NAGA MERAH
oleh. Teguh S.
1
Desa Jatiwangi tidak seperti biasanya. Umbul-umbul dan
macam-macam hiasan bertebaran di seluruh desa. Tampak semarak sekali. Keceriaan
tercermin di setiap wajah penduduknya Berbondong-bondong mereka menuju panggung
hiburan yang ada di setiap sudut desa.
Sebenarnya bukan hanya penduduk desa Jatiwangi saja yang
kelihatan ceria penuh kegembiraan. Desa-desa di sekitarnya pun juga tidak luput
dari suasana ceria itu. Tidak sedikit orang dari desa tetangga yang tumplek di
desa yang penuh dengan panggung hiburan. Tentu saja kegembiraan ini juga sangat
dirasakan oleh Kepala Desa Jati wangi.
Ki Rangkuti tersenyum bangga menyaksikan warga desanya
bergembira. Sepasang bola matanya berbinar-binar merayapi sekelilingnya. Kepala
desa yang sudah berumur lanjut tapi masih terlihat gagah itu, duduk didampingi
dua orang tamu istimewa yang diundang khusus. Yang duduk di sebelah kanannya
adalah seorang laki-laki berumur sekitar empatpuluh tahun. Wajahnya masih
kelihatan tampan dan gagah. Di punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang
emas. Senjata itulah yang membuat dirinya dikenal sebagai Dewa Pedang Emas.
Sedangkan yang duduk di sebelah kiri Ki Rangkuti, seorang
tua berambut putih. Pakaiannya pun serba putih bersih. Matanya bercahaya
menandakan seorang yang arif bijaksana. Kelihatannya dia tidak menyandang
senjata sebuah pun. Semua orang pasti akan mengenalnya. Lakilaki tua
berpenampilan penuh wibawa ini dikenal dengan nama Bayangan Malaikat.
Pada saat
itu tiba-tiba seorang laki-laki muda dengan tombak panjang di tangan
menghampiri. Pandangan mata Ki Rangkuti langsung tertuju padanya.
"Ada apa,
Darmasaka?" tanya Ki Rangkuti.
"Ada seorang wanita tua ingin bertemu, Ayah,"
sahut Darmasaka yang ternyata putra kepala desa itu.
"Siapa dia?" tanya Ki Rangkuti sambil
mengernyitkan alisnya Sepengetahuannya dia tidak pernah mengundang tamu seorang
perempuan.
"Dia tidak mau menyebutkan namanya. Katanya Ayah pasti
sudah mengenalnya," sahut Darmasaka.
"Hm...,"
Ki Rangkuti bergumam.
"Apakah dia menyandang senjata?" tanya Dewa Pedang
Emas.
'Tidak," sahut Darmasaka cepat Pakaiannya serba biru,
dan hanya membawa tongkat berkepala ular"
"Dia menunggang kuda putih dengan garis hitam pada
lehernya?" tanya Bayangan Malaikat.
"Benar!"
jawab Darmasaka.
'Tidak salah lagi, pasti si Ular Betina," gumam
Dewa.Pedang Emas.
"Kau mengundangnya juga, Rangkuti?" tanya Bayangan
Malaikat menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi diam saja.
Ki Rangkuti yang sejak tadi sudah menduga siapa yang datang,
hanya menggeleng perlahan. Dia tidak menyangka sama sekali kalau si Ular Betina
akan datang tanpa diundang. Sementara Darmasaka hanya memandang tidak mengerti.
Hatinya bertanya-tanya melihat perubahan pada wajah Ayahnya yang seperti tidak
menyukai kehadiran perempuan tua yang berjuluk Ular Betina itu.
Saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar suara ringkikan dan
derap kaki kuda. Tampak seekor kuda putih yang ditunggangi seorang perempuan
tua berpakaian serba biru memasuki halaman rumah kepala desa yang luas. Kuda
itu berhenti tepat di depan serambi depan, tempat empat orang laki laki itu
berdiri.
Perempuan tua yang tidak lain
adalah si Ular Betina. Dengan tangkas dan ringan sekali dia melompat dari kudanya,
seolah ingin memamerkan ilmu meringankan tubuh yang indah pada keempat
laki-laki di depannya.
Manis sekali kakinya menjejak tanah
setelah berputar di udara dua kali.
"Kau mengadakan pesta besar, kenapa tidak mengundangku,
Rangkuti?" suara si Ular Betina kecil, namun terdengar nyaring tinggi.
"Maafkan kelalaianku, Ular Betina," sahut Ki
Rangkuti pelan penuh wibawa. 'Tidak seorang pun dari orangorangku mengetahui di
mana tempat tinggalmu. "
"Hik hik hik..," si Ular Betina tertawa kecil.
"Aku tidak mempersoalkan orang-orangmu, Rangkuti. Aku datang ke sini hanya
ingin menikmati pesta besarmu." Ki Rangkuti menarik napas panjang dan
berat.
Ada sedikit kelegaan di dadanya. Jika kedatangan si Ular
Betina hanya sekedar menikmati
pesta, tidak ada masalah baginya. Hanya yang dikhawatirkan kedatangan perempuan
tua itu bisa menghancurkan semua rencana yang sudah disiapkannya berbulan-bulan
dengan penuh perhitungan.
"Kau tidak mempersilakan aku duduk di kursi undangan,
Rangkuti?" kata si Ular Betina.
"Silakan.
Pilihlah tempat di mana kau suka," Ki Rangkuti merentangkan kedua
tangannya.
Sambil tertawa mengikik kecil, si Ular Betina melangkah
menaiki beranda rumah itu. Dia kemudian duduk di samping Dewa Pedang Emas. Ki
Rangkuti masih berdiri meskipun ketiga tamunya sudah duduk di tempat
masingmasing. Masih ada delapan bangku lagj yang kosong. Berarti belum semua
undangan yang hadir. Padahal rencananya hari ini adalah puncak semua pesta
besar yang telah terlaksana.
Ki Rangkuti memberi isyarat pada
Darmasaka untuk mendekat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, putra kepala desa
itu maju mendekati ayahnya. Dia mengangguk kecil pada ketiga tamu undangan Ki
Rangkuti. Darmasaka berdiri di samping ayahnya membelakangi Bayangan
Malaikat.
"Kau urus kuda Ular Betina dengan baik, kemudian
tambahkan satu kursi lagi di sini," kata Ki Rangkuti memerintah.
"Baik, Ayah," sahut Darmasaka. Darmasaka langsung
melangkah menghampiri kuda putih milik si Ular Betina. Kemudian dituntunnya ke
belakang. Dua kuda lainnya milik Bayangan Malaikat dan Dewa Pedang Emas, telah
tertambat di sana.
"Benar-benar anak yang berbakti, Rangkuti," kata
Ular Betina setelah Darmasaka lenyap di belakang rumah.
Ki Rangkuti
hanya tersenyum, lalu duduk di kursinya sendiri. Hatinya masih belum bisa
tenang dengan kehadiran si Ular Betina yang tidak diundang itu. Dia belum bisa
memperkirakan maksud kedatangan si Ular Betina yang sebenarnya. Harinya hanya
berharap benar-benar Ular Betina hanya ingin menikmati pesta besar di Desa
Jatiwangi ini
Tidak lama berselang, datang satu per satu undangan. Dari
penampilan mereka, jelas kalau semuanya adalah tokoh-tokoh sakti kaum rimba
persilatan. Mereka semua adalah laki laki, kecuali si Ular Betina saja. Mereka
duduk pada tempatnya masing-masing, menghadap panggung besar yang berdiri di
tengah halaman rumah kepala desa ini.
Para penduduk pun sudah mulai berdatangan memenuhi halaman
sekitar panggung. Dalam waktu yang tidak lama, halaman rumah Kepala Desa
Jatiwangi penuh sesak dipenuhi manusia. Mereka semua ingin menyaksikan puncak
acara pesta besar itu.
***
Pesta apa sebenarnya yang tengah berlangsung di desa
Jatiwangi?
Sebenarnya bukan pesta merayakan sesuatu, tapi
Ki Rangkuti mengadakan pesta ini
untuk menyambut berdirinya Padepokan Jatiwangi yang baru didirikan, dengan
mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan.
Tampak pada bagian kanan panggung, berdiri berjajar puluhan
anak-anak muda yang mengenakan seragam kuning keemasan. Mereka semua
menggenggam tombak panjang. Merekalah murid pertama Padepokan Jatiwangi Pada
barisan depan, duduk lima orang guru pengajar. Dari penampilan kelima orang
itu, dapat diukur kalau mereka memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
Suara riuh penuh sorak-sorai seketika berhenti ketika
terdengar suara gong dipukul tiga kali. Ki Rangkuti berdiri dengan sikap penuh
wibawa. Langkahnya pelan dan tegap menuju ke panggung. Semua mata memandang ke
arah laki-laki tua yang penuh daya pancar pesona itu. Ki Rangkuti berdiri tegak
di tengah-tengah panggung. Sebentar matanya menyapu ke arah warga desanya.
"Saudara-saudara sekalian, saya gembira pada hari yang sangat bersejarah
bagi seluruh warga Desa Jatiwangi. Berkat restu Yang Maha Kuasa jualah maksud luhur
kita semua bisa tercapai hari ini. Pada hari yang bahagia ini, saya selaku
Kepala Desa Jatiwangi akan meresmikan berdirinya satu-satunya Padepokan
Jatiwangi di desa yang kita cintai ini," pelan dan teratur kata-kata Ki
Rangkuti, namun terdengar menggema ke seluruh pelosok.
Semua mata masih tertuju pada laki-laki yang penuh wibawa
ini. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun.
"Pada hari ke tujuh bulan Sanga, saya atas nama seluruh
warga Desa Jatiwangi meresmikan berdirinya
Padepokan
Jatiwangi!"
Suara sorak-sorai dan tepuk tangan meriah terdengar
menggemuruh begitu Ki Rangkuti menyelesaikan katakatanya Dengan gegap-gempita
semua orang yang hadir menyambut berdirinya Padepokan Jatiwangi yang hanya
satu-satunya di desa ini.
Ki Rangkuti hanya tersenyum gembira menerima sambutan hangat
seluruh warga desanya. Dadanya terasa hampir pecah menyaksikan sambutan yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rencana mendirikan Padepokan Jatiwangi
ternyata berjalan lancar tanpa sedikit pun mendapat gangguan yang berarti. Ki
Rangkuti baru bisa bernapas lega sebentar, ketika tiba-tiba sebuah bayangan
hitam berkelebat cepat ke arah panggung.
Suara-suara menggumam terkejut terdengar begitu bayangan
hitam tadi sudah berada di atas panggung. Ternyata seorang.perempuan tua dengan
wajah penuh keriput sudah berdiri tegak di depan Ki Rangkuti. Tangan kanannya
menggenggam sebatang tongkat hitam yang meliuk-liuk bagai ular. Bagian kepala
tongkat itu bulat tidak rata
"Iblis Tongkat Hitam...," gumam Ki Rangkuti begitu
mengenali perempuan yang berdiri di depannya.
"Hik hik hik..., rasanya tidak mudah mendirikan satu
padepokan. Aku datang hanya ingin tahu, apakah Desa Jatiwangi sudah pantas
memiliki padepokan silat?" suara Iblis Tongkat Hitam terdengar pelan,
namun penuh dengan ejekan yang menyakitkan.
"Rasanya aku tidak mengundangmu, Iblis Tongkat
Hitam. Satu kehormatan
besar bagiku kau berkenan hadir pada peresmian berdirinya Padepokan
Jatiwangi,"
kata Ki Rangkuti.
"Aku tidak suka acara ramah-tamah. Aku datang ke sini
untuk menguji pantas tidaknya Padepokan Jatiwangi berdiri!" dengus Iblis
Tongkat Hitam.
Panas kuping Ki Rangkuti mendengarnya. Tapi sebagai guru
besar Padepokan, sekaligus Kepala Desa Jatiwangi, dia harus bisa mengendalikan
diri. Belum sempat ia menjawab tantangan itu, tiba-tiba Dar-masaka melompat
ringan. Tahu-tahu dia sudah berdiri di depan ayahnya.
"Ijinkan aku yang memberi pelajaran kepada perempuan
yang tidak tahu sopan-santun ini, Ayah," kata Darmasaka.
"Hati-hatilah. Dia sangat licik dan tinggi tingkat
kepandaiannya," kata Ki Rangkuti bijaksana.
Darmasaka membalikkan tubuhnya. Kemudian dia melangkah tiga
tindak ke depan. Ki Rangkuti menuruni panggung, kembali ke tempat duduknya
semula. Meskipun bibirnya menyunggingkan senyum, tapi khawatir juga dengan
keselamatan putranya. Dia tahu kalau Iblis Tongkat Hitam bukanlah lawan
Darmasaka. Itulah sulitnya jadi guru besar padepokan. Dia harus bisa menahan
segala bentuk perasaan. Kebijaksanaan selalu menyertai dalam setiap sikap dan
tindakannya.
"He, bocah! Untuk apa kau berdiri di situ?" bentak
Iblis Tongkat Hitam sengit.
"Aku akan membungkam mulutmu yang jelek!" dengus
Darmasaka ketus
"Hik hik hik..., sebaiknya kau turun. Aku tak mau
mengotori tangan dengan bocah bau kencur macam-12 mu," ejek Iblis Tongkat
Hitam.
"Kami tidak mengundangmu datang ke sini. Aku Juga malas
mengusirmu seperti anjing kalau kau tidak lekas-lekas minggat!" balas
Darmasaka tidak kalah sengitnya.
"Bocah setan! Tajam sekali mulutmu!" geram Iblis
Tongkat Hitam.
"Lebih tajam lagi ujung tombakku!" "Setan!
Mampus kau!"
Iblis Tongkat Hitam tidak bisa lagi menahan amarahnya
mendengar kata-kata Darmasaka yang menyakitkan. Seketika saja dia melompat
sambil men-gebutkan tongkat hitamnya yang meliuk-liuk bagai ular. Angin
sambaran tongkat itu menderu keras di atas kepala Darmasaka yang merunduk. Dan
bersamaan dengan itu, ujung tombak Darmasaka menyodok ke arah perut lawan.
Iblis Tongkat Hitam menarik kembali tongkatnya, dan dengan
kecepatan bagai kilat dikebutkan ke bawah. Darmasaka tidak mau mengambil resiko
dengan membenturkan tombaknya dengan tongkat hitam itu. Buruburu ditarik
tombaknya pulang. Iblis Tongkat Hitam menggeram sengit karena serangan
pertamanya gagal total, bahkan hampir-hampir kecolongan.
Sorak-sorai bergemuruh
mengelu-elukan Darmasaka yang berhasil mengimbangi serangan pertama dari Iblis
Tongkat Hitam. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua berbaju hitam itu
semakin geram. Segera dia menyiapkan serangan yang kedua. Matanya memerah penuh
amarah menatap Darmasaka yang hampir saja membuatnya malu.
Kali ini Iblis
Tongkat Hitam tidak lagi menganggap enteng lawannya.
Meskipun masih muda, Darmasaka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi juga.
'Terima seranganku, bocah!" teriak Iblis Tongkat
Hitam.
Darmasaka menarik tubuhnya menghindari sodokan tongkat hitam
perempuan tua itu. Pemuda itu langsung berputar ke belakang. Tapi sodokan
tongkat hitam yang gagal diteruskan dengan kebutan ke arah dada. Dengan satu
lentingan indah, anak muda itu berhasil keluar dari serangan beruntun Iblis
Tongkat Hitam.
Baru saja ditapakkan kakinya di papan panggung, mendadak
Iblis Tongkat Hitam kembali menyerang dengan mengibaskan tongkat hitam ke arah
iga. Darmasaka yang baru saja menjejakkan kakinya, tidak bisa lagi mengelak.
Terpaksa ditangkisnya tongkat hitam itu dengan tombaknya.
Trak!
Darmasaka terpental dua tindak ke belakang Matanya membeliak
melihat tombaknya patah jadi dua. Sambil menggeram kesal, dibuangnya tombak
patah itu ke luar panggung. Sementara Iblis Tongkat Hitam berdiri tegak dengan
sikap jumawa. Tawanya mengikik kecil mengejek lawannya. Suara-suara riuh dari
bawah panggung memberi dorongan semangat pada Darmasaka.
"Ayo, keluarkan lagi senjatamu. Aku tidak pernah
melawan orang tanpa senjata!" seru Iblis Tongkat Hitam.
Sret!
Tanpa sungkan-sungkan lagi Darmasaka mencabut pedangnya yang
sejak tadi tergantung di pinggang. Senjata itu berkilatan tertimpa sinar
matahan. Iblis Tongkat Hitam hanya mengikik menyaksikan hal itu. Baginya
sebatang pedang bukanlah hal yang patut diperhitungkan. Sudah terlalu banyak
lawan yang menggunakan pedang disikat habis olehnya.
"Majulah. Kuberi kau kesempatan menyerang," kata
Iblis tongkat Hitam meremehkan.
"Phuih!"
Darmasaka meludah sengit.
Sambil mengeluarkan teriakan panjang, Darmasaka melompat
deras seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher lawannya. Masih dengan suara
mengikik, Iblis Tongkat Hitam hanya menarik sedikit bagian lehernya ke
belakang, dan ujung pedang Darmasaka lewat begitu saja di depan leher Iblis
Tongkat Hitam.
Mendapati serangan pertamanya gagal, Darmasaka cepat
membelokkan arah pedangnya ke kaki lawan tanpa menariknya lagi. Iblis Tongkat
Hitam menaikkan sedikit kaki kanannya, dan pedang itu lewat di bawah telapak
kalanya. Darmasaka kembali melancarkan serangan tanpa henti, namun Iblis
Tongkat Hitam dengan mudahnya mampu mengelak.
Sementara itu di serambi depan rumah Kepala Desa Jatiwangi,
Ki Rangkuti memperhatikan jalannya pertarungan dengan mata tidak berkedip.
Hatinya semakin diliputi kecemasan melihat putranya tidak dapat lagi
mengendalikan hawa amarah Dalam beberapa gebrakan lagi, Darmasaka diramalkan
akan kalah.
Dan baru saja Ki Rangkuti berkata begitu dalam hati
Tiba-tiba Iblis Tongkat Hitam memekik keras.
Tongkat hitamnya berkelebat cepat mengarah kepala Darmasaka.
Gerakan yang cepat dan tiba-tiba ini sangat mengejutkan anak muda itu. Tidak
mungkin lagi untuk menghindar. Terpaksa disambutnya dengan menangkis. Trak!
Tangan Darmasaka bergetar keras ketika pedangnya menangkis
tongkat hitam yang mengancam kepalanya. Dan belum sempat dia menguasai diri,
mendadak....
"Lepas!"
Iblis Tongkat Hitam melayangkan kakinya menghantam
pergelangan tangan Darmasaka yang menggenggam pedang. Darmasaka tersentak
kaget. Mendadak saja pergelangan tangannya terasa nyeri, seperti remuk. Dia
tidak tahu lagi ke mana pedangnya mencelat.
Belum sempat Darmasaka berpikir lebih jauh, satu tendangan
keras kembali menghantam dadanya dengan telak. Darmasaka terjengkang ambruk ke
luar panggung, dan jatuh di depan kaki ayahnya sendiri. Dari sudut bibir anak
muda itu mengalir darah segar. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi tangan Ki
Rangkuti lebih cepat menahan pundaknya.
"Semadilah,
kau terluka dalam," kata Ki Rangkuti.
"Perempuan iblis itu, Ayah...," Darmasaka akan
protes.
"Kau
sudah kalah. Anggap saja semua ini sebagai pelajaran. Nah! Bersemadilah,"
potong Ki Rangkuti tegas.
Darmasaka
beringsut bangun, lalu duduk bersila.
Dia merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kedua
kelopak matanya terpejam. Dadanya masih terasa sakit, dan napasnya juga jadi
sesak.
Sementara itu di atas panggung, Iblis Tongkat Hitam berdiri
pongah. Sikapnya jelas-jelas menunjukkan tantangan bagi siapa saja yang berani
melawannya. Matanya memerah, sangat tajam menatap Ki Rangkuti yang masih duduk
tenang di kursinya.
"Biarkan aku yang mengenyahkan iblis itu,
Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas setengah berbisik.
"Jangan. Kau tamuku. Tidak pantas turun tangan,"
Ki Rangkuti menolak halus tanpa menyinggung perasaan Dewa Pedang Emas.
"Lagipula dia bukan lawanmu. Kau masih jauh di atas tingkat
kepandaiannya."
Dewa Pedang Emas tidak membantah. Memang benar apa yang
dikatakan Ki Rangkuti tadi. Dalam tiga jurus saja dia mampu menundukkan Iblis
Tongkat Hitam. Dulu pun iblis itu pernah dikalahkannya hanya dalam satu
gebrakan saja. Dan dilihat dari caranya bertarung melawan Darmasaka, tampaknya belum
ada perubahan dari jurusjurusnya. Entah kalau dia menyimpannya untuk menghadapi
lawan yang berat
"Siapa lagi jago-jago Jatiwangi? Apakah nyali kalian
hanya sebesar tahi ayam?" Iblis Tongkat Hitam menantang dengan pongahnya.
"Aku
lawanmu, iblis jelek!"
Dari deretan kursi depan di samping panggung, melompat
seorang laki-laki berpakaian serba putih yang ketat Dua kali dia berputar di
udara, kemudian dengan manis kedua kakinya menapak di papan panggung. Iblis
Tongkat Hitam terkekeh melihat lawannya yang kali ini tampak lebih tua dari
Darmasaka.
Bukan itu saja kelebihannya. Tanpa memperdengarkan suara
sedikitpun dalam melompat, tahu-tahu sudah berada di atas panggung tanpa
terdengar suara. Pertanda kalau dia memiliki tingkat kepandaian yang lebih
tinggi dari Darmasaka.
"Ijinkan aku bermain-main sedikit dengan Iblis Tongkat
Hitam, Kakang Rangkuti?"
"Silakan, Mahesa Jalang," sahut Ki Rangkuti seraya
merentangkan tangan kanannya ke depan.
Mahesa Jalang menggeser kakinya mendekati Iblis Tongkat
Hitam. Dia berhenti setelah jaraknya kira-kira satu batang tombak lagi di depan
perempuan tua berpakaian longgar serba hitam itu.
"Berikan aku sedikit pelajaran, nenek tua," Mahesa
Jalang menjura hormat.
"Hik hik hik...," Iblis Tongkat Hitam jadi risih
juga dengan sikap Mahesa Jalang yang penuh aturan dan tatakrama. "Jangan
kau sungkan-sungkan. Keluarkan semua kesaktianmu!"
"Bersiaplah!"
***
2
Mahesa Jalang menjura sekali lagi, kemudian dengan cepat
digeser kakinya maju. Begitu cepatnya bergerak, kedua tapak kakinya sepertinya
tidak menyentuh papan panggung lagi. Kedua tangannya berkelebat cepat ke kiri
dan ke kanan serta ke depan.
Iblis Tongkat Hitam sesaat tertegun melihat jurus yang
digunakan Mahesa Jalang. Gerakan-gerakannya tidak beraturan, seperti orang
mabuk saja layaknya. Tapi ketertegunan Iblis Tongkat Hitam berubah menjadi rasa
terkejut yang amat sangat, karena tiba-tiba •saja tangan kanan Mahesa Jalang
nyelonong ke arah dadanya.
"Uts!"
Iblis Tongkat Hitam langsung memiringkan tubuhnya ke kanan,
sehingga tangan Mahesa Jalang lewat di sampingnya. Belum juga perempuan tua itu
membenahi posisinya, mendadak kaki Mahesa Jalang terangkat cepat mengarah ke
perut. Iblis Tongkat Hitam cepat membabatkan tongkatnya melindungi perut.
Tentu saja Mahesa Jalang tidak mau
mengambil resiko.
Buru-buru ditarik kakinya kembali.
