EMPAT BREWOK DARI GOA SANGRENG
Karya: BASTIAN TITO
SATU
“Ini!” kata
laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar. ”Berikan sama dia! Aku
harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?” Orang yang
bernama Kalingundil mengangguk. Diambil surat yang disodorkan.
”Kalau dia banyak bacot.....,” kata
laki-laki berkumis melintang itu pula, ”bikin beres saja. Berangkat sekarang,
jika perlu bawa Saksoko!” Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan
bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah
Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.
”Betul-betul
perempuan laknat! Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju kanannya dan
dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
”Brakk!!”
Papan meja
pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin
sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah
yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia
memaki-maki seorang diri.
”Perempuan
keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak
malah! Keparat!” Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka
jendela lalu
dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah
kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya,
isi kendi itu sudah habis.
”Keparat!”
maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah
berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah
sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam
menghilang kembali.
Akhirnya,
Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu.
Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih
badannya.
”Ludjeng!” teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi
memunculkan diri di pintu masuk bergegas.
”Ya, Denmas Sura....”.
”Kau juga
keparat!” damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya menyemprot dan
Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
”Sudah berapa
kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah gila hingga
lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!.” Wilujeng terdiam dengan tubuh
menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura
padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama
Mahesa Birawa.
”Perempuan monyong! Aku tanya kau
sudah gila? Jawab!”
”Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa
Birawa.....”
”Kalau tidak gila kau musti sinting!
Ambilkan aku air, lekas!”
Wilujeng putar tubuh. Sebentar
kemudian dia sudah kembali membawa segelas air putih. Air yang dingin itu
menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia duduk tenangtenang di kursi
itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat setahun yang
lewat.
Waktu itu dia sudah lama berkenalan
dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan
menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci, dia berharap lama-lama
akan dapat juga melunakkan hati gadis
itu. Memang akhirnya Suci mau
juga
bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka terhadap
Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir.
Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh
seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura menemui Suci dan berkata,
”Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi
aku baru kembali. Kuharap kau mau
menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku akan mengawini kau.....”
”Tapi Kangmas Sura.....”
Suci menghentikan kata-katanya karena
saat itu dilihanya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan
untuk memeluknya.
Suci mundur.
”Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan
orang.....”
Kemudian
Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan bahwa dia
tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian
Suranyali itu maka Suci kemudian
kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya.
Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan
atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai Suranyali dan juga tak
pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali
kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya, yang
begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan
Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai seorang anak
laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini Ranaweleng
sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali
seorang manusia punya muka dan punya harga diri, sebenarnya mengetahui
perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan sekali
bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi
kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia
berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga
dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman
kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama
Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki
kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua
orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela.
”Suci musti
dapat..... musti dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu. ”Kalau
tidak.....,” Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya tangan
kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah
berantakan!!
DUA
Keduanya menghentikan kuda di hadapan
seorang laki-laki tua yang tengah mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari
kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak kasar,
”Ini rumahnya Ranaweleng?!”
Orang tua
berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa tubuhnya
pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi bambu
yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara kepadanya.
Orang tua ini tak segera berikan jawaban melainkan melirik kepada Saksoko yang
duduk di atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.
”Orang tua
bego!” maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini memang bersifat tidak
sabaran. ”Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!” ”Ya!” jawab Kalingundil.
”Ada keperluan apa Saudara?”
Si gemuk pendek Saksoko kini yang
buka suara. Suaranya parau dan tidak enak didengar. ”Tak perlu tanya keperluan
kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!” Saksoko menyentakkan tali kekang
kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan maka terpelantinglah si orang tua
kena terajakan kaki binatang yang ditunggangi Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan
perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur kelihatannya menyorot.
Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi bambunya yang tergeletak
di tanah.
Topi itu
melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan kuda yang
ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua kaki
depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah! Si
orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa dia
memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman!
Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya
segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.
”Saksoko, ada apa dengan kau?!” tanya
Kalingundil terkejut dan heran.
”Aku sendiri tidak tahu,” sahut
Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk pantat celananya. Dia memandang
berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang tua yang tadi tengah mencabuti
rumput. Kemudian mata laki-laki itu membetnur topi bambu yang tergeletak tak
berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua
kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak
mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke
kuda tunggangannya. Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati
bertanya-tanya. Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia
berkata, ”Kurasa orang tua kerempeng itu.....”
Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia lebih
tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
”Mana mungkin,” kata Saksoko pula
tidak percaya.
”Coba kita lihat.”
Kalingundil turun dari kudanya.
Diambilnya topi yang tergeletak di tanah.
Diperhatikannya
topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih jongkok dan
mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan kanannya.
Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu gerakkan
tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah
mengejutkan kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat
bagaimana topi bambu itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil dan Saksoko saling
pandang.
”Apa kataku, kau lihat?” desis
Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah
si gemuk pendek Saksoko.
”Orang tua edan!” makinya. ”Punya
sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!” Dia membungkuk dan meraup pasir.
Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang tua. Meski
hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat
hebat dan dapat melukakan kulit membutakan mata!
Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan
terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang yang
sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi gerakannya ini sekaligus membuat
berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke arahnya!
”Kurang ajar
betul!” damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan dipermainkan. Dia
menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya pukulan tangan
kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping. ”Apa-apaan
ini?!” tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, ”ada apa kau serang
aku?!”
Namun gerakannya tadi sekaligus telah
melewatkan angin pukulan Saksoko hanya beerapa jengkal saja di depan hidungnya.
Saksoko kertak rahang.
”Orang tua gelo! Siapa kau
sebetulnya?!”
Orang tua itu
menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang sepotongpun.
”Aku sudah
tua, tak usah bicara memaki!,” katanya dan didorongkannya telapak tangan
kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak
cepatcepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.
Begitu
melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang tua itu. Pada
saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras:
”Ada apa di sini?! Tahan!!”
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda
berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan.
Kemudian dilihatnya Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski
hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang tua tapi melihat isyarat
kawannya itu segera dia datang juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan
rumah.
”Kau Ranaweleng?” tanya Kalingundil
membentak.
Selama menjadi
Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng dibentak orang demikian rupa dan oleh orang
asing pula! Dari tampang-tampang serta sikap kedua tamunya itu Ranaweleng
segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan membawa maksud baik. Namun
demikian, dengan suara ramah dia menjawab:
”Betul, Saudara, aku memang
Ranaweleng,” lalu tanyanya kemudian, ”Saudara-
saudara datang
dari mana dan ada keperluan apakah?” Kalingundil cabut gulungan surat dari
balik pakaiannya.
”Ini! Silahkan dibaca!” katanya.
Gulungan surat
itu dilemparkannya ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu disertai dengan
aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung kayu di
mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa
kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap dari tiang langkan lalu dibacanya.
Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng
keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu
agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan istrimu! Ini
adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan harap kau bisa melihat matahari
tenggelam esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar tubuh
Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak pernah kenal
dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak pernah dengar
nama atau riwayat manusia itu sebelumnya.
Matanya memandang melotot pada kedua
tamunya. ”Mahesa Birawa ini siapa?” tanya Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke tanah
sebelum menjawab. ”Laki-laki yang kau rampas kekasihnya dan yang kini menjadi
istrimu!”
Kaget
Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko sudah
mendahului. ”Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!”
Kalingundil menyambungi, ”Dan sebaiknya..... apa yang tertulis di surat itu kau
ikuti saja.”
”Kalau tidak?,” tanya Ranaweleng
menindih rasa geramnya.
Kalingundil
tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat kehitaman.
Ranaweleng tak
dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatahpatahkannya kayu
penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat mengenai mulut
yang sedang tertawa mengekeh itu!
”Bangsat
rendah!” hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. ”Kau berani berlaku kurang
ajar terhadapku, huh?!”
”Tak usah jual lagak di sini, setan!”
balas menghardik Ranaweleng. ”Kalian budakbudak sinting kembalilah kepada
majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa Birawa agar lekas-lekas pergi
mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!” ”Betul-betul anjing
budak yang tidak tahu diri!” semprot Saksoko. Dari tadi dia memang sudah
beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan setengah
menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului
oleh angin hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng.
Melihat musuh
yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan rahang. Dia
berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan. Saksoko
bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas
lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan
lompat ke samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung
lawan yang saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah
suara seseorang.
”Ah, Raden
Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar ini?! Biar
aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun
terhadapnya!”
Ternyata yang
berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput
di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu. Mendengar dirinya
dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia membalik dan menyerang
orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin deras.
Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot Karsa. Dengan begitu
Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu juga!
Tapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali dia gerakkan tangan kanannya
yang kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko.
Angin pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang
Saksoko sendiri. Ditambah dengan
dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan olah-olah!
Tubuh Saksoko
mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan menggelinding di tanah.
Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah lagi setelah terlebih
dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar! Kaget Kalingundil
bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini menerjang ke depan.
Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek membuat langkan
rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat.
Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh Kalingundil.
Serangkum
angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang tua.
Pasir menderu beterbangan, debu menggebu.
Jarot Karsa
cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan bertemu
di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh Jarot
Karsa
kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat
bangun lagi.
Keringat
dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya menciut kecil.
Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya sama
sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam
Jarot Karsa!
Tapi laki-laki
ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena amarah dan
kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang tua
bukan tandingannya.
Kedua
tangannya dipentang ke muak. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan
juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan
kini bagaimana sepasang lengan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya
berwarna kehitaman.
”Ha.....ha....,”
terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, ”Kau hendak pamerkan ilmu lengan tangan
baja?!”
Kalingundil terkejut. Terkejut karena
belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya.
Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia pentang mulut.
”Bagus,
penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan
lengan tangan baja ini?!”
”Kau tak perlu banyak bacot,
Kalingundil, majulah!” tantang Jarot Karsa.
Kalingundil
menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah. Sekali
ayunkan tangan kanannya maka: brak!! Tiang langkan yang besarnya hampir
menyamai paha manusia patah. Atap rumah menurun miring!
Sebenarnya
Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang tua
yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih
menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!
”Ayo monyet kesasar, majulah!”
katanya dengan terbungkuk-bungkuk.
Kedua telapakan kaki Kalingundil
menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka, sedikit miring. Kaki kiri dan kanan
mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu kemudian menyusul sepasang
lengannya yang menghitam oleh aji ’lengan tangan baja.’ Angin yang ditimbulkan
oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam dan
memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena
pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam
dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan
bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!
Pekikan
setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah melengking
menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak, lidahnya
menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya
bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari
mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak
lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang terdahulu. Ranaweleng menghela
nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia
yang melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. ”Bapak
Jarot Karasa, kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?” Jarot
Karsa menggeleng.
”Siapa dia tak
penting Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti waspada karena
cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat perhitungan
dengan
kita!”
Ranaweleng mengangguk.
”Aku tak ingin
melihat kdua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan mereka, pak
Jarot.”
Si orang tua tertawa mengekeh.
”Tak usah
khawatir...... tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu,
Raden.”
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang
kurus kering itu menendang. Tubuh Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti
bola, dan angsrok di luar pagar halaman.
TIGA
Kedua mata
Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka
lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki
pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi
membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah.
”Ada apa dengan kalian?!” tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan
teriakan.
Kedua kuda itu berhenti.
Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahanlahan. Pakaian mereka
kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa
segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang parah.
Kalingundil
berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih
berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera
tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan!
Mahesa Birawa melompat dan cepat
menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan
dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada
Kalingundil.
”Telan cepat!,” katanya. ”Kalau
sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!” Kalingundil menelan pil yang
diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas
dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang
tadi kena terpukul.
Satu jam
kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring
menelentang di atas sebuah tempat tidur.
”Sekarang!” kata Mahesa Birawa sangat
tidak sabar dan sambil menggeprak meja,
”terangkan apa yang terjadi
Kalingundil!”
Kalingundil tarik nafas panjang.
Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia memberi keterangan. Dan bila
Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka mendidih darah di
kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar.
Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau tanggal
dari rongganya!
”Kalingundil!
Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah!
Lekas.....!”
Kalingundil
tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian kelihatanlah empat
orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir
berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap
dagunya. Tanpa berpaling pada
Ranaweleng yang berdiri di sampingnya
dengan mata yang memandang tajam ke muka dia berkata, ”Dugaan kita tidak salah,
Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu
adalah manusia yang bernama Mahesa
Birawa.....”
Ranaweleng memandang pula ke muka.
Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi
kesukaran dan kekerasan macam begini! Bahkan dia tadi belum sempat
menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda
itu. Ketika Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di
belakang suaminya.
Mahesa Birawa hentikan kudanya.
Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil
memberikan kisikan.
”Laki-laki tua
yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku dan
Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali.....” ”Kau
manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!” membentak Mahesa
Birawa.
Kalingundil
terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya terhadap kedua
orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat
dilukiskan.
Mahesa Birawa memandang sekilas pada
Suci yang berdiri di belakang suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki perempuan
ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian membuat amarahnya semakin
meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami dan punya
anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita. Bola mata
Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu
tampang Ranaweleng dengan garangnya.
”Anjing tua
yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!” suara Mahesa Birawa
begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi
sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar.
Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka
setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di
hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali.
Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini.
”Ini
manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau
tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu
agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!”
Bergetar badan
Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki! ”Anjing tua
yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!”
Mahesa Birawa enjot diri, melompat
turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya
dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang tua yang
membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa
melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang
dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
Pada detik dia hendak mengirimkan
serangan balasan maka berserulah Ranaweleng.
”Bapak Jarot minggirlah, biar aku
yang hadapi manusia pengacau ini!”
”Ah Raden....,” kata Jarot Karsa
dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara.
”Biarlah aku yang sudah tua ini kasih
pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah.
Dalam satu dua jurus ini akan kusapu
badannya keluar halaman!”
Mahesa Birawa
kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat
melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai
di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan
di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa
Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa
jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi
Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya dan
menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si orang tua mendapat celaka
besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi
dari tenaga dalam Jarot Karsa.
Tahu kalau
tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan
menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan,
menyapunyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya.
Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung
oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau
Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana
bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai merasakan
tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati. Tiga jurus lagi
berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya
gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara
menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan
yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot
Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi sedikit
dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di
lihatnya mengelak ke samping dan
sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa.
”Buk!!”
Mahesa Birawa
terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit
pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepatcepat dialirkannya
tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh. ”Jika
kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu,
jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!”
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri
dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang
di atas kepala.
Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan
kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar.
”Bangsat tua
bangka!” kertak Mahesa Birawa, ”lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan
yang akan kulepaskan ini....!”
Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya
memandang lekat-lekat ke tangan kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin
bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski
pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini
mau tak mau tergetar juga hatinya meliahat tangan kanan lawan itu, ditambah
lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh
lawannya!
Akan Ranaweleng, begitu melihat
tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu,
kagetnya bukan main. Dengan cepat dia
memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu ”menyusupkan
suara.”
”Bapak Jarot,
hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu adalah pukulan – Kelabang Hijau
— Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!”
Jarot Karsa
menindih rasa terkejutnya. ”Pukulan Kelabang Hijau....,” keluhnya dalam hati.
Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu
betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu
pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di
lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan
itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah?
Kerut-kerut
pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan mimik
mengejek.
”Hanya pukulan
Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!” kata seorang tua bungkuk itu.
Diam-diam
Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang
hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak.
”Kalau sudah tahu mengapa tidak
segera berlutut, anjing tua?!”
”Hanya monyet
edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini....!” dan
tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Setengah tombak lagi angin pukulan
yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka
kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke muka!
Setiup angin
laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka. Angin
pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri!
Jarot Karsa
melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah
melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua tangan.
Orang tua itu berteriak setinggi
langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau.
Dia mengerang
dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya
melingkar tanpa nyawa!
”Manusia biadab!” bentak Ranaweleng.
”Orangku tiada permusuhan dengan kau.
Mengapa kau bunuh dia?!”
Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa
mengekeh.
”Sebentar lagi kau juga akan mampus
Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari
sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di depan mata!”
dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
”Hari ini aku mengadu
nyawa dengan kau manusia iblis!” teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala
Kampung Jatiwalu itu.
