jawab Kwee
Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam ia senang juga karena ternyata
Ketua Beng-kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadang-kadang kejam ganas, namun
masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali
pedangnya karena senjata lawan yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu
Sian, kaupinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya
bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu
Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan melontarkannya
ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu
bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah Kwee Seng.Ahli silat
biasa saja tentu akan "termakan" oleh pedang terbang ini. Akan tetapi
dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang
itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha,
sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain.
Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat-mo-kun!" kata Pat-jiu Sin-ong sambil
menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan
putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam
Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan
memandang rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor
jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperhatikan kelihaiannya, kakek yang sombong
ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar pedang
pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak di pakai. Tahu bahwa pedang
Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan
cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sin-kangnya. Dua
kali serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian
pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya
terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sin-kangnya, maka
dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah
tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya. Pat-jiu Sin-ong
diam-diam kaget juga,karena ia tiidak mengira bahwa serangan pertamanya itu se!
ak! an-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan
merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk
balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat mematikan!
Ketika
Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan
pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng
yang tertangkis itu terpental dan langsung membabat leher! Kaget sekali hati
Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini bainya mudah saja menghindari
diri daripada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan
perubahan jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua
gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun dimainkan seperti ini
sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali dan benar-benar ia melihat bahwa
kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan
terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus
Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan
langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu
Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan
menggetarkan bumi yang berada di bawah kaki, gemanya sampai panjang
susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat mengerahkan sin-kangnya
karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin
kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah
Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal
sekali dari Ketua Beng-kauw. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat,
tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya
mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa jantungnya
dan tewas seketika ! Ia dapat melindungi jantung dan perasaannya daripada
pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu
menggunakan kesempatan melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasa! rk! an
pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria
perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus
menggunakan ini, biar andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun !
Setelah
gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan pedangnya ke arah
pusar lawan dengan jurus Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan)
berkata, "Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus kaubantu dengan
Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan pat-sian-kun?"
Merah
wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar
sambil menjawab. "Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah
dan menjadi sombong!"
Akan
tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah terpental dan
membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke
arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan susulan serangannya secara
otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas. Karena jelas bahwa
Pat-mo-kun selalu "tertindih" oleh Pat-sian-kun, makin lama makin
panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak ! Ia
menggereng dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya
untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun. Pedangnya
bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang
merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat sekali
memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun
Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun
diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli
Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya yang selalu
mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar
dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar
pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan "menggulung"
lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong !
Dua
jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan
Pat-mo-kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biarpun Kwee
Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan pedangnya, namun dalam
pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena
delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus
mempertahankan diri dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya.
Makin
lama pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas
perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun.
Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia
sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali
kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan
tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu ! Watak ini pula agaknya yang menurun
kepada Lu Sian.
"Kwee
Seng ! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itupun belum cukup
menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku ! Apa artinya Pat-sian-kun
yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan
hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang semua ilmu silatku dan hanya
mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!" Setelah berkata demikian,
kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya
bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng ! Di samping gelombang gulungan
sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri
kakek itu ikut menerjang dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung
angin pukulan kuat sekali !
"Hei...hei...!
Orang tua, apakah kepalamu kebakaran ? Hati boleh panas kepala harus tetap
dingin!" Kwee Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk melindungi diri
sambil mengucapkan kata-kata memperingatan.
"Ha-ha-ha,
orang muda, kau mulai takut?"
Kata-kata
takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali Kwee Seng.
Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali. "Siapa takut?"
bentaknya dan pandangnya berkelebat-kelebat dalam usaha membalas serangan.
Namun,
Pak-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang serangan ilmu
pedang itu apalagi masih dibantu dengan sambaran angin pukulan tangan kiri yang
demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus mempertahankan dengan permainan
Pat-sian Kiam-hoat, dan biarpun ia mampu membendung gelombang serangan, namun
ia terdesak dan harus mundur-mundur ke arah jurang hitam !
"Ha-ha-ha,
Kim-mo-eng ! Begini sajakah kepandaianmu ? Apakah kau hanya mengandalkan
Pat-sian-kun untuk menjagoi dan mengangkat nama sebagai seorang pendekar sakti
? Ha-ha-ha, sungguh lucu!" Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak.
Kwee
Seng biarpun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia tetap masih
seorang pemuda yang kalau dibandingkan dengan pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah
pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek itu
memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat pilihan untuk mendesaknya dan
sengaja pula memanaskan hatinya agar ia suka menggunakan ilmu simpanannya.
Kakek yang haus akan ilmu silat itu menggunakan semua ini untuk memancing
keluar ilmu-ilmu simpanannya ! Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka
mendengar ejekan itu ia lalu berseru keras dan tiba-tiba angin yang
mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan kirinya yang sudah
mengeluarkan kipasnya ! Kini ia merasa dirinya lengkap ! Tangan kanan memegang
pedang mainkan Pat-sia Kiam-hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas mainkan
Ilmu Kipas Lo-hai-san-hoat ! Bukan main hebatnya.
Namun
pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga
ia dijuluki Kim-mo-eng, hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu
Sin-ong saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena ia tidak ingin terdesak terus
ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter di belakangnya, terpaksa Kwee
Seng merobah gerakan pedangnya dan kini pedangnya mulai main Ilmu pedang
Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan
ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari daripada ilmu pedang simpanannya.
Melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu
Sin-ong menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan
merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat mengalahkannya cepat-cepat
sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang benar-benar
merupakan ilmu pilihan.
Hebat
pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya,
baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui
bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, ketua Beng-kauw ini lebih kuat
sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia
tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak
gila kakek ini yang ingin mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee
Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing, cepat-cepat mengacaukan gerakan
Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu silat lainnya.
Melihat
perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa dan
timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan
menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi.
Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.
Pada
saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan
terhuyung-huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri
menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi mendesir
dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat
halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok
banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang jarum masih berhasil
memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali. Pundaknya seketika menjadi
kaku dan setengah lumpuh, juga rasa gatal membuktikan bahwa jarum itu
mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke belakang dan terpaksa melepaskan
pedang di tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh dan pada saat itu, kembali
ia dihujani jarum yanglebih banyak lagi. Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng
yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat berbahaya, menyampok dengan kipa! sn! ya
sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung ke
belakang tadi ia telah mendekati jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika
ia melompat ke belakang sambil menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan
diri daripada penyerangan jarum-jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi
tubuhnya terjerumus ke dalam jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa dapat
ditahannya ! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah
Lai Kui Lan yang lari ke tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut
keparat!" bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya
ke arah bayangan hitam yang tadi menyerangkan jarum-jarum rahasianya ke arah
Kwee Seng.
"Locianpwe,
saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang
Khitan, mengelak sambil memprotes. Akan tetapi pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak
mempedulikan protes ini.
"Siapa
butuh bantuanmu ? Kau pengecut curang patut mampus!" Pedangnya menyambar
lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat
mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan ! Ini tandanya bahwa orang muda
ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa
kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik
perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak
sampai dua kali ini.
"Saya
bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng..."
"Keparat
orang Khitan ! Kau telah bersikap pengecut!" Kembali pat-jiu Sin-ong
menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia tidak
boleh main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke belakang dan
melarikan diri dalam gelap, Pat-jiu Sin-ong mengejar sambil memaki-maki.
Sementara
itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus ke dalam
jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis
pakain putih lari ke tepi jurang sambil menangis dan ketika ia mendekat, ia
tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi di atas
genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak
seperguruan) Kam Si Ek ! Pada saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya dengan
pipi basah air mata ia mendamprat Lu Sian.
Lu
Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang di
kaguminya, menjawab halus, "Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai,
tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku yang membuat Kwee Seng
terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan dan
yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal
Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?"
Tiba-tiba
wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan
menabahkan hati ia berkata, "Kwee-taihiap telah menolongku daripada Si
Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada
Kwee-taihiap ! Biarpun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam
kepadanya namun aku... aku... ah..." Ia menangis lagi.
"Cici
! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan
juga pada gadis ini.
"Ya
! Aku cinta padanya ! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain !
Sekarang ia telah tewas...ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini ? Aku...
aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..." Sambil terisak Kui Lan lalu
membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu
Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan
pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee
Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan kejantanan kam Si
Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki
pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.
Setelah
malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya
dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang
mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan terdengar ayahnya
berkata marah. "Iblis jahanam Bayisan itu ! Kepandainnya boleh juga, ilmu
lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku.
Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"
Lu
Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan
tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum
bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.
"Kau
menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut, apakah kau hendak
memilih batu kali ? Di mana di dunia ini ada calon suami yang lebih baik dan
gagah daripada Kwee Seng ? Siapapun juga yang kau pilih, aku tentu tidak akan
merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah,
dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee
Seng, betapapun gagah dan pandai dia!"
"Huh
! Kau keras kepala dan sombong ! Tidak akan Kwee Seng ke dua di dunia
ini."
"Tidak
ada Kwee Seng ke dua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"
"Tak
mungkin ! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin
hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."
"Ayah,
kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau
tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau
kumpulkan!"
Karena
rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah.
"Kau anak kecil tahu apa ? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku
masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng, berarti
sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda
paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi
keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan
membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"
"Tidak,
Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana." Bantah Lu Sian yang
sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.
Pat-jiu
Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan
urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia
pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian yang lebih daripada cukup
untuk menjaga diri.
"Sesukamulah,
anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa
jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar
sampai lima tahun tak boleh keluar. Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang
menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang
anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku
itu!" Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya
berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak
Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya,
namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh.
Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya ? Ah, bagaimana nanti
sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi
dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri di tepi jurang melongok ke bawah,
bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara
berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan
pergi meninggalkan puncak itu
Ketika
tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng
maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong.
Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui betapa dalamnya, yang gelap pekat tak
tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu, ia tidak berani menggerakkan
tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Suatu
sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia,
sekali-kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu
berdaya, dan di mana ikhtiar dan usaha sudah tiada gunanya lagi, memang jalan
terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi,
sebulat-bulatnya.
Tepatlah
kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini, kesudahannya berada
dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun si
orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biarpun seribu
bahaya datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong.
Kwee
Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan
semangatnya serasa melayang-layang. Betapapun tabahnya, namun malapetaka yang
dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa yang akan menyambut
tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar jurang. Terlalu
lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak
segera datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum mati hamba-Mu ini
harus mengalami siksaan begini mengerikan ?
Tiba-tiba...
"byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin. Sebagai
seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng
segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan air. Namun tetap
saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan
panas rasanya. Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam,
ia cepat menendang ke bawah dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air. Masih
gelap pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena
tubuhnya terseret arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan
dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat
baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan
tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai
kepalanya menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran,
hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air ya! ng! kuat. Benar
dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya tanpa
dapat ia pertahankan lagi, disedot ke dalam air !
Kwee
Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada di bawah
air ia menggerakkan kaki tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas
daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini tubuhnya hanyut
oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air,
hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan
kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap lagi sehingga ia dapat
melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter tingginya,
tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil
itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu pasti akan
menghantamkannya pada batu-batu.
Karena
tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng
membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia
mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.
Betapa
tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk
pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di
dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat tidak mungkin, kanan kiri
tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama, menahan arus air tak
mungkin ! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air
kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia tidak mau menyerah kepada maut begitu
saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat mengambil napas sampai memenuhi
rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin.
Ikhtiarnya
ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya
menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah dengan kecepatan luar biasa
menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis tengahnya kurang lebih dua
meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu
Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia
hanya menahan napas meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin-kang di
tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang
gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini
terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya
terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa sakit-sakit itu
dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar,
merupakan gua panjang yang amat menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan,
kini air makin melebar dan makin dangkal. Di! a! tas bergantungan batu-batu yang
meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya
matahari yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya
tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
Kwee
Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas dan tangan
kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap didalam pundak
kanannya. Rambut awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu
tidak karuan macamnya, robek sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk bangkit
berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak
minggir, air makin dangkal akan tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya
tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat
gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri
seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang ke arahnya pwnuh
perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput,
pakaiannya bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih
bersinar-sinar.
"Sungguh
aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih
hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera
melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat Kwee Seng
mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena
sudah pingsan.
Amatlah
mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu
setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan
mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan ringan, lalu membawa tubuh
Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu,
melalui terowongan yang berlika-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan
tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa
tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee
Seng berwarna hitam.
"Aihhh,
kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepat-cepat ia
mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia
menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum
hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia
mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan
ringan sekali, besarnya sekepalan tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan
itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang
berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu ! Setelah mencuci batu dan
mengeringkannya kembali di atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat
untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu
warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan
ke dalam luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya
adalah sebuah ikat pinggang.
Tekanan
batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat
sehingga ia seakan-akan keluar kembali dari lubang kubur, terlepas dari cengkraman
maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh pingsan itu, selama tiga hari
tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa
luka-lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa
setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang malam, tidur sambil duduk
bersila di dekat pembaringan batu.
Pada
hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa
tubuhnya sakit-sakit dan lemah, ketika ia membuka matanya, ia melihat
langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari dinding batu itu
yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan
huruf yang agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan
tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu
merupakan syair-syair yang amat indah pula walaupun mengandung peluapan hati
berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di
dalam sebuah "kamar" batu seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan
cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk bersila di
atas lantai, dekat pembaringan batu.
"Tubuhmu
masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku
akan masak ikan dan sayur untukmu."
Suara
itu halus sekali, teratur dan sopan-santun. Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek
ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping ini,
nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang tahu akan
tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang
kang-ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam istana raja-raja !
Ketika
merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia melihat pundaknya sudah
dibalut, dan tidak ada rasa kaku maupun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah
lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya. Cepat ia turun
dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya
tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.
"Locianpwe
(Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda
yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."
Nenek
itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan
khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapapun
juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan gaya bahasa yang biasa
dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak mengenal tua dan
muda, dan akupun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan
membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, mahluk berjiwa apapun
juga yang terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi.
Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan
yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf,
Locianpwe, saya kira bukan setan yang Locianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang
telah melindungi saya..."
"Sudah
terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak
hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya....
Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada diriku...."
Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini dan Kwee Seng dapat menduga bahwa
nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa sehingga
hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan mengapa hidupnya selalu
menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang
nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah
lagi walaupun ia merasa penasaran dan terheran-heran mengapa seorang nenek tua
yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, begitu dangkal pandangannya tentang
kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah
saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.
"Ah,
aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di
sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Sipa saja
terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara
tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan, "Ah,
sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti ini, daun kelabang
di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan
sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan
dimasak dengan ikan ekor putih bukan main lezatnya." Setelah berkata
demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee
Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk
bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat
mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentusaja amat janggal, seorang
nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak bunga ? Dan mata nenek itu. Bukan
main ! Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin
nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia ? Ataukah sebetulnya sudah mati dan
inikah keadaan neraka dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang
iblis betina ? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya
Neraka Bumi ! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi
suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan,
pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian
hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini ! Ah, tak
mungkin !
Tiba-tiba
nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di
seluruh ruangan, "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau
kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar
sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara
ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri ?
Manusia maupun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya.
Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh,
dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab kuno ? Lebih
baik melihat-lihat daripada duduk menanti orang masak, karena teringat akan
masakan, perutnya yang perih akan makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan
napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya
tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik,
kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia
takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia
menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar
kitab-kitab itu.
Ketika
memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding
kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang
berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat tidak kurang
dari seratus buah kitab yang tebal ! Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng
adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang
mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret
rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua
kelemahan tubuhnya, setengah tubuhnya, setengah meloncat ia mendekati rak buku
batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku.
Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula
merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi
syair-syair para pujangga kuno. Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan
mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak
mau mengambil sebuah diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari
semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya,
yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak
dan gerakan-gerakan bintang-bintang.
Yang
mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan alangkah girang
hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan
kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan tentang pelbagai ilmu
samadhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan samadhi mengenai
peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri
bersamadhi untuk melatih lwee-kang dan memperkuat sin-kangnya, akan tetapi
pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau
dibandingkan dengan isi kitab ini. Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah
batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa kitab Samadhi dan
Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun
juga, ia harus minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia
tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang orang ! Dengan memiliki
kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki
ilmu yang amat tinggi ! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang
mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya !
Ia
sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu yang muncul
membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan masih
menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan
berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani
lancang mengganggu Locianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab
yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan,
saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."
Nenek
itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja
batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm,
bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita
berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai,
mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari
kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu ? Hemm, kitab tentang Samadhi dan kitab
Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan
(tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku
tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab
itu."
Bukan
main girangnya hati Kwee Seng. "Locianpwe amat mulia, terima kasih atas
pemberian ...." "Siapa memberi ? Kitab-kitab itu sudah berada di sini
sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara
nanti saja."
Untuk
menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap
lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang
gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan,
terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya
dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar
setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis
makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi
cepat-cepat Si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan
wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku
harus bersusah payah membuat lagi." Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika
Kwee Seng mengikutinya,ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang
lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam
sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan.
Tidak kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting
yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana
terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat
diperkirakan tingginya.
Jalan
lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali ! Mereka telah
terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan
keluar masuk neraka ini ! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi
keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi.
Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat
akan derita hidup karena putus cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia
tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat
itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat
tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ
terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh perhatian seperti
seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno
tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari
sampai selama ia hidup. Mau apa lagi ?
Namun
ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin
menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba
bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan
bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, behkan ia
merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat,
pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia
mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang
perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang
pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat,
apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas
Bintang) !
Nenek
itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat
memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah
ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa
gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya.
Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan
menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah, kausebut saja aku nenek, habis
perkara. Aku tidak suka kausebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini
ada kepandaian apa sih?"
Tertegun
Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambul dan
marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk
menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan locianpwe dan
memanggilnya nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya
mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali
nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat
bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam
ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena
memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang
begini aneh.
Dengan
mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng.
Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan memperdalam ilmu silatnya
dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka
Bumi itu selama hampir seribu hari ! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee
Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin-kangnya
hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya
sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik ! Dengan
latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah
ranting untuk "mendaki" naik sepanjang dinding tebing yang licin dan
keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap
seperti seekor kelabang !
Hubungannya
dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek memperlihatkan sikap yang
penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek
sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri ! Tidaklah mengherankan ketika pada
suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek
itu menangis tersedu-sedu !
"Kalau
kau pergi ... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek,
mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa
mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini
dan..."
"Tidak...!
Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai ? Aku mau mati di
sini!"
Kwee
Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau
jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan
sentuh aku!" Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng
merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia
merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu
saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia
sangka. Tenaga murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga
sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
"Nenek
yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk,
sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu,
perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu di dunia ramai, dan aku
bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan
berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi..."
"Cukup
! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap
marah. Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu
tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan keluar. Betapa pun
besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati di
tempat itu ?
Tiba-tiba
terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap.
Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan
sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek itu datang berjalan
perlahan.
"Suara
apakah itu, Nek?" "Hujan ! Agaknya akan datang musim hujan besar.
Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak cahaya matahari, gelap di sini
dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."
"Wah,
celaka ! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan
kuatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah
banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan
gelap datang, kita harus banyak mengumulkan ikan untuk bahan makan, juga
mengumpulkan sayur."
Tiga
hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu
bakar, sayur-sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikuatirkan.
Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar dan besar, batu-batu
diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang
di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap
pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja
dinyalakan, harus seringkali dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur, untuk
menghemat minyaknya. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan terancam
itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap.
Pada
hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu
bertanya suaranya halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih
ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee
Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat kuatir
ditinggalkan. "Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus
mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar
harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula
keluar bersamaku."
Hening
sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat
melihat matanya, karena wajah nenek yang keriputan itu tak pernah membayangkan
isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat membayangkan. Namun di dalam gelap itu
ia hanya menanti, tak dapat melihat apa-apa.
"Kwee
Seng..." tertahan lagi. "Ya, Nek ? Ada apa ?" "Kau bilang
hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa
kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat ini.
Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee
Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek
itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya
? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya Si Nenek hendak
menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar di dunia ramai !
"Aku
seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku
hidup mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di
dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang mahasiswa gagal,
kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun bukan.
Lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."
"Ilmu
silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu." Bantah Si Nenek.
"Ah,
agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan,
Nek." Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin
banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia
berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam dan sakit hati ia
keluarkan, ia tumpahkan karena justeru selama ini ia membutuhkan seorang yang
dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita
tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di see-ouw yang bernama Khu Kim Lin
itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia
menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia
terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
"Nah,
begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol
dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah,
akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas ! Akan tetapi
ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti
orang menangis.
"Nek,
mengapa kau menangis?" "Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang
macam Liu Lu Sian itu mana pantas kaucinta ? Agaknya... agaknya lebih patut kau
mencinta Ang-siauw-hwa."
"Hemm,
memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang
takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walaupun hanya satu
malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia muda..."
"Kurasa
lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya ? Hina sekali itu
! Lebih baik mati ! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia
tidak mati?"
"Hemm,
kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat ! Dan wataknya... ah, jauh
lebih menyenangkan daripada Liu Lu Sian..."
Hening
pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak
menangis, ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu
mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun menjadi
terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau
cucu sendiri sehingga mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat
berduka ! Akan tetapi setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak,
Kwee Seng menjadi kuatir juga.
"Nek,
apa kau menangis ? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati,
Nek."
Akan
tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan
nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan
batu api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu
menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam.
Kiranya Si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee
Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena menangis sejak
tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak
ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya
terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud
untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar
suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee
Seng..." "Ya, Nek. Ada apa?" "Kalau kau keluar dari
sini..." berhenti seakan sukar dilanjutkan. "Ya....?" Kwee Seng
mendesak. ".... Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah
permintaan..." "Ya... ? Permintaan apa, Nek ? Tentu aku siap untuk
melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee
Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk
membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul,
Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."
"Tak
perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup.
Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit.."
"Apa,
Nek ? Katakanlah." Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng
yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.
"Ya,
Nek ? Bagaimana kehendakmu?" "Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini
akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya,
betul agaknya. Lalu?" "Selama itu kau tidak boleh mencoba
keluar..."
Kwee
Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya ? Gila benar. Mengapa bersusah-susah
mengucapkannya ? "Ha-ha-ha ! Tentu saja, Nek. Tidak usah meminta pun
bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"
"Selama
gelap dan hujan kau tinggal di sini dan..." "Ya... ??" Kwee Seng
mulai tidak sabar. ".... dan ... kita menjadi suami isteri sampai hujan
berhenti!"
"Apa
??" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah.
Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia
terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat
mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar
dari mulutnya hanya, "... apa ...? ?... ah... bagaimana...?" Ia tidak
percaya kepada telinganya sendiri.
Suara
nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya
itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil
keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee
Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya. "Apa ??
Gila ini ! Tak mungkin!!"
Sunyi
sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga
suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi
mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian terdengar
suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya, "Ah, aku
tahu...kau tentu menolak..."
Kwee
Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerak-gerak,
seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu
seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila
? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun
kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya ? Mana ia sudi melayani
kehendak nenek yang gila-gilaan ini ? Menjemukan sekali ! Sialan ! Kwee Seng
mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir
mati ! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa ?
Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis
puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona
itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan
hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan
dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang
selama seribu hari ! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja !
Padahal nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa
hari lamanya ! Ah, betapa sakit hati nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia
menjadi seorang yang tak kenal budi ! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui
sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada
itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai
kenang-kenangan manis untuk dibawa mati ! Nenek ini semenjak kecil berada di
sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia
tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai !
Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul
keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai
suaminya ! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini ? Hanya
bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan
menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek yang tak
mungkin menghendaki lebih daripada itu.
Berjam-jam
Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan
suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya makin lama makin menusuk
jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup,
baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas
cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya.
Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata
indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang,
mata yang..! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu ! Mata nenek itu ! Itulah mata
Ang-siauw-hwa ! Tak salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga
Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama.
Mata Ang-siauw-hwa ! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila
Si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!"
terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa
sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik
hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang
wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau
orang sudah mencinta, apa artinya usia ? Apa artinya keburukan rupa ?
Nenek
itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu
tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di
sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam "rumah
tinggal" itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka
akulah pembunuhnya ! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah,
betapa rendah perbuatan ini !
Kwee
Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi
tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu
marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk melakukan
"sandiwara" yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam
gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya kedua kakinya
yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek
itu masih terisak-isak perlahan.
"Nek...
aku datang..." "... pergi ! Mau apa lagi kau datang ? Kalau kau
mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!"
"Tidak,
aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai
hatimu ? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu..."
Tiba-tiba
isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak
terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti
menangis tapi juga berhenti bernapas ! Kemudian tedengar gerakan nenek itu
mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...?
Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai
isterimu...?"
"Ya!"
jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik
untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu
dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu."
Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa
mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.
"Ah,
terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis,
mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko
(Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."
Girang
rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan
kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini,
bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan
sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama
sekali bukan karena cinta ? Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar
suara halus nenek itu menyebutnya "kakanda"!
"Niocu.."
katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya.
Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan
"niocu". "Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah
tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita tanpa upacara
ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai
isteriku."
"Dan
aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku...
ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini ! Hampir gila aku
dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!"
Nenek itu memeluknya makin erat.
Biarpun
keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya ! Akan tetapi
hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu
mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir rasa muak dan jijik
yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu
halus ! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini
amat indahnya. Di dalam gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua
kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia
berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas
memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang
menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
Kwee
Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika
dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri.
Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati ! Pikirannya dan
perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah
tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa ! Beberapa kali ia
menciumi muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka,
rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa ! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah
meninggal dunia ! Mana mungkin ?
"Kwee-koko...
ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh
kebahagiaan dan haru.
Suaranya
pun suara Ang-siauw-hwa ! "Kwee-koko, betapa rindunya aku
kepadamu..."
Kwee
Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai.
Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga
bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang
sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api
itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir merah mata
indah. Muka Ang-siauw-hwa!
"Koko,
jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng terbelalak.
Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan
yang selama ini ditekan-tekannya.
"Kekasihku...,
kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"
Kwee
Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya,
bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia
tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa
yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek akan tetapi ia tidak mau
menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra
dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti
Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian !
Memang
di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, mahluk yang
banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang
selemah-lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping
kebaikan-kebaikannya. Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak
pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu
Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi,
tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya.
Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia
memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee
Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah,
mudah terpengaruh.
Belasan
hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka
Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu
Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah
Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani nenek itu yang bergerak cepat
menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan
tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri
nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua
pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasih-kasihan itu.
Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias
bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang
rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias
indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya,
seorang puteri yang cantik jelita ! Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang
sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat
keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba
dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya
puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.
Tiba-tiba
Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam kamar kitab
bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada cahaya memasuki
kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia dapat melihat tangannya,
dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat
melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi
!
Ia
melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk
isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk
dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut
ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas
panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama
sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini,
melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput !
Teringatlah
Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya
sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan
seorang nenek-nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati
nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali
bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang
yang mesra ! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila
kepada seorang nenek-nenek !
Mendadak
Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri,
"Plak-plak-plak-plak!" Begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua
pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari
kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa. Cepat sekali ia lari seperti dikejar
setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran
yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya,
yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan harus ia pergi dari situ
cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh
di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi
sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan
tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan
terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.
"Byuuur!"
Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam air dan
menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan
mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus
air sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Ia
tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis,
memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang
rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang
pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita
kedua pipinya kemerahan hidungnya mancung bibirnya merah matanya jernih, muka
yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang
cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu
rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat
betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit
yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta..!
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh
penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita ini. Sebelum kita melupakan
gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara karena kecantikan dan
kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat
menarik.
Seperti
yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang
dengan ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu tahun
kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih berdiri
termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng
terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang
ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia menjenguk ke jurang hitam
itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja
menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik." Kemudian ia menyimpan
pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan
tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang
masih ramai karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan
benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.
Sewaktu
Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan
pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal
Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia mendengar derap kaki banyak kuda
memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar
orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan
tetapi ketika derap kaki kuda, mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki
kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan
ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.
"Ada
apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.
"Nona,
tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi dan kalau
nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada
apakah ? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah
barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali
lewat kampung ini, dan pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan
perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita cantik."
Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah
lari melalui pintu belakang !
Lu
Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan ?
Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi
terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba-coba ganggu kalau hendak
berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu
sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung
menonton.
Kiranya
pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda, dengan
kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi
besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia melihat seorang
menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana terdapat seorang wanita muda
sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini
agaknya senang melihat begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau
ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun.
Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.
"Aihh,
manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini
bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukan
tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah diayun hendak
menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.
"Tar-tar!"
Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu,
disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan kembali ! Di wilayah
Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku ? Orang tolol!"
Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda. Wanita itu
cepat-cepat menggendomg anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah
rumah.
Akan
tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas
bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si
opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke
benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga
hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai.
Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi
kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam
Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang
muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi
seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang
yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si
Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.
Setelah
rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah
masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik
warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di
situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar-benar Nona
memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng
Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti
dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek
(Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap
rakyat?"
"Boleh
dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak
buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu
hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi
panjang umur!"
Lu
Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam
hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan
tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee
Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang
wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam
Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di
pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang di
telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa
inginnya hatiku menjadi pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya.
Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-katanya,
kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada
hati" terhadapnya.
Malam
hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri
serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam
Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar
benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang
penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu di bawah
sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui
sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan ke atas
genteng.
Akan
tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang
berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang
berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan
dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain
saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi
pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain
adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah
ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah
sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka tertawa-tawa
mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan
pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai
Li-hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah)
suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak
berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul,
sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan
Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di
benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira
ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya
mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal
biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang
biasa, bukan anggauta ketentaraan."
Makin
marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu
adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat
! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah
semestinya ! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah
anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban
setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang , baru
setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya
serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang
buruk ! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda
rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ? Pantasnya
dikirim ke neraka !"
Dua
orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka,
sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan
senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang
bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu,
Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa
dan menjura kepada Kui Lan
"Nona, betapapun juga, kedua orang
saudara ini berkata benar bahwa semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara
sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua
peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu
Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi
adalah tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan
dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya ? Nona, harap nona
suka bersabar dan daripada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal
tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita
bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian,
komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka
berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir
meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sutenya
sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan
komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute, akan
kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata
demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam rumah itu.
Tiga
orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu
pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap
tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha-ha-ha!" kata seorang
yang duduk di kiri.
Temannya,
yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota,
Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul, biarlah
ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang makan minum
sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam,
kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"
Mereka
bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba
saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka
telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang
bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk
tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita
sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung
mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum
semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya,
gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga
orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar
berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun
agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah
makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang
sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan
hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah,
Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ? Apakah hendak
menemaniku makan minum?"
Akan
tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah
melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan
gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun
menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua sedangkan dia sendiri
melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar
ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan
meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!"
teriak Phang-ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada gadis yang
luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin
menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.
"Nona,
kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada permusuhan di
antara kita!"
Dengan
telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu.
"Ihh, manusia keparat ! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan ? kau
menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina sucinya. Dan kau
masih bilang tidak ada apa-apa?"
"Eh,
kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan
tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung
dan menyambar ke arah Phang-ciangkun. Perwira ini kaget bukan main. Itulah
sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap
(pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang
perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi
mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah,
menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya
berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka
menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah
digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh
jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang
perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang
lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh
tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi
ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat
Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi,
sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para penjaga berserabutan lari
mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui
pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena
tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka terbebas daripada
tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.
Dengan
cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh
perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang
sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah sambil membebaskan
totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan
dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut
yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di
tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia
tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo
lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun
untuk mencelakakan Kam Si Ek ! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal
lehermu!"
Merasa
betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap
perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya...
saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah
Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar
dan kekuasaan Kam-goanswe, untuk diajak berunding mengenai urusan negara.
Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang Kam-goanswe ke ibu
kota, akan tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk
menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak
mau menghadap dan malah merencanakan pemberontakan."
"Hemm,
keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan di mana Kam
Si Ek akan di tahan !"
"Saya...
saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa
pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng
Tee-kong-bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir ini
mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa-hong-kiam memisahkan
kepala dari badannya.
Lu
Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika
mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah
mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli Si
Pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.
Penduduk
sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun
baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan
diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul,
mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam
benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu.
Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke dalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke
benteng !
Tak
lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng.
Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik,
tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap ! Akan
tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang
tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri
sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan
sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali
tidak peduli.
Kota
Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai.
Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain
letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir
Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu.
Pintu gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir
mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak
dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak barang
mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para
pedagang di dalam kota.
Lu
Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi
adalah kuda milik Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga
kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan
kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota,
kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya
ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan
tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis
ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi
pusat perhatian, terutama laki-laki, yang terpesona oleh kecantikannya yang
luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini
selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang
membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan
dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar,
memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada
perhatian orang di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para
pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan !
Karena
tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan
mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman
pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini ? Aku
hendak pergi bersembahyang ke sana."
Muka
yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok ke
kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau
hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa
harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau
ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau..."
"Tidak,
aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio." Jawab Lu Sian yang sudah
menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan
hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak bersembahyang membayar
kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?"
Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki
saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian,
lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"memang,
Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan
tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi
seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada
pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno
yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang
gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah,
saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat
pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana..."
"Cukup,
aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang
merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar
mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat
pundak.
Karena
amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah
penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali
banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti
berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak
menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat
di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok
orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir
jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri
di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut
biarpun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang
yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat
maka hendak menggodanya.
Lu
Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi
urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala
macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia mengerahkan lwee-kangnya
dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka.
Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak
menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan
mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi
gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan
seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya
ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak
kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !
Lu
Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh.
Genteng-gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas genteng
kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di tengah yang
diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan
kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini
dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat
buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas,
bangunannya besar, akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio
(dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun,
di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah
lenyap warnanya, yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat
dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya.
Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal, juga
tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di
depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit
seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti
sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun
pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu daja yang terkunci. Dari
luar kin tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka
belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas
bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah bekas telapak kaki pada
debu di lantai masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar,
penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas
butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak
tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca-arca yang
sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di
tempatnya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
Dengan
penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak
tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di
sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu
memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada
bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di
sudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak
apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki
kamar.
"Wer-wer-wer
......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya. Lu
Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di
belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena
maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang
sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya
pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.
Dari
arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja
yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"
Merah
sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi
sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau
bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar
daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang
hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik
Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala
kecil bertopi batok, wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan,
terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata
burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian,
benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai,
Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang
berkunjung..!" katanya, masih terpesona.
Sebaliknya,
Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu ! mengaku-aku ini
tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah
kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang
itu segera menjura, sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah
cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan
pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan yang gagah berani,
namaku Bayisan..."
"Tak
peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya ! Yang jelas,
serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!"
Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.
Akan
tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.
"Aku
tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik
jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to ? Untung kau
demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai
lecet."
"Keparat
bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara
berdesing. Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu
menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti
agar-agar terbabat pisau tajam saja !
"Kau...
kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama
Liu Lu Sian!"
Diam-diam
Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat
sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya ? Ia terkejut dan heran,
terpaksa menunda serangannya, membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku,
tidak lekas berlutut?"
Akan
tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus
sekali ! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi
pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw !
Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya ? Sudah lama aku mendengar
bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya,
dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku
melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata
tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat
lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian !
Aha, kebetulan sekali!"
Akan
tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya
dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang
dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi
sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya se arah dada lawan.
Bayisan
cepat mengelak, miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang
bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher.
Cepatnya bukan main ! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah
dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan
sebatang hui-to ke arah lawan.
"Tranggg!"
Lu Sian menangkis hui-to lawan dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya
dengan pedang di tangan sambil tertawa.
"Hebat
ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu ! Kau patut menjadi isteri Panglima
Bayisan, mari juitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut
kekuasaan di sana dan hidup bahagi..."
"Tranggg!"
Terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu sian sudah menyambar,
membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya. Akan tetapi
selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah
menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga
mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang
Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini
menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar,
malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak
sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang
ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena
cepatnya pedang bergerak.
Tentu
saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang
lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan
pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua
pedang dan sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, bayisan sudah melanjutkan
pedangnya menusuk ke arah dada kiri ! Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya
sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya
menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya,
membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki sedangkan tubuhnya mendoyong
ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan
yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar !
"Aiihhh!!"
Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik
yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat
sinkangnya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang pekik luar biasa ini !
Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri beng-kauwcu ini sudah mempelajari
mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan.
Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu
terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat
angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat
lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar
tadi.
Di
sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserangmenjadi
penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik
tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk
tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai.
Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya. Bayisan mempergunakan
ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya mebabat kedua kaki, begitu membabat
tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan
untuk membarengi dengan serangan balasan. Dan setiap kali Lu Sian meloncat,
pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun !
Menjemukan!"
Lu Sian berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter
tingginya dan dari atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya
mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam
leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar
mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya, dan alangkah kagetnya katika ia
melihat Lu Sian tidak turun ke bawah melainkan tadi meloncat dan kini tepat
berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang
ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya !
"Lihai...!"
serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu
tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang
tampan menjadi coreng-moreng ! Akan tetapi ia selamat daripada bahaya maut dan
kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
"Perempuan
liar ! Kau tidak tahu dicinta orang ! Baik, aku akan menggunakan kekerasan
menangkapmu, kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan
menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup
mulut!" Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo
Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar
tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api.
Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat
dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya. Akan
tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia
terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama
menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk
dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya
meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal
muslihat, mana mudah ditindih ? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah
melesat keluar dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya.
Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan
tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah
muka dengan pengerahan tenaga sinkang.
Dengan
gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah
kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya
dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut! "Trang, trang
!" Dua kali pedang bertemu karena bagitu ditangkis pedang Lu Sian sudah
bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke
dua.
Serang-menyerang
mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya.
Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi, ada kalanya
tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka
bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga.
Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada
yang terluka atau terdesak. Biarpun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda
sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian
kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam
kelincahan gerak.
Sebagai
seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita,
tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki
kecantikan sukar dicari tanding, namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat
ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main
dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar
berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan
hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah
berarti kematian baginya ! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya
sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
Setekah
lewat seratus jurus dan Liu Lu Sian yang maklum akan kemenangannya dalam
ginkang, cepat mempergunakan kemenangan ini, mengerahkan ginkangnya,
menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya
berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan
Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya
beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia
kalah tenaga. Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah.
Namun, tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru
kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng
baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga
ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tidak akan berhenti
sebelum dapat membinasakannya !
Dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan,
meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh
karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di
belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan
gawat, salah-salah bisa putus, maka sambil membalik tadi ia cepat membabitkan
pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia
menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat
dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang
sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga
sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk
beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat ! Pada detik itu juga Lu
Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri
gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya
lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah
mengancam sepasang biji matanya ! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini,
karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya
berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun
(Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga
macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.
"Ayaaaaa!!"
Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang
dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang,
bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur
dinding. Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan
sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian ! Kiranya ketika menghindarkan diri
daripada serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan
senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata
gelap ini. Memang hebat ! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua
kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam
(Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda
sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi
gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan
mempergunakan jarum racunnya.
Melihat
sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang
ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang
menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan
sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi
sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung
ikat pinggang. Kemudian sekali ia menggentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu
terbang ke arah Bayisan ! Ini masih belum hebat, biarpun sudah membikin Bayisan
berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian
menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata
gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan,
juga memberi "hidangan" yang sama dan yang tidak kalah lezatnya !
"Aiiihhh,
perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis
jarum-jarum itu. Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali
terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu,
dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian
tinggi ini.
Pada
saat itu, terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan
penjahat cabul, kau menipu kami!" Maka muncullah tiga orang laki-laki
setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian
pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh
mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan
itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa sebatang tongkat di
tangan , tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna
merah.
Munculnya
tiga orang jembel ini menhentikan pertandingan itu. Bayisan memandang mereka
dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.
"Masih
pura-pura lagi ! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan
Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun
Ki-san ? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan
merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata
demikian, mereka serentak maju menerjang. Melihat ini, Bayisan kaget sekali.
Gerakan mereka itu cukup hebat, seungguhpun tentu ia tidak gentar menghadapi
keroyokan tiga orang pengemis ini, namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian
menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang,
ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi
maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak menguntungkan dirinya, ia
tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela. Tiga orang pengemis
itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik
bunga)?"
Akan
tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia
tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk
melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang ajaran Bayisan. Tentang
Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan
mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan
bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan
adalah seorang sahabat Kam Si Ek ?
Tiga
orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan
membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis
itu bukan orang-orang sembarangan pula, cepat mereka mengelak sehingga
jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam
tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum itu yang amis membuat mereka kaget sekali.
"Jarum-jarum
beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan
pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang
pengemis itu tidak berani mengejar lagi, dan teringat akan gadis perkasa yang
tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki
kelenteng.
Lu
Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum
mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis
manakah?"
Pada
masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan
oleh orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah
perkumpulan-perkumpulan pengemis mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu
menarik perhatian.
Tahu
bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan
memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."
"Ah,
kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat
Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu..."
"Ah,
maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Li-Hiap. Maaf bahwa
beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Li-hiap
(Pendekar Wanita)."
"Tidak
apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena
ucapan merkea tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian dimana
adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di
kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan
itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."
Diam-diam
tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya
puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi
mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan
menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.
Memang
sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng
menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang
disampaikan oleh Phang-siangkun Si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur
pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan
Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu.
Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh
Phang-siangkun sehingga selagi tidur, Kam Si Ek disergap dan dijadikan tawanan.
Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat
penginapan oleh para pengawal Kam Si ek. Sebagai seorang komandan yang jujur
dan tidak mau menggangu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan
sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul
untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya baik.
"Kami
menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama
menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian
seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata,
"Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan
tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat,
apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja
dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm,
kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah
Kerajaan Liang?"
"Betul,
Li-hiap. Seperti diketahui, Kerjaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan
Tang, selalu mengalami rong-rongan dari pelbagai pihak yang hendak
menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar
dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah
hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang
roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan
pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang
ingin sekali mempergunakan tenaganya dan cara satu-satunya hanya menculiknya
karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru
yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati,
seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama
sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."
Lu
Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan
makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda
pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita
tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan
suka mempedulikannya.
Menurut
cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh
pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan
kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman.
Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan terjadi. Para pejabat tinggi
bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian
besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara
dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula
bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun
menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.
"Sehari
setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul
Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah
memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya dan ketika dia minta bantuan
kami untuk menyelidiki kemana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak
buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami
mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di
dusun Ki-san."
"Apa
yang ia lakukan?" "Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari
mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu she Chie
itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan
jahanam itu sebagai balas budi ini ? Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu
berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu
sendiri ! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu
ke sini, kiranya Li-hiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia
terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"
Akan
tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini, maka
tanyanya cepat, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian ? Kemana
dibawanya Kam-goanswe oleh pasukan itu?"
"Sudah
kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
Ke
manapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi
kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana.
"dan
Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong
Kam-goanswe pula?"
"Kami
tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat
menduganya, Li-hiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan
Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran
Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali
mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin
Kam-goanswe."
"Baik,
terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki
ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah,
Li-hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik
tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting
seperti Kam-goanswe."
Dengan
tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she
Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun keluar
kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut,
menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa
yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan
perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di
antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja
muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar
membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan
miskin, selalu yang menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan.
Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi,
pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil
secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.
Akan
tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang,
bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka.
Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas
keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga
keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi
orang-orang sakti yang di masa aman tenteram pergi ke guha-guha, ke
puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk
kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia ! Dan memang
para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar,
amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu
terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal
sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda
akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah,
makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang
menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang
paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang
jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah
bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang
mempergunakan mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara
perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar,
kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang
terseret-seret.
Dalam
perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di
lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat
pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun karena ia
sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan
diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan
memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para
pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik
juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk
menyaksikan peristiwa itu.
Pagi
hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak
oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung.
Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan
tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan
tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang
agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia
menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya
angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang
sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik
hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan
rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara
pohon dan semak-semak.
Ia
melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya
biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh
pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di
atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan
lemas. Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan
orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini
berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat
dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek
tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang
panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di
sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan.
Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang
melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan
tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga
! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa,
mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada
saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki
muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua
orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang
sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang
jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu
dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana
dia ? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak
pemuda yang memegang pedang.
Para
pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek
yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua
itu..."
Si
Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda
berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek
itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang
muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya.
"Kalian
juga mengungsi ? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek
iblis ! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang,
mengapa kau bunuh mereka ? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
"Jawab
! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami
tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm,
kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek
gila ! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..." Pemuda itu
menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan kakek itu menggerakkan
tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan sehelai daun
kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang,
menjerit dan roboh dengan pedang di tangan, dari mulut, hidung, mata dan
telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis ketika
menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas !
"Siluman
keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke
depan, kedua tangannya bergerak memukul.
Si
kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu
mengalami nasib sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting ke
bawah, tewas dalam keadaan mengerikan ! Kakek itu tidak berhenti sampai di
situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu
bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga
berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya !
Melihat
ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi
kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauh membayangkan
tenaga sin-kang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan mengintai terus. Dari
jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka
itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi
mereka tidak menaruh curiga kepada Si Kakek Lumpuh.
"Apa
yang terjadi ? Lopek, apakah yang terjadi di sini ? Mengapa begini banyak orang
mati..." Seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan
gerakan perlahan, kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari
dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke
daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak."
Jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di
gunung-gunung di mana terdapat ketentraman."
"Hemm,
kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah,
semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman
lagi. Mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini, biarpun banyak hidup
kerajaan-kerajaan baru?"
Tiba-tiba
kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan
sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik
kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"
Orang
itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti ada hubungannya
keadaan kakek aneh ini dengan kematian begitu banyak orang. Setelah
menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan
tempat itu.
Setelah
rombongan ini pergi, sampai sore hari, hanya serombongan pengungsi lagi yang
lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi
sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua
hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang ! Bertumpuk-tumpuk
mayat pengungsi di tempat itu, dan Si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk
di atas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.
Liu
Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan
dengan orang kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat
kekejaman-kekejaman dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga
merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa
berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para
pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya
karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar menjadi kaget dan
bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biarpun urusannya itu
tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik
untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan
mencoba-coba kehebatan Si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai
kepandaian tinggi sekali.
Kakek
itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang
pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan
sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar
besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.
"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul
aku terus?" demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh
sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau
bangsawan. Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi meraka itu
memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada
kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam
itu bulan bersinar penuh,Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika
ia malihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu
bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana Si Kakek Lumpuh berada, dan
terdengar suara erang laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee,
Couw Pa Ong ! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan
saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa ? Sin-jiu Couw Pa Ong,
kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar
suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap
bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar ! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong
Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang.
Orang usilan, kau siapa?"
Orang
di luar itu tertawa juga, "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong ! Setelah kau kalah dan
remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekelahanmu sehingga kau mengganti
nama ? Ha-ha-ha, sungguh lucu ! Biarpun mengganti nama seribu kali, siapa tidak
akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah
bangkrut dan lumpuh ? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan
mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari
dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh ! Segala macam pendeta ! Kau
selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk
orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik ! Selama kau
menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan ?
Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar ? Pernah
kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata ? Apa jasamu
untuk negara dan bangsa ? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap
hari bersembahyang?"
"Cukup
! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" Si
Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha
! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan ? Hanya karena gerak bibir dan goyang
lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan ? Dengar, pendeta tengik, orang bisa
saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak
mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang
menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa
perbuatanmu baik ? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya ! Kalau pinceng (aku)
tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin
merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki
pintu gubuk.
Liu
Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir
tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah
hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si Kakek Lumpuh,
dibarengi suara "krakkk!" dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu
keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong ! Akan
tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat keluar. Agaknya ia gentar
dan juga marah.
"Couw
Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu
seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan ! Kalau memang gagah,
datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho)
menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha
! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng
segala ? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor
cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan
penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh. Kautunggulah, sekarang juga aku datang
memenuhi tantanganmu!"
Hwesio
itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia
sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung
seorang diantara tokoh-tokoh besar di dunian persilatan. Menurut cerita
ayahnya, Couw-Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu
silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi
karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu,
ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar
lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh
Kerajaan Liang untuk dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan
tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan
menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang
berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk,
duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia
mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai
itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului
larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai, ia melihat empat orang
sudah menanti musuh. Ia memperhatikan mereka.
Di
bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio setengah
tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh Si Kakek
Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang
tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio
murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh. Orang ke dua
adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang
tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang
tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya
terlibat sebuah cambuk hitam. Adapun orang ke empat adalah seorang wanita
berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka
berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya
musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu
Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan
yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah
dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek
lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka,
menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau.
Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah
merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu
berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu.
Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas,
melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun
tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang
turun dari pohon. Bukan main hebatnya gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
diperlihatkan kakek lumpuh itu !
Dua
orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah
terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang.
Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa
Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah
mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada
Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua
kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya,
menjadikan ia ganas kejam dan gila-gilaan !
"Nah,
kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!" dengan sikap tenang saja,
masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu menantang.
Hwesio
itu mewakili teman-temannya menjawab setelah melangkah maju setindak,
"Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui
lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang
bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang
terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi
orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan
adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau
membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah
Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan bukan hanya kami, melainkan semua
orang gagah tentu akan menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara,
bersumpah hendak membasmi kejahatan. Pinceng Houw Hwat hwesio murid dari
Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun-lun-pai, dia itu
Bun-tanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kaulihat kami
adalah murid-murid partai besar, selalu mentaati perintah perguruan untuk
membasmi kejahatan..."
"Cukup
! Ha-ha-ha, hwesio mentah ! Kau perlu apa berpidato di depanku ? Kau tahu apa ?
Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap
mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah pemerintah pemberontakan Liang,
sama dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah
menghadapi bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun
yang merebut tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia.
Apa harganya untuk hidup lebih lama lagi!"
"Benar-benar
alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!" bentak
Lo Tek Gu si murid Hoa-san-pai yang memegang tongkat. "Mari kita hajar tua
bangka keji ini!"
Liu
Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum
terhadap Kong Lo Sengjin Si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula
kata-katanya, aneh dan juga terlalu sekali ! Ia mengharapkan pertandingan yang
ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai sehari
lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah
murid-murid partai persilatan besar, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan
Hoa-san-pai ! Tiga buah partai besar yang sering disebut-sebut ayahnya dan
dikagumi.
Mula-mula
memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung Si
Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw-lim-pai itu yang telah kehilangan toya, kini
mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan ini dengan tenaga besar
menimbulkan angin berderu, Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu
pun meloloskan cambuknya dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar di
atas kepala. Sungguhpun tidak sehebat paman gurunya, Kauw Bian, permaianan
cambuk itu, namun Lu Sian mengagumi keindahannya. Adapun kakak
beradikseperguruan dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan
pedang wanita itu amat cepat, pedangnya lenyap berubah sinar pedang
bergulung-gulung, sedangkan tongkat sutenya juga bergerak-gerak laksana seekor
naga mengamuk.
Akan
tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu
silat indah yang kosong saja, ataukah Si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi
mereka ? Disambar empat macam senjata dari empat penjuru, tubuh bagian atas
kakek itu hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin pukulannya
menyeleweng ke kanan ke kiri. Tiba-tiba terdengar kakek itu tertawa bergelak,
tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke atas kemudian
menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio Siauw-lim-pai ini kaget sekali,
cepat ia menyambut dengan sodokan toyanya ke arah ulu hati. Kong Lo Sengjin
menangkap toya itu berbareng tangan kirinya menampar dilanjutkan dengan tangan
kanan yang menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali
dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah
tubuh hwesio itu terapung-apung seperti sebatang balok hanyut !
"Siluman
tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si tosu
Kun-lun-pai. Cambuknya menyambar-nyambar dengan suara keras. Karena kakek tua
itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi menyerang Houw
Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya.
Bun-toanio yang juga marah, menerjang dengan tusukan pedang dari belakang,
mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu menghantamkan tonkatnya ke arah
pundak kiri.
Kong
Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu
mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan
tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan melihat hasil serangannya itu
hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya
seakan-akan telah tumbuh akar di kepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali !
Pedang yang menusuk punggung dan tongkat yang menghantam pundak juga tidak
ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset hanya merobek baju saja,
seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali. Selagi tiga
orang pengeroyoknya kaget, kakek itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya
kembali mencelat ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar
diikuti dengan pandang mata, menampar tiga kali ke arah kepala para
pengeroyoknya, sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit
tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut-turut melayang
dari atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti
ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio !
Dua
orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah
takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih
tua berkata. "Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan, sampai di sini saja
hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk
mengambil jalan sendiri."
Kong
Lo Sengjin memandang mereka dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua
orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek sakti itu !
"Hemm,
kenapa ? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya,
Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka
membunuh orang banyak, Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut
menghadapi pembalasan mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat
melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm,
apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?"
pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh,
bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami ? Tidak sudi kami menjadi anjing
penjilat mengekor kepada raja pemberontak ! Hamba berdua malah akan masuk hutan
menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus
! Nah, kauperhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" Kakek itu lalu
menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk
bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua orang
bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini dan sekarang mereka
mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah
malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa
itu. Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai
terus sampai semalam suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang
diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya, merupakan ilmu
pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri
ilmu itu masih tidak usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua
orang bekas pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh
dan berbahaya. Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat
Sin-coa-kun, agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula.
Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan
kalau dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang
tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee
Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya, atau Kwee Seng,
yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa
tegang dan ramainya.
Menjelang
pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah
mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit,
kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu
merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan
langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara
dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya. Biarpun kedua kakinya
terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang
yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan
dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh ! Sebentar
saja bayangannya lenyap ke arah timur dari mana malam tadi muncul.
Liu
Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada,
agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu
saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee Seng, ia akan
mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian
sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur
kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapapun
juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah
membunuhi orang tak bersalah. Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi
muram dan agaknya ia kecewa. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda
tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman
seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman ! Akan
tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang lenyaplah segala kekecewaan dan
pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba-tiba ia teringat akan keadaan Kam Si Ek
yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu
untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja
Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan.
Karena
ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang
pun pernah melihat jenderal muda ini, Lu Sian menduga bahwa andaikata benar
pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka
itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera
mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang
letaknya masih di Lembah Sungai Kuning, namun agak jauh dari sungai, di sebelah
selatan.
Pada
saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir,
meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang.
Dusun-dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang
dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan
perahunya menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan
perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan
sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan
yang mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam
ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib
Kam Si Ek.
"Tahan
perahumu, minggir ke sana...!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu
ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh di sebelah kanan. Ia merasa
curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin,
patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat seperti itu
sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu di tempat
sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun
di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah, hanya satu-satunya rumah
gedung yang berada di dusun, yang kebetulan letaknya di tempat agak tinggi
masih belum kemasukan air. Tak seorang pun manusia tampak di dusun yang
kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian
halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada
orangnya ?
Setelah
perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu
benar-benar kosong ia berkata, "Kautunggu di sini, aku hendak menyelidiki
kemana perginya orang-orang dari perahu ini!" Tanpa menanti jawaban, Lu
Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke rumah yang
terendam air, kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dai
rumah, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah
gedung yang masih belum terendam air. Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik
ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai
ilmu silat, kalu tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini
berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang !
Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang
seperti biasa dipertunjukan para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat
berloncatan seperti itu. Jangan-jangan dia bukan manusia, pikir Si Tukang
Perahu. Di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu, menurut cerita rakyat,
siluman-siluman pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari
khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air
banjir. Biarpun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi
pertarungan hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman, dan betapapun
juga dewa-dewi yang menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk ke
dusun-dusun itu kembali ke sungai pula seperti biasa ! Kini melihat gadis
penyewa perahunya pandai "terbang" melayang-layang dari rumah ke
rumah, Si Tukang Perahu bergidik.
"Tidak
tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan.
Lebih baik aku pegi sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan makin
jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ke tengah lagi dan
melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu ! Ia tidak peduli bahwa uang
sewa perahu belum dibayar, ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan
gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus
membayar nyawa.
Liu
Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia
sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan
dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung itu dan dari atas
genteng ia mengintai ke dalam. Ternyata di dalamnya terdapat enam orang anak
perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh du dekat tempat perapian sambil makan
roti kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut. "Kita
ditinggalkan di sini, untuk apa ? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus
bawa perahu ? Ah, lebih enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak
teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan
pasukan lima puluh orang lebih ? Dan keadaan tawanan itu lebih enak daripada
kita!"
"Sam-lote,
jangan kaubilang begitu." Cela temannya. "Tawanan itu memang seorang
penting, siapa tidak mengenal Jenderal Kam Si Ek ? Malah aku mendengar dari
anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima perintah khusus dari kota raja
untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya petugas-petugas
biasa, mau apa lagi?"
Mendengar
percakapan mereka ini. Lu Sian girang sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi,
ia meninggalkan tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu letaknya di
tempat tinggi maka tidak terlanda banjir, di bagian belakang gedung merupakan
kaki sebuah bukit kecil dan ke sinilah Lu Sian mengambil jalan ke selatan, ke
kota raja Lok-yang. Tak lama kemudian ia sampai di jalan besar dan segera
mempercepat larinya. Sayang kudanya ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan
sungai, akan tetapi karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat
tinggi, Lu Sian segera mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga
tubuhnya berkelebat seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh
larinya seekor kuda biasa !
Perjalanan
selanjutnya melalui pegunungan yang biarpun jalannya lebar, namun banyak naik
turun dan amat sunyi. Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi.
Dari atas puncak ini tampaklah gunung-gunung yang memang banyak mengepung
daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak Pegunungan Luliang-san dan
Tai-hang-san, di sebelah barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan
samar-samar tampak dibalik mega puncak Pegunungan Tapa-san. Biasanya Lu Sian
amat suka menikmati tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak
mempunyai perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya
penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.
Ketika
ia membelok di sebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang
menggeletak di pinggir jalan. Golok dan pedang malang melintang, darah
berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini kelihatan
sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah, dan melihat betapa senjata-senjata
mereka tidak berjauhan, malah ada yang masih di dalam cengkraman tangan,
melihat tubuh mereka penuh luka, agaknya orang-orang ini telah melakukan
pertandingan mati-matian dan nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama,
mungkin pagi tadi dan di situ tampak bekas-bekas pertempuran dahsayat. Lu Sian
berdebar. Apakah hubungannya belasan mayat orang ini dengan ditawannya Kam Si
Ek ? Hatinya makin kuatir dan ia mempercepat larinya mengejar ke depan.
Menjelang
senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit.
Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diseling ringkik kuda dan
denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian mempercepat larinya dan napasnya
terengah-engah ketika ia tiba di tempat pertempuran, karena selain
terus-menerus ia mengerahkan gin-kang untuk berlari cepat juga hatinya selalu
penuh ketegangan dan kekuatiran akan keselamatan pemuda idaman hatinya.
Kiranya
banyak sekali orang yang bertanding di depan sebuah danau kecil di kaki bukit
itu. Hampir seratus orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil
yang kacau-balau. Ada yang masih menunggang kuda, ada yang sudah bertanding di
atas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan
saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha
berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan
marah, keluh kesakitan dan ketakutan.
Lu
Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah
pasukan yang mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena diantara mereka ini
masih banyak yang menunggang kuda. Adapun lawan pasukan ini adalah orang-orang
yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang berpakaian
pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan
dengan Wei-ho-kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu condong
membantu para pengemis. Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini
para pengemis hendak menolongnya ? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat membantu
mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak
mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari adalah
Jenderal Kam.
Dengan
sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki
gelangang perang. Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak
pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya bergerak merobohkan
siapa saja yang menghalangi jalannya ! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik
pihak pasukan maupun pihak pengemis, sekali terkena pukulan maupun tendangannya
pasti roboh !
"Dimana
Kam Si Ek?" Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan
yang ia robohkan, akan tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera
dikeroyok empat anggota pasukan. Golok gagang panjang dari dua orang lawan yang
masih menunggang kuda, menyambar ke arah leher dan pinggang Lu Sian. Cepat
gadis itu melompat, menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan mendadak
sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama yang ia tarik itu terlepas
dari pegangan dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat
mengenai pahanya dan menembus memasuki perut kuda ! Kuda itu meringkik keras
dan kabur membawa penungganya yang hampir putus paha kakinya. Adapun orang yang
terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetotot. Pada saat
itu, dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan
belakang, menggunakan pedang, Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat
ke atas dan tahu-tahu ia sudah berdiri di atas punggung kuda, tepat dibelakang
lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakan tangan, ia sudah mencekik
leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu
Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai ! Tentu saja dua
orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman mereka sendiri yang
ternyata adalah seorang atasan mereka.
"Hayo,
katakan di mana adanya Kam-goanswe!" Lu Sian membentak sambil mempererat
cekikan pada tengkuk Si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.
"Di...
di sana..." Perwira itu menuding ke arah batu karang besar dan Lu Sian
cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan
ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari tempat itu.
Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya orang
tawanan itu disembunyika di belakang batu-batu.
Sebelum
Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa di antara
orang-orang yang bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat
seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul menggunakan
kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki
gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh
oleh ujung kedua lengan bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih
hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang bergelimpangan di sekitarnya.
Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah
tiba di depan batu-batu karang besar. Lima orang penjaganya segera mencegat
dengan senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi besar itu
menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada
batu karang dan hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya,
yang tiga mungkin patah-patah tulang iganya karena mereka roboh tak dapat
berkutik lagi !
Raksasa
gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu
karang itu dan di lain saat ia telah melesat keluar mengempit tubuh Kam Si Ek !
Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya
melesat pula mengejar. Akan tetapi gerakan Si Raksasa gundul itu benar-benar
hebat karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran.
Betapapun juga, Lu Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya
berlari cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi !
"Lepaskan
dia!!" Ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya
tinggal lima meter lagi. Kedua tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar
kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum rahasia yang amat hebat. Gadis
ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari
keadaan segala macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat
petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam racun, maka ia lalu dapat mencampur
racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga, maka terciptalah
jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat
harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar dengan sinar merah, sudah
tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan
orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya saja sudah cukup berbahaya,
apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit memasuki jalan darah !
Akan
tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah
mengebutkan lengan bajunya dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju
dan menancap disitu. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru keras, tangannya
bergerak dan jarum-jarum itu menyambar keluar, kembali ke pemiliknya ! Tentu
saja Lu Sian terkejut sekali, cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan
pedangnya yang sudah ia cabut keluar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan
terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya
ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang
sudah bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri !
Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya
oleh raksasa gundul ini. Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan
kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia
dapat mendiamkannya saja ? Gadis ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi,
akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat,
ia berpikir dan tidak jadi menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat
pula, takut kalau-kalau tak dapat menyusul.
"Ia
tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek." "Kalau hendak membunuhnya,
perlu apa dibawa-bawa lari ? Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, kelihatannya
lemas tentu sudah terkena totokan, kalau mau dibunuh sekali pukul juga
mati." Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara
nekat, melainkan kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki
sebuah hutan di kaki bukit.
Dengan
hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada di
dalam hutan. Ia tahu bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu maka ia tidak berani
menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menhadapi bahaya, melainkan Lu
Sian seorang gadis yang cerdik. Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan
membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan gagallah usahanya
menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil dan mengintai. Senja telah
datang akan tetapi cuaca di luar kuil belum gelap benar. Hanya di sebelah dalam
kuil yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara
Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara ketawanya penuh ejekan.
"Heh-heh-heh,
Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu
keselamatan Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi." Kembali kakek itu
tertawa. Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini dan ia mengerahkan
pandang matanya untuk melihat sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya
biasa, ia dapat melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila di atas lantai,
agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar
tembok.
Kam
Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila, dan terdengar
suaranya yang nyaring, "Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah ? Harap suka
memperkenalkan diri, agar aku yang sudah menerima budi pertolongan akan dapat
mengingat nama besar Losuhu."
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha ! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan
seorang hwesio seperti kau sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang
jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini. Oleh karena
itu, aku menolongmu tentu bukan sekali untuk melepas budi, melainkan untuk
keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"
"Hemmm,
kiranya begitulah ? Kalau begitu, siapapun adanya kau, dan betapapun tinggi
kepandaianmu, tak mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati
perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri,
banyak orang mencoba mengagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang
Kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam
perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal di antara mereka. Kalau
mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah
bodoh dan sia-sia ! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama
orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan, kemuliaan dan kedudukan,
selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek
takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"
Ban-pi
Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang
muda yang sedang duduk bersila itu. "Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa
aku?"
"Kau
seoran tua yang berilmu tinggi, sayang..." "Eh, kenapa sayang?"
"Sayang bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat
oleh orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh
kekuasaan dan kemuliaan di atas ratusan ribu mayat dari rakyat!"
"Ha-ha-ha
! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku,
karena kau bukan seorang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi
agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa aku menangkapmu untuk kuserahkan
kepada rajaku di Khitan."
"Ahhh...!"
Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai
pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para
prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa
orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia
tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa
takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm,
sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."
Ban-pi
Lo-cia berseru keras dan di luar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum
dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan
mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk
mengadu nyawa !
"Apa
kaubilang ? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah
perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka
kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul muncur dalam perang
melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk
menculikku ? Bukankah ini cara yang licik sekali ? Kalau memang gagah, mengapa
tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur
barisan?"
"Ha-ha-ha
! Kalau kau katakan itu licik, kau gila ! Justeru karena kami membutuhkan
kepandaianmu mengatur maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal
kaupilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk
membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan
tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan
bekerja untuk rajakku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan
hidup penuh kemuliaan."
"Tidak
sudi ! Lebih baik mati ditanganmu!" Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun
dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi
ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok
emasnya pun tidak dirampas, akan tetapi karena ia tidak dapat melawan puluhan
orang, pula karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya
secara diculik, Kam Si Ek tidak melawan. Sekarang menghadapi seorang Khitan
yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan
membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati daripada harus menjadi
penghianat bangsa.
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak. Entah apa yang terjadi di dalam kuil itu Lu Sian tidak
dapat melihat jelas. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek ,
tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya
golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan
menyambar ke luar mengarah Lu Sian ! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat
keluar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada
orang mengintai.
Benar
saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan
dengan Lu Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang
biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang
mengintai, akan tetapi karena ia memang "besar kepala" dan memandang
rendah semua orang, ia tidak peduli. Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia
"menangkap" golok emas itu dengan ujung lengan baju dan menggentak
golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek lalu melontarkannya langsung
menyerang Si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah
seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga membuat matanya melotot dan
mulutnya mengiler. Biarpun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan
wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan
seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha,
cantik jelita ! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan
membunuhmu. Untung..." Ia melangkah maju jari tangannya yang besar-besar
dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian. Gadis ini mencelat
mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek.
"Kau
apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...? Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak
meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan mengadu
nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
"Eh-eh,
juita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran. Akan tetapi Lu
Sian tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil. Akan tetapi
cepat ia menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari
keluar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian
yang segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah
herannya karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk
menolongnya adalah... puteri Ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia
tergila-gila begitu berjumpa !
Juga
Lu Sian tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas
kau ambil golokmu disana. Kita keroyok, dia lihai sekali!"
Tentu
saja Kam Si Ek tahu akan kelihaian kakek gundul itu. Tadi saja di dalam gelap,
sekali gebrak goloknya sudah kena dirampas ! Akan tetapi karena tidak ada jalan
lain kecuali nekat melawan, ia mengangguk dan cepat ia lari dan mencabut
goloknya yang menancap pada sebatang pohon. Setelah itu ia kembali berlari
menghampiri lawannya yang sudah berhadapan dengan Lu Sian. Agaknya, kecantikan
Lu Sian yang luar biasa itu seakan-akan menyilaukan pandangan mata yang lebar
melotot itu, membetot semangatnya dan membuat Si Kakek Gundul berdiri seperti
patung, menikmati wajah ayu lalu merayap-rayap turun, Lu Sian menjadi merah
mukanya. Pandang mata itu seakan-akan mulut besar yang melahapnya dengan rakus
!
"Monyet
tua, kau melihat apa?" Lu Sian membentak marah dan pedangnya berkelebat
dengan serangan jurus Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat. Karena maklum bahwa
lawannya ini amat lihai, maka begitu bergerak ia segera menggunakan ilmu pedang
ciptaan ayahnya itu. Pedangnya berkelebat menyambar menimbulkan angin berdesir
diikuti suara mengaung.
"Aihh,
bagus ilmu pedangmu!" Ban-pi Lo-cia berseru kaget. Tentu saja ia dapat
mengenal ilmu pedang yang baik. Cepat ia mengebutkan ujung lengan bajunya yang
kiri. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan oleh
seorang yang berkepandaian tinggi, lengan baju itu menjadi senjata yang amat
ampuh. Ketika ujungnya menangkis pedang, Lu Sian merasa betapa tangannya panas.
Itulah tanda betapa besarnya tenaga sin-kang dari lawannya. Di lain pihak,
ban-pi Lo-cia juga heran. Ia tadi sudah mengerahkan tenaganya dengan maksud
memukul runtuh pedang Si Nona, siapa kira pedang itu tidak runtuh. Dari rasa
kaget ia menjadi gembira.
"Heh-heh-heh,
cantik jelita dan manis seperti bidadari, ilmu pedangnya lumayan pula. Heh-heh,
sukar dicari keduanya...!"
Pada
saat itu, golok ditangan Kam Si Ek sudah menyambar, membacok, ke arah kepalanya
yang gundul. Kepala itu gundul plontos seperti labu, agaknya akan terbelah dua
kalau bacokan golok itu mengenainya. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia adalah seorang
tokoh besar yang sakti. Tanpa menoleh atau membalikkan tubuhnya, ia sudah
menundukkan kepalanya sehingga golok itu berdesing hanya beberapa senti di
sebelah kanan kepalanya. Kakek ini tentu saja tidak mendiamkan orang yang
menyerangnya. Tangan kanannya mencengkram ke belakang dan biarpun ia masih
tetap memandang penuh kekaguman kepada Lu Sian, namun tangan yang digerakkan ke
belakang itu dengan cepat sekali telah menyerang ke arah pergelangan tangan
kanan Kam Si Ek yang memegang golok. Jenderal muda ini kaget. Ternyata kakek
yang diserang ini tanpa merobah kedudukan badan telah dapat mengelak dan
sekaligus mengancam lengannya. Cepat ia menarik kembali goloknya dan meloncat
ke samping untuk menghindarkan cengkraman yang amat hebat itu.
Lu
Sian sudah menerjang pula. Kini gerakan kakinya membentuk pat-kwa mengelilingi
Si Kakek Gundul, pedangnya menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Inilah
Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan sepenuhnya oleh gadis itu, karena ia tahu
betul, tanpa usaha keras dan sungguh-sungguh, dia dan Kam Si Ek pasti akan
celaka menghadapi lawan tangguh ini. Kam Si Ek yang masih merasa heran mengapa
gadis puteri Beng-kauwcu ini bisa tiba-tiba muncul di tempat ini dan berusaha
menolongnya, juga maklum bahwa mereka berdua menghadapi seorang lawan tangguh.
Ia tidak pernah mendengar nama Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek gundul itu
sudah membuktikan kelihaiannya. Cepat Kam Si Ek juga memutar golok emasnya dan
kini ia berhati-hati sekali, mengeluarakan jurus-jurus berbahaya mendesak dari
belakang.
Kam
Si Ek adalah murid dari ayahnya sendiri, seorang panglima perang yang ulung.
Akan tetapi, karena ayahnya juga seorang ahli perang, dengan sendirinya ia
lebih suka mempelajari ilmu perang dan memimpin barisan daripada ilmu silat.
Dalam hal menunggang kuda, melepas panah dan mencari siasat dalam memimpin
barisan, ia jauh lebih hebat daripada ilmu silatnya. Betapapun juga, golok
emasnya yang digerakkan dengan tenaganya yang besar, cukup berbahaya.
Ban-pi
Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua
lengan bajunya berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk
menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia tertegun karena mengenal ilmu
pedang itu.
"Kau...
murid Pat-jiu Sin-ong...?" tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul
kebutan lengan bajunya ke belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.
Lu
Sian tersenyum mengejek. "Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan
dengan puteri tunggalnya!"
"Ahh...
ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia
menghentikan semua gerakannya. Melihat hal ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat
menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah leher disusul dengan tangan kiri,
sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan goloknya ke arah pinggang. Hebat
sekali serangan dua orang muda ini.
Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular
terbang mengitari tubuh Ban-pi Lo-cia. Hebat sekali ini yang ternyata merupakan
sehelai cambuk atau tali hitam panjang berkelebatan sambil mengeluarkan suara
meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru kaget karena goloknya
sudah terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh
terkena totokan ujung cambuk !
Lu
Sian marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk
maju dengan nekat, menggerakkan pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu
untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris ke arah cambuk. Serangan ini benar-benar
amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan gerakan kaki
ringan, kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan ketika Lu
Sian menerjang maju, tiba-tiba cambuknya mengeluarkan suara keras lalu
menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke arah muka yang cantik jelita itu.
Kini
Lu Sian yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk
itu membingungkannya, apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan
mukanya. Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini, tentu akan bercacat !
Karena ini, ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya
berusaha membabat cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang
(Ilmu Mencengkram Kuku Harimau) untuk menangkap cambuk.
Ban-pi
Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama
makin mengecil dan tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan
gadis itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat dan membelenggu
kedua pergelengan tangannya, Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari
tangannya dan betapapun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua
lengannya, namun sia-sia belaka.
"Huah-hah-hah,
manisku, kau hendak lari ke manakah?" Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau
tali hitamnya itu dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan
kanannya dengan jari besar-besar dan penuh bulu itu diulur ke depan, agaknya
hendak menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu. Melihat muka yang
berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal
menyeringai makin mendekatinya, Lu Sian hampir menjerit saking ngeri dan
seremnya.
"Binatang,
kaulepaskan dia!" Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu
meloncat dan menubruk Ban-pi Lo-cia dari belakang ! Tadi jenderal muda ini
merasa lemgan kanannya lumpuh setelah totokan ujung cambuk sehingga goloknya
terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu Sian, ia cepat
mengerahkan sin-kang ke arah lengan untuk mengusir kelumpuhan. Betapa kagetnya
melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan agaknya Si Kakek Iblis itu hendak
berbuat kurang ajar. Rasa kuatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat dan seperti
seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.
Kalau
saja ia berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang
secara kasar begini. Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam
mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang membuat semangatnya melayang-layang,
apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan cambuknya.
Bagaikan seorang kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia
tidak ingat apa-apa lagi kecuali korbannya. Inilah sebabnya mengapa Kam Si Ek
berhasil menerkamnya dan menggulatnya dari belakang. Pemuda yang bertenaga kuat
itu sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan ilmu gulat yang
memang pernah ia pelajari untuk memiting dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia !
Kagetlah
Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik
lingkaran tangan yang kuat ! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia
marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia tarik kembali dan kedua
tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan
yang mencekiknya. Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang
punggung, memiting dan mencekik terus, bahkan melingkarkan kedua kakinya pada
pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor lintah
yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi ! Menghadapi ilmu
gulat macam ini Ban-pi Lo-cia kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata
kelahi (ilmu silat) dari aliran manapun juga, akan tetapi menghadapi cara
berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.
Pada
saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas daripada belenggu ujung cambuk, sejenak
mengurut-ngurut kedua lengannya yang terasa sakit, kemudian ia menyambar
pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan bertubi-tubi, juga membabat
lengan kakek itu untuk mencegah Si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.
Repot
juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan
yang menyerang seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan
Kam Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat sekali. Sebetulnya dengan mudah
Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian, akan tetapi karena ia
terburu-buru saking gugup dan kuatirnya akan cekikan yang ketat, ia menjadi
bingung sendiri, mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau lengan Lu
Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari
cekikan orang muda itu. Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya
satu, yakni mematahkan tulang leher lawannya ! Tenaga jenderal muda ini memang
besar sekali ! kalau yang ia piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu
leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu
mematahkan tulang seekor harimau ! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor
harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang
tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar saja ia
bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini
cambuknya kembali melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar,
membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung cambuknya telah melibat
pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat
pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan
menikam ke arah Lu Sian.
"Ayaaaa....!"
Lu sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya,
menikam bertubi-tubi sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan
menjauhi lawan. Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan
kirinya menotok jalan darah di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit
lehernya. Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan
otomatis kempitannya pada leher juga terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi
Lo-cia merenggutkan diri terlepas lalu membalik dan sekali tangan kirinya
menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu terguling roboh !
"Bocah
setan ! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku,
hendak membuatku menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya ? Mari
kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!" Ia menubruk
maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher
pemuda itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu ! Tangan
kirinya memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam
Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.
"Iblis
tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu
terkejut sekali melihat pemuda itu tercekik, maka cepat ia menyambar pedangnya
yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk
menolong pemuda pujaan hatinya.
Heh-heh-heh,
kau bersabar dan tunggulah, manis ! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini
sudah kucekik sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya !
Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan cambuk di tangan kirinya untuk
menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.
Kam
Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkraman maut. Ia mengerahkan tenaga
pada kedua tangannya, berusaha sekuatna untuk merenggut lepas lengan tangan
yang mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka, karena tangan kakek yang kuat
itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat
bernapas, pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking
tinggi, kepalanya serasa membesar dan hampir meledak. Tadinya ia mengharapkan
bantuan Lu Sian, akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, selalu
tertangkis cambuk, habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan
menyesal harus mati. Bagi seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi
sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di dalam perang, bukan mati di
tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih menyesal
lagi hatinya itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat daripada
maut !
Tiba-tiba
wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia
tengah memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan
dilakukan oleh gadis itu, ia berteriak sekuatnya. "Jangan...!" akan
tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan
Ban-pi Lo-cia.
"Brett...!
Breettt ! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"
Mendengar
suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan
menoleh. Matanya yang sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung
bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek bajunya sendiri
sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna merah
muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.
"Kau
masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan
mulut menyungging senyum manis ditambah lirikan mata memikat.
"Heh-heh-heh...
ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam
mimpi ia bangkit meninggalkan pemuda itu, kini ia terkekeh, matanya tak pernah
berkedip menelan gadis di depannya, kakinya melangkah ke depan dan kedua
tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.
Lu
Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang
tubuh, melangkah mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari
sehingga makin menonjollah kecantikan tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang
melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu. Ketika ia
melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali
goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan
kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian
menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya,
dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat
tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia
disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya.
Inilah serangan hebat sekali ! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan
Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang
amat lihai, begitu melihat kelebatnya jarum dan pedang kesadarannya pulih dan
sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan
lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian. Tiba-tiba
terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya
membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di
belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando
lagi, telah mengeroyok Si Kakek Lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian
dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut
yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin, walaupun
akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau
perlu siap mengadu nyawa !
Liu
Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu-sin-ng, biarpun tingkat kepandaiannya
jauh kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang
lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu. Adapun Kam Si
Ek, biarpun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini
bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai
Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh.
Padahal ia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila,
adapun Kam Si Ek kalau memang tidak dapat ia bujuk tentu akan dibunuhnya.
Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk
Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara cambuk
meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke
arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.
Dua
orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan
telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis
dengan senjata. Akan tetapi, golok dan pedang seperti terhisap oleh cambuk,
lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk
dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi
Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera
berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan
terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa
ampuhnya. Biarpun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin
pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh !
"Hemm,
tua bangka tak tahu malu ! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah
perkasa?" Tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri. Maklum bahwa ini
adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh
ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak
mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai
empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang rambutnya
riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri,
melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk
bersila.
"Eh...
kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong ? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan
yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk ? Ha-ha-ha, kedua kakimu
lumpuh ? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis
lumpuh." Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa
Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh.
Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang
tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepala Sakti), akan tetapi andaikata kakek
itu belum lumpuh sekalipun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia
memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.
Kong
Long Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini. "Ban-pi Lo-cia, kau
tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada
harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba menganggu Kam-goanswe. Dia seorang
patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi
Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biarpun ia tidak akan kalah,
namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi
kalau dua orang muda itu nanti membantu Si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik.
Perlu apa meributkan Kam Si Ek. Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka
membantu Khitan, andaikata ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat
tidak mau membantu. Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini.
Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan
di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan
kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek ? ia lalu
tertawa menyeringai.
"Kakek
lumpuh, raja jembel ! Siapa butuh dia ? Kau bawalah jenderalmu itu, yang
kubutuhkan adalah Si Bidadari!" Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu
Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.
Pada
saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu, telah lari kepada Kam Si Ek.
Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok
tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung
bahwa mereka tadi terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya
saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan
pukulannya Hek-see-ciang tentu sukar ditolong nyawa mereka.
Mendengar
ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi
seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama,
seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia ! Ia tertawa
bekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo
Sengjin. Dua orang kakek itu terheran, dan Lu Sian segera meloncat berdiri,
menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata.
"Ayahku
Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot
yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan,
tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum sekali. Akan tetapi
setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik..." Liu Lu Sian tidak
melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong
Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar dan ia membentak,
"Budak rendah ! Biarpun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa ? Mengapa
kau mentertawakan aku ? Apanya yang tidak cocok?"
"kau
ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi !
Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu
tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi
sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau
tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu,
nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Khitan ini hampir membunuh
Jenderal Kam, kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan ?
Hi-hi-hik!"
Sin-jiu
Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja
muda yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar
olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia
mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika
ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.
"Ban-pi
Lo-cia, bersiaplah kau ! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik
mengira Kong Lo Sengjin takut menghadapi seekor monyet Khitan!"
Ban-pi
Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat
mengadu domba. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat
tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah lumpuh ? Ia
harus memperlihatkan kelihaiannya, setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa
sukarnya menangkap Si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek ?
"Raja
Muda bangkrut ! Kaulihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!" Bentakan ini
disusul suara "tar-tar-tar!" keras sekali ketika cambuknya melayang
ke atas dan melecut-lecut sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.
"Ha-ha-ha,
kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu
?" Liu Lu Sian berseru sambil bertepuk tangan. Besar hati Ban-pi Lo-cia
mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin hebat memutar cambuknya
dan menyerang.
Di
lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi, merasa marah
sekali dan ia tidak akan berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil
mengalahkan Ban-pi Lo-cia. Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai taktik
memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak
kakek lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin
menghebat. Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin
lama makin hebat dan mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun
tiba. Dengan hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek, memberi
isyarat supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara, kemudian di dalam
gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi
dari situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.
Sementara
itu, dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah
bertanding dengan hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong
karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa
lawannya ini tentu memiliki sin-kang yang kuat, maka dalam serangannya ia
mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan. Agaknya
Ban-pi Lo-cia, seperti biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya
kepandaian sendiri, memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya Si
Kepalan Sakti. Pukulannya Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu
merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin. Hebat
memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun
lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur
racun kelabang direndam arak tua, maka kini pukulan yang dilancarkan kengan
pengaruh tenaga sin-kang, hebatnya luar biasa sehingga tidak aneh kalau
orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh
anginnya saja.
Namun
sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma
dijuluki Sin-jiu atau Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan
kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa seperti
Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, maupun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula
bagaimana harus menghadapi pukulan-pukulan ini. Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang
didahului oleh sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan
telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri.
Ban-pi Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi
Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya akan langsung menembus kulit telapak
tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia
mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.
"Dessss...!"
Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda
yang lemas lunak seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya
seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui sesuatu. Selagi ia hendak menarik
tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri
melalui kepalan tangannya !
"Celaka...!"
Ia berseru kaget dan cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri
sehingga tenaga yang membalik itu tertangkis dan ia segera melempar diri ke
belakang sambil bergulingan. Kiranya kakek buntung itu sudah mempergunakan
jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri
tenaga lawan, kemudian dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melontarkan kembali
tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau tersimpan.
Marahlah
Ban-pi Lo-cia. Tahu bahwa tak boleh ia main-main lagi dengan tangan kosong
melawan kakek yang berjulukan Kepalan Sakti ini, ia melolos Lui-kong-pian dan
terus mengadakan serangan dahsyat. Cambuknya menyambar-nyambar dan meledak di
atas kepala Si Kakek Buntung. Diam-diam Kong Lo Sengjin terkejut. Ia lebih
mahir menggunakan tangan kosong, akan tetapi menghadapi cambuk yang demikian
panas dan dahsyatnya, kalau dilawan dengan tangan kosong, tentu ia akan
terdesak. Maka ia lalu melompat ke belakang dan mengangkat tongkat bambumya
untuk menangkis, kemudian secepat kilat tongkat bambu yang kiri menusuk perut
lawan. Kiranya dua batang bambu yang dipergunakan untuk pengganti kaki itu kini
dapat dimainkan seperti senjata. Kalau yang kanan akan menyerang, yang kiri
menjadi kaki dan demikian sebaliknya. Bahkan adakalanya tubuh kakek lumpuh ini
melayang ke atas dan pada saat seperti itu, dua batang bambunya dapat menyerang
bertubi-tubi. Hebat memang bekas raja muda ini ! Tongkat-tongkat bambunya itu
tidak saja dapat menyerang dengan pukulan dan hantaman atau sodokan seperti dua
batang toya panjang, malah ujungnya dapat ia pergunakan untuk menotok jalan
darah. Karena bambu itu berlubang, maka ketika digerakkan oleh sepasang tangan
yang sakti itu, mengeluarkan bunyi angin mengaung-ngaung seperti suara dua ekor
harimau bertanding.
Ramai
bukan main pertandingan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka lenyap terbungkus
gulungan sinar senjata dan terdengar pada saat itu adalah auman-auman yang
keluar dari sepasang bambu diseling suara meledak-ledak dari ujung cambuk.
Keadaan yang seimbang ini, ketangguhan lawan membuat hati yang sudah menjadi
gelap, tidak mendusin lagi bahwa dua orang muda itu sudah lenyap dari situ.
Setelah
lewat seratus jurus, mendadak Kong Lo Sengjin yang teringat kepada Lu Sian
berseru, "Siluman betina, kaulihat baik-baik bagaimana aku merobohkan
monyet Khitan!" Tiba-tiba gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di tangan
kirinya menerjang dengan gerakan memutar seperti kitiran sehingga suara
mengaung jadi makin keras. Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini sehingga
Ban-pi Lo-cia terpaksa memutar cambuknya pula untuk menangkis dan melindungi
tubuh. Dengan tongkat lawan diputar sperti itu, tak mungkin ia dapat melibat
dengan cambuknya.
Tiba-tiba
sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri
sudah turun dan kini sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam
ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin mendesis ketika pukulan ini
dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa mengenai
tubuh, maka dapat dibayangkan betapa ampuhnya. Ban-pi Lo-cia kaget dan maklum
bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek bekas raja muda itu dijuluki
Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak mau menangkis
secara langsung karena maklum bahwa lawannya memang memiliki keistimewaan dalam
hal pukulan tangan kosong. Cepat ia menggeser kakinya sehingga kedudukan
kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani menangkis dengan
Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama dengan menerima
dari depan secara langsung. Betapapun juga, begitu lengannya bertemu dengan
lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia terjengkang, maka cepat-cepat ia
melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.
"Huah-hah-hah,
bidadari cantik manis. Kaulihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh
Sin-jiu ? Sekarang kaulihat betapa aku membalasnya..." Tiba-tiba Ban-pi
Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar mencari-cari di dalam gelap dan
tiba-tiba ia berseru, "Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"
"Huh-huh,
siapa butuh siluman itu ? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki.
"Hayo kita lanjutkan pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali
ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.
"Nanti
dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia
anggap sebagai korban yang sudah berada di depan mulut, melenyapkan pula
nafsunya bertempur. "Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong. Mengapa pula
ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya ? Hemm,
apakah kaukira Nan-cao tidak mengilar pula memiliki panglima seperti Kam-goanswe?"
Kong
Lo Sengjin menyumpah-nyumpah. "Kau betul ! Celaka, kita kejar dia!"
Dua
orang itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang
memberi aba-aba, meloncat ke atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar.
Biarpun keadaan gelap, namun sinar bintang-bintang di langit cukup untuk
menerangi sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang kakek
ini segera melihat berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari
jauh.
"Huah-hah-hah,
manisku ! Kau hendak lari kemanakah?" Mereka berdua meloncat turun lagi
dan segera mengejar ke arah dua bayangan tadi.
Bukan
main kagetnya hati Lu Sian. Tadinya ia sudah merasa girang karena berhasil lari
pergi dari tempat pertempuran selagi dua orang kakek sakti itu berkutetan
mencari menang. Tanpa disengaja, mereka lari sambil berpegang tangan. Agaknya
Kam Si Ek masih belum pulih betul oleh bekas pukulan Hek-se-ciang, maka ia
menurut saja digandeng dan ditarik oleh gadis itu.
"Celaka."
Bisik Lu Sian, "Si Monyet Gundul mengejar kita..."
"Hemm,
kita bersembunyi di balik batang pohon besar, biarkan ia lewat lalu tiba-tiba
kita berdua menyerang dari kanan kiri, bukankah itu akan berhasil?" Kam Si
Ek memberi usul. Siasat seperti ini adalah siasat perang, akan tetapi agaknya
takkan berhasil banyak kalau dipergunakan sebagai siasat pertandingan
perorangan. Dalam perang mungkin siasat ini dapat dipergunakan melawan musuh
yang lebih banyak.
"Percuma,
kepandaiannya beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kita, akal itu takkan
berhasil. Lebih baik bersembunyi, tapi jangan sampai dapat dicari."
Tiba-tiba
terdengar teriakan keras dari arah belakang, "Kam-goansewe, jangan takut
aku menolongmu!"
Gemetar
suara Lu Sian mendengar ini. "Wah, benar-benar celaka. Kusangka Ban-pi
Lo-cia menang dan mengejar, kiranya kedua-duanya iblis tua itu yang mengejar
kita."
"Hemm,
mengapa takut ? Kalau memang tidak ada jalan keluar, kita lawan mati-matian.
Aku tidak takut mati!"
"Aku...
aku juga tidak takut mati, akan tetapi aku masih ingin hidup, apalagi sekarang
setelah bertemu denganmu." Kata-kata Lu Sian ini membikin Kam Si Ek
terkejut dan tercengang. Selanjutnya ia menurut saja ketika Lu Sian menariknya
ke arah kiri di mana terdapat sebuah danau kecil. Kini bulan mulai menerangi
jagat dan tampaklah permukaan danau kilau kemilau, dan rumput alang-alang yang
tumbuh di pinggir danau bergerak-gerak seperti menari-nari ketika tertiup angin
malam.
"Lekas
terjun, ini jalan satu-satunya!" Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan
mereka terjun ke dalam air danau yang gelap dan dingin. Kam Si Ek segera
menggerakkan kaki tangan hendak berenang ke tengah, akan tetapi gadis itu
menahannya.
"Tidak
usah ke tengah, kita bersembunyi di sini saja." "Di sini?"
"Ya, menyelam. Lihat, alang-alang ini dapat menyembunyikan kita." Lu
Sian memilih batang alang-alang yang besar dan panjang, memotongnya dan
memasukkan ujungnya ke mulut. "Kalau mereka lewat, kita menyelam, batang
alang-alang ini membantu pernapasan kita."
Diam-diam
Kam Si Ek kagum bukan main. Gadis ini cerdik luar biasa, pikirnya setelah ia
mengerti apa yang dimaksudkan Lu Sian. Ia pun segera memotong sebatang
alang-alang dan mereka menanti. Danau di bagian pinggir itu tidak dalam, air
hanya sebatas dada mereka. Akan tetapi dinginnya bukan main !
Tidak
lama mereka menanti. Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya datang dari
depan, lalu terdengar suara Ban-pi Lo-cia, "Ke mana mereka pergi ? Tak
mungkin mereka lari jauh!"
"Hemm,
kalu tidak bersembunyi di danau itu, kemana lagi?" kata pula Si Kakek Lumpuh,
Kong Lo Sengjin.
Kagetlah
hati dua orang muda itu dan cepat-cepat Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek
memberi isyarat supaya menyelam. Keduanya lalu menyelamkan kepala, berlutut ke
dalam danau dan batang alang-alang itu mereka pergunakan untuk menghisap hawa
dari permukaan air. Karena di situ memang banyak tumbuh alang-alang maka batang
alang-alang dari mulut mereka itu tidak tampak dari luar.
Mereka
tidak berani banyak bergerak, kuatir kalau-kalau air bergelombang dan
menimbulkan kecurigaan. Dari dalam air mereka dapat melihat bayangan dua orang
itu di pinggir danau. Agaknya dua orang kakek itu tetap menyangka mereka
bersembunyi di danau maka sengaja mereka menanti. Akan celakalah agaknya kalau
tadi mereka tidak mempergunakan batang alang-alang untuk bernapas, karena kalau
tadi mereka hanya menyelam biasa, tentu sekarang sudah tidak kuat menahan napas
dan terpaksa muncul lagi. Dan sekali mereka muncul, berarti mereka pasti akan
tertawan ! Saking girang dan kagum hati Kam Si Ek memikirkan ini, di dalam air
ia memegang tangan Lu Sian dan menggenggamnya. Kagetlah ia karena tangan gadis
itu menggigil kedinginan. Baru ia teringat bahwa di dalam air danau ini dingin
luar biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Kam Si Ek lalu memeluk pundak gadis itu
sambil merapatkan tubuhnya agar dengan jalan ini mereka berdua agak merasa
hangat.
Ketika
melihat dari dalam air bahwa kedua orang kakek itu berdiri agak menjauhi tempat
mereka sembunyi, Lu Sian menempelkan telinganya ke permukaan air dengan gerakan
hati-hati sekali. Daun telinganya timbul di permukaan air di antara alang-alang
dan terdengarlah suara Ban-pi Lo-cia.
"Aku
harus mendapatkan bidadari itu!" "Ah, monyet tua bangka tak tahu
malu, masih suka mengejar-ngejar gadis remaja. Aku sama sekali tidak peduli.
Nah, kaucarilah sendiri!" jawab Kong Lo Sengjin sambil menggerakkan
tongkat hendak pergi.
"Uh,
uh, kaulah yang tolol!" Si Gundul memaki. "Apa kaukira Jenderal Kam
Si Ek akan aman berada di tangannya ? Eh, setan lumpuh, mari kita kerja sama.
Kau mengejar ke kanan aku mengejar ke kiri, syukur kalau aku dapat menangkap Si
Bidadari Manis dan kau dapat menemukan Jenderal Kam. Kalau sebaliknya, kita
lalu saling menukar tangkapan kita, bukankah ini kerja sama yang baik
sekali?"
Si
Kakek Lumpuh diam sejenak. Dipikir-pikir memang benar juga ucapan iblis gundul
ini. Iblis gundul ini lihai bukan main, kalau dia sampai mengganggu puteri
Beng-kauw-cu Pat-jiu Sin-ong, itulah baik. Biar kelak Pat-jiu Sin-ong
mencarinya untuk membalas dendam. Biar dua orang iblis itu saling gempur,
dengan demikian berarti ia akan kehilangan dua orang musuh yang tangguh, dan
kalau mereka itu sampai mampus, berarti Khitan dan Nan-cao akan kehilangan
tulang punggungnya.
"Usulmu
baik sekali, mari kita kerjakan!" kata Si Kakek Lumpuh yang segera meloncat
dan berlari cepat sekali dengan sepasang tongkatnya, ke arah kiri, Ban-pi
Lo-cia juga berlari cepat ke arah kanan dan sebentar saja lenyaplah bayangan
mereka, meninggalkan danau yang sunyi.
Lu
Sian menarik tangan Kam Si Ek dan kini keduanya berdiri lagi. Air sampai
sebatas dada mereka. Akan tetapi mereka belum berani keluar dari danau.
"Kita
tunggu sebentar, siapa tahu mereka itu hanya menipu. Kalau mereka tiba-tiba
kembali, kita dapat menyelam lagi." Kata Lu Sian dan Kam Si Ek mengangguk.
Mereka masih berpegang tangan dan kini, di bawah sinar bulan mereka saling
pandang dengan seluruh rambut, muka dan tubuh basah ! Melihat pandang mata Kam
Si Ek seperti itu, tak terasa lagi Lu Sian menjadi merah mukanya, berdebar
hatinya dan ia cepat menundukkan mukanya !
"Liu-siocia
(Nona Liu), tanpa bantuanmu aku tentu sudah menjadi orang halus. Aku berhutang
budi, berhutang nyawa kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasnya."
"Tidak
ada yang hutang dan tidak ada yang menghutangkan nyawa!" jawab Lu Sian, kini
matanya bersinar-sinar memandang. Wajah mereka hanya terpisah dua jengkal saja,
tangan mereka masih saling berpegang. "Kalau tadi aku tidak kaubantu, aku
pun sudah celaka di tangan Ban-pi Lo-cia." Ketika Lu Sian menunduk dan
melihat bajunya yang robek, ia cepat-cepat menutupkannya, dan kembali dua
pipinya tiba-tiba menjadi merah.
Kam
Si Ek bingung. Sejenak ia terpesona. Biasanya, menghadapi gadis cantik yang
terang-terangan memperlihatkan cinta kasih kepadanya, ia memandang randah dan
tidak mengacuhkan. Ia selalu menganggap bahwa wanita hanya akan melemahkan
semangatnya berjuang ! Akan tetapi sekali ini ia benar-benar bingung. Wajah
ini, biarpun basah kuyup dan rambutnya awut-awutan, luar biasa cantiknya.
"Kenapa
kau memandang terus tanpa berkedip?" Tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil
tersenyum.
"Eh..
oh.. aku heran, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terkurung bencana dan dapat
datang menolong..." Dalam gugupnya Kam Si Ek berkata, heran akan kenakalan
gadis ini menggodanya seperti itu.
Lu
Sian lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendengar rencana jahat
yang dilakukan Phang-ciangkun untuk menipu dan menawan Kam Si Ek dan semua
peristiwa yang terjadi ketika ia melakukan pengejaran untuk menolong Kam Si Ek
ke Lok-yang, Kam Si Ek mendengarkan penuh perhatian, kagum akan kecerdikan Lu
Sian dalam mengikuti jejak mereka yang menculiknya, bergidik mendengar akan
kekejaman Kong Lo Sengjin membunuhi pengungsi.
"Dia
dahulu adalah seorang Raja Muda yang perkasa, berjuang mati-matian
mempertahankan Dinasti Tang. Sayang bahwa kekecewaan karena melihat jatuhnya
Kerajaan Tang membuat ia seperti gila dan menjadi seorang kejam."
"Kau
sendiri bersetia kepada Tang sampai rela mengorbankan nyawa." Lu Sian
menegur.
"Akan
tetapi semua kesetiaanku kutujukan kepada negara dan bangsa. Kerajaan Tang
roboh karena kesalahan Kaisar dan pembantu-pembantunya, yang mengabaikan
rakyat. Sekarang, setelah Kerajaan Tang jatuh, aku hanya mengabdi kepada negara
dan rakyat, tidak mudah tertipu oleh mereka yang mengangkat diri sendiri
menjadi raja-raja kecil yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan."
"Hemm,
kau memang... memang lain daripada yang lain..." Lu Sian menarik napas
panjang memandang kagum tanpa disembunyikan lagi. Melihat pandang mata gadis
ini, berdebar jantung Kam Si Ek karena ia menjadi bingung dan tidak mengerti
mengapa gadis ini memandangnya seperti itu, menimbulkan rasa tegang dan juga
senang.
"Nona,
mengapa kaulakukan semua ini...?" Akhirnya ia bertanya, memandang tajam.
"Lakukan
apa?" Lu Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah diseluruh
tubuh Kam Si Ek bergelora.
"Melakukan
semua untuk menolongku ? Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu
sendiri hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"
Sejenak
mereka saling pandang dan tanpa sengaja, kini mereka saling mendekat, tinggal
sejengkal saja jarak antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya
yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya terdengar merdu dan jelas.
"Karena ........... karena aku cinta kepadamu !"
Hampir
saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat
memegang lengannya dan menariknya, "Kau ... kenapa.....?" Gadis itu
bertanya kaget. "Ah..... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati
kaget....!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan girang. Siapa yang
takkan kaget mendengar seorang gadis remaja yang demikian cantik jelita, yang
dahulu telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara
terang-terangan ? "Lu Sian... mungkin... mungkinkah ini..." ia lalu
merangkul.
"Mengapa
tidak mungkin ? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang
bahwa hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu
aku tak dapat melupakanmu..."
"Aduh,
kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang
meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap kepala gadis itu dan menciumnya. Keduanya
yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa
seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri
tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih berpelukan dan berciuman !
Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat
bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari
rumpun alang-alang ! Tentu saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling
rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan napas !
Setelah
bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling
rangkul dan terengah-engah, kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka
anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling peluk dan saling
pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa
kata-kata, kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih, "Moi-moi, terima
kasih atas budi dan cintamu, percayalah, semenjak aku melihatmu dahulu, aku
sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri, seorang seperti aku
mana mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"
Lu
Sian mencubit lengan pemuda itu. "Kau seorang Jenderal ! Dan aku.. aku
hanya wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Ia lalu
menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek
dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan. Memang
tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada
dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat.
"Ah,
kau kedinginan ! Mari kita keluar dari sini!" katanya
"Hemm,
kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini." Lu Sian
menggoda. Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya
ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka
sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa
amat gembira dan heran.
Mereka
lalu meloncat ke darat. "Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu
yang membawamu masih berada di sana?"
"Ah,
malah kembali ke perahu?" "Tentu saja. Perahu itulah tempat
satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka tentu
mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke
selatan."
Kam
Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta
gembira. Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka
pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning
di utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu
dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek.
Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena kuatir kalau-kalau suara mereka
akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara
banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak
dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan
dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing.
Karena
melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari
barulah mereka sampai di sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah kaget
hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin membesar. Dusun yang terendam air
makin tak tampak dan keadaan di situ sunyi sekali, para anak buah perahu
berjaga. Dari tempat tinggi itu tampak perahu masih berada di sana sehingga
mereka menjadi girang sekali.
Karena
banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit,
kira-kira sejengkal dalamnya. Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu,
mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.
"Celaka
betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja ! Apakah kita akan
didiamkan di sini sampai mati kedinginan?"
"Ah,
Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada
pahalanya!" cela suara lain. Tiba-tiba enam orang prajurit yang bertugas
menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok bayangan melompat masuk dan
seorang gadis dengan pedang di tangan telah berada di depan mereka. Apalagi
ketika melihat bahwa bayangan ke dua adalah Kam Si Ek, orang yang tadinya
tertawan dan dibawa ke kota raja, seketika mereka menjadi pucat dan berseru.
"Celaka...!"
Akan
tetapi pada saat itu, pedang di tangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan
seekor burung garuda menyambar, mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah
dari tubuh enam orang itu yang roboh satu-satu dengan dada berlubang atau leher
hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air yang
merendam lantai seketika menjadi merah.
"Moi-moi...
jangan..." Kam Si Ek mencegah, akan tetapi gerakan pedang Lu Sian amat
cepat, secepat kilat menyambar dan enam orang itu telah menggeletak tak
bernyawa lagi. Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini berdiri dengan muka
berkerut, tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini yang dianggapnya amat
kejam dan ganas. Teringat ia bahwa gadis kekasihnya ini adalah puteri tunggal
Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya kekejaman-kekejaman yang terjadi di
Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah sekali.
"Hemm,
gadis berhati kejam ! Sekarang aku tahu maksud hatimu ! Kau tidak ada bedanya
dengan yang lain. Tentu kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao,
bukan ? Kau mempergunakan kecantikanmu untuk menjatuhkan hatiku. Memang, aku
cinta kepadamu, aku tergila-gila kepadamu oleh kecantikanmu. Akan tetapi jangan
harap bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan
bangsa hanya karena seorang wanita!" Ia mencabut golok emasnya dan
memandang dengan mata penuh kemarahan.
Lu
Sian terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum, tersenyum
mengejek. Ia puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong, tentu saja ia pun mempunyai watak
yang amat aneh. Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut dibunuh harus
dibunuh, demikian ajaran ayahnya. Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan
cinta kepada Kam Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah
kesempatan baik baginya untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia lalu
menggerakkan pedangnya dan berkata.
"Kam
Si Ek, begitukah dugaanmu ? Dan kau telah menghunus golokmu ? Baiklah, mari
kita lihat siapa diantara kita yang lebih lihai!" Sambil berkata demikian,
gadis itu meloncat ke ruangan belakang gedung yang lebih luas karena ruangan
itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa
mengejek, membikin hati Kam Si Ek makin panas.
"Lihat
golok!" bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat. Lu Sian
membalikkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis. Maka bertandinglah
kedua orang itu dalam ruangan belakang di mana lantainya penuh air sehingga
kaki mereka membuat air di lantai muncrat-muncrat. Golok dan pedang
menyambar-nyambar dan berkali-kali terdengar suara nyaring beradunya kedua
senjata itu ! Memang aneh kedua orang muda ini. Beberapa jam yang lalu mereka
masih berpelukan, berciuman, dan sekarang mereka sudah saling serang, senjata
mereka saling mengintai nyawa !
Dalam
hal ilmu silat, Kam Si Ek masih kalah oleh Liu Lu Sian. Akan tetapi, pemuda ini
mempunyai ketabahan hati luar biasa, karenanya ilmu goloknya seperti dimainkan
oleh orang nekat, juga tenaganya besar sekali sehingga untuk seratus jurus
lamanya mereka bertanding dengan seru dalam keadaan berimbang.
Lu
Sian orangnya memang cerdik sekali. Ia sudah dapat menyelami perasaan hati
kekasihnya, maka ia tidak marah ketika tadi dimaki-maki. Ia tahu bahwa cara
hidup kekasihnya itu jauh berbeda dengan dia, maka bagi Kam Si Ek, cara
pembunuhan yang dilakukan tadi tentu amat mengagetkan. Selain itu, agaknya
kekasihnya ini mulai merasa curiga, mengira bahwa dia memang bermaksud membujuk
dan menariknya untuk membantu Kerajaan Nan-cao. Oleh karena ini, maka ia
berlaku hati-hati sekali. Kalau sampai ia menyinggung hati pemuda yang sudah
menjadi kekasihnya itu, maka hal itu dapat merenggangkan perhubungan mereka
yang sudah mulai terjalin.
Kini
ia sudah merasa puas menguji kepandaian Kam Si Ek. Sungguhpun tingkat
kepandaian jenderal muda ini tentu saja sama sekali tidak dapat dibandingkan
dengan tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau dibandingkan dengan para
pemuda yang pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling unggul.
Tidak banyak selisihnya daripada tingkatnya sendiri. Kalau ia mau, tentu lambat
laun ia dapat mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka ia sudah merasa puas.
Bakat ilmu silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima
pelajaran ilmu silat tinggi, tentu dia sendiri pun akan kalah ! Ia sudah
mencoba kepandaiannya, akan tetapi belum mencoba hatinya. Biarlah ia mainkan
ujian berbahaya ini. Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan
pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis,
bahkan meramkan kedua matanya menanti maut !
Betapa
terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget
dan karena ia sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin
ia menyelewengkan bacokannya ke arah leher. Namun, tetap saja goloknya itu
membabat ke arah pundak dan "makan" ke dalam daging di pangkal lengan
Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak
seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu
Sian dengan bingung.
"Kau
bunuhlah. Mengapa tidak jadi ? Bukankah engkau hendak membunuhku?" Lu Sian
berkata, biarpun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar
girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak
membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya
digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.
"Kau..
kau mengapa begini aneh..? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"
"Mengapa
aku membunuh mereka berenam tadi ? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah
pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang
dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau
tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka
? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang
musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa
kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang
yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi
kita, mengapa kau marah-marah ? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan
membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao ! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda
bahwa cintamu palsu belaka, hanya di bibir. Aku... aku... ahhhh....!"
Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling.
Kam
Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan
melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat,
ia makin gugup.
"Moi-moi....
Moi-moi..., kaumaafkan aku... ah, aku bodoh sekali ! Lu Sian... !
Moi-moi...!" Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang
dan golok, lalu berlari ke belakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu
besar. Hanya di perahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu
Sian ke atas sebuah opembaringan yang berada di bilik perahu.
"Ah,
benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!" Kam Si Ek
merobek baju di pundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan
mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu
merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah
mengalirnya darah terlalu banyak. Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat
dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia
lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan
memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci
luka, pikirnya. Di musim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat
tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih.
Ia
sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu
menjadi biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak
mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli ! Kalau ia mendekat,
mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi ! Setelah air matang
Kam Si Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih
lalu membalut lagi. Kemudian, melihat di perahu itu banyak perlengkapan bahan
makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin.
Bukan
main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu biarpun sudah siuman, namun belum
sadar, masih bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan, matanya tetap ditutup
dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti orang terserang demam ! Dapat
dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil meramkan mata
gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya !
"Ayah,
aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng ! Tidak mau dengan raja muda di timur,
pangeran di barat atau putera mahkota di utara ! Aku hanya mau menikah dengan
Kam Si Ek, biar dia jenderal tolol, biar dia laki-laki canggung, aku sudah
cinta kepadanya, Ayah!"