Bukan disitu saja Iblis Tongkat Hitam bergerak. Selagi tongkatnya terayun ke
bawah, dengan cepat tangan kirinya menyentak ke depan.
Bet!
Mahesa Jalang tersentak seraya menarik kepalanya ke belakang
menghindari tangan kiri yang mengancam kepalanya. Hanya beberapa helai rambut
saja kepalan tangan kiri Iblis Tongkat Hitam melayang di depan mukanya.
"Awas
kepala!" seru Mahesa Jalang tiba-tiba.
Secepat lalat tangan kanannya bergerak ke arah kepala lawan.
Iblis Tongkat Hitam merunduk sedikit, namun tangan yang hampir mencapai atas
kepala itu secara tibatiba turun dengan deras. Dan meluruk cepat ke arah perut.
Buk!
"Uhk!"
Iblis Tongkat Hitam terbungkuk
terdorong dua langkah ke belakang. Bibirnya meringis merasakan mual dan nyeri
pada perutnya, terkena sodokan keras tangan Mahesa
Jalang.
"Setan!"
geram Iblis Tongkat Hitam.
Sorak-sorai menggemuruh mengelu-elukan Mahesa
Jalang. Mulut-mulut usil kembali
mengejek Iblis Tongkat Hitam. Tentu saja hal ini membuat perempuan tua itu jadi
semakin geram. Segera saja diputar tongkatnya dengan cepat. Tongkat hitam itu
berputar deras bagai baling-baling. Suara angin menderu-deru bagai angin topan.
Panggung besar dan kokoh itu berderak-derak seakan-akan hendak runtuh.
Menghadapi serangan yang dahsyat ini, Mahesa Jalang langsung
mengerahkan ilmu kesaktiannya. Dia tidak ingin menghadapinya hanya dengan
jurus-jurus yang mengandalkan kecepatan gerak dan pengerahan tenaga dalam. Dia
tahu kalau Iblis Tongkat Hitam sudah mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang cukup
ting$.
Mahesa Jalang mengepalkan tangan kanannya, lalu dirapatkan
dengan telapak tangan kiri di pinggang kanan. Cepat sekali dia memindahkan
posisi tangannya ke pinggang kiri. Lalu perlahan-lahan naik sampai ke dada kiri.
"Aji 'Karang
Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.
Seketika itu juga tubuhnya melenting deras
ke arah Iblis
Tongkat Hitam yang sudah
melintangkan tongkatnya ke depan. Satu ledakan keras terjadi ketika kedua
tangan Mahesa Jalang membentur tengah-tengah tongkat hitam.
Trak!
"Akh!"
Iblis Tongkat Hitam memekik tertahan.
"Uhk!"
Mahesa Jalang melenguh pendek.
Dua tubuh yang berbenturan tadi, terdorong ke belakang
sejauh dua batang tombak. Iblis Tongkat Hitam limbung beberapa saat, kemudian
kembali berdiri tegak. Matanya membeliak merah setelah tahu tongkat hitamnya
patah jadi dua bagian.
Teriakan-teriakan kembali terdengar menggemuruh dari para
penduduk yang gembira melihat Mahesa Jalang berhasil mematahkan tongkat Iblis
Tongkat Hitam.
"Bocah setan! Kau harus mati di tanganku!" dengus
Iblis Tongkat Hitam geram.
Selesai berkata demikian, langsung disiapkan ilmu
kesaktiannya yang lain. Sedangkan Mahesa Jalang kembali menyiapkan aji 'Karang
Kati'. Dua orang di atas panggung itu kembali saling berhadapan dengan niat
ingin menjatuhkan satu sama lain. Keadaan kembali jadi hening, menunggu akhir
adu kesaktian itu
"Aji 'Tapak
Api'!" teriak Iblis Tongkat Hitam.
"Aji 'Karang
Kati'!" Mahesa Jalang tidak mau kalah.
Hampir bersamaan mereka melompat ke udara. Masingmasing mendorong
kedua tangan ke depan. Tampak kedua telapak tangan Iblis Tongkat Hitam berubah
menjadi merah membara. Tepat pada satu titik, dua pasang tangan itu bertemu di
udara. Kembali ledakan keras disertai percikan bola-bola api, terdengar
menggema saat dua pasang telapak tangan beradu.
Iblis Tongkat Hitam terpental ke belakang. Teriakan keras
melengking keluar dari mulutnya. Keras pula tubuhnya terbanting di pinggir
panggung. Tampak dari mulut dan hidungnya merembes darah segar.
Sementara itu Mahesa Jalang melenting dan berputar dua kali
di udara, lalu dengan manis mendarat tepat di tengah-tengah panggung. Matanya
tajam memandang tubuh terbungkus baju hitam yang ter-golek di pinggir panggung
besar yang kokoh ini. Tubuh Iblis Tongkat Hitam menelungkup tidak bergerak-gerak.
Seorang murid dari Padepokan Jatiwangi menghampiri dan memeriksa keadaan Iblis
Tongkat Hitam.
"Mati,"
katanya agak pelan.
Suara bergemuruh kembali terdengar menyambut kemenangan
Mahesa Jalang. Begitu mendengar kema-tian Iblis Tongkat Hitam, Mahesa Jalang
melangkah ke tepi panggung. Tapi baru saja akan turun, mendadak terdengar suara
tawa menggelegar. Disusul melompatnya sesosok tubuh dari tengah-tengah
penonton.
Begitu cepatnya sosok tubuh itu melompat, tahu-tahu sudah
berdiri di atas panggung. Mahesa Jalang membalikkan tubuhnya. Dia tahu kalau
kemenangan ini tentu akan mendapatkan tantangan lagi dari tokoh-tokoh sakti
rimba persilakan. Dan semuanya sudah diperkirakan sebelumnya.
***
"Buto
Dungkul...," gumam Mahesa Jalang mengetahui siapa yang kini berdiri dengan
sikap menantang di tengahtengah panggung.
"Belum saatnya kau turun gelanggang, Mahesa Jalang,
" ujar Buto Dungkul. Suaranya berat dan serak.
Mahesa Jalang memiringkan kepalanya mengamati lakilaki yang
hanya mengenakan cawat saja. Di tangan kanananya tergenggam sebuah gada penuh
duri-duri tajam yang besar. Tubuh Buto Dungkul juga tinggi besar bagai raksasa.
Dadanya penuh dengan bulu-bulu hitam. Keadaannya sangat kotor, persis manusia
hutan yang baru keluar dari pengasingan.
Bagi tokoh-tokoh sakti rimba persilatan, nama Buto Dungkul
tidak asing lagi. Dia sudah terkenal sebagai manusia rimba belantara yang
menguasai Hutan Gading. Hutan Ubat yang berada tidak jauh dari Desa Jabwangi
ini Sudah tak terhitung lagi manusia yang mati di tangannya. Buto Dungkul tidak
memiliki satu jenis ilmu silat pun. Tapi tenaganya sangat besar dan kuat,
melebihi tenaga manusia biasa.
Kelebihan yang paling utama dari tubuhnya adalah kebal
terhadap segala jenis racun. Kulit tububnya sekeras baja, sukar ditembus
senjata tajam. Cara bertarungnya juga aneh, tidak mengikuti aturan jurus-jurus
silat Serampangan dan hanya mengandalkan kekuatan otot serta kekebalan tubuh
saja.
"Kau sudah mengingkari janji, Mahesa Jalang. Sekarang
aku datang untuk menagih janjimu," kata Buto Dungkul.
Mahesa Jalang hanya bergumam kecil. Dia memang pernah
berjanji pada manusia raksasa ini untuk mengadu jiwa. Tiga tahun yang lalu,
ketika masih bertugas sebagai pengantar barang-barang dari satu desa ke desa
yang lain, dia pernah melewati Hutan Gading. Di situ Mahesa Jalang bertarung
melawan Buto Dungkul yang ingin merampas semua barang-barang yang ada di atas
pedati. Enam orang yang ikut waktu itu tewas secara mengerikan di tangan manusia
raksasa ini.
Mahesa Jalan bisa menandingi, bahkan sempat melukai Buto
Dungkul. Tapi keadaan dirinya juga tidak kalah kritis. Mereka kemudian
mengadakan satu perjanjian untuk melanjutkan pertarungan dalam waktu tiga tahun
mendatang. Dan setelah tiga tahun ini rupanya Buto Dungkul datang untuk menagih
janji. Mahesa Jalang bukan lupa akan janjinya, tapi niatnya akan dipenuhi
setelah Padepokan Jatiwangi berdiri resmi.
"Buto Dungkul, saat ini bukan waktu yang tepat untuk
menyelesaikan persoalan pribadi," kata Mahesa Jalang.
"Ha ha ha.... Kau gentar menghadapiku, Mahesa
Jalang?"
"Waktu yang kita janjikan masih tujuh hari lagi. Aku
akan datang tepat pada waktunya nanti ke Hutan Gading!"
"Kau kira aku salah menghitung, heh? Hari ini tepat kau
harus memenuhi janjimu!"
Mahesa Jalang tidak mengerti dengan cara perhitungan hari
Buto Dungkul. Dalam perhitungannya sendiri, sebenarnya masih tujuh hari lagi,
tapi kenapa Buto Dungkul menganggap hari ini perjanjian itu harus terlaksana?
"Rangkuti! Kau yang jadi saksi perjanjian itu.
Bagaimana bunyinya?" Buto Dungkul menatap Ki Rangkuti.
Sebentar Ki Rangkuti menarik napas panjang. Memang pada
waktu itu dia ada di sana. Dialah yang mengusulkan supaya diadakan satu
perjanjian.
Kebetulan saat itu ia
sedang berburu di tepian Hutan
Gading, dan mendengar suara
pertarungan. Namun ketika tiba di tempat kejadian, dua orang yang bertarung
sudah tergeletak dalam keadaan kritis. Tapi masing-masing orang itu tidak mau
mengakui kekalahannya. Lalu Ki Rangkuti pun mengusulkan agar diadakan suatu
perjanjian untuk mengulang pertempuran itu. Mereka pun akhirnya setuju.
Sejak kejadian itulah Mahesa Jalang tinggal di Desa
Jatiwangi. Dia merasa berhutang budi pada Ki Rangkuti yang tanpa sengaja telah
menyelamatkan nyawanya. Memang saat itu Buto Dungkul sudah bisa bangkit kembali
sementara Mahesa Jalang masih tergeletak lemah tanpa daya.
"Perjanjian itu berbunyi, tiga tahun berselang,
pertarungan kalian dilanjutkan sampai ada yang tewas. Waktunya ditetapkan tujuh
hari sebelum bulan purnama ketiga," lantang suara Ki Rangkuti menyebutkan
isi perjanjian antara Mahesa Jalang dengan Buto Dungkul.
"Kau dengar itu, Mahesa Jalang?" Buto Dungkul
kembali menatap Mahesa Jalang.
"Aku
tahu!" sahut Mahesa Jalang.
"Nah! Bukankah tujuh hari lagi bulan purnama ketiga?
Berarti hari ini kau harus menepati
janjimu!"
Mahesa Jalang tidak bisa berkata lain leigi. Sungguh mati
dia tidak ingat kalau bulan purnama ketiga yang ditetapkan dikurangi tujuh
hari. Kalau begitu, memang tepat hari ini harus bertarung untuk memenuhi janji
dengan manusia raksasa itu.
"Kau sudah menyalahi janji, Mahesa Jalang. Seharusnya
kau datang tepat begitu matahari terbit. Jangan salahkan aku kalau kedatanganku
merusak acara besar di sini."
Ki Rangkuti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memang tidak
bisa menyalahkan Buto Dungkul. Dan seharusnyalah Mahesa Jalang harus menepati
janji datang ke Hutan Gading tepat ketika matahari terbit. Ki Rangkuti tidak
bisa mencegah lagi, panggung yang sedianya untuk pertunjukan adu ketangkasan
murid-muridnya dengan beberapa padepokan yang diundang, jadi arena pertarungan
pelaksanaan perjanjian.
Malah sejak awal acara peresmian Padepokan Jatiwangi sudah
dirusak dengan munculnya Iblis Tongkat Hitam. Kejadian seperti ini memang sudah
diperhitungkan oleh Ki Rangkuti dan lima orang pembantunya di padepokan. Kini
salah seorang pembantu utamanya harus melaksanakan janji yang dibuatnya
sendiri.
"Bersiaplah kau, Mahesa Jalang!" seru Buto Dungkul
tiba-tiba.
Manusia raksasa itu berteriak menggelegar sambil
memutar-mutar gadanya yang besar berduri di atas kepala. Sungguh besar tenaga
yang dimilikinya. Gada sebesar paha orang dewasa itu menderu-deru menimbulkan
suara angin menggemuruh memekakkan telinga. Dengan gada yang diputar-putar di
atas kepala, Buto Dungkul berlari berat ke arah Mahesa Jalang.
Suara menderu berat terdengar keras di samping Mahesa
Jalang. Gada besar berduri itu melayang cepat mengarah ke kepala laki-laki
gagah berpakaian serba putih itu. Hanya sedikit saja Mahesa Jalang menarik
kepalanya ke belakang, gada itu lewat di depan mukanya. Angin keras yang
bertiup dari gada itu membuat tubuh Mahesa Jalang agak terdorong.
Sret!
Mahesa
Jalang menarik pedangnya sambil melangkah mundur dua tindak. Pedang bercahaya
keperakan itu berkelebat cepat membabat bagian perut Buto Dungkul.
Sabetan pedang disertai pengerahan
tenaga dalam cukup tinggi itu tak dapat lagi dielakkan Buto Dungkul.
Duk!
Mata pedang perak menghantam
keras perut buncit dari manusia raksasa itu. Tangan Mahesa Jalang bergetar
hebat. Hampir saja pedangnya terlempar dari genggamananya.
Mahesa Jalang membelalak lebar
melihat perut Buto Dungkul tidak terluka sedikitpun oleh sabetan pedangnya.
Bukan cuma Mahesa Jalang yang
keheranan melihat kekebalan kulit Buto Dungkul, tapi semua orang yang hadir
juga jadi melongo. Sementara itu Buto Dungkul menggeram keras bagai gorila
lapar. Gada besar penuh duri diayunkan seperti hendak meremukkan tubuh Mahesa
Jalang.
"Uts!"
Mahesa Jalang melompat mundur saat gada Buto Dungkul nyaris
menghantam tubuhnya. Begitu derasnya hantaman gada sebesar paha manusia dewasa
itu, sehingga ketika menghantam papan panggung, langsung jebol berantakan.
Panggung berukuran besar itu bergetar hebat seolah akan rubuh.
"Gila! Orang apa gorila tuh!" seru salah seorang
hadirin.
Mahesa Jalang kembali mengarahkan pedangnya, yang kali ini
mengancam leher Buto Dungkul. Kibasan pedang yang hampir bersamaan degan
hancurnya panggung, tidak bisa dielakkan manusia raksasa itu. Mata pedang dari
perak itu tepat membabat leher Buto Dungkul.
Lagi-lagi Mahesa Jalang
terpental begitu pedangnya menghantam leher Buto Dungkul. Sabetan keras
disertai pengerahan tenaga dalam penuh membuat pedang Mahesa
Jalang patah jadi dua bagian. Dan
dia sendiri terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Mahesa Jalang
bergulingan di atas panggung, dan segera berdiri.
"Setan!" dengan kesal Mahesa Jalang melemparkan
pedangnya yang buntung.
Buto Dungkul menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar. Leher
yang terbabat pedang tidak sedikit pun mengalami luka. Kulitnya benar-benar
sekeras baja, tidak mempan oleh senjata tajam. Padahal Mahesa Jalang sudah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Ghraaaghhh...! Mampus kau sekarang, Mahesa
Jalang!" Buto Dungkul menggeram bagai guruh.
Mahesa Jalang yang kini tidak lagi menggengam senjata,
segera mengerahkan kesaktiannya. Tidak tanggungtanggung lagi, langsung
dikerahkan aji 'Karang Kati' yang menjadi ilmu andalannya.
Begitu Mahesa Jalang selesai mempersiapkan ajiannya, Buto
Dungkul menghantamkan gadanya dengan cepat sambil menggeram hebat Gada besar
penuh duri tajam itu melayang deras bagai gunung runtuh. Mahesa Jalang melompat
sambil menapak senjata mengerikan itu dengan tangannya yang sudah mengerahkan
Aji 'Karang Kati'.
"Akh...!" Mahesa Jalang memekik keras begitu
tangannya membentur gada Buto Dungkul.
Bersamaan dengan pekikan keras itu, terdengar suara ledakan
dahsyat Tubuh Mahesa Jalang terlontar deras dan terbanting ke luar panggung.
Darah segar muncrat keluar dari mulutnya begitu tubuhnya menghantam tanah
dengan kerasnya.
Sedangkan
Buto Dungkul menggeram-geram sambil memutar-mutar gada besarnya. Suara angin
menderu-deru keluar dari putaran gada di atas kepala manusia raksasa itu.
Semua orang yang berada di sekitar
pannggung, bergegas mundur penuh kengerian. Tak ada lagi sorak-sorai atau decak
kekaguman. Yang terlihat hanya wajah-wajah ketakutan dan kengerian menyaksikan
manusia raksasa berdiri dengan tegar sambil memutar-mutar gadanya di atas
kepala.
Mahesa Jalang bangkit berdiri. Dengan ujung lengan bajunya
disekanya darah yang mengotori mulut. Dia hampir tidak percaya kalau Aji
'Karang Kati' tidak bisa melukai Buto Dungkul, apa lagi membunuhnya. Mahesa
Jalang benar-benar putus asa menghadapi kehebatann manusia liar ini. Sungguh
tidak diduga sama sekali dalam waktu tiga tahun telah begitu hebat.
"Ilmu setan apa yang dipakainya?" gumam Mahesa
Jalang bertanya pada dirinya
sendiri.
"Mahesa Jalang, keluarkan semua kesaktianmu. Kita
bertarung sampai ada yang mati!" keras menggelegar suara Buto Dungkul.
"Phuih!"
Mahesa Jalang menyemburkan ludahnya.
Seketika dikempos tenaganya, dan melayang kembali ke atas
panggung. Tubuhnya ringan bagai kapas, menjejak papan panggung tanpa
menimbulkan suara sedikitpun juga. Segera disiapkan kembali Aji 'Karang Kati'.
Kali ini Mahesa Jalang mengerahkan seluruh kekuatannya dan dipusatkan pada
kedua telapak tangannya.
"Aji 'Karang
Kati'...!" teriak Mahesa Jalang keras.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya
segera melenting menerjang Buto Dungkul. Manusia raksasa itu mengibaskan
gadanya berusaha menghantam tubuh
Mahesa Jalang yang meluncur deras ke
arahnya. Mahesa Jalang menurunkan tubuhnya sedikit, dan gada Buto Dungkul lewat
di atas tubuhnya sedikit.
Dalam waktu yang bersamaan, kedua telapak tangan Mahesa
Jalang menerpa dada manusia raksasa itu. Suara ledakan dahsyat kembali
terdengar. Tubuh Mahesa Jalang terlontar lagi ke belakang dengan derasnya.
Sementara Buto Dungkul hanya terdorong dua langkah saja. Dia masih tetap
berdiri tegak meskipun mulutnya sedikit meringis.
Tubuh Mahesa Jalang kembali terbanting keras di panggung.
Papan panggung yang tebal dan kuat itu tergetar, kemudian hancur
berkeping-keping tertimpa tubuh Mahesa Jalang. Guru kelima Padepokan Jati-wangi
itu bergulingan setelah menghantam papan panggung di tanah. Mahesa Jalang baru
berhenti bergulir begitu sampai di pinggir.
"Hoek!" kembali dia memuntahkan darah segar dari
mulutnya.
Mahesa Jalang merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk. Rasa
nyeri menggerogoti seluruh tulang-tulang tubuhnya. Dengan susah-payah dia
berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga sempat berdiri, mendadak lantai
panggung itu bergetar hebat.
"Graaahhh...!"
Buto Dungkul menggeram keras.
Kakinya yang besar dan berat berlari kencang ke arah Mahesa
Jalang yang belum juga bangkit. Buto Dungkul berlari kencang sambil
mengayun-ayunkan gadanya. Dan dengan keras dihantamkan ke punggung Mahesa
Jalang.
"Aaakh...!" Mahesa Jalang menjerit melengking
tinggi.
Darah
langsung muncrat dari punggungnya yang terbelah. Buto Dungkul mengangkat tubuh
Mahesa Jalang yang telah tewas dengan sebelah tangannya. Dia memutarmutar tubuh
itu, sehingga darah berceceran kemana-mana.
Dengan satu geraman mengguruh, Buto
Dungkul melemparkan tubuh Mahesa Jalang ke tengah-tengah para murid Padepokan
Jati-wangi.
Tubuh Mahesa Jalang yang sudah
tidak bernyawa lagi itu meluncur deras, dan jatuh tepat di tengah-tengah
muridmuridnya sendiri. Seketika itu juga Desa Jatiwangi geger dengan gugurnya
Mahesa Jalang di tangan manusia raksasa itu. Suara-suara penuh kengerian
mendengung memenuhi sekitar panggung. Buto Dungkul berdiri tegak menyandang
gada berdurinya. Matanya merah menyala menatap Ki
Rangkuti yang kini berdiri dari
kursinya.
"Rangkuti, giliranmu tiga purnama lagi!" seru Buto
Dungkul menggelegar.
Ki Rangkuti belum bisa berkata apa-apa, Buto Dungkul sudah
berbalik dan melangkah menuruni panggung. Orangorang pun segera menyingkir
ketika manusia raksasa itu akan lewat. Ki Rangkuti masih menatap kepergian Buto
Dungkul yang semakin jauh dengan langkah-langkah lebar dan berat
***
3
Malam sudah amat larut. Suasana di Desa Jatiwangi sepi
lengang. Beberapa obor masih tampak menyala terang di beberapa tempat. Halaman
rumah kepala desa pun tampak senyap. Tidak ada seorang pun yang terlihat,
kecuali di beranda depan. Tampak Ki Rangkuti duduk termenung didampingi oleh
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat. Dua sahabat yang belum juga
meninggalkan tempat meskipun perayaan peresmian berdirinya Padepokan Jabwangi
sudah berakhir sore tadi.
Sementara tamu-tamu undangan lainnya sudah beristirahat di
kamar masing-masing yang telah disediakan oleh Ki Rangkuti. Sejak sore tadi
ketiga orang itu duduk di beranda depan tanpa banyak kata yang terucap dari
mulutnya. Ki Rangkuti seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Aku lihat kau tidak lagi gembira sejak kematian Mahesa
Jalang, Rangkuti. Apakah kau memikirkan kata-kata Buto Dungkul?" Dewa
Pedang Emas membuka suara pelan.
Ki Rangkuti menarik napas panjang. Bola matanya menatap
kedua sahabatnya bergantian.
"Kau punya perjanjian dengan manusia liar itu,
Rangkuti?" tanya Bayangan Malaikat.
"Ya," desah Ki Rangkuti berat. " Aku harus
berhadapan dengannya tiga bulan mendatang kalau Mahesa Jalang tewas."
"Perjanjian
nekad!" dengus Dewa Pedang Emas.
"Aku melakukannya karena terpaksa, aku hanya ingin
menyelamatkan nyawa Mahesa Jalang waktu itu." "Seharusnya kau biarkan
saja Mahesa Jalang mati saat itu juga. Toh akhirnya dia pun harus mati di
tangan Buto Dungkul!" Bayangan Malaikat seolah-olah menyesalkan sikap Ki
Rangkuti.
"Aku tidak
menyesali perjanjian itu," sahut Ki Rangkuti.
"Lalu, kenapa kau jadi murung?" desak Dewa Pedang
Emas.
"Aku memikirkan permintaan Buto Dungkul."
"Permintaan apa?"
"Buto Dungkul tidak akan membunuhku dalam
pertarungan nanti. Dia hanya ingin
mengalahkan aku saja."
"Kalau cuma
itu, kenapa jadi dipikirkan?"