EMPAT
”Manusia keparat yang tidak tahu
diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” bentak Mahesa Birawa seraya
angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan.
Dua lengan
beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa Birawa
hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan
lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit. Dia maklum bahwa
tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan. Karena itu dengan memepergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah sampai ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih
digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu di langkan rumah
terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang berkelahi itu. ”Suranyali!
Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!” Suci tidak pernah tahu
kalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa. Dan dia berteriak
lagi, ”Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan mengapa musti berkelahi?!”
”Suci masuklah
ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu dia harus jungkir balik
di udara mengelakkan pukulan lawannya.
Di pihak
Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan
perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih cepat
menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu
telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng
terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong lawan mengurungnya dari
berbagai jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat gerakannya dan
mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar dari kurungan
pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayangbayang.
Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut kiri yang
keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng.
Ranaweleng merintih tertahan. Mukanya
kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurangkurangnya dua dari tulang iganya
telah patah dan tubuhnya di bagian dalam terluka hebat!
Untuk beberapa
lama dia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang. ”Ha....
ha....,” tertawa Mahesa Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi ajalmu
akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum
mampus!”
Mulut Ranaweleng komat kamit.
Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap
untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri
laksana tugu. Kedua kakinya tenggelam satu senti ke dalam tanah. Tenaga
dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh untuk menghadapi serangan lawan.
Tiba-tiba
jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari mulut Ranaweleng. Kedua
tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah
Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke
udara.
Begitu
angin panas
menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di belakangnya, maka
Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang dilakukan
oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa
detik sesudah dia melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus
oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada saat lawannya
menukik dari atas dia terlambat
meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus menerima hantaman lawan. Kali
ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung dia sempat menggulingkan
diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah
bawah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun,
karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan tangan kosong
maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya! Tapi
betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri
dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan
diangkat tingitinggi di belakang kepala
dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan
pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras.
”Sura!! Jangan....! Hentikan
perkelahian ini!”
Suranyali alias Mahesa Birawa
sunggingkan senyum berbau maut. ”Jika kau punya sepuluh senjata, keluarkanlah
sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat.
Keringat dingin mebasahi badannya. Seperti halnya dengan Jarot Karsa dia tak
akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau
tersebut. Tapi untuk lari
menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa
ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang
tanah dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa
lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan
untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap
sia-sia saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan kanan
Mahesa Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit.
Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa. Sekujur kulit
tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu masih tergenggam
di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! Suci pun
menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat meloncat ke
muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh suaminya
yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh
Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang
nyawa pula!
”Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia
terkutuk! Biadab!!” pekik Suci.
”Sedikit saja kau menyentuh tubuh
laki-laki itu kau akan keracunan Suci....!”
”Aku tidak takut! Aku juga ingin
mati!”
”Kau masih terlalu muda untuk
mati....!”
Dan dengan sekali gerakkan tangannya,
maka Mahesa Birawa segera membopong Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih
meronta-ronta dan menjerit-jerit serta memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa
segera menotok urat darah besar di pangkal leher Suci sehingga perempuan itu
menjadi kejang kaku kini.
Sambil melangkah ke kudanya Mahesa
Birawa memerintah kepada ketiga orang anak buahnya. ”Bakar rumah keparat itu!”
Kalingundil
dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam sekejapan
mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam kobaran
api.
Senyum puas membayang di muka Mahesa
Birawa. Bila sebagian dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama
anak buahnya segera ditinggalkannya tempat itu.
Jeritan bayi
yang baru berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di antara
kobaran lidah-lidah api yang membakar rumah.
”Bayi itu!
Bayi itu....!” teriak salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung di
halaman rumah Kepala Kampung. ”Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!”
”Kalau tidak lekas ditolong pasti
mati!”
Tapi semua orang di situ hanya bisa
berteriak dan berteriak. Mana mereka berani menghambur menyelamakan bayi itu.
Dan suara tangisan bayi semakin lama semakin kecil serta parau sementara nyala
api mulai membakar tempat tidur di mana bayi itu terbaring! Pada saat suara
tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran, pada saat
orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk
menyelamatkan itu orok, maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya
kelihatan sesosok bayangan berkelebat
dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu keluar
lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok
tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun yang dapat melihat siapa adanya
manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa sosok tubuh itu adalah
sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit! Jangankan untuk melihat
wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu laki-laki atau perempuan juga tak
satu orangpun yang bisa! Begitu cepat dia datang, begitu cepat dia lenyap!
Hanya warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak saat
itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah sosok tubuh itu lenyap maka rumah
Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan lidah api mengelombang tinggi ke
udara!
Siapapun
adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah laki-laki atau
perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh itu telah menyelamatkan
bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas
tempat tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah
seruan tertahan dari mulut laki-laki ini!
Pada dinding
papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA TUJUH
BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera
nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan itu dibuat
dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau bukan manusia yang mempunyai
tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup membuat tulisan
semacam itu pada dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan
mempergunakan ujung jari!
LIMA
Adalah hampir tak dapat dipercaya
bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang
hari yang panas terik itu terdengar suara lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang,
berganti dengan suara yang membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara
gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua manusia di
puncak Gunung
Gede saat itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan
yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah mereka ini?! Yang berbadan
tinggi langsing dan mengenakan pakaian serta kain hitam adalah seorang
nenek-nenek berkulit sangat hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam
berkerinyut
ini tak lebih hanya merupakan kulit
tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan kecekungan ini merambas ke
matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian menyeramkan. Berlainan dengan
kulit serta pakaiannya yang seba hitam itu maka rambut di
kepalanya serta alis matanya berwarna
sangat putih. Dan rambut yang putih itu tumbuh sangat
jarang di atas batok kepalanya yang
hampir membotak licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang
ini, nenek-nenek itu memakai lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu
tidaklah tersisip disela-sela rambut yang putih karena memang tidak mungkin
untuk menyisip di rambut yang jarang
itu. Kelima tusuk kundai itu menancap langsung ke kulit kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dialah yang
bernama Eyang Sinto Gendeng, seorang perempuan sakti yang telah mengundurkan
diri sejak dua puluh tahun yang lalu dari dunia persilatan. Selama malang
melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun terakhir Sinto
Gendeng telah merajai dunia
persilatan di daerah Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa
Tengah. Selama itu pula dia telah
menyapu dan membasmi habis segala manusia jahat. Terhadap manusia-manusia
jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto Gendeng untuk dilakukan yaitu
membunuhnya! Tidak heran kalau namanya menjadi harum. Nama asli dari perempuan
ini adalah Sinto Weni. Namun karena sikap dan tingkah lakunya yang lucu serta
aneh-aneh bahkan seringkali seperti orang yang kurang ingatan maka lambat laun
dunia persilatan menganugerahkan nama baru padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau
Sinto Gila! Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan
yang saat itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang pemuda belia
remaja yang baru memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya
gagah dan kulitnya bersih kuning, hampir seperti kulit perempuan. Rambutnya
gondrong sebahu dan agak acakacakan sehingga tampangnya yang keren itu seperti
paras kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama
sekali bukan tengah bertempur karena pemuda tujuh belas tahun tersebut adalah
murid Eyang Sinto Gendeng sendiri! Bagaimana sikap tingkah laku gurunya,
demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit serta
cengarcengir! Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap
jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan adalah benar-benar
serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati dapat mencelakai diri!
Debu dan pasir beterbangan. Daundaun pohon berguguran, semak belukar tersapu
kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana
bayang-bayang!
Di tangan
kanan Sinto Gendeng ada sebatnag ranting kering sedang muridnya memegang
sebilah keris bereluk tujuh.
”Ayo Wiro!
Serang aku dengan jurus – orang gila
mengebut lalat – ! Serang cepat, kalau
tidak aku kentuti kau punya muka!”
Wiro Saksana sang murid tertawa
membahak dan menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang gondrong semakin
awut-awutan. Tiba-tiba suara tawa membahak itu menjadi keras dan menggetarkan
tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan! ”Ciaaat....!!” Bentakan setinggi jagat
keluar dari mulut Wiro Saksana. Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya
menyapu kian kemari dalam kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang
disebut jurus: orang gila mengebut lalat. Dan memang gerakan menyapu-nyapu
dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya namun kelihatan seperti tak
teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana hoyong sana hoyong sini. Namun serangan
itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si perempuan tua masih juga
mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting sambil memainkan ranting kering
yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh Wiro Saksana saat itu bukannya
gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain
pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya terbabat,
tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana badai itu!
Sinto Gendeng mengikik.
”Geblek kau Wiro! Masih kurang cepat,
masih kurang cepat!” kata Sinto Gendeng.
Sang murid memaki dalam hati.
”Eeeee.... kau
memaki ya?!” hardik Sinto Gendeng. ”Lihat ranting!” teriak perempuan tua itu.
Tubuh Sinto Gendeng berkelebat.
Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak. ”Awas ketek kananmu, Wiro!”
(ketek=ketiak).
Meskipun sudah
diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang luar biasa namun
tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak kanan Wiro
Saksana.
”Breeett!!”
Baju putih Wiro Saksana robek besar
di bagian ketiak sebelah kanan!
”Buset....! Untung cuma ketekku!” seru
pemuda itu. Dengan kertakkan geraham dia menerjang ke muka. ”Eyang,” katanya,
”terima jurus – kunyuk melempar buah – ini!” (kunyuk = monyet).
”Ah hanya jurus geblek begitu siapa
yang takut?!” menyahuti sang guru.
Wiro Saksana
meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada saat tangannya perpentang lurus maka
jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana batu besar
melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan.
Dia meludah. Meski Cuma ludah dan disemburkan secara acuh tak acuh tapi karena
diisi dengan tenaga dalam, ludah itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh
kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke samping. Sambil berkelit
dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan tangan
kosongnya tadi yaitu – kunyuk melempar buah – yang agak menyendat sedikit
akibat dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat
serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali Sinto
Gendeng tertawa. Memang manusia satu ini aneh sekali sifatnya. Bahkan setiap
jurusjurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama aneh dan lucu.
Tak salah kalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya
menjadi Sinto Gendeng! Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan
satu lengkingan nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya
kelihatan jungkir balik dan melesat seperti terbang ke sebuah cabang pohon
jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras
”kunyuk melempar buah.” Angin keras ini menghajar batang pohon di seberang sana
dan batang pohon itu patah lalu tumbang ke tanah!
Terdengar lagi suara tawa mengikik.
Gemas sekali
Wiro Saksana memandang ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enakenakan di cabang
pohon jambu klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu! ”Gendeng betul....!”
gerutu Wiro kesal karena serangannya hanya mengenai pohon. ”Memang namaku Sinto
Gendeng!” kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, ”Kau mau jambu, Wiro?!”
Dan sebelum Wiro Saksana sempat
menyahuti maka gurunya telah menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke
arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk menyerang hampir ke seluruh
jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
”Ah, cuma
bijinya siapa yang sudi!,” jawab Wiro Saksana. Dia menghembus ke udara dan
melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk itu
berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto
Gendeng. Tapi
dengan
goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu membuat
ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
”Kalau tak
sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!” kata Sinto Gendeng. Dan ranting
kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke bawah, mendesing laksana anak
panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang
perempuan tua yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang
dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau
sekurang-kurangnya bisa menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak
berhati-hati. Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat
serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanan
yang memegang keris maka ranting kering itu belah dua tepat di pertengahannya
dan jatuh ke tanah.
”Sebaiknya
turun saja dari pohon eyang” kata Wiro Saksana. ”Kalau tidak....” ”Kalau tidak
kenapa?” memotong Eyang Sinto Gendeng.
”Sambut keris ini, Eyang....! Sambut
dengan jidatmu biar konyol!”
Habis berkata
begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk tujuh yang di
tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena cepatnya.
Namun empat detik kemudian
terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan ketika
Wiro mendongak ke atas dilihatnya
keris yang dilemparkannya tadi berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah
kanan gurunya.
Wiro Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. ”Ini balasan kehormatan
untuk keris bututmu, Wiro!” Sinto Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok
kepalanya yang berambut putih dan jarang itu. Dibarengi dengan angin lemparan
yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah
Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana
yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata tersebut dengan
mengandalkan lambaian tangan yang mengandung tenaga dalam. Didahului dengan
bentakan nyaring maka pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan badannya ke
udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam
tanah! Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
”Bagus....,
bagus kau tidak menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu
tenaga dalam yang bagaimana hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai
itu Wiro! Eeee.... aku haus! Hik....
ambilkan air buatku Wiro! Cepat!”
”Kalau haus
jilat saja air keringat!” kata murid yang lucu dan seperti kurang ingatan pula
macam gurunya.
Dan dasar
Eyang Sinto Gendeng manusia aneh, dia sama sekali tidak marah mendengar gurau
yang keliwatan dari muridnya itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. ”Air, Wiro!
Lekas!” bentak perempuan itu.
Sang murid berlalu juga dari tempat
itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di bagian belakang pondok ini ada sebuha
gentong berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya segayung.
Ketika dia melangkah kembali ke
tempat tadi untuk memberikan air itu kepada gurunya maka didengarnya suara
Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali tidak merdu. Namun kata-kata
yang terjalin dalam nyanyian itu membuat Wiro Saksana menjadi heran dan
bertanya-tanya dalam hati
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah
kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan
suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah
tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang
dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun
wektu perjanjian, Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun
wekdaling pamales....
Artinya: (Tujuh belas tahun telah
berlalu.
Puncak Gunung Gede masih tetap
seperti dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan
matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun membuat si tua
tambah tua,
Tujuh belas tahun membuat seorang
orok menjadi pemuda gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan, Tujuh belas tahun saat pembalasan).
ENAM
Selama diam di
puncak Gunung Gede itu bersama gurunya, walau bagaimanapun miring otak sang
guru, namun baru hari itulah Wiro Saksana melihat dan mendengar Eyang
Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata
dalam nyanyian itu entah mengapa membuat Wiro jadi berdebar. Apakah maksud
kata-kata nyanyian itu? Perasaan yang bagaimanakah yang tengah dicetuskan oleh
gurunya karena Wiro melihat nenek-nenek itu menyanyi dengan penuh perasaan,
dengan mata memandang jauh ke muka. Tujuh belas tahun membuat aku si tua bangka
tambah tua. Kata-kata ini jelas ditujukan ke diri gurunya sendiri. Tapi pada
siapakah ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun membuat seorang
orok menjadi pemuda gagah, itu? Apakah ditujukan kepadanya? Berdebar hati Wiro
Saksana. Kemudian kalimatkalimat: Tujuh belas tahun ujung perpisahan....
serta.... Tujuh belas tahun saat pembalasan....
Apakah arti semua itu?
Ketika Wiro
Saksana memandang ke atas pada saat itu pula Eyang Sinto Gendeng melihat ke
bawah. Dan mata yang tajam dari Wiro Saksana, meskipun cuma sekilas, namun
masih dapat melihat pantulan air muka serta cahaya mata gurunya yang lain dari
biasanya!
Air muka itu. Sinar mata itu
menyembunyikan satu perasaan sedih! Perasaan apakah yang menyemaki hati sang
guru sebenarnya?
Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng
membentak keras sampai Wiro Saksana terkejut dan serasa terbang nyawanya.
”Tunggu apa lagi, geblek?! Orang
sudah haus dianya tegak mematung! Kukencingi kepalamu baru tahu! Lemparkan
gayung itu cepat!”
Dan Wiro Saksana segera lemparkan
gayung batok kelapa yang berisi air ke atas. Gayung itu melesat ke atas tanpa
setetes airpun yang tumpah!
”Bagus
Wiro.... bagus sekali!” memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan kirinya
disambutnya gagang gayung. Sesaat kemudian tenggorokannya yang kurus dan kerinyutan
itu kelihatan turun naik meneguk air dari dalam gayung. Air itu diteguknya
sampai habis.
”Terima gayung ini kembali, Wiro!”
Gayunng
melesat ke bawah. Wiro Saksana ulurkan tangan untuk menyambut tapi pada detik
itu pula di atas pohon gurunya kelihatan menggerakkan tangan kanannya. Angin
deras mendorong kepala gayung, membuat gayung yang hendak disambuti Wiro
Saksana itu mencelat ke samping dan menyerang dadanya!
