KITAB TAPAK GENI
oleh Teguh S.
1
Musim menuai hampir tiba. Sawah menguning terhampar sedap dipandang mata. Anak-anak bertelanjang dada berlarian sambil menjeritjerit mengusir burung-burung pengganggu padi mereka. Kegembiraan yang seharusnya datang manakala musim menuai padi hampir tiba. Seharusnya dunia yang ceria tergambar jelas saat itu. Tapi hanya manusia-manusia serakah dan tamak saja yang membuat dunia ini jadi murung bersimbah darah dan air mata.
Keceriaan anak-anak itu tidak dapat dirasakan oleh orang tua
mereka. Para petani yang lelah sehabis mengolah sawah ladang, hanya bisa duduk
lesu di dangau. Wajah mereka murung dengan tatapan sayu, memandangi sawah yang
terhampar luas. Suasana yang amat kontras ini tidak luput dari perhatian
seorang pemuda yang sejak tadi duduk di atas batu.
Pemuda itu berpakaian rompi dengan pedang tersampir di
punggung. Matanya memandang ke arah anak-anak yang ceria, lalu beralih ke arah
petani yang duduk di dangau-dangau dengan wajah lesu tanpa gairah. Beberapa di
antaranya duduk berkelompok membicarakan sesuatu. Pemuda yang masih duduk di
batu besar itu, ternyata adalah Rangga. Rambutnya yang panjang seperti
berkibar-kibar dipermainkan angin. Perhatiannya terus ke arah dangau-dangau,
sementara air sungai yang mengalir di bawahnya terus saja beriak seperti tak
peduli dengan suasana sekitarnya.
"Seharusnya mereka gembira karena sebentar lagi akan
memetik hasil jerih payah mereka. Tapi, mengapa mereka seperti tidak gembira?"
Rangga bergumam lirih.
Mata Pendekar Rajawali Sakti kini beralih memandangj
wanita-wanita yang tengah mencuci di sungai, tidak jauh dari tempatnya. Wajah
mereka juga tidak menggambarkan kegembiraan sama sekali. Tidak ada canda tawa
sebagaimana layaknya. Bibir Rangga tersenyum ketika mendengar dua gadis
berceloteh sambil melirik ke arahnya.
"Ratih,
tampan juga ya?"
"Siapa?" tanya wanita muda berambut panjang yang
ternyata bernama Ratih.
"Itu tuh, yang duduk di batu."
Ratih menoleh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat
yang sama, Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti tengah menatap ke arahnya.
Sesaat mata mereka bertemu. Cepat-cepat Ratih memalingkan wajahnya.
"Lho, kok wajahmu jadi merah?"
"Sudah, ah. Tidak usah bicara itu
lagi, Komala."
"Naksir ya?" desak Komala menggoda.
Ratih hanya tersenyum tersipu. Dari sudut matanya, dilirik
Rangga yang masih tetap memandangnya. Mendadak seluruh darahnya seperti
membeku. Jantungnya berdebar lebih keras dari semula.
"Ah, dia memang tampan seperti seorang pangeran.
Tapi..., apa iya sih, seorang pangeran mau pakai baju seperti itu?" Ratih
berbisik dalam hati. Beberapa kali tatapannya tertuju pada Rangga lewat sudut
ekor matanya.
Tanpa disadari, rupanya Komala memperhatikan sejak tadi. Dia
hanya tersenyum melihat Ratih yang salah tingkah. Ratih memang gadis paling
cantik di antara gadis-gadis lain di Desa Ganggang ini. Apalagi dia anak
seorang kepala desa. Jelasnya, Ratih bagaikan sekuntum bunga mekar di antara
bunga-bunga yang telah layu.
"Pulang, yuk. Lihatlah, matahari
telah tinggi," ajak Ratih.
Komala mengangkat bahunya. Kemudian dijinjing keranjang
cuciannya, dan beranjak mengikuti Ratih. Matanya sempat melirik ke arah Rangga
duduk. Namun hatinya mendadak terkesiap ketika matanya tidak lagi melihat
Rangga di sana. Komala segera bergegas menyusul Ratih yang sudah berada di tepi
sungai.
"Ratih..., Ratih,
tunggu!" panggil Komala.
"Ada apa, sih?" tanya Ratih seraya berhenti
melangkah.
"Dia tidak
ada lagi."
"Siapa?" Ratih pura-pura. Tapi matanya segera
menatap ke arah tempat duduk Rangga tadi.
"Ah!"
Dua gadis itu jadi mclongo karena Rangga seperti lenyap
ditelan sungai. Mata Ratih beredar berkeliling, tapi tidak ada tanda-tanda sama
sekali kalau Rangga bersembunyi. Setelah yakin tidak ada, segera dia berbalik
dan melangkah pergi. Komala mengikutinya dari belakang dengan langkah
dipercepat.
Langkah mereka telah sampai di sebuah jalan desa yang menuju
ke rumah. Mereka benar-benar mempercepat langkahnya bagai habis melihat setan
saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Semuanya bisu. Tapi
tiba-tiba saja langkah mereka berhenti ketika mencapai tikungan jalan. Di sana,
Rangga tengah berdiri membelakangi.
"Ratih...," Komala mengkeret ketakutan berlindung
di belakang Ratih.
Ratih memandang
punggung Rangga
yang berdiri membelakanginya.
Pelanpelan pemuda ini berbalik. Rangga kelihatannya sedikit terkejut ketika
melihat ada dua gadis berdiri di belakangnya.
"Oh, maaf. Apakah aku menghalangi jalan kalian?"
lembut dan sopan suara Rangga terdengar.
"Kalau
merasa, silakan minggir,"
agak ketus suara Ratih menyahut.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekat dan
berhenti sekitar tiga langkah di depan Ratih. Dalam hati, dikagumi juga
kecantikan gadis ini Ratih sedikit risih dipandangi seperti itu. Dibenahi
kainnya yang menutupi bagian bahu dan dadanya. Namun kain itu tidak bisa
menyembunyikan kulit putihnya di bagian leher dan wajahnya.
"Aku baru datang ke desa ini. Kalau adik-adik tidak
keberatan, boleh minta tolong?" masih terdengar lembut suara Rangga.
Ratih menoleh ke
arah Komala.
"Apa nama
desa ini?" tanya
Rangga.
"Desa Ganggang," sahut Komala yang berangsur-angsur
hilang rasa takutnya setelah mendengar suara Rangga yang lembut dan sopan.
"Maaf, kami
harus segera pulang,"
celetuk Ratih.
Buru-buru ditarik tangan Komala, dan melangkah pergi. Rangga
tidak mencegah, hanya dipandangi saja dua gadis itu yang telah berlalu. Matanya
menatap lekat pada punggung Ratih yang sedikit terbuka.
"Hm...," Rangga menggumam tidak
jelas.
Senja baru saja merayap turun ketika sepuluh ekor kuda
berderap kencang membelah jalan yang berdebu. Kuda paling depan ditunggangi
oleh seorang laki-laki dengan wajah penuh berewok dengan luka gores memanjang
di pipi kanan. Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah. Di belakangnya,
sembilan penunggang kuda berpakaian seragam mengikutinya.
Beberapa penduduk yang berada di jalan segera menepi seraya
membungkuk ketika kuda-kuda itu lewat di depannya. Mereka terus berpacu cepat
meninggalkan debu-debu yang berterbangan di belakangnya. Jelas kalau mereka
tengah menuju ke rumah Kepala Desa Ganggang. Rumah itu berada di tengah-tengah
desa, dan yang terbesar di antara rumah-rumah lainnya.
Laki-laki codet berewokan yang berada paling depan, segera
melompat turun dari kudanya ketika tiba di depan rumah Kepala Desa Ganggang.
Lompatannya cukup indah dan ringan, menandakan ilmu peringan tubuhnya cukup
tinggi.
"Ki Jagabaya...!" laki-laki
codet
itu berteriak menggelegar.
Bergegas seorang tua berambut dan berkumis putih keluar dari
rumah besar itu bersamaan dengan turunnya kesembilan orang dari kuda
masingmasing. Orang tua itu terbungkukbungkuk menghampiri para penunggang kuda
yang telah berdiri angkuh bertolak pinggang.
"Oh, Tuan Parang Kati. Hamba tidak mengira tuan akan
datang begini cepat," parau suara laki-laki tua yang ternyata bernama Ki
Jagabaya. Dialah Kepala Desa Ganggang.
Laki-laki codet berewokan yang tinggi lagi angker itu hanya
mendengus saja. Langkahnya berat mendekari Ki Jagabaya. Matanya lantas melirik
ke sekitarnya. Segera saja beberapa penduduk menutup pintu dan jendela rumah
mereka. Dalam sekejap saja keadaan desa menjadi sepi lengang.
"Baginda Prabu Salya memerintahkan agar desa ini segera
membayar upeti sekarang juga!" bentak laki-laki codet berewokan yang
bernama Parang Kati ini.
"Ah...," Ki Jagabaya ternganga mendengarnya.
"Mana mungkin, Tuan.
Mereka belum lagi panen,
sedangkan...."
"Aku tidak peduli! Baginda Prabu Salya menghendaki
sekarang juga kau mengumpulkan upeti!" Parang Kati memotong cepat dengan
suaranya yang berat menggelegar.
"Tapi...."
"Mau coba-coba membangkang
heh?!"
bentak Parang Kati. "Hih!"
Tanpa memandang siapa yang dihadapinya, Parang Kati
melayangkan tangannya.
Plak!
Ki Jagabaya memekik tertahan. Tubuh tua yang kurus renta itu
sempoyongan, langsung ambruk dengan darah menetes dari sudut bibirnya.
Baru saja Ki Jagabaya akan bangkit, Parang Kati telah
menendangnya. Kembali tubuh tua renta itu terjungkal terguling-guling sejauh
dua batang tombak. Betapa kerasnya tendangan Parang Kati, membuat Ki Jagabaya
menjadi sesak napas. Matanya berkunang-kunang dengan kepala pening seperti
berputar.
"Ayah...!" tiba-tiba terdengar
suara jeritan keras.
Ratih berlari kencang menghambur ke arah ayahnya yang
menggeletak di tanah. Darah semakin deras mengucur dari sudut bibirnya. Gadis
itu segera membantu ayahnya duduk. Dengan ujung baju, disekanya darah dari
mulut ayahnya.
"Kejam!" Ratih mendengus geram. Matanya tajam
menatap Parang Kati.
Melihat ada gadis cantik di depannya, Parang Kati tertegun
dengan jakun turun naik. Lidahnya menjulur menjilati bibirnya sendiri yang
tebal.
"He he he..., ternyata si tua bangka menyimpan mutiara
yang mempesona," Parang Kati terkekeh seraya menelan ludahnya.
"Huh! Perampok! Kenapa tidak kau bunuh saja kami
sekalian?" geram Ratih. Matanya semakin lebar membelalak tajam.
"Ah, rupanya kelinci cantik ini bisa galak juga,"
goda Parang Kati sambil terus terkekeh.
Sembilan orang yang berdiri di
belakang Parang Kati pun ikut
tertawatawa melihat pemandangan yang justru tidak lucu itu. Mata mereka
jelalatan penuh nafsu memandangi wajah cantik Ratih yang memasang wajah garang.
Di mata mereka semua, wajah garang Ratih malah semakin cantik menggairahkan.
Ditertawakan semacam itu, Ratih semakin mengkelap marah.
"Ratih, jangan...," cegah Ki Jagabaya ketika
putrinya bangkit.
"Huh! Mereka harus diberi pelajaran, Ayah!" dengus
Ratih tidak dapat mengendalikan amarahnya.
"Ratih...!"
Gadis itu tidak lagi mempedulikan panggilan ayahnya. Dia
telah melangkah mendekati Parang Kati. Tangannya meraih bagian bawah kain dan
disingsingkannya. Parang Kati dan kesembilan orang lainnya sempat menahan napas
ketika betis putih indah tersingkap. Dan betapa terbelalaknya mata mereka
ketika melihat celana pangsi hitam melekat membungkus kaki yang indah itu.
Ratih membelitkan kainnya di pinggang. Selanjutnya tangannya
bergerak ke atas menggulung rambutnya yang panjang. Pandangannya tajam kepada
Parang Kati yang telah menganiaya ayahnya. Darah gadis cantik ini mendidih
bergolak, sehingga tidak peduli lagi siapa yang dihadapinya. Padahal mereka
adalah para punggawa Kerajaan Parakan.
Sret, cring!
Tiba-tiba saja Ratih mengeluarkan dua bilah pisau belati
dari balik lipatan bajunya. Dua berkas sinar keperakan memantul dari mata
belati yang terjilat cahaya matahari senja. Parang Kati terlonjak mundur dua
langkah. Bukannya takut, tapi kaget juga melihat gadis cantik di depannya telah
siap mengancam dengan dua bilah belati.
"Ratih, jangan. Hentikan, Nak," Ki Jagabaya
tertatih-tatih mencoba menenangkan luapan emosi putrinya.
"Tidak, Ayah. Mereka bukan lagi manusia, tapi binatang!
Mereka tidak pantas lagi hidup di dunia!" sahut Ratih tanpa menoleh.
Ki Jagabaya tahu benar akan sifat anaknya yang keras hati
itu. Dia tidak mungkin lagi menghalanginya. Laki-laki tua renta itu hanya bisa
berdiri diliputi perasaan cemas. Rasa cemas itu beralasan karena Parang Kati
adalah orang kepercayaan Baginda Prabu Salya. Tentunya tingkat kepandaiannya
perlu diperhitungkan pula.
Meskipun Ratih hanya seorang gadis desa, tapi sejak berusia
lima tahun telah dididik berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian oleh
pamannya. Memang kebetulan sekali, pamannya adalah guru besar padepokan di
Gunung Lawu.
"Tinggalkan desa ini, atau kalian semua mati seperti
binatang!" ancam Ratih tidak main-main.
"He he he...," Parang Kati hanya terkekeh.
Sikapnya menganggap enteng gadis cantik ini
"Phuih!" Ratih
menyemburkan ludahnya penuh
kebencian.
Semburan ludah yang disertai pengerahan tenaga dalam,
meluncur deras menghantam wajah Parang Kati.
Sangat keras dan pedas,
sampai-sampai Parang Kati terdongak. Seketika wajahnya memerah menahan geram.
"Setan! Kurobek mulutmu!" geram Parang Kati.
Dengan ujung baju, diseka ludah yang mampir di wajahnya.
Dengan suatu dengusan berang, ditarik ikat pinggangnya yang ternyata sebuah
pecut.
Seluruh batang pecut sepanjang satu depa itu, dipenuhi
duri-duri halus yang tajam. Pada ujungnya, terdapat rambut-rambut halus yang
terkuncir bagai buntut kuda.
Ctar!
***
Kehebatan cambuk saat menggeletar membelah udara, dapat
dirasakan Ratih. Suaranya bagai guntur di siang bolong, tapi menimbulkan hawa
dingin menusuk tulang. Gadis itu segera menggerakkan kedua tangannya menyilang
di depan dada. Seketika dikerahkannya hawa murni untuk melawan hawa dingin yang
kian menusuk.
"Hhh, hanya
mainan domba kau
pamerkan di sini," ejek Ratih
memanasi
"Wewe Gombel!
Rasakan cambuk
saktiku!" dengus Parang Kati
sengit.
Sehabis berkata demikian, Parang Kati berteriak nyaring sambil mengebutkan cambuk saktinya. Suara
yang menggelegar dan memekakkan telinga menggema beberapa kali. Ujung pecut
yang mirip ekor kuda seketika menegang kaku.
Parang Kati sangat lihai memainkan cambuk itu. Seperti
memiliki mata saja, ujung cambuk itu bergerak mengjncar bagian-bagian tubuh
yang mematikan. Persis ular yang tengah mengincar mangsanya. Namun sampai lewat
tiga jurus, belum seujung rambut pun cambuk itu menyentuh kulit gadis itu. Hal
ini membuat Parang Kati gusar.
"Setan! Jangan menyesal kalau wajahmu yang cantik
kurusak!" geram Parang Kati.
"Lakukanlah jika kau mampu, kebo
dungu!" balas Ratih mengejek.
Makin panas telinga Parang Kati. Segera dikeluarkannya jurus
'Cambuk Maut', suatu jurus yang cukup berbahaya. Dari ujung cambuk bersemburan
bunga-bunga api yang meletup-letup menyambar-nyambar ke arah Ratih.
Tapi kelihatannya gadis itu tenang saja menghindari setiap
serangan yang mengincar nyawanya. Dua bilah pisau belati di tangannya
berkelebatan mengacaukan setiap arah ujung cambuk lawan. Dan pada satu
kesempatan, Ratih sengaja membiarkan ujung cambuk itu menyabet ke arah dadanya.
Trak!
Tanpa terduga ujung cambuk yang hampir menyabet dada,
terjepit oleh dua bilah belatinya. Rupanya dengan cepat Ratih telah lebih dulu
mengatupkan kedua belatinya. Parang Kati belingsatan mencoba menarik senjata
andalan yang terjepit pada ujungnya itu. Bahkan kini jepitan itu semakin kuat
dan rapat.
"Uh!" Parang Kati mengemposkan tenaga dalamnya
sambil menarik cambuk andalannya.
Ratih yang tengah mengerahkan jurus 'Capit Baja' tidak
memberi kesempatan lagi bagi lawannya untuk melepaskan senjata dari jepitan dua
belati.
"Ya...!"
Tiba-tiba saja gadis itu menjerit keras seraya melayangkan
tubuhnya cepat, dengan kaki lurus ke depan. Begitu cepat gerakan Ratih, membuat
Parang Kati terkesiap. Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, karena jarak mereka
memang hanya satu depa saja.
Parang Kati terpaksa melepaskan pegangan tangan kanannya
pada cambuk, lalu dengan cepat menangkis kaki Ratih yang melayang mengincar
kepala. Tapi rupanya, tendangan menggeledek tadi hanya tipuan saja. Saat tangan
kanan Parang Kati terangkat, mendadak Ratih menyentak ujung cambuk yang masih
terjepit belatinya itu.
"Akh!" Parang Kati memekik tertahan.
Tangan kiri yang telah berfungsi memegang cambuknya,
tersentak bagai ditarik seribu ekor gajah. Tubuh Parang Kati limbung seketika
ke depan. Kesempatan ini digunakan Ratih dengan cepat. Dilepaskan jepitan dua
belatinya, lalu tangan kanannya bergerak cepat bagai kilat. "Ikh!"
Cras!
Parang Kati tersentak kaget Dia sudah berusaha menjatuhkan
din, namun ujung belati Ratih telah lebih cepat merobek bahu kanannya. Darah
pun mengalir dari luka yang cukup panjang. Parang Kati yang masih
bergulinggulingan di tanah, segera mencelat kembali berdiri dengan kokoh.
"Setan!" dengus Parang Kati geram.
Baru kali ini Parang Kati dicundangi seorang gadis muda yang
cantik lagi menggiurkan. Wajah lakilaki bercodet itu merah padam. Matanya
membelalak lebar, merah menyala bagai hendak melahap tubuh Ratih yang berdiri
penuh senyum ejekan.
"Serang! Cincang gadis edan
itu!"
perintah Parang Kati.
Seketika itu juga sembilan orang yang sejak tadi menonton
saja, bergerak mengepung Ratih. Di tangan mereka masing-masing telah tergenggam
sebilah pedang panjang berkilatan. Sementara itu Parang Kati membebat lukanya
dengan sobekan bajunya sendiri. Mulutnya masih mendesis-desis menahan marah.
Sungguh tak disangkanya kalau gadis yang dianggap remeh, ternyata mampu membuat
malu di depan anak buahnya sendiri.
Trang, trang,
trang!
Para prajurit Kerajaan Parakan telah mulai menyerang Ratih.
Peluh mulai membasahi wajah cantik yang kemerahan. Dia memang harus menguras
tenaga menghadapi sembilan prajurit pilihan itu. Ilmu pedang mereka memang
boleh juga. Ilmu silat mereka pun rata-rata lumayan. Tidak heran kalau Ratih
agak kewalahan juga menghadapinya.
Beberapa kali pedang para prajurit itu hampir merobek
tubuhnya. Namun gadis jebolan Padepokan Gunung Lawu ini masih mampu menghindari
setiap serangan yang mengepung rapat. Bahkan tidak jarang membalas dengan
serangan yang mengejutkan. Dalam waktu yang tak lama, pertarungan yang tidak
seimbang itu telah berjalan lebih dari lima jurus.
"Uh, tidak kusangka. Ternyata Jagabaya punya anak
cantik yang begitu tangguh," bisik hati Parang Kati.
Namun kali ini Parang Kati dapat tersenyum kembali. Ternyata
setelah lewat sepuluh jurus, Ratih tampak mulai kelelahan. Tenaganya telah
terkuras ketika melawan Parang Kati tadi. Dan kini dia harus melawan sembilan
prajurit. Lebih-lebih permainan pedang mereka cukup lihai dan berbahaya.
Sedikit demi sedikit Ratih mulai terdesak. Keringat semakin
deras mengalir membasahi tubuhnya. Dengus napas gadis ini mulai terdengar keras
dan memburu. Gerakan-gerakannya juga tidak selincah sebelumnya. Namun demikian
pukulan dan tendangannya masih keras dan berbahaya. Sisa-sisa tenaganya
terpaksa harus semakin dikuras lagi.
"Tidak tahu malu, mengeroyok
seorang gadis!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggema, seakan-akan datang
dari segala penjuru. Seketika itu juga pertarungan terhenti. Sembilan prajurit
itu berlompatan mundur dua langkah.