"Bukan cuma itu, Dewa Pedang Emas. Yang jadi beban
pikiranku sekarang, Buto Dungkul meminta putriku kalau aku kalah."
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat terkejut setengah
mati. Rasanya mereka saat itu mendengar ledakan petir yang amat dahsyat. Tidak
diduga sama sekali Ki Rangkuti mempunyai perjanjian yang berat sekali.
Mereka semua tahu bagaimana hebatnya Buto Dugkul. Rasanya
sulit bagi Ki Rangkuti mengalahkan manusia liar itu. Mereka bertiga saja belum
tentu bisa menandingi meskipun secara bersamaan menyerang. Benar-benar
perjanjian edan!
"Sekar Telasih sudah tahu perjanjian itu?" tanya
Dewa Pedang Emas
"Belum,"
sahut Ki Rangkuti lesu.
"Aku
tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau putrimu tahu mengenai perjanjian itu?
Benar-benar sembrono sekali kau, Rangkuti," gumam Bayangan Malaikat
menyesalkan.
Ki Rangkuti tidak bisa
menyalahkan kata-kata sahabatnya. Diakui kalau tindakannya sungguh ceroboh.
Padahal tidak ada untungnya sama sekali menolong
Mahesa Jalang waktu itu. Dia juga
tidak kenal sebelumnya. Mungkin karena jiwa kependekarannya saja yang tergerak
untuk menolong siapa saja yang membutuhkan meskipun harus mengorbankan apa yang
dicintainya.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Tiga purnama
bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan diri, Rangkuti," kata Dewa
Pedang Emas.
"Aku belum bisa memikirkannya," sahut Ki
Rangkuti.
"Sebaiknya kau menyempurnakan ilmu-ilmu andalanmu. Aku
juga tidak akan tinggal diam begitu saja melihat kehancuranmu," kata
Bayangan Malaikat.
'Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati," ucap Ki
Rangkuti terharu.
"Ah, sudahlah. Aku juga belum tahu, apakah pedangku ini
bisa merobek kulitnya," kata Dewa Pedang Emas.
Ki Rangkuti menatap kedua sahabatnya dengan penuh rasa haru.
Dia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa. Kesediaan dua sahabatnya membantu
memecahkan kesulitan yang tengah dihadapi, membuat lidahnya seakanakan jadi
kelu. Mungkin inilah arti persahabatan sejati. Senang sama dirasa, susah sama
dipikul. Meskipun nyawa taruhannya tidak membuat persahabatan jadi retak.
Dewa Pedang Emas menepuk pundak
Ki Rang-kuti, kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke pintu masuk
rumah besar itu. Tidak lama kemudian Bayangan Malaikat menyusul untuk
berisirahat. Kini di beranda depan itu tinggal Ki Rangkuti duduk termenung
sendirian.
Sungguh berat persoalan yang dihadapinya sekarang.
Bagaimana mungkin menyerahkan Sekar
Telasih pada manusia liar yang selalu hidup di tengah-tengah hutan belantara?
Saat Ki Rangkuti tengah termenung, tiba-tiba secercah sinar
meluncur deras ke arahnya, dan tepat membentur tengah-tengah meja batu pualam
putih di depannya. Lakilaki tua yang masih kelihatan gagah itu terkejut hingga
terlonjak berdiri. Seberkas sinar yang meluncur deras itu ternyata sebuah anak
panah kecil yang terbuat dari bahan logam berwarna merah menyala. Ki Rangkuti
mengedarkan matanya ke sekeliling menerobos kegelapan malam.
'Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar sana. Hanya
kegelapn saja yang menyelimuti sekitarnya. Tidak ada suara-suara ganjil
terdengar, kecuali desah angin dan gemerisik dedaunan saja. Ki Rangkuti
mengalihkan pandangannya pada anak panah kecil yang tertancap itu.
"Hmmm...," bibirnya bergumam panjang begitu i
ielihat ada gulungan daun lontar terikat pada batang nak panah itu.
Gulungan daun lontar yang diikat dengan pita berwarna merah
darah. Ki Rangkuti melepaskannya dari anak panah itu. Matanya jadi melebar
begitu membaca tulisan yang tertera pada daun lontar itu.
"Setan!" geramnya sambil meremas daun lontar itu
hingga hancur lumat
Ki Rangkuti
langsung melompat ke luar dari beranda. Dua kali berputar di udara, lalu dengan
manisnya menjejak tanah. Dia berdiri bertolak pinggang dengan bola mata nyalang
beredar ke sekelilingnya. TUdak ada seorang pun yang terlihat Keadaan
sekeliling tetap sunyksepi, bahkan binatang-binatang malam pun seolah enggan
untuk memperdengarkan suara.
Cukup lama juga Ki Rangkuti berdiri di atas reruntuhan
panggung yang terletak persis di tengah-tengah halaman rumahnya. Dia seperti
tidak peduli dengan hembusan angin malam yang dingin menusuk kulit. Hatinya
panas dan geram menerima surat tantangan dari seorang yang tidak dikenal sama
sekali. Kemarahan Ki Rangkuti memuncak.
Kalimat yang tertulis tidak banyak, tapi cukup membuat hati
Kepala Desa Jatiwangi itu jadi panas. Di dalam benaknya masih tertera hangat
kata-kata "Serahkan Sekar Telasih, kau akan terbebas dari perjanjian gila.
Tidak ada yang bisa menandingi Buto Dungkul selain aku." Ini sama saja
satu tantangan yang meremehkan kemampuan Ki Rangkuti. Pantas saja Kepala Desa
Jatiwangi ini jadi panas. Belum pernah dia menerima tantangan yang begitu meremehkan
dan menghina.
"Keluar kau. Biar kuhancurkan batok kepalamu!"
geram Ki Rangkuti agak keras.
Tetap sepi, tidak ada yang menyahut. Hanya desiran angin
saja yang membawa suara Ki Rangkuti menyebar ke segala penjuru.
"Kalau kau laki-laki jantan, tunjukkan batang
hidungmu!" seru Ki Rangkuti lagi.
Tetap saja tidak ada sahutan, keadaan tetap sepi. Ki
Rangkuti mendengus kesal. Dengan kaki terhentak, dia melangkah kembali ke
beranda rumahnya yang diterangi empat buah pelita di tiap pojoknya. Dengan
kesal dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Matanya langsung menatap anak panah
berwarna merah yang masih tertancap di tengah-tengah meja.
Batu pualam putih alas meja itu kerasnya melebihi batu
biasa. Dan mata anak panah itu mampu tembus ke dalam tanpa sedikit pun merusak
bagian lainnya. Dari situ saja sudah dapat diukur ketinggian ilmu tenaga dalam
yang dimiliki si pelempar.
"Siapakah si pelempar panah kecil itu? Dan apa
maksudnya meminta putriku? Darimana dia tahu aku punya persoalan dengan Buto
Dungkul?" Ki Rangkuti jadi bertanya-tanya sendiri.
***
Kegemparan kembali terjadi pagi ini. Sepuluh orang murid
Padepokan Jatiwangi yang kepandaianuya baru seumur jagung kedapatan tewas
dengan dada tertancap anak panah kecil berwarna merah. Sepuluh orang yang tewas
itu semalam mendapat tugas jaga di sekitar padepokan.
Geraham Ki Rangkuti bergemeletuk menahan •jeram.
Matanya memerah melihat sepuluh orang
mayat muridnya. Satu persatu wajah-wajah muridnya dan empat guru pengajar yang
tersisa di padepokan, dipandanginya. Desahan napas berat terdengar keras.
"Siapa yang pertama melihat?" tanya Ki Rangkuti.
Suaranya terdengar dalam dan berat.
"Saya, Ki," sahut salah seorang dari keempat guru
pengajar.
"Pandu," gumam Ki Rangkuti. "Hanya kau
sendiri yang pertama melihat?"
"Bersama
sepuluh orang murid," sahut Pandu.
"Ceritakan
apa yang terjadi?"
"Saya
tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saya dan sepuluh orang lainnya
mendapatkan mereka sudah tewas," sahut Pandu menjelaskan.
"Ada di antara kalian yang mendengar sesuatu tadi
malam?"
Semua
menggelengkan kepalanya.
"Edan!"
geram Ki Rangkuti gusar.
Ki Rangkuti tidak bisa menyalahkan mereka semua. Orang yang
melakukan ini pasti memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi, sehingga
tidak seorang pun bisa mengetahui dan mendengar apa-apa. Mungkinkah orang itu
memiliki aji sirep, sehingga mereka semua jadi terlelap tidurnya bagai mati?
"Kuburkan mereka sekarang juga," perintah Ki
Rangkuti.
Semua murid Padepokan Jatiwangi membungkuk hormat. Ki
Rangkuti berbalik dan melangkah meninggalkan halaman padepokan yang berada
tidak jauh dari rumah kediamannya. Langkahnya lebar dan cepat keluar dari
tembok padepokan
Ki Rangkuti memandangi beberapa penduduk yang berkerumun
ingin menyaksikan kematian sepuluh murid Padepokan Jatiwangi. Laki-laki tua itu
terus melangkah menuju rumah kediamannya. Dia baru berhenti ketika melihat Dewa
Pedang Emas dan Bayangan Malaikat berdiri di depan beranda rumahnya. Kedua
sahabat itu menghampiri.
"Aku dengar, sepuluh orang muridmu tewas. Benarkah
itu?" tanya Dewa Pedang Emas
"Ya, benar.
Semalam," jawab Ki Rangkuti
"Mustahil! Kita baru beranjak dari beranda menjelang
pagi. Dan kau sendiri kelihatannya tidak tidur semalaman. Bagaimana mungkin itu
bisa terjadi?" Bayangan Malaikat menggeleng-gelengkan kepalanya setengah
tidak percaya. "Aku sendiri tidak tahu. Bencana apa yang akan menimpa
desaku?" Ki Rangkuti mengeluh.
Mereke bertiga terdiam. Ki Rangkuti melangkah menuju ke
beranda. Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat mengikuti dari belakang. Mereka
kembali duduk di beranda menghadapi meja marmer yang tengah-tengahnya bolong.
Dewa Pedang Emas meraba lubang di tengah-tengah meja itu.
"Dia melemparkan ini semalam," kata Ki Rangkuti
seraya mengeluarkan anak panah kecil berwarna merah yang tergeletak di atas
meja.
"Hebat...," gumam Dewa Pedang Emas
menggelenggelengkan kepalanya.
"Kapan ini terjadi?"
tanya Bayangan Malaikat.
'Tidak lama
sesudah kalian masuk "
Dewa Pedang Emas
berdecak kagum.
"Aku rasa ada orang yang tidak senang atas berdirinya
Padepokan Jatiwangi," Bayangan Malaikat menduga-duga.
"Kejadian seperti ini selalu terjadi pada padepokan
silat yang baru berdiri. Ini merupakan salah satu ujian bagi Padepokan
Jatiwangi," sambung Dewa Pedang Emas.
Ki Rangkuti
hanya tersenyum tipis. Dugaan-dugaan yang dikeluarkan kedua sahabatnya hanya
didengarkan saja. Dalam pikirannya berkecamuk permasalahan yang saling
tumpang-tindih. Semua dugaan itu memang ada benarnya kalau orang yang
melemparkan anak panah kecil berwarna merah ini tidak menyertai surat
penghinaan. Bunyi surat itu yang membuat Ki Rangkuti punya pikiran lain.
Orang itu bukan hanya ingin merampas Sekar Telasih. Tapi
juga ingin menghancurkan Padepokan Jatiwangi yang seumur jagung itu. Siapapun
orangnya, yang jelas dia mempunyai kepandaian yang tinggi. Dia dapat beraksi
tanpa diketahui seorangpun! Sedangkan malam tadi, tidak kurang dari sebelas
orang tokoh-tokoh sakti rimba persilatan menginap di rumah kepala desa itu.
Tidak satu pun dari mereka mengetahuinya.
***
Satu persatu para undangan meninggalkan Desa Jatiwangi hari
itu juga. Hanya Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat saja yang masih tinggal.
Sebagai sahabat, mereka bertekad untuk membantu kesulitan yang kini sedang
dihadapi Ki Rangkuti. Bagi mereka nyawa tidaklah penting. Persahabatan
sejatilah yang paling penting dalam hidup ini.
Pada masa mudanya dulu Ki Rangkuti adalah seorang pendekar
yang selalu malang-melintang dalam rimba persilatan. Tidak heran kalau memiliki
banyak musuh, atau orang-orang yang tidak senang dan menaruh dendam padanya.
Hal ini sangat disadari oleh Ki Rangkuti maupun kedua sahabatnya.
Pada masa tuanya Ki Rangkti memilih menetap di desa
kelahirannya. Lebih-lebih setelah mempunyai istri dan anak. Tekadnya untuk
meninggalkan kehidupan yang penuh kekerasan benar-benar dijalankan selama
bertahuntahun. Tapi sekarang ini Kepala Desa Jatiwangi itu mau tidak mau harus
menghadapi dan terjun kembali dalam kehidupannya yang dulu. Kehidupan yang
selalu dilumuri darah dan kematian. Wusss!
"Awas...!" tiba-tiba
Dewa Pedang Emas berteriak.
Secercah sinar merah tiba-tiba berkelebat cepat ke arah Ki
Rangkuti. Tiga orang yang berdiri di tengah-tengah halaman yang luas itu
serentak berlompatan menyelamatkan diri. Ki Rangkuti yang menjadi sasaran sinar
merah itu melenting berputar di udara dua kali. Sinar merah itu lewat di dalam
putaran tubuh Ki Rangkuti.
Baru saja lakiJaki tua yang masih kelihatan gagah itu
menapak di tanah, kembali berkelebat sinar merah mengancam dirinya. Secepat
kilat Ki Rangkuti menggerakkan tangannya, dan.... Tap!
Tangkas sekali dia menangkap kelebatan sinar merah itu. Ki
Rangkuti berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumahnya. Sementara Dewa Pedang
Emas berada agak jauh di kiri. Bayangan Malaikat jaraknya sekitar tiga tombak
di kanan. Ki Rangkuti melihat genggaman tangannya yang menangkap sinar merah
tadi.
"Panah merah...," desisnya begitu melihat sebatang
anak panah kecil berwarna merah darah di telapak tangannya.
Anak panah merah itu terbungkus oleh daun lontar yang diikat
pita merah. Ki Rangkuti langsung melepaskan pita merah yang mengikat daun
lontar itu. Sementara kedua sahabatnya sudah mendekati dan berdiri di samping
kiri dan kanan.
"Rangkuti, kutunggu kau di Lembah Bunga Bangkai tepat
tengah malam ini," gumam Dewa Pedang Emas yang ikut membaca tulisan di
sehelai daun lontar.
"Kau kenal dengan senjata itu?" tanya Bayangan
Malaikat.
Ki Rangkuti tidak segera
menjawab. Sejak pertama kali didapatkan senjata anak panah kecil merah ini,
otaknya selalu berputar mengingat-ingat. Barangkali saja dia pernah bentrok
dengan orang yang biasa menggunakan senjata ini.
Tapi rasa-rasanya belum pernah kenal
dengan senjata ini sebelumnya.
"Kehidupan pendekar memang selalu dikelilingi musuh.
Bisa saja orang itu murid dari salah satu musuhmu," kata Dewa Pedang Emas.
"Mungkin juga, aku tidak pernah melihat senjata jenis
ini sebelumnya," sahut Ki Rangkuti setengah bergumam.
"Sekarang bagaimana? Kau akan penuhi tantangan
itu?" tanya Dewa Pedang Emas lagi.
"Bagaimana dengan Buto Dungkul?" Bayangan Malaikat
seolah mengingatkan.
"Itu urusan
belakangan," sahut Ki Rangkuti.
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat saling berpandangan.
Mereka sama-sama mengangkat bahu. Persoalan yang dihadapi Ki Rangkuti saat ini
memang tidak ringan. Satu persoalan belum juga tuntas, sudah datang lagi
persoalan lain.
"Kami akan mendampingimu nanti malam," kata Dewa
Pedang Emas 'Terima kasih."
***
4
Malam gelap yang dingin menyelimuti seluruh Lembah Bunga
Bangkai. Angin bertiup sedikit keras menyebarkan aroma tidak sedap. Sepanjang
hari di lembah ini selalu tercium bau seperti bangkai. Dan setiap setahun
sekali di lembah ini selalu tumbuh sejenis bunga yang menyebarkan bau busuk
selama tujuh hari. Itulah sebabnya lembah ini dinamakan Lembah Bunga Bangkai.
Tidak ada seorang pun yang bersedia tinggal di situ. Masuk ke daerah sekitar
lembah ini pun enggan.
Ki Rangkuti berdiri tepat di tengah-tengah batu besar
menantang sang dewi malam yang berada tepat di tengahtengah atas kepala. Sudut
ekor matanya melirik Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat yang bersembunyi
agak jauh dari tempatnya berdiri.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa
mengikik, menggema ke seluruh dataran Lembah Bunga Bangkai ini.
Ki Rangkuti memiringkan sedikit kepalanya, mencoba mencari
arah suara tawa tadi. Belum juga dapat menentukan arahnya, tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan merah keluar dari gerumbul semak belukar di depan lakilaki tua
itu.
"Nyi Rongkot..!" Ki Rangkuti terkejut begitu
mengetahui siapa yang kini berdiri di depannya.
"Hik hik hik..., kau masih ingat aku, Pendekar Jari
Baja? Lama sekali kita tidak pernah lagi bertemu," perempuan tua yang
masih kelihatan garis-garis kecantikannya itu menyebut julukan Ki Rangkuti.
Memang pada masa mudanya dulu,
ketika malangmelintang dalam rimba persilatan, Ki Rangkuti punya julukan
Pendekar Jari Baja. Karena dia punya satu jurus yang membuat kesepuluh
jari-jari tangannya sekuat baja.
"Tidak ada lawan yang mampu
menandingi jurus yang dinamakan 'Sepuluh Jari Baja' itu.
"Hm..., kau membawa kedua sahabatmu. Kenapa mereka
bersembunyi seperti tikus? Undanglah mereka ke sini agar bisa jadi saksi pada
malam ini," kata Nyi Rongkot setengah bergumam.
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat yang mendengar semua
kata-kata itu jadi terkejut juga. Tidak disangka sama sekali kalau Nyi Rongkot
mengetahui kehadiran mereka di Lembah Bunga Bangkai ini.
Merasa kehadirannya sudah diketahui, kedua o-rang itu keluar
dari tempat persembunyiannya. Mereka melangkah menghampiri dan berhenti setelah
jaraknya dengan Ki Rangkuti sekitar tiga batang tombak lagi. Nyi Rongkot
mengikik kecil melihat kedua sahabat Ki Rangkuti sudah menampakkan diri.
"Apa maksudmu meminta aku datang ke sini, Nyi
Rongkot?" tanya Ki Rangkuti.
"Aku hanya
meminta anakku," sahut Nyi Rongkot.
Ki Rangkuti mendengus keras mendengar jawaban yang memang
sudah diduga sebelumnya ketika perempuan itu muncul. Sedangkan Dewa Pedang Emas
dan Bayangan Malaikat terkejut sekali mendengarnya. Dia tidak tahu maksud
kata-kata Nyi Rongkot barusan. Mereka memang sudah mengetahui siapa perempuan
berbaju serba merah ini.
Nyi Rongkot masih terhitung saudara sepupu Ki
Rangkuti. Dulu ketika sama-sama
masih muda, mereka tidak pernah akur dalam setiap langkah. Di samping itu,
jalan hidup mereka berdua memang saling bertentangan. Ki Rangkuti dikenal
sebagai Pendekar Jari Baja yang berjalan lurus. Sedangkan Nyi Rongkot sampai
sekarang masih malang-melintang dengan julukan Ular Betina. Itulah sebabnya
kenapa pada waktu puncak acara peresmian Padepokan Jatiwangi, Ki Rangkuti
kelihatan tidak menyukai kehadiran Nyi Rongkot.
"Dia bukan anakmu, Nyi Rongkot! Dia tidak pernah kenal
siapa ibunya yang sebenarnya. Kau mencampakkan begitu saja saat dia memerlukan
kasih-sayang seorang ibu. Apakah pantas kau meminta dan mengakuinya sebagai
anak? Tidak! Sekar Telasih bukan anakmu! Dia anakku! Aku yang merawat dan
membesarkannya sejak masih bayi merah!" Ki Rangkuti membeberkan semuanya
dengan suara keras dan tegas.
"Aku hanya menitipkan Sekar Telasih padamu. Bukan untuk
mengakuinya sebagai anak!" dengus Nyi Rongkot alias Ular Betina.
"Apapun namanya kau telah membuang anakmu sendiri.
Darah dagingmu!" sentak Ki Rangkuti gusar.
"Rangkuti! Suka atau tidak, kau harus mengembalikan
anakku!" geram Nyi Rongkot.
'Tidak!"
Nyi Rongkot menggeram marah. Matanya menyalanyala menatap
tajam pula. Sementara dua orang yang berdiri di belakang Ki Rangkuti
perlahan-lahan melangkah mundur menjauh. Mereka tidak ingin ikut campur dalam
urusan yang bersifat pribadi ini.
Dewa Pedang
Emas menggeser kakinya mendekati Bayangan Malaikat Sepasang bola matanya tetap
terarah pada Nyi Rongkot yang berdiri tegak di depan Ki Rangkuti.
Beberapa saat lamanya suasana di
Lembah Bunga Bangkai ini jadi sepi senyap.
"Kau mengetahui persoalan itu, Bayangan Malaikat?"
tanya Dewa Pedang Emas berbisik.
"Tidak Aku sendiri agak terkejut juga mendengarnya!"
sahut Bayangan Malaikat terus-terang.
"Tidak kusangka kalau Sekar Telasih anak Ular
Betina," Dewa Pedang Emas setengah bergumam.
"Segalanya bisa terjadi dalam dunia ini," sahut
Bayangan Malaikat
"Ya, dan
kita tidak mungkin mencampurinya."
"Benar,
sebaiknya kita hanya menjadi saksi saja."
Dewa Pedang Emas dan Bayangan Malaikat duduk di bawah pohon
yang besar dan rindang. Dua pasang mata tetap tertuju ke depan dengan telinga
terpasang lebar mendengarkan semua pembicaraan yang sudah menghangat.
Sementara itu Nyi Rongkot menyumpah-nyumpah kesal karena Ki
Rangkuti masih tetap tidak ingin menyerahkan Sekar Telasih. Begitu marahnya ia
sehingga seluruh otototot lengannya menegang bersembulan. Wajahnya semakin
memerah-saga menahan kemarahan. Sedangkan Ki Rangkuti yang me-48 ngenal persis
watak saudara sepupunya ini sudah bersiap-siap jika Nyi Rongkot main kekerasan.
"Aku beri kesempatan sekali lagi, Rangkuti! Pilih salah
satu, serahkan Sekar Telasih atau kau mati!" kata Nyi Rongkot mengancam.
"Sekali
aku bilang tidak, tetap tidak!" sahut Ki Rangkuti tegas.
"Kau memilih mampus, Rangkuti!" geram Nyi
Rongkot.
"Itu lebih baik, berarti kau sengaja membiarkan Sekar
Telasih jatuh ke
tangan Buto Dungkul!" sinis suara Ki
Rangkuti
"Ha ha ha...!" Nyi Rongkot tertawa terbahak-bahak
mendengar perkataan Ki Rangkuti. "Dasar, kakek tua jompo! Sudah pikun
masih sok jual laga. Apakah kau tidak ingat dengan surat pertamaku, heh?"
"Setan demit! Rupanya kau bersekutu dengan manusia liar
itu!" geram Ki Rangkuti menyadari apa yang telah terjadi selama ini.
"Hik hik
hik...!" Nyi Rongkot hanya tertawa mengikik
"Kubunuh kau iblis!"
geram Ki Rangkuti "Kau tidak akan mampu, Rangkuti...."
"Yeaaah...!"