”Gila betul!” bentak si pemuda. Cepat-cepat dia palangkan lengannya
di muka dada.
Gayung dan lengan beradu. Gayung
pecah berantakan ke tanah, gagangnya patah dua!
Pada saat itulah Sinto Gendeng
melayang turun ke bawah. Kedua kakinya menjejak
tanah tanpa suara dan tanpa
meninggalkan bekas sedikitpun padahal cabang pohon jambu klutuk dari mana dia
meloncat tadi hampir empat tombak tingginya. Dapat dibayangkan bagaimana luar
biasanya ilmu meringankan badan perempuan sakti ini! Kedua orang itu, guru dan
murid berdiri berhadap-hadapan. Wiro Saksana dapat merasakan betapa lainnya
pandangan kedua mata Sinto Gendeng kepadanya, pandangan yang tidak
dimengertinya. Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa langkah ke belakang.
Kedua kakinya kemudian merenggang sedang kedua tangan mengembang ke muka.
Mulutnya berkemik. Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke dalam tanah
sampai tiga senti sedang seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mukanya yang hitam
dan berkerinyut itu basah oleh keringat.
Tiba-tiba
kejut Wiro Saksana bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana kedua tangan
gurunya berwarna putih sekali sedang sepuluh kuku jari tangan perempuan itu
memerak serta memancarkan sinar yang menyilakuan!
”Eyang!” seru
Wiro Saksana. ”Apakah kau mau bikin aku mati konyol dengan pukulan sinar
matahari itu?!”
Sinto Gendeng tidak menjawab.
Mulutnya semakin mengemik. Rahang-rahangnya semakin mengatup dan pandangan mata
serta tampangnya sangat mengerikan!
Merinding bulu kuduk Wiro Saksana.
Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat itu. Tanpa menunggu lebih lama,
tanpa menunggu sampai kedua tangan yang mengepal dihantamkan ke muka, maka
pemuda ini cepat-cepat pentang kaki dan dekapkan lengan di muka dada. Matanya
meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya amblas dua senti ke tanah.
Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun, laksana gunung karang yang keras
membatu!
”Ciaaaaaaatttt”
Bentakan Sinto
Gendeng melengking melanglang langit! Kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua
rangkum sinar putih yang menyilaukan serta panasnya dapat menghanguskan dan
melelehkan benda apa saja menggempur ke arah sasaran di muka sana yaitu tubuh
Wiro
Saksana!
Pada detik yang sama Wiro Saksana
membentak pula.
”Heeyyyaaaaa!”
Tangan yang tadi bersidekap dengan
serentak memukul ke depan. Dan kedua tangan itu terus saja terpentang lurus ke
muka. Inilah apa yang dinamakan ilmu pukulan ”benteng topan melanda samudra”!
Ilmu pukulan ini bukan saja dapat dipakai untuk menyerang tapi sesuai dengan
namanya juga dapat menjadi perisai tangguh atau benteng kekar yang melindungi
Wiro dari serangan gurunya!
Bila angin-angin topan pukulan itu
sama bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang menyenging liang
telinga, debu dan pasir beterbangan, daun-daun pohon berguguran bahkan
ranting-ranting kering patah-patah dan berjatuhan! Puncak Gunung Gede bergetar.
Langit seperti mau terbelah oleh dentuman itu!
Ketika debu dan pasir surut ke tanah,
ketika keadaan di sekitar situ menjadi terang kembali maka Wiro Saksana melihat
bagaimana kedua kaki gurunya amblas ke dalam tanah
sedalam sepuluh senti. Muka perempuan
itu penuh keringat dan matanya menyipit. Namun bila ditelitinya pula keadaan
dirinya maka didapatinya kedua kakinya tenggelam ke dalam tanah sampai sebatas
betis. Sedangkan tubuhnya yang memercikkan keringat dingin itu terasa masih
bergetar gontai akibat adu tanding tenaga dalam yang luar biasa tadi! ”Bagus Wiro,
bagus sekali!” terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji namun dari mukanya
bukan menunjukkan kegembiraan, sebaliknya muka yang berkerut-kerut itu masih
memancarkan kengerian. ”Sekarang sambuti pukulan angin es ini, Wiro!”
Dan habis berkata begitu, Sinto Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua
tangannya dengan telapak membuka lebar menghadap ke arah muridnya. Matanya
kembali terpejam. Wiro menunggu dengan badan tiada bergerak.
Udara mendadak menjadi sangat sejuk.
Kemudian ketika Sinto Gendeng memutarmutar kedua tangannya maka kesejukan itu
mendadak sontak berubah menjadi udara yang sangat dingin menyembilui
tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham Wiro Saksana bergemeletakan menahan rasa dingin yang amat
sangat itu. Permukaan kulitnya membeku seperti ditutupi salju. Tanah yang
dipijaknya laksana pedataran es. Satu menit saja hal itu berlangsung lebih lama
pastilah tubuh pemuda ini menjadi beku membatu. Inilah kehebatan ilmu kesaktian
yang bernama ”angin es” itu!
Dengan badan bergetar menahan dingin,
Wiro Saksana membentak dahsyat. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
diputar-putar ke udara angin laksana badai menggebubu ke pelbagai arah. Puncak
gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon yanag tadi kaku tegang oleh dinginnya
udara kini kelihatan mulai bergerak, makin kencang – makin kencang. Udara
dingin yang tadi menyayat sungsum kini tergetar buyar dilanda ilmu
”angin puyuh”
yang dilepaskan oleh Wiro Saksana.
Semakin keras putaran tangan pemuda
itu, semakin membadai gebubu angin, semakin buyar udara dingin. Daun-daun pohon
yang tadi hanya bergerak-gerak kini jatuh berhamburan bersama rantingnya.
Kemudian satu demi satu pohon-pohon kecil bertumbangan. Pohonpohon besar yang
masih bisa bertahan menjadi gundul daun dan rantingnya! Tubuh Eyang Sinto
Gendeng kelihatan tergoyang hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar. ”Gila
betul! Gila betul!” teriak perempuan sakti itu. Mulutnya mengeluarkan
lengkingan dahsyat kemudian dia melompat sejauh sembilan tombak dan dari situ
mencabut sebuah tusuk kundai lalu menyambitkannya ke arah Wiro.
Sang murid
cepat-cepat hentikan putaran tangannya dan melompat ke samping. Tusuk kundai
membawa angin maut itu melesat menghantam sebatang pohon. Pohon itu tumbang
dengan batang pecah berkeping-keping!
Udara dingin
lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti sedia kala.
Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya berdiri memegang sebentuk
kapak yang
aneh sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih lama benda itu, Eyang Sinto
Gendeng ajukan pertanyaan, ”Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro? Kau
lihat....?!” Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak aneh di
tangan gurunya.
”Kali ini kau tak akan sanggup lagi
berkelit dari seranganku, Wiro!”
”Eyang Sinto.... apakah kau sudah
gila hendak membunuh murid sendiri....?!” Perempuan itu tertawa mengikik. ”Aku
memang sudah gila Wiro! Kalau tidak percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kau
yang tidak tahu artinya Gendeng!” Wiro memandang dengan waspada. Matanya
kembali meneliti kapak aneh di tangan gurunya. Kapak itu bermata dua dan
besarnya hampir sebesar batu bata. Gagangnya putih bersih, mungkin terbuat dari
gading menurut taksiran Wiro. Pada batang kapak yang besar hampir sebesar
lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung terbawah dari gagang
kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka. ”Wiro!”, kata
Eyang Sinto. ”Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-turut untuk
menyerangmu! Bila kau sanggup melayaninya, kau akan selamat. Kalau tidak maka
bersiaplah untuk mati konyol!”
Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia
hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun sebelum mulutnya terbuka, Eyang
Sinto Gendeng sudah berseru:
”Ini jurus pertama Wiro!”
TUJUH
Si tua Sinto Gendeng menerjang ke
muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat kian kemari dalam jurus ”orang
gila mengebut lalat.” Ketika tadi Wiro Saksana memainkan jurus itu dengan
mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa apalagi kini
penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah!
Kapak besar itu berkelebat kian
kemari hampir tidak kelihatan karena cepatnya. Angin deras bersiuran
mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang angin karena
bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan main, seperti lecet! Dan dari
mulut kepala naga pada ujung gagang kapak senantiasa keluar suara mendengung
macam tawon!
Dalam sekejap
saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran kapak bermata dua itu.
Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-deru. Telinganya
pengang oleh suara yang mengaung yang keluar dari mulut kepala naganagaan pada
gagang kapak. ”Ciaaaaatt!”
Wiro membentak
dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan dan kakinya
sambar menyambar kian kemari, membuat gerakan menghindar dan menyerang
bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana dia sangup mengahadapi senjata
aneh yang dahsyat itu. Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto
Gendeng dan mempergunakan jurus ”orang gila mengebut lalat” yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaannya. Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah
atau ayal sedikit saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau
tenggorokannya akan kena disambar mata kapak. Hanya dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh yang sangat tinggi yang dimilikinyalah maka Wiro Saksana
dapat menghindari sambaran-sambaran dan bacokanbacokan kapak bermata dua itu.
Berkali-kali Wiro melepaskan pukulan-pukulan tenaga dalam yang dahsyat. Namun
angin pukulannya terbendung bahkan dihantam buyar oleh angin tajam yang menderu
yang keluar dari senjata di tangan gurunya.
”Senjata edan!” maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke
bawah. Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam
meluncur ke arah sambungan siku Eyang Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki kanan
sang guru menyapu dari atas ke bawah, mencari sasaran di kepala Wiro Saksana.
Mau tak mau ini pemuda terpaksa jatuhkan dan gulingkan diri di tanah. Dengan
demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh kehebatan itu.
Sinto Gendeng berdiri dengan dada
turun naik.
”Kini jurus kedua, Wiro!” katanya.
Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya membungkuk ke muka sedikit sedang
kapak di tangan kanan dipegangnya lurus-lurus ke muka ke arah Wiro Saksana.
Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng mengeluarkan benda hitam yang
berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak dapat memastikan benda apa yang ada
dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk besi, mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng
memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala kapak. Bunga api memijar. Dan
sedetik kemudian lidah api yang dahsyat menyambar ke arah
Wiro Saksana!
Terkejutnya
pemuda itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara. Lidah api
lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas dan bila dia melirik ke
belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar
berkobar oleh sambaran lidah api tadi!.
Masih belum turun ke tanah lagi, maka
Sinto Gendeng telah menyerang pemuda itu
untuk kedua kalinya. Lidah api
menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah, menghindarkan dengan sebat. Tanah
yang tersambar lidah api kapak sakti itu menjadi hitam hangus. Wiro leletkan
lidahnya. Masih belum sempat dia mengatur nafas, tangan kiri dan tangan kanan
Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah
lusin banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan
membentak. Kedua tangannya diangkat tinggitinggi ke atas. Tubuhnya melompat
kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin es yang ditebarkannya hanya bisa menahan gelombang
lidah api yang menyambar tapi sama sekali tidak dapat melenyapkan hawa panas
lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih
belum hilang akal! Bentakan setinggi langit melengking ke udara. Tubuh Wiro
Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran lidahlidah api untuk sesaat
kemudian berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke tempat Eyang
Sinto Gendeng berdiri.
Sambil bergulingan ini, Wiro lepaskan
dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu ”kunyuk melempar buah” yang satu
lagi ”sinar matahari”! Mau tak mau Sinto Gendeng hindarkan diri juga ke
samping. Maka putuslah jurus kedua itu!
Wiro Saksana itu berdiri dengan tubuh
berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran api masih juga membakari semak
belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya berdiri tegak tak bergerak.
Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata adalah sebuah batu api dan kini
sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya.
”Jurus terakhir Wiro....!” kata Eyang
Sinto Gendeng.
Pemuda itu tahu, kalau dua jurus
pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus ketiga atau yang terakhir ini
tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-benar lebih waspada dan teliti
kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-tajam ke depan.
Sinto Gendeng
memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka di
dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di
batang kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat
gurunya maka terdengarlah suara tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang
mengeluarkan suara seruling tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula perlahan,
halus dan lembut, memukau Wiro Saksana. Kemudian tiupan seruling mengeras dan
pembuluh-pembuluh darah di tubuh Wiro seperti ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir
tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya mengabur, kepalanya berat dan pusing!
Maklum bahwa
tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos tenaga
dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling semakin
kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan
lagi tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah
Sinto Gendeng, tapi sang guru kini tidak di tempat, melainkan berlari-lari
sebat mengelilingi pemuda itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari
melompat tapi tubuhnya terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh
tiupan seruling! Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak samar-samar ingatan
jernih melintas di otaknya. Cepat-cepat pemuda ini mentutup indera
pendengarannya. Sukar sekali mulamula, karena saat itu kedua liang telinganya
sudah mengeluarkan darah!
Tapi dengan kerahkan segala sisa
tenaga yang ada pemuda ini sanggup juga menutup pendengarannya. Begitu suara
seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan tenaga luar dan dalamnya
yang tadi punah kini datang kembali. Tapi rasa yang menusuk-nusuk pembuluh-pembuluh
darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas dan darahnya.
Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit demi sedikit.
Dan ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas menyerang pemuda ini
pura-pura jatuhkan diri ke tanah, pura-pura pingsan. Namun begitu tangan
kanannya menyentuh tanah,
segera
diraupnya pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng! Ratusan
pasir yang sudah diisi dengan aji ”angin puyuh” itu menderu ke arah mulut
naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke
muka Sinto
Gendeng.
Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari mulut kepala naga dan
cepatcepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya
rontok kembali ke tanah! Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak
saktinya ke balik pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu
berakhir sudah.
Wiro berdiri tersengal-sengal
bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan memperhatikan gerak-gerik
gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng mengatakan hanya akan menyerangnya
sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu akan menyerangnya kembali!
Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja kepadnya. Wiro
garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya dia menuntut
ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini diketahuinya bahwa Eyang Sinto
Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi
juga demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru hari itu pula gurunya
menggempur dia dengan serangan-serangan yang benar-benar mematikan.
Serangan-serangan yang dilancarkan tidak
dengan tertawa-tawa sebagaimana biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian
yang dibawakan gurunya tadi! Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro
Saksana hari ini.
Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek
sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri.
Terdengar suara tertawa yang
meringkik-ringkik macam kuda.
”Gila betul!” maki Wiro. Dia
cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang Sinto Gendeng berkelebat ke arahnya!
DELAPAN
Tetapi Eyang
Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas
pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk sebelumnya.
”Bagus
Wiro.... bagus sekali,” katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah timur.
”Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak
mengecewakan....!” Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan sehabis
tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro
Saksana menjadi tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah
kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan
suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah
tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang
dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan, Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk
menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu klutuk.
Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali. ”Dadamu sesak Eyang? Aku
bisa tolong urut....” ”Diam!” bentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
”Aku mau bicara sama kau!” kata Sinto
Gendeng pula.
”Bicara apa Eyang....?” Pemuda ini
mulai bicara sungguh-sungguh karena dilihatnya gurunya juga bicara
sungguh-sungguh.
”Berapa lama kau tinggal di sini
bersamaku, Wiro?!”
”Murid tidak ingat....”
”Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis
baca dan berhitung sama kau?!”
”Mungkin sepuluh tahun, Eyang....”
”Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!”
Wiro tertawa, ”Iyyaa.... tujuh belas
tahun Eyang,” katanya pula.
”Kuharap hari
ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!” bentak Sinto Gendeng dan matanya
masih terus menatap ke timur.
”Kau lihat matahari itu?”
”Lihat Eyang....” jawab Wiro seraya
memandang ke timur.
”Matahari itu masih tetap matahari
yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak
Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga. Cuma yang tua tambah tua, yang
orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!” Wiro Saksana
mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya gurunya bicara
seperti itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali suara sang
nenek. ”Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau tinggal bersamaku. Belajar tulis
baca, belajar ilmu silat, belajar segala kesaktian. Tapi kau jangan lupa! Kudu
inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau semuanya
adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada
artinya jika dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti,
Wiro?” ”Ya, Eyang....”
”Karena itu kau musti sadar, kudu
ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang
orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang musti kau lakukan ialah
menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat
sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk menolong
sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan
sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang sakti di
dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar,
Wiro?”