"Tikus busuk! Siapa kau?!" teriak Parang Kati.
"Memalukan!" terdengar lagi
suara
keras menggema.
Parang Kati yakin kalau suara itu datang dari orang yang
berada di satu tempat. Tapi suaranya datang dari semua penjuru angin. Pertanda
pemilik suara itu seorang sakti yang memiliki tenaga dalam cukup sempurna.
Siapakah orang yang mempunyai suara menggema itu?
***
2
Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat ke arah para
prajurit. Begitu cepat bayangan itu, membuat para prajurit hanya dapat tertegun.
Hanya sekedipan mata saja, tahu-tahu sembilan orang prajurit itu sudah tidak
lagi memegang senjata.
Crab, crab....
Pedang-pedang itu tiba-tiba melayang dan menancap berjajar
rapi di tanah. Parang Kati benar-benar terkesiap bingung. Matanya segera mendapatkan
seorang laki-laki muda mengenakan baju rompi. Gagang pedang berbentuk kepala
burung menyembul dari balik punggungnya. Dia berdiri tegak di atas dua batang
pedang yang menancap di tanah.
"Oh...," Ratih mendesah ketika
mengenali pemuda itu.
Memang, pemuda itu ternyata adalah Rangga, alias Pendekar
Rajawali Sakti. Ilmu peringan tubuhnya tidak disangsikan lagi sehingga dapat
berdiri tegak di atas pedang yang menancap di tanah tanpa sedikit pun goyah.
Tanpa sadar Ratih tersenyum manis seorang diri. Kakinya
bergerak mendekati ayahnya yang sejak tadi berdiri saja di depan tangga
rumahnya. Di samping ayahnya Ratih berdiri, sambil matanya tidak lepas
memandang Rangga. Dalam hati, diakui kehebatan ilmu meringankan tubuh pendekar
muda ini.
"Jika kalian masih sayang dengan nyawa, tinggalkan desa
ini segera!" tegas suara Rangga terdengar.
Parang Kati yang terkesiap dengan kehebatan Rangga, menjadi
mengkeret nyalinya. Dengan cepat dia melompat ke punggung kudanya, diikuti
sembilan orang prajurit Kerajaan Parakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh
orang itu menggebah kuda mereka meninggalkan halaman rumah kepala desa.
Rangga melenting indah dari pedang yang masih tertancap itu,
dan tepat berdiri di depan Ki Jagabaya dan putrinya. Pendekar Rajawali Sakti
sedikit membungkukkan badannya memberi hormat, lalu berbalik hendak berlalu.
"Tunggu!"
cegah Ratih buru-buru.
Rangga membalikkan
tubuhnya lagi
"Siapa kau? Kenapa ikut campur
urusanku?" tanya Ratih
beruntun.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Maaf, kalau kau tersinggung terhadap kelancanganku. Aku hanya tidak dapat
melihat kekejaman dan kecurangan. Apalagi pengeroyokan terhadap seorang
gadis."
"Kau kira aku suka menerima bantuanmu?" Ratih
tersenyum sinis.
Rangga mengemyitkan alisnya. Tidak disangka, gadis cantik
yang bertampang lemah lembut dapat juga berkata ketus. Pandangan Pendekar
Rajawali Sakti beralih pada laki-laki tua yang berdiri agak ke belakang dari
gadis cantik ini. Dalam sekali pandang saja, Rangga telah dapat menilai kalau
laki-laki tua itu tidak kosong.
"Hm, rupanya dia tadi bersikap mengalah, mungkin ada
pertimbangan lain," bisik hati Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit Rangga menganggukkan kepala, lalu berbalik lagi.
Namun baru saja melangkah tiga tindak, laki-laki tua Kepala Desa Ganggang ini
berseru mencegah.
"Hm, apa lagi?" agak segan juga Rangga membalikkan
tubuhnya.
"Maafkan putriku, anak muda. Mata tuaku mungkin masih
belum dapat ditipu. Kalau tidak salah lihat, kau yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti. Benar?" kata Ki Jagabaya seraya maju dua langkah.
Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alisnya. Dia agak terkejut
dengan tebakan Ki Jagabaya yang tepat.
"Aku dapat mengenalimu dari gagang pedang yang kau
sandang di punggung. Dan lebih yakin lagi, setelah kau mengeluarkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' tadi," ujar Ki Jagabaya membuyarkan keheranan
Rangga.
"Bagaimana bisa tahu kalau...," belum habis Rangga
berkata, Ki
Jagabaya menyelak.
"Nama besarmu yang membuat mata
tuaku terbuka."
Sementara Ratih yang mendengar percakapan itu, tidak
berkedip menatap pemuda tampan di depannya. Dia memang sering mendengar sepak
terjang
Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh
tidak diduga sama sekali kalau masih muda dan tampan. Pantas dalam sekali
gebrak saja, dengan mudah merebut pedang para prajurit yang berjumlah sembilan
orang itu.
Wajah gadis itu seketika menyemburat merah dadu ketika tanpa
sengaja matanya tertumbuk dengan mata Rangga. Cepat-cepat ditundukkan
kepalanya. Entah kenapa, tiba-tiba saja Ratih merasakan detak jantungnya
semakin keras. Dia benar-benar tidak sanggup membalas tatapan mata Pendekar Rajawali
Sakti itu.
"Kalau kau tidak keberatan, singgahlah di gubukku
barang sejenak," ajak Ki Jagabaya merendah.
Rangga tidak segera menjawab. Matanya malah menatap Ratih
kembali. Puas menatap Ratih, segera dia memandang ke sekelilingnya. Tampak
beberapa jendela rumah penduduk mulai terbuka. Dan kepala-kepala yang semula
bersembunyi, kini telah bermunculan dari balik jendela. Seolah-olah ingin
melihat wajah pendekar muda yang mampu mengusir para prajurit Kerajaan Parakan
yang terkenal bengis.
Ratih mendekati ayahnya, kemudian berbisik-bisik. Kepala Ki
Jagabaya terangguk-angguk, kemudian bibirnya yang tertutup kumis putih tebal
tersenyum-senyum. Rangga mengemyitkan alisnya. Menyesal dia tidak mengerahkan
ilmu 'Pembilah Suara' sehingga tidak dapat mendengar bisikan gadis itu.
Selesai berbisik pada ayahnya, gadis itu segera berbalik
masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memandangi tanpa dapat mengerti maksud
bisikbisik tadi. Ki Jagabaya menghampiri Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuh
Ratih lenyap ditelan rumah yang paling besar di Desa Ganggang ini.
"Putriku akan menyiapkan makanan. Katanya, dia ingin
minta maaf atas keketusannya di sini dan di sungai tadi," kata Ki Jagabaya
pelan dan lembut
Rangga tersenyum geli, Pikirnya, gadis ini manja juga!
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat pundaknya sambil melangkah mengikuti
Ki Jagabaya. Beberapa kali kepala pendekar ini menggeleng memikirkan sikap
Ratih yang sulit diterka kemauannya.
"Ah...," Rangga mendesah
panjang.
***
Sepuluh ekor kuda berpacu cepat melintasi jalan berdebu.
Jika dilihat dari pakaian seragam, jelas mereka adalah para prajurit Kerajaan
Parakan yang dipimpin Punggawa Parang Kati. Dengan hati mangkel mereka memacu
kuda bagai kesetanan. Hanya sekali gebrak saja pendekar muda itu mampu
mengalahkan mereka.
Lebih-lebih Parang Kati. Dia begitu dendam dapat
dipecundangi seorang gadis cantik yang seumur dengan anaknya. Kalau saja tidak
muncul pendekar muda itu, mungkin telah nekad berhadapan sampai mati dengan
gadis cantik itu. Baginya lebih baik mati daripada harus jadi pecundang. Saat
mereka memacu kuda demikian cepat, mendadak....
"Awas...!" teriak Parang Kati.
Seketika Parang Kati melompat dari punggung kudanya. Sebuah
pohon besar tiba-tiba saja tumbang. Tidak ampun lagi, kuda Parang Kati dan
beberapa prajurit yang kurang sigap melompat, tertimpa pohon itu. Lima ekor
kuda dan empat orang prajurit langsung mati seketika. Lima orang prajurit yang
selamat, segera turun dari kuda masing-masing. Sementara Parang Kati telah
berdiri tegak dengan mata jelalatan mengawasi sekitarnya.
Sing...!
Tiba-tiba saja beberapa benda kecil berkilat keperakan meluruk
deras ke arah Parang Kati dan lima prajurit. Sret, trang!
Parang Kati dengan sigap menarik sebilah senjata trisula
berwarna kuning keemasan. Beberapa benda keperakan itu berhasil dipatahkan di
tengah jalan. Sedangkan lima prajurit itu berjumpalitan menghindari serangan
gelap itu. Mereka memang para prajurit yang cukup andal. Dengan mudah
senjata-senjata rahasia itu dapat dihindarkan.
Malahan dua di antara senjata itu berhasil ditangkap Parang
Kati. Sebentar diamati benda yang kini ada di tangannya. Senjata rahasia yang
berbentuk bintang berujung enam. Di tengah-tengahnya terukir gambar sekuntum
bunga mawar.
"Dewi Selaksa Mawar," desis
Parang Kati.
Desisan yang agak keras itu didengar jelas oleh lima
prajurit bawahannya. Saat itu pula wajah mereka menjadi tampak pucat. Sedangkan
Parang Kati cepat mengeluarkan senjata andalannya, cambuk buntut kuda. Cambuk
itu telah siap dalam genggaman tangan Parang Kati.
Melihat pimpinannya mengeluarkan senjata, kelima prajurit
itu mengikutinya dengan mencabut trisula. Masing-masing menggenggam dua
trisula. Senjata itu memang selalu tersembunyi di balik baju, dan baru
dikeluarkan jika pedang telah lepas dari tangan. Kenyataannya memang mereka
tidak lagi mempunyai pedang. Kini posisi mereka dalam keadaan siap siaga dengan
wajah menegang.
"Hi hi hi..., tikus-tikus busuk yang besar mulut! Baru
menghadapi bocah bau kencur saja, lari tunggang langgang," terdengar suara
kecil nyaring.
"Dewi Selaksa Mawar, keluar! Jangan hanya umbar bacot
saja seperti burung beo! Tapi nyalimu seperti cacing tanah!" teriak Parang
Kati geram.
"Hi hi hi...," terdengar lagi suara mengikik.
Belum hilang suara tawa itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah.
Kira-kira berjarak tiga tombak di depan Parang Kati, bayangan itu berhenti
berkelebat. Kini jelaslah yang ada hanya sesosok perempuan tua berambut merah
bagai darah. Pakaiannya pun merah, sesuai dengan julukannya Dewi Selaksa Mawar.
"Mengapa kau hadang perjalanan
kami?" tanya Parang Kati ketus.
"Karena aku ingin nyawa kalian semua!" tidak kalah
dingin dan ketus suara Dewi Selaksa Mawar.
"Setan! Kami tidak punya urusan
denganmu," dengus Parang Kati.
"Kalian semua anjing-anjing si tua bangka Kalasewu.
Karena itu kalian semua harus mati di tanganku!"
"Siapa Kalasewu? Aku tidak
kenal!"
"Hi hi hi..., kalian memang picik."
Merah padam wajah Parang Kati diejek terus menerus.
Seingatnya, dia tidak pernah berurusan dengan Dewi Selaksa Mawar. Dan, siapa
Kalasewu? Baru kali ini didengarnya nama itu. Dirinya adalah seorang punggawa
kerajaan, jadi tidak tahu menahu dengan dunia persilatan.
Meskipun sehari-harinya Parang Kati berhadapan dengan
tokoh-tokoh rimba persilatan, tapi dia selalu menjaga jarak agar tidak
berurusan secara pribadi. Bukannya gentar, tapi dia merasa enggan saja jika
tidak menyangkut masalah kerajaan.
"Parang Kati. Namamu sebagai punggawa telah terkenal.
Tapi tak kusangka ternyata matamu buta, tidak dapat membedakan orang,"
kata Dewi Selaksa Mawar.
"Kata-katamu makin berbelit-belit tidak karuan,"
gumam Parang Kati yang tidak mengerti arah pembicaraan Dewi Selaksa Mawar.
"Huh! Dijelaskan juga percuma," dengus Dewi
Selaksa Mawar. "Bersiaplah kalian untuk mati!"
Selesai berkata, Dewi Selaksa Mawar langsung mencelat.
Parang Kati mengebutkan cambuknya menghadang gerakan wanita tua itu. Namun
tanpa diduga sama sekali, ujung jari kaki Dewi Selaksa Mawar menekan ujung
cambuk Parang Kati. Dan dengan indahnya melenting berputar di udara.
Angin kelebatan tubuhnya menimbulkan bau harum bunga mawar.
Parang Kati terkejut. Dia pernah mendengar ilmu-ilmu tangguh perempuan tua ini.
Bau harum mawar yang menyebar dari tubuhnya, menandakan perempuan tua itu
langsung mengerahkan ilmu 'Mawar Berbisa'. Suatu ilmu andalannya yang cukup
berbahaya.
Dua kali Dewi Selaksa Mawar bersalto di udara, kemudian
meluruk ke arah lima orang prajurit yang sejak tadi bersiaga. Begitu cepatnya
gerakan Dewi Selaksa Mawar, membuat lima prajurit Kerajaan Parakan menjadi
kelabakan. Mereka langsung menyebar mengurung tubuh perempuan tua berpakaian
merah darah itu. Senjatasenjata trisula berkelebatan mengarah ke tempat
sasaran. Namun kelihatannya Dewi Selaksa Mawar bukanlah tandingan mereka. Meski
dengan tangan kosong saja, lima prajurit itu tidak mampu mendesak. Wus!
Angin kebutan pukulan Dewi Selaksa Mawar begitu hebat
sekali. Ketika bau harum mawar menyebar, bergegas lima prajurit melompat mundur
dua langkah. Tetapi angin kebutan itu masih juga membuat mereka limbung
sedikit.
"Modar!" teriak Dewi Selaksa Mawar.
Sambil berteriak demikian, tangan perempuan tua itu bergerak
menyambar dua orang lawannya. Sangat cepat sambaran tangan Dewi Selaksa Mawar,
sehingga dua prajurit itu tak mampu mengelak lagi.
Plak! Plak!
Dua prajurit terhantam pukulan tangan yang disertai ilmu
'Mawar Berbisa'. Dua orang yang terkena sasaran itu terjengkang ke belakang
sejauh dua batang tombak. Sebentar mereka menggeliat, lalu tewas tanpa
menimbulkan suara lagi. Tampak di dada mereka tergambar bunga mawar berwarna
merah menyala. Dari mulut dan hidung, mengucur darah kehitaman.
"Iblis...!" geram Parang Kati mertyaksikan
ke-kejaman perempuan tua itu.
"Hi hi hi.., kalian sebentar lagi pasti menyusul ke
neraka," Dewi Selaksa Mawar mengikik.
"Bedebah! Rasakan
cambuk saktiku!" geram Parang
Kati.
"Hi hi hi..., kau memang pantas
jadi kusir."
"Yeaaah...!" Parang Kati melompat ganas sambil
mengerahkan jurus 'Ekor Naga Weling'. Ujung cambuknya seketika menegang bagai
ribuan jarum yang siap terbenam di tubuh lawan. Cekatan sekali tangannya
mengebut-ngebutkan cambuk itu mengincar bagian tubuh Dewi Selaksa Mawar. Ke
mana saja perempuan serba merah itu menghindar, ujung cambuk itu selalu memburu
mengincar maut.
Lima jurus berlalu dengan cepat. Sepertinya Dewi Selaksa
Mawar masih tangguh bagi Parang Kati. Beberapa kali ujung cambuk hampir
menyentuh sasaran, tapi dengan manis dapat dihindari. Bahkan tidak jarang Dewi
Selaksa Mawar mem-berikan serangan balasan yang cukup dahsyat.
"Kalian jangan hanya bengong! Serang iblis perempuan
laknat ini!" teriak Parang Kati sengit melihat prajuritnya hanya mematung
terkesiap menyaksikan pertarungan itu.
Bagai tersentak dari mimpi, tiga orang prajurit yang tersisa
itu segera melompat mengeroyok Dewi Selaksa Mawar. Tiga prajurit yang memiliki
kepandaian lumayan itu hanya dihadapi dengan kikikan suara tawa Dewi Selaksa
Mawar. Kelihatan sekali kalau perempuan tua ini menganggap remeh
lawan-lawannya.
"Hih! Aku tidak butuh kau!" sungut Dewi Selaksa
Mawar tiba-tiba.
Belum lagi senyap kata-katanya, secepat kilat perempuan tua
itu melontarkan tiga buah senjata rahasianya. Cahaya keperakan berkelebat cepat
menyambar tiga prajurit itu.
Trak! Trak!
"Akh!"
Dua bintang berhasil ditangkis dengan baik, tapi sisanya
langsung menerobos dada salah seorang prajurit yang naas itu. Seketika tubuhnya
terjengkang ke belakang. Bintang bersegi enam yang mengandung racun ganas itu
tertanam dalam hingga ke jantung. Tubuh orang itu menggelepar sebentar, lalu
diam tidak bergerak lagi. Seputar luka di dadanya perlahan-lahan membiru.
"Setan!" geram Parang Kati melihat seorang
bawahannya terjungkal mati.
Kini tinggal tiga orang saja yang masih hidup. Hati Parang
Kati mulai ciut juga. Bagaimana tidak, dari sembilan orang prajurit pilihan
yang dibawanya, kini tinggal dua orang saja. Sedangkan dia sendiri belum tentu
dapat menandingi kesaktian Dewi Selaksa Mawar.
Parang Kati memang geram menyaksikan kekalahan telak di
pihaknya. Pertimbangannya, kalau masih nekad menghadapi iblis tua ini tidak
mustahil nyawanya juga akan melayang.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Parang Kati berteriak
nyaring. Dua kali kakinya menjejak tanah dengan keras dan sambil mengempos
seluruh tenaga dalam dikerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekejap tubuh
Parang Kati mencelat ke udara. Tangannya mengebutkan cambuk ke arah kepala Dewi
Selaksa Mawar.
"Uts!" Dewi Selaksa Mawar menundukkan kepalanya
sedikit. Maka ujung cambuk itu hanya lewat beberapa helai rambut di atas
kepalanya.
Pada saat yang sama, dua orang prajurit cepat melompat
dengan senjata trisula terhunus. Mendapat serangan beruntun dari tiga arah ini,
membuat perempuan tua serba merah itu menjadi sibuk juga. Cepat-cepat dijatuhkan
tubuhnya ke belakang, dan bersalto tiga kali.
Kesempatan yang hanya sedetik ini dimanfaatkan Parang Kati
untuk melarikan diri. Dia melesat dan bersalto tiga kali, lalu hinggap di
punggung salah seekor kuda. Sekali sentak saja, kuda itu bergerak bagai anak
panah lepas dari busur.
"Pengecut! Jangan lari kau!"
dengus Dewi Selaksa Mawar.
Baru saja akan mengejar, dua prajurit yang mengetahui
pimpinannya dapat meloloskan diri, langsung melompat menyerang. Dewi Selaksa
Mawar kembali melenting menghindari serangan kembar yang berbahaya itu.
Gerahamnya bergemelutuk menahan marah yang sangat terhadap dua prajurit yang
berusaha melindungi pimpinannya itu.
"Uh! Monyet beledek!" dengus Dewi Selaksa Mawar.
Secepat kilat dilontarkan pukulan mautnya disertai pengerahan
ilmu 'Mawar Berbisa'. Bau harum mawar segera tersebar ketika kedua tangan Dewi
Selaksa Mawar mendorong kuat ke depan. Dalam keadaan marah seperti ini, Dewi
Selaksa Mawar tidak tanggung-tanggung lagi untuk mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya. Hasilnya memang luar biasa.
Seberkas sinar merah melesat cepat ke arah dua orang
prajurit Kerajaan Parakan. Serangan dahsyat itu tak dapat dihindari lagi. Dua
orang itu hanya melolong tanpa mampu berbuat apa-apa.
"Akh!"
"Aaaa...!"
Dua jeritan panjang saling susul diikuti oleh terjengkangnya
dua tubuh ke belakang sejauh empat depa. Tidak sedikit pun mereka menggelepar.
Yang terlihat hanya darah yang mengucur dari mata, mulut, dan hidung, yang
kental kehitaman. Sedangkan di dada tergambar sekuntum bunga mawar merah
mengepulkan asap tipis kemerahan.
Dewi Selaksa Mawar cepat melesat ke udara. Dua kali
bersalto, lalu kakinya menjejak kokoh di atas sebuah batu besar yang hanya satu
di tempat itu. Matanya menatap ke arah Parang Kati pergi.
"Sial!" dengus Dewi Selaksa
Mawar
kesal.
Sekeliling telah sepi senyap seperti tidak terjadi apa-apa.
Hanya mayat-mayat yang bergelimpangan menandakan kalau di tempat itu baru saja
terjadi pembantaian sembilan orang prajurit Kerajaan Parakan.
Sementara matahari telah kian condong ke arah Barat.
Sinarnya yang mulai redup keemasan, terasa lembut menyapu permukaan mayapada
ini. Namun keindahan dan kelembutan sang mentari tidak dapat dinikmati
perempuan tua yang bernama Dewi Selaksa Mawar ini. Hatinya masih diliputi
kekesalan karena satu orang lawannya berhasil meloloskan diri.
"Kalasewu, sampai ke neraka pun akan kukejar!"
desis Dewi Selaksa Mawar.