***
Ki Rangkuti yang sudah muak melihat tingkah saudara
sepupunya ini langsung melompat menyerang. Kedua tangannya bergerak cepat
mengarah ke bagianbagian tubuh Nyi Rongkot begitu kalanya menjejak tanah.
Mendapat serangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam membuat Nyi
Rongkot berkelit sambil mengebutkan tongkat berbentuk ularnya.
Pertarungan dua saudara yang
bertentangan itu berlangsung cepat dengan menggunakan jurus-jurus maut dan
berbahaya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pertarungan sudah berjalan
tidak kurang dari sepuluh jurus. Namun sampai saat ini belum ada yang kelihatan
terdesak.
Pertarungan masih berjalan seimbang dan cepat.
"Kau melihat ada kejanggalan dalam pertarungan itu,
Bayangan Malaikat?" tanya Dewa Pedang Emas.
"Ini bisa berbahaya kalau Rangkuti tidak cepat
menyadarinya," gumam Bayangan Malaikat.
Cara bertarung Ular Betina yang ogah-ogahan itu rupanya juga
disadari oleh Ki Rangkuti. Hal ini bukannya membuat Ki Rangkuti jadi enggan,
tapi malah semakin bernafsu untuk menjatuhkan lawan. Dia merasa kalau ulah Ular
Betina yang tidak sungguh-sungguh hanya meremehkan dirinya saja.
Pada satu ketika, tangan kanan Ki Rangkuti menerobos masuk
ke arah dada Ular Betina. Begitu cepatnya sodokan tangan itu, sehingga membuat
perempuan tua itu jadi terkejut. Buru-buru diangkat tongkatnya dan disilangkan
ke dada.
"Uts!"
Ki Rangkuti yang sudah mengetahui kehebatan tongkat ular Nyi
Rongkot, segera menarik tangannya kembali. Dia tahu kalau tongkat itu
mengandung racun yang sangat mematikan. Hanya pemiliknya saja yang kebal
terhadap racun tongkat maut itu.
Begitu menarik tangannya pulang, secepat kilat Ki Rangkuti
mengangkat kakinya, mengibas ke arah pinggang. Nyi Rongkot menarik tongkatnya
ke samping menjaga pinggangnya dari sepakan kaki lawan. Lagi-lagi serangan Ki
Rangkuti gagal total sebelum mencapai tujuan.
"Keluarkan keris Pancanagamu, Rangkuti!" seru Nyi
Rongkot.
Selesai berkata begitu, Nyi Rongkot mengibaskan ujung
tongkatnya mengarah ke dada lawan. Begity cepatnya kibasan itu, sehingga
membuat Ki Rangkuti tidak bisa lagi menghindar. Jalan satu-satunya adalah
menangkis. Padahal dia sekarang dalam keadaan kosong tanpa senjata. Secepat
kilat Ki Rangkuti mencabut kerisnya yang berlekuk lima.
Tring!
Dua senjata beradu keras tepat di depan dada Ki Rangkuti.
Bunga-bunga api memercik begitu dua senjata beradu. Pada saat itu juga Ki
Rangkuti merasakan tangannya bergetar kesemutan. Buru-buru dia melompat mundur
tiga langkah.
"Hik hik hik...!" Nyi Rongkot terkikik dengan
tongkat menyilang di depan dada.
Bola matanya berbinar melihat keris hitam legam tergenggam
di tangan Ki Rangkuti. Tatapannya tertuju pada ujung keris yang berlekuk lima.
Dari ujung-ujungnya yang runcing mengepulkan asap hitam yang sangat bau
menyengat hidung. Tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan lama mencium bau
busuk yang terpancar dari keris Pancanaga itu.
Nyi Rongkot menghirup dalam-dalam uap busuk yang tersebar di
selatarnya. Cuping hidungnya kem-bang-kempis seolah tengah menikmati bau yang
harum menyegarkan. Jelas sekali kalau dia begitu kesenangan menghirup bau busuk
yang keluar dari keris Pancanaga milik Ki Rangkuti.
Sementara
dua orang yang duduk di bawah pohon, mulai mengerahkan hawa murni untuk
menghalau bau busuk yang semakin lama semakin menyengat hidung. Kalau mereka orang
biasa atau hanya memiliki tingkat kepandaian pas-pasan, mungkin sudah sejak
tadi muntahmuntah dan pingsan. Dan begitu melihat Nyi Rongkot seperti
kenikmatan menghirup udara busuk, mata mereka jadi terbelalak seperti tidak
percaya dengan penglihatan sendiri.
"Gila! Bagaimana mungkin dia bisa tahan oleh asap
Pancanaga?" dengus Ki Rangkuti
keheranan melihat Nyi Rongkot sedikitpun tidak terpengaruh oleh uap berbau
busuk itu.
"Ah..., segar sekali rasanya," desah Nyi Rongkot
sambil menghirup udara yang berbau busuk dalam-dalam.
"Hesss..., hih!" Ki Rangkuti menarik napas
dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kuat
Bersamaan dengan itu, secepat kilat dia melompat sambil
menghunus kerisnya. Uap hitam mengepul tebal keluar dari kelima lekukan keris
berwarna hitam kelam itu. Nyi Rongkot memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan
Tusukan keris itu lewat sedikit di depan dadanya. Lalu dengan cepat dihentakkan
tongkatnya menghalau keris Pancanaga.
Trak!
"Akh!"
Ki Rangkuti memekik tertahan.
Tanpa dapat dicegah lagi, keris dalam genggamannya terpental
tinggi ke udara. Dan pada saat itu, meluncur sebuah bayangan menyambar keris
Pan-canaga, yang melayang deras ke angkasa. Ki Rangkuti melenting dua kali
berputar di udara, lalu mendarat dengan kala sempoyongan sejauh dua tombak dari
Ular Betina itu.
Nyi Rongkot yang melihat ada sebuah bayangan meluncur deras
menyambar keris Pancanaga, langsung melesat cepat mengejar bayagan itu. Ujung
tongkatnya terhunus mengarah ke bayangan yang sudah menyambar keris hitam di
udara.
Buk!
"Ikh!" Nyi
Rongkot terpekik
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya meluruk deras ke bawah.
Namun dengan manis sekali mampu menjejak tanah dengan kedua kakinya Bayangan
itu juga menukik deras turun ke bawah. Nyi Rongkot menggeram hebat dengan bola
mata memerah nyalang.
"Setan!"
***
Seorang laki-laki muda dan
tampan berdiri tegak di antara dua tokoh sakti yang tadi bertarung sengit. Di
tangan kanannya tergenggam keris hitam Pancanaga. Tampak di punggungnya
bertengger sebilah pedang bergagang kepala rajawali. Dengan baju rompi putih,
sudah dapat dikenali siapa pemuda tampan gagah itu. Dia, Pendekar Rajawali
Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti atau Rangga, menatap Nyi Rongkot
sebentar, lalu beralih pada Ki Rangkuti yang berdiri sambil memegangi tangan
kanannya sendiri. Tampak darah mengucur dari jari-jari tangannya. Luka di
tangannya terjadi akibat hentakan keras disertai tenaga dalam yang cukup
sempurna dari tongkat ular Nyi Rongkot tadi.
"Kau terkena racun berbahaya, Paman," kata Rangga
sambil melangkah menghampiri.
Ki Rangkuti
membiarkan saja tangannya dipegang oleh Pendekar Rajawali Sakti itu. Jari-jari
tangan Rangga bergerak cepat menotok sekitar pergelangan tangan yang mulai
membiru kehitaman. Lalu di serahkan keris Pancanaga pada Ki Rangkuti. Tentu
saja laki-laki tua itu jadi keheranan dengan sikap anak muda yang jelas-jelas
berpihak kepadanya.
"Keluarkan darah yang mengandung racun. Gunakan pisau
biasa," kata Rangga.
Belum sempat Ki Rangkuti mengucapkan apa-apa, Pendekar
Rajawali Sakti sudah meninggalkannya. Rangga melangkah menghampiri Nyi Rongkot
yang menyumpahnyumpah karena serangannya gagal akibat campur tangan anak muda
yang kini sudah berdiri di depannya.
"Setan belang! Minggir! Jangan coba-coba campuri
urusanku!" bentak Nyi Rongkot geram.
"Aku tidak akan mencampuri urusanmu kalau kau tidak
berlaku kejam," sahut Rangga kalem.
"Buka matamu lebar-lebar, bocah. Siapa di antara aku
dan dia yang paling kejam?!" sinis suara Nyi Rongkot
"Aku sudah tahu semua, dan sudah berada di sini sebelum
kalian semua datang. Tidak sepatutnya kau menuntut dengan cara begitu.
Pertumpahan darah bukan penyelesaian yang terbaik," tenang sekali Rangga
berkata.
"Edan! Monyet buntung! Sebutkan gurumu! Lancang sekali
kau berkhotbah di depanku. Apa matamu sudah buta, sehingga tidak melihat siapa
yang ada di depanmu, heh?!" merah-padam muka Nyi Rongkot
Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang tenang. Sangat tepat
menusuk jantung. Rangga tahu siapa yang berdiri di depannya ini. Dia seorang
tokoh tua yang pilih tanding. Tapi jelas Rangga tidak bisa melihat kekejaman
berlangsung di depan matanya.
"Aku tahu siapa kau.
Perempuan tua yang berjuluk Ular Betina. Perempuan yang tidak mau mengakui
darah dagingnya sendiri. Apakah pantas setelah kau menyerahkan anakmu sendiri,
lalu kau meminta kembali dengan cara paksa? Membunuh sepuluh orang yang tidak
berdosa! Dan sekarang, kau hampir membunuh orang yang mengurus dan membesarkan
anakmu. Semua orang pasti akan
mengutukmu, Nyi Rongkot!"
"Bedegul! Berani kau jerkata begitu padaku!"
"Anak kecil pun akan mengatakan begitu padamu."
"Setan! Kau harus
mampus!" Selesai memaki, Nyi Rongkot berteriak nyaring. Tongkatnya
dikebutkan dengan cepat sambil melompat menenang Pendekar Rajawali Sakti.
Kemarahan yang sudah meluap membuat
Ular Betina itu langsung menyerang dengan jurus-jurus maut.
Tongkat berbentuk ular berkelebatan cepat menimbulkan suara
angin menderu-deru di selatar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Setiap kibasannya
mengandung hawa dingin menusuk tulang. Hawa yang mengandung uap racun dahsyat
mematikan. Tapi semuanya tidaklah berarti sama sekali bagi Pendekar Rajawali
Sakti yang kebal terhadap segala jenis racun.
Dalam tubuh Rangga sudah mengandung zat penangkal segala
jenis racun yang sudah menyatu dalam aliran darahnya. Duapuluh tahun tinggal di
Lembah Bangkai, selama itu pula hanya memakan jamur yang mengandung khasiat
penawar segala jenis racun. (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah
Iblis Lembah Tengkorak).
Ular Betina
semakin mengkelap melihat lawannya tidak terpengaruh sama sekali dengan uap
racun yang keluar dari tongkat saktinya. Biasanya tidak ada seorang lawan pun
yang sanggup melayani kalau jurus 'Tongkat Beracun' sudah keluar dalam sepuluh
jurus. Tapi kini sudah lebih dari sepuluh jurus Pendekar Rajawali Sakti itu
masih mampu menandinginya. Bahkan tidak sedikit pun kelihatan terdesak. Malahan
tidak jarang memberikan serangan balasan yang cukup berbahaya.
"Mampus kau,
hih!" dengus Nyi Rongkot geram.
Seketika diputar tongkatnya dengan cepat dari bawah ke atas.
Rangga hanya menundukkan kepalanya sedikit, dan tongkat itu mendesing di atas
kepalanya. Begitu serangannya lewat menerpa angin, Nyi Rongkot cepat menarik
tongkatnya sedikit, dan dengan kecepatan kilat ditusukkan tepat ke arah dada
Rangga.
Pendekar muda ini memiringkan tubuhnya ke kanan. Ujung
tongkat itu lewat di depan dadanya. Dengan jarinya disentil tepat pada ujung
tongkat yang runcing. Nyi Rongkot terkejut karena dari ujung tongkat sampai
pangkal lengannya bergetar ketika ujung tongkatnya tersentil.
"Kurang ajar, hih!" Nyi Rongkot mengumpat sambil
cepat-cepat menarik kembali tongkatnya.
Tepat ketika Nyi Rongkot menarik pulang tongkat ularnya,
kaki Rangga melayang deras ke atas. Buk! Tanpa dapat dicegah lagi, kibasan kaki
yang cepat bagai geledek itu menghantam dadanya. Nyi Rongkot mengeluh pendek.
Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Cepat digerakkan tangannya untuk
menghilangkan rasa sesak yang menyelimuti dadanya.
Rangga berdiri tegak bertolak pinggang. Bibirnya tersenyum
tipis mengejek. Nyi Rongkot mendengus geram> langsung menyilangkan
tongkatnya di depan dada. Kemudian dengan cepat diputarnya tongkat itu bagai
baling-baling. Suara angin menderu-deru bagai hendak ada badai topan.
Dengan
tiba-tiba perempuan tua itu menghantam ujung tongkatnya ke tanah. Lalu secepat
kilat dia memindahkan ujung tongkat ke dalam genggaman. Pelan-pelan tangannya
mengangkat tongkat itu.
"Naga Merah...!" teriak Nyi Rongkot tiba-tiba.
Bersamaan dengan terdengarnya
teriakan itu, mendadak tongkat sakti Ular Betina berubah jadi seekor ular
berwarna merah menyala. Rangga tersentak kaget, dan langsung melompat mundur
sejauh satu batang tombak. Ular di tangan Nyi Rongkot meliuk-liuk dengan suara
mendesisdesis. Dari mulutya keluar asap kemerahan seirama dengan suara
desisannya.
"Celaka! Anak muda itu bisa mati!" sentak Ki
Rangkuti yang kini sudah didampingi oleh dua sahabatnya.
"Jarang sekali Nyi Rongkot mengeluarkan ilmu 'Naga
Merah'nya," gumam Dewa Pedang Emas.
"Kita harus mencegah sebelum terlambat," kata
Bayangan Malaikat.
"Mustahil! Ilmu 'Naga Merah' tidak bisa ditarik sebelum
mendapatkan korban," dengus Ki Rangkuti.
Dua orang yang berdiri mengapit Ki Rangkuti terdiam.
Mereka memang sudah mendengar
kehebatan ilmu 'Naga Merah'. Kalau Nyi Rongkot sudah mengeluarkannya, sulit
untuk ditarik kembali sebelum jatuh korban. Mereka hanya terdiam memandang iba
pada Pendekar Rajawali Sakti.
***
Sambil melompat cepat, Nyi Rongkot melepaskan tongkatnya yang
sudah berubah jadi ular berwarna merah darah. Ular itu meluncur cepat mengarah
ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Hanya dengan memiringkan tubuhnya sedikit ke
samping, ular itu lewat di depan dada. Namun belum juga Rangga merubah
posisinya, kaki Nyi Rongkot melayang deras.
Buk!
Rangga tidak bisa berkelit lagi. Punggungnya terhajar
tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam. Tiga langkah Pendekar
Rajawali Sakti itu terdorong ke depan. Lalu dengan cepat dia berputar sambil
mengembangkan kedua tangannya ke samping. Kedua tangan membentang lebar,
bergerak cepat diikuti geseran kaki yang menyuruk tanah.
Wut, wut!
Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan kedua tangannya
bergantian. Begitu cepatnya kibasan tangan yang disertai gerakan tubuh yang
lincah, membuat Nyi Rongkot sedikit kerepotan menghindari serangan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'.
Pada saat perempuan tua itu kerepotan menghindari kibasan
tangan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba mulutnya mendesis bagai ular. Dan
tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah panjang ke arah Pendekar
Rajawali sakti. Ular yang meliuk-liuk melayang bagai kilat, langsung menyambar
tubuh Rangga.
Serangan yang datang tiba-tiba tanpa diduga itu menyebabkan
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terperangah. Buru-buru dimiringkan tubuhnya
sambil mengibaskan tangan kanannya. Ular merah jelmaan tongkat Nyi Rongkot,
meliuk membentuk putaran, dengan kepala meluruk deras ke arah pundak. Cras!
"Akh!"
Rangga memekik tertahan.
Pundak
sebelah kiri tak dapat lagi dilindungi. Ular merah itu berhasil menancapkan
giginya dan merobek pundak Pendekar Rajawali Sakti. Darah segar langsung
mengucur deras. Rangga segera menghantam tubuh ular itu. Tapi gerakan yang
selalu meliuk-liuk, membuat hantamannya hanya mengenai angin kosong.
"Hiyaaa!"
Mendadak Ular Betina berteriak nyaring. Bagai anak panah
lepas dari busur, tubuhnya meluncur deras dengan kedua telapak tangan terbuka.
Rangga yang sibuk oleh serangan ular merah, terkejut melihat dua telapak tangan
berwarna merah meluncur deras ke arahnya.
Buru-buru dia melompat ke udara, namun gerakannya terhambat
karena ular merah kembali menyerang dari atas kepala. Rangga mengibaskan tangan
larinya ke atas, sehingga pertahanan dadanya jadi terbuka lebar.
Buk!
"Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terlontar sejauh dua batang
tombak ke belakang. Kedua telapak tangan Nyi Rongkot yang mengerahkan ilmu
'Naga Merah', berhasil bersarang telak di dada Pendekar Rajawali Sakti. Deras
sekali tubuh Rangga meluncur, dan terbanting ke tanah.
Dua tapak tangan berwarna merah tergambar di dada. Rangga
memuntahkan darah kental kehitaman dari mulutnya ketika telah mampu bangun.
Seluruh bagian rongga dadanya terasa nyeri dan sesak, Sebentar digerakgerakkan
tangannya menghimpun hawa mumi di dalam tubuhnya, lalu berdiri tegak dengan
mata menatap tajam Nyi Rongkot. Ular merah membelit tangan kanan perempuan tua
itu.
"Dadaku..., ukh!" Rangga mengeluh. Dadanya terasa
nyeri dan sesak sekali. Sepertinya seluruh tulang-tulang dadanya remuk. Hawa murni
yang dialirkan ke rongga dada membuatnya kembali memuntahkan darah kental
kehitaman. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah bergelut dengan rasa nyeri
di dada, mendadak Nyi Rongkot sudah melompat bagai kilat menyerang lagi.
"Mampus kau, bocah setan!" teriak Nyi Rongkot.
Rangga berkelit sambil mengempos ilmu meringankan tubuhnya. Kemudian dia
berlari-lari kencang mengelilingi Ular Betina itu. Sambil berlari berkeliling,
Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan jurus andalan yang terakhir, yaitu 'Seribu
Rajawali'.
Sungguh luar biasa, tubuh
Pendekar Rajawali Sakti bagaikan berjumlah seribu orang banyaknya mengepung
lawan. Nyi Rongkot tampak tenang-tenang saja menghadapi kepungan seribu orang
Pendekar Rajawali
Sakti.
"He he he...," Nyi Rongkot malah tertawa terkekeh.
"Yeah!"
Satu jeritan keras terdengar melengking tinggi. Bersamaan
dengan itu, kedua tangan Nyi Rongkot terangkat ke atas. Ular Merah bergerak
cepat memutari kedua tangan yang jari-jemarinya bergerak-gerak. Tampak kedua
tangan Ular Betina itu seperti dikelilingi sinar merah. "Bubar...!"
teriak Nyi Rongkot tiba-tiba.
Seketika itu juga dari gulungan sinar merah di tangan Ular
Betina itu, memijar percikan bola-bola api ke segala penjuru. Bola-bola api itu
langsung menghantam satu persatu tubuh dari pecahan Pendekar Rajawali Sakti.
Satu persatu bayangan tubuh itu lenyap dengan cepat. Dan akhirnya tinggal satu
saja yang tinggal.
"Bedebah!" dengus Rangga geram. "He he he...,
ilmu andalan apa yang bisa kau keluarkan bocah setan?" ejek Nyi Rongkot
terkekeh.
"Lihat ini,
iblis betina!" rungut Rangga. Sret!
Seketika itu juga tagan kanan Pendekar Rajawali Sakti
menarik pedang pusaka dari warangkanya. Sinar biru menyilaukan membias
menerangi sekitarnya. Nyi Rongkot mundur dua langkah ke belakang ketika melihat
pamor Pedang Rajawali Sakti.
"Rasakan Pedang Rajawali Sakti, iblis betina!"
teriak Rangga keras.
"Yeaaah...!"
Rangga menerjang bagai kilat sambil mengayun-ayunkan pedang
pusakanya. Sinar biru menyilaukan berkelebat cepat mengurung tubuh Ular Betina.
Pertarungan dua tokoh sakti kembali berlangsung cepat dan berbahaya.
Masing-masing telah mengeluarkan ilmu andalannya yang paling dahsyat.
Sinar merah berkilau berkelebat menjadi satu, saling sambar.
Tubuh kedua tokoh sakti itu bagai lenyap ditelan dua sinar yang berkelebat
cepat. Sinar biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti, semakin lama
semakin berkilau menyilaukan mata.
Tampak kedua mata Nyi Rongkot mulai berair terkena pancaran
sinar Pedang Rajawali Sakti. Pandangannya menjadi buram tak mampu melihat
jelas. Sekuat tenaga dia berusaha mengimbangi ilmu pedang
Rajawali Sakti Kejadian yang hampir sama juga dialami oleh
Pendekar Rajawali Sakti. Sinar merah ilmu 'Naga Merah' menyalatkan matanya.
Pada suatu saat, tiba-tiba Ular Betina berteriak nyaring.
Kemudian tubuhnya melambung tinggi ke udara. Pendekar Rajawali Sakti ikut
melayang deras mengejar. Ular Betina melepaskan ular merah jelmaan tongkat
saktinya. Ular itu meluncur deras ke arah Rangga.
Wut!
Pendekar Rajawai Sakti mengecutkan pedangnya, membabat
kepala ular yang menganga lebar. Namun sabetan pedang itu hanya menyambar
angin, dengan lincah sekali ular merah meliukkan tubuhnya menghindari babatan
pedang Rajawali Sakti. Pada saat yang bersamaan, kaki Nyi Rongkot terangkat
dan....
Buk!
"Akh!" Pendekar Rajawali Sakti memekik tertahan.
Tubuhnya langsung meluruk deras ke bawah.
"Hiyaaa...!" Nyi Rongkot mengejar sambil mendorong
kedua tangannya ke depan.
"Aaa...!"
Rangga berteriak nyaring.
Kedua telapak tangan Nyi Rongkot yang merah berhasil telak
memukul punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Tak ampun lagi Rangga jatuh keras
di tanah. Tubuhnya bergulingan membentur batu besar Pedang Rajawali Sakti
terlepas dari genggamannya. Bagian dada dan punggung tergambar sepasang telapak
tangan berwarna merah menyala.
Manis sekali Ular Betina mendarat di tanah. Kedua tangannya
segera terangkat tinggi-tinggi. Sinar merah menyala dari kedua telapak
tangannya. Lalu dengan cepat mengebut ke depan. Dua bias sinar merah meluncur
deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih menggeletak di tanah.
Rangga
menjerit-jerit ketika sinar merah menggulung tubuhnya. Dia menggeliat-geliat di
tanah dengan seluruh tubuh terbalut warna merah. Pohon-pohon dan batu hancur
berantakan diterjang tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang bergulingan sambil
berteriak-teriak keras. Cahaya merah menyala masih mengurung dirinya.
"Ha ha ha...!" Nyi Rongkot tertawa terbahak-bahak.
"Mampus kau, bocah setan!"
"Kraaagh...!" tiba-tiba terdengar suara raungan
menggelegar.