”Sadar, Eyang....”
”Ingat?”
”Ingat,Eyang....”
”Ingat.... ya ingat! Manusia ingat
dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak mau kalau kau cuma sekedar
mengingat saja karena setiap ada ingat musti ada lupa. Dan manusia manapun
selagi bernama manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa
dan kelupaan. Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam
hatimu, ke
dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau
punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam hembusan nafas! Sesuatu itu,
jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon jadinya, tak satu tanganpun
yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari akar yang membuat
pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!” Kesunyian
menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh suara
Eyang Sinto Gendeng kembali.
”Hari ini adalah hari yang
penghabisan kau berada di sini, Wiro!”
”Eyang....,”
terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.
”Kau terkejut....? Tak perlu
terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan.
Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan
segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu
menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku....”
Dalam duduknya
itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh
Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya. Cuma yang
belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa
perjanjian.... tujuh belas tahun saat pembalasan....
Eyang Sinto
Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di hadapan
muridnya. Dan mulai lagi bicara.
”Segala apa
yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang
berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya....”
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak
mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya.
”Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan.
Bukankah itu dua bagian yang berlainan?
Tapi merupakan pasangan?!”
”Betul Eyang....”
”Misal
lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air....
ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada
melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah,
ada dalam ada cetek! Semuanya
selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada
susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang
tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan kau,
Wiro....?”
”Tidak tahu Eyang....”
”Bogrol!”
”Aku tahu Eyang....”
”Siapa?”
”Ibu sama bapakku.”
”Siapa yang mencipatakan ibu sama
bapak kau?”
”Nenek sama kakek....”
”Yang menciptakan nenek sama
kakek....?”
”Nenek dari nenek dan kakek dari
kakek....”
”Dan yang menciptakan nenek dari
nenek serta kakek dari kakek....?”
”Ya nenek dari nenek dari nenek dan
kakek....”
”Geblek!” bentak Sinto Gendeng.
”Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia! Bapak kau kawin sama ibu kau
dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kau dilahirkan sama nenek,
kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja di
dunia ini
diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga
diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki
juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin
orang-orang susah juga bikin orang-orang
senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin.
Sekarang aku mau tanya sama kau.
Berapa kau punya mata?”
”Dua, Eyang.”
”Hidung?”
”Satu Eyang.”
”Lobang hidung?”
”Dua Eyang....”
”Mulut?”
”Satu....”
”Bibir?”
”Dua Eyang.”
”Kepala?”
”Satu....”
”Tangan?”
”Dua....”
”Kaki....?”
”Juga dua Eyang....”
”Kau punya biji kemaluan....?”
”Dua Eyang,” dan dalam hatinya Wiro
memaki tapi geli.
”Kau punya batang kemaluan?”
”Satu Eyang....” Wiro geli lagi dan
memaki lagi.
”Nah.... itu semua membuktikan di
dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu,
satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada
melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha
Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua
ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam
diri manusia! Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya
miskin, lapar kenyang, hidup mati,
dan manusia juga musti percaya pada
yang satu yakni Gusti Allah....”
”Tapi manusia yang picak, Eyang,
matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya
satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang sempurna dalam dirinya....”
”Betul, meski
begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada
juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa dalam
diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti,
goblok?!”
Wiro diam, kata-kata gurunya itu
memang betul.
”Sekarang berdirilah kau!,” perintah
Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan
tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali
kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini mundur beberapa langkah ke
belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi hingga kedua matanya
berair.
SEMBILAN
“Kenapa kau
terkejut....?” tanya Eyang Sinto Gendeng. “Kau takut?!” “Eyang mau bikin cilaka
murid lagi?!” tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi
melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke belakang. ”Pejamkan
matamu, Wiro!” perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
”Tapi.... Eyang mau bikin apa?!”
”Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh
pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan matamu!”
Wiro
memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya
tidak rapat betul.
”Biar rapat!” hardik Sinto Gendeng.
Dan Wiro terpaksa menutup matanya
rapat-rapat.
“Buka bajumu!”
Wiro membuka
bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam. “Buka tangan
kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!”, perintah Sinto
Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto
Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu
jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala
kapak yang terbuat dari besi putih itu.
”Apapun yang
terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser.
Kecuali kalau kau mau mampus!” ”Eyang....”
”Diam! Gila betul!,” bentak Sinto
Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat
rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naganagaan di hulu kapak melesat
dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum putih.
Ketiga puluh enam jarum itu mendarat
dan menancap di dada kanan Wiro Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan
teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah
ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat rahasia dekat kepala kapak.
Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan
sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan jarum yang
36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro
Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada
pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika
Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di
kulit dadanya terukir deretan angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan.
Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak tangannya.
Bedanya angka-angaka yang di telapak
tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak samar-samar
kelihatannya.
”Berdiri Wiro!” perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu
apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya. Yang dia tahu tadi ialah
suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh dan.... tak ingat
apa-apa lagi.
“Kau telah
lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?” Wiro mengangguk.
“Berarti dalam
dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau
tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama manusia. Juga
agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala
perintah dan dijauhkan segala
laranganNya. Kau mengerti?”
“Mengerti Eyang. Tapi... mengapa
badanku kini tiga kali lebih enteng dari
sebelumnya?
Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!” Eyang Sinto Gendeng tertawa
mengikik.
“Itu adalah berkat jarum kapak Naga
Geni 212” kata Sinto Gendeng pula. Lalu neneknenek ini menerangkan apa yang
telah dilakukannya terhadap muridnya.
Wiro merasa
mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya. ”Tak usah
pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau bicarakan
sama kau,” kata Sinto Gendeng pula.
Wiro berdiri.
Sinto Gendeng
mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya bendabenda itu. ”Wiro....
kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan
waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di
tanganku. Rupanya kau ada jodoh
dengan senjata ini. Terimalah....”
Tertegun dan
hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa
dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia terdiam mematung
seketika.
”Ayo Wiro!
Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!”
Wiro Saksana mengulurkan kedua
tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak
mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula
dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat
tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang
paling sempurna!
”Sisipkan di pinggangmu Wiro dan
pakai kau punya baju kembali!”
Wiro melakukan apa yang dikatakan
Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke
pinggangnya.
”Kapak Naga Geni 212 bukan senjata
sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan.
Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau dalam keadaan
nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi
masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di
bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut
naga-nagaan.... Untuk membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku
telah pergunakan jarum-jarum semacam itu
tadi. Cuma
jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga tubuhmu
akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai
racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa
mematikan lawan!”
Wiro Saksana hendak berlutut lagi,
tapi segera dibentak oleh gurunya.
”Terima kasih Eyang.... terima
kasih,” kata pemuda itu.
Eyang Sinto
Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut
jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian mulailah
dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar....
Ketika Sinto Gendeng selesai
menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
”Eyang, apakah maksud Eyang dengan
nyanyian itu....?”
Sinto Gendeng
tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu sedih
serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar tanda dia
tak dapat menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
”Aku sudah bilang bahwa hari ini
adalah hari yang penghabisan kau berada di Gunung
Gede ini bersamaku....”
”Mengapa demikian, Eyang....?” Wiro
garuk-garuk kepalanya.
”Karena segala
ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk
turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu
sendiri yang telah ditentukan Gusti
Allah....”
Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian
diteruskannya, ”Sebelum kau meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu tugas
yang musti kau lakukan....”
”Tugas apakah
itu, Eyang?” tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut
gondrong itu.
”Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari
empat puluh tahun yang silam aku telah mengambil seorang murid bernama
Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua tahun. Dari umur dua tahun
itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian. Tapi
kemudian aku ketahui bahwa aku telah ketelanjuran mengambil itu manusia menjadi
muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar
Suranyali bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang
kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat
keonaran dimana-mana! Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik
perempuan-perempuan cantik dan merusak kehormatannya! Menurutku kini umurnya
sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke liang
kubur! Tapi ini sama sekali tidak memberikan
keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhirakhir ini semakin menjadi-jadi,
sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah menyusun rencana
busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran
hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kau harus lekas-lekas dapat mencari
itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya untuk datang ke sini
menghadapku guna
mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama malang melintang
di dunia sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah memakai nama
baru yakni Mahesa Birawa!”
Wiro Saksana
merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah
mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk menjalankan
tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu:
”Tugas Eyang akan aku laksanakan.
Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa
Birawa tidak mau mematuhi perintah
untuk datang ke sini....?”
”Jawabnya
hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!” Wiro Saksana
terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah ketinggian ilmu
Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia yang
sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri?!
”Aku tahu apa
yang kau pikirkan Wiro,” kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini
mengejutkan Wiro Saksana. ”Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah
berguru pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau
memiliki kapak Naga Geni
212. Dan kau berada dalam kebenaran
pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk membunuh
itu manusia, Wiro. Pertama karena
tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu! Kedua karena
Suranyali atau
Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!” Mendadak sontak
bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak
kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia mengetahui apa
yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa mau
pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
”Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh
oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya.
Sesudah itu bunuh diri sesudah
dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui ajal dimakan api sewaktu
rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan sekali aku
lewat disitu....”
Wiro menjatuhkan diri di hadapan
gurunya. ”Terima kasih Eyang.... kalau Eyang tidak ada....”
”Berdiri!”
bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka dilututi
seperti itu. ”Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!” katanya. ”Ayo
berdiri!”
Wiro berdiri
kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun yang lalu
sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian gurunya
tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk.
Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok
matanya! ”Eyang....,” desis Wiro Saksana, ”Sewaktu Eyang turun ke kampung
Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?” Sinto Gendeng
tertawa rawan.
”Semustinya....
semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika kutahu bahwa
Ranaweleng – bapakmu – mempunyai seorang orok maka aku mempunyai pikiran lain!
Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jika sudah
besar dia lebih mempunyai hak dariku
untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma
saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini tersimpul dalam tiga
barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap kejahatan ada
pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh
orang
tuamu berarti itu angka2, Wiro!
Jangan sekali-kali kau lupakan!”
”Menurut Eyang, apakah manusia
keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama anak-anak buahnya....?”
”Tak dapat
kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah bahwa
manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah. Karenanya, seret dia ke sini
sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!”
(pateni=bunuh). Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam
alam pikiran masing-masing.
”Kau akan segera berangkat, Wiro?”
Pemuda itu tak segera menjawab.
Kemudian dia mengangguk perlahan.
”Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai
saat kau turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau.
Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG.” Dan habis berkata demikian si nenek tua ini
tertawa mengikik lama dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk
menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air mata yang hendak
tumpah keluar!
”Eyang.... kapan kita bisa bertemu
lagi?” tanya Wiro.
Sang guru
hentikan tertawanya. ”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau,
selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro
Sableng....!”
SEPULUH
Kedai nasi itu cukup besar. Tapi saat
itu pengunjungnya cuma beberapa orang. Wiro Sableng meneguk air liurnya. Dia
tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan lapar, tenggorokannya kering
dahaga. Akhirnya dia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro duduk di satu sudut.
Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi pemuda rambut gondrong ini terus
saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu.
Seorang laki-laki tua ubanan datang
mendekatinya. Dia adalah pemilik kedai.
”Makan nak....?” tegurnya.
Wiro
mengangguk. ”Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!” kata Wiro
Sableng terus terang.
Pemilik warung
itu kerutkan kening. Selama dia membuka kedai di Jatiwalu itu baru hari ini ada
seorang tamu yang datang di kedainya dan berkata seperti itu. Matanya meneliti
Wiro Sableng dari rambutnya yang
gondrong sampai ke kakinya yang berdebu.
”Kau tentu seorang pendatang....”,
katanya.
”Betul,” Wiro
menggaruk-garuk rambutnya. ”Tolong lekas nasinya, pak, perutku sudah lapar
betul....!”
Orang kedai itu segera mengambilkan
sepiring nasi dan segelas air lalu diletakkannya di atas meja di hadapan Wiro. Titik
air liur pemuda ini. Selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede dia hanya
kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih dan ikan serta gulai
yang lezat maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di kulit mukanya.
Kemudian diteguknya air. Pada saat dia mengusapi perutnya yang buncit keras itu
maka masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba hitam, memakai
golok di pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka
masuk dan duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara berewok.
Pemilik kedai
melihat kehadiran keempat orang ini dengan cepat datang melayani. Agaknya
keempat manusia ini pastilah orang-orang penting juga. Tak lama kemudian maka
dihidangkanlah makanan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan
dalam sebuah bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang
itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka terdengar
sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini tak mau ambil peduli.
Meski mereka menyiplak sampai sekeras geledek pun dia tak akan ambil pusing!
Wiro Sableng
melambaikan tangan memanggil pemilik kedai. ”Berapa aku musti bayar?” tanya
Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan jumlah
uang yang musti dibayar Wiro.
”Waduh...
mahal sekali!” keluh Wiro. ”Tadi aku sudah bilang jangan mahal-mahal...” ”Itu
juga sudah sangat murah, Nak,” kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
”Habis uangku buat bayar makanan itu.” Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya
pada orang di kedai.
Pada saat itu pula terdengar gelak
tawa keempat orang yang duduk di meja seberang sana. Salah seorang dari mereka,
yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak berkata,
”Kalau tidak gablek uang, jangan
masuk kedai, Bung!”
Yang seorang
lagi menyambungi, ”Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya cari saja
makanan di tong sampah!”
Keempat orang itu tertawa
gelak-gelak.
Wiro memandang
kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang saja malahan
sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang
berkumis panjang menjulai ke bawah bertanya, ”Kau mau uang buat beli makanan?”
”Mau saja kalau diberi,” jawab Wiro
sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya.
”Merangkaklah dihadapanku, menyalak
tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih uang kepadamu”
Atap kedai itu
seperti mau runtuh oleh suara tertawa
keempat orang itu. Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir
pisang ambon yang berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan
gulai maka tertawalah pemuda itu. Mula-mula perlahan tapi makin lama makin
keras dan dia melangkah mendekati deretan pisang itu. Dikeluarkannya sisa
seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa tapi cukup untuk membeli
sesisir pisang.
”Aku beli pisangmu, pak,” kata Wiro.
Diturunkannya
sesisir sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah pisang. Dia
melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar suara gelak
tawa keempat orang tadi.
Tiba-tiba hampir tak kelihatan saking
cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali Wiro Sableng gerakkan tangan
kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya. Di belakangnya suara
tertawa keempat orang tadi mendadak sontak berhenti, berganti dengan
suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam mulut empat
manusia berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka
sudah megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah
terus sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan acuh tak acuh
ketika beberapa saat kemudian didengarnya derap kaki empat orang dalam kedai
tadi mengejarnya.
”Bikin mampus saja sama kawan-kawan!”
teriak salah seorang pengejar.
”Berani kurang
ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!,” kata yang berbadan paling tinggi.
Wiro Sableng terus juga melangkah
enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya dilambaikannya ke belakang untuk
melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya. Namun
lambaian
tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan kulit
pisang belaka! Dari tangan kanan pemuda itu membadai angin dahsyat laksana
tembok baja yang membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka
mempercepat lari mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro
Sableng padahal kelihatannya pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan tangan
lagi!
Keempat orang itu berteriak-teriak,
memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan
tangan ke muka karena merasa hampir-hampir
dapat menagkap punggung baju Wiro Sableng!
Namun gerakan-gerakan mereka itu tak
ubahnya seperti empat ekor monyet yang menjadi gila
mencak-mencak
kian kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkangongkang bahkan
sambil makan pisang ambon!
Mengapa sampai terjadi hal yang
demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah mengeluarkan ilmu kesaktiannya
yang bernama: dinding angin berhembus tindih menindih!
”Gila betul!” teriak laki-laki tinggi
jangkung yang lari paling depan. Namanya Bergola Wungu. Dialah yang menjadi
pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang memiliki ilmu paling tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari
dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan dilemparkannya ke arah punggung
Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat kembali, berbalik menyerang
Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak cepat-cepat buang diri ke samping pastilah
lehernya akan dimakan ujung pisau!
Akhirnya dengan keluarkan keringat
dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya hentikan pengejaran. Baru hari ini
Bergola Wungu serta anak-anak buahnya menghadapi kejadian seperti itu. Kejadian
yang mendekam hati tapi juga aneh tak bisa mereka mengerti.