Sebenamya apa yang terjadi terhadap perempuan serba merah
ini? Mengapa begitu membenci orang yang bernama Kalasewu? Lalu apa hubungannya
dengan prajurit Kerajaan Parakan? Hanya Dewi Selaksa Mawar saja yang tahu.
"Kubunuh kau, Kalasewu!
Hiyaaa...!"
Dewi Selaksa Mawar kini mengamuk sendiri seperti orang gila.
Tangannya menghantam batu besar yang dipijaknya. Suaranya menggelegar terdengar
memekakkan telinga, bersamaan dengan hancurnya batu sebesar gubuk dangau itu.
Kepingan-kepingannya berterbangan ke segala penjuru.
Dewi Selaksa Mawar masih berdiri tegak di tengah-tengah
butiran batu yang dihancurkannya tadi. Debu masih mengepul di sekitarnya.
Dengan tangan tolak pinggang, dia menatap sang mentari yang secara pasti mulai
tenggelam di balik peraduannya.
***
3
Pagi baru saja merayapi bumi. Sinar matahari mulai memancar
menerangi belahan Timur bumi. Napas kehidupan kembali bangkit setelah semalaman
bagai mati dicekam kegelapan sang dewi malam. Pagi yang cerah itu kini terusik
oleh derap langkah kuda yang dipacu bagai kesetanan.
Kuda hitam tegap berlari kencang menerjang apa saja yang
menghalangi. Debu bergulung-gulung di belakangnya. Penunggangnya berpakaian
kotor dan lusuh mendera kuda yang seolah-olah masih kurang cepat. Padahal, kuda
tunggangannya itu telah mendengusdengus hampir mati kelelahan. Tampak dari
wajahnya yang lecek dan penuh debu, sebuah guratan panjang di pipinya. Guratan
itu menandakan kalau dia adalah Parang Kati.
"Hiya...,
hiya...!"
Parang Kati terus mendera kudanya menuju kota praja Kerajaan
Parakan. Semalaman dia berpacu tanpa henti, dan tak mempedulikan keadaan
dirinya yang kotor dan berbau. Apalagi terhadap kudanya yang hampir mati
kelelahan didera terus menerus sepanjang malam hingga pagi ini.
"Buka pintu, cepat...!" teriak Parang Kati ketika
di depannya terbentang pintu kokoh yang dijaga dua orang prajurit bersenjata
lengkap.
Mengenali siapa yang datang, dua orang prajurit itu bergegas
membuka pintu. Namun ketika pintu baru terbuka setengah, Parang Kati telah
menerobos tanpa mengendorkan lari kudanya. Dua penjaga itu menjadi bingung
melihat Parang Kati memasuki benteng kerajaan tidak seperti biasanya.
Tali kekang kuda tiba-tiba ditariknya, ketika telah tiba di
depan pendopo utama istana Parakan. Seketika kuda berhenti seraya meringkik dan
mengangkat kaki depannya. Parang Kati mencelat dan berputar dua kali di udara
sebelum kakinya mencapai tanah.
Tanpa mempedulikan kudanya yang langsung tertunduk dengan
mulut menganga, Parang Kati melangkah lebar memasuki pendopo utama. Seluruh
tubuhnya yang masih kotor dan berbau tidak dihiraukannya lagi. Beberapa penjaga
pintu pendopo menatapnya penuh keheranan. Tidak biasanya Parang Kati memasuki
pendopo dalam keadaan seperti itu.
"Parang Kati...!" tiba-tiba sebuah bentakan keras
menghentikan langkah Parang Kati.
Parang Kati segera berbalik. Seketika itu juga dijatuhkan
tubuhnya untuk berlutut. Di depannya kini berdiri seorang laki-laki tua dengan
rambut seluruhnya berwarna putih. Kumisnya panjang dan putih pula.
Laki-laki bertubuh kurus tinggi dan berwajah dingin itu
mengenakan baju biru dari bahan sutra halus. Matanya tajam tanpa ekspresi
menatap wajah Parang Kati yang tertunduk berlutut di depannya. Raut wajahnya
begitu pucat seperti tak pernah teralirkan darah kehidupan lagi
"Bangun," kata laki-laki tua itu. Suaranya
terdengar dingin.
"Maafkan hamba, Ki Sanggamayit. Hamba menghadap dalam
keadaan kotor," kata Parang Kati setelah bangkit berdiri.
"Kenapa kau masuk pendopo dalam keadaan begini?"
tanya laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Sanggamayit. Suaranya masih dingin
datar. Tak ada sedikit pun tekanan dan ekspresi sama sekali.
"Hamba terburu-buru, Ki
Sanggamayit. Hamba semalaman berkuda
dari Desa Ganggang," lapor Parang Kati.
"Hm..., kau ditugaskan untuk menarik upeti dari desa
itu, dan dikawal sembilan prajurit pilihan. Tapi sekarang kembali hanya seorang
diri. Apa yang terjadi?"
"Ceritanya panjang, Ki," sahut Parang Kati.
"Ceritakan."
Panjang lebar Parang Kati menceritakan kejadian di Desa
Ganggang hingga tentang penghadangan yang dilakukan oleh Dewi Selaksa Mawar.
Hanya dia sendiri yang mampu meloloskan diri.
Ki Sanggamayit masih diam tertegun meskipun Parang Kati
telah selesai bercerita. Agak lama kesunyian menyelimuti mereka berdua.
Terdengar desahan berat panjang dari hidung Ki Sanggamayit.
Kembali matanya tajam tanpa ekspresi memandang Parang Kati.
Yang dipandang hanya tertunduk, takut untuk membalasnya.
"Apa kau tidak salah lihat?" tanya Ki Sanggamayit
memecah keheningan.
"Maksud Ki Sanggamayit?" Parang Kati malah balik
bertanya.
"Bodoh! Siapa lagi kalau bukan perempuan edan
itu?" bentak Ki
Sanggamayit.
"Oh, tid..., tidak, Ki. Hamba tidak salah lihat. Bahkan
Dewi Selaksa Mawar menyebut-nyebut nama Kalasewu," agak gugup Parang Kati
menjawab.
"Monyet buntung!" Ki Sanggamayit terlonjak, sampai
melompat ke belakang satu tindak ketika mendengar nama Kalasewu disebut-sebut.
Parang Kati semakin heran melihat atasannya yang begitu
terkejut mendengar ceritanya. Hidung Ki Sanggamayit kembang kempis seperti
menahan marah. Wajah semakin terlihat pucat. Dua bola matanya berputar-putar
memandang Parang Kati. Dia seolah-olah tidak percaya dengan ucapan laki-laki
codet yang ada di depannya ini.
"Sebaiknya kau pulang sekarang. Biar kusampaikan
sendiri berita ini pada Gusti Prabu," kata Ki Sanggamayit setelah agak
reda emosinya.
Parang Kati membungkukkan badannya sedikit, sambil mundur
tiga langkah. Ketika membalik, segera kakinya diayun lebar-lebar. Ki
Sanggamayit memandangi dengan tatapan dingin. Dia baru beranjak setelah Parang
Kati tak terlihat lagi.
***
Ki Sanggamayit duduk bertopang dagu di depan meja dari
marmer putih mengkilat. Di hadapannya duduk dua orang yang sudah kelihatan tua.
Mereka adalah Iblis Mata Satu, dan yang mengenakan pakaian serba hitam adalah
Setan Jerangkong. Dinamakan Setan Jerangkong karena tubuhnya kurus kering
seperti tinggal tulang terbalut kulit saja.
Mereka bertiga memang dikenal sebagai Tiga Setan dari
Neraka. Sepak terjangnya yang kejam tak kenal perikemanusiaan, sudah menjadi
buah bibir di seluruh dunia persilatan. Mereka tidak segan-segan membunuh siapa
saja yang berani berurusan.
"Sejak tadi kau kelihatan murung. Ada yang mengganggu
pikiranmu, Sanggamayit?" Iblis Mata Satu memecahkan kesunyian.
Sanggamayit mengangkat kepalanya pelan-pelan. Matanya yang
dingin terarah pada Iblis Mata Satu. Desah napasnya terdengar berat dan
panjang.
"Aku tadi pagi lihat Parang Kati kembali seorang diri.
Bukankah dia ditugaskan untuk menarik upeti ke Desa Ganggang? Lagi pula, aku
tak melihat sembilan orang prajurit yang menyertainya. Adakah persoalan yang
dibawanya sehingga kau jadi murung?" Setan Jerangkong kelihatan
mendesak.
"Persoalan lama," desah
Sanggamayit berat.
"Jelaskan. Persoalan apa?" desak Iblis Mata Satu.
Sanggamayit mendesah kembali, kemudian diceritakan semua
yang didengarnya dari Parang Kati. Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu
mendengarkannya dengan serius, tanpa sedikit pun menyelak. Kelihatan sekali
wajah mereka menjadi berubah ketika Dewi Selaksa Mawar disebut-sebut mencari
Kalasewu. Seketika itu juga mereka teringat dengan peristiwa yang terjadi
sekitar dua puluh tahun lalu.
Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong menatap tajam pada
Sanggamayit. Lama juga kesepian menyelimuti ruangan luas ini. Tidak ada yang
bersuara sedikit pun.
"Aku tidak menyangka, dia tahu kita semua ada di
sini," gumam Iblis Mata Satu pelan.
"Dia bukan mencari kita, tapi Kalasewu," sergah
Sanggamayit.
"Apa bedanya?" Setan Jerangkong
seperti bertanya pada dirinya
sendiri.
"Jelas ada bedanya?" dingin tajam Sanggamayit
menyahuti. "Kita dikenal sebagai Tiga Setan Neraka. Sedang yang dicari
Dewi Selaksa Mawar adalah Kalasewu."
"Haha ha...!" mendadak saja Iblis Mata Satu
tertawa terbahak-bahak.
"Tidak ada yang lucu!" bentak Setan Jerangkong.
"Justru bagiku sangat lucu," sungut Iblis Mata
Satu ketika berhenti tertawa. "Kalian mempersoalkan nama yang tidak pernah
ada. Kalasewu atau Tiga Setan Neraka, atau apa lagi namanya, tidak pernah ada.
Kalau toh ada, orangnya adalah kita-kita juga."
"Terus terang saja, kau menuduh
orangnya," dingin suara
Sanggamayit
"Aku tidak mengatakan bahwa kau
adalah Kalasewu."
'Tapi, kenapa kau berkata
begitu?"
"Dewi Selaksa Mawar mencari orang yang bernama
Kalasewu. Sedangkan, yang diketahuinya adalah satu Kalasewu yaitu kau sendiri.
Padahal, kita semua adalah Kalasewu!"
Sanggamayit terdiam. Kata-kata Iblis Mata Satu memang tidak
salah. Dewi Selaksa Mawar hanya mengenal satu Kalasewu. Dan sekarang dia mencarinya
untuk membalas dendam peristiwa dua puluh tahun yang lahi. Dendam yang telah
dilupakan Sanggamayit.
"Sejak semula kau telah kuperingatkan. Masih juga buta
untuk mendapatkannya. Dia memang cantik, tapi ular!" Iblis Mata Satu
mengenang peristiwa dua puluh tahun yang lalu, saat mereka semua masih
kelihatan muda dan gagah.
Sanggamayit belum bersuara. Memang, yang diperbuatnya waktu
itu hanya dia sendiri yang tahu. Meskipun Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong
tahu, tapi hanya bagian luarnya saja. Yang mereka ketahui hanya masalah asmara
antara Sanggamayit dengan Dewi Selaksa Mawar. Anggapan mereka, Sanggamayit
tertarik dengan Dewi Selaksa Mawar adalah karena kecantikan saja. Lain tidak.
Namun sesungguhnya, di balik asmara itu ada maksud-maksud
dari Sanggamayit. Dan semua itu telah terlaksana dengan baik. Hanya saja,
Sanggamayit tidak mengira kalau masalahnya menjadi panjang. Dua puluh tahun
telah terlupakan, kini tiba-tiba muncul pada saat Tiga Setan Neraka berhasil
mencapai tujuan, yakni menguasai Kerajaan Parakan dan menjadikan Prabu Salya
sebagai raja boneka.
"Kurasa, sebaiknya kita tinggalkan istana Parakan ini.
Aku khawatir kedok kita terbongkar dengan kemunculan Dewi Selaksa Mawar, si
perempuan gila itu!" kata Sanggamayit.
"He he he..., kau ingin menyia-
nyiakan kesempatan yang telah
bertahun-tahun kita perjuangkan dengan darah dan keringat, Sanggamayit?"
Iblis Mata Satu belum mengerti jalan pikiran Sanggamayit
"Urusan ini lebih penting daripada kekuasaan,"
selak Sanggamayit dingin.
"Bagaimana, Setan Jerangkong?" Iblis Mata satu
meminta pendapat.
Setan Jerangkong hanya mengangkat
bahu saja.
"Baiklah! Kita sudah berjanji untuk selalu
bersama-sama, walaupun apa yang terjadi. Susah dan senang selalu bersama-sama.
Sepuluh tahun lebih, rasanya sudah cukup kita menikmati kesenangan," kata
Iblis Mata Satu.
"Aku berjanji, setelah urusan ini selesai, maka rencana
semula harus dijalankan," ujar Sanggamayit
"He he he..., itu urusanmu. Kaulah yang berambisi ingin
jadi raja," Iblis Mata Satu terkekeh panjang.
Sanggamayit hanya mendengus saja. Sementara Setan Jerangkong
tersenyumsenyum. Tak jelas arti senyum itu. Sanggamayit tidak peduli meskipun
kedua saudara angkatnya ini seperti mengejek. Bisa jadi mengejek kebimbangan
dan kegelisahannya dalam menghadapi kemunculan Dewi Selaksa Mawar yang tak
pernah diduga dan diharapkannya sama sekali.
"Besok kita tinggalkan istana Parakan," ucap
Sanggamayit
"Lalu, bagaimana urusan dengan Prabu Salya?" tanya
Setan Jerangkong.
"Aku rasa Parang Kati dapat dipercaya," jawab
Sanggamayit
"He he he..., bocah dungu begitu kau percaya,"
agak sinis suara Iblis Mata Satu.
Sanggamayit menatap dingin dan tajam ke arah Iblis Mata
Satu. Dia tidak mengerti mengapa saudara angkatnya ini tidak pernah menyukai
Parang Kati. Apa mungkin karena Parang Kati itu bekas perampok jalanan yang
hanya memilild kepandaian jauh di bawah mereka beriiga? Atau ada sebab lain
yang hanya diketahui Iblis Mata Satu saja?
"Sebaiknya kau temui adikmu, dan tekan dengan ancaman
agar dia tidak berbuat sesuatu yang merugikan," kata Iblis Mata Satu
memberi saran.
Sanggamayit hanya tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri.
Langkahnya ringan saat menuju ke
pintu ruangan khusus ini. Hanya mereka bertiga saja yang boleh memasukinya.
Iblis Mata Satu terkekeh-kekeh melihat Sanggamayit ke luar ruangan ini.
Sementara Setan Jerangkong ikut bangkit berdiri setelah Sanggamayit tak
terlihat lagi.
"Mau ke mana?" tanya Iblis .Mata Satu.
"Jalan-jalan," jawab Setan Jerangkong seenaknya
sambil terus berlalu.
Iblis Mata Satu mengangkat bahunya sedikit, lalu juga keluar
dari ruangan itu. Dua orang penjaga membungkuk ketika Iblis Mata Satu melewati
pintu. Laki-laki tua berpakaian serba putih itu terus melangkah pergi.
Sementara malam telah semakin pekat membuai penghuni mayapada ini, untuk terus
lelap dalam tidur bersama sapuan sang bayu.
***
Ketika matahari baru saja mengintip dari ufuk Timur, tampak
tiga ekor kuda dan penunggangnya keluar dari pintu gerbang istana Parakan.
Mereka adalah Tiga Setan Neraka. Gerakan mereka kelihatan tidak tergesa-gesa,
seolah-olah kepergian mereka tidak ingin diketahui oleh siapa pun!
Mereka memacu kudanya tidak terlalu terburu-buru.
Seolah-olah kepergian mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Ketika tiba di perbatasan kotapraja, segera mereka menggebah
kuda dengan cepat. Kabut masih menyelimuti meskipun matahari telah mulai
mengintip dengan sinar kemerahan yang memancar lembut dari balik pepohonan.
Tiga ekor kuda terus dipacu ke arah matahari terbit.
"Bukankah ini jalan menuju Desa Ganggang?" Setan
Jerangkong tiba-tiba memecah kebisuan mereka.
"Benar. Tujuan kita memang ke
desa itu," sahut Sanggamayit
"Untuk apa ke sana?" tanya Setan Jerangkong.
"Hm, rupanya kau sekarang menjadi pelupa. Parang Kati
melapor kalau desa ini mulai membangkang," Iblis Mata Satu menggumam.
"Kurasa tujuan kita bukan untuk mengurusi Desa
Ganggang," Setan Jerangkong kurang sependapat
"Dewi Selaksa Mawar mencegat di perbatasan desa.
Barangkali saja masih ada di sana. Yaah, sekalian memberesi desa pembangkang
itu," celetuk
Sanggamayit.
"Huh! Buang-buang waktu saja!"
dengus Setan Jerangkong.
'Tidak! Sama sekali tidak. Desa Ganggang diam-diam menyimpan
dua pendekar tangguh. Dan ini berbahaya jika tidak cepat cepat
diselesaikan," Sanggamayit menjelaskan.
"Ah, hanya pendekar ingusan. Aku rasa kita tak perlu
turun tangan sendiri. Parang Kati saja yang goblok sampai dapat dipecundangi
seperti itu!"
"Mungkin aku akan menganggap begitu terhadap Parang
Kati jika dia tidak menyebutkan ciri-ciri pendekar muda yang merampas pedang
dari tangan para prajurit hanya dengan sekali gebrak saja."
"Sekali gebrak?!" Setan
Jerangkong nampak terkejut
"Apa yang menarik dari pendekar
itu?" tanya Iblis Mata Satu.
"Parang Kati menyebutkan kalau pendekar itu menyandang
pedang di punggung yang bertangkai kepala burung. Bajunya rompi berwarna putih.
Aku yakin kalian pasti mengenalinya," kata Sanggamayit.
"Pendekar Rajawali Sakti," gumam Iblis Mata Satu
dan Setan Jerangkong hampir bersamaan.
"Tepat!" sahut Sanggamayit
cepat.
Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong terdiam. Sementara kuda
yang mereka tunggangi menjadi lambat jalannya. Pikiran seluruh Tiga Setan
Neraka kini tercurah pada Pendekar Rajawali Sakti. Siapa yang tak kenal dengan
nama itu? Satu nama yang sangat disegani dan ditakuti hampir seluruh tokoh rimba
persilatan, baik yang beraliran putih maupun hitam.
Kini Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong mengerti, kenapa
Sanggamayit gelisah sedemikian rupa.
Ternyata bukan hanya karena kemunculan Dewi Selaksa Mawar saja yang jadi beban
pikirannya. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang membantu Desa Ganggang
dalam pembangkangan dapat menjadi sumber malapetaka besar bagi mereka. Tiga
tokoh hitam ini tahu benar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang
tidak kenal kompromi terhadap tokoh-tokoh rimba persilatan beraliran hitam.
"Lalu siapa pendekar satu
lagi?"
tanya Setan Jerangkong.
"Putri Jagabaya, Kepala Desa Ganggang," jawab
Sanggamayit.
"Sejak kapan si tua bangka Jagabaya punya anak?"
gumam Setan Jerangkong seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kita tak usah mempersoalkan dia anak siapa. Yang
penting sekarang, lenyapkan siapa saja yang coba-coba menjadi penghalang!"
dengus Iblis Mata Satu.
Bisu kembali menjalari mulut
mereka di atas kuda tunggangan
masingmasing. Kini mereka telah memasuki Hutan Dandaka. Dengan jalan seperti
ini, sore nanti mereka baru mencapai perbatasan Desa Ganggang yang berada di
tepi Hutan Dandaka. Hutan yang sering dilalui manusia ini sudah tidak begitu
lebat lagi. Jalan yang mereka lalui sekarang, seperti sengaja dibuat untuk
jalan pintas desa-desa sekitar Hutan Dandaka menuju Kerajaan Parakan.
Saat mereka tiba di tengah hutan, sekonyong-konyong Sanggamayit menghentikan kudanya. Iblis Mata
Satu dan Setan Jerangkong yang berada di samping kanan dan kiri ikut berhenti.
Tidak seperti biasanya, keadaan di tengah hutan ini sangat sepi dan sunyi.
Bahkan sepertinya burung-burung enggan berkicau memamerkan suaranya yang merdu.
Tiga Setan Neraka memasang telinga lebih tajam. Menyadari
suasana di tengah hutan tidak seperti biasanya, seketika itu juga mereka segera
waspada. Tanpa ada suara sedikit pun, mereka melompat hampir berbarengan dari
kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan kaki-kaki mereka. Pertanda kalau ilmu
meringankan tubuh mereka cukup tinggi, hampir mencapai kesempurnaan.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa
mengikik, menggema dari segala penjuru.
Belum lagi hilang suara tawa itu, mendadak sinar-sinar
keperakan melesat cepat menyambar tiga orang itu. Begitu cepatnya, sehingga
tiga orang itu terkejut setengah mati. Dalam sekejap saja mereka berlompatan
menghindari sinar-sinar itu.
Tap!
Sanggamayit melenting seraya menangkap salah satu sinar
keperakan yang mengancam dirinya. Bahkan Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong
pun berhasil menangkap satu dari sekian banyak sinar yang berkilatan bagai
hujan.
Kilatan sinar-sinar keperakan kini berhenti. Tiga Setan
Neraka menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. Gerakan mereka benar-benar
ringan dan sedap dipandang mata.