Mendadak satu bayangan besar dan hitam melesat cepat menukik
dari atas. Nyi Rongkot terkejut ketika tiba-tiba merasakan sapuan angin bagai
topan mengarah ke tubuhnya. Secepat kilat dia melompat menghindari sapuan deras
itu. Nyi Rongkot berputar dua kali di udara, tubuhnya agak limbung saat kakinya
menjejak tanah. Angin bagai badai topan yang hampir melontarkan tubuhnya lewat
hanya beberapa jengkal saja
Mata Nyi Rongkot membelalak lebar setelah melihat seekor
rajawali raksasa melayang-layang di atas tanah dengan kecepatan tinggi.
Suaranya menggelegar memekakkan telinga seakan ingin meruntuhkan Lembah Bunga
Bangkai ini. Nyi Rongkot segera menuding ular merah yang bergerak-gerak di
tanah dengan jari telunjuknya. Seketika itu juga sinar merah meluncur langsung
menerpa ular merah itu.
"Hsss...!"
desisan keras terdengar.
Tiba-tiba saja ular yang tadinya sebesar tongkat, berubah
membesar. Setelah tubuhnya mencapai sebesar batang pohon kelapa, langsung
menyerang burung rajawali sakti. Itulah ilmu tingkat akhir 'Naga Merah'. Ular
itu menjadi besar seperti seekor naga berwarna merah menyala. Lidahlidah api
menyembur dari lubang hidung dan mulutnya.
"Khraaagh...!"
rajawali memekik keras.
Seketika tubuhnya melesat ke udara, lalu kembali menukik
deras ke arah kepala naga. Semburan api keluar saat cakar-cakar rajawali
raksasa hampir mencapai kepala naga merah itu.
Secepat kilat burung raksasa itu berkelit dari sambaran api.
Langsung meluruk menghantam tubuh naga merah.
Nyi Kongkot yang melihat ular naga jelmaan tongkat saktinya
terangkat naik, segera melompat menerjang burung rajawali raksasa. Kedua
tangannya yang berwarna merah, didorong ke depan. Secercah sinar merah meluncur
deras ke arah burung raksasa itu.
Tepat pada saat itu,
burung rajawali itu melemparkan ular
naga yang sebesar batang pohon kelapa ke arah Nyi Rongkot. Cepat sekali dia
menukik turun sehingga sinar merah yang dilepaskan Nyi Rongkot tidak mengenai
sasaran. Sayap rajawali raksasa yang besar, mengibas dan....
"Aaakh!"
Nyi Rongkot terpekik.
Dalam
keadaan tubuh masih di udara, Ular Betina tidak bisa berkelit. Dengan telak
sayap rajawali itu menghantam tubuhnya. Nyi Rongkot terpelanting keras jatuh ke
tanah.
Bersamaan dengan itu, ular naga
ciptaannya juga meluruk menghantam tubuhnya. Nyi Rongkot meraung keras sambil
menggelimpang keluar dari himpitan badan ular yang besar dan berat.
"Graaahg...!"
rajawali raksasa memekik nyaring.
Bagai kilat tubuhnya melesat menyambar tubuh Pendekar
Rajawali Sakti dan pedang pusaka yang menggeletak di tanah. Tubuh Rangga serta
pedang pusaka itu dicengkeram dengan jari-jari kalanya. Hanya sekejap mata saja
burung rajawali raksasa itu telah membumbung tinggi ke angkasa.
***
5
Nyi Rongkot menggeram sambil berusaha bangun. Ular naga
merah jelmaan tongkat sakti miliknya sudah kembali ke bentuk asalnya. Kibasan
sayap burung rajawali raksasa membuat seluruh tubuhnya nyeri. Seluruh
tulang-tulang tubuhnya bagaikan remuk Tertatih-tatih dihampiri tongkat saktinya
yang menggeletak di tanah.
Mata perempuan tua itu memandang ke sekitar Lembah Bunga
Bangkai. Kegelapan masih menyelimuti sekitarnya. Kabut tebal bergulung-gulung
membuat udara betambah dingin. Lagi-lagi dia menggeram begitu menyadari Ki
Rangkun dan kedua sahabatnya sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
"Sial, dasar
pengecut!" dengus Nyi Rongkot.
Merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di lembah yang
selalu menyebarkan bau busuk ini, perempuan tua itu mengayunkan kakinya pergi.
Digunakannya ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah
tidak tampak lagi tertelan kabut tebal.
Ular betina itu tidak tahu kalau Ki Rangkuti masih belum
jauh dari tempat pertarungan tadi. Ki Rangkuti yang didampingi dua sahabatnya
bersembunyi di balik batu besar agak jauh dari arena pertarungan ketika Nyi
Rongkot mengeluarkan ilmu 'Naga Merah'. Mereka tidak ingin mati konyol terkena
keganasan ilmu 'Naga Merah'.
"Luar biasa...," gumam Dewa Pedang Emas
menggelenggelengkan kepalanya.
"Dunia persilatan bakal
hancur kalau tidak ada yang bisa menandingi ilmu 'Naga Merah'." sambung
Bayangan
Malaikat.
"Pedang Emasku juga belum tentu bisa
menandinginya," ujar Dewa Pedang Emas jujur.
"Ya. Sepuluh orang seperti
kita pun belum tentu bisa menandingi kehebatan ilmu itu," sambung Bayangan
Malaikat.
Tiba-tiba kedua orang itu terdiam. Mata mereka langsung
menatap Ki Rangkuti yang sejak tadi hanya terdiam dengan pandangan kosong ke
depan. Merasa dirinya dipandangi, Kepala Desa Jatiwangi itu menoleh sambil
menarik napas panjang.
"Aku yakin, anak muda itu pasti Pendekar Rajawali
Sakti," pelan suara Ki Rangkuti terdengar.
"Apakah dia mati?" tanya Bayangan Malaikat yang
sudah tahu siapa anak muda itu ketika telah mengeluarkan pedang berwarna biru
berkilau
"Entahlah,"
desah Ki Rangkuti.
"Aku juga telah mendengar sepak terjang Pendekar
Rajawali Sakti. Ternyata berita yang kudengar bukan isapan jempol belaka,"
Dewa Pedang Emas bergumam.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini," ajak Ki
Rangkuti.
Tanpa banyak bicara lagi mereka segera melangkah
meninggalkan Lembah Bunga Bangkai. Mereka berjalan biasa tanpa mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Tak ada yang bicara sampai tiba di luar batas lembah yang
berbau busuk itu.
"Sebentar!" tiba-tiba Dewa Pedang Emas berhenti
melangkah.
"Ada
apa?" tanya Ki Rangkuti seraya berhenti melangkah.
"Apa tidak sebaiknya kita datangi saja manusia liar
Buto Dungkul?" Dewa Pedang memberi usul.
"Jangan!" sergah Bayangan Malikat.
"Keselamatan Sekar
Telasih lebih penting daripada
manusia liar itu."
"Benar. Apapun yang terjadi, Sekar Telasih tidak boleh
jatuh ke tangan Buto Dungkul. Apa lagi sampai dibawa Nyi Rongkot, meskipun ibu
kandungnya sendiri," Ki Rangkuti menyetujui kata-kata Bayangan Malaikat
"Jangan-jangan Ular Betina langsung ke Desa
Jatiwangi," gumam Ki Rangkuti.
"Celaka! Kita harus cepat ke sana sebelum
terlambat!" seru Bayangan Malaikat
"Kalian berdua saja ke sana, aku akan ke Hutan
Gading," kata Dewa Pedang Emas.
"Mau apa kau
ke sana?" tanya Ki Rangkuti.
"Aku ingin coba kehebatan manusia liar itu," sahut
Dewa Pedang Emas.
"Gila! Apa kau sudah tidak pikir dua kali, Dewa Pedang
Emas?" ujar Bayangan Malaikat kaget
"Aku belum pernah punya persoalan dengan Buto Dungkul.
Kini, aku akan membuat persoalan dengannya. Hal ini untuk memecahkan
perhatiannya ter-70 hadapmu, Rangkuti," kata Dewa Pedang Emas.
"Kau akan sia-sia, Dewa Pedang Emas," kata Ki
Rangkuti terharu.
'Tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Aku akan
tersenyum puas meskipun hanya
mencederai sedikit saja."
Bayangan Malaikat akan membuka mulut hendak mencegah
kenekatan Dewa Pedang Emas, tapi cepat dikatupkan lagi mulutnya. Dewa Pedang
Emas sudah memberi isyarat dengan menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
"Pergilah. Mudah-mudahan kalian bisa menyelamatkan
Sekar Telasih," kata Dewa Pedang Emas.
Setelah berkata demikian, Dewa Pedang Emas segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap mata saja ia sudah berlari
meninggalkan kedua sahabatnya. Cukup tingginya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, sehingga dalam waktu yang singkat, hanya terlihat titik punggungnya
saja di kejauhan. Ki Rangkuti mendesah berat setelah bayangan tubuh Dewa Pedang
Emas tidak terlihat lagi.
"Nekad! Aku tidak yakin dia mampu mengalahkan Buto
Dungkul," dengus Bayangan Malaikat setengah bergumam.
"Kita doakan semoga selamat," sahut Ki Rangkuti.
"Ayo, kita harus cepat sebelum terlambat!"
"Mari."
***
Bagaimana dengan nasib Pendekar Rajawali Sakti yang dapat
dikalahkan oleh Ular Betina? Burung Rajawali raksasa membawanya pergi, langsung
menuju ke Lembah Bangkai tempat Rangga yang kini bergelar Pendekar Rajawali
Sakti digembleng selama duapuluh tahun. ( Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam kisah Iblis Lembah Tengkorak).
Burung Rajawali Sakti itu memandangi tubuh Rangga yang
tergolek pingsan di atas batu pipih di dalam goa Lembah Bangkai. Di dadanya
tergambar dua tapak tangan berwarna merah, burung raksasa itu
menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar, kemudian paruhnya ditotok ke beberapa
bagian tubuh Rangga. Sedangkan pedang pusaka Rajawali Sakti tergeletak di
sampingnya.
Kemudian dengan cakarnya digenggamnya tubuh Rangga. Suaranya
terdengar lirih. Sayapnya terkepak, dan tubuhnya yang besar terangkat naik.
Burung rajawali raksasa itu membawa Rangga masuk lebih ke dalam goa besar yang
pengap dan gelap.
Sampai pada satu relung yang luas, burung rajawali itu
berhenti. Rangga diletakkan di atas tanah berpasir dan berbatu-batu kerikil. Di
sebelahnya tampak sebuah kolam berisi air yang berwarna kebiru-biruan bergolak
mendidih. Suaranya terdengar gemuruh disertai letupan-letupan kecil.
"Arggghk!" burung rajawali raksasa mengeluarkan
suara lirih.
Dengan paruhnya dia menggusur tubuh Rangga mendekati kolam
mendidih. Air muncrat ke atas ketika tubuh Rangga tercebur ke dalam kolam.
Rangga langsung tenggelam bersamaan dengan menggelegaknya air. Suaranya semakin
terdengar bergemuruh keras. Seketika itu juga permukaan air menjadi
berubah-ubah warnanya.
Agak lama juga Rangga tenggelam di dalam kolam mendidih itu.
Kemudian perlahan-lahan permukaan air kolam itu menjadi tenang. Setenang kolam
biasa dan tidak lagi bergolak mendidih. Perlahan-lahan Rangga muncul terangkat
ke permukaan. Tampak seluruh tubuhnya berkilau bagai tersiram cahaya. Aneh!
Pakaiannya pun jadi lebih bersih dan terang warnanya.
Beberapa
saat Rangga terapung-apung di permukaan kolam. Kemudian perlahan-lahan bergerak
ke tepi. Kelopak mata pendekar muda itu masih terpejam apat Sampai di tepi,
perlahan-lahan tubuhnya terangkat naik, lalu melayang ke luar dari kolam yang
kini jadi tenang.
Begitu Rangga sudah berada di atas batu pipih di samping
kolam, air kolam kembali bergolak mendidih. Dan warnanya yang semula jernih,
kini kembali jadi biru bercahaya. Burung rajawali raksasa berjalan menghampiri.
Paruhnya kembali bergerak cepat me-notok bagian-bagian tubuh Rangga.
"Oooh...!"
Rangga menggerak-gerakkan kepalanya.
Perlahan-lahan kelopak matanya
terbuka. Dia segera bangkit duduk ketika melihat burung rajawali raksasa ada di
sampingnya. Sebentar Rangga menge
darkan pandangannya. Bibirnya tersenyum setelah mengenali tempat itu.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku,"
ucap Rangga berbisik.
Burung rajawali raksasa itu berkaokan gembira. Dia mendesak
desakkan kepalanya. Rangga memeluk, membelai-belai penuh kasih. Ingatannya
kembali pada pertarungannya melawan Ular Betina. Setinggi-tingginya ilmu pasti
masih ada yang lebih tinggi lagi. Batinnya berkata sendiri.
Rangga memandangi burung rajawali raksasa yang berjalan
lambat mendekati dinding goa itu. Dengan paruh, didorongnya sebuah batu yang
menonjol. Batu itu terdorong masuk ke dalam. Tampak sebuah rongga yang cukup
besar di dinding. Paruh burung rajawali raksasa itu masuk ke dalam, sebentar ke
luar kembali. Kini di ujung paruhnya terjepit sebuah buku kumal berwarna merah.
Rajawali raksasa itu kembali menghampiri Rangga dan menyerahkan buku di
paruhnya.
Rangga membolak-balikkan buku itu. Dibukanya selembar demi
selembar. Ternyata buku itu berisi dua macam ilmu yang belum pernah
dipelajarinya. Yang pertama ilmu 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan yang kedua ilmu
kesaktian 'Cakra Buana Sukma'.
"Hm, satu ilmu yang dipecah jadi dua bagian,"
gumam Rangga. "Aku harus bisa menguasai dan menyatukan kembali."
"Kraaagh...!"
"Ah, kau setuju aku menyatukan kedua ilmu itu?"
rajawali itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Beri aku petunjuk, Rajawali
Sakti."
"Argh!"
"Baiklah. Mungkin kau tidak mengerti ilmu ini. Aku akan
mempelajarinya sendiri."
Rajawali itu mengepak-ngepakkan sayapnya. Kedua bola matanya
berbinar-binar, sepertinya bisa mengerti apa yang diucapkan Rangga.
"Aku akan
memulainya sekarang!"
***
6
Sementara itu di Desa Jatiwangi, suasananya tampak tenang
seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat
berjalan cepat menuju ke rumah Kepala Desa Jatiwangi itu. Suasana rumah yang
tampak sunyi membuat jantung laki laki tua yang masih kelihatan gagah itu jadi
berdetak cepat. Tidak ada seorangpun yang kelihatan di sana.
Tapi kekhawatirannya yang sekejap itu hilang ketika melihat
seorang gadis cantik muncul di depan pintu. Gadis itu melangkah ke luar
menghampiri kedua laki-laki yang memang sedang menuju ke sana. Di pintu muncul
lagi seorang pemuda tampan yang juga langsung ke luar. Satu lengannya terbalut
kain putih yang rapi. Dialah Darmasaka, putra kepala desa.
"Sekar Telasih...," desah Ki Rangkuti begitu gadis
cantik itu sudah berdiri di depannya.
"Ayah dari mana saja semalam?" tanya Sekar Telasih
manja.
Ki Rangkuti tidak segera menjawab. Tangannya merangkul bahu
gadis itu. Kemudian dia melangkah menuju ke beranda depan. Di belakangnya
Darmasaka berjalan di samping Bayangan Malaikat.
Mereka berempat duduk melingkari meja marmer putih. Agak
lama juga tidak ada yang bicara. Sedangkan mata Bayangan Malaikat tidak lepas
menatap wajah Ki Rangkuti. Meskipun bibir Kepala Desa Jatiwangi itu tersenyum,
tapi Bayangan Malaikat bisa merasakan keperihan di dalam hatinya
"Kelihatannya
Ayah baru saja bertarung?" Darma-saka menatap ayahnya dengan penuh
selidik.
"Ya...,"
desah Ki Rangkuti pelan.
"Dengan
siapa?" tanya Sekar Telasaih.
"Musuh,"
sahut Ki Rangkuti berat.
Memang berat rasanya
menceritakan semua dengan benar. Lebih-lebih saat matanya menatap wajah Sekar
Telasih. Tidak mungkin dia sanggup untuk mengatakan kalau gadis itu bukan anak
kandungnya sendiri. Beberapa kali Ki Rangkuti menarik napas panjang dan
menghembuskannya dengan berat
Darmasaka dan Sekar Telasih yang mengetahui ayahnya punya
persoalan berat, hanya saling pandang. Mereka sama-sama mengangkat bahu dan
menatap ayahnya. Mendapat pandangan penuh selidik dari kedua anaknya, Ki
Rangkuti semakin kelihatan gelisah. Matanya menatap Bayangan Malaikat seolah
meminta dukungan.
"Sebaiknya kau ceritakan terus terang," kata Bayangan
Malaikat
"Ada apa
sebenarnya, Paman?" tanya Darmasaka.
"Paman tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya. Hanya
Ayahmu sendiri yang tahu,"
sahut Bayangan Malaikat
"Ada apa, Ayah? Kalau persoalannya sangat berat, mungkin bisa kami bantu," desak
Sekar Telasih.
"Berat. Berat sekali," desah Ki Rangkuti.
"Persoalannya menyangkut dirimu."
"Aku?" Sekar Telasih menatap Ki Rangkuti
seolah-olah tidak percaya.
"Kuharap
kau bisa menerima dengan tabah, anakku," lirih suara Ki Rangkuti.
"Ada apa dengan diriku, Ayah? Katakan!" desak
Sekar Telasih. Mendadak saja perasaannya jadi tidak enak.
Baru juga Ki Rangkuti hendak membuka mulut, mendadak mereka
dikejutkan oleh suara tawa mengikik. Suara tawa yang menggema seolah-olah
datang dari segala penjuru. Ki Rangkuti cepat melompat ke luar diikuti oleh
Bayangan Malaikat.
Begitu kaM mereka menjejak tanah, berkelebat sinarsinar
merah mengarah pada Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat. Mereka berlompatan
menghindari sinar-sinar merah yang membias dari beberapa batang anak panah
kecil. Senjata-senjata rahasia itu datang bagaikan hujan deras, mengancam jiwa
dua laki-laki yang berjumpalitan menghindar.
Sementara Darmasaka sudah meloloskan pedangnya yang terbuat
dari bahan perak mumi. Sekar Telasih yang berdiri di sampingnya juga sudah
bersiap-siap dengan kipas baja. Namun mereka masih berdiri di depan beranda
rumah, tidak lepas memandangi dua laki laki tua yang sibuk berjumpalitan
menghindari serbuan itu.
Mendadak Bayangan
Malaikat berteriak nyaring.
Kemudian rubuhnya melambung tinggi ke udara. Tangan kanannya
berputar cepat langsung mendorong ke satu arah. Suara ledakan terdengar keras,
saat secercah sinar hijau meluncur deras dari tangan kanannya. Hampir
bersamaan, berkelebat sebuah bayangan merah dari tempat terjadinya ledakan.
Hujan anak panah kecil merah seketika berhenti. Kini di
depan Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat yang sudah turun kembali, berdiri
seorang perempuan tua dengan tongkat berbentuk ular di tangan. Perempuan tua
itu menatap tajam Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat bergantian. Suara tawanya
mengikik kecil begitu matanya memandang Sekar Telasih yang berdiri di samping
Darmasaka.
"Rangkuti! Apakah dia anakku?" Nyi Rongkot
menunjuk Sekar Telasih.
"Apa...?"
Sekar Telasih terlongong.
"Hik hik hik..., tidak kusangka, kau cantik
sekali," Nyi Rongkot terkikik sambil melangkah mendekati gadis itu.
"Nyi
Rongkot!" bentak Ki Rangkuti.
"Kau tidak bisa mencegahku, Rangkuti. Aku akan
mengambil anakku," kata Nyi Rongkot terus saja melangkah menghampiri Sekar
Telasih.
Begitu Nyi Rongkot sudah dekat, Darmasaka melompat ke depan
menghadang. Pedangnya melintang di depan dada. Dia mengenali betul perempuan
tua yang datang tanpa diundang ketika pesta peresmian Padepokan Jatiwangi. Kini
perempuan tua itu datang lagi dan hendak membawa adiknya. Bahkan mengakui
Sekar Telasih, sebagai anaknya. Tentu saj5 Darmasakl jadi
muak.
"Minggir kau anak muda!" bentak Nyi Rongkot
"Kau yang harus enyah dari sini!" balas Darmasaka ketus.
"Bedebah!"
Nyi Rongkot mengibaskan tongkat ular saktinya. Begitu
cepatnya bergerak, sehingga Darmasaka tidak bisa lagi berkelit. Dia segera
mengangkat pedangnya untuk menangkis tongkat ular itu.
Trak!
Dua senjata beradu keras. Dan pedang Darmasaka terpental
jatuh ke udara. Darmasaka sendiri terdorong mundur tiga tindak
Anak muda itu meringis sambil menguru-urut pergelangan
tangannya yang menjadi kesemutan. Belum juga disadari apa yang baru terjadi,
tiba-tiba Nyi Rongkot sudah melompat bagai kilat sambil mengayunkan kakinya.
Buk! Darmasaka yang memang masih jauh tingkat kepandaiannya tidak mampu berbuat
apa-apa lagi. Kaki kanan Nyi Rongkot telak menghantam dadanya.
Darmasaka tidak bisa lagi mengeluarkan suara. Tubuhnya
meluncur deras menghantam tiang penyangga serambi rumah. Tiang sebesar paha
manusia dewasa itu hancur berantakan kena terjangan tubuh Darmasaka. Anak muda
itu jatuh bergulingan dan tak bergerak lagi. Dari mulut dan lubang hidung
mengalir darah kental kehitaman. Tampak dadanya hangus hitam melesak ke dalam.
"Iblis!" geram Ki Rangkuti begitu mengetahui putra
tunggalnya tewas terkena jurus 'Sengatan Ular Sendok'.
"Hik hik
hik...," Nyi Rongkot terkikik.
Sekar Telasih membeliak melihat kekejaman perempuan tua yang
mengaku ibunya ini. Mulutnya ternganga lebar memandangi mayat Dramasaka yang
tergeletak di serambi depan rumah.
"Kubunuh
kau, iblis!" geram Ki Rangkuti.
Laki-laki tua itu berteriak melengking sambil melompat
menerjang.
Trak!
Dua senjata beradu keras, sehingga menimbulkan pijaran bunga
api. Ki Rangkuti yang sudah dikuasai amarah, tidak peduli lagi dengan tangannya
yang seketika nyeri kesemutan. Dia segera mengirimkan tendangan geledek. Nyi
Rongkot memiringkan tubuhnya sedikit, dan tendangan geledek itu hanya lewat di
samping pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, tongkat ular sakti dikibaskan
Nyi Rongkot.
"Akh!"
Ki Rangkuti memekik tertahan.
Ujung tongkat ular itu menghantam pergelangan tangan kanannya
yang menggenggam keris. Hantaman keras disertai pengerahan tenaga dalam itu
membuat keris di tangan Ki Rangkuti terpental tinggi ke angkasa. Secepat kilat
Bayangan Malaikat melompat mengejar keris yang mengeluarkan bau bangkai itu.
Pada saat yang kritis, Nyi Rongkot menyambar tubuh Sekar
Telasih. Cepat sekali dia menotok jalan darah gadis itu hingga pingsan lemas.
Sekar Telasih yang belum berpengalaman dalam dunia persilatan, tidak dapat
berbuat apa-apa. Tubuhnya kini sudah berada dalam gendongan Nyi Rongkot di
pundak.
"Sekar...!"
Ki Rangkuti berteriak nyaring. Nyi Rongkot sudah lebih dulu mencelat bagai
kilat. Dalam sekejap mata saja tubuhnya tidak terlihat lagi. Ki Rangkuti jatuh
lemas terduduk di tanah. Kedua tangannya terkepal memukulmukul tanah di depannya.
Bayangan Malaikat yang sudah turun membawa keris pusaka Ki Rangkuti,
menghampiri Kepala Desa Jabwangi itu. Dia langsung duduk berlutut di depannya.