Kam
Si Ek duduk bengong di pinggir pembaringan. Bermacam perasaan teraduk dalam
hatinya. Girang dan bahagia karena dalam igauannya ini Liu Lu Sian jelas
membuka isi hatinya yang amat mencintainya. Bingung karena gadis itu makin
malam makin hebat mengigau dan gelisah. Duka dan khawatir karena ia telah
melukai gadis itu, melukai tubuh dan hatinya.
Lu
Sian mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia menyebut-nyebut bahwa ia
bersama Kam Si Ek akan pergi menemui Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, untuk
minta bantuan gubernur ini menjadi perantara meminangnya kepada ayahnya di
Nan-cao. Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa itulah jalan terbaik.
Ia memang tadinya menerima undangan atau panggilan Gubernur Li dan di tengah
jalan ia dijebak dan dikhianati komplotan para perwira yang memberontak dan
pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia laporkan kepada Gubernur Li.
Disamping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah Liu Lu Sian yang selain
menjadi Ketua Beng-kauw, juga menjadi koksu (guru negara) di Nan-cao, siapa
lagi yang lebih tepat selain dengan perantaraan Gubernur Li?"
Ia
memeluk Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra. "Moi-moi, tenangkanlah
hatimu, kauampunkan kokomu yang tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan
demi Tuhan, aku akan meminangmu dari tangan ayahmu." Ia lalu sibuk
melepaskan perahu daripada ikatan, mendayung ke tengah lalu memasang layar.
Biarpun bukan ahli, Kam Si Ek tidak asing dengan pelayaran, maka biarpun hari
telah berganti malam, ia berani melayarkan perahunya di bawah sinar bulan.
Lu
Sian membuka matanya dan tersenyum-senyum girang. Melihat Kam Si Ek sibuk
mengemudikan perahu, ia lalu mengeluarkan bungkusannya, mengambil obat luka dan
mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusap-ngusap pipinya yang masih panas oleh
ciuman Kam Si Ek, turun dari pembaringan perlahan-lahan lalu keluar dari dalam
bilik.
"Koko
(Kanda)..." ia berseru memanggil lirih. Kam Si Ek terkejut dan menoleh.
Melihat gadis itu berdiri bersandar pintu bilik, ia terkejut, girang dan juga
khawatir.
"Eh,
kau sudah bangun, Moi-moi ? Kau beristirahatlah, jangan keluar dulu, nanti kena
angin... ! Itu ada bubur di meja, kaumakanlah...!"
"Aku
tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh." Mana bisa ia merasa lapar kalau
hatinya sebahagia itu ? Pula, ketika ia berpura-pura pingsan dan mengigau,
bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah menyuapinya dengan bubur sampai
kekenyangan ? "Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko kau
melayarkan perahu ini ke manakah?"
Girang
sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya benar-benar telah sembuh, wajahnya
berseri pipinya merah dan matanya bersinar-seinar. "Pundakmu tidak nyeri
lagi, Moi-moi?"
Dengan
gaya manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu berjalan menghampiri. Dengan satu
tangan Kam Si Ek memegang tali layar, tangan ke dua meraih lengan gadis itu dan
mereka berpegang tangan, saling pandang penuh kasih.
"Sian-moi,
kau tahu bahwa aku dipanggil oleh Gubernur Li akan tetapi oleh pasukan yang
berkhianat dan bersekongkol dengan Raja Liang, aku diculik. Hal ini harus kulaporkan
kepada Gubernur Li, maka aku sekarang hendak pergi ke Shan-si untuk berunding
dengan beliau. Kuharap kau suka ikut denganku ke sana, selain berunding urusan
pengkhianatan itu, akupun perlu minta bantuannya." Sampai di sini pemuda
itu berhenti bicara dan mukanya menjadi merah.
"Bantuan
apa, Koko?" Lu Sian bertanya, pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam
girang sekali karena agaknya akalnya "mengigau" itu berhasil baik.
"Moi-moi."
Tangan Kam Si Ek menggenggam erat-erat tangan Lu Sian. "Aku hendak mohon
bantuannya untuk menjadi orang perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari
tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan di Nan-cao."
Girang
sekali hati Lu Sian. "Koko, kemanapun juga kau pergi, aku suka ikut!"
Tidak
ada kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi daripada kegembiraan dua buah
hati yang saling bertemu. Berhari-hari mereka menjalankan perahu sambil
bersenda gurau, menceritakan keadaan masing-masing, menangkap ikan dan
masak-masak lalu makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam cinta dan kagumnya
terhadap Lu Sian, mengagumi kecantikan dan kelincahan gadis ini, termasuk
wataknya yang kadang-kadang aneh. Di lain pihak, Lu Sian juga kagum akan
kekasihnya yang sudah tiada orang tua lagi, tentang keturunan keluarga Kam yang
semenjak dahulu terkenal sebagai panglima-panglima perang jagoan. Ketika Lu
Sian bercerita tentang pertemuannya dengan kakak seperguruan jenderal itu,
yaitu Lai Kui Lan di dalam benteng, Kam Si Ek menyatakan kekuatirannya.
"Suci
seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan
bersungguh-sungguh, banyak membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini
ia sering kudapati menangis di kamarnya, dan sama sekali tidak mau menceritakan
apa sebab-sebabnya. Aku kuatir sekali ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Malah sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio
di luar benteng, bahkan bermalam di sana. Agaknya ia menjadi kenalan baik dari
para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu."
Mendengar
ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh di dalam hatinya, tidak mau
menceritakan apa yang menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi
korban asmara, tentu berduka karena Kwee Seng terjatuh ke dalam jurang dan
binasa. Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia tidak berani
bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan
membuka pula rahasia tentang perasaan Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini
tentu akan mendatangkan suasana tidak enak diantara mereka, apalagi di situ
tersangkut pula diri Lai Kui Lan.
Cinta
memang aneh. Biarpun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya,
namun kalau sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua
perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan melihat yang baik-baik
saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Kalau
saja mereka tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa
mereka mempunyai watak yang jauh berbeda. Kam Si Ek adalah seorang pemuda yang
keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah perkasa dan seorang
patriot. Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang aneh, kadang-kadang
licik dan menjalankan siasat-siasat yang curang bukanlah aneh baginya. Ia tidak
peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak mau kalah oleh
siapapun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau tidak, tidak peduli
sama sekali tentang negara maupun bangsa. Baginya, siapa yang menentangnya akan
ia hantam !
Perbedaan
itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran
mereka pada saat mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya
kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun betapa dengan bantuan isterinya
yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan dapat berjuang
dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja
yang akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya,
Lu Sian di samping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang
dicintanya, juga ia teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama
ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat betapa ia sama sekali tidak
berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan,
dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat,
pikirnya dengan hati tidak puas. Ia bercita-cita untuk memperdalam ilmu
silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat agar ia dapat
menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan
orang-orang itu. Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan
ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia akan menitahkan anak buah suaminya
untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu !
Untung
bagi mereka, di dalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia
maupun Kong Lo Sengjin dan setelah tiba di wilayah Shan-si, mereka merasa aman,
melakukan perjalanan cepat dengan menunggang kuda memasuki ibu kota Shan-si,
menghadap Gubernur Li Ko Yung.
Gubernur
Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang diantara pimpinan
pemberontakan yang menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan
tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di Ho-nan yang akhirnya berhasil
menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar pertama
Kerajaan Liang.
Terhadap
Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat hati-hati. Ia maklum bahwa
jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan bangsa, dan bahwa jatuhnya
Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe. Oleh karena itulah maka
dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan pikiran jenderal muda itu
secara halus. Ia menyambut kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh
penghormatan, juga terhadap Liu Lu Sian yang diperkenalkan sebagai puteri
Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika secara singkat Kam Si Ek
menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus memanggilnya ke benteng itu
telah bersekongkol dengan pasukan Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li
menjadi marah sekali.
"Keparat
itu berani melakukan kejahatan seperti itu?" Gubernur Li menggebrak meja,
memanggil seorang panglima dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan
dan surat perintahnya untuk menangkap Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman mati
! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan arak dan hidangan
lezat, berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe daripada
bahaya. Kemudian, setelah mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan,
Gubernur Li Ko Yung berkata.
"Goanswe,
saya ingin sekali bicara empat mata denganmu, untuk merundingkan urusan negara
dalam keadaan kacau-balau seperti sekarang ini." Berkata demikian, ia
melirik ke arah Liu Lu Sian. Gadis ini tentu saja maklum bahwa dia merupakan
"orang luar" apalagi dia adalah puteri Guru Negara Nan-cao, maka
tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun dasar ia berwatak nakal dan kukwai
(aneh), ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk minum arak wangi ! Kam Si
Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian pergi, tentu saja tidak enak
baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ, juga tidak enak terhadap
Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu berkata sambil bangkit
berdiri dan menjura kepada gubernur itu.
"Li-taijin,
harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang
penting, baiklah lebih dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini
bukanlah orang luar. Dia adalah... adalah... calon isteri saya, yaitu... eh...,
kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi
orang perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao."
Setelah berkata demikian, dengan muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian
tersenyum di dalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk karena malu.
Sejenak
gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya.
Tidak ada kesempatan sebaik ini ! Cocok benar dengan cita-cita hatinya.
Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao ! Melepas budi kepada Jenderal Kam ! Maka
ada kesempatan yang lebih bagus daripada ini demi terlaksananya cita-citanya ?
"Ha-ha-ha
! Bagus..., bagus sekali ! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah
tiba waktunya Kam-goanswe memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita
puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat cocok dengan
Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi dan tentu saja dengan segala senang hati saya
suka menjadi perantara!"
Gubernur
Li mengangkat cawan memberi selamat dan dua orang muda itu cepat menghaturkan
terima kasih. Setelah itu, Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara
bersungguh-sungguh.
"Ji-wi
(kalian) tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang sekarang mengangkat diri
sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah seorang pengkhianat, maka tidak
mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe. Memang dahulu kami bekerja
sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada waktu itu merupakan raja
lalim. Akan tetapi sama sekali bukan menjadi rencana kami untuk mengangkar diri
sendiri menjadi raja, melainkan hanya bermaksud menggulingkan raja lalim dan
mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun berkhianat dan mendirikan
dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak mengherankan apabila mereka yang
tadinya membantu dalam perjuangan, kini memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan
kecil. Sekarang, bagaimana dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si ?
Tentu saja kita tidak akan tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan kecil
yang manapun juga. Bagaimana pendapat Kam-goanswe?"
Kam
Si Ek mengangguk-angguk, lalu berkata, "Saya setuju dengan pendapat
Taijin. Demi kesetiaan leluhur kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya
sendiri tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali kita salah pilih
mengabdi kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."
"Betul
sekali ucapan Kam-goanswe ! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang
sipil, Goanswe di bidang muliter, namun pendapat dan tujuan kita cocok ! Kita
boleh menanti dan memilih secara hati-hati, sementara itu, sebelum muncul
seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah
Shan-si yang menjadi tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu
yang manapun juga. Bukankah begitu, Kam-goanswe?"
"Betul
sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan
membela Shan-si!"
"Bagus
! Nah, ketahuilah, Goanswe. Di antara para raja kecil yang secara lancang
mengangkat diri sendiri, kini terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan
hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap wilayah kita,
melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang
amat membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu
kita membentuk pemerintahan sementara dan kerja sama yang erat antara kita
semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah nanti saya menjadi
orang perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya
minta agar Kam-goanswe sudi memegang tugas panglima di sini dan mengatur semua
barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga wilayah kita dari ancaman di segala
jurusan."
Pandai
sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang
berwatak jujur itu percaya seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung
tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri, maka serta merta Kam
Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama.
Adapun
Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk
orang, sedikit banyak menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan
cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya satu yaitu menjadi isteri Kam Si Ek
yang dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga
hasrat hatinya terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah
Gubernur Li itu seorang patriot tulen ataukah seorang pengkhianat. Juga ia
tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang perkasa ini
menjadi suaminya.
Ketika
utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan
surat pribadi mengajukan pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga,
tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua
Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapapun juga, ia
kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau puterinya
mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw seperti Kwee Seng. Puterinya terdidik
sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang biasa terbang bebas seperti
burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal yang
terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak
mereka ? Akan tetapi karena surat itu dilampiri surat puterinya, dan ia
mengenal baik watak puterinya yang mewarisi wataknya sendiri, yaitu tidak mau
mundur sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula mengingat bahwa
Kam Si Ek adalah seorang pemuda perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum
wanita, keturunan panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia mengalah.
Apalagi
kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su (guru negara) mengingat akan
suasana dan kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si, yang tentu saja
merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka ia segera
menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahan
puterinya di Nan-cao.
Semenjak
kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh
oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari
Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil di seluruh negara yang jumlahnya
sukar dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di antara raja-raja kecil ini,
banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh
para bekas panglima dan bangsawan, berusaha untuk merebut kembali tahta
Kerajaan Tang yang sudah roboh itu.
Seorang
pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik
tenaga-tenaga ahli, diantaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja
Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang kakek lumpuh yang
sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat pula menarik bantuan Gubernur Li Ko
Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek, dan masih banyak pula
orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat untuk
mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari
Pemerintah Liang Muda.
Setelah
mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah
Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala
tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada tahun 923
sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan
pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja
(907-923).
Kini
pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923
itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda. Akan tetapi ternyata tidaklah seperti
Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda ini, karena masih
terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara "orang dalam", juga
ancaman serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda.
Gubernur
Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat,
tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang
Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti biasa dan hanya diberi
pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja
terakhir Dinasti Tang ! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang,
namun di dalam hatinya timbul dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si
Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat dibutuhkan oleh
kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si Ek tetap tinggal di Shan-si.
Waktu
berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi pergantian kekuasaan itu,
pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan
mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini bernama Kam Bu
Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya
toapan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi
bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka
menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia
lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf.
Suami
isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam
madu cinta kasih. Akan tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu
Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah lewat beberapa tahun.
Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan
hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya
menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek
berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia
kang-ouw. Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan
kesenangan segera susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau tadinya
perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra, lambat
laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan. Lu sian
beberapa kali menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya
meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat mengajak putera
mereka merantau dan menambah pengalaman di dunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek
menolak ajakan ini.
Lu
Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak
dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina
lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita ketika mereka bentrok
melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu
silat yang dapat melindungi kita, melainkan watak yang baik !
Demikianlah,
percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan
besar, Kam Si Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya
tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi
berantakan ! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si
Ek, karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa
petualang ! Hanya sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf
tulisannya.
Kam
Si Ek,
Kita
berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap
cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan
kujemput dia.
Liu
Lu Sian
Kam
Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam
kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah
salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda
dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki
ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah. Betapapun
juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa
isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih.
Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya
membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan
perantauan.
"Si
Ek !" demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah
menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda
ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini
menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya
mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa
kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"
"Lu
Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan
diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku.
Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap
bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut
dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat
untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas
mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."
"Apa
bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya,
"Kaukurung dirimu dengan tugas, dan kaukurung diriku pula dengan
kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku ? Ah, kiranya
cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan
tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak
menangis.
"Lu
Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri ?
Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak
seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta
muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya
tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih
matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi
pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai
suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan
kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya ? Kalau kau ajak aku
dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan
diri dari pada kewajiban ? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song ? Kau tahu
sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu
Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi
somplak ! "Cukup ! Bosan aku mendengar kuliahmu ! Kalau aku tahu bahwa
cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku hanya untuk membuat aku terikat
kewajiban-kewajiban, tak sudi aku !" Sambil berkata demikian Lu Sian lari
memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras.
Kam
Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik
napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat
isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama
sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai
akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan.
Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi
meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik
watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula
kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu,
sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
Baru
tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian
baru berusia dua puluh lima ! Mereka berdua masih muda dan harus sudah
berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi
kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang
ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya
puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi
antara ayah dan bundanya.
"Apakah
ibu nakal dan ayah mengusirnya ? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu
Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke
selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu
Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya
pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun
dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka
itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi
tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan
menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu
sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar
akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya
yang salah diantara mereka.
Hidup
seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak isterinya pergi meninggalkannya.
Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada
kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak
seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi
keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian
dalam pertengkaran mereka. Memang betul bahwa Kerajaan Liang yang meerobohkan
Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda
dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat
buruk dan rusak. Pimpinan muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar
nafsu, orang-orang yang mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan
kemuliaan. Orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah
memperoleh kedudukan dan kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan
perjuangan mereka. Setiap orang pejuang tadinya bercita-cita menghalau
penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan
bangsa. Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasai kenikmatan daripada
kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan lupalah mereka akan cita-cita
luhur itu. Masa bodoh rakyat yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku
yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang.
Mengapa memikirkan orang lain ? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan
mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di dalam hati
sanubari.
Namun,
tiada yang kekal di dunia ini. Kesenangan tidak. Kedudukan pun tidak. Semua
pasti berakhir, kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua
serba berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan bertemu dengan
duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka.
Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang ! Titik kedua
ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.
Tiga
tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam
Si Ek mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah
puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu Bwee Hwa. Tidak secantik
Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan
yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang
wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang
mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang sekarang
telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk
Kui Lan Nikouw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun
menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati
melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi
pendekar itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw,
setelah ia tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering
dikunjunginya.
Kui
Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sutenya, menjadi ikut
berduka. Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah
lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga amat perlu bagi
Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena
ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti
seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa,
puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki
Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara
pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana
sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan
disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan
orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu
selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih
menderita lagi.
Tepat
pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi
dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu
diketuk orang dari luar dan ada suara membentak, "Kam Si Ek, kalau kau
benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar
suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan
suaminya sambil berkata, suaranya gemetar, "Harap jangan layani orang
itu...!"
Tentu
saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa,
mana mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu ? Ia
memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya, "Mengapa ? Siapa
dia?" Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba
Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata, "Dia... dia... itu
Giam Sui Lok, orang sekampung denganku. Dia... seorang jago silat muda di
kampung kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi ... ditolak oleh ayah. Biarpun
dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia
buta huruf. Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka
menaruh kasihan... dan jangan melayaninya..."
Kam
Si Ek mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini ? biarpun disebut pendekar
oleh isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah
ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak memusuhi siapapun yang
menjadi suami Bee Hwa ? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan
disangka pengecut dan penakut ?
Kau
bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya ? Apakah kau
suka kepadanya?"
Bwee
Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan suaminya.
"Bagaima kau bisa bilang begitu ? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi
isterimu ? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku dapat mengingat
laki-laki lain ? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak
ingin kalian bertempur, kemudian seorang diantara kalian terluka atau terbunuh.
Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu... akan tetapi, dia terkenal
sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang
jahat..."
Kam
Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya. "Jangan kau kuatir, aku
akan menasihatinya, kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding
dengannya."
Kembali
daun jendela diketuk dari luar. "Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari
Cin-ling-san ! Ada urusan diantara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang
juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm,
kautunggulah!" Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya
dan membuka daun jendela, terus melompat keluar.
Di
pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia
melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan dan
kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu
aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
"Orang
she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki,
bagaimana begini tak tahu aturan dan tak tahu malu ? Dia sudah menjadi isteri
orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar ? Apakah di dunia ini hanya ada
dia seorang wanita ? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan
penghinaan bagiku, akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena
kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari sini, jangan
memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai disini saja."
Giam
Sui Lok mengertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati,
"Kam Si Ek, enak saja kau bicara ! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa,
belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya menolak lamaranku
karena aku seorang miskin dan bodoh ! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi
kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati
diujung senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang
dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati
di tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk mengakhiri penderitaan
batin ini!" Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya !
Kam
Si Ek menjadi marah. "Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan
tidak menggunakan aturan."
"Tak
perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini
diujung senjata ? Kalau tidak berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan
menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan karena kau
lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biarpun hanya
panglima pengecut."
"Tutup
mulut ! Lihat golokku siap menandingimu!" bentak Kam Si Ek yang juga sudah
mencabut golok emasnya.
Giam
Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat
dan seru antara kedua orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu
bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar dengan amat cepat dan kuat
agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya
karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya ! Kalau saja ilmu
silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi
terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian
Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan Kam Si Ek ia
kalah jauh. Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis
sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya
kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas.
Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak
mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya
menyerempet pangkal lengan kanan lawannya. Giam Sui Lok mengeluh, pangkal
lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang
kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata, "Kau menang. Nah, lekas
bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam
Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya. "Justeru aku hendak membiarkan kau
hidup, sobat ! Kau masih muda dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali
perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan meresa malu sendiri akan sepak
terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam
Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Kam Si Ek !
Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya
kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali
mencarimu dan sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku
takkan mau sudah!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia
menjemput goloknya lalu pergi menghilang di balik gelap malam.
Kam
Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak
tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik
semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song ! Semenjak beberapa
hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini
ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut
menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai,
kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari keluar dan
lenyap pula di tempat gelap.
Dapat
dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke
dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa
dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua,
larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu
saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia
belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa
meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan
penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam
Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama
sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song !
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng ! Sengaja kita lakukan ini agar jalan
cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh
yang diceritakan itu.
Telah
kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta
kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut
di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap. Setelah cuaca menjadi
terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah
mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki
ia menjadi suaminya ! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya
sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam air arus Arus Maut, menyelam dan
berenang melawan arus.
Bukan
main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan
arus itu. Akan tetapi, selama tiga tahun berdiam di dalam Neraka Bumi, Kwee
Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Berkat latihan samadhi menurut
ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya meningkat hebat beberapa kali lipat,
sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjdai hebat luar biasa
setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan. Kini, menghadapi terjangan arus
yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan
berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul
kembali, namun dengan gigih Kwee Seng maju terus. Benturan-benturan dengan batu
ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi
kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk mengambil napas,
lalu menyelam kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan
melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andaikata
tiga tahun yang lalu ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan
tewas !
Akhirnya
ia dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika ia muncul di permukaan air, ia
melihat langit menyinarkan cahaya terang benderang, membuat matanya silau
karena sudah terlalu lama ia tinggal di tempat agak gelap. Biarpun sudah keluar
dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang diterjangnya ini diapit-apit
dinding batu karang yang amat tinggi. Ia berenang terus dan akhirnya, sejam
kemudian, ia melihat dinding yang biarpun masih amat tinggi dan curam, namun
tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia berenang ke pinggir,
menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat tubuhnya ke atas. Cepat ia
bersila di bawah dinding karang, untuk memulihkan tenaganya dan pernapasannya.
Akan
tetapi, setelah tenaganya pulih, ia teringat akan perbuatannya dengan nenek itu
dan... tiba-tiba Kwee Seng menangis, lalu menampari pipinya beberapa kali
sampai kedua pipinya bengkak-bengkak matang biru ! Sebentar kemudian ia
tertawa-tawa, suara ketawanya bergema di sepanjang sungai yang diapit dinding
karang. Kemudian ia merayap naik melalui dinding yang tidak rata, menggunakan
tangan kirinya menangkap dan menginjak celah-celah karang. Cepat sekali
gerakannya, seperti seekor monyet saja dan tak sampai seperempat jam, ia telah
berada dia atas tanah datar, di lembah sungai di lereng Bukit Liong-kui-san !
Tak jauh di sebelah depan, ia melihat puncak di mana tiga tahun yang lalu ia
bertanding mati-matian melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, dimana ia dirobohkan
secara pengecut oleh jarum-jarum beracun Bayisan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Kwee Seng tertawa bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang lebar dan rambut riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita
rambutnya hilang entah ke mana, bajunya robek-robek, kedua pipinya
bengkak-bengkak, akan tetapi matanya bersinar terang biarpun mulutnya tersenyum
setengah mewek seperti orang mau menangis !
Masih
terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya berloncatan dengan gerakan yang
luar biasa, tidak seperti manusia lagi, melainkan lebih pantas iblis penjaga
gunung sedang menari-nari. Memang patut dikasihani Kwee Seng ini. Karena
tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan kecewa melihat watak gadis yang ia
cinta, ia menjadi seorang pemabok, dan kini setiap kali teringat kepada Lu Sian
ia masih tertawa-tawa. Kemudian pengalamannya dengan nenek-nenek di dalam
Neraka Bumi, benar-benar telah membuat rusak pikirannya, membuat ia tak kuat
lagi menahan tekanan batin, membuatnya seperti gila. Kalau teringat kepada
nenek-nenek itu, ia menangis. Maka sejak saat itu kembali ke dunia ramai, tawa
dan tangis silih berganti dilakukan oleh pendekar muda ini ! Seorang pendekar
muda yang tadinya terkenal tampan dan gagah perkasa, kini berubah menjadi
seorang berpakaian compang-camping yang suka tertawa dan menangis, pendeknya
berubah menjadi seorang jembel gila ! Dan semua ini karena asmara.
Akan
tetapi, sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah gila. Ia hanya seperti
orang gila kalau teringat kepada Liu Lu Sian dan teringat pula kepada Si Nenek,
karena kedua orang itu mengingatkan ia akan semua pengalaman dan perbuatannya.
Kalau ia sedang sadar, Kwee Seng tetap merupakan pendekar yang gagah perkasa,
yang cerdik dan berpemandangan luas. Ia tidak pernah pula melupakan Bayisan
yang telah berlaku curang dan menyebabkan ia terjungkal ke dalam jurang di
puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat melupakan guru Bayisan, Ban-pi Lo-cia
yang telah membunuh atau lebih hebat lagi, menodai Ang-siauw-hwa sehingga
wanita itu membunuh diri, tidak pula lupa kepada Liu Lu Sian yang telah menolak
cintanya dan bahkan menghinanya.
Demikianlah,
Kwee Seng mulai dengan perantauannya. Ia tetap berpakaian seperti jembel,
pakaian yang compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan, akan tetapi
tubuhnya selalu bersih terpelihara ! Di dalam perantauannya bertahun-tahun ini,
tak pernah ia melupakan tugasnya sebagai seorang gagah, seorang pendekar yang
aneh dan sakti. Namun, tetap seperti dahulu, ia melakukan perbuatannya dengan
sembunyi dan semenjak ia keluar dari Neraka Bumi, muncullah di dunia kang-ouw
seorang tokoh aneh tak terkenal yang luar biasa, yang menggegerkan dunia
kang-ouw karena banyak sekali tokoh-tokoh dunia hitam dihancurkan oleh pendekar
gila ini. Akhirnya ada yang mengenalnya sebagai Kim-mo-eng dan makin terkenal
lah nama ini yang dahulu malah tidak begitu terkenal. Kalau dulu hanya
tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw saja yang mengenal Kim-mo-eng sebagai
seorang pendekar muda yang berkepandaian tinggi, kini dunia kang-ouw mengenal
Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar gila, sungguhpun jarang ada orang pernah
melihatnya beraksi. Dengan demikian, dalam perantauannya, orang-orang yang
bertemu dengan Kwee Seng hanya mengira dia seorang jembel gila, sama sekali
tidak ada yang pernah mengira bahwa dia inilah Kim-mo-eng, tokoh kang-ouw yang
baru muncul dan membikin geger dunia persilatan itu !
Rasa
penasaran di hatinya terhadap Bayisan membuat Kwee Seng mengarahkan
perantauannya menuju ke daerah Khitan ! Ia hendak meluaskan pengalaman dan
sekalian mencari Bayisan atau Ban-pi Lo-cia yang keduanya masih mempunyai
perhitungan dengannya.
Bangsa
Khitan adalah bangsa nomad (perantau) yang terkenal gagah perkasa, ulet dan
pandai perang. Karena iklim dan keadaan tanah di mana mereka hidup, yaitu di
daerah timur laut yang penuh gunung-gunung, gurun-gurun pasir, dan salju, maka
mereka dipaksa oleh keadaan untuk selalu berpindah-pindah tempat untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa suku bangsa Khitan
amat ulet dan berani. Dan ini pula agaknya yang menyebabkan Khitan seringkali
mengadakan penyerbuan ke selatan dalam usaha mereka mencari tempat yang lebih
makmur untuk bangsa mereka. Akan tetapi, berkali-kali mereka terpukul mundur
oleh bala tentara kerajaan selatan sehingga akhirnya mereka tidaklah begitu
berani melakukan penyerbuan secara liar, melainkan baru berani menyerbu setelah
direncanakan terlebih dahulu. Karena usaha mereka yang terus menerus menyerbu
ke selatan inilah maka bangsa Khitan selalu dianggap sebagai musuh besar oleh
orang selatan, dari jaman dinasti manapun juga.
Pada
waktu Kwee Seng melakukan perantauannya ke daerah Khitan, yang dijadikan ibu
kota Khitan adalah kota Paoto di lembah Sungai Kuning, termasuk daerah Mancuria
selatan. Rajanya adalah Raja Kulu-khan, seorang raja yang terkenal gagah suka
perang, namun amat dicinta oleh rakyatnya karena terhadap rakyatnya ia selalu
bertindak adil dan penuh perhatian.
Raja
Kulu-khan mempunyai belasan orang putera dan puteri, akan tetapi semua itu lahir
dari para selir. Adapun permaisurinya hanya mempunyai seorang anak perempuan,
yang dengan sendirinya menjadi puteri mahkota. Puteri mahkota ini bernama
Puteri Tayami yang semenjak kecilnya digembleng oleh ayahnya sendiri, pandai
menunggang kuda, pandai bermain panah dan pandai pula mainkan tombak dan
pedang. Selain ini, ia pun seorang puteri yang amat cantik jelita, menjadi
kenangan dan kembang mimpi semua pemuda Khitan. Namun, tak seorang pun diantara
para pemuda berani main-main dengan puteri Tayami, bukan saja karena Tayami
adalah Puteri Mahkota, akan tetapi terutama karena mereka gentar menghadapi
kegagahan puteri ini. Kalau Tayami sudah ikut maju perang dengan pedang pusaka
di tangan, yaitu Pedang Besi Kuning, dengan gendewa dan anak panah menghias bahu,
menyengkelit tombak, bukan main hebatnya puteri ini. Entah sudah berapa banyak
tentara musuh yang roboh oleh anak panahnya, pedangnya, maupun tombaknya.
Khitan
memiliki pula banyak panglima-panglima perang yang berilmu tinggi di antaranya
adalah Panglima Tua Kalisani dan Panglima Muda Bayisan. Hanya dua orang ini
yang paling hebat kepandaiannya di antara semua panglima yang juga memiliki
keistimewaan masing-masing. Akan tetapi hanya kedua orang panglima itu yang
memiliki ilmu silat dari selatan dan barat. Adapun Ban-pi Lo-cia biarpun
terkenal, namun tidaklah langsung membantu pergerakan bangsanya. Dia adalah
guru dari Panglima Muda Bayisan, namun jarang ia tinggal terlalu lama di
Khitan, lebih suka merantau ke selatan, ke dunia yang lebih ramai dan lebih
banyak terdapat kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan selera nafsunya.
Dasar watak manusia jantan, di mana-mana sama
saja. Asalkan melihat wanita cantik, tentu mereka itu saling berebutan. Yang
kasar yang halus, ya begitu juga, hanya yang kasar itu mengeluarkan perasaan
hatinya melalui kata-kata kasar atau pandang mata kurang ajar, sedangkan yang
halus diam-diam menyimpan di hati. Namun hakekatnya, sama juga. Di antara
sekian banyaknya pemuda Khitan yang jatuh hati terhadap Puteri Tayami, termasuk
juga Bayisan dan... Kalisani ! Kita sudah mengenal Bayisan sebagai seorang
tokoh muda yang haus akan wanita cantik, yang jahat dan keji, tidak segan-segan
melakukan perkosaan terhadap wanita yang manapun juga, baik ia isteri orang
maupun anak orang, baik ia mau ataupun tidak. Maka tidak mengherankan apabila
Bayisan tergila-gila kepada Puteri Mahkota bangasanya sendiri yang demikian
jelita ayu. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah Panglima Tua Kalisani.
Usianya sudah empat puluh tahun lebih, dua kali usia Tayami, namun panglima
yang belum pernah menikah ini secara diam-diam tergila-gila pula kepada Tayami.
Hanya bedanya, kalau Bayisan mengungkapkan perasaannya melalui senyum dan
pandang mata, kadang-kadang kata-kata kurang ajar, adalah Kalisani memendam
dalam hati, dan mungkin hanya dapat terlihat oleh Tayami sendiri melalui
pancaran sinar mata penuh kasih sayang.
Namun,
semua harapan para muda termasuk dua orang panglima itu, sebenarnya sia-sia
belaka. Puteri Mahkota Tayami sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Ia telah
menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang bekas temannya semenjak kecil, putera
dari pelayan pribadi ayahnya. Kini bekas teman itu telah menjadi seorang pemuda
tampan dan gagah, dan biarpun pangkatnya hanya perwira menengah, namun kegagahannya
dalam pandang mata Tayami tiada yang dapat menandinginya ! Pemuda ini bernama
Salinga, biarpun keturunan pelayan raja, namun semenjak nenek moyangnya dahulu
amat setia dan berdarah patriot.
Raja
Kulu-khan amat mencinta puterinya, dan raja ini pun berpemandangan luas, tidak
mengukur pribadi seseorang dari kedudukannya, maka biarpun ia tahu akan
perhubungan antara puterinya dengan Salinga, raja ini tidak pernah menegur
puterinya. Malah ketika Bayisan mengadukan hubungan itu, ia memarahi Bayisan. Bayisan
ini biarpun terkenal diluaran sebagai panglima muda, namun adalah putera Raja
Kulu-khan juga. Putera yang lahir dari seorang wanita yang telah bersuamikan
seorang pembantu raja, akan tetapi oleh suaminya seakan-akan di"jual"
kepada raja karena mengharapkan kenaikan pangkat ! Peristiwa ini terjadi ketika
Raja Kulu-khan masih muda dan tidak kuat menghadapi godaan isteri ponggawa itu.
Namun, setelah mengetahui niat licik dari ponggawa yang menjual isterinya
sendiri itu, raja ini malah menjatuhkan hukuman kepada Si Ponggawa, sedangkan
isteri ponggawa itu ia ambil sekalian menjadi selirnya. Hal ini dilakukan untuk
mencuci segala noda. Anak yang lahir dari hubungan inilah yang sekarang menjadi
Panglima Muda Bayisan !
"Cinta
kasih antara orang muda adalah cinta kasih murni yang timbul dari hati
sanubari. Adalah Dewa yang menjodohkan, bagaimana kita manusia hendak
merusaknya, Bayisan ? Kalau adikmu Tayami memang saling mencinta dengan
Salinga, biarlah. Salinga seorang pemuda baik, apa salahnya?"
"Akan
tetapi, Sri Baginda. Adinda Tayami adalah seorang Puteri Mahkota, sedangkan
Salinga... seorang prajurit biasa..."
"Hemm,
dia seorang perwira..." "Apa artinya ? Seorang Puteri Mahkota
jodohnya adalah pangeran, atau yang setingkat..."
"Ha-ha-ha,
Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu. Siapakah yang membuat hati dan
menimbulkan cinta ? Hanya para Dewa yang tahu. Siapa sekarang yang membuat
segala macam pangkat dan kedudukan ? Hanya manusia. Apa sukarnya kalau sekarang
aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau Ponggawa yang tinggi kedudukannya
? Mudah saja, bukan ? Akan tetapi aku tidak mau lakukan itu, kenaikan tingkat
menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat Salinga, berarti suatu
penghinaan, baik bagi Salinga maupun bagi keluargaku sendiri. Nah, cukup, tak
perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!"
Demikianlah,
dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan selalu mencari kesempatan untuk
menjatuhkan hati Tayami dan menjatuhkan diri Salinga. Akan tetapi, tentu saja
ia tidak berani secara berterang melakukan hal ini, karena Salinga adalah
kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula kepada Tayami, adik tirinya !
Pagi
hari itu kota raja Paoto amatlah ramainya. Kwee Seng memasuki kota raja ini dan
biarpun ia menarik perhatian karena pakaiannya yang compang-camping dan penuh
tambalan itu menunjukkan bahwa dia seorang selatan, namun sikapnya yang seperti
orang gila membuat orang-orang hanya tertawa kepadanya. Memang pada waktu itu,
banyak sekali orang Khitan sudah berpakaian seperti orang Han, dengan pakaian
yang dapat mereka rampas kalau mereka menyerbu ke selatan, atau pakaian yang
mereka perdagangkan dengan kulit dan bulu domba. Banyak juga pedagang-pedagang
dari selatan sampai Khitan, mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi para
pedagang, di mana ada "untung" ke sana ia pergi, tak peduli di sana
terdapat bahaya menantang.
Keramaian
kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan yang lalu, di bawah pimpinan
Panglima Muda Bayisan sendiri, sepasukan orang Khitan menyerbu dan
menghancurkan pasukan Kerajaan Cin Muda yang ternyata adalah pasukan yang
melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil perampasan mereka terhadap
Kerajaan Tang Muda yang kalah perang. Banyak sekali barang rampasan ini, belum
lagi kuda dan senjata, maka saking gembiranya Raja Kulu-khan lalu mengadakan
pesta untuk menghormati pasukan itu. Dan sebagaimana biasanya, dalam setiap
keramaian seperti itu, tentu diadakan perlombaan-perlombaan ketangkasan di tepi
Sungai Kuning. Perlombaan macam ini bukan hanya sebagai hiburan untuk menggembirakan
suasana, namun ada maksudnya pula unutk mengumpulkan tenaga-tenaga muda dan
tidak jarang dalam kesempatan seperti ini bermunculan perwira-perwira baru yang
diangkat karena kemenangannya dalam perlombaan.
Kwee
Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat
perlombaan. Sambil makan roti susu kambing yang tadi dibelinya dari warung dan
kini digerogoti, Kwee Seng ikut berlari-lari. Lapangan di tepi sungai itu luas
sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata dan
baik untuk tempat perlombaan ketangkasan.
Hati
Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang di antara para perwira
tinggi yang hadir di tempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian
panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan lain adalah Bayisan, musuh
lama yang dicari-carinya. Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak
melihat Ban-pi Lo-cia di tempat itu. Di panggung yang sengaja dibuat, duduklah
Raja Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, belasan orang panglima tinggi lainnya,
dan di samping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik jelita, pakaiannya
serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung di belakang punggung.
Inilah Puteri Mahkota Tayami, dan Kwee Seng juga dapat menduganya karena
seringkali ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung orang dalam
perjalanannya di daerah Khitan.
Pada
saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar dan agaknya
menanti tanda untuk segera berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di
sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan
ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu memenuhi jalan dan dipasang amat
kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing di atas. Tak
jauh dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang
siap dengan busur dan anak panah. Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada
penonton di sebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang daripada para
pedagang perantau.
"Inilah
saat penentuan bagi para pemenang," orang itu menerangkan, "enam
orang itu adalah orang-orang pilihan yang telah keluar sebagai pemenang
beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih yang paling gagah
di antara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh
dia yang berbaju kuning!"
Kwee
Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang
tampan dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada di tempat paling kiri.
Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar dan sinar matanya penuh
semangat.
"Perlombaan
apa saja yang akan dipertandingkan?" ia bertanya gembira. Orang itu
menengok. Melihat orang yang bertanya, biarpun dari suaranya jelas seorang Han,
namun pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan
tertawa-tawa menunjukkan bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu
menjawab singkat, "Kaulihat saja, tak usah banyak tanya!"
Kwee
Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia di
mana-mana masih belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai
seseorang dari pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin di hormat oranglah kamu
! Akan tetapi ia tidak peduli dan melongok-longok, mendesak di antara banyak
orang untuk dapat menonton lebih jelas.
Sementara
itu, di panggung, Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.
"Ahh," jawab Raja Kulu-khan. "Siapa yang tidak tahu bahwa kau
adalah Panglima Muda dan memiliki kepandaian tinggi ? Apa perlunya kau hendak
ikut pertandingan?"
Bayisan
tersenyum. "Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah
kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita
agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini, Paduka kelak
akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"
Raja
Kulu-khan tersenyum. Di dalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga
mencari kesempatan "jual muka" memamerkan kepandaian, akan tetapi
karena alasan tadi ada benarnya pula, maka ia mengangguk memberi ijin.
"Heh-heh-heh,
Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!" Panglima Tua
Kalisani menegur Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani
terkenal sebagai seorang yang suka bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia
juga terhitung masih sanak dengan keluarga raja.
Bayisan
hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling ke arah Puteri Tayami sambil berkata,
"Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira seprti mereka
itu?" setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada raja dan meloncat
turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri
Salinga, pemuda pilihan hati Tayami, hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami
sendiri, maupun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani.
Ketika
Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar
sebaris dengan enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera
menerjang orang yang telah berbuat curang terhadapnya itu. Akan tetapi ia
menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan
menimbukan kegemparan dan kalau ia kemudian dikepung oleh samua orang Khitan
meloloskan diri ? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan,
turun tangan di waktu malam sunyi.
Raja
memberi tanda dengan tangan diangkat ke atas, terompet tanduk menjangan
dibunyikan orang dan perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan
dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh kuat seperti batu
karang, berteriak keras, kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat
laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher
mengikuti larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang menghalang
jalan. Kwee Seng sudah tidak tampak lagi di antara penonton, karena ia sudah
enak-enak duduk di atas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan
enak.
Setelah
tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya
melompat ke atas. Hebat lompatan kuda ini. Keempat kakinya hampir menyentuh
ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa akan tetapi juga permainan yang amat
berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda itu menyentuh mata tombak, tentu
tubuh kuda akan terguling dan jatuh di "sate" ujung banyak tombak,
mungkin berikut penunggangnya ! Namun kuda hitam bersama penunggangnya amatlah
tangkas, secepat kilat kuda itu sudah mewakili barisan tombak dan turun dengan
selamat, menimbulkan debu mengebul tinggi dan sorak-sorai tepuk tangan gemuruh
dari para penonton. Raja mengangguk puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang
setangkas itu, makin kuatlah Kerajaan Khitan.
Akan
tetapi lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian bukan hanya sampai pada
melompati barisan mata tombak. Ini masih belum berbahaya ! Ujian kedua lebih
hebat lagi, yaitu melalui barisan anak panah. Penunggang kuda hitam sudah melarikan
kudanya cepat-cepat, kembali lagi setelah tiba di ujung sana untuk memasuki
lingkungan barisan anak panah, yang sudah siap sedia. Begitu kuda itu memasuki
lingkungan itu, busur-busur di pentang dan melesatlah puluhan batanga anak
panah, menyambar ke arah tubuh Si Penunggang Kuda. Semua pelepas anak panah
adalah ahli-ahli pilihan sehingga tidak sebatang pun anak panah yang akan
mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat di atas tubuh kuda, lewat dengan
cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang menyerempet pelana di
punggung kuda. Akan tetapi Si Penunggang Kuda yang cekatan itu tahu-tahu telah
lenyap dari atas kuda. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga ia seolah-olah
menghilang, padahal ketika anak-anak panah menyambar, penunggang ini sudah
menjatuhkan diri ke kiri, terus tubuhnya menggantung ke bawah perut kuda, hanya
kedua kakinya yang menahan tubuh, kedua kaki yang dikaitkan kepada pelana kuda
itu. Kuda lari terus, penunggangnya bergantung dibawahnya, sungguh ketangkasan
yang mengagumkan ! Tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ketangkasan ini
setelah kuda besarta penunggangnya selamat melewati barisan anak panah. Dengan
gerakan indah Si Penunggang mengayun tubuhnya dan dari sebelah kanan perut kuda
ia telah duduk kembali dengan tegaknya !
Ujian
ke tiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil menunggang kuda yang mengitari
lapangan, Si Penunggang Kuda hitam itu mementang busur dan berturut-turut ia
melepas anak panah yang menancap tepat pada dada dan perut boneka besar manusia
yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah lapangan. Tujuh kali Si
Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan lima di antaranya menancap
tepat di tengah dada, yang dua agak meleset, menancap di pundak dan paha. Namun
ini saja sudah cukup menyatakan bahwa ia lulus ! Dengan bangga Si Penunggang
Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke bawah panggung, melompat turun dan
berlutut ke arah raja, kemudian menuntun kudanya berdiri di pinggir ikut
menonton peserta-peserta berikutnya
Peserta
ke dua mengalami saat naas baginya. Ketika kudanya melompati barisan tombak, di
bagian terakhir kudanya terjungkal, jatuh ke bawah. Perut kuda tertembus
tombak-tombak itu dan penunggangnya pun mengalami nasib yang sama, perut dan
dadanya tembus oleh tombak. Penonton berseru kengerian dan beberapa orang
penjaga segera lari mendatangi untuk membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban
mulai jatuh dan permainan berbahaya ini, dan penonton mulai tegang !
Peserta
ke tiga selamat melampaui barisan tombak, dan ketika melampaui barisan anak
panah, kurang cepat ia bersembunyi sehingga pundak dan pahanya terserempet anak
panah. Dalam keadaan luka ringan ini ketika ia memanah orang-orangan, di antara
tujuh batang anak panahnya, hanya dua yang mengenai sasaran, maka tentu saja ia
pun dinyatakan gagal !
Peserta
ke empat hanya berhasil melampaui barisan tombak. Ia terjungkal roboh dengan
anak panah menancap di perut dan lehernya ! Kembali ada korban yang kehilangan
nyawanya dalam lomba ketangkasan ini. Namun para penonton tidak lagi menjadi
ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata oleh mereka betapa
sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini.
Ketika
peserta ke lima yang mukanya sudah pucat melihat betapa rekan-rekannya gagal
bahkan ada yang tewas itu membentak kudanya mulai mulai lari membalap, semua
orang memandang penuh ketegangan. Peserta ke lima ini tubuhnya jangkung kurus
namun bahunya bidang dan lengannya kelihatan kuat. Ia berhasil melompati
barisan tombak, berhasil pula melewati barisan anak panah dengan cara sembunyi
di bawah perut kuda seperti dilakukan peserta pertama, akan tetapi ketika ia
memperlihatkan keahliannya memanah, di antara tujuh batang anak panahnya hanya
dua yang menancap pada perut sasaran, yang lima meleset semua. Kegagalan inilah
yang menyebabkan ia dianggap tidak lulus, tidak diterima menjadi calon panglima
dan hanya dinaikkan pangkatnya satu tingkat saja. Namun ia masih beruntung
kalau dibandingkan dengan rekan-rekannya yang tewas atau terluka parah.
Tibalah
kini giliran Salinga. Begitu pemuda berkuda putih ini maju, para penonton
bertepuk tangan. Pemuda ini amatlah tampan dan sikapnya tenang, jelas bahwa
orangnya rendah hati dan tidak sombong, namun pandang matanya yang tajam itu
membayangkan semangat dan keberanian yang luar biasa. Para penonton yang sudah
tahu bahwa pemuda ini adalah pilihan puteri mahkota, tentu saja simpati dan
mengharapkan pemuda ini akan berhasil baik dan lulus. Sebaliknya, Puteri Tayami
biarpun kelihatan tenang-tenang saja, diam-diam ia merasa kuatir kalau-kalau
kekasihnya takkan berhasil. Perlombaan atau ujian sehebat ini hanya diadakan
beberapa tahun sekali kalau raja berkenan hendak memilih calon-calon panglima
yang harus benar-benar gagah perkasa.
Seperti
juga yang lain-lain. Salinga membawa kudanya ke depan panggung, lalu ia turun
dan memberi hormat sambil berlutut ke arah raja. Kemudian matanya mengerling
sekilas ke arah kekasihnya. Alangkah besar hatinya ketika ia menerima kiriman
senyum dari Tayami, senyum yang menimbulkan keyakinan di dalam hatinya bahwa
demi untuk puteri pujaannya, ia harus dan akan berhasil !
Pada
saat ia bangun kembali dan melompat ke atas punggung kudanya, tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda dan tahu-tahu seekor kuda berbulu merah telah
berada di dekatnya. Salinga tercengang ketika mengenal penunggangnya yang bukan
lain adalah Panglima Muda Bayisan ! Segera ia menjura di atas kuda putihnya dan
berkata.
"Salam,
Tuan Panglima!" "Salam, perwira Salinga yang gagah!" balas
Bayisan. "Ada pesan apa gerangan yang hendak Tuan sampaikan kepada
saya?"
"Tidak
ada apa-apa Salinga. Hanya, melihat bahwa peserta terakhir tinggal engkau
seorang dan aku yang hendak mencoba-coba sukarnya ujian, sebaliknya kita
lakukan itu bersama. Bukankah hal itu akan menambah kegembiraan dan akan
membesarkan hati kita, juga menggembirakan para penonton?"
Tentu
saja Salinga maklum bahwa di antara para saingannya dalam berebut hati tuan
puteri, Bayisan ini merupakan saingan terberat dan juga paling berbahaya. Sudah
seringkali kekasihnya, Puteri Tayami, memperingatkan agar ia berhati-hati
terhadap Bayisan. Ia tentu saja dapat menduga bahwa panglima muda yang
sebetulnya juga pangeran ini mempunyai maksud tersembunyi dalam mengajak ia
melakukan ujian bersama. Terang bahwa Bayisan takkan mungkin berani mencelakainya
di depan begitu banyak saksi, di antaranya raja dan puteri mahkota sendiri.
Salinga menaruh curiga dan tidak suka, akan tetapi betapapun juga, tak dapat ia
menolak, tak dapat ia berlaku tidak hormat kepada Bayisan. Pertama, Bayisan
adalah panglima muda, jadi masih termasuk atasannya biarpun ia dimasukkan ke
dalam pasukan yang langsung dikepalai panglima tua. Ke dua, Bayisan adalah
putera raja sendiri, biarpun hanya putera selir yang tidak begitu harum namanya
karena menjadi selir raja atas kehendak suaminya yang kemudian di hukum mati.
"Tuan
Panglima amat gagah perkasa, tentu saja ujian ini sebagai main-main belaka,
berbeda dengan saya yang harus mempertaruhkan nyawa untuk dapat lulus."
Kata salinga merendah.
Mendengar
ini, Bayisan tertawa bergelak dan sengaja berkata dengan suara keras agar
terdengar orang lain, terutama tentu saja, agar terdengar Puteri Tayami.
"Ha-ha-ha,
mempertaruhkan nyawa untuk permainan macam itu saja ? Ha-ha, kau berkelakar,
Salinga ! Siapa yang tidak tahu akan ketangkasanmu ? Hayolah, jangan membuang
waktu lagi. Kuda kita sama-sama baik, usiamu lebih muda daripada usiaku, tentu
kau lebih tangkas. Ha-ha!" Bayisan lalu mencambuk kudanya yang melesat
maju. Merah muka Salinga karena ia maklum apa yang dimaksudkan oleh Bayisan tadi,
akan tetapi ketika ia mengerling ke arah panggung, ia melihat Tayami kembali
tersenyum kepadanya, senyum yang mengatakan berpihak kepadanya. Ia pun
tersenyum pula dan mencambuk kuda putihnya yang terbang maju ke depan.
Penonton
bersorak riuh rendah. Hebat memang melihat kedua orang gagah itu. Kuda yang
mereka tunggangi juga merupakan kuda pilihan. Kuda putih tunggangan Salinga
adalah kuda pemberian Puteri Tayami, tentu saja merupakan kuda pilihan dari
kandang istana. Adapun kuda merah tunggangan Bayisan juga datang dari kandang
istana, karena kuda ini hadiah dari raja sendiri ketika ia berhasil menumpas
pasukan musuh beberapa hari yang lalu. Banyak di antara penonton hanya
mendengar kegagahan panglima muda dari cerita para anggota pasukan belaka, jarang
ada yang pernah menyaksikan sendiri, maka kesempatan yang amat baik tentu saja
menggembirakan hati mereka.
Sementara
itu, Kwee Seng yang ikut merasa tegang dan gembira, tiba-tiba terkejut bukan
main ketika ia mendengar suara berkeresekan di atasnya dan ketika ia mengangkat
mukanya, ia melihat seorang kakek tua sudah duduk di atas cabang, hanya dua
meter di sebelah atasnya ! Inilah yang membuat ia merasa kaget bukan main.
Biarpun ia tadi memperhatikan ketegangan di bawah, namun bagaimana ia tidak
dapat mendengar ada orang yang tahu-tahu berada di atasnya ? Ia memperhatikan
kakek itu. Kakek yang aneh sekali. Pendek, luar biasa pendeknya paling-paling
satu meter tingginya. Tubuhnya, kaki tangannya, kecil seperti kaki tangan anak
berusia sepuluh tahun, akan tetapi kepalanya sebesar kepala orang dewasa,
bahkan lebih besar lagi tampaknya karena rambutnya yang penuh uban itu
riap-riapan, kumis jenggotnya memenuhi separuh muka, alisnya juga panjang
sampai ke pipi, bibir yang merah tampak membayang di antara kumis jenggot,
tersenyum-tersenyum lebar dan matanya yang kecil itu bersinar gembira seperti
anak yang nakal. Di pundaknya sebelah kanan bertengger seekor burung, burung
hantu atau burung malam yang matanya seperti mata kucing, kelihatan cerdik
licik dan menakutkan! Sekali pandang saja maklumlah Kwee Seng bahwa kakek
pendek aneh yang duduk di sebelah atasnya itu adalah seorang yang berkepandaian
tinggi, maka ia bersikap hati-hati dan waspada. Ia tidak pernah mendengar di
dunia kang-ouw ada tokoh macam ini, maka ia tidak tahu dari golongan mana kakek
ini dan bagaimana pula sepak terjang serta wataknya.
Karena
sejak tadi ia sendiri tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya, bahkan ketika
naik ke atas pohon itu pun ia mendaki seperti orang biasa, maka Kwee Seng merasa
yakin bahwa tak seorang pun dapat menduga ia berkepandaian, juga kakek itu
tentu tidak. Maka ia segera pura-pura tidak melihatnya, atau tidak
mempedulikannya, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan melanjutkan
keasyikannya tadi menonton perlombaan.
Tangkas
sekali Salinga dengan kuda putihnya. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring,
Salinga mencambuk dan kudanya melompat ke atas melewati barisan tombak. Rambut
dan ujung baju Salinga berkibar-kibar bersama ekor kuda ketika mereka melayang
di atas barisan tombak, selamat sampai di ujung dan turun kembali ke atas
tanah. Akan tetapi, lebih hebat sorak-sorai menyambut lompatan kuda merah yang
ditunggangi Bayisan. Panglima muda ini sengaja melompat tepat di belakang
Salinga dan begitu kuda merahnya melompat diam-diam Bayisan mengerahkan
lwee-kang dan gin-kangnya. Ia menjepit perut kudanya dan menambah tenaga
loncatan kuda dengan loncatannya sendiri sehingga dia bersama kudanya melayang
jauh lebih tinggi daripada Salinga ! Para penonton dengan jelas melihat betapa
kuda merah itu semeter lebih berada di atas kuda putih dan melayang lebih
cepat. Kalau saja Bayisan menghendaki, bisa saja ia menurunkan kuda merahnya
tepat di atas Salinga sehingga pemuda itu dengan kuda putihnya akan celaka.
Kalau hal ini terjadi, tentu merupakan kecelakaan yang tidak disengaja, namun
ia tetap kuatir kalau-kalau Raja dan Tayami mengetahui rahasianya, selagi para
penonton menahan napas dan berseru kaget melihat kuda merah meluncur di atas
kuda putih, tiba-tiba Bayisan berseru keras sekali dan tahu-tahu kuda merahnya
itu berjungkir balik membuat salto di udara dan turun beberapa meter di sebelah
depan kuda putih !
Gemuruh
sorak dan tepuk tangan menyambut pertunjukan yang hebat ini. Bahkan Kwee Seng
sendiri yang ikut bertepuk tangan, diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan
kelihaian Bayisan. Ia tahu bagaimana caranya Bayisan melakukan semua itu, dan
inilah pula yang menyebabkan ia kagum karana tokoh Khitan itu ternyata amat
maju dalam lwee-kang dan gin-kangnya. Kalau semua orang bertepuk dan bersorak,
adalah kakek di atas Kwee Seng itu bersungut-sungut, "Ah, bau...!
Bau...!" Kwee Seng mendengar ini akan tetapi pura-pura tidak dengar dan
tidak tahu, karena sebenarnya ia pun tidak mengerti mengapa kakek itu
mengatakan bau. Bau apa sih ?
Dengan
lagak dibuat-buat Bayisan sengaja minggirkan kudanya dan memberi isyarat dengan
tangan agar Salinga melarikan kudanya terlebih dahulu memasuki barisan anak
panah. Para penonton sudah diam semua karena kini mereka mulai merasa tegang.
Bagaimanakah gerangan cara kedua orang gagah ini menghadapi hujan anak panah ?
Apakah juga seperti yang dilakukan peserta pertama tadi bersembunyi di bawah
perut kuda ? Cara seperti ini memang amat populer di antara orang-orang Khitan
dan boleh dibilang setiap prajurit mempelajarinya, walaupun tidak banyak
berhasil baik karena cara ini hanya dapat menyelamatkan diri dalam keadaan
darurat saja. Dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan perang sungguh-sungguh,
cara ini malah kurang tepat karena biarpun tubuh sendiri tidak terkena anak
panah, kalau kudanya yang terkena dan roboh, bukankah penunggangnya akan
tergencet dan memudahkan musuh untuk membunuhnya? Betapapun juga, cara lain
tidak ada dan kini menyaksikan dua orang muda itu memasuki barisan panah, tentu
saja para penonton, termasuk raja sendiri dan juga puteri mahkota, memandang
penuh perhatian dan ketegangan.
Ketika
kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu terdengar menjepret dan anak
panah menyambar-nyambar, sekali menggentakkan tubuhnya, Salinga telah meloncat
dan berdiri di atas punggung kudanya, berdiri sambil menekuk lutut membuat
tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok. Dengan begini, anak panah
menyambar ke arahnya ke seluruh bagian tubuh dari kepala sampai ke kaki !
Karena para pemanah itu memang diperintahkan untuk memanah Si Penunggang Kuda
dan sama sekali tidak boleh memanah kudanya. Begitu puluhan batang anak panah
itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru keras dan tubuhnya
mencelat ke atas dalam keadaan masih seperti berjongkok. Kudanya lari ke depan,
akan tetapi karena Salinga juga mencelat ke depan, ketika ia turun lagi, tepat
kakinya tiba di atas pelana kudanya. Kembali anak panah menyambar, akan tetapi
kembali tubuh Salinga mencelat ke atas dan demikianlah secara bertubi-tubi anak
panah itu dapat dielakkan sambil meloncat ke atas dengan gerakan yang tangkas
sekali !
Sorak-sorai
menyambut cara menghindarkan anak-anak panah ini, cara yang dianggap lebih
tangkas dan lebih berani daripada cara bersembunyi di perut kuda, akan tetapi sudah
tentu saja merupakan cara yang lebih sukar, yang hanya dapat dipelajari
orang-orang pandai. Tiba-tiba sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika
Bayisan dengan tenangnya memasuki barisan anak panah bersama kudanya yang ia
jalankan seenaknya saja. Anak panah menyambar bagaikan hujan ke arahnya, namun
panglima muda ini sama sekali tidak membuat gerakan mengelak. Semua orang
termasuk raja kaget karena bagaimana orang itu begitu enak-enakan sedangkan
puluhan anak panah menyambar dengan cepat ke arahnya ? Akan tetapi tiba-tiba
Bayisan menggunakan cambuk di tangan kanan yang diputar-putar cepat sekali,
menangkis semua anak panah yang runtuh ke kanan kiri begitu terkena sambaran
cambuk yang diputar. Tangan kirinya juga ikut membantu, begitu lengan baju yang
kiri menyampok, anak panah menyeleweng atau terpental kembali Kwee Seng
diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak maju dan kalau dibandingkan
dengan beberapa tahun yang lalu.
"Ah,
bau...! Tengik dan kecut ! Jembel busuk tak pernah mandi!" Terdengar makian
perlahan di sebelah atas Kwee Seng. Mendengar makian ini, Kwee Seng mengerutkan
kening. Kurang ajar, pikirnya. Kiranya yang dimaki bau tengik dan kecut adalah
dia ! Dengan hati mendongkol Kwee Seng berdongak, memandang kakek itu yang juga
memandang kepadanya sambil menutup lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari
yang menjepit hidung.
"Heh-heh,
kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba
kau cukur bersih cambang baukmu, tentu lenyap bau tak enak itu, heh-heh-heh!"
Mendengar
ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidungnya, lalu tangannya menyambar
jenggot dan kumisnya yang panjang, dibawa dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia
mendengus-dengus dan mencium-cium. Mendadak ia berbangkis dua kali.
"Haching
! Haching ! Apek... apek ! Wah, jembel busuk, kau berani mempermainkan aku, hah
? Burung setan, kau wakili aku pancal hidungnya sampai keluar kecap dan tampar
kedua pipinya sampai bengkak-bengkak!" Kakek itu berkata perlahan.
Kwee
Seng memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan, karena orang takkan
dapat menduga apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh seperti itu, akan
tetapi ia kaget juga ketika tiba-tiba sesosok sinar abu-abu menyambaar ke arah
mukanya, kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan gerakan terbang yang
sama sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu telah menggunakan
paruhnya untuk mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan kedua sayap burung
itu ke arah kedua pipinya ! Serangan yang hebat sekali, lebih hebat daripada
sambaran anak-anak panah yang betapa laju pun.
"Plak-plak-plak!!!"
Beberapa helai bulu burung rontok dan burung itu sendiri mengeluarkan suara
"huuuk... huuuuk...!" terbang ke atas, lalu lenyap ke atas pohon,
mengeluh kesakitan. Hidung Kwee Seng sama sekali tidak mengeluarkan kecap dan
sepasang pipinya tidak bengkak-bengkak seperti yang diharapkan kakek cebol itu.
Kwee Seng masih duduk enak-enakan dan tidak pedulikan lagi kakek di atasnya,
melainkan menonton kelanjutan perlombaan di bawah. Tadi ia menggunakan sentilan
dan tamparan mengusir burung tanpa membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu
tidak bersalah apa-apa, hanya memenuhi perintah Si Kakek Cebol.
Saat
itu, Salinga sudah melarikan kuda putihnya mengelilingi lapangan untuk
memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah. Pemuda ini biarpun tidak
selihai bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk menjadi seorang perwira
jagoan di dalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar dan berat mengeluarkan
suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh batang anak panah telah
menancap, empat batang anak panah yang kesemuanya tepat mengenai sasaran di
bagian yang penting dan mematikan. Tentu saja para penonton, termasuk Puteri
Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan tepuk sorak gemuruh, karena jelas
bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut menjadi calon panglima !
Akan
tetapi, apa yang dilihat penonton selanjutnya, benar-benar membuat penonton
besorak lebih gemuruh lagi, karena pertunjukan Bayisan benar-benar mengagumkan
mereka. Seperti juga Salinga, panglima muda ini melarikan kuda merahnya amat
cepat mengelilingi lapangan, demikian cepatnya kuda merah itu lari sehingga
merupakan bayangan merah yang bagaikan terbang mengelilingi sasaran. Ketika
larinya kuda tiba di depan sasaran, tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar
dari atas kuda menuju sasaran, dan .... Tiga belas batang hui-to (pisau
terbang) telah menancap di tiga belas bagian tubuh yang mematikan yaitu di
antara kedua alis, ditenggorokan, di kedua pundak, di kanan kiri dada, di pusar,
di kanan kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini merupakan
demonstrasi ilmu melempar senjata yang amat hebat, yang belum pernah disaksikan
oleh mereka semua. Memang sebenarnya Bayisan merahasiakan kepandaiannya ini,
akan tetapi karena ingin memamerkan kepandaiannya di depan Tayami, untuk
mengalahkan Salinga, terpaksa kini ia perlihatkan.
Bau...
bau...! He, jembel muda yang tengik. Kau berada di bawahku, baumu naik memenuhi
hidungku. Hayo kau bersamaku memeperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa
tidak ada artinya semua pertunjukan ini. Akan tetapi karena kau bau sekali, kau
harus berada di atasku, aku menjadi kuda, kau boleh menunggang
punggungku!"
Kwee
Seng berdongak ia terkekeh geli. Kakek itu tidak tampak lagi mukanya, ditutup baju
yang ditariknya ke atas, kemudian tubuh kakek itu melayang jauh ke bawah, di
depannya menyambar tangannya untuk ditarik bersama ke bawah. Kwee Seng
terkejut, namun ia cepat mengerahkan gin-kangnya yang ikut melayang ke bawah.
Maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan cari perkara, ia merasa
gembira dan begitu melihat kakek itu tiba di tanah dalam keadaan merangkak,
yaitu kedua tangan menjadi kaki depan, muka seekor keledai kecil sekali, ia
tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan melayani kehendak Si Kakek, cepat ia
melompat dan tepat tiba di punggung kakek itu dengan ringan !
Begitu
merasa tubuh jembel muda itu tiba-tiba di punggungnya, Si Kakek memperdengarkan
suara meringkik mirip kuda, lalu ia "lari" dengan empat kakinya, lari
congklang ke tengah lapangan ! Kwee Seng terkekeh-kekeh, rambutnya riap-riapan,
dan ia menoleh ke kanan kiri dengan lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan
lain-lain peserta tadi. Seolah-olah ia juga seorang peserta yang gagah perkasa
menunggang kuda yang tangkas.
Ributlah
para penonton, terdengar gelak tawa di sana-sini, lalu memecah terbahak-bahak.
Lucu sekali memang. Penunggangnya seorang jembel berpakaian compang-camping
penuh tambalan, rambutnya riap-riapan bertelanjang kaki, "kudanya"
mirip seekor anjing buduk yang pincang kakinya.
Para
perajurit penjaga menjadi marah dan hendak menghalangi Si Gila itu membikin
kacau, akan tetapi raja mengangkat tangan mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja
Kulu-khan berkata, "Biarkan! Biarkan! Bukankah ini merupakan pertunjukan
lawak yang menarik?"
Diam-diam
Si Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa tubuh jembel muda itu tiba di
punggungnya seperti sehelai daun kering. Rasa kagum yang disusul rasa penasaran
karena biarpun ia adalah sudah tua bangka, namun ia adalah seorang yang memiliki
watak yang tidak mau kalah oleh siapapun juga ! Maka kini ia lari mencongklang
ke arah barisan tombak. Kemudian sekali ia menggerakkan kaki tangannya,
tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas tombak ! Di atas ujung mata
tombak yang runcing, yaitu empat buah tombak pertama, tangan dan kakinya
menekan ujung itu seperti seekor burung hinggap di atas cabang ! Kwee Seng
terkejut sekali dan diam-diam ia merasa amat kagum.
Gelak
tawa dari para penonton seketika terhenti, dan kini para penonton melongok
terheran-heran. Raja Kulu-khan sendiri terhenti di tengah-tengah senyumnya.
Puteri Tayami bangkit berdiri, dan para penglima, termasuk Kalisani dan Bayisan
berubah air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak gila lagi, melainkan pertunjukan
yang hebat ! Bayisan segera lari ke arah barisan panah dan memberi perintah
dengan suara perlahan, kemudian kembali lagi di tempat semula sambil memandang
penuh perhatian.
Tanpa
mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang menjadi kuda itu melangkahkan
"empat kakinya" setapak demi setapak melalui ujung mata tombak yang
berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng enak-enak duduk di atas punggungnya.
Karena Kwee Seng juga merasa panas perutnya melihat kakek ini seakan-akan
memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam Kwee Seng tidak menggunakan lagi
gin-kangnya, membiarkan tubuhnya memberat dan menindih kakek itu. Akan tetapi,
kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat melompat-lompat di atas mata
tombak, tidak menekankan tangan kaki lagi seperti tadi melainkan memegang dengan
tangan lalu melompat sehingga akhirnya ia sampai di baris terakhir lalu
melompat ke bawah.
Para
penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran, maka kini suara sorak-sorai
mengalahkan yang tadi karena sorakan itu diseling tawa terbahak saking kagum
dan lucu. Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya sebentar karena
"orang gila" bersama "kudanya" yang aneh sekali itu telah
mendekati barisan anak panah. Apakah mereka benar-benar hendak memasuki barisan
itu ? Mencari mampus ?
Ketegangan
memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak "nongkrong" di
punggung kakek itu seakan-akan tidak melihat bahaya, membiarkan dirinya dibawa
ke dalam barisan anak panah, di mana ahli-ahli panah telah siap melepaskan anak
panah. Busur telah mereka tarik sepenuhnya ! Bahkan di panggung kehormatan,
tidak ada suara berkelisik semua mata memandang penuh ketegangan, agaknya
napasnya pun ditahan menanti detik-detik yang akan datang itu. Dari mulut Raja
Kulu-khan terdengar suara. "Ah, sayang... kalau sampai mereka tewas..."
Akan tetapi suara ini hanya seperti bisik-bisik saja, pula pada saat seperti
itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan peristiwa aneh
itu ? Raja sendiri biarpun mulut berkata demikian, hatinya amat ingin
menyaksikan dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi orang
gila itu memasuki barisan anak panah.
Para
ahli panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan, menanti sampai orang gila
itu tiba di tengah-tengah lapangan, dan tepat pula seperti yang diperintahkan
Bayisan, mereka memanah untuk membunuh, maka begitu terdengar suara tali busur
menjepret disusul berdesirnya anak panah yang puluhan batang banyaknya, semua
anak panah itu selain menuju ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Kwee
Seng, juga ada yang mengaung lewat di pinggir dan aras kepalanya intuk mencegah
orang gila itu mengelak !
"Aduh
celaka...!" "Ahh...!" "Mati dia...!"
Bahkan
Raja Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa, demikian pula puteri Tayami
dan yang lain-lain ketika melihat betapa anak-anak panah yang banyak sekali
mengenai tubuh "orang gila" itu sehingga tubuhnya seperti penuh anak
panah, di kanan diri dada, bahkan ada yang menancap di mukanya ! Akan tetapi
anehnya, "kuda" kecil itu masih merayap terus dan orang gila itu masih
enak-enak duduk mengantuk, seakan-akan anak-anak panah yang menancap pada dada
dan mukanya itu tidak dirasainya sama sekali ! Kembali anak panah yang banyak
sekali menyambar, kini menuju kepada "kuda"! Berbeda dengan peraturan
yang berlaku dalam ujian ketangkasan itu, kini karena telah diberi komando
Bayisan yang tahu bahwa dua orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya
memancing keributan, mereka lalu menghujani "kuda" itu dengan anak
panah pula.
"Anak
kecil itu pun mati...!" teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja
sudah dapat menduga bahwa kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan
seorang manusia. Tentu seorang anak-anak karena kaki tangannya begitu kecil dan
pendek.
Aneh
pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak
dan tubuhnya pun penuh dengan anak panah ! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia
masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju ke lapangan di mana tersedia
sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian memanah !
Barulah
kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap di dada
orang gila itu sama sekali bukan menancap, melainkan di kempit di antara kedua
kelek (ketiak) dan di antara jari-jari tangan, malah yang tadinya disangka
menancap di muka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh
"orang gila" itu. Entah bagaimana cara "kuda" itu menerima
anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap pada tubuhnya, karena tubuh
itu masih tertutup baju yang dikerobongkan di kepala ! Setelah tiba di lapangan
memanah, tiba-tiba "kuda" itu lari congklang, bukan main cepatnya,
agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya kuda !
Tentu
saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan
gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja
Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang
dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani.
Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya
tiada hentinya berteriak.
"Hebat...
! Mereka orang-orang sakti ! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan
mereka?"
Hanya
Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat
itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan
dari selir, tapi lebih tua daripada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan.
Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.
"Siapakah
mereka...?" tanya Kubakan. "Aku tidak tahu..." jawab Bayisan
bingung.
"Jangan-jangan..."
Kubakan menoleh ke arah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum ke arah
lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji
bersama semua penonton.
"Ah,
agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu ? Malam ini
kita harus turun tangan..."
Kembali
Kubakan menoleh ke arah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang
pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari ke arah
lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat.
Setelah
lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang
menggendong Kwee Seng itu tiba di depan sasaran, jaraknya sama dengan jarak
para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang
nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat
roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari
punggung "kuda" dan sekali tubuhnya itu terbang cepat ke arah
sasaran.
"Cap-cap-cap-cap!!!"
Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran,
tak sebatang pun luput. Akan tetapi para penonton memandang bingung karena
tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang memandang ridak begitu kabur lagi oleh
berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah
yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap di atas gagang tiga belas
buah pisau terbang papnglima muda ! Gegerlah semua penonton saking kagum dan
herannya, akan tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa
"orang gila" itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap
di gagang hui-to yang tadi ia lepaskan.
Tiba-tiba
terdengar suara berkakakan dan "kuda" itu meloncat berdiri di atas
dua kaki belakangnya dan tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti
wajah patung dewa di kelenteng, kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali
anak panah sambil masih tertawa-tawa bergelak, keuda tangannya bergerak ke
depan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan ke arah sasaran. Anehnya,
anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan
boneka lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua
pundak dan kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah !
Tanpa
mempedulikan keributan semua orang di situ, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek
aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai
aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring otaknya
!
"Hoa-ha-hah,
jembel muda bau busuk, kau lumayan juga ! Aku harus mencobamu!"
"Kakek
cebol menjemukan ! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?" Kwee Seng
menjawab, karena betapapun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa
(tekebur). Biarpun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang
kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki
dibengkokkan lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum
bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat
sekali.
Akan
tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan
menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh.
Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak. "Aha-ha-ha ! Sudah cukup
main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu laagi, sudah lapar
dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum
kau terkencing-kencing oleh pukulanku!" Setelah berkata demikian, kakek
itu melompat-lompat, makinlama makin itnggi lompatannya yang modelnya seperti
katak melompat. Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala
orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh
kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh
sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah
hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si
Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak !
Kwee
Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat
larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang
lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan
cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan
seterusnya.
Kalisani
mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri ?
Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai
niat buruk terhadap kita, bahkan gaknya mereka berdua itu pun tidak saling
mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka
sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan
mengejar-ngejar mereka seperti maling?"
Dengan
wajah berkerut, Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam
hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga
keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakkukan perondaan di
dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka
amatlah lihai." Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani
yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa
sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin
sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh
Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau
ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang
pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan
kakek cebol yang begitu aneh.
Malam
itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam
hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai.
Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup,
membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu
letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton
keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati
keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang
masih selalu haus akan kesenangan.
Di
tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda
perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu
sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul ke
atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias
bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa
bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami,"
terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair. "Lihat
bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah
semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan
bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan
permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku
namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah
ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka
menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah
Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah
menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima
menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua
panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga
persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah
bahagia hatiku...."
Akan
tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran. "Betapapun juga Kanda
Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi
sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya
? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan
cahaya berapi."
"Ah,
dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih
condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau
tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi.
Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita ? Si Pengemis
Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun
juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan
mereka?"
"Memang
aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal
itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda
Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti
kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."
Tanpa
menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun
dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon,
kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan
menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan
tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu,
Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee
Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar
dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam
madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di dalam biduk kecil yang
diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai
di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di
telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka.
Tanpa
disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng.
Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau,
membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia
tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek
di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan
menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia
teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat
dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan
pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa
girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti
orang gila.
Mendadak
Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang
tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia
menyelinap, mendekat. Di bawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga
orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah,
mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini...?" Seorang di antara
mereka mengeluh. "Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok
! Apa kau hendak membantah perintahnya ? Justeru mereka tidak pandai berenang,
maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik
perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka
berdua yang sedang main-main di perahu tertimpa malapetaka, perahu terguling
dan mereka mati tenggelam.."
"Ahhh...!"
Kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak
seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah,
tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu turun ke
dalam air perlahan-lahan, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat.
Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum
pula bahwa ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda
yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan
hati mangkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara
hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang
pohon terdekat dengan tangan dimiringkan.
"Krakkkk!"
Batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh,
bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika
!
"Eh,
apa itu...?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara
keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh,
Kanda... celaka...!" Disusul jeritan Tayami karena pada saat itu, perahu
mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air !
Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan
diseret arus air menjauhi mereka.
Dua
orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi
karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut.
"Tolonggg...!"
Tayami menjerit akan tetapi suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan
mulut.
"Dinda...!"
"Kanda Salinga... ooohh...!" Mereka saling menangkap tangan, akan
tetapi justeru ini membuat gerakan mereka mengurang dan tubuh mereka tenggelam
kembali. Cepat-cepat mereka menendang-nendang dengan kaki dan muncul lagi gelagapan.
Pada saat itu, entah darimana datangnya, sebatang pohon meluncur di dekat
mereka.
"Dinda
Tayami, cepat pegang ini...!" Salinga berseru girang. Tak lama kemudian
mereka sudah berhasil menangkap batang pohon itu. Dengan bantuan Salinga,
Tayami sudah duduk di atas batang pohon sambil muntahkan air yang telah banyak
diminumnya. Salinga sendiri memeluk batang pohon itu agar jangan bergulingan.
Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka terurai, akan tetapi untuk sementara
mereka selamat.
"Kanda...
mengapa perahu kita terguling..?" "Entahlah, tidak perlu dipikirkan
sekarang. Paling penting kita harus dapat mendayung batang ini ke
pinggir..." Dengan susah payah Salinga berusaha menggerak-gerakkan batang
itu ke pinggir akan tetapi karena tidak didayung, batang pohon itu bergerak
perlahan menurutkan arus sungai.
Pada
saat itu, terdengar suara "huuukk.. huuukkk...!" dan menyambarlah
seekor burung yang matanya berkilauan seperti mata kucing.
"Ihhh...
burung hantu...!" seru Tayami dengan perasaan ngeri. Sudah menjadi
kepercayaan di daerah itu bahwa burung hantu ini pembawa berita kematian, maka
siapa bertemu dengannya tentu akan kematian seorang keluarga.
Ia...
membawa bungkusan...!" seru pula Salinga terheran-heran.
Betul
saja. Kuku burung itu mencengkram tali di mana tergantung sebuah bungkusan
kecil. Anehnya, begitu melihat mereka, burung itu menyambar turun dan sayapnya
hampir saja mengenai muka Tayami kalau saja gadis ini tidak cepat-cepat
mengelak sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu bukannya menyerang,
melainkan melepas tali dan bungkusan itu jatuhlah ke depan Tayami, tepat di
atas batang pohon !
"Ada
tulisannya!" Tayami berseru heran melihat tulisan huruf-huruf besar dan
jelas di atas bungkusan. Kalau huruf-huruf itu tidak jelas tentu takkan dapat
terbaca di bawah sinar bulan.
"LEKAS
PULANG DAN ISI BUNGKUSAN INI PAKAI SEBAGAI BEDAK BARU MALAPETAKA DAPAT
DICEGAH."
Tayami
membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh Salinga. "Apa artinya
ini?" "Entahlah, Dinda. Semua terjadi serba aneh. Perahu kita terguling.
Kita hampir celaka lalu tiba-tiba ada batang pohon ini yang menolong kita. Lalu
muncul burung hantu yang memberi bungkusan dan surat. Ihhh, benar-benar
menyeramkan sekali. Kausimpan bungkusan itu, mari bantu aku mendayung batang
pohon itu dengan kaki agar dapat minggir." Mereka segera bekerja dan betul
saja, sedikit demi sedikit batang kayu itu bergerak ke pinggir.
Sementara
itu, tiga orang Khitan yang telah selesai melakukan pekerjaan jahat itu,
cepat-cepat menyelam dan berenang ke pinggir kembali. Akan tetapi begitu mereka
muncul di pinggir dan meloncat ke darat, mereka kaget sekali karena di depan
mereka telah berdiri seorang yang terkekeh-kekeh dan ketika mereka mengenal
laki-laki gila yang pagi tadi mengacaukan perlombaan, mereka menjadi ngeri.
"Heh-heh-heh,
setelah membunuh lalu lari, ya?" Kwee Seng menegur. Tentu saja mereka
bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan mereka tadi mencelakai dan membunuh
puteri mahkota adalah perbuatan yang amat berbahaya. Kalau diketahui orang,
tentu mereka akan celaka, maka sekarang mendengar bahwa jembel gila ini sudah
melihat perbuatan mereka, serentak dua orang yang bertubuh tinggi besar itu
mencabut golok dan menerjang Kwee Seng ! Cepat gerakan mereka ini, dan cepat
pula hasil ayunan golok mereka, yaitu kepala mereka sendiri terbelah oleh golok
masing-masing sampai hampir menjadi dua dan tubuh mereka masuk ke dalam sungai
dan hanyut. Hanya dengan sentilan jari tangannya Kwee Seng telah membuat golok
yang menyerangnya itu membalik dan "makan tuan". Sejenak ia memandang
dua buah mayat yang menggantikan tempat Tayami dan Salinga itu, kemudian sekali
berkelebat ia telah meloncat dan menangkap tengkuk orang ke tiga yang melarikan
diri ketakutan.
"Ke
mana kau hendak lari?" "Am... ampun... hamba tahu pekerjaan itu terkutuk...
akan tetapi hamba terpaksa... kalau tidak mau melakukan tentu akan
dibunuh..."
"Hemm,
aku mendengar tadi keraguan melakukan perbuatan itu. Siapa yang memaksamu
melakukannya?"
"Panglima
Muda Bayisan..." "Mengapa ? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan
dibunuh?" "Hamba... hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu
setelah ... Sribaginda menerima Salinga menjadi calon mantu..."
"Hemmm..."
Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang
Khitan itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya
berkelebat lenyap dalam kegelapan malam.
Setelah
berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari ke arah kuda mereka, meloncat
ke punggung kuda setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda
kembali ke kota raja.
"Aku
merasa kuatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja." Kata Salinga.
Akan
tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada
tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah
dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa tadi, mereka langsung melarikan
kuda sampai depan istana. "Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak
perlu kau ceritakan siapapun juga. Biar besok kita bertemu lagi dan kita
bicarakan peristiwa itu!" Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau
bicara dengan siapa juga tentang peristiwa itu sebelum ia dapat membuka
rahasianya. Peristiwa yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar
kudanya pergi, ia berkata.
"Adinda,
sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai bedak. Lebih
baik suruh selidiki dulu oleh ahli obat."
Tayami
mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan lalu
berlari-lari memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian.
Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke rumahnya. Setelah para pelayan sibuk
membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti tubuhnya sampai kering
kemudian menggantikan pakaian bersih, lalu hendak menyanggul rambut yang belum
kering benar itu, Tayami mengusir mereka, "Keluarlah kalian semua, aku
ingin mengaso seorang diri."
Sambil
tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari ke luar dan Tayami duduk
di atas pembaringan dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena
habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung hantu tadi ia buka
perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali
berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda
harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk
mencegah malapetaka, membuat tangannya gatal-gatal untuk memakainya. Akan
tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema di telinganya. Salinga benar juga,
pikirnya. Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan mencegah malapetaka
apakah ? Di sini aman saja. Puteri Tayami bimbang antara kepercayaannya akan
tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya yang sudah terbuka itu ia taruh di
atas meja dekat pembaringan.
Gadis
puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata
mengintai, penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya
itu datang seperti setan, tanpa menimbulkan suara sedikitpun ketika kaki mereka
menginjak genteng ? Dan dua pasang mata itu memandang kagum ke dalam kamar pun
tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia laki-laki, takkan
terpesona dan kaagum melihat gadis puteri mahkota yang cantik jelita itu ?
Melihat di ditukar pakaiannya oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan
pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung seorang diri di dalam
kamar yang indah.
Kwee
Seng yang datang terlebih dulu karena sejak tadi ia dari jauh mengikuti puteri
ini, bersembunyi di sudut atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok
bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka genting dan
mengintai ke dalam pula, seperti dia ! Berdebar hatinya ketika mengenal orang
itu, yang bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas
kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun terpesona
oleh keindahan di dalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin
melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri
Khitan, teringatlah ia kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya
termenung dan penyakitnya hampir kumat !
Tayami
yang sedang termenung di dalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi.
Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan
peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia memandang bubukan obat.
Apakah maksudnya pengirim obat ini ? Benarkah burung itu bukan burung biasa ?
Ataukah disuruh oleh orang sakti ? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau
memang bedak ini dipakai untuk menolak malapetaka, apa salahnya ? Tentu
pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku pakai sedikit
untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu
bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak. Akan tetapi tiba-tiba
gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin
bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang
terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget
melihat bahwa di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang
tersenyum-senyum, Bayisan !
"Kanda
Panglima Bayisan...! Apa artinya ini ? Mengapa kau masuk ke sini secara
begini?" tayami bertanya gagap.
Bayisan
memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis di
depannya, mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar
penuh perasaan, "Alangkah indahnya rambutmu, Tayami... alangkah cantik
engkau...., bisa gila aku karena berahi melihatmu...."
Tiba-tiba
Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemerahan. "Kanda Panglima !
Apakah kau sudah gila ? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini di depanku
? Pergi kau keluar ! Kau tahu apa yang akan kauhadapi kalau kuadukan
kekurangajaranmu ini kepada ayah!"
Bayisan
tertawa mengejek. "Huh ! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam
ini kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja
Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku daripada menjadi isteri seorang
berdarah seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku
sudah terlalu lama menahan rindu berahiku...!" Bayisan melangkah maju,
kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, mataya yang agak kemerahan
karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.
"Bayisan,
berhenti ! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan
penjaga. Ke mana hendak kau taruh mukamu?"
"Heh-heh-heh,
menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan
totokan-totokanku yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani
cinta kasihku dengan suka rela karena... karena terhadapmu aku tidak suka
menggunakan kekerasan."
Mengingat
akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia tahu amat lihai. Tayami menjadi
makin panik. Sambil berseru keras ia melompat ke samping, menyambar pedangnya,
yaitu pedang Besi Kuning yang tergantung di dinding, lalu tanpa banyak cakap
lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut mengarah leher. Cepat bacokan ini
dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat, karena Tayami adalah seorang
puteri mahkota yang terlatih, menguasai ilmu pedang yang cukup tinggi. Akan
tetapi, tentu saja silat puteri mahkota ini tak ada artinya.
"Heh-heh,
Tayami yang manis. Kau seranglah, makin ganas kau menyerang, akan makin sedap
rasanya kalau nanti kau menyerahkan diri kepadaku!"
"Keparat
! Jahanam berhenti iblis ! Tak ingatkah kau bahwa kita ini seayah ? Tak
ingatkah kau bahwa aku ini Puteri Mahkota dan kau ini Panglima Muda ? Lupakah
kau bahwa pagi tadi ayah telah menjodohkan aku dengan Salinga ? Bayisan,
sadarlah dan pergi dari sini sebelum kupenggal lehermu!"
"Heh-heh-heh,
Tayami bidadari jelita. Kau hendak memenggal leherku, kau penggallah, sayang.
Tanpa kepala pun aku masih akan mencintaimu!" Bayisan mengejek dan
betul-betul ia mengulur leher mendekatkan kepalanya, malah mukanya akan mencium
pipi gadis itu.
Tayami
marah sekali, pedangnya berkelebat, benar-benar hendak memenggal leher itu
dengan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bayisan tertawa,
miringkan tubuh menarik kembali kepalanya. Pedang menyambar lewat, jari tangan
Bayisan bergerak menotok pergelangan lengan dan... pedang itu terlepas dari
pegangan Tayami, terlempar ke sudut kamar !
Bayisan
sudah mencengkeram rambut yang panjang riap-riapan itu ke depan mukanya,
mencium rambut sambil berkata lirih, "Alangkah indahnya rambutmu...
halus... ah, harumnya..."
Tayami
kaget sekali, tangan kirinya diayun memukul kepala, akan tetapi dengan mudah
saja Bayisan menangkap tangan ini dan ketika tangan kanan Tayami juga datang
memukul, kembali tangan ini ditangkap. Kedua tangan gadis itu kini tertangkap
oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa menyeringai.
"Kaulihat,
alangkah mudahnya aku membuat kau tidak berdaya!" Tangan kirinya
mengelus-elis dagu yang halus. "Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat
kuat, amat kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki manapun juga di
Khitan ini!" Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan tubuh
Tayami terguling ke atas pembaringan.
Gadis
itu takut setengah mati, lalu nekat, menerjang maju lagi sambil melompat dari
atas pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas ketika jari
tangan Bayisan menotok jalan darah bagian thian-hu-hiat yang membuat seluruh
tubuhnya menjadi seperti lumpuh ! Dengan lagak tengik Bayisan kembali mengusap
pipi gadis itu sambil tertawa.
"Heh-heh,
betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan kekerasan. Kau tak dapat bergerak
sama sekali, bukan ? Akan tetapi aku tidak menghendaki demikian, juitaku. Aku
ingin kau menyerahkan diri secara sukarela kepadaku, ingin kau membalas cinta
kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan tak berdaya. Nah, bebaslah dan
kuberi kesempatan berpikir." Tangannya menotok lagi dan benar saja. Tayami
dapat bergerak kembali. Muka gadis ini sudah pucat sekali, akan tetapi sepasang
matanya berapi-api saking marahnya. Ia akan melawan sampai mati, tidak nanti ai
mau menyerah ! Baru sekarang ia teringat untuk menjerit, karena tadinya, selain
terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang katanya telah merobohkan semua penjaga dan
pelayan, juga tadinya ia merasa malu kalau peristiwa ini diketahui orang luar. Akan
tetapi melihat kenekatan Bayisan yang seperti gila itu, ia tidak peduli lagi
dan tiba-tiba Tayami menjerit sekuatnya. Aneh dan kagetlah ia ketika tiba-tiba
lehernya terasa sakit dan sama sekali ia tidak dapat mengeluarkan suara!
"Heh-heh-heh,
jalan darahmu di leher kutotok, membuat kau menjadi gagau ! Nah, insyaflah,
Tayami, betapa mudahnya bagiku. Dengan tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat
kaulakukan untuk menolak kehendakku ? Akan tetapi aku tidak mau begitu... aku
ingin memiliki dirimu sepenuhnya, berikut hatimu. Manis, kau balaslah
cintaku...." Bayisan melangkah maju lalu memeluk.
Tayami
memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali
tidak terasa agaknya oleh Bayisan. Pemuda Khitan yang seperti gila ini menciumi
muka Tayami, mebujuk-bujuk dan terdengar kain robek. Terengah-engah Tayami
ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya sambil memandang dengan mulut
menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek, wajah gadis ini pucat sekali.
Celaka
pikirnya. Tidak ada senjata lagi. Tiba-tiba Tayami teringat akan bungkusan
bedak di atas meja. Kalau bedak itu mengenai mata, tentu untuk sesaat Bayisan
takkan dapat membuka matanya, mungkin ada kesempatan baginya untuk lari ke luar
kamar.
Bayisan
sudah hendak memeluk lagi. "Tayami sayang, aku cinta kepadamu... kau
layanilah hasratku...."
Tiba-tiba
Tayami memukulkan tangan kirinya ke arah ulu hati Bayisan. Melihat pukulan itu
keras juga dan mengarah bagian berbahaya, sambil tertawa Bayisan menangkap
tangan ini dan hendak mendekap tubuh Tayami. Mendadak tangan Tayami yang kanan
menyambar dan segumpak uap putih menghantammuka Bayisan yang sama sekali tidak
menyangka-nyangka itu. Begitu melihat sambitannya mengenai sasaran, Tayami
cepat melompat ke belakang sampai mepet dinding belakang pembaringan.
"Kau...
kau apakan mukaku ? Tayami... kau gunakan apa ini...?" Ia terhuyung-huyung
menuju ke meja rias di mana terdapat sebuah cermin. Ketika ia memandang
wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan liar seperti bukan suara manusia lagi.
Tayami
yang sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi mukanya dengan kedua tangannya
tak sanggup ia melihat lebih lama lagi. Ia memang seorang gadis perkasa, tak
gentar menghadapi perang, sudah biasa melihat mayat bertumpukan sebagai korban
perang, melihat orang terluka parah. Akan tetapi peristiwa yang mereka hadapi
sekarang ini benar-benar mengerikan sekali, apalagi kalau ia ingat betapa tadi
sebelum Bayisan datang, hampir saja ia menggunakan bedak beracun itu untuk
membedaki mukanya. Menggigil kengerian ia kalau membayangkan betapa kulit
mukanya yang halus itu akan digerogoti perlahan-lahan oleh racun itu, betapa
mukanya akan tak berkulit lagi, seperti muka iblis yang seburuk-buruknya.
Kembali
Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika ia membalikkan tubuh menghadapi
pembaringan di mana Tayami duduk bersimpuh kengerian dan ketakutan.
"Kau...
kau... setan betina... kucekik lehermu sampai mampus..." Ia menubruk maju,
akan tetapi tiba-tiba ia berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang, tangan
kirinya meraih ke arah pundak kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan gatal
panas. Ketika ia berhasil mencabut jarum hitam yang menancap di pundak
kanannya, ia berteriak kaget, mundur beberapa langkah dan berdongak ke atas. Di
sana, di celah-celah genteng, tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang
muda yang rambutnya riap-riapan. Bayisan tentu saja mengenal jarum hitamnya,
maka tadi ia kaget setengah mati melihat pundaknya dilukai orang dengan
jarumnya sendiri, kini melihat muka itu, muka jembel muda yang siang tadi
membikin kacau, teringatlah ia akan muka Kwee Seng, teringatlah ia akan semua
peristiwa di puncak Liong-kwi-san.
"Liong...
kwi.... san ...." Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia
bahwa tidak harapan baginya untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee
Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia dapat tinggal di istana
setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi
seperti muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti
lolong seekor srigala hutan yang kelaparan ketika tubuhnya berkelebat ke arah
jendela dan lenyaplah Bayisan di dalam kegelapan malam.
Kwee
Seng tersenyum puas. Tak perlu ia membunuh Bayisan, cukup dengan mengembalikan
jarumnya di tempat yang sama. Ia puas melihat Bayisan sudah cukup terhukum oleh
perbuatannya sendiri yang jahat. Siapa kira, bungkusan yang ia duga dikirim
kakek cebol untuk puteri mahkota Khitan itu, ternyata berisi bedak beracun dan
secara tidak sengaja telah dapat memberi hukuman mengerikan kepada Bayisan si
manusia jahat ! Akan tetapi kakek cebol itu juga jahat. Bagaimana seandainya
bedak itu dipergunakan oleh puteri mahkota ? Kwee Seng bergidik. Tak sampai
hatinya membayangkan hal ini. Dia amat sayang akan segala yang indah-indah, kalau
sampai wajah yang jelita itu, dikupas kulitnya oleh bedak beracun, hiiiih !
"Kakek
cebol, kau tua bangka iblis, tak dapat kudiamkan saja perbuatanmu ini!"
kata Kwee Seng di dalam hatinya dan ia pun meloncat turun dari atas genteng,
menghilang di dalam gelap
Pada
keesokan harinya, kota raja bangsa Khitan itu geger ketika Pangeran Kubakan
mengumumkan bahwa Raja Kulu -khan telah meninggal dunia dengan mendadak karena
terserang sakit setelah menghadiri pesta perlombaan kemarin. Tentu saja hal ini
mengejutkan bangsa Khitan yang merasa sayang kepada raja yang adil itu. Semua
orang berkabung untuk kematian yang tak tersangka-sangka ini.
Adapun
di dalam istana sendiri, tidak kurang hebatnya pukulan yang tak
tersangka-sangka ini. Tayami mengisi jenazah ayahnya dan para panglima hanya
saling pandang dengan penuh pengertian. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan,
akan tetapi tahu-tahu raja telah meninggal dunia di atas pembaringannya, tidak
ada tanda luka, tidak ada tanda minuman atau makanan beracun. Akan tetapi bagi
pandang mata yang awas dari para panglima yang tahu akan ilmu silat tinggi,
yaitu misalnya Kalisani Si Panglima Tua, atau juga panglima-panglima kosen
seperti Pek-bin Ciangkun (Panglima Muka Putih) dan Salinga, dapat menduga bahwa
kematian raja mereka itu adalah akibat pukulan jarak jauh yang mengandung
tenaga sin-kang dengan hawa beracun. Dari sembilan lubang di tubuh raja itu
keluar darah menghitam, ini tandanya keracunan hebat oleh pukulan yang merusak
tubuh sebelah dalam.
Ketidak
hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini bahwa Bayisan itulah yang telah
membunuh raja, ayahnya sendiri! Mungkin karena tak senang dengan pengangkatan
Salinga sebagai calon panglima dan mantu raja. Akan tetapi, setelah mereka
mendengar penuturan puteri mahkota tentang kekurangajaran Bayisan memasuki
kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri Tayami dengan bubuk beracun
sehingga Bayisan menghilang, para panglima itu tidak mau membicarakan hal ini
di luaran. Hanya diam-diam mereka mencari Bayisan untuk membalas dendam atas
kematian raja, namun semenjak saat itu Bayisan menghilang sehingga orang
menyangka bekas panglima itu tentu telah tewas oleh racun.
Sejak
kematian Raja Kulu-khan itulah, timbul perebutan kedudukan raja di Khitan.
Tentu saja menurut sepatutnya karena yang menjadi puteri mahkota adalah Tayami,
maka puteri inilah yang menggantikan kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang
wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan, sedangkan calon
suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di
antara mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro
dengannya tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya adalah panglima
tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.
"Biarpun
tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera, akan
tetapi apa gunanya kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup
ada kita yang akan maju dengan persetujuan raja. Puteri Tayami adalah puteri
mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang
tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak
mentaati perintah mendiang raja kita?" Demikian antara lain Kalisani
membela kedudukan Puteri Tayami!
Akan
tetapi, pihak lain membantah dengan sama kerasnya. "Kita semua maklum
bahwa bangsa Khitan menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai
bangsa yang gagah perkasa tidak sekarang mencari tempat di selatan mau tunggu
sampai kapan lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang
gagah berani, seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami
juga seorang wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapapun juga,
langkah seorang wanita tidak selebar laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga
tinggal dalam kedudukannya sebagai puteri mahkota yang kita hormati, akan
tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran."
Perdebatan
sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara. Sebagian besar para
panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan
ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan hati Kalisani yang amat
tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu, apalagi karena
dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja
golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan
jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan yang menjadi
kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya
yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan
Khitan, Kalisani hanya minta diri kepada Puteri Tayami.
"Harap
Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan
pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati
terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri.
Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka."
Tentu
saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta
kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta
panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan tulus ihklas, yang murni.
Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat
betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang
benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis. Puteri
ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi berang permainan dan
kesayangannya sejak kecil, menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata.
"Terima
kasih atas segala kebaikan yang telah kaulimpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga
para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda emas milikku ini
sebagai kenangan-kenangan."
Kalisani
mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda
emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata,
"Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda emas ini..."
Biarpun
kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih
mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan puteri mahkota ini masih besar
sekali. Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu Tayami, karena
sungguhpun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun boleh
dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada puteri mahkota. Raja
Kubakan merasa kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada
orang tahu entah kemana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan di sampingnya,
tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan.
Demikianlah,
secara singkat dituturkan di sini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan
Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta. Tidak terjadi
sesuatu di antara raja baru dan Puteri Tayami maupun suaminya karena mereka
tidak saling menganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang menghadapi
musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi, sesungguhnya di dalam hati
mereka itu terdapat semacam "perang dingin".
Kita
kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja.
Sambil menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil
lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia berjalan seenaknya di malam hari itu.
Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar
biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan
bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam
terus-menerus atau sekali makan menghabiskan makanan sepuluh orang!
Kwee
Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir
kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa,
suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena itulah suara Si Kakek Cebol!
Mendengar suara Si Cebol, bangkitlah amarah di hati Kwee Seng. Si Kakek Cebol
yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian
cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi
hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing, tangan kiri
menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat
langkahnya menghampiri arah suara ketawa.
Kakek
cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sabil
memeriksa muka seorang yang menggeletak di depqn kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal
orang yang menggeletak itu, ia terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan
lain adalah Bayisan ! Memang aneh kakek itu, ia membungkuk, mengamat-amati muka
Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi,
memeriksa dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.
"Huah-hah-hah,
lucu perbuatan si tangan jail iblis siluman ! Muka Si Cantik halus yang kuarah,
kiranya malah bocah tolol ini yang terkena ! Heh-heh-heh!"
Makin
yakin kin hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini sengaja mengirim obat bubuk
beracun untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Di samping
kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa kakek itu hendak berbuat
sedemikian kejinya terhadap Tayami. Untuk melihat apa yang akan dilakukan
selanjutnya oleh kakek itu Kwee Seng menanti sesaat. Bayisan agaknya pingsan,
atau mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Tiba-tiba
kakek itu berseru. "Aiiihhh, bau... bau...! Bau jembel tengik... !"
Terkejutlah
Kwee Seng, dengan kening berkerut ia menggerakkan muka ke kana kiri, hidungnya
kembang-kempis mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga
kehadirannya tercium oleh kakek itu ? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut
itu tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium
dari jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek
cebol itu tentu sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat
mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik
pohon dan melangkah maju menghampiri.
Kakek
itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan
sambil mengoceh. "Wah, baunya, baunya makin keras ! Jembel busuk tengik
ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan sekelilingnya. Wah,
bau... bau... tak tertahankan... !" Kakek itu lalu berbangkis-bangkis.
Rasa
mendongkol di dalam hati Kwee Seng seperti membakar, "Kakek cebol tua
bangka tak sedap dipandang!" Ia memaki. "Sudah mukamu seperti monyet
tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor watakmu pun keji seperti ular berbisa !"
Kakek
itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan
lebar, mengintai dari balik alisnya yang panjang dan berjuntai ke bawah
menutupi mata. "Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar engkau yang
mengotori hawa udara di sini ! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak
keliru. Memang mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu
lebih buruk daripada muka orang. Hah-hah-hah, coba kau tanya kepada monyet
betina, muka monyet siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan berbulu
ataukah mukamu yang licin menjijikkan ! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol
daripada merasa tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh
yang menggeletak di sini. Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut manusia
mana yang tidak kotor ? Segala macam bangkai dimasukkan ke mulut, sedangkan
yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala
penyakit disebabkan oleh yang masuk melalu mulut, dan bukankah segala cekcok
dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar melalui mulut? Memang mulut manusia
kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular berbisa?
Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah jembel!"
Kwee
Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel di tulang
paha, sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara di
pagi hari itu amat dingin.
"Kakek
cebol, omonganmu memang tidak keliru dan mendengar omonganmu tadi, agaknya kau
tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi, kau menyangkal watakmu yang keji
berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti di depan mata."
Kakek
itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya di atas tanah, mukanya memperlihatkan
kejengkelan dan kemarahan. "Iihh... oohh... aku adalah Bu Tek Lojin!
Selamanya belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari
ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin berwatak keji
dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo
katakan, apa buktinya?"
Diam-diam
Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu
Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa
lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri sepenuhnya daripada ikatan
lahir. Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah membayangkan kesombongan. Bu
Tek Lojin ! Orang Tua Tanpa Tanding! Belum pernah Kwee Seng mendengar nama ini.
Banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti ia kenal, baik mengenal muka maupun
hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar nama Bu Tek Lojin! Ada
Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan
Hui, Kim-tung Lo-kai, disamping tokoh-tokoh besar yang menjadi ketua partai
persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai, Kim Gan Sianjin Ketua
Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek cebol yang mengaku
bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini?
"Huh,
tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah
jelas tampak di depan mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak
di depan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah hendak menolongnya, bukan?
Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya
racun di mukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan?
Bukankah orang-orang gagah tahu bahwa membantu
pekerjaan
penjahat sama artinya dengan diri sandiri melakukan kejahatan ? Bukti pertama
sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat !"
Tiba-tiba
kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin itu tertawa bergelak, kembali
tubuhnya meloncat-loncat berjingkrakan seperti seorang anak kecil diberi
kembang gula. "Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar terbang seekor garuda!
Kau anak ayamnya dan aku garudanya!" Ia tertawa-tawa lagi.
Kwee
Seng mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai ilmunya, juga lihai mulutnya,
seperti anak yang nakal sekali. Akan tetapi ia diam saja mendengarkan.
"Bocah,
kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa tentang menolong? Tahu apa tentang
jahat dan baik? Membantu tidak sama dengan menolong, akan tetapi jahat tidak
ada bedanya dengan baik, kau tahu??"
Kwee
Seng seakan-akan menghadapi teka-teki. "Kakek sombong, apa bedanya
membantu dan menolong?"
"Uuhhh,
goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan aku ikut-ikutan mendorong agar apa
yang ia lakukan itu berhasil, itu namanya membantu. Melihat lebih dulu sebab
dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu. Tanpa mempedulikan sebab dan
akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong. Siapapun juga dia, apa sebabnya
dan bagaimana akibatnya, tidak peduli, pendeknya harus turun tangan, itulah
penolong yang sejati!" Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak,
pakai irama dan berlagu pula sukar dimengerti. Akan tetapi Kwee Seng terkejut
karena mengenal filsafat ini, biarpun diucapkan seperti sajak berkelakar, namun
adalah kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia kagum dan tidak lagi
main-main.
"Bu
Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kaukatakan bahwa jahat tidak ada
bedanya dengan baik?"
"Ho-ho-hah-hah,
memang kau bodoh dan goblok! Semua menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua
manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan
buruk? Apa bedanya siang dan malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada
matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada?
Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh
bocah, siapa namamu?"
"Aku
yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai
nama ini untuk menandingi kesombongan Si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama
poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Aneh Berhati Emas), akan tetapi untuk
mempergunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri, padahal
ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang di anggap
sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya
Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Setan Emas!"
"Wah,
wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh
pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek
Lojin, huah-hah-hah! Eh. Kim-mo Taisu yang tidak patut bernama Kim-mo Taisu
karena masih muda, aku Tanya, apakah kau seorang baik?"
Ditanya
begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha,
tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di
dunia ini orang yang mengaku dirinya orang jahat. Biarpun mulutnya bilang
jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah dia yang baik? Yang baik
adalah dirinya sendiri, dan orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan
dirinya sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang
jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan
dirinya sendiri, nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik dan jahat tidak
ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi
kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak
menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha! Menolong yang dianggap baik, itu
bukan menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan menolong diri sendiri,
menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"
Di
dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan
sembarangan orang! Betapapun juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya
terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan suka
menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.
"Bu
Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apapun juga, boleh kau
membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran, sendiri. Akan tetapi aku
melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada Puteri Mahkota
Tayami dengan nasihat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau
mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka
yang begitu cantik bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku
seorang manusia, di mana perikemanusiaanmu?"
"Huah-hah-hah!
Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu,
memang ku sengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang
menyebabkan semua keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba
dan saling membenci? Tak lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan
mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia cantik
jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya. Kecantikan
hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak
kulihat apakah para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya
menghilangkan akibat dengan membongkar sebabnya!"
"Hemm,
membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar
mencerminkan hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati
iblis!"
"Uwaaaahh!
Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!"
"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar
seekor naga. Lucu... lucu....!"
Makin
mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak
ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat
dirinya sendiri seekor naga! "Biarpun naga, kalau matanya buta dan merusak
sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"
"Bagus,
mari kaulayani aku beberapa jurus!" Kakek itu berkata, lalu meloncat ke
kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh, kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari
tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke
depan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan
dipersabungkan! Melihat kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan
tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya, kemudian ia pun menghampiri kakek
itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya seperti yang
ia pelajari di Neraka Bumi karena ia cukup maklum bahwa betapapun aneh dan lucu
sikap kakek itu, namun sudah terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki
lwee-kang yang amat kuat serta gin-kang yang amat tinggi. Lawan ini amat
berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti sambil siap siaga, tidak
mau menyerang lebih dulu.
Bu
Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kaukatakan bahwa jahat tidak ada
bedanya dengan baik?"
"Ho-ho-hah-hah,
memang kau bodoh dan goblok! Semua menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua
manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan
buruk? Apa bedanya siang dan malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada
matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada?
Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh
bocah, siapa namamu?"
"Aku
yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai
nama ini untuk menandingi kesombongan Si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama
poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Aneh Berhati Emas), akan tetapi untuk
mempergunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri, padahal
ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang di anggap
sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya
Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Setan Emas!"
"Wah,
wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh
pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek
Lojin, huah-hah-hah! Eh. Kim-mo Taisu yang tidak patut bernama Kim-mo Taisu
karena masih muda, aku Tanya, apakah kau seorang baik?"
Ditanya
begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha,
tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di
dunia ini orang yang mengaku dirinya orang jahat. Biarpun mulutnya bilang
jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah dia yang baik? Yang baik
adalah dirinya sendiri, dan orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan
dirinya sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang
jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan
dirinya sendiri, nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik dan jahat tidak
ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi
kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak menyenangkan
diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha! Menolong yang dianggap baik, itu bukan
menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan menolong diri sendiri,
menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"
Di
dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan
sembarangan orang! Betapapun juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya
terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan suka
menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.
"Bu
Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apapun juga, boleh kau
membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran, sendiri. Akan tetapi aku
melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada Puteri Mahkota
Tayami dengan nasihat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau
mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka
yang begitu cantik bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku
seorang manusia, di mana perikemanusiaanmu?"
"Huah-hah-hah!
Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu,
memang ku sengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang
menyebabkan semua keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu
berlomba dan saling membenci? Tak lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota!
Dan mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia
cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya.
Kecantikan hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya,
hendak kulihat apakah para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya
menghilangkan akibat dengan membongkar sebabnya!"
"Hemm,
membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar
mencerminkan hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati
iblis!"
"Uwaaaahh!
Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!"
"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar
seekor naga. Lucu... lucu....!"
Makin
mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak
ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat
dirinya sendiri seekor naga! "Biarpun naga, kalau matanya buta dan merusak
sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"
"Bagus,
mari kaulayani aku beberapa jurus!" Kakek itu berkata, lalu meloncat ke
kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh, kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari
tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke
depan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan
dipersabungkan! Melihat kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan
tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya, kemudian ia pun menghampiri kakek
itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya seperti yang
ia pelajari di Neraka Bumi karena ia cukup maklum bahwa betapapun aneh dan lucu
sikap kakek itu, namun sudah terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki
lwee-kang yang amat kuat serta gin-kang yang amat tinggi. Lawan ini amat
berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti sambil siap siaga, tidak
mau menyerang lebih dulu.
Akan
tetapi kakek itu juga tak kunjung datang serangannya. Hanya kepalanya bergerak
ke kanan kiri, matanya lirak-lirik seperti ayam jago sedang menaksir-naksir
kekuatan lawan, kemudian kakinya melangkah-langkah berputar mengelilingi Kwee
Seng! Tentu saja Kwee Seng juga segera mengubah kedudukan kaki dan mengatur
langkah mengikuti Si Kakek yang aneh. Ia melihat betapa jari-jari kakek itu
yang telanjang seperti kakinya sendiri, terpentang seperti cakar ayam.
Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh sekali. Apakah kakek ini menciptakan
ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago? Ataukah semacam burung? Ia
menaksir-naksir akan tetapi tetap waspada.
Tiba-tiba
kakek itu berseru, "Awas !" dan tubuhnya mencelat ke depan,
menerjang, kedua tangannya menggampar dari kanan kiri, kedua kakinya menendang.
Biarpun kelihatan hanya sebuah terjangan kasar, namun jari-jari kakinya serta
jari-jari tangannya melakukan totokan di tujuh bagian hiato(jalan darah) yang
berbahaya! Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak dari terjangan liar
ini, maka cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu kedua tangannya
membuat gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia dapat menangkis
dua pasang tangan kaki kakek itu.
"Dukkk!"
Tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua kali, akan tetapi
kedudukan kaki Kwee Seng juga tergempur sehingga dia terhuyung-huyung ke
belakang. Kagetlah Kwee Seng. Tenaganya setelah berlatih di Neraka Bumi,
mengalami kemajuan pesat sekali. Namun kini ia ketemu batunya. Kakek yang
menerjang di tengah udara itu ternyata mampu membuatnya terhuyung-huyung, dan
kedua lengannya yang menangkis tadi seakan-akan bertemu dengan benda yang antep
dan keras.
"Heh-heh,
kau boleh juga!" Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya
seperti ayam jago, berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.
Kembali Bu Tak Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul
serangkaian serangan yang ganas, memukul dan menendang bergantian, semua
mengarah jalan darah yang berbahaya. Kwee Seng berlaku cepat, tubuhnya mencelat
ke sana-sini dan ia pun membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkan-sungkan
lagi. Maka lenyaplah bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan gin-kang
ini, berkelebatan seperti petir menyambar. Berkali-kali mereka beradu tangan dan
selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia kalah kuat dalam hal tenaga
dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki ilmu silat yang tinggi maka
penjagaannya rapat sekali. Setelah mengalami benturan tangan belasan kali yang
membuat kedua lengannya terasa sakit-sakit, Kwee Seng segera mengerahkan Ilmu
Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti). Kedua tangannya menjadi lunak seperti
kapas dan kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas kalau bertemu dengan
tangannya, sehingga ia tidak mengalami rasa nyeri lagi, malah dengan ilmunya
ini ia dapat membalas serangan dengan mendadak dan cepat, membuat kakek itu
berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan penasaran.
Tiba-tiba
kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang tadinya amat cepat lincah itu, menjadi
gerakan lambat. Malah kedua kakinya seakan-akan tidak bertenaga, seperti
mengambang di atas air saja. Namun hebatnya, begitu mereka beradu lengan, Kwee
Seng terlempar ke belakang sedangkan kakek itu hanya menari-nari dengan kedua
kaki seperti tidak menginjak tanah.
Kwee
Seng terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi hanya membuat gerakan mendorong
dengan kedua tangan, mengapa begitu beradu tangan ia terlempar sampai tiga
meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua tangan kakek itu mengandung tenaga yang
luar biasa kuatnya, padahal gerakan kakek itu lambat dan kelihatan lemah serta
kosong? Ia tidak tahu bahwa ini ilmu ciptaan Bu Tek Lo-jin yang dinamainya
Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Mengandung Kekuatan Selaksa Kati)! Adapun ilmu
ini adalah ilmu sin-kang yang mendasarkan ilmu memanfaatkan yang kosong seperti
seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu dalam kitabnya To-tik-keng sehingga
merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu batin yang tinggi.
Karena
maklum bahwa kalu ia terus melayani kakek sakti ini dengan tangan kosong tentu
ia akan kalah, Kwee Seng lalu mencabut tulang paha kambing dan daun lebar dari
ikat pinggangnya. "Bu Tek Lojin, dengan tangan kosong aku kalah, marilah
kita gunakan senjata!"
Bu
Tek Lojin bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang muda mengeluarkan senjata
yang begitu sederhana dan aneh, ia tahu bahwa lawannya ini benar-benar
merupakan lawan yang tangguh sekali. Tadi pun diam-diam ia sudah terheran-heran
mengapa ada orang muda yang begitu lihai. Selama hidupnya, belum pernah ia
bertemu tanding yang semuda ini. Akan tetapi memang wataknya tinggi hati, tidak
memandang mata kepada lawan manapun juga, maka ia tertawa sambil berkata,
"Jembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu untuk kulihat!"
Setelah
berkata demikian kakek cebol itu langsung menyerang lagi dan kini kembali ilmu
silatnya sudah berubah, tenaganya masih sehebat tadi namun kedua tangannya
membuat gerakan yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya,
sedangkan yang kanan membentuk lingkaran-lingkaran sempit. Pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangannya datang bergulung-gulung seperti ombak samudera menerjang
habis segala yang merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera
memutar ulang paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi
tubuh, sedangkan daun di tangan kiri mulai ia kebut-kebutkan yang juga
mengeluarkan angin pukulan yang amat dahsyat.
Tiba-tiba
terdengar suara keras, "Bagus, Bu Tek Lojin, kauhajar mampus bocah itu.
Kalau kau kalah, baru aku yang maju!" Suara itu terdengar dari jauh akan
tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu lenyap
kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar
berkepala gundul yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi
Lo-cia!
Sejenak
kakek cebol menghentikan serangannya, membanting-banting kaki dan memaki,
"Kau bilang kalau aku kalah? Kuda gundul, kau lihat saja aku menjatuhkan
jembel tengik ini, kalau sudah, biar kau punya selaksa lengan (ban-pi), pasti
kedua tanganku yang hanya dua ini akan kenyang menempilingi gundulmu sampai kau
berkuik-kuik dan berkaing-kaing!" Setelah berkata demikian, kakek cebol
itu segera menyerang Kwee Seng lagi dengan hebatnya.
Kwee
Seng mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha kambing. "Stop dulu, Bu
Tek Lojin. Dia itu musuh lamaku, biarkan aku membuat perhitungan dengan dia!
Heh, manusia cabul, rasakan pembalasanku atas kematian Ang-siauw-hwa...!"
Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek cebol itu
merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.
"Kau
belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan melawan orang lain?"
Karena
serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee Seng tidak dapat memecah
perhatian dan terpaksa ia melayani lagi dengan hati mendongkol. Ia tahu bahwa
percuma saja bicara dengan kakek cebol ini. Jalan satu-satunya mengalahkan Si
Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi Lo-cia. Akan tetapi ini
hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati karena Si Cebol ini
benar-benar sakti luar biasa.
Sementara
itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh Bayisan yang menggeletak di atas
tanah. Ia kaget sekali dan tidak mempedulikan lagi mereka yang sedang
bertempur. Cepat ia berlutut di dekat muridnya dan setelah melihat muka
muridnya ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan mengurut sana-sini.
Akhirnya Bayisan dapat bicara.
"Suhu
(Guru) ..." ia mengeluh. "Muridku, siapa yang melakukan ini padamu?
Hayo katakan, siapa? Akan kubeset kulit mukanya!"
Dengan
suara terputus-putus Bayisan bercerita terus terang kepada gurunya bagaimana ia
tergila-gila kepada Tayami dan memasuki kamarnya, kemudian puteri mahkota itu
menggunakan bubuk beracun mengenai mukanya. Ketika bicara agak panjang ini,
Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya, maka begitu habis bicara,
ia jatuh pingsan lagi. Ban-pi Lo-cia menarik napas panjang, menggeleng kepala
dan berkata. "Ahhh, banyak wanita cantik di dunia ini, mengapa kau memilih
Puteri Mahkota bangsa sendiri? Ah, tidak bisa aku menggangu Puteri Tayami.
Tayami anak Kulu-khan, mengapa engkau begini kejam? Muridku, jangan penasaran.
Aku akan menurunkan semua kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat menjagoi
dan menjadi orang nomor satu di Khitan!" Setelah berkata demikian, Ban-pi
Lo-cia memondong tubuh muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu tanpa
peduli lagi kepada dua orang yang sedang bertanding.
"Ban-pi
Lo-cia, kau hendak lari kemana?" Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan
jurus maut Pat-sian-toat-beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang
Pat-sian Kiam-hoat. Baru sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat
karena tadi dalam menghadapi Bu Tek Lojin ia belum mau mempegunakan ilmunya ini
yang telah diperbaiki dahulu oleh Bu Kek Siansu, sekarang ia ingin sekali
mengejar Ban-pi Lo-cia, terpaksa ia menggunakan jurus ini. Kagetlah Bu Tek
Lojin. Serangan ini memang hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau
dielakkan. Tulang itu ujungnya tahu-tahu sudah mengancam ulu hati. Terpaksa Bu
Tek Lojin menggunakan gerakan yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli silat
tinggi enggan melakukannya, yaitu membuang diri ke belakang seperti batang
pohon tumbang, lalu bergulingan di atas tanah.
Akan
tetapi Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek cebol ini untuk sementara
menjauhkan diri, langsung ia meloncat dengan gin-kangnya yang hebat ke arah
Ban-pi Lo-cia yang sedang melarikan diri membawa muridnya, tulangnya menghantam
ke arah lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini mendengar desir angin,
menangkis dengan lengan karena tahu bahwa senjata lawan itu tidak tajam.
Dukkk!!"
Tubuh Ban-pi Lo-cia terguling! Bukan main kagetnya hati Si Gundul, karena sama
sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan sekuat itu, jauh lebih kuat daripada
beberapa tahun yang lalu. Tulang lengannya tidak patah akan tetapi rasa nyeri
menusuk sampai ke jantung. Ia tidak berani main-main lagi dan karena ia memang
amat kuat, sekali meloncat ia telah berada jauh di depan, lalu menggunakan ilmu
lari cepatnya meninggalkan tempat itu.
Kwee
Seng hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar geraman hebat dan
kakek cebol sudah menerjangnya penuh kemarahan karena tadi dipaksa harus
bergulingan sehingga pakaian dan rambut serta jenggotnya terkena debu. Terpaksa
Kwee Seng mencurahkan perhatiannya kepada kakek cebol lagi dan karena
mendongkol, kini ia segera mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan tulang di tangan
kanan, sedangkan daun lebar di tangan kiri ia mainkan dengan Ilmu Silat
Lo-hai-san-hoat. Kalau tiga empat tahun yang lalu saja sepasang ilmu ini dapat
membuat ia terkenal dengan sebutan Kim-mo-eng, apalagi sekarang setelah ia
memperoleh kemajuan pesat di Neraka Bumi. Hebat bukan main permainan pedang dan
kipasnya. Dalam segebrakan saja Bu-tek Lojin sudah terdesak sampai sepuluh
jurus lebih. Kwee Seng mengerahkan seluruh kepandaian karena maklum bahwa
menghadapi kakek itu, sukar baginya untuk dapat mengalahkannya. Dalam hal
tenaga sin-kang maupun keringanan tubuh, kakek cebol ini hebat sekali.
"Eh...
ohh... tahan dulu...!" Sambil mencelat ke sana-sini menghindarkan diri
dari sambaran daun dan tulang, Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang
pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan serangannya.
"Mau
bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi mendesakku untuk bertanding sampai
mati?" Kwee Seng menegur marah dan mendongkol.
"Mengapa
gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah kau murid Bu... Bu Kek ... Siansu
...?"
Kwee
Seng tersenyum. "Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk
kepadaku.."
"Wah...
celaka... cukuplah kita main-main." Kakek cebol itu lalu bersuit panjang
dan datanglah burung hantu melayang-layang di atas kepalanya, kemudian ia lari
meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung hantu.
Sejenak
Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar.
Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul.
Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan agaknya kalau dilanjutkan dia
sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti
orang jerih dan lari?
Bayangan
kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil
jauh di depan. Kwee Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia
menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke depan. Ketika ia memasuki
hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin!
Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan.
Apa
yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap di belakang pohon.
Kiranya kakek cebol itu sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan
didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang bertubuh pendek pula
akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang
adalah panglima tua!
Memang,
laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja
dengan maksud merantau ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu Kalisani
bertemu dengan kakek cebol yang amat ia kagumi sepak terjangnya ketika kakek
itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat Si Kakek Cebol, tanpa
ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.
"Locianpwe
(Orang Tua Gagah) sudilah Locianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa
pun yang locianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga
teecu."
Inilah
yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh
Kwee Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa berkata, "Aku akan membikin
kepalamu seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat
mau mengangkat aku sebagai gurumu!" Setelah berkata demikian, kakek cebol
itu menggerakkan telapak tangannya ke arah kepala Kalisani. Bekas Panglima
Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya.
Celaka, pikirnya, mati aku sekali ini! Akan tetapi karena ia telah terlanjur
berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya dan menguatkan hatinya, kalau
perlu mati, apa boleh buat!
Kwee
Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya
memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali
tangannya, semua rambut bagian atas kepala Kalisani rontok semua sehingga
kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang!
Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu.
Kalisani
meringis , kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus
sampai menembus ke dalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya
rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk belajar ilmu kepada kakek
yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur
tanah sambil berkata, "Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang
Suhu membutuhkan, teecu serahkan!"
Bu
Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus
jenggotnya dan menarik napas panjang. "Kau boleh juga. Bukankah kau
panglima di Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?"
"Sekarang
teecu bukanlah prajurit Khitan lagi, teecu sudah meninggalkan kerajaan karena
jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi
tidak beres. Karena amat kagum akan kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai
satu niat di hati, yaitu menjadi murid suhu."
"Hah-hah-hah,
selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan
kepandaian kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau
menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta,
biarpun kedua kakimu akan patah-patah!"
Bukan
main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk
sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti
kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata, "Hayo kau pun
tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan
kubunuh!" Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh
menyaingi suara ketawa gurunya! Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu
akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan
mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua
iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang
menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong
seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka,
terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula,
hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil serem di waktu malam!
Kwee
Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas
panjang. Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan
perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan
telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya, adapun Ban-pi Lo-cia,
biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan
perhitungan, karena betapapun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji
Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.
Dalam
perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan
desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya
sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal
betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa
banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya
telapak tangan kirinya! Di mana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah
perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan
hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo
Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian
compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di
sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar
Budiman!
Berbahayalah
orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng.
Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara,
ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan
tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap
Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi
peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa
sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila.
Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
Memang
sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada
serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun
boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar. Namun,
betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang
waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas
nafsu dan dapat mengendalikannya. Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani)
seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil
memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat
maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu
maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah
ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran.
Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu
akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani
ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda
nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar
dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan
akan membawa kereta masuk jurang!
Betapapun
juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya
sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar
kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta
sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang
untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi
semata.
Liu
Lu Sian telah melakukan kesalah itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami
isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari
kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan
diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai
kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri
atau suami yang baik. Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang
dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan
total, juga kebebasan cinta!
Ada
juga rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia
buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan
bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka. Agak berat hatinya kalau
ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di
sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak
mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus
menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!
Lu
Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya
tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu
datang menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu.
Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya. Ia
maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika
ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian
pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng.
Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya menyimpan
kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya.
Ia
tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak
menikmati "kebebasannya". Bukan main gembira hatinya ketika ia
melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang perjalanan
menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi
isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya.
Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia merasa dirinya terangkat
tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si
Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan
merawat anaknya.
Akan
tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia
merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia
merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih
sayang mesra terhadap dirinya.
Pada
pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama
sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu.
Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu
berahi kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis penuh
penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang
keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya,
segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran di dalam
rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.
Hanya
semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia
termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya.
Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.
"Bung
pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!"
tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan
dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk di depan meja sebelah
kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai
tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu
baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.
Dari
sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih,
sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan
kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di pinggangnya
tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang
licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata, Lu Sian
dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan
tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu
banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya
begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang
benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki
kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.
Pada
saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan
besar, diselingi suara berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat
terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu
Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap langit berlantai
bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan
Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut
ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari
Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang). Menurut penuturan
ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang
paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah.
Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun hanya
perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi
penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka
namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka
mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana sekali! Lu Sian masih teringat
beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis
Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi,
ahli bermain toya dan tongkat. Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya
para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang
sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai "dunia pengemis"
bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya
perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di
pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.
Pada
saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah
berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang
terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki
gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan
tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan
menyelimutinya. Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit,
sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka
kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus
mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.
Muncullah
kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang
pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng,
penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka yang kaki celana sebelah
kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan
kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biarpun pakaiannya
tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak
pengemis muda ini "pasang aksi" ketika matanya memandang Lu Sian.
Tiga
orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi,
dan segera mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar
kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya Si Pengemis Muda
saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya
terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot
semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat
berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti
suara seekor katak besar.
"Tamu tak diundang
datang kemari
apakah hendak menyerahkan diri?"
Laki-laki
gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara
tenang, "Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok
lagi." Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia
menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya
ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.
"Eh,
kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar,
jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa..."
Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda
telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja!
Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis
biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang
enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi. Pengemis muda itu
dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya melirik ke
arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak,
melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan di dalam hatinya siap
untuk membantu kalu laki-laki itu menghadapi bahaya.
Tanpa
mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang
sebelah, menyambung nyanyiannya.
"Menyerahkan diri
membayar hutang
baru si Kecil diantar pulang!"
Pengemis
muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya
merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.
"Diantar pulang ke
rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?"
Mendengar
nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam
beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar
matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati
laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh
kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya
kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.
Juga
hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang
mata orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki
itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum
dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang
tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang
sekali!
Tiga
orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali
pengemis muda yang menyelewengkan nyanyian ke arah Lu Sian. Kini melihat orang
itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si Pengemis Muda
menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman ke arah leher laki-laki
gagah. Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia,
yang biarpun tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau Si Laki-laki tidak
dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum ketika melihat
laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar lehernya
telah terjepit di antara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit
bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat daripada
tadi ke arah Si Penyerang.
"Auuuhhh...!"
Pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil
mengaduh-aduh dan memegangi kaki kirinya yang diangka-angkat. Paku tadi,
pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan sehingga ia memakai julukan
Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap di paha
kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!
Dua
orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah
menerjang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah muka sedangkan pengemis
sepatu tunggal itu mencabut golok lalu membacok ke arah leher. Namun orang itu
masih enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan dua senjata itu
menyambar sampai dekat sekali. Kali ini Lu Sian benar-benar kaget. Sungguh
berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan itu, pikirnya. Cepat
tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan, sekali tangannya bergerak
sepasang sumpit itu meluncur ke depan seperti anak panah melesat dari busurnya.
"Tranggg!
Aduhhh! Aduhhh...!" Peristiwa yang menjadi beberapa detik mengherankan
sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok
itu lenyap dari atas kursinya sehingga golok dan tongkat saling bertemu di
udara, kemudian dalam detik selanjutnya, tangan dua orang pengemis yang
memegang senjata itu telah tertusuk sumpit, tembus di telapak tangan sehingga
senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka berteriak-teriak kesakitan sambil
menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.
"Lee-hi-ta-teng
(Ikan Lee Meloncat) yang bagus!" "Sambitan yang luar biasa!"
Pujian yang keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu keluar dalam waktu
bersamaan, mereka saling pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh
kagum dan "ada rasa"! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah
keluar menghadapi tiga orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata
dengan suara lantang berwibawa.
"Aku
Tan Hui adalah laki-laki tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu
urusanku dengan Kong-sim Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami
berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa sekarang tanpa alasan Kong-sim
Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalu ada urusan silahkan Yu Jin Tianglo menemui
aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo katakana
kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri.
Pergilah!" Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu
mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang
sudah terluka itu roboh terguling! Mereka merangkak bangun, meringis kesakitan,
lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu
Sian.
"Nona,
kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan
Hui-kiam-eng Tan Hui?"
Lu
Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya
terluka itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya. "Aku bukan apa-apa
dengan orang gagah ini, adapun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap
tengik kalian, maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan
kepada kepala kalian!"
Tiga
orang pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan
tubuh dan sambil menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka
meninggalkan tempat itu.
Lu
Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja
ia sudah mendengar akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat
terkenal di daerah timur ini, seorang yang kabarnya amat lihai ilmu pedangnya
dan terutama sekali gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya tak
pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja,
namun dilakukan oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin
dapat melakukan gerakan ini secepat itu.
Di
lain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang
pendekar wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan
sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita seperti bidadari di
hadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika ia
memandang wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu
bercahaya, bening dan berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah
basah, rambut sinom yang terurai di kening, benar-benar membuatnya terpesona
dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Nona,
banyak terima kasih atas bantuanmu tadi." Lu Sian tersenyum, tampaklah
deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika
bicara, matanya bersinar-sinar. "ah, itu bukanlah bantuan namanya dan
tidak ada artinya. Kita mempunyai perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal
menyaksikan tiga orang jembel tadi..."
Hening
sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu
memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan.
"Eh,
Tan-enghiong, kau kenapa....?" Tegurnya, tersenyum manis.
Tan
Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik
jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar. "Eh...
oh... kau... kau hebat sekali..."
Kembali
Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang
dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata, "Apkah kita akan terus bicara
sambil berdiri saja?"
Kembali
Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu,
merah sekali mukanya ketika ia berkata. "ah..., silakan, Nona. Mari
silakan duduk."
Mereka
duduk semeja, saling berhadapan. "Sudah lama aku mendengar tentang
Khong-sim Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai
perkumpulan baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal
sebagai tokoh baik-baik. Mengapa kau di musuhi mereka?"
Tan
Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan
bayangan duka, kini menjadi keruh kembali. "Panjang ceritanya, nona. Akan
tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku
ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kauantarkan seguci arak
dan daging sekati."
Pelayan
menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh
hormat. "Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang
terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri, berani main gila
terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!"
"Sudahlah
tolong kau sediakan pesananku." Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu
berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Adapun pelayan lain melihat
rumah itu masih belum banyak tamu, menggunakan kesempatan menganggur ini lari
ke luar rumah makan untuk membual tentang kehadiran pendekar budiman
Hui-kiam-eng Tan Hui di tempat kerjanya!
"Aku
mempunyai banyak musuh." Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas
panjang, semua karena salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri
urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu
saja tanpa orang membenciku...."
"Sudah
selayaknya orang gagah dibenci orang jahat." Lu Sian berkata menghibur,
karena ia anggap hal seperti itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini
gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan tetapi wajahnya
selalu membayangkan kerisauan hati.
Tan
Hui mengangguk. "Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena
itulah maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan
kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk menghantam mereka
yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan dengan
Khong-sim Kai-pang. Lima orang angguta Khong-sim Kai-pang melakukan
penyelewengan setahun yang lalu di kota Tong-an. Mereka minta derma secara
paksa, tidak itu saja, malah seorang di antara mereka telah menculik puteri
seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu turun
tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh Si Penculik."
"Kenapa
tidak dibunuh semua saja?" Lu Sian memotong. Tan Hui menghela napas.
"Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat begini panjang.
Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang terkenal baik, apalagi
aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan hanya membunuh seorang
yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti sampai di situ. Tidak
tahunya, ketika kau melakukan perjalanan, aku dihadang dan dikeroyok tiga puluh
orang Khong-sim Kai-pang yang memendam atas kematian seorang temannya. Terjadi
pertempuran dan biarpun aku merobohkan dan melukai banyak di antara mereka,
namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas. Aku lalu pergi langsung
mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu. Yu Jin Tianglo marah
sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan penurunan tingkat.
Urusan itu sudah beres sampai... setengah bulan yang lalu..." Sampai di
sini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan kemuraman.
"Lalu
mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar
mereka datang mencari mati. Yu Jin Tianglo kalau membela anak buahnya yang
mencari perkara, dia pun tidak benar dan perlu diberi hajaran!"
Tan
Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan
marah-marah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denga Lu Sian, mengapa gadis
ini menjadi begitu marah?
"Sungguh
tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..." "Tidak enak bagaimana? Anak
buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut
menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan kuatir, aku akan membantumu. Aku
tidak takut menghadapi orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak
buahnya yang tidak benar!"
Tan
Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian maka ia makin terheran-heran.
Memang watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap
memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui otomatis telah
menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya!
Dengan
muka masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih
atas perhatian Nona terhadap perkaraku."
"Ah,
kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang
segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi." Jawab Lu Sian.
Tan
Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya.
"Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya para anggota
Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah menguatirkan. Akan
tetapi dua pekan yang lalu... aku hidup sebatang kara, mengapa mereka
mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima tahun..."
Lu
Sian terkejut dan merasa agak kecewa. "Tan-enghiong! Kau bilang hidup
sebatang kara... tapi kau... mempunyai anak?"
Melihat
kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka. "Memang aku sebatang kara...
semenjak isteriku meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan
seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang
jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin
mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau
seorang diri dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam,
serombongan anggota Khong-sim kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan kekerasan
menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka
meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus
menyerahkan diri kepada mereka!"
"Ah...
begitukah? Jahanam benar mereka! Di manakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia
seoranglah yang harus bertanggungjawab menghadapi semua ini. Minta anak itu
dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti dia menantang!"
"Markas
Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini
jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua di luar
kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai di sini, siapa tahu, agaknya Yu
Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!"
"Tak
usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu,
Tan-enghiong!"
"Nona
Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaranmu yang amat berharga itu. Akan
tetapi... urusan ini mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat
lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak..."
"Aku
tidak takut!" "Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi...
aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan kau... kau seorang Nona
terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar
melihat, tentu... ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak...."
Tiba-tiba
Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat. "Apa
peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangmu?
Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun seorang... janda! Kita maju
bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang janda
mana yang lebih cocok lagi?"
Tan
Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia
bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini berani dan terbuka,
kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya, tinggi ilmu
silatnya. Seorang janda pula!
Pada
saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan. "Orang she Tan!
Keluarlah dan lekas berlutut untuk kami tangkap dan hadapkan kepada ketua
kami!"
"Hemm,
mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku mengapa Khong-sim Kai-pang dalam
waktu setahun telah begini berubah!"
"Kaulihat
saja bagaimana aku menghajar mereka!" Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian
sudah meloncat keluar menghadapi dua orang pengemis tua yang berdiri di depan
rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar desir angin dan tahu-tahu Tan Hui
sudah pula berada di sampingnya. Kembali ia kagum bukan main dan harus ia akui
bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago gin-kang nomor satu benar-benar
bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah sengaja mengerahkan ilmunya
meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk pamer kepada Tan Hui, juga
untuk membikin jerih kedua orang pengemis tua. Siapa kira, gerakannya itu bagi
Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap mata ia tersusul!
"Nanti
dulu, adik Sian!" bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa
kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang
gadis, melainkan seorang janda seperti pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita
ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik saja.
"Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."
Tanpa
memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura
kepada dua orang pengemis tua itu sambil berkata,
"Melihat
ikat pinggang putih yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Ji-wi termasuk
pimpinan Khong-sim Kai-pang, aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga
orang anggotanya tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah
tahu bahwa di antara Khong-sim Kai-pang dan aku, tidak ada urusan permusuhan
semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh karena itu,
kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan di antara
kita dapat diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang
tua itu tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang dengan anakku ini!"
Di
dalam ucapan Tan Hui ini, biarpun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung
kekerasan tersembunyi, sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini
merendahkan diri. Betapapun juga, Lu Sian tidak puas. Menurut kata hatinya,
lebih baik menggunakan pedang daripada menggunakan lidah dalam menghadapi
orang-orang macam itu.
Dua
orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya
bersikap sombong dan memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk
ular. Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan pucat, akan tetapi selalu
membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang mata seorang
bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke
bawah, Si Tongkat Ular ini berkata,
"Inikah
orang muda sombong bernama Tan Hui yang telah membunuh dan menghina anak buah
Khong-sim Kai-pang?" Sambil berkata demikian, ia menggoyang-goyangkan
tongkatnya berbentuk ular itu di depan dada dengan gerakan penuh aksi!
Akan
tetapi pengemis ke dua yang mempunyai kepala besar sekali, sikapnya biar
sombong namun lebih sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia berkata dengan suara
membayangkan ketinggian hati. "Hui-kiam-eng Tan Hui! Setahun yang lalu kau
menggunakan kelemahan bekas pangcu (ketua) kami, mengandalkan kepandaian untuk
membunuh dan menghina anak buah kami. Sekarang, kami telah mempunyai pangcu baru
yang tidak mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu,
kalau kau menghendaki anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap
kepada beliau di Kang-hu!" Setelah berkata demikian, pengemis berkepala
besar ini membalikkan tubuh hendak pergi.
"Heh-heh,
mungkin dengan minta-minta ampun dan mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau
akan diampuni!" kata Si Pengemis Bertongkat Ular yang lalu membalikkan
tubuh pula, kemudian dengan langkah dibuat-buat ia meninggalkan tempat itu,
setelah melirik-lirik ke arah Lu Sian.
Tan
Hui terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin Tianglo sudah tidak menjadi
Ketua Khong-sim Kai-pang, sudah diganti. Pantas timbul urusan ini, pikirnya.
Akan tetapi, ke manakah perginya Yu Jin Tianglo? Dan siapa penggantinya? Ia
harus lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua pertanyaan itu tentu akan
terjawab. Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu, Tan Hui sama sekali tidak
ambil peduli.
Boleh
jadi Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu dilayani. Akan tetapi tidak demikian
dengan Lu Sian. Dia masih dapat menahan kesabarannya melihat dua orang itu
memandang rendah Tan Hui, akan tetapi ketika pengemis kurus bertongkat ular itu
membawa-bawa dia yang jelas sekali mengandung maksud kotor dan kurang ajar,
mana mungkin Lu Sian berlaku sabar lagi?
"Eh,
eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua) yang baik, aku mau bicara denganmu!"
Dengan langkah cepat Lu Sian mengejar. Tan Hui mengerutkan keningnya. Sahabat
barunya ini benar-benar seorang wanita yang tidak tahu bahaya, pikirnya. Melihat
ikat pinggang putih lebar yang dipakai kedua orang pengemis itu, terbukti bahwa
mereka adalah pimpinan Khong-sim Kai-pang dan sudah terkenal bahwa para
pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Sekelebatan saja ia tadi dapat menerka bahwa Si Kepala Besar adalah seorang
ahli lwee-kang yang amat kuat, sedangkan Si Kurus itu agaknya seorang ahli
bermin ilmu tongkat. Ia dapat menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari
perkara, maka diam-diam ia merasa kuatir, akan tetapi juga ingin sekali ia tahu
sampai di mana kelihaian dua orang pengemis itu dan terutama wanita yang
menarik hatinya ini. Tadi ia hanya menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia
menyambit dengan sumpit, akan tetapi sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan
ukuran. Karena keinginan tahu inilah maka ia tidak menghalangi Lu Sian,
melainkan mendekat agar dalam waktu keadaan berbahaya, ia dapat memberikan
pertolongan dengan cepat.
Kedua
orang pengemis itu berhenti, Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan
tubuhnya, akan tetapi Si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil
memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai. "Nona mau bicara
apakah?" Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian
mundur dua langkah.
"Harum...
sedap...!" Si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang
tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian.
Diam-diam
Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam
sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi
mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak
patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu!
Lu
Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam,
kemudian ia berkata, "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada
Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan,
apa artinya itu?"
Si
Pengemis tertawa ha-hah-he-heh. "Nona seorang yang cantik luar biasa
seperti bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu
girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya
terhadap orang she Tan akan mencair."
Di
dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek
jembel buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis.
"Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan
terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"
Si
Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya. "Wah, namaku sih
tidak terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup
menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular
Sakti)!"
Kakek
jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak
tercengang ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia
bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu
membengkak besar saking bangganya. "Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu!
Pantas kaugoyang-goyang selalu tongkatmu seperti ular itu! Kiranya julukanmu
Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar di tengah hari panas!"
Kembali
pengemis itu melengak. "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru
sekali ini aku mendengar pujian begitu."
"Kau
tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan
mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti
perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!"
Tan
Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas
dan liar, akan tetapi juga terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa
Koai-tung marah bukan main. Tahu-tahulah ia sekarang bahwa ia telah
dipermainkan oleh wanita cantik ini.
"Uh-uh,
bocah kemarin sore berani kau memandang rendah tongkatku dan nama
besarku?"
"Ah,
sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa,
tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula."
"Memang,
aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa
seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau
ini, sekaligus hatiku lemas!" Ternyata kakek ini tidak hanya lihai
julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas.
Namun
ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai
bicara. "Sayang sekali, tua bangka jembel, mulai hari ini julukanmu akan
terganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!" Kata-kata ini ditutup dengan
gerakan tangan dan "singgg!" pedang Toa-hong-kiam sudah berada di
tangan kanan sedangkan tangan kirinya di saat itu juga sudah mengipatkan tujuh
batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah menuju
semuanya ke arah muka Si Pengemis Kurus!
"Aiiihhh!"
Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai, karena dalam kegugupannya,
tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena
dipukul runtuh.
"Monyet
tua, makan pedangku!" Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia
menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat
bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai
mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah
menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!
"Eh...
orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!" Lima kali pengemis itu
menangkis dengan tongkatnya, keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena
hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya
memang lihai maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan
seruan kaget, ia melompat ke belakang menjauhkan diri agar terlepas daripada
rangkaian kilat menyambar itu. Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar
mata berseri-seri mengejek.
"Ular
Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kalau
tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil
membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi
demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak dan ia mengeluarkan
kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak.
"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Berkata demikian ia
lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju. Tongkatnya menusuk dengan gerakan
aneh dan karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga
ke mana hendak menyerang.
Sejak
tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas
jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian
menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan
dan main-main saja. Pedang di tangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan
seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, ke mana pun ujung tongkat pengemis itu
meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental
kembali.
"Hebat
wanita ini!" diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan
dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan
tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun
ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan. Ilmu pedang ini
aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas. Dalam waktu singkat saja Sin-coa
Koai-tung merasai keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah
menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan,
pedang itu berobah menjadi fihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan
dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu
terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali
bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum
dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu
Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam,
tentu saja ia menjadi repot sekali.
"Menarilah,
Ular Buduk, menarilah!" Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin
gencar dengan jarum dan pedangnya. Sengaja ia menutup jalan bawah dengan
serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsang ke arah muka
sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia
meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat
mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya
yang sudah tidak karuan lagi gerakannya!
Tiba-tiba
Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi,
tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya
menggelinding ke dekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itupun buntung!
"Nah,
bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?" Lu Sian
mengejek.
Kebetulan
saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia
tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju
dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan!
"Jangan
curang!" Tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan
tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan
di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis
kepala besar.
"Dukkk!"
Dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel. Alangkah kaget hati Tan
Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat
ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat
tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekangnya untuk melawan. Mereka
bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong
dengan pengerahan tenaga lweekang. Pertandingan macam ini selalu lebih
berbahaya daripada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat
dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita
luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu
benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat,
diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar
mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga,
sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia
nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.
"Koko,
mengapa begini sabar melayani dia?" Tiba-tiba Lu Sian berkata halus di
belakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu. Tan Hui kaget. Tepukan itu
biarpun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekangnya, karena
tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan
diri tak mungkin. Celaka, pikirnya, apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku?
Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya "koko" begitu mesra.
"Plakkk!"
Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tempat dimana hawa sin-kang lewat dan
menjurus ke lengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya,
tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek
berkepala besar itu mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, lalu
bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!
"Kalian
yang curang!!" Kakek itu memaki dan begitu kedua tangannya bergerak, ia
sudah menyambar sebuah batu besar di sampingnya dan melontarkannya ke arah Tan
Hui dan Lu Sian. Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima
ratus kati, akan tetapi tidak begitu mudah dilontarkan seperti orang
melontarkan sekepal batu saja!
Hebat
serangan ini, karena jarak di antara mereka hanya empat meter sedangkan batu
itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting ke
belakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh
kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat ke depan agak tinggi dan tepat pendekar
itu hinggap di atas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja
gerakan ini, kemudian ia "menunggang" batu itu dan ketika batu jatuh
ke tanah, ia pun meloncat turun!
"Wah,
kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!" Tanpa
terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman.
Kakek
berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata,
"Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau
kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu
atau menerima kematiamu, barulah kami benar-benar kagum!" Ia lalu
menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari
situ.
Adik
Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka.
Kiam-hoatmu aneh dan hebat, adapun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku
seperti tidak bermata tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita
yang sakti!"
Lu
Sian tersenyum, girang sekali hatinya. "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau
begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah
orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum.
Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh.. alangkah akan bahagia
hatiku."
"Bagi
seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin di
dunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau uang sudah mampu mempelajari
ilmu silat sehebat itu?"
"Benarkah?
Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah,
terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..." saking girangnya Lu Sian
memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti
itu, mata saling pandang, dan di dalam hati masing-masing makin tertarik.
Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui
hidup penuh dengan kesunyian. Hal itu biarpun amat mendukakan hatinya, namun
dapat ia tahan, karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak
mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita, maka selama ini ia pun tinggal
menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh ke arah wanita lain, menekuni
kesunyian hidupnya. Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar
biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah
heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekalipun
mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak
harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat
menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita
lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak
berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri!
"Bagaimana,
Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"
Sudah
berada di ujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa
ilmu pedang dan ilmu ginkangnya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan,
ia merasa agak meragu. "Aku tidak keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum
pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu
turunan..."
Lu
Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui
terpaksa meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat
hatinya berguncang keras. "Apakah kau tidak mau menganggap aku orang
dalam...?" Suaranya merdu lirih seperti berbisik.
Pada
saat itu, sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan di
depan rumah makan. Melihat ini, Tan Hui segera berkata perlahan.
"Moi-moi,
tak baik bicara di sini seperti ini. Di manakah kau tinggal? Mari kita bereskan
perhitungan dengan rumah makan dulu."
"Aku
tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko..."
Akan
tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari
mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa
dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan
tetapi begitu tiba di depan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri
berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal
barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan di antara mereka
ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.
"Tan-taihiap
(Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu
yang celaka....!" Seorang diantara mereka yang tertua dan pundaknya
terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan. "Kebetulan
sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap di sini, maka kami
segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka
menolong, berarti kami sekeluarga akan mati...."
Tan
Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan
orang gagah bersikap selemah ini. "Kalian ini rombongan piauwsu dari
manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak
kecil?" tanyanya berisikan teguran.
"Maaf,
Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah
putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang
Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan
mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah
tempat, yang katanya berharga ribuan tali emas. Karena perjalanan menuju kota
Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa kuatir apa-apa. Ternyata, di luar
dugaan, di lereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang
perampok, barang-barang kami dirampas semua, bahkan diantara kami ada yang
tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru di sana,
dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami,
karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan
kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"
"Kalian
tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?" Tiba-tiba
Lu Sian membentak mereka. "Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah
harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta
bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya
urusan yang lebih penting!"
Tujuh
orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya
wanita cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu
berada di situ bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ke tanah
sambil memohon-mohon dengan suara pilu.
"Sudah
bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang
selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami
mohon dengan segala kerendahan hati..."
"Hemmm,
sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu.
Di mana adanya si perampok?"
"Koko!
Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan
kita..."
"Hanya
sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam
perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga
beres."
"Aku
tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!" Lu Sian
cemberut. Tan Hui tersenyum. "Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini,
harap kau suka menanti. Tak lama aku kembali."
Lu
Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang ke arah para
piauwsu dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan.
Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan
hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap
uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil
alat tulils, lalu ditulisnya beberapa huruf di atas kertas yang kemudian
dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.
"Kalau
Tan Hiap datang, kauberikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa,
surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!" Pengurus itu yang tadi
melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang pengemis
lihai, menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar ketika Lu
Sian dengan langkah gesit keluar dari situ
Mengapa
terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini
terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan,
di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo yang terkenal bijaksana dan keras terhadap
anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini berani melakukan
penyelewengan.
Akan
tetapai, memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari
pantai Lautan Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee Lui ini bukan orang
sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa di dalam gua-gua sepanjang
pantai Po-hai. Semenjak kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan
memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu,
ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya
sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami
wanita itu dan beberapa orang keluarganya yang hendak membela wanita itu.
Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui
turun tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia
berhasil membunuh gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu!
Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua
dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalklan pantai Po-hai dengan kedua tangan
berlepotan darah pembunuhan kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya,
mempelajari kitab-kitab dari suhunya, maka kepandaiannya makin meningkat
tinggi.
Dalam
perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu
angkara murka, mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi
memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas wanita, dan mengganggu
orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa
tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas
dan kejam sepak terjangnya.
Pada
suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan
ia mendengar tentang perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat.
Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan tercenganglah ia
menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di
sebelah dalamnya terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap.
Tertarik pula melihat betapa kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat,
baik oleh anak buah Khong-sim kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota,
maupun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri
memandang perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang
bukan-bukan yaitu ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!
Dengan
tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia
menyatakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim
Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah, namun sekaligus
mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo
sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam
pertandingan yang hebat terbunuh olehnya!
Sifat-sifat
baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat
buruk itu tanpa diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit
batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan kesaktian petualang muda itu,
para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk, dan kemudian,
melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang
baru ini jauh berlainan dengan sifat dan watak Yu Jin Tianglo, para anggota
perkumpulan ini menjadi gembira sekali. Nafsu mereka yang selama berada di
bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini
mendapat jalan keluar dan mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak
buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama ini terpaksa disimpan saja
di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah
menyalahkan anak buahnya sendiri, kini meluap-luap dan ketika para pimpinan
menceritakan kepada ketua baru itu. Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan
menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri
Tan Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini
dilakukan untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan Hui, ketua baru ini
merasa dirinya terlalu tinggi!
Demikianlah
peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu
saja mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan
kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat
penghinaan dari Tan Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian, malah dua
orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup yang ia utus menantang
Hui-kiam-eng Tan Hui, juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan
melampaui batas dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari
sendiri Tan Hui, tiba-tiba muncullah Lu Sian yang menerobos masuk dengan pedang
di tangan dan berseru.
"Di
mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil
kembali puterinya!"
Di
dalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang berkumpul, malah dua orang
pengemis yang telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam
juga hadir di situ. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang di tangan
yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan
keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi
telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang
cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu. Pouw Kee Lui pada hakekatnya
bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar
terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Namun ia
tidak bodoh. Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani
dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki kepandaian
yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah rendah, dan
kalau dua orang pembantunya itu setelah bertemu dengan wanita ini pulang dalam
keadaan terluka cukup hebat, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung
dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam kai-pang, kiranya
hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu. Maka sebagai seorang
yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa
gerangan wanita ini dan dari golongan mana.
Akan
tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat
munculnya Lu Sian, mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata
melotot. Ini cukup menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis yang jumlahnya
ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata
masing-masing. Tujuh orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang
memiliki kepandaian tinggi. Lima di antara mereka, bersenjatakan tongkat
mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang.
Namun
Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan
tangan kanan yang memegang pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh
orang pengemis itu, ia membentak.
"Aku
tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu
Jin Tianglo keluar untuk bicara denganku!"
Akan
tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan
mereka lalu membuat gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian
menjadi gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk memberi hajaran ketika
di belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.
"Nona,
Yu Jin Tianglo yang kautanyakan itu sudah mati."
Kaget
sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis
bahwa para para pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia
sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh menghadapi Si
Pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek,
wajahnya berkulit kasar akan tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan.
Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan
tetapi sepasang matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar
sederhana, namun tidak ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan
seperti anggota pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.
"Mati...?"
Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru. "Ya, mati," kata Pouw Kee
Lui dan senyum sinis muncul di bibirnya. "Tidak kebetulan sekali, ia mati
melawan aku."
Diam-diam
kagetlah Lu Sian. Siapa kira, orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh
Yu Jin Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di
depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau paling hebat seorang
pedagang obat keliling.
"Hemmmm,"
akhirnya ia mendengus, "kau siapakah?" Akan tetapi pada saat itu,
tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju menerjangnya. Terpaksa
Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka yang sudah
mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu
Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis datangnya hujan senjata, bahkan
sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar suara nyaring beradunya senjata
dan di antara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa dan berkata
dengan nada mengejek.
"Namaku
Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang Ketua Khong-sim kai-pang!"
Lu
Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan
lemah itu amat curang. Tentu tadi selagi bicara memberi perintah kepada para
pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia agak jengah.
Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu dan kemarahannya
meluap-luap ketika ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas
dibebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari
ini!"
Pouw
Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu dan diam-diam ia terkejut dan
heran karena ia sama sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip
Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang mengenal ilmu
pedang dari golongan manapun, baik dari partai bersih maupun dari golongan
hitam. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing
baginya dan ia harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat!
Tiba-tiba
tedengar suara "wesss-wessss" beberapa kali dan.... Seorang demi
seorang pengemis tua yang mengeroyok Lu Sian, terjungkal roboh karena mereka
merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak. Lu Sian sendiri tidak tahu
mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori
pedangnya dengan lawan yang robh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya
menambah tendangan saja yang membuat amereka roboh mencelat keluar dari
ruangan, hiruk pikik mereka memaki dan menyatakan rasa heran.
"Ilmu
siluman....!" "Dia bukan manusia!" Tujuh orang pengemis itu
memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main. Matanya
mengerling kekiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat
beras, bersandar di sudut kiri ruangan itu, di belakang patung Budha. Ia tahu
betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu dari karung itulah
datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia
berlaku hati-hati sekali. Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya,
dan masih mempunyai pembantu yang demikian hebat ilmu pukulannya dari jarak
jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh
aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal
bulusnya. Kini dengan wajah tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju
menghampiri Lu Sian sambil menjura dan berkata.
"Lihiap
benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura
bukan sembarang menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk
melancarkan pukulan yang amat kuat. Lu Sian kaget. Tentu saja ia sudah bersiap
sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin
melakukan serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali
tidak mengira bahwa tenaga serangan gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa
dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga
yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia berhasil mendorong mundur
hawa pukulan Pouw Kee Lui. Akan tetapi pada saat keduanya bersitegang
mengerahkan tenaga dan pada saat Lu Sian merasa lega karena mengira bahwa
tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia
agak lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui menyambar ke depan dan
tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!
Lu
Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu karena
biasanya orang yang saling mengadu tenaga lwee-kang seperti mereka itu, sama
sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap seperti
yang dilakukan ketua pengemis ini. Dicengkram lengan kirinya, Lu Sian merasa
sakit sekali, seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api
yang mengalir masuk melalui pergelangan tangannya yang dicengkram. Ia kaget dan
marah, lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya dibacokkan ke arah muka
lawan.
Namun
tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali.
Agaknya Si Ketua Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa
nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan
kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan
kanan Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga
terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang meluncur ke sebelah kanannya, ke
arah karung yang bersandar di sudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan
kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis
serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang "karung" itu.
Tepat
seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati Karena tiba-tiba karung itu
mencelat ke atas dan pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan
menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri setelah jatuh di atas lantai,
membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan
tetapi tidak jatuh ke bawah.
Sementara
itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim
Kai-pang ini. Namun ia segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan
kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan sambil tangan kirinya yang
masih dicengkram itu di tarik keras.
Hebat
sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu
silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan
suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui juga kaget, terpaksa
melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya
yang menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi
menghadapi lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam
Siang-tok-ciam.
Pouw
Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu, bahwa
menghadapi gadis jelita ini, ia takkan kalah. Yang membuat ia ragu-ragu adalah
setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia ketahui apakah
isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang
berada dalam karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tiggi
daripada kepandaian nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu
menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian
datang mewakili Tan Hui, Ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia
berlaku lebih hati-hati. Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat
melihat gelagat dan tidak mau sembrono.
"Tahan
dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya
lagi, bahkan siap dengan jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia
memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah terheran dan
menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun
harum dan berwarna merah.
Lu
Sian juga bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini
benar-benar amat lihai, dan ia masih belum tahu pula apakah atau siapakah
adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan oleh
pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan
pengemis yang mengeroyoknya tadi dan sekarang masih bergoyang-goyang di atas
kepala arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku
nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut,
hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan kirinya, masih terasa nyeri
bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.
"Nona,
terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa,
bahkan selamanya baru kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan
Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin, bukan urusanku
pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk
menghindarkan kesalahpahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang
mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan
Hui yang tidak berani datang sendiri?"
Lu
Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini
seorang lihai, pula di situ masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang
yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju mengeroyok, perlu ia
mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang.
"Dari
golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk
dibandingkan dengan perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau
hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan..."
"Beng-kauwcu
(Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget.
"Betul. Nah, kau mau bicara apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara
angkuh. "Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan
Kam-goanswe...?" "Sekarang tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong.
"Nah, sekarang kau mau serahkan puteri Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan
pertandingan?"
Pouw
Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi
setelah ia mengetahui bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi
soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan,
ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak
buah Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia
merebut kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.
"Ah,
kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi
pertengkaran tiada artinya?"
"Kita
bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku
bukan pengemis!"
Kembali
Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak
merasa sebagai pengemis biarpun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi
para pimpinan Khong-sim Kai-pang melototkan mata, karena mereka sebagai
tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.
"Biarlah
kukembalikan anak Hui-kiam-eng, karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu
Sin-ong!" Sambil berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca dan
alangkah kagetnya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak berada lagi di
tempat itu. Entah ke mana perginya! Ia meresa heran dan penasaran. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat perginya
mehluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu karung itu terisi manusia
sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia
menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau ia sampai berlaku ceroboh
dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini, biarpun ia akan dapat menangkan
Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu
setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian.
Ia
memberi isyarat kepada seorang anggota kai-pang yang cepat masuk ke belakang
kuil itu dan tak lama kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak
perempuan. Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik dan masih kecil sudah
tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang
matanya yang bening memandang ke arah Lu Sian.
Lu
Sian tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang
menemui Ayahmu." Akan tetapi anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak,
hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak percaya
kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut
saja, tidak membantah.
"Nah,
sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil
melangkah keluar.
"Harap
sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa
mempedulikan sikap para pembantunya yang kelihatan penasaran. Setelah Lu Sian
pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi para
pembantunya sambil berkata, suaranya keren.
"Kalian
mau apa?" "Pangcu,sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu,
pula, apakah kematian anak buah kita di tangan Tan Hui harus didiamkan saja?
Bukankah hal ini, biarpun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan
dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan
seorang temannya siluman betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan
tertawaan dan..."
"Desss!"
Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan Si Pembicara itu, seorang pengemis tua,
jatuh tersungkur, giginya yang tinggal buah itu meloncat keluar dari mulutnya
yang berdarah.
"kau
tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga
mudah dikalahkan oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus
menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani menerjang saja
tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah
perkumpulan agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari
Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa
mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali
bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan
Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu
Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan
kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai
puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"
Tercengang
para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu
banyak isi dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan ketua
baru ini yang luas.
"Kami
mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan." Kata Si Kepala Besar.
Pouw Kee Lui tertawa bergelak. "Di seluruh dunia ini, entah berapa
banyaknya pengemis macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang
besar. Akan tetapi kalian hanya berpisah-pisah secara berkelompok, merupakan
kai-pang-kai-pang yang tidak ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan
menaklukkan semua kai-pang di seluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi
golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang
puluhan ribu orang banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain
tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!"
Para
pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka
memikirkan hal ini, dan dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu
bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi ketua mereka,
perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu
ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk
mendengarkan uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para
kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak
tunduk akan dibunuhnya.
Sementara
itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari
cepat mempergunakan gin-kangnya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga
puluh li lebih, di mana ia meninggalkan pakaiannya di rumah penginapan. Anak
perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia di
dusun itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat menanti
di situ sampai Tan Hui datang.
Akan
tetapi pada saat itu, ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan.
Kiranya Tan Hui baru saja kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para
piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan merampas kembali
barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu
Sian menyelinap ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah
penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar
percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah
dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya
begini.
"Dasar
kau yang tidak mentaati nasihat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah
lagi dengan gadis pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu
sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian)
amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang
isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat daripada Siok Lan untuk
menjadi ibu Lian-ji..."
"Paman,
harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak
Lian..." terdengar suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan dan
tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar
lampu tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan
itu, masih ada beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Adapun Tan Hui
duduk menunjang dagu di atas bangku.
Setelah
menarik napas panjang berkali-kali, Tan Hui akhirnya meloncat bangun dan
berkata, "Aku harus menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha
menolong Anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Kau
terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu
sampai besok pagi juga belum terlambat." Kata suara parau.
"Akan
tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat
berbahaya, banyak orangnya yang pandai."
Pada
saat itu, terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!"
Dan anak perempuan yang tadi digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari
masuk.
"Lian-ji...!"
Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul
tangis seorang wanita yang memeluk anak itu.
"Lian-ji!
Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..." "Bibi Lan...!"
Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan tan Hui yang sudah
meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri. Kemudian
Tan Hui menghadap ke arah pintu dan berkata, "Adik Lu Sian, silakan
masuk!"
Akan
tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat
meloncat keluar. Ia melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari
halaman depan.
"Adik
Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh
nona itu terguling roboh. Cepat ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu.
"Kau... terluka...?" bisiknya.
Sambil
merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih. "... punggungku... terkena...
jarum beracun...!" Lalu ia menjerit dan pingsan.
Kagetlah
semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang
pingsan. "Inilah Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya
pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko, harap suka
menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan
menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan
racun, sekarang juga!"
Orang
yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan
Hui memondong tubuh seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya
dan berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah tidak lebih baik dirawat di
penginapan sini lalu memanggil tabib?"
"Ah,
kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya, dan hanya ahli-ahli
saja yang dapat mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku
sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat ragu-tagu lagi untuk menolongnya?
Harap Lauwko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon
bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua
lengan memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja
ia sudah berada di luar rumah penginapan.
"Tan-taihiap,
sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang
tidak mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran." Seorang
diantara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka,
dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan gin-kangnya untuk berlari
cepat meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan
pada keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat keluar masuk hutan
dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang
sunyi dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh dan Tan Hui girang sekali
karena tadinya ia merasa kuatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam
pondongannya, dan wajahnya pucat.
"Bagaimana,
Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam
pondongannya.
Lu
Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko,
kau hendak bawa aku ke manakah?"
"Di
Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang
tinggal di kota I-kiang. Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai
di sana, dan kau tentu akan tertolong."
Lu
Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjag dan bagus
bentuknya. "Percuma, Koko, akan terlambat..."
Kaget
sekali Tan Hui mendenagar hal ini, ia seorang ahli pedang dan ahli gin-kang,
tidak banyak mengetahui tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget
dan gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya Moi-moi?"
Sejenak
Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa aku
membingungkan keadaanku? Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi
apa-apa!"
"Ah,
jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong
puteriku. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar
itu."
"Hemm,
jadi hanya karena ingin membalas budi? Andaikata aku tidak menolong anakmu,
tentu sekarang kau sudah tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa
peduli sedikit pun, bukan?"
"Ah...
eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biarpun kita
baru saja berkenalan, akan tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu.
Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling penting, bagaimana
harus membebaskanmu daripada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam
tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti
tentang pengaruh racun?"
"Aku
tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun
ini. Akan tetapi aku sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku."
"Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biarpun untuk itu aku harus
korbankan apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kaukatakan bagaimana aku dapat
menyembuhkanmu!" Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu
Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin
erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.
"Tan-koko,
tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan
tidak karuan. Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."
"Kurasa
tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini."
Tan Hui menjawab sangsi, memandang keadaan dusun yang sunyi itu.
"Kalau
begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu
untuk mengobati punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum
bosan tinggal di dalam badanku."
Tan
Hui girang sekali dan diam-diam ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang
akan bosan tinggal di dalam tubuh seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya
tidak menyatakan sesuatu. Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil
yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati
Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian di atas sebuah pembaringan dalam kamar
sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.
"Aduhh...!
Ah, punggungku yang terluka, kenapa kautelentangkan tubuhku...?" Lu Sian
mengeluh kesakitan, membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu
wanita itu tertelungkup.
"Lekas,
Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas,
perih dan gatal-gatal...!"
Tan
Hui bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha... bagaiman bisa
memeriksanya...?" ia tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali.
Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka baju yang
menutupnya, betapa mungkin?
"Ah,
Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang
makin menghebat menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala
sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak?
Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri di
sini!"
"Moi-moi
kau tahu aku ingin sekali menolong..." "Kalau begitu, lekas kau buka
baju di punggungku, kaurobek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku
bagaimana macamnya dan di mana letaknya."
Mendengar
ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di
atas punggung dan "brettt!" baju luar berikut baju dalam yang tipis
berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang kuat. Sejenak ia
puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju, dengan urat-urat
merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir
kepeningannya, dan ia berkerut kuatir melihat tujuh batang jarum merah menancap
pada punggung berkulit putih halus itu, di sebelah kiri!
"Tujuh
batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit
di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan
hebat.
"Lekas
cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong
sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui
memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu
tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas
tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh
saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan
Hui.
"Tan-koko,
kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum
itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan
bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar
ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang
kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan
petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang
kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu,
Koko, diamkan sebentar lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari
tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya
berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah
kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang
ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini
seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak
malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui
menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun
dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu
tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya
menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa
meramkan kedua matanya.
"koko,
kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui
sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa
Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata
menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku...
aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani
berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini."
Lu
Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu?
Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini,
apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah...
bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan
Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya,
berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila?
Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila! "Moi-moi, tentu saja aku
suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya
seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...."
Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus
itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun
hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria,
biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu.
Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan
anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang
memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia
merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan,
ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah
ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus
akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya,
belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya.
Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan
cinta. Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang
wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan
pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai
hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar
mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui
terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba
nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya
ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar!
Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia
melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian
untuk menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya!
Tan
Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok
oleh kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan
segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai berpekan-pekan Tan
Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di pinggir
anak sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di
samping berlatih ilmu gin-kang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya.
Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara
melatihnya. Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi,
cara penyaluran jalan darah di waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau
berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan gin-kang dari golongan
lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan
telanjang bulat! Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya
untuk mengajarkan gin-kang, dan menyatakan bahwa hanya orang "dalam"
atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain,
bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si
cantik jelita menjadi kekasihnya, menjadi isteri walaupun di luar pernikahan,
tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena
Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat
cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai
ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia merasa girang
sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari gin-kang yang terkenal di
dunia kang-ouw sebagai gin-kang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena
mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan
hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya,
Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin! Sudah
dapat ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping Tan Hui, karena
kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di dunia
kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin
menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di sampingnya,
bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai
Akan
tetapi, betapapun juga, manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau
perbuatannya bertentangan dengan prikebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini
ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan! Pagi hari itu, ketika
pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak
sungai, kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di
dalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang.
Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong
oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu
saja para piauwsu ini segera mencarinya. Selain menyampaikan pesan kakak
iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa berita yang
membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih
mampu menekan perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu
secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya bahwa ia segera pulang.
Demikianlah,
ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam cinta, pulang
dari anak sungai, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali
bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk di hatinya. Menurutkan
kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia mencinta Lu Sian maka yang
keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi,
sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat
tinggal!"
"Eh-eh-eh,
Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap
lengan kekasihnya yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya
bergurau.
Akan
tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian
secara kasar, sambil berkata. "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan
pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dusun yang
baik!"
Tiba-tiba
sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia
menghadapi Tan Hui, sambil berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah
apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau marah-marah
kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam
kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan..."
"Cukup?"
Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi
merah.
"Jangan
sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang
tak mengenal tata susila. Perbuatan terkutuk!"
"Tan
Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya
kepadamu, dan kaubilang itu terkutuk?"
"Perbuatan
jina yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku
pergi!" Tan Hui memaksa keluar dari pintu depan.
Akan
tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau
keluarkan isi hatimu! Aku akan mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo
katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku!"
Dengan
kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia
menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak.
"Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak. Kiranya kau
menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah
kau menipuku, mewarisi gin-kang dan menyeretku ke dalam hubungan jina karena
kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih
tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara
pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm,
kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri
Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui
Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau berubah? Sejak
kapankah kauketahui rahasiaku itu?"
"Tadi
para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar
dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang kau...."
"Uh-uh,
begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal
itu akan mudah kaulempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti
lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti kumbang yang terbang
pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang
laki-laki begitu rendah ahlak?"
Tan
Hui marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku
pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku
masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI Ek,
seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah
merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena
malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu
dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah
ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa
meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk
mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta
kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang,
aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh
siluman betina macam engkau!"
Tan
Hui meloncat jauh ke depan. Terdengar pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian
bergerak. Sinar merah menyambar ke arah Tan Hui, disusul bentakannya, "Tan
Hui, kau terlalu menghinaku!"
Mendengar
sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar.
Ia berhasil menangkap sebatang di antara jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Melihat
jarum merah di tangannya itu. Tan Hui tertegun, kemudian kemarahannya memuncak.
Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan memaki-maki.
"Sungguh
perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu, hanyalah akalmu
saja untuk merayu aku dan menyeret aku ke dalam jurang perjinaan, ya? Yang
melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu sendiri!"
Lu
Sian tersenyum mengejek. "Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala
macam akal untuk memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku
sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya
seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan
suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"
"Dan
aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..." saking marahnya
Tan Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.
Lu
Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang
muda yang semalam masih saling peluk cium dengan kasih sayang yang
semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat dan mati-matian karena
hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang
mencari korban.
Julukan
Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali,
akan tetapi sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah
karena ia memiliki ilmu gin-kang yang hebat. Ilmu meringankan tubuh ini membuat
ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya tentu saja menjadi
amat berbahaya karena cepatnya.
Biarpun
ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu
Sian yang diwarisi dari ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andaikata Lu
Sian belum mempelajari gin-kang istimewa itu, agaknya Tan Hui akan dapat
mengimbanginya dengan kecepatan. Namun, kini Lu Sian telah memiliki gin-kang
Coan-in-hui (Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun
dari Tan Hui sehingga biarpun dibandingkan dengan Tan Hui gin-kangnya masih kalah
sedikit karena membuat ilmu pedangnya Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya menjadi
beberapa kali lipat dahsyatnya.
Lu
Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat
disangkal pula bahwa semenjak meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia
jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta Tan Hui dan agaknya akan
bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi perselisihan
di pagi hari itu. Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap
membenci dan menghina, maka ia pun memaksa perasaannya untuk balas membenci,
dan menganggap Tan Hui seorang musuh yang harus dibasmi.
Pertandingan
berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu,
diseling bersiutnya pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan.
Setelah berjalan seratus jurus mulailah Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang
dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung gerakan-gerakan yang curang.
Di samping kalah tinggi ilmu pedangnya, juga di dalam hatinya, Tan Hui tidaklah
sebulat Lu Sian untuk membunuh lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan
setelah mendengar bahwa kekasihnya yang benar-benar amat dicintanya itu adalah
isteri orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena kecewa inilah,
maka setelah bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang
secara sungguh-sungguh.
Berbeda
dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai
terdesak, ia berseru keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar
yang amat hebat. Angin menderu-deru keluar dari sinar ini yang tadinya
bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaran-lingkaran
secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang
dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang dimilikinya, biasanya sudah hebat
sekali apalagi sekarang setelah gin-kangnya maju pesat. Maka cepatlah
gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu.
Tan
Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan
ilmu pedang yang demikian dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun
kecepatan pedangnya tidak cukup untuk membendung datangnya lingkaran-lingkaran
yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja pedangnya berdenting
karena bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan
kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu sudah memasuki perut
Hui-kiam-eng Tan Hui!
"Cepppp!"
Hanya sedetik terjadinya hal ini Lu Sian sendiri merasa kaget, cepat-cepat
mencabut pedang dan meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak
dengan mata terbelalak memandang bekas kekasihnya yang kini menjadi musuhnya
itu.
Tan
Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka
di perutnya sambil menekan keras-keras namun tetap saja darahnya menetes-netes
melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya pucat, akan tetapi bibirnya
tersenyum pahit.
"Tidak
penasaran Hui-kiam-eng roboh di tangan puteri Beng-kauwcu, karena memang kiam-hoatmu
hebat luar biasa. Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah kunasehatkan
kepadamu bahwa kalau kau melanjutkan kesukaanmu menggoda dan menghancurkan hati
laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak dimusuhi orang.
Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga hidupmu kelak
akan terjamin...?"
"Cerewet!
Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi
kesempatan kepadamu untuk pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"
Senyum
di mulut Tan Hui berubah makin pahit. "Seorang pendekar tidak akan lari
daripada maut. Lukaku memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri
tegak, pedangku masih di tangan. Siapa bilang aku kalah? Baru kalah kalau
pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat
berdiri. Lihat serangan!" Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat,
sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena gerakannya dalam menyerang ini
mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan
tangan.
Lu
Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum
terluka, Tan Hui tidak mampu menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang
setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut ujung pedang Lu
Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh
bergulingan lalu diam telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan
masih memegang pedang dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas
kekasihnya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan pedangnya.
"Salahmu
sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..." Tan Hui menggigit bibirnya
menahan sakit, napasnya terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata,
"Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tapi tak mungkin. Aku
sudah jatuh... aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya pesanku... jangan
kauturunkan gin-kang kepada orang lain... dan kalau kelak anakku... mencarimu
untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kauampunkan dia..."
Makin lirih suara Tan Hui akhirnya hanya terdengar bisik-bisik yang tak dapat
dimengerti, kemudian ia diam tak bergerak lagi.
Sejenak
Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam
hatinya. Ia seorang yang berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan.
Kemudian ia berlutut di dekat mayat Tan Hui. Setelah mati wajah Tan Hui tampak
tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam bahagia bersama
pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih.
"Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"
"Celaka
ia membunuh Tan-taihiap!" terdengar suara "sing-sing" dicabutnya
golok dan pedang. Perlahan Lu Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu
sembilan orang piauwsu yang sudah mengurungnya, sinar matanya berkilat-kilat,
bibirnya yang merah tersenyum mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang
kempis. Alamat celakalah mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah
seperti itu, karena itu adalah tanda-tanda daripada kemarahan yang meluap-luap.
Tadi Tan Hui mengenalnya oleh keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak
langsung, para piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!
Kalian
piauwsu-piauwsu jahanam inilah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya
aku?" suaranya terdengar satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan
mulut setengah tersenyum.
Seorang
piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki. "Kau siluman betina! Kau
puteri Beng-kauwcu dan sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau
membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"
"Syiuuutt,
cring... crokkk!" piauwsu muda itu sia-sia menangkis ketika sinar
berkilauan menyambar ke arahnya. Goloknya yang menangkis patah menjadi dua
disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali dan kepalanya terpental
jauh, tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan menyemprotkan darah seperti
air mancur!
Ributlah
delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala
penjuru. Namun Lu Sian sudah siap sedia, dan sudah tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam di tangannya berkelebat laksana naga
mengamuk. Kini gin-kangnya sudah maju pesat sekali sehingga gerakannya sukar
diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguhpun delapan orang itu menerjang
berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu Sian yang seakan-akan dapat
melejit dan menyelinap di antara sinar golok dan pedang para pengeroyok,
kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang Toa-hong-kiam di
tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang! Hanya terdengar bunyi senjata
berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar bersiutan, kemudian yang
terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang pengeroyok, disusul orang
ke dua ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung, perut robek, atau muka
terbelah dua. Darah muncrat-muncrat dan tubuh bergelimpangan. Tidak sampai
seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu telah roboh mandi darah di
sekeliling mayat Tan Hui! Ada diantara mereka yang tidak tewas, akan tetapi
mereka ini tentu akan menjadi orang cacat karena sebelah tangannya atau sebelah
kakinya buntung!
Sambil
tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali lalu
pergi dari situ tanpa menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia sudah
lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi, barulah penduduk dusun itu geger,
berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Di halaman pondok yang tadinya
dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari
orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini pebuh dengan tubuh
bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya
mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada
pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka
sedapatnya.
Semenjak
peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang
selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan
hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap
musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu
akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan
menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan
berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati,
tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga
sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
Seorang
anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak
pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal
yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang anak kecil tentu akan
menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia
sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada
siapa.
Akan
tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak
sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis.
Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran
hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya
berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song
sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan
dapat menangkap suara batin.
Ia
adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang
berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan
keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras,
kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan
diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak
menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan
dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan
disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan
hidup. Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah
mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu
untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar minta upah
sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau,
menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan
dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak
pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk
menyambung hidupnya.
Biarpun
ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu
Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia
pun tidak ingin belajar silat, karen sejak kecil, kitab-kitab filsafat dan
nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli
silat. Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian
nasihat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau
menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh, untuk
membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat
mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera,
membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan
dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian
silatnya.
Inilah
sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai
bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan
wataknyalah maka ia "memaksa diri" untuk membenci ilmu silat, padahal
wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu
menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi
seorang sastrawan!
Karena
semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera seorang pembesar yang serba
cukup, maka biarpun sekarang telah menjadi seorang "gelandangan",
namun Bu Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap bersih dan sehat, biarpun
pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan sehingga yang dimilikinya hanya
yang menempel pada tubuhnya, namun ia merawat pakaian itu dengan hati-hati,
mencucinya setiap kali pakaian itu kotor. Oleh karena inilah, Bu Song selalu
tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang anak jembel.
Pada
suatu hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah Bu Song di lembah Sungai
Huai yang subur daerahnya. Ia meninggalkan Kabupaten Jwee-bun dimana ia tinggal
selama sebulan dan bekerja membantu seorang pemilik rumah makan. Kini, dengan
bekal sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi meninggalkan Jwee-bun,
terus ke timur melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah sungai.
Matahari
sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon di atas kepalanya.
Angin semilir berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung-burung
hutan. Di sana-sini, binatang kelinci dengan telinganya yang panjang-panjang
berlompatan saling kejar dan bermain "sembunyi-cari" dengan
teman-temannya di antara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu
pendengaran, demikian nyaman perasaan pada pagi cerah itu sehingga Bu Song lupa
akan segala kesukaran yang pernah ia alami maupun yang akan ia hadapi. Anak ini
berdiri diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton
mereka bermain-main dengan hati geli.
"Ha-ha-ha-ha!
Akulah raja di antara segala raja! Dikawal monyet-monyet berkuda! Ha-ha-ha!"
Bu
Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung
kata-kata yang dinyanyikan itu. Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh
sekali. Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi ini ada seorang
bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika
mendengar suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda
besar-besar ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan bengis-bengis. Kuda
terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam,
menyeret seorang laki-laki yang rambutnya compang-camping penuh tambalan.
Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi, karena memang keadaannya
seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan kuat,
dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh Si Penunggang Kuda. Si gila ini tangan
kanannya memegang sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha angsa atau
kalkun, yang digerogotinya. Biarpun kedua lengannya terikat, ia kelihatan
enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali
tidak kelihatan takut. Terang dia gila, pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima
orang itu. Mereka kelihatan galak dan membawa senjata tajam. Rasa iba menyesak
di dadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa
seperti itu?
Tentu
saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang
telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam
menentang kejahatan, disertai tindakannya yang selalu edan-edanan seperti orang
tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga seperti
Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo
Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu adalah seorang sastrawan tampan dan
gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo eng!
Terdorong
oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu. "He, bocah!
Mau apa kau??" Seorang di antara para penunggang kuda itu membentak,
tangannya bergerak dan cambuk di tangannya itu mengeluarkan bunyi
"tar-tar-tar" seperti mercon.
"Aku
hanya ingin bicara dengan Paman ini, apa salahnya?" Bu Song menjawab dan
ia nekat mendekati terus biarpun ia diancam dengan cambuk yang panjang dan
dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki
gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang
dipegangnya, lau melirik ke kanan memandang Bu Song, tertawa dan berkata.
"Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan makan
sepotong!" Sedapatnya ia mengelurkan tangannya yang terikat untuk
memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.
"Tidak,
Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri." Bu Song terpaksa harus maju
setengah berlari untuk mengimbangi orang gila yang terseret di belakang kuda
itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan terhuyung-huyung.
"Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa ke
mana?"
"Bocah
gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan penunggang kuda yang
paling belakang, melecut ke arah Bu Song dan orang gila itu. Cambuk itu panjang
dan tangan yang memegangnya biarpun kurus namun bertenaga sehingga lecutan itu
keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan leher orang gila. Akan tetapi
anehnya, Bu Song sama sekali tidak merasa sakit karena ujung cambuk itu ketika
mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan tertangkis tenaga yang tak
tampak.
"Heh-heh-heh,
bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?" Si Gila itu berkata kepada Bu
Song sambil tertawa menggerogoti paha panggang pula.
"Aku
kasihan kepadamu, paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..." "Hush,
jangan goblok! Aku memang berdosa, aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan
untuk itu aku harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan baru hukum seret
ini habis kalau paha ini pun habis kumakan."
"Kau
masih tidak mau pergi?!" Kembali Si Penunggang Kuda mencambuk, kini ujung
cambuk mengenai pipi Bu Song, terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang
keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari di sebelah Si Gila.
Kini
orang gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang ke
arah jalur merah di pipi yang tercambuk. "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan!
Kau mau tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang hendak menangkap anjing,
akan tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah,
pergilah kau, sampai jumpa pula!"
Tentu
saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata Si Gila itu,
hanya ia dapat menduga bahwa Si Gila ini tentu memaki para penawannya yang
disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, Si Gila ini malah
mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung
sindiran yang memaki orang!
"Cerewet,
masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?" Kembali cambuk
itu melecut, mengenai kaki Bu Song dan sekali cambuk itu digerakkan, Bu Song
terlempar ke pinggir jalan, bergulingan. Kulitnya lecet-lecet, akan tetapi Bu
Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia bangun berdiri dan sempat melihat
betapa orang gila itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu dilarikan
cepat-cepat. Biarpun terseret-seret jatuh bangun dan terhuyung-huyung, namun Si
Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi dengan suara riang dan nyaring. Bu
Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh kagum kepada orang gila itu.
Biarpun
kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh
Kim-mo Taisu Kwee Seng! Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak
di sebelah kuil bobrok di luar kota Kabupaten Jwee-bun ketika lima orang
penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena tidak tahu apa urusannya,
Kwee Seng tidak melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat. Malam
tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya dari rumah makan terbesar di
kota itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat
akan semua pederitaannya sehingga membuat ia tertawa-tawa dan menangis seorang
diri. Ketika lima orang itu menyergapnya dan mengikat kedua lengannya dengaa
tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk membelenggu lawan, ia hanya
tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya.
Orang
tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan lima orang itu, setelah
membelenggu kedua tangannya, lalu bertolak pinggang dan berkata, "Kami
adalah murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan Silat
Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat
yang tiga malam yang lalu telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya
orangnya, karena kaulah orang baru yang kami temui dan jelas bahwa kau pandai
ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu sebelum kau
dihadapkan kepada Suhu." Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar lalu mereka
menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun.
Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Akulah
raja-diraja! Pengawal-pengawalku monyet-monyet berkuda!" Ia menari-nari di
pinggir-pinggir jalan dan ketika mereka lewat di depan rumah makan, kaki Kwee
Seng menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya panggang paha yang
berada di tempatnya telah berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah
paha panggang yang meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha panggang
yang masih panas itu sambil mulutnya mengoceh, "enak... enak, gurih
sedap...!"
Pemilik
warung marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang
yang berjatuhan di tanah, kemudian mereka hendak memukuli oarng gila itu. Akan
tetapi Si Muka Hitam membentak.
"Jangan
sembarangan pukul tawanan kami! Nih, kerugianmu kuganti!" ia melemparkan
sepotong uang perak yang diterima oleh pemilik warung dengan girang.
Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan, anak-anak menggoda Kwee Seng,
orang-orang tua mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng
yang mencuri paha panggang, dan melihat betapa kepala rombongan orang berkuda
itu dengan baik membayar kerugian Si Tukang Warung, otomatis semua orang
berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah
telah melakukan perbuatan jahat.
Kwee
Seng terus diseret berlari-lari di belakang kuda sambil tetap menggerogoti
daging paha. Setelah dagingnya habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit
pecah ujungnya untuk dihisap sum-sumnya, mendadak Kwee Seng berhenti dan
berkata.
"Sudah
cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"
Kuda
di depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, Si Muka Hitam yang memegangi
ujung tali belenggu, tersentak ke belakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia
kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh
melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto
sehingga ia dapat jatuh berdiri di atas tanah sambil membelalakkan matanya.
Empat orang kawannya juga cepat melompat turun dan mencabut senjata
masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak jerih.
Kwee
Seng menggerakkan kedua tangannya dan "bret, brett" tali yang
mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah. Kembali lima orang itu
terkejut, juga Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap
menghadapi tawanan yang memberontak ini.
Kwee
Seng tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri memandang lima orang yang
mengurungnya. "heh-heh, habis makan tidak minum, sungguh tak enak sekali.
Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian yang mempunyai arak?
Aku ingin sekali minum!"
Empat
orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi Si Muka
Hitam menggeleng kepala, menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang
temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan melemparkannya kepada Kwee Seng.
Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan isinya ke mulut,
meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu
kosong!
"Heh-heh,
arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!" katanya sambil mengusap
mulut dengan lengan baju. "Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri
paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan tetapi sekarang
barang curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak
perlu segala pura-pura ini!" Si Muka Hitam membentak. "Seorang gagah
tidak akan menyangkal perbuatannya. Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura
gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya orang yang
mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu, kami harap supaya
kau ikut baik-baik menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras
menolak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan pula!"
"Siapa
guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak acuh. "Suhu adalah guru
silat yang mendirikan Silat Monyet Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang
menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan lain."
"Aha!
Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota
Sin-yang."
Lima
orang itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang. "Hemm, kau
sudah mengenal Suhu, sudah mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih
berpura-pura lagi!" tegur Si Muka Hitam.
"Ha-ha-ha!
Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini
benar-benar monyet buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian
hendak menangkap anjing, akan tetapi keliru menangkap hariamau, bukankah itu
amat lucu? Sudahlah , aku hendak pergi!" Setelah berkata demikian, Kwee
Seng melempar guci arak yang sudah kosong ke atas tanah, kemudian tanpa menoleh
lagi ia berjalan melewati mereka dengan lenggang seenaknya dan
bernyanyi-nyanyi!
"Kalau To menyuram,
dianjurkan prikebajikan!
Prikebajikan muncul tampak pula kemunafikan!
Kalau rumah tangga hancur berantakan dianjurkan kerukunan!
"Setelah negara kacau, baru timbul pahlawan!
Hayaaaaa......! Hayaaaa...!
Hayaaaaa......!!!"
Nyanyian
itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-khing pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng
amat tertarik oleh pelajaran Agama To-kauw ini setelah selama tiga tahun ia
berada di Neraka Bumi, di mana terkumpul banyak kitab-kitab kuno tentang
To-kauw milik nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak pula kitab-kitab ini
dibacanya. Agaknya pengaruh pelajaran To ini pulalah yang membuat Kwee Seng
kini menjadi tak acuh akan keduniawian, bersikap bebas lepas seperti orang
tidak normal!
Adapun
lima orang itu ketika melihat Si Gila seperti hendak melarikan diri, cepat lari
mengejar dan mengurungnya dengan senjata di tangan, sikap mengancam dan siap
menerjang. Si Muka
Hitam
yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil membentak. "Kau
tidak boleh pergi sebelum ikut kami menghadap Suhu!"
Ha-Ha-Ha,
aku akan menghadap Suhumu sekarang juga!" Kwee Seng berkata sambil
berjalan terus tanpa mempedulikan mereka. Tentu saja lima orang itu tidak sudi
percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat untuk dapat melarikan
diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan
pedang mereka. Senjata-senjata itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak
berbahaya, bahkan ada yang hanya dipakai mengancam karena mereka tidak berniat
membunuh Si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada guru mereka untuk diperiksa.
"Siuuuttt...
wrr-wrr-wrrr!" Lima orang itu menjadi silau matanya melihat sinar
menyilaukan mata disambung tubuh mereka terpental ke belakang. Entah apa yang
terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar dan jatuh duduk terjengkang sedangkan
senjata mereka lenyap entah ke mana bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila
yang mereka serang tadi! Mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka
adalah murid-murid pilihan dari Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang!
Bagaimana mereka dapat dengan mudah saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang
lawan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya?
"Eh,
Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!" Seorang diantara
mereka berkata sambil menudingkan telunjuknya ke belakang. Si Muka Hitam dan
adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka yang lenyap
tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang kosong! Entah
bagaimana bisa menancap di situ, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali tidak
dapat menerka. Dengan penuh keheranan, kekaguman, juga kekhawatiran karena
perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang sedemikian saktinya, mereka
bangkit, membersihkan pakaian lalu mengambi senjata dan meloncat ke atas kuda
yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada guru
mereka.
Dengan
cepat lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan
keselamatan perguruan mereka. Guru mereka harus diberi peringatan akan
datangnya malapetaka dari tangan Si Jembel yang sakti itu. Lima ekor kuda
mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan
cepat-cepat mereka melompat turun di depan rumah besar yang pintu depannya
terdapat tulisan Sin-kauw-bu-koan. Mereka berlima lalu lari masuk tanpa
mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada di depan gedung.
"Mana
Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!" Demikianlah ucapan mereka
sambil berlari terus menuju ke ruangan dalam.
Akan
tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri
seperti patung, membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang
mata dan pendengaran telinga sendiri. Suhu mereka, seorang tua berusia enam
puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk di ruangan tamu, menjamu
seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana
gembira sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa, seorang tamu berpakaian
compang-camping yang bukan lain adalah.... Jembel gila yang mereka keroyok
tadi! Orang gila itu kini menoleh ke arah mereka sambil mengangkat cawan arak
dan berkata sambil tertawa.
"Ha-ha,
percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap Liong-lo-enghing (Orang Tua
Gagah she Liong)?"
Lima
orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya
edan-edanan, jangan-jangan suhu mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang
selalu ramah kepada siapapun juga, siapa tahu bahwa Si Gila inilah mungkin
orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.
"Suhu...
eh, dia ini..." Si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan
kata-katanya ketika melihat sepasang mata suhunya memandang marah kepadanya.
"Hemm,
apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi
hormat kepada yang terhormat Kim-mo Taisu!"
Lima
orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka
sudah mendengar suhu mereka bicara dengan kagum akan seorang pendekar aneh yang
menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang pendekar muda yang amat sakti dan
jarang dapat ditemui orang namun yang perbuatan-perbuatannya membuat namanya
menjulang tinggi di antara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa
kira nama besar ini dimiliki oleh seorang jembel muda! Patutnya nama julukan
Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu
mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan dapat percaya. Meremang
bulu tengkuk mereka menawan dan menyeret-nyeret Kim-mo Taisu.
Serempak
lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil
berkata, "Mohon Taisu sudi mengampuni kekurangajaran kami berlima!"
Sin-kauw
Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat
murid-murid kepala ini memberi penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya,
maka cepat ia bertanya dengan suara keren.
"Hemm,
apakah yang telah kalian perbuat terhadap dia?" Si Muka Hitam segera
menjawab, suaranya penuh penyesalan, "Suhu, teecu berlima dalam
menyelidiki penjahat, telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap Taisu,
mohon Suhu dapat mengampunkan teecu."
"Hah...??
Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap
Taisu suka memaafkan aku orang tua yang mempunyai murid-murid tolol."
Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee Seng.
Kwee
Seng tertawa dan balas menjura. "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh
bila terjadi kesalahpahaman, kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat
mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"
Liong
Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia
menarik napas panjang lalu memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk
bangun. Dengan taat mereka bangkit dan mengambil tempat duduk di belakang suhu
mereka. Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali,
penuh keseganan dan kekaguman.
"Memang
murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalahdugaan mereka
karena dia pun seorang muda yang suka memakai pakaian jembel seperti Taisu. Dan
dia lihai bukan main... hemm, ataukah agaknya aku yang sudah terlalu tua dan
tiada guna...." Kembali guru silat tua itu menarik napas panjang dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat
sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata. "Kim-mo Taisu, aku
sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun
yang lalu di Hutan Ayam Putih membasmi perampok, coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku
sudah amat merosot?" Setelah berkata demikian, guru silat tua itu
tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas bangkunya. Guru silat
tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun
Kwee Seng hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya,
terdengar suara keras dan bangku yang diduduki Kwee Seng tadi hancur
berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah tidak berada di
situ! Kejadian ini berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat
luar biasa sehingga guru silat dan lima orang muridnya melongo, lalu celingukan
mencari-cari dengan mata mereka.
"Ha-ha,
pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar
suaranya dan ketika semua orang memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng
itu telah berada di sudut ruangan, punggungnya menempel pada sudut dinding
bagian atas, seperti orang enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu
sekaligus telah membuktikan kehebatan gin-kangnya ketika ia "menghilang"
dan juga kekuatan lwe-kangnya dengan cara menempelkan punggung pada dinding!
Hemm,
kauanggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat
ilmu toyaku, bagaimana?" Cepat sekali guru silat itu tahu-tahu sudah
menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau pentung terbuat daripada
sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata yang berat dan keras bukan
main. Kemudian toya itu diputar-putarnya sampai mengeluarkan angin berciutan,
toyanya sendiri hilang bentuknya karena yang tampak hanya gulungan sinar kuning
yang makin lama makin berkembang lebar. Terdengar suara keras berkali-kali dan
di lain saat Si Guru Silat sudah meloncat turun, toyanya melintang di depan
dada, dan ia bengong memandang ke atas di mana tadi Kim-mo Taisu berada.
Pendekar sakti itu sudah tidak berada di atas dinding itu memperlihatkan akibat
serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat di
bagian tubuh yang berbahaya.
"Wah,
ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu
berkata dan kiranya pendekar ini tadi melompat ke sudut lain dari ruangan itu
dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh mereka yang berada di
ruangan itu. Kini ia menghampiri Si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa,
"Kau yang begini tua masih sehebat ini, benar-benar harus diberi ucapan
selamat dengan seguci arak wangi."
Liong
Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan
menyimpannya. "Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah
tidak butuhkan itu lagi. Taisu kalau kau menganggap bahwa ilmuku masih belum
berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil lagi guci
besar arak wangi untuk Taisu!"
Biarpun
tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru
dibuka dari guci, namun kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas
panjang berkali-kali.
"Lo-enghiong,
mengapa kausimpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan
siapa itu orang muda berpakaian jembel yang lihai sekali?"
Liong
Keng kembali menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin
orang mati penasaran! Aku Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru
silat tak pernah mencari permusuhan dengan siapapun juga, kecuali dengan
orang-orang jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa
tahu, sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak
terkenal)!" Dengan suara penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa
yang menimpa padanya beberapa hari yang lalu.
Liong
Keng seorang guru silat yang terkenal, guru silat walaupun merupakan guru
bayaran, namun dalam menerima murid ia tidaklah asal orang mampu membayarnya
saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang berkelakuan baik-baik,
bahkan banyak di antara muridnya yang karena miskin tidak mampu membayarnya.
Ada seorang murid perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya
sehingga ketika janda itu meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan
itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak
mempunyai keturunan. Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti,
wajahnya cukup cantik sehingga guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu
yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu Liong
Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia
sudah biasa keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk
membela si lemah yang tertindas. Tidak ada orang yang berani mencoba-coba
mengganggunya, karena selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa
sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu itu, Liong Keng dan murid-muridnya yang
banyak jumlahnya.
"Akan
tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya.
"Bi Loan memasuki sebuah tempat judi Karena tertarik. Di tempat itu tentu
saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang
ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar
kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang langgang. Akan
tetapi tiba-tiba seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian
jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian
itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para
penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan
diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka
lenyap dari tempat itu." Guru silat itu berhenti bercerita dan menarik
napas panjang.
"Lalu
bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak
seorang pun tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam
Bi Loan tidak pulang, aku menjadi kuatir dan pada keesokan harinya aku sendiri
pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan
sebelah barat kota...."
Melihat
wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis
itu?"
"Dia
tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali.
Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah
menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong
(Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
Demikianlah
pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah
dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar.
Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali
menyatakan hendak ikut kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan
hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan
membawa pergi Bi Loan!"
"Apa?
Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini
kepandaiannya sudah lumayan, kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja
pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa
ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh
aku harus merasa malu, menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, sama sekali
tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup
perguruanku!"
"Suhu...!"
lima orang murid kepala berseru. "Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari
seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo
Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku maupun ilmu toyaku masih
kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan
orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu
telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya keluar dan meloncat ke atas
genteng. Aku mendengar puteriku berkata "Selamat tinggal, Ayah" dan
melihat berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan
mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku
mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak
apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap!"
Makin
kagum hati Kwee Seng. Selama ini, baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang
muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda
lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!
"Nah,
selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan
penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang
menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapapun juga, hal
ini kuanggap kebetulan sekali, karena, kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi
yang dapat mencuci bersih namaku ini?" Suara guru silat itu terdengar
sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah
banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.
"Baiklah,
Lo-enghiong." Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi
ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan
dapat menemukannuya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu
telah memilih Si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu
kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara..." Perih hati Kwee Seng
berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang
berkali-kali menjadi korban asmara jahil!
Liong
Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri,
bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang
demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai
keturunan."
Setelah
menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee
Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat
menarik hatinya Si Raja Pengemis!
Dua
orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak
itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala
botak bertanya seius, "Dari mana mau ke mana?"
Pertanyaan
singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia
tertawa dan menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"
Sejenak
kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka
tertawa bergelak dan orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas menghardik.
"Jembel kapiran! hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau
mengemis!"
"Tempat
apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting. "Di sini
rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul
mampus?" bentak Si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee
Seng itu di depan hidung Si Pendekar Sakti.
"Waduh,
tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya, lalu menjauhkan
mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya
dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik
kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya memang bau tangannya itu, karena
hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah
besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat
memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena
pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "BAN HOA PO KOAN
(Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar
berjudi!"
Sekaligus
kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel
pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula?
"Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi?
Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek Si Botak dan kedua orang penjag
apintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut. Mendadak
suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan
Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak
yang berkilauan!
"Apakah
modal sekian ini kurang cukup?" Dua orang itu menelan ludah
menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak.
Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup... silakan
masuk...!"
Kwee
Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk,
diawasi dua orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak
mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam ruangan yang cukup
luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri
hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah
manusia lagi, melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan. Muka penuh peluh,
berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh
kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa,
penasaran, dendam, dan iri. Tempat setan dan iblis berpesta-pora, pikir Kwee
Seng. Hawa udara panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam.
Luar panas Karen kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.
Kwee
Seng menhampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja
adalah meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi
di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat besar. Uang perak
bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas. Yang mainkan dadu adalah
seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu
usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke siku.
Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam
mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja dengan
biji-biji dadu di bawah mangkok. Mulailah orang-orang memasang nomer yang ia
duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan selesai, dengan gerakan
tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di
atas meja dengan permukaan memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik
inilah merupakan angka yang keluar. Bagi yang pasangannya kena, mendapat jumlah
taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat.
Bagi yang kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan
mata sayu betapa tumpukan uang taruhan mereka digaruk oleh Si Bandar yang
tertawa-tawa lebar. Agaknya yang nasibnya mujur adalah selalu Si Bandar,
buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu hanya yang memasang
kecil, sebaliknya yang taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!
Kedatangan
Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas
meja. Setelah melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang
bertaruh. Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan
pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak
bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang.
Yang merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga
akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan Si Bandar Judi. Pundi-pundi
itu belum dibuka, maka Si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata
sipitnya, kemudian bertanya.
"Pasangan
dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" Diam-diam SI Bandar ini merasa
heran mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.
"Heh-heh-heh,
kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!" Kwee Seng membuka
pundi-pundinya dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi
pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku
ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap,
dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"
Kembali
orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa
Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah
ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini tersenyum-senyum
memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus. "Mengapa
tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kaupertaruhkan?" "Isi
pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"
Terdengar
seruan "ah-oh-eh" ramai sekali ketika para penjudi mendengar ucapan
ini. Sekali pasang seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila
yang dapat melakukan hal ini! Bahkan Si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah
penuh keringat Karena betapapun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan
yang begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk
kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.
"Eh,
Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar
itu hanya memandang kepadanya.
Ada
yang teratawa geli, ada pula yang kuatir mendengar jembel itu berani menyebut
muka tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang
tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya, diam-diam mendekati
Kwee Seng dan berdiri di belakang Si Jembel ini sambil saling memberi tanda
dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.
"Apa?
Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?" Si
Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam memasukkannya ke dalam mangkok
yang telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang
mengeluarkan suara, menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi
dan sebuah jarum yang jatuh ke lantai agaknya akan terdengar pada saat itu.
Kwee
Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan.
"Seratus dua puluh tail perak kupasangkan untuk angka ganjil!"
katanya nyaring.
Si
Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini
lunak tersodor di depan mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna
sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan dua jari telunjuk dan
tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu
ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan
ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu. Dengan
jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka
hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup
mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang
berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat
jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok
bekerja membalik biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi
taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu pemasang taruhan besar akan
kalah. Sekarang, jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu.
Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap
berada di atas untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah
mudahnya!
Baik!"
katanya. "Semua orang disini menjadi saksi. Kau memasang angka
ganjil!" Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi,
dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga dadu
yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya,
kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan
biji dadu di bawahnya.
"Heh-heh-heh!"
Si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu?
Tetap ganjil? Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak
memilih. Ganjil atau genap?"
Suasana
makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua
tangannya di atas meja, di depannya, dan ia tenang-tenang menjawab. "Aku
tetap memasang angka ganjil!"
Si
Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata.
"Nah, siap untuk dibuka, semua orang menjadi saksi!" Jari-jarinya
bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar.
"Heeeeeiiitt!"
Semua
mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah
titik merah. "Ganjil... !" Semua mulut berseru.
"Aaahhhhh..."
Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji
dadu, hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Tadi ketika menutup mangkok,
jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima, maka ketika membuka
mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau
empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia
yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia
menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh,
apakah kemenanganku hanya cukup kaubayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar
seratus dua puluh tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.
Empat
orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar
itu tidak memberi tanda maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu
menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi muka dan
lehernya, kemudian ia tertawa ha-hah-heh-heh.
"Tentu
saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh
kendil?"
Kwee
Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya
istilah "botoh kendil!" ini. Botoh berarti penjudi, adapun kendil
adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira istilah
itu merupakan makian. "Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban
ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah
diketahui bahwa jembel ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia
begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh
kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat
kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab Si bandar yang juga
terheran-heran.
Kwee
Seng tertawa, tidak jadi marah. "wah, belum apa-apa kau sudah takut
kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak
berani menghadapi kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan lari. Hayo
bayar dulu kemenanganku!"
Dengan
tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan
pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi
hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru
di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring.
"Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!"
Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan
berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar. Seakan-akan menjadi terhenti
sama sekali perjudian di dalam ruangan itu, semua penjudi menjadi penonton dan
yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si Bandar bermata sipit. Bandar
ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini
benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali
kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si Jembel! Kalau tadi ia
mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan
berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus!
Kau benar-benar menjadi penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai
memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh,
aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol." Kwee Seng membantah, akan tetapi
matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua
tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.
Si
Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup
lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi
taruhanmu biar disaksikan semua orang!" Si Bandar berkata, suaranya agak
gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu
yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia
mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku
mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng
berkata tenang tapi cukup jelas. Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya
menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.
"Bagus,
semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka
ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!" Tangannya membuka
mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia
sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu
tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah
pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah,
ganjil lagi...!!" seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget....!!!"
Seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika
matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana
mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh,
mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? semua orang melihat jelas
bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua
ratus empat puluh tail!"
Bandar
itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini...
ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke
arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap Si Jembel,
menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo
bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar
lagi?" Selagi Si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul
lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar
suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima
puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian
pengemis!
"Orang
muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis
tua itu. Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan
pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang
pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu
berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan
dengan Kwee Seng!
"Baiklah,
Pangcu," kata Si Bandar dan mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan)
ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian.
Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan
pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja
dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang
tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua tangannya ditaruh di
atas meja di depan dadanya. Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini
tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah
menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa
lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap
atau membalik sesuka hatinya.
Dua
buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng
terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh
tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian, karena
ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus
mempertanggung jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik
ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.
"Teruskan,
biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini." Mendengar
ini, Si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa Si Kakek hendak
membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser
dari pundaknya. Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari
Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu
dibuka oleh para pencoleng kota, akan tetapi kurang lebih setengah tahun yang
lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa-po-koan, karena
sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan
pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan
menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi,
tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka.
Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung
Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan,
akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini, mereka menjadi besar
hati.
Si
Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi.
Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu
berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo
tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan
ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah,
sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"
keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang daripada tadi. Semua
orang yang berada di situ, biarpun sebagian tidak mengenal kakek pengemis,
namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak
kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya
awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis
tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di
dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar,
bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil
menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil
berkata. "Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan
puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si
Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu
tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya Si Bandar bekerja seperti biasa,
yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar
membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan
hati-hati Si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap
masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek
pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke
jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia
girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga
sin-kang.
"Siap
Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!" Si Bandar berteriak kesakitan ketika
mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan
digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa
sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang
entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil
lagi...!" Hebat...!!" Semua orang berseru ketika melihat biji dadu
itu memperlihatkan angka tiga! Diam-diam Si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia
maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan, dan maklum pula bahwa
tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa
sin-kang dari jari-jari tangan, mencegah Si Bandar menggulingkan biji dadu
dengan jari tangan!
Wajah
bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas
merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata.
"Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas
dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar
ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana
cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah
dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan
ini adalah hasil beberapa hari!
Orang-orang
di situ makin terheran-heran melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi
raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar
delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, masih belum puas
agaknya buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu. Kini kakek pengemis
itu yang bertanya.
"Sahabat
muda masih berani melanjutkan?" Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri.
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi
kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang
tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia
menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng, "Tidak
usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi
langganan baik." Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi
bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus!
Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi."
Kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum
sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan
mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik...
ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika
bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, Si
Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan
perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai
jauh.
"Ha-ha-ha,
memang dia sialan!" Kwee Seng menertawakan. Koai-tung Tiang-lo memegang
mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik. "Orang muda,
kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh,
semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha" "Gila!" seru
seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya
melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan.
Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata
yang muram tanda kalah judi.
"Kau
benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah
orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kaumainkanlah dadu itu. Delapan
pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm,
orang muda, apakah yang kaukehendaki? Tentu bukan kemenangan uang." Kata
Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak
seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah
seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak,
dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dariapada
kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh,
orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka
ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan
lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah
keterangan."
Semua
orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi
orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga. "Uangmu delapan kantung,
sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar
diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan
ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan
perasaan heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah
tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya kai-ong
(raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah
wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan
apakah dengan kai-ong?"
"Urusan
pribadi. Bagaimana, kauterima?"
Kakek
itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga
daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kaudapat,
delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kaubayarkan kepadaku. Kalau
kau menang, uangmu ini kaubawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya
kai-ong. Akor?"
Semua
orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan
kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu
Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata,
"Cocok!" Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah
keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail
perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan
menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu
berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja,
menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri.
Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya
terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat
tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah
mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut,
sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik
ke arah mangkok di atas meja.
Melihat
kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru.
"Siap buka, lihatlah!" Tangan kirinya mengangkat mangkok dan
jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya
menegang! Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng
menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini,
menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua
mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji
dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena
begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan
berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu
itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan
terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tmpatnya. Kembali
terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji
dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua
antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam
melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain
saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling
dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang
memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika
orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan
muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya.
Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya
menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke
arah dadu, napasnya agak terengah-engah. Adapun pengemis muda itu masih
enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan,
tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan
diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja
dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi
terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi
miring!
"Pangcu,
apa kau masih hendak berkeras? Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum.
Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan
peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini
adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu
tenaga sin-kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa
kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena
jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.
Akan
tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang
setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti
di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang
ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak
ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba
Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas
meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan
terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang
dengan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek
ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi
tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang
mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu
saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang
peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di
antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa
terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!"
Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok
dari tangan kirinya menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum
mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda
itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu
seperti mengambang di udara karena "terjepit" di antara dua rangkum
tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua
yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu? Ucapan
Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan
lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya
dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja
dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini
memperlihatkan angka tiga pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka
tiga ini, tentu saja serentak berkata "Angka tiga...!"
"Hemm,
berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...." Pada saat Kwee Seng berkata
demikian itu empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala
dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini,
namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak arti baginya dan
karena ia sedang mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia
pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke
arah kepala dan leher, tiba-tiba... "wuuuutttt!" senjata-senjata itu
membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi,
golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat
dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik. Bukan kepala Kwee Seng yang
termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung
golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan
golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja
cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk
biru!
Pada
saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian
pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke
belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa lalu menyambar guci araknya dan
menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat
bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah.
Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan
senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak
melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung
Tiang-lo mengangkat kedua tangn menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang
Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Di lereng sebelah utara
Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee
Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya
seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang
sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat
mengempit dan membawanya seakan-aakan amat ringan.
"Siapa
yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!" kata Kwee Seng sambil
melangkah terus. Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan
tentu saja tidak semua dari mereka penderita kekalahan. Yang menang pun karena
ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar.
Sampai
di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di
depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah
judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika
puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah
judi itu.
"Saudara-suadara
sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar
berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan
kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir
batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan
rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan
menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan
menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama,
menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian
untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan
suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!" tentu
saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee
Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai
habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih!
Setelah
membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi
keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis
di Gunung Tapie-san. "Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada
gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki
yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang
melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang
mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya.
Ia
melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian
sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti
kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa
kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah
judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee
Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan
langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang
pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong
Keng!
"Ha-ha-ha-ha,
kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini
yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu
denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah,
Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu,
aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan
melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena
melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak
mengerti."
Hampir
Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi
ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi "kuliah" oleh seorang
bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun
rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai
pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di
luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di
pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya,
berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa
lagi.
"Heh-heh,
bocah sinting. Sekarang kaukatakan, mengapa perbuatanku tadi kaukatakan sia-sia
belaka tidak ada gunanya?
"Karena
perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa
ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang
diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan
dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas,
berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
"Diri sendiri
melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?"
Kwee
Seng melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)?
Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak
itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
Bu
Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang
mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban
ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin terterik. "Anak baik, mari kau
duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak
sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng
lalu bertanya.
"Anak
baik, coba kaujelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku
tadi." "Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah
mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau
tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena
judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang
menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya,
ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya
sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya
bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan
hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah
sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan
menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee
Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab
suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu
dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama
sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari
pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan
sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi.
Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja
tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm,
kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah
sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala
macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi
itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran
dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu
hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada
kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih
suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu.
PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah,
kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum. "Boleh juga
disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru.
Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat,
dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING
BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan
pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain
mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja
Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang
telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri
seorang maling..."
"Hahhh...?
Apa kaubilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran,
matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia
kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan
wajahnya serius (sungguh-sungguh).
|
"Aku
tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan
fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman
sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang
bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan
itu?"
Sejenak
Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya
terasa kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kauanggap maling! Anak
baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu
Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak
perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak
akan mencuri, Paman."
Kwee
Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening
dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke
atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia
mengingat di mana dan kapan. Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu
memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut
dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata,
"Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman
sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga
kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam
ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak
perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini
menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat
menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada
orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu
ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia
tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja
persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya
sambil bernyanyi dengan suara keras.
"Lima warna
membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!"
Bu
Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan
dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan
pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di
hatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar
bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat
menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus
sekali, Paman terutama isi sajaknya!"
Kwee
Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah
membacanya?"
Bu
Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca
kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama
ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak
membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum
pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To,
bukan?"
Kwee
Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah
sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik
siapakah namamu?"
"Aku
bernama Bu Song, paman." "Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa
shemu (nama keturunan)?"
Bu
Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she.
Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee
Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau
tinggal?"
Bu
Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau
Paman." "Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak
mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai
tempat tinggal?"
|
Bu
Song mengangguk!
"Dan
orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?"
Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah,
seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia
dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini
tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit,
tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba
Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf,
Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih
lama. Aku pergi...!"
"Hee,
nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?" Sambil menoleh dan
memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus
jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang
diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun
dengan penuh kesal dan kecewa...."
"He,
Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu
atau orang tuamu."
Bu
Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng
lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak
itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat
kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat.
Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu
Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?" "Silat? Tidak, tidak
pernah." Bu Song menggeleng kepalanya. "Bagus! Anak baik, aku cocok
sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
Murid?
Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini,
pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, sipakah
Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee
Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah
guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi
"Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah
namaku."
"Kim-mo
Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya
huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf
indah dan belajar kitab Agama to!"
Kwee
Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi
sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat,
sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat
dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia
tertawa bergelak.
"Aku
hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau
tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan
ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan
tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala
cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok.
"Tidak,
Paman! Aku tidak mau belajar silat!" "Eh, kenapa?" "Ilmu
silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha,
omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung
kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul,
Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai
silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak
musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi,
bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh!
Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang
bilang
begitu?"
"Yang
bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
Hemm,
agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci
pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini
demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang
agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini
keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan
pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti
sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani
mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin
tertarik dan suka sekali.
"Baiklah,
Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat,
melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah
muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut ke mana pun aku pergi."
Girang
hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya
awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan
rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah
orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia
lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya
seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!" Kim-mo Taisu yang
masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak
tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke
atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song.
Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan
hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget
atau takut keluar dari mulutnya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah
suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh
muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak
baik, muridku yang baik....!" Bu Song terharu, matanya terasa panas namun
hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari
diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang
tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini.
Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar
terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan
hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa
sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu
Song, kautunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan
tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu. Bu
Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu
timbul rasa inginnya belajar "terbang" seperti yang dilakukan
suhunya, akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan
ayahnya dahulu ketika ia masih kecil, masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak
tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga kemana. Akan tetapi karena
memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan
edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk di bawah pohon itu, menanti.
Kewajiban seorang murid untuk menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya
itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!
Untung
baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo
Taisu sudah berkelebat datang, membawa pundi-pundi kuning, datang-datang
melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha,
kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit
gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang
pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar menjemukan!"
Bu
Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak
berani ia mentertawakannya. "Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap
mereka?" tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku?
Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku
sendiri, kemudian kujungkirbalikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke
atas genteng."
Bu
Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan
suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka, tidak mungkin dapat mengobati
penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka
terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil
tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat
mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum.
Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan
pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana
keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu
Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah
bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke
sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau
susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa
tidak berani, Suhu?" "Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku
pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan
pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya Bu
Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu
bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu
"menghilang". Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di
punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih
jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia
tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti di sana.
Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya.
Apapun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang,
langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali, Anak kecil ini memandang
ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia.
Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa
potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di
dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba
mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada
gunanya!
Dua
hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada
rumah orang di mana ia dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama
ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan pengalaman, menambah
akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di sarang burung,
kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan
untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat
sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai
juga ia ke kaki Gunung Tapie-san.
Sementara
itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi
pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu
berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berloncatan dai batu ke
batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya
ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya
seperti kuil kuno yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat
dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan bersambung pada sebuah pintu
cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung
itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh
tempat tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip
sebuah istana musim panas di mana seoarang raja atau pangeran tinggal
melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti
ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu
kalau-kalau inilah istananya?
Tanpa
ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras
dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi.
Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin kalau kosong pintu gerbangnya takkan
tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran di atas
gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.
Benar
dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah
ppintu kemusian suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan,
pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang luas di depan gedung yang
dilihat dari keadaan tuan depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung.
Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang
berwajah bengis!
Kim-mo
Taisu melangkah masuk dan sekarang tampaklah olehnya serombongan orang
berpakaian pengemis berdiri berbaris di kanan kiri pekarangan itu setiap baris
sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga orang pengemis tua.
Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih
seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah
pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama sekali
bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap
pembesar-pembesar tinggi! Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah
di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi
menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, taja pengemis itu masih
muda sedangkan tiga orang pengemis ini biarpun agaknya juga merupakan pimpinan
pengemis, sudah berusia lima puluh lebih.
Melihat
betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal-tambaln, Kim-mo
Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa
bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya semua berpakaian
pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha!
Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang puny rumah sama-sama berpakaian pengemis.
Akan tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan,
asli pakaian pengemis, namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian
adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi
kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan
kepalsuan manusia?"
Kini
tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar
perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di
antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi mengandung tenaga sehingga
terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang
dan hendak mencari Kai-ong?"
Diam-diam
Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di
Sin-Yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung
ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-Yang mendahuluinya memberi kabar? Kalau
memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar
dipercaya. Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak,
"ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan kecepatan
burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim
surat dengan perantaraan burung dara itu ke tempat ini. "Memang akulah
yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku mau bicara dengannya!"
"Hemm,
tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu
mau bertemu dengan Kai-ong?"
"Aku
bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada
urusan dengan kalian pengemis-pengemis palsu."
"Hemmm,
orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa
melalui kami bertiga pengemis tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi
menghadap Kai-ong?"
Mendengar
ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua
yang biasa saja, bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya
tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan mereka memegang
sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat maupun
senjata. Melihat bentuk pentung ini ketiganya serua, teringatlah ia akah nama
tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua
Bertongkat Sakti). Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai
adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal sebagai
orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin
kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang tiga
orang tokoh ini hanya menjadi penjaga pintu di sini?" "Bukankah
Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung Sam-lo-kai?"