"Dewi Selaksa Mawar...," desis Sanggamayit ketika
mengetahui sinarsinar keperakan yang datang itu berbenruk bintang segi enam
yang di tengah-tengahnya tergambar sekuntum bunga mawar.
"Hm..., rupanya dia sudah mengetahui kehadiran
kita," gumam Setan Jerangkong.
"Hi hi hi..., tiga tikus got akhimya keluar juga dari
sarang busuknya," terdengar suara mengikik bergema.
"Dewi Selaksa Mawar, keluar kau! Jangan main
sembunyi-sembunyi seperti bocah ingusan!" teriak Iblis Mata Satu. Suaranya
menggema ke sekitarnya karena disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
"Hi hi hi...!" kembali suara
mengikik terdengar menggetarkan.
"Uh! Aku tidak suka main kucing-
kucingan begini!" dengus Setan
Jerangkong sengit.
Sanggamayit yang mengetahui kalau Dewi Selaksa Mawar hanya
menginginkan dirinya seorang, hanya diam saja. Namun matanya tajam beredar ke
sekeliling. Telinganya dipertajam dengan mengerahkan ilmu 'Pemecah Suara'.
Sedikit saja suara terdengar mencurigakan, matanya segera mengawasi ke arah
suara itu.
"Awas...!"
* * *
4
Tiga berkas sinar merah menyambar cepat ke arah Tiga Setan
Neraka. Peringatan Sanggamayit yang lebih cepat, membuat Iblis Mata Satu dan
Setan Jerangkong seketika melenting ketika sinar merah hampir mengancam diri
mereka. Sanggamayit pun tak kalah sigap. Dia melompat dan berputar dua kali di
udara. Sinar-sinar merah itu hanya menyambar sasaran kosong.
"Hiya...!"
Sanggamayit menjerit keras seraya mengerahkan jurus 'Pukulan
Petir'. Kedua tangannya didorong ke depan dalam posisi tubuh masih di udara.
Seketika dari kedua telapak tangan yang terbuka, meluncur dua kilatan sinar
yang menyilaukan mata ke arah pohon besar.
Memang tadi, Sanggamayit selintas melihat sumber datangnya
dua sinar merah adalah dari balik pohon itu. Seketika suara ledakan keras
terdengar setelah kilatan sibar yang dilontarkan Sanggamayit menghantam pohon.
Dalam sekejap saja pohon itu hancur berkeping-keping. Jelas kalau jurus
'Pukulan Petir' tadi disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Sanggamayit kembali menjejak tanah. Matanya dingin memandang
pohon yang kini hancur seperti baru saja diseruduk ribuan gajah. Asap yang
mengepul akibat hantaman sinar pada pohon itu, mulai menipis dan akhirnya
hilang sama sekali. Mata Sanggamayit terbelalak lebar ketika tidak mendapat apa
yang diharapkan dari pohon yang hancur itu.
"Hebat...! Sayang, hanya membuang-buang tenaga
percuma," terdengar suara keras penuh ejekan.
"Kadal!" dengus
Sanggamayit geram.
Kembali dipasang telinganya dengan mengerahkan ilmu 'Pemecah
Suara'. Hati Sanggamayit benar-benar penasaran dipermainkan seperti kerbau
dungu. Tapi hatinya sedikit cemas juga seandainya Dewi Selaksa Mawar telah
mengalami kemajuan yang pesat dalam kesaktiannya.
Jelas sekali kalau Sanggamayit melihat sinar merah tadi
bersumber dari balik pohon itu. Tapi setelah pohon itu hancur, kenapa dia tidak
ada di situ? Sementara Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong pun telah dengan
ilmu 'Pemecah Suara' mengamati suara-suara yang mencurigakan. Mata Tiga Setan
Neraka jelalatan mencari-cari arah sumber suara tawa mengikik yang seperti
datang dari segala penjuru mata angin.
"Setan! Ilmu apa yang digunakannya?" dengus
Sanggamayit gusar.
Seluruh kemampuan dalam ilmu 'Pemecah Suara' Sanggamayit
telah dikeluarkan semaksimal mungkin, namun sumber suara tawa yang mengikik
belum dapat dipastikan dari arah mana datangnya.
Demikian pula yang dialami Iblis Mata Satu dan Setan
Jerangkong. Mereka belum dapat menentukan di mana jati diri Dewi Selaksa Mawar
berada. Dalam hati, diakui juga kehebatan ilmu 'Pemindah Suara' yang dimiliki
Dewi Selaksa Mawar.
Memang, tinggi rendah suatu ilmu dapat diukur dari cara
seperti ini. Cara adu ilmu. Pada kenyataannya sekarang, ilmu 'Pemecah Suara'
yang dimiliki Tiga Setan Neraka tidak mampu menandingi ilmu 'Pemindah Suara'
Dewi Selaksa Mawar. Jelas kalau dari segi ilmu seperti ini, tingkat tenaga
dalam Dewi Selaksa Mawar lebih tinggi daripada Tiga Setan Neraka. Mungkin
hampir mendekati titik kesempurnaan.
Namun dari segi ilmu semacam itu, belum bisa menjadi jaminan
bagi Dewi Selaksa Mawar untuk mengalahkan Tiga Setan Neraka. Mereka ini
rata-rata memiliki kelebihan yang dapat menjadi andalan. Tingkat kesaktian Tiga
Setan Neraka memang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi kalau sampai adu
kesaktian pamungkas.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Iblis Mata Satu berteriak
nyaring.
Seketika dia berbalik seraya tangan kanannya mendorong ke
depan. Dan bersamaan dengan itu, seleret sinar merah juga meluncur deras ke
arahnya. Dari tangan kanan Iblis Mata Satu pun keluar sinar hijau membentuk
bulatan sebesar kepalan tangan manusia dewasa.
Yang terjadi selanjutnya adalah benturan dua sinar yang
berbeda, serta menimbulkan suara ledakan yang amat dahsyat. Pada saat yang
sama, Sanggamayit tidak ketinggalan dengan 'Pukulan Petir’ nya. Lalu disusul
oleh Setan Jerangkong yang menghantam dengan ilmu 'Cakra Buana' ke arah yang
sama.
Kemilau kilat dan bulatan bagai bola api meluncur hampir
bersamaan ke arah yang dituju Iblis Mata Satu. Suara ledakan dahsyat kembali
terdengar saat dua pukulan sakti jarak jauh menghantam sebuah batu besar di
antara tiga pohon jati.
Bersamaan dengan itu, berkelebat sebuah bayangan merah
keluar dari batu yang hancur terkena hantaman dua pukulan jarak jauh tadi.
Bayangan merah tadi berjumpalitan di udara, kemudian meluruk deras ke arah Sanggamayit.
Belum lagi sampai di tanah, bayangan itu kembali mengeluarkan sinar-sinar
keperakan ke arah Sanggamayit.
"Bedegul, keparat!" geram Sanggamayit sambil
berlompatan menghindari sinar-sinar yang mengancam dirinya.
Belum sempat Sanggamayit menjejakkan kakinya ke tanah,
bayangan merah telah menyerang dengan ganas. Untunglah, pada saat yang tepat
Setan Jerangkong melemparkan ranting kering ke arah kaki Sanggamayit Ketika
ranting kering itu menyentuh ujung jari kakinya, segera tidak disiasiakan
kesempatan ini. Sanggamayit melesat dengan meminjam ranting tadi sebagai
pijakan.
Serangan bayangan merah yang cepat bagai kilat itu gagal
total. Sanggamayit bersalto dua kali di udara, kemudian dengan manis mendarat
di tanah. Sementara wujud bayangan merah telah nampak jelas. Terlihat Dewi
Selaksa Mawar berdiri angkuh dengan wajah tegang menahan geram. Matanya tajam
memandang Setan Jerangkong yang telah menolong Sanggamayit.
"Curang!" dengus Dewi Selaksa Mawar.
Tiga Setan Neraka tidak mempedulikan dengusan itu. Mereka
segera menggeser dan berdiri berjajar. Sanggamayit berada di tengah-tengah.
"Sanggamayit, kembalikan kitab Tapak Geni padaku. Kau
tidak berhak memilikinya!" ujar Dewi Selaksa Mawar.
"Kau salah sangka, Dewi Selaksa Mawar. Aku tidak
mencuri kitab itu, apalagi memilikinya!" sahut
Sanggamayit.
"Dusta! Kau curi kitab Tapak Geni dari serambi bilik
semadi guruku. Kau gagal mendustainya, lalu mencuri kitab itu!" sentak
Dewi Selaksa Mawar. "Aku sudah bersumpah untuk mencari kitab itu dan
membunuhmu, Sanggamayit. Kaulah penyebab kematian guruku, setelah kau curi
kitab Tapak Geni!"
Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong saling pandang. Mereka
tidak tahu sama sekali kalau urusannya menyangkut sebuah kitab pusaka yang
menyimpan berbagai macam ilmu-ilmu kesaktian Tapak Geni. Ternyata urusan antara
Sanggamayit dengan Dewi Selaksa Mawar bukan sekedar urusan asmara belaka, tapi
lebih. rumit dari yang mereka sangka.
'Tidak ada yang memiliki benda ini selain kau,
Sanggamayit!" bentak Dewi Selaksa Mawar sambil melemparkan sebuah ruyung
kecil dari perak. "Guruku tewas karena benda keparat itu!"
Tiga Setan Neraka terkejut melihat senjata rahasia itu.
Jelas sekali kalau senjata itu memang milik Sanggamayit. Ini dapat dikenali
dari tangkainya yang terukir gambar kepala tengkorak manusia terbelah. Tak ada
yang mempunyai ruyung perak semacam itu selain Sanggamayit.
"Hm..., aku kena fitnah," gumam Sanggamayit.
"Masih ingin mengelak dari tanggung jawab,
Sanggamayit?" sinis suara Dewi Selaksa Mawar.
"Aku tahu siapa yang berbuat curang seperti ini,"
lagi Sanggamayit bergumam.
"Siapa?" tanya Setan Jerangkong
mendengar gumaman itu.
"Setan Arak," jawab Sanggamayit
pasti.
"Kalau begitu, kau harus buktikan kalau kau tidak
mencuri kitab itu," kata Iblis Mata Satu.
"Sulit," Sanggamayit
menggeleng-
gelengkan kepalanya. "Aku tidak
tahu di mana Setan Arak tinggal. Dia tidak pernah menetap pada satu
tempat"
Benar juga kata-kata Sanggamayit itu. Mencari Setan Arak
sama juga mencari sebatang jarum di padang luas. Mereka semua tahu siapa
sebenarnya Setan Arak. Dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang kejam,
serta selalu menggunakan berbagai cara demi mencapai apa yang diinginkan.
Sebenamya, Setan Arak masih ada hubungan kerabat dengan
Sanggamayit. Dua puluh tahun yang lalu, Setan Arak pernah berkunjung ke
kediaman
Sanggamayit selama satu minggu.
Tapi, sepeninggal Setan Arak tiba-tiba saja guru Dewi Selaksa Mawar tewas. Saat
itu bersamaan waktunya dengan aksi Tiga Setan Neraka merebut istana Kerajaan
Parakan.
Rupanya, peristiwa yang telah terpendam dua puluh tahun itu
baru terungkap sekarang. Namun sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya.
Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu belum bisa memutuskan siapa sebenarnya
yang bersalah. Salah atau benar, yang jelas mereka berada di jalan yang salah.
"Memang sulit, karena Dewi Selaksa Mawar telah
menjatuhkan tuduhan," gumam Iblis Mata Satu.
"Serang dia dari beberapa jurusan, lalu cepat
pergi," kata Sanggamayit pelan.
Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu mengangguk berbarengan.
Mereka cepat mengerti maksud Sanggamayit. Seketika itu juga mereka melompat
menjauhi Sanggamayit
Melihat dua orang yang melompat itu telah mengambil posisi,
Dewi Selaksa Mawar langsung memasang kuda-
kuda. Matanya menjadi sibuk
memperhatikan tiga jurusan yang saling berjauhan letaknya. Dia sadar kalau
lawan-lawan yang dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap enteng.
Tiba-tiba Tiga Setan Neraka berteriak nyaring
bersamaan.
Wusss...!
***
Dewi Selaksa Mawar memutar tubuhnya dengan cepat melihat
tiga orang itu telah melompat bersamaan. Cepat gerakan Tiga Setan Neraka,
sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja. Mereka berlompatan melewati atas
kepala Dewi Selaksa Mawar.
Untuk menghindari serangan itu, Dewi Selaksa Mawar terpaksa
menjatuhkan diri. Tubuhnya
bergulingguling, karena Tiga Setan Neraka langsung mencecar dengan
pukulanpukulan jarak jauh. Debu-debu dan daun-daun kering berterbangan di
sekitar tubuh Dewi Selaksa Mawar. "Celaka!" desis Dewi Selaksa Mawar.
Dengan cepat, Dewi Selaksa Mawar menggunakan totokan jari
telunjuknya ke tanah sebagai tolakan untuk melenting di udara. Tiga kali dia
bersalto di udara, lalu turun. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Tiga
Setan Neraka telah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang sangat
berbahaya. Sungguh tidak disadari oleh Dewi Selaksa Mawar kalau semua serangan
itu hanya untuk mengacaukan perhatiannya saja. Memang sengaja Tiga Setan Neraka
tidak mengarahkan pada sasaran yang tepat, tapi cukup membuat repot lawannya
itu.
Dewi Selaksa Mawar yang terlambat melenting kembali, menjadi
tertegun beberapa saat. Ternyata, pukulan Tiga Setan Neraka hanya jatuh tepat
pada ujung kakinya.
"Setan! Kalian mempermainkan aku!" geram Dewi
Selaksa Mawar ketika menyadari kalau serangan-serangan itu hanya pura-pura
saja.
Dalam ketertegunan yang hanya sejenak itu, dimanfaatkan Tiga
Setan Neraka untuk kabur. Begitu cepat dan ringannya gerakan mereka, sehingga
dalam sekejap bayangan tubuhnya telah tak terlihat lagi. Dewi menjadi bingung
karena tidak tahu harus mengejar yang mana. Tiga Setan Neraka kabur ke arah
tiga jurusan yang berbeda, namun tidak jelas masingmasing mengarah ke jurusan
mana.
Melihat hal ini, Dewi Selaksa Mawar menjerit sekuat-kuatnya
untuk melampiaskan kejengkelan yang menggelegak dalam dada. Dia kesal sekali
karena masih dapat terkecoh oleh Tiga Setan Neraka. Belum puas dengan
pelampiasannya, Dewi Selaksa Mawar terus mengumbar nafsunya dengan memuntahkan
semua aji 'Pukulan Batara Geni' sekuat-kuatnya.
"Hiya...!
Yaaa...!"
Dari kedua tangannya terlontar sinar-sinar merah yang
berkelebat menghantam batu-batu dan pepohonan di sekitarnya. Dewi Selaksa Mawar
mengerahkan seluruh kekuatan ilmu 'Pukulan Batara Geni' yang dibarengi oleh
rasa amarah yang luar biasa. Akibatnya memang menggetarkan. Batubatuan dan
pepohonan hancur berantakan terkena pukulan dahsyat itu.
"Sanggamayit, kau harus mati di tanganku...,
hiyaaa!" teriak Dewi Selaksa Mawar kalap.
Hutan Dandaka bagai diamuk ribuan gajah, hancur tidak karuan
terkena jurus maut itu. Pohon-pohon bertumbangan, batu-batu hancur berantakan
mengepulkan debu pekat. Puas melampiaskan kekesalannya, Dewi Selaksa Mawar
jatuh tertunduk lemas.
Kepalanya lunglai bagai tak memiliki
tulang leher. Dengus napasnya mengguruh, diikuti oleh dada dan bahu yang
berguncang hebat menahan isak. Ya..., Dewi Selaksa Mawar menangis. Rasa marah,
benci, kecewa, sakit hati, serta cinta, membuat batinnya bagai tertindih batu
gunung yang amat besar dan berat.
Dua puluh tahun
diperdalam ilmu-
ilmu kesaktiannya hanya untuk
menghadapi Sanggamayit. Selama waktu itu pula dicarinya laki-laki itu. Tapi
kini, setelah bertemu masih juga dapat diperdaya. Akan sia-siakah semua
usahanya selama dua puluh tahun ini? Apakah wanita memang ditakdirkan selalu
kalah oleh laki-laki? Tidak! Sanggamayit harus mati di tanganku! Batin Dewi
Selaksa Mawar terus bergolak.
"Uh! Siapa kau?" Dewi Selaksa Mawar terkejut
ketika mengangkat kepalanya.
Entah dari mana
datangnya, tiba-
tiba saja di depannya telah berdiri
seorang pemuda tampan. Bergegas Dewi Selaksa Mawar bangkit seraya menghapus air
matanya. Tatapannya tajam bagai hendak menelan bulat-bulat pemuda di depannya
itu. Dua langkah dia mundur ke belakang.
"Ada yang mengganggumu, Nek?"
tanya suara lembut dan sopan.
"Siapa kau?" tanya Dewi Selaksa Mawar tidak
menggubris pertanyaan anak muda itu.
"Aku...,
namaku Rangga."
***
"Mengapa Nenek menangis di tengah hutan seperti
ini?" tanya Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa menghiraukan tatapan tajam Dewi Selaksa Mawar,
pendekar muda ini duduk bersila di tanah. Pandangan matanya tetap lembut ke
arah wajah tua keriput di depannya.
"Mungkin kehadiranku mengejutkanmu. Maaf, aku hanya
sekedar lewat dan ingin beristirahat di sini," ujar Rangga merasa tidak
mendapat tanggapan apa-apa dari lawan bicaranya.
Dewi Selaksa Mawar mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Pemandangan hutan yang sebelumnya indah menyejukkan mata, kini porak poranda
tidak karuan.
"Mau ke mana tujuanmu?" tanya Dewi Selaksa Mawar.
Suaranya masih belum ramah.
"Ke kotapraja," jawab Rangga kalem. Bibirnya
menyungging senyum tipis.
"Untuk apa ke
sana?"
"Mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Gusti Prabu
Salya."
"Edan! Untuk apa kau mencari raja boneka?" agak
kaget juga perempuan tua itu mendengar kejujuran Rangga.
"Raja boneka? Aku tidak mengerti maksudmu, Nek,"
Rangga mengamati wajah perempuan tua di depannya.
Dewi Selaksa Mawar menarik napas dalam-dalam sebentar, lalu
duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun jaraknya masih cukup jauh,
sekitar satu setengah batang tombak. Sedikit demi sedikit ketegangan di wajah
Dewi Selaksa Mawar mulai berkurang. Perempuan itu telah dapat meraba kalau anak
muda ini bukan orang sembarangan. Anak ini paling tidak memiiiki tingkat
kepandaian yang tinggi, pikir Dewi Selaksa Mawar.
"Mau apa kau
cari raja boneka
itu, heh?" tanya Dewi Selaksa
Mawar.
"Mau
protes," sahut Rangga tegas.
"Protes...? Ha ha ha...!" Dewi Selaksa Mawar malah
tertawa terbahakbahak.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?" tanya
Rangga sedikit kurang senang.
"Dari desa mana asalmu, anak muda?" Dewi Selaksa
Mawar berbalik bertanya.
"Desa
Ganggang," jawab Rangga.
"Hm..., tidak jauh dari sini, hanya setengah hari
perjalanan berkuda. Desa itu memang masih bagian wilayah Kerajaan
Parakan," gumam Dewi Selaksa Mawar.
Rangga hanya berdiam diri dengan bola matanya tetap
mengamati raut wajah keriput di depannya. Hatinya bertanya-tanya tentang maksud
katakata raja boneka.
"Percuma saja. Jangan kau teruskan niatmu, anak muda.
Gusti Prabu Salya tidak bisa menentukan sendiri. Dia dikendalikan orang lain
dalam memimpin tampuk pemerintahan," ujar Dewi Selaksa Mawar.
"Aku tak mengerri maksudmu, Nek?" Rangga belum
paham benar maksud perkataan Dewi Selaksa Mawar.
"Gusti Prabu Salya yang sekarang, bukanlah gusti prabu
yang dulu. Segala tindakannya kini dikendalikan oleh tiga orang yang menamakan
dirinya Tiga Setan Neraka. Semua yang terjadi di Kerajaan Parakan dan sekitarnya,
sebenarnya bukan tanggung jawab Gusti Prabu Salya, tapi tanggung jawab tiga
orang itu," Dewi Selaksa Mawar menjelaskan.
"Siapa Tiga Setan Neraka itu sebenarnya?" tanya
Rangga semakin tertarik.
"Mereka adalah Iblis Mata Satu, Setan Jerangkong, dan
Sanggamayit," Dewi Selaksa Mawar menekan suaranya saat menyebut nama
Sanggamayit "Mereka adalah tokoh rimba persilatan golongan hitam. Sepak
terjangnya selalu merugikan. Mereka tidak segan-segan membunuh siapa saja yang
coba-coba menghalangi niat mereka."
"Bagaimana mereka bisa menguasai Gusti Prabu
Salya?" tanya Rangga.
"Sangat mudah, karena Sanggamayit anak dari salah satu
selir raja Parakan yang terdahulu."
"Maksud
Nenek, Ayah Gusti Prabu
Salya?"
"Benar."
"Hm, jadi antara Gusti Prabu dengan Sanggamayit masih
saudara tiri...," gumam Rangga mulai dapat mengerti duduk persoalannya.