Tangannya terulur menyerahkan keris hitam yang memancarkan bau busuk tidak
sedap. Bayangan Malaikat sendiri sudah hampir tidak tahan lagi. Dadanya seperti
akan pecah menahan napas
"Aku akan mengejarnya!" dengus Ki Rangkuti
menggeram sambil menyarungkan kerisnya kembali di pinggarlg.
"Bagaimana dengan Darmasaka?" Bayangan Malaikat
mengingatkan.
'Oh!"
Ki Rangkuti langsung bangkit dan berlari menghampiri tubuh
Darmasaka yang menggeletak tak bernyawa lagi. Dia memeluk mayat itu dan
menangis. Bayangan Malaikat hanya bisa menarik napas panjang, tidak tahu harus
berbuat apa
'Tunggu pembalasanku, Rongkot...!" teriak Ki Rangkuti
keras.
***
Nyi Rongkot berlari cepat bagaikan terbang saja layaknya. Di
pundak kanannya terpondong rubuh ramping dengan rambut hitam panjang terurai
melambai-lambai. Dilihat dari arah yang dituju, jelas kalau dia menuju ke Hutan
Gading. Hutan tempat Buto Dungkul tinggal.
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
perempuan tua yang bergelar Ular Betina itu, sehingga yang terlihat hanya
bayang-bayang merah saja berkelebatan di antara pepohonan. Ketika tiba di tepi
Hutan Gading, mendadak terdengar suara bentakan keras disertai pengerahan
tenaga dalam.
"Berhenti!"
Nyi Rongkot langsung berhenti. Matanya merah nyalang menatap
seorang laki-laki yang berdiri menghadang di depan. Laki-laki yang berumur
sekitar limapuluh tahun, namun masih kelihatan gagah dan tampan itu menghunus
sebuah tombak bermata tiga. Pakaiannya berwarna biru dan ketat memetakan bentuk
tubuhnya yang kekar atletis.
"Singa Lodra...," desis Nyi Rongkot mengenali
laki-laki yang menghadang di depannya.
"Tinggalkan Sekar Telasih di sini, Ular Betina!"
dingin dan datar suara Singa Lodra.
"Hik, rupanya kau juga menginginkan gadis ini, Singa
Lodra. Dia sudah berada di tanganku, tidak seorang pun yang bisa menghalangi
maksudku!" Nyi Rongkot membalas tidak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar manusia iblis! Tega-teganya kau
gunakan darah dagingmu sendiri hanya untuk memenuhi nafsu iblismu!" dengus
Singa Lodra.
"Minggirlah, Singa Lodra.
Aku tidak ada urusan denganmu. Sekar Telasih anakku, aku bebas
memperlakukan sekehendak hatiku
sendiri, tahu!"
"Sekar Telasih muridku, dan aku wajib membela
nyawanya!"
"Hik hik hik..., rupanya kau sudah bosan hidup, Singa
Lodra," Nyi Rongkot terkikik
"Kau yang harus mampus, iblis!" Setelah berkata
demikian, Singa Lodra segera memutar tongkat mata tiga. Begitu cepat
gerakannya, sehingga tombak itu bagaikan baling-baling berputar memperdengarkan
suara angin menggemuruh. Makin lama angin di selatar tempat itu makin keras.
Daun-daun
mulai berguguran, dan pohon-pohon sudah ada yang tumbang. Batu-batu kerikil
berlom-patan diterjang badai yang terjadi akibat putaran tombak mata tiga itu.
Sungguh dahsyat
ilmu yang dimiliki laki-laki ini. Hutan
Gading bagaikan diamuk badai yang
amat hebat,
"Hik hik hik..., ilmu' Tongkat Mata Badai' mu tidak akan
mampu menghalangi niatku, Singa Lodra!" Nyi Rongkot malah tertawa lebar.
Tidak sedikit pun bergeser dari tempatnya berdiri.
Mendadak Singa Lodra berteriak melengking tinggi. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya berkelebat cepat dengan ujung tongkat terhunus ke depan.
Nyi Rongkot memiringkan tubuhnya sedikit. Dan tongkat mata tiga itu lewat di
samping tubuhnya. Secepat kilat dihantamkan tongkat ular saktinya memapas
tombak lawan.
Trak!
Benturan dua senjata terjadi amat keras sehingga menimbulkan
percikan api. Nyi Rongkot mendengus merasakan tangannya yang kaku saat tongkat
ular saktinya beradu. Begitu juga yang dialamai Singa Lodra. Dia sampai
terdorong dan tombak mata tiganya hampir lepas dari pegangan.
Cepat sekali Singa
Lodra memutar tombak mata tiga.
Kati ini di kibaskan ke arah kaki
lawan. Namun Nyi Rongkot hanya menaikkan satu kakinya sedikit dan menjejak
batang tombak itu. Tubuhnya melenting ke udara, berputar dua kali. Tongkat ular
sakti dikibaskan ke arah kepala Singa Lodra.
"Uts!"
Singa Lodra merunduk sedikit, tongkat ular sakti lewat
menerpa angin di atas kepalanya. Cepat dibalasnya dengan menyodok tombak mata
tiga ke perut Nyi Rongkot Kali ini ujung tombaknya juga hanya mengenai angin.
Nyi Rongkot dengan manis mendarat di belakang Singa Lodra. Kakinya langsung
terayun deras menghajar punggung.
Buk!
Singa Lodra yang terlambat berbalik, tidak bisa lagi
menghindar. Punggung Singa Lodra kena hantam tendangan keras yang disertai
pengerahan tenaga dalam. Kalau bukan Singa Lodra, mungkin sudah remuk
tulangtulang pungggungnya. Singa Lodra hanya terdorong dua tindak saja ke
depan. Bergegas diputar tubuhnya sambil mengibaskan tombaknya.
Nyi Rongkot menyilangkan tongkat ular saktinya menangkis
kibasan tombak itu. Kembali dua senjata beradu keras. Tombak mata tiga terpental
ke samping. Secepat kilat Ular Betina itu menyodok tongkatnya ke arah dada
Singa Lodra. Untung laki-laki itu masih bisa membuang diri dan bergulingan di
tanah, sehingga sodokan maut tongkat ular sakti bisa dihindari.
Namun belum juga bisa bangkit, Nyi Rongkot sudah menyerang
kembali. Singa Lodra terus bergulingan di tanah menghindari tusukan dan sabetan
tongkat ular sakti yang mengincar tubuhnya. Pada satu kesempatan, Singa Lodra
menangkis dengan tombak mata tiganya. Secepat kilat dia melenting bangun ketika
tongkat ular sakti terangkat agak jauh dari tubuhnya.
"Hup!"
Tangan kiri
Singa Lodra berkelebat cepat. Seketika meluncur sinar-sinar biru dari tangan
kirinya. Nyi Rongkot berlompatan jungkir balik seraya mengebut-kan tongkatnya.
Sinar-sinar biru berupa jarum beracun itu terus mencecar bagai hujan datangnya.
Nyi rongkot berjumpalitan di udara menghindari terjangan senjata rahasia Singa
Lodra.
"Setan!
Mampus kau, hih!" geram Nyi Rongkot.
Secepat kilat diputarnya tongkat ular saktinya, lalu
dilemparkan ke tanah. Dalam sekejap saja tongkat itu berubah menjadi seekor
ular berwarna merah. Kedua tangan Nyi Rongkot pun menjadi merah. Dia melepaskan
tubuh Sekar Telasih dari pondongannya. Tubuh ramping itu jatuh keras
bergulingan di tanah.
"'Naga
Merah'...," desis Singa Lodra terkejut.
Bergegas dia melompat sejauh dua batang tombak ke belakang.
Matanya membelalak lebar melihat ular merah meliuk-liuk di tanah. Kepalanya
terangkat ke atas menyemburkan ludah disertai asap berwarna merah. Asap yang
mengandung racun sangat berbahaya dan mematikan. Bergidik juga Singa Lodra saat
menyadari Ular Betina sudah mengeluarkan ilmu simpanannya yang sukar ditandingi
itu.
Singa Lodra tidak menduga kalau Nyi Rongkot bisa
mengeluarkan ilmu 'Naga Merah' meskipun dalam keadaan terdesak. Dia tahu kalau
Ular Betina memiliki satu ilmu simpanan yang sukar ditandingi, karenanya dia
tidak memberi kesempatan sedikit pun. Tapi kenyataannya lain. Nyi Rongkot masih
bisa mengeluarkan ilmu andalannya meskipun dalam keadaan sulit sekali pun.
"Hik hik hik...! Aku akan mengampuni kelancang-anmu,
Singa Lodra. Asal kau cepat-cepat enyah dari sini!" dingin menyeramkan
suara Nyi Rongkot
"Phuih! Kau kira aku takut dengan ilmu setanmu!"
dengus Singa Lodra.
"Sebut nama
leluhurmu sebelum mati, Singa Lodra!"
Singa Lodra segera bersiap-siap ketika Nyi Rongkot
mengangkat kedua tangannya. Dengan satu jeritan melengking tinggi, Ular Betina
itu melompat cepat. Dan ular merah di tanah pun juga melayang cepat bagai anak
panah lepas dari busur.
Singa Lodra mengebutkan tombaknya ke arah ular merah, dan
tangan kirinya mengibas tangan Ular Betina. Kibasan tongkat dapat dihindari
ular merah.
Di lain hal Nyi Rongkot membiarkan tangan kirinya beradu,
tapi tangan kanannya langsung masuk ke dada.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga Singa
Lodra tidak mampu lagi menghindar. Telak sekali dadanya kena hajar tangan kanan
Nyi Rongkot yang memerah. Bersamaan dengan itu, ular merah juga berhasil
menggigit paha karian Singa Lodra.
"Aaakh...!"
Singa Lodra menjerit keras.
Tubuhnya terlontar deras ke belakang, dan jatuh keras di
tanah. Darah segar mengucur dari paha kanan yang koyak. Ular merah membelit
kaki kanannya. Buas sekali ular merah mematuk dan menggigit, mengoyak tubuh
Singa Lodra.
"Hik hik
hik...!" Nyi Rongkot tertawa mengikik.
Singa Lodra kelojotan di tanah. Darah mengucur deras dari
beberapa bagian tubuhnya yang koyak. Begitu kepala ular merah menembus dadanya,
Singa Lodra menjerit melengking tinggi. Sebentar menggelepar, lalu diam tak
bergerak-gerak lagi.
Nyi Rongkot
mengulurkan tangannya ke depan, dan ular merah itu melayang menghampirinya.
Begitu berada di tangan perempuan yang berjuluk Ular Betina itu, ular merah
berubah kembali menjadi tongkat berbentuk ular.
Lagi-lagi Ular Betina tertawa mengikik. Kakinya terayun
menghampiri Sekar Telasih yang masih tergeletak lemas di tanah. Setelah
meletakkan tubuh gadis itu di punggung, Nyi Rongkot langsung berlari menembus
Hutan Gading dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup sempurna.
"Hik hik
hik...!"
***
7
Nyi Rongkot atau si Ular Betina menghentikan larinya ketika
mendengar suara pertarungan di tengah-tengah Hutan Gading. Sebentar dimiringkan
kepalanya mencoba untuk mencari arah sumber suara pertarungan itu. Kakinya
kembali terayun setelah dapat memastikan arah suara itu.
Matanya mengernyit saat melihat kelebatan-kele-batan sinar
keemasan. Tampak dua orang sedang bertarung menggunakan senjata masing-masing.
Dari ayunan berat disertai suara gemuruh, dapat diketahui salah satu dari yang
bertarung itu adalah si manusia liar Buto Dungkul.
Sedangkan yang menggenggam pedang mengeluarkan cahaya
keemasan adalah Dewa Pedang Emas. Sejak semalam hingga pagi ini mereka sudah
bertarung puluhan jurus. Namun belum ada yang tampak terdesak. Masingmasing
melancarkan serangan yang cukup berbahaya dan mematikan. Nyi rongkot menurunkan
tubuh Sekar Telasih dari pon-dongannya.
"Hm..., Dewa Pedang Emas. Benar-benar nama yang patut
diperhitungkan oleh Buto Dungkul," gumam Nyi Rongkot.
Perkiraan Nyi Rongkot memang tepat. Dalam beberapa jurus
kemudian, tampak Buto Dungkul terdesak terusmenerus. Pantas saja kalau mendapat
julukan Dewa Pedang Emas. Permainan jurus-jurus pedangnya sungguh lihai dan
cepat Pedang dari emas itu berkelebatan berada di tangannya. Cepat, sehingga
yang terlihat hanya berupa sinar keemasan bergulung-gulung mengurung Buto
Dungkul.
Pada satu kesempatan baik, pedang emas berkelebat cepat
membabat pundak Buto Dungkul. Gerakan yang begitu cepat dan tiba-tiba tidak
dapat dihindari lagi. Pundak kiri si manusia liar itu terkena sabetan pedang
emas.
"Ha ha
ha...!" Buto Dungkul tertawa terbahak-bahak.
Dewa Pedang Emas melompat mundur tiga tindak ke belakang.
Matanya membeliak lebar, hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Jelas-jelas mata pedangnya membabat pundak si manusia liar itu, tapi tidak
sedikit pun ada luka goresan di sana. Bahkan dari ujung pedang sampai pangkal
lengannya, Dewa Pedang Emas merasakan getaran yang amat dahsyat.
"Gila! Pedang emasku tidak mempan," dengus Dewa
Pedang Emas.
Dewa Pedang Emas berteriak nyaring. Dikebutkan pedangnya
kuat-kuat lalu dia melompat menerjang. Buto Dungkul masih tetap tergelak tanpa
menghiraukan cahaya keemasan yang berkilat mengarah dadanya.
"Mampus kau, setan!" geram Dewa Pedang Emas.
Trak!
Dewa Pedang Emas membabat si manusia liar Buto Dungkul
dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Seketika tubuh Dewa Pedang Emas terpental ke belakang begitu
pedangnya menghantam sasaran. Sedangkan si manusia liar Buto Dungkul masih
terbahak-bahak berdiri tegar.
"Setan! Dmu apa yang dipakainya?" geram Dewa
Pedang Emas begitu melihat mata pedangnya gompal.
Tidak sedikitpun ada luka di dada si manusia liar ini. Dia
berdiri congkak bertolak pinggang. Tubuhnya yang tinggi besar
berguncang-guncang karena tawanya terus tergelak. Sementara itu Nyi Rongkot
yang menyaksikan hanya tersenyum-senyum. Lain halnya dengan Dewa Pedang. Dia
tampak kebingungan menghadapi lawan begini tangguh, tidak mempan oleh senjata
pusaka yang sangat diandalkannya.
'Terpaksa, aku harus gunakan paku-paku emas," gumam Dewa
Pedang Emas.
Dia melemparkan pedang emasnya yang gompal besar pada
matanya yang tajam. Segera dia bersiap-siap mengeluarkan jurus 'Seribu Paku
Emas'. Sambil berteriak nyaring, Dewa Pedang Emas bergerak cepat melontarkan
paku-paku emas yang menjadi senjata rahasianya yang sangat diandalkan.
Aneh! Si manusia liar Buto Dungkul tidak sedikitpun
bergeming. Paku-paku emas meluncur deras menghantam dubuh tinggi besar bagai
raksasa itu. Lagi-lagi Dewa Pedang Emas terbeliak lebar. Paku-paku emas yang
dilontarkan dengan menggunakan jurus 'Seribu Paku Emas', tidak sedikit pun
melukai lawannya. Paku-paku emas yang mengandung racun dahsyat, rontok begitu
saja setelah menghantam tubuh Buto Dungkul.
"Habiskan semua ilmu yang kau miliki bocah!" ejek
Buto Dungkul jumawa.
"Bedebah!"
geram Dewa Pedang Emas jengkel
"Kenapa bengong? Apa kau sudah tidak punya lagi ilmu
kesaktian?"
Dewa Pedang
Emas tidak menyahut Otaknya berpikir keras mencari cara untuk mengalahkan si
manusia raksasa ini. Matanya melirik Nyi Rongkot, si Ular Betina yang berdiri
tersenyum-senhum. Hati Dewa Pedang Emas jadi panas saat matanya tertumbuk pada
sesosok tubuh ramping menggeletak dekat kaki si Ular Betina.
"Iblis! Rupanya dia sudah berhasil menculik Sekar
Telasih. Hm, bagaimana nasib
Rangkuti dan Bayangan Malaikat? Apakah mereka sudah tewas?" Dewa Pedang
Emas bertanya-tanya sendiri dengan hati geram.
"Cukup waktumu untuk berpikir, Dewa Pedang Emas.
Bersiaplah untuk ke neraka!" sentak Buto Dungkul.
Begitu selesai berkata, gada besar penuh duri
dikebutkebutkan di atas kepala. Suara angin men-deru-deru memekakkan telinga.
Begitu besar tenaga yang dimiliki si manusia liar itu, sehingga dalam seketika
saja tempat itu seperti dilanda badai topan yang amat dahsyat.
Secepat kilat Buto Dungkul berlari sambil mengayunkan gada
besar berdurinya. Dewa Pedang Emas melompat ke samping menghindari sambaran
gada yang sebesar pahanya sendiri. Bumi bergetar begitu gada itu menghantam
tempat Dewa Pedang berdiri tadi.
"Graaagh...!"
Buto Dungkul meraung dahsyat.
Kembali diayunkan gadanya kuat-kuat. Kembali Dewa Pedang
Emas melompat, namun kali ini kaki Buto Dungkul terayun cepat hampir bersamaan
dengan ayunan gada. Dewa Pedang Emas yang terlalu memusatkan perhatian pada
senjata lawan, tidak menyangka kalau kaki Buto Dungkul melayang.
Buk!
Keras sekati kaki manusia liar yang bagai raksasa itu
menghantam pinggang Dewa Pedang Emas. Tak ayal lagi tubuh Dewa Pedang Emas
terjungkal menyuruk tanah. Belum sempat memperbaiki diri, gada besar berduri
telah terayun deras ke arahnya.
"Aaakh...!"
Dewa Pedang Emas menjerit keras.
Kaki kirinya langsung remuk kena hantam gada Buto Dungkul.
Darah muncrat dari kaki yang hancur. Buto Dungkul kembali mengayunkan gadanya.
Prak!
Kali ini Dewa Pedang Emas tidak bisa lagi bersuara.
Kepalanya langsung hancur terkena hantaman keras gada berduri Buto Dungkul.
Tubuh Dewa Pedang Emas menggeletak tak bernyawa lagi.
Buto Dungkul kembali tertawa tergelak. Tawanya langsung
berhenti begitu tubuhnya berbalik. Gada besar penuh duri dipanggul di pundak.
Matanya yang merah besar menatap tajam pada Nyi Rongkot
"Kau sudah datang, Rongkot?" suara Buto Dungkul
terdengar berat menggelegar.
"Aku datang membawa hadiah untukmu," Nyi Rongkot
menunjuk Sekar Telasih yang masih tegeletak lemas di tanah.
"Sekar
Telasih...!" mata Buto Dungkul berbinar.
Buru-buru dia
melangkah menghampiri
'Tunggu!"
cegah Nyi Rongkot
Buto Dungkul menghentikan langkahnya seketika. Jarak antara
dia dengan Sekar Telasih tinggal empat langkah lagi. Matanya langsung menatap
Nyi Rongkot yang berdiri tepat di depannya di samping Sekar Telasih yang
menggeletak di tanah. Kembali ditatapnya gadis itu. Keningnya agak berkerut.
"Dia..., dia
mati...?" suaranya agak parau serak.
'Tidak. Cuma
pingsan," sahut Nyi Rongkot
"Lalu, kenapa kau menghalangiku?" Buto Dungkul
menatap Ular Betina itu dengan pandangan tajam tidak mengerti.
"Belum
saatnya kau menyentuh putriku."
"Rongkot! Kau sudah berjanji akan menyerahkan Sekar
Telasih padaku. Kau sudah kuberi Kitab Naga Merah. Dan kau sudah menguasainya,
kenapa masih juga menghalangiku?"
"Masih ada
satu syarat lagi yang belum kau laksanakan."
"Membunuh si tua-bangka Rangkuti? Ha ha ha.... Dengan
sebelah mata saja aku bisa mengirimnya ke neraka!"
"Kenapa
tidak kau lakukan?"
'Tidak! Aku harus taat pada janjiku sendiri. Belum waktunya
aku membunuh si tua keparat itu!"
"Kalau begitu, kau juga belum waktunya menyentuh
putriku."
"Kau licik,
Rongkot!" dengus Buto Dungkul.
"Lebih licik lagi dirimu, Buto Dungkul. Kau sudah
kuberi ilmu kekebalan tubuh, masih juga menginginkan putriku."
"Huh!"
Buto Dungkul hanya mendengus.
"Nah! Sambil menunggu waktu perjanjianmu, selama itu
aku tidak mengijinkan kau mengganggu Sekar Telasih.
"Baiklah,"
desah Buto Dungkul pasrah.
Nyi Rongkot tersenyum puas. Kemudian dia kembali memondong
tubuh Sekar Telasih di atas pundaknya. Kakinya mulai terayun melangkah di
dampingi si manusia liar Buto Dungkul. Mereka melangkah terus lebih masuk ke
dalam Hutan Gading yang lebat tak pernah terjamah
manusia. Hutan yang selalu dijauhi para penduduk di
selatarnya.
***
Sementara itu Ki Rangkuti termenung di beranda depan
rumahnya. Di depannya duduk Bayangan Malaikat Sejak acara penguburan Darmasaka,
Ki Rangkuti terlihat lebih banyak diam termenung. Memang berat rasanya
kehilangan putra tunggal yang sedang dipersiapkan untuk menjadi seorang
pendekar. Lebih-lebih sekarang ini dia juga kehilangan anak angkat, seorang
gadis cantik yang diurus sejak masih bayi.
Belum lagi dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
tantangan Buto Dungkul yang kebal terhadap segala jenis senjata pusaka.
Bayangan Malaikat yang mengetahui persis persoalan yang tengah dihadapi
sahabatnya, tidak bisa meninggalkannya sendirian. Ke mana Ki Rangkuti pergi,
dia selalu mendampingi. Mereka memang benar-benar sahabat sejati.
"Sudah ada berita tentang Dewa Pedang Emas?" tanya
Ki Rangkuti tiba-tiba seraya mengangkat kepalanya. Pandangan matanya sayu tanpa
gairah hidup.
"Belum," sahut si
Bayangan Malaikat "Tapi aku sudah mengirim beberapa orang murid pilihan
Padepokan
Jatiwangi untuk memeriksa sekitar
Hutan Gading."
"Berapa
orang yang kau kirim?"
"Hanya
sepuluh."
Ki Rangkuti mendesah
panjang.
"Aku tidak mau mengambil resiko kehilangan banyak
orang. Hutan itu sangat berbahaya, masih untung kalau tidak bertemu si manusia
liar."
"Terima
kasih."
"Jangan berterima kasih
padaku Aku hanya melaksanakan apa yang kumampu saja," Bayangan
Malaikat merendah.
Ki Rangkuti tersenyum kecut.
Namun senyumnya mendadak hilang ketika matanya melihat sepuluh orang berkuda
datang. Mereka langsung turun dari kuda masingmasing setelah sampai di depan
rumah Kepala Desa
Jatiwangi itu.
Ki Rangkuti dan Bayangan
Malaikat serentak berdiri lalu berjalan ke luar beranda menghampiri sepuluh
orang yang datang itu. Mereka adalah murid-murid Padepokan
Jatiwangi. Yang berjalan paling
depan, laki laki tinggi tegap berkumis tebal. Dia salah satu guru pengajar olah
kanuragan
"Bagaimana, Sayuri?"
tanya Ki Rangkuti tidak sabar.
"Kami hanya menemukan mayatnya saja, Ki," sahut
Sayuri yang jadi pemimpin dalam pencarian Dewa Pedang Emas di samping sebagai
guru pengajar olah kanuragan di Padepokan JaEwangi.