Sebagai pemimpin dari tiga orang itu,
sebagai orang yang paling tinggi ilmu silat dan kesaktiannya sudah barang tentu
Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci mukanya dia berkata
menggerendeng:
”Kalau bangsat
itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!”
SEBELAS
Siapakah
keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara berewok itu?
Mereka menamakan diri dengan Bergola
Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak
lain adalah komplotan rampok yang malang melintang sepanjang sungai Cimandilu
yang terkenal keganasannya di daerah sekitar situ. Dulunya, Bergola Wungu
adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan Kalingundil, kepala
rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Jatiwalu. Sesudah ayahnya
dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan tiga orang anak
buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu yang
saat itu berumur dua puluh enam tahun
meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu tekat yaitu mencari guru silat
yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian kepadanya. Dia berhasil menemukan
seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga orang anak buah, maka
malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu, menjadi kepala
perampok yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya saat untuk
melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama ketiga orang anak buahnya
berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai di Jatiwalu, Kalingundil
dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar kampung dan tak
satu orangpun yang tahu. Rumahnya
kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan untuk menunggu sampai musuh besarnya
itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil masih juga belum muncul.
Mereka duduk
di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun yang bisa
bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis.
”Kurasa
manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil….”, kata Ketut Ireng,
laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas bambunya
ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu benar-benar anak buah Kalingundil,
pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan menemui
kegagalan.
Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi Kalingundil
sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup
lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil
seperti kenyataan tadi, ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!
”Tidak mungkin….,” desis Bergola
Wungu. ”Tak mungkin manusia tadi adalah anak buah Kalingundil! Lagi kita belum
yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan aku ingat bahwa Kalingundil cuma
punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang mereka semua!”
”Tapi bukan mustahil selama belasan
tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,” menyela laki-laki yang bernama Seta
Inging.
”Aku tetap
tidak mau percaya….!”, kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya pada
pemilik kedai. ”Sini!”, bentaknya.
Orang tua pemilik kedai datang dengan
ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
”Berapa orang anak buah Kalingundil
semuanya?”
”Cuma tiga,
Den. Cuma tiga….” ”Masih yang dulu-dulu juga….?” Orang tua itu mengangguk.
”Dan tak satu manusiapun disini yang
tahu kemana mereka pergi?!”
”Tidak satupun, Den….”
”Selain mereka berempat, siapa lagi
yang diam di rumah besar itu….?”
”Tidak ada, Den….”
”Dulu kudengar dia punya bini….”
”Sudah meninggal, Den….”
”Juga seorang anak perempuan…. Apa
juga sudah meninggal?!”
”Tidak.”
”Kalau begitu dimana perempuan itu
sekarang?”
”Bapak tidak tahu, Den….”
”Dusta!”
”Sungguh tidak tahu, Den….”
”Bakar saja kedai ini!”, ancam Ketut
Ireng.
Dan orang tua
itupun berlutut minta dikasihani. ”Jangan den…. sungguh bapak tidak tahu.
Jangan dibakar kedai ini den…. Kasihani bapak…. Tapi mungkin dia ikut bersama
Kalingundil. Mungkin juga…. Mungkin
juga menginap di tempat bibinya….”
”Dimana tempat bibinya?”
”Tidak tahu, Den….”
”Tidak tahu melulu!”, bentak Bergola
Wungu.
”Kalian
manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil, yang
diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih saja
melindungi manusia-manusia keparat itu!”
”Kami semua benci dan mendendam
terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den.
Tapi kami ini
rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan...........” ”Kalian bukan lemah tapi
bodoh dan pengecut!” bentak Ketut Ireng. Lalu sambungnya, ”jika beberapa hari
dimuka ini kami masih belum juga menemui Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya
itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung ini….!” ”Oh jangan, Den….
Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa kampung ini dulunya
adalah kampung raden juga….”
”Dulu!” kata
Bergola Wungu, ”tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku ditumpas, kampung
ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam diri, tak ambil
perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku ditebas
lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai kampungku? Persetan sama kampung keparat
ini!” Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah,
gelas bambu mental terbelah dua!
”Mereka
bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya. Kalingundil
dan anak buahnya berilmu tinggi….” ”Diam!”, bentak Bergola Wungu.
Orang tua pemilik kedai itu diam
membungkam.
Ketut Ireng ambil bagian kini, ”Kau
tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang tadi makan di sini?!”
”Tidak tahu,
Den. Sungguh tidak tahu.......” ”Sudah pergi sana!” bentak Bergola Wungu.
Orang tua itu berlalu dengan cepat.
Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga anak buahnya meninggalkan kedai
tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa yang telah mereka makan dan mereka
minum!
DUABELAS
Dia masih juga
mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama sekali tak
mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena menyangka bahwa
itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat tersebut. Tapi tangannya
yang halus itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar
suara tertawa seseorang.
”Ha…. ha….
inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat Kalingundil?!” Gadis enam
belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang
penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling
depanlah yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih
lebat dari berewok tiga manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker.
”He…. he…. cantik juga parasnya
huh?!”, kata laki-laki ini yang tak lain dari Bergola Wungu adanya.
”Tapi sayang,
kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian, Bergola
Wungu?!”
”Betul, tapi tak perlu cepat-cepat.
Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan kalian semua!”
Keempat orang itu tertawa bekakakan.
”Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa?!”,
bentak gadis berbaju biru. Dengan enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang
hulu pedang yang tersisip di pinggang.
”Eh, galak juga betina ini!”, kata
Ketut Ireng.
”Tapi kalau
kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri. Namaku Ketut
Ireng…. Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging dan ini yang
matanya jereng Pitala Kuning. Nah... nah... sekarang kau tak keberatan kasih
tahu namamu….?” Keempat orang itu tertawa lagi.
”Manusia edan!
Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan pedangku!”
”Ah, besar
mulutnya sama saja sama bapaknya!”, kata Bergola Wungu sambil usapusap
berewoknya. ”Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur.
Itupun
kalau ada liang kubur yang masih mau
menerimanya!”
”Mulutmu
terlalu besar monyet berewok!”, hardik gadis itu. ”Aku mau lihat apakah juga
cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini?!”
Diiringi dengan pekik yang membising
maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah
kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola Wungu
sendiri tidak terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda
pastilah kepalanya akan terbelah dua.
Tapi selagi
tubuhnya melayang di udara, maka saat itu pula pedang di tangan si gadis sekali
lagi membabat sebat. Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke samping
kiri. Pedang si gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui
sasarannya di leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat
sebelum meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus.
Kuda-kuda yang lainnya latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan
darah. Untung saja tiga penunggangnya sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak
pastilah mereka akan dilempar mental! Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian
lari menghambur menerjangi batu-batu nisan pekuburan! ”Iblis betina!”, kertak
Bergola Wungu. ”Meski kau punya tampang cantik dan tubuh mulus, apa kau sangka
aku ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher?!” ”Jangan jual bacot kunyuk
berewok! Lihat pedang!” pedang di tangan si gadis itu berkelebat lagi lebih
cepat dan sebat.
”Sreet!”
Bergola Wungu cabut golok panjangnya. Dan….
”Trang!”
Dua senjata beradu keras di udara
memercikkan bunga api yang menyilaukan mata. Tangan Bergola Wungu tergetar
kesemutan sedang si gadis baju biru terpental beberapa langkah ke belakang.
Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan
ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi dari padanya, namun gadis yang
keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan dahsyat yang keluar dari
tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang. Sinar pedang
menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola
Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak kemarin. Percuma
dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat Berewok dari Goa
Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap dari
pemandangan.
”Breet.... breet.... breet....
breet....!!!”
Gadis baju biru terpekik dan keluar
dari kalangan pertempuran. Mukanya merah gelap ketika menyadari bagaimana ujung
golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari sepuluh robekan pada pakaiannya
sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan setengah telanjang!
”Manusia
binatang!” rutuk gadis baju biru. ”Hari ini aku mengadu nyawa terhadapmu!”
Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya menderu laksana
topan. Bergola Wungu berkelit ke
samping. Pedang si gadis hantam batu nisan sehingga terkutung dua! Dia kembali
membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan kiri Bergola Wungu telah
menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya terlepas dan mental
jauh.
”Ha.... ha.... hari ini tamatlah
riwayatmu sebagai anak Kalingundil!”
Golok panjang
di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali terdengar suara:
breet.... breet.... breet....! Dan kini celana biru si gadis yang menjadi
sasaran
ujung golok.
Dalam waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah hampir
telanjang. Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan
buah dada, perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak
bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak perempuan Kalingundil ini berusaha
untuk selamatkan diri. Namun ujung golok Bergola Wungu benar-benar telah
mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya untuk lari, tak mungkin
baginya untuk selamatkan nyawa!
”Sreet….!”
Ujung rambut gadis itu terbabat
putus.
”Sreet….!”
Tali celana
biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari pinggangnya dan
auratnya benar-benar tiada tertutup kini!
”Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!”
teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak.
”Bunuh soal mudah!”, katanya sambil
tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis itu. ”tapi apa kau tahu bahwa dulu
sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu memperkosanya?! Ha…. ha….
Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!” Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar
biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke muka. Tapi gerakan Bergola Wungu
lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke samping. Begitu si gadis terdorong
ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar rambutsi gadis. Gadis yang
hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke muka.
Serangan yang
tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu melemparkan gadis itu
ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang
satu berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk
menghancurkan kehormatan itu!
”Kawan-kawan!”,
teriak Bergola Wungu. ”Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian kita semua!
Ayo tunggu apa lagi?!”
Serentak dengan itu tiga orang anak
buah Bergola Wungu segera menyerbu pula.
Seorang gadis, empat
laki-laki bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit, berteriak, menendang
dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setansetan
kuburan!
TIGABELAS
Pembalasan dendam kesumat memang
dahsyat.
Apalagi kini
disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan Nilamsuri
benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang tangan
manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam
tua. ”Ha….ha...ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan
hukum karma ini!” kata Bergola Wungu.
Nilamsuri
hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak
mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali
itu tiada terasa oleh manusia berewok itu!
”Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!”,
teriak Nilamsuri.
”Kehormatanmu
dulu, baru nyawamu!.” Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh tiga anak buahnya
yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu, Bergola Wungu mulai
melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk bisa
selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib
Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan putih
berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan
tahutahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana
patung batu!
Nilamsuri yang hanya merasakan
sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan pada tubuhnya berhenti dengan
mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca itu.
Terkejut sekali dan hampir tak
percaya dia melihat bagaimana keempat manusia berewok itu
masih
berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh mereka
tegang kaku!
Gadis ini
bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia itu? Dia
ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah menolongnya?
Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa? Diperhatikannya keempat laki-laki
itu. Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau
mungkin keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan?!
Peristiwa yang
sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya sendiri saat itu.
Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang
tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan
celana putih.
Dan memandang pakaian itu sekaligus
mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya. Tanpa
perduli lagi siapa pemilik pakaian
itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana pakaian itu bisa berada di atas kuburan
tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar pakaian itu dan lari ke
balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski
agak kebesaran sedikit, tapi pakaian
itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri dan si gadis merasa sangat
bersyukur.
Dia keluar
dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat manusia yang
masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya. Mendidih
darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang
berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak
buahnya.
”Tring!”
Sebutir
kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang hendak
merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil ini
membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat
satu jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu
dia membentak dan memandang berkeliling. ”Manusia atau setan yang jadi biang
kerok jangan sembunyi! Unjukkan diri!”
Tak ada yang
menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja kelihatan
bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak belukar
itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada
siapapun kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan
tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah empat kepala manusia di hadapannya.
Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata itu!
”Kurang ajar betul!”, maki Nilamsuri.
”Jika berani cari urusan, berani unjukkan diri!!” Terdengar suara tawa
bergelak.
Suara tertawa
itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk kedua
kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda
pohonpohon bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya
segera tumbang sedang daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini
juga tidak kelihatan seorang manusia
pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi
suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, ”Hanya manusia
pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!”
Nilamsuri memandang ke atas pohon
kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh kelihatan lenyap berkelebat ke
utara laksana gaib!
Nilamsuri
kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua kaki dan
segera mengejar ke jurusan utara!
Sampai
beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil
mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan
jejak kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan
pengejarannya di tepi sebuah lembah.
Di samping
rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia itu tadi dan
kemanakah lenyapnya? Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari perbuatan
terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya? Sekiranya betul mengapa lantas
kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher
keempat manusia berewok itu?
Nilamsuri
memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian.
Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini
ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan
untuk dipakainya oleh manusia aneh yang melarikan diri itu?
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak
kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta tertahan ketika di belakangnya
dari balik sebatang pohon waru terdengar suara orang berkata.
”Hendak kembali membuat kepengecutan?
Membunuh musuh yang tak berdaya?
Percuma tahu ilmu silat tapi tidak
tahu tata peradatan silat!”
Bukan main geramnya Nilamsuri
mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon waru. Tapi lebih cepat lagi
gerakannya itu orang yang tadi berkata telah berkelebat laksana bayang-bayang
dan lari ke dalam lembah.
”Manusia atau setan! Jangan lari!”
teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia mengejar ke dalam lembah. Tapi seperti
tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang yang dikejarnya lenyap lagi!
Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang pohon tinggi dan dari
sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang tadi.
Namun ini juga tidak memberikan
hasil.
Nilamsuri turun kembali.
Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas kalau belum berhasil
menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak sungai akhirnya gadis
ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi sungai ini.
Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini
datang dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur.
Gadis ini langkahkan kaki ke hulu sungai.
Belum sampai
lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang arus airnya
lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas sebuah batu
besar yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk
membelakanginya dan rambutnya
gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak
tahu Nilamsuri apa yang dibuat orang ini ditengah sungai ini di atas batu itu.
Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang yang tadi dikejarnya. Tapi
anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari arah lakilaki di
tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa
jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki itu,
untuk dapat melihat apa yang tengah
dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat melihat paras laki-laki berambut
gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu dapat disaksikannya bahwa
bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh seekor ikan besar
yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya dengan lahap!
Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama
sekali oleh
Nilamsuri
ialah bahwa di atas batu itu di mana laki-laki itu duduk atau ditepi sungai
sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk membakar ikan yang kini
tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian
berserulah dia ke tengah sungai.
”Saudara! Apa kau melihat seseorang
lewat sekitar sini?!”
Laki-laki di
tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan lahapnya terus
saja dia makan ikan panggang itu.
”Saudara!”, seru Nilamsuri sekali
lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala.
Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak menyangka kalau si rambut gondrong
ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang keren!
Meski keren tapi paras itu
membayangkan pula paras anak-anak dan lucu!
”Eh…. kau
bicara sama aku?” tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang itu.
”Ya! Aku tanya apa kau lihat
seseorang lewat di sini?!” kata Nilamsuri pula.
”Laki-laki atau perempuan?” tanya si
rambut gondrong.
”Laki-laki….”
”Orangnya sudah tua apa masih
muda….?”
”Kurang jelas. Cuma dia berpakaian
putih-putih....”
Si rambut gondrong melemparkan
kerangka ikan yang habis dimakannya ke dalam sungai. Kemudian dipandanginya
pakaiannya sendiri. ”Eh, aku juga berpakaian putihputih….,” katanya. ”Kalau
begitu pastilah aku yang kau cari!”. Pemuda ini garuk rambutnya dan tertawa.
Sikap dan ucapan pemuda ini agak
mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang untuk memastikan bahwa orang yang
dikejarnya adalah pemuda itu. Karena tampangnya meski keren tapi seperti
kanak-kanak.
”Eh, kenapa diam?!” tanya pemuda itu.
”Aku tahu…. aku tahu….,” katanya.
”Tahu apa?”
”Aku tahu kau
sampai ke sini karena mencium harumnya bau ikan panggangku! Lalu kau
berpura-pura tanya seseorang! Kenapa musti pura-pura dan malu-malu? Kalau doyan
ikan panggang silahkan datang kemari. Aku masih ada seekor lagi!”
”Saudara! Jangan bicara seenaknya!”
”Seenaknya bagaimana?!”