Tiga
orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang
muda." Kata kakek pertama yang paling tua, "Jadi kau sudah mengenal
kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakana terus
terang saja apa maksudmu mencari Kai-ong?"
"Sam-wi
Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi
penjaga pintu di sini? Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"
"Bukan
urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan
mengganggu kami." Jawab pengemis itu cepat-cepat. Akan tetapi Kim-mo Taisu
seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu terntu merasa tidak
sendang sekali dengan "pekerjaan" mereka akan tetapi agaknya
terpaksa, entah oleh apa dan mengapa.
"Ha-ha-ha,
kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang
siluman sekalipun, aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian,
Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap kalian bertiga
minggir!"
Namun
tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap
menerjang. Kim-mo Taisu tertawa bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman
tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak memasuki pintu depan rumah
gedung.
"Apakah
kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar
suara angin menyambar keras ketika mereka menggerakan tongkat menyerang. Dari
angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa kepandaian tiga orang
kakek pengemis ini tidak kalah oleh Koai-tung tiang-lo yang pernah ia lawan di
dalam rumah judi di Sin-yang. Maka dapat dibayangkan hebatnya tiga batang
tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan sebatang lagi diputar menghadang di
depan!
"Wuuuttt!
Wuuuttt!" Dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar
dari kanan kiri mengancam lambung. Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya,
kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap ujung kedua tongkat,
mengerahkan lwee-kang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua
orang pengemis tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini.
Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas kembali tongkat yang
terpegang lawan, sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke
dalam tanah sampai setengahnya lebih!
Kakek
ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali, ujung tongkatnya yang tadinya
terputar-putar itu kini meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang
maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok dan sekaligus telah menotok ke
arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus
serangan ini, maka ia cepat menggunakan gin-kangnya untuk berturut-turut pula
mengelak ke kanan kiri, kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung
tongkat dan "Lepas....!!" Teriaknya sambil mengerahkan sin-kang,
sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan lagi oleh
pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian menancap pada
dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.
Tiga
orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah
menyatakan bahwa mereka itu ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka
kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya betapa dalam
segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka!
Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani
membiarkan orang ini masuk ke dalam gedung begitu saja karena hal ini akan
membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari Kai-ong.
"Tahan
dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia
melihat Kim-mo Taisu berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung. Ia sendiri
lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan kedua orang temannya
juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan
pengemis yang berdiri dari delapan belas orang itu bergerak maju cepat sekali
dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu. Pendekar aneh ini berdiri di
tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak melihat
barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh
yang berubah-ubah, kadang-kadang merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik
berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan bertambah seginya dan
setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi.
Barisan ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini
diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.
"Orang
muda, biarpun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan
Pengemis Pengejar Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih
baik kau lekas mengaku siapakah engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong!"
Kim-mo
Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah
aku mencoba untuk menjadi anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil
tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat hendak memasuki
gedung. Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan
yang sekaligus telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang
bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata pedang dan orang ke tiga
bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat
berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju
bersama, ternyata mereka bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan
seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang
Kim-mo Taisu!
Pendekar
ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang
ini.
Kedua
tangannya digerakkan, dengan ilmu tankapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas
senjata-senjata mereka. Akan tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan
berlari terus ke depan dan pada detik itu juga, pengurung bagian belakang yang
menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa
tiga orang di bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang
pertama tadi akan tetapi cara mereka menyerang berbeda sungguhpun kerja sama
mereka tetap baik. Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa
mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping
tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini
tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan
tiga macam senjata mereka. Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah
diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul
menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis! Kim-mo
Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan
ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia
menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau
ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada para
pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi
ia justeru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia
sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja
karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa
barisan ini bergerak dan berubah. Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama
seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan
garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal
itu. Dia sendiri adalah ahli permaianan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan)
tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui
intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Kiranya barisan biasa saja
setelah terdapat rahasia sumbernya.
Ha-ha-ha-ha,
Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan
mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis
kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha!" sambil berkata
demikian, Kim-mo Taisu mulai "bekerja", tangan kakinya bergerak
cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat. Terdengar suara gaduh dan
hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul
bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas
orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh
Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan
senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika
melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak
berani lagi turun!
Wajah
Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal
kehebatannya, mampu menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka
maklum bahwa orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan
hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk
mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka
berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang
muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau
tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh,
eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang
ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau
tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"
Terbelalak
kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo
Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan
pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang
akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar
Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama
Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan
yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis
muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar
bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan,
pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang
di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo
Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.
"Ah,
kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon
pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah
ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis
dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk berarti kami bertiga akan binasa.
Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar
nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan....
Auuhhh!" Tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari
punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam
gedung!
"Twa-suheng...!"
Dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu
dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo
Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja
pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan.
Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu.
"Kai-ong-ya
memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita
itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol
hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena
ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol
oleh sikap kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seoarang raja yang
memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu
untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti
wanita cantik itu memasuki ruangan depan. Heran sekali ia melihat perabot
ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu
penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu
memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja
ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam
lagi.
Sebuah
pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di
dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang
merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap
Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu." Wanita itu berkata,
menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha!
Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat
daripada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau mau
rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!"
Wanita
itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini, ia hanya memandang bingung
dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu
terbayang ketakutan dan kekuatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita
tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba
terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus
dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai
bersih. Cepat!"
Terdengar
suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa
wanita-wanita berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita
cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan
pakaian puteri-puteri istana, terbuat daripada sutera tipis dan halus beraneka
warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal
itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa "tamu
agung" itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya
telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak
kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu. Akan tetapi seorang di
antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri
Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata.
"Silahkan
Khekkoan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki
yang kotor."
Sejenak
Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan
dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap
desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari
pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh...
oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya
cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua
kakinya kepada babut tadi. Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang
dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit.
Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang
menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi
mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu
memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari ke dalam di
mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang
wanita muda lain.
Kim-mo
Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga
diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa
heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi.
Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung
seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang
halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya
baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit
mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit
membayangkan kelicikan. Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang
bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak meimbulkan selera. Ketika ia
masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya
sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita
menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya
sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya.
Adapun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis
dikerutkan
Laki-laki
itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu,
tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata
halus akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar.
"Moi-moi,
mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan.
Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan
mendekatkannya ke mulut Si Cantik. Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut
kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata.
"Pouw-koko
(Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua
selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha,
Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar
sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm,
sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada
Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh
kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga
orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita
berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang
penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu,
berkata genit.
"Aku
sudah setahun lebih melayani Kai-ongya menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak
pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja?
Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia
menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar
tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini
datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia
saja wanita cantik?"
Wanita
baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah,
"Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam
kalian?"
"Sshh...
sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis
itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan
jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah
itu.
"Aduhhh...!
Aduhhh...!!" Dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka
sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk
tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan
untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita
itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa
membuat mereka pingsan.
"Hayo
bawa pergi mereka, lekas!" Perintah ini diturut tiga orang wanita yang
lain dengan ketakutan. Mereka lalu menggotong kedua orang wanita malang itu
keluar dari ruangan.
"Hemm,
inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang
(perkumpulan pengemis), yang secara keji membunuh orang tertua dari Sin-tung
Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas pula?"
Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja
Pengemis itu penuh ejekan.
Raja
pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti
kita ketahui, Pouw Kee Lui adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai
yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah membunuh gurunya
sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam
ilmu dari kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan
merajalela mempergunakan ilmunya yang tinggi. Pertama-tama ia merebut kedudukan
ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu dengan Liu
Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu,
maka Pouw Kee Lui yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu,
ia memperbesar kekuasaannya dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis
yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang
hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis
mana saja yang disukainya.
Wanita
baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil
sebagai anak angkat oleh guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi
dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan sekali Pouw Kee Lui atau
Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta
melihat ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di
antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada yang memiliki ilmu silat
seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang
amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh
kepandaian silatnya, wajahnya yang tampan, dan sikapnya yang pandai
berpura-pura dan memikat hati. Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam
perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka
seorang pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia
mengikuti Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil
kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur
obat sehingga Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah
menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.
Ketika
ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya
seorang gadis yang membuta saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta
sehingga tidak tahu bahwa yang disangka seekor domba sebenarnya adalah seekor
serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga
penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan
bersetia kepadanya, akan mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain
omongan muluk-muluk lagi. Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan
harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan
tentu saja hatinya girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui
benar-benar datang membawanya pergi dan tentu saja ia ikut pergi dengan
sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama kekasihnya ini dan sehidup semati
menjadi isterinya, daripada menjadi seorang gadis ternoda yang akan menderita
malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata
adalah seorang yang amat penting, seorang raja, biarpun hanya rajanya pengemis!
Dan melihat selir "suaminya" begitu banyak, ia menjadi tidak senang
dan minta kepada suaminya untuk menghalau semua selir itui, yang juga diturut
oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan minum.
Demikianlah keadaan singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.
Ketika
Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat
muka memandang, mulutnya tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit,
kemudian terdengar suaranya yang serak, "Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat
nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang
lain? Kubunuh Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua
orang selirku, itu adalah urusan keluargaku sendiri."
"Tidak
peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala
urusanmu yang busuk!" Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya.
"Heh-heh,
itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung
harus disambut dengan arak wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan
arak ke dalam mangkok itu dan berseru. "Silakan!" Sekali ia
menggerakkan tangan, mangkok berisi penuh arak itu melayang cepat sekali
seperti peluru tanpa araknya tumpah sedikit pun, menuju ke arah dada Kim-mo
Taisu.
Kim-mo
Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya dan begitu tangannya bergerak, ia
sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan kirinya, di mana mangkok itu
kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat dari dalamnya.
Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda
bahwa penyambitnya memiliki sin-kang yang hebat. Di lain fihak, Pouw-kai-ong
juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa tergoyang sedikit
pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan
keduanya. Hebat Kim-mo Taisu ini, pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah
diputar-putar untuk mencari akal.
Sementara
itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang,
mengecap-ngecapkan lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah
mangkoknya yang sudah kosong. "Arak baik... hemm, arak yang baik sekali.
Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya
bergerak dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.
"Tinggg!!"
Mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang
sambil berputar seperti gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya
menyambut sambaran mangkok kosong.
"Brakkk!!"
Mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan!
"Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget. Mukanya menjadi merah
sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya menegang, jari-jari
tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau. Kim-mo Taisu tersenyum saja
dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka raja
pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala, bukan pucat
berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lwee-kang tertentu. Mulutnya
masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan mempersilakan tamunya
duduk.
"Heh-heh,
tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong
belaka. Silakan duduk!"
Kim-mo
Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas
dari gerakan raja pengemis itu, kemudian ia menarik bangku dan duduk.
"Terima kasih, Kai-ong."
Kembali
Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu, ia
letakkan di atas telapak tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sin-kang di
tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus menjalar ke mangkok arak.
Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap! Inilah
hawa sin-kang yang bukan main tingginya!
"Silakan
minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok
arak mendidih itu kepada tamunya.
Kim-mo
Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi
hawa sin-kang yang diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang
dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu melakukannya. Akan tetapi, orang
lain boleh merasa jerih, baginya demonstarasi itu hanyalah permainan untuk
menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok
arak mendidih itu sambil mengerahkan sin-kangnya.
Aneh
tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di telapak tangan Kim-mo
Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!
"Terima
kasih, sayang arakmu dingin." Kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke
mulutnya, tetapi arak itu tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah
membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi, menggunakan sifat dingin
dari tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar
Kim-mo Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.
Agak
berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji
dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia
harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu, keperluan apakah yang
membawamu datang mencari aku?"
Kim-mo
Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan
menjilati bibirnya. "Arak baik, arak baik...!"
Pouw-kai-ong
tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan
seguci arak ke arah Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai
tenaga lwee-kang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja, hanya terpisah
sebuah meja. Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus
menggelogoknya langsung tanpa cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam
mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan meletakkan guci arak di
atas meja.
"Pouw-kai-ong,
kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di
Sin-yang dan karena tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan
puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."
"Aaahhhh....!"
Wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu
yang hebat itu, kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat. Akan tetapi Pouw
Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu
denganku, apa yang kau kehendaki?"
"Orang
she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang
mukaku dan mengembalikan puterinya itu, kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku
lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang baik!" Pouw Kee Lui juga
tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan
dengan maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita
yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo Taisu, perkenalkan, inilah isteriku yang
bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"
"Is...
terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran. "Moi-moi kekasihku,
kaukatakanlah kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"
Dengan
muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo
Taisu dan berkata, "Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami
berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"
Kim-mo
Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya
sama sekali bahwa ia akan menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan
akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya, tentu saja ia tidak sudi ikut
mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong,
telah jatuh cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu
sama sekali tidak membayangkan rasa takut, jadi terang bahwa wanita ini telah
jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis! Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa
yang telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta,
melainkan karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita
itu terpaksa mengikuti Pouw Kee Lui!
Saking
malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit
berdiri. Wajahnya kehilangan senyumnya seperti orang gila ketika ia berkata,
"Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini juga aku menyatakan lepas
tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar bahwa
kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan
ganas merenggut nyawa para pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki
tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku datang, biarlah aku merasai kelihaian
tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam ruangan ini atau di
luar!"
Inilah
tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw
Kee Lui yang biasanya pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya
menyinarkan pancaran kilat karena marahnya, akan tetapi mulutnya tersenyum
sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri membayangkan
kecerdikan otaknya. Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai
untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang Muda. Di antara sekutunya itu
terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda sebagai
musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian
Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian
lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus waspada menghadapi orang
itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sin-kang dari
manusia sinting ini. Dan sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia
sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para sekutunya di Puncak
Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata dengan senyum lebar.
"Bagus!
Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan
tanganmu. Akan tetapi kau melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih
pengantin baru! Bagaimana aku dapat mengotori suasana meriah dengan isteriku
tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah
mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan
tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama tiga hari untuk mengumpulkan
tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan menantimu di puncak gunung
ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu
isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"
Kim-mo
Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa
calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak
digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali
tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan
bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah,
aku pergi!" Setelah melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan
dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang
menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan
sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak
lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada
orang yang berani menantang kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan
seenaknya!
Suhu...!!"
Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersamadhi
di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat
sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia
berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.
Kim-mo
Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang
sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa
dan keuletan yang mengagumkan bahwa ia dapat juga menyusulnya sampai ke lereng
gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu
silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan
kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan
semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
"Bu
Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan
tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu
Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia
duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang
tindih.
"Tarik
napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut,
tarik terus yang panjang..." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi
contoh. Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik
napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan
napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut.
Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis
Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas.
Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas,
menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut
terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau
umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus
dapat menunggang naga itu, kaubiarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus
kautunggangi jangan lepaskan sedikitpun juga, akhirnya kau tentu akan mampu
menguasai dan menaklukannya." Demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk.
Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas,
duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata
menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan "menunggang
naga". Inilah inti pelajaran ilmu bersamadhi, dan siulian atau samadhi ini
pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali
tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat
tinggi.
Diam-diam
Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya.
Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk
melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan
yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersamadhi, sungguhpun baru saja
dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!"
kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya. Bu Song bagaikan sadar dari
mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar,
tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau
harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu
akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah
Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?"
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah
baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang
bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan
yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat
membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu
untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau
sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru
setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri akan tetapi diam-diam
dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar
dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia
melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan
kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini
hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih.
Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu
benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak
muridnya dan berkata halus.
"Bu
Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan
seperti yang kaulakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga
malam."
"Baiklah,
Suhu." Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai
jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang
buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan
memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap
mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu,
bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya
seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap
melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia
mempertahankan diri, buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul
tubuhnya jatuh pula dari atas pohon! Untung baginya, Pohon itu tidak terlalu
tinggi, juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan di
sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa
pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi,
suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya
sakit-sakit. Betapapun ia menahan dan menutupi telingan dengan kedua tangan,
tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa seperti jantungnya
ditusuk-tusuk jarum, Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin
ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras
dan kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia teringat akan nasihat
suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak
akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah
untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.
Teringat
akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila,
kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua
panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri
"menunggang naga" seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk
suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil
"tenggelam" ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga
pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai
daya mujijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini
seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena
telinga itu telah ditinggalkan "penumpangnya" atau penjaganya yang
sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah
lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa
telinganya tidak menghadapi bahaya suara mujijat itu, maka ia lalu melompat
bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam
pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.
Bunyi
kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil
yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang
keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua kakinya yang panjang
tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai
kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil
membunyikan kelenengan, kakek ini melenggut di atas punggung keledai, hiasan
bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar
itu melambai-lambai tertiup angin gunung.
Ketika
keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih duduk bersila di bawah pohon,
kakek itu mengeluarkan seruan tertahan dan keledainya berhenti. Ia lalu
melompat turun dan sengaja membunyikan kelenengannya di depan Kim-mo Taisu
sambil mengerahkan tenaganya. Terheran-heran kakek itu melihat betapa orang
yang duduk bersila itu masih saja duduk, sama sekali tidak bergeming biarpun
bunyi kelenengan itu sebetulnya dapat merobohkan lawan tangguh!
Tiba-tiba
Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek itu lalu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha! Makin tua kau makin ugal-ugalan saja, Pat-jiu Sin-ong!"
Kakek
itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia membungkuk untuk memandang
lebih teliti orang yang duduk bersila itu. Seorang berusia tiga puluhan,
tubuhnya tegap rambutnya riap-riapan mukanya terselimut awan kedukaan,
pakaiannya tambal-tambalan dan kakenya telanjang.
"Kau
mengenal aku?" "Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau
menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi bekas calon mantumu? Ha-ha-ha!"
Kim-mo Taisu melompat berdiri.
"Hehh....??
Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee Seng...!" Kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo
Taisu dari kepala sampai ke kaki dengan pandang mata tidak percaya.
"Cukup
Kim-mo Taisu saja, Kauwcu." "Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu....?"
Kakek itu lalu merangkul pundak dan tertawa bergelak-gelak. "Siapa akan
mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan tampan, sekarang... sekarang..."
"Seorang jembel busuk!"
"Ha-ha-ha!
Alangkah akan girang hatiku kalau melihat anakku berpakaian jembel duduk
disampingmu bersiulian di bawah pohon! Ahhh, sayang tidak demikian jadinya. Eh,
Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada penjahat secara menggelap menyerangmu
sehingga kau jatuh ke dalam jurang. Sungguh mati, kukira kau sudah hancur di
dasar jurang."
"Sebaiknya
begitu, sayang nyawaku belum mau meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih
ingin membiarkan tubuh ini menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa
sampai di sini?"
Kakek
itu menarik napas panjang. "Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh,
apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?"
Kim-mo
Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia enggan bicara tentang bekas kekasihnya
itu.
"Dia
sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya
kau. Kalau dia menjadi isterimu, agaknya kau pun akan makan hati seperti aku
yang menjadi ayahnya. Dia pulang menceritakan bahwa dia meninggalkan suaminya,
ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah minggat sambil mencuri
kitab-kitabku. Benar-benar anak durhaka dia! Aku mencarinya sampai
berbulan-bulan. Kau benar-benar beruntung dapat terlepas daripadanya."
Tiba-tiba
Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang awan. "Ha-ha-ha! Pat-jiu
Sin-ong, kau bilang aku bahagia karena terlepas daripadanya, bukankah kau juga
sudah terlepas daripadanya? Bukankah dengan demikian kita sama-sama menjadi
orang bahagia?" Suara ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh hutan dan di
dalam hatinya, kakek itu terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang
terkandung dalam suara tawa itu. Maka ia pun tertawa dan berkata.
"Kau
benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang laki-laki, muda dan tua, tunangan dan
ayah, terbebas dari rongrongan seorang wanita siluman! Ha-ha-ha! Kita harus
rayakan ini, tunggu... aku membawa arak baik!" Kakek itu lari ke arah
keledainya yang makan rumput tak jauh dari situ, mengambil guci arak dari atas
pelana, menuangkan arak ke dalam dua buah cawan dan membawanya kembali kepada
Kim-mo Taisu. Mereka lalu minum arak bersama sambil berangkulan dan
tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw bertemu dan kecocokan watak
mereka mendatangkan kegembiraan sementara.
Saking
gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak laki-laki melihat dan
mendengar percakapan mereka. Anak ini Bu Song dan mendengar bahwa kakek itu
adalah Pat-jiu Sin-ong, wajahnya berubah. Kiranya orang tua itu adalah kakeknya
sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan kedua orang tuanya tentang
kakeknya, Ketua Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong bernama Liu Gan. Dan
sekarang kakeknya berada di sini, kalau mengenalnya sebagai putera ibunya,
tentu akan membawanya ke selatan! Menurutkan kata hatinya Bu Song sudah ingin
berlari pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi ia teringat akan gurunya
yang lapar, maka ia lalu menurunkan buntalan pundi-pundi uang berikut apel,
dengan hati-hati dan perlahan ia meletakkan buntalan itu ke atas tanah,
kemudian berindap-indap sambil menoleh memandang kedua orang yang masih minum
sambil tertawa-tawa, pergi dari tempat itu. Dua butir air mata menghias pipinya
ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang ibunya. Setelah dua orang itu
tidak tampak lagi. Bu Song lalu pergi secepatnya.
Setelah
arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong melepaskan rangkulannya, melempar
cawan kosong ke bawah lalu berkata. "Kim-mo Taisu, sekarang kau
bersiaplah, mari kita mengadu kepandaian!"
Kim-mo
Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya pula ke atas tanah.
"Pat-jiu Sin-ong, apa pula ini? Kau tahu bahwa aku takkan bisa
mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur denganmu.
Tidak ada alasan bagiku maupun bagimu untuk saling serang."
"Ha-ha-ha,
tidak ada alasan katamu? Akulah yang membuat engkau terjungkal ke dalam jurang.
Nah, sekarang tiba saatnya kau harus membalas dan aku bersedia melayanimu untuk
membayar hutang. Aku yang membuatmu menjadi seperti ini, tak usah kau
pura-pura, seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan!"
Akan
tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Kenyataannya bukan seperti yang
kaukira. Aku tidak mendendam kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa
tahun yang lalu. Dan aku tahu bahwa kau tidak mempunyai niat buruk, dahulu
maupun sekarang Pat-jiu Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku tidak
suka bermusuhan denganmu."
"Eh-eh!"
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan suara kecewa. "Siapa bilang tidak
ada alasan? Bertahun-tahun aku tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku
gatal-gatal. Kalau kau tidak mendendam kepadaku, sebaliknya akulah yang
mendendam padamu dan sekarang kau harus membereskan hutangmu kepadaku!"
Berkerut
alis Kim-mo Taisu. "Hem, hem...! Kalau begini lagi. Katakan, aku berhutang
apa kepadamu? Kalau memang berhutang, tentu saja akan kubayar."
"Ha-ha-ha,
kau masih berpura? Aku kehilangan anak, aku menderita karena anak. Semua ini
gara-gara engkau dahulu menolaknya. Aku baik-baik menyerahkan dia kepadamu,
akan tetapi kau tidak mencintanya dan tidak mau menjadi suaminya maka timbul
urusan seperti sekarang ini. Andaikata dahulu kau suka memperisteri dia, tentu
kita semua akan hidup bahagia. Nah, penghinaanmu itu bukankah hutang
besar?"
Tertusuk
hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang menolak, melainkan Liu Lu Sian.
Dia mencinta Lu Sian, akan tetapi Lu Sian tidak mencintanya! Akan tetapi
sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku terus terang akan hal ini
kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya.
Kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tingkatnya telah maju amat
jauh. Kalau sebelum masuk ke Neraka Bumi saja ia sudah sanggup menandingi
Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu merobohkan kakek sakti ini
secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih melawan seorang lawan yang
tangguh sedangkan sekarang tiba kesempatan yang amat baik.
Ia
mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong. Nah,
aku sudah siap, kau mulailah!"
Wajah
kakek itu berseri girang. "Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau
waspadalah!" Tiba-tiba ia memekik keras sekali dan tubuhnya bergerak ke
depan, jubahnya yang leber itu berkibar mendatangkan angin yang dahsyat.
Kim-mo
Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat sekali dan
seandainya ia tidak mengalami latihan luar biasa di Neraka Bumi, oleh daya
pekik ini saja ia tentu sudah kendor semangat. Cepat ia menggeser kakinya
miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus menghantamkan tangan kanannya
dengan bantingan lengan dan tangan terbuka, serangan yang kelihatannya bertahan
saja akan tetapi sebetulnya hebat bukan main karena ia telah mempergunakan Ilmu
Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).
"Beng-kauwcu,
awas serangan balasan!" Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa
didahului angin pukulan akan tetapi telah terasa hawa amat dinginnya, menjadi
terkejut dan cepat-cepat ia pun mengelak sambil melompat ke kanan.
"Bagus,
kau hebat!" katanya sambil menerjang lagi. Bertandinglah dua orang sakti
itu, mula-mula hanya dengan jurus satu-satu dan lambat, akan tetapi makin lama
makin cepat dan kuatlah gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap tak tampak
lagi, yang kelihatan hanya gundukan bayangan mereka yang sudah bercampur
menjadi satu dan sukar dibedakan.
Sejam
sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum bukan main akan kemajuan lawan.
Sepasang lengan sudah terasa sakit-sakit karena sering beradu, namun belum
pernah pukulan mereka mengenai sasaran. Kim-mo Taisu selain kagum juga mulai
bosan dan kuatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan
terluka hebat. Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan tentu saja tidak ingin
dilukai, akan tetapi ia mengenal pula tabiat Pat-jiu Sin-ong yang gemar
bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja. Pada saat Kim-mo Taisu memutar
otak mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini, tiba-tiba Pat-jiu
Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua tangan berbareng sambil merendahkan
tubuh, kedua kaki ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan dengan jari-jari tangan
terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo Taisu.
Jangan
disangka ringan pukulan Ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya yang setengah
berjongkok itu dalam posisi pengumpulan tenaga dari pusat bawah perut yang
meluncur keluar melalui kedua lengan yang dilonjorkan. Dengan pukulan simpanan
Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, dalam jarak lima meter,
Ketua Beng-kauw ini sanggup merobohkan sebatang pohon hanya dengan hawa
pukulannya. Inilah sebuah di antara jurus-jurus rahasia yang tak pernah ia
keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan catat dalam kumpulan tiga kitab
rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini lenyap
dicuri puterinya sendiri! Pukulan Beng-kong-tong-tee ini adalah ciptaannya
sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia beri nama
sebagai lambang daripada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin. Jurus
ini demikian hebat dan gemilang seakan-akan Agama Beng-kauw yang merupakan
sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh kemenangan atas
lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan pukulan itu akan
tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada Kim-mo Taisu dan
tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga perempat bagian
saja dari tenaga sin-kangnya.
Menyaksikan
gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi, sekali pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh, maka ia
pun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan dengan kaki terpentang kokoh dan kuat
dan kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak berani
ia mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya
amatlah kuat dan berbahaya, maka ia juga mengerahkan sin-kangnya untuk melawan
keras sama keras.
"Wuuuttt!
Dess...!!" Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu
bertemu di udara, hebatnya bukan main pertemuan dua tenaga sin-kang kedua orang
sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar ke belakang dan
terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah
sepuluh meter jauhnya. Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan
ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya. Pat-jiu Sin-ong juga jatuh
terduduk, dari mulutnya tersembur keluar sedikit darah segar. Untung bagi Ketua
Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya
saja untuk menghadapi pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang
seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu
Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu
membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih
banyak daripada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas,
tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.
"Ha-ha-ha,
kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita
lanjutkan!" Kata-kata ini diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa
kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan seseorang lawan yang
dapat menandinginya.
Akan
tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu.
"Cukuplah, Kauwcu. Aku harus menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan
yang lebih tangguh daripadamu di puncak ini besok. Lain kali saja kita
lanjutkan."
Biarpun
sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada.
Mendengar ada lawan yang lebih tangguh daripadanya, ia menjadi penasaran
sekali. "Hemm, siapakah dia yang kaukatakan lebih tangguh daripada
aku?"
Kim-mo
Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja
bilang demikian agar Si Kakek mau berhenti. "Dia seorang tokoh baru, masih
muda, agaknya kau belum mengenalnya, julukannya Raja Pengemis yang menguasai
seluruh kai-pang di empat penjuru."
"Hemm,
hemm ada kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau
hendak bertanding dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya
kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama saja dengan pertandingan kita
dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!" Sambil tertawa-tawa Pat-jiu
Sin-ong lalu berjalan menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke
atas ia sudah duduk di punggung keledai kecil itu dan berlarilah si keledai
ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.
Setelah
bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi,
barulah Kim-mo Taisu sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu
sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu Sian. Jadi Lu Sian telah menikah
dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan
tetapi mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Bukan urusannya semua
itu, namun sukar baginya untuk tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan
tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu
Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.
"Bu
Song!" Ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat
bahwa di dalamnya ada beberapa buah apel, ia makin heran. Anak itu telah
berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu pergi?
Dan ke mana perginya?
"Bu
Song....!" Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah
hatinya dan mulai ia mencari-cari sambil berseru memanggil-manggil nama
muridnya.
Ke
manakah perginya Bu Song? Anak ini setelah mendengar bahwa orang tua yang
bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya, meninggalkan tempat itu
sambil berlari-lari cepat. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan tertentu, naik
turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti.
Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah.
Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya,
ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng
itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.
Bu
Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah
tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika
perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk
dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja,
seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan
rumah.
"Haiii!
Bocah, siapa kau dan mau apa?" Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan
tahu-tahu di belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali,
mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak kaget. Tadi
di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini
tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi?
"Maafkan
aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja,
sekedar mendapat upah makan." Katanya sambil menjura dengan hormat.
Kakek
itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar
setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik. "Kau akan
mengemis makanan?"
Kini
Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula.
"Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan,
aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada pekerjaan,
sudahlah!" Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak
keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu
sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah
berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah,
tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini,
selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat,
apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau
sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."
Girang
sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak
mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.
"Tentu
saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini." "Tak
perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau
kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"
Di
bagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita
setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan
tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun yang wanita selalu
cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan
kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.
"Heh,
A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur Si
Tanpa Baju kepada kakek pertama.
"Aiiih,
jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis,
melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia
marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi
pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"
Kakek
yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si Nenek berpaling memandang.
"Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia
mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air di sini.
Lucu, kan?"
Nenek
yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa
kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah
tidak ada yang waras!
"Kaumakanlah
dan ambil sendiri di atas meja itu." Kata Si Nenek tak acuh. Karena yakin
bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu
atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja dan melihat nasi dan
masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia
segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu
mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguhpun bahannya
sangat sederhana. Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia
tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat
sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan
nasi di tempat nasi tinggal setengahnya lagi!
"Ho-ho-ha-ha-hah!"
Malam ini kita berpuasa, A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan,
perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.
"Bocah
ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula." Kata
A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Sam-hwa
muncul dari pintu. Melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan
bertukar pandang dengan dua orang kakek itu. "Apakah kau tidak sembrono,
A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!" Ia melemparkan sebutir
buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia
berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa
amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh
terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja,
sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama
sekali tidak tahu bahwa yang membuat berat buah tadi menjadi berat adalah
tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat
dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu
menarik tangan Bu Song keluar dapur. "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air
dan pikulannya bawa keluar."
Bu
Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan
tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera
mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak di sudut rumah.
"Kek,
mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang
air." Celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna
putih. "Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih
sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di
puncak." Mereka berjalan keluar.
Mendadak
berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan alangkah kaget hati Bu Song ketika
tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti
suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua
batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.
"Siapa
dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga. A-kwi sudah
memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah
dua, "Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek
itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah.
"Siapa namamu?" "Nama saya Bu Song, Kek." "Hushh,
jangan kurang ajar!" A-kwi menjiwir telinga Bu Song. "Kau harus sebut
Ong-ya!"
Bu
Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia
mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya
dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah
kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan,
maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu
seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala
perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak
pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak
mungkin menjadi raja muda maupun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan
tidak mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah,
A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?" "Pagi
tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa
berburu kelinci." "Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada
urusan penting." "Baiklah, Ong-ya."
Kakek
lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap
ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu
seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu
tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali
ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau
ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi
sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
"Nah,
di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon
itulah letaknya, lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini
dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau
harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata
demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak
bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.
Bu
Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian
tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan
segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan
pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian segera meninggalkan
tempat ini. Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber
air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih
mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah
kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya,
benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini
mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan
tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat
itu.
Dahinya
penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil
tertawa-tawa. "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah
setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam
itu."
Kaget
sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu.
Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali!
Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki
perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman
orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah
kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi.
Menjelang
senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot,
kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang
dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi, kolam itu akan penuh. Ia
sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!
"Ha-ha-ha,
anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa.
Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada
Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."
Dengan
wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek. "Aku tidak membutuhkan kasihan
orang!" Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa
tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana
bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya
tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jenkel
dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk
ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua
tahang itu penuh air. Biarpun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia
beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan
pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia
rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya,
melainkan dua puluh!
Baru
ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya
berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali,
sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya
tertawa-tawa bergelak! Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama
gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu
karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan
tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng
penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian
tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.
"Ha-ha-ha-ha!
Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah,
memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang
pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk
menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah
siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw
Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau
sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun
tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu
dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka.
Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja
sekalian penjaga gunung (perampok)." Ia menunjuk seorang sebelah kanannya
yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma
(Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak.
Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah
kau takut?"
Bu
Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu
orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijiwir
orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.
"Hayo
pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik Si Kakek
tanpa melepaskan telinga Bu Song. Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu
memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban.
Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini
menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik ke arah mereka yang sedang
bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu
berjalan lebih cepat.
Setelah
agak jauh dari situ, kakek itu mengomel. "Anak tolol, apakah kau mencari
mampus? Banyak tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau
yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan
jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan
lebih dulu!" sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan, dan
Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula
menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya
hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri
untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu
untuk menjumpai gurunya.
Sementara
itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong.
"Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan
tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan bajak. Aku sengaja
datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"
Ucapan
itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka
Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju, diikuti oleh Si Kuda Laut. Mereka
ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun. Begitu tiba di depan
Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di
punggungnya, adapun Si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat
daripada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap menantang.
"San-ong
(Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!"
kata Si Tokoh Bajak yang menyebut temannya raja gunung, cambuk ikan pee di
tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar suara bersiutan
mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali
mengenai kulit tubuh manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat.
"Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu.
He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan
maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa
kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan senjatamu,
biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap
sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha,
raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala
macam raja sudah berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja
akhirat!"
Tentu
saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong Si Muka
Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung,
menjadi raja dari sekalian kecu dan rampok, baru kali ini merasa dipandang
rendah orang. Ia membentak marah dan tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata,
ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah leher Kim-mo
Taisu.
"Wuttt...
syuuuutttt! Tringgg...!!" Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok
berkelebat, tidak mengelak malah menggerakkan tangannya, dengan jari tengah
tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya
itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok
itu terlepas dari pegangan Si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu
terhuyung-huyung hampir roboh!
Marahlah
Si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya ekor ikan pee yang
menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan bunyi
"swing-swing-swing...!" dan berkelebatan diputar-putar di atas
kepalanya lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini
tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan
yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak. Gerakannya perlahan dan lambat
saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh
kulitnya. Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium di kala senjata itu
lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan
tetapi tidak mengandung racun berbahaya, maka sambil mengelak daripada tusukan
golok Si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan
pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan
tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat Si Raja
Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia
mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan pee itu ke arah
penyerang di belakangnya. Hwa-bin-liong berteriak kesakitan, Kim-mo Taisu cepat
membalik, sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu
dan di lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha raja laut yang
masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam
saat hampir berbareng dengan raja gunung, masing-masing terluka oleh senjata
kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup
hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat
untuk beberapa pekan!
Tanpa
mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri
dari itu, Kim-mo Taisu menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata,
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan segala rampok dan
bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu
pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan
saja!"
Pouw
Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa
tekebur dan bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu
denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan tubuh,
menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Locianpwe, harap sudi
memperlihatkan diri!"
Dari
balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangan
betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak
yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi lawannya, yaitu
Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk
membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa Si Ratu Pelacur! Orang ke
dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan)
Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya karena
cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya
sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia
membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah, merenggut wanita
terkasih. Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula
tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koi-tung Tiang-lo dari
Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun lebih, sikapnya tenang dan serius, sikapnya gagah. Dia ini adalah Lauw
Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari
selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu
menjadi muridnya, ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah
dari pada tingkat suhengnya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha,
Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku
memperkenalkan mereka kepadamu?"
Kim-mo
Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia adalah kenalan lama. Kau
adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng
dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk
Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!"
"Orang
she Kwee ini dengan aku pun mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan,
Pouw-pangcu." Kata Ma Thai Kun yang tidak suka banyak bicara lalu maju
menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar merah. Melihat
tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat
menyempurnakan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya
sejak dahulu. Namun, ketika ia mengelak, kagetlah ia karena dari kepalan tangan
merah itu tampak uap mengepul putih yang seakan-akan menyambar mukanya dengan
hawa pukulan yang amat hebat. Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran, namun
hawa pukulannya yang berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat. Dengan
kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur sikap, karena lawannya ini
ternyata telah maju amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan
Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun
bertapa sambil menggembleng diri sehingga ia berhasil menyempurnakan
Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia
namakan Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)! Kembali Ma Thai Kun menerjang
maju, dari kedua tangannya keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas.
Terpaksa kali ini Kwee Seng menggunakan Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) untuk
menangkis karena selain tak mungkin menghadapi desakan lawan tangguh hanya
dengan berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan lawan.
Ketika
kedua lengan bertemu, Ma Thai Kun kaget sekali karena merasa betapa tanaganya
seperti tenggelam dan tangan lawan sedemikian lunaknya sehingga ilmunya
Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun, sebaliknya ada hawa dingin yang
menjalar dari tangannya sampai ke pangkal lengan. Oleh karena ini, cepat ia
menarik tangannya, menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan. Hanya dengan
cara ini ia dapat terbebas dari pengaruh Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri,
diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa ilmu kepandaian Kwee Seng ternyata
telah meningkat hebat. Maka ia bersikap hati-hati dan menyerang lagi dengan
Cui-beng-ciang, ditujukan ke arah anggota tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi
bertanding mengadu tenaga seperti tadi.
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah
memperoleh sedikit kemajuan, pantas saja kau berani berlagak. Kaumakan cambukku
!" ucapan ini disusul suara ledakan cambuk di udara dan tampaklah gulungan
sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil melayang dari tangan
Ban-pi Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal sebagai senjata
tunggalnya yang ampuh disebut Lui-kong-pian (Cambuk Petir), terbuat daripada
sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di laut utara, di
antara gunung-gunung es!
"Bagus!
Kalian pengecut-pengecut besar boleh mengeroyokku!" Kim-mo Taisu tertawa
mengejek dan berkelebat cepat menyelinap di antara garis-garis lingkaran yang
dibentuk sinar cambuk, kemudian membalas lawan lama ini dengan sebuah tendangan
kilat. Ketika Ban-pi Lo-cia menangkis tendangan ini dengan tangan kirinya,
Kim-mo Taisu mempergunakan tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma
Thai Kun dan sudah mendahului orang she Ma ini dengan sebuah gerakan dari ilmu
silat Lo-hai-kun (Pengacau Lautan). Demikian cepat dan tak terduga gerakannya
ini sehingga biarpun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis, namun pundaknya masih
kena tampar, kelihatannya tidak keras namun cukup membuat Ma Thai Kun terlempat
dan bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun memiliki
kekebalan, dan tenaga dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun
kembali sambil menerjang maju dengan kemarahan meluap-luap.
Pada
saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat sudah maju pula. Dia ini
bersenjatakan sebuah tongkat dan gerakannya ternyata cukup hebat. Pemuda ini
menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi serangannya selain kuat juga
sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah mengirim serangan sampai
tiga jurus. Kim-mo Taisu menggunakan ginkangnya menghindarkan diri dan ia belum
sempat membalas pemuda she Lauw itu karena kini kedua orang ketua kai-pang
sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata ia sudah dikurung oleh lima
orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali tentu saja
Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun, Kim-mo Taisu maklum bahwa orang-orang pandai dan
keadaannya berbahaya, namun seujung rambut pun ia tidak terjadi gentar. Sambil
mengerakan gin-kangnya yang kini menanjak tinggi tingkatnya sejak ia berlatih
di dalam Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada Pouw Kee Lui yang masih berdiri
menonton. Hatinya panas bukan main dan diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja
pengemis yang masih muda itu, yang dapat mengerahkan dan mempergunakan orang-orang
pandai sedangkan dia sendiri enak-enak menonton.
"Aha,
tikus busuk she Pouw yang mengaku raja pengemis, kiranya kau hanyalah raja
pengecut yang mengandalkan kawan banyak!" ia terpaksa hanyalah raja
pengecut yang mengandalkan kawan banyak!" Ia terpaksa berhenti untuk
menangkis pukulan tongkat Lauw Kiat yang tak dapat ia elakkan. Tangkisan ini
disertai tenaga dalam sehingga Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai
jauh bersama tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar
dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah
Koai-tung Tiang-lo. Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di
Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget,
roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut
kanannya terlepas!
"Ha-ha,
Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?" melihat betapa
dikeroyok lima, lawannya itu masih dapat mengejeknya bahkan merobohkan
Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa
Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi
pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo
Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh!" Teriak si Raja
Pengemis dan cepat ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan
pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima. Akan tetapi pengeroyokan
yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo
bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu
maju dan menerjangnya dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya
bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah menjadi
belasan banyaknya. Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak
kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai daripada
Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang, tadi pun ia sudah repot melayani
desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan
gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang
ternyata memiliki gerakan yang hampir sama cepatnya dengan dia sendiri. Betapa
pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama
sekali untuk balas menyerang. Namun, kelima orang lawannya itu pun
terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar
dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha,
alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan
yang bertangan kosong!" Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan
ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung
Sin-kai. Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka
pencurahan panca inderanya terganggu dan pada detik yang bersamaan, setelah
berhasil menghindarkan yang lain, ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari
atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang. Tiga orang
pengeroyok lain telah menutup jalan keluarnya, maka ia harus mengadakan
pilihan. Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk,
menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu
memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di
tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai biarpun
lihai, dapat ia atasi tenaganya.
"Bukkk!"
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi dilain pihak Kim-tung
Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu
menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki Kim-tung Sin-kai
yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang
pengeroyoknya tidak berani turun tangan khawatir akan mengenai tubuh kawan
sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke
atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali ke atas tanah,
tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!
Ha-ha-ha,
sekarang ada senjata di tanganku, majulah!" ia menantang dan kagum juga
melihat bahwa Kim-tung Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka. Ia
heran tadinya karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia
mengerahkan sin-kang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan
melukai isi perutnya sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong
yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si
Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali. Kini tanpa
menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahhului menggerakkan cabang
pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu
Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu
yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi. Hebat sekali
gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang
diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota
tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sin-kang di dalam tubuhnya
sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi. Cabang kayu di
tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar
kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh
belas batang kayu kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke
mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan
bersenjatakan cabang kayu mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus
bertahan, akan tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang, akan
tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja sedangkan yang sembilan
bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak
ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dapat mengimbangi.
Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia
yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.
Melihat ini, Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu.
Ketika ia mendapat kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak
disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana seekor burung garuda. Kedua
orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang
menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan
mereka, akan tetapi tongkat mereka, seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa,
terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah
Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan
pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju
menolong dan membawa mereka mundur. "Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia
dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah
pengeroyokan?" Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di
tangannya.
Marahlah
tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia
masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya
sendiri tidak berkurang, sungguhpun tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya
tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang
tak kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul daripada seorang lawan semuda
Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih
terlatih dan lebih berpengalaman. Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot
besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka dan
tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga
sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya lalu membentuk
sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah
Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di
tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas.
Pouw
Kee Lui biarpun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka
sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti
yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam
hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan
tinggi. Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia
pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula, yang ia mainkan
seperti orang bermain toya, kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu
berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran. Pouw Kee
Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada rahasianya sambil mencabut
dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang
yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia
menyerbu, pedang di tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan
secara aneh. Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang di
tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini
mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja
pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang
pedang dan toya.
Hanya
Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini
tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya
yang sejak puluhan tahun telah digembleng telah di "isi" hawa beracun
sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya
daripada sepasang senjata. Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging
namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa
beracun! Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat
hebat. Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita
yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap pukulannya
merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. namun Kim-mo
Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini
sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah
tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus
mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali.
Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biarpun mereka ini merupakan
lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan
mereka seorang demi seorang. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama
seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka bertiga itu memiliki
kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula. Dengan pengeroyokan
ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka
secara khusus, hanya dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan
serangan yang tak berarti. Setelah kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang
ini bukan menjadi lemah, bahkan makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang
yang telah toboh tadi memiliki tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua
tadi bukannya membantu, bahkan menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga
orang ini dan sekarang setelah lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini
dapat bersilat leluasa dan mencurahkan seluruh daya serangnya.
Kim-mo
Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya
dengan pukulan Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam
yang hanya setingkat lebih lunak daripada tangan Cui-beng-ciang milik Ma Thai
Kun! Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan pedangnya
dengan serangan air ludah! Luar biasa berbahaya, dan menjijikkan sekali cara
bertempur Si Raja Pengemis ini. Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia
semburkan dari mulutnya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Ketika
Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai
betisnya, terasa panas seperti terpercik air mendidih!
Ia
kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang
lihai ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia
mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya itu hanyalah ilmu pedang belaka,
ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk menghadapi
pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang
sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat
dimainkan berbareng. Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang,
penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu,
sedangkan Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai-san-hoat, ilmu kipas yang juga telah
mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo Taisu
harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna. Akan
tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi
sehingga ia tidak memiliki pedang maupun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki
dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebatai pedang. Tentu saja tidak bisa
sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena
tidak ada pedang, kini ia menggantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan
kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan
yang mendatangkan angin.
Betapapun
juga, Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis
desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba
tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit
pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding melawan
Ban-pi Lo-cia, pernah terbelit juga pinggangnya dan ia tidak mampu melepaskan
diri begitu saja. Oleh karena ini seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan
tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke arah Ban-pi Lo-cia
dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala!
Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya
akan melakukan perlawanan senekat ini. Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang
melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang! Memang Kim-mo Taisu juga hanya
menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak mengejar
karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan
ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu cepat menangkis
pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata
ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.
Pada
saat itu, Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat
pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang
dan tongkat Pouw Kee Lui dan kini dalam keadaan setengah berbaring, Kim-mo
Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas
atau membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo
Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui di atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu
terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat.
Ma
Thai Kun sudah melangkah maju, wajahnya merah dan membayangkan kegirangan
hatinya. "Sekarang mampus engkau!" katanya lalu mengirim pukulan
Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!
Kagetlah
pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata Si Raja
Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring
itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan
menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.
"Plakk!"
Kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan
setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan
dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi
Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang
sudah tak dapat menghadapinya lagi itu.
Akan
tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan
nyaring. "Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani
bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar memalukan sekali!" Dan
muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat
pertandingan itu.
Bukan
main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suhengnya ini. Dalam
keadaan tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia
diserang, sedangkan ia maklum akan watak suhengnya ini yang keras seperti baja
dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat
mundur dan dengan mata beringas ia memandang suhengnya, lalu memaki.
"Lui
Gan, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu
menentang aku?" "Cerewet, sebelum menghajar mampus padamu dengan
tangan sendiri, hatiku takkan tentram karena pada suatu saat tentu kau mampus
di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"
"Liu
Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan
sambil mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat
menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik
seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.
Biarpun
sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena
Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia
masih setengah berbaring. Akan tetapi, tiba-tiba Ban-pia Lo-cia berseru marah,
tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.
"Setan
iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?" bentaknya.
Terdengar
jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan.
Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang,
kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya
riap-riapan kumisnya panjang, yang "berdiri" bukan di atas kedua kaki
melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin
atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa
Ong!
"Couw
Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali.
Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok
dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa
Ong sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah
tak dapat digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia
tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi
ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak
bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan. Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah
cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat
mengalahkan bekas suhengnya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat
mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan
dapat menangkan Couw Pa Ong, biarpun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil
berkata.
"Couw
Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi
saja!" Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.
"Monyet
dari Khitan, kau hendak lari ke mana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke
depan dan kedua tongkat yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari
cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.
Melihat
seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar.
Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan
mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak
mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia
mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat
betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh
ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat lihai dan ternyata
benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat
saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai
urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.
Ma
Thai Kun berusaha melawan bekas suhengnya, namun setelah beberapa kali mereka
beradu lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi
bekas suhengnya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari juga Pouw Kee
Lui yang dibantunya lari diam-diam ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut
mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus
Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan
menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan
bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga
meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah
segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.
Kalau
belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat
kemudian Kim-mo Taisu berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat
sunyi itu. Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. Tadi hampir saja ia
menghadapi bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Akhirnya datang pertolongan
kalau memang Tuhan belum menghendaki dia mati, pikirnya. Ia cukup mengenal
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andaikata
seorang di antar para pengerook bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu
akan menjadi penolong dan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut
campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya
mendurhakai Beng-kauw. Adapun muncul kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya karena
belum tentu kakek yang tak dikenalnya itu akan datang membantunya. Semuanya
serba kebetulan, dan memang aneh kalau orang belum ditakdirkan mati.
Sebetulnya, mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak gentar.
Hanya ia akan merasa sayang sekali kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati
karena dengan demikian berarti orang-orang macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw
kai-ong, dua orang yang sama sekali tidak ada artinya hadir di dunia ini karena
hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain akan makin merajalela!
"Kwee-koko....!"
Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak, membelalakkan mata. Gila, pikirnya,
mengapa tiba-iba ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita
memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.
"Kwee-koko...!"
dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya berubah,
matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita cantik
jelita berdiri di situ, menggandeng seorang anak perempuan berusia kurang lebih
sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan sepasang mata berlinang
air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya dengan telunjuk
kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.
"Kwee-koko...!"
Untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya suaranya gemetar penuh perasaan.
"Mengapa engkau menjadi begini?" Air matanya membanjir turun
membasahi sepasang pipinya.
Kim-mo
Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia.
Tetap saja wanita cantik itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang
bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak mungkin! Ang-siauw-hwa sudah
mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia
memandang dengan teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung
tingi-tinggi ke atas, ujungnya terjuntai ke belakang, tubuh yang kecil ramping
padat itu, tak salah lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur di
Telaga Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.
"Nona....
Eh, Nyonya.... Siapakah....?" Ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar
karena jantungnya berdebar keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal
ini sudah pasti, ia tidak pernah mengenalnya mengapa wanita itu memanggilnya
Kwee-koko dengan suara begitu mesra?
Wanita
itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil
berkata halus, "Kwee-koko, aku adalah Gin Lin..."
"Ah...!"
Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim
Lin...?" Ia cepat menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan
Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang pelacur.
Wanita
itu mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara
kembarku."
"Apa...?
Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah
meninggal dunia?"
"Aku
tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku..."
"Hehh...??"
Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu
menyembunyikan senyum manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya.
Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini seorang yang tidak beres
otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda Kwee,
"Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa
aku she Kwee?
Naik
sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang.
"Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?" "Suaramu
seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa..."
"Ah,
alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya
tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kaukenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya,
menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo
Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan
muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang kini berdiri di
depannya!
"Kau...?
Kau....?" Ia berkata, suara menggigil dan kakinya melangkah maju. Gin Lin
melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau
sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo
Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu....? Ah, dan
aku..., aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!" Bagaikan didorong
tenaga mujijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, berdekapan mesra. Gin
Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa akan tetapi
kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman.
Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia menari-nari sambil
berputar-putar memondong tubuh "nenek" itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!" Gin Lin
mengusap-ngusap rambut yang terurai itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai
menjadi begini?" "Apa seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan
keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang
begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku
tercinta!"
Gin
Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis
sedangkan suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga
dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat
bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu
menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu...
Ibu....!" Anak itu memanggil. Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti
terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan
wajah pucat. "Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin
Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak
itu. "Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku...
aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk
mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini anakmu,
Kwee-koko."
Terdengar
rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan
anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil
tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya.
Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan
hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling
besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat
ini.
"Isteriku....!
Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee Seng.. agaknya Thian masih menaruh kasihan
kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah...
sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau
tidak mau menjadi Ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih
menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?" Ucapan yang
keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu.
Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang
selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi ternyata masih menaruh cinta
kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andaikata Gin Lin
benar-benar seorang nenek sekalipun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang
yang begitu mencintanya.
"Eng
Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!"
Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi
Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?" "Ayah tidak susah.
Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan
ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee
Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ. "Teecu
menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru)
dan ... dan adik puteri Suhu." Kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya
dan muka ikut bergembira.
Kim-mo
Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia
menghadapi muridnya berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku
tanpa pamit?"
Mendengar
suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng
segera menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang
membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik,
Ayah!"
"Ehh...??"
Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan
isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu
ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk
kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat, maka setibanya di
rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu,
menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau
kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku
lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya
benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw
Pa Ong yang membantumu."
"Couw
Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?" "Mari kita pulang dulu, nanti kita
bicara sampai jelas." "Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu,
karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata
"pulang" lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng
Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu
Song, kau ikut dengan kami." Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan
tetapi BU Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu
Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata,
akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan
kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya,
akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri
yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan
seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah
kepadanya, dan kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat
Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan
ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut!
Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar
ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang
anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani
luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya
dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi
karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya
sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya
lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera
membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu
Song, kaulihat aku!" Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir
menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika
aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa
pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu
Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau
bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...??
Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran. "Karena... karena...
dia adalah Kong-kong (kakek) teecu..."
"Apa
kau bilang??" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu
berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya, baik-baik. "Dia itu
Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah
teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau
ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu..."
Jantung
Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa
ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si
Ek...??"
Bu
Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu
mengenal Ayah dan Ibu?" "Anak baik, tentu saja aku mengenal
mereka!" "Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi."
Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari. Akan tetapi dengan tiga kali
lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Kenapa?"
"Teecu tidak mau Suhu kembalikkan ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu
hendak mencari ibu."
Kim-mo
Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada
Ayah dan Kakekmu, kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari
Ibumu." Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah
telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri
kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan
sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan
anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian!
Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk
mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka
turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Kim-mo Taisu tak
pernah dilepaskan tangannya oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air
mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya
selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap
menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya
lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak
memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil tertawa-tawa.
Secara
singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi,
pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya
makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa
suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Kemudian
tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang
Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin mendiang saudara kembarnya kepada Kwee Seng, dia
dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai,
seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini, adalah adik ipar Raja Muda Couw
Pa Ong yang terkenal. Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya
Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan menjadi korban. Tak
terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi. Sepasang bocah kembar yang
baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa
lari keluar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam
pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin
terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara
kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana kemari, jatuh bangun ditabrak
orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang. Akhirnya ia jatuh pingsan
di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau
saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu
ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak perempuan
menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan
membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu
itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai
seorang patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa
Ong." Demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak tahu bahwa
aku adalah kepaonakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat,
malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu terluka parah di sebelah
dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah
terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan
sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka
Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru)
dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu.
Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar
ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu
meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm,
seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar
lagi?" Kim-mo Taisu mencela.
"Dia
sudah putus harapan. Katanya kepadaku, daripada keluar dari Neraka Bumi melihat
negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama
mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa jahatnya manusia,
betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu
membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai...
sampai.... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng."
Jari-jari tangan Gin Lin mencengkram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah
getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika
mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh
itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song
memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Ada pun Kim-mo
Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk, karena sebetulnya, sebagai
tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat
bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong
Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang
sekali. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri
ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami kepoakanku
adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan
Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya
engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan
Tang menjadi makin besar.
"Maaf,
Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk
memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha,
coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan,
dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa, juga isterimu dianggap
sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu
dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo
Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak
dan murid saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup
mengasingkan diri di tempat aman tenteram."
Keng
Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin!
Kaudengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi, akan keluarga Ayah
Bundamu yang terbasmi?"
"Paman,
harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke manapun juga ia pergi. Tentang
sakit hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh,
pergilah...!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang
pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan
menggunakan kedua "kaki" nya yang berupa sepasang tongkat.
Gin
Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi,
A-liong, dan Sam-hwa yang ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan
saja karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas panglima pembantu Kong Lo
Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah
selesai, dengan terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini, dan
mereka pun kelihatan terharu, apalagi Sam-hwa yang menangisi kepergian Eng Eng
yang ia anggap sebagai cucunya.
"Harap
kalian bertiga jangan terlalu sedih." Akhirnya Gin Lin berkata.
"Betapapun juga, waktu akan membawa kita berkumpul dalam perjuangan yang
sama." Kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah wajah
mereka malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh keluar hutan. Setelah
mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya ucapan isterinya ketika
berpisah tadi.
Gin
Lin menarik napas panjang. "Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang
pembela Kerajaan Tang. Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan
keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa kerajaan runtuh
diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di
lubuk hati kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat
dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek sudah berusaha keras,
dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang
Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja,
dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan
Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu, agaknya
hati kita masih akan tetap mengandung dendam."
Kim-mo
Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan
dendam itu tidak ada dan tak dapat ia merasai atau mengerti apa yang diutarakan
isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah melibatkan diri dengan urusan
negara.
"Yang
terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song." Akhirnya ia berkata,
"dan kalau kita terlibat urusan perang, bagaimana kita mampu mendidik
anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh daripada
keributan."
"Ke
manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!" Gin Lin berkata dan meremang bulu
tengkuknya kalau ia membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!
"Tempat
yang baik dan berjasa." Kim-mo Taisu berkata, melamun. "Ihhh, neraka
itu kauanggap baik?"
Suaminya
tersenyum dan memegang tangan Si Isteri. "Kalau tidak ada Neraka Bumi,
bagaimana kita bisa saling berjumpa?"
Gin
Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata.
"Sudahlah, ke mana kita sekarang pergi?"
"Ke
Min-san!" Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu,
Gin Lin membaca kitab-kitab dan banyak tahu akan teori ilmu silat sambil melatih
diri sedapatnya. Biarpun kurang sempurna karena kurang bimbingan, namun dia
telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu
mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang
sukar, Gin Lin menggendong puterinya sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan
Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.
Setelah
melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke
Puncak Min-san di mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana
untuk tempat tinggal mereka, jauh daripada dunia keramaian.
Mulai
saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan
isterinya. Akan tetapi oleh karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau
mempelajari ilmu silat, maka hanya Eng Eng saja yang menerima latihan ilmu
silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra. Seperti kita ketahui,
Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak pernah
lulus dalam ujian. Biarpun ia lebih gemar ilmu silat, namun sesungguhnya ia
bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai.
Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah mudah. Nafsu
korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang seluruh pembesar yang
berhak memeriksa ujian, jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam
ujian. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang yang berjiwa pendekar, tentu saja
ia tidak sudi untuk melakukan penyuapan, tidak mau ia lulus ujian yang membuat
ia gagal terus dalam ujian lagi.
Karena
memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu
kepada Bu Song. Akan tetapi, di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini,
diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang secara
cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu
pengobatan. Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala
macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan samadhi dan
peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju daripada Eng Eng.
Bertahun-tahun
keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di
lereng Min-san. Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena
penduduk tidak ada yang berani naik ke puncak yang sukar itu. Namun mereka
hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka agar jalan ceritera dapat
lancar, marilah kita mengikuti perjalanan tokoh wanita kita ini. Di dalam jilid
dua telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian membunuh kekasihnya
sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula atau setidaknya
membikin luka berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap sebagai gara-gara
pertengkarannya dengan Tan Hui.
Setelah
ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama kurang lebih dua bulan, kini
kembali Lu Sian bebas seperti burung liar yang terbang melayang di udara. Agak
menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh Tan Hui, laki-laki yang cukup
menyenangkan hatinya, akan tetapi di samping kekecewaan dan penyesalannya itu,
terselip rasa bangga dan girang bahwa ia kini telah mewarisi ilmu gin-kang dari
kekasihnya itu, yaitu Ilmu Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega). Gin-kang ini
jauh lebih hebat daripada gin-kang yang pernah ia pelajari, dan dengan hati
gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian berlari-lari secepat
terbang menggunakan Coan-in-hui.
Selagi
ia berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar di lereng bukit, tiba-tiba ia
melihat sebuah benda bergerak-gerak jauh di depannya. Lu Sian kaget seketika
melihat bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah bantal atau karung yang dapat
berlompatan cepat sekali. Ia mengenal benda ajaib ini karena di dalam rumah
Raja Pengemis, ketika berada dalam bahaya benda ini telah menolongnya. Maka ia
lalu mengerahkan tenaga dan cepat mengejar. Karena kini ginkangnya memang sudah
mulai mahir, gerakannya seperti burung walet menyambar-nyambar dan biarpun
gerakan benda ajaib itu juga amat cepat, namun setengah jam kemudian ia
berhasil memperdekat jarak di antara mereka.
Akan
tetapi benda itu terus berloncatan, seakan-akan melarikan diri, melompati
jurang dan mendaki bukit itu. Lu Sian merasa heran. Tak salah lagi, pastilah
benda itu terisi orang, akan tetapi mengapa begitu kecil? Apakah seorang anak
kecil? Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak kecil memiliki kepandaian
sehebat itu? Orang tua pun akan sukar bergerak sedemikian cepatnya kalau
bersembunyi di dalam karung.
"Locianpwe,
tunggu aku mau bicara!" serunya. Namun bantal itu malah makin cepat
bergerak maju berloncatan. Lu Sian menjadi gemas. Biarpun kau hendak lari ke
langit, masa aku tidak mampu mengejarmu? Demikian pikirnya dan ia mengejar
terus.
Akhirnya
benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan Lu Sian telah dapat menyusulnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam benda itu, "Waduh, waduh..., habis
napasku...! Terlalu sekali, mengejar orang terus-terusan. Aku terima
kalah!" Setelah terdengar suara ini, bantal itu pecah dan muncullah
seorang kakek yang pendek kecil berjenggot panjang berkepala besar. Tubuhnya
pendek seperti kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi melihat kepala
yang besar dan penuh mumis dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang sudah
tua sekali! Napasnya mengkas-mengkis (terengah-engah), dan begitu keluar dari
dalam karung, ia seperti tidak melihat Lu Sian, melainkan memandang ke kanan
kiri dengan wajah ketakutan, seperti mencari sesuatu.
Lu
Sian menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata, "Kakek lucu, mengapa kau
bersembunyi dalam bantal dan mengapa pula lari terbirit-birit?"
Dengan
napas masih tersengal-sengal kakek itu menyusut peluh di dahinya, lalu berkata
cemberut, "Kenapa kau mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja aku kalah
napas, coba aku masih muda, ilmu gin-kang coa-in-hui itu mana mampu
mengejarku?"
"Kakek
yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu untuk menghaturkan terima kasih
atas pertolonganmu di rumah Kai-ong."
"Sudahlah,
apa kau melihat Bu Kek Siansu?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali
matanya jelalatan ke kanan kiri, ketakutan.
Lu
Sian adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat lagak kakek ini ia dapat
menduga bahwa biarpun kakek ini seorang sakti, namun ada yang ditakuti. Dan
agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja ia pernah mendengar nama
Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia kang-ouw, pasti
pernah mendengar nama itu, biarpun jarang sekali yang dapat bertemu muka dengan
manusia dewa yang sakti itu. Maka ia tidak menjawab, melainkan berkata.
"Sekarang
tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu gerak-gerik manusia dewa itu? Eh,
Kakek, siapakah kau dan mengapa bertanya tentang Bu Kek Siansu?"
"Aku...
aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya dan kakek itu mengangkat muka
membusungkan dadanya yang tipis. "Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar
baik-baik supaya jangan terjungkal karena kaget. Akulah Bu Tek Lojin!"
Belum
pernah Lu Sian mendengar nama ini, dan ia menganggap orang ini selain lucu juga
agak sombong. Baru namanya saja Bu Tek (tidak terlawan)! "Biar kau tidak
terlawan, akan tetapi lariku lebih cepat daripada larimu."
"Huh,
bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan itu datang bersamamu?"
"Kalau
aku panggil dia, tentu ayah datang!" jawab Lu Sian, sengaja mempergunakan
nama ayahnya untuk menakuti orang, karena ia percaya bahwa nama ayahnya cukup
disegani kawan ditakuti lawan, buktinya Si Raja Pengemis yang lihai itu pun
kuncup hatinya mendengar bahwa ia puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Ho-ho-ho-hoh!
Lekas panggil ayahmu datang. Dia ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan
kupermainkan seperti... seperti... seperti..."
"Seperti
apa?" Lu Sian sudah marah, mendongkol hatinya mendengar dia dan ayahnya
dipandang ringan.
"Seperti
ini!" Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel sebuah batu
dan... batu itu mencelat terbang ke atas, padahal batu itu besar dan amat
berat. "Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia mencongkel sebuah batu
lain yang lebih besar ke atas seperti tadi. "Dan yang ke tiga ini kawan
ayahmu!" Batu ke tiga mencelat ke atas dan kini tiga buah batu besar itu
melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala Si Kakek Cebol. Akan tetapi
kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke atas dan...
tiga buah batu itu bermain-main di udara, bergerak ke atas dan ke bawah, tak
pernah menyentuh telapak tangan kakek itu, seakan-akan ada hawa yang
berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.
Lu
Sian melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan tenaga sin-kang akan tetapi
untuk dapat mempermainkan tiga batu besar seperti itu, benar-benar membutuhkan
tenaga sin-kang yang hebat luar biasa. Kakek ini sakti sekali dan ternyata
kesombongannya bukan kosong belaka.
"Nah,
kalian bertiga bisa apa terhadapku?" Ia lalu membuat gerakan dengan
tangannya lalu membentak, "Turun!" Heran sekali. Tiga buah batu itu
bertumpang-tindih bersusun tiga lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah,
seperti dipegang tangan yang kuat, turunnya pun perlahan-lahan dan tidak
menimbulkan debu. Akan tetapi begitu kakek itu melompat mundur, tiga buah batu
yang tersusun itu hancur berantakan!
Lu
Sian menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul keinginannya memperoleh ilmu dari
kakek sakti ini, maka ia cepat menjura sambil memuji. "Wah, hebat sekali
kepandaian Locianpwe!"
Kakek
itu kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak pinggang membusungkan dada,
matanya mengedip-ngedip, hidungnya bergerak-gerak dengan ujung hidungnya mekar!
"Nah, maka kau jangan main-main dengan Bu Tek Lojin! Aku pesan kepadamu,
dan temannya-temannya, apabila suling emas terjatuh ke dalam tangan seorang di
antara kalian, harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek Lojin. Mengerti?"
"Tidak,
tidak mengerti." Lu Sian menggeleng kepala.
Kakek
itu marah-marah dan mengepal tinjunya, mengamang-amangkan kedua tinjunya di
depan hidung Lu Sian. "Kaulihat ini?" bentaknya.
Lu
Sian benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking gugupnya ia menjawab sambil
mengangguk-angguk. "Aku lihat, dan baunya busuk!" Lu Sian kaget
mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat lincah dan liarnya kumat sehingga ia
bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap menanti serangan, karena kakek aneh
ini tentu marah.
Akan
tetapi Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke depan hidungnya sendiri,
mencium-cium. Hidungnya dikernyitkan dan ia berkata. "Benar bau tak enak,
habis belum dicuci, berhari-hari bersembunyi dalam karung! Eh, bocah, biar
tanganku bau, akan tetapi apakah badanmu lebih keras daripada batu tadi?"
"Maaf
Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang kaumaksudkan dengan suling
emas?"
"Wah,
ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau benar bocah hijau tak tahu
apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan agaknya tidak pernah memberi pengertian kepada
bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian Bu Kek Siansu kepada Sastrawan
Ciu Bun. Sekarang, Sastrawan Ciu Bun lenyap, entah mampus atau belum, akan
tetapi suling emas itu lenyap, menjadi perebutan orang-orang di dunia. Nah, aku
perlu suling itu, kalau seorang di antara kalian menemukannya, harus diberikan
kepadaku. Harus, mengerti?"
"Tidak,
tidak mengerti." "Tolol! Kau menantang?" "Tidak, Bu Tek
Lojin. Kumaksudkan, aku tidak mengerti mengapa hanya sebuah suling emas saja
dijadikan rebutan. Berapa sih harganya suling emas? Agaknya orang-orang
kang-ouw sekarang sudah menjadi mata duitan semua!"
Kakek
itu tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi keras dan ia memegangi
perutnya, tubuhnya ditekuk menjadi lebih pendek lagi. "Ho-ho-ho-hah-hah!
Goblok, sekali goblok tetap tolol. Kau tahu apa? Suling itu menjadi kunci rahasia
ilmu kesaktian hebat, selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal
dari bintang, siapa memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling
ampuh di dunia ini."
"Ah,
begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah dan kawan-kawan lain." Kata
Lu Sian, akan tetapi di dalam hatinya sudah timbul keinginan untuk memiliki
sendiri suling emas itu.
Kakek
itu kaget. Biarpun sakti, agaknya ia mudah kaget. "Bocah gendeng, bikin
kaget saja, kukira Bu... eh!" Ia menghentikan ucapannya, lalu berseru
keras. "Muridku! Kau naik ke sini!"
Karena
tidak ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian berkata. "Bu Tek Lojin,
sudahlah, aku minta diri, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh,
nanti dulu, kaujumpai muridku yang baik!" Hemm, segala murid anak kecil
disuruh menjumpai. Akan tetapi tidak enak kalau membantah dan membuat marahnya
kakek sakti ini, maka ia berdiri menanti.
"Bocah
tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis sabarku, kujiwir telingamu sampai
copot!" teriak kakek itu marah-marah. Diam-diam Lu Sian merasa kasihan
kepada bocah murid kakek ini yang demikian galak.
"Teecu
datang, Suhu!" terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak
berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang
tubuhnya juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga panjang!
Hampir Lu Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka
kanak-kanak ini tidak tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah
panjang jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya, berpakaian tidak
karuan dan bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut
di depan gurunya.
"Kalisani,
hayo kaulawan perempuan ini, untuk ujian. Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup
untuk kaupakai berlatih!"
Kalisani,
murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai bekas Panglima Khitan itu segera
bangkit berdiri memandang Lu Sian, lalu menjura. "Nona, Suhu sudah
memerintah kepadaku, terpaksa kuharap Nona suka melayaniku barang sepuluh
jurus!" Setelah berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti orang
hendak membuang air, karena ia berjongkok sampai rendah sekali dan mukanya
menahan napas sampai merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini lucu sekali
dan seandainya Lu Sian tidak sudah menduga bahwa lawan aneh ini seorang yang
tak boleh dipandang ringan, tentu ia tidak dapat menahan ketawanya, Lu Sian
sendiri memiliki watak aneh, keras hati dan tidak mau kalah. Sekarang ia
ditantang terang-terangan biarpun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek Lojin jauh
lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut, dan ia harus
memperlihatkan kepandaiannya, apa pun yang akan terjadi. Oleh karena itu,
melihat Kalisani sudah memasang kuda-kuda, ia berseru keras.
"Orang
hutan, jaga seranganku!" Tubuhnya bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju,
langsung mengirim tendangan dengan ujung sepatunya ke arah leher orang yang
berjongkok di depannya. Ketika lawannya melompat ke belakang sambil mengulur
tangan dengan maksud menangkap kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya
dan tubuhnya condong ke depan, langsung tangan kanannya menghantam dada
sedangkan tangan kiri dengan dua jari tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus
dari Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti) yang amat berbahaya dan ganas. Akan
tetapi Kalisani bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek
Lojin, ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di
Khitan, tentu saja ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah dan jurus yang
berbahaya ini dengan amat mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara melompat ke
kanan. Malah ia segera membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.
Melihat
lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali, Lu Sian makin bersemangat. Ia
mengelak dari pukulan itu dan balas menerjang ganas sambil mengerahkan
gin-kangnya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular Sakti yang memiliki jurus-jurus
ganas dan berbahaya. Berkat gin-kang Coa-in-hui yang ia pelajari dari Tan Hui,
kini permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti menjadi berlipat ganda lebih
lihai daripada sebelum ia memiliki gin-kang itu.
Diam-diam
Kalisani terkejut sekali. Sedikitpun juga ia tidak mengira bahwa lawannya
begini hebat. Tadi ketika ia disuruh suhunya menandingi Lu Sian, ia merasa
ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang sudah tua dan berpengalaman banyak,
pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana harus melawan seorang wanita muda?
Akan tetapi karena suhunya yang memberi perintah, tentu saja ia tidak berani
membantah. Ia tadinya hendak berjaga diri saja dan sedapat mungkin mengalahkan
wanita ini dengan lunak, karena Kalisani bukanlah seorang pria yang suka
menghina atau menyakiti hati wanita. Siapa kira, kini menghadapi desakan Lu
Sian, ia menjadi bingung dan pandang matanya kabur, demikian cepatnya wanita
ini bergerak! Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi, cepat ia pun mainkan
ilmu silatnya dan mengerahkan tenaga dalam kedua lengannya, mempercepat
gerakannya. Alangkah herannya ketika beberapa kali lengan mereka saling
bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia sendiri merasa betapa
hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya! Maklumlah ia kini bahwa
biarpun masih muda wanita yang pantas menjadi lawannya ini lihai sekali. Pantas
saja suhunya mengatakan bahwa wanita ini cukup tangguh untuk diajak berlatih
ilmu silat!
Dengan
ilmu gin-kang Coa-in-hui, benar-benar Lu Sian dapat menguasai lawannya. Ia
menang cepat dan sudah tiga kali tangannya berhasil menyerempet tubuh lawan,
malah satu kali ia berhasil memukul pundak Kalisani. Akan tetapi tubuh lawannya
kebal dan pukulan itu hanya membuat Kalisani terhuyung-huyung sebentar, maka ia
berlaku amat hati-hati dan mencari kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu
Sian sengaja mempermainkan lawan dengan kecepatannya untuk mengacaukan
pertahanannya.
"Bocah
tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari Khitan itu mana mampu menghadapi
Sin-coa-kun dari Beng-kauw? Tolol! Kau muridku, mengapa tidak menggunakan
pelajaran dariku?" Bu Tek Lojin marah-marah, mencak-mencak dan
memaki-maki.
Kalisani
memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari Bu Tek
Lojin. Ilmu itu ada tiga macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong
Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga sin-kang yang luar biasa, ke
dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa hebatnya,
dan ke tiga adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda Emas), semacam
ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tangan kosong, akan tetapi lebih tepat
dengan gelang atau roda emas yang ia terima sebagai tanda mata dari Tayami!
Ilmu-ilmu ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk mempergunakannya
terhadap Lu Sian yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak ada permusuhan
dengannya. Kini mendengar seruan gurunya, baru ia ingat. Akan tetapi terlambat.
Sebelum ia sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman LuSian mengenai
lehernya, membuat Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian terbentur pohon
dan rebah telentang dengan mata mendelik. Pingsan!
"Uuhhh,
tolol, mencari mampus!" Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat
"jagonya" keok. Ia melompat dekat dan dua kali menotok leher dan
punggung, muridnya sudah merangkak bangun lagi. "Hayo maju lagi, kalau kau
tidak bisa menang kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang
kakek ini memiliki watak yang luar biasa sekali, sama sekali ia tidak pernah
mau mengaku kalah terhadap siapapun juga.
"Bu
Tek Lojin, aku tidak hendak bermusuh!" kata Lu Sian, mendongkol juga
karena sudah jelas ia menang, mengapa kakek ini nekat menyuruh muridnya maju
lagi? "Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa bukan muridmu saja
yang memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku tidak ada waktu
lagi."
"E-e-eh,
nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah? Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu?
Kalisani, hayo maju lagi!"
Lu
Sian gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya. Kali ini aku akan
memukul mampus muridnya, lihat dia hendak berlagak bagaimana lagi? Maka ia
cepat berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang dengan cepat.
Kalisani
sudah bersiap sedia. Ia sudah merasai kehebatan kepandaian lawan, maka sekarang
ia cepat merobah gerakannya dan mainkan ilmu silat Kim-lun-sin-hoat dan
mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin. Tulang-tulangnya berbunyi berkerotokan,
ini tanda bahwa sin-kang di tubuhnya telah terhimpun. Sebenarnya, ia belum matang
dalam latihan Khong-in-ban-kin, maka tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi. Kalau
ia sudah berhasil menghimpun tenaga tanpa tulang-tulangnya berbunyi, barulah
ilmunya itu sempurna.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Lu Sian ketika dia menerjang, ia disambut
dengan hawa pukulan jarak jauh yang luar biasa kuatnya, yang menolak setiap
gerakannya sehingga ia tidak dapat mendekati lawannya. Sebaliknya, kedua tangan
lawan yang digerakkan berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran seperti roda
itu membingungkan hatinya. Baru belasan jurus, Lu Sian sudah main mundur.
"Hua-hah-ho-ho-ho-hoh!"
Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak menyaksikan betapa muridnya dapat mendesak
lawan, "Kalisani, jangan sungkan. Hantam dia sampai babak belur! Comot
hidungnya, jewer telinganya, cubit pantatnya, ha-ha-ha!"
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar ejekan-ejekan ini. Kakek tua
bangka mau mampus, pikirnya marah. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak pada saat
ia meloncat jauh ke belakang dan dari kedua tangannya itu menyambar sinar-sinar
kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo Jin! Kakek cebol ini masih
tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan terkejutlah ia
melihat sinar merah menyambar. Namun dengan mudah saja ia mengebutkan lengan baju
dan semua jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang dilepaskan Lu Sian
runtuh ke tanah.
Kalisani
sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan menyambar senjata rahasia
berbahaya, ia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, sehingga ia terbebas
daripada ancaman jarum maut. Akan tetapi, Lu Sian tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah mencabut pedang
Toa-hong-kiam dan kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu Pedang
Toa-hong Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin badai mengamuk. Kasihanlah
Kalisani. Ia berloncatan ke sana ke mari menghindar daripada gulungan sinar
pedang, seperti monyet berjoget.
"Wah,
bocah jahat!" Tiba-tiba pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan
ketika Lu Sian menoleh, kiranya pedangnya itu ujungnya sudah dijepit dua buah
jari tangan Bu Tek Lojin. Ia marah sekali cepat mengerahkan tenaga menarik
pedang untuk membikin buntung jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun
pedangnya tidak bergeming, masih tetap terjepit dua buah jari tangan.
"Lepaskan
pedangku!" "Heh-heh-hoh!" "Bu Tek Lojin, lepaskan
pedangku!" "Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa? Mau panggil ayahmu?
Panggillah dia, Aku tidak takut!" "Ayah tidak berada di sini. Akan
tetapi akan kupanggil Bu Kek Siansu!"
Tangan
yang menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu Sian mempergunakan kesempatan
ini untuk menarik pedangnya dan meloncat mundur.
"Kau
bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini..." Biarpun mulut berkata
demikian, namun kakek itu jelalatan memandang ke sana ke mari.
"Hemm,
kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu dengan beliau, dan aku mendengar
beliau menagancam hendak menghajar kepalamu sampai peok dan gepeng!"
"Oh...
ah... tidak... bisa....!" "Kau tidak percaya? Biar kupanggil beliau.
Beliau paling benci melihat kau mengganggu orang muda. Siansu...! Siansu...!
Silakan datang ke sini, Bu Tek Lojin menantang Siansu...!!"
"Ohhh...
jangan...! Jangan... aku... aku hanya main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo
pergi!" Kakek aneh itu menyambar lengan muridnya dan sekali berkelebat
mereka lenyap dari tempat itu.
Lu
Sian berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia mendapatkan orang-orang yang
jauh lebih lihai daripadanya! Ah, selamanya ia tentu akan menemui kekecewaan
dan penghinaan saja kalau ia tidak berhasil memiliki ilmu kepandaian yang
paling tinggi di dunia ini. Ia teringat akan ayahnya. Betapapun juga, tingkat
kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia ingat bahwa ayahnya menyimpan
kitab-kitab ilmu yang tinggi dan dirahasiakan. Ia harus menemui ayahnya,
menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian minta kepada ayahnya
untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.
Dengan
pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke selatan, melakukan perjalanan cepat
menuju ke Nan-cao, ke rumah ayahnya. Akan tetapi kembali ia kecewa. Ketika
ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si Ek, ayahnya marah-marah dan
memaki-makinya.
"Isteri
dan anak macam apa engkau ini?" Antara lain Pat-jiu Sin-ong marah-marah
memakinya. "Seorang isteri dan ibu meninggalkan suami dan anak begitu
saja?! Sungguh celaka!!"
"Kam
Si Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya, Ayah. Asal kuajak pindah dan
meninggalkan pekerjaannya, dia marah-marah. Aku bosan dan merasa dijadikan
bujang dalam rumah!"
"Huh!
Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani
suami dan memelihara anak. Ke mana pun si suami pergi, si isteri harus
mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek memang sudah terkenal sebagai
seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya? Sayang
dia menjadi orang Shan-si, kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara
kita, alangkah baiknya. Dan kau meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka!
Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku sebagai ayahmu. Tahu??"
Lu
Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan
muka merah, menutup diri dalam kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak.
Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan menyenangkan, pikirnya. Pula,
setelah ayahnya marah-marah, agaknya tidak mungkin tercapai pengharapannya,
yaitu menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya. Oleh karena inilah, maka pada
malam hari itu juga, ia menyelinap masuk ke dalam kamar pusaka ayahnya,
mengambil tiga kitab rahasia, simpanan ayahnya yang oleh ayahnya disebut Sam-po
Cin-keng (Kitab Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya! Tiga
buah kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Sebuah merupakan kitab pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coam-im-I-hun-to (Suara
Merampas Semangat Orang) dan kitab ke tiga adalah inti pelajaran Ilmu Silat
Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan ciptaan baru dengan maksud
untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah
gabungan daripada semua ilmu silat yang pernah diajarkan ayahnya kepada Lu
Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan Toa-hong-kun.
Dengan
semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia
pelajari dengan mudah Karena ia sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka
tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu
silat gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi untuk melatih kedua ilmu
perampas semangat melalui suara dan pandang mata, bukanlah pekerjaan mudah.
Untuk itu ia harus memperkuat sin-kang dan khi-kangnya lebih dahulu, maka
setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersamadhi dan melatih tenaga dalam menurut
petunjuk kitab-kitab itu.
Di
samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu
Sian mulai mencari keterangan perihal suling emas seperti yang ia dengar dari
Bu Tek Lojin. Kakek yang amat sakti, dan kalau kakek itu sendiri menginginkan
suling emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi,
tentu suling emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan
tetapi tak seorang pun di antara orang-orang kang-ouw yang ia tanyai, tahu akan
benda keramat itu.
Ia
merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah
Kerajaan Min (Hok-kian sekarang). Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di
kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan banyak dikunjungi orang luar
kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak mempedulikan
pandang mata banyak laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan
terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan melihat pedang di pinggang Liu Lu
Sian, pelayan itu bersikap hormat.
"Bung
Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.
"Maaf,
Li-hiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di
seluruh rumah penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota
Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan perayaan besar di kuil
Siauw-lim-si."
Mendongkol
sekali rasa hati Lu Sian. Kalau ia kemalaman di hutan, sudah biasa baginya
tidur di atas pohon atau di dalam guha, akan tetapi kalau ia berada di kota
seperti sekarang ini tentu saja ia ingin bermalam dalam sebuah kamar rumah
penginapan.
"Ah,
tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya
kecewa dan menyesal.
"Sungguh
mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani
Nona, akan tetapi apa hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung dan sebelum
Nona datang, sudah banyak pula tamu yang terpaksa kami tolak karena sudah
kehabisan kamar."
Lu
Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia
memaksa dan menggunakan kekerasan, akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia
sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah penginapan An-hoa tu ketika
tiba-tiba terdengar orang berkata.
"Nona,
mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku,
semalam atau selamanya pun boleh!"
Lu
Sian memandang. Laki-laki itu usianya suadah tiga puluh tahun lebih, wajahnya
bundar gemuk seperti bola, basah oleh peluh, baju di dadanya terbuka, agaknya
karena hawa yang panas, sehingga tampak dadanya yang gemuk berdaging. Matanya
sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi
meja bersama tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.
Hati
Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya
saja laki-laki ini main-main dengannya, kenyataannya belum terbukti, maka ia lalu
berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar tuan kepada
saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"
Laki-laki
gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga
tertawa gembira. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu
Sian sambil berkata, "Aiihhh, Nona, mengapa repot-repot? Kamar yang kusewa
itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau
sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"
"Ha-ha-ha-ha!
Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak
banyak bergerak akan tetapi kalau sudah pulas! Ha-ha!" Si Gendut berkata
lagi.
Meledak
rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari
kiri, seorang pemuda yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba
kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada Lu Sian sambil berkata,
"Nona, harap jangan melayani mereka. Kaupakailah kamarku, aku dapat tidur
bersama dua orang suhengku di kamar belakang..."
Akan
tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena
matanya sudah memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan, sukar diikuti pandang mata saking
cepatnya dan... "plak-plak-plak-plak!" Muka dan tubuh laki-laki
gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun
memberi kesempatan pada Si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan bernapas.
Tubuh Si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke
belakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak kursi, kulit mukanya
hancur mandi darah, kedua matanya menonjol keluar, hidungnya remuk, telinga
kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!
"Hayo,
mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat
bermulut kotor! Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai
aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau tidak berani
maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.
Pemuda
pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang
demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki
kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang ringan tangkas
sekali.
Si
Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari
perkara dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat
itu melihat kawannya dihajar setengah mati, menjadi kaget dan marah. Tadi
mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga
mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan
"sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah mencabut golok.
"Awas...!
Lari...!!" Pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu. Namun
terlambat! Sinar merah mernyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga
orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah pemuda baju
kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya
menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi
tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada
mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!
"Ah,
jarum beracun yang hebat!" Pamuda baju kuning itu berseru kaget sambil
meneliti jarum merah di tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu
Sian, menjura sambil berkata. "Noana, kumohon dengan hormat sudilah
kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."
Lu
Sian melirik dengan pandang mata dingin. "Hemm, kau memiliki kepandaian
juga!" katanya, hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda
itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?" Ucapan
terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.
Pemuda
itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan, Nona.
Sobodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk
bersahabat dengan segala macam buaya darat."
Lu
Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda
yang tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat
tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan memandang dunia
dengan jujur dan berani, senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang
membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.
"Kalau
bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?" tanyanya, masih mengagumi
wajah yang amat tampan dan benuk tubuh yang tegap dan padat.
"Nona,
aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang
ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar
terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang mudah dicabut
begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini,
bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat
pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar
racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh
pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh
mengharapkan kebijaksanaan Nona."
Pemuda
itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap
kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan
bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya sudah jungkir
balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama
hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini, dan ketika bibir yang kecil
mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya tariknya sehingga ia
hampir jatuh berlutut.
Ketika
pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna
kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil
berkata, "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan kepadaku!"
Tiga
orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut
jarum-jarum yang menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah
membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu Sian
yang menerima dan menyimpannya.
"Sekarang
minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!" Tergesa-gesa mereka membuka
bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas
pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan
kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.
"Kalian
bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti
hajaran lagi?" Yap Kwan Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu.
Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang
mukanya dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapan
Karena
semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut, Lu Sian membuang muka dan
hendak berjalan keluar meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Yap Kwan Bi cepat
berkata, "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan kamarku. Percayalah,
tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku akan tidur bersama
kedua suhengku yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar besar."
Tak
enak hati Lu Sian untuk menampik terus, memang ia membutuhkan kamar dan pemuda
ini amat sopan, amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas
penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara Yap.
Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka
aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku
sore hari ini."
Yap
Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita.
Penawaran ini mendebarkan jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa
seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan
tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan
seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat
menjura menghaturkan terima kasih.
"Kau
baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona." Katanya hormat. Lu
Sian mengangguk dan memanggil pelayan. "Pesankan semeja makanan dan
minuman untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke
kamarku."
"Baik,
Li-hiap, baik..." Pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat
untuk melakukan perintah orang. Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan
dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi peristiwa hebat itu. Kamar
itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya
untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul
keluar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini
benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.
"Saudara
Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan.
Silakan."
Mereka
duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar, mulut belum berkata apa-apa,
mata sudah saling pandang dan sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar
dilepaskan lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali, ia menjadi bingung dan
gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya. Melihat seorang pemuda
terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan
tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan
sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan
panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin
panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir. "Saudara
Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."
Pemuda
itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah
artinya kebodohanku ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang
membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."
Pada
saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja
depan sepasang orang muda itu. Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak
di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum, "Dalam pertemuan ini kita
saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang
masing-masing kita gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka
memberi tahu berapa usiamu, kita dapat mengatur tentang sebutan."
Melihat
wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang.
"Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."
"Kalau
begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!" Pemuda itu
dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak Lu)!
"
Lu
Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini
menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum
melebar dan kerling mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"
Mereka
duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan
makan dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di
pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka saling sambar dan saling
lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika
dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak
disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan!
Ketika
hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung
bibirnya bergerak-gerak manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan, ia
berkata, "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah memiliki
kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"
"Lu-cici
terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling
rendah di antara murid-murid Siauw-lim-pai."
"Ahh!
Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan
pandang mata kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat. "Maafkan
tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari
Siauw-lim!"
"Lu-cici
jangan metertawakan Siauw-te!" Pemuda itupun berdiri dan tertawa.
"Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan
jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."
Mereka
tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya
bicara makin bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata
yang mulai memancarkan dendam birahi.
"Yap-te,
siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai?
Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu,
terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku mendengar akan kebesaran
Siauw-lim-pai dan semenjak kecil, aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali
mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang
menjadi pusat Siauw-lim-pai!"
"Ah,
aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andaikata dapat mengantar Lu-cici
melihat-lihat ke sana! Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak
mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam perguruan kami.
Maaf, Lu-cici."
Lu
Sian menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau
mau menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan
bukankah itu sama dengan mellihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan
meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun
tertawa.
Maka
sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil
Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan
latihan, ruangan ujian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini
bercerita tentang kamar kitab.
"Kamar
kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid,
kecuali kalau masuk bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan
langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai sendiri."
"Kau
sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan, Adik yang gagah?" Yap
Kwan Bi mengangguk. "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku
memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam
tubuh dan tentang ilmu samadhi melatih napas."
"Wah,
kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku
menjenguk ke sana sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar
Cicimu ini masuk sebentar saja ke sana?"
Pemuda
itu bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar
mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam
Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan sama sekali tidak boleh
dibuat main-main di sana. Para Suhu amat keras dan lihai."
Lu
Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar
keadaan sebelah dalam ruangan Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi
tadi. "Berapa banyakkah kita-kitab di dalam kamar kitab itu?" Ia
terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat
kemudian Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa
kitab tentang samadhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu Silat Lo-han-kun di
rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini. Akan
tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan
darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia
dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah
Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar
pelajaran segala macam ilmu menotok jalan darah. Maka ketika ia bertanya kepada
Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling
atas di ujung kiri, hatinya berdebar.
Yap-te,
aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau
menyenangkan sekali!"
"Ah,
Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang
budi kepadamu. Entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini,
Lu-cici." Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia minum arak
sampai banyak, akan tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita seperti Lu
Sian, ia menjadi lupa diri dan minum terus setiap kali Si Jelita mengisi cawan
araknya. Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi dan ketika Lu Sian mengulur
tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya, jari-jarinya merayap
mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biarpun bersentuhan
hanyalah ujung jari pada punggung tangan, namun seakan-akan ada aliran listrik
memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai pusat pembangkit tenaga,
langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar keras. Karena tidak ada
reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu makin berani dan di lain
saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling cengkeram!
"Lu-cici...
alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan
tentu lebih muda daripadaku. Kau paling banyak delapan belas tahun..."
Pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari tangan itu membuat
napasnya sesak dan kepalanya berpusing!
Lu
Sian tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu
menarik kembali lengannya. Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput
air, bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang pemuda itu setengah
terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora.
Dia wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu
yang datang membakar.
"Yap-te,
aku memang lebih tua daripadamu." "Ah, kau ini seperti Bibi Guruku
saja, Lu-cici. Dia sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi semua orang
tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya biarpun Bibi
Guru tidak mewarisi kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi
Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Suci Sumsum) dengan sempurna sehingga ia dapat
mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"
serentak
perhatian Lu Sian terbangkit. "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah
aku bisa berkenalan dengannya?"
"Tentu
saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, kini menjadi pendeta wanita
disebut Su-nikouw, menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat kota. Kau ingin
bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"
"Ah,
kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...." "Mandi? Air
persediaan di rumah penginapan ini hanya sedikit, itupun tidak terlalu bersih,
Lu-cici. Di sebelah barat, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal bibi
guru Su-nikouw, terdapat telaga kecil di sebuah hutan. Airnya jernih sekali dan
aku sendiri selalu mandi di sana."
Lu
Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri. "Kalau begitu menanti apa
lagi? Mari kita ke sana, mandi lalu mengunjungi bibi gurumu Su-nikouw!"
Setelah
membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan.
Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi
yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak
berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari menuju ke
sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat,
mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak
bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap
karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Setelah makin dekat dengan telaga
kecil yang berada di tengah hutan, jalan yang merekal lalui licin.
"Hati-hati,
jalannya licin..." Baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset
dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh,
hampir jatuh aku..." Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak
melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" Tegurnya,
pura-pura marah.
Dengan
dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan
berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil.
"Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"
Lu
Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil
melepaskan diri dari pelukan. "Aihhh, kiranya kau nakal!" Kemudian
sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga. Kini pohon-pohon tidak begitu
banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga
dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis. Sejenak
Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta
memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram
cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi.
Andaikata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan
menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu
kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal
ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan
terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te,
mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap
Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak maupun
membuka suara, matanya memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona,
hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah.
Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum
pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya.
Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan
indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas,
seakan-akan dia tidak berada di situ, menanggalkan pakaian luar dan kaus serta
sepatu, kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum
lebar lalu meloncat ke dalam air!
Suara
air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati
berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam
air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air
yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu
Sian sambil berkata, "Lu-cici, kau ... tidak marah kepadaku?"
"Marah?
Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air. "Kau
tidak marah mendengar aku mencintaimu?" "Hi-hik, kenapa marah? Kau
baik sekali, akan tetapi harus kaubuktikan dulu cintamu!" jawab Lu Sian
manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar
seperti seorang dewi dari langit turun dan mandi di telaga ini.
"Oh,
Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini
buktinya...!" Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh...
ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu
Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, tertawa-tawa menggoda membuat
pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku yang tampan,
sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka
menolongku."
"Pertolongan
apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekalipun, aku
pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu,"
kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya golombang
nafsu membakarnya.
"Yap
Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si,
memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan
main kagetnya hati Yap Kwan Bi. "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali
Lu-cici!"
Bibir
yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu
bergerak-gerak mengejek, "Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani
bersumpah?" Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas
rumput. Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping
padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi
Seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu,
pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka
maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini,
yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap
titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam
kerinduan membutuhkan si jelita!
"Lu-cici...,
tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat. Diam-diam Lu
Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang
sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai
sekalipun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi si muda remaja
yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa
lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku." Lu Sian
pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga
tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.
Yap
Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di
depannya. "Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya
menyatakan sukar sekali."
"Jadi
kau mau menolongku?" Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda
itu. Tentu saja tubuhnya mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum
dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air
mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu,
Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan,
tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici,
biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku."
Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya dalam soal cinta,
pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam
Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul
leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau
baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti
engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu
terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku,
bersabarlah. Kauceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di
Siauw-lim-si? Padahal di sana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai
yang lihai."
"Kau
betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar
di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih
kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut
pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang
beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam
upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan semua
tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Adapun penjagaan hanya
dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang dijaga hanya sekeliling
tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu
gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah
sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara
sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang
sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah,
masih banyak waktu bagi kita untuk..." Lu Sian mengerling tajam. "...
untuk bersenang-senang bersama bukan?"
Lu
Sian tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudur
hatimu ada maksud itu?"
Wajah
yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan
berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku
hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan
oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku
tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke
sana bersama, Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat
kita, bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya
lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba
wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa!
Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?"
Yap
Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini
baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian,
jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah
mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke
Kuil Kwan-im-bio.
Su-nikouw
atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi
ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh
orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian
memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja
dan tubuhnya terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya,
wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal
menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih!
Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk
mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh,
Kwan Bi, kaukah ini? Darimana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut
membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap
Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu
(murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin
berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan
Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama
merencanakan tugas jaga besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan
betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak
mengganggu.
"Aih
kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua
tangan di depan dada.
Lu
Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama
besar Suthai dan setelah bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan
heran luar biasa."
"Omitohud...!
Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi?
Dahulu pinni terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat
Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus bagian yang dapat
pinni miliki."
"Melawan
usia tua dan berhasil merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang
akan menjadi kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.
"Aihh,
agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa
sih artinya awet muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang
mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi sekali-kali
bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan
terlalu mudah diganggu penyakit!"
Setelah
bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke
manakah mereka pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang
muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan
semalam itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai
nafsu, di dekat telaga dalam hutan.
Yap
Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja
bertemu seorang wanita seperti Lu Sian, dia benar-benar jatuh. Kwan Bi dimabok
nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan merupakan nafsu, melainkan
berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya terbatas pada
darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak
tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu
sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinaan yang sama sekali tidak patut
dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan, lebih tidak
patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.
Bagi
Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria,
siapapun juga dia, harus dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan
untuk menghibur hatinya, dan untuk dipermainkan atau dipatahkan cintanya
kemudian! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau
tunduk kepada cinta nafsu, hanya untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi
ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!
Dua
hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di
Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang
dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu, terdiri dari bermacam golongan.
Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw
memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir
Ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahunnya! Kian Hi Hosiang, Ketua Siauw Lim
Pai, sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh semua anak
muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat, berkat keuletannya
dan disiplin keras yang ia jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini
menelurkan banyak murid-murid pandai dan pendekar-pendekar yang terkenal
sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan
ditakuti lawan.
Kini
Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun sehingga kerjanya hanya
bersamadhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang
paling dipercaya, yaitu Cheng Han Hwesio murid pertama dan Cheng Hie Hwesio
murid kedua. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia
berwatak tekun, jujur, keras hati berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio
(Pendeta Budha) ia sudah menjauhakan diri daripada urusan duniawi. Adapun Cheng
Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biarpun dalam
hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan
ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas para
murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan
penyelewangan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai biarpun murid murtad itu
berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas jangkauan tangan
besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan menghukumnya
sesuai dengan peraturan persilatan Siauw-lim-pai!
Para
tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan
depan yang amat luas. Adapun semua hwesio setelah terdengar bunyi kelenengan
keras nyaring, berkumpul di ruangan dalam untuk mulai upacara sembahyangan.
Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi serem. Di barisan belakang
para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki
dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat. Mereka ini adalah murid-murid
Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar
itu maupun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk
ikut memberi hormat dan selamat kepada sukong mereka serta ikut melakukan
sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang,
yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan disekeliling tembok yang
memagari Siauw-lim-si.
Seperti
telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang
di antara murid-murid yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi
Hosiang, murid tersayang, biarpun usianya masih amat muda. Pada saat di ruangan
depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan upacara
sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu
sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun. Akan tetapi pada saat itu,
kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang
orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu
Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari tembok bagian selatan. Setelah
mendapat "tanda aman" dari Yap Kwan Bi yang berjaga di situ, Lu Sian
lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun ke
pekarangan belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui
bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang Kuil Siauw-lim-si.
Ia
menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah
mendapat gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si
ini dari Kwan Bi. Andaikata tidak mendapat keterangan yang jelas lebih dulu,
kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan yaitu kamar
kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama
bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai
menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah
kamar kitab!
Dengan
jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan
kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main
banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk! Bau di kamar itu
amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula
di deretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri
rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung kiri. Setelah membuka dua tiga
buah kitab wajahnya berseri. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar
telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki. Kitab
pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah yang amat terkenal dari
Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju dalamnya
yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam,
menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju
luarnya dengan hati girang ia berlompatan menuju kebelakang. Matanya bersinar-sinar
dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra
sebagai upahnya!
Bibirnya
sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah
mereka janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok.
Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap di balik sebuah
arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan
Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang
telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan! Dari luar
tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun
lebih, dengan gerakan ringan berdiri di atas sebelah laki-laki pertama lalu
berkata perlahan.
"Belum
kelihatan?" "Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini.
Mana Liok-sute?" "Dia menjaga di tembok timur." "Dan
Yap-sute?" "Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute
akan sampai hati akan berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali,
kasihan dia yang masih amat muda..."
Dua
orang laki-laki itu nampak muram wajahnya dan berkali-kali menarik napas
panjang. Dari balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar
percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya masuk telah
diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu
saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan
kekerasan melawan para penghadangnya. Akan tetapi ia segera teringat akan Yap
Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu dihadapkan pada para hwesio
pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang
tertawan karena dia! Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap di anatara
bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum
bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.
Akan
tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap
sunyi sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar
suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio menyambutnya ketika Lu
Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah
yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah
arca Buddha yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapapun tabahnya, ia
merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh
Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan!
Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang keluar melalui tembok belakang
yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta. Akan tetapi
kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan
langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca
besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa
beramai-ramai.
Lu
Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang
dan mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang
hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang whesio yang amat tua,
dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu
Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi
Hosiang. Disebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima
puluh tahu lebih. Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia menduga
tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri dibelakang kakek itu tentulah Cheng Hie
Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot.
Sejenak
Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos keluar melalui pintu depan tanpa
diketahui, dan ia sangsi apakah ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak
tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia teringat akan
cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga
para hwesio Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia
lalu mengambil keputusan dan dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan
pedangnya kemudian muncul keluar dari balik arca dan berjalan dengan langkah
tenang, dada dibusungkan, menuju keluar.
Tentu
saja gerakannya ini tidak terlepas daripada pendengaran para hwesio yang sedang
berdoa. Namun, tepat seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau
menunda sembahyang mereka, sungguhpun mereka merasa terkejut, heran dan juga
marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam kuil?
Padahal sebuah di antara larangan yang amat keras dari Kuil Siauw-lim-si di
manapun juga, adalah hadirnya seorang wanita ke pedalaman kuil! Merupakan
pantangan keras karena para tokoh hwesio maklum bahwa diantara segala godaan,
yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita.
Akan
tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu
golongan murid yang tidak menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu.
Melihat munculnya seorang wanita muda cantik berpedang dari balik arca,
terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka. Enam orang murid
Siauw-lim-pai sudah melompat dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah
antara ruangan tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir di ruangan depan
juga menjadi heboh.
Melihat
dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu keluar, akan
tetapi maklum bahwa cara ini bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia
mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa mengandalkan ketajaman
pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap
tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta
itu, biarpun masih banyak di antara mereka yang muda-muda, rata-rata memiliki
kepandaian tinggi, karena mereka ini pun merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang
ketua Siauw-lim.
Memang
sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak murid yang bukan pendeta,
memang banyak yang langsung menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid
bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka
ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama. Di antara para hwesio, kiranya
hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng Han Hwesio dan Cheng
Hie Hwesio, sungguhpun mereka itu sejak kecil hanya belajar agama dan
kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat. Bahkan tiga orang di
antara para murid, yang kini berdiri menghadang, yang usianya di antara tiga
puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng (kakak seperguruan) Cheng Han dan
Cheng Hie Hwesio, sungguhpun kedua orang ini lebih tua usianya. Mengapa
demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu
silat dari Kian Hi Hosiang.
Akan
tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar
mata tajam, tidak turun tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah
wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan mengganggu suasana hening
dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu.
Akhirnya
selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu bangkit berdiri. Segera Cheng Han
Hwesio yang keras dan jujur itu membentak, "Wanita dari mana berani mati
memasuki kuil kami tanpa ijin?"
Lu
Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa
menjawab. Tak sudi ia menjawab. Pertanyaan begitu kasar. Pada saat itu, para
tamu yang melihat sembahyangan selesai, banyak yang mendekat untuk melihat
peristiwa aneh itu. Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru.
"Ah,
dia Tok-siauw-kwi...!!" Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik
Beracun) ini semua orang kaget sekali. Lu Sian dengan tenang mengerling dan
melihat dandanan orang itu seperti piauwsu (pengawal) ia dapat menduga bahwa
dia itu tentulah ada hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang
telah menghancurkan pertalian asmara antara dia dengan Tan Hui.
Para
pendeta mendengar julukan yang biarpun masih baru namun sudah terkenal itu,
terkejut. Kian Hi Hosiang sendiri lalu berkata, "Omitohud...! Kiranya
puteri Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger! Nona, di antara kami
kaum pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan
antara pinceng dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, tak pernah dikotori
oleh permusuhan, mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami?
Mendengar
ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak
penuh kehalusan, menjura dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan
merdu ketika ia menjawab.
"Harap
Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang. Karena mendengar dari Ayah bahwa
Siauw-lim-pai paling benci kepada wanita dan memberi pantangan bahwa lantai
pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak kaki wanita, sekali terinjak
kaki wanita akan dicuci dengan abu dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak
percaya. Maka, menggunakan kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri
masuk untuk melihat-lihat. Kiranya tidak ada apa-apanya di dalam, yang macam
begitu saja melarang terinjak kaki wanita. Sungguh keterlaluan! Akan tetapi,
betapapun juga saya mohon maaf kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan
saya ceritakan kepada Ayah bahwa biarpun para pendeta lain di Siauw-lim-si
galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya amat peramah dan baik hati."
Kian
Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh cocok dengan
Ayahnya. Pandai dan keji, baik tangan maupun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik,
melihat muka Ayahmu dan mengingat bahwa hari ini adalah hari baik, biarlah
pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh
pergi." Ia menghela napas panjang.
"Suhu!
Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini
sungguh mencurigakan!"
Kian
Hi Hosiang mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi
ampun akan pelanggarannya."
"Pelanggaran
memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada
pelanggaran lain yang lebih hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawabanlah lebih dulu
pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"
Lu
Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas
dadanya mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan
orang kepadanya di luar kehendaknya. "Heh, setan tua busuk, kalau
pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"
"Kurang
ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng Han Hwesio membentak dan matanya
melotot.
Lu
Sian juga pelototkan matanya. "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku
pun menyebut engkau setan tua busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara
kita sudah punah, satu-satu?"
Bukan
main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang di antara murid Siauw-lim-pai
yang dipercaya suhunya, bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat
gurunya mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han Hwesiolah yang mewakilinya.
Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguh-sungguh, siapa nyana
hari ini ia dipermainkan seorang wanita muda, di depan banyak tamu! Kalau ia
tidak ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah turun tangan memberi hajaran
kepada setan cilik ini!
"Baiklah
akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi,
kami tidak percaya engkau akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa
diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu masuk. Katakan, siapa dia yang
membantumu?"
Diam-diam
Lu Sian merasa heran. Para penjaga di belakang tadi sudah tahu agaknya akan
perbuatan Kwan Bi, kenapa kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka
ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum dilaporkan. Ia tersenyum
lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah
penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana
caranya aku masuk ke pekarangan belakang, ah, itu kewajibanmu untuk mencari
tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."
"Nanti
dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.
"Eh,
hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan
berkata. "Losuhu yang mulia, muridmu yang satu ini benar-benar tak patut.
Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"
"Cheng
Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi." Hwesio
tua itu mengomel dan diam-diam ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara
saja menghadapi wanita ini. Di depan begini banyak orang, wanita berandalan ini
tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang
banyak.
"Suhu,"
Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya, "dia baru saja berkeliaran
di dalam kuil, siapa tahu dia mengambil sesuatu?"
Mendengar
ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan
orang bodoh. Ia lalu cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan
dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata nyaring, "Losuhu, apakah
orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku,
geledahlah!!" Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu menantang,
agak berguncang ketika ia menghampiri Ketua Siauw-lim-si sampai dekat.
"Omitohud...!"
Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu
dekat. "Pinceng takkan menggeledah..."
"Kau,
hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak
tahu malu, geledahlah aku!" Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga
mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.
"Menuduh
orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku
tidak mau berdiam lebih lama lagi di sini!" Lu Sian melangkah lebar menuju
ke pintu. Mendadak berkelebat bayangan putih dan seorang wanita berusia empat
puluh tahun lebih, pedangnya di punggung, kelihatan gesit dan gagah sudah
menghadang di depan Lu Sian.
"Cheng
Han Suheng benar. Kau harus digeledah!" Lu Sian memandang dengan mata
bersinar marah. "Kau? Hendak menggeledah? Berani kau begini
menghinaku?"
Wanita
itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi,
bernama Tan Liu Nio. Ia memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti
seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia menjawab, "Mengapa tidak
berani menggeledahmu?" kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak
meraba tubuh Lu Sian.
Akan
tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat
jauh ke belakang, mukanya pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia
menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan tahu-tahu dua jalan darah
maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian secepat kilat sehingga jalan
satu-satunya bagi Tan Liu Nio hanyalah melompat ke belakang secepat mungkin
sehingga ia terhindar daripada malapetaka yang hebat.
Lu
Sian tersenyum mengejek, "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang
gagah dari Siauw-lim-pai memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian
hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan
ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih
menggeledah? Tak tahu malu!" Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak
ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan muka merah dan serba salah.
Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka
murid perempuan lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir
celaka menghadapi wanita berandalan yang lihai itu, apalagi mereka. Adapun
murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi mati kutu setelah
mendengar ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus
menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan semuda itu, apalagi di depan
banyak orang. Padahal ketua mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan
sudah memperkenankannya pergi.
Pada
saat itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi
yang bermuka pucat sekali. Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah
menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang. Terdengar Kwan Bi berkata,
suaranya gemetar. "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima
hukuman."
"...apa...?
Ada apa...?" Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia
benar-benar tidak pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan
tersayang ini.
Suhu,
Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang
wanita memasuki pekarangan belakang..."
"Keparat!"
Cheng Han Hwesio yang membentak ini. Akan tetapi pada saat itu, cepat bagaikan
seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak ke depan dan menangkap lengan
Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat keluar. Pada saat itu, Cheng Han Hwesio
yang melihat hal ini, cepat menyusul dengan pukulan maut dari Siaw-lim-pai.
Yap
Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak
berhasil dan pada saat itu pukulan Cheng Han Hwesio tiba, biarpun tidak
menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya sesak dan muntah
darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu memanggulnya dan sambil meloncat
ke depan, tangan kirinya bergerak menyambit ke belakang. Pada saat itu, tiga
orang murid Siauwlim-pai tingkatan atas bersama seorang wanita, yaitu Tan Liu
Nio sudah mengejar. Mereka berempat terkejut sekali dan cepat-cepat mereka
lompat menghindarkan diri dari sambaran sinar merah senjata rahasia Lu Sian.
Ketika mereka mengejar terus, mereka telah tertinggal jauh. Tentu saja sukar
bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu Sian karena Lu Sian telah mempergunakan
gin-kangnya yang hebat, yang ia pelajari dari mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui,
yaitu Ilmu Lari Cepat Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega)!
Untung
bagi Lu Sian, Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula,
dicegah oleh Kian Hi Hosiang yang berkata, "Omitohud... semoga Sang Buddha
melimpahkan kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak
usah mengejar. Ketiga Suhengmu dan seorang Sumoimu sudah cukup. Kita tidak
perlu menanam bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku
itu sudah maklum dan asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya ke
sini untuk menerima hukuman, cukuplah."
Demikianlah,
upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran
dan meriah, ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu
juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah tertimpa urusan yang tidak
menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan
suram.
Lu
Sian berlari cepat sekali dan setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie
jauhnya dari Kim-peng, ia berhenti dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput,
terlindung oleh pohon besar dari sinar matahari senja. Segera ia memeriksa
keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang
biru, tanda bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat
ia mencari air untuk membasahi kepala pemuda itu, lalu memberinya pula minum
sedikit. Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Lu-cici, aku telah membikin kau
banyak susah..."
Lu
Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya.
"Hushhh, kau mengigau, bicara dibolak-balik. Akulah yang membuat kau
menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut, selama ada aku di sini, tidak
ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga dia!"
Kwan
Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu
kembali dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin...
dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh kuhindari, aku harus kembali
ke sana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak.
Cin... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku,
biar kuhadapi sendiri kemarahan Suhu."
Lu
Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang
terdorong rasa haru mendengar betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta
sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu sanggup berkorban untuknya.
Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali.... kecuali agaknya... cinta
kasih Kwee Seng yang telah mati!
"Tidak,
aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka
hanya akan dapat mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"
"Lu-cici...
ah, Lu-cici...!" Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan
jantungnya akibat rasa haru dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu
menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.
Lu
Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu
sambil duduk bersila ia mengarahkan sin-kangnya untuk membantu kekasihnya
memanaskan jalan darah memperkuat hawa sehingga luka itu akan cepat sembuh. Ia
duduk dalam keadaan begini sampi senja terganti malam. Bulan sudah muncul sore-sore
dan keadaan menjadi terang seperti siang.
Tiba-tiba
Lu Sian terkejut oleh suara bentakan. "Perempuan tak bermalu! Kau serahkan
murid Siauw-lim-pai yang murtad itu kepada kami!"
Lu
Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada
Kwan Bi. Ia hanya mengerling dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak
jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi hendak menggeledahnya,
maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu murid-murid
Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu. Dua orang berusia
empat puluh lebih, yang seorang paling banyak empat puluh, mukanya putih halus
seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi matanya berkilauan
terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil panjang bergantung kebawah,
sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga tulang-tulang pipinya menonjol
keluar, tampak menyeramkan.
"Cih,
perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain
adalah Tan Liu Nio murid Siauw-lim-pai itu mencaci.
Panas
hati Lu Sian dan wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang.
Ia menunduk, merangkul leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingasan dengan
mesra dan lama! Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan Liu Nio mengeluarkan
suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis itu membentak
lagi.
"Kami
mengingat Ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik
seperguruan kami. Akan tetapi bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan
sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila kau membangkang!"
Lu
Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas
cabang pohon dan dari situ ia melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah
seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti seekor kupu-kupu terbang
melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke depan
empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.
"Betul
kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku
berempat?" Lu Sian berkata sambil tersenyum manis.
"Siapa
hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah
pengecut yang suka mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak
Si Muka Halus yang bernama Long Kiat.
"Aih,
aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau
suah terdesak lalu melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan
muka kalian berempat maju berbareng!"
"Cukup,
kami datang bukan untuk berdebat!" kata Si Kumis yang bernama Lo Keng
Siong. "Kuulangi lagi, kami datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak
ada sangkut-pautnya dengan kau!"
"Wah,
jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian
hendak membawa pulang dia untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku
yang tidak suka membiarkan dia disiksa."
Si
Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi.
Sambil menudingkan telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah
muka Lu Sia ia membentak, "bocah setan banyak tingkah! Kami datang
berurusan dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah
mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami!"
"Huh,
kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua
berhak apa mencampuri urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta,
kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami berhak, sama-sama muda sama-sama
suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan kalian membawa pergi Yap
Kwan Bi yang sudah terluka oleh Si Keledai Gundul tadi!"
"Kurang
ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan
mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong marah.
"Tidak
bisa tidak mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian
membawanya pergi, habis perkara!"
"Kau
menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.
"Terserah!
Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku
sudah menjaadi mayat!"
"Iblis
betina, kau sudah bosan hidup?" "Hi-hik, kalian hendak
mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasihatkan kalian, kalau memang
hendak memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju berempat
mengeroyokku, karena kalau maju seorang demi seorang bererti mengantar nyawa
dengan sia-sia!"
"Perempuan
sombong!" Bentak Liong Kiat marah. "twa-suheng, biar siauwte mengusir
iblis betina ini!"
"Eh,
eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan.
Karena Kwan Bi juga murid Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi
Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan salahkan kaki tanganku
yang tidak bermata."
"Sombong!"
Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang
terkenal tangguh itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir
berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan pusar. Berat
dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi
"werrrr-werrr!"
Lu
Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia
menerima kedua kepalan tangan amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan
meminjam tenaga pukulan Liong Kiat, kedua kakinya diayun ke belakang sehingga
tubuhnya dengan kedua tangan masih menempel pada kepalan lawan, terangkat naik
ke atas. Selagi Liong Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang
luar biasa ini, tiba-tiba Lu Sian sudah mengirim pukulan dengan sodokan jari
tangan kanannya mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat itu tubuh Lu
Sian berada tepat di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan
bahayanya, amat cepat datangnya sehingga sukar ditangkis lagi!
"Sute,
awas....!" Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil melompat dekat
diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio. Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat
masih sempat mempelihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai tidaklah semudah itu
dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh terjengkang bagaikan
sepotong balok kayu akan tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah
melakukan poksai (salto) ke belakang, berjungkir balik sampai tiga kali. Ia
berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Bergidik ia
kalau teringat betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram
maut.
Lu
Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang
jauh bedanya dengan ketika ia mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek.
Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Gin-kangnya sudah
terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu gin-kang yang
terhebat di jaman itu. Juga ia telah mempelajari tiga macam kitab
Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu
pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan yang luar biasa
cepatnya berkat gin-kang Coan-in-hui.
"Sudah
kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau
kalau kalian nekad mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu,
percuma, tidak akan ramai!"
Bukan
main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid
Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian
wanita ini seperti iblis, bukan lawan mereka kalau maju seorang demi seorang.
Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum tentu saudara
seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.
"Kau
menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati. "Hi-hik,
mengapa Tanya-tanya lagi? Majulah bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian
berempat."
"Bukan
kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu
menghina. Ji-wi Sute (Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis
betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong sambil mencabut senjatanya,
sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah bajunya.
Tan Liu Nio dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok
mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka segera
mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan
dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di
tengah-tengah!
Lu
Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang, tubuhnya
miring, kedua lengannya diangkat ke atas, melengkung di atas kepala dengan
jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat manis seperti orang
menari, akan tetapi menyembunyikan kesiapsiagaan yang lengkap dan gagah.
"Keluarkan
senjatamu!" Bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat
ruyungnya ke atas.
"Aku
sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kauperintah!" jawab
Lu Sian seenaknya.
"Ciuuuttt....
siiing... weeerrrr!!" keempatsenjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya
tertimpa cahaya bulan menyilaukan mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai
angin karena tibuh Lu Sian sudah lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan dan
menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang
Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan
bayangannya, makin cepat pula Lu Sian bergerak dan mendadak "cranggg.....
cringgg.... tranggg-trang!" Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa
dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang
Toa-hong-kiam di tangan kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah
senjata lawan.
Hanya
Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang
serasa lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid
Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam
gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sin-kang,
setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat,
mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan puteri
Beng-kauwcu itu terpukul lepas.
Namun
Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan
baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang
memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih mengandalkan kelincahan
gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak
inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang
Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi
mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang, tidak
menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian, kini
mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.
"Tok-siauw-kwi,
kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan
mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.
Inilah
salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan
mereka dengan ilmunya kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi
mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan dan keangkuhannya. Dia memang seorang
yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar ini, darahnya bergolak dan
ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis
siluman. Akan tetapi pedangnya kini bergerak secara luar biasa, bergelombang
dan berubah menjadi gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran besar
lalu berubah lagi menjadi gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas.
Inilah Toa-hong Kiam-sut yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa
dahsyatnya. Di tengah-tengah lengkingnya yang belum putus, terdengar teriakan
ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh dalam keadaan mengerikan karena
pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia bergelimpangan mandi
darah, berlojotan dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
"Tok-siauw-kwi,
hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali.
"Tok-siauw-kwi, berani kau membunuh Suteku?" Tan Bhok juga membentak
dan rantainya berdesing-desing menyambar.
Lu
Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya
yang menyangka dia hendak kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya
bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!
"Celaka....!"
Tan Liu Nio berseru. Karena dia berada paling belakang, maka ia sempat melihat
gerakan ini dan dapat mengelak. Akan tetapi dua orang suhengnya yang jaraknya
terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat melindungi tubuh atas dengan
putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum
Siang-tok-ciam! Seketika hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka
maklumlah mereka bahwa mereka terkena senjata beracun. Namun keduanya masih
belum roboh dan masih memutar senjata. Lu Sian tidak berhenti sampai di situ,
begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah menerjang maju lagi mainkan
pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua
kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong yang tertembus pedang
lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus pinggangnya, perutnya robek dan isi
perutnya keluar. Mereka berdua tidak menderita lama, cepat menghembuskan napas
terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang tewas lebih dulu.
"Tok-siauw-kwi,
kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat,
menyerbu dengan pedangnya. Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan
tenaga.
"Tranggg...!"
pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya. Dengan kakinya Lu Sian menendang,
membuat tubuh Tan Liu Nio roboh terguling, kemudian matanya yang sudah menjadi
beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan ke bawah.
"Trangggg!"
Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang
kepada Yap Kwan Bi yang ternyata telah menangkis pedangnya.
"Kau...
kau Tok-siauw-kwi....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada
kekasihnya.
"Orang
menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...." "Kau.... kau
perempuan hina...! Kau telah membunuh tiga orang Suhengku dan hendak membunuh
Suciku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!"
Yap
Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah, sekali ditangkis ia
roboh terguling, dan Lu Sian yang mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah.
"Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati palsu! Mual perutku
melihatmu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap
dari tempat itu.
Yap
Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang
suhengnya yang tewas dalam keadaan demikian mengerikan. ia menjambaki rambutnya
dan memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma saja Tan Liu Nio
menghiburnya. Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan
ke kuil Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio
dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama beberapa orang sute berlari-lari ke arah hutan
itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di samping ketiga
orang suhengnya, lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri.
Ia telah membunuh diri karena telah menyesal!
Sementara
itu, Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali.
Ia merasa kecewa dan menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta
kasih Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar suci murni. Bahkan pengalaman ini
membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit
hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil
mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada
orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan cinta kasihnya dengan
Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil
Kwanim-bio. Ia harus dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia
selamanya takkan menjadi tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu
untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!
Hari
telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun
pintu depan, akan tetapi sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan, Lu Sian
menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju
pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita
bertanya.
"Siapakah
yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi
Kwan-im-bio?" "Aku Lu Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"
Ketika
Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh,
kiranya Lu-lihiap yang datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Li-hiap
malam-malam datang mengunjungi tempatku yang buruk? Dan di mana adanya Kwan
Bi?"
Akan
tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian
amat berlainan dengan beberapa hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian
membanting kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita berpanjang kata,
Su-nikouw. Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu
tentang ilmu awet muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang
matanya. Kalau kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa
suka kepada pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan
mata benci dan Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang
pengaruh rasa benci amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati
kepada Siauw-lim-pai, menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang
sudah mabok rasa benci, pandang matanya akan berbalik!
Akan
tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia
memandang Lu Sian dengan senyum wajar. "Li-hiap, biarpun pinni merasa
heran sekali atas perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan disebabkan
oleh sikapmu, melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang
belum sadar akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan
dan kecantikan pada usian tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan
nafsu, dan percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan
kemudaan yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.
"Tak
usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lajim, orang yang sudah membenci
seorang yang lain, apa pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu
selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kauserahkan secara baik-baik
atau dengan paksaan, aku harus mendapatkan rahasia itu!"
Su-nikouw
menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap.
Biarlah lain kali kau datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal
ini perlahan-lahan secara baik-baik."
Alis
yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri dan Su-nikouw cepat
mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. Namun terlambat. Jalan darah di
pundak kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu terhuyung lalu
menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata
terbuka lebar saking heran dan kagetnya.
Sambil
tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka
Siang-tok-ciam, obat pemunahnya hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu
awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."
Su-nikouw
yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud....
kau ini wanita muda sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa
kausadari! Seorang pertapa seperti aku ini, menganggap kematian sebagai
pembebasan jiwa daripada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah. Racun
jarummu yang mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."
Diam-diam
Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh,
hanya mengancam, akan tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian,
tidak mau menukar obat pemunah dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?
"Nikouw
bandel! Mengapa hendak kaukangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin
muda sendiri dan cantik sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa kau hargai
daripada nyawamu?"
Su-nikouw
menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari
Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang
kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan
diajarkan orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi,
pinni akan mati tanpa mengeluh!"
Tiba-tiba
Lu Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan
kau mati begitu saja kalau kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah,
Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu berahi! Racun
Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak
terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan
tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang oleh
rangsangan berahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang laki-laki
yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu kalau pada
saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi seorang
pendeta wanita!"
Napas
Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian.
"Ah, jangan.... jangan....! sebenarnya siapakah engkau ini, begini
keji?"
"Orang
menyebutku Tok-siauw-kwi." "Aahhh... kiranya engkau
Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan, karena ia mendengar nama
julukan ini sebagi seorang tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka
ancaman tadi bukan tak mungkin dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal
kejam. Pula, ia memang sejak terluka tadi mencium bau harum yang aneh dan
memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras! Tentu saja sebagai seorang
tokoh Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak
tahu tentang segala racun, dan ia tidak tahu bahwa Lu Sian sebenarnya
membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu memang berbahaya dan racunnya cukup
jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi sekali-kali tidak akan
menimbulkan gejala nafsu berahi segala. Dia sengaja mengeluarkan ancaman ini
karena dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih mengerikan
daripada kematian bagi seorang wanita pertapa yang saleh!
"Bagaiman?
Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki
tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti monyet. Dia tunduk kepadaku dan
dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang sekali
mendapatkan engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"
Su-nikouw
bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu.
Tak tertahan lagi ia menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah
ia lakukan. "Baiklah, baiklah...., kuberikan rahasia ilmu itu
kepadamu." Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah
kitab tipis tulisan tangan hasil pekerjaannya sendiri.
"Tidak
mudah mencapai tingkat seperti aku." katanya. "Untuk dapat
mengalahkan kerusakan kulit daging dan tulang, kau harus memiliki dasar ilmu
I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum) dan untuk pelajaran itu, menyesal pinni
tidak dapat memberi karena kitabnya tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi
seorang berkepandaian tinggi seperti engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya
dengan mudah. Hanya saja, ilmu I-kin-swe-jwe yang paling hebat di dunia ini
hanyalah dari Go-bi-pai, di samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau
memiliki ilmu itu, engkau pelajari samadhi seperti tertunjuk dalam kitab ini,
dan makan akar dan daun yang sudah tertulis lengkap pula di situ."
Cepat
Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa
nikouw itu tidak akan membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemudah
dari sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam senjata rahasiaku memang
mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitakan nafsu berahi?"
Nikouw
itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak
memaki-maki. Akan tetapi setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah
melompat keluar dan menghilang di tempat gelap sambil membawa kitab yang amat
diinginkannya itu.
Su-nikouw
kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali.
"Su Pek Hong... Su Pek Hong..... inilah hukumannya kalau orang tidak
mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang bahwa ilmu awet muda
ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik marena menentang hukum alam!
Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu
akan menganggapku pesolek dan ingin cantik selalu. Dan wanita yang selalu ingin
cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian laki-laki. Ah, betapa
memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima kekuasaan
alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian usia tua yang
sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini memalukan..."
Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan obat pemunah racun yang
ditinggalkan Lu Sian.
Harta
benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan
kepada manusia. Namun, dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat.
Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia akan dapat menikmatinya lahir batin.
Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati
pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran
yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan.
Namun
diantara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka
yang tidak kuat adalah kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi
hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat menjadikan orang menjadi sombong,
tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan yang timbul
dari kekuatan ataupun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan
orang sewenang-wenang terhadap orang lain, mau menangnya sendiri saja tanpa
menhiraukan tatasusila dan perikemanusiaan.
Liu
Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada
banyaknya macam ilmu silat yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan
makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya.
Ia
menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan
perikemanusiaan. Makin ia turuti nafsunya makin hebatlah nafsu menggulung
dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan
menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa
tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai
seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.
Untuk
mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki
Go-bi-pai dan berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas
Bintang) yang selain mengajarkan latihan lwee-kang dan langkah-langkah kaki,
juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia butuhkan.
Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian
benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di
Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri dengan
hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang
terkenal konsen!
Bukan
hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang
pusaka Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka
Hoa-san-pai. Dalam pertempuran ia dikeroyok dan berhasil merobohkan lima orang
anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan dahsyat.
Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan
dicari dan dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai!
Namun berkat gerakannya yang lincah, gin-kangnya yang tinggi serta
kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.
Bukan
hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan
persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan
ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga namanya menjulang
tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong! Yang
paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita
bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk
menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai
ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguhpun ia belum sanggup mengalahkan
ilmu pedang Ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang
cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi
dengan kelincahannya.
Demikianlah
selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw, ilmu
kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih
tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang khas sedangkan bentuk
tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.
Betapa
pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa
rindu kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua
kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda
telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda.
Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han. Akan
tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya,
Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke
mana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia
hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman sentausa
disamping bekas suaminya.
Sambil
makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han, Lu Sian termenung. Kalau
teringat akan puteranya, ingin ia menangis. Namun hatinya yang keras mencegahnya
berduka lebih lama lagi.
"Lebih
baik dia tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya. Bagaimana
kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang
meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi,
iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum dan dengan gemas ia meneguk
cawan araknya yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke mulut dan
langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman
keras ini dan memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia
itu. Cara ia minum adalah cara seorang "setan arak" benar-benar.
Tiba-tiba
Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia
diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak
gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak melihat, namun pandang
matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka
akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun
tergetar. Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap,
mukanya halus putih seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya
lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh
tegap seorang pria ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biarpun
usianya sudah empat puluh tahun! Semenjak hatinya yang mengalami cinta kasih
telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai
Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan
hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk memuaskan nafsunya. Semenjak ia
merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang
luar biasa, akan tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan laki-laki itu
benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan
tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi patah hati, menjadi gila atau
setengah gila!
Selagi
Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja paling
tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan
pandang mata Lu Sian yang tajam berkelebatnya senjata rahasia halus menyambar
ke arah Si Pemuda Tampan! Melihat sikap pemuda itu yang seorang pemuda pelajar
yang tak mengerti ilmu silat, Lu Sian merasa khawatir sekali, maka ia lalu
menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan tangan, nasi itu
menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh
ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!
Pemuda
itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya
yang tadi mengancam nyawanya. Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh
terdengar orang berseru di luar rumah makan, "Biar ada yang melindungi,
kita harus bunuh pangeran ini!" Dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi
besar yang membawa golok telanjang di tangan. Pemilik rumah makan dan dua orang
pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan di situ lari
keluar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini,
bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan
Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia
melirik ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi
tidak seperti penjahat. Betapapun juga, melihat mereka menyerbu ke arah pemuda
yang kini berteriak, "Tolong! Tolong!" itu, Lu Sian tidak mau tinggal
diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya. Terdengar
tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi.
Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah dan nyawa
mereka sudah putus!
"Keparat
dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?" Terdengar bentakan
keras dan melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung
menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala Lu Sian! Wanita
sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba
kursi yang didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di
atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah dan "crakkkkk!!" meja
yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong! Pemuda yang
sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga
orang pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.
Si
Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya
pucat seperti orang berpenyakitan. Namun menyaksinkan betapa sekali bacok ia
dapat membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan betapa besar tenaganya dan
betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai
meja sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas
kursi dekat sebuah meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah
dan melompat ke arah Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar cepat.
"Trakkk!"
Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit
yang berada di tangan Lu Sian, Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun
sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat.
Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga Si Tosu terhuyung mundur.
Sepasang sumpit itu melayang ke arah lambung dan leher. Namun Si Tosu ternyata
cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan
menyelamatkan diri. Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, sinar merah
menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang
jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu mengeluh dan
terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta
mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding
dan mulutnya berseru, "Kau... Tok-siauw-kwi....!" Namun ia tak dapat
bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapi jantungnya dan ia mati
dengan mata mendelik. Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.
Tiga
orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi
mereka dan berlutut di depan Si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih
melindungi Paduka...."
"Sssst,
sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan
kota dan mengurus empat mayat penjahat itu." Kata Si Pemuda, kini sikapnya
agung dan sudah tenang kembali. Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian,
merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk memberi hormat.
"Li-hiap
(Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar dan
membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat membalas budi itu."
Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.
Lu
Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang, bibirnya tetap
tersenyum manis kerling matanya benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan
kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat
hendak membunuh Kong-cu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"
Pemuda
itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan
hanya kagum akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan
kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang memabokkannya, yang
keluar dari tubuh wanita itu. "Hebat sekali, Li Hiap! Kalau tidak
menyaksikan dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang
yang kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Li-hiap begini can.... eh, muda?
Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang
penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang
ke empat tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Li-hiap yang
telah menolong saya."
Berdebar
jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa
kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama
sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan langsung keluar dari
hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar
senyumnya sehingga sedikit deretan gigi putih berkilau tampak, ia berkata,
"Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan. Bukankah Kongcu seorang
Pangeran, kalau tidak salah pendengaran saya? Inilah yang mengagumkan, melihat
seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat
biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."
Pemuda
itu tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Li-hiap, sekali
lagi, katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"
"Telah
saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kong-cu hendak melakukan
sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di
hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran diserang oleh empat
orang ini dan siapakan mereka?"
Pemuda
itu menggerakan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu
untuk menutup mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang
lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan, "Li-hiap disini bukan
tempat kita bicara tentang itu. Saya
persilakan
Li-hiap singgah di gedung kami, sudikah Li-hiap memberi penghormatan itu?"
"Ayaaa....!
Kong-cu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan
besar sekali bagiku. Terima kasih Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi
undangan Kongcu."
Pada
saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang
berpakaian seragam yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda
itu, "Bangunlah!" kata Sang Pangeran dengan sikap berwibawa.
"Urus empat mayat ini dan selidiki kalau-kalau masih ada teman-teman
mereka berkeliaran dalam kota!"
Mereka
bangkit dengan sikap hormat. "Sediakan dua ekor kuda untuk kami!"
kata pula pemuda itu. Cepat sekali dua orang di antara mereka keluar dan
terdengarlah tak lama kemudian derap kaki dua ekor kuda di depan pintu rumah
makan.
"Li-hiap,
mari kita berangkat." Ajak Si Pangeran. Ketika Lu Sian hendak membayar
harga makanan, cepat-cepat Si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis.
"Harap Li-hiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di sini hamba
sediakan untuk keperluan Sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"
Pangeran
itu tersenyum dan mengajak Lu Sian keluar. Dua ekor kuda besar dan lengkap
pakaiannya telah tersedia. "Silakan, Li-hiap," ajak pemuda itu. Lu
Sian tidak sungkan-sungkan lagi, segera melompat ke atas pelana kuda, diikuti
oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum
dari belakang.
Karena
pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, walaupun jarang keluar Lu Sian
mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman
sebuah gedung besar yang dahulu menjadi isatana Gubernur Li! Hatinya berdebar
tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi
lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini,
pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para
pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia
takkan dikenal orang, karena biarpun usianya sudah empat puluhan, namun ia
tetap kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!
Bekas
gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya
banyak sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri
belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka memasuki gedung.
Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan.
"Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap
bersama seorang pendekar wanita yang telah menolongku." Kata Pangeran itu
dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan
memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.
Pangeran
itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu
Sian memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di
sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya
itu biarpun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak
semewah dan seindah ini.
"Li-hiap,
bolekah saya mengetahui nama Li-hiap yang terhormat?" Lu Sian terkejut.
Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri
Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya seorang wanita
perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan
tetapi orang-orang menjuluki saya..."
"Tok-siauw-kwi?
Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi!
Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Li-hiap benar-benar seorang
Dewi karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi saya, Li-hiap adalah seorang Sian-li
dan selanjutnya kusebut begitu..
Ah,
Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah
Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"
"Ah,
bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir,
ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie Kong Hian."
Lu
Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang
memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang
sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang sekali
mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku."
Lu
Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung
ini amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun
indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga yang dihias pintu
bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu pemuda
itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat
puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di
belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit punggungnya
akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong
Hian dan Lu Sian.
"Ibu....!"
Pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja
sekali. "Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa
puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah
makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi)
yang perkasa ini.
"Nah,
itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasihat orang tua." Sang ibu
mengomel. "Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa
suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di mana-mana
untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti
engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di
rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar diurus....!" Nyonya itu
menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan
muka.
"Nona,
banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang
rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu
mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi
ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."
"Ibu,
urusan dalam istana kausebut-sebut di depan Li-hiap, mana dia tahu? Sudahlah,
harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman."
Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi
ijin mereka pergi meninggalkannya.
Sambil
berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari
pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja
yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat genit dan agaknya senang
melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia
memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan
tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian. Pemuda pangeran ini pintar sekali
mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama sehingga Lu Sian
makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan
menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di
dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang
di dalam empang teratai.
"Sian-li..."
Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru
sekarang menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Li-hiap
atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi ini, akan
tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) daripada disebut Tok-siauw-kwi
(Setan Cilik Beracun)! "Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.
Dengan
gagap pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali
kalau ucapan ibuku tadi menjadi kenyataan."
"Ucapan
yang bagaimana?" "Kalau kau menjadi pelindung yang selalu
mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian tersenyum,
sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan
mereka yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati
masing-masing telah menjawab
Akan
tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan
berkata, "Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus
tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para penyerangmu
tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang
sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak
akan menolaknya! Cepat ia bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang
yang bergabung dengan pemberontak, mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si
Ek yang sudah meletakkan jabatan."
Tentu
saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut, akan tetapi ia
dapat menguasai perasaannya dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan
mengapa pula mereka memberontak?"
"Setelah
Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si EK menentang karena hal itu ia
anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh.
Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup mengundurkan diri ke
dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang,
yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong untuk memberontak dan selalu berusaha
meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah bangun, dengan jalan membunuhi
para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam
Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya
baik-baik, sungguhpun kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu
kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi takut menghadapi
orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu.
Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.
"Apakah
Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?" Lu Sian mengangguk. "Kakek
tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar namanya, bahkan pernah
bertemu dengannya."
Kagetlah
hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?" "Ah, kakek
seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."
Kong
Hian memandang kagum sungguhpun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini
benar-benar akan sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong.
"Kalau
begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia
berseru girang.
"Kongcu,
tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu,
siapakah dia dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"
"Ah,
dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku.
Dia masih amat muda, akan tetapi di antara semua penghuni istana, dialah paling
lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru kepada
orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapapun juga dibandingkan
denganmu, dia bukan apa-apa!"
Lu
Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di
mana kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu
amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"
Wajah
Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga
bahwa di antara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra.
Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan
hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak
peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan
seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar
"setia" seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.
"Lie-kongcu,
sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"
"Syaratnya?
Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang..
malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya,
aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut di depanmu....!"
Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar
hendak berlutut!
Dengan
halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu,
Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat.
Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini, kecuali
tempat tinggal Raja tentu saja." "Baik, baik, hal itu dapat
dilaksanakan."
"Ke
dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku,
dan ke tiga, segala permintaanku harus kauturuti, juga setiap saat aku
meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."
"Baik,
baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah
meninggalkanku siang malam..."
"Dan
tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"
Mendengar
ini, Si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu
bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian Si
Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik.
"Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita
masuk saja."
Menghadapi
rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian Pangeran muda itu
bertekuk lutut dan benar-benar jatuh. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran
yang mewah dan bersih itu ketika mereka makan minum menghadapi meja, Si
Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian biarpun ia disuruh minum arak dari
sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengembalikan
perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang
lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria daripada kalau ia sudah
tergila-gila kepada seorang wanita!
Dua
hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan
kamar, tenggelam ke dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu
Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada di dalam kamar.
Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar,
mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai
panjang sampai ke pinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum.
Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup
seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di
luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.
Kagetlah
hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat
dengan kedua lengan terpentang, sedangkan di depannya berdiri seorang wanita
muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di tangan dan di belakangnya
terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang!
Lu Sian cepat meraba kantung jarumnya, sambil mengintai ia bersiap dengan
jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan
mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong
Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!
"Kau
bersekongkol dengan pemberontak!" Si Gadis membentak dengan suara yang
yaring sedangkan matanya memancarkan sinar berapi, "Hayo, serahkan dia
kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik
jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena
dia cantik?"
"Tidak...
tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal
pribadiku, dan malah menolongku daripada serangan kaum pemberontak!"
"Tapi
dia Tok-siauw-kwi...!" "Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan
tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka
bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."
"Siapa
cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak
peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku
sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita itu mengancam dan
menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga
berpedang itu sudah bergerak mengurung.
"Chit-moi
(Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" Tiba-tiba terdengar jerit tertahan
dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk
puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang kepada wanita
berpedang itu.
"Chit-moi,
jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap
begini?"
"Sam-cici
(Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan
seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya
saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti
membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"
"Tenanglah,
Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa
Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya
kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka
menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong Anakku?
Dan andaikata ia pemberontak sekalipun, hal itu bukanlah salahnya Anakku,
melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak
menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"
"Memang
aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di
kamarmu bukan?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi
merah sekali wajahnya, dan mengangguk.
Wanita
berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri
Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee
yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir
ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah
satu-satunya "anak tiri" yang ia jadikan kekasihnya! Adapun
tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong
oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia
sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!
Coa
Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang sudah siap
memang, dengan pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita
itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong
Hian!
Setelah
mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar, Lu Sian tersenyum. Ia sudah
senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan
perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa
Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam
istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja tentu
kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya
berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita
ini ia dekati dan untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan
wanita ini yang melihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan.
Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang
telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan
menyisir rambutnya dengan sikap tenang.
Coa
Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin
dan tanpa menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut
hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak.
"Apakah
engkau Tok-siauw-kwi?" Bentakannya mengandung keraguan karena ia
benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik
jelita, lagi masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah
berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri
Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia
ragu-ragu dan bertanya.
Tanpa
menoleh, Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau
apakah engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang di
tangan?"
Kembali
Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar
mata melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee
menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jerih seperti pada saat
ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi.
"Aku
datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"
Lu
Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis,
kalau ada urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan
bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"
Coa
Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang
pembantunya sambil berkata, "Tangkap dia!"
Juga
enam orang pelayan itu marah karena dikatakan menjemukan dan sama sekali tidak
dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan
perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang
cukup tinggi. Biasanya, penjahat pria saja mereka masih mampu menghadapi dan
mengalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang
bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok, akan tetapi karena
telah menerima perintah, mereka tidak berani membantah. Coa Kim Bwee melangkah
msuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang
pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan
sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka
dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.
"Serbu!"
seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan
menyerbulah keenam orang pelayan itu ke depan. Lu Sian menggerakkan kepala
sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang banyak
sekali menyambar ke depan menggulung keenam orang penyerangnya dan terdengar ia
berseru.
"Pergi
kalian, tikus-tikus busuk!" Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama
sekali tidak berdaya karena dalam sedetik saja tubuh mereka, terutama tangan
dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan
gerakan kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar keluar pintu
bagaikan daun-daun kering terhembus angin keras. Mereka menjerit-jerit dan
jatuh tunggang-langgang di luar kamar, babak-bundas dan ada yang terluka oleh
senjata pedang mereka sendiri!
"Nah,
Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa
gangguan orang lain." Kata Lu Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan
rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.
Coa
Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan
kepandaian seperti ini. Ia kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang
bertangan kosong masih enak-enak duduk, dapat menghalau keluar enam orang
penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum
yang merangsang keluar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita
ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya
itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah
singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah
dekat, pedangnya masih di tangan.
"Engkau
hebat! Ilmu siluman apakah yang kaugunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa
aku takut..."
"Adik
yang manis, ilmu lwee-kang begitu saja kauherankan? Mari, mari kita main-main
sebentar agar kau tidak menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu
dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"
"Hemm,
kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang
lemah!"
"Kalau
aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu
menandakan bahwa kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah
bagaimana?"
Coa
Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah
puteri seorang jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si,
tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil Coa Kim Bwee
mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan
mengejar ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia
berwajah cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya. Sebagai puteri
tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia
berani mulai bermain gila denga pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang,
ayahnya tewas dalam perang dan begitu Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang
terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir ke tujuh
oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya, karena
selain kedudukannya yang tinggi sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya
yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling berpengaruh. Di
samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah
ia di belakang punggung suaminya, Sang Raja, bermain gila dengan para pangeran
dan pengawal yang tampan!
Kini,
bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia
berpikir bahwa kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya,
kalau sampai kalah oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya
mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling
baik adalah menarik wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin
sebagai guru. Maka tanpa bersangsi lagi ia berkata.
"Kalau
pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi
guruku!"
Lu
Sian tertawa. Bagus, pikirnya. Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar
di istana, kalau menjadi gurunya, berarti kedudukannya akan tetap menyenangkan.
Selain itu, sebagai guru ia dapat melarang wanita selir raja ini memberitakan
di luar bahwa dia adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.
"Baik,
nah, kaumulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan
rambut panjang tergantung di kanan kiri.
Coa
Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya
ini memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh
wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang "saingan" berat,
sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk
mendapatkan pelajaran ilmunya.
"Lihat
pedang!" bentaknya nyaring dan ketika tubuhnya bergerak didahului sinar
pedangnya berkelebat, terdengar suara berdesing tanda bahwa gerakannya cepat
sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sin-kang cukup kuat. Lu
Sian memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini,
timbul niatnya mencoba sampai di mana kekuatan Si Wanita Cantik, maka ia
menggerakkan kepalanya sedikit dan "werrrr!" segumpal rambut panjang
menyambar ke depan. Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah
ia melatih diri dengan tekun, menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain
kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sin-kangnya menjadi hebat luar
biasa. Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras
seperti kawat-kawat baha dan kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang
Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini.
Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sin-kangnya, namun rambut
tetap merupakan benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa
detik. Mungkin cukup kuat untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat
yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah
permainan yang banyak resikonya.
Coa
Kim Bwee melihat betap pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi,
kaget sekali. Terutama setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat
ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lwee-kangnya dan berseru keras sambil
mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan
tiba-tiba Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke
pinggir terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut
rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!
"Boleh
juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan
rambutnya sudah tergantung kembali ke depan dadanya.
Coa
Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan
pertama tadi, hanya beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia
sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada di bawah angin,
maka seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah
merah karena marah.
"Aku
masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia
memutar pedangnya cepat sekali untuk mencegah libatan rambut lawannya.
Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah
lehernya, tubuh Lu Sian yang duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak
roboh ke kiri sehingga pedang lewat di pinggir tubuhnya dan pada saat itu juga
kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa Kim Bwee.
Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini,
namun hebat pula reaksi selir raja itu. Untung bahwa ia tidak memandang rendah
kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik ini memang
berilmu tiggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta,
tidak hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan
membagi perhatian untuk menjaga diri dengan memperhatikan gerakan lawan.
Maka
begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat
kembali pedangnya yang gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki sambil
melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee juga
gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter lebih,
seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada,
tangan kanan memegang pedang di atas kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk
enak-enak, kaki kanan bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri mengelus rambut
dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak
saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.
"Awas,
Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara
perlahan, pandang mata berseri dan mulut tersenyum. Ia diam-diam merasa girang
bahwa ia telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya ini, karena
melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak
lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut sebagai senjata, ia sudah dapat
memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia
dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.
Diejek
demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar,
bibirnya bergerak-gerak, cuping hidungnya berkembang-kempis dan tiba-tiba ia
mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan pedangnya diputar
seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini, karena gulungan
sinar pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat
pedang, sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan terlindung dari atas ke bawah, tak
mungkin diserang seperti tadi.
Lu
Sian duduk, memperhitungkan detik yang paling baik lalu berseru, "Lihat
senjataku!" Dan kini sekali kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat
ke depan merupakan ratusan ribu batang kawat-kawat halus yang amat lemas. Tentu
saja ada sebagian rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu Sian
mempergunakan "tenaga halus" sehingga rambutnya menjadi lemas dan
ulet, maka rambut itu tidak dapat terbabat putus, bahkan sebagian lagi terus
membelit ke arah pergelangan lengan tangan yang memegang pedang, sebagian
membelit lengan kiri, sebagian lagi membelit leher terus mencekik! Kim Bwee
kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan lehernya tercekik
membuat ia tidak mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor
lalat tertangkap sarang laba-laba dan terdengar suara ketawa cekikikan lalu
disusul robohnya tubuh Kim Bwee, terpelanting dan pedangnya sudah terlempar ke
sudut kamar!
Sejenak
nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami
kekalahan hebat dan andaikata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andaikata
tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu dalam hati Kim Bwee, tentu penghinaan ini
takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini!
Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana.
Akan tetapi Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa
seorang sakti seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum
para pengawal datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini
bersikap baik kepadanya dan lebih banyak untungnya daripada ruginya kalau ia
dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat cerdik dan demi tercapainya maksud
hati, ia rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun
akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim
Bwee tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Lu
Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui
keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari kita duduk dan bicara yang baik."
Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika Kim
Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi
jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.
"Adikku
yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari
Raja?" Kim Bwee mengangguk. "Dan kau tahu siapakah aku ini?"
"Kau
isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."
"Bekas
isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"
"Kau...
kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan
Tok-siauw-kwi."
"Semua
memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau
menerimanya kita tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu
kepadamu."
"Ilmu
mempergunakan rambut sebagai senjata?" Tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia
kagum sekali akan ilmu itu yang dianggapnya amat hebat.
Lu
Sian mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat.
Pendeknya, setelah belajar dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar
dikalahkan lawan."
Girang
sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut. Akan tetapi Lu Sian
mencegahnya dan membentak. "Duduk kau!" Kim Bwee terkejut dan cepat
ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.
"Kau
menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut
guru kepadaku dan tidak boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap
hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil adik padamu. Kita
kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini.
Mengerti?"
Tentu
saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya
bersinar-sinar ketika ia menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja
aku mentaati semua permintaanmu."
"Bukan
Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh
kau memberitahukan orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau
memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari sini.
Mengerti?"
Kembali
Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat
pandang mata Lu Sian bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan
main-main belaka.
"Syarat
ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku da...aku tahu bahwa
diantara engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi
pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya. Mengerti?"
Kembali
Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan!
Sekilas terbayang dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia
tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak sekali pangeran yang
tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan
hati "gurunya" ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng
untuk ditukar dengan ilmu!
"Baiklah,
Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman
bunganya yang indah. Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita
bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka mengalah. Dan...jangan
khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal
pangeran-pangeran muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!"
Ia tertawa genit, Lu Sian tersenyum. Terhadap perempuan liar ini tak perlu ia
menyembunyikan perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.
Demikianlah,
Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan
nafsu dalam istana Kerajaan Hou-han. Karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang
menganggap dia seorang kakak misan sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Setahun
lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan
pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk
membalas "jasa" dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan
beberapa macam ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu
mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari
ilmu awet muda serta latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau
harum!
Segala
macam perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu.
Sekali keliru melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam.
Semua perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih
dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah
termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa
daratan. Tidak ada seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian
dengan taruhan besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan
menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai
"pekerjaannya" dengan pencurian besar-besaran. Mula-mula
kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula dengan segala macam nafsu,
termasuk nafsu berahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila dan
makin haus! Salah langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya
berumah tangga dengan Kam Si Ek. Kalau diwaktu itu ia kuat bertahan,
mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan
tersesat. Akan tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan
akhirnya tenggelam oleh gelombang permainan nafsunya sendiri! manusia memang
mahluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan
menuju kehancuran kelihatan lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah
menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaiknya jalan menuju
kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih,
sesal pun tiada gunanya dan dalam kesadaran dan penyesalan hendak bertaubat
sekalipun, akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi!
Seperti
telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan
adalah Dinasti Cin yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh
perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak timbul kerajaan-kerajaan
kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri
sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat
perubahan itulah, Jernderal Kam Si Ek yang berjiwa patriotic dan setia kepada
Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di dusun Ting-chun di
kaki Gunung Cin-ling-san. Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar
pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja
Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan Tang baru berhasil merobohkan Kerajaan
Liang, ia memperoleh lagi kedudukan baik sebagai pimpinan para panglima dan
penasihat raja. Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru
atau Tang Muda yang belum lama berdiri ini, roboh kembali dalam waktu tiga
tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-947).
Kong
Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biarpun kerajaan yang dibelanya
telah runtuh, ia tidak putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk
merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabung dengan jago tua ini dan
selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, juga mereka ini selalu
mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han
yang tidak mau diajak kerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.
Inilah
sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena
sudah tidak mempunyai pusat kerajaan para pendukung Tang itu melakukan gerakan
liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja sama. Dan karena
ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika
mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga
guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu.
Dengan hadirnya Lu Sian di dalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih
terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan
setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.
Malam
itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat
tembok sebelah selatan yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga
diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat saja lima orang
penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka
sempat berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung terbang
telah melompat pagar tembok dan lenyap ke dalam lingkungan istana! Para penjaga
dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu
malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda
bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari itu mendapat giliran berjaga
terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini tinggal dua
puluh lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan
mencari-cari di sekitar bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan
seorang pun penjahat.
Mendadak
di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja, terdengar suara wanita
menjerit-jerit. Para pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat
empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan tetapi di ruangan tengah, tak
jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di
tangan tengah melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita
lain yang cantik dan biarpun jarang terlihat penjaga namun dapat diduga oleh
mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri di
sudut dengan sikap tenang menonton pertempuran. Ketika para penjaga hendak
menyerbu dan membantu selir Raja itu, menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian
menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata, "Jangan Bantu!"
Para penjaga kaget dan heran, biarpun sudah dicegah mereka tetap maju dengan
senjata di tangan.
Karena
Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati
pencegahannya, bahkan dua orang penjaga sudah menerjang maju, untuk membantu.
Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di antara tiga orang
penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!
"Tolol!
Mundur dan jangan Bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee. Kini para penjaga itu
terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja
yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya berdiri
menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah menyaksikan
kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka begitu ganas
sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat?
"Siauw-moi,
keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata dan gerakan pedang Coa Kim Bwee
tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadang-kadang
ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hoat
yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang
kuat serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka biarpun baru belajar
beberapa bulan, pedangnya sudah amat berbahaya gerakannya.
Tiga
orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini
mereka mengurung dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan
Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang kedudukannya di ujung
segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke depan
dengan perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan
terdesak. Setiap kali ujung pedangnya menyerang seorang lawan, yang dua sudah
menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil
merobohkan yang dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga
serangannya selalu ia tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan
akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi
tubuhnya.
"Siauw-moi,
mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik
dan melempar tubuh Kim Bwee ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan
kosong!
Tiga
orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak
tiga batang jarum meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan
tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum itu denganpedang, dan pada saat itu
mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum
keluar dari rambut Lu Sian tercium hidung mereka.
"Tok-siau-kwi...!"
Seorang di antara mereka berseru kaget. Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada
waktu itu sudah amat terkenal di mana-mana setelah Lu Sian melakukan
perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan silat. Yang membuat ia
terkenal, selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, juga
terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum Beracun
Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi serta
bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa
mereka berhadapan dengan Tok-siau-kwi!
"Tok-siau-kwi,
kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami!" bentak pula seorang
di antara mereka sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm,
aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku,
berari harus mati. Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil
tersenyum dingin.
Tiga
orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang
yang setia, maka biarpun menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak
menjadi takut, bahkan kini berbareng mereka menerjang dengan gerakan pedang
yang dahsyat.
"Kau
menghianati suamimu...!" Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang
penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Ternyata
secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci (Totokan Im
Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Kuil Siauw-lim-pai! Hebat
sekali gerakannya dan kini dua batang pedang telah menusuk, sebuah dari depan
mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang membacok kepalanya. Diserang
dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba mengenjot tubuhnya mencelat ke
atas.
"Wuuuttt!
Singggg!" Dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas Lu Sian
menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar,
terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba
telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat
ke belakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian
bergerak terdengar suara "Plak! Plak!" dan robohlah dua orang itu.
Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak
tangan yang membakar baju di punggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya
yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka tewas seketika!
"Hebat,
Cici..." Coa Kim Bwee berseru girang sekali. Lu Sian hanya tersenyum dan
menggeleng kepala. "Cici, harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan
itu..."
"Mari
kita pulang." Karta Lu Sian tenang saja.
Coa
Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang
bergelimpangan, lalu berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso,
saya harus memberi laporan kepada Baginda." Memang pada waktu itu,
pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri)
yang mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar istana.
Ketika
Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh
kagum. "Cici kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan
jasamu dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap." Lu Sian
mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."
"Akan
tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam
tentu memberi laporan. Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan
khawatir, beliau
hanya
akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan
mendapat susah dan tetap akan bebas. Pula... eh..." wanita itu tertawa
genit. "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga di sana akan
hadir semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk...
eh, belajar kenal dengan mereka?"
Lu
Sian tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran
dan panglima-panglima pucat dan panglima-panglima bopeng (cacat)!"
"Hi-hi-hik!
Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang
yang tampan seperti gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang
gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau jantan. Dua orang pangeran ini
termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah
berhasil. Barangkali Cici..." "Ihh! Kalau kau saja mereka tolak,
apalagi aku yang lebih tua!"
"Lain
lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu
istimewa. Masih ada lagi beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng,
pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih..."
"Sudahlah,
kita tidur. Besok saja kita lihat..." Demikianlah, dua orang wanita yang
menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.
Pada
keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu
Sian menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para
pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan benar pula seperti yang
dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan
panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian.
Raja kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya
selalu dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karan ini ia perlu
membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima
kasihnya atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak
angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam
Istana kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana
saja dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki
permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus
dan perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.
Setelah
kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka
kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."
"Hush!
Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita bereda, Kim Bwee. Siapa suka melayani
laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau
Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa
Kim Bwee tertawa. "Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan
menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri daripada pria. Beliau membutuhkan
kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para
pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu
Sian tersenyum, memainkan biji matanya. "hebat sih hebat, akan tetapi
sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang,
mereka itu sukar didekati."
"Ihh,
siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici
penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada
jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir
ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa
gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah
kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa di antara
para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang
panglima muda.
"Hi-hi-hik!
Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua
orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti
wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan
panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun,
kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama
sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" Dengan lagak genit Kim
Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh!
Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat
berkenalan dengan mereka?"
"Mudah
saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah
sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan
mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani
menolaknya?"
Malam
hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan
minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang,
Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini tentu saja
mereka tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai
Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian
tinggi. Biarpun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan
denga tokoh hebat ini dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama,
membuat hati muda mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan
kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi
mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak
melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio
benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena
kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana,
akhirnya kedua orang Pangeran Kan dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat
menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini
tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat
mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal
atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan
tetapi dasar moralnya sudah bejat rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil
kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan
pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya. Ia berpesta
pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu
hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai
berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras
hati dan setiap kali Lu Sian datang, melayani wanita ini dengan sopan dan
keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah
sikap manis dan bujuk rayu.
Malam
itu, untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar
Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar
kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan
berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan siap karena pada masa itu memang
tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika
melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian ia tersenyum dan berkata. "Ah,
kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu
Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata,
"Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab
apakah?"
Cu
Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara
tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu
apakah yang berada dalam kitab?" "Ilmu Sia-kut-hoat (Lemaskan
Tulang)."
"Ah,
Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu
Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku
yang masih bodoh."
Lu
Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini
benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran
dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar,
Toanio." "Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu
ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh?
Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih." "Ciangkun suka?"
"Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu
Sia-kut-hoat berinti kepada pengguna hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk
mengetahui sampai di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk
sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu
yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat
melawannya."
"Mana
saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan
tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu
Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan,
Ciangkun."
Karena
mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan,
pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian, lalu menyimpan bukunya dan berdiri
menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena ia merasa sungkan-sungkan, ia menjura
dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku." "Tak
usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio,
awas serangan!" Sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan
ke arah pundak. Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang
pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan maka memukul pundak.
Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan,
pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan
dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian
melihat kelambatan ini. Betapapun juga ia seorang panglima muda yang sudah
terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari
kemenangan. Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap
lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram
kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang
erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan
seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah,
itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana
saja!" Tantang Lu Sian sambi tersenyum. Cu-ciangkun masih belum mau
percaya.
"Maaf,
Toanio!" katanya dan ia bergerak maju, kedua tangannya cepat sekali
berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga,
jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan
mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras
lagi."
Cu
Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah
pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari
Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini, ia berani
mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat
dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih
dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!"
Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun,
kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat
hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun
menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku
dengan kedua lengan boleh kaurangkul dan jepit."
Seketika
wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh,
Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang
berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun
menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah
kedua lenganku ke atas."
Berdebar
jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu
kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang
pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau
saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras
menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku...
aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia
masih membantah dan ragu-ragu.
Makin
gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia
bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan
perasaan.
"Cu-ciangkun,
bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau
pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam
hatimu?"
Makin
bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini
bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak!
Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah, Toanio!"
Lu
Sian tersenyum mengejek lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya
ke atas, "Nah, kaubekuklah aku!"
Cu
Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan
tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya
berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan
sekali pemuda yang hijau ini. Mana ia tidak merasa "tersiksa" ketika
kedua lengannya merasai kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung
yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi
kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh,
bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa
Sia-kut-hoat sekalipun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun.
Atau... kuatirkan engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Cu
Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua
lengannya yang membekuk leher dan untuk melakukan ini, terpaksa pula ia
merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali,
darahnya berdenyut-denyut dan kepalanya menjadi pening, napasnya terengah-engah!
Lu
Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada
bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa
kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya
itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda
ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biarpun nafsu
muda yang sudah selayaknya itu masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang
lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama
melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin "tersiksa".
"Sudah
cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..." "Kenapa sih Ciangkun
terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus. "Saya... eh... saya kuatir
kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena
sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik
kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu,
aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia menggerakkan
tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat "merosot"
keluar dari pelukan ketat itu! Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan
kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas
dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana,
Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu
Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar
Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan
mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun,
Ilmu Sia-kut-hoat mudah, akan tetapi dasarnya harus kuat, seperti kukatakan
tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada
sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan
tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar
lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin
merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini
bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau
dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil!
"Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"
"Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka
lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih.
Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau
tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu
dan bercuriga. Maka ia berkata,
"Ciangkun
harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam
tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya
Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana
itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani
memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai
ini saja."
Cu
Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama
hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi
berada di atas satu ranjang, biarpun hanya bersila! "Terserah... kepada
Toanio..." jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.
Lu
Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua
telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas
kerahkan tenaga biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke
sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu
Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan
mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan
yang halus lunak itu menyalurkan hawa mujijat yang seperti membanjir ke dalam
tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak
harum itu! Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan
mengerahkan sin-kang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu
kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa
saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan
kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak,
leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat
dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga
kita mudah lolos dari ikatan apapun juga." Lu Sian berbisik, "tanpa
menggerakkan tubuh sekalipun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa
saja. Lihatlah buktinya!" Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa
betapa tulang pundaknya bergoncang, ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan,
menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.
"Cu Ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu..." Kembali Lu Sian
berbisik perlahan.
Cu
Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas
yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena
sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri
pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua
telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka
masih saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum
pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya
menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora
menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu
dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak
senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan
mata basah penuh nafsu.
Makin
berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa,
matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak
pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan
menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh...
eh... Toanio..." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan
tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang
menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu
wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi Lu Sian bukannya
wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah
lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing
untuk meniup ke arah lampu di sudur kamar sehingga padam!
Karena
di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami penghidupan yang penuh
kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta
dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi
cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu
Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis
sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu
awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat
girang.
Biarpun
maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu
sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang
menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk
dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah
karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itupun merupakan hal yang
menguntungkan, semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi
penyerbuan musuh dan kalaupun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti
itu.
Karena
istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas
menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya keluar istana dan mulai
membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh
ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak
buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan, dapat dibasmi
habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja. Yang memimpin
pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan
hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian
Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha
membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai
penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.
Dalam
penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di
kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas
Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu.
Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan
tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah membasmi tiga
belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada
suatu pagi, seorang diri Cu Bian pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang
sunyi sebelah barat itu, berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Goloknya ia
sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan
menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini
kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui
jendela yang tidak berdaun lagi itu. Setelah dekat ia mengintai dan terdengar
suara orang bercakap-cakap. Ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas
kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan,
hatinya tergerak. Siapakah kakek ini, pikirnya. Kakek yang mukanya penuh
cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
"Goblok!
Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh?
Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar
nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau
Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku
seperti kalian ini patriot-patriot konyol, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya
dapat bangkit kembali?"
"Ampun,
Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi
berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan
teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet
sama sekali."
Diam-diam
Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan
julukannya Kong Lo Sengjin? Ia memandang penuh perhatian dan melihat betapa
kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu
lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah,
kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan
seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itupun kelihatan
lemah.
"Huh,
menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan
kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kaulihat baik-baik!"
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah
jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!"
Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke
samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam
rumah melalui jendela.
"Pemberontak
tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili daripada harus
berkenalan dengan golokku!" bentaknya.
Kong
Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah
laki-laki temannya tadi sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki
itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya,
inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita
di kuil tua...!"
"Oho!
Bagus sekali, kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau
dapat terbebas dari kematian mengerikan!" Suara Kong Lo Sengjin berubah
menyeramkan. "Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih
Tok-siauw-kwi!" Laki-laki itu berkata pula.
Sementara
itu, Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak
rendah! Rasakan golokku!" Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya,
gerakannya cepat dan kuat sekali, goloknya lenyap berubah sinar putih seperti
kilat menyambar ke arah leher kakek itu. "Singgg...!!" Namun goloknya
mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas
bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah
berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara
tertawa bergelak-gelak.
Cu
Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemanapun
berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran
dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga
pelajaran untuk memperhebat gin-kangnya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun
menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu
membacok angin belaka danpada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah
tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha,
disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!"
kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke
depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian.
Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari
pegangannya bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih
memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua ke arah kepalanya. Cepat ia
miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam
ujung lengan baju.
"Plakk!"
Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh
Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking
hebatnya rasa nyeri di pundaknya. Namun orang muda ini mempunyai keberanian
besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, sambil meluapkan
rasa nyeri yang menusuk jantung, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat.
_
"Hah,
rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya, hanya
dengan gerakan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan
merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan
seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu
bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan
tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak
membayangkan ketakutan.
Pada
saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang
berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah
pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki
rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau
hadapi mereka!" teriak Si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah
menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu!
Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira dan mereka yang berada dekat
pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok.
Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang perajurit ketika
Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil
mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat keluar dengan
mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja, ia telah
meleset jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tampat itu membawa tubuh Cu
Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang
celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia
lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang
perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas, maka setelah
mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak
senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa
tertawanya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota
raja. Penjagaan di perketat, di seluruh kota tampak para perajurit hilir mudik
mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun
semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana,
mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia
melompati pagar tembok yang mengurung istana, tidak tampak oleh para penjaga,
kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana, Cu-ciangkun
masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana, mencari-cari.
Lu
Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah,
karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan
hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu dan samar-samar ia
teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik.
Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh itu
yang amat lihai. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan iangin ia mencoba
kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian Si
Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga
sin-kangnya untuk melakukan pukulan jarak jauh. Malam itu Lu Sian tak dapat
tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara
agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan
purnama.
Telinganya
yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar, akan tetapi ia
hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya,
pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi gin-kangnya
sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara tengah mendekati
kamarnya. Selama ini, tak pernah berhenti ia berlatih sehingga Lu Sian merasa
amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba
sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biarpun sinar itu
menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan
mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp!"
Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya,
golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan
yang kini berada di atas meja tertancap golok. Benda yang berlumur darah.
Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah
golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba
terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela,
menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan
tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah
sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata
terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha!
Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau
mengotori nama besar Beng-kauw!" Terndengar suara memaki dan mengejeknya
di luar.
Hampir
meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali,
sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang keluar
dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata
di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang
menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
Hemmm,
kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa
Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha!
Betul sekali, Tok-siauw-kwi. kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi
aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan
merobohkan Dinasti Tang, aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini!
Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau
telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau
puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan benar-benar menyebalkan dan
merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup
mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan
tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha,
sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini
bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampunimu dan
lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan
apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek
tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungannya apa denganmu? Kau peduli apa?
"Wah,
benar keras kepala! Kukira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan
pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!"
Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar
kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar,
dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan
dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!"
Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai
mereka terpisah dalam jarak enam meter. Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi
hebat pula tangkisan Si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka
tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah
ia gerakkan dengan pengerahan sin-kang dengan maksud membuat pedang lawan
terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat
menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah
dan penasaran. Di lain fihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa
kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus
yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh
lawan dan tangannya terasa gemetar tanda bahwa tenaga yang tersalur pada
tongkat itu amat kuatnya.
Tangan
kiri Lu Sia bergerak dan dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum
Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum
halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang
mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar
berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran! Namun sambil
tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar
dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum
sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha,
jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjim
sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat
dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin
dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin
pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek
ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu
ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan Si Kakek, akan tetapi sekarang ia
bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat
kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan
kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua
tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam
di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan dorongan
hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat
ke depan!
Benturan
dua tenaga sin-kang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak
oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang
dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget,
karena adu tenaga sin-kang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat
seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka
kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat
kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan
dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang
saja.
"Kau
ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin dan kini kakek itulah yang berkelebat
ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari
atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian
maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking
nyaring lalu tubuhnya mencelat pula ke atas, menyambut serangan lawan. Dua
tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon
dan dekat pula dengan ujung atap. Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di
udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar
suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata.
Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu
Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat
Kong Lo Sengjin.
Begitu
keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan,
sejenak tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena
biarpun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh
tenaga sin-kang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah
sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya
robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biarpun
hanya luka ringan!
Makin
panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti
harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak mau kalah, maka kini
menghadapi seorang wanita muda ini ia hanya dapat menandingi seimbang saja,
kemarahannya memuncak. Sambil menggereng liar ia menerjang maju, tongkatnya
bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang
mengeluarkan bunyi bersiutan. Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah
kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat
terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua
orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga
sin-kang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan
kegesitan gerakan tubuh.
Hebat
bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia
pelajari dari jago gin-kang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan
seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat
dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main, tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan
yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang
melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk.
Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai.
Biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah
kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai
menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan
baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tiak kalah ampuhnya. Kadang-kadang
pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu
sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu
gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang...
cring... plak-plak....!" Tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke
belakang. Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar
punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang
sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk
menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan
saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan
tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam.
Setelah membuka matanya lagi, ia tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman
betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua
bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah
menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman
betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Iblis tua, jangan menjual
lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee bersama
tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki
kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha,
Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu
tidak ada waktu melayani segala macam anjing!" Tiba-tiba tubuh Kong Lo
Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat
sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak
usah dikejar... sia-sia belaka....!" Kata Lu Sian. Coa Kim Bwee membalik
dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir, "Eh, Cici,
kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya.
Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.
"Aku
tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar
itu," Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa
panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi
karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri!
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng.
Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan
hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah
menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian
hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa
dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya
sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa. Memang,
semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi,
akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan
seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia
berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak
ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di
sana-sini disangka seorang gila.
Akan
tetapi, semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin saudara kembar
Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar
sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi, berubahlah keadaan hidupnya. Timbul
pula kagairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena "nenek" yang
ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya!
Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak
melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan
seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita
pertama yang menggugah cinta kasihnya. Kegembiraan ini ditambah pula dengan
kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa
muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua
hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati
Kwee Seng.
Seperti
telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri dan puterinya, juga muridnya, ke
Gunung Min-san di mana ia hidup berbahagia dengan mereka, Khu Gin Lin adalah
seorang isteri yang mencinta suami, adapun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng
Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupaka matahari ke dua
di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat
sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.
Adapun
Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil,
menjadi amat rukun. Ketika masih kecil, mereka itu seakan-akan kakak beradik,
akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada
yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu
menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah
menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita,
lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya. Adapun Bu Song telah menjadi seorang pemuda
berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan
serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di
dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat, Bu Song telah memiliki
tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana
harus mempergunakannya!
Pada
suatu pagi yang indah di puncak Gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya
duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan
menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusiri halimun pagi yang
tebal. Dalam usianya empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua
benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya
jenggotnya dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak
lebih tua daripada dahulu. Adapun isterinya yang amat cinta kepadanya, juga
belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan
sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan
pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu
tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil berseru.
"Koko,
kayu bakar kita telah habis. Hayo berlumba mencari kayu!" Tubuhnya yang
kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar
ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri. Di
belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk
tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas
membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah
melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis
hitam tebal berbentuk golok, mata lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa,
hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil
ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat yang ganteng ini terbayang
kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.
"Moi-moi,
biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan
laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat daripada
larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" Biarpun ia berkata demikian,
namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman
bermain sejak kecil selama belasan tahun.
Sebentar
kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak.
Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh
arti. "Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok
dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh
kepuasan.
Isterinya
mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka sebaliknya Bu Song
pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat
mereka itu saling mencinta. Hanya sayang..."
"Mengapa
sayang, isteriku?" "Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang
tuanya tidak hidup bahagia, tumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda
bercerai, Ayah kawin lagi, Ibu..."
Kwee
Seng menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi
apakah kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song
anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita
melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya, apakah masih belum cukup dan
haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau
memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari
keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu
Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja
orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya..."
"Hemmm,
tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kausayangkan, apakah itu?"
"Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan
anak kita, sungguhpun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki
kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian
faham dan watak mereka kelak?"
Kwee
Seng tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini
kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan
anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci
kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh
damai dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena
ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan
tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman
dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu
silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka.
Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat
baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih
baik daripada aku sendiri. karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar
ilmu silat dan telah menyuruh di berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia
telah memiliki sin-kang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak,
kalau ia mengalami penderiataan hidup karena ketidakmampuannya bersilat, baru
akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang
yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."
Gin
Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu.
Kini hilang keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan
mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita
tinggalkan mereka...."
"Ah,
isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat
daripada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau
masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"
Tiba-tiba
wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah
sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan saputangannya. Dengan muka
tunduk ia berkata, " Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian,
juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat
ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah
bundaku terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku
sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu
karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina...
suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin
kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikitpun akan penderitaan orang tua dan
keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di
samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan
bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah,
suamiku..." Gin Lin lalu menangis.
Kwee
Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isterku. Jangan kaukira
bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah
tepat kalau urusan pribadi dicampuradukkan dengan urusan negara. Keluargamu
terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena
keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja
keluargamu terlanda malapetaka. Andaikata kau hendak membalas, kepada siapakah
kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita
membalas kepada seseorang?"
"Memang
betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan
hatinya. "Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan
menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka itulah
yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah,
aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh
sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti
kepada orang tua dan keluarga..."
"Baiklah...
baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kaukira aku dapar melepasmu begitu
saja? Sekali kita berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa
musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar tentu saja aku akan
suka membantumu membasmi mereka."
Gin
Lin memegang lengan tangan suaminya dan matanya basah memandang wajah suaminya
ketika ia berkata terharu, "Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik
sekali..." mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia
hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena
kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya
semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta
jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan
membohongi diri sendiri kalau dia mengaku demikian. Cinta kasih terhadap wanita
agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong. Cintanya sudah
lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampi mati pun ia tidak akan suka
menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya
setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan membela isterinya
ini dengan seluruh jiwa raganya.
"Isteriku,
bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan
Cin dan dengan demikian berarti sudah menang perang?"
"Betul,
suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini
didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu
dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya makin
payah..."
"Bagaimana
kau bisa tahu?" Merah wajah isterinya ketika menjawab, "Aku telah
menyuruh seorang penduduk lereng gunung pergi menyelidik ke kota raja...."
Kwee
Seng terkejut. Hemmm, kiranya isterinya ini diam-diam tak pernah melupakan
urusan negara. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ, kedua kakinya bersila, tergantung
di antara dua batang tongkat yang dipegangnya, menggantikan kedua kaki untuk
berdiri.
"Paman...!"
Gin Lin berseru girang. "Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak
dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu," kata Kwee Seng yang sudah
bangkit berdiri dan memberi hormat.
Sejenak
kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu.
Kemudian dia berkata, "Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata
denganmu."
"Tentu
saja boleh, silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...." "Tidak
disitu, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana kita
bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu...
bantuanmu, suami keponakanku!"
"Paman!
Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget. "Diamlah kau, Lin-ji.
Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh
pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu
membantuku?"
"Tentu
saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanlah,
bantulah..." Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan,
juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar
bahwa pamannya kembali sudah jatuh!
"Baiklah,
Lin-moi. Mari, Paman!" Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni
puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan
diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata,
"Kim-mo Taisu, kali ini kau benar-benar membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"
"Duduklah
di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar lebih enak kita bicara secara
terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan mengganggu saja."
Di
dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak
membantah lalu duduk di depan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi
dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee
Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.
"Engkau
tentu telah mendengar dari isterimu betapa malapetaka hebat menimpa Kerajaan
Tang berikut semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu
betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa
aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang
yang telah dirobohkan para pemberontak."
Kwee
Seng mengangguk. "Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"
"Sudah
sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda
tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng
sejujurnya.
"Bukan
itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan malapetaka yang menimpa keluargaku,
keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk
mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan bahwa ketika
Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan
diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah
Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun
kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga
terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami
berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun,
begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah
runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"
"Hemm,
lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"
"Sekarang
sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis
sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa
artinya kalau tinggal aku seorang? Betapapun juga, aku harus membalas dendam
kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga
tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya
sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah. Kwee Seng, demi
sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"
"Maaf,
Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan
dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang
melakukan pembasmian, karena dalam perang tentu keadaan kacau-balau dan seluruh
barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas
secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itupun hanya memenuhi
tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang. Adapun tentang
membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam
bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini.
Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja
harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan
jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."
Kong
Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah
kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun
aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia,
Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan. Pouw-kai-ong Si Raja
Pengemis baru yang jahat. Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir
ada pula Tok-siauw-kwi..."
"Ahh...?"
Tanpa disadarinya Kwee Seng berseru kaget.
"Hemm,
kau kaget mendengar nama Tok-siau-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu
yang dulu menjadi tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang
tajam. Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang
lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.
"Mereka
adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan
saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi
kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam di hati saya karena
dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"
"Hah,
segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut
bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang
menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi
mereka?"
"Kalau
Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari
mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan..."
Pada
saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin
menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong..
"Celaka....!"
Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang
saja ia berlari ke puncak. Kakek lumpuh itupun bangkit dan menggunakan sepasang
tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak
membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak, dari jarak
jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang
laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang
sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan
isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki
lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya dan isterinya yang memang kurang
terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.
"Lim-moi...
lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa
setiap detik nyawa isterinya terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu sudah
mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan
ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali
tangkis pedangnya terlepas.
Kwee
Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda
memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika
menusuk dan... "blessss...!" Ujung pedangnya amblas ke dalam dada
kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal
mengerikan ini, Kwee Seng menggerang, tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya
menampar.
"Krakk!!!"
Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih
memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah
kepala itu, kedua biji matanya terloncat keluar dan otaknya muncrat bercampur
darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.
Dengan
gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang
itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia
maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah
masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat
kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu
menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!
"Lin-moi...
oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi
pipinya. Gin Lin membuka matanya dan tersenyum! "Kwee-koko... aku puas...
akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan
keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang
mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia
terbatuk payah, lalu merangkul leher suamnya, mencium pipinya.. "Koko...
jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." Tiba-tiba mata
itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
"Lin-moi...!"
Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia memejamkan matam,
menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya,
membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia
melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan
kedua tongkatnya sampai hancur lebur!
"Dia
adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat
penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan
di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"
Kwee
Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan
membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditandatangani oleh Ban-pi Lo-cia yang
isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning d Laut Po-hai.
"Aku
akan mencari mereka..." seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan
kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa,
akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu
akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!"
Kong
Lo Sengjin mengangguk-angguk."Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama
tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah,
sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya,
lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok,
berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar
suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar Eng Eng berseru tertahan
dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar
pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu
berlari-lari, membuka pintu pondok dan...
"Ayah...??"
Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia
memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.
"Ibu...??!!"
Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!!
Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping
mayat ibunya.
Semenjak
kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk
termenung, bersamadhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka
makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi
dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan. Biarpun di dalam
hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria
mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri
Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada
wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan
cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih
saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya.
Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun
ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.
Keadaan
yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis
ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti
seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu, Kwee Seng baru keluar dari
kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya. Hanya melihat Bu Song yang
sedang duduk di depan pondok membaca kitab. Melihat gurunya keluar, Bu Song
cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika
ia berkata. "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu
ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan
perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan akan berubah menjadi racun
yang melemahkan batin?"
Sejenak
Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang
menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song.
Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia.
Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan
tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku,
melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi,
akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song,
berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng
selamanya."
Pemuda
itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya
dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi
selama teecu hidup!"
Tergetar
jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian
pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu
Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"
Wajah
itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja
Suhu, teecu mencinta Adik Eng Eng." "Mencinta seperti adik
kandung?" "Benar, Suhu." "Ah, aku tidak ingin kau
mencintanya seperti adik kandung."
Bu
Song terkejut. "Maksud Suhu...?" Kim-mo Taisu memegang pundak
wajahnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti
seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon
isterinya!"
Seketika
wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab
gagap, "Ah, ini... ini..."
Jawablah
sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" dengan hati
perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami
yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti mendiang ibunya.
Bu
Song mengangguk. "Memang teecu.... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya
tentu saja tadinya tak berani mengaku..."
"Bagus!
Legalah hatiku. Bu Song, kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng,
bukan?"
Pemuda
yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu
dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan
sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu
yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu,
juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian
yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia
sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani
lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang
kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau
kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam
kehidupan miskin sengsara."
Kim-mo
Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai
cita-cita apakah? Katakan padaku."
"Semenjak
kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka
kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota
raja..."
Kim-mo
Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia
masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas
karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu
memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu, ia dapat
memaklumi isi hati calon mantunya.
"Baiklah,
Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal
kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah
itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng.
Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang
sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak
lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng
Eng?"
Bu
Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap
hari menutup diri dan tenggelam berduka cita. Kalau Suhu tidak mau makan,
Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau
mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana
harus menghiburnya."
Naik
sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku...
mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak
kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan kurang tidur! Jangan
bohong."
"Melihat
keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung
menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah.
Eng-moi bersusah, teecu bingung merana." "Ah, memang aku bersalah, Bu
Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"
Bu
Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya
dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota
raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan
mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki
sebuah puncak di mana ia yakin tentu Eng Eng berada. Ia tidak tahu betapa
suhunya mengawasi dari belakang lalu menarik napas panjang dan berkata seorang
diri. "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi
pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat
menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih
membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia menyalahkan
ilmu silat dalam peristiwa ini!"
Tepat
seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di
puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan
hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat,
tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur
dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa
panas.
"Eng-moi...!"
Ia memanggil lirih.
Sejenak
isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata
basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "koko, mau apa kau
menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri..." tangisnya makin
menjadi.
Bu
Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-,oi,
mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi.
Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut,
memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut
merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu.
Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini..."
"Song-koko...!"
Gais itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut
di depannya. Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih
sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu
dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang
mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang
basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus.
"Moi-moi,
kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku
akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi."
Air
mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil
memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan
mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.
"Ah-hu-hu-hu...!"
Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu. Bu Song
menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng
mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biarpun tangan gadis itu kecil
halus, namun ia memiliki tenaga lwee-kang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke
belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih
duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi,
mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.
"Song-koko...
apa yang kaulakukan tadi...??" "... apa...? Mengapa...? Ah, aku...
menciummu... aku kasihan..." "Engkau nakal!" "Moi-moi,
bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes."Memang sejak
kita masih kecil kau suka mencium, memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa
hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium hidung...??" Mata itu
tidak menangis lagi, kini memandang marah. "Ah, maaf, Moi-moi. Aku
tidak... tidak sengaja... aku... aku..."
Aneh
sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah
karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang
menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau
mencium?"
Bu
Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak
kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak.
Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih
kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!
"Eng-moi,
mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu.
"Hari sudah hampir petang."
"Tidak,
aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air
matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah
saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"
Aihh,
jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar
pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau
bohong!" "Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh
Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah
kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu
berdiri. Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia
setengah diseret oleh Bu Song.
"Marilah,
Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas
hatimu!" "Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" Akan tetapi
suaranya ketus. "Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu
menanti." "Kau janji dulu!" "Janji apa?" "Lain
kali mau cium, harus bilang." Bu Song menahan senyum. "Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu
Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan
di depan dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng
Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu
meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja
ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik memiliki gin-kang yang lumayan
itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya.
Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi
gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil
tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya
girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain
sejak kecil. Semenjak kecil, Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang
amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak
beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah
mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi
tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda
sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan
Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung. Kegembiraan hatinya
membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai
Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng
sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Sebagai cinta gurunya terhadap
ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu
gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira
sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali
kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.
Ketika
ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi
di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang
berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan
Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu
gurunya yang meninggal dunia.
Melihat
wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak
berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo
Sengjin yang suaranya parau.
"Nah,
Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali
lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya
saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri
terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut
orang gagah?"
"Kong
Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan
marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri
pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kaulihat saja,
Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek
lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang
pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau
bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat
seperjuangan. Ha-ha-ha!"
"Sayang
sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita berpisah biarpun musuh-musuh
kita sama. Nah, kau pergilah!"
Sambil
terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya.
Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan
gadis itu menangis Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca
sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak
melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa
menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat
datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa
sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo
Sengjin, namun bantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan
datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara
keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya.
Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras.
"Tidak!
Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya!
Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong
Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar
setelah isterimu meninggal? Kaukita aku tidak tahu betapa kau dahulu
meninggalkan Gin Lin karena kaukira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan
dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena
perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa perbuatanmu yang hina itu, Gin Lin
menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir
dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya
dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis
cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng
Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja,
sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong
Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa
melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah.
"Aha,
kaukira aku takut? Kaukira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin
Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin,
sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi
musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng
Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah
engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!"
Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan
ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di
Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku
telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi
musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha!
Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin
mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan
kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya
kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha,
alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar
nenek-nenek sekalipun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa
mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para
bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku,
memusuhi Gin Lin, dialah seorang diantara musuh-musuh yang menyebabkan kematian
Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo
Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan
tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar.
Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat
memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap
asmara.
"Pergilah...!
Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan
pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya. Pemuda
ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang
menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andaikata ia mendengar sekalipun, ia tidak
akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya.
Bu
Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan
ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam
itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng
Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Adapun gurunya
terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar samadhinya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap.
"Bu Song," kata guru ini yang mukanya pucat, "Kaukumpulkan semua
persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang
sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kaubawa semua itu turun ke lereng
barat dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu
maksudkan Kui Sam lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menjelaskan. Ia
mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota
raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.
Kami
akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di
puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan
obrak-abrik sarangnya tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat
mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api,
ha-ha!"
Bu
song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?"
"Ha-ha,
tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung
raksasa itu," jawab mereka.
Berangkatlah
rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan
berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan
bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh!
Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama
ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya. Perjalanan mulai sukar, mendaki
sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan kasar.
Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu,
maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada
yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah
membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar
tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang
tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si
burung raksasa bersarang.
Akhirnya
mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti
keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang,
lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor
burung hitam raksasa terbang melayang keluar dari atas batu karang. Inilah si
Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api
bernyala.
"Cepat
nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor. Ada
yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali
kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi,
anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak
panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak
dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api,
burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas
sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi
kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.
"Hayo
kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam. Akan tetapi jalan
pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat
bersama mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi
mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu
menyambar dari atas.
"Awas...!!"
teriak mereka yang tinggal di bawah.
Kui
Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk
melindungi kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol.
Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu
menyambar. Akan tetapi, kibasan sayap yang besar dan amat kuat sekaligus
memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu
terlempar jatuh ke bawah! Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh
mereka dan yang tertimpa ikut roboh bergulingan. Biarpun babak-belur, namun
mereka selamat. Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah
ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan
mengacung-acungkan ke atas.
"Dia
takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa
mendongkol.
"Akan
tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa
mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak
takut!" kata yang lain.
"Kita
gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita
panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah
gua," kata Kui Sam.
"Lihat
itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata. Pemuda ini sejak tadi menonton dan
tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan
dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. ketika melihat penuh perhatian ke
arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga
buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot.
Semua
orang berdongak memandang. "Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak
panah...!" kata Kui Sam. Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan usul
ini, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah
disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi
ribut dan gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang
runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya sehingga robek.
Tiba-tiba
Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak
burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh
ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung
yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka
begitu melihat anak burung itu tergelincir keluar dan jatuh ke bawah, ia sudah
melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah
burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya,
ternyata sebesar bebek!
"Betul,
dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima
stel pakaian sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja,
nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar
jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke
kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu
adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun. "Suhu, selain
pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi,
untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan..."
Kim-mo
Taisu menggeleng kepala. "Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun
gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik
sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian.
Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain..."
Guru
ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia
mengumpulkan barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan
menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat,
apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah
menjadi pekerjaannya sehari-hari. Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum
juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun
Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum
keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi, lalu dipikulnya barang-barang
itu dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke dusun Hek-teng yang letaknya di
lereng Gunung Min-san bagian barat.
Hari
sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah
Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya
amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini dibawa ke kota
akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui
Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng.
Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima
baik oleh Kui Sam, kemudian Bu Song bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah
ramai-ramai ini? Mengapa semua Paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak
dan obor seperti orang mau perang saja?"
"Kebetulan
sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan
dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang
di antara penduduk Hek-teng yng mewakili Kui Sam menjawab.
Muka
Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan, Paman. Biarpun aku benar murid Suhu,
namun aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena
itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?"
Tentu
saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah
wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati
dan pura-pura lemah. "Wah, Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa
bergelak. "Gurumu memiliki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya
lihai sekali. Pula, kami bukan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan
orang."
"Bukan
orang? Lalu... apakah musuh kalian?" "Burung. Burung raksasa yang
dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!"
"Oohhh...
agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata
Bu Song kagum. Pernah ia bersama suhunya pada suatu senja melihat titik hitam
tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dan akhirnya tampaklah
seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka
bahwa burung itu sekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan,
"Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia
datang ke sini untuk mencari-cari tampat yang aman untuk bersarang dan
bertelur."
"Mungkin
sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah
kakinya mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor
domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan
tetapi matanya merah seperti api menyala."
Bu
Song makin tertarik. "Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara
bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?"
Saudara-saudara,
harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata
dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah karena mereka
menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang
berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang
anak burung itu di tangannya.
"Sekarang
aku mengerti." Kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk
memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka
akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini."
Anak
burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas,
memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak
menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas
kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk
menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas. Burung rajawali
hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah
sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song.
Namun, burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya
sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti
niat orang menolong anaknya.
Setelah
tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah gua yang besar. Kiranya di dalam gua
itulah sarang si Rajawali, karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia
menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang
serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song
tertawa dan mengelus-elus kepala mereka. Tiba-tiba matanya tertarik oleh
serumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar
kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah
kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil
setumpuk setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung rajawali itu
mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya
selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang
mendaki turun.
Setibanya
di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa
tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak
Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!
Bu
Song seorang pemuda yang luas pandangan cerdik. Ia maklum akan isi hati
orang-orang itu, maka ia segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan
pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya,
ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang
manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka
tidak perlu kita memusuhinya."
"Akan
tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang.
"Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!"
sambung orang ke dua.
"Tidak,
asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang
sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan
akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya
mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini,
burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman
begini daripada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu.
untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"
Akhirnya
semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati
girang pulang ke puncak membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas
Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda di samping puteranya,
Kam Bu Song, selama tiga tahun. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa,
puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa
ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya.
Tentu
saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala
usaha untuk mencari puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya
melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu Song agak mereda,
sungguhpun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang
sulung itu.
Jenderal
Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan.
Biarpun ilmu silatnya tidak amat hebat, namun kepandaiannya mengatur barisan,
menggunakan siasat perang, terkenal sekali. Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal
Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala tentaranya.
Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat
sekali dan biarpun berkali-kali musuh, terutama pasukan-pasukan Khitan,
berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal
kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan dan di
kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han.
Akan
tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di
Shan-si, yang ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat
tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia dapat tahu bahwa
Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan sendiri di
Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa
Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan pemberontak!
Pada
saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, akan
tetapi pada hari ia hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada
gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan yang amat
besar. Biarpun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko
Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan
nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah
cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun.
Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki
berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong
itu bernama Kam Sian Eng.
"Bukankah
sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shan-si dan kita mengundurkan diri
ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" Antara lain
isterinya memperingatkan.
"Bala
tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk
membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota
dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas terakhir bagiku. Kau
tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku."
Kemudian
berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui
bala tentara Khitan yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat
memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia
berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu
pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi
mereka, perama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara
Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus
dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah
pasukan-pasukan ini menyerbu!
Seperti
telah kita ketahui, pada waktu itu, Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah
meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri
Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia mengerahkan pasukannya untuk
menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu
panglima-panglima yang kosen.
Hanyalah
karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka
Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi, kebaikan ini hanya
lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat membenci Tayami yang tidak
membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu dapat
goyah. Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini.
Tayami
telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, perajurit perkasa dari
Khitan. Mereka berdua hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian
mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang mereka beri
nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biarpun bekas puteri
mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja,
melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah
merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta
dan puterinya yang mungil.
Kurang
lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah
penyerbuan besar-besaran terhadap Shan-si digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam
operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami Tayami,
untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang perajurit yang bertugas membela
negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat.
Akan tetapi isterinya merasa khawatir dan berkata,
"Suamiku,
selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja
memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini
besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si terdapat
Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku
merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut."
"Ah,
mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..."
"Biar
seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan
perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan
kita melawan musuh."
"Benar,
isteriku. Akan tetapi kau harus ingat Yalina yang masih kecil."
"Dia
anak kita, anak orang-orang perangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku
hanya mengantar dan berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan
sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan ini,
suamiku."
Karena
tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan
yang dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping
suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun lebih. Anggota
pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini
menyertai suaminya.
Demikianlah,
terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti
telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan,
memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi
kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai
perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya
dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap.
Dalam
keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran.
Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan
belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi kaget dan
berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong
puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke
dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan.
Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri
barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas.
Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap
senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan
seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati
tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin pasukannya.
Semangat
dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para
pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang
ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke tempat itu. pertempuran menjadi
makin hebat dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang
pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita
Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghacurkan kepungan.
Jendral
Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk
membantu pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat
berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan,
lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk
mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani
pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak panah!
Dalam
keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami Roboh dari atas
kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang
dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! mengapa begitu? Kiranya
dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan
kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami! Salinga tewas dalam perang, tinggal
Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan
tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati
perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri
sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa membahayakan nyawanya
sendiri. puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu
saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami,
tentu ia pun tidak akan selamat! Maka kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun
lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri perkasa ini. Dalam
keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat
kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan
anak panah. Melihat betapa Puteri Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya
dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik
gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke
arah Puteri Tayami! Tak seorang pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan
Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh!
Robohnya
Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam
gendongannya. Setelah ia roboh, puteri memeluk puterinya, melindunginya dengan
tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya puteri ini mengagetkan pasukan
Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula anggota pasukan roboh
terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguhpun mereka tidak
takut. Melihat musuh bergerak kacau-balau, Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba
dan menyerbulah barisannya dari depan dan kanan kiri. Terjadilah perang
mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan dari tempat
tinggi dan kagum melihat gerakan Puteri Tayami yang disangkanya seorang
perajurit wanita biasa, lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut
menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah lapangan mendekati tempat
perajurit wanita tadi roboh.
Alangkah
kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita
menggeletak miring dalam keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya
masih erat-erat memegang sebatang pedang bersinar kuning dan tangan kiri
memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia merasa heran
sekali mengapa seorang perajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun
kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia cepat-cepat meloncat turun dari atas
kuda dan mengambil pula pedang bersinar kuning yang berada di tangan kanan
mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah puteri
keturunan aseli Raja Khitan, dan bahwa perajurit wanita itu adalah Puteri
Mahkota!
Karena
siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang
menyerbu Shan-si dapat dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke
Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan, mengirim pula Pedang Besi
Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak kecil itu
dan dibawanya anak itu pulang.
Isterinya
girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang
membawa seorang anak perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan
keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya.
"Biar
kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng." Kata isterinya
sambil menimang-nimang anak itu. anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis.
"Siapakah namamu, anak manis?" Berkali-kali Nyonya Kam bertanya. Anak
itu adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini, akan tetapi ia agaknya
cerdik dan mengerti maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan
berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin..., Lin Lin...!"
"Ah,
agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya kam gembira. "nak baik, mulai
sekarangkau adalah anak kami dan bernama Kam Lin!"
Seperti
telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan
sikap Gubernur Li yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu
mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka permohonannya
dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya,
termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah
Sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani dengan aman dan tentram.
Ayah,
biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah
membunuh ibu dan membasmi keluarga ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk
membantumu, ayah!" Dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka
duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.
"Tidak
bisa, Eng-ji (Anak Eng). Musuh-musuh itu terlalu sakti, aku sendiri belum tentu
dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti
membiarkan engkau terancam bahaya maut."
"Aku
tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut
bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting daripada maut!"
Kwee
Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali dan karena
itulah maka aku harus pergi menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di
sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama
nama baikmu, engkau harus berumah tangga."
"Ayah...!!"
Tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya
terbelalak seperti mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau.
Kim-mo
Taisu dan menepuk puncak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah
semestinya seorang gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik,
dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya."
Tiba-tiba
Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang
pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.
"Inilah
sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia
anak baik dan soal perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng
Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu silat sungguhpun aku belum
pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik daripadanya
untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir
memang betul dia. Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan
permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu, dia harus
menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah
itu, baru kalian menikah dan kalau sudah begitu, hatiku tenteram dan kelak aku
akan dapat mati meram."
"Ayah...!"
Kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat.
"Ha-ha
mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku
kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat
untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan kota raja sekarang
ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali,
baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini
bersama Bu Song."
"Ahhh,
aku... aku malu, Ayah..." "Malu? Malu kepada siapa?"
"...Siapa lagi? Malu kepada... dia tentu. Habis, Ayah tidak ada... dan
kami... hanya berdua..."
"Ha-ha-ha,
anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali berdua dengan Bu Song, mengapa
malu?"
"Dulu
lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis.." "Sstttt!"
Tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh anaknya ke samping dan tubuhnya sendiri
melesat ke depan. Sesosok bayangan manusia berkelebat dan di depannya telah
berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa lebar.
"Kau...?
belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi ke sini, Kong Lo Sengjin?"
Suara Kim-mo Taisu jelas membayangkan ketidaksenangan hatinya. Sebetulnya ia
memang membenci kakek ini yang ia tahu memiliki watak aneh dan tidak baik,
sungguhpun harus diakui bahwa kakek lumpuh ini seorang yang setia lahir batin
kepada Kerajaan Tang.
"Ha-ha-ha,
Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya bertanya? Akulah yang semestinya bertanya
mengapa engkau belum juga pergi! Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang
tiada gunanya hidup. Mempunyai cita-cita apa lagi! Baru berniat hendak menuntut
balas saja masih ragu-ragu dan berlambat-lambatan. Heh-heh, Kim-mo Taisu,
ingatlah. Sejak dahulu apakah artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang
pendekar, sejak kecil engkau mengejar ilmu. Setelah kini menjadi orang pandai,
kau hanya menyembunyikan diri, menjadi korban perasaanmu sendiri. apakah engkau
lupa bagaimana kewajiban seorang satria, seorang pendekar? Berbakti kepada
negara tak pernah! Semenjak muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu, patah
hati dan bermain dengan wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup menanti mati, selagi
masih hidup tidak mengisi hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa
hidup lebih lama lagi? Hanya memenuhi dunia belaka!"
Pucat
wajah Kwee Seng. Melihat ini, Eng Eng memegang lengan ayahnya dan dengan kedua
pipi basah air mata ia berkata kepada kakek itu, "Kong-kong (kakek),
mengapa kau terus mengganggu Ayah? Kau tahu betapa hancur hati Ayah karena
kematian ibu, akan tetapi engkau malah terus mengganggunya. Kong-kong, harap
kau pergi meninggalkan kami!"
"Ha-ha-ha,
Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan
keluarga ibumu seluruhnya habis musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban
keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu tertipu oleh laki-laki yang kini menjadi
ayahmu ini, yang sama sekali tidak dapat membela nama baiknya. Ibumu adalah
seorang berdarah Kerajaan Tang yang jaya!"
"Kong
Lo Sengjin!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Pergilah! Bukankah sudah
kujanjikan bahwa aku akan mencari musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan
berhenti sebelum membasmi mereka? Pergilah, aku takkan melanggar janji. Mengapa
kau masih datang untuk menyakiti hati kami Ayah dan Anak?"
Kong
Lo Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat itu terdengar suara
melengking tinggi. Lengking tinggi yang aneh dan mirip orang tertawa, akan
tetapi juga seperti suara tangisan. Bukan seperti suara seorang manusia,
patutnya lolong srigala, akan tetapi suara itu mengandung daya yang luar biasa.
Tubuh Eng Eng menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak puterinya dan
mengerahkan sin-kang untuk memperkuat daya tahan puterinya. Kong Lo Sengjin
tampak kaget dan berdiri di atas sepasang tongkatnya dengan kepala dimiringkan,
wajahnya tegang.
Suara
melengking itu terhenti, dan terganti suara orang ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo
Taisu cepat mendorong tubuh anaknya sambil berbisik, "Bersembunyilah di
sana!" Eng Eng kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari bersembunyi
di balik semak-semak sambil mengintai. Dilihatnya betapa ayahnya berdiri tenang
akan tetapi keningnya berkerut, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua
tangannya bersedekap, matanya mengerling ke arah datangnya suara ketawa. Adapun
Kong Lo Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat
mengukur kelihaian orang yang akan muncul ini dari suaranya saja. Lengking
macam itu hanya dapat dikeluarkan oleh orang yang amat tinggi ilmunya dan
karena mereka belum tahu siapa yang datang, kawan atau lawan, sambil
menduga-duga mereka menanti dengan hati tegang.
"Heh-heh-heh-heh,
Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo berikan kepadaku suling emas itu...!"
Terdengar suara yang seakan-akan bergema dan seperti diucapkan dari tempat amat
jauh.
Kong
Lo Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi kekagetan hatinya ia tertawa.
Sambil mengerahkan khikangnya ia pun berseru nyaring, "Tak peduli siluman
atau manusia, siapa takut kepadamu? Keluarlah, jangan main sembunyi dan
menggertak seperti anak kecil!"
Baru
saja ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar suara ketawa dan tiba-tiba
muncul di situ seorang kakek cebol sekali. Bentuk tubuhnya seperti kanak-kanak
belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan rambut riap-riapan dan
cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang tak bersepatu,
pakaiannya sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung hantu yang
matanya seperti mata harimau, berwarna merah, sedangkan paruhnya runcing kuat
seperti emas warnanya. Baik Kong Lo Sengjin maupun Kim-mo Taisu tidak melihat
bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa tingkat
ilmu kepandaian kakek cebol ini amatlah tingginya.
Diam-diam
Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek cebol ini yang bukan lain adalah
Bu Tek Lojin yang pernah ia jumpai di waktu ia berkelana sampai di Khitan! Akan
tetapi Kong Lo Sengjin tidak mengenalnya, bahkan belum pernah mendengar tentang
seorang tokoh kang-ouw seperti kakek cebol ini. Maka ia hanya dapat memandang
dengan heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan kakek cebol ini dan
mengapa datang-datang menuduhnya mengambil suling emas! Kalau tadi Bu Tek
Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini setelah melihat Kim-mo Taisu ia tertawa
bergelak dan menudingkan telunjuknya kepada Kim-mo Taisu sambil memegangi
jenggotnya yang panjang, "Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Apakah kau sudah
sembuh dari penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan jembel lagi, Kim-mo
Taisu?"
Kim-mo
Taisu menjura dan menjawab, "Locianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras
dan sekarang inilah saya benar-benar gila."
"Huah-hah-hah!
Betul...., betul sekali....! Eh, bukankah kau terkenal sekali dengan
permainanmu sepasang senjata, kipas dan suling? Aha? Kalau begitu tentu kakek
buntung ini merampas suling emas untuk diberikan kepadamu!"
Kim-mo
Taisu tak sempat menjawab karena ia merasa terheran-heran. Adalah Kong Lo
Sengjin yang dibiarkan dan seakan-akan tidak dipedulikan itu, tak dapat menahan
lagi kemendongkolan hatinya. Ia menghentakkan tongkat kirinya ke atas batu
sambil berteriak, "Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau
datang-datang menuntut kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas
berada padaku, apa kaukira aku masih tinggal di tempat ini?"
"Kong
Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi Sin-jiu Couw Pa Ong, memang kau
sudah terkenal jahat. Kini engkau masih sama saja! Tiada hentinya mengumbar
nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan. Siapa tidak tahu bahwa engkau telah
membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas berada di tangannya, kalau dia
terbunuh olehmu, bukankah itu berarti sulingnya berada di tanganmu? Hayo
kembalikan kepadaku kalau kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi!"
"Sombong!"
Kembali Kong Lo Sengjin membanting ujung tongkatnya, "Kau berani bicara
macam ini di depanku?"
"Ha-ha-ha-ha,
mengapa tidak berani? Macammu ini apa sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah
dipensiun! Pelarian yang tiada harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali
kalah dan keok dalam memperebutkan kerajaan. Kau mau tahu siapa aku? Namaku Bu
Tek Lojin, orang tua tiada taranya! Hayo berikan kepadaku suling emas!"
"Orang
gila! Suling emas tidak ada padaku!" jawab Kong Lo Sengjin dengan sebal
dan marah.
"Ho-ho-ha-ha!
Orang lain boleh kau bohongi, akan tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa engkaulah orangnya
yang membunuh Sastrawan Ciu Bun."
"Betul
aku membunuhnya. Siapa takut mengaku? Akan tetapi suling emas tidak ada padaku,
juga tidak ada padanya."
"Wah-wah
engkau bohong! Menjual kentut busuk!" Bu Tek Lojin mencak-mencak dan
marah.
Kim-mo
Taisu yang sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat sakti, akan tetapi juga amat
aneh wataknya, segera berkata, "Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak
Kong Lo Sengjin. Dia tidak pernah mau menyangkal perbuatannya, kalau dia
mengambil suling emas, tentu dia akan mengaku."
"Ah,
kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini memberikan suling itu kepadamu.
Hayo kalian lekas keluarkan suling itu sebelum aku habis sabar dan
maksa..."
"Setan
keparat! Siapa takut padamu?" Tiba-tiba Kong Lo Sengjin sudah menyambar
datang, tongkat kirinya terayun mengemplang kepala kakek cebol itu. Hebat
serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu hendak mencegah, tapi
tidak keburu.
Namun
kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepandaiannya. Sekali tubuhnya
menggelinding, tongkat itu menyambar angin dan tahu-tahu perut Kong Lo Sengjin
telah diserangnya dengan serudukan kepalanya yang besar!
"Celaka...!"
Kong Lo Sengjin berseru kaget, cepat mengerahkan tenaga menekan tongkat dan
tubuhnya mencelat ke atas. Ia berjungkir balik dan dapat turun kembali ke atas
tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali dan napasnya terengah, perutnya terasa
panas biarpun hanya terkena sambaran hawa serangan yang keluar dari kepala
kakek tadi. Ia tahu betul bahwa andaikata ia tadi kurang cepat dan perutnya
sempat dibentur kepala Si Cebol, tentu nyawanya takkan tertolong lagi!
"Ho-ho-ha-ha!
Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa, hanya namanya saja yang besar. Hayo
kalian maju berdua!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah
menerjang Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua tangannya melancarkan serangan
dengan pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin pukulannya
sudah terasa, amat hebatnya.
Kim-mo
Taisu tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini, akan tetapi karena diserang,
terpaksa ia melayani. Pula, ia tahu bahwa Kong Lo Sengjin pasti tidak mengambil
suling emas seperti yang dituduhkan, maka dalam hal ini kalau terjadi
pertempuran, ia harus membela pihak yang tidak bersalah. Melihat datangnya
pukulan yang amat ampuh, Kim-mo Taisu yang merasa sudah kuat sekarang hawa
saktinya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaganya ke arah tangan.
"Dukkkk!!!"
Dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu. Kuda-kuda kaki Kim-mo
Taisu tergempur sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi
tubuh kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah layangan putus talinya. Namun
jangan disangka bahwa kakek ini terlempar karena kalah tenaga. Sama sekali
bukan. Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih berpengalaman daripada
Kim-mo Taisu. Melihat Kim-mo Taisu berani menangkis dan menghadapi pukulannya
secara keras lawan keras, kakek ini sudah menduga bahwa Kim-mo Taisu memiliki
tenaga sakti yang ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah pula melihat sepak
terjang Kim-mo Taisu. Maka ia mempergunakan kecerdikannya. Di samping
menggunakan tangkisan untuk mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga gempuran itu
untuk membuat tubuhnya melayang. Melayang bukan sekedar melayang, melainkan
melayang ke arah... Kong Lo Sengjin yang dipukulnya selagi tubuhnya melayang
itu!
Kong
Lo Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang sakti dan berpengalaman.
Maklum bahwa pukulan dari udara ini amat berbahaya, tidak kalah bahayanya oleh
serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh ini lalu mengangkat tongkat kanannya
dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan tongkat sambil mengerahkan tenaga.
"Aiiihhh!"
Si Kakek Cebol berseru dan tubuhnya yang masih melayang di udara itu tiba-tiba
dapat mengelak dan seperti seekor burung saja tubuhnya sudah menyambar turun
menghantam tubuh Kong Lo Sengjin bagian kiri. Tentu saja hal ini membuat Kong
Lo Sengjin menjadi sibuk sekali. Kedua kakinya sudah lumpuh dan diganti dengan
dua tongkat yang di pegangnya. Kini tongkat kanannya masih terangkat untuk
menyerang tadi sehingga keadaannya seakan-akan seperti orang menendang dengan
kaki kanan. Maka kini diserang bagian tubuh kiri, ia tentu saja menjadi repot.
Namun dasar ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat kanannya menyambar turun dan
memukul tanah. Tenaga pukulan ini membuat tubuhnya dapat melompat sambil
menggerakkan tongkat kiri menangkis. Namun karena agak terlambat dan kalah
dulu, tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya terbentur lengan Bu
Tek Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan terhuyung-huyung hampir roboh
terguling.
"Hua-ha-ha-ha,
bagus..., bagus....!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan
menepuk-nepuk kedua pahanya dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek Si
Kakek Lumpuh. Kemudian tiba-tiba ia sudah meloncat lagi menyerang Kim-mo Taisu
yang sudah sempat memperbaiki kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan
jurus yang amat aneh dan cepat, kelihatannya kedua lengannya itu tidak
mengandung tenaga ketika bergerak, seperti orang menari saja, akan tetapi
begitu dekat dengan tubuh lawan, terasa betapa gerakan itu mengandung tenaga
pukulan yang dahsyat. Ternyata kakek cebol ini menggunakan Ilmu Khong-in yang
sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan kosong, akan tetapi kekuatannya dapat
merobohkan gunung, maka disebut Khong-in-liu-san.
Biarpun
Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi, namun belum pernah ia menghadapi
ilmu seperti ini, maka ia terjebak dan mengira Si Kakek Cebol hanya main-maian
dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka ia pun hanya menggunakan kegesitannya
mengelak dan siap pula menangkis kalau ada susulan pukulan yang berat. Sama
sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati
tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah dada. Cepat ia mengerahkan
tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh lawannya tiba-tiba miring
seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya!
Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun tidak keburu atau kurang cepat,
terdengar suara "bretttt!" dan ujung bajunya telah robek dan hancur
kena sambaran pukulan sakti Si Kakek Cebol.
"He-he-ha-ha!"
Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena
dalam dua jurus berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua
orang lawannya.
Mendongkolah
hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga
cerdik, sengaja melayani mereka berdua secara bergantian dan mengirim
serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua orang itu sekarang
melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan
enak-enak saja. Ia melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar
maut, sedangkan Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah kipas. Sedangkan untuk
mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan sebuah guci arak yang
selalu tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang senjata yang
menjadi lambang sastrawan pemabokan ini, karena dengan sepasang senjata aneh
ini, Kim-mo Taisu jarang menemui tanding! Akan tetapi Si Kakek Cebol masih
enak-enak tertawa ha-ha-he-he, malah kini mengelus-ngelus kepala burung hantu
yang sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan tidak tahu menahu
akan pertempuran itu.
"Bu
Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada
permusuhan, mengapa engkau memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih
menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap kau orang tua suka
pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada
gunanya ini."
"Heh-heh,
siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling
emas, aku tidak mau sudah! Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut?
Heh-heh-heh!"
Mendongkol
rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi
sama sekali dia tidak takut! "Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu
bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu menahu tentang suling
emas yang kautanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak
menyimpannya..."
"Ah,
mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan
hidup!" Berkata demikian Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini
selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian berbahaya.
Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat. Kembali
tubuh Si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat tongkat, mendekati Kim-mo
Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu
menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu
dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah
menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan kini
ia ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan
secara mendadak! Angin menyambar hebat dan biarpun kakek lumpuh ini sudah
bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang
seperti pohon besar tertiup angin.
Dengan
rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan
belakang. Kakek cebol itu tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di antara
sinar senjata lawan, burung hantu itu mengeluarkan suara keras dan
menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang mengeroyok
majikannya!
Kong
Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan
penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia
kang-ouw dan dalam perang mempertahankan dan membela Dinasti Tang, kakek ini
hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi
sekarang, menghadapi seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam
hal ilmu kepandaian belum tentu kalah olehnya, masih tidak mampu merobohkan
setelah menerjang terus sampai belasan jurus! Di lain pihak, Kim-mo Taisu juga
merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah begitu bernafsu untuk
membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di antara mereka tidaklah terdapat
permusuhan. Pula, ia memang telah maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti
yang luar biasa.
Selagi
tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba
terdengar suara tang-ting-tang-ting yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi
adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang suaranya nyaring dan iramanya
tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa sekali.
Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram
air dingin. Yang hebat adalah kakek cebol itu. matanya terbelalak,
berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti orang ketakutan, kemudian
ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya setelah berkata
gemetar, "Dia datang....! Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"
Mendengar
disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak
ada orang yang ia takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa
tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nama kakek yang dikabarkan
setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini merupakan
modal yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu.
Apalagi melihat betapa seorang sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja
lari ketakutan, hatinya makin jerih dan tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini
lalu melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.
Eng
Eng yang melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya, lalu melompat
keluar dari tempat sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan
kembali kipas dan guci araknya. "Benar-benar berbahaya sekali..."
katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke
kanan kiri, pandang matanya mencari-cari.
Suara
crang-cring-crang-cring itu masih terdengar terus, makin lama makin jelas, Eng
Eng yang mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin
erat. "Ayah, kau dengarkah itu? suara yang-khim di tengah hutan! Siapa
gerangan..."
"Sssstt,
diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan
seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."
Dengan
perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara
yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian
tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk
di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya
dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan. Kakek itu duduk
membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil
asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri
tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula
mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini
mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang
membaca doa.
"Bahagialah kita
sesungguhnya, tidak membenci mereka yang
membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada penyakit ini di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biarpun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!"
Kim-mo Taisu yang
mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi
nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar
menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu.
Kakek tua yang rambutnya
sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda daripada tadi,
akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.
"Penyelesaian
kebencian besar
yang masih meninggalkan sisa dendam
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah
sebabnya seorang bijaksana
memegang teguh perjanjian
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka
seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan
langit tidak memandang bulu
namun orang baik selalu dibantu!"
Kim-mo
Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran
dalam kitab Agama Buddha, adapun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab
Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran
itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya
sehingga ia merasa tersindir.
Cepat
ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara
yang-khim terhenti. "Terima kasih atas nasihat-nasihat Siansu, dan
selanjutnya saya mohon petunjuk!"
Hening
sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang
diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek
itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu. Melihat ini Eng Eng menjadi
heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil
menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mujijat
dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sin-kang, lwee-kang, khi-kang,
dan gin-kang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar itu
tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa
seperti berhadapan dengan ilmu sihir!
Sejenak
kakek tua renta yang wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar
matanya yang lembut itu seakan-akan telah waspada akan segala hal di
sekelilingnya itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah Eng Eng dan
alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas
panjang dan berkata perlahan,
"Segala
sesuatupun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk
berusaha...." Setelah berkat demikian, matanya bersinar wajahnya berseri
ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu dan dengan tenanga tapi ramah menegur,
"Kwee-sicu
(Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah
dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah
menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu
menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar daripada segala ikatan
karma."
Kim-mo
Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata,
"Siansu, dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu telah memberi
petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu
telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus
mengecewakan hati Siansu dengan memilih jalan gelap."
Muka
yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput
dan jenggot putih itu tersenyum lebar. "Yang tidak mengharapkan takkan
kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa.
Aku tidak merasa melepas budi maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang
atau gelap hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih
menganggapnya gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"
Kim-mo
Taisu menjawab, "Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk
mengaku. Akan tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang
selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu
dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan
saya isi dengn pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah
mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu
pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti.
Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah
bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk
menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela
negara?"
Bu
Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa. "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia
(Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini
bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang
mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang
Muda, Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti?
Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah
juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue,
Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga
bangsa lain? Siapakah yang benar di antara orang-orang gagah? Mereka yang
membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua
itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak
membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan
karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"
Kim-mo
Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan
permusuhan tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang
dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya benar?
"Siansu,
mohon petunjuk...!" Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng
ikut pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa
yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena
agaknya Si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang
yang sudah roboh.
Bu
Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan
Kim-mo Taisu, kemudian ia menghela napas panjang. "Kewajiban manusia untuk
berusaha namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi
tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini
berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri
dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi
kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia
sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan
tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala
apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan
tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan
menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid
belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik,
tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai
tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan
sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan
baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri
mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"
Kim-mo
Taisu mengangguk-angguk. "Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan,
Siansu."
"Sicu
bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan
tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekalipun, bukan
tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena tugas seorang
tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat,
tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah
tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang
pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap,
memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi
nasihat, marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam
menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat
penting karena banyak orang yang menyeleweng daripada tugas hidupnya tanpa ia
sadari!"