"Maksudmu...?" Ai Rangkuti tidak bisa lagi
melanjutkan pertanyaannya.
"Dewa
Pedang Emas tewas di tengah Hutan Gading." "Jagat Dewa
Batara...," Ki Rangkuti mengeluh lirih.
Sebentar dia mendongakkan kepalanya, kemudian berpaling pada
Bayangan Malaikat Tampak sepasang bola matanya berkaca-kaca. Ki Rangkuti
benar-benar terpukul mendengar kematian sahabat karibnya. Sahabat sejati, tewas
membela kemurnian persahabatan. Dewa Pedang Emas mempertaruhkan nyawa demi
kehormatan sahabatnya, Ki Rangkuti.
"Bagaimana dengan Sekar Telasih?" tanya Bayangan
Malaikat
"Kami tidak menemukan Nini Sekar Telasih. Hanya
ini," Sayuri menyerahkan kain warna biru muda.
Ki Rangkuti mengambil kain ikat kepala yang biasa dikenakan
Sekar Telasih. Kepala Desa Jatiwangi yang bekas seorang pendekar itu tidak
dapat lagi menyembunyikan kesedihannya. Dia berbalik dan melangkah masuk ke
dalam rumah. Air matanya tidak bisa lagi ditahan. Kain ikat kepala Sekar
Telasih diciuminya beberapa kali..
Bayangan Malaikat dan sepuluh orang lainnya hanya bisa
memandang dengan perasaan sedih. Belum pernah mereka melihat Ki Rangkuti begitu
sedih sampai menitikkan air mata. Kejadian yang menimpa Ki Rangkuti benar-benar
sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Setegartegamya dia, hancur juga hatinya
kehilangan orang-orang yang dicintai secara beruntun.
"Kau tidak menemukan mayat Nini Sekar?" tanya
Bayangan Malaikat setengah berbisik.
"Tidak.
Hanya itu yang saya temukan," sahut Sayuti.
'Tidak menemukan jejak?" Sayuti menggelengkan
kepalanya.
"Hhh...."
Bayangan Malaikat menarik napas panjang.
"Di sekitar tempat itu kelihatannya bekas terjadi
pertempuran. Di situ juga saya menemukan ikat kepala Nini Sekar Telasih."
"Baiklah, terima kasih," ucap Bayangan Malaikat
"Aku percayakan padamu mengatur penjagaan untuk keamanan desa ini."
Sayuti membungkuk sedikit, lalu mengajak yang lain
meninggalkan tempat itu. Mereka menuntun kuda masingmasing kembali ke
padepokan. Bayangan Malaikat masih berdiri cukup lama di depan beranda rumah.
Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam, kemudian kakinya terayun hendak pergi.
Baru saja dia melangkah tiga tindak, telinganya mendengar
suara langkah kaki di belakang. Bayangan Malaikat berhenti dan menoleh.
Keningnya agak berkerut melihat Ki Rangkuti berjalan ke luar dengan pakaian
lengkap seorang pendekar. Pakaian putih-putih yang ketat membentuk tubuhnya
yang kekar.
Sebilah pedang
tergantung di pinggang.
"Kau akan ke mana?" tanya Bayangan Malaikat
setelah Ki Rangkuti berada di depannya.
"Membunuh
iblis-iblis itu!" sahut Ki Rangkuti dingin.
"Pikirkan dulu, Rangkuti. Aku tidak menyangsikan
kesaktianmu, tapi mereka berdua bukanlah orang-orang yang bisa dianggap remeh.
Aku tidak ingin kehilangan lagi seorang sahabat Tinggal kau satu-satunya
sahabatku di dunia ini, Rangkuti," Bayangan Malaikat mencoba meredakan
rasa dendam di hati Kepala Desa Jatiwangi itu.
"Mereka telah
merampas orang-orang yang kucintai!"
"Aku mengerti, aku tahu. Aku juga bisa merasakan apa
yang kau rasakan sekarang. Tapi cobalah kau bertindak dengan kepala dingin.
Jangan turuti hawa dendam dan amarahmu. Aku yakin Sekar Telasih tidak dibunuh.
Dia pasti masih hidup."
"Mereka harus mati. Nyawa anakku harus mereka
tebus!"
"Darmasaka mati membela kebenaran. Kau harus bangga
punya putra yang berjiwa pendekar. Salah besar kalau kau menyesali kematiannya.
Sebaliknya kau harus bangga, Rangkuti. Darmasaka mati karena membela
kehormatanmu!"
Ki Rangkuti terdiam. Kata-kata Bayangan Malaikat tepat
mengena pusat hatinya. Dia memang harus bangga dengan Darmasaka yang mati
sebagai pendekar. Tidak gentar menghadapi musuh meskipun tahu tingkatannya jauh
lebih tinggi. Putranya tidak mati secara sia-sia. Dia mati karena membela
kehormatan keluarga.
"Sempurnakan dulu ilmu 'Pukulan Karang Baja' mu. Aku
rasa waktu tiga purnama cukup untukmu menyempurnakan ilmu itu," kata
Bayangan Malaikat.
Ki Rangkuti menatap Bayangan Malaikat dengan mata sayu.
Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun tidak ada
kata-kata yang terucapkan. Tibatiba ia merangkul sahabatnya dengan ketat
Bayangan Malaikat menepuk-nepuk punggung Ki Rangkuti.
"Aku akan selalu berada
di sampingmu, Sobat," bisik
Bayangan Malaikat
"Kau
benar-benar sahabat sejatiku," balas Ki Rangkuti lirih.
"Sudahlah, aku sendiri akan menyempurnakan ilmu
'Bayangan Maut'. Kita bisa bersatu
mengalahkan mereka."
Ki Rangkuti tersenyum penuh haru. Memang dalam persahabatan
ditemui banyak ujian. Kejadian seperti inilah merupakan satu ujian berat dalam
persahabatan. Kalau perlu nyawa akan dikorbankan demi persahabatan yang murni
dan sejati.
Mereka berpelukan hangat agak lama. Kemudian
Bayangan Malaikat melepaskan pelukan
perlahan-lahan. Sesaat mereka hanya saling pandang saja. Kemudian pelanpelan
melangkah menuju ke rumah besar yang kini tampak sepi senyap.
"Aku akan menyediakan kamar khusus untukmu
bersemedi," kata Ki Rangkuti.
'Terima kasih. Ilmu 'Bayangan Maut' tidak bisa dilatih di
dalam kamar. Aku akan berlatih di pinggiran desa setiap malam hari," sahut
Bayangan Malaikat "Maaf, aku lupa." Bayangan Malaikat hanya tersenyum
tipis.
"Kau yakin Sekar Telasih tidak apa-apa?" tanya Ki
Rangkuti masih memikirkan keselamatan anak angkatnya itu.
"Aku yakin. Meskipun Ular Betina berada di jalan yang
sesat, tidak mungkin mencelakakan anaknya sendiri."
"Yah, itu kalau tidak bersama Buto Dungkul,"
desah Ki
Rangkuti berat
"Jangan terlalu dipikirkan, biarpun dia liar, masih
bisa taat pada janji. Kau ingat perjanjian Mahesa Jalang, 'kan?"
"Ya."
"Nah!
Itu satu bukti kalau Buto Dungkul selalu mentaati perjanjiannya."
Agak sedikit tenang hati Ki
Rangkuti. Namun belum seluruhnya begitu. Bagaimanapun juga, dia masih
memikirkan keselamatan nyawa Sekar Telasih. Gadis itu belum tahu seluk-beluk
orang-orang rimba persilatan. Meskipun sudah mendapat gemblengan dalam berbagai
ilmu olah kanuragan, tapi tingkatannya jelas masih kalah jauh bila dibandingkan
dengan Buto Dungkul dan si Ular
Betina.
***
8
Tiga purnama hampir menjelang. Sementara itu di Lembah
Bangkai, Pendekar Rajawali Sakti tengah menguji ilmu yang baru dipelajari dari
kitab yang diberikan burung rajawali raksasa. Dia puas melihat hasil dari ilmu
'Pedang Pemecah Sukma'. Dengan pedang rajawali sakti, dia dapat menghancurkan
batu karang sebesar gunung sekalipun hanya dengan menggoreskan ujungnya saja.
Kehebatan pedang itu adalah mampu membabat benda tanpa
memperlihatkan bekas sabetan. Tapi di dalam benda itu hancur. Rangga sudah
mencobanya pada sebatang pohon besar. Dari luar pohon itu nampak habis ditebas,
tapi tidak berapa lama kemudian daun-daunnya berguguran semua, dan seluruh
batangnya menjadi kering seperti habis terbakar saja.
Kini Pendekar Rajawali Sakti itu tengah memusatkan seluruh
konsentrasinya pada ilmu 'Cakra Buana Sukma'. Kedua bola matanya lurus menatap
pohon ara yang besar dan tinggi. Perlu tiga orang dewasa untuk bisa melingkari
batang pohon itu dengan tangan saling bertaut Tangan kanannya menggenggam
pedang sampai ke ujung. Kemudian kembali lagi, dan berhenti tepat di
tengahtengah.
'"Cakra
Buana Sukma'....'" teriak Rangga keras.
Seketika itu juga dari seluruh batang pedang yang
memancarkan sinar biru berkilau, sinar itu berkumpul jadi satu. Secepat kilat
sinar itu menggumpal menerjang lurus ke depan. Seleret sinar biru memanjang
membentur pohon ara yang tinggi besar itu. Seluruh pohon itu diliputi sinar
biru dari pangkal akar sampai ke puncaknya.
"Yeaaah!"
Rangga berteriak nyaring melengking.
Suara ledakan dahsyat terdengar, bersamaan dengan hancurnya
pohon itu. Dan sinar biru yang menggumpal berieret panjang pun lenyap. Kini
Pedang Rajawali Sakti kembali seperti biasa, memancarkan cahaya biru berkilau.
"Kraaargh!" burung rajawali raksasa
mengibas-ngibaskan sayapnya sambil melonjak-lonjak.
Rangga menoleh sambil tersenyum.
Kepala burung itu terangguk-angguk dengan bola mata bulat berbinar-binar.
Rangga memasukkan pedang pusaka ke
dalam sarungnya. Dia melangkah dengan bibir tersungging senyuman menghampiri
burung raksasa itu. Tangannya terkembang, dan kepala rajawali itu menyorong ke
depan. Pendekar Rajawali Sakti memeluk kepala burung rajawali itu dengan penuh
kasih sayang.
"Bagaimana penilaianmu?" tanya Rangga setelah
melepaskan pelukannya.
Burung rajawali raksasa itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rangga tersenyum puas karena burung sakti itu telah menyatakan kepuasannya
melihat dua ilmu dahsyat telah dapat dikuasai Rangga dalam waktu kurang dari
tiga purnama.
"Sebaiknya aku segera keluar dari lembah ini,"
kata Rangga.
"Argh!" Rajawali Ku mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Dia merendahkan tubuhnya dengan
menekuk kedua kakinya. Rangga dengan sigap melompat ringan dan hinggap di
punggung rajawali raksasa itu. Sekejap saja burung itu mengepakkan sayapnya.
Melesat terbang tinggi ke angkasa sambil berkaokan. Rangga memandang ke bawah,
yang terlihat dibawahnya permukaan bumi yang
hijau dan berbukit bukit
"Agak rendah
sedikit, Rajawali'" teriak Rangga.
"Argh!"
Rajawali raksasa itu merendahkan terbangnya. Kini Rangga
dapat melihat ke bawah lebih jelas lagi. Sinar matahari sore seperti berada
tepat di punggungnya. Hangat dan indah dipandang mata. Rangga mengernyitkan
alisnya saat melihat Desa Jatiwangi berada tepat di bawahnya. Tampak desa itu
kelihatannya sepi seperti tidak berpenduduk saja.
'Turun di tepi hutan itu, Rajawali!" tenak Rangga
sambil menunjuk Hutan Gading.
"Argh!"
Rajawali raksasa menukik menuju ke Hutan Gading yang
ditunjuk Rangga. Ringan sekali tubuh Pendekar Rajawali Raksasa itu melompat
turun dari punggung burung raksasa setelah mendarat di tepian Hutan Gading yang
sepi. Rangga sebentar mengamati sekitarnya.
'Terima kasih.
Kau boleh kembali," kata Rangga.
"Argh!"
Rangga menepuk-nepuk kepala Rajawali yang merunduk ke depan.
Kemudian burung raksasa itu kembali melesat ke angkasa memperdengarkan suaranya
yang serak melengking tinggi. Rangga mengamati kepergian burung raksasa itu
sampai hilang di balik awan. Kembali dia mengamati ke sekelilingnya. Matanya
langsung menatap ke arah Desa Jatiwangi yang kelihatan jelas dari tempat tinggi
seperti ini.
"Aku
harus ke desa itu. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di sana," gumam
Rangga.
Namun baru saja hendak melangkah, mendadak telinganya yang
tajam mendengar langkah kaki orang. Langkah kaki yang masih terdengar jauh.
Rangga celingukan sebentar, kemudian tubuhnya melesat ringan. Dalam sekejap
saja sudah nangkring di atas pohon. Matanya langsung menatap lurus ke arah
suara langkah kaki yang semakin dekat terdengar.
Tampak seorang berjalan ke arahnya. Pakaiannya serba putih.
Dan tidak ada satu senjata pun tampak di tubuhnya. Dia berjalan pelan
satu-satu, namun jelas kalau orang itu menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun begitu, telinga Rangga yang sudah terlatih baik, masih juga dapat
mendengar suara langkahnya yang ringan hampir tidak menapak tanah.
"Bayangan Malaikat..," gumam Rangga begitu
mengenali orang yang berjalan ke arahnya.
Memang benar, orang itu adalah
Bayangan Malaikat. Dia berjalan sendirian menuju ke tepi Hutan Gading.
Rangga memperhatikan terus setiap
gerak langkah Bayangan Malaikat dari atas pohon.
"Mau apa dia ke Hutan Gading?" pikir Rangga dalam
hati.
Bayangan Malaikat berjalan melewati pohon yang di atasnya
bertengger Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa sadar kalau dirinya diamati sejak
tadi, Bayangan Malaikat terus berlalu menembus Hutan Gading.
Rangga yang
tadi penasaran, ingin tahu maksud Bayangan Malaikat ke hutan yang sangat
ditakuti seluruh penduduk desa di sekitarnya. Dia melompat ringan dari satu
pohon ke pohon lainnya. Tidak sedikit pun suara yang ditimbulkan. Gerakan
Pendekar Rajawali Sakti sungguh ringan bagai kapas.
Pendekar Rajawali Sakti mengerutkan keningnya. Bayangan
Malaikat berlompatan menyelinap dari balik pohon satu ke pohon lainnya.
Sepertinya dia takut terlihat oleh siapa pun. Tentu saja kelakuan Bayangan
Malaikat ini semakin menarik perhatian Rangga. Terus saja dibuntutinya dari
atas pohon. Matanya tajam bagai mata rajawali mengamati setiap gerakan Bayangan
Malaikat
"Berhenti...?" Rangga jadi bertanya tanya saat
melihat Bayangan Malaikat berhenti di tengah hutan.
Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekelilingnya.
Tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar tempat ini. Bayangan Malaikat
juga berdiri di balik sebuah batu besar memandang ke depan. Matanya lurus
menatap sebuah gundukan tanah di bawah pohon rindang.
"Kuburan
siapa itu?" tanya Rangga dalam hati.
Belum juga Rangga bisa menjawab, matanya langsung melihat
pada Bayangan Malaikat. Orang berpakaian serba putih itu melangkah menghampiri
gundukan tanah yang dikelilingi batu-batuan yang bertata rapi. Sebentar dia
berdiri mematung di samping kuburan, lalu berlutut
"Dewa Pedang Emas, sudah tiba saatnya untuk membalas
sakit harimu. Malam nanti di tempat ini Ki Rangkuti akan menyabung nyawa
membela kehormatan keluarganya. Aku juga tidak akan tinggal diam untuk
membalaskan dendam hatimu," bisik Bayangan Malaikat pelan.
"Dewa Pedang Emas...?!" Rangga terkejut
"Siapa yang membunuhnya?" Pendekar Rajawali Sakti segera melayang
turun, dan hinggap di belakang Bayangan Malaikat Tentu saja kedatangan Pendekar
Rajawali Sakti yang tiba-tiba itu membuat Bayangan Malaikat kaget bukan main.
Dia sampai terlompat sejauh dua batang tombak. Bayangan Malaikat menarik napas
panjang begitu mengetahui siapa yang datang.
"Maaf, aku
mengejutkanmu, Paman," ucap Rangga
"Ah, tidak," sahut Bayangan Malaikat seraya
melangkah mendekat
"Apakah ini makam Dewa Pedang Emas?" tanya Rangga
menatap kuburan di depannya.
"Benar,"
sahut Bayangan Malaikat
"Bagaimana kejadiannya? Kenapa sampai dikuburkan di
Hutan Gading ini?"
"Dia bertarung dengan manusia liar Buto Dungkul tiga
purnama yang lalu," Bayangan Malaikat menceritakan.
Rangga Mendengarkan cerita Bayangan Malaikat dengan penuh
perhatian. Tidak sedikitpun memotong cerita itu sampai selesai. Diceritakan
pula kalau tengah malam nanti akan terjadi pertarungan antara Ki Rang-kuti
melawan Buto Dungkul.
Pendekar Rajawali Sakti kini semakin mengerti duduk
persoalannya. Bukan saja Buto Dungkul yang akan dihadapi Ki Rangkuti nanti,
tapi juga Ular Betina yang telah berhasil membawa lari Sekar Telasih. Rangga
memang belum pernah bertemu dengan Buto Dungkul, tapi mendengar cerita Bayangan
Malaikat, dia sudah bisa memperkirakan seperti apa orang yang bernama Buto
Dungkul itu.
"Hm, jadi Paman ke sini mendahului Ki Rangkuti?"
gumam Rangga seolah bertanya dalam hati.
"Benar. Aku hanya ingin mencegah terjadinya kecurangan.
Mereka orang-orang yang licik dan curang. Aku yakin, Dewa Pedang Emas bisa
tewas karena kecurangan. Rasanya kalau baru menghadapi Buto Dungkul saja, Dewa
Pedang Emas tidak akan sampai tewas. Pasti ada campur tangan Ular Betina!"
suara Bayangan Malaikat terdengar penuh rasa benci dan dendam.
"Di
mana pertarungan itu dilaksanakan?" tanya Rangga. "Di sini!"
***
Pada saat yang sama, di tempat tinggal Buto Dungkul,
Nyi Rongkot menikmati angin sejuk di
depan goa. Sementara di dalam goa yang sangat tersembunyi, Sekar Telasih duduk
beralaskan daun-daun kering. Agak jauh di depannya, manusia liar Buto Dungkul
asyik menikmati daging menjangan bakar.
Keadaan Sekar Telasih tidak kekurangan satu apa-apa. Hanya
raut wajahnya saja yang tidak mencerminkan kegembiraan, matanya sayu tanpa
sinar gairah kehidupan. Hatinya terpukul sekali manakala mengetahui dirinya
bukan anak Ki Rangkuti, tapi anak perempuan iblis yang berjuluk Ular Betina.
Dan sekarang nasibnya ditentukan dengan pertarungan antara
ayah angkatnya dengan Buto Dungkul.
Sekar
Telasih bergidik begitu matanya melirik Buto Dungkul yang lebih mirip raksasa
daripada manusia. Haruskah dia mendampingi hidup laki-laki menyeramkan ini?
Hidup terpencil di dalam hutan rimba yang ganas? Sungguh tidak terpikirkan sama
sekali dalam hidupnya. Sekar Telasih membenci Nyi Rongkot yang membawa dirinya
untuk diserahkan pada manusia yang menyeramkan ini. Kalau saja dia mampu, ingin
rasanya membunuh kedua orang itu. Bahkan kalau mungkin melarikan diri.
"Lari...!" sentak Sekar Telasih dalam hati.
"Lari.... Aku harus bisa lari dari tempat ini. Tapi, bagaimana
caranya?"
Sekar Telasih memutar otak, mencari cara untuk bisa
meloloskan diri dari tempat kotor ini. Bibirnya yang selalu merah merekah
menyunggingkan senyum begitu matanya melirik Buto Dungkul. Satu rencana
mendadak mengalir begitu saja dalam benaknya.
"Raksasa ini memang kuat dan sakti, tapi aku yakin dia
bodoh. Tindakannya hanya mengandalkan kekuatan tanpa mampu berpilar,"
gumam Sekar Telasih dalam hati.
Sekar Telasih bangkit berdiri. Mata Buto Dungkul menatapnya
tidak berkedip. Dalam pandangannya, gadis itu bagaikan bidadari baru turun dari
kahyangan. Dada Buto Dungkul berdebar-debar ketika Sekar Telasih tersenyum
manis padanya, lebih-lebih saat gadis itu melangkah menghampiri.
"Kakang...,"
lembut sekali suara Sekar Telasih.
"Kau..., kau memanggilku, cah ayu?" Buto Dungkul
seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
"Iya, memangnya aku bicara dengan siapa?" makin
manis senyum Sekar Telasih.
"He he he...," Buto Dungkul gembira karena Sekar
Telasih bersedia bicara dengannya. Lama sekali ditunggutunggu saat seperti ini.
"Sudah berapa lama aku di sini, ya?" Sekar Telasih
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Hampir tiga purnama Dan besok kau sudah jadi milikku
sepenuhnya," sahut Buto Dungkul gembira.
"Rasanya
lama ya, menunggu sampai besok...?" gumam Sekar Telasih.
"Mak..., maksudmu?" Buto Dungkul jadi tergagap.
Dia menelan ludahnya menahan napsu birahi.
"Yaaah..., kenapa harus menunggu sampai besok? Kenapa
tidak sekarang saja?"
"Apa...?"
"Aku
bersedia jadi istrimu, Kakang."
"Kau..., kau mau ya...," saking nafsunya Buto
Dungkul jadi susah bicara.
"Iya,
sekarang juga aku bersedia jadi istrimu."
Begitu gembiranya Buto Dungkul, sampai dia melompat dan
menubruk Sekar Telasih. Gadis itu menjerit kecil. Dia tidak mampu lagi
melepaskan pelukan manusia liar itu. Sekar Telasih meronta coba melepaskan
diri.
'Tunggu, Kakang. Jangan kasar begini, ah!" rajuk Sekar
Telasih manja.
"He he he..., aku senang kau mau jadi istriku. Aku
gembira!"
"Iya, tapi
jangan begini dong, sakit!"
Buto Dungkul melepaskan pelukannya. Matanya liar menatap
wajah Sekar Telasih yang cantik memerah saga. Rasanya sudah tidak sabar lagi
menunggu sampai besok. Sambil menahan rasa jijik dan takut, Sekar Telasih
berusaha sekuat tenaga untuk tetap tersenyum dan berlaku manis. Dia tidak ingin
rencana yang memenuhi benaknya jadi berantakan.
"Kau ingin merasakan tubuhku, 'kan?" pancing Sekar
Telasih.
"He he
he...," Buto Dungkul terkekeh.
"Jangan!" Sekar Telasih mencegah tangan Buto
Dungkul yang mau menjambret bajunya.
"Kau tadi menawarkan, kenapa sekarang menolak?"
Buto Dungkul tidak sabaran
"Maksudku
jangan di sini."
"Kenapa?"
"Ada ibu," Sekar Telasih menekan suaranya. Hatinya
perih menyebut ibu pada Nyi Rongkot. Sungguh mati dia tidak ingin mengakui
sedikitpun perempuan yang melahirkan dirinya.
"He he
he..., kau malu?"
Sekar Telasih
mengangguk.
"Lalu di
mana?"
"Cari tempat yang aman dan tenang. Aku suka tempat di
pinggir sungai. Kau tahu tempatnya?"