'Tepat! Sanggamayit tahu kalau dirinya tidak bisa menjadi
raja Parakan, karena hanya anak selir. Lalu, dia bersama dua saudara angkatnya
berhasil menguasai kerajaan dengan menempatkan Gusti Prabu Salya tetap menjadi
raja."
"Dan semua
tampuk pemerintahan
dikendalikan mereka," celetuk
Rangga.
Dewi Selaksa Mawar
menganggukkan
kepalanya.
"Hal ini
tidak boleh didiamkan,"
desis Rangga.
Bibir Dewi Selaksa Mawar tersenyum mendengar desisan itu.
Hatinya mulai sedikit terhibur. Dia
sadar kalau hanya seorang diri, tidak mungkin dapat mengalahkan Tiga Setan
Neraka. Dan sekarang ada orang lain yang akan memusnakan mereka bertiga
meskipun dengan maksud dan tujuan berbeda. Dewi Selaksa Mawar semakin lebar
senyumnya. Benaknya penuh dengan rencana-rencana untuk memanfaatkan kehadiran
anak muda ini.
"Maaf, Nek Aku harus segera ke kotapraja," kata
Rangga seraya berdiri.
"Untuk apa ke sana? Orang yang kau cari tidak ada lagi
di sana," cegah Dewi Selaksa Mawar.
Rangga tercenung.
"Mereka baru saja dari sini. Aku telah berusaha
menghalangi tujuan mereka, tapi aku kalah," ucap Dewi Selaksa Mawar
menekan suaranya.
"Jadi, itu sebabnya kau mengamuk
tadi?"
"Ya. Lebih baik aku mati dalam pertarungan daripada
kalah menderita malu."
"Ke mana
tujuan mereka?"
"Desa
Ganggang."
Rangga tercengang mendengarnya. Mendadak hatinya cemas,
karena desa itu tentu akan hancur lebur diamuk oleh Tiga Setan Neraka yang
terkenal kejam dan ganas. Tidak mungkin Ratih dapat menandingi hanya seorang
diri.
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga cepat mencelat pergi. Dewi
Selaksa Mawar tidak mencegah, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian kakinya
melangkah pelan mengikuti arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia
berjalan dengan tujuan pasti, Desa Ganggang.
"Aku yakin anak muda itu pasti mampu menandingi Tiga
Setan Neraka," gumam Dewi Selaksa Mawar.
***
5
Rangga tercenung menyaksikan rumah Kepala Desa Ganggang
berantakan. Dua mayat laki-laki yang biasa menjaga rumah ini telah menggeletak
menjadi mayat di tangga pintu rumah yang hancur berantakan. Rangga terus menuju
ke dalam melewati dua mayat itu. Matanya membelalak menyaksikan keadaan ruangan
yang porak poranda seperti kapal pecah. Meja kursi pecah tak tentu arah. Darah
berceceran di manamana.
"Ratih...,"
desis Rangga tiba-
tiba ketika teringat gadis cantik
putri kepala desa.
"Ooohhh...," tiba-tiba terdengar suara rintihan
memelas dari salah satu kamar.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah menuju kamar
itu. Kedua bola matanya melebar bagai hendak loncat ke luar ketika melihat Ki
Jagabaya tergeletak di antara puing-puing dari barang-barang yang hancur. Darah
membanjiri sekitar tubuhnya. Dadanya terkoyak lebar seperti terkena sabetan
senjata tajam.
"Ki...!"
seru Rangga langsung
menghampiri.
'Tolong..., tolong Ratih...," Brih dan terputus-putus
suara Ki Jagabaya.
"Ratih! Di mana Ratih?" tanya Rangga begitu
khawatir akan keselamatan Ratih.
"Dia...,
aaah...!"
"Ki..., Ki Jagabaya!" Rangga mengangkat kepala
laki-laki tua itu. Didekatkan telinganya ke bibir Ki Jagabaya yang bergerak
lemah.
"Katakan, Ki.
Di mana Ratih?"
desak Rangga.
"Di..., diculik...,"
makin lemah
suara Ki Jagabaya.
"Siatja yang
menculik?"
'Ti..., ah!"
"Ki...!"
Rangga menggoyang-
goyangkan tubuh Ki Jagabaya yang
terkulai Iemas.
Rangga memandang wajah laki-laki tua Kepala Desa Ganggang
yang telah pucat Tubuhnya telah terasa dingin dan kaku. Pendekar Rajawali Sakti
meletakkan tubuh kepala desa yang malang ini. Darah segar masih merembes dari
dada yang terkoyak lebar.
Mata Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling. Tidak
ada keterangan yang berarti yang didapat di sini. Keadaannya sangat berantakan
sekali. Pelan-pelan kakinya melangkah ke luar. Matanya kembali beredar ke
sekeliling sambil terus melangkah menuju ke bagian belakang. Sesosok mayat
wanita tergeletak di lantai papan rumah ini. Lehernya hampir putus terbabat
senjata tajam.
Rangga menggeram menyaksikan kekejaman ini. Beberapa mayat
masih ditemukan di sekitar rumah Ki Jagabaya ini. Semua dalam keadaan yang
sangat menyedihkan. Bau anyir darah menyebar kemana-mana, terbawa tiupan angin
senja sejuk sepoi-sepoi.
"Oh, tolong...," terdengar
suara
rintihan lirih.
Rangga menoleh. Tampak seorang laki-laki tua tengah
mengerang kesakitan dekat pojok rumah. Sebelah tangannya buntung, dan perut
robek hingga ususnya terburai. Rangga bergegas menghampiri laki-laki tua itu.
Dia jongkok, lalu mengangkat kepala orang itu yang masih bergerak lemah.
"Oh, tolong. Tolong selamatkan Nini Ratih," lirih
suara laki-laki tua itu.
"Di mana Ratih?"
tanya Rangga.
"Di...,
diculik...."
"Siapa yang
menculik?"
"Set...,
Setan Arak."
Rangga tercengang ketika mendengar nama Setan Arak disebut.
Dia ingin bertanya lagi, tapi laki-laki tua itu telah menghembuskan napasnya
yang terakhir. Pelan-pelan diletakkan tubuh laki-laki tua itu, lalu bangkit
berdiri sambil memandangi mayat yang masih baru itu.
Saat kaki Rangga melangkah ke depan rumah kepala desa,
Rangga melihat sebuah guci arak dari tanah liat tergeletak di lantai beranda
rumah. Di dekatnya tampak sebuah meja kecil terguling. Rangga menghampiri dan
mengambil guci itu.
"Setan Arak, apa urusannya membantai keluarga Ki
Jagabaya?" gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali
Sakti itu tiba-
tiba tersentak ketika telinganya
mendengar desiran angin. Segera dia melompat ke luar. Sekelebat matanya masih
menangkap bayangan hijau melesat turun dari atas genteng. Pendekar Rajawali
Sakti pun mengempos tenaga, lalu melompat tinggi melewati atap.
Dua kali dia berputar di udara, lalu
hinggap kembali di tanah.
"Hm, siapa dia?" bisik Rangga
bertanya dalam hati.
Matanya yang setajam mata
Rajawali, cepat melihat bayangan
hijau yang masih berkelebat menembus lebatnya pepohonan. Walaupun sinar
matahari senja itu sangat membantu bayangan hijau untuk cepat menyelinap, namun
bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu tidaklah sulit untuk mengintainya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga menjejak tanah
seraya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Seketika tubuhnya
menjadi ringan bagai kapas. Dalam sekejap Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat
menembus lebatnya pepohonan di bagian belakang rumah Kepala Desa Ganggang ini.
Gerakannya begitu ringan dan cepat seperti tidak menapak tanah lagi.
"Uh! Dia hanya berputar-putar saja!" dengus Rangga
merasa telah tiga kali melewati jalan yang sama.
Pendekar RajawaB Sakti melenting tinggi, lalu hinggap di
atas dahan pohon yang tinggi menjulang. Matanya nyalang memutari sekitarnya,
dan tertumbuk pada kelebatan bayangan hijau kembali yang bergerak ke sebelah
barat Rangga terus mengamati ke mana saja bayangan itu bergerak. Ternyata
bayangan itu tidak lagi berputar ke arah yang sama, melainkan menuju ke arah
Utara.
"Mau ke mana dia? Bukankah arah itu menuju ke Bukit
Batu Tiga?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' dan dibarengi dengan ilmu 'Sayiti Angin'. Kini
tubuhnya melayang ringan bagai selembar bulu halus. Seperti seekor burung,
pendekar muda itu melenting dari satu ujung pohon ke ujung pohon lainnya. Namun
demikian, matanya tidak lepas mengamati bayangan hijau yang berada cukup di
depannya.
"Sampai di mana, aku akan mengikutinya! Penasaran juga,
siapa sih dia?" otak Rangga terus berputar.
Sementara senja telah berganti malam. Situasi ini sangat
menguntungkan bagi Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya yang melayang dari satu
pucuk pohon ke pucuk pohon yang lain, sulit terlihat oleh mata manusia biasa.
Seorang tokoh sakti pun, mungkin hanya dapat melihat bayangannya saja yang
berkelebatan. Suatu perpaduan ilmu kesaktian yang sangat sempurna.
Namun begitu, Rangga juga mengakui kelebihan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki si bayangan hijau itu. Meskipun Pendekar
RajawaB Sakti telah memadukan dua ilmunya itu, tapi masih juga belum dapat
mengejar bayangan tadi. Jaraknya memang semakin dekat saja, tapi memerlukan
waktu yang cukup lama untuk dapat mengejar.
Pendekar RajawaB Sakti meluruk turun dari atas pohon ketika
telah tiba di puncak Bukit Batu Tiga. Memang sesuai dengan namanya, tepat di
tengah-tengah puncak bukit ini terdapat tiga buah batu yang bentuknya sama
dengan posisi yang berjajar. Jika malam seperti ini, tiga batu itu bagai tiga
raksasa yang selalu siap menjaga bukit ini. Bentuknya besar hitam, menjulang di
antara pucuk-pucuk pepohonan.
Bola mata Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling.
Keadaan Bukit Batu Tiga ini telah gelap gulita. Kabut semakin tebal menyelimuti
puncaknya, menambah pekat dan dingin di tempat itu.
"Ke mana dia? Mengapa menghilang
di sini?" Rangga bertanya dalam
hati.
Pelan-pelan kakinya terayun mendekati tiga batu besar yang
menyerupai raksasa. Bola matanya terus mengamati keadaan sekitarnya. Suasana
sunyi senyap menyelimuti sekitar puncak ini. Terasa lengang dan nyaris tanpa
suara. Hanya desir angin saja yang terdengar lembut menerpa daun telinga.
Binatang malam pun seperti enggan memperdengarkan suaranya.
Rangga berhenti tepat di depan batu yang berada di tengah
dari tiga batu besar yang berbentuk sama berjajar. Sebentar diamatinya batu
hitam besar yang ada di depannya, lalu kembali mengamati ke sekeliling. Keadaan
masih tetap sunyi kecuali desah angin malam yang dingin.
Saat Pendekar Rajawali Sakti dalam keadaan bingung, mendadak
berkelebat cahaya keperakan ke arahnya. Hanya sedikit saja dimiringkan
tubuhnya, maka sinar itu hanya lewat di samping bahu, dan menancap di batu
besar hitam pekat
"Uts!"
Belum sempat Rangga melirik benda yang tertancap itu,
mendadak muncul kembali cahaya keperakan. Untunglah pendekar muda ini cepat
menggeser kakinya ke kiri. Dengan gerakan tangkas, tangannya menangkap cahaya
keperakan itu.
"Ruyung perak...," desis Rangga pelan. Belum juga
bibirnya kering, kembali sinar meluncur deras. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti
harus bersalto menghindari serangan gelap yang mendadak itu. Matanya yang tajam
dapat cepat mengetahui sumber senjatasenjata rahasia itu berasal. Segera kedua
tapak kakinya dihentakkan ke batu.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan sebatang anak
panah lepas dari busur, meluncur deras ke arah sinar-sinar keperakan itu
muncul. Masih dalam keadaan melayang, pendekar muda ini melontarkan pukulan
jarak jauh.
Tiga sosok tubuh berlompatan dari balik pohon besar yang
hancur berantakan terkena pukulan jarak jauh dengan kekuatan tenaga dalam yang
tinggi. Rangga berputar dua kali di udara sebelum kakinya menjejak tanah dengan
manis. Tiga sosok tubuh itu juga mendarat dengan indah.
"Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali
Sakti," kata salah seorang yang berada di tengah dari tiga orang itu.
"Kaliankah yang berjuluk Tiga Setan Neraka?" tanya
Rangga.
'Tidak salah!"
Rangga mengamati orang yang berada di tengah. Pakaiannya
serba hijau. Dan wajahnya..., persis seperti mayat! Dingin, pucat, dan kaku,
tanpa garis kehidupan. Memang ketioa orang itu adalah, Sanggamayit, Iblis Mata
Satu, dan Setan Jerangkong.
"Orang lain boleh gentar dengan julukan kalian. Tapi
aku malah ingin meminta nyawa kalian," terdengar dingin suara Rangga.
"He he he...," Iblis Mata Satu terkekeh.
"Biarkan aku yang memberi pelajaran pada bocah sombong ini"
"Hati-hati," bisik Sanggamayit
Iblis Mata Satu menjawab dengan suara tawa terkekeh. Kakinya
bergerak maju. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya dengan Pendekar
Rajawali Sakti berkisar satu batang tombak.
"Majulah, serang aku!" dengus Iblis Mata Satu.
"Hm, sebaiknya kalian bertiga
maju semua," ejek Rangga.
"Tidak perlu! Salah seorang dari kami pun kau belum
tentu dapat menandingi," Iblis Mata Satu tidak kalah meremehkan.
"Jangan menyesal kalau kau mati
lebih dulu."
"He he he..., mulutmu rasanya
perlu dibuat lebar lagi, bocah."
Selesai berkata demikian, Iblis Mata Satu segera mendorong
tangan kanannya ke depan. Seberkas sinar merah meluncur deras dari telapak
tangannya yang terbuka. Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.
Sinar itu hanya lewat begitu saja di sampingnya.
Belum lagi Rangga merobah posisinya, tangan kiri Iblis Mata
Satu telah mendorong ke depan. Kilatan sinar merah kembali meluncur deras.
Rangga menarik tubuhnya ke kanan, namun dari arah kanan juga telah meluncur
sinar merah.
Sadar kalau posisinya terjepit, Rangga langsung melesat ke
udara. Tanpa sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega'. Bagai kilat tubuh Rangga meluncur ke arah Iblis Mata Satu. Tangannya
mengepak cepat dan kuat bagai sepasang sayap rajawali.
"Bangsat!" umpat Iblis Mata Satu tidak menyangka
kalau lawannya mampu menghindar, dan bahkan dengan cepat membalas serangannya.
Iblis Mata Satu menarik kakinya mundur dua tindak
menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat
bertindak, tangan kiri pendekar muda itu telah berkelebat lagi menyapu ke arah
dada. Iblis Mata Satu tidak ada pilihan lain, kecuali mengangkat tangannya
menangkis kibasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Trak!
Dua tangan beradu keras sehingga menimbulkan suara bagai
kayu patah. Iblis Mata Satu melompat mundur sambil meringis menahan sakit
Tangannya seperti remuk saat berbenturan tadi. Sementara Rangga telah
bersiap-siap hendak menyerang kembali. Kedua tangannya terkembang bergerak
cepat menyerang lawan yang tengah merasakan sakit pada pergelangan tangannya.
Bet!
Sebatang ranting kering menghantam ujung jari tangan Rangga
pada saat hampir mengenai dada Iblis Mata Satu. Cepat-cepat Rangga menarik
tangannya. Kesempatan yang sedikit ini dimanfaatkan Iblis Mata Satu untuk
mengirimkan tendangan mautnya. Untunglah pendekar satu ini cepat melompat
mundur menghindari tendangan maut lawan.
"Curang!" dengus Rangga geram.
"Dalam pertarungan tidak ada yang jujur," sinis
suara Iblis Mata Satu. Pergelangan tangan kanannya tidak ada lagi terasa nyeri.
Rangga menggeram menatap dua orang yang tersenyum-senyum
mengejek. Rangga tidak tahu, siapa di antara dua orang itu yang berlaku curang
dengan melempar ranting pada saat Iblis Mata Satu hampir dapat dikalahkan.
"Maju kalian semua, keparat!"
geram Rangga.
"He he he..., sudah kukatakan, melawan aku saja kau
tidak bakalan mampu menandingi," ejek Iblis Mata Satu. Kata-katanya pelan
dan teratur tapi sangat menusuk gendang telinga. Menyakitkan.
Berkerut geraham Rangga menahan marah. Dia benar-benar tidak
menyukai cara bertarung Tiga Setan Neraka. Untungnya mereka membokong hanya
dengan ranting kering. Mungkin kalau pertarungan telah mencapai tingkat paling
tinggi, bisa-bisa mereka menggunakan senjata rahasia untuk membokong. Rangga
mendengus menyadari kecurangan dan kelicikan Tiga Setan Neraka yang
menghalalkan segala cara.
"Hm, aku harus memperhatikan yang
lain juga," gumam Rangga dalam
hati.
"Mengapa diam saja bocah?
Takut?"
ejek Iblis Mata Satu.
"Phuih!" Rangga menyemburkan
ludahnya ke tanah.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Dia yakin dengan jurus ini saja Iblis Mata Satu masih
belum dapat menandingi. Memang, cara bertarung Tiga Setan Neraka tidak seperti
tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya. Oleh sebab itu, Rangga harus lebih
waspada terhadap serangan gelap.
"Awas kepala!" teriak Rangga
keras dan tiba-tiba.
"Uts!" Iblis Mata Satu merunduk ketika tangan kiri
Rangga menyapu bagian kepalanya.
Tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti hanya lewat beberapa
helai rambut di atas kepala lawan. Namun dengan cepat, tangan kanan Rangga
bergerak menyodok ke arah ulu hati.
Gerakan yang hampir bersamaan itu
membuat Iblis Mata Satu terkesiap. Tanpa memikir dua kali, dilentingkan
tubuhnya ke belakang.
Kesempatan inilah yang ditunggu Rangga. Ketika tubuh iblis
Mata Satu berada di udara, secepat kilat dia meloncat dengan dua tangan
terkembang ke samping. Lalu dengan cepat tubuhnya meluruk dengan kaki bergerak
cepat seperti baling-baling menuju ke arah lawan.
Sedikit lagi kaki Rangga mengenai sasaran, mendadak seberkas
sinar keperakan mengancam kakinya. Rangga yang sejak tadi mengawasi dua orang
yang berdiri menyaksikan, dengan cepat merobah posisi tubuhnya. Dan....
Tring!
Pendekar Rajawali Sakti menyentil senjata rahasia yang
dilepaskan Sanggamayit untuk menyelamatkan Iblis Mata Satu. Senjata itu pun
kini berbalik arah dengan cepat ke pemiliknya. Tentu saja Sanggamayit menjadi
terkejut. Buru-buru dikerahkan tangannya menangkap senjata rahasianya sendiri.
Pada saat yang bersamaan, Rangga berhasil menghantam Iblis
Mata Satu dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Iblis Mata
Satu yang posisinya kurang menguntungkan, segera mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya untuk memapak serangan itu.
"Akh!" Iblis Mata Satu memekik tertahan. Seketika
itu juga tubuhnya mencelat dan terhempas deras ke tanah. Dari mulutnya
menyembur darah segar. Wajah Iblis Mata Satu meringis merasakan seluruh
tubuhnya bagai remuk terhantam batu karang yang amat kokoh dan keras.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti juga sempat terdorong
dua langkah ke belakang. Sedikit dia terhuyung, namun dengan cepat kembali
bersiap-siap menerima serangan. Beberapa saat ditunggu, tapi tak ada serangan
yang datang dari pihak lawan. Matanya tajam menatap dua orang dari Tiga Setan
Neraka yang masih berdiri di tempatnya. Sedangkan Iblis Mata Satu telah dapat
bangkit lagi. Dari sudut bibirnya masih mengucur darah segar.
"Mundur kau, Iblis Mata Satu," pelan suara
Sanggamayit, tapi cukup jelas terdengar.
Iblis Mata Satu hanya mendengus. Dia melirik sebenrar pada
Pendekar Rajawali Sakti, lalu mundur mendekati dua saudara angkatnya. Dengan
ujung lengan baju, disekanya darah yang merembes dari sudut bibirnya.
"Dia terlalu tangguh buatmu, jika kau lawan
sendirian," kata Sanggamayit setengah berbisik.
"Ilmunya sungguh luar biasa. Untung kugunakan aji
'Lapis Karang Baja'," dengus Iblis Mata Satu.
"Kau terluka?" tanya Setan
Jerangkong.
"Tidak. Hanya dadaku terasa sesak sedikit," jawab
Iblis Mata Satu mengakui.
"Semadilah dahulu.
Biar kugantikan," ujar Setan
Jerangkong.
"Hati-hati," Iblis Mata Satu
memperingatkan.
Setan Jerangkong hanya tersenyum tipis. Kemudian dia
melompat dan turun tepat sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Setan Jerangkong yang telah menilai pertarungan sebelumnya, tidak mau gegabah.
Sikapnya memang masih meremehkan, namun sinar matanya tajam menusuk menandakan
kesungguhan.
"Sudah kukatakan, majulah kalian
bertiga!" ejek Rangga.
"Jangan banyak bacot! YeaahhJ" Setan Jerangkong
yang kurus kering itu segera mengeluarkan jurus mautnya. Rangga hanya
mengernyitkan alisnya sedikit melihat manusia yang lebih mirip tengkorak hidup
ini menggerakgerakkan tangannya yang kurus kering. 'Tahan seranganku'"
teriak Setan Jerangkong.