Kim-mo
Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Maaf, Siansu. Betapapun
juga, saya harus melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang
seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja
merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap
Siansu."
Bu
Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. "Sicu banyak
menderita, isteri dan semua keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di
hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling bunuh! Sekali
lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke
tempat terang..."
"Sekali
lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap
Siansu...."
Bu
Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka
ke atas. "Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding
dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada kekuasaan di
dunia maupun akhirat yang mampu merubahnya...." Kakek itu lalu bernyanyi
dan turun dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. suara
nyanyiannya terdengar makin perlahan dan akhirnya lenyap. Setelah suara kakek
itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik
tangan puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan
dan kekecewaan hebat. "Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasihatnya
dan pergi ikut dengannya, Eng Eng...."
"Siapakah
dia, Ayah?" "Dia seorang yang bahagia, Anakku, seorang yang sudah
dapat membabaskan diri dari segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu,
manusia setengah dewa."
"Akan
tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek cebol dan Kong-kong
yang sakti lari ketakutan?"
Kim-mo
Taisu tersenyum. "Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari
keduanya, dan sukar diukur sampai di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat
ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena
sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah
membenci, dan selalu mengulurkan tangan kepada siapapun juga, tidak peduli
orang baik maupun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia
sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang
mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."
"Ayah,
tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak
melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap
dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasihatnya, mengapa Ayah
masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"
Kim-mo
Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya,
diajak kembali ke pondok sambil berkata, "Engkau tentu tahu akan semua
penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik
akan persoalan perang, akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat
pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu
kepada mereka yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat
membalas budi ibumu, Eng Eng, seperti telah kukatakan tadi sebelum datang
gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di
sini bersama Bu Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang
kembali."
Maka
berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih
dulu mengunjungi Shan-si dimana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain
hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang kemungkinan masa depan
yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh
Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang diantara musuh-musuh mereka!
Dari Hou-han ia akan mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat
untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.
Sementara
itu, Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan
dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia
merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda itu, pemuda yang
biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau
kakak sendiri. Kalau ia teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah
menciumnya dan membuatnya tersipu-sipu sejenak biarpun bukan hal aneh kalau Bu
Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak.
Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin
dulu! Teringat akan ini, gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika
menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali ia meneliti bayangannya di
cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak
beres pada rambut atau pakaiannya.
Lu
Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah
dan mewah. Keadaan mewah, kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan
kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang diperoleh semenjak ia tinggal di
dalam istana ini, mulai membosankannya. Kini hatinya risau. Ternyata pemuasan
nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka
hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang sementara saja. Ia tetap merasa
kurang puas, tetap belum dapat merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak
pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan akhirnya malah
menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan menggerogoti hatinya setiap malam
sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.
Memang
tiada kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan
lahir hanya akan dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan
lahir hanya indah apabila dikejar dan belum dapat diperoleh. Namun, sekali
berada di tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, menimbulkan bosan.
Lu
Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena
terlindung dari gangguan angin. Ia merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam
keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya, rindu kepada puteranya!
Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat puluh
tahun lebih. Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah
rindu hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song! Seringkali
air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan peyesalan
menusuk-nusuk hatinya.
Di
dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan
muridnya yang setia. Banyak sudah ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu
dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi pula.
Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.
"Aku
harus pergi dari sini," keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia
bebas lagi, terbang melayang tanpa tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.
Kasihan
Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan
liar seperti itupun hanya indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya
tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini merasa rindu kepada puteranya,
ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini maklum bahwa
usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi tentu ia akan diseret ke jurang
kematian yang tak dapat dielakkan lagi. Biarpun ia dapat mempertahankan wajah
dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun ia tahu bahwa ia tidak akan
dapat mempertahankan usia mudanya.
"Bu
Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi
buah bibir orang. Betapa sebagian besar orang kang-ouw memmusuhinya. Dia tidak
takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat yang aman
dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam
istana dimana ia mempunyai banyak teman dan pembela, bahkan andaikata ia berada
di luar sekalipun ia tidak akan gentar menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi
kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal sekali.
Bagaimana perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita yang
dianggap iblis betina? Seorang wanita gila laki-laki dan suka mencari musuh?
Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang laki-laki
yang baik oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang
laki-laki gagah perkasa yang menjujung tinggi kebajikan dan kesetiaan. Seorang
laki-laki yang anti seratus prosen akan perbuatan maksiat!
Tiba-tiba
Lu Sian tersentak kaget dan sadar daripada lamunannya yang menggores perasaan.
Suara gaduh jauh di luar menyatakan bahwa di sana terjadi pertempuran. Agaknya
perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia menarik napas panajng. Sudah banyak ia
membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada
permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu
dengan dasar permusuhan pengikut kerajan-kerajaan. Sudah banyak ia membunuh
mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula pengikut-pengikut
yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan
dirinya pengikut setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini,
karena sesungguhnya ia hanya turun tangan untuk membela Kerajaan Hou-han.
Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai pembela Kerajaan
Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja
sendiri berikut keluarganya. Bagaimana ia dapat tinggal diam saja?
Suara di luar makin
gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat
mengatasi perusuh-perusuh itu. atau andaikata para pengawal itu kalah, di sana
masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap
agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun tangan menghadapi perusuh
yang hendak mengacau istana Hou-han.
Sebetulnya, baginya
sendiri, ia tidak peduli aka keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi,
ia ingat aka kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau
tidak membantu. Maka biarpun suara gaduh itu jelas membayangkan betapa para
pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil
peduli dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia
tidak dapat melanjutkan lamunannya seperti tadi lagi.
Tiba-tiba pintu kamarnya
terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung, rambutnya
riap-riapan, mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang. "Cici...
tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengah-engah.
Lu Sian mengerutkan
keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee terluka
kakinya, berdarah paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu,
ia tahu bahwa selir raja ini telah mempergunakan ilmu mainkan rambut yang sudah
lihai. Akan tetapi kalau sampai kalah padahal terang bahwa selir ini dibantu
para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan
yang datang menyerbu. Ia menjadi marah. Bukan marah karena musuh menyerbu
istana dan melukai Kim Bwee melainkan marah karena penyerbuan musuh itu
mengganggunya dari lamunan. Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat keluar dari
kamarnya setelah menyambar pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan
ilmunya yang hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat pertempuran. Ia
mengira bahwa yang datang tentulah musuh dalam jumlah banyak. Akan tetapi
alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di tempat pertempuran itu,
para pengawal mengeroyok seorang lawan saja! Lawan itu seorang laki-laki
bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan
keadaan di situ pun tidak terang, hanya remang-remang. Akan tetapi melihat
laki-laki itu menghadapi lawan hanya mempergunakan sebatang kipas yang
kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup, hati Lu Sian berdebar keras.
Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup kembali? Mungkinkah orang
terjungkal ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya tidak mati? Mungkinkah Kwee
Seng hidup kembali? Senjata kipas sehebat itu hanya Kwee Seng seorang yang
dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat mengenal.
Karena penasaran, ia
melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi
girang dan cepat berseru, "Minggir! Sian-toanio sudah tiba!"
Mendengar seruan ini,
para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok
seorang laki-laki berpakaian putih itu, mundur dengan girang. Sudah terlalu
banyak teman mereka terluka oleh pemegang kipas yang lihai ini dan mereka tadi
pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat mereka mengundurkan
diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.
Mereka berdiri
berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata penuh
perasaan bercampur aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat meter dan
kebetulan sinar obor dan lampu terarah ke muka mereka, Lu Sian dapat mengenal
laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah agak tampak tua, akan tetapi masih sama
dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung menembus hati.
Kwee Seng? Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan
memeluknya! Begitu berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian.
Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung
halaman kini bertemu dengan sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia
menemukan sesuatu yang sudah lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa
kegembiraan mendalam yang belum pernah ia rasai.
Di lain pihak, Kim-mo
Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang
berdiri dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis
lincah jenaka dan yang pernah menawan hatinya kemudian menghancurkan hatinya
itu? Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan Lu Sian di dalam istana ini
karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu
Sian. Akan tetapi kalau benar wanita ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan
sama sekali tidak berubah sejak hampir dua puluh tahun yang lalu? Kalau wanita
ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi mengapa masih
tampak seperti baru dua puluh tahun usianya?
Para pengawal merasa
heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu
ilmu, melainkan hanya berdiri saling pandang tanap bergerak. Ada di antara
mereka mengira bahwa kedua orang ini tentu sedang mengadu ilmu melalui
pandangan mata!
Tiba-tiba tubuh Lu Sian
melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak
saling serang, dan bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi
ke atas langsung melompat ke atas genteng istana dan di lain detik tubuh musuh
aneh itupun melesat lenyap mengejar. Karena cepatnya gerakan mereka berdua, para
pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kim-mo
Taisu. Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi
berbisik ketika tubuhnya menyambar, "Kwee-twako, kau ikutlah aku!"
Kedatangan Kwee Seng atau
Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang
menurut penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh
isterinya, bahkan yang mengirim pembunuh itu ke Min-san. Maka kini mendengar
bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia dapat
bicara dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan
kagum juga melihat gerakan Lu Sian. Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh
itu! sama sekali tidak boleh dikatakan kalah atau di bawah tingkatnya. Tentu
saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian dua puluh tahun
lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu gin-kang yang tiada
keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.
Agaknya Lu Sian juga
ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari cepat
sambil mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama
sekali tidak merasa heran melihat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar
dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee Seng
memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat
mengimbangi kecepatannya, Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh
kepandaiannya!
Karena kecepatan yang
luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota raja, di luar
sebuah hutan yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali mereka berdiri
saling berhadapan, di bawah sinar bulan yang muncul lewat tengah malam. Berdiri
saling pandang tanpa bergerak maupun bicara sampai lama sekali.
"Kwee-twako...!"
Akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari
menubruk dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di
dadanya. Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap puteranya,
semua ia tumpahkan di dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini,
ia carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. semua rasa kasih sayang yang
bebas daripada nafsu, ia rasakan kini bergelora dalam hatinya terhadap
laki-laki ini. Selama ini, ia menganggap semua laki-laki sebagai hiburan dan
permainannya sehingga ia merasa muak dan bosan. Ia haus dan rindu akan kasih
sayang mulus dan murni di samping perlindungan seorang pria. Dan kini ia sadar
bahwa andaikata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya hidupnya tidak akan
serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang disangkanya
telah mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu kebahagiaan baginya,
setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama ini? Sudah terlalu
banyak dosa-dosanya, penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng tahu akan semua
sepak terjangnya, tentu... tentu...! Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika
tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng membelai rambutnya, kini laki-laki itu
sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh itu menegang, kaku
dan dingin.
Tiba-tiba teringatlah Lu
Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk mengacau istana.
Padahal semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! jadi
kedatangan Kwee Seng adalah untuk memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri
meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara ketus.
"Kwee-twako! Dengan
maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"
Sikap dan pandang mata
Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab, "Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."
"Kwee-twako! Kau
sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka,
memusuhi aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu
Sian?"
Sejenak jantung Kim-mo
Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah
merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan
dengan suara dingin ia menjawab, "Tidak ada Lu Sian lagi di dunia ini, dia
sudah mati...."
"Kwee
Seng...!!"
"Juga Kwee Seng
sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
Watak Lu Sian memang
keras. Biarpun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak
pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan
Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama sekali bukan tandingannya, akan
tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya untuk menguji
kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih ini.
"Hemmm, begitukah?
Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang
lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan
lama?"
"Sudah kukatakan,
tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan
Kim-mo Taisu."
"Bagus!" kata
Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru
sekarang ini bertemu dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"
"Tok-siauw-kwi,
apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"
"Siapakah mereka?" "Di antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma
Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."
"Cih! Mengapa aku
harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama
sekali tidak masuk akal!"
"Tok-siauw-kwi,
mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?" Lu Sian mengerutkan kening dan
memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu
terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah itu. Benar-benar
tidak ada perubahan sedikitpun juga pada diri Lu Sian, pikirnya. "Hik!
Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa
adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa
engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi dengarlah
baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong Lo Sengjin
si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan dia
datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek lumpuh itu
tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu
malu!"
"Tok-siauw-kwi,
mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan
perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.
Lu Sian bangkit
kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo
Taisu merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian.
Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun masih sama dengan dulu!
"Kim-mo Taisu!
Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang,
perlu apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo
Sengjin, biarpun ada seratus orang keponakannya itu, apa kau kira aku tidak
bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu sehingga engkau
sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."
"Siluman betina itu
adalah isteriku..." "Ohhh...?!?" Mata Lu Sian terbelalak kaget
dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu yang suram muram itu. rasa
terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak
tertahankan lagi ia tertawa. Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai
menutupkan punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka,
kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang
Kim-mo Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau
tadi ia menangis terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya
berguncang-guncang menahan ketawa.
Kim-mo Taisu berdiri
tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan
yang bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu
Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita, pandang mata yang bersinar-sinar,
mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari tubuh wanita
ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya. Ia bukan seorang yang
mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa
hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah merampas
cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia mengeraskan
hati dan meramkan mata.
"... ah, nasib kita
sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan..." Suara Lu Sian ini
membuat Kim-mo Taisu membuka matanya. Pada saat itu Lu Sian yang masih
tertawa-tawa kecil mengangkat muka dan ternyata dari kedua mata wanita itu
bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu
mengucurkan air mata seperti orang menangis!
Mereka saling pandang,
muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk
mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang
membasahi sepasang pipi itu. Akan tetapi kembali kematian isterinya terbayang
di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan berubah menjadi merah
terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia
lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.
Seketika terhenti tawa
atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya,
sikapnya menantang. "Kim-mo Taisu, andaikata benar aku yang menyuruh bunuh
isterimu, habis kau mau apa?" Dengan suara sama dinginnya Kim-mo Taisu
menjawab, "Kau pun akan kubunuh!"
Lu Sian mencelat mundur
lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian
sudah tertawa seperti itu. "Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau
masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh tahun yang lalu, yang
merengek-rengek minta kauajari ilmu silat?"
Kim-mo Taisu menggeleng
kepala. "Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang
berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang
menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku tidak takut."
"Aku pun tidak
takut!" Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam
dan sekali tubunya berkelebat ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher
Kim-mo Taisu.
Cepat dan kuat sekali
serangan ini, tak boleh dipandang ringan. Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan
untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata, "Kalau kau yang
menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan memusuhimu,
Tok-siauw-kwi."
"Tidak peduli!
Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku
takut!" Lu Sian membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali
pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan
pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang.
Kim-mo Taisu tidak berani
memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu bergerak mengimbangi
serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan Lu Sian, diam-diam ia
terkejut dan kagum sekali. Hebat memang kemajuan wanita ini, sedemikian
hebatnya sehingga hampir menyusul dan melampauinya! Yang jelas, dalam hal
gin-kang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya luar biasa
sekali.
Ia sudah mendengar akan
sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena
perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum
bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya
dan digabungkannya dengan amat baik. Karena itu, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan
tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai-san-hoat untuk
menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat itu. gerakannya tenang dan
kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya serangan yang dahsyat
seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat kesempatan untuk balas menyerang
tidak kalah dahsyatnya.
Lu Sian menjadi penasaran
dan menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi
lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo
Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang dahulu itu ternyata masih tetap
kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini
seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang
kipas itu masih sempat membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.
Berjam-jam mereka
bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan
mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan
mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan tenaga
dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut pagi, dan
mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai
membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah.
Tiba-tiba Lu Sian
mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik
berikutnya, rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan
tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo Taisu bagaikan sehelai jaring yang
aneh! Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah mengandung
tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara Sakti
Merampas Semangat), biarpun belum sempurna benar namun sudah amat kuat dan
suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat
sin-kangnya! Apalagi serangan rambut itu. hanya seorang yang sin-kangnya sudah
luar biasa hebatnya saja mampu mempergunakannya sekuat ini. Tadi ia melihat
wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga mempergunakan rambut
melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini
benar-benar amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian
akan menyerangnya secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung. Namun ia cepat
mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring hitam
itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut
yang berhasil melibat pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada
saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, ujung pedang
Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!
Hebat bukan main
serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama
sekali tidak terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam
Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun
sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar dan cepat tangan kirinya
mencengkeram ke arah pedang lebih baik mempertaruhkan lengannya daripada
membiarkan tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi pedang itu sudah lebih cepat gerakannya
dan..."reettt" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya
yang terobek, melainkan leher bajunya! Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena
pada saat itu gumpalan rambut yang membelit lengannya juga sudah terlepas dan
terdengar Lu Sian tertawa lirih. "Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih
mau membunuhku?"
Panas hati Kim-mo Taisu.
Memang dalam gebrakan terakhir tadi, ia telah menderita kekalahan. Akan tetapi
kekalahannya tadi hanya dapat terjadi karena ia terlena. Ia telah dikalahkan dan
telah diampuni pula! Dengan muka agak merah tapi suaranya tetap dingin ia
menjawab, "Tok-siauw-kwi, kalau kau yang menyuruh bunuh isteriku, kau
tetap akan kubunuh!" Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan guci arak
dari punggung, menuangkan arak ke dalam mulut dan menggelogoknya, kemudian ia
melangkah maju.
"Hemm, kau masih
belum mau mengaku kalah?"
"Sebelum kau
bersumpah bahwa kau tidak menyuruh bunuh isteriku, aku akan menyerangmu terus
dan tidak akan mengaku kalah sebelum tewas di depan kakimu. Nah, kaujaga
ini!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu menerjang maju, gerakannya hebat sekali. Ia
merasa penasaran dan juga malu bahwa dia tadi dapat dikalahkan oleh Liu Lu
Sian, maka kini pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan semua
kepandaiannya. Hebat bukan main, gerakan-gerakannya kini setelah ia mainkan dua
macam senjata. Kini guci arak itu ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang
Pat-sian Kiam-hoat, sedangkan kipasnya tetap mainkan Lo-hai San-hoat. Dua macam
senjata dan dua macam ilmu silat ini dapat ia mainkan menjadi perpaduan yang
amat serasi dan saling bantu, benar-benar amat hebat. Inilah ilmu kepandaian
inti dari Kim-mo Taisu sejak dua puluh tahun yang lalu. Hanya kini ilmunya ini
jauh lebih masak karena telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang ia dapat di
dalam Neraka Bumi.
Lu Sian juga merasa
penasaran. Ia telah sengaja melepaskan laki-laki ini daripada bahaya maut.
Mengapa masih begini nekat? Akan tetapi, ia pun kini merasa terkejut
menyaksikan kehebatan serangan lawannya. Cepat ia menggerakkan pedang dan
rambutnya menjaga diri dan balas menyerang, namun alangkah kagetnya ketika
rambutnya selalu terbang membalik karena kipas di tangan Kim-mo Taisu
mengeluarkan kebutan yang luar biasa sekali. Sedikit pun ia tidak mendapat
kesempatan untuk balas menyerang lagi setelah Kim-mo Taisu menggerakkan kedua
senjatanya yang aneh. Betapapun ia berusaha dan mengeluarkan pelbagai ilmu
silat termasuk ilmu tendangan dan ilmu-ilmu lain dari kitab-kitab yang ia curi,
tetap saja semua itu berantakan menghadapi perpaduan Pat-sian Kiam-hoat dan
Lo-hai san-hoat! Betapapun ia berusaha, tetap saja ia selalu harus
mempertahankan diri daripada menggelora datangnya. Dengan gemas Lu Sian lalu
mengerahkan tenaga pada rambutnya, mengeluarkan pekik melengking lagi seperti
tadi, malah lebih hebat lagi sekarang, kemudian rambutnya menyambar menjadi
puluhan gumpal menuju ke arah semua jalan darah lawan.
"Bagus!" seru
Kim-mo Taisu. Memang serangan pembalasan ini luar biasa sekali. Rambut yang
halus tebal itu terpecah menjadi banyak gumpalan dan setiap gumpalnya kini
menotok jalan darah dengan kuat dan cepat!
Kim-mo Taisu juga
mengeluarkan suara melengking panjang yang mengatasi lengking suara Lu Sian,
kemudian tubuhnya bergerak-gerak cepat dan kipasnya dikebutkan. Timbullah angin
menderu-deru yang berpusing-pusing di sekitar mereka sehingga gumpalan-gumpalan
rambut Lu Sian menjadi kacau balau gerakannya, tersapu angin yang kuat ini,
bahkan ada yang membalik dan menyerang Lu Sian sendiri!
Lu Sian kaget dan marah
sekali. Cepat ia menggerakkan pedangnya yang menyambar ke arah kipas yang
mengebut-ngebut keras itu, dengan maksud untuk merusak kipas yang ampuh dari
lawan ini. Akan tetapi begitu pedangnya menempel kipas, Kim-mo Taisu membuat
gerakan memutar sehingga pedangnya ikut pula terputar-putar dan akhirnya tanpa
dapat dicegah pula, pedang itu terpaksa ia lepaskan karena kalau tidak,
tangannya bisa terluka hebat atau salah urat. Pedang terlepas dari tangan dan
menancap ke atas tanah sedangkan kipas dan guci arak sudah menyambar ke arah dada
dan kepala! Lu Sian dapat menghindarkan totokan kipas, akan tetapi agaknya
tidak mungkin lagi menghindarkan hantaman guci arak yang menuju kepalanya,
terpaksa ia meramkan mata menanti kematian. Akan tetapi hantaman tak kunjung
tiba!
Lu Sian membuka matanya
dan melihat bahwa guci arak itu kini berada di depan mulut Kim-mo Taisu yang
sedang menenggaknya. Suara arak menggelogok memasuki kerongkongannya. Adapun
pedangnya masih menancap di atas tanah dan juga kipas lawannya menggeletak di
dekat pedang. Muka Lu Sian menjadi merah sekali. Jelas bahwa dalam jurus
terakhir tadi, ia telah kalah. Pedangnya dirampas dan nyawanya terancam. Jelas
pula bahwa Kim-mo Taisu sengaja membebaskannya. Kekalahan dan pembebasan ini
merupakan penghinaan yang memalukan bagi Lu Sian. Tak biasa ia menelan
kekalahan.
"Kim-mo Taisu jangan
sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari kita mencari
keunggulan tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!" Dengan mata
berapi-api Lu Sian menyanggul rambutnya, sedangkan Kim-mo Taisu sudah melempar
guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa mengejek.
"Ada ubi ada talas,
ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar. Akan tetapi
engkau hutang nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak akan
mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!"
Lu Sian mencibirkan
bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kaukira pasti akan dapat
menang? Sombong! Kauterima ini!" Wanita itu menerjang maju dengan cepat,
kedua tangannya terkepal dan pukulan-pukulannya bertubi-tubi, sangat cepat
namun mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya.
Kim-mo Taisu cepat
mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini diam-diam
mengeluh adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh dan rambut
Lu Sian setelah wanita ini lelah dan berpeluh. Keharuman ini yang selalu
menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi sebagai musuh
sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain
keharuman yang khas ini, ia pun harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian
kini meningkat secara luar biasa sekali, sudah setingkat dan seimbang
dengannya. Kinipun dalam ilmu silat tangan kosong, ia sama sekali tidak boleh
memandang rendah, apalagi setelah merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian
keluar hawa yang amat panas dan kedua kepalan tangan kecil itu mengeluarkan
uap, seakan-akan menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan
lengan wanita itu benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia
mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang ia mainkan
dengan pengerahan tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang keluar dari
tangan Lu Sian.
Biarpun kini mereka
melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh lebih seru
daripada tadi. Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang mengandung
tenaga dalam. Gerakan mereka kadang-kadang amat cepatnya, berkelebatan dan
bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang mereka bergerak amat
lambat dalam mengadu tenaga sin-kang. Karena kini mereka hanya mengandalkan
kaki tangan, tentu saja tenaga yang mereka pergunakan lebih besar dan lebih
banyak sehingga mereka berdua makin lelah. Memang hebat kini ilmu kepandaian Lu
Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk mengalahkannya, sungguhpun diam-diam
Lu Sian harus mengakui bahwa dalam banyak hal, lawannya ini sudah mengalah
terhadapnya.
Matahari sudah naik
tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah
jelas bagi Lu Sian bahwa betapapun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo
Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya. Mereka sudah bertanding sejak tengah
malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang betul-betul kalah atau
menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk
mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua tenaga dalamnya dan menerjang
dengan pukulan maut yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke
depan.
Mendengar deru angin
pukulan dan merasai hawa panas yang hebat, Kim-mo Taisu terkejut. Karena ia pun
sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa pukulan ini
tak mungkin dapat ia elakkan, maka ia cepat mengangkat pula kedua tangannya,
menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti.
"Plakkkk...!"
Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat. Karena keduanya mempergunakan
tenaga sakti, maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling
membuyarkan. Kini karena kelelahan, mereka tidak mengadu tenaga sakti lagi dan
kedua tangan mereka saling menempel itu terdorong oleh kelelahan mereka,
seakan-akan dengan begitu mereka dapat beristirahat, karena dengan kedua
telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak dapat saling menyerang
lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.
"Kwee Seng aku...
aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan
dengan kedua tangan Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.
"Aku pun lelah kau
hebat sekali..." kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya.
Mereka saling pandang.
Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa
bahwa mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka
bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan mabok buaian
asmara!
"Kwee Seng... aku
sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..."
"Mana bisa
kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"
"Kwee Seng..."
Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak
tangan Kim-mo Taisu.
"Hemm...??"
Juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.
"Cantik sekalikah
isterimu?" "Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh
cinta kasih, penuh kesetiaan dan luhur budi pekertinya...."
"Uuhhh...!" Lu
Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia
dimaki bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya.
Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya sehingga lekatan tangan mereka
terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat mengimbagi
dorongan lawan.
Sambil memekik marah Lu
Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo
Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah tendangan Kim-mo
Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian terguling roboh. Ia tidak
mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya mencium
tanah, terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk
hampir tak tertahankan lagi!
"Hayo katakan
sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu
membentak, siap mengirim pukulan terakhir.
"Kalau aku yang
menyuruh kau mau apa? Andaikata isterimu masih hidup, akan kubunuh juga
dia?" jawaban ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan
hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim pukulan ke arah kepala Lu Sian.
Wanita ini cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan
kilat ke dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu
meloncat dan menendang ini selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat
mengelak dan mereka bertanding lagi dengan seru.
Kembali Lu Sian mengirim
serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan ilmunya
Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan pula sehingga kedua
telapak tangan mereka bertemu dahsyat di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga
ini dan Lu Sian terhuyung-huyung, mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah
tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia tidak mengeluh, dan
setelah terhuyung-huyung ia roboh miring. Kim-mo Taisu yang sudah mabok
perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim pukulan
dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua
tangan menyambut dan kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat
seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut!
"Kwee Seng..."
suaranya berbisik terengah-engah. "...aku ...aku belum mau mati... aku
tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar hati Kim-mo
Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas
kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu
saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana
ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya.
"Lu Sian, apakah kau
yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di antara katupan
giginya.
Lu Sian tersenyum
mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini,
tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu
bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa
menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun
juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa
menyuruh orang?"
Kim-mo Taisu melepaskan
tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kaukatakan demikian
sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi
mukanya.
Lu Sian tertawa.
"Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu. Ternyata
kau... kau makin hebat..." Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu
sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo Taisu.
Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang
cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas
rumput.
"Kau terluka. Biar
kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih
sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak. Kim-mo Taisu
memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan
pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan
memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu Sian merasa
betap hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di
punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak
membuka mata dan tetap mengatur pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan
setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti
arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di
dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup,
Kwee-twako.." katanya lirih. Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian
memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso
memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.
"Kwee-twako, sungguh
mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas
ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah
beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka
aku yang menyuruhnya?"
Sejenak Kim-mo Taisu tak
dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam
jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin.
"Panjang ceritanya..." ia berkata setengah mengeluh. Tak suka ia
menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu
Sian inilah yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. ia sudah menerima
keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan
engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak
sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang
kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau
seorang diri?"
Lu Sian menarik napas
panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk
matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng,
bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya
sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia
merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup
tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan
kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu
menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya..." Ia pun
segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba keduanya
terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama
kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi, hendak
lari ke mana kau sekarang?"
Berturut-turut muncullah
belasan orang dari sekeliling tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio,
ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia
lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi. Kim-mo
Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia
mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu
Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu
tinggi!
Adapun Lu Sian setelah
melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini
selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh
kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka
ini, kata-kata tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar pedangnya
yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan
dada. "Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh
maju!"
Agaknya dendam yang sudah
bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara
banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu
dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan. Segera terjadi
pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah
terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya
untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa
biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka
itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi,
pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum
pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama
itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati
Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam
keadaan para pengeroyok itu. ia maklum bahwa andaikata akhirnya Lu Sian kalah
karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan
yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.
Benar saja apa yang
dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang
pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah
Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai
terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa
girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara,
agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat
meloloskan diri.
Akan tetapi alangkah
kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka
terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata
Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata, dan sebagai
penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri
dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di
antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang
hwesio Siauw-lim-pai menegur, "Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa
mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo Taisu! Kau
terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah
sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima
perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau
hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
"Kami dari
Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata
pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah
mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia
kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat memebenarkan tindakan
Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya
dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat
bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di
depan matanya?
Dengan sikap tenang
wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu
berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung
tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok
seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat
kegagahan kalian?"
Seorang hwesio
Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan
pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan
kematian empat orang saudaraku!" "Benar! Pinto pun berani melawannya
seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu
menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan
iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi
seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa
kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas,
tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu
Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya.
"Pertandingan
mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada
saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara
orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap
kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia
sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi
marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan
toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil
membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang daripada kebenaran!
Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak
melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus
melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya
sendiri!"
"Akan tetapi
kebenaranmu sendiri itu menyeleweng daripada kebenaran umum. Kami bertindak
atas dasar kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa
kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah itu sudah benar?"
bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai, dan semua temannya membenarkan, sikap mereka
mengancam.
Kim-mo Taisu menggeleng
kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak
hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan
tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara
dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap
menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang yang
sedang terluka!"
"Tidak peduli! Dia
jahat, kalau dilepas, bila dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.
"Oho, begitukah?
Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala
perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku.
Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan,
menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya
kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo
Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.
"Heh-heh-heh! Kim-mo
Taisu bicara seperti pokrol bamboo! Saudara-saudara hendak membasmi siluman,
masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga.
Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!" Suara ini keluar dari
seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu.
kim-mo Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang
dan menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu
tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang
amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis,
maka sambil tersenyum mengejek ia berkata. "Apakah kalian ini anak buah Si
Raja Pengemis Pouw?"
Tiga orang pengemis itu
tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat
memang gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di
tangannya menangkis sambi membuat gerakan memutar sehingga terbebas daripada
lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang
terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya,
bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila
meramkan mata!
Kim-mo Taisu marah
sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar
laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia
menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga
orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah
berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi
wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar
melindungi tubuh mereka berdua.
Hebat sekali pertandingan
ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan
Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi
oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para
pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh
tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo
Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan
tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang,
bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga
sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus
sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia
maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini,
akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok
yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak
tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya.
Para pengeroyok itu
terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga
orang kakek pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak sudah
kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya pendekar besar
ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih
berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah
keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.
Dua jam kemudian, dengan
gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang
pengemis itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan
guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika
tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang
iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima
sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main
sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang lain yang terkena agaknya
tentu akan pecah lambungnya, akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan
lweekangnya ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini merasa
betapa lambungnya sakit sekali. Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri
dan sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa
orang pengeroyok.
Pada saat itu, Lu Sian
sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu
terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian
mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia
menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan dan
sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para pengeroyok memekik
ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat
tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika. Kacaulah
para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio
Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang
tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu masih
berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di
sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali
di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah
terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-angin
pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian menengok ke arah
Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh
Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian!
Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia
masih mampu bergerak melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar biasa.
Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung
anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul
tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya
bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan
wajahnya berseri.
"Eng-moi....!
Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng.
Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng
Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong.
"Eng-moi...! Di mana
kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke
sana ke mari. Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya.
Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak,
gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau
menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa
sekarang gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng
hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada?
"Eng-moi...!!"
Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak
memanggil-manggil lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang
menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol, lalu
mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya
menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia
mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu
mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah
timur puncak. Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan
pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya
tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan
baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah
mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat
pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk
dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang
semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok,
mengambil sebatang suling bamboo dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar
dan menuju ke timur.
Memang luar biasa sekali
ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia
benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui
oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah
belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum
tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan
jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di
pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam lebih naik
turun puncak!
Ketika tiba di hutan itu,
tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan.
Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan
diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng
untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya
bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar
sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan
tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa
pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.
Benar seperti dugaannya,
hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin
bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan
terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula
bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng
takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas
batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap
dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali
sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di dasarnya. Bu Song duduk dan
mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah
seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara
kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling.
Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran
mendapatkan kenyataan bahwa bakat muridnya lebih baik daripada bakatnya sendiri
dalam hal meniup suling. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai mainkan
lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula bermain
tioki (catur), membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Pendeknya,
suhunya ingin menurunkan semua kepandaian bun (sastra) kepadanya. Semua
kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song!
Begitu lubang suling
menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan
menari-nari di angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga, menyentuh
kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan ujung rumput hijau. Angin yang
bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan pohon-pohon
cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi
suara suling yang merdu. Jengkerik dan belalang yang biasanya hanya berdendang
di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan hasrat hati ikut bernyanyi
seirama dengan suara suling.
Bu Song yang tahu akan
lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu.
Lagu ini tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh
menangis menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya embun
yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai
pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh
perasaan, sehingga menggetarkan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu.
Bu Song tidak usah
menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling,
tampak berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai
pakaian putih tanda berkabung. Dengan hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya,
kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan kelengangan yang
mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa. Ia segera
menoleh dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi
gadis itu berdiri membelakanginya, menundukkan muka seakan-akan gadis itu tidak
melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ, seakan-akan sedang menikmati
pemandangan batu beraneka warna di dasar air jernih.
Bu Song tersenyum dan
merasa heran mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar
pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah
merubah suasana menjadi sama sekali berbeda dengan biasanya. Dengan hati
berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang, lalu berhenti
dekat punggung gadis itu.
"Eng-moi..."
panggilnya lirih. Kedua pundaknya bergoyang sedikit seperti menggigil, akan
tetapi gadis itu tidak menjawab, juga tidak menoleh, mukanya makin tunduk, kini
tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang ujung kakinya sendiri.
"Eng-moi..." Bu
Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu lalu tertawa
karena mengira gadis itu masih saja mempermainkannya. Akan tetapi Eng Eng kini
mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya.
Bu Song terheran. Ada
apalagi gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah
Eng Eng bersikap seperti ini.
"Eng-moi, kau
kenapa...?" Ia bertanya kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu
membalikkan tubuh gadis itu supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan
tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan di depan
mukanya yang menunduk.
Bu Song makin
terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan pundak
yang gemetar seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan
yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah sekali, merah sampai ke
telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba ia
berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan
baru sekarang ternyata olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu halus
meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan
tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu? "Eng-moi, sepulangku
dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau di sini,
mengapa kau menutupi mukamu? Eng-moi, kaupandanglah aku..."
Perlahan Bu Song memegang
kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih menunduk
dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum. "Moi-moi kaupandanglah
aku, mengapa kau tidak berani memandangku?"
"Kau... kenapa,
Moi-moi...?" tanyanya, heran dan mulai gelisah. Eng Eng dapat menangkap
kegelisahan dari suara Bu Song, jawabnya tanpa mengangkat muka, "...
aku... malu, Song-ko..." "Malu? Malu kepada siapa dan karena siapa
dan karena apa?"
Perlahan Eng Eng kembali
mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song, dan menggigit bibir, lalu
berkata setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah berangkat
pergi dan dia bilang... dia bilang... bahwa aku dan engkau... ahh...!" Eng
Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia kembali
menunduk.
Bu Song memegang lagi
kedua tangan Eng Eng, tertawa dan berkata, "Tentang perjodohan
kita...?"
Eng Eng mengangguk, lalu
berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti
kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari
sembunyi..."
"Ha-ha, lucu engkau!
Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng.
Jari-jari mereka saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari tangan
Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi usaha melepaskan diri itu
tidaklah terlalu sungguh-sungguh.
"Mengapa malu?"
Bu Song mengulang. Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir
tersenyum malu, lalu cemberut dan berkata galak, "Ahh... malu ya
malu....!" Lalu membuang muka.
"Eng-moi, setelah
oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak bahagiakah
perasaanmu seperti yang kurasakan?"
Mendengar suara Bu Song
menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan Bu
Song. Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu pandang, seakan-akan
saling menjenguk isi hati masing-masing, dari jari tangan mereka terasa getaran
aneh yang mewakili suara hati, kemudian Eng Eng menunduk perlahan, mengangguk
tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang bidang!
Bu Song mendekap kepala
itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke
dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah mengapa ia hampir
tidak kuat berdiri, demikian pula Eng Eng. Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng
ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara lagi, terayun dalam
gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di angkasa, dibuai
mimpi indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas
dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai jari-jari tangan Bu Song
penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu mereka saling pandang penuh
kemesraan.
"Eng-moi..."
akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng
berbeda dari biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra,
terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri menjadi terharu dan
membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil,
kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita
bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung
selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa
ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu, kita dijodohkan!
Alangkah bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena
melihat kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan."
Eng Eng tersenyum penuh
kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian,
Moi-moi! Doakan saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus
ujian, kita... kita..." "Bagaimana...?" Eng Eng mendesak tak
sabar. "Kita lalu kawin!"
"Ihh...!" Eng
Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata
yang nakal. Bu Song hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.
"Song-koko, kemarin
dulu itu..." "Ya...?" "Ketika kau.. kau menciumku..."
"Ya, mengapa...?" "Kau sudah tahu tentang... tentang perjodohan
kita?"
Bu Song tertawa menggoda.
"Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa? Kau marah-marah
karena kucium hidungmu, sekarang pun aku akan..."
"Tidak!
Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat
bangun dan memegang tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh,
Song-koko!"
"Mengapa tidak
boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan
berseri-seri segar bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah
sejak kecil sering engkau kucium?"
"Lain dulu lain
sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang..."
"Sekarang
bagaimana?"
"Sekarang kita...
sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!"
Bu Song juga tertawa dan
mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi tangan
itu. "Engkau benar, Moi-moi. Aku tadipun hanya bersenda-gurau. Jangan
khawatir! Betapapun besar cinta kasihku kepadamu, aku akan menahan diri. Aku
cukup menghormatmu, aku menghargaimu dan aku tidak akan merusak kepercayaanmu
kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku lupa..."
"Ihh, dasar! Kalau
lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang
kaulakukan di dusun tadi."
Mereka duduk di atas
batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang
burung rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah
berhasil menolong anak burung itu dan memuji-muji burung besar, gagah dan indah
itu.
Eng Eng girang sekali
mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan gembira. "Wah
burung yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Heiiii! Di sana
itu, bukankah itu hektiauw (rajawali hitam)?" Tiba-tiba Eng Eng berseru
sambil menudingkan telunjuknya ke atas.
Bu Song cepat memandang
dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam
itu terbang melayang-layang amat gagahnya, biarpun karena jauhnya kelihatan
amat kecil, namun jelas berbeda dengan burung-burung lain. Eng Eng saking
gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat berdiri
dan berkata, "Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!"
Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali.
"Eh, Eng-moi,
tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar akan tetapi ternyata
gadis itu larinya cepat bukan main. Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu
gin-kang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera tertinggal jauh.
Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api,
ia menjadi khawatir sekali dan berteriak-teriak, "Eng-moi...! Jangan ke sana...!
Puncak itu terlarang bagi kita..."
Akan tetapi Eng Eng yang
melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke
arah puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu
tidak boleh dikunjungi karena amat berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang
mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia tidak melihat
sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andaikata benar-benar ada
bahaya, ia takut apa? Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga
diri. Burung itu amat indah! Maka tanpa mempedulikan peringatan Bu Song ia lari
terus, hanya menoleh dan memberi isarat dengan tangan supaya pemuda itu
mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung.
Hati Bu Song penuh
kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula bahwa
tidaklah percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api. Suhunya
seorang sakti yang bijaksana, kalau melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang
kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia menjadi khawatir sekali.
Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng. Bagaimana ia dapat
mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan hati berdebar
terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang amat cepat larinya itu.
Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan yang pohonnya
besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat keadaan hutan
agak gelap.
"Eng-moi,
tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat
bayangan Eng Eng lenyap ke dalam hutan. "Song-ko, mari cepat...!"
terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.
Bu Song sudah lelah
sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan
agar jangan sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia
berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan bingung. Hutan itu selain besar dan
agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena pohon-pohon besar itu
berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak bayangan Eng Eng!
"Eng-moi, di mana
kau...??" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya
sendiri yang menjawab dari semua penjuru! Tiba-tiba ia mendengar desis dan
ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking kaget dan ngeri
melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali
bergantungan di atas pohon, kepala ular itu bergantung ke bawah dan
mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan bengis. Agaknya
binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan
tubuh menggigil Bu Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih
dalam lagi.
"Eng-moi...!!"
Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan
mana gadis itu lari.
"Song-ko...!!"
Tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur
sebelah dalam hutan itu. Bu Song terkejut, dan juga girang. Cepat ia lari
mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu, tidak peduli lagi akan kelelahan
kakinya sambil memanggil-manggil nama Eng Eng. Akan tetapi gadis itu tidak
terdengar menjawabnya lagi dan selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari
memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak terdengar jerit suara Eng Eng.
Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat lari ke
jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang
merupakan batu-batu karang yang runcing dan bertumpuk-tumpuk.
Dapat dibayangkan betapa
kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan seekor
binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian
pakaiannya ada yang robek, bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar
kuku binatang itu yang panjang-panjang. Gadis itu kelihatan lemah dan lelah.
Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah,
Bu Song dapat menduga bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis
kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan dua di antara mereka, akan
tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak.
Bukan main kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng
seakan-akan tidak dirasainya.
"Eng-moi....!"
Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia
sama sekali tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan
yang baik dalam pertandingan. Pada saat itu, Eng Eng sudah terhuyung ke
belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram dan menggigit. Sial
baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya
terguling roboh!
Bu Song melompat dan
memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng
Eng. Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata binatang itu
lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah sehingga Bu Song yang memukul
dengan seluruh tenaganya, terhuyung ke depan dan pada saat itu tengkuknya
dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar
serta berat. Bu Song merasa pandang matanya gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia
mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil membalikkan tubuh.
Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di pundak kiri dan
melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking
merasa ngeri dan takut, gadis itu telah pingsan.
"Binatang jahat,
lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu dari
belakang, berniat hendak merampas tubuh Eng Eng. Biarpun gerakan Bu Song kaku,
namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga yang besar dan kuat. Sayang ia
tak pernah belajar silat maka terjangannya itupun kurang cepat dan biasa saja
sehingga kembali binatang yang gesit itu mudah saja mengelak, bahkan kaki
kanannya yang berkuku panjang itu berhasil mendupak dada Bu Song. Kuku jari
kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup keras membuat tubuh
Bu Song terguling-guling ke belakang. Namun Bu Song bertubuh kuat dan cepat ia
sudah bangkit lagi meloncat ke depan dan menubruk dengan nekat. Ia berhasil
menangkap pundak kanan monyet besar itu dan langsung menjempit lehernya dalam
usahanya mencegah Si Monyet melarikan Eng Eng.
Monyet itu menggereng,
meronta, namun aneh sekali, tanpa disadari oleh Bu Song sendiri, tenaganya
terlalu besar untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam jepitannya. Di
luar kesadarannya, dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kemarahan itu, tenaga
sakti dalam tubuhnya yang memang telah terkumpul berkat latihan pernapasan dan
siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga jepitannya amat kuat.
Sayang sekali bahwa Bu
Song tak pernah mempelajari teori ilmu berkelahi maka ia tidak dapat
melanjutkan perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat, tentu
ia telah berhasil merobohkan binatang itu dan merampas Eng Eng. Kini dengan
bingung ia hanya menarik-narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri sedangkan
tangan kanannya tetap menjepit leher monyet besar.
Sebaliknya binatang itu
adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian.
Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum
pula bahwa lawannya ingin merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja
melepaskan tubuh Eng Eng. Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat
ia tarik sehingga hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada
leher dan menerima tubuh Eng Eng. Siapa kira, monyet itu cerdik dan cepat
sekali. Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song
terpelanting karena perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika
tubuhnya terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan dipanggul
terus dibawa lari.
"Binatang jahat,
hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar. Monyet
itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian
kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat
dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang
manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet
yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. namun Bu Song tidak gentar
dan terus mengejar, walaupun ia mulai tertinggal jauh. Bukan main sukarnya
perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu
tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting
hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja ia tidak sedang
marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang
pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya
beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak.
"Binatang jahat,
lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat
pengejarannya.
Tiba-tiba terdengar
kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu
menyambar turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko
(Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng. Hajar monyet busuk itu!"
Aneh sekali. burung itu
agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula
bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang
runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul tubuh
Eng Eng! Namun monyet itupun bukan binatang sembarangan. Dengan geram marah
monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung rajawali
menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet,
kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.
"Ceppp...
kraakkkk!" Sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur,
daging kulitnya robek-robek, tulangnya patah-patah! Monyet itu memekik keras
dan karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang kuat itu,
tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song
sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh
gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya dan
satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih
pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh
Eng Eng dan merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran.
Agaknya pekik monyet tadi
telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan
banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet
pertama begitu memekik, kepalanya sudah hancur dicengkeram rajawali hitam, dan
begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang amat
hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas dan agaknya andaikata
rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet
yang puluhan banyaknya itu. Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa,
dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan
kelihatan gembira sekali. sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung
itu terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan
seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada
pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai
sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.
Sementara itu, Bu Song
mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh
dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang
menjadi sebab mengapa puncak ini tampak kemerahan seperti api menyala dari
jauh. Namun pada saat itu, perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng
Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan cepat-cepat
ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah.
"Eng-moi...
Eng-moi..." Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah
sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat.
Eng Eng merintih lirih,
menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan
pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis
ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, katanya, "Song-ko... apakah kita
berada di sorga?"
Bu Song mendekap kepala
itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan
berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung
hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana,
Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?"
Mendengar suara penuh
getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa
kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka,
menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari bahaya
maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali
ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman
yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak
marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya.
Tiba-tiba Bu Song
mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi,
awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan. Eng Eng terkejut sekali,
cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri
pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah
berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari
manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah dan taringnya
putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang
penuh ancaman.
Mengingat bahwa
kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan,
"Koko, kau sembunyilah!" Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit
sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu sedangkan
kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet
merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti
gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah mundur dan meloncat
menghindarkan diri daripada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun
ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku
panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng. Gadis ini cepat miringkan tubuhnya
dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki ilmu
kepandaian yang lumayan sungguhpun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya
ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan
sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki gadis itu sudah
mengenai lambungnya.
"Bukkk!!" Eng
Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan
tenaga cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu
besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali. akan tetapi monyet besar
itupun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan
gerakan cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti
seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke
atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir
balik dan kini menyerang dan menerjang lagi.
Tiba-tiba gerakan
binatang itu terhenti karena Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja
kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini, sudah melompat maju dan karena
Si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu,
terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya,
sedangkan lengan kirinya menjepit perut.
Binatang itu kaget dan
meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song. Namun
ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat.
Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti seekor lintah
menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet raksasa
yang memekik-mekik marah. Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari
tangan monyet itu yang mencengkeram lengannya. Biarpun Bu Song amat kuat, namun
ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya telah
memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu
menancap lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek.
Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan ganas, mereka bergulingan mendekati
jurang!
"Koko, lepaskan
dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya
bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam. Gadis ini meloncat
dekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun kembali ia
terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan
terasa sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet
kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang mencengkeram lengan Bu Song
terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang, maka ia
melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke
belakang.
Monyet itu marah sekali
kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang
Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak
berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang (ilmu
mencengkeram). Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya
yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet
yang terus menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini.
Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng
tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!
"Eng-moi...!!"
Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya
melayang masuk jurang. Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu
menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song berhasil membuat monyet
itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah
mempergunakan sin-kang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali
sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat
akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang dengan tangan
diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun
dengan kecepatan seperti burung terbang.
"Eng-moi...!"
Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan
keselamatan Eng Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri
melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan.
"Koko...!" Eng
Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang
mengancam ini telah pingsan! Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan
mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk menolong dan menyelamatkan
nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya
mengeluarkan suara itu.
"Hek-tiauw-ko...!
Tolonggg...!!" Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat daripada tubuh Eng
Eng, maka dalam luncuran ke bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng.
Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil memegang lengan Eng
Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan
menjadi bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang
mengerikan. melihat ke bawah Bu Song merasa seakan-akan buka mereka yang
meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke atas
menuju mereka!
"Hek-tiauw-ko...!"
Ia menjerit lagi dan terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali
hitam yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal
Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali
kakinya duah menyambar pundak Bu Song. Pemuda itu merasa pundaknya tertusuk
kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka
berdua, ia cepat menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil
memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan kanannya tetap memegang
lengan Eng Eng.
Berat tubuh mereka berdua
terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena
dikeroyok monyet-monyet tadi. Maka betapapun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak
kuasa menahan luncuran ke bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga, biarpun
tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung yang
berusaha mengangkat mereka, namun masih terus meluncur, tak tertahankan lagi!
Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat
sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh
Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhyalah yang berada di
bawah.
"Brukkkk...!!"
Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang
roboh pingsan oleh bantingan yang hebat itu.
Lama sekali Bu Song
pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali.
Hanya bulu burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja
yang bergerak-gerak tertiup angin.
Ketika akhirnya Bu Song
membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak
dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik.
Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang
di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena seluruh tubuhnya
sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat
tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi
mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah!
"Eng-moi...!"
Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. diguncangnya
perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka.
"Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan
mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak
membuka matanya.
Dia pingsan, pikir Bu
Song. Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak
biarpun lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya
pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air
untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar
kembali. Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu
kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia
menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam
menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu
tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang
tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga
hancur seketika. Bu Song berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air
mata membasahi pipi. Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi
dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat air mancur dari lubang
dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk
mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri
Eng Eng dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya.
Setelah muka yang pucat
itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah dan dengan mata masih meram, bibir
gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song,
"Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."
Bu Song merasa
seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di
telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu,
Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya tetap
tidak terbuka.
"Eng-moi...
Eng-moi..." Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju
ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu
dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air ke dalamnya. Gadis itu menelan
air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang
sayu dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song.
"Song-ko..."
Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis
itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan.
"Bagaimana, Moi-moi?
Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan
dilontarkan bertubi-tubi.
Eng Eng meramkan mata,
keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang
ditahan-tahannya, kemudian ia membuka lagi matanya dan kini bulu matanya basah.
"koko... tiada harapan lagi..."
Seakan-akan terhenti
detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu.
"... apa... apa maksudmu...?"
Kembali Eng Eng meramkan
mata dan ketika membukanya lagi, kini beberapa butir air mata mengalir turun.
Ia menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku...
ah, serasa dipukul-pukul dari dalam... dadaku... serasa terbakar dan akan pecah...
oh..."
"Eng-moi...!"
Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir
rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya
sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku
akan membawamu pulang, aku akan..."
"Ssttt, diamlah...
jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk
terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan
aku...?"
Makin perih hati Bu Song,
seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh,
lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di
telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali...,
karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita...
menikah..."
Naik sedu sedan di dada
Eng Eng dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya
kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan
tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..." Tangannya diangkat lemah,
meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "... mengapa
kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?"
"Eng-moi...!"
Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi,
bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu,
Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
"Koko..., kasihan
kau..." Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan. Bu Song tak
dapat menahan diri lagi, air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng
Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata
yang bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba
mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur darah yang masih
mengalir keluar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan
darah itu.
"Kasihan kau,
Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi..." "Eng-moi...!
Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan
hidup bersamaku..."
Jari-jari tangan Eng Eng
menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak
menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak
dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan
kenang saja.
"Aku tahu, Koko...
aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga
di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu."
"Moi-moi!" Kini
Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "kau tidak akan
mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!" Eng Eng tersenyum
mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki
bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas
terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka
Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song tentu saja
menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar
kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari
jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke atas. Kita
pulang!"
Eng Eng tersenyum akan
tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi
isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau.. kau
sanggulkan rambutku....," katanya. Biarpun kelihatannya gadis ini
bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya, Bu Song
cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang
mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin.
Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya
menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir
membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia
mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng balas memeluk dan
bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang
berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah... Koko, diamlah...
kausanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song berusaha
membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya
ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang
mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu.
"Koko... aku... aku
ingin..." Ia berhenti sukar sekali melanjutkan kata-katanya. Bu Song
menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi kau
ingin apa?"
"Ah, aku... aku
malu... hik..." Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa,
Moi-moi..."
"...hemmm...? ...
aku... aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan
sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu..."
"Eng-moi...!"
Bu Song tak kuat menahan tangisnya. "Koko, jangan menangis. Maukah kau...?
Maukah kau...?"
Bu Song tak dapat
menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran
membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa
hatinya.
"Mari kita
bersumpah, Koko, marilah..."
Terpaksa Bu Song menuruti
permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak
berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin
bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras,
"Langit
dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami
isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng tertawa, tertawa
malu-malu dan ketika Bu Song menolehnya, gadis itu merangkulnya dengan wajah
penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada
saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song
tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia
mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi.
"Eng-moi...!!"
Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng.
Pukulan batin yang
diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping
puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang
semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan
pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita
Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar
itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara
Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan
akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi
di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih
kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan
besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah
puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan
pandang mata layu, kemudian bertanya.
"Bu Song, semua
bahan kepandaian yang ada padaku telah kaumiliki, namun agaknya engkau tidak
merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat
ternyata hanya mendatangkan malapetaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou
Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda
yang pandai. Setelah sampi di kota raja, kaucarilah seorang sahabatku bernama
Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri
rumah penginapan Lok-an. Kauberikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang
akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan
mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia
menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa
kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan
tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..."
Kim-mo Taisu menghela
napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak
menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada hidupku.
Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Dengan hati terharu dan
penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya.
Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian
suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang
burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan
diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata.
"Teecu tidak dapat
berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk
diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap
Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu
memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya
penuh keheranan.
Bu Song lalu menceritakan
pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat
benda ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan
berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa? Seluruh
orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku sendiri
diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah,
sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan
dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan
mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap
kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan
tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu."
"Teecu serahkan
kepada Suhu..." "Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala
macam obat? Kausimpanlah dan turut nasihatku, kaumakan semua sampai
habis!"
Perpisahan ini amat
menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu
pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun
dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke
arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song
menggendong bantalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng
Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian
dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan
langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song
sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya
tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi
seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam
itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda
itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang
yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak
mengecawakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat
sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung tinggi nama suhunya dan
hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan
terhadap suhunya.
Sementara itu, setelah
jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu
mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat
akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas.
Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan
bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua
orang kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian
sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu
Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu
dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan.
Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka
sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik
begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar.
"Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik,
Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya
bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang
mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani
selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah
engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu
menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin
lagi..."
Lu Sian menahan isak.
"Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku
harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah
rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini
benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di
atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu
Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu
sendiri?"
"Apa...?" Lu
Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum.
Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas
kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan
luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak
tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan
menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian terbelalak,
mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun
membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya.
"Ceritakan..." dia berbisik, "ceritakan tentang dia..."
Dengan singkat Kim-mo
Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi
muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh,
dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama
sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu
yang amat jahat."
"Hee...? Mengapa
begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar ilmu
membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah
sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian
barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu setuju, bukan, demi
kebagaiaan puteramu?"
Lu Sian menundukkan
mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku..."
"Dia tidak membenci
siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah
Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu
Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan
pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera
ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!" Aku Tok-siauw-kwi Liu
Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!"
Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi. Diam-diam ia
menarik napas panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia
maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan
mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita itu merasa kehilangan
segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu
Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi
semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu sendiri sama
sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia
menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama
sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat.
Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di
dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Memang banyak sekali
hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia.
Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya
tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak
Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sesempurnanya. Hanya karena semua itu
menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan
pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal
serta tidak adil. Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang
seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah
daripada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi
hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan
Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang
pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup
menderita di waktu tua? Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar
oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada
terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita
karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang
tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka
inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan
segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah
kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang
sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan
kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa
pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil
tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia bijaksana dan sadar akan
menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan
maupun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya
dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam
inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada
berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu
manusia.
Kim-mo Taisu bukanlah
seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang
menimpa dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam
bibit kebencian dan dendam yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga
isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya
mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi
musuh-musuh keluarga isterinya. Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo
Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya menakutkan. Para
tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah
bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam
menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat hebat ilmu
kepandaiannya itu
Bu Song juga terpukul
hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat
menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya
menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena tubuh
sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat
dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar
lagi, kedua kakinya melangkah lebar.
Berhari-hari ia melakukan
perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan
sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali
makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini
sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat
langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya
menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal
sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan
ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal
yang diberikan gurunya cukup banyak.
Pada suatu hari ketika ia
melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur.
Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan
kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan
tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya
menuju ke arah suara itu.
Benar saja, di sebuah
tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang
laki-laki tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila
di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang
seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua
seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan
cahayanya.
Anehnya, kedua orang
kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan Si Wanita hanya
tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada
saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu besar,
wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan.
"Sekali lagi kuperingatkan
kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga
tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku.
Aku sudah bosan bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu
aku!"
"Siluman betina,
dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru
kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok.
"Omitohud,
Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap
Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!"
kata Si Hwesio pula sambil melangkah maju.
Tiba-tiba wanita itu
mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke
depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang
kakek itu terkejut sekali. sia-sia saja mereka menggerakkan senjata untuk
membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan
tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi
dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang!
"Kalian bukan
lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap
masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak samadhi.
Akan tetapi dua orang
kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat!
Kami tidak takut mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!"
Hwesio itu menyambar
sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan
sepenuh tenaga ke arah wanita itu. adapun kakek dari Kong-thong-pai itupun
mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga
bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri. Jarak
antara kedua orang itu dan Si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di
bawah pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya.
Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada
juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang
laki-laki itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah
mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan
yang amat curang.
Akan tetapi tiba-tiba
mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan
wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan
tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada Si Hwesio
sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, adapun Si Kakek mendekap dadanya
yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. hebat sekali luka mereka,
dengan mata terbelalak mereka berputaran lalu roboh berkelojotan dan tak lama
kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu mengeluarkan
suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi,
ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar
jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan terjadi di depan
matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar
menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang.
Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata dengan suara keras.
"Dendam! Pembunuhan!
Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?"
Kemudian Bu Song turun
tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon,
menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak
dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan
matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang patut
dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak
dapat disingkiri dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ia menang. Apakah
lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali
waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan
dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya
sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!
Setelah selesai mengubur
dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan
bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan
tempat itu. matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu
Song menghapus peluhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh perhatian ke
depan. Tadi melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah
berdiri Si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu!
Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak
menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang
matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan.
"Mengapa engkau mengubur
mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik
Bu Song menengok ke
belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan
menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran
wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa
wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan
sikap yang dingin dan keras.
"Bibi, pertanyaanmu
itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya mengapa Bibi membunuh
mereka?"
Wanita itu tercengang,
agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang
muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur
mereka? Apamukah mereka itu?"
"Bukan apa-apa,
hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di
jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi
sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur
mayat kita."
"Apa kau bilang?
Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan
kau takkan hidup lagi?"
Alangkah herannya hati
wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat Si Pemuda tertawa
geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak
lucu!"
"Apa..., apa
maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata
terbelalak.
"Bibi ini siapakah
sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi
hidup kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"
"Apa? Kau
menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran daripada marah. "Tidak ada yang
menantang. Aku hanya mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup
menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi
kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun
tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini
siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri
berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki
nyawa Bibi kembali ke asalnya?"
Seketika pucat wajah
Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari.
"Aku... aku tidak akan mati...!"
Bu Song menggeleng-geleng
kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi
seorang yang patut dikasihani...!"
Angin menyambar keras
tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah
lancang. Kau bilang apa tadi?"
"Aku bilang kau
patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan
mengingkari kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu
berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan
keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kaupegang dan kaukuasai.
Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang mengira bahwa nyawa Bibi
berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup
seperti Bibi ini."
Makin pucat muka wanita
itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapapun juga! kaulihat sendiri tadi.
Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku
akan mati!"
"Betulkah itu, Bibi?
Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah
perbuatan mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam
bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu,
saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Habis, kalau dua
orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu
saja?"
"Ah, Bibi kurang
akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi?
Akan tetapi Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!"
Wanita itu marah sekali.
Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya. Sudah diangkat ke atas. Dari
tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat
itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti
ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan membunuh
orang tak bernama!"
Bu Song tenang-tenang
saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa
setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang
mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil
membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku
tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai
yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu Song...??"
Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau...
kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau adalah
guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama Guruku untuk perisai
nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan
mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song,
melainkan mukanya sendiri! wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan
akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar
oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan,
pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang
sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan
perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama
sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya
sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang
begitu berani menasihati dan menegurnya sudah membuat wanita ini
terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi
begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri,
ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia
tadi membunuh anak kandungnya sendiri! Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin
ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat
melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang
tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah,
suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian
menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian
ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya
tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya
pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu
ia hanya ingin mati! Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng
yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan
menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan
putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan
tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku
sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian
berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara
yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun,
timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka? Dia
sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik.
Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang
sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis.
Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat
ke arah suara, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu
seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk
bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya
bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan
pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk
rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini
mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang
berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh
kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun
tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin
sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam
dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah
kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim. Dengan jelas Lu Sian
melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan
lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi
ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim,
hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian,
uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul
dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang
napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya,
runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat
percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki
kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan
tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh,
berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan
teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya
kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui
tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah
begitu saja! Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia
menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua
pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan
menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian
mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat
itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta.
Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan
Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi
jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam
samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya
ia merasa dirinya kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas
mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus
sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari
pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata
yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian
terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
"Kejahatan
yang dilakukan terhadap
seorang tak berdosa
akan berbalik menimpa si dungu
yang melakukannya,
bagaikan menebarkan debu
melawan arah angin
yang akan menimpa dirinya sendiri!"
Lu Sian masih berdiri
bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu
akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu
masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit
muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan
nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
"Engkau
bagaikan setangkai daun yang mengering layu
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan!
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa
engkau akan mencapi sorga, alam para Ariya!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!"
Suara itu merayu dan
seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi,
maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak.
"Orang tua... aku
mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan
kata-kata....!" Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu
seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut
puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan
kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar
dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini.
Suara yang-khim terhenti.
Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu
berkata,
"Terasa tersiksa
karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah
perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan
jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang
menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau
yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau
datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka
memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu
lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut, "Semua orang di dunia
kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main
denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas
kauturunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu
tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi
kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati,
mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan.
Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah
mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak
dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang
penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya
ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan
mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga.
Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang
dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh
perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan
menangis.
Kemudian berceritalah Lu
Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang
kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa
malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek
ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai
persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab
di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh
perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan
roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan
pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang,
keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa
seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di
telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala
permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan
semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling
aman."
Ketika Lu Sian sadar
kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah
tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya.
Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia
masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah
yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu
Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan
dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan
banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
"Kek, apa maksudmu
dengan jatuh ke atas?"
"Mereka itu
orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi
kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan
kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya
untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah akan tetapi
yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam
kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi
yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"
Bu Song sejak kecil
dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu.
"Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan
menduduki pangkat?"
"Kalau kau ikut-ikut
jatuh ke atas...." "Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang
terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis,
menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman
para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin
memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas
semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing!
Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang
memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak
patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa
melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi
betul-betul dijalankan dalam hidup."
Tiba-tiba kakek itu
memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia
memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"
"Sudah kukatakan
tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she
ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja
menggunakan she ibunya.
"Kau... lain
daripada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid
siapakah?"
"Guruku yang
terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo
Taisu."
"Ahhh...! Kiranya
dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli
silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu utuk mencari
kedudukan!"
"Harap kau orang tua
jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali
aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya
dipergunakan untuk saling bunuh."
Sejenak kakek itu
memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus!
Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!"
"Apa, Kek? Apa
maksudmu?" "Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu
Bun?" Bu Song menggeleng kepala.
"Kalau nama kakakku
Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku
adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak
pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek Siansu."
Bu Song mengangguk.
"Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."
"Tentu saja. Gurumu
mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika
itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima
anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan
kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling
emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan
kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun,
para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata
suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur
diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami
dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan
diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat
untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan
kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang
muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya
sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan
kitab ini. Kausimpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kaucarilah kakakku di
Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan
diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu
kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!" Kakek itu memasukkan kitab
kecil di tangan cepat-cepat ke dalam saku baju Bu Song sebelah dalam.
"Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" Tergesa-gesa kakek
itu memberi pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh
orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas
kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song.
Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri
melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka
hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher bajunya,
ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu
tergantung.
"Ah, kiranya kau tua
bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau
Ciu Gwan Liong?"
"Aku benar she Ciu
bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya
amat terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya
mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan
tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"
"Wah, mulut besar!
Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh
kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil
tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup
melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.
"Mana ada aturan
begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan
apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"
"Hushh! Kau pemuda
tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?"
bentak Si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak
takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justeru
karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan!
Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak
hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan
dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti
itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan
melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan
dipecat dan dihukum!"
Sesaat Si Muka Hitam
tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat
orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak
dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang
membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.
"Ha-ha-ha, kau boleh
melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar
negeri, tolol!"
Bu Song masih penasaran
dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat
nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.
"Kalau begitu
pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula. Si
Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal
sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan
malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?
"Kau
menentang?" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar
ke arah muka Bu Song. Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan
berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang
menyusul.
"Dessss!"
Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah
tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang
dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si
Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi
dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan
dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda
yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi,
kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi
tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu.
Akan tetapi baru saja
ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa
mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka
Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata
mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti
sekawanan lembu dipotong lehernya.
Dua bayangan melompat
keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan
menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala
gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun
lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara Ciu Gwan
Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar
ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."
Ciu Gwan Liong mengangkat
kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi
Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua
kalian."
"Kami dari
Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."
"Ha-ha-ha,
berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang
kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan
kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang
dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada
padaku!"
Dua orang gundul itu
saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin,
"Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua)
kami."
"Ji-wi (Tuan Berdua)
adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan
kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan
membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha
bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang
Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan?
Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh
orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala
hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"
Dua orang hwesio itu
saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis.
Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara
berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata, "He
sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil
mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi,
tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"
Bu Song terkejut dan
heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan
tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan
agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan
memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu biarlah kita
berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia
melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikan
tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Bu
Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan
menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah
lagi Bu Song terpelanting.
"Nanti dulu, orang
muda. Kau pun harus ikut kami!" "Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau
mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar
aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada
sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama
dia!"
"Dia sudah melihat
kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak
boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba
tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song
dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat
dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah
lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang
mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari
arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat
melayang dan membentur hui-to (golok terbang) itu.
"Cringg!" Golok
itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu
kerikil saja.
Dua orang hwesio itu
mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua
yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang
dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang
bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya!
Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh
dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan
nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
"Kong-lo
Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau
hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kaubujuk
membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kaubiarkan ia tewas di tangan Kim-mo
Taisu!"
"Ha-ha, salahnya
sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!" "Kau yang
mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata
kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang
apalagi yang hendak kaulakukan kepada kami?"
"Hwesio-hwesio
tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang
melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut
bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari
sini!"
"Kong Lo Sengjin
orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"
Bentakan ini disusul
gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak
sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh
itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan
tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai
menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak
panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan
tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena
ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang
manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh
orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang
sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo
Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh
itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin
menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan
tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil!
Akan tetapi kali ini
serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang
kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya
serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat
kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong
belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang
menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah
menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.
Terdengar suara
trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu
itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini
berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar
karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan
menimbulkan semacam musik yang aneh.
Akhirnya habislah puluhan
batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka
berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang
lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan
tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili
kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu
ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya
yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek
itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.
Bu Song kaget dan mengira
bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu,
dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang
pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan
persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat
kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.
"Locianpwe, apakah
kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua
yang lumpuh dengan golok terbang!"
Kong Lo Sengjin tertawa.
"Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada
engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu
mengantar mereka ke neraka!"
Bu Song kaget sekali.
"Apa... apa maksud Locianpwe...?" Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek
itu bergerak, mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak
dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di
atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua
pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!
"Hayo bawa aku
mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud
kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh
dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau
disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan
dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya
kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya.
Kedua orang hwesio
Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak
berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi
mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar
hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena
Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan!
Dapat dibayangkan betapa
kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan
dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya
menyambar-nyambar ke depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan
yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar
kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.
"Ha-ha-ha, kalian
hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir
tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya
yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu
Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka, tolol!" Akan tetapi
Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya
saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau
ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja.
Ternyata bahwa kedua
orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam
pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki
sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang
ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song
membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka
menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan
jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.
"Tolol, kejar
mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu
Song tidak mau, bahkan berdiri tegak.
"Saya tidak bisa
lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?"
"Hayo kejar mereka,
kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi.
Akan tetapi Bu Song tidak
menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu
menggantung diri!"
Amat cepat gerakan Kong
Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan
melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar
tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di
dekatnya.
"Tua bangka
sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek
sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua
pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang
dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia
mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan
mengangkat tubuhnya sambil berseru,
"Di mana kitab itu?
Hayo katakan, di mana kitab itu?" Suaranya amat menakutkan dan penuh
ancaman.
"Locianpwe, jangan
siksa dia. Lihat dia sudah payah..."
"Tidak peduli! Heii,
Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di mana kitab itu kausembunyikan? Demi iblis,
kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"
"Locianpwe..."
Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak
tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si
Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.
"Kitab itu kuberikan...
kepada... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi
lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song
menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
"Biarkan aku
mengubur jenazahnya..." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok
besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi.
"Dan mayat mereka juga..." tambahnya.
"Huh, bocah kurang
pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?"
"Saya diutus oleh
Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah
meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."
Kong Lo Sengjin termenung
sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus
segera pergi dari sini!"
Bagi Bu Song, lebih lekas
kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon,
memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi
ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo
Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya,
ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu.
"Kau dengar
baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal
ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau
harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau,
kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan kepalamu,
mengerti?"
"Mengerti,
Locianpwe."
Kong Lo Sengjin tersenyum
dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat
Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan
segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh
orang penunggang kuda tadi. Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia
menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia
melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.
Untung pintu gerbang
belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya.
Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia
menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang
penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang
gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah
penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang
kotaraja sebelah barat. Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf
Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari
sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau
kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar
kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka
tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar.
Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah gadai
bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu.
"Ciu Tang? Memang
ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang
losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?"
"Benar, Lopek. Akan
tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana."
Pelayan itu senang dengan
sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan
kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan
itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan
orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya.
Ciu Tang seorang setengah
tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan
pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan
berkata,
"Maafkan kalau
kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah
atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia
mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot
itu.
Begitu menerima surat dan
membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi
hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid
tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk, silakan..."
Bu Song menghaturkan
terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar
bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot
dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku
baju. "In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti
ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya
akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante."
Bu Song cepat-cepat
memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya
mohon petunjuk."
Orang yang bernama Ciu
Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang
terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita
kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para
pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian
juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil
dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya
mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu
beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat
perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja."
"Banyak terima
kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."
"Ah, jangan bicara
tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah
melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya
perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa
semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu
gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia
telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga
keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai
sekarang.
Bu Song lalu
diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki
belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung
keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song
diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu
ujian.
Memang
benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang
menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang
menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri.
karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka
kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia
lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan
para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil
ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai
tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan!
Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang
kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang
pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar
baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para
pengikut.
Kurang
lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati
berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat
kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertan ujias,
dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu,
ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari
kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir
semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat
menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah
seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song,
akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu
kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara"
bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh
pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam
suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!
Seperti
biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan
ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan
gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan
ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya
beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal
cukup tebal. Di antara mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu
Song!
"Luar
biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman
itu. "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya
tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"
"Tidak
aneh... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan
tangan. "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus,
Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo
Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."
"Harap
Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" Cepat Bu Song berkata menghibur.
"Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan
Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun saya tidak
lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa
penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk
di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya
kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk
kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa
orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan
membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut
dilakukan seorang penjahat!"
"Sekarang
bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada
inkong Kim-mo Taisu?"
Bu
Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah bila kembalinya.
Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada
hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya,
dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja. "Saya akan pergi, Paman.
Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..."
Ciu
Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal
di sini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk
seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti
kesempatan diadakan ujian lain tahun."
Akan
tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan
menjawab, "Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka
merantau..."
Pada
keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang
laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung
bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.
"Apakah
di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?" Bu Song cepat
bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu Song."
Orang
itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus
sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang
terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.
"Ah,
kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan
penghormatan selayaknya!" Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu
Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat
sambil berlutut!
"Silakan
Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu
Tang menawarkan.
Orang
itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain.
Hanya saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan
kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan
meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu.
Ciu
Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa
kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja
saja!
"Lekas
buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat
dari Suma-ongya tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka
dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan.
Akan
tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka
sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh
tulisan indah.
"Pangeran
Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan
kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas
pekerjaan."
"Wah,
kionghi..., kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!" seru Ciu Tang
kegirangan.
Akan
tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan
kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan
itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya
yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak
kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka
membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang
filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah
suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu
kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai,
sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar
itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang
membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.
"Paman
Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu
suka menerima penawaran ini."
"Hah?
Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini
merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara
seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat bahwa kau
dinyatakan tidak lulus ujian!"
"Justeru
itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak
lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku,
mengapa pula aku tidak lulus?"
"Ah,
engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya
tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu
berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang tidak lulusmu
dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih
diherankan pula?"
Bu
Song mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan,
kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan
bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja
sekarang juga, Paman."
Ciu
Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat.
"Liu-hiante... memang saya tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah
kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?"
"Apa maksudmu,
Paman?"
"Keselamatan keluargaku
pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan
melupakan budi Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti
keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima
penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan
karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja
kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga."
"Ah,
begitukah...?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh
lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi.
"Kalau Hiante suka
memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang
perbuatan mulia Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit
banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang kepadaku. Untuk itu
sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!" Setelah berkata
demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
Bu Song cepat-cepat dan
sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata, "Harap Paman jangan
bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang
juga dan marilah Paman menemaniku."
"Tentu saja! Tentu
saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian
yang paling rapi, Hiante?" Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu
Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat gembira.
Bu Song menarik napas
panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka
bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian
keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang
jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang
kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan, "Pergi mengantar
keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!"
Bu Song yang dapat
melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya
tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah
ini.
Betapapun juga, ia merasa
amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan
istana yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih
mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan yang amat luar biasa,
dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu
Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya
merupakan sebuah gedung besar, namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh
dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka
akan hasil karya yang indah-indah seperti itu.
Mereka disuruh menanti di
ruangan depan, yaitu ruangan tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih
belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah
orang-orang yang diundang oleh Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan
keluar membawa teh wangi yang hangat!
Bu Song tak dapat diam di
atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak
pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk
menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di samping,
agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam
ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi
sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi.
Bukan main!
Tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang
pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih,
pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song
di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan
bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa
adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang.
Tidak demikian dengan Ciu
Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu
pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya
terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat. "Suma-kongcu, selamat
pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!"
Pemuda itu berhenti dan
membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya. "Ah,
bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada
apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara ini?"
Biarpun kata-katanya
ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada
Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan,
"Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan
agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap."
Terpaksa Bu Song
mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda
itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian.
Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga
kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan
sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap
menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini
tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati,
akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat.
Pemuda ini adalah putera
Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang
tidak terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini
selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu
silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya
guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia
mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya
pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang
telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru
silat itu dapat membuka perguruannya. Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan
tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka
mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir
ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang
benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she
Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu
silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian
(Dewa Geledek), sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya
dengan maksud menjilat!
"Saudara Liu, apakah
kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti
seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.
Bu Song menggeleng
kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan
kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah
mempelajarinya."
Suma Boan tersenyum
mengejek dan pandangannya kini merendahkan. "Memang jarang ada
Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan sastera) sekarang ini!" Ia berjalan keluar
lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian lihat, apakah
kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?" Tangannya menangkap leher arca
itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga
meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak di atas telapak
tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya,
kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh
terguling di atas tanah. "Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!"
Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka merendah dan menjilat,
akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah
amat berat.
"Bagaimana, Saudara
Liu?" Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.
"Tenaga Suma-kongcu
benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali."
Agaknya putera bagsawan
itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai
membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan
hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang
menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap
menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan
tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.
"Kalian angkat
singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan,
kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah
lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu berbentuk
bulan.
Empat orang penjaga itu
saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" Seorang diantara
mereka mengomel.
Ciu Tang tertawa dan
memberi keterangan. "Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan
melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja."
Empat orang itu
menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan,
"Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biarpun
mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka
mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan
tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!
Ciu Tang meleletkan
lidahnya saking kagum. "Empat orang tak mampu mengangkatnya, tapi
Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti
dewa!"
"Apa anehnya? Beliau
memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan
sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk
membantu!" Empat orang itu lalu berlarian keluar.
"Hebat...!" Ciu
Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu. Akan tetapi Bu Song sejenak memandang
singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak
kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia
sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan
juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang
diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan
kanak-kanak. Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar
sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan
batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu
menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser
dan terlempar sejauh dua meter!
Bu Song tersenyum, lalu
ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga
tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya.
Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup
mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya. Bu Song sama sekali tidak
tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang
terhimpun oleh latihan-latihan samadhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak
tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun
ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu
memperlihatkan diri tanpa ia sengaja. Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara
kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos
dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu.
Andaikata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam
lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang
beratnya lebih dari limar ratus kati itu!
Pada saat itu, seorang
pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana
Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan
hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dan di
luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi
tidak di sini!" Ia tersenyum menganggap para penjaga yang kini datang
delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati
majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di
depan majikan.
Menghadapi seorang
pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren, Bu Song bersikap
hormat. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, orang harus menghormat
pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana. Pembesar mewakili
pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika
melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu mucul diikuti
oleh dua orang pengawal.
Agaknya Pangeran Suma
Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu
Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua
surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk
dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang
menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.
Bu Song demikian menarik
hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana,
mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar
pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia
diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.
Demikianlah, mulai saat
itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan
rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini
membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat
pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari
Pangeran Suma. Selain rajin, juga Bu Song pandai membawa diri, ke atas tidak
menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan
Suma-kongcu yang terkenal galak itupun suka kepada Bu Song dan seringkali di
waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di
taman, bermain catur atau membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh
berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam
bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah.
Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah
putera majikan itu menjadi tak senang hati.
Agaknya masa depan Bu
Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja
tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu
Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran
itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri
dengan cara yang amat tercela. Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam
ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja.
Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki sesuatu
yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih
ditambah pajak-pajak paksa dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu
mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!
Malam itu terang bulan.
Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar
menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma
Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa
gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian
dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang
sunyi. Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah
pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di
bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia
mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia
ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup. Tak
dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai
seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman
kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan
dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan
tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran
Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki
tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak
dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang gemilang?
Dalam duka Bu Song
teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari
sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang
kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng
tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya
sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup.
Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi,
ia mulai meniup sulingnya.
Getaran suara suling
keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng,maka otomatis ia lalu
meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu
kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan,
mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti
tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu
ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan. Suara jengkerik
di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini
pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan
bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari
dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang
menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.
Sambil bersuling itu Bu
Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu,
ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan.
Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong
memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng
yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang
dewi kahyangan? Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut
seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan
mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar
bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil,
muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi
pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian
seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya
sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan
terkena sinar bulan. Puteri istana!
Berdebar jantung Bu Song
dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia
itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah
terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong
mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini
bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di
dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar
tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!
Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan
cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan
dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak
pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan
dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi.
Inilah gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah
mati, tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai,
sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini
menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan
tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai
ayah yang baru...?"
Suara itu! Merdu dan
bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua
kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan
hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang
menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling
menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan
dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang
geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang
penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang,
bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar
tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf... maafkan
saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah
biasa saja..."
Bagaikan baru sadar dari
mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung
Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan
segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song,
sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para
pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya.
Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar
dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara
suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar sekali cerita
mereka...." "Apa maksud Siocia...?" Akan tetapi Suma Ceng
menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik
seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."
"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui..." "Aku adalah Suma
Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu
Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari
sorga..."
Akan tetapi setelah
mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu
Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan
kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara
sulingku yang buruk..."
"Ah, jangan terlalu
merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi.
Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia..., mana
saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya...
saya..."
"Tidak mengapa.
Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara
sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kaumainkan tadi?"
"Lagu.... Setangkai
Kembang Kekeringan..." "Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako,
mengapa kau berduka dan menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai
meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia..."
Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan
kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing.
Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling
bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya
menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung
matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik
sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh,
terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan
sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong.
Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam
menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu
penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah
seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita,
puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat
itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti
seekor kumbang merindukan bulan! Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret
kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman
bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan
risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada
hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi
pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song
mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati
mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng.
Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia
membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit. Suma Ceng
adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan
tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu
memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup
sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi
Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan
seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin
terjadi! Andaikata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak
mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti
dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam
itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling
itu terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di
telinganya, sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu
seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin
ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin
berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga
kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau
teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki
bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun, cinta adalah
perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih
mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan
kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu
lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk
menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan
tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu
melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam
mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah
terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus
terbakar.
Akan tetapi, seperti juga
api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan
kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup.
Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu
indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat
menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal malapetaka. Cinta itu pangkal
sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi
permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang
bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini. Namun manusia tetap lebih
kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas
seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya
kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH
dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar!
Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena
keliru mengenal inilah yang suka membawa malapetaka. Nafsu birahi disangka
cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran.
Demikianlah pula dengan
Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua
pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya
kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali.
Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam,
Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di
ujung taman, meniup sulingnya.
Seakan-akan suara suling
itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat
menahan dirinya lagi sudah menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman,
terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara
suling. Terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan karena debar jantung
yang menggelora, Suma Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena
Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari keluar, mereka
berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang
memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!
"Aku tahu kau akan
datang..." "Aku pun tahu kau menanti di sini..."
Hanya itu ucapan mereka
sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu
bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok
merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.
Bu Song merasa
seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti
seorang kanak-kanak pernah kehilangan benda mainan tersayang kini takut kalau
yang telah ketemu akan hilang lagi, didekapnya erat-erat. Suma Ceng sebaliknya
juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah
merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran
inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas
kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini. Keduanya mabok lupa,
dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu berahi. Nafsu
birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa
berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali,
sebelum... mati!
Hanya bulan dan
kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung
taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok
nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu saudara loba, dituruti makin menjadi,
diberi sedikit ingin banyak, diikuti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan
hubungan dilanjutkan. Mesra.
Akhirnya tiba saatnya
yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa
kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk
sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk
oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan
menghitam yang buruk menakutkan!
Malam itulah terjadinya.
Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap
tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam
yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang dalam dua
hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas dalam dua tubuh yang dicekam
nafsu birahi!
Sesosok bayangan
berkelebat di depa pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. bayangan itu
mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan
kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai
di situlah Bu Song megantar kekasihnya. Kemudian sejenak saling rangkul, saling
cium sebagai salam perpisahan malam itu.
Tiba-tiba bayangan yang
sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song
terhuyung dan roboh. Suma Ceng menjerit tertahan Suma Boan sudah berdiri di
depan mereka dengan mata melotot!
"Lekas kembali ke
kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak
menangis.
Bu Song merangkak bangun,
akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian
putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana,
seperti seorang jagal menyeret seekor domba dibawa ke penjagalan.
"Bedebah! Anjing tak
kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.
Bu Song diam saja.
Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya
tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?
Di belakang istana, Suma
Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di
atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.
Pelayan itu menyeringai.
Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada
pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal.
Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan.
Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan
mereka dan mereka menganggapnya rendah. Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song,
menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian
mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang
besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa
sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun
tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan
derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak diketahuinya
sendiri dari suhunya, Kim-mo Taisu.
"Hayo, sekarang kau
mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan
"plak-plak-plak!" kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai
kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.
"Suma-kongcu, bicara
apa lagi? Aku dan dia saling mencinta, kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah,
aku tidak takut mati."
"Setan...!"
Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam
ke arah perut. Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia
tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul maka
otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.
"Dukk! Duukk!"
Dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah
kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang
keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song menjadi sesak
napasnya dan terengah-engah.
"Jaga dia di sini
sampai pagi, kalau banyak cakap boleh pukul mukanya tapi jangan dibunuh!"
akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal
itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang
istana.
Kiranya Suma Boan
melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma
Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak
mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian
pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.
Waktu itu matahari telah
bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya
melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu,
pikirnya. Sedikitpun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit
berdiri ketika melihat majikannya muncul.
"A Piauw, urusan
dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi
saksi. Tak perlu kaubicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang
saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?" "Baik, Kongcu."
Bu Song mengangkat
mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan
ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau
kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku,
lakukanlah. Aku bersedia kaubunuh, akan tetapi jangan kaupersalahkan dia."
"Tutup mulut!"
bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya.
"A Piauw, kau ambil secawan arak!"
Pengawal itu tadinya
bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak?
Akan tetapi ia tidak berani membantah, berlari cepat meninggalkan tempat itu
dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma
Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak
yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan
uap! Tahulah Si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran.
Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan
senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?
"Bu Song, alangkah
inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu,
atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi
mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang
kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun.
Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak!
Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati
dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali
dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"
A Piauw yang ingin
menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan
minum anggur pengantin..."
"A Piauw tutup
mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu!" A Piauw kaget sekali, tidak
mengerti mengapa majikannya begitu marah. Adapun Bu Song tersenyum pahit
mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin
bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia
menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh
bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan kiri, menarik
kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu
ke dalam mulut Bu Song.
Bu Song merasa
kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu
menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam
perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri
yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama
sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguhpun di dalam perutnya mulai
bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya
seperti air mendidih.
Suma Boan yang merasa
amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu
menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali
tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan
tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam
terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan
tidak terasa apa-apa lagi. Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik
tinggi dan Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut
Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh
atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya
ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun
pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun
dan tidak pernah minta minum.
Menurut perhitungan Suma
Boan, orang yang minum racun tadi, tentu umurnya takkan lewat setengah hari.
Namun sampai matahari condong ke barat. Bu Song masih segar bugar biarpun amat
menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia
mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak
berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan
biru dan darah mulai bercucuran keluar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang
kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan
kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.
"Kaujaga dia malam
ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau
malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya,"
kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah melepaskan
pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki
istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya
memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.
"Aku sudah matangkan
perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu
dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat
desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya
bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau
tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia
mati di depanku!"
"Ayah, sudah ada
jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus
diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa
besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga
terjerumus...."
"Bagaimana dia?
Bagaimana keparat jahanam itu? sudah kaubikin mampus?" Suma Boan
mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam
keadaan menderita untuk menebus dosanya!"
Malam itu gelap gulita.
Apalagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal
dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa
itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri
Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si pengawal itu
makan dan minum arak di bawah pohon. Ia dikirim oleh seorang pengawal lain atas
perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang
masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada
pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan
tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah
diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh
Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw
menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu
ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala
derita tanpa mengeluh satu kalipun?
Angin malam bertiup dan
daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah
mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia
bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan
tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih
bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin serem. Pemuda ini bukan orang
sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah
Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang
yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?
Kembali angin membuat
daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau
keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas
kepala A Piauw, tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan
mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah
terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...! Apa...
siapa..." Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena
tubuhya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah
jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak maupun mengeluarkan suara, hanya matanya
melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu
Song.
Penolong Bu Song itu
bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi
muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang
di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi
tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong,
seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan
menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja
malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong
melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya
terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan
membawanya pergi keluar dari tembok kebun istana.
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song
yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu dan setelah tubuh pemuda itu
dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika
mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di
kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu
keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam
tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek
ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi racun minum racun
hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal
setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.
Setelah diberi minum obat
penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan
memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari
pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya
di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar,
kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.
"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang
mata tajam.
Bu Song menjadi rikuh
sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon
mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia
mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti
itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah,
bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata
keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka
sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Suhu, murid
selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan
menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan
segalanya secara terus terang dan andaikata Suhu menjadi marah dan lalu
menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela."
Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke
kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan
kemungkinan tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.
"Suhu, teecu telah
berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri
daripada perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya,
bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu
tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada
hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.
Kim-mo Taisu mendengarkan
semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya
dengan wanita. Dia pun banyak mengalami malapetaka dan penderitaan karena
cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa
hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya? Akan tetapi, ada hal yang
membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu
tentang Kong Lo Sengjin tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan
tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo
Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya
akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam
hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh
bunuh adalah musuh-musuhnya!
"Bu Song, setelah
engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian
silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak
patut dipelajari oleh orang budiman?"
Bu Song diam saja, tidak
dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia
seorang lemah.
"Andaikata engkau
dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kaukira Suma Boan berani menyiksamu?
Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani
melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat
(bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik maupun buruk. Semua
benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar,
sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung
kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan
buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia,
kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau
dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua
anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau
dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak
dan menjadi jalan keluarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu,
maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk
minum yang sehat dan jalan keluar omongan yang baik-baik bagi manusia lain,
maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu bicara penuh
semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan
penuh perhatian.
"Kau dahulu
menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau
melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau
membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biarpun tak pandai silat, apakah tak
dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka
ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri daripada hinaan
orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk
menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan
masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna
oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun
(sastra). Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di
istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar?
Mereka ini tergolog orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar.
Akan tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang
ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak,
kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam daripada membunuh
orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk
"memintari" orang lain yang bodoh. Kaulihat, kalau ilmu bun
dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kausebut bahwa ilmu bun itu jahat
dan buruk?"
Bu Song
mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan
seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian
seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa
orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah
menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu
lebih condong mempelajari bun daripada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah
teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."
"Jadi, sekarang kau
mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"
Bu Song menjatuhkan diri
berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi
pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingannya.
Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali."
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi.
"Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar
ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh
tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari
kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu,
kita bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong
dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang
seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut,
sudah sepatutnya dibunuh!"
Bu Song menubruk kaki
suhunya. "Tidak..., jangan, Suhu... ampunkan teecu , jangan Suhu lakukan
hal itu...!"
"Hemm... !"
Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini,
mana patut menjadi pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan,
harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya
itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"
"Bukan sekali-kali
teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa
cinta kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu,
apalagi membawa lari seorang gadis, puteri pangeran pula. Akan ke mana larinya
nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani melakukan
hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan kakaknya,
kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat
kepada Subo..."
Lemaslah seluruh tubuh
Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin,
puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini,
mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan
terbunuh. Ia menarik napas panjang.
"Sesukamulah.
Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..." "Teecu
bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu."
"Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..."
"Tidak teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan
mencin..." "Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang
manusia untuk bercinta muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu
anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi,
bukan cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti
sendiri!" Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan
pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta
kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya
ini. Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya
sendiri, dan ada perasaan sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.
Mereka tidak lama berada
di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak
muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau
terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita
celaka.
Semenjak saat itu,
mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat,
pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa
sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah memiliki tenaga sakti yang
hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan
suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan
semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah
begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.
"Tarik napas
dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu." Terdengar suara
gurunya.
Bu Song yang memejamkan
mata menurut kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar
bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan
suhunya menempel pada pusarnya dan dari telapak tangan suhunya itu keluar
getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi dan
kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik
ke dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.
"Bernapas pula
perlahan akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah
itu, dorong hawa itu ke arah pundak kanan."
Demikianlah, sedikit demi
sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa
hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa
panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan
yang tepat Kim-mo Taisu "membuka" jalan darah tubuh muridnya,
kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.
Memang betul apa yang
diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sin-kang yang
amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui
huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu
diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastera. Kini setelah
dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong
bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang
betapa sulit pun.
Dalam waktu setahun saja,
dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon
sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, gin-kangnya sudah sedemikian hebat
sehingga ia mampu mengikuti suhunya berloncatan di atas pohon seperti seekor
tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan dari jarak satu
meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih
silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan
samadhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu malam gelap, mereka
berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan hutan yang berkelebatan
di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan
seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.
Pada waktu itu yang
memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima
Kerajaan. Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak
lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah sembilan tahun berdiri, pada
tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada putera
mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu
saja adalah ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena
para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa yang mereka bela
hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa saja.
Kerajaan Cou mempunyai
seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou.
Panglima ini bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan
orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah orang-orang yang menduduki jabatan
tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan berturut-turut dalam
jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orang-orang penting
dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.
Seperti juga para
panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan
penggantian raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu.
bakan ketika raja kecil atas desakan ibu suri menjatuhkan hukuman kepada
seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak
yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya
menyampaikan protes!
Peristiwa ini diikuti
dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai
sikap memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan
hukuman mati, panglima itu tentu takkan tertolong lagi. Namun, agaknya ibu suri
juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh dipandang ringan. Di
belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk
meredakan ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali
petugas atau pejabat tinggi yang terkenal setia itu.
Namun perisitwa itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu
bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu
kota-kota di utara. Dengan alasan menindas kerusuhan yang dilakukan oleh musuh
itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat perintah kepada
Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa
Khitan.
Sebagai seorang panglima
perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat membantah perintah
rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia tidak mentaati
perintah ini, tentu dia akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia sebagai
seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima Cao memimpin barisannya
bergerak ke utara, sungguhpun ia maklum bahwa bahaya yang mengancam kerajaan
bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh dipusatkan di utara
saja.
Para panglima muda, para
perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa tidak puas dan tidak
senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas di utara itu amat
berat, namun juga mereka dapat menduga bahwa perintah ini merupakan
"pembalasan" dari ibu suri sehingga tak mungkin mereka akan menerima
jasa kelak dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Diam-diam para panglima
muda dan perwira mengadakan permufakatan dan persekutuan, di luar tahu Panglima
Cao.
Tujuh orang panglima muda
dan sebelas orang perwira berkumpul dalam tenda besar pada malam hari itu,
ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan beberapa
hari dari kota raja. Mereka bermufakat untuk memaksa Panglima Besar Cao Kuang
Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan kembali ke kota raja dan
menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak memaksa
Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek aneh
telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali, kedua kakinya ditekuk
bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang menggantikan kakinya.
Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan kaget serta
terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan penjaga
dapat kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang
merundingkan urusan rahasia gawat, tentu saja kehadiran seorang luar seperti
kakek ini amat mengejutkan dan mereka sudah mencabut pedang dan golok
masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha! Cu-wi
Ciangkun (Para Perwira), harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk
membantu kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan
Cou yang lapuk harus diruntuhkan!"
Karena yang mengucapkan
kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para panglima itu makin
kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang terkenal hebat
kepandaiannya dalam ilmu memanah, telah menggerakkan tangan dan "serrr!
serrr!" dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher
dan perut kakek itu! Kakek itu sama sekali tidak mengelak atau kelihatan
bergerak, agaknya ia tidak melihat bahwa dua batang anak panah seperti dua
tangan maut menjangkau hendak mencabut nyawanya. Ia masih enak-enak berkata,
"Biarlah aku yang
akan mengajukan alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi
kegagalan sehingga kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!"
Delapan belas orang ahli
perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget. Kakek itu masih
bicara dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan telah mengenai dada
dan leher, akan tetapi karena kakek itu bicara sambil menggerakkan kedua
tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu kedua batang anak
panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek itu!
Seorang panglima muda
melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa? Berani memasuki
tenda kami tanpa ijin?"
"Ha-ha-ha! Ciangkun
(Panglima), engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di antara
kalian yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu
Couw Pa Ong seorang putera pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao
Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin
sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut
Kong Lo Sengjin!"
Kagetlah semua orang yang
berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal.
"Dengan cara bagaiamana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan
tentara?"
Kembali kakek itu
tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan
tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya
aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan
orang lawan. Kalian lihat baik-baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat
menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang
biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur maka tentu saja
mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat,
tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang.
Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan
perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata
pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas
meja dan kakek itupun sudah duduk diatas bangku dekat meja sambil
tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup
berhargakah aku menjadi sekutu kalian?" Mereka lalu duduk kembali
mengelilingi meja. "Mengapa Locianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud
apa?" Tanya seorang panglima tua kini menyebut locianpwe karena maklum
bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.
"Dengan maksud apa?
Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh.
Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah
sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa
memilih lain orang. Bukan Cao-goan-swe seorang di antara kita yang cakap
menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"
Karena tertarik oleh
kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang
amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin
menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang
Yin untuk memberontak.
Pada saat itu, Jenderal
Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang
diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa
yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di
angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia
menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari
terucapkan mulutnya.
"Liang, Tang, Cin,
Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan
negara memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan
dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah
akan muncul sebuah bintang yang demikian?"
Tba-tiba terdengar
keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila
kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila
kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya!
Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi
jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada
bedanya ia dengan pohon atau hewan!"
Cao Kuang Yin terkejut,
apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang
berpakaian seperti tosu, berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil
menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa,
maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula,
dan cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata,
"Saudara yang baik,
ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku akan tetapi juga mengherankan hatiku
akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."
Orang tua gagah itu bukan
lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song
selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh
pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan
sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Adapun dia sendiri lalu mulai pergi
mencari Kong Lo Sengjin inilah maka ia pada saat itu berada di atas bukit
kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang
panglima besar Kerajaan Cou. Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di
kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke
utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa
orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin, berada pula di dalam
pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam
barisan yang begitu besar.
Kini ia sengaja mendekati
Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi
hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar
dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu
menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.
"Cao-goanswe, harap
maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima
kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata.
Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan
Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan
yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau
yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu
saja para pahlawan itu akan disalahgunakan tenaganya. Akibatnya,
pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup
penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja
adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar
dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru
harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.
"Ah, tidak... tidak
keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan
Kim-mo Taisu...?" "Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum
sekali," kata Kim-mo Taisu.
Jenderal itu tertawa.
"Nama Taisu menjulang setinggi Gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang
di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian
bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"
Tiba-tiba terdengar suara
berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin
dengan mereka! "Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!"
Begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan tanda bahwa
mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Cao Kuang Yin kaget
sekali, cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur
dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal
Cao? Mundur!!"
"Ha-ha-ha, justeru kami
mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka
berseru.
Mereka semua ada dua
belas orang yang kini mengurung. Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari
jalan keluar, tibat-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah, Goanswe dan
serahkan mereka kepadaku!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang
tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan
arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika
dua belas orang itu merasai sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar.
Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat
sekali, menggunakan kipasnya dan setiap kali kipasnya bergerak, seorang
pengeroyok roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan dan
dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!
"Jangan bunuh
semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah
roboh pula.
Jenderal itu cepat
melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia
menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa
menyuruh kalian!"
Orang itu berusaha
membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi
disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia
hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.
"Cao-goanswe,
orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh
semua," kata Kim-mo Taisu.
"Ah, akan tetapi
saya ingin mengetahui siapakah pesuruh mereka."
"Dia tadi menunjuk
ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya
perintah."
Cao Kuang Yin mengerutkan
keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai
musuh. Kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah
ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?
"Taisu telah
menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."
"Penyelamat atau
pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguhpun kebetulan saya
berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi
sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja
membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."
"Ahh...?"
Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?" "Saya
mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan
Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam
pasukan Goanswe."
Jenderal
itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?" "Dia adalah
Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"
"Hah?
Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal
itu!"
"Sudah
lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan
Goanswe."
"Kalau
begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini
harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul
ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan
urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."
"Terima
kasih. Goanswe benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian
mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.
Jenderal
Cao bercakap-cakap dan rasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka
bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat
tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan
lalu tidur di kemah masing-masing.
Peristiwa
bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru
sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin
masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam
kemahnya telah penuh orang. Tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang
perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia
pimpin, telah hadir di dalam kemahnya dan di antara mereka tampak seorang kakek
lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup
sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!
"Heee!
Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki
kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat
turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia
percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang
kepadanya.
"Kami
menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe untuk mempersilahkan Goanswe
mengenakan pakaian ini kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja,"
kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.
Cao
Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang
menutupi baki. Di atas baki itu, terlipat rapi, tampak satu stel pakaian berwarna
kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah
pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia
mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti
bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!
"Ah,
mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.
Kakek
lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat
bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao
Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri
panglima itu dan berkata,
"Coa-goanswe,
apakah mereka ini perlu dibasmi?"
Akan
tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."
Kakek
itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kaget sekali melihat munculnya
Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian
berkata,
"Bagus!
Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe,
perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang
menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang
roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai
sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang.
Oleh karena itu, para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi
raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan.
Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah
bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki
persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas
sahabatku sebagai musuh!"
Sebelum
Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada
Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut
bicara, karena kata-kata perbuatanmu berdasarkan kepalsuan belaka, seperti
pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri
dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan
dengan kau!"
Berubah
wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan
matanya memancarkan kemarahan besar. Sementara itu, panglima tua yang membawa
baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata,
"Kami
semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja
sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua
mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di
pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe
menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."
"Kami
landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" Terdengar riuh para panglima dan
perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.
Episode 365
Suling Mas
Suasana
menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo
Taisu dan Kong Lo sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan
bertanding mati-matian hanya tergantung daripada jawaban Cao Kuang Yin yang
masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki.
Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar
aneh. Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat
macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak
nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar
yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun
sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat
tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang
saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk
mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang
pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para
pengacau. Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai
kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya,
melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan
seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka
ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah
mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia
pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan
menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya
terdapat Kim-mo Taisu yang sakti, akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan
menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para
pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?
Jenderal
Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya
nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini
setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini
juga!"
Delapan
belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan
seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat
kepada kaisar baru!
Kembali
Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia
lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. akan tetapi pendekar sakti ini hanya
tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam
hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa
hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan
daripada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang
jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.
Pakaian
itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya
karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan
topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja
yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah
raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan
mengucapkan "Banswee!" (Hidup) berkali-kali.
Episode 366
Suling Mas
Kim-mo
Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan
Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong
Lo Sengjin."
Cao
Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu
mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih
membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."
Kim-mo
Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring,
"Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan
perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat
dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.
Akan
tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak
sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar!
Hidup Kaisar ! Hidup Kaisar!"
Cao
Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut
dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur
sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu
berkata,
"Para
Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke
kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua
anggota barisan adalah: Dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa
saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang
pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau
para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya.
Siapa melanggar perintah laranganku ini, akan dihukum mati!"
Para
komandan menyatakan taat dan setelah memberi hormat, keluarlah mereka bersama
Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula.
Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan
menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang
Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak
dan bertepuk tangan. Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi
bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang
hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah
hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik dan lain kali
apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan
waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian. Karena tidak ingin terlibat
dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam
ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila
kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah
pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.
Demikianlah,
seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan
tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia
menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat
mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi
pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama.
Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan
yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat
oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka
tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru.
Mulailah Dinasti Sung yang kuat dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya
dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).
Episode 367
Suling Mas
Seorang
pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana,
berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai
Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air
Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau
kecil tidak jauh dari pantai.
Pemuda
ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu!
Biarpun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti
bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini
timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya,
di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan
batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan
tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya
seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh,
dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah
terpejam. Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia
berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya.
Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu
bagaimana caranya menjaga diri daripada serangan orang lain. Dia sekarang
adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa
bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhunya, ilmu yang ia latih
siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.
Ketika
Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhunya, ada dua hal yang
dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin
yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah
tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek
sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang
menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu,
Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia
gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.
"Bu
Song, kitab ini biarpun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya
merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas
itulah. Hal inipun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang
kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti
itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah
pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat
daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk
memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah
dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu
untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."
Pesan
Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah
menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di
antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut
Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali
dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhunya
telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur,
yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang
dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain,
pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya
pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda
ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular
putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau
itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat
lain, ular yang amat berbisa!
Selagi
Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu,
tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu
kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari
ikan. Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau
hendak berlayar?"
Nelayan
itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang maka heranlah
ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya
agak asing, dengan lidah orang utara.
"Betul.
Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang
tali layar dan bersiap-siap.
"Kebetulan
sekali, Twako. Kautolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya
pulang pergi?"
Nelayan
itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu
Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya
bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"
"Itu
yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to..."
"Wah...!"
Tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata
terbelalak. Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan
suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya,
"Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh,
muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan
ketekutan ketika memandang Bu Song.
"Ah,
aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang
itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini
bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka
ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu
salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih
pulau... maut... itu?"
Episode 368
Suling Mas
"Pulau
maut? Apa maksudmu, Twako?" "Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau
Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka
tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di
muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu
saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"
"Mengapa
begitu?" "Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar
biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi
penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di
sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena
satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu
menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak
bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."
"Tidak
salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. jangan kau
kuatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka
mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang
ia dapat dari suhunya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang
perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat
lima potong perak ini, Si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak
itu! mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan
tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau
menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut." "Tidak usah
takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu
kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat
daripada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu..."
"Kau
tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh
berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si
Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya
agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar
dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat
daripada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar.
Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah
berantakan!
Si
Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang
demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya
hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."
"Jangan
kuatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu
dekat dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan
itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang
memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan Si Nelayan berlayar
ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan
keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak
sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama
Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang Si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan
seram! Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun
sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah
keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu,
membuktikan omongan Si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan
perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka
sudah tiba di dekat pulau itu. kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari
jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur.
Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya
mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh Si Nelayan menggigil ketakutan. Maka
Bu Song lalu meloncat ke darat. "Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti
sore jemput aku di tempat ini!" Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan
cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.
Bu
Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau Nelayan
itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ketakutan seperti itu. Pulau
ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali
keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke
atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan
pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu. Setelah tiba di puncaknya, ia
memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak
pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah
pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih.
Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada
tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun?
Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia
tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum
senja.
Bu
Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke
tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar
lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia
menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata
rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada
orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji karena buktinya tanpa tahu-tahu
sudah menyerang dengan senjata rahasia! Ia memandang ke kanan dari mana senjata
rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kananya hanya tampak batu karang
dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tadi ia diserang
lagi dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan
kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang
leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi
menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang
manusia yang memusuhinya.
Episode 369
Suling Mas
"Cu-wi
sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk
bermusuhan dengan siapa juga."
Pada
saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan
ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda
putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking
kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular
putih yang kini terjepit di antara dua jarinya akan tetapi ular itu telah
menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu
hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, Bu Song tidak kuatir.
Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko,
maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong
keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang keluar dari luka,
tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang mengucur keluar
adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia
diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil
yang menyerang orang sambil "terbang" atau lebih tepat, meluncur dan
melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang
digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa Si
Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa
tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia
berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak
atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba
jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan
mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara
suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan
tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu
datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit
dengan batu-batu hitam. Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan
Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah
sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan
itu. kini ia tiba di daerah penuh pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling
karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu
jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget
bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan
ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan
sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir
itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat
membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali
tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat
berbahaya.
Kini
ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali
berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya
menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah
ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling
kini terdengar jelas.
Suara
suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan
menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia
berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan
gua, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling
berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah
Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya
datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera
terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong,
apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku
atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan
Liong?"
Bu
Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa
Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu
Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih
merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan
menikah lagi.
Episode 370
Suling Mas
"Orang
muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam
gua yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat
mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama
sekali bukan, Paman."
"Kau
membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum
Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan
menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!"
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang
muda, coba kaubacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu
Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca
pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
"Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu."
Kitab
kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar
dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari
seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism,
yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang
saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu
mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam gua berseru
girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian,
siapakah Gurumu?"
"Suhu
bernama Kim-mo Taisu." "Wah, pantas... pantas saja adikku
mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan
tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu.
Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah,
orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat
buas!"
Bu
Song melangkah masuk. Karena orang di dalam gua sudah memberi peringatan, ia
bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya
siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis.
Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua itu sehingga ia dapat
melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu
adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya
besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari
mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara
mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja binatang itu, melainkan ada
empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu
Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat
dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar,
Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari
terbuka.
"Desss!!"
Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu
merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung. Lega hati Bu Song. Kiranya
binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti
sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju
dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang
diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan
binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di
balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua.
"Bagus!
Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong.
Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat
keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian
muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap. Ketika tiba di tempat yang
diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua
tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak
sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan
sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya
terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari,
sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu
Song dengan hati penuh ketegangan.
Episode 371
Suling Mas
Kakek
itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song.
"Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling
ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat,
jangan samapi ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song
keluar dari dalam gua.
"Apakah
Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek
itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan
membayangkan kecurigaan.
"Kau
mengenal dia?"
"Tentu
saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo
Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh
keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek
yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari
oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi
mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh
keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song,
kauceritakan semua kepadaku!"
Mereka
pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Di situ Kakek Ciu Bun
duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin
menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin.
Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo
Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia
bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo
Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo
Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar
penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu
benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang
mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah
meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan
hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song
bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan
itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo
Sengjin.
Ciu
Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut
dimaki dan dikutuk!"
Hening
sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca
sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu,
setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara
suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu
tertentu sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai
dengan bunyi sajak. Kami yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah
sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah
dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata
hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastera
diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan
suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan
mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin menjernihkan pikiran dan
menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke
tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu, aku yakin bahwa dua benda
ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena
buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan
mengejar-ngejar kami. Nah, kaubacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali
dengan suling ini!"
Bu
Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu
menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan
segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup
sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh
lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya
yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh...
ngieeehhh!"
Seketika
Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini, Bu Song juga menghentikan
bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan gua tadi kini tampak
sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali
karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki
yang dibelakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara
"ngieeeeh-ngieeeeh" tadi. Dua orang laki-laki ini benar-benar luar
biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus
kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas
lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah
anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan
kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.
"Kiu-ji
dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup
suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka
kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut lalu menggerak-gerakkan
seekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!"
Mereka berkata ketakutan.
Episode 372
Suling Mas
Benar-benar
pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keinginan
hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka
itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari
binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi
mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka
itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi
Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal
ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu
Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! dengarlah. Couw Pa Ong adalah
sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada
Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat
kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal di sini untuk
menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini.
Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya
kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya
mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling
dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa
pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini
tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia
penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh binatang-binatang
liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki gua hanyalah
dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu
bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami
kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu
dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah
dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah,
Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena
hal ini memang amat sukar dimengerti." "Memang. Sekarang biarlah kau
belajar meniup suling..." "Paman, saya sudah biasa bersuling dan
mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus!
Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan
agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang
kubaca!"
Mereka
bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari
tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan
Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia
berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena
Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi
sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika meniup suling, seluruh perhatiannya
dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara
sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
"ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Demikianlah
bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus
diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru,
"Ya
Tuhan....!!" Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia
terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi
mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu
amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila,
kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak.
"Dapat
sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..." Bu Song tidak mengerti, lalu
bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu
Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" Tiba-tiba kakek itu bertanya,
suaranya biasa kembali. "Sudah, Paman." "Kalau begitu tinggalkan
kitab ini padaku dan kaubawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah
tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu
Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman
ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan?
Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau pergi cepat jangan sampai dia
datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi,
Paman..." "Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda.
Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak
berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila
di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi
dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara
kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara
itu seperti berteriak girang.
"Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Ketika
Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan
itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru
sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kak nelayan...!
Kemarilah...!!"
Layar
itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama Si Nelayan yang
berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song
lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi Si Nelayan memandang ke arah pulau
dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat
lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah
berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang
manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu
karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu!"
Dua
batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke
arah perahu!
"Cepat
jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat
ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang
menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan
sin-kangnya.
"Byurrr...!"
Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi
saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena
papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang
terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan
hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah
cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali
angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu
meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu....
Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau ibliskah.....?" Bu Song tersenyum.
Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau
Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka
akan tewas, mengingat betapa selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas
dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang
gila dan kejam.
"Agaknya
mereka itu iblis pulau. Aka tetapi untung kita dapat melarikan diri!"
jawab Bu Song. Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia
mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke
daratan yang aman.
Bu
Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia
maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat
orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu mengharapkan hikmatnya,
sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling
ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah
tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang
menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar.
Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara.
Ia harus mencari suhunya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau
Pek-coa-to.
Makin
ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di
kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah
mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga
mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapapun
juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota
kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti
biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu, Bu Song berusia
dua puluh tiga tahun.
Maklum
bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil
keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya
Episode 373
Suling Mas
Kita
tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari
kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora
cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai
ayahnya itu.
Melihat
betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah bukan
main. "Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam
lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima laporan puteranya.
"Lebih baik mati daripada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan
saja dia dari muka bumi!"
Suma
Boan terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan
perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi betapapun juga Suma Boan
menyayang adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain kecuali Suma Ceng. Bagaimana
ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa Bu
Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah,
harap ampunkan Ceng-moi. Betapapun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu
Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat.
Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka sebaiknya kita mencari jalan
keluar."
"Jalan
keluar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan
tidak mengotori nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan
begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan keluar yang baik dan terhormat.
Betapapun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah,
sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan pernah dalam keadaan mabok
ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Ceng-moi segera
dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan
dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku."
Berseri
sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan
puteranya itu memang betul bukan seorang yang cukup "berharga" untuk
menjadi mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada ayah lagi, hanya
mengandalkan Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi
betapapun juga orang muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah.
Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa
tahu..." Suma Kong mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku
mengerti, Ayah." Demikianlah, dengan perataraan Suma Boan, urusan
perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang adalah seorang pangeran muda yang
tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya hanya bersenang-senang, menjadi
sahabat, murid, juga "antek" Suma Boan. Mendengar usul dan bujukan
Suma Boan, serta merta ia menyatakan setuju dengan hati girang. Ibunya miskin,
pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin yang terkenal, adalah
seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia sehingga hidupnya sederhana
dan tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman ini pun hanya sekadarnya.
Kalau
disatu pihak Pangeran Kiang Ti girang bukan main atas usul Suma Boan, karena
dia sendiri sampai mati pun tidak berani lancang melamar puteri Pangeran Suma
Kong yang kaya raya itu, adalah di lain pihak Suma Ceng mendengarkan berita
yang disampaikan kakaknya itu, dengan banjir air mata.
"Koko...
ah, mengapa begini...?" ratap tangisnya. "Dimana... Kanda Bu Song...?
Kau apakan dia...?
Suma
Boan marah sekali kepada adiknya, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang
kakak membuatnya kasihan juga. ia mendongkol bahwa dalam keadaan seperti itu
adiknya masih saja memikirkan Bu Song!
Episode 374
Suling Mas
"Ceng
Ceng! Kau ini puteri seorang bangsawan agung! Puteri seorang pangeran besar!
Pergunakanlah pikiranmu dan akal sehat. Mengapa kau merendahkan diri sedemikian
rupa? Apakah kau hendak menyeret nama baik ayah dan keluarga ke dalam
lumpur?"
"Aku...
aku... cinta padanya, Koko..."
"Setan!
Sudah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Bu Song sudah mampus!"
Ceng
Ceng menangis tersedu-sedu. "Kaubunuh dia...! Ah, kaubunuh dia, Koko...
kenapa kau tidak bunuh aku sekali...!"
"Goblok?
Kalau tidak ada kakakmu ini yang berjuang mati-matian, apa kaukira sekarang kau
masih hidup? Ayah lebih senang melihat kau mati daripada kau bermain gila
dengan seorang macam Bu Song."
"Ohhh...,
Ayah...!" Suma Ceng makin sedih mendengar hal ini.
"Dengar,
Ceng-moi. Mengadakan hubungan gelap, apalagi dengan seorang yang kedudukannya
rendah, hukumannya hanya mati bagi seorang gadis bangsawan. Akan tetapi aku
berhasil meredakan kemarahan Ayah dan mengusulkan agar kau dijodohkan dengan
Pangeran Kian Ti."
"Aku
tidak mau... tidak sudi...!" "Plak!" Suma Boan menampar pipi
adiknya sehingga Suma Ceng hampir terpelanting jatuh.
"Auuhhh!"
Suma Ceng berdiri, memegangi pipinya dan memandang dengan mata terbelalak
kepada kakaknya. Biasanya, kakak kandungnya ini amat mencintanya, tidak pernah
memukulnya. Maka ia menjadi kaget dan heran, lupa akan kesedihannya dan
memandang dengan mata terbelalak.
"Ceng-moi,
kau tahu apa artinya kalau perbuatanmu yang tak tahu malu ini diketahui orang
luar? Cemar yang menimpa keluarga kita berarti menodai nama keluarga raja! Dan
akibatnya, tidak hanya kau yang menerima hukuman, juga Ayah dan kita
sekeluarga! Mungkin Ayah akan dihentikan, dipecat, dan dibuang! Nah, inginkah
kau melihat hal itu terjadi?"
Suma
Ceng menundukkan kepala, terisak-isak dan menggeleng-gelengkan kepala. Suma
Boan mendekati dan mengelus rambut adiknya. "Kau tahu aku sayang kepadamu
dan aku melakukan ini untuk kebaikanmu pula. Kiang Ti adalah seorang pemuda
yang baik, dia keturunan pangeran setingkat dengan ayah. Tentang dia miskin
bukanlah hal yang perlu dipikirkan. Bukankah Ayah keadaannya cukup? Nah, adikku
yang manis, kau harus menurut demi kebaikanmu dan kebaikan keluarga kita."
Suma
Ceng menubruk dan menyembunyikan muka di dada kakaknya sambil menangis
tersedu-sedu. Suma Boan mengelus rambut adiknya dan tersenyum, maklum bahwa
bujukannya berhasil.
Demikianlah,
dalam enam bulan itu juga, secara meriah sekali Suma Ceng dikawinkan dengan
Kiang Ti, pangeran yang miskin. Di balik tirai yang menutupi mukanya, Suma Ceng
menangis. Sebaliknya, Kiang Ti tersenyum-senyum girang. Memang ia pernah
melihat Suma Ceng dan mengagumi kecantikan puteri pangeran ini. Kini gadis yang
membuatnya rindu dan mabok kepayang itu secara tak terduga-duga dijodohkan
dengannya. Ia benar-benar merasa heran karena belum pernah ia mimpi kejatuhan
bulan! Ia merasa untungnya baik sekalil.
Akan
tetapi, kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Ceng menjadi isteri Kiang
Ti, keadaannya menjadi terbalik sama sekali. Kini keluarga Suma Konglah yang
merasa untungnya baik karena mempunyai mantu Kiang Ti. Seperti telah diketahui,
Kiang Ti adalah putera seorang pangeran yang menjadi keponakan Jenderal Cao
Kuang Yin. Dan kebetulan jenderal inilah yang menggulingkan tahta kerajaan,
kemudian menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung! Tentu saja, Kiang Ti sebagai
keponakan Kaisar, kini menjadi pangeran yang terhormat dan tinggi kedudukannya
dan kerena itu, keluarga Suma juga ikut terangkat naik!
Memang
hal ini sedikit banyak ada pengaruhnya dan menguntungkan Suma Kong. Dia
terkenal sebagai seorang pangeran yang korup. Akan tetapi kaisar baru, yaitu
bekas Jenderal Cao Kuang Yin, walaupun tahu akan watak korup pangeran ini,
namun mengingat bahwa masih ada pertalian keluarga melalui Kiang Ti, tidak mau
mengutik-utik tentang perbuatan-perbuatannya yang lalu, hanya memberi pensiun
kepada Pangeran Suma Kong dan membiarkan keluarga pangeran yang sudah kaya raya
itu pindah dari kota raja, ke kota An-sui. Adapun pangeran Kiang Ti yang masih
keponakan Sang Kaisar, tentu saja dapat tinggal di kompleks istana yang megah,
bersama isterinya yang telah mempunyai seorang putera. Pangeran Kiang Ti amat
mencinta isterinya, dan karena sikap yang amat baik, penuh cinta dan penuh
kesabaran dari Kian Ti ini maka sedikit banyak kepahitan hati Suma Ceng karena
terpisah dari kekasihnya terobati.
Demikianlah
keadaan keluarga Suma selama dua tahun itu, dan kini biarpun Suma Boan tinggal
di An-sui bersama ayahnya, namun karena ia kaya raya dan masih terhitung
keluarga kerajaan, di tambah pula dengan ilmu kepandaian yang tinggi sejak ia
menjadi murid Pouw kai-ong, Suma Boan amat terkenal di kota raja. Siapakah yang
tidak mengenal Suma Kongcu yang berjuluk Lui-kong-sian Si Dewa Guntur?
Mengandalkan kedudukan keluarganya sebagai sanak kaisar, serta harta benda dan
ilmunya, pemuda bangsawan ini malang melintang di kota raja dan sekitarnya
tanpa ada yang berani mengganggunya.
Episode 375
Suling Mas
Bu
Song meninggalkan pantai selatan dan menuju ke utara. Akan tetapi baru saja ia
meninggalkan pantai, ia mendengar suara aneh di atas kapalnya. Ketika ia
memandang ke atas, ternyata seekor burung yang buruk rupanya terbang melintas
dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi "kuk-kuk-kuk!" dan
teringatlah Bu Song bahwa pulau Pek-coa-to tadi pun serasa pernah ia melihat
burung ini, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Burung itu adalah burung
hantu, atau burung malam yang matanya berkilauan seperti mata kucing,
bertelinga seperti kucing pula. Burung itu terbang cepat sekali dan lenyap di
dalam sebuah hutan kecil di depan.
Hari
telah menjelang senja ketika Bu Song mempergunakan ilmu lari cepat memasuki
hutan kecil itu. Hutan itu kecil namun liar dan gelap, hutan belukar yang
agaknya tidak pernah didatangi manusia. Banyak bagian yang gelap, apalagi
karena di situ terdapat batu karang. Agaknya di jaman dahulu, air laut sampai
di bagian daratan ini.
"Aduhhh...!
Setan iblis siluman tak bermata! Perut orang diinjak-injak seenaknya,
keparat!" Bu Song juga kaget bukan main. Tadinya tidak ada apa-apa di
depannya, bagaimana ketika ia berlari, kakinya sampai bisa menginjak perut
orang tanpa ia ketahui? Betapapun suram dan agak gelap tempat itu, tak mungkin
ia tidak melihat seorang tidur telentang di depannya menghalang jalan. Tak
mungkin! Tadinya benar-benar tidak ada siapa-siapa, bagaimana tahu-tahu kakek
aneh itu dapat terinjak perutnya oleh kakinya? Ia demikian kaget sampai ia
berjungkir-balik ke belakang dan mendengar suara marah-marah itu ia memandang
penuh perhatian. Seorang kakek yang aneh. Tubuhnya pendek sekali seperti
seorang anak berumur belasan tahun. Kakinya yang kecil telanjang, kedua
tangannya juga kecil. Akan tetapi kepalanya besar, kepala seorang kakek tua
renta penuh jenggot dan kumis panjang. Rambutnya panjang terurai. Benar-benar
seorang kakek aneh dan kalau memang di dunia ini ada setan iblis atau siluman
seperti makian kakek tadi, kiranya kakek inilah patut menjadi seorang
diantaranya. Akan tetapi karena kakek itu pandai mengumpat caci, agaknya ia
manusia biasa, pikir Bu Song. Cepat-cepat ia menjura dan memberi hormat.
"Mohon
maaf sebesarnya, Kek. Saya tidak buta dan tidak sengaja menginjak perutmu, akan
tetapi aku berani bersumpah bahwa tadi aku tidak melihat ada orang di
sini!"
"Memang
tidak ada! Kalau aku tidak sengaja membiarkan perutku tersentuh kakimu, apa
kaukira akan mampu menginjak perutku? Cih!"
Diam-diam
Bu Song terkejut dan juga mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu
seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sengaja hendak mempermainkannya,
karena ia benar-benar tadi tidak melihat ada orang tidur di tengah jalan. Hal
ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian kakek itu sehingga
dapat membiarkan dirinya terinjak tanpa dia yang mengijaknya melihatnya! Karena
yakin bahwa kakek itu seorang sakti, ia cepat-cepat memberi hormat lagi dan
berkata,
"Maafkan
saya, Locianpwe (Orang Tua Sakti). Sesungguhnya seorang muda seperti saya mana
berani bersikap kurang ajar terhadap seorang tua? Apalagi sampai menginjak
perut Locianpwe, selain tidak berani juga takkan sanggup melakukannya. Bolehlah
saya bertanya, Locianpwe siapakah dan apakah maksud hati Locianpwe
mempermainkan seorang muda seperti saya yang tidak bersalah apa-apa terhadap
Locianpwe?"
Episode 376
Suling Mas
Tiba-tiba
kakek itu tertawa bergelak. Suara ketawanya amat tidak enak didengar, bukan
seperti suara manusia. Bu Song teringat akan suara burung hantu yang tadi
terbang lewat dan... benar saja, dari atas kini terdengar suara burung itu dan
sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu burung hantu yang tadi itu kini sudah
hinggap di atas pundak kanan kakek pendek itu!
"Siapa
main-main? Aku sengaja membiarkan perutku kauinjak atau tidak, itu urusanku!
Tapi yang jelas dan tak dapat dibantah lagi, kau sudah berlaku kurang ajar
menginjak perutku. Betul tidak? Hayo, kausangkal kalau berani, kau... eh, siapa
namamu?" Kata-kata dan sikap kakek ini amat menggelikan, tidak karuan dan
seperti orang gila, atau seperti anak kecil yang nasar (mau menang sendiri).
"Nama
saya Bu Song, Locianpwe, she... Liu." "Heh, Bu Song! Hayo bilang, kau
tadi menginjak perutku atau tidak?" "Heh... betul... tapi... tapi
saya tidak sengaja Locianpwe." "Tidak sengaja atau sengaja, apa
bedanya? Yang jelas, buktinya kau sudah menginjak perutku. Kau tahu siapa
aku?" "Saya belum mendapat kehormatan mengenal nama Locianpwe yang
mulia." "Aku adalah Bu Tek Lojin! Dan kau sudah berani menginjak
perutku, hukumannya hanya satu, yaitu mati!"
Biarpun
tadinya Bu Song menganggap kakek itu seorang sakti yang patut ia hormati, akan
tetapi mendengar ucapan-ucapannya dan melihat sikapnya, ia mulai merasa
mendongkol sekali. Betapa pun saktinya, kiranya kakek ini bukanlah seorang yang
patut dihormati, bukan seorang sakti yang budiman. Akan tetapi ia tetap menahan
kemarahannya, dan bersikap sabar. Ia belum pernah mendengar nama Bu Tek Lojin.
Biarpun tak dapat disangkal bahwa ia tadi telah menginjak perut orang, akan
tetapi ia melakukan hal ini tanpa ia sengaja, bahkan Si Kakek itu sendiri yang
agaknya sengaja mencari perkara.
"Bu
Tek Lojin," jawabnya, tidak lagi menyebut locianpwe karena ia merasa tidak
senang melihat sikap kakek yang luar biasa ini. "Yang memberi kehidupan
kepadaku adalah Tuhan. Apabila Tuhan yang berkenan mengambil kehidupanku, aku
akan pasrah dengan rela, akan tetapi kalau orang lain yang menghendaki
kematianku, biarpun orang itu seorang tua terhormat dan sakti seperti kau,
bagaimanapun juga akan kupertahankan hak hidupku!"
Kakek
itu memandang dengan mata tajam dan tertarik. "Aha, kau pandai bicara.
Bicaramu seperti seorang terpelajar, pakaianmu seperti seorang terpelajar pula,
agaknya kau seorang sastrawan muda! Dan seorang terpelajar tentu pandai bermain
catur. Orang muda, kau pandai main catur?"
Kakek
aneh, pikir Bu Song. Bicaranya membolak-balik sukar ditentukan arahnya. Akan
tetapi ia melayaninya juga dan menjawab, "Bermain catur tentu saja aku
bisa, akan tetapi tidak pandai."
"Bagus!"
Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari balik bajunya ia mengeluarkan sehelai kertas
yang dilipat-lipat dan segenggam biji catur. Kertas itu ia bentangkan di atas
tanah dan ternyata adalah kertas gambar papan catur! "Duduklah, mari kita
bertanding catur!"
Kakek
itu tidak waras otaknya barangkali, pikir Bu Song. Akan tetapi ia menjadi
curiga dan bertanya, "Bu Tek Lojin, apa arti permainan catur ini?"
Episode 377
Suling Mas
"Ha-ha-ha,
bicara tentang ilmu silat, memalukan sekali kalau aku melayani kau bertanding.
Burungku akan mentertawakan aku, akan menganggap aku keterlaluan mendesak orang
muda dengan ilmu silatku yang tentu saja jauh lebih unggul karena aku jauh
lebih tua, menang pengalaman dan menang latihan. Akan tetapi permaianan catur
tidak tergantung dari umur, melainkan dari siasat yang muda mengalahkan yang
tua! Kalau tadi kukatakan bahwa kau telah berdosa kepadaku dan harus dihukum
mati, sekarang aku memberi kesempatan kepadamu untuk menebus nyawamu dengan
permaianan catur. Kalau kau menang, kesalahanmu menginjak-injak perutku
habislah dan aku tidak menghendaki nyawamu!"
Bu
Song diam-diam makin penasaran dan mendongkol. "Kalau aku kalah?"
tanyanya, menahan hati panas.
"Ha-ha!
Tentu saja kau kalah! Kalau kau kalah, berarti kau hutang dua kali kepadaku.
Sebelum kubunuh kau harus menyerahkan suling emas dengan suka rela
kepadaku!"
Berdebar
jantung Bu Song. Kakek ini tidaklah gila, dan tidak bodoh. Kiranya sengaja
mencari gara-gara dan mencari perkara karena ingin merampas suling dan untuk
itu tidak akan segan-segan membunuhnya. Maklumlah Bu Song bahwa ia menghadapi
hal yang amat gawat dan berbahaya dan oleh karena ini seketika ketenangannya
timbul. Ia teringat akan nasihat suhunya bahwa dalam menghadapi perkara apapun
juga, terutama sekali harus menenangkan hati. Ketenangan akan membuat kita
waspada dan hanya dengan ketenangan kita akan dapat menguasai diri dan
mengambil tindakan secara tepat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga untuk
menenangkan hati dan mengusir semua kekhawatiran. Bahkan wajahnya membayangkan
senyum ketika ia memandang kakek itu.
"Orang
tua, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa seorang perantau miskin seperti aku
ini mempunyai sebuah benda dari emas?"
"Ha-ha-ho-ho-ho!
Kau datang dari Pulau Pek-coa-to, aku mendengar suara suling di sana. Siapa
lagi kalau bukan kepadamu suling itu diberikan oleh Ciu Bun si tua bangka
berkepala batu? Ha-ha-ha! Dasar aku yang bodoh, percaya saja Si Kepala Batu
telah dibunuh Couw Pa Ong!"
Makin
kagetlah hati Bu Song. Kiranya kakek ini tahu pula bahwa ia bertemu dengan Ciu
Bun di pulau. Kalau begini, tak dapat dihindarkan lagi. Kakek ini tentu luar
biasa saktinya dan bertanding ilmu silat dengan kakek ini, jelas ia takkan
menang. Namun bertanding catur, belum tentu! Suhunya sendiri, Kim-mo Taisu yang
juga seorang jago catur, sukar mengalahkan dia dan menurut suhunya, ia memiliki
bakat yang luar biasa untuk bermain catur.
"Baiklah,
kuterima tantanganmu bermain catur, orang tua?" katanya, wajahnya berseri
dan matanya bersinar. "Akan tetapi, sebagai seorang kakek yang sudah
berusia tua, tidak sepatutnya engkau menipu mentah-mentah seorang muda seperti
aku. Biarpun di sini tidak ada orang kecuali kita berdua, setidaknya kau tentu
akan malu sikapmu itu diketahui burungmu."
"Apa?
Menipumu mentah-mentah? Heh-heh, orang muda, jaga baik-baik lidahmu kalau kau
ingin mati dengan lidah utuh nanti!"
"Bu
Tek Lojin, orang bertanding apa saja ada taruhannya. Kita akan bertanding
catur, jagi kita berdua harus bertaruh pula. Akan tetapi engkau tadi hanya
menyuruh aku yang bertaruh, akan tetapi kau sendiri tanpa modal alias bermain
tanpa taruhan. Kalau aku kalah, aku harus mati dan memberikan sebuah suling
emas kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, harus ada taruhannya
pula!"
Mata
kakek itu ketap-ketip (berkejap-kejap), agaknya otaknya dikerjakan keras-keras.
Akhirnya ia mengangguk-angguk dan berkata, "Omonganmu cengli (menurut
aturan) juga! Nah, kalau aku kalah, kau boleh bunuh aku!"
Kembali
Bu Song kaget. Jawaban-jawaban kakek ini benar-benar aneh dan mengagetkan
karena tidak disangka-sangka. Akan tetapi melihat betapa sepasang mata itu
bersinar-sinar dan biji matanya bergerak-gerak seperti tingkah seorang
kanak-kanak nakal yang cerdik dan penuh tipu muslihat, mulut yang tersembunyi
di balik jenggot itu bergerak-gerak seperti menahan tawa, Bu Song maklum dan
berseru,
"Wah,
ternyata Bu Tek Lojin tidak hanya pandai ilmunya, akan tetapi pandai pula akal
bulusnya. Pantas saja menjadi Bu Tek (Tiada Lawan), kiranya selain mengandalkan
kesaktian juga mengandalkan tipu muslihat!"
Episode 378
Suling Mas
Kakek
itu yang tadinya sudah duduk menghadapi kertas bergambar papan catur, kini
meloncat tinggi sehingga burung di pundaknya kaget dan mengembangkan sayapnya
menjaga keseimbangan tubuh. Bu Tek Lojin mencak-mencak dan menari dengan kedua
kakinya berloncatan, kedua tangannya bergerak seperti orang lari di tempat,
mukanya menjadi merah dan matanya bergerak-gerak melotot. "Kurang ajar
kau! Tipu muslihat apa yang kaumaksudkan sekarang? Awas, jangan bikin aku
marah!"
"Habis,
taruhanmu benar-benar tidak adil. Kalau kau kalah main catur, kau bilang aku
boleh membunuhmu. Tentu saja ini tidak adil sama sekali. Aku boleh membunuhmu,
akan tetapi dalam hatimu kau mentertawakan aku dan bilang mana aku sanggup
membunuhmu? Wah, Bu Tek Lojin kakek tua, kau memberikan ekor menyembunyikan
kepala! Tidak mau aku diakali begitu. Kalau kau mau memenuhi sayarat taruhanku,
boleh kaucoba-coba melawan aku bermain catur kalau kau becus! Akan tetapi kalau
tidak mau memenuhi syarat taruhanku, sudahlah, kalau kau orang tua hendak
berlaku sewenang-wenang terhadap orang muda dan tidak malu didengar semua orang
kang-ouw betapa kakek yang bernama Bu Tek Lojin beraninya hanya menghina orang
muda, terserah kau apakan aku, boleh saja!"
Sejenak
kakek itu tidak dapat berkata-kata. Ucapan Bu Song itu benar-benar tepat sekali
menghantam apa yang tersembunyi di dalam rencana pikirannya sehingga ia menjadi
terkesima, seolah-olah menerima serangan tepat di ulu hatinya. Kembali matanya
berkedip-kedip memandang kagum lalu berkata, "Wah, kiranya kau bukan bocah
sembarang bocah, cukup cerdik! Tentu akan merupakan lawan catur yang ulet! Coba
kaukemukakan syaratmu, orang muda."
Sebetulnya
Bu Song bukanlah termasuk orang muda yang suka banyak bicara, bukan pula pandai
berdebat. Kalau sekarang ia bersikap demikian adalah semata-mata terdorong oleh
pengertian yang timbul dari ketenangannya bahwa hanya dengan cara ini sajalah
agaknya ia dapat menghadapi kakek ini!
"Begini
syarat taruhanku, Bu Tek Lojin. Kalau aku kalah bermain catur denganmu, biarlah
takluk dan menyerah kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus pergi
tinggalkan aku dan jangan mengganggu lagi, jangan minta benda emas atau suling
segala macam dan jangan membunuh atau melukaiku! Coba pertimbangkan, kalau aku
kalah, aku hanya minta engkau pergi dan aku tidak mengganggumu. Sebaliknya
kalau aku kalah, aku takluk kepadamu dan menyerah. Bukankah ini berarti aku
sudah banyak mengalah kepadamu?"
Kakek
itu menggaruk-garuk jenggotnya yang putih dan tebal, mendapatkan seekor semut
yang entah bagaimana tahu-tahu tersesat ke tempat itu, dengan gemas memencet
semut itu hancur di antara kedua jarinya. Ia mengangguk-angguk. "Kongto,
kongto (adil, adil). Mari kita mulai!"
Bu
Song menarik napas lega. Setidaknya, bahaya pertama sudah dapat diatasi. Ia
dapat menghadapi kakek ini bermain catur dengan tenang. Kalau ia menang nanti,
ia bebas. Kalau kalah, ia masih dapat melihat keadaan. Kalau kakek itu tidak
membunuhnya, tentu saja hal itu baik sekali. Kalau kakek itu akan memubunuhnya,
tentu saja ia tidak akan tinggal diam dan mati konyol!
Permainan
catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih
dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi
gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa, terlalu berani, kasar dan sama
sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal makan
saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini.
Kakek itu bermain seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu
Song dipaksa saling makan dan dalam waktu singkat biji-biji catur mereka yang
berada di atas papan tinggal sedikit.
Sekarang
mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau
langkah-langkah biji caturnya teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu
muslihat dan ternyata merupakan tingkat permainan catur yang tinggi! Bu Song
kaget dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati
sebelum menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena
pencurahan perhatian yang bulat dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh. Kakek
itu pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan
kiri menekan tanah, lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan,
matanya tidak pernah berkedip memandang papan catur, bibir yang tersembunyi di
balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau menghafal
sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak
bergerak seperti mati.
Episode 379
Suling Mas
Pertandingan
kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya
tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini
setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang
cukup lama. Keadaannya tegang. Biarpun mereka berdua kelihatan tenang-tenang
dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau
menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan
silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan
pertandingan mengadu nyawa!
Dalam
keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan
umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya
kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur
lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik
sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistim pertahanan
yang ulet bukan main.
Bu
Song menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini
mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu
menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga Si Kakek itu tidak bisa
mendapatkan jalan keluar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan kalau
saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan sebuah biji
catur!
Sampai
lama kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah
kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik
napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan.
Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira
ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil
biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil
kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai
curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan
sin-kangnya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil
biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa
bergelak-gelak dan melompat berdiri.
"Ha-ha-ha!
Hebat kepandaianmu main catur." Dengan girang Bu Song juga bangkit berdiri
dan hatinya lega sekali." "Bu Tek Lojin, apakah kau mengaku
kalah?"
"Eh,
Bu Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lwee-kangmu lumayan. Kau murid
siapa?"
"Suhu
Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya."
"Oh-oh-oh...! Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak
kusangka! Orang gila itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu
silat dari Si Gila itu?"
Tak
senang hati Bu Song mendengar suhunya disebut orang gila dan sama sekali tidak
dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw
gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi
ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada
sepersepuluhnya!"
Mendadak
kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa
peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat
sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan
jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh
mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian
lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song
mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!"
Tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya
mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas. Akan tetapi tubuh Bu Song
terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang muda itu
terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia berhasil
mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia memutar tubuh
menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah begitu mudah kau
melupakan janji taruhanmu?"
Akan
tetapi kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani
gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Episode 380
Suling Mas
Kakek
itu tertawa mengejek. "Kaukira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada
Kim-mo Taisu si gila itu, biarpun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin kau
seperti sekarang ini!"
"Aku
bersumpah bahwa aku tidak membohong!" "Sudahlah! Keluarkan suling
emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu
Song kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa
malu untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian
menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!
"Bu
Tek Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah
bermain catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh!
Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan
suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas
itu, jangan kaubikin marah orang tua seperti aku!"
Bu
Song maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi
sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus melawan
dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan menjawab,
"Bu
Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati dan pikiran, dan
menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan kesusasteraan. Aku sudah
berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapapun juga. Harap kau jangan
memaksa."
Kakek
itu berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh
kang-ouw tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan
hidup? Serang dia!" Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu
Song. Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran
di atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan lalu seperti
sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang
dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!
Bu
Song sudah siap siaga. Sungguhpun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan
mewakili Si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap, dengan mudah saja ia
berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di
atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini karena begitu
sambarannya luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan
dengan gerakan sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang
mata Bu Song! Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biarpun Bu Song
sekali lagi mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song
dengan cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun
mengeluarkan darah menetes-netes!
Bu
Tek Lojin tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini,
bangkit kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini
sudah menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia
kurang hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat
bergerak secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah. Burung
hantu itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang
rendah. Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki
gerakan cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat
yang terlatih baik, kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah
membalik lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya
menusuk di antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian
pelipis, kedua cakarnya mencengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang
boleh dikatakan serangan maut!
Namun
Bu Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak,
melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan
cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena
mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena
dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur! Burung itu
ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget
menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya
membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan
hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga
tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya
sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Episode 381
Suling Mas
Si
burung hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan
kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini, cepat ia
miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena
cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena
lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan.
Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song
mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas
menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala.
Agaknya burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan,
kini hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram,
mematuk dan manampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya
mencengkeram lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa
sakti sehingga kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan
kiri Bu Song bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!"
Burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya
berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di
atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya
remuk dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah,
berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek
Lojin marah.
"Aku
hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan
hendak membunuhku!" Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas
awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas
dan jatuh ke tanah.
Kakek
itu menarik napas panjang. "Nah, kaukeluarkan suling emas itu
cepat-cepat!" Bu Song mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau
menuruti permintaanmu, bagaimana Bu Tek Lojin?"
"Mau
atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!"
jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu
Song.
Dari
tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga
tangan kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar
hebat. Cepat ia terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya, ia mengerahkan
tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia berhasil mengelak,
lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri. Biarpun baru belajar
dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar ilmu silat tinggi sudah
ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi ilmu-ilmu simpanan Kim-mo
Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti),
Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan). Empat
ilmu ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan
oleh orang yang memiliki sin-kang sempurna karena setiap gerakan selalu harus
disertai pengerahan tenaga lwee-kang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah
dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah
didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun
kakek itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia
berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat
aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini yang maklum akan kesaktian
lawan, melawan sekuat tenaga, namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali
serangan lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah,
kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil
memaki-maki. Bu Song diam saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh
perhatiannya harus ia curahkan untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena
pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa
belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau...
memang kau seorang manusia luar biasa!" Sambil bicara kakek pendek itu
melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat sehingga tanpa dapat dicegah lagi
dalam serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman
ujung kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu
saja Bu Song terkejut sekali. Dengan gerakan lincah, begitu tubuhnya mencium
tanah, ia menggerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah
mencelat ke atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas
dari balik bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian
Kiam-hoat! Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai
pedang. Hebat sekali gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini dan ternyata suling itu
juga merupakan benda mujijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung
cahaya kekuningan yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking
aneh karena dalam gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
Episode 382
Suling Mas
"Aih...!"
Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang,
terus ia bergulingan di atas tanah menjauh. Setelah melompat berdiri, ia
memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau
menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan
suling emas itu.... hebat pula!"
Akan
tetapi sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi, dengan gerakan aneh
dan cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan
pukulan-pukulan yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad
bulat tidak hendak menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan
sekuat tenaga, menyambut bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan
sulingnya. Ia tetap mainkan Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia
gerakkan dengan ilmu Lo-hai San-hoat. Biarpun ilmu silat ini adalah ilmu silat
yang khusus diciptakan Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi
dapat juga dimainkan dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dengan
jari-jari dikembangkan, adapun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi
totokan jari tangan.
Kembali
Bu Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa
dialah orang nomor satu di dunia ini, tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya
ia benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan
seorang muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang
muda ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup
mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat
ini!
Pertandingan
kini berlangsung lebih hebat daripada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa.
Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi
gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu
ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak
lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar
kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan
membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan
tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin
berciutan.
Namun,
lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa. Memiliki sin-kang yang jauh
melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan
kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan
meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!"
Bu Song kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak
melompat ke belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek
itu mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song
terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengan sedikit saja tentu
matanya akan menjadi buta atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacad.
Terpaksa ia mengelak dan karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi
bahaya mengerikan ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia
hanya merasa betapa tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi
seperti lumpuh, kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia
melancarkan tendangannya mengenai pantat kurus Si Kakek tua yang sudah
membalikkan tubuh setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu
terlempar ke atas tinggi sekali dan tidak turun lagi!
Bu
Song terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas
cabang sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya
menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya.
Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang bisa berbunyi suling itu,
akan tetapi bunyinya tidak keruan dan menyakitkan telinga. Memang kakek aneh
ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha meniup,
bahkan mengerahkan khi-kangnya akan tetapi dalam hal meniup suling, ilmu
khi-kang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang, makin
tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya, terlampau
banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara mendesis
saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua pelipisnya yang
merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii,
hayo kauajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih
kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Episode 383
Suling Mas
Bu
Song sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa
kesaktian kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian
kakek itu, belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji.
Mungkin kakek ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan
mempelajari bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik
karena semua orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat
pemberian seorang kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek
Lojin sudah sedemikian saktinya, kiranya dicari tandingnya sukar di atas dunia
ini, maka untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena
ingin tahu. Maka ia lalu menjawab,
"Bu
Tek Lojin adalah seorang Locianpwe yang sakti dan berkedudukan tinggi. Betulkah
kali ini tidak melanggar janji, hanya akan meminjam suling dan belajar
meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda tentu saja akan suka sekali
memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada Locianpwe."
"Ha-ha-ha,
begitu baru anak baik!" Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia
sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song
mendekat. "Coba kauberitahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya
dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu
Song memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling
itu, dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah
terlalu tua, sudah terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari seni musik yang
membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku,
bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak
memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek
itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung,
hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara
merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba
kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya
keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya
melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak
ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis yang keluar
dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik
dihancurkan!" Setelah berkata demikian, kakek itu menghantamkan suling itu
kepada batu yang didudukinya, berulang-ulang. Terdengar suara keras dan tampak
bunga api berpijar keluar ketika suling bertemu dengan batu.
"Locianpwe,
jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia
khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak. Akan tetapi sebuah dorongan tangan
kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam dadanya dan membuat Bu Song
terpelanting ke belakang!
Kakek
itu agaknya makin marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak
sama sekali biarpun ia pukul-pukulkan batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di
bagian yang dipukul suling.
"Locianpwe,
harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras
dan nikmat didengar!" Dalam gugupnya, Bu Song sengaja bicara terus terang
akan rahasia suling.
Tangan
yang sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti
bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu
pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan
sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu
Song menggeleng kepala. "Kitab apakah, Locianpwe? Saya hanya pernah
mendengar Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Locianpwe Bu Kek Siansu
dan yang ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah
wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo
perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya!"
"Locianpwe,
syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati
perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka
biarlah Locianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu
mujijat ini, Locianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh,
boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kauperdengarkan, akan
kuhafalkan!"
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Bu
Song sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu
Bun girang luar biasa. Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair
sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek itu berseri-seri wajahnya,
sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!
Tiba-tiba
kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan
memeluknya!
Episode 384
Suling Mas
"Anak
baik! Lekas kautiup suling ini, lekas beri kesempatan telingaku mendengar
perpaduannya...!"
Bu
Song lalu duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Locianpwe, saya akan
mengiringi dengan bunyi suling."
Kakek
itu pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke
langit lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang
dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan
berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi dan karena Bu Song
berusaha memenangkan kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan seluruh
perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali,
menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.
Mula-mula
kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia
baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh
perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah
dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya.
Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak
melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak
menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa
dan menangis lagi!
Bu
Song kaget sekali. Sungguh jauh bedanya akibatnya yang menimpa diri kakek ini
kalau dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan
suara mujijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi
seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun
dari atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas
batu dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang
bersamadhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia
tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu
Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih
duduk bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu.
tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan
terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak.
Namun harus ia akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu
kemujijatan yang luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan
suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis
dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa kuatir karena kakek itu diam seperti
berubah menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Locianpwe...!"
Kakek itu tidak menjawab. Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia
menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman, membawa pergi suing emas
yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi, dia seorang yang memiliki
dasar hati penuh welas asih (belas kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek
itu seperti orang berduka, ia menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi
sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh perasaan.
Belum
habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada
Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu
Song, lekas kaumainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan
melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan
untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak
baik!"
Bu
Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum
bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak
membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan
suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat. Tiba-tiba berkelebat
bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan
gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun
tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang dilakukan
dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu oleh
totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui
lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu
mengandung tenaga yang jauh lebih kuat daripada biasanya. Bu Song menjadi
girang, lenyap semua sisa kekuatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini
membantunya, membantu membuka "pintu" dalam tubuh agar hawa sakti
yang ia salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhunya bahwa
ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat
tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam
tubuh ke dalam tubuh orang lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan akan
membahayakan tubuh penolong itu sendiri. Namun Bu Song tidak sempat mencegah
lagi karena ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian Kiam-hoat
gubahan suhunya dan enam belas kali ia merasa ditotok dan dipukul di
bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan
amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan.
Begitu
selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat
menengok. Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat
seperti mayat, matanya tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak. Bu
Song meloncat mendekati dan memanggil lirih, "Locianpwe...!" Kakek
itu tidak menjawab. Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin
hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang
hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, "Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan
Locianpwe!"
Kembali
tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa
dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu
duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba.
Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek
itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba
pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung
kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati!
Karena
menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya
menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu
dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan
air mata! Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk membuat
lubang di tanah. Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat
sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya
menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga
dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai.
Sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam terbuka. Selagi ia hendak menghampiri
kakek itu yang duduk bersila dan disangka mati itu melayang langsung ke dalam
itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!
Bu
Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Locianpwe...!" Hatinya
girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana
mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau
masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya,
dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan?
Setelah
berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah
tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir
sambil berkata,
"Locianpwe,
sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe. Perkenankan teecu pergi
melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian
ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca
duduk bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan
tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Episode 385
Suling Mas
Pergantian
kekuasaan terjadi secara lunak. Benar luar biasa, sungguhpun selama jaman Lima
Dinasti yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh bangun tanpa
ada perang saudara yang cukup serius. Akan tetapi habisnya jaman Lima Dinasti
yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar merupakan peralihan
kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang Yin
menguasai sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak
sehingga dia sama sekali tidak membolehkan anak buahnya melakukan kekerasan dan
gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan "musuh" pun tak seorang pun
diusik, bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan
kepandaian mereka.
Biarpun
keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan
dalam peralihan kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku
bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh besar. Kerajaan Khitan menduga
bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan ini.
Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga
kerajaan-kerajaan lain ingin mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini
dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk memperlebar wilayah mereka,
menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan kebingungan
karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.
Mendengar
tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama, menjadi
marah dan segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk
membantu para pasukan lama di sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi
pemimpin baru. Adapun yang paling diperhatikan adalah serangan dari utara, dari
suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah datangnya
bahaya yang paling besar. Untuk menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu
lalu mengerahkan sebuah barisan besar, dipimpin oleh panglima-palingma
pembantunya yang setia dan gagah perkasa, pandai mengatur barisan. Selain ini,
juga kaisar yang bijaksana dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo
Taisu dan minta bantuan pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan
pasukan-pasukan Khitan yang terkenal kuat dan memiliki panglima-panglima yang
berkepandaian tinggi pula.
Kim-mo
Taisu maklum bahwa hanya kaisar kerjaan baru inilah yang dapat diharapkan akan
mendatangkan kemakmuran kepada rakyat, maka dengan rela hati ia mengulurkan
bantuannya dan berangkatlah Kim-mo Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang
pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan musuh besar mereka,
yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu
memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah
Ban-pi Lo-cia si tokoh Khitan yang sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan
musuh lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia memberi hajaran
orang itu untuk kedua kalinya!
Pada
masa itu, kedudukan bangsa Khitan sudah jauh, sudah melewati tembok besar yang
tadinya dibangun dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa
Khitan! Hal ini terjadi ketika Dinasti Cin (936-947) berdiri. Kerajaan Cin
hanya dapat berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena
bantuan barisan Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung
timur laut di sebelah selatan tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking
sekarang), juga wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang luas dan jauh lebih
subur daripada daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.
Episode 386
Suling Mas
Ketika
barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di
sebelah selatan Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala
jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar lereng pegunungan Tai-hang-san.
Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari menyelam
di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan
melenyapkan diri dan sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan.
Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara penuh dengan bau amisnya
darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.
Para
Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur di
balik puncak Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka
sehingga tidak memungkinkan pihak musuh untuk melakukan penyerbuan serentak.
Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah perkemahan, dikelilingi
oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu. Dalam perang ini,
Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak Khitan
juga tidak ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam
barisan itu adalah untuk menandingi orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia.
Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu karena
selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal
ini selain merendahkan kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya
sendiri sebagai pendekar sakti.
Malam
itu para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga
diam tidak berani mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi
perintah agar malam itu dipergunakan betul-betul oleh pasukan untuk
beristirahat secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi
lawan. Karena itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang
bersenda-gurau dan malam menjadi sunyi sekali.
Namun
pada pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa
bendera-bendera itu kini telah lenyap dan di atas tiang bendera yang tengah,
yang paling tinggi, tampak sebuah benda kecil bergantung. Dalam keadaan terjaga
keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam perkemahan sudah
merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera
lalu meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera,
benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa.
Beberapa
orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di
atas, akan tetapi komandan jaga melarangnya. "Jangan sentuh! Biar kita
melapor ke dalam agar panglima menyaksikan sendiri hal ini. Siap saja untuk
menerima teguran, mungkin hukuman!" Dengan muka pucat dan lesu komandan
jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara
ribut-ribut di luar.
Empat
orang panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka
semua dalam barisan, dari perajurit sampai panglima, tidak ada yang
menanggalkan pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan senjata. Empat orang
panglima itu masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut
karena begitu bangun tidur mereka berlarian keluar. Mereka berhenti di luar
tenda untuk menerima pelaporan komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar,
menceritakan betapa keras dan ketat mereka melakukan penjagaan semalam, namun
ternyata pagi hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang
tengah yang paling tinggi, terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.
Episode 387
Suling Mas
Pada
saat itu, Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat
orang panglima itu saling pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah
untuk mencatat semua perajurit dan komandannya yang bertugas jaga malam itu
untuk dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu,
bersama Kim-mo Taisu, mereka melangkah keluar. Para perajurit yang tadinya
ribut-ribut kini semua terdiam melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan
sunyi dan ketika mereka melihat ke atas, empat orang panglima itu menjadi pucat
mukanya.
"Betapa
mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!" kata Panglima
Phang tertua di antara rekan-rekannya., kemudian menoleh kepada Kim-mo Taisu
sambil berkata,
"Agaknya
pihak musuh mempergunakan orang sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya
Taisu yang dapat menerangkan hal ini."
Diam-diam
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan
Sung, maka ia menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan
tetapi maklum pula bahwa empat orang panglima ini diam-diam di dalam hati
mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah aneh dan ia
tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah
artinya dia sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar?
Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andaikata ia mampu mengamuk dan membunuh
puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan serbuan ratusan,
ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu! berbeda
dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur
barisan dan siasat perang. Sesungguhnya, di tangan mereka inilah letak dasar
kemenangan. Andaikata dia disuruh memimpin seratus ribu orang perajurit dan
disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima puluh
ribu orang perajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya
berguna untuk pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam
perang antara ratusan ribu orang itu.
Akan
tetapi, kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini, barulah ilmu perorangan
seperti yang ia miliki dapat dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan
berkata, "Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya sama sekali.
Anak-anak pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan
kupasang kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!" Setelah
berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal
tanah pasir itu ke atas, ke arah ujung tiang. Tiang bendera itu tingginya
sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang biasa takkan mungkin menimpuk jatuh
benda yang berada di tempat setinggi itu hanya menggunakan tanah pasir. Akan
tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa! Begitu sinar hitam berkelebat ke atas,
benda yang tergantung di puncak tiang itu pun melayang jatuh, disambut sorak
sorai para perajurit yang mengagumi kehebatan Kim-mo Taisu.
Phang-ciangkun
mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia
melihat huruf-huruf yang tertulis di luar sampul ia berseru heran. "Haiii!
Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!"
Dengan
hati heran akan tetapi sikapnya tenang, Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu
dan membacanya. Benar saja. Huruf-huruf indah menghias sampul itu dan ditujukan
kepadanya. Ia segera mengeluarkan suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat
tantangan dari... Kong Lo Sengjin! Sungguh hal yang tak tersangka-sangka! Dia
mencari-cari Kong Lo Sengjin ke mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini
berada di sini dan mengajukan surat tantangan kepadanya! Tentu saja kalau kakek
itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah sesuatu yang
aneh. Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera? Bukankah itu
merupakan penghinaan bagi Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu dahulu ikut
pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin menjadi raja dan memberontak?
Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja? Saking girang hatinya akan bertemu
dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan jawabnya tentang pembunuhan
terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu bergelak, lalu berkata,
"Harap
diambilkan bendera-bendera baru, biar kupasangkan di tempatnya!" Di dalam
hatinya, sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian, melainkan
hanya untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan disamping itu, juga untuk
membesarkan hati barisan. Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan itu untuk
melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang sakti?
Episode 388
Suling Mas
Ketika
lima buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang
lalu diberikan kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang
sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka
loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang yang tingginya
belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan
tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan
cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan
bendera Kerajaan Sung. Jauh dibawahnya, para perajurit bertepuk-tepuk tangan
memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah
pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang
sakti yang sudah memiliki lwee-kang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.
Selesai
mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin
pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk
meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan
bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan
cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah
berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah.
Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan, meloncat turun
dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit
pun suara maupun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.
"Phang-ciangkun,
surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya
harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"
Panglima
Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan
banyak siasat perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu, kalau Taisu tidak
menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa
Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu
sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti
sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat
memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang
pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat
Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"
Kim-mo
Taisu mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang
agaknya begitulah. Namun, musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh
negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini
ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan
menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapapun juga, memang dia selama ini
kucari-cari, maka saya harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun
berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana dia menanti.
Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu
Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke
udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya harus datang, dan saya pasti akan
meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya! Karena,
andaikata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi
mereka tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya
hanya menghadapi orang-orang macam yang semalam datang menyelundup ke sini.
Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!" Kim-mo Taisu menjura,
kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja
berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan
perajurit yang berdiri menghadang jalan keluar!
Semua
orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung
yang berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka
ketika tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari
mendaki puncak!
Episode 389
Suling Mas
"Puncak
itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan
menyusul kalau kita memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada
teman-temannya. Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh dan memang tidak
terlalu pagi mereka berkemas dan bersiap karena tak lama kemudian terdengar
suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet dan tambur
orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat
tinggi untuk mempelajari keadaan, kemudian setelah musuh tampak muncul dari
depan dan dari kiri. Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam
Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula
menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat barisan
Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka
Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan
dan kiri), melainkah menaruh perhatian dan penjagaan pula kepada jurusan lain
mencegah dan mematahkan serangan gelap.
Dengan
ilmu lari cepatnya, Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah
tiba di lereng puncak, tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar
berwarna merah seperti bola api yang indah sekali. Sejenak Kim-mo Taisu menunda
langkah kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar tubuh dan
melihat ke bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai
bergerak dan juga amat megah dan indah tampaknya. Barisan itu seperti semut,
terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, ke empat penjuru dan yang ke
lima tinggal di tengah. Barisan darat, barisan kuda, barisan panah, barisan
tombak, dan barisan golok panjang serta golok pendek tampak jelas dari atas
karena barisan-barisan itu memakai pakaian seragam yang berbeda-beda.
Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan perang dari bawah yang amat
gemuruh itu dari tempat tinggi ini hanya terdengar gemanya saja, seperti
sekumpulan tawon merah. Jauh di sebelah utara, tampak samar-samar
pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang bergerak dari balik puncak. Dibandingkan
dengan barisan Sung, pasukan-pasukan Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan
legalah hati Kim-mo Taisu. Ia percaya akan kemampuan para komandan pasukan
Sung, akan keberanian perajurit-perajuritnya.
Dengan
hati lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikitpun ia tidak
merasa ragu-ragu atau takut-takut, sesungguhpun ia dapat menduga bahwa Kong Lo
Sengjin yang berwatak aneh dan curang itu mungkin sekali membawa
pembantu-pembantu. Tiba-tiba ia terheran ketika dari balik sebatang pohon
muncul seorang laki-laki yang bersenandung seorang diri, tangan kanannya memegang
sebuah mouw-pit (pena bulu) hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit putih.
Kiranya ia muncul bukan untuk menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang
ke arah batang pohon yang besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke
depan. "Rettt!" Mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada
sehelai kertas putih yang dibentangkan di batang pohon. Kemudian ia mundur lagi
sampai tiga meter lebih, matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya
miring-miring, lalu ia maju lagi menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan.
"Rettt!" lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung
tidak jelas apa maksudnya, kini bernyanyi, suaranya serak dan suara nyanyian
itu tidak enak didengar.
"Biar iblis kalau berhati emas, bukan jahat
namanya!
Biar raja kalau berwatak srigala, dia melebihi iblis!
Biar srigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,
seekor harimau pun bisa mengalami bencana !
Karena itu lebih baik lari menjauhkan diri!"
Kim-mo
Taisu yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda
perjalanannya. Akan tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat
pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki Kim-mo Taisu. Guru Besar
Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong,
seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan
saja. Apalagi disebut-sebut tentang srigala-srigala yang hendak mengeroyok,
maka sang harimau lebih baik pergi jauh. Tak salah lagi! Orang aneh itu
bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya agar jangan melayani
tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya! Ketika Kim-mo Taisu mendekat,
tampaknya olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, agak
pendek dan matanya lebar itu sedang melukis. Ia memandang ke arah kertas yang
dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja Kim-mo Taisu berseru
saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni
lukis, bahkan sedikit banyak pandai juga melukis. Bukankah menulis huruf sama
dengan seni lukis pula? Apa yang dilihatnya di atas kertas itu benar-benar
sebuah lukisan yang mengagumkan. Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan
hidup. Gambar itu melukiskan empat ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok
seekor harimau. Biarpun lukisan itu hanya hitam putih, namun hidup sekali. Mata
empat ekor srigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan
kecurangan di samping kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup
mengeluarkan uap amis, dengan air liur menetes-netes, lidah terjulur keluar, gigi
runcing-runcing penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan
kegagahan dan keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor
srigala yang buas dan berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah
kaki belakang sang harimau.
Episode 390
Suling Mas
"Lukisanmu
indah sekali, Sobat!" Kim-mo Taisu memuji.
Orang
itu kelihatan kaget bukan main, kedua mouw-pitnya sampai melayang ke atas dan
sekali tangan kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar
terang kekuningan, tubuhnya melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap
dengan pedang di depan dada, ketika sepasang mouw-pit hitam putih itu meluncur
turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu dengan tangan
kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di
antara tangan kirinya!
Mereka
saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki
kepandaian yang tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat
kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan menjura.
"Maafkan
saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi
melihat lukisan yang hebat luar biasa ini, dan mendengan nyanyian Saudara, tak
mungkin saya lewat begitu saja. Kim-mo Taisu bukanlah seorang yang tidak tahu
akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian melukis yang
begini mengagumkan!"
Tiba-tiba
orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang
kuda-kuda tadi, pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo!
Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu balas memberi hormat sambil
pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).
"Wah-wah-wah!
Akulah yang layak ditampar! Aku yang layak minta maaf karena seperti orang buta
saja tidak melihat timbulnya matahari pagi yang demikian indah merajai angkasa
raya! Tidak mengenal Kim-mo Taisu yang tersohor sebagai seorang pendekar sakti,
terutama baik budi pekertinya. Maaf, maaf !" Ia menghormat lagi lalu
berkata, "Aku yang bodoh bernama Gan Siang Kok, akan tetapi anak-anak
kecil yang suka melihat gambar-gambarku menyebutku Gan-lopek. Heh-heh-heh,
memang aku sudah tua tentu saja suka disebut lopek (paman tua) ! Mau pura-pura
muda saja, rambut sudah beruban gigi sudah tidak lengkap, Heh-heh, hati sih
tinggal muda, tapi rambut dan gigi ini tak dapat disangkal ketuaannya. Ha-ha-ha
!"
Kim-mo
Taisu tersenyum. Orang ini biarpun aneh, wataknya terbuka dan mempunyai
pandangan luas dan selalu gembira. Agaknya memandang dunia dengan hati terbuka
dan dari sudut yang mengandung kelucuan. Memang kalau orang berpemandangan awas
dan berhati terbuka, di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang membuat
hati menjadi geli, seperti melihat badut-badut berlagak di atas panggung.
Melihat betapa di dalam kehidupan manusia sehari-hari, selalu manusia tunduk
kepada kepalsuan yang disebut kebiasaan umum! Kekeliruan-kekeliruan dan
penyelewengan-penyelewengan yang tidak dianggap salah lagi karena orang banyak,
bahkan semua orang melakukannya! Kepalsuan yang kadang-kadang disebut kesopanan,
disebut kebiasaan umum, disebut peraturan dan bahkan disebut hukum! Alangkah
lucunya manusia-manusia yang berselimut segala yang baik-baik itu membiarkan
diri berlagak seperti badut-badut berkedok kepalsuan! Tentu saja hal ini tidak
akan tampak oleh manusia sesama badut. Hanya orang yang sudah sadar saja yang
akan dapat menjadi penonton. Orang-orang yang masih mabok dan belum sadar,
mabok keduniaan, akan terseret dan ikut main di atas panggung menjadi
badut-badut dan bahkan saling berlomba memperebutkan kejuaraan badut!
"Kalau
begitu, biarpun selisih usia kita tidaklah terlalu banyak, aku yang lebih muda
akan menyebutmu Gan-lopek juga."
"Heh-heh-heh,
itu yang paling baik. Merupakan kehormatan besar sekali mempunyai keponakan
seorang berwatak pendeta dan bertubuh pendekar yang harus disebut Taisu (guru
besar) oleh Paman tuanya. Ha-ha!"
"Gan-lopek,
harap sudahi main-main ini. Tidak perlu kiranya kau berpura-pura lagi bahwa
yang kaunyanyikan dan yang kaulukis ini kebetulan saja menyangkut diriku. Terima
kasih atas peringatanmu bahwa di atas sana menanti musuh-musuhku yang berjumlah
banyak hendak mengeroyokku. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa seekor harimau
tidak pernah mengenal takut. Nah, aku pun tidak takut karena aku berbekal
kebenaran. Sekali lagi terima kasih dan selamat berpisah, Gan-lopek!"
Setelah memberi hormat lagi, Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya.
Gan-lopek
melanjutkan corat-coretnya, mulutnya mengomel, "Cari mati...., cari
mati...!"
Episode 391
Suling Mas
Ketika
kemudian Kim-mo Taisu menengok, ia melihat betapa Gan-lopek yang aneh dan lucu
itu telah mencoret-coret gambarnya sehingga gambar yang indah itu berubah
menjadi hitam semua, seperti seorang kanak-kanak yang ngambul dan sengaja
merusak lukisan itu untuk melampiaskan kekecewaan dan kemendongkolan. Kim-mo
Taisu tersenyum, mengangkat kedua pundak, lalu melanjutkan perjalanannya
mendaki puncak. Di atas puncak Tai-hang-san itu terdapat bagian yang rata dan
ditumbuhi rumput hijau, cukup luas dan pemandangan dari puncak itu ke bawah
amatlah indahnya. Kim-mo Taisu melihat ke bawah dan tampak pemandangan luar
biasa karena kini "semut-semut" di bawah itu sudah mulai berperang!
Tiba-tiba
dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan itu muncul empat orang yang
bergerak cepat menghampirinya. Paling depan ia mengenal Kong Lo Sengjin yang
"berjalan" di atas kedua tongkatnya. Akan tetapi alangkah kaget,
heran dan juga girangnya ketika melihat bahwa orang ke dua adalah Ban-pi
Lo-cia! Tanpa ia cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah berkumpul sehingga
mudah baginya untuk segera menyelesaikan perhitungan lama! Dasar seorang yang
berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan keuntungan perjumpaan ini,
sama sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia menjadi satu
merupakan lawan yang bukan main beratnya, belum lagi ditambah dua orang yang
berada di belakang mereka. Adapun dua orang itu juga bukan orang sembarangan,
karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis yang jahat dan licik,
memiliki kepandaian yang aneh sekali, sedangkan orang ke dua adalah Lauw Kiat,
murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi ilmunya dan semenjak dahulu
mengeroyoknya tentu kini telah bertambah ilmunya.
Akan
tetapi Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar. Memang harus ia akui bahwa
bersatunya Kong Lo Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia, merupakan hal yang tidak ia
sangka-sangka dan memang kedua orang itu ditambah Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat
merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat ketika ia dikeroyok oleh
Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu. Namun selama belasan tahun
ini pun ilmunya sendiri sudah mendapat kemajuan pesat. Dahulu ia terhitung
masih muda, dan kini ia sudah dapat mematangkan ilmu kepandaiannya, sedangkan
dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia dan Kong Lo Sengjin, sudah
terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang tenaganya.
"Hemm,
siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu terkenal sebagai seorang patriot
sejati, seorang pembela tanah air dan negara sampai mengorbankan kedua kakinya,
kini menyeberang kepada musuh dan tidak malu dalam usia tua merubah diri
menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya karena bersekutu dengan
orang Khitan !" Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa tertusuk
dan marah bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu bersekutu dengan
Ban-pi Lo-cia. "Berlaku curang, menggunakan orang Hui-to-pang membunuh
keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain adalah biasa,
akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan
mendatangkan noda yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan !"
Marahlah
Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa sehingga mukanya menjadi pucat,
alisnya berdiri dan rambutnya yang sudah awut-awutan itu seketika seperti
menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan
memaki dengan bentakan keras.
"Tutup
mulutmu! Kwee Seng, kau anak kecil tahu apa tentang perjuangan? Ketika kau
belum terlahir aku sudah berjuang membela negara. Sekarang kau berani memberi
kuliah tentang perjuangan kepadaku? Keparat !"
Kim-mo
Taisu tersenyum mengejek "Justeru karena kau sudah terlalu tua maka engkau
menjadi pikun. Sudah layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir.
Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah perbuatan buruk. Seribu
perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo
Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal
yang baik malah menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang
malah tersesat dalam kegelapan? Mengapa seorang patriot berubah menjadi
penghianat ?"
Episode 392
Suling Mas
"Setan
neraka !" Kong Lo Sengjin semakin marah. "Aku sudah mengorbankan
seluruh keluargaku untuk negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang
menyuruh bunuh isterimu untuk membangkitkan semangatmu agar kau mengikuti
jejakku! Kau yang baru berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak membalasku.
Jangan kira aku takut. Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu
apa? Semenjak Kerajaan Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas
oleh raja-raja lalim. Mula-mula mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja.
Keadaan begini harus diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya sajalah yang akan
dapat membantu merubah keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan
mendirikan kembali Kerajaan Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau
membantu kami, aku dan sahabat-sahabatku ini akan melupakan segala urusan
diantara kita yang sudah lewat, dan mari kita bangun kembali Kerajaan Tang
dengan bantuan sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena
kau masih terhitung mantu keponakanku!"
Kim-mo
Taisu memandang dengan mata terbelalak, kemudian bertanya, suaranya perlahan
dan lirih, "Dan kau...kau menjadi kaisarnya?"
"Siapa
lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang terakhir!" jawab Kong Lo Sengjin
sambil membusungkan dada.
Celaka,
pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila! Menjadi Kaisar Kerajaan Tang
yang dibangun dengan bantuan bangsa Khitan? Sama saja dengan memasukkan barisan
srigala ke dalam rumah. Apakah kalau seandainya bangsa Khitan berhasil, mereka
mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo Sengjin? Kepada seorang kakek lumpuh?
Membayangkan betapa kerajaan dikuasai oleh seorang kaisar lumpuh, Kim-mo Taisu menjadi
geli hatinya dan tak tertahankan lagi ia tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha!
Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah menjadi gila! Tak usah kau melamunkan
yang bukan-bukan karena sekarang juga kau harus menebus kematian isteriku
dengan nyawamu! Adapun teman-temanmu ini, terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga
takkan lepas dari tanganku karena dia harus menebus kematian adik isteriku.
Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim
Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban manusia Khitan ini?"
"Tutup
mulut ! Urusan pribadi tidak penting, yang penting urusan negara!" Kong Lo
Sengjin sudah menjadi marah sekali dan menerjang Kim-mo Taisu dengan kedua
tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara dahsyat. Tentu saja kakek yang
berubah wataknya ini tidak peduli betapa keponakannya mati karena Ban-pi
Lo-cia, karena dia sendiripun tega menyuruh membunuh keponakannnya, isteri
Kim-mo Taisu, hanya untuk kepentingan cita-citanya.
Kim-mo
Taisu yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat mengelak dengan lompatan
tinggi ke kanan. Ketika kakinya kembali menyentuh bumi, tangan kanannya sudah
memegang sebatang pedang, tangan kirinya memegang sebuah kipas. Memang semenjak
ia mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh besarnya yang terdiri dari orang-orang
sakti, dan mengingat akan pengalamannya ketika ia dikeroyok tanpa memegang
senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan diri dengan sepasang senjatanya yang
lengkap yaitu pedang dan kipas. Begitu lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo
Taisu menggerakkan pedang dan kipas, pedangnya mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan
kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang merupakan pasangan luar biasa dan hebat.
Betapapun saktinya Kong Lo Sengjin menghadapi serbuan sepasang senjata aneh
yang mengeluarkan angin pukulah dahsyat ini, kakek itu terhuyung ke belakang.
Akan
tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang maju dengan cambuk hitamnya
sambil tertawa, "Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat lolos
dari cambukku!" Betapa kaget hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung
cambuknya menyambar dan dekat dengan tubuh lawan, ujung cambuk itu terpental
kembali seakan-akan ada tenaga luar biasa yang menolaknya. Kiranya kebutan
kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk
itu. Dari gerakan ini saja dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sin-kang
Kim-mo Taisu dan diam-diam Ban-pi Lo-cia merasa khawatir. Ia maklum bahwa
selama belasan tahun ini, Kim-mo Taisu telah mendapat kemajuan pesat sekali dan
dalam hal tenaga dalam saja ia sudah tidak dapat menandingi lawannya! Biarpun
begitu, kakek raksasa ini tidak takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan
Lauw Kiat sudah menyerbu maju untuk membantu.
Episode 393
Suling Mas
Yang
hebat dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu adalah Pouw-kai-ong. Begitu
Raja Pengemis ini bergerak menggunakan sebatang tongkat pengemis, terdengar
angin menderu dan serangannya berbahaya sekali. Kiranya Raja Pengemis yang
sebaya dengannya itu, juga telah memperoleh kemajuan hebat. Hanya Lauw Kiat
murid Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling lemah di antara empat
orang ini. Namun pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan membuat Kim-mo Taisu
harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Pertandingan
berlangsung dengan amat hebatnya. Betapapun dia dikurung dan tidak diberi
kesempatan oleh empat orang pengeroyoknya, namun Kim-mo Taisu kadang-kadang
menggunakan kesempatan untuk mengerling ke bawah puncak, untuk melihat
kalau-kalau ia dibutuhkan oleh panglima bala tentara Sung. Di bawah puncak juga
terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan melawan bala tentara Sung.
Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh kedua fihak. Penyembelihan
dan pembuhuhan kejam tanpa sebab-sebab pribadi, hanya untuk memenuhi kehendak
beberapa gelintir manusia yang ingin melihat cita-citanya terlaksana!
Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang menang tertawa dan hidup.
Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun hanya menang untuk
sementara saja, menang untuk waktu yang tidak lama, karena maut tentu akan
datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul nyawa mereka yang kalah! Pedang
dan golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang hancur tubuh
lawan yang kalah, senang hati menyiksa yang kalah. Seolah-olah mereka ini lupa
bahwasanya sebelum maut kelak mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka
mengalami suka dan derita sebelum mati, mungkin jauh lebih mengerikan dan lebih
sengsara daripada penderitaan mereka yang dicincang dalam perang. Lupa bahwa siksaan
dalam bentuk penyakit sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan sengsara.
Dalam
mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak ada yang menang atau kalah
dalam kehidupan manusia. Yang menang mutlak dan abadi hanya Tuhan. Karena itu,
bahagialah mereka yang mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan, sebagai perajurit
Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya mengharapkan damai dan tenteram di
dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh membunuh, tidak ada benci, tidak ada
dendam. Yang ada hanya kasih sayang sesama hidup, bergembira melihat orang lain
bersenang, prihatin dan mengulurkan tangan menolong melihat orang lain
bersusah. Kalau hidup antar manusia sudah seperti itu, hidup antar negara tentu
menjadi demikian pula. Tidak ada bentrok politik, tiada perang agama, tiada
perbedaan di antara bangsa, penuh kasih, penuh toleransi. Amboi, alangkah
nikmat hidup di dunia dalam keadaan seperti itu.
Kim-mo
Taisu benar-benar seorang pendekar sakti. Empat orang lawannya adalah
orang-orang luar biasa, ahli-ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Bankan yang dua orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia adalah dua orang
sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Namun, sampai sejam
lebih mereka bertempur, belum juga empat orang itu dapat merobohkan Kim-mo
Taisu. Betapapun juga, harus diakui bahwa keadaan Kim-mo Taisu amat berbahaya.
Selain empat orang itu lihai juga mereka, terutama Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo
Sengjin, bertanding penuh semangat dan kebulatan tekad. Agaknya dua orang kakek
itu maklum bahwa kali ini harus ada keputusan terakhir, mempertaruhkan nyawa
untuk menang atau kalah. Hidup atau mati! Karena kenekatan inilah maka Kim-mo
Taisu mulai terdesak. Ia belum mampu melukai seorang di antara empat orang
pengeroyoknya yang dapat bekerja sama amat baik dan rapi, saling melindungi dan
saling menjaga.
Agaknya
Lauw Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras dan dari dalam hutan di puncak
gunung muncullah dua belas orang Khitan yang bertubuh tinggi besar. Mereka
datang membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali mengapa sebuah jala ikan dibawa
oleh dua belas orang. Sebetulnya jala itu bukan sembarang jala, melainkan
sebuah alat untuk menangkap orang sakti. Jala ini terbuat daripada bahan yang
kuat sekali, tidak putus oleh sabetan senjata tajam, dan di sebelah dalamnya
terdapat banyak kaitan-kaitan berbentuk pancing sehingga sekali seorang
tertutup jala, betapapun saktinya, akan sukar baginya untuk lolos karena makin
keras ia bergerak memberontak akan makin banyak pula kaitan-kaitan kecil berbentuk
pancing manancap di tubuhnya!
"Bantu
kami tangkap dia!" seru Lauw Kiat dalam bahasa Khitan.
Akan
tetapi selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala dan mengatur kedudukan
mereka yang dipersulit oleh adanya pertandingan yang sedemikian cepat gerakannya,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu tiba di situ, bayangan itu
tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar itu secara
kalang-kabut. Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang datang
menyerang dua belas orang penebar jala itu bukan lain adalah Gan-lopek si
pelukis tadi!
Episode 394
Suling Mas
Benar
saja dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan kakek pelukis ini tadi. Tidak
hanya pandai melukis dan melawak, Gan-lopek ini ternyata lihai pula ilmu
silatnya. Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas orang tinggi besar yang
hanya pandai bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah orang-orang Khitan yang
biasa menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing laut dengan jala.
Tentang ilmu silat, mereka hanya tahu sedikit-sedikit, walaupun bertenaga
besar.
Karena
penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua belas orang itu tidak sempat
mempergunakan jala mereka, maka mereka mencabut golok besar dan menerjang kakek
yang tertawa-tawa itu. Kiranya Gan-lopek hanya melayani mereka dengan sepasang
mouw-pitnya. Pedangnya masih tergantung di pinggang, sama sekali tidak ia
pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya hebat. Ketika tubuhnya
berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari agogo, kedua
tangannya bergerak cepat, terdengar teriakan-teriakan marah. Sebentar saja enam
orang tinggi besar sudah tidak bisa berkelahi lagi karena mereka menggunakan
kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret oleh sepasang
mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna hitam dan putih
sedangkan mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh seorang demi seorang
tertotok gagang mouw-pit.
Sayang
Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia cepat-cepat merobohkan dua
belas orang itu tanpa bergurau seperti itu, agaknya ia masih akan sempat
membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika Gan-lopek sedang enak-enaknya
membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu seperti orang membabat rumput
saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat dan dahsyat dari belakangnya,
didahului suara Kim-mo Taisu, "Gan-lopek, awas!"
Gan-lopek
terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke belakang, menangkis dengan
sepasang mouw-pitnya. Akan tetapi terdengar suara keras, sepasang mouw-pitnya
patah dan pundak kanannya kena hantam ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia yang
telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek merobohkan dua belas orang
tukang jala.
"Aduuhh...!"
Gan-lopek roboh terguling dan terus ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari
serangan susulan. Sambil bergulingan Gan-lopek muntahkan darah segar, tanda
bahwa hantaman pada pundaknya tadi telah mengakibatkan luka berat di sebelah
dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam itu bagaikan tangan maut terus
mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.
Melihat
keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras, pedangnya bergerak menjadi sinar
panjang ke depan, membuat para pengeroyoknya kaget dan mundur. Kesempatan ini
ia pergunakan untuk menggerakkan tubuhnya, meloncat dan melayang ke arah Ban-pi
Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan pedang ke arah punggung kakek raksasa
itu.
Ban-pi
Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan. Mendengar angin serangan
dari belakang, raksasa Khitan itu cepat membalikkan tubuh sambil mengayun
Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang ampuh itu. Kim-mo Taisu sudah menduga
akah hal ini, cepat menggerakkan kipasnya ketika kakinya sudah turun di atas
tanah sambil mengerahkan sin-kang, mencipta tenaga melekat. Begitu bertemu
kipas, cambuk Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari kipas dan pada saat itu
pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada. Ban-pi Lo-cia cepat mengerahkan tenaga
Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke arah lambung Kim-mo Taisu tanpa
mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan berbahaya itu, kakek raksasa ini agaknya
ingin mengadu nyawa, mengajak mati bersama. Namun Kim-mo Taisu tidak sudi
menerima ajakan ini, pedangnya yang menusuk otomatis bergerak membabat ke
bawah.
"Crakkk!""
Buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku. Darah menyemprot akan
tetapi sedikitpun tidak terdengan keluhan Ban-pi Lo-cia, bahkan kakek itu
tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah terlepas, menyambar pula. Kim-mo
Taisu melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari belakang tentu dari
seorang di antara para pengeroyok, cepat merebahkan diri ke bawah, bergulingan
dan melihat kesempatan baik, ia meloncat ke atas dan mengerjakan pedangnya yang
tak dapat dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang sudah terhuyung-huyung. Pedang
menancap di perutnya yang gendut. Kim-mo Taisu menyontek pedang ke atas lalu
meloncat sambil mencabut pedang. Ban-pi Lo-cia makin keras tertawa bergelak,
akan tetapi kini ia tertawa sambil memandang ususnya yang keluar dari lubang
besar di perut, dipegangnya usus itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia
terhuyung lalu roboh berkelojotan.
Episode 395
Suling Mas
Hasil
menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat dengan mudah begitu saja oleh
Kim-mo Taisu. Tanpa pencurahan tenaga dan perhatian yang menyeluruh dalam
serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu merobohkan seorang sakti seperti
Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian yang menyeluruh inilah, maka
Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya. Ketika Kim-mo Taisu
bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar serangan hebat yang
datang dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan berguling ia berhasil
menghindarkan ancaman tongkat Pouw-kai-ong, bahkan berhasil menusuk dan
menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan menyontekkan pedangnya ke
atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba datang pukulan yang hebat
dari arah kiri sedangkan dari arah kanannya menyambar tongkat Pouw-kai-ong,
dari belakang juga ia ditusuk oleh tongkat di tangan Lauw Kiat, murid Ban-pi
Lo-cia yang marah sekali melihat suhunya tewas.
Pada
saat itu, Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan kedua kakinya masih belum
menginjak tanah dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan tubuh miring sehingga ia
dapat menangkis tongkat Lauw Kiat denga pedang dan menyampok tongkat
Pouw-kai-ong dengan kipas. Maksudnya hendak melanjutkan tangkisan pedangnya itu
terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat dan membuntungkan lengan
Kong Lo Sengjin. Namun terlambat. Kiranya Kong Lo Sengjin tidak memukul ke arah
yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak jauh ke arah punggung. Kim-mo Taisu
yang sedang menangkis dua tongkat itu tak sempat lagi mengelak. Punggungnya
terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling! Sebagai seorang ahli silat yang
tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh itu hanya mampu membuat ia terguling saja.
Cepat ia terus menggelinding sambil menggerakkan pedang dan kipasnya menjaga
diri. Akan tetapi ketika ia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia
merasa punggungnya sakit dan kaku!
Inilah
hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang menyebabkan ia dahulu dijuluki
Sin-jiu (Kepalan Sakti). Kakek ini memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang
ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali terkena sambaran angin
pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu memang kuat dan bukanlah
seorang lawan berilmu rendah. Akan tetapi tadi ia sedang menangkis dan ternyata
kakek lumpuh itu telah mengirim pukulan tepat pada saat ia menangkis dan dengan
tepat pula memilih bagian yang pada saat itu "kosong". Tadi Kim-mo
Taisu menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang karena maklum bahwa kedua
tongkat itu digerakkan oleh dua lawan yang lihai. Oleh karena inilah maka tentu
saja tenaga sin-kangnya dipergunakan dan disalurkan ke dalam kedua lengan
sehingga bagian punggungnya yang amat kuat itu menjadi kosong dan lemah.
Kim-mo
Taisu terkejut, maklum bahwa ia telah menderita luka berat. Ia memuntahkan
darah hidup, akan tetapi segera dapat mengatur pernapasan dan serangan
berikutnya dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi dengan gerakan yang cukup
kuat dan cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu, kuat dan ulet berani dan
pantang mundur.
"Taisu,
mari lari...!" Dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu
mengajak. Gan-lopek terluka hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan
tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh itu, maka ia mengajak
Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi
Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguhpun
punggungnya terasa makin sakit.
Gan-lopek
berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat
seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang
urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu Kim-mo Taisu adalah karena
ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal dan
tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo
Taisu yang namanya terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu
dengan jalan merobohkan dua belas orang tukang jala. Dan ia pun baru saja
tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah
impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya
tanpa sebab. Kim-mo Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk
tidak melarikan diri.
Memang
wawasan Gan-lopek itu benar. Andaikata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan
Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan
kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri bukanlah hal yang memalukan.
Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin. Semua perhitungan
harus diselesaikan saat itu juga.
Pertandingan
antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biarpun
Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah
kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya dapat membatasi diri dengan
bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk menyerang,
tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja
ia mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang dan dengan cara
ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biarpun akhirnya ia
kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!
Episode 396
Suling Mas
Pada
saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan
sepasukan tentara. Melihat suhunya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song
mengeluarkan suara melengking tinggi dan mendahului pasukan itu meloncat ke
depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu
seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apa lagi datang bala
bantuan belasan orang banyaknya! Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan
curang, maka begitu melihat pihak mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka
lalu melompat pergi dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu menyambar jenazah
gurunya.
Bu
Song cepat menghampiri suhunya yang berdiri terhuyung-huyung.
"Suhu...!" tegurnya penuh khawatir.
Kim-mo
Taisu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa ke
sini?"
"Teecu
baru saja datang. Dari kota raja mendengar akan keberangkatan Suhu bersama
barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Di lereng gunung barisan kita
telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang mengadakan pengejaran.
Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh teecu menyusul ke
sini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"
Biarpun
mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan
perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan
tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar ini kembali muntahkan darah segar
dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhunya, memondongnya ke dalam perkemahan
dan membaringkannya, lalu merawatnya.
Setelah
siuman Kim-mo Taisu berkata, "Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya.
Akan tetapi tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat
ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?" Setelah bertanya demikian, Kim-mo
Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Bu
Song yang maklum bahwa suhunya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya,
segera menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek
Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan merupakan berita menyenangkan, maka ia
berani bercerita kepada suhunya.
Benar
saja, biarpun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar
penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya, panjang-panjang, menarik napas
sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis, ditahannya lama-lama baru
dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka kedua matanya,
memandang muridnya.
"Keluarkan
suling itu " katanya lirih. Dengan hati bangga dan girang dapat
menyenangkan hati suhunya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari balik
jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhunya. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak
memgang suling itu, hanya memandang dan berkata,
"Memang
betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah
sudah kaupelajari cara meniupnya untuk mengiringi sajak dalam kitab?"
"Sudah,
Suhu."
"Coba
kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."
Bu
Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian
Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhunya sudah berkata, "Cukup! Kau sungguh
bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan
Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."
"Ah,
mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh..." Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya
memotong kata-kata muridnya, "Coba ceritakan bagaimana keadaan perang
ketika kau tiba di sini."
Ternyata
ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar Pegunungan
Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi
hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak. Girang
hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil bertanya-tanya
kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan
merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya. Akhirnya ia tiba di
perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di
perkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan
para panglima terancam karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa
sekali. Orang itu pakaiannya seba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak
mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan.
Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang perajurit yang berani
menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi dua! Akan tetapi, para
perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit pilihan yang tidak takut
mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini,
puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun banyak sekali perajurit
yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun Sang
Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat
orang panglima.
Pada
saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini, ia menjadi marah
dan sekali melompat, ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia
iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia
tahu adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia Iblis itu tadi mengaku
berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja
lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun
sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song
menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar
menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo
memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan.
Melihat
betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa
khawatir, apalagi para perajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih
mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya
diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan
oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri!
Setelah
Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis.
Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan
di lereng gunung.
"Demikianlah,
Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan
melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan
pengawal tadi," Bu Song mengakhiri ceritanya.
Kim-mo
Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian ia lalu mengerutkan keningnya
lalu bertanya, "Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek
sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara
antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu
amat menarik."
Episode 397
Suling Mas
Bu
Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar
sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap
lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian
tiba-tiba ia berkata,
"Bagaimana
bunyi sajak terakhir itu ?" Bu Song lalu membaca sajak dengan suara
bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja
mendengar, sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik
napas panjang dan berkata, "Sajak yang baik dan mengandung kebenaran
mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami
pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba
kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu
yang tadinya menanggung nyeri di punggungnya tampak bergembira dan wajahnya
berseri. Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera
dan silat bersikap aneh sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya
juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu
perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mujijat dan jahat!
"Jangan
kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari
dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar
biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa
menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula.
Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan
apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah
berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo
Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Sampai
tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song
yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan
gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel di atas
pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas
dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya
lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu
Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song
mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul
dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya,
tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah
laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari
kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan
Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi.
Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi
oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait,
saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada
yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang
paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait,
seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling
mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan
terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada
pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak
sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih
kembali, kait-mengait, berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan sudah
semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu
kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu
kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar,
sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena
sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa.
Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu
Song?"
Episode 398
Suling Mas
Dengan
terus terang Bu Song menjawab, "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu
kurang mengerti."
Kim-mo
Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh
dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian. "Tidak aneh, Bu Song.
Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun
engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah,
contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh
dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena
sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau
seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi.
Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian
itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka,
menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak
wajar!"
Bu
Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya. "Mengapa kukatakan
tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini
adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya
sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi,
peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu
berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada
hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum
kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini,
semua wajar dan semestinya. Yang tidak semestinya, yang tidak wajar,
mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas
sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam
dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia
dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam, kalau
manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya,
menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka
kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia
akan tenteram dan aman."
Sampai
lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata, "Maafkan teecu,
Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja.
Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan kehendak alam
itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur
menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan
banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut
kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk
tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum
sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai
dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib,
terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri
daripada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan.
Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak,
kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran
perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang
betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau
tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada
kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau
kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah,
tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Episode 399
Suling Mas
Bu
Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan
tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga di situ, di depan satu-satunya
tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh
belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada
Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ,
Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk
menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song
mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat
tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia
tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi
disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song melompat bangun dan lari ke
depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong
Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok
tengkorak seperti iblis!
"Hemm,
Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi
hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita
agar lekas beres!" Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali,
bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil.
Sikap
yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada
permusuhan itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Kwee
Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena
itu engkau harus mati, kalau tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha
kami!" kata Kong Lo Sengjin.
"Kau
harus menebus kematian Suhu!" bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan
tongkatnya.
"Ha-ha,
Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu?
Sekarang harus kau tebus!" kata Pouw-kai-ong. Hanya Hek-giam-lo yang diam
saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu menduga-duga siapa gerangan orang yang
bersembunyi di balik kedok tengkorak ini.
Kim-mo
Taisu menarik napas panjang. "Menang atau kalah, hidup atau mati, sama
saja. Yang penting adalah berdiri di atas kebenaran! Kalau kalian merasa
penasaran, majulah!"
Pada
saat itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat keluar dan membentak,
"Manusia-manusia berhati keji dan curang! Setelah memiliki ilmu kepandaian
tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat pengecut dan curang? Suhu
sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan tetapi kalian datang berempat
untuk mengeroyoknya. Di mana keadilan dan kegagahan kalian?"
"Bu
Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan mencampuri dan melibatkan dirimu
dengan urusan kotor ini. Bu Song, jangan kautiru gurumu yang menanamkan pohon
kebencian sehingga menghasilkan buah-buah dendam dan permusuhan." Suara
Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung wibawa sehingga Bu Song
terpaksa mundur lagi. Dada pemuda ini panas dan penuh amarah, namun
ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang dengan hati was-was dan
penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya itu yang sama sekali tidak
mengindahkan aturan dunia kang-ouw. Orang yang sudah menamakan dirinya
pendekar, pantang melawan orang sakit, apalagi mengeroyoknya! Dan empat orang
itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat lebih tinggi daripada
pendekar-pendekar silat biasa. Sungguh menjemukan dan menyakitkan hati,
menimbulkan rasa penasaran.
Di
antara empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat seorang yang masih memiliki
harga diri. Lauw Kiat murid kedua Ban-pi Lo-cia ini adalah seorang Khitan
peranakan. Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han yang bernama keturunan
Lauw. Akan tetapi karena sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia dan ia ikut
ibunya di Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia selain berkepandaian tinggi,
juga terkenal sebagi seorang gagah perkasa di Khitan, yang biarpun tidak
mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia kepada rajanya dan selalu
membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai kegagahan, dan mengenal
tata cara, aturan dan sopan santun pendekar dunia persilatan.
Mendengar
teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw Kiat. Ditegur tentang aturan oleh
seorang pemuda, benar-benar amat memalukan. Maka ia lalu menerjang maju sambil
berseru, "Kim-mo Taisu, aku membela kematian Suhu Ban-pi Lo-cia! Lihat
seranganku!" Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini, karena tongkatnya yang
baru, berat dan terbuat daripada baja, menyambar ganas dan mendatangkan angin
pukulan yang amat kuat.
Episode 400
Suling Mas
Kim-mo
Taisu yang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya dan masih belum sembuh,
tidak mau menghamburkan tenaga dan ingin menyelesaikan pertandingan itu secara
secepat mungkin. Maka ia tidak mengelak menghadapi sambaran tongkat baja itu,
namun secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangan. Kipas di
tangan kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat pada kipas, kemudian bagaikan
halilintar menyambar pedangnya sudah membabat ke arah leher Lauw Kiat. Tokoh
Khitan ini kaget bukan main. Berusaha keras membetot tongkatnya sambil
merendahkan tubuh untuk menghindarkan sabetan pedang. Akan tetapi sungguh tak
disangkanya bahwa pedang itu sama sekali tidak menyabet leher seperti
tampaknya, melainkan membabat kaki. Kasihan sekali Lauw Kiat yang tidak sempat menghindarkan
serangan luar biasa ini. Terdengar ia mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan
kedua kakinya buntung. Darah bercucuran dari kedua lutut yang sudah buntung
itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan, tidak merasai nyeri lagi.
Kim-mo
Taisu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dan tahu-tahu ia sudah
berlutut di dekat tubuh Lauw Kiat, menotok jalan darah di paha untuk
menghentikan darah yang mengalir keluar, kemudian mengeluarkan obat bubuk untuk
mengobati luka agar melenyapkan rasa nyeri. Akan tetapi tiba-tiba Bu Song
berseru, "Suhu, awas!"
Seruan
peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena tentu saja pendekar sakti itu
sudah tahu bahwa dia diserang hebat oleh Kong Lo Sengjin, Hek-giam-lo dan
Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih berlutut dan hendak mengobati
luka kedua kaki Pak-sin tung! Cepat Kim-mo Taisu menggerakkan tubuh melesat
pergi dari situ sambil membawa pedang dan kipasnya. Obat bubuk tadi ia
sebarkan, merupakan senjata rahasia mengarah mata ketiga orang pengeroyoknya
yang terpaksa melompat mundur, karena tahu bahwa jika obat bubuk itu memasuki
mata, akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak dapat dibuka dan tentu
saja akan berbahaya bagi mereka.
Dalam
detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian yang amat cepat.
Kalau tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi sudah mengeluarkan
jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah menjadi adu nyawa yang
cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat dan kuat,
sukar diikuti pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar suara keras, dan empat buah senjata runtuh dan rusak.
Tongkat Pouw-kai-ong patah menjadi dua ketika bertemu secara hebat dengan kipas
di tangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek tengahnya dan patah gagangnya.
Senjata sabit di tangan Hek-giam-lo yang mengerikan itu juga patah menjadi tiga
bertemu dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua. Terdengar
mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking tinggi
yang keluar dari mulut Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah beradu
telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin. Keduanya berhadapan, Kim-mo Taisu agak
merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan kedepan, kedua
telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang
"berdiri" di kedua tongkatnya. Mereka mengerahkan sin-kang dan
mengadu tenaga dalam secara mati-matian!
Pouw-kai-ong
cepat menempelkan telapak tangan kanan ke punggung Kong Lo Sengjin sebelah
kanan, dan Hek-giam-lo juga meniru perbuatan Raja Pengemis itu, menempelkan
telapak tangan kiri ke punggung kakek lumpuh yang sebelah kiri. Mereka berdua
sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa dalam keadaan mengadu tenaga
seperti itu, kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu dengan pukulan, yang berbahaya
adalah Kong Lo Senjin sendiri. Pukulan yang mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat
"ditarik" dan "disalurkan" oleh lawan kepada Kong Lo
Sengjin sehingga sama artinya dengan memukul kawan sendiri meminjam tangan lawan!
Satu-satunya cara terbaik untuk membantu adalah seperti yang mereka lakukan.
Tenaga sin-kang mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin menekan lawan.
Hebat
akibatnya. Tadinya menghadapi Kong Lo Sengjin yang sudah tua, Kim-mo Taisu
masih menang tenaga. Kalau dilanjutkan, beberapa menit lagi tentu ia akan
sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi setelah dua orang lawannya yang lain
datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang tersalur melalui dua
telapak tangan Kong Lo Sengjin, Kim-mo Taisu berusaha menahan, namun ia tidak
kuat, apalagi karena di sebelah dalam dadanya masih terluka cukup berat.
Betapapun juga, pendekar yang gagah perkasa ini sama sekali tidak mengeluh, dan
sama sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengarahkan sin-kangnya
dan mempertahankan diri sehingga wajahnya pucat, matanya berkilat dan dari
kedua ujung bibirnya menetes darah segar!
Melihat keadaan gurunya
sedemikian rupa itu, Bu Song tak dapat tinggal diam lagi. Biarpun suhunya tadi
sudah memesan agar ia tidak turut campur, namun bagaimana ia dapat berpeluk
tangan melihat suhunya terancam kematian oleh tiga orang lawan itu?
"Maaf, Suhu.
Terpaksa teecu harus turun tangan!" Ia membentak dan segera melompat maju.
Seperti juga Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk
membantu suhunya yang sedang mengadu tenaga dalam itu, sama sekali ia tidak
boleh menggunakan Iwee-kang memukul para lawan suhunya karena hal ini amat
membahayakan suhunya sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya,
keduanya dengan jari-jari terbuka, yang kanan menusuk ke arah mata Pouw-kai-ong
sedangkan yang kiri merenggut kedok hek-giam-lo. Perhitungan Bu Song tepat,
Pouw-kai-ong yang ia serang matanya, dan tidak dapat mengelak mau tak mau harus
melayaninya dengan tangkisan, yang berarti menarik tenaganya membantu Kong Lo
Sengjin, sedangkan Hek-giam-lo yang selalu mengenakan kedok, tentu merupakan
pantangan paling besar baginya untuk dibuka kedoknya dan pasti akan
melayaninya. Kalau dia menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik. Namun
betapapun juga, Bu Song tak sampai hati dan merasa malu harus menyerang dua
orang yang tak bersiap itu dengan senjata!
Pouw-kai-ong dan
Hek-giam-lo yang melihat bahayanya serangan, cepat menangkis sambil melompat
mundur, melepaskan bantuan mereka pada Kong Lo Sengjin. Bu Song kini baru mau
menggunakan sulingnya dan sekali sulingnya bergerak, terdengar suara melengking
tinggi dan sinar suling itu membawa hawa pukulan dahsyat. Bukan main kagetnya
Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena mereka maklum bahwa tenaga dan kepandaian
orang muda itu hebat bukan main, jelas tampak dari gerakan serangan itu.
Sedangkan mereka berdua sudah tidak bersenjata lagi, yang tadi patah dan rusak
sampyuh (sama-sama rusak) dengan senjata-senjata Kim-mo Taisu. Maka mereka hanya
mengandalkan gerakan mereka yang cepat untuk mengelak dan mundur-mundur!
Sementara itu, Kim-mo
Taisu yang sudah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, ketika melihat di
sebelah dalam tubuhnya, ketika melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan kedua
orang pembantunya, cepat mengerahkan tenaga terakhir dan mendorong sekuatnya.
Kong Lo Sengjin mengeluh dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter ke
belakang, seperti daun kering tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia
bangkit berdiri di atas kedua tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya
seperti tidak bersinar lagi, dan tanpa berkata apa-apa kakek ini melangkah
pergi sempoyongan seperti orang mabok.
"Bu Song,
mundur!!" Kim-mo Taisu berseru. Bu Song girang mendengar suara suhunya dan
ia mencelat mundur di samping suhunya, siap membela orang tua ini. Kim-mo Taisu
lalu memandang dua orang musuh itu sambil berkata, suaranya penuh wibawa,
"Apakah kalian masih
hendak melanjutkan pertandingan?" Dua orang itu, Hek-giam-lo dan
Pouw-kai-ong, tentu saja menjadi jerih hati mereka. Tanpa berkata apa-apa,
Hek-giam-lo mengempit tubuh Lauw Kiat dan melompat pergi dari situ bersama
Pouw-kai-ong yang juga pergi mengambil jurusan lain. Kedua tokoh ini memang
telah dapat dibujuk oleh Kong Lo Sengjin untuk membantunya, bersama Ban-pi
Lo-cia, dengan janji-janji muluk seperti biasa. Kini melihat betapa Kong Lo
Sengjin sendiri telah dikalahkan Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan gelanggang
tanpa mempedulikan mereka, tentu saja mereka pun tiada nafsu lagi untuk menandingi
Kim-mo Taisu yang demikian saktinya.
Setelah semua musuh
pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau saja tidak segera
dipeluk oleh Bu Song.
"Bagaimana, Suhu?
Hebatkah lukamu...?" Kim-mo Taisu menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu
berdiri lagi, dibantu oleh Bu Song.
"Lukaku hebat
memang, dan berat, Akan tetapi tidak apa, sudah semestinya terjadi dalam
pertandingan, tidak seberat luka Kong Lo Sengjin. Akan tetapi hatiku terasa
pedih dan sakit. Bu Song, kau lihatlah baik-baik di sekelilingmu... kau
lihatlah mayat-mayat itu..."
Tentu saja sejak tadi Bu
Song sudah melihatnya. Ratusan, mungkin ribuan mayat berserakan di sekitar
lereng bukit, mayat-mayat tentara Sung dan Khitan yang belum sempat diurus
orang karena perang masih terus terjadi, kejar-mengejar. Pemandangan itu amat
mengerikan, juga menyedihkan.
"Bu Song, kau
berlututlah!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata. Bu Song terkejut, juga
merasa heran, akan tetapi ia tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan suhunya. "Bersumpahlah bahwa kau menaati pesanku yang terakhir
ini!"
Bu Song menekan
perasaannya yang diselimuti kedukaan karena ia maklum akan keadaan suhunya.
"Teecu bersumpah demi Thian Yang Maha Kuasa akan menaati pesan Suhu."
"Kau hanya boleh
mempergunakan kepandaian silat yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, untuk menentang yang jahat dan untuk menolong yang lemah tertindas,
di samping penggunaan untuk membela diri. Kalau kau mempergunakan ilmu silatmu
untuk menyombongkan kepandaian, untuk menanam permusuhan, dan untuk
melampiaskan nafsu mencari kemenangan, kau...kau akan terkutuk..!"
"Teecu akan mentaati
pesan Suhu ini !" jawab Bu Song, suaranya tegas karena keluar dari hati
yang jujur. Tanpa pesan suhunya, memang ia pun berpendirian seperti yang
diinginkan suhunya itu.
"Jangan kau
mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat melakukan hal ini, kau harus
mematikan rasa benci terhadap siapapun juga. Hati-hatilah terhadap wanita, Bu
Song. Sesungguhnya, hidup gurumu selama ini jatuh bangun hanya karena wanita,
karena kelemahan hatiku terhadap wanita. Jangan mudah menjatuhkan cinta, karena
bagi penghidupanku selama ini, cinta itulah yang merupakan pangkal segala
derita. Leburkan rasa cintamu menjadi kasih sayang yang merata terhadap semua manusia,
dan hidupmu akan penuh bahagia."
Kembali Kim-mo Taisu
berhenti dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi
pucat sekali. Bu Song cepat bangun dan memeluk suhunya. "Mari kita masuk
ke dalam kemah dan beristirahat, Suhu."
Kim-mo Taisu tidak
membantah diajak masuk dan dibaringkan di dalam, akan tetapi ia masih sempat
memberi pesan teakhir, "Sewaktu-waktu.. pada hari pertama musim semi...
datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh dengan... Bu Kek
Siansu.." kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah
segar. Bu Song terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia
menotok beberapa jalan darah di leher dan dada suhunya seperti yang pernah ia
pelajari dari suhunya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak
tangannya di dada suhunya sambil mengerahkan tenaga.
Akan tetapi tak lama
kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan menolak
tangan muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya keluar dari
tenda. Ia bangkit duduk dengan susah payah. Bu song dengan hati terharu
membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya duduk diam meramkan mata, ia
tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya dengan
isyarat tangan tadi.
Pada saat itu tampak
sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to
(pisau terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur
ke seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya. Bu Song terkejut, namun tidak gugup.
Dengan cepat dan tenang, kedua tangnnya bergerak dan berhasil menyampok runtuh
pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat
buah hui-to!
"Pengecut
keji!" Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama
sepuluh orang yang semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi.
Teringatlah Bu Song ketika ia masih kecil, melihat dua orang anggota
Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh
oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo
ini adalah anggauta-anggauta Hu-to-pang.
"Hek-giam-lo, kau
kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"
"Wah, bocah ini
mengenal kita!" Seorang di antara pemegang pisau itu berseru dan tiba-tiba
pisau di tangannya menyambar ke arah leher Bu Song. Bu Song sengaja
memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak mengelak,
melainkan membuka mulut dan "menangkap" pisau itu dari samping dengan
giginya! Kemudian sekali meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada
batang pohon sampai ke gagangnya!
"Jangan mencari
perkara, harap kalian pergi!" kata Bu Song, teringat akan pesan suhunya.
"Si Tua Bangka
sedang terluka, serbu!" teriakan ini keluar dari balik kedok tengkorak dan
menyerbulah sepuluh orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu Song! Hek-giam-lo
sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit bergagang panjang yang mengerikan.
Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini sehingga begitu
senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya.
Bu Song mencabut
sulingnya dan cepat ia melompat ke depan menyambut serbuan mereka. Dengan
pengerahan tenaga sakti, ia menangkis sabit Hek-giam-lo mengeluarkan seruan
aneh seperti orang menangis ketika sabitnya dihantam membalik. Akan tetapi Bu
Song tidak dapat balas menyerang karena ia harus menghadapi para anggauta
Hui-to-pang yang ternyata merupakan orang-orang lihai pula. Permainan golok
mereka luar biasa, juga amat teratur merupakan barisan golok yang saling
berantai, saling Bantu dan saling susul amat rapi! Dalam kemarahannya
menyaksikan kecurangan Hek-giam-lo dan orang-orang ini yang hendak mendesak
gurunya yang terluka parah, Bu Song mengeluarkah semua kepandaiannya dan dengan
lengking tinggi yang keluar dari lubang sulingnya, senjata istimewa ini
berhasil menotok roboh seorang pengeroyok dan orang ke dua yang agaknya menjadi
gentar oleh lengking suling, kena dihantam oleh tangan kiri Bu Song sehingga
roboh bergulingan dan tidak mampu bangkit kembali!
"Hek-giam-lo manusia
curang! Diantara Suhuku dan engkau tidak ada permusuhan, mengapa kau
mendesaknya?" Bu Song masih mampu melontarkan pertanyaan ini sambil
memutar sulingnya dan berloncatan ke kanan kiri. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya
mengeluarkan suara mendengus seperti seekor lembu, bahkan menerjang makin
galak.
Bu Song teringat betapa
isteri gurunya juga tewas oleh seorang tokoh Hui-to-pang yang disuruh Kong Lo
Sengjin, maka kemarahannya menjadi-jadi. Ia hanya tidak mengerti mengapa
Hek-giam-lo memusuhi gurunya. Bukankah Hek-giam-lo tadinya muncul dalam barisan
Khitan? Mengapa pula Hek-giam-lo kini mengajak orang-orang Hui-to-pang untuk
mengeroyok gurunya yang sudah terluka parah? Tentu saja Bu Song sama sekali
tidak tahu bahwa Hek-giam-lo ini bukan lain adalah Bayisan! Hek-giam-lo selalu
mengenakan kedok tengkorak untuk menyembunyikan mukanya yang rusak dan
mengerikan, bahkan menakutkan.
Seperti telah kita
ketahui dalam bagian depan cerita ini, Bayisan yang menjadi Panglima Muda
Khitan, adalah murid Ban-pi Lo-cia, murid terkasih yang telah mewarisi ilmu
kepandaian kakek raksasa itu. Karena tergila-gila kepada Puteri Tayami, ia
hendak memaksa puteri itu menjelang pembunuhan Raja Kulukan, ayah Puteri
Tayami. Tentu saja yang melakukan pembunuhan gelap itu bukan lain adalah Bayisan
sendiri yang bersekongkol dengan Pangeran Kubakan putera selir raja yang
kemudian menggantikan kedudukan ayahnya yang ia suruh bunuh sendiri. Akan
tetapi, tanpa disengaja, untuk melindungi kehormatannya yang hendak diperkosa
oleh Bayisan, Puteri Tayami telah menaburkan racun pada muka Bayisan yang
tadinya tampan sehingga muka Bayisan terbakar dan berubah menjadi seperti muka
setan yang menakutkan. Semenjak malam itu, Bayisan melarikan diri dan tidak
berani mucul lagi di muka umum. Khitan kehilangan Bayisan yang melarikah diri
ke hutan-hutan. Namun diam-diam Bayisan memperdalam ilmunya dengan hati penuh
dendam. Beberapa tahun kemudian, Khitan menjadi gempar dengan munculnya seorang
tokoh berkedok yang menamakan diri Hek-giam-lo. Akan tetapi karena ilmu kepandaian
Si Kedok Tengkorak ini amat tinggi, ditambah pula agaknya Raja Kubakan
bersahabat baik dengan Hek-giam-lo serta mempercayainya sebagai pengawal, maka
tidak ada orang yang berani mencari tahu akan keadaan atau riwayatnya.
Sesungguhnya, Hek-giam-lo ini pulalah yang telah diam-diam menewaskan Tayami
dan suaminya, Salinga, di dalam perang. Menewaskan dengan cara curang dari
belakang selagi suami dan isteri yang patriotic ini maju perang membela
bangsanya!
Oleh karena Hek-giam-lo
adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang
telah menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorangpun yang tahu, juga
orang-orang yang terkenal di Khitan tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga
bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya adalah Bayisan, bekas Panglima
Khitan yang dulunya tampan itu.
Tentu saja hanya Raja
Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sutenya (adik
seperguruannya), Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu.
Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat Hek-giam-lo marah
sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah
sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang tidak tahu duduk
persoalannya, tentu saja merasa heran dan marah.
Juga orang muda ini tidak
tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri
gurunya, yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini
juga ada sebab-sebabnya. Ketika Kim-mo Taisu masih merantau sebagai seorang
pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung, Kim-mo Taisu
pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena Ketua
Hui-to-pang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang
gadis yang dicintai puteranya. Puteranya jatuh cinta kepada seorang gadis anak
pedagang kulit di kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si
gadis menolak pinangan itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah
dipertunangkan dengan keluarga lain. Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena
tidak suka bermantukan putera Ketua Hui-to-pang yang terkenal sebagai
perkumpulan tukang-tukang pukul.
Kalau saja Ketua
Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia
pun tidak akan memaksa setelah mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan
orang lain. Akan tetapi begitu mendengar alasan penolakan yang sesungguhnya, ia
menjadi marah sekali. Toko Si Penjual Kulit diobrak-abrik, Si Penjual Kulit dan
isterinya mati terbunuh dan anak perempuannya diculik! Kebetulan pada hari itu
Kim-mo Taisu lewat di kota itu. Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa
pendekarnya dan malam hari ia mendatangi gedung Ketua Hui-to-pang. Kemarahannya
memuncak ketika mendengar betapa gadis itu menggantung diri sampai mati setelah
menjadi korban keganasan putera Ketua Hui-to-pang.
Pertempuran terjadi dan
Ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila itu dan yang
marah karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan
"sepele" orang lain, ternyata kalah dan terluka! Ketika para anggauta
Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera Ketua
Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya,
ketika hendak meninggalkan tempat itu dan membebaskan putera Ketua Hui-to-pang,
Kim-mo Taisu membuntungi ujung hidung dan kedua telinga pemuda hidung belang
itu!
Inilah sebab-sebab
permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu, dan tokoh yang berhasil
dihasut Kong Lo Sengjin dan membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung
Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri. Demikianlah tidak mengherankan apabila kini
mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi
ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka yang
berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan Liong dalam usaha mereka merampas dan
mencari kitab dan suling pemberian Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo
Taisu! Dendam mereka makin mendalam. Memang kakek tua renta yang lumpuh, Kong
Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat licin, penuh tipu muslihat dan curang.
Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan kesalahan ke pundak orang
untuk mengadu domba!
Biarpun dua orang
anggauta pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan
tangan kiri Bu Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini
mereka bergerak hati-hati dan tidak berani memandang rendah lawan muda ini,
keadaan mereka menjadi lebih kuat daripada tadi. Apalagi Hek-giam-lo juga
mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu
benar-benar seru dan mati-matian.
Namun Bu Song seperti
seekor burung garuda yang mengamuk Setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin,
gerakannya luar biasa sekali. Apalagi senjatanya merupakan senjata yang ampuh
dan aneh, terbuat daripada logam yang tampaknya seperti emas, akan tetapi
sesungguhnya merupakan logam campuran yang ajaib, yang menjadi lebih ampuh lagi
karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang sudah
dijuliki dewa oleh tokoh-tokoh besar persilatan. Sepak terjangnya hebat
menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang Hui-to-pang itu
kehilangan golok mereka yang terbang atau runtuh begitu terbentur suling yang
mengandung tenaga sin-kang mujijat!
Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang
ini meloncat mundur dan begitu tangan mereka bergerak, golok terbang melayang
dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali, Ia
memutar sulingnya dan menerjang maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan
kedua kakinya melakukan tendangan berantai dan robohlah dua orang Hui-to-pang
setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter lebih! Namun pada saat itu,
selagi Bu Song masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari
empat penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah belasan batang
hui-to yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga
belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo! Ketika Bayisan
menyembunyikan diri, ia pernah mempelajari ilmu golok terbang dari Ketua
Hui-to-pang, yaitu melontarkan golok sebagi senjata rahasia. Dan karena tingkat
kepandaiannya memang amat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Ketua
Hui-to-pang sendiri, maka begitu ia mendapatkan rahasia ilmu melontarkan golok
terbang ia dapat menciptakan ilmu ini yang lebih hebat daripada orang yang
mengajarnya. Ia dapat menciptakan golok yang gagangnya melengkung sehingga
kalau ia melontarkannya, golok itu dapat terbang kembali kepadanya apabila
tidak mengenai lawan dan dapat ia sambut dan pergunakan lagi! Lebih hebat pula,
kedua tangannya dapat melontarkan tiga belas batang golok terbang sekaligus!
Ini memang hebat luar biasa, karena Hui-to-pangcu sendiri, ketua Perkumpulan
Golok Terbang, hanya dapat melontarkan sebanyak tujuh batang golok!
Menghadapi serangan ini,
Bu Song terkejut dan tentu saja ia memutar sulingnya menangkis sambil mengelak.
Akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa golok yang tidak mengenai
sulingnya, dapat terbang membalik. Ada tiga batang yang terbang membalik sehingga
ia amat kaget dan berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi kurang cepat dan
sebatang golok milik Hek-giam-lo menancap di pundak kirinya!
Melihat hasil ini, enam
orang Hui-to-pang menyerbu serentak dengan tusukan dan bacokan golok yang
datang bagaikan hujan ke arah tubuh Bu Song. Bu Song mengeluarkan suara keras
dari kerongkongannya, suara keras yang mengiringi pengerahan tenaga dalam,
memutar sulingnya untuk melindungi tubuh karena Hek-giam-lo pun sudah
menerjangnya lagi. Pundaknya terasa sakit dan panas sekali sehingga lengan
kirinya hampir lumpuh. Keadaannya berbahaya sekali, namun Bu Song menggigit
bibir dan memutar suling, mengambil keputusan akan melindungi suhunya sampai
titik darah terakhir.