Si manusia liar Buto Dungkul terkekeh kesenangan. Kembali
dia memeluk tubuh ramping gadis itu dan memutar-mutarnya sambil tertawa
gembira. Sekar Telasih memekik-mekik minta diturunkan. Dia ngeri berada dalam
pelukan manusia raksasa ini.
"Ayo kita ke tempat yang kau inginkan!" ajak Buto
Dungkul setelah menurunkan tubuh gadis itu.
Sekar
Telasih tersenyum. Dibiarkannya saja tangannya digenggam manusia raksasa itu.
Mereka kemudian melangkah ke luar goa. Nyi Rongkot mengerutkan keningnya
melihat Sekar Telasih kelihatan berseri-seri berjalan bergandengan tangan
dengan Buto Dungkul. Mereka seperti tidak melihat dirinya yang berdiri menatap
penuh keheranan.
"Buto Dungkul akan ke mana kau?" teriak Nyi
Rongkot
"He he he..., bersenang-senang!" sahut Buto
Dungkul terus saja melangkah.
Sekar Telasih tidak sedikitpun menoleh. Dia terus melangkah
di samping manusia raksasa ini. Langkah kakinya agak cepat dan sedikit berlari
mengimbangi langkah kaki Buto Dungkul yang lebar-lebar. Mereka terus berjalan
menembus kelebatan Hutan Gading. Dalam benak Sekar Telasih terus berputar
mengatur rencana untuk bisa membodohi si manusia liar ini.
Sampai pada jalan yang sulit dan agak menanjak, Sekar
Telasih membiarkan dirinya dipondong. Sama sekali dia tidak memandang wajah
seram yang memondongnya. Gadis itu minta diturunkan ketika sampai pada sebuah
sungai yang jernih dengan aimya yang tenang mengalir. Tidak jauh dari tempat
itu terlihat sebuah air terjun kecil mengalunkan lagu indah memercik.
"Aku mau mandi dulu, biar segar," kata Sekar Telasih
sambil melangkah mendekati tepian sungai.
Buto Dungkul mengikutinya dari belakang. Bibirnya
menyeringai dengan bola mata liar melalap tubuh ramping gadis itu. Sejak keluar
dari goa tadi dia sudah tidak lagi bisa menahan diri. Tapi dia tidak ingin gadis
cantik itu jadi takut dan membencinya lagi. Dia harus bisa menahan diri sampai
Sekar Telasih benar-benar rela menyerahkan diri dan tubuhnya.
"Kau mau mandi, Kakang?" Sekar Telasih
menawarkan.
"He he
he...," Buto Dungkul terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Huh! Pantas badanmu bau, mungkin telah bertahuntahun
tidak pernah kena air," dengus Sekar Telasih dalam hati.
Sekar Telasih berdiri di atas batu yang menjorok ke sungai.
Sebentar dipandanginya arus sungai yang tenang dan tidak terlalu keras.
Kemudian dia menoleh pada Buto Dungkul yang berdiri agak jauh.
"Selamat tinggal, orang jelek!" dengus Sekar
Telasih pelan.
Seketika tubuhnya melayang dan terjun ke dalam sungai. Tubuh
gadis itu terus masuk ke dalam air. Buto Dungkul berlari mengejar. Dia berlutut
di atas batu tempat Sekar Telasih tadi berdiri. Kepalanya menjulur melihat
sungai yang menelan tubuh ramping gadis cantik itu.
Tidak kelihatan sama sekali di mana Sekar Telasih berada. Buto
Dungkul jadi kebingungan, matanya liar mencari-cari Sekar Telasih. Hatinya
mulai diliputi kecemasan karena sama sekali Sekar Telasih tidak munculmuncul.
"Jangan-jangan dia.... Ah! Tidak, tidak mungkin dia
bunuh diri!" Buto Dungkul bergumam sendirian.
Dia berdiri bertolak pinggang memandangi sekitar sungai di
depannya. Dari ujung sampai ke ujung lainnya tidak terlihat adanya Sekar
Telasih. Kecemasan dalam diri Buto Dungkul semakin menjadi-jadi. Dia berlarian
menyusuri tepian sungai. Namun tidak juga menemukan gadis itu.
"Celaka! Nyi Rongkot harus
tahu Bodoh! Kenapa aku membiarkannya mandi di sini? Kenapa tidak di dalam goa
saja? Aku bisa mengambilkan air sebanyak yang diperlukan.
Bodoh!" Buto Dungkul memaki-maki dirinya sendiri.
Bergegas dia berlari kencang menerjang lebatnya hutan,
kembali menuju goa tempat tinggalnya selama ini. Suaranya menggelegar bagai
guntur memanggil-manggil Nyi Rongkot Belum juga mencapai goa, tiba-tiba Nyi
Rongkot sudah muncul di depannya.
"Ada apa? Kelihatannya kau kebingungan," tanya Nyi
Rongkot
"Anakmu...,"
sahut Buto Dungkul.
"Ada apa
dengan Sekar?"
"Dia hilang
di sungai "
Nyi Rongkot langsung melompat cepat begitu
mendengar Sekar Telasih hilang di
sungai. Buto
Dungkul langsung berlari mengikuti. Dalam waktu yang singkat
saja mereka sudah mencapai tepian sungai. Dua pasang mata beredar mencari
kalau-kalau melihat tubuh Sekar Telasih.
"Bagaimana
mungkin bisa terjadi?" tanya Nyi Rongkot.
Buto Dungkul menceritakan semuanya, mulai dari dalam goa
sampai ke tepian sungai ini. Sedikit pun dia tidak merasakan dirinya bersalah,
namun dalam nada suaranya terdengar nada kecemasan. Buto Dungkul cemas
kalaukalau Sekar Telasih tewas terbawa arus sungai. Dia tidak mau gadis itu mati
sebelum sempat dijamah dan dinikmatinya.
"Bodoh!" geram Nyi Rongkot begitu Buto Dungkul
selesai bercerita.
"Lho...!" tentu saja Buto Dungkul terkejut melihat
Nyi Rongkot kelihatan begitu marah sekali.
"Dasar
otak udang! Dia menipumu, goblok!" dengus Nyi Rongkot
"Apa...?!"
"Dia pura-pura baik padamu
supaya bisa keluar dari goa. Rupanya dia tahu kalau kau tidak bisa berenang.
Makanya mengajakmu ke sini. Huh! Aku tidak mau tahu lagi, kau harus mencarinya
sendiri kalau masih menginginkan Sekar
Telasih!" sungut Nyi Rongkot
"Setaaan...!" Buto Dungkul meraung keras dan
menggelegar.
Dia benar-benar marah sekarang karena telah ditipu
mentah-mentah oleh seorang gadis cantik. Buto Dungkul mengamuk membabi-buta
menghajar batubatu, dan pohonpohon di sekitar sungai dengan gadanya.
"Sekar Telasih tidak ketemu kalau ngamuk begitu!"
kata Nyi Rongkot.
"Akan
kubunuh dia, Rongkot! Kubunuh dia...!"
***
Malam semakin larut. Sekitar Hutan Gading telah terselimuti
kabut tebal. Angin bertiup agak keras menyebarkan hawa dingin menusuk tulang.
Sebelum tengah malam tadi, Ki Rangkuti telah berdiri tegak menanti datangnya
Buto Dungkul. Sementara, agak jauh dari tempat itu tampak Bayangan Malaikat dan
Pendekar Rajawali Sakti bersembunyi di balik batu besar. Mata mereka tetap
tertuju pada Ki Rangkuti yang tidak menyadari kalau tengah diawasi oleh
sahabatnya.
Tepat ketika
bulan berada di atas kepala, Buto Dungkul datang bersama Nyi rongkot. Mereka
berdiri sejauh kirakira dua batang tombak di depan Ki Rangkuti. Laki-laki tua
berpakaian serba putih itu mengerutkan keningnya karena dua orang itu tidak
membawa Sekar Telasih
"Mana
anakku?" tanya Ki Rangkuti.
"Anak setan
itu telah kabur!" dengus Nyi rongkot.
"Rongkot!" bentak Ki Rangkuti geram. "Kalau
terjadi apa-apa terhadap Sekar Telasih, aku bersumpah akan membunuhmu!"
"Hik hik hik.... Kau akan mati sebelum membunuhku,
Rangkuti." '
"Setan alas!
Iblis!" geram Ki Rangkuti.
Seketika itu juga Ki Rangkuti melompat bagai kilat seraya
mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Seleret cahaya keperakan melesat
cepat membentuk lingkaran panjang menusuk ke arah Nyi Rongkot. Serangan
mendadak itu dengan cepat dielakkan Ular Betina. Dia hanya memiringkan sedikit
tubuhnya, sehingga tusukan pedang Ki Rangkuti hanya menemui tempat kosong.
Bersamaan dengan itu, Buto Dungkul mengayunkan gadanya bagai
geledek. Ki Rangkuti membuang dirinya dan bergulingan di tanah. Bergegas dia
bangkit berdiri. Gada besar penuh duri menghantam tanah sampai bergetar seperti
terjadi gempa.
"Kau berurusan denganku, Rangkuti!" bentak Buto
Dungkul menggelegar suaranya.
Bersamaan dengan menghilangnya suara bentakan itu, Buto
Dungkul kembali mengayunkan gadanya dengan kekuatan penuh. Ki Rangkuti melompat
ke samping, sambil mengibaskan pedangnya menghantam pergelangan tangan Buto
Dungkul yang menggenggam gada.
Gerakan Buto Dungkul yang lambat tidak mungkin menghindari
sabetan pedang itu. Deras sekali sabetan pedang Ki Rangkuti itu, namun pedang
itu malah terpental lagi seperti membabat karet kenyal. Ki Rangkuti melompat
mundur. Tangannya seketika terasa kaki kesemutan. Benarbenar kebal manusia liar
ini.
"Ha ha ha..., keluarkan semua senjatamu,
Rangkuti!" Buto Dungkul tertawa jumawa.
Ki Rangkuti segera mengeluarkan ilmu 'Pukulan Karang Baja'
setelah membuang pedangnya yang gompal. Ki Rangkuti berteriak nyaring dan
segera mengirimkan serangan dengan ilmunya itu. Tetapi Buto Dungkul malah tetap
berdiri tegak membiarkan tubuhnya jadi sasaran. Dia begitu yakin dengan ilmu
kebal yang dimilikinya.
"Modar!"
bentak Ki Rangkuti menggelegar.
Satu ledakan keras terjadi
begitu kedua tangan Ki Rangkuti membentur dada Buto Dungkul. Tubuh Ki
Rangkuti terpelanting sejauh dua
batang tombak. Sedangkan Buto Dungkul masih berdiri tegak tertawa
terbahak-bahak. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu segera bangkit
berdiri. Matanya membeliak lebar menyaksikan lawan tidak mempan dengan ilmu
'Pukulan Karang Baja' yang sudah disempurnakan selama tiga bulan ini.
"Ambil pedangmu," tiba-tiba telinga Ki Rangkuti
mendengar suara bisikan halus namun jelas.
Ki Rangkuti menoleh ke kanan dan ke lari. Tidak ada yang
terlihat, kecuali Nyi Rongkot yang berdiri agak jauh. Rasanya kalau Ular Betina
yang membisikinya, tidak mungkin Masih dalam kebingungan, datang lagi suara
bisikan halus.
"Jangan
buang waktu. Ambil pedangmu, gunakan ilmu peringan tubuh. Arahkan sasaran pada
mata dan ubunubun."
"Siapa pun orangnya, pasti bermaksud baik," bisik
Ki Rangkuti.
Segera dia melompat dan menyambar pedangnya yang menggeletak
di tanah. Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh, segera dilakukan serangan
disertai jurus-jurus pedang yang cepat ke arah mata dan ubun-ubun Buto Dungkul.
Tampaknya serangan Ki Rangkuti ini membuat Buto
Dungkul menjadi kelabakan. Setengah
mati dia berusaha melindungi daerah mata dan ubun-ubunnya dari serbuan yang
cepat bagai kilat. Memang sulit juga bagi Ki Rangkuti untuk dapat menancapkan
pedangnya ke mata dan ubunubun lawan. Gada besar penuh duri selalu menghalau setiap
kali ujung pedang Ki Rangkuti menuju sasaran.
Sementara itu Nyi Rongkot
rupanya juga mendengar bisikan halus yang diterima Ki Rangkuti. Dia segera
mengerahkan ilmu pemecah suara dan pembeda gerak. Dalam sekejap saja dia telah
bisa mengetahui ada orang lain di sekitar tempat ini. Mendadak tubuhnya
mencelat ke arah batu besar tempat Bayangan Malaikat dan Pendekar
Rajawali Sakti bersembunyi.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti juga melompat
ke arah Nyi Rongkot. Satu benturan keras terjadi di udara. Dua tokoh sakti itu
terlontar dan jatuh ke tanah bergulingan. Mereka segera bangkit berdiri
berhadapan. Melihat Pendekar Rajawali Sakti telah berhadapan dengan lawannya,
Bayangan Malaikat pun melompat keluar.
"Bantu Ki Rangkuti, Paman," kata Rangga agak
keras.
"Pusatkan perhatian pada mata dan ubun-ubun Buto
Dungkul!"
"Setan!
Rupanya kau yang membisiki Rangkuti!" geram Nyi Rongkot
"Dan kau lawanku,
iblis betina!" dengus Rangga.
"Phuih!"
Nyi Rongkot langsung memutar tongkat ular saktinya. Sinar
merah segera bergulung-gulung, lalu dengan cepat dihantamkan ujung tongkatnya
ke tanah. Seketika itu juga tongkat berubah menjadi ular berwarna merah menyala.
"Naga Merah...!" Nyi Rongkot berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, tangannya
menuding ular yang meliuk-liuk di tanah.
Dari ujung
jarinya meluncur sinar merah yang langsung membungkus ular itu. Dalam sekejap
saja ular itu berubah menjadi seekor naga merah. Rupanya Nyi Rongkot langsung
mengeluarkan
Rangga segera mencabut pedang saktinya. Sinar biru berkilau
langsung memancar menerangi sekitarnya. Secepatnya dikerahkan ilmu 'Pedang
Pemecah Sukma'. Sinar biru pedang itu segera bergulung-gulung menjadi satu.
Sementara itu jelmaan ular naga yang sebesar pohon kelapa telah menyerang bagai
kilat.
Rangga menghunus pedangnya sehingga sinar biru berkelebat
cepat menghajar ular naga itu. Tampak ular naga merah seperti diselimuti sinar
biru yang berkilau di seluruh tubuhnya. Naga itu menggeliat-geliat seraya
menyemburkan api dari mulutnya.
"Yeaaah...!" Nyi Rongkot berteriak melengking
dengan tubuh melenting sambil mengirimkan pukulan 'Naga Merah' ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga mengangkat tangan kirinya yang tergulung sinar biru.
Begitu disentakkan tangannya, sinar biru langsung meluncur cepat ke arah Ular
Betina yang berada di udara. Dari kedua telapak tangannya yang memerah juga
meluncur sinar merah. Dua sinar bertemu di udara, dan saling mendorong.
Pelan-pelan tubuh Nyi Rongkot turun dan menjejak tanah kembali. Jarak mereka
tinggal satu tombak lagi.
"'Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga yang merasa
kewalahan juga menghadapi dua makhluk maut ini.
Seketika itu juga Rangga menempelkan telapak tangan kirinya
ke batang pedangnya, lalu digosok-gosokkan dan berhenti di tengah-tengah
pedang. Sinar biru kini semakin banyak menggumpal menyelimuti tubuh ular naga
merah. Sedangkan dari telapak tangan kiri yang menempel pada tengah-tengah
pedang, keluar sinar biru yang makin menggumpal ke arah sinar merah milik Ular
Betina.
***
Agak lama juga kedua tokoh sakti itu mengadu kekuatan. Namun
sedikit demi sedikit sinar merah mulai terdesak. Seluruh tubuh dan wajah Ular
Betina telah basah oleh keringat. Tangan dan kakinya mulai bergetar menahan
ilmu 'Cakra Buana Sukma'.
Pelan-pelan Rangga mulai merenggangkan telapak kiri dengan
pedangnya. Kemudian ujung pedang yang terus mengeluarkan sinar biru, mengarah
pada naga merah yang menggeliat-geliat dan terus menyemburkan api dari
mulutnya.
'Yeah!"
tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.
Seketika dikebutkan pedangnya ke atas. Ular naga merah
sebesar pohon kelapa itu terangkat, melayang deras mengikuti tarikan pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat Rangga mengerahkan ilmu 'Pedang Pemecah
Sukma'. Pedang pusaka itu dikebutkan, dan....
Cras!
"Aaaargh...!"
Ular naga merah meraung menggelegar. Dengan keras tubuhnya
terbanting ke tanah. Sebentar menggelepargelepar, lalu diam tidak bergerak
lagi. Perlahan-lahan ular naga merah itu berubah wujud kembali ke asalnya. Kini
yang menggeletak di tanah hanya sebatang tongkat berbentuk ular.
Rangga langsung menempelkan
kembali pedangnya ke telapak tangan kiri. Kakinya mulai terayun melangkah
mendekati Nyi Rongkot. Si Ular Betina yang mulai kejangkejang, kini tersentuh
sinar biru pada telapak tangannya.
Perlahan-lahan sinar biru
menyelimuti seluruh tangan. Kaki Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah
semakin dekat
"Aaakh...!" Nyi Rongkot menjerit keras ketika
seluruh tubuhnya terselimuti sinar biru.
Tepat ketika
tinggal selangkah lagi, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti mengelebatkan
pedangnya. Tanpa ampun lagi pedang pusaka Rajawali Sakti itu menghantam dada
Ular Betina. Rangga langsung melompat ke belakang. Dia mencabut kembali ilmu
'Cakra Buana Sukma' yang dipadukan dengan ilmu
'Pedang Pemecah Sukma'. Begitu pedang Rajawali Sakti masuk
dalam sarungnya, sinar biru langsung hilang dari pandangan.
Tubuh Ular Betina menggeletak di tanah dekat tongkatnya yang
telah menjadi tepung. Rangga berdiri memperhatikan tubuh Nyi Rongkot yang mulai
lumer. Perlahan tapi pasti, tubuh perempauan tua itu menjadi onggokan abu
hitam. Pendekar Rajawali Sakti menarik napas panjng. Matanya langsung beralih
pada Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat yang tengah berhadapan dengan si manusia
liar Buto Dungkul. Tampaknya pertarungan masih berjalan seimbang.
Secepat kilat dia melompat sambil merentangkan kedua
tangannya. Pendekar Rajawali Sakti kini mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Sedangkan Ki Rangkuti dan Bayangan Malaikat langsung melompat
mundur. Rangga segera menyerang dengan jurus andalannya dengan cepat ke arah
Buto Dungkul.
"Grrr...!"
Buto Dungkul menggeram berat.
Dadanya yang penuh duri tajam berkelebatan mengincar tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Namun gerakan pendekar muda ini sangat lincah. Tidak
sedikitpun gada itu dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan beberapa kali tangan
Rangga berhasil bersarang telak di tubuh manusia liar itu.
Buto Dungkul beberapa kali terjajar sambil mengeram marah.
Kedau bola matanya makin merah menyala. Tibatiba Rangga melenting tinggi ke
udara, lalu dalam sekejap merubah jurusnya menjadi 'Rajawab Menukik Menyambar
Mangsa'. Kedua kaki Rangga bergerak cepat dan berputar.
"Aaargh!"
Buto Dungkul meraung keras.
Dua kali kaki Rangga menghantam kepalaa si manusia liar itu.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan kanannya melunak ke depan sambil
melompat. Rangga kembali merubah jurusnya jadi 'Cakar Rajawali'. Jari-jari
tangannya menegang keras dan kaku. Buto Dungkul yang masih merasakan sakit pada
kepalanya, tidak bisa lagi mengelak. Dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti
langsung mencoblos matanya.
Lagi-lagi Buto Dungkul meraung keras. Dua biji mata mencelat
keluar bersamaan dengan ditariknya kembali jarijari Pendekar Rajawali Sakti.
Kaki Rangga langsung melayang deras menghantam dada Buto Dungkul. Tubuh Rangga
melambung tinggi ke udara. Kembali diubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Tangan kanan Rangga terkepal melunak ke arah ubun-ubun kepala si
manusia liar Buto Dungkul.
Prak!
Buto Dungkul meraung keras. Tubuhnya limbung beberapa saat
Batok kepalanya hancur. Keras sekali tubuh si manusia raksasa itu terbanting ke
tanah. Sebentar berkelejotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Rangga berdiri mematung memandangi tubuh Buto Dungkul yang
menggeletak tak bernyawa lagi. Dia menoleh begitu mendengar langkah-langkah
kaki menghampiri Rangga membalikkan tubuhnya. Kedua orang itu berdiri dengan
jarak sekitar setengah batang tombak lagi.
"Terima kasih, kau te...," belum habis Ki Rangkuti
menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara panggilan keras.
"Ayah...!"
Hampir bersamaan mereka menoleh. Tampak seorang gadis
berlari-lari dengan pakaian tidak karuan.
"Sekar
Telasih...!" seru Ki Rangkuti.
Laki laki tua yang tegap itu langsung berlari menyongsong
anak angkatnya. Mereka bertemu dan berpelukan hangat Bayangan Malaikat
menyaksikannya dengan mata berkaca-kaca. Mereka sampai lupa pada Pendekar
Rajawali Sakti. Ketika sadar, tidak lagi mereka dapati pendekar muda digdaya di
tempatnya.
"Ke mana
dia?" tanya Ki Rangkuti.
Bayangan Malaikat juga kebingungan, tidak tahu harus
menjawab apa. Dia sendiri sampai tidak memperhatikan dan tidak mengetahui kapan
Pendekar Rajawali Sakti itu pergi.
"Siapa,
Ayah?" tanya Sekar Telasih.
"Pendekar
Rajawali Sakti," sahut Ki Rangkuti.
"Aku yakin dia tidak memerlukan ucapan apa-apa. Hm,
benar-benar seorang pendekar sejati," kata Bayangan Malaikat agak
bergumam.
"Apakah dia yang membunuh kedua orang itu?" tanya
Sekar Telasih.
"Ya, nanti
Ayah ceritakan."
Tanpa banyak
bicara lagi, mereka kemudian melangkah pergi meninggalkan Hutan Gading ini.
Dalam perjalanannya Sekar Telasih menceritakan bagaimana ia bisa meloloskan
diri. Dia tidak tahu jalan pulang, lalu mendengar suara pertarungan serta
melihat kilatan kilatan sinar saling sambar. Sayang sekali, kedatangannya
setelah pertarungan selesai, jadi tidak bisa menyaksikan.
"Ayah mau menceritakan semuanya,
'kan?" desak Sekar
Telasih.
"Tentu, lapi
tidak di sini."
"Janji?"
"Janji!"
Sekar Telasih tersenyum manis. Kakinya terayun ringan bagai
tidak memiliki beban apa-apa lagi. Dia seperti baru terbebas dari sebuah
belenggu yang hampir menghancurkan seluruh hidupnya. Sedangkan Ki Rangkuti
masih memikirkan Pendekar Rajawali Sakti yang datang dan pergi secara
misterius. Namun hatinya dengan tulus mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya.
SELESAI
"Hik hik hik... lama kita tidak berjumpa, Ki. Aku
datang mau mengambil anakku!"
"Sekar
Telasih bukan anakmu!"
Nyi Rongkot menggerang marah. Sembilan belas tahun dia
mencari anaknya, bagaimanapun kini dia harus merebut kembali anaknya. Dia sudah
terlanjur berjanji pada si Manusia Liar. Janji apakah itu?
Apakah Ki Rangkuti, sebagai
ketua padepokan Jatiwangi dan orang tua Sekar Telasih, harus mengalah begitu
saja? Bagaimana tindakan Rangga setelah mengetahui duduk persoalannya? Mampukah
dia menandingi ilmu Naga
Merah yang
sangat sakti...?
ooo0dw0ooo-
No comments:
Post a Comment