”Aku
betul-betul mencari seseorang! Dan aku tidak butuh sama ikan panggangmu!” ”Oh….
begitu….?”. Pemuda itu manggut-manggut. Lalu katanya, ”Kalau aku tahu tentang
orang yang kau cari itu, kau mau persen aku apa?”
”Apa saja yang
kau maui….”, jawab Nilamsuri tanpa pikir panjang karena dia betulbetul ingin
lekas-lekas dapat mengejar orang yang dicarinya tadi.
Si pemuda
tertawa mengekeh dan tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang yang
dimakannya menyekat tenggorokannya.
”Kalau begitu….,” kata pemuda rambut
gondrong itu dengan masih tertawa serta batuk-batuk, ”aku mau dirimu saja
saudari.”
”Pemuda ceriwis! Kutampar kau punya
mulut baru rasa!”
”Lho…,” pemuda
itu melongo macam orang bodoh. ”Kenapa kau jadi marah?!” tanyanya.
Benar-benar
kesal jadinya Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat menahan rasa kesal
itu.
”Eh, sekarang kau tutup mulut. Lucu!
Kau toh belum jawab pertanyaanku, saudari.
Aku minta dirimu. Boleh….?”
Rasa kesal di
diri Nilamsuri kini berubah menjadi amarah yang meluap. Parasnya kelihatan
merah. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan pemuda itu, di atas batu
besar.
”Pemuda edan, kau mau mampus?!”
Si gondrong garuk-garuk kepala. “Aku
tidak mengerti saudari, aku benar-benar tidak mengerti. Menapa kau jadi
marah-marah begini samaku?!”
”Bicaramu terlalu kurang ajar,
tahu?!”
Pemuda itu goleng kepala dan angkat
bahu. Lalu tertawa sambil memandangi paras Nilamsuri. ”Kau tahu saudari…,”
katanya, ”kalau kau marah-marah dan membentak macam
tadi hem…. parasmu tambah cantik!”
”Plak!”
Tamparan
tangan kiri Nilamsuri mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu meringis
kesakitan. Penyesalan timbul di hati Nilamsuri melihat bagaimana pipi yang
ditamparnya itu kelihatan menjadi sangat merah.
“Kau jahat sekali!,”
kata si pemuda pula. ”Aku tanya sama kau, kau mau persen aku apa kalau aku tahu
orang yang kau cari itu. Dan kau jawab apa saja mauku! Lantas aku bilang
mau dirimu! Apa aku salah….?!”
Nilamsuri
menggigit bibirnya. Dia tahu ucapan pemuda itu betul. Dia tahu kalau tadi dia
telah ketelepasan bicara.
“Saudara…,” kata Nilamsuri.
Tapi si pemuda memotong. “Sudahlah.
Aku tak sudi bicara sama kau. Orang mau menolong dikasih tamparan. Baru mau menolong.
Kalau sudah ditolong aku akan dapat tendangan!”
Dan Nilamsuri
menggigit bibir lagi. Tanpa berkata apa-apa dia melompat ke tepi sungai
kembali.
“Hai saudari! Tunggu dulu!”, seru si
pemuda.
Nilamsuri balikkan badan.
”Sebenarnya
ada apa kau mencari laki-laki itu?!” ”Itu urusanku sendiri!”, jawab Nilamsuri.
”Laki-laki itu kekasihmu agaknya?”
”Kau mau tamparan sekali lagi?!”
Si pemuda
tertawa. ”Dunia serba aneh,” katanya seakan-akan pada diri sendiri. “Mustinya
laki-laki yang cari perempuan. Ini perempuan yang cari laki-laki….!” Dan
digaruknya kepalanya.
Dalam pikiran Nilamsuri terbit
prasangka bahwa tentunya pemuda itu seorang yang berotak miring. Karenanya
tanpa ambil perduli lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
”Hai saudari! Kau tidak mau ikan
panggang ini?!”
Nilamsuri terus saja menyusuri sungai
menuju ke hulu. Dia hampir keluar dari kelokan sungai ketika didengarnya lagi
suara pemuda itu berseru. Jarak antara mereka saat itu sudah puluhan tombak.
Kalau saja Nilamsuri mau berpikir sejenak dia akan segera tahu kalau pemuda itu
bukan berteriak biasa tapi dengan menggunakan tenaga dalam. Karena dalam jarak
sejauh itu bagaimanapun kerasnya seseorang berteriak namun apa yang
diucapkannya tak akan terdengar dengan jelas.
”Saudari!
Jangan pergi ke sana! Saudari, kembalilah!” Nilamsuri melangkah terus.
”Saudari! Hai! Disebelah sana banyak
buayanya! Kembalilah!”
Tapi Nilamsuri jalan terus. Si pemuda
goleng-goleng kepala lalu turun ke air.
Nyatanya sungai itu dalamnya hanya sebatas lutut. Begitu sampai di
seberang si pemuda cepat lari menyusul Nilamsuri.
“Saudari kau mau kemana?!”, tanya
pemuda itu seraya pegang bahu Nilamsuri.
“Kau jangan
kurang ajar, saudara!” bentak Nilamsuri karena marah sekali bahunya dipegang
seenaknya. “Kau mau kemana?”
“Perduli apa kau?!”
”Jangan kesana saudari. Banyak buaya
lagi berjemur….”. dan belum habis pemuda ini bicara tahu-tahu dua ekor buaya
besar menyeruak dari belakang semak belukar di tepi sungai.
”Aku bilang
apa! Celaka….! Saudari larilah!” Pemuda itu melompat ke belakang. Sementar itu
kedua ekor buaya dengan cepat meluncur menyerang Nilamsuri. Gadis itu cabut
pedangnya. Sekali menebas puntunglah
sebagian dari mulut buaya yang hendak menerkamnya. Binatang ini
menggelepar-gelepar di pasir. Buaya kedua mengalami nasib yang sama. Bau
anyirnya darah yang masuk ke dalam air sungai mengundang munculnya beberapa
ekor buaya lagi. Binatang-binatang itu menyelusur ke tepi sungai dan berlomba
menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan permainan pedangnya yang mengagumkan
berhasil menewaskan semua buaya itu!
Si pemuda
geleng-geleng kepala dan leletkan lidah. ”Hebat! Hebat sekali kau saudari!”,
katanya memuji. ”Kau tentu seorang jago silat! Sejak lama aku ingin belajar
silat!
Bersediakah
kau mengambil aku jadi murid?!” ”Jangan ngaco!”, bentak Nilamsuri.
”Aku tidak ngaco. Aku bicara
sungguhan….”.
”Buka lagi
mulutmu!”, bentak Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah buayabuaya tadi
siap ditetakkannya ke kepala pemuda itu. Tentu saja pemuda ini cepat-cepat
melompat ke samping.
”Saudari, aku betul-betul ingin
belajar silat padamu….”
Nilamsuri
pencongkan hidung. ”Tidak malu merengek macam anak kecil!”, ejeknya. Si pemuda
agaknya jadi kesal, lalu menyahuti. ”Kau sendiri tidak malu pakai pakaian
laki-laki!”
Memang saat
itu Nilamsuri mengenakan baju dan celana laki-laki berwarna putih yakni pakaian
yang tadi ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan parasnya menjadi kemerahan.
Cepat-cepat dia berlalu dari situ.
”Saudari…. Tunggu….!”
”Apalagi?!”
”Kalau kau tak
mau ambil aku jadi muridmu, tak apa. Tapi ada satu permintaanku yang lain….
Boleh aku tahu namamu?”
”Manusia macammu tak perlu tahu
namaku!”
”Ah saudari, kau sombong betul. Beri
tahu namamu, nanti kuberi tahu namaku….”
”Siapa sudi tahu namamu segala?!”
”Namaku Wiro
Sableng saudari…. Harap kau mau kasih tahu kau punya nama….” ”Wiro Sableng?”
ujar Nilamsuri.
Pemuda itu mengangguk.
”Pantas,” kata Nilamsuri pula.
”Pantas kenapa?” tanya Wiro.
”Pantas lagakmu seperti orang edan!”
dan habis berkata begitu Nilamsuri segera berlalu.
EMPAT BELAS
Karena merasa sia-sia untuk
meneruskan pencariannya maka Nilamsuri akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat
kembali ke pekuburan. Sebenarnya, gadis ini telah bertemu
dengan orang yang telah menolongnya
sewaktu dikeroyok oleh Bergola Wungu dan anakanak buahnya. Cuma Nilamsuri tidak
tahu sama sekali kalau orang yang ditemuinya itulah tuan penolongnya. Dan siapa
adanya orang yang menolong Nilamsuri tiada lain dari pada Wiro Sableng itu
pemuda yang baru turun gunung yang sikap serta lagaknya begitu lucu sehingga
setiap orang akan menduga bahwa dia tentunya seorang yang kurang waras. Ketika
Nilamsuri kembali ke pekuburan itu, yang ditemuinya bukanlah Bergola Wungu dan
ketiga orang anak buahnya melainkan Wiro Sableng! Pemuda ini tengah berlutut
menepekur di hadapan sebuah makam yang tanahnya hampir rata dan penuh ditumbuhi
rumptu-rumput liar serta kotor oleh daun-daun kering.
”Kemana
perginya kunyuk-kunyuk berewok itu?” pikir Nilamsuri. Penasaran sekali dia
jadinya. Sudah tak berhasil mengejar manusia yang diburunya kini empat musuh
besarnya telah lenyap sepeninggal pengejarannya. Dan apa pula urusan pemuda
berotak miring yang mengaku bernama Wiro Sableng itu di pekuburan ini? Makam
siapa yang tengah ditepekurinya itu?
Kemudian Nilamsuri melilhat Wiro
berdiri dari berlututnya. Dan ketika dia memalingkan muka, Nilam melihat pada
paras pemuda itu jelas terbayang rasa sedih yang mendalam. Atas banyak kejadian
aneh yang tengah dialaminya sampai saat itu diam-diam Nilamsuri ingin sekali
tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong ini.
Dibukanya
pembicaraan denga bertanya, ”Saudara, waktu mula-mula kau datang ke sini apa
ada melihat empat orang laki-laki berewok?”
Bayangan
kesedihan pada paras Wiro Sableng segera sirna. Dan pemuda ini tersenyum. ”Kau
lucu sekali saudari,” kata Wiro. ”Pertama kali jumpa, ditepi sungai tadi kau
tanya satu orang laki-laki. Kalau jumpa ketiga kali nanti, kira-kira berapa
orang laki-laki yang bakal kau tanyai padaku?!”
Mau tak mau paras Nilamsuri menjadi
merah oleh ucapan Wiro Sableng itu.
”Saudara,” katanya, ”Kau siapakah
sebenarnya?”
”Siapa aku bukankah aku sudah kasih
tahu tadi di hulu sungai? Kenapa tanya lagi?
Kau sendiri tidak mau kasih tahu
nama.”
Nilamsuri
terdiam. Kemudian diputarnya pembicaraan dengan bertanya, ”Makam siapa itu?”
”Kau bisa baca sendiri pada batu
nisan….” jawabnya.
Penuh rasa ingin tahu Nilamsuri
melangkah dan mendekati nisan makam tua itu.
Nisan itu terbuat dari
batu. Barisan kalimat yang terukir pada batu yang sudah retak-retak itu tak
jelas lagi. Tapi Nilam masih bisa membacanya. Dan pada batu nisan itu tertulis:
”DISINI TELAH DIMAKAMKAN
SUCI BANTARI”
Melihat Wiro
yang masih muda, Nilamsuri tahu kalau orang yang bernama Suci Bantari itu
bukanlah isteri Wiro Sableng.
”Ibumu….?”, tanyanya.
Pemuda itu mengangguk perlahan. Dia
teringat pada keterangan Eyang Sinto Gendeng ketika dia masih digembleng di
puncak Gunung Gede dulu. Menurut perempuan sakti itu dia
telah
dipelihara sejak masih orok. Kini sesudah belasan tahun, sesudah menjadi
seorang dewasa, sesudah sekian lama tiada mengenal kasih sayang ayah bunda,
maka yang ditemuinya hanyalah dua onggok makam yang tiada terawat sepantasnya.
Makam ayah dan makam ibunya.
”Kalau begitu kau adalah penduduk
sini….?”
Wiro Sableng mengangguk lagi. ”Aku
tak pernah mengenal mereka.”
”Maksudmu ayah dan ibumu?”
”Ya… Keduanya
menemui ajal karena kebiadaban seseorang….” ”Dibunuh….?”
Wiro Sableng
mengangguk. Matanya yang biasanya bersinar lucu itu kini kelihatan kuyu dan
kedua matanya itu memandang pada bangkai kuda yang lehernya hampir puntung
terbabat pedang Nilamsuri sewaktu terjadi pertempuran antara gadis itu dengan
Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. Wiro menggeram dalam hati. Nasib ayahnya
tidak lebih baik dari kuda itu!
Nilamsuri
sementara itu tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Tadipun Bergola Wungu
mengatakan bahwa orang tuanya mati dibunuh, dibunuh ayahnya Kalingundil,
ayahnya sendiri. Apakah orang tua pemuda ini ayahnya juga yang telah
membunuhnya? Kalau benar maka pastilah pemuda ini datang untuk mencari urusan.
Untuk menuntut balas sebagaimana kemunculan Bergola Wungu dan anak buahnya.
Jadi manusia ini tak lebih dari seorang
musuh pula baginya!
Tapi untuk meyakinkan maka
bertanyalah Nilamsuri. ”Siapakah manusianya yang membunuh kedua orang tuamu,
Saudara?”
“Ah panjang
kisahnya. Kalaupun kuberi tahu kau tak akan kenal mungkin. Dan lagi semua itu
bukan urusanmu….”
”Apakah pembunuh itu bernama
Kalingundil?” memancing Nilamsuri dengan hati berdebar.
Dadanya lega ketika dilihatnya Wiro
Sableng menggeleng.
”Kau sendiri
perlu apa datang ke pekuburan ini?” bertanya Wiro. “Sama dengan kau. Untuk
menyambangi makam ibuku….” Dan Nilamsuri menceritakan apa yang telah terjadi
dengan dirinya ketika dia tengah mencabuti rumputrumput di makam ibunya. Tapi
tidak diterangkannya mengapa sampai Bergola Wungu hendak merusak kehormatannya
dan hendak membunuhnya!
“Sungguh aneh cerita tentang manusia
yang telah menolongmu itu saudari,” kata Wiro Sableng pula dengan menahan rasa
gelinya. “Pastilah dia seorang manusia sakti luar biasa.
Mungkin juga dia seorang malaikat….!”
Nilamsuri hanya termangu. Tapi
diam-diam matanya melirik pada Wiro Sableng. Kalau tadi memang dia kagum akan
paras pemuda yang keren ini tapi karena bicaranya yang usil serta lucu tapi
kurang ajar itu, maka kini bicara secara baik-baik nyatanya pemuda itu bukanlah
seorang yang kurang ingatan.
”Kalau sekiranya kau menemui pembunuh
orang tuamu itu,” bertanya Nilamsuri,
”apakah kau juga akan membunuhnya?”
Wiro Sableng
tertawa, ”Itu tak perlu musti dijelaskan lagi saudari,” sahutnya. Nilamsuri
ingat pada nasib buruknya yang tadi hendak menimpanya. Lalu berkatalah
perempuan ini, ”Dunia ini penuh dengan ketidakadilan!”
”Ketidak
adilan macam mana maksudmu saudari?” tanya Wiro Sableng pula. Nilamsuri hendak
membuka mulutnya. Tapi cepat-cepat mulut itu dikatupkannya kembali. Hampir saja
terluncur rahasia mengapa Bergola Wungu hendak membunuhnya. Gadis ini kemudian
hanya gelengkan kepala. ”Nanti kau bakal mengalami sendiri mungkin,” katanya.
”Sekurang-kurangnya melihat dengan nyata ketidakadilan berlangsung di depan
matamu.”
Wiro Sableng tertawa.
”Kenapa kau tertawa?” tanya Nilamsuri
karena merasa diejek.
”Berapa umurmu, saudari….?”
Dalam hatinya
gadis itu berpikir si pemuda hendak mulai lagi dengan keusilannya. Wiro masih
juga tertawa lalu berkata, ”Kau masih sangat muda tapi bicaramu sudah seperti
orang tua….”
Mau tak mau
Nilamsuri tertawa juga. Tapi tertawa cemberut. Diam-diam hatinya yang tadi
tertarik kini semakin senang pada pemuda itu.