Pada saat itu tiba-tiba
Kim-mo Taisu muncul di pintu tenda. Mukanya tidak kelihatan pucat, matanya
berkilat penuh wibawa, sikapnya menantang dan dia membentak,
"Hek-giam-lo, kau
masih tidak mau pergi? Orang-orang Hui-to-pang, belum puaskah kalian dengan
pertumpahan darah dan pengorbanan nyawa?" Sambil berkata demikian, dengan
mudah saja Kim-mo Taisu menggunakan ujung lengan bajunya menyampok beberapa
buah hui-to yang menyambar ke arahnya, karena orang-orang Hui-to-pang sudah
menyerangnya dengan hui-to begitu melihat musuh besar ini muncul. Golok-golok
terbang itu runtuh dan patah semua menjadi dua potong!
Gentarlah hati
Hek-giam-lo dan sisa orang-orang Hui-to-pang ketika melihat Kim-mo Taisu yang
ternyata masih gagah perkasa itu. Jelas bagi mereka bahwa kalau pendekar sakti
ini maju, dengan bantuan muridnya yang pandai, pihak mereka akan mengalami
kekalahan besar. Maka Hek-giam-lo mendengus dan membalikkan tubuh lalu berlari
pergi, diikuti oleh enam orang anggauta Hui-to-pang yang tidak pedulikan empat
orang temannya yang tewas.
Begitu orang-orang itu
lenyap dari pandangan, Kim-mo Taisu roboh terguling di depan pintu tenda! Bu
Song cepat melompat dan berlutut memeriksa keadaan suhunya. Akan tetapi
ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng, pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia
persilatan itu telah menghembuskan napas terakhir. Bu Song menundukkan
kepalanya, termenung sejenak, lalu ia mengangkat jenazah suhunya dibawa ke
dalam tenda dan dibaringkan.
Bu Song lalu mencabut
hui-to yang menancap di pundak kirinya. Darah mengucur keluar, akan tetapi
segera berhenti setelah Bu Song menekan jalan darah di pundaknya dan menaruh
obat bubuk pada luka di pundak. Ia tidak khawatir akan racun, karena menurut
suhunya, tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Kemudian Bu song mencari dan
memilih tempat yang baik di lereng Gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan
mengubur jenazah suhunya, menaruh sebuah batu besar di depan kuburan. Kemudian
ia mengerahkan tenaga, dengan jari telunjuk kanan Bu Song mencorat-coret pada
permukaan batu itu dan terjadilah goresan sedalam dua senti meter yang
membentuk huruf-huruf indah.
MAKAM
PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG
Setelah itu, Bu Song lalu
mengubur pula jenazah empat orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak mengubur
mayat yang dilihatnya berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk daerah
Pegunungan Tai-hang-san. Mereka beramai-ramai lalu mengubur semua jenazah, baik
mayat tentara Sung maupun mayat orang Khitan. Bu Song membantu sekuat tenaga.
Saking banyaknya mayat di sekitar pegunungan, pekerjaan dilanjutkan sampai
keesokan harinya dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat dalam satu lubang.
Ketika pada keesekokan harinya akhirnya semua mayat terkubur, penduduk dusun
tidak melihat lagi pemuda tampan yang ikut bekerja mati-matian tanpa
mengeluarkan sepatah katapun itu. Bu Song telah pergi dengan diam-diam, hatinya
trenyuh memikirkan keadaan perang dan segala akibatnya. Rakyat dusun, rakyat
kecil yang tidak tahu apa-apa, yang selalu taat dan patuh dan takut, mereka
inilah yang selalu menjadi korban terakhir. Tanpa diperintahkan mereka mengubur
semua mayat. Mereka harus mengubur semua mayat itu karena kalau tidak,
keselamatan mereka terancam oleh bahaya menjalarnya wabah penyakit yang hebat.
Setelah gurunya meninggal
dunia, barulah Bu Song merasa betapa hidupnya sunyi dan sebatang kara. Ada
timbul ingatan dalam hatinya untuk pergi ke Nan-cao, menjumpai kakeknya,
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari ibunya yang sampai kini tidak pernah ia
jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa pernah ia bertemu dengan ibunya,
bahkan ia berani menegur dan menasihati ibunya itu yang hendak membunuhnya!
Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa karena sikap dan kata-katanya maka
ibunya menjadi sadar dan insyaf, membuat ibunya lalu menyembunyikan diri tidak
mau muncul lagi di dunia ramai untuk menebus dosa-dosanya!
Akan tetapi Bu Song tidak
dapat melupakan Suma Ceng. Betapapun juga, cinta kasih yang terpendam dalam
hatinya takkan dapat lenyap. Betapa mungkin ia dapat melenyapkan rasa cinta
kasihnya terhadap Suma Ceng, gadis yang telah merampas hatinya, yang telah
menyerahkan jiwa raga kepadanya? Karena rasa rindunya kepada Suma Ceng tak
tertahankan lagi, maka ia menunda niatnya pergi ke Nan-cao mencari keluarga
ibunya, sebaliknya ia lalu pergi lagi ke kota raja. Tadinya memang ia sudah ke
kota raja, akan tetapi ketika itu ia hendak mencari suhunya dan mendengar bahwa
suhunya pergi bersama tentara Sung ke utara, ia segera keluar dari kota raja
untuk menyusul suhunya. Sekarang ia pergi ke kota raja dengan tujuan lain,
yaitu mencari tahu tentang diri kekasihnya, Suma Ceng.
Ketika ia memasuki pintu
gerbang kota raja, hatinya berdebar. Ia tahu betapa perhubungannya dengan Suma
Ceng kurang lebih tiga tahun yang lalu, telah menimbulkan kegemparan di dalam
rumah tangga keluarga Pangeran Suma Kong. Dia sendiri telah disiksa dan kalau
tidak ditolong suhunya, tentu ia akan tewas tersiksa. Akan tetapi bagaimanakah
dengan Suma Ceng? Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia membayangkan
jangan-jangan kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula, jangan-jangan malah
telah mati! Ia menggeget giginya. Ia harus menyelidiki dan membuktikan bahwa
Suma Ceng kekasihnya tidak sengsara hidupnya.
Ia memasuki pintu gerbang
kota raja ketika hari sudah menjelang senja. Keadaan mulai sepi, apalagi karena
Bu Song masuk dari pintu gerbang bagian selatan, ia melalui pinggiran kota raja
yang paling sunyi. Mendadak ia mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan. Bu
Song melihat seorang laki-laki muda, berpakaian penuh tambalan akan tetapi baik
baju maupun tambalannya terbuat dari kain baru dan bersih sekali sehingga lebih
patut disebut pakaian berkembang aneh, sedang berdiri bertolak pinggang dan
memaki-maki belasan pengemis berpakaian penuh tambalan dan butut.
Tertarik hati Bu Song dan
ia segera mendekat. Pengemis baju bersih itu usianya kurang lebih tiga puluh
tahun, sedangkan sebelas orang pengemis baju kotor paling muda berusia tiga
puluh lima tahun. Akan tetapi sungguh mengherankan betapa belasan pengemis itu
yang kelihatan murung dan muram wajahnya, dimaki-maki oleh Si Pengemis Baju
Bersih sama sekali tidak berani membalas atau marah. Bahkan seorang diantara
mereka, yang usianya sudah amat tua, dengan muka sabar berkata,
"Sudahlah, Sahabat
muda. Harap kau suka maafkan kami orang-orang tua yang tadi tidak mengenal
siapa adanya engkau."
"Huh, memang kalian
ini jembel-jembel busuk! Biar pura-pura sudah menerima kalah dan menjadi
jembel, masih bersikap sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru silat
kenamaan dan anggauta-anggauta Sin-kauw-bukoan? Huh!" Pengemis muda baju
bersih itu lalu menggerakkan kaki menendang. Tendangan keras dan mengandung
tenaga, mengenai perut kakek jembel itu mengeluarkan suara berdebuk keras.
Bu Song terkejut.
Tendangan itu keras sekali dan dapat diduga bahwa pengemis baju bersih itu
memiliki tenaga kasar yang amat kuat. Akan tetapi ketika mengenai perut si
Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh kakek itu. Diam-diam ia merasa kagum
dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian kakek jembel berbaju kotor itu jauh
lebih tinggi daripada kepandaian Si Pengemis Baju Bersih, akan tetapi mengapa
dihina diam dan mengalah saja? Bahkan kini pengemis baju bersih itu marah-marah
dan memaki-maki, "Kau hendak melawan? Mengandalkan ilmu
kepandaianmu?" Sambil memaki, pengemis baju bersih ini menggerakkan kaki tangannya,
menghantam dan menendang. Biarpun kakek itu dapat menerima tendangan dan
pukulan ini tanpa terluka, namun ia terhuyung-huyung dan ketika ia
mundur-mundur, tak diketahuinya bahwa di belakangnya terdapat selokan. Kakinya
terpeleset dan ia jatuh ke dalam selokan yang airnya kotor!
Pengemis baju bersih itu
tertawa bergelak, lalu pergi dari situ dengan lagak sombong. Para pengemis baju
kotor yang lain hanya memandang lalu menundukkan kepala sambil menarik napas
panjang. Jelas bahwa mereka ini pun menahan kemarahan hati dan melihat
gerak-gerik mereka, Bu song dapat menduga pula bahwa mereka ini pun bukan orang
sembarangan dan belum tentu kalah oleh pengemis baju bersih yang sombong tadi.
Akan tetapi mengapa mereka itu, seperti juga kakek yang dipukulinya tadi, diam
saja dan mengalah?
Setelah pengemis baju
bersih itu pergi tak tampak lagi, kakek pengemis yang jatuh ke dalam selokan
tadi membanting banting kaki dan menarik napas panjang berulang-ulang sambil
mengeluh, "Aahhh... heh...!"
"Suhu, mengapa Suhu
menerima terus-menerus penghinaan macam ini? Mari kita serbu saja dan mengadu
nyawa dengan si bedebah!" Seorang pengemis yang termuda berkata, suaranya
mengandung penasaran.
"Hushh, jangan
bicara sembarangan!" Kakek itu menegur, lalu kembali menghela napas dan menggeleng-geleng
kepalanya.
Seorang pengemis lain
yang lebih tua berkata, "Twa-suheng (Kakak Tertua), ada benarnya juga
ucapan muridmu. Seorang gagah lebih baik mati daripada mengalami penghinaan
dalam hidupnya!"
"Sudahlah, Sute
(Adik Seperguruan). Melawan tanpa perhitungan kepada lawan yang jauh lebih kuat
sehingga lebih merupakan bunuh diri, bukankah gagah namanya, melainkan bodoh.
Siapa orangnya mau mengalami penghinaan? Aku pun tidak suka, akan tetapi kita
harus mencari jalan keluar yang baik, menanti kesempatan yang tepat!"
"Akan tetapi sampai
kapan kita menanti lagi, Suhu?" Si murid mendesak, "Mungkin Suhu
cukup sabar menghadapi semua penghinaan itu, akan tetapi teecu (murid) tidak
dapat bertahan lagi, Suhu. Lain kali, kalau mereka itu berani sekali lagi
melakukan penghinaan terhadap Suhu, teecu tidak berani tanggung apakah teecu
akan dapat menahan diri. Agaknya pasti akan teecu lawan dengan taruhan nyawa!
Teecu rasa, biarpun akhirnya kita kalah oleh Si Bedebah she Pouw, namun sebelum
kita mati, kita tentu dapat membunuh puluhan orang musuh sehingga mati pun
tidak penasaran!"
Si Kakek kembali
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Percuma... tidak ada
gunanya...!"
Bu Song adalah seorang
yang masih muda. Melihat sikap pengemis baju bersih tadi pun ia sudah merasa
mendongkol hatinya. Kini mendengarkan pembantahan antara guru dan murid ini, ia
merasa penasaran dan tanpa disadarinya ia lalu berkata,
"Muridnya begitu
bersemangat, gurunya begini melempem, sungguh lucu. Kalau seseorang sudah
kehilangan keberaniannya menentang si jahat, dia tidak patut menjadi guru
lagi!"
Pengemis termuda yang
menjadi murid kakek itu tiba-tiba melompat ke depan Bu Song dan semua pengemis
kaget dan heran. Mengapa ada orang mendekati mereka tanpa mereka ketahui?
"Eh, orang muda,
lancang sekali mulutmu berani menegur Suhu! Tidak tahukah engkau dengan siapa
kau berhadapan? Suhu adalah Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu (Guru Silat Liong
berjuluk Kepalan Monyet Sakti), dahulu jagoan kota Sin-Yang! Hayo lekas kau
minta maaf dan menarik kembali omonganmu yang lancang kalau kau tidak ingin
merasai pukulanku!"
"Aihh... aihh...!
Kenapa mendadak menjadi begini galak? Tadi ada pengemis tolol memaki-maki lalu
memukul dan menendang Kakek ini sampai masuk selokan bau, kau diam saja!"
Sejenak mereka itu
memperlihatkan muka malu, akan tetapi pengemis muda itu, yaitu yang termuda di
antara mereka, baru tiga puluh lima tahun, lalu membentak marah.
"Urusan sesama kaum
kai-pang (perkumpulan pengemis) tidak ada hina-menghina, pula merupakan urusan
dalam, bukan urusanmu. Akan tetapi engkau ini orang luar berani menghina kami?
Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas orang-orang Sin-kauw-bukoan yang
terkenal?"
Bu Song tersenyum. Tentu
saja dia tidak pernah mendengar Sin-kauw-bukoan (Perguruan Monyet Sakti). Kalau
mereka ini bekas orang-orang perguruan silat ternama, mengapa sekarang menjadi
pengemis? Bahkan agaknya golongan pengemis yang paling rendah tingkatnya.
Buktinya tadi diperhina oleh pengemis lain yang jelas kepandaiannya tidak
berapa tinggi, mereka ini tidak berani melawan.
"Aku bicara
sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini galak amat, mau apa?" Bu song
sengaja memancing kemarahan orang dan cepat sekali pengemis itu menerjangnya
dengan pukulan ke arah dada disusul dengan tangan kiri mencengkeram ke arah
lambung.
Memang Bu Song hendak
menguji kepandaian mereka ini, terutama kepandaian mereka yang menjadi guru dan
setingkatnya. Dengan tenang ia menggerakkan kakinya mundur dua langkah, sengaja
berlaku lambat untuk memancing lawannya. Benar saja, lawannya terkena
pancingannya karena menyangka bahwa ia tidak begitu lihai sehingga dengan
girang lawannya sudah menubruk maju, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada
dengan keyakinan pasti kena. Bu Song memiringkan tubuhnya, menyampok dari
samping dan mengerjakan kakinya, yaitu ujung sepatunya menotok sambungan lutut.
Tak dapat dicegah lagi pengemis itu terguling!
Terdengar teriakan keras
dan tahu-tahu orang yang disebut adik seperguruan kakek itu tadi menyerbu.
Pukulannya jauh lebih cepat dan berat jika dibandingkan dengan murid
keponakannya yang kini sudah merangkak bangun sambil memijit-mijit lututnya.
Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian murid tadi, apalagi paman guru
ini, agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengemis baju bersih yang
menghina tadi. Apalagi kepandaian Si Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu!
Mengapa mereka sama sekali tidak melawan tadi dan kini terhadap seorang luar
seperti dia, biarpun kata-katanya sejujurnya dan sama sekali tidak bisa
dibilang menghina, mereka sudah turun tangan? Di samping keheranannya ini,
hatinya pun tertarik dan suka kepada para pengemis baju kotor ini. Jelas bahwa
jika maju seorang demi seorang, mereka itu bukan tandingannya. Namun mereka
tidak mau maju mengeroyok. Hal ini saja membuktikan bahwa mereka ini bukan
golongan orang-orang jahat yang mengandalkan kepandaian atau teman banyak untuk
berlaku sewenang-wenang dan menghina orang lain. Sikap mereka terhadapnya
adalah sikap orang gagah yang hendak memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan
ilmu kepandaian secara gagah pula.
Karena tertarik dan ingin
berkenalan, Bu Song tidak mau mempermainkan lawannya terlalu lama. Dengan
gerakan indah, ia berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah dorongan yang
disertai tenaga dalam. Biarpun dorongannya tidak menyentuh dada orang, namun
pengemis itu tetap saja tanpa dapat ia pertahankan lagi, roboh terjengkang ke
belakang dan hanya dengan berjungkir balik saja ia dapat menyelamatkan diri
tidak terbanting keras! Namun hal ini sudah cukup membuka matanya bahwa orang
muda yang kelihatan lemah ini sama sekali bukan tandingannya.
"Kau hebat, orang
muda!" Orang ketiga yang lebih tua sudah menyambar ke depan. Orang ini
adalah kakak seperguruan dari yang tadi roboh, merupakan orang ke dua di
Sin-kauw-bukoan. Pukulannya mengandung tenaga Iwee-kang yang ampuh dan kuat
sehingga setiap ia menggerakkan tangannya, terdengar suara angin menyambar.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap
dari depannya! Pengemis yang berwajah muram ini kaget dan bingung, lalu
mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, kiranya
lawannya sudah berada di situ, enek-enak saja tersenyum dan memandangnya. Ia
menjadi penasaran dan cepat menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang
dibuka jari-jarinya, seperti tangan monyet hendak mencengkeram.. Hebat
tubrukannya ini, karena tangan itu tidak segera mencengkeram, melainkan menanti
ke mana lawan akan mengelak. Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini amat hebat
dan jarang sekali gagal. Namun kembali matanya mejadi kabur karena lawannya
yang muda itu berkelebat tanpa dapat ia duga ke mana, hanya tahu-tahu sudah
melewati atas kepalanya. Ketika ia memutar tubuh, kembali orang muda itu
berkelebat menyelinap dari samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum ia
sempat membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh oleh jari-jari tangan
yang hangat. Pengemis ini kaget sekali dan berseru,
"Hebat... aku
mengaku kalah...!" Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan mata
terbelalak keheranan.
Kini kakek tua renta itu
berjalan maju. Langkahnya sudah membayangkan usia tua. Matanya memandang Bu
Song, berkedip-kedip penuh keheranan. "Melihat gerakanmu, orang muda, kau
mengingatkan aku akan seseorang... ah, seseorang yang tadinya kukagumi, akan
tetapi ternyata mengecewakan hatiku..."
Makin tertarik hati Bu
Song. "Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?
"Ah, jangan
sebut-sebut julukanku yang kosong melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi
melainkan seorang jembel busuk yang tiada harganya. Sebut saja aku Lokai
(Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan sebagai rahasia, biarpun dia
sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan kusebut-sebut. Akan tetapi karena
gerakanmu mirip dia, kalau kau bisa mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung aku
kalah bertaruh dan akan kusebut namanya di depanmu. Kau jagalah, orang
muda!" Kakek itu menerima sebatang toya kuningan yang kedua ujungnya
dilapis baja. Begitu toya itu berada di kedua tangnnya, benda itu seakan-akan
menjadi hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya.
"Orang muda,
keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!"
Sesungguhnya, biarpun
kakek ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada si murid atau sutenya tadi, ia
tidak takut menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi mengingat bahwa
kakek ini adalah seorang yang dahulunya tentu ternama, ia pun segan untuk
memandang rendah. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka, apalagi
Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia bahkan menaruh iba kepada bekas guru silat
dan murid-muridnya ini yang telah merosot derajatnya menjadi pengemis-pengemis
yang dihina orang. Di samping rasa iba ini, ada pula rasa penasaran mengapa
semangat si guru demikian melempem dan tidak layak menjadi sikap seorang gagah.
"Kauwsu, bukan aku
yang mengajak berkelahi. Kalau tidak terdesak, untuk apa aku mengeluarkan
senjata? Aku tidak mau melukai orang!" jawabnya. "Kalau kau hendak
main-main, silakan mulai."
Kakek itu kelihatan marah
sekali. "Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani membalas! Sekarang
ada engkau ini orang muda yang datang-datang menghina kami. Orang muda, jangan
salahkan aku kalau toyaku tidak mengenal kasihan. Kau sambutlah!" Tampak
gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar dahsyat, menyerang dengan
pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song disusul gentakan ujung lain
yang menyusul dengan hantaman ke arah kepala andaikata pukulan pertama dapat
dielakkan.
Akan tetapi, sekali
berkelebat tubuh orang muda itu lenyap dari depannya! Liong-kauwsu terkejut,
cepat membalikkan tubuh menggerakkan toyanya menerjang ke belakang tubuh. Benar
saja dugaannya, orang muda yang dapat bergerak luar biasa cepatnya itu tadi
telah berada di belakangnya sehingga serangan susulannya ini tepat sekali.
Dengan tusukan kuat ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang
muda itu mengelak ke kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan,
menghantam leher lalu disontekkan lagi, menggunakan ujung yang lain
menyerampang kaki. Semua ini dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan kilat,
dan biarpun ia sudah tua, namun kedua ujung toya itu tiap kali digerakkan,
menggetar dan dilihat dengan mata biasa, ujungnya berubah menjadi puluhan
batang.
"Ilmu toya yang
bagus!" Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa diketahui
kakek itu saking cepatnya. Dari belakangnya, Liong-kauw-su merasa betapa ujung
toyanya disentuh lawan. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat lawannya itu
tersenyum-senyum berdiri di belakangnya, kini sudah mengeluarkan sebuah benda
kuning berkilauan di tangan. Bukan main kaget dan kagumnya hati kakek itu. Ia
tadi maklum bahwa lawannya akan mudah merobohkannya, atau merampas toyanya,
karena bukankah tadi lawannya sudah menyentuh ujung toya dari belakang sebelum
ia mampu membalikkan tubuh? Akan tetapi orang muda itu tidak melakukan hal ini
bahkan mengeluarkan senjata, padahal dengan tangan kosong sekalipun agaknya
akan sukar baginya untuk mengalahkan orang muda ini. Ketika ia memperhatikan
senjata di tangan orang muda itu, ia berseru kaget, juga sutenya berseru,
"Kim-siaw (Suling
Emas)...!"
Bu Song memandang suling
emas di tangannya dan pada saat itu, jantungnya berdebar aneh. Nama yang bagus!
Kim-siauw! Namanya sendiri sudah lapuk, sudah terlalu banyak mendatangkan
hal-hal yang menyedihkan! Namanya sendiri, Bu Song, selalu terkait dengan
hal-hal yang mematahkan hati, mengingatkan ia akan ayah bundanya yang
cerai-berai, akan hidupnya yang sebatang kara. Mengingatkan ia akan
pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir, akan kematian Kwee Eng yang sudah
dicalonkan menjadi isterinya, wanita pertama yang merampas hatinya. Kemudian,
yang masih membekas dalam sekali di kalbunya, mengingatkan ia akan Suma Ceng,
wanita kekasihnya yang tadinya ia anggap sebagai pengganti Kwee Eng yang tewas.
Nama Bu Song sungguh diselimuti kegelapan, nama yang sial!
Akan tetapi ia tidak
dapat melamun terus karena kembali toya yang berat itu menyambar dibarengi
seruan Liong-kauw-su. Tampak sinar emas bergulung-gulung ketika Bu Song
menggerakkan sulingnya. Sinar ini seakan-akan merupakan tali emas yang
menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa dapat dicegah lagi oleh
Liong-kauwsu, juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya, toyanya terlepas dari
tangannya, melayang tinggi ke atas dan ketika turun, disambut oleh suling di
tangan Bu Song, diputar-putar sampai berhenti melintang di atas suling yang
disodorkan kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata. "Terimalah kembali
toyamu, Liong-kauwsu!"
"Hebat...! Kau lebih
hebat daripada Kim-mo Taisu...!" Kakek itu berkata dengan mata terbelalak
dan mulut ternganga. Juga murid-muridnya serta sutenya memandang penuh
kekaguman. "Dan suling emas itu...! Orang muda, bolehkah kami mengetahui,
siapakah namamu yang mulia?"
Bu Song tersenyum pahit,
memandang sulingnya yang ia pegang di tangan kanan, ditegakkan lurus depan
muka, kemudian berkata, "Suling emas... suling emas... inilah namaku...
Suling Emas!"
Sin-kauw-jiu
Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalamannya. Ia maklum
bahwa orang muda ini adalah seorang sakti yang tidak mau memperkenalkan
namanya. Timbul harapan dalam hatinya bahwa orang muda yang luar biasa ini akan
dapat membantunya menebus semua penghinaan dan sakit hati yang selama puluhan
tahun ia derita.
Akan
tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang datang-datang membentak,
"Lagi-lagi ada manusia tak berbudi yang berani menghina kaum jembel
mengandalkan kepandaiannya?"
Para
kakek pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song sendiri merubah namanya,
mulai sekarang kita mengenalnya sebagai Suling Emas) menoleh dan melihat bahwa
yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua lengan bajunya buntung
compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang menutupi sebagian
mukanya. Juga capingnya itu butut, compang-camping pinggirnya. Namun tubuh
orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya bersih tidak berjenggot.
Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut.
Setelah
berkata demikian, serta merta orang yang baru tiba ini menerjang Suling Emas
dengan serangan-serangan kilat.
"Eh,
sahabat.. jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)
tidak..." Liong-kauwsu tidak melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas
sudah memotong.
"Biarlah,
Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami main-main sebentar!"
Memang
Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang baru datang ini. Baru bergebrak
sejurus saja tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada tingkat kakek guru silat itu. Pukulan
kedua tangan dan tendangan kedua kakinya mendatangkan angin halus, seakan-akan
tidak mengandung tenaga, namun ternyata penuh dengan tenagan sin-kang yang amat
kuat. Juga gerakan-gerakannya aneh dan membingungkan, cepat sekali membuktikan
bahwa gin-kang orang ini pun sudah mencapai tingkat tinggi!
Suling
Emas sudah menyimpan sulingnya dan cepat ia mengelak lalu balas menyerang, juga
ia mempergunakan kecepatan gerakannya. Ketika merendahkan tubuh dengan menekuk
kedua lutut sampai hampir berjongkok untuk menghindarkan hantaman kedua tangan
kearah dada dan leher tadi, sambil secepat kilat membalas dengan tusukan
jari-jari tangannya ke arah pusar lawan, dengan amat cepatnya tubuh lawannya
itu sudah melambung tinggi sehingga tusukannya tak berhasil. Dari atas pengemis
itu sudah berjungkir balik dan kini melakukan serangan dari atas, dengan kepala
di bawah kaki di atas, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan
tangan bergerak membentuk lingkaran-lingkaran untuk mencegah jalan keluar!
Suling
Emas maklum bahwa menghadapi serangan ini, tidak ada jalan untuk mengelak.
Satu-satunya jalan hanyalah mengadu tenaga. Karena lawan ini melayang turun
sehingga tenaganya ditambah oleh berat tubuh serta tenaga luncuran turun, tentu
saja orang itu lebih menguntungkan keadaannya. Namun ia tidak gentar, bahkan ia
lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya seakan berakar di atas tanah, membiarkan
lawan melayang turun sampai dekat lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak
mengimbangi kedudukan kedua tangan lawan untuk menangkis.
"Dukkk...!!"
Dua pasang tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pengemis itu mencelat ke atas
sampai lima meter lebih, sedangkan kuda-kuda Suling Emas sungguhpun tidak
tergeser, namun kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai lewat sepatunya!
Pengemis ini memang hebat. Walaupun tubuhnya terlempar begitu tinggi, namun ia
tidak kehilangan akal. Beberapa kali pinggangnya bergerak, tubuhnya melentik
seperti ular dan ia sudah berhasil memulihkan keseimbangan tubuhnya dan
meloncat turun dengan gerakan ringan, tepat berdiri menghadapi Suling Emas.
Keduanya saling pandang, penuh kekaguman.
"Kepandaianmu
luar biasa sekali, sobat!" kata Suling Emas sambil tersenyum. Kata-kata
ini keluar dari hatinya yang tulus, karena memang ia kagum menyaksikan
kepandaian pengemis ini. Pula, ketika terlempar ke atas, caping pengemis itu
terlepas dan tampaklah kini wajahnya yang cukup tampan dan gagah. Wajah yang
banyak membayangkan kepahitan hidup, rambutnya awut-awutan, namun bersih dan
mengandung cahaya bersemangat.
Di
lain pihak, pengemis itu agaknya merasa penasaran, kagum, dan juga kaget. Tentu
saja ia tidak menyangka akan berhadapan dengan orang yang begini sakti.
Mendengar ucapan Suling Emas dan melihat senyum itu, ia salah sangka, mengira
bahwa lawannya mengejek. Maka ia lalu memandang dengan sinar mata tajam,
mulutnya berkata penuh geram,
"Orang
muda, kau memang hebat! Akan tetapi jangan kau tertawa-tawa lebih dahulu. Aku
Yu Kang baru menerima kalah kalau kau mampu mengalahkan senjataku ini!"
Suling
Emas sudah menaruh hati sayang kepada pengemis yang amat lihai ini, maka ia
tidak ingin menanam permusuhan. Akan tetapi sebelum ia mampu menjawab, pengemis
yang bernama Yu Kang itu dengan jari-jari kaki telanjang telah mengenjot tanah
dan tubuhnya melayang ke depan Suling Emas, tangan kanannya sudah memegang
sebatang tongkat rotan kecil. Tongkat itu tadinya terselip di belakang
punggungnya. Kelihatannya sederhana sekali, besarnya hanya seibu jari kaki,
panjangnya dua lengan. Namun melihat betapa "senjata" yang lebih
patut disebut senjata kanak-kanak bermain perang-perangan itu setelah berada di
tangan pengemis ini menggetar-getar dan mengeluarkan suara melengking tiada
hentinya, diam-diam Suling Emas kaget dan cepat ia pun mencabut sulingnya.
Gerakan tongkat rotan yang mengeluarkan suara melengking itu mengandung tenaga
khi-kang yang hebat, maka Suling Emas segera memutar sulingnya pula dan
terdengarlah suara melengking lebih tinggi dan nyaring.
"Bagus!
Sambutlah seranganku!" Yu Kang berseru keras dan tubuhnya menyambar maju,
tongkatnya bekelebatan dan membentuk sinar kilat menyambar amat cepatnya.
Suling Emas pun maklum
akan bahayanya serangan ini, maka ia lalu menggerakkan sulingnya dan lenyaplah
bentuk suling, berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang membentuk
lingkaran-lingkaran. Ia telah mainkan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat yang luar
biasa ampuhnya. Harus diakui bahwa di antara para tokoh persilatan, banyak
kiranya yang mengenal tokoh persilatan, banyak kiranya yang mengenal Pat-sian
Kiam-hoat, bahkan banyak yang ahli. Namun Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan
oleh Suling Emas ini lain daripada yang lain. Kalau Pat-sian Kiam-hoat biasa
mempunyai enam puluh empat jurus, akan tetapi Pat-sian Kiam-hoat yang
diwariskan oleh Kim-mo Taisu kepada Suling Emas hanya mempunyai enam belas jurus.
Enam belas jurus yang sudah mencakup semua inti sari Pat-sian Kiam-hoat, bahkan
sudah pula meliputi bagian-bagian terpenting yang terpendam. Di samping ini,
setelah semua pintu dalam tubuh Suling Emas dibuka oleh Bu Tek Lojin, maka
sin-kang di tubuhnya dapat bergerak lancar sehingga permainan ilmu pedang ini
menjadi makin hebat. Setiap gerakan, setiap getaran, mengandung hawa sakti yang
dahsyat.
Sin-kauw-jiu Liong Kong,
guru silat yang telah menjadi pengemis itu, bersama murid-muridnya dan sutenya,
menjadi penonton yang bengong terlongong. Terheran-heran mereka menonton
pertandingan luar biasa ini. Tak dapat mata mereka mengikuti gerakan kedua
orang muda itu, yang tampak hanyalah gulungan sinar kuning bercampur aduk
dengan kilatan ujung tongkat yang menjadi ratusan banyaknya, membungkus
bayangan dua orang yang tidak kelihatan bentuknya dan kabur saking banyaknya!
Diam-diam guru silat itu menarik napas panjang dan insyaf betapa ilmu
kepandaian di dunia itu tiada batasnya. Dahulu ia amat kagum kepada sahabatnya,
Kim-mo Taisu yang gerakannya sama dengan Pendekar Suling Emas ini. Kemudian ia
dibikin penasaran akan tetapi tidak berdaya oleh seorang tokoh muda yang baru,
dua puluh tahun yang lalu, yaitu orang yang mengaku menjadi raja pengemis,
berjuluk Pouw-kai-ong (Raja Pengemis Pouw) yang memiliki ilmu kepandaian hebat
pula. Kini di depan matanya, bertanding dua orang muda yang begini hebat,
benar-benar membuat ia merasa betapa tingkat kepandaiannya sendiri sebenarnya
bukan apa-apa!
"Wah-wah-wah, kau
hebat! Aku yang mengaku kalah!" Tiba-tiba terdengar Yu Kang berseru keras
dan tubuhnya terlempar sejauh enam tujuh meter di mana kedua kakinya berhasil
menahan robohnya, akan tetapi ia masih tetap saja terhuyung-huyung!
Suling Emas sudah
menyimpan sulingnya, melangkah maju sambil menjura. "Yu-twako, kau
benar-benar hebat! Aku kagum sekali."
Pengemis muda itu
menghela napas, berjalan maju, meyelipkan tongkatnya di belakang punggung
sambil berkata, "Sudahlah, tak perlu kau merendah. Sudah jelas aku bukan
tandinganmu. Kalau saja si keparat she Pouw itu selihai engkau, biarlah aku
mati di tangannya dan mendiang ayah takkan dapat tenang dalam kuburnya!"
Setelah berkata demikian, Yu Kang melangkah pergi.
"Yu-enghiong (Orang
Gagah she Yu), nanti dulu...!" Tiba-tiba Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu berseru
sambil mendekat.
Yu Kang membalikkan
tubuhnya. "Kau orang tua mau apa lagi? Aku melihat betapa kalian
jembel-jembel tiada guna dipermainkan orang orang, akan tetapi aku sendiri juga
seorang jembel tiada guna, tak dapat membela kalian."
"Bukan demikian,
Yu-enghiong. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak dihina oleh Kim-siauw-eng,
sama sekali tidak! Yang menghina kami adalah si keparat she Pouw yang kausebut
tadi! Dua puluh tahun kami dihina dan ditindas, karena itu mohon bantuan
Yu-enghiong. Marilah kita bersatu untuk menghadapi Pouw-kai-ong yang
jahat!"
Yu Kang melotot,
terheran. "Kalian ini pun mendendam kepada Pouw-kai-ong si jahat?"
Tiba-tiba Suling Emas
yang mendengarkan percakapan itu berkata, "Ah, kiranya kita adalah orang-orang
segolongan. Aku sendiri pun boleh dianggap sebagai seorang musuh besar
Pouw-kai-ong, bahkan beberapa kali pernah aku bertanding melawan dia dan
kawan-kawannya!"
Kakek itu berseru girang,
lalu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang muda gagah itu,
diturut oleh teman-temannya. "Mohon bantuan Ji-wi Enghiong membasmi
Pouw-kai-ong yang jahat..."
"Lo-kai (Pengemis
Tua), harap jangan banyak tingkah. Kita dapat saling bantu dalam hal ini.
Bangunlah! Lo-kai ini dari kai-pang (perkumpulan pengemis) yang manakah? Aliran
apa?" Pertanyaan Yu Kang ini diajukan dengan sikap penuh wibawa yang
menunjukkan bahwa dia agaknya mengenal baik akan peraturan perkumpulan
pengemis.
Orang tua itu bangkit
berdiri dan sukar untuk menjawab. Timbul kekhawatiran di hatinya bahwa pengemis
muda yang perkasa ini takkan mau bekerja sama kalau mendengar bahwa dia
sebetulnya bukan pengemis sama sekali, melainkan pengemis paksaan! Melihat
keadaan kakek itu meragu, Suling Emas lalu berkata,
"Saudara Yu Kang,
Lopek (Paman Tua) ini sama sekali bukan pengemis. Dia dahulu adalah kedua dari
Sin-jiu-bu-koan, berjuluk Sin-kauw-jiu bernama Liong Keng."
"Nama kosong
belaka...., nama kosong belaka...." Liong-kauwsu menggoyang-goyang kedua
tangan dengan perasaan malu.
"Hemm, kalau begitu
bukan golongan pengemis? Mengapa berpakaian pengemis? Mau main-main dengan
pengemis, ya? Liong-kauwsu, kalau kau dan kawan-kawanmu ini hanya pura-pura
menjadi pengemis untuk mencapai tujuan, aku tidak sudi bekerja sama!"
"Tidak... tidak...
ah, Yu-enghiong salah sangka. Memang kami terpaksa menjadi pengemis, akan
tetapi andaikata pembalasan dendam kami sudah terkabul, kami pun tetap akan
menjadi pengemis. Kami sudah tidak punya apa-apa, dan untuk selanjutnya, kami
rela menjadi pengemis asal saja Si Keparat Pouw-kai-ong sudah mendapat
hukumannya!"
"Kalau begitu, boleh
kita bekerja sama." Kata Yu Kang mengangguk-angguk.
"Marilah Ji-wi
Enghiong, kita bicara sambil berunding di tempat kami, di bawah jembatan Tembok
Merah."
Yu Kang mengangguk dan Suling
Emas juga menerima baik undangan ini. Mereka lalu berangkat menuju ke jembatan
besar di pinggir kota itu dan turunlah mereka ke kolong jembatan. Di tempat
sederhana inilah Liong-kauwsu beserta anak buahnya tinggal! Biarpun kolong
jembatan, karena dirawat, maka tanahnya cukup bersih dan baunya tidak busuk.
Beberapa orang murid Liong-kauwsu sibuk menyembelih angsa besar yang mereka
tadi tangkap, entah darimana. Tak lama kemudian bau harum paha angsa dipanggang
membuat air liur memenuhi mulut. Beberapa orang lagi mengeluarkan cawan retak
dan seguci besar arak!
Sambil memegangi paha
angsa panggang yang gurih dan berlemak, menggerogoti daging yang lezat didorong
masuk arak keras, mereka bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya, ada yang
berjongkok, ada yang bersandar pada dinding jembatan, ada pula yang berdiri,
ada pula yang sambil rebah-rebahan dan mencari kutu pada baju mereka yang
rombeng! Suling Emas duduk di tengah-tengah bersila dan ikut makan dengan
enaknya. Yang mendapat giliran pertama untuk bercerita adalah Liong-kauwsu.
Kakek ini menghentikan makannya, melempar tulang paha angsa ke tengah air kali
yang mengalir di dekat mereka, mengusap minyak lemak dari bibir dengan ujung
bajunya yang kotor, kemudian menarik napas dan bercerita.
"Belasan tahun yang
lalu terjadinya malapetaka itu, yang merubah semua jalan hidupku dan
murid-muridku serta keluarga kami..." Ia menarik napas panjang lagi,
kemudian ia menceritakan pengalamannya secara jelas singkat seperti berikut.
Perguruan
Sin-kauw-bu-koan di kota Sin-yang cukup terkenal karena baik gurunya, yaitu
Sin-kauw-jiu Liong Keng, maupun para murid-muridnya merupakan orang-orang gagah
yang biarpun kuat tidak mempergunakan kekuatannya untuk melakukan penindasan,
bahkan membela kebenaran dan keadilan. Liong-kauwsu tidak mempunyai anak
keturunan sendiri, akan tetapi ia mengangkat seorang murid wanita sebagai anak.
Wanita itu bernama Liong Bi Loan, seorang gadis cantik yang pandai silat. Pada
suatu hari, Liong Bi Loan bertemu dengan Pouw-kai-ong yang ketika itu masih
muda dan tampan. Dalam pertandingan, Bi Loan dikalahkan dan gadis ini terpikat,
lalu lari bersama Pouw-kai-ong yang. Liong-kauwsu tidak mampu mencegahnya
karena terhadap Pouw-kai-ong, ia sama sekali tidak berdaya, jauh kalah lihai
kepandaiannya.
Seperti telah kita
ketahui, dalam kesedihan dan kebingungannya, Liong-kauwsu bertemu dengan Kim-mo
Taisu, kemudian minta pertolongan Kim-mo Taisu untuk menghadapi Pouw-kai-ong.
Akan tetapi, Kim-mo Taisu tidak dapat berbuat sesuatu terhadap Pouw-kai-ong
ketika pendekar ini melihat betapa gadis puteri guru silat itu dengan suka rela
ikut Pouw-kai-ong! Hal inilah yang membuat kecewa hati Liong-kauwsu yang
tadinya amat mengharapkan Kim-mo Taisu berhasil membawa pulang puteri
angkatnya. Terpaksa ia menerima keadaan dan tidak mau merintangi lagi puteri
angkatnya yang ikut Pouw-kai-ong.
Akan tetapi, dua tahun
kemudian, luka dihatinya menjadi robek kembali ketika Liong-kauwsu mendengar
kabar betapa anak angkatnya itu hidup merana dan sengsara di samping
Pouw-kai-ong yang mulai nampak "belangnya". Pouw-kai-ong sudah mulai
bosan dan memperlakukan Liong Bi Loan seperti seorang budak belian, bahkan
tidak jarang memukulinya. Kemudian secara berterang Pouw-kai-ong main gila
dengan wanita-wanita lain dengan memaksa Liong Bi Loan melayani dia berpesta
dengan perempuan-perempuan lain yang menjadi kekasih baru. Akhirnya Liong Bi
Loan tak kuat menahan, untuk melawan ia kalah kuat, dan wanita ini mengambil
jalan terakhir dengan menggantung diri!
Mendengar ini,
Liong-kawsu dan beberapa orang muridnya yang setia, juga dua orang sutenya
secara nekat menyerbu ke tempat yang dijadikan markas besar Pouw-kai-ong, yaitu
sebuah kuil tua di luar kota Kang-hu, bekas markas besar perkumpulan pengemis
Khong-sim Kai-pang. Namun, mereka ini sama sekali bukanlah tandingan
Pouw-kai-ong. Bahkan bukan Pouw-kai-ong sendiri yang turun tangan, baru anak
buahnya saja sudah membuat Liong-kauwsu dan anak buahnya kocar-kacir dan
dihajar habis-habisan. Pouw-kai-ong tidak membunuh Liong-kauwsu, namun merampas
semua miliknya, kemudian memaksa bekas Ketua Sin-kauw-bu-koan ini bersama anak
buahnya hidup sebagai anggota kai-pang, berpakaian seperti pengemis! Lebih
hebat lagi, rombongan Liong-kauwsu ini selalu dihina oleh anak buah
Pouw-kai-ong yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih, atau terkenal dengan
sebutan pengemis baju bersih sebaliknya daripada rombongan Liong-kauwsu dan
para pengemis taklukan lain yang disebut rombongan pengemis baju kotor.
"Demikianlah,
Kim-siauw-hiap (Pendekar Suling Emas)," Liong Keng mengakhiri ceritanya
dengan muka berduka. "Bertahun-tahun kami menderita penghinaan dan
sepatutnya penderitaan ini kami akhiri dengan bunuh diri saja seperti yang
dilakukan puteriku. Akan tetapi, dalam hati ini masih belum mau menerima, masih
menyimpan penasaran dan dendam setinggi langit, masih selalu mengharapkan
kesempatan untuk membalas! Oleh karena itulah, sampai begini tua saya tetap
mempertahankan nyawa untuk menanti datangnya kesempatan itu. Untung sekali hari
ini mempertemukan kami dengan Ji-wi Taihiap (Kedua Pendekar Besar) sehingga
boleh diharapkan cita-cita akan tercapai juga sebelum nyawa meninggalkan
badan."
Yu Kang melompat berdiri,
membanting tulang paha angsa ke kanan. Tulang itu melesak ke dalam dinding
tembok jembatan yang keras! "Harap Paman Tua Liong tidak berkecil hati.
Dengan bekerja sama, masa Si Keparat Pouw itu tidak akan dapat ditundukkan?
Dengarlah baik-baik, aku Yu Kang juga sudah bersumpah, takkan berhenti berusaha
sebelum si jahat Pouw Kee Lui menerima hukumannya. Seluruh keluargaku habis
dibasmi keparat itu hanya karena Tuhan menghendaki saja aku bebas daripada
pembasmian sehingga setidaknya ada keturunan ayah yang berusaha membalaskan
dendam keluarga ini."
Yu Kang lalu bercerita.
Dia adalah putera bungsu mendiang Yu Jin Tianglo ketua perkumpulan pengemis
Khong-sim Kai-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, pada
belasan tahun yang lalu ketika Pouw Kee Lui yang memiliki kepandaian tinggi itu
muncul dari timur, dia telah menyerbu Khong-sim Kai-pang, merobohkan semua yang
melawannya, membunuh Ketua Khong-sim Kai-pang sekeluarga, membunuh tokoh-tokoh
Khong-sim Kai-pang pula dan merampas kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang. Para
anggota yang tidak mau tunduk, dibunuhnya sehingga akhirnya para anggota lain
menjadi ketakutan dan mengakui kekuasaan ketua baru ini, yang kemudian memakai
julukan Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis Pouw. Bersama anak buahnya yang
dilatihnya, ia menundukkan hampir seluruh perkumpulan pengemis sehingga
julukannya "raja pengemis" benar-benar tepat.
Akan tetapi sama sekali
di luar dugaan Pouw-kai-ong yang cerdik bahwa ketika ia melakukan pembasmian
terhadap keluarga Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang, Yu Kang putera
bungsu ketua pengemis itu yang baru berusia tiga belas tahun dan kebetulan
sekali pada waktu peristiwa hebat terjadi, sedang bermain-main di luar kota
sehingga terbebas daripada maut. Ketika Yu Kang melihat keadaan keluarganya
yang terbasmi habis, tidak seorang pun masih hidup, ayah bundanya,
kakak-kakaknya, semua tewas di tangan Pouw-kai-ong, ia segera melarikan diri.
Selama belasan tahun Yu Kang putera ketua pengemis Khong-sim Kai-pang ini
menggembleng diri dengan ilmu silat, belajar dari tokoh-tokoh pengemis yang
telah mengasingkan diri bertapa di gunung-gunung. Ia selalu berpakaian sebagai
pengemis dan hidup sebagai pengemis pula, tetap setia kepada cara hidup ayahnya
dan dendam di hatinya terhadap Pouw Kee Lui tak pernah terlupa sehari pun!
Setelah tujuh belas tahun
menggembleng diri, kini dalam usia hampir tiga puluh tahun, barulah Yu Kang
turun dari puncak gunung-gunung dan mulai mencari musuh besarnya, Pouw Kee Lui
yang kini sudah menjadi Pouw-kai-ong. Karena tidak tahu harus mencari di mana,
maka ia langsung menuju ke kota raja, oleh karena untuk mencari seorang "raja"
pengemis, kiranya paling tepat menyelidiki dari kota raja, pusat segala macam
kegiatan.
"Demikianlah sedikit
riwayatku, dan kebetulan aku bertemu dengan kalian yang kukira adalah
pengemis-pengemis yang mengalami penghinaan. Di sepanjang perjalanan banyak aku
mendengar akan perpecahan golongan pengemis menjadi dua, pengemis baju bersih
dan pengemis baju kotor, dan tentang penindasan yang dilakukan pengemis baju
bersih terhadap pengemis baju kotor. Siapa kira, pengemis baju bersih adalah
pengikut-pengikut setia dari Pouw-kai-ong, musuh besarku! Di sepanjang jalan,
tidak ada yang berani menyebut-nyebut tentang Pouw-kai-ong."
Liong-kauwsu yang kini
sudah berubah sebutan menjadi Liong-lokai (Pengemis Tua Liong) itu menarik
napas panjang. "Memang demikianlah. Tidak ada yang berani membicarakan
perihal Pouw-kai-ong, apalagi bicara buruk, karena kaki tangannya banyak sekali
dan hukumannya amatlah berat mengerikan." Kakek itu kini menoleh kepada
Suling Emas dan berkata, "Setelah kini saya dan Yu Tai-hiap bercerita, saya
harap Kim-siaw Tai-hiap sudi pula memberi sedikit penuturan dan
penjelasan."
"Sesungguhnya tidak
ada apa-apa yang patut kuceritakan," Suling Emas berkata dan tiba-tiba
wajahnya yang tampan itu seperti diselubungi awan gelap. Betapa tidak akan
keruh hatinya kalau ia diingatkan akan riwayatnya yang sembilan puluh persen
terisi hal-hal menyedihkan itu? Pula ia sudah tidak mau mengingat hal-hal
lampau, bahkan hendak melupakan namanya. Setelah berhenti sejenak, ia
menyambung. "Pertemuanku dengan Pouw-kai-ong dalam pertempuran hanyalah
secara kebetulan saja. Akan tetapi karena aku tahu betapa jahatnya
Pouw-kai-ong, maka aku bersimpati kepada orang-orang yang telah menjadi
korbannya seperti kalian. Dan, untuk bicara terus terang, Yu-twako menduga
tepat. Pouw-kai-ong amat lihai dan... maaf, kurasa Yu-twako sendiri tidak akan
dapat mengalahkannya!"
Yu Kang
mengangguk-angguk, sepasang alisnya yang tebal berkerut-kerut. "Aku pun
sudah menyelidiki dan mendengar bahwa Si Keparat she Pouw itu amat lihai. Kau
yang sudah bertanding dengannya, tentu dapat menilainya dengan tepat,
Kim-siauw-eng, dan aku percaya. Kalau kau yang begini lihai masih mengaguminya,
tentulah ia merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi, aku tidak akan
mundur setapak, kalau perlu nyawaku kupertaruhkan untuk membalas kematian
seluruh keluarga ayahku." Yu Kang mengepal tinju, mukanya merah dan
matanya berapi-api.
"Yu-tai-hiap..."
"Harap Liong-lokai jangan menyebut aku Tai-hiap (Pendekar Besar)!" Yu
Kang memotong kata-kata kakek itu dengan sengit. "Aku hanyalah seorang
pengemis jembel yang tiada guna!" Memang watak Yu Kang keras dan jujur,
tanpa dipalsukan tata cara dan sopan santun. Mungkin sakit hatinya dan
malapetaka yang menimpa keluarganya membuat ia berwatak seperti itu.
"Baiklah, Yu-hiante.
Harap jangan berkecil hati. Kalau kita maju bersama dan minta bantuan
Kim-siauw-eng dan orang-orang gagah lainnya, kiranya Si Keparat Pouw itu akan
dapat dibasmi."
"Hemm, terserah kau
orang tua yang mengaturnya." Akhirnya Yu Kang berkata sambil duduk kembali,
menyambar paha angsa panggang dan menenggak araknya.
Liong-lokai lalu menjura
kepada Suling Emas. "Kami mohon dengan hormat sudilah kiranya
Kim-siauw-eng membantu usaha kami membalas dendam, mengeroyok Si Keparat she
Pouw yang jahat."
Suling Emas tersenyum dan
menggeleng kepalanya. "Mana bisa begitu, Lo-kai? Tak mungkin aku
mengeroyok lawan."
"Akan tetapi,
bukankah Kim-siauw-enghiong juga memusuhinya?" "Betul. Seperti telah
kukatakan tadi, aku bolehlah dimasukkan sebagai seorang di antara musuh-musuhnya.
Akan tetapi aku tidak mempunyai dendam pribadi dengannya. Siapa saja yang
jahat, boleh dianggap musuhku, karena kalau dia tidak bisa diinsyafkan, tentu
akan kugunakan kekerasan mencegah si jahat merajalela menindas si lemah. Karena
itu, berbeda sekali dengan kalian, aku tidak menaruh dendam dan aku hanya akan
menghadapinya satu lawan satu. Tak mungkin aku sampai hati melakukan
pengeroyokan terhadap lawan yang betapapun juga lihainya."
Tiba-tiba Yu Kang
menghentikan gerakannya makan paha panggang. Ia memandang tajam ke arah Suling
Emas, lalu mengangguk-angguk dan berkata murung, "Benar sekali, Suling
Emas! Aku sendiri pun, kalau tidak dimabok dendam kesumat, tidak sudi
mengeroyok orang. Akan tetapi, kalau maju sendiri tidak menang sampai kapan
dapat membalas dendam? Dendamku jauh lebih besar daripada segala macam aturan
pertandingan." Agaknya ucapannya ini berlawanan dengan wataknya yang
gagah, maka untuk mencuci rasa malu, Yu Kang menggelogok arak sebanyaknya ke
dalam perutnya!
"Akan tetapi, menghadapi
seorang penjahat keji macam Pouw-kai-ong, bagaimana harus mengingat akan
peraturan? Dia membunuhi orang, merampas kai-pang, mengangkat diri sendiri
menjadi raja pengemis, kemudian merampas anak gadis orang tanpa melamar,
memaksa kami menjadi pengemis, apakah semua perbuatannya itu menurutkan aturan?
Bukankah orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa kebaikan dibalas dengan
kebaikan berganda, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan? Dan
terhadap seorang keji jahat macam Pouw-kai-ong, apakah yang lebih adil daripada
mengeroyoknya dan menghukumnya bersama?"
"Sudahlah,
Liong-kai!" Tiba-tiba Yu Kang berkata keras. "Orang yang tidak mau,
apa gunanya dipaksa-paksa? Biarlah siapa yang mendiamkan saja kejahatan
merajalela, dia itu membantu kejahatan! Apalagi, urusan ini adalah urusan kita
para pengemis, mana seorang kongcu terpelajar mau mencampuri urusan segala
jembel?"
Hening sejenak setelah Yu
Kang mengeluarkan kata-kata yang keras, jujur tanpa tedeng-tedeng lagi ini.
Para pengemis tua itu merasa khawatir, kalau-kalau Suling Emas akan menjadi
marah. Namun, Suling Emas bukanlah seorang yang mudah marah. Gemblengan hidup
membuat ia kuat bertahan akan segala serangan. Pula, ia dapat membedakan mana
emas mana tembaga dan tahu bahwa di balik sikap kasarnya, Yu Kang adalah
seorang gagah.
"Yu-twako, ucapanmu
memang benar sekali. untuk mengeroyok orang, biar dipaksa-paksa aku tentu tetap
tidak akan mau. Pula, justeru aku paling tidak mau mencampuri urusan orang lain
karena aku menghormat kalian golongan pengemis yang biarpun berpakaian kotor
namun berhati bersih. Akan tetapi kau keliru sangka kalau aku akan mendiamkan
saja kejahatan merajalela."
"Hemm, omongan
Suling Emas seperti omongan guru sekolah berbelit-belit! Pendeknya, kau mau
membantu kami atau tidak?" Yu Kang mencela.
"Tentu saja, akan
tetapi tidak secara keroyokan. Biarlah dia nanti kuhadapi sendiri, kalian lihat
saja. Kalau aku kalah dan tewas di tangannya, anggap saja hal itu urusanku, dan
barulah kalian boleh turun tangan terhadap Pouw-kai-ong."
Tiba-tiba Yu kang
melompat lagi ke atas. "Mana bisa?? Liong-lokai, mari kita berangkat.
Urusan ini adalah urusan kita, urusan antara para pengemis, bahkan Pouw-kai-ong
sendiri pun seorang pengemis yang jahat dan menyeleweng. Kitalah yang harus menghukumnya,
bagaimana kita bisa menyerahkan hal ini kepada orang luar? Suling Emas, kami
tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Marilah, Liong-lokai. Engkau tahu di mana Si
Jahanam itu?"
Kakek jembel itu
mengerling kepada Suling Emas dengan mata kecewa, akan tetapi ia lalu bangkit
berdiri diikuti teman-temannya dan menjawab pertanyaan Yu Kang, "Kebetulan
dia berada tak jauh dari sini. Marilah, Yu-hiante. Kami ada sebelas orang,
bersama Hiante jadi dua belas. Masih ada lima orang saudara Bhong, pengemis-pengemis
dari Yu-nan yang telah lama menanti-nanti kesempatan untuk menuju mengeroyok
musuh besar mereka. Seperti juga engkau, Hiante, kelima Bhong-heng-te
(Persaudaraan Bhong) itu pun keturunan ketua kai-pang (perkumpulan pengemis)
yang dibasmi oleh Pouw-kai-ong."
"Bagus, kalau begitu
marilah kita berangkat!" kata Yu Kang. Rombongan pengemis itu meninggalkan
kolong jembatan. Hanya Liong-lokai seorang yang menjura kepada Suling Emas. Yu
Kang melangkah pergi tanpa menoleh. Suling Emas berdiri terlongong, akan tetapi
tersenyum pahit melihat rombongan pengemis itu pergi dari situ. Sejenak ia
termangu dan mengangkat pundak. Memang benar ucapan Yu kang bahwa urusan di
antara pengemis adalah urusan dalam, orang luar tidak berhak mencampuri. Akan
tetapi tiba-tiba Suling Emas mengerutkan keningnya. Mereka itu seperti
domba-domba digiring ke pejagalan! Ia tahu benar bahwa biarpun dikeroyok oleh
mereka, Pouw Kee Lui masih tetap merupakan lawan yang terlalu kuat. Mereka itu
seakan-akan mengantar nyawa dengan sia-sia, akan mati konyol. Dan ia tahu bahwa
mereka adalah orang baik-baik. Mana mungkin ia mendiamkan Pouw-kai-ong membunuh
mereka begitu saja? Kedua kakinya bergerak dan di lain saat Suling Emas sudah
mengikuti rombongan itu dari jauh.
Malam itu terang bulan.
Rombongan pengemis yang tadinya hanya dua belas orang itu kini sudah bertambah
lima lagi, yaitu lima orang Bhong-heng-te yang tubuhnya tinggi-tinggi dan dari
langkah kaki mereka dapat diketahui bahwa mereka ini pun bukan orang-orang
lemah. Tujuh belas orang pengemis ini berangkat ke luar kota, menuju ke sebelah
utara kota raja. Di kaki gunung yang sunyi, jauh dari kota raja dan jauh dari
dusun-dusun, mereka berhenti lalu bergerak sembunyi mengurung sebuah pondok
kecil yang berdiri sunyi di tempat itu.
Dua orang di antara
kelima Bhong-heng-te melompat keluar dari tempat persembunyian, menghadapi
pintu pondok dan seorang di antara mereka berseru nyaring.
"Pouw Kee Lui,
keparat busuk! Kami telah datang hendak menagih hutangmu kepada keluarga Bhong,
hayo keluar!"
Suling Emas yang
bersembunyi tak jauh dari tempat itu, di balik batu-batu besar, mengerutkan
kening. Kalau memang mereka hendak mengeroyok, mengapa tidak langsung saja
mendatangi pondok dan menyerbu? Dengan pengeroyokan tujuh belas orang, agaknya
Pouw-kai-ong akan kewalahan juga. Apakah mereka terlalu memandang rendah
kepandaian Si Raja Pengemis?
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa terkekeh dan dari atas gunung kecil melayang turun sesosok bayangan yang
luar biasa gesitnya. Begitu kedua kaki orang saudara Bhong, bayangan itu
tertawa bergelak dan berkata, "ha-ha-ha, tikus-tikus busuk berani
mengantar nyawa??"
Ucapan ini disusul
gerakan yang hebat sekali. Sebelum dua orang itu mampu menjawab, bayangan yang
bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong ini, telah menerjang maju
dengan gerakan seperti kilat dan... dua orang saudara Bhong itu yang sudah
berusaha menangkis, terpental ke belakang dan roboh tak dapat bergerak lagi!
Pada saat itu muncul tiga
orang saudara Bhong yang lain, muncul dari samping kiri, disusul munculnya tiga
orang dari depan dan tiga orang dari kanan. Tampak Liong-lokai ikut pula dari
kanan sedangkan Yu Kang tampak di antara tiga orang dari depan. Enam orang
pengemis lain mengambil jalan memutar hendak menyerbu dari belakang punggung
Pouw-kai-ong.
"Ha-ha-ha! Kiranya
tikus tua she Liong ikut pula. Bagus!!" Seruan ini disusul suara bersiutan
dan Pouw-kai-ong telah memutar sebatang tongkat yang berubah menjadi segulung
sinar hitam. Ketika Pouw-kai-ong menerjang ke kanan sambil menggerakkan tongkatnya,
terdengar seruan kaget dan kesakitan. Liong-lokai dan dua orang temannya sudah
mengeluarkan senjata masing-masing, akan tetapi begitu sinar bergulung-gulung
berwarna hitam itu datang, dan mereka menangkis, ternyata tubuh Liong-lokai
berikut toyanya terlempar ke belakang sedangkan dua orang muridnya roboh dan
tewas! Baiknya Liong-lokai tadi dapat menangkis dengan toyanya dan ketika
terlempar masih dapat menggulingkan tubuh, kalau tidak tentu ia menjadi korban
pula.
"Ha-ha-ha,
tikus-tikus busuk!" Pouw-kai-ong berseru sambil tertawa-tawa dan memutar
tongkatnya membalikkan tubuh karena pada saat itu, belasan orang telah
mengeroyok. Hanya Yu Kang seoranglah yang merupakan lawan berat dalam
pengeroyokan ini. Yang lain-lain hanyalah lawan lunak bagi Pouw-kai-ong
sehingga enak saja ia membabat dengan tongkatnya. Dalam waktu kurang dari
seperempat jam, sepuluh orang anggota pengemis telah roboh terluka berat atau
tewas. Kini tinggal Liong-lokai, Yu Kang, dua orang saurdara Bhong, dan tiga
orang pengemis lain yang masih bertahan. Namun mereka terdesak hebat, hanya
mampu menangkis saja karena tongkat di tangan Pouw-kai-ong benar-benar luar
biasa sekali!
Suling Emas tidak tega
melihat ini. Kalau ia diamkan saja, tentu tujuh orang itu lama-lama akan roboh
semua. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke depan dan
begitu ia menggerakkan sulingnya menangkis tongkat, Pouw-kai-ong berseru keras
dan meloncat mundur sampai empat lima meter jauhnya.
"Siapa kau??"
bentaknya. Suling Emas tidak mempedulikannya, melainkan menoleh ke belakang dan
berkata, "Harap rawat teman-temanmu yang terluka, biar kulayani dia
sendiri!" Setelah berkata demikian, Suling Emas menerjang maju, menyerang
dengan sulingnya sambil berkata, "Keparat she Pouw, dosamu sudah bertumpuk!"
Pouw-kai-ong terkejut
menyaksikan berkelebatnya sinar kuning emas yang begitu cepatnya, dan lebih
kaget lagi ia begitu ketika menangkis dengan tongkat, tangan kanannya tergetar.
Hebat lawan ini, pikirnya. Ketika ia memandang dan mendapat kenyataan bahwa
lawannya hanya seorang muda yang takkan lebih dari dua puluh lima tahun
usianya, ia merasa penasaran dan melihat suling emas itu, tiba-tiba ia
teringat.
"Setan! Kau murid
Kim-mo Taisu...??" "Orang tua jahat, tak usah banyak cerewet!"
Suling emas merasa ngeri menyaksikan muka Raja Pengemis itu yang menyeringai
menyeramkan. Pouw-kai-ong berusia lima puluh tahun kurang lebih, pakaiannya
tambal-tambalan akan tetapi amat indah kembang-kembangnya, mukanya sudah
berkeriput, rambutnya licin ditutup pembungkus kepala dari sutera, matanya
berkilat-kilat seperti mata setan dan gerakan tongkatnya memang luar biasa
cepat dan beratnya.
Pertandingan antara dua
orang sakti ini hebat luar biasa. Yu Kang sendiri yang sudah banyak menerima
gemblengan orang-orang sakti, berdiri tertegun dan diam-diam harus ia akui
bahwa seorang diri, tak mungkin ia dapat menangkan Raja Pengemis itu. Dengan
kepandaiannya yang cukup tinggi, kalau ia maju membantu Suling Emas, tentu
kakek jahat itu dapat dirobohkan dengan mudah, akan tetapi ia tahu dan mengenal
watak Suling Emas yang tentu tidak mau dibantu. Maka ia hanya menonton penuh
kekaguman, sedangkan Liong-lokai dan anak muridnya merawat mereka yang terluka
dan tewas.
Suling Emas sudah
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang
hebat. Gerakannya selain cepat, juga mengandung tenaga mujijat sehingga
sulingnya mengeluarkan suara melengking seperti ditiup orang. Namun,
kelebihannya dalam ilmu silat sakti ini diimbangi oleh kelebihan Pouw-kai-ong
dalam pengalaman dan kematangan. Suling Emas belum lama menguasai ilmunya,
sedangkan Pouw-kai-ong sudah matang, sudah digembleng dalam
pertandingan-pertandingan berat. Maka hebatlah pertandingan ini yang sekaligus
merupakan ujian berat bagi Suling Emas. Tubuh kedua orang sakti itu sudah tak
dapat dilihat lagi, lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka! Biarpun
pertandingan itu mengerikan dan merupakan pertandingan mati-matian, namun
kelihatannya amat indah di malam bulan purnama itu!
Perawatan terhadap mereka
yang terluka sudah selesai dan kini Liong-lokai dan Yu Kang berdiri dengan mata
terbelalak kagum. "Bukan main... sungguh hebat...!" Bisik kakek
jembel itu penuh keheranan dan kekaguman.
"Suling Emas
benar," kata Yu Kang. "Kepandaian iblis itu benar-benar hebat sekali.
Pantas saja ayah sekeluarga terbasmi habis...!"
"Mengapa kita tidak
menyerbu sekarang? Kesempatan baik terbuka..." "Tidak, Liong-lokai.
Tidak boleh kita menggunakan keadaan ini mencari kemenangan. Hal itu akan
merupakan penghinaan bagi Suling Emas. Dia berwatak aneh, akan tetapi patut
dihormati. Mari kita kurung Si Iblis agar dia jangan sampai dapat melarikan
diri!"
Tujuh orang sisa
rombongan pengemis itu segera mengurung, siap dengan senjata masing-masing. Yu
Kang bersenjatakan sebatang pedang, Liong-lokai bersenjatakan toya kuningan,
tiga orang muridnya juga bersenjatakan toya, sedangkan dua orang saudara Bhong
yang kehilangan tiga saudaranya itu bersenjatakan golok.
Untuk mengalahkan
Pouw-kai-ong dengan ilmu silatnya, Suling Emas kurang matang latihannya. Akan
tetapi berkat tenaga sin-kang yang hebat di dalam tubuhnya, ia berhasil
mendesak lawannya itu yang mulai terengah-engah dan bermandi peluh.
"Bocah setan,
mampuslah!" Saking marahnya, Pouw-kai-ong lalu mengerahkan tenaganya dan
menghantam dengan tongkatnya ke arah kepala Suling Emas dengan gerakan memutar.
Sebuah serangan yang luar biasa hebatnya merupakan jurus maut tanpa
memperhatikan pertahanan diri lagi. Agaknya Pouw-kai-ong sudah nekat, apalagi
melihat betapa sisa rombongan pengemis tadi sudah mengurungnya.
Suling Emas mengangkat
sulingnya menangkis. "Plakk...!!" Sepasang senjata ampuh bertemu
dan... tubuh Pouw-kai-ong terhuyung ke belakang, tongkatnya patah-patah! Suling
Emas juga tidak mengejar, hanya berdiri sambil meramkan kedua mata mengumpulkan
tenaga. Pertemuan tenaga lewat senjata tadi benar-benar hebat, membuat dadanya
sesak dan agak sakit.
Mendadak terdengar suara
hiruk-pikuk dan ketika Suling Emas membuka matanya, ia melihat tujuh orang itu
sudah menyerbu sambil berteriak-teriak. Suling Emas menarik napas panjang dan
melompat mundur, menonton dari tempat persembunyiannya yang tadi. Setelah ia
tidak bertanding dengan Raja Pengemis itu, tentu saja ia tidak dapat
menghalangi mereka mengeroyok Pouw-kai-ong. Aganya rombongan pengemis yang
dipimpin Yu Kang dan Lionglokai itu ketika melihat Pouw-kai-ong terhuyung
mundur dan tongkatnya sudah patah-patah, segera menyerang.
Namun Si Raja pengemis
adalah seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Memang kini
senjatanya sudah rusak dan dadanya terasa sesak sekali, akan tetapi, menghadapi
pengeroyokan tujuh orang itu, ia sama sekali tidak gentar. Bahkan di antara
hujan senjata itu ia bergerak sambil memekik, kedua kaki tangannya bergerak
dan... kembali dua orang murid Liong-lokai roboh terguling!
Pada saat itu terdengar
sorak-sorai gemuruh dan bermunculanlah puluhan, bahkan ratusan orang pengemis
yang serta merta mengeroyok Poouw-kai-ong! Mereka ini adalah
rombongan-rombongan pengemis yang tadi sudah diberi kabar melalui teman-teman
oleh Liong-lokai sehingga dari pelbagai penjuru datanglah mereka yang ingin
sekali melihat Si Raja Pengemis yang dibenci menemui kematiannya.
Pouw-kai-ong terkejut
sekali. Matanya jelilatan hendak mencari jalan keluar, namun ia sudah terkurung
rapat. Birpun ia lihai, namun menghadapi ratusan orang pengemis yang
mengurungnya rapat dengan senjata di tangan, benar-benar merupakan ancaman maut
yang mengerikan. Ia mengamuk dan lagi-lagi ia merobohkan beberapa orang. Bahkan
Yu Kang yang maju paling dekat, telah kena pukulan tangannya sehingga tulang
pundak kiri Yu Kang patah! Juga Liong-lokai kena hantaman lambungnya, membuat
kakek ini terlempar dan roboh tak bernyawa lagi di saat itu juga. Masih banyak
lagi korbannya, ada belasan orang. Namun ia sendiri mulai terkena pukulan, dari
kanan kiri, dari depan belakang. Pouw-kai-ong terhuyung-huyung, mandi darah
tapi masih terus mengamuk. Bacokan-bacokan dan hantaman-hantaman ruyung datang
bagaikan hujan, bajunya sudah compang-camping, tubuhnya penuh darah. Akhirnya
ia roboh! Masih saja mereka menghujani senjata.
"Berhenti...!!"
Tiba-tiba Suling Emas melayang dan tiba di dekat Pouw-kai-ong. Sekali sulingnya
bergerak, tampak sinar kuning emas dan semua senjata yang ditujukan kepada
tubuh yang mandi darah itu terpental.
"Wah, ini konconya!
Keroyok...!!" teriak seorang pengemis. "Jangan! mundur semua!!"
Yu Kang berseru sambil menggunakan tangan kananya yang tidak terluka untuk
mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang jalan. "Dia bukan
konco iblis Pouw, bahkan dialah yang memungkinkan kita merobohkan iblis
itu!"
Suara Yu Kang nyaring dan
penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal bahwa pengemis
kosen ini adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang diperkenalkan oleh
Liong-lokai, mereka lalu mundur. Yu Kang mendekati Suling Emas dan bertanya,
suaranya nyaring. "Suling Emas! Apa maksudmu menghalangi kami membunuh
iblis ini?"
Suling Emas menggeleng
kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka itu hancur,
bahkan sebuah daripada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya bengkok. Muka
yang mengerikan! Andaikata dapat hidup terus tentu menjadi seorang yang cacad
mukanya.
"Sudah kukatakan
tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biarpun dia roboh oleh kalian,
akan tetapi lebih dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan merusak
tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata, apakah kalian kira akan dapat dengan
mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu aku merasa
seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih mati
daripada hidup. Lihat mukanya! Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya dengan
kalian adalah urusan pribadi, aku tidak mau terseret dalam pengeroyokan dan
pembunuhan begini curang."
Sejenak Suling Emas
beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan melihat keadaan
Pouw-kai-ong. Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya
berkemak-kemik seperti membaca doa. Kemudian ia meloncat ke atas batu besar tak
jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas karena tulang pundak
kirinya patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.
"Kawan-kawan!
Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua
Khong-sim Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada Si Jahat Pouw agaknya di
antara kita akulah yang paling parah. Akan tetapi aku puas melihat dia kini
dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling Emas
belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan membunuhnya
sesuai dengan permintaan Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun tangan lagi,
kurasa dia pun akan mampus! Bergembira dan bersoraklah bahwa mulai detik ini
kita terbebas daripada cengkeraman seorang jahat seperti Pouw-kai-ong!"
Ratusan orang pengemis baju
kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru, "Hancurkan
pengemis baju bersih!"
"Angkat Saudara Yu
Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!" "Mari saudara-saudara, kita
iringkan Saudara Yu Kang mengumpulkan semua pengemis baju kotor untuk membasmi
pengemis baju bersih!"
Sorak-sorai makin
menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang tak
kuasa lagi mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi dari
situ sambil bersorak-sorak! Hanya beberapa orang pengemis tua yang tinggal
untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka yang terluka.
Suling Emas berdiri
memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu Kang yang
biarpun kasar dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu menyaksikan
jembel-jembel itu bersatu padu untuk membasmi penindas dan memperbaiki nasib,
menggantungkan harapan mereka kepada Yu kang, satu-satunya pengemis yang boleh
diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri daripada penindasan
orang-orang jahat.
Setelah semua mayat
dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang terluka sehingga
di situ sunyi sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw Kee Lui yang masih
menggeletak mandi darah. Suling Emas menarik napas panjang, lalu menyambar
tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia merebahkan tubuh yang masih pingsan
itu ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu. Belum jauh ia
pergi, ia mendengar suara orang dan cepat ia menyelinap lalu mengintai. Kiranya
beberapa orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua berpakaian
seperti pelayan-pelayan, berindap-indap memasuki pondok dari belakang. Ia
kembali menghela napas. Kiranya orang she Pouw itu menjadikan pondok itu
sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani beberapa orang wanita
cantik dan mempunyai pelayan-pelayan secukupnya. Biarlah, biar mereka itu
merawatnya. Suling Emas tidak jadi mencari daun obat di dalam hutan,
menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para selir dan pelayannya. Ia
hanya mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat
Pouw-kai-ong menjadi bertobat.
Suling Emas melanjutkan
perjalanannya menuju ke kota raja. Ia merasa girang mendengar percakapan rakyat
yang merasa puas dengan adanya raja baru yang adil dan tidak suka menjalankan
kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak melihat perubahan apa-apa ketika pada
keesokan harinya ia memasuki pintu gerbang kota raja, sehingga ia makin
gembira. Ketika pertama kali ia masuk kota raja ketika ia menyusul suhunya, ia
tidak mendapat kesempatan unutk melihat-lihat kota raja. Kini ia menggunakan
kesempatan untuk keliling kota sehingga bertambah kegembiraannya menyaksikan
keadaan yang makmur dan ramai.
Akan tetapi kegembiraan
ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga Suma. Ia
mendengar berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota yang
menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng telah menikah dengan seorang
pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia mendengar bahwa Suma
Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana raja, bersama suaminya
dan dua orang anaknya! Suma Ceng sudah menjadi isteri seorang pangeran dan
malah sudah menjadi ibu dari dua orang anak!
Hancur hatinya, perih
seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan keterangan ini,
Suling Emas meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam buta sambil
meramkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh berderai. Akhirnya ia
berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan, menyembunyikan mukanya di
antara kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram rambutnya. Habislah sudah
harapannya. Padamlah semua cahaya hidupnya. Apa lagi yang boleh dipandang?
Kekasih pertama direnggut maut. Kekasih berikutnya direnggut laki-laki lain!
Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu rimbanya, mungkin sudah mati
karena tidak pernah ia mendengar beritanya. Siapa lagi yang dapat dijadikan
teman dalam hidupnya?
Kakeknya! Ya benar.
Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di Kerajaan
Nan-cao! Mengapa ia tidak pergi ke negara kakeknya? Siapa tahu kalau-kalau
ibunya juga pulang ke sana? Selain menghubungi keluarga yang terdekat dan masih
ada, juga ia maklum bahwa di sana ia akan dapat banyak belajar untuk
memperdalam ilmunya. Gurunya sendiri seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong
dengan penuh kagum.
Setelah duduk termenung
dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari memerah menjelang
fajar, Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget kalau menyaksikan
perubahan wajah pendekar ini. Tampak tua dan tidak ada lagi sinar pada mukanya.
Hanya kemuraman yang tampak. Pandang matanya sayu.
Tiba-tiba ia meloncat
bangun dan menyelinap cepat, bersembunyi di balik sebatang pohon besar di
pinggir jalan. Biarpun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran dan
dirinya tenggelam dalam duka nestapa, namun naluri kependekarannya tak pernah
menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan gerakan tiga sosok bayangan
yang berlari-lari keluar dari kota raja, menimbulkan kecurigaannya sehingga ia
cepat-cepat bersembunyi untuk mengintai.
Tiga orang yang berlari
amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil bercakap-cakap.
Suling Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk mendengarkan. Setelah
dekat, dari balik pohon melihat seorang nenek dan dua orang kakek. Nenek itu
berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah bungkusan kain kuningan dari
sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan
nampak kuat, tubuh atasnya tidak berbaju. Serasa ia mengenal tiga orang tua
ini, akan tetapi di mana ia pernah bertemu. Akan tetapi begitu mereka bertiga
bercakap-cakap segera ia ingat.
"A-liong, kau yang
paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang mengantarkan
pangeran cilik ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut para pengejar
sehingga kau dapat pergi jauh takkan terkejar lagi," kata Si Nenek Tua.
"Betul ucapan Sam
Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebar daripada
kami berdua, dan aku pun malas kalau harus berlari-lari dikejar-kejar seperti
maling."
"Ihh..., aksinya!
Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?" bentak nenek itu sambil
menyerahkan bungkusan sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang disebut
A-liong. Kakek A-liong agaknya tidak senang dengan tugas ini, akan tetapi
karena "kalah suara" ia menerima juga bungkusan itu. akan tetapi
begitu bungkusan itu dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang
nyaring sekali.
Eh-eh, kauapakan dia?
Sejak tadi diam saja, begitu kausentuh lalu menangis!" kata Si Nenek Tua
mengomel.
"Wah, celaka. Kalau
menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang jalan,"
kata A-kwi. "Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan orang-orang di jalan?
Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah cucumu yang kematian ayah bundanya?"
Namun A-liong sudah
menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua ketika ia merasa
betapa anak kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras. Cepat ia mengulurkan
tangan ke depan, memberikan bungkusan itu kembali kepada Sam Hwa sambil
berkata,
"Tidak baik...,
tidak baik...! Dalam pondongan tangan halus dia diam saja. Tanganku kasar,
tidak sehalus tanganmu, Sam Hwa."
"Cihh! Omongan tua bangka
tak bermalu!" kata Sam Hwa dengan muka agak merah sambil menerima kembali
bungkusan sutera kuning yang ternyata berisi seorang anak kecil itu.
"Ha-ha-ha! Bukan
karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu keras
sehingga anak itu tidak tahan!" A-kwi menggoda.
Suling Emas mengenal tiga
orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia mendengar
percakapan mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi menyebut
"pangeran cilik" yang harus diantarkan kepada Ong-ya! Keonaran palagi
yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya? Mereka itu bicara tentang
pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu
dari dalam istana raja atas perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh.
Teringat akan percakapan rakyat yang memuji-muji kaisar baru dari Kerajaan
Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak kecil itu.
Dengan gerakan ringan
sekali Suling Emas melompat dan melayang keluar dari tempat sembunyinya, tangan
kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa.
Serangan ini sengaja ia lakukan dengan pengerahan tenagan sehingga terdengar
suara angin bersiut menyambar. Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang ahli
silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan menyerangnya ini
melakukan serangan maut yang berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang
sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala. Akan tetapi pada saat itu,
bocah yang dipondongnya telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan
kanan menotok pundaknya lalu merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam
Hwa mencegah perampasan ini karena totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan
kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang,
bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi,
lebih nyaring daripada tadi!
"Kembalikan
anakku...!" Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas
bocah itu bukan seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda
berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran
cilik itu sebagai anaknya!
A-liong dan A-kwi juga
melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali kau
merampok anak orang di tengah jalan?"
Suling Emas tersenyum
mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai
anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, susungguhnya siapa
yang merampok anak orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran
Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat yang semestinya, yaitu
di dalam istana."
Tentu saja tiga orang tua
itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka, yang hanya
mereka ketahui, tak pernah diperkenalkan keluar. Bagaimana orang muda ini bisa
mengenal mereka? Biarpun mereka bertiga itu kini bekerja sebagai pelayan, namun
sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan A-kwi adalah bekas
perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga seorang
ahli silat tinggi, janda seorang panglima seangkatan dengan dua orang temannya
itu. Mereka ini tetap setia kepada Kong Lo Sengjin.
Karena maklum bahwa orang
muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang lebih pandai bicara
segera bertanya, "Orang muda, siapakah kau yang berani mencampuri urusan
pribadi kami? Andaikata benar kami menculik seorang Pangeran Kecil, apa
sangkut-pautnya hal itu denganmu?"
"Bibi Sam Hwa dan
kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi berpura-pura. Kalian bertiga
sudah pernah bertemu denganku, hanya agaknya kalin sudah lupa lagi. Akan tetapi
aku tahu bahwa kalian adalah anak buah Kong Lo Sengjin, dan bahwa anak itu
adalah seorang pangeran yang kalian culik dari istana atas perintah Kong Lo
Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,
akan tetapi setelah mempelajari ilmu, apa gunanya kalau tidak untuk menumpas
perbuatan buruk? Aku tidak ingin bermusuh dengan kalian yang pernah bersikap
baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak bisa membiarkan kalian menculik anak
orang semaunya. Apalagi untuk dibawa ke depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku
harus mengembalikan anak ini kepada orang tuanya."
Sejenak tiga orang tua
itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan herannya.
Akhirnya Sam Hwa bertanya, suaranya agak gemetar, "Siapakah kau? Pengawal
istana? Siapa?"
Suling Emas menggeleng
kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun. Mengapa
masih mau saja diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang tidak
baik? Seyogianya orang-orang setua kalian ini menenteramkan pikiran
membersihkan hati menanti kematian."
"Eh, bocah gila!
Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju. "Tak peduli
ia pengawal atau bukan, anak itu hars kita rampas kembali. Serbu!" bentak
pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.
Karena merasa bahwa
rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak mau
mengembalikan pangeran kecil yang mereka cuik, tiga orang ini serentak
menyerang Suling Emas dengan gerakan yang dahsyat. Sambil menyerang, mereka
berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling Emas yang masih terus
menangis keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa
masing-masing menggerakkan sebatang pedang tipis. Serangan mereka cepat dan
mengandung tenanga yang hebat.
Namun tiba-tiba mereka
terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning emas yang
bergulung-gulung dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya, serbuan tongkat
dan dua batang pedang sudah terlempar jauh dan ketiga orang anak buah Kong Lo
Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi tangan kanan yang
terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbalalak kagum mereka berdiri memandang
Suling Emas yang kini berdiri dengan tangan kiri memondong anak kecil, tangan
kanan memegang sebatang suling yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
"Suling
Emas...!!" Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu.
sebagai pembantu-pembantu kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka
mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan Ciu Bun di Pulau
Pek-coa-to, biarpun mereka jarang datang ke pulau itu.
Suling Emas menjura
sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan kebaikan
mendiang Adik Kwee Eng dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai di sini
saja kesalah fahaman ini. Selamat tinggal!!" Setelah berkata demikian,
Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.
Tiga orang tua itu
bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang sakti
itu bukan lain adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada mereka
sekedar untuk makan. Anak laki-laki yang kemudian menjadi murid Kim-mo Taisu
yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin sendiri. Akan tetapi
muridnya itu? Benar-benar tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa
mereka bukanlah tandingan orang muda itu, mereka menganggap bahwa tugas mereka
telah gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.
Hati Suling Ema merasa
lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat
mengejarnya. Akan tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam
pondongannya.
"Sssstttt, diam...!
Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga terbuka
dan tampak muka anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah karena
banyak menangis. Mata yang bening itu memandang penuh selidik ke arah wajah
Suling Emas.
"Nah, begitu anak
baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada ayah
bundamu...!" Suling Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak itu
mengedip-ngedip, terheran, akan tetapi tidak menangis lagi. Anak berusia kurang
lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia berada dalam tangan yang
aman.
Belum juga sampai di
pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari tujuh orang,
berpakaian bagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar dari pintu
gerbang danketika bersimpang jalan dengan Suling Emas, rombongan ini segera
menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada Suling Emas, "Hee,
berhenti dulu!"
Suling Emas berhenti,
maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja yang
bertugas mengejar penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong anak
itu ditangan kirinya, ia membalikkan tubuh menghadapi mereka.
"Kalian mau apa
menahan orang berjalan?" tanyanya tenang. Tujuh orang pengawal itu
memandang ke arah anak kecil dalam pondongannya dan serentak mereka berseru
girang. "Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat pakaiannya,
selimutnya....!"
Pemimpin rombongan yang
berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan kemarahan, keningnya
berkerut-kerut, lalu membentak,
"Heh, orang muda!
Engkau benar-benar berani mati menculik putera Sri Baginda! Tak tahukah kau
bahwa saat ini ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan berpencar di seluruh
tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas..."
"Ssstttt....!!"
Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang
mulai menangis lagi itu. "Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian
membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah kalian bahwa dia tidak suka akan suara
berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"
Seketika berubah sikap
komandan pasukan kecil itu. ia memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya
agar tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan perintah dengan suara
bisik-bisik! Hal ini terjadi karena mereka itu mengingat bahwa anak dalam
gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri Baginda sendiri!
Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri Baginda,
tentu mereka celaka! Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih ketika
mereka melihat anak itu terus menangis keras, mereka menjadi bingung. Suling
Emas sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat
mukanya. Bingung ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya,
saking bingungnya, ia mengambil sulingnya dan meniup suling itu dengan tangan
kanan.
Seketika anak itu
berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi basah air mata, anak itu
memandang Suling Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya dengan nada naik
turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan tujuh orang pengawal juga ikut
tertawa!
"Kalian jangan
banyak ribut. Aku justeru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja. Bukan
aku penculiknya, melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak ini
dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut, kalau kalian ribut-ribut lagi
dan anak ini menangis, jangan tanya dosa!" Suling Emas dengan gerakan
sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang dan...
pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. mereka mengangguk-angguk dan
ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh orang itu
mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat betapa orang muda itu
membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka lega.
Suling emas terpaksa
berjalan sambil meniup sulingnya, karena anak itu menangis saja kalau tidak
ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara
sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang
terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari
kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan...
rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda
masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan
berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang
kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke
istana! Suling Emas yang berjalan didepan, enak-enak dan tenang-tenang saja
memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.
Tentu saja ia diterima
oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa
orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan
diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun, Suling
Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran.
Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap
tenang dengan mata sayu dan muka muram.
Sebagai seorang
terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan
diri berlutut, kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya
dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran, kemudian ia menceritakan
betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya langsung ke
istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong
anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang segera
menerima anak itu dari tangan Suling Emas. Akan tetapi anak kecil itu menjerit
dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas! Timbul sedikit
kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya
pulang dengan selamat. Akhirnya, permaisuri sendiri, ibu anak itu yang ikut
hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu mau dipondong ibunya.
Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding ke
arah Suling Emas. "Ha-ha-ha!" Sri Baginda tertawa bergelak setelah
permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang cantik-cantik yang
melempar kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang
dianggap seorang gagah yang berjasa besar. "Kau seorang pemuda yang luar
biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami sambil
bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera
kami juga sukar mau melepaskan engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda
yang gagah perkasa, engkau siapakah?" Suling Emas berlutut memberi hormat
lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri sudah
lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka
sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama Suling Emas. Hamba tidak
mempergunakan nama lain."
Suasana hening ketika
semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda itu.
Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa
heran mendengar jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung
adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah banyak bertemu dengan
petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kang-ouw yang aneh. Kaisar
tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa, "Suling Emas, angkatlah
mukamu dan dan biarkan kami melihat wajahmu!"
Suling Emas tidak berani
membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah
yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda, "Semuda ini
sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang
nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."
Dengan gerakan amat
hormat Suling Emas bangkit berdiri. Kembali Kaisar memandang tajam dan
mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini
dan ia berkata,
"Suling Emas, kami
telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami,
jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"
"Ampun, Tuanku.
Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak
mengaharapkan hadiah apa-apa." Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban
ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah perkasa dan berati bersih.
Kami percaya bahwa engkau tidak mengaharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi
saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang
patut bagimu. Bagaimanaah kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal
dalam istana? kami sekeluarga akan merasa tentram dan aman apabila engakau
menjadi kepala pengawal disini." "Mohon Paduka sudi memberi ampun.
Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam terbuka, tidak
berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."
Kaisar diam sejenak,
berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat
aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh
wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar
mendengar nama mendiang suhunya disebut-sebut. "Maka kami serahkan
kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah, apa yang
dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima
kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan
tidak senang."
Suling Emas sudah banyak
mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun
hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu
ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.
"Baiklah, Tuanku
Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi
mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di
perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar
betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab
sebanyak-banyaknya." "Ha-ha-ha!" Kaisar tertawa bergelak, dan
semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena latah, melainkan
juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu.
"Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana
dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar
dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling Emas. APa
lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!" Suling Emas merasa
bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati
Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi kini harus memilih
satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana
ini? Ia tidak menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat kepada Suma Ceng!
Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di lingkungan istana
pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah
dapat ia pastikan ia akan "berani mati" minta dijodohkan dengan Suma
Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu? Melihat wajah pemuda
itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan ragu-ragu dan
takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih.
Kami akan mengabulkannya!"
Dalam gugupnya dan dalam
kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng,
Suling Emas menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon supaya diberi
kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan apa saja dari petugas
dapur!"
Kini para hadirin yang
tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara
ketawa baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Ha-ha-ha, jangan
berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan
terharu akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur
dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau memerlukan pakaian atau apa saja,
tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan kami beri.
Selain dua hadiah itu, kamipun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang
sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi
sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!" Suling Emas tidak berani
menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia
suka, menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia
menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang amat halus dan indah.
Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan pada
setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan
sebatang suling menyilang. Kaisar memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat
bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar malam sekalipun, ia
berani masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di
waktu malam dan penjaganya duduk mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki
gedung perpustakaan dari atas genteng. Semua petugas istana tidak pernah
mengganggunya dan semenjak itu, nama Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi
setelah ia mengenakan pakaian anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa
pendekar besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang juru tulis
Pangeran Suma Kong dan menderita hukum siksa oleh Suma-Kongcu karena berani
bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma Kong yang kini menjadi isteri
Pangeran Kiang. Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan
istana. Pada suatu hari, orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling
Emas telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ
hanya terdapat tulisan huruf indah di atas tembok kamar: Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana rakyat makmur negara aman sentausa
Kaisar diberi laporan akan kepergian Suling Emas, hanya mengangguk dan
selanjutnya memberi perintah agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling
Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam
merasa kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.
Sesungguhnya bukan hanya
karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam
Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik
pangeran kecil seperti yang ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin.
Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah yang
membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka. Mereka tahu benar
bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun
yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang, dan pula,
selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga disana
terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar
biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu
terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?
Ketika tiga orang tua ini
mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong
Lo Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih
selama hidupnya berjuang untuk menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh
itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam keadaan duduk
bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya.
Berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan
sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa, A-liong dan A-kwi cepat
memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka. Agaknya mereka
mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan
kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.
Dengan hati-hati mereka
mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan
kedua orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa
karena di dalam pulau kosong itu memang tidak ada apa-apa. Mereka bertiga
merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. mereka mancari-cari
di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban. Ketika
mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka
terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai
dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat. Kuda
Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran,
seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan
senjata tajam. Tiga orang tua otu saling memandang, terheran-heran menyaksikan
keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali
mengubur semua mayat yang sudah hampir busuk itu. Apakah yang sesunggunya
terjadi dan ke mana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid
dan pelayan Kong Lo Sengjin? Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo
Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam keadaan terluka hebat. Ia terluka di
sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli
silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin
lagi dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu
tua, pula ia selalu gagal dalam perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat
menemui maut. Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas
sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah
terjadi sehingga suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika
ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar
batu dan membaca kitab kuno dengan asyiknya. Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin
berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera
duduk pula di depan Ciu Bun.
Ciu Bun bergerak lemah
dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan.
"Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu,
sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."
"Bacakanlah."
Ci Bun lalu mulai membaca
sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari laut menyapu
permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan
kalbu. Kong Lo Sengjin duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari
condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak terakhir.
Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan
tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya
melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.
"....akhirnya
semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Pada keesokan harinya,
terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti
kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ.
Melihat betapa majikan dan guru mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek
tukang suling seperti yang mereka sebut kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka
berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong
Lo Sengjin, lalu menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah,
merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa
karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.
Memang Ciu Bun juga
menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa
sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun
mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan
mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu. Sudah berhari-hari
dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena ia
merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas
terakhir lewat tengah malam.
Kakek gila Bhe Kiu dan
Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang
mati bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo
Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu
mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua mayat manusia itu.
Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari
cepat sekali, setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang
duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan kembali membalapkan
kuda. Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar
dari selatan, terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam
perahu itu jadi permainan badai dan ombak. Tigapuluh dua orang penumpang lalu
melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis
disapu air laut.
Tiba-tiba mereka
mendengar suara derap kaki kuda dan....dapat dibayangkan betapa kaget dan heran
hati mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda
itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda
sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus menggantung pada
ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera
berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek
itu berteriak-teriak tidak karuan. Mereka cepat mencabut senjata masing, ada
yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena
Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda, kedua orang manusia
iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan
mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke
atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja! Hebatnya, mereka yang terkena
tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika!
Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah
ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan
membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil maupun besar,
ataupun binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka seperti
mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu, mereka
pun seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang
bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas
kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang,
membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu
sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi! Bhe Kiu si
kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati
darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini,
daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau
kelinci! Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu
berteriak-teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang
mendorong-dorong perahu besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang,
seperti dua orang anak kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah,
kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan
membuat perahu melaju ke tengah. Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar
saja. Karena perahu itu tidak dikemudikan, maka menjadi berputar-putar dan
sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah,
terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang
layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu
mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek perahu dalam keadaan pingsan! Namun
agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia.
Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah
sembuh dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki
sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi
korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu, di dunia
kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan.
Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun
watak liar mereka masih saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai
dua orang di antara Si Enam Jahat di duni akang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek
berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa).
Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang
Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)! Agaknya pengalaman mencicipi daging
dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng
Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak
yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya.
Kebiasaan ini membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang
telah dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular
berbisa. Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Adapun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu
setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ow, agaknya tidak
melupakan kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika
berada di Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai
senjata. Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia
telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya
ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di
waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia
lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali
Kerajaan Tang yang sudah runtuh. Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang
ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo
Seng-jin. Sam Wha, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas
orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang
jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat
dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya majikan mereka. Insyaflah mereka
betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan
mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil
keputusan untuk tinggal di Pulau Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan
bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.
Suling Emas meninggalkan
istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian
yang berlukiskan suling, pemberian Kaisar, ditambah perbuatannya yang gagah
berani, selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang patut ditolong,
memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan kebenaran dan keadilan,
sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan
munculnya pendekar muda yang sakti ini. Namun karena Suling Emas membatasi
diri, hanya muncul untuk mencegah penindasan dan kejahatan, sama sekali tidak
mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim, tidak memusuhi dunia hitam, maka
ia pun tidak dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.
Bertahun-tahun ia
berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati
hendak melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah
ia berhasil. Hatinya tetap kosong dan perih, wajahnya tetap suram dan pandang
matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian sudah tak terkendali
lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling
melagukan nyanyian sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya
yang merana agak terhibur.
Lima tahun berlalu amat
cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya
sudah cukup banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan dan ia
insyafkan. Suling Emas tidak Suka membunuh orang, selalu berusaha menginsyafkan
penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula orang-orang yang telah
ditolongnya dari pada marabahaya, ingin menariknya sebagai mantu. Banyak pula
gadis-gadis jelita yang telah ditolongnya, ingin membalas budi dengan
penyerahan jiwa raganya. Namun semua itu ditolak Suling Emas dengan sikap halus
dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah dua kali hancur hatinya
oleh kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia
telah menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan diri dalam asmara,
setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena kegagalan asmara.
Perjalananya menuju ke
Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Beng-kauw,
dilakukan dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah seluruh
propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di tempat-tempat indah, seperti
telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan. Oleh karena
inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao.
Kerajaan Nan-cao, adalah kerajaan yang kecil saja di selatan. Namun melihat
keadaan dusun dan kotanya yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur, tidak
tampaknya orang-orang berpakaian jembel dan pengemis, menunjukkan bahwa
penguasa Nan-cao adalah orang-orang pandai. Apalagi setelah Suling Emas
bermalam di sebuah dusun, ia mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh
Nan-cao di waktu malam atau kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan
jendelanya tak pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup
dalam suasana aman tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena
mememang tidak pernah ada pencuri!
Penuh kekaguman hati
Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah, namun cukup dan
pada wajah mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang karena bukankah
kakeknya yang menjadi guru negara dan orang terpenting di situ? Sama sekali
Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan negara kecil yang makmur, juga
Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai. Begitu ia
menginjakkan kaki di perbatasan Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam
gerak-geriknya selalu ada yang mengawasi! Bahkan kedatangan Suling Emas di
Nan-cao sudah diketahui oleh pusat Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang
berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu. Nama Suling
Emas sudah terdengar sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat baju
bersulamkan suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.
Pagi hari itu Suling Emas
memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia
berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan
kiri pintu! Namun para penjaga ini tidak menghiraukannya. Dari kedaan para
penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan. Di
kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota
raja selalu melewatkan waktu dengan main kartu, main catur, bergurau atau
menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga disini berdiri
tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin. Di
tengah pintu gerbang terdapat tulisan digantung, berbunyi: Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota raja.
Suling Emas merasa puas.
Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di
negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan
datang serombongan pasukan terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam,
dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali! Seorang gadis yang selain
cantik jelita, juga berpakaian aneh. Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir
hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki
celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan
putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum
pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang dengan mata
terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di
depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan
mata menyelidik. Demikian pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena
kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan
kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian.
Setelah beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring,
kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah,
"Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?" Suling Emas tersenyum.
Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti
orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai
kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono
dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
"Memang benar dugaan
Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)."
"Dari kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.
"Memang benar aku
datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya. Para
anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata
mereka semua penuh curiga.
"Mau apa kau
memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis
itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam. Suling Emas melihat betapa tangan
gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat pinggang gadis itu kiranya
adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang tali yang ujungnya terdapat
bola yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti cambuk namun ujungnya pakai
bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini amatlah sukar dimainkan, maka jarang
dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw. Kalau gadis ini mampu memainkannya,
hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis muda ini. Kalau saja Suling
Emas terus terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw),
tentu semuanya akan beres. Namun Suling Emas terlalu gembira dan tegang hatinya
untuk muncul begitu mudah, apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum dan
ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya. Karena itulah, ia tidak
segera memperkenalkan dirinya sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab sembarangan.
"Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao? Aku hanya ingin
melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak buah Nona
tidak menggangguku sehingga setelah keluar dari Nan-cao akan kukabarkan betapa
baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."
"Terhadap tamu
biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling EMas adalah nama yang cukup
terkenal, tokoh dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami
menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena hanya beliau yang akan memutuskan
apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak." Suling Emas
pura-pura marah dan mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku
memang benar Suling Emas, akan tetapi bukan penjahat!"
"Jahat atau baik
sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" Bantah gadis itu.
"Karena kau memasuki wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau tunduk
kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau ikut menghadap wakil
ketua Beng-kauw!"
Ucapan gadis itu tegas
dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya
uang bidanh sambil berkata,
"Selama hidupku tak
pernah aku membawa senjata."
Gadis muda itu tertawa
mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan
orang tak kan bisa sakit hati karena ketawa ini.
"Siapa tidak tahu
bahwa suling di pinggangmu itu merupakan senjatamu yang ampuh?"
"Suling bukanlah
senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menggibur hati duka
lara. Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk
menghiburmu."
Sepasang alis yang hitam
melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya.
"Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik
ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"
"Hem, hem, tak
kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam
apakah itu?" Suling Emas sengaja mempermainkan.
Gadis itu marah sekali.
Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak,
"Tangkap dia! Rampas sulingnya!"
Dua belas orang
berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan
menubruk suling emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah
orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan murud-murid tingkat terendah dari
Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak mempergunakan
senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas
suling yang terselip di ikat pinggangnya.
Gadis itu melihat betapa
Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak
mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya…anak
buahnya terpelanting dan terlempar ke kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak
buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh terbanting keras
sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas
orang orang anakbuahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok
kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya.
Bukan main marahnya gadis
itu. "Mundur kalian semua!" Bentaknya dan di lain saat ia sudah
meloloskan sepasang cambuknya. "Wuuut….tar-tar….!" Sepasang cambuk
itu diayun dan berputaran di atas kepala membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan
mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika
gerakan tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk,
sepasang cambuk itu sudah melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus
bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan lutut!
"Bagus…!"
Suling Emas berseru kagum dan dengan gembira ia lalu menggerakkan tubunya,
melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa
sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang ringan, maka suling emas
lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (tangan Kapas Sakti) sambil
mengerahlan ilmu meringankan tubuh sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari
dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia menangkis dan mendorong
bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.
Diam-diam suling emas
mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu
benar-benar adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga
dalam gadis itu belumlah begitu sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan
lawan yang tidak berat. Sementara itu , melihat kelihaian suling emas, seorang
diantara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.
Suling Emas yang hanya
ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan Si
Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan
tetapi ia merasa enggan menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap
sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata,
"Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"
Akan tetapi nona muda itu
sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda
terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya.
Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan
kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan
dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia
marah tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang
terus!
Akan tetapi dengan
gerakan aneh. Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di
ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu
berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap
berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan
lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga
tanpa hasil.
"Tar-tar-tar!!"
Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang
menyilaukan mata, berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali
suling emas, cepat ia melepaskan sepasang bola lalu meloncat ke belakang.
"Susiok (Paman
Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!" gadis
itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpang sepasang cambuknya yang tadi
dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.
Ketika Suling Emas
memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian
hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih,
pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya tertutup caping lebar,
wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang gagang
sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala,
namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.
"Susiok, dia ini
Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik
menghadap Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!" kata pula
gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir menangis karena hatinya
benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua kepandaiannya
sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!
"hemm…hemm…!"
Kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas. Di lain pihak,
Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa
gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biarpun
belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong
yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah tentu
memiliki kepandaian yang luar biasa.
"Harap Lo-enghiong
sudi memafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk
memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu….terlalu galak…"
"Nama Suling Emas
sudah terkenal sampai disini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan
peraturan, bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri
Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan berbangga dahulu dengan
kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku , wakil ketua dan di
atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kausambutlah pecutku
ini!"
Ucapan itu ditutup dengan
berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur di atas
kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan
menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek ini jauh bedanya dengan menghadapi
gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika sinar hitam itu
menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.
"Plak…!!!"
ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping
mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas
dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini benar-benar hebat
tenaga dalamnya.
"Bagus! Kiranya kau
benar-benar lihai!" Serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan
kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam
bergulung-gulung.
Dua macam perasaan
teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa
kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang
dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini ia pun merasa girang dan kagum
bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia
ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba
terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu
Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.
Begitu Suling Emas
mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat.
Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan
menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin membesar. Suling Emas
hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan
sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan
menekan.
Tiba-tiba gerakan kakek
itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara
meledak-ledak memekakkan telinga, Suling Emas kaget dan dia menjadi makin
kagum, tak disangkanya bahwa dalam kedaan terdesak itu, Si Kakek ini masih
mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya sehingga
kalau lawan kurang kuat sin-kangnya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini
dan akan menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan
sulingnya sedemikian rupa sehingga di antara suara ledakan itu terdengarlah
lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi
seperti ditiup mulut.
Tiba-tiba suara ledakan
dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara
dan ujung pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha
sekuat tenaga melepas pecutnya, namun sia-sia dan ketika Suling Emas
menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan Si Kakek! Di lain
saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada
pemiliknya sambil menjura.
Wajah kakek itu sebentar
pucat sebentar merah dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras,
tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.
"Sute (Adik
Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" Suara ini terdengar berpengaruh
sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia
membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya
dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun
sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.
Suling Emas menengok ke
kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa.
Kakek inipun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang
ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren,
sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang
tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas.
Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata,
"Saya yang muda
mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak
saya kehendaki di sini. Mohon Locianpwe suka memberi maaf."
Kakek itu mengangguk,
lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu yang bernama
Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"
Suling Emas kaget dan ia
merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini
benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari
gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab,
"Mendiang Kim-mo
Taisu adalah guru saya, Locianpwe."
"Aaahh…? Mendiang,
katamu..?"
"Suhu telah
meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang lebih lima tahun."
"Pantas kau lihai,
kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw.
Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan
Beng-kauw? Apa kehendakmu?"
Merah wajah Suling Emas
dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali
saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya
memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak
mempunyai niat buruk…."
"Kalau begitu, apa
yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"
"Saya….saya mohon
berjumpa dengan …Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."
Kakek itu megelus-elus
jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap
Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu
Liu Mo…"
"Aaahh, jadi
Locianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"
"Aku adik
kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kausampaikan
kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan."
Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas kaget. Dengan
mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata
adalah…bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti
anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah
bibinya.
"Juga dapat kau
sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah,
sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang
mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak
kausampaikan kepada Twa-kauwcu."
Tiba-tiba Suling Emas
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa
ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari
ibunya?
"Mohon beribu ampun,
Locianpwe, akan tetapi…saya hanya dapat bicara di depan…Beng-kauwcu
sendiri…"
Diam-diam Liu Mo
terheran, dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini
amat sakti. Dari pertempuran melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri
pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa
pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu
dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan
atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia
menjawab singkat,
"Suling Emas, tentu
ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu.
Marilah, kau ikut dengan kami."
Dengan hati berdebar
Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin
bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi
setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu
berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri
pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan
yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun
sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.
Barisan penjaga
berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian
paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka
keren dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan yang mereka lalui terdapat
lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh
ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah
kamar besar yang daun pintunya bercat merah.
Ketika memasuki kamar
ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap
menghormat setelah membongkokkkan tubuh. Adapun Liu Hwee segera menjatuhkan
diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke arah seorang kakek tua yang
duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu
Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun lalu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
Sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh
itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar
matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang
Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.
"Kau Suling
Emas?" Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu.
Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya.
Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu
mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
"Kamu murid Kim-mo
Taisu?"
Kembali Suling Emas hanya
mengangguk.
"Suheng, Kim-mo Taisu
telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu
Mo.
Pat-jiu Sin-ong
mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih. "Hemm,
selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia
mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya yang keras kepala itu? Heh,
orang muda, kau terima ini!" Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir
arak di atas meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu
berputaran di atas, lalu meluncur turun ke arah Suling Emas!
Suling Emas cukup waspada
dan ia maklum bahwa penyerang yang seluruhnya mengandalkan sin-kang ini amatlah
hebat. Biarpun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga
nama besar gurunya. Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh
lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang kuda-kuda,
mengerahkan sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut cawan
itu. Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua
orang itu, kini terhenti di udara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling
Emas. Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan
kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus ke depan
pula, mempertahankan diri.
Liu Mo, Kauw Bian Cinjin,
dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum
akan kehebatan tenaga Ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda
ini bukan musuh, mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan
kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju lagi
sejengkalpun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.
"Prakkk!"
Tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur
tiga langkah dengan napas agak terengah. Adapun Pat-jiu Sin-ong dengan muka
penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja sehingga terdengar suara
keras.
"Kwee Seng! Sungguh
engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini,
agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku!
Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau
belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian! Kwee Seng….Lu
Sian…kalian mengecewakan hatiku!" Kakek itu menutup muka dengan kedua
tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat betapa dari celah-celah
jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong
menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhunya!
Suling Emas tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan
kedua kaki Pat-Jiu Sin-ong lalu berkata,
"Kong-kong, aku
adalah cucumu…, aku adalah Kam Bu Song…putera tunggal ibu Liu Lu Sian…"
Pat-jiu Sin-ong
perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah
Suling Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke
depan, menangkap wajah itu di antara kedua tangannya, bibirnya bergerak-gerak
dan berbisik, "Kau …kau puteranya..? Benar! Ini…ini matanya, mulutnya…! Kau…cucuku….!"
"Kong-kong…!"
Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang
tuanya dan betapa semnejak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya
menjadi murid Kim-mo Taisu. Mendengar penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu
merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya
dengan penuh kebanggaan.
"Wah, kau benar
hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti ini!
Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"
Suling Emas sebagai orang
muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut
pula. "Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."
Liu Mo mengangkatnya,
juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira
hati mereka. Kemudian kwee seng menjura ke arah Liu Hwee dan berkata,
"Mohon Bibi juga
sudi memberi ampun kepadaku."
Muka yang cantik itu
seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia
tertawa dan pura-pura marah, "Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai
seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal, kau harus
berlutut tujuh kalu di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"
Suling Emas bingung,
akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak,
akan tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya, "Hwee-ji
(anah Hwee), jangan main gila!" Semua orang lalu tertawa.
"Satu hal saya mohon
kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi
Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan.
Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui
asal-usul saya."
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas
panjang. "Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua
menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."
Semenjak hari itu, Suling
Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya,
juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang
kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga
selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang dan makin sakti.
Akan tetapi ia tidak pula
melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan
ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan
nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan
sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak tekun membaca
kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu
Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela
mereka yang tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan
kebenaran dan keadilan. Nama Suling Emas
menjadi makin terkenal di segenap penjuru. Hanya satu hal yang masih
mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar
budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu
kandungnya!
Bersama berkembangnya
nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia kang-ouw muncul
nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi
julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong
seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau
Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita
berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke
tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain adalah Bayisan. Ke
empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah Ma Thai
Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng Koai-jin
yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe
Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.
Sampai di sini selesailah
cerita Suling Emas ini dan bagi
pembaca yang sudah membaca cerita Cinta
Bernoda Darah tentu teleh berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi
lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang menutup cerita ini dengan harapan
semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum cukup puas,
dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara Hitam" di mana pembaca akan dibawa terbang
melayang ke alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid
serta keturunanya, karena cerita Mutiara
Hitam merupakan lanjutan Cerita Cinta
Bernoda Darah. Sampai jumpa dalam Mutiara
Hitam !
No comments:
Post a Comment