***
Rangga mulai dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
kembali. Kedua tangannya langsung merentang ke samping dan bergerak-gerak
cepat. Bahkan setiap gerakannya kini menimbulkan suara menderu dan menyebarkan
hawa panas yang kian lama kian menyengat kulit.
Gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sangat cepat dan
lincah menghindari setiap serangan la-wan. Beberapa kibasannya kali ini hampir
mengenai sasaran. Setan Jerangkong menyumpah-nyumpah geram menghadapi
kenyataan, karena setiap serangannya selalu kandas. Bahkan dia hampirhampir
tidak tahan lagi merasakan hawa panas yang keluar dari setiap kibasan tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Memang, pendekar satu ini mengerahkan jurus gabungan
'Sayap Rajawali Membelah Mega' dengan hawa panas yang diambilnya dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali”.
Tiba-tiba tubuh Rangga melenting ke atas, lalu dengan cepat
merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Perubahan jurus
yang tiba-tiba ini membuat Setan Jerangkong kelabakan.
"Bedebah! Kadal busuk!" umpat Setan Jerangkong.
Secepat kilat, dibuang tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan
beberapa kali sebelum bangkit berdiri. Belum juga pijakan kakinya mantap,
mendadak kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti melayang deras.
Plak!
Setan Jerangkong menangkis kaki itu dengan tangan kirinya.
Dua langkah dia mundur ke belakang. Bibirnya meringis merasakan nyeri yang amat
sangat pada pergelangan tangan kirinya yang berbenturan dengan kaki lawan.
"Awas
kaki!" teriak Rangga tiba-
tiba.
"Uts!"
Setan Jerangkong terlonjak karena dengan tiba-tiba sekali
kaki Rangga menyapu ke arah kakinya. Dan sebelum tiba pada sasaran, dengan
cepat Pendekar Rajawali Sakti merubah sasarannya menjadi ke arah perut Begitu
cepatnya perubahan arah itu, sehingga Setan Jerangkong tidak sempat lagi
mengelak.
Tapi....
"Kurang
ajar!" dengus Rangga
geram.
Tepat saat
kakinya hampir
menjejak perut Setan Jerangkong, tibatiba saja
berkelebat bayangan hijau yang langsung menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti
hingga terdorong dan jatuh bergulingan di tanah.
Dengan sigap Rangga berdiri kembali. Dadanya terasa sesak,
napasnya tersengal-sengal. Cepat cepat dikerahkan hawa murni ke dadanya. Dalam
waktu yang tak lama, napasnya kembali normal seperti semula.
Rangga menatap tajam Sanggamayit yang kini berdiri di
samping Setan Jerangkong. Sedangkan Iblis Mata Satu berada di samping
Sanggamayit. Lawan Pendekar Rajawali Sakti kali ini bukan hanya tangguh, tapi
juga licik!
Sret, trak, cring!
Hampir bersamaan, Tiga Setan Neraka mengeluarkan senjata
andalan mereka masing-masing.
Iblis Mata Satu kini menggenggam sepasang golok besar
berkilatan. Sanggamayit kini telah siap dengan dua tongkat pendek yang memiliki
rantai pada ujungnya. Masing-masing ujung rantai terdapat tiga bola besi baja
berduri. Sedangkan Setan Jerangkong telah siap dengan sepasang pedang tipis
panjang berwarna putih kemilauan. Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong melompat
ke samping agak ke depan. Mereka terus bergeser ke samping kiri dan kanan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.„," Rangga hanya bergumam melihat posisi
lawan-lawannya yang telah mengepung dari tiga jurusan.
"Cabut senjatamu,
bangsat!" teriak Sanggamayit
keras.
Rangga berdiri tegak dan tenang.
Matanya tetap tertuju pada
Sanggamayit. Dia telah dapat menilai
kalau ilmu Sanggamayit yang seperti mayat hidup ini jauh lebih tinggi daripada
yang lainnya. Buktinya, tiga kali serangan mautnya gagal karena campur tangan
Sanggamayit yang tepat pada waktunya.
"Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa
senjata!" dengus
Sanggamayit
"Majulah kalian!" dingin dan
datar suara Rangga.
Baru saja Rangga selesai berkata, mendadak Setan Jerangkong
berteriak nyaring sambil melompat. Dua pedang tipisnya berkelebat masing-masing
mengarah ke leher dan perut lawan.
Rangga menggeser kakinya ke samping, namun dari arah lain
Iblis Mata Satu juga langsung menyerang sambil membabatkan sepasang golok
besarnya. Cepat-cepat Rangga mundur dua tindak ke belakang. Dua serangan yang
datang secara bersamaan, lolos begitu saja.
Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti dapat bernapas lega,
datang lagi serangan dari arah depan. Kali ini dia terpaksa melesat ke udara
menghindari serangan mendadak lagi beruntun itu. Cukup dahsyat serangan senjata
Sanggamayit. Begitu menghantam tanah, seketika tanah itu berlubang. Sementara,
Pendekar Rajawali yang masih berada di udara melakukan gerakan memutar dua kali
lalu mendarat di belakang Sanggamayit. Secepat kilat dilayangkan kaki kirinya
ke arah punggung.
Bet!
Iblis Mata Satu menyabetkan goloknya ke arah kaki Pendekar
Rajawali Sakti. Secepat kilat Rangga menarik kakinya kembali. Sanggamayit
sekarang giliran menyerang. Dia berbalik cepat sambil mengayunkan senjatanya.
Suaranya mendesing terdengar hebat Rangga menarik kepalanya ke belakang
menghindari tiga bola berduri yang dihubungkan dengan rantai ke tongkat pendek
di tangan Sanggamayit. Bola-bola berduri itu lewat sedikit di depan wajah
Rangga.
"Mampus kau, bangsat'" dengus Setan Jerangkong
tiba-tiba.
Suara mendesing datang dari arah kiri Pendekar Rajawali
Sakti. Cepat sekali dia melompat ke kanan, dan pedang tipis Setan Jerangkong
lewat begitu saja. Serangan-serangan maut datang silih berganti tanpa memberi
kesempatan sedikit pun bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bernapas. Satu
serangan berhasil dielakkan, serangan lain muncul dari arah yang berbeda.
Begitu seterusnya hingga dalam waktu yang singkat saja telah melewati lima
jurus.
Meskipun lawan-lawannya menggunakan senjata, namun Pendekar
Rajawali Sakti sama sekali tidak kelihatan terdesak. Setiap serangan lawan
berhasil dielakkan dengan manis, bahkan sesekali dibalasnya serangan itu meski
selalu kandas juga. Dalam hati, Rangga memuji kerja sama Tiga Setan Neraka yang
saling mengisi dan membantu.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara
mengikik menggema.
Seketika pertarungan itu pun berhenti. Suara tawa tadi
ternyata disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sehingga membuat telinga
terasa sakit Makin lama suara itu terdengar makin keras dan menyakitkan.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menandingi
suara tawa itu. Demikian pula yang dilakukan Tiga Setan Neraka.
"Huh! Siapa lagi ini?" tanya Rangga dalam hati
sedikit sebal.
***
6
Seorang laki-laki berpakaian compang-camping muncul dari
balik rimbunan semak. Di pinggangnya tergantung sebuah guci arak. Juga
tangannya yang tak lepas mencekik leher sebuah guci lagi. Sebentarsebentar
dituangnya cairan arak ke mulutnya.
"Huh! Habis!" dengusnya sambil menggoyang-goyang
guci arak yang telah kosong.
"Setan Arak," gumam Sanggamayit. 'Tanpa diundang
kau pun muncul juga di sini."
"Hik hik hik...," Setan Arak tertawa mengikik
seraya menoleh ke arah Sanggamayit.
Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu melompat bersamaan,
lalu berdiri di samping kanan dan kiri Sanggamayit. Di tangan mereka masih
tergenggam senjata. Sementara Rangga menatap tajam pada Setan Arak. Dia
teringat laki-laki tua yang sekarat di rumah Kepala Desa Ganggang yang
mengatakan kalau Setan Arak lah yang menculik Ratih. Tapi di mana Ratih
sekarang berada? Dan kini, Setan Arak hanya sendirian saja.
"Kau punya urusan dengan mereka, anak muda?" tanya
Setan Arak seraya menoleh pada Rangga.
"Aku juga punya urusan denganmu, Setan Arak,"
sahut Rangga dingjn.
"He he he...,
kita baru kali ini
bertemu. Tidakkah kau salah
ucap?"
"Di mana
Ratih kau sembunyikan?"
tanya Rangga spontan.
"Gadis cantik
itu? Ada! Dia baik-
baik saja. Kau kekasihnya?"
Merah padam wajah Rangga melihat tingkah Setan Arak yang
seperti tak berdosa saja.
"Kalau iya, kau mau apa? Tunjukkan, di mana Ratih kau
sembunyikan?!"
"Sabar, anak muda. Aku justru ke sini ingin mencarimu.
Gadismu itu tidak kurang suatu apa-pun. Hanya dia perlu sedikit istirahat untuk
memulihkan...."
"Setan! Kau apakan dia?!" geram Rangga memutus
kalimat Setan Arak.
"He he
he...," Setan Arak hanya
tertawa saja.
"Bedebah! Kau harus bayar mahal atas perbuatanmu!"
geram Rangga makin memuncak kemarahannya.
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
mengirimkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali” ke arah Setan Arak. Namun belum
sempat Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan tangan, tiba-tiba terdengar teriakan
keras mencegah.
"Kakang,
jangan...!"
Rangga langsung menoleh. Tampak Ratih berlari keluar dari
semak-semak tempat Setan Arak tadi muncul. Ratih segera menghampiri Rangga.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti ini menjadi bingung melihat keadaan Ratih
yang seperti tidak terjadi apa-apa atas dirinya.
"Ratih, kau tidak apa-apa?" tanya Rangga.
"Tidak, Kakang. Kakek Setan Arak
telah menolongku," sahut Ratih.
Rangga menatap Setan Arak yang masih terkekeh. Kakinya
terayun mendekati dua anak muda itu. Bola mata Rangga memandang Ratih dan Setan
Arak bergantian. Dia masih kurang percaya kalau laki-laki berpakaian
compangcamping ini telah menyelamatkan Ratih. Terngiang kembali kata-kata lemah
dari laki-laki tua yang sekarat di pojok rumah Ki Jagabaya. Apakah telinganya
yang kurang beres pada saat itu? Atau laki-laki tua itu yang salah lihat?
Pikiran Rangga terus berputar.
"Seharusnya aku memang tidak pergi," pelan suara
Rangga seperti menyesal.
"Mereka datang ketika Kakang
belum lama pergi," sahut Ratih.
"Mereka? Mereka siapa?" desak Rangga.
Ratih menatap Tiga Setan Neraka. Rangga cepat mengerti bahwa
tiga orang itulah yang membantai keluarga gadis cantik ini. Geraham Pendekar
Rajawali Sakti bergemelutuk seketika. Benarbenar keji, membantai habis satu
keluarga. Bahkan kini mereka menyebar fitnah!
"Maafkan kekhilafanku," ujar Rangga menatap Setan
Arak
"He he he...," Setan Arak hanya
terkekeh saja.
Rangga melangkah menghampiri Tiga Setan Neraka yang masih
diam di tempat. Namun baru saja melangkah dua tindak, tangan Setan Arak
me-rentang menghalangi.
"Kau tidak bisa melawan mereka dengan tangan
kosong," kata Setan Arak.
Rangga menurunkan tangan Setan Arak dengan lembut sambil
tersenyum tipis. Sama sekali dia tidak bermaksud meremehkan peringatan
laki-laki kumal itu. Ucapannya memang benar, tanpa senjata rasanya sulit
mengalahkan mereka bertiga. Tapi Rangga masih yakin dan ingin mencoba lagi
dengan jurus-jurus andalannya.
Langkah kakinya terayun kembali menghampiri Tiga Setan
Neraka yang telah bersiaga penuh. Semua percakapan tadi telah mereka dengar dengan
jelas. Tidak dapat dipungkiri kalau Tiga Setan Nerakalah yang membantai hampir
seluruh keluarga Ki Jagabaya dan pekerja-pekerja di rumah itu. Hanya Ratih yang
selamat karena ditolong oleh Setan Arak.
Sanggamayit memanfaatkan kemunculan Setan Arak dengan
meletakkan guci arak di lantai. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabui agar semua
orang menyangka kalau perbuatan itu dilakukan oleh Setan Arak. Ternyata rencana
jahatnya itu tidak berumur panjang. Maka kini Tiga Setan Neraka harus
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
***
"Kini saatnya kalian harus mati!" dengus Rangga
sambil bersiap-siap membuka jurus terakhir dari rangkaian lima jurus 'Rajawali
Sakti'.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak, sehingga
seperri bertambah banyak saja. Inilah jurus 'Seribu Rajawali'. Tubuh Pendekar
Rajawali Sakti seperti berjumlah seribu.
Untuk beberapa saat, Tiga Setan Neraka menjadi tertegun
melihat kenyataan itu. Seperti mereka telah terkepung oleh sekian banyak
Pendekar Rajawali Sakti. Serentak mereka saling membelakangi dengan sikap
berjagajaga. Teriakan-teriakan keras tibatiba saja terdengar membahana.
Belum lagi senyap suara-suara itu, mendadak Pendekar Rajawali
Sakti yang kini seperri berjumlah seribu, menyerang dari segala penjuru. Tiga
Setan Neraka menghalau setiap serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Sanggamayit mengkelebatkan
senjatanya untuk membalas serangan lawan. Dia yakin betul kalau bandul besi
baja berduri dari senjatanya itu telah mengenai tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Ternyata meleset sama sekali. Bandul itu hanya menghantam bayangan kosong saja.
Sanggamayit menjadi terkesiap.
"Lihat kakinya!" seru
Sanggamayit
setelah mampu konsentrasi kembali.
Sanggamayit kini mulai dapat menerka kelebihan dan kelemahan
jurus milik Pendekar Rajawali Sakti. Mendengar peringatan itu, Setan Jerangkong
langsung mengarahkan pedang kembarnya ke arah kaki lawan. Demikian pula dengan
Iblis Mata Satu yang melakukan hal yang sama.
Sedangkan Sanggamayit yang lebih cerdik, hanya sesekali saja
menyerang. Dia baru mau menyerang jika melihat sepasang kaki telah menjejak
tanah. Sedangkan kaki-kaki lain tampak seperri ngambang di atas tanah. Kini
dapat dibedakan, mana Pendekar Rajawali Sakti yang asli, dan mana yang palsu.
Tepat ketika sepasang kaki yang menjejak tanah berada di
depannya, dengan cepat dilontarkan bandul besinya yang berduri tajam.
Seranganserangannya beruntun bagai kilat menyambar ke arah kaki yang bergerak
ke mana saja. Sanggamayit terus mencecar.
"Jangan pedulikan yang lain,
bantu aku!" seru Sanggamayit.
Rangga tentu saja terkejut mendengar seruan itu. Berarti
Sanggamayit telah mengetahui
wujudnya yang asli. Dan benar saja, ketika Iblis Mata Satu dan Setan Jerangkong
membantu serangan Sanggamayit, mendadak ribuan Pendekar Rajawali Sakti menjadi
lenyap. Kini yang ada hanya wujud aslinya saja yang tengah kewalahan
menghindari serangan lawan yang datang dari tiga penjuru.
"Setan!" dengus Rangga sambil mencelat ke belakang
sejauh satu batang tombak.
Sret!
Tepat saat kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti
telah mencabut pedang pusaka dari sarungnya yang bertengger di punggung.
Seketika cahaya biru berkilau menerangi sekitarnya. Pamor pedang pusaka
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar membuat Tiga Setan Neraka terkesima. Begitu
banyak senjata pusaka yang mereka telah lihat, tapi rasanya baru kali ini
mereka menyaksikan pedang pusaka yang memiliki pamor seperti itu.
Setan Jerangkong dan Iblis Mata Satu langsung menggeser
kakinya melebar ke samping. Rangga yang kini berada di tengah-tengah
berkonsentrasi penuh terhadap setiap gerakan tiga orang yang mengepungnya dari
tiga jurusan. Kakinya bergerak memutar perlahan-lahan, matanya tajam menatap
setiap orang yang mengepungnya sambil mempermainkan senjata.
Set, set, set!
Tiba-tiba Sanggamayit melepaskan senjata-senjata rahasia
dengan cepat, dan meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dengan
tangkas pendekar muda ini mengibaskan pedangnya, sehingga sinar biru
berkelebatan seperti melindungi dirinya.
Cring, cring,
cring!
Senjata rahasia yang berupa ruyung perak segera rontok
berjatuhan di tengah jalan. Padahal tadi dilontarkan dengan kekuatan tenaga
dalam yang kuat. Tak satu pun senjata rahasia Sanggamayit berhasil menemui
sasaran. Tapi rupanya serangan itu hanya sebuah pancingan. Ketika Rangga sibuk
memutar pedangnya untuk menghalau senjata rahasia beracun itu, secepat kilat
Sanggamayit melompat seraya mengayunkan senjata andalannya.
Rangga menarik kepalanya ke belakang menghindari sabetan
bola-bola berduri. Dan belum sempat membenahi posisinya, mendadak berkelebat
sebuah golok dari arah samping kanan. Golok Iblis Mata Satu itu mengarah ke
kaki. Cepat-cepat Rangga menaikkan kaki kanannya, maka golok itu hanya lewat di
bawah telapak kakinya saja.
"Mampus...!" dengus Setan Jerangkong sambil
menghujam pedang tipisnya ke arah dada Pendekar
Rajawali Sakti.
Masih dalam keadaan kaki kanan terangkat, Pendekar Rajawali
Sakti memiringkan badannya ke kanan. Dan tusukan pedang itu hanya lewat sedikit
di depan dada. Namun serangan yang gagal itu ternyata dibarengi oleh satu
tendangan menggeledek ke arah punggung.
Posisi Rangga memang tidak menguntungkan. Dia terlambat
untuk menghindar. Dengan telak tendangan Setan Jerangkong menghantam
punggungnya. Rangga terdorong ke depan beberapa langkah, tapi dengan cepat
diputar tubuhnya sambil mengibaskan pedang. Sinar biru berkelebat cepat
bersamaan dengan berputarnya tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
Trang!
Setan Jerangkong yang berada paling dekat, menangkis senjata
bersinar biru itu. Pijaran bunga-bunga api meletik ketika dua senjata beradu
keras. Rangga tersentak, karena tangannya seketika bergetar setelah senjatanya
ditangkis Setan Jerangkong. Segera dia mundur dua langkah.
Yang dialami Setan Jerangkong lebih hebat lagi. Ujung mata
pedang tipisnya gompal, dan hampir terlepas dari genggaman. Setan Jerangkong
menyumpah-nyumpah karena seluruh jari tangannya menjadi terasa kaku.
"Kakang, awas...!" tiba-tiba Ratih menjerit keras.
Bersamaan dengan itu, dari arah samping kanan berkelebat
tiga buah bola berduri dengan cepat Rangga tidak sempat menoleh lagi, segera
diangkat pedangnya sambil menarik tubuhnya ke kiri.
Cring!
Rantai yang menghubungkan bola-
bola berduri dengan tongkat melilit
mata pedang Rajawali Sakti. Rangga membetot senjatanya dengan pengerahan tenaga
dalam, namun lilitan rantai bola baja itu kian kuat. Maka
terjadilah tarik menarik dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Otototot tangan Pendekar Rajawali Sakti
bersembulan, terlapis kulit yang basah oleh keringat sehingga berkilatan.
Wajahnya tegang memerah, pertanda tengah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Demikian juga yang dialami
Sanggamayit Wajahnya yang pucat
bagai mayat, semakin pucat pasi saja. Kedua bola matanya kelihatan memutih.
Yang ada hanya titik hitam kecil saja yang kelihatan berada di tengah-tengah
dua bola matanya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Adu tenaga dalam lewat
dua jenis senjata yang menempel, terus berlangsung lama. Kelihatan sekali kalau
kekuatan tenaga dalam kedua tokoh ini hampir seimbang. Mereka berdiri tegak
dengan kedua kaki tertanam kokoh di atas tanah.
"Hm, ini kesempatan untukku,"
gumam Setan Jerangkong.
Secepat kilat, laki-laki kurus kering itu melompat. Pedang
tipis di tangan kanannya berkelebat membabat leher Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam keadaan seluruh tenaga dan perhatiannya terpusat pada Sanggamayit,
pendekar satu ini tidak bisa lagi mengelak dari bokongan itu.
Buk!
"Aaaakh...!" tiba-tiba saja Setan Jerangkong
menjerit keras.
Begitu pedangnya tepat membabat leher Pendekar Rajawali
Sakti, ternyata dirasakannya seperti menghantam segumpal karet keras saja.
Pedang tipisnya terlontar, sedangkan
seluruh tangannya bagai dirubung berjuta-juta kala berbisa.
Setan Jerangkong terdorong sejauh satu tombak ke belakang.
Bibirnya meringis, sambil tangan kirinya mengurut-urut tangan kanannya.
Pedangnya yang terlontar jauh kini menancap pada sebatang pohon. Setan
Jerangkong segera duduk bersila ketika dirasakan tubuhnya menjadi panas.
Cepat-cepat disalurkan hawa murni ke seluruh jalan darahnya. Wajahnya kelihatan
semakin memerah dengan keringat bercucuran deras. Setan Jerangkong terus
bertarung melawan hawa panas yang kian menggila di dalam tubuhnya.
Apa sebenarnya yang terjadi pada Setan Jerangkong?