Tiba-tiba kedua orang itu saling
pandang. Dikejauhan terdengar derap suara kaki kuda. ”Ah…. hanya suara
kaki-kaki kuda, kenapa terkejut?” tanya Wiro Sableng meskipun hatinya sendiri
terasa tidak enak.
”Mungkin sekali, itu adalah
manusia-manusia laknat yang tadi mengeroyokku!” kata Nilamsuri.
”Kalau begitu
mari cepat-cepat menyingkir!” Si gadis enam belas tahun gelengkan kepala.
”Lebih baik mati daripada lari….!”
Wiro Sableng
menggerendeng. ”Keberanianmu tidak pakai pikiran saudari!”, katanya. Wiro
Sableng melompat ke muka dan menotok bahu kanan Nilamsuri. Gadis itu rebah
dalam keadaan kaku tapi sebelum jatuh ke tanah Wiro sudah membopongnya. Segera
gadis itu dilarikannya namun kasip. Empat penunggang kuda sudah mengurungnya.
Keempatnya tiada lain daripada Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
”Ha….ha…,
ruapanya ada juga culik kesiangan yang inginkan mangsa kita kawankawan!” kata
Bergola Wungu.
”Tikus busuk!”, kata Ketut Ireng.
”Turunkan gadis itu!”
”Masih ingusan sudah tahu perempuan!”
memaki Pitala Kuning, anak buah Bergola
Wungu yang bermata jereng. ”Ayo
turunkan gadis itu cepat!”
Perlahan-lahan Wiro Sableng
menurunkan tubuh Nilamsuri. Dipandanginya keempat manusia berewok itu seketika.
”Saudara-saudara kita tidak saling kenal satu sama lain, mengapa bicara memaki
begitu?!”
”Bocah geblek! Terima ini!”, bentak
Ketut Ireng pergunakan kaki kanannya untuk menendang dada pemuda itu.
”Buuk”!!
Kaki kanan Ketut Ireng mendarat di
dada Wiro Sableng. Tidak serambutpun tubuh pendekar dari Gunung Gede ini
bergerak.
Sebaliknya
dari mulut Ketut Ireng terdengar lolong kesakitan setinggi langit! Tendangan
yang dilancarkan Ketut Ireng hanya menggunakan tenaga kasar atau tenaga luar
karena dia sama sekali tidak menduga siapa adanya pemuda berambut gondrong itu.
Dan akibatnya dari tendangan itu menimpa dirinya sendiri. Kaki kanannya sampai
ke betis kelihatan menjadi gembung dan kehitaman. Ketut Ireng menelungkup di
atas punggung kuda dan melolong kesakitan.
Kaget Bergola Wungu dan dua orang
lainnya bukan olah-olah.
”Sreet”!!
Pemimpin ini segera cabut golok
panjangnya.
Seta Inging
cabut senjatanya yang berupa kelewang sedang Pitala Kuning keluarkan ruyung
berdurinya!
”Bocah haram
jadah! Siapa kau!?!”, bentak Bergola Wungu seraya melintangkan golok di depan
dada.
”Aku peringatkan pada kalian,” sahut
Wiro Sableng dengan suara datar sedang mulutnya menyunggingkan seringai, ”aku
tidak ada permusuhan dengan kalian. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dengan
aman!”
”Keparat
betul, ” kertak Pitala Kuning. ”Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa saat
ini?!”
”Aku tidak perduli siapa kalian!
Tinggalkan tempat ini kalau tidak mau susah!”
”Sebaiknya kau berlutut dan minta
ampun dihadapan kami, bocah gila!” ”Aku bilang tinggalkan tempat ini, apa
kalian tuli semua masih pentang bacot?!” Mendidihlah darah di kepala Bergola
Wungu.
LIMABELAS
Sebagai pendekar yang baru turun
gunung dan cemplungkan diri dalam dunia persilatan tentu saja Wiro Sableng buta
pengalaman dalam pertempuran. Tapi selama tujuh belas tahun digembleng oleh
Eyang Sinto Gendeng maka serangan-serangan yang dahsyat itu sama sekali tidak
membuat pendekar muda ini menjadi gugup.
Eyang Sinto Gendeng talah
menggemblengnya bukan hanya sekedar memberi pelajaran ilmu silat luar dalam dan
melatihnya belaka, tapi latihan-latihan perempuan sakti itu
tak ada bedanya dengan pertempuran
dahsyat yang benar-benar bisa mencelakakan Wiro sendiri.
Ketika tiga serangan itu datang ke
arahnya, Wiro Sableng segera sambar pinggang Nilamsuri. Secepat kilat kemudian
dia jatuhkan diri dan sambil berteriak hebat pemuda ini hantamkan tinju
kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang hampir menendang batok kepala
Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras
dan rubuh karena kakinya itu hancur. Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala
Kuning terlempar ke tanah tapi dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil
jatuh dengan kedua kaki menginjak tanah.
Sementara
golok panjang Bergola Wungu dan kelewang Seta Inging beradu keras di udara
memercikkan bunga api maka sambil bergulingan di tanah, Wiro Sableng tak lupa
hantamkan kaki kiri kanannya pada kaki-kaki kuda kedua manusia berewok itu.
Seperti dengan
kuda Pitala Kuning tadi maka kedua binatang inipun melemparkan Bergola Wungu
dan Seta Inging. Wiro Sableng menyandarkan Nilamsuri pada sebatang pohon dan
cepat bersiap-siap ketika dilihatnya tiga manusia berewok itu mendatanginya.
Akan Ketut Ireng tak masuk hitungan karena saat itu dia duduk menjelepok di
tanah merintih karena kaki kanannya yang hitam gembung dan sakitnya bukan main!
”Aku peringatkan pada kalian untuk
penghabisan kali!” kata Wiro Sableng,
”Tinggalkan tempat ini!”
”Jangan omong besar bangsat ingusan!”
bentak Bergola Wungu dengan sangat geram.
”Sebut kau punya nama agar golokku
ini tidak penasaran menebas batang lehermu!” Wiro Sableng mengeluarkan suara
bersiul lalu garuk-garuk kepala dan tertawa gelakgelak. Kemudian menyanyilah
murid Eyang Sinto Gendng ini.
Anak kecil bodoh namanya biang bodoh,
Tua bangka bodoh namanya biang bodoh,
Monyet ingin
jadi manusia, Kenapa manusia piara berewok, Apa mau jadi monyet….
Tolol, bodoh,
bego, geblek!
Marahlah
Bergola Wungu mendengar tembang yang kata-katanya ditujukan kepadanya sebagai
ejekan itu.
”Bocah gila!” bentaknya, ” terima
ujung golokku ini!”
Dengan pergunakan jurus ”burung
bangau mematuk kodok,” Bergola Wungu tusukkan golok panjangnya ke arah
tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar Gunung Gede ini segera meringankan badan.
Ujung golok hanya lewat setengah jengkal disamping lehernya.
Wiro tertawa mengejek.
Panas pemimpin
Empat Berewok dari Gua Sanggreng ini tidak terkirakan. Baru hari ini ilmu golok
yang sangat dibanggakannya itu dikelit dengan demikian mudah bahkan sambil
tertawa mengejek dan menantang!
Dengan
kertakkan rahang Bergola Wungu balikkan mata pedang dan babatkan senjata itu.
Kali ini maksudnya untuk menebas batang leher si pemuda.
Kedua kaki Wiro Sableng bergerak
sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang memegang golok sedang telapak
tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola Wungu!
Kepala rampok itu mengeluarkan jerit
tertahan.
Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir
jatuh duduk di tanah. Ketika dia memandang ke dadanya yang dihantam telapak
tangan lawan, parasnya dengan serta merta menjadi pucat!
Baju hitamnya robek hangus. Pada
kulit dada yang tadi kena dihantam terlukis memutih telapak tangan dan
jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada tengah-tengah lukisan itu tertera angka
hitam 212. Dan sakitnya dada yang bertanda telapak tangan kanan berikut angka
212 itu bukan
olah-olah. Meski Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga dalamnya, rasa
sakit itu hanya sedikit saja berhasil dikuranginya!
Pitala Kuning
dan Seta Inging tidak kurang pula pucat tampang-tampang mereka melihat apa yang
terjadi dengan pemimpin mereka. Tidak dinyana pemuda belia berparas macam
anak-anak itu lihay sekali. Apa arti angka 212 yang membekas hitam di kulit
Bergola Wungu itu?
Pukulan ”telapak 212” yang
dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya
mempergunakan seperlima bagian saja
dari tenaga dalamnya! Kalau saja pendekar muda ini
pergunakan
setengah saja bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka pastilah Bergola Wungu
akan meregang nyawa dengan dada remuk!
Luapan amarah Bergola Wungu membuat
pemimpin rampok yang malang melintang di sungai Cimandilu ini lupakan kenyataan
bahwa pemuda yang dicapnya sebagai ”pemuda gila”, ”bocah ingusan” itu
sesungguhnya bukanlah tandingannya!
Bergola Wungu
majukan kaki kanan dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang lurus ke
muka.
”Bocah sedeng!
Kau telah bikin cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan berbaik hati untuk
membalasnya! Kau tahu jurus apa yang bakal aku lancarakan ini?!” Pendekar kapak
maut naga geni menjawab dengan tertawa bergelak sambil garukgaruk kepalanya
yang berambut gondrong.
”Lucu!” kata
Wiro Sableng pula. ”Bertempur ya bertempur. Kenapa musti pakai pidato segala!”
Bergola Wungu merasa tubuhnya seperti
terbakar oleh kobaran amarahnya yang menggelegak. ”Kau boleh tertawa dan
mengejek sepuas hatimu bocah gila! Bila golokku berkiblat dalam jurus: merobek
langit, kau akan tahu rasa nanti!”
Adapun jurus ilmu golok yang disebut
”merobek langit” itu adalah jurus yang telah dipergunakan oleh Bergola Wungu
untuk ”menelanjangi” tubuh Nilamsuri yaitu dengan merobek-robek pakaian gadis
itu dengan ujung goloknya.
”Jurus merobek langit memang hebat
kedengarannya!” kata Wiro Sableng. ”Tapi coba buktikan. Jangan-jangan cuma
jurus kosong belaka!”
Tanpa banyak bicara Bergola Wungu segera putar goloknya dengan sebat.
Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran golok. Demikian hebatnya seakan-akan
golok itu berubah menjadi ratusan banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh
Wiro Sableng sudah terbungkus gulungan golok!
Yang anehnya, diserang hebat demikian
rupa tidak serambutpun Wiro Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi adalah karena
golok Bergola Wungu sama sekali tidak dapat mendekati bagian tubuh manapun dari
Wiro Sableng! Manusia berewok ini mencak-mencak sendirian macam monyet terbakar
ekor! Seta Inging dan Pitala Kuning yang saksikan kejadian itu mau tak mau jadi
leletkan lidah!
Demikianlah hebatnya ilmu ”benteng
topan melanda samudra” yang dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap sambaran
tusukan dan sabetan golok sama sekali tidak dapat mengenai tubuh Wiro Sableng.
Tubuh golok dilanda terus-terusan oleh gulungan angin dahsyat yang membungkus
tubuh murid Sinto Gendeng itu!
Bergola Wungu
membentak keras dan percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua puluh jurus
dimuka tetap saja goloknya tak dapat membentur sasarannya di tubuh Wiro!
Pakaian dan tubuhnya sudah mandi keringat. Pegangan pada hulu golok sudah
licin. Keletihan membuat gerakannya mulai menjadi lamban!
”Seta Inging! Pitala Kuning! Jangan
jadi patung! Bantu aku!” teriak Bergola Wungu dengan sangat beringas.
Mendengar
perintah ini Pitala Kuning dan Seta Inging segera menyerbu dengan senjata di
tangan. Sebatang golok panjang, sebuah ruyung berduri dan sebuah kelewang
dengan dahsyatnya menyambar-nyambar ke tubuh Wiro Sableng. Tapi ilmu ”benteng
topan melanda samudera” membuat ketiga
senjata itu tak ada arti sama sekali.
Wiro Sableng tertawa bergelak. Tawa
gelak yang disertai tenaga dalam ini menambah
hebat perbawa
ilmu ”benteng topan melanda samudera!” Sepuluh jurus berlalu.
”Ciaatt!!”
tiba tiba pendekar kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga manusia berewok
keluarkan seruan tertahan dan lompat dari kalangan pertempuran. Mata mereka
melotot besar memandang ke tangan Wiro Sableng yang saat itu telah merampas dan
menggenggam senjata mereka!! Ketut Ireng yang duduk menjelepok merintih
kesakitan, juga tak ketinggalan terbeliak dan terlongong-longong! Nama bukan
nama baru dalam dunia persilatan
pada masa itu mereka terkenal sebagai
komplotan rampok yang berilmu tinggi dan ditakuti di
sepanjang sungai Cimandilu. Terutama
pemimpin mereka Bergola Wungu diakui kehebatan permainan goloknya oleh kalangan
persilatan! Mereka tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa mau mencelakakan
mereka maka sudah sejak tadi hal itu bisa dilakukannya! ”Kalau hari ini kami
diberi sedikit pelajaran,” kata Bergola Wungu dengan suara bergetar, ”maka
ketahuilah bahwa kami tak akan melupakan kejadian ini. Suatu hari kami akan
datang untuk meneruskna apa yang terjadi hari ini!”
Wiro Sableng tertawa bergelak,
”Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato huh!! Ini terima kembali senjata kalian!”
Sekali tangan kanan Wiro Sableng
bergerak maka ketiga senjata lawan yang tadi dirampasnya kini melesat ke arah
ketiga orang itu masing-masing pada pemiliknya, Bergola
Wungu menangkap hulu golok, Seta
Inging menangkap gagang kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti tangkai ruyung
berdurinya.
Tanpa banyak bicara ketiga orang itu
dengan membawa kawan mereka yang
menderita sakit pada kakinya, segera
hendak angkat kaki. Tapi sebelum mereka berlalu Wiro
Sableng berkata:
”Satu hal kalian harus ingat
baik-baik manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis,
berarti kalian ingin cepat-cepat masuk liang kubur!”
ENAMBELAS
Begitu lenyap
dikejauhan maka Wiro Sableng segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis
ini memandang berkeliling dengan terheran-heran. Dia seperti orang yang baru
bangun dari mimpi. Tapi jelas dilihatnya bekasbekas pertempuran di
sekelilingnya.
”Apa yang terjadi?” bertanya gadis
itu.
Wiro tertawa. ”Tak satupun,”
jawabnya.
”Aku tak percaya. Tadi kudengar suara
derap kaki kuda menuju ke sini….”
”Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak
dengar suara apa-apa….”
Nilamsuri berpikir-pikir dan
mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada
Wiro Sableng. ”Tadi…. kau melompatiku dan…,” gadis ini raba urat besar di
pangkal lehernya. ”Ya…. kau menotok urat besar di leherku ini?” Habis berkata
demikian Nilamsuri segera cabut pedang! ”Apa yang kau telah perbuat terhadap
diriku?” tanyanya membentak.
Murid Sinto
Gendeng memaki dalam hati, ”Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang
bukan-bukan!”
Tapi di
hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum. ”Kuharap kau jangan
punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudari….”
”Lalu perlu apa kau menotok aku?!”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya.
Karena itu dia menjawab dusta. ”Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk
bertempur melawan itu?!” ”Ya, lalu?!”
”Dengar
saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak bakal
sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat besar lalu sembunyi
dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke sini dan
kulepaskan totokan di lehermu.”
”Aku tak percaya….!” kata Nilamsuri.
”Aku memang
tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya,” menyahuti Wiro Sableng.
”Kai ini siapa sebenarnya?!”
”Heh…,” Wiro Sableng hela nafas
panjang. ”Bukankah aku sudah kasih tahu nama?
Malah kau sendiri masih rahasiakan
kau punya nama!”
Nilamsuri
dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si
pemuda.
”Baik,” katanya, ”jika kau tidak mau
kasih keterangan, biar pedangku ini yang memintanya!”
Habis berkata
demikian maka gadis ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada Wiro
Sableng!
Wiro terkejut dan gerabak gerubuk
lompat kesamping.
”Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kau
serang aku?!”
Sebagai
jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari
membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat.
”Sekarang kau tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!” kata Nilamsuri. ”Terima
jurus elang menyambar burung dara ini!”
Pedang di
tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda ini
berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan
burung elang!
Wiro lambaikan tangan kiri, angin
keras membentur badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya!
”Saudari!”
seru Wiro Sableng, ”sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!” Habis
berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis lalu
berkelebat.
”Pemuda kurang
ajar!” maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro
Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang masih sempat
terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantik
kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah
tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali
tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu
pedangnya yang lihay dan si pemuda
berhasil
mengelakkan bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong yang
menimbulkan angin keras!
Meski hatinya marah sekali dengan
keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan kagumnya tak dapat
disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika dia mengusap
dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.
*****
Kedai itu sepi saja.
Angin malam
bertiup dingin dari lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil
bersiul-siul.
Orang tua pemilik kedai menyambuti
dengan muka pucat cemas.
”Orang muda,”
katanya, ”sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!” ”Memang kenapa?”
tanyanya.
”Sebentar lagi
mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sini….” ”Siapa takutkan
mereka!” ujar Wiro.
”Tapi anak
muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu.” ”Perduli amat siapa mereka,”
kata Wiro pula sambil duduk di kursi.
Dan pemilik
kedai itu berkata lagi, ”Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di sungai
Cimandilu! Mereka adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!”
”Biar mereka adalah Empat Setan dari
Neraka, aku tetap tak perduli!”
Pemilik kedai
jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana pemuda itu
menyumpal mulut dengan pisang. Maka bertanyalah dia, ”Orang muda, kau ini siapa
sebenarnya dan datang dari mana?” Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini
mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum
sendiri. Si orang tua diam-diam mulai meragukan apakah anak muda ini berotak
sehat!
”Bapak sudah lama tinggal di sini?”
tanya Wiro.
”Sejak masih orok….”
”Hem…. kalau begitu tentu kenal
dengna nama Ranaweleng….”
”Oh tentu... tentu sekali. Beliau
adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang….”
”Sayang kenapa….?”
Orang tua itu
tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan
malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu.
”Beliau sudah meninggal…,” katanya
kemudian menambahkan.
Wiro Sableng menelan ludahnya.
”Bapak tahu siapa yang
membunuhnya….?”
Pertanyaan ini membuat si orang tua
memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng. ”Semua orang tahu….,” katanya.
Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar
tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh Wiro
Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng.
”Ada satu keanehan dalam peristiwa
tujuh belas tahun yang lalu itu,” kata si pemilik kedai.
”Keanehan bagaimana?” tanya Wiro
ingin tahu.
”Waktu itu
Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang Ranaweleng. Dalam
kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan orok! Itu
adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banayak sangat kebingungan. Bagaimana
mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat tegang
itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali
bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara
tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari.
Tapi tak ditemui tulang
belulang orok itu….”
Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia
tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu adalah dirinya sendiri dan
berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat bayangan gurunya
Eyang Sinto Gendeng!
”Sampai
sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?” bertanya Wiro.
Si orang tua
angkat bahu. ”Kalau dia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak muda,”
katanya.
”Mahesa Birawa sendiri…. apakah masih
hdiup?”
”Masih…. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi
sekarang entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat
orang anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang
di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!”
”Apakah mereka itu itu?” tanya Wiro.
”Bukan…. bukan! Justru ini sengaja
datang dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol
di sini! Dan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka
rampok-rampok yang tak kalah kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah Mahesa
Birawa! Tapi ketika mereka datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada di sini.
Kebetulan keluar…. sudah empat hari
dengan hari ini….”
Wiro mengulurkan tangannya memotes
sebuah pisang yang tergantung
”Eee…. apakah
kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si pemilik kedai.
Wiro tertawa, ”Hutang dulu toh tak
apa-apa….” sahutnya.
Si orang tua
mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi ”langganan”nya yang makan tanpa
bayar!
Sambil
mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, ”Urusan apakah yang dibawa oleh itu
ke sini?”
Si orang tua
memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, ”Perlu kau ketahui…. pemimpin itu,
yang kini memakai nama Bergola Wungu, dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu
ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh
ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan perempuan
itu serta saudara-saudara
perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia kembali ke sini
ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak buah
Mahesa Birawa!”
Lama Wiro
Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri. ”Kenal
dengan seorang yang bernama Kalingundil?” Kulit kening pemilik kedai itu
mengkerut.
”Adalah lucu kalau pertanyaan itu kau
ajukan saat ini, anak muda?” katanya.
”Kenapa….?”
”Karena Kalingundil adalah anak buah
Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin dari
tiga kawan-kawan lainnya!”
Tentu saja
Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya
disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang
tadi menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia bernama
Kalingundil itu? Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. ”Siang tadi, Empat
Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas
cantik. Bahkan gadis itu hendak mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak
tahu pangkal sebab sampai hal itu terjadi….?
mungkin juga kenal dengan gadis itu?”
”Gadis itu berpakaian biru….?”
”Betul.”
Si orang tua
hela nafas. ”Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah
ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku
tak ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya,
pastilah leherku akan jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu adalah anak
Kalingundil sendiri!”
Kini jelaslah bagi Wiro Sableng
mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru
itu.
”Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya
yang musti ikut tanggung akibat…,” desis orang tua pemilik kedai.
Wiro
manggutkan kepala. ”Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala
tidak mengenal pembalasan yang wajar….”, katanya. ”Kadang kadang itu adalah
merupakan hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!”
”Kata-katamu beul, anak muda….”, kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya
mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. ”Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau
telah
mendustainya, habis mukaku ini
ditempelaknya….!”
”Itu salahmu sendiri,” kata Wiro
seenaknya. ”Siapa suruh kau yang tua bangka masih mau berdusta!”
Orang tua itu
jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan dia memaki lagi
untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, ”Minta tehnya, pak.”
Sementara si orang tua membuatkan
segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang menarik perhatiannya itu adalah
anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh kedua orang
tuanya.
Ketika si orang tua datang membawakan
teh bertanyalah Wiro Sableng, ”Bapak tahu nama anak perempuan Kalingundil itu?”
”Nilamsuri.
Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia terkutuk!”
”Sewaktu Mahesa Birawa melakukan
pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?” tanya
Wiro lagi.
”Bukan hanya
Kalingundil, tapi semua anak buahnya,” menyahuti si orang tua. Wiro hendak
bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar suara
gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan
cepat.
Mereka bukanlah
Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang
tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata, ”Kalingundil
dan anak-anak buahnya…. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola
Wungu….” ”Menurutmu…. siapa yang bakal menang di antara mereka?” tanya Wiro.
Oran tua itu angkat bahu. ”Aku tidak
mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Kalau dapat biarlah Gusti
Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil dan
Bergola Wungu tiada beda bagiku!
Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan apa-apa di sini!”
Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh
manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri. ”Meski hari ini aku tidak bayar
harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan aku dengan Bergola Wungu
atau Kalingundil….” Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai.
Si orang tua mengangkat gelas bekas
minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah agak
mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya lebih
dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak habis mengerti orang tua
ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung
pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau
pupus! ”Ah…. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan….”
katanya dalam hati.
TUJUHBELAS
Dari jauh telah terdengar suara
beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat
jalannya. Dan bila dia sampai di halaman rumah yang agak kegelapan itu maka
dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini berubah menjadi sebuah medan
pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tangah bertempur hebat dan
cepat. Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri.
Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang laki-laki
berbadan tinggi langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi
dia yakin betul bahwa manusia ini pastilah Kalingundil.
Di ujung
halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang
terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya
pertempuran.
Tiga orang anak buah Kalingundil
yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu
rendah. Permainan golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi anak-anak buah
Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah
gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung
berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak!
Tiga jurus
kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta
Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan
Saksoko.
Kedua orang ini mempunyai tingkat
kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan
kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan nyali
besar. Lima
jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang
berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit
terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah!
Rahang-rahang Kalingundil kelihatan
mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu karena gelap
tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil menjadi hitam
samapi ke jari-jari tangannya. Didahului dengan suara bentakan yang bukan saja
dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka melompatlah
Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada.
Tujuh belas
tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan. Dan kini
dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya!
Tiga pekik
kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning
terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa! Bergola
Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh
bergetar.
”Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi!
Majulah jika kau benar-benar ingin
membalaskan dendam kesumat seribu
karat!”
Meski bagaimana kobaran amarahnya
namun Bergola Wungu menyahuti, ”Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih
berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu
menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin
nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayahbundaku!”
Habis berkata demikian, Bergola Wungu
putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan
terpentang!
Bergola Wungu
yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke
samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada
Kalingundil. Kalingundil melompat ke
samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga dapat dielakkan Bergola
Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus.
Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah pohon mempelam
terdengar suara memaki.
”Kalingundil
edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih saja
beringasan! Gelo betul!”
Kalingundil keluar dari kalangan
pertempuran. Segera dia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara.
”Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah
unjukkan diri!”
Angin dahsyat
melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai pohon itu tumbang.
Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping,
Bergola Wungu pun sudah lenyap!
Akan Nilamsuri begitu mengenali suara
yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia segara mengejar ke tempat gelap.
Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampung dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau
dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke
puncak yang sangat tinggi dia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu.
Nyatanya yang
mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun kembali.
”Kita berjumpa lagi, Nilamsuri….”
”Eh, dari mana kau tahu namaku?”
gadis itu tanya dengan heran.
Wiro Sableng
tertawa dan menjawab, ”Terlalu banyak manusia tempat bertanya. Terlalu banyak
mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!” ”Ada apa kau ikut
campur urusan ayahku?!” balik menanya Nilamsuri. Wiro Sableng melangkah
mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam membuat hati si gadis menjadi
berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri menyurut mundur namun badannya
tertahan oleh batang pohon.
”Ayahmu Kalingundil, bukan….?”
desisnya.
Gadis itu mengangguk.
Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu
gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena saat
itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya ketika
bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si
pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan itu
meluncur turun ke bawah lehernya.
”Wiro…. kau
ini ceriwis sekali…. ceriwis sekali,” bisik gadis itu setengah merintih. Pemuda
itu menyeringai.
”Kenapa kau ikuti aku….?”
”A…. aku suka padamu Wiro….”
Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu
dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam
terasa sangat dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda
keringat panas dalam melakukan apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya,
dalam merasakan apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya!
*****
Sinar matahari
pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu tiada
dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah
Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras
gadis ini agak pucat.
Bergola Wungu hentikan langkahnya
beberapa tombak di hadapan Kalingundil.
”Keluarkan senjatamua Kalingundil!”
Kalingundil
tertawa bergelak dan meludah ke tanah. ”Untuk menghadapi manusia macam kau tak
perlu pakai senjata segala! Mulailah!.” Mulut Kalingundil komat-kamit dan
sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!
Tergetar juga hati BergolaWungu
melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan dia
berkata, ”Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu mempercepat
aku mengirimkan kau ke neraka!”
Bergola Wungu
mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk ke arah dua
buah makam di bukit pekuburan.
”Kau lihat dua makam di lereng sana,
Kalingundil?!”
Kalingundil tak berani mengalihkan
pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan belaka.
”Itu adalah
makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak gembira bila menyaksikan
sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!”
”Tak perlu jual bacot manusia hina!
Terima lenganku!”
Disertai angin
yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul menyusul. Bergola
Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya dia
ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya
menjadi sumplung!
Dengan segera Bergola Wungu keluarkan
jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus ”merobek langit.” Sesaat saja
terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka
Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah lawan
namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba
menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya.
Tapi Bergola
Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang kerasnya macam
baja itu!
”Ha... ha... lekaslah minta tobat
pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil!
Sebentar lagi kepalamu akan
menggelinding!” ejek Bergola Wungu.
Geram Kalingundil bukan alang
kepalang. ”Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk
berewok!”, balasnya mengejek.
Kalingundil berseru keras, ”Terima
senjata rahasiaku ini, kunyuk!”
Ratusan jarum
hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran
golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke tanah!
”Hebat! Hebat…. hebat!” terdengar
suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus
tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula dia sudah berada di
tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu. ”Hebat
memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia itu
adalah bagianku!”
Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil
sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu
keuntungan karena saat itu dirinya terdesak. Keduanya memandang pada orang yang
berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola Wungu
katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang baru itu! ”Kalingundil! Kau
tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia bernama Mahesa
Birawa?!”
”Orang muda bermulut besar, kau
siapa?!” bentak Kalingundil.
”Ditanya malah menanya! Sialan
betul!”, gerendeng Wiro Sableng. ”Tujuh belas
tahun yang silam kau bersama Mahesa
Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku! Juga
membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa
kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!” Kalingundil merutuk dalam hati.
Apakah manusia ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola
Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil
sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya mengeluh!
Melayani Bergola Wungu saja dia sudah
kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus!
”Apa maumu orang muda?!”
”Apa mauku….?!” Wiro tertawa
bergelak.
Nilamsuri yang
merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, ”Wiro…. dia adalah ayahku!”
”Aku tahu adik
manis…,” dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih bisa dia
mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu
di dangau di tengah sawah tadi malam. ”Karena itulah aku berbaik hati datang ke
sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!” ”Wiro!” muka Nilamsuri menjadi
pucat.
Bergola Wungu
sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong
belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini! Sebaliknya
Kalingundil keluarkan tertawa membahak. ”Kurasa kau masih pantas untuk menetek
sama kau punya ibu!”, ejeknya.
”Kata-kata itu cukup lucu,
Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!” Wiro
Sableng melangkah mendekati Kalingundil.
Nilamsuri melompat ke muka hendak
menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari samping Bergola Wungu yang sejak
lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh
bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih lama segera ditebaskan golok
panjangnya!
Nilamsuri melengking! Tubuhnya
tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang
melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil
segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru: ”Manusia bernama Wiro
Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali
untuk meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!” ”Setan alas betul!” maki Wiro
Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana
badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah pekuburan beterbangan. Pohon-pohon
bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul!
Tapi
Bergola Wungu sudah lenyap dibalik
bukit!
Wiro Sableng putar kepala dan dia
memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. ”Boleh saja lari
Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!”
Sekali pemuda
itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tibatiba
Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro
Sableng! Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta karena ketakutan itu
tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat gerakkan tangan
kanannya.
”Kraak”!
Kalingundil meolong. Tangan kanannya
sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot!
Daging dan otot seta urat-urat
berserabutan mengerikan sekali!
Laki-laki itu
macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi. ”Eee….
tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka
kenang-kenangan ini!” Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan
kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka
terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada
baigan tengahnya!
Kalingundil seradak seruduk lagi
macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng
tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu berlari macam dikejar setan!
Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya.
Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan
lengen itu melesat dan menghantam punggung Kalingundil, membuat laki-laki itu
tergelimpang menelungkup di tanah, tapi segera bangkit lagi dan lari lagi!
Wiro Sableng
hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara gerangan Nilamsuri. Cepat
didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat
luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi.
Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya.
”Wiro….”
Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. ”Wiro…. peluk
aku….,” pintanya.
Wiro Sabelng merangkul gadis itu.
”Cium aku…. Wiro….”
Si pemuda
mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan dingin
kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan
satusatu.
Sinar matanya semakin pudar.
”Umurku untuk mengenalmu hanya sampai
di sini, Wiro….” bisik Nilamsuri.
”Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau
akan sembuh….” kata Wiro pula menghibur. Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan
memberkasnya senyum itu di bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas
meninggalkan tubuh.
Pendekar muda dari Gunung Gede hela
nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri
masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi kini tubuh itu tiada akan memberikan
apa-apa lagi kepadanya. Bahkan
kehangatanpun tidak karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin.
Wiro mennghela nafas panjang sekali
lagi. Disibakkannya bagian pakaian yang robek di dada gadis itu. Pada bagian
kulit dada yang masih utuh, tepat di atas buah dada sebelah kiri si gadis,
dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat tiga
barisan angka: 212.
Disandarkannya
tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah
pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apaapa,
seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini
terdengarlah suara siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….
T A M A T
Salam 212
SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI
ADALAH MILIK
ALMARHUM
BASTIAN TITO
Diketik ulang oleh CERSILKITA75
Hanya untuk
para pendekar pecinta Wiro Sableng
Saran dan kritik kirim ke: cersilkita@gmail.com
No comments:
Post a Comment