***
Pada waktu Setan Jerangkong melancarkan bokongan, ternyata
Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan kekuatan jurus 'Seribu Rajawali'
yang dibarengi dengan kekuatan tenaga dalamnya. Kekuatan yang berlipat ganda
dari jurus 'Seribu Rajawali’ dan disertai tenaga dalam jurus 'Inti Bumi' memang
sungguh dahsyat akibarnya.
Memang tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak berubah menjadi
seribu jumlahnya, tapi kekuatan dalam tubuhnya sama dengan seribu Pendekar
Rajawali Sakti yang tergabung menjadi satu. Dalam keadaan seperti itu, biasanya
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengambil inti-inti seluruh jurus andalan yang
disertai dengan pengerahan ilmu kesaktian tenaga dalam.
Tidak mengherankan jika Setan Jerangkong yang terkena jurus
gabungan itu menjadi terhenyak. Tubuh Rangga yang menjadi kebal terhadap segala
senjata tajam itu, ternyata juga punya daya tolak yang amat besar disertai
penyemburan hawa panas ke seluruh tubuh penyerangnya.
Sementara itu Sanggamayit mulai kelihatan terdesak
kekuatannya. Semakin dikerahkan seluruh kekuatannya, semakin panas seluruh
tubuhnya. Bahkan dari ubun-ubun kepalanya asap tipis mulai kelihatan mengepul.
Wajah Sanggamayit kini malah berubah merah. Ini pertanda kalau dia telah
mengerahkan seluruh tenaganya sampai pada tahap yang paling tinggi.
Bres...!
Tiba-tiba saja kedua kaki Sanggamayit melesak ke dalam
tanah. Tubuhnya mulai bergetar. Titik hitam kecil pada bola matanya
berputar-putar bersamaan dengan tergeleng-gelengnya kepala Sanggamayit.
"Yeaaah...!" mendadak Rangga berteriak melengking
sambil membetot pedang pusakanya yang terlilit senjata Sanggamayit.
"Aaaakh...!" Sanggamayit
menjerit
keras.
Bersamaan dengan terdengarnya jeritan keras itu, tangan
kanan Sanggamayit tercabut dari pangkalnya. Darah pun segera menyembur dengan
derasnya. Rangga menyentak pedangnya ke atas sehingga tangan yang masih
menggenggam senjata tongkat pendek dengan rantai yang menghubungkan bolabola
baja berduri itu terlempar ke udara. Darah menciprat ke mana-mana.
"Hih!" Sanggamayit menghentak
tubuhnya.
Seketika kaki yang telah terbenam hingga ke lutut terangkat
ke atas. Tubuh yang kini lengan kanannya buntung, melenting dan bersalto di
udara. Sanggamayit limbung sebentar begitu kakinya menjejak tanah. Segera ditotok
beberapa jalan darah di sekitar pangkal lengannya yang buntung. Darah berhenti
mengalir pada saat itu juga.
Setan Jerangkong yang telah pulih kembali, terkejut melihat
tangan kanan Sanggamayit buntung dari pangkalnya.
Begitu pula dengan Iblis Mata Satu
yang tercengang beberapa saat.
"Bocah edan! Kau harus bayar mahal sebelah
tanganku!" dengus Sanggamayit geram.
Setelah berkata demikian, secepat kilat Sanggamayit melompat
tinggi dan menghilang di balik kegelapan malam. Iblis Mata Satu dan Setan
Jerangkong segera mengikutinya sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh. Rangga
terkejut melihat tiga lawannya kabur dengan cepat sekali.
"Hey...!" teriak Rangga akan
mengejar. Tapi...
"Kakang...!" Ratih berteriak keras. Rangga
mengurungkan niatnya. Matanya langsung tertuju pada Ratih yang berlari-lari
menghampiri. Sementara Setan Arak berjalan sempoyongan di belakang gadis itu.
Tampaknya seperti jalan biasa, padahal Setan Arak ini juga mengerahkan ilmu
peringan tubuh, sehingga ketika Ratih tiba di depan Rangga, dia pun telah tiba
pula. Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedang pusaka ke dalam sarungnya di
punggung. Seketika kegelapan kembali menyelimuti puncak Bukit Baru Tiga ini.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Ratih. Suaranya
terdengar bernada kecemasan.
Rangga hanya
tersenyum sambil
menggeleng.
"Aku tahu ke
mana mereka pergi,"
kata Setan Arak pelan.
Rangga mengalihkan
pandangannya
pada laki-laki kumal di samping
Ratih.
"Apakah mereka kembali ke istana Parakan, Kek?"
tanya Ratih.
"Tidak,"
jawab Setan Arak.
"Lantas...?"
Setan Arak tidak segera menjawab malah melangkah
pelan-pelan. Kepatanya lalu berpaling setelah langkahnya terayun sekitar
sepuluh tindak.
"Ikuti
aku!" katanya.
"Ayo,
Kakang," ajak Ratih.
Rangga mengayunkan langkahnya di samping gadis cantik itu.
Pikirannya masih bercabang antara percaya dengan tidak terhadap Setan Arak.
Laki-laki kumal itu memang tidak jelas golongannya. Dilihat dari julukannya,
sepertinya dia dari golongan hitam. Namun dilihat dari tindak-tanduknya,
sepertinya dari golongan putih. Memang aneh tokoh Setan Arak ini.
Sesekali Rangga menatap Ratih yang terus menerus memandangi
wajah pendekar muda yang tampan dan sakti ini. Rangga paham betul sorot mata
gadis ini. Hatinya mendadak gelisah. Dia tidak ingin ada seorang gadis jatuh
cinta kepadanya. Ratih memang cantik dan mempunyai kepandaian yang tidak
rendah. Tapi Rangga bertekad untuk tidak mencintai dan dicintai seorang gadis pada
saat pengembaraannya.
"Kelihatannya kau kenal betul dengannya," kata
Rangga dengan nada bertanya. Matanya melirik Setan Arak yang berjalan di depan.
"lya,"
sahut Ratih.
Agak kaget juga Pendekar Rajawali Sakti mendengar jawaban
yang singkat tapi tegas itu. Tidak disangka sama sekali kalau Ratih telah
mengenal baik dengan Setan Arak.
"Kakek Setan Arak bukan orang lain bagiku. Sejak aku
berusia lima tahun telah kenal baik dengannya," ungkap Ratih.
"Hm, berarti sejak kau masuk padepokan di Gunung
Lawu," gumam Rangga.
"Benar," sahut Ratih.
"Dari mana
kau tahu?"
"Ayahmu yang menceritakan." Ratih tersenyum tipis.
Ada rona mendung terbias di wajahnya. Hanya sebentar, tapi Rangga telah
menangkap kemendungan itu.
"Maaf, aku telah mengingatkan pada ayahmu," ucap
Rangga setengah berbisik.
'Tidak. Tidak apa-apa," sahut Ratih lirih. Beberapa
saat mereka membisu. Tanpa disadari ketiga orang itu telah turun dari Bukit
Batu Tiga. Kini mereka menyusuri tepian sungai yang mengalir cukup deras,
memperdengarkan alunan suara gemercik air membentur bebatuan. Sungguh indah,
tapi ketiga orang itu seperti tidak peduli. Pikiran mereka terus berkecamuk
bermacam-macam kemungkinan yang akan terjadi.
"Kau mau bercerita tentang Setan Arak, Ratih?"
pinta Rangga setelah cukup lama terdiam.
Ratih tersenyum manis, lalu mengangguk perlahan.
"Saat aku baru menginjak usia lima tahun...,"
Ratih memulai ceritanya.
***
"Aku diserahkan Ayah ke Padepokan Gunung Lawu. Disana,
selain pamanku sendiri yang menjadi guru besar, juga ada beberapa tokoh sakti
yang mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-murid padepokan. Di sinilah untuk
pertama kalinya aku mengenal ilmu olah kanuragan dari Kakek Setan Arak. Sampai
aku berumur sepuluh tahun Kakek Setan Arak menjadi guruku. Dan sejak itulah dia
tidak pemah terlihat lagi," Ratih sebentar menghentikan ceritanya.
"Lalu, siapa yang menggantikan
kedudukannya?" tanya Rangga.
'Pamanku sendiri," sahut Ratih.
"Kau tahu, mengapa Setan Arak
meninggalkan padepokan?"
"Tidak."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Ratih sekarang
berusia sekitar dua puluh tahun. Jadi tidak mustahil ketika Setan Arak
difitnah, dia telah berada di padepokan ini. Yang jelas, tuduhan mencuri kitab
pusaka Tapak Geni milik Dewi Agni yang juga guru tunggal Dewi Selaksa Mawar,
cuma fitnah belaka yang dilancarkan Tiga Setan Neraka.
Dari rangkaian cerita yang didapat, Pendekar Rajawali Sakti
telah dapat mengambil beberapa kesimpulan. Dan semuanya bersumber dari tingkah
polah Tiga Setan Neraka.
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya.
Ditariknya tangan Ratih ke belakang. Sementara itu Setan Arak yang berjalan di
depan juga menghentikan langkahnya. Dia menatap Rangga yang memegangi
pergelangan tangan Ratih. Setan Arak mengegoskan kepalanya sedikit Rangga paham
maksudnya, kemudian dituntunnya Ratih mendekati Setan Arak.
"Hanya satu...," bisik Rangga pelan "Ya.
Tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi," sahut Setan
Arak berbisik pelan.
"Bagaimana? Dibereskan?" tanya Rangga.
"Kalau tidak
mengganggu, biarkan
saja."
"Baiklah. Ayo
jalan lagi."
"Kalian jangan
terlalu jauh di
belakang."
"Sialan!"
umpat Rangga dalam
hati.
Peringatan itu memang sarat dengan sindiran halus, tapi
cukup nyelekit juga. Ratih pun segera melepaskan pegangan tangan pendekar
tampan itu. Kepalanya tertunduk menyembunyikan rona merah pada wajahnya.
Ketiga orang itu kembali mengayunkan langkahnya. Kali ini
mereka berjalan sejajar. Ratih berada di tengah. Rangga melangkah sambil
mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' untuk menangkap setiap suara yang terdengar
mencurigakan. Keningnya agak berkerut manakala mengetahui kalau orang yang
mengikutinya itu memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Suara orang itu hampir tidak tertangkap
meskipun Rangga telah mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara'.
"Apa
maksudnya dia mengikuti?"
tanya Rangga dalam hati.
Ketika Rangga mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' tingkat
akhir, barulah dapat terdengar jelas suarasuara langkah kaki ringan yang berada
tepat di belakang. Rangga bergumam menghitung jarak. Hanya dua puluh tombak,
bisiknya dalam hati. Jarak yang tidak terlalu jauh, tapi tidak dapat terdengar
oleh ilmu 'Pembilah Suara' tingkat awal.
Orang yang membuntuti sepertinya memang memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi. Mungkin seringkat dengan ilmu yang dimiliki Tiga
Setan Neraka. Siapa dia sebenarnya? Apa maksudnya mengikuti?
"Teruslah berjalan bersama Ratih, Paman," kata
Rangga pelan.
"Akan ke mana, kau?" tanya Setan Arak.
Rangga tidak menjawab malah mencelat cepat, dan tiba-tiba
saja telah hilang dari pandangan mata. Tubuh Rangga bagaikan hilang tertelan
bumi. Ratih sampai bengong celingukan Dia baru melangkah lagi setelah tangannya
ditarik oleh Setan Arak.
Laki-laki tua kumal itu lalu merenggut dua batang bambu yang
banyak berserakan di tepian sungai ini.
"Untuk apa bambu itu, Kek?" tanya Ratih.
"Diamlah, kita jalan terus," ujar Setan Arak.
Ratih langsung diam. Keningnya berkerut melihat Setan Arak
berjalan sambil mengetuk-ngetukkan dua bambu mengikuti irama langkahnya, namun
sedikit dibedakan. Ratih tersenyum ketika dapat memahami maksud laki-laki kumal
ini. Rupanya dia ingin menipu orang yang menguntit dengan tetap mendengarkan
langkah tiga pasang kaki.
Boleh juga akalnya, pikir Ratih.
***
7
Dewi Selaksa Mawar benar-benar terkejut ketika tiba-tiba
saja Pendekar Rajawali Sakti muncul di depannya. Dia melangkah ke belakang dua
tindak. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak bertolak pinggang.
Matanya tajam menatap perempuan tua yang ditemuinya tengah menangis di Hutan
Dandaka.
"Apa maksudmu mengikutiku?" tanya Rangga datar.
"Mengapa Setan Arak tidak kau bunuh sekalian,
hah?!" Dewi Selaksa Mawar malah balik bertanya.
"Untuk apa? Dia tidak bersalah,
kenapa harus dibunuh?"
"Dia yang mencuri kitab pusaka Tapak Geni!" ketus
suara Dewi Selaksa Mawar.
"Kau salah sangka. Dia tidak mencuri kitab pusaka itu.
Dia hanya kena fitnah! Setan Arak sama sekali tidak tahu tentang kitab Tapak
Geni"
"Huh! Kau telah tertipu oleh sikap baik Setan Arak! Dia
bersikap baik karena butuh tenagamu!"
Pendekar Rajawali Sakti itu mengerutkan keningnya. Dia masih
belum mengerti kata-kata Dewi Selaksa Mawar. Otaknya kini berputar tujuh
keliling memikirkan persoalan yang dihadapi betapa rumit. Penuh liku-liku.
"Dia itu punya dendam pribadi terhadap Tiga Setan
Neraka, dan tidak mungkin menandingi mereka. Makanya dia mencuri kitab pusaka
Tapak Geni untuk menandingi kesaktian Tiga Setan Neraka," ungkap Dewi
Selaksa Mawar.
"Bisa kupercaya kata-katamu?" Rangga masih ragu-ragu.
"Bertahun-tahun aku mencari mereka berempat. Terus
terang, aku sendiri belum tentu mampu menghadapi setan-setan itu. Aku merasa
berdosa jika belum mendapatkan kitab pusaka Tapak Geni milik guruku. Sekarang
aku mengharapkan bantuanmu, Pendekar Rajawali Sakti," Dewi Selaksa Mawar
berkata terus terang.
"Di Hutan Dandaka kau tuduh Sanggamayit yang mencuri
kitab itu. Dan sekarang beralih ke Setan Arak. Siapa sebenarnya yang mencuri
kitab itu?"
"Satu di antara mereka berdua!"
Rangga tersentak mendengar jawaban yang tegas itu. Dewi
Selaksa Mawar sendiri belum bisa memastikan, apalagi dirinya yang baru beberapa
hari saja terlibat masalah ini. Rangga benar-benar merasa seperti bola yang
dilempar ke sana ke mari tanpa tujuan pasti.
Tujuan pertamanya adalah membebaskan penderitaan penduduk
Desa Ganggang dari cengkeraman dan kekejaman orang-orang Kerajaan Parakan. Tapi
kini persoalannya semakin luas lagi setelah bertemu dengan Dewi Selaksa Mawar.
Beberapa macam persoalan yang saling tumpang tindih mulai muncul yang
menyangkut orang-orang yang itu-itu juga. Sungguh mati Rangga tidak menyangka
kalau harus terlibat dalam masalah pribadi orang-orang itu.
"Kapan kitab itu hilang?" tanya Rangga setelah
lama berpikir.
"Kira-kira dua puluh tahun yang
lalu," jawab Dewi Selaksa
Mawar.
"Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk
mempelajari satu kitab! Orang yang mencuri kitab itu, pasti telah menguasai
betul isinya. Sedangkan orang-orang yang kau curigai tidak sedikit pun
menggunakan ilmu Tapak Geni," Rangga mengungkapkan jalan pikirannya.
"Kau jangan melindungi mereka!"
dengus Dewi Selaksa Mawar.
"Aku tidak bermaksud melindungi seorang pun. Dan lagi,
aku tidak ada urusan dengan kitab Tapak Geni. Sedang aku mengejar Tiga Setan
Neraka hanya untuk menghentikan kekejaman mereka, itu saja!" Rangga
sedikit tersinggung.
"Lantas, kenapa kau berkata seperri itu?"
"Aku hanya melihat kenyataan. Bagiku, menuduh seseorang
tanpa bukti adalah dosa besar! Nah, sekarang coba buktikan tuduhanmu terhadap
salah satu di antara mereka!"
"Ini!" Dewi Selaksa Mawar mengeluarkan sebuah
ruyung perak dari lipatan bajunya.
"Ruyung perak...," gumam Rangga mengenali senjata
rahasia yang jelas milik Sanggamayit
"Aku menemukan ini tertancap di dada guruku," Dewi
Selaksa Mawar menerangkan.
"Kau tahu pemilik senjata rahasia ini?" tanya
Rangga berusaha meyakinkan diri.
"Sanggamayit."
"Kau yakin
dia pencurinya?"
Dewi Selaksa Mawar hanya diam. Memang sulit untuk menjawab
pertanyaan itu. Senjata rahasia itu memang bisa merupakan bukti. Tapi tidak
mustahil orang lain juga menggunakannya dengan maksud menghilangkan jejak.
Sedangkah di Hutan Dandaka, Sanggamayit mengatakan kalau dirinya difitnah Setan
Arak. Apakah memang benar si Setan Arak yang mencuri kitab Tapak Geni sekaligus
membunuh guru Dewi Selaksa Mawar? Atau hanya akal bulus Sanggamayit saja?
Saat mereka terdiam dengan pikiran yang berkecamuk, mendadak
terdengar jeritan nyaring. Suara senjata beradu pun terdengar beberapa kali.
Rangga terlonjak ketika telah memastikan arah suara pertarungan itu. Tanpa
menghiraukan perempuan tua di depannya, secepat kilat dia melompat menuju arah
suara pertarungan.
"Huh! Ada-ada saja!" dengus Dewi Selaksa Mawar.
Sambil bersungut-sungut kesal, perempuan itu berlari sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya mengikuti Rangga. Gerakannya cepat dan
ringan. Dalam sekejap telah jauh dari tempat ini.
***
Setan Arak bertarung mati-matian melawan Setan Jerangkong
dan Iblis Mata Satu. Sementara Ratih terlihat tergeletak pingsan di depan kaki
Sanggamayit. Rangga yang baru saja tiba, mengkerutkan gerahamnya menahan marah.
Segera Rangga melompat membantu Setan Arak yang agak kewalahan menerima
serangan beruntun dua dari Tiga Setan Neraka.
Tapi belum juga Rangga sampai di
arena pertarungan, tiba-tiba....
"Akh!" Setan Arak memekik tertahan. Pedang Setan
Jerangkong yang kini tinggal satu telah menggores dada Setan Arak. Darah segera
merembes keluar dari luka yang memanjang. Si Kakek peminum arak ini mundur
terhuyung sambil menekap dadanya yang terluka. Namun belum juga menguasai diri,
mendadak satu tendangan dilepaskan Iblis Mata Satu telak mampir di kepala Setan
Arak. Seketika terdengar jeritan keras yang keluar dari mulut kakek peminum
itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang, dan terhempas dengan kepala terlebih
dulu mendarat di tanah.
"Iblis, kejam!" geram Rangga. Sambil berteriak
melengking tinggi, Rangga melayangkan kakinya seraya mengerahkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali
Sakti itu, sehingga Setan Jerangkong yang berjarak paling dekat terlihat
kelabakan. Sedapatnya dikelebatkan pedangnya untuk menghalau serangan kilat
itu.
Rangga menarik kakinya cepat, lalu menjejak tanah dengan
ujung jarinya. Tubuhnya kembali mencelat ke udara. Gerakannya sangat cepat, dan
tahu-tahu telah berada di atas kepala Setan Jerangkong. Setan Jerangkong pun
tak kalah sigap. Diangkat pedang dan diputar-putarnya di atas kepala.
Kaki Pendekar Rajawali Sakti yang mengancam kepala lawan,
tiba-tiba berbalik arah. Diturunkan tubuhnya sedikit di depan Setan Jerangkong,
lalu dengan cepat kaki kanannya terhentak ke depan. Buk!
Setan Jerangkong terjajar ke belakang ketika dadanya
terhantam tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti. Seketika dia merasa sesak
dan matanya berkunang-kunang. Belum sempat memperbaiki posisinya, Rangga telah
melompat dengan mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali' menyambar dada
Setan Jerangkong.
"Aaaakh...!"
Setan Jerangkong menjerit keras. Pukulan telak disertai hawa
panas yang menyebar membuat tubuh kurus kering itu terjajar ke belakang sejauh
dua batang tombak. Kini Setan Jerangkong tergeletak dengan darah mengalir dari
sudut bibir dan hidungnya. Dadanya terlihat memerah, melesak ke dalam. Dia
hanya menggeliat sebentar, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.
Mendapatkan satu temannya mati, Sanggamayit menjadi lupa
dengan Ratih yang tergeletak pingsan terkena totokan pada jalan darahnya.
Sambil berteriak nyaring, dikebutkan senjata andalannya yang berupa tongkat
pendek berantai dengan bola-bola baja berduri pada ujungnya. Satu tangannya
yang buntung tidak menghalangi kelincahan dan kedahsyatan serangannya.
Pendekar Rajawali Sakti yang memuncak kemarahannya, segera
meloloskan pedang pusakanya. Seketika cahaya biru berkilau menerangi arena
pertarungan itu. Cahaya biru itu pun berkelebat cepat menangkis setiap serangan
gencar dari Sanggamayit dan Iblis Mata Satu. Pijaran bunga-bunga api memercik
setiap dua senjata ampuh berbenturan.
"Hiyaaaa...!" Iblis Mata Satu tidak lagi peduli
dengan tenaga dalamnya yang jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti.
Iblis Mata Satu kini tidak segan-
segan lagi membenturkan golok
kembarnya, meski tangannya menjadi kaku setelah berbenturan dengan pedang yang
memancarkan sinar biru kemilauan itu. Semua itu tidak dihiraukan lagi.
"Sanggamayit, aku lawanmu!"
tiba-
tiba terdengar teriakan keras
disusul berkelebatnya sebuah bayangan merah.
"Bagus! Kau muncul lagi, nenek peot!" dengus
Sanggamayit ketika melihat Dewi Selaksa Mawar.
"Bersiaplah untuk mati,
bangsat!"
Dewi Selaksa Mawar berteriak keras, lalu tubuhnya mencelat
menyerang Sanggamayit. Melihat kedatangan Dewi Selaksa Mawar, hati Iblis Mata
Satu ciut seketika. Dalam keadaan lengkap saja, Tiga Setan Neraka belum mampu
menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, dia harus hadapi sendiri pendekar
muda yang tinggi kesaktiannya itu.
Saat hatinya diliputi kegentaran, mendadak kaki Pendekar Rajawali
Sakti melayang cepat ke arah dada Iblis Mata Satu yang hanya dapat
ter-perangah. Cepat-cepat dia melompat mundur. Dan memang saat inilah yang
dikehendaki Rangga. Ketika kakinya mendarat, segera dia melompat menerjang
Iblis Mata Satu yang telah terpisah dari Sanggamayit.
Rangga langsung dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Iblis Mata Satu yang telah gentar itu, menjadi kelabakan menerima
seranganserangan gencar Pendekar Rajawali Sakti. Setiap pukulan tangannya
mengandung hawa panas yang menyengat luar biasa.
"Modar!" tiba-tiba
Rangga berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya meluruk cepat ke arah
dada lawan. Iblis Mata Satu memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari sodokan
itu. Namun tanpa diduga, kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti terangkat deras
menghantam punggung Iblis Mata Satu.
"Uhk!" Iblis Mata Satu
terdorong
keras ke depan.
Belum juga dia sempat menguasai diri, mendadak tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti melayang ke arah kepalanya. Iblis Mata Satu merunduk
cepat, dan pukulan yang mengandung hawa panas itu luput. Bahkan Iblis Mata Satu
membalas dengan mengirimkan satu pukulan geledek ke arah lambung Pendekar
Rajawali Sakti. Seketika tangan pendekar muda itu bergerak turun ke arah perut.
Trak!
Dua tangan yang masing-masing mengerahkan jurus saling
beradu keras. Cepat-cepat Iblis Mata Satu menarik tangannya kembali yang terasa
remuk tulang-tulangnya. Dan tepat pada saat yang sama, tangan kanan Pendekar
Rajawali Sakti meluncur ke depan.
Buk!
Dan memang sungguh telak ketika tangan yang mengandung hawa
panas dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' mendarat di dada Iblis Mata
Satu. Laki-laki gemuk yang hanya mempunyai mata sebelah itu melenguh pendek.
Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Mendadak dirasakan dadanya menjadi
sesak, sulit sekali bernapas. Hawa panas makin kuat menjalar ke seluruh
tubuhnya.
Cepat-cepat Iblis Mata Satu mengerahkan hawa murni untuk
mengusir hawa panas yang makin menyerang tubuhnya. Namun belum juga hawa murni
tersalurkan, Pendekar Rajawali Sakti telah menyerang kembali.
"Hiyaaa...!"
"Aaaakh...!"
Iblis Mata Satu tidak dapat mengelak dari serangan kilat
itu. Kembali dadanya terhantam dua telapak tangan yang mengandung hawa panas
luar biasa. Tubuh Iblis Mata Satu terlontar jauh ke belakang.
Tubuh gemuk itu terhempas keras ke tanah. Pendekar Rajawali Sakti
tak memberi kesempatan sedikit pun. Dia melompat mengejar, dan seketika kakinya
mendarat tepat di tubuh Iblis Mata Satu.
Bres!
Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menjejak dada yang
memerah akibat terkena jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kaki Rangga amblas
ke dalam dada. Setelah Iblis Mata Satu tidak bergerak-gerak lagi, segera kaki
yang tertanam dalam dada itu ditarik keluar. Dada itu hancur bagai terbakar
hangus. Tidak ada darah yang keluar.
"Ratih...," Rangga mendesis teringat gadis cantik
yang kini pingsan tertotok.
Kepalanya langsung menoleh ke arah tubuh ramping yang
terbaring di tanah. Baru saja kakinya akan melangkah menghampiri, tiba-tiba
telinganya mendengar rintihan lirih dari arah kanan. Dan betapa terkejutnya
Pendekar Rajawali Sakti ketika menoleh, dan mendapatkan Setan Arak tergolek
dengan dada bersimbah darah dan kepala babak belur.
Rangga bergegas menghampiri Setan Arak yang merintih lirih.
Tampak dada yang sobek panjang serta kepala dan wajahnya sebelah kiri rusak
berat karena terhempas keras menggaruk tanah berbatu kerikil tajam.
"Paman...," Rangga membantu Setan Arak duduk
bersandar pada sebuah batu besar.
"Selamatkan Ratih. Dia tertotok jalan darahnya oleh
Sanggamayit," lirih dan tersendat-sendat suara Setan Arak.
Rangga mengalihkan pandangannya ke arah Ratih yang terbaring
lemas. Ragu-ragu juga ia untuk menolong gadis itu, karena melihat keadaan Setan
Arak yang memelas dan mengkhawatirkan
"Jangan pikirkan aku. Cepat kau tolong Ratih. Totokan
itu dapat mematikan jalan darah selamanya!" dengus Setan Arak melihat
Rangga raguragu.
Mendengar hal itu, Rangga bergegas melompat menghampiri
Ratih.
Matanya sempat melirik pada
pertarungan antara Dewi Selaksa Mawar dengan Sanggamayit yang kelihatan masih
berimbang. Memang inilah kesempatan baginya untuk menyelamatkan jiwa Ratih.
***
Rangga membuka tiga totokan jalan darah di tubuh Ratih yang
paling penting. Benar saja kata Setan Arak. Terlambat sedikit saja, nyawa gadis
cantik itu tidak akan tertolong lagi. Dan lepas dari totokan itu, Ratih masih
kelihatan lemah. Pengaruh totokan itu telah menyerap tenaganya terlalu banyak.
Perlu waktu beberapa saat untuk memulihkannya kembali. "Bagaimana keadaan
Kakek Setan Arak?" tanya Ratih setelah pulih kondisinya.
"Dia masih hidup, tapi...,"
Rangga tidak melanjutkan
kata-katanya.
"Kenapa dia? Apakah lukanya parah?" desak Ratih.
Rangga tidak menyahut. Dibantunya gadis itu berdiri, dan
memapahnya menghampiri Setan Arak yang duduk bersandar di batu. Ratih terpekik
saat melihat keadaan Setan Arak yang sangat mengerikan.
"Jangan!" cegah Rangga ketika Ratih akan
menghambur. 'Tubuhnya penuh dialiri racun ganas.
Ratih hanya dapat menatap saja. Pelan-pelan dia mendekat dan
bersimpuh di ujung kaki Setan Arak. Rangga mengikutinya, dan duduk menggeser ke
samping mendekati Setan Arak.
"Kakek...," pelan dan lirih suara Ratih.
"Ratih..., kembalilah ke Gunung Lawu. Kau adalah
pewaris tunggal padepokan. Pamanmu akan menurunkan semua ilmunya padamu. Dan
kau juga harus mampu menguasai seluruh ilmuilmuku yang telah kutuangkan dalam
sebuah buku yang disimpan pamanmu. Aku percaya, kau akan menyempumakan semua
yang kumiliki," pelan sekali suara Setan Arak.
Tak kuasa lagi Ratih menitikkan air matanya. Rangga hanya
terdiam tidak mampu berbuat apa-apa. Racun pedang Setan Jerangkong telah
menyebar luas ke seluruh jaringan darah dan urat syaraf. Bahkan mungkin telah
menggumpal di jantung. Tidak mungkin lagi Setan Arak tertolong. Dibantu dengan
menyalurkan hawa murni juga percuma. Bisa-bisa malah mempercepat proses
kematiannya!
"Satu lagi pesanku, Ratih. Tolong kembalikan kitab
Tapak Geni pada pemiliknya," ujar Setan Arak.
Rangga terkejut
mendengar ucapan
itu.
"Kakek...,
Kakek mencuri kitab
itu?" Ratih seperti tidak
percaya.
"Tidak! Aku tidak mencuri, melainkan menyelamatkannya
dari tangan Sanggamayit. Aku ingin mengembalikan kitab ini, tapi pemiliknya
telah tewas. Sedangkan murid tunggalnya, aku tidak tahu di mana berada."
"Siapa murid
tunggal pemilik
kitab itu?" tanya Ratih.
"Dewi Selaksa
Mawar...,” makin
lemah suara Setan Arak.
Rangga langsung menoleh ke arah Dewi Selaksa Mawar yang
masih bertarung dengan Sanggamayit. Sampai puluhan jurus, kelihatan belum ada
yang terdesak.
"Di mana kitab itu?" tanya Ratih.
'Tanyakan pada pamanmu. Dia tahu di mana aku menyimpannya. Hanya dia yang
ta...," Setan Arak tidak mampu lagi menyelesaikan kalimatnya.
Sebentar dia terbatuk-batuk, lalu dari mulutnya keluar darah
kental kehitaman. Tubuhnya mengejang sebentar, lalu diam tak bergerak-gerak
lagi. Ratih hanya bisa terisak. Dia tak berani memeluk tubuh laki-laki tua yang
telah menurunkan sebagian ilmu kepadanya. Seluruh tubuh Setan Arak kini
mengandung racun ganas yang menular. Hanya Rangga yang kebal terhadap racun
itu.
Ratih menatap Rangga yang telah berdiri tegak memandang
jalannya pertarungan antara Dewi Selaksa Mawar dengan Sanggamayit. Pelan-pelan
gadis itu juga berdiri, dan ikut menatap pertarungan itu. Beberapa saat mereka
terdiam.
"Apa yang harus kita lakukan?" Ratih tiba-tiba
memecah kebisuan itu.
"Biarkan mereka. Kita tidak punya
urusan dengan mereka," sahut
Rangga.
'Tapi, Dewi Selaksa Mawar tidak
boleh mati."
"Dalam beberapa jurus lagi, dia
akan mampu mendesak
Sanggamayit."
"Mustahil! Sanggamayit terlalu
sakti!" sergah Ratih.
Rangga hanya tersenyum. Ratih memang cukup tinggi ilmunya,
tapi belum mampu menilai tingkat kepandaian orang yang berada jauh di atasnya.
Memang sulit menilai orang yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya.
***
Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti memang benar. Setelah
lewat sepuluh jurus, tampak Sanggamayit mulai terdesak. Lebih-lebih darah
kembali mengucur dari pangkal lengannya yang buntung. Jelas cukup sulit bagi
Sanggamayit bertarung seperti ini.
Beberapa kali tendangan dan pukulan bertenaga dalam tinggi
yang dilancarkan Dewi Selaksa Mawar hampir mengenai tubuhnya. Sanggamayit
memang masih dapat mengelak dari pukulan maut itu. Tapi dengan cepat pula Dewi
Selaksa Mawar mengirimkan tendangan. Kembali laki-laki itu ber-kelit. Namun
bersamaan dengan itu sebuah jotosan mengarah ke dada.
Buk!
Sanggamayit tidak mungkin untuk mengelak lagi. Dadanya telak
menerima pukulan yang disertai tenaga dalam yang tinggi. Dua langkah tubuh
lakilaki itu terjajar ke belakang. Dadanya menjadi sesak, sulit untuk bernapas.
"Setan!" dengus Sanggamayit geram.
"Mampus kau, pencuri busuk!"
teriak Dewi Selaksa Mawar keras.
Setelah berkata demikian, dengan cepat perempuan tua itu
melompat dengan kaki kanan menjulur ke depan. Sanggamayit memiringkan tubuhnya
menghindari serangan itu. Kaki Dewi Selaksa Mawar hanya lewat di samping
Sanggamayit.
Belum sempat Dewi Selaksa Mawar menjejakkan kakinya ke
tanah, secepat kilat tangan kiri Sanggamayit melayang ke arah dada. Dan....
Trap!
Cepat sekali Dewi Selaksa Mawar menangkap tangan kiri
Sanggamayit yang hampir menghantam dadanya. Segera dicekal kuat pergelangan
tangan itu, lalu dengan cepat Dewi Selaksa Mawar memutar tubuh, sehingga....
Bret!
"Akh!" Sanggamayit memekik tertahan.
Jari-jari tangan Dewi Selaksa Mawar berhasil merobek perut
Sanggamayit. Dan itu pun masih dibarengi dengan sebuah tendangan yang mendarat
di perut. Sanggamayit kembali memekik keras. Tubuhnya terdorong dua langkah ke
belakang. Dengan sisa kekuatannya, disentakkan tangannya yang tercengkeram.
Ketika lepas dari cengkeraman Dewi Selaksa Mawar, bagai geledek senjata aneh
Sanggamayit menderu ke arah dada lawan.
"Ih!"
Dewi Selaksa Mawar memiringkan tubuhnya ke kanan, maka
serangan itu hanya lewat di depannya. Tapi belum benar posisinya, mendadak kaki
kiri Sanggamayit melayang cepat.
Buk!
Dewi Selaksa Mawar melenguh sedikit. Punggungnya terasa
sakit terkena hantam kaki kiri itu. Sebentar tubuh perempuan itu
terhuyung.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, Sanggamayit melompat seraya
mengebutkan senjatanya. Serangan yang datang beruntun dan cepat itu, tidak
dapat lagi dihindari Dewi Selaksa Mawar. Dengan nekad, disambutnya bolabola
baja berduri.
Tap!
Dia berhasil
mencekal rantai
senjata itu.
Dua tokoh sakti itu saling tarik menarik dengan mengerahkan
tenaga dalam. Dua pasang kaki terentang ke samping saling berhadapan. Dua
pasang mata saling tatap. Tajam sekali. Tampak keringat mulai membasahi
keduanya. Wajah mereka tegang.
Sementara itu Rangga yang sejak tadi memperhatikan, mengerutkan keningnya.
Dia telah mampu mengukur tingkat tenaga dalam Sanggamayit. Begitu pula dengan
tingkat tenaga dalam Dewi Selaksa Mawar.
"Mereka bisa mati, Kakang," desah Ratih tanpa
memalingkan wajahnya.
"Kau lihat saja," jawab Rangga
belum berani memastikan.
"Bantu dia, Kakang. Aku khawatir Dewi Selaksa Mawar
tewas!" Ratih menyarankan.
"Itu bukan perbuatan seorang pendekar," Rangga
tersenyum kecut mendengar kata-kata Ratih.
Ratih tidak berkata-kata lagi. Dia menjadi malu sendiri
karena memberi saran buruk terhadap Pendekar Rajawali Sakti yang jelas-jelas
adalah seorang pendekar sejati. Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri yang
tidak berpikir dulu sebelum berucap. Bodoh! Maki Ratih dalam hati.
Sementara itu pertarungan antara dua tokoh sakti tadi
semakin menegangkan. Masing-masing telah mengerahkan seluruh kekuatannya. Wajah
mereka semakin menegang berkeringat. Otot-otot bersembulan di tubuh mereka.
"Hih!" Dewi Selaksa Mawar mengempos lagi tenaga
dalamnya untuk mendukung daya tahannya yang mulai mengendor.
Tapi ada yang dilakukan
Sanggamayit sungguh di luar dugaan.
Disentakkan tangannya ke bawah,
tepat pada saat Dewi Selaksa Mawar menambah kekuatannya. Dan, tanpa ampun lagi
kaki Dewi Selaksa Mawar amblas ke dalam tanah sebatas lutut.
Rupanya Sanggamayit membaca kalau Dewi Selaksa Mawar tengah
mengempos tenaga dalam tambahan. Dalam detik itu pula, dipinjamnya tenaga dalam
lawan yang mengalir untuk mencelakakan lawannya sendiri. Kecerdikan itulah yang
membuat Sanggamayit memenangkan adu tenaga dalam ini.
"Setan! Curang!" dengus Dewi Selaksa Mawar
mengetahui kelicikan Sanggamayit.
Baru saja perempuan tua itu berhenti memaki, tiba-tiba
Sanggamayit melepaskan senjatanya.
"Akh!" Dewi Sebksa Mawar
terkejut
Dan betapa terkejut lagi, karena bersamaan dengan itu tubuh
Sanggamayit telah melayang sambil melemparkan senjata-senjata rahasianya. Dewi
Selaksa Mawar yang tidak mungkin dapat menghindar dengan cepat pula
melontarkan senjata rahasianya.
Sinarsinar keperakan berseliweran deras.
Crap, crap,
crap!
"Aaaakh...!"
Dua jeritan melengking terdengar hampir bersamaan. Tampak
tubuh Dewi Selaksa Mawar dipenuhi ruyung-ruyung perak Sanggamayit. Sedangkan di
tubuh Sanggamayit, telah menancap bintangbintang perak bersegi enam. Tubuh yang
berada di atas, seketika terhempas menimpa Dewi Selaksa Mawar.
Dua tubuh tokoh sakti itu sating berbenturan sehingga
terdengar bunyi tulang-tulang patah. Mereka jatuh dengan posisi saling tindih
belumuran darah. Tak ada yang bergerak-gerak bgi, tewas bersamaan. Memang
tragis kematian mereka.
"Nekad!" kata Rangga setelah
menyaksikan kejadian itu.
Ratih menoleh pendekar muda tampan yang berdiri di
sampingnya.
***
Matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk Timur.
Burung-burung bernyanyi merdu menyambut datangnya pagi. Rangga mengamati
keadaan di sekitarnya. Empat sosok mayat bergelimpangan di sekitar tepian
sungai ini.
Rangga mendesah panjang, lalu diayunkan langkahnya
meninggalkan tempat itu. Dia seperti lupa kalau masih ada seorang gadis cantik
yang sejak tadi memperhatikannya. Ratih menatap kepergian pendekar tampan itu
dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.
"Kakang...,"
panggil Ratih agak
bergetar suaranya,
Rangga menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Ratih
melangkah cepat menghampiri. Dia berhenti tepat di depan Pendekar Rajawali
Sakti itu. Beberapa saat mereka hanya terdiam dan saling tatap saja.
"Kakang akan ke mana?" tanya Ratih suaranya masih
bergetar.
"Pergi,"
sahut Rangga singkat.
"Ke
mana?" tanya Ratih lagi agak
mendesak.
"Mengikuti
langkah kakiku saja."
"Aku
ikut!"
Rangga menatap gadis cantik di depannya. Pelan-pelan
kepalanya menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Aku tidak
punya siapa-siapa lagi
di dunia ini," pelan suara
Ratih.
"Kau masih punya paman yang menunggu di Gunung
Lawu," kata Rangga mengingatkan.
Ratih
menggelengkan kepalanya.
"Ingat Ratih!
Kau masih punya
tugas penting!"
"Percuma. Satu-satunya pewaris kitab Tapak Geni telah
meninggal. Untuk apa lagi aku harus kembali ke padepokan? Toh, paman masih
sanggup mengurusnya sendiri."
"Kau ingin melalaikan amanat Setan Arak?"
Ratih terdiam. Matanya melirik Setan Arak yang terbujur kaku
membiru di bebatuan. Sungguh dia tidak bermaksud mengecewakan pesan terakhir
Setan Arak. Tapi..., hatinya telah terpikat oleh pendekar tampan di depannya
ini. Ratih jadi bimbang juga.
"Seorang pendekar sejati, tidak akan mendahulukan
kepentingan pribadi. Ingatlah, sejak kecil kau dipersiapkan untuk menjadi
seorang pendekar wanita yang tangguh dan pilih tanding. Apakah kau akan
mengkhianati jiwa pendekar yang telah tertanam dalam hatimu sendiri? Jangan,
Ratih. Aku akan membencimu kalau kau tidak bisa membedakan jiwa pribadi dan
jiwa pendekar," tegas dan lembut suara Rangga.
Ratih kembali diam tertunduk. Kata-kata Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung menyentuh sudut hatinya yang paling dalam. Pelan-pelan
diangkat kepalanya, sepasang bola matanya yang indah langsung memandang tajam
ke bola mata Rangga.
"Kau bersedia singgah ke Padepokan Gunung Lawu,
Kakang?" terdengar nada berharap dari suara Ratih.
"Satu saat kelak," sahut Rangga
tersenyum.
"Kapan?"
"Kalau kau telah menguasai seluruh ilmu peninggalan
Setan Arak dan Pamanmu."
"Hhhh...,
apakah tidak terlalu
lama?" Ratih mendesah lesu.
"Tidak! Aku
akan datang menguji
ilmu yang akan kau kuasai."
Ratih terdongak kaget. Tapi belum sempat membuka mulut,
tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap dari pandangan matanya. Tentu
saja gadis ini kebingungan. Rangga mendadak lenyap bagai ditelan bumi.
"Kakang...!"
panggil Ratih keras.
Tidak ada sahutan.
"Kakang, di
mana kau?!"
"Aku akan
datang mengujimu.
Tunggulah!"
Ratih tertegun mendengar suara menggema di sekitarnya. Jelas
itu suara Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar gadis itu berdiri diam. Kemudian
mendesah panjang sebelum kakinya terayun pergi meninggalkan tepian sungai.
"Kau hebat, Kakang. Tapi aku akan mengalahkanmu
kelak!" gumam Ratih bertekad.
TAMAT
No comments:
Post a Comment